27
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 2.1 Tindakan Pemerintah 2.1.1 Pengertian Tindakan Pemerintah Pemerintah melakukan berbagai tindakan untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan yang disebut dengan tindakan pemerintah (bestuurshandeling, jamak = bestuurshandelingen). Tindakan pemerintah adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie).1 Dalam negara hukum modern (welfarestate), pemerintah memiliki tugas yang lebih luas daripada hanya menjalankan undang-undang sebab lapangan pekerjaan pemerintah meliputi tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Terdapat dua pengertian mengenai pemerintahan, yaitu pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Menurut Teori Trias Politica (teori pemisahan kekuasaan) dari Montesquieu, pemerintahan dalam arti luas terdiri atas tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.2 1.
2.
Sadjijono, op. cit, h. 84.
E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. IV, Ichtiar, Jakarta, h 16.
28
Pengertian pemerintahan dalam arti luas juga dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya : a) Menurut C. van Vollenhoven, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam empat fungsi atau kekuasaan (catur praja) yaitu pemerintahan dalam arti sempit (berstuur), polisi (politie), peradilan (rechtspraak) dan membuat peraturan (regeling, wetgeving). b) Menurut Lemaire, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam lima fungsi atau kekuasaan (panca praja) yaitu penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurszorg), pemerintahan dalam arti sempit, polisi, peradilan dan membuat peraturan. c) Menurut A.M. Donner, pemerintahan dalam arti luas dibagi dalam dua tingkatan atau kekuasaan (dwi praja), yaitu alat-alat pemerintahan yang menentukan haluan (politik) negara (taaksteling) dan alat-alat pemerintahan yang menjalankan politik negara yag telah ditentukan (verwekenlijking van de taak).3 Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti sempit yaitu hanya meliputi
kekuasaan
melaksanaan
undang-undang
(eksekutif,
bestuur,
bestuurszorg) atau tidak termasuk kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) dan menegakkan undang-undang (yudikatif) serta fungsi kepolisian. Pengertian pemerintahan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pengertian pemerintahan dalam arti sempit. 2.1.2 Bentuk-Bentuk Tindakan Pemerintah Terdapat dua bentuk tindakan pemerintah (bestuurshandeling) yang dilakukan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan, yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta/bukan berdasarkan
hukum
(feitelijkehandeling).4
E.
Utrecht
mengartikan
“bestuurshandeling” dengan “perbuatan pemerintah” serta menyebutkan dua 3.
Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, 1983, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara Jilid 1, Penerbit Alumni, Bandung, h. 40-41. 4.
Sadjijono, op. cit, h. 84.
29
bentuk tindakan pemerintah ini (rechtshandeling dan feitelijkehandeling) sebagai dua golongan besar perbuatan pemerintah.5 1) Tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) Menurut R.J.H.M. Huisman (sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R), tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum tertentu. pemerintah
berarti
tindakan
yang
6
Tindakan berdasarkan hukum dari
dilakukan
oleh
pemerintah
yang
menimbulkan akibat hukum tertentu berupa hak dan kewajiban, seperti tercipta atau hapusnya hak dan kewajiban tertentu. Menurut H.D. van Wijk/Williem Konijnenbelt (sebagaimana dikutip oleh Sadjijono), akibat hukum tindakan pemerintah tersebut dapat berupa : a. menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan yang ada; b. menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau obyek yang ada; c. terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan ataupun status tertentu yang ditetapkan. 7 Ada dua bentuk tindakan hukum pemerintah, yaitu tindakan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik (publiekrechttelijke handeling) dan tindakan hukum pemerintah berdasarkan hukum privat (privatrechttelijke handeling). Dua bentuk tindakan hukum pemerintah ini berkaitan dengan kedudukan pemerintah sebagai institusi pemegang jabatan pemerintahan (ambtsdrager) dan sebagai badan hukum. Perbedaan antara tindakan hukum 5.
E. Utrecht, op.cit, h. 62-63.
6.
Ridwan H.R., op. cit, h. 109-110.
7.
Sadjijono, op. cit, h. 85.
30
publik dan tindakan hukum privat akan melahirkan akibat hukum yang berbeda pula. Tindakan hukum publik (publiekrechtshandeling) berarti bahwa tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah didasarkan pada hukum publik dalam kedudukannya sebagai pemegang jabatan pemerintahan yang dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula.
8
Tindakan
hukum publik dibagi menjadi dua bentuk, yakni tindakan hukum publik bersifat sepihak (eenzijdig publiekrechttelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersifat berbagai pihak, yakni dua atau lebih (meerzijdik publiekrechttelijke handeling) atau menurut E. Utrecht disebut dengan tindakan hukum publik bersegi satu (eenzijdige publiekrechttelijke handeling) dan tindakan hukum
publik bersegi
dua
(tweenzijdige publiekrechttelijke
handeling).9 Dikatakan sebagai tindakan hukum publik bersegi satu (bersifat sepihak) karena alat-alat perlengkapan pemerintah memiliki kekuasaan istimewa dalam melakukan atau tidak melakukan tindakan tergantung kehendak sepihak dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian. Olek karena merupakan suatu pernyataan kehendak secara sepihak dari organ pemerintahan, maka tindakan hukum pemerintah yang bersegi satu ini tidak boleh mengandung unsur kecacatan seperti
8.
Sadjijono, op. cit, h. 86.
9.
E. Utrecht, op. cit, h. 65.
31
kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang) serta hal-hal lain yang menimbulkan akibat hukum tidak sah.10 Tindakan hukum publik yang bersifat sepihak (bersegi satu) ini disebut dengan ”beschikking” atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan istilah “keputusan” atau “ketetapan”.11 Selain itu, dikatakan sebagai tindakan hukum publik bersegi dua (berbagai pihak) karena terdapat persesuaian kehendak (wilsovereenkomst) antara dua pihak atau lebih (pemerintah dan pihak lain) yang diatur dalam suatu ketentuan hukum publik.12 Contoh tindakan hukum publik bersegi dua adalah “kortverband contract” (perjanjian kerja yang berlaku selama jangka pendek) antara swasta dengan pemerintah. 13 Sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan pada hukum privat dalam kedudukannya sebagai badan hukum dan bukan tugas untuk kepentingan umum sehingga tindakannya didasarkan pada ketentuan hukum privat.14 Tindakan pemerintah dalam hukum privat misalnya jual beli tanah dan jual beli barang yang dilakukan pemerintah dalam hubungan hukum perdata. 2) Tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling) Tindakan berdasarkan fakta adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat 10.
Ridwan H.R, op. cit, h. 111.
11.
Sadjijono, op. cit, h 87.
12.
Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, op. cit, h. 45-46.
13.
Sadjijono, loc. cit.
14.
Sadjijono, op. cit, h. 90.
32
hukum.15 Menurut Kuntjoro Probopranoto, tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling) ini tidak relevan, karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kewenangannya.16 Tindakan berdasarkan fakta yang dilakukan oleh pemerintah misalnya tindakan meresmikan gedung-gedung, monumen dan menyelenggarakan upacara-upacara serta kegiatan lainnya yang tidak menimbulkan akibat hukum. 2.1.3 Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintah Menurut E. Utrecht tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan pemerintah yang terpenting dalam hal pelaksanaan tugas pemerintahan.17 Adapun unsur-unsur tindakan hukum pemerintah yakni : a. tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahaan (bestuursorgan); b. tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie); c. tindakan dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) di bidang hukum administrasi; d. tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum; e. tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah; f. tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum.18 Sedangkan menurut Ridwan H. R. (sebagaimana mengutip pendapat Muchsan) menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintah adalah sebagai berikut: 15.
Ridwan H.R., op. cit, h. 109.
16.
Sadjijono, op. cit, h. 84.
17.
E. Utrecht, op. cit, h. 63.
18.
Sadjijono, op. cit, h. 86.
33
a. perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgan) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; b. perbuatan tersebut dilaksnakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan; c. perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang Hukum Administrasi Negara; d. perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat; e. perbuatan hukum administrasi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (mengedepankan asas legalitas atau wetmatigheid van bestuur). 19 Perlunya asas legalitas dalam setiap tindakan hukum pemerintah mengingat bahwa wewenang sebagai dasar pemerintah dalam melakukan berbagai tindakan bersumber pada peraturan perundang-undangan. 2.1.4 Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah Asas legalitas menjadi unsur utama dalam setiap tindakan pemerintah. Asas legalitas bermakna bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila tindakan pemerintah dilakukan tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan maka tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang (wilekeur) atau penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang berakibat cacat yuridis pada tindakan hukum yang dilakukan.20 Untuk mengukur keabsahan tindakan pemerintah dapat menggunakan dua alat ukur, yaitu peraturan perundang-undangan
dan
asas-asas
umum
pemerintahan
yang
baik
(AAUPB).21 Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan dasar hukum 19.
Ridwan H.R., op. cit, h. 112-113.
20.
Sadjijono, op. cit, h. 107.
21.
Sadjijono, op. cit, h. 109-113.
34
yang memberi wewenang bagi pemerintah untuk bertindak (legitimasi pemerintah), sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik berkaitan dengan dasar-dasar dan pedoman bertindak bagi pemerintah diluar aturan yang bersifat normatif. Asas-asas umum pemeritahan yang baik dijadikan sebagai penilaian terhadap moralitas setiap tindakan pemerintah. 2.2 Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) 2.2.1 Pengertian KTUN Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) merupakan tindakan hukum publik pemerintah yang bersegi satu atau bersifat sepihak (eenzijdige publiekrechtelijke handeling). Istilah Keputusan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh Otto Meyer dengan istilah “verwaltungsakt” (Jerman). Istilah ini diperkenalkan di Belanda oleh C.W. van der Pot dan C. van Vollenhoven dengan istilah “beschikking” dan di Perancis dikenal dengan istilah ”acte administratif”. Istilah “beschikking” diperkenalkan di Indonesia oleh WF. Prins dan diterjemahkan dengan istilah “ketetapan” (E. Utrecht, Bagir Manan), “penetapan” (Prajudi Amtosudirjo), dan “keputusan” (WF. Prins, Philipus M. Hadjon).22 Menurut van der Pot (sebagaimana dikutip oleh Djenal Hoesen Koesoemahatmaja), beschikking merupakan tindakan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan, pernyataan kehendak mereka dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mangadakan perubahan dalam lapangan hubungan
22.
Ridwan H.R., op. cit, h. 139-140.
35
hukum.23 Oleh E. Utrecht, beschikking diartikan sebagai perbuatan hukum publik (yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).24 Bedasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sedangkan, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan bahwa: Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dari pemaparan beberapa pengertian mengenai KTUN di atas, dapat disimpulkan bahwa KTUN merupakan tindakan hukum publik bersegi satu (sepihak) yang dilakukan oleh pemerintah, melalui alat-alat perlengkapan pemerintahan (badan atau pejabat Tata Usaha Negara), yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara (sebagai bentuk pernyataan kehendak), berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual 23.
Djenal Hoesen Koesoemahatmaja, op. cit, h. 47.
24.
E. Utrecht, op. cit, h. 67.
36
dan final, serta menimbulkan akibat hukum tertentu (dalam bidang administrasi) bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan kedua undang-undang tersebut di atas terlihat bahwa pengertian KTUN pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sedikit berbeda dan cenderung lebih luas dibandingkan dengan rumusan pengertian KTUN yang ada pada Pasal 1 angka 9 UU PTUN. Dalam skripsi ini tidak akan dijelaskan lebih mendalam mengenai perbedaan rumusan pengertian KTUN antara kedua undang-undang tersebut karena yang akan dibahas dalam skripsi ini berkaitan dengan penetapan suatu KTUN yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut. 2.2.2 Unsur-Unsur KTUN Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan para sarjana, maka dapat dirumuskan unsur-unsur dari KTUN (beschikking), yakni : a. pernyataan kehendak yang bersifat sepihak (bersegi satu); b. dikeluarkan oleh organ pemerintahan; c. berdasarkan pada norma wewenang yang diatur dalam hukum publik (peraturan perundang-undangan); d. ditujukan untuk hal-hal yang bersifat khusus atau peristiwa konkret dan individual; e. dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi.25 Sedangkan, berdasarkan pada definisi yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara meliputi: a. penetapan tertulis; 25.
Sadjijono, op. cit, h. 94-95.
37
b. dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara; c. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. bersifat konkret, individual dan final; e. menimbulkan akibat hukum; dan f. ditujukan bagi seseorang atau badan hukum perdata. Unsur-unsur KTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1 angkat 7 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu: a. ketetapan tertulis; b. dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; dan c. yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. 2.2.3 Syarat Sah KTUN Suatu KTUN yang sah akan dengan sendirinya memiliki kekuatan hukum, baik kekuatan hukum formal maupun kekuatan hukum materiil. Hal ini kemudian melahirkan prinsip praduga rechtmatig (presumption iustitae causa) yaitu setiap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap sah menurut hukum sampai terbukti sebaliknya melalui suatu pembatalan dari pengadilan.26 Menurut van der Pot, terdapat empat syarat yang harus dipenuhi agar suatu Keputusan Tata Usaha Negara berlaku sebagai ketetapan (keputusan) yang sah, yaitu : a. ketetapan harus dibuat oleh alat pemerintahan (organ) yang berwenang (bevoegd);
26.
Ridwan H.R., op. cit, h. 165-167.
38
b. pembentukan kehendak alat pemerintahan yang membuat ketetapan tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming); c. ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut; d. isi dan tujuan ketetapan itu, harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.27 Sedangkan menurut Kuntjoro Purbopranoto (sebagaimana dikutip oleh Sadjijono), ada dua syarat yang harus dipenuhi agar Keputusan Tata Usaha Negara yang dibuat oleh pemerintah menjadi keputusan yang sah. Kedua syarat tersebut yakni : a. syarat materiil, meliputi : 1) alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang (berhak); 2) dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen yuridiche gebreken in de welsvorming); 3) keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig); 4) isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig). b. syarat formil, meliputi : 1) syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; 2) harus diberi bentuk yang telah ditentukan; 3) syarat-syarat berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi; 4) jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan; 5) ditandatangani oleh pejabat pemerintahan yang berwenang membuat keputusan.28 27.
Djenal Hoesen Koesoemahatmaja, op. cit, h.
28.
Sadjijono, op. cit, h. 100-101.
39
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga diatur mengenai syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yakni diatur dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) yang menyatakan bahwa : (1) Syarat sahnya Keputusan meliputi: a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. dibuat sesuai dengan prosedur; dan c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa sahnya KTUN juga didasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak memenuhi syarat tersebut di atas, maka akan menimbulkan kekurangan dan dapat mengakibatkan keputusan itu dianggap batal sama sekali atau pemberlakuannya dapat digugat. 2.2.4 Macam-Macam KTUN Secara teoritis dikenal beberapa jenis atau macam-macam KTUN, yaitu sebagai berikut: 29 1) Keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif Keputusan deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan kembali hak dan kewajiban tersebut atau suatu hubungan hukum. Sedangkan keputusan konstitutif adalah keputusan yang melahirkan atau menghapuskan suatu 29.
Ridwan H.R., op. cit, h. 157-161.
40
hubungan hukum atau menimbulkan hak tertentu yang sebelumnya tidak dipunyai oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan tersebut. 2) Keputusan yang Menguntungkan dan Keputusan yang Memberi Beban Keputusan yang menguntungkan adalah keputusan yang memberi hakhak yang bersifat menguntungkan bagi sesorang yang namanya tercantum dalam keputusan tersebut. Sedangkan keputusan yang memberi beban adalah keputusan yang menimbulkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada. 3) Keputusan Kilat (eenmalig) dan Keputusan Permanen Keputusan kilat (eenmalig) adalah keputusan yang hanya berlaku sekali atau keputusan sepintas lalu. Sedangkan keputusan permanen adalah keputusan yang memiliki masa berlaku relatif lama atau menyangkut suatu keadaan yang berjalan lama. 4) Keputusan Bebas dan Keputusan Terikat Keputusan bebas adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan bebas atau kebebasan bertindak yang dimiliki alat perlengkapan pemerintahan, baik dalam bentuk kebebasan kebijaksanaan maupun kebebasan interpretasi. Keputusan terikat adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan pemerintahan yang bersifat terikat, yakni didasarkan pada ketentuan yang sudah ada. 5) Keputusan Perorangan dan Keputusan Kebendaan Keputusan perorangan adalah keputusan yang diterbitkan berkaitan dengan kualitas pribadi sesorang. Sedangkan keputusan kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan berkaitan dengan kualitas suatu benda.
41
6) Keputusan Positif dan Keputusan Negatif. Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai keputusan tersebut yakni berupa pernyataan menerima atau mengabulkan permohonan. Sedangkan keputusan negatif adalah keputusan yang tidak menimbulkan perubahan hak dan kewajiban yang telah ada, yakni berupa pernyataan tidak berkuasa, tidak menerima atau menolak permohonan. Setiap pembuatan KTUN (apapun jenisnya) harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku. Keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) akan berpengaruh bagi masyarakat selaku pemohon dan menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Oleh karena itu, setiap KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahann (Tata Usaha Negara) harus sesuai dengan ketentuan dan syarat yang berlaku agar keputusan yang dibuat merupakan KTUN yang sah. 2.3 Peradilan Tata Usaha Negara 2.3.1 Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan
(rechtspraak,
judiciary),
adalah
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan tugas negara dalam penegakan hukum dan keadilan melalui proses memeriksa dan memasukkan peristiwa konkret itu ke dalam suatu norma hukum yang abstrak dan menuangkannya ke dalam putusan
42
(vonis).30 Sedangkan pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.31 Pengadilan merupakan suatu instansi netral yang bertugas memeriksa, mengadili dan memutus suatu peristiwa konkrit yang berkaitan dengan tugasnya dalam usaha menegakan hukum dan keadilan (sebagai lembaga yudikatif). Merujuk pada ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan
pengadilan
yang
berwenang
memeriksa,
memutus
dan
menyelesaiakan sengketa Tata Usaha Negara. Ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi dapat disimpulkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah segala sesuatu atau proses yang berkaitan dengan kegiatan memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Tujuan dari peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya adalah untuk melindungi kepentingan hukum dari masyarakat dari tindakan sewenang-wenang atau 30.
31.
SF Marbun, 1998, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 21.
Pengadilan Negeri Yogyakarta, 2008, “Pengertian Pengadilan dan Peradilan”, URL : http://pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html diakses tanggal 15 September 2014.
43
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pemerintah, mengingat amat luasnya lapangan pekerjaan pemerintah. 2.3.2 Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kompetensi suatu lembaga peradilan berkaitan dengan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan mengadili atau menyelesaikan suatu perkara. Kompetensi suatu lembaga peradilan dibedakan menjadi dua macam, yakni kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut peradilan berhubungan dengan kewenangan suatu lembaga peradilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok perkaranya. Kompetensi absolut berkaitan dengan lingkungan peradilan apa yang berwenang mengadili suatu perkara, yakni lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer atau lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan kompetensi relatif peradilan berhubungan dengan kewenangan suatu lembaga peradilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah atau daerah hukumnya (yurisdiksi pengadilan). Kompetensi relatif berkaitan dengan pengadilan mana yang berwenang mengadili suatu perkara dalam satu lingkungan peradilan.32 Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa, “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.” Jadi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara 32.
SF Marbun, op. cit, h. 59.
44
adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sedangkan kompetensi relatif dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah berkaitan dengan kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara menurut kedudukan dari Pengadilan Tata Usaha Negara yang dibedakan berdasarkan daerah-daerah hukum, yakni meliputi wilayah tertentu sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 6 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan bahwa: (1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota provinsi, dan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Sebagaimana halnya pada lingkungan peradilan lainnya di Indonesia, pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara juga memiliki kompetensi berdasarkan tingkatan peradilan yang dilaksanakan oleh suatu kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan tingkat banding serta oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tingkat kasasi. 2.4 Peraturan Perundang-undangan 2.4.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Peraturan Perundang-undangan Peraturan
perundang-undangan
menjadi
landasan
dalam
setiap
penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
45
Pembentukan setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU PPP) yang menggantikan keberadaan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PPP menyatakan bahwa, “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.” Menurut Van Der Tak, peraturan perundang-undangan adalah kaidah tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum. 33 Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental (civil law system) yang dimaksud peraturan perundang-undangan (wet in materiele zin) mengandung tiga unsur, yaitu: 1. norma hukum (rechtsnorm) Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming) dan pembebasan (vrijstelling). 2. berlaku ke luar (naar buiten werken) Ru iter berpedapat bahwa, di dalam peraturan perundang-undangan terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya, maupun antara rakyat dengan pemerintah. Norma yang mengatur bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang 33.
Aziz Syamsuddin, 2013, Proses Dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 19.
46
sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut “berlaku ke luar”. 3. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin) Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari adresat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada “Setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu. 34 Dalam konsep peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang dimaksud sebagai peraturan perundang-undangan adalah segala peraturan tertulis yang mempunyai norma bersifat umum (algemeen) dan abstrak (abstract) yang dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. 2.4.2 Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan Norma hukum dalam suatu negara adalah berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), sebagaiamana yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori penjenjangan norma hukum (stufentheorie) dan oleh muridnya Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine Rechtslehre”.35 Demikian pula halnya pada norma hukum dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Norma hukum dalam peraturan perundang-undangan juga tersusun dalam suatu hierarki menurut jenis sesuai dengan kekuatan hukum mengikatnya.
34.
Maria I., op. cit., h. 35-36.
35.
Maria I., op. cit., h. 41-44.
47
Jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu jenis peraturan perundang-undangan menurut hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan di luar hierarki. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU PPP, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki atau tata urutan sebagaimana dimaksud diatas, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU PPP. Selain itu, ada pula jenis peraturan perundang-undangan yang ada di luar hierarki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPP tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PPP, jenis peraturan perundangundangan yang ada di luar hierarki tersebut mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
48
Daerah
Provinsi,
Gubernur,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Jenis peraturan perundang-undangan yang ada di luar hierarki ini tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.