LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR TAHUN 2008
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN
Oleh: Drs. I Ketut Mustika NIP. 131882106
Dibiayai dari dana Diva ISI Denpasar Dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2008
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL.....................................................................
i
LEMBARAN PENGESAHAN .....................................................
ii
KATA PENGANTAR ..................................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka........................................................................
6
2.2 Konsep ...................................................................................
14
2.2.1 Patung..................................................................................
14
2.2.2 Gaya ....................................................................................
14
2.2.3 Perspektif ............................................................................
14
2.2.4 Bentuk, Fungsi, Makna .......................................................
16
2.3 Landasan Teori .......................................................................
17
2.3.1 Teori Dekonstruksi ..............................................................
17
2.3.2 Teori Estetika .....................................................................
18
2.3.3 Teori Resepsi .......................................................................
20
2.3.4 Teori Kreativitas..................................................................
21
2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif...............................................
21
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian...................................................................
27
3.2 Teknik Pengumpulan Data .....................................................
27
3. 2.1 Wawancara .........................................................................
27
3.2.2 Observasi .............................................................................
28
3.3 Instrumen Penelitian...............................................................
28
3.4 Manfaat Penelitian .................................................................
29
BAB IV DEKONSTRUKSI 4.1 Pembuatan Gambar seketsa....................................................
30
4.2 Pembuatan Maket ...................................................................
31
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung .........................................
31
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung .....................................
32
4.5 Proses Pembentukan Figur .....................................................
33
4.6 Finising Bentuk dan Detail Hiasan ........................................
33
4.7 Proses Pewarnaan ...................................................................
33
4.8 Alat-alat Kerja Yang Diperlukan ...........................................
34
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ............................................................................
35
4.2 Saran .......................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... LAMPIRAN FOTO ......................................................................
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR TAHUN 2008 Oleh: Drs. I Ketut Mustika
BAB I PENDAHULUAN
l.1 Latar Belakang Kebudayaan pada hakekatnya adalah aktivitas manusia yang meliputi seluruh aspek pikiran, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, melainkan dicetuskan melalui proses belajar. Dari keseluruhan aktivitas manusia yang sangat luas tersebut, kebudayaan bisa dilihat dari wujudnya yakni (1) kebudayaan sebagai suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan lain sebagainya, (2) kebudayaan sebagai suatu aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990:186-187). Keindahan alam Bali mencakup aspek-aspek seperti yang dikemukakan oleh The Liang Gie (1976 :35) yaitu keindahan seni, keindahan alamnya, keindahan moral dan intelektualnya. Dari aspek keindahan tersebut menyangkut kaidah estetika yang bersumber pada filsafat agama Hindu, demikian juga keindahan intelektual tercermin pada makna gagasan yang menjadi isi pada setiap seni yang tercipta. Estetika adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Estetika menggerakkan manusia kearah yang lebih
1
konstruktif dalam berbagai tindakan yang selalu berlandaskan prakerti yang memiliki tiga sifat atau guna yaitu: Satwa, Rajas, Tamas. Satwa adalah hakekat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang, baik dan menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan nafsu. Tamas adalah bercirikan kegelapan, kebodohan, kemalasan dan berat. Semula, kekuatan ketiga guna itu adalah seimbang. Oleh karena itu prakerti berada dalam keadaan berimbang, dan tidak menimbulkan sesuatu (tenang dan damai). Kemudian pada prakerti tersebut dimasukkan kekuatan maya. Kekuatan maya tersebut menyebabkan prakerti bergolak dan terjadilah ketidak seimbangan antar guna-guna tersebut. Dari pergolakan tersebut terjadilah di seluruh alam semesta ini yang bermacammacam corak sesuai dengan pengaruh zaman. Ini yang merupakan dasar peletakkan hubungan keindahan dengan esensi agama Hindu sebagai “Roh” karya seni yang lahir dan berkembang di Bali (Nurkancana, 1995:21). Untuk dapat memahami dan mengerti keberadaan karya seni dari suatu daerah dengan seksama, tidak cukup hanya dengan mengalisa bentuk-bentuk karya seninya saja seperti seni sastra, seni tari, seni pahat, seni warna dan seni-seni lainnya. Pemahaman gaya hidup, keyakinan (agama) struktur kehidupan dari suatu masyarakat adalah sendi-sendi yang sangat menentukan sekali dalam proses pencapaian suatu karya budaya. Dengan demikian sangat penting untuk dipahami supaya dapat mengadakan interperestasi yang tepat. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990 : 203-204) setiap kebudayaan suku bangsa di dunia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang universal yaitu : 1) Bahasa, 2) Sistem ilmu pengetahuan, 3) Organisasi sosial, 4) Sistem peralatan hidup dan Teknologi, 5) Sistem mata pencaharian hidup, 6) Sistem religi, 7) Kesenian. Kesenian adalah merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang universal tersebut, oleh karena itu seni atau kesenian merupakan sebuah produk kebudayaan dari setiap suku bangsa di dunia. Untuk itu memahami fenomena kesenian atau seni tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang di mana seni atau kesenian itu dilahirkan. 2
The Liang Gie (1996 : 46) merangkum pendapat tentang ciri-ciri pokok seni, yaitu : 1) Seni bersifat kreatif; menciptakan sesuatu realitas baru. 2) Seni bercorak individualitas; terikat pada perseorangan tertentu dalam penciptaannya maupun penikmatannya. 3) Seni adalah ekspresif ; menyangkut perasaan manusia dan karena itu penilaiannya juga harus memakai ukuran perasaan estetis. 4) Seni adalah abadi ; dapat hidup sepanjang massa. 5) Seni bersifat semesta ; berkembang di seluruh dunia dan sepanjang waktu.Dalam konteks tersebut Moerdowo (1967 : 18 ) mengelompokkan Bali sebagai salah satu dari suku bangsa di Indonesia yang memiliki karakteristik seni dan budaya yang menarik perhatian bagi para wisatawan manca negara untuk melihat paduan estetika budaya yang di ilhami oleh sebuah frame religiussitas Hinduisme. Kesenian Bali telah berkembang dengan pesatnya, seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan di bidang kepariwisataan yang memberikan dampak yang sangat positif dalam berkreativitas berkesenian. Berdasarkan hal tersebut Bali terkenal dengan berbagai julukan seperti; Pualu Sorga, Paradise Created, Pulau seribu Pura, Pulau Pariwisata dan lain sebagainya. Berbicara mengenai seni di Bali, hubungan agama Hindu dengan seni tidak dapat dipisahkan, karena dengan hal itu dapat menumbuhkan inspirasi dan rasa seni yang sangat mendalam dalam masyarakat dalam berbagai bidang, terutama dalam seni pahat atau seni bentuk dan seni-seni lainnya (Mantra, 1991 : 5). Seni dan agama Hindu khususnya di Bali sangat erat dan saling isi mengisi, karena pada awalnya karya seni adalah untuk dipersembahkan ( ngayah) kepada yang dipujanya. Sehingga agama Hindu merupakan sumber dari segala sumber inspirasi dalam berkreativitas karya seni dalam masyarakat Hindu di Bali. Hanya sekarang tampak pengaruh karya seni yang bersumber kepada penghidupan rakyat sehari-hari, hal ini dipertegas lagi oleh I Gusti Bagus Sugriwa (1952 :22) bahwa kesenian Bali atau seni budaya Hindu Bali bergejolak sampai sekarang, pada hakikatnya adalah anak atau cabang, lapisan luarnya dari agama Hindu. 3
Oleh karena itu, dalam memahami seni budaya Bali tidak dapat dipisahkan dari kerangka dasarnya yang menjadi sumber inspirasi penciptaan berbagai karya seni yang tumbuh dan berkembang di Bali. Seni budaya Bali yang berkembang sejak kedatangan para wisatawan ke Bali mengakibatkan perkembangan semakin pesat dalam berbagai wujud yang menjadi gaya tarik bagi wisatawan. Bali yang memiliki unsur estetika yang sangat unik dan kompleks membuat daya tarik Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata semakin mendunia. Kesenian Bali telah berkembangan begitu pesatnya, seiring dengan perkembangan dunia pariwisata, maka dampak dari perkembangan pariwisata tersebut munculah kreatifitas seni yang mencoba untuk memperindah pulau Bali. Salah satu seni yang turut memperindah tata ruang kota dan jalan-jalan di Bali adalah seni patung. Secara umum patung-patung yang menghiasi tataruang di kota Denpasar, baik di wilayah kabupaten Badung maupun di Kodya dapat di golongkan menjadi : 1) Patung realis, yang bernafaskan perjuangan kemerdekaan R.I. 2) Patung tradisi naturalis ekspresionis, yang bernafaskan falsafah agama Hindu. Salah satu patung tradisi naturalis ekspresionis yang berdiri megah di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung adalah Patung “Satria Gatotkaca”. Patung ini dibuat pada tahun 1993, terbuat dari bahan beton bertulang, bercorak tradisi naturalistik ekspresionis yang bernafaskan Hinduisme. Pada dasarnya topik Satria Gatotkaca dipergunakan berdasarkan aspek lingkungan, yaitu berdampingan dengan lapangan terbang (Air Port Ngurah Rai Tuban). Dengan demikian landasan ide ini di ambil berdasarkan karya sastra yang bernafaskan Hindu dari epos Mahabharata. Dalam wira carita Mahabharata ini menampilkan dua tokoh kesatria yang pada dasarnya merupakan serumpun keluarga yang terbagi menjadi dua yang saling bertentangan. Disatu pihak dari keluarga Panca Pandawa, yang diwakili oleh raja Pringgodani yaitu “Gatotkaca”. Di pihak lawannya adalah keluarga Seratus Kurawa, yang diwakili oleh Adipati dari Kadipaten Awangsa yaitu “Adipati Karna”. Dalam konteks mentransformasikan karya sastra yang bersifat dua demensional, menjadi karya seni tiga demensional juga memerlukan 4
kecermatan yang harus menjadi perhatian yang utama, karena terkait dengan sifat tiga demensional. Kalau dalam wira carita, yang menjadi momen utama adalah gugurnya Gatotkaca, karena terkait dengan sifat tiga demensinya maka, dengan demikian momen yang ditampilkan adalah pada saat kesatriaan-nya Gatotkaca memperlihatkan kesaktian “mayanya” untuk memancing emosi Adipati Karna, supaya melepas/mempergunakan senjata “Kunta Wijayandanu-nya ”, yang merupakan senjata pamungkas Adipati Karna. Dengan demikian momen “Satria Gatotkaca” sangat tepat diwujudkan dalam wujud karya seni
tiga demensional, yang dalam perwujudannya dilapangan terdiri dari : 1)
Gatotkaca sebagai tokoh utama, dari pihak Panca Pandawa, 2) Adipati Karna, tokoh utama ke dua dari pihak Seratus Kurawa, 3) Prabu Salya, sebagai kusir Adipati Karna, 4) Kereta perang Adipati Karna yang bernama Jaladra, 5) Enam ekor kuda sebagai penarik kereta Jaladra, 6) Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta Wijayandanu. Semua bentuk-bentuk figur tersebut terkomposisikan secara strukturalistik, sehingga menjadikan suatu unity komposisi bentuk-bentuk yang sangat indah, naturalis ekspresif, dan bersifat monumental.
1.2 Rumusan masalah : Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1). Bagaimanakah bentuk dekonstruksi seni Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban? 2). Bagaimana fungsi dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban? 3). Apa makna dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban?
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah proses umum yang kita lalui untuk mendapatkan teori terdahulu. Dalam buku Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid III, yang disusun tim penulis Sena Wangi (2003), tokoh Gatotkaca adalah tokoh karakter yang luar biasa, gagah dan pemberani yang digambarkan sebagai anak yang su putra di keluarga besar Panca Pandawa. Gatotkaca lahir, karena hasil perkawinan Bima dengan Dewi Arimbi. Begitu Gatotkaca lahir telah membuat keanehan, karena tali pusarnya tidak dapat diputus dengan segala macam senjata, dengan demikian keluarga Panca Pandawa sepakat mengutus Arjuna mencari senjata yang mampu untuk itu. Sementara para dewa-pun tahu tentang hal itu. Untuk menolongnya, Batara Guru mengutus Sanghyang Narada turun ke bumi membawa senjata pemotong tali pusar Gatotkaca. Namun Batara Narada membuat kekeliruan, senjata yang bernama Kunta Wijayandanu itu bukan diberikan kepada Arjuna, melainkan diberikan kepada Karna yang wajah dan penampilannya mirip Arjuna. Untuk memperoleh senjata tersebut Arjuna terpaksa merebut dari tangan Karna. Kemudian Arjuna berhasil hanya mendapatkan sarung (werangka) senjata sakti itu. Sendangkan bilah senjata kunta, dilarikan oleh Karna. Untunglah ternyata sarung (werangkanya) saja sudah bisa digunakan memotong tali pusar Gatotkaca. Kemudian, begitu tali pusar itu putus, werangka kunta itu langsung melesat masuk kedalam pusar Gatotkaca. Setelah tali pusarnya putus, atas seijin keluarga Pandawa Gatotkaca dibawa Batara Narada Ke Khayangan untuk menghadapi Kala Sakipu dan Kala Pracona yang mengamuk. Mula-mula Arimbi dan Bima tidak rela anaknya yang baru lahir dibawa oleh Narada. Namun setelah Narada menjelaskan Kala Sakipu dan Kala Pracona hanya bisa dikalahkan hanya oleh bayi Tutuka itu, akhirnya baru Bima dan Arimbi mengizinkannya. Di kahyangan bayi Tutuka langsung ditaruh dihadapkan kedua raksasa sakti 6
itu, bayi tutuka langsung diambil oleh raksasa dan mengunyahnya, tetapi tubuh bayi Tutuka tetap utuh walaupun dikunyahnya kuat-kuat. Karena kesal, bayi Tutuka itu dibantingnya dengan sekuat tenaga ke tanah, bayi Tutuka hanya pingsan. Setelah ditinggal pergi oleh kedua raksasa itu, bayi Tutuka diambil oleh Batara Narada, dimasukkan ke kawah Candradimuka. Disini Gatotkaca digembleng oleh Begawan Anggajali. Setelah penggemblengan selesai, begitu muncul dari kawah Candradimuka, bayi itu sudah berubah wujud menjadi kesatria muda yang yang gagah perkasa. Ia menggunakan “Caping Basunanda” (penutup kepala gaib), yang menyebabkan tidak kehujanan dan tidak kepanasan. Ia juga mengguanakan terompah “Padakacarma”yang jika digunakan menendang musuhnya akan mati. Kemudian para dewa menyuruh Gatotkaca berkelahi melawan bala tentara raksasa pimpinan Prabu Kala Pracona dan Patih Kala Sakipu, akhirnya Kala Pracona dan Kala Sakipu dapat dibunuh.
Dalam perjalanan hidupnya Gatotkaca mempunyai tiga orang istri. Istri pertamanya Dewi Pergiwa (anak Arjuna). Istri kedua adalah Dewi Sumpani, istri ketiga Dewi Suryawati (putri Batara Surya). Dari perkawinannya dengan Dewi Pergiwa melahirkan seorang anak bernama Saksikirana. Dengan Dewi Sumpani ia mempunyai anak bernama Arya Jayasumpena.
Sedangkan
Suryakaca
adalah
hasil
perkawinannya
dengan
Dewi
Suryawati.Dalam Perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-15 oleh senjata Kunta Wijayandanu yang dilemparkan Adipati Karna. Senjata Kunta Wijayandanu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk kedalam werangkanya. Saat berhadapan dengan Adipati Karna, sebenarnya Gatotkaca sudah tahu akan bahaya yang mengancam jiwanya. Karena itu ketika Adipati Karna melemparkan senjata Kunta, ia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti terus saja memburunya, sehingga akhirnya Gatotkaca gugur. Ketika jatuh kebumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh tepat pada tubuh
7
Adipati Karna, tetapi senapati kurawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga yang hancur hanyalah kereta Jaladranya saja. Sebenarnya, sewaktu berhadakan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan menggunakan senjata Kunta. Ia merencanakan hanya menggunakan senjata sakti itu bila berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Prabu Anom Duryudana menyaksikan betapa Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban, ia mendesak agar Karna menggunakan senjata pamungkasnya.Akibatnya, setelah Gatotkaca gugur, Adipati Karna tidak lagi memiliki senjata sakti yang benar-benar diandalkan.Dengan gugurnya Gatotkaca adalah merupakan penentu kemenangan di pihak Pandawa, karena siapapun yang dijadikan sasaran oleh pelempar senjata Kunta Wijayandanu, pasti akan gugur. Sedangkan senjata Kunta wijayandanu, dapat digunakan hanya sekali saja. Sebenarnya senjata itu di peruntukkan pada Arjuna, karena kejelian kordinator peperangan dari pihak Pandawa yaitu Sri Kresna, maka terselamatkanlah Arjuna dari sasaran senjata mahadasyat Kunta Wijayandanu. Apabila sampai Arjuna gugur dalam perang Baratayuda, sudah dapat dipastikan kemenangan berada dipihak Kurawa. Walaupun Gatotkaca gugur, beliau paling dihormati sebagai pahlawan besar kesatria sejati oleh keluarga besar Panca Pandawa, dan memiliki banyak gelar seperti ; Prabu Anom Kacanagara,
Tutuka, Guritna, Pangeran Gurubaya, Pangeran Purbaya, Bimasiwi,
Krincingwesi, Arimbiatmaja, dan Bimaputra.
Pada tokoh utama kedua sebagai lawan Gatotkaca yang dipatungkan adalah Adipati Karna, yang sebenarnya adalah saudara tertua dari Panca Pandawa. Karena, dilahirkan oleh Dewi Kunti pada waktu masih berstatus brahmacari (sedang menimba ilmu dengan mahaguru Resi Druwarsa). Dewi Kunti mencoba-coba menggunakan “Aji Adityarhedaya”, yakni ilmu untuk mendatangkan dewa yang dikehendakinya, dan berhasil mendatangkan Betara Surya. Tetapi kedatangan Betara Surya yang tampan itu membuat Dewi Kunti mengandung, pada hal ia masih gadis. 8
Setelah Prabu Kuntiboja mengetahui prihal musibah yang menimpa putrinya, paduka marah dan memanggil Maha Guru Resi Druwarsa. Druwarsa dipersalahkan karena mengajari ilmu tingkat tinggi pada gadis yang belum dewasa. Resi Druwarsa mengaku bersalah dan berjanji akan bersedia menjamin keutuhan keperawanan Dewi Kunti kelak pada saat melahirkan. Dengan ilmunya yang tinggi, sesudah masa kehamilannya cukup, Druwarsa mengeluarkan jabang bayi yang dikandungnya melalui telinga Dewi Kunti. Alasannya, ilmu masuk dan diresapi oleh Dewi Kunti melalui telinga. Itulah sebabnya, ia diberi nama Karna; yang artinya telinga. Nama lain baginya adalah Talingasmara, Suryaputra, dan Suryatmaja, karena anak Kunti itu hasil hubungan dengan Batara Surya.Pada waktu Karna lahir memiliki tanda khusus pada telinganya berisi “Atnting Mustika” yang memancarkan sinar kemilau. Untuk menutupi aib kerajaan, bayi (Karna kecil) dimasukkan kedalam peti dan dihanyutkan kesungai Gangga, yang kemudian ditemukan, dan dirawat oleh Adirata bersama istrinya bernama Rhada, seorang sais kereta, itulah sebabnya Karna juga disebut Basukarna atau Radhea. Karena Karna diangkat anak oleh seorang sais kereta kerajaan, karena Karna sering diajak keistana kerajaan, disana Karna sering melihat putra-putra Dewi Kunti dan Putra Dewi Gandari belajar ilmu olah keprajuritan, yang diajar oleh Resi Krepa, dan Begawan Drona. Pada suatu hari Karna memberanikan diri memohon agar kedua maha guru itu mau mengangkat Karna juga menjadi muridnya. Tetapi karena Karna hanya anak seorang sais, maka ia ditolak untuk jadi muridnya. Pada suatu saat Krepa dan Drona melakukan uji tanding antara murid-muridnya, ternyata arjuna menjadi murid yang paling pintar, dengan kepintarannya Arjuna menjadi sombong. Kesombongan Arjuna inilah, Karna menjadi lebih bersemangat untuk belajar ilmu olah keprajuritan dengan menyamar menjadi seorang brahmana, untuk berguru kepada Rama Bargawa, dan mendapatkan ilmu Brahmastra, yakni ilmu keterampilan memanah.Sesudah mewariskannya berbagai ilmunya, Rama Bargawa baru sadar bahwa muridnya bukan seorang brahmana melainkan seorang kesatria, karena Rama Bargawa sangat benci dengan kesatria, 9
akhirnya Karna dikutuk ; “kelak dalam Baratayuda, pada saat yang genting yang menentukan hidup atau mati, Karna akan lupa mantra ilmu Brahmastra”, dan kutukan itu terbukti.
Pada buku Mahabharata, yang ditulis oleh Kamala Subramaniam (2003:509-510), : Pasukan Pandawa dibakar oleh, Bhisma, Drona dan Aswatama. Tidak ada gunanya bertarung dengan mereka, tidak ada seorangpun yang bisa melawan mereka. Melihat Irawan mati, Gatotkaca bangkit dan bertindak. Gatotkaca mengobrak-abrik pasukan kurawa, kemarahan Gatotkaca ia tumpahkan pada Duryodhana, ia terus manentangnya. Bhisma mendengar suara keributan dalam pasukan karena Gatotkaca, Bhisma berkata: “Aku takut Duryodhana tidak akan mampu menahan kekuatan putra Bima, tetapi kalau bukan karena sumpah Bima untuk membunuh Duryodhana, Gatotkaca pasti sudah membunuhnya sejak dulu. Mereka semua ada disana; Drona, Aswattama, Jayadrata dan masih banyak yang lainnya. Gatotkaca semakin bersemangat melihat kejadian ini. Ia melawan mereka semua, ia meneriakkan teriakan perang yang sangat kuat. Yudhistira mendengar teriakan perang, ia memanggil Bhima dan berkata: “Bhima, aku mendengar suara anakku Ghatotkaca. Aku melihat beberapa pahlawan kurawa berlari mendekatinya. Aku khawatir akan keselamatannya. Aku tidak bisa mengutus Arjuna, karena ia sibuk membela putra-putra Drupada melawan kemarahan Bhisma. Aku ingin engkaulah yang pergi membantu putramu”. Bhima segera membantu putranya. Anak dan ayah sekarang bergabung menjadi pasangan yang tak terkalahkan. Pada saat Bhima mengangkat gadanya mau membunuh Duryodhana, mereka menghilang begitu juga Bhisma pergi dari pasukannya.Ghatotkaca
terus
mengobrak-abrik
pasukan
kurawa,
seperti
kucing
mempermainkan tikus, sampai trompet berbunyi tanda hari sudah malam, pasukan masingmasing kembali kekemahnya. Art In Indonesia : Continuities and Change : Claire Holt, Pengantar dan Alih Bahasa Soedarsono (2000), mengemukakan bahwa perkembangan seni di Indonesia merefleksikan 10
kebinekaan budaya yang lahir dalam tingkat kehidupan yang berbeda. Ada beberapa yang kelihatan kuno tetapi sangat vital, yang menjadi sumber kreatifitas idealisme, dan yang baru berkembang sangat pesat. Unsur-unsur seni lama dan baru di komodifikasi terstrukturalisasi sehingga menjadi karya seni yang sangat menarik. Seni tradisional dengan seni ritual seperti seni patung, seni lukis, seni gerak sampai wayang kulit tahan hidup berdampingan dengan seni sekuler yang digarap oleh kreator-kreator seni, dari gaya realis, naturalis, ekspresionis sampai gaya abstrak. Seni di Indonesia ditata seperti masuk dalam tiga lingkungan yang tumpang tindih diatur secara kronologis sebagai berikut. 1. “Warisan”, yang meliputi ciptaan-ciptaan seni dari zaman masa prasejarah Indonesia dan sejarah kuno yang masih dilestarikan, yang dibuat dari bahan-bahan tahan lama seperti batu, logam, dan tanah liat. 2. “Tradisi-tradisi yang hidup”, yang meliputi seni rupa (plastik arts) yang ada di Indonesia terutama di Bali yang konsepsi bentuk dan isinya diabadikan, walaupun kerap diabadikan pada medium yang baru. 3. “Seni Modern”, yaitu sebuah fenomena urban yang telah berkembang di Indonesia. Manifestasinya hadir bersama dengan bentuk-bentuk tradisi yang vital tampil sangat kuat pada seni lukis dan seni patung. Dijelaskan pula bahwa Bali adalah wilayah berbeda dibandingkan dengan Jawa atau daerah lainnya yang kepercayaan Hindu-nya praktis memudar bahkan melenyap dengan penyebaran Islam. Kehidupan ritual Hindu di Bali masih tetap bertahan hingga kini, meskipun menyerap pengaruh Hindu-Budha melalui ekspansi dari kerajaan Majapahit, namun ekspansi keseniannya memiliki perbedaan dengan Jawa. Dengan mengutip Stutterheim, bahwa yang ideal dari orang Jawa adalah mencari yang halus, bahkan yang lembut dan yang rohani, sehingga seninya ditandai dengan ke hati-hatian. Sebaliknya orang Bali menyukai yang ekspresif, meledak-ledak penuh semangat dengan 11
warna emas dan terang dengan keinginan menghias sangat berlebihan(baroque). Ciri-ciri baroque yang karakteristik akhirnya menuju seni Bali kontemporer yang khas. Para seniman Bali sangat cepat mengambil serta meniru setiap pembaharuan yang menyamar khayalan mereka, terutama yang telah meraih sukses. Sukses dinilai dari dua kreteria yaitu pertama, bila sebuah karya yang original telah memperoleh persetujuan atau kekaguman dari akhli khususnya penilai karya-karya seni lokal, dan kedua, bila karya-karya yang meniru gaya-gaya baru mencapai pasar komersil. Di Bali sebuah seni yang tak resmi dan lucu tampil berdampingan dengan seni pada bangunan suci (pura) yang bersifat resmi. Pemadatan dekorasi-dekorasi pura dengan penggabaran duniawi dan lucu tidaklah baru di Bali.
Suradi H.P (1983) dalam bukunya yang berjudul “Ida Bagus Nyana Hasil Karya dan Pengabdiannya”, mengungkapkan tentang biografi tokoh nasional Ida Bagus Nyana, seorang pematung yang kreatif dan sebagai tokoh pembaharuan seni patung Bali. Pada mulanya Ida Bagus Nyana membuat patung tradisional Bali yang tidak dikerjakan secara pribadi, tetapi secara bersama-sama dengan teman-temannya. Untuk memperluas pengetahuan dibidang seni patung, pada tahun 1935 ikut bergabung dalam perkumpulan Pita Maha yang dipimpin oleh Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Kalau sebelumnya Ida Bagus Nyana membuat patung tanpa teori, tanpa ada yang mengkritik atau menganalisis karya-karyanya, setelah bergabung dengan Pita Maha terjadi interaksi yang positif, dan secara tidak langsung membawa pengaruh terhadap kreatifitas seni dan perkembangan karya-karyanya. Secara visual daya kreatif dari pematung Bali untuk pertama kalinya bereksplorasi melalui pakem-pakem yang sudah ada dalam seni patung tradisi dan klasik Bali dipelopopri oleh Ida Bagus Nyana, yang sering dinyatakan sebagai tonggak seni patung Bali modern. Sejak tahun 1935 atas anjuran Walter Spies, Ida Bagus Nyana mulai melakukan penyederhanaan bentuk-bentuk wayang klasik dengan mengurangi hiasan-hiasan busananya sehingga karakter kayunya tampak jelas dan indah tidak ditutupi oleh ukiran-ukiran 12
(ornamennya) busananya. Dengan idealisme seperti demikian Ida Bagus Nyana mengolah bahan dengan dua cara, pertama idenya muncul dari bentuk bahannya untuk dijadikan karya seni patung, yang kedua pengolahan bahan sesuai dengan ide yang sudah ada. Dengan cara kerja mendekonstruktif melalui depormasi komposisi, ornamen maupun proporsi tradisinya sehingga menghasilkan suatu gaya, yang beliau namakan “Gaya Pepulungan” yang dikatagorikan sebagai tonggak seni patung Bali modern.
Linus (1985) dalam penelitian yang berjudul “Beberapa Patung Dalam Agama Hindu Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi”. Penelitian ini menjelaskan mengenai beberapa pengertian patung seperti arca, pretima, bedogol, dan togog. Arca dan pretima keduanya perwujudan dewa dalam bentuk patung yang digunakan sebagai sarana konsentrasi di dalam persembahyangan agama Hindu. Arca dan pretima dibedakan dari segi ukuran dan bahan. Arca ukurannya lebih besar, bahan dari kayu pilihan, bisa dari batu. Pretima umumnya ukurannya lebih kecil dan dibuat dari kayu pilihan, emas, perak, uang kepeng. Pretima juga biasanya disebut sebagai pralingga, atau petapakan, juga stana dewa. Sedangkan, bedogol adalah patung yang dibuat dari batu, umumnya batu padas atau kayu, biasanya dibuat dalam ukuran yang agak besar. Dilihat dari penempatannya tampaknya bedogol mempunyai fungsi magis dan dekoratif. Apabila bedogol ditempatkan di depan candi bentar (dedamping pintu masuk), disebut dwarapala, maka bedogol berfungsi magis dan dekoratif. Togog, adalah patung yang dibuat dalam ukuran yang lebih kecil dari bedogol yang dominan bersifat dekoratif, dapat dipindah sesuai keinginan. Linggih (2001) dalam penelitian yang berjudul “Patung Dewa Ruci di Persimpangan JL. Arteri Nusa- Dua Tanah Lot : Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna”. Pembuatan patung Dewa Ruci ini di ilhami oleh muatan-muatan estetik dan fungsional. Patung Dewa Ruci sangat menarik untuk dikaji dari segi estetika Hindu, khususnya dalam konsep rwa bhineda,
13
karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara yang sakral dan sekuler. Patung Dewa Ruci menunjukkan pemahaman bentuk fisik, dalam cakupan komposisi dan proporsi dan elemen-elemen estetik yang membentuk karya yang bergaya naturalis ekspresionis. Patung ini memiliki fungsi sakral dan sekuler. Fungsi sakral kalau mengacu pada simbol Acintya yang biasanya digunakan dalam upacara agama Hindu, dan fungsi sekuler mengacu pada penempatan patung tersebut sebagai komponen dekoratif, untuk memperindah taman kota. Penelitian ini cukup relevan dengan masalah yang dikaji terutama menyangkut patung beton dan bergaya naturalis ekspresionis.
Swandi (1999) dalam penelitiannya yang berjudul “Inovasi Ida Bagus Tilem Dalam Seni Patung Bali Modern”. Penelitian ini dibahas mengenai aktivitas dan kreativitas Ida Bagus Tilem dalam berkarya seni patung yang bertolak dari konsep penyederhanan bentuk (deformasi) yaitu sebagai prinsip dasar perubahan inovatif dalam seni patung yaitu perubahan dari bentuk-bentuk manusia ideal menjadi proporsi yang tidak ideal. Dalam mewujudkan konsepnya Tilem berusaha memadukan ide yang ada dalam dirinya dengan material yang dipakai, yaitu bentuk-bentuk kayu yang alami bahkan kayu-kayu yang sudah dimakan rayap dan borok terkadang melahirkan ide baru dalam karya patungnya yang eksotik dan imajinatif. Di balik idenya yang murni karya-karya Tilem sangat kreatif dan inovatif, permainan unsurunsur estetik dalam bentuk yang dideformasi mengikuti bahan secara alamiah sehingga menghasilkan patung abstrak atau seni patung Bali modern yang tidak terlepas dari akar budaya Hindu Bali. Dalam pembangunan pariwisata budaya, dalam seni rupa khususnya seni patung, Monumen Patung Satria Gatotkaca di Persimpangan JL. Ngurah Rai Tuban, merupakan wujud nyata adanya perkembangan pariwisata budaya. Yang pada dasarnya adalah konsep dari cerita klasik Hindu, yang pada perwujudannya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. 14
2. 2 Konsep 2. 2.1 Patung Dalam Ensiklopedi umum (1973 : 1193), dikatakan patung adalah seni rupa yang merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk tiga demensional. Walaupun ada pula yang bersifat seni pakai, tapi pada galibnya seni patung adalah tiga demensional sehingga dengan demikian benar-benar didalam ruang, maka didalam patung tidak ada problem perspektif seperti halnya seni lukis yang kadang kala ingin membuat kesan kedalaman dalam karya-karya yang datar saja. Selanjutnya menurut Jack. C. Rick (1959 :3) esensi seni patung adalah seni yang bersifat tiga demensional yang merupakan organisasi massa, benda atau volume atau kontur, bidang gelap dan terang dan juga tekstur.
2.2.2 Gaya Dalam bahasa Inggris gaya disebut dengan style, yang menurut Echols dalam Couto (1999 : 3) berarti corak, mode, dan gaya, misalnya gaya bahasa, stilistik adalah ilmu gaya bahasa. Gaya seni adalah suatu keteraturan, suatu pola keindahan yang diabstraksikan dari suatu karya seni. Yang dimaksud adalah gugusan sifat-sifat yang bertalian dengan ide, tema, wujud visual yang memberikan ke khasan pada karya seni yang bersangkutan, dan didukung teknologi kerja yang diperlukan, sehingga menghasilkan karya seni yang memiliki karakter dan ciri khas tertentu pada zamannya.
2. 2.3 Perspektif Perspektif umum diartikan sebagai tinjauan, sudut pandang atau pandangan. Sudut pandang yang dimaksud adalah tergantung permasalahan apa yang dikaji. Suatu masalah atau obyek peristiwa bisa dipandang dari beberapa sudut pandang atau perspektif. Perspektif juga bisa diartikan sebagai seperangkat asumsi kerja, suatu teknik pendekatan, atau paradigma (Paul B. Horton dalam Ram,1999 :16). 15
2. 2. 4 Bentuk, Fungsi, dan Makna Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana menggunakan pendekatan atau paradigma budaya “bentuk, fungsi, dan makna” berdasarkan filsafat ilmu yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aspek bentuk menyoroti “apa” (ontologinya) yang menggambarkan realitas yang diteliti. Aspek fungsi menunjukkan “bagaimana” (epistemologinya) yang menggambarkan metode yang
digunakan,
dan
aspek
makna
menyoroti
“mengapa”
(aksiologinya)
yang
menggambarkan nilai-nilai(Mudana,2003 :89-93, Ratna, 2003: 112-120).
Bentuk, bentuk dapat diartikan sebagai Form dan shape. Form adalah bentuk yang menunjukkan mahluk hidup, misalnya bentuk binatang maupun manusia. Shape pengertian bentuk yang menunjukkan benda yang ada dibumi (Bastomi, 1989 : 30). Menurut Jelantik (1999: 18), bentuk yang paling sederhana adalah “titik”, titik adalah komponen penentu, untuk diolah dan ditata sesuai dengan keinginan dalam konteks seni rupa.
Fungsi, fungsi adalah menerangkan hubungan guna antara sesuatu hal dengan suatu tujuan tertentu, ada kaitan korelasi antara suatu hal dengan suatu hal yang lain dalam sistem yang terintegrasi. Berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat berfungsi untuk memuaskan hasrat kebutuhan hidup manusia. Unsur kesenian misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat manusia akan keindahan. Dengan demikian pemikiran fungsional selalu menyangkut hubungan pertautan atau relasi (Peursen, 1988 :85).
Makna, makna terkait suprastruktur dan sistem budaya yang bersifat abstrak. Dengan kalimat lain, makna selalu diartikan sebagai mangandung nilai-nilai positif, untuk 16
kesejahteraan umat manusia, sebaliknya fungsi mungkin bersifat positif atau negatif. Dengan kalimat lain lagi, makna mengandung sifat das sollen (apa yang seharusnya terjadi), sedangkan fungsi mengandung sifat das sein (kejadian sebagai apa adanya). Tujuan akhir setiap aktivitas kebudayaan dengan demikian adalah makna.
2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi, dari akar kata de + constructio (latin). Pada umumnya prefiks ‘de’ berarti kebawah, pengurangan, terlepas dari. Constructio berarti: bentuk, susunan, hal menyususn, hal mengatur. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai b pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Sebagaimana telah terjadi dalam menterjemahkan istilah-istilah asing, dengan adanya perbedaan perbendaharaan kata-kata, maka sangat sulit untuk menemukan terjemahan yang tepat terhadap istilah dekonstruksi tersebut. Dalam teori kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Cara yang dianggap paling tepat untuk memberikan arti terhadap istilah dekonstruksi , demikian juga istilah-istilah lain yang mempergunakan prefiks ‘de’ seperti; depsikologi, depersonalisasi, deotomatisasi, dan sebagainya, adalah dengan mengembalikannya pada akar katanya semula. Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya, kegiatan yang dilakukan secara terus menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain. Benar, dalam dekonstruksi dilakukan semacam pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali kedalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat obyek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Melalui analisis strukturalisme, tokoh-tokoh yang 17
memperoleh perhatian adalah tokoh utama. Sebaliknya, melalui analisis postrukturalisme, setiap tokoh adalah tokoh utama dalam peristiwanya masing-masing. Dekonstruksi dalam hubungan ini berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan dekonstruksi tetap konstruksi, dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda, konstruksi yang seimbang sekaligus dinamis, bukan konstruksi yang statis sebagaimana yang dimaksudkan dalam strukturalisme dan pemahaman modernisme pada umumnya. Dengan demikian Kristeva (1980: 36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Derrida dalam Piliang (2003: 125-126), lebih memusatkan pemikiran filsafatnya pada makna atau lebih tepatnya kemustahilan dari sebuah teks. Derrida mengembankan sebuah lembaran baru filsafat, dengan
2.3.2 Teori Estetika Estetika Clive Bell dalam Gie (1976 : 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk yang bermakna) sehingga seni tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi significant form adalah mutlak bersifat pencapaian penikmatan estetis. Becker dalam Noel (2000: 38) menjelaskan estetika harus mampu memadukan unsur-unsur seni dan logika, dan berproduksi melalui bahasa rupa, serta memiliki kepekaan indrawi melalui pengalaman bereksplorasi, berekspresi dan berkreasi sesuai kebutuhan masyarakat. Pelaku estetika harus mampu berkreasi dalam bahasa rupa berdasarkan inspirasi yang bersumber pada alam dan lingkungan dalam mengolah medium seni. Estetika adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan serta semua aspek dari apa yang disebut keindahan. Dengan demikian kesenian merupakan suatu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan. Keindahan dari karya 18
buatan manusia dapat memberikan rasa kesenangan dan kepuasan melalui beberapa unsur mendasar dalam estetika yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi dan penampilan (Djelantik, 2004: 15). Piliang (2003: 185-186) mengemukakan bahwa ada semacam paradoks dalam setiap upaya pendefinisian estetika posmodernisme. Tampaknya, diskursus posmodernisme adalah diskursus yang menghindarkan diri dari definisi, yang menjauhkan diri dari pembicaraan tentang kebenaran diri sendiri, yang melakukan parodi terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi, terlepas dari paradoks atau kontradiksi filosofis ini, ada pertanyaan khusus tentang estetika yang diharapkan dapat dijawab, yaitu apakah mungkin menyusun dan mengembangkan konsep-konsep posmodernisme yang khusus tentang estetika, di tengah hiruk-pikuk tuduhan akan miskinnya kriteria, samar-samarnya nilai kebenaran, moralitas, rasionalitas, dan spiritual dalam kebudayaan modern?. Apakah mungkin mengembangkan konsep-konsep estetika dari kebudayaan modern, yang oleh beberapa kritikus dituduh sebagai kebudayaan antiestetika (Foster)? Apakah mungkin menyusun idiom-idiom estetik dari karya-karya seni posmodern seperti Memphis, yang para konseptornya secara ironis memberi label pada gerakan mereka sebagai gerakan menentang estetika? Model kajian akademis tentang estetika apakah yang dapat dikembangkan dari kebudayaan posmodern yang sering dituduh sebagai kebudayaan yang tidak bertanggung jawab (irresponsible), yang didalamnya apapun boleh- anything goes! Atau, model pengalaman dan makna-makna estetik apakah yang dapat ditafsirkan dari karyakarya seni posmodern yang sering dikatakan bersifat transparan-yang anti-interpretasi (Foucault, Baudrilard). Perbicangan mengenai estetika posmodern sebagaimana kondisi posmodern itu sendiri memang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tak berujung; penuh dengan jalan berliku, penuh enigma. Meskipun demikian, yang tidak dapat dibantah lagi dari diskursus posmodern, adalah bahwa pengetahuan dan teori-teori yang melandasi diskursus posmodern lebih berkaitan dengan upaya menerangkan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan antara fenomena 19
posmodernisme, konsumerisme, dan obyek-obyek estetik (atau antiestetik) di dalam masyarakat konsumerisme. Oleh sebab itu di dalam era posmodern tidak dapat dipisahkan dari keterkaitannya dengan konsumerisme itu sendiri, serta pengetahuan yang melandasinya dan kekuasaan yang beroprasi di baliknya. Keanekaragaman prinsip atau idiom-idiom estetik kebudayaan yang mengelilinginya, dari kegalauan epistemologis yang mewarnai produksi dan reproduksi obyek-obyek estetiknya. Dalam hal ini, dapat dikemukakan argumen, bahwa di tengah-tengah ekstasi (Barthes), diam (Hasan, Sontag), transparansi (Foucault), imanensi (Baudrillard), indeterminansi (Rotry), dan skizofrenik (Deleuze & Guattari) yang mewarnai diskursus posmodern, ada katagori-katagori kebudayaan, idiom-idiom estetik yang dapat diambil, dikembangkan, diperluas, diperdalam dan diterapkan dalam praktik-praktik kebudayaan yang lebih luas, khususnya seni. Tujuan dari penggalian idiom-idiom dan bahasa estetik ini, bukanlah mencari terminal terakhir atau tapal batas terluar dari diskursus estetika posmodernisme – terminal atau tapal batas, dimana bahasa estetik posmodern tidak punya gerak lebih jauh lagi, akan tetapi hanya untuk pembuka wawasan, bagi penjelajah idiomidiom yang lebih kaya. Teori estetika ini digunakan sebagai landasan dalam mengkaji bentuk dan struktur seni patung, melelui perpaduan aspek ide dan penerapan elemen-elemen seni rupa, sejauh mana elemen-elemen estetis ini mampu mewujudkan suatu gaya yang khas yaitu gaya naturalis dekoratif ekspresif pada patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.
2.3.3 Teori Resepsi Kutha Ratna menyebutkan, secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan pemirsa, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca atau penikmat memegang peranan penting, cara pemberian sesuatu yang bermakna terhadap karya seni, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya (2005: 208). Secara historis teori resepsi sudah diperkenalkan tahun 1976 oleh H. Robert Jauss, yang pada dasarnya mengungkapkan resepsi 20
deakronik yang lebih menarik dan memberikan pemahaman yang signifikan, khususnya dalam kaitannya dengan studi kultural; pertama adalah perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua, pergeseran penilaian ini merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketrahui tokoh dan kekuatan yang berdiri dibelakangnya.
2. 3.4 Teori Kreativitas Monrou Beardsley, mengemukakan bahwa sejak awal para seniman telah mempertahankan tentang sumber tenaga yang mendorong terciptanya benda-benda nyata dari sesuatu yang abstrak. Pertama, karena adanya dorongan kemanusiaan biasa; yaitu hasrat untuk mencapai kemasyuran, uang digandrungi, kekuasaan dan lain sebagainya. Dorongan ini sebenarnya berlaku bagi setiap orang, tetapi seniman mempunyai karakteristik sendiri yang perlu kajian lebih luas, dan seniman baru meniti karir dengan seniman kawakan serta latar belakang sosial budaya, ekonomi, dan pendidikan sangat menentukan motifasi seseorang untuk melakukan kegiatan. Kedua, dorongan yang bersifat rohani; yaitu kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh rohaninya secara mendalam, bahkan mungkin tidak disadarinya.
2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif Secara umum modernisasi dikenal sebagai proses berkembang dan menyebarnya rasionalitas manusia Barat ke segenap segi kehidupan dan tingkah laku sosial. Max Weber menyebut proses tersebut sebagai rasionalisasi (rationalizierung). Ini berarti bahwa apa pun yang ada dan terjadi di dunia ini selalu didekati dan diukur dengan kreteria teknik. Manusia selalu percaya dan optimistik terhadap rasionya. Rasio menjadi “dewa”, mitos, dan ideologi baru. Rasio mengatasi semua pengalaman yang bersifat khusus dan mengasilkan kebenarankebenaran mutlak, universal, dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian, 21
Alhumany (1994: 98) menulis, modernisme yang ditandai oleh kepercayaan penuh pada keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekular, ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang era industrialisasi yang dikampanyekan dapat membawa kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Jurgen Habermas melihat kapitalisme modern sebagai suatu sistem sosial jahat sebab sistem ini lebih menitikberatkan pada dominasi teknologi dan nalar instrumental dari pada segi-segi manusiawi. Di samping itu, ia juga melihat kapitalisme modern mendominasi negara untuk kepentingan ekonomi dan meningkatkan bidang kehidupan sosial lainnya (Pelly dan Menanti, 1994: 160). Ia mengeritik Marx yang menganggap mekanisme yang membawa dari satu tahap perkembangan sosial ke tahap berikutnya adalah faktor ekonomi, bukan faktor budaya. Habermas yang mengajukan pencerahan melalui rasio komunikatif dalam teore kritisnya tidak dapat dikatakan antimodernitas. Ia mengkritik modernitas sejauh modernitas tersebut diarahkan oleh sistem kapitalisme yang cacat. Dengan mengutamakan segi-segi instrumental dan manipulatif yang terwujud dalam sistem ekonomi dan administrasi birokratis, modernitas kapitalis menindas segi-segi hakiki masyarakat yang pada dasarnya bersifat komunikatif. Tidak hanya mengkritik rasionalisasi masyarakat, teknokratisme, dan depolitisasi massa, Habermas juga berbicara tentang demokrasi radikal dan krisis legitimasi serta kapitalisme. Menurutnya, cacat-cacat modernitas harus diatasi dengan pencerahan lebih lanjut dalam arti “rasio komunokatif” yang kritis terhadap rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan. Habermas memang tidak meninggalkan modernitas dan proyek-proyek sejarahnya. Ada dua tugas tindakan komunikatif yang ditempuh untuk mengarahkan perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan, menuju sebuah cita-cita universal yang melandasi segala praksis sosial yang rasional, yaitu masyarakat yang komunikatif. Mengenai dua tugas tersebut, Habermas (1984: 375) berpendapat sebagai berikut: 22
Teori tindakan komunikatif (teori kritis) mengambil sikap kritis baik terhadap ilmuilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya. Ia kritis terhadap
masyarakat-masyarakat
maju
sejauh
mereka
tidak
sepenuhnya
memanfaatkan kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu, melainkan membenamkan diri ke dalam sebuah pertumbuhan kompleksitas yang tidak terkendali. Namun, ia juga kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal-usul historis bidang objek mereka (dalam arti sosilogi reflektif)
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas yang erat hubungannya dengan usaha mengatasi kemacetan teori kritis para pendahulunya. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx di abad ke -19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Menurut Hardiman, “praksis” adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Praksis diterangi oleh kesadaran rasional (1993: xix-xx). Habermas sadar bahwa Hegel yang menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis memahami praksis bukan
hanya
sebagai
“kerja”
(Arbeit),
melainkan
juga
sebagai
“komunikasi”
(kommunikation). Para pendahulu Habermas memiliki kelemahan mendasar karena hanya mampu mengandaikan praksis sebagai kerja (“tindakan rasional – bertujuan”) di samping hanya mengandaikan rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan (“rasio yang berpusat pada subjek”). Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikasi atau tindakan komunikatif. Ia mengubah “paradigma kerja” dalam teori kritis ke “paradigma komunikasi”. Dasarnya adalah distingsi tentang praksis. “Kerja” secara mendasar dibedakan dari “interaksi”. Mengenai kerja yang disebutnya “tindakan rasional bertujuan”, Habermas (1990: 59-60) menyatakan: 23
Dengan kerja atau tindakan rasional bertujuan saya memahami tindakan instrumental atau pemilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan instrumental ditentukan oleh aturan-aturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Di dalam setiap hal, aturan-aturan itu menyatakan prediksi-prediksi bersyarat tentang peristiwa-peristiwa fisis atau sosial yang dapat diamati. Prediksi-prediksi ini dapat membuktikan tepat atau keliru. Kelakuan pemilihan rasional ditentukan oleh strategi-strategi yang didasarkan atas pengetahuan analitis. Strategi-strategi ini menyatakan tak langsung deduksi-deduksi dari aturan-aturan preferensi (sistem-sistem nilai) dan prosedurprosedur pengambilan keputusan; proposisi-proposisi ini baik dideduksikan secara tepat atau keliru. Tindakan rasional-bertujuan menentukan tujuan-tujuan di bawah kondisi-kondisi yang telah ada. Tetapi sementara tindakan instrumental mengatur sarana-sarana yang cocok atau tidak cocok menurut kriteria penguasaan efektif atas kenyataan, tindakan strategis tergantung hanya pada evaluasi yang tepat atas pemilihan-pemilihan alternatif yang mungkin, yang dihasilkan dari kalkulasi yang ditambahkan oleh nilai-nilai dan norma-norma.
Dalam pandangan Habermas, rasionalisasi masyarakat Barat berjalan timpang karena terlalu menitik beratkan rasionalisasi dalam matra subsistem tindakan rasionalitas-bertujuan, yakni rekonstruksi sistem-sistem objektif, seperti birokrasi negara dan sistem tekno-ekonomi kapitalis dengan maksud penguasan alam dan penangan proses-proses sosial tertentu. Sistemsistem ini berlangsung menurut logika praksis kerja sosial, dan mereka yang terlibat di dalamnya melakukan dua macam tindakan kerja yang disebutnya “tindakan instrumental”, yakni “pengolahan alam” dan “tindakan strategis”, yakni pencapaian target objektif dalam interaksi sosial. Oleh Weber praksis ini didasari oleh rasionalitas yang disebut Zweckrationalitaet (Hardiman, 1993). Nalar instrumental adalah suatu logika penilaian dan cara memandang dunia. Instrumental mengandung dua demensi, yaitu suatu cara memandang dunia dan suatu cara melihat pengetahuan teoritis. Nalar instrumental berkepedulian dengan tujuan-tujuan praktis yang memisahkan fakta dan nilai. Nalar instrumental membahas proses/cara orang melakukan sesuatu, bukan pada apa yang dilakukannya. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai instrumen, bukan tujuan, untuk memperoleh hasil-hasil yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu
24
pengetahuan tidak mempersoalkan untuk apa digunakan hasil-hasil tersebut. Ia hanya dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan secara efisien (Pelly dan Menanti, 1994: 158). Mengenai “komunikasi” yang disamakan dengan “interaksi”, Habermas (1990: 60-61) menjelaskan: Dengan”interaksi”, di lain pihak, saya maksudkan tindakan komunikatif, interaksi simbolis. Tindakan komunikatif itu ditentukan oleh norma-norma konsensual yang mengikat, yang menentukan harapan-harapan timbal-balik mengenai tingkah-laku dan yang harus dimengerti dan diketahui sekurang-kurangnya oleh dua subjek yang bertindak. Norma-norma sosial yang diberlakukan lewat sangsi-sangsi. Makna dari norma-norma itu diobjektifkan dalam komunikasi lewat bahasa sehari-hari. Sementara kesahihan aturan-aturan teknis dan strategi-strategi tergantung pada kesahihan proposisi-proposisi yang secara analitis tepat dan empiris benar, kesahihan normanorma sosial didasarkan hanya dalam intersubjektivitas saling pemahaman maksudmaksud dan diamankan oleh pengetahuan umum mengenai kewajiban-kewajiban.
Meskipun memiliki sejumlah dampak positif yang luas , industri (modern) mendapat banyak tantangan. Fromm (1996: 6) berpendapat, industri menghasilkan masyarakat teknologis yang ter-dehumanisasi. Capra (1997: 17) menunjukkan, kemajuan manusia menimbulkan berbagai krisis dalam masyarakat sehingga terdapat transisi yang terelakkan dan, untuk itu, dibutuhkan suatu paradigma baru. Menurut Featherstone (1988: 195), kemajuan tanpa batas industri apa pun menganjurkan pergeseran dan keterputusan zaman dari kemodernan dan melibatkan kemunculan totalitas sosial baru dengan berbagai prinsip pengorganisasian yang bisa dibedakan sendiri, seperti yang terdapat pada karya-karya Jean Baudrillard, Francois Lyotard. Baudrillaed dan Lyotard mengandaikan adanya suatu gerak maju menuju masa post-industri. Post-industri dapat dikatakan kata lain dari post-kapitalisme. Dalam hal ini, postkapitalisme adalah kapitalisme yang di dalamnya melekat humanisme. Menurut Murchland (1992: 93-100), kapitalisme bukan saja suatu humanisme yang empiris melainkan juga 25
integral, yang didasarkan atas sepuluh asas, yakni (1) keterasingan, (2) kebebasan, (3) rasionalitas, (4) naturalisme, (5) moralitas, (6) masyarakat, (7) tradisi, (8) agama, (9) kreativitas, (10) subjektivitas. Dalam unkapan De Vos (1995: 116), yang harus dibangun adalah compassionate capitalisme (kapitalisme dengan kepedulian sosial), bukan passionate capitalism (kapitalisme hawa nafsu). Banyak sekali perdebatan mengenai sejauh mana modernisme abad kesembilan belas yang harus dipakai (beberapa akhli cenderung kembali pada golongan seniman pendahulu tahun 1830-an). Ciri-ciri dasar modernisme dapat diringkas sebagai: suatu kesadaran diri dan refleksifitas estetis; penolakan struktur naratif demi kepentingan simultanitas dan pemilihan gambar yang simultan (montage); suatu penyelidikan tentang hakikat realitas yang bersifat paradoksikal, ambigu, dan terbuka tanpa kepastian; dan penolakan terhadap gagasan tentang kepribadian yang terintegrasi demi penekanan dan subjek yang mengalami de-strukturisasi dan de-humanisasi (Lunn, 1985: 34). Salah
satu
permasalah
yang
dihadapi
ketika
mencoba
untuk
memahami
postmodernisme dalam bidang seni adalah, kebanyakan ciri-ciri ini sesuai dengan berbagai definisi tentang postmodernisme. Permasalahan yang berkaitan dengan istilah itu, sebagaimana permasalahan istilah-istilah yang terkait yang kita telah bahas, berkisar pada masalah kapan sebuah istilah yang didefinisikan secara berlawanan dengan dan menghidupkan sebuah istilah yang telah mapan mulai memberikan arti sesuatu yang secara substansial berbeda (Featherstone, 2008: 16). Teori tindakan komunikatif dipergunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji permasalahan ketiga “ apa makna di bangunnya patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.
26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian. Penenlitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan budaya, dengan menggunakan obejek sebagai sampel yaitu Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jl. Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Dengan dasar pertimbangan : 1. Patung Satria Gatotkaca adalah dibuat dari sebuah konsep nilai agama Hindu yang sarat dengan nilai estetika, filosofis Hinduisme serta memiliki bidang telaah dalam tataran ideologi, bentuk, fungsi dan makna. 2. Patung Satria Gatotkaca adalah hasil karya seniman patung bertarap internasional, dan hasil karya yang merupakan kolaborasi seni patung tradisional Bali dengan seni patung modern. 3. Patung Satria Gatotkaca muncul di tengah-tengah masyarakat sekitarnya yang diterpa arus budaya asing (modern), dan terkait dengan keberadaan Airport Nurah Rai Tuban.
3.2. Teknik Pengumpulan Data 3.2.1 Wawancara Teknik wawancara atau teknik interview merupakan cara yang dipergunakan oleh seseorang, dengan tujuan tertentu untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari informan. Wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan informan. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendiriannya dalam suatu masyarakat yang sekaligus merupakan suatu pembantu utama teknik observasi (Koentjaraningrat, 1981: 126). Di samping itu, wawancara adalah proses percapakan dengan maksud untuk 27
mengkonstruksi orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai/interviewee (Burhan Bungin, 2006: 134). Dalam kaitannya dengan patung Satria Gatotkaca, teknik ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang lengkap dari seniman I Wayan Winten mengenai karya seni patung betonya. Wawancara akan dilakukan dengan informan kunci, yakni seniman patung beton I Wayan Winten. 3.2.2 Observasi Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Bungin, ( 2001 :58 ) menjelaskan metode observasi digunakan dalam mengamati yakni, apa yang mereka lakukan, benda-benda apa saja yang mereka buat, yang digunakan dalam kehidupan berkesenian. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang kreativitas seni yang dilakukan pematung I Wayan Winten di studionya, terutama mengenai (1) bentuk patung, (2) Prosespembuatan patung, dan (3) makna patung betonnya. Untuk hal-hal yang tidak bisa dicatat tentang objek penelitian, akan dilakukan pemotretan dan perekaman secara audio visual dengan menggunakan seperangkat alat pemotretan seperti kamera atau handycam, serta alat rekam seperti tape recorder.
3.3. Instrumen penelitian Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipakai mengumpulkan data sesuai dengan jenis data yang akan diambil. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah : a. Alat pencatat untuk pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara. Alat pencatat untuk teknik wawancara dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang terkait
28
dengan dengan variabel dan dilengkapi dengan alat pemotretan untuk merekam subyek penelitian dalam bentuk foto. b. Alat pencatat untuk teknik interviu bebas disertai pedoman garis besarnya saja tentang hal-hal yang akan ditanyakan/diperbincangkan dengan responsden.
3.4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat dijelaskan dari hasil penelitian ini, antara lain : a. Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi tentang karya seni patung Satria Gatotkaca di Persimpangan Jaln Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. b. Sebagai sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan keberbagai pihak yang kompeten, terutama sebagai sarana pembelajaran bagi anak muda Bali yang akan melanjutkan budaya pembuatan seni patung monumental sebagai penghias taman juga mengangkat nilai filosofis budaya Bali dan patung yang menampilkan sosok pahlawan. Juga sumber belajar bagi mahasiswa dan pelajar dalam pembuatan seni patung monumental tersebut. Karena belum banyak tulisan yang menyajikan khususnya seni patung monumental di Bali.
29
BAB IV PROSES DEKONSTRUKSI
4.1 Pembuatan Gambar Sketsa Dalam pembuatan gambar sketsa berorientasi pada tema dan narasi yang disajikan, sehingga mewakili karakter tokoh yang akan diwujudkan dalam bentuk patung kelompok. Proses penggambaran tersebut telah mempertimbangkan bentuk dan wujud, gerak, proporsi, komposisi, dan fungsi dengan skala 1: 50. Gambar sketsa dengan skal sangat diperlukan, untuk menghindari kesalahan dalam penentuan proporsi, komposisi, dan penerapan elemenelemen decoratifnya, sehingga terwujud karya yang harmonis antara bagian-bagian secara keseluruhan. Figur-figur patung yang diwujudkan pada monumen Satria Gatotkaca; (1) Satria Gatotkaca, tokoh utama dari pihak Pandawa sebagai simbol satria sejati, dalam membela dan menegakkan kebenaran.,(2) Adipati Karna, tokoh utama kedua yang mewakili pihak Korawa, sebagai simbol kesetiaan (satia wecana), setia akan janji walaupun dalam hatinya yang paling dalam sebenarnya ada di pihak pandawa, (3) Prabu Salya, adalah tokoh yang sangat disegani dipihak Korawa untuk mengendalikan jalanya taktik peperangan dipercaya sebagai pengendali kereta, (4) Kereta perang yang dipergunakan Adipati Karna bernama kereta Jaladra, (5) Enam ekor kuda yang diwujudkan adalah sebagai simbol sad ripu, disini menggambarkan bahwa dari pihak korawa tidak mampu mengendalikan sad ripunya (hawa naksu) selalu ingin menguasai, sehingga terjadilah perang antara Korawa dengan Pandawa, (6) Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama “Kunta Wijayandanu” sebenarnya adalah simbol kemenangan, karena siapapun yang menjadi sasaran senjata tersebut pasti gugur, denga satu syarat hanya dapat dipergunakan sekali saja. 30
4.2 Pembuatan Maket Dalam proses perwujudan karya patung dalam ukuran besar apalagi karya patung beton bertulang, selain gambar sangat penting diperlukan maket (miniatur) untuk memperlancar proses pekerjaan. Setelah gambar yang pasti ditetapkan, gambar tersebut diaplikasikan kedalam patung kecil (maket/miniatur). Pembuatan maket melalui proses tahapan; satu, membuat kerangka struktur konstruksi dengan besi dan kawat kasa, sesuai dengan gambar yang telah ditentukan dalam gambar. Dua, kerangka besi di cor dan tempel dengan adonan PC yang telah disiapkan, yang bersipat untuk memperkokoh kerangka struktur tesebut, setelah tempelan yang pertama kering baru dapat dilanjutkan dengan pembentukan bentuk-bentuk figur yang wujudkan secara global. Tiga, untuk pinising bentuk-bentuk figur tersebut disempurnakan dengan adonan semen dicampur dengan mil dan air secukupnya untuk mendapatkan kesn yang lebih lembut dan mempermudah memberikan aksen-aksen anatomi yang diperlukan. Demikian pula dengan pemberian elemen-elemen dekoratip yang bersifat ornamental sehingga maket menjadi lebih indah dan mendekati kesempurnaan. Empat setelah maket dalam kondisi kering, maket dapat diberi warna sesuai dengan konsep gambar yang telah ditentukan untuk dapa memberikan gambaran yang lebih oftimal dalam proses perwujudan patung yang sebenarnya.
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung Dalam proses pembuatan patung beton bertulang seperti Patung Satria Gatotkaca di Persimpangan jalan Ngurah Rai Tuban, mempergunakan dua teknik perangkaan yaitu; satu dengan perangkaan langsung dan kedua dengan perangkaan ganda. satu, dengan perangkaan langsung maksudnya adalah, bentuk kerang dibuat langsung sesuai dengan bentuk figur yang akan patungkan sesuai dengan proporsi dan komposisi gerak yang ditentukan, dengan 31
memperhitungkan teknik kerja dengan teknik tempel pengecoran pada bagian-bagian struktur konstruksi yang ditentukan. Kedua, dengan perangkaan ganda maksudnya adalah struktur kerangka utama adalah untuk struktur kerangka yang kedua, dengan demikian adalah disamping untuk episiensi, juga untuk mempermudah pencarian bentuk kerangka yang sebenarnya. Didalam mewujudkan kerangka patung tersebut bisa menggunakan kawat tali (kawat beton) atau dapat pula menggunakan teknik las sebagai pengikat struktur kerangka. Dalam proses perwujudan kerangka patung tersebut yang paling penting adalah tetap memperhatikan proporsi dan komposisi gerak yang telah ditentukan dalam miniatur tersebut. Hal tersebut untuk mengantisipasi dapat mempermudah proses pembentukan figur-figur, pemberian elemen-elemen dekoratif yang ornamentasi sesuai dengan karakter ketokohannya. Disamping hal tersebut diatas yang tidak kalah penting dalam perwujudan kerangka adalah ketepatan penggunaan ukuran besar kecilnya besi sangat membantu mempermudah pengerjaannya, disamping dukungan peralatan lengkap yang harus dipergunakan. Dalam tahap akhir struktur kerangka dipasang kawat kasa, kalau bagian-bagian yang akan di cor kawat kasanya dipasang di luar struktur, kalau bagian-bagian yang tidak di cor kawat kasanya dipasang di bagian dalam struktur gunanya untuk mempermudah penempelan adonan berikutnya. Kesemua proses perwujudan kerangka tersebut selalu mengacu pada miniatur yang telah ditetapkan.
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung Pengecoran kerangka patung pada struktur yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu pada bagian-bagian yang berperan sebagai penyangga beban, serta posisi untuk keseimbangan patung yang dibuat (untuk kerangka langsung). Sedangkan untuk kerangka ganda, kerangka struktur konstruksi utama di cor penuh, pengecoran dengan adonan beton (3 pasir + 2 koral + 1 semen dengan air seperlunya). Setelah pengecoran selesai hasil coran tersebut harus di
32
keringkan minimal satu minggu, supaya mendapatkan kekuatan struktur yang maksimal supaya dalam proses pemebentukan struktur tidak patah.
4.5 Proses Pembentukan Figur Setelah coran struktur utama kering, pertama yang dilakukan adalah penutupan permukaan bidang secara menyeluruh, dengan adonan PC (1 semen + 3 Pasir dengan air seperlunya). Setelah tempelan yang pertama secara menyeluruh setengan kering permukaan tempelan tersebut dibuat kasar untuk mempermudah penempelan adonan berikutnya. Kemudian dilakukan pencarian pembentukan secara global secara proposional, serta dilanjutkan dengan penegasan anatomi secara global, sesuai dengan gerak patung, komposisi, dan proporsi serta karakter ketokohan yang telah ditentukan dalam miniatur.
4.6 Pinising Bentuk dan Detail Hiasan Penyelesaian bentuk yang sangat praktis dapat menggunakan adonan semen dengan mil dengan air secukupnya dengan perbandingan satu berbanding tiga (1 semen + 3 mil) untuk mendapatkan kekuatan bahan dari terpaan hujan dan teriknya sinar matahari. Dalam proses pinising bentuk sangat diperlukan ketelitian dan kesabaran karena dalam proses membentuk sangat dipengaruhi oleh sifat bahan. Demikian pula dalam penyelesaian ornamenya atau detail hiasannya sangat diperluka ketelatenan dalam memproses tatahannya karena ditentukan oleh sifat bahan, jangan sampai tatahannya menjadi terlalu kering sehingga menyelesaikannya menjadi sulit. Dengan demikian perhitungan yang matang sangat perlu untuk
membuat
tatahan
untuk
tujuan
praktis
dan
ekonomis.
Kemudian
dalam
mempertahankan hasil karya patung dari gangguan cuaca karya patung tersebut dapat dilapisi dengan menggunakan sika, atau merek pelapis lain.
4.7 Proses Pewarnaan 33
Proses pewarnaan pada patung “Satria Gatotkaca di Persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban”, adalah teknik pewarnaan secara langsung karena menggunakan warna mil dan warna semen putih sehingga dengan demikian warna secara langsung didapat dari adonan mil dengan semen putih tersebut. Dengan demikian warna menjadi lebih awet karena menyatu dengan adonan atau warna adonan pinising sekaligus menjadi warna patung itu sendiri.
4.8 Alat-alat kerja yang diperlukan Dari pembuatan kerangka pasilitas alat-alat yang sangat diperlukan antara lain; tang, gunting pemotong kawat kasa, palu besi, pliser, kemudian dalam proses pengecoran dan pembentukan serta pinising peralatan yang diperlukan seperti; cetok berbagai ukuran, palet, ceper untuk tempat adonannya, seperangkat pahat dengan pengotoknya (palu) untuk memberikan hiasan onamentalnya.
34
BAB IV
PENUTUP 4.1 Kesimpulan Seperti apa yang telah diuraiakan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, monumen patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban adalah benda seni budaya yang merupakan bagian dari obyek pariwisata budaya, yang sangat layak untuk dilestarikan sesuai dengan kaidah-kaidah estetika, resepsi seni, dan fungsional strukturalnya sehingga menimbulkan kesan monumental. Termasuk sebagai aikon pariwisata budayanya Bali karena tempatnya pada pintu masuk kedatangan para wisatawan yang datang dari Airport Ngurah Rai Tuban Estetika Clive Bell dalam Gie (1976: 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk bermakna) sehingga seni tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi dengan demikian significant form adalah mutlak pencapaian penikmatan estetis, dengan demikian patung ”satria Gatotkaca” adalah benar-benar ”significant form” , dan sangat representatif. Memenihi kaidah ”resepsi seni” adalah sebagai penerimaan atau penyambutan pemirsa, cara pemberian sesuatu yang bermakana terhadap karya seni, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya, dapat memberikan signifikan form, dapat memberikan perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kemudian pergeseran penilaian merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapajauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketahui tokoh dan kekuatan berdiri dibelakangnya, demikian halnya dengan patung Satria Gatotkaca yang 35
pada awalnya merupakan elemen eksterior, dan simbol lingkungan (Bandara Ngurah Rai), juga penyambutan wisatawan yang datang ke Bali melalui Bandara Ngurah Rai.
Fungsional Struktural, seperti yang dikemukakan Parson (1988: 11) dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut; Satu, masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem dari pada bagian yang saling berhubungan satu sama lain, kedua, karena itu hubungan saling mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik, tiga, mestipiun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun secara fundamental bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis, empat, walaupun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senan tiasa terjadi, lama-kelamaan akan teratasi secara sendirinya melalui penyelesaian dan proses institusionalisasi, lima, perubahan didalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyelesaian yang tidak revolusioner. Dengan demikian monumen patung Satria Gatotkaca adalah bukti nyata, bahwa pariwisata budaya Bali dalam seni rupa khususnya seni patung, mampu memposisikan diri dalam menghadapi tantangan pariwisata bersifat emansifatoris terhadap budaya luar tanpa tercerabut dari budaya lokal. Disamping karena menyangkut manusia dan masyarakat, manusia dengan berbagai aspeknya yang merupakan aspek studi sosiologi, analisis sosiologi terhadap pariwisata sangat penting dilakukan dengan mengingat berbagai alasan berikut; 1. Pariwisata telah menjadi aktivitas sosial ekonomi dominan dewasa ini, bahkan disebut-sebut sebagai ”industri terbesar sejak akhir abad 20” (WTO, 2000) yang juga menyangkut pergerakan barang, jasa dan manusia dalam skala terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Sejak beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata memang telah terbukti menjadi industri terbesar diberbagai belahan dunia. 2. Pariwisata
bukanlah sesuatu kegiatan yang beroprasi diruang hampa. Pariwisata
sangat terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi, keamanan, dan seterusnya termasuk berbagai institusi sosial yang mengaturnya. 36
3. Pariwisata bersifat sangat dinamis, sehingga setiap saat memerlukan analisis atau kajian yang lebih tajam. Sebagai suatu aktifitas dinamis pariwisata memerlukan kajian terus menerus, sehingga pembangunan pariwisata bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia khususnya masyarakat lokal. 4. Pariwisata tidaklah eklusif, dalam arti bahwa pariwisata bukan saja menyangkut suatu bangsa tertentu saja, melainkan juga dilakukan oleh hampir semua ras, etnik, dan bangsa, sehingga pemahaman aspek-aspek sosial budaya sangat penting. 5. Pariwisata selalu mempertemukan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, yang mempunyai perbedaan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya. Pertemuan manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda akan menghasilkan berbagai proses akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi, adaptasi dalam kaitan hubungan antar budaya, yang merupakan salah satu isu sentral dalam sosiologi.
4.2 Saran Keberadaan seni patung, khususnya seni patung beton di Bali sebagai warisan budaya telah menunjukkan penungkatan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas produk yang dihasilkan. Walaupun demikian, masih perlu banyak upaya-upaya yang harus dilakukan dalam menjaga kelestarian dan eksistensinya demi keajegan pariwisata Bali. Dengan demikian melalui penelitian ini diharapkan muncul peneliti-peneliti lain untuk melengkapi dan memberikan pendalaman lebih lanjut, sehingga untuk dimasa yang akan datang dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi masyarakat umum, khususnya di jagat nesi.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Anonim, 1986. Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat satu Propinsi Bali. Bahari, Nooryan, 2008. Kritik Seni, Wacana Apreasi dan Kreasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Barker, Chris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan, Cultural studies: Theory and Practice, Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Driyakara, 1980. Driyakara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989. Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka. Gie, the Liang, 1999. Garis Besar Estetika, Ygyakarta : Super Sukses. Hardiman, Budi F.,1993. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik & Posmodernisme menurut Jurgen Habermas; Kanisius Yogyakarta. Kempers, Bernert, 1977. Monumental Bali, Introoduction to Balinise archeology Guide to the Monumen, Den Haag. Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Linus, I Ketut, 1985. Beberapa Patung Dalam Agama Hindu, Sebuah Pendekatan dari segi Arkeologi. Mariyah, Emiliana, 2007. Estetisasi dan Privatisasi Tempat Ibadah Kawasan Puja Mandala Nusa Dua Bali, artikel dalam Jurnal Kajian Budaya, Denpasar: Universitas Udayana. Morgan, M. 1996. Strategi Inovasi Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT. Alex Media Koputindo. Mudana, I Gede, 2003. Dari Filsafat Ilmu ke Bentuk, Fungsi, dan Makna, dalam Buku Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan. Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.
38
Singarimbun, Masri., dan Efendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3 ES. Soekamto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Grafindo Persada.
ke Empat, Jakarta:PT. Raja
Sudarta, G.M, Seni Lukis Bali Dalam Tiga Generasi, Jakarta: Gramedia. Suradi, HP. 1983. Ida Bagus Nyana: Karya dan Pengabdiannya. Proyek Pengadaan Buku Pada Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P&K, Jakarta. Sugiharto, B.I. 2006. Seni, Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban: Dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Katolik Parahyangan Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Bandung, 16 Desember 2006
Informan Wawancara, I Wayan Winten, sebagai seniman patung beton dan kayu, dari Br. Yang Loni, Teges Ubud Gianyar.
39
Lampiran Foto 1
Keterangan: Patung Satria Gatotkaca dari sudut pandang belakang, tampak kegagahan Gatotkaca sedang mempermainkan Adipati Karna, untuk memancing emosi supaya melepaskan senjata ”Konta Wijayandanu”, yang merupakan senjata pamungkas adipati Karna, yang hanya bisa dipergunakan sekali saja.
40
Lampiran Foto 2
Keterangan: Tampak dari samping kanan (arah timur), Gatotkaca sedang diatas kuda dengan senjata ditangan, berhadapan dengan Adipati Karna diatas kereta sedang membentangkan busur , dan menyiapkan anak panah untuk menyerang Gatotkaca.
41
Lampiran Foto 3
Keterangan: Patung Satria Gatotkaca dari tampak samping kiri (dari arah barat), tampak gerak kuda yang sangat dinamis karena terkejut dengan gebrakan Gatotkaca , siap tanding dengan Adipati Karna.
42
Lampiran Foto 4
Keterangan: Tampak dari arah depan (arah selatan), enam ekor kuda kelihatan gerak yang enerjik, Gatotkaca diatas kuda berhadapan dengan Adipati Karna. Tampak pula kusir kereta Adipati Karna sedang memacu kudanya dengan cemeti ditangan. 43
Lampiran Foto 5
44
Keterangan: Presasti Patung Satria Gatotkaca (arah depan /selatan), yang diresmikan oleh Prof. Dr.dr Ida Bagus Oka (selaku Gubernur Bali) pada tanggal 21 Oktober 1993
45
LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR TAHUN 2008
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN
Oleh: Drs. I Ketut Mustika NIP. 131882106
Dibiayai dari dana Diva ISI Denpasar Dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2008
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL.....................................................................
i
LEMBARAN PENGESAHAN .....................................................
ii
KATA PENGANTAR ..................................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka........................................................................
6
2.2 Konsep ...................................................................................
14
2.2.1 Patung..................................................................................
14
2.2.2 Gaya ....................................................................................
14
2.2.3 Perspektif ............................................................................
14
2.2.4 Bentuk, Fungsi, Makna .......................................................
16
2.3 Landasan Teori .......................................................................
17
2.3.1 Teori Dekonstruksi ..............................................................
17
2.3.2 Teori Estetika .....................................................................
18
2.3.3 Teori Resepsi .......................................................................
20
2.3.4 Teori Kreativitas..................................................................
21
2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif...............................................
21
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian...................................................................
27
3.2 Teknik Pengumpulan Data .....................................................
27
3. 2.1 Wawancara .........................................................................
27
3.2.2 Observasi .............................................................................
28
3.3 Instrumen Penelitian...............................................................
28
3.4 Manfaat Penelitian .................................................................
29
BAB IV DEKONSTRUKSI 4.1 Pembuatan Gambar seketsa....................................................
30
4.2 Pembuatan Maket ...................................................................
31
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung .........................................
31
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung .....................................
32
4.5 Proses Pembentukan Figur .....................................................
33
4.6 Finising Bentuk dan Detail Hiasan ........................................
33
4.7 Proses Pewarnaan ...................................................................
33
4.8 Alat-alat Kerja Yang Diperlukan ...........................................
34
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ............................................................................
35
4.2 Saran .......................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... LAMPIRAN FOTO ......................................................................
DEKONSTRUKSI SENI PATUNG SATRIA GATOTKACA DI PERSIMPANGAN JALAN NGURAH RAI TUBAN LAPORAN PENELITIAN DANA DIPA Nomor, 0230.0/023-34/XX/2008 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR TAHUN 2008 Oleh: Drs. I Ketut Mustika
BAB I PENDAHULUAN
l.1 Latar Belakang Kebudayaan pada hakekatnya adalah aktivitas manusia yang meliputi seluruh aspek pikiran, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, melainkan dicetuskan melalui proses belajar. Dari keseluruhan aktivitas manusia yang sangat luas tersebut, kebudayaan bisa dilihat dari wujudnya yakni (1) kebudayaan sebagai suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan lain sebagainya, (2) kebudayaan sebagai suatu aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990:186-187). Keindahan alam Bali mencakup aspek-aspek seperti yang dikemukakan oleh The Liang Gie (1976 :35) yaitu keindahan seni, keindahan alamnya, keindahan moral dan intelektualnya. Dari aspek keindahan tersebut menyangkut kaidah estetika yang bersumber pada filsafat agama Hindu, demikian juga keindahan intelektual tercermin pada makna gagasan yang menjadi isi pada setiap seni yang tercipta. Estetika adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Estetika menggerakkan manusia kearah yang lebih
1
konstruktif dalam berbagai tindakan yang selalu berlandaskan prakerti yang memiliki tiga sifat atau guna yaitu: Satwa, Rajas, Tamas. Satwa adalah hakekat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang, baik dan menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan nafsu. Tamas adalah bercirikan kegelapan, kebodohan, kemalasan dan berat. Semula, kekuatan ketiga guna itu adalah seimbang. Oleh karena itu prakerti berada dalam keadaan berimbang, dan tidak menimbulkan sesuatu (tenang dan damai). Kemudian pada prakerti tersebut dimasukkan kekuatan maya. Kekuatan maya tersebut menyebabkan prakerti bergolak dan terjadilah ketidak seimbangan antar guna-guna tersebut. Dari pergolakan tersebut terjadilah di seluruh alam semesta ini yang bermacammacam corak sesuai dengan pengaruh zaman. Ini yang merupakan dasar peletakkan hubungan keindahan dengan esensi agama Hindu sebagai “Roh” karya seni yang lahir dan berkembang di Bali (Nurkancana, 1995:21). Untuk dapat memahami dan mengerti keberadaan karya seni dari suatu daerah dengan seksama, tidak cukup hanya dengan mengalisa bentuk-bentuk karya seninya saja seperti seni sastra, seni tari, seni pahat, seni warna dan seni-seni lainnya. Pemahaman gaya hidup, keyakinan (agama) struktur kehidupan dari suatu masyarakat adalah sendi-sendi yang sangat menentukan sekali dalam proses pencapaian suatu karya budaya. Dengan demikian sangat penting untuk dipahami supaya dapat mengadakan interperestasi yang tepat. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990 : 203-204) setiap kebudayaan suku bangsa di dunia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang universal yaitu : 1) Bahasa, 2) Sistem ilmu pengetahuan, 3) Organisasi sosial, 4) Sistem peralatan hidup dan Teknologi, 5) Sistem mata pencaharian hidup, 6) Sistem religi, 7) Kesenian. Kesenian adalah merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang universal tersebut, oleh karena itu seni atau kesenian merupakan sebuah produk kebudayaan dari setiap suku bangsa di dunia. Untuk itu memahami fenomena kesenian atau seni tidak bisa dipisahkan dengan latar belakang di mana seni atau kesenian itu dilahirkan. 2
The Liang Gie (1996 : 46) merangkum pendapat tentang ciri-ciri pokok seni, yaitu : 1) Seni bersifat kreatif; menciptakan sesuatu realitas baru. 2) Seni bercorak individualitas; terikat pada perseorangan tertentu dalam penciptaannya maupun penikmatannya. 3) Seni adalah ekspresif ; menyangkut perasaan manusia dan karena itu penilaiannya juga harus memakai ukuran perasaan estetis. 4) Seni adalah abadi ; dapat hidup sepanjang massa. 5) Seni bersifat semesta ; berkembang di seluruh dunia dan sepanjang waktu.Dalam konteks tersebut Moerdowo (1967 : 18 ) mengelompokkan Bali sebagai salah satu dari suku bangsa di Indonesia yang memiliki karakteristik seni dan budaya yang menarik perhatian bagi para wisatawan manca negara untuk melihat paduan estetika budaya yang di ilhami oleh sebuah frame religiussitas Hinduisme. Kesenian Bali telah berkembang dengan pesatnya, seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi serta perkembangan di bidang kepariwisataan yang memberikan dampak yang sangat positif dalam berkreativitas berkesenian. Berdasarkan hal tersebut Bali terkenal dengan berbagai julukan seperti; Pualu Sorga, Paradise Created, Pulau seribu Pura, Pulau Pariwisata dan lain sebagainya. Berbicara mengenai seni di Bali, hubungan agama Hindu dengan seni tidak dapat dipisahkan, karena dengan hal itu dapat menumbuhkan inspirasi dan rasa seni yang sangat mendalam dalam masyarakat dalam berbagai bidang, terutama dalam seni pahat atau seni bentuk dan seni-seni lainnya (Mantra, 1991 : 5). Seni dan agama Hindu khususnya di Bali sangat erat dan saling isi mengisi, karena pada awalnya karya seni adalah untuk dipersembahkan ( ngayah) kepada yang dipujanya. Sehingga agama Hindu merupakan sumber dari segala sumber inspirasi dalam berkreativitas karya seni dalam masyarakat Hindu di Bali. Hanya sekarang tampak pengaruh karya seni yang bersumber kepada penghidupan rakyat sehari-hari, hal ini dipertegas lagi oleh I Gusti Bagus Sugriwa (1952 :22) bahwa kesenian Bali atau seni budaya Hindu Bali bergejolak sampai sekarang, pada hakikatnya adalah anak atau cabang, lapisan luarnya dari agama Hindu. 3
Oleh karena itu, dalam memahami seni budaya Bali tidak dapat dipisahkan dari kerangka dasarnya yang menjadi sumber inspirasi penciptaan berbagai karya seni yang tumbuh dan berkembang di Bali. Seni budaya Bali yang berkembang sejak kedatangan para wisatawan ke Bali mengakibatkan perkembangan semakin pesat dalam berbagai wujud yang menjadi gaya tarik bagi wisatawan. Bali yang memiliki unsur estetika yang sangat unik dan kompleks membuat daya tarik Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata semakin mendunia. Kesenian Bali telah berkembangan begitu pesatnya, seiring dengan perkembangan dunia pariwisata, maka dampak dari perkembangan pariwisata tersebut munculah kreatifitas seni yang mencoba untuk memperindah pulau Bali. Salah satu seni yang turut memperindah tata ruang kota dan jalan-jalan di Bali adalah seni patung. Secara umum patung-patung yang menghiasi tataruang di kota Denpasar, baik di wilayah kabupaten Badung maupun di Kodya dapat di golongkan menjadi : 1) Patung realis, yang bernafaskan perjuangan kemerdekaan R.I. 2) Patung tradisi naturalis ekspresionis, yang bernafaskan falsafah agama Hindu. Salah satu patung tradisi naturalis ekspresionis yang berdiri megah di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung adalah Patung “Satria Gatotkaca”. Patung ini dibuat pada tahun 1993, terbuat dari bahan beton bertulang, bercorak tradisi naturalistik ekspresionis yang bernafaskan Hinduisme. Pada dasarnya topik Satria Gatotkaca dipergunakan berdasarkan aspek lingkungan, yaitu berdampingan dengan lapangan terbang (Air Port Ngurah Rai Tuban). Dengan demikian landasan ide ini di ambil berdasarkan karya sastra yang bernafaskan Hindu dari epos Mahabharata. Dalam wira carita Mahabharata ini menampilkan dua tokoh kesatria yang pada dasarnya merupakan serumpun keluarga yang terbagi menjadi dua yang saling bertentangan. Disatu pihak dari keluarga Panca Pandawa, yang diwakili oleh raja Pringgodani yaitu “Gatotkaca”. Di pihak lawannya adalah keluarga Seratus Kurawa, yang diwakili oleh Adipati dari Kadipaten Awangsa yaitu “Adipati Karna”. Dalam konteks mentransformasikan karya sastra yang bersifat dua demensional, menjadi karya seni tiga demensional juga memerlukan 4
kecermatan yang harus menjadi perhatian yang utama, karena terkait dengan sifat tiga demensional. Kalau dalam wira carita, yang menjadi momen utama adalah gugurnya Gatotkaca, karena terkait dengan sifat tiga demensinya maka, dengan demikian momen yang ditampilkan adalah pada saat kesatriaan-nya Gatotkaca memperlihatkan kesaktian “mayanya” untuk memancing emosi Adipati Karna, supaya melepas/mempergunakan senjata “Kunta Wijayandanu-nya ”, yang merupakan senjata pamungkas Adipati Karna. Dengan demikian momen “Satria Gatotkaca” sangat tepat diwujudkan dalam wujud karya seni
tiga demensional, yang dalam perwujudannya dilapangan terdiri dari : 1)
Gatotkaca sebagai tokoh utama, dari pihak Panca Pandawa, 2) Adipati Karna, tokoh utama ke dua dari pihak Seratus Kurawa, 3) Prabu Salya, sebagai kusir Adipati Karna, 4) Kereta perang Adipati Karna yang bernama Jaladra, 5) Enam ekor kuda sebagai penarik kereta Jaladra, 6) Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama Kunta Wijayandanu. Semua bentuk-bentuk figur tersebut terkomposisikan secara strukturalistik, sehingga menjadikan suatu unity komposisi bentuk-bentuk yang sangat indah, naturalis ekspresif, dan bersifat monumental.
1.2 Rumusan masalah : Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1). Bagaimanakah bentuk dekonstruksi seni Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban? 2). Bagaimana fungsi dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban? 3). Apa makna dekonstruksi seni patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban?
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah proses umum yang kita lalui untuk mendapatkan teori terdahulu. Dalam buku Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid III, yang disusun tim penulis Sena Wangi (2003), tokoh Gatotkaca adalah tokoh karakter yang luar biasa, gagah dan pemberani yang digambarkan sebagai anak yang su putra di keluarga besar Panca Pandawa. Gatotkaca lahir, karena hasil perkawinan Bima dengan Dewi Arimbi. Begitu Gatotkaca lahir telah membuat keanehan, karena tali pusarnya tidak dapat diputus dengan segala macam senjata, dengan demikian keluarga Panca Pandawa sepakat mengutus Arjuna mencari senjata yang mampu untuk itu. Sementara para dewa-pun tahu tentang hal itu. Untuk menolongnya, Batara Guru mengutus Sanghyang Narada turun ke bumi membawa senjata pemotong tali pusar Gatotkaca. Namun Batara Narada membuat kekeliruan, senjata yang bernama Kunta Wijayandanu itu bukan diberikan kepada Arjuna, melainkan diberikan kepada Karna yang wajah dan penampilannya mirip Arjuna. Untuk memperoleh senjata tersebut Arjuna terpaksa merebut dari tangan Karna. Kemudian Arjuna berhasil hanya mendapatkan sarung (werangka) senjata sakti itu. Sendangkan bilah senjata kunta, dilarikan oleh Karna. Untunglah ternyata sarung (werangkanya) saja sudah bisa digunakan memotong tali pusar Gatotkaca. Kemudian, begitu tali pusar itu putus, werangka kunta itu langsung melesat masuk kedalam pusar Gatotkaca. Setelah tali pusarnya putus, atas seijin keluarga Pandawa Gatotkaca dibawa Batara Narada Ke Khayangan untuk menghadapi Kala Sakipu dan Kala Pracona yang mengamuk. Mula-mula Arimbi dan Bima tidak rela anaknya yang baru lahir dibawa oleh Narada. Namun setelah Narada menjelaskan Kala Sakipu dan Kala Pracona hanya bisa dikalahkan hanya oleh bayi Tutuka itu, akhirnya baru Bima dan Arimbi mengizinkannya. Di kahyangan bayi Tutuka langsung ditaruh dihadapkan kedua raksasa sakti 6
itu, bayi tutuka langsung diambil oleh raksasa dan mengunyahnya, tetapi tubuh bayi Tutuka tetap utuh walaupun dikunyahnya kuat-kuat. Karena kesal, bayi Tutuka itu dibantingnya dengan sekuat tenaga ke tanah, bayi Tutuka hanya pingsan. Setelah ditinggal pergi oleh kedua raksasa itu, bayi Tutuka diambil oleh Batara Narada, dimasukkan ke kawah Candradimuka. Disini Gatotkaca digembleng oleh Begawan Anggajali. Setelah penggemblengan selesai, begitu muncul dari kawah Candradimuka, bayi itu sudah berubah wujud menjadi kesatria muda yang yang gagah perkasa. Ia menggunakan “Caping Basunanda” (penutup kepala gaib), yang menyebabkan tidak kehujanan dan tidak kepanasan. Ia juga mengguanakan terompah “Padakacarma”yang jika digunakan menendang musuhnya akan mati. Kemudian para dewa menyuruh Gatotkaca berkelahi melawan bala tentara raksasa pimpinan Prabu Kala Pracona dan Patih Kala Sakipu, akhirnya Kala Pracona dan Kala Sakipu dapat dibunuh.
Dalam perjalanan hidupnya Gatotkaca mempunyai tiga orang istri. Istri pertamanya Dewi Pergiwa (anak Arjuna). Istri kedua adalah Dewi Sumpani, istri ketiga Dewi Suryawati (putri Batara Surya). Dari perkawinannya dengan Dewi Pergiwa melahirkan seorang anak bernama Saksikirana. Dengan Dewi Sumpani ia mempunyai anak bernama Arya Jayasumpena.
Sedangkan
Suryakaca
adalah
hasil
perkawinannya
dengan
Dewi
Suryawati.Dalam Perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-15 oleh senjata Kunta Wijayandanu yang dilemparkan Adipati Karna. Senjata Kunta Wijayandanu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk kedalam werangkanya. Saat berhadapan dengan Adipati Karna, sebenarnya Gatotkaca sudah tahu akan bahaya yang mengancam jiwanya. Karena itu ketika Adipati Karna melemparkan senjata Kunta, ia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti terus saja memburunya, sehingga akhirnya Gatotkaca gugur. Ketika jatuh kebumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh tepat pada tubuh
7
Adipati Karna, tetapi senapati kurawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga yang hancur hanyalah kereta Jaladranya saja. Sebenarnya, sewaktu berhadakan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan menggunakan senjata Kunta. Ia merencanakan hanya menggunakan senjata sakti itu bila berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Prabu Anom Duryudana menyaksikan betapa Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban, ia mendesak agar Karna menggunakan senjata pamungkasnya.Akibatnya, setelah Gatotkaca gugur, Adipati Karna tidak lagi memiliki senjata sakti yang benar-benar diandalkan.Dengan gugurnya Gatotkaca adalah merupakan penentu kemenangan di pihak Pandawa, karena siapapun yang dijadikan sasaran oleh pelempar senjata Kunta Wijayandanu, pasti akan gugur. Sedangkan senjata Kunta wijayandanu, dapat digunakan hanya sekali saja. Sebenarnya senjata itu di peruntukkan pada Arjuna, karena kejelian kordinator peperangan dari pihak Pandawa yaitu Sri Kresna, maka terselamatkanlah Arjuna dari sasaran senjata mahadasyat Kunta Wijayandanu. Apabila sampai Arjuna gugur dalam perang Baratayuda, sudah dapat dipastikan kemenangan berada dipihak Kurawa. Walaupun Gatotkaca gugur, beliau paling dihormati sebagai pahlawan besar kesatria sejati oleh keluarga besar Panca Pandawa, dan memiliki banyak gelar seperti ; Prabu Anom Kacanagara,
Tutuka, Guritna, Pangeran Gurubaya, Pangeran Purbaya, Bimasiwi,
Krincingwesi, Arimbiatmaja, dan Bimaputra.
Pada tokoh utama kedua sebagai lawan Gatotkaca yang dipatungkan adalah Adipati Karna, yang sebenarnya adalah saudara tertua dari Panca Pandawa. Karena, dilahirkan oleh Dewi Kunti pada waktu masih berstatus brahmacari (sedang menimba ilmu dengan mahaguru Resi Druwarsa). Dewi Kunti mencoba-coba menggunakan “Aji Adityarhedaya”, yakni ilmu untuk mendatangkan dewa yang dikehendakinya, dan berhasil mendatangkan Betara Surya. Tetapi kedatangan Betara Surya yang tampan itu membuat Dewi Kunti mengandung, pada hal ia masih gadis. 8
Setelah Prabu Kuntiboja mengetahui prihal musibah yang menimpa putrinya, paduka marah dan memanggil Maha Guru Resi Druwarsa. Druwarsa dipersalahkan karena mengajari ilmu tingkat tinggi pada gadis yang belum dewasa. Resi Druwarsa mengaku bersalah dan berjanji akan bersedia menjamin keutuhan keperawanan Dewi Kunti kelak pada saat melahirkan. Dengan ilmunya yang tinggi, sesudah masa kehamilannya cukup, Druwarsa mengeluarkan jabang bayi yang dikandungnya melalui telinga Dewi Kunti. Alasannya, ilmu masuk dan diresapi oleh Dewi Kunti melalui telinga. Itulah sebabnya, ia diberi nama Karna; yang artinya telinga. Nama lain baginya adalah Talingasmara, Suryaputra, dan Suryatmaja, karena anak Kunti itu hasil hubungan dengan Batara Surya.Pada waktu Karna lahir memiliki tanda khusus pada telinganya berisi “Atnting Mustika” yang memancarkan sinar kemilau. Untuk menutupi aib kerajaan, bayi (Karna kecil) dimasukkan kedalam peti dan dihanyutkan kesungai Gangga, yang kemudian ditemukan, dan dirawat oleh Adirata bersama istrinya bernama Rhada, seorang sais kereta, itulah sebabnya Karna juga disebut Basukarna atau Radhea. Karena Karna diangkat anak oleh seorang sais kereta kerajaan, karena Karna sering diajak keistana kerajaan, disana Karna sering melihat putra-putra Dewi Kunti dan Putra Dewi Gandari belajar ilmu olah keprajuritan, yang diajar oleh Resi Krepa, dan Begawan Drona. Pada suatu hari Karna memberanikan diri memohon agar kedua maha guru itu mau mengangkat Karna juga menjadi muridnya. Tetapi karena Karna hanya anak seorang sais, maka ia ditolak untuk jadi muridnya. Pada suatu saat Krepa dan Drona melakukan uji tanding antara murid-muridnya, ternyata arjuna menjadi murid yang paling pintar, dengan kepintarannya Arjuna menjadi sombong. Kesombongan Arjuna inilah, Karna menjadi lebih bersemangat untuk belajar ilmu olah keprajuritan dengan menyamar menjadi seorang brahmana, untuk berguru kepada Rama Bargawa, dan mendapatkan ilmu Brahmastra, yakni ilmu keterampilan memanah.Sesudah mewariskannya berbagai ilmunya, Rama Bargawa baru sadar bahwa muridnya bukan seorang brahmana melainkan seorang kesatria, karena Rama Bargawa sangat benci dengan kesatria, 9
akhirnya Karna dikutuk ; “kelak dalam Baratayuda, pada saat yang genting yang menentukan hidup atau mati, Karna akan lupa mantra ilmu Brahmastra”, dan kutukan itu terbukti.
Pada buku Mahabharata, yang ditulis oleh Kamala Subramaniam (2003:509-510), : Pasukan Pandawa dibakar oleh, Bhisma, Drona dan Aswatama. Tidak ada gunanya bertarung dengan mereka, tidak ada seorangpun yang bisa melawan mereka. Melihat Irawan mati, Gatotkaca bangkit dan bertindak. Gatotkaca mengobrak-abrik pasukan kurawa, kemarahan Gatotkaca ia tumpahkan pada Duryodhana, ia terus manentangnya. Bhisma mendengar suara keributan dalam pasukan karena Gatotkaca, Bhisma berkata: “Aku takut Duryodhana tidak akan mampu menahan kekuatan putra Bima, tetapi kalau bukan karena sumpah Bima untuk membunuh Duryodhana, Gatotkaca pasti sudah membunuhnya sejak dulu. Mereka semua ada disana; Drona, Aswattama, Jayadrata dan masih banyak yang lainnya. Gatotkaca semakin bersemangat melihat kejadian ini. Ia melawan mereka semua, ia meneriakkan teriakan perang yang sangat kuat. Yudhistira mendengar teriakan perang, ia memanggil Bhima dan berkata: “Bhima, aku mendengar suara anakku Ghatotkaca. Aku melihat beberapa pahlawan kurawa berlari mendekatinya. Aku khawatir akan keselamatannya. Aku tidak bisa mengutus Arjuna, karena ia sibuk membela putra-putra Drupada melawan kemarahan Bhisma. Aku ingin engkaulah yang pergi membantu putramu”. Bhima segera membantu putranya. Anak dan ayah sekarang bergabung menjadi pasangan yang tak terkalahkan. Pada saat Bhima mengangkat gadanya mau membunuh Duryodhana, mereka menghilang begitu juga Bhisma pergi dari pasukannya.Ghatotkaca
terus
mengobrak-abrik
pasukan
kurawa,
seperti
kucing
mempermainkan tikus, sampai trompet berbunyi tanda hari sudah malam, pasukan masingmasing kembali kekemahnya. Art In Indonesia : Continuities and Change : Claire Holt, Pengantar dan Alih Bahasa Soedarsono (2000), mengemukakan bahwa perkembangan seni di Indonesia merefleksikan 10
kebinekaan budaya yang lahir dalam tingkat kehidupan yang berbeda. Ada beberapa yang kelihatan kuno tetapi sangat vital, yang menjadi sumber kreatifitas idealisme, dan yang baru berkembang sangat pesat. Unsur-unsur seni lama dan baru di komodifikasi terstrukturalisasi sehingga menjadi karya seni yang sangat menarik. Seni tradisional dengan seni ritual seperti seni patung, seni lukis, seni gerak sampai wayang kulit tahan hidup berdampingan dengan seni sekuler yang digarap oleh kreator-kreator seni, dari gaya realis, naturalis, ekspresionis sampai gaya abstrak. Seni di Indonesia ditata seperti masuk dalam tiga lingkungan yang tumpang tindih diatur secara kronologis sebagai berikut. 1. “Warisan”, yang meliputi ciptaan-ciptaan seni dari zaman masa prasejarah Indonesia dan sejarah kuno yang masih dilestarikan, yang dibuat dari bahan-bahan tahan lama seperti batu, logam, dan tanah liat. 2. “Tradisi-tradisi yang hidup”, yang meliputi seni rupa (plastik arts) yang ada di Indonesia terutama di Bali yang konsepsi bentuk dan isinya diabadikan, walaupun kerap diabadikan pada medium yang baru. 3. “Seni Modern”, yaitu sebuah fenomena urban yang telah berkembang di Indonesia. Manifestasinya hadir bersama dengan bentuk-bentuk tradisi yang vital tampil sangat kuat pada seni lukis dan seni patung. Dijelaskan pula bahwa Bali adalah wilayah berbeda dibandingkan dengan Jawa atau daerah lainnya yang kepercayaan Hindu-nya praktis memudar bahkan melenyap dengan penyebaran Islam. Kehidupan ritual Hindu di Bali masih tetap bertahan hingga kini, meskipun menyerap pengaruh Hindu-Budha melalui ekspansi dari kerajaan Majapahit, namun ekspansi keseniannya memiliki perbedaan dengan Jawa. Dengan mengutip Stutterheim, bahwa yang ideal dari orang Jawa adalah mencari yang halus, bahkan yang lembut dan yang rohani, sehingga seninya ditandai dengan ke hati-hatian. Sebaliknya orang Bali menyukai yang ekspresif, meledak-ledak penuh semangat dengan 11
warna emas dan terang dengan keinginan menghias sangat berlebihan(baroque). Ciri-ciri baroque yang karakteristik akhirnya menuju seni Bali kontemporer yang khas. Para seniman Bali sangat cepat mengambil serta meniru setiap pembaharuan yang menyamar khayalan mereka, terutama yang telah meraih sukses. Sukses dinilai dari dua kreteria yaitu pertama, bila sebuah karya yang original telah memperoleh persetujuan atau kekaguman dari akhli khususnya penilai karya-karya seni lokal, dan kedua, bila karya-karya yang meniru gaya-gaya baru mencapai pasar komersil. Di Bali sebuah seni yang tak resmi dan lucu tampil berdampingan dengan seni pada bangunan suci (pura) yang bersifat resmi. Pemadatan dekorasi-dekorasi pura dengan penggabaran duniawi dan lucu tidaklah baru di Bali.
Suradi H.P (1983) dalam bukunya yang berjudul “Ida Bagus Nyana Hasil Karya dan Pengabdiannya”, mengungkapkan tentang biografi tokoh nasional Ida Bagus Nyana, seorang pematung yang kreatif dan sebagai tokoh pembaharuan seni patung Bali. Pada mulanya Ida Bagus Nyana membuat patung tradisional Bali yang tidak dikerjakan secara pribadi, tetapi secara bersama-sama dengan teman-temannya. Untuk memperluas pengetahuan dibidang seni patung, pada tahun 1935 ikut bergabung dalam perkumpulan Pita Maha yang dipimpin oleh Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Kalau sebelumnya Ida Bagus Nyana membuat patung tanpa teori, tanpa ada yang mengkritik atau menganalisis karya-karyanya, setelah bergabung dengan Pita Maha terjadi interaksi yang positif, dan secara tidak langsung membawa pengaruh terhadap kreatifitas seni dan perkembangan karya-karyanya. Secara visual daya kreatif dari pematung Bali untuk pertama kalinya bereksplorasi melalui pakem-pakem yang sudah ada dalam seni patung tradisi dan klasik Bali dipelopopri oleh Ida Bagus Nyana, yang sering dinyatakan sebagai tonggak seni patung Bali modern. Sejak tahun 1935 atas anjuran Walter Spies, Ida Bagus Nyana mulai melakukan penyederhanaan bentuk-bentuk wayang klasik dengan mengurangi hiasan-hiasan busananya sehingga karakter kayunya tampak jelas dan indah tidak ditutupi oleh ukiran-ukiran 12
(ornamennya) busananya. Dengan idealisme seperti demikian Ida Bagus Nyana mengolah bahan dengan dua cara, pertama idenya muncul dari bentuk bahannya untuk dijadikan karya seni patung, yang kedua pengolahan bahan sesuai dengan ide yang sudah ada. Dengan cara kerja mendekonstruktif melalui depormasi komposisi, ornamen maupun proporsi tradisinya sehingga menghasilkan suatu gaya, yang beliau namakan “Gaya Pepulungan” yang dikatagorikan sebagai tonggak seni patung Bali modern.
Linus (1985) dalam penelitian yang berjudul “Beberapa Patung Dalam Agama Hindu Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi”. Penelitian ini menjelaskan mengenai beberapa pengertian patung seperti arca, pretima, bedogol, dan togog. Arca dan pretima keduanya perwujudan dewa dalam bentuk patung yang digunakan sebagai sarana konsentrasi di dalam persembahyangan agama Hindu. Arca dan pretima dibedakan dari segi ukuran dan bahan. Arca ukurannya lebih besar, bahan dari kayu pilihan, bisa dari batu. Pretima umumnya ukurannya lebih kecil dan dibuat dari kayu pilihan, emas, perak, uang kepeng. Pretima juga biasanya disebut sebagai pralingga, atau petapakan, juga stana dewa. Sedangkan, bedogol adalah patung yang dibuat dari batu, umumnya batu padas atau kayu, biasanya dibuat dalam ukuran yang agak besar. Dilihat dari penempatannya tampaknya bedogol mempunyai fungsi magis dan dekoratif. Apabila bedogol ditempatkan di depan candi bentar (dedamping pintu masuk), disebut dwarapala, maka bedogol berfungsi magis dan dekoratif. Togog, adalah patung yang dibuat dalam ukuran yang lebih kecil dari bedogol yang dominan bersifat dekoratif, dapat dipindah sesuai keinginan. Linggih (2001) dalam penelitian yang berjudul “Patung Dewa Ruci di Persimpangan JL. Arteri Nusa- Dua Tanah Lot : Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna”. Pembuatan patung Dewa Ruci ini di ilhami oleh muatan-muatan estetik dan fungsional. Patung Dewa Ruci sangat menarik untuk dikaji dari segi estetika Hindu, khususnya dalam konsep rwa bhineda,
13
karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara yang sakral dan sekuler. Patung Dewa Ruci menunjukkan pemahaman bentuk fisik, dalam cakupan komposisi dan proporsi dan elemen-elemen estetik yang membentuk karya yang bergaya naturalis ekspresionis. Patung ini memiliki fungsi sakral dan sekuler. Fungsi sakral kalau mengacu pada simbol Acintya yang biasanya digunakan dalam upacara agama Hindu, dan fungsi sekuler mengacu pada penempatan patung tersebut sebagai komponen dekoratif, untuk memperindah taman kota. Penelitian ini cukup relevan dengan masalah yang dikaji terutama menyangkut patung beton dan bergaya naturalis ekspresionis.
Swandi (1999) dalam penelitiannya yang berjudul “Inovasi Ida Bagus Tilem Dalam Seni Patung Bali Modern”. Penelitian ini dibahas mengenai aktivitas dan kreativitas Ida Bagus Tilem dalam berkarya seni patung yang bertolak dari konsep penyederhanan bentuk (deformasi) yaitu sebagai prinsip dasar perubahan inovatif dalam seni patung yaitu perubahan dari bentuk-bentuk manusia ideal menjadi proporsi yang tidak ideal. Dalam mewujudkan konsepnya Tilem berusaha memadukan ide yang ada dalam dirinya dengan material yang dipakai, yaitu bentuk-bentuk kayu yang alami bahkan kayu-kayu yang sudah dimakan rayap dan borok terkadang melahirkan ide baru dalam karya patungnya yang eksotik dan imajinatif. Di balik idenya yang murni karya-karya Tilem sangat kreatif dan inovatif, permainan unsurunsur estetik dalam bentuk yang dideformasi mengikuti bahan secara alamiah sehingga menghasilkan patung abstrak atau seni patung Bali modern yang tidak terlepas dari akar budaya Hindu Bali. Dalam pembangunan pariwisata budaya, dalam seni rupa khususnya seni patung, Monumen Patung Satria Gatotkaca di Persimpangan JL. Ngurah Rai Tuban, merupakan wujud nyata adanya perkembangan pariwisata budaya. Yang pada dasarnya adalah konsep dari cerita klasik Hindu, yang pada perwujudannya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. 14
2. 2 Konsep 2. 2.1 Patung Dalam Ensiklopedi umum (1973 : 1193), dikatakan patung adalah seni rupa yang merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk tiga demensional. Walaupun ada pula yang bersifat seni pakai, tapi pada galibnya seni patung adalah tiga demensional sehingga dengan demikian benar-benar didalam ruang, maka didalam patung tidak ada problem perspektif seperti halnya seni lukis yang kadang kala ingin membuat kesan kedalaman dalam karya-karya yang datar saja. Selanjutnya menurut Jack. C. Rick (1959 :3) esensi seni patung adalah seni yang bersifat tiga demensional yang merupakan organisasi massa, benda atau volume atau kontur, bidang gelap dan terang dan juga tekstur.
2.2.2 Gaya Dalam bahasa Inggris gaya disebut dengan style, yang menurut Echols dalam Couto (1999 : 3) berarti corak, mode, dan gaya, misalnya gaya bahasa, stilistik adalah ilmu gaya bahasa. Gaya seni adalah suatu keteraturan, suatu pola keindahan yang diabstraksikan dari suatu karya seni. Yang dimaksud adalah gugusan sifat-sifat yang bertalian dengan ide, tema, wujud visual yang memberikan ke khasan pada karya seni yang bersangkutan, dan didukung teknologi kerja yang diperlukan, sehingga menghasilkan karya seni yang memiliki karakter dan ciri khas tertentu pada zamannya.
2. 2.3 Perspektif Perspektif umum diartikan sebagai tinjauan, sudut pandang atau pandangan. Sudut pandang yang dimaksud adalah tergantung permasalahan apa yang dikaji. Suatu masalah atau obyek peristiwa bisa dipandang dari beberapa sudut pandang atau perspektif. Perspektif juga bisa diartikan sebagai seperangkat asumsi kerja, suatu teknik pendekatan, atau paradigma (Paul B. Horton dalam Ram,1999 :16). 15
2. 2. 4 Bentuk, Fungsi, dan Makna Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana menggunakan pendekatan atau paradigma budaya “bentuk, fungsi, dan makna” berdasarkan filsafat ilmu yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aspek bentuk menyoroti “apa” (ontologinya) yang menggambarkan realitas yang diteliti. Aspek fungsi menunjukkan “bagaimana” (epistemologinya) yang menggambarkan metode yang
digunakan,
dan
aspek
makna
menyoroti
“mengapa”
(aksiologinya)
yang
menggambarkan nilai-nilai(Mudana,2003 :89-93, Ratna, 2003: 112-120).
Bentuk, bentuk dapat diartikan sebagai Form dan shape. Form adalah bentuk yang menunjukkan mahluk hidup, misalnya bentuk binatang maupun manusia. Shape pengertian bentuk yang menunjukkan benda yang ada dibumi (Bastomi, 1989 : 30). Menurut Jelantik (1999: 18), bentuk yang paling sederhana adalah “titik”, titik adalah komponen penentu, untuk diolah dan ditata sesuai dengan keinginan dalam konteks seni rupa.
Fungsi, fungsi adalah menerangkan hubungan guna antara sesuatu hal dengan suatu tujuan tertentu, ada kaitan korelasi antara suatu hal dengan suatu hal yang lain dalam sistem yang terintegrasi. Berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat berfungsi untuk memuaskan hasrat kebutuhan hidup manusia. Unsur kesenian misalnya, mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat manusia akan keindahan. Dengan demikian pemikiran fungsional selalu menyangkut hubungan pertautan atau relasi (Peursen, 1988 :85).
Makna, makna terkait suprastruktur dan sistem budaya yang bersifat abstrak. Dengan kalimat lain, makna selalu diartikan sebagai mangandung nilai-nilai positif, untuk 16
kesejahteraan umat manusia, sebaliknya fungsi mungkin bersifat positif atau negatif. Dengan kalimat lain lagi, makna mengandung sifat das sollen (apa yang seharusnya terjadi), sedangkan fungsi mengandung sifat das sein (kejadian sebagai apa adanya). Tujuan akhir setiap aktivitas kebudayaan dengan demikian adalah makna.
2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi, dari akar kata de + constructio (latin). Pada umumnya prefiks ‘de’ berarti kebawah, pengurangan, terlepas dari. Constructio berarti: bentuk, susunan, hal menyususn, hal mengatur. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai b pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Sebagaimana telah terjadi dalam menterjemahkan istilah-istilah asing, dengan adanya perbedaan perbendaharaan kata-kata, maka sangat sulit untuk menemukan terjemahan yang tepat terhadap istilah dekonstruksi tersebut. Dalam teori kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Cara yang dianggap paling tepat untuk memberikan arti terhadap istilah dekonstruksi , demikian juga istilah-istilah lain yang mempergunakan prefiks ‘de’ seperti; depsikologi, depersonalisasi, deotomatisasi, dan sebagainya, adalah dengan mengembalikannya pada akar katanya semula. Dalam mendekonstruksi strukturalisme, misalnya, kegiatan yang dilakukan secara terus menerus adalah mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur yang dominan tidak selalu mendominasi unsur-unsur lain. Benar, dalam dekonstruksi dilakukan semacam pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali kedalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat obyek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Melalui analisis strukturalisme, tokoh-tokoh yang 17
memperoleh perhatian adalah tokoh utama. Sebaliknya, melalui analisis postrukturalisme, setiap tokoh adalah tokoh utama dalam peristiwanya masing-masing. Dekonstruksi dalam hubungan ini berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan dekonstruksi tetap konstruksi, dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda, konstruksi yang seimbang sekaligus dinamis, bukan konstruksi yang statis sebagaimana yang dimaksudkan dalam strukturalisme dan pemahaman modernisme pada umumnya. Dengan demikian Kristeva (1980: 36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Derrida dalam Piliang (2003: 125-126), lebih memusatkan pemikiran filsafatnya pada makna atau lebih tepatnya kemustahilan dari sebuah teks. Derrida mengembankan sebuah lembaran baru filsafat, dengan
2.3.2 Teori Estetika Estetika Clive Bell dalam Gie (1976 : 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk yang bermakna) sehingga seni tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi significant form adalah mutlak bersifat pencapaian penikmatan estetis. Becker dalam Noel (2000: 38) menjelaskan estetika harus mampu memadukan unsur-unsur seni dan logika, dan berproduksi melalui bahasa rupa, serta memiliki kepekaan indrawi melalui pengalaman bereksplorasi, berekspresi dan berkreasi sesuai kebutuhan masyarakat. Pelaku estetika harus mampu berkreasi dalam bahasa rupa berdasarkan inspirasi yang bersumber pada alam dan lingkungan dalam mengolah medium seni. Estetika adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan serta semua aspek dari apa yang disebut keindahan. Dengan demikian kesenian merupakan suatu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan. Keindahan dari karya 18
buatan manusia dapat memberikan rasa kesenangan dan kepuasan melalui beberapa unsur mendasar dalam estetika yaitu wujud atau rupa, bobot atau isi dan penampilan (Djelantik, 2004: 15). Piliang (2003: 185-186) mengemukakan bahwa ada semacam paradoks dalam setiap upaya pendefinisian estetika posmodernisme. Tampaknya, diskursus posmodernisme adalah diskursus yang menghindarkan diri dari definisi, yang menjauhkan diri dari pembicaraan tentang kebenaran diri sendiri, yang melakukan parodi terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi, terlepas dari paradoks atau kontradiksi filosofis ini, ada pertanyaan khusus tentang estetika yang diharapkan dapat dijawab, yaitu apakah mungkin menyusun dan mengembangkan konsep-konsep posmodernisme yang khusus tentang estetika, di tengah hiruk-pikuk tuduhan akan miskinnya kriteria, samar-samarnya nilai kebenaran, moralitas, rasionalitas, dan spiritual dalam kebudayaan modern?. Apakah mungkin mengembangkan konsep-konsep estetika dari kebudayaan modern, yang oleh beberapa kritikus dituduh sebagai kebudayaan antiestetika (Foster)? Apakah mungkin menyusun idiom-idiom estetik dari karya-karya seni posmodern seperti Memphis, yang para konseptornya secara ironis memberi label pada gerakan mereka sebagai gerakan menentang estetika? Model kajian akademis tentang estetika apakah yang dapat dikembangkan dari kebudayaan posmodern yang sering dituduh sebagai kebudayaan yang tidak bertanggung jawab (irresponsible), yang didalamnya apapun boleh- anything goes! Atau, model pengalaman dan makna-makna estetik apakah yang dapat ditafsirkan dari karyakarya seni posmodern yang sering dikatakan bersifat transparan-yang anti-interpretasi (Foucault, Baudrilard). Perbicangan mengenai estetika posmodern sebagaimana kondisi posmodern itu sendiri memang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tak berujung; penuh dengan jalan berliku, penuh enigma. Meskipun demikian, yang tidak dapat dibantah lagi dari diskursus posmodern, adalah bahwa pengetahuan dan teori-teori yang melandasi diskursus posmodern lebih berkaitan dengan upaya menerangkan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan antara fenomena 19
posmodernisme, konsumerisme, dan obyek-obyek estetik (atau antiestetik) di dalam masyarakat konsumerisme. Oleh sebab itu di dalam era posmodern tidak dapat dipisahkan dari keterkaitannya dengan konsumerisme itu sendiri, serta pengetahuan yang melandasinya dan kekuasaan yang beroprasi di baliknya. Keanekaragaman prinsip atau idiom-idiom estetik kebudayaan yang mengelilinginya, dari kegalauan epistemologis yang mewarnai produksi dan reproduksi obyek-obyek estetiknya. Dalam hal ini, dapat dikemukakan argumen, bahwa di tengah-tengah ekstasi (Barthes), diam (Hasan, Sontag), transparansi (Foucault), imanensi (Baudrillard), indeterminansi (Rotry), dan skizofrenik (Deleuze & Guattari) yang mewarnai diskursus posmodern, ada katagori-katagori kebudayaan, idiom-idiom estetik yang dapat diambil, dikembangkan, diperluas, diperdalam dan diterapkan dalam praktik-praktik kebudayaan yang lebih luas, khususnya seni. Tujuan dari penggalian idiom-idiom dan bahasa estetik ini, bukanlah mencari terminal terakhir atau tapal batas terluar dari diskursus estetika posmodernisme – terminal atau tapal batas, dimana bahasa estetik posmodern tidak punya gerak lebih jauh lagi, akan tetapi hanya untuk pembuka wawasan, bagi penjelajah idiomidiom yang lebih kaya. Teori estetika ini digunakan sebagai landasan dalam mengkaji bentuk dan struktur seni patung, melelui perpaduan aspek ide dan penerapan elemen-elemen seni rupa, sejauh mana elemen-elemen estetis ini mampu mewujudkan suatu gaya yang khas yaitu gaya naturalis dekoratif ekspresif pada patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.
2.3.3 Teori Resepsi Kutha Ratna menyebutkan, secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan pemirsa, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca atau penikmat memegang peranan penting, cara pemberian sesuatu yang bermakna terhadap karya seni, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya (2005: 208). Secara historis teori resepsi sudah diperkenalkan tahun 1976 oleh H. Robert Jauss, yang pada dasarnya mengungkapkan resepsi 20
deakronik yang lebih menarik dan memberikan pemahaman yang signifikan, khususnya dalam kaitannya dengan studi kultural; pertama adalah perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua, pergeseran penilaian ini merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketrahui tokoh dan kekuatan yang berdiri dibelakangnya.
2. 3.4 Teori Kreativitas Monrou Beardsley, mengemukakan bahwa sejak awal para seniman telah mempertahankan tentang sumber tenaga yang mendorong terciptanya benda-benda nyata dari sesuatu yang abstrak. Pertama, karena adanya dorongan kemanusiaan biasa; yaitu hasrat untuk mencapai kemasyuran, uang digandrungi, kekuasaan dan lain sebagainya. Dorongan ini sebenarnya berlaku bagi setiap orang, tetapi seniman mempunyai karakteristik sendiri yang perlu kajian lebih luas, dan seniman baru meniti karir dengan seniman kawakan serta latar belakang sosial budaya, ekonomi, dan pendidikan sangat menentukan motifasi seseorang untuk melakukan kegiatan. Kedua, dorongan yang bersifat rohani; yaitu kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh rohaninya secara mendalam, bahkan mungkin tidak disadarinya.
2.3.5 Teori Tindakan Komunikatif Secara umum modernisasi dikenal sebagai proses berkembang dan menyebarnya rasionalitas manusia Barat ke segenap segi kehidupan dan tingkah laku sosial. Max Weber menyebut proses tersebut sebagai rasionalisasi (rationalizierung). Ini berarti bahwa apa pun yang ada dan terjadi di dunia ini selalu didekati dan diukur dengan kreteria teknik. Manusia selalu percaya dan optimistik terhadap rasionya. Rasio menjadi “dewa”, mitos, dan ideologi baru. Rasio mengatasi semua pengalaman yang bersifat khusus dan mengasilkan kebenarankebenaran mutlak, universal, dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian, 21
Alhumany (1994: 98) menulis, modernisme yang ditandai oleh kepercayaan penuh pada keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekular, ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang era industrialisasi yang dikampanyekan dapat membawa kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Jurgen Habermas melihat kapitalisme modern sebagai suatu sistem sosial jahat sebab sistem ini lebih menitikberatkan pada dominasi teknologi dan nalar instrumental dari pada segi-segi manusiawi. Di samping itu, ia juga melihat kapitalisme modern mendominasi negara untuk kepentingan ekonomi dan meningkatkan bidang kehidupan sosial lainnya (Pelly dan Menanti, 1994: 160). Ia mengeritik Marx yang menganggap mekanisme yang membawa dari satu tahap perkembangan sosial ke tahap berikutnya adalah faktor ekonomi, bukan faktor budaya. Habermas yang mengajukan pencerahan melalui rasio komunikatif dalam teore kritisnya tidak dapat dikatakan antimodernitas. Ia mengkritik modernitas sejauh modernitas tersebut diarahkan oleh sistem kapitalisme yang cacat. Dengan mengutamakan segi-segi instrumental dan manipulatif yang terwujud dalam sistem ekonomi dan administrasi birokratis, modernitas kapitalis menindas segi-segi hakiki masyarakat yang pada dasarnya bersifat komunikatif. Tidak hanya mengkritik rasionalisasi masyarakat, teknokratisme, dan depolitisasi massa, Habermas juga berbicara tentang demokrasi radikal dan krisis legitimasi serta kapitalisme. Menurutnya, cacat-cacat modernitas harus diatasi dengan pencerahan lebih lanjut dalam arti “rasio komunokatif” yang kritis terhadap rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan. Habermas memang tidak meninggalkan modernitas dan proyek-proyek sejarahnya. Ada dua tugas tindakan komunikatif yang ditempuh untuk mengarahkan perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan, menuju sebuah cita-cita universal yang melandasi segala praksis sosial yang rasional, yaitu masyarakat yang komunikatif. Mengenai dua tugas tersebut, Habermas (1984: 375) berpendapat sebagai berikut: 22
Teori tindakan komunikatif (teori kritis) mengambil sikap kritis baik terhadap ilmuilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya. Ia kritis terhadap
masyarakat-masyarakat
maju
sejauh
mereka
tidak
sepenuhnya
memanfaatkan kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu, melainkan membenamkan diri ke dalam sebuah pertumbuhan kompleksitas yang tidak terkendali. Namun, ia juga kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal-usul historis bidang objek mereka (dalam arti sosilogi reflektif)
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas yang erat hubungannya dengan usaha mengatasi kemacetan teori kritis para pendahulunya. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx di abad ke -19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Menurut Hardiman, “praksis” adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Praksis diterangi oleh kesadaran rasional (1993: xix-xx). Habermas sadar bahwa Hegel yang menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis memahami praksis bukan
hanya
sebagai
“kerja”
(Arbeit),
melainkan
juga
sebagai
“komunikasi”
(kommunikation). Para pendahulu Habermas memiliki kelemahan mendasar karena hanya mampu mengandaikan praksis sebagai kerja (“tindakan rasional – bertujuan”) di samping hanya mengandaikan rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan (“rasio yang berpusat pada subjek”). Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikasi atau tindakan komunikatif. Ia mengubah “paradigma kerja” dalam teori kritis ke “paradigma komunikasi”. Dasarnya adalah distingsi tentang praksis. “Kerja” secara mendasar dibedakan dari “interaksi”. Mengenai kerja yang disebutnya “tindakan rasional bertujuan”, Habermas (1990: 59-60) menyatakan: 23
Dengan kerja atau tindakan rasional bertujuan saya memahami tindakan instrumental atau pemilihan rasional atau gabungan keduanya. Tindakan instrumental ditentukan oleh aturan-aturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Di dalam setiap hal, aturan-aturan itu menyatakan prediksi-prediksi bersyarat tentang peristiwa-peristiwa fisis atau sosial yang dapat diamati. Prediksi-prediksi ini dapat membuktikan tepat atau keliru. Kelakuan pemilihan rasional ditentukan oleh strategi-strategi yang didasarkan atas pengetahuan analitis. Strategi-strategi ini menyatakan tak langsung deduksi-deduksi dari aturan-aturan preferensi (sistem-sistem nilai) dan prosedurprosedur pengambilan keputusan; proposisi-proposisi ini baik dideduksikan secara tepat atau keliru. Tindakan rasional-bertujuan menentukan tujuan-tujuan di bawah kondisi-kondisi yang telah ada. Tetapi sementara tindakan instrumental mengatur sarana-sarana yang cocok atau tidak cocok menurut kriteria penguasaan efektif atas kenyataan, tindakan strategis tergantung hanya pada evaluasi yang tepat atas pemilihan-pemilihan alternatif yang mungkin, yang dihasilkan dari kalkulasi yang ditambahkan oleh nilai-nilai dan norma-norma.
Dalam pandangan Habermas, rasionalisasi masyarakat Barat berjalan timpang karena terlalu menitik beratkan rasionalisasi dalam matra subsistem tindakan rasionalitas-bertujuan, yakni rekonstruksi sistem-sistem objektif, seperti birokrasi negara dan sistem tekno-ekonomi kapitalis dengan maksud penguasan alam dan penangan proses-proses sosial tertentu. Sistemsistem ini berlangsung menurut logika praksis kerja sosial, dan mereka yang terlibat di dalamnya melakukan dua macam tindakan kerja yang disebutnya “tindakan instrumental”, yakni “pengolahan alam” dan “tindakan strategis”, yakni pencapaian target objektif dalam interaksi sosial. Oleh Weber praksis ini didasari oleh rasionalitas yang disebut Zweckrationalitaet (Hardiman, 1993). Nalar instrumental adalah suatu logika penilaian dan cara memandang dunia. Instrumental mengandung dua demensi, yaitu suatu cara memandang dunia dan suatu cara melihat pengetahuan teoritis. Nalar instrumental berkepedulian dengan tujuan-tujuan praktis yang memisahkan fakta dan nilai. Nalar instrumental membahas proses/cara orang melakukan sesuatu, bukan pada apa yang dilakukannya. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai instrumen, bukan tujuan, untuk memperoleh hasil-hasil yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu
24
pengetahuan tidak mempersoalkan untuk apa digunakan hasil-hasil tersebut. Ia hanya dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan secara efisien (Pelly dan Menanti, 1994: 158). Mengenai “komunikasi” yang disamakan dengan “interaksi”, Habermas (1990: 60-61) menjelaskan: Dengan”interaksi”, di lain pihak, saya maksudkan tindakan komunikatif, interaksi simbolis. Tindakan komunikatif itu ditentukan oleh norma-norma konsensual yang mengikat, yang menentukan harapan-harapan timbal-balik mengenai tingkah-laku dan yang harus dimengerti dan diketahui sekurang-kurangnya oleh dua subjek yang bertindak. Norma-norma sosial yang diberlakukan lewat sangsi-sangsi. Makna dari norma-norma itu diobjektifkan dalam komunikasi lewat bahasa sehari-hari. Sementara kesahihan aturan-aturan teknis dan strategi-strategi tergantung pada kesahihan proposisi-proposisi yang secara analitis tepat dan empiris benar, kesahihan normanorma sosial didasarkan hanya dalam intersubjektivitas saling pemahaman maksudmaksud dan diamankan oleh pengetahuan umum mengenai kewajiban-kewajiban.
Meskipun memiliki sejumlah dampak positif yang luas , industri (modern) mendapat banyak tantangan. Fromm (1996: 6) berpendapat, industri menghasilkan masyarakat teknologis yang ter-dehumanisasi. Capra (1997: 17) menunjukkan, kemajuan manusia menimbulkan berbagai krisis dalam masyarakat sehingga terdapat transisi yang terelakkan dan, untuk itu, dibutuhkan suatu paradigma baru. Menurut Featherstone (1988: 195), kemajuan tanpa batas industri apa pun menganjurkan pergeseran dan keterputusan zaman dari kemodernan dan melibatkan kemunculan totalitas sosial baru dengan berbagai prinsip pengorganisasian yang bisa dibedakan sendiri, seperti yang terdapat pada karya-karya Jean Baudrillard, Francois Lyotard. Baudrillaed dan Lyotard mengandaikan adanya suatu gerak maju menuju masa post-industri. Post-industri dapat dikatakan kata lain dari post-kapitalisme. Dalam hal ini, postkapitalisme adalah kapitalisme yang di dalamnya melekat humanisme. Menurut Murchland (1992: 93-100), kapitalisme bukan saja suatu humanisme yang empiris melainkan juga 25
integral, yang didasarkan atas sepuluh asas, yakni (1) keterasingan, (2) kebebasan, (3) rasionalitas, (4) naturalisme, (5) moralitas, (6) masyarakat, (7) tradisi, (8) agama, (9) kreativitas, (10) subjektivitas. Dalam unkapan De Vos (1995: 116), yang harus dibangun adalah compassionate capitalisme (kapitalisme dengan kepedulian sosial), bukan passionate capitalism (kapitalisme hawa nafsu). Banyak sekali perdebatan mengenai sejauh mana modernisme abad kesembilan belas yang harus dipakai (beberapa akhli cenderung kembali pada golongan seniman pendahulu tahun 1830-an). Ciri-ciri dasar modernisme dapat diringkas sebagai: suatu kesadaran diri dan refleksifitas estetis; penolakan struktur naratif demi kepentingan simultanitas dan pemilihan gambar yang simultan (montage); suatu penyelidikan tentang hakikat realitas yang bersifat paradoksikal, ambigu, dan terbuka tanpa kepastian; dan penolakan terhadap gagasan tentang kepribadian yang terintegrasi demi penekanan dan subjek yang mengalami de-strukturisasi dan de-humanisasi (Lunn, 1985: 34). Salah
satu
permasalah
yang
dihadapi
ketika
mencoba
untuk
memahami
postmodernisme dalam bidang seni adalah, kebanyakan ciri-ciri ini sesuai dengan berbagai definisi tentang postmodernisme. Permasalahan yang berkaitan dengan istilah itu, sebagaimana permasalahan istilah-istilah yang terkait yang kita telah bahas, berkisar pada masalah kapan sebuah istilah yang didefinisikan secara berlawanan dengan dan menghidupkan sebuah istilah yang telah mapan mulai memberikan arti sesuatu yang secara substansial berbeda (Featherstone, 2008: 16). Teori tindakan komunikatif dipergunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji permasalahan ketiga “ apa makna di bangunnya patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban.
26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian. Penenlitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan budaya, dengan menggunakan obejek sebagai sampel yaitu Patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jl. Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Dengan dasar pertimbangan : 1. Patung Satria Gatotkaca adalah dibuat dari sebuah konsep nilai agama Hindu yang sarat dengan nilai estetika, filosofis Hinduisme serta memiliki bidang telaah dalam tataran ideologi, bentuk, fungsi dan makna. 2. Patung Satria Gatotkaca adalah hasil karya seniman patung bertarap internasional, dan hasil karya yang merupakan kolaborasi seni patung tradisional Bali dengan seni patung modern. 3. Patung Satria Gatotkaca muncul di tengah-tengah masyarakat sekitarnya yang diterpa arus budaya asing (modern), dan terkait dengan keberadaan Airport Nurah Rai Tuban.
3.2. Teknik Pengumpulan Data 3.2.1 Wawancara Teknik wawancara atau teknik interview merupakan cara yang dipergunakan oleh seseorang, dengan tujuan tertentu untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari informan. Wawancara dilakukan dengan cara bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan informan. Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendiriannya dalam suatu masyarakat yang sekaligus merupakan suatu pembantu utama teknik observasi (Koentjaraningrat, 1981: 126). Di samping itu, wawancara adalah proses percapakan dengan maksud untuk 27
mengkonstruksi orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai/interviewee (Burhan Bungin, 2006: 134). Dalam kaitannya dengan patung Satria Gatotkaca, teknik ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang lengkap dari seniman I Wayan Winten mengenai karya seni patung betonya. Wawancara akan dilakukan dengan informan kunci, yakni seniman patung beton I Wayan Winten. 3.2.2 Observasi Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Bungin, ( 2001 :58 ) menjelaskan metode observasi digunakan dalam mengamati yakni, apa yang mereka lakukan, benda-benda apa saja yang mereka buat, yang digunakan dalam kehidupan berkesenian. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang kreativitas seni yang dilakukan pematung I Wayan Winten di studionya, terutama mengenai (1) bentuk patung, (2) Prosespembuatan patung, dan (3) makna patung betonnya. Untuk hal-hal yang tidak bisa dicatat tentang objek penelitian, akan dilakukan pemotretan dan perekaman secara audio visual dengan menggunakan seperangkat alat pemotretan seperti kamera atau handycam, serta alat rekam seperti tape recorder.
3.3. Instrumen penelitian Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipakai mengumpulkan data sesuai dengan jenis data yang akan diambil. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah : a. Alat pencatat untuk pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara. Alat pencatat untuk teknik wawancara dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang terkait
28
dengan dengan variabel dan dilengkapi dengan alat pemotretan untuk merekam subyek penelitian dalam bentuk foto. b. Alat pencatat untuk teknik interviu bebas disertai pedoman garis besarnya saja tentang hal-hal yang akan ditanyakan/diperbincangkan dengan responsden.
3.4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat dijelaskan dari hasil penelitian ini, antara lain : a. Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi tentang karya seni patung Satria Gatotkaca di Persimpangan Jaln Ngurah Rai Tuban, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. b. Sebagai sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan keberbagai pihak yang kompeten, terutama sebagai sarana pembelajaran bagi anak muda Bali yang akan melanjutkan budaya pembuatan seni patung monumental sebagai penghias taman juga mengangkat nilai filosofis budaya Bali dan patung yang menampilkan sosok pahlawan. Juga sumber belajar bagi mahasiswa dan pelajar dalam pembuatan seni patung monumental tersebut. Karena belum banyak tulisan yang menyajikan khususnya seni patung monumental di Bali.
29
BAB IV PROSES DEKONSTRUKSI
4.1 Pembuatan Gambar Sketsa Dalam pembuatan gambar sketsa berorientasi pada tema dan narasi yang disajikan, sehingga mewakili karakter tokoh yang akan diwujudkan dalam bentuk patung kelompok. Proses penggambaran tersebut telah mempertimbangkan bentuk dan wujud, gerak, proporsi, komposisi, dan fungsi dengan skala 1: 50. Gambar sketsa dengan skal sangat diperlukan, untuk menghindari kesalahan dalam penentuan proporsi, komposisi, dan penerapan elemenelemen decoratifnya, sehingga terwujud karya yang harmonis antara bagian-bagian secara keseluruhan. Figur-figur patung yang diwujudkan pada monumen Satria Gatotkaca; (1) Satria Gatotkaca, tokoh utama dari pihak Pandawa sebagai simbol satria sejati, dalam membela dan menegakkan kebenaran.,(2) Adipati Karna, tokoh utama kedua yang mewakili pihak Korawa, sebagai simbol kesetiaan (satia wecana), setia akan janji walaupun dalam hatinya yang paling dalam sebenarnya ada di pihak pandawa, (3) Prabu Salya, adalah tokoh yang sangat disegani dipihak Korawa untuk mengendalikan jalanya taktik peperangan dipercaya sebagai pengendali kereta, (4) Kereta perang yang dipergunakan Adipati Karna bernama kereta Jaladra, (5) Enam ekor kuda yang diwujudkan adalah sebagai simbol sad ripu, disini menggambarkan bahwa dari pihak korawa tidak mampu mengendalikan sad ripunya (hawa naksu) selalu ingin menguasai, sehingga terjadilah perang antara Korawa dengan Pandawa, (6) Senjata pamungkas Adipati Karna yang bernama “Kunta Wijayandanu” sebenarnya adalah simbol kemenangan, karena siapapun yang menjadi sasaran senjata tersebut pasti gugur, denga satu syarat hanya dapat dipergunakan sekali saja. 30
4.2 Pembuatan Maket Dalam proses perwujudan karya patung dalam ukuran besar apalagi karya patung beton bertulang, selain gambar sangat penting diperlukan maket (miniatur) untuk memperlancar proses pekerjaan. Setelah gambar yang pasti ditetapkan, gambar tersebut diaplikasikan kedalam patung kecil (maket/miniatur). Pembuatan maket melalui proses tahapan; satu, membuat kerangka struktur konstruksi dengan besi dan kawat kasa, sesuai dengan gambar yang telah ditentukan dalam gambar. Dua, kerangka besi di cor dan tempel dengan adonan PC yang telah disiapkan, yang bersipat untuk memperkokoh kerangka struktur tesebut, setelah tempelan yang pertama kering baru dapat dilanjutkan dengan pembentukan bentuk-bentuk figur yang wujudkan secara global. Tiga, untuk pinising bentuk-bentuk figur tersebut disempurnakan dengan adonan semen dicampur dengan mil dan air secukupnya untuk mendapatkan kesn yang lebih lembut dan mempermudah memberikan aksen-aksen anatomi yang diperlukan. Demikian pula dengan pemberian elemen-elemen dekoratip yang bersifat ornamental sehingga maket menjadi lebih indah dan mendekati kesempurnaan. Empat setelah maket dalam kondisi kering, maket dapat diberi warna sesuai dengan konsep gambar yang telah ditentukan untuk dapa memberikan gambaran yang lebih oftimal dalam proses perwujudan patung yang sebenarnya.
4.3 Proses Pembuatan Rangka Patung Dalam proses pembuatan patung beton bertulang seperti Patung Satria Gatotkaca di Persimpangan jalan Ngurah Rai Tuban, mempergunakan dua teknik perangkaan yaitu; satu dengan perangkaan langsung dan kedua dengan perangkaan ganda. satu, dengan perangkaan langsung maksudnya adalah, bentuk kerang dibuat langsung sesuai dengan bentuk figur yang akan patungkan sesuai dengan proporsi dan komposisi gerak yang ditentukan, dengan 31
memperhitungkan teknik kerja dengan teknik tempel pengecoran pada bagian-bagian struktur konstruksi yang ditentukan. Kedua, dengan perangkaan ganda maksudnya adalah struktur kerangka utama adalah untuk struktur kerangka yang kedua, dengan demikian adalah disamping untuk episiensi, juga untuk mempermudah pencarian bentuk kerangka yang sebenarnya. Didalam mewujudkan kerangka patung tersebut bisa menggunakan kawat tali (kawat beton) atau dapat pula menggunakan teknik las sebagai pengikat struktur kerangka. Dalam proses perwujudan kerangka patung tersebut yang paling penting adalah tetap memperhatikan proporsi dan komposisi gerak yang telah ditentukan dalam miniatur tersebut. Hal tersebut untuk mengantisipasi dapat mempermudah proses pembentukan figur-figur, pemberian elemen-elemen dekoratif yang ornamentasi sesuai dengan karakter ketokohannya. Disamping hal tersebut diatas yang tidak kalah penting dalam perwujudan kerangka adalah ketepatan penggunaan ukuran besar kecilnya besi sangat membantu mempermudah pengerjaannya, disamping dukungan peralatan lengkap yang harus dipergunakan. Dalam tahap akhir struktur kerangka dipasang kawat kasa, kalau bagian-bagian yang akan di cor kawat kasanya dipasang di luar struktur, kalau bagian-bagian yang tidak di cor kawat kasanya dipasang di bagian dalam struktur gunanya untuk mempermudah penempelan adonan berikutnya. Kesemua proses perwujudan kerangka tersebut selalu mengacu pada miniatur yang telah ditetapkan.
4.4 Proses Pengecoran Kerangka Patung Pengecoran kerangka patung pada struktur yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu pada bagian-bagian yang berperan sebagai penyangga beban, serta posisi untuk keseimbangan patung yang dibuat (untuk kerangka langsung). Sedangkan untuk kerangka ganda, kerangka struktur konstruksi utama di cor penuh, pengecoran dengan adonan beton (3 pasir + 2 koral + 1 semen dengan air seperlunya). Setelah pengecoran selesai hasil coran tersebut harus di
32
keringkan minimal satu minggu, supaya mendapatkan kekuatan struktur yang maksimal supaya dalam proses pemebentukan struktur tidak patah.
4.5 Proses Pembentukan Figur Setelah coran struktur utama kering, pertama yang dilakukan adalah penutupan permukaan bidang secara menyeluruh, dengan adonan PC (1 semen + 3 Pasir dengan air seperlunya). Setelah tempelan yang pertama secara menyeluruh setengan kering permukaan tempelan tersebut dibuat kasar untuk mempermudah penempelan adonan berikutnya. Kemudian dilakukan pencarian pembentukan secara global secara proposional, serta dilanjutkan dengan penegasan anatomi secara global, sesuai dengan gerak patung, komposisi, dan proporsi serta karakter ketokohan yang telah ditentukan dalam miniatur.
4.6 Pinising Bentuk dan Detail Hiasan Penyelesaian bentuk yang sangat praktis dapat menggunakan adonan semen dengan mil dengan air secukupnya dengan perbandingan satu berbanding tiga (1 semen + 3 mil) untuk mendapatkan kekuatan bahan dari terpaan hujan dan teriknya sinar matahari. Dalam proses pinising bentuk sangat diperlukan ketelitian dan kesabaran karena dalam proses membentuk sangat dipengaruhi oleh sifat bahan. Demikian pula dalam penyelesaian ornamenya atau detail hiasannya sangat diperluka ketelatenan dalam memproses tatahannya karena ditentukan oleh sifat bahan, jangan sampai tatahannya menjadi terlalu kering sehingga menyelesaikannya menjadi sulit. Dengan demikian perhitungan yang matang sangat perlu untuk
membuat
tatahan
untuk
tujuan
praktis
dan
ekonomis.
Kemudian
dalam
mempertahankan hasil karya patung dari gangguan cuaca karya patung tersebut dapat dilapisi dengan menggunakan sika, atau merek pelapis lain.
4.7 Proses Pewarnaan 33
Proses pewarnaan pada patung “Satria Gatotkaca di Persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban”, adalah teknik pewarnaan secara langsung karena menggunakan warna mil dan warna semen putih sehingga dengan demikian warna secara langsung didapat dari adonan mil dengan semen putih tersebut. Dengan demikian warna menjadi lebih awet karena menyatu dengan adonan atau warna adonan pinising sekaligus menjadi warna patung itu sendiri.
4.8 Alat-alat kerja yang diperlukan Dari pembuatan kerangka pasilitas alat-alat yang sangat diperlukan antara lain; tang, gunting pemotong kawat kasa, palu besi, pliser, kemudian dalam proses pengecoran dan pembentukan serta pinising peralatan yang diperlukan seperti; cetok berbagai ukuran, palet, ceper untuk tempat adonannya, seperangkat pahat dengan pengotoknya (palu) untuk memberikan hiasan onamentalnya.
34
BAB IV
PENUTUP 4.1 Kesimpulan Seperti apa yang telah diuraiakan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, monumen patung Satria Gatotkaca di persimpangan Jalan Ngurah Rai Tuban adalah benda seni budaya yang merupakan bagian dari obyek pariwisata budaya, yang sangat layak untuk dilestarikan sesuai dengan kaidah-kaidah estetika, resepsi seni, dan fungsional strukturalnya sehingga menimbulkan kesan monumental. Termasuk sebagai aikon pariwisata budayanya Bali karena tempatnya pada pintu masuk kedatangan para wisatawan yang datang dari Airport Ngurah Rai Tuban Estetika Clive Bell dalam Gie (1976: 74) segala seni penglihatan dan musik sepanjang masa mempunyai significant form (bentuk penting atau bentuk bermakna) sehingga seni tersebut dihargai orang. Significant form adalah bentuk dari karya seni yang menimbulkan tanggapan berupa perasaan estetis dalam diri seseorang. Jadi dengan demikian significant form adalah mutlak pencapaian penikmatan estetis, dengan demikian patung ”satria Gatotkaca” adalah benar-benar ”significant form” , dan sangat representatif. Memenihi kaidah ”resepsi seni” adalah sebagai penerimaan atau penyambutan pemirsa, cara pemberian sesuatu yang bermakana terhadap karya seni, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya, dapat memberikan signifikan form, dapat memberikan perubahan pandangan terhadap karya sebagai akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kemudian pergeseran penilaian merupakan tolok ukur untuk mengetahui seberapajauh masyarakat telah berubah. Dalam proses perubahan inilah dapat diketahui tokoh dan kekuatan berdiri dibelakangnya, demikian halnya dengan patung Satria Gatotkaca yang 35
pada awalnya merupakan elemen eksterior, dan simbol lingkungan (Bandara Ngurah Rai), juga penyambutan wisatawan yang datang ke Bali melalui Bandara Ngurah Rai.
Fungsional Struktural, seperti yang dikemukakan Parson (1988: 11) dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut; Satu, masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem dari pada bagian yang saling berhubungan satu sama lain, kedua, karena itu hubungan saling mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik, tiga, mestipiun integrasi sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun secara fundamental bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis, empat, walaupun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senan tiasa terjadi, lama-kelamaan akan teratasi secara sendirinya melalui penyelesaian dan proses institusionalisasi, lima, perubahan didalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyelesaian yang tidak revolusioner. Dengan demikian monumen patung Satria Gatotkaca adalah bukti nyata, bahwa pariwisata budaya Bali dalam seni rupa khususnya seni patung, mampu memposisikan diri dalam menghadapi tantangan pariwisata bersifat emansifatoris terhadap budaya luar tanpa tercerabut dari budaya lokal. Disamping karena menyangkut manusia dan masyarakat, manusia dengan berbagai aspeknya yang merupakan aspek studi sosiologi, analisis sosiologi terhadap pariwisata sangat penting dilakukan dengan mengingat berbagai alasan berikut; 1. Pariwisata telah menjadi aktivitas sosial ekonomi dominan dewasa ini, bahkan disebut-sebut sebagai ”industri terbesar sejak akhir abad 20” (WTO, 2000) yang juga menyangkut pergerakan barang, jasa dan manusia dalam skala terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Sejak beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata memang telah terbukti menjadi industri terbesar diberbagai belahan dunia. 2. Pariwisata
bukanlah sesuatu kegiatan yang beroprasi diruang hampa. Pariwisata
sangat terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi, keamanan, dan seterusnya termasuk berbagai institusi sosial yang mengaturnya. 36
3. Pariwisata bersifat sangat dinamis, sehingga setiap saat memerlukan analisis atau kajian yang lebih tajam. Sebagai suatu aktifitas dinamis pariwisata memerlukan kajian terus menerus, sehingga pembangunan pariwisata bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia khususnya masyarakat lokal. 4. Pariwisata tidaklah eklusif, dalam arti bahwa pariwisata bukan saja menyangkut suatu bangsa tertentu saja, melainkan juga dilakukan oleh hampir semua ras, etnik, dan bangsa, sehingga pemahaman aspek-aspek sosial budaya sangat penting. 5. Pariwisata selalu mempertemukan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, yang mempunyai perbedaan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya. Pertemuan manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda akan menghasilkan berbagai proses akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi, adaptasi dalam kaitan hubungan antar budaya, yang merupakan salah satu isu sentral dalam sosiologi.
4.2 Saran Keberadaan seni patung, khususnya seni patung beton di Bali sebagai warisan budaya telah menunjukkan penungkatan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas produk yang dihasilkan. Walaupun demikian, masih perlu banyak upaya-upaya yang harus dilakukan dalam menjaga kelestarian dan eksistensinya demi keajegan pariwisata Bali. Dengan demikian melalui penelitian ini diharapkan muncul peneliti-peneliti lain untuk melengkapi dan memberikan pendalaman lebih lanjut, sehingga untuk dimasa yang akan datang dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi masyarakat umum, khususnya di jagat nesi.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Anonim, 1986. Sejarah Bali, Pemerintah Daerah Tingkat satu Propinsi Bali. Bahari, Nooryan, 2008. Kritik Seni, Wacana Apreasi dan Kreasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Barker, Chris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan, Cultural studies: Theory and Practice, Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Driyakara, 1980. Driyakara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989. Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka. Gie, the Liang, 1999. Garis Besar Estetika, Ygyakarta : Super Sukses. Hardiman, Budi F.,1993. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik & Posmodernisme menurut Jurgen Habermas; Kanisius Yogyakarta. Kempers, Bernert, 1977. Monumental Bali, Introoduction to Balinise archeology Guide to the Monumen, Den Haag. Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Linus, I Ketut, 1985. Beberapa Patung Dalam Agama Hindu, Sebuah Pendekatan dari segi Arkeologi. Mariyah, Emiliana, 2007. Estetisasi dan Privatisasi Tempat Ibadah Kawasan Puja Mandala Nusa Dua Bali, artikel dalam Jurnal Kajian Budaya, Denpasar: Universitas Udayana. Morgan, M. 1996. Strategi Inovasi Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT. Alex Media Koputindo. Mudana, I Gede, 2003. Dari Filsafat Ilmu ke Bentuk, Fungsi, dan Makna, dalam Buku Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan. Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.
38
Singarimbun, Masri., dan Efendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3 ES. Soekamto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Grafindo Persada.
ke Empat, Jakarta:PT. Raja
Sudarta, G.M, Seni Lukis Bali Dalam Tiga Generasi, Jakarta: Gramedia. Suradi, HP. 1983. Ida Bagus Nyana: Karya dan Pengabdiannya. Proyek Pengadaan Buku Pada Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P&K, Jakarta. Sugiharto, B.I. 2006. Seni, Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban: Dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Katolik Parahyangan Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat Bandung, 16 Desember 2006
Informan Wawancara, I Wayan Winten, sebagai seniman patung beton dan kayu, dari Br. Yang Loni, Teges Ubud Gianyar.
39
Lampiran Foto 1
Keterangan: Patung Satria Gatotkaca dari sudut pandang belakang, tampak kegagahan Gatotkaca sedang mempermainkan Adipati Karna, untuk memancing emosi supaya melepaskan senjata ”Konta Wijayandanu”, yang merupakan senjata pamungkas adipati Karna, yang hanya bisa dipergunakan sekali saja.
40
Lampiran Foto 2
Keterangan: Tampak dari samping kanan (arah timur), Gatotkaca sedang diatas kuda dengan senjata ditangan, berhadapan dengan Adipati Karna diatas kereta sedang membentangkan busur , dan menyiapkan anak panah untuk menyerang Gatotkaca.
41
Lampiran Foto 3
Keterangan: Patung Satria Gatotkaca dari tampak samping kiri (dari arah barat), tampak gerak kuda yang sangat dinamis karena terkejut dengan gebrakan Gatotkaca , siap tanding dengan Adipati Karna.
42
Lampiran Foto 4
Keterangan: Tampak dari arah depan (arah selatan), enam ekor kuda kelihatan gerak yang enerjik, Gatotkaca diatas kuda berhadapan dengan Adipati Karna. Tampak pula kusir kereta Adipati Karna sedang memacu kudanya dengan cemeti ditangan. 43
Lampiran Foto 5
44
Keterangan: Presasti Patung Satria Gatotkaca (arah depan /selatan), yang diresmikan oleh Prof. Dr.dr Ida Bagus Oka (selaku Gubernur Bali) pada tanggal 21 Oktober 1993
45