KONSEP PERENCANAAN MINAPOLITAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
Oleh: Dewa Gede Raka Wiadnya Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Brawijaya (UB) – Malang Jl. Veteran Malang, 65145; Telp: 0341 553512; Fax: 0341 557837 Kontak:
[email protected] Makalah disajikan pada Workshop Penyiapan Peningkatan Kualitas Penataan Ruang di Kabupaten Tematik – diselenggarakan tanggal: 22 – 23 November 2011 di Kampus Institut Teknologi Malang
Abstrak Konsep minapolitan pada dasarnya hampir sama agropolitan, perbedaan dasar terletak pada sektor penggerak ekonomi dari perikanan. Minapolitan sebaiknya dirancang untuk menumbuhkan kota-kota kecil mandiri dan mengurangi penumpukan penduduk di kota-kota besar. Minapolitan tidak selalu harus mulai dari awal. Dia merupakan proses yang dinamis dan siklik dengan karakteristik dasar pendekatan multi-sektor secara terpadu. Setiap tahapan rencana aksi harus dibuat melekat dengan rencana yang sudah ada saat ini. Implementasi dari minapolitan harus selalu dievaluasi (melalui alat monitoring) untuk mengukur setiap keberhasilan atau bahkan kegagalan program. Hasil dari monitoring harus bisa digunakan sebagai dasar bagi pengelola untuk memperbaiki setiap rencana aksi (imple,entasi) berikutnya
Abstract Minapolitan is, by design, comparable to agropolitan that has been formerly implemented through Ministry of Agriculture. The principal different is due to its major economic triggering-factor. Minapolitan should be designed to develop small and self-reliance cities and to slow down urbanization to large cities in Indonesia. Programmatically, it may not start from the beginning. Minapolitan is a dynamic and cyclical process with main characteristics of multi-sector and integrated approach. For each action step, it should be embedded to the current existing plans. The implementation program may followed with a clear monitoring tool success or even failure of the program (by design). The results are subject for adaptive management.
Konsep Minapolitan Secara etimologis, kata metropolitan atau megapolitan lebih sering muncul pada kamus-kamus bahasa dibandingkan dengan agropolitan atau minapolitan. Wilayah metropolitan ialah kombinasi antara aglomerasi urban (kota yang tumbuh secara bertahap) dan lokasi yang dekat atau pada radius commuting dengan pusat kota – pusat kota dalam pengertian ini disebut metro. Keterkaitan antara kota metropolitan dengan metro terjadi
terutama melalui penyediaan tenaga kerja, yang menimbulkan aktifitas commuting, dan sektor komersial lainnya (Lewis, 2004; Budd & Whimster, 2005; Razin et al., 2007). Sebagai contoh misalnya: El Monte dan California, dianggap sebagai bagian dari Los Angeles. Mengambil teladan di Indonesia, wilayah Tangerang, Bogor dan Bekasi bisa dianggap sebagai bagian saling berinteraksi dengan metro Jakarta. Konsep metropolitan yang dikembangkan sejak tahun 1950an pada akhirnya menimbulkan ketimpangan pengembangan wilayah antara desa dengan sektor kota. Dampaknya ialah aglomerasi urban ke arah kota yang terlalu cepat, sementara wilayah pedesaan ditinggalkan terkebelakang. Perencanaan keruangan (spatial planning) kota tidak bisa dipatuhi karena desakan ekonomi yang terlalu panas. Pada sisi lain, desa menjadi tempat yang kosong tanpa penghuni, atau jika ada, hanya terdiri dari kelompok umur tua yang sudah tidak produktif lagi. Pada akhirnya, kawasan metropolitan menjadi tidak teratur, kumuh, dipadati penduduk urban yang melebihi kapasitas daya dukung wilayah. Pada pertengahan tahun 1970an, Friedmann (Bogart, 2006) mencetuskan konsep pengembangan kota kecil sebagai pusat dan ditunjang oleh beberapa wilayah desa di sekitarnya dengan sektor penggerak ekonomi dari pertanian. Teori ini dipandang sebagai solusi untuk menarik aglomerasi urban dari wilayah metropolitan. Namun agropolitan dirancang pada kapasitas daya dukung tertentu, dengan ukuran kota kecil. Setelah daya dukung terlewati, kawasan agropolitan menjadi tidak ekonomis dan urbanisasi diharapkan akan berhenti. Singkatnya, dimensi agropolitan ketika itu dibayangkan sebagai kota kecil (ukuran penduduk sekitar 10 – 25 ribu jiwa), ditambah beberapa wilayah kecamatan di sekitarnya (pada radius commuting) dengan jarak sekitar 5 – 10 km dari pusat kota. Komoditas utama untuk menggerakkan ekonomi wilayah ialah sektor pertanian. Dengan demikian, suatu kawasan agropolitan akan berdimensi penduduk antara 50 – 150 ribu jiwa. Pada wilayah pesisir, konsep agropolitan diadopsi dengan penggerak ekonomi dari sektor perikanan. Kepadatan penduduk di wilayah pesisir umumnya lebih padat dibandingkan dengan wilayah di atasnya yang berbasis pertanian. Oleh karena itu dimensi ruang pada minapolitan bisa sedikit berbeda dengan agropolitan. Suatu kawasan minapolitan sebaiknya mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Satu kota kecil sebagai sentra (mungkin wilayah administrasi kecamatan) dan beberapa wilayah (desa atau kecamatan) di sekitarnya pada radius melakukan commuting ke arah sentra; 2. Sentra kota mempunyai cadangan sumber daya ikan atau kapasitas produksi ikan yang mampu menjadi penggerak ekonomi seluruh kawasan minapolitan (sentra dan wilayah sekitarnya) (CMEA, 2011); 3. Kawasan minapolitan harus bisa tumbuh dan berkembang sebagai kawasan mandiri; 4. Faktor kenyamanan dan pergerakan ekonomi harus bisa menjadi daya saing untuk memberikan pilihan alternatif bagi urbanisasi ke wilayah metropolitan; 5. Pengembangan atau pertumbuhan (ekonomi dan keruangan) pada kawasan minapolitan harus dilakukan secara terkontrol. Ketika kapasitas daya dukung tercapai, telah teridentifikasi kawasan mina atau agropolitan lain sebagai alternatif; 6. Pengembangan kawasan minapolitan harus dilakukan secara terpadu dan efisien, melibatkan instansi dari tingkat pusat dan daerah maupun instansi lintas sektor
Tujuan Tujuan dan sasaran pengembangan kawasan minapolitan secara lengkap disebutkan pada KepMen Kelautan dan Perikanan No. 18/Men/2011 tentang pedoman umum minapolitan. Namun secara esensial, sasaran program minapolitan bisa disarikan menjadi 4 (empat) hal utama sebagai berikut: Pelayanan secara terpadu dan efisien dari instansi pusat dan daerah serta instansi lintas-sektor pada kawasan minapolitan; Berkembangnya sektor ekonomi dari komoditas sektor perikanan Kawasan sentra minapolitan bersama wilayah sekitarnya tumbuh sebagai kota mandiri Pengisian tenaga kerja pada wilayah sekitar sentra minapolitan sesuai dengan kapasitas daya dukung produksi perikanan
Konsep Perencanaan Minapolitan Menteri Kelautan dan Perikanan telah menetapkan total 223 kawasan Minapolitan yang tersebar pada 33 Propinsi (Keputusan Menteri Kelautan No. 32/Men/2010 dan No. 39/Men/2011). Di wilayah Propinsi Jawa Timur, Menteri menetapkan 12 Kawasan Minapolitan, 7 (tujuh) diantaranya ialah kawasan Minapolitan yang berbasis perikanan tangkap (Probolinggo, Banyuwangi, Malang, Trenggalek, Pacitan, Tuban, dan Lamongan), sedangkan 5 (lima) kawasan berbasis budidaya perairan (Blitar, Sumenep, Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan). Pada saat yang bersamaan, juga telah ditetapkan pedoman umum Minapolitan (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/Men/2011). Pada dasarnya pelaksanaan program minapolitan meliputi 9 (Sembilan) tahapan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Penilaian sumber daya dan ekologi (REA) Seleksi kawasan minapolitan Konsultasi para pihak Penetapan dan penataan batas Zonasi Rencana pengelolaan kawasan Implementasi Monitoring sukses dan pembelajaran (lessons learned) Management adaptif
Dengan keluarnya SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39/Men/2011, tahap pelaksanaan program Minapolitan sudah mencapai langkah ke-empat (penetasan dan penataan batas). Saat ini kita membutuhkan dua tahap lagi sebelum implementasi program, ialah zonasi dan rencana pengelolaan kawasan. Minapolitan ialah proses yang dinamis secara siklik, melibatkan peran multi-sektor secara terintegrasi untuk mewujudkan kota kecil secara mandiri dengan sektor penggerak ekonomi dari perikanan yang dilakukan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, program minapolitan harus selalu dievaluasi (melalui monitoring) secara berkala untuk mengukur keberhasilan atau bahkan kegagalan program. Hasil monitoring selanjutnya digunakan
sebagai informasi dasar bagi pengelola dalam memperbaiki atau memperbaharui program ke depan (Gambar 1).
Gambar 1. Program Minapolitan terdiri dari 9 (Sembilan) urutan langkah, 5 (lima) langkah diantaranya dilakukan secara siklik dan dinamis (disintesis dari Bogart, 2006; Salet et al., 2003)
Tabel 1
Detail kegiatan dalam setiap tahapan dari program pengembangan kawasan minapolitan (disintesis dari beberapa konsep pengembangan wilayah metropolitan, pengembangan wilayah pesisir terpadu dan kawasan konservasi)
No Tahapan Langkah 1
2
3
4
5
6
7
Detail kegiatan
Penilaian sumber daya ikan 1.1. Dilakukan secara nasional dan difasilitasi oleh pemerintah pusat dan ekologi di Jakarta 1.2. Variable penilaian terdiri dari, namun tidak terbatas pada: 1.2.1. Potensi atau kapasitas sumber daya ikan dalam skala ekonomi wilayah; 1.2.2. Potensi ekologi pendukung keberlanjutan sumber daya; 1.2.3. Dampak ekonomi pada satuan kawasan; 1.2.4. Kesesuaian wilayah; 1.2.5. Lainnya … 1.3. Keluaran: daftar kawasan potensial untuk dijadikan kawasan minapolitan Seleksi kawasan 2.1. Dilakukan secara bersama antara pemerintah pusat, propinsi dan minapolitan Kabupaten / kota madya dengan melibatkan instansi lintassektoral; 2.2. Variable penilaian terdiri dari, namun tidak terbatas pada: 2.2.1. Besar dampak ekonomi dari sektor perikanan 2.2.2. Besarnya dampak ekonomi sektor ikutan 2.2.3. Penyerapan tenaga kerja 2.2.4. Analisis keruangan (spatial analysis) yang mendukung 2.2.5. Komitmen politis dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang cukup kuat; 2.2.6. Kinerja instansi lintas sektoral secara terpadu 2.2.7. Kebutuhan prioritas untuk pengembangan kawasan minapolitan Konsultasi publik 3.1. Koordinasi instansi pusat, propinsi dan Kabupaten 3.2. Koordinasi para pihak pelaku minapolitan pada tingkat lapang (nelayan, petani budidaya, pengolah, pedagang ikan, sektor ikutan) 3.3. Koordinasi investasi dan pemasaran 3.4. Penyuluhan dan diseminasi pada masyarakat luas Penetapan dan penataan 4.1. Rekomendasi Bupati – pencadangan wilayah sebagai calon batas kawasan minapolitan 4.2. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai fasilitator Minapolitan Zonasi kawasan 5.1. Penyesuaian dan dibuat melekat dengan RDTR wilayah minapolitan Kecamatan; 5.2. Penyesuaian dan dibuat melekat dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 5.3. Disesuaikan dengan karakter minapolitan – perikanan tangkap, perikanan budidaya air tawar, perikanan budidaya air payau dan laut Rencana pengelolaan 6.1. Disesuaikan dengan Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan; 6.2. Mengikuti Rencana Strategis Pemerintah Propinsi dan Kabupaten Implementasi 7.1. Fasilitator (leading institution) untuk minapolitan perikanan tangkap ialah Pelabuhan Perikanan pada lokasi sentra kawasan minapolitan;
8
Monitoring
9
Manajemen adaptif
7.2. Fasilitator (leading institution) untuk minapolitan perikanan budidaya bisa dilakukan oleh Balai Benih setempat atau melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten 8.1. Dilakukan oleh auditor minapolitan yang dibentuk khusus dan terdiri dari perwakilan instansi multi-sektor dan pakar ekonomi perikanan; 8.2. Hasil monitoring harus menjadi alat dasar bagi manajemen adaptif 9.1. Menggunakan informasi dari hasil monitoring untuk melakukan penyesuaian rencana program 9.2. Rencana pengelolaan ditinjau secara berkala
Zonasi Kawasan Minapolitan Zonasi pada dasarnya ialah membagi suatu kawasan menjadi ruang-ruang berdasarkan peruntukkan yang berbeda. Zonasi kawasan di laut paling tidak mengikuti 3 (tiga) aturan dasar ialah: (1) jalur-jalur penangkapan ikan, (2) rencana zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil (RZWP3K), dan (3) zonasi kawasan konservasi perairan (RZKKP). Jalur-jalur penangkapan ikan ialah ketentuan zonasi dalam pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan khusus dari kegiatan penangkapan ikan. RZWP ialah ketentuan zonasi yang mengatur pemanfaatan laut secara umum termasuk penangkapan. Sedangkan RZKKP ialah ketentuan zonasi yang dibuat untuk melindungi habitat pendukung sumber daya ikan, seperti terumbu karang, bakau maupun lamun. Oleh karena itu, ruang lingkup zonasi kawasan minapolitan sebaiknya meliputi wilayah darat. Program minapolitan tidak selalu harus mulai dari awal – Daerah Muncar ialah contoh kawasan minapolitan dengan sistem ekonomi yang sudah berkembang dengan baik. Perbaikan penataan yang diperlukan ialah pengembangan wilayah pendukung (hinterland) dan sistem pelayanan terpadu (integrated governance). Sebaliknya, Pacitan ialah bisa dikatakan sebagai kawasan minapolitan yang baru mulai. Dia membutuhkan berbagai bentuk intervensi untuk meningkatkan peran perikanan sebagai penggerak ekonomi lokal. Namun pada kondisi seperti ini, rencana penataan wilayah bisa dilakukan secara lebih terencana. Oleh karena itu rencana zonasi kawasan minapolitan sebaiknya mengikuti beberapa prinsip dasar sebagai berikut: Ruang lingkup zonasi: meliputi wilayah sentra produksi dan wilayah (hinterland) di sekitarnya; Dibuat melekat atau terintegrasi dengan sistem keruangan (spatial planning) yang telah ada; Dibuat sedemikian rupa menyesuaikan dengan sistem keruangan yang sudah ada saat ini. Muncar ialah sentra dari kawasan minapolitan untuk Kabupaten Banyuwangi. Ruang lingkup zonasi sebaiknya terdiri dari wilayah Muncar beserta wilayah sekitarnya (hinterland) yang terkait atau terpengaruh oleh perkembangan ekonomi perikan dari Muncar. Saat ini, paling tidak, ada dua jenis aturan keruangan bagi wilayah Muncar, ialah RDTR wilayah kecamatan dan RZWP3K. Penataan ruang (zonasi) wilayah Muncar terkait dengan minapolitan harus dibuat melekat dengan kedua jenis rencana zonasi tersebut. Melalui
analisis, besar kemungkinan wilayah Muncar tidak membutuhkan zonasi tambahan karena keperluan bagi minapolitan sudah terakomodasi pada RDTR dan RZWP3K. Seperti telah dijelaskan, minapolitan bisa dibedakan menjadi dua bagian, ialah: minapolitan perikanan tangkap dan minapolitan perikanan budidaya. Kedua jenis aktifitas ekonomi ini memiliki dimensi keruangan yang berbeda. Produksi bahan mentah pada sistem penangkapan ikan dilakukan secara terpusat di tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Aktifitas pengolahan (pabrik es, lahan pengeringan, pengalengan) bisa dirancang pada lokasi dekat dengan pendaratan ikan. Pada kasusu budidaya (air tawar), aktifitas budidaya dilakukan secara tersebar dan banyak menjadi satu dengan lahan perumahan penduduk.
Kesimpulan Pada dasarnya minapolitan mempunyai konsep yang hampir sama dengan agropolitan yang sudah mulai dilaksanakan terlebih dahulu dan difasilitasi oleh Kementerian Pertanian – perbedaan dasar ialah pada penggerak sektor ekonomi masyarakat. Minapolitan sebaiknya dirancang untuk menumbuhkan kota-kota kecil secara mandiri dan mengurangi penumpukan penduduk di wilayah kota-kota besar di Indonesia; Proses pelaksanaan minapolitan paling tidak, mengikuti 9 (Sembilan) tahapan – saat ini telah sampai pada tahap ke-empat, ialah penetapan kawasan minapolitan secara nasional. Jumlah total kawasan minapolitan di Indonesia mencapai 223 kawasan yang tersebar pada 33 propinsi di Indonesia. Penataan ruang (zonasi) pada kawasan minapolitan seharusnya dibuat melekat (embedded) dengan sistem penataan ruang yang telah ada, seperti RDTR wilayah Kecamatan dan RZWP3K Minapolitan ialah sebuah proses yang dinamis dan siklik dengan karakteristik dasar pendekatan multi-sektor secara terintegrasi. Implementasi dari minapolitan harus selalu dievaluasi (melalui alat monitoring) untuk mengukur setiap keberhasilan atau bahkan kegagalan program. Hasil dari monitoring harus bisa digunakan sebagai dasar bagi pengelola untuk memperbaiki setiap rencana aksi (imple,entasi) berikutnya.
Daftar Pustaka Bogart, W.T., 2006. Don’t Call It Sprawl: Metropolitan Structure in the Twenty-First Century. Cambridge, Cambridge University Press. 218p. Budd, L., & S. Whimster, 2005. Global Financing: A Study of Metropolitan Change. London & New York. Taylor & Francis, 369p CMEA, 2011. Masterplan: Acceleration and expansion of Indonesia Economic Development 20112025. Jakarta, Indonesia. Coordinator Ministry of Economic Affair., 207p Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 32/Men/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep. 18/Men/2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep. 39/Men/2011 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 32/Men/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Lewis, R., 2004. Suburbs: Building Work and Home on the Metropolitan Fringe. Philadelphia, Temple University Press, 294p. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Per. 12/Men/2010 tentang Minapolitan Razin, E., M. Dijst, & C. Vazquest, 2007. Employment Deconcentration in European Metropolitan Areas: Market Forces versus Planning Regulations. Dordrecht, The Netherlands. Srpinger., 297p Salet, W., A. Thornley, & A. Kreukels, 2003. Metropolitan Governance and Spatial Planning: comparative case studies of Europian City-Regions. London, Spon Press. 406p. Soetomo, S., 2004. Urban Development as the Interface of Regional Development from Below in Central Java-Indonesia: Developing the bending of continuum rural-urban: From agropolitan of rurbanization to the metropolitan area of Sub urbanization., 40th ISoCaRP Congress, 12p