LAPORAN AKHIR PROGRAM P2M PENERAPAN IPTEKS
PEMERTAHANAN NILAI-NILAI RELIGI DALAM UPACARA ADAT “BUDA KLIWON PAHANG” MELALUI PELATIHAN STRATEGI RETORIKA SASTRA LISAN BAGI ANAK-ANAK BANJAR ABIANTIHING, DESA JUNGUTAN, BEBANDEM – KARANGASEM
OLEH I MADE ASTIKA, S.PD., M.A. NIP 198305132008121001 I DEWA GEDE BUDI UTAMA, S.PD. NIP 198405032008121002 DR. I WAYAN ARTIKA, S.PD., M.HUM. NIP 196707051994031004
Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Universitas Pendidikan Ganesha dengan SPK Nomor: 208/UN48.15/LPM/2015 tanggal 5 Maret 2015
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
2015
PRAKATA
Atas segala karunia Ida Sang Hyang Widi Wasa berupa pelimpahan kesehatan dan ketenangan jiwa/pikiran, penulis panjatkan puji syukur yang ikhlas kepada-Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan akhir kegiatan P2M yang berjudul “Pemertahanan Nilai-Nilai Religi dalam Upacara Adat “Buda Kliwon Pahang” Melalui Pelatihan Strategi Retorika Sastra Lisan Bagi Anak-Anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem” ini dengan baik. Selama proses penyusunannya berlangsung, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu, lewat prakata ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada (1) Rektor Universitas Pendidikan Ganesha; (2) Ketua Lembaga P2M Undiksha; (3) Dekan Fakultas Bahasa dan Seni; (4) Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; (5) Kepala dan Staf Desa Jungutan; (6) Para Kepala Dusun di Lingkungan Desa Jungutan; (7) Kelihan Adat Banjar Abiantihing; (8) Kepala Sekolah dan guru-guru SDN 4 Jungutan; (9) seluruh siswa SDN 4 Jungutan; (10) seluruh masyarakat Banjar Adat Abiantihing; dan (10) seluruh dosen/mahasiswa yang ikut aktif dalam pengabdian ini, dan pihakpihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu demi satu tetapi turut serta memberikan dukungan dan doa yang tulus terhadap penyusunan laporan kemajuan ini, penulis menyampaikan terima kasih tulus yang sedalam-dalamnya. Semoga pihak-pihak tersebut diberikan limpahan berkah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kebaikan dan keikhlasannya.
Meskipun laporan akhir ini telah diselesaikan dengan baik, secara terbuka penulis tetap menerima kritik dan saran dari seluruh pembaca. Akhirnya, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat di hadapan sidang pembaca.
Singaraja, 30 September 2015 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN MUKA ...............................................................................
i
PENGESAHAN ......................................................................................
ii
PRAKATA..............................................................................................
iii
DAFTAR ISI...........................................................................................
iv
BAB I
1
PENDAHULUAN ................................................................. Analisis Situasi...................................................................... Identifikasi dan Perumusan Masalah .................................... Tujuan Kegiatan ................................................................... Manfaat Kegiatan ..................................................................
BAB II
METODE PELAKSANAAN................................................
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................
BAB IV PENUTUP ............................................................................. Simpulan .............................................................................. Saran...................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
Analisis Situasi Di Bali, aktivitas kebudayaan dan kesenian pada khususnya tidak bisa dilepaskan dari kegiatan keagamaan (Hindu). Dalam hal itu, banjar sebagai organisasi tradisional dimanfaatkan dengan baik dalam usaha menjaga aktivitas kebudayaan, kesenian, dan keagamaan tersebut. Banjar yang ada di masingmasing Desa Pakraman menjadi pusat seluruh kegiatan pelaksanaan upacara adat. Masyarakat Hindu menyadari dengan baik bahwa segala aktivitas sosial selalu ada hubungannya dengan proses upacara adat. Tradisi-tradisi yang telah berlangsung selalu bersinggungan dengan aktivitas adat atau agama. Banjar Abiantihing, yang berada di wilayah administrasi pemerintahan Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem merupakan salah banjar di Bali yang masih menjalankan tradisi-tradisi yang ada hubungannya dengan adat dan/atau agama. Salah satu tradisi adat yang masih dilakukan adalah upacara adat “Buda Kliwon Pahang”. Upacara tersebut diselenggarakan dua kali dalam setahun. Pelaksanaannya didasarkan kepada pemilihan baik-buruknya hari (ala ayuning dina). Mengingat, hari baik (dewasa ayu) akan lebih mudah dan cepat mengantarkan masyarakat dalam mencapai tujuan mulia dibandingkan dengan hari buruk (dewasa ala) yang berpengaruh buruk terhadap pelaksanaan upacara. Upacara adat “Buda Kliwon Pahang” didasarkan pada penanggalan kalender Bali yang jatuh setiap dina (hari) Buda (Rabu), wara Kliwon, wuku
Pahang. Upacara ini dilaksanakan selama sehari. Yang unik dari upacara ini adalah ditampilkannya tarian rejang sakral yang dimainkan oleh tujuh gadis yang telah ditunjuk berdasarkan kesepakatan banjar adat. Tarian ini diiringi oleh gong dan gambang sakral. Karena sifatnya sakral, tari rejang ini hanya difungsikan sebagai sarana pengiring upacara adat “Buda Kliwon Pahang” di Banjar Abiantihing, bukan sebagai tarian hiburan. Hal menarik lain adalah tarian rejang sakral itu selalu dihubungkan dengan tradisi lisan yang berkembang di sana. Tradisi atau sastra lisan adalah teks yang dituturkan secara lisan (Taum, 2011:24). Tradisi lisan yang dimaksud adalah berupa dongeng tentang penculikan raksasa terhadap para penari rejang tesebut. Karena wujudnya dalam bentuk tradisi verbal, tidak ada satu pun teks tertulis yang diwariskan oleh leluhur adat berkenaan dengan cerita dongeng tersebut. Menurut Taum (2011:65) tradisi verbal mencakup lima kategori yaitu ungkapan tradisional, nyanyian rakyat, bahasa rakyat, teka-teki, dan cerita rakyat. Dongeng masuk ke dalam kategori cerita rakyat. Meskipun tidak ada teks tertulis yang berbicara tentang dongeng tersebut, masyarakat di sana masih memercayainya sebagai sebuah kebenaran. Dengan adanya latar belakang historis yang kuat karena dihubungkan dengan upacara adat tersebut, segala kejadian yang berhubungan dengan tradisi lisan itu dianggap sebagai sebuah kenyataan oleh masyarakat. Di tengah-tengah perkembangan teknologi,
tradisi
lisan
itu
akan
punah
mengingat
tidak
ada
usaha
pendokumentasian dongeng tersebut. Meskipun, tradisi upacara adat “Buda Kliwon Pahang” masih terjaga dengan baik, jejak-jejak historis yang berhubungan dengan upacara tersebut lama-lama akan menghilang.
Agar tradisi lisan di sebuah wilayah pedesaan tetap terjaga atau terpelihara dengan baik, diperlukan generasi muda sebagai penerus tradisi tersebut. Namun, usaha pemeliharaan tersebut sangatlah susah dilakukan di tengah-tengah adanya fenomena migrasi penduduk desa ke kota. Urbanisasi telah memberikan dampak bagi perkembangan tatanan kehidupan masyarakat desa. Dalam hubungannya dengan tradisi lisan itu, tidak semua generasi muda kemudian mengenal dongeng tersebut termasuk nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Urbanisasi itu merenggangkan jalinan komunikasi antara angkatan tua sebagai pemberi waris tradisi lisan itu dan angkatan muda sebagai penerima warisannya. Usaha yang tepat perlu dilakukan dalam upaya mempertahankan atau bahkan mengembangkan tradisi lisan itu. Tradisi lisan itu perlu tetap dipertahankan karena di dalammnya mengandung nilai-nilai religi yang mampu mempertahankan
masyarakat
dalam
memelihara
tradisi
sebagai
produk
kebudayaan atau kesenian. Nilai-nilai yang baik itu nantinya akan tetap memelihara hubungan yang baik antara masyarakat dengan Tuhan, masyarakat dengan masyarakat, dan masyarakat dengan lingkungan sekitarnya. Usaha yang dimaksud adalah dengan melaksanakan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem. Pelatihan ini sebagai upaya dalam mempertahankan nilai-nilai religius yang mesti selalu tertanam dengan baik pada diri anak-anak. Nilai itu penting ditanamkan sejak usia, agar tetap diingat dan direalisasikan dalam sikap yang baik pula di masyarakat. Anak-anak itulah yang nantinya akan menjadi penerus generasi tua dalam menjalankan tradisi-tradisi yang sudah dijalankan. Dengan adanya usaha pengenalan kembali kepada dongeng yang berhubungan dengan
upacara adat “Buda Kliwon Pahang”, anak-anak akan memiliki bekal ingatan tentang latar belakang historisnya. Sebuah tradisi akan terjaga dan bertahan dengan baik dari masa ke masa jika masih ada para pelaku yang akan menjalankan dan meneruskannya. Dalam penerusan tradisi itu dibutuhkan pemaknaan dan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai positif yang bisa diperoleh dari cerita rakyat yang sudah ada. Untuk mewujudkan hal tersebut, pelatihan ini juga akan menyediakan ruang bagi anak-anak dalam mendokumentasikan dongeng atau cerita rakyat lainnya secara tertulis sehingga bisa menjadi bukti atau monumen sejarah yang bisa dibaca dari zaman ke zaman. Keberadaan tradisi lisan tersebut tidak hanya memberikan sumbangsih kepada pelaksanaan upacara adat tetapi juga sebagai idiom atau sumber inspirasi bagi para seniman daerah dalam menciptakan kesusastraan atau kesenian modern. Upaya inventarisasi, perekaman, penerjemahan, dokumentasi, dan penerbitan tradisi lisan secara teratur, sistematis, dan terencana sangat diperlukan. Dengan menempatkan sastra lisan sebagai sebuah ekspresi fundamental dalam mengkristalkan pengalaman kemanusiaan, studi tradisi lisan dalam rangka ilmu sastra dapat mengungkapkan berbagai segi kemanusiaan secara memadai lengkap dengan kandungan nilai-nilai di dalammnya. Sastra yang baik seharusnya mampu mengungkapkan wawasan, citarasa, pengalaman, dan peradaban yang muncul melalui refleksi, dialog, dan dialektika dengan sistem pemikiran dan sistem nilai suatu daerah bahkan bangsa. Dari observasi awal yang dilakukan di Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem ditemukan masalah bahwa anak-
anak di sana tidak mengetahui jalan cerita dongeng raksasa menculik rejang yang secara historis masih berhubungan dengan upacara adat “Buda Kliwon Pahang”. Pemaknaan terhadap dongeng dan nilai-nilai religi upacara adat tersebut pun kurang mendalam. Jikapun ada anak-anak yang sudah pernah mendengar dongeng tersebut, mereka tidak mengetahuinya secara menyeluruh. Akibat adanya pemahaman yang tidak menyeluruh tersebut sehingga penerusan dongeng akan mengalami hambatan. Padahal, pengetahuan dan penguasaan terhadap dongeng tersebut menjadi penting dimiliki oleh anak-anak sebagai usaha mempertahankan nilai-nilai religi yang ada hubungannya dengan upacara adat.
Indentifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan pada masalah yang telah disampaikan, dapat diidentifikasi masalah yaitu dewasa ini anak-anak sebagai anggota masyarakat banjar tidak mengetahui isi dan jalan cerita dongeng raksana menculik gadis yang memiliki nilai historis bagi pelaksanaan upacara adat “Buda Kliwon Pahang”. Permasalahan seperti ini perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat guna menunjang pemertahanan nilai-nilai religi upacara adat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan mengadakan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut dapat dibuatkan rumusan masalah sebagai berikut. (a) Bagaimanakah pelaksanaan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem
–
Karangasem sebagai bentuk pemertahanan nilai-nilai religi upacara adat “Buda Kliwon Pahang”? (b) Bagaimana respons masyarakat terhadap pelaksanaan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem sebagai bentuk pemertahanan nilai-nilai religi upacara adat “Buda Kliwon Pahang”?
Tujuan Kegiatan Kegiatan pengabdian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, pengabdian dalam bentuk pelatihan ini, laporan kegiatannya dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan teori strategi sastra lisan. Secara praktis, tujuan pengabdian ini adalah (1) memberi ruang berlatih yang intensif kepada anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem dalam strategi sastra lisan, (2) memberikan wawasan dan cara-cara atau petunjuk praktis bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem dalam hal strategi sastra lisan. Selain itu, secara khusus pengabdian ini bertujuan mengetahui (1) bagaimanakah pelaksanaan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem sebagai bentuk pemertahanan nilai-nilai religi upacara adat “Buda Kliwon Pahang”, (2) bagaimana respons masyarakat terhadap pelaksanaan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem sebagai bentuk pemertahanan nilai-nilai religi upacara adat “Buda Kliwon Pahang”.
Manfaat Kegiatan Pengabdian ini memberikan manfaat bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem, dalam mengikuti secara langsung pelatihan bercerita dengan strategi retorika sastra lisan, selain berguna untuk mempertahankan nilai-nilai relegius dalam upacara adat “Buda Kliwon Pahang” dan meneruskannya kelak kepada generasi yang lebih muda. Selain itu, pelatihan ini akan dapat membantu masyarakat Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem dalam mendokumentasikan tradisi lisan secara tertulis. Pendokumentasian itu penting dilakukan dalam rangka mempertahankan keajegan dan keberlangsungan pelaksanaannya dari masa ke masa.
BAB II METODE PELAKSANAAN
Ada beberapa tahapan kegiatan yang akan dilalui dalam memecahkan permasalahan yang diajukan dalam pengabdian ini. Langkah pertama adalah melakukan pengumpulan data tentang dongeng dan upacara adat “Buda Kliwon Pahang” secara lengkap dan mendalam. Data itu dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan catatan lapangan. Sumber data berasal dari tokoh-tokoh masyarakat yang masih mengetahui dengan jelas cerita rakyat dan upacara adat tersebut. Langkah kedua, memberikan pengetahuan dasar tentang strategi retorika sastra lisan kepada anak-anak sebagai subjek pelatihan ini. Langkah ketiga yaitu memberi kesempatan kepada anak-anak untuk membaca teks atau naskah dongeng yang telah didokumentasikan. Langkah keempat yaitu memberi kesempatan praktik kepada anak-anak untuk beretorika sesuai dengan arahan atau bimbingan yang diberikan oleh instruktur. Jika semua anak telah memanfaatkan dengan baik waktu yang disediakan untuk berlatih, langkah terakhir adalah memberikan evaluasi terhadap penampilan anak-anak baik secara kelompok maupun secara individual. Untuk memperoleh gambaran yang jelas sehubungan dengan pelaksanaan pelatihan bagi anak-anak, diperlukanlah rancangan evaluasi yang tepat dalam hal strategi retorika sastra lisan. Rancangan evaluasi ini digunakan sebagai bahan dalam melakukan analisis kemampuan anak-anak dalam menerapkan strtategi retorika sastra lisan terhadap cerita yang diberikan oleh instruktur. Rancangan ini berisi aspek yang dinilai dan deskripsi penilaian masing-masing aspek. Adapun rancangan evaluasi yang dibuat sebagai berikut.
No 1
2
3
4
Aspek yang Dievaluasi
Deskripsi
Olah suara (vokal) 1. Suara terdengar jelas sesuai dengan intonasi yang tepat (26 – 35 ) 2. Suara dan intonasi terdengar kurang jelas (16 – 25) 3. Suara dan intonasi tidak terdengar jelas (0 – 15) Olah gerak (tubuh) 1. Gerak tubuh sesuai dengan bahasa verbal (20 – 30) 2. Gerak tubuh kurang sesuai dengan bahasa verbal (11 – 19) 3. Tidak ada gerak tubuh sama sekali (0 – 10) Penguasaan 1. Eskpresi sesuai dengan gerak dan karakter yang ekspresi diperankan (13 – 20) 2. Ekspresi kurang sesuai dengan gerak dan karakter yang diperankan (7 – 12) 3. Eskpesi dan karakter tidak ada sama sekali (0 – 6) Penguasaan cerita 1. Menguasai cerita secara runut dan lengkap (10 – 15) 2. Kurang menguasai secara runut dan lengkap (6 – 9) 3. Tidak menguasai cerita (0 – 5) Total Nilai 100
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelatihan ini telah melewati beberapa proses sehingga pelaksanaannya berjalan dengan baik dan lancar. Seperti yang sudah disebutkan dalam metode pelaksanann ada beberapa tahapan kegiatan yang dilalui dalam memecahkan permasalahan yang diajukan dalam pengabdian ini. Langkah pertama adalah melakukan pengumpulan data tentang dongeng dan upacara adat “Buda Kliwon Pahang” secara lengkap dan mendalam. Data itu telah dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan catatan lapangan. Sebagian data berasal dari tokoh-tokoh masyarakat yang masih mengetahui dengan jelas cerita rakyat dan upacara adat tersebut. Kegiatan pelatihan ini diawali dengan permohonan izin untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat kepada Kepala Desa Jungutan pada tanggal 10 April 2015. Setelah mendapatkan izin pelaksanaan, selanjutnya pada tanggal 17 April 2015 diadakan koordinasi secara detail dengan Kepala Dusun dan Kelian Adat Banjar Abiantihing, Desa Jungutan. Kegiatan pengabdian ini disambut dengan baik oleh pihak banjar karena dapat memberikan maafkan yang besar bagi penumbuhan sikap cinta terhadap sastra dan tradisi lokal yang ada. Setelah mengadakan koordinasi, pengecekan kondisi tempat yang dipakai untuk pelatihan, dilaksanakan pada tanggal 30 April 2015. Tempat yang dipakai adalah Balai Masyarakat Banjar Dinas Abiantihing Kaja. Pada tanggal 6 Mei 2015, diadakan pendataan peserta pelatihan. Untuk memudahkan menentukan peserta pelatihan diadakan koordinasi dengan sekolah
yang ada di Banjar Dinas Abiantihing. Satu-satunya sekolah yang ada di sana adalah SDN 4 Jungutan. Oleh karena itu, dilaksanakan koordinasi dengan kepala sekolah. Berbeda dengan hasil observasi awal yang dilakukan, jumlah anak-anak yang berumur 11 – 12 ternyata berjumlah 50 orang. Selain itu, guru yang direncanakan terlibat sebanyak dua orang ternyata hanya satu orang yang bisa mengikuti pelatihan ini sampai akhir. Pada hari yang sama juga dilakukan koordinasi berhubungan dengan waktu dan tempat pelaksanaan pelatihan. Seluruh peserta dikumpulkan untuk diberikan arahan umum tentang pelaksanaan pelatihan ini. Selanjutnya pada tanggal 22 Mei 2015 dilakukan penyebaran surat undangan untuk mengikuti proses pembukaan acara pelatihan kepada kepala desa, kepala dusun, kelian adat, kepala sekolah, dan guru yang terlibat. Penyebaran surat undangan tersebut dibantu oleh kelian adat sehingga surat tersebut bisa dibaca lebih awal. Penataan tempat pelaksanaan pelatihan dilakukan pada tanggal 5 Juni 2015. Namun, penataan tempat ini mengalami kendala karena Balai Masyarakat Banjar Adat Abiantihing ternyata dipakai untuk keperluan upacara adat. Akhirnya, dengan koordinasi yang sigap dan cepat, kepala sekolah menyarankan agar pelatihan dilaksanakan di Gedung Perpustakaan Sekolah Dasar Negeri 4 Jungutan. Setelah dilakukan pengecekan ternyata gedung itu sangat layak dan representatif digunakan sebagai tempat pelatihan. Koordinasi penyiapan ATK, konsumsi peserta, dan pemasangan spanduk dilaksanakan pada tanggal 15 Juni 2015. Karena dilaksanakan di gedung sekolah, segala persiapan yang berhubungan dengan ATK dan konsumsi dibantu oleh pihak sekolah terutama dalam tempat pemesanan dan penjemputannya. Demikian
halnya dengan pengaturan dan pemasangan spanduk di tempat pelatihan sepenuhnya dibantu oleh waker sekolah yang sebelumnya telah ditugasi oleh kepala sekolah. Pelatihan ini dilaksanakan pada tanggal 21-22 Juni 2015 di Gedung Perpustakaan SDN 4 Jungutan. Sebelum acara inti dilaksanakan, pelatihan ini melewati beberapa kegiatan yaitu registrasi peserta pelatihan, sambutan-sambutan, pembagian kudapan, pelatihan sesi I & II, istirahat makan siang, dan penutup. Acara ini dimulai pukul 09.00 – 16.00 Wita. Pelatihan ini mestinya dibuka oleh Ketua LPM Undiksha, tetapi karena beralangan hadir maka acara sambutan langsung dilakukan oleh ketua panitia. Setelah itu, sambutan diberikan oleh Bapak Kepala Desa Jungutan. Dalam sambutannya, bapak kepala desa menyempaikan bahwa kegiatan pelatihan ini sangat penting dilaksanakan mengingat anak-anak belum semuanya tahu dan paham dongeng-dongeng yang ada di Desa Jungutan. Lebih-lebih pesertanya adalah anak-anak sehingga menjadi dasar bagi ingatan mereka tentang cerita-cerita yang bernilai religi di tempat tinggalnya sendiri. Setelah acara sambutan berakhir, selanjutnya dilakukan kegiatan inti yaitu pelatihan strategi sastra lisan. Sebelumnya, sudah dilakukan pengambilan data cerita tentang raksasa yang menculik penari rejang yang digunakan sebagai bahan naskah untuk strategi sastra lisannya. Data itu diambil selama selama seminggu yaitu dari tanggal 4 – 11 Mei 2015. Sumber datanya adalah para tetua yang ada di Banjar Abiantihing yaitu Jro Mangku Sri, Jro Mangku Dalem, Jro Mangku Merta, I Nengah Reta, dan I Wayan Sadia. Data diperoleh dengan mewawancarai narasumber tersebut. Dari sumber data itu, didapatkan cerita raksasa menculik rejang sebagai berikut.
RAKSASA WIJAYA KRAMA Rekonstruksi Kisah oleh I Made Astika, S.Pd., M.A. Alkisah,
terdapatlah
sebuah
desa
di
lereng
Gunung
Tohlangkir. Gunung itu terletak di kawasan timur Pulau Dewata. Konon, dahulu kala, sebelum menjadi desa yang padat penduduk, tempat itu merupakan kawasan hutan yang sangat angker dan lebat. Banyak binatang liar dan buas mendiaminya. Di ujung hutan itulah lama-kelamaan penduduk mulai berani mendirikan pemukiman. Orang-orang kemudian menyebutnya dengan nama Desa Jungutan. Desa ini sangat subur kaya akan pohon-pohon purba, tanaman padi, kelapa-kelapa yang menjulang, dan ribuan pohon salak yang tumbuh di sekitarnya. Pada perkembangan selanjutnya, desa ini kemudian dibagi menjadi beberapa banjar dinas. Salah satunya yang terkenal adalah Banjar Dinas Abiantihing. Di banjar ini terdapat upacara adat yang dijaga secara turun-tumurun oleh para anggota banjarnya. Tradisi tua itu bernama Buda Kliwon Pahang, yang dilaksanakan dua kali dalam setahun. Uniknya, saat upacara berlangsung, selalu digelar tarian sakral rejang di dalamnya. Tarian ini dilakukan oleh sembilan orang gadis ayu dan cantik yang sudah ditunjuk oleh para tetua banjar. Gadis-gadis itu akan menari selama tiga kali putaran di areal pura tepat menjelang senjakala datang. Pada mulanya, upacara adat ini berlangsung dengan aman dan lancar tanpa ada gangguan apa pun. Namun, pada suatu hari, warga banjar mulai dibuat resah karena pada saat upacara Buda Kliwon Pahang berlangsung, tiba-tiba penari rejang paling belakang itu raib tanpa jejak dan bekas apa pun. Seluruh warga banjar berupaya untuk mencari penari yang hilang itu. Seluruh kawasan desa ditelusuri dengan saksama tetapi hasilnya tetap nihil. Seluruh
warga banjar berkabung atas musibah itu. Lebih-lebih orang tua sang penari, setiap hari menangis menahan kesedihan harus kehilangan gadisnya yang cantik jelita. Berbulan-bulan lamanya gadis itu belum juga ditemukan. Sampai pada akhirnya upacara Buda Kliwon Pahang kembali tiba. Warga banjar masih diliputi keresahan dan ketakutan yang dalam ketika mengingat kejadian sebelumnya. Untuk mengatasi kondisi banjar seperti itu, para sesepuh mulai memikirkan bagaimana caranya agar penari rejang tidak hilang. Akibat adanya kejadian itu, sesepuh khawatir kalau tidak ada lagi gadis yang mau menjadi rejang. Jika tarian sakral itu tidak ada tentu akan mengurangi makna dan nilai-nilai upacara adat. Di perayaan selanjutnya, sesepuh banjar kemudian membekali setiap penari rejang dengan sekantong beras pada pinggangnya masing-masing. Beras itu dibungkus dengan daun jagung kering. Begitu para rejang mulai menari, pembungkus itu akan dilubangi sehingga beras akan jatuh secara perlahan. Memang, kejadian itu terulang lagi. Baru setengah putaran menari, tiba-tiba rejang yang berada pada baris paling belakang kembali hilang. Meskipun rejang itu telah raib, warga banjar tetap melaksanakan upacara adat. Dalam keadaan yang serba gelisah, seluruh warga tetap melakukan sembah bakti kepada para Dewata agar diberikan petunjuk-petunjuk yang jelas sehubungan dengan hilangnya penari itu. Seusai sembahyang, seluruh warga kemudian mencarinya lewat jejak beras yang jatuh di jalanan. Meskipun warga kesulitan menemukan jejak beras itu, tetapi karena didasari oleh kesabaran dan sembah bakti yang tulus kepada Tuhan, akhirnya jejak beras itu berhenti di sebuah bukit di kawasan hutan barat laut pedesaan. Warga mulai mencium keganjilan-keganjilan di bukit itu. Mereka pun mendengar suara-suara yang aneh, menggema dari sebuah gua. Tiba-tiba, salah satu dari mereka kemudian berteriak
“Ada raksasa! Ada raksasa!”. Suara aneh itu semakin lama semakin keras terdengar dari dalam gua, disertai dengan guncangan tanah di sekitarnya.
Warga
menggigil
ketakutan
dan
seketika
lari
berhamburan menjauhi perbukitan. Semenjak kejadian itu, sesepuh banjar segera mengadakan rapat di balai desa. Mereka ingin mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi di sana. Setelah berhari-hari diadakan penyelidikan, sesepuh desa mendapatkan laporan bahwa gua itu dihuni oleh raksasa. Hal itu dibuktikan dengan adanya jejak telapak kaki dengan ukuran sangat besar dan ditemukannya potongan-potongan bangkai hewan yang berserakan di sekitaran bukit. Warga pun berkesimpulan bahwa yang menculik para rejang selama ini adalah raksasa itu. Untuk menghindari musibah yang lebih besar, seluruh warga banjar sepakat untuk membunuhnya. Para sesepuh banjar lalu menyuruh seluruh warga untuk membawa serabut pangkal pelepah enau (ijuk) ke balai banjar. Tidak hanya ijuk, semua warga antusias membawa apa saja yang diminta oleh para sesepuh banjar. Sampai pada suatu ketika, pagi-pagi buta sekali, seluruh warga mendatangi kembali gua yang menjadi tempat raksasa itu tinggal. Dalam perasaan was-was, mereka mulai meletakkan ribuan gulungan ijuk di mulut gua. Setelah ijuk menutup seluruh gua, salah satu sesepuh banjar mulai membaca sejumlah mantra dan menyulut gundukan ijuk itu. Seketika kobaran api besar menutup seluruh gua. Semua warga menjauhi tempat itu dan menyaksikannya dari bagian perbukitan yang letaknya agak agak jauh dari bibir gua. Tanah di sekitar gua mulai bergetar hebat dan terdengar suara meraung-raung dari dalam. “Raksasa terbakar! Raksasa terbakar!” teriak salah satu warga. Getaran itu kemudian berubah menjadi guncangan yang sangat dahsyat. Batu-batu besar berjatuhan di dalam gua. Pohonpohon hutan tumbang. Tanah-tanah bukit menjadi longsor menutupi
seluruh mulut gua. Raungan dari dalam gua perlahan-lahan menghilang. Namun, api masih berkobar hebat membakar apa saja yang ada di sekitarnya. Warga menunggu sampai api itu benar-benar padam. Menjelang senja, mereka kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan lega dan tenang. Mereka yakin raksasa itu sudah tewas terpanggang di dalam gua. Berbulan-bulan kemudian, setiap diadakannya kembali upacara adat Buda Kliwon Pahang tidak ada lagi penari rejang yang hilang. Seluruh warga dapat kembali menyelenggarakan upacara adat tanpa rasa takut dan gelisah. Suasana desa kembali aman dan tenteram. Meskipun begitu, tidak ada satu pun warga yang berani melintas ke gua itu. Kawasan gua itu lama-kelamaan dikenal sebagai salah satu tempat yang paling angker di desa. Selama bertahun-tahun lamanya kisah tentang raksasa yang menculik rejang itu diceritakan secara terus-menerus kepada setiap generasi banjar. Hingga pada suatu masa, ada salah satu warga banjar yang nekat mencari pakan ternak ke gua itu. Betapa terkejutnya ketika dia menemukan tulangtulang dengan ukuran besar berserakan di mulut dan di dalam gua. Tulang-tulang itu sudah berlumut sehingga tampak berwarna gadang (hijau). Warga itu lalu menceritakan pengalamannya kepada seluruh warga banjar. Lama-kelamaan, tempat itu kemudian diberi nama Tulang Gadang. Namun, pada suatu hari, ada sejumlah warga desa tetangga yang mendatangi sesepuh desa untuk minta izin melakukan upacara pemanggilan roh di bukit itu. Ternyata, usut punya usut, keluarga itu sering mengalami musibah pesakitan karena tidak pernah melakukan sembah bakti kepada leluhurnya. Dari petunjuk sejumlah balian (dukun) sakti disebutkan bahwa leluhurnya itu masih gentayangan di Gua Tulang Gadang. Untuk itulah, harus dilakukan penyucian dan penjemputan roh untuk dapat dikembalikan ke daerah asalnya. Atas
keterangan warga tersebut, sesepuh desa meminta warga desa itu untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Atas permintaan itu, warga desa tetangga pun mulai bercerita. Syahdan, dahulu kala, di desanya hiduplah seorang bocah kecil yang memiliki lidah poleng (belang hitam putih). Anak itu sangatlah baik, berpenampilan ramah, suka menolong kehidupan orang yang tengah menderita atau sengsara. Semakin hari, anak itu semakin tumbuh dewasa, sakti, berwibawa, dan gagah perkasa sehingga orang-orang desa semakin menyenanginya. Mereka suka meminta bantuan kepada anak itu dalam hal pengobatan kebatinan. Anak itu sering mengobati bayi-bayi yang kena sakit akibat ilmu hitam. Berkat kesaktiannya, anak itu kemudian menjadi terkenal di seluruh desa. Namun, ada juga yang tidak senang akan kehadiran anak itu di desanya. Hingga pada suatu hari, dirinya difitnah bisa menebar ilmuilmu jahat kepada orang-orang desa. Seketika orang desa percaya dengan fitnah tersebut sehingga anak itu ingin diusir dari desanya. Begitu pun dengan keluarga anak itu akan disiksa. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya anak itu melarikan diri menuju tempat yang sangat jauh di kawasan perbukitan bernama Bukit Keduluan. Bukit ini masih satu gugusan dengan Bukit Kresek, Bukit Tanah Ampo, Bukit Waru, dan Bukit Catu. Anak itu menyusuri hutan belantara yang lebat seorang diri. Pada akhirnya dia tiba di sebuah gua yang di depannya terdapat batu besar. Di sanalah anak itu bersembunyi dari kejaran dan amukan warga desa. Di sana, dia hidup dengan memakan dedaunan dan umbi-umbian. Anak itu kemudian menghabiskan hari-harinya dengan bersemedi agar diberikan kekuatan yang mahadahsyat. Saking tekun dan tulusnya anak itu bersemedi, dirinya lalu mendapatkan anugrah
dari Ida Ratu Dalem Sakti. Anak itu kemudian menjadi sakti mandraguna.
Mula-mula,
kesaktiannya
itu
digunakan
untuk
melindungi seluruh kawasan-kawasan suci yang ada di masingmasing desa di sekitar hutan. Namun, lama-lama anak itu menjadi sombong dan loba. Ia kemudian bersemedi lagi, kali ini meminta anugrah kepada Ida Ratu Dalem Sakti agar menjadikan gua tempat tinggalnya itu menjadi surga. Ida Ratu Dalem Sakti akan mengabulkan semua permohonan anak itu dengan syarat bisa mencari gadis di bawah umur untuk dipersembahkan kepadanya. Karena hasrat untuk mempunyai surga sangat tinggi, maka anak itu berupaya keras untuk mendapatkan gadis di tempat tinggalnya. Hingga pada suatu hari, anak itu berhasil menculik seorang gadis yang juga ternyata adalah seorang penari rejang dewa. Namun, anak itu tidak mengetahui bahwa rejang dewa itu adalah milik Ida Ratu Dalem Sakti. Begitu anak kecil itu mau mempersembahkannya, betapa murkanya Ida Ratu Dalem Sakti. Dengan kemurkaan Ida Ratu Dalem Sakti, anak kecil itu kemudian dikutuk menjadi raksasa. Raksasa itulah yang sesungguhnya telah menculik para rejang selama ini setiap kali upacara Buda Kliwon Pahang digelar di Banjar Abiantihing. Akhirnya, raksasa yang semula hanyalah seorang anak kecil yang sakti itu diketahui bernama Wijaya Krama, berasal dari Desa Bloncing, Sidemen, Karangasem. Naskah itulah yang dipakai sebagai bahan untuk melaksanakan pelatihan strategi sastra lisan bagi anak-anak. Ketika sudah ada naskah, langkah selanjutnya adalah memberikan pengetahuan dasar tentang strategi retorika sastra lisan kepada anak-anak sebagai subjek pelatihan ini. Pengetahuan dan praktik tersebut diberikan oleh dua orang narasumber yaitu I Nyoman Yasa, S.Pd., M.A. seorang dosen dan peneliti sastra dari Universitas Pendidikan Ganesha dan I Wayan
Pageh, S.Pd., seorang seniman asal Desa Jungutan, Karangasem, yang sudah sering melatih seni tradisional di desa seperti seni drama gong dan genjek. Pelatihan ini dilakukan selama dua hari. Masing-masing pelatihan dibagi menjadi dua sesi yaitu sesi materi dan sesi praktik. Di hari pertama, 21 Juni 2015, diisi oleh I Nyoman Yasa, S.Pd., M.A. yang memberikan pemaparan materi tentang olah suara dan olah gerak kepada anak-anak. Setelah pemaparan materi selesai, selanjutnya narasumber memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk melakukan praktik olah suara dan olah gerak secara individu dan kelompok. Praktik ini dilakukan dengan metode bermain kata sehingga anak-anak sangat antusias mengikuti seluruh arahan dari narasumber. Selanjutnya, pada hari kedua, 22 Juni 2015, Bapak I Wayan Pageh, S.Pd. memandu kegiatan pelatihan untuk memberikan pengetahuan tentang penguasaan ekspresi dan penguasaan cerita. Pada saat pemaparan materi , anak-anak mengikutinya dengan saksama. Setelah mereka mengerti dengan materinya selanjutnya diisi dengan praktik kegiatan. Sebagaimana kegiatan sebelumnya, praktik pada olah ekspresi dan penguasaan cerita ini juga dilakukan dengan permainan-permainan yang menarik sehingga anak-anak sangat antusias mengikuti panduan yang diberikan oleh narasumber. Ketika keempat aspek selesai diberikan, langkah berikutnya yaitu memberi kesempatan kepada anak-anak untuk membaca teks atau naskah dongeng yang telah didokumentasikan. Mereka membaca teks itu dalam hati dan mulai menghayatinya dengan menggunakan keempat aspek yang sudah dilatihkan. Ketika mereka sudah memahami teks cerita dengan baik, narasumber kemudian memberi kesempatan praktik kepada anak-anak untuk beretorika sesuai dengan
sesuai dengan teks yang dibaca. Praktik ini dilakukan secara individu. Penampilan yang paling baik dilakukan oleh I Gede Sabda Adnyana dan I Komang Yoga Artana. Kedua anak ini secara total mampu beretorika sastra lisan secara total dengan memperhatikan keempat aspek yang sudah dilatihkan sebelumnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata nilai berarti sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Depdiknas, 2003:615). Menurut Daroesa (1989:20) nilai adalah suatu atau hal yang dapat digunakan sebagai dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu itu menyenangkan, memuaskan, menarik, dan berguna. Hal senada juga disampaikan oleh Suyitno (1986:35) nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Nilai dalam kehidupan manusia terkait dengan kegiatan menilai oleh manusia. Menilai berarti menimbang yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu, untuk selanjutnya mengambil keputusan tentang berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius. Sastra dan tata nilai merupakan fenomena sosial yang saling melengkapi dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempunyai penyodoran konsep baru (Suyitno, 1986:3). Sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilainilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti total. Nilai manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya.
Sejalan dengan itu, Lasyo (dalam Setiadi, 2006:117) mengungkapkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang berguna bagi manusia baik jasmani maupun rohani sedangkan Soekanto (1983:161) menyatakan bahwa nilai-nilai merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Pada hakikatnya, nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi manusia, yaitu menyangkut tentang hal-hal yang bersifat hakiki. Dengan demikian, nilai adalah suatu konsepsi abstrak mengenai baik buruknya perilaku yang selalu menjadi ukuran dalam proses interaksi sosial masyarakat. Mangunwijaya (1982:11) menyatakan bahwa istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan. Akan tetapi, sebenarnya kedua hal tersebut, mengarah kepada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukumhukum yang resmi. Religiositas di pihak lain, melihat aspek yang ada di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi dan totalitas kedalaman pribadi manusia. Religius diambil dari bahasa latin “relego” yang berarti menimbang kembali atau prihatin tentang (sesuatu hal). Seorang yang religius dapat diartikan sebagai manusia yang berarti, yang berhati nurasi serius, saleh, teliti, dan penuh pertimbangan spiritual (Lathief, 2008:175). Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah, melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasi hubungannya ke dalam keesaan Tuhan (Rosyadi, 1995:90).
Nilai-nilai religius dimaksudkan untuk mendidik manusia agar lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra, dimaksudkan agar penikmat karya tesebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Contoh nilai religius adalah yakin akan adanya kebesaran Tuhan, yakin adanya karma, menjalankan perintah agama masing-masing, saling menghormati antarumat beragama, dan sebagainya. Kehadiran unsure religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Nurgioyantoro, 2005:326). Semi (1993:21) menyatakan, agama merupakan kunci sejarah. Kita bisa memahami jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Selain itu juga dikatakan kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaannya kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Dengan demikian, nilai religius merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia. Yang dimaksud dengan retorika adalah kajian tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-mengarang (KBBI, 2008: 1171). Di sisi lain, retorika juga diartikan sebagai (1) seni bicara atau menulis yang efektif, sebagai kajian mengenai prinsip-prinsip dan aturan komposisi yang dirumuskan oleh para kritikus kuno, studi tentang bicara atau menulis sebagai sarana komunikasi atau persuasi; (2) keterampilan bicara yang efektif; (3) komunikasi verbal sebagai wacana (Taum, 2011:202). Retorika bertujuan melibatkan tiga perhatian pendengar yaitu logos, pathos, dan ethos, serta lima standar retorika yaitu penemuan, pengaturan, gaya, ingatan, dan penyampaian.
Pada perkembangannya, teknik seni wacana ini ditekankan pada seni berpidato yang berisi dasar-dasar penyusunan (komposisi) pidato. Sekalipun kepandaian retorika kini diaplikasikan pula ke dalam seni menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, retorika pada prinsipnya termasuk ke dalam kebudayaan yang mendominasi oleh situasi kelisanan (Teeuw, 1988:446). Hal itu disebabkan karena retorika melangsungkan pemikiran partisipatoris yakni sikap peran serta, identifikasi, dan sikap sambutan kolektif dalam kebudayaan lisan lama. Variasivariasi teks dapat dicermati dengan meneliti horizon harapan penutur teks-teks itu. Berbagai gaya retorika dalam komposisi sastra lisan menunjukkan ciriciri formulaik baik dalam tataran struktur formalnya maupun dalam tataran semantisnya. Ciri-ciri formulaic itu dapat dipahami dalam konteks fungsi sastra lisan sebagai sarana bagi penyimpanan, penyanmpaian, dan pewarisan berbagai norma, konvensi, dan sistem nilai dalam lingkup suatu kebudayaan tertentu. variasi teks dapat dikaji dalam hubungannya dengan aspek tanggapan penutur cerita terhadap norma-norma konvensional tersebut entah norma kesusastraan maupun norma sosial kemasyarakatan. Penciptaaan sastra lisan pada umumnya dipermudah berkat adanya formula, ungkapan formulaic, dan tema-tema siap pakai. Penciptaan sastra lisan bertugas merrakit formula-formula tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh. Dengan demikian, sastra lisan tampak sebagai akumulasi formula-formula. Meskipun demikian, struktur sastra lisan sesungguhnya tidak beku karena setiap kali diceritakan teks itu diciptakan secara baru dan spontan sesuai dengan situasi pendengar, waktu yang tersedia, maupun keadaan si penggubah sendiri.
Dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu, seorang sastrawan (tukang cerita) adalah seorang professional yang mencapai status tersebut melalui sistem pendidikan tertentu yang diikuti dengan teratur. Dalam kebudayaan yang lain, seorang sastrawan lisan tidak mengikuti sistem pendidikan tertentu. Jika dilacak lebih jauh mengenai sumber-sumber cerita, dapat dijumpai berbagai aspek intertekstualitas dalam sebuah teks. Kajian terhadap hal ini dapat menjelaskan migrasi dan difusi sebuah bentuk kebudayaan. Tujuan retorika adalah membina berkembangnya saling pengertian, kerja sama, dan kedamaian dalam kehidupan bermayarakat lewat kegiatan bercerita. Retorika
berusaha
menghilangkan
kesalahpahaman
dalam
komunikasi.
Kesalahpahaman ini sudah tentu dapat dihilangkan apabila seorang penutur dapat mempersuasi mitra tutur dengan menggunakan corak bahasa tertentu, perangkat ulasan, dan gaya penampilan tertentu. menurut Oka (1976) ketiga hal tersebut harus ditopang dengan moral penutur, analisis objektif sistematis terhadap topic tutur, pewadahan hasil analisis dengan bahasa yang tepat, penyesuaian dengan situasi dan kondisi mitra tutur, penataan bagian-bagian tutur secara sistematis dan logis, dan penampilan tutur dengan gaya meyakinkan. Strategi retorika sastra lisan ini bisa disamakan dengan berbicara dengan teknik narasi. Secara sederhana narasi diartikan sebagai pengisahan suatu kejadian atau peristiwa. Teknik narasi digunakan untuk mengemukakan rangkaian peristiwa yang terjadi secara kronologis. Penceritaan ini bisa secara progresif (dulu-kini) atau secara flashback (kini-dulu). Dalam pengabdian ini, teknik retorika itu akan dipakai oleh anak-anak untuk menceritakan kembali dongeng raksana menculik penari Rejang. Dalam retorika itu, akan diperhatikan unsur-
unsur yang mendukung penceritaannya seperti olah suara, olah tubuh, penguasaan ekspresi, dan penguasaan isi cerita.
BAB IV PENUTUP
Simpulan Berdasarkan pada pelatihan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem sebagai bentuk pemertahanan nilai-nilai religi upacara adat “Buda Kliwon Pahang” berjalan dengan baik dan lancar serta telah mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, respons masyarakat terhadap pelaksanaan pelatihan strategi retorika sastra lisan bagi anak-anak Banjar Abiantihing, Desa Jungutan, Bebandem – Karangasem sebagai bentuk pemertahanan nilai-nilai religi upacara adat “Buda Kliwon Pahang” sangat baik yaitu seluruh masyarakat mendukung penuh pelaksanaan pelatihan ini karena dipandang dapat memberikan manfaat yang sangat baik bagi anak-anak dalam melestarikan cerita-cerita lokal, lebihlebih yang masih ada hubungannya dengan nilai-nilai keagamaan.
Saran Berdasarkan pada temuan-temuan yang ada selama pelatihan berlangsung perlu diupayakan adanya pelatihan secara berkelanjutan bagi anak-anak mengingat respons mereka dan masyarakat sangat baik seperti dalam bentuk pelatihan pementasan dongeng dalam bentuk teater tradisional atau didahului dengan pelatihan penulisan naskah dongeng yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Daroesa, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu. Lathief, Supaat I. 2008. Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius. Lamongan: Pustaka Ilalang. Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Sinar Harapan. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Oka, I Gusti Ngurah. 1976. Retorik: Sebuah Pengantar. Bandung: Tarate. Rosyadi. 1995. Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba. Jakarta: CV Dewi Sri. Setiadi, Elly M. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. Soekanto, Soerjono. 1983. Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tujuan dan Sosiologis). Bandung: Alumni. Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai, dan Eksegesis. Yogyakarta: Anindita. Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka jaya.
LAMPIRAN
FOTO-FOTO KEGIATAN