Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
(Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008) POLICY ADVISORY UNIT
Editor: DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc DR. Rahyani Ermawati, M.Sc Ir. Heru Kustanto, M.Si Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN 2009
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
(Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008) POLICY ADVISORY UNIT
Editor: DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc DR. Rahyani Ermawati, M.Sc Ir. Heru Kustanto, M.Si Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN 2009
Kumpulan Pemikiran
untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional (Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008)
Hak Cipta © 2009 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN - 2009 ISBN 978-979-9494-19-1
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian Jln. Jenderal Gatot Subroto Kav. 52 – 53, Lantai 19 – 20 Jakarta 12950
KATA PENGANTAR TIM EDITOR
K
ebijakan Industri Nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008 telah menetapkan 34 kelompok industri prioritas yang dalam pengembangannya akan mendapatkan kemudahan dari Pemerintah. Kemudahan yang diberikan berupa pemberian fasilitas bagi penanaman modal yang sesuai dengan kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Dalam mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 ini kiranya tidak mungkin untuk sekaligus memberikan fasilitas kepada seluruh industri yang telah ditetapkan sebagai industri prioritas, mengingat sumbar daya dan dana Pemerintah yang terbatas. Sebaliknya, tidak pula mudah untuk memilih industri yang akan menjadi prioritas utama untuk mendapatkan fasilitas dimaksud, karena kriteria untuk pemilihan tersebut harus memiliki dasar yang kuat berdasarkan kepentingannya.
iii
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Buku ini merupakan hasil pemikiran melalui beberapa forum diskusi dengan para pakar, nara sumber dan pemangku kepentingan dalam bidang industri yang bertujuan untuk memberikan penajaman terhadap Kebijakan Industri Nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008. Selain dari Departemen Perindustrian, pakar dan nara sumber juga berasal dari perguruan tinggi, dunia usaha, dan pemerhati masalah industri nasional. Tahapan yang dilalui dalam penyusunan buku ini mencakup Forum Group Discussion untuk menentukan “rating” industri nasional dan pembahasan isu-isu spesifik yang terkait dengan industri nasional, seperti masalah otonomi daerah, industri visioner dan kompetensi inti daerah. Setiap forum diskusi dihadiri oleh para pakar yang terkait dengan isu yang sedang dibahas. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian atas kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan kepada tim untuk melaksanakan penyusunan buku ini. Kepada Bapak Prof. Dr. Rahardi Ramelan dan Bapak Dr. Ir. Hartarto disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas semua sumbangan pemikirannya yang ikut mewarnai isi buku ini. Tim editor berharap semoga hasil pemikiran yang tertuang dalam buku ini akan dapat menjadi salah satu masukan dalam mengimplementasikan kebijakan industri nasional agar tujuan yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dapat dicapai dan Indonesia dapat menjadi negara industri maju baru yang tangguh.
iv
Daftar Isi KATA PENGANTAR TIM EDITOR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR KONTRIBUTOR PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI DR. Dedi Mulyadi IMPLEMENTASI KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL: EXECUTIVE SUMMARY DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc BAB I. UMUM KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL DI ERA KRISIS GLOBAL DAN RELEVANSINYA DR. Faisal Basri KEBIJAKAN INDUSTRI DAN MASALAHNYA Prof. DR. Rahardi Ramelan SKETSA PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN INDUSTRI DR. Mesdin Simarmata
iii v vii ix xi xi xiii 1 3 23 35
BAB II. INDUSTRI PRIORITAS 65 RATING DAN PEMETAAN POSISI INDUSTRI PRIORITAS: SUATU METODE PENAJAMAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE 67 APLIKASI METODE RATING UNTUK PEMILIHAN INDUSTRI PRIORITAS Ir. Heru Kustanto, M.Si 77 PENETAPAN INDUSTRI VISIONER NASIONAL Ir. Heru Kustanto, M.Si 95 KOMPETENSI INTI INDUSTRI SEBAGAI SALAH SATU LANDASAN UNTUK MENGEMBANGKAN DAYA SAING DAERAH DR. Agus Maulana 107
v
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
BAB III. OTONOMI DAERAH PENERAPAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL DALAM ERA OTONOMI DAERAH Prof. DR. Bambang P. S. Brojonegoro MELEMBAGAKAN INDUSTRIALISASI DALAM PASCA DESENTRALISASI DR. Mangara Tambunan
125 127 137
BAB IV. ISU STRATEGIS 141 Energi: Perubahan Paradigma DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc 143 ROADMAP INDUSTRI DALAM WILAYAH EKOSISTEM: ISU STRATEGIS INDUSTRI YANG BERKELANJUTAN DR. Herman Haeruman, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc 157 ASPEK TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI SECARA INKONVENSIONAL: STUDI KASUS BIOTEKNOLOGI DI INDONESIA DR. Adi Pancoro, DR. Arif Budi Witarto, M.Eng 165 PERAN PATEN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI NASIONAL Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE 177 Strategi Adopsi Teknologi Informasi UNTUK MEWUJUDKAN IKM KELAS DUNIA YANG BERDAYA SAING SEBAGAI PENOPANG BANGUN INDUSTRI NASIONAL 2025 DR. Yan Rianto, M.Eng 181 HAMBATAN NON TARIF TERKAIT DENGAN HAMBATAN EKSPOR NASIONAL DAN PERAN REGULASI TEKNIS UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI NASIONAL DR. Bambang Setiadi 207 MENYIKAPI HAMBATAN TEHNIS DALAM PERDAGANGAN DAN PERAN REGULASI TEHNIS UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI NASIONAL Halida Miljani, SH 213 BAB V. ISU TERKAIT LAINNYA 223 PERAN GOOD GOVERNANCE UNTUK MENDUKUNG PENERAPAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL DR. Endro Utomo, Ir. Dhiah Nuraini, M.Si 225 STRATEGI OPERASIONAL DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL DR. Aidil Yuzar 233
vi
Daftar Tabel Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20
Penyebaran industri prioritas berdasarkan asal bahan baku dan tujuan pasa Ranking industri prioritas dalam setiap kwadran (gabungan hasil pengolahan data dan expert judgement) Industri Visioner Pertumbuhan tiap sektor industri Tabel Perbandingan nilai anggaran utnutk penelitiam dan Pengembangan Pertumbuhan GDP tradables alam (%) Pertumbuhan masing-masing sektor tradable dan non-tadable Real GDP growth: non-tradables (%) Sumbangan manufaktur terhadap PDB (%) Pertumbuhan industri manufaktur golongan besar dan sedang Jumlah penyerapan tenaga kerja Perkiraan dampak krisis versi pemerintah Klaster Industri Prioritas Parameter sebagai referensi penentuan industri prioritas pada tahun 2005 Parameter rating Industri Prioritas Tinggi Cabang Industri dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2008 Cabang-cabang Industri yang masuk kwadran 1 (kandungan impor bahan baku rendah dan berorientasi pasar ekspor) Cabang-cabang Industri yang masuk kwadran 2 (kandungan impor bahan baku tinggi dan berorientasi pasar ekspor) Cabang-cabang Industri yang masuk kwadran 3 (kandungan impor bahan baku tinggi dan berorientasi pasar domestik) Cabang-cabang Industri yang masuk kwadran 4 (kandungan impor bahan baku rendah dan berorientasi pasar domestik)
xx xx xxii 5 8 11 12 13 14 15 15 17 55 72 74 81 89 89 90 90 vii
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 21 Peringkat 3 besar Industri Prioritas pada kwadran 1 (kandungan impor bahan baku rendah dan berorientasi pasar ekspor) 91 Tabel 22 Peringkat 3 besar Industri Prioritas pada kwadran 2 (kandungan impor bahan baku tinggi dan berorientasi pasar ekspor) 92 Tabel 23 Peringkat 3 besar Industri Prioritas pada kwadran 3 (kandungan impor bahan baku tinggi dan berorientasi pasar domestik) 92 Tabel 24 Peringkat 3 besar Industri Prioritas pada kwadran 4 (kandungan impor bahan baku rendah dan berorientasi pasar domestik) 92 Tabel 25 Cabang industri dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2008 98 Tabel 26 Daftar panjang industri visioner 100 Tabel 27 Daftar Pendek Industri Visioner 105 Tabel 28 Potensi Sumber Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia 145 Tabel 29 Jadwal berakhirnya kontrak operator migas 149 Tabel 30 Strategi, Kebijakan, dan Instrumen Peningkatan adopsi TI di IKM skala kecil 196 Tabel 31 Strategi, Kebijakan, dan Instrumen Peningkatan adopsi TI di IKM skala menengah 198
viii
Daftar Gambar Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21
Pertumbuhan Industri Perbandingan Grafik Pertumbuhan GDP di berbagai negara Nilai Ekspor dari Beberapa Negara ASEAN Pertumbuhan GDB setelah krisis Beberapa industri yang kemungkinan mengalami kemunduran akibat krisis Pemetakan beberapa industri yang kemungkinan mengalami kemunduran akibat krisis Pemetakan beberapa industri berdasarkan kandungan material ekspor dan impor Pemetakan beberapa industri berdasarkan kebijakan yang diperlukan Roadmap Kebijakan Pembangunan Ekonomi Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Bangun Industri Nasional Perencanaan Kegiatan Pemerintah Hasil pembobotan kriteria pemilihan industri prioritas menggunakan ketode AHP melalui kegiatan FGD Diagram Bobot Permasalahan Bisnis di 243 Kabupaten di Indonesia Diagram Distribusi Cadangan Energi Dunia tahun 2002 Peran Minyak Bumi dalam Penyediaan Energi Nasional Konsumsi Pertumbuhan Energi Neraca Energi Tahun 2004 Skema Garis Besar Pohon Industri Petrokimia Dilema Energi saat ini Nilai Tambah Sektor Migas pada Pemanfaatan Sisi Hulu dan Hilir
4 6 6 9 18 19 20 21 39 42 55 58 88 129 144 146 147 148 150 151 151
ix
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Gambar 22 Gambar 23 Gambar 24 Gambar 25 Gambar 26 Gambar 27 Gambar 28 Gambar 29 Gambar 30 Gambar 31 Gambar 32 Gambar 33
x
Pola Pikir Politik Energi Kapasitas Pembangkit PLN (dalam MW) Penjualan Tenaga Listrik (dalam Milyar Rp) Penjualan Tenaga Listrik (dalam GWh) Penjualan Tenaga Listrik, Power Purchase, rental (GWh) Penggunaan Lahan Pertanian di Indonesia sejak tahun 2003 Perkembangan Luas Lahan Sawah Periode Tahun 1994-2002 Laju Deforestasi (juta ha/tahun) TI dan Daya Saing di IKM Indonesia Tahapan Adopsi TI di IKM Sistem Integrasi yang saling terkait Hubungan antar sektor dalam pelaksanaan good governance
153 154 155 155 156 160 160 161 185 194 230 132
Kontributor
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Departemen Perindustrian
Prof. DR. Rahardi Ramelan DR. Aidil Yuzar Halida Miljani, SH DR. Bambang Setiadi Prof. DR. Bambang P. S. Brojonegoro Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE DR. Faisal Basri DR. Mesdin Simarmata
Pengamat Industri Pengamat Industri Departemen Perdagangan Badan Standardisasi Nasional (BSN) Islamic Development Bank (IDB) Universitas Padjadjaran (UNPAD) Universitas Indonesia (UI) Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Universitas Indonesia (UI) Institut Pertanian Bogor (IPB) Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Balai Besar Kimia Kemasan (BBKK) Departemen Perindustrian Institut Pertanian Bogor (IPB) Institut Teknologi Bandung (ITB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Departemen Perindustrian Balai Besar Industri Agro (BBIA) Departemen Perindustrian
DR. Agus Maulana DR. Mangara Tambunan DR. Endro Utomo DR. Rahayu Ermawati, M.Sc DR. Herman Haeruman DR. Adi Pancoro DR. Arif Budi Witarto, M.Eng DR. Yan Rianto, M.Eng Ir. Heru Kustanto, M.Si Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
xi
KATA PENGANTAR
K
ebijakan Industri Nasional yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 di antaranya bertujuan untuk meningkatkan daya saing, membentuk struktur industri yang sehat dan berkeadilan, serta untuk meningkatkan ketahanan nasional. Hal ini tidak terlepas dari peran sektor industri yang sangat penting dalam pembangunan nasional, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan perolehan devisa negara. Selain itu kebijakan industri nasional ini juga menjadi dasar bagi pemberian fasilitas pemerintah kepada penanaman modal yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Buku ini merupakan upaya untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tersebut, agar target jangka panjang pembangunan industri, yaitu pada tahun 2025 Indonesia dapat menjadi salah satu negara industri tangguh di dunia, dapat tercapai. Salah satunya adalah dengan jalan menyajikan hasil rating dan penentuan posisi industri xiii
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
prioritas yang akan mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Dengan demikian implementasi dari ini Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 diharapkan akan dapat lebih efektif dan efisien. Para peneliti, akademisi, pengamat dan praktisi di bidang industri telah menuangkan hasil pemikirannya dalam bentuk tulisan dalam buku ini sesuai dengan bidang keahliannya dan situasi yang berkembang. Selain tentang rating dan penentuan posisi industri prioritas, tulisan dalam buku ini juga mencakup bahasan mengenai otonomi daerah, industri visioner, kompetensi inti industri daerah, dan isu-isu strategis di antaranya tentang energi, teknologi, roadmap industri, standar dan regulasi teknis, good governance, serta globalisasi pasar. Hasil pemikiran ini bukan hanya menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam skala nasional maupun global, tetapi juga untuk menghadapi pergeseran pemanfaatan sumber daya yang ada di negeri ini agar dapat dimanfaatkan semaksimal dan sebijaksana mungkin untuk kepentingan rakyat banyak pada umumnya, dan untuk kemajuan sektor industri pada khususnya. Walaupun cakupan bahasan dalam buku ini cukup luas dan variatif, disadari bahwa masih banyak masalah dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia industri yang tidak dibahas secara mendalam dalam buku ini. Meskipun demikian saya mengharapkan agar buku ini dapat memberi bahan masukan dan menjadi acuan dalam menerapkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 sebaik-baiknya untuk kemajuan industri nasional. Jakarta, November 2009 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri
xiv
DR. Dedi Mulyadi
Implementasi Kebijakan Industri Nasional Executive Summary DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
A. Pendahuluan
K
ebijakan Industri Nasional (KIN) seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 (selanjutnya disebut Perpres 28) adalah bentuk kemauan politis dari pemerintah Indonesia dalam mengembangkan industri nasional kedepan. Produk hukum ini amat diperlukan, mengingat pertumbuhan sektor industri sejak tahun 2006 selalu lebih kecil dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2007 sektor industri tumbuh sebesar 4,7 %, sementara PDB tumbuh sebesar 6,3%; pada kwartal I tahun 2008 pertumbuhan sektor industri turun menjadi 4,3%, sementara pertumbuhan PDB tetap mencapai 6,3%. KIN harus “dibaca” sebagai intervensi negara dalam mengalokasikan sumber daya bagi percepatan pertumbuhan sektor industri, yang secara tersirat bertujuan untuk menyempurnakan kekuatan ekonomi melalui xv
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
industrialisasi. Dengan demikian, KIN seharusnya menjadi strategic map, yang berfungsi sebagai basis pengambilan kebijakan di semua jajaran, baik level pemerintah pusat dan daerah, level pendukung, maupun level pelaku usahanya sendiri. KIN secara ideal harus merupakan alat untuk penyamaan persepsi bagi seluruh pemangku kepentingan industri. Apabila KIN difungsikan seperti uraian diatas, maka upaya pengembangan industri nasional akan lebih terarah, terpadu dan mencapai hasil optimal. Dengan pemikiran bahwa akan terjadi berbagai batu sandung yang harus dilalui, tulisan ini menyoroti berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan KIN. Diawali dengan Tinjauan Umum, tulisan ini menguraikan isi utama strategi kebijakan industri nasional yang berkaitan langsung dengan implementasinya yaitu Fokus Pembinaan, dilanjutkan dengan Isu Strategis yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan KIN, dan diakhiri dengan Saran bagi Pimpinan Departemen yang bertanggung jawab atas pembinaan sektor industri.
B. Tinjauan KIN Secara Umum Secara garis besar KIN menetapkan visi industri masa depan (tahun 2025), strategi untuk mencapainya baik strategi pokok maupun operasional, dan fasilitas pemerintah untuk mempermudah pencapaian visi tadi. Dalam pengimplementasiannya KIN harus dijabarkan kedalam bentuk berbagai Kebijakan Menteri yang bertanggung jawab atas pengembangan industri nasional, baik untuk jangka pendek (5 tahun), jangka menengah (10 tahun) maupun jangka panjang (15 tahun). Peraturan Menteri ini selanjutnya akan menjadi panduan bagi pemangku kepentingan utama sektor industri dalam mengembangkan program masing-masing. Dari pengalaman selama ini, sering sekali ditemukan hambatan dalam menerapkan suatu kebijakan. Salah satu penyebab utamanya adalah karena implementasi kebijakan tersebut harus melibatkan banyak sektor/fihak. Perpres 28 bersifat relatif rinci, sebagian isinya mengarahkan xvi
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
sektor lain yang terkait dengan industri, yang pada umumnya mempunyai prioritas sendiri. Hal ini mengakibatkan Perpres 28 kemungkinan besar tidak akan diperlakukan sebagai suatu keputusan yang mengikat oleh para pemangku kepentingan, melainkan sebuah konsep yang sebaiknya diacu untuk mengembangkan upaya dan program masing-masing. Kebijakan, khususnya untuk jangka menengah dan panjang yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan koordinasi, sering kurang bersifat rinci sehingga tidak diartikan sama oleh para fihak yang terlibat. Namun sebaliknya, Perpres 28 isinya sangat rinci sehingga ada kemungkinan akan kurang lentur dalam penerapannya. Kebijakan Menteri yang merupakan jabaran dari Perpres 28 harus mengakomodasi kedua sifat tadi yaitu lebih rinci dari Perpres dalam memberikan arahan yang tegas dan jelas kepada pemangku kepentingan mengenai apa peran masing-masing dalam membangun industri kedepan, namun cukup lentur untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang dinamis. Terlalu rincinya Perpres 28 menyebabkan penyusunan Peraturan Menteri dimaksud diperkirakan akan menjadi lebih sulit. Terjadinya perubahan lingkungan strategis di tingkat global yang sangat mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia, yaitu krisis finansial yang terjadi tahun 2008, menyebabkan banyak asumsi dan pendekatan yang dipakai dalam menyusun Kebijakan Industri Nasional dalam Perpres 28 diperkirakan menjadi kurang valid. Diperlukan berbagai penyesuaian baik dalam target maupun program. Mempertimbangkan masih adanya kekurang sempurnaan dalam Perpres 28, penyesuaian terhadap perubahan lingkungan strategis terebut sebetulnya dapat dijadikan alasan untuk melakukan revisi terhadap Perpres. Namun demikian, dengan mempertimbangkan panjangnya waktu yang diperlukan untuk revisi Perpres sementara dukungan politis pemerintah diperlukan untuk pengembangan industri, maka revisi tidak disarankan sebagai pilihan utama. Lebih disarankan untuk menerapkan Perpres 28 dengan berbagai penyesuaian. Dalam kondisi lingkungan global yang selalu berubah, maka Kebijakan Industri Nasional harus dibuat bersifat dinamis. xvii
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
C. Fokus Pembinaan Industri Dalam Pengembangan Industri Nasional Sektor industri mempunyai cakupan yang luas. Pembinaannya secara umum didasarkan pada pengembangan iklim usaha kondusif melalui kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter, ketenaga-kerjaan, infrastruktur dan sebagainya, yang merupakan pre-requisite bagi pengembangan sektor ekonomi pada umumnya. Bagi pembinaan sektor industri agar tumbuh lebih cepat dari sektor ekonomi, pemerintah perlu memberikan sentuhan khusus berupa berbagai program dan fasilitas tertentu. Kendala keterbatasan pembiayaan pemerintah untuk membangun semua sub-sektor industri pada waktu bersamaan, menyebabkan perlunya ditetapkan industri prioritas yang akan menjadi fokus upaya pengembangan. Masuknya suatu sub-sektor industri kedalam kelompok prioritas menyiratkan akan diberikannya berbagai fasilitas khusus untuk pengembangannya. KIN menentukan tiga kelompok industri yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan. Kelompok pertama adalah Industri Prioritas Nasional, kelompok kedua adalah Industri Masa Depan (Visioner), dan kelompok ketiga adalah Industri berbasis Kompetensi Inti Industri Daerah. Industri Prioritas Nasional KIN menetapkan 32 industri prioritas nasional. Ada dua hal yang perlu disoroti. Pertama, jumlah 32 relatif terlalu banyak dan menyiratkan tidak ada industri yang akan dikembangkan secara khusus atau sebenarnya tidak ada industri yang akan diprioritaskan pengembangannya. Kedua, secara rasional sifat industri adalah unik, sehingga kebutuhan untuk mendukung pengembangannya akan berbeda satu sama lain. Dengan demikian, perlu perumusan strategi untuk membangun industri nasional yang lebih terklasifikasi prospektif. Penentuan 32 industri prioritas dilakukan menggunakan sejumlah parameter yang sebagian besar didasarkan pada kinerja masa lalu dan xviii
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
prospek pasar dunia kedepan. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri melakukan perankingan terhadap ke-32 industri prioritas ini dengan menggunakan parameter baik yang bersifat positif (faktor sukses) maupun parameter yang bersifat ancaman (industrial burden, vulnerability). Faktor sukses merupakan pendorong kinerja daya saing industri, sedangkan faktor ancaman merupakan distorsi daya saing industri. Perkiraan kedepan untuk setiap parameter ditentukan melalui Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti oleh pemangku kepentingan (Kamar Dagang dan Industri, pakar dari Akademisi, Pembina). Dengan pertimbangan bahwa asal bahan baku (lokal atau impor) dan tujuan pasar (domestik atau ekspor) akan menentukan sifat pembinaan dan fasilitas yang diperlukan oleh suatu industri untuk meningkatkan sumbangannya pada tujuan pembangunan ekonomi nasional, maka dilakukan juga pengelompokan kedalam 4 kwadran berdasarkan asal bahan baku dan tujuan pasar. Hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 1, sementara hasil perankingannya diperlihatkan dalam Tabel 2. Hasil perankingan ini diusulkan dipakai untuk menentukan industri yang dapat dijadikan prioritas utama dan merumuskan bentuk pembinaan yang tepat. Seluruh industri prioritas dalam KIN adalah industri yang sudah ada dan berkembang saat ini. Umumnya industri-industri tersebut sudah memiliki asosiasi dan tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN), mampu mengidentifikasi permasalahan yang mereka hadapi dan mengusulkan jalan keluar. Pemerintah disarankan untuk lebih mengandalkan pengembangannya pada iklim usaha kondusif yang tercipta melalui kebijakan ekonomi makro dan menempatkan perannya sebagai fasilitator. Perhatian khusus akan diperlukan untuk memvalidasi konsep atau usulan dari Asosiasi, karena sangat mungkin terjadi benturan atau kekurang harmonisan antara setiap usulan satu sama lain, atau dengan kebijakan pemerintah sendiri. Sementara itu perhatian khusus harus diberikan pada industri prioritas yang menggunakan sumber daya alam yang dimiliki dan mempunyai pasar terandalkan (kwadran 1 dalam Tabel 2). xix
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 1. Penyebaran industri prioritas berdasarkan asal bahan baku dan tujuan pasar
Ekspor Orientasi Pasar
Domestik
Kandungan Impor Rendah Tinggi Kelapa sawit; karet dan Mesin listrik dan peralatan barang karet; kakao dan listrik; testil dan produk cokelat; kelapa; kopi; tekstil; alas kaki; buahkayu dan rotan; hasil buahan; perangkat keras perikanan laut; kerajinan telekomunikasi dan dan barang seni penyiaran; komputer dan perlengkapannya; teknologi informasi dan komunikasi; batu mulia dan perhiasan; minyak atsiri Semen; gula; Besi/baja; petrokimia; tembakau; pulp dan keramik; mesin dan peralatan umum; kertas; perkapalan; pengolahan susu; kendaraan kedirgantaraan; perkeretapian; perangkat bermotor; elektronika; lunak dan content gerabah dan keramik; multimedia; garam rakyat makanan ringan
Tabel 2. Ranking industri prioritas dalam setiap kwadran (gabungan hasil pengolahan data dan expert judgement)
Ekspor Orientasi Pasar
Domestik
Kandungan Impor Rendah Tinggi 1. Tekstil dan produk tekstil; 1. Karet dan barang karet; 2. Mesin listrik dan peralatan 1. Kelapa Sawit; listrik; 2. Kayu dan rotan; 3. Alas kaki; 1. Kerajinan dan 4. Teknologi informasi dan komunikasi; barang seni; 1. Kakao dan 5. Batu mulia dan perhiasan; cokelat; 6. Kedirgantaraan; 2. Mutiara; 1. 2. 3. 4. 5.
Motor; Tembakau; Pulp dan kertas; Semen; Gula;
1. 2. 3. 4. 5. 6.
xx
Mobil; Petrokimia; Basi dan baja; Makanan ringan; Mesin dan peralatan umum; Elektronika;
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
Industri Masa Depan (Visioner) Yang dimaksud dengan industri masa depan dalam KIN adalah industri yang diperkirakan akan sangat potensial dikembangkan di masa yang akan datang, sementara saat ini belum ada. Jenis industri visioner dapat diidentifikasi antara lain melalui pendekatan teknologi yang sedang dan akan berkembang di masa datang. Teridentifikasi tiga teknologi utama yang harus dipertimbangkan, yaitu nanoteknologi, bioteknologi dan ICT. Penerapan ketiga teknologi ini di industri akan sangat mendukung pengembangan berbagai industri kreatif. Penggunaan teknologi-teknologi tersebut akan terjadi di hampir seluruh sub-sektor industri, termasuk yang tercantum dalam industri prioritas KIN. Dengan demikian maka industri visioner seharusnya ditetapkan sebagai target yang akan dicapai dalam pengembangan ke-32 sub-sektor industri prioritas untuk 5 atau 10 tahun kedepan. Sebagai contoh, apabila industri visioner untuk kelapa sawit ditetapkan palmbased oleochemicals, maka roadmap untuk sub-sektor tersebut diarahkan kesana, termasuk penggunaan teknologi mutakhir (nanoteknologi, bioteknologi dan ICT) untuk memenangkan daya saing oleochemicals di pasar dunia. Namun demikian, BPPI tetap mengidentifikasi industri visioner yang perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan melalui diskusi tim pakar. Hasilnya terlihat dalam Tabel 3. Terhadap industri-industri tersebut masih perlu dilakukan pemilihan industri visioner yang paling strategis. Disarankan industri tersebut adalah industri yang tidak terkait dengan industri prioritas, belum dibina secara khusus oleh Departemen Teknis lain, dan dapat dijadikan sebagai INDUSTRI JANGKAR yaitu industri yang didesain secara khusus untuk dibangun dan unggul di masa datang. Penetapan industri jangkar yang diusung oleh negara, akan menjadi bendera pengembangan industri nasional. Industri Mesin dan Peralatan untuk industri disarankan dipilih sebagai industri jangkar, karena bersifat strategis dan secara langsung dapat mendukung pengembangan industri secara keseluruhan. Sebagai konsekwensinya, pembangunan kemampuan industri yang mendukung industri mesin xxi
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 3. Industri Visioner No.
Industri Visioner Industri berbasis ICT
1
3D motion sensor, creative industry (animasi, musik, hiburan, virtual reality, advertising), robotics, searching technology, simulation for research, video semantic detection, Industri advanced computing, software/middleware aplication, chip wimax (dengan 25% local content), embedded system Industri berbasis Bioteknologi
2 Bioenergi, biolube, bioplastik. Industri berbasis nanoteknologi 3
Nano fertilizer & pesticide, nano coating, katalis, kemasan bermuatan nano teknologi, komponen fuel cell (pembangkit energi), Nano partikel, nano material & nano komposit, nano machinery, nano membran, solar cell. Industri lainnya
4
Alat-alat kedokteran/kesehatan, coal based material, hankam, hidrogen (untuk energi), industri hilir herbal tropik, set top box (untuk konversi penerima signal TV digital), rancang bangun dan perekayasaan.
Catatan: Hasil FGD Tim Pakar BPPI
dan peralatan untuk industri harus mendapat prioritas dan dukungan dari semua fihak terkait, dan menjadi ”bendera” pengembangan industri nasional. Apabila memungkinkan, koordinasinya bisa langsung berada dibawah Presiden. Dari uraian mengenai Industri Prioritas Nasional dan Industri Visioner diatas, diusulkan fokus pembangunan industri nasional sebagai berikut: 1. Untuk periode 2010 – 2014 (Tahap Pertama), pembangunan industri diarahkan pada agro-industri yang difokuskan pada barang karet, turunan CPO, kayu dan rotan serta kakao. Disamping itu dilakukan persiapan untuk membangun industri berbasis pertambangan (petrokimia, timah, baja, nikel, aluminium) dan industri berbasis xxii
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
nanoteknologi, bioteknologi dan ICT. Khusus untuk nanoteknologi, pembangunan industri diarahkan pada pembuatan nano-partikel dari sumber daya alam dan serat. 2. Periode 2015 – 2020 (Tahap Kedua), pembangunan industri diprioritaskan pada industri berbasis pertambangan dan industri visioner. Industri nanoteknologi diarahkan pada nanointermediates. 3. Periode 2020 – 2025 (Tahap Ketiga), pembangunan seluruh industri prioritas sudah berbasis nanoteknologi, bioteknologi dan ICT. Industri Berbasis Kompetensi Inti Industri Daerah KIN mengamanatkan untuk memilih produk-produk unggulan daerah (provinsi, kabupaten/kota) untuk didorong agar tumbuh dan berkembang menjadi kompetensi inti industri daerah, dan menjadi tulang punggung perekonomian regional dimasa yang akan datang. Kompetensi Inti Industri Daerah didefinisikan sebagai sekumpulan keunggulan keunikan sumberdaya termasuk sumber daya alam dan kemampuan suatu daerah untuk membangun daya saing dalam rangka mengembangkan perekonomian provinsi dan kabupaten/kota menuju kemandirian. Selanjutnya KIN menetapkan Industri Unggulan untuk setiap Provinsi. Banyaknya istilah dalam KIN untuk industri yang diunggulkan pengembangannya (Industri Prioritas Nasional, Industri Masa Depan, Industri Unggulan Propinsi dan Industri berbasis Kompetensi Inti Industri Daerah) sering membuat rancu para pelaksana di lapangan. Istilah yang paling banyak tidak diartikan secara tepat adalah Kompetensi Inti Industri. Dalam definisi jelas disebutkan bahwa kompetensi inti bukan komoditi melainkan kumpulan keunggulan yang dimiliki suatu daerah. Namun demikian, karena identifikasi kompetensi inti ini dilakukan melalui pendekatan sumber daya alam khususnya produk utama yang dihasilkan di daerah tersebut, pengertian umum banyak menjadi dibelokkan ke komoditi utama/unggulan yang umumnya hasil pertanian. Dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya xxiii
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
manusia setempat, fokus pengembangan umumnya diarahkan pada usaha skala kecil menengah. Kerancuan dipertajam lagi dengan adanya tabel Industri Unggulan Provinsi dalam KIN, yang diartikan sebagai Kompetensi Inti Industri Tingkat Provinsi. Tercantumnya tabel ini dalam Perpres, walaupun asalnya mungkin dari usulan daerah sendiri, sangat dirasakan mengganggu perencanaan pengembangan industri di daerah. Dalam kenyataannya daerah banyak yang memiliki pandangan berbeda. Sebagai contoh, Jawa Barat sangat menyadari adanya daerah kosong industri di wilayah selatan (Ciamis, Garut) dan adanya palung-palung kemiskinan di daerah sekitar sentra pertumbuhan industri (Bekasi, Tangerang, dan sebagainya); dengan mempertimbangkan potensi pasar lokal dan kualitas sumber daya manusia setempat maka ditetapkan industri makanan ringan sebagai industri prioritas yang akan dibangun, tanpa mempertimbangkan tidak tercantumnya industri tersebut dalam daftar industri unggulan provinsi dalam KIN. Dari fakta ini disarankan pada pemerintah pusat untuk tidak turun terlalu jauh dengan menetapkan jenis industri yang dijadikan prioritas pengembangan di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Memberikan konsultansi atau pendampingan serta fasilitasi kepada daerah untuk memperkuat kemampuan (empowering) daerah dalam mengembangkan industri di wilayahnya akan lebih fleksibel dan diharapkan efektif bagi pengembangan industri nasional, karena sifat dan masalah industri berbeda untuk setiap wilayah. Hal penting lain yang harus dilakukan adalah menyamakan persepsi mengenai pembangunan industri di daerah dengan pendekatan kompetensi inti industri daerah, baik antar unit didalam Departemen Perindustrian maupun dengan seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian maka akan terjalin kerjasama dan kolaborasi yang baik antara Departemen Perindustrian dengan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi serta Dunia Usaha dalam menentukan dan menyususn Peta Panduan Pengembangan Industri Daerah dengan pendekatan Kompetensi Inti Industri Daerah. xxiv
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
D. Isu Strategis Dalam Penerapan Kebijakan Industri Nasional Teridentifikasi beberapa isu strategis yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan Kebijakan Menteri sebagai jabaran dari Perpres tentang KIN, termasuk didalamnya: Kelembagaan dan Koordinasi, Otonomi Daerah, Energi, Teknologi, Lingkungan, dan Kecenderungan Pasar Global. Keberhasilan penerapan dari seluruh kebijakan pada ahirnya akan ditentukan oleh sejauh mana good governance diterapkan. Kelembagaan dan Koordinasi Menyikapi kurang efektifnya suatu kebijakan, faktor koordinasi sering disebut sebagai faktor penghambat, dengan isu kelembagaan yang disalahkan. Kalaupun memang ada hambatan koordinasi, sebenarnya kelembagaan sudah cukup lengkap dengan adanya Menteri Koordinator dan Presiden. Kelemahan koordinasi hampir dipastikan lebih disebabkan oleh kelemahan manajemen atau pengelolaannya. Pembinaan setiap sektor ekonomi dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai Kementerian/Departemen Teknis. Pengembangan sektor industri memerlukan dukungan dari banyak sektor, yang pada saat ini hampir seluruhnya mempunyai instrumen kebijakan masing-masing baik dalam bentuk Undang-undang, PP, Perpres, Kepmen dan sebagainya. Masing-masing memiliki arah, tujuan dan target yang seringkali kurang sejalan satu sama lain. Kebijakan Industri Nasional dalam Perpres 28 tidak memuat strategic commitment yang mengatur siapa melakukan apa lengkap dengan komitmen anggaran untuk membiayainya baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Dengan demikian, yang akan terjadi adalah bahwa KIN hanya akan dijadikan pertimbangan atau paling jauh acuan oleh Departemen lain dalam mengembangkan programnya. Menghadapi situasi seperti ini, maka yang paling praktis dapat dilakukan oleh Departemen Perindustrian untuk memperoleh dukungan penuh dari sektor lain adalah mengembangkan kebijakan terpadu xxv
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
(integrated policy) dengan Departemen yang membina sektor yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan industri. Kemampuan lobi untuk meyakinkan pentingnya kebijakan terpadu tersebut bagi pembangunan ekonomi akan menjadi kunci keberhasilan. Otonomi Daerah Apabila kurang diwaspadai, batu sandung utama dalam implementasi KIN adalah otonomi daerah. Untuk tujuan percepatan dan pemerataan ekonomi di daerah, Undang-Undang Otonomi Daerah (Nomor 32 Tahun 2004) memberi keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya demi mensejahterakan masyarakat setempat. Arahan Undang-undang ini dapat diterjemahkan sebagai: Pemerintah Daerah mempunyai kebijakan sisi suplai (supply side policy). Sebagai konsekwensinya maka Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab atas Kebijakan Ekonomi Nasional akan lebih mengutamakan kebijakan fiskal dan moneter (demand-side policy), kurang bermuatan sisi suplai (supply side policy). Pada saat ini Pemerintah Daerah umumnya masih kurang mengembangkan dan menggunakan kebijakan sisi suplai; hal ini diduga akan menyebabkan rendahnya efektifitas penerapan KIN di daerah. Efektifitas penerapan KIN akan sangat tergantung pada pemahaman Pemerintah Daerah terhadap KIN, kemampuan daerah dalam mengidentifikasi keunggulan dan kebutuhan masyarakatnya, dan kemampuan institusi terkait di daerah tersebut. Sebenarnya masalah ini sudah diantisipasi oleh KIN melalui kebijakan pengembangan kompetensi inti industri Kabupaten/Kota dan industri unggulan Provinsi. Namun untuk keberhasilannya sangat dibutuhkan kreatifitas Pemerintah Daerah dalam menarik investasi misalnya melalui insentif fiskal (PBB kota/desa) dan non fiskal (perizinan, ketenagakerjaan), mengoptimalkan sumber pendanaan untuk UMKM, bekerjasama dengan daerah-daerah tetangga untuk memperkuat daya saing komoditi unggulan masing-masing, dan mendorong inovasi lokal serta kerjasama pemasaran. xxvi
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
Dalam hubungannya dengan otonomi daerah, kondisi yang harus diperhatikan adalah gejala merenggangnya hubungan antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Teknis, dengan Pemerintah Daerah yang merupakan hasil pemilihan rakyat secara langsung. Kondisi ini diperkirakan dapat menciptakan “missing plan” dan “improper coordination” dalam pengembangan industri. Ditambah dengan kinerja birokrasi di daerah banyak yang belum siap, maka laju perkembangan ekonomi daerah diperkirakan akan lebih lambat dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi di daerah (terutama yang mengalami defisit fiskal dan tingkat investasi) kebanyakan jauh dibawah tingkat rata-rata nasional (6%). Untuk mengatasi masalah koordinasi seperti diuraikan diatas, disarankan ditempuh berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah membangun jejaring informal dengan mereka yang mempunyai keterkaitan dengan program pengembangan industri di daerah, guna memastikan misi pengembangan industri nasional terakomodasikan dan sejalan dengan pengembangan industri daerah. Karena Dinas yang menangani perindustrian merupakan institusi yang paling terkait, maka Kepala Dinas yang bersangkutan merupakan partner berjejaring yang harus diperhitungkan. Cara lain yang disarankan ditempuh adalah membangun jejaring langsung dengan komunitas industri yang akan dibina. Sebagai kelembagaan mitra, Asosiasi Industri adalah pilihan utama. Dengan demikian maka Departemen Perindustrian perlu mendorong dibentuknya Asosiasi dengan pendekatan Wilayah dan Komoditi. Pemerintah Pusat tidak disarankan untuk melaksanakan sendiri program pembangunan di daerah, apalagi dengan alasan daerah dinilai belum mampu membangun industri di wilayahnya karena minimnya sumber daya manusia. Pemerintah Pusat sebaiknya hanya melakukan empowering pada daerah. Perlu dicari model interface yang paling tepat antara Pemerintah Pusat dan daerah untuk menghasilkan efektifitas upaya pengembangan sektor industri.
xxvii
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Energi Dalam membangun industri, ketersediaan energi merupakan prasyarat wajib. Pada saat ini, dengan kapasitas PLN yang hanya sekitar 25.000 MW serta minyak dan gas bumi yang sebagian besar masih diekspor, keamanan suplai energi untuk pengembangan industri belum terjamin. Hal yang paling mendasar adalah bahwa kebijakan pengelolaan energi di Indonesia saat ini tidak mendukung perkembangan industri nasional karena masih mementingkan ekspor untuk memperoleh devisa secara langsung. Keperluan untuk mengembangkan industri, termasuk industri yang menggunakan bahan baku petrokimia untuk mendapatkan nilai tambah tinggi tidak menjadi prioritas. Diperlukan komitmen politik untuk mengubah paradigma dalam pengelolaan migas nasional agar secara bertahap terjadi penggeseran dari migas untuk ekspor menjadi migas untuk sektor industri/riel (sebagai bahan baku dan bahan bakar). Migas untuk Industri menghasilkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, kesempatan kerja dan pajak untuk negara yang lebih besar dan lebih berdampak multiplier. Teknologi Pengembangan teknologi di Indonesia dilakukan oleh banyak institusi yang umumnya pemerintah dan dibiayai sebagian besar oleh anggaran pemerintah. Anggaran yang dialokasikan sangat rendah dibandingkan dengan negara lain. Pada tahun 2006 R&D di Indonesia hanya mendapat alokasi anggaran sebesar US$ 0,3 milyar atau 0,1% dari GDP, hampir sama dengan Filipina yang mengalokasikan US$ 0,4 milyar. Angka ini jauh dibawah Thailand dan Malaysia yang pada tahun sama menghabiskan berturut-turut US$ 1,1 dan 1,5 milyar atau 1,1 dan 1,5% dari GDP-nya masing-masing. Hal kurang menggembirakan lainnya adalah sumber dana R&D, yang di Indonesia lebih didominasi oleh anggaran pemerintah, yaitu 84,5%, sementara untuk Filipina, Thailand dan Malysia pemerintahnya hanya memberi kontribusi sebesar 24,6, 38,6 dan 32,1% pada anggaran riset. Kekurang pedulian sektor xxviii
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
swasta pada riset menyebabkan pemanfaatan hasil riset di Indonesia lebih kecil dari ketiga negara ASEAN di atas. Rendahnya penggunaan hasil riset sendiri di industri, mungkin juga disebabkan oleh pertimbangan tingginya resiko dalam menerapkan teknologi baru. Resiko dimaksud oleh Pemerintah (menurut Perpres No. 28 tahun 2008) dicoba diperkecil melalui penyediaan fasilitas bagi industri yang melakukan R&D dan inovasi dalam bentuk insentif fiskal, non fiskal, dan kemudahan lainnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria industri penerima fasilitas belum ditetapkan. Salah satu kriteria yang dapat disarankan adalah jika industri tersebut mampu menghasilkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang akan memunculkan benefit sosial, diukur oleh meningkatnya ragam, kualitas, dan volume barang dan jasa, serta harga saing dan ekspansi suatu industri. Kerangka legal HaKI memiliki nilai positif khususnya untuk melindungi kemajuan teknologi sehingga mendorong perusahaanperusahaan yang bersaing untuk kondusif melakukan R&D dan inovasi sehingga menjamin tujuan promosi teknologi baru dan pengembangan produk baru. Jika tujuan ini tercapai maka iklim usaha dan persaingan dinamis akan terjamin. Praktek persaingan dinamis akan memunculkan efisiensi kolektif sejalan dengan difusi kemajuan teknologi akibat efek sebar inovasi dan HaKI. Inefisiensi penggunaan dana R&D yang banyak terjadi karena R&D dilakukan oleh banyak institusi, menimbulkan perlunya dibangun Knowledge-based management yang didisain sesuai dengan kebutuhan industri. Sementara itu, rendahnya minat swasta dalam melakukan riset dan menerapkan hasil riset perlu dicoba dijembatani dengan upaya menyatukan nalar teknologi dan nalar ekonomi sehingga teknologi hasil riset lebih sesuai dengan kebutuhan industri. Kelembagaan yang memungkinkan terjadinya penyatuan terstruktur antara kebutuhan swasta akan teknologi baru dan program penelitian oleh lembaga penelitian pemerintah dapat berupa Asosiasi atau aliansi strategis antara peneliti yang mempunyai minat sama dari berbagai institusi dan swasta terkait. xxix
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Hal penting lainnya adalah, Indonesia seharusnya memiliki teknologi strategis masa depan yang didisain unggul di tingkat dunia. Karena penggunaannya untuk industri, maka Departemen Perindustrian harus menetapkan teknologi strategis yang akan dikuasai tersebut dan pencapaiannya didukung oleh seluruh institusi terkait, pemerintah maupun swasta. Tabel 3 dapat dijadikan salah satu acuan; sebagai contoh mengacu pada Tabel tersebut, teknologi membran berbasis nano dapat menjadi salah satu teknologi strategis masa depan karena sifat penggunaannya yang luas (diperlukan oleh hampir setiap industri). Lingkungan Sorotan terhadap isu lingkungan, tenaga kerja dan hak azasi manusia (HAM) selalu meningkat dari waktu ke waktu. Dengan demikian maka kebijakan pengembangan industri berkelanjutan harus mempertimbangkan isu-isu tersebut, yang sifatnya unik untuk setiap daerah baik kabupaten/kota maupun propinsi. Industri yang berkelanjutan adalah industri yang dibangun sesuai dengan daya dukung lingkungannya, baik itu lingkungan biofisik dan ekonomi maupun lingkungan sosial-politik. Pembangunan industri yang berkelanjutan harus meliputi suatu deretan aksi nyata yang harus dikembangkan mulai dari sistim nilai, kesepakatan global, rencana aksi yang nyata, kelembagaan, sistim pembiayaan, dan sebagainya. Perpres No. 28 tahun 2008 mengamanatkan pengembangan sistem klaster industri, yang mewajibkan keserasian keterkaitan antara industri inti, pendukung dan terkait dalam suatu wilayah, untuk meningkatkan daya saing industri melalui efisiensi biaya transaksi, kemampuan menghadapi masa depan berkaitan dengan kemajuan teknologi dan perubahan permintaan pasar, serta membangun rantai nilai tambah yang efektif. Pembangunan klaster industri akan lebih bermanfaat apabila dapat terkait dengan upaya membangun ekonomi lokal, yang terbukti memiliki ketahanan yang tangguh terhadap gejolak ekonomi global. Ekonomi lokal tersebut memiliki kemampuan yang besar untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang menjadi bibit ketidakstabilan sosial. xxx
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
Strategi industri yang menggunakan pendekatan ekosistem merupakan suatu bangunan industri masa depan yang perlu dikaji lebih lanjut model pengembangannya. Pendekatan ekosistem ini dapat membantu mengembangkan peringkat prioritas dalam strategi industri yang berkelanjutan. Kecenderungan Pasar Global Kecenderungan pasar global yang sangat erat kaitannya dengan sektor industri adalah kecenderungan turunnya hambatan tarif dan meningkatnya regulasi teknis untuk barang yang masuk ke suatu negara. Untuk dapat bertahan dan berkembang, industri harus mampu bersaing dalam mutu secara menyeluruh (mutu produk, pelayanan, dan harga). Indonesia saat ini sudah sangat membuka pasarnya dengan secara agresif menurunkan tarif bea masuk bagi sebagian besar produknya. Hal ini berarti bahwa persaingan pasar untuk produk industri menjadi sangat ketat tidak hanya di pasar ekspor namun juga di pasar domestik. Keadaan ini relatif sulit bagi sebagian besar industri di Indonesia. Krisis keuangan dunia yang terjadi tahun 2008 seyogyanya dijadikan momentum untuk mereposisi Indonesia dalam perundingan-perundingan internasional, demi keberlangsungan perkembangan industri nasional. Dengan hampir tidak ada hambatan tarif dalam perdagangan dunia, saringan masuk untuk produk lintas negara menjadi sangat tergantung pada regulasi teknis, yang belakangan ini makin banyak diterapkan, khususnya oleh negara maju. Hal ini harus diantisipasi bukan hanya dengan meningkatkan mutu produk Indonesia agar memenuhi ketentuan tadi, namun juga melalui pengembangan standar produk industri dan regulasi penerapannya agar produk yang masuk ke Indonesia juga melalui saringan yang dibuat untuk kepentingan nasional (konsumen dan industri domestik). Regulasi teknis apalagi yang bersifat smart regulation saat ini masih kurang memadai dikembangkan dan diterapkan oleh Indonesia.
xxxi
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Isu Lainnya Isu lain yang strategis juga untuk diperhatikan dalam penerapan KIN adalah Isu Kawasan, termasuk pembangunan Kawasan Industri di daerah perbatasan dan Kawasan Ekonomi Khusus. Perencanaan untuk membangun kawasan-kawasan tersebut harus mendapatkan prioritas lebih besar dari saat ini. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governence) Tata kelola pemerintahan yang baik dalam konteks implementasi kebijakan industri adalah “pelaksanaan kewenangan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara demi mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas dan kohesifitas sosial dalam masyarakat sehingga terjadi pertumbuhan industri nasional yang optimal”. Penerapannya harus didukung oleh birokrasi yang baik. Langkah-langkah implementasi Perpres 28 harus menerapkan seluruh prinsip GCG, yaitu: partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, demokratis, efektifitas dan efisiensi, serta akuntabilitas. Penerapan GCG akan mengeliminir terjadinya ekonomi biaya tinggi. Paradigma perlu digeser dari pemerintah yang berkonotasi kekuasaan menjadi bersifat kemitraan atau partisipatif. Pendekatan management by activity harus diubah menjadi management by objective. Rencana implementasi KIN harus dilengkapi dengan penetapan tujuan antara dan akhir yang terukur. Pelaksanaannya harus berciri project management, dimana ada rencana berjejaring yang baik, kewenangan yang jelas, pengawasan yang memadai dan sebagainya. Penerapan KIN yang bersifat partisipatif akan membuat seluruh elemen yang terkait dapat melaksanakannya dengan baik.
E. Saran Kebijakan Menteri Perindustrian sebagai langkah implementasi dari Peraturan Presiden No 28 tahun 2008 disarankan mempertimbangkan hal-hal berikut. xxxii
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
1. Mengevaluasi KIN secara berkala dan membuat KIN menjadi kebijakan yang bersifat dinamis/aktif (active industrial policy) dengan rambu-rambu yang ketat. 2. Menjabarkan KIN dengan mempertimbangkan kelenturan dalam pelaksanaannya; disarankan lebih mengemukakan tujuan dan sasaran daripada kegiatan, dengan sequen dan indikator kinerja yang jelas. Domain Pemerintah Pusat, domain Pemerintah Daerah, dan domain Publik juga dipilah secara jelas. 3. Mengupayakan integrated policy dengan pembina sektor lain yang terkait, untuk menunjang efektifitas penerapan KIN. Apabila diperlukan, dapat dibentuk lembaga intermediasi. 4. Memfokuskan pembangunan industri nasional sebagai berikut. - Untuk periode 2010 – 2014 (Tahap Pertama), pembangunan industri diarahkan pada agro-industri yang difokuskan pada barang karet, turunan CPO, kayu dan rotan serta kakao. Disamping itu dilakukan persiapan untuk membangun industri berbasis pertambangan (petrokimia, timah, baja, nikel, aluminium) dan industri berbasis nanoteknologi, bioteknologi dan ICT. Khusus untuk nanoteknologi, pembangunan industri diarahkan pada pembuatan nano-partikel dari sumber daya alam dan serat. - Periode 2015 – 2020 (Tahap Kedua), pembangunan industri diprioritaskan pada industri berbasis pertambangan dan industri visioner. Industri nanoteknologi diarahkan pada nanointermediates. - Periode 2020 – 2025 (Tahap Ketiga), pembangunan seluruh industri prioritas sudah berbasis nanoteknologi, bioteknologi dan ICT. 5. Menetapkan industri Mesin dan Peralatan Untuk Industri sebagai industri jangkar yang prioritas pengembangannya diutamakan. 6. Melakukan upaya penyamaan persepsi dengan seluruh pemangku kepentingan, khususnya pembina di daerah. Pemerintah pusat disarankan hanya memberikan konsultasi atau pendampingan serta fasilitasi kepada daerah untuk memperkuat kemampuan xxxiii
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
(empowering) daerah dalam mengembangkan industri di wilayahnya melalui penetapan kebijakan dasar, panduan dan fasilitas, yaitu sesuatu yang sekali disediakan akan menumbuhkan industri dalam jangka panjang (bukan kegiatan rutin). 7. Melakukan antisipasi terhadap gejala merenggangnya hubungan antara Pemerintah Pusat (dalam hal ini Departemen Perindustrian) dan Pemerintah Daerah yang dapat menghambat pengembangan industri, melalui pembangunan jejaring informal dengan pembina industri di daerah dan dengan asosiasi. Untuk keperluan ini, Departemen Perindustrian disarankan mendukung atau bahkan menginisiasi dibentuknya asosiasi dengan pendekatan wilayah dan komoditi. 8. Melakukan advokasi untuk mendapat komitmen politik dalam mengubah paradigma pengelolaan migas nasional dari untuk tujuan ekspor menjadi untuk pemenuhan kebutuhan sektor industri/riel (sebagai bahan baku dan bahan bakar). 9. Mengupayakan peningkatan peran swasta dalam melakukan inovasi melalui berbagai cara dan fasilitasi, seperti membangun Knowledgebased management yang sesuai dengan kebutuhan industri, mengupayakan penyatuan nalar teknologi dan nalar ekonomi untuk meningkatkan penggunaan teknologi hasil riset melalui pembentukan Asosiasi antara peneliti dari berbagai institusi dan swasta terkait, dan sebagainya. 10. Menggunakan pendekatan ekosistem dalam strategi pengembangan industri yang berkelanjutan, dan lebih agresif mengembangkan regulasi teknis termasuk yang berbasis standar. 11. Mengawal pembangunan kawasan industri di perbatasan dan kawasan ekonomi khusus untuk mengakomodasikan kepentingan industri secara optimal. 12. Menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang didukung oleh birokrasi yang baik dengan menggeser paradigma pemerintah dari yang berkonotasi kekuasaan menjadi bersifat kemitraan atau partisipatif. xxxiv
DR. Ir. Atih Surjati Herman, M.Sc
F. Penutup Makalah ini disusun berdasarkan pendapat yang berkembang selama serangkaian diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, dengan menyertakan pakar dari berbagai keahlian. Termasuk didalamnya: Dr. Rahardi Ramelan, Dr. Herman Haeruman, Ir. Endro Utomo, Prof. Dr. Rina Indiastuti, Dr. Faisal Basri, Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro, Rifana Erni, MBA, Dr. Mesdin Simarmata, Dr. Irawadi Jamaran, Ir. Heru Kustanto, M.S, dan Dr. Yan Rianto. Dalam beberapa diskusi, hadir pula Dr. Hartarto, Dr. Bambang Kesowo, Rachmat Gobel dan pimpinan Asosiasi di lingkungan KADIN. Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Dr. Dedi Mulyadi, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri yang memberi kebebasan dan dukungan untuk penyelenggaraan diskusi pakar ini.
xxxv
BAB I
UMUM
KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL DI ERA KRISIS GLOBAL DAN RELEVANSINYA DR. Faisal Basri
A. Kinerja Ekonomi dan Sektor Industri Manufaktur
I
ndustri manufaktur merupakan sektor terbesar di dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Seperempat dari keseluruhan produksi barang dan jasa berasal dari sektor ini. Sumbangan yang tak kalah penting dari industri manufaktur terhadap perekonomian adalah dalam hal penyerapan tenaga kerja dan penghasilan devisa negara dari ekspor. Keterkaitan sektor industri manufaktur yang sangat luas dengan sektor-sektor lainnya di dalam perekonomian, selain keterkaitan yang erat di antara berbagai subsektor di dalam sektor industri manufaktur itu sendiri, membuat posisinya sangat strategis sekaligus sangat menentukan gerak dinamika perekonomian. Maka tak mengherankan kalau industri manufaktur menjadi ujung tombak dalam penguatan
3
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
struktur perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta modernisasi perekonomian akan sangat ditentukan oleh topangan kuat sektor industri. Gambar 1. Pertumbuhan industri
Sumber: BPS
Dewasa ini industri manufaktur Indonesia masih terpuruk. Pertumbuhan industri berada di bawah pertumbuhan PDB Nasional dan hampir di semua sub sektor industri pertumbuhannya rendah, sementara sektor lainnya tumbuh di atas rata-rata PDB. Berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pertumbuhan industri manufaktur nasional turun semakin rendah dari tahun 2000 hingga 2008 jika dibanding dengan angka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Hal itu menunjukkan kondisi industri manufaktur di tanah air masih terpuruk. Penyebabnya tak lain potensi industri baja belum dimaksimalkan dan tak ada roadmap (pemetaan) selama ini. Pemerintah selama ini masih belum memiliki pemetaan industri manufaktur terutama baja sehingga sulit menentukan arah kebijakan industri ini ke depan. Suatu negara yang 4
DR. Faisal Basri
kuat biasanya industri manufakturnya kokoh yang direpresentasikan dari produktivitas bajanya bagus. Selama ini pemerintah tidak punya roadmap dan visi yang jelas mengenai pendekatan seperti apa yang akan diterapkan. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah kebijakan industrial yang aktif dengan rambu-rambu ketat dan lebih mengutamakan pendekatan broad base (menyeluruh) yang bisa dimanfaatkan oleh industri-industri sejenis. Tidak adanya roadmap ini yang membuat Indonesia masih bingung kiblat negara kita ini mau jadi negara niaga yang istilahnya jadi pedagang atau negara industri dengan produktivitas baja nasional yang kuat. Salah satu rambu kebijakan yang diperlukan yakni mengenai hitungan economic. Tabel 5. Pertumbuhan tiap sektor industri
Sumber:BPS
Bahkan tingkat kemiskinan masih tinggi dan tidak berkurang dalam 10 tahun terakhir. Pertumbuhan industri tradable lebih kecil dari pada non-tradable. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan perkapita negara kita lebih rendah dibanding dengan tingkat pendapatan perkapita negara Malaysia dan Thailand. Pertumbuhan industri yang optimal adalah sekitar 34% dan jika pertumbuhan tersebut telah tercapai maka pertumbuhan industri akan beralih ke non-tradable. 5
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Gambar 2. Perbandingan Grafik Pertumbuhan GDP di Berbagai Negara I n d o n e s ia 10
I n d o n e s ia
8
T r a d a b le
1 60
T r a d a b le
48 2 0
N o n - t r a d a b le
6
N o n - t r a d a b le
4 2 0
1 9 9 4 -9 6 1 9 9 4 -9 6
2 0 0 1 -0 6 2 0 0 1 -0 6
M a la y s ia 12 10 8 6 4 2 0
T h a ila n d
M a la y s ia
10
12 10 8 6 4 2 0
8 6
1 99 4 -96
1 99 4 -96
2 0 0 1 -0 6
2 0 0 1 -0 6
10
T h a ila n d
8 6
4
4
2
2
0
0
1 9 9 4 -9 6
1 9 9 4 -9 6
2 0 0 1 -0 6
2 0 0 1 -0 6
Hal yang perlu diperhatikan adalah negara kita tidak mengikuti pola perkembangan global dalam hal share ekspor. Sementara itu, yang memprihatinkan juga adalah persentase anggaran penelitian dan pengembangan kita terhadap PDB merupakan yang paling rendah diantara negara Asia Timur, seperti Hongkong, Korea, China, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand, Taiwan, dan lain-lain. Gambar 3. Nilai Ekspor dari Beberapa Negara ASEAN
Berdasarkan hal tersebut, pentingnya penguatan industri yang ditopang oleh kebijakan yang fokus karena baik secara langsung maupun tak langsung akan berdampak positif bagi pertumbuhan sektor industri 6
DR. Faisal Basri
manufaktur. Namun demikian, langkah nyata dan cepat yang harus segera diambil adalah upaya total memerangi penyelundupan, memperbaiki hubungan kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, asosiasi, serta lembaga-lembaga non-pemerintah.
B. Kebijakan Industri Nasional Cakupan kebijakan industri nasional terdiri dari bangun industri nasional, strategi pembangunan industri nasional, fasilitas pemerintah, dan road map pengembangan klaster industri prioritas. Strategi pembangunan sektor industri ditempuh dengan melalui 2 (dua) strategi meliputi: (1) Strategi Pokok, yaitu memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai dari industri termasuk kegiatan dari industri pendukung, industri terkait, industri penyedia infrastruktur, dan industri jasa penunjang lainnya. Keterkaitan ini dikembangkan sebagai upaya untuk membangun jaringan industri dan meningkatkan daya saing yang mendorong inovasi; meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun kompetensi inti; meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumber-sumber daya terbarukan; dan mengembangkan Industri Kecil dan Menengah. (2) Strategi Operasional, yaitu mengembangkan Lingkungan Bisnis yang nyaman dan kondusif; mendorong pertumbuhan dengan fokus klaster industri prioritas; dan mendorong pengembangan industri berbasis kompetensi inti industri daerah (industri unggulan Propinsi dan kompetensi inti industri Kabupaten/Kota). Dalam kebijakan industri nasional, pemerintah akan memberikan fasilitas kepada hampir semua jenis industri seperti prioritas tinggi, pionir, industri yang lokasinya terpencil, tertinggal, tertentu, industri yang melakukan R&D, penunjang infrastruktur, industri yang melakukan alih teknologi, lingkungan, yang melakukan kemitraan dengan UMKM, local content (yang gunakan barang modal dan peralatan) dan employment creation. 7
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 6. Tabel Perbandingan Nilai Anggaran untuk Penelitian dan Pengembangan R&D Spending 2002 Countries
R&D as % of GDP
US$ Bill (PPP)
% of World
1992
2002
111.7
13.5
0.7
1.2
1.1
0.1
0.3
0.6
20.8
2.5
1.9
2.5
2.2
0.3
1.2
2.2
12.2
1.5
1.8
2.3
Indonesia
0.3
0.0
0.1
0.1
Malaysia
1.5
0.2
0.4
0.7
Philippines
0.4
0.0
0.2
0.1
Thailand
1.1
0.1
0.2
0.2
72.0
8.7
0.8
1.3
645.8
77.8
2.3
2.3
Japan
106.4
12.8
2.9
3.1
United States
275.1
33.1
2.6
2.6
184.1
22.1
0.6
0.9
Latin America
21.7
2.6
0.5
0.6
Emerging Europe
30.3
3.7
1.0
1.2
829.9
100.0
1.7
1.7
East Asia Hong Kong Korea Singapore Taiwan
China Developed
Developing
World
Kebijakan industri dalam suatu negara memungkinkan tidak diperlukan karena pemerintah tidak lebih tahu segalanya ketimbang dunia usaha, bisa ditunggangi oleh kelompok-kelompok kepentingan, dan mekanisme pasar bisa otomatis mengoreksi. Namun bisa saja kebijakan industri tersebut sangat diperlukan karena kegagalan pasar tidak membuat alokasi sumber daya optimal, dan akan memacu ketertinggalan, serta akan memberikan dampak Social and cultural dimensions. Pemerintah saat ini terus dibebani untuk menyelesaikan masalahmasalah yang bersifat umum, pemerintah juga harus secara aktif mencari akar permasalahan dan paling menjadi kendala dalam penengembangan indusrtri ke depan, melakukan right policies yang bisa memberi hasil yang menakjubkan. Serta melakukan diplomasi/negosiasi dan intelejen bisnis internasional agar terjadi ekspansi pasar luar negeri dan pengamanan pasar dalam negeri. Dalam implementasi kebijakan industri nasional, rambu-rambu yang harus diperhatikan adalah picking the winners hanya untuk kategori yang luas, bukan specific industries, melainkan didasarkan pada 8
DR. Faisal Basri
komposisi factor endowments yang bersifat dinamis, lebih mengutamakan pendekatan broad base yang bisa dimanfaatkan oleh industri-industri sejenis dalam suatu subkategori, hitungan economic cost-benefit yang jelas dan transparan, dan menitip beratkan pada pendidikan, kesehatan, ICT, dan infrastruktur fisik dasar lainnya.
C. 10 Tahun Setelah Krisis Kebebasan. Itulah barangkali satu kata yang bisa menggambarkan suasana kehidupan berbangsa pascareformasi. Perekonomian Indonesia pun turut menghirup udara kebebasan itu. Memang tidak sebebas negara-negara penganut aliran Neoklasik atau Neoliberal. Tapi, setidaknya, kesumpekan akibat monopoli dan kartel terang-terangan yang diasbahkan pemerintah bisa dikatakan sudah nyaris sirna. Kendali pemerintah pusat atas daerah sudah jauh berkurang. Pemerintah tak bisa lagi mendikte DPR untuk mengesahkan anggaran pendapatan dan belanja negara tanpa perubahan satu sen pun. Bank Indonesia tak lagi di bawah ketiak pemerintah. Gambar 4. Pertumbuhan GDB setelah krisis
9
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Penguasaan negara di sektor produksi sudah jauh berkurang. Di sektor telekomunikasi, penerbangan, perbankan, dan perkebunan, peran badan usaha milik negara tak lagi dominan, digantikan oleh swasta domestik maupun asing. Fungsi ganda negara sebagai pelaku dan pengatur sudah banyak dipereteli. Muncul lembaga-lembaga independen ataupun semi-independen yang khusus mengatur dan mengawasi bidang-bidang tertentu, misalnya: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Badan Pengelola Migas (BP-Migas), dan masih banyak lagi lainnya. Perlindungan terhadap industri atau usaha dalam negeri dikikis oleh liberalisasi perdagangan. Proteksi dipangkas hingga tingkat yang sangat rendah, sebagaimana tercermin dari tarif bea masuk rata-rata yang sudah di bawah sepuluh persen. Tidak terkecuali terhadap produkproduk pertanian yang dihasilkan oleh hampir separuh penduduk yang taraf kehidupannya terbilang masih sangat memprihatinkan. Mesin mekanisme pasar berputar kencang. Laju pertumbuhan ekonomi mulai cepat. Tahun lalu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mencapai 6,3 persen, yang berarti hampir mendekati pertumbuhan rata-rata selama Orde Baru. Namun, kalau kita cermati corak pertumbuhannya, ternyata sangat berbeda dengan periode prakrisis. Di awal Orde Baru, sektor pertanian jadi titik perhatian. Pemerintah mendirikan pabrik pupuk berskala besar, membangun infrastruktur pertanian secara masif, dan menggulirkan berbagai skema pembiayaan bersubsidi untuk petani. Memasuki dasawarsa 1980-an, sektor indutri manufaktur menggeliat dan lebih digenjot pada dekade 1990-an. Kala itu ambisi penguasa ialah mengantarkan Indonesia menjadi negara industri baru (newly industrilizing country), mengikuti jejak Taiwan, Korea, dan Singapura yang sudah lebih dulu menyandangnya.
10
DR. Faisal Basri
Tabel 7. Pertumbuhan GDP tradables dalam (%)
Di era reformasi, kedua sektor tersebut relatif merana. Produkproduk pertanian kian membanjiri pasar. Banyak sekali produk pertanian yang dikonsumsi masyarakat luas yang kita impor: beras, kedelai, jagung, garam, gandum dan terigu, gula, bubuk cabai, sayur mayur, buah-buahan. Sementara itu, kebanyakan produk perkebunan unggulan diekspor dalam bentuk bahan mentah, sehingga penciptaan nilai tambahnya rendah. Hal serupa terjadi untuk produk-produk tambang. Sementara itu industri manufaktur tumbuh jauh di bawah pertumbuhan PDB, sangat kontras dibandingkan masa Orde baru yang tumbuh jauh di atas pertumbuhan PDB, bahkan tak jarang tumbuh dua digit. Maka tak heran sementara kalangan mensinyalir telah terjadi gejala dini deindustrialisasi. Padahal, ketiga sektor tersebut (pertanian, industri manufaktur, dan pertambangan—yang disebut juga sektor tradable) merupakan tumpuan hidup sekitar dua pertiga penduduk. Jika pertumbuhan ketiga sektor ini melempem, maka kesejahteraan relatif mayoritas penduduk kian tertinggal. 11
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 8. Pertumbuhan masing-masing sektor tradable dan non tradable 2006 2007 Q3-07 Q4-07 Q1-08 Q2-08 Q3-08 Tradable Agriculture Mining & Quarrying Manufacturing Non-Tradable Electricity, Gas & Water Construction Trade, Hotel & Rest. Transport & Comm. Finance Services GDP
3.7 3.0 2.2
3.8 3.5 2.0
5.2 8.9 1.8
2.3 3.1 -2.1
3.4 6.0 -2.3
3.2 4.6 -0.9
3.2 2.4 1.6
4.6 7.4 5.9 9.0 6.1 13.6 5.7 6.2 5.5
4.7 9.0 10.4 8.6 8.5 14.4 8.0 6.6 6.3
4.5 7.9 11.7 7.5 6.9 12.5 8.0 5.7 6.5
3.8 10.6 11.8 9.9 9.1 17.4 8.6 7.2 6.3
4.3 9.5 12.1 8.3 7.2 19.7 8.3 5.7 6.3
4.1 10.1 11.2 8.0 7.9 19.6 8.7 6.5 6.4
4.3 9.5 10.6 7.5 7.6 17.1 8.5 6.7 6.1
Yang tumbuh sangat pesat—jauh melampaui pertumbuhan PDB— adalah sektor-sektor jasa modern di kota-kota besar yang kebanyakan disantap oleh lapisan penduduk berpendapatan menengah ke atas. Sektor-sektor yang tergolong non-tradable ini bahkan ada yang tumbuh dua digit. Kesenjangan pertumbuhan sektor tradable versus sektor nontradable semakin menganga. Data untuk tahun 2007 menunjukkan sektor tradable hanya tumbuh 3,8 persen sedangkan sektor non-tradable tumbuh 9 persen. Jadi, persoalan yang menghadang ialah kualitas pertumbuhan. Dengan pola pertumbuhan demikian, niscaya kita akan sangat sulit memerangi kemiskinan dan menekan pengangguran. Selama 10 tahun terakhir jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan prastik tak berubah, yakni di sekitar 17,7-17,6 persen. Pada tahun 2007 turun sedikit menjadi 16,6 persen. Jika kita menggunakan ukuran pengeluaran per kapita di bawah satu dollar AS sehari, penurunan jumlah orang yang tergolong sangat miskin hanya turun dari 7,8 persen pada tahun 1996 menjadi 6,7 persen pada tahun 2007. Laju penurunan jumlah orang yang sangat miskin di Indonesia sungguh sangat lambat bila dibandingkan dengan Vietnam dan China. Di Vietnam jumlah penduduk sangat miskin turun drastik dari 23,6 persen pada tahun 1996 menjadi hanya 4 persen pada tahun 2007. Untuk China, pada 12
DR. Faisal Basri
Tabel 9. Real GDP growth: non-tradables (%) 4. Utilities 5. Constructions 6. Trade, Hotel & Rest. a. Wholesale & Retail b. Hotel c. Restaurant 7. Transport & Comm. a. Transport * Railways * Road * Air Transport b. Communication 8. Finance a. Banks b. Non Bank Financial 9. Services Non Oil & Gas GDP Real GDP
2004 5.3% 7.5% 5.7% 5.5% 7.9% 6.1% 13.4% 8.8% -0.9% 5.0% 30.1% 22.9% 7.7% 6.0% 9.2% 5.4%
2005 6.3% 7.5% 8.3% 8.8% 6.2% 5.9% 12.8% 6.3% -3.0% 4.8% 10.4% 24.6% 6.7% 4.5% 8.3% 5.2%
2006 5.8% 8.3% 6.4% 6.6% 5.2% 5.8% 14.4% 6.6% 6.4% 5.0% 10.7% 26.4% 5.5% 1.6% 7.1% 6.2%
2007 10.4% 8.6% 8.5% 8.9% 5.3% 6.8% 14.4% 2.8% 1.3% 3.6% 8.3% 29.5% 8.0% 8.0% 8.1% 6.6%
Share 0.7% 6.2% 17.3% 14.3% 0.7% 2.3% 7.3% 3.7% 0.0% 1.6% 0.6% 3.6% 9.4% 4.0% 0.8% 9.3%
6.0% 5.0%
6.6% 5.7%
6.1% 5.5%
6.9% 6.3%
92.7% 100.0%
kurun waktu yang sama, angkanya menurun dari 16,4 persen menjadi 6,9 persen
D. Industri Manufaktur di Indonesia Laju inflasi yang tergolong tinggi dalam bulan terakhir tentu bukan semata-mata karena kenaikan harga BBM. Sebelum harga BBM naik sekalipun, harga elpiji dan minyak tanah sudah ”menggila” dan menjadi penyumbang utama inflasi. Pada bulan April, misalnya, inflasi bulanan yang sebesar 0,57 persen, tiga perempatnya (0,43 persen) disumbangkan oleh kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar. Kejadian serupa berlanjut pada bulan Mei. Hanya saja, kali ini diperparah oleh kenaikan harga bahan makanan. Kelalaian dari sisi pengelolaan kebijakan seperti itulah yang menyebabkan inflasi inti (core inflation) di Indonesia sangat tinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Kesalahan fatal kita adalah dalam pengelolaan sumber daya alam. Impor BBM tak terkendali karena selama belasan tahun kita tak kunjung menambah kapasitas produksi kilang minyak. Akibatnya, kita 13
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
kehilangan kesempatan meningkatkan produksi nafta (hasil sampingan dari kilang) sehingga kita tak bisa ”membantu” peningkatan daya saing industri petrokimia dan ribuan pelaku di industri hilir, dalam menghadapi pesaing-pesaing utama yang sedang mengalami tekanan lebih berat karena miskin sumber daya alam. Akibatnya, industri manufaktur tidak bisa memberikan sumbangan maksimal untuk memperkokoh landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan sekaligus meredam tekanan sosial. Sebaliknya, industri manufaktur terus mengalami tekanan dari segala arah. Dalam tiga tahun terakhir, industri manufaktur hanya mampu tumbuh 4,6 persen. Itu pun dengan kecenderungan kian melemah. Tabel 10. Sumbangan manufaktur terhadap PDB (%) 39
Swaziland
35
Thailand
Indo ne s ia 2 9 .0
2 8 .0
32
Belarus Ireland
31
Malaysia
31 31
Romania
29
Korea 2 7 .0
29
Singapore
28
Indonesia S o u r c e : B PS
Slovenia
27
S o u r c e : W or l d B a n k
Kalaupun kita anggap era migas telah berakhir, sebetulnya kita masih memiliki banyak komoditas yang hampir semua menikmati booming, di antaranya karet, minyak sawit, kopra, kopi, cokelat, bubur kertas dan kertas, timah, batu bara, aluminium, nikel, tembaga, emas. Berdasarkan kajian Bank Dunia (East Asia & Pacific Update, April 2008), Indonesia seharusnya menikmati dampak peningkatan pendapatan neto positif dari perbaikan terms of trade selama kurun waktu 2004-2008. Adalah kewajiban pemerintah dan kita semua untuk memastikan bahwa efek neto positif terhadap pendapatan tersebut terdistribusikan 14
DR. Faisal Basri
dengan lebih merata, terutama kepada kelompok-kelompok masyarakat yang kian tertekan akibat kenaikan harga makanan dan BBM. Tabel 11. Pertumubuhan industri manufaktur golongan besar dan sedang KL BI 15 16 17 18 20 24 26 27 29 31 32 34 35 36
U raian Ma ka na n & minuma n P eng ola ha n temba ka u T eks til P a ka ia n ja di K a yu da n brg dr ka yu K imia & brg dr kimia B rg g a lia n bkn log a m L og a m da s a r Mes in & perleng ka pa nnya Mes in lis trik la innya da n perleng ka pa nnya R a dio, T V & pera la ta n komunika s i K la enda rakuta a n bermotor A t a ng n, s ela in kenda ra a n bermotor roda -4 F urnitur & peng ola ha n la innya T o tal in d u s tri m an u fak tu r
2006 11.9 -0.9 6.0 67.3 -41.0 25.8 11.8 22.1 -2.9 -1.3 87.1 -46.5 -36.6 -1.9 -1.6
2007 5.2 15.9 11.2 -23.0 -16.4 35.8 0.3 12.1 43.0 -22.1 50.5 29.6 -8.9 -14.1 5.6
2008* -4.9 6.8 4.7 -30.6 0.6 -13.0 -15.1 -2.6 -17.3 12.2 12.7 16.6 48.0 43.4 1.6
Pemerintah tak boleh berpangku tangan dengan sekadar lebih membiarkan mekanisme pasar bekerja. Saatnya untuk mengedepankan kebijakan industrial yang lebih progresif (active industrial policy) yang diintegrasikan dengan kebijakan energi dan kebijakan pertanian. Menyinergikan segala potensi sumber daya alam untuk memperoleh hasil yang optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah wujud dari syukur kita atas karunia Tuhan yang dilimpahkan kepada bangsa ini. Tabel 12. Jumlah penyerapan tenaga kerja S ektor P erta mba ng a n & P eng g alia n In d u s tri P en g o lah an L is trik, G a s , A ir B ers ih K ons truks i P erda g a ng a n B es a r da n E c era n A komoda s i, Maka n, Minum T ra ns porta s i, G uda ng , K omunika s i P era nta ra K eua ng a n R ea l E s ta t, U s a ha P ers ewa a n J a s a P endidika n J a s a K es eha ta n da n K eg ia ta n S os ia l J a s a K ema s ya ra ka ta n, S os bud, H ibura n J a s a P ers eora ng a n la ya ni ruma hta ng g a J umla h
T ena g a K erja 633.711 11.785.057 161.775 724.521 17.207.494 5.137.200 3.561.066 905.088 1.833.224 4.027.744 732.557 2.756.960 203.77 49.670.167
P ers enta s e 1,3 23,8 0,3 1,5 34,5 10,3 7,2 1,8 3,7 8,1 1,5 5,6 0,4 100,0
15
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Perkembangan di bidang ketenagakerjaan juga tak mengalami perbaikan. Angka pengangguran terbuka, bahkan, melonjak dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 9,1 persen pada tahun 2007. Walau harus diakui bahwa dalam dua tahun terakhir telah terjadi sedikit penurunan angka pengangguran terbuka. Namun, perbaikan tersebut hanya dari sisi nominal dan belum diiringi oleh perbaikan kualitas. Ada dua catatan penting tentang hal ini. Pertama, penurunan angka penganguran terbuka diikuti oleh peningkatan jumlah underemloyment (bekerja kurang dari 35 jam seminggu). Kedua, terjadi peningkatan jumlah dan persentase orang bekerja di sektor informal. Dewasa ini yang bekerja di sektor informal telah mencapai 69 persen dari keseluruhan orang yang bekerja. Perlu dicatat pula bahwa di barisan penganggur ini, porsi yang berusia muda dan atau berpendidikan SLTA ke atas terbilang sangat tinggi. Dilihat menurut lokasi, dua propinsi dengan angka pengguran tertinggi ialah Banten dan Jawa Barat. Mengingat kedua propinsi tersebut merupakan basis terpenting industri manufaktur Indonesia, berarti semakin kuat konstatasi bahwa industri manufaktur mengalami kemunduran relatif yang mengarah pada gejala deindustrialisasi. Dengan pola dan kualitas pertumbuhan seperti itu, sangat bisa dipahami mengapa kesenjangan pendapatan dalam beberapa empat tahun terakhir semakin menganga, bahkan tahun lalu pemburukannya sangat mencolok. Reformasi agaknya tidak mendekatkan kita ada cita-cita kemerdekaan: mewujudkan keadilan sosial, memajukan kesejahteraan umum, mengenyahkan dominasi kapitalis, dan memerangi kemiskinan. Quo vadis reformasi. Ekspor barang dan jasa selama beberapa tahun terakhir merupakan penyumbang kedua terbesar bagi pertumbuhan ekonomi setelah konsumsi privat. Pertumbuhan riil ekspor barang dan jasa selama 20042005 naik rata-rata 15 persen. Namun, selama dua tahun terakhir turun tajam, masing-masing 9,4 persen pada tahun 2006 dan 8,0 persen pada tahun 2007. Sebaliknya, impor barang dan jasa pada tahun 2007 naik, sehingga surplus perdagangan barang dan jasa (current account) 16
DR. Faisal Basri
Tabel 13. Perkiraan dampak krisis versi pemerintah K od e D es krips i
T anaman bahan 1 makanan 2 P erkebunan 3 P eternakan 4 K ehutanan 5 P erikanan 6 P ertambangan migas P ertambangan 7 nonmigas 8 P eng galian 9 Indus tri nonmig as 10 Indus tri migas 11 L is trik, g as , air bers ih 12 B ang unan 13 P erdagangan 14 R es toran dan hotel 15 P eng angkutan 16 K omunikas i 17 K euangan 18 P emerintahan umum 19 J as a lainnya K egiatan tak jelas 20 batas nya P DB
D omes tik
2005
2007
100 89 100 92 95 50
E ks por 0 11 0 8 5 50
2,6 2,5 2,1 -1,5 5,4 -1,8
3,5 3,5 3,3 -1,7 5,8 -1,0
2008 2009 5,4 4,0 3,5 -0,8 3,0 0,0
4,5 2,5 2,1 -1,5 2,0 2,5
39 98 75 57 100 100 85 100 93 100 100 100 100
61 2 25 43 0 0 15 0 7 0 0 0 0
12,1 7,4 5,9 -5,9 6,3 7,4 8,9 6,7 6,3 25,1 6,8 1,9 7,9
5,5 8,6 5,2 -0,1 10,4 8,6 8,9 5,3 2,8 29,5 8,0 5,4 7,6
0,0 7,8 4,0 0,0 10,5 7,5 7,5 5,0 3,5 15,0 8,5 5,0 7,5
2,5 5,0 2,5 5,0 6,5 5,0 6,5 4,0 3,0 10,0 5,0 5,0 5,0
99
1
7,9
7,6
7,5
5,0
85
15
5,7
6,3
6,2
5,0
menyusut. Jika pada tahun 2006-2007, surplus current account terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar rata-rata 2,6 persen, maka pada tahun 2008 diperkirakan turun menjadi 1,7 persen dan 0,9 persen pada tahun 2009. Sementara itu, pertumbuhan nilai (nominal) ekspor barang Indonesia pun sudah menunjukkan penurunan, dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 13,1 persen pada tahun 2007. Kecenderungan yang sama terjadi pada ekspor nonmigas, yakni turun dari 19,2 persen pada tahun 2006 mnjadi 15,3 persen pada tahuhn 2007. Kenaikan hargaharga komoditas primer sangat membantu kinerja ekspor nilai Indonesia sehingga masih bisa tumbuh dua digit. Namun, jika kita keluarkan faktor kenaikan harga, secara riil berdasarkan volume, pertumbuhan ekspor 2007 hanya 7,6 persen. Angka ini merosot bila dibandingkan dengan tahun 2005 sebesar 13,4 persen dan tahun 2006 sebesar 10,7 persen. Sekalipun demikian, kinerja ekspor Indonesia tahun 2007 masih 17
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
sedikit lebih baik ketimbang pertumbuhan perdagangan dunia sebesar 6,8 persen. Dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, maka volume perdagangan dunia pun niscaya akan melemah. Tahun ini pertumbuhan perdagangan dunia diproyeksikan turun menjadi 5,6 persen, dari 9,2 persen tahun 2006 dan 6,8 persen tahun 2007. Akibatnya, pertumbuhan nilai maupun volume ekspor Indonesia pun diperkirakan kembali terpangkas. Dihadapkan pada perkembangan pasar keuangan dunia yang masih terus bergejolak, sehingga kita tak boleh lebih mengandalkan pada arus masuk investasi portofolio, maka pengamanan ekspor menjadi sangat vital. Kita patut bersyukur bahwa selama dua bulan terakhir (JanuariFebruari) 2008, pertumbuhan nilai ekspor total migas dan nonmigas) Gambar 5. Beberapa industri yang kemungkinan mengalami kemunduran akibat krisis
18
Gambar 5. Beberapa industri yang kemungkinan mengalami kemunduran akibat krisis Dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, maka volume perdagangan dunia pun niscaya akan melemah. Tahun ini pertumbuhan perdagangan
DR. Faisal Basri
cukup menggembirakan, yakni 31 persen. Peningkatan tajam ini memang masih lebih dominan disebabkan oleh kenaikan harga minyak dan komoditas primer lainnya. Ekspor migas naik 54 persen dan ekspor nonmigas 26 persen. Penyumbang terbesar dari komoditas primer nonmigas ialah minyak sawit dan karet, juga lebih disebabkan oleh kenaikan harga daripada volume. Tak kalah penting ialah kemampuan kita mendiversifikasikan tujuan ekspor. Jepang dan Amerika Serikat memang masih tetap sebagai tujuan ekspor utama Indonesia, namun dengan kecenderungan menurun. Bahkan pangsa pasar ekspor nonmigas ke Amerika Serikat telah mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Kedua negara ini adalah yang paling mengalami kemersotan pertumbuhan. Gambar 6. Pemetakan beberapa industri yang kemungkinan mengalami kemunduran akibat krisis
Value Added Contribution to Mediumand Large Mfg Industries
High local contents & export oriented (14.42%)
High import contents & export oriented (16.17%)
High local contents & domestic oriented (36.88%)
High import contents & domestic oriented (32.45%)
Sebaliknya, kita mampu meningkatkan pangsa ekspor nonmigas ke negara-negara yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Ekspor ke China telah mencapai 7 persen dari keseluruhan ekspor nonmigas. Padahal pada tahun 2000 masih sekitar 3 persen saja. Serupa halnya dengan India, yang hanya dalam 7 tahun terakhir telah meningkat dua kali lipat, dari sekitar 2 persen menjadi 4 persen dari ekspor nonmigas 19
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
total. Pada tahun 2007, India dan China merupakan penyumbang terbesar bagi peningkatan ekspor nonmigas Indonesia. Jika kita mampu menjaga perkembangan ekspor yang sudah cukup baik ini, serta mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan “membabibuta” barang-barang impor, niscaya sektor eksternal kita akan bertambah kuat. Sehingga, titik berat perhatian bisa lebih kita curahkan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan yang cenderung centang perentang, sebagaimana ditunjukkan oleh kesenjangan luar biasa antara pertumbuhan sektor-sektor jasa modern di kota-kota besar dengan pertumbuhan sektor pertanian dan industri manufaktur yang kian merana. Jangan sebaliknya, kita mengandalkan pada sektor finansial yang nyata-nyata terbukti sangat artifisial dan rentan terhadap gejolak eksternal. Gambar 7. Pemetakan beberapa industri berdasarkan kandungan material ekspor dan impor
Kandungan impor
Rendah
Tinggi
Ekspor
Plywood; Pulp; Karet Garmen; Tabung dan remah; Minyak goreng komponen elektrik; dr kelapa; Pembekuan Pemintalan benang; ikan Sepatu; Lembaran kaca
Domestik
Kretek; Minyak kasar; Semen; Minyak goreng dr sawit; pupuk
Orientasi pasar
Kendaraan oda 4; Kertas budaya; Farmasi; Radio, TV dan alat perekam; Autopart
Ironisnya, dari senarai komoditas di atas, seluruhnya dipasok oleh negara atau BUMN. Sehingga, sebenarnya Pemerintah punya kendali penuh untuk mengoptimalkan pasokan barang dan jasa tersebut, 20
DR. Faisal Basri
sehingga bisa memberikan sumbangsih cukup berarti untuk meredam laju inflasi. Tak kalah ironis ialah kebijakan harga yang tidak rasional. Tarif listrik dan gas elpiji untuk industri misalnya, jauh lebih tinggi ketimbang tarif untuk rumah tangga. Padahal, biaya untuk industri nyata-nyata lebih rendah karena volume pembeliannya jauh lebih besar. Penerapan kebijakan harga yang tak rasional ini pada gilirannya menimbulkan praktik menyimpang sehingga menimbulkan kelangkaan yang lebih parah dan kenaikan harga yang lebih besar dibandingkan jika pemerintah benar-benar menaikkan harga barang dan jasa tersebut, tentu secara bertahap. Pemerintah tak punya banyak kemewahan dalam menggelar instrumen-instrumen kebijakan. Juga tak punya keleluasaan untuk mengandalkan satu instrumen kebijakan bagi pencapaian multitarget. Oleh karena itu, sepatutnya pemerintah menitikberatkan saja pada beberapa tujuan utama dengan beberapa instrumen terpilih, namun punya probalilitas keberhasilan yang tinggi serta berdampak luas bagi mayoritas penduduk. Gambar 8. Pemetakan beberapa industri berdasarkan kebijakan yang diperlukan Kandungan impor
Rendah Ekspor Orientasi pasar
Domestik
Tinggi
Bea keluaran untuk Penurunan tarif bea ekspor bahan baku masuk bahan baku Kelancaran pasokan bahan baku Galakkan FDI Penetrasi pasar ekspor Pembebasan PPN? Iklim persaingan
Penurunan bea masuk komponen Pengamanan pasar domestik Sentuhan teknologi
21
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
E. Kesimpulan Di dalam kebijakan industri nasional ada sesuatu yang hilang karena tidak memberdayakan sumber daya yang tersedia. Disamping itu, ada kecenderungan tidak konsistennya kebijakan dalam basis industri manufaktur, tidak adanya konsistensi dalam pengembangan industri di Indonesia karena seperti pada pembinaan IKM juga ditangani oleh Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, industri kesehatan dibina oleh Departemen Kesehatan, dan masalah Biofuel dibina oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini menyebabkan peran dan wewenang Departemen Perindustrian tidak jelas. Oleh karena itu Departemen Perindustrian seyogianya menangani pengembangan seluruh sub sektor industri. Baik secara sektoral maupun ukuran. Departemen Perindustrian harus mengambil alih kembali industri yang dibina oleh Depkes, Departemen ESDM, dan Departemen lainnya. Perlu diperhatikan kembali bahwa dalam kebijakan industri nasional terdapat industri prioritas dan semuanya mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Jelas hal ini tidak dapat dikembangkan secara terfokus kerena jumlah industri prioritas terlalu banyak. Selain itu, titik berat pengembangan industri di dalam kebijakan industri nasional, seyogyanya diarahkan pada dunia pendidikan, kesehatan dan ICT.
22
KEBIJAKAN INDUSTRI DAN MASALAHNYA Prof. DR. Rahardi Ramelan
A. Pendahuluan
M
embahas mengenai Kebijakan Industri Nasional (KIN) pada saat ini, diwaktu kita seluruh bangsa dan negara didunia menghadapi krisis keuangan dan ekonomi, menjadi sangat sulit. Mungkin yang kita bahas dalam pertemuan ini hanya garis-garis besarnya saja. KIN atau Industrial Policy, tidak dapat dipisahkan dan terlepas dari Kebijakan Ekonomi (Economic Policy) maupun dari Kebijakan Nasional (National Policy). Bangsa dan masyarakat kita sedang dalam proses reformasi menuju demokrasi yang sebenarnya. Proses pemekaran dalam rangka otonomi daerah belum mencapai titik keseimbangannya. Ditingkatan yang paling mendasar masih terus muncul gagasan mengenai peninjauan kembali amandemen UUD 1945. Belum lagi komposisi 23
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
kekuatan politik di DPR dan pemerintah, yang mungkin berubah pasca Pemilu dan Pilpres yang akan datang, hanya akan mempersulit KIN yang akan dirumuskan akan betul-betul menjadi acuan kebijakan industri di masa depan atau sekurang-kurangnya 5 tahun mendatang. Arah yang jelas mengenai masa depan bangsa dan kebijakan ekonomi, yang didalamnya terkandung kebijakan industri, ialah yang dirumuskan pada tahun 1948 sebgai progran Benteng dan kemudian Rencana Kasimo dalam kebutuhan pangan dan pertanian pada tahun 1951-1952, yang bertujuan mempercepat pertumbuhan industri dan memperkuat peran industri kecil, serta dimulainya program penelitian dengan mendirikan berbagai jenis laboratorium. Kemudian didalam perkembangannya, sebagai bagian dari masyarakat dunia, kita tidak dapat terisolasi sendiri, melainkan “terpaksa” menjadi bagian dari kelompok politik tertentu, masyarakat regional, maupun internasional. Sampai akhirnya kita terbawa dalam arus globalisasi yang sekarang sedang berlangsung dengan cepat dan massive. Perkembangan yang penuh ketidak seimbangan didalam negeri mengharuskan kita hati-hati dalam mengambil keputusan. Sedang perkembangan yang kompleks di dunia, serta semakin mencuatnya masalah energi dan lingkungan yang dihadapi oleh planet bumi kita sekarang ini, menimbulkan pertanyaan yang serius: KEMANA INDUSTRI KITA AKAN DIARAHKAN?
B. Tentang Kita Kita adalah negara besar dalam arti kata geografis dan jumlah penduduk. Kita termasuk negara yang penting dengan sumber alam yang kita miliki. Kita memiliki budaya dan tradisi yang kaya. Para pendahulu kita pernah menjadi bagian dari kemashuran dunia. Sampai akhirnya kita menjadi korban kolonialisme pada abad pertengahan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita akan menjadi korban super-kapitalisme 24
Prof. DR. Rahardi Ramelan
sekarang dan dimasa akan datang? Dan apakah kita hanya tetap akan menjadi bangsa penghasil bahan mentah bagi negara-negara industri maju? Didalam perkembangannya kita pernah mengenal berbagai kebijakan industri, seperti antara lain: • Kebijakan industri subsitusi impor, • Broad base export oriented industry • Technology and Industrial Policies – Industri Strategis Politik dan peran para menteri, sangat menentukan baik konsep maupun strategi dan pelaksanaan kebijakan industri. Pada akhir tahun 1980-an muncul sebuah konsep yang dibawa oleh BJ Habibie sebagai Menteri Ristek/KaBPPT, yaitu penguasaan dan pengembangan teknologi melalui proses industri, yang banyak dikenal dikalangan scholar sebagai Technology and Industrial Policies (TIPS). Sebuah konsep yang mengkaitkan pembangunan industri yang didasari alih teknologi, dengan strategi penguasaan teknologi dimasa depan. Pada masa itu reverse engineering dan alih teknologi menjadi kebijakan yang penting bagi negara-negara industri baru untuk mengejar ketertinggalannya dari negara maju. Konsep yang kemudian dikenal sebagai “berawal dari akhir dan berakhir diawal”, dimulai sewaktu PT Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia – PT DI) didirikan pada tahun 1976, dimana tahap pertama dalam konsep tersebut, yaitu memproduksi barang yang sudah ada di pasar yang dilaksanakan dengan mengadakan lisensi pembuatan pesawat terbang dan helikopter. Proses produksi melalui lisensi dilakukan dengan pendekatan “progressive manufacturing plan”, sehingga kemampuan proses produksi dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Tetapi tentu dengan investasi yang besar, terutama dalam pengadaan permesinan dan pelatihan tenaga kerja. Pendekatan serupa kemudian diterapkan dibeberapa industri yang kemudian disebut dengan Industri Strategis. Ke-strategis-an industriindustri tersebut dapat dilihat dari dua sisi. Pertama adalah strategis untuk kehidupan bangsa, yaitu industri peralatan transportasi, peralatan 25
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
energi, komunikasi dan persenjataan. Kedua adalah strategis dalam proses, menguasai, dan mengembangkan teknologi didalam negeri. Walaupun ditataran kebijakan, ditingkat kabinet, sepertinya kebijakan industri strategis ini berjalan tanpa hambatan, tetapi kenyataannya dilapangan dan kebijakan sektoral, kebijakan tersebut menimbulkan kontroversi diantara menteri. Antara lain Menteri Perindustrian mengfokuskan kepada kebijakan untuk meningkatan kemampuan teknologi dalam perencanaan, engineering dan kemampuan pendirian pabrik (EPC-Engineering, Procurement, Construction), serta mendorong beberapa perusahaan konsultan dan engineering untuk dapat melaksanakan proyek secara turn key. Selain meningkatkan dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada perusahaan engneering swasta, Departemen Perindustrian kemudian memprakarsai lahirnya BUMN PT Rekayasa Industri. Bersamaan dengan itu, Departemen Perindustrian kemudian mengembangkan program peningkatkan kemampuan workshop yang berada dilingkungan industri pupuk dan petrokimia untuk dapat memproduksi peralatan pabrik. Menteri Perindustrianpun menerapkan broad base industrial policy. Kebijakan industri yang terkotak-kotak waktu itu, menyebabkan pencapaian yang tidak maksimal, sehingga sewaktu krisis melanda negara kita pada tahun 1998, hanya sebagian dari industri-industri tersebut yang mencapai kondisi take-off.
C. Pengelompokan Industri Dalam beberapa kesempatan, saya menyampaikan bahwa dalam mengembangkan kebijakan industri perlu dibuat pengelompokan dengan pola pengembangan yang berbeda. Untuk itu pola pengembangan industri nasional dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu pertama industri dalam rangka pembentukan modal, kedua industri yang dikaitkan langsung dengan pembangunan sumberdaya manusia, dan ketiga adalah industri yang merupakan program keterkaitan antar industri dan / atau sektor ekonomi lainnya. 26
Prof. DR. Rahardi Ramelan
Industri Dalam Rangka Pembentukan Modal Pembangunan industri yang mengandalkan nilai keunggulan komparatif yang terkandung dalam sumber daya alam yang kita miliki. Industri ini dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam dan hasil komoditi primer untuk dijadikan bahan baku, barang setengah jadi atau barang-barang konsumsi. Industri semacam ini dikembangkan baik untuk memenuhi pasar dalam negeri maupun luar negeri. Contoh : industri minyak dan gas bumi (termasuk LNG), industri hasil pertambangan, industri hasil kehutanan, industri hasil laut dan lain-lain. Dalam rangka pemupukan dana pembangunan, industri yang bertujuan ekspor tersebut merupakan industri yang memegang peran penting dalam ekonomi kita. Oleh karena itu usaha-usaha pemilihan teknologi serta efisiensi produksi perlu terus dilakukan dan dikembangkan agar keunggulan komparatif yang dimilik oleh sumber daya alam tersebut dapat dikembangkan atau setidak-tidaknya dapat dipertahankan. Teknologi yang diperlukan perlu dipilih dari teknologi yang paling mutakhir, efisien dan teruji. Dalam hal ini masalah alih dan penguasaan teknologi bukan menjadi syarat yang penting. Masalah • Masih terus terkotak-kotaknya “penguasa” kebijakan dalam proses industri secara menyeluruh, seperti Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen ESDM, Departemen Perindustrian, dan Departemen Perdagangan. Interese dan fokus masing-masing penguasa, menghambat proses menuju industri hilir. Contoh: Gas Alam, Batu Bara, Sawit, Coklat/kakao, Biji Mete, Rumput Laut, Kayu, Rotan dll. • Perubahan pasar dari komoditi primer menjadi produk intermediate atau produk akhir, tidak dipersiapkan dengan perluasan pasar yang tepat. Dominasi pembeli yang datang atau foreign buyer lebih menonjol daripada usaha eksportir.
27
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
• •
Peningkatan ekspor komoditi primer sering dikaitkan dengan pengamanan balance of payment ekonomi nasional. Tekanan negara-negara industri maju, agar kita tetap sebagai penghasil komoditi primer untk industri mereka.
Industri Yang Dikaitkan Dengan Pembangunan Manusia Salah satu sumber daya yang kita miliki yang sekaligus juga menjadi tujuan pembangunan kita adalah sumberdaya manusia itu sendiri. Pembangunan industri yang didasarkan dan ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia ini, dapat dibedakan dari segi kedudukan dan fungsinya: - Manusia sebagai konsumen. Industri yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Jadi industri semacam ini harus benar-benar memenuhi syarat bahwa jumlah dan kualitas yang memadai serta harga yang terjangkau oleh masyarakat. Contoh : industri pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan. - Manusia sebagai tenaga kerja dan pelaksana proses produksi. Industri yang mampu menciptakan dan memperluas lapangan kerja (industri padat karya). Untuk mendorong dan memperluas lapangan kerja tersebut seyogyanya industri semacam ini perlu diberikan insentif. Setidak-tidaknya keringanan dapat diberikan kepada industri yang memerlukan investasi per tenaga kerja yang rendah. Contoh : kelompok aneka industri baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor (foot loose industries), merupakan bagian dari regionalisasi dan globalisasi pemegang merek.
28
Prof. DR. Rahardi Ramelan
- Manusia sebagai pembawa teknologi. Dalam rangka mentransformasikan bangsa dan negara kita menjadi negara industri, untuk itu perlu dikembangkan industri rekayasa dan manufaktur. Pengembangan industri yang dikaitkan dengan strategi transformasi industri dan teknologi. Industri semacam ini dikaitkan dengan program peningkatan ketrampilan dan penguasaan teknologi. Penguasaan dan pengembangan teknologi merupakan upaya pembinaan manusia menjadi lebih terampil dan bermutu. Tetapi harus disadari bahwa penguasaan teknologi ini bukan hanya membutuhkan tenaga terampil saja tetapi juga dana yang besar dan waktu. Contoh: Industri alat pertanian, industri alat bangunan dan peralatan pabrik, industri kendaraan bermotor, kapal dan pesawat terbang, industri elektronika dan komunikasi (ICT), industri peralatan rumah tangga dan lain-lain. Masalah • Keengganan pemilik teknologi dari luar negeri mengalihkan teknologinya. • Pengusaha dan investor kita masih berorientasi rent seeking. • Masyarakat yang masih berorientasi barang atau merek luar negeri. Sistem pengadaan barang pemerintah kurang memihak produk dalam negeri, melainkan lebih mengutamakan transparansi (tender). • Pasar dalam negeri memberikan peluang yang lebih besar kepada produk dan jasa buatan luar negeri. Keterkaitan Antar Sektor Industri Dan/Atau Sektor Ekonomi Lainnya Kebijakan Industri yang dibangun agar terjadi keterkaitan antar sektor industri, atau keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Jadi 29
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
yang diperlukan adalah kebijakan industri yang diperlukan untuk menutup mata rantai proses industri. Contoh : • Alumina: Peleburan aluminium di Asahan, karena tersedianya listrik yang murah, dan bahan baku alumina diimpor. Disisi lain bahan baku untuk alumina yaitu bauxit yang kita miliki diekspor. Jadi sebenarnya diperlukan industri produksi alumina, yang diperlukan untuk menutup mata rantai proses produksi. • Iron pellet: Industri besi baja dikembangkan karena kita menggunakan proses direct reduction karena memiliki gas alam. Bisi besi yang berbentuk pellet diimpor. Disisi lain kita mengekspor pasir besi dan biji besi, yang sebenarnya bisa dijadikan pellet. • Singkong – ethanol – bahan bakar pengganti bbm yang ramah lingkungan • Industri gula dengan sektor pertanian tebu. Perlu ada kejelasan hubungan antara petani tebu dan industri gula. Masalah • Penguasa kebijakan yang terkotak-kotak, mempersulit kebijakan terintergrasi. • Turunnya harga komoditi dipasar internasional, sering dibebankan hanya kepada petani. • Industri produk antara kalau hanya ditujukan untuk kebutuhan dalam negeri, belum mencapai keekonomiannya.
D. Globalisasi dan Kemandirian Globalisasi telah meningkatkan dinamika pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan industri secara signifikan. Kita sudah harus lebih cermat melihat kedepan bagaimana posisi bangsa kita didalam persaingan global dibidang teknologi dan industri. Kita harus berani menentukan industri dan teknologi mana yang harus kita kuasai untuk mengamankan pembangunan dan kelangsungan bangsa dimasa depan? Dalam bidang industri dan teknologi yang mana kita harus 30
Prof. DR. Rahardi Ramelan
mandiri untuk bisa sejajar berhadapan dengan negara-negara industri maju dengan posisi tawar yang baik? Teknologi dan industri itulah yang akan menjadi pilihan untuk diutamakan, atau menjadi prioritas. Ada yang mengatakan bahwa dalam era globalisasi ini seolaholah sudah tidak relevan lagi membicarakan kemandirian bangsa, yang perlu adalah memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengamankan supply chain. Mungkin itu benar bagi negara-negara industri maju yang mempunyai posisi tawar yang baik dalam perdagangan dan diplomasi dunia. Tetapi keadaannya tentu berlainan bagi negara seperti kita. Oleh karena itu para pendahulu kitapun telah menetapkan berbagai jenis industri yang harus dikuasai oleh bangsa ini. Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sudah saatnya juga sekarang ini kita menetapkan industri dan teknologi yang harus dikuasai bangsa Indonesia dimasa depan. Industri yang strategis. Pendekatan klasik yang banyak diterapkan oleh negara-negara berkembang, dengan jumlah penduduk yang banyak, dalam menentukan industri yang strategis, adalah dikuasainya industri dasar, baik logam maupun kimia, serta industri berat, alat konstruksi dan pertanian. Industri besi dan baja kita, khususnya BUMN Krakatau Steel, sudah dimulai sejak Orla diteruskan sewaktu Orba dan sekarang. Peningkatan kapasitas yang sudah direncanakan sejak dekade yang lalu, tidak kunjung terealisasi. Lokasi antara kedekatan dengan pasar atau bahan baku, atau antara Banten dan Kalimantan terus diperdebatkan tanpa solusi. Demikian juga industri aluminium (smelter), masih dibayangi dengan tidak adanya keputusan mengenai pendirian produksi aluminia dari bauxit. Sedang disisi lain cadangan bauxit kita terus dikuras dan diekspor dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang semakin parah. Logam dasar lainnya yang sangat penting adalah tembaga. Kitapun kelihatannya terlena dalam menguras kekayaan alam ini, tanpa adanya industri hilir yang memadai. Semoga kita waspada dengan kebijakan industri dasar berbasis gas alam dan batu bara, sebelum kedua kekayaan alam kita tersebut habis terkuras seperti minyak bumi tanpa penguasaan teknologi yang bisa menjadi andalan. 31
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Industri alat berat seperti bulldozer, excavator, dan loader, merupakan industri yang memiliki proses produksi yang “sama” dengan proses produksi kendaraan lapis baja. Selain itu diberbagai workshop industri petrokimia berkembang kemampuan yang cukup signifikan. Salah satu yang penting dari fasilitas yang dimilikinya adalah pengecoran (foundry) dan penempaan (forging) logam. Industri besi baja, pengecoran dan penempaan, merupakan keperluan mutlak bagi negara yang telah menetapkan akan menjadi negara industri. Dengan kemampuan desain dan engineering dapat ditumbuhkan industri-industri lainnya seperti alat pertanian, alat transportasi, peralatan konversi energi, serta mesin perkakas yang merupakan induk dari permesinan lainnya. Sedangkan industri dasar petrokimia sangat penting bagi kehidupan modern dengan meningkatnya peranan berbagai material baru yang dipergunakan dalam kebutuhan kita. Bagi negara dengan geografi yang luas dan jumlah penduduk yang besar, menempatkan industri peralatan transportasi, konversi energi dan telekomunikasi sebagai industri strategis merupakan pilihan yang penting. Khususnya bagi negara kita, ketiga moda transportasi, yaitu darat, laut dan udara menjadi sangat mutlak, sehingga menempatkan industri tersebut menjadi industri prioritas merupakan keputusan yang tepat. Dengan penerapan TIPS pada masa yang lalu, dibidang teknologi dan industri peralatan transportasi laut dan udara, kita telah memiliki dan menguasai berbagai teknologi yang memadai. Hambatan utama adalah skala keekonomiannya, ekonomi kita pada saat ini belum dapat menyerap kapasitas yang terpasang, sehingga kerjasama regional dan pasar ekspor harus menjadi andalan. Hal inilah antara lain yang mendesak diperlukannya sebuah lembaga pembiayaan ekspor atau Export Credit Agency (ECA), dan sekarang lembaga keuangan ekspor ini sudah terbentuk. Dalam tulisan saya pada waktu yang lalu, dengan perkembangan geo-politik sekarang ini hanya kemampuan nuklir dan roket jarak jauh, yang bisa membawa negara-negara adidaya untuk berunding dan duduk 32
Prof. DR. Rahardi Ramelan
disatu meja, contoh Korea Utara, Pakistan, China, India dan Iran. Untuk Indonesia saya pernah menyarankan untuk meningkatkan kemampuan peroketan yang ada di LAPAN dan PT DI menjadi bagian dari prioritas yang harus ditingkatkan. Dihampir semua negara, juga negara industri maju, intervensi pemerintah dalam proses pengembangan knowledge based asset ini diperlukan dan harus dilakukan. Memang porsinya berbeda, dan ini sangat tergantung dari prilaku para pebisnis dan pemilik modal. Kalau pebisnis dan pemodal masih banyak berorientasi dengan kegiatan rent seeking, maka dibutuhkan bukan hanya intervensi pemerintah (dengan kebijakan), tetapi keterlibatan pemerintah dalam pengembangan knowledge based asset tersebut melalui special structured companies, dalam hal kita adalah BUMN.
E. Penutup Untuk menentukan kebijakan industri nasional tidaklah mudah, apalagi dalam keadaan ekonomi global yang sukar diprediksi. Pendekatan dengan berbagai metodologi dengan menggunakan pendekatan cluster untuk menentukan industri prioritas, pada saat ini akan mendapatkan hasil yang kurang akurat. Krisis yang masih berlangsung belum menunjukan arah equillibrium baru. Geopolitik global masih menunjukan pergerakan yang dinamis. Politik dalam negeri kita sendiri masih ditandai dengan tarik ulur arah politik ekonomi. Apakah kita sebaiknya penentuan KIN menunggu selesainya Pemilu dan Pilpres?
33
SKETSA PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN INDUSTRI DR. Mesdin Simarmata
A. Pendahuluan
P
embangunan industri menghadapi tantangan yang berbeda dengan pembangunan prasarana umum seperti jalan, bandar udara, pelabuhan, jaringan listrik, dan lain-lain. Hal ini disebabkan, batasan “public goods” dalam pembangunan industri dapat berubah sesuai dengan konteks dari pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dinamika batasan public goods tersebut menuntut perlunya redefinisi secara terus menerus bagaimana segarusnya pemerintah berperan dalam proses industrialisasi. Dinamika peran pemerintah ini terekam juga dalam sejarah industrialisasi Indonesia. Pada awal ordebaru Pemerintah bertindak sebagai “entrepreneur” dengan mendirikan industri-industri yang sangat strategis bagi pembangunan seperti industri pupuk, petrikimia, kertas, dan semen. Sejalan dengan perkembangan jaman, 35
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
peran sebagai entrepreneur berkurang digantikan oleh peran sebagai pembina yang makin menguat. Masalahnya adalah, penjabaran operasional tugas pemerintah sebagai pembina tidak mudah, perlu dibangun kerangka pikir untuk dijadikan sebagai pedoman. Tulisan ini dimaksudkan untuk itu. Oleh karena itu, pada bagian berikut ini akan diuraikan perjalana peran pemerintah dalam pembangunan secara umum, kemudian diikuti dengan pemikiran-pemikiran peran pemerintah dalam proses industrialisasi. Untuk keperluan pembangunan industri di Indonesia, bagian berikutnya akan menguraikan arah pembangunan industri yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Kebijakan Industri Nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008. Selanjutnya dengan mengacu pada peraturan-perundangan yang ada, papaer ini akan memberikan pilahan-pilihan peran yang layak dijalankan oleh lembaga pemerintah. Bagian akhir tulisan menyajikan usulan bagaimana menerapkan ide tersebut dalam membina industri di Indonesia.
B. Pandangan Umum Irma Adelman – Guru Besar Ekonomi Pertanian di Universitas Berkeley (1999) mengungkapkan bahwa peran pemerintah dalam pembangunan mengalami perubahan yang dibagi dalam tiga fase: fase pertama pemerintah sebagai penggerak mula, fase kedua pemerintah sebagai sumber masalah, dan fase ketiga merupakan fase rekonsiliasi. Uraian singkat ketiga fase tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fase Pertama terjadi pada kurun waktu 1940 – 1979 dimana pemerintah dianggap sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan. Pemikiran ini dipelopori antara lain oleh Arthur Lewis, Leibenstein, dan Prebish yang menyarankan agar pemerintah melakukan investasi, mensubsidi investasi swasta, mengkoordinasikan kegiatan investasi, atau secara ringkas menyarankan agar pemerintah
36
DR. Mesdin Simarmata
menjalankan “entrepreneurial role”. Alasannya, pada tahap awal belum tersedia industrialis yang mau dan mampu mamprakarsai proyek baru, “absence of private entrepreneurships”. Hal ini terjadi karena antara lain investasi membutuhkan teknologi yang sering bersifat indivisible tetapi tidak ada kemampuan mengkoordinasikan pihak lain untuk ikut berbagi tanggungjawab (lack of coordination). 2. Fase Kedua adalah dari tahun 1979 sampai dengan tahun 1996, di mana pemerintah digambarkan sebagai sumber masalah. Gambaran ini dimotori oleh pemikir-pemikir neoklasik antara lain Krueger dan Bhagwati yang menganggap bahwa persaingan dalam perdagangan bebas mampu menekan harga serendah mungkin, seh 3. ingga untuk bisa berjaya para produsen akan berupaya menghasilkan barang dan jasa yang lebih unggul dari yang lain. Sehingga secara agregat kondisi ini menghasilkan alokasi sumberdaya yang optimal. Dalam kaitan ini, tugas pemerintah idealnya hanya menjaga pasar agar beroperasi secara sempurna. Namun para pemikir ini menganggap bahwa pemerintah telah menjadi sumber masalah, bahkan disebut sebagai setan “evil government”. Dengan kerangka pikir yang demikian mereka merumuskan resep kebijakan pembangunan yang dikenal dengan “The Washington Concensus” dan penerapannya dimotori oleh tiga lembaga dunia: IMF, Bank Dunia, dan WTO. Dalam resep ini, “stablize, privatize, liberalize” adalah mantra utama bagi para teknokrat di negara berkembang. 4. Fase Ketiga dimulai dari tahun 1996 setelah dirasakan perlu mencari rumusan peran pemerintah yang paling tepat khususnya bagi negara-negara berkembang. Hal ini didorong oleh fakta yang menunjukkan bahwa kemajuan negara berkembang di era 80-an tidak dapat dijelaskan secara langsung oleh kemajuan perdagangan. Di samping itu, di negara-negara Asia Timur kemajuan dimotori oleh pemerintah yang berperan aktif, bertentangan dengan keyakinan yang ada. Sehingga muncullah gerakan pemikiran baru yang menamakan diri sebagai “The Post Washington Concensus”.
37
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Dari Singapura, Poh-Kam Wong dan Chee-Yuen Ng (2002) juga mengamati hal yang sama. Kedua penulis ini memberi julukan kepada kelompok pendukung pasar bebas dengan “minimalist state, free market” (MSFM), karena memang kelompok ini berupaya meminimumkan peran pemerintah dengan mengalihkannya kepada kekuatan pasar bebas. Paham MSFM sangat mendominasi Bank Dunia sampai dengan era tahun 1980-an. Namun pada tahun 1993, Bank Dunia menerbitkan sebuat laporan tentang keajaiban perekonomian Asia Timur. Disebutkan bahwa kemajuan yang dicapai negara-negara Asia Timur adalah berkat intervensi pemerintah yang kuat dalam upaya mencapai pertumubuhan ekonomi yang tinggi. Sehingga laporan ini memberi saran bagi negara berkembang yang sudah berbeda dengan paham MSFM tradisional dengan label intervensi pemerintah yang ramah pasar, “market friendly state intervention”. Untuk dapat menjelaskan pilihan yang tepat bagi negara berkembang, mereka memetakan paham-paham pembangunan ekonomi ke dalam dua dimensi yaitu kekuatan institusi pasar, dan kekuasaan pemerintah, lihat Gambar 1. Kondisi yang diinginkan adalah institusi pasar yang kuat yang ditandai dengan maraknya prakarsa-prakarsa swasta diimbangi dengan intervensi pemerintah yang cerdas dan tepat seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat (Advanced Market Economy). Banyak negara berkembang mengandalkan intervensi pemerintah yang kuat dan melumpuhkan institusi pasar. Jalur ini gagal karena regulasi yang terlalu berat (over regulated) yang mengakibatkan negara menjadi pemangsa (predator). Ada juga negara berkembang mengikuti paham MSFM dengan menciptakan sistem perekonomian pasar bebas (Lassiez Faire Economy), namun gagal juga sepeti yang teradi di negara-negara selatan Gurun Sahara dan Amerika Latin. Pengalaman negara-negara Asia Timur dapat dijadikan model bagi negara berkembang dimana peran pemerintah berkembang sejalan dengan kekuatan pasar (transitional developmental state). Namun ada batasnya. Pada tahapan tertentu, intervensi pemerintah menjadi disinsentif bagi prakarsa swasta dan biua terlambat disadari pemerintah sendiri menjadi kecanduan melakukan hal tersebut dan cenderung tidak mau berubah, terjadinya kelembaman institusional (built-in rigidities). 38
DR. Mesdin Simarmata
Gambar 9. Roadmap Kebijakan Pembangunan Ekonomi
Sumber: Poh-Kam Wong dan Chee-Yuen Ng (2002)
Bank Dunia dalam laporan tahun 2005 yang berjudul “Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform” menyoroti peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Salah satu kesimpulan laporan ini adalah walaupun telah melakukan banyak reformasi kebijakan ekonomi sesuai saran-saran Bank Dunbia, IMF, WTO, dan lain-lain badan dunia penganut paham neoliberal, negara-negara di selatan gurun Sahara Afrika gagal beranjak dari kemiskinan. Demikian juga dengan dengan negara-negara Amerika Latin, terutama Argentina yang merupakan anak manis dari IMF dan Bank Dunia. Sebaliknya era tahun 1990-an merupakan zaman emas bagi India dan Cina yang pertumbuhan ekonominya sangat mengagumkan. Padahal kedua negara ini tidak mungkin disebut sebagai pengikut ajaran IMF dan Bank Dunia. Terhadap laporan ini, Dani Rodrik, Gurubesar di Kennedy School of Government - Universitas Harvard (2006) menanggapi dengan 39
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
seruan “Good bye Washington Consensus, Hello Washington Confusion”. Dia beranggapan bahwa dengan laporan tersebut para elit lembaga dunia yang berada di Washington sedang dalam kebingungan mencari kerangka kebijakan yang tepat bagi negara-negara berkembang. Dani Rodrik beranggapan bahwa para pengambil kebijakan di negara-negara berkembang atas saran penasihat dari Washington terlalu terobsesi dengan kebijakan segitiga perampingan peran pemerintah (deadweightloss triangle: stabilize, privatize, liberalize) yang merupakan inti dari Konsensus Washington dan menterjemahkannya terlalu sempit pada meminimumkan defisit, inflasi, tarif, dan memaksimumkan privatisasi, liberalisasi sektor keuangan dengan asumsi semakin banyak hal-hal ini dikerjakan semakin baik. Para penasihat-penasihat dari Washington ini memberikan resep kebijakan yang sama dimanapun dan kapanpun. Sebelum laporan Bank Dunia tersebut, yakni tahun 2004, Dani Rodrik telah mengamati hal yang sama hal yang sama dengan menyebutkan di pembukaan papernya sebagai berikut: “Sekali waktu para ekonom percaya bahwa negara yang sedang membangun (developing countries) penuh dengan kegagalan pasar dan cara satu-satunya untuk dapat bergerak maju adalah intervensi pemerintah yang sangat kuat. Setelah beberapa dekade peran pemerintah yang kuat dipraktekkan di negara berkembang, para ekonom menyaksikan bahwa kegagalan pemerintah merupakan setan yang jauh lebih dahsyat keburukannya dibandingkan dengan kegagalan pasar, dan satu-satunya jalan untuk keluar dari lingkaran setan ini adalah mencopot semua kewenangan yang dimiliki pemerintah dalam mengatur perekonomian. Kenyataannya adalah tidak satupun dari kedua mazhab ini yang terjadi secara murni.” Sehingga Dani Rodrik menyarankan bahwa kini saatnya untuk membuka agenda pembangunan ekonomi yang baru dengan merumuskan dengan cerdas kebijakan yang berdiri di antara kedua mazhab ini. Salah satu kebijakan yang cerdas berupa kolaborasi yang tepat antara pemerintah dan swasta diambil dari sebuah artikel dari New York Times tertanggal 24 Agustus 2004 halaman A1, lihat Box 1.
40
DR. Mesdin Simarmata
Box 1. Intervensi Pemerintah Yang Cerdas Dari Tebu ke Anggrek Taiwan dalam sejarahnya dikenal sebagai penghasil gula di dunia. Hanya saja dalam tahun-tahun terakhir ini, harga gula dunia turun yang mengakibatkan perekonomian petani gula anjlok. Petani menghadapi pertanyaan apakah akan terus menanam tebu atau tidak. Bila tidak, mau tanam apa? Di negara lain, pemerintah membiarkan petani menemukan solusinya. Namun pemerintah Taiwan tidak. Pemerintah Taiwan menginvestasikan sejumlah US$ 65 juta untuk membangun perkebunan angrek kelas dunia menggantikan perkebunan tebu tersebut. Pemerintah membangun laboratorium genetik, perangkat karantina, areal pengepakan dan pengiriman, jalan-jalan baru, jaringan listrik dan air bersih, bangunan untuk pameran, semuanya kecuali biaya untuk “green house” yang merupakan kewajiban petani. Untuk itupun pemerintah menyediakan kredit berbunga rendah. Hasilnya sangat menakjubkan.
Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat Dani Rodrik bersama Ricardo Hausman dan Andreas Valesco (2005) menyusun kerangka kerja untuk mendiagnosa pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka ini, perekonomian dapat tumbuh bila cukup banya muncul prakarsa-prakarsa baru. Oleh karena itu, fokus utama diagnosa ini adalah untuk mengidentifikas penyebab rendahnya prakarsa-prakarsa baru dalam perekonomian. Ada dua penyebab utama rendahnya investasi dan kewirausahaan swasta yaitu hasil kegiatan ekonomi yang rendah (low-return economic activity) dan ongkos untuk pembiayaan tinggi (high cost of finance). Bila ditelusuri lebih jauh, penyebab rendahnya hasil kegiatan ekonomi adalah hasil sosial yang rendah (low social-returns) dan rendahnya nilai manfaat kegiatan bagi individu pemilik prakarsa (low appropriability). Rendahnya hasil sosial disebabkan kondisi geography, kualitas sumberdaya manusia, dan infrastruktur yanng buruk. Sedangkan nilai manfaat kegiatan yang rendah disebabkan kegagalan pemerintah dan kegagalan pasar. Selanjutnya kegagalan pemerintah disebabkan buruknya penegakan hak kekayaan intelektual, korupsi, dan pajak-pajak dalam ukuran mikro sedangkan dalamukuran makro kegagalan pemerintah 41
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
ditunjukkan oleh ketidaksatbuilan fiskal dan moneter. Kegagalan pasar disebabkan tingginya kebocoran infromasi (infromation externalities) dan tingginya matarantai koordinasi ekstenal yang diperlukan (coordination externalities). Tingginya ongkos untuk pembeiayaan merupakan lingkup tugas pengelola moneter yang tidak akan dibahas di sini. Masalahmasalah yang diidentifikasi dengan menggunakan kerangka diagnosa di atas, digunakan untuk merancang kebijakan pembangunan industri. Masing-masing kelompok usaha industri boleh jadi memiliki struktur permasalahan yang berbeda dengan yang lainnya. Lihat Gambar 2. Gambar 10. Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Problem: Low levels of private investment and entrepreneurship
Low return to economic activity
Low social return
Poor geography
Low human capital
High cost of finance
Low apropriability
Bad infrastructur
Micro risks: Property right Corruption Taxes
Goverment failure Macro risks: Financial, Monatery Fiscal Instability
Bad international finance Market failure
Bad local finance
Low domes-tic
Information Externalities “self discovery”
Poor intermediation
Coordination Externalities
C. Pemikiran Pembangunan Industri Pemikir dari Singapore Poh-Kam Wong dan Chee-Yuen Ng menghimpun pemikiranpemikiran pakar kebijakan industri dari berbagai negara di Asia Timur 42
DR. Mesdin Simarmata
dan hasilnya diterbitkan oleh Singapore University Press – NUS tahun 2001. Kedu penulis ini mengamati bahwa negara-negara industri baru (NIEs) dari Asia memiliki karakteristik yang sama dengan negaranegara berkembang lainnya di belahan dunia yang lain terutama dalam pembangunan kemampuan industri berteknologi maju (hightech industry). Karakteristik tersebut adalah, pertama adalah jauh dari pasar utama (lead user market) di Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Kedua, mereka jauh dari dan tidak tersambung dengan sumber utama inovasi di negara-negara maju. Namun demikian, merek menyimpulkan bahwa NIE di Asia mampu mengatasinya dengan baik dan dengan cara yang beragam dari satu negara ke negar lain. Pada bagian berikut ini dipaparkan ringkasan dari buku ini tentang keberagaman kebijakan industri di negara NIE - Asia. Menurut Yun-Peng Chu, Tain-Jy Chen, dan Been-Lon Chen Taiwan membangun industri teknologi tingginya dengan cara mempromosikan alih teknologi dan kerjasama riset melalui lembaga-lembaga riset negara. Kebijakan industri di Taiwan ditujukan untuk mengoreksi kegagalan pasar dengan menyediakan barang publik yang dibutuhkan industri. Kebutuhan barang publik yang demikian sangat tinggi pada saat: (1) industri masih baru lahir, (2) mengandung risiko yang sangat besar, (3) membutuhkan modal yang sangat besar, dan (4) pada saat perkembangan industri lebih lanjut membutuhkan penelitian dan pengembangan. Lembaga penelitian teknologi industri (industrial technology research institute, ITRI) dikenal luas berperan aktif dalam menciptakan rumpun industri semikonduktor di Taiwan dengan penerapan yang gemilang dari strategi mengasimilasikan teknologi asing dan mentransfernya ke industri lokal melalui spin-offs. Keberhasilan penerapan strategi ini didukung oleh beberapa faktor penting, yakni: (1) perencanaan pembangunan teknologi jangka panjang yang dilakukan secara seksama oleh pimpinan puncak lembaga ini, (2) pemimpin yang kompeten di jajaran puncak, (3) tersedianya insinyiur yang terlatih baik dalam jumlah yang banyak, serta (4) keterkaitan yang erat dengan industri elektronik lokal sebagai pasar bagi teknologi-teknologi yang dikembangkan sekaligu sebagai 43
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
pemberi umpan balik yang sangat baik. Lembaga litbang pemerintah juga sangat aktif membentuk konsorsium riset dengan industri lokal, dan diperkirakan selama 15 tahun ada 60 konsorsium. Korea membangun industri berteknologi tingginya dengan secara aktif mendukung pendirian konglomerat “chaebol” dengan skala usaha yang raksasa. Chaebol ini melakukan ekspansi dengan melakukan diversifikasi horizontal dalam ruang produknya, serta integrasi vertikal dalam ruang prosesnya. Instrumen kebijakan yang digunakan antara lain: subsidi finansial, perlindungan pasar domestik, insentif bagi upaya peningkatan kemampuan teknologi (technological learning), dan dengan memasukkan perusahaan-perusahaan pemerintah yang gagal ke dalam chaebol. Walau tercatat ada chaebol yang gagal namun beberapa diantaranya berhasil menjadi pemain dunia, seperti Samsung, LG, Hyundai, dan Daewoo. Keberhasilan ini diyakini karena pemerintah Korea secara konsisten dengnan disiplin yang ketat menghukum chaebol yang kinerjanya buruk dan memberi imbalan bagi yang baik. Penialain berbasis kontes ini memungkinkan chaebol yang berkinerja baik mampu membangun fasilitas produksi berskala besar, jaringan distribusi yang menggurita, serta kegiatan litbang yang canggih. Hongkong memilih jalur pengembangan industri yang berbeda yang itu dengan memilih tetep berkiprah di industri yang sudah mapan (mature) dan industri yang tidak padat modal seperti tekstil dan garmen, jam, mainan dan game elektronik. Pembangunan sektor industri ini diarahkan pada pengembangan rentang nilai tambah ke arah marketing, logistik, dukungan teknis di hilirnya, dan inovasi produk di hulunya. Sedangkan operasi manufakturnya disebar ke Cina daratan dan negaranegara ASEAN yang berbiaya rendah (low-cost countries). Upaya ini menjadikan Hongkong sebagai pusat perancangan, marketing, logistik, dukungan teknis, serta akunting dari perusahaan dunia. Perubahan disain dari produk-produk industri yang mereka tekuni menjadi sumber keunggulan perusahaan lokal berkat jaringan infrastruktur yang maju dan handal.
44
DR. Mesdin Simarmata
Kebijakan industri Singapore menekankan pemberian fasilitasi pemerintah bagi pembelajaran teknologi dari perusahaan multi nasional (MNCs). Walau kebijakan ini dikritik karena menghambat idnustri lokal yang asli, namun ternyata terbukti sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan teknologi bagi sub-kontraktor, industri pendukung, serta kontarktor-kontraktor perakitan. Di samping itu, pemerintah melalui program peningkatan kemampuan industri lokal (local industry upgrading program, LIUP) berhasil mempromosikan adopsi teknologi informasi dan otomasi yang baru bagi IKM. Pemerintah juga melaksanakan program peningkatan ketrampilan tenaga kerja yang dikenal dengan program INTECH, serta mempromosikan ISO9000 bagi industri lokal dan membangun jaringan infrastruktur untuk sertifikasinya. Dani Rodrik Dalam pengertian konvensional, kebijakan industri mencakup perencanaan perlakuan terhadap teknologi dan berbagai eksternalitas yang lain dengan tujuan mengoreksi kegagalan pasar. Sehingga diskusi sering berkisar kelayakan administrasi, fiskal, dan bentuk-bentuk intervensi yang lain. Dani Rodrik mengartikan kebijakan industri dengan pendekatan yang berbeda, yaitu menakankan proses, bukan outcomes. Yang dimaksud dengan proses adalah interaksi antara pemerintah dengan pelaku bisnis dalam mencari dan mendefinisikan dimana seharusnya pemerintah melakukan intervensi atau dalam bahasa konvensional mengidentifikasi kegagalan pasar, dan kemudian merumuskan kebijakan / intervensi pemerintah yang tepat dan adhoc dalam arti bukan kebijakan yang permanen. Argumentasi dasarnya adalah baik pemerintah maupun pihak swasta sama-sama memiliki informasi yang tidak lengkap. Hanya dengan interaksi yang positif terjadi proses pembelajaran dan akhirnya mampu mengidentifikasi kegagalan pasar secara baik. Hanya saja interaksi yang membabi buta tidaklah efektif, harus ada modelnya. Untuk itu Dani Rodrik mengawalinya dengan membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Jean Imbs dan Romain Wacziarg
45
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
(2003) tentang pola konsentrasi sektoral di berbagai negara. Mereka menemukan bahwa pada negara-negara miskin yang menjadi lebih kaya, baik produksi sektoralnya maupun ketenagakerjaannya menjadi tidak terkonsentrasi bahkan cenderung melebar yaitu lebih terdiversifikasi. Kecenderungan ini terus berlanjut hingga pada tingkat kemakmuran tertentu (pada level Irlandia), dan setelah itu kembali menjadi lebih terkonsentrasi. Artinya bila tingkat konsentrasi produksi dipetakan dengan tingkat kemakmuran negara maka akan diperoleh kurva-U. Hasil penelitian ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keunggulan komparatif yang meramalkan bahwa bila perekonomian semakin maju maka cenderung menuju spesialisasi menurut keunggulan komparatif negara yang bersangkutan. Justru sebaliknya, terjadi diversifikasi hingga ke level kemajuan ekonomi setara dengan Irlandia saat ini. Setelah itu baru terjadi spesialisasi. Sehingga bagi negara yang sedang membangun (belum setingkat Irlandia), perlu mengeksplorasi diversifikasi ekonomi secara maksimal sebagai motor pertumbuhannya. Oleh karena itu, kebijakan industri di negara berkembang harus mampu mendorong diversifikasi sektor produksi melalui prakarsaprakarsa baru oleh entitas swasta. Prakarsa baru menjadikan perekonomian tumbuh. Oleh karena itu, bila perekonomian tidak tumbuh, perlu diganosa untuk mengidentifikasi penyebab rendahnya prakarsaprakarsa baru atau tidak dapat muncul sama sekali. Dari perspektif lahirnya prakarsa baru, Dani Rodrik mengajukan dua alasan dasar bagi pemerintah untuk melakukan intervensi dalam pembangunan industri, yaitu (1) eksternalitas informasi dan (2) eksternalitas koordinasi. Kedua jenis eksternalitas inilah yang jadi penghambat utama swasta melakukan prakarsa-prakarsa ekonomi. Ekternalitas Informasi. Diversifikasi membutuhkan penemuan, apakah dalam bentuk produk baru atau proses produksi yang memberikan keunggulan dalam hal biaya yang lebih murah dan atau kualitas yang lebih tinggi. Proses penemuan bukanlah tanpa biaya. Pelaku paling tidak menyisihkan banyak waktu, biaya perjalanan, biaya untuk melakukan percobaan, dan bahkan biaya untuk menyewa ahli yang lebih teknis. Di negara berkembang, sering penemu merasa tidak mendapatkan imbalan 46
DR. Mesdin Simarmata
yang pantas. Karena apa? Bila dia gagal menemukan sesuatu yang berarti, semua biaya tersebut dia tanggung sendiri. Sebaliknya, bila dia berhasil, tidak ada jaminan bahwa yang menikmati hasilnya dia sendiri. Justru sebaliknya, dia harus berbagi hasil dengan masyarakat luas terhadap jerih payahnya sendiri. Sifat masyarakat yang latah menjadi penyebab utamanya. Dalam masyarakat yang latah seperti ini, tidak ada insentif melakukan penemuan. Untuk tetap dapat melahirkan penemuan baru, pemerintah harus dapat memberi kompensasi bagi penemu secara langsung. Hanya saja pemberian kompensasi membutuhkan konsep yang jelas dan terukur, yaitu dengan menerapkan stick and carrot secara konsisten. Terlalu banyak carrotnya akan mengakibatkan sistem boros dan tidak efektif, sedangkan bila sticknya terlalu ketat prakarsa tidak akan muncul. Eksternalitas Koordinasi. Proyek prakarsa baru di satu bidang sering membutuhkan investasi di bidang lain sekaligus. Contohnya adalah perkebunan anggrek di Taiwan yang disebut di atas. Individu pengusaha tidak akan mampu membangun laboratorium genetik, tidak akan layak membangun jaringan jalan dan air, demikian untuk gedung pameran. Investasi yang demikian tidak akan layak bila mengandalkan prakarsa swasta sendiri. Inilah yang dinamakan kegagalan koordinasi “coordination failure”. Seperti telah disebutkan di atas, Dani Rodrik sangat menekankan pentingnya proses penyusunan kebijakan yang terbuka, jujur, dan melibatkan para pemangku kepentingan dalam bingkai komunikasi yang intens untuk dapat mengidentifikasi intervensi pemerintah yang benar-benar diperlukan. Dalam proses interaksi ini, Dani mengajukan 10 (sepuluh) prinsip dasar yang harus diindahkan, yakni: 1. Insentif seharusnya diberikan hanya pada yang “baru”. Insentif adalah imbalan untuk mengkompensasi eksternalitas informasi. Kuncinya: identifikasi pemrakarsa yang baik dan benar. 2. Harus jelas kriteria sukses dan gagal. Tanpa ukuran yang jelas, kebijakan akan berjalan tanpa akhir, sehingga harus jelas dan teramaati oleh banyak pihak. 47
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
3. Harus sudah ada klausul kapan berakhir. Dengan ukuran sukses dan gagal yang jelas seperti pada butir 2, maka kebijakan juga harus menetapkan kapan perlakuakn khusus berakhir. 4. Target dukungan pemerintah haruslah kegiatan bukan sektor. Sebagai contoh, daripada memberi insentif investasi pada sektor tekstil, lebih baik bila kebijakan difokuskan pada pemberian insentif untuk kegiatan litbang dan pelatihan operator mesin tenun. 5. Kegiatan yang mendapat insentif harus berpotensi memberikan limpahan (spill over) dan efek pengganda. Harus ada jaminan bahwa insentif tidak berhenti di entitas bisnis yang menerimanya. 6. Lembaga yang mengadministrasikan kebijakan industri harus kompeten. Aparat yang tidak kompeten dan korup adalah sumber kegagalan kebijakan industri di banyak negara berkembang. 7. Lembaga tersebut harus melakukan pemantauan dari dekat dengan ukuran yang jelas. Termasuk ukuran dampak yang dapat dipantau oleh penguasa politik tertinggi. 8. Lembaga tersebut harus memelihara hubungannya dengan sektor swasta. Interaksi yang intensif antara sektor swasta dengan aparat negara pengambik kebijakan sangat menentukan kualitas kebijakan yang diambil. 9. Harus ada kebijakan penyangga bagi kesalahan penentuan penerima insentif (picking the losers). Tidak ada kebijakan yang sempurna, karena dampak kebijakan tidak dapat diperkirakan secara pasti sebelum dilaksanakan (ex-ante), maka perlu ada safeguard. 10. Kegiatan yang dipromosikan perlu diberi kapasitas untuk memperbaiki diri (self renewal). Hal ini sangat penting agar kegiatan itu sendiri dapat tumbuh seperti mahluk organik, yaitu makin besar dan berkembang biak. Sanjaya Lall (2004) Sanjaya Lall menyimpulkan bahwa terjadi perubahan karakteristik industri terutama disebabkan perkembangan teknologi dalam transportasi, telekomunikasi, informasi, dan semakin rendahnya 48
DR. Mesdin Simarmata
hambatan tarif perdagangan antar negara. Lall mencatat beberapa hal yang penting, antara lain: 1. Terjadi pergeseran produk-produk yang diperdagangkan di dunia kearah produk manufaktur yang lebih kompleks dan lebih tinggi kadar teknologinya. Sebagai illustrasi, dari tahun 1980-2000 pertumbuhan nilai tambah produk manufaktur berbasis sumber alam 2,6%, produk manufaktur kategori teknologi rendah 2,3%, dan kategori teknologi menengah hingga tinggi sebesar 3,1%. 2. Struktur organisasi dan lokasi industri berubah yaitu semakin tidak terintegrasi vertikal dan cenderung tersjadi spesialisasi dibidang teknologi. Perkembangan teknologi di bidang telekomunikasi dan transportasi memuat dunia ini semakin kecil yang memungkinkan perusahaan multi nasional menempatkan proses produksi dan fungsi-fungsi korporat berada di lokasi yang paling menguntungkan buat perusahaandi seluruh dunia. 3. Teknologi baru menuntut tataran daya saing yang baru, dan tentu struktur kelembagaan yang baru juga. Tuntutan ini paling tidak dalam dukungan teknis di bidang: (a) pengukuran, standar, pengujian, dan mutu (measurement, standard, testing, and quality, MSTQ); (b) penelitian dan pengembangan; (c) pembinaan produktivitas; dan (d) pembinaan industri kecil dan menengah (SME extension). Dukungan lain yang diperlukan adalah sarana dan prasarana informasi dan telekomunikasi, dan tentu kelembagaan yang lebih tinggi hirarkiyany seperti sistem hukum dan perundangundangan yang mendorong pembangunan kemampuan penguasaan teknologi di dalam negeri. 4. Walau globalisasi memberi keleluasaan pergerakan bagi kapital, teknologi, informasi, dan keterampilan, tetapi semuanya ini berpindah hanya ke tempat yang secara keseluruhan memberi daya saing produksi yang lebih baik bagi perusahaan yang memindahkannya yaitu tempat yang dapat menyadiakan faktor input dan kelembagaan yang diperlukan melengkapi yang berpindah tersebut.
49
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Selanjutnya Sanjaya Lall mengemukakan bahwa kebijakan industri seyogyanya bertumpu pada upaya peningkatan kemampuan unit usaha industri dalam memanfaatkan dan mengembangkan teknologi, karena untuk ini mekanisme pasar tidak dapat bekerja. Kebijakan yang bersifat intervensi langsung adalah untuk membantu industri menguasai teknologi dan membangun keterampilan yang dibutuhkan. Sedangkan kebijakan yang bersifat intervensi tidak langsung mencakup jaminan ketersediaan tenaga kerja terampil, modal, teknologi, dan infrastruktur pasar. Ada juga kebutuhan untuk mengkoordinasikan proses pembelajaran teknologi bagi seluruh perusahaan termasuk meningkatkan akses terhadap teknologi di pasar internasional. UNIDO (2009) UNIDO dalam Industrial Development Report tahun 2009 mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan struktur industri manufaktur di dunia ini menurut: 1. Perubahan sruktur menurut produk dan sumberdaya alam. Laporan ini mengungkapkan bahwa negara berkembang yang berhasil membangun ekonominya adalah negara yang berhasil meningkatkan keragaman produk (diversification) dan kecanggihan produk industrinya (product sophistication). Walau hasil-hasil bumi dapat digunakan sebagai modal awal, namun bila tidak ada ”boom” harga, maka perekonomian yang mengandalkan ekstraksi sumber-sumber alam (resource-extracting economy) tersebut akan mengalami kemunduran, atau yang dikenal dengan ”resource curse”. 2. Perubahan struktur menurut lokasi. Dalam dekade terakhir terjadi pengelompokan usaha menurut lokasi geografi membentuk rumpun industri (industrial cluster). Usaha-usaha yang berada dalam rumpun industri ini mendapat keuntungan dari pembelajaran bersama (karena dengan mudah mengamati, meniru, dan mepelajari apa yang dilakukan oleh tetangga), serta keuntungan transaksi bisnis antara usaa dalam rumpun tersebut. 50
DR. Mesdin Simarmata
Di samping tumbuhnya rumpun-rumpun industri, dekade yang lalu juga menunjukkan keberhasilan pengelompokan industri di loksi yang secara khusus diperuntukkan memasok produk di pasar global seperti ”export processing zone”. 3. Perubahan struktur menurut peran produk manufaktur dalam ekspor suatu negara. Laporan ini menunjukkan bahwa negara berkembang yang berhasil memajukan perekonomiannya adalah negara yang berhasil meningkat porsi produk manufaktur dalam ekspornya. Di samping perubahan kuantitas, jugaterjadi perubahan jenis produk. Disebutkan bahwa dalam dekati terakhir ini terjadi perubahan dalam pola perdagangan internasional dari perdagangan produk yang siap dikonsumsi menjadi perdagangan komponen barang setengah jadi. Rendahnya biaya transportasi dan komunikasi, memungkinkan para pengelola perusahaan multinasional memecah proses produksinya dan menempatkannya diseluruh belahan bumi ini untuk mengoptimalkan biaya faktor di berbagai negara. Sistem manufaktur yang mendunia (global manufacturing system) telah menjadi mantra bagi perusahaanperusahaan global untuk dapat mencapai sukses.
D. Arah Pembangunan Industri Nasional Pada bagian berikut ini akan diuraikan arah pembangunan idnustri yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025 dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN). RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL Arah pembangunan ekonomi dalam RPJPN menyebutkan bahwa perekonomian dikembangkan dengan memperkuat perekonomian
51
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
domestik yang berorientasi dan berdaya saing global. Untuk itu dilakukan transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif. Interaksi antardaerah didorong dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan antardaerah yang kokoh. Upaya tersebut dilakukan dengan prinsipprinsip dasar: mengelola peningkatan produktivitas nasional melalui inovasi, penguasaan, penelitian, pengembangan dan penerapan iptek menuju ekonomi berbasis pengetahuan serta kemandirian dan ketahanan bangsa secara berkelanjutan; mengelola kelembagaan ekonomi yang melaksanakan praktik terbaik dan kepemerintahan yang baik secara berkelanjutan, dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produkproduk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif, yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing, baik dipasar lokal maupun internasional dan terkait dengan pengembangan industri kecil dan menengah, dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan serta mendorong perkembangan ekonomi di luar Pulau Jawa. Struktur industri dalam hal penguasaan usaha akan disehatkan dengan meniadakan praktik-praktik monopoli dan berbagai distorsi pasar melalui penegakan persaingan usaha yang sehat dan prisnsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar. Struktur industri dalam hal skala usaha akan diperkuat dengan menjadikan industri kecil dan menengah sebagai basis industri nasional yang sehat, sehingga mampu tumbuh dan terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri hilir dan industri berskala besar. Dalam rangka memperkuat daya saing perekonomian secara global, sektor industri perlu dibangun guna menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri 52
DR. Mesdin Simarmata
yang sehat dan kuat melalui (1) pengembangan rantai pertambahan nilai melalui diversifikasi produk (pengembangan ke hilir), pendalaman struktur ke hulunya, atau pengembangan secara menyeluruh (hulu-hilir); (2) penguatan hubungan antarindustri yang terkait secara horizontal termasuk industri pendukung dan industri komplemen, termasuk dengan jaringan perusahaan multinasional terkait, serta penguatan hubungan dengan kegiatan sektor primer dan jasa yang mendukung; dan (3) penyediaan berbagai infrastruktur bagi peningkatan kapasitas kolektif yang antara lain, meliputi sarana dan prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana dan prasarana teknologi; prasarana pengukuran, standarisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas; serta sarana prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri. Box 2: Struktur Industri Masa Depan RPJPN 2005-2025 menyebutkan bahwa pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan, yaitu: Dalam hal penguasaan usaha, struktur industri disehatkan dengan meniadakan praktek-praktek monopoli dan berbagai distorsi pasar; Dalam hal skala usaha, struktur industri akan dikuatkan dengan menjadikan IKM sebagai basis industri nasional yaitu terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala besar; Dalam hal hulu-hilir, struktur industri akan diperdalam dengan mendorong diversifikasi ke hulu dan ke hilir membentuk rumpun industri yang sehat dan kuat.
KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL (KIN) Melalui Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 telah, Pemerintah telah menetapkan Kebijakan Industri Nasional (National Industrial Policy) yang terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: (a) bangun industri nasional, (b) strategi pembangunan industri, dan (c) fasilitasi
53
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
dari pemerintah. Dalam uraian ini, pembahasan difukuskan pada bangun industri nasional. KIN menetapkan bangun industri nasional jangka panjang yang terdiri dari dua bagian utama yaitu industri andalan masa depan serta basis industri manufaktur. Industri-industri andalan masa depan, meliputi: • Industri Agro, (industri pengolahan kelapa sawit; pengolahan hasil laut; pengolahan karet; pengolahan kayu, pengolahan tembakau; pengolahan kakao dan coklat, pengolahan buah, pengolahan kelapa, pengolahan kopi; pulp dan kertas); • Industri Alat Angkut, (industri otomotif perkapalan, kedirgantaraan, dan perkeretaapian); • Industri Telematika, (industri perangkat / devices, infrastruktur / jaringan dan aplikasi / content). Basis industri manufaktur, yaitu spektrum industri yang sudah berkembang saat ini dan telah menjadi tulang punggung sektor industri. Kelompok industri ini keberadaannya masih sangat tergantung pada sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) tidak terampil, ke depan perlu direstrukturisasi dan perkuat agar mampu menjadi industri kelas dunia. Pengembangan industri nasional dilakukan dengan mengoptimalkan sumberdaya alam yang ada baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan serta kemampuan sumberdaya manusia dan semakin mengandalkan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru, lihat Gambar 1. Selanjutnya bangun industri nasional tersebut dijabarkan ke dalam klaster-klaster industri prioritas yang dibagi dalam enam (6) kelompok: industri agro, industri alat angkut, industri elektronika dan telematika, basis manufaktur (material dasar, permesinan, dan padat tenaga kerja), industri kreatif dan penunjangnya, serta industri kecil menengah tertentu. Dengan demikian, keseluruhan klaster industri prioritas dipaparkan dalam Tabel 1. Klaster industri prioritas ini juga akan menjadi basisi bagi daerah membangun kompetensi inti industrinya.
54
DR. Mesdin Simarmata
Gambar 11. Bangun Industri Nasional
Tabel 13. Klaster Industri Prioritas NO
KELOMPOK
KLASTER INDUSTRI 1. 2.
1.
Industri Agro
3. 4. 5. 6. 1.
2.
3.
Industri Alat angkut
Industri Elektronika dan Telematika
2.
1. 2. 3. 4.
Industri kelapa sawit Industri karet dan barang karet Industri kakao & coklat Industri kelapa Industri kopi Industri gula
1. 2. 3.
Industri kendaraan bermotor Industri perkapalan
1.
4. 5. 6.
2.
Industri tembakau Industri buah-buahan Industri kayu dan barang kayu Industri hasil perikanan dan laut Industri pulp dan kertas Industri pengolahan susu Industri kedirgantaraan Industri perkeretaapian
Industri elektronika Industri perangkat keras telekomunikasi dan pendukungnya Industri perangkat penyiaran dan pendukungnya Industri komputer dan peralatannya
55
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
NO
KELOMPOK
KLASTER INDUSTRI
Basis Industri Manufaktur
4.
a) Industri Material Dasar
1. 2.
Industri besi dan baja Industri semen
b) Industri Permesinan
1. 2.
Industri peralatan listrik dan mesin listrik Industri mesin dan peralatan umum
c)
1. 2. 3.
Industri tekstil dan produk tekstil Industri alas kaki Industri farmasi dengan bahan baku dalam negeri
1. 2. 3.
Industri perangkat lunak dan konten multimedia Industri fashion Industri kerajinan dan barang seni
1.
Industri batu mulia dan perhiasan Industri garam rakyat
Industri Manufaktur Padat Tenaga Kerja
5.
Industri Penunjang Industri Kreatif dan Kreatif Tertentu
6.
Industri Kecil dan Menengah Tertentu
2.
1. 2.
1. 2. 3.
Industri petrokimia Industri keramik
Industri gerabah dan keramik hias Industri minyak atsisri Industri makanan ringan
E. Pilihan Peran Pemerintah Menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan, Pimpinan Kementerian harus menetakpan kebijakan pembangunan dalam lingkup tugas dan wewenangnya dan dituangkan ke dalam rencana strategis kementerian / lembaga (Renstra-KL) yang bersangkutan. Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan bahwa kebijakan tersebut merupakan arah tindakan yang akan diambil kementerian / lembaga dalam bentuk kegiatan dalam kerangka regulasi, serta kerangka pelaynan umum dan investasi pemerintah. Kerangka regulasi adalah tindakan pemerintah dalam mengatur kegiatan masyarakat yang dimulai dari penetapan peraturan-perundangan samapai dengan penegakannya, serta tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mendorong / memfasilitasi
56
DR. Mesdin Simarmata
swasta untuk menghasilkan barang / jasa yang dibutuhkan masyarakat. Pemerintah juga dapat melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana umum (investasi pemerintah) serta menyelenggarakan pelayanan umum secara langsung seperti layanan kependudukan, keimigrasian, pemeliharaan jalan dan prasarana umum lainnya, dan layanan teknis ke industri kecil. Disamping diselenggarakan sendiri oleh kementerian / lembaga, masih ada mekanisme yang lain dalam penyediaan barang dan jasa ke masyarakat. Pasal 68 Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa kementerian / lembaga dapoat membentuk Badan layanan Umum (BLU) untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Walau merupakan perangkat organisasi dari kementerian / lembaga, BLU dalam mengelola penyelenggaraan layanan umum mengikuti praktek bisinis yang sehat tanpa mengutamakan pencarian keuntungan (Pasal 3 PP 23 / 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU). Untuk meningkatkan akses masyarakat miskin kepada layanan umum dan barang kebutuhan dasar, Pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk menyediakannya. Dalam penugasan untuk BUMN diatur dalam Pasal 66 UU nomor 19 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum (Public Service Obligation / PSO) tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN dan harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dengan demikian ada 4 (empat) pilihan kebijakan kementerian / lembaga lihat Gambar 4. Pilihan kebijakan kementerian / lembaga tersebut tergantung pada sifat barang / jasa yang akan disediakan. Bila barang / jasa tersebut murni bersifat “public goods” maka penyelnggaraannya sebaiknya adalah kemneterian / lembaga secara langsung. Sebaliknya bila merupakan murni barang privat, maka penyediaanya adalah masyarakat itu sendiri namun pemerintah perlu mengatur dan atau memberi insentif. Di antara kedua
57
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Gambar12. Perencanaan Kegiatan Pemerintah
jenis barang / jasa ini penyelnggaraannya dapat melalui BLU dan badan usaha. Oleh sebab itu langkah utama sebelum menentukan kebijakan adalah diganosa barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
F. Pembinaan Industri oleh Pemerintah a) Diagnosa Industri Kebijakan Industri Nasional menetapkan bahwa Pemerintah membina klaster-klaster industri prioritas (Tabel 1) dan klaster industri yang sesuai dengan kompetensi inti industri daerah menuju terbangunnya bangun industri nasional. Sedangkan RPJPN 20052025 mengamanatkan bahwa dalam jangka panjang pembangunan industri bertujuan untuk membangun struktur industri yang sehat dan berkeadilan. Langkah pertama dalam pembinaan industri adalah memetakan masing-masing klaster prioritas menurut strukturnya, yaitu: 58
DR. Mesdin Simarmata
i. Dari perspektif penguasaan usaha, apakah sudah berada dalam persaingan yang sehat atau masih bersifat monopolistik; ii. Dari perspektif skala usaha, sejauhmana IKM terintegrasi dalam mataraintai pertambahan nilai industri hilir (penghasil produk akhir); iii. Dari perspektif hulu-hilir, sejauhmana kelengkapan pohon industri dari hulu sampai hilir. Peta struktur industri seperti diatas memberi indikasi arah pembinaan industri untuk masing-masing klaster. Untuk melengkapi informasi peta industri, langkah berikutnya adalah mengetahui kesiapan masing-masing klaster mengikuti trend industri menurut UNIDO (2009) yaitu sejauhmana: a. Terjadi diversifikasi dan sofistikasi produk. Diversifikasi digerakkan oleh kemampuan unit usaha industri menciptakan produk-produk baru di klaster yang bersangkutan. Sedangkan sofistikasi digerakkan oleh kemampuan unit usaha industri meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan melalui penerapan teknologi (kandungan teknologinya meningkat); b. Terjadi aglomerasi industri di dalam kawasan-kawasan industri, kawasan berikat, kawasan ekonomi khusus, dll. Aglomerasi terbangun bila masing-masing unit usaha yang berdekatan lokasinya saling berhubungan secara bisnis baik sebagai pemasok bahan, barang setengah jadi (komponen) ataupun jasa-jasa industri. Yang menjadi penghambat aglomerasi adalah kecenderungan masing-masing unit usaha melakukan integrasi vertikal yang umumnya disebabkan oleh tingginya biaya transaksi (transaction cost). Untuk itu, perlu diketahui apa penyebabnya. c. Terbangun kompetensi industri domestik memasok barang setengah jadi (komponen) ke pasar global termasuk kompetensi dalam hal segmen pekerjaan dari seluruh matarantai produksi. Informasi ini didapat dari analisa nilai tambah barang setengah 59
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
jadi (komponen) yang diekspor dan kemampuan perusahaan produsen barang manufaktur yang diekspor (apakah produk tersebut dirancang sendiri, atau berhasil menang tender memproduksi rancangan yang ditawarkan perusahaan luar negeri, atau memproduksi rancangan yang dibuat oleh induk perusahaan). Dari peta struktur industri dan posisi industri domestik dalam kecenderuung global industri manufaktur dapat diidentifikasi segmen industri dalam klaster yang bersangkutan yang tidak tumbuh sama sekali. Hal ini boleh jadi disebabkan tidak ada pihak swasta yang mau melakukan investasi di segmen tersebut. Untuk mengetahui penyebabnya, perlu dilakukan analisa dengan menggunakan diagnosa pertumbuhan yang ditawarkan dani Rodrick, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2 di atas. b) Perumusan Intervensi Pemerintah Setelah peta permasalahan yang dihadapi tiap-tiap klaster tersedia, langkah yang paling sulit adalah perumusan intervensi Pemerintah yang dimulai dari penentuan produk / jasa apa yang dibutuhkan masyarakat industri yang dapat sebagai pengungkit pertumbuhan. “Need identification” harus dikelola seperti layaknya mengelola inovasi, perlu banyak diskusi yang sifatnya “probe and learn” sehingga didapatkan rumusan yang segar, inovatif, dan berterima di semua pemangku kepentingan industri. Dani Rodrick menyarankan dalam perumusan kebijakan agar Pemerintah lebih menekankan pada proses, bukan outcomes. Setelah kebutuhan teridentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah merancang mekanisme bagaimana kebutuhan tersebut dipenuhi dengan pedoman sebagai berikut: A. Bila kebutuhannya adalah barang / jasa yang bersifat murni barang publik, maka perlu dirancang kegiatan Kementerian untuk dapat menyediakannya secara langsung, 60
DR. Mesdin Simarmata
B. Bila yang dibutuhkan adalah regulasi baik yang bersifat mengatur maupun yang bersifat memberi insentif / disinsentif maka harus dirancang bentuk peraturan-perundangan yang tepat. C. Bila terhadap barang / jasa yang dibutuhkan tersebut, para pengusaha industri bersedia membelinya namun dengan “harga yang terjangkau” maka perlu dirumuskan pelaksanaanya melalui BLU. D. Mekanisme subsidi sangat kecil kemungkinan dapat diterima sebagai kebijakan publik di bidang industri. Namun, masih ada mekanisme lain yakni “Public Private Partnerships” yang perlu dijajagi dan dirumuskan dengan baik. Potensi “moral hazard” dalam penentuan jenis kegiatan ini adalah kaburnya batasan yang tegas antara “murni barang publik” dengan “semi barang publik” yaitu antara A dan C di atas terutama bila penerima manfaatnya adalah industri kecil dan rumah tangga. Bentuk kegiatan pemberian bantuan permesian adalah salah satu contoh dari kekaburan batasan ini. Perlu ada kebijakan umum agar bantuan diarahkan sebanyak mungkin dalam bentuk C, artinya Pemerintah perlu membangun “willingness to pay” terhadap barang / jasa yang dibutuhkan. Bila pada tahap awal perlu bantuan langsung, harus jelas dibuatkan target kapan para penerima manfaat mulai membayarnya.
G. Penutup Peran pemerintah dalam membina industri perlu dirancang dengan baik dan selalui disesuai dengan konteks untuk masing-masing cabang industri dan untuk masing-masing tahapan pembangunan masyarakat. Pilihan-pilihan kegiatan atau intervensi Pemerintah yang tersedia saat ini cukup memberi keleluasaan. Kesalahan memilih peran yang akan dijalani dapat berakibat matinya prakarsa swasta. Untuk dapat menentukan pilihan yang tepat, dibutuhkan aparat pemerintah yang kompeten dalam mendiagnosa kondisi masing-masing cabang industri. Tulisan ini membuka jalan ke arah tersebut. 61
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Daftar Literatur Dani Rodrik, Industrial Policy for The Twenty-First Century, John F. Kennedy School of Government, Harvard University, September 2004 Dani Rodrik, Industrial Development: Stylized Facts and Policies, John F. Kennedy School of Government, Harvard University, August 2006 Dani Rodrik, Goodbye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?, John F. Kennedy School of Government, Harvard University, January 2006 Irma Adelman, The Role of Government in Economic Development, Working Paper no. 890, Deprtment of Agriculture and Resource Economics Policy, University of California at Berkeley, May 1999. Joseph Stiglitz, New Bridges Across the Chasm: Institutional Strategies for Transition Economics, World Bank, the paper is made available in this URL: http://lnweb18.worldbank.org/eca/eca. nsf/0/0ac8adc7b03aca0885256847004e2b82 Ricardo Hausmann, Dani Rodrik, Andres Valasco, Growth Diagnostics, John F. Kennedy School of Government, Harvard University, March 2005 Sanjaya Lall, Reinventing Industrial Strategy: The Role of Government Policy in Building Industrial Competitiveness, G-24 Discussion Paper Series No. 24, UNCTAD, April 2004 Poh-Kam Wong, Chee-Yuen Ng, Rethinking the Development Paradigm: Lessons from Japan and the Four Asian NIEs, Chapter 1 in Industrial Policy, Innovation and Economic Grwth: The Experience of Japan and the Asian NIEs, Edited by Poh-Kam Wong, Chee-Yuen Ng, Singapore University Press, National University of Singapore, 2001
62
DR. Mesdin Simarmata
Yun-Peng Chu, Tain-Jy Chen, and Been-Lon Chen, Rethinking Development Paradigm: Lessons from Taiwan – the Optimal Degree of State Intervention, Chapter 5 in in Industrial Policy, Innovation and Economic Grwoth: The Experience of Japan and the Asian NIEs, Edited by Poh-Kam Wong, Chee-Yuen Ng, Singapore University Press, National University of Singapore, 2001 ----------, Industrial Development Report 2009, “Breaking in and Moving Up: New Industrial Challanges for the Bottom Billion and the Middle-Income Countries”, UNIDO.
63
BAB II
INDUSTRI PRIORITAS
RATING DAN PEMETAAN POSISI INDUSTRI PRIORITAS: SUATU METODE PENAJAMAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE
A. Pendahuluan
S
ubstansi Kebijakan Pengembangan industri Nasional (KPIN) sudah dirancang berisi kejelasan arah pembangunan ekonomi yang mampu mengintegrasikan dan mensinergikan pembangunan industri di tingkat nasional maupun daerah dengan merespon peluang globalisasi ekonomi dengan mekanisme pasar bebas. Sinergi yang diperlukan adalah integrasi nasional-daerah maupun integrasi pembangunan sektoral dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya yang sekaligus untuk meningkatkan output dan produktivitas. Keberhasilan pengembangan industri nasional ditandai oleh kemampuan industri melakukan ekspansi sejalan dengan terjadinya pertumbuhan produksi 67
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
secara progresif yang berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja. Potensi pengembangan industri memiliki potensi yang besar mengingat pengalaman Indoneisa mencatat pertumbuhan industri manufaktur yang tergolong tinggi sebelum krisis ekonomi, yaitu ratarata 11% selama 1974-1997. Pertumbuhan industri manufaktur mencatat penurunan bertahap pasca krisis menjadi rata-rata antara 3,5% hingga 7,7%. Untuk memulihkan tingkat pertumbuhan industri kembali pada tingkat potensinya diperlukan suatu kebijakan ekonomi khususnya terobosan kebijakan industri yang mampu mengatasi kendala keterbatasan prasarana dan sarana, kendala ketersediaan bahan baku, kesenjangan teknologi, keterbatasan penguasaan pasar domestic, dan kemampuan menjawab tantangan implementasi otonomi daerah aspek industrialisasi daerah. Arah kebijakan industri nasional selain untuk memulihkan tingkat pertumbuhan industri manufaktur, juga sebagai strategi pengembangan industri nasional hingga tahun 2025. Dalam jangka menengah kurun 2010-2014 diharapkan mampu mewujudkan sasaran Indonesia menjadi lebih sejahtera melalui pengembangan industri untuk lebih kuat dan stratejik, dengan indikasi: • Memiliki kaitan (linkage) yang kuat dan sinergis, • Memiliki kandungan local yang tinggi, • Menguasai pasar domestic, • Memiliki daya saing di pasar internasional, • Dapat tumbuh berkelanjutan, • Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap gejolak perekonomian dunia. • Mendorong kesejahteraan ekonomi masyarakat Sasaran pengembangan industri nasional dalam kurun lima tahun mendatang menjadi hal strategis karena dapat turut mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia terutama keberhasilan pembangunan industri untuk mengurangi tingkat pengangguran, menjaga pertumbuhan 68
Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE
ekonomi, dan meningkatkan devisa untuk membayar beban hutang luar negeri. Menindak lanjuti Perpres No. 28 Tahun 2008, pemerintah akan memberikan berbagai fasilitas, namun mengingat keterbatasan sumberdaya dan pendanaan pemerintah untuk mengembangkan semua jenis industri yang begitu banyak jumlah dan jenisnya pada waktu bersamaan, maka perlu ditetapkan jenis industri yang paling tinggi prioritas pengembangannya berdasarkan tingkat kepentingan (prefential industrial rating). Dengan diketahuinya status prioritas masing-masing industri, maka akan dapat dirumuskan tahapan pengembangan industri, khususnya kurun 2010-2014, dengan memberikan pembedaan fasilitas berdasarkan tingkat prioritasnya pada 5 (lima) kelompok industri yang sudah ditetapkan, yaitu: • Klaster prioritas • Industri prioritas pendukung dan terkait • Industri pengolahan komoditas unggulan daerah • Industri andalan masa depan • IKM tertentu Selain itu, dengan diketahuinya rating industri prioritas tersebut akan dapat diketahui pemetaan posisi setiap industri sehingga akan memudahkan penyusunan bahan keputusan dan kebijakan dalam rangka mengintegrasikan dan mensinergikan pembangunan industry, tingkat nasional maupun daerah, yang mengarah pada perbaikan efisiensi, peningkatan output, ekspansi, serta tangguh terhadap gangguan (shock) eksternal.
B. Rating Industri Prioritas Metode rating industri dilakukan dengan melakukan asesment suatu industri dengan memperhatikan capaian dan prediksi kinerja menghadapi peluang dan ancaman lingkungan pasar global.
69
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
B.1. Kerangka konseptual Rating Industri Menghadapi kendala ketersediaan investasi untuk membangun seluruh jenis industri dengan intensitas yang sama, ada pendekatan untuk memprioritaskan pembangunan industri tertentu dengan tujuan memiliki dampak untuk mendorong pembangunan industri lainnya. Terhadap industri prioritas selanjutnya dapat dilakukan rating industri untuk mengetahui kejelasan arah pengembangannya di masa datang. Sebelum menentukan metode rating industri, perlu diidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat prioritas industri berdasarkan: 1. Tingkat prospektus suatu industri, yang dapat dikategorikan apakah akan tumbuh progresif, stabil, melambat, atau menurun, sesuai siklus perkembangan industri (industry life cycle). Industri yang memiliki prospek tumbuh progresif adalah yang diharapkan karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun sebaliknya, industri yang tidak tumbuh progresif akan memunculkan vulnerability terhadap perubahan teknologi (technological change), perubahan preferensi konsumen, trend produk, perubahan gangguan stabilitas ekonomi, dan perubahan regulasi pemerintah. 2. Tingkat ketidakseimbangan supply - demand pada pasar domestik maupun pasar internasional. Adanya limited supply pada produk industri tertentu akibat pertumbuhan demand yang lambat direspon oleh pertumbuhan supply merupakan indikasi kebutuhan untuk membangun industri tersebut. Pada suatu negara yang mengalami limited supply karena keterbatasan produksi domestik maka akan melakukan impor, dan jika ingin menghindari risiko impor akibat fluktuasi nilai tukar maka kebijakan yang diterapkan adalah membangun industri substitusi impor untuk tujuan pemenuhan demand pasar domestik.
70
Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE
3. Posisi daya saing industri, yang ditentukan oleh kemajuan teknologi, efisiensi, distribusi dan pemasaran, serta regulasi. Industri yang memiliki produk-produk yang mampu bersaing di pasar internasional, baik dari sisi harga, kualitas, dan keunikan, merupakan capaian daya saing suatu industri yang perlu dipertahankan. Sedangkan, produk-produk lain yang memiliki potensi daya saing seyogyanya dipromosikan melalui kebijakan pemerintah yang terpadu dengan strategi perusahaan penghasil produk. Suatu industri yang memiliki rating tinggi adalah yang memiliki kemampuan untuk sukses sekaligus mampu menghindari perangkap (pitfall) kontraksi industri serta mampu memunculkan eksternalitas ekonomis karena mampu meningkatkan daya saing dan menumbuhkan industri terkaitnya.1 Indikator kesuksesan industri adalah pertumbuhan industri yang berkualitas dan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per-kapita masyarakat melalui peningkatan utilisasi sumberdaya menuju full employment. Prasyarat pembangunan industri yang berkualitas adalah bekerjanya persaingan dinamis sebagai alat untuk mewujudkan suatu industri agar memiliki ketahanan terhadap ancaman atau shock yang datang dari lingkungan global serta sekaligus mencegah terjadinya perangkap kontraksi industri. B.2. Metode rating industri Penentuan parameter pengukuran rating industri dalam konteks penentuan industri yang memiliki prioritas tinggi dilakukan dengan simplifikasi dari 23 parameter yang digunakan oleh Departement Industri dalam menentukan industri prioritas,2 lihat Tabel 1. 1 Seperti dijelaskan dalam Marshallian Externalities. 2 Merupakan parameter yang digunakan dalam KPIN 2004-2009 untuk penentuan industri prioritas, walaupun aplikasinya dilakukan secara sederhana yaitu dengan mengidentifikasi suatu industri apakah memiliki keunggulan berdasarkan beberapa parameter dan tidak harus semua parameter.
71
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 14 Parameter sebagai referensi penentuan industri prioritas pada tahun 2005
Sumber: Departemen Industri
Parameter yang berjumlah 23 tersebut mewakili sisi penawaran dan sisi permintaan, yang mana dalam sisi penawaran juga mencerminkan kondisi organisasi industri dan dalam sisi permintaan mencerminkan kondisi pasar global yang dapat dipenetrasi melalui ekspor yang berdaya saing. Idealnya, ke-23 parameter tersebut melekat pada suatu industri prioritas, namun pada penentuan yang menghasilkan 35 industri prioritas pada tahun 2005 ternyata belum mensyaratkan dimilikinya keunggulan ke-23 parameter oleh setiap industri prioritas, artinya suatu industri prioritas memiliki pelekatan keunggulan pada sebagian dari 23 parameter tersebut. Parameter tersebut juga digunakan untuk mengukur daya saing industri, yang dikelompokan dalam dua kelompok berdasarkan orientasi pasar yaitu: (1) kelompok industri potensi ekspor, dan (2) kelompok industri potensi dalam negeri. Kedua kelompok industri tersebut juga dapat dibedakan atas empat kategori yaitu: (a) industri padat sumberdaya alam, (b) industri padat tenaga kerja, (c) industri padat modal, dan (d) industri padat teknologi. 72
Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE
Merujuk parameter-paramater tersebut dan menghadapi kendala tidak melekatnya keunggulan semua parameter pada setiap industri, maka pada penentuan rating industri ini akan dipilih sejumlah parameter yang kiranya mampu dikaji secara simultan untuk setiap dari 35 industri yang sudah digolongkan prioritas. B.2.1. Seleksi Parameter Rating Industri Rating industri yang akan dilakukan menentukan preferential industrial rating yaitu tingkat prioritas suatu industri relative terhadap industry lainnya. Secara konsep ekonomi, prioritas pengembangan industri seyogyanya dilakukan untuk sejumlah industry yang memiliki prospek keberlanjutan pertumbuhan, mengatasi limited supply atau shortage dan/atau memiliki potensi daya saing pada ukuran pasar yang luas. Prioritas pembangunan industri atas dasar ketiga hal tersebut dituntut pula untuk mampu memunculkan benefit besar atas penggunaan sumberdaya domestic yang tersedia sehingga efek pengembangan industry prioritas adalah pemanfaatan sumberdaya lokal, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan mutu SDM. Dengan demikian, untuk tujuan memunculkan manfaat (benefit) ekonomi, ada 5 (lima) dimensi yang perlu diperhatikan pada penentuan rating industri yaitu (1) prospek keberlanjutan pertumbuhan, (2) limited supply atau shortage, (3) daya saing, (4) penggunaan sumberdaya lokal (bahan baku dan tenaga kerja), dan (5) kebijakan ekonomi. Berdasarkan (5) dimensi prioritas pengembangan industri, dikembangkan sejumlah parameter, lihat Tabel 2, yang dihipotesiskan tidak hanya mampu mendorong pengembangan industri juga mampu mensolusikan masalah ekonomi Indonesia yang diantisipasi akan muncul pada kurun 2010-2014. Masalah-masalah yang diantisipasi memerlukan solusi efektif berkaitan dengan: 1. Solusi masalah atas supply-demand gap di pasar domestik dan/ atau pasar internasional, atau ada peluang untuk membangun industri berbasis kebutuhan pasar.
73
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
2. Penciptaan nilai tambah industri, yaitu mewujudkan aliran knowledge, teknologi, dan inovasi, serta meningkatkan internal dan extenal efficency (transaction cost yang rendah dan penciptaan nilai pada supply chain). Hal ini memerlukan rancangan sistem pembangunan industri dengan dukungan kelembagaan yang kuat sebagai basis pembangunan industri. Instrumen yang dapat diukur adalah munculnya linkages melalui klaster industri, penggunaan material lokal/domestik dibandingkan impor, pembaruan teknologi (untuk produksi/operasional, akses pasar, dan lainnya), jaminan kualitas, jaminan harga bersaing. 3. Spillover melalui eksternalitas ekonomis, berupa capaian target antara dan target akhir (level meso dan makro) yaitu menjamin penyediaan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran, menciptakan usaha baru untuk menjamin capaian tingkat pertumbuhan ekonomi, devisa untuk membayar beban hutang luar negeri, daya tahan industri terhadap gangguan eksternal, dan berkelanjutan industri nasional yang dijamin dengan daya dukung lingkungan. Tabel 2 Parameter Rating Industri Prioritas Tinggi
Tabel 15 Parameter Rating Industri Prioritas Tinggi Prospek pert umbuhan Short age
Keseimban gan supplydemand
Daya saing Penggunaan sumberdaya lokal
Kreasi nilai t ambah
Spillover berbasis ekst ernalitas ekonomi
Kebijakan ekonomi
2.2.2. Populasi industri prioritas 3.2.2. Populasi industri prioritas
Pada dokumen Perpres No. 28 Tahun 2008 telah disebutkan kelompok prioritas yaitu: No. 28 Tahun 2008 telah Padaindustri dokumen Perpres
disebutkan kelompok industri prioritas yaitu: (1) Basis industri manufaktur, meliputi: industry material dasar 74(besi baja, semen, petrokimia, keramik); industri permesinan (mesin listrik dan peralatan listrik, mesin dan peralatan umum); dan industri padat tenaga kerja (tekstil dan produk tekstil, alas kaki). (2) Basis agro, meliputi pengolahan : kelapa sawit, karet dan
Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE
1. Basis industri manufaktur, meliputi: industry material dasar (besi baja, semen, petrokimia, keramik); industri permesinan (mesin listrik dan peralatan listrik, mesin dan peralatan umum); dan industri padat tenaga kerja (tekstil dan produk tekstil, alas kaki). 2. Basis agro, meliputi pengolahan : kelapa sawit, karet dan barang karet, kakao dan coklat, kelapa, kopi, gula, tembakau, buah-buahan, kayu dan barang kayu, hasil laut, pulp dan kertas. 3. Alat angkut meliputi industri kendaraan bermotor, perkapalan, kedirgantaraan, perkeretaapian. 4. Telematika, elektronika dan elektronika professional, mencakup industri: elektronika, perangkat keras telekomunikasi dan pendukungnya, computer dan peralatannya, perangkat lunak dan konten multimedia. 5. Penunjang industri kreatif dan industri kreatif tertentu : industri perangkat lunak dan konten multimedia, kerajinan dan barang seni, kreatif teknologi informasi dan komunikasi, fashion 6. IKM tertentu, meliputi : kerajinan dan barang seni, batu mulia dan perhiasan, garam rakyat, gerabah dan keramik hias, minyak atsiri, makanan ringan.
B.2.3. Diagnostik dan Penetapan Industri Prioritas Tinggi Prinsip yang dianut dalam aplikasi metode rating industri berpedoman pada: • Objektif, transparan, valid dan replikatif. • Sistematika prosedur penentuan industri prioritas dengan rating tinggi sudah dalam konteks pembangunan ekonomi integrasi nasional dan daerah. Jika industri prioritas ini dikembangkan maka akan mensolusikan masalah dan isu yang dihadapi oleh ekonomi nasional dan ekonomi daerah. • Seting parameter (sub 3.2.1) memiliki nilai kriteria pada setiap parameter yang merupakan nilai prediksi 2010-2015. Prediksi dilakukan berdasarkan data masa lalu dan antisipasi perubahan pada kurun lima tahun ke depan. 75
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Diagnostik terhadap setiap industri yang sudah dikategorikan industri prioritas dilakukan dengan mengevaluasi ‘parameter driven’ dengan mengaplikasikan diagram how-how dan aplikasi teknik Multidimensional Scaling untuk mengetahui apakah suatu industri berada pada salah satu atau kombinasi dari 2 (dua) dimensi yaitu: mampu kreasi nilai tambah, dan mampu berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekaligus mensolusikan masalah ekonomi nasional. Rating terhadap setiap industri dilakukan menghasilkan skoring terhadap resultan parameter-parameter yang dikelompokan mengikuti satu atau dua dimensi tersebut. Arah dan skoring selanjutnya akan menentukan posisi setiap industri sehingga akan dapat dievaluasi jenis-jenis industri prioritas tinggi.
C. Penutup Implementasi Perpres Nomor 28 Tahun 2008 antara lain diperlukan tindakan stratejik yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk membangun industri pengolahan melalui pemetaan posisi masing-masing industri berdasarkan hasil rating industri untuk kurun lima tahun mendatang. Pemetaan posisi stratejik setiap industri akan memudahkan pemangku kepentingan yaitu pelaku industri dan pemerintah untuk memutuskan tindakan stratejik yang mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sekaligus mensolusikan masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia.
76
APLIKASI METODE RATING UNTUK PEMILIHAN INDUSTRI PRIORITAS Ir. Heru Kustanto, M.Si
A. Pendahuluan A.1. Latar Belakang
S
emakin membaiknya perekonomian Indonesia serta kondisi riil paska krisis ekonomi menjadi faktor pendorong pertumbuhan sektor industri. Lima tahun setelah terjadinya krisis ekonomi pertumbuhan sektor industri masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada saat sebelum krisis. Upaya mempercepat pembangunan, membangun kemandirian ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah dengan cara memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola 77
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
seluruh potensi sumber daya yang dimiliki, telah dilakukan dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Di sisi lain, isu-isu globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia terkait dengan sektor industri telah bergerak begitu cepat, secara kasat mata negara-negara maju lebih siap sehingga cenderung lebih mampu memanfaatkan kesempatan dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang. Dalam upaya mempercepat proses industrialisasi untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional sekaligus mengantisipasi dampak negatif globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia dan perkembangan di masa yang akan datang, diperlukan suatu arahan dan kebijakan yang jelas baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang yang tertuang dalam sebuah Perpres No.28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Kebijakan Industri Nasional tersebut mencakup bangun industri nasional, strategi pembangunan industri nasional dan fasilitas pemerintah. Kebijakan Industri Nasional dimaksud disusun bersama seluruh pemangku kepentingan yaitu Kamar Dagang dan Industri (KADIN), lembaga pendidikan, lembaga litbang, daerah, dan sebagainya. Arah dan kebijakan industri nasional yang disepakati bersama, sangat dibutuhkan agar industri tidak tumbuh secara alami tanpa kejelasan akan bentuk bangun industri yang akan terjadi, yang akan menimbulkan dampak pemborosan sumber daya pembangunan (inefisiensi) dan tidak terwujudnya tujuan pembangunan industri yang diinginkan. Industri dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Industri nasional yang tangguh ditujukan untuk mencakup kemampuan produksi nasional di semua sektor (primer, sekunder, dan tersier), namun lingkup
78
Ir. Heru Kustanto, M.Si
kebijakan yang dirumuskan dalam Perpres tersebut dibatasi untuk sektor industri pengolahan/manufaktur non-migas, beserta sektor jasa industri yang sangat erat terkait. Sektor industri migas diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya alam, sedangkan sektor Jasa Industri lainnya diatur tersendiri dalam rezim peraturan perundang-undangan di bidang sektoral. Industri pengolahan/manufaktur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumber daya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer. Ada tiga alasan mendasar mengapa pemilihan industri prioritas nasional perlu dilakukan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Terbatasnya sumber daya yang dimiliki, termasuk fiskal atau anggaran yang dimiliki pemerintah, mendorong pemerintah untuk menetapkan industri prioritas yang mempunyai daya dorong yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan. 2. Industri prioritas belum disebutkan secara spesifik dalam Perpres 28/2008, oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk menentukan industri prioritas nasional. 3. Dalam Perpres 28/2008 telah ditetapkan 35 klaster industri. Jumlah ini masih terlalu banyak sehingga belum merupakan cabang industri yang betul-betul prioritas. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan industri prioritas dari 35 klaster industri seperti yang tercantum dalam Perpres 28/2008.
79
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
A.2. Tujuan Pemilihan industri prioritas dimaksudkan untuk menetapkan industri prioritas nasional yang dapat digunakan oleh pemerintah di dalam memberikan fasilitas pada sektor industri. Penetapan industri prioritas ini penting, karena pada pasal 4 Perpres 28/2008 disebutkan bahwa pemerintah dapat memberikan fasilitas kepada : 1. industri prioritas tinggi, baik industri prioritas nasional maupun industri prioritas berdasarkan kompetensi inti industri daerah. 2. Industri pionir 3. Industri yang dibangun di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu 4. Industri yang melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi. 5. Industri yang melakukan pembangunan infrastruktur. 6. Industri yang melakukan alih teknologi. 7. Industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup. 8. Industri yang melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi. 9. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. 10. Industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Secara lebih spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam pemilihan industri prioritas adalah sebagai berikut : 1. Menentukan cabang industri yang dapat dipilih menjadi industri prioritas nasional. 2. Menentukan kriteria yang dapat digunakan untuk memilih industri prioritas nasional. 3. Melakukan penilaian untuk setiap cabang industri yang akan dipilih baik untuk data kuantitatif maupun data kualitatatif. 4. Menetapkan rating industri prioritas nasional.
80
Ir. Heru Kustanto, M.Si
B. Metodologi Rating Industri Prioritas B.1. Kerangka Pemikiran Pemilihan industri prioritas meliputi kegiatan kajian untuk menetapkan kriteria yang digunakan dalam pemilihan industri prioritas, pengumpulan data baik data sekunder maupun data primer dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dan analisis data untuk merating industri prioritas nasional. Rating industri prioritas ini dibatasi pada lingkup 35 cabang industri sebagaimana tercantum dalam Perpres 28/2008. Oleh karena itu hasil dari kajian ini tidak akan terlepas dari 35 cabang industri sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 16. Cabang Industri dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2008 No. 1
Sektor Industri Industri besi dan baja
2
Industri semen
3
Industri petrokimia
4
Industri keramik
5
Industri mesin listrik dan peralatan listrik
6
Industri mesin dan peralatan umum
7
Industri tekstil dan produk tekstil
8
Industri alas kaki
9
Industri kelapa sawit
10
Industri karet dan barang karet
11
Industri kakao dan cokelat
12
Industri kelapa
13
Industri kopi
14
Industri gula
15 16
Industri tembakau Industri buah-buahan
17
Industri kayu dan barang kayu (termasuk rotan dan bambu)
81
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
No. 18
Sektor Industri Industri hasil perikanan dan laut
19
Industri pulp dan kertas
20
Industri pengolahan susu
21
Industri kendaraan bermotor
22
Industri perkapalan
23
Industri kedirgantaraan
24
Industri perkeretaapian
25
Industri elektronika
26
Industri perangkat keras telekomunikasi, penyiaran dan pendukung
27
Industri komputer dan perlengkapannya
28
Industri perangkat lunak dan content multimedia
29
Industri kreatif teknologi informasi dan komunikasi
30
Industri kerajinan dan barang seni
31
IKM batu mulia dan perhiasan
32
IKM garam rakyat
33
IKM gerabah dan keramik
34
IKM minyak atsiri
35
IKM makanan ringan
2.2. Metodologi Pemilihan Industri Prioritas Industri yang akan dirating terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam empat kwadran berdasarkan parameter orientasi ekspor (domestik dan ekspor) dan kandungan bahan baku impor (tinggi dan rendah). Pengelompokkan ini dilakukan untuk memudahkan dalam menentukan strategi dan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengembangkan setiap cabang industri pada masing-masing kwadran. Penentuan orientasi pasar menggunakan cut off rata-rata persentase ekspor seluruh sektor industri tahun 2004-2006 yaitu 19,89 %. Cabang industri dengan ekspor rata-rata tahun 2004-2006 > 19,89% masuk 82
pada masing-masing kwadran. Penentuan orientasi pasar menggunakan cut off rata-rata persentase ekspor seluruh sektor industri tahun 2004-2006 yaitu 19,89 %. Cabang Ir. Heru Kustanto, M.Si industri dengan ekspor rata-rata tahun 2004-2006 > 19,89% masuk katagori orientasi pasar EKSPOR, sementara itu jika < katagorimasuk orientasikatagori pasar EKSPOR, sementara itu jikaDOMESTIK. < 19,89% masuk 19,89% orientasi pasar katagori orientasi Sementara itu,bahan cut off penentuan Sementara itu, cutpasar off DOMESTIK. penentuan kandungan baku impor menggunakan persentase kandungan kandungan bahan rata-rata baku impor menggunakan rata-rata impor persentase bahan baku seluruh sektorbaku industri yaitu kandungan impor bahan seluruhtahun sektor2004-2006 industri tahun 200419,93 persen. Cabang industri dengan rata-rata kandungan 2006 yaitu 19,93 persen. Cabang industri dengan rata-rata kandungan impor bahan baku 2004-2006> 19,93% > 19,93% dikatagorikan impor bahan bakutahun tahun 2004-2006 dikatagorikan TINGGI, TINGGI, sedangkan jika < 19,93% dikategorikan RENDAH. sedangkan jika < 19,93% dikategorikan RENDAH. Beberapa cabang Beberapa cabang industri baru yang tidak memiliki ekspor dan industri baru yang tidak memiliki ekspor dan kandungan bahan baku kandungan bahan baku impor, dikelompokkan berdasarkan impor, dikelompokkan berdasarkan expert judgement. expert judgement.
Kandungan Bahan BakuImpor Impor Kandungan Bahan Baku Rendah
Ekspor
3
Iȱ
Tinggi
1
IIȱ
Domestik
7
IVȱ
5
IIIȱ
Penjelasan setiap kwadran : Kwadran I Cabang industri yang bersangkutan merupakan cabang industri yang mempunyai kandungan impor bahan baku yang rendah dengan orientasi pasar ekspor. Kwadran II Cabang industri yang bersangkutan merupakan cabang industri yang mempunyai kandungan impor bahan baku yang tinggi dengan orientasi pasar ekspor.
83
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Kwadran III Cabang industri yang bersangkutan merupakan cabang industri yang mempunyai kandungan impor bahan baku yang tinggi dengan orientasi pasar domestik. Kwadran IV Cabang industri yang bersangkutan merupakan cabang industri yang mempunyai kandungan impor bahan baku yang rendah dengan orientasi pasar domestik Setelah seluruh cabang industri dikelompokkan ke dalam empat kelompok, selanjutnya dilakukan rating industri prioritas pada masingmasing kelompok tersebut. Rating industri prioritas pada masingmasing kelompok dilakukan dengan menggunakan beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Nilai tambah (share dan pertumbuhan cabang industri relatif terhadap pertumbuhan industri nasional) 2. Investasi (share dan pertumbuhan investasi cabang industri relatif terhadap pertumbuhan investasi industri nasional). 3. Dukungan pemerintah a. Kemampuan mengelola industrial endowment a1. Penyediaan tenaga terampil a2. Penyediaan infrastruktur fisik a3. Fasilitasi network a4. Fasilitas industri a5. Infrastruktur pasar a6. Fungsi Kelembagaan b. Dukungan Regulasi b1. Insentif investasi b2. Insentif ekspor b3. Insentif pajak b4. Promosi ekspor b5. kemudahan layanan birokrasi 4. Penyerapan tenaga kerja (pangsa penyerapan tenaga kerja cabang industri terhadap total tenaga kerja sektor industri). 84
Ir. Heru Kustanto, M.Si
5. Keterkaitan (linkages) industri, baik keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke depan (backward linkages). 6. Dampak terhadap pengembangan wilayah dan industri, yang terdiri dari beberapa sub indikator yaitu : • Kemungkinan penyebaran lokasi industri (daerah luar Jawa, daerah tertinggal atau daerah perbatasan) • Frekuensi penelitian dan pengembangan, inovasi dan alih teknologi. • Dampak terhadap lingkungan hidup • Kemitraan dengan usaha mikro, kecil, koperasi dan menengah (UMKM) Keenam kriteria yang digunakan dalam rating industri prioritas selanjutnya dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode AHP. Pembobotan dilakukan pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan 26 responden yang terdiri dari unsur-unsur pelaku bisnis, akademisi, pengamat ekonomi dan birokrasi. Pada kegiatan FGD juga dilakukan pengumpulan data berdasarkan expert judgement dari 36 responden yang terdiri dari unsur-unsur pelaku bisnis, akademisi, pengamat ekonomi dan birokrasi untuk menilai setiap cabang industri pada kriteria dukungan pemerintah dan kriteria dampak pengembangan. Kegiatan FGD dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan kriteria dukungan pemerintah pada dampak terhadap pengembangan wilayah. Kegiatan FGD dilakukan dengan mengundang pihak-pihak yang terkait seperti : 1. para pejabat di lingkungan Departemen Perindustrian (Eselon 1 dan Eselon 2) 2. para akademisi yang berasal dari beberapa Perguruan Tinggi Negeri seperti Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran Bandung
85
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
3. para pengamat dan pemerhati industri 4. para pelaku bisnis yang berasal dari para pengusaha yang mewakili sektor industri tertentu atau yang memahami secara detail setiap sektor industri yang akan diperingkat. Sebelum kegiatan FGD ini dimulai dijelaskan mengenai tiga hal pokok yang cukup penting, yaitu : 1. Penjelasan mengenai metodologi pemilihan industri prioritas dan fungsi FGD dalam pemilihan industri prioritas tersebut. 2. Penjelasan mengenai kriteria pemilihan industri prioritas. 3. Penjelasan mengenai rangkaian kegiatan FGD. 4. Untuk kriteria-kriteria yang bersifat kualitatif (kriteria dukungan pemerintah dan kriteria dampak terhadap pengembangan wilayah dan industri), data dikategorikan ke dalam 5 kategori dengan kuantifikasi berdasarkan expert opinion pada kegiatan FGD yaitu 5 (sangat baik), 4 (baik), 3 (sedang), 2 (rendah) dan 1 (sangat rendah). Nilai untuk kriteria kualitatif pada setiap cabang industri selanjutnya dirata-ratakan dengan menggunakan formula nilai yang paling banyak muncul (modus). Jika nilai untuk seluruh kriteria dan untuk setiap cabang industri yang akan dirating telah ditetapkan, selanjutnya adalah menghitung nilai agregat per cabang industri. Untuk kriteria yang mempunyai beberapa subkriteria, terlebih dahulu dilakukan rata-rata nilai untuk kriteria tersebut untuk setiap cabang industri yang akan diperingkat. Penilaian dilakukan dengan menggunakan metode teknik perbandingan indeks kinerja (Comparative Performance Index, CPI). Teknik CPI merupakan indeks gabungan (composite index) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j). Formula yang digunakan dalam teknik CPI adalah sebagai berikut (Marimin, 2004):
86
Ir. Heru Kustanto, M.Si
Aij = X ij (min) x100 / X ij (min) A( i +1, j ) = ( X ( i +1, j )(min) / X ij (min) x100 I ij = Aij xP
j
n
I i = � ( I ij ) i =i
Keterangan : Aij = nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j Xij(min) = nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j A(i+1,j) = nilai alternatif ke-i+1 pada kriteria ke-j X(i+1,j) = nilai alternatif ke-i+1 pada kriteria ke-j Pj = bobot kepentingan kriteria ke-j Iij = indeks alternatif ke-i Ii = indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-i i = 1,2,3, ..., n j = 1,2,3, ..., m
87
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
C. Hasil dan Pembahasan C.1. Pembobotan Kriteria Pemilihan Industri Prioritas Hasil pembobotan kriteria pemilihan industri prioritas dengan menggunakan metode FGD menunjukkan bahwa kriteria nilai tambah mempunyai bobot yang terbesar yaitu 24,29 persen, disusul dengan penyerapan tenaga kerja 18,86 persen, dampak pengembangan industri 15,45 persen, investasi 14,03 persen, dukungan pemerintah 13,87 persen dan keterkaitan antar industri 13,49 persen sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1. Hal ini menunjukkan bahwa industri prioritas adalah cabang-cabang industri yang umumnya mempunyai nilai tambah yang besar dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi pemerintah yaitu pembangunan industri harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi (pro growth), menciptakan banyak lapngan kerja (pro job) dan mengurangi kemiskinan (pro poor). Gambar 13. Hasil Pembobotan Kriteria Pemilihan Industri Prioritas Menggunakan Metode AHP melalui Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) 15,45%
24,29%
13,49%
14,03% 18,86%
Nilai tambah Duku ngan Pemerintah
88
13,87%
Investasi Tenaga kerja
Ir. Heru Kustanto, M.Si
C.2. Pengelompokkan Cabang Industri ke dalam 4 Kuadran Hasil pengelompokkan cabang industri berdasarkan parameter kandungan bahan baku impor dan orientasi pasar selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 17. Cabang-Cabang Industri yang Masuk Kwadran 1 (Kandungan Impor Bahan Baku Rendah dan Berorientasi Pasar Ekspor) No.
Cabang Industri
1
Industri pulp dan kertas
2 3
Industri karet dan barang karet Industri kelapa sawit
4
Industri kayu dan barang kayu (termasuk rotan dan bambu)
5
Industri kerajinan dan barang seni
6
Industri kakao dan cokelat
7
Industri hasil perikanan dan laut
8 9
Industri kopi Industri kelapa
10
IKM minyak atsiri
Tabel 18. Cabang-Cabang Industri yang Masuk Kwadran 2 (Kandungan Impor Bahan Baku Tinggi dan Berorientasi Pasar Ekspor) No.
Industri
1
Industri tekstil dan produk tekstil
2
Industri mesin listrik dan peralatan listrik
3
Industri alas kaki
4 5
Industri kreatif teknologi informasi dan komunikasi IKM batu mulia dan perhiasan
6
Industri perangkat keras telekomunikasi, penyiaran dan pendukung
7
Industri buah-buahan
8
Industri komputer dan perlengkapannya
89
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 19. Cabang-Cabang Industri yang Masuk Kwadran 3 (Kandungan Impor Bahan Baku Tinggi dan Berorientasi Pasar Domestik) No.
Cabang Industri
1
Industri kendaraan bermotor
2
Industri petrokimia
3
Industri besi dan baja
4
IKM makanan ringan
5
Industri mesin dan peralatan umum
6
Industri elektronika
7
Industri keramik
8
Industri pengolahan susu
9
Industri kedirgantaraan
10
Industri perkeretaapian
Tabel 20. Cabang-Cabang Industri yang Masuk Kwadran 4 (Kandungan Impor Bahan Baku Rendah dan Berorientasi Pasar Domestik) No.
Cabang Industri
1
Industri tembakau
2
Industri semen
3
Industri gula
4
Industri perkapalan (kayu)
5
IKM Gerabah dan keramik
6
IKM garam rakyat
7
Industri perangkat lunak dan content multimedia
Hasil pengelompokkan cabang industri menunjukkan bahwa cabang-cabang industri yang umumnya merupakan produk-produk dari industri berbasis agro dan kerajinan masuk dalam kwadran 1, yaitu cabang-cabang industri yang kandungan bahan baku impornya rendah 90
Ir. Heru Kustanto, M.Si
dan berorientasi pada pasar ekspor. Sementara itu untuk kwadran 2 yaitu cabang-cabang industri yang kandungan bahan baku impornya tinggi dan berorientasi pada pasar ekspor didominasi oleh industri yang tidak mempunyai akar yang kuat di dalam negeri seperti tekstil dan produk tekstil, sepatu dan mesin/peralatan listrik. Di sisi lain untuk kwadran 3 yaitu cabang-cabang industri yang kandungan bahan baku impornya tinggi dan berorientasi pada pasar domestik juga didominasi oleh industri yang tidak mempunyai akar yang kuat di dalam negeri seperti industri kendaraan bermotor (kendaraan roda empat, besi/baja, mesin/peralatan umum dan elektronika. Sementara itu untuk kwadran 4 yaitu cabang-cabang industri yang kandungan bahan baku impornya rendah dan berorientasi pada pasar domestik didominasi oleh industri berbasis hasil tambang seperti industri semen, industri tembakau dan industri gula. C.3. Hasil Rating Industri Prioritas Nasional Dengan menggunakan bobot kriteria pemilihan industri prioritas hasil FGD dan nilai untuk setiap cabang industri pada masing-masing kriteria seperti dapat dilihat pada Lampiran 1 – Lampiran 12, selanjutnya dilakukan perhitungan rating industri prioritas dengan menggunakan teknik CPI sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13). Peringkat tiga besar untuk setiap cabang industri pada masing-masing kuadran dapat dilihat pada Tabel 6 sampai 9 berikut ini. Tabel 21. Peringkat 3 Besar Industri Prioritas pada Kwadran 1 (Kandungan Impor Bahan Baku Rendah dan Berorientasi Pasar Ekspor) No.
Cabang Industri
1
Industri pulp dan kertas
2
Industri karet dan barang karet
3
Industri kelapa sawit
91
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 22. Peringkat 3 Besar Industri Prioritas pada Kwadran 2 (Kandungan Impor Bahan Baku Tinggi dan Berorientasi Pasar Ekspor) No.
Cabang Industri
1
Industri tekstil dan produk tekstil
2
Industri mesin listrik dan peralatan listrik
3
Industri alas kaki
Tabel 23. Peringkat 3 Besar Industri Prioritas pada Kwadran 3 (Kandungan Impor Bahan Baku Tinggi dan Berorientasi Pasar Domestik) No.
Cabang Industri
1
Industri kendaraan bermotor
2
Industri petrokimia
3
Industri besi dan baja
Tabel 24. Peringkat 3 Besar Industri Prioritas pada Kwadran 4 (Kandungan Impor Bahan Baku Rendah dan Berorientasi Pasar Domestik) No.
92
Cabang Industri
1
Industri tembakau
2
Industri semen
3
Industri gula
Ir. Heru Kustanto, M.Si
D. Penutup Dengan terpilihnya industri prioritas akan menjadikan Departemen Perindustrian untuk menjadi lebih fokus dalam mengembangkan industri nasional sehingga kontribusi sektor industri pengolahan dalam pertumbuhan ekonomi, penyerapan lapangan kerja, peningkatan devisa negara dan pengentasan kemiskinan dapat terus ditingkatkan untuk masa-masa yang akan datang. Untuk mendorong pertumbuhan sektor industri, pemerintah selanjutnya dapat menerapkan strategi pengembangan yang spesifik pada setiap kwadran. Misalnya untuk cabang industri yang masuk dalam kwadran 1 (kandungan impor bahan baku rendah dan berorientasi pasar ekspor) pemerintah dapat menerapkan kebijakan seperti penetapan bea keluar untuk ekspor bahan baku, menjamin kelancaran pasokan baku dan melakukan penetrasi dan diversifikasi pasar ekspor. Untuk cabang industri yang masuk dalam kwadran 2 (kandungan impor bahan baku tinggi dan berorientasi pasar ekspor) pemerintah dapat menerapkan kebijakan seperti penurunan tarif bea masuk bahan baku dan mendorong investasi asing untuk masuk ke cabang industri yang ada di kwadran 2. Untuk cabang industri yang masuk dalam kwadran 3 (kandungan impor bahan baku tinggi dan berorientasi pasar domestik) pemerintah dapat menerapkan kebijakan seperti penurunan bea masuk komponen, pengamanan pasar domestik dari produk-produk impor sejenis dan meningkatkan litbang untuk mendorong pengembangan teknologi. Sementara itu, untuk cabang industri yang masuk dalam kwadran 4 (kandungan impor bahan baku rendah dan berorientasi pasar domestik) pemerintah dapat menerapkan kebijakan seperti mempertimbangkan untuk pembebasan PPN pada cabang-cabang industri tertentu dan meningkatkan iklim persaingan yang sehat dan kondusif bagi pengembangan industri pada kwadran 4.
93
PENETAPAN INDUSTRI VISIONER NASIONAL Ir. Heru Kustanto, M.Si
A. Pendahuluan Latar Belakang
P
emerintah telah menetapkan tiga pendekatan dalam menetapkan industri prioritas. Pertama melalui pendekatan top down yaitu pemerintah menetapkan prioritas industri nasional dalam bentuk klaster industri sebagaimana ditetapkan melalui Perpres 28/2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN). Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa dalam pengembangan industri nasional pemerintah menetapkan 35 klaster industri. Kedua melalui pendekatan bottom up yaitu melalui pendekatan kompetensi inti industri daerah. Kompetensi inti industri daerah merupakan sekumpulan keunggulan atau keunikan sumberdaya termasuk sumber daya alam dan kemampuan suatu daerah untuk 95
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
membangun daya saing dalam rangka mengembangkan perekonomian Propinsi dan Kabupaten/Kota menuju kemandirian. Komoditi unggulan yang mempunyai nilai tambah tinggi dan menimbulkan efek pengganda akan didorong untuk menjadi kompetensi inti industri daerah, yang merupakan kumpulan terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi dalam rangka memproduksi komoditi unggulan yang merupakan akumulasi dari pembelajaran, yang akan didorong bagi keberhasilan bersaing usaha di daerah. Ketiga melalui penetapan industri visioner yaitu industri yang dianggap strategis dan harus dikembangkan. Rating industri prioritas yang telah dilakukan oleh Departemen Perindustrian hanya didasarkan pada industri yang telah ada sebagaimana tercantum dalam Perpres 28/2008. Namun demikian, tidak semua cabang industri pada Perpres tersebut merupakan industri yang telah ada. Beberapa di antaranya adalah industri yang masih akan berkembang pada masa yang akan datang seperti cabang industri kreatif teknologi informasi dan industri perangkat lunak dan content multi media. Untuk mengantisipasi perkembangan industri ke depan, perlu untuk mengidentifikasi dan melakukan rating terhadap industri visioner, walaupun industri visioner tersebut belum berkembang di Indonesia. Rating industri visioner akan membantu Departemen Perindustrian dalam mempersiapkan langkah-langkah strategis dalam mengembangkan industri visioner tersebut. Ada tiga alasan mendasar mengapa industri visioner perlu ditetapkan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Persaingan pada masa yang akan datang akan semakin keras dan terbuka. Hanya negara-negara yang mempunyai visi industri ke depan dan menguasai teknologi yang akan memenangkan persaingan tersebut. 2. Sebagai acuan bagi seluruh stake holder untuk mempersiapkan langkah-langkah melalui kegiatan penelitian dan pengembangan industri visioner.
96
Ir. Heru Kustanto, M.Si
3. Dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2008 telah ditetapkan 35 klaster industri. Jumlah ini masih belum mengakomodasi industri visioner ke depan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi industri visioner di luar cabang industri yang sudah disebutkan dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2008. Tujuan Secara lebih spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penetapan industri visioner adalah sebagai berikut : 1. Menentukan kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan industri visioner. 2. Menetapkan daftar panjang industri visioner. 3. Menetapkan daftar pendek cabang industri yang dapat dijadikan industri visioner.
B. Metodologi Penetapan Industri Visioner B.1. Kerangka Pemikiran Penetapan industri visioner meliputi kegiatan kajian untuk menetapkan kriteria yang digunakan dalam pemilihan industri visioner, pengumpulan data primer dari hasil Focus Group Discussion (FGD) dan analisis data untuk menetapkan industri visioner. Industri visioner merupakan cabang industri di luar lingkup 35 cabang industri sebagaimana tercantum dalam Perpres 28/2008. Oleh karena itu industri visioner yang muncul dan masih terkait dengan roadmap ke-35 cabang industri tersebut nantinya akan diusulkan pada Direktoran Jenderal yang menanganinya. Daftar dari 35 cabang industri pada Perpres 28/2008 dapat dilihat pada Tabel 1.
97
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 25. Cabang Industri dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2008 No.
98
Sektor Industri
1 2 3
Industri besi dan baja Industri semen Industri petrokimia
4
Industri keramik
5
Industri mesin listrik dan peralatan listrik
6
Industri mesin dan peralatan umum
7
Industri tekstil dan produk tekstil
8
Industri alas kaki
9
Industri kelapa sawit
10
Industri karet dan barang karet
11
Industri kakao dan cokelat
12
Industri kelapa
13
Industri kopi
14
Industri gula
15
Industri tembakau
16
Industri buah-buahan
17
Industri kayu dan barang kayu (termasuk rotan dan bambu)
18
Industri hasil perikanan dan laut
19
Industri pulp dan kertas
20
Industri pengolahan susu
21
Industri kendaraan bermotor
22
Industri perkapalan
23
Industri kedirgantaraan
24
Industri perkeretaapian
25
Industri elektronika
26
Industri perangkat keras telekomunikasi, penyiaran dan pendukung
27
Industri komputer dan perlengkapannya
28
Industri perangkat lunak dan content multimedia
29
Industri kreatif teknologi informasi dan komunikasi
30
Industri kerajinan dan barang seni
31
IKM batu mulia dan perhiasan
Ir. Heru Kustanto, M.Si
No.
Sektor Industri
32
IKM garam rakyat
33
IKM gerabah dan keramik
34
IKM minyak atsiri
35
IKM makanan ringan
B.2. Metodologi Penetapan Industri Visioner Penetapan industri visioner dilakukan melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh para pakar yang mewakili pelaku bisnis, perguruan tinggi dan birokrasi. Para pakar yang hadir dalam kegiatan FGD diminta untuk menuliskan sebanyak-banyaknya industri visioner pada formulir kuesioner yang telah disiapkan. Pendapat dari seluruh pakar ini selanjutnya dilakukan perekapan. Penghapusan dilakukan jika terdapat industri visoner yang hampir sama, terlalu luas, terlalu sempit dan sudah terdapat pada ke-35 cabang industri pada Perpres 28/2008. Perekapan dari seluruh pendapat pakar ini akan menjadi suatu daftar panjang (long list) industri visioner. Daftar panjang industri visioner yang diperoleh pada kegiatan FGD tahap pertama, selanjutnya dikembalikan lagi pada seluruh pakar untuk memilih 10 industri visioner. Setiap pakar diminta untuk mencontreng sepuluh industri visioner tanpa memperhatikan prioritas. Hasil pemilihan ini selanjutnya direkap untuk menentukan industri mana yang paling banyak dipilih. Perekapan dari pilihan seluruh pendapat pakar ini akan menjadi suatu daftar pendek (short list) industri visioner.
C. Hasil dan Pembahasan C.1. Daftar Panjang Industri Visioner Industri visioner yang akan dikembangkan diprioritaskan pada bioteknologi, nanoteknologi dan ICT (Information and Communication Technology). Hasil masukan dari seluruh pakar yang hadir dalam kegiatan FGD tahap pertama menjadi suatu daftar panjang industri visioner sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. 99
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 26. Daftar Panjang Industri Visioner No. 1
Long List Industri Visioner ICT 3D motion sensor
2
ICT animasi
3
ICT creative industry
4
ICT dan elektronika
5
ICT for education
6
ICT for government
7
ICT for government and industry collaboration
8
ICT for health
9
ICT Geo Finger print
10
ICT image based modelling
11
ICT musik dan hiburan
12
ICT robotics for manufacture etc.
13
ICT searching technology
14
ICT simulation untuk riset etc.
15
ICT video semantic detection
16 17
ICT virtual reality Industri advanced computing (high performance computer)
18
Industri advanced materials
19
Industri agro berbasis keragaman hayati yang potensial
20
Industri alat pertanian
21
Industri alat-alat kedokteran/kesehatan
22
Industri animasi
23
Industri aplikasi software/midleware
24 26
Industri baja ringan Industri baja untuk menunjang transportasi, hankam dan pertanian Industri barang modal
27
Industri berbasis agro
28
Industri bibit pertanian
25
100
Ir. Heru Kustanto, M.Si
No. 29
Long List Industri Visioner Industri bioenergi
30
Industri biofuel
31
Industri biolube
32
Industri biomarine
33
Industri bioplastik (ramah lingkungan)
34
Industri bioproduk
35
Industri bioteknologi
36
Industri bioteknologi kimia
37
Industri bioteknologi obat-obatan
38
Industri bioteknologi pangan
39
Industri broadband acces devices (switch, handset, antene)
40
Industri chip wimax (dengan 25% local content)
41
Industri coal based material
42
Industri computer on chip
43
Industri content aplikasi (software untuk 4G mobile)
44
Industri dasar/industri penunjang
45
Industri elektronika
46
Industri embedded system (untuk instrumen tertentu)
47
Industri energi terbarukan
48
Industri environmental techology production (bioteknologi)
49
Industri farmasi (obat-obatan)
50
Industri fashion
51
Industri genetika engineering
52
Industri hankam
53
Industri hasil laut
54
Industri hidrogen (untuk energi)
55
Industri hilir berbasis ikan (laut)
56
Industri hilir berbasis kelapa
101
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
No.
Long List Industri Visioner
57
Industri hilir berbasis sagu
58
Industri hilir berbasis singkong
59
Industri hilir berbasis tumbuhan laut
60
Industri hilir herbal tropik
61
Industri hilir nano berbasis pertanian (nano partikel)
62
Industri hulu pensuplai energi
63
Industri Ip-based computer devices/peripherals
64
Industri kaca self cleaner
65
Industri kapal terbang
66
Industri katalis
67
Industri kayu (material untuk konstruksi)
68
Industri kemasan makanan anti mikroba
69
Industri kemasan pintar
70
Industri kerajinan dan barang seni
71
Industri kereta api berjalan cepat
72
Industri kimia berbahan baku organik (tumbuhan)
73
Industri komponen elektronika
74
Industri komponen fuel cell (pembangkit energi)
75
Industri komponen permesinan
76
Industri komunikasi
77
Industri kosmetika
78
Industri kreatif (untuk advertising)
79
Industri mainan anak-anak untuk pendidikan
80
Industri makanan alternatif
81
Industri makanan bayi
82
Industri makanan sehat
83
Industri maritim
84
Industri material maju
102
Ir. Heru Kustanto, M.Si
No. 85
Long List Industri Visioner Industri material untuk komponen bangunan
86
Industri mobile and online content
87
Industri multimedia
88
Industri nano keramik
89
Industri nano kimia
90
Industri nano komposit
91
Industri nano machinery
92
Industri nano material for TiO2
93
Industri nano materials (silika dan lain-lain)
94
Industri nano membran
95
97
Industri nano partikel Industri nano partikel berbahan material tambang (pasir besi, silika, clay) Industri obat-obatan herbal terstandarisasi
98
Industri open system board (untuk komputer generik)
99
Industri pasir silika (untuk solar cell)
100
Industri pendidikan SDM
96
102
Industri pengolahan bahan tambang menjadi bahan baku antara sampai produk jadi dengan menginsert nano teknologi Industri pengolahan limbah
103
Industri pengolahan pangan
104
Industri pengolahan rotan dan barang jadi rotan
105
Industri pengolahan rumput laut
106
Industri peralatan energi
107
Industri peralatan pengendalian lingkungan
108
Industri peralatan telekomunikasi
109
Industri perhiasan berbasis mutiara
110
Industri petrokimia
111
Industri plastik self degradation
101
103
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
No.
Long List Industri Visioner
112
Industri produk material strategis
113
Industri pupuk organik
114
Industri rancang bangun dan perekayasaan
115
Industri robotik
116
Industri set top box (untuk konversi penerima signal TV digital)
117
Industri Software
118
Industri software komputer
119
Industri solar cell (untuk energi)
120
Industri stemcell techology
121
Industri tanaman bibit unggul
122
Industri teknologi informasi
123
Industri tekstil anti mikrobia
124
Industri turunan CPO
125
Industri ubiquotas computing (termasuk I/F and software)
126
Industri vaksin/antibiotika
127
Industri mobile collaboration computing
128
Industri natural interface computing
129
Industri preservation of culture and natural heritage
130
Industri produk pertambangan (peningkatan nilai tambah)
3.2. Daftar Pendek Industri Visioner Hasil masukan dari seluruh pakar yang hadir dalam kegiatan FGD tahap kedua untuk memilih sepuluh industri visioner dari daftar panjang menjadi suatu daftar pendek industri visioner sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. 104
Ir. Heru Kustanto, M.Si
Tabel 27. Daftar Pendek Industri Visioner No.
Industri Visioner Industri berbasis ICT
1
2
3D motion sensor, creative industry (animasi, musik, hiburan, virtual reality, advertising), robotics, searching technology, simulation for research, video semantic detection, Industri advanced computing, software/middleware aplication, chip wimax (dengan 25% local content), embedded system Industri berbasis Bioteknologi Bioenergi, biolube, bioplastik. Industri berbasis nanoteknologi
3
Nano fertilizer & pesticide, nano coating, katalis, kemasan bermuatan nano teknologi, komponen fuel cell (pembangkit energi), Nano partikel, nano material & nano komposit, nano machinery, nano membran, solar cell. Industri lainnya
4
Alat-alat kedokteran/kesehatan, coal based material, hankam, hidrogen (untuk energi), industri hilir herbal tropik, set top box (untuk konversi penerima signal TV digital), rancang bangun dan perekayasaan.
D. Penutup Dengan telah ditetapkannya industri visioner akan menjadikan Departemen Perindustrian untuk menjadi lebih fokus dalam mengembangkan sektor industri masa depan sehingga kontribusi sektor industri pengolahan dalam pertumbuhan ekonomi, penyerapan lapangan kerja, peningkatan devisa negara dan pengentasan kemiskinan dapat terus ditingkatkan untuk masa-masa yang akan datang. Untuk mendorong pertumbuhan industri visioner, pemerintah selanjutnya dapat menerapkan strategi pengembangan yang spesifik.
105
KOMPETENSI INTI INDUSTRI SEBAGAI SALAH SATU LANDASAN UNTUK MENGEMBANGKAN DAYA SAING DAERAH DR. Agus Maulana
A. Latar Belakang
K
emajuan sektor industri suatu negara diyakini merupakan salah satu indikator kemajuan negara yang bersangkutan, karena sektor ini memberi kontribusi nyata terhadap nilai tambah dan kesempatan kerja, sehingga dapat dianggap sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi suatu negara. Upaya mengembangkan sektor industri di Indonesia telah dilakukan selama beberapa dekade dan sampai saat ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional, meskipun di tahun-tahun terakhir tampaknya peran sektor industri pengolahan dalam PDB nasional mengalami sedikit penurunan. Menurut data BPS, pada tahun 2004 sektor industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 28,07 persen untuk PDB Indonesia, dan angka ini menurut perhitungan terbaru sedikit menurun menjadi 27,34 persen pada tahun 2009. Padahal, angka kontribusi sektor industri 107
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
pengolahan terhadap PDB nasional untuk tahun 2025 ditargetkan dapat mencapai sekitar 32 persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa harus ada usaha yang cukup keras dari pemerintah dan dunia industri untuk meningkatkan kemampuan sektor industri nasional. Apalagi, era globalisasi yang tidak mungkin dihindari menuntut industri nasional untuk lebih meningkatkan daya saing agar dapat bersaing di pasar global. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah menuntut Pemerintah Daerah Tingkat Dua - Kabupaten dan Kota untuk membenahi diri mengasah kemampuan daerah dalam menggali potensi masing-masing guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar tidak bergantung hanya pada alokasi dana dari Pemerintah Pusat. Kemampuan meningkatkan PAD ini sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah daerah dalam menggali potensi lokal guna menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing di pasar domestik dan mancanegara, di samping juga untuk menarik investasi asing ke daerah mereka. Hamel dan Prahalad (1995) menyatakan bahwa suatu organisasi yang ingin unggul di masa depan perlu lebih menekankan upaya untuk menciptakan bagian peluang (opportunity share) daripada sekadar menguasai bagian pasar (market share) yang ada saat ini, karena penguasaan pasar yang sesungguhnya sangat bergantung pada kemampuan organisasi merebut (atau lebih tepat lagi, menciptakan) peluangpeluang masa depan. Selanjutnya Hamel dan Prahalad menegaskan bahwa untuk dapat merebut peluang masa depan organisasi harus memiliki kompetensi inti (core competence) yang oleh keduanya diyakini merupakan sumber keunggulan bersaing organisasi. Dengan demikian, pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk memiliki daya saing di pasar domestik dan mancanegara perlu mengidentifikasi kompetensi inti yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan keunggulan bersaing yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage). Kompetensi inti didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan, 108
DR. Agus Maulana
keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan (atau yang vital) oleh organisasi untuk dapat menyediakan manfaat bagi pasarnya (Hamel dan Prahalad, 1995). Sementara itu Kotler dan Keller (2006) menyatakan bahwa suatu kompetensi baru dapat disebut sebagai kompetensi inti jika memenuhi tiga syarat, yaitu 1) memberi manfaat bagi pasar, 2) tidak mudah ditiru pesaing, dan 3) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan beragam produk untuk beragam pasar. Grant (1995), dan Hitt (1996) menambahkan bahwa kompetensi inti suatu organisasi haruslah bersumber pada kumpulan sumberdaya dan kemampuan organisasi yang memungkinkan organisasi memiliki keunikan yang sulit ditiru oleh pesaing. Secara umum, perusahaan atau organisasi apapun (termasuk organisasi pemerintahan daerah) membutuhkan sumber daya – tenaga kerja, bahan baku, mesin, informasi, energi – untuk menyelenggarakan kegiatan mereka. Di masa yang lalu, organisasi berusaha menguasai dan memiliki sebagian besar, atau bahkan semua sumber daya yang mereka butuhkan. Kini, situasi sudah berubah. Nyaris tidak mungkin bagi suatu organisasi untuk memiliki seluruh sumber daya yang dibutuhkan. Sebagian sumber daya akan lebih baik tidak dimiliki sendiri jika ada pihak lain di luar organisasi yang dapat menyediakan sumber daya tersebut secara lebih baik dan/atau dengan biaya yang lebih murah. Pemikiran kompetensi inti sebetulnya sejalan dengan situasi ini. Organisasi perlu memikirkan kompetensi apa yang seyogyanya mereka miliki atau kuasai, dan kompetensi apa yang yang sebaiknya diserahkan saja kepada pihak lain. Perusahaan alas kaki Amerika Serikat, Nike, adalah salah satu contohnya. Perusahaan ini tidak memiliki sendiri pabrik sepatu. Mengapa Nike tidak memiliki sendiri pabrik sepatu? Apakah perusahaan tersebut tidak mampu membuat sendiri sepatunya? Tentu saja Nike mampu, tetapi pembuatan sepatu Nike diserahkan kepada pabrik-pabrik sepatu di Asia (termasuk Indonesia), karena pabrik-pabrik sepatu di Asia (termasuk Indonesia) dipandang lebih kompeten dalam membuat sepatu, dan Nike tidak merasa perlu memiliki kompetensi membuat sepatu. Jadi, apa sesungguhnya kompetensi yang dimiliki Nike sehingga sepatu 109
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
jualan perusahaan ini dihargai tinggi di pasar dunia? Jawabnya adalah, kompetensi pemasaran dan design. Dengan kompetensi mendesain dan memasarkan sepatu, dan menyerahkan saja kegiatan membuat sepatu kepada pihak lain Nike mampu memilikI daya saing yang kuat di pasar sepatu global. Jika suatu organisasi bisnis merasa perlu mengidentifikasi dan memiliki kompetensi inti tertentu untuk mendapatkan daya saing yang tinggi, bagaimana dengan organisasi pemerintah daerah? Kita dapat saja mengatakan bahwa karena pemerintah daerah bukanlah organisasi yang mengejar laba, maka pemerintah daerah tidak perlu memikirkan soal daya saing. Namun demikian, khususnya dengan adanya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk secara berangsur mampu mandiri dalam hal pembangunan daerahnya. Kemandirian dalam membangun daerah ini antara lain mengharuskan pemerintah daerah memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri yang tidak tergantung pada bantuan pemerintah pusat. Kemampuan memiliki sumber pendapatan sendiri ini tentu bersumber pada kemampuan menghasilkan produk dan layanan yang bernilai bagi pasar, domestik dan global. Untuk menghasilkan produk dan/atau layanan yang bernilai itulah pemerintah daerah perlu memikirkan apa kompetensi yang perlu dimiliki dan dikembangkan agar produk/jasa yang dihasilkan memiliki nilai tinggi bagi pasar dan dengan demikian mampu bersaing di pasar. Pemikiran bahwa suatu daerah perlu mengembangkan kompetensi intinya juga didasari oleh beberapa faktor. Lingkungan eksternal negara yang terus berubah, antara lain karena proses globalisasi, mengharuskan setiap negara meningkatkan daya saing agar mampu bersaing secara global. Perdagangan antarnegara yang makin terbuka dan makin memudarnya batas antarnegara (Ohmae, 1995) memaksa setiap negara untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki guna menghasilkan produk dan jasa inovatif yang mampu bersaing di pasar global. Situasi internal negara sendiri, semisal bertambahnya jumlah penduduk usia produktif yang tidak memperoleh kesempatan kerja, semakin terbatasnya lahan produktif untuk pertanian, serta semakin berkembangnya teknologi di 110
DR. Agus Maulana
berbagai bidang, menuntut negara untuk terus meningkatkan kesiapan sumberdaya manusianya agar dapat bersaing dengan sumberdaya manusia dari negara-negara lain. Kebijakan otonomi daerah, seperti disebutkan di atas, menyebabkan daya saing negara harus ditumpukan pada daya saing daerah (kabupaten dan kota), karena daerah kini memiliki kemandirian untuk menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik bagi rakyatnya. Daerah memiliki pengetahuan dan pengenalan yang lebih baik tentang preferensi dan kebutuhan masyarakat setempat dibandingkan pemerintah pusat. Daerah juga tentu lebih mengetahui potensi (dan, tentu saja, masalah) sosial-ekonomi masyarakat setempat ketimbang pemerintah pusat. Penciptaan daya saing daerah yang tinggi dapat dilakukan melalui pengembangan kompetensi inti daerah sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Kompetensi inti yang dikembangkan untuk suatu daerah haruslah mempertimbangkan kemungkinan berkembangnya kemitraan antardaerah berdasarkan penguasaan kompetensi inti yang berbeda dan harus menghindarkan terjadinya persaingan tidak sehat antardaerah yang justru akan melemahkan daya saing negara secara keseluruhan. Dikaitkan dengan upaya meningkatkan peran sektor industri dalam perolehan PDB nasional, maka sudah selayaknya jika pemerintah pusat dan daerah bekerjasama untuk mengembangkan kompetensi inti industri daerah.
B. Membangun Daya Saing Daerah Berbasis Kompetensi Inti Industri Pada tahun 1979 Hiramatsu, Gubernur daerah Oita di Jepang memperkenalkan pendekatan One Village One Product (OVOP), atau Satu Desa (Prefektur) Satu Produk untuk membangun daya saing suatu desa. Pendekatan ini didasari oleh kesadaran bahwa daya saing suatu daerah akan dapat dibangun jika daerah yang bersangkutan memfokuskan upaya masyarakat di situ untuk menghasilkan satu produk yang menjadi 111
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
unggulan daerah tersebut. Konsep OVOP relatif mudah dan cepat diterima masyarakat karena konsep ini dipandang sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat yang memang sudah mengenal dan akrab dengan produk tertentu yang menjadi unggulan daerah mereka. Penerapan konsep OVOP dapat menghindarkan terjadinya persaingan antar-desa khususnya desa-desa yang saling berdekatan karena setiap desa dapat mengembangkan produk unggulan yang berbeda dengan produk unggulan desa yang lain. Dengan demikian juga dapat dihindari terjadinya kejenuhan pasar akibat banyaknya daerah yang menghasilkan produk yang sama. Namun demikian, terbuka kemungkinan bahwa suatu desa yang telah memiliki satu produk unggulan menjadi terlalu “asyik” dengan produk unggulannya sehingga mengabaikan peluang adanya produk potensial lain yang mungkin dapat dikembangkan. Pada tahun 1999, Martani Huseini dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Universitas Indonesia memperkenalkan model Sakasakti (Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti) yang dapat dikatakan merupakan pengembangan dari konsep OVOP Hiramatsu dengan memanfaatkan konsep kompetensi inti dari Hamel dan Prahalad (1995) yang juga dipadukan dengan pandangan Hitt (1996) tentang sumber-sumber daya saing suatu organisasi serta Sveiby (1999) tentang pendekatan daya saing berbasis sumber daya (resource-based approach). Hanya saja, jika konsep OVOP bertitik-tolak pada identifikasi produk unggulan, model Sakasakti melangkah lebih jauh dengan mencoba mengidentifikasi kompetensi khas yang dimiliki suatu daerah. Artinya, model Sakasakti lebih difokuskan pada upaya menggali dan mengidentifikasi kompetensi inti yang seyogyanya dimiliki suatu daerah (dalam hal ini, kabupaten atau kota) dengan mempertimbangkan khasanah sumber daya yang ada pada suatu daerah. Huseini tidak membatasi pengertian sumber daya hanya pada sumber daya alam atau sumber daya fisik saja, melainkan juga berbagai jenis sumber daya lain, baik yang berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible). Ini sejalan dengan pandangan Hitt yang membagi sumber daya menjadi tiga kelompok, yaitu a) sumber daya
112
DR. Agus Maulana
tangible, b) sumber daya intangible, dan c) sumber daya very intangible, yaitu, antara lain, moral dan reputasi aparat dan masyarakat. Huseini sengaja menggunakan wilayah kabupaten atau kota dalam modelnya karena beliau mengaitkan model Sakasakti dengan kebijakan otonomi daerah yang dianut Pemerintah Indonesia yang menumpukan otonomi daerah pada daerah tingkat dua (kabupaten/kota). Sebetulnya, Huseini mengingatkan juga bahwa satuan wilayah yang digunakan dalam analisis dan identifikasi kompetensi inti tidak harus kabupaten atau kota, melainkan dapat juga satuan wilayah yang lebih kecil atau lebih besar. Pemikiran Huseini selanjutnya dicoba-kembangkan oleh penulis dengan memadukan kedua pendekatan tersebut (OVOP dan Sakasakti) yang hasilnya adalah perubahan dari fokus produk unggulan yang ditawarkan Hiramatsu menjadi fokus kompetensi inti yang ditawarkan Huseini. Paduan pendekatan ini tidak meninggalkan sepenuhnya konsep OVOP. Produk unggulan yang diidentifikasi dalam OVOP justru dijadikan titik tolak untuk mengidentifikasi kompetensi inti industri, yaitu kompetensi di bidang industri yang menjadi landasan dalam menghasilkan produk unggulan saat ini, dan produk-produk lain yang memiliki potensi pasar di masa depan. Identifikasi kompetensi inti industri dengan menggunakan produk unggulan sebagai titik-tolak dimulai dengan pemetaan rantai proses yang digunakan untuk menghasilkan produk unggulan. Rantai proses untuk menghasilkan suatu produk unggulan dipetakan mulai dari titik proses pemerolehan berbagai bahan baku dan bahan penolong, berbagai langkah proses produksi (termasuk proses desain), sampai ke proses pengemasan dan proses pemasaran sampai ke tangan konsumen akhir. Model Rantai Nilai (Value Chain) dari Porter (1982) atau model Pohon Industri yang banyak dikenal di dunia agroindustri juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kompetensi inti industri. Setelah rantai proses terpetakan, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi titik (titik-titik) proses yang dianggap merupakan titik (titik-titik) proses yang sangat menentukan kualitas produk unggulan.
113
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Titik-titik proses ini dinamakan titik-titik proses vital atau inti. Selanjutnya dapat dipilih salah satu proses inti yang dipandang paling menentukan kualitas produk akhir dan sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang ada dalam organisasi. Titik proses ini merupakan titik proses yang akan dianalisis lebih lanjut untuk menemukan kompetensi inti. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi kompetensikompetensi dan juga teknologi dan peralatan yang dibutuhkan dalam titik proses tersebut agar proses tersebut dapat berjalan secara efisien dan efektif untuk menghasilkan produk akhir. Paduan kompetensi dan teknologi inilah yang nantinya akan menghasilkan kompetensi inti industri yang akan dikembangkan. Sebagai konsekuensi dari pilihan ini, organisasi (atau dalam hal ini, pemerintah daerah) harus bersedia melepaskan proses-proses lain (dan kompetensi-kompetensi lain) untuk dilakukan oleh pihak lain. Pemerintah daerah cukup mengasah dan mengembangkan kompetensi inti industri yang sudah dipilihnya. Selanjutnya, dengan memanfaatkan kompetensi inti industri yang telah diasah dan dikembangkan pemerintah daerah dapat mengembangkan berbagai produk dan layanan yang dapat dihasilkan dari penguasaan kompetensi inti industri tersebut. Proses yang diuraikan di atas diilhami oleh analogi yang dikemukakan oleh Hamel dan Prahalad ketika menjelaskan gagasan kompetensi inti. Hamel dan Prahalad menganalogikan kompetensi inti sebagai akar sebuah pohon, ranting dan dahan pohon sebagai produk inti (yaitu, komponen penting yang membentuk suatu produk yang dapat digunakan untuk menghasilkan beragam produk), dan buah pohon tersebut sebagai produk akhir. Suatu produk akhir dapat menjadi titik-tolak untuk mengidentifikasi kompetensi inti. Sebagai contoh, ketika Hamel dan Prahalad diminta untuk mengidentifikasi kompetensi inti Canon, kedua pakar ini mulai dengan menginventarisasi produkproduk akhir (analog dengan buah pada pohon) yang dihasilkan Canon. Produk-produk tersebut antara lain adalah kamera, mesin fotokopi, dan scanner.
114
DR. Agus Maulana
Dari penelusuran proses-proses yang digunakan untuk menghasilkan produk-produk tersebut akhirnya ditemukan bahwa semua produk akhir Canon bersumber pada satu produk inti, yaitu komponen optik (analog dengan dahan pada pohon). Dari identifikasi produk inti inilah akhirnya Hamel dan Prahalad dapat menemukan kompetensi inti Canon, yaitu, teknologi optik (analog dengan akar pada pohon). Setelah menemukan kompetensi inti, maka Canon dapat memanfaatkan kompetensi inti tersebut untuk menghasilkan berbagai produk selain yang telah disebutkan di atas, sepanjang produk-produk tersebut memerlukan kompetensi teknologi optik (yang pada gilirannya akan menghasilkan produk inti, berupa komponen optik). Canon juga dapat menjual produk intinya (komponen optik) ke perusahaan-perusahaan lain yang membutuhkan komponen optik untuk produk akhir mereka. Para pembaca mungkin tahu bahwa sebagian besar produsen komputer (laptop, PC, dan sebagainya) yang ada di pasar mencantumkan logo “Intel Inside” pada produk mereka. Logo itu menunjukkan bahwa komputer buatan produsen tersebut menggunakan mikroprosesor buatan Intel Corporation. Pembaca juga mungkin menyadari bahwa Intel Corporation tidak memproduksi komputer. Ini menunjukkan bahwa Intel Corporation (setidak-tidaknya sampai saat ini) tidak merasa perlu masuk ke pasar produk komputer, tetapi sebagian besar produk komputer yang ada di pasar tidak bisa melepaskan diri dari produk Intel yang berupa mikroprosesor. Apa arti fakta ini? Intel memiliki kompetensi dalam teknologi pembuatan mikroprosesor, dan menjadikan mikroprosesor sebagai produk akhir yang bagi para produsen komputer merupakan komponen inti yang sangat vital bagi produk akhir mereka. “Hanya” dengan memanfaatkan kompetensi intinya, Intel mampu menguasai pasar mikroprosesor dunia (setidak-tidaknya sampai saat ini). Sebaliknya kita juga bisa bertanya, apakah IBM dan produsenprodusen komputer lain tidak mampu membuat mikroprosesor sendiri? Melihat kemampuan IBM, misalnya, rasanya perusahaan ini tentu mampu. Mengapa IBM, dan produsen komputer lain tidak 115
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
membuat mikroprosesor sendiri? Jawabnya jelas. Mereka lebih memilih menggunakan mikroprosesor Intel karena mereka menganggap akan lebih efektif dan efisien jika mereka hanya fokus pada aktivitasaktivitas proses lain dalam pembuatan komputer yang mereka memiliki kompetensinya, dan menyerahkan tugas proses membuat mikroprosesor kepada Intel, yang dipandang memiliki kompetensi untuk itu. (Ingat ungkapan populer “Serahkan pada ahlinya”?) Kesadaran untuk tidak “serakah” menguasai kemampuan di semua titik proses mendorong banyak perusahaan untuk membentuk apa yang penulis namakan kemitraan rantai nilai atau kemitraan rantai proses. Kemitraan macam ini menuntut setiap perusahaan yang terlibat dalam kemitraan untuk mau saling bergantung tanpa khawatir menjadi terlalu bergantung pada yang lain dan kehilangan kemandirian dalam arti yang sempit. Kemitraan rantai nilai akan membuat perusahaan dapat memusatkan perhatiannya pada pengembangan dan peningkatan kompetensi inti dan selanjutnya secara kreatif menciptakan beragam produk yang bernilai bagi pasar yang bersumber pada kompetensi inti tersebut. Kemitraan rantai nilai juga akan mendorong perusahaan-perusahaan yang bermitra untuk bahu-membahu membuka dan mengembangkan pasar-pasar baru dan tidak malah saling bersaing. Patut disadari, semakin besar pasar komputer terbuka, semakin besar pula pasar bagi mikroprosesor Intel. Dapatkah kita membayangkan apa jadinya jika Intel Corporation ikut-ikutan masuk meramaikan pasar komputer? Paham kemitraan rantai nilai ini sekilas memang bertolak-belakang dari paham integrasi vertikal yang banyak dianut perusahaan yang merasa perlu menghilangkan ketergantungan pada perusahaan lain, baik di sisi hulu maupun hilir. Itu sebabnya paham kemitraan rantai nilai masih sulit diterima organisasi yang beranggapan bahwa ketergantungan pada pihak lain (di hulu atau di hilir) merupakan hal yang berisiko tinggi. Bagaimana dengan kabupaten/kota yang menjadi tumpuan otonomi daerah di Indonesia? Banyak kabupaten/kota, khususnya yang wilayahnya saling bertetangga, memiliki potensi sumber daya alam yang sama. Jika Kabupaten A memiliki lahan yang sesuai untuk 116
DR. Agus Maulana
ditanami cabai, misalnya, bisa diduga bahwa Kabupaten B yang letaknya berbatasan dengan Kabupaten A juga memiliki lahan yang juga cocok untuk cabai. Apa jadinya jika kabupaten-kabupaten tersebut samasama memproduksi cabai? Bagaimana jika pasar cabai sudah jenuh? Kabupaten A dan B tentu akan saling bersaing berebut pasar cabai. Mengapa tidak dipikirkan kemungkinan lain? Misalnya bagaimana jika Kabupaten A dan B membentuk kemitraan rantai nilai di bidang produk cabai? Kabupaten A, misalnya dapat saja memusatkan aktivitasnya pada budidaya cabai, sementara Kabupaten B memusatkan kegiatannya dalam aspek pengolahan cabai menjadi (misalnya) saus cabai? Penentuan aspek aktivitas yang dipilih tentu saja sangat bergantung pada kesediaan dan kemampuan pemerintah daerah mengidentifikasi aspek aktivitas (dan pada akhirnya, kompetensi inti) yang akan dikuasai. Ini tentu saja menuntut setiap kabupaten/kota untuk mengidentifikasi kekhasan masing-masing.
C. Membangun Kemitraan Rantai Nilai Berbasis Kompetensi Inti Industri Dalam Kerangka Nkri Berangkat dari kesadaran akan kekhasan yang dimiliki oleh masingmasing daerah (kabupaten/kota), pembangunan daerah haruslah dilakukan dengan pendekatan terpadu dan berorientasi jangka panjang dan tidak semata memperhatikan kondisi dan kebutuhan saat ini. Orientasi jangka panjang ini membuat pelaksanaan pembangunan daerah harus bersifat berkelanjutan dan terpadu dalam pengertian setiap daerah (khususnya daerah-daerah yang saling bertetangga) perlu duduk bersama untuk mendiskusikan pengembangan kompetensi inti masingmasing agar tidak terjadi persaingan penguasaan kompetensi inti. Dilandasi oleh pemikiran one village one product (OVOP) dari Gubernur Hiramatsu di daerah Oita, Jepang, gagasan SAKASAKTI (satu kabupaten satu kompetensi inti) dari Huseini (1999), pemikiran kompetensi inti dari Hamel dan Prahalad (1995), serta pemikiran Hitt (1996) dan Sveiby (2000) tentang sumberdaya untuk membangun 117
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
kompetensi (resource-based approach) tulisan ini bermaksud mengemukakan gagasan untuk membangun daya saing daerah melalui pengembangan kompetensi inti yang sesuai dengan sumberdaya, tradisi, dan kapasitas khas masing-masing daerah. Gagasan ini menegaskan bahwa masyarakat suatu daerah perlu menentukan suatu produk atau industri yang khas untuk daerahnya dan mengembangkan produk atau industri tersebut menjadi produk atau industri yang dapat diterima secara regional, nasional, atau bahkan global. Produk atau industri yang dikembangkan haruslah didasarkan pada kompetensi inti yang vital bagi produk atau industri yang bersangkutan. Penguasaan kompetensi inti tertentu yang sesuai untuk setiap daerah dapat menjadi penentu keberhasilan kabupaten/kota dalam menentukan arah pembangunan daerah, sesuai dengan keunggulan bersaing yang dimiliki. Penguasaan kompetensi inti tertentu dapat mencegah penggunaan sumberdaya daerah secara tidak terarah dan boros. Kompetensi inti yang dipilih untuk dikembangkan hendaknya didasarkan pada kondisi dan kebutuhan ekonomi sosial setempat, serta didukung oleh berbagai perangkat kebijakan dan peraturan daerah dan pusat. Kompetensi inti yang akan dikembangkan pada gilirannya dapat menjadi pertimbangan utama daerah dalam menyusun kebijakan mengenai industri dan arah investasi yang akan dikembangkan. Kompetensi inti juga dapat menjadi sumber keunggulan bersaing daerah dalam menghadapi persaingan global serta mendorong kemandirian pembangunan. Kotler (2006) menyatakan bahwa dalam membangun kompetensi inti, organisasi perlu mempertimbangkan empat kriteria, yaitu, sifat yang khas, sifat tidak mudah ditiru, memiliki cakupan pemanfaatan yang luas, dan memberi manfaat besar kepada pasar (dan pemangku kepentingan lainnya). Jika pendapat Kotler ini diperluas untuk pengembangan kompetensi inti daerah (Kabupaten/Kota), kompetensi inti yang dipilih untuk dikembangkan hendaknya memenuhi kriteria berikut: memberikan nilai tambah tinggi, didasarkan pada kekhasan daerah, didasarkan pada sumberdaya yang dimiliki daerah, serta menghasilkan 118
DR. Agus Maulana
produk yang memiliki peluang dan daya saing tinggi untuk menembus pasar internasional. Kompetensi inti yang dipilih untuk dikembangkan haruslah memberikan dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah (artinya, setidak-tidaknya dapat menciptakan kesempatan kerja yang besar bagi masyarakat setempat dan memberikan kontribusi bagi PAD). Huseini (1999) berpendapat bahwa kompetensi inti yang dipilih tidak selalu harus didasarkan pada potensi sumber daya alam yang ada di suatu daerah. Jika suatu kabupaten/kota memang dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah, mungkin akan lebih baik jika kabupaten/kota tersebut memilih kompetensi inti yang relevan dengan sumber daya alam yang ada di sana. Bagaimana dengan kabupaten/kota yang miskin sumber daya alam? Huseini menyatakan bahwa kabupaten/kota seperti itu dapat saja memilih untuk mengembangkan kompetensi inti berbasis sumber daya lain, misalnya sumber daya pengetahuan/teknologi. Dengan demikian, kabupaten/kota yang miskin sumber daya alam tidak harus menjadi miskin pendapatan. Kabupaten/kota seperti ini dapat saja menggunakan kompetensi inti berbasis pengetahun/ teknologi untuk mengolah hasil produksi dari kabupaten/kota yang memiliki kompetensi inti berbasis sumber daya alam. Bila gagasan ini diterima, maka potensi persaingan tidak sehat di antara kabupaten/kota (khususnya yang saling bertetangga) dapat dicegah dan kemitraan rantai nilai yang berpotensi menciptakan nilai tambah tinggi dapat terbina di antara daerah-daerah tersebut. Pemikiran ini rasanya lebih sesuai jika kita ingat bahwa meskipun gagasan otonomi daerah telah diakui sebagai pemikiran yang sesuai untuk negara kita, otonomi tersebut haruslah selalu berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya keberhasilan suatu daerah haruslah mendorong keberhasilan daerah yang lain, bukan malah mematikannya. Jika, misalnya, suatu daerah sukses dengan gerakan budidaya jagung, daerah tetangganya tidak perlu latah dan ikut-ikutan membudidayakan jagung. Daerah tetangga ini dapat saja mengembangkan kompetensi di bidang pengolahan jagung dan 119
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
memanfaatkan jagung hasil budidaya daerah penghasil jagung sebagai bahan baku untuk diproses menjadi produk jagung olahan tertentu. Daerah yang lain lagi mungkin dapat mengembangkan kompetensi di bidang pengemasan produk, dan daerah lain yang mungkin dikaruniai kemampuan pemasaran yang baik dapat terlibat dalam pemasaran produk-produk jagung. Memang tidak mudah menanamkan gagasan di atas, utamanya karena masing-masing daerah seringkali terpaku pada pemikiran produk unggulan yang selama ini sudah akrab dengan daerah yang bersangkutan. Mengubah pemikiran yang berbasis produk unggulan menjadi pemikiran berbasis kompetensi inti dan kemitraan rantai nilai tentu saja mengandung konsekuensi. Mungkin beberapa daerah akan berpikir, untuk apa mengambil resiko dan repot-repot memikirkan kompetensi inti yang harus dikembangkan kalau dengan produk unggulan yang sudah ada saja daerah sudah mendapatkan manfaat berupa kesempatan kerja dan pendapatan yang cukup bagi masyarakatnya? Hamel dan Prahalad juga mengingatkan bahwa untuk mengubah pemikiran produk unggulan yang lebih berorientasi ke masa sekarang menjadi pemikiran kompetensi inti dan kemitraan rantai nilai yang lebih berorientasi ke masa depan dibutuhkan kesediaan dan kemampuan daerah/organisasi untuk memiliki tiga hal, yaitu: (a) sense of direction, atau arah yang jelas, yang akan mengarahkan daerah menuju masa depan yang dikehendaki; (b) sense of discovery, atau kemampuan kreatif untuk menemukan hal-hal yang baru dan inovatif; dan (c) sense of destiny, atau tekad yang kuat untuk menemukan masa depan. Penulis menambahkan satu hal lagi, yaitu, sense of urgency, atau kesediaan untuk mulai mewujudkan gagasan ini saat ini juga. Ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk berbicara di depan aparat dinas perindustrian suatu kabupaten, penulis menegaskan bahwa jika keempat sense itu belum tertanam kuat dalam diri para pelaku bisnis dan aparat serta masyarakat luas di daerah yang bersangkutan, maka dikhawatirkan gagasan tentang kompetensi inti dan kemitraan rantai nilai ini akan kandas. 120
DR. Agus Maulana
Seperti telah dikemukakan di atas, penerapan gagasan kompetensi inti dan kemitraan rantai nilai di kabupaten/kota sebagai tumpuan otonomi daerah haruslah selalu dalam bingkai NKRI sehingga meskipun gagasan kompetensi inti dan kemitraan rantai nilai dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing daerah di pasar domestik dan (utamanya) di pasar global, tidaklah berarti bahwa peningkatan daya saing suatu daerah boleh diperoleh melalui penghambatan atau pengerdilan daya saing daerah yang lain. Justru sebaliknya, peningkatan daya saing suatu daerah (kabupaten/kota) haruslah menjadi landasan untuk meningkatkan daya saing kabupaten/kota lain. Dengan pemikiran dan kesadaran seperti ini, diharapkan pada akhirnya daya saing dari berbagai kabupaten/kota di Indonesia dapat bersinergi menghasilkan daya saing nasional yang kuat di pasar global.
D. Penutup Sejak beberapa tahun terakhir, Departemen Perindustrian (khususnya Biro Perencanaan, dan tentu saja unit-unit lain) telah memfasilitasi upaya perluasan pemahaman tentang kompetensi inti ke berbagai Kabupaten/Kota, dan tampaknya pemahaman tentang konsep kompetensi inti telah mulai berkembang di berbagai daerah. Namun demikian, tampaknya konsep kompetensi inti (dan konsep SAKASAKTI serta konsep Kemitraan Rantai Nilai)) belum diterapkan secara terpadu dalam perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Beberapa daerah bahkan menyamakan pengertian kompetensi inti dengan pengertian produk unggulan. Akibatnya konsep kompetensi inti dipahami secara tidak utuh atau tanpa (kurang) memperhatikan kriteria yang telah disebutkan di atas. Dari kajian tentang kompetensi inti oleh Biro Perencanaan Departemen Perindustrian yang telah dilakukan pada tahun 2006 dan 2007 yang lalu didapat kesan bahwa semangat daerah dalam melaksanakan pembangunan kurang diimbangi dengan sikap obyektif terhadap kemampuan internal, peluang, serta hambatan yang dihadapi
121
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
daerah. Dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan sikap negatif tentang perlunya pengembangan kompetensi inti khas daerah. Bertitik-tolak dari uraian di atas, Departemen Perindustrian diharapkan dapat melanjutkan langkah untuk mengkaji upaya pengembangan kompetensi inti daerah secara komprehensif, dimulai dari identifikasi kompetensi inti daerah hingga rencana implementasi pengembangan kompetensi inti yang dipilih dalam bentuk rencana tindak. Kegiatan ini dapat dilakukan untuk seluruh Kabupaten/kota di Indonesia sehingga terwujud peta kompetensi inti untuk seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hasil kajian yang diperoleh diharapkan dapat membantu Pemerintah Daerah untuk menemukan arah yang lebih jelas guna meningkatkan efektivitas dan daya saing daerahnya dalam rangka menstimulasi perekonomian daerah yang pada akhirnya berdampak positif bagi perekonomian nasional. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa upaya mengembangkan kompetensi inti industri daerah ini haruslah didasarkan pada filosofi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang konsekuensinya adalah memandang semua kabupaten/kota sebagai komponen-komponen terintegrasi pembangun daya saing nasional. Dengan demikian, pengembangan kompetensi inti industri setiap daerah dilakukan dengan pemikiran pencapaian sinergi antardaerah. Karenanya, identifikasi kompetensi inti industri daerah harus selalu dipedomani oleh kesadaran akan adanya saling keterkaitan antardaerah baik secara regional maupun nasional. Pengembangan kompetensi inti industri daerah sangat membutuhkan dukungan penuh dari para pemangku kepentingan di daerah, oleh karenanya, upaya pengembangan kompetensi inti industri ini perlu mempertimbangkan pandangan dan dukungan para pemangku kepentingan sebagai salah satu faktor utama dalam merumuskan kompetensi inti industri daerah. Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah pihak-pihak yang dipandang dapat mewakili berbagai unsur masyarakat, yaitu akademisi, birokrat, pelaku usaha, dan berbagai
122
DR. Agus Maulana
kelompok yang berkepentingan dengan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya, kebijakan pengembangan industri daerah hendaknya diarahkan untuk meningkatkan daya saing daerah melalui pemanfaatan aset berwujud (tangible assets) seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, infrastruktur fisik, sumber daya keuangan, dan lainlain, serta pemanfaatan aset tak berwujud (intangible assets) seperti sumber daya manusia yang terampil, kreatif, inovatif, dan bermotivasi tinggi, teknologi, pengetahuan, proses kerja, serta didukung dengan perencanaan yang efektif. Selain itu, tidak boleh dilupakan peran dari aset sangat tak berwujud (very intangible assets), yaitu moral dan reputasi aparat, pelaku usaha, dan masyarakat secara keseluruhan.
123
BAB III
OTONOMI DAERAH
PENERAPAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL DALAM ERA OTONOMI DAERAH Prof. DR. Bambang P. S. Brojonegoro
A. Pendahuluan
S
alah satu diantara tujuan otonomi daerah itu adalah percepatan dan pemerataan pembangunan ekonomi, maka dibentuklah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah). UU Otonomi Daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya. Pemerintah daerah dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya sesuai dengan kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Otonomi daerah secara konsep teori sepadan dengan perdagangan bebas yang dalam justifikasi ekonomi ditujukan untuk memecah konsentrasi ekonomi. Prinsip-prinsip dasar otonomi daerah adalah memberi otonomi penuh dalam bidang politik, administrasi pemerintahan, dan pengelolaan 127
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
APBD; Pemilihan kepala daerah dan DPRD secara langsung, akuntabilitas langsung kepada pemilih lokal; Tanggung jawab pemerintahan berada di tangan pemda, tidak lagi pemerintah pusat; Alokasi pengeluaran APBD harus menggambarikan kebutuhan masyarakat lokal secara umum; dan Kepala daerah bertanggung jawab penuh memenuhi kesejahteraan masyarakat lokal. Proses desentralisasi di Indonesia adalah desentralisasi di sisi pengeluaran pemerintah, yang dibiayai dana perimbangan. Kebijakan pengeluaran dalam APBD hak sepenuhnya pemerintah daerah. Data APBN 2008 menunjukkan, ternyata 65 persen dari total anggaran berputar di daerah, 35 persen di antaranya transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, dan dana otonomi khusus. Sebanyak 30 persen lainnya adalah kegiatan pemerintah pusat yang dilakukan di daerah. Dengan hanya 35 persen APBN bagi belanja pemerintah pusat untuk keperluannya sendiri, keberhasilan aktivitas pembangunan dari perputaran 65 persen APBN di daerah menjadi sangat menentukan. Oleh karena itu, desentralisasi ekonomi adalah tahapan berikut dari proses desentralisasi di Indonesia. Daerah dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya.
B. Desentralisasi Ekonomi Agar otonomi daerah menjadi relevan untuk masyarakat banyak maka diperlukan lingkage yang jelas antara otonomi daerah dan pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Oleh karena itu perlu diperhatikan prinsip dasar dari desentralisasi ekonomi, yaitu kemampuan daerah mengidentifikasi kebutuhan masyarakatnya serta kemampuan institusi daerah. Pada tahap awal harus tercipta mekanisme pengawasan di tingkat lokal. Mekanisme kontrol yang paling efektif adalah melalui pilihan masyarakat, yakni sekali dalam lima tahun para pemilih lokal menentukan siapa yang pantas menjadi kepala daerah, yang bertanggung 128
Prof. DR. Bambang P. S. Brojonegoro
jawab memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Mekanisme lain, yang juga efektif, adalah preferensi masyarakat, termasuk dunia usaha, dalam memilih lokasi tempat tinggal, tempat berusaha/bekerja. Daerah yang tidak mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi penduduk dan dunia usaha akan ditinggalkan penduduknya, dunia usaha pun akan hengkang. Desentralisasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai persaingan ekonomi yang sehat antardaerah. Persaingan antardaerah tidak berarti menjadikan suatu daerah bergerak sendiri, tetapi memaksa daerah belajar mengukur kemampuannya. Untuk memperkuat skala ekonomi, daerah yang perekonomiannya kecil dapat bekerja sama dengan daerah lain. Inisiatif mendorong kerja sama antarkabupaten/kota yang bertetangga atau berdekatan dapat dilakukan pemerintah provinsi. Gambar 14. Diagram Bobot Permasalahan Bisnis di 243 Kabupaten di Indonesia
Implementasi desentralisasi ekonomi hanya dapat terjadi apabila pemerintah daerah melaksanakan dengan baik lima kewajiban dasarnya. Pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya berdasarkan potensi yang dimiliki serta sebanyak mungkin melibatkan 129
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
peran serta pelaku ekonomi lokal. Kedua, mengupayakan perbaikan pendapatan masyarakat dengan mengutamakan prinsip keadilan. Kelompok yang mampu diberi kemudahan untuk terus memperbaiki pendapatannya, yang tidak mampu diberi subsidi terarah yang mendidik. Ketiga, menciptakan lapangan kerja baru sebanyak mungkin dengan mengundang sebanyak-banyaknya investasi baru di daerah, terutama yang berpotensi menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. Keempat, ikut menjaga laju inflasi di daerah dengan memperbaiki jaringan distribusi serta kepastian pasokan bahan pokok. Dan kelima, memberikan pelayanan publik dasar kepada masyarakat, terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar dengan standar setara atau di atas standar minimum nasional.
C. Kebijakan Ekonomi Lokal Dalam era globalisasi seperti sekarang ini pemerintah harus menetapkan sektor/komoditi prioritas sesuai dengan kondisi lokal dan tren persaingan global, menciptakan insentif fiskal (PBB kota dan desa) dan insentif non fiskal (ketenagkerjaan dan perizinan), menjadikan perkonomian lokal menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), melakukan kerjasama ekonomi antar daerah dimana propinsi berperan penting dalam menciptakan economics of scale, memperbaiki perizinan investasi, akses lahan dan mengahapus pungutan liar. Proses perizinan dalam kerangka otonomi daerah inilah yang seharusnya lebih dalam dikaji oleh pemerintah kita saat ini. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat (BKPM) dan pemerintah propinsi (BKPMD). Setelah diimplementasikannya otonomi daerah, terdapat tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD propinsi dengan BKPM serta instansi daerah yang menangani investasi. Beberapa daerah menggabungkan kewenangan investasi dalam Dinas Perindustrian dan Perdagangan, atau Bagian Perekonomian.
130
Prof. DR. Bambang P. S. Brojonegoro
Ada pula yang membentuk suatu Dinas Penanaman Modal sendiri. Namun demikian, banyak pula kota yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat. Implementasi otonomi daerah yang sudah berlangsung ternyata belum efektif dan efisien meretas persoalan perizinan. Berbagai persoalan dalam taraf teknis operasional terjadi. Mulai dari keluhan daerah hingga kebingungan para pejabat dan masyarakat daerah yang menyebabkan ketidakpastian bagi para calon investor. Bahkan ketidakjelasan otonomi daerah saat ini dijadikan salah satu alasan utama sikap menunggu (wait and see) dari para calon investor asing disamping ketidakpastian politik dan hukum.
D. Kebijakan Lokal Sektor Manufaktur Kebijakan ekonomi lokal harus berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi lokal, penciptaan lapangan kerja, berkurangnya kemiskinian serta penurunan laju inflasi daerah. Apabila sektor manufaktur menjadi prioritas, maka harus diarahkan kepada produk yang mayoritas inputnya domestik, dapat memberdayakan tenaga kerja lokal, serta berdaya saing regional/nasional. Semakin sedikit komoditi dan sektor prioritas semakin baik untuk perekonomian daerah yang terbatas sumberdayanya. Setelah menentukan sektor prioritas, pemerintah daerah harus berani memberikan insentif yang memadai untuk menarik investor, dan khusus untuk sektor manufaktur perlu diberikan perhatian lebih kepada perizinan, amdal, pertanahan, serta infrastruktur. Manufaktur sebagai sektor unggulan lokal harus mampu menciptakan nilai tambah secara kontinyu, mendorong menggunaan SDM lokal yang berkualitas dan kompetitif, mencegah fluktuasi harga dan produksi komoditi primer, efek pengganda lokal yang cukup besar, mengurangi pengangguran, dan memperbaiki pendapatan lokal, dan harus berpotensi untuk berkompetitif secara lokal dan masuk dalam jaringan produksi global. 131
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Berikut ini merupakan kebijakan lokal yang diambil oleh pemerintah daerah dalam sektor manufaktur: 1. Mengoptimalkan input lokal (misalnya produk pertanian) 2. Mengoptimalkan ketrampilan dan kebiasaan SDM lokal (misalnya kerajinan) 3. Memberikan insentif fiskal (misalnya PBB kota/desa) dan non fiskal (perizinan, ketenagakerjaan) 4. Mengoptimalkan sumber pendanaan untuk UMKM 5. Kerjasama ekonomi dengan daerah-daerah tetangga untuk memperkuat daya saing komoditi unggulan. 6. Mendorong inovasi lokal dan kerjasama pemasaran.
E. Strategi Pemberdayaan UKM Pemberdayaan UKM dapat dilakukan dengan melakukan strategistrategi seperti fokus pada OVOP (one village one product) atau one district one product. Tiga prinsip OVOP di Jepang, yaitu: (1) local yet global, (2) self reliance and creativity, dan (3) human resource development. Strategi lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah paradigma pembangunan ekonomi dengan interaksi berkelanjutan antara manufaktur, jasa dan pertanian. Atau belajar dari Jepang yang menerapkan strategi Brand Agriculture (pertanian dengan nilai tambah). Brand agriculture pada intinya adalah pertanian dengan pengembangan yang berkelanjutan dari produk lokal yang unik dan mampu menjadi merek lokal yang berdaya saing. Brand agriculture ini dapat dikembangkan menjadi rest area ala Jepang yang mengedepankan potensi lokal. Secara linear kebijakan pengaturan otonomi daerah diatas mengurai kebuntuan rendahnya tingkat investasi ke daerah. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa keengganan para investor untuk berinvestasi ke Indonesia adalah karena terjadinya ekonomi biaya tinggi
132
Prof. DR. Bambang P. S. Brojonegoro
(high-cost economy), termasuk birokrasi perizinan investasi yang berbelitbelit. Dalam rangka membangun iklim investasi diatas, maka setidaknya terdapat beberapa indikator-indikator yang dapat digunakan mencakup elemen dasar seperti perpajakan, kepabeanan, infrastruktur, regulasi ketenagakerjaan, dan perizinan yang telah dikenal sebagai kendala utama dalam melakukan bisnis di Indonesia. Proses perizinan dalam kerangka otonomi daerah inilah yang seharusnya lebih dalam dikaji oleh pemerintah kita saat ini. Potret suram investasi Indonesia diatas, dapat pula dilihat dari hasil survei Bank Dunia mengenai jumlah hari yang diperlukan untuk pendaftaran perusahaan baru yaitu mencapai 151 hari. Kondisi itu sangat jauh dari rata-rata secara internasional yaitu 50,5 hari. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat (BKPM) dan pemerintah propinsi (BKPMD). Setelah diimplementasikannya otonomi daerah, terdapat tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD propinsi dengan BKPM serta instansi daerah yang menangani investasi. Beberapa daerah menggabungkan kewenangan investasi dalam Dinas Perindustrian dan Perdagangan, atau Bagian Perekonomian. Ada pula yang membentuk suatu Dinas Penanaman Modal sendiri. Namun demikian, banyak pula kota yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat. Implementasi otonomi daerah yang sudah berlangsung ternyata belum efektif dan efisien meretas persoalan perizinan. Berbagai persoalan dalam taraf teknis operasional terjadi. Mulai dari keluhan daerah hingga kebingungan para pejabat dan masyarakat daerah yang menyebabkan ketidakpastian bagi para calon investor. Bahkan ketidakjelasan otonomi daerah saat ini dijadikan salah satu alasan utama sikap menunggu (wait and see) dari para calon investor asing disamping ketidakpastian politik dan hukum.
133
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Investasi membutuhkan stabilitas di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Kepastian di bidang hukum akan memberikan kemudahan bagi perkembangan ekonomi dan membantu para pelaku usaha dalam mengambil keputusan ekonomi. Semakin besar tingkat kepastian, maka semakin memungkinkan suatu perusahaan untuk berinvestasi, baik dalam skala tinggi, menengah, maupun kecil. Begitu pula sebaliknya, kecilnya tingkat kepastian akan mengakibatkan kurangnya minat dalam investasi. Bisa disimpulkan, proses desentralisasi di Indonesia adalah desentralisasi di sisi pengeluaran pemerintah, yang dibiayai dana perimbangan. Kebijakan pengeluaran dalam APBD hak sepenuhnya pemerintah daerah. Data APBN 2008 menunjukkan, ternyata 65 persen dari total anggaran berputar di daerah, 35 persen di antaranya transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, dan dana otonomi khusus. Sebanyak 30 persen lainnya adalah kegiatan pemerintah pusat yang dilakukan di daerah. Dengan hanya 35 persen APBN bagi belanja pemerintah pusat untuk keperluannya sendiri, keberhasilan aktivitas pembangunan dari perputaran 65 persen APBN di daerah menjadi sangat menentukan. Oleh karena itu, desentralisasi ekonomi adalah tahapan berikut dari proses desentralisasi di Indonesia. Daerah dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya. Prinsip dasar dari desentralisasi ekonomi adalah kemampuan daerah mengidentifikasi kebutuhan masyarakatnya serta kemampuan institusi daerah. Pada tahap awal harus tercipta mekanisme pengawasan di tingkat lokal. Mekanisme kontrol yang paling efektif adalah melalui pilihan masyarakat, yakni sekali dalam lima tahun para pemilih lokal menentukan siapa yang pantas menjadi kepala daerah, yang bertanggung jawab memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Mekanisme lain, yang juga efektif, adalah preferensi masyarakat, termasuk dunia usaha, dalam memilih lokasi tempat tinggal, tempat berusaha/bekerja. Daerah yang tidak mampu menciptakan iklim 134
Prof. DR. Bambang P. S. Brojonegoro
yang kondusif bagi penduduk dan dunia usaha akan ditinggalkan penduduknya, dunia usaha pun akan hengkang. Desentralisasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai persaingan ekonomi yang sehat antardaerah. Persaingan antardaerah tidak berarti menjadikan suatu daerah bergerak sendiri, tetapi memaksa daerah belajar mengukur kemampuannya. Untuk memperkuat skala ekonomi, daerah yang perekonomiannya kecil dapat bekerja sama dengan daerah lain. Inisiatif mendorong kerja sama antarkabupaten/kota yang bertetangga atau berdekatan dapat dilakukan pemerintah provinsi. Lima kewajiban dasar Implementasi desentralisasi ekonomi hanya dapat terjadi apabila pemerintah daerah melaksanakan dengan baik lima kewajiban dasarnya. 1. Mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya berdasarkan potensi yang dimiliki serta sebanyak mungkin melibatkan peran serta pelaku ekonomi lokal. 2. Mengupayakan perbaikan pendapatan masyarakat dengan mengutamakan prinsip keadilan. Kelompok yang mampu diberi kemudahan untuk terus memperbaiki pendapatannya, yang tidak mampu diberi subsidi terarah yang mendidik. 3. Menciptakan lapangan kerja baru sebanyak mungkin dengan mengundang sebanyak-banyaknya investasi baru di daerah, terutama yang berpotensi menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. 4. Ikut menjaga laju inflasi di daerah dengan memperbaiki jaringan distribusi serta kepastian pasokan bahan pokok. 5. Memberikan pelayanan publik dasar kepada masyarakat, terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar dengan standar setara atau di atas standar minimum nasional.
135
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
F. Penutup Dalam penetapan regulasi teknis, hal-hal yang perlu diperhatikan penetapannya adalah: 1. Tidak boleh bersifat diskriminatif. 2. Harus dinotifikasikan ke WTO khususnya apabila berpotensi menimbulkan hambatan perdagangan 3. Diterapkan secara non-diskriminasi terhadap semua barang impor dan negara asal barang (MFN); 4. Tidak memberikan perlakuan yang berbeda antara barang impor dengan barang produksi dalam negeri (national treatment); 5. Bila relevan, hendaknya didasarkan atas informasi tehnis dan ilmiah; 6. Tidak dirumuskan atau diterapkan dengan cara yang dapat menghambat perdagangan internasional; dan 7. Antara penetapan dan pemberlakuan harus diberikan tenggang waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi produsen/ pemasok mempersiapkan diri.
136
MELEMBAGAKAN INDUSTRIALISASI DALAM PASCA DESENTRALISASI DR. Mangara Tambunan
S
etelah desentralisasi dilakukan pada Januari, 2001, Indonesia sesungguhnya menjalankan satu perubahan yang fundamental dari negara yang sentralis menjadi negara yang terdesentralisasi. Masalahnya adalah bagaimana agar perubahan itu dapat merobah tingkat kesejahteraan dan kemajuan sosial ekonomi dan budaya lokal dan dengan demikian Indonesia via pendekatan yang baru: pembangunan daerah. Tuntutan dari perobahan itu adalah, secara umum mendorong perobahan dari sistim perencanaan yang sentralis, “pembangunan daerah” menjadi “daerah yang membangun”. Untuk mencapai tujuan ini, mobilisasi sumber daya lokal dan dari tingkat nasional perlu dilakukan, seperti tercantum dalam UU No. 33 dan 34, tahun 2004. 137
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Berbagai perubahan telah terjadi setelah desentralisasi dilakukan: (1) iklim usaha dilaporkan secara luas bukannya semakin membaik bahkan memburuk, (2) belum terlihat menurunnya angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan, (3) pelayanan publik dibeberapa daerah mendapat kemajuan, tetapi mayoritas kabupaten/kota dan propinsi masih belum maksimal, dan (4) kelihatan kelembagaan dan tata kelola masih mengandalkan lobi kepusat ketimbang mengambil inisiatip bagaimana memaksimumkan penggunaan penerimaan (revenue) yang ada dan seharusnya mobilisasi sumber daya lokal. Setelah 8 tahun desentralisasi dilaksanakan terlihat ada “kelonggaran manajemen” pembangunan dari pemerintah nasional terhadap pembangunan ekonomi lokal. Terlihat daerah semakin terkonsenterasi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Akibatnya, memperburuk iklim usaha, dengan adanya PERDA baru. Hubungan pusat dan daerah telihat semakin longgar terutama pengelolaan disektor riil. Padahal, penggerak sektor riil dan menggelindingkannya terus-menerus, merupakan tujuan utama desentralisasi agar dapat memperbaiki pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyadari dan berkonsenterasi pada: (1) mobilisasi sumber daya ekonomi local, dan (2) dikombinasi dengan mengoptimumkan penggunaan fiskal yang diperoleh. Walaupun fiskal yang terbatas, tetap harus memilih program yang berdaya dorong kuat terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam proses industrialisasi, apapun definisi yang dipakai seharusnya pemerintah lokal dan nasional harus semakin mendorong terjadinya perobahan dari desentralisasi fiskal menjadi desentralisasi ekonomi. Kewenangan ekonomi lebih luas diberikan ke daerah seharusnya dimanfaatkan dengan respons memilih strategi industrialisasi sesuai dengan modal SDM, endowment, sektor dan modal yang ada. Salah satu pilihan industrialisasi berbasis sektor pertanian dan UKM sebagai tulang punggungnya. Sudah barang tentu muatan ukuran kesejahteraan (income meningkat) inilah yang menjadi tujuan dari tiap strategi terpilih dalam desentralisasi ekonomi. Alasan desentralisasi ekonomi adalah, bahwa 138
DR. Mangara Tambunan
desentralisasi fiskal tidak (kurang) dibarengi dengan wewenang mengelola ekonomi di daerah, sangat dibutuhkan tetapi terbatas adanya. Daerah harus didorong untuk membangun sektor sosial-ekonomi dengan segala potensi sumber daya yang ada. Sedangkan pembangunan berbasis (fiskal) strategi investasi dalam (DAU, DAK dan bagi hasil) dapat digunakan semaksimal mungkin. Bagi daerah yang masih (defisit) fiskal, prinsip ini, penting bagi membuat pilihan strategi industrialisasi yang tepat. Bagi daerah surplus agar berinvestasi dan menetapkan strategi - industri memilih economic based yang cocok bagi tiap daerah. Strategi industri yang berhasil sudah pasti tidak ditetukan oleh kekuatan fiskal tetapi tumbuh dan berkembangnya sektor swasta sebagai faktor kunci. Dapat diperkirakan bahwa tidaklah mungkin setiap kabupaten ada investor dari luar daerah apalagi investasi asing. Kekuatan investasi disatu kabupaten akan terletak pada surplus ekonomi yang ditabung yang dapat membiayai pembangunan. Surplus dapat berjalan apabila ada industri dasar, katakan seperti: pertanian, agro-industri, pariwisata (service) yang potensial dapat menjadi sumber daya modal (investasi) yang dapat disalurkan keberbagai pengembangan komoditi dan sektor. Kata kunci, pilihan economic based awal menjadi sangat penting dalam menjalankan industrialisasi. Kalau pertanian menjadi pilihan awal, maka industri pertanianlah menjadi awal pembangunan. Ekstraksi surplus dan sektor ini dapat menjadi sumber pembiayaan bagi industri lain. Langkah-langkah yang perlu diambil. Dalam kondisi hubungan pusat-daerah yang longgar seperti sekarang diperkirakan menciptakan adanya missing plan dan coordination failure yang menyebabkan kinerja dan efektivitas birokrasi yang belum siap sehingga laju perkembangan ekonomi daerah lebih lambat dari yang diperkirakan. Pertumbuhan ekonomi di daerah (terutama yang mengalami defisit fiskal dan tingkat investasi) kebanyakan daerah jauh dibawah tingkat rata-rata nasional (6%). Kendala dan hambatan investasi menjadi faktor utama, karena: (1) lingkungan usaha yang masih buruk, (2) tenaga kerja tidak tersedia, (3) infastruktur, utamanya listrik tidak tersedia, dan (4) jauh dari 139
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
market pool. Menghadapi kesulitan investasi seperti itu, dalam proses melembagakan dengan seluruh kekurangan dan potensi yang ada daerah industrialisasi perlu meletakan landasan membangun economic based yang kuat satu daerah agaknya harus dimulai dari dua program lokal: (1) mobilisasi segala sumber daya dan (2) capacity building melembagakan industrialisasi terpilih perlu dilakukan pemerintah daerah. Thailand meniru Jepang meletakkan industrialisasi pedesaan dengan one villages one commodity. Untuk Indonesia perlu diambil langkah: 1. Memperbesar jumlah pengusaha UMKM dan UB sehingga memperkuat sektor swasta dengan demikian diperoleh private sector development yang lebih tangguh. 2.
Memperkuat sumber daya manusia yang terkait dengan economic based (satu atau beberapa jenis industri) yang sedang dibangun.
3.
Memperkuat lembaga dan skill untuk adaptasi teknologi, agar akses dunia usaha lebih mudah mendapat sumber daya.
Dalam mewujudkan tiga input bagi melembagakan industrialisasi yang terencana, maka perlu dihidupkan pengembangan komisi perencanaan (mungkin BAPEDA) pembangunan ekonomi lokal (daerah) dengan konsep growth center dan mungkin KEK, Free Trade Zone seperti BATAM yang ada sekarang. Pada dasarnya industrialisasi tidak dapat berjalan tanpa rencana dan hanya membiarkan pada mekanisme pasar. Sukses Jepang, Korea Selatan, Taiwan dalam industrialisasi tidak sematamata peranan mekanisme pasar. Bantuan pemerintah yang terencana berkomplementer dengan mekanisme pasar dipandu secara harmonis, sehingga pertumbuhan industri dapat dipercepat. Berikan peranan pemerintah bagi seluruh rencana dan task yang terbaik dlaksanakan dan beri ruang mekanisme pasar bagi pekerjaan dan task yang terbaik. Indonesia dapat memakai kerangka pemikiran ini dalam melembagakan industrialisasi.
140
BAB IV
ISU STRATEGIS
Energi: Perubahan Paradigma DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
A. Minyak Dan Gas Bumi
S
elama ini kita beranggapan bahwa Indonesia adalah negara yang melimpah dalam bidang energi, terutama dari energi tak terbarukan ( non renewable ). Energi yang kita kenal dewasa ini pada dasarnya terdiri dari energi tak terbarukan ( non renewable ) dan energi terbarukan ( renewable). Di Indonesia energi terbarukan terdiri dari energi yang telah dikembangkan yaitu minyak, gas, dan batubara. Energi tak terbarukan yang belum dikembangkan adalah uranium (nuklir), dan coal bed methane (CBM) yaitu gas methane yang berada di lapisan batubara jauh di dalam tanah. Sedangkan energi terbarukan terdiri dari air, panas bumi, biomas, matahari angin dan laut. Kebijakan energi yang kita kembangkan terdiri dari intensifikasi yaitu meningkatkan penemuan dan produksi energi, 143
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
sedangkan diversifikasi yaitu pemakaian energi alternatif, konservasi yaitu penghematan pemakaian energi, harga energi dan lingkungan. Dalam kancah international, Indonesia bukanlah negara yang menonjol dalam bidang energi. Dibandingkan cadangan dunia maka cadangan minyak Indonesia hanyalah 0,5 persen cadangan dunia, cadangan gas Indonesia hanyalah 1,4 persen dan cadangan batubara Indonesia hanyalah 3,1 persen, sedangkan kalau dilihat dari jumlah penduduknya adalah 3,5 persen penduduk dunia. Kita tidak kaya dan tidak miskin energi fosil tetapi “sedang-sedang saja”, sehingga tidak tepat apabila dalam kebijakan energi fosil kita mengacu pada negara-negara di Timur Tengah. Justru energi yang mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan adalah energi yang terbarukan yaitu panasbumi , air dan biomas. Distribusi cadangan energi di dunia pada sampai pada tahun 2002 diperlihatkan pada gambar 1. Gambar 15. Diagram Distribusi Cadangan Energi Dunia tahun 2002
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2002 Midle East masih menguasai cadangan minyak (64,0 %) dan batubara (33,8 %). Untuk batubara Russia dengan cadangan 23,4 % dan Noart Amerika sebesar sebesar 24,3 %.
144
DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Indonesia berpotensi untuk mengembangkan energi panas bumi, dari data-data potensi panas bumi di Indonesia adalah sebesar 27.000 MW atau sebesar 40 % dari potensi panas bumi di dunia. Sehingga potensi energi yang ada dari panas bumi perlu dikembangkan sebagai security of supply energi/listrik. Namun jumlah ini hanya sebesar kapasitas PLN saat ini yaitu 25.000 MW. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengembangkan sumber-sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Pada kebijakan tersebut, ditekankan bahwa pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri perlu diarahkan kepada diversifikasi sumber-sumber energi selain minyak bumi yang diantaranya adalah gas bumi, batubara, bahan bakar nabati (biofuel), panas bumi, batubara yang dicairkan (liquefied coal), serta energi baru dan terbarukan lainnya seperti biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya dan tenaga angin. Table 1 memeperlihatkan potensi sumber energi dan energi terbarukan di Indonesia yang perlu dikembangkan. Tabel 28. Potensi Sumber Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia No.
ENERGY SOURCES
1
Hydro (Incl small scale)
75.450 MW
4.264 MW
}5,6 %
2
Geothermal
30.000 MW
802 MW
}4,1 %
3
Alternative Energy Equivalent 50.000 MW
302 MW
Solar
4.8 kWh/m2/day
Equivalent }5 MW
Wind
Equivalent 9.450 MW
Equivalent }0,5 MW
Biomass
Sea wave
POTENTIAL
INSTALLED CAPACITY
%
10-35 MW per Km coast length
Hydro, biomass dan geothermal merupakan sumber energi yang potensial untuk dikembangkan. Sumebr-sumber energi tersebut merupakan salah satu energi alternatif terbarukan yang sangat potensial 145
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
bagi diversifikasi pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri dan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil seperti minyak bumi. Kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri belakangan ini meningkat cukup tinggi dan mendesak untuk segera disediakan. Penyediaan bahan bakar minyak ini biasanya diusahakan dari produksi di dalam negri maupun dari impor. Konsumsi bahan bakar minyak, gas bumi, batu bara, tenaga air dan panas bumi sampai dengan tahun 2003 terus meningkat beberapa tahun terakhir ini di Indonesia kebutuhan akan minyak bumi nampak makin meningkat dan sampai dengan tahun 2003 dan diperkirakan masih akan terus meningkat secara signifikan sebagaimana disampaikan pada Gambar 2. Hal ini menunjukkan penyediaan minyak bumi dalam penyediaan energi nasional masih dominan sedangkan cadangan minyak cenderung terbatas. Gambar 16. Peran Minyak Bumi Dalam Penyediaan Energi Nasional
Penggunaan energi di Indonesia terus meningkat, disebabkan peruntukannya untuk sarana transportasi dan industri. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. Penggunaan energi untuk transportasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan terus bertambahnya sarana penyediaan sarana trasportasi dan bertambahnya kendaraan motor. 146
DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Gambar 17. Konsumsi Pertumbuhan Energi
Kebijakan pengelolaan energi yang selama ini kita praktekkan masih dirasakan kurang tepat, karena kita saat ini lebih mementingkan untuk exspor yang diharapkan akan mendatangkan devisa yang cukup besar. Sumber daya hidrokarbon yang ada hanya digunakan untuk energi, tidak digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi seperti untuk bahan baku industri petrokimia. Hal ini ada kaitannya dengan masalah kehilangan, kita tidak mau kehilangan kesempatan untuk memeperoleh devisa yang lebih besar dibanding bila pengolahannya di dalam negri. Sehingga sampai saat ini terjadi kecenderungan dengan sengaja atau tidak sengaja menekankan pada ekspor bahan mentah hasil migas, disamping itu juga mengakibatkan kehilangan kesempatan memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi atas pemanfaatan hasil migas. Akibat lain adalah bahwa rantai keterkaitan antara proses produksi di sektor petrokimia tidak terbentuk (disjointed), sehingga memberi efek kepada menurunnya kinerja sektor ini di dalam menciptakan daya saing, karena proses-proses value creation menjadi terganggu. Peran pemerintah sangat penting di dalam menciptakan lingkungan yang kondusif yang mengarahkan pengembangan industri petrokimia yang adaptif, berdaya saing dan mampu selalu terposisikan 147
menurunnya kinerja sektor ini di dalam menciptakan daya saing, karena proses-proses value creation menjadi terganggu. PeranPenerapan pemerintah penting di dalam Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Kebijakan Industrisangat Nasional menciptakan lingkungan yang kondusif yang mengarahkan pengembangan industri petrokimia yang adaptif, berdaya sebagai yang berdaya agar diperoleh manfaat lebih saingindustri dan mampu selalu saing terposisikan sebagai industriyang yang besar atas hasil penguasaan sumeber daya migas di Indonesia. berdaya saing agar diperoleh manfaat yang lebih besar atas hasil penguasaan sumeber daya migas di Indonesia. Gambar 18. Neraca Energi Tahun 2004
Gambar 4. Neraca Energi Tahun 2004
Dari bagan tersebut di atas Gambar 4 telah terjadi semacam anomali, di satu sisi sektor minyak, gas bumi dan batu bara diekspor, sedangkan di sisi lain permintaan akan minyak bumi misalnya bagi kebutuhan dalam negri atau sebagai bahan baku industri di penuhi dari impor. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemanfaatan sumber daya energi tidak memberikan keuntungan yang optimal, atau dengan kata lain negara justru mempunyai utang. Hal yang terjadi saat ini adalah sumber daya energi yang kita punyai telah terikat kontrak dengan perusahaan asing untuk jangka panjang sehingga mengakibatkan adanya security of supply dan ketahanan nsional tidak terjamin. Adapun jadwal berakhirnya kontrak operator migas di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan penggunaan sumber daya energi belum sepenuhnya ditujukan 148
DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Tabel 29. Jadwal Berakhirnya Kontrak Operator Migas
149
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
untuk memperoleh nilai tambah ekonomi yang tinggi seperti yang kita harapkan. Tetapi sumber daya energi hanya digunakan untuk memeperoleh pendapatan negara (revenue) tanpa memperhatikan prinsip sustainability. Seharusnya selain sebagai konsumsi dalam negri minyak yang selama ini digunakan sebagai BBM (Bahan Bakar Minyak) juga dapat dipakai sebagai feedstock industri pertrokimia. Dimana BBM jika dioleh lebih lanjut menjadi petrokimia akan mempunyai nilai tambah yang lebih besar dan dapat menggantikan ketergantungan impor akan produk-produk petrokimia selama ini. Selama ini sebagian besar faktor penghalang pengembangan industri petrokimia berasal dari penyediaan bahan baku. Selama ini telah membudaya pandangan bahwa pemanfaatan migas dan batubara bagi pembangunan adalah sebagai komoditas ekspor penghasil devisa dan sumber bagi penyediaan energi dalam negri. Gambar 19. Skema Garis Besar Pohon Industri Petrokimia
150
DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Gambar 20. Dilema Energi Saat ini
?
Kebutuhan Domestik
1
S umberdaya Hidrokarbon
Fungsi S osial
•B.Bakar •Listrik
Fungsi Komesial
S umber Devisa
Produk Industri untuk Eksport
2
•B .B aku Industri & Petrokimia
?
eksport
(Jalur 1. Sumber Daya Energi sebagai penggerak ekonomi dalam negri, Jalur 2. Sumber Daya energi sebagai penghasil revenue) Selama ini masih dirasakan kurangnya pemahaman dalam pengolahan dan perdagangan minyak, gas bumi dan batubara, tantang implikasi ekonomi dan sosial dari penggunaan lain dari minyak dan gas bumi selain hanya penyediaan energi dan komoditas ekspor penghasil devisa. Atau dengan kata lain sumber daya energi bukan sebagai penggerak ekonomi dalam negri, seperti diperlihatkan pada jalur dua Gambar 6. Tentang nilai tambah sektor migas pada pemanfaatan sisi hulu dan hilir untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh Gambar 7 Gambar 21. Nilai Tambah Sektor Migas Pada Pemanfatan Sisi Hulu dan Hilir
2
1 HULU
(Migas untuk Ekspor)
HILIR
(Migas untuk Dalam Negeri)
151
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Dari Gambar 7 menerangkan bahwa pada sektor hulu (jalur 1) ada pendapatan negara/devisa langsung, dengan nilai tambah kecil, tidak bersifat sustainable dengan kata lain security of suppley dalam negri tidak terjamin. Sedangkan pada jalur 2 sumber daya minyak dan gas dijadikan sebagai bahan bakar dan bahan baku industri dalam negri sehingga minyak dan gas bumi akan mempunyai nilai tambah yang tinggi, sehingga pada akhirnya akan menjadikan sektor industri akan berkembang yang pada akhirnya berefek terjadinya penyerapan tenaga kerja. Namun disisi lain pendapatan negara tidak langsung diterima atau dengan kata lain pendapatan negara berupa pajak pertumbuuhan ekonomi, disini sumber daya minyak bersifat sustainaible yang akan menjamin security of supply dalam negri. Oleh karena itu diperlukan komitmen politik yang secara bertahap untuk dilakukan penggeseran dari jalur 1, yaitu migas untuk ekspor menjadi jalur 2 yaitu migas untuk sektor industri atau sebagai bahan baku dan bahan bakar dalam negri. Dalam hal ini migas untuk industri menghasilkan pertumbuhan ekonomi dalam negri, kesempatan kerja dll. Disamping itu migas sebagai bahan baku menghsilkan ratusan produk petrokimia yang mempinyai added value lebih tinggi untuk pemenuhan dalam negri. Selama ini kebutuhan energi kita masih sangat tergantung pada energi bahan bakar minyak, sehingga diperlukan pemikiran Pentingnya Alternatif Energi Pengganti Bahan Bakar Minyak. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengembangkan sumber-sumber alternatif sebagai pengganti BBM. Pada kebijakan tersebut, ditekankan bahwa pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri perlu diarahkan kepada diversifikasi sumber-sumber energi selain minyak bumi yang diantaranya adalah gas bumi, batubara, bahan bakar nabati (biofuel), panas bumi, batubara yang dicairkan (liquefied coal), serta energi baru dan terbarukan lainnya seperti biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya dan tenaga angin.
152
DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Gambar 22. Pola Pikir Politik Energi
1. Divers ifik as i L ingk ungan S trategis Tarikan luar Kepentingan domestik
Dilema E nergi
T erbatas nya S umberda ya E nergi
• Optimal E nergy Mix • Optimal Utilization Mix (bahan baku vs bahan bakar)
2. Intens ifik as i
(di dalam dan luar negeri)
3. K ons ervas i
• S is i Hulu/E k s ploitas i • S is i Hilir/P emanfaatan
S AS AR AN • • •
Optimal National Net B enefit S ec urity of S upply K etahanan Nas ional
4. Harga E nergi 5. L ingk ungan P E MB A NG UNA N B E R K E L A NJ UT A N
Terjadinya kelangkaan bahan bakar minyak di berbagai daerah yang sering terjadi akhir-akhir ini sangat dirasakan. Untuk mengatasi hal ini, paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu konservasi dan diversifikasi energi melalui peningkatan pengembangan energi alternatif yang tak terbarukan (batubara atau gas) dan terbarukan (biomassa, minyak-minyak nabati, dan bahan-bahan nabati lainnya), seperti diperlihatkan pada Gambar 8. Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi: • Ada ketentuan tentang Ketersediaan Energi, Ketahanan Energi Nasional; Cadangan Penyangga Energi • Dewan Energi Nasional dng tugas: Menyusun Kebijakan Energi Nasional, menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) • RUEN disusun dengan mengikut sertakan PEMDA dan perhatikan masukan masyarakat • PEMDA menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dng mengacu RUEN • Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemrt&PEMDA dan diberi insentif • Harga Energi berdasar keekonomian berkeadilan. Pemrt & PEMDA menyediakan dana subsidi 153
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
B. Ketenaga Listrikan Indonesia memiliki beragam sumber daya energi yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga listrik. Sumber daya ini, baik berupa fosil yang komersial namun tak terbarukan (minyak bumi, gas bumi dan batubara) maupun energi non fossil yang bersifat terbarukan (tenaga air, panas bumi, angin surya dan biomassa). Gambar 23 . Kapasitas Pembangkit PLN [dalam MW]
25000
20000 6900 15000
8220
8534
395
415
7021
7021
2724
2727
2783
6900 6900 395 380
395 6281
10000
5000
6853
5651
1225
1481
2670
2933
2994
2954
2968
3168
3199
3221
3529
3501
0 2003
2004 H YD R O
D IE S E L
2005 GT
C C GT
2006 G E O TH E R M A L
2007 SPP
Sampai dengan akhir 2007 Indonesia memiliki sarana pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang seperti terlihat pada gambar 9. Dalam kurun waktu 2003-2007 unit pembangkit listrik milik PLN rata-rat tumbuh setiap tahunnnya. Penjualan listrik selama kurun waktu 2003-2007 tumbuh rata-rata mengalami kenaikan. Listrik yang dikonsumsi terbesar oleh industri menyusul di urutan kedua kebutuhan listrik untuk rumah tangga seperti terlihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.
154
DR. Endro Utomo, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Gambar 24. Penjualan Tenaga Listrik [dalam milyar Rp]
80000 4844
70000
4446 4041
60000
28458
3638
50000
3018 22547
40000
27226 24190
19355
30000 8746
20000 10000
18690
10411
21636
15920
14074
11826
27058
24988
23189
0 2003
2004 R E S ID E N TIA L
2005 C O M M E R C IA L
2006 IN D U S TR IA L
2007 P U B L IC
Pada Gambar 11 listrik PLN yang dikonsumsi manyarakat mencapai kurang lebih 125.000 GWh pada akhir tahun 2007. Gambar 25. Penjualan Tenaga Listrik [dalam GWh] 125000 7510 100000
5927
7417
45802
4967 75000
40324
6825
42453
43615
36497 50000 13224 25000 35753
15253
38588
15980
41182
20608
18415
47324
43754
0 2003
2004 RE S ID E NTIA L
2005 C OM M E RC IA L
2006 IND US TRIA L
2007 P UB LIC
155
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Selain listrik yang disediakn oleh PLN, kebutuhan masyarakat akan listrik juga dipasok oleh rental seperti yang terlihat pada Gambar 12, tetapi listrik yang dipasok oleh PLN masih terbesar kurang lebih 80% Gambar 26. Produksi Tenaga Listrik, Power Purchase, Rental [GWh]
150000 3257 125000 2435 100000
20549
3105
3154
26088
23978
2804 28639
31199
75000
50000
90043
93113
2003
2004
98177
101664
2005
2006
107984
25000
0 P LN
IP P
2007
RE NTA L
C. Kesimpulan − Kebijakan umum bidang energi mensyaratkan pendayagunaan sumber daya energi yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat agar dapat mewujutkan Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. − Peraturan dan perundang-undangan yang mengatur berbagai komponen dalam rangka penyediaan tenaga listrik, juga terdapat seperangkat produk hokum lain yang menyangkut dampak kegiatan industri kelistrikan terhadapa lingkungan hidup.
156
ROADMAP INDUSTRI DALAM WILAYAH EKOSISTEM: ISU STRATEGIS INDUSTRI YANG BERKELANJUTAN DR. Herman Haeruman, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
A. Pendahuluan
S
ustainability sektor industri seringkali berkaitan dengan lingkungan hidup, baik lingkungan alam, sosial dan ekonomi. Stabilitas lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi sudah seringkali ditanggapi sebagai masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan investasi di sektor industri. Gejolah sosial dan politik seperti persoalan tenaga kerja dan buruh serta penerimaan masyarakat terhadap suatu kekuasaan dan suatu industri disuatu tempat seringkali menjadi hambatan dalam pengembangan sektor industri. Demikan juga halnya dengan ketidak-stabilan ekonomi seperti tingkat suku bunga dan fluktuasi nilai tukar yang kita sedang 157
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
alami pada saat ini dalam Krisis Keuangan Global (Global Financial Crisis) sewrta ekonomi biaya tinggi telah menjadi faktor pembatas dalam pengembangan dan kesinambungan sektor industri. Dari segi lingkungan alam, penyediaan sumber alam dan jasa ekosistem menjadi faktor pembatas yang nyata dalam pengembangan sektor industri. Indonesia terbagi kedalam 400 lebih daerah kabupaten/kota dan 33 propinsi dengan berbagai kondisi sosial dan politiknya, serta ekonomi dan ekosistemnya. Meskipun pemerintahan kabupatet/kota dan propinsi berkeinginan untuk mengembangkan industri di daerahnya, tetapi keadaan sosial dan politik setiap daerah yang berbeda-beda memaksa para investor mengembangkan strategi industri yang berbeda pula. Lingkungan ekonomi yang berkaitan dengan nilai tukar mata uang dan tingkat bunga mungkin lebih seragam antara daerah-daerah itu, tetapi ekonomi biaya tingginya cukup besar variasinya, sehingga ekonomi biaya tinggi telah menjadi perhatian para investor untuk membangun industri di suatu tempat. Sementara itu daya dukung lingkungan berbeda-beda sehingga jenis dan kapasitas daerah untuk mendukung industri secara berkesinambungan juga berbeda. Dari sisi lingkungan alam, yang menjadi pembatas pembangunan industri adalah daya dukung ekosistem baik yang berupa keterbatasan sediaan sumber alam maupun kemampuan layanan jasa lingkungan yang dapat disediakan oleh suatu ekosistem. Oleh karena itu, industri yang berkelanjutan adalah industri yang dibangun sesuai dengan daya dukung lingkungannya, baik itu lingkungan biofisik dan ekonomi maupun lingkungan sosial-politik. Pengertian pembangunan yang berkelanjutan berkembang pesat, mulai dari pembangunan tanpa pencemaran lingkungan, menghapusakan kemiskinan dan pengangguran, hak azasi manusia (buruh), pengelolaan produksi dan pola konsumsi, sampai kepada pengurangan dan penanggulangan perubahan iklmi global. Pembangunan berkelanjutan tersebut meliputi suatu deretan aksi nyata yang harus dikembangkan mulai dari sistim nilai, kesepakatan global, rencana aksi yang nyata, kelembagaan, sistim pembiayaan, dan sebagainya. 158
DR. Herman Haeruman, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
B. Kebijakan Pembangunan Industri yang Berkelanjutan Berbagai kebijakan nasional yang berkaitan dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup telah diundangkan, antara lain Peraturan Perundangan tentang Pelestarian Alam, Penataan Ruang, dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta peraturan Perundangan tentang RPJPN dan RPJPD serta RPJMN dan RPJMD. Setiap sektor dalam pembangunannya mengacu kepada peraturan perundangan tersebut yang dituangkan kedalam kebijakan sektoralnya masing-masing Dalam sektor perindustrian, terdapat Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional, yang memberikan arahan pokok untuk membangun industri yang berkelanjutan yang serasi dengan daya dukung lingkungannya, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, menjaga kelestarian lingkungan hidup, menggunakan CDM, dan membangun kemitraan dengan masyarakat dan pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota dimana industri tersebut berada. Yang menarik dari strategi industri dalam Perpres No. 28 tahun 2008 adalah pengembangan sistim klaster industri, yang mewajibkan keserasian keterkaitan antara industri inti, pendukung dan terkait dalam suatu wilayah. Maksud membangun keterkaitan ini tentu untuk meningkatkan daya saing industri melalui efisiensi biaya transaksi, kemampuan menghadapi masa depan berkaitan dengan kemajuan teknologi dan perubahan permintaan pasar, dan membangun rantai nilai tambah yang efektif. Dan yang juga penting membangun kerjasama produktif antara pemerintah dengan pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat disekitarnya. Pembangunan klaster industri akan lebih bermanfaat apabila dapat terkait dengan upaya membangun ekonomi lokal, yang terbukti memiliki ketahanan yang tangguh terhadap gejolak ekonomi global. Ekonomi lokal tersebut memiliki kemampuan yang besar untuk mengatasi lkemiskinan dan pengangguran yang menjadi bibit ketidakstabilan sosial.
159
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Di Indonesia pada waktu inti sedang mengalami masalah penurunan daya dukung yang drastis akibat berbagai kegiatan pembangunan yang kurang hati-hati. Gambar 27. Penggunaan Lahan Pertanian di Indonesia tahun 2003
P e k a ra n g a n
Sawah
8%
11%
T e g a la n K e b u n 23%
P e rk e b u n a n S w a s ta P e m e rin ta h
Padang
27%
R um put 3% S e m e n ta ra
Tanam an
T a m b a k / K o la m
T id a k
K ayu
1%
d iu s a h a k a n
15%
14%
Ju ta H
Hutan tropis yang hancur menghapuskan dominasi industri Gambar 1. Penggunaan Lahan Pertanian di Indonesia perkayuan nasional di dunia, kehancuran terumbu karang mengurangi tahun 2003 dan daerah aliran sungai industri perikanan, kerusakan sungai menghapuskan kesempatan pengembangan industri yang memanfaatkan air yang berlimpah dan tenaga listrik, hancurnya wilayah pesawahan mengurangi kesempatan membangun industri agro yang tangguh, Hutanlalutropis yang hancur menghapuskan kemacetan lintas menguras sumberdaya energi tanpa dominasi hasil dan industri perkayuan nasional di dunia, kehancuran mengurangi tingkat kesehatan penduduk di daerah perkotaanterumbu seperti terlihat Gambar 3.industri perikanan, kerusakan sungai dan karangpada mengurangi daerah aliran sungai menghapuskan kesempatan Gambar 28. Perkembangan Luas Lahan Sawah Periode Tahun 1994-2003 pengembangan industri yang memanfaatkan air yang 1 0 8 ,5 8 ,5 8 ,dan 4 berlimpah tenaga listrik, hancurnya wilayah pesawahan 9 8 ,0 7 ,8 7 ,8 7 ,5 8 mengurangi kesempatan membangun industri agro yang 7 5 ,1 6 5 ,0 tangguh, kemacetan lalu5 , 2lintas4 ,menguras sumberdaya energi 7 4 ,4 4 ,4 5 4 ,1 tanpa4 hasil dan mengurangi tingkat kesehatan penduduk di 3 3 ,3 3 seperti ,4 3 terlihat ,3 3 ,pada 4 3 ,3 3 3. ,3 3 ,3 daerah perkotaan Gambar 2 1 0 1 9 9 4
1 9 9 5 Ja w
160
1 9 9 6 a
1 9 9 9
2 0 0 0
L u a r Ja w
a
2 0 0 1
2 0 0 3
T o ta l
Gambar 2. Perkembangan Luas Lahan Sawah Periode Tahun 1994-2003
3
2 ,8 3
1 9 9 4
1 9 9 5
1 9 9 6
Ja w a
1 9 9 9
2 0 0 0
2 0 0 1
L u a r Ja w a
2 0 0 3
T o ta l
DR. Herman Haeruman, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Gambar 2. Perkembangan Luas Lahan Sawah Periode Tahun 1994-2003
Gambar 29. Laju Deforestasi (juta ha/tahun) 3 J u ta H a /T a hun
2 ,8 3
2 ,5 2
1 ,8
1 ,5 1
1 ,0 8
0 ,9
0 ,5 0 1 9 8 2 -1 9 9 0
1 9 9 0 -1 9 9 7
1 9 9 7 -2 0 0 0
P e r io d e W a k tu
2 0 0 0 -2 0 0 6
Gambar 3. Laju Deforestasi (juta ha/tahun)
C. Sustainable Development
C. Sustainable Development Pembangunan berkelanjutan akan membutuhkan perubahan nurani pembaruan pandangan dan tobat dalam yang sehat. Pembangunan berkelanjutan akan dosis membutuhkan Semuaperubahan ini adalah nurani istilah-istilah keagamaan dan hal itu bukan pembaruan pandangan dan tobat kebetulan dalam karenadosis suatu perubahan dalam ini prinsip-prinsip fundamental yang kita yang sehat. Semua adalah istilah-istilah keagamaan dan halperubahan itu bukan yang kebetulan suatu perubahan dalam anut adalah sangatkarena dalam sehingga hal itu sebenarnya fundamental yang kitademikian anut adalah adalahprinsip-prinsip keagamaan baik kita menyebutnya atau perubahan tidak. Selama yang sangat dalam sehingga hal itu sebenarnya berabad-abad kita dididik untuk menghormati nenek moyangadalah kita dan keagamaan baik kita menyebutnya demikian atau tidak. melestarikan tradisi-tradisi kita dan adalah baik bahwa kita melakukanya, tetapi sekarang dengan banyaknya hal baru dan banyaknya tantangan bagi kita di masa depan, kita perlu melakukan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan sebelumnya dan kita tidak dapat melakukannya sekarang, kita harus menghormati keturunan-keturunan kita, kita harus mencintai anak cucu kita lebih daripada mencintai diri kita sendiri. Model Pembangunan Berkelanjutan yang memikirkan masalah lingkungan untuk generasi mendatang. Banyak yang berpikir bahwa memelihara lingkungan hanyalah menjaga air, tanah, dan udara supaya tidak kotor. Memelihara lingkungan memiliki pengertian yang lebih luas dari itu, karena di dalamnya terdapat prinsip keadilan untuk alam dan masyarakat, tidak hanya untuk waktu sekarang tetapi juga untuk waktu yang akan datang. Dalam pengertian, seyogyanya kita 161
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
mewariskan keadaan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Kita perlu mewariskan lingkungan yang bersih, damai, sumberdaya alam yang berkelanjutan, serta mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Lingkungan (secara fisik) disebut bersih apabila pengotoran (polusi) baik ke darat, laut dan udara tidak melebihi ambang batas yang di-tentukan para ahli atau peraturan lingkungan. Sedangkan lingkungan (secara fisik) disebut lestari apabila keindahan dan sumber daya alamnya dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Lingkungan (secara sosial) yang damai dan adil adalah apabila setiap usaha yang dilakukan tidak merugikan orang lain atau kerugian orang tersebut dikompensasi. Setiap kegiatan dalam penanganannya harus sudah memasukkan biaya lingkungan (eksternalitas) baik secara fisik maupun sosial. Lingkungan yang bersih dan lestari dapat diadakan dengan peraturan atau insentif bagi yang memelihara dan disinsentif (denda) atau hukuman bagi yang mengotori atau merusak. Pemakaian sumber daya alam atau teknologi yang bersih lingkungan atau program konservasi (penghematan pemakaian) yang juga berarti menghemat polusi perlu disubsidi. Walaupun demikian yang paling efektif memelihara kebersihan lingkungan adalah kesadaran. Kesadaran ini tidak selalu ada hubungannya dengan pendidikan atau peradaban. Permasalahan lingkungan bukan hanya sumber daya alam yang terbatas, tetapi juga karena manusia tidak dapat menahan hawa nafsu (kerakusan)nya. Pembangunan adalah pembangunan masyarakat yaitu pembangunan seluruh masyarakat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Sehingga, untuk merubah pembangunan yang kurang berhasil menjadi berhasil adalah dengan merubah model mental manusianya. Banyak dari anggota masyarakat kita yang masih kurang mampu. Adalah tugas kita untuk memperbaiki nasib mereka sehingga perbedaan kekayaan di negara kita tidak menyolok. Adalah tugas pemerintah untuk menyelenggarakan keadilan bagi masyarakat tanpa melihat suku, agama, status sosial, status ekonomi. Keadilanlah yang akan menyebabkan kemakmuran, karena keadilan akan menyebabkan partisipasi maksimal dari masyarakat.
162
DR. Herman Haeruman, DR. Rahayu Ermawati, M.Sc
Dana untuk penyelenggaraan keadilan tersebut adalah seperti mitigation cost (biaya pengurangan dampak) untuk mengatasi eksternalitas negatif. Apabila kita tidak mengeluarkan biaya pengurangan dampak tersebut maka kita akan membayar damage cost (biaya kerusakan). Sangat disayangkan bahwa masalah kemiskinan tersebut banyak disalahgunakan untuk memperkaya pribadi. Sehingga yang miskin tetap miskin dan yang mengurusnya makin kaya. Seyogyanya kita tidak mewariskan keadaan yang lebih buruk bagi generasi mendatang serta mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Perlu dipikirkan pengurangan beban hutang kita dimasa datang serta mulai mempersiapkan masyarakat madani. Walaupun masyarakat madani siap menolong sesama ciptaan Tuhan, masyarakat tersebut berjiwa mandiri. Semua bagian dan aspek ilmu adalah saling memiliki. Ilmu tidak dapat dikembangkan kecuali dicapai untuk pengetahuan dan pengertian yang murni. Dia tidak akan bertahan kecuali digunakan secara sungguh-sungguh dan bijaksana untuk kebaikan umat manusia, dan bukan alat kekuasaan dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
163
ASPEK TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI SECARA INKONVENSIONAL: STUDI KASUS BIOTEKNOLOGI DI INDONESIA DR. Adi Pancoro, DR. Arif Budi Witarto, M.Eng
A. Pendahuluan
B
ioteknologi, sering didengar tapi mungkin jarang dirasakan manfaatnya di Indonesia. Bila pun pernah diketahui, produk bioteknologi modern seperti kapas transgenik tahan hama yang ditanam secara terbatas di Sulawesi Selatan beberapa tahun lalu, justru mendatangkan protes akan keselamatan lingkungannya oleh sebagian masyarakat. Sementara berita yang didengar di luar negeri, bioteknologi adalah teknologi masa depan. Gelombang kedua ekonomi dunia setelah teknologi informasi. Bagaimana bisa?
165
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
B. Memahami Bioteknologi Bioteknologi adalah ilmu tua yang menjadi muda berkat sebuah revolusi ilmu pengetahuan. Sudah sejak 8000 tahun yang lalu, bangsa Mesir kuno menggunakan sejenis mikroba yeast Saccharomyces atau ragi untuk pembuatan roti dan minuman anggur [2]. Ragi itu merubah gula dalam cairan anggur menjadi alkohol. Dalam adonan roti, gelembung gas yang dihasilkan dalam proses fermentasi, membuat roti jadi empuk sehingga enak dimakan. Penggunaan mikroba lainnya dikenal dalam pembuatan keju seperti jenis Roquefort, Gorgonzala, Brie dan yang mungkin lebih terkenal, jenis Camembert di pusat pembuatan keju dunia yaitu Swiss. Di sini mikroba mold Penicillum roqueforti atau kapang berperan merubah komposisi susu menjadi berbagai aroma dan warna. Lebih dekat kepada kita, nenek moyang bangsa Indonesia telah menggunakan kapang yang lain yaitu Rhizopus untuk membuat tempe dari kedelai. Semua ini adalah penggunaan mikroba atau mikroorganisme pada tingkat sel untuk tujuan pangan. Sehingga ilmu tua bioteknologi adalah penggunaan jasad renik atau makhluk hidup secara umum pada tingkat sel atau disebut seluler [3]. Bioteknologi modern lahir pada tahun 1970-an dengan munculnya teknologi DNA rekombinan. Istilah DNA rekombinan mungkin sudah pernah didengar tapi samar-samar maknanya. Ilmuwan dari Universitas Kalifornia di San Fransisco (UCSF) bernama Herbert Boyer berhasil mengembangkan teknologi canggih untuk dapat memotong rantai DNA lalu menyambungnya lagi. Tetapi karena materi DNA berukuran sangat kecil, hal ini tidak dapat dibuktikan dengan melihat langsung karena jumlahnya juga sangat sedikit. Masih dari daerah yang sama yaitu propinsi Kalifornia-AS, seorang ilmuwan lain dari Universitas Stanford bernama Stanley Cohen menemukan cara bagaimana memasukkan materi DNA berbentuk lingkaran atau plasmid ke dalam sel. Walau tinggal berjarak hanya 60 km saja, keduanya tidak pernah bisa bertemu sehingga dapat menyatukan teknologi yang dimilikinya itu. Sampai akhirnya pada tahun 1972, keduanya bertemu di sebuah pertemuan ilmiah, ribuan kilometer dari tempat mereka tinggal dan bekerja di Kalifornia, yaitu 166
DR. Adi Pancoro, DR. Arif Budi Witarto, M.Eng
di Hawaii. DNA yang sudah disambung lagi dengan teknologi Boyer dapat diperbanyak dengan memasukkan ke dalam sel bakteri dengan teknologi Cohen. Karena bakteri berkembang biak sangat cepat, DNA yang telah dimasukkan pun jadi banyak dalam waktu singkat, sehingga dapat dicek keberadaannya dengan mudah [4]. Inilah inti dari teknologi DNA rekombinan. Teknologi saja tidak bermakna ekonomi tanpa ada satu kegunaan. Biasanya bukan ilmuwan yang punya gagasan ekonomi tapi usahawan [5]. Untungnya seorang pebisnis yang juga tinggal di Kalifornia bernama Robert Swanson mendengar keberhasilan dua ilmuwan itu yang tidak pernah dipublikasikan di koran tapi hanya di jurnal ilmiah saja dan melihat peluang bisnis yang besar. Peluang bisnis apa sebenarnya yang ada? Insulin adalah hormon berbentuk protein yang sangat dibutuhkan manusia untuk mengatur kadar gula/glukosa dalam darah. Sistem pengaturan yang rusak, menyebabkan manusia menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM). Penderita DM harus secara rutin menyuntikkan insulin ke dalam tubuhnya karena sudah tidak bisa memproduksi sendiri. Dari mana datangnya insulin itu? Dari pankreas sapi. Untuk itu perusahaan farmasi dunia selama ini harus mengumpulkan ribuan sapi hanya untuk mendapatkan sekian mg insulin bagi penderita DM. Karena insulin adalah protein dan protein dibuat dengan informasi dari DNA, maka pengusaha Swanson melihat kemungkinan membuat insulin rekombinan dengan bakteri yang telah direkayasa genetika menggunakan teknologi temuan Cohen dan Boyer itu. Maka lahirlah pada tahun 1976, masih juga di Kalifornia, perusahaan bioteknologi modern pertama di dunia yaitu Genentech (singkatan dari Genetich Engineering Technology) yang memproduksi protein-protein rekombinan seperti insulin, hormon pertumbuhan, dll [6]. DNA dan protein yang kita dengar di atas adalah dua dari empat molekul biologi penyusun sel. Dua lainnya adalah karbohidrat dengan contoh yang sudah disebutkan adalah glukosa, selain itu juga sukrosa yang menjadi komponen utama gula manis dan satu lagi adalah lipid atau minyak. Pengunaan molekul-molekul biologi itu, bahkan sampai 167
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
kepada kemampuan memanipulasi atau merekayasa adalah revolusi teknologi yang menyebabkan lahirnya bioteknologi modern. Jadi ada perubahaan dalam bioteknologi tua menjadi bioteknologi modern yaitu perubahan penggunaan materi hayati dari tingkat sel atau seluler ke tingkat molekul atau molekuler. Teknologi DNA rekombinan bukanlah satu-satunya tetapi memang adalah tonggak utama dari lahirnya bioteknologi modern. Beberapa tonggak penting lainnya dimulai dari penemuan fenomena pewarisan sifat oleh Gregor Mendel (tahun 1866), keyakinan bahwa materi genetik adalah DNA oleh Oswald Avery (1944), dugaan struktur double helix DNA oleh Watson dan Crick (1953), penemuan mRNA oleh Monod dan Jacob (1961), pengungkapan kode genetik oleh Khorana dan Nirernberg (1966), inovasi teknologi hibridoma oleh Milstein dan Kohler (1974), pengembangan teknologi pembacaan sekuen DNA oleh Maxam dan Gilbert (1977) sampai penemuan teknologi penggandaan DNA, PCR oleh Karry Mullis (1983). Semua ini biasanya tercakup dalam kuliah biologi molekuler yang memang menjadi fondasi dari bioteknologi modern [7].
C. Perkembangan Bioteknologi Perkembangan bioteknologi setelah lebih dari 30 tahun diawali dengan teknologi rekayasa genetika ini menjadi semakin cepat. Dalam dogma sentral atau pemahaman dasar ilmu biologi diketahui bahwa cetak biru kehidupan DNA menyimpan informasi yang pemanfaatannya dilakukan melalui perubahan informasi itu ke materi baru yaitu RNA. Proses ini disebut transformasi. Selanjutnya RNA juga dirubah informasinya ke dalam materi akhir yaitu protein dalam proses translasi. Dari alur informasi dalam dogma sentral itu bisa dipahami bahwa rekayasa DNA/genetika membawa implikasi pada perubahan RNA sebagai materi pertengahan maupun kepada protein sebagai produk akhir. Hanya sepuluh tahun dari lahirnya rekayasa genetika/teknologi DNA rekombinan, lahirlah teknologi baru dalam kancah bioteknologi yaitu rekayasa protein [8]. 168
DR. Adi Pancoro, DR. Arif Budi Witarto, M.Eng
Rekayasa protein saat ini menjadi andalah bioteknologi modern karena produk-produk bioteknologi yang beredar luas di masyarakat umumnya berbentuk protein seperti obat-obat dari jenis hormon, antibodi sampai alat-alat diagnosa penyakit untuk aplikasi kedokteran/ kesehatan maupun untuk aplikasi pangan seperti protein BMP/bone morphological protein dalam susu bubuk bahkan ke kosmetika seperti collagen dalam shampoo dan protease dalam pasta gigi. Penemuan bahwa RNA juga dapat memiliki aktivitas enzimatik seperti enzim yaitu ribozyme melahirkan teknologi baru dalam bioteknologi yaitu rekayasa RNA. Walaupun belum semaju teknologi rekayasa genetika dan rekayasa protein karena materi RNA umumnya mudah hancur dan berumur pendek, perkembangan teknologi rekayasa RNA semakin jadi perhatian. Misalnya penggunaan teknologi RNA interference untuk mematikan fungsi gen tertentu terbukti lebih efektif daripada pematian gen pada tingkat DNA menggunakan teknologi knock-out gen misalnya. Yang lebih menghebohkan sekarang adalah lahirnya teknologi kloning. Teknologi kloning dapat dibagi menjadi dua yaitu teknologi kloning terapi dan teknologi kloning reproduksi [9]. Teknologi kloning terapi yang legal dan didukung semua negara karena manfaatnya untuk membuat jaringan dan organ sebagai ganti dalam pencangkokan jaringan atau organ yang rusak. Sementara teknologi kloning reproduksi ditentang dunia termasuk PBB karena bertujuan membuat individu baru serupa yang berakibat sosial luas. Teknologi kloning terapi semakin menjadi kenyataan setelah ilmuwan Korea Selatan baru-baru ini berhasil membuat sel syaraf, sel pembuluh darah dan sel kulit yang dapat menggantikan sel-sel rusak seperti pada penderita Parkinson contohnya Muhammad Ali petinju dan Michael J. Fox artis film Back to the Future yang sel syaraf otaknya mati sehingga menjadi pikun dan tidak dapat beraktifitas normal [10]. Untuk kedepannya, sel-sel itu perlu dibentuk menjadi jaringan atau kumpulan sel dengan fungsi sama seperti jaringan kulit, jaringan tulang rawan dll. Cangkok jaringan ini yang sebenarnya lebih banyak 169
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
diperlukan karena umumnya bagian tubuh yang berada di luar, lebih peka terhadap penolakan dalam pencangkokan. Misalnya penderita luka bakar hanya dapat menerima kulit dari tubuhnya sendiri tidak dapat dari donor lain. Rekayasa jaringan adalah teknologi dalam bioteknologi yang dimulai tahun 1987 oleh ilmuwan MIT yaitu Langer dan Vacanti untuk membuat jaringan-jaringan baru dengan tujuan transplantasi/ pencangkokan [6]. Menggunakan polimer biodegradable dalam media pembiakkan khusus, dibuat cetakan yang mirip dengan jaringan baru yang akan dibentuk. Selanjutnya ditanamkan ke dalam cetakan itu sel-sel yang menjadi tunas lalu dibiakkan sampai menjadi jaringan yang sempurna. Menggunakan teknologi rekayasa jaringan, jaringan manusia yang paling rumit yaitu jaringan tulang rawan pembentuk telinga telah berhasil dibuat dan ditanamkan di atas punggung tikus telanjang/ nude mouse yang telah dimatikan sistem kekebalannya. Telinga tersebut sama sekali tidak ditolak oleh tubuh tikus dan menempel dengan sempurna. Inilah kemenangan teknologi jaringan yang banyak dinanti pasien transplantasi, bukan untuk menyakiti hewan.
D. Perkembangan Bioteknologi sebagai Ilmu di Indonesia Kurang lebih 15 tahun yaitu tahun 1985, pemerintah Indonesia telah menjadikan bioteknologi sebagai prioritas pengembangan iptek yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (RISTEK) [11]. Selanjutnya sejak tahun 1988, bioteknologi sudah masuk dalam REPELITA juga sebagai prioritas pembangunan khususnya bidang iptek. Perkembangan terbaru dari sisi kebijakan/aturan pemerintah yaitu pada tahun 2000 lalu, bioteknologi juga muncul sebagai bidang prioritas dalam Jakstra Ipteknas yang dilanjutkan dengan Renstra Ipteknas. Dalam implementasi/penerapan dari kebijakan itu, pada tahun 1990 mulai dipikirkan pembentukan SDM bioteknologi yaitu dengan 170
DR. Adi Pancoro, DR. Arif Budi Witarto, M.Eng
pembentukan PAU atau Pusat Antar Universitas bidang bioteknologi di UGM bidang bioteknologi kedokteran, ITB bidang bioteknologi industri dan IPB bidang bioteknologi pertanian. Kerjasama antar lembaga pendidikan dan penelitian pemerintah juga mulai digesa dengan penunjukan pusat pengembangan atau center of excellence dengan tiga bidang utama yaitu bioteknologi pertanian dengan anggota PAU Bioteknologi IPB, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, bioteknologi kedokteran dengan anggota UI/Lembaga Biologi Molekul Eijkman dengan PAU Bioteknologi UGM dan bioteknologi industri dengan anggota PAU Bioteknologi ITB dan BPPT. PAU-PAU di universitas juga ditugaskan untuk mencetak SDM bioteknologi dengan pembentukan program studi pasca sarjana S-2 dan S-3 bioteknologi. Riset tanpa dana, menjadi tak bermakna. Maka sejak tahun 1992 dana riset kompetitif terbesar di Indonesia yaitu RUT/Riset Unggulan Terpadu yang dikoordinasi oleh RISTEK dan diemban pelaksanaan administrasinya oleh LIPI, memasukkan bioteknologi sebagai salah satu program tersendiri yang dibiayai. Selain RUT ada pula skema dana kompetitif serupa yaitu RUTI/untuk tingkat internasional dan RUK/kemitraaan untuk kerjasama lembaga riset dengan swasta. Usahausaha antara pemerintah menggandeng swasta ini membuahkan hasil antara lain berdirinya Konsorsium Bioteknologi Indonesia/KBI dengan anggota lembaga pemerintah, penelitian, pendidikan dan swasta industri farmasi dan pangan khususnya. Selain beberapa lembaga yang telah disebut di atas, lembaga pemerintah yang aktif mengembangkan bioteknologi lainnya adalah departemen teknis yaitu Departemen Pertanian lewat Badan Penelitian dan Pengembangannya seperti Badan Litbang Bioteknologi Pertanian dan Sumber Daya Genetik Pertanian (Balitbiogen) yang berkantor di Bogor. Himpunan bioteknologi juga mulai bermunculan baik yang formal atau non-formal misalnya Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia, Jaringan Peneliti Bioteknologi Indonesia, dsb. Tak kurang pula jurnal-jurnal baik yang spesifik maupun yang lebih luas seperti Indonesian
171
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Journal of Biotechnology yang berkantor di PAU Bioteknologi-UGM, sekarang berganti nama menjadi Pusat Studi Bioteknologi-UGM, dsb. Upaya terakhir pemerintah untuk mendorong kemajuan bioteknologi Indonesia adalah rencana pembentukan lokasi khusus di pulau Rempang, berdekatang dengan pulau Batam, sebagai wilayah khusus pengembangan dan komersialiasasi bioteknologi farmasi dan pertanian [12,13]. Usaha ini dikenal dengan istilah bio-island.
E. Perkembangan Bioteknologi Industri/Bioindustri di Indonesia Apabila perkembangan bioteknologi secara keilmuwan di Indonesia kuat khususnya di bidang pertanian, perkembangan industri/bioindustri Indonesia justru sebaliknya. Seperti contoh di pendahuluan, bioteknologi pertanian dengan pemanfaatan tanaman transgenik oleh perusahaan seperti Monsanto/Monagro Kimia, banyak mendapat tantangan. Sehingga pemanfaatan bioteknologi pertanian kita masih bersandar pada bioteknologi tingkat tua yaitu pemanfaatan pada tingkat seluler bukan molekuler. Contohnya adalah industri kultur jaringan yang berkembang baik dalam industri kehutanan dengan kebutuhan penyediaan bibit tanaman untuk reboisasi maupun untuk estetika seperti bunga-buga untuk pajangan seperti anggrek, dsb. Kultur jaringan adalah pembuatan bibit dan perbanyakannya menggunakan permainan komposisi media. Yang digunakan bisa segala sumber organ tumbuhan mulai dari biji, daun, tunas, dsb jadi lebih luas dari teknologi pembibitan konvensial dengan stek. Yang dimanipulasi adalah sel penyusun organ itu untuk berubah menjadi tanaman sempurna melalui hormon-hormon dalam media yang digunakan. Jadi ini adalah bioteknologi tingkat tua, bukan bioteknologi modern. Bioteknologi pangan, cukup berkembang dengan baik walau belum tereksploitasi secara optimal. Misalnya komposisi kecap yang membedakan rasa, warna dan bau/flavor sangat dipengaruhi oleh 172
DR. Adi Pancoro, DR. Arif Budi Witarto, M.Eng
jenis kedelai sebagai bahan baku dan juga mikroba yang digunakan. Sementara ini semua masih dilakukan secara tradisional walau secara penelitian sudah ada yang mulai mengarah pada pemanfaatan flavornya. Demikian pula berbagai buah dan produk pertanian untuk pangan baik sebagai perasa seperti vanili maupun pewarna dan bau yang banyak dieksploitasi oleh industri flavor Eropa dan Amerika di Indonesia, juga makin merasakan pentingnya bioteknologi modern. Selain flavor, kebutuhan yang besar adalah enzim dan protein yang banyak digunakan dalam proses pembuatan produk pangan seperti enzim protease, enzim lipase, dsb. Tak terkecuali dengan pemanfaatan baru di kosmetik dan kebersihan seperti munculnya pasta gigi yang mengurangi detergen dengan mengganti protease, shampoo dengan komposisi protein collagen, dll. Sektor industri yang semakin besar cakupan penggunaan bioteknologinya di Indonesia adalah industri farmasi. Mungkin hal ini tidak terlalu didengar karena sebagian besar komponen industri farmasi masih impor dan produk-produk obat untuk bioteknologi masih dinikmati oleh kalangan berpunya di kota besar saja. Obat-obat untuk pengobatan dan pendukung terapi kanker misalnya, seperti hormon eritropoietin, hormon growth colony, stimulting factor, antibodi spesifik, dsb adalah contoh-contoh obat yang sekali suntik sekian juta rupiah harganya. Kalau obat resep seperti disebutkan, tidak pernah diiklankan di media massa, tapi alat kedokteran untuk diagnosa bisa diamati. Misalnya alat diagnosa penyakit DM yang harus mengukur kadar gula darahnya secara teratur menggunakan alat pengukur gula darah, sudah mulai diiklankan di media massa cetak nasional sejak beberapa tahun terakhir [14]. Komponen utama dalam perangkat elektronik ini adalah enzim yang mengubah molekul glukosa menjadi sinyal elektronik. Perusahaan farmasi nasional baik yang BUMN seperti PT Kimia Farma, Tbk dan PT Kalbe Farma juga mulai melirik kebutuhan produk obat bioteknologi. PT Kimia Farma menggandeng LIPI dan lembaga riset Jerman, Fraunhofer untuk mengembangkan teknologi produksi obat-obat berbasis protein yang labih murah 173
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
dengan teknologi molecular farming [15]. PT Kalbe Farma menggandeng lembaga riset Kuba dan Eropa dengan membentuk anak perusahaan bernama Innogen yang berkantor di Singapura.
F. Prospek dan Tantangan Dengan uraian di atas, prospek perkembangan bioteknologi di Indonesia terlihat semakin jelas. Pertama, untuk pendidikan S-1, bioteknologi tidak harus berarti memiliki pengalaman eksperimen rekayasa genetika. Karena fondasi bioteknologi adalah pemanfaatan molekul biologi baik DNA, protein, dst. Maka pengalaman eksperimen biokimia mulai dari isolasi protein/enzim dan karakterisasinya juga penting. Termasuk juga tingkatan bioteknologi tua seperti pemanfaatan sel untuk bioreaktor, kultur jaringan dsb juga penting. Pengalaman di tingkat S-1 bisa ditingkatkan dengan ke tingkat S-2 dan S-3 untuk penguasaan materi bioteknologi yang lebih dalam dan luas. Penelitian bioteknologi bisa dilakukan pada umumnya di lembaga penelitian Indonesia sendiri yang sudah mengarah ke bioteknologi modern seperti LIPI, Eijkman, Balitbiogen, dan sebagainya. Dengan mulai masuknya industri farmasi ke ranah bioteknologi, maka peluang memasuki lapangan kerja dengan keahlian bioteknologi semakin besar selain yang sudah ada selama ini untuk industri pangan dan pertanian. Termasuk yang baru adalah industri kosmetika yang juga maju pesat. Lembaga pemerintah terkait produk obat dan pangan yaitu Badan POM dalam penerimaan pegawai tahun 2005 juga mulai mencari alumni bioteknologi yang menunjukkan semakin banyaknya produk obat, termasuk vaksin dan pangan yang berbasis bioteknologi. Tantangan terbesar adalah penyediaan SDM terampil dan berwawasan bioteknologi luas. Umumnya bioteknologi di Indonesia berlandaskan bidang keilmuwan pertanian atau ilmu alam baik biologi atau kimia. Sedikit seperti di UI ada yang berbasis kedokteran. Di luar negeri, negara maju seperti Jepang, bioteknologi bisa saja berbasis keteknikan. Bahkan negara berkembang sekalipun seperti 174
DR. Adi Pancoro, DR. Arif Budi Witarto, M.Eng
Malaysia, beberapa universitasnya juga memiliki departemen bioteknologi berbasis pertanian dan teknik sekaligus. Semakin besarnya kebutuhan di Indonesia belum diikuti dengan penyediaan SDM bioteknologi yang mumpuni tersebut. Saat ini tidak dipungkiri, para ilmuwan peneliti dan doktor bioteknologi Indonesia masih sebagian besar almuni LN. Jadi merupakan tantangan besar melahirkan SDM produk DN yang lebih tahu kondisi dan permasalah lokal
Daftar Pustaka 1. Arief B. Witarto. 2005. Bioteknologi, sebuah gelombang ekonomi baru. Harian Bisnis Indonesia, 14 Juni 2005. 2. Informasi dari Microsoft Encarta versi 2004 3. Arief B. Witarto. 2005. Pengantar bioteknologi. Ceramah undangan di Fakultas Peternakan-UGM, Yogyakarta, 5 Februari 2005. 4. Arief B. Witarto. 2004. Bioteknologi siapa takut? Ceramah undangan di SMA Negeri 1 Depok, Depok, 20 Februari 2004. 5. Arief B. Witarto. 2004. Mengenal lebih jauh bioteknologi. Ceramah undangan di Pelatihan Bioteknologi untuk Profesi Kedokteran di RS Kanker Dharmais, Jakarta, 27 September 2004. 6. Arief B. Witarto. 2003. Bioteknologi kedokteran: Dari rekayasa genetika sampai rekayasa jaringan. Ceramah undangan di Seminar Kesehatan dan Kloning di Fakultas Kesehatan Masyarakat-UI, Depok, 14 Juni 2003. 7. Arief B. Witarto. 2004. Rekayasa genetika. Materi kuliah pasca sarjana S-2 Kimia peminatan bioteknologi di Jurusan Kimia, FMIPA-UI, Depok, semester ganjil 2004 8. Arief B. Witarto. 2003. Bermain dengan protein. Harian Kompas, 21 November 2003.
175
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
9. Arief B. Witarto. 2002. Kloning anak manusia dan bisnis. Harian Kompas, 21 April 2002. 10. Arief B. Witarto. 2005. Kloning terapi makin jadi kenyataan. Harian Kompas, 17 Juni 2005. 11. Arief B. Witarto. 2001. Current state of Indonesian biotechnology and its prospect in global market era. Ceramah undangan di 5th Symposium on Agricultural and Biochemical Engineering, University of Tokyo, Tokyo-Jepang, 11 Maret 2001. 12. Arief B. Witarto. 2003. Bio-island: Mengembangkan bioteknologi kenapa harus mengucilkan diri? Harian Suara Pembaruan, 31 Oktober 2003. 13. Arief B. Witarto. 2004. Menghidupkan bio-island. Portal Berita Iptek, 6 Desember 2004. 14. Arief B. Witarto. 2003. Membedah alat pengukur gula darah. Harian Kompas, 7 Oktober 2003. 15. Arief B. Witarto. 2003. Bertani protein. Harian Kompas, 14 April 2003.
176
PERAN PATEN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI NASIONAL Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE
A. Nilai Ekonomi HaKI
I
ntelectual property, merupakan kreasi fikiran berupa invention, literary, kerja seni, symbol, nama, image dan disain. Benefit social yang dimunculkan teoritis dan prakteknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada dimensi pembangunan, ada korelasi positif jumlah temuan yang dipatenkan dengan pertumbuhan ekonomi, biaya R&D, dan foreign direct investment, seperti terbukti beberapa Negara Asia yaitu Japan, Korea, China, Malaysia, Vietnam, dan India. HaKI = hak milik intelektual (intellectual property right); merupakan konsep legal (legal concept) meliputi lisensi, hak paten, merek dagang, 177
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
hak cipta. Dasar hukumnya jelas seperti copyright law (UU hak cipta) atau patent law. Dibawah UU ini, pemilik kekayaan intelektual memiliki hak eksklusif untuk melanjutkan kerja kreatif, komersialisasi, atau invention lanjutan. Hasilnya diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat secara bersama (non rival goods), hal ini yang merupakan benefit dari HaKI. Jika pemanfaatan dapat dilakukan simultan, maka pemunculan hak ekslusif yang identik dengan hak monopoli dapat dihindarkan. Iklim budaya HaKI dan legalitas perlindungannya perlu mendapat perhatian pemerintah terutama untuk mengatasi masalah berkaitan dengan intellectual property right, yaitu untuk menghindarkan masalah berikut: (1) Benefit yang dimunculkan pasca HaKI kadang tidak jelas, terutama jika tidak ada pemanfaatan oleh masyarakat secara luas serta tidak ada komersialisasi. Sebenarnya jika tidak ada pemanfaatan maka pemilik HaKI pun tidak mendapatkan keuntungan dibandingkan biaya transaksinya. (2) biaya transaksi relative besar, berkaitan dengan biaya sejak kegiatan memperoleh ide hingga melakukan proteksi, dan biaya mendapatkan hak perlindungan (3) Pemiliki HaKI sering tidak mau kolaborasi dengan pihak lain untuk melakukan inovasi lanjutan agar produksi atau ekonomisasi HaKI mampu signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kaitannya dengan persaingan usaha sehat yang berdampak pada pengembangan industri, HaKI idealnya merupakan salah satu instrumen persaingan dinamis, dalam arti, kemajuan suatu perusahaan berbasis inovasi dan HaKI akan memotivasi perusahaan lain untuk melakukan inovasi pula sehingga secara industry akan terjadi peningkatan ragam produk, efisiensi produksi, peningkatan kuantitas, dan ekspansi usaha. Dampak ekonomis secara makro terwujud jika benefit yang dimunculkan lebih besar dibandingkan biaya HAKI. 178
Prof. DR. Rina Indiastuti, SE., M.SIE
Sebaliknya, Masalah muncul jika terjadi hal sebaliknya yaitu jumlah HAKI meningkat namun benefit social tidak meningkat; karenanya durasi HAKI dibatasi umurnya. Pembatasan durasi HaKI juga untuk menghindarkan monopoli hak ekslusif terutama jika hasil temuan tersebut dihalangi pemanfaatannya untuk penciptaan benefit social.
B. HaKI dan Pengembangan Industri Kerangka legal HaKI memiliki nilai positif khususnya untuk melindungi kemajuan teknologi sehingga mendorong perusahaanperusahaan yang bersaing untuk kondusif melakukan R&D dan inovasi sehingga menjamin tujuan promosi teknologi baru dan pengembangan produk baru. Jika tujuan ini tercapai maka menjamin bekerjanya iklim usaha dan persaingan dinamis. Praktek persaingan dinamis akan memunculkan efisiensi kolektif sejalan dengan difusi kemajuan teknologi akibat efek sebar inovasi dan HaKI. Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas kepada industri yang melakukan R&D dan inovasi berupa insentif fiscal, non fiscal, dan kemudahan lainnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Perpres RI No. 28 Tahun 2008). Namun demikian, kriteria industry penerima fasilitas harus ditetapkan yaitu jika dengan HaKI mampu memunculkan benefit social yang diukur oleh meningkatnya ragam, kualitas, dan volume barang dan jasa, serta harga saing dan ekspansi suatu industri. Agar menjamin terwujudnnya benefit sosial atas HaKI, maka segala bentuk pelanggaran akan hak intelektual yang dimiliki seseorang atau kelompok perlu dihindarkan yaitu melalui perlindungan secara legal (perlindungan hukum). Pelanggaran yang terkategori pelanggaran hukum (perdata) diselesaikan melalui jalur hukum, namun pelanggaran yang berpotensi mengganggu iklim persaingan atau jalannya persaingan dinamis maka perlu pula diantisipasi oleh KPPU. Di Indonesia, sudah ada Dirjen HaKI yang memfasilitasi pengurusan HaKI dan ada KPPU yang mewasiti pelanggaran HaKI yang mengganggu unfair competition. Walaupun demikian, jumlah HAKI termasuk terendah di dunia. 179
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Catatan PCT (Patent Cooperation Treaty), tiga negara terbanyak berturut-turut US, Japan, dan Jerman. Untuk Indonesia, jelas sudah saatnya meningkatkan hasil kreasi yang dipatenkan atau HaKI sehingga dapat menstimulasi kemajuan IPTEK, pertumbuhan industri dan pertumbuhan ekonomi dibawah iklim persaingan yang sehat.
180
Strategi Adopsi Teknologi Informasi UNTUK MEWUJUDKAN IKM KELAS DUNIA YANG BERDAYA SAING SEBAGAI PENOPANG BANGUN INDUSTRI NASIONAL 2025 DR. Yan Rianto, M.Eng
A. Pendahuluan Dewasa ini, IKM menjadi salah satu sektor ekonomi yang sangat diperhitungkan dalam perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya kontribusi IKM terhadap perekonomian Indonesia. Dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dari tahun 2002 hingga 2005 peranan IKM terus menunjukkan peningkatan . Pada tahun 2005, IKM mampu memberikan kontribusi sebesar 3,16% dari 5,6% pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam penciptaan nilai tambah nasional, IKM juga mempunyai peranan yang besar. Pada tahun 2004 dan 2005, lebih dari separuh nilai tambah nasional diciptakan oleh IKM. Pada tahun 2004, 181
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku yang diciptakan oleh IKM mencapai Rp 1.271,99 triliun atau 55,96% dari nilai tambah nasional. Sedangkan pada tahun 2005, IKM mampu menciptakan 54,22% dari total nilai tambah nasional. Sementara itu, saat ini perkembangan ekonomi regional dan global sedang mengarah pada era perdagangan bebas. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi IKM di Indonesia. Seperti halnya industriindustri yang berskala besar, dalam era perdagangan bebas ini IKM juga menghadapi tantangan pasar berupa persaingan dengan produsenprodusen dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam kaitan ini, IKM dituntut untuk melakukan perubahan untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Hal ini berarti bahwa kebutuhan pelanggan perlu dipenuhi dengan produk dan jasa yang konstan dan reliable dengan kualitas yang baik, sementara lingkungan pasar terkarakterisasi dengan kompetisi global. IKM dikatakan memiliki daya saing global apabila mampu menjalankan operasi bisnisnya secara reliabel, seimbang, dan berstandar tinggi (Chase, Jacobs, dan Aquilano, 2007). Pemerintah pada bulan Mei tahun 2008 menerbitkan perpres No 28/2008 tentang kebijakan industri nasional. Kebijakan pengembangan industri nasional tersebut, melliputi Bangun Industri tahun 2025, Strategi Pembangunan Industri Nasional dan Fasilitas Pemerintah. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka diharapkan Bangun Industri Nasional tahun 2025 tersusun dari basis industri manufaktur dan industri andalan masa depan. Bangun Industri tahuan 2025 digambarkan ditopang salah satunya oleh basis industri manufaktur, dimana pemerintah menargetkan, perusahaan-perusahaan pada sektor industri manufaktur indonesia sudah dalam level kelas dunia. Untuk dapat mewujudkan basis industri manufaktur yang kokoh sebagai penopang bangun industri nasional, tentu harus ditopang oleh industri Kecil Menengah kelas dunia yang tumbuh kokoh dan berdaya saing tinggi. Jika pada saat ini perkembangan ekonomi global ditandai dengan ciri adanya persaingan yang sangat ketat, dan perkembangan teknologi 182
DR. Yan Rianto, M.Eng
yang sangat pesat, maka dapat dibayangkan pada tahun 2025, inovasi, teknologi, pengetahuan dan inovasi menjadi kunci bagi daya saing sebuah perusahaan. Sehingga industri kecil menengah pada tahun 2025, sesuai dengan bangun industri nasional, agar dapat masuk ke level kelas dunia, mutlak harus menguasai teknologi dan berdaya saing tinggi. Altenburg et al. (1998) mengemukakan bahwa daya saing sebuah perusahaan merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi pasar dengan mensuplai produk secara tepat waktu dan pada harga yang kompetitif melalui fleksibilitas untuk merespon perubahan permintaan secara cepat dan melalui manajemen diferensiasi produk yang sukses dengan membangun kapasitas inovatif dan sistem pemasaran yang efektif. Michael E. Porter menyatakan daya saing sebuah perusahaan didasarkan atas peningkatan produktivitas. Peningkatan daya saing dapat diinterpretasikan sebagai kemampuan perusahaan untuk menstimulasi pengembangan, meningkatkan produktivitas, dan memperluas pasar untuk menghadapi kompetisi. Michael E. Porter menyamakan daya saing dengan produktivitas, dan menekankan pentingnya aktivitas untuk mengidentifikasi faktor penentunya. Perusahaan dikatakan kompetitif jika produktivitas tenaga kerja dan semua faktor produksi tumbuh secara konsisten, dimana situasinya memungkinkan mereka untuk mengurangi unit costs dari output yang dihasilkan, yang berarti juga melakukan efisiensi biaya sebagai salah satu faktor penentu daya saing. Produktivitas yang makin tinggi memberikan pendanaan bagi rencana ekspansi perusahaan, dan dalam jangka pendek masyarakat memperoleh keuntungan dari produk yang lebih bagus dan lebih murah di pasar, dan dalam jangka menengah berdampak pada pertumbuhan lapangan kerja. Pertumbuhan produktivitas tergantung pada sejumlah faktor diantaranya yang paling penting adalah investasi pada sektor TI (Wysokinska, 2003). Penggunaan TI dapat meningkatkan transformasi bisnis melalui kecepatan, ketepatan dan efisiensi pertukaran informasi dalam jumlah yang besar (UNDP, 2007). Studi kasus di Eropa juga menunjukkan bahwa lebih dari 50% produktivitas dicapai melalui investasi di bidang TI ( van Ark et al, 2002; OECD, 2003). 183
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Penelitian tentang adopsi TI di IKM indonesia pada subsektor tekstil dan produk tekstil (TPT), kerajinan, dan komponen otomotif, menunjukkan bahwa adopsi TI dapat meningkatkan daya saing di IKM Indonesia (Rianto, 2007). TI membantu IKM hampir di semua bidang aktivitas bisnisnya (Rianto, 2007). Di subsektor TPT dengan karakteristik produk yang bersifat fashionable, serta proses produksi dan sistem manajemen yang kompleks dan rumit, TI sangat membantu terutama dalam hal desain produk dan proses produksi yang memberikan hasil pada peningkatan efisiensi bahan baku serta mengurangi waktu proses. Terkait dengan konsep daya saing seperti yang telah dijelaskan di atas, TI memiliki dampak pada peningkatan produktivitas dan kemampuan merespon permintaan secara cepat. TI banyak digunakan untuk keperluan administrasi dan desain produk. Dalam hal penggunaan internet, IKM pada subsektor TPT banyak menggunakannya dalam hal email dan browsing. Di subsektor kerajinan yang cenderung berorientasi ekspor, TI sangat membantu terutama dalam bidang manajemen pemasaran, karena TI memungkinkan IKM untuk memperoleh pangsa pasar yang lebih luas, terutama untuk meraih pasar luar negeri. TI pada subsektor ini banyak digunakan terutama dalam kegiatan administrasi dan pemasaran, sedangkan penerapan internet paling banyak digunakan untuk email. Pada subsektor komponen otomotif yang kebanyakan merupakan subkontraktor perusahaan besar serta memiliki proses produksi dan sistem manajemen yang kompleks dan rumit, TI terlihat sangat membantu terutama dalam desain produk dan manajemen produksi yang berdampak pada peningkatan produktivitas dan kemampuan merespon permintaan secara cepat. IKM pada subsektor ini banyak menerapkan TI untuk keperluan desain produk dan administrasi, serta menggunakan internet dalam bentuk email. Sebagai mana dijelaskan di atas, adopsi teknologi informasi pada perusahaan kecil menengah, memiliki peran penting dalam peningkatan daya saing perusahaan. Adopsi teknologi informasi akan menjadi semakin penting jika dikaitkan dengan bangun industri nasional 2025. 184
DR. Yan Rianto, M.Eng
Gambar 30. TI dan Daya Saing di IKM Indonesia
Meskipun adopsi TI merupakan salah satu faktor penggerak daya saing namun dalam penerapan dan proses pengembangannya IKM masih banyak menghadapi hambatan dan kendala sebagai mana diuraikan di bawah.
B. Faktor Penggerak dan Penghambat Adopsi TI di Ikm Keberhasilan dalam melakukan adopsi TI di IKM ditentukan oleh faktor-faktor penggerak dan penghambat dalam melakukan adopsi TI tersebut. Dalam melakukan proses adopsi TI, IKM perlu menyadari dan mempertimbangkan faktor penggerak dan penghambat yang dimiliki oleh perusahaan. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, perusahaan diharapkan mampu memaksimalkan faktor penggerak dan menghindari atau mengurangi faktor penghambat. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat penting untuk mengidentifikasi faktor penggerak dan penghambat adopsi TI di IKM. 185
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Dorongan dan hambatan yang dihadapi oleh IKM dalam melakukan adopsi TI dapat berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. A.1. Faktor Penggerak Adopsi TI di IKM Keberhasilan adopsi TI di IKM didorong oleh persepsi IKM bahwa TI akan membawa kemajuan bagi perusahaan; kecukupan dan dukungan terhadap pengembangan diri karyawan (kategori sumber daya); pengertian dan pemahaman pemilik/manajer terhadap TI, TI sebagai salah satu strategi perusahaan, kecukupan staff TI, dan kecukupan infrastruktur (kategori kesiapan dukungan sistem); tuntutan pelanggan dan pengaruh TI terhadap persaingan (kategori pasar); kemampuan membayar internet (kategori infrastruktur); kemudahan memperoleh jasa konsultan dan kecukupan bantuan konsultan (kategori vendor dan konsultan). a. Visi Pemilik/Manager Adopsi Teknologi Inforasi sebagian besar didodrong oleh adanya visi dari pemilik perusahaan tentang pemanfaatan TI dalam perusahaannya. Sebagian besar IKM (91%) yang diteliti oleh Rianto, berpersepsi bahwa penggunaan TI dapat atau akan memberikan manfaat bagi kemajuan perusahaan. Kondisi ini tentu saja akan berimplikasi positif bagi pengembangan adopsi TI. Anggapan para IKM terhadap manfaat TI bagi kemajuan perusahaan akan mendorong IKM untuk melakukan adopsi TI dan mengembangkannya menjadi salah satu faktor penting dalam aktivitas bisnisnya. Visi dari pemilik ini didasari dari adanya pengertian dan pemahaman pemilik/manajer terhadap TI. b. Strategi Perusahaan Rencana dan strategi pengembangan dan implementasi TI yang jelas akan membantu perusahaan dalam menentukan arah dan tujuan adopsi TI di masa yang akan datang. IKM yang berhasil dalam mengadopsi TI telah memasukkan TI sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan dan 186
DR. Yan Rianto, M.Eng
menjadi faktor penggerak bagi IKM untuk mengadopsi TI. Studi kasus di salah satu IKM subkontraktor komponen otomotif menunjukkan bahwa perusahan telah memiliki tahapan pengembangan TI yang jelas guna mencapai tujuan perusahaan mengadopsi TI terutama untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Rencana dan tujuan yang jelas dari penggunaan TI ini mempermudah perusahaan untuk mengadopsi TI. Alokasi dana untuk mengadopsi TI. Sebagai bagian dari strategi perusahaan yang telah mengadopsi TI, IKM-IKM mengalokasikan dana yang cukup untuk menerapkan TI (sangat disesuaikan dengan kebutuhan dan hati-hati dalam investasi TI). Hal ini terjadi karena dalam melakukan adopsi TI, IKM cenderung menyesuaikan aplikasi atau sistem yang ingin diadopsi terhadap dana yang dimilikinya. Seperti yang terjadi di salah satu IKM kerajinan di Bali yaitu JG yang memilih Golden Grafica sebagai perusahaan yang mengembangkan web karena harga yang ditawarkan paling murah dibandingkan dengan perusahaan pengembang web lainnya. Saat pertama kali ingin membuat web, beberapa perusahaan menawarkan ke JG dengan harga yang tinggi yaitu hingga mencapai 10 juta. Sampai pada akhirnya JG memilih Golden Grafica sebagai pengembang web karena tarifnya hanya sebesar 1.750.000/tahun. Dengan tarif sebesar itu perusahaan merasa cukup mempunyai dana untuk membayarnya. Kecukupan dana dalam menerapkan TI di IKM juga disebabkan oleh penggunaan vendor atau programmer yang pada umumnya berasal dari kenalan pribadi sehingga tarif yang ditawarkannya pun jauh lebih murah. Rendahnya biaya yang harus ditanggung oleh IKM ini menyebabkan perusahaan merasa cukup mampu mendanai adopsi TI. Hal di atas menunjukkan bahwa IKM sangat berhati-hati dalam melakukan investasi di bidang TI. Sehingga meskipun mereka memiliki persepsi tentang manfaat TI, namun mereka mengalokasikan dana dalam jumlah yang sangat minim untuk investasi TI, namun alokasi dana untuk TI ini tidak bersifat rutin.
187
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Dukungan terhadap pengembangan diri karyawan. Sebagai konsekuensi dari stategi TI, IKM yang telah mengadpsi TI biasanya memberi dukungan bagi pengembangan diri karyawan dalam bidang TI yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Pengembangan diri karyawan di bidang TI mampu menjadi faktor pendorong bagi perusahaan dalam mengadopsi TI. Meskipun pada umumnya pelatihan bagi karyawan dilakukan secara informal namun IKM-IKM Manufaktur telah memberikan pelatihan bagi karyawannya yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menggunakan TI. Dengan mempertimbangkan perbedaan latar belakang pendidikan operator TI yang dimiliki oleh perusahaan, maka sosialisasi dan pelatihan aplikasi bagi operator dilakukan secara on-the-job dengan menggunakan metode turun tangga. Awalnya perusahaan akan memilih leader pada tiap divisi. Pegawai yang dijadikan leader adalah pegawai yang paling tidak gagap teknologi. Kemudian staff TI perusahaan akan melatih dan melakukan pengenalan dasar bagi leader tersebut. Setelah itu, leader tersebutlah yang mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan lebih mendalam. Dalam memberikan pemahaman terhadap operator, staff TI juga melakukan perbandingan dengan sistem yang pernah ada, operator akan menilai sendiri apakah yang aplikasi yang baru lebih mudah dari sebelumnya. Pelatihan TI yang dilakukan oleh IKM terhadap karyawannya akan berdampak positif bagi perusahaan pada saat perusahaan ingin melakukan pengembangan adopsi TI. Pengetahuan tentang TI yang lebih baik yang telah diperoleh dari pelatihan akan membantu tenaga kerja dalam mengadopsi teknologi baru. Kondisi ini pada akhirnya akan mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan dalam adopsi TI. c. Pasar Dalam hal adopsi TI, pelaku-pelaku pasar yang terkait dengan perusahaan (pelanggan, pemasok dan pesaing) akan mempengaruhi keputusan perusahaan dalam mengadopsi TI. Keberadaan dan kondisi 188
DR. Yan Rianto, M.Eng
para pelaku pasar akan dapat menjadi faktor penggerak sekaligus faktor penghambat perusahaan mengadopsi TI. Hasil survei telah membuktikan bahwa tuntutan dari pelanggan dan persaingan merupakan faktor penggerak bagi IKM untuk mengadopsi TI. Penerapan TI yang membuat transaksi menjadi lebih efektif dan efisien menyebabkan pelanggan akan cenderung menekan perusahaan untuk mengadopsi TI. Pada perusahaan subkontraktor, perusahaan pelanggan dapat memiliki peran besar dalam meningkatkan adopsi TI perusahaan. Pertukaran data elektronik seperti pertukaran file dalam format tertentu (kewajiban penggunaan aplikasi CAD dalam disain engineering) atau verivikafi pembayaran secara elektronik (e-verify)adalah beberapa jenis aplikasi yang saat ini sudah mulai diterapkan pada perusahaan-perusahaan tersebut. Hal seperti ini meningkatkan leel adopsi TI pada IKM. Pada IKM yang berorientasi ekspor juga menunjukkan bahwa tuntutan dari pihak pelanggan untuk dapat berkomunikasi via email, mampu mendorong perusahaan untuk menggunakan internet. Tuntutan dari pihak pelanggan telah terbukti mendorong IKM untuk mengadopsi TI sesuai dengan permintaan dan kebutuhan pelanggan. d. Vendor dan Konsultan Pihak lain yang dapat membantu perusahaan khususnya IKM dalam mengadopsi TI adalah pihak vendor dan konsultan. Mereka akan membantu IKM dalam membangun dan mengembangkan TI yang ada di perusahaan. Untuk kategori ini, hasil survei menunjukkan bahwa kemudahan dalam memperoleh jasa konsultan dan kecukupan bantuan dari konsultan menjadi faktor penggerak IKM untuk mengadopsi TI. A.2. Faktor Penghambat Adopsi TI di IKM Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam adopsi TI di IKM. Hambatan dalam kategori sumberdaya meliputi kecukupan jumlah karyawan yang mampu menggunakan TI dan ketersediaan dana rutin untuk TI. Kemudian sedangkan hambatan yang termasuk dalam kategori pasar mencakup pengaruh TI terhadap jumlah pelanggan, 189
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
tuntutan pemasok, dan pengaruh TI terhadap kerjasama dengan pemasok. Kecukupan dukungan keuangan dan non keuangan dari pemerintah serta kemampuan membayar konsultan juga teridentifikasi sebagai faktor penghambat adopsi TI di IKM manufaktur. a. Keterbatasan Sumber Daya Ketersediaan sumber daya di perusahaan akan mempengaruhi perusahaan dalam mengadopsi TI. Dalam hal sumber daya, sebagian besar IKM memiliki hambatan dalam hal kecukupan jumlah karyawan yang mampu menggunakan TI serta ketersediaan dana rutin untuk TI. Kesulitan dalam jumlah karyawan yang mampu menggunakan TI Keberadaan tenaga kerja dibutuhkan dalam adopsi TI karena tenaga kerja merupakan pengguna TI dalam IKM. Dari hasil studi kasus yang dilakukan, hambatan dalam kecukupan jumlah karyawan yang mampu menggunakan TI mengindikasikan bahwa IKM mengalami kesulitan mengimplementasikan TI, terutama dalam operasionalisasi aktivitas bisnisnya. Slah satu karakteristik IKM adlah lemahnya SDM. Kebanyakan pegawai pada IKM hanya tamatan SMU atau lebih rendah, dan tidak bisa menggunakan komputer dan internet. Hal ini cukup menyulitkan kegiatan operasional perusahaan karena memperlama waktu pengerjaan. Disamping itu, perusahaan perlu melakukan training khusus (on-the job training) yang cukup memakan waktu. Ada perusahaan perusahaan yang mengadakan pelatihan khusus penggunaan internet bagi pegawainya. Perusahaan menggunakan jasa pelatihan untuk melatih pegawainya, atau dilakukan secara intern oleh SDM perusahaan yang lain. Ketidak-tersediaan dana rutin untuk TI Sumber daya terutama sumber daya keuangan dibutuhkan untuk mendanai proses adopsi. Jika IKM mempunyai keterbatasan keuangan, maka perusahaan akan kesulitan dalam memperoleh produk IT yang diinginkan. Dalam penelitian ini, sumber daya keuangan diwakili oleh ketersediaan dana rutin untuk TI. Sebagian besar IKM tidak memiliki anggaran rutin untuk TI. Kebanyakan dana rutin dikeluarkan hanya 190
DR. Yan Rianto, M.Eng
untuk internet sedangkan dana rutin untuk pengembangan software/ hardware masih jarang ditemukan. Dari studi kasus yang dilakukan, terlihat bahwa IKM cenderung mengadopsi TI (baik yang baru, maupun pengembangan dari TI yang telah ada) ketika dana telah terkumpul, atau ketika ada dorongan dari lingkungan eksternal. Adopsi tersebut juga kebanyakan tidak memperoleh kualitas hasil yang diharapkan, karena TI yang diadopsi disesuaikan dengan dana yang dimiliki. Tidak adanya anggaran rutin menyebabkan IKM ini tidak dapat melakukan pengembangan TI yang terencana, sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang. b. Ketiadaan dukungan Pemerintah Pemerintah merupakan salah satu pihak yang diharapkan dapat memberikan dukungan bagi IKM mengingat keterbatasan yang dimilikinya. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, hambatan dari pemerintah meliputi kecukupan dukungan keuangan serta dukungan non-keuangan. Ketiadaan dukungan keuangan Salah satu bentuk dukungan dari pemerintah adalah berbentuk dukungan keuangan. dari hasil studi kasus, IKM menilai pemerintah tidak pernah memberikan dukungan keuangan untuk melakukan adopsi TI. Kredit bank yang ada juga dinilai terlalu tinggi bunganya, sehingga kurang terjangkau oleh IKM. Hal ini menghambat adopsi TI di IKM yang mengalami kesulitan keuangan namun sebenarnya ingin mengembangkan TI demi kepentingan bisnisnya. IKM ini mengalami kesulitan karena mahalnya harga investasi TI bagi IKM, disamping itu, bunga bank yang dirasakan terlalu tinggi dan pelaksanaan perpajakan cukup membebani IKM ini dan menjadi hambatan dalam mengadopsi TI. Ketiadaan dukungan non keuangan Dukungan pemerintah dapat pula berupa dukungan non keuangan. Dari survei yang dilakukan, terlihat bahwa sebagian besar 191
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
IKM menganggap bahwa pemerintah kurang memberikan dukungan non-keuangan. Dari studi kasus yang dilakukan, diketahui bahwa pada dasarnya telah memberikan bantuan, diantaranya dengan memberikan pelatihan-pelatihan dan membuatkan website. Pemda pernah melakukan survei tentang TI di IKM. Sewaktu melakukan survei dikatakan bahwa akan web masal untuk IKM, namun kelanjutannya tidak ada. Selain itu IKM juga kesulitan dalam memperoleh kesempatan atau informasi pelatihan TI yang diadakan oleh pemerintah. Dalam hal pelatihan, pemilik IKM mengatakan bahwa Pemerintah sering mengadakan pelatihan internet untuk IKM, namun perusahaan tidak pernah mengikuti karena tidak memperoleh informasi mengenai pelaksanaan training tersebut. Perusahaan juga mengaku pernah dibuatkan website oleh KIKM setahun yang lalu. Apabila ada pembeli yang berminat langsung menghubungi perusahaan melalui email. Namun permintaan konsumen dari web tersebut masih kurang karena website tersebut jarang dikunjungi (kurang menarik konsumen). Tidak maksimalnya bantuan dari pemerintah tersebut membuat IKM enggan mengembangkan TI yang dimilikinya. c. Lemahnya Infrastruktur Ketersediaan infrastruktur TI di luar perusahaan (untuk umum) juga merupakan salah satu faktor penentu adopsi TI. Ketersediaan infrastruktur TI yang memadai akan memudahkan perusahaan untuk mengadopsi TI. Dalam penelitian ini, variabel infrastruktur diwakili oleh biaya internet. Biaya internet yang terlalu tinggi menjadi faktor penghambat adopsi bagi perusahaan yang tidak mampu membayar. Perusahaan-perusahaan yang menggunakan internet pada umumnya menyediakan dana khusus untuk membayar biaya penggunaan internet. Dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan, koneksi internet yang dipilih adalah yang mudah pemasangannya dan murah. Oleh sebab itu, perusahaan merasa mampu membayar internet dan perusahaan pun tetap terdorong untuk menggunakan teknologi internet. 192
DR. Yan Rianto, M.Eng
C. Strategi Peningkatan Kemampuan Adopsi TI di Ikm Di atas telah dijelaskan bahwa adopsi TI memegang peranan penting bagi perusahaan kecil dan menengah dalam meningkatkan daya saing perusahaan. Dalam perekonomian global saat ini, perusahaan menghadapi persaingan yang sangat ketat dan dituntut untuk memiliki kapabilitas teknologi yang cukup agar dapat bertahan dalam persaingan. Dalam bangun industri nasional 2025, IKM industri manufaktur diharapkan menjadi penopang bangun industri nasional pada tahun 2025. Untuk itu peningkatan kemampuan IKM dalam melakukan adopsi TI menjadi penting. Namun di lain sisi, IKM banyak mengalami hambatan-hambatan dalam mengadopsi TI di dalam perusahaan, sebagai mana dijelaskan di atas. Selain juga ada beberapa faktor penggerak bagi IKM untuk mengadopsi TI. Selanjutnya disarankan strategi yang perlu diambil pemerintah untuk membantu IKM meningkatkan kemampuan adopsi TI di dalam perusahaannya agar dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Sehingga diharapkan ke depan IKM sektor manufaktur dapat menjadi bagian dari basis bangun industri nasional 2025 sebagaimana ditetapkan dalam Kebijkan Industri Nasional. C.1. Meningkatkan Perceived Benefit Pemilik/Manager Salah satu faktor utama yang menggerakkan IKM untuk melakukan adopsi TI adalah visi dari pemilik atau manajer perusahaan tersebut. Hal ini sangat terkait dengan karakteristik IKM Indonesia yang sangat tergantung dengan keberadaan pemilik atau pimpinan perusahaan. Pemilik yang pada umumnya juga sebagai manajer perusahaan akan menjadi central power bagi kegiatan bisnis IKM (Rianto dkk, 2005). Terkait dengan adopsi TI, visi pemilik/manager terhadap pengembangan TI dipengaruhi oleh persepsi pemilik/manager mengenai manfaat (perceived benefit) penerapan TI terhadap kegiatan usaha perusahaan. Apabila pemilik/manager telah mengetahui bahwa TI merupakan alat 193
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
yang banyak memiliki manfaat terhadap kemajuan bisnis perusahaan, maka pemilik/manager akan mempunyai pemikiran yang positif terhadap pentingnya adopsi TI bagi perusahaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perceived benefit yang dimiliki akan mempengaruhi kesadaran (awareness) pemilik/manager IKM untuk melakukan adopsi TI. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa awareness merupakan tahap awal tahap awal dalam adopsi TI sebelum IKM mempertimbangkan untuk melakukan adopsi. Hal tersebut merupakan aspek penting karena mempengaruhi pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan adopsi TI. Gambar 31. Tahapan Adopsi TI di IKM
Sumber: Kotelnikov (2007)
Sayangnya, tidak sedikit pemilik/manager IKM yang belum memahami manfaat dari penerapan TI di perusahaannya. Masih banyak pemilik/manager IKM yang menganggap bahwa adopsi TI memerlukan biaya yang mahal dan sulit untuk diimplementasikan, sehingga manfaat yang diperoleh dari TI tidak akan sebesar biaya yang dikeluarkan. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan IKM tersebut enggan untuk melakukan adopsi TI. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan adopsi TI di IKM diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan perceived benefit pemilik/ manager IKM terhadap adopsi TI di perusahaan. Strategi meningkatkan perceived benefit pemilik/manager merupakan strategi yang penting dan berlaku baik bagi IKM berskala kecil maupun skala menengah. Untuk meningkatkan adopsi TI, kedua tipe IKM tersebut memerlukan perceived benefit pemilik/manager terhadap adopsi TI.
194
DR. Yan Rianto, M.Eng
C.2. Menciptakan Iklim yang Kondusif Bagi IKM untuk Mengadopsi TI Untuk dapat ,meningkatkan adopsi TI di IKM, adalah penting menciptakan iklim yang kondusif guna mendorong IKM untuk mengadopsi TI. Penciptaan iklim yang kondusif diperlukan guna memaksa/mengkondisikan dan memperbesar peluang IKM agar mau mengadopsi TI. Hal ini didukung oleh fakta di dunia nyata yaitu keengganan IKM selama ini lebih banyak disebabkan oleh kondisi lingkungan usaha yang tidak mendukung mereka untuk melakukan adopsi TI. Misalnya, masih mahalnya biaya internet, belum adanya pendampingan atau layanan informasi terkait dengan proses adopsi TI di IKM, dan lain sebagainya. Strategi ini juga berlaku di kedua tipe IKM, namun strategi ini harus menjadi fokus pertimbangan yang lebih diperhatikan untuk meningkatkan adopsi TI di IKM berskala menengah. Sebagai jenis usaha yang memiliki kebutuhan TI yang cenderung lebih tinggi dan kompleks, membuat IKM berskala menengah menjadi lebih memerlukan adanya iklim yang kondusif guna mendukung perusahaan dalam memenuhi kebutuhan TI. Secara umum iklim yang kondusif bagi IKM untuk mengadopsi TI diperlukan agar IKM mampu merespon kebutuhan tuntutan pasar dengan cepat dan segera menentukan dan menerapkan langkah-langkah yang diperlukan. Hal ini penting mengingat persaingan pasar yang semakin ketat di era globalisasi seperti saat ini yang sangat membutuhkan TI sebagai solusi. C.3 Meningkatkan Linkage Antar Stakeholders Guna meningkatkan kemampuan IKM dalam mengadopsi TI diperlukan adanya linkage antar stakeholders yang terkait dengan adopsi TI di IKM yaitu pemerintah, industri (IKM) dan perguruan tinggi untuk saling berinteraksi dan bekerjasama. Adanya kerjasama ini diperlukan untuk mengatasi keterbatasan sumber daya dan kemampuan IKM. Linkage antar stakeholder juga diperlukan guna mengkoordinasikan 195
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
program serta kegiatan operasional kerjasama untuk mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki agar lebih efektif dan efisien. Strategi ini juga berlaku baik untuk perusahaan skala kecil yang membutuhkan aplikasi TI yang lebih sederhana, maupun untuk perusahaan skala menengah yang memiliki kebutuhan TI yang lebih kompleks. Namun strategi ini harus menjadi fokus pertimbangan yang lebih diperhatikan untuk meningkatkan adopsi TI di IKM berskala menengah. Sebagai jenis usaha yang memiliki kebutuhan TI yang cenderung lebih tinggi dan kompleks, membuat IKM berskala menengah menjadi lebih memerlukan adanya hubungan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan akan solusi TI yang lebih tinggi. C.4. Kebijakan Pendukung Strategi dan Instrumen Operasional Untuk mendukung strategi peningkatan adopsi TI yang telah dijelaskan di atas, diperlukan kebijakan pendukung serta instrumen operasionalnya. Strategi, kebijakan dan instrumen operasional untuk meningkatkan adopsi TI di IKM skala kecil dan skala menengah diperlihatkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 30. Strategi, Kebijakan, dan Instrumen Peningkatan Adopsi TI di IKM Skala Kecil Strategi Meningkatkan perceived benefit pemilik
196
Kebijakan Peningkatan pengetahuan pemilik mengenai manfaat dan tahapan adopsi TI di IKM
Instrumen • Sosialisasi manfaat adopsi TI • Sosialisasi pengetahuan mengenai tahapan adopsi TI yang tepat untuk IKM
DR. Yan Rianto, M.Eng
Strategi Menciptakan iklim yang kondusif bagi IKM untuk mengadopsi TI, setelah dilakukan identifikasi IKM yang potensial serta kebutuhan TI untuk tiap subsector secara spesifik
Meningkatkan linkage antar stakeholders
Kebijakan Memperkuat faktor penggerak • Tuntutan/ Peluang pasar • Vendor
Instrumen • Sosialisasi tahapan adopsi: penyusunan panduan, layanan informasi • Pemberian bantuan teknis adopsi TI: pendampingan, konsultasi • Insentif penggunaan vendor atau pakar TI
Menurunkan faktor penghambat • SDM (karyawan pada level pengguna) • Finansial • Pemerintah
•
Peningkatan kerjasama dan koordinasi antar stakeholders
Pengembangan brainware: sosialisasi, pelatihan, pendampingan, layanan informasi • Pemberian insentif financial bagi adopsi TI: pengadaaan hardware, internet • Promosi penggunaan OSS di IKM: sosialisasi, pelatihan, penyediaan solusi OSS yang spesifik sesuai kebutuhan yaitu solusi yang sederhana dan siap pakai (instan), bantuan implementasi • Advokasi, sosialisasi urgensi adopsi TI di IKM pada sektor potensial • Web bersama • Jaringan antar lembaga
197
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Tabel 31. Strategi, Kebijakan, dan Instrumen Peningkatan Adopsi TI di IKM Skala Menengah Strategi Meningkatkan perceived benefit pemilik/manajer dan karyawan Menciptakan iklim yang kondusif bagi IKM untuk mengadopsi TI, setelah dilakukan identifikasi IKM yang potensial serta kebutuhan TI untuk tiap subsector secara spesifik
Kebijakan Peningkatan pengetahuan pemilik/manajer dan karyawan mengenai manfaat dan tahapan adopsi TI di IKM Memperkuat faktor penggerak • Tuntutan pasar • Strategi perusahaan • Vendor
Menurunkan faktor penghambat • SDM (staff TI dan karyawan pada level pengguna) • Finansial • Pemerintah
Meningkatkan linkage antar stakeholders
198
Peningkatan kerjasama dan koordinasi antar stakeholders
Instrumen • Sosialisasi manfaat adopsi TI • Sosialisasi pengetahuan mengenai tahapan adopsi TI yang tepat untuk IKM •
Mendorong buyer/ principal untuk meningkatkan penggunaan TI dalam transaksi, misal dengan e-procurement, ebusiness, dll • Sosialisasi tahapan adopsi: penyusunan panduan, layanan informasi • Pemberian bantuan teknis adopsi TI: pendampingan, konsultasi • Insentif penggunaan vendor atau pakar TI •
Pengembangan brainware: sosialisasi, pelatihan, pendampingan, layanan informasi • Pemberian insentif financial bagi adopsi TI: pengadaaan hardware, internet • Promosi penggunaan OSS di IKM: sosialisasi, pelatihan, penyediaan solusi OSS yang spesifik sesuai kebutuhan, bantuan implementasi • Advokasi, sosialisasi urgensi adopsi TI di IKM pada sektor potensial • Web bersama • Jaringan antar lembaga
DR. Yan Rianto, M.Eng
Meningkatkan Perceived Benefit Perceived benefit mutlak diperlukan sebagai prasyarat terjadinya adopsi TI di IKM. Oleh karenanya, strategi untuk meningkatkan perceived benefit menjadi penting. Untuk IKM skala kecil, perceived benefit dari pemilik/manajer sangat diperlukan. Sedangkan untuk IKM skala menengah, hal ini tidaklah cukup mengingat inersia organisasi yang cukup besar dan area implementasinya yang lebih luas. Hal tersebut sangat berbeda dengan IKM skala kecil yang sebagian besar kegiatannya dipegang oleh pemilik/manajer. Oleh karenanya, untuk mendorong adopsi TI di IKM skala menengah, diperlukan pula perceived benefit dari karyawan. Untuk mendukung peningkatan perceived benefit tersebut, diperlukan adanya kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan pemilik/manajer dan karyawan mengenai manfaat yang dapat diperoleh dan juga tahapan adopsi TI yang seharusnya dilakukan oleh IKM. Hal ini diperlukan karena berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebagian besar pemilik/manajer enggan mengadopsi TI karena mereka tidak mengetahui manfaat yang dapat diberikan TI bagi kemajuan bisnis perusahaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketiadaan perceived benefit dari karyawan juga menghambat adopsi TI karena keberadaan TI itu sendiri justru tidak dimanfaatkan sehingga utilitasnya menjadi rendah atau bahkan menghambat kerja karyawan, sehingga pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan lebih cepat justru menjadi lebih lama. Di samping itu, pengetahuan mengenai tahapan adopsi juga menjadi hal yang penting. Pada umumnya, pemilik/manajer yang telah membuat keputusan adopsi TI memiliki resiko kegagalan dalam implementasi. Tanpa pengetahuan mengenai adopsi TI yang tepat, resiko kegagalan menjadi lebih besar, apalagi jika IKM yang bersangkutan tidak memiliki SDM yang ahli dalam hal TI, ataupun karyawan yang mampu dan mau menggunakan TI dalam melaksanakan pekerjaannya, serta kemampuan finansial untuk memperoleh jasa vendor/konsultan guna membantu adopsi TI. Untuk mendukung kebijakan tersebut, diperlukan instrumen berupa sosialisasi mengenai manfaat serta pengetahuan mengenai tahapan adopsi TI yang tepat untuk IKM. Sosialisasi ini masih sangat sedikit 199
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
dilakukan yakni oleh asosiasi dengan mengumpulkan pemilik/manajer IKM dalam sebuah forum guna mengetahui kisah sukses dari IKM lain yang telah mengadopsi TI. Hal serupa dapat dilakukan pula oleh LSM, sehingga semakin banyak pula IKM yang mengetahui keberhasilan yang dicapai oleh IKM lain dan terdorong untuk melakukan hal serupa di perusahaannya. Menciptakan Iklim yang Kondusif bagi IKM untuk Mengadopsi TI Strategi kedua yang perlu dilakukan untuk mendorong adopsi TI di IKM, yakni menciptakan iklim yang kondusif. Dalam penciptaan iklim ini, perlu dilakukan identifikasi terhadap IKM yang potensial untuk menerapkan TI, serta kebutuhan TI untuk tiap subsector industri secara spesifik. Identifikasi IKM yang potensial penting dilakukan untuk memperbesar kemungkinan mencapai keberhasilan dalam adopsi sehingga berdampak positif terhadap persepsi IKM-IKM lain terhadap manfaat TI. Dengan pemilihan IKM yang berpotensi, hal tersebut dapat memungkinkan IKM untuk lebih cepat meraih manfaat/keuntungan dari adopsi TI. Hal ini juga dengan cepat akan meningkatkan tingkat adopsi yang menambah jumlah total IKM yang menggunakan TI sehingga kesadaran akan manfaat TI yang telah berkembang akan mendorong adopsi oleh industri lainnya. Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Bass (1969) dan Rogers (1995). Disamping itu, hal ini penting untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada, terutama insentif yang berasal dari pemerintah yang jumlahnya terbatas. Berdasarkan hasil penelitian, IKM yang berpotensi untuk menerapkan TI adalah IKM yang IKM yang pemilik/managernya paham mengenai manfaat TI sehingga mempunyai visi dan strategi pengembangan TI untuk memajukan perusahaan, IKM yang sistem manajemen dan produksi perusahaan tergolong komplek dan rumit, serta IKM yang berorientasi ekspor atau sebagai supplier perusahaan besar (multinasional). IKM tersebut perlu memperoleh prioritas dalam memperoleh dukungan finansial, teknis, maupun dukungan lainnya.
200
DR. Yan Rianto, M.Eng
Dalam penciptaan iklim yang kondusif ini, terdapat dua kebijakan yakni memperkuat faktor penggerak serta menurunkan faktor penghambat adopsi TI. Faktor penggerak yang perlu diperkuat adalah faktor penggerak kunci. Untuk IKM skala kecil, faktor-faktor yang perlu diperkuat terkait dengan peluang pasar serta vendor/konsultan TI. Sedangkan untuk IKM skala menengah, faktor-faktor meliputi tuntutan pasar, strategi perusahaan, serta vendor/konsultan TI. Instrumen untuk memperkuat faktor penggerak terutama yang berkaitan dengan tuntutan pasar adalah dengan mendorong buyer/principal untuk meningkatkan penggunaan TI dalam transaksi, misal dengan melakukan transaksi melalui e-procurement atau e-business. Dalam hal ini, pemerintah juga dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan yang mau menerapkan aplikasi tersebut dalam aktivitas bisnisnya. Untuk memperkuat faktor penggerak yang berhubungan dengan strategi perusahaan, instrumen yang diperlukan berupa sosialisasi tahapan adopsi melalui penyusunan panduan adopsi TI untuk IKM, dan penyediaan layanan informasi. Disamping itu, instrumen lain adalah dengan memberikan bantuan teknis adopsi TI berupa program pendampingan adopsi dan konsultasi mengenai masalah yang dihadapi dalam melakukan adopsi TI. Untuk memperkuat faktor penggerak yang terkait dengan vendor, instrumen yang diperlukan adalah adanya insentif penggunaan vendor atau pakar TI bagi IKM. Instrumen penting lainnya yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan IKM untuk melakukan adopsi TI adalah memberikan solusi TI yang bersifat instan, disamping pemberian solusi OSS secara gratis. Berbeda dengan instrumen-instrumen lain yang telah dijelaskan sebelumnya, pemberian solusi TI instan ini secara spesifik lebih ditujukan untuk IKM berskala kecil. Hal ini terkait dengan kebutuhan TI IKM skala kecil masih bersifat sederhana sehingga untuk meningkatkan kemampuan adopsi TI di IKM skala kecil, pemerintah hanya perlu menyediakan solusi TI yang dibutuhkan oleh IKM tersebut. Penyediaan solusi TI secara instan dapat berupa bantuan pengadaan software termasuk pelatihan pengoperasian software tersebut. Hal serupa juga 201
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
dapat dilakukan untuk IKM skala menengah yang juga berminat untuk menerapkannya langsung ataupun memodifikasinya terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perusahaan. Meningkatkan linkage Strategi lain yang perlu diterapkan untuk meningkatkan adopsi TI adalah meningkatkan linkage antar stakeholders. Kebijakan untuk mendukung strategi ini adalah peningkatan kerjasama dan koordinasi antar stakeholders, dengan instrumen berupa pembuatan web bersama serta jaringan antar lembaga. Hal ini juga ditujukan untuk mempermudah koordinasi serta pelaksanaan program-program yang akan dijalankan nantinya. Instrumen-instrumen yang diusulkan, sebenarnya tidak hanya terbatas mendukung kebijakan dalam lingkup terbatas seperti yang telah dijelaskan di atas. Instrumen-instrumen tersebut juga mendukung kebijakan lainnya baik dalam satu aspek strategi yang sama maupun yang berbeda. Instrumen-instrumen tersebut pada umumnya diperlukan oleh IKM, baik yang berskala kecil maupun menengah, namun beberapa diantaranya khusus ditujukan untuk IKM skala menengah. Sosialisasi pengetahuan mengenai tahapan adopsi TI yang tepat untuk IKM serta manfaat adopsi merupakan instrumen yang diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan pemilik/manajer/karyawan mengenai manfaat dan tahapan adopsi TI yang tepat bagi IKM. Model tahapan adopsi yang ideal untuk IKM adalah model seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan perceived benefit dari pemilik/manajer/karyawan dapat meningkat. Instrumen lain adalah insentif penggunaan vendor atau expert TI, yang diperlukan untuk memperkuat faktor penggerak yakni ketersediaan vendor/konsultan TI. Terkait dengan upaya untuk memperkuat faktor penggerak terutama di IKM skala menengah, instrumen yang diperlukan adalah dengan mendorong buyer/principal untuk meningkatkan penggunaan TI dalam transaksi, misal dengan menerapkan e-procurement, e-business, dll serta upaya pengembangan dan difusi strategi adopsi. Kedua instrumen 202
DR. Yan Rianto, M.Eng
tersebut terutama terkait dengan faktor penggerak yakni tuntutan/ peluang pasar serta strategi perusahaan. Pengembangan brainware dengan melakukan sosialisasi, memberikan pelatihan dan pendampingan, serta layanan informasi menjadi salah satu instrumen yang diperlukan untuk menurunkan faktor penghambat adopsi TI, terutama yang terkait dengan staff TI dan karyawan. Hambatan dalam hal staff TI juga dapat diturunkan dengan memberikan bantuan teknis berupa pendampingan dalam implementasi serta konsultasi. Pendampingan ini juga dapat memperkuat faktor penggerak yang terkait dengan strategi perusahaan. Instrumen yang menjadi pendukung yang bersifat multifungsi adalah promosi penggunaan OSS serta pengembangan software berbasis open source yang user-friendly. Insentif finansial dapat menurunkan hambatan dalam keterbatasan finansial yang dihadapi IKM, sedangkan advokasi, sosialisasi urgensi adopsi TI di IKM pada sektor potensial dapat memberikan implikasi bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan adopsi TI di IKM. Untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar stakeholders, diperlukan jaringan kerjasama dan web bersama dengan koordinasi serta pengontrolan yang baik dan cermat sehingga pelaksanaannya lebih efektif. Seluruh instrumen tersebut dalam implementasinya perlu melibatkan stakeholders yang sesuai agar implementasinya dapat berjalan dengan efektif dan efisien serta terkoordinasi dan terkontrol dengan baik.
D. Penutup Untuk dapat meningkatkan adopsi TI di IKM, diperlukan tiga strategi utama yakni peningkatan perceived benefits pemilik, penciptaan iklim yang kondusif bagi IKM untuk mengadopsi TI, serta peningkatan linkage antar stakeholders baik dari kalangan pemerintah, industri, maupun perguruan tinggi. Peningkatan perceived benefits perlu didukung oleh adanya kebijakan peningkatan pengetahuan pemilik mengenai manfaat dan tahapan
203
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
adopsi TI di IKM. Khusus untuk IKM skala menengah, diperlukan pula peningkatan pengetahuan karyawan. Penciptaan iklim yang kondusif perlu didukung oleh kebijakan untuk memperkuat faktor penggerak dan menurunkan faktor penghambat yang menjadi penentu adopsi TI di IKM. Strategi yang ditujukan untuk memperkuat faktor penggerak terkait dengan keberadaan vendor/konsultan TI, tuntutan/peluang pasar, dan strategi perusahaan. Vendor/konsultan TI perlu diperkuat untuk mempermudah IKM dalam memperoleh jasa dengan harga yang terjangkau. Pemerintah juga perlu mengkondisikan situasi pasar yang dapat menuntut dan membuka peluang bagi IKM untuk mengadopsi TI. Khusus bagi IKM skala menengah, perusahaan perlu memasukkan TI sebagai bagian dari strategi perusahaan. Dalam upaya untuk menciptakan iklim yang kondusif, pemerintah perlu mempertimbangkan skala industri. Guna mendorong IKM untuk mengadopsi TI, perlu dilakukan peningkatan linkage antar stakeholders melalui kebijakan peningkatan kerjasama dan koordinasi antar stakeholders. Kebijakan-kebijakan tersebut harus dioperasionalkan dengan membentuk jaringan antar lembaga dan pengembangan web bersama yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mempermudah IKM dalam mengadopsi TI. Stakeholders perlu mengambil peran sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya bertindak sebagai fasilitator, sedangkan pihak swasta/industri perlu mengambil peran yang lebih aktif, demikian pula perguruan tinggi. Guna memperoleh hasil yang maksimal, ketiga aktor tersebut perlu bersinergi dan bekerjasama. Strategi dan kebijakan yang diterapkan untuk meningkatkan adopsi TI harus disesuaikan dengan skala industri IKM agar sesuai dengan kebutuhan TI untuk meningkatkan daya saingnya. Hal ini perlu dilakukan agar strategi dan kebijakan tersebut menjadi efektif, terfokus dan tepat sasaran.
204
DR. Yan Rianto, M.Eng
DAFTAR PUSTAKA Bass, Frank M. 1969. A New Product Growth Model for Consumer Durables, Management Science,Vol. 15. pp. 215-227. Chase, Richard B.,Jacobs, F. Robert, dan Aquilano, Nicholas J.2007. Operation Management for Competitive Advantage, Eleventh Edition, Mc Graw Hill, USA. Kotelnikov, Vadim. 2007. Small and Medium Enterprises and ICT. Report of Asia-Pacific Development Information Programme, e-Primers for the Information Economy, Society and Polity, UNDP-APDIP and APCICT, downloadedfromhttp://www. apdip.net/publications/iespprimers/eprimer-sme.pdf Nfuka, E. N. ICT for SMEs – Hardware, Software (including Open Source), Human Ware and the Internet. Paper presented in ICT for SMEs Workshop – December 13, 2005. Sarosa, S. and Zowghy, D., 2003. Strategy for Adopting Information Technology for SMEs: Experience in Adopting Email within an Indonesian Furniture Company. Electronic Journal of Information Systems Evaluation Vol. 6 Issue 2, 165-176. Rahardjo, B. 1999. Implementasi Teknologi Informasi di Industri Kecil Menengah. Pusat Penelitian Antar Universitas bidang Mikroelektronika (PPAUME) Institut Teknologi Bandung. Rianto, dkk. 2005. Studi Model Technological Learning di Industri Kecil dan Menengah, Studi Kasus: IKM Suku Cadang Otomotif. LIPI Press, Jakarta. Rianto, dkk. 2007, Peta dan Strategi Adopsi TI di IKM, LIPI Press, Jakarta. Rianto, dkk. 2008, “Laporan Penelitian Kompetitif 2008: Strategi Peningkatan Adopsi TI bagi Peningkatan daya saing IKM”, LIPI Press. Rogers, Everett. 1995. Diffusion of Innovations, fourth ed. New York: The Free Press. 205
Wang, et al. 2004. The Levels of Information Technology Adoption, Business Network, and A Strategic Position Model for Evaluating Supply Chain Integration. Journal of Electronic Commerce Research, VOL. 5, NO.2, 2004.
HAMBATAN NON TARIF TERKAIT DENGAN HAMBATAN EKSPOR NASIONAL DAN PERAN REGULASI TEKNIS UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI NASIONAL DR. Bambang Setiadi
A. Pendahuluan
S
tandardisasi sebagai unsur penunjang pembangunan, mempunyai peranan penting dalam usaha mengoptimalisasi pendayagunaan sumber daya dalam kegiatan pembangunan. Perangkat standardisasi berperan pula dalam menunjang kemampuan produksi khususnya peningkatan perdagangan dalam negeri dan luar negeri, serta pengembangan industri dan perlindungan konsumen. Oleh karenanya setiap negara mempunyai standar nasional dan regulasi teknis yang dalam implementasinya dapat merupakan hambatan teknis bagi negara lain dalam perdagangan. Untuk mengurangi hambatan tersebut, pada tahun 1979 dalam Putaran Tokyo disepakati adanya perjanjian Standard Code 207
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
atau Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) yang dilanjutkan dengan pembentukan World Trade Organization (WTO) di Putaran Uruguay. Isi kesepakatan dalam Putaran Uruguay tersebut antara lain adalah penyelarasan standar nasional dengan standar internasional agar tercipta transparansi dalam Sistem Standardisasi Nasional yang merupakan tuntutan dalam perdagangan internasional. Mempertimbangkan bahwa tata cara pengembangan standar, penetapan regulasi teknis dan pelaksanaan penilaian kesesuaian diatur melalui berbagai ketentuan dalam perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) dan perjanjian Sanitary and Phyto-Sanitary (SPS) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari beberapa perjanjian yang ada dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) – WTO. Perjanjian tersebut mengatur perdagangan semua produk, termasuk pertanian kecuali produk yang masuk dalam klasifikasi sanitary & phytosanitary measures (produk yang dapat berakibat pada kehidupan atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan dari resiko yang ditimbulkan oleh sebab hama, penyakit atau makanan). Secara prinsip TBT-WTO bertujuan mendorong negara anggota untuk mengusahakan agar standar, regulasi teknis, dan penilaian kesesuaian tidak dipergunakan sebagai hambatan perdagangan yang berkelebihan.
B. Hambatan Non Tarif Perdagangan Indonesia Tingkat kompetisi yang tinggi dari market internasional merupakan hambatan non tarif perdagangan di Indonesia. Selain itu, pembatasan sanitary, fitosanitary dan lingkungan oleh negara pembeli; penerapan yang ketat dari standar safety dan pengemasannya; penggunaan proses terknologi dan standar yang kadaluarsa dari Perusahaan Indonesia, sehingga sulit memproduksi barang yang dapat memenuhi persyaratan market internasional; dan persyaratan mutu yang tinggi dari pembeli di Luar Negeri merupakan hambatan-hambatan non tarif yang perlu segera ditangani secara serius.
208
DR. Bambang Setiadi
Sementara itu, kurangnya promosi produk indonesia di luar negeri dan informasi kepada pelaku usaha mengenai kondisi untuk akses ke market suatu negara tujuan ekspor, sebagai contoh EU mulai menerapkan regulasi REACH 1907/2006 pada tanggal 1 Juni 2008. REACH merupakan regulasi baru di Uni Eropa mengenai Aturan untuk bahan kimia dan keamanan penggunaannya. . Prossedur suatu bahan kimia untuk dapat masuk ke Uni Eropa harus melalui proses Registration & Evaluation, perijinan dan pembatasan oleh otoritas setempat . Pembelakuan REACH adalah untuk mengurangi resiko dari substansi kimia dengan tujuan untuk: meningkatkan kesehatan dan Lingkungan. Penerapan regulasi REACH mengikuti aturan WTO, yaitu bahwa tidak akan ada diskriminasi perlakuan bagi produser yang berada di EU maupun para eksporter dari luar EU. Hambatan non tarif lainnya yang dapat mengurangi daya saing industri nasional adalah: 1. Daya beli yang menurun dari masyarakat dunia dikarenakan mahalnya harga bahan bakar. 2. Biaya transfortasi angkutan barang untuk export/import yang meningkat 3. Sistem penilaian kesesuaian yang belum sesuai dengan persyaratan pembeli 4. Kondisi yang berbeda dari segi cultural, bahasa dan demografi dari negara tujuan ekspor.
C. Tujuan dan Peran Penetapan Regulasi Teknis Penetapan regulasi teknis ini harus mengacu pada Perlindungan keselamatan konsumen, kelestarian fungsi lingkungan, dan kesehatan masyarakat serta pembentukan iklim persaingan yang sehat. Sementara peran regulasi teknis harus mengarah pada: 1. Mengurangi hambatan perdagangan 2. Mengurangi tekanan administratif kepada industri dan menghindari peraturan yang berlebihan 209
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
3. Menciptakan system yang efektif pada market dari produk yang berbahaya 4. Proteksi market Indonesia dari produk yang tidak sesuai yang akan diimpor ke Indonesia
D. Peran produsen dan Distributor dalam Meningkatkan Daya Saing Peningkatan daya saing industri nasional harus didukung oleh semua pihak baik produsen maupun distributor. Produsen harus mampu berperan dalam memberi informasi yang cukup kepada konsumen terkait resiko dari produknya, menetapkan tanda atau mark pada produknya yang dapat menjelaskan karakteristik produknya, menguji produknya yang berada di market sebagai bagian dari pengawasan mutu jika diperlukan, dan menginvestigasi setiap keluhan dan menginformasikan kepada distributornya setiap hasil monitoring, baik hasil yang positip maupun negatif. Sedangkan distributor harus memberi Informasi kepada konsumennya mengenai resiko dari suatu produk dan langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindari resiko, tidak mengirim produk ke market jika diketahui produk tersebut tidak aman. Distributor harus dianggap sebagai produsen, jika distributor tersebut tidak memberikan inforrmasi yang jelas mengenai identitas produsen kepada Otoritas setempat dari yang produknya didistribusikannya
E. Penutup Dalam penetapan regulasi teknis, hal-hal yang perlu diperhatikan penetapannya adalah: 1. Tidak boleh bersifat diskriminatif. 2. Harus dinotifikasikan ke WTO khususnya apabila berpotensi menimbulkan hambatan perdagangan 210
DR. Bambang Setiadi
3. Diterapkan secara non-diskriminasi terhadap semua barang impor dan negara asal barang (MFN); 4. Tidak memberikan perlakuan yang berbeda antara barang impor dengan barang produksi dalam negeri (national treatment); 5. Bila relevan, hendaknya didasarkan atas informasi tehnis dan ilmiah; 6. Tidak dirumuskan atau diterapkan dengan cara yang dapat menghambat perdagangan internasional; dan 7. Antara penetapan dan pemberlakuan harus diberikan tenggang waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi produsen/ pemasok mempersiapkan diri.
211
MENYIKAPI HAMBATAN TEHNIS DALAM PERDAGANGAN DAN PERAN REGULASI TEHNIS UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI NASIONAL
Halida Miljani, SH
A. Latar Belakang
D
ewasa ini semakin banyak negara yang menuntut agar semua barang (produksi dalam negeri dan impor) yang diperdagangkan memenuhi ketentuan tehnis atau biasa disebut dengan “standar” yang telah ditetapkan. Ketentuan tehnis/standar dibuat untuk berbagai tujuan, antara lain yang sifatnya tradisional untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai ciri-ciri barang. Ketentuan tehnis/standar juga ditentukan untuk melindungi keamanan serta kesehatan manusia, hewan dan hayati. Mengingat kesadaran konsumen semakin meningkat 213
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup, maka kini ketentuan tehnis/standar juga digunakan untuk menanggapi tuntutan konsumen agar barang yang. diperdagangkan tidak berdampak negatif kepada lingkungan hidup. Dengan demikian ketentuan tehnis/standar telah menembus hampir semua kegiatan bisnis dan kehidupan masyarakat sehari-hari, dan juga memainkan peran yang penting dalam industri dan pemasaran barang, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar global. Dengan semakin pesatnya perkembangan tehnologi dan meningkatnya kegiatan perdagangan global, ketentuan tehnis/standar yang diberlakukan di dunia juga semakin banyak, baik dalam hal jumlah dan jenisnya maupun dalam kecanggihan teknis dari barang yang diproduksi dan diperdagangkan. Meskipun disatu pihak tujuan penetapan ketentuan tehnis/standar adalah untuk memenuhi permintaan konsumen dan bertujuan untuk memudahkan transaksi perdagangan internasional, namun dilain pihak ketentuan tehnis/standar juga dapat menjadi hambatan perdagangan bila ketentuan tehnis/standar yang bersangkutan tidak dapat dipenuhi oleh produsen/eksportir. Mengingat perdagangan internasional perannya penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia, maka Indonesia harus menyikapi dengan baik dan cerdas masalah hambatan yang ditimbulkan oleh ketentuan tehnis/ standar karena daya saing produk ekspor di pasar internasional sangat dipengaruhi oleh kemampuan Indonesia dalam memenuhi ketentuan tehnis/standar yang berlaku dinegara tujuan ekspor.
B. Peran Ketentuan Tehnis/Standar − Peran Ketentuan Tehnis/Standar Dalam Produksi Barang Salah satu karakteristik dari industri moderen adalah banyak pabrik didunia yang tidak lagi memproduksi sendiri semua komponen/ bahan penolong yang dibutuhkannya, tetapi membelinya dari pabrik lain yang kadangkala letaknya jauh dinegara lain. Adanya ketentuan tehnis/standarisasi dapat menghemat biaya dan
214
Halida Miljani, SH
meningkatkan effisiensi dalam proses produksi barang. Ketentuan tehnis/standarisasi juga memungkinkan konsumen produsen yang membutuhkan untuk memilih pasokan barang yang bermutu dan termurah, sehingga meningkatkan daya saing produksi barang akhir (finished products). − Peran Ketentuan tehnis/standar Dalam Pemasaran Ketentuan tehnis/standar juga tidak dapat ditinggalkan dalam pemasaran barang di pasar internasional, karena banyak negara yang menentukan bahwa produk-produk tertentu hanya bisa diperdagangkan bila memenuhi ketentuan tehnis/standar yang telah ditentukan. Dalam hal ini, produk impor hanya bisa diperdagangkan bila produsen atau eksportir telah mendapatkan sertifikat dari instansi yang berwenang di negara importir yang menyatakan bahwa produk yang bersangkutan telah sesuai dengan ketentuan tehnis/standar. Disamping itu, seringkali pihak konsumen atau distributor hanya mau menerima barang yang telah memenuhi ketentuan tehnis/standar. Ketentuan tehnis/standar juga penting bagi konsumen, baik didalam negeri maupun diluar negeri, untuk mengetahui spesifikasi suatu barang secara rinci dan dapat menilai kualitasnya. Meskipun disatu pihak ketentuan tehnis/standar dapat memudahkan transaksi perdagangan internasional sebagaimana diuraikan di atas, namun dilain pihak ketentuan tehnis/standar juga dapat menjadi hambatan perdagangan bila terdapat perbedaan yang besar antara ketentuan tehnis/standar yang berlaku di satu negara dengan negara lainnya. Konsumen umumnya enggan membeli barang yang ketentuan tehnis/standarnya berbeda dengan yang ada di negaranya sendiri, sehingga dalam hal ini pabrik yang ingin memasarkan produknya dinegara lain harus menyesuaikan dengan spesifikasi di negara tujuan. Hal ini akan menambah biaya produksi dan mengurangi keuntungan. Demikian pula, bila . pihak yang berwenang di negara tujuan ekspor menuntut
215
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
dilakukan pengujian produk untuk menjamin kesesuaian ketentuan tehnis/standar. Dalam hubungan ini pemasok dari luar negeri akan dirugikan bila terkena pengujian yang lebih ketat dan menanggung biaya yang lebih besar dibanding yang ditanggung oleh produsen didalam negeri. Untuk mengatasi masalah ini maka diadakan harmonisasi ketentuan tehnis/standar pada tingkat internasional serta dikembangkan pedoman-pedoman untuk penilaian kesesuaian ketentuan tehnis/standar (”assessment of conformity”) − Peran Ketentuan tehnis/standar Lainnya Ketentuan tehnis/standar juga digunakan oleh pemerintah dibanyak negara untuk tujuan-tujuan sosial, terutama untuk melindungi kesehatan/keamanan masyarakat dan melindungi lingkungan hidup. Ketentuan-ketentuan ketentuan tehnis/standar ini meliputi ciri-ciri khusus (karakteristik) produk, proses dan material yang digunakan dalam memproduksinya.
C. Perjanjian WTO Tentang “Technical Barriers To Trade" (TBT) Karena peran ketentuan tehnis/standar yang semakin luas dan penting dalam kegiatan perdagangan internasional, maka dirasakan perlu mengadakan harmonisasi dalam ketentuan tehnis/standar internasional dan aturan internasional untuk mencegah ketentuan tehnis/standar dipakai sebagai alat untuk menghambat impor. World Trade Organization (WTO) sebagai badan dunia yang berwenang mengatur sistem perdagangan internasional juga berkepentingan untuk mengatur aspek ketentuan tehnis/standar yang berpengaruh kepada hubungan perdagangan antar negara. Perjanjian WTO mengenai ketentuan tehnis/standar yang dikenal sebagai ”Agreement on Technical Barriers to Trade” (TBT), mengakui hak setiap negara untuk menentukan ketentuan tehnis/standar wajib bagi barang-barang yang diperdagangkan untuk menjamin mutu barang dan untuk melindungi keamanan serta kesehatan manusia, 216
Halida Miljani, SH
hewan dan hayati, atau perlindungan lingkungan hidup. Perjanjian TBT ini memuat aturan-aturan yang menyangkut ketentuan tehnis/ standar dalam perdagangan internasional serta prosedur penilaian kesesuaian ketentuan tehnis/standar. Perjanjian TBT melarang suatu negara memberlakukan ketentuan tehnis/standar untuk menghambat perdagangan intemasional. Ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian TBT hanya berlaku bagi metode pengolahan dan produksi bila metode tersebut berpengaruh kepada kualitas atau karakteristik barang. Metode proses produksi lainnya tidak dicakup oleh Perjanjian TBT. Untuk menjamin agar ketentuan tehnis/standar tidak digunakan untuk menghambat perdagangan, maka ketentuan tehnis/standar harus didasarkan pada ketentuan tehnis/standar internasional. Namun demikian, Perjanjian ini tidak menyebutkan secara tegas, organisasi internasional mana yang ketentuan tehnis/standarnya perlu dipakai. Disamping itu, guna menjamin bahwa penerapan ketentuan tehnis/standar wajib maupun ketentuan tehnis/standar sukarela tidak menimbulkan hambatan perdagangan internasional, Perjanjian ini juga menetapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal ini, pembuat kebijakan harus menjamin bahwa ketentuan-ketentuan tehnis/ ketentuan: 1. Diterapkan secara non-diskriminasi terhadap semua barang impor dan negara asal barang 2. Organisasi international yang mengembangkan ketentuan tehnis/ standar internasional adalah: International Organization for Ketentuan tehnis/standardization (ISO); International Electrotechnical Commission (lEC); International Telecommunication Union (ITU); dan Codex Alimentarius Commission. 3. Tidak memberikan perlakuan yang berbeda antara barang impor dengan barang produksi dalam negeri (national treatment); 4. Bila relevan, hendaknya didasarkan atas informasi tehnis dan ilmiah; 5. Tidak dirumuskan atau diterapkan dengan cara yang dapat menghambat perdagangan internasional Kemungkinan 217
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Penyimpangan Dari Ketentuan tehnis/standar dan Pedoman Internasional Bila ketentuan tehnis/standar dan pedoman internasional dirasakan tidak effektif atau tidak tepat untuk mencapai tujuan-tujuan nasional (misalnya karena faktor-faktor iklim dan geografis, atau masalah tehnis yang fundamental) atau bila ketentuan tehnis/standar internasional tidak ada, maka setiap negara bebas menentukan ketentuan tehnis/ standar nasionalnya sendiri. Demikian pula bila pedoman-pedoman internasional tidak tepat untuk mencapai tujuan nasional, setiap negara dapat mengambil sistim penilaian kesesuaian yang tidak didasarkan pada pedoman internasional. Bila akan melakukan penyimpangan, setiap negara wajib untuk: 1. Mengumumkan konsep (draft) aturan ketentuan tehnis/ standarjketentuan dan sistem penilaian kesesuaian 2. Perjanjian TBT memiliki sistim notifikasi (notification) yang mewajibkan negara anggota untuk memberitahukan negara anggota WTO lainnya mengenai aturan yang akan diberlakukan 3. Memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berpentingan untuk menyampaikan pendapat terhadap konsep tersebut 4. Memperhatikan pendapat-pendapat tersebut dalam finalisasi peraturan. Penilaian Kesesuaian /(Conformity Assessment) /Ketentuan tehnis/ standar Dalam perdagangan internasional kepercayaan konsumen akan pernyataan produsen bahwa barang yang diproduksinya memenuhi ketentuan tehnis/standar tertentu adalah sangat penting. Bagi sebagian besar barang yang memasuki pasar internasional, konsumen umumnya mempercayai pernyataan produsen bahwa barangnya telah memenuhi ketentuan tehnis/standar. Namun demikian, dalam beberapa hal pernyataan produsen saja tidak cukup, dalam hal:
218
Halida Miljani, SH
1. Adakalanya konsumen meminta pihak ketiga untuk memberikan keterangan bahwa barang itu telah memenuhi ketentuan tehnis/ standar; 2. Bagi barang-barang yang diatur perdagangannya, misalnya untuk melindungi keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup, maka barang-barang yang akan diperdagangkan perlu mendapat pengakuan resmi dari pihak yang berwenang mengenai kesesuaian ketentuan tehnis/standar. Untuk menjamin agar para pemasok dari luar negeri tidak diberlakukan secara tidak adil dalam mendapatkan sertifikasi kesesuaian ketentuan tehnis/standar, maka Perjanjian TBT menentukan bahwa: 3. Prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan kepada pemasok asing tidak boleh berbeda dengan pemasok dari dalam negeri; . Biaya apapun yang dikenakan kepada pemasok asing harus sama dengan pemasok lokal 4. Pemilihan contoh barang (sample) yang akan dipakai dalam pengujian hendaknya tidak mempersulit pemasok asing 5. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan pengaduan mengenai pelaksanaan dari prosedur penilaian kesesuaian. Perjanjian Saling Mengakui Prosedur Penilaian Kesesuaian Karena pengujian dan inspeksi yang dilakukan di negara importir dapat menimbulkan kesulitan pada pemasok diluar negeri, maka Perjanjian TBT mendorong agar ada kesepakatan antar negara yang mengakui hasil pengujian atau inspeksi yang dilakukan oleh pihak berwenang di negara eksportir. Namun demikian, perjanjian saling mengakui mengenai penilaian kesesuaian ketentuan tehnis/standar ini hanya dimungkinkan bila ketentuan tehnis/standar barang dan prosedur penilaian setara (equivalent) dengan yang ada di negara importir. Ketentuan tehnis/ standar Sukarela Disamping ketentuan tehnis/standar wajib, ada pula ketentuan tehnis/standar yang sifatnya sukarela. Ketentuan tehnis/ standar sukarela ini dapat menimbulkan masalah dalam perdagangan internasional bila berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Oleh 219
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
karena itu Perjanjian TBT membentuk suatu Code of Good Practice for Preparation, Adoption and Application of Ketentuan tehnis/standards, yang harus dipatuhi oleh negara anggota dalam pembuat dan menerapkan ketentuan tehnis/standar. Code ini mensyaratkan badan ketentuan tehnis/standarisasi nasional di negara anggota WTO hendaknya mematuhi prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang mirip dengan ketentuan tehnis/standar wajib. Code ini juga menentukan agar negara-negara anggota: 1. Menggunakan ketentuan tehnis/standar internasional sebagai dasar bagi ketentuan tehnis/standar nasional; 2. Berpartisipasi sepenuhnya, dalam batas kemampuan sumber daya yang dimilikinya, dalam pembuatan ketentuan tehnis/standar internasional untuk kemudian diterapkan pada ketentuan tehnis/ standar nasional. Kewajiban Notifikasi Untuk memonitor implementasi dari Perjanjian WTO-TBT, maka setiap negara anggota WTO wajib memberitahukan (notifikasi) negara anggota WTO lainnya tentang ketentuan tehnis/standar dan peraturan yang berlaku di negaranya. Perjanjian TBT juga memuat ketentuan tentang prosedur yang harus dipatuhi bila suatu negara akan membuat ketentuan tehnis/standar wajib yang akan diberlakukan.
D. Menyikapi Hambatan Tehnis Dalam Perdagangan Dan Peran Regulasi Tehnis Untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Ditengah persaingan yang semakin ketat di pasar dalam negeri dan pasar internasional dan semakin meningkatnya kesadaran konsumen (khususnya dipasar negara maju) akan pentingnya ketentuan tehnis/ standar barang termasuk ketentuan tehnis/standar untuk melindungi lingkungan, maka produsen nasional hendaknya selalu dapat 220
Halida Miljani, SH
menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar/konsumen. Sebagai negara yang memiliki kepentingan dalam perdagangan internasional, mau tidak mau Indonesia harus berupaya keras untuk menghilangkan berbagai hambatan perdagangan internasional, termasuk hambatan yang disebabkan oleh adanya ketentuan tehnis/standar yang berlaku di negara tujuan ekspor. Hambatan mungkin timbul karena ketentuan tehnis/standar yang diberlakukan terlalu tinggi. Bila hal ini tidak sesuai dengan aturan WTO, maka dapat dipermasalahkan di WTO. Tetapi hambatan dapat timbul karena kurangnya kemampuan untuk memenuhi ketentuan tehnis/ standar yang ditentukan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan ketentuan tehnis/standar yang berlaku di negara lain serta kurangnya kemampuan produsen/eksportir nasional untuk memenuhi standar karena tidak memiliki dana yang cukup besar atau tidak menguasai tehnologi dalam memproduksi barang yang sesuai dengan ketentuan tehnis/standar. Di era pasar bebas persaingan yang dihadapi industri/produsen nasional bukan hanya di pasar global tetapi juga di pasar domestik, karena pasar domestik yang terus terbuka bagi barang-barang impor yang langsung menyaingi produk nasional. Oleh karena itu sewajarnya produsen nasional tidak lagi hanya berpikir untuk memproduksi barang yang berkualitas semata-mata untuk tujuan ekspor. Konsumen di pasar domestik juga semakin banyak yang menentukan pilihan berdasarkan kualitas barang. Dalam kaitan ini, adalah tidak menguntungkan bila Indonesia mendesak diberlakukannya ketentuan tehnis/standar yang lebih rendah, karena konsumen lebih suka memilih barang-barang yang memenuhi ketentuan tehnis/standar internasional dan bahkan lebih menyukai ketentuan tehnis/standar yang lebih tinggi lagi. Jadi, daya saing barang yang dipasarkan lebih ditentukan oleh kepercayaan konsumen. Oleh karena itu, yang paling penting adalah produsen/eksportir berupaya untuk memenuhi ketentuan tehnis/standar yang berlaku. Ketidak-mampuan untuk memenuhi ketentuan tehnis/ standar umumnya karena masalah dana dan penguasaan tehnologi. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah meningkatkan upaya agar Indonesia
221
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
mendapatkan bantuan tehnis dan dana dari negara-negara mitra yang sudah maju. Pasal 11 Perjanjian TBT memungkinkan tercapainya tujuan ini, melalui penggalangan kerjasama bilateral, regional dan multilateral.
E. Penutup Ketentuan tehnis/standar barang yang diperdagangkan merupakan unsur penting dalam daya saing suatu produk. Agar produksi nasional mampu bersaing di pasar domestik dan internasional, maka mutlak diperlukan peningkatan mutu dengan memenuhi ketentuan tehnis/ standar dari produk yang bersangkutan. Harapan bahwa “Industri Manufaktur sudah masuk kelas dunia (world class), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden RI Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional, hanya akan terwujud bilamana Indonesia mampu memproduksi barang-barang yang memenuhi ketentuan tehnis/standar mutu internasional. Oleh karena itu, sangat bijaksana bila peningkatan ketentuan tehnis/standar mutu barang produksi nasional merupakan faktor yang tidak terpisahkan dalam kebijakan pembangunan industri nasional. Para pelaku usaha terutama produsen/ eksportir harus mengetahui dengan baik ketentuan ketentuan tehnis/ standar yang berlaku di negara tujuan ekspor. Karena ketentuan tehnis beserta prosedur yang berlaku di negara tujuan ekspor harus dipenuhi agar barang ekspor Indonesia dapat memasuki pasar yang bersangkutan. Diakui bahwa ketentuan tehnis/standar dapat memperlancar arus perdagangan sepanjang tidak diterapkan dengan dengan maksudmaksud menghambat impor barang. Oleh karena itu WTO menentukan aturan-aturan menerapan ketentuan tehnis/standar dengan tujuan agar ketentuan tehnis/standar wajib maupun ketentuan tehnis/standar sukarela tidak menimbulkan hambatan perdagangan internasional.
222
BAB V
ISU TERKAIT LAINNYA
PERAN GOOD GOVERNANCE UNTUK MENDUKUNG PENERAPAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL DR. Endro Utomo, Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
M
elihat pada kebijakan dan program pembangunan nasional dan sektoralyang telah dilaksanakan sejak awal Pembaungan Lima Tahun I tahun 1967 kita mleihat bahwa Indonesia mampu melahirkan konsep-konsep kebijakan dan program pembangunan yang baik pada tinakt nasional maupun sektoral. Namun dalam pelaksanaannya sering terjadi ketidakkonsistenan yang pada dasarnya diakibatkan oleh tidak terlaksananya Good Governance atau Tata Kelola Pemerintahan yang baik dan juga tidak didukung oleh birokrasi yang baik. Oleh karena itu dalam merumuskan pelaksanaan Peraturan Presiden No. 28/2008 tentang Kbijakan Industri Nasional ini perlu dipastikan bahwa pelaksanaannya nanti harus mengikuti prinsip-prinsip Good Governance yang didukung dengan birokrasi yang baik. 225
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Istilah good governance dapat memiliki berbagai arti yang berbeda satu sama lain. Sebagian kalangan mengartikannya sebagai kinerja suatu lembaga, apakah itu pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasi masyarakat. Ada pula yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustainabilitas demokrasi itu sendiri. Sedangkan World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Namun secara ringkas good governance secara umum diartikan sebagai tata kelola pemerintahan yang baik. Yang dimaksud “baik” di sini adalah mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance. Koiman (1993) mendefiniskan good governance sebagai serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut. Definisi yang lebih tepat dalam konteks penerapan Perpres 28/2008 kiranya adalah yang didefinisikan oleh UNDP di mana good governance didefinisikan sebagai pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Dengan memahami arti dari good governance seperti diuraikan di atas, maka penerapan good governance merupakan langkah awal yang baik dalam merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah implementasi dari Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Rumusan langkah-langkah operasional yang dapat disarankan adalah yang bersifat konsepsional, tidak mungkin yang bersifat teknis; karena untuk langkah-langkah yang sifatnya teknis para pejabat yang pada saat ini sedang bertugas adalah orang yang paling memahaminya. 226
DR. Endro Utomo, Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
Dalam menerapkan good governance ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dan dijalankan agar bisa mendapatkan tolok ukur kinerja suatu lembaga. Baik buruknya kinerja suatu lembaga akan bisa dinilai bila telah bersinggungan dengan semua unsur dalam prinsip good governance. Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip good governance adalah sebagai berikut. 1. Partisipasi masyarakat Partisipasi adalah suatu keadaan di mana masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dan konstruktif dalam setiap kepiutusan/ kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan setiap keputusan, baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui perwakilan-perwakilan masyarakat yang sah mewakili mereka. 2. Tegaknya supremasi hukum Setiap pembuatan kebijakan/keputusan yang dibuat oleh pemerintah harus selalu merujuk kepada suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku serta didukung adanya kepastian hukum. Kerangka hukum harus diberlakukan secara adil dan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya peraturan yang menyangkut hak azasi manusia. 3. Transparansi Transparansi adalah suatu keadaan di mana pemerintah lebih terbuka kepada publik. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga serta informasi seyogyanya harus dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi yang tersedia ini harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. 4. Demokratis Demokratis adalah suatu keadaan di mana setiap pengambilan keputusan/kebijakan selalu meliatkan stakeholders secara proporsional dan keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
227
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
5. Efektifitas dan efisiensi Proses-proses yang berlangsung di pemerintahan dan lembagalembaga seharusnya membuahkan hasil yang sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber daya yang ada seoptimal mungkin. 6. Akuntabilitas Para pengambil keputusan di setiap lembaga, apakah itu pemerintah, sektor swasta ataupun organisasi masyarakat harus bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban ini dapat berbeda satu sama lain, tergantung pada jenis organisasi yang bersangkutan. Melalui akuntabilitas juga dapat dijelaskan kinerja dari suatu organisasi. Akuntabilitas adalah suatu keadaan di mana kebijakan/keputusan yang diambil oleh pemerintah dapat diukur hasilnya secara nyata/pasti dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip good governance di atas, maka langkah-langkah implementasi dari Perpres 28/.2008 ini seharusnya bersifat partisipatif agar seluruh elemen yang terkait dapat melaksanakannya dengan baik. Dan untuk itu dalam pelaksanaannya harus ditunjang dengan transparansi. Faktor-faktor ini harus diperhatikan sejak awal agar selalu menjadi fokus perhatian mulai dari titik awal hingga akhir pelaksanaan Perpres ini. Proses yang transparan hanya akan dapat terjadi bila memiliki akuntabilitas. Untuk mengukur akuntabilitas dari suatu program, harus dibuat kebijakan-kebijakan yang hasilnya dapat ditunjukkan melalui parameterparameter yang terukur. Dengan adanya parameter-parameter yang terukur ini maka akuntabilitas dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk penyalahgunaan kewenangan. Dengan demikian diharapkan tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara optimal. Untuk dapat menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik pada prinsipnya tidak berbeda dengan pengendalian terhadap korupsi. Ada 228
DR. Endro Utomo, Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
satu persamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengendalikan korupsi. Hubungan antara penyalahgunaan wewenang dan korupsi adalah sebagai berikut : C=M+D–A Di mana : C = corruption/korupsi/penyimpangan M = monopoly power/kekuasaan D = diskresi/wewenang pejabat A = akuntabilitas Nilai C yang kecil menunjukkan Good Governance dan pelaksanaan birokrasi yang baik, sementara nilai C yang besar menunjukkan pelaksanaan Good Governance dan brokrasi yang tidak baik. Yang dimaksud dengan korupsi adalah segala bentuk penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang yang tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Definisi dari korupsi sendiri sangat banyak variasinya karena pengertian mengenai korupsi sendiri sifatnya sangat dinamis. Menurut Shleifer dan vishny (1993) yang dikutip oleh Solihin (2000) korupsi didefinisikan sebagai penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Misalnya pegawai negeri yang menarik pungutan liar atau yang memakai barangbarang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Hal-hal seperti ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi sehingga korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan pembangunan. Monopoli power/kekuasaan sangat mungkin terjadi apabila suatu posisi/ jabatan hanya ada satu-satunya dalam suatu negara atau wilayah. Untuk dapat melaksanakan tugasnya seorang pejabat perlu diberi kewenangan, namun seringkali batas kewenangan itu tidak ditetapkan dengan jelas. Kondisi ini menyebabkan seorang pejabat yang sedang menjabat dapat dengan leluasa melakukan penyimpangan karena tidak ada orang lain yang menduduki jabatan/posisi yang sama yang dapat digunakan sebagai pembanding dan tidak adanya batas kewenangan yang jelas. Penyimpangan ini bisa saja digunakan untuk kepentingan dirinya 229
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
sendiri ataupun dalam rangka memfasilitasi orang/pihak lain. Dengan kata lain monopoli kekuasaan akan mempermudah terjadinya kolusi dan penyalahgunaan wewnang lainnya. Diskresi atau wewenang pejabat merupakan hak khusus bagi pejabat pemerintah untuk campur tangan dalam segala urusan untuk terselenggaranya keadilan dan kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya aparat pemerintah memiliki kewenangan eksekutif yang luas yang bila tidak terkendali akan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan dengan bermacam dalih pembenaran. Hingga saat ini diskresi para pejabat pemerintah maih merupakan suatu parameter yang tidak terukur sehingga sangat rentan terhadap terjadinya penyimpangan. Meskipun demikian diskresi para pejabat masih dapat dibatasi dengan diterapkannya akuntabilitas atau tindakan-tindakan konkret lainnya yang dilaksanakan guna mengawasi penggunaan wewenang seorang pejabat. Gambar 32. Sistem integritas yang saling terkait
Implementasi dari Perpres 28/2008 ini nantinya akan dilaksanakan oleh para eksekutif. Untuk dapat menerapkannya dengan baik dan konsisten diperlukan integritas nasional yang tinggi yang didasarkan pada public awareness dan social values. Sistem integritas nasional ini harus merupakan suatu sistem yang saling terkait dari seluruh elemen masyarakat. 230
DR. Endro Utomo, Ir. Dhiah Nuraini, M.Si
Agar good governance dapat berjalan dengan baik, dalam menjalankan fungsinya pemerintah perlu menggeser paradigma yang selama ini berlaku, yaitu paradigma pemerintah (government) yang berkonotasi kekuasaan, menjadi paradigma kepemerintahan atau kemitraan (governance) yang lebih bersifat partisipatif. Pergeseran paradigma ini menegaskan perlunya pembangunan yang bersifat partisipatif di mana pada hakekatnya Pembangunan Partisipatif dan Good Governance ibarat dua sisi mata uang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Pengertian pembangunan partisipatif menurut Mikkelsen (1999) adalah pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan, dan pelaksanaan program atau proyek yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dengan demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola pikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Untuk melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel telah tersedia peraturan yang menjadi payung hukumnya, yaitu Ketetapan MPR No. 11 tahun 1999 dan Undang-Undang no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang baik dan bebas KKN. Dalam pelaksanaan Prepres 28/2008 ada tiga kelompok kelembagaan yang memiliki peran penting, yaitu Pemerintah, Swasta dan Masyarakat hubungannya dapar digambarkan sebagai berikut: Setiap inter relasi antara ketiga kelompok kelembagaan tersebut memiliki dua dampak: positif dan negatif. Bila hubungan dan proses yang terjadi di antara kelembagaan tersebut berjalan di dalam jalur yang benar dan sesuai dengan peraturan serta hukum yang berlaku maka akan menghasilkan dampak yang positif. Sebaliknya bila implementasi dari inter relasi tersebut melenceng dari rambu-rambu yang sudah ditentukan, maka besar kemungkinan akan menghasilkan dampak yang negatif. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, inter relasi ini harusnya bersifat sinergistik, karena bila tidak besar kemungkinan nantinya justru akan menjadi saling mematikan. 231
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Gambar 33. Hubungan antar sektor dalam pelaksanaan good governance
KORUPS I/ Transpara nsi/Fasilit asiasi
KOLU SI/
PEMERINT AH
SWASTA
MASYARAK AT
Partisip asi
NEPOTIS ME/ Partisipasi
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar untuk pelaksanaan Perpres 28/2008 hal-hal yang harus mendapat perhatian adalah: - prinsip-prinsip good governance dilaksanakan dengan baik - pendekatan management by activity yang selama ini diterapkan harus diubah menjadi management by objective - dalam konteks penyusunan road map, perlu ditetapkan adanya tujuan antara dan tujuan akhir yang terukur - untuk mengembangkan road map perlu diperhatikan diterapkannya mangement dengan ciri Project Management, di mana ada network planning yang baik, penetapan kewenangan yang jelas, aturan untuk pengawasan day to day, dan sebagainya.
232
STRATEGI OPERASIONAL DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL DR. Aidil Yuzar
A. Pendahuluan
K
ebijakan Industri Nasional (KIN) yang ditetapkan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 28 Tahun 2008, merupakan arahan dan kebijakan jangka menengah maupun jangka panjang untuk mempercepat proses industrialisasi guna mendukung pembangunan ekonomi nasional dimasa yang akan datang, sekaligus untuk mengatasi dampak negatif globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia dimasa yang akan datang. Kebijakan Industri Nasional tersebut mencakup tiga hal, yaitu: Bangun Industri Nasional, Strategi Pembangunan Industri Nasional, dan Fasilitas Pemerintah. Bangun Industri Nasional pada tahun 2025 akan tersusun dari Basis Industri Manufaktur dan Industri Andalan Masa Depan. Bangun 233
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Industri Nasional ini akan dicapai melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Memilih industri yang memiliki daya saing tinggi pada tingkat Internasional dan dikembangkan untuk menjadi tulang punggung sektor ekonomi dimasa akan datang; b. Memilih produk-produk unggulan daerah untuk diolah dan dikembangkan menjadi kompetensi inti industri daerah dan menjadi tulang punggung perekonomian regional; c. Memilih dan mendorong tumbuhnya industri yang akan menjadi industri andalan masa depan; Dengan dicapainya Bangun Industri Nasional yang dicita-citakan tersebut pada tahun 2025, maka Indonesia diharapkan akan menjadi salah satu negara industri tangguh di dunia. Strategi Pembangunan Industri Nasional yang diamanatkan oleh KIN terdiri dari: Strategi Pokok dan Strategi Operasional. Strategi Pokok meliputi: 1) Memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai dari industri. Keterkaitan dikembangkan sebagai upaya untuk membangun jejaring industri dalam negeri dan global serta meningkatkan daya saing untuk mendorong inovasi; 2) Meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun kompetensi inti daerah; 3) Meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya dalam industri; 4) Mengembangkan Industri Kecil dan Menengah; Adapun Strategi Operasional meliputi: 1) Pengembangan Lingkungan Bisnis yang Kondusif; 2) Mendorong Pertumbuhan Klaster Industri Prioritas; 3) Menumbuhkan Kompetensi Inti Industri Daerah. Makalah ini akan fokus pada issue yang menyangkut Klaster Industri Prioritas dan Kompetensi Inti Daerah KIN mengamanatkan bahwa Pengembangan Klaster Industri Prioritas secara rinci akan dituangkan dalam Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri, yang akan memuat urutan rencana aksi untuk pengembangan Klaster Industri Prioritas dan pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah. 234
DR. Aidil Yuzar
Dalam penyusunan Peta Panduan dimaksud, terlebih dahulu perlu kejelasan dan kesepakatan mengenai beberapa kata kunci yang terdapat dalam amanat tersebut. Kata kunci yang memerlukan kejelasan dan kesepakatan, antara lain adalah Klaster Industri Prioritas dan Kompetensi Inti Industri Daerah.
B. Klaster Industri Definisi klaster industri Kejelasan dan kesepakatan mengenai definisi “klaster industri” sangat diperlukan karena pada kenyataannya, berbagai pihak yang menggunakan istilah klaster industri, tidak memiliki pengertian yang sama. Bahkan dilingkungan pembina pengembangan industri pun, pengertian klaster industri bisa berbeda-beda. Hal ini akan menjadi kendala dalam pengembangan klaster industri itu sendiri, sehingga tidak dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Definisi klaster industri yang dianut oleh berbagai negara pun tidak selalu sama. Beberapa definisi yang diuraikan di bawah ini bisa kita adopsi untuk dipakai di Indonesia, yaitu: Definisi dari UNIDO (OECD 1999) yang berbunyi: “The term of cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economies (such as the emergence of specialised suppliers of raw materials and component or the growth of a sector specific skills) and, second, favours the rise of specialized services in technical, administrative and financial matters. Such specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”.
235
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Definisi dari Porter (2003): “Clusters are geographic concentrations of interconnected companies, specialized suppliers and service providers, firms in related industries, and associated institutions (e.g. universities, standard agencies and trade associations) in particular fields that compete but also cooperate”. Definisi dari Cooke (2001): “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and cooperation in a specific market field”. Dari definisi-definisi diatas,dapat disimpulkan bahwa suatu klaster industri, harus memiliki ciri-ciri berikut: − terdapat konsentrasi perusahaan-perusahaan terkait secara geografis − perusahaan saling terkait, baik secara horisontal ataupun vertikal − terdapat perusahaan yang merupakan pemasok bahan baku, bahan penolong dan komponen/suku cadang − terdapat perusahaan yang memberikan pelayanan khusus dibidang: jasa, keuangan, teknis, administratif yang diperlukan − terdapat institusi publik dan swasta terkait yang diperlukan, seperti: sekolah kejuruan, akademi/perguruan tinggi, lembaga pendidikan dan latihan, lembaga standarisasi, lembaga penelitian dan pengembangan, bank, asosiasi pengusaha − terdapat kerjasama maupun persaingan diantara perusahaanperusahaan, yang dapat menumbuhkan inovasi Dengan memperhatikan definisi-definisi tersebut diatas, dan ciriciri yang harus dimiliki suatu klaster industri, maka timbul pertanyaan: Apakah Indonesia sudah memiliki klaster industri? Enright (2000) mengidentifikasi adanya beberapa tingkat perkembangan klaster, yaitu:
236
DR. Aidil Yuzar
1. Klaster Operasional, adalah klaster dimana telah dicapai critical mass mengenai pengetahuan, keahlian, personil dan sumber daya sehingga terbentuk agglomeration economies yang digunakan oleh perusahaan anggota klaster sebagai keunggulan untuk bersaing dengan perusahaan yang berada diluar klaster. 2. Klaster Laten, adalah klaster yang juga telah mencapai critical mass, namun masih belum sepenuhnya berkembang untuk dapat memanfaatkan adanya interaksi dan aliran informasi dalam klaster. Hal ini dapat disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai perusahaan lain yang ada di daerah tersebut, kurangnya interaksi diantara perusahaanperusahaan dan diantara individu-individu, kurangnya pemahaman bersama mengenai visi masa depan atau kurangnya tingkat kepercayaan diantara perusahaan untuk bersama-sama mencari dan mengeksploitasi kepentingan bersama. 3. Klaster Potensial, adalah klaster yang telah memiliki beberapa elemen yang diperlukan bagi pengembangan klaster yang sukses, namun terhadap elemen ini masih harus dilakukan pendalaman (deepening) dan pelebaran (broadening) agar dapat memanfaatkan adanya aglomerasi. Sering terdapat gap pada input, pelayanan jasa atau aliran informasi yang diperlukan untuk pengembang klaster. Seperti klaster laten, klaster ini belum memiliki interaksi dan kesadaran yang diperlukan oleh suatu klaster operasional. 4. Klaster Pilihan, yaitu klaster yang dipilih oleh pemerintah untuk diberikan dukungan, namun belum mencapai critical mass jumlah perusahaan atau belum memiliki kondisi untuk berkembang sendiri. Klaster yang sekarang sudah ada dibeberapa lokasi di Indonesia, termasuk tingkat perkembangan yang mana? Besar kemungkinan bahwa klaster-klaster industri yang sudah ada di Indonesia, apabila mengikuti klasifikasi dari Enright (2000), baru mencapai tingkatan Klaster Potensial atau Klaster Pilihan .
237
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Sehubungan dengan hal ini, maka untuk penyusunan urutan rencana aksi dalam Peta Panduan, diperlukan suatu definisi klaster industri yang disepakati bersama, yang secara implisit mengandung ciri-ciri sebagaimana diuraikan diatas, sehingga rencana aksi tersebut benar-benar dapat mendorong pengembangan berbagai klaster industri sehingga dapat meningkatkan Klaster Potensial dan Klaster Pilihan menjadi Klaster Laten dan Klaster Operasional yang sebagaimana yang dimaksud oleh Enright (2000). Kelahiran Klaster Industri Menurut Doeringer dan Terkla (1995) dan Rodriguez-Clare (2005), klaster industri lahir karena terdapatnya pengaruh luar yang menguntungkan (positive externalities). Lokasi yang spesifik untuk setiap klaster terjadi secara kebetulan saja (historical accident) atau karena biaya untuk membangun perusahaan di lokasi tersebut lebih rendah dari pada membangun di tempat lain. Menurut Porter (1998), suatu klaster dapat lahir di suatu lokasi tertentu karena di lokasi tersebut terdapat bagian dari Porter’s diamond yang dapat dimanfaatkan. Motivasi utama yang mendorong terbentuknya klaster adalah tersedianya sejumlah faktor yang mendukung, seperti: adanya permintaan pasar yang spesifik, teknologi, keahlian atau keterampilan khusus, fasilitas riset dan pengembangan, sekolah atau perguruan tinggi, lokasi yang baik, tersedianya sumber daya dan infrastruktur yang sesuai, atau karena timbulnya kesempatan (chance factor). Enright (2000) juga menyatakan bahwa banyak klaster berawal dari terdapatnya kondisi faktor lokal yang spesifik, permintaan pasar lokal atau industri yang terkait.Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan lahirnya klaster disuatu daerah tertentu, namun kelahiran suatu klaster tidak dapat dipaksakan (Enright 2000). Porter (1990) menyampaikan argumentasinya, bahwa adanya persaingan merupakan kekuatan yang mendorong perkembangan 238
DR. Aidil Yuzar
klaster. Pembentukan klaster (clustering) merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pertumbuhan satu perusahaan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster, akan terjadi sistem yang saling memperkuat dimana manfaatnya akan mengalir ke depan dan ke belakang pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Porter (1990) berpendapat bahwa persaingan antara perusahaan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena persaingan akan memaksa perusahaan dalam klaster untuk lebih inovatif dan didorong untuk melakukan perbaikan serta menciptakan teknologi baru. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong diterapkannya keterampilan dan jenis pelayanan yang baru. Karena banyak perusahaan dalam klaster memerlukan tenaga dengan keterampilan yang sama, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster yang berakibat terjadinya transfer pengetahuan kepada perusahaan yang menerima tenaga kerja tersebut. Hal ini akan meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal dari klaster ataupun integrasi horizontal dari sektor klaster tersebut. Integrasi vertikal akan meningkat dalam hal terjadi pembagian kegiatan yang lebih spesifik, sehingga perusahaan yang baru dapat mengisi market niche yang terjadi. Clustering horizontal akan terjadi dalam hal diterapkannya teknologi baru dan keterampilan baru pada industri terkait dari berbagai sektor. Doeringer dan Terkla (1995) menekankan manfaat yang diperoleh dari aglomerasi yang juga sangat berperan dalam perkembangan klaster. Perusahaan yang berlokasi saling berdekatan, akan mendapat manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang lebih rendah serta mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer dari informasi serta pengetahuan dan teknologi diantara perusahaan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini 239
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar dan bertumbuh. Hal lain yang membantu perkembangan klaster adalah kesempatan untuk bertemu muka secara langsung antara para pelaku industri di dalam klaster tersebut karena lokasi yang berdekatan. Interaksi dengan cara tatap muka ini sangat membantu perusahaan kecil yang ada dalam klaster, dengan cara mana mereka bisa mendapatkan informasi mengenai market niche di klaster tersebut yang dapat mereka layani. Kedekatan dengan semua perusahaan di dalam klaster memungkinkan perusahaan-perusahaan meningkatkan teknologi dan inovasi secara cepat sehingga dapat meningkatkan efisiensi keseluruhan proses produksinya. Perusahaan-perusahaan dalam klaster dapat bekerjasama untuk menyediakan pelayanan atau jasa-jasa tertentu yang diperlukan sehingga dapat mendorong perkembangan klaster lebih lanjut. Infrastruktur sosial pada klaster juga membantu memfasilitasi transfer pengetahuan dan teknologi sehingga dapat memperkuat klaster dan mendorong pertumbuhan klaster (Morosini 2004). Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan klaster diakibatkan oleh beberapa faktor kunci antara lain: transfer dari teknologi, transfer dari pengetahuan, pengembangan tenaga terampil pada industri terkait, manfaat-manfaat dari aglomerasi dan infrastruktur sosial yang terbentuk (Le Veen 1998). Selain kelahiran yang secara alamiah, Bekar dan Lipsey (2001) berpendapat bahwa klaster dapat pula terbentuk melalui caracara : 1. Dengan membangun suatu klaster yang dikaitkan dengan klaster yang sudah ada. 2. Dengan menarik suatu perusahaan ternama ke suatu daerah, dengan harapan bahwa perusahaan tersebut akan diikuti oleh perusahaan lain yang terkait dengannya. 3. Dengan mendirikan atau mengadakan suatu fasilitas tertentu sehingga daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, seperti: research park yang dibangun oleh Pemerintah. 240
DR. Aidil Yuzar
Klaster Industri di Negara Berkembang dan di Indonesia Klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah (Knorringa & Meyer-Stamer 1998). Perkembangan klaster industri di Indonesia tidak jauh berbeda dengan perkembangan di negara berkembang lainnya. Klaster ini belum melakukan pembagian pekerjaan secara vertikal sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat yang diperoleh dari aglomerasi baru terbatas pada kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster dengan ciri-ciri demikan dikenal dengan istilah “survival cluster”. Survival cluster ini dapat ditemukan di daerah pinggiran (rural) maupun di daerah perkotaan (metropolitan). Yang berada di daerah perkotaan biasanya tumbuh karena kebutuhan pemiliknya untuk survive, kurang mempunyai akar di daerah tersebut dan beroperasi pada subsektor-subsektor yang modern. Klaster yang berada di daerah pinggiran lebih banyak beroperasi pada sektor tradisional yang pada umumnya bertumpu pada keterampilan pekerjaan tangan, seperti: sepatu, alas kaki, barang-barang dari kulit, pakaian jadi, perabot rumah tangga dari kayu, perhiasan dan produk kerajinan tangan lainnya. Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) berpendapat bahwa sangat sulit untuk mengembangkan survival cluster yang banyak terdapat pada negara-negara berkembang menjadi klaster dengan kinerja yang lebih tinggi, karena tidak punya kemampuan untuk memenuhi biaya, kualitas dan permintaan yang melekat pada suatu sektor yang formal. Altenburg dan Meyer-Stamer (1999) dalam penelitiannya di Amerika Latin menyimpulkan bahwa pada negara-negara berkembang dikawasan tersebut terdapat bentuk-bentuk klaster yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Sebagaian besar klaster adalah berupa “survival cluster” yang terdiri dari perusahaan berskala usaha mikro dan usaha kecil, yang memproduksi barang-barang konsumsi berkualitas rendah untuk pasar lokal, yang pada umumnya “barrier to entry”-nya rendah. 241
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Pada umumnya produktivitas dan upah pada perusahaan dalam klaster tersebut juga masih rendah. 2. Beberapa klaster merupakan “klaster maju” yang menghasilkan berbagai jenis barang dengan tingkat produksi massa, yang merupakan barang substitusi impor namun tidak banyak melakukan ekspor. Perusahaan dalam klaster ini terdiri dari berbagai skala, mulai dari yang kecil sampai perusahaan yang berskala besar. 3. Beberapa diantaranya merupakan klaster perusahaan trans-nasional, yang bergerak dalam bidang produksi barang yang mengandung muatan teknologi yang tinggi, seperti elektronika dan kendaraan bermotor. Klaster ini didominasi oleh cabang dari perusahaan multi-nasional, yang melayani baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional Klaster Industri Prioritas Didalam KIN telah ditetapkan 35 Kelompok Industri Prioritas yang perlu didorong pengembangannya melalui pendekatan Klaster Industri Prioritas. Mengingat cukup besarnya jumlah kelompok industri yang akan dikembangkan melalui pendekatan klaster ini, maka perlu dilakukan penentuan rating terhadap kelompok industri ini untuk melihat kelompok mana yang perlu diprioritaskan penanganannya. Metodologi rating dan parameter yang akan digunakan untuk penetapan rating perlu dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait (instansi pembina, pelaku industri dan perdagangan, pakar industri dan perdagangan, para pakar, dan pihak lain yang berkepentingan). Dari 35 kelompok industri pada Perpres 28 / 2008, dapat dilakukan rating menjadi 4 kelompok yang menunjukkan tingkat prioritasnya, misalnya: Prioritas Sangat Tinggi, Prioritas Tinggi, Prioritas Sedang, dan Prioritas Rendah. Parameter yang dipilih untuk melakukan rating industri harus disesuaikan dengan apa yang menjadi tujuan dari pengembangan klaster industri dimaksud. Setelah ditetapkan rating dari masing-masing kelompok, maka langkah berikutnya adalah menetapkan apakah klaster industri prioritas 242
DR. Aidil Yuzar
tersebut akan dikembangkan pada tingkatan kabupaten, atau tingkatan propinsi, atau pada tingkatan nasional. Untuk ini perlu diteliti populasi dari industri dalam kelompok tersebut pada tingkat kabupaten, tingkat propinsi, dan tingkat nasional. Idealnya adalah mengembangkan klaster pada tingkat kabupaten, karena koordinasi antar instansinya relatif lebih mudah untuk dilaksanakan. Pilihan berikutnya adalah klaster tingkat propinsi dan pilihan terakhir adalah tingkat nasional. Klaster Industri Prioritas dan Wilayah Administratif Pada dasarnya, suatu klaster industri prioritas tidak harus berada pada suatu wilayah administratif. Klaster industri dapat mencakup satu atau beberapa wilayah administratif yang saling berbatasan. Wilayah administratif tersebut dapat berupa kecamatan, kabupaten atau propinsi. Namun dalam rezim otonomi daerah di Indonesia saat ini, maka akan lebih efektif apabila suatu Klaster Industri Prioritas yang dipilih, secara geografis berada pada suatu kabupaten, sehingga memudahkan koordinasi dan penetapan kebijakan Pemerintah Daerah yang akan diterapkan untuk menunjang pengembangan klaster yang dipilih. Klaster Industri Prioritas yang wilayahnya mencakup beberapa wilayah administratif yang otonom, akan mengalami kendala dalam pengembangannya karena memerlukan kordinasi yang intens dan penyesuaian kebijakan antara beberapa daerah otonomi. Klaster Industri Prioritas tingkat Propinsi (yang wilayahnya mencakup beberapa kabupaten) memerlukan kerjasama dan penyeragaman kebijakan antar Kabupaten, sedang Klaster Industri Prioritas tingkat Nasional (yang wilayahnya mencakup beberapa Propinsi dan beberapa kabupaten) akan memerlukan kerjasama dan penyeragaman kebijakan antar Kabupaten dan antar Propinsi. Dengan demikian maka pemilihan Klaster Industri Prioritas yang akan dikembangkan perlu diteliti secara seksama cakupan wilayah geografisnya, sehingga dapat dihindari hambatan-hambatan yang dapat 243
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
terjadi. Pemerintah Daerah perlu diikutsertakan dalam pemilihan Klaster Industri Prioritas yang akan dikembangkan di daerahnya. Braga & Gerry (2002) mencatat beberapa issue yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan industri di daerah: − Keterbatasan sumber dana yang dimiliki daerah − Keterbatasan perangkat organisasi dan kemampuan teknis dari aparat daerah − Adanya batasan-batasan kewenangan yang ditetapkan Pemerintah Pusat − Artikulasi, baik teknis maupun administratif antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional sangat berbeda − Penerapan dari kebijakan nasional untuk pelaksanaan didaerah masih banyak tergantung pada interpretasi pejabat ditingkat nasional − Kemungkinan terjadinya duplikasi dari fungsi tertentu di tingkat Nasional dengan Pemerintah Daerah Kebijakan Pengembangan Klaster Industri Prioritas Daerah Intervensi yang dapat dilakukan pemerintah pusat/pemerintah daerah pada kebijakan pengembangan klaster industri di daerah, menurut Raines (2002) adalah: Tindakan yang difokuskan pada keterkaitan spesifik, yang dapat meningkatkan networking antara anggota klaster untuk suatu tujuan atau proyek tertentu, berupa tindakan yang mendukung networking dan kerjasama antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, atau antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian. Keterkaitan antara pelaku usaha sangat penting untuk pengembangan pemasok agar dapat mencapai economies of scale atau terjadinya alih pengalaman, keterampilan dan teknologi. Keterkaitan antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian dapat meningkatkan komersialisasi hasil riset dan peningkatan kemampuan lembaga riset. Tindakan untuk meningkatkan common resources, seperti: informasi pasar dan informasi bisnis, sumber daya manusia yang terampil dan 244
DR. Aidil Yuzar
pelatihannya, infrastruktur umum dan khusus, yang tidak terdapat pada klaster. Tindakan ini ditujukan untuk mengembangkan common resources yang dapat meningkatkan daya saing kelompok perusahaan dalam klaster. Tindakan untuk meningkatkan community building, yang bertujuan untuk mengupayakan agar anggota klaster berpikir dan bertindak untuk menciptakan identitas klaster tersebut. Identitas klaster dapat dibangun melalui dukungan terhadap pembentukan asosiasi diantara para pelaku usaha klaster, mendorong hubungan yang lebih sering diantara para anggota, meningkatkan pemahaman anggota, dan meningkatkan sense of belongings para anggota. Identitas yang terbentuk dapat memberikan image tertentu yang bermanfaat untuk kegiatan pemasaran hasil klaster dan menarik investasi ke dalam klaster. Hal ini dapat dilakukan melalui: (a) Menyelenggarakan forum pertemuan anggota klaster secara berkala untuk membahas masalah bersama dan peluang-peluang bisnis, mencari solusi dan menumbuhkan perasaan kebersamaan; (b) Melakukan komunikasi dalam rangka merumuskan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan image dari klaster kepada pihak luar, dan mempublikasikan aktivitas bisnis dari para anggota maupun aktivitas bisnis klaster secara keseluruhan; (c) Mengupayakan agar konsentrasi industri pada suatu daerah cukup tinggi, yang merupakan hal penting untuk dapat menarik investor dan untuk melakukan upaya pemasaran klaster di tingkat internasional; (d) Branding: Digunakan untuk menghimpun potensi berbagai bagian dari klaster melalui karakteristik bersama untuk upaya-upaya pengembangan ekspor.
C. Kompetensi Inti Industri Daerah Definisi Kompetensi Inti Istilah kompetensi inti (core competence) pertama sekali digunakan oleh Prahalad dan Hamel (1990). Mereka mendefinisikannya sebagai: “The collective learning in the organization, especially how to coordinate diverse production skills and integrate multiple streams 245
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
of technologies”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan menjadi: “Pembelajaran kolektif didalam suatu organisasi, terutama mengenai bagaimana cara mengkordinasikan berbagai keahlian dibidang produksi dan mengintegrasikan berbagai perkembangan teknologi”. Konsep ini muncul bersamaan dengan berkembangnya paradigma baru dibidang strategi perusahaan yang oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) disebut sebagai resource based approach (RBA). Paradigma baru ini dikembangkan untuk membantu perusahaan-perusahaan agar dapat bersaing secara lebih efektif dalam lingkungan global yang selalu berubah. Dalam menghadapi persaingan pada era setelah tahun 1990-an yang telah berubah secara dramatis, para pendukung RBA berpendapat bahwa kompetensi, kapabilitas, keahlian atau keterampilan dan aset strategis merupakan sumber keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Menurut Stewart (1999) kompetensi inti adalah keahlian, keterampilan atau bakat yang tidak berwujud (intangible), yang dapat memberikan nilai tambah dan memiliki nilai strategis. Hammer (2001) menyatakannya sebagai sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan secara baik sekali sehingga perusahaan tersebut dapat berhasil dalam persaingan. Kanter (2001) secara sederhana mendefinisikan kompetensi inti sebagai distinctive skill (keahlian atau keterampilan khusus) yang dimiliki perusahaan yang membedakannya dari perusahaan yang lain. Hamel dan Prahalad (1996) mendefinisikan kembali kompetensi inti sebagai “A bundle of skills and technologies that enables a company to provide a particular benefit to customers” (sekumpulan keahlian dan keterampilan yang memungkinkan suatu perusahaan menyediakan manfaat tertentu kepada pelanggannya). Semua definisi yang diuraikan di atas selalu dikaitkan dengan kegiatan suatu perusahaan. Kompetensi Inti Daerah Roberts dan Stimson (1998) mendefinisikan kompetensi inti suatu daerah sebagai “The critical mass of skills, technology and application of resources that a region possesses which drive its economy. Menurut Hitt, 246
DR. Aidil Yuzar
Ireland dan Hoskisson (1999), kompetensi inti suatu daerah adalah kemampuan sumber daya daerah yang merupakan sumber keunggulan bersaing daerah tersebut terhadap daerah lainnya. Dalam konteks potensi daerah, maka kompetensi inti didefinisikan sebagai kemampuan daerah untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan sektor-sektor atau subsektor-subsektor kegiatan ekonomi yang terdapat dalam suatu daerah. Semakin baik koordinasi dan integrasi diantara sektor-sektor ekonomi atau subsektor-subsektor ekonomi yang dikembangkan disuatu daerah, maka semakin baik kompetensi inti yang dimiliki daerah tersebut. Terdapat empat syarat yang perlu dinilai untuk mengetahui kompetensi inti suatu daerah: (1) Kemampuan yang berharga (valuable capabilities), (2) Kemampuan yang langka (rare capabilities), (3) Kemampuan yang tidak dapat ditiru dengan sempurna (imperfectly imitable capabilities), dan (4) Kemampuan yang tidak dapat digantikan (non substituteable capabilities). Dengan demikian maka daerah dapat memiliki kompetensi inti dengan atribut: (1) Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih luas; (2) Kemampuan memberikan kontribusi yang signifikan kepada pelanggan atas manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa yang ditawarkan; (3) Kemampuan menghasilkan barang dan jasa unggulan yang susah untuk ditiru; (4) Kemampuan untuk melakukan koordinasi yang kompleks dari beragam teknologi. Definisi Kompetensi Inti Industri Daerah yang digunakan dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008, adalah: “Sekumpulan keunggulan atau keunikan sumberdaya alam dan kemampuan suatu daerah untuk membangun daya saing dalam rangka mengembangkan perekonomian Provinsi dan Kabupaten/Kota menuju kemandirian”. Dari berbagai definisi tersebut, jelas bahwa Kompetensi Inti Industri Daerah tidak identik dengan Produk Unggulan Daerah. Dengan memiliki Kompetensi Inti Industri Daerah yang terdiri dari seperangkat kompetensi diberbagai bidang keahlian, ketrampilan, sumber daya 247
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
alam, infra struktur, teknologi, manajemen, peraturan, dll. maka suatu daerah justru dapat memunculkan satu atau beberapa Produk Unggulan Daerah yang kompetitif. Meningkatkan Kompetensi Inti Daerah Dalam penyusunan Peta Jalan untuk menumbuhkan Kompetensi Inti Industri Daerah diberbagai daerah, perlu dilakukan berbagai kegiatan yang mencakup antara lain.: − Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilan yang sudah dimiliki daerah − Meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam daerah − Peningkatan infrastruktur yang menunjang industri dan perdagangan − Peningkatan kemampuan manajerial diberbagai bidang (keuangan, industri, perdagangan) − Peningkatan teknologi industri yang sudah ada didaerah − Peraturan dibidang industri dan perdagangan untuk menghilangkan hambatan dan mendorong pertumbuhan industri di daerah
DAFTAR PUSTAKA --------------. 1998. Cluster and the New Economics. Boston, Massachusetts : Harvard Business Review. Altenburg T, Meyer Stamer J. 1999. How to Promote Clusters: Policy Experiences from Latin America. World Development Vol. 27, No.9 : hal.1693-1713. Bekar C, Lipsey RG. 2001. Cluster and Economi Policy. Paper presented at Policies for the New Economy. Montreal. Braga V, Garry C. 2002. Policies in support of local clusters : A preliminary analysis of the hinterland zone of the north Portuguese cost. Paper presented at the EUNIP Conference. Turku, Finland. 248
DR. Aidil Yuzar
Cooke, P. 2001. Clusters as Key Determinant of Economic Growth. Didalam: Mariussen A, editor. Cluster Policies – Cluster Development? http://www.nordregio.se/r0102.htm. Doeringer PB, Terkla DG. 1995 . Business Strategy and Cross Industry Clusters. Economic Development Quarterly : 9 : 225-37. Enright M.J, Ffowcs-Williams I. 2000. Enhancing the Competitiveness of SMEs in the Global Economy: Strategies and Policies. OECD. Paris. Hamel G, Prahalad CK. 1994, Competing for the future. Boston, Massachusetts. Harvard Business School Press. Hammer M. 2001. The Agenda. New York, New York. Crown Business. Hitt MA, Ireland RD, dan Hoskisson RE. 1999. Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi, alih bahasa : Armand Hediyanto, Tulus Sihombing dan Yati Sumiarti. Jakarta : Penerbit Erlangga. Kanter RM. 2001. Frontiers of Management. Boston, Massachusetts : Harvard Business School Press. Knorringa P, Meyer Stamer J. 1998. New Dimension in Local Enterprise Co-operation and Development : From Clusters to Industrial Districts. ATAS Bulletin XI. The Hague and Duisburg. Le Veen, Jessica. 1998. Urban and Regional Development. http://www. unc.edu/depts/dcrpweb/courses/261leveen/litrev.htm. Morosini P. 2004. Industrial Cluster, Knowledge Integration and Performance. World Development Vol. 32, No. 2, pp. 305-326. Nonaka I, Takeuchi H. 1995. The Knowledge Creating Company. New York : Oxford University Press. OECD.1999. Boosting Innovation. Paris. Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations, First Edition. New York : The Free Press. Prahalad CK, Hamel G. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard Business Review ; May – June 1990 : 79 – 90. Raines P. 2002. Cluster Development and Policy. Burlington, USA : Ashgate Publishing Company.
249
Kumpulan Pemikiran untuk Efektivitas Penerapan Kebijakan Industri Nasional
Roberts B, Stimson RJ. 1998. Multi sectoral qualitative analysis - a tool for assessing the competitiveness of regions and formulating strategies for economic development. The Annals of Regional Science : Volume 32 Number 4, 1998 : 469 – 494. Rodriguez-Clare A. 2005. Clusters and Comparative Advantage: Implications For Industrial Policy. Journal of Development Economics: http://www.elsevier.com/locate/econbase Stewart TA. 1999. Intellectual Capital- The New Wealth of Organizations. New York : Doubleday.
250
www.bppi.depperin.go.id Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian Jln. Jenderal Gatot Subroto Kav. 52 – 53, Lantai 19 – 20 Jakarta 12950