#1 Markas Lama Punya Cerita
Tidak ada tempat yang selamanya bisa menjadi tempat favorit bagi manusia. Karena manusia selalu berubah-ubah. Namun selalu ada tempat yang pernah menjadi tempat favorit bagi seseorang. Tempat yang menyimpan beribu kenangan yang akan selalu dirindukan.
Kalian siap untuk tur pertama kita? Baiklah. Mari kita mulai. Tur pertama kita adalah menjelajah waktu menuju markas lama. Iya markas lama, kenapa? Oh, kalian takut? Banyak kenangan buruk? Tunggu! Tunggu sebentar. Tolong jangan ribut. Peraturan telah ditentukan bahwa tur pertama adalah menjelajah waktu menuju markas lama. Jadi aku mohon izinkan aku membawa kalian bertamasya, menjelalajah waktu untuk mengenang apa saja yang pernah terjadi dan kita alami di markas lama. Kalian siap? Sebelumnya aku ingin tanya, apa yang kalian ingat dari markas lama? Kebun yang luas tempat kita bermain menghabiskan waktu liburan? Pagar tembok dan pohon kelengkeng yang suka kita panjat di hari Minggu? Sungai kecil yang jernih tempat kita melepas gerah usai seharian bermain? Rumah mungil berwarna putih dengan pohon anggur di halaman depan? Atau kawasan terasing yang sengaja dijauhi karena keangkerannya? Bagian mana yang dominan tersimpan dalam memori otak kalian? Aku harap kalian masih mengingat semuanya. Bagian manis dan pahitnya, baik dan buruknya, indah dan angkernya. Semua tentang markas lama kita. Beberapa waktu lalu aku berkunjung ke markas lama. Semua telah berubah. Tidak ada lagi kebun luas dengan berbagai macam pohon buah-buahan tempat kita bermain dahulu. Pagar tembok itu masih ada, hanya saja ia bertumbuh semakin tinggi setelah kita tinggalkan. Pada puncaknya kini dihiasi dengan kawat berduri. Pohon kelengkeng favorit kita yang sempat tersisa pun telah mati. Bukan mati, tapi sengaja di tebang karena perluasan lahan untuk bangunan baru. Sungai kecil yang jernih itu, aku tak bisa melihatnya lagi karena tertutup tembok yang menjulang tinggi. Hanya rumah mungil berwarna putih dan pohon anggur yang tersisa. Hanya mereka saksi bisu yang masih tersisa setelah kita semua hengkang meninggalkan markas lama sebelas tahun yang lalu. Bangunan-bangunan bernuansa modern berdiri megah di atas lahan yang dulunya adalah kebun tempat kita bermain bersama pepohonan, burung-burung dan ular. Iya,
ular. Kenapa? Apa kalian lupa pada keberadaan reptil yang cukup sering berinteraksi dengan kita itu? Apa kalian lupa pada apa yang pernah dituturkan Nenek tentang markas lama? Tentang sejarah markas lama? Apa kalian lupa pada julukan markas lama? Ah, kalau terkenal sebagai tempat angker itu sudah umum. Ada satu julukan lagi. Benarbenar lupa? Hey? Ah ya, benar. Syukurlah kalian masih ingat. Markas lama adalah sarang ular. Tari, ingat nggak waktu kita berkebun menanam bunga pacar air di lahan kecil di samping kanan markas? Kala itu sedang liburan sekolah dan kita mengisinya dengan membuat taman kecil di lahan kosong di samping kanan rumah mungil berwarna putih yang tak lain adalah markas lama kita. Di tepi lahan itu ada deretan tanaman pandan yang menjadi batas antara area perumahan dan kebun. Usai menanam bibit bunga pacar air kita berniat merapikan tanaman pandan dengan memotong daun-daunnya yang telah menguning. Kita kaget ketika sampai pada pohon pandan keempat karena di sela-sela daunnya ada seekor bayi ular tengah bersembunyi. Dengan hati-hati aku menyentuh bayi ular itu dengan ranting pohon. Kita semakin kaget ketika bayi ular itu bergerak, ternyata ia memiliki dua kepala. Buru-buru aku memintamu mencari botol untuk dijadikan wadah, tapi kita kurang beruntung. Ketika aku berusaha menangkap bayi ular itu dan memasukannya ke dalam botol, ia berhasil lolos lalu menghilang di semak-semak. Lalu apa kalian masih ingat tentang asal muasal kenapa markas lama dijuluki sarang ular. Apa? Lupa? Tak ingat? Astaga… kalian benar-benar melupakannya. Baiklah. Aku akan membantu kalian untuk mengingatnya kembali. Tentang asal muasal kenapa markas lama dijuluki sebagai sarang ular. Menurut Nenek, konon pada zaman penjajahan Belanda ada seorang tuan tanah kaya raya bernama Tuan Moerman yang bermukim di area markas lama. Tuan Moerman memiliki hobi yang tergolong ekstrim yaitu memelihara berbagai jenis ular. Beliau memiliki satu buah sumur yang di dalamnya berisi ratusan ular. Ketika Tuan Moerman meninggal, sumur dan ular-ular peliharaannya menjadi terbengkalai. Tahun demi tahun berlalu dan lahan tempat sumur berisi ratusan ular milik Tuan Moerman diubah menjadi hunian warga yang kemudian beralih menjadi kawasan markas lama. Itulah alasan kenapa markas lama kita identik dengan ular, bahkan dijuluki sebagai sarang ular. Walau sang pemilik telah lama tiada, ular-ular peliharaan itu tetap setia menghuni tempat mereka dipelihara. Entah hanya dongeng rekaan Nenek belaka atau benar kisah nyata, sampai saat ini masih sering dijumpai ular-ular bermunculan di kawasan markas lama.
Walau bangunan semakin padat di lokasi markas lama, ada rasa berbeda ketika aku kembali menginjakan kakiku di sana. Aku bergidik. Merinding. Ada rasa takut menggerayangiku. Seolah ada ribuan pasang mata yang menatapku dengan was-was. Siaga. Siap menyerang. Mungkin seperti inilah yang dahulu dirasakan oleh orang-orang
sehingga mereka memilih menghindari kawasan markas lama lalu menyebutnya sebagai tempat angker. Aku berdiri di depan rumah mungil berwarna putih yang dahulu kita tempati sebagai markas besar. Bangunan itu tak berubah. Tetap sama seperti dahulu saat kita meninggalkannya. Aku tersenyum menatapnya. Mengamati setiap detailnya. Di sanalah ribuan kenangan telah kita ukir. Kuraih ponsel dalam saku celanaku dan mulai membidik rumah mungil berwarna putih itu untuk diabadikan. Aku ingin menunjukannya pada kalian. Di dalam rumah mungil berwarna putih itu dahulu aku tinggal. Menghabiskan masa kanak-kanak hingga remajaku. Di sana ribuan kisah kita terukir. Di sana pula kisah-kisah mengerikan itu terjadi. Dan saat kalimat terakhir itu muncul di benakku, tatapanku terhenti pada jendela di sisi utara. Jendela dari kamar yang dahulu adalah kamar tidurku. Jendela itu masih sama. Hanya saja sedikit usang. Jendela yang sama, jendela yang menjadi saksi bisu kenangan mengerikan itu. Apa? Kenangan mengerikan yang mana? Astaga… apa kalian lupa akan peristiwa itu? Apakah karena kita terlalu lama terpisah hingga kalian lupa pada cerita paling mengerikan itu? Baiklah, baiklah. Aku akan menceritakannya kembali di sini karena itu adalah tujuan utama dari tur kita. Kalian siap? Combat. Adakah yang masih ingat dengan film serial itu? Film itu sangat populer di masa kanak-kanak sebagian dari kita. Benar kan, Tari? Tunjung? Pada masa itu hanya ada satu saluran televisi saja yaitu TVRI. Selain Friday 13th ada satu tayangan film impor yang menjadi tontonan favorit kita yaitu Combat. Mungkin hanya aku, Rahma dan Tunjung yang paling ingat tentang Combat walau tak secara detail. Film itu berkisah tentang perang. Tentang tentara yang dikirim ke medan perang. Tentang suka duka mereka. Aku selipkan sedikit apa yang aku dapat dari Google tentang film Friday 13th dan Combat. Kedua film lawas itu—Combat dan Friday 13th- dulu ditayangkan di TVRI yang merupakan satu-satunya saluran televisi yang ada di zaman itu. Menurut artikel yang aku dapat dari Google, Combat adalah serial yang menceritakan tentang suasana Perang Dunia II, tentang Jerman yang berperang melawan Sekutu. Sedang Friday 13th adalah serial yang menceritakan tentang tiga pemburu benda-benda antik yang menyimpan kutukan. “Dia menyerahkan jiwanya pada setan dan menjual barang-barang antik yang mempunyai kekuatan sihir hitam kepada orang-orang yang ingin memuaskan nafsu duniawi secara instan.” –Friday 13thWah, cukup mengerikan ya kutipannya. Baiklah. Aku akan menceritakan pengalaman paling mengerikan yang aku alami di markas lama. Kejadiannya… sangat lama. Ketika aku masih kanak-kanak. Walau demikian, setiap kali menyinggung tentang kisah itu, sosok mengerikan itu, sorot matanya yang penuh kemarahan secara instan akan muncul dalam ingatanku. Tergambar sangat jelas. Aduh… bulu kudukku langsung
meremang. Sebentar. Izinkan aku menata perasaanku. Pergilah sejenak dari ingatanku wahai… oh, ya ampun… belum menuliskannya sosok mengerikan itu sudah riwa-riwi di otakku. Hei, diam saja di sana dan biarkan aku menuliskan kisahmu!
Malam itu aku dan Rahma menunggu kedatangan Tunjung di markas. Kami sudah berjanji untuk menginap bersama. Itu adalah kebiasaan kami, bahkan sudah menjadi tradisi—bersama-sama menginap di markas. Aku dan Rahma yang terobsesi dengan film Combat, tak pernah bosan beramin apa pun yang berhubungan dengan film bertema peperangan itu. Misalnya disaat liburan dan hari terang, kami akan bermain perangperangan di kebun. Menggunakan pistol air sebagai senjata atau membuat senapan dari pelepah daun pisang. Ah menyenangkan sekali masa kecil kita. Sambil menunggu Tunjung datang, kami memutuskan untuk main “mantenmantenan”. Eum, permainan ini mungkin terdengar sangat asing di telinga kalian. Begini permainannya, kami memanfaatkan selimut sebagai baju, kerudung sebagai rambut dan bunga-bunga plastik sebagai hiasan kepala. Maklum zaman kecil dulu kami tak diizinkan memanjangkan rambut. Karena kami memiliki potongan rambut pendek, maka kami memakai kerudung panjang sebagai rambut. Setelah selimut ditata sedemikian rupa hingga menjadi gaun—yang menyerupai Kimono besar- dan kerudung digunakan sebagai rambut digelung dan dihiasi bunga-bunga plastik, kami berdiri di depan cermin sambil melakukan dialog spontan tentang pernikahan kami yang akan segera digelar. Simpelnya kami sedang bermain drama di atas panggung khayalan kami sendiri. Kami yang sangat terobsesi dengan film Combat, tentu saja memilih tokoh yang kami idolakan dalam film itu sebagai calon suami. Malam itu panggung sepenuhnya milik Rahma. Dialah sang tokoh utama wanita yang akan menikah dengan Sersan—dari film Combat- si tokoh utama pria yang tentu saja hanya khayalan. Aku hanya menjadi tokoh pendamping karena Ryan—tokoh yang aku idolakan di film Combat- mati dalam pertempuran di episode terbaru Combat yang kami tonton beberapa hari sebelumnya. Tokoh utama, tokoh pendamping dan dialog, kami pun memulai pertunjukan kami di depan cermin di dalam bilikku. “Bengi-bengi ojo dulinan manten-mantenan! Wes ndang turu!” Ibu membuka pintu bilik dan mengingatkan kami agar tak bermain ‘manten-mantenan’ di malam hari. Beliau meminta kami untuk segera tidur karena waktu sudah menunjukan pukul sembilan. Aku mengutarakan alasan kenapa kami masih terjaga. Tunjung masih mengikuti tahlil rutinan di kampung, karenanya ia sedikit terlambat datang ke markas. Ia mengatakan akan datang di markas pukul sembilan. Dan ya, pukul sembilan sudah tiba namun Tunjung belum muncul. Kami yang mulai mengantuk memutuskan untuk bermain “manten-mantenan” sambil menunggu Tunjung. Ibu menggelengkan kepala mendengarnya, lalu pamit untuk tidur lebih dulu. Kami melanjutkan permainan.
Beberapa menit kemudian, di tengah-tengah keasikan kami berakting di depan cermin, kami mendengar suara ketukan di jendela. Bunyi ketukan yang sangat… tak wajar. Menurutku. Karena ketika terdengar ketukan itu, sontak suasana di dalam bilik berubah ngeri. Radio yang sebelumnya sedang memutar sebuah lagu tiba-tiba berganti menjadi suara gembresek seperti radio yang kehilangan gelombang pemancar. Dari bunyinya, aku yakin ketukan di jendela itu dihasilkan dari benturan jari telunjuk dengan kaca. “Duk! Duk! Duk!” bunyi ketukan yang langsung membuat kami kompak terdiam dan saling melempar pandangan. Dingin. Walau kami terbalut selimut yang cukup tebal, tiba-tiba kami merasakan hawa dingin menyeruak di sekitar kami. Ketukan di jendela sisi kiri kembali terdengar. Tubuhku mendadak tegang. Aku ketakutan. Namun Rahma malah maju selangkah lebih dekat pada jendela. Aku menarik bahunya, tapi Rahma berbisik, “Mungkin itu Tunjung.” Aku ikut maju selangkah dan berada lebih dekat di belakang Rahma. Ku pegang pundak Rahma yang mulai mengulurkan tangan ke kelambu. Jantungku berdetub kencang ketika tangan Rahma semakin dekat dengan kelambu. Tangan kanan Rahma sudah memegang kelambu yang kemudian ia sibakan dengan gerakan cepat. Kedua mataku terbelalak ketika kelambu terbuka. Bukan Tunjung yang ada di luar, di balik jendela, melainkan sosok lelaki berlumuran darah yang berdiri di dekat jendela sisi kiri dan menatap tajam pada kami. Dari ujung kepala hingga separuh badannya berwana merah, berlumuran darah. Tatapan matanya penuh kebencian. Sorot matanya tajam, penuh amarah. Bola mata putih dengan pupil hitam pekat itu seolah mengunci kami untuk tetap menatapnya. Beberapa detik kemudian kami—aku dan Rahma- menjerit sambil berlomba untuk masuk ke kolong ranjang. Keningku sampai terbentur lantai ketika berebut masuk ke kolong ranjang dengan Rahma. Di kolong ranjang, aku dan Rahma berpelukan. Sangat ketakutan. Kami merapalkan surah-surah pendek yang kami hafal untuk mengusir rasa takut pada sosok mengerikan itu. Di luar sana terdengar bunyi bangkiak yang sepertinya sengaja di gerak-gerakan di atas lantai porselen untuk menciptakan bunyi yang gaduh. Seperti seseorang yang sedang menari dengan mengenakan bangkiak sebagai alas kaki dan menciptakan alunan bunyi mengerikan. Kami semakin ketakutan dan tetap bertahan berpelukan di kolong ranjang sambil terus merapalkan Al-Fatehah. Entah berapa lama kejadian itu berlangsung. Tubuhku dingin dan menggigil karena ketakutan. Tiba-tiba kami mendengar Tunjung mengucap salam. Bunyi permainan bangkiak itu seketika hilang. Radio yang sempat berubah gembresek seperti kehilangan gelombang pemancar tiba-tiba kembali normal. Suasana kembali tenang dan hangat. Kami berebut keluar dari kolong ranjang untuk keluar bilik dan membukakan pintu untuk Tunjung. Saat keluar bilik, barulah kami tahu jika Bapak masih terjaga menonton TV. Beliau yang membuka pintu untuk Tunjung. Bapak dan Tunjung heran melihat kami. Kami terlihat pucat menurut mereka. Aku pun menceritakan apa yang baru kami alami. Anehnya Bapak mengaku tak mendengar
jeritan keras kami juga suara gaduh bangkiak yang amat mengerikan itu. Tunjung yang baru sampai mengaku tak melihat apa-apa di dekat jendela. Bapak meminta kami untuk masuk kamar dan segera tidur, sedang Tunjung pergi ke dapur untuk mengambil dua gelas air putih untuk kami.
Keesokan paginya, aku yang terbangun dan diliputi rasa penasaran segera keluar bilik dan memeriksa sisi luar bilik. Aku berpikir mungkin akan ada sisa darah yang menempel di tembok atau di bagian luar jendela. Bersih. Tak ada apa pun di luar sana. Jadi yang semalam itu adalah hantu? Sejak saat itu aku dan Rahma tak pernah bermain “manten-mantenan” lagi walaupun di siang hari. Apakah bermain “manten-mantenan” di malam hari yang mengundang sosok mengerikan itu untuk datang? Entahlah. Hingga kini aku tak tahu jawabannya dan tak mau mencari jawabannya.
Ya ampun, kerigatku mengucur deras. Harus mengulang cerita itu sama saja dengan membawaku kembali pada peristiwa mengerikan itu. Bahkan aku masih bisa mengingat bagaimana bunyi ketukan itu terdengar di telingaku. Juga bagaimana sosok itu berdiri menatap tajam kami dari luar jendela. Itu sangat mengerikan. Konon katanya pernah ada korban pengeroyokan yang meninggal di kawasan markas lama. Aku berpikir apakah sosok lelaki berlumuran darah dengan tatapan penuh amarah itu dia?
Yang membuatku salut pada kalian adalah walau image markas lama terkenal ‘sangat angker’, hal itu tak menciutkan nyali kalian para penghuni Sarang Clover untuk bermain dan menginap di markas. Jika aku tak salah mengingat, masing-masing dari kalian yang pernah menginap di markas lama pasti punya kenangan ‘horor’.