Kertas Kerja #4 Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA)
"Kelemahan-kelemahan NCICD dan solusi untuk penanganan banjir Jakarta" Oleh Bosman Batubara
Dokumen ini Kertas Kerja ini adalah tanggapan terhadap proyek National Capital Integrated Coastal Development Project (NCICD), Jakarta. Tanggapan ini berisi kelemahan-kelaman dari konsep NCICD. Kelemahan-kelamahan yang dibahas di sini lebih bertaut dengan permasalahan teknikalitas dan kepengurusan air. Sebagai tanggapan terhadap NCICD, dokumen ini bukanlah yang pertama. Ada dokumen lain yang membahas aspek hidrodinamika, sosial ekonomi, dan kebutuhan terhadap pasir laut untuk membangun proyek NCICD (Poernomo, dkk., 2015). Ide-ide dalam tulisan ini sudah didiskusikan di banyak kesempatan, misalnya, rapat di LBHJakarta pada 30 April 2016 yang dihadiri oleh berbagai perwakilan organisasi yang terlibat dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (LBH-Jakarta, YLBHI, KNTI, KNT, Solidaritas Perempuan, BEM-FH UI, BEM UI, Rujak, Watchdoc, Forkeman, dan perwakilan warga yang menolak reklamasi di Makassar), dan dalam diskusi di dunia maya yang menjadi simpul pengorganisasian Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. Dengan demikian, pandangan penulis sangat diperkaya oleh diskusi-diskusi tersebut. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Namun, meskipun ide ini sudah didiskusikan dalam berbagai kesempatan, hukum pertanggungjawaban isi di pundak penulis, tetaplah berlaku. Secara sepotong-sepotong tulisan ini pernah muncul di berbagai kesempatan. Misalnya, bagian "Kelemahan inheren tanggul" pernah muncul dalam tulisan bertajuk Kelemahan Giant Sea Wall Jakarta (http://literasi.co/kelemahan-giant-sea-wall-jakarta/); sementara bagian "In-migrasi ke Jakarta" adalah bagian dari proposal disertasi penulis yang bertajuk "'UNEVEN DEVELOPMENT': Politicizing flood events and urbanizing infrastructural interventions in (post-) New Order Jakarta, Indonesia" di UNESCO-IHE dan UvA, Belanda. Keduanya dimuat kembali di dalam Kertas Kerja ini karena relevan. Penulis sangat terbuka dengan berbagai diskusi dan masukan terhadap Kertas Kerja ini.
1
Daftar Isi A.
Ringkasan ................................................................................................................................................................. 3
B.
National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) .............................................................. 4
C.
Kelemahan inheren tanggul ............................................................................................................................. 5
D. "Asumsi" dalam penurunan tanah ................................................................................................................ 7 E.
In-migrasi ke Jakarta........................................................................................................................................ 12
F.
Logika fragmentatif dalam Master Plan NCICD ................................................................................... 16
G.
Solusi untuk banjir Jakarta ............................................................................................................................ 18
H. Acuan ....................................................................................................................................................................... 20 I.
Tentang Penulis .................................................................................................................................................. 24
2
A. Ringkasan NCICD adalah proyek raksasa dengan tujuan melindungi Jakarta dari banjir rob dan memfasilitasi perkembangan sosio-ekonomi. Proyek ini sudah disahkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015. Secara total proyek ini memiliki anggaran sebesar sekira 21,5 miliar Dollar AS dan direncanakan selesai pada 2050. Kertas Kerja ini melihat 4 kelemahan mendasar pada Master Plan NCICD. Berangkat dari kelemahan-kelemahan itu, Kertas Kerja ini menawarkan dua ide sebagai solusi terhadap penanganan banjir Jakarta. Meskipun ide-ide itu masih bersifat dasar, namun kemugkinan wilayah operasionalisasinya sangatlah luas. Kelemahan pertama secara inheren berada dalam konsep tanggul sebagai infrastruktur hidrolik untuk penanggulangan banjir. Tanggul pada dasarnya akan menimbulkan bahaya yang lebih katastrofik karena perhitungan stokastik yang abai terhadap permasalahan koevolusi infrastruktur hidrologi dan manusia. Kedua, penyebab dominan penurunan muka tanah (subsidence) di Jakarta yang diambil oleh NCICD adalah ekstraksi air tanah. Sependek yang dapat penulis telusuri, tidak ada data yang kuat yang menunjukkan bahwa aktivitas ekstraksi air tanah adalah penyebab utama subsidence di kawasan ini. Sementara, data pembanding justru menunjukkan bahwa penyebab dominan subsidence adalah pembebanan dari gedung-gedung, terutama pencakar langit. Implikasinya, jika disepakati yang menjadi penyebab utama penurunan muka tanah adalah pembebanan dari gedung-gedung, maka pembangunan berbagai infrastruktur hidrologi kontraproduktif dalam usaha penanggulangan banjir di DKI Jakarta, karena justru ia akan semakin menambah beban dan dengan demikian akan meningkatkan laju subsidence. Ketiga, pulau-pulau reklamasi di sekitar tanggul NCICD akan menarik sekitar 650 ribu manusia untuk tinggal di sana. Ini kontraproduktif dengan usaha melakukan desentralisasi yang menjadi salah satu agenda politik pasca Orde Baru yang sangat tersentral. Laju inmigrasi manusia ke Jakarta menunjukkan hubungan yang positif dengan masa kekuasaan Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi kapitalisme dalam sistem ekonomi-politik Orde Baru adalah salah satu faktor pendorong terjadinya in-migrasi ke Jakarta. Di pedesaan hal ini bisa dilihat dari bertambahnya jumlah petani tak bertanah sejak Reforma Agraria digugurkan pada rentang 1965-7, sehingga menyebabkan para petani tak bertanah migrasi ke kota-kota dan menjadi penghuni kantung-kantung kemiskinan perkotaan. Keempat, bertolak belakang dengan klaim-nya sebagai "integrated approach", Master Plan NCICD justru memperlihatkan logika yang fragmentatif dalam penanganan banjir untuk konteks Jakarta. Selain itu, konsep yang dituangkan dalam Master Plan NCICD dan berbagai dokumen lampirannya belumlah detil. Hal ini misalnya terlihat untuk kasus kualitas air di waduk di dalam perimeter tanggul raksasa yang akan dijadikan sebagai sumber air minum. Bagian ini, seperti diakui oleh Master Plan NCICD, masih membutuhkan Water Quality Acceleration Roadmap. Sebagai solusi terhadap penanganan banjir Jakarta, Kertas Kerja ini menawarkan solusi di luar pembangunan infrastruktur hidrolik dengan cara melihat Jakarta dari luar kota 3
Jakarta--melepaskan diri dari paradigma methodological cityism (melihat kota hanya dari dalam kota, terutama karena sekat administrasi), dan mengganti lokus studi ke prosesproses urbanisasi. B. National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) adalah proyek raksasa di Teluk Jakarta yang bertujuan melindungi Jakarta dari banjir yang datang dari laut (rob) dan pada saat yang bersamaan memfasilitasi pembangunan sosio-ekonomi. Perlindungan terhadap Jakarta dilakukan melalui ide pembangunan tanggul raksasa sepanjang Teluk Jakarta. Beriiringan dengan tanggul itu akan dibangun pulau-pulau reklamasi yang akan menjadi tempat tinggal bagi sekitar 650 ribu orang. Waduk-waduk dalam perimeter tanggul diniatkan akan menjadi area tampungan air yang datang terutama dari sungai-sungai yang membelah Jakarta, untuk seterusnya diolah menjadi air minum. Bersama dengan Tanggul dan pulau-pulau reklamasi, Pelabuhan Tanggul Priok juga masuk dalam paket Master Plan NCICD sebagai infrastruktur yang akan untuk meningkatkan "konektivitas" aliran uang, barang, dan oran dari dan ke kawasan ini. Konsep NCICD mengklaim segaris dengan disain besar seperti yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sebagai proyek raksasa, NCICD direncanakan dikerjakan dalam 3 fase, A, B, dan C. Fase A meliputi pembangunan tanggul-tanggul pertahanan di sepanjang pantai di Teluk Jakarta. Fase B adalah pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta serta reklamasi area di sekitar tanggul raksasa yang akan dibangun. Fase C adalah pembangunan jangka panjang pada bagian timur Teluk Jakarta. Total biaya dari ketiga fase ini diperkirakan sebesar 21,5 miliar Dollar AS. Uang ini antara lain akan diperoleh dari penjualan tanah hasil reklamasi di sekitar tanggul raksasa. Semua proyek ini direncanakan akan selesai pada 2050 (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014). Pada 8 Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019. Buku I Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019: Agenda Pembangunan Nasional mencantumkan NCICD sebagai usaha "pembangunan dan revitalisasi pantai terpadu" (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014: 2016). Seperti yang tercantum dalam Master Plan NCICD, pada 25 Juli 2014, Presiden Jokowi mendapatkan penjelasan tentang NCICD dan kemudian Presiden mendukung proyek ini dengan beberapa panduan implementasi, terutama dalam hal manajerial. Pada 2016, melalui beberapa pernyataan yang muncul di media, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa NCICD adalah "jawaban untuk Jakarta". Lebih jauh lagi, proyek reklamasi 17 pulau yang sudah ada sebelumnya, akan diintegrasikan ke dalam NCICD (Katadata.co.id, 27 April 2016; Kompas.com, 27 April 2016).
4
C. Kelemahan inheren tanggul Hidrologis, seperti yang dijelaskan oleh Sivapalan, Savenije, and Bloschl (2011), dalam rentang waktu yang cukup lama telah meletakkan manusia sebagai faktor eksternal dalam dinamika siklus air. Model-model teknik konvensional di bidang air (misalnya: pemodelan air tanah, pemodelan air permukaan, dan pemodelan banjir) mengasumsikan bahwa faktor manusia tidak masuk dalam persamaan pemodelan. Rumus-rumus dalam pemodelan di bidang air sangat jarang menyertakan faktor manusia sebagai salah satu variabelnya. Kalaupun manusia menjadi salah satu variabel dalam persamaan, maka itu adalah untuk kepentingan ekstraksi, misalnya dalam bidang pemodelan air tanah. Namun, gambar yang lebih besar tentang bagaimana sebuah waterscape tumbuh bersamaan dengan faktor manusia ini, masihlah jarang dalam pemodalan di bidang air. Sebagai contoh, pemodelan sungai dan banjir dengan menggunakan perangkat lunak MIKE11 yang diproduksi oleh DHI (https://www.mikepoweredbydhi.com/products/mike-11), membutuhkan pasokan data network file (digitalisasi sungai dalam koordinat X, Y, dan Z), file struktur hidrologi seperti weirs (bendung) dan culverts (gorong-gorong) yang meliputi koordinat dan penampang yang diperoleh dari survei lapangan, serta kondisi batas (boundary condition) hulu, lateral, dan hilir. Boundary condition pada intinya adalah debit air yang masuk (hulu dan lateral) ke, dan keluar dari (lateral dan hilir), sungai yang dimodel. Dalam tahap lebih lanjut, pemodelan sungai ini kemudian bisa ditingkatkan menjadi pemodelan dataran banjir dengan menambahkan data lain seperti data aliran pada waktu tertentu, Digital Elevation Model (DEM, atau peta tofografi 3-D digital), penampang saluran-saluran air yang terhubungkan dengan sungai utama, dan data kesejarahan banjir (Batubara 2012). Dari pemaparan tentang kebutuhan data itu terlihat bahwa bagaimana manusia merespon sebuah struktur hidrologi seperti bendung belum masuk ke dalam model. Dengan demikian, pemodelan-pemodelan di bidang air adalah simulakra dari realitas yang dengan basis itu kemudian keputusan diambil. Kritik ini mereka teoritisasikan dalam satu disiplin pengetahuan yang oleh Sivapalan, Savenije, and Bloschl (2011) disebut socio-hydrology, sebuah ilmu yang mempelajari adanya ko-evolusi antara air dan manusia. Socio-hydrology menjelaskan bahwa pada dasarnya pemahaman mengenai bagaimana seharusnya sebuah waterscape diurus haruslah melihat pula adanya ko-evolusi antara infrastruktur hidrolik dengan respon manusia terhadapnya. Sebuah infrastruktur hidrolik pada akhirnya akan memunculkan sikap baru sebagai umpan balik dari proses metabolisme sosial yang melibatkan air dan manusia. Dalam kasus manajemen banjir, kita perlu lebih dulu melihat morfologi “dataran banjir”. Dataran banjir adalah daerah yang sangat subur. Peradaban Mesopotamia dan Mesir dibangun di daerah tepi sungai pada sepanjang floodplain. Desa-desa di Sumatra di daerah Bukit Barisan juga selalu berjejer mengikuti aliran sungai di igir-igir. Mayoritas Jakarta adalah dataran banjir yang di dalamnya mengalir 13 sungai, ditambah daerah delta di muara. Alasan kegemaran manusia tinggal di daerah floodplain adalah karena secara ekologi daerah ini menawarkan kondisi yang bagus untuk perkembangan pertanian dan perdagangan. Mudah dibayangkan, banjir biasanya membawa soil dari daerah hulu dan mengendapkannya di floodplain. Ini adalah area yang sangat subur bagi pertanian. Tubuh air sendiri mempermudah akses ke pedalaman karena sungai bisa diarungi oleh kapalkapal untuk keperluan perdagangan. 5
Seiring waktu, terjadi evolusi dalam sistem produksi pangan serta ekonomi dari pramodern menjadi kapitalisme industri. Banyak kelompok masyarakat yang tinggal di floodplain sudah tidak bersandar lagi pada sektor-sektor di atas, terutama pertanian, untuk penghidupannya. Namun, floodplain telah berkembang menjadi permukiman yang ramai. Sembilan dari sepuluh aglomerasi perkotaan terbesar di dunia berlokasi di floodplain dan daerah delta (di Baldassarre et al. 2013). Jadilah populasi ini berhadapan dengan risikonya: banjir. Secara ekologis, floodplain memang berfungsi sebagai area penampungan air ketika terjadi banjir. Debit air yang besar pada musim banjir tertampung di daerah floodplain. Namun, dengan berkembangnya manusia serta sistem produksinya di daerah floodplain, air kehilangan area untuk menampungnya ketika datang aliran yang tinggi. Sebagai konsekuensinya, banjir melanda permukiman-permukiman di floodplain. Struktur hidrologi adalah solusi hidrologis menghadapi banjir. Sejarah menjadi saksi pembangunan berbagai macam struktur hidrologi di Jakarta, seperti kanal, bendungan, pintu-pintu air, dan ide terakhir adalah tanggul raksasa (giant see wall) dalam paket NCICD. Di sini kita masuk ke isu koevolusi antara manusia dan air. Interaksi dua arah ini terjadi ketika masyarakat memobilisasi kapital, political will, dan keahlian saintifik untuk membangun struktur hidrologi seperti tanggul guna melindungi floodplain dari banjir. Lalu orang merasa aman tinggal di daerah floodplain. Area floodplain kemudian berkembang menjadi area yang padat, dan tak jarang adalah area industri. Inilah “sikap baru” yang muncul sebagai “umpan balik” terhadap pembangunan struktur hidrologi seperti tanggul. Masalahnya, di sini kita berhadapan dengan “efek penanggulan”—karena tanggul justru mempertinggi risiko banjir. Memang benar terjadi penurunan frekuensi banjir dengan probabilitas besar dan risiko kecil karena masyarakat terlindungi oleh tanggul. Tetapi, risiko bergeser ke banjir dengan probabilitas kecil dengan dampak yang katastrofik, yaitu manakala aliran melampaui atau menjebol tanggul. Dasar pemikirannya sederhana. Tanggul didesain dengan ketahanan menghadapi banjir, misalnya yang datang dalam waktu sekali dalam seribu tahun. Inilah probabilitas. Bagaimana dengan banjir dengan probabilitas yang lebih kecil, misalnya datang sekali dalam seribu lima ratus tahun? Kalau kalkulasi akurat, maka tanggul akan terlampaui atau jebol. Inilah banjir dengan probabilitas kecil tetapi memiliki dampak katastrofik—karena tanggul terlampaui atau jebol dan orang sudah banyak bermukin di area yang (dipersepsikan) dilindungi oleh tanggul. Kesadaran stokastik inilah yang membuat manajemen banjir justru bergerak ke arah yang lebih ekologis. Di Amerika Serikat muncul manajemen banjir dengan paradigma rekoneksi floodplain (Opperman et al. 2009). Sementara di Belanda muncul manajemen banjir di sungai Rhine, Meuse, Waal, Ijssel, dan Lek dengan sistem Room for the River yang tujuan utamanya adalah memperlebar sungai untuk meningkatkan kapasitasnya (van Herk 2014). Artinya, sungai malah diberikan ruang dengan kapasitas aliran yang lebih besar. Bukan ditanggul. Dalam kasus NCICD, narasi tentang floodplain di atas tinggal diganti dengan kawasan pesisir. Giant sea wall di Teluk yang tertuang dalam proyek NCICD Jakarta dirancang dengan kesiapan tanggul menghadapi banjir dengan return period 1000 tahun ("the design 6
of the outer sea wall will be based on an extreme event that statistically occurs only once in 1,000 years"; Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014: 75). Pada prinsipnya, pertanyaannya sama, bagaimana dengan momen ekstrim hidrologi yang secara statistik memiliki probabilitas lebih kecil, misalnya muncul satu kali dalam 1100 tahun? Kalau pemodelan yang dilakukan dalam penyusunan Master Plan NCICD bagus, maka ketika datang momen ekstrim hidrologi dengan probabilitas yang lebih kecil dari 1 kali dalam 1000 tahun, tanggul yang dirancang itu akan jebol/terlampaui. D. "Asumsi" dalam penurunan tanah Penurunan muka tanah memperparah banjir di Jakarta. Bahwa Jakarta mengalami penurunan muka tanah sudah menjadi informasi yang dapat diakses dengan mudah di banyak media (misalnya: Kompas.com, 11 Februari 2015; Tempo.co, 11 Maret 2015; dan news.detik.com, 8 November 2015). Pencarian dengan mesin pencari "google" dengan kata kunci "penurunan tanah Jakarta" dalam waktu 0,57 detik menghasilkan lema sebanyak 647.000. Abidin et al. (2011) menyebutkan bahwa di Jakarta terjadi penurunan tanah antara 1-15 cm/tahun. Bahkan di beberapa lokasi penurunan tanah terjadi antara 20-28 cm/tahun. Angka penurunan tanah ini mereka dapatkan melalui survei yang sudah dilakukan (terutama) sejak 1982 dengan memakai 3 cara, yaitu, titik ukur kesamaan (leveling point), pengukuran dengan Global Positioning System (GPS), dan dengan Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR). Adapun dampak-dampak dari penurunan tanah ini sudah terlihat di banyak titik di Jakarta dalam bentuk rekahan pada bangunan permanen dan jalan, perubahan dalam sistem aliran sungai-kanal dan saluran-saluran air, perluasan area banjir, sistem penyaluran yang gagal berfungsi, dan ekspansi air laut ke daratan. Dari ketiga cara pengkuran tersebut didapatkan laju penurunan tanah. Pengukuran dengan GPS memperlihatkan bahwa penurunan tanah terbesar terjadi di Pantai Mutiara. Pada rentang waktu Desember 1997-September 2007 penurunan tanah di daerah ini adalah sebesar 80-90 cm. Lebih lengkap tentang penurunan tanah di Jakarta ini disajikan dalam tabel 1. Table 1: Laju penurunan tanah berdasarkan metode pengukuran dan periodenya.
No
Metode
Periode
Laju penurunan tanah/subsidence [cm/tahun]
1
Leveling survey
1982-1991
1-9
1991-1997
1-25
2
GPS survey
1997-2010
1-28
3
InSAR
2006-2007
1-12
Sumber: Abidin et al. (2011). Lebih jauh, Abidin et al. (2011), menggolongkan penyebab terjadinya penurunan tanah ke dalam empat hal, yaitu, ekstraksi air tanah, pembebanan bangunan dan konstruksi, 7
konsolidasi alamiah soil aluvial, dan aktivitas tekntonik. Mereka tidak memiliki informasi tentang kontribusi tiap-tiap faktor berdasarkan persebaran spasialnya. Aktivitas tektonik dianggap sebagai faktor yang kontribusinya paling kecil, karena, berdasarkan informasi geologi dari penelitian yang dapat mereka akses, tidak ditemukan adanya bukti kuat tentang kehadiran patahan aktif di kawasan Jakarta. Sementara, ekstraksi air tanah dianggap sebagai faktor yang kontribusinya paling dominan. Secara keseluruhan, ketiga faktor pertama (ekstraksi air tanah, pembebanan bangunan dan konstruksi, dan konsolidasi soil aluvial) mereka sebutkan memiliki relasi yang kuat dengan aktivitas pembangunan di Jakarta dan area sekitarnya. Dokumen-dokumen NCICD mengamini "asumsi" bahwa ekstraksi air tanah adalah faktor yang paling berkontribusi terhadap penurunan muka tanah di Jakarta. Master plan NCICD (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014: 37; selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut dengan "Master Plan NCICD")misalnya, menyebutkan "[S]ubsidence, to a large extent, is caused by ground water extraction, which must be stopped and replaced by piped water supply [penyebab utama dari penurunan muka tanah adalah ekstraksi air tanah. Ini harus dihentikan dengan cara menggantikannya dengan sistem pemenuhan air minum melalui pipa--terjemahan oleh penulis]". Di halaman yang sama, Master Plan NCICD menyarankan bacaan lebih jauh soal penurunan tanah ini berupa dokumen Technical Report C1.5 Ground water & subsidence evaluates the subsidence problem (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014a; selanjutnya akan disebut dengen "Dokumen C1.5"). Dokumen C1.5 (hlm. 5) menyebutkan bahwa pada sepanjang area pantai pada waktu itu telah teramati penurunan tanah sebesar antara beberapa hingga lebih dari 10 cm/tahun. Di kawasan garis pantai, penurunan muka tanah sekitar 6 hingga 8 cm/tahun. Melalui studi literatur, Dokumen C1.5 (hlm. 6) mengidentifikasi beberapa faktor yang menjadi penyebab penurunan tanah, yaitu: 1)penurunan muka air tanah; 2)konsolidasi atau pengompakan alamiah sedimen Kuarter; 3)pembebanan bangunan; dan 4)pergerakan tektonik. Sebagai bagian dari proyek Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) yang sudah ada sebelumnya, berbagai diskusi tentang seberapa banyak masing-masing faktor berkontribusi terhadap penurunan tanah telah digelar. Ada dua pendapat dalam proses-proses diskusi ini. Pertama, pendapat yang menganggap bahwa tiga perempat dari total penurunan muka tanah terjadi karena penurunan muka air tanah, dan sisanya oleh faktor yang lain. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pengompakan alamiah adalah penyebab utama (sebesar 2/3) penurunan muka tanah, dan penurunan permukaan air tanah hanya berkontribusi sekitar 1/5. Namun, disebutkan dalam Dokumen C1.5 selama fase JCDS telah disimpulkan bahwa ekstraksi air tanah dan penurunan muka air tanah yang mengikutinya sebagai penyebab utama penurunan muka tanah. Dalam tubuh Dokumen C1.5 (hlm. 6) disebutkan akan ada lampiran tentang laporan fase JCDS ini dalam Appendix IV. Namun, ketika diperiksa pada bagian Appendix IV Dokumen C1.5, bagian tersebut kosong. Sementara, Dokumen JCDS (Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda 2011: 1-15) menyebutkan bahwa "[D]ari studi penurunan tanah yang dilakukan oleh beberapa peneliti selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan 8
(settlement), penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Dari empat faktor penurunan tanah ini, tiga faktor pertama (terutama masalah penggunaan air) dipercaya berkontribusi dalam menyebabkan penurunan tanah di wilayah-wilayah tersebut [garis bawah dan cetak tebal dari saya]." Namun, penting diketahui, sependek yang dapat penulis ikuti di dokumen JCDS, tidak dibahas lebih jauh mengapa "tiga faktor pertama (terutama masalah penggunaan air) dipercaya berkontribusi dalam menyebabkan penurunan tanah di wilayah-wilayah tersebut". Sampai sekarang, saya belum bisa mengakses diskusi seperti apa yang sudah berlangsung di kalangan engineer yang membuat Master Plan NCICD, Dokumen C1.5, dan JCDS, sehingga mereka menyimpulkan bahwa penyebab dominan dari penurunan muka tanah di Jakarta adalah ekstraksi air tanah. Namun, ada data lain yang bisa ditampilkan yang menyebutkan bahwa yang terjadi justru berbeda. Rukmana (2014), mengutip The Jakarta Post (29 Agustus 2007) yang mengutip data dari Dinas Pertambangan DKI, memperlihatkan bahwa: 80% penurunan tanah di Jakarta disebabkan oleh bagunan, terutama pencakar langit; 17% oleh ekstraksi air tanah, dan 3% oleh penyebab alamiah. Sementara, Minardi, Dahrin, dan Yusuf (2014) dengan menggunakan metode "gayaberat mikro antar waktu" dan "gradien vertikal gaya berat antar waktu" memperlihatkan hasil yang lain. Metode gaya berat mikro antar waktu adalah "refleksi dari gabungan beberapa anomali (gaya berat), seperti perubahan ketinggian stasiun, pergerakan fluida, dan perubahan sifat fisis (densitas) di bawah permukaan". Metode ini sudah dimanfaatkan untuk memonitor perilaku reservoir hidrokarbon, reservoir panas bumi, amblesan, dan perubahan muka air tanah. Penelitian mereka menggunakan data pengukuran gayaberat mikro antar waktu yang dilakukan pada periode 2008 dan hingga 2009. Pengukuran dilakukan dengan gradiometer dengan memakai teknik gradien (setiap pengkuran dilakukan dua kali. Satu kali di atas permukaan tanah, dan satu kali pada kedalaman tertentu di bawah permukaan tanah). Hasil pengkuran inilah yang disebut gradien vertikal gaya berat. Disebut "antar waktu" karena ia dilakukan pada 2008 dan 2009. Kesimpulan penelitan Minardi, Dahrin, dan Yusuf (2014) menyatakan bahwa amblesan total di wilayah DKI Jakarta nilainya berkisar 15 cm. "Nilai ini," demikian Yusuf (2014: 12), "tidak jauh berbeda dengan pengukuran GPS...". Nilai amblesan akibat ekstraksi air tanah mempunyai nilai yang gradasional, semakin ke arah selatan semakin tinggi, dengan nilai amblesan terbesar di Jakarta Selatan sebesar 10 cm. Dengan mengurangkan nilai amblesan total dengan nilai amblesan akibat ekstraksi air tanah, mereka mampu memperlihatkan besaran amblesan akibat pembebanan di permukaan. Pada masa 2008-9 (titik masa pengambilan data mereka), amblesan akibat pembebanan terbesar terjadi di Jakarta Barat dan Utara dengan nilai berkisar 8-13 cm; Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan dengan nilai 8 cm. Tabel 2 berikut menyingkat perbandingan penurunan tanah di Jakarta dengan berbagai penyebab dominan yang diidentifikasi.
9
Table 2: perbandingan penyebab turunnya muka tanah di Jakarta dari berbagai sumber.
Dokumen sumber
Tahun
Penurunan tanah karena ekstraksi air tanah
Penurunan tanah karena pembebanan
Master Plan NCICD
2014
"Subsidence, to a large extent, is caused by ground water extraction,"
-
Dokumen C1.5 2014
1. 3/4 dari total 2. 1/5 dari total
1. 1/4 oleh faktor yang lain (termasuk di dalamnya karena pembebanan) 2. 2/3 penurunan muka tanah karena pembebanan
Dokumen JCDS
"diidentifikasi ada beberapa faktor terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan (settlement), penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Dari empat faktor penurunan tanah ini, tiga faktor pertama (terutama masalah penggunaan air) dipercaya berkontribusi dalam meneybabkan penurunan tanah".
2011
Departemen 2007 (?) Pertambangan
17% oleh ekstraksi air tanah
80% penurunan tanah di Jakarta disebabkan oleh bagunan, terutama pencakar langit
Minardi, Dahrin, dan Yusuf
Gradasaional, semakin ke arah selatan semakin tinggi, dengan nilai amblesan terbesar di Jakarta Selatan sebesar 10 cm.
Amblesan akibat pembebanan terbesar terjadi di Jakarta Barat dan Utara dengan nilai berkisar 8-13 cm; Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan dengan nilai 8 cm.
2014
Diolah dari berbagai sumber. Dari tabel 2 di atas, yang dapat dilihat adalah bahwa berbagai penelitian yang sudah ada memiliki pendapat yang berbeda tentang penyebab penurunan tanah di Jakarta. Secara umum, polarisasi perbedaan ada dua. Pertama, kalangan yang berpendapat bahwa penyebab dominan penurunan muka air tanah di Jakarta sebagai akibat dari ektraksi air 10
tanah yang berlebihan; dan kedua, kalangan yang berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh pembebanan, terutama oleh gedung-gedung pencakar langit. Master Plan NCICD adalah kalangan yang pertama. Selain dalam Master Plan NCICD, pendapat bahwa ekstraksi air tanah yang berlebihan adalah penyebab dominan dari penurunan muka tanah di Jakarta, muncul di berbagai media melalui pakar yang memiliki afiliasi dengan proses pembuatan Master Plan NCICD. Editorial The Jakarta Post bertajuk Stop Jakarta's sinking (10 Oktober 2015) memperlihatkan itu. "There is not much debate about this fact. Scientists have agreed that this is a danger to Jakarta, and it has to be stopped immediately. Neither is there much debate about the major cause of the subsidence: Massive groundwater extraction by millions of households, offices and industry," demikian The Jakarta Post. Dalam Editorial itu yang dikutip adalah Jan Jaap Brinkman, yang diperkenalkan sebagai "one of NCICD's consultants". Dalam sebuah video di YouTube, Jan Jaap kembali menyampaikan pandangan ini. "The reason the city is sinking, is that there are many high rise buildings, there are many shopping malls, there is a lot of industry, and they use deep groundwater. The hard rock under Jakarta is about 500 metres away. In these 500 metres there are some sand layers, but also clay layers. And because of the over-abstraction of the groundwater the clay layers fall dry and start to compact. And that causes the sinking of Jakarta. So the whole area is going down. It can be stopped by stopping the deep groundwater abstraction. That can be done by connecting everybody to the public water supply" -- Alasan amblesan kota ini adalah adanya beberapa bangunan pencakar langit, mall, dan banyak bangunan industri yang menggunakan air tanah dalam. Batuan segar di bawah Jakarta berada pada kedalaman sekitar 500 m. Pada interval 500 m ini ada lapisan pasir dan lempung. Karena eksploitasi air tanah berlebihan ini, maka lapisan lempung kering dan mulai mengompak. Ini menyebabkan amblesnya Jakarta. Jadi semua kawasan ini turun. Hal ini bisa dihentikan dengan menghentikan penyedotan air tanah dalam, yang bisa dilakukan dengan menghubungkan semua bangunan ke pelayanan air minum (pipa)--terjemahan oleh Bosman". (link video: https://www.youtube.com/watch?v=Amkyt1SMKPc). Video ini sendiri diunggah oleh akun bernama "Deltaresfilm". Kemungkinan besar akun ini adalah milik Deltares, sebuah perusahaan air yang berbasis di Delft, Belanda. Jan Jaap sendiri, berdasarkan informasi di laman Deltares yang diakses per 12 Mei 2016, adalah pegawai Deltares (https://www.deltares.nl/nl/contactperson/janjaap-brinkman/). Argumentasi ini terus mengalami propagasi. Sebuah dokumen yang menampilkan pendekatan Belanda dalam managemen perairan di kota-kota yang terletak di kawasan delta mempropogasi argumen ini. "The overexploitation of groundwater resources is causing Jakarta to sink slowly below sea level at an alarming rate of 7.5 centimetres a year-eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya air tanah menyebabkan Jakarta ambles secara perlahan hingga berada di bawah muka air laut dengan laju yang mengkhawatirkan pada 7,5 cm/tahun--terjemahan oleh Bosman (Delta Approach, 2014: 14).1 1 Delta Approach adalah pendekatan Belanda dalam manajemen air di kawasan delta dengan tujuan menjaga kelanjutannya dan mempromosikan pembangunan spasial dan ekonomi kawasan delta. Majalah Delta Approach 2014 dibuka oleh tulisan dari Melanie Schultz van Haegen, Menteri Infrastruktur dan Lingkungan Kerajaan Belanda. " As a vulnerable river delta itself, the Netherlands has learned to deal with these risks in a specific way: By embracing water. Water became our culture, our way of life and we institutionalized this
11
Permasalahan tentang turunnya tanah di Jakarta ini kemudian terus beredar hingga Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dan Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengkhawatirkan permasalahan ini. Dan menurut mereka, solusinya adalah dengan membangun tanggul seperti yang dikonsep dalam Master Plan NCICD (news.detik.com, 29 April 2016). Meskipun, baik Gubernur DKI dan Presiden, tidak menelaah lebih jauh apa penyebab turunnya tanah di Jakarta. Konsekuensi dari pilihan penyebab dominan penurunan tanah ini sangat nyata dan berhubungan dengan sistem penanganan banjir seperti apa yang cocok untuk Jakarta. Secara logis, dapat disederhanakan menjadi dua. Pertama, jika yang diidentifikasi sebagai penyebab utama turunnya muka tanah adalah ekstraksi air tanah, maka solusi utamanya adalah dengan mencukupi kebutuhan air minum melalui sistem jaringan pemipaan--seperti yang disampaikan oleh Jan Jaap dalam video di YouTube. Dan inilah langkah yang diambil oleh proyek NCICD. Kedua, jika diidentifikasi penyebab utama penurunan muka tanah adalah pembebanan bangunan, yang dapat diruntut pula akibat ikutannya dengan cara berfikir bahwa semakin banyak bangunan tanpa sistem penyediaan air dengan pipa, maka akan semakin banyak ekstraksi air tanah; dan semakin banyak bangunan maka akan semakin mempercepat kompaksi sedimen aluvial Kuarter; maka solusi penanganan banjir di Jakarta adalah dengan mengurangi, atau tidak lagi menambah, bangunan-bangunan berat yang akan semakin memperberat beban di atas endapan geologi, baik itu di daratan maupun di Teluk Jakarta yang juga adalah sedimen lunak dan tebal muda (Holocene) dengan ketebalan melebihi 10 m (Jury, Pans, and Golingi, 2011). Dari sudut pandang ini, maka pembangunan infrastruktur hidrolik seperti NCICD justru kontraproduktif dalam usaha penanganan banjir. E. In-migrasi ke Jakarta Desain awal NCICD akan menyediakan tempat tinggal bagi 650.000 jiwa. Ini artinya akan menarik semakin banyak orang untuk terkonsentrasi di sekitar Teluk Jakarta, atau lebih luas di DKI Jakarta(Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014: 49). Hal ini berarti masih melanjutkan pola pembangunan kapitalistik ala Orde Baru dimana kota menjadi magnet yang sangat besar dan menarik rakyat untuk berbondongbondong pindah ke kota. Persoalan ini bisa dilihat dari pertumbuhan penduduk yang terus bertambah di Jakarta, terutama pertumbuhan penduduk di daerah Jabodetabek. Firman (1998) menyebutkan bahwa pertumbuhan ini adalah hasil dari migrasi ke kota yang terus terjadi. Bagi Jakarta modern, populasi menjadi salah satu persoalan yang serius karena ia berhubungan dengan penggunaan lahan dan kebutuhan hidup seperti air minum. Semakin banyak orang, maka dibutuhkan semakin banyak kebutuhan-kebutuhan dasar seperti perumahan dan air minum. Seperti yang terlihat pada tabel 3 pada 1930, populasi Jakarta adalah sebanyak 532,205, menjadi 544.823 pada 1940. approach in our governance, policies and investments. This is what we call The Dutch Delta Approach," demikian Melanie (Delta Approach, 2014: 4). Delta Approach inilah yang "diekspor" Belanda ke berbagai negara di dunia, seperti, Vietnam, Mozambique, Bangladesh, Polandia, dan Kolombia. Indonesia juga masuk dalam daftar ini melalui proyek NCICD di kawasan delta di Teluk Jakarta.
12
Tahun
Populasi
Sumber
1673
32.068
Castles (1967)
1815
47.217
Castles (1967)
1893
110.669
Castles (1967)
1900
115.000
Rukmana (2013)
1930
532.205
Gunawan (2010)
1940
544.823
Gunawan (2010)
1949
1.349.625
Gunawan (2010)
1952
1.782.000
McNicoll (1968)
1961
2.973.053
Caljow, Nas and Pratiwo (2008)
1971
4.684.000
Caljow, Nas and Pratiwo (2008)
1985
6.164.848
Gunawan (2010)
2010
9.640.000
BPS Provinsi DKI Jakarta (2014)
2014
10.075.300
Rukmana (2013)
Proses pertumbuhan penduduk di Jakarta yang sangat pesat ini dapat dihubungkan dengan laju orang masuk (in-migrasi) ke Jakarta. Menurut Wood (1986), in-migrasi ke Jakarta berhubungan erat dengan proyek mekanisasi pertanian di pedesaan Jawa dan ekonomi Indonesia yang sangat tersentralisasi. Kondisi ini menyebabkan para petani tak bertanah berpindah ke kota-kota seperti Jakarta. Pada 1953, dilaporkan bahwa 67,6% dari 5,940 sample penelitian menyebutkan bahwa kepala keluarga yang tinggal di Ibukota berasal dari pedesaan (Heeren, 1955; dikutip dalam McNicoll, 1968). Sebuah survei yang lain pada 1972 dengan total sample 3,197 memperlihatkan bahwa alasan utama (40,9% untuk pedagang kecil; 67,6% untuk tukang becak; 48,5% untuk pedagang kecil) untuk meninggalkan area pedesaan dan pindah ke kota Jakarta adalah karena susahnya pekerjaan di pedesaan (Temple, 1973). Aliran manusia ke Jakarta ini tetap menerus hingga dewasa ini. Pada 2014 saja, dilaporkan bahwa ada total 68,500 orang datang ke Jakarta (Kompas.com 2014). Grafik di gambar 1 memperlihatkan laju in-migrasi ke Jakarta sejak 1971. Penting untuk dicatat, data inmigrasi pada gambar 1 tidak memperlihatkan alasan mengapa manusia pindah ke Jakarta dan apakah mereka datang dari pedesaan atau tidak. Namun, ada banyak indikasi yang bisa mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa mereka datang dari masyarakat ekonomi (sebut saja) kelas bawah. Indikasi-indikasi ini dapat terlihat dari beberapa isu di pemberitaan yang menjadi sumber data.2 2 Contoh-contoh indikasi ini, misalnya, in-migrasi pada 1971, 2, 3, 4, dan 5. Data diperoleh dari pemberitaan Kompas (1997) dengan judul "Jakarta Masih Ditembus Pendatang". Berita ini menjelaskan bahwa pemerintah
13
Gambar 1: In-migrasi ke Jakarta.
Kalau secara kritis kita melihat ke grafik dalam Gambar 1 di atas, maka akan terlihat bahwa laju in-migrasi ke Jakarta mulai semakin naik sejak 1970-an, dan menurun drastis pada sekitar 1998. Itu artinya, laju in-migrasi ke Jakarta yang tinggi berlangsung pada masa Orde Baru (1965/6-98). Dengan demikian, untuk lebih memahami mekanisme apa yang mengontrol/mengatur/mempengaruhi laju in-migrasi ini, kita juga harus melihat kondisi sosial-ekonomi yang berlangsung pada saat itu. Ini dapat dihubungkan dengan kebijakan negara di pedesaan, terutama di sektor agraria. Salah satu tujuan negara Indonesia merdeka adalah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sektor pertanian, pada masa sesudah kemerdekaan 1945, keadilan sosial dibayangkan bisa dicapai dengan program Reforma Agraria yang secara legal menjadi kebijakan negara melalui dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria 5/1960.
DKI Jakarta menjalankan 5 persyaratan bagi pendatang agar mereka dapat diterima di Jakarta: 1)surat pengantar dari daerah asal; 2)surat pengantar bebas dari Komunis; 3)jaminan tempat tinggal di Jakarta; 4)bagi pembantu, jaminan dari majikan; dan 5)uang jaminan setara dengan dua kali ongkos transportasi dari daerah asal. Hal yang tidak jauh berbeda juga berlaku pada 1983. Informasi tambahan muncul dari kutipan pegawai Provinsi DKI Jakarta bahwa sebagian besar pendatang menyerbu area slum di kota ini (Kompas, 1985). Pada 1987, Yamin Ranto, wakil Gubernur DKI untuk urusan ekonomi dan pembangunan dikutip dalam berita tentang ketakmampuan Pemprov DKI Jakarta menyediakan perumahan bagi warganya, dan menurutnya, ini adalah penyebab utama munculnya slum di Jakarta (Kompas 1987). Pada 1996, Kompas mewawancarai pada pendatang yang akan bekerja di proyek konstruksi di Tangerang (Kompas 1996). Pada 2003, Kompas mengutip pernyataan dari Sylviana, kepala Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta yang menyatakan bahwa para pendatang bekerja di di sektor "informal" seperti pedagang kaki lima dan pembantu rumah tangga (Kompas, 2003).
14
Secara teoritis, Abidin Kusno (2013) menyatakan bahwa area-area peri-urban Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi "diciptakan"oleh Orde Baru untuk menyerap aliran manusia yang datang ke Jakarta. Dengan demikian kawasan (industri) di sekitar Jabodetabek merefleksikan pergeseran dari produksi moda agraria ke sektor manufaktur di luar kota Jakarta. Douglass (2010), menyebutkan bahwa pada dekade antara 1960-an hingga 2000-an, kawasan Asia Tenggara semakin terkoneksi dengan ekonomi global melalui berbagai jenis rantai komoditas. Bagi Indonesia, bukan hanya Jakarta, namun hampir seluruh kepulauan sudah semakin terkoneksi dengan kuat ke dalam pasar global. Dengan demikian, titik naiknya rezim Orde Baru pada 1965/6 adalah momen yang memicu integrasi kepulaun ini ke pembangunan kapitalisme global untuk semakin kuat. Sebelum momen 1965/6, Indonesia di bawah presiden pertamanya, Sukarno menganut ide pergerakan revolusioner anti- imperialis, kolonialis, dan kapitalis (Soekarno 1975; dan Tuong Vu 2009). Setelah "kemerdekaan politik" pada 1945 dan pengakuan politik oleh pemerintah Belanda pada 1949, era 1950 hingga 1965 adalah era perjuangan untuk "kemerdekaan ekonomi". Negara-bangsa yang baru merdeka ini kemudian memilih jalan pembangunan yang melibatkan program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kebijakan nasionalisasi ini dipengaruhi dengan sangat kuat oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada waktu itu menjadi kekuatan politik yang besar. PKI memiliki kemampuan dalam melakukan mobilisasi massa untuk mendukung program nasionalisasi perusahaanperusahaan asing ini (Redfern 2010). Kampanye Soekarno dibungkus dengan slogan Berdikari, yang artinya adalah "berdiri di atas kaki sendiri". Prinsip-prinsip berdikari juga menjadi panduan dalam politik luar negeri Indonesia. Prinsip ini dimaterialkan dengan cara Indonesia keluar dari PBB, IMF, dan Bank Dunia pada 1965 (Redfren 2010; 572). Tak heran, Klein (2007: 67) menyebut Sukarno sebagai "Hugo Chavez of his day". Ada empat gelombang nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Yang pertama pada 1957-9 dimana 246 pabrik, 90% saham perkebunan, dan 60 perusahaan dagang diambil alih (Kanumoyoso 2001; Robinson 2009: 72); nasionalisasi perusahaan-perusahaan Inggris pada 1963; perusahaan-perusahaan Inggris, Malaysia, dan Belgia pada 1965; dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat juga pada 1965. Pada jangka waktu September 1963 higga Desember 1965, sebanyak 90 perusahaan asing diambil alih oleh negara. Di desa-desa, sebagai bagian dari kampanye kemerdekaan ekonomi, dengan legalisasi UUPA 5/1960, sebuah program Reforma Agraria sedang dijalankan (Bachriadi dan Wiradi 2011). PKI dan beberapa organisasi yang memiliki afiliasi dengannya adalah para pendukung Reforma Agraria, terutama karena kegiatan pengorganisasian mereka di desa-desa. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi seniman yang memiliki afiliasi dengan PKI, misalnya, sangat terlibat dalam kampanye Reforma Agraria (Kusni 2005; Aidit 1964). Pada 1965, Gerakan 30 September (G30S) meletus. Sebuah gerakan, yang menurut McNaughton (2015), adalah sebuah kounter-revolusi yang membuat Revolusi Sukarno berakhir. Pada malam 30 September di Jakarta, sekelompok orang menculik dan membunuh 6 jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Siapa yang menjadi dalang, kalaupun ada, dari G30S ini sampai sekarang masihlah menjadi sebuah perdebatan di dalam sejarah Indonesia modern (Refern 2010; 520). Rossa (2006) 15
merangkum berbagai versi penjelasan tentang peristiwa ini. Klein (2007: 67) menyebutkan bahwa Central Intelligence Agency (CIA) terlibat mendukung kudeta terhadap "Hugo Chavez pada zaman itu". G30S kemudian membuka jalan bagi seorang petinggi TNI AD yang tidak ikut diculik pada malam itu, Soeharto. Pagi setelah peristiwa itu, segera Soeharto mengambil alih komando TNI AD dan mengontrol situasi. Tentara yang dipimpin Soeharto kemudian menuduh PKI sebagai dalang di balik G30S. Penjagalan besar-besaran kemudian berlangsung terhadap para kader PKI dan berbagai organisasi yang memiliki afiliasi dengannya seperti organisasi perempuan Gerwani, organisasi seniman LEKRA, dan organisasi petani BTI. Penjagalan ini memakan korban antara 500.000 hingga 2 juta orang (Larasati 2013). Farid (2005) menyebutkan penjagalan ini sebagai "dosa asali Indonesia", yang diukir dengan tinta darah dan api. Ia menjadi penanda terjadinya proses akumulasi primitiv dalam sejarah Indonesia modern. Pada 8 Maret 1967, akhirnya Soeharto dilantik oleh Majelis Perwakilan Rakyat sebagai presiden Indonesia yang kedua. Dalam banyak hal, Soeharto adalah kebalikan dari Sukarno. Di bidang politik internasional, segera Indonesia bergabung kembali dengan PBB, IMF, dan WB (Redfern 2010: 527). Satu per satu kebijakan Sukarno di pangkas. Kampanye Reforma Agraia juga digugurkan (Bachriadi dan Wiradi 2011: 8). Reforma agraria yang tak tuntas ini, bagi (Bachriadi dan Wiradi 2011: 50) jelas menyumbang terhadap peningkatan jumlah petani tak bertanah di desa-desa yang terus memperlihatkan kenaikan sampai sekarang. Pada 1983, jumlah petani tak bertanah di Indonesia adalah 21%, menjadi 30% di 1993, dan 36% pada 2003. Pada 1967, berbagai undang-undang yang motif utamanya adalah menggelar karpet merah bagi kapital untuk menjarah kekayaan alam di Indonesia dikeluarkan, misalnya, UU Kehutanan, Penanaman Modal Asing, dan Pertambangan. Tanah bukan lagi untuk rakyat, tapi tanah sekarang untuk perusahaan-perusahaan besar seperti tambang, perkebunan, dan konsesi hutan. Orientasi yang sangat kuat terhadap kapitalisme ekstraktif ini kemudian yang membuat seorang ahli menyebutkan Indonesia di bawah Orde Baru sebagai "rejim ekstraksi" (Gellert 2010). Aborsi terhadap reforma agraria dan penggelaran karpet merah terhadap investasi di berbagai sektor yang melibatkan rekonfigurasi ruang geografis seperti industri ekstraktif adalah bagian dari apa yang diidentifikasi oleh Rachman (2015) sebagai proses-proses pemutusan secara paksa hubungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnya dan ini adalah mekanisme yang telah merubah rakyat bukan lagi bekerja di tanah airnya, namun sekarang bekerja dengan mengandalkan tenaganya saja, dan kemudian banyak dari para orang-orang desa itu yang pindah dan menghuni kantung-kantung kemisikinan di perkotaan. F. Logika fragmentatif dalam Master Plan NCICD Master Plan NCICD menampilkan sebuah analisis yang sangat bagus dalam tipe banjir yang menimpa Jakarta. Jakarta, demikian Master Plan NCICD, mengalami tiga jenis banjir. Pertama, banjir sebagai hasil dari tidak cukupnya tampungan air ketika hujan lebat melebihi kapasitas tampungan air yang ada. Ketika terjadi hujan lebat dalam kota Jakarta, maka air segera mengalir ke daerah pantai yang memiliki ketinggian lebih rendah. Kedua, ketika sungai atau saluran air yang lain banjir karena tingginya debit air dari puncak. 16
Ketiga, banjir yang datang dari laut ketika tanggul di laut tidak cukup tinggi atau kuat (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014: 25). Secara eksplisit juga Master Plan NCICD menyatakan bahwa NCICD secara spesifik dikonsep untuk menanggulangi banjir yang datang dari laut (tipe ketiga). Banjir tipe pertama dan kedua di luar skop dari NCICD (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014: 20). Selain sebagai infrastruktur penanggulangan banjir, NCICD juga dikonsep untuk pada waktu yang bersamaan memfasilitasi pembangunan sosio-ekonomi (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014: 17). Pembangunan sosioekonomi yang dimaksud dibayangkan akan muncul dari pulau-pulau reklamasi yang akan dibangun bergandengan dengan tanggul raksasa penahan banjir laut. Pulau-pulau inilah yang akan menjadi daerah tinggal bagi sekitar 650.000 orang seperti yang disinggung di bagian sebelumnya. Populasi yang akan ditarik ke area reklamasi yang menjadi bagian dari NCICD membutuhkan hal-hal dasar, misalnya saja, air minum. Master Plan NCICD mencoba menjawab ini dengan menyebutkan bahwa, seiring dengan berjalannya waktu, 2 danau yang ada di dalam perimeter tanggul NCICD akan menjadi sumber air minum. Secara konseptual ini masuk akal saja untuk dilakukan. Namun, mengingat bahwa danau-danau itu akan menampung air yang datang dari sungai-sungai yang melintasi Jakarta, maka tantangannya adalah bagaimana melakukan pembersihan terhadap tubuh air ini sehingga mencapai kualitas sebagai air minum. Air yang mengalir dari sungai-sungai di Jakarta sudah tercemar. Dokumen JCDS (Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda 2011: 1-37) menyebutkan bahwa kualitas perairan dan muara Teluk Jakarta pada rentang 2004-7 menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Pada 2007, kualitas perarian dan muara Teluk Jakarta adalah 9% tercemar ringan, 30% tercemar sedang, dan 62% tercemar berat. Kalau ini tidak bisa diatasi, meminjam analisis Delta Approach, maka di masa depan kedua waduk yang berada di dalam perimeter NCICD, "are bound to change into open septic tank-kedua waduk ini berisiko berubah menjadi septic tank terbuka--terjemahan oleh saya" (Delta Approach, 2014: 14). Master Plan NCICD juga menyadari hal ini, "[I]f no measures are taken, the water quality of the retention basin will become extremely bad--jika tidak ada usaha yang dilakukan, maka kualitas air di waduk akanlah sangat buruk--terjemahan oleh saya" (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2014: 94). Sementara, Water Quality Acceleration Roadmap untuk menjawab permasalahan ini masihlah butuh/belum dikembangkan. Dari kedua poin di atas (NCICD dikonsep hanya untuk menangani permasalahan banjir yang datang dari laut dan belum adanya Water Quality Acceleration Roadmap), maka ada dua hal yang muncul. Pertama, bertolak belakang dengan klaim Master Plan NCICD sebagai "integrated approach", yang terlihat justru adalah sebuah pendekatan yang sangat fragmentatif atau sektoral dalam keseluruhan konteks banjir Jakarta. Kedua, dapat dilihat bahwa sebenarnya Master Plan NCICD sendiri masih belum detil.
17
Untuk poin pertama masalah ini sangat mendasar karena banjir di Jakarta berhubungan juga dengan kondisi penggunaan lahan di Daerah Tangkapan Air (DTA) di puncak. Pola kecenderungan yang ada adalah semakin sedikitnya area hijau karena konversi lahan untuk hunian. Misalnya saja, Texier (2008) mengidentifikasi bahwa di daerah hulu pada sekitar 50 tahun terakhir banyak villa telah dibangun oleh kalangan berpunya serta juga lereng-lereng sudah digunakan untuk perkebunan teh. Sebagai contoh kalangan berpunya yang membangun villa di daerah Puncak adalah, Wiranto (Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 1998-9), Sutiyoso (Gubernur DKI Jakarta 1997-2007), Oetojo Oesman (Menteri Kehakiman dan HAM Indonesia 1993-8), Basofi Sudirman (Gubernur Provinsi Jawa Timur 1993-8), Hamzah Haz (Wakil Presiden Republik Indonesia 2001-4), Radinal Mochtar (Menteri Pekerjaan Umum 1998), dan Ginandjar Kartasasmita (Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia 1993-8) (Majalah Tempo 2002 dan 2007). Secara umum, berdasarkan analisis citra satelit pada 1994 dan 2001, telah terjadi perubahan penggunaan lahan dari hutan primer sebesar 41,12% di kawasan Bogor-DepokBekasi dan sebesar 6,67% di kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda 2011: 1-35). Hal yang sama terjadi di dalam kota. Khalid (2009) dan Rukmana (2015) mencatat bahwa lebih dari 3000 hektar kawasan yang berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005 berfungsi sebagai ruang hijau, termasuk hutan lindung dan hutan kota di dalamnya, telah berubah menjadi kawasan komersial seperti hotel, apartemen, dan pabrik otomotif. G. Solusi untuk banjir Jakarta Keempat kritik terhadap konsep NCICD di atas, kiranya telah cukup untuk sampai pada satu titik guna menyatakan bahwa NCICD bukanlah solusi yang tepat dalam penanganan banjir Jakarta. Pertanyaan yang selalu muncul mengiringi kritik seperti ini adalah, lantas konsep seperti apa yang ditawarkan untuk menangani permasalahan banjir Jakarta? Ada 4 catatan yang perlu diperhatikan sebelum berbicara lebih jauh soal solusi. Pertama, solusi dalam konteks banjir Jakarta seringkali secara tiba-tiba disamakan dengan intervensi infrastruktur hidrolik seperti kanal, tanggul, atau bendungan. Penanganan banjir dengan mengedepankan intervensi infrastruktur hidrolik sudah dipraktikkan di Jakarta sejak ia masih bernama Batavia dengan dimotori oleh para engineer Belanda. Melihat kondisi Jakarta hari ini yang masih sering dilanda banjir, maka sangat beralasan kalau ditarik satu kesimpulan bahwa solusi model seperti ini sudah gagal. Kegagalan inilah yang sudah dijelaskan dengan sangat baik oleh Gunawan (2010). Kedua, dalam melihat kota seperti Jakarta, orang seringkali "terkunci" secara spasial dalam wilayah administratif DKI Jakarta, sehingga solusi-solusi infrastruktur hidrolik yang diimplementasikan dalam penanganan banjir pun seringkali mengidap permasalahan ini. Cara pandang yang melihat kota hanya dari dalam kota inilah yang disebut sebagai "methodological cityism" dalam studi ekologi politik perkotaan belakangan ini. Ketiga, solusi di sini bukan solusi detil seperti Master Plan NCICD, namun adalah ide-ide dasar yang bisa dikembangkan menjadi program yang operasional. Jadi solusi di sini lebih kepada cara berfikir dalam bagaimana kita memandang
18
Jakarta. Keempat, tawaran solusi di sini tidak secara otomatis menegasikan semua infrastruktur hidrolik yang sudah ada di Jakarta sekarang. Implikasi dari dua catatan ini adalah, pertama, solusi tidaklah selalu sama dengan pembangunan infrastruktur hidrolik ini dan itu. Kedua, solusi untuk banjir Jakarta bisa jadi bukan di Jakarta, namun jauh di luar batas administrasi wilayah DKI Jakarta itu sendiri. Untuk solusi di bidang tata kepengurusan, dengan populasi Jakarta yang sekarang yang sudah melebihi 10 juta dan Jabodatabek yang sudah hampir 30 Juta (Rukmana, 2013), maka langkah yang bisa dilakukan adalah mengurangi populasi Jakarta itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Cara yang paling radikal adalah dengan memindahkan Ibukota ke daerah lain. Atau langkah yang lebih kompromis bisa ditempuh dengan melanjutkan agenda desentralisasi yang menjadi salah satu agenda pasca Orde Baru, misalnya, dengan memindahkan kantor-kantor departemen yang bertumpuk di Jakarta ke berbagai daerah/kota lain di Indonesia. Kalau permasalahannya adalah populasi (salah satunya karena laju in-migrasi ke Jakarta yang besar, terutama dari pedesaan), maka intervensi seharusnya dilakukan di pedesaan itu sendiri, bukan di Jakarta. Secara umum, intervensi ini adalah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang pro-petani. Program yang paling radikal, kalau boleh disebut demikian, mengingat salah satu faktor produksi penting di pedesaan adalah tanah, adalah melaksanakan Reforma Agraria. Desentralisasi, intervensi di luar Jakarta, bersama dengan berbagai tindakan dalam memelihara infrastruktur perairan yang sudah ada di Jakarta, rasanya jauh akan lebih berguna dibandingkan dengan infrastruktur hidrolik raksasa seperti NCICD yang justru akan menambah beban bagi tanah Jakarta itu sendiri.
19
H. Acuan
1) Abidin, H. Z., Andreas, H., Gumilar, I., Fukuda, Y., Pohan, Y. E. and Deguchi, T. 2011. Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development. Natural Hazard. 59. p.1751-1771. DOI: 10.1007/s11069-011-9886-9. 2) Aidit, D.N. 1964. Kaum Tani Mengganjang Setan2 Desa. Djakarta: Jajasan “Pembaruan”. 3) Bachriadi, D. and Wiradi, G. 2011. Six Decades of Inequality: Land tenure problems in Indonesia. Bandung: Agrarian Resource Centre (ARC), Binda Desa, and Konsorsium Pembaruan Agraria. 4) Batubara, B. 2012. On the Hydrodinamic and Hydraulic Study of Catchment and Waterways, Scheppelijke Neet River, Belgium (tugas pada mata kuliah River Modelling). Leuven: Interuniversity Programme in Water Resources Engineering, KU Leuven. 5) BPS. 2014. Statistik Politik 2014. Diakses pada 4 Juli 2015. http://www.bps.go.id/index.php/publikasi/925. 6) Caljow, M., Nas, P.J.M. and Pratiwo. 2005. Flooding in Jakarta: Towards a blue city with improved water management. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde (BKI). 161 (4). p.454-84. 7) Castles, L. 1967. The Ethnic Profile of Jakarta. Indonesia. 3,p.153-204. 8) Delta Approach. 2014. The Delta Approac: Precondition for Sustainable Delta Management. Diakses pada 12 Mei 2016. https://www.nwp.nl/_docs/14020901Delta_approach_A4_web_07.pdf. 9) di Baldassarre, G., M. Kooy, J.S. Kemerink, and Brandimarte, L. 2013. Towards Understanding the Dynamic Behaviour of Floodplains as Human-Water Systems. Hydrology and Earth System Sciences17 (8): 3235–3244. 10)Douglass, M. 2010. Globalization, Mega-projects and the Environment: Urban form and water in Jakarta. Environment and Urbanization Asia. 1 (1). p.45-65. DOI: 10.1177/097542530900100105. 11)Farid, H. 2005. Indonesia’s original sin: mass killing and capitalist expansion, 196566. Inter-Asia Cultural Studies. 6(1), p.3-16. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/142394042000326879. 12)Firman, T. 1998. The restructuring of Jakarta: Metropolitan area. Cities. 15 (4). p.229-243. 13)Gellert, P. K. (2010). Extractive regimes: Toward a better understanding of Indonesian development. Rural Sociology. 75(1), p. 28-57. 14)Gunawan, R. 2010. Gagalnya Sistem Kanal. Jakarta: Kompas. 15)Heeren, H.J. (ed.). 1955. The Urbanisation of Jakarta. Report on a research sponsored by Unesco and carried out by Institute of Economic and Social Research of the Djakarta School of Economics, University of Indonesia. 16)Jury, M., Pans, S., and Golingi, T. 2011. Rapid Environmental Assessment for Coastal Development in Jakarta Bay. Singapore: DHI Water & Environment (S) Pte. Ltd. 17)Kanumoyoso, B. 2001. Menguatnya peran ekonomi negara: Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 20
18)Katadata.co.id. 2016. Lanjutkan Reklamasi Teluk Jakarta, Jokowi Kenalkan Proyek Garuda. 27 April. Diakses pada 12 Mei 2016. http://katadata.co.id/berita/2016/04/27/jokowi-tekankan-3-hal-dalam-proyekreklamasi-dan-tanggul-raksasa. 19)Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2014. Master Plan National Capital Integrated Coastal Development. Diakses pada 25 Februari 2015. http://en.ncicd.com/news/downloads/. 20)Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2014a. Master Plan National Capital Integrated Coastal Development. Ground Water and Subsidence. Diakses pada 25 Februari 2015. 21)Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. 22)Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda. 2011. Atlas Pengamanan Pantai Jakarta. Strategi Pengamanan Pantai Jakarta (Draft, edisi 31 Januari 2011). 23)Khalid, K. (2009). Kebijakan Ruang Terbuka Hijau dan Penggusuran Miskin Kota: Kasus penggusuran taman BMW di Jakarta. Jurnal tanah air. Oktober-Desember 2009. p.96-112. 24)Klein, N. 2007. The shock doctrine: The rise of disaster capitalism. New York: Macmillan. 25)Kompas. (2013). Pendatang Baru di DKI Diduga Bertambah. Kompas, 28 Agustus. hlm.25. 26)Kompas. 1977. Jakarta Masih Ditembus Pendatang Baru. Kompas, 22 Februari. hlm.III. 27)Kompas. 1987. Urbanisasi di DKI Timbulkan Problema Ruwet. Kompas, 4 Maret. hlm. 4. 28)Kompas. 1995. Tanpa Keterampilan, Jangan ke Jakarta. Kompas, 9 Maret. hlm.1. 29)Kompas. 1996. Selamat Datang Warga Baru Jakarta. Kompas, 28 Februari. hlm.1. 30)Kompas. 2000. 200.000 Pendatang Baru ke Jakarta. Kompas, 18 Januari. hlm. 7. 31)Kompas. 2002. Pemudik agar Tidak Bawa Teman ke Jakarta. Kompas, 19 November. hlm.6. 32)Kompas. 2003. Operasi Yustisi ke Rumah Warga Segera Dilaksanakan. Kompas, 1 Desember. hlm.17. 33)Kompas. 2003. Pendatang Diberi Waktu 14 Hari Urus Surat-surat. Kompas, 27 November. hlm. 17. 34)Kompas. 2004. DKI Perketat Pendatang Baru. Kompas, 6 November. hlm.17. 35)Kompas. 2006. 124.427 Pendatang Baru Masuk Jakarta. Kompas, 10 November. hlm.27. 36)Kompas. 2012. Operasi Yustisi Bukan Solusi. Kompas, 22 Agustus. hlm.1. 37)Kompas. 2013. Belum Miliki Pekerjaan, Jangan Datang ke DKI. Kompas, 1 Agustus. hlm.26. 38)Kompas.com. 2014. Sebanyak 68.500 Pendatang Baru Bakal Sesaki Jakarta Pasca Lebaran. Kompas.com. 3 Agustus. Diakses pada 12 Mei 2012. http://megapolitan.kompas.com/read/2014/08/03/1743021/Sebanyak.68.500.Pe ndatang.Baru.Bakal.Sesaki.Jakarta.Pasca.Lebaran. 21
39)Kompas.com. 2015. Setiap Tahun Permukaan Tanah di Jakarta Turun 18 Sentimeter. Diakses pada 2 Mei 2016. http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/11/13533201/Setiap.Tahun.Perm ukaan.Tanah.di.Jakarta.Turun.18.Sentimeter. 40)Kompas.com. 2016. Jokowi: NCICD, Jawaban untuk Jakarta. Kompas.com. 27 April. Diakses pada 12 Mei 2016. http://nasional.kompas.com/read/2016/04/27/14290491/Jokowi.NCICD.Jawaban. untuk.Jakarta. 41)Kusni, J.J. 2005. Di Tengah Pergolakan Turba LEKRA di Klaten. Yogyakarta: Ombak. 42)Kusno, A. 2013. After the New Order: Space, politics, and Jakarta. Honolulu: University of Hawai’i Press. 43)Larasati, R.D. 2013. The Dance that makes you vanish: Cultural reconstruction in postgenocide Indonesia. Minneapolis: University of Minnesota Press. 44)Majalah TEMPO. 2002. Villa Liar Para Jenderal. 25 Februari-3 Maret. Hlm. 20-23. 45)Majalah TEMPO. 2007. Pejabat di Puncak: Banjir Jakarta. 21-27 Mei. Hlm. 60-64. 46)McNaughton, C. 2015. Reading the mass violence in Indonesia 1965–1966 as a form of primitive accumulation. Inter-Asia Cultural Studies. 16(2), pp.292-305. DOI: 10.1080/14649373.2015.1037086 47)McNicoll, G. 1968. Internal Migration in Indonesia: Descriptive notes. Indonesia. 5.p.29-92. 48)News.detik.com. 2015. Ini Penyebab Penurunan Permukaan Tanah di Jakarta. News.detik.com. 8 November. Diakses pada 2 Mei 2016. http://news.detik.com/berita/3065028/ini-penyebab-penurunan-permukaantanah-di-jakarta. 49)News.detik.com. 2016. Jakarta Bakal Lebih Rendah dari Permukaan Laut, Ahok: Ada Dua Teori. News.detik.com. 29 April. Diakses pada 12 Mei 2016. http://news.detik.com/berita/3199820/jakarta-bakal-lebih-rendah-daripermukaan-laut-ahok-ada-dua-teori. 50)Opperman, J.J., G.E. Galloway, J. Fargione, J.F. Mount, B.D. Richter, dan S. Secchi. 2009. Sustainable Floodplains through Large-Scale Reconnection to River. Science 326: 1487–1488. 51)Poernomo, A., Sulistiyo, B., Arifin, T., Zulham, A., Nasution, Z., Dwiyanti, D.S. Husrin, S. Prihantono, J., dan Pranowo, W.S. 2015. Kertas Kerja Kebijakan: Prakiraan Dampak Giant Sea Wall Teluk Jakarta. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 52)Rachman, N.F. 2015. Memahami Reorganisasi Ruang Melalui Perspektif Politik Agraria. Bhumi 1(1). Pp. 33-44. 53)Redfren, W.A. 2010. Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s. PhD dissertation. Michigan: The University of Michigan. 54)Rossa, J. 2006. Pretext for mass murder: The September 30th movement and Suharto’s coup d’ētat in Indonesia. Madison: The University of Wisconsin Press. 55)Robinson, R. 2009. Indonesia: The rise of capital. Jakarta: Equinox Publishing.
22
56)Rukmana, D. (2015). The Change and Transformation of Indonesian Spatial Planning after Suharto’s New Order Regime: The case of the Jakarta metropolitian area. International Planning Studies. DOI: 10.1080/13563475.2015.1008723. 57)Rukmana, D. 2013. Peripheral Pressures. In Grigoryan, Y. (Curator) Archeology of the Periphery. Diakses pada 3 Maret 2015. http://issuu.com/mosurbanforum/docs/archaeology_of_the_periphery/9?e=85663 99/6685652.. Moscow: Moscow Urban Forum. p.162-171. 58)Rukmana, D. 2014. The megacity of Jakarta: Problems, challenges and planning efforts. Diakses pada 2 Mei 2016. http://indonesiaurbanstudies.blogspot.co.id/2014/03/the-megacity-of-jakartaproblems.html. 59)Sivapalan, M., H.H.G. Savenije, dan G. Bloschl. 2011. Socio-Hydrology: A New Science of People and Water. Hydrological Processes 26 (8): 1270–1276. 60)Soekarno. 1975. Indonesia Accuses! Soekarno’s defence oration in the political trial of 1930 (edited by Paget, R.K.). Kuala Lumpur: Oxford University Press. 61)Temple, G. 1973. Migration to Jakarta. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 11(1),p.76-81. DOI: 10.1080/00074917512331332652. 62)Tempo.co. 2015. Tanah di Jakarta Utara Turun 10 Sentimeter Setiap Tahun. Tempo.co. Diakses pada 2 Mei 2016. https://m.tempo.co/read/news/2015/03/11/083649190/tanah-di-jakarta-utaraturun-10-sentimeter-setiap-tahun. 63)Texier, P. 2008. Floods in Jakarta: When the extreme reveals daily structural constraints and Mismanagement. Disaster Prevention and Management. 17 (3). p.358–72. DOI: http://dx.doi.org/10.1108/09653560810887284. 64)The Jakarta Post. 2015. Editorial: Stop Jakarta's sinking. The Jakarta Post. October 10. Diakses pada 12 Mei 2016. http://www.thejakartapost.com/news/2015/10/10/editorial-stop-jakarta-ssinking.html. 65)Tuong Vu. 2009. Indonesia’s Agrarian Movement: Anti-capitalism at a crossroads. In Caouette, D. and Turner, S. (eds) Agrarian Angst and Rural Resistance in Contemporay Southeast Asia. London and New York: Taylor & Francis e-Library, pp. 180-205. 66)van Herk, S. 2014. Delivering Integrated Flood Risk Management: Governance for Collaboration, Learning and Adaptation. Disertasi. Unesco-IHE Institute for Water Education, Delft. 67)Wood, W.B. 1986. Urbanization Within the Indonesian Economy: A policy dilemma. Cities. 3(3).p.219-227.
23
I. Tentang Penulis Bosman Batubara adalah alumnus Jurusan Teknik Geologi UGM (2005) dan Interuniversity Programme in Water Resources Engineering, KU Leuven dan VU Brussel, Belgia (2012, cumlaude). Saat ini sedang menempuh studi doktoral di UNESCO-IHE, Institute for Water Education Delft, dan University of Amsterdam, Belanda. Pernah bekerja sebagai exploration geologist di PT KPC. Terlibat advokasi akar rumput beberapa kasus agraria, seperti Lumpur Lapindo di Porong, konflik tambang emas PT Sorikmas Mining di Mandailing Natal, dan konflik lahan petani versus TNI AD di Urutsewu, Kebumen. Sejauh ini sudah terlibat dalam menulis beberapa buku: (1) Zuber, M. 2010. Titanic Made by Lapindo (diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris oleh B. Batubara dan S. Masykur). Yogyakarta: Lafadl Initiatives dan Taiwan Foundation for Democracy; (2) Prasetia, H. dan Batubara, B. (editor dan kontributor), 2010. Bencana industri: Relasi negara, perusahaan dan masyarakat sipil. Jakarta: Desantara Foundation; (3) Batubara, B. dan Utomo, P.W. 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal bencana industri pengeboran migas di Sidoarjo. Yogyakarta: INSIST PRESS; (4) kontributor dalam Novenanto, A. (ed.). 2013. Membingkai Lapindo: Pendekatan konstruksi sosial atas kasus Lapindo (Sebuah Bunga Rampai). Yogyakarta: Kanisius dan MediaLink; (5)kontributor dalam Dwicipta dan Ardiyanto, H. (eds.). 2015. #RembangMelawan: Membongkar fantasi pertambangan semen di Pegunungan Kendeng. Yogyakarta: Literasi Press; dan (6)Batubara, B. dan Mariana, A. (eds.). 2015. Sastra dan seni untuk kedaulatan petani Urutsewu: Etnografi konflik agraria di Kebumen. Yogyakarta: Literasi Press. Email:
[email protected]
24