LAPORAN AKHIR
ANALISA KEBIJAKAN INDUSTRI DAN JASA KELAUTAN NASIONAL
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN SEKRETARIAT JENDERAL TAHUN ANGGARAN 2007
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
KATA PENGANTAR Tanah air Indonesia yang terbentang dari 94° Bujur Timur sampai dengan 141º Bujur Timur dan 6º Lintang Utara sampai dengan 11º Lintang Selatan, terdiri dari ribuan buah pulau besar dan kedl dengan laut antara dan sekelilingnya yang sangat luas yaitu 5,8 juta Km2 memiliki kekayaan sumber daya hewani dan nabati sangat besar yang terkandung di dalamnya. Laut memiliki fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Hal ini jelas tergambar dalam naskah Deklarasi Djoeanda 13 Desember tahun 1957 yang menyatakan: “ segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian–bagian yang wajar daripada daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia......”. Laut sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan dasar manusia, bahwa di dalam laut terkandung berbagai sumber-sumber bahan pemenuhan kebutuhan dasar manusia terutama pangan, seperti ikan dan biota perairan lainnya. Laut sebagai sumber bahan dasar dan sumber energi yang umumnya ditemukan pada dasar laut dan di bawah laut tertentu dan berbagai mineral dan sumber energi yang dapat ditambang untuk digunakan sebagai bahan baku industri dan sebagai sumber energi. Laut juga merupakan medan kegiatan industri, baik secara langsung seperti pelayaran, pertambangan lepas pantai, maupun secara tidak langsung seperti proses bahan makanan, industri galangan kapal, industri alat-alat pertambangan lepas pantai, pariwisata bahari dan lain-lain. Kondisi geografi Indonesia juga mengisyaratkan bahwa perhubungan laut memegang peranan penting yang cukup menentukan, tentunya dengan dukungan pengembangan industri galangan, perkapalan dan infrastruktur penunjang lainnya. Demikian pula industri berbasis kelautan yang mulai banyak bergerak ke arah pantai untuk mendekatkan jarak, memanfaatkan laut dan sumber dayanya serta aktivitas lainnya, sehingga kawasan laut dan pantai memberikan peluang dan ruang bagi pengembangan banyak jenis kegiatan industri guna mencapai kesejahteraan ekonomi khususnya di sektor kelautan. Kajian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menggali informasi dan mempelajari berbagai permasalahan yang menyebabkan tidak berkembangnya industri dan jasa kelautan, terutama yang berhubungan dengan kebijakan, serta mencari peluang dan strategi yang dapat memajukan industri dan jasa kelautan, sehingga industri dan jasa kelautan dapat berkontribusi bagi pembangunan Indonesia. Berdasarkan parameter di atas, kajian ini mencoba untuk mengantarkan kepada suatu pemahaman dasar mengenai industri dan jasa kelautan, gambaran umum dari kondisi industri dan jasa kelautan nasional dan daerah serta tinjauan kebijakan, analisa dan kesimpulan dari arah kebijakan industri dan jasa kelautan. Butir rekomendasi dari kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi pengambil kebijakan industri dan jasa kelautan.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
i
Penyusun menyadari bahwa laporan yang telah disusun masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan berbagai masukan yang membangun guna penyempurnaan penulisan di masa akan datang. Akhir kata semoga laporan ini dapat dijadikan pedoman dan bermanfaat bagi para pembaca, dan tak lupa diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi aktif terhadap kajian ini.
Tim Penyusun Analisis Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
Ir. Anton Leonard, MM
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................... Daftar Isi ..................................................................................................................... BAB I
BAB II
i iii
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1.2 Tujuan ........................................................................................................................ 1.3 Sasaran ....................................................................................................................... 1.4 Lingkup Kegiatan ..................................................................................................... 1.5 Keluaran .................................................................................................................... 1.6 Metodologi Pendekatan .......................................................................................... 1.7 Sistematika Penulisan Laporan ...............................................................................
1 3 3 3 3 4 5
INDUSTRI DAN JASA KELAUTAN NASIONAL 2.1 Identifikasi Industri dan Jasa Kelautan ................................................................. 2.1.1 Perikanan dan Biota Laut Lainnya ........................................................... 2.1.1.1 Perikanan .................................................................................... 2.1.1.2 Bioteknologi ............................................................................... 2.1.1.3 Barang Muatan Kapal Tenggelam .......................................... 2.1.2 Pertambangan di Laut ................................................................................ 2.1.2.1 Energi .......................................................................................... 2.1.2.2 Deep Ocean Water ......................................................................... 2.1.2.3 Seabed Mineral Resources .............................................................. 2.1.3 Perhubungan Laut (Pelayaran) .................................................................. 2.1.4 Pariwisata Bahari ......................................................................................... 2.1.5 Industri Maritim .......................................................................................... 2.1.5.1 Garam .......................................................................................... 2.1.5.2 Galangan Kapal ......................................................................... 2.2 Profil Industri Dan Jasa Kelautan Di Daerah ..................................................... 2.2.1 Kondisi Umum ........................................................................................... 2.2.2 Potensi Ekonomi ........................................................................................ 2.2.3 Isu dan Permasalahan ................................................................................ 2.2.4 Hukum dan Perundang-undangan .......................................................... 2.2.5 Kelembagaan ...............................................................................................
6 6 6 9 12 15 15 18 20 23 27 32 32 35 38 38 47 55 68 75
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
iii
BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI DAN JASA KELAUTAN 3.1 Inventarisasi Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan ........................................... 3.1.1 Perikanan dan Biota Laut Lainnya ........................................................... 3.1.2 Pertambangan di Laut ................................................................................ 3.1.3 Perhubungan Laut (Pelayaran) .................................................................. 3.1.4 Pariwisata Bahari ......................................................................................... 3.1.5 Industri Maritim .......................................................................................... 3.2 Tinjauan Yuridis .......................................................................................................
82 82 86 86 87 88 90
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN INDUSTRI DAN JASA KELAUTAN 4.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ........................................................... 4.2 Analisis 5 Sektor Industri dan Jasa Kelautan .......................................................
110 114
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 5.2 Rekomendasi .............................................................................................................
121 122
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi geografi wilayah negara Republik Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 17.480 pulau besar kecil yang menyatu utuh dari Sabang sampai Merauke dengan perairan di sekelilingnya, bersama-sama dengan ideologi Pancasila telah melahirkan Wawasan Nusantara yang merupakan pandangan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tentang diri dan lingkungannya yang berbentuk kehidupan sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam dalam satu ruang kehidupan yaitu seluas perairan dengan pulau-pulau di dalamnya beserta udara di atasnya karena dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Wawasan Nusantara ini akan selalu menjiwai bangsa Indonesia dalam hidup dan kehidupan nasional maupun dalam kehidupan internasional. Wawasan Nusantara adalah wawasan hidup bangsa Indonesia yang bercirikan persatuan dan kesatuan secara laras, serasi dan seimbang. Rumusan Wawasan Nusantara secara formal pertama-tama dikemukakan dan dikenal dalam TAP MPR No. IV Tahun 1973 dan seterusnya berturut–turut dicantumkan dalam TAP MPR Tahun 1978, 1983 dan 1988 yang ditetapkan sebagai wawasan untuk mencapai tujuan Pembangunan Nasional Jangka Panjang dan menyeluruh melalui tahapan Pelita selanjutnya, yang berkehendak mewujudkan negara kepulauan Indonesia ini dalam satu kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial budaya dan kesatuan Hankam. Berdasarkan doktrin dasar Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, bangsa Indonesia harus dapat memanfaatkan wilayah laut guna mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Tanah air Indonesia yang terbentang dari 94° Bujur Timur sampai dengan 141º Bujur Timur dan 6º Lintang Utara sampai dengan 11º Lintang Selatan, terdiri dari ribuan buah pulau besar dan kecil dengan laut antara dan sekelilingnya yang sangat luas yaitu 5,8 juta Km2 memiliki kekayaan sumber daya hewani dan nabati sangat besar yang terkandung didalamnya. Sepanjang pantainya terdapat pula hutan bakau yang luasnya diper-kirakan 4,5 juta hektar dan diperairan pesisir terdapat bentangan wilayah terumbu karang sepanjang 17.500 Km serta rawa nipah dan rawa pasang surut di sekitar muara delta sungai – sungai. Yang merupakan lingkungan hidup bagi biota laut dengan standing crop populasi ikan yang cukup tinggi serta terdapat habitat fauna yang berkembang ke jurusan laut dan darat sebagai sumber bahan makanan, minuman, bahan bangunan, energi dan lain-lain bagi rakyat banyak. Selain itu, di bawah dasar laut Indonesia terdapat sumber gas bumi dan endapan minyak yang cukup besar serta diperkirakan pula mengandung banyak bahan galian/bahan tambang. Di samping itu lautnya sendiri mempunyai banyak kemungkinan sebagai sumber energi alternatif seperti pemanfaatan perbedaan temperatur (OTEC) dan energi ombak. Kondisi geografi Indonesia juga mengisyaratkan bahwa perhubungan laut memegang peranan penting yang cukup menentukan, tentunya dengan dukungan industri galangan, perkapalan dan penunjang lainnya. Demikian pula industri berskala besar mulai banyak bergerak ke arah pantai Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
1
untuk mendekatkan jarak, memanfaatkan laut dan sumber dayanya serta aktivitas lainnya sehingga kawasan laut dan pantai memberikan peluang dan ruang bagi pengembangan banyak jenis kegiatan industrinya. Dengan adanya Wawasan Nusantara yang merupakan pandangan geopolitik sekaligus landasan geostrategi Bangsa Indonesia, akhirnya berkembang menjadi wawasan nasional yang digunakan untuk pembangunan tanah air Indonesia beserta isinya, sebagai wadah dan sarana perjuangan hidup bangsa, secara bulat dan menyeluruh. Konsepsi Nusantara (archipelagic concept) merupakan suatu konsepsi kewilayahan nasional, sedangkan Wawasan Nusantara adalah wawasan Nasional Bangsa dan Negara yang pada awalnya berkembang atas dasar konsepsi kewilayahan. Dengan kata lain wujud kesatuan tanah air yang terkandung dalam konsepsi Nusantara merupakan wadah fisik bagi pembangunan nusantara. Dewasa ini Wawasan Nusantara merupakan wawasan nasional yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Konsepsi Negara Nusantara sebagai manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah dimantapkan dengan ditetapkannya Wawasan Nusantara sebagai salah satu konsepsi politik dan kenegaraan dalam GBHN sejak TAP MPR No. IV tahun 1973. Ditetapkannya Wawasan Nusantara sebagai suatu konsepsi kesatuan wilayah, bangsa dan Negara yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi tanah (darat), air (laut) dan dirgantara di atasnya secara yang tidak terpisahkan, merupakan tahapan akhir dari perkembangan konsepsi Negara nusantara yang dimulai sejak Desember tahun 1957 (Deklarasi Juanda). Setelah menempuh perjuangan yang panjang, maka pada tahun 1982 Indonesia telah berhasil mengukuhkan asas Negara Kepulauan yang telah diakui dunia internasional tentang prinsip hukum Negara Kepulauan seperti yang tercantum dalam Konvensi PBB kedua tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982), di mana Indonesia telah meratifikasinya berdasarkan UU No. 17 tahun 1985. Berbagai perundangan dan peraturan yang beraspek industri dan jasa kelautan di satu sisi masih belum sesuai dengan standar internasional, dan di sisi lain masih belum semua ketentuan UNCLOS 1982 maupun aturan internasional lainnya yang berkaitan dengan industri dan jasa kelautan diimplementasikan ke dalam perundangan dan juga kebijakan nasional. Aspek penting lainnya, belum ada pedoman yang mengklasifikasikan kriteria yang termasuk industri dan jasa kelautan, sehingga dapat terjadi kerancuan pemahaman akan industri dan jasa kelautan tersebut. Di samping itu dalam rangka pembangunan industri dan jasa kelautan yang selama ini belum terarah dan banyak terjadi tumpang tindih (over lapping) kebijakan dan seringkali menimbulkan konflik kewenangan antar sektor. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan di bidang kelautan ditangani lebih dari satu departemen ataupun instansi yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda sesuai dengan sektor masing-masing. Dalam rangka mewujudkan tata administrasi kebijakan yang lebih tertib dan sinergis yang berkaitan dengan kebijakan industri dan jasa kelautan nasional maka diperlukan inventarisasi kebijakan baik berupa perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Keputusan Menteri yang berkaitan dengan industri dan jasa kelautan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu inventarisasi mendetail disertai analisis mendalam oleh Dewan Kelautan Indonesia dengan cara memuat dan memilah-milah segala macam kebijakan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
2
berkaitan dengan industri dan jasa kelautan, disamping itu juga sebagai bagian dari evaluasi sekaligus menjadi langkah penyelarasan administrasi kebijakan industri dan jasa kelautan nasional, sehingga dapat sangat membantu berbagai pihak dalam memutuskan ataupun mempertimbangkan segala macam hal menyangkut berbagai kegiatan sub-sektor industri dan jasa kelautan seperti membuat kebijakan baru, investasi asing maupun dalam negeri, maupun kegiatan-kegiatan akademis.
1.2 Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah: 1. Untuk menginventasir segala bentuk kebijakan yang berkaitan dengan industri dan jasa kelautan nasional yang ditetapkan oleh departemen maupun instansi terkait ke dalam bentuk kajian yang menghasilkan himpunan kebijakan disertai analisa kebijakan terkait dengan industri dan jasa kelautan nasional. 2. Untuk menginventarisir segala jenis industri dan jasa kelautan. 3. Menyusun alternatif kebijakan yang mengakomodasi kegiatan yang terkait di bidang industri dan jasa kelautan.
1.3 Sasaran Sasaran kegiatan ini adalah tersusunnya berbagai kebijakan kelautan nasional yang telah di tetapkan oleh pemerintah maupun instansi terkait dan dapat dijadikan salah satu dasar pengambilan keputusan maupun kebijakan baik oleh pemerintah maupun pihak lain yang terkait dengan sub sektor industri dan jasa kelautan di Indonesia.
1.4 Lingkup Kegiatan 1. 2. 3. 4.
Melakukan perjalanan ke daerah maupun pusat dalam rangka inventarisasi kebijakan industri dan jasa kelautan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah; Mengadakan rapat persiapan dan pemantapan untuk membahas, mengevaluasi serta menginventarisir berbagai kebijakan yang berkaitan dengan industri dan jasa kelautan; Mengadakan rapat penyusunan laporan hasil inventarisasi dan analisa berbagai kebijakan berkaitan dengan industri dan jasa kelautan; Mengadakan koordinasi dan finalisasi kajian dan analisa kebijakan industri dan jasa kelautan Indonesia.
1.5 Keluaran Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah tersusunnya analisis kebijakan industri dan jasa kelautan Indonesia disertai dengan usulan rekomendasi yang berkaitan dengan pembenahan kebijakan industri dan jasa kelautan Indonesia.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
3
1.6 Metodologi Pendekatan Analisis kebijakan iIndustri dan jasa kelautan nasional yang dilaksanakan melalui penelitian dan pengkajian dengan menggunakan kerangka yang dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut : INDUSTRI KELAUTAN
- PERIKANAN - PERTAMBANGAN - PELAYARAN - WISATA BAHARI
KONDISI UMUM ISU PERMASALAHAN DI DAERAH
PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
RUMUSAN STRATEGI DANKEBIJAKAN
Gambar 1. Skema Kerangka Pengkajian Metode pengumpulan data dilakukan dengan 2 tahap yaitu : 1. Data primer dikumpulkan melalui metode wawancara dengan bantuan sarana berupa daftar pertanyaan (kuisioner). Responden melibatkan tiga jenis sumber data, yaitu: para pejabat di pusat dan daerah (Gubernur dan para kepala dinas sektor terkait), para pakar yang meliputi pakar di bidangnya masing-masing (sektoral), Asosiasi, LSM, dan masyarakat stakeholders di bidang kemaritiman; 2. Data sekunder yang dikumpulkan dari seluruh peraturan yang berhubungan dengan Analisis Kebijakan industri dan Jasa Kelautan Nasional. Adapun sumber data berasal dari: Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Perhubungan, Departemen Dalam Negeri, Bappenas, Peraturan Perundangundangan daerah. Metoda Analisa Data. Data dianalisa dan ditata berdasarkan pada pendekatan sebagai berikut : 1. Perlu diketahui ruang lingkup kegiatan industri dan jasa kelautan dan sektor yang terkait. 2. Selanjutnya, perlu diinventarisir lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang mendasari tentang industri dan jasa kelautan. 3. Setelah itu, perlu diungkap melalui penelitian dan pengembangan tentang industri kelautan yang terbagi atas potensi yaitu sember daya alam yang secara alamiah telah ada dan perlu di
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
4
4. 5.
kelola untuk menghasilkan kontribusi ekonomi, dan jasa kelautan yaitu sumber daya alam laut yang dimanfaatkan lebih lanjut dan memberikan kontribusi ekonomi melalui jasa pelayanan (services). Setelah potensi diketahui, perlu ditinjau berbagai isu permasalahan yang menjadi kendala atau menghambat perkembangan kegiatan industri dan jasa nasional. Pengaturan kegiatan industri dan jasa kelautan secara terpadu memerlukan peraturan perundang-undangan kelautan yang dapat dilaksanakan secara sinergis oleh sektor terkait sehingga dapat meningkatkan perekonomian rakyat dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia.
1.7 Sistematika Penulisan Laporan Bab I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan, sasaran, lingkup kegiatan, keluaran, metodologi (kerangka pengkajian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, sistematika penulisan laporan) Bab II : Industri dan jasa kelautan nasional yang berisi tentang gambaran umum, permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh sektor terkait dalam rangka pengembangan kegiatan industri kelautan yang dikelompokkan ke dalam sektor perikanan dan biota laut lainnya yang terdiri atas kegiatan industri perikanan, bioteknologi dan BMKT, pertambangan di laut yang terdiri dari energi, Deep Ocean Water dan Seabed Mineral Resources, industri maritim yang terdiri dari garam dan galangan kapal, perhubungan laut yang berhubungan denga pelayaran dan pariwisata bahari. Dan tentang profil Industri dan Jasa Kelautan di daerah yang menggambarkan kondisi umum, potensi ekonomi, isu dan permasalahan, hukum dan perundangan, dan kelembagaan. Bab III : Peraturan Perundang-undangan Industri dan Jasa Kelautan yang berisi tentang peraturan perundang-undangan di bidang perikanan dan biota laut lainnya, pertambangan di laut, industri, perhubungan laut, dan pariwisata bahari. Dan tinjauan yuridis mengenai kebijakan industri dan jasa kelautan. Bab IV : Analisis Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan yang mengidentifikasikan faktor eksternal dan internal dan menganalisa 5 sektor industri dan jasa kelautan. Bab V : Kesimpulan dan rekomendasi merupakan hasil kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang disarankan bagi pemangku kepentingan kebijakan di laut.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
5
BAB II INDUSTRI DAN JASA KELAUTAN NASIONAL
2.1 Identifikasi Industri dan Jasa Kelautan Berdasarkan hasil survei di lapangan yang ditunjang dengan data sekunder, maka dapat diidentifikasikan beberapa kegiatan industri dan jasa kelautan yang dikelompokan dalam 5 sektor yaitu sektor perikanan dan biota laut lainnya yang terdiri dari industri perikanan, bioteknologi, dan bahan muatan kapal tenggelam (BMKT), sektor pertambangan di Laut, terdiri dari energi, deep ocean water dan seabed mineral resources, sektor industri maritim yang terdiri dari garam dan galangan kapal, sektor perhubungan laut berkaitan erat dengan kegiatan pelayaran dan dari sektor pariwisata adalah kegiatan parawisata bahari.
2.1.1 Industri Perikanan dan Biota Laut Lainnya 2.1.1.1 Perikanan Potensi industri perikanan Indonesia sangat besar, dan sepatutnya Indonesia menjadi negara industri perikanan terbesar di Asia. Potensi perikanan laut Indonesia sekitar 6,6 juta ton per tahun, terdiri dari 4,5 juta ton per tahun dari perairan nusantara dan 2,1 juta ton per tahun dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 7,5 persen dari total potensi lestari ikan laut dunia. Saat ini Indonesia merupakan produsen ikan terbesar keenam di dunia dengan volume produksi enam juta ton (FAO, 2003). Bila Indonesia mampu meningkatkan produksi perikanannya, terutama yang berasal dari usaha perikanan budidaya, menjadi 50 juta ton per tahun (75 persen dari total potensi), maka Indonesia bakal menjadi produsen perikanan terbesar di Asia bahkan dunia. Sedangkan jumlah produksi ikan laut baru sekitar 2,2 juta ton per tahun, dan terutama terbesar dari perairan teritorial yang dangkal. Potensi sumberdaya ikan tersebut, apabila dikelompokkan berdasarkan jenis ikan terdiri dari pelagis besar 1,05 juta ton, pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79 juta ton, udang 0,08 juta ton, cumicumi 0,03 juta ton, dan ikan karang 0,08 juta ton. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB atau TAC; total allowable catch) sebesar 5,01 juta ton per tahun atau sekitar 80% potensi lestari. Meski diakui beberapa jenis ikan telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing) di beberapa perairan nusantara. Potensi budidaya laut khususnya ikan dan moluska juga masih sangat besar. Luas lahan total perairan laut yang berpotensi untuk budidaya ikan (kakap, baronang dan kerapu) sekitar 1.059.720 ha, dan budidaya moluska (kerang-kerangan) dan teripang sekitar 720.500 ha. Sedangkan potensi produksi dari kegiatan budidaya ikan dan moluska diperkirakan sekitar 46,73 juta ton per tahun. Potensi budidaya laut yang terdiri dari total potensi budidaya ikan (kakap, baronang dan kerapu), budidaya moluska (kerang-kerangan dan teripang) dan budidaya rumput laut serta mutiara Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
6
mencapai volume total 528,4 ribu ton, memiliki potensi nilai ekonomi sekitar US$ 567,00 juta. Potensi ini diperkirakan hanya berdasarkan potensi luas lahan yang tersedia, belum dengan peningkatan teknologi maupun intensifikasi. Tentu, dengan peningkatan teknologi maka produktivitas akan meningkat, dengan demikian akan memiliki nilai ekonomi yang lebih besar. Dari sekian banyak potensi yang dimiliki, Namun kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih belum berarti, hanya sekitar 2,7%. Nelayan dan pembudidaya ikan masih merupakan kelompok termiskin. Armada kapal ikan bermotor yang dapat mencapai ZEEI juga masih sedikit, dan pertambahan kapal ikan sangat kurang berarti dibandingkan dengan ribuan kapal asing yang diduga melakukan illegal fishing di perairan dan yurisdiksi Indonesia. Pertambahan kawasan budidaya perikanan pun masih sangat kurang dan tidak signifikan. Demikian pula kawasan-kawasan industri pengelolaan ikan belum terbangun. Bahkan lebih dari separuh sarana dan prasarana pelabuhan perikanan tidak difungsikan. Di samping itu lembaga pembiayaan untuk mengembang-kan perikanan, khususnya perikanan laut masih sangat terbatas. Menjadi kenyataan hingga saat ini kondisi nelayan masih terus miskin, kumuh, tertinggal dan tidak berpendidikan, disebabkan karena sumber daya ikan hanya menjadi kurasan kemegahan sektor lainnya. Selain itu juga keengganan para investor termasuk perbankan untuk melirik laut sebagai sumber kemakmuran bangsa. Meskipun Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penangkap ikan terbesar di dunia, kontribusi perikanan terhadap ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat masih sangat kecil. Interaksi antarpelaku industri belum menguntungkan untuk negara maupun rakyat. Industri perikanan masih lemah dan fragmental belum terintegrasi secara horisontal (antarwilayah dan dengan sektor komplementar) dan belum terintegrasi secara vertikal (hulu-hilir, produksi, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun mancanegara). Permasalahan lain juga seperti pencurian ikan (ilegal fishing) oleh kapal ikan asing masih cukup besar, baik di ZEE maupun diperairan nusantara dan laut teritorial dan juga praktek perikanan yang merusak dan belum berkembangnya budi daya perikanan. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan daerah terpencil (remote areas) lainnya mengindikasikan ketidakgigihan bangsa Indonesia untuk menjadikan laut sebagai bagian dari hari depan bangsa. Secara spesifik permasalahan dan kendala dalam implementasi pembangunan perikanan dan kelautan dapat diklasifikasikan ke dalam dua tingkatan, yaitu: (1) Masalah mikro-teknis, yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal pembangunan perikanan dan kelautan, dan (2) Makro-struktural (kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif) yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi eksternal baik ekonomi-makro, politik, hukum dan kelembagaan. Produksi perikanan tiap tahun naik sekitar 5 persen, peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya armada perahu/kapal penangkap ikan. Sebagian besar kapal Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
7
penangkap ikan merupakan jenis perahu tak bermotor. Usaha intensifikasi di perairan pantai akan dilaksanakan dengan motorisasi dan modernisasi unit penangkapan, sedang intensifikasi dan ekstensifikasi penangkapan lepas pantai dan ZEEI dilakukan melalui paket teknologi penangkapan yang efisien. agar dapat bersaing di pasaran internasionaI. Walaupun secara keseluruhan sumber penangkapan di laut masih memberikan kemungkinan yang besar bagi pengembangan perikanan, yaitu pemanfaatan baru sekitar 35% dari potensi di perairan Nusantara dan ZEEI, akan tetapi beberapa daerah telah diusahakan sangat intensif sehingga sumber perikanannya sudah mendekati atau mencapai tingkat pemanfaatan penuh atau gejala tangkap lebih (overfishing), karenanya status sumber tersebut digolongkan sudah kritis. Daerah-daerah yang digolongkan kritis tersebut ialah daerah perairan pantai atau selat-selat yang sempit dan padat nelayan. Daerah-daerah kritis tersebut yang dapat digolongkan menurut jenis sumbernya adalah: 1) Sumber perikanan pelagis kecil, yaitu daerah Selat Malaka, pantai Utara Jawa, Selat Bali, Selat Makasar (khusus ikan terbang) dan Selat Alas (khusus cumicumi). 2) Sumber perikanan udang, yaitu daerah Selat Malaka, pantai Barat Sumatera Utara, pantai Barat/Selatan/Timur Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Cilacap. 3) Sumber perikanan demersal, yaitu daerah Selat Malaka. pantai Utara Jawa (dekat pantai sebagai daerah perikanan tradisional). Disamping adanya daerah-daerah kritis, terdapat juga beberapa daerah yang masih potensial dan masih dapat dimanfaatkan serta dikembangkan. Menurut jenis sumbernya, daerah potensial tersebut adalah : 1) Sumber perikanan demersal, yaitu daerah Laut Cina Selatan, Selat Kalimantan, Timur Kalimantan, Malaku , Irian Jaya, dan Laut Jawa lepas pantai. 2) Sumber perikanan karang, yaitu daerah Utara Sumatera, Laut Cina Selatan, NIT, NTB dan Maluku - Irian Jaya. 3) Sumber perikanan pelagis, yaitu daerah Barat Sumatera, Laut Cina Selatan,. Utara Sulawesi, Maluku - Irian Jaya, Selatan/ Timur Kalimantan, NTB dan NTT. 4) Sumber perikanan tuna dan cakalang, yaitu daerah Utara Sumatera (Aceh), Barat Sumatera, Utara Sulawesi, Maluku, Irian Jaya. NTB dan NTT. Dalam pengembangan industri perikanan masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain: 1) Pajak kapal yang dirasakan terlalu besar. Insentif fiskal dan kredit untuk kapal perikanan belum memadai sebagaimana diberikan oleh negara lain. Pendanaan, kebijakan perbankan yang menyebabkan kredit tidak murah dan tidak mudah untuk pengadaan kapal perikanan;
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
8
2)
Program APBN/APBD masih terlalu berorientasi pada proyek Economic Overhead Capital (EOC) dan Social Overhead Capital (SOC), belum pada Directly Productive Activity (DPA) seperti seed untuk investasi kapal, tambak, dan pengolahan; 3) Belum ada kebijakan sistem prosedur kapitalisasi aset dan dana.Perlu di integrasikan value engineering untuk mengubah lahan pesisir murah menjadi kawasan budidaya perikanan yang produktif dengan financial engineering melalui kebijakan fiskal, penjaminan kredit, kredit, dan bagi hasil yang adil antara pengelola, karyawan, masyarakat, dan Pemda. 4) Adanya “trade off” antara industri penangkapan ikan yang memerlukan teknologi penangkapan yang modern dengan kepentingan nelayan tradisional terutama di daerah perairan pantai/sumber perikanan pelagis. 5) Masih lemahnya pengawasan terhadap penggunaan alat dan teknologi penangkapan yang dapat merusak potensi lestari sumber daya perikanan. 6) Pencemaran yang tinggi di daerah perairan pantai/sumber perikanan pelagis akibat kegiatan manusia di daratan. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegak-kan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penangkapan ikan secara illegal, di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologisbiologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. 2.1.1.2
Bioteknologi Sumberdaya laut dengan kekayaan flora dan faunanya yang dimiliki negeri ini sudah tak disangsikan lagi. Semua kekayaan yang ada di lautan itu jelas memiliki kegunaan yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia khususnya penduduk Indonesia. Diantara kegunaan itu adalah menjadi bahan baku untuk membuat makanan dan minuman, bahan baku untuk industri farmasi dan kosmetika. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mengembangkan pemanfaatan kekayaan sumberdaya laut tersebut adalah melalui pengembangan industri bioteknologi. Organisme laut seperti berbagai macam jenis algae, phytoplankton, mikroba, bintang laut hingga moluska sudah banyak yang membuktikan di dalam tubuhnya memiliki bahan-bahan aktif dan bahan kimia yang sangat berguna. Zat-zat tersebut dapat di Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
9
gunakan untuk bahan baku pada kegiatan berbagai industri, seperti yang telah di sebutkan di atas. Dari berbagai macam biota laut ini juga dimungkinkan untuk mendapatkan zat aktif yang dapat digunakan untuk obat berbagai penyakit yang mematikan seperti AIDS dan kanker. Berbagai bahan bioaktif yang terdapat dalam biota laut seperti omega-3, hormon, protein dan vitamin memiliki potensi bagi penyediaan bahan baku industri farmasi dan kosmetik. Diperkirakan lebih dari 35 ribu spesies biota laut yang ada di perairan Indonesia memiliki potensi seba-gai penghasil bahan obat-obatan. Sampai saat ini di ketahui yang baru bisa dimanfaatkan 5 ribu spesies saja. Kegiatan bioteknologi kelautan bila dikelola dengan baik sebenarnya dapat memberikan kontribusi ekonomi yang cukup besar bagi bangsa. Besarnya potensi ekonomi yang bisa dihasilkan dari produk bioteknologi kelautan bisa dilihat dari keberhasilan Amerika. Negara ini dari industri bioteknologinya mampu menghasilkan sekitar US$ 40 miliar. Padahal kekayaan keanekaragaman hayati sumberdaya laut negeri ini tidak sebesar Indonesia. Kemampuan negeri ini dalam bidang bioteknologi yang cukup maju telah membuktikan bahwa industri ini memang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi sebuah negara. Amerika mampu mengekspor hasil produksi bioteknologi kelautannya ke berbagai negara dengan nilai sekitar US$ 4 miliar per tahun. Padahal banyak bahan baku yang digunakan industri biteknologi kelautan yang ada di negeri ini di dapat dari negara lain termasuk Indonesia. Tidak hanya Amerika, negara-negara industri maju yang ada di benua Eropa sudah menjadikan bioteknologi sebagai kegiatan industri yang amat penting di negerinya. (Demersal Maret 2007). Ke depan, pemerintah, peneliti/pakar, perguruan tinggi, dan investor perlu memantapkan rencana aksi terpadu pengembangan industri biotek kelautan. Dalam rangka menarik investasi, para investor diberi pengertian bahwa mengembangkan industri bioteknologi di negeri ini cukup menguntungkan. Sumberdaya berlimpah, kemampuan pasar untuk menyerap produk bioteknologi juga cukup besar. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup banyak sekitar 220 juta jiwa merupakan potensi pasar yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Perkembangan bioteknologi di Indonesia yaitu industri Bioteknologi di Indonesia umumnya merupakan industri generasi I. Pada pelita VI, bioteknologi ditetapkan menjadi prioritas pembangunan di bidang iptek, baru pada tahap penelitian di kalangan universitas dan lembaga penelitian pemerintah. Bioteknologi kelautan dapat didayagunakan untuk mengendalikan pencemaran/ polusi di perairan, salah satunya kita pernah mendengar cara mengatasi tumpahan minyak dengan mikroba dan kemudian mikroba tersebut mati setelah memakan minyak tersebut. Hasil dari pengolahan biota laut menjadi obat-obatan dan bahan farmasi juga merupakan salah satu aplikasi dari bioteknologi kelautan. Produk bioteknologi yang memiliki nilai tinggi, karena itu perkembangan industri bioteknologi di Indonesi akan mendukung perbaikan ekonomi untuk kemakmuran Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
10
masyarakatnya, maka sudah seharusnya riset pengembangan produk bioteknologi ini perlu lebih mendapat perhatian pemerintah. Insentif bagi instansi riset dan peneliti yang mampu mengkomersilkan hasil risetnya diduga akan mampu meningkatkan kinerja institusi riset. Alokasi dana perlu diperbesar, mengingat riset bioteknologi perlu sumberdaya yang relatif besar. Kegiatan riset bioteknologi kelautan meliputi : 1. Produk bahan alami dari Laut yaitu eksplorasi senyawa bioaktif dari biota laut (invertebrata laut, rumput laut dan ikan-ikan jenis tertentu) untuk produk biofarmasi. 2. Budidaya perikanan yaitu rekayasa genetika untuk mendapatkan jenis unggul (udang, ikan, rumput laut) 3. Eksplorasi mikroorganisme dan bahan aktif untuk penanggulangan penyakit udang / ikan (probiotik, vaksin, elisa kit) 4. Perbaikan nutrisi untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas hasil budidaya (enzim, probiotik) 5. Pengendalian pencemaran yaitu bioremediasi untuk mengurangi beban limbah. Berikut ini permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh industri bioteknologi kelautan antara lain : 1. Terbatasnya informasi ilmiah sebagai landasan pengelolaan antara lain kurangnya pengetahuan tentang nilai dan manfaat ekosistem pesisir dan laut, ekosistem yang kompleks sehingga memerlukan kajian yang mendalam serta intensitas pertukaran informasi antara peneliti, stakeholder dan pengambil kebijakan masih rendah. 2. Konflik antara kepentingan konservasi dan pembangunan ekonomi 3. Kesenjangan dan tumpang tindih yurisdiksi. 4. Masih kurangnya kemampuan SDM dalam mengembangkan Bioteknologi sebagai dasar untuk mengembangkan bioindustri dalam negeri. 5. Terbatasnya dukungan sarana laboratorium litbang yang memadai dalam mengembangkan bioteknologi khususnya yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan bioindustri. Hasil-hasil penelitian pada umumnya belum dapat diterapkan dalam skala industri (skala komersil). 6. Tidak adanya insentif yang menarik bagi peneliti yang terjun dalam bidang pengembangan bioteknologi. 7. Kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai perkembangan dan manfaat bioteknologi kepada masyarakat dan dunia usaha. 8. Belum terbentuknya kemitraan antar lembaga riset dengan dunia usaha dalam mengembangkan bioteknologi untuk dapat diaplikasikan menjadi bioindustri. 9. Belum adanya asosiasi atau kelembagaan mengenai bioteknologi yang mampu menampung ide-ide maupun rencana pengembangan bioteknologi ke depan. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
11
10. Kurangnya bahan pendukung dibidang bioindustri, seperti industri enzim yang ditujukan untuk mendukung pengolahan bioindustri. Sedangkan tantangan yang dihadapi oleh industri bioteknologi kelautan adalah: 1. Semakin berkembangnya pemanfaatan bioteknologi sebagai sumber pengembangan bioindustri yang ramah lingkungan. 2. Banyak negara-negara maju maupuan negara berkembang yang sudah mendorong pengembangan bioteknologi dalam rangka mendukung pengembangan bioindustri dengan memberikan insentif antara lain tax holiday. 3. Tuntutan masyarakat terhadap produk yang dihaslkan melalui pemanfaatan bioteknologi semakin besar karena lebih ramah lingkungan. 4. Indonesia merupakan negara penghasil sumber daya alam yang melimpah dengan berbagai macam ragam hayati yang bermanfaat bagi kehidupan manusia sehingga perlu untuk mengembangkan produk bioteknologi agak tidak ketinggalam dari negara-negara pesaing. 5. Pasar produk bioindustri masih terbuka luas baik di dalam maupun di luar negeri. 2.1.1.3
Barang Muatan Kapal Tenggelam Barang Muatan Kapal Tenggelam dikenal pula sebagai “harta karun”, sebenarnya telah lama memiliki daya magis ekonomi yang cukup besar. Wajar saja karena didalamnya terkandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, disamping nilai ekonomis itu sendiri. Barang Muatan Kapal Tenggelam adalah, benda yang berasal dari semua kapal yang tenggelam di wilayah perairan territorial Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia yang mempunyai umur sekurangkurangnya 50 (limapuluh) tahun. Diperkirakan ratusan hingga ribuan kapal karam di berbagai wilayah perairan Indonesia sebagian di antaranya bermuatan bendabenda berharga yang dikenal sebagai Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) berupa keramik, logam mulia (emas perak) batuan berharga dan benda lain. Banyak negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dewasa ini menyadari nilai dari BMKT yang ada di dasar laut perairan yurisdiksi mereka. Tidak hanya dalam konteks nilai moneternya saja tapi juga konteks arkeologis dan kesejarahannya. Mereka membuka diri untuk upaya-upaya operasi pengangkatan BMKT. Mempersilahkan para investor dan atau perusahaan pengangkat yang berminat untuk melakukan operasi pengangkatan. Betapa tidak? pemerintah (baca: negara) tidak perlu menguras dana untuk penyelenggaraan operasi pengangkatan BMKT. Seluruh dana operasi dikeluarkan oleh pihak perusahaan pengangkat. Negara hanya menerbitkan ijin survei, pengangkatan dan pemanfaatannya serta syarat-syarat tata cara pelaksanaannya, melakukan pengawasan dan pengamanan dan ujungnya Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
12
memperoleh data arkeologis/sejarah kelautan dan menerima persentase dari hasil penjualan sebagai PNBP. Memang benar bahwa Pemerintah Indonesia hingga kini belum rnemiliki data aktual dan lengkap mengenai persebaran keberadaan BMKT yang ada di wilayah perairan Indonesia. Pengertian lengkap disini ialah, bahwa data dan informasinya menggambarkan beberapa hal seperti: asal kapal, bentuk, muatan, jenis kapal, tujuan dari dan ke, serta tahun dan lokasi tenggelamnya. Tabel 1. Persebaran dan Lokasi BMKT No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Daerah Selat Bangka Belitung Selat Gaspar, Sumatera Selatan Selat Karimata Perairan riau Selat Malaka Kepulauan Seribu Perairan Jawa Tengah Karimun Jawa, Jepara Selat Madura NTB/NTT Pelabuhan Ratu Selat Makassar Perairan Cilacap, Jawa Tengah Perairan Arafuru, Maluku Perairan Ambon, Buru Perairan Halmahera, Tidore Perairan Morotai Teluk Tomini, Sulawesi Utara Irian Jaya Kepulauan Enggano
Lokasi 7 9 5 3 17 37 18 9 14 5 8 134 8 51 57 13 16 7 3 32 11
Sumber : Ditjen P2SDKP
Melihat data sebagaimana tampilan pada tabel Persebaran dan Lokasi BMKT di atas, tentu saja semakin membuka mata hati, betapa “harta karun” yang berada di wilayah perairan Indonesia masih demikian banyak. Ini artinya, tantangan dan tugas kepengawasan juga masih memerlukan energi yang cukup banyak. Sarana dan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
13
prasarana misalnya, juga harus lebih dipersiapkan agar memadai, disamping perlunya koordinasi yang lebih sinergis antar instansi terkait. Tak kalah pentingnya adalah aspek kebijakan regulasi dan pengawasan pengelolaan BMKT agar menjadi titik penting untuk terus dilaksanakan secara baik. Faktor ini menjadi teramat penting manakala berbicara mengenai manfaat BMKT yang tentu saja sangat terkait dengan sejarah, ilmu pengetahuan, arkeologi, ekonomi serta budaya. Bagaimanapun, aspek kebijakan regulasi dan pengawasan dan pengendalian pengelolaan BMKT oleh negara perlu terus dilaksanakan demi kepentingan sejarah dan penerimaan devisa negara, dari pada dinikmati oleh sekelompok orang para pem-buru harta karun, yang mungkin saja saat ini sedang melakukan operasi pengangkatan secara ilegal serta rnengabaikan serta memusnahkan nilai intangible sejarah kelautan Indonesia. Benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam sebagai salah satu sumberdaya yang terdapat di laut di dalam pengelolaan terhadap beberapa permasalahan dan tantangan yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai sektor terkait, seperti: 1. Belum adanya pemahaman, harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta payung hukum yang secara kuat mengatur pengelolaan BMKT. 2. Belum adanya pendataan kapal tenggelam yang berpotensi BMKT serta pembaruan data potensi itu sendiri di perairan Indonesia. 3. Belum terlaksananya perawatan BMKT pasca pengangkatan yang sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologis terutama di gudang-gudang penyimpanan. 4. Belum adanya standarisasi prosedur dokumen dan inventarisasi dalam kegiatan pengelolaan BMKT. 5. Masih adanya kontroversi dalam hal legal aspek status hasil penjualan BMKT bagian pemerintah apakah sebagian PNBP atau pajak. 6. Belum adanya museum maritim yang mewadahi semua aspek kemaritiman khususnya benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam pada level nasional maupun daerah. 7. Masih sangat terbatas kualitas dan kuantitas SDM yang handal dalam penangkapan dan pengelolaan BMKT di lautan di darat sesuai akidah arkeologis. 8. Belum adanya lembaga yang professional dan estabilise/permanent secara dalam penanganan BMKT ke depan. 9. Masih adanya peraturan perundang-undangan dalam hal penjualan lembagalembaga Internasional. Disamping permasalahan diatas, juga terjadi kendala pada BMKT adalah Pertama, tidak adanya jaminan asuransi kecelakaan, baik bagi pengawas maupun bagi penyelam yang melakukan kegiatan pengangkatan; Kedua, tidak adanya tenaga medis di kapal pengangkat, padahal lokasi pengangkatan BMKT jauh dari pemukiman penduduk. Dikhawatirkan, apabila terjadi kecelakaan di lapangan, tidak Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
14
dapat segera mendapat pertolongan; Ketiga, dalam hal perawatan BMKT yang lelah diangkat, perawatannya dapat dikatakan kurang memadai karena tidak ada staf khusus yang menangani BMKT sehingga perawatannya kurang maksimal. 2.1.2 Pertambangan di Laut 2.1.2.1 Energi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sekitar 75 persen wilayahnya terdiri dari laut mengandung potensi pertambangan laut yang cukup besar, dan mempunyai sumber energi yang cukup menjanjikan yang dapat diolah dan dikelola untuk kebutuhan pembangunan nasional. Disamping itu Indonesia juga mempunyai sumber energi alternatif yang berasal dari laut dengan jumlah yang cukup, berkualitas, yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Energi Kelautan merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumber daya kelautan nonhayati yang dapat diperbaharui yang memiliki potensi untuk di kembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan sumber daya ini di masa yang akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menipis. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan adalah Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas. Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena OTEC didasari pada perbedaan suhu air laut permukaan dengan suhu air pada kedalaman 1 km minimal 20 derajat celcius. Keadaan ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Energi kelautan adalah energi yang dihasilkan dari hasil konversi gaya mekanik, gaya potensial, perbedaan temperatur air laut. Energi kelautan dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu energi panas laut (ocean thermal), energi pasang surut (tidal energy), energi gelombang (wind wave energy) dan energi arus laut (current energy). Energi panas (thermal) laut adalah memanfaatkan beda temperatur air laut di permukaan dengan temperatur air laut pada kedalaman tertentu, dengan selisih minimal 20oC pada kedalaman 1 km. Energi gelombang adalah energi yang kinetik dari pemanfaatan beda ketinggian pasang surut laut. Termasuk dalam energi pasang surut adalah energi arus laut. Energi arus laut adalah energi kinetik dari pemanfaatan kecepatan arus laut. Disamping itu energi kelautan juga dapat dihasilkan dari pengolahan sumberdaya alam hayati, seperti alga hijau. Sebagai negara kepulauan, potensi energi kelautan (ocean energy) di Indonesia cukup potensial, baik energi gelombang, arus, pasang surut, dan perbedaan temperatur air laut (ocean thermal). Walaupun letak potensinya yang tersebar tidak merata, namun jika dimanfaatkan dapat memberikan kontribusi energi pada masyarakat pulau-pulau Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
15
kecil dan terpencil serta masyarakat pantai. Energi kelautan merupakan jenis energi alternatif dan energi terbarukan, sehingga dalam program jangka panjang tidak tergantung pada ketersediaan cadangan. Walaupun kontribusi energi kelautan ini tidak cukup signifikan untuk memberikan kontribusi terhadap pemenuhan energi nasional, namun secara bertahap akan meningkatkan target pemenuhan energi mix (5% dari kebutuhan energi nasional). Kegiatan penelitian dan pengembangan energi kelautan ini masih bersifat riset murni dan dilakukan oleh berbagai institusi yang berkaitan dengan pengembangan energi, seperti perguruan tinggi (potensi sumber daya), institusi litbang (kajian prototipe), lembaga penelitian sub sektor kelistrikan (mini pilot plant), dan belum sampai pada tahapan pembuatan pilot plant apalagi skala komersial. Permasalahan dalam pemanfaatan energi kelautan ini umumnya menyangkut kebijakan pemerintah yang masih bertumpu kepada pemanfaatan energi pembakaran fosil fuel yang bersubsidi sehingga energi kelautan ini belum dapat bersaing dari segi tarif dan kualitasnya. Yang menjadi pokok permasalahan adalah belum terdapatnya kebijakan-kebijakan yang menunjang pemberdayaan sumber daya energi dan mineral serta kemampuan SDM, dan belum termanfaatkannya potensi sumber daya energi dan mineral khususnya yang berasal dari laut. Saat ini kebijakan energi nasional masih mengarah pada pemanfaatan batu bara sebagai bahan bakar, dengan mengurangi pemanfaatan minyak bumi dari 70% menjadi 35% pada tahun 2025. Namun demikian pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik masih terkendala oleh konsekuensi sebagai pemrakarsa Kyoto Protokol, yaitu pegurangan emisi gas buang CO2. Oleh sebab itu, upaya diversifikasi energi yang memanfaatkan energi bara, energi terbarukan, dan energi alternatif menjadi prioritas untuk dikembangkan pada kebijakan energi mix nasional di masa yang akan datang. Salah satu energi alternatifdan energi terbarukan yang berpotensi untuk di kembangkan adalah energi kelautan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya energi kelautan ini, namun mengingat biaya pembangkitannya lebih inalial dibanding tarif kelistrikan nasional, maka hingga saat ini belum dapat diusahakan menjadi skala komersial. Salah satu alasan untuk mengembangkan pemanfaatan energi kelautan adalah dalam rangka meningkatkan rasio elektrifikasi, terutama di pulau-pulau terpencil. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah mendistribusikan pembangkitpembangkit listrik skala mikro seperti energi angin dan energi matahari yang telah diimplementasikan pada daerah terpencil, sedangkan energi kelutan masih masih dalam tahapan penjajagan yang disesuaikan dengan potensi sumber daya energi kelautan setempat. Target pemerintah sesuai dengan “road Map” Kebijakan Energi Nasional (KEN-2005) adalah peningkatan elektrifikasi rasio kelistrikan hingga mencapai 90% pada tahun 2025. Hal ini merupakan tantangan yang sulit dicapai, Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
16
karena daerah-daerah yang belum terjangkau listrik terletak jauh dari jaringan dan berada pada pulau-pulau terpencil. Oleh sebab itulah, salah satu kebijakan jangka pendek adalah memanfaatkan sumber-sumber energi kelautan menjadi pembangkit listrik dalam skala keen dan mikro. Kebijakan Energi Nasional (2005) mencanangkan bahwa energi terbarukan dan energi alternatif, termasuk energi kelautan diharapkan sudah memberikan kontribusi pada energi mix sebesar 5% dari kebutuhan energi nasional. Saat ini energi kelautan masih dalam tahapan penelitian dan pengembangan, pembuatan prototype dan mini pilot plant sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada energi mix. Potensi energi kelautan di Indonesia dinilai cukup potensial untuk dikembangkan walaupun lokasinya tersebar tidak merata. Namun demikian, karena investasi pembangunan pembangkit energi kelautan secara ekonomis masih jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit konvensional lainnya, maka pelu ditunjang oleh kebijakan khusus untuk memberlakukan jenis energi ini sebagai “infrastruktur” masyarakat terpencil dan bukan sebagai komoditi energi. Dengan demikian, diperlukan subsidi pemerintah, insentif investasi serta kemudahankemudahan perijinan dalam pengusahaannya, agar energi kelautan sebagai energi alternatif dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat di daerah terpencil. Teknologi pemanfaatan thermal laut dikenal sebagai energi OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Potensi OTEC di lautan wilayah Indonesia mencapai 2.5 x 1023 joule dengan efisiensi konversi energi panas laut sebesar 3 (tiga) persen, maka dapat menghasilkan daya sekitar 240.000MW. Potensi energi panas laut yang cukup menjanjikan terletak pada daerah antara 6-9o lintang selatan dan 104 – 109obujur timur. Di daerah ini umumnya ditemukan perbedaan suhu laut di permukaan laut dan suhu pada kedalaman 650 – 1000 meter antara 20oC – 28oC. Energi pasang surut Saat ini potensi energi pasang surut di seluruh samudera di dunia mencapai 3.106 MW, diantaranya dimanfaatkan di Prancis, Rusia,Canada dan Australia. Perairan Indonesia yang berpotensi untuk pemanfaatan energi pasang surut adalah sebagian pantai Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua dan pantai selatan Pulau Jawa yang memiliki beda pasang surut sekitar 5 (lima) meter. Potensi energi pasang surut dan arus laut yang cukup besar di kawasan Indonesia Timur ( KIT) adalah Laut Aru, yaitu antara Kepulauan Aru hingga Papua bagian selatan (Muara Sungai Digul dan Pulau Dolak) dimana kisaran pasang surut sekitar 4 sampai 6 meter. Pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia telah dimulai dengan dibangunnya dua pilot project yaitu di Bagan Siapi-api dan Merauke yang memiliki beda pasang dan surut sekitar 6 meter.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
17
Energi gelombang Hasil gelombang konversi gelombang laut di pantai Selandia Baru dengan tinggi rata-rata 1 meter dan periode 9 detik mempunyai daya sebesar 4,3 kW per meter panjang gelombang. Sedangkan deretan gelombang dengan tinggi 2 meter dan 3 meter dapat membangkitkan daya sebesar 39 kW per meter panjang gelombang. Negara-negara lain yang telah memanfaatkan energi gelombang untuk pembangkit tenaga listrik adalah Funlay (Kanada), Shanghai (RRC), Rangoon (Myanmar), Abijan (Afrika Barat), Seoul (Korea Selatan), jalur Magellan (Amerika Serikat) dan Bristol (Inggris). Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan energi kelautan antara lain : rasio elektrifikasi masih rendah, keterbatasan PLN untuk melistriki wilayah terpencil dan isu lingkungan (energi bersih) Pertimbangan untuk mengembangkan energi kelautan ini adalah melonjaknya harga minyak bumi (crude oil US$>92.0). Selain itu meningkatnya isu lingkungan seperti penerapan Kyoto Protokol, merupakan upaya untuk lebih memberikan prioritas bagi pemanfaatan energi baru dan terbarukan termasuk energi kelautan. Potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 4- meter. Potensi pengembangan pembangkit listrik tenaga gelombang laut diantaranya di pantai Baron, Yogyakarta dan pantai padang. Potensi pengembangan pembangit listrik arus laut diantaranya terdapat di Selat Lombok. Potensi pengembangan pembangkit listrik dengan teknologi OTEC dapat ditemukan di pantai-pantai dengan ciri morfologi dasar laut yang curam. Dalam upaya pemanfaatan energi kelautan ini, pemerintah melalui ESDM dan BPPT telah mempelopori berbagai penelitian dan pembuatan prototipe pembangkit listrik dengan menggunakan energi kelautan. Hasil kajian secara teknis memperlihatkan bahwa pembangkit-pembangkit listrik ini telah mampu melakukan konversi energi, walaupaun dalam efisiensi yang relatif kecil. 2.1.2.2 Deep Ocean Water Ternyata kekayaan laut tidak ada duanya di dunia ini. Namun, untuk saat ini orang belum memanfaatkan secara maksimal potensi laut. Salah satunya adalah Air Laut Dalam. Bahkan, air laut dalam ini kini sudah digunakan oleh beberapa hasil industri. Dan, satu-satunya alat yang efektif untuk menurunkan kadar emisi gas karbon dioksida secara global adalah penggunaan produk yang ramah lingkungan. Industri Air Laut Dalam sangat potensial dikembangkan di Indonesia, air laut yang berada pada kedalaman lebih dari 500 meter memiliki manfaat yang bernilai ekonomi tinggi. “Air laut dalam sangat bersih dan sehat sehingga bisa dimanfaatkan untuk air minum, kosmetik serta bagus untuk budidaya ikan,”. Hampir seluruh wilayah di Indonesia memiliki laut dalam yang airnya bisa Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
18
dimanfaatkan namun hanya beberapa wilayah yang layak dan potensial untuk dikembangkan berdasarkan studi kelayakan, seperti Pelabuhan Ratu di Jawa Barat, Gondol dan July di Bali, Bima dan Dompu di Sumbawa, Kupang, dan Ujungpandang. Lokasi lokasi tersebut hanya mewakili sebagian kecil Baja dari keseluruhan potensi yang dimiliki Indonesia. Air Laut Dalam adalah air yang dikandung oleh lautan dan samudera luas dunia pada kedalaman lebih dari 500 meter. Selama ribuan tahun, air tersebut mengelilingi dunia bersama dengan aliran arus Great Conveyor Belt yaitu arus laut dalam yang bergerak sangat lambat. Air laut dalam sudah lama diakui sebagai sumber energi laut yang sangat berharga. Selama 20 tahun terakhir ini, riset dan eksperimen mengenai air laut dalam atau yang biasa disebut deep seawater (DSW) terus dilakukan, terutama untuk konversi energi thermalnya dan untuk pengembangan budidaya perikanan laut dalam. Kandungan yang dimiliki DSW sangat superior karena berbagai kelebihan yang dikandungnya. Bagi negara seperti Jepang dan negara-negara perairan lainnya, DSW merupakan sumber daya lokal yang sangat berguna dan juga potensial. Selain fungsinya dalam berbagai produk makanan, sumber daya alam ini mempunyai potensi terpendam lainnya yang bisa dikembangkan secara komersial, termasuk aplikasi di pertanian, pembiakan, dan perawatan dengan memanfaatkan kandungan mineralnya dan temperaturnya yang rendah. Air dalam aliran arus tersebut sangat jarang naik kepermukaan. Sepanjang perjalanannya, air dikedalaman ini menjadi matang dengan tempaan tekanan 500 atm dalam jangka waktu tak terbatas. Air ini juga mengalami berbagai kondisi dan kejadian vulkanis yang memberinya kekayaan unsur hara dan mineral. Dibandingkan dengan air permukaan, kandungan nitratnya 200 kali lebih besar dan fosfatnya sekitar 20 kali lipat. Berada di luar jangkauan sinar matahari membuatnya dingin, bebas bakteri/ patogen dan relatif stabil pada temperatur rendah. Dengan mempelajari parameter-parameter yang ada. dapat disimpulkan bahwa Indonesia siap untuk memanfaatkan Air Laut Dalam demi peningkat antara hidup masyarakat pesisir serta bagi kepentingan masyarakat luas untuk dapat menikmati kemurnian, kekayaan, dan kematangan air ini. Potensi penggunaannya industri makanan dan minuman, air mineral kemasan, kosmetik serta produk kesehatan akan membuat perbedaan besar dalam hidup manusia. Bahkan kemungkinannya menjadi sumber energi alternatif lingkungan ramah memberi harapan baru bagi kelestarian alam. Target pasar air laut dalam memang bervariasi, tetapi industri air mineral kemasan sebagai bagian besar mungkin dapat dijadikan contoh. AQUA, produsen yang memimpin pasar dilndonesia, misalnya, memproduksi dan menjual 9 milyar liter air. Dengan asumsi 1% - nya digantikan air laut dalam, berarti AQUA mengkonsumsi 2.465 ton / hari-jumlah yang lebih dari 50% targetproduksi Marine Techno Part. Berdasarkan perhitungan investasi sederhana, modal awal yang sebesar USD 48.5 juta dapat kembali dalam enam tahun. Net present value positif, yaitu USD 69,5 juta Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
19
dan internal rate of ini return 30 %. Dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang investasi, proyek ini layak dilaksanakan. Diperkirakan jumlah laba bersih tahunan yang dapat dihasilkan proyek ini mencapai rata-rata USD 19,6 juta. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan industri Deep Ocean Water adalah kebutuhan modal yang besar, seperti yang dijelaskan bahwa modal awal mencapai USD 48,5 juta. Pembiayaan dari luar pastilah diperlukan. Para investor harus dapat diyakinkan bahwa keuntungan yang ditawarkan sangat besar dan balik pokok pasti tercapai, resiko besar seimbang dengan peluang besar. Para investor juga perlu menyadari besarnya resiko mengatasi kekuatan alam yang sangat berpengaruh dan dapat menjadi ancaman bagi instalasi lepas pantai dan air laut dalam itu sendiri, dan tak kalah pentingnya permasalahan akan Pasar yang sangat kompetitif. Pasar telah membuktikan bahwa akan selalau muncul pemain baru dan produk substitusi yang lebih murah atau bahkan lebih baik. Tetapi, dalam hal ini potensi air laut dalam tidak bias disangka adalah sangat besar, serta penyiapan peraturan-peraturan pemerintah pusat dan daerah termasuk peraturan tentang Otonomi Daerah yang dapat mengakomodasi munculnya industri-industri DOW terkait dengan hak rakyat. 2.1.2.3 Seabed Mineral Resources Kepulauan Indonesia sangat unik karena terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu: Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Pertemuan lempeng-lempeng tersebut telah menyebabkan membentuk laut dalam di kawasan perairan Indonesia, pada kedalaman 2000 m sampai 6000 m yang bersifat samudera (oceanic basins) seperti laut Banda, laut Maluku, laut Sulawesi, laut Flores dan palung-palung samudera dalam seperti palung sunda, dan laut dangkal yang berada pada landas kontinen seperti laut jawa, laut china selatan (paparan sunda), dan laut Arafuru (paparan sahul). Berkaitan dengan Seabed Mineral Resources ini perlu dilihat potensi sektor energi terutama minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia yang berada di daerah laut yakni pada saat ini 70 persen diantaranya terdapat di cekungan-cekungan tersier lepas pantai dan lebih dari separuhnya terletak di laut dalam. Pada tahun 2004 menurut data Badan Litbang Depatemen ESDM telah beroperasi lebih dari 36 perusahaan minyak di wilayah kerja (WK) lepas pantai dari keseluruhan 153 WK yang melaksanakan eksplorasi dan ekloitasi di lepas pantai. Mengacu pada pendapatan negara dari sektor migas, sekitar 34 persen hasil minyak dan gas bumi dihasilkan dari ladang-ladang minyak di lepas pantai. Saat ini terindikasi 66 cekungan migas di seluruh Indonesia, sebagian besar berada di darat dan laut dangkal perairan territorial dan hanya beberapa cekungan yang berada pada landas kontinen (cekungan busur muka), 16 cekungan sudah berproduksi, 8 cekungan berpotensi, dan 42 cekungan belum dieksplorasi. Penelitan cekungan yang dilakukan Pusat Penelitan Pengembangan Geologi Kelautan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
20
(PPPGL) Departemen ESDM jumlah cekungan migas terakhir ditahun 2007 peta cekungan migas akan menjadi 67 cekungan. Sedangkan total potensi minyak bumi yang telah terukur pada seluruh cekungancekungan hidrokarbon termasuk cekungan Blok Ambalat Timur yang masih dalam status quo pada 2005 ini mencapai 86,9 milyar barrel yang terbukti. Total cadangan gas bumi terukur mencapai 384,7 triliun kaki kubik (TCF), sedangkan yang terbukti baru ditemukan 90 TCF. Beberapa penelitian potensi hidrokarbon laut dalam khususnya di cekungan busur muka baratdaya Indonesia telah dilakukan, baik kerjasama dengan institusi asing ataupun survey terintergrasi institusi dalam negeri. Cekungan minyak dan gas bumi, yang diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 miliar barrel minyak. Dari jumlah cekungan itu, 40 cekungan terdapat di lepas pantai dan 14 cekungan lagi ada di pesisir. Meski cadangan minyak dan gas bumi Indonesia tergolong besar, dimana cadangan ini tersebar pada lokasi perairan yang terpencil. Saat ini, masih ada sekitar 22 cekungan yang belum diteliti atau dieksplorasi kandungannya. Untuk menjawab semua itu, lembaga riset di Indonesia melaksanakan serangkaian ekspedisi geologi kelautan dengan melibatkan peneliti asing. Di antaranya yang paling akhir adalah dua ekspedisi yang diberi nama Bandamin dan IASSHA. Tujuan penelitian itu, menemukan gunung-gunung api bawah laut dan dikaitkan dengan potensi mineral logam hidrotermal di dasar laut. Terkait dengan potensi Sumber daya mineral pada landas kontinen Indonesia yang berkaitan dengan Seabed Mineral Resouces secara mendasar yang perlu dilihat yakni Indonesia perlu mengenali betul tentang potensi sumber daya kelautan yang dimiliki, mulai dari petanya yang masih sangat terbatas. Indonesia memiliki peta besar, tetapi untuk peta-peta yang lebih detail yang bisa melihat potensi-potensi yang ada belum dimiliki termasuk pulau-pulau kecil yang saat ini penamaannya belum selesai seluruhnya. Di samping itu permasalahan saat ini masih banyak sumber daya alam yang belum dikenal di dasar laut, tetapi hanya terbatas di pulau-pulau, bukan hanya sumber daya alam yang ada di perairan internasional, perairan nasional pun secara geologi belum melakukan eksplorasi dasar laut. Terkait dengan Ocean Policy apakah batas landas kontinen telah diatur. sampai batas waktu 2009 Indonesia belum menetapkan national comitment pada batas landas kontinen, sehingga permasalahan ini perlu menjadi perhatian bersama Indonesia yaitu mengenali betul dengan menetapkan batas landas kontinen dan perlu adanya rekomendasi tentang legalitas aspek dan teknologinya, yang terkait dengan maritime surveillance system baik on the survey maupun under water. Menurut data terakhir dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) mengungkapkan batas landas kontinen Indonesia akan bertambah seluas 3.915 km2. dari hasil survai Batas Landas Kontinen atau Indonesia Outer 0f Continental Shelf (IOCS) di sejumlah wilayah. IOCS tersebut yakni IOCS I meliputi Sumatera, IOCS II yakni Jawa dan Nusa Tenggara serta Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
21
IOCS III di kawasan Papua. ZEE yang diakui PBB yakni 200 mil dari pantai terluar dan ternyata dari hasil survei Indonesia bisa mengklaim hingga 350 mil laut apabila Indonesia bisa membuktikannya, dari hasil survei tersebut, Indonesia siap melaporkan ke PBB adanya penambahan batas landas kontinen seluas 3.915 km2 di barat Sumatera, jika nanti usulan penambahan batas landas kontinen tersebut diterima PBB, maka luas Indonesia akan bertambah dari sebelumnya 5,8 juta km2. Mineral dasar laut (seabead mineral) berdasarkan komoditi dan kemanfaatannya dapat digolongkan menjadi empat (4) jenis yaitu bintil fosfor (phosporite nodules dan pellets): bintil mangan (manganese nodules); kerak kobalt-mangan (cobalt-manganese crust) dan endapan mineral hidroternal (hydrothermal mineral deposits). penjelasan dari tiap kelompok seperti diuaraikan di bawah ini : 1. Phosporite nodules dan pellets dasar laut adalah mineral-mineral yang merupakan percampuran antara fosfat dan karbonat, bagian dari varian apatite yang disebut juga mineral earbonate flourapatite atau francolite. mineral ini kerap hadir berupa endapan dalam bentuk bintik (nodule) dan pellet (lembaran). mineral tersebut umumnya dijumpai pada kisaran kedalaman laut hingga 1000 meter pada bagian dari ZEE. secara lokal keterdapatan mineral ini dapat juga hadir pada gunung bawah laut (seamount) yang berasosiasi dengan material gampingan (calcareous) dan batuan volkanik 2. Manganese nodules dasar laut adalah endapan beberapa mineral oksida, seperti mangan dan besi selain itu mengandung unsur logam yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi (nikel, tembaga dan kobalt). umumnya terdapat di laut dalam pada daerah pematang tengah samudera (di luar zona ZEE) yang terjadi akibat proses percampuran antara larutan hidrotermal dengan air laut (hydrogenous supply). 3. Cobalt-rich manganese crust adalah mineral-mineral yang umumnya terdapat di sekitar gunung bawah laut dan rangkaian kepulauan. mineral-mineral yang masuk dalam kelompok ini, umumnya sama dengan kelompok manganese nodules ditambah timbal, seng dan molibdenum. 4. Hydrothermal mineral deposits dasar laut adalah mineral-mineral yang terdapat di dasar laut terbentuk karena proses hidrotermal, seperti misalnya mineral polimetalik sulfid (emas) dan berasosiasi dengan metaliferous sediment hasil aktivitas volkanik bawah laut. Riset untuk identifikasi potensi manganese nodules, polymetallic sulphides, metal rich seamount crusts, methane gas hydrate, telah dimulai sejak era 90an, seperti dalam program Geobanda, merupakan kerjasama Indonesia-Perancis pada 1994-1996 di laut Banda. kemudian kerjasama antara Indonesia-Jerman (2001-2003) di perairan flores dan Indonesia dengan Australia pada periode tahun 2001-2003 di teluk Tomini, selat Sunda dan perairan barat Sangihe (Sulawesi).
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
22
Kegiatan explorasi dan exploitasi di kawasan offshore seperti minyak dan gas bumi selain penghasil devisa terbesar tetapi kegiatan pertambangan tidak dapat terlepas dari masalah pengotoran lingkungan. saat ini ada 435 offshore platform di laut Jawa, laut Natuna, dan selat Makassar, diantaranya sudah tidak dioperasikan : yaitu 8 di laut Jawa dan 3 di laut Natuna. selama 30 tahun offshore platform tersebut menjadi pembuangan berbagai “chemicals”. hanya kontrak PSC yang baru mengharuskan adanya “abandonment cost”. Permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan kelautan yang dilakukan peneliti Indonesia telah berlangsung sejak era 1970, walaupun demikian hasilnya tidak terlalu signifikan dan tidak fokus. permasalahan yang dihadapi diantaranya : Sering berubahnya kebijakan mengakibatkan kegiatan survei kelautan terhenti sehingga hasil penelitian tidak optimal. Tantangan dalam bidang pemanfaatan mineral dasar laut dalam antara lain adalah : • Pembuktian ilmiah tentang potensi sumberdaya mineral sumberdaya mineral dasar laut dalam di kawasan perairan Indonesia dan diluar kawasan ZEE. • Tenaga ahli kelautan dituntut untuk dapat membuktikan kemampuannya dalam pemanfaatan sumberdaya masa depan yang masih tersimpan di dasar samudera. • Indonesia perlu segera terlibat dalam penelitian atau survei mineral dasar laut dalam karena penguasaan informasi tersebut memiliki implikasi geopolitik dan geostrategi • Untuk penelitian kerjasama asing seyogyanya perlu adanya kesamaan topik kerjasama, tidak jelasnya penanggung jawab, masalah sahring data, hambatan dalam penulisan karya ilmiah baik di dalam dan di luar negeri. • Untuk sinergi penelitian kelautan antar institusi dan penghematan anggaran guna memperoleh hasil yang optimal perlu adanya semacam panitia yang mempunyai tupoksi untuk koordinasi, mencari isu/ tema penelitian, seleksi proposal sampai pada penentuan anggaran yang akan dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh keluaran yang optimal serta menghindari adanya tumpang tindih penelitian antar institusi. 2.1.3 Perhubungan Laut (pelayaran) Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah laut luas, seharusnya bangsa Indonesia unggul dari segi pelayaran, tetapi nyatanya saat ini perkembangan transportasi laut Indonesia cukup memprihatinkan, karena terbukti terus mengalami penurunan pangsa muatan dan jumlah armada. Disamping itu, ada kondisi dimana pelayaran nasional dikategorikan sebagai beresiko tinggi dalam bisnis industri pelayaran. Dari pangsa muatan angkutan dalam negeri, pelayaran nasional hanya dapat mengangkut muatan sebanyak 50,15%. Sedangkan dari pangsa muatan angkutan luar negeri, pelayaran nasional hanya mampu mengangkut muatan sekitar 4,79%. Bila dibandingkan dengan pelayaran asing untuk keperluan angkutan luar negeri, nampak sekali ketertinggalan yang Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
23
dihadapi pelayaran dalam negeri. Sampai tahun 1999, pelayaran asing berhasil mengangkut pangsa muatan hingga mencapai 95,21% dengan tujuan ke luar negeri. Kecilnya kontribusi angkutan laut nasional terhadap perekonomian, salah satunya dapat dilihat dari perkembangan bisnis pelayaran yang tidak menggembirakan. Kinerja transportasi laut yang tertinggal itu disebabkan oleh citra Indonesia dalam kancah bisnis transportasi laut dunia yang masih dikategorikan sebagai transportasi laut yang beresiko tinggi, berkenaan dengan keselamatan pelayaran. Disinyalir bahwa selain faktor risiko pelayaran, kondisi pelayaran nasional juga diperburuk oleh semakin menurunnya pangsa angkutan (muatan) dalam negeri maupun luar negeri. Pangsa angkutan laut internasional yang semula mencapai 37%, kini hanya tinggal 3% (Ditjenla, 2000). Hal demikian merupakan pertanda bahwa kemampuan daya saing perusahaan pelayaran nasional semakin turun, sementara kepemilikan kapal perusahaan pelayaran nasional relatif kecil. Sebagian besar perusahaan pelayaran nasional itu bertindak sebagai agen dari perusahaan asing. Pelayaran nasional mayoritas menjadi feeder dari Pelabuhan Singapura. Bahkan, Indonesia nyaris dijadikan binterland (kawasan belakang) Singapura. Kondisi demikian diperburuk oleh tingkat keselamatan yang masih sangat rendah. International Maritime Organisation (IMO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan tingkat kecelakaan dan di rampokan di laut cukup tinggi (bight risk countri). Untuk memecahkan masalah itu, perlu perhatian semua pihak, termasuk di perlukan sinergi antara industri maritim dan instrumen pendukungnya. Dari sisi persaingan usaha, kemerosotan pelayaran nasional untuk angkutan barang keluar negeri juga disebabkan karena selama ini angkutan barang itu masih dikuasai oleh kapalkapal niaga asing. Dengan demikian, pilihan yang mungkin kita lakukan untuk menggenjot perkembangan pelayaran nasional adalah dengan meningkatkan kemampuan daya saing kapal-kapal pelayaran domestik terhadap kapal-kapal asing. Sekedar data, sebelumnya kemampuan angkutan kapal dalam negeri hanya berkisar 16.236.366 ton barang, atau 4,79%, yang diangkut keluar negeri meningkat menjadi 5% (Dephubtel, 2001). Hal seperti ini harus terus di upayakan agar proporsinya semakin meningkat. Kenyataan lain, keberadaan kapal-kapal niaga dalam negeri untuk angkutan lokal juga masih kecil, sehingga perlu ada perhatian dari pemerintah untuk meningkatkannya agar domestic cargo bisa seluruhnya dikuasai oleh armada kapal niaga nasional. Idealnya, 95% angkutan domestic cargo ditangani oleh pelayaran nasional, namun realitasnya sampai sejauh ini baru sekitar 55%. Berkenaan dengan kebutuhan akan kapal-kapal perintis, seharusnya pemerintah memprioritaskan pengadaannya. Artinya, pihak Departemen Perhubungan perlu segera merealisasikan kapal perintis itu. Berhubungan dengan angkutan barang dari satu pulau ke pulau lain di wilayah Indonesia, keberadaan kapal-kapal yang sifatnya pelayaran rakyat masih sangat penting saat ini, karena biasanya kapal rakyat memiliki daya jelajah yang sangat tinggi, sehingga bisa mencapai lokasi-lokasi yang tidak bisa ditangani oleh kapal-kapal reguler. Berangkat dari gambaran perkembangan transportasi laut diatas, harus diupayakan pengembangan transportasi laut Indonesia yang diarahkan pada pencapaian visi dan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
24
misi transportasi laut dengan mewujudkan penyediaan pelayanan dan jasa transportasi laut yang andal (service excellence) sebagai urat nadi kehidupan dan sarana pemersatu Negara Kepulauan Indonesia. Pelayanan jasa transportasi, khususnya pada sub sektor Perhubungan Laut, tidak akan terlepas dari aspek keselamatan pelayaran. hal tersebut bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. jaminan akan keselamatan pelayaran merupakan hal yang harus diimplementasikan melalui peningkatan standar keselamatan pelayaran dan pengawasan dengan menitiberatkan pada terciptanya pelayanan jasa transportasi laut yang handal. Sistem transportasi laut terdiri dari 3 (tiga) subsistem, yaitu : 1. Subsistem Lalu Lintas dan Angkutan Laut (Sea Traffic/ shipping) 2. Subsistem Kepelabuhanan (Port) 3. Keselamatan dan keamanan Pelayaran (Safety & Security) Ketiga sub sistem tersebut merupakan instrumen pokok dalam penyelenggaraan sistem transportasi laut nasional. Isu mengenai keselamatan pelayaran bukan hanya merupakan isu nasional, tapi labih bersifat global. hal tersebut direalisasikan dengan adanya organisasi internasional yaitu Internatioanl Maritime Organization (IMO). sehingga Indonesia sebagai negara anggota harus taat pada ketentuan yang telah diratfikasi sebagai acuan yang menjadi dasar pelaksanaan dan penyelenggaraan transportasi laut nasional. Untuk mendukung upaya peningkatan keselamatan dan keamanan serta keandalan pelayaran/ transportasi laut, maka diperlukan kebijakan sebagai berikut : • Peningkatan Kapasitas Pelayanan Transportasi Laut Nasional • Peningkatan keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan transportasi laut nasional • Peningkatan kecepatan arus transportasi laut dan aksesbilitas masyarakat di daerah terpencil • Peningkatan pembinaan pengusahaan transportasi laut • Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia serta Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi di bidang transportasi laut • Peningkatan pemeliharaan dan kualitas lingkungan hidup serta penghematan energi di bidang transportasi laut • Peningkatan pentediaan dana pembangunan transportasi laut • Peningkatan kualitas administrasi negara pada sub sektor transportasi laut Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan transportasi laut nasional yang efektif dan efisien sebagai infrastruktur dan tulang punggung kehidupan berbangsa dan bernegara, maka diperlukan : 1. Menyediakan pelayanan transportasi laut nasional yang handal dan berkemampuan tinggi serta memenuhi standar nasional dan internasional Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
25
2. 3. 4. 5.
Meningkatkan daya saing industri transportasi laut nasional di pasar global yang dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional Melaksanakan konsolidasi peran serta masyarakat, dunia usaha dan pemerintah melalui retrukturisasi dan reformasi peraturan dan kelembagaan di bidang transportasi laut Meningkatkan peran transportasi laut dalam mempercepat laju pertumbuhan pembangunan nasional Meningkatkan aksesbilitas masyarakat terhadap pelayanan jasa transportasi laut
Permasalahan yang dihadapi oleh jasa angkutan laut dalam perkembangannya dewasa ini antara lain: 1) Sifat usahanya yang lambat pertumbuhannya dan membutuhkan dana investasi yang sangat besar (capital intensive slow yielding) dibandingkan dengan unit ekonomi lainnya. 2) Perkembangan armada niaga di negara maju dan beberapa negara berkembang memperolch inducement berupa proteksi dan subsidi (subsidi atas biaya operasi, subsidi atas harga kapal, subsidi atas suku bunga bank .dan lain-lain), hal ini bclum diperoleh sebagaimana mestinya oleh pelayaran niaga Indonesia. 3) Sebagai akibat dari depresi yang dialami oleh perusahaan-perusahaan pelayaran dalam beberapa tahun ini (1980 - 1987) maka keuangan perusahaan pelayaran berada dalam kondisi memprihatinkan. 4) Keengganan para lembaga finansial untuk membiayai proyek perkapalan. 5) Tingkat harga kapal di pasaran internasional maupun dalam negeri saat ini re1atif tinggi dihubungkan dengan uang tambang. 6) Tingkat suku bunga Bank di Indonesia:Untuk investasi pengadaan kapal sebesar 18 - 21 % penyertaan modal sendiri sebesar 35% colateral 150 %. Di beberapa negara maju tingkat suku bunga 4 - 6 % dengan equity 0 - 15 %. 7) Keamanan global dan regional isu keamanan global dan regional serta ketentuan internasional yang mengharuskan peningkatan keamanan pada kapal serta fasilitas pelabuhan ISPS Code (International Ships and Port Facility Security) 8) Tingkat kecukupan serta keandalan sarana dan prasarana keselamatan pelayaran masih rendah karena kurangnya fasilitas keselamatan pelayaran sehingga tingkat kerawanan berlayar masih tinggi. 9) Kurangnya investasi dalam pembangunan transportasi laut masih terbatasnya dana pemerintah dalam investasi pembangunan transportasi laut dan masih kurangnya investasi serta partisipasi pihak swasta (Privat Sector Participation) hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan infrastruktur yang semakin lama semakin besar pada sub sektor transportasi laut 10) Road map to Zero Accident acuan dalam penyelenggaraan jasa transportasi menuju pada kondisi “0” (nol) kecelakaan dengan menitikberatkan pada standar keselamatan transportasi tingkat keselamatan pelayaran masih rendah. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
26
11) Kualitas SDM dalam bidang pelayaran kemampuan nakhoda & anak buah kapal (ABK) terkait dengan gerak kapal, navigasi, dll. masih rendah. Kelalaian dalam melaksanakan tugas (pelasingan atau pengikatan muatan kapal, dll) 12) Pemanfaatan dan penguasaan teknologi modern sarana dan prasarana yang mendukung keselamatan pelayaran perlu memperhatikan perkembangqn teknologi guna menjamin keselamatan dan efektivitas kegiatan transportasi laut, misalnya teknologi telekomunikasi pelayaran (saran radio operasional pantai/ SROP) 13) Pengelolaan jasa pelayaran peran serta pemerintah daerah terbatas di luar kewenangan pemerintah pusat dalam hal keselamatan pelayaran (sebagaimana PP nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/ kota) Penegasan fungsi operator dan regulator dalam bidang jasa transportasi laut 14) Pemahaman dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terjadi dualisme kewenangan misalnya dengan adanya syahbandar di pelabuhan perikanan (sesuai dengan UU 31 tahun 2004 tentang perikanan) sehingga aparat di lapangan mengalami kesulitan dalam menerapkan aturan 15) Isu internasional bidang keselamatan dan keamanan maritime kapal internasional tidak singgah di pelabuhan Indonesia. kewajiban masing-masing negara anggota IMO untuk melakukan sistem monitoring bagi kapal internasional 16) Pulau-pulau terluar dan daerah terpencil serta daerah yang mempunyai potensi ekonomi keterbatasan penyediaan sarana dan prasarana pelayaran aksesbilitas ke pulau-pulau berpotensi tidak memadai. Masih terbatasnya dana pemerintah dalam investasi pembangunan transportasi laut dan masih kurangnya investasi dan partisipasi pihak swasta (Private sector participation) hal ini mengakibatkan terjadinya back-log infrastruktur yang semakin lama semakin besar pada sub sektor transportasi laut. 2.1.4
Pariwisata Bahari Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi dan kekayaan alam yang berlimpah. Indonesia memiliki wilayah seluas 7,7 juta Km2, melihat pada kondisi geografik dan hidrometeorologi serta musim, maka potensi wisata bahari di Indonesia sangat besar, dimana 2/3 wilayah nusantara terdiri dari perairan serta memiliki kurang lebih 17.480 pulau dan berjuta hektar taman laut sehingga prospek pengembangan wisata bahari dikemudian hari sangat cerah. Indonesia terkenal sebagai negara yang sangat kaya dengan obyek pariwisata bahari, adanya pengakuan tiga titik yang berlokasi di Indonesia yaitu di Tulamben (Bali), likuan 2 (Manado), dan Pulau Tomia (Wakatobi) dari 50 titik wisata bahari dunia yang bertaraf internasional menjadikan Indonesia dapat menjadi salah satu kawasan tujuan wisata terkemuka di dunia.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
27
Beberapa pulau dikawasan Indonesia Timur memiliki ciri khas alam fauna dan flora tersendiri yang jarang ditemukan di daerah lain bahkan juga di negara lain seperti pulau koral dan pulau gunung api yang berpasir putih, taman kerang mutiara, lilia dan hebras laut dan lain-lain. Sifat dan kondisi daerah yang diuraikan diatas didukung oleh keadaan hidrometeorologi dan musim yang ada merupakan potensi pariwisata bahari/potensi yang beroperasi ke laut dan diwujudkan ke dalam bentuk obyek wisata laut seperti : 1) Teluk-teluk yang tenang ataupun bergelombang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan olah raga perairan. 2) Taman laut yang penuh aneka ragam biota laut, lilia dan hebras laut. 3) Pantai-pantai berpasir putih. 4) Jenis-jenis tumbuhan dan ikan laut. Di tiap obyek wisata laut dapat diadakan kegiatan wisata sesuai kondisi dan sifat obyek wisata tersebut. Usaha wisata bahari yang makin berkembang akan memberikan dampak dalam pengembangan daerah serta meningkatkan pula penyerapan tenaga kerja dan merangsang kegiatan usaha masyarakat pantai. Pcngembangan wisata bahari diarahkan sejalan dengan kemajuan teknologi dengan menghilangkan dampak negatifnya. Pengembangan pariwisata bahari diyakini dapat mempunyai efek berganda (multiplier effect) yang dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa bagi negara, dan dapat mendorong konservasi lingkungan. Selain itu pengembangan pariwisata bahari sebenarnya mempunyai dampak positif untuk tumbuhbangkitnya jiwa dan budaya bahari yang dengan itu dapat memberikan efek berganda dalam mendorong terwujudnya negara maritim yang tangguh. Namun demikian hingga saat ini pariwisata kelautan nasional belum berkembang yang ditunjukan oleh kontribusi terhadap PDB masih sangat kecil, yaitu sebesar 2,16 % (2002). Rangkaian/calendar event dan object (kawasan tujuan) pariwisata bahari nusantara belum terbangun. industri hulu-hilir pariwisata bahari termasuk multimoda transportasi dan jasa hospitality juga belum berkembang. Wisatawan baik dari manca negara maupun nusantara beberapa tahun terakhir ini terus meningkat. Untuk menghadapi arus wisatawan mancanegara yang semakin deras itu dan dalam rangka peningkatan iklim usaha wisata maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti : 1) Inpres 7/87 tentang Penyederhanaan Perijinan dan Restribusi di bidang Pariwisata, 2) Keputusan Menteri Parpostel Nomor KM. 97/KK.103/-87 tentang Ketentuan Usaha Wisata Tirta. 3) Keputusan Dirjen Pariwisata Nomor Kcp. 17/U/11/88 sebagai Juklak Usaha Wisata Tirta. 4) Keputusan Menteri Parpostel Nomor KM. 85/UM.209/MPPT-88 tentang Ketentuan Usaha Kapal Pesiar. 5) Keputusan Menteri Parpostel Nomor KM. 86/UM/MPPT -88 tentang Ketentuan Kunjungan Kapal Wisata Asing dan Kapal Pesiar Asing.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
28
Beberapa obyek wisata laut sudah mulai dikenal oleh wisatawan mancanegara disamping Pulau Bali yang sudah sangat terkenal itu seperti Pulau Batam dan Pulau Bintan di Riau, Kepulauan Seribu, Bunaken dan Tanjung Pisok di Sulawesi, Utara, Bandanaira di Maluku, Maumere di NTT, Senggigi; Gili Air, Tanjung Aan di NTB Kegiatan wisata bahari yang saat ini berkembang di obyek wisata adalah : 1) Kegiatan Marina. 2) Kegiatan hotel dan restoran terapung. 3) Kegiatan selam. 4) Kegiatan Kapal Wisata Indonesia/Asing, 5) Kegiatan Kapal Layar (Yachting). 6) Kegiatan pengelolaan Pulau. Dalam kegiatan pariwisata terdapat beberapa komponen yang saling menunjang adalah: 1) Obyek wisata 2) Angkutan. 3) Akomodasi. 4) Konsumsi. 5) Pramuwisata. 6) Pemasaran dan paket wisata. 7) Hiburan dan rekreasi. 8) Cenderamata 9) Keimigrasian. Upaya pengembangan pariwisata tidak akan terlepas dari persaingan dengan kegiatan pariwisata negara lain. Untuk menghadapi persaingan tersebut dan meningkatkan citra dunia pariwisata Indonesia, maka permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen tersebut diatas harus dapat diatasi. Permasalahan itu antara lain: 1) Belum mantapnya pembinaan dan pengaturan wisata bahari, antara lain disebabkan karena belum adanya undang-undang pariwisata. 2) Sebagian besar obyek wisata bahari belum dikelola secara berdaya guna, berhasil guna dan profesional. 3) Masih rendahnya kadar sadar wisata masyarakat terutama masyarakat bahari yang mengakibatkan kecilnya partisipasi mercka dalam pengembangan wisata bahari. 4) Masih rendahnya kesadaran wawasan lingkungan baik pengelola obyek wisata, wisatawan maupun masyarakat pantai. 5) Faktor kebersihan, mutu pelayanan, kelancaran, keamanan dan pemberian informasi dilaksanakan belum optimal. 6) Masalah perhubungan ke daerah-daerah wisata yang belum menunjang (aksesibilitas). 7) Masih belum berkembangnya lembaga pendidikan dan latihan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
29
8) 9)
Pemasaran obyek dan paket wisata bahari belum dilaksanakan secara optimal. Kurangnya minat kaum bermodal untuk berinvestasi di dalam sektor ini, sedangkan kondisi sosial masyarakat desa pantai sendiri pada umumnya masih sangat rendah. 10) Prosedur untuk mendapatkan izin masuk CAIT (Clearance Approval for Indonesian Territory) sangat mempersulit wisatawan bahari mancanegara sehingga banyak cruiser/ yacht enggan untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata bahari Indonesia; 11) Pengurusan CIQP masih perlu diperbaiki, utamanya mengenai durasi VoA (Visa on Arrival) maupun visa bisnis yang dinilai masih kurang lama dan tidak konsisten dengan durasi dari CAIT. Para yachter mancanegara menginginkan waktu lebih dari 60 hari agar mereka dapat mengunjungi banyaknya obyek di wilayah nusantara. 12) Persepsi keamanan nasional dan pengelolaan kesehatan lingkungan yang buruk 13) Program APBN/APBD masih terlalu berorientasi pada proyek Economic Overhead Capital (EOC) dan Social Overhead Capital (SOC), belum pada Directly Productive Activity (DPA); 14) Belum ada kebijakan sistem prosedur kapitalisasi aset dan dana. Perlu diintegrasikan value engineering untuk mengubah lahan pesisir murah menjadi kawasan budidaya perikanan yang produktif dengan financial engineering melalui kebijakan fiskal, penjaminan kredit, kredit, dan bagi hasil yang adil antara pengelola, karyawan, masyarakat, dan Pemda. Selain permasalahan pada saat ini, maka perlu juga diperkirakan permasalahan yang mungkin timbul dalam pengembangan pariwisata bahari 25 tahun mendatang. Dengan menganalisis perkembangan pariwisata bahari negara-negara lain khususnya negara-negara di Asia dan Pasifik, maka permasalahan paling mungkin dihadapi oleh Pariwisata Bahari kita adalah “Persaingan Pasar”. Oleh karenanya manajemen/administrasi pemasaran harus sudah dirancang sejak dini. Disamping itu perkembangan Pariwisata Bahari terutama di daerahdaerah yang masih kuat berakar adat istiadat budaya, akan dapat menimbulkan benturanbenturan nilai budaya yang pada gilirannya dapat menimbulkan kerawanan tersendiri. Kegiatan kepariwisataan adalah salah satu diantara sekian banyak jasa kelautan. Dalam hubungan ini visi dan misi yang dibangun perlu dirumuskan secara lebih jelas. Prinsip dasar pengembangan pariwisata bahari didasarkan pada kelestarian lingkungan hidup, pengembangan ekonomi, kemitraan, keterlibatan masyarakat, persatuan dan kesatuan. Untuk menjadikan wisata bahari sebagai wisata multidimensi dan multidestinasi diperlukan beberapa hal antara lain : kemitraan antar pelaku (pengelola) kegiatan wisata bahari, diversifikasi kegiatan, objek, dan atraksi budaya, diversivikasi kegiatan, objek dan atraksi budaya, keterkaitan dan komplementaris antar wilayah yang erat, kerjasama bilateral dan multilateral antar Negara. Menjadikan destinasi wisata bahari berdaya tarik tinggi dapat dilakukan dengan menjaga kelestarian sumber daya laut, memiliki spesies langka, terdapat keunikan budaya masyarakat setempat, kemudahan pencapaian, ketersediaan sarana dan prasarana pariwisata, keamanan dan kenyamanan berwisata dan karakteristik perairan. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
30
Jenis wisata bahari yang bias dikembangkan di Indonesia, yaitu : 1. Bentang laut. Kawasan perairan laut di Indonesia dapat dikembangkan beberapa jenis kegiatan wisata bahari, antara lain : a. Kegiatan wisata di permukaan laut antara lain : Kapal pesiar (cruise), selancar (surfing), memancing (fishing), kapal layer bermotor (yachting), perahu bermotor (Boating), perahu layer (sailing), berenang (swimming), parasailing, jet skying, banana boating, ski air, geowisata bahari, ponthon. b. Kegiatan wisata di dalam air, antara lain : menyelam (diving), snorkeling, Reef viewing (submarine) 2. Bentang pesisir dan pulau-pulau kecil Kawasan pesisir di Indonesia dapat dikembangkan beberapa jenis wisata bahari, antara lain : olahraga pantai yaitu bola voli pantai dan sepeda pantai, rekreasi yaitu melihat pemandangan alam, berjemur dan fotografi pantai, edukasi seperti agrowisata bahari, wisata ilmiah dan wisata industri, petualangan seperti tracking hutan pantai (jungle tracking) dan ekowisata (pelestarian dan melihat kehidupan binatang liar), budaya pesisir antara lain : melihat tradisi etnis pesisir, melihat seni tradisional masyarakat pesisir, melihat komuntas etnis pesisir, melihat warisan budaya material, serta wisata kuliner. 3. Potensi pengembangan wisata bahari menjadi ekominawisata bahari yaitu wisata bahari yang menyatukan produk wisata dengan perikanan yang berdasarkan wawasan lingkungan. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh kegiatan industri wisata bahari, di kelompokkan sebagai berikut : 1. Lingkungan alam • kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tingginya aktivitas manusia, pencemaran, ekploitasi sumberdaya yang berlebihan • bencana alam seperti tsunami, badai, gema, gelombang pasang surut dan abrasi • ekonomi, yaitu kesenjangan pendapatan, inflasi lokal, pengembangan wisata bahari belum dapat dinikmati masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan (tidak bebrbasis masyarakat) • belum terciptanya iklim investasi yang kondusif. • Infrastruktur/sarana-prasana belum memadai • Pengemasan produk belum layak jual • Promosi dan pemasaran belum memadai 2. Sosial budaya • Terganggunya tradisi sosial/struktur budaya • Ditinggalkannya kearifan lokal • Pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap wisata bahari belum memadai • Kualitas sumberdaya manusia belum memadai. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
31
3.
Kebijakan • Keberadaan kebijakan dan regulasi belum sepenuhnya mendukung pengembangan wisata bahari. • Belum terwujudnya hubungan lintas sektoral yang lebih harmonis.
2.1.5 Industri Maritim Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia mempunyai potensi yang memerlukan ekspor maupun impor industri garam dan galangan kapal, namun selama ini kebijakan yang ada kurang berpihak pada pelaku usaha nasional dalam mendukung industri maritim. Hal ini dapat disebabkan dengan keadaan perekonomian yang belum pulih untuk pembangunan industri maritim serta kemampuan negara tetangga dalam menangkap peluang pasar internasional. 2.1.5.1 Garam Garam merupakan salah satu yang komoditi yang dibutuhkan manusia dalam bentuk garam konsumsi, juga oleh industri sebagai bahan baku/ penolong. secara kimiawi garam merupakan komoditi yang mengandung senyawa NaCl (>94,7%) sebagai komponen utama, air (2-4%) dan senyawa lain seperti magnesium, kalsium dan sulfat. Kebanyakan garam digunakan sebagai garam makan, dan berfungsi sebagai penyedap makanan namun sejak akhir-akhir ini garam juga digunakan dalam industri perobatan. Sebagai contoh, kebanyakan garam digunakan untuk menawarkan sesuatu komposisi kimia yang berlebihan dalam badan pesakit. Garam juga merupakan satu komposisi kimia yang berupaya untuk dijadikan sebagai bahan dagangan. ini adalah karena garam pada masa kini merupakan satu bahan yang amat diperlukan sama ada digunakan dalam bidang perobatan, pertanian maupun dalam bidang pembuatan makanan. Berbeda dengan situasi di beberapa negara lain, pegaraman di Indonesia meliputi usaha skala kecil (luas rata-rata kepemilikan lahan kurang dari 1 Ha per pegaram), kecuali ladang garam milik PT Garam di Madura. Potensi lahan pegaraman tersebar di seluruh Indonesia, terkonsentrasi di 6 propinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Teknologi pegaraman umumnya masih sederhana/tradisional dengan sistem kristalisasi total yang menghasilkan kualitas garam rendah, dengan kadar NaCl < 88% dan kandungan Ca dan Mg yang tinggi dan produktifitas lahan hanya sekitar 40-60 ton/Ha/musim. Setiap tahun diperkirakan kebutuhan garam konsumsi sebesar 1.025.000 ton untuk seluruh Indonesia. Kebutuhan tersebut dipenuhi dari garam rakyat. Apabila masih dianggap kurang, pemerintah memberikan ijin impor garam untuk konsumsi dan untuk kebutuhan lain non-konsumsi, dengan syarat yang sama dengan garam rakyat, yakni kewajiban meyodisasi garam konsumsi sebelum memasuki pasar. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
32
Pemenuhan kebutuhan garam nasional selama ini dilakukan sebagian melalui produksi sendiri dan sebagian melalui impor. Garam produksi lokal diperuntukkan sebagai garam konsumsi (rumah tangga, pengasinan dan aneka pangan), sedangkan garam impor diperuntukkan bagi keperluan bahan baku/ penolong industri, garam lokal pada umumnya belum mampu memenuhi syarat kualitas garam industri karena kandungan NaCl nya umumnya masih di bawah 96%. Tingkat produktivitas lahan penggaraman di Indonesia cukup rendah, rata–rata 6070 ton/ hektar/ tahun. kualitas garam yang dihasilkan umumnya juga masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), demikian juga apabila dibandingkan dengan garam impor, kualitas garam yang dihasilkan oleh petani memiliki kadar NaCl dibawah 94%. sedangkan garam konsumsi memerlukan kadar NaCl > 94,7%. garam industri memerlukan kadar NaCl di atas 99% (dry basis). Adapun jenis garam yang diproduksi di Indonesia adalah sebagai berkiut: a. Garam lososa garam lososa baik digunakan/dikonsumsi bagi orang yang mempunyai kecenderungan hipertensi maupun untuk mencegah, karena garam lososa di produksi dengan kandungan natrium yang rendah sehingga aman untuk kesehatan. b. Garam maduro garam maduro adalah garam yang mempunyai kemurnian tinggi (hight grade) yang diolah dengan teknologi refinery, sangat baik dan cocok untuk digunakan bagi orang yang kecenderungan darah rendah. c. Garam segitiga “g” garam merek segitiga g adalah garam konsumsi yang diproduksi dengan menggunakan bahan baku lokal pilihan yang mempunyai kualitas baik. d. Garam anak sehat. garam merek anak sehat khusus dan baik dikonsumsi oleh anak-anak karena mengandung yodium yang cukup, sehingga menjadikan anak tumbuh dengan normal dan IQ yang baik. e. garam bahan baku garam bahan baku digunakan untuk garam industri dan garam olahan. Distribusi dan pemasaran garam khususnya garam konsumsi selama ini dirasakan kurang efisien, hal ini disebabkan oleh karena pegaraman berada di pinggir pantai yang lokasinya terpencil (remote) sedang prasarana menuju lokasi pegaraman rakyat sangat terbatas, sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya harga yang diterima petani garam, jauh lebih rendah dibandingkan harga di tingkat konsumen. Rendahnya harga di tingkat petani produsen garam akan menurunkan daya tarik bagi produsen garam dalam memproduksi garam sehingga ketergantungan Indonesia kepada garam impor akan semakin tinggi, ketergantungan pada garam impor khususnya untuk keperluan garam konsumsi sangat tidak mendukung ketahanan nasional karena Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
33
garam adalah komoditi yang secara terus menerus dibutuhkan oleh seluruh masyarakat sehingga dapat dikategorikan sebagai komoditi strategis. Dengan demikian persoalan dari tahun ke tahun adalah : 1) rendahnya produktivitas dan kualitas produksi garam; 2) harga di tingkat petani yang rendah utamanya pada saat panen raya; 3) peredaran garam beryodium yang memenuhi persyaratan (kadar yodium > 30 ppm) masih berada dibawah 90%; serta 4) pertumbuhan pemakaian garam yang relative besar untuk kebutuhan industri yang berasal dari garam impor disbanding denagn tingkat pertumbuhan pasokan dalam negeri. Potensi di Indonesia dalam pengembangan Industri garam adalah : • Areal penggaraman yang cocok iklim cukup luas (sekitar 37.000 ha) • Tekhnologi tersedia dan mudah dikuasai • Tersedianya tenaga kerja trampil dan tenaga ahli di bidang pengolahan garam • Terkait dengan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) • Dukungan pemerintah dengan kebijakan atau perangkat hukum yang jelas seperti : SNI wajib, ketentuan untuk menyerap produk petani/produsen garam bahan baku lokal bagi importir terdaftar, persyaratan tekhnis pengolahan garam, pengemasan dan pelabelan dan pembentukan Komite Garam Nasional dan Komite Garam Daerah. Sebagai dasar untuk implementasikan pengembangan melalui intensifikasi pegaraman secara komprehensif, maka pada tataran awal perlu adanya perencanaan terpadu pengembangan pegaraman nasional, sehingga mendapatkan kesatuan arah, konsistensi, keterkaitan serta kesinambungan antara kebijakan, strategi dengan program sehingga hasilnya akan sesuai dengan visi dan misi garam nasional mencakup kegiatan : 1. Pemetaan Areal/Lahan, Tekhnologi, Distribusi, pemasaran dan kondisi sosial ekonomi pegaraman rakyat. 2. Pembuatan perencanaan optimalisasi areal pegaraman rakyat meliputi tata letak, kemungkinan penerapan teknologi tepat guna. 3. Pembuatan perencanaan peningkatan kualitas sumber daya pegaraman. 4. Membantu memfasilitasi penyediaan dana dan modal melalui lembaga keuangan/ bank. 5. Pembuatan perencanaan distribusi, pemasaran garam dan iklim usaha pegaraman yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pegaraman. Pada periode tahun 1978-1981 telah dilakukan program pembinaan tekhnologi dan produksi garam rakyat oleh BIPIK Dep. Perindustrian bekerjasama dengan PN Garam. Pembinaan yang intensif ini sedikit banyak telah menularkan cara pembikinan garam yang benar kepada petani utamanya disekitar proyek percontohan, meskipun hasilnya belum optimal mengingat masih adanya kendala faktor sosial ekonomis petani garam yang masih memerlukan pembinaan lebih lanjut secara lebih intensif dan kontinyu. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
34
Dengan melihat pada kondisi kepemilikan lahan di mana para petani pada umumnya memiliki lahan seluas 0,5-2 ha, maka optimalisasi lahan pegaraman dapat dilakukan dengan pembangunan lahan penampung dan penguapan air laut yang dikelilingi oleh lahan-lahan kristalisasi milik petani. selain itu peningkatan produktivitas dapat diperoleh dengan menampung air laut terlebih dulu (start lebih awal pada bulan juni) di kolam reservoir dengan demikian akan diperoleh waktu produksi yang lebih lama. Disamping itu diperkenalkan juga metode “mixed farming” yaitu pemeliharaan udang/ ikan bandeng atau rumput laut di kolam penampungan air laut, tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani. Melakukan diklat terhadap SDM pegaraman disertai pembimbingan lapangan oleh tenaga berpengalaman dan ahli dibidangnya. Monitoring garam beryodium baik di tingkat produsen maupun pasar, meliputi industri garam beryodium, kuantitas dan kualitas di tingkat produksi serta kualitas di pasar (bekerjasama dengan Badang POM). Permasalahan dan Tantangan • Kualitas garam rakyat relatif rendah (sebagian besar Kw3) dan produksi tidak konsisten • Dukungan infrastruktur (pergudangan dan jalan) belum memadai • Modal dan luas lahan yang dimiliki petani terbatas • Lokasi ladang garam menyebar • Kesadaran (awereness) masyarakat terhadap garam beryodium masih rendah • Penerapan sanksi hukum belum tegak • Posisi tawar petani rendah karena pasar didomisasi oleh pedagang pengumpul • SDM stakeholder industry garam yang masih lemah • Masuknya garam impor melebihi kebutuhan dengan harga dan kualitas bersaing dapat mengancam usaha IKM garam nasional • Kebutuhan garam akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan industri penggunaan garam 2.1.5.2 Galangan Kapal Tingginya nilai keberadaan industri galangan kapal di Indonesia tidak terbatas hanya karena Indonesia adalah sebuah negara maritim, tetapi karena industri galangan memiliki nilai-nilai ekonomis yang sangat besar sehingga menjadi bagian yang strategis dalam pembangunan perekonomian sebuah bangsa. Kenyataan seperti ini terlihat dari beberapa kebijakan ekonomi yang digunakan oleh beberapa negara tetangga. Republik Rakyat China, misalnya, meskipun wilayahnya tidak didominasi oleh laut seperti Indonesia, memiliki rencana yang sangat ambisius untuk menjadi pemimpin dunia dalam industri galangan kapal dengan target memperoleh 40 persen pangsa pasar dunia dalam dua puluh tahun ke depan. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
35
Untuk merealisasikan ambisinya, Pemerintah China telah melakukan investasi besarbesaran dengan mengembangkan kapasitas produksi kapal dari sekitar 2 juta DWT per tahun menjadi 10 juta DWT per tahun dalam lima belas tahun. Pembangunan galangan kapal Yantai Raffles di Pulau Zhifu adalah sebuah gambaran hidup dari ambisi China tersebut, yang mana pada saat ini industri galangan kapal dunia masih dikuasai secara bersama-sama oleh Jepang dan Korea. Selain China, negara-negara Eropa di mana hampir seluruh galangan kapalnya mengalami kemunduran yang sangat tajam belum lama ini mendeklarasikan suatu forum kerja sama yang disebut LeaderSHIP 2015. Tujuannya adalah membuat definisi baru untuk masa depan industri pembangunan dan perbaikan kapal Eropa atau defining the future of the European shipbuilding and shiprepair industry. Ini merupakan forum yang strategis, bukan saja karena anggotanya adalah para tokoh galangan kapal di seluruh Benua Eropa beserta beberapa politikus Eropa, tetapi juga karena melalui forum ini masyarakat Eropa menunjukkan niatnya yang besar untuk terus mempertahankan industri galangannya meskipun secara teori pasar yang sekarang berlaku sudah tidak layak. Dengan kata lain, bangsa Eropa belum mau melepaskan kepentingannya di sektor industri galangan kapal dan secara politis telah menunjukkan bahwa mereka siap bertarung demi masa depan galangan kapal Eropa. Mengapa China begitu ambisius membangun industri galangan kapalnya dan mengapa pula negara-negara Eropa tidak mau begitu saja menyerah dan merelakan industri galangan kapalnya dikuasai bangsa lain? Alasan pertama adalah nilai ekonomis industri tersebut, di mana secara global memiliki nilai yang sangat besar. Dalam tahun 1997 yang merupakan tahun baik bagi industri ini, nilai order book kapal pada saat itu adalah sekitar 25 miliar dollar AS. Angka ini diperkirakan akan berkembang terus seiring dengan perkembangan perdagangan dunia yang meningkat dengan globalisasi. Alasan kedua, industri galangan kapal adalah induk dari industri pendukung di mana industri ini akan menarik industri lain untuk berkembang. Sebagai ancar-ancar, dalam pembangunan sebuah kapal, 50-70 persen biaya yang dikeluarkan adalah untuk membeli bahan baku dan peralatan. Kondisi seperti ini dapat memberikan multipliereffect yang besar kepada proses industrialisasi dalam satu negara. Terlebih lagi seandainya negara tersebut memiliki galangan kapal yang kuat, maka ia memiliki posisi tawar yang tinggi untuk dapat mengembangkan industri pendukung domestiknya. Jadi, dengan volume usaha sebesar 25 miliar dollar AS per tahun, industri galangan kapal dapat menciptakan aktivitas transaksi sebesar 15 miliar-18 miliar dollar AS per tahun. Ini sebuah angka yang sangat potensial untuk usaha pengembangan sebuah industri. Alasan ketiga adalah industri galangan merupakan industri padat karya yang mampu menciptakan lapangan kerja cukup besar dan dengan nilai tambah cukup tinggi.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
36
Sebagai ilustrasi, dengan tingkat produktivitas pekerja yang ada di Indonesia saat ini, 2.000 pekerja galangan dibutuhkan untuk menghasilkan 250.000 DWT kapal curah per tahun. Ditambah lagi dengan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh industri pendukung yang jumlahnya bisa mencapai dua setengah kali pekerja galangan. Dalam kondisi ini, seorang pekerja galangan dapat menghasilkan nilai tambah kurang lebih 75.000 dollar AS per tahun, sebuah angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan nilai tambah industri komoditas lainnya. Masih ada alasan-alasan lain, seperti kemungkinan pengembangan teknologi kelautan melalui industri dan kemandirian sektor pertahanan dengan pembuatan alat pertahanan di dalam negeri. Tetapi alasan ekonomis dan strategis di atas adalah penyebab mengapa China, Jepang, Korea, dan negara-negara Eropa mempertahankan keberadaan industri galangannya. Bagi Indonesia yang merupakan negara maritim, alasan pentingnya keberadaan industri galangan kapal yang kuat di dalam negeri lebih lebih besar dari alasan yang ada di negara-negara tersebut di atas. Kekayaan laut yang ada di Indonesia harus dapat dimanfaatkan dengan kekuatan Indonesia sendiri agar bangsa ini dapat menentukan masa depannya sendiri tanpa harus ada campur tangan orang lain. Untuk itu dibutuhkan sarana-sarana kelautan sebagai alat yang memungkinkan usahausaha pemanfaatan laut dengan optimal. Sarana-sarana kelautan sebagian besar diproduksi oleh industri galangan, maka sudah saatnya Indonesia memiliki industri galangan kapal yang kuat untuk mendukung pemanfaatan sumber daya kelautan secara mandiri. Berdasarkaan Inpres No. 10 tahun 1984, tanggal 28 Nopember 1984, industri perkapalan meliputi industri galangan kapal, penunjang galangan kapal, bangunan lepas pantai dan pemecah kapal. Potensi industri-industri ini cukup besar, dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, namun pengembangannya lebih maju di Pulau Jawa dan Sumatera. Dewasa ini, industri galangan kapal memiliki kapasitas untuk membangun kapal baru sampai dengan 10.000 GT (Gross Ton), sedangkan perbaikan sampai dengan 20.000 GT. Potensi pengedokan per tahun sebesar 3.363.000 GT, dan bangunan baru 110.000 GT per tahun. Industri bangunan lepas pantai telah mampu membuat anjungan jenis Jacket sampai dengan kedalaman laut 300 meter. Industri bahan penunjang, mcsin dan peralatan kapal saat ini baru mampu mendukung kurang lebih 40 % per unit kapal, schingga 60% lainnya masih diimpor dari negara lain. Industri sarana dan prasarana kerja di laut, baru dalam tahap permulaan. Sebagaimana diketahui pengoperasian industri-industri tersebut di atas membutuhkan tenaga-tenaga ahli dan terampil, karena selalu dihadapkan dengan masalah teknologi maju. Sampai dewasa ini, penggunaan tenaga-tenaga asing terpaksa masih belum dapat dihindari terutama dalam industri galangan kapal dan bangunan lepas pantai. Untuk menghadapi hal ini telah didirikan pusat latihan oleh beberapa galangan kapal. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
37
1)
PT. PAL Surabaya: Daya tampung kurang lebih 400 siswa per tahun, dengan titik berat pada bidang software dan hardware. 2) PT. Kodja Jakarta : Daya tampung kurang lebih 100 siswa per tahun dengan titik berat pada bidang software. Dari hasil yang dicapai pada Pelita-Pelita yang lalu dapat disimpulkan bahwa masih perlu adanya upaya-upaya dalam mengembangkan dan meningkatkan kekuatan yang ada tersebut. Pengembangan dan peningkatan kekuatan ini, sangat ditentukan oleh interaksi antara volume kerja yang diberikan kepada industri maritim dan perkapalan dengan kemampuan yang ada padanya. Permasalahan yang dihadapi industri galangan kapal dewasa ini adalah : 1) Komponen dan peralatan yang belum baku. 2) Kemampuan rancang bangun dan perekayasaan yang terbatas. 3) Kurangnya tenaga-tenaga terampil dan profesional. Daya saing industri perkapalan di pasar internasional masih sangat lemah, kalau pun saat ini ada beberapa kapal milik luar negeri yang dibuat di galangan kapal di Indonesia, itu karena beberapa galangan kapal didunia sudah penuh. Adapun masalah yang paling mungkin dihadapi dalam pencapaian sasaran pembangunan 25 tahun adalah ketersediaan bahan baku dan peralatan yang belum mendukung tuntutan kebutuhan, karena komponen-komponen kapal yang digunakan industri perkapalan di Indonesia masih didominasi produk impor, sehingga melemahkan daya saing di pasar internasional. Saat ini hampir 60% komponen kapal masih impor, sisanya 40% baru menggunakan produk lokal. Bahkan, dari tahun ke tahun impor komponen mengalami kenaikan. Misalnya, bila tahun 2004 impor komponen kapal Indonesia sekitar Rp 32,79 juta dolar AS, tahun 2006 lalu mencapai 39,30 juta dolar AS. Kondisi ini terjadi karena kurang kuatnya keterkaitan industri hilir dan hulu di sektor ini. Industri kapal tidak berdiri sendiri, harus didukung misalnya industri baja, mesin dan sumber daya.
2.2 Profil Industri dan Jasa Kelautan di Daerah 2.2.1 Kondisi Umum Provinsi Sumatera Utara merupakan kawasan industri kelautan, dari sekian banyak industri yang ada di wilayah ini, yang paling menonjol adalah industri perikanan, seperti Industri penggaraman, pengeringan, pengalengan, pengasapan, pembekuan, dan pengawetan ikan dan biota lainnya, disamping itu terdapat juga industri kapal atau perahu termasuk perbaikan kapal, pemotongan kapal peralatan dan perlengkapan kapal. Sedangkan kegiatan jasa maritim atau kelautan yang banyak dilakukan di wilayah Sumatera Utara, adalah jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk barang, penumpang, dan jasa bongkar muat barang, container serta jasa agen perjalanan. Dari sekian banyak kegiatan industri dan jasa kelautan ini, sebagian responden berpendapat bahwa masyarakat di Provinsi Sumatera Utara belum terlibat dalam kegiatan ini. Walaupun sebagian masyarakat belum banyak beraktifitas di bidang kelautan, Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
38
namun menurut sebagian besar responden implementasi kegiatan kelautan, seperti diatas telah memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi melalui APBD di Provinsi Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan kawasan industri, namun dari 13 Industri Maritim dan 16 Jasa Maritim yang diatur berdasarkan SK Menteri Perindustrian Nomor 75/ M/ SK/ 5/ 1995 tanggal 5 Mei 1995 hanya sebagian kecil lndustri dan Jasa Maritim yang ada di Provinsi Sumatera Selatan dan masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan menjadikan kegiatan industi dan jasa maritim sebagai mata pencaharian dan penopang hidup, antara lain seperti industri membuat ikan asin, pengolahan ikan untuk pemindangan, serta pengawetan ikan lainnya. Kegiatan industri ini cukup membawa dampak positif bagi pembangunan ekonomi melalui APBD Provinsi Sumatera Selatan terutama industri perikanan pada umumnya, mengingat sumber daya yang besar terutama di perairan umum. Secara umum sebagai Provinsi kepulauan, wilayah Provinsi Bangka Belitung merupakan kawasan industri kelautan, dari sekian banyak industri yang ada di wilayah ini, yang paling menonjol adalah industri perikanan, seperti Industri penggaraman, pengeringan, pengalengan, pengasapan, pembekuan, dan pengawetan ikan dan biota lainnya, di samping itu terdapat juga industri kapal atau perahu termasuk perbaikan kapal, pemotongan kapal peralatan dan perlengkapan kapal. Sedangkan kegiatan jasa maritim atau kelautan yang banyak dilakukan di wilayah Kepulauan Bangka Belitung, jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, jasa angkutan penyebrangan domestik untuk penumpang, jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang, sehingga dari hasil pengumpulan data responden, menyatakan bahwa masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar menjadikan kegiatan indutri dan jasa kelautan sebagai mata pencaharian, dan secara otomatis kegiatan ini telah berdampak positif bagi perekonomian masyarakat dan pembangunan ekonomi melalui APBD di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Provinsi Jambi memiliki dua pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Kuala Tungkal di Pantai Timur Sumatera yang berada di muara Sungai Pengabuan dan Pelabuhan Talang Duku di alur Sungai Batanghari yang digunakan untuk eskpor komoditi antara lain: karet, kayu lapis, dan moulding ke Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Jepang, dan Korea. Untuk kelancaran bongkar muat serta mengatasi perbedaan permukaan air pada saat musim hujan dan kemarau yang dapat mencapai 8 meter, maka Pelabuhan Talang Duku ini dilengkapi dengan dermaga apung. Saat ini sedang di kembangkan Pelabuhan Muara Sabak yang sangat layak dijadikan Pelabuhan Samudera yang dapat memberi kemudahan bagi para investor yang ingin melakukan ekspor produknya ke manca negara. Hal ini sangat mendukung kemajuan industri dan jasa kelautan Provinsi Jambi. Memperhatikan paradigma pembangunan nasional yang berorientasi pada wilayah laut/ maritim, yaitu sektor perikanan merupakan salah satu dari berbagai yang melakukan kegiatan industri dan jasa di wilayah lautan, seperti sektor perhubungan, pariwisata, energi dan tambang maka untuk memperoleh hasil pembangunan yang optimal diperlukan koordinasi dalam perencanaan dan keterpaduan program pembangunan antar sektor terkait, baik secara horisontal maupun secara vertikal antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
39
Sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar merupakan pertumbuhan ekonomi nasional dan wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila peluang dan prospek ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan permasalahan yang dihadapi dapat diatasi secara bertahap, sehingga sektor kelautan dan perikanan menjadi andalan pertumbuhan ekonomi di masa depan. Jasa maritim yang dominan di wilayah Provinsi Jawa Tengah berupa jasa bongkar muat barang, jasa agen perjalanan, jasa bongkar muat kontainer, jasa agen perjalanan, angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, namun walaupun banyak jasa maritim yang ada di Provinsi Jawa Tengah, masyarakat belum mengandalkan kegiatan Industri dan jasa maritim/kelautan sebagai mata pencaharian. Kegiatan industri dan jasa kelautan sangat memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi daerah Provinsi Jawa Tengah, tapi sampai sekarang belum ada data yang akurat berapa besar kontribusinya. Secara umum wilayah provinsi Jawa Timur merupakan salah satu kawasan industri. Beberapa industri kelautan yang telah berkembang di Provinsi Jawa Timur antara lain : Industri kapal/ perahu, Industri perbaikan kapal, Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pemindangan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya, sedangkan industri kelautan lainnya yang masih perlu dikembangkan antara lain : Industri peralatan dan perlengkapan kapal, Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota perairan lainnya, Industri pemotongan kapal, Industri Rancang bangun dan perekayasaan industri kelautan, Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya, Industri bangunan lepas pantai, dan industri yang belum ada adalah Industri perbaikan bangunan lepas pantai Sedangkan beberapa jasa maritim yang telah berkembang berturut-turut antara lain : Jasa bongkar muat barang, Jasa bongkar muat kontainer, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk penumpang, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang, Jasa agen perjalanan, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, Jasa operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya. Sedangkan jasa kelautan yang masih perlu didukung antara lain : Jasa penyewaan dari kapal penyeberangan domestik dengan operator, Jasa penarik dan pendorong pada penyeberangan domestik, Jasa alat-alat pembantu navigasi, Jasa pendukung untuk angkutan perairan, Jasa penarik dan pendorong pada perairan pantai dan samudera, Jasa menyelamatkan dan mengapungkan kembali kapal. Berdasarkan jenis-jenis kegiatan industri dan jasa kelautan yang telah diinventarisasi kegiatan industri dan jasa kelautan dapat dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat di Provinsi Jawa Timur, antara lain lapangan kerja yang bergerak di bidang Industri kapal/perahu, Industri peralatan dan perlengkapan kapal, Industri perbaikan kapal, Industri pemotongan kapal, Industri Rancang bangun dan perekayasaan industri kelautan, Industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya, dan Jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
40
pantai dan samudera lainnya untuk barang, Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan Jasa angkutan penyebrangan domestik untuk penumpang, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang, Jasa penyewaan dari kapal penyeberangan dan samudera dengan operator, Jasa angkutan penyebrangan domestik dengan operator, Jasa penarik dan pendorong pada penyeberangan domestik, Jasa bongkar muat barang, Jasa bongkar muat kontainer Jasa operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), Jasa agen perjalanan, Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya. Implementasi kegiatan industri dan jasa kelautan memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi melalui APBD di Provinsi Jawa Timur, antara lain jenis kegiatan industri : Perkapalan, Penangkapan ikan. PT. Pelabuhan Indonesia, PT. PAL maupun perhubungan laut memperlancara aktfitas yang terkait perekonomian daerah, Wisata kapal, pengalengan ikan, pengeringan, pemindangan, pengasapan, pembekuan dan pengolahan. Kegiatan pariwisata kelautan merupakan salah satu kegiatan industri maritim yang menjadi andalan daerah Provinsi Bali, selain itu juga terdapat aktivitas industri maritim lainnya seperti kegiatan industri pelayaran. Secara umum wilayah provinsi Bali merupakan kawasan industri, beberapa industri kelautan yang telah dikembangkan di Provinsi Bali antara lain : Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, Industri kapal/perahu, Industri perbaikan kapal, Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota perairan lainnya, Industri peralatan dan perlengkapan kapal, Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pemotongan kapal, Industri Rancang bangun dan perekayasaan industri kelautan. Sedangkan jasa maritim yang telah berkembang antara lain : Jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk penumpang, Jasa agen perjalanan, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang, Jasa bongkar muat barang, Jasa bongkar muat kontainer, Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya, Jasa penyewaan dari kapal penyeberangan domestik dengan operator, Jasa alat-alat pembantu navigasi, Jasa pendukung untuk angkutan perairan, Jasa operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, Jasa penarik dan pendorong pada perairan pantai dan samudera, Jasa penarik dan pendorong pada penyeberangan domestik, Jasa menyelamatkan dan mengapungkan kembali kapal. Dari sejumlah kegiatan industri dan jasa di bidang maritim, kegiatan industri dan jasa maritim dapat dijadikan mata pencaharian masyarakat di Provinsi Bali, antara lain pada kegiatan industri : kayu lapis, galangan kapal, pembekuan udang, pengelolaan hasil perikanan, selain itu terdapat kegiatan lain berupa docking kapal, kapal pengangkut bahan pokok dan pengangkut hasil tambang batubara, dan lain-lain. Implementasi kegiatan industri dan jasa kelautan memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi melalui APBD di Provinsi Bali, khususnya yang berasal dari kegiatan industri wisata bahari. Berdasarkan data BPS terlihat jelas APBD terbesar berasal dari sektor pariwisata. Selain itu juga terdapat sektor perikanan yang tidak kalah pentingnya dengan sektor lain, dalam hal ini apabila sektor ini diberdayakan secara optimal maka bukan tidak mungkin pendapatan Provinsi Bali akan menjadi suatu sektor unggulan. Tetapi Provinsi Bali belum bisa mengelola potensi Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
41
sumber daya kelautan secara optimal, disebabkan karena belum memiliki sumber daya manusia yang memadai. Secara geografis, Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki potensi pembangunan perikanan dan kelautan yang cukup menjanjikan karena luas lautnya mencapai kurang lebih 29.159,04 km2 dengan luas daratan 20.153,15 km2 dan panjang garis pantai sekitar 2.333 km. Propinsi ini juga memiliki potensi budidaya laut. Di sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah disamping memberikan kewenangan yang lebih luas sekaligus menuntut tanggung jawab lebih besar kepada daerah dalam penataan, pengelolaan, eksplorasi, eksploitasi, pengawasan dan konservasi wilayah dan sumber daya kelautan dan perikanan. Kendala-kendala inilah yang memerlukan strategi pemecahan dan jalan keluar yang tepat. Wilayah pesisir dan laut Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan tumpuan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hampir 60% penduduk Nusa Tenggara Barat bermukim di wilayah pesisir yang keberadaannya sangat tergantung pada sumberdaya wilayah pesisir. Selain aktifitas perekonomian masyarakat sebagai nelayan, petani, tambak, pedagang, di wilayah pesisir Nusa Tenggara Barat juga banyak terdapat aktifitas industri dan pertambangan antara lain Minyak dan gas, Pupuk, Metanol, batubara, Pulp, Cold Storage, Pariwisata, Industri Kehutanan dan Galangan kapal. Strategi pembangunan Nusa Tenggara Barat yang terkait dengan peningkatan industri dan jasa kelautan di daerah terdiri dari : Strategi Pertumbuhan, meliputi Intensifikasi pemanfaatan sumber daya alam secara lestari yang berorentasi pada industri pengolahan dan ekspor dan Pengembangan Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu kawasan perdagangan dan jasa baik di tingkat nasional maupun internasional, khususnya di wilayah Asia Pasifik; strategi optimalisasi, meliputi peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, pengembangan dan peningkatan investasi, khususnya di sektor swasta, dan pengembangan dan rasionalisasi manajemen pengelolaan sumber daya alam; Strategi Diversifikasi, meliputi pengembangan dan peningkatan keunggulan komperatif potensi pengembangan yang ada, pengembangan dan peningkatan kemampuan pelayanan infrastruktur wilayah, peningkatan penguasaan iptek, khususunya yang berkaitan dengan sistem produksi. Menjadi prioritas pembangunan Nusa Tenggara Barat, meliputi : peningkatan sumber daya manusia, peningkatan pembangunan infrastruktur, dan peningkatan pertanian dalam arti luas. Industri dan jasa kelautan yang terdapat di daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat antara lain Industri kapal/perahu, Industri peralatan dan perlengkapan kapal, Industri perbaikan kapal, Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota perairan lainnya, Industri pemindangan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang Jasa penyewaan dari kapal penyeberangan domestik dengan operator, Jasa bongkar muat barang Jasa bongkar muat kontainer, Jasa alat-alat pembantu navigasi, Jasa pendukung untuk angkutan perairan, Jasa operasi kepelabuhan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
42
(diluar, bongkar muat barang), Jasa agen perjalanan, dan Jasa angkutan penyebrangan domestik untuk penumpang. Untuk sektor yang menjadi kegiatan industri andalan bagi pembangunan dan keterlibatan masyarakat di Provinsi/Kabupaten di Prov. Nusa Tenggara barat serta memberikan kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah Sektor perikanan, yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan; Sektor pariwisata khususnya kegiatan wisata bahari; Sektor pelayaran nasional, penerapan asas cabotage, pembangunan armada dan pemberdayaan pelayaran rakyat; Industri perkapalan, konstruksi dan bangunan laut serta pantai; Sektor energi dan sumberdaya mineral yang mengintensifkan eksplorasi dan eksploitasi dasar laut termasuk landas kontinen. Di bidang pertambangan, Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki potensi bahan galian, seperti batu apung, batu kapur, tanah liat, perlit, batu gamping dan kaolin; serta mineral, seperti timah hitam, emas, tembaga, pasir besi, dan perak. Batu apung memiliki potensi yang sangat besar dengan lokasinya tersebar di Pulau Lombok, sedangkan bahan tambang lainnya belum banyak yang dieksploitasi. Selain itu, Nusa Tenggara Barat juga memiliki potensi minyak dan gas bumi, serta panas bumi yang cukup besar. Pariwisata juga merupakan sektor yang amat berpeluang untuk dikembangkan. Daerah Nusa Tenggara Barat memiliki potensi wisata yang sangat beragam, baik wisata bahari, wisata alam maupun wisata budaya, dan lokasinya terletak di antara jalur pariwisata BaliKomodo-Tana Toraja. Lokasi daerah wisata yang potensial untuk dikembangkan terdapat, antara lain, di Senggigi Siere, Gili Trawangan, Gili Meno, Pantai Aan, Selong Belanak, Gunung Rinjani, Dusun Sade, Gili Indah, Gili Sulat, Pantai Maluk, Pulau Moyo, Pantai Huu, Sade, Teluk Bima, dan Gunung Tambora. Selain itu, lokasi Propinsi Nusa Tenggara Barat yang berada pada jalur pelayaran internasional Selat Lombok diharapkan akan memberikan peluang dan keuntungan, baik untuk pengembangan pariwisata maupun untuk perdagangan internasional. Pengembangan sumber daya manusia di Propinsi Nusa Tenggara Barat diarahkan untuk mewujudkan manusia berakhlak, beriman, dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan menanamkan sejak dini nilai-nilai agama dan moral, serta nilai-nilai luhur budaya bangsa, baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah, serta pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Demikian pula, pengembangan sumber daya manusia diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikan, melalui peningkatan kualitas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, maupun pendidikan agama, serta pelayanan kesehatan dan sosial kepada masyarakat melalui peningkatan ketersediaan dan sebaran prasarana dan sarana dasar secara makin berkualitas dan merata. Pengembangan sumber daya manusia diarahkan untuk meningkatkan kreativitas, produktivitas, nilai tambah, daya saing, kewiraswastaan, dan kualitas tenaga kerja, antara lain melalui kegiatan pembimbingan, pendidikan, dan pelatihan yang tepat dan efektif, peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek serta pelestarian fungsi sumberdaya alam laut. Peningkatan produktivitas tenaga kerja di propinsi ini diarahkan yakni pada sektor industri yang memanfaatkan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
43
sumber daya alam yakni kehutanan, pertambangan, serta perkebunan, peternakan, perikanan dan pariwisata. Provinsi Nusa Tenggara timur merupakan kawasan industri. Berdasarkan SK Menteri Perindustrian Nomor 75/ M/ SK/ 5/ 1995 tanggal 5 Mei 1995 kegiatan jasa kelautan yang telah ada adalah jasa bongkar muat barang, jasa agen perjalanan, jasa bongkar muat kontainer, jasa agen perjalanan, angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator merupakan jasa maritim yang dominan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, namun berdasarkan hasil penelitian bahwa masyarakat daerah Nusa Tenggara Timur belum mengandalkan kegiatan Industri dan jasa maritim atau kelautan sebagai mata pencaharian sebagai penopang hidup masyarakat. Dari berbagai kegiatan industri dan jasa kelautan yang ada di daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, namun dalam pembangunan ekonomi daerah belum memberikan dampak yang sangat berarti bagi perkembangan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari beberapa pulau besar dan pulau kecil, luas wilayah mencapai 47.349,90 km, yang terdiri dari 566 pulau. Secara geografis luas perairan laut Propinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 199.529 km dan belum temasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) dan memiliki garis pantai sepanjang 5.700 km. Mengenai kegiatan industri kelautan yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, industri perikanan sangat memberikan kontribusi perikanan yang sangat dominan dibanding sektor yang lain, sektor perikanan yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan, karena potensi perikanan di Nusa Tenggara Timur sangat potensial untuk kehidupan masyarakat dan menunjang pembangunan daerah, dalam meningkatkan sektor ini telah dibangun oleh pemerintah Provinsi NTT berupa 1 unit pelabuhan perikanan pantai di Tenau Kupang dan 6 unit Pangkalan Pendaratan Ikan masingmasing di Ende, Meumere, Kalabahi, Larantuka, Labuan Bajo dan Oeba di kota Kupang. Sedangkan untuk mendukung usaha budidaya ikan air tawar saat ini, dibangun Balai Benih Ikan (BBI) yang tersebar di Kabupaten Kupang (3 unit), TTS (2 unit), Belu (1 unit), Ende (2 unit), Ngada (2 unit), Manggarai (2 unit), Sumba Barat (2 unit), Sumba Timur (1 unit) dan Alor (1 unit). Khusus BBI sentral terdapat di 2 kabupaten yaitu BBI Noekele (Kab. Kupang) dan BBI Ruteng (Kab. Manggarai). Disamping itu sektor pelayaran nasional dengan penerapan asas cabotage, pembangunan armada dan pemberdayaan pelayaran rakyat juga merupakan andalan bagi pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun secara umum, kontribusi industri dan jasa kelautan belum cukup memberikan kontribusi pada pemerintahan Nusa Tenggara Timur, hal ini terlihat dari masih kecilnya persentase dalam menyumbang pendapatan daerah yang hanya kurang dari 25%. Selama ini upaya yang telah dilakukan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam mengembangkan dan memberdayakan industri dan jasa kelautan masih sangat kurang. Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu kawasan industri yang ada di Indonesia karena Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
44
“Seribu Sungai”. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Dengan kondisi geografis ini mendukung bertumbuhnya kawasan industri di daerah ini. Secara geografis daerah di Provinsi Kalimantan Barat terdapat banyak sungai besar dan kecil mendukung terlaksananya kegiatan industri dan jasa kelautan, dimana industri dan jasa kelautan ini memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi melalui APBD. Industri kelautan yang ada di Kalimantan Barat antara lain adalah Industri kapal/perahu, Industri peralatan dan perlengkapan kapal, Industri perbaikan kapal, Industri pemotongan kapal, Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pengasapan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya. Adapun jasa kelautan di Kalimantan Barat antara lain Jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, Jasa penarik dan pendorong pada perairan pantai dan samudera, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk penumpang, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang, Jasa bongkar muat barang, Jasa bongkar muat kontainer, Jasa operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), Jasa menyelamatkan dan mengapungkan kembali kapal dan Jasa agen perjalanan, serta Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya. Penyebaran penduduk Kalimantan Barat tidak merata antar wilayah baik antar kabupaten/ kota, kecamatan, desa/kelurahan, maupun antar kawasan pantai bukan pantai atau kota desa misalnya daerah pesisir yang mencakup Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, dan Kota Singkawang yang dihuni oleh hampir 45 persen dari total penduduk Kalimantan Barat, tingkat kepadatan penduduknya rata-rata sekitar 34 jiwa lebih per kilometer persegi. Sebaliknya 5 wilayah kabupaten lain (bukan pantai) selain Pontianak secara rata-rata tingkat kependuduknya relatif lebih jarang. Berkaitan dengan potensi jumlah penduduk yang tinggi di Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan potensi SDM Kelautan yang pada umumnya mata pencahariannya bekerja di industri dan jasa kelautan. Wilayah provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan industri. Beberapa jenis kegiatan industri kelautan yang telah berkembang di Provinsi Kalimantan Timur antara lain : Industri perbaikan kapal, Industri kapal/perahu, Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, industri bangunan lepas pantai, industri perbaikan bangunan lepas pantai, Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota perairan lainnya, sedangkan jasa maritim yang telah berkembang antara lain : jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, Jasa bongkar muat barang, Jasa bongkar muat kontainer, Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya, Jasa penyewaan dari kapal penyeberangan domestik dengan operator, Jasa penarik dan pendorong pada perairan pantai dan samudera, Jasa alat-alat pembantu navigasi, Jasa pendukung untuk angkutan perairan, Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
45
Jasa penarik dan pendorong pada penyeberangan domestik, Jasa operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, Jasa menyelamatkan dan mengapungkan kembali kapal. Kegiatan industri dan jasa kelautan dapat dijadikan sebagai mata pencaharian bagi masyarakat khususnya di Provinsi Kalimantan Timur, antara lain pada kegiatan industri galangan kapal, coldstorage, jasa angkutan laut, Industri lepas pantai dan perbaikan industri pembuatan kapal, jasa angkutan, Industri penggaraman/pengeringan ikan dan perairan lainnya dan jasa angkutan perairan pantai dan samudra untuk penumpang barang, Industri perikanan, pengolahan udang dan produk perikanan lainnya. Kegiatan jasa angkutan laut, tenaga pelabuhan bebas (bahan pokok)/bahan baku keluar dan masuk dan jasa angkutan perairan pantai dan samudra untuk penumpang jasa barang, merupakan implementasi kegiatan industri dan jasa kelautan yang cukup memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi provinsi melalui apbd di provinsi kalimantan timur. Wilayah provinsi Kalimantan Selatan merupakan kawasan industri. Beberapa industri kelautan yang telah dikembangkan di Provinsi Kalimantan Selatan antara lain : Industri penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, Industri kapal/perahu, Industri perbaikan kapal, Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota perairan lainnya, Industri peralatan dan perlengkapan kapal, Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya, Industri pemotongan kapal, Industri Rancang bangun dan perekayasaan industri kelautan. Sedangkan jasa maritim yang telah berkembang antara lain : Jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barng, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk penumpang, Jasa agen perjalanan, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang, Jasa bongkar muat barang, Jasa bongkar muat kontainer, Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya, Jasa penyewaan dari kapal penyeberangan domestik dengan operator, Jasa alat-alat pembantu navigasi, Jasa pendukung untuk angkutan perairan, Jasa operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, Jasa penarik dan pendorong pada perairan pantai dan samudera, Jasa penarik dan pendorong pada penyeberangan domestik, Jasa menyelamatkan dan mengapungkan kembali kapal. Kondisi geografis Provinsi Papua sangat strategis karena dikelilingi oleh pulau-pulau dan dan wilayah perairan laut kaya dengan aneka sumber daya hayati dan non hayati yang potensial dikembangkan sebagal penghasil devisa seperti jenis pelagis besar meliputi tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, jenis-jenis marlin, cucut, serta ikan dasar dan ikan karang. Di Provinsi Papua juga banyak terdapat sungai-sungai besar beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan utara. Sungai Digul yang bermula dari pedalaman kabupaten Merauke mengalir ke Laut Arafura. Sungai Warenai, Wagona dan Mamberamo yang melewati Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Jayapura bermuara di Samudera Pasifik. Sungai-sungai tersebut mempunyai peranan penting bagi masyarakat sepanjang alirannya baik sebagai sumber air bagi kehidupan sehari-hari, sebagai penyedia ikan maupun sebagai sarana Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
46
penghubung ke daerah luar. Selain itu terdapat pula beberapa danau, diantaranya yang terkenal adalah Danau Sentani di Jayapura, Danau Yamur, Danau Tigi dan Danau Paniai di Kabupaten Nabire dan Paniai. Jenis sumber daya kelautan lainnya yang dapat dikelola untuk kepentingan pembangunan daerah meliputi mineral, tenaga arus dan ombak serta ekosistem terumbu karang yang indah dimana keanekaragaman biota laut di Provinsi Papua merupakan keanekaragaman yang terlengkap di Indonesia bahkan banyak pulau-pulau dengan sumberdaya laut beserta biota-biotanya di Provinsi Papua yang belum terjamah oleh modernisasi. Melihat dari kondisi wilayah perairan laut Provinsi Papua merupakan suatu wilayah kawasan industri karena didukung dengan keanekaragaman potensi sumberdaya alam laut yang tinggi maka menurut beberapa responden bahwa kegiatan industri kelautan di Provinsi Papua adalah industri kapal/perahu, perbaikan kapal, pengasapan ikan dan biota perairan lainnya, penggaraman/ pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, serta pembekuan ikan dan biota perairan lainnya yang sangat menunjang pembangunan ekonomi lokal dan nasional. 2.2.2 Potensi Industri Kelautan Dari segi potensi industri kelautan, yang menjadi kegiatan andalan yang melibatkan masyarakat dalam memberikan kontribusi perekonomian bagi pembangunan daerah Sumatera Utara utamanya adalah sektor perikanan, yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan berbagai pengolahan hasil perikanan, disamping itu juga mengandalkan sektor pariwisata, khususnya kegiatan wisata bahari, hal ini mengingat potensi wilayah laut yang sangat luas dan indah, serta geografis wilayah yang strategis dan memiliki panjang garis pantai 1.300km dengan posisi timur Sumatera Utara ada Selat Malaka dan sebuah Barat Samudera Hindia dan memiliki banyak pulau-pulau kecil. Dari kegiatan kedua sektor ini, pemerintah kota Medan mendapatkan kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan sektor pertambangan migas dapat pula dijadikan sumber PAD Provinsi Sumatera Utara, namun kontribusi semua sektor sampai saat ini belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan daerah dilihat dari potensi yang ada, hal ini dapat disebabkan pemanfaatan sumberdaya yang ada belum optimal, dengan minimnya industri wisata di daerah dari segi sarana dan promosi serta masih dominannya peranan sentralisasi, karena kontribusi industri dan jasa kelautan belum sepenuhnya diserahkan pemerintah pusat dan daerah. Dalam mengatasi kendala diatas, instansi atau sektor terkait telah melakukan berbagai upaya dalam rangka pemberdayaan industri dan jasa kelautan dengan pengembangan budidaya pantai dan meningkatkan sarana dan prasarana perikanan tangkap, memperbaiki sarana dan prasarana dalam mendukung industri dan jasa kelautan, memberikan bimbingan melalui penyuluhan, melakukan koordinasi penanganan tindak pidana di laut, melakukan pembinaan terhadap perusahaan galangan kapal dan pelayaran, serta meningkatkan pelayanan dalam percepatan keluar masuk barang ekspor dan impor. Sektor perikanan terutama dari perikanan laut, perikanan darat, dan produksi tambak, terutama dari sektor budidaya, yaitu tambak dan lainnya, seperti Kolam Air Deras (KAD) Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
47
dan Kolam Air Tenang (KAT) terutama budidaya, penangkapan dan pengolahan hasil perikanan merupakan kegiatan industri andalan bagi pembangunan dan keterlibatan masyarakat dalam memberikan kontribusi perekonomian daerah. Industri Perikanan mempunyai potensi sumberdaya yang besar, terutama di perairan umum, secara tradisional merupakan sumber mata pencaharian penduduk, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, memberikan kontribusi peningkatan pendapatan, pemenuhan gizi masyarakat dan menjadi sumber pemasukan pendapatan daerah/devisa negara, serta mendorong tumbuhnya sektor terkait, oleh sebab itu sektor kelautan dan perikanan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, terutama nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan, apabila dimanfaatkan dan dikelola secara optimal. Dan upaya yang telah dilaksanakan Provinsi Sumatera Selatan dalam rangka pemberdayaan industri dan jasa kelautan dengan melakukan pengalihan usaha budidaya ikan di air tawar dalam berbagai sistem dan sarana, sehingga industri perikanan untuk ketahanan pangan tetap terjamin, diantaranya Pengembangan Fence sistem budidaya ikan Gurame, Nila dan Patin di Kabupaten OKI. Lahat, Ol, OKU Selatan, kemudahan pengambilan kredit usaha bidang perikanan dan Iain-lain, serta penggiatan pengolahan ikan dalam berbagai jenis produk seperti. sosis, ikan asap, nugget dan Iain-lain. Dalam pembangunan perekonomian daerah, sektor yang menjadi kegiatan andalan yang melibatkan masyarakat dalam memberikan kontribusi perekonomian bagi pembangunan daerah Bangka Belitung utamanya adalah sektor perikanan, yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan berbagai pengolahan hasil perikanan, disamping itu juga mengandalkan sektor pariwisata, khususnya kegiatan wisata bahari, hal ini mengingat potensi wilayah laut Kepulauan Bangka Belitung yang mempunyai potensi dengan luas perairan teritorial mencapai 65.301 kilometer persegi dan merupakan kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 1.200 kilometer, sekitar 20 persen dari kawasan laut teritorial merupakan perairan karang. Namun dari potensi yang cukup potensial tersebut, di lihat dari persentase kontribusi pada sektor maupun Provinsi, masih sangat rendah, hal ini disebabkan masih rendahnya pemanfaatan yang sudah dikembangkan, sehingga hasil belum optimal, adalah kontribusi industri dan jasa kelautan belum sepenuhnya diserahkan pusat ke daerah. Sumberdaya kelautan dan perikanan di Provinsi Jambi merupakan potensi yang sangat besar bagi pembangunan perekonomian regional dan lokal. Untuk menjadikan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai kekuatan riil bagi pembangunan maka perlu dikelola dengan manajeman profesional dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan dengan analisis industri dan jasa kelautan, Daerah Provinsi Jambi mempunyai industri dan jasa kelautan yang ada di Provinsi Jambi ini memberikan dampak bagi pembangunan ekonomi daerah melalui APBD. Industri kelautan antara lain industri kapal/ perahu, industri peralatan dan perlengkapan kapal, industri perbaikan kapal, industri pemotongan kapal, industri pengalengan ikan, industri penggaraman/pengeringan ikan, industri pengasapan ikan, industri pembekuan ikan serta industri pengolahan dan pengawetan untuk ikan dan biota perairan lainnya dan Perikanan Keramba Ikan seperti Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
48
ikan Patin dan Ikan Nila. Sedangkan yang jasa kelautan di Provinsi Jambi meliputi Jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, Jasa angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, Jasa penyewaan kapal untuk angkutan perairan pantai dan samudera dengan operator, Jasa penarik dan pendorong pada perairan pantai dan samudera, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk penumpang, Jasa angkutan penyeberangan domestik untuk barang, Jasa penyewaan dari kapal penyeberangan domestik dengan operator, Jasa bongkar muat barang, Jasa bongkar muat kontainer, Jasa alat-alat pembantu navigasi, Jasa pendukung untuk angkutan perairan, Jasa operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), dan Jasa agen perjalanan serta Jasa asuransi angkutan kelautan, penerbangan dan asuransi angkutan lainnya. Namun kontribusi industri dan jasa kelautan ini jika dibandingkan dengan industri dan jasa dari sektor lain masih agak rendah yaitu sekitar dibawah 25%. Hal ini disebabkan belum maksimal/optimal dalam pengelolaan sumberdaya/potensi alam yang ada di laut karena keterbatasan dana dan sarana dan prasarana yang mendukung belum memadai terutama di industri perikanan tangkap serta sulitnya dalam pembuatan surat izin. Untuk pemberdayaan industri dan jasa kelautan yang ada, maka Pemerintah Daerah telah melakukan upaya-upaya pembenahan antara lain memberikan bantuan PAM (Pengawasan Nelayan dan Keramba); Mendirikan lembaga pendidikan bidang kelautan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kelautan baik kepada pemerintah selaku pengambil keputusan maupun kepada masyarakat/stakeholder terkait yang merupakan pelaku industri dan jasa kelautan dimana dari segi pengalaman sudah berpengalaman namun dari segi pendidikan/pengetahuan masih perlu ditingkatkan; Melaksanakan pemetaan klaster industri pengolahan perikanan tangkap dan pengembangan zona industri maritim; Mensosialisasikan kepada masyarakat tentang potensi sumberdaya alam di laut yang dapat meningkatkan perekonomian daerah maupun perekonomian negara; serta Memberikan bantuan dan perbaikan infrastruktur agar memadai dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan potensi/sumberdaya alam laut di sektor industri dan jasa kelautan. Secara geografis Provinsi Jawa Tengah diapit oleh 2 pelabuhan utama (Tanjung Perak dan Tanjung Emas), sektor pariwisata khususnya kegiatan wisata bahari dan sektor perikanan yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan merupakan kegiatan industri andalan bagi pembangunan dan keterlibatan masyarakat yang memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah Jawa Tengah, namun kontribusi ini masih sangat kecil kurang dari 25% dilihat dari potensi industri dan jasa yang ada. Untuk mendongkrak kontribusi bagi pembangunan ekonomi daerah, telah dilaksanakan usaha pemberdayaan industri dan jasa kelautan dengan Peningkatan mutu produk komponen perkapalan dan industri perkapalan, peningkatan rekayasa peralatan perkapalan, peningkatan produksi pengolahan ikan, mengusahakan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemanduan kapal-kapal dan memberikan jasa penundaan kapal laut, mengusahakan dermaga dan fasilitas lain untuk bertambat dan mengusahakan jasa terminal (peti kemas, general cargo, curah dan penumpang) dan usaha –usaha lainnya. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
49
Kegiatan industri andalan bagi masyarakat di Provinsi Jawa Timur dan memberikan kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah adalah sektor perikanan, yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan; Sektor pariwisata khususnya kegiatan wisata bahari; Sektor pelayaran nasional, penerapan asas cabotage, pembangunan armada dan pemberdayaan pelayaran rakyat; dan Industri perkapalan, konstruksi dan bangunan laut serta pantai dengan alasan bahwa semua sektor saling berkait, untuk atau dapat menghasilkan sesuatu secara maksimal, selain itu Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan cukup besar sektor pariwisata khususnya wisata bahari sangat mendukung, karena sektor tersebut merupakan tempat perputaran ekonomi sehingga secara tidak langsung memberikan dampak dan kontribusi bagi pemerintah daerah setempat. Sedangkan kegiatan industri di sektor energi dan sumberdaya mineral yang mengintensifkan eksplorasi dan eksploitasi dasar laut termasuk landas kontinen belum menjadi kegiatan idustri andalan bagi pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Kegiatan industri dan jasa maritim kelautan memberikan kontribusi ekonomi kurang lebih 25% dari jumlah keseluruhan PAD di Provinsi Jawa Timur, yang berarti cukup besar untuk menopang perekonomian bagi pembangunan wilayah Provinsi Jawa Timur memiliki laut yang luas dan letak geografis yang strategis. Sebagian besar instansi telah berupaya dalam rangka pemberdayaan industri dan jasa kelautan, salah satu upaya yang dilakukan adalah mengadakan rapat koordinasi dengan instansi terkait dalam meningkatkan industri dan jasa kelautan dan melakukan pembinaan pada industri-industri perikanan serta bantuan pengangkutan modal khususnya pada industri skala kecil seperti pengolahan ikan dll. Kegiatan industri andalan bagi pembangunan dan melibatkan peran serta masyarakat Provinsi Bali serta memberikan kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah adalah sektor perikanan, yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan; Sektor pariwisata khususnya kegiatan wisata bahari; Sektor pelayaran nasional, penerapan asas cabotage, pembangunan armada dan pemberdayaan pelayaran rakyat; dan Industri perkapalan, konstruksi dan bangunan laut serta pantai. Kegiatan ini sangat mampu menjadi sektor andalan dengan alasan bahwa Provinsi Bali mempunyai potensi perikanan laut yang cukup besar dan memiliki prospek yang baik untuk di kembangkan. Namun sektor energi dan sumberdaya mineral yang mengintensifkan eksplorasi dan eksploitasi dasar laut termasuk landas kontinen belum mampu menjadi industri andalan di Provinsi Bali; Kegiatan industri dan jasa maritim kelautan memberikan kontribusi ekonomi kurang dari 25% dari jumlah keseluruhan PAD di Provinsi Bali, dengan alasan bahwa selama ini masih didominasi oleh sektor industri pengolahan kayu dan batubara, selain itu pengelolaan sektor kelautan dna perikanan belum optimal dan belum pernah dilakukan penelitian tentang kontribusi industri dan jasa kelautan. Beberapa upaya telah dilakukan oleh instansi dan lembaga di Provinsi Bali antara lain : dengan memberikan peningkatan sarana dan prasarana penunjangakses ke pelabuhan, mengadakan penyuluhan bagi para pekerja industri kecil pengeringan ikan, galangan kapal rakyat dan pengendalian pencemaran lingkungan, melaksanakan pengerukan ambang suangai barito, melakukan pembinaan terhadap para pengusaha angkutan laut, tenaga bongkar muatan, pengawasan pembangunan kapal, melakukan pembinaan ke petani dan nelayan serta membuat terobosan program teknologi. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
50
Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari beberapa pulau besar dan pulau kecil, luas wilayah mencapai 47.349,90 km, yang terdiri dari 566 pulau. Secara geografis luas perairan laut Propinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 199.529 km dan belum temasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) dan memiliki garis pantai sepanjang 5.700 km. Kegiatan industri kelautan yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, industri perikanan sangat memberikan kontribusi perikanan yang sangat dominan dibanding sektor yang lain, sektor perikanan yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan, karena potensi perikanan di Nusa Tenggara Timur sangat potensial untuk kehidupan masyarakat dan menunjang pembangunan daerah, dalam meningkatkan sektor ini telah dibangun oleh pemerintah Provinsi NTT berupa 1 unit pelabuhan perikanan pantai di Tenau Kupang dan 6 unit Pangkalan Pendaratan Ikan masingmasing di Ende, Meumere, Kalabahi, Larantuka, Labuan Bajo dan Oeba di kota Kupang. Sedangkan untuk mendukung usaha budidaya ikan air tawar saat ini, dibangun Balai Benih Ikan (BBI) yang tersebar di Kabupaten Kupang (3 unit), TTS (2 unit), Belu (1 unit), Ende (2 unit), Ngada (2 unit), Manggarai (2 unit), Sumba Barat (2 unit), Sumba Timur (1 unit) dan Alor (1 unit). Khusus BBI sentral terdapat di 2 kabupaten yaitu BBI Noekele (Kab. Kupang) dan BBI Ruteng (Kab. Manggarai). Disamping itu sektor pelayaran nasional dengan penerapan asas cabotage, pembangunan armada dan pemberdayaan pelayaran rakyat juga merupakan andalan bagi pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun secara umum, kontribusi industri dan jasa kelautan belum cukup memberikan kontribusi pada pemerintahan Nusa Tenggara Timur, hal ini terlihat dari masih kecilnya persentase dalam menyumbang pendapatan daerah yang hanya kurang dari 25%. Selama ini upaya yang telah dilakukan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam mengembangkan dan memberdayakan industri dan jasa kelautan masih sangat kurang. Beberapa kegiatan industri yang terdapat di daerah Provinsi Kalimantan Barat, antara lain: Industri perkapalan seperti pembuatan galangan kapal dan kapal nelayan dengan menggunakan bahan baku kayu dan sebagian menggunakan bahan penolong besi. Pada kegiatan industri ini, sejauh ini dikerjakan di luar daerah bantaran Sungai Kapuas, namun masih dalam wilayah galian sehingga dapat digolongkan menjadi potensi industri dan jasa kelautan Provinsi Kalimantan Barat. Industri perikanan sangat diandalkan karena Provinsi Kalimantan Barat sangat berlimpah dengan beragam biota laut dan melibatkan masyarakat baik penangkapan ikan di Selat Karimata maupun budidaya ikan di sungai. Industri perikanan yang ada antara lain pengambilan hasil laut (ikan, ubur-ubur, dan lain-lain), budidaya perikanan (pengolahan hasil laut: udang air payau dan asin, ikan beku). Aktifitas industri ini termasuk industri dan jasa Kelautan yang penting di daerah Kalimantan Barat pada contohnya industri pengolahan hasil laut seperti penggaraman ikan banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar namun pengelolaannya masih menggunakan teknologi sederhana dan umumnya belum memiliki pengolahan limbah dan untuk budidaya perikanan yang sesuai dengan tata ruang pesisir/laut sehingga merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perlu dibangun industri pengelolaan hasil laut. Industri parawisata bahari seperti Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
51
industri wisata pantai, pulau dan hotel, pada kegiatan industri ini belum terkelola/ berkembang sevara signifikan di Provinsi Kalimantan barat maka aktifitas pariwisata perlu terus didorong. Industri kayu seperti kayu hulu dan playwood, kegiatan industri ini menjadi industri kelautan di Kalimantan Barat mengingat potensi kayu yang cukup baik. Industri pertambangan belum berperan secara maksimal dikarenakan pengelolaan yang belum optimal, seperti eksploitasi pertambangan yang kurang terkontrol dan kesadaran masyarakat masih rendah (PETI). Beberapa sumber tambang strategis lainnya seperti bouksit, kaolin dan batubara masih dalam tahap identifikasi potensi dan belum dilakukan eksplorasi. Sementara itu, potensi bauksit di Tayan telah diidentifikasi dan kemungkinan besar beberapa Tahun mendatang PT. ANTAM sudah mulai produksi, juga ada penambangan Zircon dan Bijih Besi di lepas pantai menjadi salah satu industri di daerah Provinsi Kalimantan Barat yang perlu disinergikan dengan potensi industri dan jasa Kelautan yang ada. Kegiatan industri andalan dalam menunjang pembangunan dan yang memberikan kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah yaitu sektor perikanan yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan, serta sektor lain yang merupakan sektor industri andalan dari Provinsi Kalimantan Barat yaitu sektor transportasi dan pelayaran karena yang menyebabkan berkembang tumbuh pesatnya sektor industri ini adalah kondisi geografis. Dalam pembangunan daerah Provinsi Kalimantan Barat, kegiatan industri dan jasa kelautan telah memberikan kontribusi kurang dari 25%. Hal ini disebabkan potensi industri dan jasa kelautan belum dimaksimalkan karena sampai saat ini kontribusi terbesar untuk pembangunan di provinsi ini masih pada sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan, sedangkan untuk mengangkut baru digunakan kapal sebagai jasa pengangkut penumpang dan barang. Dalam meningkatkan pemberdayaan industri dan jasa kelautan, sebagai upaya dari setiap instansi terkait melakukan berbagai hal atara lain dengan memberikan pelatihan-pelatihan teknis terhadap nelayan maupun pelatihan usaha pengolahan perikanan, perkapalan dan sebagainya, memfasilitasi pameran-pameran produk kelautan juga memberikan bantuan peralatan jika memungkinkan, peningkatan fasilitas sarana pendaratan kapal perikanan (Fishing Boat) pada beberapa kawasan sentral, pemberian sosialisasi peraturan perundangundangan bidang pelayaran dan industri perkapalan serta di sektor pariwisata perlu dilakukan pengembangan pulau-pulau kecil untuk wisata bahari. Tingginya pertumbuhan sektor perdagangan terutama ditunjang oleh tingginya pertumbuhan sub sektor perdagangan besar dan eceran. Di sektor jasa-jasa laju pertumbuhan yang tinggi lebih disebabkan oleh sektor pemerintahan umum yang mencapai pertumbuhan 9,39 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan sektor jasa-jasa itu sendiri. Sementara menurunnya pertumbuhan sektor angkutan dan komunikasi lebih disebabkan penurunan di sub sektor angkutan laut, sungai dan danau yang pertumbuhannya turun 13,90 persen. Kegiatan industri andalan bagi pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat Provinsi Kalimantan Timur dan memberikan kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah adalah sektor perikanan, yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
52
dan pengolahan hasil perikanan; sektor energi dan sumberdaya mineral yang mengintensifkan eksplorasi dan eksploitasi dasar laut termasuk landas kontinen; Sektor pariwisata khususnya kegiatan wisata bahari; Industri perkapalan, konstruksi dan bangunan laut serta pantai dan sektor pelayaran nasional, penerapan asas sabotage, pembangunan armada dan pemberdayaan pelayaran rakyat. Kegiatan tersebut mampu menjadi sektor andalan dengan beberapa alasan, antara lain : sebagian besar masyarakat Provinsi Kalimantan Timur tinggal di daerah pesisir dan banyak kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi di lepas pantai yang belum dioptimalkan. Kegiatan industri dan jasa kelautan mampu memberikan kontribusi ekonomi kurang dari 25% dari jumlah keseluruhan PAD di Provinsi Kalimantan Timur hal ini dianggap cukup tinggi dikarenakan banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang industri dan jasa kelautan, namun sayangnya beberapa jenis kegiatan belum dikembangkan secara profesional. Upaya-upaya dalam rangka pemberdayaan industri dan jasa kelautan yang telah dilakukan oleh instansi dan lembaga di Provinsi Kalimantan Timur, antara lain : dengan mendata jumlah industri dalangan kapal/jumlah pelabuhan, melakukan pembinaan, dan mem-berikan pelayanan jasa untuk lalu lintas komoditi perikanan berupa sertifikasi kesehatan ikan yang diangkut melalui jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk barang. Dari sejumlah kegiatan industri dan jasa di bidang maritim, sebagian besar kegiatan tersebut industri dan jasa maritim dapat dijadikan mata pencaharian masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan, antara lain pada kegiatan industri : kayu lapis, galangan kapal, pembekuan udang, pengelolaan hasil perikanan, selain itu terdapat kegiatan lain berupa docking kapal, kapal pengangkut bahan pokok dan pengangkut hasil tambang batubara, dan lain-lain. Implementasi kegiatan industri dan jasa kelautan memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi melalui APBD di Provinsi Kalimantan Selatan, khususnya yang berasal dari kegiatan industri galangan kapal, pembekuan udang dan pengeringan ikan, namun umumnya didominasi oleh kegiatan jasa angkutan, penyeberangan, bongkar muatan barang dan perjalanan. Kegiatan industri andalan bagi pembangunan dan melibatkan peran serta masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan serta memberikan kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah adalah sektor perikanan, yang meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan; Sektor pariwisata khususnya kegiatan wisata bahari; Sektor pelayaran nasional, penerapan asas sabotage, pembangunan armada dan pemberdayaan pelayaran rakyat; dan Industri perkapalan, konstruksi dan bangunan laut serta pantai. Kegiatan ini sangat mampu menjadi sektor andalan dengan alasan bahwa Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai potensi perikanan laut yang cukup besar dan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan. Namun sektor energi dan sumberdaya mineral yang mengintensifkan eksplorasi dan eksploitasi dasar laut termasuk landas kontinen belum mampu menjadi industri andalan di Provinsi Kalimantan Selatan; Kegiatan industri dan jasa maritim kelautan memberikan kontribusi ekonomi kurang dari 25% dari jumlah keseluruhan PAD di Provinsi Kalimantan Selatan, dengan alasan bahwa selama ini masih didominasi oleh sektor industri pengolahan kayu dan batubara, selain itu pengelolaan sektor Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
53
kelautan dan perikanan belum optimal dan belum pernah dilakukan penelitian tentang kontribusi industri dan jasa kelautan. Beberapa upaya telah dilakukan oleh instansi dan lembaga di Provinsi Kalimantan Selatan antara lain : dengan memberikan peningkatan sarana dan prasarana penunjang akses ke pelabuhan, mengadakan penyuluhan bagi para pekerja industri kecil pengeringan ikan, galangan kapal rakyat dan pengendalian pencemaran lingkungan, melaksanakan pengerukan ambang Sungai Barito, melakukan pembinaan terhadap para pengusaha angkutan laut, tenaga bongkar muatan, pengawasan pembangunan kapal, melakukan pembinaan ke petani dan nelayan serta membuat terobosan program teknologi. Kondisi wilayah perairan laut Provinsi Maluku kaya dengan aneka sumber daya hayati dan non hayati yang potensial dikembangkan sebagal penghasil devisa seperti jenis pelagis besar meliputi tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, jenis-jenis marlin, cucut, serta ikan dasar dan ikan karang. Jenis sumber daya kelautan lainnya yang dapat dikelola untuk kepentingan pembangunan daerah meliputi mineral, tenaga arus dan ombak serta ekosistem terumbu karang yang indah seperti Pulau Banda, dan Seram Timur. Melihat dari kondisi wilayah perairan laut Provinsi Maluku merupakan suatu wilayah kawasan industri karena didukung dengan keanekaragaman potensi sumberdaya alam laut yang tinggi. Kegiatan industri kelautan di Provinsi Maluku adalah industri kapal/perahu, perbaikan kapal, pengasapan ikan dan biota perairan lainnya, penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya, serta pembekuan ikan dan biota perairan lainnya. Sedangkan kegiatan jasa maritim yang terdapat di Provinsi Maluku antara lain adalah jasa angkutan perairan pantai dan samudera untuk penumpang, angkutan perairan pantai dan samudera lainnya untuk barang, angkutan penyeberangan domestik untuk penumpang yang menggunakan kapal motor penyeberangan dengan Sonase kecil dan motor tempel maupun ASDP berfungsi sebagai alat penyeberangan Jasa Apung (Doking), angkutan penyeberangan domestik untuk barang, bongkar muat barang, bongkar muat kontainer, pendukung untuk angkutan perairan, operasi kepelabuhan (diluar, bongkar muat barang), jasa agen perjalanan, dan jasa asuransi angkutan kelautan, serta jasa penerbangan dan asuransi angkutan lainnya. Dalam kegiatan industri dan jasa maritim di provinsi ini sangat melibatkan sebagian besar masyarakat karena dijadikan sebagai mata pencaharian karena merupakan sektor primadona dalam memberikan kontribusi terbesar pada APBD Provinsi Maluku dan memberikan dampak yang positif bagi pembangunan ekonomi. Kegiatan industri dan jasa maritim di daerah Provinsi Maluku tumbuh pesat serta merupakan mata pencaharian dari masyarakat daerah setempat karena di dukung oleh kondisi geografis yang ada dan merupakan Provinsi kepulauan yang memiliki wilayah laut yang lebih luas daripada wilayah daratan. Kegiatan industri di Provinsi Maluku yang menunjang pembangunan ekonomi daerah dan mampu memberikan kontribusi ekonomi bagi pemerintah daerah yaitu dari sektor perikanan meliputi kegiatan budidaya, penangkapan secara terkendali dan pengolahan hasil perikanan, serta sektor-sektor transportasi dan pelayaran, selain itu sektor pariwisata khususnya kegiatan wisata bahari; dan Industri perkapalan, konstruksi dan bangunan laut serta pantai. Pengaruh dan gejolak-gejolak sosial yang banyak terjadi di Daerah Maluku, sangat rnempengaruhi perilaku masyarakat Maluku, di mana terlihat mulai lunturnya rasa cinta kepada Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
54
Tanah Air dan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penanaman kembali nilai-nilai kebangsaan di masyarakat merupakan suatu keharusan baik melalui penataran-penataran maupun pendidikan bela negara. Dalam rangka pemberdayaan industri dan jasa kelautan nasional di daerah Provinsi Maluku termasuk kabupaten/kota adalah dengan melakukan koordinasi lintas sektor secara sinergis tentang penyusunan strategi kebijakan yang terkait dengan peningkatan dan pemberdayaan industri dan jasa kelautan. Dalam rangka pemberdayaan industri dan jasa kelautan di Provinsi Maluku, upaya yang dilakukan pihak Pemerintah Daerah adalah dengan meningkatkan kemampuan SDM yang ada baik dari segi keterampilan maupun penguasaan IPTEK khususnya di bidang kelautan juga dengan melakukan penelitian-penelitian tentang potensi sumberdaya laut dan pariwisata bahari. Saat ini juga dalam 1 tahun terakhir Pemerintah Daerah Maluku sedang melaksanakan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga angin bagi desa-desa pesisir sehingga dengan listrik ini dapat diberdayakan masyarakat dalam usaha budidaya rumput laut dan pengolahan ikan dalam upaya meningkatkan minat investor galangan kapal. Berdasarkan dengan analisis industri dan jasa kelautan, daerah Provinsi Papua mempunyai kendala yang menghambat dalam mengelola industri dan jasa kelautan antara lain : infrastruktur yang menunjang industri dan jasa kelautan kurang memadai; kemampuan/ keahlian SDM masih kurang dan belum difokuskan untuk dikembangkan dan mem-peroleh prioritas utama potensi laut belum terpetakan secara terpadu sehingga inter-pretasinya belum optimal; Industri yang terkait dalam bidang kelautan masih bersifat parsial sehingga prioritas pengembangan dan sinerginya belum dapat dilakukan dengan cepat; strategi penanganan potensi kelautan masih didominasi kegiatan yang berorientasi kontinen; potensi pantai, laut, sumber daya energi yang ada belum dikelola dengan optimal; kesulitan dalam dana/permodalan yang menghambat pengembangan bisnis yang berbasis laut; potensi budidaya ikan tangkap belum dimanfaatkan dengan tepat sehingga belum menjadi sektor primadona; strategi pengelolaan Industri belum terkait dengan kebijakan yang mantap sehingga masih sangat reaktif dan belum responsif produktif; informasi tentang potensi kelautan belum dapat dimiliki dan terdistribusi secara luas sehingga persepsi tentang resiko bisnisnya masih tinggi dan para peminat bisnis kelautan belum berani mengambil resiko yang sulit diperhitungkan; aspek legal dan kepastian perlindungan bisnis belum mendapat perhatiannya khususnya keamanan di laut; lingkungan industri belum memiliki daya tarik positif (perikanan, wisata, energi dan mineral) sehingga investor masih melihat dan menunggu kondisi yang kondusif; dan mengenai perhatian pendanaan prasarana yg terkait dengan Industri kelautan belum memadai (fasilitas kota pesisir, pelabuhan, jaringan jalan regional, telkom) sebagian daya tarik industri yang berbasis kelautan belum sebaik sektor lainnya; serta teknologi yang digunakan sebagian masih sederhana. Sedangkan tekonologi kelautan menuntut aplikasi teknologi tinggi dan masih memerlukan investasi dalam jumlah besar. 2.2.3 Isu dan Permasalahan Kegiatan industri dan jasa kelautan di wilayah Provinsi Sumatera Utara banyak terjadi pelanggaran, berbagai kegiatan seperti penangkapan ikan dengan pukat harimau yang Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
55
menggangu kegiatan nelayan tradisional, pelanggaran jalur penangkapan ikan, penangkapan ikan tanpa ijin, illegal logging, trafficking dan berbagai penyelundupan lainnya. Berbagai pelanggaran dan kendala yang terjadi dalam pembangunan di bidang kelautan ini disebabkan banyaknya instansi terkait yang melindungi illegal fishing dan minimnya sarana pengawasan di laut, masih tumpang tindihnya wewenang antar instansi, terjadinya kerancuan karena banyaknya peraturan perundang-undangan di laut, dan sampai saat ini kepastian hukum belum ada sehingga investor enggan menanamkan modal, oleh karena itu dengan adanya kendala ini sulit menarik investor di bidang kelautan. Faktor SDM, sarana dan prasarana, pendanaan dan penegakkan hukum susah untuk dapat berjalan secara simultan dan sinergi, saling menopang dan melengkapi. Upaya yang telah dilakukan pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam mengatasi berbagai kendala yang ada, diantaranya dengan memperbanyak patroli di laut dan sertifikasi kapal ikan agar dapat menjadi jaminan pada bank, meningkatkan sarana dan prasarana walau dalam jumlah terbatas karena keterbatasan kemampuan keuangan daerah, memberikan penyuluhan pemanfaatan dari potensi laut dan budidaya air payau atau tambak, mengadakan pembinaan dan pelatihan dan bantuan peralatan serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait, serta meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan kapal di selat malaka, khususnya terhadap muatan barang. Kegiatan pariwisata bahari dapat dikategorikan dalam kelompok industri dan jasa kelautan, namun wisata bahari tidak termasuk dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 75/M/SK/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 mengatur 13 industri maritim. Kegiatan industri dan jasa dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan masih banyak terjadi pelanggaran ketentuan hukum terutama pelanggaran pencurian ikan (Illegal Fishing) dan penangkapan ikan yang masih menggunakan alat tangkap dan bom. Di Provinsi Sumatera Selatan masih terjadi berbagai kendala bagi pembangunan industri dan jasa kelautan terutama masalah pendanaan atau pembiayaan serta sarana dan prasarana sebagai penunjang, hal ini disebabkan, karena masih rendahnya kepercayaan dan minat perbankan dalam menunjang industri dan jasa kelautan, seperti pemberian kredit bunga ringan, dan masih minimnya sarana dan prasarana serta belum ada dasar hukum yang memadai sebagai pedoman penegakan hukum di laut. Dan hasil penelitian menunjukkan, bahwa Provinsi Sumatera Selatan belum optimal dalam mengatasi kendala ini. Hal-hal yang menjadi kendala atau hambatan bagi pembangunan industri dan jasa kelautan di Provinsi Jambi yaitu lemahnya penegakan hukum sehingga banyak terjadi kegiatankegiatan yang melanggar ketentuan hukum antara lain terjadinya penangkapan ikan secara ilegal di Nipah Panjang dan Tanjung Timur serta pembuangan limbah industri karet, pasir dan emas ilegal di sepanjang DAS Batanghari; kurangnya pengetahuan SDM tentang industri dan jasa kelautan baik dari penegak hukum maupun pelaku industri dan jasa kelautan; terjadi konflik pemanfaatan ruang; banyak terjadi pencemaran lingkungan khususnya di wilayah perairan; masih lemahnya pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dan belum memadainya sarana/prasarana karena terbatasnya dana pemerintah serta peraturan perundang-undangan yang belum terfokus karena terjadi tumpang tindih peraturan sebab ego sektoral antar instansi. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
56
Sementara itu di masa datang untuk mendukung pergerakan barang dan jasa sangat perlu dibangun dan dikembangkan jalur angkutan sungai serta dermaga dan pos pengawas untuk memperlancar angkutan sungai, sehingga dapat mengurangi kepadatan angkutan jalan darat yang umumnya dilalui kendaraan bertonase tinggi yang menjadi penyebab utama kerusakan jalan di Provinsi Jambi. Saat ini 12 dermaga telah dibangun untuk melakukan bongkar muat barang, antara lain dermaga Ponton Jambi, dermaga Muara Bulian, dermaga Muara Tembesi, dermaga Tebo, dermaga Pauh, dermaga Sarolangun, dermaga Suak Kandis, dermaga Sungai Puding, dermaga Rantau Rasau, dermaga Nipah Panjang, dermaga Teluk Buan, dan dermaga Sungai Lokan. Di samping dermaga, untuk menjaga kelancaran dan ketertiban dalam kegiatan lalu lintas angkutan sungai, maka terdapat dua pos pengawas lalu lintas sungai di Provinsi Jambi, yaitu Pos Pengawas LLASD Rengas dan Pos Pengawas LLASD Sengeti. Melihat berbagai masalah hambatan/kendala yang ada, maka lembaga/instansi terkait berupaya untuk mengatasi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana serta meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang handal di sektor kelautan khususnya bidang industri dan jasa kelautan dengan membuka lembaga pendidikan yang berbasis keunggulan bidang kelautan, melaksanakan penerapan hukum dan aturan sesuai denga UU yang berlaku, mensinkronisasi program strategi pengembangan klaster industri perikanan dan sarana penunjangnya. Kegiatan wisata bahari tidak termasuk dalam kelompok industri dan jasa kelautan. Dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah Provinsi Jawa Tengah lebih banyak pelanggaran terkait dengan peraturan pengelolaan lingkungan hidup (pencemaran hasil industri) yaitu air limbah yang dibuang ke laut dan mencemari tambak penduduk di kabupaten Kendal, Cilacap dan Kota Semarang yang sanagt merugikan masyarakat nelayan. Di Provinsi Jawa Tengah masih terjadi berbagai kendala bagi pembangunan industri dan jasa kelautan terutama masalah pendanaan atau pembiayaan serta SDM sebagai penunjang, hal ini disebabkan, karena masih rendahnya kepercayaan dan minat perbankan dalam menunjang industri dan jasa kelautan, seperti pemberian kredit bunga ringan, dan masih minimnya sarana dan prasarana serta belum ada dasar hukum yang memadai sebagai pedoman penegakan hukum di laut. Untuk itu telah dilaksanakan upaya dalam mengatasi berbagai kendala di atas dengan industri pengolahan hasil kelautan dengan pendanaan APBD/N, tupoksi yang menangani industri transportasi, menciptakan kawasan pelabuhan yang terbuka bagi kepentingan umum dan masyarakat sekitarnya, kerjasama antara pihak pengelola pelabuhan, pengguna jasa, pemerintah Kab/Kota dan sekitarnya, memanfaatkan lahan-lahan yang masih terbengkalai dan belum terolah menjadi kawasan hijau yang berfungsi sebagai areal penghijauan dan hutan kota yang juga sebagai paru-paru kota yang saat ini keberadaanya mulai berkurang dan penanggulangan terhadap permasalahan yang dapat mengganggu kesuburan tanah, kebersihan lingkungan dan kelancaran operasional di lingkungan pelabuhan. Beberapa isu dan permasalahan yang terkait dengan kewenangan dan kebijakan industri serta jasa kelautan antara lain Departemen Perindustrian tidak mengatur mengenai wisata bahari, yang lebih banyak mengatur tentang mengenai wisata bahari adalah Departemen Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
57
Kebudayaan dan Pariwisata. Sehingga di anggap bahwa wisata bahari termasuk ke dalam kegiatan industri kelautan. Kegiatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku industri baik investor, pengusaha maupun pabrik industrinya khususnya yang terjadi di Banyuwangi yaitu kasus sengketa antara nelayan andon. Selain itu terdapat pelanggaran pembongkaran alat tanggap dan pencemaran limbah/buangan pabrik terhadap perairan yang menyebabkan kematian biota air yang di budidayakan. Beberapa faktor dianggap menjadi kendala/hambatan bagi pembangunan industri dan jasa kelautan di Provinsi Jawa Timur antara lain berturut-turut keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia kelautan dan kurangnya pendanaan/pembiayaan bagi pembangunan dan peningkatan kegiatan industri dan jasa kelautan, minimnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri kelautan, lemahnya penegakan hukum di laut, peraturan perundang-undangan belum memadai, dengan alasan bahwa berdasarkan UU RI No. 32 Tahun 2004 pelabuhan merupakan kewenangan pemerintah provinsi namun pada kenyataannya pelabuhan di Indonesia di BUMN yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Beberapa upaya telah dilakukan oleh dinas terkait untuk mengatasi kendala/hambatan diatas antara lain dalam mengusulkan suatu kegiatan berdasarkan skala prioritas sebagaimana berkaitan guna dalam pemanfaatannya, pemeliharaan kerusakan pantai dengan pelatihan Marine pollution, pengendalian pencemaran laut seperti tumpahan minyak, oli dll. Beberapa isu dan permasalahan terkait dengan kewenangan dan kebijakan industri dan jasa kelautan berdasarkan jawaban responden dapat dijabarkan sebagai berikut bahwa Departemen Perindustrian tidak mengatur mengenai wisata bahari, yang lebih banyak mengatur tentang mengenai wisata bahari adalah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Telah terjadi banyak kegiatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku industri baik investor, pengusaha maupun pabrik industrinya antara lain pembangunan PELSUS dan pencemaran. Beberapa faktor dianggap menjadi kendala/hambatan bagi pembangunan industri dan jasa kelautan di Provinsi Bali antara lain minimnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri kelautan, keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia kelautan, kurangnya pendanaan/pembiayaan bagi pembangunan dan peningkatan kegiatan industri dan jasa kelautan, lemahnya penegakan hukum di laut, peraturan perundangundangan belum memadai. Hal ini didukung dengan berbagai macam alasan, salah satunya adalah belum tersedianya sekolah khusus perikanan dan kelautan padahal Provinsi Bali memiliki potensi yang sangat besar. Beberapa upaya telah dilakukan oleh instansi terkait untuk meminimalisasi hambatan tersebut diatas antara lain mengadakan koordinasi dengan dinas pariwisata kabupaten/kota serta para stakeholders kepariwisataan, selain itu dengan menarik pendapatan dari pelindo sebagai kontribusi kepada provinsi dalam rangka membiayai pembangunan, membuat beberapa peraturan daerah dan peningkatan sumber daya manusia, aparatur serta pemberdayaan masyarakat.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
58
Hal-hal yang menjadi kendala/hambatan bagi pembangunan industri dan jasa kelautan antara lain keterbatasan sumber daya manusia yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, minimnya tenaga terampil di bidang kelautan dan perikanan, selain itu keterbatasan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembangunan industri dan jasa kelautan dan keterbatasan permodalanserta minimnya dukungan perbankan bagi kegiatan perindustrian khususnya di bidang kelautan. Adapun permasalahan pokok dalam rangka pembangunan daerah Nusa Tenggara Barat yang terkait dengan peningkatan industri dan jasa kelautan dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendahnya penurunan jumlah pengangguran dan belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Pengembangan sumberdaya perikanan belum optimal dikarenakan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan yang ilegal (illegal fishing) serta belum optimalnya usaha perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Kemampuan pembangunan dalam memanfaatkan IPTEK juga masih rendah khususnya di sektor produksi. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya produktivitas serta minimnya kandungan teknologi (teknologi pengolahan produk akhir) dalam kegiatan ekspor. Kegiatan perdagangan antar wilayah masih berjalan belum efisien. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan impor cenderung di atas pertumbuhan ekspor. Sementara itu, produk ekspor daerah masih didominasi produk hasil pertanian non olahan (komoditi primer) dengan fluktuasi harga cukup besar. Produk ekspor demikian kurang memiliki daya saing, dan akibat lebih lanjut menjadikan nilai tambah yang dihasilkan sangat terbatas. Disamping itu, kurangnya fasilitas ekspor menyebabkan terbatasnya akses pengusaha kecil dan menengah terhadap pasar. Akibatnya, tidak terpenuhinya kuantitas dan kualitas produk yang dibutuhkan pasar ekspor. Dalam hal ini untuk meningkatkan nilai tambah produk komoditi primer, perlu untuk memperkuat teknologi pasca panen. Kedua, kualitas SDM daerah masih rendah. Pembangunan sektor pendidikan belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Tahun 2003, rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 6,03 tahun (nasional 7,1 tahun). Penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf masih sekitar 10,91 %. Pada saat yang sama, Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 thn sebesar 92,05% masih lebih rendah dari APS Nasional sebesar 96,42%. Angka Putus Sekolah anak usia 7-12 tahun semakin meningkat dari 1,31 pada tahun 2001 menjadi 2,12 pada tahun 2003. Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh ketersediaan tenaga pendidik yang belum memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas, kesejahteraan tenaga pendidik yang masih rendah, fasilitas belajar belum mencukupi, dan biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamatkan agar dana pendidikan selain gaji pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD, serta mewajibkan pemerintah daerah menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Namun dalam kenyataannya, anggaran Pembangunan Nusa Tenggara Barat bidang Pendidikan, Kebudayaan, Kepercayaan terhadap Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
59
TYME dan Pemuda dan Olahraga pada tahun 2002 hanya 13,47 % dan menurun menjadi 11,24 % tahun 2004. Disamping itu, Pemerintah Daerah juga belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara cuma-cuma. Selain masalah pendidikan, kualitas SDM yang rendah juga disebabkan oleh derajat kesehatan dan status gizi masyarakat. Angka kematian bayi masih cukup tinggi. Meskipun menurun dibandingkan 5 tahun sebelumnya, namun angka kematian tahun 2003 sebesar 47 per 1.000 kelahiran hidup masih berada di atas angka nasional yakni 35 per 1000 kelahiran. Angka Kematian Balita yang cukup tinggi yaitu 63 per 1000 kelahiran hidup lebih dikarenakan status gizi balita yang semakin semakin buruk. Persentase Balita yang tergolong berstatus gizi buruk bertambah dari 11,78 tahun 2002 menjadi 13,81 tahun 2003. Ketiga, kualitas SDM daerah yang rendah juga dipengaruhi oleh kemampuan dalam mengelola SDA dan sumberdaya alam laut. Permasalahan pokok yang dihadapi adalah pengelolaan SDA yang masih bertumpu pada prioritas ekonomi sebagai sumber devisa dan modal pembangunan. Sementara aspek ekologi, sosial, dan kelestariannya seringkali diabaikan. Akibatnya, eksploitasi berlebih mengakibatkan semakin kritisnya potensi SDA. Kritisnya kondisi SDA lebih karena pemanfaatannya yang justru saling berseberangan. Artinya pemanfaatan satu bagian SDA akan mengakibatkan terabaikannya sumber daya lainnya. Selain itu, Nusa Tenggara Barat masih menghadapi permasalahan lingkungan yang cukup berat dan perlu diantisipasi dengan baik. Ini dibuktikan dengan cukup banyaknya lahan kritis yakni mencapai 5.141.270 hektar, degradasi hutan, pembalakan hutan secara liar (illegal logging) yang sudah menjarah hutan-hutan lindung, kebakaran hutan, polusi asap, kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai), banjir, kekeringan, eksploitasi pertambangan yang kurang terkontrol, adanya penambangan emas tanpa izin (PETI), yang berdampak pada kerusakan lingkungan yang cukup parah. Permasalahan yang terjadi di daerah ini adalah pada keter-sediaan air pada musim penghujan dan musim kemarau yang tidak merata. Di musim kemarau, sering terjadi mendangkalnya alur pelayaran dan akibatnya transportasi sungai menjadi ter-ganggu. Sebaliknya, di musim penghujan transportai darat menjadi terganggu. Di musim kemarau juga terjadi instruisi air asin dan berdampak pada menurunnya penyediaan air bersih yang berkualitas. Keempat, ketimpangan pembangunan wilayah masih tampak terutama antar wilayah pesisir, wilayah antar propinsi, wilayah antar negara (kawasan perbatasan), dan wilayah tengah (termasuk wilayah perkotaan). Disamping itu, ketimpangan pembangunan antara perkotaan dengan perdesaan juga terjadi, terutama kesenjangan dalam kualitas pelayanan, ekonomi dan sosial. Ketimpangan antar wilayah demikian berpotensi memunculkan konflik, utamanya disebabkan oleh lemahnya supremasi hukum yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi, sosial dan tersumbatnya saluran komunikasi politik. Konsekuensi dari semua kondisi tersebut akan memperlambat aktivitas/pertumbuhan ekonomi di antara kawasan. Sementara itu, pembangunan wilayah strategis dan cepat tumbuh juga belum banyak memberikan perubahan yang berarti, dikarenakan keterbatasan informasi dan teknologi pengembangan produk ungggulan, komitmen akan pengembangan produk unggulan yang belum optimal dan konsisten, rendahnya respon pelaku usaha lokal terhadap hasil-hasil penelitian untuk
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
60
mengembangkan kawasan dan produk-produk unggulan, serta terbatasnya akses petani dan pelaku usaha terhadap infrastruktur penunjang. Ketertinggalan pembangunan perdesaan juga disebabkan lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan, adanya permasalahan eksternal dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing dan nyaman. Persoalan demikian diperparah lagi dengan rendahnya tingkat pelayanan sosial, rendahnya kualitas SDM perdesaan, aset yang dikuasai masyarakat perdesaan sangat terbatas, serta rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya produktif. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil, serta kurangnya keterkaitan kegiatan sektor pertanian (primer) dengan sektor industri pengolahan. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti masih rendahnya kapasitas institusi dan aparatur daerah, terbatas-nya ketersediaan SDM aparatur yang berkualitas dan profesional, kurangnya upaya mendorong prakarsa, kreativitas, peran serta masyarakat dan pemberdayaan masyarakat masih belum optimal, masih rendahnya kemampuan Pemerintah Provinsi dalam menciptakan sinergisitas dan kerjasama antar daerah Kabupaten/Kota, lemahnya institusi pemerintahan daerah dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta masih rendahnya kapasitas keuangan daerah. Adapun permasalahan yang dihadapi dalam upaya untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa di daerah saat ini adalah: Masih belum terwujudnya komitmen untuk menjadikan prinsip-prinsip good governance sebagai salah satu pijakan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah, masih lemahnya pengawasan dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, masih lemahnya penataan kelembagaan dan ketata laksanaan, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia aparatur sebagai pilar utama penyelenggaraan pemerintahan, masih rendahnya tingkat pelayanan publik, dan masih belum memadainya sarana dan prasarana pemerintahan yang menopang pelaksanaan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kelima, pengembangan wilayah Nusa Tenggara Barat tidak dapat dilepaskan dari daya dukung dan potensi pengembangan sistem prasarana wilayahnya. Dalam konteks pengembangan wilayah propinsi, sistem prasarana wilayah yang perlu dikaji daya dukungnya adalah sistem transportasi, sumberdaya air, sistem komunikasi dan sistem pelayanan energi listrik. Banyaknya infrastruktur dasar yang tidak tersedia dengan baik yang menyebabkan rakyat di propinsi ini tidak siap dalam menghadapi perubahan dan tantangan masa depan. Pengembangan infrastruktur terutama jalan, air bersih dan ketenagalistrikan mengalami kendala yang serius akibat sulitnya investasi dan terbatasnya daya beli masyarakat. Keterbatasan peningkatan kapasitas menyebabkan biaya pengadaan semakin mahal. Pembangunan infrastruktur mendatang dihadapkan pada terbatasnya kemampuan pemerintah untuk menyediakan dana pembangunan. Pada sebagian infrastruktur, pemerintah masih bertanggungjawab terhadap pembangunan dan pemeliharaannya, misalnya pembangunan jalan, jaringan irigasi, air bersih dan fasilitas sanitasi di perdesaan, pelabuhan dan bandar Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
61
udara pada daerah-daerah yang belum maju, serta listrik perdesaan. Pada sebagian lain, penyediaan dan pembangunan beberapa jenis infrastruktur sebenarnya dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta, seperti jalan tol, bandar udara komersial, pelabuhan, samudera, pembangkit tenaga listrik, dan telekomunikasi. Secara umum, kondisi jaringan jalan terus mengalami penurunan. Jalur pelayaran sungai memiliki peranan ganda dikaitkan dengan jalur transportasi jalan raya. Di satu sisi, pelayaran sungai merupakan pelengkap sistem transportasi jalan raya dan di sisi lain pelayaran sungai ini berperan sebagai alternatif lain bagi transportasi darat. Keenam, dengan wilayah yang luas dan geografis yang berbatasan langsung dengan Negara lain memungkinkan munculnya kerawanan-kerawanan kriminalitas di perbatasan. Disamping itu, bukan rahasia umum lagi jika dikatakan keamanan di Nusa Tenggara Barat belum sepenuhnya terjamin, terutama kemungkinan konflik antar kelompok/antar etnis, masalah merebaknya gangguan keamanan dan ketertiban yang bersumber dari dalam daerah maupun yang datang dari luar. Masalah lain juga sering munculnya gangguan keamanan laut, dengan sering terjadinya konflik dengan nelayan asing (illegal fishing) yang merambah ke wilayah perairan Nusa Tenggara Barat. Selanjutnya, masih diperlukan Intensifikasi pencegahan dan pengungkapan kasus kejahatan konvensional, kejahatan narkoba, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan gangguan kamtibmas di Nusa Tenggara Barat. Ketujuh, kurangnya kesadaran hukum masyarakat serta perangkat dan peraturan per-UndangUndangan yang ada belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan peng-hormatan serta perlindungan hukum dan HAM. Disamping itu, penegakan hukum dan pelaksanaan penegakan hukum belum mampu berbuat banyak untuk memperkecil tindakan-tindakan Ilegal loging, pencurian sumberdaya laut, kehutanan, pertambangan serta pemberantasan tindakan kriminal lainnya, termasuk pelanggaran lintas batas antar negara yang diikuti tindakan kriminalistik lainnya. Adanya struktur kelembagaan hukum adat yang berbedabeda dan belum proporsional bahkan terjadi benturan dengan kelembagaan hukum positif, dikhawatirkan akan menghambat investor masuk ke daerah Nusa Tenggara Barat dan mempertebal fenomena etnisitas. Persoalan pelanggaran HAM akibat dari kerusuhan antar etnis yang belum selesai, dan terlanggarnya hak-hak keperdataan para pengungsi maupun belum adanya kepastian hukum terhadap status tanah di tempat relokasi yang sudah ditempati. Kedelapan, masih adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok atau golongan, atau seseorang terhadap kelompok atau golongan, atau orang lainnya. Disamping itu, masih ditemukannya berbagai masalah yang belum dapat dituntaskan, seperti pelanggar HAM tidak dapat dihukum (imunitas), tidak berfungsinya institusi –institusi yang berwenang dan wajib menegakkan HAM, penegakkan hukum yang tidak adil, tidak tegas, dan diskriminatif, penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Negeri selama kurun waktu 2001-2004 tidak secara optimal terinformasikan secara luas kepada masyarakat, dan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan tindakan pelanggaran hukum lainnya seringkali tidak tuntas. Kesembilan, adanya permasalahan dalam kaitannya untuk meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di daerah seperti: belum tertatanya kehidupan politik, baik yang berada pada suprastruktur politik maupun yang berada di tataran infrastruktur politik di daerah, belum Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
62
terselenggaranya secara baik proses politik yang demokratis dan transparan, dan belum terbangunnya budaya politik yang berlandaskan pada etika politik dan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan lain adalah masih mengentalnya fenomena etnisitas atau politik identity dalam proses rekrutmen politik di daerah dan belum terbangunnya capacity building menuju demokrasi lokal. Penanganan yang tidak sistematis terhadap berbagai permasalahan-permasalahan yang dipaparkan tersebut sering melahirkan persoalan baru, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kelembagaan, maupun keamanan yang membuat pemecahan masalah menjadi kian rumit. Permasalahan perlu ditangani secara sistematis dan berkelanjutan yang sering membutuhkan jangka waktu yang panjang. Sementara itu rakyat cenderung mengharap dan ingin melihat suatu hasil yang dapat dinikmati secara langsung dalam jangka pendek. Oleh karena itu upaya pemecahan permasalahan-permasalahan yang bersifat mendesak dan yang berkembang dewasa ini, haruslah tetap memiliki perspektif dan konsistensi kebijakan dengan upaya jangka panjang. Pembangunan perdagangan di Propinsi Nusa Tenggara Barat di arahkan untuk menunjang peningkatan produksi dan memperlancar distribusi sehingga mampu mendukung upaya pemerataan dan pengembangan usaha, dan peningkatan ekspor non migas dengan memanfaatkan perkembangan ekonomi nasional, regional ataupun global. Kegiatan wisata bahari dapat dikategorikan ke dalam kelompok industri dan jasa kelautan, disamping usaha penangkapan dan budidaya serta industri perikanan tersebut diatas, potensi sumber daya kelautan menyajikan keindahan kehidupan bawah air, hamparan terumbu karang banyak dijumpai, yang merupakan habitat beragam jenis karang, ikan karang dan ikan hias. Terumbu karang terbentang hampir disepanjang pantai utara Pulau Flores sampai Pulau Alor, potensi terumbu karang ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata bahari, beberapa lokasi yang telah dikembangkan sebagai objek wisata bahari antara lain kawasankawasan Pulau Komodo, Riung, Maumere, Pulau Rote dan Pulau Alor. Dalam kegiatan industri dan jasa kelautan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur banyak terjadi pelanggaran ketentuan hukum, seperti terkait pencemaran lingkungan hidup yang banyak dilakukan pelaku industri dan jasa kelautan. Dalam pembangunan kelautan khususnya Provinsi Nusa Tenggara Timur banyak mengalami berbagai kendala seperti, keterbatasan sumberdaya manusia, masih kurangnya sarana dan prasarana, penegakkan hukum yang masih lemah, peraturan perundang-undangan yang masih tumpang tindih serta belum didukung pendanaan, dengan keterbatasan faktor-faktor di atas, sehingga pembangunan industri dan jasa kelautan belum maksimal. Dengan berbagai kendala tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti melakukan pengembangan hasil kelautan dengan pendanaan APBD/N, menciptakan kawasan pelabuhan yang terbuka bagi kepentingan umum dan masyarakat sekitarnya, kerjasama antara pihak pengelola pelabuhan, pengguna jasa, pemerintah Kabupaten/Kota dan sekitarnya, namun upaya tersebut masih dirasa kurang. Beberapa hal yang menjadi kendala/hambatan bagi pembangunan industri dan jasa kelautan di Provinsi Kalimantan Barat khususnya di sektor perikanan, contoh hasil olahan ikan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
63
tradisional, berpotensi untuk diekspor. Namun, hingga saat ini belum banyak yang berminat mengembangkan pengolahan ikan secara tradisional tersebut untuk diekspor. Pengolahan yang ada saat ini masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan lokal, sehingga potensi pasar ekspor hasil olahan ikan tradisional belum dimanfaatkan secara maksimal. Kalaupun sekarang ini ada yang mengekspor hasil olahan ikan tradisional, itu dilakukan oleh pengepul, bukan pemilik usaha pengolahan ikan tradisional. Tidak berkembangnya usaha pengolahan ikan tradisional, antara lain disebabkan budaya masyarakat Indonesia yang selama ini kurang menghargai hasil olahan ikan tradisional. Masyarakat lebih menghargai dan senang mengkonsumsi hasil olahan ikan yang modern, seperti ikan dalam kaleng. Apalagi, kalau itu merupakan produk luar negeri atau impor. Masyarakat juga masih mengutamakan hasil olahan ikan pabrikan. Ikan nomor satu atau kualitas utama digunakan untuk bahan baku di pabrik atau untuk diekspor. Selain permasalahan di atas yang menjadi kendala dalam pembangunan industri dan jasa kelautan yaitu kualitas SDM yang tersedia masih relatif kurang memadai karena kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi dunia industri. Hal tersebut terutama disebabkan oleh ketersediaan tenaga pendidik yang belum memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas, kesejahteraan tenaga pendidik yang masih rendah, fasilitas belajar belum mencukupi, dan biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai; infrastruktur yang menunjang industri dan jasa kelautan belum mendukung serta masih kurangnya dana/permodalan dalam pembangunan industri dan jasa keluatan di Provinsi Kalimantan Barat karena terbatasnya dana APBD serta terjadi tumpang tindih peraturan di sektor kelautan dan sektor-sektor lain seperti sektor pertambangan. Selain itu, Kalimantan Barat masih menghadapi permasalahan lingkungan yang cukup berat dan perlu diantisipasi dengan baik. Ini dibuktikan dengan cukup banyaknya lahan kritis yakni mencapai 5.141.270 hektar, degradasi hutan, pembalakan hutan secara liar (illegal logging) yang sudah menjarah hutan-hutan lindung, kebakaran hutan, polusi asap, kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai), banjir, kekeringan, eksploitasi pertambangan yang kurang terkontrol, adanya penambangan emas tanpa izin (PETI), yang berdampak pada kerusakan lingkungan yang cukup parah. Permasalahan yang terjadi di daerah ini adalah pada ketersediaan air pada musim penghujan dan musim kemarau yang tidak merata. Di musim kemarau, sering terjadi mendangkalnya alur pelayaran dan akibatnya transportasi sungai menjadi terganggu. Sebaliknya, di musim penghujan transportai darat menjadi terganggu. Di musim kemarau juga terjadi instruisi air asin dan berdampak pada menurunnya penyediaan air bersih yang berkualitas. Ketimpangan pembangunan wilayah masih tampak terutama antar wilayah pesisir, wilayah antar propinsi, wilayah antar negara (kawasan perbatasan), dan wilayah tengah (termasuk wilayah perkotaan). Disamping itu, ketimpangan pembangunan antara perkotaan dengan perdesaan juga terjadi, terutama kesenjangan dalam kualitas pelayanan, ekonomi dan sosial. Ketimpangan antar wilayah demikian berpotensi memunculkan konflik, utamanya disebabkan oleh lemahnya supremasi hukum yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi, sosial Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
64
dan tersumbatnya saluran komunikasi politik. Konsekuensi dari semua kondisi tersebut akan memperlambat aktivitas/pertumbuhan ekonomi di antara kawasan. Sementara itu, pembangunan wilayah strategis dan cepat tumbuh juga belum banyak memberikan perubahan yang berarti, dikarenakan keterbatasan informasi dan teknologi pengembangan produk ungggulan, komitmen akan pengembangan produk unggulan yang belum optimal dan konsisten, rendahnya respon pelaku usaha lokal terhadap hasil-hasil penelitian untuk mengembangkan kawasan dan produk-produk unggulan, serta terbatasnya akses petani dan pelaku usaha terhadap infrastruktur penunjang. Ketertinggalan pembangunan perdesaan juga disebabkan lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan, adanya permasalahan eksternal dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing dan nyaman. Persoalan demikian diperparah lagi dengan rendahnya tingkat pelayanan sosial, rendahnya kualitas SDM perdesaan, aset yang dikuasai masyarakat perdesaan sangat terbatas, serta rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya produktif. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil, serta kurangnya keterkaitan kegiatan sektor pertanian (primer) dengan sektor industri pengolahan. Untuk mengatasi hambatan dan kendala ini maka sebagai upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melakukan pembangunan prasarana pelabuhan umum dan pelabuhan khusus melalui APBD maupun APBN, melakukan rapat-rapat interdep, mendatangkan tenaga ahli dari daerah lain yang lebih mampu untuk menjadi narasumber/pelatihan, serta sosialisasi peraturan dan penegakan hukum dengan menerapkan reward dan punishment. Dengan wilayah yang luas dan geografis yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak (Malaysia) memungkinkan munculnya kerawanan-kerawanan kriminalitas di perbatasan. Disamping itu, bukan rahasia umum lagi jika dikatakan keamanan di Kalimantan Barat belum sepenuhnya terjamin, terutama kemungkinan konflik antar kelompok/antar etnis, masalah merebaknya gangguan keamanan dan ketertiban yang bersumber dari dalam daerah maupun yang datang dari luar. Masalah lain juga sering munculnya gangguan keamanan laut, dengan sering terjadinya konflik dengan nelayan asing (illegal fishing) yang merambah ke wilayah perairan Kalbar. Selanjutnya, masih diperlukan Intensifikasi pencegahan dan pengungkapan kasus kejahatan konvensional, kejahatan narkoba, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan gangguan kamtibmas di Kalimantan Barat. Beberapa isu dan permasalahan mengenai kebijakan industri dan jasa kelautan antara lain kegiatan wisata bahari seharusnya termasuk ke dalam kegiatan industri kelautan. Kegiatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku industri baik investor, pengusaha maupun pabrik industrinya antara lain penemuan kapal penangkap ikan asing di perairan Balikpapan. Beberapa faktor dianggap menjadi kendala dan hambatan bagi pembangunan industri dan jasa kelautan di Provinsi Kalimantan Timur antara lain minimnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri kelautan, keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia kelautan, kurangnya pendanaan/pembiayaan bagi pembangunan dan peningkatan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
65
kegiatan industri dan jasa kelautan, lemahnya penegakan hukum di laut, peraturan perundang-undangan belum memadai dengan beberapa alasan, antara lain pengurusan perijinan skala nasional masih kewenangan pusat sehingga waktu peng-urusannya masih relatif lama, selain itu kurang apresiatif dari pemerintah dan masyarakat terhadap peluang perkembangan industri dan jasa di Provinsi Kalimantan Timur. Beberapa upaya telah dilakukan oleh instansi terkait untuk meminimalisasi kendala dan hambatan tersebut diatas antara lain perlu ada pelumpuhan kewenangan dalam bentuk dekonsentrasi kepada provinsi, menyebarluaskan informasi dan data peluang investasi dalam sektor perikanan dan kelautan. Beberapa isu dan permasalahan terkait dengan kewenangan dan kebijakan industri dan jasa kelautan berdasarkan jawaban responden dapat dijabarkan sebagai berikut bahwa Departemen Perindustrian tidak mengatur mengenai wisata bahari, yang lebih banyak mengatur tentang mengenai wisata bahari adalah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Berdasarkan pernyataan tersebut, sebagian besar responden menganggap bahwa kegiatan wisata bahari termasuk ke dalam kegiatan industri kelautan. Umumnya responden pernah membaca atau mendengar adanya kegiatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku industri baik investor, pengusaha maupun pabrik industrinya antara lain pembangunan PELSUS dan pencemaran. Beberapa faktor dianggap menjadi kendala/hambatan bagi pembangunan industri dan jasa kelautan di Provinsi Kalimantan selatan antara lain minimnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri kelautan, keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia kelautan, kurangnya pendanaan/pembiayaan bagi pembangunan dan peningkatan kegiatan industri dan jasa kelautan, lemahnya penegakan hukum di laut, peraturan perundang-undangan belum memadai. Hal ini didukung dengan berbagai macam alasan, salah satunya adalah belum tersedianya sekolah khusus perikanan dan kelautan padahal Provinsi Kalimantan Selatan memiliki potensi yang sangat besar. Beberapa upaya telah dilakukan oleh instansi terkait untuk meminimalisasi hambatan tersebut diatas antara lain mengadakan koordinasi dengan dinas pariwisata kabupaten/kota serta para stakeholders kepariwisataan, selain itu dengan menarik pendapatan dari pelindo sebagai kontribusi kepada provinsi dalam rangka membiayai pembangunan, membuat beberapa peraturan daerah dan peningkatan sumber daya manusia, aparatur serta pemberdayaan masyarakat. Permasalahan yang seringkali muncul di wilayah perairan Provinsi Maluku banyak terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku industri dan jasa kelautan seperti adanya pencemaran laut karena membuang limbah minyak ke laut oleh PLN dan kapal-kapal yang melalui perairan Provinsi Maluku serta masih banyak terjadi illegal fishing di wilayah laut Maluku namun karena sarana dan prasarana terbatas sangat sulit untuk di tangani masalah ini serta pelanggaran hukum dari segi administrasi. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi karena dipicu oleh belum maksimalnya dalam pembuatan Peraturan Daerah yang mencakup perlindungan dan pengamanan dalam memanfaatkan sumberdaya laut yang ada di Provinsi Maluku. Provinsi Maluku mempunyai kendala yang menghambat pengelolaan kegiatan industri dan jasa kelautan antara lain infrasturktur penunjang kegiatan industri dan jasa kelautan kurang Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
66
memadai; kemampuan/keahlian SDM masih terbatas dan belum difokuskan pada pengembangan potensi kelautan belum terpetakan secara terpadu sehingga interpretasinya belum optimal ; Industri yang terkait dalam bidang kemaritiman masih bersifat parsial sehingga prioritas pengembangan dan sinerginya belum dapat dilakukan dengan cepat; strategi penanganan potensi maritim masih didominasi kegiatan yang berorientasi kontinen (daratan); potensi pantai, laut, sumber daya energi yang ada belum dikelola dengan optimal; kesulitan dalam dana/permodalan yang menghambat pengembangan bisnis yang berbasis maritim; potensi budidaya ikan tangkap belum di manfaatkan dengan tepat sehingga belum menjadi sektor primadona; strategi pengelolaan Industri belum terkait dengan kebijakan yang mantap sehingga masih sangat reaktif dan belum responsif produktif; informasi tentang potensi maritim belum dapat dimiliki dan terdistribusi secara luas sehingga persepsi tentang resiko bisnisnya masih tinggi dan para peminat bisnis kemaritiman belum berani mengambil resiko yang sulit diperhitungkan; aspek legal dan kepastian perlindungan bisnis belum mendapat perhatiannya khususnya keamanan di laut; lingkungan industri belum memiliki daya tarik positif (perikanan, wisata, energi dan mineral) sehingga investor masih melihat dan menunggu kondisi yang kondusif; dan mengenai perhatian pendanaan prasarana yg terkait dengan Industri maritim belum memadai (fasilitas kota pesisir, pelabuhan, jaringan jalan regional, telkom) sebagian daya tarik industri yang berbasis maritim belum sebaik sektor lainnya; serta teknologi yang digunakan sebagian masih sederhana. Sedangkan tekonologi kemaritiman menuntut aplikasi teknologi tinggi dan masih memerlukan investasi dalam jumlah besar. Untuk mengatasi hambatan dan kendala dalam mengelola dan memanfaatkan industri dan jasa kelautan, menurut responden sangat dibutuhkan suatu lembaga/instansi yang berkompeten serta perlu adanya peningkatan kualitas SDM Maritim melalui Diklat terutama dalam Penyajian informasi IPTEK kelautan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, peningatan serta penyiapan sarana dan prasarana yang memadai guna mengelola sumberdaya kelautan dalam mendukung pembangunan daerah Maluku, dan juga sangat dibutuhkan penyiapan perangkat lunak dan penyiapan modal, pembentukan pos-pos polair di wilayah perairan dan pengawasan pulau terluar serta menerapkan asas sabotage untuk meningkatkan peran industri pelayaran nasional dalam memanfaatkan pangsa muatan dalam negeri. Ini juga dalam rangka mempersiapkan Provinsi Maluku untuk menjadi Provinsi Kepulauan. Sampai saat ini kemampuan pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana perumahan layak dan murah bagi penduduk bagi penduduk Papua yang berpendapatan rendah masih sangat terbatas. Terbatasnya kemampuan pemerintah ini menjadi pemicu menurunnya kualitas kawasan perumahan yang dihuni oleh masyarakat berpendapatan rendah. Menurunnya kualitas lingkungan perumahan dan permukiman ini khususnya di daerah perkotaan merupakan permasalahan yang perlu diantisipasi ke depan. Karena kondisi kawasan perumahan seperti inilah pada tahap berikutnya berkembang menjadi kawasan kumuh baru. Disamping masalah perumahan, masalah penanganan persampahan dan drainase perlu jadi perhatian ke depan. Hal disebabkan karena cakupan penanganan persampahan di kawasan perkotaan di Provinsi Papua masih sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan pencemaran lingkungan akibat meningkatnya jumlah sampah dan akan berpengaruh pada kesehatan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
67
lingkungan dan derajat kesehatan masyarakat. Kawasan kumuh ini perlu ditata sekaligus dengan perkembangan daerah pesisir Provinsi Papua guna mendukung perkembangan wilayah industri dan jasa kelautan Provinsi Papua. Sampai saat ini peran armada angkutan darat di Provinsi Papua sudah sangat menurun, bahkan cukup banyak armada angkutan darat tidak melayani rute rutinnya lagi terutama dari angkutan antar provinsi. Keadaan ini terjadi disamping sarana jalan darat yang banyak yang rusak sehingga perjalanan darat tidak menyenangkan lagi dan butuh waktu yang lama juga tidak terlepas dari kalah bersaingnya dengan angkutan udara yang harga tiketnya relatif lebih murah. Kondisi ini khususnya pada angkutan udara walaupun dapat menyediakan pelayanan yang terjangkau, namun disisi lain akan mematikan usaha angkutan darat berikut rantai ekonomi yang dilaluinya. Disamping masalah yang disebabkan oleh krisis ekonomi, pembangunan prasarana transportasi mengalami kendala sejak pelaksanaan desentralisasi yang berpengaruh pada pembiayaan pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana transportasi. Hal ini karena terbatasnya dana pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang masih tumpang tindih. 2.2.4 Hukum dan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan kebijakan yang dimuat dalam surat keputusan Menteri Perindustrian nomor 75 tahun 1995, yang mengatur tentang industri maritim, namun belum mengatur tentang industri pariwisata bahari. Pemahaman akan Asas Cabotage yang diatur dalam Inpres nomor 5 tahun 2005 tentang pemberdayaan pelayaran nasional, sangatlah lemah, sebagian besar responden tidak tahu akan kebijakan tersebut, dan menurut responden implementasinya tidak signifikan, dan belum berpengaruh apa-apa, yang dibutuhkan armada yang memadai artinya permodalan pengadaan armada dan para pengguna jasa kepelabuhan utamanya bidang pelayaran pada belum memahami apa yang diatur dalam Inpres nomor 5 tahun 2005 tersebut. Mengenai implementasi dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menumbuhkan komplikasi permasalahan, menurut responden sebaiknya kewenangan pengelolaan sumberdaya laut diberikan kepada pemerintah Provinsi, khususnya mengenai pelimpahan wewenang dekonsentrasi pada sub sektor laut belum diwujudkan dalam produk hukum yang ada masih sentralistis, sehingga realisasi undang-undang tersebut belum menunjukan kewenangan daerah yang sepenuhnya diserahkan oleh pemerintah pusat, oleh karena itu perlu ada aturan yang jelas dan tegas untuk mengatur tentang kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi dan pemerintah pusat. Kebijakan yang mengatur kegiatan industri dan jasa kelautan dipandang daerah Provinsi Sumatera Utara masih bersifat sektoral, masih terkesan sentralistis, hal ini terlihat karena dalam pemanfaatan sumberdaya laut masih tinggi ego sektoralnya, belum ada koordinasi yang baik antar instansi. Banyak kebijakan yang bersifat lokal selama ini pengaturannya masih terbatas dan parsial belum komprehensif, sehingga peraturan dan kebijakan yang ada mengenai industri kelautan belum mengakomodasi kebutuhan instansi terkait di Provinsi Sumatera Utara, maka manfaat yang dirasa dalam pembangunan kelautan belum begitu dirasa oleh masyarakat. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
68
Dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, terkait kegiatan industri dan jasanya masih banyak terjadi pelanggaran yang sangat klasik, seperti Illegal Loggin, Illegal Fishing, pencemaran lingkungan, dan terjadi banyak penyelundupan BBM, Elektronik, dan lain-lain baik eksport maupun impor. Sosialisasi Inpres No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional di Provinsi Sumatera Selatan sudah sangat baik dan mengetahui tentang Inpres tersebut, bahkan Inpres tersebut sudah disambut baik sebagai rujukan daerah dalam pemberdayaan industri pelayaran, namun implementasinya yang masih mengalami kendala, karena belum ada dukungan dari sektor perbankan, dan mengenai Asas Cabotage belum berjalan dengan baik, karena masih banyak kapal yang berbendera asing yang bebas beraktifitas di wilayah perairan Indonesa. Mengenai ke 13 (tiga belas) industri maritim yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 75/M/SK/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 sudah dianggap cukup berkaitan dengan potensi industri dan jasa kelautan. Dampak negatif yang terjadi dari implemtasi pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, bahwa dengan adanya kewenangan daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya laut, sehingga yang terjadi banyak daerah yang kaya akan sumberdaya laut memanfaatkan bahkan berusaha mengurus semua hal dan yang terjadi seolah-olah terjadi pengkavlingan laut oleh daerah. Kebijakan dalam kegiatan industri yang ada di daerah Provinsi Sumatera Selatan masih sektoral. Dan di wilayah Provinsi Sumatera Selatan masih terjadi banyak pelanggaran seperti pencurian ikan (illegal fishing), penyelundupan-penyelundupan dan sering terjadinya pencemaram lingkungan. Industri maritim di Provinsi Jambi perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan potensi industri dan jasa kelautan di daerah tetapi yang menjadi permasalahan saat ini yaitu mengenai benturan kepentingan antar instansi terkait contoh seperti kegiatan kapal penangkap ikan yang ilegal ditangkap oleh TNI AL sedangkan dalam kewenangannya ada di tangan ADPEL dan masih banyak permasalahan lainnya. Agar lebih memahami dan mengerti tentang Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional maka perlu disosialisasikan secara terus menerus ke daerah-daerah agar para birokrat dan masyarakat stakeholders. Pengaruh dari implementasi Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, sangat terasa di daerah seperti armada kapal lokal telah termanfaatkan di dalam industri pelayaran di daerah serta memberi kesempatan atau peluang kepada perusahaan pelayaran nasional untuk dapat berkembang dengan baik. Dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Untuk menghindari permasalahan yang ada di daerah akibat adanya UU ini maka disarankan kepada pemerintah pusat terlebih dahulu mensosialisasikannya kepada semua daerah karena dampak dari pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 ini yaitu terdapat permasalahan tentang kesiapan daerah seperti perubahan administrasi, belum siapnya SDM yang ada, dan belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini juga terjadi karena adanya benturan kepentingan dan tumpang tindih kebijakan antar instansi/lembaga. Namun dengan adanya UU tersebut menjadi koreksi dan perbaikan dari UU No.22 Tahun 1999 tetapi perlu peraturan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
69
pelaksanaan yang disesuaikan dengan kondisi daerah serta Pemerintah Daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengawasi sendiri daerahnya untuk percepatan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang ada. Provinsi Jambi sudah ada kebijakan lokal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Jambi dalam rangka meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam melalui sektor-sektor seperti sektor pelayaran, perkapalan, perikanan, dan perdagangan yaitu Perda tentang Penyajian Hasil Perikanan (masih direvisi), PP No.69 tentang Kepelabuhanan dan PP No.82 tentang Perairan. Namun UU yang ada sifatnya masih bersifat sektoral dan belum mengatur tentang penetapan sanksi hukum terhadap pelanggaran sehingga dalam mengakomodasi kepentingan industri masih sangat kurang dan belum terkoordinasi dan menyebabkan pertumbuhan industri dan jasa kelautan belum secara signifikan dan banyak terjadi pelanggaran seperti illegal logging, illegal fishing, penyeludupan, pencemaran lingkungan karena banyak pertambangan ilegal dan sulitnya dalam mengurus perijinan usaha. Beberapa industri yang perlu diatur dalam kebijakan diantaranya adalah industri perahu rakyat, wisata bahari dan perlindungan serta penangkapan ikan dan sarana bantu tangkap. Sedangkan Implementasi Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional mengalami kendala hal ini disebabkan kurangnya dukungan dari sektor perbankan dalam mendukung Asas Cabotage. Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, namun tidak sedikit pula yang belum paham, sehingga masyarakat daerah Provinsi Jawa Tengah mengharap-kan perlu adanya realisasi Undang-undang tersebut, tanpa kesalahan persepsi dalam implementasi dan dibuatnya aturan tambahan baik PP, Perpres, Kepmen yang lebih mengarah kepada operasional dari aturan tersebut, agar pemerintah daerah memiliki pedoman dan gambaran yang jelas dan pasti. Banyak kebijakan lokal berupa Perda yang berkaitan dengan sektor pelayaran, seperti Perda No.14 Tahun 2003 tentang Retribusi penyelenggaraan perhubungan dan telekomunikasi, Perda No. 19 Tahun 2003 tentang penyelenggaraan perhubungan dan telekomunikasi, dan sebagian kebijakan yang ada sudah mengakomodasi kepentingan industri instansi dinas perhubungan, tapi masih belum mengakomodasi kepentingan petambak atau kapal penangkap ikan. Kebijakan yang ada di Jawa Tengah sudah dianggap sinergis bagi semua sektor/dinas, seperti perhubungan laut dan Pekerjaan Umum. Kebijakan dalam kegiatan industri yang ada di daerah Provinsi Jawa Tengah masih sektoral. Dan di wilayah Provinsi Jawa Tengah masih terjadi banyak pelanggaran seperti pencurian ikan (illegal fishing), penyelundupan-penyelundupan dan sering terjadinya pencemaran lingkungan. Belum ada kegiatan industri kelautan lainnya selain sebagaimana yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 75/M/SK/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 mengatur 13 industri maritim. Asas Cabotage yang merupakan pengangkutan barang dagangan dan penumpang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya dalam negara Republik Indonesia hanya dilakukan dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional belum namun beberapa diantaranya telah paham mengenai Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
70
pentingnya asas cabotage dan menyarankan agar pemerintah menambah jumlah armda kapal laut berbendera Indonesia. Mengenai hak pengelolaan wilayah laut kepada daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, namun tampaknya hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif, berdasarkan UU No.32/2004 daerah kota/kabupaten lebih banyak menikmati hasil/ potensi Sumber Daya Alam yang ada di daerah tersebut, pada dasarnya semua harus di serahkan ke daerah dan pusat sebagai pembina, karena pembagian wilayah perairan menurut UU No.32 thn 2004 telah menimbulkan dampak daerah menjadi egosistris tanpa peduli dengan adanya NKRI, perlunya mekanisme kepada masyarakat terhadap UU No.32 pasal 18, tersebut agar tidak terjadi pengkaplingan wilayah laut oleh nelayan, perlu dilakukan sosialisasi pada masyarakat maupun aparat pada masing-masing sektor secara terpadu, kewenangan pengelolaan wilayah laut di daerah masih belum di kelola secara optimal terutama masalah konservasi yang banyak terjadi akibat dari dekradasi lingkungan, kurang sosialisasi terhadap masyarakat sehingga banyak berbenturan antara masyarakat yang satu dengan yang lain dalam membuat instansi yang di limpahkan ke daearah/provinsi. Belum ada peraturan daerah/kebijakan pemerintah provinsi Jawa Timur yang berkaitan dengan sektor pelayaran seperti kepelabuhanan, perkapalan, perikanan, perdagangan antar wilayah/daerah. Peraturan daerah mengenai kegiatan industri yang telah ada saat ini belum bersinergi dengan sektor lain bahkan belum mengakomodasi kepentingan industri pada beberapa instansi, khususnya untuk pemanfaatan masyarakat di wilayah pesisir yang mengakibatkan lintas sektor belum mengacu pada tata masyarakat terpadu secara tumpang tindih. Dinas-dinas terkait telah memanfaatkan kebijakan yang berkaitan dengan industri kelautan, salah satunya adalah peraturan daerah provinsi Jawa Timur No.4 Tahun 2005, namun di sinyalir bahwa kegiatan pencemaran lingkungan, Illegal Logging (Penyelundupan kayu), Penyelundupan lainnya (BBM, Elektronik, dll) baik eksport maupun impor dan Illegal Fishing (Penangkapan ikan yang tidak sah) masih terjadi di Provinsi Jawa Timur. Belum ada kegiatan industri kelautan lainnya selain yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 75/M/SK/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 mengatur 13 industri maritim, namun SK tersebut telah lama diganti menjadi SK No.07/M.140/PER/5/2005. Mengenai Asas Cabotage yang merupakan pengangkutan barang dagangan dan penumpang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya dalam negara Republik Indonesia hanya dilakukan dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional belum banyak diketahui oleh sebagian besar responden. Terkait dengan hak pengelolaan wilayah laut kepada daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, namun tampaknya hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif, sebagian besar telah mengetahui mengenai UU tersebut dan berpendapat bahwa Undang-undang tersebut cukup baik namun dalam implementasinya masih ditemui banyak kendala. Beberapa peraturan daerah/kebijakan pemerintah provinsi Bali yang berkaitan dengan sektor pelayaran seperti kepelabuhanan, perkapalan, perikanan, perdagangan antar wilayah/daerah antara lain : perda mengenai pelabuhan khusus di kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru. Peraturan daerah Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
71
mengenai kegiatan industri yang telah ada saat ini dianggap oleh sebagian besar responden masih bersifat sektoral dan belum mengakomodasi kepentingan industri pada beberapa instansi. Beberapa responden menyatakan bahwa dinas-dinas terkait belum merasakan manfaat kebijakan yang berkaitan dengan industri kelautan, antara lain karena dianggap belum memiliki kontribusi ke daerah dari sektor industri kelautan, dan kurangnya sosialisasi kebijakan atau Undang-undnag dimaksud. Di sinyalir bahwa kegiatan Illegall logging (Penyelundupan kayu), Illegal Fishing (Penangkapan ikan yang tidak sah), penyelundupan lainnya (BBM, Elektronik, dll) baik eksport maupun impor dan pencemaran lingkungan, penambangan liar serta pengurusan perijinan usaha yang tidak kondusif masih terjadi di Provinsi Bali. Peraturan daerah/kebijakan pemerintah Nusa Tenggara Barat yang berkaitan dengan sektor pelayaran seperti kepelabuhanan, perkapalan, perikanan, perdagangan antar wilayah/aerah yaitu Perda No. 8 tahun 2001 tentang tugas dan fungsi bagi pelayaran jasa ke mitra kerja, Perda No. 10 tahun 2001 tentang pendapatan asli daerah yang sah dan Perda No. 7 tahun 2001, dan kebijakan memerlukan pelayanan yang baik kepada investor yang mau menanamkan modalnya di sektor pelayaran. Pelanggaran yang condong banyak terjadi terkait industri dan jasa kelautan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah pelanggaran Illegal Fishing dan Pencemaran Lingkungan yang dilakukan oleh pelaku industri. Pemahaman akan mengenai Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, namun implementasi Inpres tersebut terhadap pembangunan daerah pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, belum dirasakan masyarakat, hal ini menurut responden, karena sektor perbankan belum mendukung, begitu juga dengan Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masih terjadi perbedaan pemahaman akan kewenangan yang diamanatkan pada Undang-Undang tersebut, dan menurut responden perlu ada tambahan untuk mengatasi permasalahan dengan mengeluarkan kebijakan sebagai turunan dari Undang-undang tersebut, seperti PP, Perpres, Kepmen yang lebih menekankan operasional aturan tersebut, agar pemerintah daerah memiliki pedoman dan frame yang jelas dan pasti. Selama ini kebijakan baik bersifat nasional maupun lokal yang dikeluarkan pemerintah dirasa masih bersifat sektoral, pelaksanaannya masih mengalami tumpang tindih, karena sama-sama mempunyai kepentingan dan kewenangan, sehingga yang menonjol ego sektoralnya yang pada akhirnya pembangunan tidak efektif dan efisien. Dan kebijakan yang ada baik berupa Undang-undang maupun kebijakan daerah masih belum begitu mengakomodasi kepentingan industri dan jasa instansi di daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam rangka meningkatkan dan memberdayakan industri dan jasa kelautan di Provinsi Kalimantan Barat, Pemerintah daerah membuat strategi kebijakan yang terkait dengan industri kelautan serta mengeluarkan kebijakan lokal antara lain : Dinas Perindustrian Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Pontianak antara lain: Keputusan Walikota Pontianak No. 446 dan 447 Tahun 2002, tentang Pembentukan Komisi AMDAL, UKL dan UPL; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata antara lain: Peraturan Gubernur Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
72
Kalimantan Barat No. 137 Tahun 2004, tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Kalimantan Barat, dan Keputusan Gubernur No. 83 Tahun 2006, tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi Kalimantan Barat. PP No. 69 Tahun 2001, KM No. 53, 54, 55 dan 56 Tahun 2002 serta Perda No. 4 Tahun 2001 tentang Retribusi Tempat Pendaratan Kapal dan Perda No. 6 Tahun 2002 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti masih rendahnya kapasitas institusi dan aparatur daerah, terbatasnya ketersediaan SDM aparatur yang berkualitas dan profesional, kurangnya upaya mendorong prakarsa, kreativitas, peran serta masyarakat dan pemberdayaan masyarakat masih belum optimal, masih rendahnya kemampuan Pemerintah Provinsi dalam menciptakan sinergisitas dan kerjasama antar daerah Kabupaten/Kota, lemahnya institusi pemerintahan daerah dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta masih rendahnya kapasitas keuangan daerah. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat serta perangkat dan peraturan perUndangUndangan yang ada belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan hukum dan HAM. Disamping itu, penegakan hukum dan pelaksanaan penegakan hukum belum mampu berbuat banyak untuk memperkecil tindakan-tindakan Ilegal loging, pencurian sumberdaya laut, kehutanan, pertambangan serta pemberantasan tindakan kriminal lainnya, termasuk pelanggaran lintas batas antar negara yang diikuti tindakan kriminalistik lainnya. Belum ada kegiatan industri kelautan lainnya selain yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 75/M/SK/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 mengatur 13 industri maritim, namun SK tersebut telah lama direvisi dengan SK No.07/M.140/PER/5/2005. Sedangkan mengenai Asas Sabotage yang merupakan peng-angkutan barang dagangan dan penumpang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya dalam negara Republik Indonesia hanya dilakukan dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional telah banyak di dengar namun belum dipahami oleh sebagian besar responden. Mengenai hak pengelolaan wilayah laut kepada daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, oleh sebagian besar responden telah mengetahui mengenai UU tersebut dan berpendapat bahwa Undang-undang tersebut cukup baik namun dalam implementasinya masih ditemui banyak kendala. Beberapa peraturan daerah/kebijakan pemerintah provinsi Kalimantan Timur yang berkaitan dengan sektor pelayaran seperti kepelabuhanan, perkapalan, perikanan, perdagangan antar wilayah/daerah antara lain : perda mengenai penangkapan ikan dan larangannya bagi kapal berskala besar untuk memasuki wilayah penangkapan kapal ikan kecil. Peraturan daerah mengenai kegiatan industri yang telah ada saat ini dianggap masih bersifat sektoral dan belum mengakomodasi kepentingan industri kelautan dengan alasan bahwa tiap-tiap sektor cenderung membuat Undang-undang tersendiri dan perdanya mengacu pada Undang-undang tersebut. Beberapa responden menyatakan bahwa dinas-dinas terkait Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
73
belum merasakan manfaat kebijakan yang berkaitan dengan industri kelautan. Kegiatan Illegall logging (Penyelundupan kayu), Illegal Fishing (Penangkapan ikan yang tidak sah), penyelundupan lainnya (BBM, Elektronik, dll) baik eksport maupun impor dan pencemaran lingkungan, penambangan liar serta pengurusan perijinan usaha yang tidak kondusif masih terjadi di Provinsi Kalimantan Timur. Belum ada kegiatan industri kelautan lainnya selain yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 75/M/SK/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 mengatur 13 industri maritim, namun SK tersebut telah lama diganti menjadi SK No.07/M.140/PER/5/2005. Mengenai Asas Cabotage yang merupakan pengangkutan barang dagangan dan penumpang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya dalam negara Republik Indonesia hanya dilakukan dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional belum banyak diketahui oleh sebagian besar responden. Terkait dengan hak pengelolaan wilayah laut kepada daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, namun tampaknya hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif, sebagian besar telah mengetahui mengenai UU tersebut dan berpendapat bahwa Undang-undang tersebut cukup baik namun dalam implementasinya masih ditemui banyak kendala. Beberapa peraturan daerah/kebijakan pemerintah provinsi Kalimantan Selatan yang berkaitan dengan sektor pelayaran seperti kepelabuhanan, perkapalan, perikanan, perdagangan antar wilayah/daerah antara lain : perda mengenai pelabuhan khusus di kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru. Peraturan daerah mengenai kegiatan industri yang telah ada saat ini dianggap oleh masih bersifat sektoral dan belum mengakomodasi kepentingan industri pada beberapa instansi. Dinas-dinas terkait belum merasakan manfaat kebijakan yang berkaitan dengan industri kelautan, antara lain karena dianggap belum memiliki kontribusi ke daerah dari sektor industri kelautan, dan kurangnya sosialisasi kebijakan atau Undang-undnag dimaksud. Di sinyalir bahwa kegiatan Illegall logging (Penyelundupan kayu), Illegal Fishing (Penangkapan ikan yang tidak sah), penyelundupan lainnya (BBM, Elektronik, dll) baik eksport maupun impor dan pencemaran lingkungan, penambangan liar serta pengurusan perijinan usaha yang tidak kondusif masih terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 75/M/SK/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 mengatur 13 industri maritim dan industri maritim lainnya yang perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan potensi industri dan jasa kelautan di daerah Provinsi Maluku antara lain Industri bioteknologi kelautan, jasa pariwisata Kelautan dan pelayaran antar pulau. Mengenai asas cabotage perlu disosialisasikan oleh instansi terkait daerah Provinsi Maluku kepada masyarakat stakeholders sehingga dapat dipahami dengan baik dan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional terimplementasikan di daerah dengan baik. Mengenai penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Provinsi Maluku belum sesuai daerah yang memiliki kondisi wilayah laut yang luas karena hal ini merugikan daerah yang laut sangat luas seperti daerah Provinsi Maluku karena pengelolaan di berikan hanya sedikit mengakibatkan laut pedalaman tidak sepenuhnya menjadi kewenangan pengelolaan daerah yang berkepentingan, penerapan UU No. 32 Tahun 2004 Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
74
sangat merugikan provinsi-provinsi yang memiliki laut yang luas seperti Provinsi Maluku karena dalam mengelola sumberdaya alam yang ada kewenangan Pemerintah Provinsi yang ada di berikan hanya mengakibatkan laut pedalaman tidak sepenuhnya menjadi kewenangan pengelolaan. Namun pada UU tersebut pembagian kewenangan sudah baik tapi diharapkan dalam pemberian kewenangan memberikan ijin seperti dalam memberikan ijin untuk penangkapan ikan di daerah yang memiliki laut lebih besar di harapkan agar dapat memberikan ijin ABK kapal-kapal 25-30 GT sehingga daerah mendapatkan bagian yang besar. Industri maritim lainnya yang perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan potensi industri dan jasa kelautan di daerah adalah pengaturan baku mutu limbah mengenai industri yang terdapat di wilayah pesisir. Industri dan jasa maritim yang terdapat di daerah Provinsi Papua, hampir semua telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan potensi industri dan jasa kelautan di daerah. Tetapi yang menjadi permasalahan saat ini yaitu mengenai benturan kepentingan contoh seperti kegiatan kapal penangkap ikan yang ilegal ditangkap oleh TNI AL sedangkan dalam kewenangannya ada di tangan ADPEL dan masih banyak permasalahan lainnya. Pernah mendengarnya tetapi belum mengetahui tentang apa yang diaturnya, oleh karena itu perlu disosialisasikan secara terus menerus ke daerah-daerah agar para birokrat dan masyarakat stakeholders lebih memahami dan mengerti tentang Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Pengaruh dari implementasi Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, sangat terasa di daerah seperti armada kapal lokal telah termanfaatkan di dalam industri pelayaran di daerah. Dalam pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat permasalahan tentang kesiapan daerah seperti perubahan administrasi, belum siapnya SDM yang ada, dan belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Untuk menghindari permasalahan yang ada di daerah akibat adanya UU ini maka disarankan kepada pemerintah pusat terlebih dahulu mengsosialisasikannya. Kebijakan lokal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam melalui sektor-sektor seperti sektor pelayaran, perkapalan, perikanan, dan perdagangan. Untuk implementasi tentang kebijkan lokal tersebut biasanya di instansi-instansi terkait dengan bidang kelautan. Selama ini kebijakan lokal yang ada berupa peraturan daerah terjadi benturan kepentingan dalam kewenangan antar sektor, disebabkan karena di daerah belum mempunyai suatu grand strategi dalam pembangunan kelautan yang akan menjadi acuan dari program-program pada instansi/sektor terkait. Dalam peraturan perundang-undangan yang ada sebenarnya sudah jelas didalam pengaturannya yang terkait dengan industri, tetapi karena adanya ego sektoral antar instansi maka terjadi tumpang tindih dalam kewenangannya. 2.2.5 Kelembagaan Dari segi kelembagaan, peranan dinas perindustrian dan pemerintahan daerah untuk mengatur kegiatan industri dan jasa maritim khususnya oleh pemerintahan Provinsi dan kabupaten adalah penting, dan dalam pelaksanaanya perlu membentuk suatu lembaga khusus Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
75
di bawah koordinasi yang lebih memungkinkan oleh pemerintah Provinsi atau pemerintah pusat atau departemen terkait yang berwenang dalam satu atap yang berfungsi mengkoordinasikan untuk menghindari adanya tumpang tindih tugas dan fungsi antar instansi, karena keterkaitan lembaga yang melaksanakan kegiatan industri dan jasa maritim sangat luas, sehingga perlu dikoordinasikan, masing-masing instansi punya legalitas kewenangan, yang selama ini koordinasi sulit diwujudkan, agar tidak terjadi tumpang tindih tugas dan fungsi dan bisa bersinergi dalam mengoptimalkan pembangunan kelautan. Dalam pembangunan industri berbasis kelautan sangat perlu adanya keputusan bersama agar terjadi keseragaman dan tidak terjadi tumpang tindih, karena selama ini implementasi di lapangan terlalu tinggi ego sektoralnya, dengan adanya kesepakatan bersama ini diharapkan terjalin koordinasi yang baik untuk mensinergikan diantara instansi yang terkait dalam kegiatan dimaksud agar terdapat kesatuan bahasa dalam pengelolaannya, sehingga nantinya hasil yang didapat maksimal. Dinas Perindustrian maupun pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan sebagai kepanjangan Departemen Perindustrian, dianggap penting dalam mengatur industri maritim daerahnya, dan dalam koordinasinya sudah cukup berjalan dengan baik. Namun dalam mewujudkan pembangunan industri berbasis kelautan, dianggap perlu, karena dengan adanya SKB Menteri diharapkan adanya pembangunan industri kelautan yang sinergi dan lebih terarah, sehingga pem-bangunan lebih efektif dan efisien dan nantinya hasil yang diharapkan lebih optimal. Untuk mengatur kegiatan industri maritim khususnya di Provinsi/Kabupaten melalui produk kebijakan atau peraturan-peraturan yang terkait dengan industri maritim, keberadaan Dinas Perindustrian maupun Pemerintah Daerah sangat diperlukan. Demikian juga dalam upaya untuk menghindari benturan kepentingan dalam menghasilkan kebijakan yang terkait dengan industri dan jasa maritim maka suatu lembaga/instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasikan kegiatan industri dan jasa maritim di daerah sangat diperlukan dan koordinasi antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi melalui instansi-instansi terkait yang ada juga untuk pengawasan hasil industri dan pemasukan APBD. Hal ini juga sangat menunjang dalam optimalisasi pengelolaan sumberdaya kelautan karena saat ini industri kemaritiman belum begitu dominan sehingga pengawasan dan koordinasi perlu ditingkatkan. Bahwa pembangunan Indonesia selama tiga dekade terakhir dilaksanakan atas landasan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) sebagai penjabaran dari GBHN dan di turunkan lebih lanjut ke dalam Rencana Tahunan (RAPBN). Berbeda dengan masa lalu, peran pemerintah pusat sangat besar dalam menentukan arah dan sasaran pembangunan nasional, namun saat ini dengan adanya perubahan lingkungan strategis baik pada tingkat nasional, terutama sebagai dampak dari otonomi daerah dari reformasi, maupun dampak ekternal pada tingkat global, konsep pembangunan nasional termasuk pemerintah pusat dan daerah mengalami perubahan. Sebagai salah satu konsekuensinya strategi dan sistem perencanaan pembangunan nasional dari sektor industri dan jasa kelautan mengalami perubahan yang mendasar.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
76
Dinas Perindustrian maupun pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai kepanjangan tangan dari Departemen Perindustrian, dianggap penting dalam mengatur industri maritim di daerahnya, dan dalam koordinasinya sudah cukup berjalan dengan baik. Namun dalam mewujudkan pembangunan industri berbasis kelautan, perlu adanya lembaga atau instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan industri maritim, seperti oleh Pemerintah Provinsi, Kota atau Kabupaten, terkait dengan transportasi laut dapat dikoordinasikan oleh Dinas Perhubungan. Diperlukan kebijakan seperti SKB Menteri dengan harapan adanya pembangunan industri kelautan yang sinergis dan lebih terarah, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengelolaan dan masing-masing instansi atau departemen saling bersinergi, sehingga pembangunan lebih efektif dan efisien serta menghasilkan kebijakan yang lebih optimal. Peranan Departemen perindustrian melalui dinas perindustrian dan pemerintah Provinsi Jawa Timur dianggap penting untuk mengatur kegiatan industri maritim dan dianggap tidak perlu membentuk suatu lembaga/instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan industri maritim dengan alasan karena masing-masing instansi/dinas sudah mencakup kegiatan industri maritim perlu di tingkatkan kompetensinya. Namun jika lembaga tersebut dibentuk, maka lembaga/instansi tersebut lebih baik di koordinasikan oleh Pemerintah Provinsi. Selain itu diperlukan Surat Keputusan Bersama antar Menteri terkait untuk mewujudkan pembangunan berbasis kelautan dengan beberapa alasan, antara lain karena dengan terbitnya Surat Keputusan dan atau Peraturan dari masing-masing Menteri, maka tujuannya menjadi jelas, selain itu untuk menghindari tidak over laping atau tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dan agar ada sinkronisasi program antar menteri terkait dalam mewujudkan pembangunan industri berbasis kelautan. Departemen perindustrian melalui dinas perindustrian dan pemerintah Provinsi Bali dianggap memiliki peranan yang penting untuk mengatur kegiatan industri maritim sehingga dianggap tidak perlu membentuk suatu lembaga/instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan industri maritim dan pemerintah kabupaten/kota, karena departemen perindustrian dan dinas perindustrian dianggap sebagai lembaga/ instansi yang tepat untuk mengkoordinasikan kegiatan industri dan jasa kelautan. Untuk itu Surat Keputusan Bersama antar Menteri terkait perlu dengan tujuan agar terjalin kerjasama yang baik antar industri terkait dan menghilangkan ego sektoral dan untuk mewujudkan pembangunan berbasis kelautan. Kelembagaan pemerintah pengelola sumberdaya alam laut yang ada saat ini tidak mampu berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas mengoordinasikan kebijakan sektor dalam bidang sumberdaya alam laut di tingkat nasional. Dalam penentuan kebijakan, kepentingan sumberdaya alam laut selalu dimarjinalkan di bawah kepentingan sektor yang berorientasi eksploitasi dan skala besar. Selain itu, kepengurusan lembaga sumberdaya alam laut yang sentralistis, menambah kompleksitas penanganan masalah penurunan kualitas lingkungan di berbagai daerah.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
77
Selain itu, efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya alam didukung oleh keberadaan peran masyarakat. Peran masyarakat adalah bersumber dari tiga hak dasar masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu hak masyarakat untuk mengakses informasi (public right to access information), hak masyarakat untuk berpartisipasi (public right to participate), dan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan (public right to justice). Dalam Konteks pengelolaan sumber daya alam, ketiga hak dasar masyarakat tersebut mutlak harus dijamin pelaksanaannya. Dengan demikian, dalam hal penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam laut yang terkait dengan industri dan jasa kelautan di daerah Nusa Tenggara Barat, reformasi kelembagaan yang harus dilakukan: 1. Kelembagaan yang terkait dengan kebijakan makro pengelolaan sumberdaya alam laut harus diletakkan dalam satu portofolio koordinasi di tingkat nasional. Sumberdaya alam laut harus dijadikan landasan bagi penyangga dan penjamin keberlanjutan kehidupan Indonesia di masa mendatang dan tidak lagi sebagai penyangga ekonomi. 2. Menetapkan kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, yang kewenangannya meliputi perencanaan, penetapan baku mutu dan standar pengelolaan lingkungan, mitigasi dampak penurunan kualitas lingkungan, dan rehabilitasi akibat pencemaran. Lembaga ini juga harus mengintegrasikan fungsi pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dan memiliki kewenangan penundaan ijin operasi sementara, jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang lingkungan. 3. Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap pemanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan kaji ulang dan perampingan kelembagaan sektoral yang ada saat ini. Idealnya, seluruh kelembagaan sektoral berada pada satu atap dari mulai perijinan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan. Lembaga ini harus berkoordinasi dan bersinergi secara erat dengan lembaga di poin kedua. Di tingkat daerah, kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam laut hendaknya menganut prinsip desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, yang diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan dari pengambil keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk kelembagaan yang diusulkan adalah pemerintahan rakyat (community governance), di mana kelembagaan ini sifatnya ad-hoc, informal, multistakeholder, pendekatan berdasarkan isu dan kepentingan yang dikelola dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan menjadi bagian dari pemerintahan rakyat ini. Pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dinas Perindustrian dan sebagai kepanjangan Departemen Perindustrian, dianggap penting dalam mengatur industri maritim daerahnya. Namun dalam pelaksanaan pembangunan daerah selama ini para intansi terkait belum menjalin koordinasi yang baik, semua sektor masih berjalan sendiri-sendiri, dan terjadi tumpang tindih kewenangan, sehingga kegiatan industri maritim tidak dapat berjalan secara optimal. Oleh karena itu semua responden mengharapkan adanya lembaga atau instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan industri maritim, baik oleh Pemerintah Provinsi, Kota/Kabupaten atau Pemerintah Pusat. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
78
Untuk mewujudkan pembangunan industri berbasis kelautan, daerah menginginkan adanya kebijakan bersama, seperti SKB Menteri, agar dalam pembangunan industri kelautan masingmasing-masing instansi atau departemen saling bersinergi dan dapat meringankan anggaran, sehingga tidak memberatkan anggaran APBD/N dengan harapan hasil yang akan dicapai lebih maksimal. Potensi kelautan di Provinsi Kalimantan Barat dapat meningkatkan perekonomian daerah, namun ada beberapa faktor yang membuat kurang berkembang potensi di bidang kelautan, salah satu yaitu kualitas SDM yang tersedia masih relatif kurang memadai, infrastruktur yang menunjang industri dan jasa kelautan belum mendukung serta masih kurangnya dana/ permodalan dalam pembangunan industri dan jasa kelautan. Bahkan tanpa disadari pemanfaatan potensi kelautan yang tidak disertai pengetahuan tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan justru akan menyebabkan kerusakan pada lingkungan perairan tersebut. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti masih rendahnya kapasitas institusi dan aparatur daerah, terbatasnya ketersediaan SDM aparatur yang berkualitas dan profesional, kurangnya upaya mendorong prakarsa, kreativitas, peran serta masyarakat dan pemberdayaan masyarakat masih belum optimal, masih rendahnya kemampuan Pemerintah Provinsi dalam menciptakan sinergisitas dan kerjasama antar daerah Kabupaten/Kota, lemahnya institusi pemerintahan daerah dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta masih rendahnya kapasitas keuangan daerah. Peranan Departemen Perindustrian melalui dinas perindustrian maupun pemerintah daerah sangat penting dalam mengatur kegiatan industri kelautan. Namun menrutu responden untuk mempermudah dan mempercepat kegiatan industri kelautan sangat dibutuhkan suatu lembaga/instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan industri maritim di Provinsi Kalimantan Barat karena selama ini koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengembangan industri dan jasa kelautan masih kurang dan untuk mengkoordinasikan kegiatan ini sangat diharapkan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi agar mempermudah koordinasi dengan Pemerintah Pusat, dapat mewakili kepentingan pusat sesuai tugas dekonsentrasi dalam melakukan koordinasi dengan kabupaten/kota dan karena permasalahan industri dan jasa maritim sebagian besar terjadi di teritorial provinsi. Adapun permasalahan yang dihadapi dalam upaya untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa di daerah saat ini adalah: Masih belum terwujudnya komitmen untuk menjadikan prinsip-prinsip good governance sebagai salah satu pijakan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah, masih lemahnya pengawasan dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, masih lemahnya penataan kelembagaan dan ketata laksanaan, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia aparatur sebagai pilar utama penyelenggaraan pemerintahan, masih rendahnya tingkat pelayanan publik, dan masih belum memadainya sarana dan prasarana pemerintahan yang menopang pelaksanaan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Dari sisi pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Provinsi Kalimantan Barat memerlukan strategi-strategi yang matang, karena Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
79
kondisi geografis wilayah perairan laut sangat rawan dari pencurian ikan oleh kapal-kapal ilegal, kegiatan destruktif, seperti pembiusan dan pengeboman ikan, serta kegiatan-kegiatan di lahan atas dan laut yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap ekosistem dan sumberdaya di kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Sistem pengawasan yang bersifat sektoral, serta belum adanya Peraturan Daerah (PERDA) yang memperkuat peraturan-peraturan sebelumnya dari Pemerintah Pusat dalam mengatur kegiatan pengawasan perairan laut, serta keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan merupakan kendala dan hambatan pengawasan kegiatan destruktif dan ilegal yang terjadi di perairan laut Kalimantan Barat. Selain itu juga, dalam rangka meningkatkan dan memberdayakan industri dan jasa kelautan di Provinsi Kalimantan Barat, Pemerintah daerah membuat suatu strategi kebijakan yang terkait dengan industri kelautan serta mengeluarkan kebijakan lokal seperti Surat Keputusan Bersama, Peraturan Daerah yang terkait dengan peningkatan pemberdayaan industri dan jasa kelautan di daerah Provinsi Kalimantan Barat. Untuk mengatur kegiatan industri kelautan, Departemen perindustrian melalui dinas perindustrian Provinsi Kalimantan Timur dianggap berperanan penting, sehingga di anggap tidak perlu membentuk lembaga/instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasi-kan seluruh kegiatan industri dan jasa kelautan di pemerintah provinsi sampai dengan kabupaten/ kota, karena departemen perindustrian dan dinas perindustrian dianggap sebagai lembaga/ instansi yang tepat untuk mengkoordinasikan kegiatan industri dan jasa kelautan. Untuk itu Surat Keputusan Bersama antar Menteri terkait perlu dengan tujuan agar terjadi kesinergian pembinaan, dan mensinergikan berbagai kepentingan yang ada. Departemen perindustrian melalui dinas perindustrian dan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dianggap memiliki peranan yang penting untuk mengatur kegiatan industri maritim sehingga sebagian besar responden menganggap tidak perlu membentuk suatu lembaga/ instansi khusus yang berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan industri maritim dan pemerintah kabupaten/kota, karena departemen perindustrian dan dinas perindustrian dianggap sebagai lembaga/instansi yang tepat untuk mengkoordinasi-kan kegiatan industri dan jasa kelautan. Untuk itu Surat Keputusan Bersama antar Menteri terkait perlu dengan tujuan agar terjalin kerjasama yang baik antar industri terkait dan menghilangkan ego sektoral dan untuk mewujudkan pembangunan berbasis kelautan. Menurut Pemerintah Daerah Provinsi Maluku yang diwakili oleh beberapa responden, dalam mengatur kegiatan industri maritim di daerah sangat penting adanya suatu lembaga/ instansi seperti Dinas Perindustrian, karena berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan industri maritim sehingga dapat meminimalisasi konflik kepentingan antar sektor yang terkait dengan industri kelautan, agar supaya kegiatannya terkoordinasi dengan baik dan bersifat lintas sektor, karena industri maritim terdiri dari beberapa sektor dan ada industri pemanfaatan Natural Resources yang sangat rentan dengan kegiatan lain yang bisa berdampak kepada degradasi sumberdayanya dan juga untuk mencapai hasil optimal, sehingga dibutuhkan sinkronisasi agar terkoordinasi dengan baik.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
80
Keberadaan Dinas Perindustrian maupun Pemerintah Daerah sangat diperlukan untuk mengatur kegiatan industri maritim khususnya di Provinsi/Kabupaten melalui prodak kebijakan atau peraturan-peraturan yang terkait dengan industri maritim. Dalam mengkoordinasikan kegiatan industri dan jasa maritim di daerah perlu ada koordinasi antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi melalui instansi-instansi terakit yang ada. Hal ini untuk menghindari benturan kepentingan dalam menghasilkan kebijakan yang terkait dengan industri dan jasa maritim. Surat Keputusan Bersama antar Menteri terkait untuk mewujudkan pembangunan industri berbasis kelautan sangat diperlukan, selama itu tidak merugikan kepentingan masyarakat stakeholders yang ada di daerah tetapi perlu sosialisasikan secara terus menerus dalam rangka mengimplementasikannya.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
81
BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI DAN JASA KELAUTAN 3. 1 Inventarisasi Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia; Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan untuk memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum yang secara menyeluruh mampu melandasinya perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perindustrian; dan mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memutuskan ditetapkannya Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian. Kegiatan industri dan jasa kelautan yang meliputi kegiatan wisata bahari, perikanan, dan pelayaran secara umum telah diatur dengan peraturan perundang-undangan baik yang dikeluarkan oleh departemen yang membawahinya maupun oleh pemerintah, namun berbagai peraturan perundangundangan ini dirasakan belum bersinergi antar sektor terkait. Berikut ini adalah daftar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan industri dan jasa kelautan antara lain : kegiatan wisata bahari, perikanan, pelayaran dan peraturan perundangundangan di bidang industri itu sendiri.
3.1.1 Perikanan dan biota lauta lainnya 1.
Undang-Undang
NO NOMOR PERATURAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No 5 Tahun 1983 No 9 Tahun 1985 No 16 Tahun 1992 No 21 Tahun 1992 No 24 Tahun 1992 No 17 Tahun 1985 No 6 Tahun 1996 No 24 Tahun 2000 No 17 Tahun 2003 No 1 Tahun 2004
TENTANG
Zona Ekonomi ekslusif Indonesia Perikanan Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Pelayaran Penata Ruang Pengesahan United Nations Convention UNCLOS Perairan Indonesia Perjanjian Internasional Keuangan Negara Perbendaharaan Negara
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
82
NO NOMOR PERATURAN
11 12 13 14 15
2.
No 7 Tahun 2004 No 10 Tahun 2004 No 31 Tahun 2004 No 32 Tahun 2004 No 16 Tahun 2006
TENTANG
Sumberdaya Air Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perikanan Pemerintah Daerah Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang NO NOMOR PERATURAN
1
3.
No. 2 Tahun 2006
TENTANG
Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 71 Ayat (5) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan
Peraturan Pemerintah NO NOMOR PERATURAN
1 2 3 4
No 15 Tahun 1984 No 15 Tahun 1990 No 70 Tahun 1996 No 25 Tahun 2000
5 6
No 15 Tahun 2002 No 36 Tahun 2002
7
No 37 Tahun 2002
8
No 38 Tahun 2002
9 10 11
No 51 Tahun 2002 No 54 Tahun 2002 No 58 Tahun 2002
12 13
No 62 Tahun 2002 No 54 Tahun 2003
14
No 24 Tahun 2006
15
No 19 Tahun 2006
TENTANG
Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di ZEE Usaha Perikanan Pelabuhan Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Profinsi sebagai daerah Otonomi Karantina Ikan Hak dan Kewenangan Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang di Tetapkan Daftar Koordinat Geografis Titik-titik garis Pangkal Kepulauan Indonesia Perkapalan Usaha Perikanan Tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Dep. Kelautan dan Perikanan di bidang Jasa Riset Kelautan dan Perikanan Tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Dep. Kelautan dan Perikanan Perubahan atas peraturan pemerintah No. 97 tahun 2000 tentang formasi Pegawai Negeri Sipil Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan Perubahan atas peraturan pemerintah No. 62 Tahun 2002 tentang tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Dep. Kelautan dan Perikanan Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
83
4.
Peraturan Presiden NO NOMOR PERATURAN
TENTANG
1
No 32 Tahun 2005
Perubahan kedua atas Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah
2
No 55 Tahun 2005
Harga jualan eceran bahan bakar Minyak Dalam Negeri
3
No 68 Tahun 2005
Tata cara mempersiapkan RUU, RPERPU, RPP dan RPERPRES
4
No 70 Tahun 2005
Perubahan ketiga atas Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah
5
No 78 Tahun 2005
Pengelolaan pulau – pulau kecil terluar
6
No 80 Tahun 2005
Perubahan ketiga atas peraturan presiden No 10 Tahun 2005 tentang unit organisasi dan tugas eselon I Kementrian Negara RI
7
No 81 Tahun 2005
Badan Koordinasi Keamanan Laut
8
No 8 Tahun 2006
Perubahan keempat atas keputusan presiden No 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah
9
No 9 Tahun 2006
Perubahan atas peraturan presiden No 55 Tahun 2005 tentang harga jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri
5.
Keputusan Presiden NO NOMOR PERATURAN
TENTANG
1
No 22 Tahun 1998
Impor kapal niaga dan kapal ikan dalam keadaan baru dan bukan baru Pemanfaatan kapal ikan asing yang dinyatakan di rampas untuk negara
2
No 174 Tahun 1998
3
No 161 Tahun 1999
Dewan Maritim Indonesi
4
No 14 Tahun 2000
Pemanfaatan kapal perikanan yang dinyatakan dirampas untuk negara
5
No 107 Tahun 2000
Panitia nasional pengangkatan dan pemanfaatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam
6
No 80 Tahun 2003
Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah
7
No 61 Tahun 2004
Perubahan atas keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan barang/jasa pemerintah
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
84
6.
Instruksi Presiden
NO NOMOR PERATURAN
TENTANG
1
No 2 Tahun 1990
Penyederhanaan tata cara pengujian mutu ikan segar dan ikan beku
2
No 2 Tahun 2002
Pengendalian penambangan pesisir laut
3
No 5 Tahun 2004
Percepatan pemberantas korupsi
7. No.
1
Keputusan Bersama Nomor Peraturan
Menteri
Tentang
No: 05/M/Kep/XII/2004 Perindustrian & Perdagangan Larangan impor udang ke wilayah RI SKB.53/MEN/2004 dan Kelautan dan Perikanan
2
89/MPP/Kep/2002 No:SKB.07/MEN/2002 01/MENLH/2/2002
Perindustrian & Perdagangan, Penghentian sementara Ekspor Pasir Kelautan dan Perikanan laut dan Lingkungan Hidup
3
No: 14/M/Kep/II/2005 SKB.01/MEN/2005
Perindustrian & Perdagangan Perubahan atas keputusan bersama dan Kelautan dan Perikanan Menteri Perdagangan RI dan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor : 05/M/Kep/XII/2004 tentang SKB.53/MEN/2004Larangan Impor Udang ke wilayah RI
4
Perpanjangan masa berlaku larangan No. 221/M-DAG/KEP/ Perindustrian dan 6/2005 Perdagangan dan Kelautan impor udang ke wilayah RI sebagaiSKB.03/MEN/2005 dan Perikanan mana ditetapkan dalam keputusan bersama Menteri Perdagangan RI dan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :05/M/KEP/XII/2004 tentangSKB.53/MEN/2004 Larangan impor udang ke wilayah RI sebagaimana telah diubah dengan keputusan bersama Menteri Perdagangan RI dan menteri kelautan dan perikanan Nomor :14/M/Kep/ II/200501/MEN/2005
5
No : SKB.04/MEN/2005 Kelautan dan Perikanan Pembentukan kelompok kerja WKMA/Yud/01/SKB/ dan Mahkamah Agung RI persiapan pembentukan pengadilan XII/2005 perikanan
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
85
8.
Kesepakatan Bersama
No.
Nomor Peraturan
1
No : 10/KB/Dep. KP/2003 B/4042/VIII/2003
Menteri Kepolisian RI Kelautan dan Perikanan
Tentang Penegakan hukum di bidang Kelautan dan Perikanan
3.1.2 Pertambangan No.
Nomor
Tentang
1.
UU No. 11 Tahun 1967
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
2.
UU No. 22 Tahun 2001
Minyak dan Gas Bumi
3.1.3 Pelayaran No.
Nomor
Tentang
1.
UU No. 21 Tahun 1992
Pelayaran
2.
PP No. 17 Tahun 1956
Pengubahan dan penambahan”Scheepvaartverordening 1936"
3.
PP No. 62 Tahun 1957
Perubahan peraturan pemerintah No. 55 Tahun 1951 (lembaran negara No. 77 Tahun 1951) mengenai “peraturan perbaikan pelabuhan
4.
PP No. 14 Tahun 1983
Perusahaan umum pelabuhan I
5.
PP No. 4 Tahun 1985
Perusahaan umum (Perum) pelabuhan I
6.
PP No. 15 Tahun 1983
Perusahaan umum pelabuhan II
7.
PP No. 5 Tahun 1985
Perusahaan umum (Perum) pelabuhan II
8.
PP No. 6 Tahun 1985
Perusahaan umum (Perum) pelabuhan III
9.
PP No. 16 Tahun 1983
Perusahaan umum pelabuhan III
10.
PP No. 17 Tahun 1983
Perusahaan umum pelabuhan IV
11.
PP No. 7 Tahun 1985
Perusahaan umum (Perum) pelabuhan IV
12.
PP No. 23 Tahun 1985
Perubahan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1983 tentang pembinaan kepelabuhan
13.
PP No. 17 Tahun 1988
Penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan laut
14.
PP No. 11 Tahun 1989
Penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam modal saham perusahaan perseroan (persero) PT. Pelayaran nasional indonesia (PT.Pelni)
15.
PP No. 11 Tahun 1983
Pembinaan kepelabuhan
16.
PP No. 20 Tahun 1984
Perusahaan umum (Perum) pelabuhan udara Jakarta Cengkareng
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
86
No.
Nomor
Tentang
17.
PP No. 47 Tahun 1957
Perizinan pelayaran
18.
PP No. 43 Tahun 1957
Perubahan peraturan pemerintah No.61 Tahun 1954 (lembaran negara tahun 1954 No.107) tentang peraturan mengenai perusahaan muatan kapal laut
19.
PP No. 29 Tahun 1958
Perubahan peraturan pemerintah No. 47 tahun 1957 (lembaran negara tahun 1957 No. 104) tentang perizinan pelayaran
20.
PP No. 9 Tahun 1958
Pemberian tunjangan kejuruan kepada mualim pelayaran besar, ahli mesin kapal dan markonis pelayaran negara
21.
PP No. 20 Tahun 1958
Mengadakan jabatan sekretaris kementerian pelayaran
22.
PP No. 15 Tahun 1958
Pengubahan peraturan pemerintah No. 61 Tahun 1954 (lembaran negara Tahun 1954 No. 107) tentang peraturan mengenai perusahaan muatan kapal laut
23.
PP No. 117 Tahun 1961 Pendirian perusahaan negara “Pelabuahn daerah III”
24.
PP No. 116 Tahun 1961 Pendirian perusahaan negara “Pelabuhan daerah II”
25.
PP No. 115 Tahun 1961 Pendirian perusahaan negara “Pelabuhan Daerah I”
26.
PP No. 104 Tahun 1961 Pendirian badan pimpinan umum pelabuhan
27.
PP No. 105 Tahun 1961 Pendirian badan pimpinan umum maritim
28.
PP No. 106 Tahun 1961 Pendirian badan pimpinan umum pelayaran niaga
29.
PP No. 109 Tahun 1961 Pendirian perusahaan negara dok dan perkapalan Surabaya
30.
PP No. 110 Tahun 1961 Pendirian perusahaan negara menunda kapal Tundabara Pendirian
31.
PP No. 114 Tahun 1961 Pendirian perusahaan negara dok kapal Tanjung Priok
32.
PP No. 107 Tahun 1961 Pendirian perusahaan negara “Pelayaran Nasioanl Indonesia”
33.
PP No. 55 Tahun 1951
Peraturan perbaikan pelabuhan
34.
PP No. 54 Tahun 1951
Dinas pencahari da pemberi pertolongan untuk kepentingan kapal laut dan udara yang mendapat kecelakaan
35.
Inpres No.5 Tahun 2005 Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional
3.1.4 Pariwisata Bahari No.
Nomor
Tentang
1.
UU No. 9 Tahun 1990
Kepariwisataan
2.
UU No. 5 Tahun 1992
Benda cagar budaya
3.
PP No. 7 Tahun 1980
Penyertaan modal Negara Republik Indonesia untuk pendirian perusahaan perseroan (persero) taman wisata candi borobudur dan prambanan
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
87
3.1.5 Industri No.
Nomor
Tentang
1.
UU No. 5 Tahun 1984
Perindustrian
2.
PP No. 50 Tahun 1959
Penentuan perusahaan perindustrian/pertambangan milik Belanda yang dikenakan sosialisasi
3.
PP No. 17 Tahun 1986
Kewenangan pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri
4.
PP No. 13 Tahun 1987
Izin usaha Industri
5.
PP No. 17 Tahun 1986
Kewenangan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri
6.
PP No. 8 Tahun 1983
Penambahan penyertaan modal negara Republik Indonesia ke dalam modal saham perusahaan perseroan (persero) PT. Aneka gas industri
7.
PP No. 4 tahun 1986
Penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian perusahaan perseroan (persero) dalam bidang usaha kawasan Industri ujung panjang
8.
PP No. 10 Tahun 1958
Pembentukan badan pusat penguasa perusahaan industri dan tambang Belanda
Dari hasil inventarisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan sektor yang berhubungan dengan industri dan jasa kelautan secara skematis dapat diilustrasikan pengaturan Undang-undang yang bersifat umum dan Undang-undang lainnya yang seharusnya perlu dirumuskan, sebagaimana dalam gambar di bawah ini : Tabel 1. Ilustrasi pengaturan Undang-undang secara umum dan peraturan perundang-undangan di bidang kelautan yang harus dirumuskan lebih lanjut Tahun 1939 1945 1957 1958 1959 1960
Undang-Undang Umum
Undang-Undang yang mengatur Kelautan
Konvensi lainnya
TZMKO UUD 45 Deklarasi Juanda Konferensi I Tahun 1958 Prp 4
Konferensi II Tahun 1960
1961
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
88
Tahun
Undang-Undang Umum
1967
UU No.11 Tahun 1967 PERTAMBANGAN
1968 1971 1972 1973
Undang-Undang yang mengatur Kelautan PERTAMBANGAN DI LAUT
UU No. 1 Tahun 1973 LANDAS KONTINEN
1974 1981 1982
1983 1984 1985 1986 1989 1990
UU No. /5 Tahun 1983 ZEEI UU No. 5 Tahun 1984 PERINDUSTRIAN
UU No. 5 Tahun 1990 KONSERVASI No. 9 Tahun 1990 KEPARIWISATAAN
INDUSTRI KELAUTAN UU No. 17 Tahun 1985
KONSERVASI LAUT WISATA BAHARI UU No. 21 Tahun 1992 PELAYARAN
UU No.24 Tahun 1992 TATA RUANG 1993 1994 1995 1996
1998 2001 2002
Sidang 1 Konferensi III
Sidang 12 Konferensi III UNCLOS 82
1991 1992
1997
Konvensi lainnya
TATA RUANG KELAUTAN
UU No.16 Tahun 1996 PERAIRAN INDONESIA UU No. 23 Tahun 1997 LINGKUNGAN HIDUP
LINGK.HIDUP KELAUTAN
UU No. 18 Tahun 2002 SISNASLITBANG
LITBANG KELAUTAN
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
89
Tahun
2003
Undang-Undang Umum UU No. 3 Tahun 2002 PERTAHANAN UU No. 2 Tahun 2002POLRI UU No. 20 Tahun 2003 SISDIKNAS
Undang-Undang yang mengatur Kelautan PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM DI LAUT
UU NO 34 TAHUN 2004 TNI
SDM KELAUTAN UU No. 31 Tahun 2004 PERIKANAN (GAKLATKUM DI LAUT)
UU NO25 TAHUN 2004 SISRENBANG
SISRENBANGKELAUTAN
2004
Konvensi lainnya
3.2 Tinjauan Yuridis Industri Dan Jasa Kelautan Secara yuridis teritorial, Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas tujuh belas ribuan pulau, beraneka suku bangsa, dan adat istiadat, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Berdasarkan kekuatan “Bhinneka Tunggal Ika” Bangsa Indonesia berupaya mewujudkan tujuan dan cita-cita bernegara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk melaksanakan dan mencapai tujuan dan cita-cita tersebut, diperlukan suatu pember-dayaan, pemanfaatan segala potensi dan peluang yang tersedia baik dari SDM mamupun dari SDA Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah mengisi kemerdekaan dengan berbagai pembangunan secara menyeluruh sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai pengalaman berharga diperoleh selama mengisi kemerdekaan tersebut dan menjadi pelajaran berharga untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional disusun sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan nasional. Dengan demikian, dokumen ini lebih bersifat visioner dan hanya memuat hal-hal yang mendasar sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
90
dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, dalam 20 tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup, dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat internasional. Sejalan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memerintahkan penyusunan RPJP Nasional yang menganut paradigma perencanaan yang visioner, maka pembangunan, pengembangan, pengelolaan, pemanfaat serta berbagai potensi kelautan perlu ada perencanaan yang matang untuk masa depan. Perencanaan mana perlu dibentuk yuridis sehingga ada kepastian hukumnya. Terutama terkait dengan : 1. Koordinasi antarpelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan Industri dan Jasa Kelautan. 2. Terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah, dalam pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan Industri dan Jasa Kelautan. 3. Dalam Pengawasan 4. Tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan di bidang Industri dan Jasa Kelautan 5. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam Bidang Industri dan Jasa Kelautan, yakni: (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan. Kepastian hukum dimaksud dengan tetap memperhatikan berbagai peraturan perundanganundangan lainnya, antara lain: hubungan saling melengkapi dengan undang-undang lain seperti: a. undang-undang yang mengatur perikanan; b. undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah; c. undang-undang yang mengatur kehutanan; d. undang-undang yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan gas bumi; Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
91
e. f. g h. i. j. k. 1. m. n. o.
undang-undang yang mengatur penataan ruang; undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup; undang-undang yang mengatur pelayaran; undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam dan ekosistem; undang-undang yang mengatur peraturan dasar pokok agraria; undang-undang yang mengatur perairan; undang-undang yang mengatur kepariwisataan; undang-undang yang mengatur perindustrian dan perdagangan; . undang-undang yang mengatur sumber daya air; undang-undang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional; dan undang-undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Undang-Undang ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan
3.2.1 Perikanan dan Biota Laut Lainnya Sumber daya alam terbarukan, baik di darat dan di laut, harus dikelola dan dimanfaatkan secara rasional, optimal, efisien, dan bertanggung jawab dengan mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. Di samping itu, pemanfaatan sumber daya alam kelautan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dengan memanfaat-kan sumber daya berbasis kelautan dan hasil-hasil pertanian sebagai energi alternatif. Mengembangkan Potensi Sumber Daya Kelautan. Arah pembangunan ke depan perlu memperhatikan pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Dengan cakupan dan prospek sumber daya kelautan yang sangat luas, arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Di samping itu, mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu. kebijakan dan pengelolaan pembangunan kelautan harus merupakan keterpaduan antara sektor lautan dan daratan serta menyatu dalam strategi pembangunan nasional sehingga kekuatan darat dan laut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa. Agar semua berjalan sesuai dengan yang dinginkan diperlukan aturan perundangan-undangan Kalau Sementara ini, Sumber daya kelautan berupa Perikanan dan Boita Laut lainnya belum dimanfaatkan secara optimal. Antara disebabkan karena belum diaturnya secara optimal yuridis hal-hal, antara lain, 1. penataan batas maritim; 2. konflik dalam pemanfaatan ruang di laut; 3. jaminan keamanan dan keselamatan di laut; 4. aturan perundangan-undangan terkait dengan UU otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan; Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
92
Selain itu, kondisi sarana dan prasarana saat ini masih ditandai oleh rendahnya aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan. Akibatnya, sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya dapat menjadi tulang punggung bagi pembangun-an sektor riil termasuk dalam rangka mendukung kebijakan industri dan Jasa kelautan, yang secara yuridis baru diatur dalam Undang-undang Perikanan. UU No. 5 Tahun 1983 Tentang ZEE Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 11 UU No.9/1985 menyebutkan babwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan, dikenakan pungutan perikanan, karena mereka telah memperoleh manfaat langsung dari SDI (Sumber Daya Ikan). UU No.20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Peraturan Pemerintah No. 142/2000, tentang Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Pasal 1 ayat 2, PPP (Pungutan Hasil Pengusaha Perikanan) adalah pungutan negara yang dikenakan kepada pemegang Ijin Usaha Perikanan (IUP). Pasal 1 ayat 3, PHP (Pungutan Hasil Perikanan) adalah pungutan negara yang dikenakan kepada pemegang Surat Penangkapan Ikan (SPI). Pasal 3 ayat 1, PPP dikenakan pada saat Wajib Bayar memperoleh IUP. Pasal 3 ayat 2, PHP dikenakan pada saat Wajib Bayar memperoleh dan memperpanjang IUP. Pasal 5 ayat 3, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan produktivitas kapal penangkapan ikan. Pasal 5 ayat 4, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan HPI. Pasal 5 ayat 1, didasarkan atas jenis, ukuran dan jumlah kapal, serta jenis alat tangkap ikan yang dipergunakan (tarif per Gross Tonage (GT) per alat tangkap dikalikan ukuran GT kapal ikan yang dipergunakan). Pasal 5 ayat 2, PHP yang terutang ditetapkan berdasarkan rumusan 2,5% dikalikan produktivitas kapal dikalikan harga patokan ikan (HPI). (HPI = 2,5% x produktivitas x HPI). Pungutan Perikanan, dikenakan terhadap kapal penangkap ikan dengan bobot sama atau lebih besar dari 30 GT atau menggunakan mesin berkekuatan sama, atau lebih dari 90 DK serta panjang keseluruhan minimal 18 meter. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.: Kep.45/men/ 2001 mengatur tata cara : Pemungutan Pungutan Perikanan. Pemungutan PP PPP harus dibayar saat pengusaha akan memperoleh IUP atau Surat Rekomendasi Alokasi kapal dan daerah penangkapan sebesar 50%. Kekurangan 50% yang terutang harus dilunasi pada saat merealisasi SPI. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
93
Pemungutan PHP PHP harus dibayar pada saat pengusaha akan memperoleh SPI, dan dibayar untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Setelah pengusaha membayar PHP melalui Bank Persepsi, Dirjen Perikanan Tangkap menerbitkan SPI (14 hari). Sanksi dan Denda Pengusaha yang telah mendapat SPP (Surat Perintah Pembayaran) PHP paling lambat 1 (satu) bulan harus dilunasi. Keterlambatan sampai pada bulan kedua diberikan peringatan I dan denda bunga sebesar 2%. Keterlambatan sampai dengan bulan ketiga dikenakan peringatan II dan denda bunga sebesar 4%. Keterlambatan sampai dengan bulan keempat, izin akan dibekukan selama 1 (satu) bulan, dan apabila pembayarannya dilakukan pada bulan itu juga dikenakan denda 6%. Selanjutnya izin dinyatakan dicabut. Permasalahan yang timbul dengan diberitahukannya PBP PPP (Pungutan Pengusahaan Perikanan) Pengenaan PPP tidak menjadikan permasalahan karena pungutan ini hanya dikenakan sekali, kecuali ada penambahan jumlah kapal penangkapan ikan. PHP (Pungutan Hasil Perikanan) Pengenaan PUP cara dan sistemnya mengacu/mencontoh kepada negara lain yang kegiatan usaha penangkapannya sudah maju yang bersifat industri penangkapan ikan, di mana mereka betul-betul sudah menggunakan efisiensi, sarana dan operasionalnya ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha, sehingga semua hasil tangkapannya menjadi penghasilan pengusaha. Sedangkan pendapatan nelayan/ABK diperoleh dengan gaji dan bonus yang cukup sehingga tidak menimbulkan masalah. Sedangkan di Indonesia belum semua usaha penangkapan ikan dengan kapal di atas 30 GT seperti tersebut di atas. Tetapi baru sebagian (Pengusaha yang mengoperasikan kapalnya di perairan ZEE atau perairan Indonesia bagian Timur). Sedangkan lainnya masih diusahakan dengan cara bagi hasil. Di sini pemilik berkewajiban menyediakan sarana lengkap, sedang segala pengeluaran yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan menjadi beban bersama. Sedangkan hasil tangkapan setelah dipotong semua biaya menjadi milik bersama dengan pembagian sama pula (50%-50%) antara pemilik dan ABK. Di sinilah yang menjadi masalah, khususnya di Jawa Tengah dan di Indonesia pada umumnya. Besarnya pengenaan PHP 2,5% dibanding dengan negara lain memang lebih kecil, tetapi bagi pemilik nelayan Indonesia lebih besar karena di daerah pemilik nelayan sudah dikenakan retribusi yang besarnya kurang lebih 5%. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
94
PHI (Patokan Harga Ikan) dirasa cukup tinggi apabila dibandingkan harga ikan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI), dan semuanya dianggap segar. Sedangkan kenyataan di lapangan jumlah ikan yang segar hanya kurang lebih 30%, sementara sisanya sudah digaram atau rusak samasekali. Di sini nelayan dirugikan. Dalam praktek di lapangan, ternyata pelabuhan perikanan di Indonesia dihadapkan pada masalah tidak berfungsinya pada prasarana yang telah dibangun oleh pemerintah. Kesalahan pengelolaan itu berakibat fatal dan bisa mengakibatkan menjamurnya pungutan liar hal itu baik terjadi pada pelabuhan Type A yaitu pelabuhan perikanan international, Type B pelabuhan perikanan nasional, Type C pelabuhan perikanan tradisional. Hal ini mengakibatkan beban ekonomi pelaku industri perikanan maupun perikanan rakyat membengkak sanitasi pelabuhan perikanan belum layak misalnya tempat penanganan bahan makanan yang kurang berkualitas. Demikian pula masalah keamanannya kurang terjamin. Hal ini menimbulkan keengganan para pelaku bisnis, baik itu para pemilik modal maupun nelayan yang seharusnya memanfaatkan dan mendayagunakan sarana tersebut sebagai sentra kegiatan usaha mereka. Kenyataan yang ada menunjukan bahwa pemanfaatan antara pelabuhanpelabuhan perikanan nasional tidak optimal bahkan tingkat utilitasnya sangat rendah. Usul kami sudah selayaknya pelabuhan perikanan memiliki fasilitas yang memadai dan didukung oleh system kelembagaan pengelolaanya yang profesional. Pelabuhan perikanan juga harus memiliki fasilitas bongkar muat, perbaikan kapal suplai bahan bakar dan air bersih serta sarana pemenuhan kebutuhan air bersih serta operasional lainnya selain itu fasilitas fungsional yang esensial baik itu koperasi perikanan, BUMN swasta nasional maupun asing, diberikan kesempatan dan peluang yang sama dalam melakukan usaha. Namun dalam pelaksanaannya harus tercipta adanya simbiosis mutualistis (saling menguntungkan) antara pengusaha besar, menengah dan kecil termasuk koperasi. Lebih dari itu persyaratan utama dalam kegiatan pelelangan ikan di pelabuhan dan tempat pelelangan ikan harus tercipta kesepakatan harga yang stabil demikian pula dalam hal pembayarannya harus tunai, penanganan mutu kesegaran ikan harus tetap dipertahankan di setiap tempat pelelangan ikan, yang semuanya diberi bentuk yuridis Untuk fasilitas penunjang yang harus dibebani dan harus ditingkatkan antara lain pelayanan, kesyahbandaran, keimigrasian, keamanan, kesehatan clan penyuluhan yang masing-masing merupakan tanggung jawab institusi terkait, berdasarkan informasi yang karrii terima. Direktorat Jenderal Perikanan bergabung dengan Departemen Explorasi Kelautan sebuah mass media menjelaskan bahwa departemen tersebut diusulkan berubah nama menjadi Departemen Perikanan dan kelautan agar menjadi ruang lingkup kewenangan lebih luas. Instansi ini harus berupaya menghilangkan atau setidaknya mengurangi pugutan-pungutan liar di pelabuhan perikanan yang terlantar dengan berusaha untuk melakukan kerjasama dengan beberapa instansi terkait, terutama dengan Departemen Perhubungan pada setiap langkah yang termasuk dalam ruang lingkup sebelumnya. Dalam upaya meningkatkan kemampuan perusahaan perikanan dan sekaligus guna optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE, dibuka kesempatan bagi perusahaan perikanan Indonesia melalui pengadaan kapal dari dalam maupun luar negeri. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
95
3.2.2 Pertambangan di Laut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia mengatur mengenai : Pengelolahan pemanfaatan kekayaan non hayati di dasar laut dan tanah di bawah zona Ekonomi Eksklusif dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan landas kontinen Indonesia (vide pasal 4). Selanjutnya undang-undang Nomor I Tahun 1973 tentang landasan Kontinen Indonesia. Menyatakan bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di bidang masing-masing (vide pasal 4) yaitu : Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang pertambahan minyak dan gas bumi, beserta peraturan pelaksanaannya. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan beserta peraturan pelaksanaannya. Kegitan penelitian ilmiah kelautan yang bertalian dengan dasar laut dan tanah dibawahnya yang ditujukan untuk pemanfaatan kekayaan alam non hayati (Pertambangan dan energi di laksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia ( pasal 5 ). Kegiatan lain-lain untuk eksploitasi ekonomi, seperti pembangkit tenaga dari air, arus dan angin tersebut dimaksudkan untuk penyediaan tenaga listrik maka harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang tenaga listrik beserta peralatan pelaksanaannya. Dengan demikian kegiatan-kegitan yang menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan, serta penelitian ilmiah bidang pertambangan dan energi zona ekonomi eksklusif prinsipnya berdasarkan pada : Undang-undang No 44 Prp Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi. Undang-undang No 11 Tahun 1467 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan dan energi. Undang-undang No 1 Tahun 1973 tentang landasan kontinen Indonesia. Undang-undang No 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan. Undang-undang No 5 Tahun 1983 tentang zona Ekonomi Eksklusif. Serta peraturan perundang-undang lain yang terkait. Pada dasarnya peraturan perundang-undangan nasional yang tersebut diatas menampung berbagai implementasi hukum laut internasional. Tetapi belum memenuhi tuntutan dan per kembangan hukum laut internasional yang baru (misalnya UNCLOS 1982), bila dilihat dari segi penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam non hayati antara lain Undang-undang No 44 Prp 1960 dan undang-undang No 11 Tahun 1967. Kedua undang-undang ini merupakan dasar bagi pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam non hayati di darat maupun dilepas pantai/laut dan menganut pengertian “Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia “hanya meliputi kepulauan Indonesia, tanah dibawah perairan Indonesia dan daerah-daerah kontinen dari kepulauan Indonesia. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
96
Daerah pengertian tersebut berarti bahwa wilayah hukum pertambangan Indonesia belum mencakup rejim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh karena itu kami ber-pendapat bahwa perlu disempurnakan lagi mengenai pengertian “Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia” agar tidak saja mencakup wilayah perairan Indonesia dan landasan kotinen tetapi juga meliputi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Undang-undang No 1 Tahun 1973 dan Undang-undang No.5 Tahun 1983 kedua undangundang ini merupakan landasan untuk melakukan kegiatan : Eksplorasi dan Eksploitasi kekayaan alam non hayati didasar laut dan tanah dibawah Wilayah landasan kontinen Zona Ekonomi Eksklusif Penyelidikan ilmiah yang ditujukan untuk eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam non hayati didasar laut dan tanah di bawah wilayah landasan kontinen Zona Ekonomi Eksklusif Membangun menggunakan dan memelihara pulau buatan dan bangunan lainnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Peraturan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Tetapi ketentuan mengenai penelitian ilmiaih kelautan yang diatur dalam undang-undang No 1 Tahun 1973 sampai sekarang belum ada. Undang-undang No 15 Tahun 1985 tentang ketenaga-listrikan : Undang-undang hanya mengatur masalah ketenagalistrikan sebagai energi sekunder yang bersumber dari energi primer. Sedangkan tenaga dari air arus laut sebagai sumber energi primer belum ada peraturan perundang-undangan. Berkenaan dengan itu maka selanjutnya kami mencoba menginventarisasi masalah yang mungkin timbul tetapi belum diatur, dan bagaimana mengaturnya dalam perundangundangan nasional, sehingga implementasi hukum laut internasional di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tidak saja diatur pada tingkat undang-undang tetapi sekaligus dengan peraturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden maupun keputusan menteri, dengan memperlihatkan dan mempertimbangkan kepentingan lain, misalnya: Peraturan pelaksanaan tentang pulau buatan instalasi dan bangunan lainnya dilepas pantai : pengertian/istilah, misalnya tentang pulau buatan, instalasi, bangunan lainnya dan pengertian lepas pantai. Kewenangan memberikan ijin. Pengawasan dan keselamatan kerja. jenis-jenis pulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya. Fasilitas yang harus ada diatas bangunan lepas pantai. Lokasi bangunan yang diizinkan dan daerah terlarang untuk membangun. Kewajiban pemilik instalasi dalam kegiatan pertambangan dan energi di lepas pantai. Tata cara dan syarat untuk membangun pulau buatan, instalasi dan bangunan lainnya. Peraturan pelaksanaan tentang pipa penyalur kabel dilepas pantai, antara lain:
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
97
a. b. c. d. e.
Kewajiban pengusaha untuk memberitahukan maksudnya dan rencana memasang pipa penyalur/kabel laut dilepas pantai. Keharusan untuk menjamin keselamatan dan keamanan para pekerja atau pelayaran. Syarat-syarat pemasangan pipa penyalur/kabel laut demi keselamatan kerja. Kewajiban untuk membongkar pipa penyalur/kabel yang tidak terpakai lagi. Membuat peta tentang letak trayek pipa penyalur/kabel laut.
3.2.3 Perhubungan Laut (Pelayaran) Mengacu terhadap RUU Hukum Perdata Maritim dan Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan Pengganti Buku ke Dua KUHD Tentang pelayaran versi Badan Pembinaan Hukum Nasional. Salah satu alasan untuk dimunculkan dalam ruang tanya jawab agar khalayak dapat mengetahui bahwa materi di atas sebetulnya sudah ada dan siap untuk dijadikan peraturan perundang-undangan khususnya hukum maritime perdata. Silahkan Bapak dan lbu pembaca menyimaknya : Pada saat ini pemerintah (melalui Departemen Perhubungan dan Dewan Maritim Indonesia) berusaha untuk membentuk sebuah undang-undang pokok kemaritiman beserta undangundang yang menjadi peraturan pelaksanaannya, adapun lembaga MRM dan Forum Masyarakat Maritim Indonesia pun mengupayakan (mungkin tidak bersifat menyeluruh hanya bidang-bidang tertentu seperti pelaut) dan juga demikian halnya The Habibie Center (THC) untuk Hukum Perdata Maritim. RUU Perdata Maritim Peraturan perundang-undangan perdata maritime (buku IV) yang merupakan proyek pengembangan hukum maritime kerja sama antara Departemen Perhubungan Laut dengan FHUI yang dipergunakan sebagai dasar peraturan maupun sebagai pedoman selain kitab undang-undang hukum dagang, kitab undang-undang hukum maritim dan peraturan internasional lainnya adalah antara lain konvensi-konvensi seperti Hamburg Rules, United Nation Convention on Internasional Multimoda Transport of goods, Athens Convention Relating to the Carriage of Passengers and Their Luggage Sea, Convention for the Unification of Certain Rules of Law Relating with Respect to Collision, Conention for the Unification Realating to Assistance and Salvage dan London Convention on Liability. RUU Perdata Maritim terdiri dari 22 bab dan kami akan membahaS mulai Bab II, yakni Freight Forwarding. Bab II (Freight Forwarding) Ketentuan bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal : Peraturan Freight Forwarding diberlakukan untuk siapa. Peraturan Freight Forwarding diberlakukan untuk para pihak yang menandatangani kontrak Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
98
-
Freight Forwarding yaitu Freight Forwarding dan pemberi kuasa. Kewajiban Freight Forwarding dan kewajiban pemberi kuasa. Kewajiban Freight Forwarding dalam pengiriman barang adalah memberlakukan kepada pemberi kuasa bilamana ada kerugian, kerusakan atau penundaan, sedangkan kewajiban pemberi kuasa adalah menjamin barang-barang siap untuk dimuat. Catatan Pengaturan mengenai freight forzuarder di bidang hukum (publik) sangat tidak menopang keberadaan usaha tersebut (dimana pihak gafeksi pada waktu kami mengadakan acara diskusi panel dengan topik Bedah Peraturan Pemerintah No 82 tahum 1999 tentang angkutan di perairan meminta agar pasalpasal tentang freight forwarder ditinjau ulang karena sudah tidak sesuai dengan lingkup usaha mereka yang meliputi darat, laut, dan udara, apalagi pengaturan mengenai hukum perdata bagi mereka. Bab III ( Shipbroker) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal : Ruang lingkup kontrak shipbroker. Ruang lingkup kontrak ship broker yang meliputi kontrak-kotrak: Penjualan dan pembelian kapal. Pencharteran. Penarikan atau asuransi laut. Catatan Kontrak perdagangan perantara adalah kontrak dengan mana satu pihak, pedagang perantara mengikat diri untuk bertindak sebagai peratara dalam menandatangani kontrak-kontrak sebagaimana telah disebut di atas. Saat pemberian laporan perhitungan. Pemberian laporan perhitungan harus diberikan segera sesudah pelaksanaan perintah. Bab XI (Pengangkutan penumpang lewat laut) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal: Kontrak pengangkutan penumpang lewat laut berarti kontrak penumpang-penumpang yang melalui laut yang bukan merupakan charter menurut waktu ataupun menurut perjalanan. Bagaimana mengenai lama masa pengangkutan penumpang lewat laut (termasuk untuk bagasi kapal dan bagasi-bagasi lainnya) yakni pada waktu diatas kapal, selama dinaikkan ke kapal, di turunkan dari kapal dan diangkut dari daratan ke kapal dan sebaliknya. Tanggungjawab pengangkut : a. Sejauh mana tanggungjawab atas kematian dan luka pada penumpang selama masa pengangkutan. b. atas kerusakan atau kerugian bagasi. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
99
-
Yakni pengangkut akan bertanggungjawab atas kerusakan yang diderita sebagai akibat kematian penumpang atu luka-luka pada penumpang dan kerugian bagasi atau kerusakan atas bagasi jika kejadian yang mengakibatkan kerusakan diderita terjadi selama pengangkutan karena kesalahan atau kelalaian pengangkut atau pembantu-pembantunya atau agen-agen yang bertindak dalam bidang pekerjaan mereka. Bagaimana mengenai penentuan besarnya kerugian yang harus dibayar pengangkut. Yakni adanya batas ganti rugi pengangkut untuk kematian atau luka-luka perorangan/ penumpang tidak melampaui jumlah pengangkutan yang ditentukan, oleh peraturan menurut undang-undang adanya batas ganti rugi pengangkut untuk kerusakan/kerugian bagasi yakni sama sekali tidak akan melampaui jumlah per setiap penumpang yang ditentukan oleh peraturan-peraturan menurut undang-undang.
Bab XII (pengangkutan barang multi modal) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal : Pengertian multimodal transport of goods. Yakni pengangkutan barang-barang dengan paling sedikit. Modal transport yang berdasarkan kontrak pengangkutan barang-barang dengan berbagai moda. Dokumen apa yang dipergunakan untuk pengangkutan dengan berbagai moda. Yakni CT (combined transport) yang ditanda-tangani dan diberi tanggal oleh penyelenggara pengangkutan dengan berbagai moda. Bab XIII (pengangkutan penumpang multimode) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal: Ketentuan pengangkutan penumpang multimode. Yakni pengangkutan penumpang dengan paling sedikit 2 moda transport berdasarkan kontrak pengangkutan penumpang dengan berbagai moda. Macam pengangkutan penumpang multi moda. Yakni ada 5 macam pengangkutan dengan berbagai moda yaitu: Melalui jalan kereta api, perairan perdalaman, laut dan udara. Bab XIV (pengangkutan, perhitungan, pertimbangan, pemeriksaan, barangbarang) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal : penentuan pejabat yang berwenang untuk menetapkan dan mencatat pengukurpengukur, pembanding-pembanding, maupun perhitungan-perhitungan resmi serta pemeriksa-pemeriksa resmi. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
100
-
Yakni ketua pengadilan dalam juridiksi pengukuran, pembanding, penghitungan, dan pemeriksaan mempunyai kompetisi untuk mendengarkan permohonan untuk mengukur, menimbang, menghitung, dan memeriksa. Laporan harus diajukan kepada siapa dan bagai mana akibat dari laporan yang telah dibuat. Yakni laporan harus diberikan secara tertulis kepada pemohon dan salinan dilaporkan kepada pihak lain atas permintaan yang bersangkutan, sedang akibat laporan adalah mengikat pihak-pihak yang berkepentingan kecuali bila ketidaktelitian dapat dibuktikan.
Bab XV (Towage) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur hal-hal : Pengertian kontrak penarikan (towage contract). Yakni kontrak dimana satu pihak perusahaan penarik berusaha dengan pembayaran terhadap pihak lain, pemberi kuasa untuk menarik kapal, penarikan melalui laut atau perairan dalam dari satu tempat ke tempat lain (catatan: kontrak penarikan adalah meliputi kontrak mendorong, mengemudikan kapal yang dirangkaikan dan mengirim tenaga penggerak). Penentuan kontrak bantuan penarikan. Yakni kontrak untuk satu pihak perusahaan penarikan, berusaha dengan pembayaran terhadap pihak lain, pemberi kuasa untuk menolong kapal, penarikan dengan mengarahkannya dalam pelabuhan-pelabuhan atau tempat berlabuh lainnya atau jalan-jalan lintasan. Apa saja yang dimaksudkan sebagai kerugian dan kerusakan ( termasuk kematian atau luka-luka ). Yakni lihat pada awar umum dan penyelamatan. Bab XVI (Tubrukan) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal: 1. Untuk siapa ketentuan-ketentuan tentang penyelamatan harus diberlakukan. Yakni peraturan perundang-uandangan ini berlaku terhadap semua tindakan penyelamatan yang menyangkut semua jenis kapal dan dikeluarkan di perairan Indonesia dan perairan yang tunduk pada yurisdiksinya. 2. Adanya kemungkinan tidak dikehendakinya suatu pemberian bantuan oleh kapal yang sedang mengalami musibah. Yakni bantuan tidak akan diberikan kepada kapal yang berada dalam bahaya, pada benda-benda terapung, tenggelam ataupun terdampar dipantai dan berasal dari kapal apabila dilarang secara tegas dan wajar oleh pihak kapal.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
101
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Bagaimana mengenai bantuan dan penyerahan barang setelah penyelamatan. Yakni mengenai pengawasan bantuan dimaksudkan untuk menjamin agar suatu barang yang diberikan tidak merugikan pemilik kapal dan atau barang-barang yang diselamatkan, sedangkan penyerahan barang setelah penyelamatan adalah penentuan agar pihak penyelamat akan segera menyerahkan kapal dan atau barang-barang yang diselamatkan setelah tindakan penyelamatan selesai dilaksanakan dengan tidak mengurangi hak retensi pihak penyelamat. Pengaturan mengenai jumlah imbalan atas penyalamatan dan pembatalan imbalan dari penyelamatan Yakni setiap kontrak penyelamatan yang berhasil dilaksanakan dengan baik berhak untuk memperoleh imbalan yang layak. Apa bila terbukti bahwa persetujuan dari salah satu pihak diberikan karena adanya kecurangan atau penipuan apabila imbalan yang diberikan tidak sebanding dengan jasa-jasa yang telah diberikan (terlalu besar atau terlalu kecil), maka perjanjian dapat dibatalkan atau diubah oleh pengadilan atas permintaan pihak yang dirugikan. Menentukan orang atau badan yang dapat dinyatakan sebagai yang berhak memperoleh imbalan jasa penyelamatan. Yakni orang-orang atau kelompok orang yang memberikan bantuan berhak untuk mendapatkan imbalan. Pengaturan tentang keadaan dimana seorang awak kapal melepaskan hak untuk memperoleh imbalan yang seharusnya diperoleh suatu kapal atau haknya untuk memperoleh imbalan hapus. Yakni pelepasan hak kepada siapa oleh seorang awak kapal untuk memperoleh imbalan adalah batal. Penentuan pihak-pihak yang dinyatakan tidak berhak mem-peroleh suatu imbalan jasa penyelamatan. Yakni orang-orang yang diatas kapal tidak berhak untuk mendapati imbalan. Peranan penetapan pengadilan dalam pelaksanaan pembagian imbalan dan cara pembagiannya. Yakni pengadilan sebagai lembaga yang berwenang untuk menentukan pembagian imbalan. Penentuan pihak-pihak mana yang berhak membayarkan imbalan penyelamatan. Yakni terhadap kapal berserta segala sesuatunya akan dibayar pemilik kapal. Terhadap barang-barang yang terapung, tenggelam, atau terdampar dipantai yang tidak merupakan kapal akan dibayar oleh pemilik barang yang bersangkutan.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
102
Bab XXI (Penahanan kapal) Ketentuan hukum mengenai penahanan kapal sebenarnya telah diatur dalam KUHP. Di bawah hukum Indonesia, penahanan boleh diadakan atas semua kepunyaan yang dimiliki oleh yang berhutang, apakah yang berhutang orang Indonesia atau orang asing. Penahanan boleh dilakukan untuk semua tuntutan-tuntutan dari sejak apapun dan bagaimanapun timbul. Konvensi internasional yang berhubungan dengan penahanan kapal adalah internasional conventional relating to the arrest of sea goods shipping. Bab XXII (Penyelesaian sengketa) Ketentuan dalam bab ini adalah mengatur mengenai hal-hal: Hal-hal apa yang akan diajukan kepada pengadilan maritim. Yakni sudah sepatutnya masalah-masalah maritime di tangani oleh suatu pengadilan khusus yang merupakan bagian dari badan peradilan umum. Susunan peradilan Maritim. Penentuan 4 pengadilan negeri yang berwenang mengadili kasus Maritim pada tingkat pertama yang terletak di 4 kota pelabuhan terbesar yakni PN di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Ujung Pandang. Penentuan 2 pengadilan tingkat banding yang juga merupakan bagian dari pengadilan banding yang umum dengan wilayah yuridiksi masing-masing pengadilan tingkat banding maupun tingkat pertama tersebut akan ditetapkan dengan penetapan undangundang : Yakni Menteri Kehakiman yang berwenang untuk menetapkan 4 PN pada kota-kota pelabuhan terbesar di Indonesia sebagai pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili sengketa-sengketa Maritim. Yakni Menteri Kehakiman adalah pejabat yang akan menerbikan surat keputusan untuk penentuan yuridiksi bagi masing-masing pengadilan yang menangani tingkat bandingnya. Perlunya dibentuk tim Hakim Maritim yang khusus menangani persoalan-persoalan Maritim, di samping itu juga menangani kasus-kasus umum lainnya. Yakni Menteri Kehakiman akan menunjuk hakim yang akan bertindak sebagai tim hakim Maritim (untuk menunjang pelaksanaan kasus-kasus Maritim oleh tim khusus itu, disamping pemerintah perlu mengadakan peningkatan pendidikan bagi hakimhakim yang dimaksud di dalam maupun di luar negeri ). Bagaimana mengenai hukum acara bagi peradilan Maritim. Yakni Menteri kehakiman perlu mengeluarkan penetapan bahwa ketentuan hukum acara perdata umum berlaku pula bagi acara peradilan atas kasus-kasus maritim.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
103
-
Penentuan mengenai yuridiksi sengketa-sengketa maritim. Yakni penentuan yuridiksi sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang tetapi untuk pelaksanaannya. perlu di tertibkan suatu penetapan oleh Menteri Kehakiman.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya pada tahun 1984-1987 Univesitas Indonesia dan Direktorat Jendral Perhubungan Laut Departemen Perhubungan dengan dana dari bank Pembangunan Dunia telah pernah menangani suatu proyek pengembangan Hukum Maritim yang tugasnya meneliti dan meninjau kembali peraturan perundang-undangan maritim Indonesia dan menyusun rancangan naskah akademik peraturan perundang-undangan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia dengan memperhatikan pula konvensikonvensi internasional yang relevan. Sehubungan dengan itu maka tim dalam melaksanakan tugasnya merujuk kepada sebagian bahan-bahan hasil proyek tersebut, khususnya mengenai aspek perdata hukum maritim dengan dimana perlu mengadakan, peninjauan kembali perubahan seperlunya sesuai dengan temuan-temuan permasalahan yang timbul pada waktu ini Dalam hal ini materi dalam buku IV (Hukum Maritim Perdata) dari proyek Pengembangan Hukum Maritim mempunyai beberapa persamaan materi dengan naskah akademik dari BPHN dan dapat saja perubahan materi buku keempat tentang Hukum Maritim di sesuaikan dengan rancangan akademis dari BPHN dan ditambahkan dengan perkembanganperkembangan maritim terakhir. Angkatan laut Khusus Wajib Memiliki Ijin Bagi kegiatan angkutan laut khusus, untuk melakukan kegiatan wajib memiliki izin operasi dengan memenuhi persyaratan: Memiliki ijin usaha dari instansi pembina usaha pokoknya di-sertai salinan Akta Pendirian Perusahaan. Memiliki sekurang-kurangnya I (satu) unit kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran dan tipe kapal disesuaikan dengan jenis usaha pokoknya yang dibuktikan dengan salinan grosse, akte, surat ukur dan sertifikat keselamatan kapal yang masih berlaku. Memiliki surat sekurang-kurangnya 1 (satu ) orang tenaga ahli setingkat Diploma III dibidang ketatalaksanaan dan atau nautika dan atau teknika pelayaran niaga. Memiliki surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang. Memiliki nomor pokok wajib pajak ( NPWP ). Penyelenggaraan angkutan laut khususnya yang telah mendapat ijin operasi wajib : Memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam ijin opersi angkutan laut khusus. Melakukan kegiatan operasional secara nyata dan terus menerus selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak ijin operasi diterbitkan. Mematuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pelayaran serta peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya yang masih berlaku. Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
104
-
Memberi prioritas akomodasi untuk taruna atau siswa yang melaksanakan praktek kerja lapangan. Melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi ijin, apabila terjadi perubahan nama direktur utama atau penaggungjawab atau pemilik atau domisili atau NPWP perusahaan dan status kepemilikan kapalnya selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak terjadinya perubahan tersebut. Melaporkan pengoperasian kapal milik dan atau kapal carter setiap 3 (tiga ) bulan kepada pejabat pemberi ijin. Penyelenggaraan kegiatan angkutan laut khusus yang telah melakukan kegiatan operasi wajib menyampaikan : a. Laporan pemberitahuan umum kedatangan dan keberangkatan kapal (LK3) kepada administrator pelabuhan (adpel)/kantor pelabuhan setempat (Kanpel). b. Laporan bulanan kegiatan kunjungan kapal kepada Adpel/Kanpel setempat selambatlambatnya dalamn 14 (empat belas) hari pada bulan berikutnya yang merupakan rekapitulasi dari laporan kedatangan dan keberangkatan kapal (K3). c. Laporan realisasi perjalanan kapal (voyage report) setiap bulan kepada pejabat pemberi ijin. d. Laporan tahunan perusahaan kepada pejabat pemberi ijin, selambat-lambatnya tanggal 31 Maret pada tahun berjalan yang merupakan rekapitulasi perjalanan kapal (voyage report). Trayek liner & Tramper Untuk Pelayaran Antar Pulau Kegiatan angkutan laut dalam negeri, dilakukan dengan trayek tetap/teratur atau liner dan trayek tidak tetap/tidak teratur atau tramper. Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek liner diselenggarakan, dalam jaringan trayek yang terdiri dari : a. Trayek utama yang diselenggarakan dengan memenuhi syarat pokok pelayanan angkutan laut yakni menghubungkan antara pelabuhan yang berfungsi sebagai pusat akumulasi dan distribusi. (Catatan : Yang bersangkutan harus menyebutkan pelabuhan singgah disertai jadwal kunjungan kapal di setiap pelabuhan. Dan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mengoperasikan kapal tertentu; b. menyinggahi beberapa pelabuhan secara tetap dan teratur atau liner serta berjadwal; c. mengangkut penumpang, container dan barang/muatan umum; d. mengumumkan tarif angkutan dan jadwal kedatangan serta keberangkatan kapalnya) b. Jaringan trayek liner disusun oleh Direktur Jenderal bersama-sama dengan instansi terkait. Asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dan asosiasi pengguna jasa angkutan laut dengan memperhatikan : Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
105
a. b. c.
pengembangan pusat industri, perdagangan dan pariwisata; pengembangan daerah; keterpaduan intra moda transportasi laut yang meliputi angkutan laut dalam negeri, kegiatan angkutan laut khusus, angkutan laut perintis dalam pelayaran rakyat serta keterpaduan antar moda transportasi yang meliputi transportasi darat (angkutan sungai, danau dan penyeberangan), laut dan udara; d. perwujudan kesatuan nusantara. c. Trayek pengumpan yang merupakan penunjang trayek utama yang diselenggarakan dengan memenuhi syarat pokok pelayanan angkutan laut, yakni : 1. Menghubungkan pelabuhan yang berfungsi sebagai pusat akumulasi dan distribusi dengan pelabuhan yang bukan berfungsi sebagai pusat akumulasi; atau 2. Menghubungkan pelabuhan yang bukan berfungsi sebagai pusat akumulasi dan distribusi dengan pelabuhan yang bukan berfungsi sebagai pusat akumulasi dan distribusi lainnya. d. Trayek perintis diselenggarakan dengan memenuhi syarat pokok pelayanan angkutan laut, yakni menghubungkan daerah terpencil, daerah yang belum berkembang dan atau daerah perbatasan dengan pelabuhan yang bukan berfungsi sebagai pusat akumulasi dan distribusi atau pelabuhan yang bukan berfungsi sebagai pusat akumulasi dan distribusi. Sedangkan pembukaan trayek baru dapat dilakukan dengan memperhatikan : 1. adanya permintaan jasa angkutan laut yang potensial dengan perkiraan faktor muatan yang layak dan berkesinambungan, kecuali trayek angkutan laut perintis; 2. tersedianya fasilitas pelabuhan yang memadai atau lokasi lain yang ditunjuk untuk kegiatan bongkar muat yang dapat menjamin keselamatan kapal. Penetapan Trayek Angkutan laut Penempatan trayek yang terbuka untuk penambahan kapasitas angkutan laut dilakukan dengan memperhatikan : a. Faktor muatan yang layak dan berkesinambungan, yang tidak tertampung oleh kapalkapal yang ditempatkan pada trayek tersebut; b. Tersedianya fasilitas pelabuhan yang memadai. Selain daripada alasan di atas, penetapan trayek yang terbuka untuk penambahan kapasitas angkutan laut lapat dilakukan ber-dasarkan : a. adanya kebutuhan dari daerah yang bersangkutan didukung dengan data dari informasi tentang pertumbuhan ekonomi dan perdagangan serta mobilitas penduduk setempat. b. adanya usulan dari asosiasi pemilik barang; dan c. adanya usulan dari asosiasi pemilik kapal. Penetapan trayek yang terbuka untuk penambahan kapasitas laut ditetapkan oleh Direktur Jenderal yang selanjutnya diumumkan melalui : Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
106
a. b.
Forum koordinasi informasi Muatan dan Ruang Kapal (IMRK); Mass Media serta media lainnya. (Catatan): 1. Direktur Jenderal melakukan evaluasi kebutuhan penambahan kapasitas angkutan laut pada tiap-tiap ruas trayek dan mengumumkannya sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan. 2. Penempatan kapal pada trayek yang telah ditetapkan dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional. 3. Penempatan kapal pada trayek yang telah ditetapkan, dilakukan dengan mempertimbangkan : a. diutamakan kapal berbendera Indonesia; b. keseimbangan permintaan dan tersedianya ruang kapal (supply and demand); c. kondisi, alat dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; d. tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan. 4. Perusahaan angkutan laut nasional wajib melaporkan penempatan kapalnya dalam trayek kepada Direktur Jenderal dan wajib melayani kegiatan angkutan laut secara nyata pada trayek dimaksud sekurang-kurangnya dalam 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dilaporkan. 5. Perusahaan Angkutan Laut Nasional yang telah melaporkan penempatan kapalnya apabila tidak dilayani secara nyata pada trayek dimaksud diberikan sanksi. 6. Terhadap perusahaan angkutan laut yang telah menempatkan dan mengoperasikan kapalnya pada trayek tetap dan teratur/ liner, akan diberikan penghargaan (reward) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 7. Kapal yang telah dilaporkan penempatannya, harus di daftar sebagai potensi armada dalam suatu trayek yang merupakan satu kesatuan dengan trayek lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal untuk menjadi pedoman dalam melakukan pengawasan.
3.2.4 Parawisata Bahari Pembangunan Parawisata Bahari, secara yuridis selain memperhatikan ketentuan Undangundang Parawisata. Juga memperhatikan Undang-undang di bidang kelautan karena pembangunan Parawisata Bahari, merupakan bagian integral dari Pembangunan kelautan pada masa yang akan datang diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi. Demikian pula dengan semakin meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan yang diwujudkan, antara lain, dengan (a) mendorong jasa pendidikan dan pelatihan yang berkualitas di bidang kelautan untuk bidang-bidang Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
107
keunggulan yang diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja dan (b) me-ngembangkan standar kompetensi sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan sistem informasi kelautan. Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1986 sehingga mem-punyai kewajiban, antara lain, (a) menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumber daya kelautan berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; (b) menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonom: eksklusif, dan landas kontinen); (c) menyelesaikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut; (d) menyampaikan laporan data nama geografis sumber daya kelautan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di sisi lain, Indonesia juga perlu pengembangan dan penerapan tata kelola dan kelembagaan nasional di bidang kelautan, yang meliputi (a) pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan yang mendukung ke arah terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan serta (b) pengembangan sistem koordinasi, perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi (a) peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; (b) pengembangan sistem monitoring, control, and suruaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan sumber daya, lingkungan, dan wilayah kelautan; (c) pengoptimalan pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan; dan (d) peningkatan koordinasi keamanan dan penanganan pelanggaran di laut. Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan. Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a) pengembangan sistem mitigasi bencana; (b) pengem bangan early warning system; (c) pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di laut; (d) pengembangan sistem pengendalian hama laut, introduksi spesies asing, dan organisme laut yang menempel pada dinding kapal; serta (e) pengendalian dampak sisa-sisa bangunan dan aktivitas di laut. Jika hendak membangun industri maritim tentu harus memperhatikan peraturan perundangundangan tersebut diatas. Pembangunan maritim bagi bangsa Indonesia merupakan suatu keharusan yang dituntut oleh alam lingkungannya berupa kepulauan yang terdiri atas banyak pulau dan laut yang sangat luas. Pembangunan maritime Indonesia yang telah dirintis pada GBHN 1993, sudah selayaknya untuk ditingkatkan pada GBHN yang akan datang. Pembangunan maritim Indonesia jangka panjang dalam rangka pembangunan BMI (Benua Maritim Indonesia) pada hakekatnya adalah pembangunan nasional yang lebih memberikan penekanan dalam memanfaatkan unsur maritim. Penguasaan, pengembangan, pemanfaatan dan penerapan iptek maritim yang meliputi pengelolaan wilayah pesisir dan laut, perikanan laut, transportasi laut, maritim, pertambangan dan energi dan wisata bahari secara terpadu, membutuhkan komitmen pernerintah di semua Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
108
tingkatan (pusat dan daerah) serta dukungan upaya pengembangan sumber daya alam secara optimal, penungkatan kualitas SDM, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga berdaya saing tinggi serta pemantapan lembaga dan peraturan perundangundangan yang mendukung. Dalam jangka pendek, penguasaan teknologi diharapkan dapat berperan dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dalam jangka panjang diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian, ketangguhan dan keunggulan. Sehingga berbagai produk yang dihasilkan dapat berdaya saing tinggi baik dalam skala regional maupun internasional. Dewan Maritim Indonesia dalam rangka merumuskan visi dan misi maritim Indonedia telah menyelenggarakan sarasehan nasional pada tanggal 28 dan 29 Juli 2000. Visi dan misi tersebut terdapat dari para birokrat (Ketua MPR, Mendagri, Menristek, Menperindag, Menhub, KSAL, Gubernur Sumatera Selatan, Gubernur Jawa Tengah) Pakar (Prof Hasyim Djalal), Asosiasi dan Stakeholder (Laksda (Purn) Machmud Subarkah). Visi dan misi di atas dikelompokkan menjadi 7 bidang, yaitu : bukum, wilayah, potensi, industri dan jasa, SDM, lingkungan hidup dan sosialisasi. Dari hasil sarasehan nasional tersebut didapat saran-saran, antara lain : 1. Perundang-undangan perlu segera diciptakan bagi kepastian maritim Indonesia. 2. Sarasehan tersebut diharapkan dapat menelurkan suatu kebijaksanaan pengelolaan maritime. 3. DMI harus mengeluarkan the real plan dan the implementation scheme dalam posisinya yang strategis dalam memajukan industri maritim. Atas dasar dalam rangka pembangunan menuju Negara bangsa maritime, dan Kebangkitan Nasional Menuju Negara Bangsa Maritim. Kedepannya pun akan berkembang Industri maritim, agar semua berjalan sesuai dengan hal di inginkan perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
109
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN INDUSTRI DAN JASA KELAUTAN 4.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Pada bagian ini merupakan garis besar dari faktor yang mempengaruhi Industri dan Jasa Kelautan Nasional dengan mengindentifikasi faktor internal dan eksternal yang dapat dijabarkan dalam tabel berikut ini : Tabel 1. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Industri Perikanan dan Biota Laut lainnya NO.
FAKTOR INTERNAL STRENGTHS
WEAKNESSES
S1
Potensi industri perikanan Indonesia yang W1 Kebijakan Perikanan dan biota laut lainnya sangat besar Potensi lestari sumberdaya ikan yang belum mendukung laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,6 juta ton per tahun, yang terdiri dari potensi di perairan wilayah Indonesia 4,5 juta ton per tahun, dan perairan ZEEI sekitar 2,1 juta ton per tahun.
S2
Posisi geografis Indonesia yang strategis.
W2 Infrastruktur dan penguasaan teknologi yang terbatas.
S3
Competitive Labour Cost.
W3 Kemampuan dalam mengembangkan jaringan pemasaran (Marketing Network)
NO
FAKTOR EKSTERNAL OPPORTUNITIES
THREATHS
O1
Kebutuhan protein ikan dunia yang terus meningkat.
T1
Pembukaan lahan tambak yang tidak terkendali.
O2
Kebutuhan tenaga kerja di pasar internasional.
T2
Hingga saat ini kondisi nelayan masih terus miskin, kumuh, tertinggal dan tidak berpendidikan, disebabkan karena, sumber daya ikan hanya menjadi kurasan kemegahan sektor lainnya.
O3
Kebutuhan hasil biota laut lainnya bagi kehidupan manusia di masa akan datang (farmasi, kosmetik dll).
T3
Politik dagang berupa ancaman penolakan ekspor.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
110
Tabel 2. Identifikasi faktor internal dan eksternal Industri pertambangan di laut NO
FAKTOR INTERNAL STRENGTHS
WEAKNESSES
S1
Indonesia mempunyai potensi pertambangan W1 Belum terdapatnya kebijakan-kebijakan yang laut yang cukup besar . menunjang pemberdayaan sumber daya energi dan mineral serta kemampuan SDM.
S2
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sekitar 75 persen wilayahnya terdiri dari laut mengandung sumber energi yang cukup menjanjikan yang dapat diolah dan dikelola untuk kebutuhan pembangunan nasional
W2 Belum terbangunnya sistem pengembangan SD Mineral yang terpadu dan industriindustri sumber energi alternatif.
S3
Banyaknya sumber daya mineral laut yang dapat dikembangkan untuk Iptek
W3 Belum termanfaatkannya potensi sumber daya energi dan mineral khususnya yang berasal dari laut.
S4
Potensi dasar laut yang besar sebagai modal pengembangan klaim dasar laut internasional di area laut bebas lainnya
W3 Belum optimalnya data sumber daya mineral bawah laut serta diplomasi luar negeri
NO
FAKTOR EKSTERNAL OPPORTUNITIES
THREATHS
O1
Mempunyai sumber energi alternatif yang berasal dari laut dengan jumlah yang cukup, berkualitas, yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri.
T1
Sumber-sumber energi dan mineral yang tersedia dikerjasmakan oleh pihak ketiga dan sudah semakin menipis.
O2
Kemandirian dalam pengusahaan energi dan mineral melalui peningkatan dan pemanfaatan produksi dalam negeri yang mampu bersaing di pasar global.
T2
Sumber daya dan teknologi negara lain yang cukup maju di bidang mineral dan energi.
O3
Mendayagunakan energi alternative yang berasal dari laut.
T3
Masih sedikitnya SDM yang bekerja pada riset energi alternatif
O4
Peluang sumber daya dan energi di laut lepas
T4
Aktivnya negara maju dalam klaim mineral dan energi laut lepas.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
111
Tabel 3. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Industri Perhubungan Laut NO
FAKTOR INTERNAL STRENGTHS
WEAKNESSES
S1
Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia
S2
Potensi komoditas yang memerlukan ekspor W2 maupun impor.
Infrastruktur dan pengembangan IPTEK yang terbatas.
S3
Potensi Sumber Daya Manusia yang besar
W3
Daya saing sumberdaya manusia pelayaran, baik pelaut maupun sumberdaya manusia di industri pelayaran masih relatif rendah.
W4
Posisi strategis Indonesia yang menghubung- W4 kan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, negara-negara industri maju.
Dukungan dari pihak perbankan terhadap pengembangan industri pelayaran masih sangat rendah dan belum terbentuknya kerja sama strategis di sektor perhubungan laut
NO
W1
Sistem peraturan perundang-undangan yang kurang berpihak pada pelaku usaha nasional dalam mendukung industri perhubungan laut.
FAKTOR EKSTERNAL OPPORTUNITIES
THREATHS
O1
Rencana pelaksanaan asas cabottage di perairan Indonesia.
T1
Kondisi ekonomi dan perbankan nasional yang belum mendukung dibangunnya armada pelayaran.
O2
Armada pelayaran yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri, maju dan kuat secara manajerial dan teknologi, yang berbasis kepentingan nasional.
T2
Tumbuhnya kekuatan pelayaran regional seperti Singapura, India, RRC, dll.
O3
Kebutuhan pelaut internacional yang cukup tinggi.
T3
Citra Indonesia dalam kancah bisnis transportasi laut dunia yang masih dikategorikan sebagai transportasi laut yang beresiko tinggi, berkenaan dengan keselamatan dan standarisasi pelayaran.
O4
Masih kurangnya armada kapal yang menghubungkan pulau-pulau kecil dan wilayahwilayah terpencil di dalam negeri.
T4
Perusahaan pelayaran tidak mampu mengembangkan armada, karena kurangnya permodalan dan manajemen yang baik, sehingga tidak mampu bersaing menghadapi kapal asing.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
112
Tabel 4. Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal Industri Pariwisata Bahari NO
FAKTOR INTERNAL STRENGTHS
WEAKNESSES
S1
Indonesia terkenal sebagai negara yang sangat kaya dengan obyek pariwisata kelautan, merupakan salah satu negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang 95.181 km.
S2
Adanya pengakuan tiga titik yang berlokasi di W2 Indonesia yaitu di Tulamben (Bali), likuan 2 (Manado), dan Pulau Tomia (Wakatobi) dari 50 titik wisata bahari dunia yang bertaraf internasional.
Indonesia belum menjadi tujuan pelayaran wisata (cruise ship) dari negara
S3
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman biota laut di dunia
Kurangnya promosi dan citra Indonesia di dunia internasional khususnya wisata bahari.
NO
W1
W3
Belum adanya kebijakan dari pemerintah yang mendorong berkembangnya pariwisata kelautan nusantara.
FAKTOR EKSTERNAL OPPORTUNITIES
THREATHS
O1
Indonesia dapat menjadi salah satu tujuan pelayaran wisata (cruise ship) yang penting di dunia.
T1
Bencana alam.
O2
Indonesia dapat menjadi salah satu kawasan tujuan wisata terkemuka di dunia.
T2
Citra keamanan nasional dan pengelolaan kesehatan lingkungan yang buruk.
O3
Indonesia memiliki posisi strategis secara geografis
T3
Citra transportasi laut dan udara yang belum membaik.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
113
Tabel 5. Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal Industri Maritim NO
FAKTOR INTERNAL STRENGTHS
WEAKNESSES
S1
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar W1 di dunia.
Kebijakan yang kurang berpihak pada pelaku usaha nasional dalam mendukung industri maritim.
S2
Potensi komoditas yang memerlukan ekspor W2 maupun impor.
Infrastruktur dan pengembangan IPTEK yang terbatas.
NO
FAKTOR EKSTERNAL OPPORTUNITIES
THREATHS
O1
Kebutuhan galangan kapal yang berstandar internasional.
T1
Kemampuan alih teknologi Negara tetangga yang lebih pesat
O2
Kebutuhan pelayaran internasional untuk pelabuhan hub port standar internasional.
T2
Ekonomi yang belum pulih untuk pembangunan industri maritim serta kemampuan negara tetangga dalam menangkap peluang pasar internasional.
4.2 Analisis 5 Sektor Industri dan Jasa Kelautan Analisa ini adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat ditentukan oleh suatu kombinasi antara faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Kumpulan faktor-faktor tersebut oleh karenanya harus dipertimbangkan pada saat melakukan analisa situasi dengan mengakomodir kekuatan dan kelemahan-kelemahan internal serta peluang dan tantangan-tantangan yang penting dalam kegiatan Industri dan Jasa Kelautan Nasional. Dalam analisis, data-data diolah dan dikompilasi berdasarkan studi literatur, wawancara dan brainstorming serta pendahuluan yang telah dikemukakan, dan gambaran umum serta profil potensi industri dan jasa di daerah. Untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan internal dari pembangunan energi sumber daya mineral dapat disesuaikan dengan peluang dan ancaman, untuk memilih strategi yang akan diambil maka disusun formulasi strategi yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
114
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
115
STRATEGI ST 1. Perlu dilakukan penataan yang baik bagi lahan tambak.
THREATHS 1. Pembukaan lahan tambak yang tidak terkendali.
STRATEGI WT 1. Diperlukan kebijakan penataan pembukaan lahan tambak.
STRATEGI SO STRATEGI WO 1. Menjadikan Indonesia sebagai industri 1. Perlu adanya kebijakan yang antisipasif dan perikanan yang maju yang dapat memenuhi adaptif mendukung potensi industri perikanan kebutuhan sendiri dan luar negeri dengan dan biota laut lainnya. di dukung oleh manajerial dan teknologi 2. Perlu pembangunan infrastruktur industri tinggi, yang berbasis kepentingan nasional perikanan baik perencanaan maupun dengan memanfaatkan 100 % potensi pendanaan. lestarinya guna kemakmuran bangsa 3. Perlu perencanaan wilayah dalam kaitannya 2. Perlu peningkatan pendidikan dan dengan pembangunan industri perikanan pelatihan di sektor perikanan yang berdisesuaikan dengan tujuan pemasaran. standar internasional. 3. Pemanfaatan Labour Cost yang kompetitif untuk menghasilkan produk-produk dengan harga jual yang kompetitif.
OPPORTUNITIES 1. Kebutuhan protein ikan dunia yang terus meningkat. 2. Kebutuhan tenaga kerja di pasar internasional. 3. Kebutuhan hasil biota laut lainnya bagi kehidupan manusia di masa akan datang (farmasi, kosmetik dll).
FKK EKSTERNAL
STRENGTHS WEAKNESS 1. Potensi industri perikanan Indonesia yang 1. Kebijakan Perikanan dan biota laut lainnya sangat besar Potensi lestari sumberdaya yang belum mendukung ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 2. Infrastruktur dan penguasaan teknologi 6,6 juta ton per tahun, yang terdiri dari yang terbatas. potensi di perairan wilayah Indonesia 4,5 3. Kemampuan dalam mengembangkan juta ton per tahun, dan perairan ZEEI jaringan pemasaran (Marketing Network) sekitar 2,1 juta ton per tahun. 2. Posisi geografis Indonesia yang strategis. 3. Competitive Labour Cost.
FKK INTERNAL
Tabel 6. Formulasi Strategi Industri Perikanan dan Biota Laut lainnya
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
116
FKK INTERNAL
STRENGTHS WEAKNESS 1. Indonesia mempunyai potensi 1. Belum terdapatnya kebijakan-kebijakan pertambangan yang sangat banyak. yang menunjang pemberdayaan sumber 2. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan daya energi dan mineral. sekitar 75 persen wilayahnya terdiri dari 2. Belum terbangunya industri-industri laut mengandung sumber energi yang cukup sumber energi alternatif. menjanjikan yang dapat diolah dan dikelola 3. Belum termanfaatkannya potensi sumber untuk kebutuhan pembangunan nasional daya energi dan mineral khususnya yang berasal dari laut.
OPPORTUNITIES STRATEGI SO STRATEGI WO 1. Mempunyai sumber energi alternatif yang 1. Membangun industri-industri sumber energi 1. Perumusan kebijakan yang menunjang pemberasal dari laut dengan jumlah yang cukup, kelautan alternatif sebagai pengganti berdayaan sumber daya dan energi mineral, berkualitas, yang dapat memenuhi sumber energi yang berasal dari mineral. terutama tentang energi alternatif. kebutuhan sendiri. 2. Mewujudkan pembangunan industri energi 2. Mewujudkan pembangunan industri energi 2. Kemandirian dalam pengusahaan energi dan alternatif seperti: Energi arus laut, Energi alternatif untuk kepentingan nasional. mineral melalui peningkatan dan pemangelombang, Energi pasang surut dan 3. Menetapkan kebijakan–kebijakan dalam faatan produksi dalam negeri yang mampu Ocean thermal energi konvention (OTEC). rangka pendayagunaan energi alternatif bersaing di pasar global. dan terbaharukan. 3. Mendayagunakan energi alternatif yang berasal dari laut.
FKK EKSTERNAL
2. Mewujudkan pembangunan perikanan yang berorientasi pasar dan mendorong kesejahteraan masyarakat. 3. Mewujudkan modernisasi usaha perikanan dan biota laut lainnya yang didukung dengan teknologi modern yang berdaya saing tinggi, seperti penggunaan MCS.
Tabel 7. Formulasi Strategi Industri Pertambangan di Laut
2. Hingga saat ini kondisi nelayan masih terus 2. Mewujudkan dan memberdayagunakan miskin, kumuh, tertinggal dan tidak bersumber daya manusia dan manajemen di pendidikan, disebabkan karena, sumber daya bidang perikanan yang berkualitas dan ikan hanya menjadi kurasan kemegahan kompeten serta berdaya saing tinggi. sektor lainnya. 3. Mewujudkan usaha di bidang perikanan 3. Politik dagang berupa ancaman penolakan dan biota laut lainnya yang mampu ekspor. (competitive competent) dalam perdagangan internasional.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
117
FKK INTERNAL
OPPORTUNITIES 1. Rencana pelaksanaan asas cabottage di perairan Indonesia. 2. Armada pelayaran yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri, maju dan kuat secara manajerial dan teknologi, yang berbasis
FKK EKSTERNAL
STRATEGI ST STRATEGI WT 1. Menemukan cadangan-cadangan sumber 1. Kebijakan yang mengatur tentang sumber daya mineral sebagai sumber daya mineral energi alternatif. yang baru. 2. Meningkatkan pengembangan RIPTEK 2. Menumbuhkembangkan pusat-pusat energi kelautan. industri energi alternatif melalui kerjasama 3. Perlu ada kebijakan yang mengatur reward dengan lembaga-lembaga terkemuka di dunia. bagi para tenaga riset 3. Mengembangkan dan meningkatkan lembaga riset
STRATEGI SO STRATEGI WO 1. Penegakkan azas cabottage sesuai INPRES 1. Mengembangkan sistem kebijakan yang 05 Tahun 2005 harus dilaksanakan secara dapat mengsinergikan berbagai peraturan tegas dan konsisten. perundang-undangan dalam mendukung 2. Membuka peluang investasi baik asing sistem pelayaran termasuk pelayaran rakyat. maupun swasta nasional. 2. Mengembangkan pelabuhan nasional dan
3. 4.
2.
1.
STRENGTHS WEAKNESS Indonesia sebagai negara kepulauan 1. Sistem peraturan perundang-undangan terbesar di dunia. yang kurang berpihak pada pelaku usaha Potensi komoditas yang memerlukan nasional dalam mendukung industri ekspor maupun impor. perhubungan laut. Potensi SDM 2. Infrastruktur dan pengembangan IPTEK Posisi strategis Indonesia yang menghubungyang terbatas. kan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, 3. Daya saing sumberdaya manusia pelayaran, negara-negara industri maju. baik pelaut maupun sumberdaya manusia di industri pelayaran masih relatif rendah. 4. Dukungan dari pihak perbankan terhadap pengembangan industri pelayaran masih sangat rendah.
Tabel 8. Formulasi Strategi Industri Perhubungan Laut
THREATHS 1. Sumber-sumber energi dan mineral yang tersedia sudah semakin menipis. 2. Sumber energi alternatif yang belum dimanfaatkan. 3. Masih sedikitnya SDM pada riset energi alternatif
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
118
4.
3.
2.
1.
THREATHS Kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung dibangunnya armada pelayaran. Tumbuhnya kekuatan pelayaran regional seperti Singapura, India, RRC, dll. Citra Indonesia dalam kancah bisnis transportasi laut dunia yang masih dikategorikan sebagai transportasi laut yang beresiko tinggi, berkenaan dengan keselamatan pelayaran. Perusahaan pelayaran tidak mampu mengembangkan armada, karena kurangnya modal, sehingga tidak mampu bersaing menghadapi kapal asing. 4.
3.
2.
1.
STRATEGI ST Melakukan kerjasama internasional khususnya dengan para investor asing untuk membangun industri perhubungan laut. Membangun sistem pelabuhan yang berperan penting dalam melayani perdagangan dunia (internasional hub port) yang ditunjang oleh sistem pelabuhan nasional dan lokal, yang memenuhi standard pelayanan internasional. Peningkatan kemampuan Law Inforcement keamanan dan keselamatan di laut. diperlukan kebijakan fiskal dan pemberian insentif dari pihak perbankan dalam pengembangan Industri pelayaran. 4.
3.
2.
1.
STRATEGI WT Menetapkan kebijakan yang berpihak pada pengusaha nasional dalam mengembangkan industri perhubungan laut. Optimalisasi peran pelabuhan untuk melaksanakan fungsi pelayanan yang memenuhi standar baik nasional maupun internasional termasuk kemampuan pelabuhan untuk menegakkan aturan “Port State Measure”. Sistem sertifikasi untuk keselamatan dan keamanan pelayaran yang sesuai dengan standard IMO. Perlunya dukungan dari sektor lain, khususnya di bidang perpajakan, perbankan dan fiskal untuk memberikan insentif dan kemudahan lainnya dalam upaya pemberdayaan industri pelayaran nasional.
kepentingan nasional. 3. Mengembangkan sekolah tinggi maritim lokal, yang memenuhi standart pelayanan 3. Kebutuhan pelaut internasional. yang berstandard internasional, untuk meinternasional dengan bekerjasama dengan 4. Masih kurangnya armada kapal yang mengmenuhi seluruh kebutuhan pelayaran dalam negara industri pelayaran dunia baik untuk hubungkan pulau-pulau kecil dan wilayahnegeri dan berkontribusi terhadap teknologi maupun jaringan pemasarannya. wilayah terpencil di dalam negeri. pelayaran dunia. 3. Mengembangkan sekolah kepelautan dan 4. Mengembangkan armada pelayaran rakyat badan pendidikan dan latihan yang berstandar yang mempunyai kontribusi penting internasional. dalam sistem ketahanan nasional (sosial, 4. Menetapkan kebijakan fiskal dan pendanaan budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan). yang mendukung industri perhubungan laut.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
119
STRATEGI SO STRATEGI WO 1. Menciptakan regulasi yang kondusif dan 1. Menetapkan kebijakan antara lain kebijakan pelayanan yang prima serta simpatik terlaut terbuka untuk Pariwisata (National Open hadap pemohon untuk izin masuk CAIT Sea Policy), kebijakan pelayanan CIPQ yang (Clearance Approval for Indonesian Territory), mendorong berkembangnya pariwisata, dan sehingga banyak Cruiser/yacht berminat kebijakan yang mendorong kerjasama antar masuk ke Indonesia. daerah dalam mengembangkan sistem 2. Mewujudkan daya saing dari kawasan rangkaian objek dan kegiatan pariwisata pariwisata bahari andalan yang telah ada. bahari nusantara. 2. Menetapkan kebijakan second register bagi kapal-kapal wisata asing di Indonesia. STRATEGI ST STRATEGI WT 1. Perlu pembangunan infrastruktur industri 1. Menetapkan kebijakan dalam pembangunan pariwisata baik perencanaan maupun sarana dan prasarana pendukung pariwisata pendanaan. bahari. 2. Peningkatan kemampuan Law Inforcement. 2. Menetapkan kebijakan yang memudahkan wisatawan asing datang ke Indonesia dan pemulihan citra negatif di dunia.
OPPORTUNITIES 1. Indonesia dapat menjadi salah satu tujuan pelayaran wisata (cruise ship) yang penting di dunia. 2. Indonesia dapat menjadi salah satu kawasan tujuan wisata terkemuka di dunia.
THREATHS 1. Bencana alam. 2. Citra keamanan nasional dan pengelolaan kesehatan lingkungan yang buruk.
FKK EKSTERNAL
STRENGTHS WEAKNESS 1. Indonesia terkenal sebagai negara yang 1. Belum adanya kebijakan-kebijakan dari sangat kaya dengan obyek pariwisata pemerintah yang mendorong berkembangkelautan, merupakan salah satu negara nya pariwisata kelautan nusantara. maritim yang memiliki garis pantai ter2. Indonesia belum menjadi tujuan pelayaran panjang 95.181 km. wisata (cruise ship) dari negara-negara di dunia. 2. Adanya pengakuan tiga titik yang berlokasi di Indonesia yaitu di Tulamben (Bali), likuan 2 (Manado), dan Pulau Tomia (Wakatobi) dari 50 titik wisata bahari dunia yang bertaraf internasional.
FKK INTERNAL
Tabel 9. Formulasi Strategi Industri Pariwisata Bahari
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
120
STRENGTHS 1. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. 2. Potensi komoditas yang memerlukan ekspor maupun impor.
WEAKNESS 1. Kebijakan yang kurang berpihak pada pelaku usaha nasional dalam mendukung industri maritim. 2. Infrastruktur dan pengembangan IPTEK yang terbatas.
THREATHS 1. Bencana alam. 2. Ekonomi yang belum pulih untuk pembangunan industri maritim.
STRATEGI ST STRATEGI WT 1. Meningkatkan pemanfaatan industri 1. Menetapkan kebijakan yang berpihak pada kelautan dalam proses produksi untuk pengusaha nasional dalam mengembangkan menghasilkan produk-produk yang berindustri maritim. manfaat bagi kehidupan manusia. 2. Perlunya dukungan dari sektor perpajakan, 2. Melakukan kerjasama dan kemitraan dalam perbankan dan fiskal untuk memberikan pembangunan industri maritim. insentif dan kemudahan lainnya dalam upaya pemberdayaan industri maritim.
OPPORTUNITIES STRATEGI SO STRATEGI WO 1. Kebutuhan galangan kapal yang ber1. Adanya kebijakan yang membuka peluang 1. Mengembangkan sistem kebijakan yang standar internasional. kerjasama dengan pihak swasta asing dan dapat mengsinergikan berbagai peraturan 2. Kebutuhan garam nasional dan internasional. nasional. perundang-undangan dalam mendukung 2. Peningkatan industri garam dalam pemindustri maritim. berdayaan industri maritim. 2. Menetapkan kebijakan fiskal dan pendanaan yang mendukung industri maritim.
FKK EKSTERNAL
FKK INTERNAL
Tabel 10. Formulasi Strategi Industri Maritim
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berbagai upaya ditempuh untuk mempercepat pertumbuhan industri dan jasa kelautan, pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Dalam konteks pembangunan kelautan saat ini, analisis kebijakan industri dan jasa kelautan nasional sangat diperlukan untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan pembangunan kelautan nasional tersebut. Analisis ini berguna untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan yang rasional, tepat dan efektif dengan kata lain, model analisis ini sangat diperlukan bagi keseluruhan proses perencanaan pembangunan industri dan jasa kelautan. Secara garis besar Analisis Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional ini untuk mulai menganalisis konsistensi berbagai tujuan pembangunan kelautan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat secara simultan. Model analisis digunakan untuk mulai melakukan kajian bagaimana kebijakan dari semua sektor terkait sesuai dengan kondisi saat ini, yang belum ada kebijakan, kebijakan yang tumpang tindih, serta kebijakan yang saling bertentangan atau kontra produktif. Dalam kajian ini, analisis digunakan untuk melakukan berbagai pendalaman tentang industri dan jasa kelautan sebagai bahan untuk penguatan kebijakan, namun kajian ini belum memanfaatkan model optimasi secara utuh dan lengkap dalam menentukan nilai optimum pertumbuhan ekonomi pada industri dan jasa kelautan. Berdasarkan hasil analisis perumusan kebijakan ini merumuskan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat menjadi dasar sementara dalam memahami kebijakan di bidang industri dan jasa kelautan. 5.1. Kesimpulan Hasil analisis dan tinjauan Yuridis memberikan strategi sebagai berikut : Pertama, kebijakan tentang industri perikanan dan biota laut lainnya selama ini belum mendukung pembangunan industri perikanan dan biota laut lainnya. Pada satu sisi infrastruktur serta penguasaan teknologi masih terbatas dan sangat memerlukan inovasi baru, kemampuan dalam mengembangkan jaringan pemasaran masih lemah dan faktor permodalan yang sangat terbatas dan pada sisi lain Indonesia memiliki potensi industri perikanan Indonesia yang sangat besar, potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6, 6 juta ton per tahun, yang terdiri dari potensi di perairan wilayah Indonesia 4,5 juta ton per tahun, dan perairan ZEEI sekitar 2,1 juta ton per tahun dan dengan panjang garis pantai dan wilayah pesisir yang sangat luas, potensi budidaya perikanan sangat besar. Sumber daya kelautan berupa perikanan dan biota laut lainnya belum dimanfaatkan secara optimal karena belum diaturnya secara optimal yuridis mengenai pengelolaan potensi laut sehubungan dengan penataan batas, konflik dalam pemanfaatan ruang di laut, aturan perundangan-undangan terkait dengan UU otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan serta kondisi sarana dan prasarana yang berakibat pada rendahnya aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
121
Kedua, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sehingga menempatkan Indonesia berada di antara negara-negara industri maju, namun dalam mendukung industri perhubungan laut sistem peraturan perundang-undangan kurang berpihak pada pelaku usaha nasional. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, yang menerapkan azas cabottage, namun implementasi kebijakan ini belum mendapatkan dukungan dari pihak perbankan sehingga belum dapat berjalan secara optimal. Ketiga, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sekitar 75 persen wilayahnya terdiri dari laut mengandung potensi sumber energi yang cukup menjanjikan yang dapat diolah dan dikelola untuk kebutuhan pembangunan nasional. Perlu adanya kebijakan-kebijakan yang menunjang sektor industri pertambangan di laut untuk memberdayakan sumber daya energi dan mineral terutama energi alternatif. Pengembangan sumber daya manusia berkualitas standar internasional diperlukan untuk mengatasi keterbatasan teknologi sehingga potensi sumber daya energi dan mineral khususnya di laut dapat dimanfaatkan secara optimal. Keempat, Indonesia terkenal sebagai negara yang sangat kaya dengan obyek pariwisata kelautan, memiliki posisi geografis yang cukup strategis dan pengakuan tiga titik yang berlokasi di Indonesia yaitu di Tulamben (Bali), Likuan 2 (Manado), dan Pulau Tomia (Wakatobi) dari 50 titik wisata bahari dunia yang bertaraf internasional dan juga sebagai negara yang memiliki tingkat keanekaragaman biota laut terkaya di dunia. Tetapi potensi tersebut belum didukung kebijakan yang mendorong berkembangnya pariwisata kelautan nusantara, termasuk promosi dan citra pariwisata bahari yang masih sangat kurang, sehingga sampai saat ini parawisata kelautan Indonesia belum menjadi tujuan pelayaran wisata (cruise ship) utama dari negara-negara di dunia. Kelima, dengan potensi industri dan jasa kelautan yang besar dimana komoditasnya juga memerlukan perdagangan internasional (ekspor dan impor), perlu pula kebijakan industri dan jasa kelautan yang berpihak pada investor nasional. Kurangnya keberpihakan tersebut turut menyebabkan pembangunan infrastruktur serta pengembangan IPTEK menjadi sangat lamban dan terbatas. 5.2 Rekomendasi Berdasarakan hasil analisis dan tinjauan yuridis Industri dan Jasa Kelautan Nasional ini merumuskan rekomendasi kebijakan sebagai berikut : Pertama, Perlu adanya kebijakan yang antisipasif dan adaptif mendukung potensi industri perikanan dan biota laut lainnya, mewujudkan usaha di bidang perikanan dan biota laut lainnya yang mampu (competitive competent) dalam perdagangan internasional, mewujudkan dan memberdayagunakan sumber daya manusia dan manajemen di bidang perikanan yang berkualitas, dan kompeten serta berdaya saing tinggi, sehingga dapat menjadikan Indonesia sebagai industri perikanan dan biota laut lainnya yang maju dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan luar negeri, Perlunya perangkat hukum yang jelas untuk mendukung industri bioteknologi ini dari penyediaan bahan baku sampai dengan sistem pemasarannya. Kedua, Penegakkan azas cabottage sesuai INPRES 05 Tahun 2005 harus dilaksanakan secara tegas dan konsisten dan perlu ditunjang dengan menetapkan kebijakan fiskal dan pendanaan agar pihak Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
122
perbankan turut mendukung industri perhubungan laut. Perlu ada sistem kebijakan yang dapat mensinergikan berbagai peraturan perundang-undangan dalam mendukung sistem pelayaran termasuk pelayaran rakyat, dan mengembangkan sekolah tinggi kelautan yang berstandard internasional, untuk memenuhi seluruh kebutuhan pelayaran dalam negeri dan berkontribusi terhadap pelayaran dunia. Perlu suatu standar yang baku untuk menjamin kemananan dan keselamatan pelayaran menyusun ketentuan mengenai standar fasilitas keselamatan dan penyelamatan, dan adanya koordinasi antar departemen dalam penanggulangan keselamatan pelayaran. Perumusan kebijakan yang sinergis dalam bidang kemaritiman menyangkut kewenangan dan tanggung jawab serta mekanisme koordinasi di tingkat pusat dan di lapangan dalam rangka peningkatan keselamatan pelayaran, serta perlu dibangun sistem pelabuhan yang berperan penting dalam melayani perdagangan dunia (internasional hub port) yang ditunjang oleh sistem pelabuhan nasional dan lokal, yang memenuhi standard pelayanan internasional. Ketiga, Perlu ada kebijakan untuk mewujudkan pembangunan industri energi alternatif sebagai pengganti sumber energi yang berasal dari mineral untuk kepentingan nasional seperti: Energi Arus Laut, Energi Gelombang, Energi Pasang Surut dan Ocean Thermal Energi Convention (OTEC). Menetapkan kebijakan-kebijakan dalam rangka pendayagunaan energi alternatif dan terbaharukan, menumbuhkembangkan pusat-pusat industri energi alternatif melalui kerjasama dengan lembagalembaga terkemuka di dunia, dan meningkatkan pengembangan RIPTEK energi kelautan, serta menemukan cadangan-cadangan sumber daya mineral sebagai sumber daya mineral yang baru. Keempat, Perlu menetapkan kebijakan antara lain kebijakan laut terbuka untuk Pariwisata (National Open Sea Policy), kebijakan pelayanan CIPQ yang mendorong berkembangnya pariwisata, dan kebijakan yang mendorong kerjasama antar daerah dalam mengembangkan sistem rangkaian objek dan kegiatan pariwisata bahari nusantara, perlu menciptakan regulasi kondusif dan pelayanan yang prima serta simpatik dengan standar yang umum berlaku dalam pelayanan internasional terhadap pemohon untuk izin masuk CAIT (Clearance Approval for Indonesian Territory), sehingga banyak Cruiser/ yacht berminat masuk ke Indonesia, menetapkan kebijakan dalam pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata bahari dan kebijakan peningkatan kemampuan Law Inforcement. Kelima, Perlu menetapkan kebijakan yang berpihak pada pengusaha nasional dalam mengembangkan industri dan jasa kelautan, mengembangkan sistem kebijakan yang dapat mengsinergikan berbagai peraturan perundang-undangan dalam mendukung industri dan jasa kelautan, dan perlunya dukungan dari sektor perpajakan, perbankan dan fiskal untuk memberikan insentif dan kemudahan lainnya dalam upaya pemberdayaan industri dan jasa kelautan, serta kebijakan yang membuka peluang kerjasama dengan pihak swasta asing dan nasional dalam pembangunan industri dan jasa kelautan. Perlu revitalisasi industri kelautan nasional melalui azas cabotage, meningkatkan peran dan kontribusi sektor industri dan jasa kelautan dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan mewujudkan peluang Indonesia sebagai salah satu negara industri kelautan di dunia (global ocean power), dimana dengan meningkatkan kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan armada laut nasional jelas akan membuka peluang bisnis pemenuhan beragam kebutuhan produk-produk dan komponen penunjang industri dan jasa kelautan nasional.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
123
Keenam, mengingat karakter geologis seluruh pulau yang berada dalam pertemuan lempeng benua dan posisi geografis yang memisahkan dua samudera maka dalam setiap kebijakan pembangunan industri dan jasa kelautan komitmen terhadap aspek lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan harus diutamakan dari awal perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan Ketujuh, diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk menata kebijakan yang berhubungan dengan industri dan jasa kelautan, sehingga industri dan jasa kelautan dapat berkontribusi maksimal bagi pembangunan Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya road map terpadu diantara kelima sektor pendukung pembangunan industri dan jasa kelautan yang berisi mengenai potensi, perencanaan, pembangunan dan evaluasi terhadap pembangunan industri dan jasa kelautan jangka menengah dan panjang sesuai dengan kebijakan kelautan Indonesia (Ocean Policy). Rekomendasi ini tidak terlepas dari garis besar pembangunan Indonesia jangka panjang nasional termasuk sektor kelautan dan perikanan sebagaimana telah ditetapkan oleh Pemerintah RI.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
124
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis, Abdul Rahman, Jamali Janib, Wong Hin Wei. 1997. The Maritim Economy: Malaysia, Pelanduk Publications. Anwar, Affendi. 1994. Masalah Ekonomi dan Kelembagaan Perikanan. Makalah. Anwar, Affendi. 1997. Model Ekonomi Sumber Daya Perikanan. Makalah. Aziz, K.A.; Boer, M.; Widodo, J., dkk. 1998. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. KOMNAS-KAJISKANLUT. Jakarta. BAROKEN. 1984. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor BAROKEN. 1990. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor. Badan Pengembangan Ekspor Nasional. 1993. Peluang Ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Dahuri, R J. Rais, S P, Ginting. M J, Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri Rokhmin, Prof Dr MS. Sektor Kelautan dan Perikanan Sebagai Primemover Ekonomi Nasional, Makalah, Jakarta. Diamar, Son. 2002. Pokok-pokok Pembangunan Maritim Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri. 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Ditjen Perhubungan Laut. 1999. Peranan Transportasi Laut dalam Perdagangan Menuju Ekonomi Kelautan dan Perdagangan serta Strategi Peningkatannya Menuju Indonesia Djalal, Hasjim. 2007. Deklarasi Djoeanda dalam Perspektif Sejarah. Materi Temu Pakar Intenasional Bidang Kelautan. Jakarta. Djalal, Hasjim. 2005. Mengelola Potensi Laut Indonesia, Makalah, Jakarta. Djojonegoro, W. 1992. Pengembangan dan Penerapan Energi Baru dan Terbarukan. Lokakarya Bio Mature Unit (BMU) Untuk Pengembangan Masyarakat Pedesaan. BPPT. Jakarta.\\Kadir, A. 1997. Pembangkit Tenaga Listrik. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Fakultas Perikanan IPB Bogor. 1993. Pembangunan Perikanan Berkelanjutan dalam Era Agroindustri. Hasil-hasil Seminar. Hardjodarsono, M S. 1978. Bahan Bakar Kayu dan Limbah Pertanian di Indonesia Dewasa Ini dan Prospeknya. Hasil Lokakarya Energi KM-WEC. Hehuwat, Fred.1991. Laporan Akhir Studi Kebutuhan Energi Sektor Rumah Tangga. Kerjasama Ditjen Listrik dan Energi Baru dengan Biro Pusat Statistik. Hutagulung, Horas. 1990. Pengaruh Minyak Mineral terhadap Organisme Laut. Oseana.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
125
Institut Teknologi Bandung (ITB). 2000. Pengembangan Infrastruktur Maritim di Indonesia. Hasilhasil Seminar. Jaya, Indra. 1999. Pengembangan Ekonomi dan Kesejaheraaan Nasional Berbasis Maritim: Peranan dan Kontribusi Kawasan Timur Indonesia (KTI) Makalah Ilmiah, Biak Papua. Jinca, M.Y. 1996. Metode Analisis Dasar Penetapan Tarif Angkutan Kapal dan Perahu Layar. Jurnal HiTech, Ujung Pandang, hlm. 51 – 58. Jinca, M.Y. 1997. Metode Optimasi Ukuran Kapal pada Suatu Jaringan Transportasi Laut. Jurnal Teknologi Kelautan, hlm. 30 – 34. Kamaluddin, Laode M. 1997. Dampak Deregulasi Perikanan terhadap Industri Perikanan dan Maritim di Indonesia. Makalah Seminar. Kamaluddin, Laode M. 1999. Pembangunan Wilayah Tertinggal Melalui Konsep Belt Ekonomi Maritim Berbasis Pulau-Pulau Kecil dan Kota Pantai (Hak Cipta No. 020476/4 Nopember 1999). Kartasasmitas, Ginanjar. 1989. Energi Di Tahun 2000. Bahan Penyajian Pada Rapat Senat ITB dalam rangka Memperingati HUT ITB ke-30. Jakarta. DESDM. Kusumastanto H, Tridoyo. 2006. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dalam rangka Otonomi Daerah. Kramadibrata, Soejono. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Ganeca Exact Bandung. Masduki, Ali (1999), Pencemaran Perairan Pantai oleh Minyak Bumi dalam Tinjauan Ekologi Laut, Karya Ilmiah. Media Indonesia. Rabu, 21 Agustus 2002. Palung Jawa Diduga Mengandung Gas Hydrate. Nasurullah, Salim. 2002. Refleksi Sektor Energi Indonesia Tahun 2002. Jakarta. PKSPL – IPB. 1999. Kajian Kebutuhan Investasi Pengembangan Perikanan dalam Pembangunan Lima Tahun Mendatang (1999-2003), Jakarta. Prasetyo, Hardi, dkk. 1995. Profil Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan Serta Industri Maritim. Jakarta. Prayitno, Herman. 2000. Pengembangan Pelabuhan pada Pelindo II. Makalah Ilmiah. Bandung. Rahim Abdul. P. 2000. Peranan Pelayaran Rakyat di Indonesia dan Asean Dalam Rangka Mendorong Wisata Bahari. Makalah. Republika. 2001. Memburu Bangkai Kapal. Tanggal 30 Maret 2001. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Tamita Utama. Jakarta. Reksosoemitro, Loekito. (Universitas Indonesia). Sumberdaya Mineral Untuk Pembangunan.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
126
Sisipan Buletin Pertamina No.16/XXXIX.21 April 2003. Pertamina Menuju Persero dalam Wacana Publik Berita Dibalik Fenomena : Tarik Menarik Kepentingan. Statistik dan Informasi Ketenagalistrikan dan Energi. 1999-2000. DJLPE. Kebijakan Umum Bidang Energi. DESDM. Suboko, Bambang. 2001. Strategi Pemasaran Hasil Perikanan. Makalah Lampung. Sitepu, M.J., Sumarto, P. 2001. Rencana Penyelamatan 70.000 Pelaut Indonesia yang Bekerja di Kapal Asing dan Kapal Niaga Nasional. Makalah Seminar. Jakarta. Sucofindo. Directory of Services Sucofindo. The Nature Conservancy. 1999. Marine Resouce Utilization in Komodo Nasional Park. Monitoring Report. Utami, Siti. 1994. Pengangkutan Laut di Indonesia, Suatu Tinjauan Yuridis. Balai Pustaka. Jakarta. Widodo Tjatur, Rusminto. Solar Cell Sumber Energi Masa Depan yang Ramah Lingkungan. Wahab, A. 1991. Pola PEngembangan Indonesia Bagian Timur. Suatu Pemikiran. Proc. PIT XIX IAGI. Wiwoho, Soedjono. 1987. Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya. Liberty. Yogyakarta. Wakatobi Dive Resort. 2001. Perintis Resort Selam Membangun Lapter di Wakatobi. Wakatobi On Line. www.djlpe.go.id www.pelangi.co.id www.elektrikindonesia.com www.forek.or.id Yee, M. 1990. Work Begins on Indonesian EOR Projects. Asian Oil and Gas ________________, Pembangunan Aspek Kelautan Dalam Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Kedua. Hasil Seminar Pembangunan Aspek Kelautan Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua, Jakarta 13-15 Maret 1990. ______________, Materi Lokakarya Jasa Kelautan. 2007. Jakarta.
Analisa Kebijakan Industri dan Jasa Kelautan Nasional
127