KERJASAMA DAERAH: TEORI DAN PRAKTIK DI INDONESIA Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D
A. Pendahuluan Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berarti Pemerintahan Daerah melaksanakan urusan dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif atau urusan administrasi negara. Dalam pengertian tersebut mengandung makna bahwa Pemerintahan Daerah tidak menyelenggarakan urusan legislatif dan peradilan. Administrasi negara sebagai fungsi pemerintahan mempunyai dua tugas dan wewenang, yaitu menjalankan (fungsi) pemerintahan dan membuat peraturan untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Dalam menjalankan urusan pemerintahan, Pemerintahan Daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan yang dipandang sebagai cara pemencaran kekuasaan di bidang pemerintahan, lebih tepatnya disebut “scheiding van bestuurendemachten” karena hanya terbatas
pada
fungsi
“bestuur”.1
Selain
itu,
ditentukan
bahwa
Pemerintahan Daerah dijalankan atas dasar prinsip otonomi seluasluasnya yang bermakna ”semua urusan pemerintahan pada dasarnya dilaksanakan pemerintahan daerah kecuali yang secara expressis verbis disebut sebagai urusan pusat”.2 Meskipun dilaksanakan seluas-luasnya, namun penyelenggaraan pemerintahan daerah dibatasi oleh bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pengawasan. Hal ini
Disampaikan Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama, Bandung, 12 Mei 2014. Staf pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Wicaksana Dramanda, S.H. – staf peneliti pada Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran – yang telah membantu mempersiapkan bahan-bahan bagi penulisan makalah ini. 1 Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”, Makalah, 2009, hlm 2. 2 Ibid, hlm 3.
1
disebabkan otonomi bukanlah kemerdekaan atau kebebasan, melainkan kemandirian.3 Dalam
pada
penyelenggaraan
itu,
otonomi
pemerintahan
yang
memiliki
dilaksanakan
dalam
berbagai fungsi, meliputi:
pengelolaan atau manajemen pemerintahan, pelayanan publik, politik, polisionil, menjaga persatuan, dan keragaman.
4
Keseluruhan fungsi
tersebut dalam konteks hubungan dengan rakyat dalam perspektif pemerintahan modern adalah pemerintahan yang melayani. Jika melihat pada tiga fungsi utama negara (politik, keamanan dan ketertiban, serta kemasyarakatan), maka sebagai ujung tombak mewujudkan negara kesejahteraan tugas utama pemerintahan daerah adalah tugas-tugas di bidang kemasyarakatan.5 Tugas-tugas ini meliputi penyediaan prasarana dan sarana publik, pelayanan umum, dan ketertiban umum yang berkaitan dengan kenyamanan dan ketenteraman warga. 6 Dengan demikian, argumentasi utama makalah ini adalah kerjasama daerah harus dilakukan dalam rangka pencapaian fungsi otonomi yang didasarkan pada prinsip demokrasi deliberasi melalui optimalisasi kelembagaan daerah. Makalah ini akan terbagi menjadi lima Bagian. Setelah Bagian Pendahuluan, paparan teoritis mengenai kerjasama daerah dilakukan di Bagian B, yang akan dilanjutkan dengan Bagian C yang berisi penjelasan praktik kerjasama daerah di Indonesia yang didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan.
Bagian
D
akan
menjelaskan
optimalisasi
kelembagaan dalam kerjasama daerah. Penutup akan dipaparkan pada Bagian E.
3
Ibid. Ibid, hlm 3-5. 5 Ibid, hlm 7. 6 Ibid. 4
2
B. Tinjauan Teoretis Kerjasama Daerah Sebagaimana
telah
disebutkan
di
atas,
pelayanan
publik
merupakan tugas utama Pemerintahan Daerah. Dalam menyelenggarakan fungsinya tersebut, seringkali Pemerintah Daerah mengalami kendala berupa keterbatasan sumber daya, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Guna mengatasi permasalahan tersebut, melakukan kerjasama daerah merupakan alternatif penyelesaian masalah yang sangat tepat.7 Kerjasama Daerah dapat diartikan dalam arti sempit dan luas.8 Dalam arti sempit kerjasama daerah diartikan sebagai interlocal cooperation atau pertukaran kooperatif antar pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam arti luas, kerjasama daerah diartikan dengan banyak bentuk, baik berupa privatisasi ataupun kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga atau penyedia jasa privat (interlocal/ intermunicipal cooperation).9 Kedua bentuk kerjasama daerah tersebut dapat dijadikan alternatif dalam menyelesaikan persoalan penyediaan pelayanan publik serta optimalisasi aset pelayanan publik, terutama aset yang berbentuk fisik. Kedua bentuk kerjasama tersebut memiliki faktor-faktor pendukung keberhasilan berupa tingkatan spesifikasi asset (asset specificity), ukuran kesulitan (measurement difficulty), dan kedalaman pertukaran (exchange embeddedness). Hal-hal tersebut mencerminkan bahwa bentuk-bentuk kerjasama daerah yang akan dipilih dan tingkatannya ditentukan oleh faktor-faktor spesifik yang secara khusus bergantung pada tingkat kompleksitas kebutuhan daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Spesifikasi aset (asset spesificity) dalam kerjasama daerah perlu diperhatikan guna mendapatkan keuntungan yang optimal dari sebuah 7
Manoj K. Shrestha & Richard C. Feiock, “Transaction Cost, Exchange Embeddedness, and Interlocal Cooperation in Local Public Goods Supply”, Political Research Quarterly, Vol. 64 No. 3, University of Utah, 2011.hlm. 573. 8 Ibid, hlm. 574. 9 Ibid.
3
kerjasama daerah. Misal, kebutuhan pasokan air bersih dari satu daerah ke daerah lain menghendaki kualitas air bersih atau terdapat kesepakatan untuk
meningkatkan
kualitas
air
bersih
dari
daerah
pemasok.10
Peningkatan kualitas yang dikehendaki dalam sebuah kerjasama, pada tingkat tertentu akan menimbulkan biaya kerjasama yang tidak sedikit. Namun, peningkatan biaya tersebut diharapkan dapat setara dengan dampak baik yang akan ditimbulkan seperti peningkatan daya saing daerah, hingga transfer of knowledge dan transfer of technology. Oleh karena itu spesifikasi aset menjadi poin penting untuk menentukan pihak (baik daerah maupun pihak ketiga) yang layak untuk menjadi mitra kerjasama. Faktor pendukung lainnya yang perlu diperhatikan adalah tingkat kesulitan kerjasama (measurement dificulties). Kesulitan yang dimaksud adalah kesulitan untuk mengevaluasi hasil atau outcome dari sebuah kerjasama. Kerjasama pengadaan air bersih sebagaimana dicontohkan di atas, merupakan bentuk kerjasama dengan hasil yang dapat diukur dengan parameter-parameter tertentu yang pasti. Namun, untuk beberapa bentuk kerjasama, seperti kerjasama dalam penanganan keadaan darurat, manfaat dari kerjasama tersebut membutuhkan parameter yang jauh lebih kompleks untuk dinilai.11 Semakin kompleks sebuah kerjasama, maka potensi konflik akan menjadi semakin besar. Oleh karena itu, dalam kerjasama yang kompleks, diperlukan perencanaan pencegahan konflik dan mitigasi konflik yang tepat. Selain faktor-faktor diatas, faktor exchange embeddedness tidak dapat dikesampingkan. Faktor ini menghendaki bahwa kerjasama yang hendak dibangun oleh tiap-tiap daerah, harus didasarkan pada track record hubungan baik antar satu daerah dengan daerah lain, atau antar
10
Ibid, hlm. 576. Ibid.
11
4
daerah dengan pihak ketiga.12 Tingkat hubungan tersebut menjadi penting untuk memastikan kualitas kerjasama. Dalam konteks kerjasama antara daerah
dengan
pihak
swasta,
maka
exchange
embeddedness
menghendaki hubungan kerjasama dilakukan antara daerah dengan tangan pertama dari penyedia barang/jasa.13 Kualitas hubungan ini diperlukan guna menjamin kualitas kerjasama, serta meminimalisir konflik yang mungkin dapat timbul dari sebuah kerjasama. Dalam konteks kerjasama yang tradisional, kedekatan hubungan ini selalu diartikan berupa kedekatan secara geografis. Kerjasama daerah, menghendaki peran penting Kepala Daerah. Kepala Daerah menjadi pemain kunci (key person) yang dapat mengembangkan dan mengendalikan arah kerjasama daerah.14 Dalam konteks desentralisasi, maka peran kunci tersebut dimainkan pula oleh lembaga perwakilan di daerah (city council).15 Lembaga perwakilan di daerah memiliki peran penting guna memastikan bahwa kerjasama daerah yang dibangun oleh Kepala Daerah dilakukan dengan cara-cara yang demokratis.16 Oleh karena itu, pelibatan lembaga perwakilan rakyat di daerah menjadi penting sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan-kebijakan publik, terutama dalam hal kerjasama yang akan membebani anggaran pemerintah dan membebani keuangan masyarakat.17 Pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan kerjasama daerah dapat berupa dibuatnya ruang-ruang dialektis antara masyarakat dengan pengambil kebijakan sebagaimana dikehendaki dalam paham demokrasi deliberatif. Keterlibatan masyarakat sebagai stakeholders dapat 12
Ibid, hlm. 577. Ibid. 14 Eric Zeemering, “Governing Interlocal Cooperation: City Council Interests and The Implications of Public Management”, Public Administration Review, Vol. 68 No. 4, San Francisco State University, 2008. hlm. 731. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Ibid, hlm. 736. 13
5
berbentuk forum warga (citizen forum), pertemuan warga kota (townhall meeting), juri warga (citizen juries), atau poling deliberatif (deliberative polls).18
Forum-forum
deliberasi
tersebut
dapat
digunakan
untuk
memproyeksi kebutuhan kerjasama daerah (baik objek kerjasama, tingkat kesulitan, hingga pihak-pihak yang cocok untuk menjadi mitra kerjasama) dalam rangka optimalisasi pelayanan publik kepada masyarakat. Melalui forum deliberasi, maka kerjasama daerah diharapkan tidak hanya bertujuan memberikan kepuasan layanan kepada masyarakat, melainkan juga membangun paradigma masyarakat bahwa pelayanan sebagai milik masyarakat.Dalam konteks pelaksanaan demokrasi deliberatif, Gutmann dan Thompson memberikan ciri demokrasi deliberatif berupa: 1. Syarat pemberian alasan (reason giving requirement) kepada setiap warga negara secara bebas dan setara. 2. Dapat diakses (accessible). Alasan-alasan suatu rencana kebijakan harus dapat diakses oleh setiap warga yang terlibat dalam deliberasi. 3. Menghasilkan suatu keputusan yang mengikat untuk periode tertentu. 4. Proses yang dinamis. Walaupun deliberasi dimaksudkan untuk menghasilkan suatu keputusan yang dibenarkan, namun keputusan tersebut memungkinkan untuk digugat kembali melalui deliberasi berkelanjutan atas kritisi warga negara yang terkena dampak.
C. Praktik Kerjasama Daerah di Indonesia Di Indonesia, kerjasama daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan 18
Bilal Dewansyah, “Deliberasi Dalam Proses Demokrasi Elektoral: Praktik Forum Konstituen Dalam Pilkada Kabupaten Bandung”, Jurnal Konstitusi PSKN-FH Unpad dan Mahkamah Konstitusi RI, Volume III, No. 1, 2011. hlm. 87.
6
undang-undang
tersebut,
kerjasama
daerah
dimungkinkan
guna
peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang sinergi dan saling menguntungkan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.19 Kerjasama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.20 Lebih jelas, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah menjelaskan bahwa kerjasama daerah adalah kesepakatan antara Gubernur dengan Gubernur
atau
Gubernur
dengan
Bupati/Walikota
atau
antara
Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota atau atas nama Pemerintah Daerah dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) atau sebutan lain atau Badan Hukum yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban.21 UU No. 32 Tahun 2004 beserta turunannya yang mengatur mengenai kerjasama daerah, terlihat mencoba memberikan jalan keluar bagi kompleksitas yang biasa terjadi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat lintas daerah dengan cara melakukan pengelolaan bersama oleh daerah terkait.22 Dengan tujuan mengatasi keterbatasan sumber daya yang ada, UU ini juga mewajibkan pengelolaan pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat.23 Demi kepentingan masyarakat pula, daerah diberikan kewenangan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dalam penyediaan pelayanan publik.24 Meskipun demikian, daerah wajib mendapatkan persetujuan DPRD terlebih dahulu apabila kerjasama yang akan dilakukan akan membebani masyarakat atau membebani APBD.25
19
Pasal 195 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004. Pasal 195 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004. 21 Pasal 1 angka 3 Permendagri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Kerjasama Daerah. 22 Pasal 196 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004. 23 Pasal 196 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004. 24 Pasal 195 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004. 25 Pasal 195 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004. 20
7
Selain bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik, kerjasama daerah juga
dapat
ditujukan
untuk
menyelesaikan
perselisihan
antar
kabupaten/kota.26 Perselisihan antar kabupaten/kota mencakup antara lain: a) perbatasan antar kabupaten/kota; b) sumber daya alam antar kabupaten/kota; c) aset; d) transportasi; e) persampahan; dan f) tata ruang.27 Selain dalam UU No. 32 Tahun 2004, kerjasama daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerjasama Daerah (PP Kerjasama Daerah). Secara spesifik, Pasal 3 PP tersebut menegaskan pihak yang dapat menjadi subjek kerjasama daerah adalah: 1. Gubernur 2. Bupati/walikota, dan 3. Pihak ketiga. Dalam Pasal 4 PP Kerjasama Daerah, objek kerjasama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. Dengan kata lain, objek kerjasama daerah tidak hanya terbatas pada penyediaan pelayanan publik, melainkan seluruh urusan pemerintahan daerah. Kerjasama daerah dapat pula dilakukan dalam bentuk pemanfaatan aset. Namun, PP Kerjasama Daerah tidak mengatur secara spesifik 26
Pasal 10 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. 27 Pasal 10 ayat (2)
8
mengenai kerjasama pemanfaatan aset/ barang milik daerah. Ketentuan kerjasama dalam bentuk pemanfaatan aset diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PPPBMN/D) yang diubah dengan PP No. 38 Tahun 2008. PP tersebut tidak membedakan kerjasama pemanfaatan aset antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah lainnya, atau kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga. Dalam Pasal 1 angka 11 PP tersebut, “Kerjasama Pemanfaatan” diartikan sebagai: “pendayagunaan barang milik negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan Negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya.” Namun, pada Pasal 26 ayat (1) huruf b PP PBMN/D ditegaskan bahwa mitra kerjasama pemanfaatan merupakan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud merupakan pihak yang telah mengikuti proses tender yang diikuti sekurang-kurangnya lima peminat. Proses tender tersebut dapat dikecualikan bagi barang milik Negara/daerah yang telah ditentukan dapat dilakukan dengan penunjukkan langsung. Berdasarkan pasal tersebut, terlihat bahwa mitra kerjasama pemanfaatan dalam PP PBMN/D ditujukan untuk pihak ketiga yang berupa pihak swasta, dan tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah lain. Mekanisme tender tersebut tidak dapat dilakukan pemerintah daerah lain, kecuali melalui BUMD yang berstatus badan hukum privat. Oleh karena itu, apabila mitra kerjasama pemanfaatan merupakan pemerintah daerah lain, maka mekanisme kerjasama pemanfaatan tunduk pada ketentuan PP kerjasama daerah. Sebagaimana lazimnya kerjasama pada umumnya, selalu ada potensi konflik yang dapat terjadi dalam sebuah kerjasama. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan dalam kerjasama daerah maka Gubernur dapat menyelesaikan perselisihan tersebut sebagaimana diatur dalam
9
Pasal 198 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.28 Ketentuan tersebut merupakan penegasan atas tugas dan wewenang
Gubernur
dalam
pembinaan
dan
pengawasan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan di Daerah Kabupaten/Kota, dan koordinasi
pembinaan
dan
pengawasan
penyelenggaraan
tugas
pembantuan di Daerah Kabupaten/Kota. Namun, apabila perselisihan kerjasama terjadi diantara Daerah Provinsi, maka Menteri Dalam Negeri dapat menyelesaikan perselisihan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 198 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.29 PP Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah menegaskan bahwa perselisihan yang terjadi dalam kerjasama daerah dapat diselesaikan melalui musyawarah atau melalui keputusan Gubernur yang bersifat final dan mengikat.30 Peran Gubernur yang demikian itu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pembinaan. Secara tegas fungsi tersebut dijabarkan kembali dalam PP Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah
Di Wilayah
Provinsi,
pembinaan
penyelenggaraan
bahwa
pemerintahan
Gubernur melaksanakan daerah
kabupaten/kota
melalui: a. pemberian fasilitasi dan konsultasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
28
Pasal 198 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 198 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 30 Pasal 14 ayat (1) dan (2) PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. 29
10
b. pemberian
fasilitasi
dan
konsultasi
pengelolaan
kepegawaian kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; c. penyelesaian
perselisihan
yang
timbul
dalam
penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan d. upaya
penyetaraan
kualitas
pelayanan
publik
kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
antar 31
D. Optimalisasi Fungsi TKKSD dan BKD Dalam Memperkuat FaktorFaktor Penentu Efektifitas Kerjasama Daerah Dalam Kerangka Demokrasi Deliberatif Guna
mempersiapkan
kerjasama
daerah,
Gubernur
dapat
membentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD). TKKSD mempunyai tugas untuk: a) melakukan
inventarisasi
dan
pemetaan
bidang/potensi
daerah yang akan dikerjasamakan; b) menyusun prioritas objek yang akan dikerjasamakan; c) memberikan saran terhadap proses pemilihan daerah dan pihak ketiga; d) menyiapkan kerangka acuan/proposal objek kerja sama daerah; e) membuat dan menilai proposal dan studi kelayakan; f)
menyiapkan materi kesepakatan bersama dan rancangan perjanjian kerjasama;
g) memberikan
rekomendasi
kepada
gubernur
untuk
penandatanganan kesepakatan bersama dan perjanjian 31
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi sebagaimana telah dubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2011
11
kerja sama; dan h) melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan kerjasama daerah kabupaten/kota. Fungsi-fungsi TKKSD sebagaimana disebutkan di atas, harus dilaksanakan dalam rangka memproyeksi faktor-faktor penentu efektifitas kerjasama daerah berupa spesifikasi aset (asset specificity), ukuran kesulitan (measurement difficulty), dan kedalaman pertukaran (exchange embeddedness). Fungsi strategis TKKSD tersebut menuntut performa SDM yang prima, dengan pemahaman dari sisi hukum hingga dampak sosiologis yang akan diterima masyarakat dalam kerjasama daerah yang akan berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan pula pelibatan masyarakat secara langsung melalui forum-forum deliberasi seperti townhall meeting, citizen juries, dan forum-forum deliberasi lainnya. Forum deliberasi dalam rangka perencanaan semacam ini telah banyak di praktikkan di berbagai kota di dunia. Sebagai contoh, Vancouver pada tahun 1995 telah berhasil membuat sebuah perencanaan tata kota melalui forum deliberasi yang inklusif, dan menghasilkan kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik, meningkatkan jumlah perumahan, mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi, dan berhasil membuat tata kota yang memudahkan masyarakat untuk bekerja. Dalam perencanaan kota tersebut, Vancouver melibatkan hingga 100.000 orang dalam pengambilan kebijakan perencanaan. Pada akhirnya Vancouver berhasil membuat sebuah perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.32 Melalui optimalisasi TKKSD, maka kerjasama daerah yang dibangun diharapkan tidak semata-mata dilakukan karena tuntutan regulasi belaka, melainkan didasarkan pada kebutuhan untuk memberikan layanan prima kepada masyarakat. Lebih jauh, penguatan fungsi TKKSD 32
City of Vancouver, “How We Plan: Inclusive in Decision Making, livable city Sustainable Future”, City of Vancouver, vancouver.ca/ourcity.
12
melalui forum deliberasi, harus mampu memproyeksi bidang-bidang kerjasama daerah yang tidak hanya didasarkan pada keterbatasan sumber daya yang ada, melainkan ditujukan untuk lebih meningkatkan daya saing daerah.Sehingga, kerjasama daerah tidak hanya dalam konteks pemenuhan pelayanan dasar semata, melainkan dapat pula mendongkrak sendi-sendi perekonomian masyarakat. PP Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah memberikan pula kewenangan Kepala Daerah untuk dapat membentuk Badan Kerjasama yang berfungsi untuk melakukan pengelolaan, monitoring, hingga evaluasi. Namun, kewenangan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kerjasama daerah dilakukan secara terus menerus, atau kerjasama dilakukan dengan jangka waktu minimal selama 5 tahun.33 Optimalisasi badan kerjasama ini penting untuk dilakukan guna memantau
secara
intensif
efektifitas
kerjasama
antar
daerah.
Pengawasan yang intensif tersebut dapat bermanfaat guna memberikan saran dan masukan kepada masing-masing pihak mengenai langkahlangkah yang dapat ditempuh apabila terjadi masalah dalam pelaksanaan kerjasama.34 Dalam konteks exchange embeddedness, maka kedekatan daerah secara geografis merupakan faktor utama yang dapat mempererat hubungan kerjasama daerah di satu sisi, dan juga dapat memiliki potensi konflik yang tinggi di sisi lain. Hal ini dikarenakan, kedekatan geografis akan melahirkan potensi kepentingan bersama yang sangat tinggi. Misal, daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata dan laut, cenderung memiliki masalah yang serupa dan cenderung berkompetisi secara ketat. Di sisi lain, pengelolaan potensi daerah masih sangat kental dengan nuansa etnosentrisme yang membentuk egosentrisme lokal.35 Oleh 33
Pasal 24 PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Ibid. 35 Hardi Warsono, “Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah”, Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 2009, hlm. 3. 34
13
karena itu, intensifitas koordinasi pada tingkat Provinsi harus ditingkatkan. Dalam kerangka memperkuat koordinasi Provinsi inilah, kehadiran Badan Kerjasama Daerah harus dimaknai. Badan Kerjasama Daerah harus pula dimaknai dan difungsikan sebagai forum deliberasi antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat. Forum deliberasi ini harus dapat diikuti oleh seluruh stakeholdersdalam rangka turut serta menentukan arah kebijakan kerjasama daerah. Menjadikan
Badan
Kerjasama
Daerah
sebagai
forum
deliberasi
diharapakan dapat menjadikan Badan Kerjasama Daerah menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.Kondisi ini diharapkan dapat menjadi
upaya
preventif
untuk
mencegah
timbulnya
konflik
dan
memproyeksi mitigasi yang dapat ditempuh ketika konflik tidak lagi dapat dihindarkan.Dalam
konteks
kerjasama
daerah
dalam
mewujudkan
pelayanan publik, maka forum deliberasi ini harus ditujukan pula untuk membangun paradigma masyarakat sebagai pemilik pelayanan publik.
E. Penutup Kerjasama daerah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik
kepada
masyarakat,
harus
didasarkan
pada
pertimbangan faktor-faktor yang dapat mendukung efektifitas kerjasama daerah
yang
digagas
melalui
forum-forum
deliberatif
dengan
mengikutsertakan masyarakat terdampak (stakeholders). Melalui forum deliberasi, paradigma masyarakat harus diarahkan untuk tidak lagi berorientasi sebagai objek yang dilayani dan berorientasi pada kepuasan terhadap pelayanan semata, melainkan harus mulai berorientasi pula sebagai pemilik pelayanan tersebut. Selain itu, kerjasama daerah harus mulai diarahkan untuk tidak semata-mata ditujukan demi mengatasi keterbatasan sumber daya dan memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat dengan baik (paradigma tradisional), melainkan harus berorientasi pula pada peningkatan daya saing daerah. Oleh karena itu, 14
kerjasama daerah harus mampu mendorong adanya
transfer of
knowledge dan transfer of technology.
BAHAN BACAAN
A. Buku, Makalah, Artikel Jurnal Anonim, “How We Plan: Inclusive in Decision Making, livable city Sustainable Future”, City of Vancouver, vancouver.ca/ourcity. Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2009 Bilal Dewansyah, “Deliberasi Dalam Proses Demokrasi Elektoral: Praktik Forum Konstituen Dalam Pilkada Kabupaten Bandung”, Jurnal Konstitusi PSKN-FH Unpad dan Mahkamah Konstitusi RI, Volume III, No. 1, 2011. Eric Zeemering, “Governing Interlocal Cooperation: City Council Interests and The Implications of Public Management”, Public Administration Review, Vol. 68 No. 4,San Francisco State University, 2008. Hardi Warsono, “Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah”, Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 2009. Manoj K. Shrestha & Richard C. Feiock, “Transaction Cost, Exchange Embeddedness,and Interlocal Cooperation in Local Public Goods Supply”, Political Research Quarterly,Vol. 64 No. 3, University of Utah, 2011. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah
15
Provinsi sebagaimana telah dubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2011 Permendagri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Kerjasama Daerah
Bandung, 11 November 2014
Mengetahui dan menyetujui,
Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.
16