BERANDA
KOMUNIKA Editorial
Tak gampang memerangi pengangguran dan kemiskinan. Di samping permasalahannya sangat kompleks karena saling berkaitan satu sama lain, dua masalah ini juga nyaris menjadi masalah “abadi” yang sulit dipecahkan, bukan hanya di Indonesia namun juga di seluruh negara berkembang di dunia. Di Indonesia, pengangguran dan kemiskinan selalu menjadi “PR” bagi presiden terpilih, sejak pemerintahan Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Setiap presiden mengeluarkan jurus dan strategi untuk memberantas dua masalah ini. Dalam beberapa segi, berbagai strategi yang dikeluarkan memang mampu mengurangi jumlah para penganggur dan jumlah orang miskin. Akan tetapi belum mampu memberantas pengangguran dan kemiskinan secara tuntas hingga ke akar permasalahannya. Sejak mendapat mandat dari rakyat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kepeduliannya untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Tekad tersebut kemudian dirumuskan dengan strategi baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Ringkasan dari strategi baru tersebut tertuang dalam prinsip strategi tiga jalur (triple track) yakni: pro-pertumbuhan (pro-growth), pro-lapangan pekerjaan I(pro-job), dan pro-masyarakat miskin (pro-poor). Jalur pertama, pro-growth, dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Penjualan produk Indonesia ke luar negeri digenjot dengan mempermudah prosedur dan regulasi ekspor. Pemerintah juga berupaya menghapus berbagai hambatan (barrier) yang selama ini menjadi batu sandungan bagi para eksportir, baik di dalam negeri maupun di negara tujuan. Di samping itu, pemerintah terus berupaya mengundang para investor dari dalam dan luar negeri untuk menanamkan modal di Indonesia. Salah satunya yang baru saja dilakukan adalah mengundang investor di bidang infrastruktur melalui Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE) di Jakarta Convention Center November 2006 lalu. Melalui jalur ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Jalur kedua, pro-job, dilaksanakan dengan menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Geliat sektor riil diharapkan akan menimbulkan efek domino (multiplier effect) berupa meningkatnya kebutuhan tenaga kerja, sehingga angkatan kerja yang ada dapat terserap. Aktivitas sektor riil juga dapat menjadi lokomotif yang dapat menyeret gerbong pergerakan barang dan jasa sehingga membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk terl ibat di dalamnya. Dengan meningkatnya aktivi tas sektor riil, jumlah pengangguran secara otomatis dapat dikurangi. Adapun jalur yang ketiga, yakni pro-poor, diwujudkan dalam berbagai strategi yang langsung berhubungan dengan peningkatan pendapatan masyarakat akar rumput (grass root) yang rata-rata hidup miskin. Strategi tersebut dilaksanakan dengan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi perdesaan. Sebagai negara agraris, revitalisasi pertanian merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Jika selama ini sektor pertanian belum mampu menjadi andalan, maka ke depan sektor ini harus diubah menjadi tulang punggung ekonomi di perdesaan. Kehutanan perlu direvitalisasi sehingga mampu menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat di sekitar hutan tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan. Sedangkan di sektor kelautan sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, bahkan boleh dikatakan terbesar di Asia, namun belum didayagunakan secara maksimal. Ke depan, sektor ini diharapkan dapat terus ditumbuhkembangkan menjadi penyangga (buffer) ekonomi nasional. Pemerintah terus melakukan dan mencari langkah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai senjata memerangi pengangguran dan kemisknan. Anggaran yang dialokasikan untuk mengurangi kemiskinan jumlahnya terus meningkat. Tahun 2004 berjumlah Rp18 triliun, tahun 2005 meningkat menjadi Rp23 triliun, tahun 2006 Rp42 triliun dan tahun 2007 mendatang meningkat lagi menjadi Rp 51 triliun. Dalam setahun terakhir, terdapat penurunan pengangguran hampir 1 juta, dari total 11 juta menjadi 10 juta. Sayangnya, laju pertumbuhan angkatan kerja per tahun baru mencapai 1,5 juta orang. Maka, seperti disampaikan presiden usai rakor khusus membahas langkah-langkah bersama mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja bersama 12 menteri bidang ekonomi dan 6 gubernur se-Jawa di Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (14/12), kita harus melakukan langkah-langkah sangat gigih, sistematis, dan sangat terarah untuk sekali lagi menciptakan lapangan kerja tersebut. Sejumlah langkah nyata telah, sedang, dan terus diupayakan. Pengalaman banyak negara, juga pengalaman bangsa Indonesia, mengurangi kemiskinan dan pengangguran memang bukan langkah mudah. Dalam Kongres ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) XVI di Manado, 18 Juni lalu, Presiden SBY menegaskan, fokus mengurangi pengangguran dan kemiskinan ini semata bukan persoalan moral obligation, akan tapi juga persoalan keadilan. Karena itu pemerintah terus mengupayakannya secara gigih.
Segenap Pimpinan, Staf dan Karyawan Departemen Komunikasi dan Informatika Mengucapkan Turut Berduka Cita Atas Meninggalnya
Bp. Mayjen TNI (Purn.) M. Idris Gassing Inspektur Jenderal Depkominfo Semoga Arwah Beliau Diterima di Sisi Tuhan Yang Maha Esa dan Keluarga yang Ditinggalkan Diberi Kekuatan dan Ketabahan
2
Diterbitkan oleh: Tata Tertib Pendirian Tower Dunia teknologi komunikasi akhir-akhir ini berkembangnya sangat cepat. Pun termasuk dalam teknologi telepon seluler. Saat ini sedikitnya ada tiga perusahaan seluler yang terbilang dominan menguasai pasar di bidang teknolo gi komunikasi. Mereka dengan gencarnya melakukan berbagai terobosan terbaru. Pendirian tower merupakan salah satu manuver yang dilakukan oleh perusahaan seluler tersebut dengan tujuan untuk memberikan daya tangkap sinyal yang lebih kuat. Namun, apa jadinya jika pendirian tower tersebut tidak diawasi oleh pemerintah. Yang ada adalah banyak pemandangan tower yang berdiri tidak pada tempatnya. Masing-masing provider telekomunikasi akan berlomba-lomba membangun tow er untuk menambah pangsa pasar mereka. Dan tentu saja yang paling merasakan akibat pendirian tower liar tersebut salah satunya adalah tempat-tempat pariwisata, seperti Candi Borobudur atau tempat-tempat lain yang kental dengan pemandangan alam. Dan terkadang ditemukan pendirian tower liar menggunakan booster , penggunaan booster ini sangat mengganggu pengguna frekuensi lainnya. Harusnya penggunaan booster tanpa ijin ini harus ditertibkan. Semoga dari pihak pemerintah dapat menyikapi serta mengawasi dan bahkan dibuatkan Undang-undang tentang adanya pendirian tower-tower yang dilakukan oleh perusahaan teknologi komunikasi tersebut. Radjab Malawat
[email protected]
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika Penanggungjawab: Kepala Badan Informasi Publik Pemimpin Redaksi: Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Wakil Pemimpin Redaksi: Sekretaris BIP dan Para Kepala Pusat di BIP Sekretaris Redaksi: Richard Tampubolon Redaktur Pelaksana: Nursodik Gunarjo Redaksi: Selamatta Sembiring, Tahsinul Manaf, Soemarno Partodihardjo, Sri Munadi, Effendy Djal, Ridwan Editor/Penyunting: Illa Kartila, MT Hidayat, Dimas Aditya Nugraha Pracetak: Farida Dewi Maharani Desain D Ananta Hari Soedibyo Riset dan Dokumentasi Maykada Harjono K.
Pendidikan Masyarakat
Melek
Media
Untuk
Saya bingung dengan penyiaran di Indonesi a. Dari tiga pihak yang bersinggungan langsung – pemerintah, pengelola televisi, dan masyarakat – tak ada yang bisa dimintai pertanggungjawabannya tentang buruknya kualitas penyiaran Indonesia. Pemerintah tampak masih kebingungan dalam mencari solusi penyelesaian. Masih takut membuat aturan yang tegas dalam mengakomodir semua kepentingan. Terbukti “hanya“ menyerahkan semua perihal penyiaran pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara KPI masih mengandalkan semuanya pada laporan masyarakat. Baru bisa ”bergerak” setelah mendapat aduan ketidakpuasan dari para penonton. Padahal masyarakat Indonesia, menurut saya, masih banyak yang belum melek media. Masih gampang terbaw a arus tayangan yang disajikan matang oleh para pengelola teve. Belum mampu untuk menyeleksi tayangan yang layak untuk ditonton. Pihak pengelola teve sebagai sebuah industri tentu saja lebih berorientasi profit dalam membuat tayangan. R ating – sayangnya, hanya merupakan hasil karya sebuah lembaga survey yang tentu saja masih bisa diperdebatkan- seakan menjadi ”tuhan” yang menjadi patokan dalam membuat program. Dalihnya tentu saja, banyak penonto n yang suka dengan tayangan tersebut, terbukti dengan rating acara. Dengan alasan-alasan yang dibuat, baik oleh pemerintah, masyarakat, dan pengelola teve, tampak tak ada yang bisa dimintai pertanggunganjawab tentang rusaknya siaran televisi Indonesia. Masing-masing dengan argumennya. Sebagai solusi yang paling mungkin, bagi saya, ada di dua pihak, pemerintah dengan memperkuat aturan penyiaran atau paling tidak lebih mendetilkan aturan yang ada. Dan masyarakat dengan meningkatkan literasinya. Pengelola teve sebagai sebuah industri
Alamat Redaksi: Jl Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail:
[email protected]
desain cover: ahas. foto: goen
Strategi Triple Track Gempur Pengangguran dan Kemiskinan
Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi KomunikA dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.
mungkin hanya dapat diharapkan kesadarannya. Sebagai masyarakat, saya memi nta kepada pemerintah agar turut membantu meningkatkan standar literasi atau melek media. Depkominfo mungkin dapat berperan lebih banyak dalam mendidik masyarakat agar melek media. Dengan kampanye penyadaran publik, misalnya.
[email protected]
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
KESRA
KOMUNIKA
Tesa 129 Foto:ides
Fasilitas Curhat dan Perlindungan Hak Anak
Anita (10), yang seharusnya ceria bermain dengan teman-temannya, hari itu terlihat sedih, menangis tak berdaya dalam pelukan ibunya. Bocah kecil itu tampak kuyu. Sekujur tubuhnya biru lebam akibat pukulan sapu lidi ayah angkatnya.
S
Foto:dan
etiap hari pukulan sapu lidi tidak pernah absen tertoreh di tubuhnya. Kesulitan Anita untuk menghafal dan belajar membuat ayah angkatnya naik pitam. Setiap kali Anita salah dalam menghafal pelajaran, selalu ditimbali dengan pukulan. Apa yang terjadi kemudian? Bukan kemudahan menelaah dan menghafal pelajaran yang didapat Anita, sebaliknya dia justru semakin sulit menghafal. Ketakutannya pada sanksi fisik yang diterapkan ayahnya, membuatnya semakin sering berbuat kesalahan. Ironisnya, hal ini membuat dia mendapat semakin banyak pukulan. Rini, sang ibu yang sudah berusaha melindungi, tidak berd a y a , t i d a k mampu berbuat apa-apa.
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
Sangat tidak logis, kesalahan Angka 80 persen tersebut menunjukkan kecil harus dibayar dengan luka. kekerasan dalam keluarga menjadi Bukan hanya luka fisik, nadominan, permasalahan mun juga luka psikoloekonomi, disfungsi kegis, trauma berkel uarga, dan panpanjangan yang dangan salah me"Saya harus berdampak pangenai posi si bagaimana, anak saya sering da perkemanak menjadi menjadi sasaran kemarahan bangan jiwa penyebab timayahnya, apa yang harus saya anak kelak. bulnya kekelakukan? saya tidak tega melihat rasan terhaMengapa Terjadi? memar di sekujur tubuh anak saya, dap anak. Mengapa kekerasan "Sel ama tapi saya tidak bisa terhadap anak masih terus ini banyak termencegahnya", ucap Rini (32 terjadi? Hal ini terkait dejadi kekerasan tahun) melalui telepon diikuti ngan kultur sebagian mapada anak akisuara isak tangis, melalui syarakat yang masih mengbat anak diangTESA 129 Jakarta. anggap bahwa kekerasan megap sebagai hak rupakan bagian dari proses pendimi lik. Akibatnya, dikan yang dibutuhkan untuk menorangtua maupun disiplinkan anak. Anak yang nakal dan orang dewasa lainnya mesusah diatur kadang dijadikan alasan pemrasa berhak memperlakukan anakbenaran bagi orangtua untuk melakukan tin- anak mereka sesuka hatinya," ungkap Sekjen dakan kekerasan terhadap anak (child abu- Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka se). Hal ini diperparah dengan masih adanya Sirait. anggapan di tengah masyarakat bahwa masaIronisnya, jumlah kasus pelanggaran terlah mendidik anak adalah masalah internal hadap hak anak ini terus meningkat dari takeluarga. Kasarnya, mau dibikin apa seorang hun ke tahun. Arist mengungkapkan, diperanak, itu hak prerogatif orangtua. Anggapan kirakan jumlah kasus pelanggaran hak anak semacam ini bukan saja membuat orangtua tahun ini mencapai angka 13,5 juta, pelangmenjadi "superbody" bagi anak, namun se- garan ini terdiri atas tindak kekerasan, tidak cara tidak langsung juga mengu- dipenuhinya hak atas kesehatan, pendidikan, rangi hak anak untuk tumbuh ekonomi, dan juga hak-hak sosial lainnya. dan berkembang secara wajar. Persoalan Telepon Sahabat Anak anak yang maTelepon Sahabat Anak (Tesa) 129 merusih dianggap se- pakan wujud kerja sama antar departemen bagai masalah in- di antaranya Kementerian Pemberdayaan tern keluarga perlu Perempuan, Departemen Sosial, Departediwacanakan dalam men Komunikasi dan Informatika, lembaga ruang publik, sehing- pemerintahan terkait dan beberapa NGO ga intervensi komunitas yang berkonsentrasi di bidang perlindungan terhadap persoalan ini hak anak. Sebagai media pelayanan publik, menjadi lebih terbuka. Tesa 129 berupaya memberikan perlindungMengapa hal itu an yang terkonsentrasi pada perlindungan perlu dilakukan? Karena anak dari tindakan fisik, psikis dan seksual, pelaku child abuse perlakuan diskriminatif baik gender, suku, ras, bukan orang asing. Se- agama, maupun sosial-ekonomi. Layanan tersebut kini baru diluncurkan bagian besar justru di dua kota, yakni Jakarta dan Banda Aceh. dari keluarga sendiri. Seperti diung- Selanjutnya akan dibangun pula di Makassar kapkan Elly Yulian- dan Surabaya. Layanan bebas pulsa lokal Tesa dari, konselor Savy 129 yang beroperasi 24 jam ini merupakan Amira, sekitar 80 jawaban atas rekomendasi PBB bahwa sepersen tindak ke- mua anak harus memperoleh layanan yang kerasan yang me- mengakomodasi kebutuhan dunia mereka. nimpa anak-anak Praktiknya mirip layanan call center. Di ujung ternyata dilaku- telepon tersedia puluhan tenaga sukarela kan oleh pihak yang terdiri atas beragam profesi, yang keluarga sendiri, memberikan konsultasi gratis masalah anak. Mengapa Tesa diperlukan? Karena pada 10 persen terjadi di ling- banyak kasus, terdapat kecenderungan korkungan pen- ban atau saksi mata enggan menceritakan didikan, dan hal yang dialami secara terbuka. Beberapa 10 persen la- kasus, jika diungkap secara terbuka, akan innya dila- mencemarkan nama baiknya atau keluargakukan ol eh nya. Dalam kasus lain, pelapor takut bila menorang yang t i d a k ceritakan akan mendapat ancaman. Oleh m e r e k a karena itu, terobosan melapor melalui telepon secara anonim (tanpa memperlihatkan kenal.
identitas) diharapkan akan membuat mereka yang secara langsung maupun tidak langsung melihat tindak kekerasan terhadap anak merasa aman dan nyaman untuk menceritakan permasalahan tersebut. Selain sebagai media pengaduan dan konseling, Tesa juga memberikan informasi kepada masyarakat sebagai upaya preventif dalam mencegah terjadinya kasus-kasus tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak lainnya. Melalui jaringan kerja sama lintas instansi, Tesa 129 diharapkan dapat memberikan informasi tentang instansi terkait yang dapat dijadikan rujukan. Di Banda Aceh, Tesa lebih ditekankan untuk membantu anak korban kekerasan, pelecehan, trauma, perceraian dan konflik politik. "Isu seperti penelantaran, kekerasan, eksploitasi dan perdagangan anak, pemisahan anak dari keluarga dan pelanggaran hukum memerlukan perhatian besar pasca bencana tsunami. Tesa merupakan salah satu jalan keluar agar anak mudah mendapatkan dukungan dan pertolongan," kata Richard Sandison dari Plan International. Saat Tesa diluncurkan di Banda Aceh 23 Juli 2006, tanggapan dari masyarakat masih sepi karena adanya kendala aksesibilitas seperti belum pulihnya sarana telekomunikasi. Namun sejak November 2006, setelah sosialisasi dilaksanakan secara intensif dan diikuti dengan perbaikan jaringan telepon, berbagai pengaduan mulai masuk. Kendati demikian, hingga saat ini belum ada kasus besar yang dilaporkan, kebanyakan berupa 'curhat' seputar masalah trauma anak pasca bencana tsunami. Sedangkan di Jakarta, sejak diluncurkan Tesa langsung mendapat respon dari masyarakat. Seperti kasus Rini (bukan nama sebenarnya) di atas, kebingungan dan ketakutan yang dihadapi Rini, membawa ibunya untuk mengkonsultasikan masalah tersebut ke Tesa 129. Ia menceritakan semua kejadian yang menimpa anaknya. Perlakuan ayah angkat yang membawa luka psikis mendalam bagi ibu dan anak ini akhirnya dapat dihentikan berkat Tesa 129. Satu lagi yang telah memanfaatkan Tesa adalah Ratno (15 thn, juga bukan nama sebenarnya), remaja yang terperangkap dalam lingkaran kemiskinan. Kehidupan keluarganya yang fakir miskin, membuat dia tidak bisa melanjutkan keinginan dia untuk bisa terus belajar dan mencapai cita-citanya. Dia harus bekerja sebagai pengamen jalanan untuk membantu menyekolahkan adik-adiknya. Dia mencoba mencari teman bicara yang sekaligus dapat memberikan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Melalui Tesa 129, Ratno dirujuk ke dinas pendidikan setempat untuk dapat melanjutkan sekolah melalui paket B. Dalam kehidupan berbangsa di mana anak cucu merupakan penerus, permasalahan tindak kekerasan terhadap anak harus dijadikan permasalahan bersama, menjadi tanggungjawab bersama. Mulailah dari keluarga sendiri untuk mendidik anak secara proporsional dan menjauhkan kekerasan apapun bentuknya. (dw)
3
KESRA
KOMUNIKA Potret Perempuan di Pulau Lombok
Perjuangan Mencari Kesetaraan ‘’Saya harus tunggu dulu suami saya bekerja di Malaysia, baru saya bisa bekerja lagi,’’ ujar Anik (23). Setelah Seni (27), suaminya, diangkut pesawat udara beberapa pekan lalu, ia pun masih gelisah. Belakangan, SMS sang suami yang menyebutkan pekerjaan sudah diperolehnya, barulah Anik lega. Ia pun bisa bekerja kembali jadi pembantu rumah tangga (PRT). MENJADI PRT memang pilihan paling rasional bagi Anik. Bekal ijazah SD membuat ibu satu anak ini tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik. Di desanya, di kawasan Lombok Timur, bekerja ngerampek (panen padired) hanya diganjar upah Rp8.000 sehari. Kalau ditotal sebulan, upahnya hanya mencapai Rp240.000,00. Itu pun tak selamanya ada peluang, karena mesti berebut dengan beberapa sejawatnya yang mencoba mencari penghasilan sampingan. Tentu saja, upah tersebut tidak cukup sekadar untuk makan. Kalau jadi PRT, Anik tak perlu lagi memikirkan masalah makan, bahkan penghasilan sebesar Rp250.000 bisa langsung ditabung. Apa yang dilakukan Anik merupakan gambaran kemandirian perempuan di tengah himpitan ekonomi yang kurang bersahabat. Ia sendiri mengaku tidak harus menunggu kiriman penghasilan suaminya sebulan sekali, karena ada bekal hidup hasil keringatnya. Anik hanyalah satu contoh dari sekian ribu perempuan di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berusaha bertahan hidup. Namun, sayangnya upaya Anik ini, dalam beberapa kesempatan justru dijadikan "pembenaran" sang suami untuk tidak memberikan nafkah, lantaran gaji sang suami dikirimkan langsung ke rekening kakak iparnya. Itu artinya Anik hanya mengandalkan pekerjaan sebagai PRT untuk menyambung hidup, sembari menunggu kedatangan suaminya dua tahun lagi.
Foto: imagebank
Masih Terpinggirkan Data statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa perempuan merupakan mayoritas penduduk di NTB, 52 persen dari sekitar 4,2 juta total penduduk. Namun, jumlah besar tak serta merta menunjukkan perhatian yang cukup besar pula dari masyarakat. Kerap kali dalam setiap aspek kehidupan perempuan cenderung terpinggirkan. Permasalahan gender bisa dikatakan merupakan permasalahan yang sensitif di NTB. Sebagian masyarakat, termasuk kalangan elit dan terpelajar melihat konsep gender sebagai produk kebudayaan barat yang bertentangan dengan budaya setempat. Cara pandang inilah yang kemudian tercermin dalam semua segmen kehidupan. Perempuan dalam adat dan tradisi Sasak, suku asli di Lombok, berada pada kedudukan yang lemah. Dalam naskah Kotaragama yang menjadi referensi masyarakat Sasak, ada tiga hal yang patut digarisbawahi, yaitu pertama, perempuan tidak punya hak menjadi pejabat, kedua, perempuan tidak punya hak menjadi saksi dan ketiga, perempuan Sasak, tidak memiliki hak untuk terlibat dalam musyawarah-musyawarah adat.
4
Ketiga hal ini berarti perempuan tidak bisa menjadi pengambil dan penentu kebijakan serta tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan. Semua ini menempatkan perempuan dalam posisi yang termarginalkan. HL Agus Faturrahman, seorang Budayawan Sasak mengatakan, garis keturunan Suku Sasak menganut sistem patrimonial yang menempatkan laki-laki sebagai penerus keturunan. Masalah penerus keturunan ini berkaitan erat dengan hak waris, dimana perempuan tidak berhak menerima waris karena tidak menjadi garis penerus keturunan. Dalam peraturan pemerintahan Sasak sebelum masuknya Agama Islam, perempuan Sasak mendapat warisan seisi rumah sedangkan laki-laki mendapat rumah, sehingga jika terjadi perceraian perempuan harus meninggalkan rumah. "Tapi setelah masuknya Islam, justru terjadi penafsiran ajaran agama secara salah sehingga perempuan setelah bercerai malah tidak mendapatkan apa-apa," jelas Faturrahman. Ketika terjadi perceraian, perempuan tidak mendapatkan hak secara ekonomi, padahal keluarnya perempuan dari rumah kerapkali membawa serta anaknya, dan akhirnya menanggung beban hidup keluarga. Menurut Agus Patria dari Biro Hukum Setda Pemprop NTB, laki-laki di Lombok seringkali meninggalkan tanggung jawab untuk memberikan nafkah bagi keluarganya. Penafsiran budaya juga membawa dampak besar terhadap lahirnya praktek ketidakadilan lainnya. Budaya Pesaji, misalnya, menurut budayawan Sasak, M Yamin, dikenal di Lombok untuk menegaskan bahwa seorang istri dan anak perempuan tidak boleh makan sebelum suami atau anak laki-laki makan terlebih dahulu. Anak perempuan mendapat sisa ayah dan saudara laki-lakinya, sedangkan istri menunggu sisa dari anak. Begitupun dalam hal pendidikan. Orangtua merasa anak perempuan tidak perlu pendidikan tinggi, karena, toh, setelah menikah menjadi milik laki-laki. Akibatnya tingkat partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan sangat rendah dan angka putus sekolah perempuan terhitung tinggi. Tindak Kekerasan Termarginalkannya posisi perempuan dalam adat dan budaya menimbulkkan diskriminasi terhadap perempuan itu sendiri. Minimnya kesempatan perempuan untuk berpartisipasi aktif di ranah publik menyebabkan kehidupan perempuan seperti jalan ditempat. Keyakinan orang tua, bahwa tugas perempuan adalah menikah, mengurus rumah tang-
ga dan melahirkan penerus keturunan men ye-bab kan p eremp uan su lit men dapat kesemp atan mengen yam pendidikan. Satu akibat yang pasti, minimnya pendidikan perempuan menyebabkan mayoritas perempuan tergantung penuh kepada laki-laki sepanjang hidupnya. Sekalipun mampu “berdaya” pada sektor ekonomi non formal dan menjadi tulang punggung keluarga, namun belenggu adat dan tradisi tetap menyulitkan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya secara mandiri. Pada gilirannya, semua ini turut mendorong munculnya beragam kekerasan terhadap perempuan. Data angka kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan mencapai puncaknya pada tahun 2004, sebanyak 1280 kasus. Peningkatan ini bisa dimaknai secara positif atas mulai munculnya kesadaran perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya semakin tinggi. Padahal, banyak perempuan NTB sejak dini dicekoki pemahaman agama bahwa melawan suami apalagi membuka aibnya adalah dosa besar, sehingga mereka memilih untuk merahasiakan tindak kekerasan yang dialaminya. Selain itu, angka ini juga dapat dimaknai adanya respon positif atas kebijakan perlindungan terhadap perempuan dengan kegiatan utama advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Memberdayakan Perempuan Pemerintah bukannya menutup mata terhadap semua permasalahan perempuan yang ada di Lombok. Di bidang kesehatan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebanyak 45 miliar, yang sebagian besar digunakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan demi menurunnya AKI dan Angka Kematian Balita (AKB) serta penanganan gizi buruk. “Untuk anggaran kesehatan, NTB juga mendapat dana hibah dari lembaga-lembaga donor untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya, kesehatan ibu dan bayi, khususnya,” kata Kepala Bagian Kesehatan Biro Kesejahteraan Sosial Setda Propinsi NTB, Rohmi Khoiriyati SKM Msi. Masih menurut Rohmi, pemerintah sendiri, khususnya Biro Kesos banyak melakukan kerjasama dengan Pusat Studi Wanita untuk melakukan berbagai penelitian
dan kajian terkait kondisi perempuan Lombok. “Misalnya penelitian tentang gizi buruk yang dikaitkan dengan perilaku ibu, seperti posisi tawar ibu dalam keluarga, jumlah anak dan pola asuh yang baru-baru ini dilakukan,” katanya. Untuk program pemberdayaan perempuan sendiri, Pemerintah Provinsi NTB termasuk dalam sejumlah provinsi yang mendapat dana stimulan dari pemerintah pus at, yaitu mel alu i Kem enter ian Pemberdayaan Perempuan. Setiap tahun, sejak tahun 2001, Pemerintah Provinsi NTB mendapat kucuran dana kurang lebih sebesar Rp. 812 juta, yang dikelola oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan, Tenaga Kerja dan Keluarga Berencana, Biro Kesos Setda NTB. Dari informasi yang berhasil dikumpulkan KomunikA, sebagian besar dana tersebut digunakan untuk sosialisasi tentang program Pengarusutamaan Gender bagi stake holder, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Untuk program pemberdayaan perempuan sendiri, pemerintah memposisikan diri sebagai koordinator yang menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga seperti LBH Apik, LPA NTB, dan LSM lainnya yang lebih banyak bertindak sebagai eksekutor program pemberdayaan perempuan di masyarakat. Perubahan Pola Pikir Beberapa waktu lalu saat Puncak Peringatan Hari Ibu ke 78 di Taman Mini Indonesia Indah, Presiden SBY menyerukan agar perempuan mensejajarkan dirinya dengan pria, karena pada dasarnya perempuan juga memiliki potensi sebagai aset pembangunan dan berhak untuk menikmati hasil pembangunan. Bahkan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono mengajak semua untuk membudayakan kesetaraan dan keadilan gender sebagai misi dari kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam memberdayakan perempuan Indonesia di segala bidang. Tapi pada prakteknya membudayakan kesetaraan dan keadilan gender membutuhkan proses panjang karena merupakan proses perubahan pola pikir. Pola pikir harus diubah agar perempuan bisa mendapatkan haknya untuk menikmati pembangunan. Seperti seorang Anik. Mungkin Anik tidak mengerti apa itu gender, dia hanya berpikir untuk tidak terlalu tergantung dengan suami. Dan dia yakin dia mampu berdikari. Berbeda dengan sang suami, yang justru menilai mampunya Anik menghidupi diri menyatakan bahwa dia tidak perlu memberinya nafkah lagi, sehingga dia bisa mengirimkan hasil kerjanya pada keluarga besarnya. Karena itu, perubahan pola pikir seorang perempuan juga harus mendapat dukungan dari laki-laki. Laki-laki harus mengerti bahwa dengan berdikari bukannya perempuan tidak membutuhkan laki-laki. Seperti juga laki-laki, perempuan memiliki kebutuhan akan aktualisasi diri, tanpa melupakan keluarga. Jika perubahan pola pikir seorang perempuan untuk memperjuangkan dan mendapatkan hak-haknya mendapat dukungan penuh dari pria, barulah bisa dikatakan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, seperti yang selalu didengungdengungkan selama ini. (Ids/dari berbagai sumber)
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
PEREKONOMIAN
KOMUNIKA
Siang terik yang berdebu, Desa Nanga Badau tampak seperti desa mati. Senyap. Tak tampak kendaraan berlalulalang. Di rumah-rumah panggung yang bertebaran di kanan-kiri jalan hanya tampak beberapa perempuan dan anak-anak sedang duduk sambil mencari kutu. Mengapa suasana begitu sepi?
P
dhoyono, pembalakan liar (illegal logging) marak di wilayah Kapuas Hulu, bukan hanya di Badau tapi juga di kecamatan-kecamatan lain. “Bapak lihat sendiri, hutan di sini sama sekali habis,” tuturnya sambil menuding bukit-bukit gundul sekeliling desanya. Saat itu, urainya, ekonomi Badau meningkat dengan sangat pesat. Banyaknya warga setempat yang bekerja di sektor perkayuan, baik itu menjadi pengusaha, pengepul maupun penebang, membuat pendapatan warga melonjak. “Banyak warga bisa membeli kendaraan roda empat dan barang-barang elektronik mahal lainnya. Sekarang bekasnya pun masih ada. Bapak lihat sendiri di Badau ini banyak sekali mobil sekelas Pajero dibiarkan teronggok rusak. Itu mobil-mobil peninggalan jaman illegal logging dulu,” tuturnya. Sekarang, keadaannya berbalik 180 derajat. Begitu illegal logging diberantas oleh pemerintahan Presiden Yudhoyono, cukong-cukong kayu yang kebanyakan warganegara Malaysia kabur. Warga setempat menghentikan aktivitas pembalakan liar, namun yang terjadi banyak di antara mereka yang kemudian menjadi penganggur. Aktivitas perekonomian yang semula sangat tergantung pada bisnis kayu ilegal, secara drastis melambat dan kemudian berhenti total. “Sekarang jangankan toko, warung nasi pun jarang yang buka karena yang beli tidak ada,” kata Florensius. Maka jadilah Badau sebagai desa mati, kembali seperti jaman baheula. Adapun kehidupan perekonomian masih dapat berdenyut karena masih ada ringgit yang dibawa pulang para pelintas batas dari kebunkebun sawit negeri tetangga. Tergantung Negara Tetangga Kepala Sub-Bidang Perencanaan dan Pemberdayaan Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Barat Sahat Sinaga, dalam Workshop Pembangunan Daerah Perbatasan di Pontianak beberapa waktu lalu menyatakan, kondisi masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia jauh tertinggal. Perekonomian di daerah sepanjang sekitar 800 kilometer kini nyaris semuanya dikuasai pengusaha-pengusaha Malaysia, sementara perekonomian warga setempat tak berkembang. "Penguasaan" bukan berarti para pengusaha Malaysia melakukan ekspansi ke wilayah Indonesia, akan tetapi berupa ketidakmampuan warga setempat untuk mengelola ekonomi mereka sendiri secara swakarsa dan swasembada, yang pada akhirnya membuat ketergantungan mereka terhadap barang dan jasa asal negeri jiran sangat tinggi. Jangankan bahan pokok, sekadar butuh korek api pun mereka harus membeli dari Malaysia. “Tidak berkembangnya ekonomi daerah perbatasan di Kalbar karena beberapa waktu lalu pendekatan yang dilakukan hanya dari aspek keamanan. Pendekatan ini mem-
Foto: Gun
ertanyaan itu segera menyergap, saat KomunikA menyusuri Nanga Badau, Kec Badau, Kab Kapuas Hulu, Kalbar, bulan September lalu. Maklum, dua tahun lalu suasana desa di perbatasan RI-Malaysia itu begitu marak oleh aktivitas manusia. Dulu warungwarung nasi berjubel pembeli, pasar ramai, kendaraan baik roda empat maupun roda dua hilir mudik di jalanan. Tapi kini suasananya begitu berbeda. Selain sunyi, juga tak tampak laki-laki nongkrong atau beraktivitas. Ke mana para lelaki pergi? “Bapak sedang bekerja di kebun sawit,” kata seorang ibu yang sedang mencari kutu rambut anaknya, saat KomunikA menanyakan apakah suaminya ada di rumah. Tuntas sudah pertanyaan mengapa suasana Nanga Badau di siang hari tampak seperti “desa janda.” Rupanya hampir semua lelaki di desa itu bekerja di kebun kelapa sawit. Tapi jangan salah, mereka bekerja bukan di wilayah Indonesia melainkan di Serawak, Malaysia. Pertanyaan lain segera menyergap: Mengapa harus ke Malaysia, apakah di Badau tidak cukup tersedia lapangan kerja sehingga mereka berbondong-bondong melintas batas? Napsih (25), ibu yang sedang mencari kutu itu, menggelengkan kepala saat KomunikA mencoba menanyakan perihal ketersediaan lapangan pekerjaan di desanya. “Tidak ada lapangan kerja di sini. Semenjak para tauke kayu meninggalkan desa ini setahun lalu, ekonomi Badau seperti terhenti. Warung-warung tutup, pasar sepi. Uang sangat sulit didapat, sehingga ketika kebun kelapa sawit di sebelah (maksudnya negara tetangga Malaysia—Red) membuka lowongan pekerjaan, hampir seluruh lelaki di desa ini mendaftarkan diri dan diterima,” ujar perempuan asli Jawa Tengah ini. Banyaknya warga yang bekerja di kebun kelapa sawit di Serawak Malaysia itu dibenarkan Sekretaris Kecamatan Badau, Florensius Kanyan. "Setelah pembalakan liar di Kecamatan Badau berhenti, banyak warga yang alih profesi menjadi buruh harian di kebun kelapa sawit Malaysia," ujarnya. Ia bercerita, beberapa tahun sebelum pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yu-
Mengharap Hujan Emas di Negeri Sendiri
Stasiun pengisian BBM Lubok Antu, Serawak, Malaysia. Sebagian warga Kec Badau Kab Kapuas Hulu Prov Kalbar lebih suka membeli BBM dari sini.
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
buat aspek kesejahteraan masyarakat menjadi terabaikan,” katanya. Diakui Sahat, pendekatan keamanan memang sudah berakhir seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, namun kegiatan perekonomian di daerah perbatasan justru semakin memprihatinkan. Perdagangan ilegal merajalela tanpa bisa dicegah. Begitu pun penyelundupan mengalir deras dari Malaysia, yaitu berupa barang kebutuhan sehari-hari maupun dari Indonesia berupa hasil hutan dan pertanian. Ketergantungan masyarakat perbatasan Kalbar kepada Malaysia menjadi tinggi, karena mereka mendapatkan suplai barang-barang kebutuhan dari sana. “Pihak yang paling dirugikan adalah Kalbar, karena hampir semua kekayaan hutan di daerah ini diperdagangkan secara ilegal. Dari Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu saja, dulu setiap hari ada sekitar 130 truk bermuatan kayu dan melalui Entikong, Kabupaten Sanggau, ada sekitar 100 truk bermuatan kayu yang diselundupkan ke Malaysia. Sementara nyaris seluruh kebutuhan pokok disuplai melalui 'jalan-jalan tikus' dari Malaysia,” ujarnya. Kendati sekarang illegal logging sudah berhenti, toh bukan berarti ketergantungan kepada negara tetangga Malaysia ikut berhenti. Justru kekosongan aktivitas perdagangan telah membuat masyarakat setempat makin tergantung kepada Malaysia. Bayangkan, untuk mendapatkan bahan makanan pokok seperti beras, gula, BBM dan barang konsumsi lainnya, masyarakat Badau membeli dari Lubok Antu, Serawak. “Jaraknya lebih dekat dan transportasinya lebih lancar,” kata Kutjai Apin, warga Badau. “Jika membawa dari ibukota kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau, selain jaraknya lebih jauh, harganya juga lebih mahal.” Tak pelak, di sektor ekonomi ini negara tetangga lebih dilirik daripada negara sendiri. Lebih-lebih setelah belakangan ini makin banyak warga Badau bekerja di perkebunanperkebunan kelapa sawit Malaysia, secara ekonomis ketergantungan mereka terhadap negara tetangga juga semakin tinggi. “Kebanyakan ketertarikan warga Indonesia untuk bekerja di Malaysia adalah karena gaji yang lebih besar. Sebenarnya hanya sekitar 200-500 ringgit sebulan, tapi kalau dirupiahkan jumlahnya menjadi besar,” kata Wijayakusuma, peneliti senior di Universitas
Foto: Gun
Ekonomi Perbatasan
Kondisi warga perbatasan Kalbar-Malaysia di Kec Entikong, butuh perhatian serius. Tanjungpura, Pontianak di sela-sela Seminar Penge-lolaan Isu Publik Daerah Perbatasan di Hotel R ed Top Pecenongan Jakarta pertengahan Desember lalu. Hal yang sama terjadi di Nunukan dan Malinau, Kaltim. Di dua kabupaten yang berbatasan dengan Sabah Malaysia ini, ketergantungan warga RI secara ekonomis terhadap negara tetangga terlihat dengan banyaknya mata uang Ringgit Malaysia (RM) yang beredar di pasaran. Karena transaksi lebih sering terjadi dengan pihak Malaysia, maka konsekuensinya RM lebih banyak dipergunakan daripada rupiah. "Saya kira, semua tak akan terjadi jika pemerintah terus membangun wilayah perbatasan, sehingga kondisinya bisa seimbang dengan negara tetangga," kata Wijaya. Benar apa yang disampaikan Presiden Yudhoyono, bahwa kawasan perbatasan mestinya tidak lagi dilihat sebagai bagian belakang negara Indonesia, tetapi sebagai wajah Indonesia. Oleh karena itu, tak ada cara lain, pemerintah memang harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh agar ketimpangan sosial ekonomi dengan daerah lain dapat diatasi. Memang ada pepatah lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang. Akan tetapi yang menjadi harapan semua orang tentu hujan emas di negeri sendiri. Betul nggak, friend? (g)
Lain Badau, Lain Belu
L
ain lubuk, lain ikannya. Lain ladang lain pula belalangnya. Demikian pula keadaan di Badau, Nunukan dan Malinau, sangat berbeda jika dibandingkan dengan yang terjadi di Belu dan Atambua, Nusa Tenggara Timur. Jika di Badau ketergantungan warga Indonesia terhadap produk barang dan jasa dari negara tetangga sangat tinggi, maka di Belu dan Atambua justru terbalik, warganegara tetangga (Timor Leste) yang secara ekonomi sangat tergantung kepada RI. "Bahkan pejabat Timor Leste dalam sebuah forum pernah meminta warga NTT untuk membantu ekonomi Timor Leste," kata Prof. Dr. Alo Liliweri,MS, staf pengajar Universitas Nusa Cendana, Kupang dalam Seminar Pengelolaan Isu Publik Daerah Perbatasan di Hotel Red Top Pecenongan Jakarta. Menurut Prof Alo, aktivitas perdagangan terutama jual-beli bahan kebutuhan pokok di perbatasan RI - Timor Leste memang 'dikuasai' oleh pedagang-pedagang Indonesia. "Hanya sayangnya, aktivitas pasar legal lintas negara kalah ramai dibandingkan dengan pasar gelap," imbuh Alo. Salah satu sebab mengapa aktivitas perdagangan lintas negara marak terjadi di Belu
dan Atambua adalah karena adanya persamaan suku, bahasa, budaya dan hubungan kekerabatan antara warga Timor Leste dengan warga NTT. Pantauan Tim Pengelolaan Isu Aktual Daerah Perbatasan BIP di lapangan, Departemen Komunikasi dan Informatika ham pir s eluru h bar ang yang diperdagangkan di wilayah Timor Leste berasal dari NTT. Pedagang antusias memasukkan barang ke Timor Leste karena bisa menangguk keuntungan besar. Maklum harga barang-barang di Timor Leste sangat mahal. Bahkan untuk komoditas seperti BBM dan bahan kebutuhan pokok, harganya bisa naik tiga kali lipat dibandingkan dengan harga di Belu atau Atambua. "Imbasnya, aktivitas perdagangan gelap BBM dan bahan pokok banyak terjadi. Upaya pemberantasan penyelundupan sudah sering dilakukan, namun sejauh ini belum menunjukkan hasil maksimal," kata Kepala Badan Informasi dan Komunikasi Prov NTT, Drs Umbu Saga Anakaka MM. Tak pelak, tindakan tegas pemerintah untuk mengatur daerah perbatasan mutlak diperlukan. Jika tidak, perbatasan bisa menjadi pintu keluar-masuk barang ilegal, termasuk senjata api dan narkoba. (g)
5
Kawasan perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah baik untuk kepentingan nasional maupun hubungan antar negara (internasional). Secara geografis, posisi RI yang diapit oleh dua benua dan dua samudera, mempunyai batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga.
P
erbatasan langsung atau darat terdiri dari tiga negara yaitu Malaysia, Timor Leste, dan Papua New Guinea ( PNG) . Sedangkan batas laut wilayah (teritorial), landas kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) meliputi 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Timor Leste dan Australia. Sejauh ini, situasi perbatasan sangatlah kompleks, ba-
nyak permasalahan batas wilayah antar negara baik batas di darat maupun di laut yang membutuhkan perhatian lebih baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. B er bagai kebi jakan dan pend ekata n, be lum b isa menuntaskan permasalahan yang ada. Mulai kasus penyelundupan barang dan hasil bumi sampai penyelundupan manusia; dari suap menyuap sampai pelanggaran kekerasan fisik yang serius; perampasan tanah sampai konflik komunal; dari aktivitas ekonomi terbuka atau pasar untuk menjual komoditas yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, sampai aktivitas yang sifatnya tertutup seperti transaksi seks, perjudian, bahkan sampai perdagangan manusia serta gangguan keamanan. Tentunya banyak faktor yang menjadi penyebabnya, selain faktor geografis yang membuat kawasan perbatasan umumnya relatif terpencil serta kurang memiliki dukungan fasilitas publik yang kurang optimal, lantaran secara demografi jumlah penduduk yang mendiami kawasan tersebut relatif minim. Selain itu bisa jadi pelayanan publik yang wajib disediakan pemerintah seperti bidang kesehatan dan pendidikan pun acapkali belum dapat diterima secara optimal oleh warga negara di kawasan perbatasan lantaran keterbatasan sumber daya manusia dan keterbatasan pendanaan. Bayangkan, untuk menjangkau Kecamatan Badau, Kab Kapuas Hulu, Kalbar, membutuhkan waktu hampir 20 jam perjalanan darat dari Pontianak. Sementara jika melalui jalan udara melalui ibukota kabupaten, Putussibau, dibutuhkan biaya sekitar Rp700 ribu, dan tidak setiap hari ada jadwal penerbangan. Padahal sejatinya, kawasan perbatasan memiliki potensi besar dan memiliki prospek yang menguntungkan untuk dikembangkan bagi kepentingan pertahanan keamanan, pengembangan perekonomian dan berbagai kasus khusus terkait dengan permasalahan hubungan antar warga negara. Hal terakhir inilah yang menjadi krusial di kawasan perbatasan darat langsung. Berikut ini kisah dari empat kawasan perbatasan langsung darat yang menjadi lokasi Pengelolaan Isu Aktual Daerah Perbatasan oleh Pusat Pengelolaan Pendapat Umum, Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informatika. Dari Patok Batas Nasionalisme Hingga Layanan Publik Kawasan perbatasan di Kalimantan Barat mendapat sorotan pemerintah terutama di bidang pembangunan sarana telekomunikasi. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan 26 juta Euro untuk pembangunan stasiun televisi dan program komputer sekolah perbatasan, serta 8 ribu desa-desa pedalaman yang tersebar di nusantara. Ketertinggalan kawasan perbatasan antar negara diakui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Sofyan A Djalil. Dicontohkannya, kondisi perbatasan Kalbar-Sarawak sangat kontras. “Siaran televisi Indonesia sangat sulit didapatkan di Kawasan perbatasan. Pada sisi lain, siaran televisi Malaysia justru masuk dan menguasai siaran sepanjang perbatasan,” jelas Menkominfo. Kasus-kasus lain di kawasan perbatasan selama ini menyangkut pe lang gar an prosedur
Foto: Rich
LAPORAN UTAMA 6
keimigrasian (pelintas batas secara ilegal), penyelundupan barang/ orang, pencurian sumber daya alam, terutama di kawasan yang sulit/ jauh dari jangkauan pengawasan. Hal ini bisa jadi diakibatkan pula oleh adanya kenyataan masih sederhananya tanda-tanda (patok) batas daerah, sehingga dengan mudahnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab memindahkan posisi atau merusaknya karena semata-mata mereka ingin mencari keuntungan dengan mengabaikan risiko melanggar kedaulatan suatu negara. “Secara khusus, dari aspek komunikasi selama ini masyarakat perbatasan memang jauh lebih mengenal pemerintah dan kebijakan negara tetangga, sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat,” kata Drs Wijaya Kusuma MA, peneliti senior di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Mulai 2006, Pemerintah Kabupaten Sintang terus meningkatkan pembangunan infrastruktur pendidikan di kawasan perbatasan, seperti pembangunan SMPN Jasa dan SMPN Nanga Bayan Ketungau Hulu. “Upaya ini jelas akan mempengaruhi keterikatan warga kawasan perbatasan terhadap NKRI pula,” cetus Wijaya. Secara umum, lanjut Wijaya, perhatian pemerintah kepada kawasan perbatasan terkesan dengan pendekatan keamanan (security approach) dalam arti sempit. Belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat,” ungkap pengajar FISIP Untan ini. Sejalan dengan logika ini, Wijaya menyarankan adanya pendekatan prosperity/development approach pada tingkat nasional, ataupun regional development approach pada tingkat kawasan agar lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia di kawasan perbatasan. “Tokoh acuan seperti ketua adat, selama ini masih sangat dihormati dan memegang peranan sentral di lingkungan masyarakat perbatasan Kalbar,” kata Wijaya. Potensi ini merupakan hal besar yang bisa diberdayakan oleh pemerintah daerah maupun pusat guna mengembangkan berbagai kebijakan pengel olaan kawasan perbatasan. Menurut Ir Sukaliman, dari Badan Komunikasi dan Informasi Provinsi Kalimantan Barat, paradigma penanganan kawasan perbatasan sudah diubah dari pendekatan keamanan ke kesejahteraan. “Kita telah mengembangkan empat wilayah pembangunan. Kami menyebutnya dengan BDC (Border Development Centre). Kita akan bangun sekolah-sekolah unggulan, membangun rumah susun di kawasan perbatasan, dan mengembangkan KIM (Kelompok Informasi Masyarakat--red) di 5 kabupaten,” terang Sukaliman. Saat ini ada 28 KIM di wilayah perbatasan yang diharapkan menjadi sarana akses pemerintah untuk kegiatan sosialisasi kebijakan maupun penyerapan isu publik. “Sampai saat ini, kami sudah memberikan bantuan kepada tiga radio komunitas di tiga kabupaten kawasan perbatasan,” imbuh Sukaliman. Belajar dari Pengalaman Sipadan-Ligitan Kawasan perbatasan di Kalimantan Timur merupakan kawasan yang terletak di sepanjang kawasan perbatasan antara Negara Republik Indonesia dengan Negara Malaysia Bagian Timur (Sabah dan Serawak). “Ketertinggalan dengan negara tetangga secara sosial maupun ekonomi dikhawatirkan dapat berkembang menjadi kerawan yang bersifat politis secara jangka panjang. Untuk itu, diperlukan langkahlangkah percepatan pembangunan melalui pengelolaan kawasan perbatasan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga,” kata Bernardus Saragih PhD, dari Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman. Memang permasalahan perekonomian sangat mengedepan di kawasan perbatasan di Kalimantan Timur ini, lantaran tingginya harga kebutuhan sehari-hari dan keterbatasan peluang kerja. Hal ini diakui juga oleh Nurdin Ar MSi, Kepala Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Timur, yang menggambarkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan ekonomi realatif jauh dari pemukiman masyarakat di perbatasan. “Sehingga migrasi penduduk ke daerah yang berpotensi ekonomi tak terhindarkan dan pada gilirannya mengakibatkan kawasan perbatasan tidak semakin terjaga oleh masyarakat. Terutama dengan telah terbentuknya Kabupaten Malinau mengakibatkan perpindahan pejabat dan pendidik dari kawasan perbatasan atau terpencil ke daerah kota, seperti Malinau," jelasnya. Pemerintah daerah pun tengah mengupayakan cara untuk mengu-rangi perpindahan penduduk tersebut dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru seperti pembukaan isolasi per-hubungan dan komunikasi. ”Namun, kendala utama pemerintah ada-lah panjang wilayah perbatasan. Sementara itu, beberapa kawasan perbatasan adalah daerah pemekaran. Tentu saja memiliki keter-batasan sarana prasarana pelayanan publik,” imbuh Nurdin. Hal senada ditegaskan Saragih, “Lebih dari 80 persen kawasan perbatasan berupa taman nasional, hasil kesepakatan internasional tempat tersebut merupakan plasma hijau dunia. Tentu akan banyak yang protes jika dijadikan wilayah kelapa sawit,” kata dosen Fakultas Kehutanan ini. Pengembangan kawasan perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh, meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang
Edisi 20/Tahun II/Desember 20
Tapal Batas Bumi Cenderawasih Perbatasan wilayah negara Indonesia dan PNG yang membentang dari Pantai Utara sampai Selatan Papua (Jayapura-Merauke) berjarak kurang lebih 780 Km melintasi kota dan kabupaten-kabupaten: Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digoel dan Merauke. Kota Jayapura dan kabupaten Merauke lebih terbuka akses hubungan antara PNG dan Indonesia karena telah terhubung dengan jalan darat yang cukup memadai serta melalui transportasi laut dengan menggunakan motor tempel. Masalah kawasan perbatasan yang dihadapi di Indonesia bagian Barat berbeda dengan di wilayah Indonesia timur. Di Indonesia bagian Barat, masalahnya lebih kepada perubahan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Mereka lebih banyak mencari nafkah di negara tetangga (Kalimantan dengan Malaysia, Brunai Darusalam), yang memang lebih banyak menyediakan lapangan pekerjaan dan memberi jaminan kesejahteraan ekonomi lebih baik. Sebaliknya di bagian Timur Indonesia, khususnya provinsi Papua dan PNG lebih banyak mengenai faktor keamanan. “Masyarakat perbatasan pergi ke PNG karena fak-
Edisi 20/Tahun II/Desember 2006
pura. Pem erint ah se jatin ya sud ah da n ter us me la-ku kan pem bangu nan d i seg ala b idan g, sa lah s atuny a ada lah pembangunan Jalan Trans Irian yang dibangun sejajar dengan kaw asan perbatasan sehingga masyarakat di sepanjang perbatasan mulai kembali untuk mendiami kampung-kampung yang ditinggalkan sebelumnya. Selain itu pemerintah menempatkan transmigran di sepanjang Jalan Trans Irian yaitu di Arso, Sota dan Muting. Penaman modal juga telah membuka agrobisnis (kelapa sawit) dan pabrik tripleks di Asiki Kabupaten Boven Digoel yang membuka isolasi di wilayah perbatasan. Usaha-usaha pemerintah maupun pengusaha di sepanjang perbatasan Merauke mendapat sambutan dari masyarakat untuk turut serta dalam pembangunan dalam ben tuk p emuki man sukar ela d i dae rah-d aera h pro yek pembangunan sekaligus bekerja di proyek pem-bangunan tersebut. Sebab nampaknya di PNG tidak memberi akses kehidupan yang baik sehingga masyarakat perbatasan lebih cenderung untuk ke Indonesia. Pekerjaan Bersama Sementara itu Riwanto Tirtosudarmo PhD dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengingatkan kembali penanganan masalah kawasan perbatasan. “Secara umum, mungkin masalah yang muncul di Kalimantan adalah masalah ekonomi. Papua adalah masalah keamanan dan politik. Karena itu, karakteristik masalah perbatasan harus dilihat dulu, lantas bisa dipe-cahkan. Namun yang penting adalah pengelolaan opini publik di kawasan perbatasan,” tegas peneliti kawasan perbatasan ini. Berlainan dengan Negara Jepang dan Korea yang masyarakatnya homogen, Indonesia merupakan negara multietnis. Karena keberadaan kelompok masyarakat berperan cukup penting sebagai benteng hidup keutuhan negara, maka kurangnya perhatian negara terhadap mereka, dapat menimbulkan masalah tersendiri. Bagaimanapun, permasalahan yang ada di kawasan perbatasan sangatlah beragam. Tak urung, Presiden Yudhoyono pernah menegaskan bahwa kawasan perbatasan harus dilihat sebagai bagian depan bangsa Indonesia,sehingga mesti dikelola secara baik untuk mengantisi pasi tindak kejahatan lintas negara dan mengejar ketertinggalan dengan negara lain. ”Dalam persoalan kawasan perbatasan ada dua konsep besar, yakni political geography dan human teritoriarity, ” kata Profesor Sjafri Sairin PhD dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Persoalannya kemudian, me-nurut Sjafri adalah bagaimana membuat secara jelas agar political tidak mengganggu human. Ia lantas mencontohkan bagaimana perkembangan di Uni Eropa itu sangat menarik, ketika orang bi-sa melintas batas sedemikian mudah agar terbangun human relation yang bagus. ”Ini pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan pemerintah,” tegas Sjafri. Di sisi lain, kawasan perbatasan darat merupakan jalan yang mudah diakses penduduk kedua pihak. Sebagai contoh, kawasan Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Kalimantan, Papua dengan Papua Niugini, dan sekarang dengan Timor Timur di Timor Tengah Utara, Timor Barat, NTT. Masyarakat yang berdiam di kawasan perbatasan dapat berhubungan langsung dengan negara tetangga tanpa melalui prosedur yang ketat, karena melewati jalur darat langsung dan sebelumnya telah ada lalu lintas perdagangan tradisional yang sudah lama berlangsung dan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial-budaya di kawasan
Ir B Saragih MSc PhD
Prof Dr Alo Liliweri MS
Foto: Mth
efektif dari mulai Pemerintah Pusat sampai ke Kabupaten/ Kota. Cerita dari Tetangga Negara Termuda Permasalahan pembangunan di kawasan perbatasan dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) tidak saja menjadi masalah lokal namun juga oleh pemerintah pusat. Sebab, kawasan perbatasan ini relatif belum lama tercipta. Secara garis besar, upaya pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan NKRI-RDTL di Kabupaten Belu terbagi dalam tiga fase, yaitu pertama Fase Tanggap Darurat, kedua Fase Peralihan dan ketiga Fase Pengembangan. Fase pertama dan kedua telah dilewati, dan sejak tahun 2002 hingga kini telah masuk fase ketiga yang ditandai dengan upaya percepatan pembangunan kawasan perbatasan. Permasalahan pelintas batas dan perdagangan illegal sangat mengedepan di kawasan perbatasan Indonesia dengan negara termuda di dunia, Timor Leste. Secara umum persepsi masyarakat terhadap kawasan perbatasan cukup baik karena mereka mengetahui dan memahami secara benar eksistensi kawasan perbatasan yang mereka diami, apalagi didukung oleh faktor kesamaan etnis antara warga di perbatasan. “Ada prinsip yang berkembang diantara orang Timor, kami bukan pelanggar perbatasan, tapi perbatasanlah yang melanggar kami. Karena sejak dahulu kami tidak mengenal perbatasan,” kata Profesor Dr. Alo Lilweri dari Universitas Nusa Cendana, Kupang. Persoalan kultural memang salah satu hambatan besar dalam penanganan masalah perbatasan, namun demikian melihat pada kenyataan dan permasalahan yang ada di kawasan perbatasan yang cukup beragam dan memiliki karakteristik tersendiri, maka kehadiran dan peranan pemerintah sangat urgen dan memiliki nilai tersendiri. Sebagai bagian dari komunitas masyarakat Indonesia, masyarakat di kawasan perbatasan. Tidak bisa diingkari bahwa untuk membuat kebijakan pemerintah yang berbasis kebutuhan masyarakat, mutlak diperlukan informasi yang memadai tentang dinamika kehidupan masyarakat perbatasan itu sendiri. Apa saja yang diperbincangkan masyarakat dalam polapola komunikasi interpersonal mereka (terutama menyangkut masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya), bagaimana mereka bersentuhan dengan media massa, bagaimana tingkat keterbukaan masyarakat terhadap halhal baru dan sebagainya, merupakan informasi dasar yang harus diketahui oleh pemerintah sebelum membuat kebijakan. Suatu kebijakan dibuat karena adanya masalah yang dirasakan dan dialami oleh masyarakat secara luas. Kejelian pemerintah menangkap gejolak yang menjadi masalah masyarakat luas itulah yang merupakan prasyarat untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran. Satu hal penting yang tidak dapat diabaikan yaitu partisipasi masyarakat. Tanpa adanya partisipasi masyarakat maka kebijakan atau program kerja pemerintah menjadi tidak bermakna. “Dukungan dari masyarakat hanya bisa didapat jika pemerintah (sebagai pembuat kebijakan) mengetahui secara pasti bagaimana masyarakat memperlakukan informasi yang ada serta komponen-komponen sistem sosial apa saja yang akan mempengaruhi keterlibatan mereka,” kata Prof. Dr. Alo Liliweri.
Drs Wijaya Kusuma MA
Johannes Krey SH perbatasan. Karenanya perlu disusun upaya yang strategis dan sistematis untuk penanganan dan antisipasi potensi separatisme dan potensi gangguan keamanan di kawasan perbatasan. Pada tahapan awal, upaya ini dapat dilakukan dengan mengkaji isu-isu apa sajakah yang menjadi perhatian publik atau masyarakat kawasan perbatasan terkait dengan kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah. Dua hal ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan memberikan kerangka dasar dan acuan pengambilan kebijakan untuk pengelolaan kawasan perbatasan. Untuk mengelola isu publik di kawasan maka menurut Dr Sutarto MA dari Universitas Jember, hal yang paling berperan adalah kebudayaan. “Lihat saja gasing dari local identity menjadi sebuah kebudayaan nasional. Tanpa adanya perekat budaya maka akan kacau. Untuk mengkaji dan memahami masalah yang ada di sekitar maka harus ada perkembangan budaya,” kata Sutarto. Pendekatan budaya dalam pandangannya salah satu cara penyelesaian dari masalah-masalah yang ada di masyarakat agar tidak ada kesenjangan di masyarakat dalam apresiasi terhadap peradaban. (mth)
Foto: Johannes Krey
tor hubun gan ke kerabatan (keluarga) dan masalah hak atas tanah (hak ulayat). Jika dibandingkan dengan kondisi di negara tetangga, dalam aspek ekonomi, kenyamanan, pendidikan, kesehatan, jelas lebih baik di Indonesia,” kata Johannes Krey, SH Ketua Lembag a Peng abdian Kepada Masyarakat Universitas Cenderawasih, Jaya-
7
KOMUNIKA
WAWANCARA
Telepon Radio dan Teve Perbatasan LIPI:
Dekatkan Masyarakat Perbatasan Dengan NKRI Rustini S Kayatmo Peneliti Pusat Peneliti Elektronika dan Telekomunikasi LIPI, Bandung
Teve perbatasan, sebenarnya program seperti apa?
Jadi LIPI punya program kompetitif. Program-program unggulan hasil penelitian yang sudah siap diimplementasikan. Pengujiannya sudah lama dan siap digunakan di masyarakat. Nah, salah satu subprogramnya adalah wilayah perbatasan. Di bawah subprogram ini ada bermacam-macam kegiatan pene-litian. Ada penelitian sosial politik, kajian rekayasa teknologi, rancang bangun, macam-macam lah. Kalau yang kami ta-ngani di Pusat Penelitian Elektro dan Telekomunikasi, untuk perbatasan hanya ada dua, teve dan telepon radio. Kalau untuk daerah perbatasan sendiri, sebenarnya programnya banyak. Ada solar cell (pembangkit listrik tenaga matahari--red) dan lainnya.
Di daerah perbatasan, apa yang LIPI lakukan?
Kami baru menjamah Kalimantan dan NTT. Papua mungkin 2008. Secara garis besar kami melakukannya dengan bertahap. Pertama, masuk dengan Teknologi Tepat Guna (TTG) di bidang pertanian, perikanan dan semisalnya. Kemudian akan terdeteksi kebutuhan masyarakat lainnya semisal, penerangan, transportasi, pengolahan es dan lainnya.
Sejak kapan program ini berjalan?
Sebenarnya program teve perbatasan sudah ada sejak zamannya LEN (Lembaga Elektroteknika Nasional-red), badan sebelum ada LIPI. Kalau tidak salah sekitar tahun 1976-an. Tapi frekuensi yang digunakan masih VHF (very high frequency). Kemudian sejak LIPI lepas dari LEN, penelitian itu dibawa mereka, jadi PT LEN Industri, perusahaan BUMN.
LIPI masih ikut meneliti juga?
Kami yang tetap di LIPI mulai meneliti pemancar UHF (Ultra High Frekuency). Penelitian dilakukan sejak tahun 2000, tapi implementasinya baru mulai 2003.
Dari tahun 1976 sudah berapa banyak yang terpasang?
Wah tidak tahu, sejak LEN masuk BPIS (Badan Pengelolaan Industri Strategis), kami tidak tahu lagi. Seingat saya, kurun 1976-1980 lebih dari 300 unit pemancar teve VHF yang terpasang. Tapi bukan di daerah perbatasan.
Lantas?
Pemasangannya bisa dipakai di mana saja. Tapi kemudian penerapannya kami ikutkan di program perbatasan. Tapi perangkatnya sendiri tidak menutup kemungkinan dapat digunakan di tempat lain. Di daerah blank spot, desa terpencil dan lainnya.
Pemancar UHF LIPI, berapa banyak yang telah terpasang? Pada tahun anggaran 2003 dan 2004 relay pemancar
dipasang di Belu NTT, 50 watt; Rote Ndao, 100 watt. Juga Tahun 2005 di Timor Tengah Utara (TTU) NTT tepatnya di kota Kefamenanu dengan kemampuan daya pancarnya sebesar 100 Watt dua kanal. Di Bangka Induk – Babel, 100 dan 300 watt, Bontang – Kaltim, 300 watt. Pada 2006 ini, kami pasang di Nunukan – Kaltim dan Aikesak – NTT.
Bagaimana proses pemasangannya?
Pada tahap perencanaan, kami lakukan survei lapangan untuk mengetahui perambatan gelombang radio, propagasi dan perencanaan pemancar televisi. Survei itu untuk mendapat data tentang lokasi pemancar, ketinggian lokasi, kondisi tanah untuk grounding, frekuensi komunikasi yang ada, coverage daerah dan mendata sarana dan prasarana yang ada.
Kemudian?
Setelah itu kami tentukan berapa kuat daya pancar yang dibutuhkan untuk meng-cover area tersebut. Ada tiga pilihan, 50, 100 dan 300 watt. Dicari yang paling ekonomis.
Makin besar, makin luas daya pancarnya?
Bisa semakin luas, jika daerahnya datar. Kalau daerahnya bergunung-gunung, ada faktor lain yang mempengaruhi. Luas daya pancar tergantung pada tinggi tower dan kuat watt pemancar. Sama kondisi geografis daerah. Alangkah baiknya pendirian itu berdasarkan geografis yang ada, kemudian kita perhitungkan. Kalau daerahnya tinggi dan bergelombang, maka dibutuhkan antena dengan penguatan yang besar. Untuk pemancar pun demikian. Jika 100 watt dan dipancarkan dengan 4 panel antena, daya yang keluar akan lebih besar dibanding hanya satu antena. Kalau daerah cakupannya kecil, mungkin satu saja sudah cukup.
Jika diambil rata-rata, berapa luas pancarannya?
Mungkin sekitar radius 5-10 km. Radius ya, r (jarijari–red) bukan d (diameter-red). Kemampuan mengcover penduduk dihitung saja berapa populasinya.
Bagaimana prosedurnya jika daerah ingin memasang alat ini? Kami tidak mengurus software-nya. LIPI hanya hardware-nya, alat pemancar dan antena saja. Daerah harus menyiapkan menara dan bangunan pengendali. Singkatnya, harus ada infrastruktur yang disiapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Foto: Dan
Apa saja?
Rustini beserta salah seorang rekan kerja dan perangkat teve perbatasan hasil karya tim peneliti LIPI.
8
Foto: Dan
D
ulu, diakui atau tidak, kawasan perbatasan kerap dianggap sebagai ruang belakang alias mendapat perhatian paling bontot dari pemerintah. Kini paradigma tersebut telah banyak berubah, banyak program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah berjalan di wilayah yang berbatasan daratan langsung antara Indonesia dan negara-negara tetangga. Sebut saja program teve perbatasan yang sudah berlangsung sejak tahun 70-an. Dulu, dengan perangkat sederhana semisal antena penerima frekuensi, kesadaran menjaga kawasan perbatasan dari terpaan informasi negeri tetangga telah terbangun. “Apapun programnya, tujuan utama adalah mendekatkan masyarakat kawasan perbatasan kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia – red),” jelas Rustini S Kayatmo, peneliti yang bertugas di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI, Bandung. Alumni Teknik Elektro ITB ini bersama beberapa orang peneliti PPET lain telah menggagas teve dan radio perbatasan ber-budget minim. Reporter KomunikA berkesempatan mewawancarai peneliti senior LIPI ini di kantornya di kawasan Cisitu, Bandung. Berikut adalah petikan wawancaranya :
Ruangan, ukuran bebas; menara standar TVRI, tinggi terserah, tapi biasanya rata-rata 65 meter. Listrik minimal 20 KVA.
Berapa harga untuk satu alat pemancar?
Satu paket, pemancar dan antena, harganya kirakira Rp200 juta. Itu antenanya hanya 4 buah. Beda
harganya kalau 16 antena. Bisa menangkap dua saluran teve.
Tentang telepon radio?
Tujuan sebenarnya memang agar masyarakat perbatasan bisa bertelekomunikasi. Hanya saja juga diberdayakan sebagai wartel. Kita pasang di sana, mereka sangat puas. Karena diberdayakan sebagai wartel jadi pemasukan buat pemda setempat juga cukup lumayan. Di sana kan transaksi pakai dolar. Sebulan bisa Rp3 juta.
Telepon radio, barang baru?
Ini masuknya telekomunikasi perdesaan atau rural communication. Di luar negeri, memang sudah masuk teknologi
sa-telit. Jadi telepon satelit, komunikasi satelit untuk daerah perdesaan. Kalau di kita, untuk mengadopsi teknologi satelit di wilayah pedesaan atau perbatasan dari segi teknis memang sangat memungkinkan. Hanya saja biasanya masyarakat di daerah tersebut tingkat ekonominya masih rendah. Sedangkan untuk charging satelit kan harganya masih sangat mahal. Ini masalahnya. Dulu sebelum kami masuk ke sana, sebenarnya sudah dibangun wartel berbasis satelit. Tapi karena chargingnya sangat mahal. Tidak digunakan. Makanya beralih ke telepon radio. Kalau teknologi telepon radio sendiri bukan barang baru. Teknologi lama, baik di Indonesia maupun internasional.
Murah, memang harganya berapa? Kira-kira bisa 100 jutaan.
Apa efek yang timbul di daerah perbatasan dengan adanya program tersebut?
Oo luar biasa, dapat mengendurkan ketegangan. Misalnya saat piala dunia beberapa waktu lalu, daerah perbatasan ramai karena konflik di Timor Leste. Kita setel saluran tersebut, mereka bisa berkumpul bersama dan melupakan sejenak permasalahan yang ada. Mereka bisa marah kalau saluran itu diganti. Teve itu bisa menjadi hiburan yang menggembirakan sekaligus menyatukan.
Hanya untuk informasi pemerintah?
Tidak semata informasi, juga hiburan. Memang kami mengakui, sama seperti efek teve pada segi lainya. Ada efek negatif yang muncul dan ada pula efek positif. Untuk masalah ini, Pemda yang memilih dan menimbang saluran apa yang mau ditayangkan kepada masyarakatnya. Mereka yang lebih tahu tentang kebutuhan dan program yang hendak dijalankan di daerah perbatasan. Bagi kami tidak masalah saluran apa yang mereka pilih. Karena sasaran yang kita inginkan agar masyarakat perbatasan merasa dan lebih dekat dengan Indonesia, negerinya. Asupan informasi yang masuk dari negeri tetangga itu sangat besar.
Masih ada kontak dengan pemerintah daerah?
Tentunya, kalau ada kerusakan, kami yang perbaiki ke sana. Kami berupaya agar pada 2007 ini, maintenance bisa kita alihkan ke pemda setempat. Agar biayanya lebih murah. Jadi kami coba mendidik mereka untuk melakukan sekadar perbaikan. Karena kalau kami (orang pusat-red) yang turun, selain mahal, akan banyak membuang waktu.
Sampai saat ini, ada kerusakan berarti?
Sampai saat ini belum banyak terima laporan. Paling ada kejadian satu tersambar petir. Agak fatal juga, tapi sudah kami perbaiki. Ada lagi masyarakat sendiri yang merusak, gara-gara hal sepele. Alatnya mati, salurannya tidak sesuai dan sebagainya.
Harapan ke depan untuk program perbatasan?
Kami berharap informasi sejenis dapat diinformasikan kepada instansi yang terkait agar programnya lebih terkoordinasi. ***(dan)
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
RAGAM
KOMUNIKA
Padang Baralek Gadang, Pesta Pun Digelar Oleh : Irwan Rais
Gelaran Dimulai Sebelas pasang pengantin yang berasal dari beberapa kecamatan di Padang ini termasuk yang beruntung dapat ikut ambil bagian dalam pesta adat ini. Terlebih Walikota Padang Drs H Fauzi Bahar MSi tampil menjadi "orang tua’" dari 11 anak daro (pengantin wanita) dan Wakil Walikota Padang Drs. H. Yusman Kasim menjadi “orang tua” dari 11 Marapulai (pengantin pria) yang mengakhiri masa lajangnya. “Senang, juga tegang,” uc ap salah seorang peserta mengungkapkan perasaannya. “Alek Gadang” yang baru dilakukan serentak dan beramairamai serta pertama kali dilakukan dengan biaya Peme-rintah Kota Padang ini dimulai sehari sebelum pesta digelar, yaitu dengan pesta malam bainai di tempat pengantin wa-nita. Sedangkan para pengantin pria mengikuti prosesi batagak gala di kediaman resmi Wakil Walikota. Dua ekor sapi berhiaskan umbul-umbul permintaan anak daro serta tanda bawaan juga diantarkan dengan iringiringan rombongan pengantin pria menuju rumah “orang tua” anak daro, di kediaman Walikota Padang. Dalam prosesi adat babako ini juga, disiarkan kaba (kabar) kepada paman dan sanak famili tentang acara pernikahan tersebut. Isi dari kaba tersebut, ponakan gadis mereka akan menikah dengan seorang lelaki yang dicintainya. Dalam prosesi itu juga sanak famili dapat memberikan bantuan baik kerbau, sapi, kambing atau lainnya untuk perhelatan pernikahan. Tergantung dari kemampuan masing-masing. Esoknya, acara dimulai dengan nasehat perkawinan dari angku kali yang dilanjutkan dengan pembacaan ijab kabul dan mohon doa restu dari kedua orang tua penganten.
kilas -gov
e
Hari itu, Rabu, 20 Desember, ada keramaian yang tak biasa di halaman kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Padang. Masyarakat tampak memadati area pelataran parkir. Sementara di pojok-pojok halaman, tampak pedagang asongan yang sibuk menangguk rizki, memanfaatkan situasi yang ada. Sebuah perhelatan akbar yang lama tak digelar, membuat semua mata tertuju ke sana.
Pelestarian Budaya Sebenarnya upaya pelestarian adat budaya sudah dilakukan dengan memberikan muatan lokal bermateri Budaya Alam Minangkabau (BAM) di Sekolah Dasar (SD). Hanya saja, pengajarannya, diakui, Walikota Padang, Fauzi Bahar, masih sebatas teori. “Jadi melalui Baralek Gadang, semua prosesi dilaksanakan, mulai dari malam ba inai, babako, pernikahan dan pesta pernikahannya. Kita lestarikan adat budaya, pernikahan Minang. Kita akan jadikan kegiatan ini sebagai kalender tahunan Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Padang. Kapan perlu kita selenggarakan dua kali setahun,” ujarnya. Semoga kelestarian budaya bangsa seperti “Alek Gadang” ini dapat terwujud di tengah globalisasi yang terus mengalir deras.
*) staf Humas Pemko Padang
Tak ayal suara sedu tangisan dan deraian air mata mewarnai prosesi ini. “M er ek a selama ini di baw ah naungan orang tua. Setelah pernikahan, masing-masing memulai lembaran baru, hidup mandiri, berumah tangga.
Foto: Irwan Rais
N
amanya sepintas aneh, “Alek Gadang”, pesta adat pernikahan yang hanya ada di Ranah Minangkabau. Tak banyak yang bisa menggelar “resepsi” perkawinan ala Minang ini. Bukan karena status sosial ataupun semisalnya, melainkan hanya masalah ketersediaan biaya. Untuk menggelar prosesi ini, selain harus melalui proses yang panjang, jamuan yang disajikan pun tak sembarangan. Ada menu khusus yang harus disajikan kepada para tamu undangan, ya.. minimal sapi dan kerbau harus tersedia. Tak hanya itu, “Alek Gadang” tak bisa hanya dilakukan sehari saja. Sedikitnya butuh 2-3 hari untuk menuntaskan syarat prosesi adatnya. Mulai dari malam bainai, babako, pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan pesta. Soal hiburannya pun tak main-main, made in Minang, kesenian tradisional seperti Saluang, Talempong, Rabab, Randai dan lainnya siap menghibur para tamu selama beberapa hari.
"Tak terpikir pernikahan dilangsungkan di rumah walikota, pemimpin kota ini. Pun biaya pernikahan ditanggung Pemko Padang,” tutur salah satu orang tua pengantin. Acara dilanjutkan dengan nasehat dari Walikota Padang. Ia menasihatkan kepada para penganten agar memperhatikan lima hal dalam hidup, yaitu melaksanakan perintah Allah, membina rumah tangga, melanjutkan keturunan, menjaga hawa nafsu, dan mempererat hubungan silaturahmi dengan manusia. Kelimanya harus dipedomani dengan baik.
Ruang ini disediakan sebagai wadah tukar informasi antar pengelola situs atau portal lembaga pemerintah baik di tingkat pusat atau daerah. Pengelola dapat mengirimkan profil situs yang dikelolanya melalui e-mail:
[email protected]
www.balikpapan.go.id
Membangun Kreatifitas Bisnis Untuk membangun Kabupaten Balikpapan dengan memajukan perekonomian adalah dengan memberdayakan semua elemen masyarakat. Mengikut sertakan semua
lapisan masyarakat dalam pembangunan, pemerintah daerah menyediakan media untuk berpromosi, dan menyediakan data yang dibutuhkan masyarakat umum dan yang terpenting adalah data tersebut dapat di akses dengan mudah. Untuk itu dalam situs Pemda Balikpapan, berusaha ikut men-support informasi melalui beberapa menu yang disediakannya. Beriklan Gratis Anda punya usaha dan ingin dipasarkan? Kenapa tidak mencoba pasang iklan di situs ini. Situs Pemda ini sangat kreatif menghidupkan dinamisasi situs dan membuat interaksi positif. Melalui Bursa Iklan ini selain dapat memasang iklan gratis dapat juga melakukan pemesanan barang langsung by online. Untuk bisa memasang iklan harus terdaftar dalam keanggotaan Bursa Iklan tersebut. Pengiklanan digolongkan berdasarkan beberapa kategori. Selain iklan baris, gambar produk pun bisa ikut ditampilkan disini. Tapi sayang fasilitas ini hanya untuk masyarakat Balikpapan saja, jadi sekiranya punya usaha di Balikpapan kenapa tidak mencoba memasang iklan gratisan? Daftar Perusahaan Jangan lupa untuk mendaftarkan nama perusahaan Anda di Pemda Balikpapan. Situs ini membuat beberapa kategori
perusahaan yang ada di Balikpapan. Untuk melihat daftar Perusahaan Komoditi dan perusahaan bergerak dalam bidang jasa dapat dilihat disini, yang sudah di-publish dalam situs ini ada 332 perusahaan. Selain itu jumlah perusahaan kontraktor ada 75 perusahaan, 14 daftar hotel, 47 perusahaan di bidang lain-lain, 5 BUMN, 102 supplier, dan 4 perusahaan surveyor. Melalui daftar ini sangat memudahkan bagi yang membutuhkan alamat perusahan yang dituju, selain tercantum alamat juga nomor telepon serta contact person yang dapat dihubungi. Koperasi dan UMKM Menu ini akan langsung terhubung ke link http:// kumkm.balikpapan.go.id/ yang menyediakan database Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang berada di Balikpapan. URL tersebut merupakan kerjasama Pemkab Balikpapan dengan Kantor Bank Indonesia Balikpapan sebagai wujud kepedulian Bank Indonesia terhadap perkembangan Koperasi dan UMKM yang berada di Kabupaten Balikpapan dan sebagai bantuan teknis untuk Pemkab Balikpapan. Secara keseluruhan situs ini cukup bagus dan inovatif, dari hasil polling- nya pun terbilang keren . Dukungan informasi dan fasilitas menu yang disediakan sangat menarik. (dw)
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
9
Pemprov NAD Pasang EWS Guna Deteksi Tsunami Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bahaya bencana tsunami, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah memasang sejumlah sirine pendeteksi dini ( early warning system/EWS) di lima wilayah. “Alat itu telah dipasang di lima titik di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sejak beberapa hari lalu,” kata Kepala Bagian Humas Sekretariat Daerah Provinsi NAD, Nurdin A. Joe di Banda Aceh, Selasa (19/ 12). Menurut Nurdin, kelima titik yang dipasangi EWS tersebut yaitu di Banda Aceh antara lain di kantor gubernur NAD, Kalimantan Timur Penetapan UMK Rp.795 ribu Kalau Upah Minimum Ko ta ( UMK) Balikpapan yang diajukan Kantor Tenaga Kerja (Kanaker) Balikpapan resmi diberlakukan, yaitu sebesar R p 795 ribu dari UMK sebelumnya sebesar Rp 720 ribu, maka para pengusaha atau perusahaan tidak bisa mengakali peraturan tersebut dengan membayar pekerjanya di bawak UMK. Sebab menurut K epal a Kanaker H Achmad Ilhamsyah, keputusan penetapan UMK yang baru ini, merupakan hasil kesepakatan Dewan Pengupahan Kota (DPK), yang anggotanya terdiri dari berbagai kalangan seperti serikat pekerja, pengusaha, perguruan tinggi dan pemerintah. “Keputusan UMK yang baru ini, merupakan hasil keputusan dari DPK,” kata Achmad Ilhamsyah menjawab di kantornya, Rabu (6/ 12) kemarin. Dalam merumuskan UMK baru ini, menurut Ilhamsyah telah dilakukan berbagai survey dan study kelayakan dari berbagai permasalahan, seperti berkenaan dengan harga barang dan biaya hidup yang ada di Balikpapan. (www.balikpapan.go.id) Riau KOW Riau Bertekad Kesetaraan Gender
Wujudkan
Menindakl anjuti hasil pertemuan koordinasi regional I Sumatera tentang pemberdayaan lembaga masyarakat, Bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) BPPM Riau bekerjasama dengan Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) R iau terus berusaha untuk mewujudkan kesetaraan keadilan gender (KKG). Ketua BKOW Riau, Hj Iwa Zulkifli Saleh di sela sosialisi pemberdayaan lembaga masyarakat di Gedung Wanita, Senin (4/12) mengatakan bidang PP BPPM dan BKOW
Dari Sabang Sampai Merauke
Desa Blang Oi dan Lampulo Kecamatan Kuta Alam. Sedangkan sisanya di lingkungan masjid Lhok Nga Desa Lam Awe Kecamatan Peukan Bada dan di halaman masjid Kahju Kecamatan Baitussalam. Nurdin menjelaskan, alat pendeteksi itu nantinya akan berfungsi untuk memberikan peringatan dini bagi warga Aceh jika terjadi ancaman tsunami. “Setelah terjadi gempa, alat itu akan mendeteksi apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan gelombang tsunami atau tidak.” Menanggapi tudingan yang menilai bahwa Pemda NAD lamban memasang peralatan deteksi tersebut sebab bencana tsunami sendiri telah dua tahun berlalu, secara diplomatis Nurdin menampiknya. “Lebih baik terl ambat daripada tidak terpasang sama sekali,” ujarnya. Dia juga menjelaskan, EWS tersebut
merupakan sumbangan dari BMG Pusat sehingga memang memerlukan perencanaan dan anggaran yang ditetapkan di Jakarta. “Ada pro sedurnya, inilah yang membuat pemasangan EWS menjadi sedikit tertunda.” Sementara itu, mengenai agenda acara peringatan dua tahun bencana tsunami yang meluluh-lantakkan NAD dan sebagian Nias yang jatuh pada tanggal 26 Desember mendatang, Nurdin mengatakan, Pemprov berencana untuk mengadakan doa bersama oleh seluruh lapisan dan masyarakat NAD. Pemprov sendiri ujarnya, juga telah
akan terus meningkatkan peranan wanita dalam semua lini kehidupan sehingga akhirnya tercapai KKG di Riau. (www.riau.go.id)
daya listriknya selain dengan energi batubara juga dengan memanfaatkan potensi gambut. Gubernur Kalbar Usman Jafar usai bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (20/12), mengatakan, Pemda Kalbar yang mengalami kritis listrik karena saat ini hanya memiliki 40 MM, merencanakan untuk meningkatkan kapasitas daya listriknya sebesar 220 MW pada tahun 2008. Peningkatan kapasitas tenaga listrik itu meliputi 2X55 MW dengan bahan bakar batubara yang akan dibangun oleh PT. PLN dengan investasi dari Cina, 2X25 MW dengan bahan bakar batubara dibangun oleh swasta, dan 2X30 MW dengan bahan bakar gambut oleh sebuah perusahaan swasta bernama PT Sebukit Power. Gubernur Kalbar mengatakan, material gambut yang akan menjadi bahan bakar pembuatan tenaga listrik itu akan diambil dari enam desa yang ada di Ko tamadya Pontianak, yaitu desa Galang, Rasau Jaya, Terentang, Kubu, Sungai R aya dan Bengkorek. Menurutnya, pembuatan tenaga listrik dari material gambut itu akan memanfaatkan lahan-lahan gambut yang kedalamannya menc apai seki tar 6-8 meter dengan mengambil separuhnya. “Dalam jangka panjang nanti lahan gambut yang telah diambil gambutnya itu akan ditimbun dengan tanah dan kemudian akan ditanam kelapa sawit, dan sawit itu nantinya juga akan dijadikan bahan bakar untuk pembuatan bio-fuel,” katanya. (Kus)
Kalimantan Barat Ketapang cocok Untuk Perkebunan dan HTI "Kabupaten Ketapang potensial untuk pengembangan tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri, karena potensi lahan yang luas dan agrokilmat yang mendukung untuk pengembangan beberapa komoditi tersebut". ungkap Ir. Syarifudin Syaid. Ms. Dosen Fakultas kehutanan Universi tas Tanjungpura saat mengadakan survei kegiatan pengembangan perkebunan di Kabupaten Ketapang baru baru ini. Beberapa komoditi seperti Sawit, karet , kelapa dalam beberapa perkebunan karet rakyat serta hutan tanaman industri masih layak dikembangkan. Sektor perkebuanan ini mampu menyerap tenaga kerja yang besar, demikian juga multi pleyer effect lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Apalagi bila didukung oleh kegiatan industri hilir seperti pengolahan karet, crumb rubber , industri minyak goreng dll, ungkap Syarifudin Syai d. Namun ia mengingatkan untuk pengembangan skala besar, analisis dampak lingkungan sangat diperlukan, agar sesuai dengan daya dukung lahan dan peruntukkannya. Kita berharap dampak negatip seperti kebanjiran atau kekeringan dapat diatasi dengan analisis dampak lingkungan yang tepat. (www.ketapang.go.id
Kalimantan Barat Pemda Kalbar Manfaatkan Gambut Untuk Pembuatan Tenaga Listrik Pemerintah daerah Kalimantan Barat (Kalbar) akan mengembangkan kapasitas
Kalimantan Timur 160.000 Bibit Sawit Siap Tanam di Bulungan PT Bulungan Citra Agro Persada (BCAP) telah menyiapkan 160.000 bibit kelapa sawit yang siap tanam pada tahap pertama di lahan seribu hektare di Desa Tanah Kuning,
10
terutama Jepang. Pengusaha pribumi masih kalah dalam segi teknologi pembudidayaan mutiara ini, apalagi dana yang dibutuhkan untuk membuka usaha pembudidayaan mutiara masih tergolong mahal. Hasil panen mutiara dapat dirasakan per tiga bulanan, kualitas mutiara pun sangat tergantung pada kadar asin air laut, dan kadar gangguan yang dapat menghambat proses pembentukan mutiara ini. Hasil mutiara ini di ekspor ke beberapa negara, antara lain Jepang, Singapura dan Thailand, selain itu juga di pasarkan ke daerah Makassar, Surabaya, Jakarta dan Medan. Untuk harga per butir mutiara sangat tergantung pada besar dan kualitas mutiara. Pariwisata Irian Jaya Barat yang merupakan provinsi paling bungsu ini memiliki prospek pariwisata yang relatif baik, hanya perlu dukungan dari kual ifikasi SDM pendukungnya. Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi
(tr/ed)
Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. “Bibit yang berasal dari PTKS Medan itu, selanjutnya akan ditambah sesuai dengan luasan land clearing (pembukaan lahan). Rencananya, 2.000 hektare areal kami buka tahun ini, namun penanaman tahap pertama hanya seribu hektare untuk 160.000 bibit itu,” kata Direktur PT BCAP H. Adhi Chandra P S.IP M.M, beberapa waktu lalu. Dikatakannya, untuk penanaman tahap pertama ini, pihaknya masih menunggu realisasi land clearing. Jadi kemungkinan bisa dilakukan dua atau tiga bulan ke depan. “Ji ka telah dilakukan penanaman, diperkirakan dalam jangka waktu 30 bulan bibit kelapa sawit tersebut telah siap berbuah. Hanya saja tanaman buah menghasilkan (TBM)-nya masih kecil, jadi belum maksimal. Kemungkinan tahun ketiga TBM satunya baru bisa dipanen,” tambahnya. Untuk mengolah hasil panen kelapa sawit, untuk sementara akan dicarikan pabrik di sekitar Kabupaten Bulungan, karena PT BCAP baru akan membangun pabrik setelah tanaman kelapa sawit mencapai 4-5 ribu pohon. Chandra mengatakan pihaknya akan menginvestasikan dana sekitar 10 juta dolar AS untuk pabrik dengan kapasitas 40 ton per jam. Pihaknya sendiri tidak mempermasalahkan pemasaran Crude Palm Oil (CPO) pihak PT BCAP, karena pasar CPO di Indonesia termasuk banyak. Terkait dengan investasi perkebunan sawit PT BCAP, Bupati Bulungan Drs. H. Budiman Arifin M.Si yang ditemui saat melakukan kunjungan ke pembibitan PT BCAP, menaruh harapan besar terhadap perkebunan sawit tersebut. “Karena perkebunan sawit di Desa Tanah Kuning bisa menggerakkan ekonomi daerah, termasuk masyarakat Tanah Kuning yang masuk dalam plasma, sehingga nantinya bisa memperol eh pendapatan,” ujarnya. (www.bulungan.go.id)
tergarap dengan baik."
Irian Jaya Barat
Potensi Provinsi Terbungsu Budidaya Mutiara Provinsi Irian Jaya Barat merupakan provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua, dengan ibuko ta pro vinsi terl etak di Manokwari. Provinsi Irian Jaya Barat terdiri dari 8 kabupaten, dan 1 kota. Letaknya terletak di ujung provinsi Papua, tepat diatas kepala pulau yang berbentuk burung tersebut. Po tensi kekayaan alamnya meliputi berbagai sektor cukup untuk menunjang kehidupan masyarakat setempat, belum lagi sektor pariwisata yang sangat potensial. Kabupaten Raja Aampat, yang memiliki luas w ilayah 46.296 km2 ini terkenal dengan hasil rumput laut dan mutiara.Pembudidayaan mutiara ini dilakukan dengan membangun rumah terapung di sekitar daerah selatan Pulau Waigeo. Rumah terapung ini dijadikan tempat penakaran tiram mutiara. Pengusaha pembudidayaan mutiara ini masih didominasi pengusaha dari luar,
menghimbau agar pada 26 hingga 28 Desember 2006 nanti seluruh lapisan dan masyarakat NAD mengibarkan bendera setengah ti ang untuk memperingati tragedi tersebut.
di Kabupaten Teluk Wondama menjadi salah satu tempat rekreasi andalan. Taman ini sangat luas dengan pemandangan yang c ukup indah, luas daratan menc apai 68.200ha, 80.000 ha kawasan terumbu karang, dan 12.400 ha lautan. Selain daerah pantai, kaw asan pegunungan di Irian Jaya Barat yang masih belum tersentuh manusia ini menyimpan banyak misteri kekayaan alam. Di Kabupaten Manokwari terdapat sebuah gua yang di klaim sebagai gua terdalam di dunia, kedalamannya mencapai 2000 meter. Hingga saat ini pengembangan sektor pariwisata masih terkendala keterbatasan sumber daya manusia setempat. Seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Povinsi Papua, Abner J Kambuaya, "Meskipun sumberdaya alam dan budaya memiliki potensi besar untuk menarik w isataw an, namun kurangnya tenaga pro fesi onal di bidang pariwisata mengakibatkan potensi tersebut kurang
Durian di Musim Penghujan Jika Anda sempat jalan-jalan ke Irian jaya Barat di saat musim hujan, sempatkan untuk jalan-jalan disepanjang ruas jalan Pahlawan dan kompleks pertokoan di Sanggeng, kabupaten Monakwari. Di sepanjang jalan berjejer pedagang buah durian dan rambutan. Kebanyakan buah-buahan ini di bawa dari daerah dataran Prafi, karena di dataran ini sebagian besar masarakatnya mempunyai kebun rambutan dan durian. (dw)
Foto: http/home.uchicago.edu
Nangroe Aceh Darussalam
Foto: Dan
LINTAS DAERAH
KOMUNIKA
Seorang wisatawan asing sedang asyik membelah durian Manokwari.
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
KOMUNIKA
LINTAS LEMBAGA
Perlu Kejelasan Format Komunikasi Publik Pemerintah melal ui Departemen Komunikasi dan Informatika, sampai saat ini pun masih terus mencari format komunikasi publik yang efektif. Hal ini mengemuka dalam Semiloka dan Temu Pakar Komunikasi bertajuk “Penyerapan Pendapat Publik untuk mengembangkan Komunikasi Publik yang Efektif”, 9 Desember lalu di Malang. Menurut Kepala Badan Informasi Pubik Depkominfo, Soeprawoto, kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi faktor utama berbedanya pemahaman metoda komunikasi publik. Sehingga tingkat keefektivitannya sesuai dengan kepentingan yang ada di daerah. Sementara itu, Prof. Dr. Alo Liliweri, MS, guru besar di Universitas Nusa Cendana, NTT, menyatakab bahwa aktivtas komunikasi publik mencakup banyak hal. Tak sekadar public relations , komunikasi politik, pemasaran sosial, hingga membangun koalisi dan strategi penelitian. ”Intinya semua yang berada dalam konteks publik affairs,” kata Prof Alo. Lain lagi dengan Heru Puji Winarso, dosen Universitas Brawijaya, Malang, yang menyoroti pentingnya penyediaan ruang publik. “Keberadaan ruang publik akan sangat efektif dalam mencari informasi layanan masyarakat yang dibutuhkan. Tak hanya itu, informasi tersebut pun dapat menjadi awal dari penyediaan dan pelayanan informasi publik dari pemerintah,” jelasnya. (Y ULIARS O)
Departemen Pertanian Prioritas Utama Mengembangkan Industri Benih Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengemukakan bahwa pemerintah memprioritaskan pengembangan industri benih untuk mendorong ketersediaan dan kualitas benih unggul pertanian di Indonesia. "Prioritas utama pengembangan industri benih ini untuk memenuhi ketersediaan jumlah dan kualitas benih unggul sesuai dari revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan yang telah dicanangkan Presiden awal tahun 2006," kata menteri. Untuk itu, kata Mentan, dalam jangka pendek impor benih tidak dapat dihindari lagi, karena ketersediaan benih dari dalam negeri baik jumlah maupun mutu tidak mungkin mencukupi. Sementara itu dalam kesempatan yang sama Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Deptan, Hindarw ati mengatakan sekitar 14 varietas baru telah terdaftar di Departemen Pertanian. Ke-14 varietas itu diproduksi dari produsen benih swasta yang skalanya besar, kemudian dari Balai Penelitian. Namun demikian varietasnya itu harus betulbetul memenuhi persyaratan kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan sehingga kepemilikannya itu jelas milik mereka yang dapat didaftarkan dan nantinya sudah mencukupi persyaratan untuk diproses. Sekarang ini ada kecenderungan banyak penangkar yang mampu menghasilkan varietas unggul baru dengan menggunakan teknologi yang seadanya. Dalam hal ini
Wajah Kita
pemeri ntah melalui B adan Li tbang Deptan sudah memprogramkan yaitu melalui pemuliaan partisivatis, dengan membina para penangkar yang saat ini sudah mulai melakukan pengawinan bibit yang dapat menghasilkan bibit unggul sesuai dengan iptek pemuliaan itu dilakukan.(Bhr/ Yr) Badan Tenaga Nuklir Nasional Membangun PLTN Tahan Gempa di Indonesia Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang tahan gempa seperti halnya di Jepang dapat dilakukan di Indonesia. Hal ini dikatakan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Prof. Dr. Soedyartomo Soentono di sela-sela acara kunjungan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) ke Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Jum’at (8/12). Pembangunan PLTN di negara rawan gempa seperti halnya di Indonesia dan Jepang, Soedyartomo mengatakan pemilihan tapak bakal Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. “Kami juga sudah tahu persis kondisi ground acceleration yang dipergunakan untuk disain sipilnya,” kata Soedyartomo. Menurut Soedyartomo kondisi ground acceleration lokasi berada jauh dibawah jika dibandingkan dengan negara yang sangat rawan gempa yaitu Jepang. Soedyarto mo menjelaskan, di Jepang ground acceleration biasanya lebih dari 300 g sedangkan di Indonesia lebih rendah dari itu. “Bahkan di Jepang ada PLTN yang dibangun pada ground acceleration diatas 500 g, tetapi pada waktu terjadi gempa yang sangat hebat pada sekitar tahun 1995 di Kobe PLTN tersebut masih dapat beroperasi,” katanya. Dia menambahkan pemilihan lokasi PLTN tidak hanya mempertimbangkan masalah-masalah keamanan tetapi juga memperhatikan berbagai pertimbangan keamanan lainnya. (Hbk)
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Akan Terapkan Sistem Asuransi Bagi Tenaga Kerja Pemerintah berencana menerapkan sistem asuransi bagi tenaga kerja (naker) di Indonesia yang meliputi jaminan hari tua, kecelakaan, PHK, pensiun, kesehatan, kematian, hamil dan melahirkan. “Program sekarang yang sudah ada semuanya itu akan dimasukan dalam sistem asuransi,” kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno usai melaporkan hasil studi banding delegasi tripartit ke RRC pada 26 November hingga 2 Desember lalu kepada Wapres Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (11/12). Menakertrans mengatakan dengan adanya sistem jaminan sosial bagi buruh ini berarti ada kepastian pembayaran untuk mereka, sedangkan bagi perusahaan ada kepastian iuran dengan sistem asuransi tersebut. (mul)
Departemen Dalam Negeri
Membangun Daerah Melalui Otonomi Depdagri bersama dengan rakyat bertanggung jawab bersama dalam terbentuknya sistem politik yang sesuai dengan karakter bangsa kita. Sistem politik Indonesia dewasa ini dalam proses perubahan sistem politik sentralistik menuju sistem politik desentralisasi, dimana seluruh masyarakat dapat berperan dalam membangun daerahnya masing-masing. Mengusung permasalahan tersebut Departemen Dalam Negeri menetapkan 8 program Utama, antara lain "Program Fasilitasi dan Pemantapan Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah". Selain itu ke-8 program utama Depdagri, kesemuanya bermuara pada tujuan kesejahteraan rakyat dan terbentuknya integrasi nasional yang kuat. Pemberlakuan Otonomi Daerah Sudah saatnya daerah diberikan kepercayaan untuk dapat mengelola sumber daya alamnya. Pengelolaan sumber daya alam ini harus mampu memberdayakan seluruh masyarakat setempat. Melalui UU No. 32 tahun 2004 penjelasan mengenai pemberlakuan otonomi daerah semakin diperjelas. Melalui pemberlakuan oto nomi tersebut adalah terjadinya berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah. Departemen Dalam Negeri berperan sebagai katalisator dalam pengembangan otonomi daerah, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh masing-masing pemerintahan daerah bersama masyarakat setempat. Tidak serta merta dengan otonomi daerah, hubungan pemerintah pusat dan daerah berjalan masing-masing. Departemen Dalam negeri berwenang dalam pengaturan hubungan pusat dan daerah, dan memfasilitasi program otonomi daerah ini. Hubungan ini di atur sedemikian rupa,
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
Panggung Depan, Panggung Belakang
sehingga untuk daerah dengan kekayaan alamnya yang melimpah mampu untuk mensubsidi daerah yang tidak mempunyai kekayaan alam. Fungsi Fasilitasi Bentuk fasilitasi yang diberikan departemen ini antara lain; melakukan evaluasi kinerja daerah serta pejabat negara, perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur dalam urusan pemerintahan daerah, penataan daerah dan otonomi khusus, fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan hubungan antar lembaga. Selain melalui penetapan kebijakan-kebijakan tersebut, Departemen Dalam Negeri juga melakukan bimbingan teknis dalam pengembangan dan pembangunan daerah otonomi. Belajar Politik Bergulat dengan politik itu sudah menjadi keharusan dalam mengelola suatu pemerintahan. Demikian juga, otonomi daerah memaksa masyarakat setempat untuk belajar politik. Untuk itu Departemen Dalam Negeri bertanggung jawab meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komperehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keragaman aspirasi dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Serta mengembangkan pola rekruitmen baik di lembagalembaga pemerintah maupun swasta dan masyarakat dengan mengutamakan kualitas SDM. Membangun Pemerintahan yang bai k ( good governance) dan melaksanakan pelayanan prima. (dw)
Konon, menurut sosiolog Irving Goffman, hidup seperti dramaturgi. Ada panggung depan (front stage) dan ada panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah kehidupan yang selalu dipertontonkan kepada publik. Orang melihat atau mendapatkan citra tentang orang lain melalui panggung depan ini. Sedangkan panggung belakang selalu tersembunyi atau disembunyikan, sehingga luput dari perhatian publik. Di panggung inilah fakta sebenarnya tentang kehidupan privat manusia berada. Menarik, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkaitkan masalah perbatasan dengan "panggung depan" dan "panggung belakang." Menurut beliau, sudah saatnya bangsa Indonesia menganggap daerah perbatasan RI dengan negara tetangga sebagai bagian depan, bukan bagian belakang Indonesia. Dengan kata lain, daerah perbatasan harus maju, sukses dan gemerlap sehingga bisa dianggap sebagai "panggung" yang layak diperlihatkan kepada dunia, bukan sebaliknya tersembunyi dan menjadi daerah terbelakang dengan segala kekumuhannya. Ibarat tubuh, daerah perbatasan adalah wajah. Orang pertama kali mengenal negara lain melalui perbatasannya. Oleh sebab itu, kesan terhadap suatu negara, positif atau negatif, baik atau buruk, langsung tertanam begitu seseorang melihat suasana di perbatasan. Kemajuan, keteraturan, keindahan, sudah tentu akan memunculkan kesan baik. Sebaliknya keterbelakangan, kekumuhan, ketidakteraturan, akan memunculkan kesan buruk. Perbatasan, yang kumuh maupun yang gemerlap, akan membuat orang bergumam, "Jika perbatasannya
Foto: Mth
Departemen Komunikasi dan Informatika
saja seperti ini, bagaimana dengan ibukota negaranya?" Yang kumuh akan membawa pada kesimpulan bahwa ibukota negaranya pasti lebih kumuh. Sedangkan yang gemerlap tentu akan memunculkan kesimpulan bahwa keadaan di pusat pemerintahan pasti lebih hebat. Keadaan di daerah perbatasan memang tidak otomatis mewakili keadaan suatu negara secara keseluruhan. Akan tetapi, sebagai bagian wilayah yang bersentuhan dengan teritorial negara lain, perbatasan akan selalu dianggap sebagai cermin suatu negara. Mau menjadi cermin cembung, cermin cekung, atau cermin retak, tergantung bagaimana negara memelihara wilayah perbatasannya. Dan semua itu akan membawa dampak yang sangat besar terhadap citra bangsa di mata dunia. Tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan kondisi daerah perbatasan di-upgrade habis-habisan agar tampak bercahaya di mata dunia. Untuk itu, ke depan pemerintah akan terus mengutamakan pembangunan daerah perbatasan agar kondisinya tidak tertinggal, atau paling tidak sejajar, dengan daerah lain. Pandangan awam tentang daerah perbatasan selama ini adalah daerah yang kumuh, terbelakang, miskin, transportasi dan komunikasi sulit, dan seabreg predikat negatif lainnya. Pandangan semacam itu tidak salah, karena hampir semua daerah perbatasan di Indonesia memiliki karakteristik demikian. Akibatnya, orang asing (termasuk para investor) yang mau berkunjung ke Indonesia lebih suka naik pesawat terbang dan langsung turun di Jakarta. Padahal, potensi sumber daya alam yang belum dieksploitasi semua berada di daerah pedalaman yang sebagian di antaranya berada di dekat perbatasan. Tapi karena sulitnya akses transportasi dan komunikasi, orang-orang dari luar negeri lebih suka langsung menuju ibukota. Ke depan keadaan ini harus diperbaiki. Infrastruktur, sarana dan prasarana, harus dibangun di daerah perbatasan. Akses transportasi informasi dan telekomunikasi dipermudah. Seiring dengan naiknya perekonomian daerah setempat, secara perlahan tapi pasti daerah perbatasan dengan sendirinya akan tumbuh dan berkembang menjadi "panggung" yang gemerlap dan layak dipertontonkan kepada dunia. (gun)
11
Foto: Rich
Lain NTT, lain pula cerita dari Kabupaten Keerom, salah satu dari lima kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini. Penduduk di daerah tersebut memang telah terbiasa dengan hidup nomaden alias hidup berpindah-pindah dan pola primitif. “Pakaian saja dari kulit kayu. Walau sebagian sudah mengenal pakaian, tetapi persediaan pakaian terbatas, satu potong pakaian sampai hancur di badan,” jelas Bupati Keerom, Drs Celsius Watae, menggambarkan daerahnya. Tak hanya itu, komunikasi yang dilakukan pun hanya bahasa daerah setempat. Bayangkan di Papua sendiri tercatat 255 kelompok suku dengan ratusan ragam bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Terbayang bagaimana sulitnya penerapan program pemerintah di sana. Berbagai cara dan alternatif dicoba. Hingga akhirnya pemerintah daerah setempat mulai menggunakan media televisi lengkap dengan parabolanya untuk memperkenalkan berbagai informasi kepada masyarakat. “Reaksi yang muncul beragam, mulai dari tertawa, heran, ada yang coba berbic ara dengan televisi, memberi makan televisi dan bertanya kepada televisi.
Pembangunan kawasan perbatasan terus digalakkan. Tak sekadar mengejar ketinggalan, namun telah mengubah paradigma. Masyarakat lokal jadi perhatian utama. Bahkan ada yang melihat televisi sebagai wujud pengawasan arwah nenek moyang,” kata Watae tersenyum. Kendati begitu, cara sederhana tersebut terbukti ampuh dalam memicu perkembangan sosial masyarakat. Setiap hari, tak kurang 200-300 penduduk setempat berkumpul untuk melihat berita dan acara di televisi. Tak hanya itu, pol a hidup berpindah pun mulai ditinggalkan. Penduduk mulai betah berdiam di satu tempat. Bahkan, televisi mampu mengundang masyarakat yang tadinya tinggal di hutan untuk bergabung di salah satu permukiman di perbatasan. Dan tentu saja, kesempatan tersebut akan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah Keerom untuk mulai membangun infrastruktur yang ada, mulai permukiman penduduk, gedung sekolah, puskesmas, air bersih, listrik dari generator, hingga pasar tradisional. Pemerintah akan membangun enam titik pembangunan terpadu di daerah perbatasan. Dana yang digelontorkanpun tak sedikit, Rp 600 miliar untuk setiap pusat pemukiman. Berbagai Kondisi Perbatasan Cerita Prof Alo dan kisah dari Keerom, Papua hanyalah beberapa diantara sekian banyak cerita tentang kawasan perbatasan. Namun, hal tersebut ternyata diamini oleh Prof. Sjafrie Sairin, Antropolog Universitas Gajah Mada (UGM). Menurutnya, ada tiga kondi si yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia. Pertama, negara luar yang lebih maju dari Indonesia, semisal di wilayah perbatasan Kalimantan. Kemudian kondisi yang relatif sama, seperti di perbatasan Papua dan terakhir, kondisi Indonesia lebih baik dari negara tetangga laiknya di perbatasan NTT. “Kondisi ini masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya,” jelas guru besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM ini dalam diskusi terbatas dengan instansi-instansi pemerintah pemangku kebijakan perbatasan yang digelar Pusat Pengelolaan Pendapat Umum (P3U), Badan Informasi Publik (BIP), Departemen Komunikasi dan Informatika, di Jakarta beberapa waktu lalu. Tentang kawasan perbatasan, menurut Sjafrie, ada empat masalah besar yang selalu terjadi di kawasan perbatasan. Pertama, lokasi yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas rendah. Kedua, masalah pada tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Kemudian kesejahteraan ekonomi yang juga harus serius dipikirkan. Dan tidak ketinggalan asupan informasi tentang pemerintah serta pembangunan masyarakat. Semuanya menuntut untuk segera diselesaikan. Namun adalah kebijakan pemerintah daerah untuk membuat program prioritas penyelesaiannya.
Foto: Mth
Anekdot berdasar kisah nyata pernah terlontar dari Prof Dr Alo Liliweri, guru besar Ilmu Komunikasi di Universitas Nusa Cendana, Kupang, tentang pemuda warga daerah perbatasan di NTT. Konon, seorang pemuda baru mendapat hadiah seperangkat telepon genggam lengkap dengan pulsanya, dalam acara peresmian menara transmitter layanan seluler di kota. Sesampai di desa tempat tinggalnya, sang pemuda akhirnya menelepon sepuas-puasnya. Entah siapa yang ditelepon, tapi yang pasti ia tampak nikmat berbincang. Tak sadar, mungkin saking lamanya menelepon, baterai ponselnya pun habis. Tapi apa lacur, di desanya belum ada jaringan listrik. Untuk penerangan biasanya cuma mengandalkan accu yang harus dicharge di kota saban dua hari sekali. Terpaksa, demi ponsel baru, jadilah sang pemuda berjalan kaki kembali ke kota selama dua jam , sekadar mengisi baterai ponselnya dengan listrik yang hanya ada di kota.
Prof. Sjafri Sairin, PhD Mengurangi Kesenjangan Saat ini banyak program pemerintah yang tengah berjalan di kawasan perbatasan. Berbagai pendekatan pun dilakukan guna membangun kawasan tersebut. Misal saja tentang masalah keamanan perbatasan Indonesia-Malaysia. Tak lama lagi, desa-desa yang belum memiliki jaringan komunikasi, baik berupa sambungan telepon, PSTN (public switched telephone network), bisa sedikit tersenyum. Sebabnya, pemerintah akan mulai memasang perangkat telekomunikasi. Tak tanggung-tanggung, generasi terbaru yang multifungsi. Namanya, teknologi Broadband Powerline (BPL) yang menggunakan jaringan listrik sebagai media transmisi data. Dengan jaringan tersebut, pemerintah tak perlu repotrepot membangun jaringan telepon. Dan tentu saja imbasnya, perangkat telekomunikasi ini akan cepat “kring” dan yang pasti, murah meriah. “Target 2010 semua desa sudah kring,” kata Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Saifulah Yusuf beberapa waktu lalu. Ternyata tak hanya kebutuhan telekomunikasi yang terpenuhi. Prinsip sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui pun diterapkan dalam misi kali ini. Jaringan yang akan dipasang pertama di dua kawasan Indonesia Timur, satu dikawasan Jawa, dan satu lagi dikawasan Sumatera ini, juga dapat digunakan sebagai jaringan internet. Jaringan ini konon pernah diuji coba di Jawa Tengah. Dan hasilnya, “Selain ekonomis, kualitas suara juga lebih jernih daripada PSTN,” jelas Direktur Mitra Kerja Proyek, PT Power Telecom (Powertel), Dicky Tjokrosaputro. Ya, memang program ini semua hanya contoh kecil dari program lainnya. Sekadar tau, kawasan perbatasan akan tidak seperti dulu lagi. Tidak percaya? Tunggu saja. ***(dan)
BERANDA
KOMUNIKA Editorial
Tak gampang memerangi pengangguran dan kemiskinan. Di samping permasalahannya sangat kompleks karena saling berkaitan satu sama lain, dua masalah ini juga nyaris menjadi masalah “abadi” yang sulit dipecahkan, bukan hanya di Indonesia namun juga di seluruh negara berkembang di dunia. Di Indonesia, pengangguran dan kemiskinan selalu menjadi “PR” bagi presiden terpilih, sejak pemerintahan Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Setiap presiden mengeluarkan jurus dan strategi untuk memberantas dua masalah ini. Dalam beberapa segi, berbagai strategi yang dikeluarkan memang mampu mengurangi jumlah para penganggur dan jumlah orang miskin. Akan tetapi belum mampu memberantas pengangguran dan kemiskinan secara tuntas hingga ke akar permasalahannya. Sejak mendapat mandat dari rakyat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kepeduliannya untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Tekad tersebut kemudian dirumuskan dengan strategi baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Ringkasan dari strategi baru tersebut tertuang dalam prinsip strategi tiga jalur (triple track) yakni: pro-pertumbuhan (pro-growth), pro-lapangan pekerjaan I(pro-job), dan pro-masyarakat miskin (pro-poor). Jalur pertama, pro-growth, dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Penjualan produk Indonesia ke luar negeri digenjot dengan mempermudah prosedur dan regulasi ekspor. Pemerintah juga berupaya menghapus berbagai hambatan (barrier) yang selama ini menjadi batu sandungan bagi para eksportir, baik di dalam negeri maupun di negara tujuan. Di samping itu, pemerintah terus berupaya mengundang para investor dari dalam dan luar negeri untuk menanamkan modal di Indonesia. Salah satunya yang baru saja dilakukan adalah mengundang investor di bidang infrastruktur melalui Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE) di Jakarta Convention Center November 2006 lalu. Melalui jalur ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Jalur kedua, pro-job, dilaksanakan dengan menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Geliat sektor riil diharapkan akan menimbulkan efek domino (multiplier effect) berupa meningkatnya kebutuhan tenaga kerja, sehingga angkatan kerja yang ada dapat terserap. Aktivitas sektor riil juga dapat menjadi lokomotif yang dapat menyeret gerbong pergerakan barang dan jasa sehingga membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk terl ibat di dalamnya. Dengan meningkatnya aktivi tas sektor riil, jumlah pengangguran secara otomatis dapat dikurangi. Adapun jalur yang ketiga, yakni pro-poor, diwujudkan dalam berbagai strategi yang langsung berhubungan dengan peningkatan pendapatan masyarakat akar rumput (grass root) yang rata-rata hidup miskin. Strategi tersebut dilaksanakan dengan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi perdesaan. Sebagai negara agraris, revitalisasi pertanian merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Jika selama ini sektor pertanian belum mampu menjadi andalan, maka ke depan sektor ini harus diubah menjadi tulang punggung ekonomi di perdesaan. Kehutanan perlu direvitalisasi sehingga mampu menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat di sekitar hutan tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan. Sedangkan di sektor kelautan sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, bahkan boleh dikatakan terbesar di Asia, namun belum didayagunakan secara maksimal. Ke depan, sektor ini diharapkan dapat terus ditumbuhkembangkan menjadi penyangga (buffer) ekonomi nasional. Pemerintah terus melakukan dan mencari langkah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai senjata memerangi pengangguran dan kemisknan. Anggaran yang dialokasikan untuk mengurangi kemiskinan jumlahnya terus meningkat. Tahun 2004 berjumlah Rp18 triliun, tahun 2005 meningkat menjadi Rp23 triliun, tahun 2006 Rp42 triliun dan tahun 2007 mendatang meningkat lagi menjadi Rp 51 triliun. Dalam setahun terakhir, terdapat penurunan pengangguran hampir 1 juta, dari total 11 juta menjadi 10 juta. Sayangnya, laju pertumbuhan angkatan kerja per tahun baru mencapai 1,5 juta orang. Maka, seperti disampaikan presiden usai rakor khusus membahas langkah-langkah bersama mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja bersama 12 menteri bidang ekonomi dan 6 gubernur se-Jawa di Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (14/12), kita harus melakukan langkah-langkah sangat gigih, sistematis, dan sangat terarah untuk sekali lagi menciptakan lapangan kerja tersebut. Sejumlah langkah nyata telah, sedang, dan terus diupayakan. Pengalaman banyak negara, juga pengalaman bangsa Indonesia, mengurangi kemiskinan dan pengangguran memang bukan langkah mudah. Dalam Kongres ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) XVI di Manado, 18 Juni lalu, Presiden SBY menegaskan, fokus mengurangi pengangguran dan kemiskinan ini semata bukan persoalan moral obligation, akan tapi juga persoalan keadilan. Karena itu pemerintah terus mengupayakannya secara gigih.
Segenap Pimpinan, Staf dan Karyawan Departemen Komunikasi dan Informatika Mengucapkan Turut Berduka Cita Atas Meninggalnya
Bp. Mayjen TNI (Purn.) M. Idris Gassing Inspektur Jenderal Depkominfo Semoga Arwah Beliau Diterima di Sisi Tuhan Yang Maha Esa dan Keluarga yang Ditinggalkan Diberi Kekuatan dan Ketabahan
2
Diterbitkan oleh: Tata Tertib Pendirian Tower Dunia teknologi komunikasi akhir-akhir ini berkembangnya sangat cepat. Pun termasuk dalam teknologi telepon seluler. Saat ini sedikitnya ada tiga perusahaan seluler yang terbilang dominan menguasai pasar di bidang teknolo gi komunikasi. Mereka dengan gencarnya melakukan berbagai terobosan terbaru. Pendirian tower merupakan salah satu manuver yang dilakukan oleh perusahaan seluler tersebut dengan tujuan untuk memberikan daya tangkap sinyal yang lebih kuat. Namun, apa jadinya jika pendirian tower tersebut tidak diawasi oleh pemerintah. Yang ada adalah banyak pemandangan tower yang berdiri tidak pada tempatnya. Masing-masing provider telekomunikasi akan berlomba-lomba membangun tow er untuk menambah pangsa pasar mereka. Dan tentu saja yang paling merasakan akibat pendirian tower liar tersebut salah satunya adalah tempat-tempat pariwisata, seperti Candi Borobudur atau tempat-tempat lain yang kental dengan pemandangan alam. Dan terkadang ditemukan pendirian tower liar menggunakan booster , penggunaan booster ini sangat mengganggu pengguna frekuensi lainnya. Harusnya penggunaan booster tanpa ijin ini harus ditertibkan. Semoga dari pihak pemerintah dapat menyikapi serta mengawasi dan bahkan dibuatkan Undang-undang tentang adanya pendirian tower-tower yang dilakukan oleh perusahaan teknologi komunikasi tersebut. Radjab Malawat
[email protected]
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika Penanggungjawab: Kepala Badan Informasi Publik Pemimpin Redaksi: Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Wakil Pemimpin Redaksi: Sekretaris BIP dan Para Kepala Pusat di BIP Sekretaris Redaksi: Richard Tampubolon Redaktur Pelaksana: Nursodik Gunarjo Redaksi: Selamatta Sembiring, Tahsinul Manaf, Soemarno Partodihardjo, Sri Munadi, Effendy Djal, Ridwan Editor/Penyunting: Illa Kartila, MT Hidayat, Dimas Aditya Nugraha Pracetak: Farida Dewi Maharani Desain D Ananta Hari Soedibyo Riset dan Dokumentasi Maykada Harjono K.
Pendidikan Masyarakat
Melek
Media
Untuk
Saya bingung dengan penyiaran di Indonesi a. Dari tiga pihak yang bersinggungan langsung – pemerintah, pengelola televisi, dan masyarakat – tak ada yang bisa dimintai pertanggungjawabannya tentang buruknya kualitas penyiaran Indonesia. Pemerintah tampak masih kebingungan dalam mencari solusi penyelesaian. Masih takut membuat aturan yang tegas dalam mengakomodir semua kepentingan. Terbukti “hanya“ menyerahkan semua perihal penyiaran pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara KPI masih mengandalkan semuanya pada laporan masyarakat. Baru bisa ”bergerak” setelah mendapat aduan ketidakpuasan dari para penonton. Padahal masyarakat Indonesia, menurut saya, masih banyak yang belum melek media. Masih gampang terbaw a arus tayangan yang disajikan matang oleh para pengelola teve. Belum mampu untuk menyeleksi tayangan yang layak untuk ditonton. Pihak pengelola teve sebagai sebuah industri tentu saja lebih berorientasi profit dalam membuat tayangan. R ating – sayangnya, hanya merupakan hasil karya sebuah lembaga survey yang tentu saja masih bisa diperdebatkan- seakan menjadi ”tuhan” yang menjadi patokan dalam membuat program. Dalihnya tentu saja, banyak penonto n yang suka dengan tayangan tersebut, terbukti dengan rating acara. Dengan alasan-alasan yang dibuat, baik oleh pemerintah, masyarakat, dan pengelola teve, tampak tak ada yang bisa dimintai pertanggunganjawab tentang rusaknya siaran televisi Indonesia. Masing-masing dengan argumennya. Sebagai solusi yang paling mungkin, bagi saya, ada di dua pihak, pemerintah dengan memperkuat aturan penyiaran atau paling tidak lebih mendetilkan aturan yang ada. Dan masyarakat dengan meningkatkan literasinya. Pengelola teve sebagai sebuah industri
Alamat Redaksi: Jl Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail:
[email protected]
desain cover: ahas. foto: goen
Strategi Triple Track Gempur Pengangguran dan Kemiskinan
Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi KomunikA dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.
mungkin hanya dapat diharapkan kesadarannya. Sebagai masyarakat, saya memi nta kepada pemerintah agar turut membantu meningkatkan standar literasi atau melek media. Depkominfo mungkin dapat berperan lebih banyak dalam mendidik masyarakat agar melek media. Dengan kampanye penyadaran publik, misalnya.
[email protected]
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
KESRA
KOMUNIKA
Tesa 129 Foto:ides
Fasilitas Curhat dan Perlindungan Hak Anak
Anita (10), yang seharusnya ceria bermain dengan teman-temannya, hari itu terlihat sedih, menangis tak berdaya dalam pelukan ibunya. Bocah kecil itu tampak kuyu. Sekujur tubuhnya biru lebam akibat pukulan sapu lidi ayah angkatnya.
S
Foto:dan
etiap hari pukulan sapu lidi tidak pernah absen tertoreh di tubuhnya. Kesulitan Anita untuk menghafal dan belajar membuat ayah angkatnya naik pitam. Setiap kali Anita salah dalam menghafal pelajaran, selalu ditimbali dengan pukulan. Apa yang terjadi kemudian? Bukan kemudahan menelaah dan menghafal pelajaran yang didapat Anita, sebaliknya dia justru semakin sulit menghafal. Ketakutannya pada sanksi fisik yang diterapkan ayahnya, membuatnya semakin sering berbuat kesalahan. Ironisnya, hal ini membuat dia mendapat semakin banyak pukulan. Rini, sang ibu yang sudah berusaha melindungi, tidak berd a y a , t i d a k mampu berbuat apa-apa.
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
Sangat tidak logis, kesalahan Angka 80 persen tersebut menunjukkan kecil harus dibayar dengan luka. kekerasan dalam keluarga menjadi Bukan hanya luka fisik, nadominan, permasalahan mun juga luka psikoloekonomi, disfungsi kegis, trauma berkel uarga, dan panpanjangan yang dangan salah me"Saya harus berdampak pangenai posi si bagaimana, anak saya sering da perkemanak menjadi menjadi sasaran kemarahan bangan jiwa penyebab timayahnya, apa yang harus saya anak kelak. bulnya kekelakukan? saya tidak tega melihat rasan terhaMengapa Terjadi? memar di sekujur tubuh anak saya, dap anak. Mengapa kekerasan "Sel ama tapi saya tidak bisa terhadap anak masih terus ini banyak termencegahnya", ucap Rini (32 terjadi? Hal ini terkait dejadi kekerasan tahun) melalui telepon diikuti ngan kultur sebagian mapada anak akisuara isak tangis, melalui syarakat yang masih mengbat anak diangTESA 129 Jakarta. anggap bahwa kekerasan megap sebagai hak rupakan bagian dari proses pendimi lik. Akibatnya, dikan yang dibutuhkan untuk menorangtua maupun disiplinkan anak. Anak yang nakal dan orang dewasa lainnya mesusah diatur kadang dijadikan alasan pemrasa berhak memperlakukan anakbenaran bagi orangtua untuk melakukan tin- anak mereka sesuka hatinya," ungkap Sekjen dakan kekerasan terhadap anak (child abu- Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka se). Hal ini diperparah dengan masih adanya Sirait. anggapan di tengah masyarakat bahwa masaIronisnya, jumlah kasus pelanggaran terlah mendidik anak adalah masalah internal hadap hak anak ini terus meningkat dari takeluarga. Kasarnya, mau dibikin apa seorang hun ke tahun. Arist mengungkapkan, diperanak, itu hak prerogatif orangtua. Anggapan kirakan jumlah kasus pelanggaran hak anak semacam ini bukan saja membuat orangtua tahun ini mencapai angka 13,5 juta, pelangmenjadi "superbody" bagi anak, namun se- garan ini terdiri atas tindak kekerasan, tidak cara tidak langsung juga mengu- dipenuhinya hak atas kesehatan, pendidikan, rangi hak anak untuk tumbuh ekonomi, dan juga hak-hak sosial lainnya. dan berkembang secara wajar. Persoalan Telepon Sahabat Anak anak yang maTelepon Sahabat Anak (Tesa) 129 merusih dianggap se- pakan wujud kerja sama antar departemen bagai masalah in- di antaranya Kementerian Pemberdayaan tern keluarga perlu Perempuan, Departemen Sosial, Departediwacanakan dalam men Komunikasi dan Informatika, lembaga ruang publik, sehing- pemerintahan terkait dan beberapa NGO ga intervensi komunitas yang berkonsentrasi di bidang perlindungan terhadap persoalan ini hak anak. Sebagai media pelayanan publik, menjadi lebih terbuka. Tesa 129 berupaya memberikan perlindungMengapa hal itu an yang terkonsentrasi pada perlindungan perlu dilakukan? Karena anak dari tindakan fisik, psikis dan seksual, pelaku child abuse perlakuan diskriminatif baik gender, suku, ras, bukan orang asing. Se- agama, maupun sosial-ekonomi. Layanan tersebut kini baru diluncurkan bagian besar justru di dua kota, yakni Jakarta dan Banda Aceh. dari keluarga sendiri. Seperti diung- Selanjutnya akan dibangun pula di Makassar kapkan Elly Yulian- dan Surabaya. Layanan bebas pulsa lokal Tesa dari, konselor Savy 129 yang beroperasi 24 jam ini merupakan Amira, sekitar 80 jawaban atas rekomendasi PBB bahwa sepersen tindak ke- mua anak harus memperoleh layanan yang kerasan yang me- mengakomodasi kebutuhan dunia mereka. nimpa anak-anak Praktiknya mirip layanan call center. Di ujung ternyata dilaku- telepon tersedia puluhan tenaga sukarela kan oleh pihak yang terdiri atas beragam profesi, yang keluarga sendiri, memberikan konsultasi gratis masalah anak. Mengapa Tesa diperlukan? Karena pada 10 persen terjadi di ling- banyak kasus, terdapat kecenderungan korkungan pen- ban atau saksi mata enggan menceritakan didikan, dan hal yang dialami secara terbuka. Beberapa 10 persen la- kasus, jika diungkap secara terbuka, akan innya dila- mencemarkan nama baiknya atau keluargakukan ol eh nya. Dalam kasus lain, pelapor takut bila menorang yang t i d a k ceritakan akan mendapat ancaman. Oleh m e r e k a karena itu, terobosan melapor melalui telepon secara anonim (tanpa memperlihatkan kenal.
identitas) diharapkan akan membuat mereka yang secara langsung maupun tidak langsung melihat tindak kekerasan terhadap anak merasa aman dan nyaman untuk menceritakan permasalahan tersebut. Selain sebagai media pengaduan dan konseling, Tesa juga memberikan informasi kepada masyarakat sebagai upaya preventif dalam mencegah terjadinya kasus-kasus tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak lainnya. Melalui jaringan kerja sama lintas instansi, Tesa 129 diharapkan dapat memberikan informasi tentang instansi terkait yang dapat dijadikan rujukan. Di Banda Aceh, Tesa lebih ditekankan untuk membantu anak korban kekerasan, pelecehan, trauma, perceraian dan konflik politik. "Isu seperti penelantaran, kekerasan, eksploitasi dan perdagangan anak, pemisahan anak dari keluarga dan pelanggaran hukum memerlukan perhatian besar pasca bencana tsunami. Tesa merupakan salah satu jalan keluar agar anak mudah mendapatkan dukungan dan pertolongan," kata Richard Sandison dari Plan International. Saat Tesa diluncurkan di Banda Aceh 23 Juli 2006, tanggapan dari masyarakat masih sepi karena adanya kendala aksesibilitas seperti belum pulihnya sarana telekomunikasi. Namun sejak November 2006, setelah sosialisasi dilaksanakan secara intensif dan diikuti dengan perbaikan jaringan telepon, berbagai pengaduan mulai masuk. Kendati demikian, hingga saat ini belum ada kasus besar yang dilaporkan, kebanyakan berupa 'curhat' seputar masalah trauma anak pasca bencana tsunami. Sedangkan di Jakarta, sejak diluncurkan Tesa langsung mendapat respon dari masyarakat. Seperti kasus Rini (bukan nama sebenarnya) di atas, kebingungan dan ketakutan yang dihadapi Rini, membawa ibunya untuk mengkonsultasikan masalah tersebut ke Tesa 129. Ia menceritakan semua kejadian yang menimpa anaknya. Perlakuan ayah angkat yang membawa luka psikis mendalam bagi ibu dan anak ini akhirnya dapat dihentikan berkat Tesa 129. Satu lagi yang telah memanfaatkan Tesa adalah Ratno (15 thn, juga bukan nama sebenarnya), remaja yang terperangkap dalam lingkaran kemiskinan. Kehidupan keluarganya yang fakir miskin, membuat dia tidak bisa melanjutkan keinginan dia untuk bisa terus belajar dan mencapai cita-citanya. Dia harus bekerja sebagai pengamen jalanan untuk membantu menyekolahkan adik-adiknya. Dia mencoba mencari teman bicara yang sekaligus dapat memberikan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Melalui Tesa 129, Ratno dirujuk ke dinas pendidikan setempat untuk dapat melanjutkan sekolah melalui paket B. Dalam kehidupan berbangsa di mana anak cucu merupakan penerus, permasalahan tindak kekerasan terhadap anak harus dijadikan permasalahan bersama, menjadi tanggungjawab bersama. Mulailah dari keluarga sendiri untuk mendidik anak secara proporsional dan menjauhkan kekerasan apapun bentuknya. (dw)
3
KESRA
KOMUNIKA Potret Perempuan di Pulau Lombok
Perjuangan Mencari Kesetaraan ‘’Saya harus tunggu dulu suami saya bekerja di Malaysia, baru saya bisa bekerja lagi,’’ ujar Anik (23). Setelah Seni (27), suaminya, diangkut pesawat udara beberapa pekan lalu, ia pun masih gelisah. Belakangan, SMS sang suami yang menyebutkan pekerjaan sudah diperolehnya, barulah Anik lega. Ia pun bisa bekerja kembali jadi pembantu rumah tangga (PRT). MENJADI PRT memang pilihan paling rasional bagi Anik. Bekal ijazah SD membuat ibu satu anak ini tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik. Di desanya, di kawasan Lombok Timur, bekerja ngerampek (panen padired) hanya diganjar upah Rp8.000 sehari. Kalau ditotal sebulan, upahnya hanya mencapai Rp240.000,00. Itu pun tak selamanya ada peluang, karena mesti berebut dengan beberapa sejawatnya yang mencoba mencari penghasilan sampingan. Tentu saja, upah tersebut tidak cukup sekadar untuk makan. Kalau jadi PRT, Anik tak perlu lagi memikirkan masalah makan, bahkan penghasilan sebesar Rp250.000 bisa langsung ditabung. Apa yang dilakukan Anik merupakan gambaran kemandirian perempuan di tengah himpitan ekonomi yang kurang bersahabat. Ia sendiri mengaku tidak harus menunggu kiriman penghasilan suaminya sebulan sekali, karena ada bekal hidup hasil keringatnya. Anik hanyalah satu contoh dari sekian ribu perempuan di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berusaha bertahan hidup. Namun, sayangnya upaya Anik ini, dalam beberapa kesempatan justru dijadikan "pembenaran" sang suami untuk tidak memberikan nafkah, lantaran gaji sang suami dikirimkan langsung ke rekening kakak iparnya. Itu artinya Anik hanya mengandalkan pekerjaan sebagai PRT untuk menyambung hidup, sembari menunggu kedatangan suaminya dua tahun lagi.
Foto: imagebank
Masih Terpinggirkan Data statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa perempuan merupakan mayoritas penduduk di NTB, 52 persen dari sekitar 4,2 juta total penduduk. Namun, jumlah besar tak serta merta menunjukkan perhatian yang cukup besar pula dari masyarakat. Kerap kali dalam setiap aspek kehidupan perempuan cenderung terpinggirkan. Permasalahan gender bisa dikatakan merupakan permasalahan yang sensitif di NTB. Sebagian masyarakat, termasuk kalangan elit dan terpelajar melihat konsep gender sebagai produk kebudayaan barat yang bertentangan dengan budaya setempat. Cara pandang inilah yang kemudian tercermin dalam semua segmen kehidupan. Perempuan dalam adat dan tradisi Sasak, suku asli di Lombok, berada pada kedudukan yang lemah. Dalam naskah Kotaragama yang menjadi referensi masyarakat Sasak, ada tiga hal yang patut digarisbawahi, yaitu pertama, perempuan tidak punya hak menjadi pejabat, kedua, perempuan tidak punya hak menjadi saksi dan ketiga, perempuan Sasak, tidak memiliki hak untuk terlibat dalam musyawarah-musyawarah adat.
4
Ketiga hal ini berarti perempuan tidak bisa menjadi pengambil dan penentu kebijakan serta tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan. Semua ini menempatkan perempuan dalam posisi yang termarginalkan. HL Agus Faturrahman, seorang Budayawan Sasak mengatakan, garis keturunan Suku Sasak menganut sistem patrimonial yang menempatkan laki-laki sebagai penerus keturunan. Masalah penerus keturunan ini berkaitan erat dengan hak waris, dimana perempuan tidak berhak menerima waris karena tidak menjadi garis penerus keturunan. Dalam peraturan pemerintahan Sasak sebelum masuknya Agama Islam, perempuan Sasak mendapat warisan seisi rumah sedangkan laki-laki mendapat rumah, sehingga jika terjadi perceraian perempuan harus meninggalkan rumah. "Tapi setelah masuknya Islam, justru terjadi penafsiran ajaran agama secara salah sehingga perempuan setelah bercerai malah tidak mendapatkan apa-apa," jelas Faturrahman. Ketika terjadi perceraian, perempuan tidak mendapatkan hak secara ekonomi, padahal keluarnya perempuan dari rumah kerapkali membawa serta anaknya, dan akhirnya menanggung beban hidup keluarga. Menurut Agus Patria dari Biro Hukum Setda Pemprop NTB, laki-laki di Lombok seringkali meninggalkan tanggung jawab untuk memberikan nafkah bagi keluarganya. Penafsiran budaya juga membawa dampak besar terhadap lahirnya praktek ketidakadilan lainnya. Budaya Pesaji, misalnya, menurut budayawan Sasak, M Yamin, dikenal di Lombok untuk menegaskan bahwa seorang istri dan anak perempuan tidak boleh makan sebelum suami atau anak laki-laki makan terlebih dahulu. Anak perempuan mendapat sisa ayah dan saudara laki-lakinya, sedangkan istri menunggu sisa dari anak. Begitupun dalam hal pendidikan. Orangtua merasa anak perempuan tidak perlu pendidikan tinggi, karena, toh, setelah menikah menjadi milik laki-laki. Akibatnya tingkat partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan sangat rendah dan angka putus sekolah perempuan terhitung tinggi. Tindak Kekerasan Termarginalkannya posisi perempuan dalam adat dan budaya menimbulkkan diskriminasi terhadap perempuan itu sendiri. Minimnya kesempatan perempuan untuk berpartisipasi aktif di ranah publik menyebabkan kehidupan perempuan seperti jalan ditempat. Keyakinan orang tua, bahwa tugas perempuan adalah menikah, mengurus rumah tang-
ga dan melahirkan penerus keturunan men ye-bab kan p eremp uan su lit men dapat kesemp atan mengen yam pendidikan. Satu akibat yang pasti, minimnya pendidikan perempuan menyebabkan mayoritas perempuan tergantung penuh kepada laki-laki sepanjang hidupnya. Sekalipun mampu “berdaya” pada sektor ekonomi non formal dan menjadi tulang punggung keluarga, namun belenggu adat dan tradisi tetap menyulitkan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya secara mandiri. Pada gilirannya, semua ini turut mendorong munculnya beragam kekerasan terhadap perempuan. Data angka kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan mencapai puncaknya pada tahun 2004, sebanyak 1280 kasus. Peningkatan ini bisa dimaknai secara positif atas mulai munculnya kesadaran perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya semakin tinggi. Padahal, banyak perempuan NTB sejak dini dicekoki pemahaman agama bahwa melawan suami apalagi membuka aibnya adalah dosa besar, sehingga mereka memilih untuk merahasiakan tindak kekerasan yang dialaminya. Selain itu, angka ini juga dapat dimaknai adanya respon positif atas kebijakan perlindungan terhadap perempuan dengan kegiatan utama advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Memberdayakan Perempuan Pemerintah bukannya menutup mata terhadap semua permasalahan perempuan yang ada di Lombok. Di bidang kesehatan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebanyak 45 miliar, yang sebagian besar digunakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan demi menurunnya AKI dan Angka Kematian Balita (AKB) serta penanganan gizi buruk. “Untuk anggaran kesehatan, NTB juga mendapat dana hibah dari lembaga-lembaga donor untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya, kesehatan ibu dan bayi, khususnya,” kata Kepala Bagian Kesehatan Biro Kesejahteraan Sosial Setda Propinsi NTB, Rohmi Khoiriyati SKM Msi. Masih menurut Rohmi, pemerintah sendiri, khususnya Biro Kesos banyak melakukan kerjasama dengan Pusat Studi Wanita untuk melakukan berbagai penelitian
dan kajian terkait kondisi perempuan Lombok. “Misalnya penelitian tentang gizi buruk yang dikaitkan dengan perilaku ibu, seperti posisi tawar ibu dalam keluarga, jumlah anak dan pola asuh yang baru-baru ini dilakukan,” katanya. Untuk program pemberdayaan perempuan sendiri, Pemerintah Provinsi NTB termasuk dalam sejumlah provinsi yang mendapat dana stimulan dari pemerintah pus at, yaitu mel alu i Kem enter ian Pemberdayaan Perempuan. Setiap tahun, sejak tahun 2001, Pemerintah Provinsi NTB mendapat kucuran dana kurang lebih sebesar Rp. 812 juta, yang dikelola oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan, Tenaga Kerja dan Keluarga Berencana, Biro Kesos Setda NTB. Dari informasi yang berhasil dikumpulkan KomunikA, sebagian besar dana tersebut digunakan untuk sosialisasi tentang program Pengarusutamaan Gender bagi stake holder, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Untuk program pemberdayaan perempuan sendiri, pemerintah memposisikan diri sebagai koordinator yang menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga seperti LBH Apik, LPA NTB, dan LSM lainnya yang lebih banyak bertindak sebagai eksekutor program pemberdayaan perempuan di masyarakat. Perubahan Pola Pikir Beberapa waktu lalu saat Puncak Peringatan Hari Ibu ke 78 di Taman Mini Indonesia Indah, Presiden SBY menyerukan agar perempuan mensejajarkan dirinya dengan pria, karena pada dasarnya perempuan juga memiliki potensi sebagai aset pembangunan dan berhak untuk menikmati hasil pembangunan. Bahkan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono mengajak semua untuk membudayakan kesetaraan dan keadilan gender sebagai misi dari kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam memberdayakan perempuan Indonesia di segala bidang. Tapi pada prakteknya membudayakan kesetaraan dan keadilan gender membutuhkan proses panjang karena merupakan proses perubahan pola pikir. Pola pikir harus diubah agar perempuan bisa mendapatkan haknya untuk menikmati pembangunan. Seperti seorang Anik. Mungkin Anik tidak mengerti apa itu gender, dia hanya berpikir untuk tidak terlalu tergantung dengan suami. Dan dia yakin dia mampu berdikari. Berbeda dengan sang suami, yang justru menilai mampunya Anik menghidupi diri menyatakan bahwa dia tidak perlu memberinya nafkah lagi, sehingga dia bisa mengirimkan hasil kerjanya pada keluarga besarnya. Karena itu, perubahan pola pikir seorang perempuan juga harus mendapat dukungan dari laki-laki. Laki-laki harus mengerti bahwa dengan berdikari bukannya perempuan tidak membutuhkan laki-laki. Seperti juga laki-laki, perempuan memiliki kebutuhan akan aktualisasi diri, tanpa melupakan keluarga. Jika perubahan pola pikir seorang perempuan untuk memperjuangkan dan mendapatkan hak-haknya mendapat dukungan penuh dari pria, barulah bisa dikatakan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, seperti yang selalu didengungdengungkan selama ini. (Ids/dari berbagai sumber)
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
PEREKONOMIAN
KOMUNIKA
Siang terik yang berdebu, Desa Nanga Badau tampak seperti desa mati. Senyap. Tak tampak kendaraan berlalulalang. Di rumah-rumah panggung yang bertebaran di kanan-kiri jalan hanya tampak beberapa perempuan dan anak-anak sedang duduk sambil mencari kutu. Mengapa suasana begitu sepi?
P
dhoyono, pembalakan liar (illegal logging) marak di wilayah Kapuas Hulu, bukan hanya di Badau tapi juga di kecamatan-kecamatan lain. “Bapak lihat sendiri, hutan di sini sama sekali habis,” tuturnya sambil menuding bukit-bukit gundul sekeliling desanya. Saat itu, urainya, ekonomi Badau meningkat dengan sangat pesat. Banyaknya warga setempat yang bekerja di sektor perkayuan, baik itu menjadi pengusaha, pengepul maupun penebang, membuat pendapatan warga melonjak. “Banyak warga bisa membeli kendaraan roda empat dan barang-barang elektronik mahal lainnya. Sekarang bekasnya pun masih ada. Bapak lihat sendiri di Badau ini banyak sekali mobil sekelas Pajero dibiarkan teronggok rusak. Itu mobil-mobil peninggalan jaman illegal logging dulu,” tuturnya. Sekarang, keadaannya berbalik 180 derajat. Begitu illegal logging diberantas oleh pemerintahan Presiden Yudhoyono, cukong-cukong kayu yang kebanyakan warganegara Malaysia kabur. Warga setempat menghentikan aktivitas pembalakan liar, namun yang terjadi banyak di antara mereka yang kemudian menjadi penganggur. Aktivitas perekonomian yang semula sangat tergantung pada bisnis kayu ilegal, secara drastis melambat dan kemudian berhenti total. “Sekarang jangankan toko, warung nasi pun jarang yang buka karena yang beli tidak ada,” kata Florensius. Maka jadilah Badau sebagai desa mati, kembali seperti jaman baheula. Adapun kehidupan perekonomian masih dapat berdenyut karena masih ada ringgit yang dibawa pulang para pelintas batas dari kebunkebun sawit negeri tetangga. Tergantung Negara Tetangga Kepala Sub-Bidang Perencanaan dan Pemberdayaan Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalimantan Barat Sahat Sinaga, dalam Workshop Pembangunan Daerah Perbatasan di Pontianak beberapa waktu lalu menyatakan, kondisi masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia jauh tertinggal. Perekonomian di daerah sepanjang sekitar 800 kilometer kini nyaris semuanya dikuasai pengusaha-pengusaha Malaysia, sementara perekonomian warga setempat tak berkembang. "Penguasaan" bukan berarti para pengusaha Malaysia melakukan ekspansi ke wilayah Indonesia, akan tetapi berupa ketidakmampuan warga setempat untuk mengelola ekonomi mereka sendiri secara swakarsa dan swasembada, yang pada akhirnya membuat ketergantungan mereka terhadap barang dan jasa asal negeri jiran sangat tinggi. Jangankan bahan pokok, sekadar butuh korek api pun mereka harus membeli dari Malaysia. “Tidak berkembangnya ekonomi daerah perbatasan di Kalbar karena beberapa waktu lalu pendekatan yang dilakukan hanya dari aspek keamanan. Pendekatan ini mem-
Foto: Gun
ertanyaan itu segera menyergap, saat KomunikA menyusuri Nanga Badau, Kec Badau, Kab Kapuas Hulu, Kalbar, bulan September lalu. Maklum, dua tahun lalu suasana desa di perbatasan RI-Malaysia itu begitu marak oleh aktivitas manusia. Dulu warungwarung nasi berjubel pembeli, pasar ramai, kendaraan baik roda empat maupun roda dua hilir mudik di jalanan. Tapi kini suasananya begitu berbeda. Selain sunyi, juga tak tampak laki-laki nongkrong atau beraktivitas. Ke mana para lelaki pergi? “Bapak sedang bekerja di kebun sawit,” kata seorang ibu yang sedang mencari kutu rambut anaknya, saat KomunikA menanyakan apakah suaminya ada di rumah. Tuntas sudah pertanyaan mengapa suasana Nanga Badau di siang hari tampak seperti “desa janda.” Rupanya hampir semua lelaki di desa itu bekerja di kebun kelapa sawit. Tapi jangan salah, mereka bekerja bukan di wilayah Indonesia melainkan di Serawak, Malaysia. Pertanyaan lain segera menyergap: Mengapa harus ke Malaysia, apakah di Badau tidak cukup tersedia lapangan kerja sehingga mereka berbondong-bondong melintas batas? Napsih (25), ibu yang sedang mencari kutu itu, menggelengkan kepala saat KomunikA mencoba menanyakan perihal ketersediaan lapangan pekerjaan di desanya. “Tidak ada lapangan kerja di sini. Semenjak para tauke kayu meninggalkan desa ini setahun lalu, ekonomi Badau seperti terhenti. Warung-warung tutup, pasar sepi. Uang sangat sulit didapat, sehingga ketika kebun kelapa sawit di sebelah (maksudnya negara tetangga Malaysia—Red) membuka lowongan pekerjaan, hampir seluruh lelaki di desa ini mendaftarkan diri dan diterima,” ujar perempuan asli Jawa Tengah ini. Banyaknya warga yang bekerja di kebun kelapa sawit di Serawak Malaysia itu dibenarkan Sekretaris Kecamatan Badau, Florensius Kanyan. "Setelah pembalakan liar di Kecamatan Badau berhenti, banyak warga yang alih profesi menjadi buruh harian di kebun kelapa sawit Malaysia," ujarnya. Ia bercerita, beberapa tahun sebelum pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yu-
Mengharap Hujan Emas di Negeri Sendiri
Stasiun pengisian BBM Lubok Antu, Serawak, Malaysia. Sebagian warga Kec Badau Kab Kapuas Hulu Prov Kalbar lebih suka membeli BBM dari sini.
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
buat aspek kesejahteraan masyarakat menjadi terabaikan,” katanya. Diakui Sahat, pendekatan keamanan memang sudah berakhir seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, namun kegiatan perekonomian di daerah perbatasan justru semakin memprihatinkan. Perdagangan ilegal merajalela tanpa bisa dicegah. Begitu pun penyelundupan mengalir deras dari Malaysia, yaitu berupa barang kebutuhan sehari-hari maupun dari Indonesia berupa hasil hutan dan pertanian. Ketergantungan masyarakat perbatasan Kalbar kepada Malaysia menjadi tinggi, karena mereka mendapatkan suplai barang-barang kebutuhan dari sana. “Pihak yang paling dirugikan adalah Kalbar, karena hampir semua kekayaan hutan di daerah ini diperdagangkan secara ilegal. Dari Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu saja, dulu setiap hari ada sekitar 130 truk bermuatan kayu dan melalui Entikong, Kabupaten Sanggau, ada sekitar 100 truk bermuatan kayu yang diselundupkan ke Malaysia. Sementara nyaris seluruh kebutuhan pokok disuplai melalui 'jalan-jalan tikus' dari Malaysia,” ujarnya. Kendati sekarang illegal logging sudah berhenti, toh bukan berarti ketergantungan kepada negara tetangga Malaysia ikut berhenti. Justru kekosongan aktivitas perdagangan telah membuat masyarakat setempat makin tergantung kepada Malaysia. Bayangkan, untuk mendapatkan bahan makanan pokok seperti beras, gula, BBM dan barang konsumsi lainnya, masyarakat Badau membeli dari Lubok Antu, Serawak. “Jaraknya lebih dekat dan transportasinya lebih lancar,” kata Kutjai Apin, warga Badau. “Jika membawa dari ibukota kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau, selain jaraknya lebih jauh, harganya juga lebih mahal.” Tak pelak, di sektor ekonomi ini negara tetangga lebih dilirik daripada negara sendiri. Lebih-lebih setelah belakangan ini makin banyak warga Badau bekerja di perkebunanperkebunan kelapa sawit Malaysia, secara ekonomis ketergantungan mereka terhadap negara tetangga juga semakin tinggi. “Kebanyakan ketertarikan warga Indonesia untuk bekerja di Malaysia adalah karena gaji yang lebih besar. Sebenarnya hanya sekitar 200-500 ringgit sebulan, tapi kalau dirupiahkan jumlahnya menjadi besar,” kata Wijayakusuma, peneliti senior di Universitas
Foto: Gun
Ekonomi Perbatasan
Kondisi warga perbatasan Kalbar-Malaysia di Kec Entikong, butuh perhatian serius. Tanjungpura, Pontianak di sela-sela Seminar Penge-lolaan Isu Publik Daerah Perbatasan di Hotel R ed Top Pecenongan Jakarta pertengahan Desember lalu. Hal yang sama terjadi di Nunukan dan Malinau, Kaltim. Di dua kabupaten yang berbatasan dengan Sabah Malaysia ini, ketergantungan warga RI secara ekonomis terhadap negara tetangga terlihat dengan banyaknya mata uang Ringgit Malaysia (RM) yang beredar di pasaran. Karena transaksi lebih sering terjadi dengan pihak Malaysia, maka konsekuensinya RM lebih banyak dipergunakan daripada rupiah. "Saya kira, semua tak akan terjadi jika pemerintah terus membangun wilayah perbatasan, sehingga kondisinya bisa seimbang dengan negara tetangga," kata Wijaya. Benar apa yang disampaikan Presiden Yudhoyono, bahwa kawasan perbatasan mestinya tidak lagi dilihat sebagai bagian belakang negara Indonesia, tetapi sebagai wajah Indonesia. Oleh karena itu, tak ada cara lain, pemerintah memang harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh agar ketimpangan sosial ekonomi dengan daerah lain dapat diatasi. Memang ada pepatah lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang. Akan tetapi yang menjadi harapan semua orang tentu hujan emas di negeri sendiri. Betul nggak, friend? (g)
Lain Badau, Lain Belu
L
ain lubuk, lain ikannya. Lain ladang lain pula belalangnya. Demikian pula keadaan di Badau, Nunukan dan Malinau, sangat berbeda jika dibandingkan dengan yang terjadi di Belu dan Atambua, Nusa Tenggara Timur. Jika di Badau ketergantungan warga Indonesia terhadap produk barang dan jasa dari negara tetangga sangat tinggi, maka di Belu dan Atambua justru terbalik, warganegara tetangga (Timor Leste) yang secara ekonomi sangat tergantung kepada RI. "Bahkan pejabat Timor Leste dalam sebuah forum pernah meminta warga NTT untuk membantu ekonomi Timor Leste," kata Prof. Dr. Alo Liliweri,MS, staf pengajar Universitas Nusa Cendana, Kupang dalam Seminar Pengelolaan Isu Publik Daerah Perbatasan di Hotel Red Top Pecenongan Jakarta. Menurut Prof Alo, aktivitas perdagangan terutama jual-beli bahan kebutuhan pokok di perbatasan RI - Timor Leste memang 'dikuasai' oleh pedagang-pedagang Indonesia. "Hanya sayangnya, aktivitas pasar legal lintas negara kalah ramai dibandingkan dengan pasar gelap," imbuh Alo. Salah satu sebab mengapa aktivitas perdagangan lintas negara marak terjadi di Belu
dan Atambua adalah karena adanya persamaan suku, bahasa, budaya dan hubungan kekerabatan antara warga Timor Leste dengan warga NTT. Pantauan Tim Pengelolaan Isu Aktual Daerah Perbatasan BIP di lapangan, Departemen Komunikasi dan Informatika ham pir s eluru h bar ang yang diperdagangkan di wilayah Timor Leste berasal dari NTT. Pedagang antusias memasukkan barang ke Timor Leste karena bisa menangguk keuntungan besar. Maklum harga barang-barang di Timor Leste sangat mahal. Bahkan untuk komoditas seperti BBM dan bahan kebutuhan pokok, harganya bisa naik tiga kali lipat dibandingkan dengan harga di Belu atau Atambua. "Imbasnya, aktivitas perdagangan gelap BBM dan bahan pokok banyak terjadi. Upaya pemberantasan penyelundupan sudah sering dilakukan, namun sejauh ini belum menunjukkan hasil maksimal," kata Kepala Badan Informasi dan Komunikasi Prov NTT, Drs Umbu Saga Anakaka MM. Tak pelak, tindakan tegas pemerintah untuk mengatur daerah perbatasan mutlak diperlukan. Jika tidak, perbatasan bisa menjadi pintu keluar-masuk barang ilegal, termasuk senjata api dan narkoba. (g)
5
Kawasan perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah baik untuk kepentingan nasional maupun hubungan antar negara (internasional). Secara geografis, posisi RI yang diapit oleh dua benua dan dua samudera, mempunyai batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga.
P
erbatasan langsung atau darat terdiri dari tiga negara yaitu Malaysia, Timor Leste, dan Papua New Guinea ( PNG) . Sedangkan batas laut wilayah (teritorial), landas kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) meliputi 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Timor Leste dan Australia. Sejauh ini, situasi perbatasan sangatlah kompleks, ba-
nyak permasalahan batas wilayah antar negara baik batas di darat maupun di laut yang membutuhkan perhatian lebih baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. B er bagai kebi jakan dan pend ekata n, be lum b isa menuntaskan permasalahan yang ada. Mulai kasus penyelundupan barang dan hasil bumi sampai penyelundupan manusia; dari suap menyuap sampai pelanggaran kekerasan fisik yang serius; perampasan tanah sampai konflik komunal; dari aktivitas ekonomi terbuka atau pasar untuk menjual komoditas yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, sampai aktivitas yang sifatnya tertutup seperti transaksi seks, perjudian, bahkan sampai perdagangan manusia serta gangguan keamanan. Tentunya banyak faktor yang menjadi penyebabnya, selain faktor geografis yang membuat kawasan perbatasan umumnya relatif terpencil serta kurang memiliki dukungan fasilitas publik yang kurang optimal, lantaran secara demografi jumlah penduduk yang mendiami kawasan tersebut relatif minim. Selain itu bisa jadi pelayanan publik yang wajib disediakan pemerintah seperti bidang kesehatan dan pendidikan pun acapkali belum dapat diterima secara optimal oleh warga negara di kawasan perbatasan lantaran keterbatasan sumber daya manusia dan keterbatasan pendanaan. Bayangkan, untuk menjangkau Kecamatan Badau, Kab Kapuas Hulu, Kalbar, membutuhkan waktu hampir 20 jam perjalanan darat dari Pontianak. Sementara jika melalui jalan udara melalui ibukota kabupaten, Putussibau, dibutuhkan biaya sekitar Rp700 ribu, dan tidak setiap hari ada jadwal penerbangan. Padahal sejatinya, kawasan perbatasan memiliki potensi besar dan memiliki prospek yang menguntungkan untuk dikembangkan bagi kepentingan pertahanan keamanan, pengembangan perekonomian dan berbagai kasus khusus terkait dengan permasalahan hubungan antar warga negara. Hal terakhir inilah yang menjadi krusial di kawasan perbatasan darat langsung. Berikut ini kisah dari empat kawasan perbatasan langsung darat yang menjadi lokasi Pengelolaan Isu Aktual Daerah Perbatasan oleh Pusat Pengelolaan Pendapat Umum, Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informatika. Dari Patok Batas Nasionalisme Hingga Layanan Publik Kawasan perbatasan di Kalimantan Barat mendapat sorotan pemerintah terutama di bidang pembangunan sarana telekomunikasi. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan 26 juta Euro untuk pembangunan stasiun televisi dan program komputer sekolah perbatasan, serta 8 ribu desa-desa pedalaman yang tersebar di nusantara. Ketertinggalan kawasan perbatasan antar negara diakui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Sofyan A Djalil. Dicontohkannya, kondisi perbatasan Kalbar-Sarawak sangat kontras. “Siaran televisi Indonesia sangat sulit didapatkan di Kawasan perbatasan. Pada sisi lain, siaran televisi Malaysia justru masuk dan menguasai siaran sepanjang perbatasan,” jelas Menkominfo. Kasus-kasus lain di kawasan perbatasan selama ini menyangkut pe lang gar an prosedur
Foto: Rich
LAPORAN UTAMA 6
keimigrasian (pelintas batas secara ilegal), penyelundupan barang/ orang, pencurian sumber daya alam, terutama di kawasan yang sulit/ jauh dari jangkauan pengawasan. Hal ini bisa jadi diakibatkan pula oleh adanya kenyataan masih sederhananya tanda-tanda (patok) batas daerah, sehingga dengan mudahnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab memindahkan posisi atau merusaknya karena semata-mata mereka ingin mencari keuntungan dengan mengabaikan risiko melanggar kedaulatan suatu negara. “Secara khusus, dari aspek komunikasi selama ini masyarakat perbatasan memang jauh lebih mengenal pemerintah dan kebijakan negara tetangga, sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat,” kata Drs Wijaya Kusuma MA, peneliti senior di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Mulai 2006, Pemerintah Kabupaten Sintang terus meningkatkan pembangunan infrastruktur pendidikan di kawasan perbatasan, seperti pembangunan SMPN Jasa dan SMPN Nanga Bayan Ketungau Hulu. “Upaya ini jelas akan mempengaruhi keterikatan warga kawasan perbatasan terhadap NKRI pula,” cetus Wijaya. Secara umum, lanjut Wijaya, perhatian pemerintah kepada kawasan perbatasan terkesan dengan pendekatan keamanan (security approach) dalam arti sempit. Belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat,” ungkap pengajar FISIP Untan ini. Sejalan dengan logika ini, Wijaya menyarankan adanya pendekatan prosperity/development approach pada tingkat nasional, ataupun regional development approach pada tingkat kawasan agar lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia di kawasan perbatasan. “Tokoh acuan seperti ketua adat, selama ini masih sangat dihormati dan memegang peranan sentral di lingkungan masyarakat perbatasan Kalbar,” kata Wijaya. Potensi ini merupakan hal besar yang bisa diberdayakan oleh pemerintah daerah maupun pusat guna mengembangkan berbagai kebijakan pengel olaan kawasan perbatasan. Menurut Ir Sukaliman, dari Badan Komunikasi dan Informasi Provinsi Kalimantan Barat, paradigma penanganan kawasan perbatasan sudah diubah dari pendekatan keamanan ke kesejahteraan. “Kita telah mengembangkan empat wilayah pembangunan. Kami menyebutnya dengan BDC (Border Development Centre). Kita akan bangun sekolah-sekolah unggulan, membangun rumah susun di kawasan perbatasan, dan mengembangkan KIM (Kelompok Informasi Masyarakat--red) di 5 kabupaten,” terang Sukaliman. Saat ini ada 28 KIM di wilayah perbatasan yang diharapkan menjadi sarana akses pemerintah untuk kegiatan sosialisasi kebijakan maupun penyerapan isu publik. “Sampai saat ini, kami sudah memberikan bantuan kepada tiga radio komunitas di tiga kabupaten kawasan perbatasan,” imbuh Sukaliman. Belajar dari Pengalaman Sipadan-Ligitan Kawasan perbatasan di Kalimantan Timur merupakan kawasan yang terletak di sepanjang kawasan perbatasan antara Negara Republik Indonesia dengan Negara Malaysia Bagian Timur (Sabah dan Serawak). “Ketertinggalan dengan negara tetangga secara sosial maupun ekonomi dikhawatirkan dapat berkembang menjadi kerawan yang bersifat politis secara jangka panjang. Untuk itu, diperlukan langkahlangkah percepatan pembangunan melalui pengelolaan kawasan perbatasan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga,” kata Bernardus Saragih PhD, dari Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman. Memang permasalahan perekonomian sangat mengedepan di kawasan perbatasan di Kalimantan Timur ini, lantaran tingginya harga kebutuhan sehari-hari dan keterbatasan peluang kerja. Hal ini diakui juga oleh Nurdin Ar MSi, Kepala Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Timur, yang menggambarkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan ekonomi realatif jauh dari pemukiman masyarakat di perbatasan. “Sehingga migrasi penduduk ke daerah yang berpotensi ekonomi tak terhindarkan dan pada gilirannya mengakibatkan kawasan perbatasan tidak semakin terjaga oleh masyarakat. Terutama dengan telah terbentuknya Kabupaten Malinau mengakibatkan perpindahan pejabat dan pendidik dari kawasan perbatasan atau terpencil ke daerah kota, seperti Malinau," jelasnya. Pemerintah daerah pun tengah mengupayakan cara untuk mengu-rangi perpindahan penduduk tersebut dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru seperti pembukaan isolasi per-hubungan dan komunikasi. ”Namun, kendala utama pemerintah ada-lah panjang wilayah perbatasan. Sementara itu, beberapa kawasan perbatasan adalah daerah pemekaran. Tentu saja memiliki keter-batasan sarana prasarana pelayanan publik,” imbuh Nurdin. Hal senada ditegaskan Saragih, “Lebih dari 80 persen kawasan perbatasan berupa taman nasional, hasil kesepakatan internasional tempat tersebut merupakan plasma hijau dunia. Tentu akan banyak yang protes jika dijadikan wilayah kelapa sawit,” kata dosen Fakultas Kehutanan ini. Pengembangan kawasan perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh, meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang
Edisi 20/Tahun II/Desember 20
Tapal Batas Bumi Cenderawasih Perbatasan wilayah negara Indonesia dan PNG yang membentang dari Pantai Utara sampai Selatan Papua (Jayapura-Merauke) berjarak kurang lebih 780 Km melintasi kota dan kabupaten-kabupaten: Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digoel dan Merauke. Kota Jayapura dan kabupaten Merauke lebih terbuka akses hubungan antara PNG dan Indonesia karena telah terhubung dengan jalan darat yang cukup memadai serta melalui transportasi laut dengan menggunakan motor tempel. Masalah kawasan perbatasan yang dihadapi di Indonesia bagian Barat berbeda dengan di wilayah Indonesia timur. Di Indonesia bagian Barat, masalahnya lebih kepada perubahan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Mereka lebih banyak mencari nafkah di negara tetangga (Kalimantan dengan Malaysia, Brunai Darusalam), yang memang lebih banyak menyediakan lapangan pekerjaan dan memberi jaminan kesejahteraan ekonomi lebih baik. Sebaliknya di bagian Timur Indonesia, khususnya provinsi Papua dan PNG lebih banyak mengenai faktor keamanan. “Masyarakat perbatasan pergi ke PNG karena fak-
Edisi 20/Tahun II/Desember 2006
pura. Pem erint ah se jatin ya sud ah da n ter us me la-ku kan pem bangu nan d i seg ala b idan g, sa lah s atuny a ada lah pembangunan Jalan Trans Irian yang dibangun sejajar dengan kaw asan perbatasan sehingga masyarakat di sepanjang perbatasan mulai kembali untuk mendiami kampung-kampung yang ditinggalkan sebelumnya. Selain itu pemerintah menempatkan transmigran di sepanjang Jalan Trans Irian yaitu di Arso, Sota dan Muting. Penaman modal juga telah membuka agrobisnis (kelapa sawit) dan pabrik tripleks di Asiki Kabupaten Boven Digoel yang membuka isolasi di wilayah perbatasan. Usaha-usaha pemerintah maupun pengusaha di sepanjang perbatasan Merauke mendapat sambutan dari masyarakat untuk turut serta dalam pembangunan dalam ben tuk p emuki man sukar ela d i dae rah-d aera h pro yek pembangunan sekaligus bekerja di proyek pem-bangunan tersebut. Sebab nampaknya di PNG tidak memberi akses kehidupan yang baik sehingga masyarakat perbatasan lebih cenderung untuk ke Indonesia. Pekerjaan Bersama Sementara itu Riwanto Tirtosudarmo PhD dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengingatkan kembali penanganan masalah kawasan perbatasan. “Secara umum, mungkin masalah yang muncul di Kalimantan adalah masalah ekonomi. Papua adalah masalah keamanan dan politik. Karena itu, karakteristik masalah perbatasan harus dilihat dulu, lantas bisa dipe-cahkan. Namun yang penting adalah pengelolaan opini publik di kawasan perbatasan,” tegas peneliti kawasan perbatasan ini. Berlainan dengan Negara Jepang dan Korea yang masyarakatnya homogen, Indonesia merupakan negara multietnis. Karena keberadaan kelompok masyarakat berperan cukup penting sebagai benteng hidup keutuhan negara, maka kurangnya perhatian negara terhadap mereka, dapat menimbulkan masalah tersendiri. Bagaimanapun, permasalahan yang ada di kawasan perbatasan sangatlah beragam. Tak urung, Presiden Yudhoyono pernah menegaskan bahwa kawasan perbatasan harus dilihat sebagai bagian depan bangsa Indonesia,sehingga mesti dikelola secara baik untuk mengantisi pasi tindak kejahatan lintas negara dan mengejar ketertinggalan dengan negara lain. ”Dalam persoalan kawasan perbatasan ada dua konsep besar, yakni political geography dan human teritoriarity, ” kata Profesor Sjafri Sairin PhD dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Persoalannya kemudian, me-nurut Sjafri adalah bagaimana membuat secara jelas agar political tidak mengganggu human. Ia lantas mencontohkan bagaimana perkembangan di Uni Eropa itu sangat menarik, ketika orang bi-sa melintas batas sedemikian mudah agar terbangun human relation yang bagus. ”Ini pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan pemerintah,” tegas Sjafri. Di sisi lain, kawasan perbatasan darat merupakan jalan yang mudah diakses penduduk kedua pihak. Sebagai contoh, kawasan Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Kalimantan, Papua dengan Papua Niugini, dan sekarang dengan Timor Timur di Timor Tengah Utara, Timor Barat, NTT. Masyarakat yang berdiam di kawasan perbatasan dapat berhubungan langsung dengan negara tetangga tanpa melalui prosedur yang ketat, karena melewati jalur darat langsung dan sebelumnya telah ada lalu lintas perdagangan tradisional yang sudah lama berlangsung dan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial-budaya di kawasan
Ir B Saragih MSc PhD
Prof Dr Alo Liliweri MS
Foto: Mth
efektif dari mulai Pemerintah Pusat sampai ke Kabupaten/ Kota. Cerita dari Tetangga Negara Termuda Permasalahan pembangunan di kawasan perbatasan dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) tidak saja menjadi masalah lokal namun juga oleh pemerintah pusat. Sebab, kawasan perbatasan ini relatif belum lama tercipta. Secara garis besar, upaya pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan NKRI-RDTL di Kabupaten Belu terbagi dalam tiga fase, yaitu pertama Fase Tanggap Darurat, kedua Fase Peralihan dan ketiga Fase Pengembangan. Fase pertama dan kedua telah dilewati, dan sejak tahun 2002 hingga kini telah masuk fase ketiga yang ditandai dengan upaya percepatan pembangunan kawasan perbatasan. Permasalahan pelintas batas dan perdagangan illegal sangat mengedepan di kawasan perbatasan Indonesia dengan negara termuda di dunia, Timor Leste. Secara umum persepsi masyarakat terhadap kawasan perbatasan cukup baik karena mereka mengetahui dan memahami secara benar eksistensi kawasan perbatasan yang mereka diami, apalagi didukung oleh faktor kesamaan etnis antara warga di perbatasan. “Ada prinsip yang berkembang diantara orang Timor, kami bukan pelanggar perbatasan, tapi perbatasanlah yang melanggar kami. Karena sejak dahulu kami tidak mengenal perbatasan,” kata Profesor Dr. Alo Lilweri dari Universitas Nusa Cendana, Kupang. Persoalan kultural memang salah satu hambatan besar dalam penanganan masalah perbatasan, namun demikian melihat pada kenyataan dan permasalahan yang ada di kawasan perbatasan yang cukup beragam dan memiliki karakteristik tersendiri, maka kehadiran dan peranan pemerintah sangat urgen dan memiliki nilai tersendiri. Sebagai bagian dari komunitas masyarakat Indonesia, masyarakat di kawasan perbatasan. Tidak bisa diingkari bahwa untuk membuat kebijakan pemerintah yang berbasis kebutuhan masyarakat, mutlak diperlukan informasi yang memadai tentang dinamika kehidupan masyarakat perbatasan itu sendiri. Apa saja yang diperbincangkan masyarakat dalam polapola komunikasi interpersonal mereka (terutama menyangkut masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya), bagaimana mereka bersentuhan dengan media massa, bagaimana tingkat keterbukaan masyarakat terhadap halhal baru dan sebagainya, merupakan informasi dasar yang harus diketahui oleh pemerintah sebelum membuat kebijakan. Suatu kebijakan dibuat karena adanya masalah yang dirasakan dan dialami oleh masyarakat secara luas. Kejelian pemerintah menangkap gejolak yang menjadi masalah masyarakat luas itulah yang merupakan prasyarat untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran. Satu hal penting yang tidak dapat diabaikan yaitu partisipasi masyarakat. Tanpa adanya partisipasi masyarakat maka kebijakan atau program kerja pemerintah menjadi tidak bermakna. “Dukungan dari masyarakat hanya bisa didapat jika pemerintah (sebagai pembuat kebijakan) mengetahui secara pasti bagaimana masyarakat memperlakukan informasi yang ada serta komponen-komponen sistem sosial apa saja yang akan mempengaruhi keterlibatan mereka,” kata Prof. Dr. Alo Liliweri.
Drs Wijaya Kusuma MA
Johannes Krey SH perbatasan. Karenanya perlu disusun upaya yang strategis dan sistematis untuk penanganan dan antisipasi potensi separatisme dan potensi gangguan keamanan di kawasan perbatasan. Pada tahapan awal, upaya ini dapat dilakukan dengan mengkaji isu-isu apa sajakah yang menjadi perhatian publik atau masyarakat kawasan perbatasan terkait dengan kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah. Dua hal ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan memberikan kerangka dasar dan acuan pengambilan kebijakan untuk pengelolaan kawasan perbatasan. Untuk mengelola isu publik di kawasan maka menurut Dr Sutarto MA dari Universitas Jember, hal yang paling berperan adalah kebudayaan. “Lihat saja gasing dari local identity menjadi sebuah kebudayaan nasional. Tanpa adanya perekat budaya maka akan kacau. Untuk mengkaji dan memahami masalah yang ada di sekitar maka harus ada perkembangan budaya,” kata Sutarto. Pendekatan budaya dalam pandangannya salah satu cara penyelesaian dari masalah-masalah yang ada di masyarakat agar tidak ada kesenjangan di masyarakat dalam apresiasi terhadap peradaban. (mth)
Foto: Johannes Krey
tor hubun gan ke kerabatan (keluarga) dan masalah hak atas tanah (hak ulayat). Jika dibandingkan dengan kondisi di negara tetangga, dalam aspek ekonomi, kenyamanan, pendidikan, kesehatan, jelas lebih baik di Indonesia,” kata Johannes Krey, SH Ketua Lembag a Peng abdian Kepada Masyarakat Universitas Cenderawasih, Jaya-
7
KOMUNIKA
WAWANCARA
Telepon Radio dan Teve Perbatasan LIPI:
Dekatkan Masyarakat Perbatasan Dengan NKRI Rustini S Kayatmo Peneliti Pusat Peneliti Elektronika dan Telekomunikasi LIPI, Bandung
Teve perbatasan, sebenarnya program seperti apa?
Jadi LIPI punya program kompetitif. Program-program unggulan hasil penelitian yang sudah siap diimplementasikan. Pengujiannya sudah lama dan siap digunakan di masyarakat. Nah, salah satu subprogramnya adalah wilayah perbatasan. Di bawah subprogram ini ada bermacam-macam kegiatan pene-litian. Ada penelitian sosial politik, kajian rekayasa teknologi, rancang bangun, macam-macam lah. Kalau yang kami ta-ngani di Pusat Penelitian Elektro dan Telekomunikasi, untuk perbatasan hanya ada dua, teve dan telepon radio. Kalau untuk daerah perbatasan sendiri, sebenarnya programnya banyak. Ada solar cell (pembangkit listrik tenaga matahari--red) dan lainnya.
Di daerah perbatasan, apa yang LIPI lakukan?
Kami baru menjamah Kalimantan dan NTT. Papua mungkin 2008. Secara garis besar kami melakukannya dengan bertahap. Pertama, masuk dengan Teknologi Tepat Guna (TTG) di bidang pertanian, perikanan dan semisalnya. Kemudian akan terdeteksi kebutuhan masyarakat lainnya semisal, penerangan, transportasi, pengolahan es dan lainnya.
Sejak kapan program ini berjalan?
Sebenarnya program teve perbatasan sudah ada sejak zamannya LEN (Lembaga Elektroteknika Nasional-red), badan sebelum ada LIPI. Kalau tidak salah sekitar tahun 1976-an. Tapi frekuensi yang digunakan masih VHF (very high frequency). Kemudian sejak LIPI lepas dari LEN, penelitian itu dibawa mereka, jadi PT LEN Industri, perusahaan BUMN.
LIPI masih ikut meneliti juga?
Kami yang tetap di LIPI mulai meneliti pemancar UHF (Ultra High Frekuency). Penelitian dilakukan sejak tahun 2000, tapi implementasinya baru mulai 2003.
Dari tahun 1976 sudah berapa banyak yang terpasang?
Wah tidak tahu, sejak LEN masuk BPIS (Badan Pengelolaan Industri Strategis), kami tidak tahu lagi. Seingat saya, kurun 1976-1980 lebih dari 300 unit pemancar teve VHF yang terpasang. Tapi bukan di daerah perbatasan.
Lantas?
Pemasangannya bisa dipakai di mana saja. Tapi kemudian penerapannya kami ikutkan di program perbatasan. Tapi perangkatnya sendiri tidak menutup kemungkinan dapat digunakan di tempat lain. Di daerah blank spot, desa terpencil dan lainnya.
Pemancar UHF LIPI, berapa banyak yang telah terpasang? Pada tahun anggaran 2003 dan 2004 relay pemancar
dipasang di Belu NTT, 50 watt; Rote Ndao, 100 watt. Juga Tahun 2005 di Timor Tengah Utara (TTU) NTT tepatnya di kota Kefamenanu dengan kemampuan daya pancarnya sebesar 100 Watt dua kanal. Di Bangka Induk – Babel, 100 dan 300 watt, Bontang – Kaltim, 300 watt. Pada 2006 ini, kami pasang di Nunukan – Kaltim dan Aikesak – NTT.
Bagaimana proses pemasangannya?
Pada tahap perencanaan, kami lakukan survei lapangan untuk mengetahui perambatan gelombang radio, propagasi dan perencanaan pemancar televisi. Survei itu untuk mendapat data tentang lokasi pemancar, ketinggian lokasi, kondisi tanah untuk grounding, frekuensi komunikasi yang ada, coverage daerah dan mendata sarana dan prasarana yang ada.
Kemudian?
Setelah itu kami tentukan berapa kuat daya pancar yang dibutuhkan untuk meng-cover area tersebut. Ada tiga pilihan, 50, 100 dan 300 watt. Dicari yang paling ekonomis.
Makin besar, makin luas daya pancarnya?
Bisa semakin luas, jika daerahnya datar. Kalau daerahnya bergunung-gunung, ada faktor lain yang mempengaruhi. Luas daya pancar tergantung pada tinggi tower dan kuat watt pemancar. Sama kondisi geografis daerah. Alangkah baiknya pendirian itu berdasarkan geografis yang ada, kemudian kita perhitungkan. Kalau daerahnya tinggi dan bergelombang, maka dibutuhkan antena dengan penguatan yang besar. Untuk pemancar pun demikian. Jika 100 watt dan dipancarkan dengan 4 panel antena, daya yang keluar akan lebih besar dibanding hanya satu antena. Kalau daerah cakupannya kecil, mungkin satu saja sudah cukup.
Jika diambil rata-rata, berapa luas pancarannya?
Mungkin sekitar radius 5-10 km. Radius ya, r (jarijari–red) bukan d (diameter-red). Kemampuan mengcover penduduk dihitung saja berapa populasinya.
Bagaimana prosedurnya jika daerah ingin memasang alat ini? Kami tidak mengurus software-nya. LIPI hanya hardware-nya, alat pemancar dan antena saja. Daerah harus menyiapkan menara dan bangunan pengendali. Singkatnya, harus ada infrastruktur yang disiapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Foto: Dan
Apa saja?
Rustini beserta salah seorang rekan kerja dan perangkat teve perbatasan hasil karya tim peneliti LIPI.
8
Foto: Dan
D
ulu, diakui atau tidak, kawasan perbatasan kerap dianggap sebagai ruang belakang alias mendapat perhatian paling bontot dari pemerintah. Kini paradigma tersebut telah banyak berubah, banyak program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah berjalan di wilayah yang berbatasan daratan langsung antara Indonesia dan negara-negara tetangga. Sebut saja program teve perbatasan yang sudah berlangsung sejak tahun 70-an. Dulu, dengan perangkat sederhana semisal antena penerima frekuensi, kesadaran menjaga kawasan perbatasan dari terpaan informasi negeri tetangga telah terbangun. “Apapun programnya, tujuan utama adalah mendekatkan masyarakat kawasan perbatasan kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia – red),” jelas Rustini S Kayatmo, peneliti yang bertugas di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI, Bandung. Alumni Teknik Elektro ITB ini bersama beberapa orang peneliti PPET lain telah menggagas teve dan radio perbatasan ber-budget minim. Reporter KomunikA berkesempatan mewawancarai peneliti senior LIPI ini di kantornya di kawasan Cisitu, Bandung. Berikut adalah petikan wawancaranya :
Ruangan, ukuran bebas; menara standar TVRI, tinggi terserah, tapi biasanya rata-rata 65 meter. Listrik minimal 20 KVA.
Berapa harga untuk satu alat pemancar?
Satu paket, pemancar dan antena, harganya kirakira Rp200 juta. Itu antenanya hanya 4 buah. Beda
harganya kalau 16 antena. Bisa menangkap dua saluran teve.
Tentang telepon radio?
Tujuan sebenarnya memang agar masyarakat perbatasan bisa bertelekomunikasi. Hanya saja juga diberdayakan sebagai wartel. Kita pasang di sana, mereka sangat puas. Karena diberdayakan sebagai wartel jadi pemasukan buat pemda setempat juga cukup lumayan. Di sana kan transaksi pakai dolar. Sebulan bisa Rp3 juta.
Telepon radio, barang baru?
Ini masuknya telekomunikasi perdesaan atau rural communication. Di luar negeri, memang sudah masuk teknologi
sa-telit. Jadi telepon satelit, komunikasi satelit untuk daerah perdesaan. Kalau di kita, untuk mengadopsi teknologi satelit di wilayah pedesaan atau perbatasan dari segi teknis memang sangat memungkinkan. Hanya saja biasanya masyarakat di daerah tersebut tingkat ekonominya masih rendah. Sedangkan untuk charging satelit kan harganya masih sangat mahal. Ini masalahnya. Dulu sebelum kami masuk ke sana, sebenarnya sudah dibangun wartel berbasis satelit. Tapi karena chargingnya sangat mahal. Tidak digunakan. Makanya beralih ke telepon radio. Kalau teknologi telepon radio sendiri bukan barang baru. Teknologi lama, baik di Indonesia maupun internasional.
Murah, memang harganya berapa? Kira-kira bisa 100 jutaan.
Apa efek yang timbul di daerah perbatasan dengan adanya program tersebut?
Oo luar biasa, dapat mengendurkan ketegangan. Misalnya saat piala dunia beberapa waktu lalu, daerah perbatasan ramai karena konflik di Timor Leste. Kita setel saluran tersebut, mereka bisa berkumpul bersama dan melupakan sejenak permasalahan yang ada. Mereka bisa marah kalau saluran itu diganti. Teve itu bisa menjadi hiburan yang menggembirakan sekaligus menyatukan.
Hanya untuk informasi pemerintah?
Tidak semata informasi, juga hiburan. Memang kami mengakui, sama seperti efek teve pada segi lainya. Ada efek negatif yang muncul dan ada pula efek positif. Untuk masalah ini, Pemda yang memilih dan menimbang saluran apa yang mau ditayangkan kepada masyarakatnya. Mereka yang lebih tahu tentang kebutuhan dan program yang hendak dijalankan di daerah perbatasan. Bagi kami tidak masalah saluran apa yang mereka pilih. Karena sasaran yang kita inginkan agar masyarakat perbatasan merasa dan lebih dekat dengan Indonesia, negerinya. Asupan informasi yang masuk dari negeri tetangga itu sangat besar.
Masih ada kontak dengan pemerintah daerah?
Tentunya, kalau ada kerusakan, kami yang perbaiki ke sana. Kami berupaya agar pada 2007 ini, maintenance bisa kita alihkan ke pemda setempat. Agar biayanya lebih murah. Jadi kami coba mendidik mereka untuk melakukan sekadar perbaikan. Karena kalau kami (orang pusat-red) yang turun, selain mahal, akan banyak membuang waktu.
Sampai saat ini, ada kerusakan berarti?
Sampai saat ini belum banyak terima laporan. Paling ada kejadian satu tersambar petir. Agak fatal juga, tapi sudah kami perbaiki. Ada lagi masyarakat sendiri yang merusak, gara-gara hal sepele. Alatnya mati, salurannya tidak sesuai dan sebagainya.
Harapan ke depan untuk program perbatasan?
Kami berharap informasi sejenis dapat diinformasikan kepada instansi yang terkait agar programnya lebih terkoordinasi. ***(dan)
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
RAGAM
KOMUNIKA
Padang Baralek Gadang, Pesta Pun Digelar Oleh : Irwan Rais
Gelaran Dimulai Sebelas pasang pengantin yang berasal dari beberapa kecamatan di Padang ini termasuk yang beruntung dapat ikut ambil bagian dalam pesta adat ini. Terlebih Walikota Padang Drs H Fauzi Bahar MSi tampil menjadi "orang tua’" dari 11 anak daro (pengantin wanita) dan Wakil Walikota Padang Drs. H. Yusman Kasim menjadi “orang tua” dari 11 Marapulai (pengantin pria) yang mengakhiri masa lajangnya. “Senang, juga tegang,” uc ap salah seorang peserta mengungkapkan perasaannya. “Alek Gadang” yang baru dilakukan serentak dan beramairamai serta pertama kali dilakukan dengan biaya Peme-rintah Kota Padang ini dimulai sehari sebelum pesta digelar, yaitu dengan pesta malam bainai di tempat pengantin wa-nita. Sedangkan para pengantin pria mengikuti prosesi batagak gala di kediaman resmi Wakil Walikota. Dua ekor sapi berhiaskan umbul-umbul permintaan anak daro serta tanda bawaan juga diantarkan dengan iringiringan rombongan pengantin pria menuju rumah “orang tua” anak daro, di kediaman Walikota Padang. Dalam prosesi adat babako ini juga, disiarkan kaba (kabar) kepada paman dan sanak famili tentang acara pernikahan tersebut. Isi dari kaba tersebut, ponakan gadis mereka akan menikah dengan seorang lelaki yang dicintainya. Dalam prosesi itu juga sanak famili dapat memberikan bantuan baik kerbau, sapi, kambing atau lainnya untuk perhelatan pernikahan. Tergantung dari kemampuan masing-masing. Esoknya, acara dimulai dengan nasehat perkawinan dari angku kali yang dilanjutkan dengan pembacaan ijab kabul dan mohon doa restu dari kedua orang tua penganten.
kilas -gov
e
Hari itu, Rabu, 20 Desember, ada keramaian yang tak biasa di halaman kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Padang. Masyarakat tampak memadati area pelataran parkir. Sementara di pojok-pojok halaman, tampak pedagang asongan yang sibuk menangguk rizki, memanfaatkan situasi yang ada. Sebuah perhelatan akbar yang lama tak digelar, membuat semua mata tertuju ke sana.
Pelestarian Budaya Sebenarnya upaya pelestarian adat budaya sudah dilakukan dengan memberikan muatan lokal bermateri Budaya Alam Minangkabau (BAM) di Sekolah Dasar (SD). Hanya saja, pengajarannya, diakui, Walikota Padang, Fauzi Bahar, masih sebatas teori. “Jadi melalui Baralek Gadang, semua prosesi dilaksanakan, mulai dari malam ba inai, babako, pernikahan dan pesta pernikahannya. Kita lestarikan adat budaya, pernikahan Minang. Kita akan jadikan kegiatan ini sebagai kalender tahunan Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Padang. Kapan perlu kita selenggarakan dua kali setahun,” ujarnya. Semoga kelestarian budaya bangsa seperti “Alek Gadang” ini dapat terwujud di tengah globalisasi yang terus mengalir deras.
*) staf Humas Pemko Padang
Tak ayal suara sedu tangisan dan deraian air mata mewarnai prosesi ini. “M er ek a selama ini di baw ah naungan orang tua. Setelah pernikahan, masing-masing memulai lembaran baru, hidup mandiri, berumah tangga.
Foto: Irwan Rais
N
amanya sepintas aneh, “Alek Gadang”, pesta adat pernikahan yang hanya ada di Ranah Minangkabau. Tak banyak yang bisa menggelar “resepsi” perkawinan ala Minang ini. Bukan karena status sosial ataupun semisalnya, melainkan hanya masalah ketersediaan biaya. Untuk menggelar prosesi ini, selain harus melalui proses yang panjang, jamuan yang disajikan pun tak sembarangan. Ada menu khusus yang harus disajikan kepada para tamu undangan, ya.. minimal sapi dan kerbau harus tersedia. Tak hanya itu, “Alek Gadang” tak bisa hanya dilakukan sehari saja. Sedikitnya butuh 2-3 hari untuk menuntaskan syarat prosesi adatnya. Mulai dari malam bainai, babako, pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan pesta. Soal hiburannya pun tak main-main, made in Minang, kesenian tradisional seperti Saluang, Talempong, Rabab, Randai dan lainnya siap menghibur para tamu selama beberapa hari.
"Tak terpikir pernikahan dilangsungkan di rumah walikota, pemimpin kota ini. Pun biaya pernikahan ditanggung Pemko Padang,” tutur salah satu orang tua pengantin. Acara dilanjutkan dengan nasehat dari Walikota Padang. Ia menasihatkan kepada para penganten agar memperhatikan lima hal dalam hidup, yaitu melaksanakan perintah Allah, membina rumah tangga, melanjutkan keturunan, menjaga hawa nafsu, dan mempererat hubungan silaturahmi dengan manusia. Kelimanya harus dipedomani dengan baik.
Ruang ini disediakan sebagai wadah tukar informasi antar pengelola situs atau portal lembaga pemerintah baik di tingkat pusat atau daerah. Pengelola dapat mengirimkan profil situs yang dikelolanya melalui e-mail:
[email protected]
www.balikpapan.go.id
Membangun Kreatifitas Bisnis Untuk membangun Kabupaten Balikpapan dengan memajukan perekonomian adalah dengan memberdayakan semua elemen masyarakat. Mengikut sertakan semua
lapisan masyarakat dalam pembangunan, pemerintah daerah menyediakan media untuk berpromosi, dan menyediakan data yang dibutuhkan masyarakat umum dan yang terpenting adalah data tersebut dapat di akses dengan mudah. Untuk itu dalam situs Pemda Balikpapan, berusaha ikut men-support informasi melalui beberapa menu yang disediakannya. Beriklan Gratis Anda punya usaha dan ingin dipasarkan? Kenapa tidak mencoba pasang iklan di situs ini. Situs Pemda ini sangat kreatif menghidupkan dinamisasi situs dan membuat interaksi positif. Melalui Bursa Iklan ini selain dapat memasang iklan gratis dapat juga melakukan pemesanan barang langsung by online. Untuk bisa memasang iklan harus terdaftar dalam keanggotaan Bursa Iklan tersebut. Pengiklanan digolongkan berdasarkan beberapa kategori. Selain iklan baris, gambar produk pun bisa ikut ditampilkan disini. Tapi sayang fasilitas ini hanya untuk masyarakat Balikpapan saja, jadi sekiranya punya usaha di Balikpapan kenapa tidak mencoba memasang iklan gratisan? Daftar Perusahaan Jangan lupa untuk mendaftarkan nama perusahaan Anda di Pemda Balikpapan. Situs ini membuat beberapa kategori
perusahaan yang ada di Balikpapan. Untuk melihat daftar Perusahaan Komoditi dan perusahaan bergerak dalam bidang jasa dapat dilihat disini, yang sudah di-publish dalam situs ini ada 332 perusahaan. Selain itu jumlah perusahaan kontraktor ada 75 perusahaan, 14 daftar hotel, 47 perusahaan di bidang lain-lain, 5 BUMN, 102 supplier, dan 4 perusahaan surveyor. Melalui daftar ini sangat memudahkan bagi yang membutuhkan alamat perusahan yang dituju, selain tercantum alamat juga nomor telepon serta contact person yang dapat dihubungi. Koperasi dan UMKM Menu ini akan langsung terhubung ke link http:// kumkm.balikpapan.go.id/ yang menyediakan database Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang berada di Balikpapan. URL tersebut merupakan kerjasama Pemkab Balikpapan dengan Kantor Bank Indonesia Balikpapan sebagai wujud kepedulian Bank Indonesia terhadap perkembangan Koperasi dan UMKM yang berada di Kabupaten Balikpapan dan sebagai bantuan teknis untuk Pemkab Balikpapan. Secara keseluruhan situs ini cukup bagus dan inovatif, dari hasil polling- nya pun terbilang keren . Dukungan informasi dan fasilitas menu yang disediakan sangat menarik. (dw)
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
9
Pemprov NAD Pasang EWS Guna Deteksi Tsunami Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bahaya bencana tsunami, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah memasang sejumlah sirine pendeteksi dini ( early warning system/EWS) di lima wilayah. “Alat itu telah dipasang di lima titik di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sejak beberapa hari lalu,” kata Kepala Bagian Humas Sekretariat Daerah Provinsi NAD, Nurdin A. Joe di Banda Aceh, Selasa (19/ 12). Menurut Nurdin, kelima titik yang dipasangi EWS tersebut yaitu di Banda Aceh antara lain di kantor gubernur NAD, Kalimantan Timur Penetapan UMK Rp.795 ribu Kalau Upah Minimum Ko ta ( UMK) Balikpapan yang diajukan Kantor Tenaga Kerja (Kanaker) Balikpapan resmi diberlakukan, yaitu sebesar R p 795 ribu dari UMK sebelumnya sebesar Rp 720 ribu, maka para pengusaha atau perusahaan tidak bisa mengakali peraturan tersebut dengan membayar pekerjanya di bawak UMK. Sebab menurut K epal a Kanaker H Achmad Ilhamsyah, keputusan penetapan UMK yang baru ini, merupakan hasil kesepakatan Dewan Pengupahan Kota (DPK), yang anggotanya terdiri dari berbagai kalangan seperti serikat pekerja, pengusaha, perguruan tinggi dan pemerintah. “Keputusan UMK yang baru ini, merupakan hasil keputusan dari DPK,” kata Achmad Ilhamsyah menjawab di kantornya, Rabu (6/ 12) kemarin. Dalam merumuskan UMK baru ini, menurut Ilhamsyah telah dilakukan berbagai survey dan study kelayakan dari berbagai permasalahan, seperti berkenaan dengan harga barang dan biaya hidup yang ada di Balikpapan. (www.balikpapan.go.id) Riau KOW Riau Bertekad Kesetaraan Gender
Wujudkan
Menindakl anjuti hasil pertemuan koordinasi regional I Sumatera tentang pemberdayaan lembaga masyarakat, Bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) BPPM Riau bekerjasama dengan Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) R iau terus berusaha untuk mewujudkan kesetaraan keadilan gender (KKG). Ketua BKOW Riau, Hj Iwa Zulkifli Saleh di sela sosialisi pemberdayaan lembaga masyarakat di Gedung Wanita, Senin (4/12) mengatakan bidang PP BPPM dan BKOW
Dari Sabang Sampai Merauke
Desa Blang Oi dan Lampulo Kecamatan Kuta Alam. Sedangkan sisanya di lingkungan masjid Lhok Nga Desa Lam Awe Kecamatan Peukan Bada dan di halaman masjid Kahju Kecamatan Baitussalam. Nurdin menjelaskan, alat pendeteksi itu nantinya akan berfungsi untuk memberikan peringatan dini bagi warga Aceh jika terjadi ancaman tsunami. “Setelah terjadi gempa, alat itu akan mendeteksi apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan gelombang tsunami atau tidak.” Menanggapi tudingan yang menilai bahwa Pemda NAD lamban memasang peralatan deteksi tersebut sebab bencana tsunami sendiri telah dua tahun berlalu, secara diplomatis Nurdin menampiknya. “Lebih baik terl ambat daripada tidak terpasang sama sekali,” ujarnya. Dia juga menjelaskan, EWS tersebut
merupakan sumbangan dari BMG Pusat sehingga memang memerlukan perencanaan dan anggaran yang ditetapkan di Jakarta. “Ada pro sedurnya, inilah yang membuat pemasangan EWS menjadi sedikit tertunda.” Sementara itu, mengenai agenda acara peringatan dua tahun bencana tsunami yang meluluh-lantakkan NAD dan sebagian Nias yang jatuh pada tanggal 26 Desember mendatang, Nurdin mengatakan, Pemprov berencana untuk mengadakan doa bersama oleh seluruh lapisan dan masyarakat NAD. Pemprov sendiri ujarnya, juga telah
akan terus meningkatkan peranan wanita dalam semua lini kehidupan sehingga akhirnya tercapai KKG di Riau. (www.riau.go.id)
daya listriknya selain dengan energi batubara juga dengan memanfaatkan potensi gambut. Gubernur Kalbar Usman Jafar usai bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (20/12), mengatakan, Pemda Kalbar yang mengalami kritis listrik karena saat ini hanya memiliki 40 MM, merencanakan untuk meningkatkan kapasitas daya listriknya sebesar 220 MW pada tahun 2008. Peningkatan kapasitas tenaga listrik itu meliputi 2X55 MW dengan bahan bakar batubara yang akan dibangun oleh PT. PLN dengan investasi dari Cina, 2X25 MW dengan bahan bakar batubara dibangun oleh swasta, dan 2X30 MW dengan bahan bakar gambut oleh sebuah perusahaan swasta bernama PT Sebukit Power. Gubernur Kalbar mengatakan, material gambut yang akan menjadi bahan bakar pembuatan tenaga listrik itu akan diambil dari enam desa yang ada di Ko tamadya Pontianak, yaitu desa Galang, Rasau Jaya, Terentang, Kubu, Sungai R aya dan Bengkorek. Menurutnya, pembuatan tenaga listrik dari material gambut itu akan memanfaatkan lahan-lahan gambut yang kedalamannya menc apai seki tar 6-8 meter dengan mengambil separuhnya. “Dalam jangka panjang nanti lahan gambut yang telah diambil gambutnya itu akan ditimbun dengan tanah dan kemudian akan ditanam kelapa sawit, dan sawit itu nantinya juga akan dijadikan bahan bakar untuk pembuatan bio-fuel,” katanya. (Kus)
Kalimantan Barat Ketapang cocok Untuk Perkebunan dan HTI "Kabupaten Ketapang potensial untuk pengembangan tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri, karena potensi lahan yang luas dan agrokilmat yang mendukung untuk pengembangan beberapa komoditi tersebut". ungkap Ir. Syarifudin Syaid. Ms. Dosen Fakultas kehutanan Universi tas Tanjungpura saat mengadakan survei kegiatan pengembangan perkebunan di Kabupaten Ketapang baru baru ini. Beberapa komoditi seperti Sawit, karet , kelapa dalam beberapa perkebunan karet rakyat serta hutan tanaman industri masih layak dikembangkan. Sektor perkebuanan ini mampu menyerap tenaga kerja yang besar, demikian juga multi pleyer effect lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Apalagi bila didukung oleh kegiatan industri hilir seperti pengolahan karet, crumb rubber , industri minyak goreng dll, ungkap Syarifudin Syai d. Namun ia mengingatkan untuk pengembangan skala besar, analisis dampak lingkungan sangat diperlukan, agar sesuai dengan daya dukung lahan dan peruntukkannya. Kita berharap dampak negatip seperti kebanjiran atau kekeringan dapat diatasi dengan analisis dampak lingkungan yang tepat. (www.ketapang.go.id
Kalimantan Barat Pemda Kalbar Manfaatkan Gambut Untuk Pembuatan Tenaga Listrik Pemerintah daerah Kalimantan Barat (Kalbar) akan mengembangkan kapasitas
Kalimantan Timur 160.000 Bibit Sawit Siap Tanam di Bulungan PT Bulungan Citra Agro Persada (BCAP) telah menyiapkan 160.000 bibit kelapa sawit yang siap tanam pada tahap pertama di lahan seribu hektare di Desa Tanah Kuning,
10
terutama Jepang. Pengusaha pribumi masih kalah dalam segi teknologi pembudidayaan mutiara ini, apalagi dana yang dibutuhkan untuk membuka usaha pembudidayaan mutiara masih tergolong mahal. Hasil panen mutiara dapat dirasakan per tiga bulanan, kualitas mutiara pun sangat tergantung pada kadar asin air laut, dan kadar gangguan yang dapat menghambat proses pembentukan mutiara ini. Hasil mutiara ini di ekspor ke beberapa negara, antara lain Jepang, Singapura dan Thailand, selain itu juga di pasarkan ke daerah Makassar, Surabaya, Jakarta dan Medan. Untuk harga per butir mutiara sangat tergantung pada besar dan kualitas mutiara. Pariwisata Irian Jaya Barat yang merupakan provinsi paling bungsu ini memiliki prospek pariwisata yang relatif baik, hanya perlu dukungan dari kual ifikasi SDM pendukungnya. Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi
(tr/ed)
Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. “Bibit yang berasal dari PTKS Medan itu, selanjutnya akan ditambah sesuai dengan luasan land clearing (pembukaan lahan). Rencananya, 2.000 hektare areal kami buka tahun ini, namun penanaman tahap pertama hanya seribu hektare untuk 160.000 bibit itu,” kata Direktur PT BCAP H. Adhi Chandra P S.IP M.M, beberapa waktu lalu. Dikatakannya, untuk penanaman tahap pertama ini, pihaknya masih menunggu realisasi land clearing. Jadi kemungkinan bisa dilakukan dua atau tiga bulan ke depan. “Ji ka telah dilakukan penanaman, diperkirakan dalam jangka waktu 30 bulan bibit kelapa sawit tersebut telah siap berbuah. Hanya saja tanaman buah menghasilkan (TBM)-nya masih kecil, jadi belum maksimal. Kemungkinan tahun ketiga TBM satunya baru bisa dipanen,” tambahnya. Untuk mengolah hasil panen kelapa sawit, untuk sementara akan dicarikan pabrik di sekitar Kabupaten Bulungan, karena PT BCAP baru akan membangun pabrik setelah tanaman kelapa sawit mencapai 4-5 ribu pohon. Chandra mengatakan pihaknya akan menginvestasikan dana sekitar 10 juta dolar AS untuk pabrik dengan kapasitas 40 ton per jam. Pihaknya sendiri tidak mempermasalahkan pemasaran Crude Palm Oil (CPO) pihak PT BCAP, karena pasar CPO di Indonesia termasuk banyak. Terkait dengan investasi perkebunan sawit PT BCAP, Bupati Bulungan Drs. H. Budiman Arifin M.Si yang ditemui saat melakukan kunjungan ke pembibitan PT BCAP, menaruh harapan besar terhadap perkebunan sawit tersebut. “Karena perkebunan sawit di Desa Tanah Kuning bisa menggerakkan ekonomi daerah, termasuk masyarakat Tanah Kuning yang masuk dalam plasma, sehingga nantinya bisa memperol eh pendapatan,” ujarnya. (www.bulungan.go.id)
tergarap dengan baik."
Irian Jaya Barat
Potensi Provinsi Terbungsu Budidaya Mutiara Provinsi Irian Jaya Barat merupakan provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua, dengan ibuko ta pro vinsi terl etak di Manokwari. Provinsi Irian Jaya Barat terdiri dari 8 kabupaten, dan 1 kota. Letaknya terletak di ujung provinsi Papua, tepat diatas kepala pulau yang berbentuk burung tersebut. Po tensi kekayaan alamnya meliputi berbagai sektor cukup untuk menunjang kehidupan masyarakat setempat, belum lagi sektor pariwisata yang sangat potensial. Kabupaten Raja Aampat, yang memiliki luas w ilayah 46.296 km2 ini terkenal dengan hasil rumput laut dan mutiara.Pembudidayaan mutiara ini dilakukan dengan membangun rumah terapung di sekitar daerah selatan Pulau Waigeo. Rumah terapung ini dijadikan tempat penakaran tiram mutiara. Pengusaha pembudidayaan mutiara ini masih didominasi pengusaha dari luar,
menghimbau agar pada 26 hingga 28 Desember 2006 nanti seluruh lapisan dan masyarakat NAD mengibarkan bendera setengah ti ang untuk memperingati tragedi tersebut.
di Kabupaten Teluk Wondama menjadi salah satu tempat rekreasi andalan. Taman ini sangat luas dengan pemandangan yang c ukup indah, luas daratan menc apai 68.200ha, 80.000 ha kawasan terumbu karang, dan 12.400 ha lautan. Selain daerah pantai, kaw asan pegunungan di Irian Jaya Barat yang masih belum tersentuh manusia ini menyimpan banyak misteri kekayaan alam. Di Kabupaten Manokwari terdapat sebuah gua yang di klaim sebagai gua terdalam di dunia, kedalamannya mencapai 2000 meter. Hingga saat ini pengembangan sektor pariwisata masih terkendala keterbatasan sumber daya manusia setempat. Seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Povinsi Papua, Abner J Kambuaya, "Meskipun sumberdaya alam dan budaya memiliki potensi besar untuk menarik w isataw an, namun kurangnya tenaga pro fesi onal di bidang pariwisata mengakibatkan potensi tersebut kurang
Durian di Musim Penghujan Jika Anda sempat jalan-jalan ke Irian jaya Barat di saat musim hujan, sempatkan untuk jalan-jalan disepanjang ruas jalan Pahlawan dan kompleks pertokoan di Sanggeng, kabupaten Monakwari. Di sepanjang jalan berjejer pedagang buah durian dan rambutan. Kebanyakan buah-buahan ini di bawa dari daerah dataran Prafi, karena di dataran ini sebagian besar masarakatnya mempunyai kebun rambutan dan durian. (dw)
Foto: http/home.uchicago.edu
Nangroe Aceh Darussalam
Foto: Dan
LINTAS DAERAH
KOMUNIKA
Seorang wisatawan asing sedang asyik membelah durian Manokwari.
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
KOMUNIKA
LINTAS LEMBAGA
Perlu Kejelasan Format Komunikasi Publik Pemerintah melal ui Departemen Komunikasi dan Informatika, sampai saat ini pun masih terus mencari format komunikasi publik yang efektif. Hal ini mengemuka dalam Semiloka dan Temu Pakar Komunikasi bertajuk “Penyerapan Pendapat Publik untuk mengembangkan Komunikasi Publik yang Efektif”, 9 Desember lalu di Malang. Menurut Kepala Badan Informasi Pubik Depkominfo, Soeprawoto, kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi faktor utama berbedanya pemahaman metoda komunikasi publik. Sehingga tingkat keefektivitannya sesuai dengan kepentingan yang ada di daerah. Sementara itu, Prof. Dr. Alo Liliweri, MS, guru besar di Universitas Nusa Cendana, NTT, menyatakab bahwa aktivtas komunikasi publik mencakup banyak hal. Tak sekadar public relations , komunikasi politik, pemasaran sosial, hingga membangun koalisi dan strategi penelitian. ”Intinya semua yang berada dalam konteks publik affairs,” kata Prof Alo. Lain lagi dengan Heru Puji Winarso, dosen Universitas Brawijaya, Malang, yang menyoroti pentingnya penyediaan ruang publik. “Keberadaan ruang publik akan sangat efektif dalam mencari informasi layanan masyarakat yang dibutuhkan. Tak hanya itu, informasi tersebut pun dapat menjadi awal dari penyediaan dan pelayanan informasi publik dari pemerintah,” jelasnya. (Y ULIARS O)
Departemen Pertanian Prioritas Utama Mengembangkan Industri Benih Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengemukakan bahwa pemerintah memprioritaskan pengembangan industri benih untuk mendorong ketersediaan dan kualitas benih unggul pertanian di Indonesia. "Prioritas utama pengembangan industri benih ini untuk memenuhi ketersediaan jumlah dan kualitas benih unggul sesuai dari revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan yang telah dicanangkan Presiden awal tahun 2006," kata menteri. Untuk itu, kata Mentan, dalam jangka pendek impor benih tidak dapat dihindari lagi, karena ketersediaan benih dari dalam negeri baik jumlah maupun mutu tidak mungkin mencukupi. Sementara itu dalam kesempatan yang sama Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Deptan, Hindarw ati mengatakan sekitar 14 varietas baru telah terdaftar di Departemen Pertanian. Ke-14 varietas itu diproduksi dari produsen benih swasta yang skalanya besar, kemudian dari Balai Penelitian. Namun demikian varietasnya itu harus betulbetul memenuhi persyaratan kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan sehingga kepemilikannya itu jelas milik mereka yang dapat didaftarkan dan nantinya sudah mencukupi persyaratan untuk diproses. Sekarang ini ada kecenderungan banyak penangkar yang mampu menghasilkan varietas unggul baru dengan menggunakan teknologi yang seadanya. Dalam hal ini
Wajah Kita
pemeri ntah melalui B adan Li tbang Deptan sudah memprogramkan yaitu melalui pemuliaan partisivatis, dengan membina para penangkar yang saat ini sudah mulai melakukan pengawinan bibit yang dapat menghasilkan bibit unggul sesuai dengan iptek pemuliaan itu dilakukan.(Bhr/ Yr) Badan Tenaga Nuklir Nasional Membangun PLTN Tahan Gempa di Indonesia Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang tahan gempa seperti halnya di Jepang dapat dilakukan di Indonesia. Hal ini dikatakan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Prof. Dr. Soedyartomo Soentono di sela-sela acara kunjungan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) ke Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Jum’at (8/12). Pembangunan PLTN di negara rawan gempa seperti halnya di Indonesia dan Jepang, Soedyartomo mengatakan pemilihan tapak bakal Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. “Kami juga sudah tahu persis kondisi ground acceleration yang dipergunakan untuk disain sipilnya,” kata Soedyartomo. Menurut Soedyartomo kondisi ground acceleration lokasi berada jauh dibawah jika dibandingkan dengan negara yang sangat rawan gempa yaitu Jepang. Soedyarto mo menjelaskan, di Jepang ground acceleration biasanya lebih dari 300 g sedangkan di Indonesia lebih rendah dari itu. “Bahkan di Jepang ada PLTN yang dibangun pada ground acceleration diatas 500 g, tetapi pada waktu terjadi gempa yang sangat hebat pada sekitar tahun 1995 di Kobe PLTN tersebut masih dapat beroperasi,” katanya. Dia menambahkan pemilihan lokasi PLTN tidak hanya mempertimbangkan masalah-masalah keamanan tetapi juga memperhatikan berbagai pertimbangan keamanan lainnya. (Hbk)
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Akan Terapkan Sistem Asuransi Bagi Tenaga Kerja Pemerintah berencana menerapkan sistem asuransi bagi tenaga kerja (naker) di Indonesia yang meliputi jaminan hari tua, kecelakaan, PHK, pensiun, kesehatan, kematian, hamil dan melahirkan. “Program sekarang yang sudah ada semuanya itu akan dimasukan dalam sistem asuransi,” kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno usai melaporkan hasil studi banding delegasi tripartit ke RRC pada 26 November hingga 2 Desember lalu kepada Wapres Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (11/12). Menakertrans mengatakan dengan adanya sistem jaminan sosial bagi buruh ini berarti ada kepastian pembayaran untuk mereka, sedangkan bagi perusahaan ada kepastian iuran dengan sistem asuransi tersebut. (mul)
Departemen Dalam Negeri
Membangun Daerah Melalui Otonomi Depdagri bersama dengan rakyat bertanggung jawab bersama dalam terbentuknya sistem politik yang sesuai dengan karakter bangsa kita. Sistem politik Indonesia dewasa ini dalam proses perubahan sistem politik sentralistik menuju sistem politik desentralisasi, dimana seluruh masyarakat dapat berperan dalam membangun daerahnya masing-masing. Mengusung permasalahan tersebut Departemen Dalam Negeri menetapkan 8 program Utama, antara lain "Program Fasilitasi dan Pemantapan Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah". Selain itu ke-8 program utama Depdagri, kesemuanya bermuara pada tujuan kesejahteraan rakyat dan terbentuknya integrasi nasional yang kuat. Pemberlakuan Otonomi Daerah Sudah saatnya daerah diberikan kepercayaan untuk dapat mengelola sumber daya alamnya. Pengelolaan sumber daya alam ini harus mampu memberdayakan seluruh masyarakat setempat. Melalui UU No. 32 tahun 2004 penjelasan mengenai pemberlakuan otonomi daerah semakin diperjelas. Melalui pemberlakuan oto nomi tersebut adalah terjadinya berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah. Departemen Dalam Negeri berperan sebagai katalisator dalam pengembangan otonomi daerah, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh masing-masing pemerintahan daerah bersama masyarakat setempat. Tidak serta merta dengan otonomi daerah, hubungan pemerintah pusat dan daerah berjalan masing-masing. Departemen Dalam negeri berwenang dalam pengaturan hubungan pusat dan daerah, dan memfasilitasi program otonomi daerah ini. Hubungan ini di atur sedemikian rupa,
Edisi 19/Tahun II/Desember 2006
Panggung Depan, Panggung Belakang
sehingga untuk daerah dengan kekayaan alamnya yang melimpah mampu untuk mensubsidi daerah yang tidak mempunyai kekayaan alam. Fungsi Fasilitasi Bentuk fasilitasi yang diberikan departemen ini antara lain; melakukan evaluasi kinerja daerah serta pejabat negara, perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur dalam urusan pemerintahan daerah, penataan daerah dan otonomi khusus, fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan hubungan antar lembaga. Selain melalui penetapan kebijakan-kebijakan tersebut, Departemen Dalam Negeri juga melakukan bimbingan teknis dalam pengembangan dan pembangunan daerah otonomi. Belajar Politik Bergulat dengan politik itu sudah menjadi keharusan dalam mengelola suatu pemerintahan. Demikian juga, otonomi daerah memaksa masyarakat setempat untuk belajar politik. Untuk itu Departemen Dalam Negeri bertanggung jawab meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komperehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keragaman aspirasi dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Serta mengembangkan pola rekruitmen baik di lembagalembaga pemerintah maupun swasta dan masyarakat dengan mengutamakan kualitas SDM. Membangun Pemerintahan yang bai k ( good governance) dan melaksanakan pelayanan prima. (dw)
Konon, menurut sosiolog Irving Goffman, hidup seperti dramaturgi. Ada panggung depan (front stage) dan ada panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah kehidupan yang selalu dipertontonkan kepada publik. Orang melihat atau mendapatkan citra tentang orang lain melalui panggung depan ini. Sedangkan panggung belakang selalu tersembunyi atau disembunyikan, sehingga luput dari perhatian publik. Di panggung inilah fakta sebenarnya tentang kehidupan privat manusia berada. Menarik, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkaitkan masalah perbatasan dengan "panggung depan" dan "panggung belakang." Menurut beliau, sudah saatnya bangsa Indonesia menganggap daerah perbatasan RI dengan negara tetangga sebagai bagian depan, bukan bagian belakang Indonesia. Dengan kata lain, daerah perbatasan harus maju, sukses dan gemerlap sehingga bisa dianggap sebagai "panggung" yang layak diperlihatkan kepada dunia, bukan sebaliknya tersembunyi dan menjadi daerah terbelakang dengan segala kekumuhannya. Ibarat tubuh, daerah perbatasan adalah wajah. Orang pertama kali mengenal negara lain melalui perbatasannya. Oleh sebab itu, kesan terhadap suatu negara, positif atau negatif, baik atau buruk, langsung tertanam begitu seseorang melihat suasana di perbatasan. Kemajuan, keteraturan, keindahan, sudah tentu akan memunculkan kesan baik. Sebaliknya keterbelakangan, kekumuhan, ketidakteraturan, akan memunculkan kesan buruk. Perbatasan, yang kumuh maupun yang gemerlap, akan membuat orang bergumam, "Jika perbatasannya
Foto: Mth
Departemen Komunikasi dan Informatika
saja seperti ini, bagaimana dengan ibukota negaranya?" Yang kumuh akan membawa pada kesimpulan bahwa ibukota negaranya pasti lebih kumuh. Sedangkan yang gemerlap tentu akan memunculkan kesimpulan bahwa keadaan di pusat pemerintahan pasti lebih hebat. Keadaan di daerah perbatasan memang tidak otomatis mewakili keadaan suatu negara secara keseluruhan. Akan tetapi, sebagai bagian wilayah yang bersentuhan dengan teritorial negara lain, perbatasan akan selalu dianggap sebagai cermin suatu negara. Mau menjadi cermin cembung, cermin cekung, atau cermin retak, tergantung bagaimana negara memelihara wilayah perbatasannya. Dan semua itu akan membawa dampak yang sangat besar terhadap citra bangsa di mata dunia. Tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan kondisi daerah perbatasan di-upgrade habis-habisan agar tampak bercahaya di mata dunia. Untuk itu, ke depan pemerintah akan terus mengutamakan pembangunan daerah perbatasan agar kondisinya tidak tertinggal, atau paling tidak sejajar, dengan daerah lain. Pandangan awam tentang daerah perbatasan selama ini adalah daerah yang kumuh, terbelakang, miskin, transportasi dan komunikasi sulit, dan seabreg predikat negatif lainnya. Pandangan semacam itu tidak salah, karena hampir semua daerah perbatasan di Indonesia memiliki karakteristik demikian. Akibatnya, orang asing (termasuk para investor) yang mau berkunjung ke Indonesia lebih suka naik pesawat terbang dan langsung turun di Jakarta. Padahal, potensi sumber daya alam yang belum dieksploitasi semua berada di daerah pedalaman yang sebagian di antaranya berada di dekat perbatasan. Tapi karena sulitnya akses transportasi dan komunikasi, orang-orang dari luar negeri lebih suka langsung menuju ibukota. Ke depan keadaan ini harus diperbaiki. Infrastruktur, sarana dan prasarana, harus dibangun di daerah perbatasan. Akses transportasi informasi dan telekomunikasi dipermudah. Seiring dengan naiknya perekonomian daerah setempat, secara perlahan tapi pasti daerah perbatasan dengan sendirinya akan tumbuh dan berkembang menjadi "panggung" yang gemerlap dan layak dipertontonkan kepada dunia. (gun)
11
Foto: Rich
Lain NTT, lain pula cerita dari Kabupaten Keerom, salah satu dari lima kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini. Penduduk di daerah tersebut memang telah terbiasa dengan hidup nomaden alias hidup berpindah-pindah dan pola primitif. “Pakaian saja dari kulit kayu. Walau sebagian sudah mengenal pakaian, tetapi persediaan pakaian terbatas, satu potong pakaian sampai hancur di badan,” jelas Bupati Keerom, Drs Celsius Watae, menggambarkan daerahnya. Tak hanya itu, komunikasi yang dilakukan pun hanya bahasa daerah setempat. Bayangkan di Papua sendiri tercatat 255 kelompok suku dengan ratusan ragam bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Terbayang bagaimana sulitnya penerapan program pemerintah di sana. Berbagai cara dan alternatif dicoba. Hingga akhirnya pemerintah daerah setempat mulai menggunakan media televisi lengkap dengan parabolanya untuk memperkenalkan berbagai informasi kepada masyarakat. “Reaksi yang muncul beragam, mulai dari tertawa, heran, ada yang coba berbic ara dengan televisi, memberi makan televisi dan bertanya kepada televisi.
Pembangunan kawasan perbatasan terus digalakkan. Tak sekadar mengejar ketinggalan, namun telah mengubah paradigma. Masyarakat lokal jadi perhatian utama. Bahkan ada yang melihat televisi sebagai wujud pengawasan arwah nenek moyang,” kata Watae tersenyum. Kendati begitu, cara sederhana tersebut terbukti ampuh dalam memicu perkembangan sosial masyarakat. Setiap hari, tak kurang 200-300 penduduk setempat berkumpul untuk melihat berita dan acara di televisi. Tak hanya itu, pol a hidup berpindah pun mulai ditinggalkan. Penduduk mulai betah berdiam di satu tempat. Bahkan, televisi mampu mengundang masyarakat yang tadinya tinggal di hutan untuk bergabung di salah satu permukiman di perbatasan. Dan tentu saja, kesempatan tersebut akan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah Keerom untuk mulai membangun infrastruktur yang ada, mulai permukiman penduduk, gedung sekolah, puskesmas, air bersih, listrik dari generator, hingga pasar tradisional. Pemerintah akan membangun enam titik pembangunan terpadu di daerah perbatasan. Dana yang digelontorkanpun tak sedikit, Rp 600 miliar untuk setiap pusat pemukiman. Berbagai Kondisi Perbatasan Cerita Prof Alo dan kisah dari Keerom, Papua hanyalah beberapa diantara sekian banyak cerita tentang kawasan perbatasan. Namun, hal tersebut ternyata diamini oleh Prof. Sjafrie Sairin, Antropolog Universitas Gajah Mada (UGM). Menurutnya, ada tiga kondi si yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia. Pertama, negara luar yang lebih maju dari Indonesia, semisal di wilayah perbatasan Kalimantan. Kemudian kondisi yang relatif sama, seperti di perbatasan Papua dan terakhir, kondisi Indonesia lebih baik dari negara tetangga laiknya di perbatasan NTT. “Kondisi ini masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya,” jelas guru besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM ini dalam diskusi terbatas dengan instansi-instansi pemerintah pemangku kebijakan perbatasan yang digelar Pusat Pengelolaan Pendapat Umum (P3U), Badan Informasi Publik (BIP), Departemen Komunikasi dan Informatika, di Jakarta beberapa waktu lalu. Tentang kawasan perbatasan, menurut Sjafrie, ada empat masalah besar yang selalu terjadi di kawasan perbatasan. Pertama, lokasi yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas rendah. Kedua, masalah pada tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Kemudian kesejahteraan ekonomi yang juga harus serius dipikirkan. Dan tidak ketinggalan asupan informasi tentang pemerintah serta pembangunan masyarakat. Semuanya menuntut untuk segera diselesaikan. Namun adalah kebijakan pemerintah daerah untuk membuat program prioritas penyelesaiannya.
Foto: Mth
Anekdot berdasar kisah nyata pernah terlontar dari Prof Dr Alo Liliweri, guru besar Ilmu Komunikasi di Universitas Nusa Cendana, Kupang, tentang pemuda warga daerah perbatasan di NTT. Konon, seorang pemuda baru mendapat hadiah seperangkat telepon genggam lengkap dengan pulsanya, dalam acara peresmian menara transmitter layanan seluler di kota. Sesampai di desa tempat tinggalnya, sang pemuda akhirnya menelepon sepuas-puasnya. Entah siapa yang ditelepon, tapi yang pasti ia tampak nikmat berbincang. Tak sadar, mungkin saking lamanya menelepon, baterai ponselnya pun habis. Tapi apa lacur, di desanya belum ada jaringan listrik. Untuk penerangan biasanya cuma mengandalkan accu yang harus dicharge di kota saban dua hari sekali. Terpaksa, demi ponsel baru, jadilah sang pemuda berjalan kaki kembali ke kota selama dua jam , sekadar mengisi baterai ponselnya dengan listrik yang hanya ada di kota.
Prof. Sjafri Sairin, PhD Mengurangi Kesenjangan Saat ini banyak program pemerintah yang tengah berjalan di kawasan perbatasan. Berbagai pendekatan pun dilakukan guna membangun kawasan tersebut. Misal saja tentang masalah keamanan perbatasan Indonesia-Malaysia. Tak lama lagi, desa-desa yang belum memiliki jaringan komunikasi, baik berupa sambungan telepon, PSTN (public switched telephone network), bisa sedikit tersenyum. Sebabnya, pemerintah akan mulai memasang perangkat telekomunikasi. Tak tanggung-tanggung, generasi terbaru yang multifungsi. Namanya, teknologi Broadband Powerline (BPL) yang menggunakan jaringan listrik sebagai media transmisi data. Dengan jaringan tersebut, pemerintah tak perlu repotrepot membangun jaringan telepon. Dan tentu saja imbasnya, perangkat telekomunikasi ini akan cepat “kring” dan yang pasti, murah meriah. “Target 2010 semua desa sudah kring,” kata Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Saifulah Yusuf beberapa waktu lalu. Ternyata tak hanya kebutuhan telekomunikasi yang terpenuhi. Prinsip sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui pun diterapkan dalam misi kali ini. Jaringan yang akan dipasang pertama di dua kawasan Indonesia Timur, satu dikawasan Jawa, dan satu lagi dikawasan Sumatera ini, juga dapat digunakan sebagai jaringan internet. Jaringan ini konon pernah diuji coba di Jawa Tengah. Dan hasilnya, “Selain ekonomis, kualitas suara juga lebih jernih daripada PSTN,” jelas Direktur Mitra Kerja Proyek, PT Power Telecom (Powertel), Dicky Tjokrosaputro. Ya, memang program ini semua hanya contoh kecil dari program lainnya. Sekadar tau, kawasan perbatasan akan tidak seperti dulu lagi. Tidak percaya? Tunggu saja. ***(dan)