KOMISI PEMILIHAN UMUM
KLARIFIKASI KPU TERHADAP HASIL AUDIT INVESTIGATIF BPK PADA RAPAT DENGAR PENDAPAT (RDP) ANTARA KPU DENGAN KOMISI II DPR
JAKARTA, 9 MEI 2005
Pengantar
Klarifikasi KPU Terhadap Hasil Audit Investigatif BPK Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPU dengan Komisi II DPR Tanggal 9 Mei 2005
Pendahuluan: •
Sesuai dengan amanat perundang-undangan, pada tahun 2004 KPU telah menyelenggarakan Pemilu Legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama dan Putaran Kedua dengan aman, lancar dan sukses. Keberhasilan KPU dan seluruh jajarannya menyelenggarakan pemilu 2004 telah menjadi bagian penting dari keberhasilan bangsa Indonesia dalam transisi demokrasi, lewat sarana pemilu, yang sekaligus juga memberi sumbangan yang yang tidak kecil bagi upaya bangsa kita untuk menstabilkan kehidupan politik dan memulihkan perekonomian nasional setelah diterpa krisis sejak tahun 1997. Secara umum, keseluruhan penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 untuk memilih 4 jenis lembaga legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden, berlangsung 3 kali dalam waktu 6,5 bulan, ini semua diselenggarakan dengan biaya yang cukup efisien, sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
•
Keberhasilan penyelenggaraan pemilu 2004 telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, sebagai pemilu yang demokratis, jujur dan adil. Pengakuan tersebut berasal dari Uni Eropa, Pemerintah negara-negara sahabat seperti Amerika Serikat, negara-negara ASEAN, dan lembaga-lembaga seperti PBB, The Carter Center dan the Australian Electoral Commission. Bahkan dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004, bangsa kita telah memberikan konstribusi yang
besar terhadap proses demokratisasi di dunia. Seperti yang dikatakan Presiden Carter bahwa Pemilu Indonesia membuktikan bahwa tidak benar bahwa Islam tidak compatible dengan demokrasi. Juga dari berbagai media internasional termasuk majalah The Economist London yang menyambut dengan cover story, yang sebelumnya sangat langka memuji Indonesia. Uni Eropa mencatat: KPU secara umum telah menyelenggarakan proses Pemilu yang paling menantang dengan sukses, dan ini merupakan prestasi yang signifikan. Prestasi ini telah menjadi modal politik bagi diplomasi Indonesia di politik internasional. •
Dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum 2004 KPU tidak terlepas dari tuntutan publik dan harapan masyarakat. Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kualitas proses dan hasil Pemilu, meskipun banyak hal baru yang jauh lebih rumit, dari pada Pemilu-Pemilu sebelumnya, sebagai konsekuensi dari adanya perubahan sistem pemilu. Secara non teknis, pemilu juga diharapkan tidak menimbulkan akibat-akibat negatif bagi kehidupan nasional secara keseluruhan, baik secara politik, sosial dan ekonomi.
•
Tuntutan tersebut menjadi terasa lebih berat, karena sebagai institusi, KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri baru dibentuk pada awal April 2001. Sementara jajarannya di daerah, yaitu KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota baru terbentuk pada pertengahan 2003, yakni setelah terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2003. Bukanlah suatu apologia, kalau dikatakan bahwa KPU hanya diberi waktu satu tahun untuk mempersiapkan Pemilu 2004 dengan sistem yang sangat rumit
itu.
Dengan
demikian,
tahapan-tahapan
penyelenggaraan
pemilu
dilaksanakan bersamaan waktunya dengan proses pembinaan kelembagaan. •
Seluruh anggaran yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilu adalah hasil bahasan dan persetujuan pemerintah bersama DPR. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi keperluan kegiatan penyelenggaraan pemilu di KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu. Dalam kaitan ini, KPU secara berkala telah memberikan laporan penggunaan anggaran kepada
pemerintah dan DPR. Laporan tersebut adalah bagian dari kewajiban KPU untuk memberikan laporan pelaksanaan tahapan pemilu secara berkala, sebagaimana diperintahkan oleh Undang-undang.
Proses Logistik Pemilu 2004 •
Proses pengadaan barang dan jasa di KPU terikat dengan jadwal dan tahapan persiapan, pelaksanaan Pemilu, sehingga proses pengadaan sering terjadi dalam situasi yang tidak ‘normal’, yaitu mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada selama ini. Patut dicatat, umpamanya: 1. Jumlah kebutuhan Kertas untuk keperluan Surat Suara dan Formulir tergantung kepada berapa jumlah Partai Politik yang menjadi kontestan dalam Pemilu 2004. Penentuan jumlah Partai Politik baru diputuskan oleh KPU pada tanggal 8 Desember 2003. Kebutuhan untuk proses tender membutuhkan waktu minimal 36 hari, sementara untuk produksi membutuhkan waktu 55 hari, di samping masih perlu lagi waktu untuk distribusi dari pabrik ke gudang-gudang yang telah ditentukan oleh KPU. 2. Jumlah kebutuhan Kotak Suara/Bilik Suara tidak dapat ditetapkan sebelum KPU mengetahui jumlah TPS. SK KPU tentang jumlah pemilih dan TPS diputuskan pada tanggal 25 Februari 2004. 3. Untuk menetapkan jumlah Surat Suara KPU harus mengetahui jumlah Pemilih lebih dahulu dan jumlah pemilih baru dapat ditetapkan pada tanggal 25 Februari tahun 2004. 4. Jumlah kebutuhan Tinta baru dapat ditentukan setelah jumlah TPS, diketahui, yaitu sesuai dengan SK KPU No. 16, tanggal 25 Februari tahun 2004. 5. Jumlah Jaringan Perangkat IT KPU ditentukan oleh jumlah Kecamatan yang memiliki fasilitas listrik dan telpon. Pada saat itu tidak ada data dasar tentang fasilitas listrik dan telpon di kecamatan-kecamatan di seluruh Indonesia, sehingga akhirnya KPU harus mengumpulkan sendiri secara langsung di lapangan.
•
Oleh karena itu, sekiranya KPU mengikuti secara “buta” prosedur pengadaan barang dan jasa kebutuhan penyelenggaraan pemilu, maka pemilu 2004 tidak akan pernah terlaksana pada waktu yang telah ditetapkan. Jadwal waktu penyelenggaraan pemilu 2004 disusun berdasarkan tanggal terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2003 pada 11 Maret 2003 dan berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober 2004. Semula KPU merencanakan pemilu legislatif pada bulan Juni 2004 sebagai jadwal yang relatif memadai waktunya. Tetapi karena masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berakhir pada 20 Oktober 2004, maka pemilu legislatif dimajukan pada 5 April 2004.
•
Dengan demikian pengadaan di KPU dilakukan dalam keadaan mendesak. Yang dimaksud dengan keadaan mendesak di sini adalah, apabila kebutuhan barangbarang mutlak seperti Kotak Suara, Surat Suara, Bilik Suara, Tinta dan distribusi tidak dipenuhi maka Pemilihan Umum 2004 tidak dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, kebijakan pengadaan barang dibuat dengan mempertimbangkan: 1. Risiko politik yang dapat timbul seandainya apabila Pemilu tidak dapat dilaksanakan pada waktunya. 2. KPU tetap secara optimal melaksanakan proses pengadaan dengan mengacu pada aturan perundang-undangan yang ada. 3. HPS pengadaan barang dan jasa yang digunakan oleh KPU mengacu pada standarisasi harga sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku atau menggunakan harga pasar dan harga penghitungan sendiri (HPS). Pada umumnya HPS KPU sudah berada di bawah harga pasar, patokan Bapenas dan Menteri Keuangan. Di samping itu KPU juga menggunakan pertimbangan konsultan ahli.
•
Panitia Pengadaan Barang dan Jasa KPU diputuskan melalui rapat pleno KPU. Panitia bekerja secara independen dalam menentukan HPS dan pemenang tender. Panitia menyampaikan laporan berkala kepada Pleno KPU, sehingga Pleno KPU bisa mengetahui perkembangan tahap-tahap pengadaan. Panitia terdiri dari 2 orang anggota KPU dan 7 sampai 9 orang staf Sekretariat Jendral KPU.
Keikutsertaan anggota KPU tersebut adalah dalam rangka built in control dalam penggunaan anggaran dan untuk memastikan ketersediaan kebutuhan logistik. •
Lembaga KPU terdiri dari Anggota KPU dan Sekretariat Jendral KPU sesuai dengan aturan perundang-undangan. Pada prinsipnya Anggota KPU berada pada tingkatan kebijakan. Namun secara intensif KPU melakukan pengawasan melekat untuk memastikan kebutuhan logistik dapat terpenuhi. Semua implementasi dari kebijakan KPU dipimpin oleh Sekretaris Jendral KPU yang dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal dengan Biro-Biro yang terkait. Dengan demikian, apabila panitia pengadaan telah menentukan pemenang tender, maka implementasi dari pelaksanaan pengadaan barang dan jasa untuk keperluan Pemilu tersebut menjadi tanggung jawab Sekretariat Jendral KPU.
Klarifikasi Atas Temuan Tim Audit Investigasi BPK •
Masalah Kotak Suara yang diduga adanya penyimpangan yang berindikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp 66.061.916.076,00. Tanggapan KPU adalah sebagai berikut: 1. Adanya dugaan penyimpangan sebesar Rp. 59.147.094.220,00 bersumber pada adanya perbedaan HPS (Harga Penghitungan Sendiri) antara KPU dengan tim audit investigasi BPK. HPS KPU dihitung berdasarkan kaidah yang disesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu juga HPS sudah disesuaikan dengan Anggaran yang telah disetujui oleh Panitia Anggaran DPR RI dan Menteri Keuangan. Ada indikasi bahwa Tim Audit Investigasi BPK tidak mendasarkan temuannya pada harga yang ditawarkan PT SIP kepada KPU yaitu Rp 141.900 per unit, melainkan berdasarkan harga yang ditawarkan PT SIP kepada para pemasoknya. PT SIP jelas-jelas tidak mampu atau gagal melaksanakan mandat KPU, sehingga terjadi wanprestasi.
2. Dugaan penyimpangan Rp. 4.780.786.875,00 berasal dari perbedaan presisi ukuran spesifikasi bahan lembaran aluminium atau selisih nilai
ketebalan lembaran aluminium. KPU menghitung 0,8mm sementara BPK menghitung 0,76 mm. Tim Audit BPK tidak memberikan argumentasi, tidak menjelaskan metodologi pengambilan sample untuk populasi yang homogen dari 2.491.453 Kotak Suara. BPK hanya menghitung dengan melakukan generalisasi, padahal KPU memiliki sertifikat AA dari pabrik yang menjelaskan bahwa tingkat presisi tersebut adalah berkisar +/0,05mm. 3. Dugaan penyimpangan uang negara sejumlah Rp. 2.134.034.981,00 karena kelebihan dana untuk mengirimkan Kotak Suara melalui udara. Hal itu diduga terjadi karena adanya pengalihan perusahaan dari PT SIP ke PT TJ. Argumen tersebut sama sekali tidak benar. Pengalihan PT SIP ke PT TJ terjadi pada bulan Desember 2003 dan Januari 2004, sementara tambahan kontrak untuk PT TJ terjadi pada tanggal 24 Februari 2004. Yang terjadi adalah pada tanggal 25 Februari 2004 KPU memutuskan adanya tambahan jumlah TPS dari 543.024 menjadi 585.218 TPS. Akibatnya Kotak Suara tambahan diputuskan untuk dikirim melalui udara, yaitu dengan kontrak tertanggal 24 Februari 2004, untuk memenuhi target waktu. •
Pencetakan Surat Suara: BPK menduga terdapat penyimpangan keuangan negara sebesar Rp. 12.597.001.904,00, dengan rincian sebagai berikut: 1. Rp. 10.039.764.152,00 dugaan menetapkan jumlah surat suara melebihi kebutuhan yang ditetapkan dalam UU No. 12 tahun 2003, yang menyebutkan bahwa jumlah cadangan surat suara 2,5 %. KPU merasa perlu untuk meningkatkan cadangan ini pada saat itu menjadi 10 % dengan sepengetahuan DPR, karena KPU khawatir kalau-kalau terjadi kekurangan Surat Suara pada hari H. Pasal 83 UU No. 12 tahun 2003 menetapkan cadangan 2,5 % Surat Suara, sedangkan dalam Pasal 91 UU yang sama dinyatakan bahwa apabila pemilih mendapat surat suara yang rusak atau keliru dalam mencoblos, maka pemilih yang bersangkutan berhak meminta ganti Surat Suara sebanyak satu kali. Oleh karena itu
sesungguhnya kalau setiap pemilih boleh meminta pergantian Surat Suara maka KPU harus menyediakan jumlah cadangan surat suara sejumlah pemilih yang ada. Karena itu KPU memutuskan untuk menaikkan cadangan dari 2,5 % menjadi 10 %, daripada terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. 2. Kenaikan HPS dari Rp. 280,- menjadi Rp. 302,- dan Rp. 308,-. Hal ini terjadi karena oplaag yang ada untuk Surat Suara bagi DPRD Kabupaten/Kota yang terdiri dari 1746 Daerah Pemilihan, jauh lebih kecil dari oplaag untuk Surat Suara DPR, DPD dan DPRD Provinsi. Waktu itu perusahaan tidak mau mencetak apabila harga jasa pencetakan surat suara tidak dinaikkan. Tidak ada pilihan lain bagi KPU selain harus menyelematkan Pemilu. Apalagi dari segi waktu, juga lebih singkat dan mendesak. Namun kenaikan harga tersebut secara teknis didasarkan pada perhitungan harga dari konsultan ahli yang profesional, serta masih jauh di bawah Harga Penawaran Terendah dari perusahaan percetakan. •
Untuk pengadaan Perangkat IT KPU, walaupun dalam kesimpulan dinyatakan bahwa semua dugaan pembatalan tender pertama merupakan rekayasa, mengarah ke merk tertentu dan tentang kemahalan harga tidak terbukti, namun tim investigasi audit BPK menemukan kekurangan pelaksanaan pekerjaan yang dinilai oleh BPK berjumlah Rp. 154.098.910,00, (seratus lima puluh empat juta rupiah) yang terdiri dari Rp. 28.000.000 (dua puluh delapan juta rupiah) dari RAM 512 untuk server. Dengan demikian harga RAM tidak dapat disamakan dengan harga Server HP DL-380 untuk Firewall server. Hal itu sudah sesuai dengan TOR IT KPU. Namun, pada akhirnya kekurangan tersebut telah diselesaikan oleh vendor. Untuk sisanya yaitu Rp. 126.098.910,00 (seratus dua puluh enam juta sembilan puluh delapan ribu dan sembilan ratus sepuluh rupiah) berasal dari pengerjaan raised floor untuk DRC. Pada tanggal 10 November 2003, Tim IT KPU dan Biro Data dan Informasi telah menyetujui pengalihan raised floor dari DRC ke Ruang Operator yang terletak di kantor KPU, karena raised
floor untuk DRC tidak diperlukan. Pada waktu perencanaan, KPU belum tahu dimana DRC tersebut akan ditempatkan, namun setelah tempat penempatannya dipastikan, ternyata di sana tidak diperlukan raised floor. •
BPK menemukan penyimpangan pengadaan Sampul Surat Suara, sebesar Rp. 7.068.260.972,30,- Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang sangat mencolok dalam penghitungan tim investigasi BPK dengan KPU. BPK menghitung jumlah sampul 12 kali jumlah Kabupaten/Kota sejumlah 416 atau 440 Kabupaten/Kota, sementara KPU menghitung 12 kali jumlah TPS yaitu 585.218 TPS. Dengan demikian terdapat perbedaan yang mencolok antara penghitungan KPU dan BPK, yaitu sejumlah 7.778.504 sampul surat suara seharga Rp. 5.787.398.294. Padahal kalau dihitung penggunaan sampul surat suara untuk keseluruhan TPS, maka jumlah pengadaannya 15.976.430 Sampul Suara. Versi BPK hanya 8.197.986 Sampul Surat Suara.
Masalah lain menyangkut penghitungan harga sendiri yang dianggap terlalu tinggi dibandingkan penghitungan tim investigasi BPK. Hal ini terjadi karena di dalam menghitung HPS, BPK tidak memiliki metodologi sendiri, sementara HPS KPU dihitung berdasarkan kaidah-kaidah yang sesuai dengan peraturan perundangundangan dan memasukkan managemen resiko. •
Untuk temuan BPK tentang tinta legislatif dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pagu anggaran tidak terlampaui malahan bisa berhemat. Harga satuan tidak melampaui HPS dan pagu anggaran, serta jauh lebih murah dari pada harga Pemilu 1999. Kedua, ditempuh kebijakan pemenang ganda yaitu 4 perusahaan di 4 zona dengan harga yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketergantungan KPU kepada sesuatu pemasok. Ketiga, produk domestik disamakan dengan harga impor, dengan maksud agar dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, produsen domestik akan memiliki pengalaman untuk ikut dalam pengadaan. Keempat, jumlah TPS 595.733 sudah sesuai dengan perencanaan awal pada bulan Januari 2004, yang kemudian berubah menjadi 585.218 sesuai SK
KPU No. 16, tanggal 25 Februari 2004. Kelima, dengan adanya penyimpangan pembebasan bea cukai, maka perusahaan bersangkutan perlu ditindak. Demikian pula perusahaan-perusahaan yang mencoba melakukan ‘under-invoice’ dan ‘under-pricing’ harus diproses secara hukum. Sementara itu, staf KPU yang terlibat dalam kasus ini sedang dalam proses pemeriksaan intern KPU.
Beberapa temuan BPK yang berhubungan langsung dengan pengusaha seperti manipulasi yang dilakukan pengusaha bukan menjadi tanggung jawab KPU. KPU sudah meminta Departemen Keuangan untuk mengambil tindakan terhadap perusahaan yang bersangkutan.
Proses Pengadaan KPU Telah Menyelamatkan Uang Negara
Seyogianya dalam mengaudit KPU, BPK melihat proses pengadaan dalam konteks situasi yang ada pada saat itu. Tuntutan masyarakat agar KPU menyelenggarakan Pemilu secara aman, sukses dan efisien telah dijawab oleh KPU dengan konsep meminimalkan kebocoran dalam proses pengadaan barang dan jasa. Konsep tersebut antara lain meliputi:
1. Dalam prosedur pengadaan tender secara terbuka, salah satu cara untuk menentukan pemenang tender, selain indikator teknis juga dipergunakan indikator harga. Sebagai contoh harga penawaran terendah untuk jasa pencetakan Surat Suara adalah Rp. 600,-. Kalau KPU mempergunakan proses prosedural Kepres, maka yang menjadi pemenang adalah mereka yang menawarkan harga terendah. Namun KPU berhasil menekan harga tersebut di dalam proses negosiasi yang sangat alot. Akhirnya KPU berhasil melakukan negosiasi untuk menekan harga jasa percetakan menjadi Rp 280,-. Kemudian untuk Surat Suara dengan jumlah oplaag yang kecil dinaikkan sekitar 10-15 %, sehingga menjadi Rp. 302,- dan Rp. 308,-. Bila diperhatikan secara kasar KPU telah menyelamatkan uang negara minimal sebesar Rp. 292,- dikalikan 662 juta lembar Surat Suara, yaitu Rp. 193,3 milyar.
2. Perlu diketahui bahwa Pengadaan Perangkat IT KPU dengan Grand Design pertama IT KPU mencapai US$ 119 juta, sementara design yang dibuat oleh Sekretariat Jendral KPU dengan bekerja sama dengan PT Telkom mencapai Rp. 462 milyar. Semua design tersebut mencakup keperluan Jaringan IT KPU di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota saja, yakni 384 (tiga ratus delapan puluh empat) titik. Jika ini dibandingkan dengan pengadaan yang dilaksanakan oleh KPU untuk IT-KPU dan jaringannya sampai ke tingkat kecamatan dan tiga kali operasional untuk petugas data entry sejumlah 54.900 relawan, maka dana yang dikeluarkan sebesar Rp. 250 milyar. Cakupan dari IT KPU mencapai 4167 Kecamatan, 416 Kabupaten/Kota, 32 Provinsi dan Data Center serta Data Recovery Center di Jakarta. Dengan demikian KPU telah menyelamatkan uang negara dalam jumlah yang cukup besar dari proses pengadaan IT KPU tersebut.
Pada prakteknya IT KPU telah berfungsi untuk meminimalkan kecurangan hasil perolehan suara Pemilu 2004. Di samping itu IT KPU juga telah memberikan rasa puas atas keinginan tahu masyarakat luas akan hasil Pemilu dan pemilih juga bahwa suaranya sampai di Jakarta dengan selamat. Dapat dibayangkan apa yang mungkin terjadi dan berapa biaya politik dan ekonomi yang harus dibayar oleh bangsa ini bilamana rasa puas itu tidak ada. Dengan demikian hasil pemilu dapat diterima oleh masyarakat luas. Dapat ditambahkan pula bahwa jaringan IT KPU ini di beberapa provinsi akan dipergunakan untuk Pilkada Langsung.
3. Penyelamatan keuangan negara juga dapat dihitung dari pengadaan Kotak Suara Pemilu 2004 yang telah dipergunakan pada tiga kali Pemilu 2004, dan masih dapat terus dipergunakan untuk Pilkada Langsung pada tahun 2005 ini, serta pemilu-pemilu selanjutnya.
Penutup:
Dugaan
penyimpangan
anggaran
yang
dilaporkan
oleh
BPK
sebesar
Rp.
90.292.052.790.30, sesungguhnya tidak dalam bentuk uang (cash), namun semuanya
telah dibelanjakan dalam bentuk barang dan jasa untuk keperluan Pemilu 2004. Memang harus diakui bahwa administrasi dan dokumentasi proses pengadaan barang dan jasa Pemilu 2004 belum sempurna, di samping banyaknya keputusan politik dan strategis yang harus diambil dalam situasi yang mendesak, yang semata-mata bertujuan untuk mensukseskan Pemilu 2004 tersebut.
Cara-cara pemberitaan terhadap temuan BPK tersebut telah dilakukan sedemikian rupa. Istilah “Penyimpangan” yang dipergunakan oleh BPK dalam laporannya telah diinterpretasikan sebagai “Korupsi” dengan akibat sudah terjadi penghakiman oleh publik, sehingga merendahkan martabat dan harkat institusi KPU dan perseorangan. Kami tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab untuk ini. Yang jelas, KPU memerlukan adanya forum klarifikasi, agar berbagai hal yang menjadi temuan tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu KPU menyampaikan terima kasih setinggitinggi kepada Komisi II DPR atas kesempatan yang diberikan kepada KPU untuk melakukan klarifikasi.
Kiranya tidak perlu dikatakan lagi bahwa kesuksesan penyelenggaraan Pemilu 2004 dan pengakuan internasional, patut dilihat sebagai keberhasilan bangsa dalam memasuki era demokrasi yang bermartabat. Apabila Pemilu 2004 gagal, maka besarnya
kerugian
keuangan negara yang mungkin timbul bukan dalam hitungan puluhan milyar, melainkan ratusan trilyun rupiah. Resiko politik akan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan nilai biaya ekonomi yang dikeluarkan negara untuk Pemilu 2004. Berapapun biaya yang dikeluarkan tidak setara dengan nilai keberhasilan politik yang dihasilkan melalui Pemilu 2004.
Dengan demikian KPU telah menyelenggarakan Pemilu secara aman dan damai dalam rangka suksesi kepemimpinan Politik yaitu pergantian Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan untuk pertama kalinya pemilihan Anggota DPD. Di samping itu dalam sejarah politik Republik Indonesia, untuk pertama kalinya pula bangsa kita telah menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan dalam situasi damai yang mencengangkan dunia. Bahkan Amerika Serikat pun belum
pernah melaksanakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden benar-benar secara langsung seperti yang kita lakukan. Suksesi Presiden dan Wakil Presiden di negeri ini baru pertama kali terjadi tanpa diikuti oleh kerusuhan-kerusuhan sosial politik.
Dengan demikian KPU berharap bahwa keberhasilan Pemilu 2004 sebagai fondasi membangun budaya politik yang demokratis agar tidak dilupakan begitu saja. Jangan sampai terjadi seperti kata pepatah ‘panas setahun dihapus oleh hujan sehari’.
Akhirnya kepada DPR, KPU berharap agar lembaga yang terhormat ini dapat melihat persoalan ini secara kontekstual, adil dan proporsional. Klarifikasi ini disampaikan kepada DPR agar penghakiman publik tidak berkelanjutan. Penghakiman publik yang tidak proporsional dan memerosotkan citra KPU dapat merugikan semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004, seluruh proses dan hasil Pemilu 2004, dan perjalanan demokratisasi kita ke depan. Apabila memungkinan KPU mengharap DPR dapat memerintahkan dilakukannya audit independen terhadap seluruh pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2004.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH.
Jakarta, 9 Mei 2005