LAPORAN AKHIR PENELITIAN DIPA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMBER DANA DIPA BLU UNPAD TAHUN 2013
POLITICAL QUESTION DALAM CONSTITUTIONAL REVIEW : STUDI TERHADAP PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) Oleh : Dr. Ali Abdurahman, S.H., M.H. (NIDN 04125802) Susi Dwi Harijanti, S.H. LL.M., PhD. (NIDN 16016606 ) Neneng Widasari (NPM 110110090342)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2013
1
2
RINGKASAN Di Indonesia, perkara perselisihan antar norma undang-undang terhadap undangundang dasar (constitutional review) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran kekuasaan kehakiman yang begitu besar, disertai dengan kebebasan yang cukup luas, membuat hakim menjadi harus sangat berhati-hati dalam menjalankan peran dan fungsinya. Kehati-hatian ini diperlukan untuk menilai justiciability. Salah satu cara menilai justiciability adalah penerapan doktrin political question. Political question berkaitan dangan persoalan yang secara “nature”-nya adalah persoalan politik, dan pengadilan akan menolak untuk menerima perkara tersebut. Berkenaan dengan perjanjian internasional, bentuk hukum pengesahan perjanjian international di Indonesia oleh DPR adalah undang-undang. Tedapat perbedaan formil dan materil antaran undang-undang pada umumnya dan undang-undang pengesahan perjanjian internasional. Namun demikian, perbedaan ini tidak membawa konsekuensi yang berbeda, dalam hal pengujian di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah menerima untuk memeriksa perkara pengujinan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara), meskipun pada putusan menolak seluruh isi permohonan. Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pertimabangan hukum MK pada putusan Nomor 33/PUU-IX/2011 ? Apakah perkara pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN merupakan political question? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan doktrinal. Untuk mengkaji pokok permasalahan, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data penelitian didapatkan melalui studi kepustakaan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data meliputi studi dokumentasi dan penelusuran kasus. Data akan dianalisis secara kualitatif. Putusan MK No. 33/PUU – IX / 2011 Tentang Pengujian UU No. 38/2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean menimbulkan kontroversi dalam beberapa hal, seperti kedudukan perjanjian internasional dalam hirarki perundang-undangan, cara meratifikasi perjanjian internasional. bentuk hukum dari pengesahan DPR, status dari undang-undang Pengesahan Perjanjian Internasional, dan akibat yang mungkin muncul dari putusan tersebut yaitu masuknya perkara-perkara pengujian perjanjian internasional lainnya. Perkara pengujian Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional merupakan political question yang harus dihindari oleh pengadilan. Memandang masalah pengujian ini dengan perspektif political question dapat menghindari MK dari kontroversi dan akibat yang tidak diinginkan. Konsep pengekangan diri dari kekuasaan kehakiman merupakan konsep yang harus dikembangkan ditengah kebebasan yang dimiliki oleh lembaga kekuasaan kahakiman.
3
SUMMARY
In Indonesia, the Constitutional Court has power to hear case concerning constitutionality of statutes. Having huge powers and independency will lead judges to carry out their roles and functions prudently which are essential to examine justiciability of particular cases through the application of the political question doctrine. Political question refers to cases having political nature, and the court will mostly reject to hear such cases. In Indonesia, the House of Representatives has power to ratify international conventions or treaties which takes the form of statutes or laws. There are a number of differences between laws regulating general subject matters and laws which ratify international conventions in terms of formal and substance aspects. The Constitutional Court, however, takes the position of ignoring the differences. This is obvious when the Court accepts application to review constitutionality of Law No. 38 of 2008 concerning Ratification of Charter of the Association of Southeast Asia Nations, albeit the Court in its final decision rejected all matters that sought by applicants. This research will try to answer two major questions. Firstly, what are the main deliberations of the Constitutional Court when it handed down decision No. 33/PUUIX/2011? Secondly, can the review of constitutionality of Law No. 38 of 2008 be classified as political question? This is a juridical-normative and doctrinal research using primary, secondary as well as tertiary data. Data are collected through library research and case study which are then analyzed qualitatively. This research concludes that the Constitutional Court Decision No. 33/PUU-IX/2011 is extremely controversial in several aspects. First, it relates to status of international treaties within the hierarchy of law in Indonesia. Secondly, it relates to procedural aspect of ratification of international treaties and the legal form of the House of Representatives’ approval. Thirdly, it relates to legal status of statues that ratify international treaties in the sense whether or not those statutes have different legal character in comparison to other statutes. Finally, it relates to the effect of the Decision of the Constitutional Court No. 33/PUU-IX/2011 to the future development of constitutional review in Indonesia with special reference to laws which ratifies international treaties. Moreover, this research concludes that constitutional review of law on ratification of international treaties can be classified as political question. Therefore, it is recommended that the Constitutional Court should seriously develop its policy which is based on self-restraint, in addition to the principle of independence of the judiciary, in order to prevent controversies.
4
PRAKATA Laporan ini adalah laporan akhir penelitian yang berjudul “POLITICAL QUESTION DALAM CONSTITUTIONAL REVIEW : STUDI TERHADAP PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA)”, hasil penelitian Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang dibiayai oleh dana Penelitian DIPA Tahun Anggaran 2013. Penelitian ini adalah sebuah respon akademis pada perkara pengunjian undang-undang perjanjian internasional. Diterimanya perkara ini oleh Mahakamah Konstitusi menimbulkan kontroversi dan akibat yang cukup mengkhawatirkan terhadap eksistensi undang-undang pengesahan perjanjian lainnya. Artinya, sejak putusan MK ini, undang-undang pengesahan perjanjian internasional dapat diuji. Tim peneliti berterimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam seluruh proses penyusunan laporan akhir penelitian ini. Ucapan terima kasih juga Tim peneliti ucapkan kepada mahasiswa-mahasiswa Hukum Tata Negara dari Pusat Kajian Mahasiswa Hukum Tata Negara (PAKTA) yang telah banyak membantu mengklasifikasi bahan analisis berupa putusan Mahkamah Konstitusi. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi para pihak yang berkepentingan. Terutama para pemerhati Hukum Tata Negara dan insan peminat kajian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Layaknya sebuah karya manusia, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dikemudian hari diharapkan muncul penelitian-penelitian lanjutan untuk membangun hasil penelitian ini.
Bandung, Desember 2013 Tim Peneliti
5
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan Ringkasan …………………………………………………………………… Summary ……………………………………………………………………. Prakata ………………………………………………………………………. Daftar Isi …………………………………………………………………….. Daftar Lampiran ……………………………………………………………..
i ii iii iv vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……………………………………………………... B. Perumusan Masalah ………………………………………………...
3 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori dan Hukum Perjanjian Internasional ………………………...
7
B. Political Question …………………………………………………..
13
BAB III MANFAAT DAN TUJUAN PENELITIAN A. Tujuan Penelitian …………………………………………………... B. Manfaat Penelitian ………………………………………………….
19 19
BAB IV METODE PNELITIAN A. Spesifikasi Penelitian ………………………………………………. B. Metode Pendekatan ………………………………………………… C. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………. D. Analisis Data ……………………………………………………….. E. Tempat Penelitian …………………………………………………..
20 20 20 21 21
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Perkara Pengujian Undang Undang……………………………………………… B. Telaah Terhapad Ratio decidendi Putusan MK No. 33/PUU – IX / 2011 Tentang Pengujian UU No. 38/2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean……………………………………………………. C. Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) Dalam Perspektif “Political Question”……………….
19
21
21
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………………………………………………………… B. Saran ………………………………………………………………..
40 40
Daftar Pustaka ………………………………………………………………. Lampiran ……………………………………………………………………..
41 44
6
RINGKASAN Di Indonesia, perkara perselisihan antar norma undang-undang terhadap undangundang dasar (constitutional review) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran kekuasaan kehakiman yang begitu besar, disertai dengan kebebasan yang cukup luas, membuat hakim menjadi harus sangat berhati-hati dalam menjalankan peran dan fungsinya. Kehati-hatian ini diperlukan untuk menilai justiciability. Salah satu cara menilai justiciability adalah penerapan doktrin political question. Political question berkaitan dangan persoalan yang secara “nature”-nya adalah persoalan politik, dan pengadilan akan menolak untuk menerima perkara tersebut. Berkenaan dengan perjanjian internasional, bentuk hukum pengesahan perjanjian international di Indonesia oleh DPR adalah undang-undang. Tedapat perbedaan formil dan materil antaran undang-undang pada umumnya dan undang-undang pengesahan perjanjian internasional. Namun demikian, perbedaan ini tidak membawa konsekuensi yang berbeda, dalam hal pengujian di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah menerima untuk memeriksa perkara pengujinan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara), meskipun pada putusan menolak seluruh isi permohonan. Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pertimabangan hukum MK pada putusan Nomor 33/PUU-IX/2011 ? Apakah perkara pengujian UndangUndang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN merupakan political question? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan doktrinal. Untuk mengkaji pokok permasalahan, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data penelitian didapatkan melalui studi kepustakaan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data meliputi studi dokumentasi dan penelusuran kasus. Data akan dianalisis secara kualitatif. Putusan MK No. 33/PUU – IX / 2011 Tentang Pengujian UU No. 38/2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean menimbulkan kontroversi dalam beberapa hal, seperti kedudukan perjanjian internasional dalam hirarki perundang-undangan, cara meratifikasi perjanjian internasional. bentuk hukum dari pengesahan DPR, status dari undang-undang Pengesahan Perjanjian Internasional, dan akibat yang mungkin muncul dari putusan tersebut yaitu masuknya perkara-perkara pengujian perjanjian internasional lainnya. Perkara pengujian Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional merupakan political question yang harus dihindari oleh pengadilan. Memandang masalah pengujian ini dengan perspektif political question dapat menghindari MK dari kontroversi dan akibat yang tidak diinginkan. Konsep pengekangan diri dari kekuasaan kehakiman merupakan konsep yang harus dikembangkan ditengah kebebasan yang dimiliki oleh lembaga kekuasaan kahakiman.
7
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dalam trias politica, kekuasaan kehakiman pada hakikatnya merupakan
kekuasaan yang paling lemah. Alexander Hamilton dalam the Federalist Paper No. 78 mengatakan bahwa pemerintah mempunyai pedang (sword) untuk mengeksekusi aturan, dan legislatif memiliki pundi-pundi (purse) karena penentuan budgeting ada ditangannya, sedangkan kekuasaan kehakiman tidak memiliki apa-apa. Dengan demikian,
kekuasaan
kehakiman
diberikan
independensi, kebebasan
untuk
melaksanakan fungsinya.1 Peran yang begitu besar, disertai dengan kebebasan yang cukup luas, membuat hakim menjadi harus sangat berhati-hati dalam menjalankan peran dan fungsinya ini. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang hakim, memang diperlukan batasan-batasan tertentu terhadap cabang kekuasaan kehakiman tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakekat kekuasaan kehakiman.2 Hakim
1
“Whoever attentively considers the different departments of power must perceive, that, in a government in which they are separated from each other, the judiciary, from the nature of its functions, will always be the least dangerous to the political rights of the Constitution; because it will be least in a capacity to annoy or injure them. The Executive not only dispenses the honors, but holds the sword of the community. The legislature not only commands the purse, but prescribes the rules by which the duties and rights of every citizen are to be regulated. The judiciary, on the contrary, has no influence over either the sword or the purse; no direction either of the strength or of the wealth of the society; and can take no active resolution whatever. It may truly be said to have neither force nor will, but merely judgment; and must ultimately depend upon the aid of the executive arm even for the efficacy of its judgments” Alexander Hamilton, The Judiciary Department, Independent Journal, The federalist No. 78, Saturday, June 14, 1788, diunduh dari http://www.constitution.org/fed/federa78.htm, 5 Januari 2013, 23:00. 2 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM-Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995. hlm. 12. Hakim Posner juga mengatakan “a judge exercises self-restraint when he is trying to limit his court‟s power over other government institutions” Aharon Barak, Judge in Democracy, Princeton University Press, Oxford and Princeton, 2006., hlm. 267
8