Lagi, Cerita Lama Tentang Upaya Pelemahan KPK Mariska Estelita Permasalahan korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah sekaligus menjadi penyakit yang menggerogoti jalannya pembangunan di Indonesia. Berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) yang diterbitkan oleh Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2014, Indonesia menduduki peringkat ke 107 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 ( skala 0-100, 0 berarti sangat kotor dan 100 berarti sangat bersih). Posisi tersebut berada jauh dibawah Singapura yang berada di peringkat 7 atau bahkan Thailand di peringkat 84.1 Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi problematika bagi pemerintah Indonesia. Indonesia Corruption Watch menyataskan bahwa berdasarkan laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian, terdapat 629 kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2014.2 Jumlah ini lebih besar jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang tercatat sebanyak 560 kasus di tahun 2013. Pada tahun 2014 terdapat kurang lebih 1328 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Jumlah ini juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2013 dimana terdapat 1271 orang. Diperkirakan pada tahun 2014 negara mengalami kerugian hingga Rp 5,3 trilyun. Ini mengindikasikan bahwa kasus korupsi bukanlah hal remeh temeh dan diperlukan tindakan tegas dalam memberantas korupsi. Kenyataan tersebut tentunya menggelitik para pegiat anti korupsi yang terdiri dari aktivis dan CSO (Civil Society Organisation) untuk mendesak pemerintah agar menindak tegas praktik-praktik korupsi. Akan tetapi, pada bulan Oktober 2015 ini sepertinya kita dihadapkan oleh kenyataan yang cukup mengagetkan. DPR kembali menimbulkan kontroversi dengan mengajukan inisiatif revisi UU KPK No. 30 tahun 2002. Sejumlah anggota DPR yang berasal dari PDIP, Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Partai Hanura, dan PKB mengusulkan revisi UU KPK untuk dimasukkan dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2015.3 Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menolak usulan serupa yang diajukan oleh Menhumham Yasona Laoly. Akan tetapi, insiatif revisi UU KPK yang 1
Transparency International Indonesia, “Corruption Perception Index 2014 : results,” diakses pada 8 Oktober Hukum Online, “ICW : Jumlah Tersangka Kasus Korupsi ribuan di Periode 2014.” Diakses pada 8 oktober 2014 dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54febb754288e/icw-‐-‐jumlah-‐tersangka-‐kasus-‐korupsi-‐ ribuan-‐di-‐periode-‐2014 3 Teropong Senayan, “ Ini dia para wakil rakyat yang mendukung revisi UU KPK.” Diakses pada 8 oktober 2015 dalam http://www.teropongsenayan.com/18477-‐ini-‐dia-‐para-‐wakil-‐rakyat-‐yang-‐mendukung-‐revisi-‐uu-‐kpk 2
diinisiasi oleh para anggota DPR ini menimbulkan tanda tanya, ada apa sebenarnya? Lantas, jika kemudian revisi UU KPK dilakukan, apa yang akan terjadi? Terdapat setidaknya 13 usulan pasal yang kontroversial dalam revisi UU KPK, yaitu pasal 5, 13, 14, 22, 23, 24, 39, 42,45, 49, 52, 53, dan 72. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa KPK dibentuk untuk masa 12 tahun sejak UU ini diundang-undangkan. Artinya, KPK hanya akan berusia 12 tahun terhitung sejak revisi UU KPK disahkan. Ini menimbulkan kekhawatiran sekaligus pertanyaan, apakah dalam 12 tahun ke depan pemerintah dapat menjamin Indonesia sudah bebas dari korupsi sehingga KPK bisa dibubarkan? Pasal ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia sekaligus salah satu bentuk pelemahan KPK. Dalam pasal 7 juga diajukan agar KPK tidak memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan. Poin pada pasal 13 juga tidak kalah menarik. Dalam pasal ini disebutkan bahwa KPK hanya memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus korupsi dengan nominal minimal 50 milyar rupiah. Kasus korupsi dengan nominal di bawah 50 milyar rupiah akan diserahkan ke kejaksaan dan kepolisian. Dengan adanya perubahan pasal ini (selama ini tidak disebutkan nominal kasus yang ditangani KPK), tentunya menimbulkan keresahan mengingat kasus korupsi di bawah nominal 50 milyar rupiah tidaklah sedikit. Kasus korupsi seperti proyek pengadaan alat – alat kesehatan yang menjerat Ratu Atut memiliki nilai kontrak sebesar Rp 9 milyar, suap senilai 10 milyar rupiah yang dilakukan mantan bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri kepada hakim MK Akil Mochtar, atau bahkan kasus korupsi daging sapi oleh Lutfi Hasan Ishaq sebilai 1,5 milyar tentunya tidak bisa diselidiki KPK. Selanjutnya, pada pasal 14 ayat 1 huruf a juga lagi-lagi membatasi wewenang KPK. Dalam hal ini, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri. Hal ini tentunya berbeda dengan pasal 12 (1) huruf a yang menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam wewenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, ruang gerak KPK semakin dipersempit.4 Tidak hanya itu, dalam pasal 53, KPK tidak memiliki penuntut karena dalam pasal ini penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk 4
BBC.com, “ Lima Pasal dalam RUU KPK yang disusun DPR,” diakses pada 8 oktober 2015 dalam http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151007_indonesia_ruu_kpk_limahal
melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim. Dalam pasal 51 (1) UU No. 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa penuntut adalah penuntut umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Dalam revisi UU KPK ini juga meyebutkan bahwa KPK hanya bisa merekrut pegawai/penyelidik dari anggota POLRI, kejaksaan, dan BPKP. Bagaimana mungkin KPK kemudian hanya berisikan para pegawai yang direkrut dari lembaga yang juga terlibat korupsi? Bukankah KPK seharusnya bisa merekrut penyelidik independen agar kinerjanya lebih objektif dan tidak terkena intervensi? Sudah sangat jelas bahwa dalam rencana revisi UU KPK yang diinisiasi oleh anggota DPR tersebut terdapat upaya-upaya yang semakin membatasi dan menghambat kinerja KPK untuk memberantas korupsi sekaligus menjadi perlawanan balik para koruptor. Bukanlah rahasia umum jika DPR merupakan lembaga negara yang kerap tersandung kasus korupsi. Pada bulan April 2014, KPK menyatakan terdapat setidaknya 74 anggota DPR yang terlibat korupsi.5 Bahkan, KPK juga menyatakan bahwa hingga tahun 2014 terdapat setidaknya 3.600 anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi.6 Ini menunjukkan bahwa track record anggota DPR tidak bersih dan efek yang ditimbulkan cukup signifikan dalam mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislasi tersebut. Inisisiasi revisi UU KPK yang mengotak – atik peranan KPK juga seolah mengabaikan kondisi yang terjadi di lembaga kepolisian dan kejaksaan. Publik tentunya masih ingat dengan kasus simulator SIM yang menjerat Jenderal Djoko Susilo di tahun 2013. Sebelumnya pada tahun 2011, Komisaris Jendal Susno Duaji yang pada saat itu menjabat sebagai kepala Bareskrim Polri dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan karena keterlibatannya dalam kasus gratifikasi sebesar Rp 500 juta untuk percepatan penanganan kasus PT Salmah Arowana Lestari.7 Susno Duaji juga terseret kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat saat ia menjabat sebagai Kapolda Jabar tahun 2008. Kedua petinggi Polri yang terjerat kasus korupsi tersebut adalah sebagian dari nama-nama perwira polisi yang terkena kasus
5
Tempo, “KPK: 74 Anggota DPR Terlibat Korupsi,” diakses pada 16 Oktober 2015 dalam http://nasional.tempo.co/read/news/2014/04/15/078570877/kpk-‐74-‐anggota-‐dpr-‐terlibat-‐korupsi 6 Kompas.com, “ KPK : Anggota DPRD yang Terjerat Kasus Korupsi 3.600 orang,” diakses 16 Oktober 2015 dalam http://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang.Terjerat.Korupsi.3600.Oran g. 7 Tempo.com, “ Polisi terjerat korupsi : berapa nilai hartanya?” diakses pada 16 Oktober 2015 dalam http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/14/078634747/polisi-‐terjerat-‐korupsi-‐berapa-‐nilai-‐hartanya
rekening gendut. Berdasarkan data yang dilansir oleh TII pada tahun 2013, Polri memperoleh predikat sebagai lembaga paling korup di Indonesia.8 Masalah yang sama juga terjadi di lembaga Kejaksaan. Beberapa kasus menyeret nama sejumlah jaksa yang terlibat kasus suap seperti Urip Tri Gunawan, Jaksa Agung HM Prasetyo yang baru-baru ini terlibat kasus suap dengan tersangka Patrice Rio Capella. Pada rentang waktu antara tahun 2010 hingga 2014, terdapat 1.775 kasus korupsi di kejaksaan yang hanya terhenti di penyidikan.9 Dengan track record seperti ini, apakah kejaksaan sudah benar-benar bisa melakukan pemberantasan korupsi dengan optimal dan diserahkan wewenang yang lebih dari KPK? Hal inilah yang dikhawatirkan oleh para aktivis anti korupsi serta Civil Society Organisation (CSO) yang fokus dan selalu vokal dalam melakukan upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi. Aksi protes dan penolakan terhadap revisi UU KPK semakin ramai dilakukan oleh civil society yang peduli pada nasib pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya keberlangsungan eksistensi KPK yang akhir-akhir ini kerap digempur dengan upaya-upaya pelemahan serta kriminalisasi. Berkaca pada hal ini, sudah selayaknya pemerintah mempertimbangkan suara masyarakat yang diwakili oleh CSO untuk membatalkan revisi UU KPK sebagai bagian dalam Prolegnas 2015. Indonesia adalah salah satu negara demokrasi yang harus menyelesaikan korupsi sebagai salah satu dari 18 faktor penghambat pembangunan. Pemerintah hendaknya mampu memberikan keputusan untuk menolak revisi UU KPK demi membuktikan komitmen dan keseriusan dalam memberantas korupsi. Korupsi adalah penyakit yang telah merenggut hak rakyat dalam berbagai aspek seperti pembangunan, pendidikan, perekonomian, dan kesehatan. Selain itu, pemerintah juga sudah seharusnya fokus dalam melakukan reformasi di tubuh Kepolisian dan kejaksaan. Mana mungkin upaya pemberantasan korupsi akan berjalan secara optimal jika diserahkan kepada lembaga yang justru masih memiliki beban pekerjaan rumah untuk membersihkan tubuhnya dari korupsi? Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya good will dari pemerintah untuk konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi. 8
Kompas.com, “ Di depan Polisi, Wakil Ketua KPK Sebut Polri Plaing Korup,” diakses pada 17 Oktober 2015 dalam http://nasional.kompas.com/read/2013/11/14/1600438/Di.Depan.Polisi.Wakil.Ketua.KPK.Sebut.Polri.Paling.Ko rup 9 http://www.aktual.com/banyak-‐kasus-‐korupsi-‐di-‐kejaksaan-‐berhenti-‐di-‐tingkat-‐penyidikan/
Mariska Estelita adalah alumni Universitas Paramadina. Kini bekerja sebagai communication officer di Federasi Serikat Pekerja Mandiri. Bisa dihubungi melalui email:
[email protected].