ILMU KOMUNIKASI
LAPORAN HASIL AKHIR PENELITIAN DIPA TAHUN 2016
POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL MANAJER MK DALAM MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI PENYANDANG ODHA DI RUMAH SAKIT UMUM Dr. SOETOMO SURABAYA
TIM PENELITI OLEH : KETUA : YENNY, S.Sos, M.Si ( NIDN : 0722037001) ANGGOTA : IWAN JOKO PRASETYO, S.Sos, M.Si (NIDN : 0727087001)
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS Dr. SOETOMO SURABAYA 2017
HALAMAN PENGESAHAN ------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Judul Penelitian: POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL MANAJER MK DALAM MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI PENYANDANG ODHA DI RUMAH SAKIT UMUM Dr. SOETOMO SURABAYA ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1.
Ketua Peneliti a. Nama lengkap dengan gelar b. Pangkat/Gol/NIP c. Jabatan Fungsional/Struktural d. Pengalaman penelitian e. Program Studi/Jurusan f. Fakultas g. Alamat Rumah/HP i. E-mail
3. Jumlah Tim Peneliti
: Yenny, S.Sos, M.Si : Penata Muda Tingkat I / III-b / 94011159 : Asisten Ahli : (terlampir dalam CV) : Ilmu Komunikasi : Ilmu Komunikasi : : ---------------------------------------------------: 1 orang
--------------------------------------------------------------------------------------------------a. Nama lengkap dengan gelar : Iwan Joko Prasetyo, MSi b. Pangkat/Gol/NIP : Penata / III-c / 05011350 c. Jabatan Fungsional / Struktural : Ketua Program Studi --------------------------------------------------------------------------------------------------5. Lokasi Penelitian
: Surabaya
--------------------------------------------------------------------------------------------------6. Kerjasama (kalau ada)
a. Nama Instansi :b. Alamat :--------------------------------------------------------------------------------------------------7. Jangka waktu penelitian
: 12 bulan
--------------------------------------------------------------------------------------------------8. Biaya Penelitian
: Rp. 3.000.000 (Tiga juta rupiah)
a. DIPA Penelitian Unitomo b. Sumber lain, sebutkan ......
: Rp. 3.000.000,: Rp. .............................................. Surabaya, Juni 2017
Mengetahui Dekan Fakultas / Ka.Puslit / Ka. Puska
Ketua Peneliti
(Dr. Drs. Redi Panuju, MSi) NPP:
(Yenny, S.Sos,MSi) NPP:
Mengetahui Ketua Lembaga Penelitian Universitas Dr.Soetomo
Dr. Sri Utami Ady, SE, MM. NPP.
ABSTRAKSI
Perlakuan masyarakat kepada orang yang menyandang ODHA sangat diskrimatif. Bahkan mereka di marginalkan dalam pergaulan masyarkat. Kenyataan ini sangat tidak mendukung untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka unutk tetap bertahan hidup. Upaya untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka perlu kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh para relawan yang etrgabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya). Komunikasi interpersonal antara MK (Kelompok Dukungan Sebaya) sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan rasa percaya diri para penyandang ODHA. Persoalan pendampingan pasien ODHA yang dilakukan oleh MK akan dikaji dengan teori-teori yang ada dalam komunikasi interpersonal. Teori yang mendasari adalah teori komunikasi interpersonal dan teori pengungkapan diri (Self Disclosure). Teori-teori ini sangat membantu dan mendasari dalam membahas berbagai macam permasalahan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode “deskriptif kualitati” yaitu penelitian yang menggambarkan dan menjelaskan berbagai kondisi dan situasi yang menjadi objek penelitian. Unit analisanya adalah : komunikasi verval dan nonverbal, keterbukaan (keterbukaan membuka diri), empati (menempatkan pada posisi atau perasaan orang lain), dukungan (memotivasi dan memberi dukungan). Dari hasil wawancara dan observasi menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan melalui bahasa informal (campuran) dan menggunakan gerakan tubuh. Empati selalu ditunjukkan oleh para MK dengan berbagai macam cara sehingga di dalam berkomunikasi ada keterbukaan untuk saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Ini juga dilandasi oleh rasa percaya para penyandang ODHA bahwa para MK akan tetap menjaga kerahasiaan pribadi mereka di masyarakat. Kata kunci : Komunikasi interpersonal, Manajer Kasus, Percaya diri
DAFTAR ISI Hal BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN ………………………………….
1
1.1. Latar Belakang Masalah ………………………...
1
1.2. Rumusan Permasalahan …………………………
4
1.3. Tujuan Penelitian ………………………………..
5
1.4. Kerangka Teori……………………………………
6
1.5. Hipotesa Penelitian ………………………………
21
METODE PENELITIAN ……………………………
22
2.1. Kerangka Konsep….. …………………………….
22
2.2. Kerangka Operasional..…………………………….
22
2.3. Tipe Penelitian...…………………………………...
23
2.4. Populasi dan Sampel……………………………….
24
2.6. Teknik Pengumpulan Data…………………………
28
2.7. Uji Statistik…………….…………………………..
30
ANALISA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIA
33
3.1. Karakteristik Responden…………………………..
33
3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas………………………
39
3.3. Analisa Statistik……………………………………
45
3.4. Pengujian Hipotesis………………………………..
53
3.5. Pembahasan Hasil Uji Statistik…………………….
55
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………..
59
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai makhluk social, manusia tidak terlepas dari komunikasi, tidak peduli bagaimanapun keadaan manusia tersebut, baik secara verbal maupun non verbal. Dengan komunikasi manusia mampu berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Tidak sedikit manusia yang mengalami hambatan saat melakukan komunikasi, apalagi manusia tersebut mempunyai kekurangan, baik kekurangan fisik maupun kekurangan secara materi Begitu pula dengan para penderita HIV/AIDS yang umumnya disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), mereka juga manusia dan mereka masih butuh berkomunikasi. ODHA sama dengan manusia-manusia lainnya yang sehat, dan yang membedakan hanyalah didalam tubuh mereka bersarang suatu penyakit menular yang disebabkan oleh suatu virus, yang disetujui secara internasional sebagai HIV (Human Immunodeficiecy Virus) dan hingga saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan AIDS. Sedangkan obat yang ada saat ini hanya sebagai obat untuk memperpanjang hidup dan untuk menjaga kondisi tubuh ODHA. Sehingga ODHA tinggal menunggu ajal menjemput. Namun pada hakekatnya sebagai makhluk sosial, ODHA masih membutuhkan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Namun permasalahan muncul ketika penyakit yang diidap para ODHA menjadi penghalang bagi terlaksananya proses komunikasi dan interaksi bagi ODHA dengan orang lain. Banyak faktor yang menyebabkan orang lain menjaga jarak, dalam arti tiedak bisa atau tidak mau berinteraksi ataupunn berkomunikasi
dengan ODHA, karena mereka takut tertular HIV/AIDS. Faktor tersebut antara lain adanya prasangka dan stereotype didalam masyarakat karena kurangnya informasi yang lengkap dan mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat bahwa sebenarnya HIV/AIDS tidak menular hanya dengan bersentuhan secara fisik seperti berjabat tangan, berpelukan, ataupun melalui gigitan nyamuk dan keringat. Masyarakat yang dapat informasi dari sumber yang validitasnya tidak jelas dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai HIV/AIDS. Akhirnya HIV/AIDS menjadi sebuah mitos bernuansa negatif (Murni 2007, p.18 -19). Akbiat kesalahpahaman tersebut menyebabkan reaksi yang berlebihan dari masyarakat dengan melakukan seikap dan tindakan diskriminatif terhadap ODHA bila mengetahui seorang menderita AIDS di lingkungannya. Reaksi-reaksi keras mulai muncul dengan dilator belakangi rasa takut yang berlebihan mengingat AIDS tidak dapat diobati dan masyarakat mulai menyadari bahaya HIV/AIDS. Reaksi mereka diwujudkan dalam sikap dan tindakan yang menyudutkan ODHA. Sikap negative yang diterima ODHA juga terjadi karena berkembangnya mitos bahwa HIV/AIDS dapat menular hanya dengan berdekatan dengan ODHA. Ada juga mitos yang menyebutkan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit kutukan dari Tuhan kepada orang-orang yang telah berbuat maksiat dan melanggar kodraat. Masyarakat kadang-kadang juga menjauhkan diri dari keluarga seorang ODHA. Pengucilan dan pengusiran ODHA merupakan reaksi masyarakat yang pengetahuannya terbatas tentang HIV/AIDS. Diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam. Masih banyak pasien-pasien HIV/AIDS yang terkena stigma dan diskriminasi di ruang perawatan rumah sakit oleh para petugas kesehatan di Rumah Sakit. Ada juga
petugas kesehatan yang menolak merawat ODHA dengan alasan takut tertular atau khawatir pasien lain ketakutan. Realitas ini sangat disayangkan mengingat tugas kesehatan adalah pihak yang sudah mengetahui seluk beluk HIV/AIDS namun masih melakukan tindakan diskriminasi seperti pemakaian pakaian yang serba tertutup ketika melakukan pemeriksaan terhadap pasien HIV/AIDS (Isroliyah 2005, p.121). Bisa jadi sikap masyarakat seperti ini pada awalnya merupakan resistor yang efektif untuk menahan laju epidemi ini. Tetapi sikap paranoid ini kemudian tidak diimbangi dengan pemahaman secara benar dan mendudukan masalahnya secara proporsional tentang HIV/AIDS yang sebenarnya. Akibatnya, karena sebatas perasaan takut dan menghindarinya tanpa diikuti secara benar untuk mengetahui dan memahaminya, tanpa menimbang keberadaan orang sudah terkena HIV positif maka berikutnya muncul stigma terhadap orang yang terinfeksi HIV, (ODHA = orang dengan HIV AIDS). Opini masyarakat yang telah terlanjur membenarkan bahwa HIV/AIDS adalah penyakit karena hubungan seksual yang tidak normatif (homoseks, lesbian dan free sex) menempatkan masyarakat berada dalam kemadekan naluri kritisnya. Padahal penularan HIV /AIDS tidak lagi sesederhana seperti pada awalnya kasus ini muncul. Kini saatnya untuk memulai penalaran yang lebih komprehensif, dikarenakan penularan virus HIV itu sendiri sekarang sudah sedemikian masuk ke dalam berbagai sendi kehidupan yang sebelumnya belum secara luas dipahami oleh masyarakat. Seharusnya lebih disosialisasikan bahwa siapapun dapat tertular, HIV/AIDS juga sama dengan ancaman penyakit virus lainnya dan secara bijak menempatkan penderita HIV/AIDS dalam posisi yang sama seperti penderita
penyakit lainnya. Dan yang tidak kalah pentingnya harus selalu di tekankan bahwa kita harus menghindari, memerangi virusnya bukan orangnya. Dengan kondisi demikian penderita HIV/AIDS tidak hanya membutuhkan perawatan medis tetapi juga perawatan untuk kesehatan psikologisnya. Upayaupaya ke arah tersebut dilakukan, salah satunya, dengan diadakannya sesi konseling di Rumah Sakit. Melalui kegiatan konseling pasien penderita HIV/AIDS dapat “menumpahkan” segala beban psikologisnya dan sharing dengan konselor yang diinginkan kapanpun pasien menghendaki. Konselor dapat memberikan umpan balik berupa nasehat, saran, maupun dukungan untuk menyemangati pasien. Untuk memperoleh kesehatan psikologis atau emosional harus di pupuk perasaan-perasaan positif, mentralisir perasaan negatif, dan mumupuk hubungan yang hangat dengan orang-orang sekitar melalui komunikasi. Komunikasi interpsersonal selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan komunikasi tatap muka menjadi sangat penting dalam hubungan perawat – pasien penderita HIV/AIDS dalam proses perawatan di UPIPI. Melalui komunikasi tatap muka perawat dapat menginformasikan cara-cara merawat kesehatan kepada pasien HIV/AIDS, memberi semangat hidup, mengubah sikap dan keyakinan, mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan, dan dapat menghibur mereka untuk mencapai tujuan bersama yaitu kualitas hidup dan kesehatan pasien yang lebih baik. Stigma berhubungan dengan kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat. Pada
puncaknya,
stigma
akan
menciptakan,
dan
ini
didukung
oleh,
ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur masyarakat dan norma-norma serta nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ini
menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan merasa malu, sedangkan kelompok lainnya merasa superior. Diskriminasi terjadi ketika pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS; atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka; atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV dan AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM. Stigma dan diskriminasi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologis berat tentang bagaimana orang yang hidup dengan HIV dan AIDS melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktik seksual tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya, orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dilihat sebagai masalah, bukan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi masalah ini. Hingga saat ini sikap dan pandangan masyarakat terhadap ORANG YANGHIDUP DENGAN HIV dan AIDS sangat buruk sehingga melahirkan
permasalahan serta tindakan yang melukai fisik maupun mental bagi orang yang hidup dengan HIV dan AIDS bahkan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Sesungguhnya hak orang yang hidup dengan HIV dan AIDS sama seperti manusia lain, tetapi karena ketakutan dan kekurangpahaman masyarakat, hak orang yang hidup dengan HIV dan AIDS sering dilanggar. Menurut hasil penelitian dokumentasi pelanggaran HAM Yayasan Spiritia, 30% responden menyatakan pernah mengalami berbagai diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan dalam keluarga. Hak asasi manusia itu di antaranya adalah memiliki dan mendapatkan privasi, kemerdekaan, keamanan serta kebebasan berpindah, bebas dari kekejaman, penghinaan (tindakan menurunkan martabat atau pengucilan), bekerja (termasuk terbukanya kesempatan yang sama), mendapatkan pendidikan serta menjalin mitra jaringan, keamanan sosial dan pelayanan, kesetaraan perlindungan dalam hukum, menikah dan berkeluarga, endapatkan perawatan, dan masih banyak lagi. Selain hak, orang yang hidup dengan HIV dan AIDS juga mempunyai kewajiban seperti menjaga kesehatan, tidak menularkan ke orang lain, mencari informasi dan lain-lain. Perbedaan antara orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dan orang yang tidak terinfeksi adalah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS memiliki virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuhnya. Selain itu secara sepintas kita tidak dapat membedakan antara seseorang yang memiliki status HIV positif dengan orang yang tidak terinfeksi. Status HIV positif seseorang hanya bisa dibuktikan dengan tes darah dan itu pun dilakukan dengan VCT (Voluntary Counseling and Testing), yaitu tes secara sukarela. Selain itu kita hanya bisa tahu jika orang yang
hidup dengan HIV dan AIDS membuka status HIV positif-nya kepada kita dan kita mempunyai kewajiban untuk menjaga konfidensialitas (kerahasiaan) orang yang hidup dengan HIV dan AIDS tersebut. Stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV dan AIDS disebabkan karena kurangnya informasi yang benar tentang cara penularan HIV, adanya ketakutan terhadap HIV dan AIDS, dan fakta AIDS sebagai penyakit mematikan. Perawat juga dapat menyampaikan perasaan peduli, sayang, simpati, prihatin, maupun empatinya kepada pasien HIV/AIDS lewat kata-kata maupun melalui perilaku non verbal. Di UPIPI Rumah Sakit Dr. Soetomo, penderita HIV/ AIDS yang telah memutuskan untuk menjalani perawatan di unit tersebut akan menjalani serangkaian
perawatan
secara
paripurna,
professional,
terpadu,
dan
berkesinambungan. Yang dimaksud paripurna adalah memberikan pelayanan perawatan penderita HIV/AIDS secara menyeluruh, bukan hanya dari segi medis maupun juga disertai dengan konseling dan dukungan psikologis. Professional, didalam penatalaksanaan penyakit melibatkan para tenaga medis dari berbagai spesialisasi. Yang dimaksud terpadu adalah dalam pelaksanaan perawatan penderita melibatkan tenaga medis, para medis, dan berbagai tenaga lain dari unsure pemerintah dipadukan dengan LSM. Berkesinambungan artinya didalam operasional perawatan penderita dilakukan secara terus menerus baik di Rumah Sakit, Rumah singgah maupun di rumah masing-masing. Berawal dari hubungan perawat dan pasien di rumah sakit dan adanya kontroversi menanggapi fenomena ODHA dimasyarakat inilah timbul keinginan
peneliti untuk mengetahui bagaimana komunikasi tatap muka antara perawat dan pasien penderita HIV/AIDS di rumah sakit. Rumah sakit yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian oleh peneliti adalah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Rumah Sakit tersebut dipilih karena RSUD Dr. Soetomo merupakan rumah sakit terbesar di Jawa Timur dan satu-satunya rumah sakit di Jawa Timur yang mempunyai sarana perawatan bagi penderita HIV/AIDS dan juga sebuah tim yang menangani HIV/AIDS, yang diberi nama Tim Medik HIV/AIDS, sehingga menjadi rujukan bagi penderita HIV/AIDS guna menjalani berbagai jenis perawatan konseling di pusat perawatan HIV/AIDS yang bernama Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi (UPIPI) RSUD Dr. Soetomo. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan yang ingin diteliti adalah sebagai berikut: “Bagaimana Pola Komunikasi Interpersonal Konselor Dalam Kepercayaan Diri Penyandang Odha
Meningkatkan
Di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
Surabaya?” I.3. Tujuan Penelitian Terkait dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, berikut akan diuraikan tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui Pola Komunikasi Interpersonal Konselor Dalam Meningkatkan Kepercayaan Diri Penyandang Odha Di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Interpersonal Yang dimaksud
dengan
komunikasi
interpersonal
adalah
proses
komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka (Cangara, 2004:31). Komunikasi berlangsung secara diadik (secara dua arah/timbale balik) yang dapat dulakukan dalam tiga bentuk, yakni percakapan, dialog dan wawancara. Percakapan berlangsung dalam suasana yang bersahabat dan informal. Komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena dapat menggunakan kelima alat indra untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting sehingga kapan pun, selama manusia masih memiliki emosi. Adapun
fungsi
dari
komunikasi
antarpribadi
adalah
berusaha
meningkatkan hubungan insani (human relation), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2004:33). Komunikasi antarpribadi dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Dalam hidup bermasyarakat seseorang bisa memperoleh kemudahaan dalam hidupnya karena memiliki banyak sahabat. Melalui komunikasi antarpribadi, seseorang juga dapat berusaha membina hubungan yang baik, sehingga menghindari dan mengatasi terjadinya konflik dengan orang lain.
Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh De Vito (dalam Aloliliweri 1997:12) bahwa komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Menurut Everet M.Rogers ada beberapa cirri komunikasi yang menggunakan saluran komunikasi antarpribadi (Liliweri, 1997:13) : - Arus pesan yang cenderung dua arah - Konteks komunikasinya dua arah - Tingkat umpan balik yang terjadi tinggi - Kemampuan mengatasi tingkat selektivitas yang tinggi - Kecepatan jangkauan terhadap audience yang besar relative lambat - Efek yang mungkin terjadi adalah perubahan sikap
Alo liliweri dalam bukunya Komunikasi Antarpribadi menyimp[uilkan cirri-ciri komunikasi antarpribadi (Liliweri, 1997:13) adalah : o Komunikasi antarpribadi biasanya terjadi secara spontan dan sambil lalu. o Komunikasi antarpribadi tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu, meskipun
bisa
saja
terjadi
komunikasi
antarpribadi
direncanakan. o Komunikasi antarpribadi terjadi secara kebetulan.
ysng
o Komunikasi
antarpribadi
sering
kali
berbalas-balasan.
Komunikator dengan komunikan dalam suatu percakapan memberi dan menerima informasi secara bergantian. o Komunikasi antarpribadi menghendaki paling sedikit melibatkan hubungan dua orang dengan suasana bebas, bervariasi dan adanya keterpengaruhan. Hanya dalam suasana bebas, terbuka tanpa ada hambatan psikologis antara dua orang yang terlibat dalam komunikasi antar pribadi bisa merasa bebas menyatakan pikiran, perasaan dan prilaku. o Komunikasi antarpribadi tidak dikatakan tidak sukses jika tidak membuahkan hasil. o Komunikasi
antarpribadi
menggunakan
lambing-lambang
bermakna. o Komunikasi antarpribadi tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu, meskipun
bisa
saja
terjadi
komunikasi
antarpribadi
ysng
direncanakan. o Komunikasi antarpribadi terjadi secara kebetulan. o Komunikasi
antarpribadi
sering
kali
berbalas-balasan.
Komunikator dengan komunikan dalam suatu percakapan memberi dan menerima informasi secara bergantian. o Komunikasi antarpribadi menghendaki paling sedikit melibatkan hubungan dua orang dengan suasana bebas, bervariasi dan adanya
keterpengaruhan. Hanya dalam suasana bebas, terbuka tanpa ada hambatan psikologis antara dua orang yang terlibat dalam komunikasi antar pribadi bisa merasa bebas menyatakan pikiran, perasaan dan prilaku. o Komunikasi antarpribadi tidak dikatakan tidak sukses jika tidak membuahkan hasil. o Komunikasi
antarpribadi
menggunakan
lambing-lambang
bermakna. Menurut Dean C. Barnlund (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal biasanya dihubungkan dengan pertemuan antar dua orang atau tiga orang atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat spontan dan tidak berstruktur. Ada juga definisi lain menurut Rogers dalam Depari (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Pendapat lain dari Tan (Liliweri, 1991:12), mengatakan bahwa interpersonal communication (komunikasi antar pribadi) adalah komunikasi tatap muka antar dua orang atau lebih. Sementara itu de Vito (Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. De Vito juga mengemukakan suatu komunikasi antar pribadi mengandung ciri-ciri; 1) keterbukaan atau opennes; 2) empati atau empathy; 3) dukungan atau support; 4) rasa positif atau positivenes; dan 5) kesamaan atau equality.
Setelah kita memahami pengertian komunikasi antarpribadi, dalam perjalanannya antara komunikasi antarpribadi kepada sebuah konsep diri sebaiknya kita memberikan sedikit pemaparan tentang ciri komunikasi antarpribadi yang efektif menurut de Vito: 1. Keterbukaan (Opennes) Sikap keterbukaan paling tidak menunjuk pada dua aspek dalam komunikasi antarpribadi. Pertama, kita harus terbuka pada orang lain yang berinteraksi dengan kita, yang penting adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang umum agar orang lain mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran kita, sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Kedua, dari keterbukaan menunjuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain secara jujur dan terus terang terhadap segala sesuatu yang dikatakannya. 2. Empati (Empathy) Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain. Dalam arti bahwa seseorang secara emosional ataupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. 3. Dukungan (Support) Setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.
4. Rasa Positif (positivnes) Jika setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, maka lebih mudah melanjutkan percakapan yang selanjutnya. Rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga atau berprasangka yang mengganggu jalinan interaksi. 5. Kesamaan (Equality) Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antarpribadi pun lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, kesamaan sikap, kesamaan usia, kesamaan idiologi dan sebagainya. Komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan yang dinamis. Dengan tetap memperhatikan kedinamisannya, komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Hardjana, 2003:86): 1. Komunikasi antarpribadi adalah verbal dan nonverbal Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal. Dalam komunikasi itu, seperti pada komunikasi umumnya, selalu mencakup dua unsur pokok: isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal. Untuk efektifnya, kedua unsur itu sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesannya. 2. Komunikasi antarpribadi mencakup perilaku tertentu Ada tiga perilaku dalam komunikasi antarpribadi, yakni:
a. Perilaku spontan (spontaneus behavior) adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif. Artinya, perilaku itu terjadi begitu saja. b. Perilaku menurut kebiasaan (script behavior) adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang. Misalnya: ucapan “selamat datang” pada teman yang datang. c. Perilaku sadar (contrived behavior) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan dirancang sebelumnya, dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi, dan situasi serta kondisi yang ada. 3. Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang berproses pengembangan Komunikasi antarpribadi berbeda-beda tergantung dari tingkat hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan cara pesan disampaikan. Komunikasi itu berkembang berawal dari saling pengenalan yang dangkal, berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling kenal yang amat mendalam, tetapi bisa juga putus sampai akhirnya saling melupakan. 4. Komunikasi antarpribadi mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi Kemungkinan umpan balik (feed back) dalam komunikasi antarpribadi besar sekali. Dalam komunikasi ini, penerima pesan dapat langsung menanggapi dengan menyampaikan umpan balik. Dengan demikian, di antara pengirim dan penerima pesan terjadi interaksi (interaction) yang satu mempengaruhi yang lain, dan kedua-duanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima dampak. Dari
sini terjadilah koherensi dalam komunikasi baik antara pesan yang disampaikan dan umpan balik yang diberikan, maupun dalam keseluruhan komunikasi. 5. Komunikasi antarpribadi berjalan menurut peraturan tertentu Agar berjalan baik, maka komunikasi antarpribadi hendaknya mengikuti peraturan (rules) tertentu. Peraturan itu ada yang intrinsik dan ada yang ekstrinsik. Peraturan intrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan peraturan ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat. 6. Komunikasi antarpribadi adalah kegiatan aktif Komunikasi antarpribadi bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada penerima pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima pesan. Komunikasi ini bukan sekedar serangkaian rangsangan-tanggapan, stimulus-respons, tetapi serangkaian proses saling penerimaan, penyerapan, dan penyampaian tanggapan yang sudah diolah oleh masing-masing pihak. 7. Komunikasi antarpribadi saling mengubah Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dapat saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama. Oleh sebab itu, komunikasi ini merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan kepribadian. Kemudian Hardjana (2003:91) juga menyatakan agar komunikasi antarpribadi berhasil, kita perlu memiliki kecakapan (skill) komunikasi
antarpribadi baik sosial maupun behavioral. Kecakapan sosial adalah kecakapan pada tingkat pemahaman (kognitif), yang meliputi: a. Empati (empathy), kecakapan untuk memahami pengertian dan perasaan orang lain tanpa meninggalkan sudut pandang sendiri tentang hal yang menjadi bahan komunikasi. b. Perspektif sosial (social perspective), kecakapan melihat kemungkinankemungkinan perilaku yang dapat diambil orang yang berkomunikasi dengan dirinya. Dengan demikian kita dapat meramalkan perilaku apa yang sebaiknya diambil dan dapat menyiapkan tanggapan kita yang tepat dan efektif. c. Kepekaan (sensitivity) terhadap peraturan atau standar yang berlaku dalam komunikasi antarpribadi. Dengan kepekaan itu kita dapat menetapkan perilaku mana yang diteima dan perilaku mana yang ditolak oleh rekan yang berkomunikasi dengan kita. d. Pengetahuan akan situasi pada waktu berkomunikasi. Pengetahuan akan situasi dan keadaan orang merupakan pegangan bagaimana kita harus berperilaku dalam situasi itu. Berdasarkan pengetahuan akan situasi, kita dapat menetapkan kapan dan bagaimana masuk dalam percakapan, menilai isi dan cara berkomunikasi pihak yang berkomunikasi dengan kita, dan selanjutnya mengolah pesan yang kita terima. e. Memonitor diri (self-monitoring), kecakapan memonitor diri membantu kita menjaga ketepatan perilaku dan jeli memperhatikan pengungkapan diri orang yang berkomunikasi dengan kita.
2.2. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure) Membuka diri adalah sebuah cara untuk memperoleh informasi tentang orang lain. Kita ingin agar kita mampu memprediksikan pemikiran dan tindakantindakan orang-orang yang sudah kita kenal. Membuka diri juga merupakan satu cara untuk mempelajari tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Sekali seseorang terikat di dalam keterbukaan diri, secara tidak langsung orang lain juga akan mengungkap informasi pribadinya. Hal ini disebut juga sebagai norma timbal balik, maksudnya kita bisa melihat adanya umpan balik dalam proses ini. Adanya saling keterbukaan dalam sebuah hubungan bisa mempererat kepercayaan dan membantu setiap orang untuk saling memahami. Kita juga bisa merasa bahwa hubungan dan diri kita menjadi lebih baik ketika orang lain mau menerima atau mendengarkan apa yang kita katakan pada mereka. Menurut Morton (Dayaksini, et al, 2003:87) pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang kita sukai atau hal-hal yang kita sukai atau kita benci. Pengungkapan ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang
berinteraksi dengan kita menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya, seperti pernyataan de Vito (Dayaksini, et al, 2003:88). Seperti yang dijelaskan dalam teori self-disclosure atau bisa diartikan sebagai teori keterbukaan diri, yang menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui ataupun tidak mengetahui tentang dirinya maupun orang lain. Teori ini dilihat sebagai suatu strategi yang sangat berguna untuk berbagi informasi dengan orang lain. Berbagi informasi dengan orang lain yang mungkin belum pernah dikenal atau ditemui, bisa beresiko dan menyebabkan kerapuhan hati bagi seseorang ketika sedang berbagi informasi. Johari window atau lebih lanjut disebut juga jendela Johari, nama ini berasal dari para penemunya, yakni Joseph Luft dan Harry Ingham. Teori ini adalah salah satu model yang paling berguna untuk menggambarkan proses interaksi antar manusia. Sebuah “jendela” berkaca empat yang membagi kewaspadaan pribadi ke dalam empat jenis yang berbeda, seperti yang diwakili oleh keempat kuadrannya; terbuka, buta, tersembunyi dan tidak dikenal. Garisgaris yang membagi keempat kuadran tersebut terlihat seperti bidang jendela, yang dapat bergeser ketika sebuah interaksi mengalami kemajuan (Rakhmat, 1997:108). Menurut Powell (Dayaksini, et al, 2003:89) terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam pengungkapan diri, yaitu:
1. Basa-basi, merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan di antara individu, tetapi tidak terjadi hubungan antarpribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan. 2. Membicarakan orang lain, yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal-hal yang di luar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri. 3. Menyatakan gagasan atau pendapat, pada tingkat ini sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain. 4. Perasaan, setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antarpribadi yang sungguh-sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan-perasaan yang mendalam. 5. Hubungan puncak, pada tingkat ini pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan antarpribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak. Selanjutnya
Derlega
dan
Grzelak
(Dayaksini,
et
mengungkapkan ada lima fungsi pengungkapan diri, yang meliputi:
al,
2003:90)
1. Ekspresi (expression) Dalam kehidupan ini terkadang kita mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan, baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua kekesalan itu biasanya kita akan merasa senang bila bercerita pada seorang teman yang sudah kita percaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini kita mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita. 2. Penjernihan diri (self-clarification) Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang kita hadapi kepada orang lain, kita berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang kita hadapi, sehingga pikiran kita akan menjadi lebih jernih dan kita dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik. 3. Keabsahan sosial (social validation) Setelah kita selesai membicarakan masalah yang sedang kita hadapi, biasanya pendengar kita akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut. Sehingga dengan demikian, kita akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya. 4. Kendali sosial (social control) Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang dirinya.
5. Perkembangan hubungan (relationship development) Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban. Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material. Untuk itu, kita harus mempelajari secara cermat konsekuensikonsekuensinya sebelum memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri menurut de Vito (Dayaksini, et al, 2003:91) : a. Motivasi melakukan pengungkapan diri Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak hanya bersangkutan dengan diri kita saja, tetapi juga bersangkutan dengan orang lain. Kadang-kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang lain. b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Misalnya, bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita haruslah bisa melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat. c. Timbal balik dari orang lain
Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan orang tersebut tidak menyukai keterbukaan yang kita lakukan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Konseptualisasi Komunikasi Interpsersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2000, p. 73). 3.2 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini menurut DeVito (Liliweri, 1991:73) sebagai berikut: 1. Keterbukaan, adalah menaruh kepercayaan kepada orang lain atau pendengar yang kita ajak bicara. 2. Empati, adalah keadaan mental yang mempengaruhi jiwa seseorang sehingga menganggap pikirannya sama dengan pikiran orang lain. 3. Dukungan, adalah dorongan moril dalam hal mewujudkan komunikasi interpersonal 4. Rasa positif, adalah keyakinan bahwa telah melakukan persepsi dengan cermat dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan cermat pula. 3.3.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian ini nantinya peneliti hanya menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai
variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu (Bungin, 2001, p. 48). 3.4.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data dalam tekhnik pengumpulan data, yaitu: 1. Wawancara Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden). Beberapa tips saat melakukan wawancara adalah mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan kontrol emosi negatif.
2. Observasi Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut. Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
Observasi
partisipasi
(participant
observation)
adalah
metode
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benarbenar terlibat dalam keseharian responden.
Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek.
Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam observasi adalah topografi, jumlah dan durasi, intensitas atau kekuatan respon, stimulus kontrol (kondisi dimana perilaku muncul), dan kualitas perilaku.
3. Dokumen Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk suratsurat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain. 3.5.
Teknik Analisa Data Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif di dasarkan pada
pendekatan yang digunakan. Beberapa bentuk analisis data dalam penelitian kualitatif, yaitu: Pada tahapan analisis, kajian menggunakan pendekatan Model Analisis Interaktif yang merupakan tehnik untuk verifikasi informasi dan data yang diperoleh (Miles & Huberman, 1994), teknik tersebut meliputi 3 hal, yaitu: a. Reduksi Data Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data yang dilaksanakan selama berlangsungnya proses penelitian dan mengatur data sedemikian sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir. b. Sajian Data Merupakan rangkaian informasi yang memungkinkan kesimpulan risert dapat dilakukan dengan melihat penyajian data, maka peneliti akan dapat mengerti
apa yang akan terjadi serta analisa oleh tindakan lain yang berdasarkan pengertian tersebut. c. Penarikan Kesimpulan Dari sajian yang telah tersusun maka selanjutnya peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa ketiga komponen tersebut akhirnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data yang menggunakan proses siklus
BAB IV ANALISA DATA
3.1
Gambaran umum UPIPI RSUD Dr Soetomo Surabaya Salah satu Unit Perawatan yang dimiliki oleh RSUD Dr. Soetomo
Surabaya adalah Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi (UPIPI). Unit Perawatan ini resmi didirikan pada tanggal 13 Februari 2004. Tujuan dari didirikannya unit perawatan ini adalah khusus untuk perawatan penderita AIDS. Dengan berdirinya unit perawatan diharapka akan menghilangkan diskriminasi, stigma ataupun phopi tentang HIV/AIDS di kalangan masyarakat. Sejarah berdirinya unit perawatan ini berawal dari keprihatinan pemerintah melihat para penderita HIV/AIDS yang seringkali dikucilkan / diasingkan dari keluarga maupun masyarkat. Oleh karena itu RSUD Dr. Soetomo membuka Ruang Perawatan Penderita Terinfeksi HIV/AIDS. Melihat perkembangan akan banyaknya penderita HIV/AIDS, maka Ruang Perawatan dinaikkan tingkatannya menjadi Unit Perawatan. Sampai sekarang akhirnya menajdi Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi UPIPI. UPIPI yang dimiliki oleh RSUD Dr Soetomo merupakan satu-satunya unit perawatan penderita HIV/AIDS di Indonesia yang memiliki sitem perawatan yang terintegrasi dan paripurna, serta menjadi pusat Voluntary Counceling and Testing yang merupakan standar WHO. Konsep yang dimiliki oleh UPIPI adalah perawatan secara paripurna, professional, terpadu, dan berkesinambungan. Artinya bahwa konsep perawatan secara komprehensif mulai dari segi medis, yang disertai dengan konseling, dan dukungan psikologis. Professional, artinya
bahwa perawatan yang diberikan kepada pasien penderita HIV/AIDS melbatkan dokter dari berbagai spesialis, seperti specialis penyakit dalam, penyakit kulit dan kelamin, kebidanan dan penyakit kandungan, ahli bedah. Yang dimaksud dengan terpadu adalah didalam pelaksanaan perawatan penderita melibatkan tenaga medis, para medis, dan berbagai tenaga lain dari unsur pemerintah dipadukan dengan unsur non-pemerintah (LSM). Untk mendukung pelaksanaan kerja di UPPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya, maka disusunlah visi dan misi. Adapun visi dari UPIPI RSUD Dr. Soetomo adalah membuat ruang perawatan intermediet ini menjadi pemuka dalam pelayanan, pendidikan dan penelitian dibidang HIV/AIDS di Indonesi. Sedangkan untuk
mencapai visi tersebut maka misi UPIPI RSUD Dr Soetomo adalah
melaksanakan perawatan HIV/AIDS secara paripurna yang meliputi: 1. Meningkatkan kemampuan laboratorium untuk diagnostic dan terapi. 2. Melaksanakan pengobatan pada semua aspek medis yang timbul beserta komplikasinya 3. Pusat voluntary Counceling and Testing di RSUD Dr Soetomo 4. Pusat pelatihan, pendidikan dan penelitian. Tujuan didirikan UPIPI RSUD Dr Soetomo Surabaya adalah untuk dukungan penderita HIV/AIDS dan keluarganya, melakukan penelitian untuk diagnostic maupun perawatan penderita HIV/AIDS yang lebih baik, mengadakan pelatihan dan membantu jajaran kesehatan yang lain didalam piñata laksanaan infeksi HIV/AIDS, memberikan informasi yang benar dan ilimiah tentang HIV/AIDS pada siapapun yang membutuhkan, dan melakukan jejaring
penanganan HIV/AIDS bak local Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, Asian maupun dunia. Salah satu sumber daya manusia yang dimiliki oleh UPIPI RSUD Dr. Soetomo adalah MK (Manajer Kasus) atau Kelompok Dukungan Sebaya yang bertugas mendampingi dan memberikan bantuan secara psikologis terhadap para pasien penderita HIV/AIDS. MK terdiri dari para sukarelawan yang tergabung dalam berbagai organisasi sosial yang bergerak dalam pendampingan bagi para pasien penderita HIV/AIDS, tetapi juga ada yang independen atau perseorangan. Mereka memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi dan tergerak hatinya untuk membantu dan memberikan pendampingan secara psikologis maupun sosial kepada para pasien penderita HIV/AIDS. Latar belakang dari MK ini sebenarnya juga penderita HIV/AIDS, tetapi mereka ini sudah mengalami pengobatan yang cukup lama dan mampu bertahan hidup yang cukup panjang. Mereka berasal dari berbagai kalangan, antara lain mantan LGBT, mantan pecandu narkotika, orang biasa yang tertular dari suaminya. Mereka mampu bertahan hidup cukup lama, bahkan ada yang mempunyai isteri dan anak. 3.2.
Analisa Data Hubungan antara MK dengan pasien penderita HIV/AIDS merupakan hal
yang sangat penting. Hubungan tersebut bukan hanya waktu pasien menjalani perawatan di rumah sakit tetapi bahkan sampai berlanjut sampai pasien keluar dari rumah sakit. Artinya hubungan interpersonal antara MK dengan pasien tidak hanya di dalam rumah sakit tetapi bisa berlangsung ketika pasien sudah keluar dari rumah sakit Hubungan yang semakin dekat dan akrab menyebabkan perasaan
diantara mereka jadi menyatu. Tidak ada sekat/penghambat yang menjadi penghalang mereka dalam mengungkapkan perasaannya. Bahkan hubungan interpersonal dijalin sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Untuk memperlancar tugas pendampingan, baik di rumah sakit maupun setelah keluar dari rumah sakit, MK (Kelompok Dukungan Sebaya) secara terus menerus menjalin komunikasi dengan pasien penderita HIV/AIDS. Saluran komunikasi yang dipakai untuk menjalin komunikasi adalah dengan komunikasi tatap muka di rumah sakit maupun melalui media telepon setelah pasien kembali berada di keluarganya. Komunikasi tatap muka di rumah sakit dilaksanaka hampir setiap hari berdasarkan waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa MK di UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya dalam berkomunikasi dengan para pasien penyandang HIV/AIDS, maka didapatkan temuan data sebagai berikut : 1.
Komunikasi Verbal Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan kata-kata
atau bahasa lisan. Dalam menyampaikan pesan kepada pasien penyandang ODHA, para MK menggunakan bahasa Indonesia. Namun tidak hanya bahasa Indonesia saja yang digunakan sebagai bahasa pengantar, tetapi MK juga menggunakan bahasa Jawa, bahkan kadang-kadang memakai bahasa gaul. Bahasa pengantar memamaki bahasa Jawa maupun bahasa gaul dalam komunikasi interpersonal ini dilakukan karena pasien penyandang ODHA kebanyakan berasal dari Jawa. Tujuan memakaian bahasa Jawa maupun bahasa gaul agar pasien dalam menafsirkan pesan lebih mudah dan merasa dekat secara psiklogis. Oleh karena itu, makna pesan yang sama dapat disampaikan dalam berbagai bentuk
penyajian pesan.dan bahasa campuran, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahkan kalau pasien umurnya relatif masih muda, diselingi dengan bahasa gaul. “Jenengmu sopo, awakmu kok iso kenek iku critane yo opo“, “Yo opo Mas Bro kok iso kenek iku piye critane”, Ayo obate diombe ojo sampe lali,” kalimat itu yang sering dilontarkan oleh Om YN (nama samaran) saat pertama kali bertemu dengan pasien penderita ODHA. Bahasa campuran digunakan untuk mendekatkan diri antara MK dengan para pasien penyandang ODHA. Kalau pasien berasal dari daerah Surabaya, tidak jarang dialek khas Suroboyoan digunakan dalam berkomunikasi dengan mereka, seperti yang diutarakan oleh AG (nama samaran). Contohnya : “Ayo Rek sing rutin lek ngombe obat, ojo lali mangan sing akeh”. Semuanya itu dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri secara psikologis antara MK dengan para pasien. Mereka berkeyakinan bahwa dengan menggunakan bahasa yang informal atau campuran, kedua belah pihak merasa lebih nyaman, rileks, tidak kaku, santai. Dengan demikian pembicaraan akan lebih nyambung karena pesan yang disampaikan dimaknai dan dipahami secara bersama. Komunikasi interpersonal akan berjalan dengan efektif dan lancar kalau kedua belah pihak memiliki hubungan yang setara aau seimbang tidak ada yang di atas atau di bawah, melainkan yang ada adalah keseimbangan antara komunikator dan komunikan. Untuk menjembantani komunikasi dapat berjalan dengan lancar maka dapat digunakan “bahasa daerah” dari masing-masing komunikator dan komunikan. Juga untuk memudahkan pasien dalam menafsirkan pesan yang disampaikan oleh MK sekaligus juga menjalin keakraban kedua belah pihak.
2.
Komunikasi Non Verbal Di samping pesan verbal yang digunakan dalam proses pendampingan,
MK juga sering menggunakan pesan non verbal dalam melakukan proses komunikasi interpersonal. Misalnya ekspresi wajah yang menunjukkan rasa simpati dan empati, senyuman, jabatan tangan, sikap yang ramah, dan lain-lain. Pesan non verbal memiliki peran yang cukup penting karena berfungsi sebagai pelengkap dan penegas dari pesan verbal. Hal dilakukan karena pesan nonverbal juga memiliki fungsi sebagai pelengkap (komplementer) dan penegas (aksentuasi) dari pesan verbal. Dale G. Leathers dalam bukunya Jalalludin Rakhmat yanag berjudul Psikologi Komunikasi mengatakan bahwa ada 6 alasan mengapa pesan non verbal sangat penting, yaitu: 1.
Faktor-fakor non verbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpesonal.
Ketika
kita
berkomunikasi
tatap
muka,
kita
banyak
menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan non verbal. Pada gilirannya orang lain pun lebih banyak membaca pikiran kita lewat petunjukpetunjuk non verbal. Barangkali tidal lebih dari 30% sampai 35% makna sosial percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata. Sedangkan sisanya dengan pesan verbal. 2.
Perasaan dan emosai lebih cermat disampaikan lewat pesan non verbal ketimbang pesan verbal
3.
Pesan non verbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan non verbal jarang diatur oleh
komunikator secara sadar. Komunikan juga lebih percaya pada pesan non verbal daripada pesan verbal. 4.
Pesan non verbal mempunyai fungsi metakomunikasi yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikasi artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan.
5.
Peasn non verbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien.
6.
Pesan non verbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan atau emosi secara tidak langsung. Inilah adalah beberapa contoh dari gerkan tubuh yang sering dilakukan
dalam berkomunikasi dengan orang lain : Anggota Tubuh
Gerakan
Interpretasi
Kepala
Menatap lama
Penuh perhatian: jujur
Mata yang bergerak cepat
Tidak pasti: bohong
Alis yang naik
Menantang: terbuka
Senyum
Menikmati: senang
Mengangguk
Mendengarkan: setuju
Kepala miring
Menarik
Kepala tertunduk
Bertahan, membela diri
Leaning toward
Menarik: Hubungan
Leaning away
Tidak ada ketertarikan:
Badan dan bahu
skeptic Postur membungkuk
Harga diri yang rendah
Mengembangkan dada
Percaya diri
Mengerutkan dada
Terancam Formal: meninggalkan
Mengancingkan jaket tempat Menyentuh orang lain
Memiliki kekuatan
Menyentuh diri sendiri
Gugup: khawatir Bohong: Tidak yakin
Gerakan yang berulang dengan diri sendiri Tangan di mulut ketika Ingin melarikan diri berbicara Tangan dan lengan
Tangan menyilang
Bosan: Kehabisan ide
Fingers steepled
Percaya diri
Tangan di paha
Menantang: Arogan
Tangan di saku
Menyimpan rahasia
Menunjukkan telapak Mempercayai tangan Menunjuk
Otoriter: Agresif Membutuhkan
Kepalan tangan ketenangan hati
Bedasarkan hasil wawancara antara peneliti dengan Om YN, AG, dan MT, didapatkan hasil bahwa semua MK melakukan komunikasi non verbal. Mulai dari
kontak mata, sentuhan, senyuman, kemarahan, mengangguk, menunjuk. Dari berbagai gerakan tubuh yang paling sering digunakan adalah sentuhan dan kontak mata. 3.
Keterbukaan Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Tetapi yang lebih penting adalah kesediaan untuk membuka
diri,
mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan. Keterbukaan merupakan kondisi dimana komunikator dan komunikan bersedia untuk membuka diri, memberitahukan informasi yang biasanya tersembunyi tentang dirinya kepada orang lain, kesediaan untuk mau menerima masukan dari lawan bicaranya baik berupa kritik, saran, maupun nasehat, serta adanya rasa tanggung jawab terhadap perkembangan pemikiran dan perasaan pihak yang terlibat. Penyampaian pesan yang terbuka harus terjadi secara dua arah dan mengacu pada isi hati dan pikiran yang jernih.dari kedua belah pihak. Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa keterbukaan memang cukup sulit terwujud. Keterbukaan akan terwujud memalui proses yang panjang, tidak cukup satu atau dua kali bertemu. Pendekatan secara pribadi harus dilakukan secara terus menerus. Untuk mencapai keterbukaan ini, salah satu cara yang dipakai oleh para MK adalah dengan mencari kesamaan latar belakang mereka. Misalnya pasien
yang berlatar belakang LGBT maka maka pendampingannya akan dilakukan oleh MK yang memiliki latar belakang yang sama yaitu LGBT. Sedangkan pasien yang berlatar belakang pecandu narkotika maka pendampingannya akan dilakukan oleh MK yang berlatar belakang yang sama. Hal ini yang diungkapkan oleh AG (nama samaran) “ya kita cari dulu latar belakang kehidupan dari pasien tersebut. Kalau dia berlatar belakang dari kalangan LGBT, biasanya Tante J yang mendampingi. Kalau psien yang berlatar belakang pecandu narkotika, biasanya diserahkan ke .....Sedangkan kalau masih muda, kita carikan pendamping yang usianya hampir sama.” Ketika hubungan MK dengan pasien ODHA sudah dekat secara psikologi, maka biasanya pasien ODHA dengan terbuka mengungkapkan segala beban yang ada di dalam hatinya. Mereka dengan terbuka menceritakan berbagai macam hal, mulai dari masalah penyakit, masalah keluarga, hingga masalah pribadi. Hal ini mengindikasikan bahwa sudah terjalin hubungan pertemanan diantara mereka. Keterbukaan ini juga dilandasasi oleh sikap percaya kepada orang lain untuk tetap menjaga kerahasiaan pesan yang disampaikan oleh pasien kepada MK. Kepercayaan ini menajdi kunci untuk saling terbuka di antara komunikator dan komunikan. Pasien menaruh kepercayaan kepada MK, dan MK bertugas untuk menjaga kerahasiaan si pasien tersebut. Untuk mendapatkan kepercayaan dan keterbukaan dari pasien dilakukan pendekatan-pendekatan, semisal pendekatan kekelurgaan, yang memerlukan waktu agak lama. Tidak bisa hanya dengan pertemuan satu kali atau dua kali, juga yang penting adalah agar para MK selalu manjaga kerahasiaan pasien mengenai status HIV-nya, karena HIV/AIDS ini adalah permasalahan yang sensitiv. 4.
Empati
Hal ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk merasakan perasaan dan keadaan sebagaimana yang dirasakan oleh orang lain dengan cara yang sama pula tanpa merubah jati diri anda. Empati juga mengharuskan untuk dapat memahami perasaan emosional sebaik memahami pikiran intelektual seseorang. Empati dapat dikomunikasikan dalam komunikasi verbal ataupun komunikasi nonverbal. Salah satu cara untuk dapat memfokuskan konsentrasi berempati adalah aturlah kontak mata, dan perhatikan gerak- gerik tubuh. Proses individu berempati melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afekif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti,sedangkan aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari; cara berbicara, dari raut wajah, cara pandang dalam berpendapat. Ada 3 (tiga) karakteristik kemampuan seseorang dalam berempati, yaitu: 1. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat. 2. Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang Lain
Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain. 3. Mampu Mendengarkan Orang Lain Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan
empati. Sikap mau mendengar memberikan
pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi
Ada beberapa cara yang dilakukan MK untuk menunjukkan rasa empati kepada pasien. Ada yang berempati dengan member dukungan, saran maupun menyemangati pasien atas kesedihan dan permasalah yang mereka miliki. Ada juga perawat yang memposisikan dirinya seperti kondisi pasien ketika berempati, dengan cara duduk bersebelahan, tangan merangkul bahu pasien dan tatapan mata yang memandang pasien menunjukan bahwa perawat merespon dan perhatian terhadap pasien. Pada saat sekarang ini, empati menjadi salah satu faktor yang penting dalam pendampingan atau konseling penderita HIV/AIDS. Empati sudah dipakai sebagai alat komunikasi dan memfasilitasi wawancara antara MK dengan pasien HIV/AIDS di UPIPI Dr. Soetomo Surabaya. Seperti yang dituturkan oleh MT (nama samaran) kepada peneliti : “Meskipun pasien telah ditinggalkan bahan di buang oleh keluarganya , kita tidak pernah menyalahkan pasien atas penyakit yang dideritanya Saya
katakan pada si pasien bahwa kita senasib dan saya juga pernah mengalami situasi yang hampir sama. Kita harus kuat menghadapi situasi seperti ini. Dengan empati dapat menciptakan dan meningkatkan iklim komunikasi antar pribadi yang bebas dari kesan tertutup dan defensif. Setiap individu memungkinkan
untuk
berbicara
tentang
pandangan
mereka
terhadap kebutuhannya. Kedua belah memiliki hubungan yang seimbang dan sejajar. Untuk meningkatkan iklim komunikasi yang bebas dan terbuka, kadangkadang pasien diajak makan bersama di luar. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Om YN (nama samaran) “Sebelum pasien diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan seijin perawat, saya ajak mereka makan di luar. Makan makanan kesukaanya. Biar tidak bosan makan menu rumah sakit serta pikirannya bisa fresh/segar. Komunikasi akan berjalan dengan efektif, apabila para MK dapat mengerti perasaan mereka, memberikan dukungan dan perhatian yang penuh, enak diajak ngobrol dan bertukar pikiran, yang bisa membuat mereka merasa nyaman dan terhibur. Para MK harus menunjukkan rasa empati yang besar kepada para pasien penyandang ODHA. Berbagai macam cara perawat berempati
kepada pasien. Ada yang
berempati dengan member dukungan, saran maupun menyemangati pasien atas kesedihan dan permasalah yang mereka miliki. Ada juga perawat yang memposisikan dirinya seperti kondisi pasien ketika berempati, dengan cara duduk bersebelahan, tangan merangkul bahu pasien dan tatapan mata yang memandang pasien menunjukan bahwa perawat merespon dan perhatian terhadap pasien.
5.
Suportif/Dukungan Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam
komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Dengan sikap defensif komunikasi interpersonal akan gagal, karena orang defendif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain. Perilaku suportif dapat dilihat baik yang terucap (verbal) dengan yang tidak terucap (nonverbal) seperti anggukan kepala, sorotan mata, atau senyuman yang dapat dipahami sebagai bentuk dukungan positif terhadap seseorang. Dukungan lebih kepada bagaimana memberi saran dan pendapat daripada mengevaluasi. Iklim suportif dalam komunikasi interperosnal antara MK dengan pasien adalah berorientasi pada masalah bukan saling mengontrol. Dalam orientasi masalah, komunikasi didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah. Kedua belah pihak bersama-sama untuk menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya. Dukungan selalu diberikan MK (kelompok dukungan sebaya) kepada si pasien untk tetap dapat bertahan hidup. Memberikan semangat dan motivasi untuk menghadapi penyakit yang membawa kematian. Ada 4 (empat) hal yang dikatakan Om YN dalam memberikan suport atau dukungan kepada pasien, seperti ini: “Saya selalu mengatakan kepada pasien 4 hal : (1), Nrimo, artinya pasien harus sadar dan mau menerima penyakirut ini. Ndak boleh terus menerus protes, mengapa Tuhan memberi penyakit ini pada diriku, (2), Niat untuk sembuh, artinya ada kemauan yang keras untuk mau sembuh. Tidak boleh
pasrah dan menyerah. (3) Usaha, kalau sudah ada kemauan, maka langkah berikutnya adalah usaha, yo opo aku iso waras, (4) Minum obat dan makan yang banyak, secara rutin minum obat dan jangan sampai lupa atau bolong-bolong, kemudian makan yang teratur dan banyak, (5) berdoa, menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan melalui doa/sembahyang. 6.
Kendala Komunikasi pada Pembinaan ODHA di UPIPI Proses komunikasi pada umumnya selalu menemukan masalah atau
kendala. Begitu juga dengan proses komunikasi pada pembinaan ODHA di KDS Solo Plus. Walaupun masalah dan kendala itu pasti ada, namun bukanlah kendala yang bisa dikatakan besar dan dapat dengan mudahnya menghambat proses komunikasi. Kendala yang biasanya timbul merupakan kendala yang disebabkan oleh faktor internal, yaitu dari dalam diri komunikator atau komunikannya, bukan berasal dari faktor eksternal. Faktor kesehatan fisik dan psikis dari peserta komunikasi terkadang bisa menjadi penghambat dalam proses komunikasi. Keadaan fisik yang kurang sehat misalnya, dapat mempengaruhi dalam menerima dan memahami pesan yang disampaikan. Selain kondisi fisik, kesehatan psikis juga menjadi faktor yang mempengaruhi. Dampingan yang keadaan psikisnya masih labil cenderung kurang bisa menerima pesan dengan baik. Selain itu masih adanya dampingan yang manja dan nakal juga menjadi penghambat. Manja di sini maksudnya masih ada beberapa dampingan yang enggan mengambil sendiri obat mereka ke Rumah Sakit, jadi mau tidak mau manajer kasus atau pendamping harus bersedia mengambilkan obat tersebut. Sedangkan nakal di sini maksudnya yaitu dampingan yang tidak meminum obatnya secara teratur. Tidak jarang yang kondisi kesehatannya tiba-tiba drop.
Faktor penghambat lainnya yaitu masih adanya dampingan yang enggan membuka diri dan berbaur dengan anggota KDS Solo Plus yang lain. Dampingan memang memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak semua dari mereka merupakan pribadi yang mau terbuka, berbagi, dan berbaur dengan orang lain. Ada yang hanya mau terbuka dengan pendampingnya dan menolak untuk berbaur dengan anggota kelompok yang lain. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan ini yaitu menyampaikan pesan dengan menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan dapat diterima serta dimengerti dengan mudah oleh dampingan. Tidak bosanbosannya mengingatkan dan memberi pengertian kepada dampingan untuk disiplin menjalani pengobatan juga harus dilakukan. Bersikap lebih simpati dan empati kepada dampingan agar mereka mau terbuka juga merupakan salah satu solusi.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 1.
Komunikasi verbal yang dilakukan dalam komnikasi interpersonal antara MK (Kelompok Dukungan Sebaya) dengan penyandang ODHA dengan menggunakan bahasa informal (campuran antara bahasa Indonesia dan Jawa) untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pasien sehingga pasien lebih terbuka dan percaya kepada para MK. Sedangkan komunikasi nonverbal dengan menggunakan gerakan tubuh, kontak mata, sentuhan.
2. Latar belakang keberadaan MK (Kelompok Dukungan Sebaya) berperan sangat besar dalam menjalin komunikasi dengan penyandang ODHA. Keterbukaan para penyandang ODHA dalam mengungkapkan perasaan dilandasi oleh perasaan senasib yang meeka alami bersama-sama. 3. Empati ditunjukkan oleh para MK dengan mengaku tidak takut melakukan kontak fisik dengan pasien, atau jijik bersentuhan dengan pasien. Mereka bisa menjalin keakraban dan pertemanan. Dengan empati perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan pasien seperti yang dirasakan dan dipikirkan pasien. 4. Dalam komunikasi interpersonal sehari-hari, para MK terkadang juga menemui kesulitan-kesulitan berkomunikasi dengan pasien. Hal tersebut disebabkan oleh tidak memungkinkannya kondisi kesehatan pasien untuk diajak berkomunikasi dengan baik, misalnya pasien belum bisa menerima kenyataan tentang penyakitnya Solusinya para MK harus dengan sabar
dalam melakukan pendekatan secara pribadi dengan para pasien penyandang ODHA.
4.2 Saran 1. Masyarakat Perlakuan diskriminatif dan stigma negatif oleh masyarakat terhadap ODHA hendaknya sedikit demi sedikit dihilangkan. Bagaimana pun juga mereka adalah manusia ciptaan Tuhan yang memiliki hak untuk hidup dan bergaul bersama-sama dengan masyarakat. Masyarakat diharapkan dapat menerima kehadiran mereka dengan apa adanya tanpa rasa takut atau jijik. 2. Penelitian selanjutnya Demi perkembangan studi ilmu komunikasi, peneliti mengharapkan adanya penelitian lanjutan mengenai pembentukan konsep diri pada ODHA supaya ada kemauan yang besar untuk tetap dapat bertahan hidup dan memiliki kepercayaan diri kembali.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. 2006. PT Rineka Cipta. Jakarta. Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualititatif. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Dayaksini, Tri & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Devito, Joseph. The interpersonal communication book, 11th ed. NY : Pearson Education, Inc, 2007. Effendy, Onong Uchjana. 1990. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya. Bandung. Hardjana, Agus.M. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Kanisius. Yogyakarta. Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Citra Aditya Bakti. Bandung. Miles, MB dan AM Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. SAGE. Beverly Hills. Moleong, Lexy.J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyana, Dedy. 2001. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Murni, Suzana. 2007. Pasien Berdaya. Jakarta : Yayasan Spiritia. Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. ___________ .1999. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Ruddick, Abby. 1995. Saripati: AIDS di Indonesia. Jaringan Epidemiologi Nasional bekerja sama dengan The Ford Foundation. Jakarta. Suprapto, Tommy. 2006. Pengantar Teori Komunikasi. Media Pressindo. Yogyakarta.
Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi Tinjauan Psikologis. Kanisius. Yogyakarta. Willis, Sofyan.S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Alfabeta. Bandung.