BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA, PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN BADAN USAHA MILIK NEGARA
2.1 Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia 2.1.1 Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Pasal 24 UUD NRI 1945, ditentukan bahwa peradilan di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang dibentuk dengan undang-undang. Dalam pasal tersebut juga mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Khusus untuk menjaga kemandirian dan integritas hakim, amandemen UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yakni Komisi Yudisial. 43 Sebagai realisasi dari Pasal 24 UUD NRI 1945 tersebut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dibuah dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
43
Rimdan, 2012, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana, Jakarta, h.
87
40
41
sebuah Mahkamah Konstitusi. 44 Berdasarkan pada hal tersebut diatas terlihat secara jelas bahwa pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri memiliki dasar hukum yang cukup kuat sama halnya dengan ketiga badan peradilan lainnya yang sebelumnya telah ada yakni, Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Militer. 45 Sebagaimana yang dimaksudkan pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat lambatnya lima tahun sejak undang-undang ini diundangkan, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada tanggal 14 Januari 1991 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
melalui
Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 8 semenjak itu mulailah 5 buah Pengadilan Tata Usaha Negara dan 3 buah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang sudah dibentuk sebelumnya menjalankan tugasnya masing-masing. 46 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya tidak memberikan keterangan mengenai arti kekuasaan kehakiman secara tuntas.
Namun dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “Kekuasaan Kehakiman” dalam pasal 24 UUD 1945 ialah kekuasaan Negara yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan 44
CST Kansil dan Christine ST Kansil, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Pradnya Paramita, Jakarta, h.79 45 JimlyAssiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Populer, Jakarta, h. 513 46 Rozali, Abdullah, 2004, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13
42
guna menegakkan hukum dan keadilan. 47 Peradilan harus netral, maksudnya bebas dan merdeka. Agar peradilan bebas memberikan putusan sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, diperlukan adanya jaminan bahwa baik pengadilan maupun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah maupun pengaruh lainnya. 2.1.2 Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Lembaga Pengadilan Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Seperti istilah hukum pidana ataupun hukum perdata, hukum administrasi juga memiliki istilah-istilah tersendiri, salah satu istilah tersebut adalah mengenai peradilan tata usaha negara. Hukum administrasi sendiri berhubungan erat dengan pemerintah. Sehingga dikatakan bahwa “...the law relating to the control of government power, teh main object of which is to protect individual rights.”48The core of administrative law is the relationship between the State and the citizen.49 Dalam tulisan ini, istilah yang dipergunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang 47
Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung, h. 23 48
P.P. Craig, 1994, Administrative Law, Third Edition, Sweet&Maxwell, London, h. 3. Rene J.G.H Seerden, 2007, Administrative Lawof the European Union, its Member States and the United States, A Comparative Analysis, IntersentiaAntwerpen, Oxford, h. 155. 49
43
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka 7 ditentukan bahwa “Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara”. Rochmat Soemitro menjabarkan unsur-unsur dari peradilan, adalah sebagai berikut50 : a. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan; b. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit; c. Ada sekurang-kurangnya dua pihak; d. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan. Penyelesaian sengketa tata usaha dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Melalui Upaya Peradilan 2. Melalui Upaya administratif, yakni : Banding administrasi dan Keberatan Upaya peradilan artinya upaya melalui Badan Peradilan, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat I banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Kasasi ke Mahkamah Agung.
50
20
Soetomo, 1983, Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, h.
44
Upaya administratif artinya upaya melalui instansi atau Badan Tata Usaha Negara (dilaksanakan dalam lingkungan pemerintahan). Prosedur ini terbagi atas 2 bentuk, yakni:51 Pertama, dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, prosedur itu dinamakan banding administratif. Kedua, dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negata tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, prosedur yang ditempuh itu dinamakan Keberatan. Ada perbedaan prosedur penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan prosedur banding administratif atau prosedur keberatan, yaitu pada prosedur banding administratif atau prosedur keberatan dilakukan penilaian lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan. Penyelesaian melalui peradilan ini menurut Pasal 51 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 harus diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini dapat dilihat pada isi Pasal 51 Ayat (3), yakni :
51
Marbun, SF, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, h.70
45
“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di ingkat pertama Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.” Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diatas, dapat diajukan permohonan kasasi. Hal tersebut agak berbeda dengan apa yang terjadi pada prosedur banding administratif, pada Pegadilan Tata Usaha Negara pada waktu memeriksa dan memutuskan sengketa tata usaha Negara, hanya melakukan pengujian terhadap keputusan tata usaha Negara yang disengketakan hanya dai segi hukum saja. Pengujian dari segi hukum ini dilakukan dengan menguji keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu dengan menilai apakah keputusan tata usaha Negara tersebut tidak : a. melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. melanggar larangan de’tournement de pouvior; c. merupakan suatu tindakan hukum yang melanggar larangan willekeur; d. melanggar salah satu asas dari asas-asas umum pemerintahan yng baik. 2.2 Pengadilan Hubungan Industrial 2.2.1 Konsep Hubungan Industrial dan Perselisihan Hubungan Industrial Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia bekerja, baik pekerjaan yang diusahakan maupun bekerja pada orang lain. Hampir semuanya berargumentasi bahwa fondasi-fondasi hak-hak azazi manusia merupakan sumber moral dan salah satunya adalah hak untuk dapat bekerja secara aman. Di satu sisi ada consensus
46
internasional bahwa hak-hak azazi manusia sedang tumbuh, di lain pihak consensus tentang fondasinya tidak ada perkembangan. 52Bekerja pada orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan mengutusnya, karena ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut. Hal ini melahirkan hubungan perburuhan.53 Di Indonesia hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan membuat suatu perjanjian kerja. Definisi perjanjian kerja adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan dengan upah selama waktu tertentu.54 Peran pemerintah dalam hubungan industrial ini diwujudkan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh para pihak, serta mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehaingga dapat berjalan secara efektif, serta membantu dalam penyelesaian perselisihan industrial. Dengan demikian, kepentingan
pemerintah
dalam
hubungan
industrial
adalah
menjamin
keberlangsungan proses produksi secara lebih luas. Hubungan Industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi, konsultasi musyawarah serta berunding ditopang oleh kemampuan dan komitmen 52
Brooke A. Ackerly, 2008, Universal Human Rights in a World of Difference, Cambridge University Press, UK, page 70 53 H. Zainal Asikin, 1993, Pengertian, SIfat dan Hakikat Hukum Perburuhan dalam DasarDasar Hukum Perburuhan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1 54 Abdul Khakim, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, PT Citra Adiya Bakti, Bandung, h. 28
47
yang tinggi dari semua elemen yang ada dalam perusahaan. Hubungan industrial tidak hanya dilihat dari konteks hubungan antara pekerja dan pengusaha semata, peraturan-peraturan ketenagakerjaan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan social, ekonomi, dan politik. Karena didalamnya menyangkut pula konsep keadilan, kekuasaan, hak dan tanggung jawab. Undang-undang ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu kita kembangkan dalam bidang hubungan industrial. Keharmonisan yang tercipta tersebut pada akhirnya bertujuan agar dalam hubungan industrial tercipta suatu peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha. Hal tersebut juga diarahkan untuk menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal, Untuk terciptanya keadaan dalam dunia kerja yang produktif, harmonis, dinamis, dan berkeadilan.55 Dalam dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah, oleh karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak relevan lagi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan berbagai masalah dalam dunia industria, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselesihan Hubungan Industrial. Di Indonesia konsep hubungan Industrial yang dianut adalah Hubungan Industrial 55
Pancasila
(HIP)
yang
lahir
dari
hasil
Lokakarya
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, SInar Grafika, Jakarta, h. 23
Nasional
48
yangdiselenggarakan dari tanggal 4 sampai 7 Desember 1974 dan diikuti oleh wakil dari organisasi buruh/pekerja, organisasi pengusaha, wakil pemerintah, dan unsur perguruan tinggi. HIP adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila sila dari Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaaan nasional Indonesia. 56 Guna
mengimplementasikan
konsep
Hubungan
Industrial
Pancasila
diperlukan beberapa sarana kelembagaan, yaitu : 1. Lembaga Kerjasama Tripartit dan Bipartit Para pihak dalam hubungan industrial adalah pihak pekerja, pengusaha dan pemerintah.
HIP menghendaki keserasian antara ketiga pihak tersebut,
karena itu adanya lembaga yang menjadi wadah dari ketiga pihak tersebut menjadi sangat penting. Wadah yang dimaksud adalah lembaga Tripartit di tingkat pusat dan daerah dan Bipartit di tingkat perusahaan. Lembaga Tripartit di tingkat pusat dan daerah diharapkan dapat menjalankan peranannya untuk mengadakan dialog, komunikasi dan konsultasi. Atas dasar ini diharapkan dapat merumuskan pemecahan atas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama. Sedangkan lembaga Bipartit di tingkat perusahaan, diharapkan memiliki peranan yang lebih nyata lagi,
56
Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan &Diluar Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.23
49
bukan sekedar dialog, komunikasi dan konsultasi, tetapi juga mampu menghasilkan consensus atau persetujuan bersama yang menyangkut kedua belah pihak terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan syarat-syarat dan kondisi kerja, upah, jaminan social dan sebagainya, baik yang bersifat incidental maupun menyeluruh yang dapat menjadi dasar atau unsur dari suatu perjanjian perburuhan.57 Adanya lembaga Bipartit di lingkungan perusahaan memang sangat penting, karena di tingkat perusahaan berbagai masalah perburuhan dapat timbul dan sangat besarpengaruhnya bagi upaya menciptakan kerja dan berusaha. 2. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang sekarang dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebut Perjanjian Kerja Bersama merupakan sarana penting dalam mewujudkan Hubungan Industrial Pancasila. Sebab, perjanjian perburuhan atau pejanjian kerja bersama merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Melalui perjanjian ini perbedaan pendapat dan
kepentingan antara pekerja/buruh dan pengusaha dapat dijembatani,
57
Koko Kasidin, 1996, Aspek-Aspek Hukum dalam Pemutusan Hubungan Kerja di Lingkungan Perusahaan Perseroan, (Disertasi),Universitas Padjajaran, Bandung, h.14
50
sehingga ketenangan kerja dan berusaha sebagaimana yang dikehendaki konsep HIP akan dapat tercapai. 3. Lembaga Peradilan Perburuhan Lembaga peradilan perburuhan/hubungan industrial ini menjadi penting, karena realitas menunjukkan perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha sulit dihindari, akibat pelanggaran hak normatif, perubahan syarat kerja, perselisihan antarserikat pekerja/buruh pada suatu perusahaan, dank arena salah satu pihak tidak menerima pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak yang lain. Untuk itulah kehadiran lembaga peradilan hubungan industrial yang berada dalam wilayah kekuasaan kehakiman serta dapat menyelesaikan sengketa sesuai dengan prinsip peradilan cepat, murah dan biaya ringan sangat didambakan. Karena penyelesaian perselisihan perburuhan berdasarkan aturan lama yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Perselisihan Perburuhan jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, selain memakan waktu yang lama juga putusannya kurang berwibawa karena tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. 4. Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan Perburuhan Diterimanya falsafah Pancasila sebagai dasar dalam Hubungan Industrial membawa konsekuensi agar perangkat hukum yang ada di bidang ketenagakerjaan benar-benar sesuai dengan jiwa Pancasila, dengan harapan akan tercipta keserasian antara falsafah hidup dengan berbagai kebijakan di
51
bidang ketenagakerjaan. Karena itu, upaya yang telah dilakukan melalui pembaruan hukum di bidang ketenagakerjaan dan telah melahirkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sangat tepat, karena masih banyak produk hukum peninggalan kolonial yang masih dipergunakan serta produk hukum nasional sendiri yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman serta perasaan keadilan.58 Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam sebuah perusahaaan dalam dunia kerja disebut Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). PHI secara ringkas dapat diartikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkanpertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja.59 Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undan Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) disebutkan “Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”. 2.2.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam sebuah perusahaaan dalam dunia kerja disebut Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). PHI secara ringkas dapat
58 59
Lalu Husni, Op.Cit, h.24 LibertusJehani, 2006, Hak-hak Pekerja Bila di PHK, Visi Media, Jakarta, h.11
52
diartikan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja.60Salah satu bentuk perselisihan hubungan industrial adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerjanya. PHK yang dilakukan oleh Pengusaha harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Pasal 151 UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan: a. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. b. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. c. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sementara ketentuan Pasal 152 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengisyaratkan:
60
Ibid
53
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Berdasarkan Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK tanpa penetapan sebagaimana dimaksud Pasal 151 ayat 3 batal demi hukum, pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya selama belum adanya penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan selama proses PHK berlangsung dengan menjatuhkan skorsing pada pekerja/buruh dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh. Terdapat dua tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni : 1. Penyelesaian di luar Pengadilan Hubungan Industrial; 2. Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial Terdapat beberapa cara penyelesaian yang dilakukan diluar pengadilan hubungan industrial, yaitu :
54
a. Penyelesaian melalui Bipartit. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengharuskan setiap perselisihan hubungan industrial yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartite secara musyawarah untuk mufakat.
Perundingan Bipartit adalah
perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. b. Penyelesaian melalui Mediasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Pasal 1 Angka 11, menyebutkan bahwa Mediasi Hubungn Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan
hubungan
kerja
dan
perselisihan
antarserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam Pasal 1 Angka 12, disebutkan bahwa Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan.
55
c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, pada Pasal 1 Angka 13 dan 14, disebutkan bahwa Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Sedangkan Konsiliator
Hubungan Industril yang
selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syaratsyarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan. d. Penyelesaian Melalui Arbitrase. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, pada Pasal 1 Angka 15 dan 16, memberikan pengertian Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Sedangkan
Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau
56
lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan olehmenteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yag diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial selanjutnya adalah melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan pengadilan negeri, hal tersebut brdasarkan pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
Kewenangan
mutlak atau kompetensi absolut dari Pengadilan Hubungan Industrial disebutkan dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, yakni Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a. Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. Ditingkat
pertama dan terkahir
mengenai perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pengadilan tingkat pertama, dan bagi para pihak yang tidak puas dapat mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Karena perselisihan hak merupakan perselisihan normatif yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan atau peraturan perundang-undangan, penyelesaiannya tidak diberikan
57
kepada konsiliasi maupun arbitrase, tetapi sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Perselisihan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan perselisihan yang terjadi karena para pihak atau salah satu pihak tidak sepaham mengenai PHK. Sebelumnya pengaturan mengenai penyelesaian PHK diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 yang prosedur penyelesaiannya cukup panjang serta memakan waktu yang cukup lama, yaitu mulai dari tingkat pegawai perantara kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota, P4D, P4P, sampai Menteri Tenaga Kerja.
Setelah ditetapkannya putusan Panitian Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) sebagai obyek sengketa tata usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka jalan yang harus ditempuh oleh para pihak untuk mencari keadilan semakin panjang.Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja pada Perusahaaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini berarti Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 menghapus sistem penyelesaian perselisihan melalui P4P/D (Panitia Perselisihan Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah). Dalam hal ini sistem P4P/D dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah. 61
61
Della Febydkk, 2007, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial: Panduan Bagi Serikat Buruh, TURC, Jakarta, h.2
58
Prosedur yang panjang tersebut, sekarang ini disederhanakan dengan penanganan pertama pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri, dan dimungkinkan mengajukan Kasasi pada Mahkamah Agung. Hal ini bertujuan untuk membantu bagi para pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pengadilan tingkat pertama, dan memeriksa kembali sengketa tersebut pada pengadilan yang lebih tinggi karena persoalan PHK merupakan persoalan yang kompleks. Kompetensi relatif dari Pengadilan Hubungan Industrial adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja yang memeriksa suatu gugatan, hal tersebut berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan demikian, untuk perselisihan hubungan industrial gugatannya dimasukkan pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja atau tempat perusahaan tersebut berada. Perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha terjadi di perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja, untuk itu sangatlah tepat jika dipergunakan tempat sebagai acuan dalam memasukkan gugatan perselisihan hubungan industrial. 2.3 Badan Usaha Milik Negara 2.3.1 Landasan Ideologis dan Cita-Cita Pembentukan Badan Usaha Milik Negara
59
Sebagian besar Negara di dunia menganut system ekonomi campuran (mix economy system). System ini memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memiliki dan menjalankan aktivitas ekonomi dalam batas-batas tertentu. Begitu juga dengan Negara batasan dalam melakukan intervensi ekonomi. Batas intervensi Negara dalam perekonomian memiliki derajat yang bervariasi antar beberapa Negara. Dalam Negara Indonesia, batasan intervensi pemerintah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang sekaligus menjadi acuan dasar dalam melihat arah kecenderungan system ekonomi kita. Secara eksplisit Pasal 33 ini menyatakan bahwa Negara akan mengamil peran dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, selama Pasal 33 UUD 1945 masih tercantum dalam konstitusi, selama itu pula keterlibatan pemerintah (termasuk BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan. Khusus untuk BUMN, pembinaan usaha diarahkan guna mewujudkan visi yang telah dirumuskan. Dalam hal ini terdapat 3 visi yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Yakni visi founding father yang ada dalam UUD 1945, visi dari lembaga/badan pengelola BUMN, dan visi masing-masing perusahaan BUMN.62 Terhadap seluruh visi tersebut harus dapat diterjemahkan kedalam suatu rumusan yang jelas untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya. Keberadaan BUMN merupakan aktualisasi peran pemerintah dalam perekonomian. Paling tidak terdapat dua justifikasi bagi peran pemerintah dalam perekonomian, melalui peran dan kiprah BUMN, yaitu justifikasi
62
Rian Nugroho dan Randy Wrihatnolo, 2008, Manajemen Privatisasi BUMN, PT Elex Media Komputindi, Jakarta, h.1
60
secara ideologis dan justifikasi secara ekonomi dan kedua justifikasi tersebut tentu saja tidak terlepas dari kerangka cita-cita Bangsa Indonesia dalam bidang perekonomian. Cita-cita bangsa Indonesia yang mendasar telah terangkum dan dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alenia 4. Secara eksplisit cita-cita bangsa Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut : “…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social,…” (Pembukaan UUD 1945 Alenia 4). Cita-cita ini secara lebih eksplisit dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menggariskan makna kesejahteraan sebagai sejahtera secara merata, artinya bahwa setiap individu bangsa Indonesia berhak menikati hidup yang sejahtera. “…Pasal 33: Ayat 1: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara Ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat 4: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ayat 5: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.”
61
Pada Pasal 33 Ayat 2 dan 3 secara jelas terdapat pengertian bahwa Indonesia menyatakan dirinya
sebagai Negara kesejahteraan (welfare state),
bahwa
kesejahteraan rakyat merupakan tujuan utama pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada Ayat 4 dan 5 secara implisit menekankan pada pelaksanaan
demokrasi ekonomi dan reformasi pengelolaan BUMN serta peran dan partisipasi swasta. Keterlibatan Negara dalam mengelola cabang-cabang produksi yang penting haruslah dilihat sebagai usaha Negara dalam memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, oleh sebab itu pemerintah harus bertangung jawab dalam memberikan jaminan kepada seluruh BUMN yang dikelola oleh Negara, untuk dapat berperan sungguh-sungguh dalam memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ideologi inilah yang harus senantiasa dipegang dan diterjemahkan oleh pemerintah dalam melakukan pengelolaan BUMN. Karena itulah, paradigma yang berangkat dari visi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 yang selalu dibangun dan dipertahankan, yakni paradigm dalam pengelolaan BUMN harus tetap berada dalam koridor filosofi dasar Negara, dengan prinsipnya mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam pengelolaan BUMN sendiri, tetap diingat mengenai hal terpenting dan pokok yang terkait dengan pengelolaan asset-aset kekayaan Negara, yakni pengklasifikasian tentang sektor atau aktifitas ekonomi yang mesti dikelola oleh Negara melalui lembaga BUMN, dimana dapat diklasifikasikan mana yang termasuk BUMN dengna kategori mengemban visi pelayanan publik atau public service
62
obligation (PSO), dan mana BUMN yang berorientasi pada bisnis dalam mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya (business oriented). Dalam pembahasan terkait BUMN dalam bidang ekonomi kita perlu kembali ke dasar mengenai peran dan tugas pokok dari pemerintah itu sendiri, yang mana dapat diambil intisarinya mengenai tiga fungsi ekonomis dari pemerintah yakni: meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan menjaga stabilitas. Pada prinsipnya peran tradisional Negara dalam perekonomian meliputi : a. Menetapkan bingkai hukum (legal framework) bagi kegiatan ekonomi; b. Stabilitas aktivitas ekonomi makro; c. Mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah kesenjangan ekonomi; d. Mengatasi kegagalan pasar akibat adanya eksternalitas, monopoli, informasi yang asimetris (dengan menggunakan regulasi ekonomi). 63 Dengan demikian pemerintah pada umumnya tidak terlibat langsung dengan kegiatan ekonomi, melainkan tugas utamanya adalah sebagai regulator, kecuali terhadap bidang usaha yang menyediakan barang public dan untuk mencegah monopoli dari swasta terhadap barang public yang sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat, pemerintah akan terlibat langsung dalam penyediaannya. Keberadaan BUMN tentunya tidak terlepas dari cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa dan Negara, yang mana telah tertuang secara jelas pada pembukaan
63
Fahri Hamzah, 2007, Negara, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat, Yayasan Faham Indonesia, Jakarta, h.36
63
UUD 1945 yakni untuk memajukan kesejahteraan umum, dan kemudian dijabarkan lebih detail pada Pasal 33 UUD 1945. Maka, BUMN adalah penjelmaan cita-cita dan falsafah berdirinya Negara kita sebagai Negara kesejahteraan (welfare state). Prinsip ini harus semakin jelas dan menjadi dasar untuk melihat dan menentukan arah BUMN di Indonesia. Pemerintah jangan sampai terjebak pada konsepsi menguasai daripada tujuannya yakni untuk kesejahteraan rakyat yang sebenarnya lebih mencerminkan maksud ideologi ekonomi Indonesia, yaitu Negara kesejahteraan. 2.3.2 Dasar Hukum dan Pengertian Badan Usaha Milik Negara Dalam perkembangannya, pembentukan BUMN atau Perusahaan Negara tidak melulu hanya untuk bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan yang penting bagi Negara. Namun juga untuk bidang usaha yang tidak diminati oleh swasta. Dalam hal ini, Perusahaan Negara berperan sebagai agent of development. Perusahaan Negara atau BUMN juga melakukan kegiatan yang ditugaskan oleh Pemerintah (public service obligation) dengan memperoleh imbalan atau subsidi dari Pemerintah.64 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara: “…Pasal 1 Angka 1: Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
64
Tio S. Siahaan, 2007, Penatausahaan Kekayaan Negara Dipisahkan, Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Keuangan Umum, Jakarta, h. 2.
64
oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, ada beberapa unsur yang menjadi suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai BUMN 65: 1. Badan usaha atau perusahaan; 2. Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dimiliki oleh negara. Jika modal tersebut tidak seluruhnya dikuasai negara, maka agar tetap dikategorikan sebagai BUMN, maka negara minimum menguasai 51 % modal tersebut; 3. Di dalam usaha tersebut, negara melakukan penyertaan secara langsung; 4. Modal penyertaan tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, tertuang maksud dan tujuan dari pendirian BUMN itu sendiri, yakni: “…Pasal 2: Ayat 1: maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara; b. mengejar keuntungan; c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta atau koperasi; e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat…”
65
Ridwan Khairandy, 2006, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Jogjakarta (selanjutnya disebut RidwanKhairandy II), h. 66
65
Kepemilikan Negara atas BUMN menurut badan hukumnya dan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, terbagi atas 2 jenis yakni Persero dan Perum. a. Perusahaan Umum Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN: “…Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebutPerum adalah adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.” Dari penjabaran pasal diatas dapat dipahami bahwa maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat (Good Corporate Governance). b. Perusahaan Perseroan Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN: “…Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.”
66
Jika ditelah lebih lanjut, Persero dalam perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, tidak ada bedanya dengan perusahaan swasta. Persero diharapkan harus mampu bersaing dengan perusahaan milik swasta. Persero harus mampu menyediakan barang/jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat. Serta tidak dapat terlepas dari maksud dan tujuan persero mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai dan kinerja perusahaan sebagaimana pada perusahaan milik swasta. Lebih lanjut pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menentukan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Yang mana sekarang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian Persero tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas dan pada prinsipprinsip Perseroan Terbatas. Namun demikian, hal yang perlu dicatat adalah bahwa pendirian BUMN berbeda dengan pendirian usaha swasta. Hal ini dikarenakan dalam pendirian BUMN “pemerintah memiliki peranan yang sangat besar dalam hal penetapan anggaran dasar perusahaan, tujuan, status keuangan, metode operasional, manajemen, dan sebagainya.”66
66
Abdulkadir Muhammad, 1991, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 120-121
67
2.3.3 Prinsip Umum Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum yamg memiliki pengaruh yang sangat signifikan, regulasi terhadap PT menjadi isu yang banyak mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan banyak terobosan dengan melakukan penataan kembali regulasi PT melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 7 Maret 1996, dimana kemudian undang-undang tersebut telah diubah dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentangPerseroan Terbatas yang berlaku efektif per tanggal 16 Agustus 2007 hingga saat ini. 67 Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, menyatakan: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan pesekutuan modal, didirikan berdasar perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 1 di atas, elemen pokok yang melahirkan suatu Perseroan sebagai badan hukum, harus terpenuhi syarat-syarat berikut:
67
Marisi Purba, 2013, Aspek Akuntansi Undang-Undang Perseroan Terbatas Edisi 2, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.3
68
1. Merupakan persekutuan modal. Perseroan sebagai badan hukum memiliki “modal dasar” yang disebut juga authorized capital”, yakni jumlah modal yang disebutkan atau dinyatakan dalam Akta Pendirian suatu PT. Besarnya modal dasar Perseroan menurut Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Selanjutnya menurut Pasal 32 Ayat (1) dalam undang-undang tersebut, modal dasar perseroan palin sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). 2. Didirikan berdasar perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, supaya perjanjian untuk mendirikan perseroan sah menurut undang-undang, pendirinya paling sedikit 2 (dua) “orang” atau lebih. Hal ini ditegaskan pada penjelasan Pasal 27 ayat (1) alenia kedua, bahwa prinsip yang berlaku berdasar perjanjian, oleh karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham. Adapun yang dimaksud dengan “orang” menurut Penjelasan dimaksud, adalah : a. orang perseorangan baik warga Negara maupun “orang asing”, b. badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. 3. Melakukan kegiatan usaha. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 suatu perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha. Selanjutnya pada Pasal 18 ditegaskan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha itu harus dicantumkan dalam AD Perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
69
4. Lahirnya Perseroan melalui Proses Hukum dalam bentuk pengesahan Pemerintah. Kelahiran perseroan sebagai badan hukum karena dicipta dan diwujudkan melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun apabila persyaratan tidak terpenuhi kepada perseroan yang bersangkutan tidak diberikan keputusan pengesahan untuk berstatus sebagai badan hukum oleh Pemerintah, dalam hal ini MENKUM & HAM. Jadi proses kelahirannya sebagai badan hukum mutlak didasarkan pada Keputusan Pengesahan oleh Menteri, hal ini ditegaskan pada Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, yang menyatakan : “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.” Klasifiksi Perseroan Mengenai klasifikasi perseroan, hal tersebut tersurat dan tersirat pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 1. Perseroan Tertutup Perseroan, pada dasarnya adalah badan hukum yang memenuhi syarat dan ketentuan sesuai Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nmor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang merupakan persekutuan modal dan terbagi atas saham. 68 Didirikan berdasar perjanjian diantara pendiri atau pemegang saham, serta melakukan kegiatan usaha, dan kelahirannya juga melalui 68
Yahya Harahap, 2008, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, h.38
70
proses hukum yang dikukuhkan berdasarkan keputusan Pengesahan oleh MENKUMHAM. Namun pada perseroan tertutup, terdapat cirri-ciri khusus diantaranya: a. Biasanya pemegang sahamnya terbatas dan tertutup, hanya terbatas kepada orang-orang yang masih kenal satu dengan yang lainnya seperti halnya dengan family dan tertutup bagi orang luar b. Saham perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar hanya sedikit jumlahnya, dan dalam AD sudah ditentukan dengan tegas siapa yang boleh menjadi pemegang saham. c. Sahamny juga atas nama orang-orang tertentu secara terbatas. 2. Perseroan Publik Dalam Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dinyatakan : “Perseroan public adalah Perseroan yang telah memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan.”Selanjutnya dalam Pasal 24 dalam undangundang yang sama, dikatakan sebagai perseroan publik menurut pasal ini adalah : a. Perseroan yang telah memenuhi kriteria sebagai perseroan publik, wajib mengubah AD menjadi Perseroan Terbuka (Perseroan Tbk); b. Perubahan AD dimaksud, harus dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut;
71
c. Selajutnya Direksi Perseroan wajib mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. 3. Perseroan Terbuka (Tbk) Klasifikasi atau tipe yang ketiga adalah Perseroan Terbuka (Perseroan Tbk) sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni : “Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan menawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal.”. Jadi yan dimaksud dengan Perseroan Tbk menurut pasal tersebut adalah : a. Perseroan Publik yang telah memenuhi Pasal 1 angka 22 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1995 yakni memiliki pemegang saham sekurangnya 300 (tiga ratus) orang, dengan modal disetor sekurangkurangnya rp. 3.000.000.000.- (tiga miliar rupiah) b. Perseroan yang melakukan penawaran umum saham di Bursa Efek. Maksudnya perseroan tersebut menawarkan atau menjual sahamnya kepada masyarakat luas. 4. Perseroan Group Dalam masa sekarang, banyak perseroan yang memanfaatkan prinsip limited liability atau pertanggungjawaban terbatas. Dalam rangka memanfaatkan limited liability, sebuah perseroan dapat mendirikan “Perseroan Anak” atau
72
subsidiary untuk menjalankan bisnis “Perseroan Induk” (Parent Company). Dengan demikian, sesuai dengan prinsip keterpisahan dan perbedaan yang dikenal dengan istilah separate entity, maka asset perseroan induk dengan perseroan anak terisolasi terhadap kerugian potensial yang akan dialami oleh satu diantaranya. Namun sangat disayangkan, karena dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak menjelaskan maupun mengatur ketentuan mengenai Perseroan Group atau Perseroan Holding. Padahal sangat perlu diketahui oleh banyak orang mengenai apa yang dimaksud dengan Perseroan Group berhadapan dengan Perseroan anak atau anak perusahaan yang biasa disebut dengan Perseroan Induk tersebut beserta aturan yang mengaturnya.