KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
SKRIPSI
Oleh: ERINA PERMATASARI E1A011279
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
SKRIPSI Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Oleh: ERINA PERMATASARI E1A011279
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya, Nama
: ERINA PERMATASARI
Kelas
: E1A011279
Judul
: KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah benar merupakan hasil dari karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain, serta bukan buatan dari orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, .... Februari 2015
ERINA PERMATASARI E1A011279
iii
ABSTRAK Skripsi ini berjudul : “Konsep Sumber Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara Sebagai Dasar Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara” (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK). Penelitian ini akan menguraikan keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau dari sumber kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Sumber bahan hukum penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK. Tergugat dalam perkara a-quo adalah Walikota Yogyakarta, dan objek gugatannya yakni Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha beralamat di Jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbul Harjo, Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa Surat Keputusan Objek Sengketa yang dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta, bertentangan dengan peraturan perundangundangan ditinjau dari Aspek Substansi/Materiil sebagaimana diatur dalam KeputusanWalikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas. Majelis Hakim berpendapat bahwa Wakil Walikota telah keliru menafsirkan sumber wewenang yang dimilikinya, seharusnya Wakil Walikota memperoleh wewenang berdasarkan delegasi, akan tetapi Wakil Walikota menganggapnya sebagai mandat. Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Keputusan objek sengketa batal, sehingga gugatan Penggugat dinyatakan dikabulkan. Pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan doktrin. Akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat yakni Surat Keputusan objek sengketa batal, Tergugat berkewajiban mencabut Surat Keputusan objek sengketa.
Kata Kunci : Sumber Kewenangan, Pejabat Tata Usaha Negara, Dasar, Pembatalan, Keputusan Tata Usaha Negara.
iv
ABSTRACT This thesis entitled: " The concept of authority source of administrative officer as the basis of cancelation of administrative decision " (Study of State Administrative Court Decision Yogyakarta No. 06 / G / 2011 / PTUN.YK). This study will explain the validity of an administrative decision in terms of sources of authority possessed by the Administrative Officer. Material sourced from the State Administrative Court Decision Yogyakarta No. 06 / G / 2011 / PTUN.YK. Defendants in the case a quo is the Mayor of Yogyakarta, and the object of the lawsuit is the administrative decission No. 503/687 about business closure notification located in Mendung Warih street Number 147 RT. 32 RW. II Giwangan, sub-district Umbul Harjo, Yogyakarta. The method that used in this research is normative juridical approach with the approach of legislation, casebased approach, and the conceptual approach. The results showed that the the administrative decision that released by the mayor of Yogyakarta is contrary to the laws and regulations in terms of aspect Substance / Material as set forth in Mayor Yogyakarta’s decision No. 232 / KEP / 2007 on the Implementation of the Special duties of Deputy Mayor and Mayor of Yogyakarta Decree No. 50 / KEP / 2007 on the Delegation of Authority to the Deputy Mayor To signing Official Papers. The judges found the Deputy Mayor had wrongly interpreted the source of its authority, the Deputy Mayor should obtain authority by delegation, but Deputy Mayor has been considered it as a mandate. The judges stated that the object of administrative decision void, so that Plaintiff stated granted. Consideration of the judges of the law is in conformity with the laws and doctrines. As a result of the law granting plaintiff object of the cancellation of administrative decission, the Defendant is obliged to revoke the administration decission that has been the object of the lawsuit.
Keywords: Source of Authority, Administrative Officer, Basic, Cancellation, Administrative Decision.
v
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya kepada Penulis, serta memberikan kenikmatan lahir batin kepada saya, sehingga saya masih ada tetap berada di Jalan-Nya dan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu, yaitu dengan judul : KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK) Skripsi ini merupakan salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak halangan dan rintangan hingga kesulitan serta hambatan yang penulis alami, namun berkat arahan, bimbingan, serta dukungan dorongan dari berbagai pihak, Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada : 1.
Bapak Dr. Angkasa S.H.,M.Hum, selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
2.
Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik sekaligus Pembimbing Skripsi I Penulis.
3.
Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Skripsi II Penulis.
vi
4.
Bapak Pramono Suko Legowo,S.H.,M.Hum selaku Dosen Penguji Penulis.
5.
Segenap Dosen FH Unsoed, karyawan dan karyawati (civitas akademika) Universitas Jenderal Soedirman, yang telah banyak membantu dan atas kerjasamanya sehingga penulis dapat menempuh perkuliahan sampai selesai penyusunan skripsi ini.
6.
Sang Ibunda tercinta Ibu Dwi Ani dan Sang Ayahanda tercinta Bapak Adit Sugirman, S.H. selaku kedua orang tua yang selalu memberikan kasih sayang tulus, perhatian, dan mendidik kepada saya sampai saat ini. Adik tersayang, Nova Kharisma Ramadhani dan Alm. Royyan Aditya yang selalu memberi dukungan semangat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu.
7.
Teman-Teman Seperjuangan Angkatan 2011, yang telah memberikan arti kehidupan, semangat serta dukungan. Penulis dalam hal ini menyadari, bahwa setiap tulisan tidak jauh dari kata
kekurangan, dan ketidaksempurnaan, maka dari itu penulis mohon adanya kritik dan saran demi terbangunnya hasil tulisan yang lebih baik lagi. Penulis berharap skripsi atau hasil tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi perkembangan ilmu hukum di kemudian hari. Purwokerto,
Februari 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ................................................................................ HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................................. iv ABSTRACT .............................................................................................................v PRAKATA ............................................................................................................. vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................................1 B. Perumusan Masalah ...................................................................................10 C. Kerangka Teori...........................................................................................11 D. Tujuan Penelitian .......................................................................................16 E. Kegunaan Penelitian...................................................................................17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkembangan Negara Hukum ..................................................................18 B. Hukum Administrasi Negara......................................................................22 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara .............................................22 viii
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara......................................25
C. Pemerintah dan Tindakan Pemerintah .......................................................28 1. Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan ............................................28 2. Pejabat Tata Usaha Negara ..................................................................29 3. Tindakan Hukum Pemerintah ............................................................30 4. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) .......................32 D. Sumber Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara .....................................40 E. Peradilan Tata Usaha Negara .....................................................................44 1. Asas-Asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ........44 2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara ...........................................45 3. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara..........................................48 4. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ..........................................51 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ....................................................................................57 B. Spesifikasi Penelitian .................................................................................58 C. Lokasi Penelitian ........................................................................................59 D. Sumber Bahan Hukum ...............................................................................59 E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................61 F. Metode Penyajian Bahan Hukum ...............................................................62 G. Metode Analisis Bahan Hukum .................................................................62
ix
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ..........................................................................................63 B. Pembahasan ..............................................................................................105 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan. .............................................................................................134 B. Saran .........................................................................................................135 DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu lingkup peradilan yang ada di Indonesia dan diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengkata yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hakhak warga negaranya. Dimana hal ini didasarkan atas amanat Pasal 24 Undangundang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa : 1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; 2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; 3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. 1 Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) diundangkan pada tanggal 29 1
Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Desember 1986. Namun, undang-undang tersebut tidak dapat seketika itu diterapkan karena masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 145. Pasal 145, undang-undang tersebut memberikan jangka waktu paling lambat 5 tahun sejak diundangkannya. Jadi, batas waktu yang diberikan oleh undang-undang paling lambat adalah tanggal 29 Desember 1991 harus sudah keluar peraturan pemerintah tersebut. Namun, belum sampai batas yang ditentukan oleh undang-undang terlampaui, ternyata pada tanggal 14 januari 1991 peraturan pemerintah yang merupakan amanat dari Pasal 145 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 telah dikeluarkan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.2 Pengaturan Peradilan Tata Usaha Negara telah mengalami beberapa perubahan diantaranya undang-undang yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 51 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari 144 Pasal, yang mana Pasal 1 sampai dengan Pasal 52 berisi mengenai hukum materialnya,
2
Wicipto Setiadi, “Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara” Suatu Perbandingan, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hlm. 205-206
3
sedangkan Pasal 53 sampai dengan Pasal 144 berisi tentang hukum acara atau hukum formalnya. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan hukum yang mengatur cara menegakkan hukum materil, dengan demikian hukum acara itu berisi mengenai suatu tata cara (formalitas). Sedangkan pengertian hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum yang berisi mengenai ketentuan tata cara beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Baik hukum formal maupun hukum materiel, keduanya merupakan unsur dari peradilan. Peradilan tanpa hukum materil akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya. Pengaturan hukum formal dalam hukum positif, secara teoritis dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Hukum formal sekaligus diatur secara bersamaan dalam hukum materialnya dalam bentuk undang-undang; 2. Hukum formal dan hukum material masing-masing terpisah pengaturannya dalam undang-undang. Hukum formal merupakan sarana untuk melaksanakan hukum material. Penegakan hukum material oleh hukum formal secara kongkret berlangsung saat berlakunya hukum positif dalam praktek sebagai keharusan yang patut ditaati. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutus
4
perkara dengan menemukan hukum in concreto dalam upaya mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiel, serta dengan menempuh prosedur yang telah ditetapkan oleh hukum formal.3 Salah satu ketentuan yang diatur dalam undang-undang peradilan tata usaha negara yaitu mengatur tentang kompetensi (kekuasaan) absolut dan kompetensi relative. Kompetensi absolut adalah kompetensi badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Sedangkan kompetensi relative adalah sesuai dengan asas actor seguitir forum rei (yang berwenang adalag pengadilan tempat kedudukan tergugat).4 Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur ketentuan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang, memeriksa, dan memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 51 Tahun 2009 bahwa sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun didaerah, sebagai
3
Ibid, Hlm.87-88 Victor Vayed Neno, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolud Peradilan Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hlm 29 Sebagaimana dikutip oleh Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni Bandung, 1989, Hlm. 65 4
5
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara, berarti sebab dari timbulnya sengketa tersebut disebabkan oleh adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Mengenai ketentuan kompetensi absolut PERATUN maka dapat diketahui bahwa di dalam lingkungan PERATUN terdapat : 1.
Tergugat yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;
2.
Penggugat yaitu orang atau badan hukum perdata
yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN); 3.
Objek Sengketa Gugatan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeuarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
6
undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu, badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Mengenai pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, Indroharto5 menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN. Sedangkan arti dari urusan pemerintah disini adalah kegiatan yang bersifat eksekutif yaitu kegiatan yang bukan kegiatan legislatif atau yudikatif. Badan atau Pejabat TUN melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, dalam hal ini harus tetap memperhatikan prinsip asas legalitas, apalagi indonesia adalah negara hukum, maka asas legalitas adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah.
5
Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.166
7
Asas legalitas adalah salah satu asas hukum administrasi negara yang menyatakan bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan wewenang yang ada padanya, oleh karenanya kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan Kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk memaksakan kehendak. Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan, kewajiban mempunyai dua pengertian, yakni horizontal
dan
vertical.
Secara
horizontal
berarti
kekuasaan
untuk
menyelenggarakan pemerintah sebagaimana mestinya. Wewenang dalam pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan. 6 Sistem desentralisasi yang dianut dalam konsep Negara Kesatuan pada akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya satuan pemerintahan yang
6
Muhammad Fauzan, “Hukum Pemerintahan Daerah”Edisi revisi, STAIN Press, Purwokerto, 2010, Hlm.79
8
berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.7 Namun sepanjang sejarah ini, dengan adanya pemerintahan yang berlapis-lapis kini belum mencapai tujuan yang ingin dikehendaki oleh Negara. Penggunaan wewenang oleh Pejabat TUN merupakan persoalan yuridis yang krusial dalam Peradilan Tata Usaha Negara, hal ini berkaitan dengan tolak ukur untuk menguji keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Menurut Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa tolok ukur untuk menentukan keabsahan suatu KTUN yaitu dapat dilihat dari 3 segi yaitu prosedur, substansi dan wewenangnya.8 Pendapat Philipus M.Hadjon ini sesuai (paralel) dengan penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang menentukan alasan (tolak ukur) yang dimaksud adalah : 1) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal; 2) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat material/substansial; 3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang; Putusan Pengadilan yang amarnya berisi mengenai pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat dijumpai dalam praktek peradilan 7
Ibid, Hlm.79 Philiphus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, Hlm. 324 8
9
sehari-hari, dalam hal ini KTUN tersebut dibatalkan karena tidak sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh Pejabat Tata Usaha Negara dan telah melanggar perundang-undangan, termasuk didalamnya asas-asas umum pemerintahan yang baik atau AAUPB yang menjadi Tergugatnya. Salah satu kasus mengenai pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikarenakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), khususnya mengenai pelimpahan kewenangan, terdapat dalam Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor Perkara 06/G/2011/PTUN.YK. Para pihak dalam perkara tersebut Penggugatnya adalah CV. Sari Jaya dalam hal ini diwakili oleh Hani Purbonegoro, selaku pemilik CV. Sari Jaya melawan Walikota Yogyakarta yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat, sedangkan Objek Gugatannya yaitu Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha Penepungan Batu yang beralamat di Jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbul Harjo, Kota Yogyakarta (selanjutnya disebut sebagai Surat Keputusan Objek Sengketa). Terhadap Sengketa Tata Usaha Negara mengenai Pemberitahuan Penutupan Usaha Penepungan Batu, Majelis Hakim berpendapat bahwa Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta dengan Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 tidak memenuhi aspek prosedur pelimpahan wewenang yang terdapat dalam Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
10
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota Kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas. Selain itu juga, Majelis Hakim dalam Pertimbangan Hukumnya menganut beberapa doktrin sarjana Hukum Administrasi Negara, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa telah terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang didasari tindakan Tergugat didalam menerbitkan objek sengketa a quo, yang dalam hal ini menyebabkan surat keputusan objek sengketa menjadi batal. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut dengan melakukan suatu penelitian dan akan di tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : “KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN)” (Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, sebagai berikut : 1. Apakah
Pertimbangan
hukum
hakim
pada
putusan
Nomor
06/G/2011/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari konsep
11
perolehan sumber kewenangan, sudah sesuai dengan peraturan perundangundangan dan doktrin yang ada? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari dikabulkannya gugatan penggugat dalam amar putusan Majelis Hakim pada putusan Nomor 6/G/2011/PTUN.YK?
C. Kerangka Teori Menurut Plato dalam bukunya Nomoi mengemukakan bahwa: Penyelenggaraan Negara yang baik, ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan plato tentang Negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Gagasan Negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul konsep rechstaat dari Freidrich Hulius Stahl, yang di ilhami oleh pemikiran Immanuel Kant.9 Dalam perkembangannya konsepsi Negara Hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut : a.
9
Sistem Pemerintahan Negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hlm 2-3
12
b.
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
c.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d.
Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara;
e.
Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benarbenar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif;
f.
Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
g.
Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.10 Didalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dan juga menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana di isyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang”.
10
Ibid, Hlm. 4-5
13
Pemerintahan
adalah
bestuurvoering
atau
pelaksanaan
tugas
pemerintah, sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan. Pemerintah dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas nama negara. Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat kelengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencakup semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan didalam negara baik kekuasaan seksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif.11 Pemerintah dalam hal ini yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dalam menjalankan tugasnya untuk mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus berdasarkan wewenang masing-masing yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Menurut S.F. MARBUN dalam bukunya R.Wiyono ; “Menurut hukum administrasi, pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintah tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian
11
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, Hlm. 20-21
14
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.”12 Secara
teoritis
kewenangan
yang
bersumber
dari
peraturan
perundangan-undangan di peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi (Attributie), Delegasi (Delegatie), dan Mandat (Mandaat), hal ini juga sesuai dengan pendapat H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt.13 Berdasarkan uraian diatas, dalam penegakan hukum ada 3 unsur yang harus mendapatkan perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban, sedangkan tujuan lainnya yaitu mencapai keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan adanya kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Peradilan merupakan suatu lembaga yang memberi harapan bagi setiap pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam suatu perkara. Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu lingkup peradilan yang ada di Indonesia dan diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengkata yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN) telah mengalami beberapa perubahan diantaranya 12
R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 64 13 Ridwan HR.2011 .Op.Cit. Hlm. 102
15
UU yang pertama yaitu UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah menjadi UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah lagi menjadi UU Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 51 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN), baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Timbulnya sengketa Tata Usaha Negara dikarenakan adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang melanggar peraturan perundangundangan dan atau melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Seperti yang sudah diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Permasalahan dalam sengeketa ini adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta yang ditujukan kepada CV.Sari Jaya sebagai penggugat, yang menganggap bahwa KTUN tersebut tidak sah. Penggugat dalam hal ini berpendapat, tindakan tergugat dalam
16
mengeluarkan surat keputusan objek sengketa telah melanggar peraturan perundang-undangan
yaitu
Keputusan
Walikota
Yogyakarta
Nomor
232/KEP/2007 dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat dikatakan sah menurut hukum apabila dalam pembuatannya memenuhi syarat materil dan syarat formil. Selain itu sesuai dengan penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a UU Nomor 9 Tahun 2004 bahwa KTUN yang sah dalam pembuatannya juga harus memperhatikan 3 aspek, yaitu aspek wewenang, substansi/materiil, dan prosedural.14 Berdasarkan sengketa diatas, dapat dilihat bahwa untuk mendirikan suatu kegiatan usaha harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya mengenai peraturan tentang izin gangguan. Hal ini bertujuan agar tidak akan menimbulkan sengketa yang berujung pada pengadilan. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor 06/G/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan
14
S.F. Marbun, 2011, Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Cet.3, Yogyakarta; FH UII Press, Hlm 162
17
Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari konsep perolehan sumber kewenangan. 2. Untuk mengetahui akibat hukum dari dikabulkannya gugatan penggugat dalam amar putusan Majelis Hakim pada putusan Nomor 6/G/2011/PTUN.YK
E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pengembangan studi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya mengenai cara perolehan sumber kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara. 2. Kegunaan Praktis Hasil Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penulis serta para penegak hukum selanjutnya, dan memberikan informasi tentang penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai alasan gugatan maupun sebagai dasar pembatalan suatu Beschikking atau Keputusan Tata Usaha Negara.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Negara Hukum Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, tetapi pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena pengaruh-pengaruh situasi kesejarahan tadi, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut AlQuran dan sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep AngloSaxon (Rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara Hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Namun dalam hal ini, hanya akan dibahas mengenai sejarah kemunculan negara hukum khususnya Eropa Kontinental (rechstaat) yang memiliki kaitan langsung dengan kemunculan ilmu Hukum Administrasi Negara.1 Philipus M. Hadjon mengemukakan tiga macam konsep negara hukum, yaitu : Rechstaat, The Rule Of Law, dan Negara Hukum Pancasila.2 Menurut
Plato
dalam
bukunya
Nomoi
mengemukakan
bahwa
Penyelenggaraan Negara yang baik, ialah yang didasarkan pada pengaturan 1
Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hlm. 1 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987,Hlm 71 2
19
(hukum) yang baik. Gagasan plato tentang Negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut
Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Gagasan Negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke 19, yaitu dengan munculnya konsep rechstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang di ilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechstaat) adalah sebagai berikut : a. Perlindungan hak-hak asasi manusia; b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.3 Sehubungan dengan adanya unsur equality before the law pada rule of law yang berlaku sama terhadap pejabat maupun warga negara, maka Hukum Administrasi Negara sebagai hukum yang secara khusus mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara dianggap asing bagi masyarakat Inggris. Dalam perkembangannya konsepsi Negara Hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut: a. Sistem Pemerintahan Negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
3
Ridwan HR, 2011, Op.Cit, Hlm. 2-3
20
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); d. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara; e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif; f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.4 Konsep Negara Hukum yang semula dipelopori oleh Dicey (dari Inggris) dengan sebutan Rule of Law , berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Sendi utama dalam Sistem Anglo Saxon adalah Yurisprudensi. Sistem hukum Anglo Saxon berkembang dari kasus-kasus konkret dan dari kasus konkret tersebut lahir sebagai kaidah dan asas hukum, karena itu sistem hukum ini disebut sebagai sistem hukum yang berdasar kasus (case law system)5 Negara Indonesia sebagai Negara Hukum seperti yang telah dinyatakan oleh Undang-undang Dasar 1945 (rechstaat), merupakan Negara Hukum dengan
4 5
Ibid, Hlm. 4-5 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, Hlm. 3
21
konsep Negara Hukum Pancasila. Dalam Negara Hukum Pancasila terdapat jaminan kebebasan beragama, yang memiliki arti bahwa agama dan negara memiliki hubungan yang harmonis, sehingga tidak boleh terjadi pemisahan antara keduanya. Ciri-ciri Negara Hukum Pancasila yaitu: - Ada hubungan erat antara agama dan negara; - Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; - Kebebasan beragama dalam arti positif; - Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; - Asas kekeluargaan dan asas kerukunan.6 Sebagai Negara Hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur). Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada perangkat pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah, yang diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah.7 B. Hukum Administrasi Negara 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara Administrasi (Administrare), mempunyai dua arti. Pertama, kegiatan catat-mencatat. Kedua, mereka atau kompleks jabatan (jabatan) yang menyelenggarakan kegiatan pencatatan termaksud pada point pertama. Dalam 6
M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang, Jakarta, Hlm 71-72 7 Ridwan HR,2011, Op.Cit, Hlm 17
22
bahasa belanda untuk Hukum Administrasi Negara dikenal tiga istilah, yaitu Bestuursrecht, Administratiefrecht, serta Statikaatrecht in engere zin. Sedangkan dalam bahasa Inggris: Hukum Administrasi disebut dengan Administrative Law, Prancis: Hukum Administrasi disebut dengan Droit Administratif,
Jerman:
Hukum
Administrasi
disebut
dengan
Verwaltungsrecht.8 Van vollenhoven membuat deskripsi mengenai hukum administrasi dengan dua cara : a.
Membandingkan hukum administrasi dengan hukum negara berdasarkan fungsinya, yaitu hukum negara berfungsi memberikan wewenang kepada organ pemerintahan Negara yang berkaitan dengan admnistrasi negara dalam batas-batas tertentu sedangkan hukum administrasi negara berfungsi membatasi kemerdekaan penggunaan wewenang tersebut. Pendapat Van Vollenhoven ini, dikemukakan pada tahun 1919. Van Der Pot kemudian dalam waktu lima tahun, memberikan komentar terhadap pendapat Van Vollenhoven dengan mengemukakan bahwa secara faktual kelihatannya
gambaran
dari
Van
Vollenhoven
tentang
hukum
administrasi negara yang justru meletakkan beban-beban kepada rakyat atau yang diperintahkan. Atas dasar catatan Van der Pot itu, makan Van
8
Willy D.S. Volly, Dasar-dasar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, Hlm. 4
23
Vollenhoven pada tahun 1972 memperbaiki pendapatnya tentang Hukum Administrasi Negara.9 b.
Van Vollenhoven membedakan kuantum substansi materi hukum dari hukum administrasi negara dibandingkan dengan kuantum materi hukum lainnya. Pendapat Van Vollenhoven diatas dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan kriterium pertama dengan membedakan hukum negara dengan hukum administrasi negara, pada dasarnya mirip dengan pendapat dari Oppenheiman yang mengatakan, bahwa Hukum Negara adalah melihat Negara dalam keadaan statika, sedangkan hukum administrasi negara melihat Negara dalam keadaan dinamika. Loggeman mengajarkan, bahwa Hukum Negara adalah
meliputi
ajaran kompetensi, sedangkan hukum administrasi negara adalah meliputi ajaran hubungan hukum istimewa. Pendapat ini mirip dengan pendapat van vollenhoven. Utrecht dalam merumuskan hukum administrasi negara pada hakikatnya adalah analog dengan pendapat loggeman, Van Vollenhoven, dan Oppenheimn.10 Istilah Hukum Administrasi Negara merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda, Administratiefrecht. Hukum Administrasi memiliki beberapa
9
Ibid, Hlm. 82-83 Ibid, Hlm. 84
10
24
pengertian berdasarkan sudut pandang. Berikut akan dipaparkan beberapa pengertian dari Hukum Administrasi menurut beberapa pakar, antara lain: a.
R. Abdoel Djamali, bahwa Hukum Administrasi Negara adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahannya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi.
b.
Kusumadi Poedjosewojo, bahwa Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugasnya.
c.
E. Utrecht, mendefinisikan Hukum Administrasi sebagai hukum yang menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan, akan kemungkinan para pejabat melakukan tugas mereka yang khusus.
d.
Van Apeldoorn, memberikan pengertian Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan yang harus diperhatikan oleh para pengusaha yang diserahi tugas pemerintahan dalam menjalankan tugasnya.11 Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh penulis lainnya pada
dasarnya kita sependapat bahwa Hukum Administrasi Negara adalah mempersoalkan hubungan hukum istimewa antara administrasi penguasa dengan rakyat atau yang diperintah.12
11
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara IndonesiaI, Kencana, Jakarta, 2014, Hlm.6-7 12 Ibid, Hlm. 85
25
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam kepustakaan Belanda disebut pula dengan istilah bestuursrecht, dengan unsur utama “bestuur”. Menurut Philipus M. Hadjon, istilah bestuur berkenaan dengan “sturen” dan “sturing”. Bestuur dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Dengan rumus itu kekuasaan pemerintahan tidaklah sekadar melaksanakan undang-undang. Kekuasaan pemerintahan merupakan yang aktif. Sifat aktif tersebut dalam konsep Hukum Administrasi secara intrinsik merupakan unsur utama dari “sturen” (besturen).13 Kekuasaan pemerintah yang menjadi objek kajian hukum administrasi negara ini demikian luas. Oleh karena itu, tidak mudah menentukan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN). Di samping itu, kesukaran menentukan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara ini disebabkan pula oleh beberapa faktor, yaitu : a.
Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan tindakan pemerintahan yang tidak semuanya dapat ditentukan secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan, seiring dengan perkembangan kemasyarakatan yang memerlukan pelayanan pemerintah dan masing-masing masyarakat di suatu daerah atau negara berbeda tuntutan dan kebutuhan.
13
Ridwan HR.,2011, Op.Cit, Hlm. 38
26
b.
Pembuatan peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan instrumen yuridis bidang administrasi lainnya tidak hanya terletak pada satu tangan atau lembaga.
c.
Hukum Administrasi Negara berkembang sejalan dengan perkembangan tugas-tugas
pemerintah
dan
kemasyarakatan,
yang
menyebabkan
pertumbuhan bidang Hukum Administrasi Negara tertentu berjalan secara sektoral.14 Alasan tersebut diatas hampir senada yang dikemukakan pula oleh E.Utrecht, dengan mengutip pendapat A.M. Donner, bahwa HAN itu sukar dikodifikasi. Karena tidak dapat dikodifikasi, maka sukar diidentifikasi ruang lingkupnya dan yang dapat dilakukan hanyalah membagi bidang-bidang atau bagian-bagian HAN. Menurut pendapat P. De Han dkk sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR, bahwa HAN dibagi menjadi 2 bidang, yaitu : a.
Hukum Administrasi Negara Umum, adalah berkenaan dengan peraturan umum mengenai tindakan hukum dan hubungan administrasi dan peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang hukum administrasi.
b.
Hukum Administrasi Negara Khusus, adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang tertentu, seperti peraturan tentang tata ruang,
14
Ibid. Hlm. 40
27
perturan
tentang
pertanahan,
peraturan
tentang
perpajakan
dan
sebagainya. 15 Khusus bagi negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, terdapat pula Hukum Administrasi Daerah, yaitu peraturan-peraturan yang berkenaan dengan administrasi daerah atau pemerintah daerah. Ada penulis yang menyebutkan bahwa HAN mencakup hal-hal sebagai berikut; a.
Sarana-sarana
(instrumen)
bagi
penguasa
untuk
mengatur,
menyeimbangkan, dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat; b.
Mengatur
cara-cara
partisipasi
warga
masyarakat
dalam
proses
penyusunan dan pengendalian tersebut, termasuk proses penentuan kebijaksanaan; c.
Perlindungan hukum bagi warga masyarakat;
d.
Menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan pemerintah yang baik.16 Berdasarkan dari pemaparan beberapa pendapat sarjana diatas,
dapatlah disebutkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah Hukum yang berkenaan dengan pemerintahan (dalam arti sempit) yaitu hukum yang cakupannya secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut : a. Perbuatan Pemerintah (Pusat dan daerah) dalam bidang publik; b. Kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan dibidang publik tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan
15 16
Ibid. Hlm. 41 Ibid. Hlm. 45
28
bagaimana
pemerintah
menggunakan
kewenangannya;
penggunaan
kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum, karena itu diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum; c. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintahan itu; d. Penegakan
hukum
dan
penerapan
sanksi-sanksi
dalam
bidang
pemerintahan.17
C. Pemerintah dan Tindakan Pemerintah 1. Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan Secara teoritik dan praktik, terdapat perbedaan antara pemerintah dan pemerintahan. Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah, sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan. Pemerintah sebagai alat kelengkapan negara dapat diartikan secara luas (in the broad sense) dan dalam arti sempit (in the narrow sense). Pemerintah dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas nama negara. Dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif. Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat kelengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan 17
Ibid. Hlm. 46
29
undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencakup semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan didalam negara baik kekuasaan seksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif.18 2. Pejabat Tata Usaha Negara Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu, badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Mengenai pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, Indroharto19 menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN. Sedangkan arti dari urusan pemerintah disini adalah kegiatan yang bersifat eksekutif yaitu kegiatan yang bukan kegiatan legislatif atau yudikatif.
18
Ridwan HR, 2003, Op.Cit, Hlm. 20-21 Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.166 19
30
3. Tindakan Hukum Pemerintah Pemerintah dalam melakukan aktivitasnya, melakukan dua macam tindakan, yaitu tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandelingen). Dengan kata lain bahwa, bentuk perbuatan pemerintahan atau bentuk tindakan administrasi negara yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Perbuatan hukum/tindakan hukum (rechtshandelingen). b. Bukan perbuatan hukum/tindakan biasa (feitelijkehandelingen). Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan pemerintah yang tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen).Adapun tindakan pemerintah yang tergolong tindakan hukum, yakni : a. Tindakan menurut hukum privat. b. Tindakan menurut hukum publik.20 Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam kategori tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut : a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (bestuursorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri. 20
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Op.Cit, Hlm. 308
31
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum dan dibidang Hukum Administrasi. c. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. Pada negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi
atau
mengubah
keadaan
atau
posisi
hukum
warga
masyarakatnya.21 Pengertian Tindakan Hukum pemerintah dalam bukunya Ridwan HR, bahwa tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintahan atau administrasi negara yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintah atau administrasi negara.22 Berdasarkan paparan sebagaimana disebutkan di atas, maka pada dasarnya perbuatan pemerintah (administrasi) dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu :
21 22
Ibid, Hlm. 309 Ridwan HR, 2011, Op.Cit, Hlm. 112
32
a. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling). b. Mengeluarkan keputusan (beschikking). c. Melakukan perbuatan material (materielle daad).23 Tindakan Hukum Tata Usaha Negara tidaklah sama maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha negara. Tidak setiap tindakan pejabat adalah tindakan Hukum Tata Usaha Negara. Pengertian tindakan hukum Tata Usaha Negara termasuk dalam kelompok tindakan hukum publik yang sifatnya sepihak dan diarahkan kepada sasaran yang individual. Dari sifatnya sebagai hukum publik, perlulah dipahami secara benar perbedaan antara tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat.24 4. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) Asas-asas umum pemerintahan yang baik, sesungguhnya adalah rambu-rambu bagi para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya. Rambu-rambu tersebut diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai dengan tujuan hukum yang sesungguhnya. Tujuan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah sebagai saran perlindungan hukum terhadap penggunaan dan pelaksanaan wewenang bebas
(diskresioner)
pemerintah
dalam
melaksanakan
wewenangnya,
misalnya penggunaan wewenang dalam membuat ketetapan (beschikking).25
23
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Op.Cit, Hlm. 311 Ibid, Hlm. 583-584 25 A. Muin Fahmi, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 56 24
33
Jika dilihat dari sejarah atau keberadaan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) ini di Indonesia belum diakui secara yuridis formal seningga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 5 tahun 1986 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas tersebut dimasukan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap keputusan badan/pejabat tata usaha negara, akan tetapi usulan ini tidak diterima oleh pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh, selaku Menteri Kehakiman waktu itu yang mewakili pemerintah. Tidak dicantumkannya AAUPB dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN) bukan berarti aksistensinya tidak diakui sama sekali, karena ternyata seperti yang terjadi di Belanda, AAUPB ini diterapkan dalam praktik peradilan terutama pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).26 Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik Indonesia, asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara yakni setelah adanya UU Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang PERATUN sebagai 26
Ridwan HR, 2011, Op.Cit, Hlm. 240
34
salah satu alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara, yang disebutkan sebagai berikut : a. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraa negara. b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian,
dan
keseimbangan
dalam
pengendalian
penyelenggara negara. c. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan
negara
dengan
tetap
memeperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. d. Asas Proposionalitas, yaitu asas mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. e. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir
dari
kegiatan
penyelenggara
negara
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
35
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.27 Telah disebutkan bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) merupakan konsep terbuka dan lahir dari proses sejarah, oleh karena itu, terdapat rumusan yang beragam mengenai asas-asas tersebut. Meskipun demikian, dalam buku ini tidak dibicarakan mengenai rumusan yang beragam itu, namun hanya memuat AAUPB yang telah dirumuskan oleh para
penulis
Indonesia,
khususnya
Koentjoro
Purbopranoto
dan
SF.Marbun. Macam-macam AAUPB tersebut, adalah sebagai berikut : a. Asas Kepastian Hukum Asas ini memiliki 2 aspek, yaitu aspek yang bersifat material dan bersifat formal. Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. b. Asas Keseimbangan atau Asas Proposionalitas Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau 27
kealpaan
Ibid, Hlm. 241-242
yang
dilakukan
seseorang
sehingga
memudahkan
36
penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. c. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan Asas ini menghendaki agar badan pemerintah mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Menurut Philipus M. Hadjon asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijakan. Bila pemerintah dihadapkan pada tugas baru yang dalam rangka itu harus mengambil banyak sekali keputusan tata usaha negara, maka pemerintah memerlukan aturan-aturan atau pedomanpedoman. d. Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam
melakukan
berbagai
aktifitas
penyelenggaraan
tugas-tugas
pemerintahan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Asas ini mensyaratkan agar badan pemerintahan sebelum mengambil keputusan, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya. e. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tercantum dalam keputusan.
37
f. Asas Tidak Mempercampuradukkan Kewenangan Asas ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. g. Asas Permainan yang Layak (Fair Play) Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluasluasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya
putusan
administrasi.
Asas
ini
juga
menekannkan
pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. h. Asas Keadilan dan kewajaran Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. Sedangkan asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah atau administrasi negara memperhatikan nilainilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.
38
i. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, aparat pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah. j. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal Asas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat dari pekerjaannya dengan suatu surat keputusan (beschikking). Seorang pegawai yang dipecat karena diduga telah melakukan kejahatan, tetapi setelah dilakukan proses pemeriksaan di pengadilan, ternyata pegawai yang bersangkutan tidak bersalah. k. Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi Asas ini menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yakni perlindungan hak asasi. l. Asas Kebijaksanaan Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan
39
kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal. m. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum Asas ini
menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan konsekuensi dianutnya konsepsi negara hukum modern (welfare state), yang menempatkan pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab untuk mewujudkan bestuurszorg (kesejahteraan umum) warga negaranya.28 Kebebasan diberikan administrasi negara dalam melaksanakan tugas kesejahteraan umum. Bentuknya adalah kebebasan untuk mengambil tindakan yang tepat, cepat serta berfaedah dalam keadaan mendesak terhadap sesuatu yang belum diatur oleh hukum, namun tindakan tersebut harus dalam bingkai hukum. Kebebasan yang demikian dalam ilmu hukum di Perancis disebut Pourvoir Discretionare. Di belanda disebut Freies Ermessen, Logemman menyebut Vrije Insitiatief. Donner menyebut Vrije Heid van Het Bestuur. Dikalangan ahli hukum di Indonesia lebih pupuler dengan istilah Freies Ermessen. Sedangkan di kalangan birokrat di Indonesia lebih dikenal sebagai kebijaksanaan. Istilah Detournement de Pouvoir diartikan sebagai penggunaan wewenang pemerintah dalam menyelenggarakan kepentigan umum yang lain 28
Ibid. Hlm 245-263
40
dari kepentingan umum yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya. Doktrin tersebut semula diakui dalam hukum administrasi, termasuk di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, ternyata hukum positif di Indonesia telah menetapkan bahwa Detournement de Pouvoir adalah perbuatan pemerintah (bestuur) yang melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad). Fungsi Freies Ermessen adalah agar administrasi negara sebagai aparat penyelenggara negara dapat menilai dan menentukan apa yang inkonkreto, yang pada nyatanya harus terjadi, sesuai dengan demikian masyarakat. Karena itu, kebebasan yang dimaksud adalah bebas menentukan apa yang harus dilakukan, dengan ukuran apa wewenang itu digunakan, kapan tindakan itu dilakukan dan bagaimana caranya wewenang itu digunakan.29
D. Sumber Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk memaksakan kehendak. Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan, kewajiban mempunyai dua 29
A. Muin Fahmi, Op.Cit. Hlm. 44-45
41
pengertian, yakni horizontal dan vertical. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintah sebagaimana mestinya. Wewenang dalam pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan. 30 Berbeda dengan pendapat S.F. MARBUN dalam bukunya R.Wiyono; “Menurut hukum administrasi, pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintah tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.”31 Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, “Het begrip bevoegheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht”. Kewenangan yang ada di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut:
30
Muhammad Fauzan, “Hukum Pemerintahan Daerah”Edisi revisi, STAIN Press, Purwokerto, 2010, Hlm.79 31 R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 64
42
“Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbukan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.”32 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dalam menjalankan tugasnya untuk mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus berdasarkan wewenang masing-masing yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Sumber dan cara memperoleh wewenang pemerintah bersumber dari undang-undang dasar dan undang-undang. Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan tersebut di peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi (Attributie), Delegasi (Delegatie), dan Mandat (Mandaat). Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: 1. Atribusi Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintahan. 2. Delegasi Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
32
Ridwan HR., 2011, Op.Cit, Hlm. 99
43
3. Mandat Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.33 Selain pengertian diatas, Philipus M. Hadjon juga memberikan definisi mengenai delegasi dan mandat. Menurutnya, dengan mengutip pasal 10:3 AWB delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “beslit”) oleh pejabat pemerintahan (Pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Sedangkan menurutnya, mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n pejabat TUN yang memberikan mandat. Dengan demikian, tanggung jawab dan tanggung gugat tetap ada pada pemberi mandat.34 Indroharto mengemukakan bahwa atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator. Dalam Kajian Hukum Administrasi Negara (HAN), mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum. Setiap pemberian
kewenangan
kepada
pejabat
pemerintahan
tertentu,
didalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.35 33
Ibid. Hlm. 102 Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm. 204-205 35 Ridwan HR., 2011, Op.Cit, Hlm. 105 34
tersirat
44
E. Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu lingkup peradilan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia dan diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengkata yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan pengadilan tingkat pertama yang ada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN) telah mengalami beberapa perubahan diantaranya UU yang pertama yaitu UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah menjadi UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah lagi menjadi UU Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 51 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara. 1. Asas-Asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara terletak pada asasasas hukum yang melandasinya, yaitu : a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang dibuat (pasal 67 ayat 1 Undang-undang 5 tahun 1986);
45
b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetakan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU Nomor 5 tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100; c. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal 58, 63 ayat 1, 2, 80, 85. d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omes”. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang intervensi bertentangan dengan asas “erga omes”.36 2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kekuasaan (kompetensi) Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari kompetensi absolut dan kompetensi relative. Kompetensi absolut terdapat dalam pasal 47 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. 37 Kompetensi Absolut merupakan kompetensi utama Badan Peradilan Administrasi yang dibentuk beradasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 36
Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, 1999, Hlm 313. 37 Wiyono, Op.Cit. Hlm. 6
46
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan sengketa administrasi negara antara pemerintah dan warga masyarakat, disebabkan pemerintah telah melanggar hak-hak kepentingan warga. 38 Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara kurang lebih memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Yang bersengketa (pihak-pihak) adalah Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Pejabat Tata Usaha Negara. b. Objek Sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara yakni penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. c. Keputusan yang dijadikan objek sengketa ini berisi tindakan hukum pejabat tata usaha negara. d. Keputusan yang dijadikan objek sengketa itu bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.39 Pasal 53 ayat 1 yang dimaksud Penggugat adalah : “Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat mengajukan Gugatan Tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi”. 38
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm 580 SF Marbun, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, Hlm 186 39
47
Sedangkan yang dimaksud dengan Tergugat tercantum dalam pasal 1 angka 6 bahwa : “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Kompetensi relative merupakan kewenangan memeriksa/mengadili perkara berdasarkan pembagian daerah hukum (distribusi kekuasaan). Kompetensi Relatif ini diatur dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang PERATUN, yang menyatakan ; a. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputu wilayah Provinsi. Mengenai susunan Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh Pasal 8 UU PERATUN ditentukan bahwa Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari ; 1) Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama (PTUN); 2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding (PTTUN).40
40
R. Wiyono., Op.Cit. Hlm. 2
48
Adapun kekuasaan dari Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut; a. Pasal 50 menentukan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama; b. Pasal 51 menentukan; (1). Pengadilan TUN bertugas dan berwenang memeriksa,dan
memutus
Sengketa Tata Usaha Negara ditingkat banding; (2). Pengadilan TUN juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan TUN di dalam daerah hukumnya; (3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan ditingkat pertama Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48; (4) Terhadap Putusan Pengadilan TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.
3. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Disamping melalui upaya administratif, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dilakukan melalui gugatan. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya administratif relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui gugatan, karena
49
penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif hanya terbatas pada beberapa “sengketa tata usaha negara tertentu” saja. Pasal 53 ayat 1 setelah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 menentukan orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1 tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan gugatan dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara adalah permohonan secara tertulis dari seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang ditujukan kepada pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.41 Ketentuan tentang tenggang waktu gugat harus diperhatikan jika seseorang atau badan hukum perdata akan mengajukan gugatan ke pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, karena dengan lewatnya tenggang waktu gugatan, ketua pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai alasan untuk memutuskan dengan penetapan 41
Ibid, Hlm. 117
50
bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat 1 huruf e. Pasal 55 menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.42 Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan TUN pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Namun demikian, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
agar
surat
keputusan
yang
digugat
tersebut
ditunda
pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat akan sangat dirugikan jika keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (pasal 67 ayat 4 a).43 Pasal 1 ayat 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN), baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
42 43
Ibid, Hlm. 124 Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm 596
51
(KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 4. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara Pejabat Tata Usaha Negara pada saat menjalankan tugasnya salah satunya yaitu mengeluarkan keputusan, yang selanjutnya disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), pengertiannya terdapat pada Pasal 1 ayat 9 UU Nomor 51 Tahun 2009. Sedangkan yang dimaksud dengan bersifat konkret, individual dan final adalah sebagai berikut : a. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam keputusan tata usaha negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. b. Bersifat individual, artinya keputusan tata usaha negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. c. Bersifat final, artinya sudah Definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.44 Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas presumtio justae causa yang maksudnya bahwa suatu keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang hakim belum membuktikan sebaliknya. Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan tata usaha negara adalah sebagai berikut : - Syarat Materiil : a. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang. 44
R. Wiyono, Op.Cit, Hlm. 28
52
b. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis. c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut. d. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. e. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu. - Syarat Formil : a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi. b. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan. c. Syarat-syarat
yang
ditentukan
berhubung
dengan
dilakukannya
keputusan harus dipenuhi. d. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati.45 Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan Badan/Pejabat TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah 45
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm 322-323
53
sesuai dengan norma-norma hukum (baik yang tertulis maupu yang tidak tertulis) yang berlaku bagi tindakan tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik). Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004, yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Dalam Praktiknya Majelis Hakim dalam pengujiannya terhadap Keputusan Tata Usaha Negara telah sesuai ketentuan Pasal 53 di atas, adalah meliputi tiga aspek yaitu : a. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan. Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara atribusi (berasal dari perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), delegasi (adanya pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada), dan mandat (dalam hal ini tidak ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan). b. Aspek Substansi/materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan
54
ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak. Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, tetapi juga dengan memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), yaitu ; a. Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan : •
Persiapan yang cermat.
•
Asas Fair Play.
•
Larangan Detournement de Procedure (menyalahi prosedur).
b. Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan : •
Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu keputusan.
•
Pertimbangan tersebut harus memadai.
c. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan : •
Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan.
•
Asas persamaan perlakuan.
•
Larangan detournement de pouvoir.
55
•
Asas kecermatan materiil.
•
Asas keseimbangan.
•
Larangan Willekeur (sewenang-wenang).46 Indroharto dalam Bukunya Usaha Memahami Undang-Undang
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, mengemukakan dasar untuk menguji KTUN adalah : a. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; b. Melanggar
Larangan
De’tournement
de
pouvoir/penyalahgunaan
wewenang; c. Menyimpang dari Nalar yang Sehat (Melanggar Larangan Willekeur); d. Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.47 Sebuah ketetapan/keputusan yang tidak sah menurut Utrecht, mengenal tiga macam yakni : a. Batal (nietig/absolute nietig), berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada. Bagi hukum, akibat perbuatan hukum itu tidak ada sejak semula. b. Batal demi hukum (nietigheid van rechtswege), batal karena hukum atau batal demi hukum (nietigheid van rechtswege) berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum dianggap tidak pernah ada
46 47
Ibid, Hlm 323-325 Indroharto, Op.Cit, Hlm 172
56
(dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan batalnya sebagian atau seluruh akibat ketetapan itu. c. Dapat dibatalkan (verniegbaar), berarti bagi hukum bahwa perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten (pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan). Bagi hukum perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalnnya dan oleh sebab itu itu segal akibat yang ditimbulkan antara waktu mengadakannya, sampai
waktu pembatalnnya, menjadi sah
(terkeculi dalam hal undang-undang menyebutkan beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan bila mungkin diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus.48
48
Andy Lesmana, 2013, Batal Demi Hukum, http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/bataldemi-hukum-602043.html diakses pada tanggal 27 Desember 2014 pukul 17.18 WIB
57
BAB III METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Yuridis Normatif, Menurut Johny Ibrahim, metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dan sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.1 A. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Kasus (Case Approach), dan Pendekatan Konseptual. -
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan undang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan masalah hukum yang sedang ditangani. Pendekatan ini akan membuka kesempatan kepada peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara undang-undang dengan undang-undang lainnya, antara
1
Johny Ibrahim , Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2008, Hlm.57
58
undang-undang dan undang-undang dasar, antara regulasi dengan undangundang. 2 -
Pendekatan Kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasuskasus yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.3
-
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin di dalam ilmu hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan masalah yang dihadapi.4
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi Penelitian yang digunakan adalah preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu yang didasari atas perundang-undangan yang ada dan kemudian mengambil kesimpulan dari bahan-bahan dari objek masalah yang akan diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu.5
2
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hlm. 58 3 Ibid, Hlm. 58 4 Ibid, Hlm. 60 5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hlm. 141
59
C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Universitas Jenderal Soedirman, dan ditempat lain yang berkaitan erat dengan adanya sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini.
D. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Sekunder, yang terdiri dari : 1.
Bahan Hukum Primer Sumber bahan hukum ini merupakan bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang dapat berupa norma dasar (Pancasila), peraturan dasar seperti Batah Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan, hukum yang tidak dikodifikasi, hukum adat, hukum islam, yurisprudensi, traktat dan doktrin6 seperti : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen ; b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI tahun 1986 Nomor 77); Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI
6
M. Syamudin, Op.Cit, Hlm. 96
60
tahun 2004 Nomor 35); Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Lembaran Negara RI tahun 2009 Nomor 160) c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125) d. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Lembaran Negara RI tahun 2009 Nomor 8); e. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Izin Gangguan diganti menjadi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan ; f. Keputusan
Walikota
Yogyakarta
Nomor
232/KEP/2007
tentang
50/KEP/2007
tentang
Pelaksana Tugas Khusus Wakil Walikota. g. Keputusan
Walikota
Yogyakarta
Nomor
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah Dinas. h. Putusan
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
Yogyakarta
Nomor
06/G/2011/PTUN-YK 2.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, misalnya rancangan peraturan perundang-
61
undangan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian, jurnal, dan sebagainya.7 3.
Bahan Hukum Tersier Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif, dan lain-lain.8
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan menginventarisasi bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK, yurisprudensi, dan doktrin yang relevan dengan objek penelitian ini. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara Studi Kepustakaan, adalah kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti9. Seperti terhadap Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, makalah-makalah dalam seminar, artikel-artikel, risalah-risalah sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, serta petunjuk teknis 7
Ibid, Hlm. 96 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, Hlm. 141 9 M. Syamsudin, Op.Cit, Hlm. 101 8
62
maupun petunjuk pelaksana yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung maupun PTUN Yogyakarta yang relevan dengan objek penelitian.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum Penyajian bahan hukum dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk Teks Naratif atau secara naratif
10
yaitu suatu penyajian dalam bentuk rangkaian
kalimat yang bersifat narasi atau bersifat menguraikan, menjelaskan dan sebagainya, yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan sistematis.
G. Metode Analisis Bahan Hukum Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Cara pengambilan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu cara menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap masalah-masalah konkret yang dihadapi. 11
10 11
Ibid, Hlm. 119 Ibid, Hlm. 72
63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Hasil penelitian yang berbentuk data sekunder bersumber dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK yang diuraikan secara singkat sistematis sebagai berikut : 1. Para Pihak yang berpekara 1.1 Identitas Penggugat a. Nama Badan Hukum : CV. Sari Jaya b. Tempat Kedudukan
: Jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW II
Kelurahan
Giwangan,
Kecamatan
Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Dalam hal ini diwakili oleh pemilik dari CV. Sari Jaya, yaitu ; a. Nama
: Hani Purbonegoro
b. Kewarganegaraan
: Indonesia
c. Pekerjaan
: Wiraswasta
d. Tempat Tinggal
Jalan Madubronto Nomor 34 Patangpuluhan RT 011 RW 002, Kelurahan Patangpuluhan, Kota Yo gyakarta.
1.2 Identitas Tergugat a. Nama Jabatan
: Walikota Yogyakarta
64
b. Tempat Kedudukan
: Jalan Kenari Nomor 56 Komplek
Balaikota
Timoho Yogyakarta. 2. Objek Gugatan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor : 503/687 Tanggal 22 Februari 2011 Tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha. (selanjutnya disebut sebagai objek sengketa) 3. Duduk Perkara Menurut Penggugat 3.1
Bahwa tergugat dalam menerbitkan objek sengketa a quo
tersebut
sangat merugikan kepentingan penggugat. Penggugat di dalam menjalankan usahanya sejak berdiri tahun 1987 hingga sekarang telah mengantongi segala perijinan sebagaimana ketentuan peraturan yang berlaku, termasuk Ijin Gangguan No. 503-T.117/02.I1/2000 yag berlaku sampai dengan tanggal 5 November 2004, dan sudah mengajukan permohonan perpanjangan ijin gangguan dengan nomor pendaftaran 1097/XI/04 tanggal 9 November 2004, namun hingga sekarang permohonan perpanjangan ijin gangguan yang persyaratannya sudah lengkap tidak ada kejelasan dari tergugat, apakah ditolak atau bagaimana. Selain itu Penggugat juga telah memiliki dokumendokumen perijinan yaitu Surat Ijin Membangun Bangun-Bangunan No. 627.R/DTK/Tahun 2000, Surat Ijin Peruntukan Lahan No. 503.834 tangga l 23 September 1999, Dokumen AMDAL berupa Pengesahan Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Yogyakarta atas
65
Dokumen UKL dan UPL pada Desember 2004, Surat Ijin Usaha Perdagangan No. 841/MP/XII/NAS tanggal 4 Januari 1986, Surat Pemberian Ijin Usaha Tetap No. 1812/012/D/36990/AI/VI/1988 tangga l 21 Juni 1988 ; 3.2
Bahwa salah satu dasar diterbitkannya objek sengketa adalah Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 30 Desember 2010 No. 1267/Pid.C/2010/PN.YK adalah bukan atas nama Penggugat akan tetapi atas nama terdakwa orang lain yaitu Hellen Purbonegoro, yang sama sekali bukan pemilik dan bukan penanggungjawab CV SARI JAYA milik penggugat, yang artinya adalah bahwa putusan tersebut telah terjadi salah orang, sehingga mutatis mutandis penutupan usaha yang dilakukan Tergugat sebagaimana Surat Walikota Yogyakarta Nomor : 503/687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha adalah tidak sah ;
3.3
Bahwa objek sengketa a quo bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan bahwa keberatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu lima belas hari sejak permohonan itu diumumkan, dan pada saat permohonan perpanjangan diajukan telah ternyata tidak pernah ada keberatan warga, hal mana jelas bahwa Tergugat sudah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar peraturan
66
yang dibuatnya sendiri. Selain itu objek sengketa juga bertentangan dengan Pasal 18 serta Lampiran IV Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor : 41 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan, oleh karena Penggugat tidak pernah diberi surat peringatan terlebih dahulu sebelum terbitnya objek sengketa, akan tetapi Tergugat justru memberikan Surat Perintah Penutupan Usaha sebanyak tiga kali, yaitu Surat Nomor : 503/042 tanggal 7 Januari 2011 tentang Perintah Penutupan Usaha, Surat nomor 503/069 tanggal 14 januari 2011 tentang Perintah Penutupan Usaha, dan Surat Nomor : 503/115 tanggla 25 Januari 2011 tentang Perintah Penutupan Usaha. Selain itu pula, dasar hukum penutupan usaha adalah Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta yang cacat hukum karena salah terdakwa, sehingga dengan demikian prosedur penutupan usaha sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV juga cacat hukum; 3.4
Bahwa keputusan Tergugat bertentangan dengan azas-azas umum pemerintahan yang baik yaitu azas kepastian hukum karena tidak memberikan jawaban atas permohonan perpanjangan izin gangguan No. 503-T/117/02.I1/2000 dengan Nomor Pendaftaran 1097/XI/04; azas kecermatan karena mendasarkan penutupan usaha dengan putusan pengadilan yang salah orang in casu Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 30 Desember 2010 No. 1267/Pid.C/2010/PN.YK
67
dan azas keterbukaan karena telah menerbitkan surat perintah penutupan sebanyak tiga kali tetapi tanpa peringatan terlebih dahulu. 4. Petitum atau Tuntutan Penggugat Berdasarkan hal- hal tersebut di atas, maka Penggugat memohon kepada Yth. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara sebagai berukut : 4.1
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
4.2
Menyatakan Surat Walikota Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 tantang Pemberitahuan Penutupan Usaha bertentangan dengan Perda Nomor 2 Tahun 2005 jo. Peraturan Walikota Nomor 41 Tahun 2006 tanggal 5 Juni 2006.
4.3
Menyatakan batal atau tidak sah Surat Walikota Nomor 503 / 687 tanggal 22 Februari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
4.4
Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Walikota Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
4.5
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul.
5. Duduk Perkara Menurut Tergugat 5.1
Bahwa objek sengketa telah diterbitkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 2 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Izin Gangguan dan telah dicabut dan diganti dengan pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan yang
68
berbunyi, “Setiap orang pribadi atau badan yang mendirikan tempat usaha di wilayah daerah, diwajibkan memiliki izin dari Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk”. Bahwa Penggugat nyata-nyata
yang
berbunyi, “ Selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum habis masa berlakunya izin, pemohon harus sudah mengajukan permohonan izin baru “. Bahwa Penggugat telah mengakui izin gangguannya telah habis masa berlakunya pada tanggal 5 November 2004, dan Penggugat telah mengakui sendiri melakukan permohonan perpanjangan izin gangguan baru pada tanggal 9 November 2004 yang semestinya sesuai ketentuan diajukan selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum habis masa berlakunya izin, akan tetapi hal itu tidak dilakukan dan dijalankan oleh Penggugat, Apabila dihitung sejak berdirinya CV. Sari Jaya pada tahun 1987 sampai dengan perkara ini diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, Penggugat semestinya telah memiliki izin Gangguan sebanyak 5 (lima) Izin Gangguan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, sesuai Pasal 10 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat I Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti dengan pasal 3 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Tentang Izin Gangguan, yang berbunyi, “Izin berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun”. Bahwa oleh karena Izin Gangguan Penggugat telah habis masa berlakunya pada tanggal 5 November 2004 dan oleh
69
karena
faktanya
Pemerintah
Kota
Yogyakarta
belum
pernah
menerbitkan perpanjangan atas izin gangguan tersebut, maka jelas-jelas dalil-dalil Penggugat yang menyatakan “sejak tahun 1987 hingga sekarang, didalam melakukan kegiatan sebagaimana ketentuan peraturan yang berlaku…” adalah TERBUKTI TIDAK BENAR ; 5.2
Bahwa faktanya Tergugat sebelum menerbitkan objek sengketa telah melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005, yaitu Tergugat nyata- nyata telah terlebih dahulu memberikan “PERINGATAN” sebanyak tiga kali, yaitu Surat Nomor 503 / 069 tanggal 14 Januari 2011 yang dibetulkan dengan Surat Nomor 503 / 074 tanggal 17 Januari 2011, dan Surat Nomor 503/ 115 tanggal 25 Januari 2011, namum tidak diindahkan oleh Penggugat ;
5.3
Bahwa Pengugat telah keliru dalam membaca dan memahami Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 yang mengatur tentang jangka waktu pemberitahuan adanya permohonan izin gangguan terhadap pihaj-pihak yang berkeberatan, bukan tenggang waktu untuk mengajukan keberatan dan bukan pula batas waktu bagi Tergugat untuk menyampaikan Jawaban atas permohonan perpanjangan Izin Gangguan dari Penggugat ;
5.4
Bahwa Hellen Purbonegoro di hadapan Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta telah mengakui bahwa yang bersangkutan dalam proses
70
tindak pidana ringan di Pengadilan Negeri Yogyakarta mewakili Hani Purbonegoro selaku ayah kandungnya yang saat itu sedang dalam keadaan sakit, sehingga tidak benar apa yang didalilkan Penggugat yang menyatakan Hellen Purbonegoro adaah orang lain, karena faktanya juga membuktikan nama Hellen Purbonegoro tercantum di dalam Akta Notaris Soerjono Partaningrat, SH. Nomor 113 tangal 13 Oktober 1987 tentang
Pendirian CV. Sari Jaya sehingga dengan demikian Hakim
Pengadilan Negeri Yogyakarta yang memeriksa perkara tindak pidana ringan dimaksud menyatakan bahwa Hellen Purbonegoro sah mewakili CV. Sari Jaya ; 5.5
Bahwa penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan azas-azas umum pemerintahan yang baik, yaitu antara lain azas kepastian hukum, karena justru sangat tidak adil dan tidak ada kepastian hukum manakala Tergugat tidak melakukan penutupan terhadap usaha penggugat yang nyata-nyata tidak mempunyai izin gangguan yang sebagaimana Pengadilan Negeri Yogyakarta telah menyidangkan tindak pidana ringan yang terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor : 2 Tahun 2005 Tentang Izin gangguan, sehingga diputus hukum denda sebesar Rp. 1.000.000,00 sebagaimana termuat dalam putusannya Nomor 1267/Pid.C/2010/Pn.YK tanggal 30 Desember 2010. Bahwa dalam menerbitkan objek sengketa tergugat telah bertindak cermat, dimana sebelum menerbitkan objek sengketa
71
Tergugat melalui Kepala Dinas Perekonomian Kota Yogyakarta sudah melayangkan surat Nomor 503/1503 tanggal 23 Desember 2004 perihal Permohonan Izin Gangguan Penggugat yang ditujukan kepada Penggugat bahwa Permohonan Izin Gangguan Penggugat tidak dapat diproses lebih lanjut dikarenakan adanya keberatan dari warga sekitar lokasi tempat kegiatan usaha penepungan batu CV. Sari Jaya yang nyata-nyata
telah
menimbulkan
dampak
lingkungan
sehingga
mengganggu waga sekitar lokasi kegiatan usaha penepungan baru. Bahwa tergugat juga melalui Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta sudah melayangkan surat peringatan sebanyak tiga kali yaitu Surat Nomor 503/042 tanggal 7 Januari 2011, Surat Nomor : 503/069 tanggal 14 Januari 2011 yang dibetulkan dengan Surat nomor :503/074 tanggal 17 Januari 2011, dan Surat Nomor : 503/115 tanggal 25 Januari 2011. Bahwa tindakan Tergugat juga telah sesuai dengan azas keterbukaan, dimana Tergugat telah melakukan peninjauan lokasi kegiatan usaha CV. Sari Jaya milik Penggugat, berkoordinasi dengan instansi terkait dan memperhatikan
masukan- masukan
dari
warga
masyarakat
yang
keberatan atas keberadaan kegiatan usaha penepungan batu milik Pengggugat yang sangat mengganggu masyarakat. 6. Petitum atau Tuntutan Tergugat 6.1
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvakelijk Verklaard) ;
72
6.2
Mengabulkan Jawaban Tergugat untuk seluruhnya ;
6.3
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang ditimbulkan dalam perkara ;
7. Alat Bukti 7.1
Alat Bukti Surat Penggugat P-1
: Foto Copy Akte Notaris Nomor: 113 tanggal 13 Oktober 1987, Notaris RM Soerjanto Partaningrat di Yogyakarta.
P-2
: Foto Copy profil CV SARI JAYA.
P-3
:
Foto Copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Nomor : 503/042 tanggal 7 Januari 2011 tentang Perintah Penutupan Usaha.
P-4
: Foto copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota Yogyakarta dengan No. 503/069 tanggal 14 Januari 2011 tentang Perintah Penutupan Usaha.
P-5
: Foto copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota Yogyakarta dengan No. 503/115 tanggal 25 Januari 2011 tentang Perintah Penutupan Usaha.
P-6.A : Foto copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota Yogyakarta dengan No. 503/687 tanggal 22 Januari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
73
P-6.B : Foto copy Surat Perintah Walikota No. 503/003/SP/2011 tanggal 22 Februari 2011 kepada Plt Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta tentang Penutupan Usaha CV SARI JAYA. P-7
: Foto copy Berita Acara Penutupan Penutupan Kegiatan Usaha No. 503/357 tanggal 24 Februari 2011.
P-8.A : Foto copy salinan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 1267/Pid.C/2010/PN.Yk tanggal 30 Desember 2010. P-8.B : Foto copy permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI terhadap Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 1267/PidC/2010/PN.Yk tanggal 30 Desember 2010. P-9
: Foto copy Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No: 2 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan.
P-10
: Foto copy Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 41 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan.
P-11
: Foto copy Tanda Izin Usaha (HO) No. 503 T.117/02.4/2000 tanggal 1 Maret 2000.
P-12
: Foto copy bukti penerimaan berkas permohonan Ijin Gangguan (HO) No.1097/XI/2004 tanggal 09-11-2004.
P-13
: Foto copy Nama- nama Karyawan dan foto copy KTP Karyawan CV SARI JAYA.
74
P-14
: Foto copy Piagam Penghargaan No.657/KEP/2010 dari Walikota Yogyakarta tanggal 23 November 2010.
P-15
: Foto copy Bukti Pembayaran pajak dari tahun 2010 dan 2011.
P-16.A: Foto
copy
Keputusan
No.627.R/DTK/Tahun
2000
Walikota tentang
Yogyakarta
Pemberian
Ijijn
Membangun Bangunan-bangunan tanggal 8 Febuari 2000. P-16.B:
Foto copy Keputusan Walikotammadya Kepala Daerah Tingfkat II Yogyakarta No.650/R tentang Pemberian Ijin Membangun Bangun-Bangunan tanggal 2 November 1995.
P-16.C : Foto copy tanda bukti penerimaan sebagai pembayaran IMB (baru) SK.No.26/R. tanggal 04 April 1996 terletak di Giwangan RT.32.RW.XI.YK. P-17
: Foto
copy
Kotamadya
Surat
Ijin
Daerah
Peruntukan Tingkat
II
Lahan
Pemerintah
Yogyakarta,
Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah No.503/834 tentang Ijin Peruntukan Lahan tanggal 23 September 1999. P-18
: Foto copy salinan Keputusan Walikotamadya Kepala Darah Tingkat II Yogyakarta No. 503-T.117/02.I 1/2000 tentang Pemberian Ijin Tempat Usaha tanggal 1 Maret 2000.
P-19
: Foto copy Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) No.SIUP: 841/PM/XII/NAS tanggal 4 Januari 1986.
75
P-20
: Foto copy Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 1812/012/D/36990/AI/VI/1988 tentang Pemberian Ijin Usaha Tetap tanggal 21 Juni 1988.
P-21.A: Foto copy Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan ( UKL dan UPL) Kegiatan Penggilingan Batu Gamping oleh CV.SARI JAYA telah di syahkan
oleh
Kepala
Kantor
Pengendalian
Dampak
Lingkungan Kota Yogyakarta pada bulan Desember. P-21.B : Foto copy Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 290/KPTS/ 1994 tentang Persetujuan (RKL) dan ( RPL) tanggal 8 September 1994. P-22.A: Foto copy laporan hasil uji No. G/I/2001 tanggal 14 januari 2011 dari Balai Besar Tekhnik Kesehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI. P-22.B : Foto copy Laporan hasil uji No. G/XI//2010 tanggal 17 November 2010 dari Balai Besar Tekhnik Kesehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI. P-23
: Foto kwitansi jimpitan ronda CV.SARI JAYA terhadap warga mendung warih kelurahan giwangan Kecamatan Umbulharjo.
P-24
: Foto copy surat surat dari pekerja kepada pimpinan CV.SARI JAYA, mohon untuk di buka kembali Perusahaan milik Bpk. HANI PURBONEGORO.
76
P-25
: Foto copy Surat Penerimaan Berkas Perkara Peninjauan Kembali Pidana atas nama HELLEN PURBONEGORO Nomor: 87/ TU/87/PK/ Pid. Sus/ 2011 tertanggal 4 Mei 2011.
P-26
: Foto
copy
Surat
Pernyataan
dari
HELLEN
Negeri
Yogyakarta
PURBONEGORO. 7.2
Alat Bukti Surat Tergugat T-1
: Foto
Copy
Putusan
Pengadilan
No.1267/Pid.c/2010/PN.YK tanggal 30 Desember 2010 dengan terdakwa Hellen Purbonegoro. T-2
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban yang ditujukan kepada Walikota Yogyakarta, No.130/3089, tanggal 31 Desember 2010 tentang Laporan Hasil Sidang Tipiring atas Pelanggaran CV.SARI JAYA.
T-3
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban yang ditujukan kepada Hellen Purbonegoro Pemilik atau Penanggungjawab CV. SARI JAYA tentang Perintah Penutupan Usaha No.503/042 tanggal 7 Januari 2011.
T-4
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban tentang Perintah Penutupan Usaha No.503/069 tanggal 14 Januari 2011.
T-5
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban No.503/074 tanggal 17 Januari 2011 tentang Pembetulan Surat No.503/069.
77
T-6
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban No. 503/115 tanggal 25 Januari 2011, tentang Perintah Penutupan Usaha.
T-7
: Foto Copy Surat Walikota No. 503/687 tertanggal 22 Februari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
T-8
: Foto Copy Surat Perintah yang diterbitkan oleh Walikota Yogyakarta No. 503/003/SP/2011 tanggal 22 Februari 2011.
T-9
: Foto Copy Surat Tugas yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Ketertiban Kota No. 800/350 tanggal 23 Februari 2011.
T-10
: Foto Copy Berita Acara Penutupan Kegiatan Usaha No. 503/357 tanggal 24 Februari 2011.
T-11
: Foto Copy Berita Acara Penolakan Tanda Tangan No. 503/358 tanggal 24 Februari 2011.
T-12
: Foto
Copy
Tanda
Izin
Tempat
Usaha
(HO)
No.
503.T.117/02.11/2000, atas nama CV SARI JAYA. T-13
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta No. 503/2779, tanggal 1 November 2004 tentang Masukan Bahan Laporan.
T-14
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta No. 503/5022, tanggal 1 November 2004 tentang Telaahan Kelanjutan Ijin CV SARI JAYA.
T-15
: Foto Copy Formulir Permohonan Izin Gangguan No Pendaftaran 1097/XI/04 tanggal 9 November 2004.
78
T-16
: Foto Copy Surat warga disekitar pabrik CV SARI JAYA yang ditujukan kepada Walikota Yogyakarta tanggal 6 Oktober 2004.
T-17
: Foto Copy Surat Kepala Sekolah Dasar Ibtidaiyah Negeri Yogyakarta II Kota Yogyakarta No. MI.I/I.b/100/2004, tentang Keberatan Kelanjutan Izin CV SARI JAYA.
T-18
: Foto Copy Notulen Rapat tanggal 20 Desember 2004 dan Notulen Rapat tanggal 22 Desember 2004.
T-19
: Foto Copy Notulen Rapat Koordinasi Membahas Izin Gangguan CV SARI JAYA yang diterbitkan oleh Advokat Musyafah, SH & Rekan, tanggal 20 Desember 2004.
T-20
: Foto
Copy
Surat
Kepala
Dinas
Perekonomian
Kota
Yogyakarta No. 503/1503 tanggal 23 Desember 2004 tentang Permohonan Izin Gangguan. T-21
: Foto Copy Surat kepada Walikota tentang Penolakan Ijin Penggilingan Batu CV SARI JAYA tanggal 25 Oktober 2010.
T-22
: Foto Copy Surat warga kepada Walikota Yogyakarta, tanggal 26 Oktober 2010, perihal Mohon Penjelasan, disertai dengan Lampiran Surat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Yogyakarta tertanggal 18 Februari 1998 No. 640/545 dan Kliping koran Kedaulatan Rakyat Tahun 1997.
79
T-23
: Foto Copy Surat Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri Yogyakarta II Kota Yogyakarta tanggal 14 Januari 2011 tentang Mohon Perlindungan.
T-24
: Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban No. 503/209, tanggal 2 Februari 2011 tentang Laporan Pelanggaran CV SARI JAYA.
T-25
: Foto Copy Lampiran II-3 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor : 6 Tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Yogyakarta Tahun 19942004.
T-26
: Foto Copy Lampiran XII Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor : 88 tahun 2005 tentang Penjabaran Status Kawasan, Pemanfaatan Lahan dan Intensitas Pemanfaatan Ruang.
T-27
: Foto Copy Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor: 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota.
T-28
: Foto Copy Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor: 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah Dinas.
80
T-29
: Foto Copy Surat Walikota Yogyakarta Nomor : 640/215, tanggal
21
Januari
2011,
perihal
Pemberitahuan
Pembongkaran Bangunan. 7.3
Alat Bukti Saksi Tergugat Tergugat juga mengajukan beberapa saksi, yang telah didengar keterangannya dibawah sumpah dipersidangan, yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : a. Saksi Drs. Bambang Yuhana, Msi menerangkan sebagai berikut : - Bahwa saksi tinggal di sebelah utara pabrik sejak tahun 1994 dan saksi menyatakan bahwa posisi rumah saksi dengan pabrik sekitar 22 meter, selain itu saksi juga mengenal Hani Purbonegoro. - Saksi tidak tahu pabrik tersebut berijin atau tidak dan saksi pernah mengajukan keberatan kepada Walikota sebagaimana dituangkan dalam Bukti T-16, T-21, T22. - Saksi menghadiri rapat yang diselenggarakan di Ruang Rapat Dinas
Perekonomian
Kota
Yogyakarta,
yang
membahas
permohonan izin gangguan pabrik CV. SARI JAYA, sebagaimana dituangkan dalam Bukti T-18 dan Saksi tidak pernah memberikan Kuasa secara tertulis Kepada Musyatah. - Saksi tidak pernah melihat ijin- ijin milik penggugat yang lain selain Ijin Gangguan.
81
- Saksi menjelaskan bahwa saksi pernah datang ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah pada sekitar tahun 1994 untuk menanyakan rencana peruntukan daerah Mendung Warih dan saksi
memperoleh
informasi
dari
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah bahwa peruntukan Daerah Mendung Warih adalah untuk pemukiman dan saksi mengetahui keberadaan pabrik CV. SARI JAYA lebih dahulu berdiri dan beroperasi dibawah Mendung Warih, sebelum berdirinya perumahan-perumahan, Madrasah Ibtidayah Negeri Yogyakarta II Kota Yogyakarta maupun sekolah-sekolah lainnya, karena pada saat CV. SARI JAYA berdiri wilayah Mendung Warih masih berupa sawahsawah, tanah-tanah pekarangan, rumah-rumah perkampungan biasa, dan belum ada perumahan-perumahan seperti sekarang maupun sekolah-sekolah. - Saksi mengetahui dan datang melihat langsung pada saat dilakukannya Penutupan Kegiatan Usaha CV. SARI JAYA dan setelah dilakukan Penutupan Kegiatan Usaha CV. SARI JAYA, sampai saat saksi dipanggil dan diperiksa sebagai saksi di Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
Yogyakarta,
pabrik
CV
SARIJAYA yang berlokasi di Jl. Mendung Warih, tidak lagi beroperasi.
82
b. Saksi Bernandus Bayu Laksmono, Msi menerangkan sebagai berikut : - Saksi sebagai Kepala Seksi pada Dinas Ketertiban Yogyakarta dan mengetahui
Plt.
Kepada
Dinas
Ketertiban
Yogyakarta
mengeluarkan Surat Tugas Nomor 800/350 tanggal 23 Februari 2011 untuk melaksanakan tugas Penutupan Kegiatan Usaha CV. SARIJAYA. - Saksi mengetahui pelaksanaan Penutupan CV. SARIJAYA dan saksi juga mengetahui bahwa Iwan Setiawan K, S.H. selaku Kuasa Hukum CV. SARI JAYA tidak bersedia untuk menandatangani Berita Acara Penutupan Kegiatan Usaha CV. SARI JAYA. - Bahwa saksi mengetahui Surat Perintah Penutupan dari Walikota, selain itu saksi juga mengetahui isi laporan dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil. - Saksi mengetahui kalau pemilik CV SARI JAYA Hani Purbonegoro. 8. Pertimbangan Hukum Hakim 8.1
Menurut pendapat Majelis Hakim, hal- hal yang relevan dan merupakan inti pokok persengketaan, sehingga perlu diuji dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah mengenai : “ Apakah ada cacat yuridis di dalam surat keputusan yang diterbitkan oleh tergugat baik dari segi kewenangan, formal procedural, maupun dari segi substansi materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 ( huruf a dan b
83
) Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan objek sengketa in litis dapat dinyatakan batal atau tidak sah?” 8.2
Menimbang, bahwa beranjak dari jawab-jinawab dan permasalahan tersebut diatas, maka Majelis Hakim akan mengujinya secara yuridis formal, Procedural, dan substansi materiil berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh selama persidangan berlangsung yang kemudian dihubungkan dengan ketentuan yang berlaku, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
8.3
Menimbang,
bahwa
perlu
ditegaskan
untuk
menguji
pokok
permasalahan tersebut, Majelis Hakim akan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak karena Hakim Tata Usaha Negara bersifat aktif, sehingga dapat menentukan sendiri apa yang harus dibuktikan, siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri serta alat bukti mana saja yang diutamakan serta kekuatan pembuktian yang telah diajukan, semua ini
84
dalam rangka menemukan kebenaran materiil sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 106 dan 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. 8.4
Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan mengenai substansi materiil terbitnya objek sengeketa a quo . 8.5
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 107 Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pengggugat dan Tergugat di muka Pengadilan, dikaitkan dengan bukti-bukti tertulis dan keterangan saksisaksi yang diajukan oleh para pihak, telah terungkap fakta-fakta hukum di persidangan.
8.6
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat, bahwasanya yang penting untuk dicermati adalah dikenal adanya azas umum yang mengatakan bahwa “orang tidak boleh menyimpang dari communis opinion doctorum = pendapat umum para sarjana”, sehingga dengan demikian azas tersebut menjadikan kekuatan mengikat bagi pendapat para sarjana atau ahli hukum sehingga melahirkan salah satu sumber hukum formil hukum administrasi negara yaitu Doktrin atau pendapat para ahli hukum administrasi negara, dimana apabila sumber hukum -
85
sumber hukum yang lain yang berupa peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi tidak dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka Doktrin adalah merupakan tempat hakim dapat menemukan hukumnya. 8.7
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat di dalam mempertimbangkan mengenai substansi materiil terbitnya objek sengketa a quo, Majelis Hakim selain mendasarkan pada peraturan perundang-undangan maupun azas-azas umum pemerintahan yang baik, juga akan mendasarkan pada doktrin hukum administasi Negara, sebagai tempat Majelis Hakim menemukan hukumnya.
8.8
Menimbang, bahwa berdasarkan doktrin tentang Keputusan Tata Usaha Negara yang sah, menurut Van Der Pot, adalah keputusan ya ng memenuhi syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil, yaitu sebagai berikut: - Syarat-syarat materiil : a. Keputusan harus dibuat oleh alat Negara yang berwenang; b. Dalam kehendak alat Negara yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis; c. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
86
d. Keputusan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggaar peraturan-peraturan lain, menurut isi dan tujuan sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar keputusan itu. - Syarat-syarat formil : a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; b. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan; c. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi; d. Jangka waktu yang ditentukan : antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan
dibuatnya
keputusan
dan
diumumkannya
keputsan itu, tidak boleh dilewati. 8.9
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum – fakta hukum sebagaimana terurai di atas, objek sengketa a quo diterbitkan dengan ditandatangani oleh Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta dalam rangka tugas penegakan peraturan daerah yang pelaksanaannya
dibawah
koordinasi
langsung
Wakil
Walikota
berdasarkan ketentuan Diktum Pertama Angka 3 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27), dimana berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian
87
Wewenang
Walikota
kepada
Wakil
Walikota
Untuk
Penandatangangan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) Walikota Yogyakarta telah mendelegasikan wewenang kepada Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta untuk menandatangani Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal tindak lanjut kewenangan dalam menjalankan tugas dan fungsi Wakil Walikota. 8.10
Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat yang menjadi dasar hukum sumber kewenangan materiil serta bentuk formal terbitnya objek sengketa a quo adalah berawal dasar dari Pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, yang mengatur bahwa “Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas; …e. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah”.
8.11
Menimbang, bahwa selanjutnya berdasar pada Pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut, ditetapkanlah keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
88
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khus us Wakil Walikota (vide BuktiT-27), yang mana di dalam Diktum Pertama Angka 3 ditetapkan, “Menetapkan tugas dan kewajiban pemerintahan kepada Wakil Walikota selain yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 2 tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungs i Walikota dan Wakil Walikota, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, adalah sebagai berikut: …3. Mengkoordinasikan sepenuhnya penegakan Peraturan Daerah – Peraturan Daerah”; 8.12
Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28), Diktum Pertama, menyebutkan, “ Mendelegasikan wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk penandatanga nan naskah dinas di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta…” ;
8.13
Menimbang, bahwa berdasarkan Doktrin dalam khasanah Hukum Administrasi Negara tentang Teori Sumber Kewenangan, bahwa dikenal tiga sumber kewenangan pemerintahan, yaitu “atribusi, delegasi, dan mandat” ;
8.14
Menimbang, bahwa H.D Van Wijk memberikan pengertian atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada pemerintah. Indroharto mengemukakan bahwa atribusi
89
adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang- undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator; 8.15
Menimbang, bahwa menurut H.D Van Wijk, delegasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat yang lain. Setelah wewenang diserahkan maka pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi. Artinya berbicara tentang delegasi wewenang pemerintahan bilamana suatu wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada lembaga lain, yang menjalankan wewenang tersebut dan bukannya lembaga yang semula berwenang. Delegasi dengan demikian disimpulkan sebagai penyerahan : apa yang semula merupakan wewenang A, sekarang menjadi wewenang B, dan bukan lagi wewenang A. Stroink dan Steenbeek menjelaskan lebih lanjut bahwa delegasi hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai
wewenang
melalui
atribusi.
Delegasi
menyangkut
pelimpahan wewenang dari wewenang yang sudah ada oleh organ yang telah mempunyai wewenang secara atributif kepada orang lain. Selanjutnya H.D Van Wijk menjelaskan bahwa Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi dapat mensubdelegasikan
tindakan
kepada
badan
dan/atau
pejabat
90
pemerintahan lain. Delegasi dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan; 8.16
Menimbang, bahwa H.D Van Wijk menjelaskan arti mandate yaitu suatu organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya. Artinya bila orang yang secara resmi memiliki wewenang pemerintahan tertentu (karena atribusi atau delegasi) tidak dapat menangani sendiri wewenang tersebut, maka para pegawai bawahan dapat diperintahakan untuk menjalankan wewenang tersebut atas nama orang yang sesungguhnya diberi wewenang. Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans atau pemberi mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberikan petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya. Mandas tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. Artinya pada mandat tidak bisa berbicara tentang pemindahan kekuasaan/ wewenang di dalam arti yuridis; sekarang setelah ditanda tangani atas nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan, penanganannya juga diserahkan kepada lembaga tersebut ; berbicara secara yuridis, ini tetap keputusan lembaga itu sendiri. Indroharto menambahkan bahwa pada mandat tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atas penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan tanggung jawab mandans;
91
8.17
Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat perbedaan konsep teori antara delegasi dan mandat yaitu ditinjau dari segi prosedur pelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya, serta kemungkinan
dipergunakannya
kembali
wewenang-wewenang
tersebut. Ditinjau dari segi prosedur pelimpahannya, pada delegasi pelimpahan wewenang terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya yang dilakukan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan pada mandat pelimpahan wewenang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas di dalam peraturan perundangan. Selanjutnya ditinjau dari segi tanggung jawab dan tanggung gugatnya, pada delegasi tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegatoris, sedangka pada mandat tetap pada pemberi mandat (mandans). Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi delegasi (delegans) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada azas contrarius actus, sedangkan pada mandat pemberi wewenang (mandans) setiap saat dapat mempergunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu; 8.18
Menimbang, bahwa alasan-alasan dan dalil-dalil Tergugat yang menyatakan bahwa objek sengketa diterbitkan dengan ditandatangani
92
oleh Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta dalam rangka tugas penegakan peraturan daerah yang pelaksanaannya dibawah koordinasi langsung Wakil Walikota berdasarkan ketentuan Diktum Pertama Angka 3 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide
Bukti
T-27),
dimana
berdasarkan
Keputusan
Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatangan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) Walikota Yogyakarta telah mendelegasikan wewenang kepada Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta untuk menandatangani Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal tindak lanjut kewenangan dalam menjalankan tugas dan fungsi Wakil Walikota, Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut; 8.19
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana terurai di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwasannya disebutkan secara jelas, terang, dan pasti, bahwa sumber kewenangan penerbitan objek sengketa in litis adalah DELEGASI wewenang Walikota Yogyakarta kepada Wakil Walikota Yogyakarta yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan Keputusan Walikota
93
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) sebelum wewenang dilaksanakan, akan tetapi wewenang tersebut dilaksanakan oleh Wakil Walikota Yogyakarta dengan atas nama Walikota Yogyakarta, yang mana “atas nama” adalah merupakan ciri bentuk mandat; 8.20
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bentuk formil objek sengketa a quo yang dikehndaki oleh peraturan perundang- undangan adalah bentuk keputusan tata usaha negara yang lahir dari sumber kewenangan yang berupa delegasi wewenang, dan bukan mandate, karena wewenang tersebut dituangkan dan disebutkan secara jelas dalam bentuk peraturan perundang yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T28) sebelum wewenang tersebut dilaksanakan;
8.21
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta- fakta hukum dan pertimbangan hukum – pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa telah terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber
94
kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo. Oleh karena itu sesuai dengan tugas, fungsi, dan tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu untuk melakukan pengawasan dan pengoreksian atas tindakan pemerintah di dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga apabila memang terbukti terjadi kesalah ataupun kekeliruan yang dilakukan oleh pemerintah in casu di dalam tindakan Tergugat menerbitkan objek sengketa a quo, yang kemudian dikoreksi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan harapan dan tujuan agar kelak kesalahan dan kekeliruan tersebut tidak terulang selanjutnya di masa yang akan datang, sehingga benar-benar akan terwujud good government; 8.22
Menimbang, bahwa oleh karena bentuk formil objek sengketa a quo yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan adalah bentuk keputusan tata usaha negara yang lahir dari sumber kewenangan yang berupa delegasi wewenang, maka seharusnya di dalam bentuk formil objek sengketa a quo tidaklah dengan menggunakan penyebutan atas nama, in casu objek sengketa diterbitkan dengan ditandatangani oleh Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta. Oleh karena di dalam delegasi telah terjadi pelimpahan wewenang, maka beralih pula seluruh wewenang dari delegans (in casu Walikota Yogyakarta) kepada delegatoris (in casu Wakil Walikota Yogyakarta),
95
sehingga dengan demikian delegatoris (in casu Wakil Walikota Yogyakarta) melaksanakan wewenang tersebut atas nama delegatoris sendiri dan tidak lagi atas nama delegans (in casu Walikota Yogyakarta), karena delegans (in casu Walikota Yogyakarta) sudah tidak memiliki wewenang lagi, demikian pula tanggung jawab dan tanggung gugat ada pada delegatoris (in casu Wakil Walikota Yogyakarta) dan bukan pada delegans (in casu Walikota Yogyakarta) lagi; 8.23
Menimbang, bahwa apabila memang yang dimaksud oleh Tergugat adalah sumber kewenangan mandat, maka seharusnya ditinjau dari segi prosedur pelimpahannya, tidak dilakukan dengan dituagkan di dalam peraturan perundang-undangan, in casu dituangkan di dalam Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah DInas (vide Bukti T-28), karena pada mandat pelimpahan wewenang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, tanpa dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu pula, di dalam Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor
232/KEP/2007
dan
Keputusan
Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 juga justru menyebutkan dengan
96
jelas dengan kata-kata “ pendelegasian wewenang; mendelegasikan wewenang; delegasi wewenang”; 8.24
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum – fakta hukum sebagaimana terurai di atas, Tergugat mendalilkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Wakil Walikota sebagaimana dimaksud di dalam Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) adalah atas nama Walikota serta wajib melaporkan dan bertanggung jawab kepada Walikota, maka hal tersebutlah yang mana oleh Majelis Hakim berpendapat telah terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo;
8.25
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum – pertimbangan hukum sebagaimana terurai di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa atas kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat tersebut, kemudian terbitlah objek sengketa yang tidak sesuai dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan in casu
97
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28); 8.26
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum – pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa oleh karena bentuk formil objek sengketa tidak sesuai dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan in casu Keputusan Wakil Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28), maka Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa tindakan Tergugat adalah merupakan pelanggaran atas Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T28);
98
8.27
Menimbang, bahwa lebih daripada itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa tindakan Tergugat yang melanggar peraturang perundangundangan tersebut in casu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T28), adalah juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di dalam memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan di dalam
menerbitkan
objek
sengketa,
yang
mengakibatkan
ketidakpastian hukum, sehingga dengan demikian Majelis Hakim berpendapat tindakan Tergugat tersebut adalah merupakan pelanggaran atas azas kecermatan dan azas kepastian hukum, yang berarti Tergugat telah melakukan pelanggaran atas Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Baik; 8.28
Menimbang, bahwa tindakan Tergugat selain melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-azas umum pemerintahan yang baik tersebut, dari tinjauan nilai- nilai keadilan pun substansi dari objek sengketa a quo yang menutup usaha Penggugat akan berdampak negatif terhadap setidak-tidaknya dua hal, yaitu: Pertama, akan menimbulkan ketidakadilan pula bagi Penggugat, bahkan menyangkut keberlangsungan kehidupan banyak orang termasuk tenaga kerja
99
penggugat yang nota bene menyangkut pula keluarga-keluarga yang ditanggung oleh tenaga kerja-tenaga kerja Penggugat, serta yang perlu dicermati pula adalah bahwasannya kegiatan usaha Penggugat in casu CV. SariJaya adalah sudah sejak tahun 1987 jauh sebelum adanya perumahan-perumahan yang ada sekarang, maupun sekolah-sekolah yang ada sekarang, sehingga jauh pula sebelum adanya keberatankeberatan dari warga dengan beberapa alasan keberatannya, bahkan tidak terbukti pula mengenai rencana pemanfaatan lahan di wilayah tempat lokasi pabrik milik CV. Sari Jaya pada Rencana Umum Tata Ruang Kota Yogyakarta maupun Penjabaran Status Kawasan, Pemanfaatan Lahan dan Intensitas Pemanfaatan Ruang dari tahun 1987 sampai dengan tahun 1994, pada saat awal pabrik milik CV. Sari Jaya berdiri, memperoleh ijin, dan beroperasi melakukan kegiatan usahanya. Yang sangat penting digarisbawahi adalah bahwa Penggugat dapat melaksanakan kegiatan usaha selama ini adalah justru oleh karena adanya izin usaha yang dahulu pertama kali diterbitkan sejak tanggal 22 April 1987 berlaku Surat Pemberian Ijin Usaha Tetap No. (1812/012/D/36990/AI/VI/1988)/(3699/136/1) tanggal 21 Juni 1988 yang
diterbitkan
oleh
Kepala
Kantor
Wilayah
Departemen
Perindustrian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Atas Nama Menteri Perindustrian Republik Indonesia Tentang Memberikan Izin Usaha Tetap kepada CV. Sari Jaya yang beralamat di Mendungan,
100
Giwangan, Umbulharjo, Yogyakarta, dengan penanggung jawab Hani Purbonegoro, untuk menjalankan perusahaan industri penepungan batu-batuan, yang berlaku selama perusahaan berproduksi (vide Bukti P-20) dan selanjutnya terus berlanjut dengan perizinan tahun 1994, 1999, 2000 (vide Bukti P-17, Bukti P-18, Bukti P-19, Bukti P-20, Bukti P-21, Bukti T-11, Bukti T-12), yang mana di dalam Doktrin Hukum Administrasi Negara tentang Teori Keputusan Tata Usaha Negara dikenal adanya Keputusan Tata Usaha Negara Berantai, yang mana keputusan-keputsan tata usaha Negara tersebut in casu perizinanperizinan yang diperoleh oleh Penggugat di dalam melaksanakan kegiatan usahanya selama ini justru juga dilahirkan oleh pejabat tata usaha Negara yang berwenang pada saat itu. Sehingga apapun keadaan hukumnya pada saat ini, adalah merupakan hasil dari tindakan hukum pemerintah pejabat tata usaha Negara terhadap usaha kegiatan Penggugat pada masa lalu, yang manakala timbul perbedaan kondisi dan keadaan hukum pada masa kini saat ini, berikut akibat hukum – akibat hukumnya, maka berdasarkan teori keadilan, kesalahan dan tanggung jawab juga haruslah dibebankan kepada pemerintah pejabat tata usaha Negara dan tidak hanya dibebankan kepada Penggugat. Kedua, apabila Penggugat ditutup kegiatan usahanya, sedangkan negara masih terus memperoleh pemasukan keuangan Negara oleh karena CV. Sari Jaya masih memenuhi kewajibannya membayar pajak
101
kepada Negara sampai dengan tanggal 11 Februari 2011 serta memperoleh Piagam Penghargaan dari Walikota Yogyakarta Atas Ketaatan Dalam Membayar Pajak (vide Bukti P-15), maka hal tersebut adalah merupakan ketidakadilan besar bagi Penggugat. Dengan demikian, setelah memperhatikan fakta hukum tersebut Majelis Hakim meyakini bahwa substansi objek sengketa a quo tidak memenuhi rasa keadilan yang ada; 8.29
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbanagan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa in litis secara substansi materiil bertentangan dengan rasa keadilan, dan selain itu juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas, serta tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa in litis juga bertentangan dengan azas kecermatan dan azas kepastian hukum, sehingga dengan demikian tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa in litis juga telah bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik, sebagaimana itu semua diatur di dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 9
102
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 8.30
Menimbang, bahwa oleh karena penerbitan keputusan a quo oleh Tergugat secara substansi materiil mengandung cacat yuridis, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a dan huruf b UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dengan demikian tuntutan Penggugat mengenai pembatalan terhadap Surat Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha, dapat dikabulkan;
8.31
Menimbang, bahwa terhadap Permohonan Penetapan Penundaan yang diajukan oleh Penggugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena obyek sengketa a quo telah dilaksanakan, maka sudah terjadi / terdapat tindakan factual, sehingga terhadap Permohonan Penetapan Penundaan Penggugat tersebut tidak dapat dikabulkan;
8.32
Menimbang, bahwa tentang alat bukti yang tidak disebutkan secara tegas di dalam pertimbangan hukum ini yang relevan dianggap telah dipertimbangkan
termasuk
yang
berupa
peraturan
perundang-
undangan, sedangkan terhadap alat bukti yang lain walaupun sah sebagai alat bukti akan tetapi dikesampingkan karena tidak relevan namun diperintahkan tetap dilampirkan dalam berkas perkara a quo;
103
8.33
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat telah dinyatakan dikabulkan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan ini;
8.34
Mengingat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jis UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota, Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas serta peraturan lain yang berkaitan.
9. Amar Putusan Hakim Dalam Perkara Tata Usaha Negara 06/G/2011/PTUN.YK 9.1
Dalam Penundaan
Nomor
104
9.1.1 Menolak Permohonan Penetapan Penundaan yang diajukan oleh Penggugat 9.2
Dalam Pokok Perkara 9.2.1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. 9.2.2 Menyatakan tindakan Tergugat menerbitkan Surat Walikota Yogyakarta Nomor : 503/687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan
Penutupan
Usaha,
melanggar
peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
50/KEP/2007
tentang
Pendelegasian
Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah Dinas, serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yaitu Asas Kecermatan dan Asas Kepastian Hukum. 9.2.3 Menyatakan batal Surat Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal: Pemberitahuan Penutupan Usaha. 9.2.4 Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang Pencabutan Surat Walikota Yogyakarta Nomor: 503/687 tanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha.
105
9.2.5 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat Ribu Rupiah).
B. Pembahasan 1.
Pertimbangan
hukum
hakim
pada
putusan
Nomor
06/G/2011/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari konsep perolehan sumber kewenangan, sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan doktrin. Negara Indonesia sebagai Negara Hukum (rechstaat) seperti yang telah dinyatakan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, yaitu setelah Amandemen ke IV. Dan merupakan Negara Hukum dengan konsep Negara Hukum Pancasila. Dalam Negara Hukum Pancasila terdapat jaminan kebebasan beragama, yang memiliki arti bahwa agama dan negara memiliki hubungan yang harmonis, sehingga tidak boleh terjadi pemisahan antara keduanya. 1 Sebagai
Negara
Hukum,
setiap
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid
1
M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang, Jakarta, Hlm 71-72
106
van bestuur). Hal ini bisa dilihat dari amanat Pasal 24 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa : 1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; 2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebua h Mahkamah Konstitusi; 3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. 2 Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga menentukan bahwa susunan kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya diatur dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah menjadi UndangUndang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Pertama Atas UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang 2
Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
107
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 51 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu lingkup peradilan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia dan diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengkata yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakantindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak- hak warga negaranya. Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat pada pasal 47 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sedangkan yang disebut sebagai Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN), baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.( Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN) Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara, berarti sebab dari timbulnya sengketa tersebut disebabkan oleh adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang
108
Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah “ suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang beris ikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pihak yang terkait dalam timbulnya Objek sengketa Tata Usaha Negara yaitu orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai penggugatnya dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai tergugatnya. Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu, badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada perangkat pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah, yang
109
diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah. 3 Pemerintah dalam bertindak melaksanakan tugas pokok, dan fungsinya harus berdasar pada hukum yang berlaku, hal ini sesuai dengan asas yang dianut pada negara hukum, yaitu asas legalitas, bahwa setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Pemerintah dalam melakukan aktivitasnya, melakukan dua macam tindakan, yaitu tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandelingen).
Dengan
kata
lain
bahwa,
bentuk
perbuatan
pemerintahan atau bentuk tindakan administrasi negara yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Perbuatan hukum/tindakan hukum (rechtshandelingen). b. Bukan perbuatan hukum/tindakan biasa (feitelijkehandelingen). Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan pemerintah yang tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen). Pengertian Tindakan Hukum pemerintah dalam bukunya Ridwan HR, bahwa tindakan hukum pemerintah 3
adalah
tindakan-tindakan
yang
dilakukan
oleh
organ
Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hlm 17
110
pemerintahan
atau
administrasi
menimbulkan akibat-akibat
negara
hukum
dalam
yang
dimaksudkan
bidang
pemerintah
untuk atau
administrasi ne gara. 4 Pada dasarnya perbuatan pemerintah (administrasi) dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu: a. Mengeluarkan peraturan perundang- undangan (regelling). b. Mengeluarkan keputusan (beschikking). c. Melakukan perbuatan material (materielle daad). 5 Salah
satu kategori
perbuatan
pemerintah
yaitu
pemerintah
mengeluarkan keputusan (beschikking). Dalam pengeluaran keputusan tersebut, tidak selalunya benar dan berdasar pada peraturan perundangundangan yang ada, sehingga keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dianggap sewenang-wenang dan tidak berdasar dengan hukum. Sehingga pihak yang diberi keputusan yang kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ga nti rugi dan/atau rehabilitasi.
4
6
Ibid, Hlm. 112 Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara IndonesiaI, Kencana, Jakarta, 2014, Hlm. 311 6 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Ed. Revisi, Cet. 1, Jakarta, 2008, hlm. 117. 5
111
Apabila terjadi hal demikian maka penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan dengan upaya administratif dan melalui gugatan. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya administratif relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui gugatan, karena penyelesaian sengketa tata usaha negara me lalui upaya administratif hanya terbatas pada beberapa “sengketa tata usaha negara tertentu” saja. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui gugatan, pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan secara tertulis yang didalam nya memuat semua alasan-alasan mengapa KTUN tersebut mengandung kerugian, dan berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi, setelah itu gugatan tersebut ditujukan kepada pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan TUN pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Namun demikian, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar surat keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan
penggugat akan sangat
112
dirugikan jika keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (pasal 67 ayat 1 UU Nomor 9 tahun 2004). 7 Alasan gugatan diatur dalam pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004, yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Majelis Hakim dalam praktik pengujiannya terhadap Keputusan Tata Usaha Negara harus sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 53 di atas, meliputi tiga aspek yaitu : a. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan. b. Aspek Substansi/materil, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan tata usaha negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak. 8 Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara dengan tidak memperhatikan aspek kewenangan, 7 8
Ibid. Hlm 596 Ibid, Hlm 323-325
113
substansi/materiil dan prosedur , dapat dikategorikan sebagai KTUN yang bertentangan
dengan
perundang-undangan
hukum, dan
yaitu
bertentangan
bertentangan
dengan
dengan asas-asas
peraturan umum
pemerintahan yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Philipus M.Hadjon mengenai kesimpulan dari penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang berkaitan dengan alasan menggugat adalah : 1) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal; 2) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat material/substansial; 3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang; 9
Berkaitan dengan tiga hal tersebut, diukur dengan peraturan tertulis dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga sebetulnya alasan menggugat hanya menyangkut dua hal saja, secara alternative dan komulatif, yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan atau b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
9
Philiphus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, Hlm. 324
114
Berdasarkan hasil penelitian nomor 1 mengenai para pihak, dalam hubungannya dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004, CV. Sarijaya (Penggugat) telah memenuhi persyaratan sebagai subjek hukum Penggugat yaitu berupa “Badan Tata Usaha Negara” yang berkaitan dengan perusahaan dibidang penepungan batu yang berada di jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Sedangkan Walikota Yogyakarta juga telah memenuhi
persyaratan
sebagai
subjek
hukum
Tergugat,
karena
dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan hasil penelitian nomor 4.3 yaitu mengenai Petitum atau tuntutan pokok yang diajukan oleh Penggugat telah sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa apa yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang telah merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Hal ini juga sesuai dengan isi petitum/tuntutan yang diajukan penggugat, yang menghendaki bahwa Majelis Hakim menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/687 tanggal 22 Februari 2011 tentang pemberitahuan penutupan usaha.
Selain itu, mengenai hasil
penelitian nomor 4.4 telah sesuai dengan pasal 97 ayat (9) huruf a UU No 5 Tahun 1986, dimana dalam petitumnya penggugat menghendaki agar
115
tergugat mencabut surat yang menjadi objek sengketa tersebut, hal ini merupakan salah satu konsekuensi yuridis mengenai kewajiban tergugat sebagai badan atau pejabat tata usaha negara apabila nantinya tergugat dinyatakan kalah dalam amar putusan majelis hakim. Sedangkan hasil penelitian nomor 4.5 juga telah sesuai dengan pasal 97 ayat (10) yang menyatakan dalam petitum, kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat juga disertai pembebanan ganti rugi, dalam hal ini penggugat menghendaki agar tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul. Sebelum menelaah lebih lanjut, penulis akan menguraikan kasus posisi perkara ini secara singkat sebagai berikut : 1.
Penggugat (CV.SariJaya) sejak berdiri pada tahun 1987 hingga sekarang telah mengantongi segala perizinan sebagaimana ketentuan peraturan yang berlaku, termasuk izin gangguan dan telah diperpanjang ketika habis masa berlakunya dan pada saat Penggugat mengajukan perpanjangan izin gangguan ke Tergugat, hingga sekarang permohonan perpanjangan izin tersebut yang persyaratannya sudah lengkap tidak ada kejelasan dari Tergugat, apakah ditolak atau bagaimana, padahal sudah lebih dari 15 hari.
Dan selama ini CV.SariJaya tidak pernah ada
masalah baik terhadap lingkungan masyarakat maupun terhadap instansi terkait. 2.
Ternyata dalil tergugat tidak mengeluarkan izin perpanjangan yang dimaksud tersebut, dikarenakan adanya keberatan dari warga dan
116
sekitarnya. Dan telah melakukan peninjauan lokasi, serta berkoordinasi dengan instansi terkait dan memperhatikan masukan- masukan dari warga masyarakat yang keberatan atas keberadaan kegiatan usaha tersebut. 3.
Selain itu Menurut Tergugat bahwa berdirinya CV.SariJaya tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu dengan tidak mentaati ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti dengan Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan. Dan Pasal 10 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat I Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti dengan pasal 3 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Tentang Izin Gangguan.
4.
Hal ini disangkal oleh Penggugat, bahwa Penggugat tidak melanggar Perda Kota Yogyakarta No 2 tahun 2005 tentang izin gangguan dan Penggugat merasa tidak pernah ada urusan dengan PN Yogyakarta, yaitu dengan adanya putusan Nomor 1267/Pid.C/2010/PN.Yk, bukan atas nama penggugat yang artinya telah terjadi salah orang.
117
5.
Namun Tergugat tetap berkeyakinan dan berpendapat bahwa dalam Penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan peraturan perundangundangan dan azas-azas umum pemerintahan dan yang baik.
6.
Penggugat berpendapat bahwa tindakan tergugat ini telah menyalahi prosedur yang telah ada pada pasal 8 ayat (1) dan (2) Perda kota Yogyakarta Nomor 2 tahun 2005 Tentang Izin Gangguan dan Pasal 18 serta Lampiran IV Peraturan Walikota No 41 tahun 2006 tentang Mekanisme Penutupan Usaha, yang berarti telah bertentangan dengan peraturan perundangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga Penggugat mohon kepada majelis hakim untuk menyatakan batal atau tidak sah terhadap objek sengketa tersebut. Pertimbangan Hukum Hakim dalam sengketa a quo, sebagai berikut :
1.
Pokok permasalahan dalam Gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah apakah ada cacat yuridis di dalam surat keputusan yang diterbitkan oleh tergugat baik dari segi kewenangan, formal procedural, maupun dari segi substansi materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) (huruf a dan b ) Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan objek sengketa in litis dapat dinyatakan batal atau tidak sah.
2.
Menurut Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27)
118
dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) bahwa wewenang penerbitan KTUN tersebut seharusnya tidak dilaksanakan oleh Wakil Walikota Yogyakarta dengan atas nama Walikota Yogyakarta, yang mana “atas nama” adalah merupakan ciri bentuk mandat, padahal dalam bukti T-28 Telah disebutkan secara jelas, terang dan pasti, bahwa kewenangan yang diatur merupakan bentuk pendelegasian/delegasi bukan mandat. 3.
Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa oleh karena bentuk formil objek sengketa tidak sesuai dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan in casu, maka telah terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo.
4.
Menurut Majelis Hakim, Tindakan Tergugat adalah merupakan pelanggaran
atas
Keputusan
Walikota
Yogyakarta
Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) dan juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di dalam memahami
119
dan melaksanakan peraturan perundang-undangan di dalam menerbitkan objek sengketa, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga merupakan pelanggaran atas atas Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu azas kecermatan dan azas kepastian hukum. Berdasarkan kronologis kasus posisi dan pertimbangan hukum majelis hakim diatas, dapat diketahui adanya penerapan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menguji keabsahan Surat Keputusan Objek Sengketa, yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28). Menurut Van Der Pot, doktrin tentang Keputusan Tata Usaha Negara yang sah adalah keputusan yang memenuhi syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil, yaitu sebagai berikut: Syarat-syarat materiil : 1. Keputusan harus dibuat oleh alat Negara yang berwenang; 2. Dalam kehendak alat Negara yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis; 3. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
120
4. Keputusan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggaar peraturanperaturan lain, menurut isi dan tujuan sesua i dengan peraturan yang menjadi dasar keputusan itu. Syarat-syarat formil : 1. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; 2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan; 3. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus dipenuhi; 4. Jangka waktu yang ditentukan : antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputsan itu, tidak boleh dilewati. Syarat tersebut mengandung arti, bahwa apabila dalam pembuatan KTUN, syarat materil dan formil tersebut diatas terpenuhi maka KTUN dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada. Sebaliknya apabila kedua syarat itu tidak terpenuhi dalam pembuatan KTUN, maka keputusan itu akan mengandung cacat yuridis yang mempunyai akibat hukum, salah satunya KTUN tersebut dapat dibatalkan atau tidak sah. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 tahun 2004.
121
Sesuai dengan Penjelasan pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986, suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (bertentangan dengan hukum),
apabila dalam
pembuatannya KTUN tersebut melanggar dan mengesampingkan aspek kewenangan, substansi/materil dan prosedural. Berdasarkan uraian pembahasan diatas, Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam perkara ini, tidak memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai keputusan tata usaha negara yang sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang- undangan, yang ditinjau dari segi substansi materiil. Pengertian Aspek substansi/materil, yaitu meliputi pelaksanaan
atau
penggunaan
kewenangannya
apakah
secara
materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya (hasil penelitian nomor 8.9 dan 8.10) menggunakan beberapa peraturan perundangundangan sebagai dasar pertimbangannya, yaitu ketentuan Diktum Pertama angka 3 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah Dinas. Serta yang menjadi dasar hukum pertimbangan (hasil penelitian nomor 8.9) sumber kewenangan materiil dan formil terbitnya objek sengketa a quo
122
adalah pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta. Pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Ta hun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, merupakan dasar dikeluarkannya objek sengketa a quo, yang bunyinya sebagai berikut : Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Kepala daerah mempunyai tugas : a. membantu kepala daerah dalam menyelengggarakan pemerintahan daerah; b. membantu kepala daerah dalam mengordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan; d. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah; e. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; f. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. Atas
dasar
peraturan
Walikota
Yogyakarta
tersebut
maka
ditetapkanlah Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota, yang dalam putusan ini, majelis
hakim
menggunakan
Diktum
Pertama
Angka
pertimbangan hukumnya, yang berbunyi sebagai berikut :
3
sebagai
123
“Menetapkan tugas dan kewajiban pemerintahan kepada Wakil Walikota selain yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 2 tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, adalah sebagai berikut: .....3. Mengkoordinasikan sepenuhnya penegakan Peraturan Daerah – Peraturan Daerah” Selanjutnya pada hasil penelitian nomor 8.10 Majelis Hakim juga mendasarkan pada Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 Tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (Vide Bukti T-28), Diktum Diktum Pertama, menyebutkan; “ Mendelegasikan wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk penandatanganan naskah dinas di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta…” Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat, bahwa penggunaan teori sumber wewenang yang digunakan adalah Delegasi atau Pendelegasian, karena telah jelas dan terang disebutkan didalam Diktum Pertama Keputusan Walikota Nomor 50/KEP/2007 tersebut, tertulis kata “Mendelegasikan...”. Berdasarkan pembahasan pertimbangan hukum Hakim diatas, mengenai peraturan perundang- undangan yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menguji keabsahan KTUN objek sengketa, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian nomor 8.11 Majelis Hakim dalam Pertimbangan Hukumnya tidak hanya menguji berdasarkan Peraturan Perundang-
124
undangan, tetapi hakim juga menggunakan doktrin para sarjana. Dan dalam khasanah Hukum Administrasi Negara tentang Teori Sumber Kewenangan, dikenal 3 Teori sumber Kewenangan Pemerintah, yaitu : Atribusi, Delegasi, dan Mandat. Masing- masing akan dijabarkan menurut pendapat/doktrin para sarjana oleh Penulis, sebagai berikut : Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: 1. Atribusi Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. 2. Delegasi Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandat Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. 10 Sedangkan pengertian Mandat menurut H.D. Van Wijk, yang artinya bila orang yang secara resmi memiliki wewenang pemerintahan tertentu (karena atribusi atau delegasi) tidak dapat menangani sendiri wewenang tersebut, maka para pegawai bawahan dapat diperintahakan untuk menjalankan wewenang tersebut atas nama orang yang sesungguhnya diberi 10
Ridwan HR, Op.Cit. Hlm. 102
125
wewenang. Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans atau pemberi mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberikan petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya. Mandans tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. Artinya pada mandat tidak bisa berbicara tentang pemindahan kekuasaan/ wewenang di dalam arti yuridis; sekarang setelah ditanda tangani atas nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan, penanganannya juga diserahkan kepada lembaga tersebut ; berbicara secara yuridis, ini tetap keputusan lembaga itu sendiri. Stroink dan Steenbeek menjelaskan lebih lanjut bahwa delegasi hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai wewenang melalui atribusi. Delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang sudah ada oleh organ yang telah mempunyai wewenang secara atributif kepada orang lain. Delegasi dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan. Sedangkan Indroharto mengemukakan bahwa atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator. Sedangkan pada mandat tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atas penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan tanggung jawab mandans.
126
Berdasarkan pendapat/doktrin para sarjana diatas, Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakian, bahwa kewenangan yang digunakan dalam Surat Keputusan yang menjadi objek sengketa a quo ini merupakan Mandat. Karena dalam Surat Keputusan Nomor 503/687 tersebut telah jelas tertera didalamnya bahwa yang mengeluarkan adalah atas nama Walikota Yogyakarta, yang mana merupakan ciri dari Mandat. Dan Majelis berpendapat bentuk formil objek sengketa a quo yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan adalah bentuk keputusan tata usaha negara yang lahir dari sumber kewenangan yang berupa delegasi wewenang, dan bukan mandat. Dengan demikian, terdapat perbedaan konsep teori antara delegasi dan mandat yaitu ditinjau dari segi prosedur pelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya, serta kemungkinan dipergunakannya kembali wewenang-wewenang tersebut, yang selanjutnya penulis akan membedakan ke dua sumber kewenangan tersebut dalam bentuk tabel, yaitu : No 1
Segi Prosedur Pelimpahannya
Delegasi Pelimpahan wewenang terjadi dari suatu organ pemerintah kepada organ pemerintah lainnya yang dilakukan dengan peraturan perundang-
Mandat Pelimpahan wewenang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas didalam peraturan
127
2
3
undangan. Tanggung jawab Beralih pada & Tanggung delegatoris atau gugat yang diberi wewenang Kemungkinan Pemberi delegasi dipergunakan (delegans) tidak kembali dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus.
perundangan. Tetap pada pemberi mandat (mandans)
Pemberi mandat (mandans) setiap saat dapat mempergunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.
Penulis dalam hal ini sependapat dengan pendapat Majelis Hakim pada hasil penelitian nomor 8.21 bahwa telah terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo. Dan tindakan Tergugat adalah merupakan pelanggaran atas Keputusan Wakil Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28), berdasarkan hal tersebut juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di dalam memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan di dalam menerbitkan objek sengketa, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga dengan
128
demikian Majelis Hakim berpendapat tindakan Tergugat tersebut adalah merupakan pelanggaran atas azas kecermatan dan azas kepastian hukum, yang berarti Tergugat telah melakukan pelanggaran atas Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Baik. Berdasarkan uraian pembahasan hasil penelitian di atas, maka Penulis berpendapat bahwa Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tertanggal 22 februari 2011 yang menjadi objek sengketa mengandung cacat yuridis apabila dilihat dari segi substansi/materiilnya, karena didalamnya telah terjadi kekacauan pemahaman dan bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo. Selain karena telah jelas disebutkan dalam Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 bahwa wewenang yang dimaksud adalah Pendelegasian, dengan demikian sumber kewenangan yang dimaksud Tergugat adalah delegasi, maka tanggung jawab seharusnya beralih pada wakil walikota, namun dalam hal ini pada Diktum kedua Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 disebutkan bahwa “dalam melaksanakan tugasnya, Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama wajib melaporkan dan bertanggung jawab kepada walikota” yang artinya tanggung jawab masih ada pada walikota. Selain itu Pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut :
129
a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan, artinya delegasi hanyya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berhak untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. 11 Berdasarkan penjelasan diatas, jika dikaitkan dengan kasus ini maka seharusnya pendelegasian wewenang dari Walikota kepada Wakil Walikota ini tidak diperkenankan, karena menurut doktrin Ridwan HR tersebut pelaksanaan delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
11
Ibid, Hlm. 104
130
2.
Akibat hukum dari dikabulkannya gugatan penggugat berdasarkan amar
putusan
Majelis
Hakim
pada
putusan
Nomor
6/G/2011/PTUN.YK? Berdasarkan putusan pengadilan yang ditentukan oleh Majelis Hakim, ada beberapa macam putusan yang dikeluarkan, berdasarkan Pasal 97 ayat (7) UU Nomor 5 tahun 1986 menentukan bahwa putusan pengadilan dapat barupa ; a. Gugatan ditolak ; b. Gugatan dikabulkan ; c. Gugatan tidak diterima; d. Gugatan Gugur. Kaitannya dengan Amar Putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK ini, Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan dari penggugat, yang berarti tidak membenarkan keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN secara keseluruhan, sehingga dalam putusan tersebut sekaligus dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan tersebut, Pasal 97 ayat (9) UU Nomor 9 tahun 2004, yang berupa ; a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan; atau b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; atau c. Penerbitan KTUN apabila gugatan didasarkan pada sikap diam yang disamakan dengan keputusan penolakan.
131
Selain kewajiban di atas, berdasarkan Pasal 97 ayat (10) UU Nomor 9 tahun 2004 badan atau pejabat TUN dapat diwajibkan pula untuk membayar ganti rugi kerugian. 12 Hal ini sesuai dengan Amar Putusan Majelis Hakim dalam putusan ini, yang secara lengkap telah tertulis sebagi berikut, yaitu : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; a. Menyatakan tindakan Tergugat menerbitkan Surat Walikota Yogyakarta Nomor 503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha, melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Yang Baik yaitu Azas Kecermatan dan Azas Kepastian Hukum; b. Menyatakan batal Surat Walikota Yogyakarta Nomor: 503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha; c. Memerintahkan
kepada
Tergugat
untuk
menerbitkan
Surat
Keputusan tentang Pencabutan Surat Walikota Yogyakarta Nomor :
12
Wicipto Setiadi, “Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara” Suatu Perbandingan, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hlm. 140
132
503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha; d. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat Ribu Rupiah). Berdasarkan Amar Putusan Majelis Hakim tersebut, maka akan timbul akibat hukumnya. Akibat hukum ialah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang kemudian menjadi sumber lahirnya kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan. Oleh karena itu, akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat berdasarkan Amar
Putusan
Majelis Hakim pada Putusan Nomor
06/G/2011/PTUN.YK adalah Surat Walikota Yogyakarta Nomor: 503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha, dinyatakan Batal atau tidak sah, yang berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada 13 . Serta timbulnya kewajiban bagi Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Objek Sengketa, dan apabila Tergugat tidak bersedia mencabut, berdasarkan pasal 116 ayat (2) Undang-Undang
13
Andy Lesmana, 2013, Batal Demi Hukum, http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/bataldemi-hukum-602043.html diakses pada tanggal 27 Desember 2014 pukul 17.18 WIB
133
Nomor 51 tahun 2009, setelah jangka waktu 60 hari Surat Keputusan Objek Sengketa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang bunyinya: “ apabila setelah 60 hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum tetap”. Artinya, dalam hal ini CV.SariJaya dapat melakukan kegiatan usahanya seperti biasa dan seperti keadaan semula sebelum Objek Sengketa itu di keluarkan. Akibat Hukum selanjutnya yaitu muncul Hak Tergugat untuk mengajukan Upaya Hukum Banding, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta itu diberitahukan kepadanya secara sah. Serta apabila putusan a quo telah inkrah, Tergugat sebagai pihak yang kalah diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat Ribu Rupiah).
134
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari konsep perolehan sumber kewenangan, sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan doktrin sumber kewenangan. Adapun alasannya yaitu: a. Wakil walikota Yogyakarta telah keliru menafsirkan bahwa kewenangan yang dimilikinya dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa diperoleh dari sumber kewenangan Mandat Walikota Yogyakarta, padahal berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota
Yogyakarta
Nomor
50/KEP/2007
tentang
Pendelegasian
Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh wakil walikota adalah berdasarkan konsep sumber kewenangan delegasi. b. Sesuai dengan Doktrin sumber kewenangan, pelimpahan wewenang dari walikota kepada wakil walikota untuk menerbitkan surat keputusan objek sengketa adalah berdasarkan konsep sumber kewenangan dalam pengertian Delegasi.
135
2. Akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat berdasarkan Amar Putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK. a. Surat Keputusan Objek Sengketa dinyatakan Batal atau tidak sah. b. Walikota Yogyakarta sebagai Tergugat dibebani kewajiban, untuk mencabut Surat Keputusan Objek Sengketa, apabila Tergugat tidak bisa mencabut, maka dalam jangka waktu 60 hari Surat Keputusan Objek Sengketa tersebut, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. c. Sebagai pihak yang kalah, Tergugat diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat Ribu Rupiah). d. Munculnya hak Tergugat untuk mengajukan Upaya Hukum Banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. B. SARAN 1. Disarankan kepada Pejabat Tata Usaha Negara untuk lebih bertindak cermat dan berhati-hati dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara, karena hal ini dapat merugikan terhadap orang atau badan hukum perdata yang bersangkutan, sehingga keputusan yang dikeluarkannya tidak berakibat dibatalkan karena bersifat melanggar ketentuan hukum. 2. Disarankan kepada pemerintah daerah dalam pembuatan peraturan perundangundangan agarr benar-benar memperhatikan ketentuan mengenai norma pembentukan
peraturan
perundang-undangan,
dan
khususnya
dalam
penyusunan keputusan tentang pelimpahan wewenang harus memperhatikan dengan seksama konsep sumber kewenangan.
DAFTAR PUSTAKA Literatur : Azhary, M. Tahir,. 1992. Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta : Bulan Bintang. Fahmi, A. Muin,. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta : UII Press. Fauzan, Muhammad. 2010. “Hukum Pemerintahan Daerah” Edisi revisi. Purwokerto: STAIN Press. Gunadi Widodo, Ismu dan Triwulan T , Titik,. 2014. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia I. Jakarta: Kencana. H.R., Ridwan. 2011. “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers. HR, Ridwan,. 2003. Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII Press. Ibrahim, Johny. 2008. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia. Indroharto. 1993. “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. M.Hadjon , Philiphus, dkk,. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Mahmud, Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media. Marbun, SF,. 2001. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : UII Press. Neno Victor Vayed,. 2006. Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolud Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung : Citra Aditya Bakti Setiadi, Wicipto. 2001. “Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara” Suatu Perbandingan. Jakarta: Rajawali Pers.
Syamsudin, M. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Volly, Willy D.S. 2014. Dasar-dasar Ilmu Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Wiyono, R., 2010. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986 Nomor 77) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 35) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 160) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembar Negara RI tahun 2009 Nomor 8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksana Tugas Khusus Wakil Walikota.
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah Dinas.
Putusan Pengadilan : Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor:06/G/2011/PTUN.YK Sumber Lain : Lesmana, Andy, 2013, Batal Demi Hukum, http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/batal-demi-hukum-602043.html diakses pada tanggal 27 Desember 2014 pukul 17.18 WIB