LAPORAN AKHIR PROGRAM P2M DANA DIPA
PELATIHAN PENGELOLAAN LABORATORIUM BAHASA BAGI GURU-GURU BAHASA INGGRIS SMK SE-KABUPATEN BULELENG UNTUK MERESPON ERA DIGITAL
Oleh: I Nyoman Pasek Hadi Saputra, S.Pd., M.Pd. / 0018097805 I Putu Ngurah Wage Myartawan, S.Pd. M.Pd. / 0005108201 Drs. I Wayan Suarnajaya, M.A., Ph.D. / 0031125612 Made Hery Santosa, S.Pd., M.Pd., Ph.D. / 0023107902
Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Undiksha dengan SPK No. 197/UN48.15/LPM/2015 Tanggal 5 Maret 2015
LEMBAGA PENGABDIAN PADA MASYARAKAT UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2015
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PROGRAM PENGABDIAN PADA MASYARAKAT a. Judul Program
: Pelatihan Pengelolaan Laboratorium Bahasa bagi Guru-Guru Bahasa Inggris SMK Se-Kabupaten Buleleng untuk Merespon Era Digital
b. Jenis Program c. Bidang Kegiatan d. Identitas Pelaksana 1. Ketua - Nama - NIP - NIDN - Pangkat/Golongan - Alamat Kantor - AlamatRumah 2. Anggota 1 - Nama - NIP - Pangkat/Golongan - Alamat Kantor - Alamat Rumah 3. Anggota 2 - Nama - NIP - Pangkat/Golongan - Alamat Kantor - AlamatRumah 4. Anggota 3 - Nama - NIP - Pangkat/Golongan - Alamat Kantor - AlamatRumah
: Rintisan : Bahasa
e. Biaya Yang Diperlukan f. Lama Kegiatan
: Rp. 10,000,000,: 8 Bulan (Maret 2015 – Oktober 2015)
: I Nyoman Pasek Hadisaputra, S.Pd., M.Pd. : 19780918 200604 1 001 : 0018097805 : Penata/IIIc : Jalan A.Yani No. 67 Singaraja : Jalan Pulau Komodo Gang Durian I/4 Banyuning : I Putu Ngurah Wage Myartawan, S.Pd., M.Pd. : 19821005 200604 1 005 : PenataMuda Tingkat I / IIIb : Jalan A.Yani No. 67 Singaraja : Jl. Srikandi Gang Wani Singaraja : Drs. I Wayan Suarnajaya, M.A., Ph.D. : 19561231 198511 1 001 : Pembina / IVa : Jalan A.Yani No. 67 Singaraja : Jalan Pulau Serangan No.1 Singaraja : Made Hery Santosa, S.Pd., M.Pd., Ph.D. : 19791023 200312 1 001 : Penata / IIIc : Jalan A.Yani No. 67 Singaraja : Jalan Sri Kandi, Sambangan
Singaraja, 30 September 2015 Ketua Pelaksana,
I Nyoman Pasek Hadisaputra, S.Pd.,M.Pd. NIP. 19780918 200604 1 001
DAFTAR ISI
COVER ................. ................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ..... ......................................................................... ii DAFTAR ISI .............. .......................................................................................... iii RINGKASAN ....................................................................................................... iv I. BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan ............................................................................................ 1 1.2 Analisis Situasi ....................................................................................... 4 1.3 Identifikasi dan Perumusan Masalah ...................................................... 7 1.4 Tujuan Kegiatan ..................................................................................... 8 1.5 Manfaat Kegiatan..................................................................................... 8 1.6 Khalayak Sasaran Strategis Kegiatan...................................................... 9 2. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Laboratorium Bahasa dan Fungsinya ................................................... 10 2.2 Perangkat Sebuah Laboratorium Bahasa .............................................. 11 2.3 Jenis Laboratorium Bahasa ............................................................... ... 13 2.4 Lab Bahasa di Era Digital ..................................................................... 15 2.5 Tuntutan Penguasaan Literasi Digital di Era Digital ............................ 15 2.6 Merespon Era Digital ............................................................................ 17 3. BAB III: METODE PELAKSANAAN 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah ............................................................ 23 3.2 Metode Pelaksanaan Kegiatan ............................................................. 23 3.3 Rancangan Evaluasi ............................................................................ 24 4. BAB IV: PELAKSANAAN KEGIATAN DAN HASIL 4.1 Pelaksanaan ......................................................................................... 26 4.2 Hasil dan Pembahasan ......................................................................... 28 4. BAB V: SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan dan Saran ........................................................................... 33 5.2 Saran ................................................................................................... 33 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iii
RINGKASAN
Pelatihan Pengelolaan Laboratorium Bahasa bagi Guru-Guru Bahasa Inggris SMK se-Kabupaten Buleleng untuk Merespon Era Digital
Oleh: I Nyoman Pasek Hadi Saputra, S.Pd., M.Pd. I Putu Ngurah Wage Myartawan, S.Pd. M.Pd. Drs. I Wayan Suarnajaya, M.A., Ph.D. Made Hery Santosa, S.Pd., M.Pd., Ph.D.
Abstrak Kegiatan pengabdian pada masyarakat (P2M) ini bertujuan untuk melatih kemampuan mengembangkan perangkat pengelolaan laboratorium dan pengembangan materi ajar lab bahasa dengan TIK edukatif serta pengemasannya melalui LMS. Pelatihan diikuti 16 orang guru yang tersebar dari 6 sekolah di seluruh Kabupaten Buleleng. Kegiatan dilaksanakan dalam bentuk workshop yang menghadirkan narasumber dari Lab Bahasa ULB Undiksha dan 3 orang dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Workshop kemudian diikuti dengan pendampingan. Data terkait pelatihan diambil dengan observasi, interview, dan angket, serta dokumentasi foto kegiatan. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa para peserta antusias mengikuti pelaksanaan pelatihan, merespon positif pelatihan tersebut, dan memiliki kompetensi yang ditargetkan sesuai dengan tujuan pelatihan ini. Dampak ikutan pelatihan ditelusuri melalui observasi dan wawancara baik melalui telepon maupun tatap muka. Saran yang diajukan berupa pelaksanaan follow-up kegiatan di masa mendatang, dan pelatihan sejenis untuk tingkatan sekolah yang berbeda sebagaimana diminta oleh guru-guru lain, seperti untuk tingkat SMP. Kata-kata kunci: pelatihan, lab bahasa, pengelolaan lab, pengembangan materi, pengemasan materi.
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan Di Indonesia bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa asing (English as a Foreign Language atau EFL), dan bagi sebuah institusi yang menawarkan program pembelajaran bahasa asing seperti bahasa Inggris, baik itu sekolah, perguruan tinggi, atau bahkan lembaga kursus bahasa, laboratorium bahasa (selanjutnya disebut lab bahasa saja) memiliki peran yang sangat krusial. Umumnya pada institusi-institusi tersebut, lab bahasa merupakan tempat dilaksanakannya pembelajaran mendengarkan (listening lessons). Dalam konteks ini, lab bahasa sering disebut dengan Audio-Lingual Laboratory, dan terkait dengan fungsi ini, lab bahasa merupakan tempat tersedianya materi-materi pembelajaran mendengarkan yang merupakan sumber utama input atau exposure bahasa bagi pebelajar bahasa, terutama bahasa lisan (Brenes, 2006). Khusus bagi pebelajar bahasa Inggris sebagai EFL, input keterampilan mendengarkan terbatas keberadaannya di lingkungan belajar mereka sehingga lab bahasa memiliki posisi yang strategis dalam pembelajaran bahasa Inggris. Dalam praktiknya, lab bahasa dengan peran sentralnya tersebut merupakan bagian terintegrasi dari kurikulum pembelajaran bahasa Inggris. Oleh karena itu, pengelola lab bahasa memiliki tugas dan tanggung jawab yang cukup besar. Materi-materi yang tersedia harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan jadwal penggunaan lab bahasa oleh para pengajar harus disusun dengan baik agar tidak terjadi benturan-benturan. Pemeliharaan alatalat lab bahasa juga menjadi hal yang harus mendapatkan perhatian karena mendirikan sebuah lab bahasa memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal ini belum termasuk pemutakhiran (upgrading) materi dan perangkat lab bahasa agar sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi. Era digital ditandai dengan semakin bergantungnya manusia akan teknologi karena peran fungsional teknologi yang besar manfaatnya bagi manusia sendiri. Dewasa ini, untuk bisa bersaing di dunia kerja, sumber daya manusia harus memiliki keterampilan dalam bidang teknologi. Oleh karena itu, salah satu tujuan pendidikan nasional adalah kemandirian manusia Indonesia dan penguasaan teknologi untuk meningkatkan daya saing bangsa (UndangUndang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Digital literacy pun kini telah menjadi salah satu keterampilan yang wajib diajarkan pada siswa di sekolah dan perguruan tinggi. Penekanan akan pentingnya penguasaan teknologi 1
(TIK) secara khusus memang ditekankan agar diintegrasikan dalam pembelajaran baik dalam KTSP maupun Kurikulum 2013. Generasi muda dewasa ini lahir dan tumbuh dalam era digital (digital native), dan teknologi merupakan bagian kehidupan mereka sehari-hari sehingga mereka cenderung lebih tech-savvy dibandingkan dengan orangtua mereka yang mungkin masih tergolong digital immigrant (Dudeney & Hockly, 2007). Bisa dilihat betapa siswa zaman sekarang, misalnya, tidak bisa hidup tanpa telepon genggam (HP), tablet, laptop, internet, dan facebook. Adanya tuntutan penguasaan digital literacy dan adanya fenomena kerekatan kehidupan generasi muda dengan teknologi, pembelajaran di sekolah pun semakin dituntut mengakomodasi penerapan teknologi dalam pembelajaran. Contoh terdekatnya adalah bagaimana guru menugaskan siswa untuk mencari materi-materi terkait topik pelajaran tertentu di internet. Kondisi ini menjaga eksistensi lab bahasa karena keberadaannya semakin dibutuhkan. Terkait perkembangan teknologi di era digital, lab bahasa semestinya tidak hanya menjalankan fungsinya secara tradisional sebagai tempat diselenggarakannya pembelajaran mendengarkan. Era digital menuntut adanya pembelajaran online (e-learning) untuk mendukung pembelajaran tradisional—sering disebut hybrid learning. Pembelajaran yang demikian dipercaya dapat meningkatkan motivasi siswa karena hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang akrab dengan teknologi. Karena didukung oleh perangkat komputer, seyogyanya lab bahasa harus dapat mengadaptasi diri dan mampu merespon tuntutan pembelajaran di era digital. Upaya merespon perkembangan era digital sekali lagi membutuhkan peran dan keterampilan pengelola lab bahasa yang handal yang harus selalu dapat meng-update keterampilannya dan dapat mengakomodasi penggunaan teknologi dalam pembelajaran bahasa di lab, yang di era digital tidak hanya terbatas pada pembelajaran mendengarkan lagi, tetapi juga mencakup keterampilan berbahasa yang lain. Bahkan di tengah arus perkembangan teknologi yang pesat, lab bahasa semestinya tidak lagi dalam keberadaannya
yang selama ini secara
tradisional kita kenal, tetapi harus sudah mengarah dan bertransformasi menjadi virtual laboratory. Beberapa konsep pembelajaran terkait dengan penggunaan teknologi bermunculan seperti Computer Assisted Language Learning (CALL) dan Self-Access Center (SAC), yang keduanya erat terkait dengan lab bahasa. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran di era digital identik dengan konsep pembelajaran mandiri (autonomous learning) atau self-directed learning (Alexander, 2009; Benson, 2001; Holec, 1981), dan penelitian-penelitian dalam teknologi pembelajaran memang membuktikan bahwa CALL atau SAC mampu 2
meningkatkan kemandirian belajar siswa (Benson, 2001). Oleh karena itu, pengelola lab bahasa di zaman digital harus mampu pula mengupayakan agar lab bahasa di sekolah dapat mendukung kemandirian belajar siswa sebagai upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Di samping karena menurut beberapa hasil penelitian di beberapa negara, memang ditemukan korelasi yang signifikan antara kemandirian pebelajar dan kemampuan berbahasa Inggris (Dafei, 2007; Lowe, 2009; Hashemian and Soureshjani, 2011, Ng dkk., 2011; Myartawan, Latief, & Suharmanto, 2013). Akan tetapi, fenomena di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua guru bahasa asing di sekolah (khususnya bahasa Inggris) memiliki keterampilan meng-upgrade pengetahuan dan keterampilannya agar dapat mengakomodasi perkembangan teknologi terbaru (educational technology) dalam pembelajaran bahasa Inggris, terutama dalam lab bahasa yang dimiliki oleh sekolah tempat mereka bekerja. Terkait dengan perkembangan teknologi pada era digital, fungsi dan pengelolaan lab memang semestinya harus disesuaikan agar dapat mengakomodasi motode/model pembelajaran bahasa Inggris berbasis TIK. Oleh karena itu, salah seorang guru bahasa Inggris dari sebuah SMA negeri di Tejakula per telepon mewakili teman sejawatnya (terutama di MGMP) mengusulkan agar diadakan pelatihan pengelolaan lab bahasa bagi guru-guru bahasa Inggris di Buleleng karena mereka membutuhkan pengetahuan agar bisa memanfaatkan lab bahasa yang mereka miliki secara optimal sesuai dengan perkembangan zaman. Guru ini menyampaikan adanya kebutuhan bagaimana mengelola lab dan mengembangkan materi bahasa Inggris yang cocok dipergunakan di dalam lab yang mereka miliki, sesuai dengan perkembangan teknologi terbaru. Berdasarkan permintaan inilah, maka di tahun 2014 pelatihan pengelolaan lab bahasa untuk merespon era digital ini dilakukan. Dengan banyaknya peserta (40 orang) yang hadir pada pelatihan pengelolaan lab ini membuktikan bahwa guru-guru bahasa Inggris sangat haus akan pengetahuan/ketrampilan tentang bagaimana mengelola lab bahasa yang sesuai dengan Permendiknas No. 26 tahun 2008 tentang Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah dan Pedoman Penilaian Kinerja Guru dengan Tugas Tambahan Kepala Laboratorium/Bengkel Sekolah/Madrasah tahun 2012. Kedua dokumen tersebut memberikan gambaran detail tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru (terutama bahasa Inggris) yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala lab bahasa. Dari pelatihan yang berlangsung selama 2 hari dan pendampingan selama 2 hari terlihat antusiasme guru-guru yang begitu tinggi. Terlihat keseriusan mereka dalam membuat dokumen-dokumen
administrasi
lab
bahasa
seperti
menyusun
deskripsi
kerja, 3
mengembangkan berbagai macam SOP, sampai bagaimana melakukan evaluasi kinerja laboran dan teknisi. Hal yang paling menarik dari pelatihan tersebut adalah bagaimana guruguru bahasa Inggris belajar menggunakan aplikasi (software) yang bisa dipakai dalam pembelajaran, seperti Hot Potatoes, Moodle, Dreamweaver, dan aplikasi pembelajaran lainnya baik secara online maupun offline (intranet). Pembelajaran penggunaan aplikasi semacam itu dalam pembelajaran di kelas tentu saja merupakan barang baru bagi guru-guru bahasa Inggris yang dalam kesehariannya hanya terpaku pada buku pelajaran/LKS dan jarang memaksimalkan fungsi lab bahasa. Dengan demikian, pelatihan semacam ini tentu saja memberikan atmosfir baru dalam khasanah pembelajaran bahasa Inggris. Pada saat berlangsungnya pelatihan, di saat yang sama Fakultas Bahasa dan Seni juga melakukan kegiatan P2M berupa pelatihan pembuatan RPP berbasis pendidikan karakter yang dihadiri pada guru SMK. Pada saat itu, pengusul kebetulan bertemu dengan beberapa guru-guru SMK yang merupakan alumni Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Para rekan guru ini mengatakan mendengar pengusul memberikan pelatihan pengelolaan lab bahasa dan menyampaikan harapannya secara langsung agar pelatihan yang sama dapat diberikan kepada mereka. Dari percakapan kecil ini pula tercetus ide untuk memberikan pelatihan serupa kepada guru-guru bahasa Inggris SMK se-Kabupaten Buleleng. Dari proses penjajagan, respon positif diberikan oleh guru-guru bahasa Inggris SMK yang tergabung dalam MGMP. Mereka secara umum mengharapkan diberikan pelatihan serupa mengingat banyak guru-guru bahasa Inggris yang juga memiliki tugas tambahan sebagai kepala lab bahasa. Menindaklanjuti desakan tersebut maka pelatihan pengelolaan lab bahasa untuk menyongsong era digital ini diusulkan.
1.2 Analisis Situasi Sebagaimana telah sedikit disinggung dalam pendahuluan, usulan kegiatan P2M ini diinisiasi oleh adanya permintaan dari wakil guru-guru bahasa Inggris di Buleleng (per telepon) yang menyuarakan adanya kebutuhan bagaimana mengelola lab bahasa dan mengembangkan materi yang dapat digunakan dalam lab bahasa mereka. Disampaikan oleh guru tersebut, dari kebanyakan lab bahasa yang dimiliki oleh sekolah-sekolah di Buleleng, kebanyakan masih berjenis lab analog (tradisional) yang peruntukannya secara esklusif hanya untuk pengajaran keterampilan mendengarkan (SMAN 1 Singaraja, SMK Triatma Jaya, dll.). Sementara itu, dewasa ini materi-materi bahasa Inggris bisa beragam bentuknya (teks, audio, audio/video) yang kalau tidak disertai kemampuan guru mengelola lab analognya, jenis dan keberagaman materi bahasa Inggris yang disediakan di lab akan terbatas keberadaannya. 4
Ternyata, berdasarkan keterangan wakil guru tersebut, pelatihan pengelolaan lab juga ingin diikuti oleh guru-guru bahasa Inggris yang sekolahnya tidak secara khusus memiliki lab bahasa. Nampaknya ada kebutuhan pelatihan pengelolaan lab untuk jenjang karier tertentu bagi guru-guru bahasa Inggris tersebut. Akan tetapi di lapangan, walaupun tidak semua sekolah memiliki lab bahasa, hampir semua sekolah, terutama di kota Singaraja, sudah dilengkapi dengan perangkat komputer dan internet. Pada zaman digital sekarang ini di mana materi bahasa Inggris melimpah ketersediaannya di internet atau malah bisa dibuat sendiri oleh guru, perangkat komputer tersebut bisa disulap menjadi sebuah laboratorium bahasa. Pembelajaran bahasa Inggris inovatif lewat lab bahasa (lab komputer) sangat sesuai dengan karakteristik pebelajar era digital. Generasi abad ke-21 merupakan digital native. Mereka lahir, tumbuh, dan hidup bersama dan dalam perkembangan teknologi yang pesat, sehingga jika pembelajaran dilakukan dengan mengunakan teknologi, motivasi mereka akan meningkat untuk terlibat dalam pembelajaran, terutama jika yang digunakan adalah TIK yang mereka telah akrabi. Fenomena ini merupakan peluang bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran berbantuan TIK untuk memaksimalkan peningkatan kemampuan berbahasa Inggris siswa sekaligus untuk mengembangkan kemandirian mereka. Mengingat Dinas Pendidikan dan UPP Kecamatan Buleleng tidak bisa memberikan tenaga ahli/praktisi untuk memberikan pelatihan pengelolaan lab bahasa, sesuai keterangan guru tersebut, maka Undiksha melalui Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris harus berperan serta membantu kebutuhan para guru tersebut. Akan tetapi, dalam prakteknya, guru tidak secara maksimal dapat mengakomodasi perkembangan teknologi yang terjadi dewasa ini yang telah diakrabi siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah. Penggunaan teknologi baru sebatas pembuatan tugas dengan bantuan Microsoft Word ataupun powerpoint. Sebagian besar guru juga terindikasi belum memiliki pengetahuan yang cukup dan melek menggunakan berbagai perangkat lunak edukatif yang telah banyak tersedia (Putra, 2011) yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk membuat pembelajaran bahasa Inggris lebih menyenangkan bagi siswa. Keterampilan guru— tidak semua guru—hanya baru sebatas penggunaan Microsoft Word, Excel, maupun Powerpoint, itu pun masih penuh keterbatasan. Maka dari itu, dengan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan TIK yang dimiliki guru-guru, para guru bahasa Inggris (dan asing lainnya) tidak akan mampu mengembangkan materi yang baik untuk memfasilitasi lab dalam fungsinya sebagai Self-Access Center maupun tempat pembelajaran bahasa Inggris sehari-hari, dalam rangka menciptakan lulusan yang berdaya saing tinggi (mandiri dan melek teknologi) sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional. 5
Berdasarkan data Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah Provinsi Bali, tahun 2008 terdapat 21 SMK negeri maupun swasta terakreditasi di Kabupaten Buleleng, (www.ban-sm.or.id/provinsi/bali/akreditasi). Guru-guru (terutama kepala lab) dari SMK inilah yang akan menjadi target pelatihan pengelolaan lab yang diusulkan ini. Belajar dari pengalaman sebelumnya dalam pelatihan serupa untuk tingkat SMA, pelatihan ini juga akan menyasar 40 guru-guru bahasa Inggris di SMK se-Kabupaten Buleleng berdasarkan koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan MGMP Bahasa Inggris Kabupaten. Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang analisis situasi di atas, berikut disajikan Bagan 1.1. TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL: kemandirian manusia Indonesia dan penguasaan teknologi
untuk meningkatkan daya saing bangsa (UU No. 20 Tahun 2003)
PELUANG
MASALAH
Lab Bahasa Analog - Dimiliki beberapa sekolah - Sebatas pembelajaran listening
Guru - Kurang pengetahuan tentang pengembangan materi yang dapat digunakan di lab bahasa/komputer di era digital - Kurang keterampilan menggunakan ICT untuk pengelolaan pengembangan materi pelajaran di lab bahasa/komputer di era digital - Kurang wawasan pengelolaan pembelajaran berbantuan ICT yang bisa dipraktikkan di lab bahasa di era digital
Perangkat komputer - Dimiliki hampir semua SMA/SMK
Internet - Sudah dimiliki beberapa SMA/SMK, bahkan sekolah di desa
TARGET
P2M
Siswa era digital - Melek teknologi (tech savvy) - Akrab dengan teknologi
Bagan 1.1 Analisis Situasi Berdasarkan Bagan 1.1 dapat dilihat bahwa ketersediaan lab dan fasilitas ICT lain seperti komputer dan internet, termasuk keberadaan siswa yang akrab dengan teknologi merupakan peluang bagi pengelolaan lab bahasa dan pengembangan materi yang sesuai dengan perkembangan era digital untuk dipergunakan dalam pembelajaran di lab bahasa. Pelatihan ini diharapkan bisa memanfaatkan peluang ini untuk dapat memecahkan masalah6
masalah berupa kurangnya pengetahuan dan keterampilan penggunaan ICT agar dapat memaksimalkan pengelolaan lab bahasa sesuai tuntutan pembelajaran era digital. Kontribusi jangka panjang yang diharapkan dari pelatihan ini adalah para guru bisa mendukung Tujuan Pendidikan Nasional mencetak generasi yang mampu bersaing global yang mampu berbahasa Inggris dengan baik, melek TIK, dan mandiri.
1.3 Identifikasi dan Perumusan Masalah 1.3.1 Identifikasi Masalah Berdasarkan bagian pendahuluan dan analisis situasi di atas, maka paling tidak ada empat masalah yang bisa diidentifikasi. Pertama, pengetahuan guru tentang perkembangan lab bahasa dan pengelolaannya perlu di-update sesuai tuntutan era digital sehingga salah seorang wakil guru meminta diadakan pelatihan pengelolaan lab (pembelajaran) bahasa sesuai perkembangan terbaru. Kedua, adanya keterbatasan keterampilan TIK guru untuk melengkapi lab bahasa (komputer) dengan software terkini yang dapat digunakan untuk pembelajaran di lab bahasa, serta untuk mengembangkan materi-materi inovatif termasuk model pembelajaran yang dapat dipergunakan untuk melengkapi koleksi ataupun untuk kepentingan pembelajaran di lab. Ketiga, beberapa guru yang sekolahnya belum memiliki lab, berkepentingan memperoleh keterampilan mentransformasi lab komputernya untuk kepentingan pembelajaran bahasa selayaknya sebuah lab bahasa. Terakhir, Dinas Pendidikan atau UPP belum bisa memfasilitasi pelatihan pengelolaan lab bahasa yang saat ini memang diperlukan oleh guru-guru bahasa Inggris di Kabupaten Buleleng. Mengingat pentingnya lab untuk mendukung proses pembelajaran bahasa Inggris yang lebih optimal, serta mempersiapkan generasi muda yang mandiri dan terampil TIK sehingga mampu bersaing (kompetitif) di era persaingan global sesuai Tujuan Pendidikan Nasional, pelatihan pengelolaan lab bahasa ini penting untuk dilaksanakan.
1.3.2 Rumusan Masalah Mengacu pada pendahuluan dan analisis situasi pada bagian sebelumnya, rumusan masalah kegiatan P2M ini adalah “Bagaimana pelatihan pengelolaan lab bahasa untuk merespon era digital bagi guru-guru bahasa Inggris SMK se-Kabupaten Buleleng ini mampu meningkatkan wawasan dan keterampilan para guru tersebut dalam mengelola lab bahasa sesuai perkembangan era digital?”
7
1.3.3 Tujuan Kegiatan Kegiatan P2M berupa pelatihan pengelolaan lab bahasa bagi guru-guru bahasa Inggris SMK untuk merespon era digital ini memiliki empat tujuan, yaitu: 1. Untuk meningkatkan pengetahuan para peserta tentang perkembangan lab bahasa dan pembelajaran di lab bahasa di era digital. 2. Untuk meningkatkan kompetensi guru dalam tata kelola lab bahasa, terutama dalam mengembangkan perangkat terkait dengan pengelolaan lab bahasa. 3. Untuk meningkatkan keterampilan TIK para peserta dalam mendesain materi multimodal pembelajaran bahasa yang akan disediakan di lab bahasa. 1.4
Manfaat Kegiatan
1.4.1 Bagi Dosen Pelaksana Kegiatan P2M Bagi dosen Undiksha pelaksana P2M ini, kegiatan ini merupakan wujud salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi terkait pengabdian pada masyarakat, sekaligus untuk meningkatkan kemitraan Undiksha dengan stakeholders terutama dengan guru-guru anggota MGMP mata pelajaran bahasa Inggris SMK Kabupaten Buleleng, sekolah asal peserta, serta Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng. Secara khusus, kegiatan ini dapat menjadi arena pendeseminasian ide-ide/pengalaman dosen pelaksana terkait pengelolaan lab dan perkembangan pembelajaran bahasa Inggris di lab pada era digital. 1.4.2 Guru-Guru Peserta Kegiatan P2M Bagi para peserta, kegiatan ini bermanfaat untuk meningkatkan wawasan dan keterampilan mereka tentang perkembangan lab bahasa, pembelajaran di lab bahasa, dan pengembangan materi di lab bahasa, serta pengelolaannya seiring perkembangan era digital. Hal ini dapat dicapai baik melalui sajian dan pelatihan yang diberikan oleh narasumber, maupun sharing dengan sesama peserta selama pelatihan. Selain itu, keikutsertaan mereka dalam pelatihan ini dapat dijadikan prasyarat kenaikan jenjang karier, khususnya sebagai pengelola lab di sekolah masing-masing.
1.4.3 Pemerintah (Dinas Pendidikan Kabupaten/UPP Kecamatan terkait) Bagi pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng dan UPP Kecamatan terkait, kegiatan ini mendukung program pemerintah sesuai Tujuan Pendidikan Nasional yaitu menciptakan sumber daya manusia yang mandiri dan terampil teknologi sehingga mampu bersaing di percaturan global. Dengan meningkatnya wawasan dan
8
keterampilan pengelolaan lab sesuai tuntutan era digital, diharapkan kualitas pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah dapat ditingkatkan sehingga tujuan tersebut dalam jangka panjang dapat tercapai. 1.5 Khalayak Sasaran Strategis Yang menjadi sasaran strategis pertama dalam kegiatan P2M ini adalah para guru SMK peserta pelatihan pengelolaan lab bahasa. Sasaran strategis berikutnya adalah MGMP Bahasa Inggris Kabupaten Buleleng, kepala sekolah dari para peserta pelatihan dan stakeholder dari pemerintah (Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah/Kepala UPP terkait). Terakhir adalah Ketua LPM Undiksha yang memberikan dana bagi pelaksanaan pelatihan serta pihak yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan LPM yang diselenggarakan dosen Undiksha. Khalayak sasaran strategis kegiatan P2M ini diringkas dalam Tabel 1. Tabel 1 Khalayak Sasaran Strategis No 1
Institusi Guru-guru bahasa Inggris SMK Kabupaten Buleleng yang menjadi peserta pelatihan
2
MGMP Bahasa Inggris Kabupaten Buleleng
3
Kepala Sekolah terkait
4
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng/Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah/Kepala UPP terkait Ketua LPM Undiksha
5
Peran dan Manfaat Pihak yang secara langsung disasar dalam pelatihan dan sekaligus yang nantinya berperan mempraktikkan pengelolaan lab bahasa sesuai tuntutan era digital di sekolah bagi para siswa. Forum keguruan yang mengorganisasi para guru bahasa Inggris, termasuk program pengembangan profesi yang diprogramkan guru. Memberi izin pelatihan bagi guru peserta pelatihan (koordinatif) sekaligus dukungan bagi pengelolaan lab responsif era digital sekembalinya guru tersebut dari pelatihan. Koordinasi; memberi izin pelaksanaan kegiatan di wilayah kerjanya, serta mendukung penyediaan fasilitas lab bahasa sesuai perkembangan era digital. Pemberi dana, koordinasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan; menyetujui dan memberikan realisasi dana kegiatan, pihak yang menjalin MoU dengan pemerintah daerah, memonitor realisasi kegiatan P2M dan mengevaluasi keterlaksanaan kegiatan P2M.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Laboratorium Bahasa dan Fungsinya Lab bahasa yang digunakan di berbagai instansi yang menawarkan program pembelajaran bahasa dikenal dalam berbagai nama. Menurut Alexander (2009), lab bahasa (language laboratory) juga diacu dengan istilah-istilah seperti language resource centres, multimedia labs, centres for language study, language learning centres, interactive media centres, language and technology centres, media centres, open access centres, foreign language centres, open learning centres, open access multimedia centres, self-access centres, individualised language learning centres, independent learning centres, CALL centres/labs, world media and cultural centres, language acquisition centres, dan language and computer laboratories. Menurut Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary Third Edition (Walter et al., 2008), lab bahasa didefinisikan sebagai “a room in a school or college in which students can use equipment to help them practise listening to and speaking a foreign language”. Berdasarkan definisi ini, sebuah lab bahasa dicirikan oleh tiga hal, yakni sebuah ruangan, adanya peralatan, dan adanya aktivitas pembelajaran mendengarkan dan berbicara menggunakan bahasa asing. Yang menarik dalam definisi ini adalah lab bahasa sudah tidak terbatas lagi penggunaannya untuk keterampilan mendengarkan saja, tetapi sudah mencakup keterampilan berbicara juga, sebagaimana sudah dipaparkan sedikit di latar belakang. Hal ini masuk akal karena definisi ini diberikan tahun 2008, ketika kemajuan teknologi demikian pesat terjadi. Tetapi memang pada hakikatnya, pembelajaran bahasa cenderung dilakukan secara integratif. Ketika belajar listening, speaking juga dilatihkan karena diskusi tentang materi listening biasanya dilakukan dalam bentuk tanya-jawab yang mengharuskan seseorang untuk berbicara. Tetapi, bukan berarti hanya listening dan speaking yang dilatihkan di lab bahasa karena sekarang di lab bahasa pembelajaran keempat keterampilan berbahasa sudah bisa dilakukan, terutama berkat adanya e-learning. Hal ini lebih jelas digambarkan dalam definisi lab bahasa yang ditawarkan oleh Garcia & Wolff (2001) dalam kutipan berikut. “Technically, a language lab is an instructional technology tool consisting of a source unit that can disseminate audio, audio-visual, and/or written 10
materials to any number of students at individual seats or carrels, with a wide variety of potential feedback mechanisms to the students, teacher, and other students” (Garcia & Wolff, 2001: 20). Definisi Garcia & Wolff ini juga menambahkan bahwa dalam lab bahasa, balikan bisa dilakukan dalam multi-arah: siswa-guru dan sebaliknya, serta siswa-siswa. Terkait dengan peran lab bahasa sebagai pusat inovasi pembelajaran, maka dewasa ini lab bahasa tidak semata-mata merupakan pusat pembelajaran bahasa, tetapi juga telah berkembang menjadi pusat-pusat penelitian inovatif, penyedia jasa pelatihan dan tes, maupun penyedia jasa terkait pemberian informasi (Alexander, 2010). Sebagai misal, Lab Audio di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha selain dipergunakan sebagai tempat pembelajaran listening bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan Jepang, juga diperuntukkan sebagai tempat penyelenggaraan tes TOEFL ITP atau TOEFL-like.
2.2 Perangkat Sebuah Laboratorium Bahasa Lab bahasa merupakan tempat pembelajaran yang menggunakan teknologi yang salah satu tujuannya adalah untuk mendukung pengembangan digital literacy pebelajar. Menurut Dudeney & Hockly (2007),
agar
dapat
menerapkan
teknologi
dalam
pembelajaran, perlengkapan mendasar yang diperlukan adalah minimal sebuah komputer, koneksi internet, sebuah printer, audio card pada komputer dan headset, serta software dasar seperti program word processing,
Gambar 1: Ruang Lab Bahasa
web browser seperti Internet Explorer, Firefox, Safari, dan Mozilla, dan program email. Fungsi umum lab bahasa adalah sebagai pusat pembelajaran bahasa, dan secara tradisional diperuntukan sebagai tempat pembelajaran listening. Dengan demikian, minimal sebuah lab bahasa harus dilengkapi dengan fasilitas berupa materi/materi pelajaran seperti kamus, majalah, koran, buku, kaset, CD, DVD, handout, dan sejenisnya yang menunjang program pembelajaran bahasa atau pelayanan yang ditawarkan. Biasanya materi-materi tersebut berbentuk digital seperti berupa CD yang dirancang dengan program tertentu, kamus digital. CD lagu-lagu dan film-film dalam bahasa asing juga biasanya ditemukan di lab bahasa. Agar materi-materi tersebut bisa diperdengarkan/ditampilkan kepada siswa, lab bahasa juga harus dilengkapi dengan pemutar tape/audio CD atau video, seperti tape recorders, CD , video atau DVD player, perangkat komputer yang dilengkapi dengan 11
software yang mendukung seperti word processors, pembaca PDF, Window Media Player dan software sejenis, dan sebagainya. Untuk menunjang proses pembelajaran interaktif, perangkat komputer juga dipasang dengan program lab yang mendukung sehingga memungkinkan guru berkomunikasi langsung dengan siswa, baik secara individual maupun klasikal, melalui layar komputer tutor (teacher booth) dan layar komputer siswa (student booth). Tiap komputer juga dilengkapi dengan headset, atau paling tidak terdapat speaker yang memadai di ruang lab. OHP atau LCD projector juga biasanya tersedia di laboratorium
bahasa
yang umumnya
digunakan
ketika
presentasi atau ketika menayangkan video secara klasikal. Di samping itu, kadang-kadang lab bahasa juga dipergunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat elektronik penunjang pembelajaran seperti printer, laptop, kamera digital, handycam, walkman, media pembelajaran, dan sejenisnya. Perlengkapan dasar yang sifatnya tradisional juga disediakan seperti papan tulis (walaupun kadang bisa yang
Gambar 2: Peralatan Lab
modern seperti interactive board) dan papan informasi, alat-alat tulis, meja kursi untuk tutor dan siswa yang sesuai dengan peralatan yang ditunjangnya, dan lemari atau rak tempat menaruh materi maupun alat-alat lab yang lain. Perangkat penting lain yang tidak boleh dilupakan adalah adanya peredam suara pada dinding dan langit-langit laboratorium. Lihat Gambar 1 dan 2. Dengan berbagai perlengkapan yang terdapat pada sebuah lab bahasa, pembelajaran bahasa, khususnya keterampilan mendengarkan, cenderung terasa lebih nyaman jika dilangsungkan di lab bahasa ketimbang di ruang kelas biasa. Ruang kelas biasa biasanya berjajar satu dengan yang lain. Tidak adanya peredam suara pada ruang kelas bisa menyebabkan tidak bisa didengarnya suara tape recorder secara jernih karena masukknya suara-suara lain dari ruang kelas sebelah, atau dari lingkungan sekitar seperti deru lalu lalang kendaraan, kapal terbang, atau keributan lain ke dalam kelas yang tanpa melalui filter. Hal ini bisa memecah konsentrasi siswa, juga terganggunya kelas yang lain akibat suara tape recorder yang keras. Di samping itu, melaksanakan pembelajaran mendengarkan di kelas biasa nampak kurang begitu praktis bagi guru, karena tiap kali mengajar, guru dan siswa harus mengambil alat-alat pendukung seperti tape recorder dan speakers dari ruang peralatan dan menyiapkan alat-alat tersebut sebelum pembelajaran dimulai. Bisa dibayangkan waktu yang tersita untuk melakukan persiapan-persiapan tersebut. 12
Selain perangkat yang berupa peralatan, lab bahasa juga harus ditunjang oleh pengelola lab atau yang biasa disebut administrator. Staf pengelola biasanya terdiri dari staf pengajar (guru laboran) yang sudah senior atau yang mengerti urusan lab, dan laboran/pegawai yang membantu operasional lab. Pengelola bertugas menjadwalkan semua kegiatan yang dijalankan oleh lab bahasa seperti jadwal penggunaan lab untuk pembelajaran dan tes, memelihara fasilitas lab, mengurus dan mencatat peminjaman alat lab, menginventarisasi fasilitas lab, dan merencanakan peningkatan kemampuan lab. Terkait dengan perencanaan, maka dari itu yang ditunjuk menjadi staf pengelola biasanya adalah staf pengajar yang sudah senior (kalau di universitas, bahkan seorang profesor). Semua yang disebutkan di atas didasarkan pada perangkat lab yang ada di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, yang secara umum sama dengan lab-lab bahasa yang ada di sekolah-sekolah. Pada lab bahasa yang sudah modern, tentu saja peralatan/fasilitas yang tersedia bisa lebih canggih dan lebih lengkap dari yang sudah disebutkan di atas. Misalnya, disediakannya fasilitas internet (Wi-Fi atau LAN) atau video-conference yang menunjang elearning.
2.3 Jenis Laboratorium Bahasa Berdasarkan sejarahnya yang secara singkat dipaparkan pada Sub-bagian 2, lab bahasa nampak terkait erat dengan perkembangan dan kemajuan teknologi karena ia merupakan pengguna (beneficiary) teknologi
untuk kepentingan pembelajaran. Terkait
dengan hal ini, menarik untuk menyimak pernyatan Alexander (2009): The onset of the digital revolution in the early 1980s with its CDROMs (1985), DVD players (1996), MP3 players (1998), Apple Computer iPods (2001) and the comprehensive advancement in computer hardware/software, reliable Internet services and wireless technology devices provided new tools for language labs (Alexander, 2009). Kutipan ini secara jelas menggambarkan bahwa kemajuan teknologi telah menyediakan perangkat baru bagi lab bahasa. Dengan kata lain, lab bahasa harus bisa mengadaptasi diri dengan kemutakhiran teknologi yang terjadi sesuai dengan zamannya. Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan paradigma pembelajaran, lab bahasa mengalami perkembangan, dan lab bahasa digital yang modern kini telah menggantikan lab bahasa analog. Menurut Davies et al. (2005), ada 2 jenis lab bahasa, yaitu lab analog (tape-based lab) dan lab digital.
13
2.3.1 Lab Analog Lab analog populer pada fase awal perkembangan lab bahasa. Makna dasar dari „analog‟ adalah bahwa satu hal sama atau seirama dengan satu hal yang lain (Davies et al., 2005). Dalam setingan analog, galur-galur pada vinyl record analog dengan karakteristik dan volume suara yang telah direkam. Teacher/master console terkoneksi secara elektrik dengan deretan student booth yang masing-masing biasanya terdiri dari sebuah tape recorder dan headset yang dilengkapi dengan boom arm microphone. Teacher/master console biasanya dipasangkan dengan master playback source equipment (tape recorder), yang merupakan alat untuk memonitor tiap booth dalam kelas melalui headset guru dan fasilitas itercom yang menawarkan komunikasi dua arah antara guru dan siswa. Rekaman analog pada pita magnetik bisa memiliki kualitas yang tinggi, tetapi dipengaruhi oleh suara-suara di sekitarnya pada saat perekaman, dan saat pemproduksiannya kembali, kualitasnya menurun seiring dengan kian usangnya kaset. Jika rekaman itu digandakan, hasil penggandaannya tidak sebaik yang asli, terlepas dari peralatan yang digunakan untuk mengkopinya. Akan tetapi, lab jenis ini mendapatkan reputasi yang buruk karena teknologinya yang rumit dan kompleks, pemeliharaannya yang mahal, desain labnya yang rumit, dan metode pengajaran yang behavioristik serta materi yang terbatas pada audio. Lab ini masih digunakan sampai saat ini, tetapi dalam jumlah sedikit (Davies et al., 2005).
2.3.2 Lab Digital Berbeda dengan peralatan analog, peralatan digital hanya menyimpan dan memroses angka (Davies et al., 2005). Contohnya adalah komputer modern termasuk CD audio dan DVD, yang padanya angka-angka dikodifikasi sebagai untaian lubang-lubang sangat kecil yang ditekan (pressed) pada sebuah disk plastik. Ketika sebuah rekaman diputar, sebuah perangkat laser membaca angka-angka tersebut apa adanya dan mengkonversinya ke dalam audio/video. Rekaman digital yang dibuat dari sumber apa saja (kaset, TV, radio, Internet, TV satelit, microfon, atau camcorder) dapat diedit dengan mudah, kemudian disimpan dalam sebuah komputer, CD atau DVD, server jaringan, memory stick, dsb. Mereka dapat digandakan tanpa kehilangan kualitas, dan yang lebih signifikan, dapat digunakan oleh lebih dari satu pebelajar pada saat yang sama. Menurut Davies et al., (2005) lab digital adalah sebuah jaringan komputer multimedia ditambah software yang sesuai yang memiliki fungsi dasar yang sama dengan pendahulunya, lab analog. Akan tetapi, lab ini memiliki fasilitas tambahan untuk pengintegrasian program word-processing, video, dan sejumlah aplikasi komputer lainnya, serta akses internet. 14
Dari perbandingan antara lab analog dan lab digital di atas, maka sekolah perlu mempertimbangkan untuk mentransformasi lab mereka menjadi lab digital jika lab mereka masih berkategori lab analog (audio). Demikian karena lab digital mampu mengakomodasi perkembangan teknologi (terutama software) sehingga mampu mengakomodasi pengajaran bahasa dengan teknologi, tidak hanya untuk keterampilan mendengarkan, tetapi juga untuk keterampilan yang lain, seperti membaca, berbicara, dan menulis.
2.4 Lab Bahasa di Era Digital Generasi muda pada zaman digital—yang juga disebut Net Generation—sangat bergantung pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK) karena mereka adalah pengguna aktif teknologi. Akan tetapi, Langelaar (2009) sedikit mengkhawatirkan temuan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa walaupun Net Generation adalah pengguna teknologi, tidak berarti bahwa mereka adalah pengguna teknologi yang efektif; mereka juga ditengarai memiliki literacy skill yang rendah, yakni tidak dapat menggunakan informasi secara efektif. Di sinilah tantangan guru dan laboran pada zaman digital ini agar penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan dapat meningkatkan kemelekan digital siswa, sekaligus pada saat yang sama mengajarkan mereka untuk menjadi pengguna informasi yang efektif di tengah melimpahnya informasi di era digital.
2.5 Tuntutan Penguasaan Literasi Digital di Era Digital Menurut North Vancouver School District (2007, dalam Langelaar, 2009), seorang siswa yang melek secara digital (digitally literate) adalah 1) seorang warga negara global (a global citizen), yakni mengetahui isu dunia, tidak membahayakan (safe) dan bertanggung jawab, dan reflektif; 2) melek informasi (information literate), yakni menghargai kekayaan intelektual (HAKI) seseorang, berkomunikasi secara efektif, berpikir kritis; 3) kolaboratif (collaborative), yaitu menghargai, seorang kontributor, mengelola waktu dengan baik; 4) melek data (data literate), dalam arti mengumpulkan dan mengorganisasi data, menganalisis informasi secara kritis, menciptakan grafik data yang jelas dan informatif; 5) ekspresif digital (digital expressive) dalam menggunakan seni visual, seni naratif, dan seni audio. Lebih lanjut, Resnick (2002) mendefinisikan bahwa literasi digital (yang disebutnya dengan digitally fluent) adalah tidak hanya cakap menggunakan teknologi untuk memperoleh informasi, tetapi juga mampu menciptakan (create) sesuatu yang berguna dengan teknologi. Mengacu Papert (1993), Resnick (2002) mengungkapkan bahwa belajar yang paling optimal adalah jika aktivitas pembelajaran dapat melibatkan siswa dalam merancang dan menciptakan 15
sesuatu yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Terkait dengan literasi digital ini, Resnick (2002) lebih lanjut berargumen bahwa sekarang masalah digital divide tidak lagi berkutat pada tidak meratanya akses terhadap komputer (access gap) karena harga komputer kini dan di masa mendatang akan menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat. Fluency gap-lah yang menurutnya akan menjadi tantangan baru karena hanya sedikit orang yang mampu mengunakan komputer secara melek digital. Pentingnya literasi digital diungkapkan dengan tegas oleh Resnick (2002) yang menyatakan bahwa di tengah kemajuan teknologi zaman sekarang, ke depannya literasi digital akan menjadi prasyarat untuk memperoleh pekerjaan, berpartisipasi secara lebih berarti dalam masyarakat, dan belajar sepanjang hayat. Resnick (2002) merangkum bahwa masyarakat dunia telah mengalami perubahan mulai dari Industrial Society yang ditandai dengan Revolusi Industri menjadi Information Society karena diyakini kekayaan alam dan industri tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam bisnis dan masyarakat akibat keberadaannya yang terbatas. Tetapi sejak tahun 1990an, Information Society berubah menjadi Knowledge Society karena diyakini bahwa informasi saja tidak cukup; yang lebih penting adalah bagaimana mengubah informasi itu menjadi pengetahuan dan bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut. Akan tetapi Resnick mengusulkan konsep Creative Society terkait era digital karena menurutnya kesuksesan di masa mendatang tidak ditentukan oleh seberapa banyak kita tahu, tetapi oleh kemampuan untuk berpikir dan bertindak kreatif. Menurutnya, perkembangan dasyat teknologi telah menekankan perlunya berpikir kreatif di segala aspek kehidupan kita, sekaligus menyediakan wahana untuk membantu kita meningkatkan dan menjadikan diri kita lebih kreatif. Karena masyarakat melek teknologi menuntut penguasaan teknologi, pembelajaran di era digital seyogyanya mengintegrasikan penggunaan teknologi. Lab bahasa harus dimanfaatkan tidak hanya sebagai sumber mengakses informasi bagi guru dan siswa, tetapi lebih dari itu, yakni untuk berpikir dan melakukan sesuatu secara lebih kreatif. Tentu saja kelima komponen literasi digital yang mencakup a global citizen, information literate, collaborative, data literate, dan digital expressive harus diakomodasi dalam pembelajaran di lab, baik untuk mengikis fluency gap maupun untuk mendukung terciptanya Knowledge Society serta Creative Society.
16
2.6 Merespon Era Digital Pelajar Net Generation di era digital dituntut memiliki literasi teknologi. Akan tetapi, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, fokus pada digital literacy harus diimbangi perhatian terhadap bagaimana mengajarkan siswa menggunakan informasi secara lebih efektif dalam upaya membentuk Creative Society. Pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran bahasa di lab mesti dilakukan karena pelajar di era digital adalah pengguna teknologi. Pengakomodasian karakteristik pebelajar seperti ini penting diupayakan agar siswa lebih termotivasi dalam belajar. Tapscott (2009 dalam Langelaar, 2009) menyatakan bahwa Net Generation memiliki tiga ciri utama, yakni kolaboratif, relasional, dan inovatif. Terkait dengan ini, penting bagi lab bahasa untuk mentransformasi fasilitasnya dan mengupayakan pembelajaran bahasa agar sesuai dengan tiga karakterisitk ini . Berikut adalah transformasi lab bahasa dan pembelajaran di lab bahasa yang penting dipertimbangkan dalam merespon era digital.
2.6.1 Fasilitas Minimal dalam Laboratorium Bahasa di Era Digital Kecenderungan masyarakat digital adalah hasrat memperoleh informasi yang melimpah dan lengkap dalam waktu singkat sebagai dasar untuk membangun pengetahuan. Informasi yang melimpah dalam waktu singkat hanya bisa diperoleh melalui internet. Oleh karena itu, lab bahasa pada era digital wajib terkoneksi jaringan internet yang baik. Tentu saja agar koneksi internet dapat diakses, lab bahasa harus memiliki komputer/laptop, yang sekarang merupakan hal yang lumrah. Koneksi internet melalui perangkat komputer atau laptop dapat dilakukan lewat LAN maupun Wi-Fi. Keuntungan fasilitas internet Wi-Fi adalah siswa, dan juga guru, dapat menggunakan internet kapan saja dengan menggunakan laptop mereka di sekitar zonazona yang terjangkau oleh jaringan internet sekolah/lab. Komputer lab juga dituntut memilik software yang mendukung pembelajaran bahasa, sekaligus yang mendukung pelatihan kemahiran digital dan kreasi siswa, seperti Word processor untuk mengetik dan membuat powerpoint, software untuk pemutar audio/video (Window Media Player, Real Player, Media Player Classic, dan sebagainya), software untuk melihat gambar dan mengedit gambar (fasilitas paint pada Windows, dan Photoshop), software pembuat dan pengedit video (Camtasia dan Window Movie Maker), pengkonversi audio/video (misalnya Format Factory), software untuk browsing internet (Internet Explorer, Firefox, Mozilla, Safari, dan Google Chrome), software edukasi (HotPot untuk membuat kuis
17
dan Mindmap Tool untuk membuat peta konsep) dan berbagai software lain yang diperlukan tidak hanya untuk mengakses informasi, tetapi juga untuk menciptakan sesuai secara kreatif. Sebagai alat penunjang dalam pengajaran dan eksibisi karya digital siswa, lab bahasa zaman sekarang juga mesti memiliki LCD projector dan screen. Printer juga sangat diperlukan sebagai alat pencetak karya digital siswa. Hasil karya cetak ini nantinya bisa dipamerkan di kelas untuk diapresiasi oleh siswa dan pihak lain, seperti siswa lain, guru, dan orang tua.
2.6.2 Perubahan Mode Belajar dalam Laboratorium Bahasa di Era Digital Mode belajar dalam era digital dituntut multimodal karena belajar di era digital mesti bersifat personalized, yaitu mampu mengakomodasi konsep-konsep kecerdasan ganda dan gaya belajar siswa. Untuk itu, belajar di lab semestinya tidak lagi hanya menyajikan materi listening (audio) saja, tetapi siswa seharusnya juga disajikan dengan materi dalam bentuk teks dan video. Bahkan, dengan lab digital, sajian materi audio/video bisa disajikan bersamaan dengan versi teksnya secara integratif. Dengan cara demikian, pembelajaran di lab dapat lebih mengakomodasi kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar siswa yang beragam. Terkait dengan hal ini, maka lab bahasa dapat menyelenggarakan pembelajaran keempat keterampilan berbahasa, dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosakata (Barge, 2009), baik secara discrete (tersendiri) maupun integratif. Dengan adanya dukungan teknologi yang memadai pada lab digital, pembelajaran berbicara di lab bahasa bisa dilakukan dengan siswa bedialog satu sama lainnya secara berpasangan dari komputernya masing-masing, sementara guru dan siswa lainnya bisa secara langsung mendengarkannya melalui headset. Contoh lain, siswa merekam diri mereka pada saat berbicara (misalnya, menjelaskan objek pariwisata, membaca berita, dan sebagainya) atau menulis sebuah karangan di komputer dilengkapi dengan gambar ilustrasi yang sesuai, kemudian menampilkan suara/video atau tulisan mereka melalui komputer atau LCD untuk diapresiasi oleh guru dan siswa lainnya. Atau, guru membuat kuis reading, grammar, atau vocabulary dengan menggunakan software HotPot (atau mencarinya di internet) atau siswa membuat materi sendiri, kemudian di-upload ke internet untuk dikerjakan di kelas oleh siswa lainnya. Dengan adanya lab digital dengan fasilitas internetnya, pembelajaran sekarang ini tidak mesti harus dilakukan secara klasikal yang ditandai dengan kehadiran guru. Sekarang, siswa bisa belajar secara mandiri di lab bahasa (self-directed) sesuai dengan kebutuhannya karena lab bahasa menyajikan fasilitas belajar secara mandiri berupa materi audio, video, dan teks yang biasanya dibeli dari penerbit-penerbit nasional maupun internasional. Materi-materi 18
yang sejenis sekarang ini juga sudah tersedia secara melimpah di internet, sehingga siswa secara mandiri bisa mencari dan mengaksesnya secara langsung dari internet untuk kepentingan belajarnya sendiri, yang bisa diinisiasi oleh tugas guru atau oleh diri mereka sendiri. Misalnya, guru sebelumnya memberikan latihan mendiktekan sebuah lagu asing dan siswa menuliskan liriknya; sebagai tugas lanjutan, siswa secara individu mencari lirik asli lagu tersebut di internet pada website grup band penyanyinya dan kemudian membandingkannya dengan hasil kerjanya. Di samping itu, siswa juga bisa mencari informasi tambahan mengenai latar belakang ditulisnya lagu tersebut melalui internet untuk lebih memahami makna lagu itu. Salah satu inovasi pembelajaran di era digital adalah lahirnya virtual lab. Lab dunia maya ini tercipta berkat bantuan software edukasi seperti Moodle yang merupakan Learning Management System (LMS). Moodle memungkinkan guru menaruh dan mengorganisasi materi ajarnya (per topik atau dengan format mingguan, bisa dibuat sendiri atau melalui tautan (links) dengan website penyedia) disertai dengan latihan-latihan/test dengan feedback otomatis yang dapat diakses oleh siswa secara on-line kapan saja dan di mana saja asalkan ada koneksi internet. Siswa melalui Moodle bisa mengirimkan file tugasnya kepada guru dengan cara meng-upload ke internet atau melalui e-mail dan melihat balikan atau nilai tugas mereka secara langsung melalui Moodle, bisa mengikuti diskusi untuk membahas suatu topik dengan guru dan teman-teman mereka melalui fasilitas forum dikusi dalam Moodle, atau bisa berkomunikasi dengan guru dan teman lainnya melalui fasilitas chat (moodle.org). Selain LMS, banyak guru akhir-akhir ini dapat menggunakan media sosial facebook yang digandrungi generasi muda sebagai wahana pembelajaran on-line (misalnya untuk pembelajaran menulis, grammar, dan membaca) secara hybrid (pelengkap kelas tradisional). Dengan fasilitas wall-nya, siswa bisa berdiskusi tentang grammar tertentu dan sekaligus menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi melalui facebook. Dengan virtual lab, pembelajaran dapat dilakukan secara synchronous (secara bersama-sama, misalnya lewat chatting) maupun asynchronous secara on-line (dengan bantuan internet). Dengan demikian, lab bahasa di era digital harus mampu digunakan guru sebagai tempat membangun virtual lab, sekaligus pusat pembuatan dan penerapan pembelajaran virtual. Aktivitas pembelajaran dalam CALL (lab bahasa) diharapkan dapat memungkinkan adanya kolaborasi karena dapat mendorong tumbuhnya keterampilan sosial dan berpikir, karena itulah gambaran bagaimana pebelajar nantinya perlu lakukan ketika mereka meninggalkan bangku sekolah (Beatty, 2003 dalam Alexander, 2009). Aktifitas kolaboratif merupakan dasar terbentuknya kemandirian (Confessore & Park, 2004; Benson, 2001) 19
sehingga pembelajaran di lab bahasa perlu mengakomodasi keduanya, yaitu membangun iklim kolaboratif dan kemandirian secara bersama-sama. Dalam lab digital dan atau virtual, hal ini bisa dilakukan dari hal yang sederhana, seperti mencari informasi tentang sebuah topik oleh siswa secara berkelompok, menyajikan informasi tersebut dalam powerpoint, dan kemudian mempresentasikan temuannya melalui LCD (atau komputer lab) untuk ditanggapi oleh guru dan siswa lain. Bisa saja temuan mereka ditulis dan di-upload dalam sebuah blog untuk di-publish dan diapresiasi oleh siswa dan guru melalui forum diskusi.
2.6.3 Perubahan Bahan Ajar dalam Laboratorium Bahasa di Era Digital Kemajuan informasi dan penyajiannya di era digital menghendaki materi pelajaran disampaikan secara multimodal (sebagimana dibahas pada sub-topik sebelumnya) dan lebih inovatif. Sumber materi baik untuk tujuan belajar mandiri maupun kelas bisa dilakukan dengan meng-install paket materi, misalnya Encyclopaedia yang menyajikan informasi lengkap dari berbagai bidang (dilengkapi gambar dan audio/video dan kamus) ke dalam komputer di lab. Siswa dapat membuka Encyclopaedia di komputer, kemudian mencari informasi tertentu yang mereka butuhkan, melihat gambar dan video, mencari kata-kata tertentu dalam kamus yang terintegrasi ke dalam Encyclopaedia, sehingga belajar menjadi lebih menyenangkan. Internet juga bisa menyediakan berbagai informasi multimodal yang menarik. Materi terkait pelajaran dalam bentuk video bisa diperoleh dari Youtube misalnya. Youtube bisa menyediakan film kartun, berita, lagu, cuplikan film, video lucu, iklan TV luar negeri, dan sebagainya yang dapat menjadi materi ajar yang menarik bagi siswa untuk berbagai keterampilan berbahasa. Materi tekstual bisa diperoleh dengan menggunakan Wikipedia atau dengan browsing melalui Search Engine dalam waktu cepat melalui internet untuk memperoleh berbagai artikel terkait. Koran dan majalah sekarang juga disediakan dalam versi on-line sehingga guru bisa memanfaatkannya untuk pembelajaran bahasa. Untuk materi pelajaran terkait geografi, Google Earth bisa dimanfaatkan, misalnya untuk mendeskripsikan arah atau mencari lokasi tempat-tempat tertentu secara lebih bermakna dan nyata. Untuk mencari gambar-gambar terkait materi pelajaran, fasilitas Google Image bisa dipergunakan untuk memperoleh beragaam gambar berwarna dalam waktu cepat. Akan tetapi, terkait dengan melimpahnya informasi di dunia maya, guru harus mengingat adanya kekhawatiran bahwa Net Generation belum tentu mampu menggunakan informasi secara efektif sebagaimana diungkapkan oleh Langelaar (2009). Untuk itu siswa harus dilatih bagaimana mereka bisa mengakses dan menyeleksi informasi dengan efektif dan 20
menggunakan informasi tersebut dengan benar agar, misalnya, tidak melakukan plagiasi terhadap karya orang lain dan/atau melanggar hak cipta.
2.6.4 Perubahan Peran Guru Laboran/Laboran dalam Laboratorium Bahasa di Era Digital Guru yang ditugaskan sebagai pengelola lab bahasa dan laboran di era digital memiliki peran yang lebih kompleks di era digital ini jika dibandingkan dengan peran mereka di era lab analog. Pada lab analog guru/laboran hanya berfungsi sebagai penyeleksi, penyedia, dan penyaji materi audio/tekstual kepada siswa. Namun, pada era digital, guru memiliki peran tambahan, yakni sebagai pengembang materi, administrator, dan peng-update teknologi. Hal ini sangat dimungkinkan berkat keberadaan software pembelajaran seperti HotPot dan Moodle, yang menghendaki guru mengkreasi materi yang mereka buat, atau rangkai dengan cara membuat tautan (links) dengan website penyedia materi tersebut. Pengembangan ini bisa mencakup materi multimodal berupa teks buatan guru dan rekaman audio dan video yang dibuat guru. Pada era digital, materi pelajaran tidak hanya disediakan dan dibuat oleh guru, tetapi bisa juga dibuat oleh siswa secara individu atau kelompok. Terkait dengan perubahan ini, guru berperan untuk mengorganisasi dan mengatur materi-materi yang dibuat oleh siswa. Guru menjadi administrator yang mengelola materi yang dibuat oleh siswa ketika di-publish ke internet (misalnya ke Moodle atau blog kelas). Sebagai
peng-update
teknolgi,
guru
dan
laboran
harus
selalu mengikuti
perkembangan teknologi, baik itu teknologi lab bahasa maupun software pembelajaran yang bisa diintegrasikan ke dalam lab/komputer lab bahasa. Fungsi update ini termasuk mengakomodasi trend teknologi yang sedang digemari anak muda di era digital sehingga bisa dipertimbangkan untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran di lab bahasa. Fungsi ini terkait juga dengan maintainance perangkat lab bahasa. Selain peran baru tersebut, peran sebagai penyeleksi guru laboran/laboran juga mengalami sedikit perkembangan. Fungsi seleksi tidak hanya sebatas menyeleksi materi dari penerbit yang cocok dengan kurikulum sekolah terkait program bahasa yang ditawarkan. Di era digital, seleksi ini juga mencakup filter informasi yang baik dan relevan dari yang tidak relevan dan tidak baik bagi siswa. Seleksi bisa dilakukan terhadap website yang menyediakan informasi pornografi atau memberikan ideologi yang tidak sesuai dengan karakter bangsa (misalnya, terorisme). Filter ini bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan penyedia internet atau bisa juga dengan cara memberikan rekomendasi kepada siswa tentang website-website 21
yang dapat diacu siswa. Seleksi materi dan teknologi juga mencakup pemilihan materi dan teknologi yang sesuai dengan misi lab bahasa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa, pembelajaran mandiri dan kolaboratif, serta kemahiran digital.
22
BAB III METODE PELAKSANAAN
3.1 Kerangka Pemecahan Masalah Usulan kegiatan P2M ini diinisiasi oleh adanya kebutuhan para guru sendiri untuk mendapatkan pelatihan pengelolaan lab bahasa sesuai dengan perkembangan teknologi dan praktek-praktek pembelajaran pembelajaran bahasa pada era digital. Terdapat kesadaran dari guru akan kurangnya wawasan dan keterampilan—terutama tekait TIK—untuk dapat menyesuaikan pengelolaan lab di sekolah mereka dengan tuntutan era digital. Oleh karena itu, pelatihan ini harus mampu menghadirkan dua hal: pemberian informasi dan wawasan terkini terkait dengan pengelolaan, TIK, dan model pembelajaran sesuai perkembangan terkini, dan praktek dalam hal keterampilan-keterampilan yang diperlukan terkait dengan upaya menciptakan pengelolaan lab bahasa sesuai dengan perkembangan terkini tersebut. Berdasarkan pertimbangan ini, maka kegiatan P2M yang diusulkan ini akan dilakukan dalam bentuk workshop karena metode ini menggabungkan pemaparan teoritis, sharing/diskusi multiarah (narasumber-peserta dan antarpeserta), serta praktek/kinerja langsung. Pada saat diskusi, tidak hanya narasumber yang melakukan sharing atas pengetahuan dan praktek pengelolaan lab/pembelajaran di labnya, tetapi hal yang sama akan juga diharapkan dari para peserta, sehingga diharapkan berbagai masalah aktual akan muncul ke permukaan dari praktek para guru ini untuk kemudian dijadikan dasar dalam melatih pengelolaan lab sesuai tuntutan era digital.
3.2 Metode Pelaksanaan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan metode workshop, dengan urutan sebagai berikut. 1. Penyajian
makalah
oleh
3
narasumber
yang
berpengalaman
dalam
pengelolaan/pembelajaran di lab bahasa. Narasumber ini akan memaparkan perkembangan lab bahasa terbaru, pengelolaan lab bahasa, keterampilanketerampilan yang diperlukan guru untuk merespon perkembangan ini, serta bentuk-bentuk pembelajaran bahasa di lab bahasa pada era digital. 2. Diskusi terkait sajian teoritis narasumber. 3. Praktek membuat dokumen pengelolaan lab bahasa. 4. Praktek penggunaan software edukatif untuk mengembangkan materi dan mengemas materi secara online melalui LMS seperti Moodle dan Blendspace. 23
5. Pendampingan selama 5 hari (langsung atau online). 6. Pengumpulan hasil kinerja (secara langsung atau melalui email).
3.3 Rancangan Evaluasi Ada dua aspek evaluasi yang dilakukan; pertama, terhadap aspek pelaksanaan kegiatan dan kedua, ketercapaian tujuan kegiatan P2M ini. Terkait pelaksanaan, evaluasi akan meminta peserta mengisi kuesioner di akhir kegiatan yang meminta pendapat mereka mengenai keefektifan dan kebermanfaatan kegiatan P2M. Kisi-kisi kuesioner diberikan pada tabel 2. Tabel 2 Kisi-Kisi Kuesioner untuk Peserta Aspek 1. Kebermanfaatan
2.
3.
4.
5.
Penyajian
Ketercapain tujuan
Fasilitas yang memadai
Tanggapan keberlanjutan
Kriteria - Mampu menambah wawasan/ keterampilan mengelola lab dan mengembangkan materi ajar - Bermanfaat untuk hal praktis - Materi baru/up to date/sesuai isu terkini - Menarik/tidak membosankan - Menyasar/melibatkan semua peserta - Informasi jelas - Bervariasi - Feedback narasumber jelas - Kegiatan sesuai dengan tujuan kegiatan - Merasa yakin mengalami peningkatan kompetensi sesuai dengan tujuan kegiatan - Alat bantu/ICT memadai dan membantu penguasaan materi - Konsumsi memadai - Kapasitas ruang pelatihan memadai - Merasa perlu ada tindak lanjut kegiatan di masa mendatang
Jumlah Item 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1
Dari segi tujuan kegiatan, evaluasi akan difokuskan pada dua aspek: dokumen terkait pengelolaan lab yang dikembangkan, materi bahasa Inggris multimodal yang dibuat dari software yang dilatihkan, dan kualitas desain pengelolaan pembelajaran melalui Blendspace sebagai lab virtual. Penilaian akan diberikan oleh para dosen pelaksana kegiatan P2M ini. Matriks evaluasi diberikan dalam Tabel 3.
24
Tabel 3 Kisi-Kisi Evaluasi Berdasarkan Tujuan Kegiatan P2M Aspek 1. Aspek pengelolaan lab
2.
3.
Aspek pengembangan materi ajar untuk lab dengan menggunakan software yang dilatihkan Aspek pengemasan materi dengan Blendspace
Kriteria - Setiap peserta tiap sekolah mampu mengembangkan satu borang dari salah satu dari 5 komponen pengelolaan lab yang dilatihkan - Tim peserta tiap sekolah mampu menghasilkan dokumen rencana pengembangan laboratorium dan dokumen kegiatan pengelolaan lab bahasa di sekolah mereka untuk satu semester saja. - Setiap peserta mampu membuat minimal 3 materi ajar untuk tiga keterampilan berbahasa yang berbeda dengan menggunakan software berikut: Wondershare QuizCreator, HotPotatoe, Camtasia.
-
1
2
3
4
5
Tim peserta tiap sekolah mampu mengemas semua materi ajar yang mereka buat sebelumnya secara logis dalam Blendspace (dilakukan secara online).
Ket: 1 = produk tidak sesuai dengan kriteria, atau belum mampu menyelesaiakan sesuai target 2 = produk sudah sesuai dengan target, tetapi masih banyak kelemahan 3 = produk sudah cukup baik, tetapi masih ada beberapa aspek yang belum sempurna 4 = produk sudah bagus, tetapi terdapat satu atau 2 yang masih perlu diperbaiki 5 = produk sudah sesuai dengan kriteria
Di samping itu, sebagai evaluasi lanjut (follow-up) untuk melihat dampak ikutan dari pelatihan ini, pihak pelaksana juga melakukan observasi di beberapa sekolah peserta, terutama di sekolah yang belum memiliki lab definitif untuk melihat dampak lanjutan dari pelaksanaan pelatihan. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana pelatihan ini memberi dampak bagi para peserta dalam pengelolaan lab bahasa mereka setelah pelaksanaan pelatihan yang mereka ikuti. Hal ini dilakukan dengan menghubungi beberapa peserta per telepon untuk melihat sejauh mana mereka menerapkan wawasan yang mereka telah peroleh dalam pelatihan, termasuk kendala-kendala yang mungkin mereka hadapi dalam praktek pengelolaan lab bahasa di sekolah mereka. Pelaksana juga menemui beberapa peserta dari beberapa sekolah untuk melihat lebih dekat dampak lanjutan dari pelatihan ini.
25
BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN DAN HASIL
4.1 Pelaksanaan 4.1.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan pengabdian pada masyarakat (P2M) berupa pelatihan pengelolaan lab bahasa bagi guru-guru bahasa Inggris SMK se-Kabupaten Buleleng ini dilaksanakan selama empat hari, yang terbagi menjadi dua termin. Pertama adalah kegiatan pelatihan (workshop) yang dilaksanakan selama dua hari, yakni pada hari Kamis dan Jumat, yakni pada tanggal 11 dan 12 Juni 2015. Pelatihan yang kedua (pendampingan tatap muka) dilaksanakan pada hari Senin dan Selasa tanggal 27 dan 28 Juni 2015. Seluruh kegiatan pelatihan dilaksanakan di Unit Layanan Bahasa, Universitas Pendidikan Ganesha, Gedung Unit Komputer Lantai 3, yang beralamat di Jalan Udayana No.11.
4.1.2 Peserta Pelatihan Kegiatan pelatihan pengelolaan lab ini dihadiri oleh 16 orang guru, yang mewakili seluruh wilayah Kabupaten Buleleng dari wilayah timur, yaitu Tejakula sampai Gerokgak. SMK yang mengirimkan gurunya sebagai peserta pelatihan adalah SMKN 1 Singaraja, SMKN 2 Singaraja, SMKN 3 Singaraja, SMKN 1 Sawan, SMKN 1 Seririt, SMK Kertha Wisata Sawan, dan SMKN 1 Kubutambahan.
4.1.3 Kegiatan Pelatihan dan Narasumber Pelatihan
yang
diselenggarakan
mengambil
tema
“Pelatihan
Pengelolaan
Laboratorium Bahasa bagi Guru-Guru Bahasa Inggris SMK Se-Kabupaten Buleleng untuk Merespon Era Digital.” Pelatihan yang berlangsung dua hari tersebut ditekankan pada 2 hal. Pertama adalah pelatihan pengelolaan laboratorium bahasa (tanggal 11 Juni 2015). Ada 5 aspek pengelolaan laboratorium yang disasar dalam pelatihan ini, yakni pengelolaan program dan administrasi, pengorganisasian guru laboran/teknisi, pengelolaan pemantauan dan evaluasi, pengembangan dan inovasi, dan pengelolaan lingkungan dan k3. Topik kedua (tanggal 12 Juni 2015) adalah mengembangkan materi ajar bahasa Inggris dengan menggunakan beberapa perangkat lunak pembelajaran, seperti Wondershare
26
QuizCreator, HotPotatoes, Camtasia, serta pengemasannya melalui pengenalan Learning Management System (LMS) seperti Moodle dan Blendspace. Setelah pelatihan, para peserta diberikan tugas/tagihan berupa mengembangkan dokumen rencana pengembangan laboratorium bahasa untuk satu semester, dokumen program kerja kepala laboratorium bahasa untuk satu semester, dan pengembangan borang untuk satu sub-aspek untuk satu aspek pengelolaan laboratorium. Dua tugas pertama dilakukan secara bersama-sama oleh para peserta dari tiap sekolah, sedangkan tugas ketiga dilakukan secara individu. Di samping itu, peserta secara individu juga diminta membuat minimal 3 set materi ajar dengan menggunakan program Wondershare QuizCreator ataupun Camtasia
yang
sekalian
harus
diorganisasi
secara
online
dalam
Blendspace.
Pembimbingan/pendampingan dilakukan antara tanggal 27 Juni sampai dengan 28 Juli 2015, baik melalui e-mail maupun melalui tatap muka dengan narasumber. Tanggal 29 Juli 2015 adalah batas akhir pengumpulan semua tagihan yang harus disetor langsung kepada panitia atau melalui email. Sertifikat akan diberikan jika para peserta memenuhi semua tagihan tersebut. Di akhir pelatihan, peserta diminta mengumpulkan kuesioner untuk meminta tanggapan mereka terkait pelaksanaan pelatihan yang mereka ikuti. Pelatihan pengelolaan laboratorium bahasa tersebut menghadirkan 3 narasumber. Narasumber pertama adalah Putu Prabawati Sudana, S.Pd., M.Hum. dari Unit Layanan Bahasa Undiksha yang membawakan materi terkait Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 26 tahun 2008 tentang standar tenaga laboratorium sekolah/madrasah, perangkat lab bahasa, dan program-program serta administrasi laboratorium bahasa serta praktek penggunaan lab. Narasumber kedua adalah I Nyoman Pasek Hadisaputra, S.Pd., M.Pd. yang membawakan materi mengenai 5 aspek pengelolaan laboratorium, Narasumber Ketiga dan Keempat adalah I Putu Ngurah Wage Myartawan, S.Pd., M.Pd. dan Made Hery Santosa, S.Pd., M.Pd., Ph.D. yang membawakan materi „Lab Bahasa di Era Digital‟ disertai pengembangan bahan ajar bahasa Inggris dengan menggunakan software pembelajaran seperti Wondershare QuizCreator ataupun Camtasia dan pengorganisasiannya secara online melalui perangkat LMS yakni Blendspace dan Moodle untuk membuat laboratorium virtual untuk menyongsong era digital. Tim dari sekolah dengan hasil kinerja terbaik akan mendapatkan insentif dari narasumber sebesar Rp. 300,000,- untuk membuat peserta menjadi lebih termotivasi.
27
4.2 Hasil dan Pembahasan 4.2.1 Observasi selama Pelatihan: Aspek Pelaksanaan Pelatihan menargetkan para peserta bisa membuat dokumen pengembangan laboratorium bahasa, dokumen program kerja kepala laboratorium, borang-borang terkait dengan pengelolaan laboratorium bahasa. Selain itu, para peserta juga ditargetkan bisa menghasilkan materi ajar dengan menggunakan software yang dilatihkan dan mengemasnya secara online melalui Blendspace. Selama pelatihan pengelolaan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa peserta terkategori ke dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang di sekolahnya sudah terdapat lab bahasa dan kedua, mereka yang di sekolahnya belum terdapat laboratorium bahasa representatif. Meskipun demikian, di antara kelompok kedua, terdapat beberapa peserta yang sekolahnya berpotensi menjadi lab bahasa karena sudah memiliki lab komputer. Dua kategori peserta ini menyebabkan sedikit perbedaan kecepatan penerimaan informasi pelatihan karena kelompok pertama sudah mengetahui program-program apa saja dan aktivitas apa saja yang dilakukan di laboratorium sehingga ketika dilatih membuat dokumen-dokumen terkait pengelolaan, mereka tidak mengalami kesulitan. Sementara, peserta dari kelompok kedua, karena belum memiliki pengalaman, memerlukan waktu yang lebih lama dalam menerjemahkan informasi yang diberikan selama pelatihan. Dari segi kemahiran penggunaan teknologi, nampak terdapat dua kelompok peserta. Pertama, peserta yang merupakan guru generasi muda yang lebih melek menggunakan software yang dilatihkan dalam pelatihan mengembangkan materi ajar dan pengemasannya melalui Blendspace. Kelompok kedua adalah mereka yang sudah senior dari segi usia yang mengalami banyak kesulitan dalam latihan penggunaan teknologi edukatif tersebut karena kurang mahir dengan teknologi. Akhirnya narasumber memilih software yang paling sederhana di antara yang direncanakan dilatihkan sehingga kelompok yang kedua ini bisa dengan mudah mengikuti pelatihan. Secara umum dari segi keterampilan membuat dokumen terkait pengelolaan laboratorium, para peserta selama pelatihan bisa membuat beberapa borang dengan cukup baik. Akan tetapi, dapat disimpulkan ada semacam kultur dari sebagaian besar peserta, yakni kecenderungan untuk membuat dokumen berdasarkan apa yang sudah ada atau yang dicontohkan. Sedikit di antara mereka yang mampu mengembangkan borang atas inisiatif mereka padahal dalam instrumen supervisi untuk kepala lab sudah secara jelas disebutkan indikator-indiator pengelolaan yang akan dinilai oleh pengawas. Program-program dan fasilitas lab bahasa masing-masing sekolah bisa berbeda satu dengan yang lainnya sehingga 28
seyogyanya, administrasi beserta borang-borangnya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini juga menuntut kemampuan pengelola lab untuk bisa mengembangkat perangkat pengelolaannya sendiri sesuai kebutuhan. Dari segi keterampilan mengembangkan materi ajar, sebagian besar peserta sudah mampu membuat materi bahasa Inggris sederhana, mulai dari membuat kuis True/False, kuis pilihan ganda, kuis menjodohkan, kuis mengisi titik-titik (Fill in the Blanks), membuat materi video dengan Camtasia. Mereka juga sebagaian besar sudah mampu membuat materi beragam dari segi keterampilan berbahasa, seperti sudah mampu membuat materi untuk keterampilan membaca, keterampilan mendengarkan, dan keterampilan menulis dengan tuntunan (sederhana). Satu hal yang menarik adalah pada hari kedua pelatihan, beberapa peserta menyampaikan aspirasinya agar diberikan kesempatan melihat demonstrasi penggunaan lab bahasa ULB Undiksha untuk pembelajaran mendengarkan. Mereka akhirnya diberikan kesempatan menyaksikan demonstrasi penggunaan lab bahasa secara lebih dekat. Bahkan beberapa dari peserta, terutama mereka yang belum memiliki lab bahasa definitif, diberikan kesempatan praktek mengoperasikan console guru untuk merasakan secara langsung nuansa pengajaran di lab bahasa. Dari segi tingkat kehadiran peserta, dalam setiap hari pelaksanaan kegiatan seluruh peserta yang diundang selalu hadir, walaupun pada siang hari ada dua guru di hari kedua yang meminta izin selama satu jam karena harus menghadap kepala sekolahnya. Kedisiplinan guru ini merupakan tanda keseriusan peserta dalam mengikuti pelatihan, terutama jika melihat bahwa banyak peserta berasal dari sekolah yang jauh letaknya dari kota Singaraja, seperti dari Sawan dan Seririt. Menjelang akhir pelatihan di hari pertama dan kedua, beberapa guru bahasa Inggris senior, seperti dari SMKN 1 Singaraja, SMKN 2 Singaraja, dan SMKN 3 Singaraja mengungkapkan pandangan mereka bahwa pelatihan pengelolaan lab bahasa yang diberikan mampu memberikan wawasan kepada mereka terhadapa upaya pengelolaan yang sistematis dan lengkap. Mereka berpendapat bahwa pelatihan ini akan mampu menjadi tuntunan bagi mereka untuk mengembangkan perangkat dan pengelolaan lab secara lebih lengkap dan komprehensif di sekolah mereka, yang menurut mereka masih jauh dari standar-standar yang dilatihkan selama pelatihan. Beberapa guru-guru dari sekolah yang belum memiliki lab definitif juga mengharapkan agar mereka dilatih membuat materi-materi ajar yang mereka bisa gunakan untuk memperkaya lab mereka nantinya. Hal ini tentu saja sesuai tujuan 29
pelatihan yang kedua, yakni melatihkan keterampilan TIK melalui penggunaan beberapa software edukatif untuk membuat materi ajar bahasa Inggris multimodal yang menarik.
4.2.2 Respon Peserta Berdasarkan Kuesioner Hasil analisis kuesioner dari 16 peserta menunjukkan bahwa hampir seluruh peserta (90%) berpendapat bahwa pelatihan ini mampu meningkatkan wawasan/keterampilan mereka dalam mengelola lab bahasa, sementara 100% merasa bahwa pelatihan ini mampu meningkatkan wawasan/keterampilan mereka mengembangkan materi ajar bahasa Inggris. Walaupun 90% menyatakan pelatihan ini mampu meningkatkan wawasan/keterampilan pengelolaan lab peserta, 10% lainnya masih ragu-ragu akan dampak pelatihan dalam meningkatkan kemampuan/wawasan mereka terkait pengelolaan lab. Hal ini demikian karena ada 5 aspek pengelolaan yang komprehensif yang harus mereka lakukan, di mana tiap aspek masih terdiri atas beberapa sub-aspek lagi. Mungkin saja, respon ini berasal dari mereka yang belum memiliki lab bahasa sehingga di mata mereka, pengelolaan masih bersifat abstrak. Sementara itu, seluruh
peserta merasa wawasan/keterampilan mengembangkan
materi dengan TIK mereka meningkat disebabkan karena narasumber memang sengaja memilih software-software yang mudah digunakan bagi mereka yang belum mahir dengan teknologi, mengingat bervariasinya keterampilan TIK peserta, terutama antara yang muda dan tua. 100% peserta menyatakan bahwa pelatihan ini memiliki manfaat praktis bagi mereka. 90% menyatakan bahwa materi yang disajikan up-to-date, 95% menyatakan materi disajikan menarik. Hampir 90% peserta berpendapat pelatihan disajikan secara bervariasi dan jelas. Selanjutnya, 93% setuju pelatihan sudah menyasar sebagian besar peserta, dan 90% menyatakan narasumber mampu memberikan feedback yang jelas. Data ini sejalan dengan antusiasme peserta yang mereka telah tunjukkan dengan selalu hadir dalam pelatihan dan aktif berpartisipasi dalam diskusi selama pelatihan. Hampir seluruh peserta mengungkapkan bahwa fasilitas selama pelatihan memadai, baik dari segi alat bantu TIK, konsumsi, dan kapasitas ruangan. Terutama terkait kapasitas ruangan, tanggapan verbal guru selama pelatihan sangat positif terutama setelah mereka menyaksikan demonstrasi penggunaan lab dan praktek menggunakan lab secara langsung. 90% peserta menyatakan telah merasa yakin mengalami peningkatan kompetensi sesuai tujuan pelatihan. Bahkan, 100% peserta sepakat ada tindak lanjut kegiatan pelatihan ini di masa mendatang. Pendapat terakhir para peserta merefleksikan fenomena sebelum pelatihan, yakni banyak guru yang ingin mendapatkan pelatihan serupa karena, pertama, 30
pelatihan ini mempunyai manfaat praktis bagi tugas mereka sebagai guru bahasa Inggris di sekolah, dan kedua, karena sudah lama para guru-guru dalam MGMP bahasa Inggris SMK Buleleng tidak menyelenggarakan pelatihan sejenis untuk me-recharge wawasan mereka, sebagaimana dituturkan memang oleh wakil ketua MGMP tersebut.
4.2.3 Peningkatan Keterampilan Peserta Unjuk kerja terkait pelatihan untuk melihat sejauh mana kegiatan ini mampu meningkatkan kompetensi peserta dalam merencanakan pengelolaan lab bahasa di sekolah mereka masing-masing, mengembangkan materi ajar dengan menggunakan softwaresoftware yang dilatihkan, serta pengemasan materi ajar yang dihasilkan dalam platform Blendspace. Seluruh peserta baik sebagai tim maupun individu dari 6 sekolah yang berpartisipasi dalam pelatihan mengumpulkan tagihannya melalui e-mail panitia. Secara umum, dari segi dokumen pengelolaan lab yang dihasilkan, hampir semua tim sudah mampu (terkategori baik) membuat perencanaan pengembangan lab bahasa sesuai konteks sekolah masing-masing. Akan tetapi, beberapa tim, terutama dari sekolah yang belum memiliki lab definitif masih mengalami kesulitan mengelaborasi aspek analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, dan threat) dalam dokumen perencanaan. Kelihatan mereka masih berpaku pada contoh yang diberikan narasumber. Aspek strategi pelaksanaan kegiatan perencanaan masih belum jelas, walaupun kegiatan utamanya sudah disebutkan, misalnya pembelian headset untuk melengkapi perangkat komputer yang mereka sudah miliki. Kebanyakan hanya menyebutkan „procurement‟, tetapi tidak merinci bagaimana tahaptahapannya, misalnya dengan mengobservasi harga dari beberapa pembeli terlebih dahulu, dan seterusnya. Di samping itu, kurang ditekankannya nuansa bahwa apa yang mereka rencanakan merupakan prioritas yang harus dipenuhi pelaksanaannya. Dari aspek pengembangan materi dengan menggunakan software dan pengemasannya melalui Blendspace, hampir seluruh peserta secara individu sudah mampu menghasilkan materi yang cukup baik. Akan tetapi sesuai dengan hasil observasi pelaksanaan, tampak bahwa peserta generasi muda lebih mampu menghasilkan materi ajar yang lebih menarik dan cocok untuk dipegunakan pada level SMK. Sementara itu, guru-guru yang sudah tergolong tidak muda lagi cenderung membuat materi yang masih sederhana dan kurang menarik (tidak disertai gambar berwarna, kualitas audio kurang bagus untuk materi mendengarkan karena kurangnya kemampuan editing audio). Ada beberapa kasus di mana peserta tidak bisa menyimpan file dengan nama yang benar.
31
Terakhir, dari segi pengemasan, karena dikerjakan secara kolaboratif, seluruh peserta mampu mengemas materi-materi yang diciptakannya dengan baik. Namun, karena materi dikerjakan lebih dari satu guru, kadang-kadang ada ketidaksesuain antara materi yang dibuat satu guru dengan yang lainnya pada suatu sekolah. Beberapa materi kadang-kadang belum secara baik dan menarik di-upload ke dalam Blendspace.
4.2.4 Dampak Ikutan Berdasarkan hasil observasi, terdapat beberapa dampak ikutan yang menarik diungkapkan dalam laporan ini. Pertama, terbangun budaya sharing antara satu peserta dari sebuah sekolah dengan peserta lain dari sekolah lainnya. Misalnya seorang guru dari SMKN 1 Singaraja dengan penuh inisiatif berdiskusi dengan seorang guru lain dari SMKN 1 Sawan tentang pembuatan materi ajar dengan Wondershare QuizCreator untuk digunakan di pembelajaran yang dikelolanya sebagai bahan penelitian. Melalui telepon, terungkap juga bahwa beberapa guru di sekolah-sekolah di sekitar Kota Singaraja, seperti SMKN 1, SMKN 2, dan SMKN 3, bersemangat memperbaiki dan mengembangkan dokumen pengelolaan lab bahasa mereka sesuai dengan apa yang sudah dilatihkan narasumber. Di samping untuk mengorganisasi kegiatan lab yang lebih baik, semangat mereka juga dibangkitkan oleh keinginan mereka untuk segera dievaluasi oleh pengawas Dinas Pendidikan. Demikian karena jika telah dievaluasi, maka mereka akan mendapatkan sejumlah kredit yang mereka bisa gunakan untuk tujuan memenuhi syarat minimal jumlah jam sesuai dengan tuntutan sertifikasi guru. Selanjutnya, seorang guru di SMKN 1 Kubutambahan merasa tertantang untuk mengembangkan pembelajaran bahasa berbasis Moodle. Guru muda ini mengupayakan membuat materi berbasis Moodle walaupun tidak semua siswa di sana memiliki komputer atau HP/tablet. Sementara itu para peserta dari sekolah yang belum memiliki lab bahasa, tetapi berpotensi memilikinya karena sekolahnya sudah dilengkapi lab komputer, antusias membuat dokumen pengelolaan lab bahasa. Ternyata, berdasarkan observasi, alasan mendasarnya adalah adanya sebuah syarat bahwa mereka akan diakui statusnya sebagai kepala lab bersama angka kredit yang melekat di dalamnya jika mereka sudah memiliki lab bahasa dan sudah secara lengkap memiliki dokumen-dokumen terkait dengan pengelolaan lab bahasa mereka. Hal ini salah satunya terjadi di SMKN 1 Singaraja dan SMKN 2 Singaraja.
32
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan Kesimpulan utama pelatihan ini adalah sebagai besar peserta antusias dengan kegiatan pelatihan ini, baik dilihat dari partisipasi dan keaktifannya selama pelatihan berlangsung. Secara umum para peserta merespon positif kegiatan pelatihan ini sebagaimana ditunjukkan oleh kuesioner. Bahkan hampir seluruh peserta setuju bahwa pelatihan ini sebaiknya dilaksanan lagi di masa mendatang. Secara umum keterampilan peserta dalam membuat dokumen pengelolaan lab sudah cukup baik. Sementara itu produk membuat materi ajar dengan software sudah berhasil dilakukan seluruh peserta. Dari segi pengemasan, para guru sudah mulai terbiasa. 4.2 Saran Melihat antusiasme peserta, hal-hal yang bisa disarankan adalah: 1. Melanjutkan pelatihan ini di masa depan. 2. Karena adanya beberapa guru SMK yang memiliki teman di luar kabupaten yang menyuarakan perlunya mereka mendapatkan pelatihan serupa seperti rekan mereka di Singaraja, maka tahun depan kemungkinan proposal ini dilanjutkan dengan menyasar guru-guru SMA/SMK di luar kabupaten seperti Karangasem, Tabanan dan Bangli.
33
Daftar Pustaka Alexander, C. 2009. Language Labs: An Overview of the Trends. Teaching English with Technology. (Online), tersedia di http://www.tewtjournal.org. Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah Peovinsi Bali. 2008. Hasil Akreditasi. (Online), tersedia di www.ban-sm.or.id/provinsi/bali/akreditasi. Barge, M. 2009. Teaching Teachnique for Multimedia Language Labs Final Report. Queen Mary: The Language Centre, Queen Mary, University of London. Benson, P. 2006. Autonomy in Language Teaching and Learning. Language Teaching, 40: 21-40. Benson, P. 2001. Teaching and Researching Autonomy in Language Learning. Essex: Longman. Brenes, C.A.N. 2006. The Language Laboratory and the EFL Course. Revista Electrónica Actualidades Investigativas en Educación, 6 (2), 1-25. Confessore, G.J. & Park, E. 2004. Factor Validation of the Learner Autonomy Profile, Version 3.0 and Extraction of the Short Form. International Journal of Self-Directed Learning, 1 (1): 39-58. Dafei, D. 2007. An Exploration of the Relationship between Learner Autonomy and English Proficiency. In Robertson, P. & Nunn, R. (Eds.), Asian EFL Journal: Teaching Articles
2007
(pp.
1-23).
Busan:
Asian
EFL Journal
Press.
(Online),
(http://www.asian-efl-journal.com), retrieved May 6, 2011. Davies, G., Bangs, P., Frisby, R. & Walton, E. (2005). Setting up Effective Digital Language Laboratories and Multimedia ICT Suites for MFL. (Online), tersedia di Languages ICT Website http//:www.languages-ict.org.uk/. Dudeney, G. & Hockly, N. 2007. How to Teach English with Technology. Essex: Pearson Education. Garcia, N. & Wolff, L. 2001. The Lowly Language Lab: Going Digital. TechKnowLogia, November/December
Edition,
20-21.
(Online),
tersedia
di
htpp//:www.TechKnowLogia.org. Hashemian, M. & Soureshjani, K.H. 2011. The Interrelationship of Autonomy, Motivation, and Academic Performance of Persian L2 Learners in Distance Education Contexts. Theory and Practice in Language Studies, 1 (4): 319-326. Holec, H. 1981. Autonomy and Foreign Language Learning. Oxford: Pergamon. Langelaar, D. 2009. The Role of the Teacher-Librarian in Promoting Digital Literacy. A clapping paper. Alberta: University of Alberta. 34
Lowe, C. 2009. A Correlational Study of the Relationship between Learner Autonomy and Academic Performance. Doctoral dissertation. MI: Proquest LCC, (Online), (http://gradworks.umi.com/3338791.pdf), retrieved August 10, 2011. moodle.org (Situs resmi perusahaan Moodle). Ng, S.F., Confessore, G.J., Yusoff, Z., Aziz, N.A.A., & Lajis, N.M. 2011. Learner Autonomy and Academic Performance among Undergraduate Students. International Journal of Social Sciences and Education, 1 (4): 669-679. Putra, I N. A. J. 2011. Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Inggris melalui Sinergisme Guru Bahasa, Profesionalisme, dan Pembelajaran Berbasiskan TIK. Orasi Pengenalan Jabatan Guru Besar Prof. Dr. I Nyoman Adi Jaya Putra, M.A. Singaraja: Undiksha. Resnick, M. 2002. Rethinking Learning at the Digital Age. In Kirkman, G.S., Cornelius, P.K., Sachs, J.D., & Schwab, K. (Eds.), The Global Information Technology Report: Readiness for the Networked World (pp. 32-37). Oxford: Oxford University Press. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Walter, E., Cranz, D., Glennon, D., Bednarczyk-Krajewska, D., Nicholls, D., Rumble, C., & Allan, M. 2008. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (Electronic Version). Cambridge: Cambridge University Press. Myartawan, I P.N.W., Latief, M.A, Suharmanto. 2013. The Correlation between Learner Autonomy and English Proficiency of Indonesian College EFL Learners. TEFLIN Journal, 24 (1).
35
LAMPIRAN-LAMPIRAN FOTO-FOTO SELAMA KEGIATAN
Foto 1: Pemaparan tentang Administrasi Pengelolaan Laboratorium Bahasa
Foto 2: Pemaparan tentang Lab Digital
36
Foto 3: Workshop Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis internet
Foto 4: Diskusi tentang pembelajaran e-learning
37