UNIVERSITAS INDONESIA
KERJASAMA CHINA-RUSIA DI SHANGHAI COOPERATION ORGANISATION (SCO): SANGGAHAN TERHADAP PERSPEKTIF FUNGSIONALISME
TUGAS KARYA AKHIR
DICKI ABDUL GHANIY 0906636661
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JUNI 2013
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KERJASAMA CHINA-RUSIA DI SHANGHAI COOPERATION ORGANISATION (SCO): SANGGAHAN TERHADAP PERSPEKTIF FUNGSIONALISME
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di Universitas Indonesia
DICKI ABDUL GHANIY 0906636661
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JUNI 2013
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tugas Karya Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Dicki Abdul Ghaniy
NPM
: 0906636661
Tanda Tangan
: ……………………...
Tanggal
: 13 Juni 2013
ii Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
TKA ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul TKA
: : Dicki Abdul Ghaniy : 0906636661 : Ilmu Hubungan Internasional : Kerjasama China-Rusia di Shanghai Cooperation Organisation (SCO): Sanggahan terhadap Perspektif Fungsionalisme
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 16 Juli 2013
iii Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya yang menyertai hingga tugas karya akhir ini dapat diselesaikan tepat waktu. Penulisan tugas karya akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Tugas karya akhir ini bertujuan untuk melihat aplikasi paradigma ilmu Hubungan Internasional dalam menjelaskan suatu fenomena yang terjadi antarnegara. Dalam tulisan ini, penulis membahas mengenai kerjasama yang terjadi antara China dan Rusia dalam kerangka Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Untuk menganalisis kasus ini, penulis menggunakan perspektif fungsionalisme, yaitu paradigma yang menjelaskan proses kerjasama internasional. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan karena terdapat kelemahan dan kekurangan baik secara substansi maupun secara teknis. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik maupun saran yang membangun yang dapat meningkatkan kualitas tugas karya akhir ini. Pada akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini membawa manfaat bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan.
Depok, 13 Juni 2013 Dicki Abdul Ghaniy
iv Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
UCAPAN TERIMA KASIH Haturan syukur Penulis alamatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan rahmat-Nya yang menaungi penulis dalam proses pengerjaan tugas karya akhir ini. Tanpa kehendak, izin, dan bantuan-Nya, tulisan ini tak akan dapat diselesaikan. Selain itu penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak berikut: 1.
Orang tua tersayang; ayahanda Akhriyul Ahda dan Ibunda Noviarti di Lubuksikaping, Sumatera Barat. Tak kan cukup kertas ini untuk ananda tuliskan satu persatu untaian terima kasih yang ingin disampaikan. Semoga Tuhan membalas surga untuk tiap tetes keringat Ayah dan Ibu yang mengiringi helaian nafas ananda hingga hari ini. Amin amin ya rabbal alamin.
2.
Dra. Suzie Sri Suparin S Sudarman, MA selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas kesabaran dalam membimbing penulis. Masukan yang penulis peroleh sangat membantu dalam menyiapkan tulisan ini agar mencapai hasil yang diinginkan.
3.
Dra. Nurul Isnaeni, MA selaku ketua program sarjana regular HI. Terima kasih atas waktu yang diluangkan dalam melayani keluh kesah penulis, walau penulis sering datang tanpa appointment terlebih dahulu.
4.
Edy Prasetyono, Ph.D selaku dosen penguji. Terima kasih atas masukan yang diberikan demi kesempurnaan karya ini.
5.
Seluruh dosen HI dari semester satu hingga akhir yang turut memperkaya khasanah keilmuan penulis.
6.
M Mardani Arrachman a.k.a Muji dan Yohanes Tri Ponda. Terima kasih telah mengajarkan penulis bahwa apapun yang terjadi, selalu ada hal untuk ditertawakan.
7.
Husni Mubarok. Terima kasih telah membantu mengoreksi “Chicago style” dalam tulisan ini. Semoga Allah selalu memudahkan urusan Antum.
v Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
8.
Teman-teman nongkrong FIB: Ericks Hutagaol, Chandra Pratama, Andika Varian. Terima kasih atas dorongan semangat dan candaannya yang menyegarkan.
9.
Teman-teman Gerakan: Ruslan dan Jodi, yang senasib seperjuangan. Terima kasih atas doanya. Semoga kita lulus bareng.
10.
Hendrik May Karel- bule Belanda mirip Arjen Robben. Terima kasih telah rajin menanyai dan menemani penulis mengerjakan TKA di perpustakaan pusat. Semoga S2-nya lancar di Amsterdam.
11.
Riyan Permana Putra, terima kasih telah meminjamkan modem beserta pulsa internetnya di waktu yang tepat sehingga membantu pengerjaan TKA ini.
12.
Seluruh teman dan kerabat yang ikut mendoakan kelancaran TKA ini. Ihsan, Coco, Lisya, Nia, Dina, Ima, Bg Deri, Bg Amaik, Ikbal, Dimas, Fery, Nafees, dan seterusnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan selalu memudahkan urusan kita. Amin.
13.
Terima kasih juga untuk benda-benda berjasa di sekitar penulis: Gibson; gitar yang menemani di kala suntuk dan Notebook Toshiba NB510 yang tereksploitasi selama pengerjaan tulisan ini. “Sekarang kalian boleh istirahat.”
Depok, 13 Juni 2013 Dicki Abdul Ghaniy
vi Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Dicki Abdul Ghaniy
NPM
: 0906636661
Departemen
: Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya
: Tugas Karya Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Kerjasama China-Rusia di Shanghai Cooperation Organisation (SCO): Sanggahan Terhadap Perspektif Fungsionalisme
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format, mengelola
dalam
bentuk
pangkalan
data
(database),
merawat
dan
mempublikasikan tugas karya akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 16 Juli 2013 Yang Menyatakan
(Dicki Abdul Ghaniy)
vii Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Dicki Abdul Ghaniy
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul
: Kerjasama China-Rusia di Shanghai Cooperation Organisation (SCO): Sanggahan Terhadap Perspektif Fungsionalisme
Tugas karya akhir ini berkisar seputar kerjasama China-Rusia di Shanghai Cooperation Organisation (SCO) serta analisis tentang mengapa kerjasama tersebut dapat terjadi. Perspektif fungsionalisme akan digunakan sebagai alat telaah untuk menjawab permasalahan tersebut. Tulisan ini kemudian dilengkapi dengan penilaian terhadap ketepatan penjelasan yang ditawarkan perspektif fungsionalisme dengan kenyataan yang terjadi di lapangan antara China dan Rusia. Di akhir tulisan, akan disertakan pula pertimbangan-pertimbangan tambahan yang akan memperkaya penjelasan terkait keadaan riil yang melandasi wujudnya kerjasama China-Rusia di SCO. Kata kunci: China, Rusia, fungsionalisme, SCO, geopolitik
ABSTRACT
Name
: Dicki Abdul Ghaniy
Study Program
: International Relations
Title
: China-Russia‟s Cooperation in Shanghai Cooperation (SCO): Refutation to Functionalism Perspective
This writing is explaining about the cooperation between China and Russia in Shanghai Cooperation Organisation (SCO) and also with the analysis of what causes that cooperation to be happened. Functionalism approach will be use as the instrument to answer this problem. This final paper will also include the assessment about the accuracy of Functionalism‟s explanation. In the end, some additional consideration will be given in order to reach such a comprehensive and factual explanation about the case. Key words: China, Russia, functionalism, SCO, geopolitics
viii Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
DAFTAR ISI Lembar Orisinalitas ……………………………………………………………….ii Halaman Pengesahan …………………………………………………………….iii Kata Pengantar …………………………………………………………………...iv Ucapan Terima Kasih ……………………………………………………………..v Halaman Persetujuan Publikasi Tugas Akhir …………………………………...vii Abstrak / Abstract ………………………………………………………………viii Daftar Isi ……………………………………………………………………….viiii Daftar Gambar ……………………………………………………………………xi Daftar Tabel ……………………………………………………………………...xi BAB 1 PENDAHULUAN ...........................……………………………………..1 1.1. Latar Belakang …………….…………………………………………….1 1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………….4 1.3. Kerangka Teori ………………………………………………………….5 1.4. Tujuan dan Signifikansi Penulisan ……..……………………………….8 1.5. Sistematika Penulisan …………………………………………………...8 BAB 2 PEMBAHASAN ………………..……………………………………....10 2.1. Sekilas Struktur Organisasi Shanghai Cooperation Organisation …..….10 2.2. Fungsionalisme Menjelaskan Kerjasama China-Rusia di SCO ………..11 2.2.1. Peran Teknokrat Dalam Kerjasama SCO ………………………....12 2.2.2. Pola Spillover Dalam Kerjasama SCO …………………………....13 2.2.2.1. Fase Confidence Security Building Measures (1996-2001)...14 2.2.2.2. Fase Regional Security Againts Three Evil (2001-2004) ......19 2.2.2.3. Fase Comprehensive International Organisation (2004-).....24 2.3. SCO dan Spillover Terbalik …………………………………………....29 2.4. Menakar China-Rusia Di Balik SCO: Rising China&Falling Russia ….33 2.4.1. China: Multilateralisme Selektif ………………………………….33 2.4.2. Rusia: Liberal Empire Concept ………………………..................37
ix Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
BAB 3 KESIMPULAN ………………………………………………………...43 Daftar Referensi …………………………………………………………………44
x Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Peta Kawasan Konflik Damansky Island / Zhenbao Island ……..2
Gambar 2.1.
Pasukan Militer Rusia dan China dalam Latihan Militer Bersama bertajuk Peace Mission 2012 ………………………….4
Gambar 3.2.
Keanggotaan Shanghai Cooperation Organisation ……………..10
Gambar 4.2.
Bagan Struktur Organisasi SCO ………………………………..11
Gambar 5.2.
Alur Perspektif Fungsionalisme ………………………………..12
Gambar 6.2.
Peta Perbatasan China-Rusia ……………………………………15
Gambar 7.2.
SCO dan Kepentingan China …………………………………...38
DAFTAR TABEL
Tabel 1.2.
Perbandingan Alokasi Pasukan China di Perbatasan dengan Rusia 1986-1996 ………………………………………………..17
Tabel 2.2.
Kronologi Kerjasama SCO ……………………………………..32
Tabel 3.2.
Dominasi China dalam Proyek Energi di Asia Tengah ………...42
xi Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan China dan Rusia menyajikan dinamika hubungan internasional yang menarik. Dua negara ini merupakan negara dengan latar historis yang kaya sekaligus kompleks dan berkaitan satu sama lain. Di awal abad ke 20, dua negara ini sama-sama menjadi pionir paham komunisme yang menyebar ke seluruh dunia. Namun, sekalipun menganut ideologi yang sama, dua negara ini tak luput dari pertentangan satu sama lain. China dan Rusia terlibat persaingan ideologi pada pertengahan abad ke 20. Konflik berawal ketika Partai Komunis China (CPC) menolak doktrin deStalinisasi yang digaungkan Partai Komunis Uni Soviet (CPSU) pada kongres CPSU ke 20 tahun 1956. Doktrin yang disampaikan Nikita Khrushchev tersebut menyatakan bahwa alur gerakan komunis internasional berjalan sangat baik pada masa Stalin. Oleh karena itu, Stalin layak dikultuskan tak hanya sebagai pemimpin Soviet, tetapi juga sebagai pemimpin komunisme global dengan warisan di seluruh dunia. 1 Mao sebagai pemimpin CPC menolak doktrin tersebut. Mao beralasan terdapat hambatan praktikal dalam menerapkan doktrin tradisional Lenin. Sebelumnya, Mao juga telah beberapa kali mengabaikan arahan kebijakan dari Stalin. Akhirnya perdebatan meluas seputar isu evaluasi Stalin, peaceful coexistence, peaceful transition to socialism, perang, dan imperialism. 2 Akar permasalahan ini sebenarnya tak lepas dari divergensi kepentingan masing-masing pemimpin. China menilai Soviet sebagai “socialist in words, imperialist in deeds”, sementara Soviet menuduh China sebagai “anti-Marxist” dan “left-wing adventurists”. Puncak pecahnya kongsi Soviet-China ini terjadi pada bulan September 1960 ketika Soviet menarik 1.390 penasehatnya dari China serta
1
“The Great Debate: Documents of the Sino-Soviet Split,” Marxists, diakses 6 Juni 2013 http://www.marxists.org/history/international/comintern/sino-soviet-split/index.htm. 2 Ibid.
1 Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
2
menghentikan transfer teknologi nuklir ke China. 3 Akibatnya, pada dekade 60an muncul paham Marxisme-Maoisme dan Marxisme-Leninisme. Konflik ideologis di atas bukanlah satu-satunya titik divergen yang mewarnai hubungan China-Rusia sepanjang sejarah. Di kemudian hari, muncul konflik-konflik baru yang dilatarbelakangi berbagai hal. Salah satunya adalah konflik territorial. Tendensi konflik territorial muncul ke permukaan seiring pernyataan yang dikeluarkan Mao pada bulan Agustus 1964; “there are too many places occupied by the Soviet Union”.4 Sensitifitas isu teritorial dipupuk oleh ketidakseimbangan demografi yang berakar di masa lalu ketika kekaisaran Rusia merebut wilayah kekuasan China mulai dari Baikal, Vladivostok, Khabarovsk, Kamchatka, dan beberapa kawasan lainnya. 5 China menuduh Soviet menjalankan program ekspansionis yang mirip dengan program lebensraum “living space” milik Nazi Jerman.6 Puncak ekskalasi isu ini ditandai dengan terjadinya perebutan kawasan Pulau Zhenbao pada tahun 1969 yang menyebabkan kontak senjata antara China-Soviet selama tak kurang dari tujuh bulan. Pada akhirnya, konflik ini baru terselesaikan pada tahun 2004 melalui proses perundingan yang alot.
Gambar 1.1. Peta Kawasan Konflik Damanski Island / Zhenbao Island Sumber: http://geocurrents.info/wp-content/uploads/2012/05/Damansky_map.jpg
Perang pada tahun 1969 tersebut menyebabkan hubungan China-Soviet mati suri selama 20 tahun. Angin segar baru menghampiri pada akhir dekade 1980-an ketika Gorbachev melakukan pembaruan kebijakan luar negeri Uni 3
David Scott, China Stands Up: The PRC and the International System (New York: Routledge, 2007), 62. 4 Ibid., 63 5 Ibid., 64 6 Ibid.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
3
Soviet.7 Rangkaian kunjungan Gorbachev dan petinggi Soviet ke China menjelang keruntuhan Uni Soviet secara tidak langsung mewariskan jalur dialog antara kedua negara. Jalur ini kemudian tetap dilanjutkan ketika Soviet digantikan oleh Rusia. Namun, bukan berarti hubungan China-Rusia menjadi harmonis sejak saat itu. Dewasa ini China dan Rusia terlibat perebutan sumber-sumber energi di Asia Tengah. Moskow seharusnya memiliki akses tak terhingga terhadap ladang-ladang energi Asia Tengah sekiranya Soviet tidak pecah dan melahirkan negara-negara baru seperti Kazakhstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan yang kaya energy. 8 Di sisi lain, China menjelma menjadi raksasa industri yang haus energi setelah mengalami reformasi ekonomi di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Akibatnya, sumur-sumur energi Asia Tengah menjadi rebutan dua negara ini. China dan Rusia bersaing menancapkan pengaruh di kawasan ini agar dapat mengontrol lumbung energi beserta jalur distribusinya. Akan tetapi, di balik sejarah panjang yang dipenuhi konflik dan persaingan tersebut, terdapat satu hal yang menarik dari hubungan kedua negara ini. Kentalnya divergensi kepentingan tidak menutup pintu kerjasama antara China dan Rusia. Bentuk ikatan kerjasama yang paling signifikan adalah perundingan keamanan perbatasan pada paruh awal dekade 1990-an yang dilanjutkan dengan pendirian forum Shanghai Five dan akhirnya diformalkan menjadi Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Dewasa ini SCO menjelma menjadi wadah kerjasama China-Rusia dalam bidang keamanan, militer, energi, dan ekonomi, serta sosial-budaya. Dalam perkembangannya, SCO telah banyak melahirkan kebijakan yang diimplementasikan bersama antara China dan Rusia. Kebijakan-kebijakan tersebut membentang dari hirarki yang low politics hingga isu yang high politics. Latihan militer bersama, pagelaran festival budaya, penanggulangan bencana, serta pembentukan SCO Energy Club merupakan beberapa diantara kerjasama yang 7
Guocang Huan, “Sino-Soviet Relations,” dalam The Chinese View of the World, ed. Yufan Hao dan Guocang Huan (New York: Pantheon Books, 1989), 103. 8 Richard Galpin, “Struggle for Central Asian Energy Riches,” BBC News, terakhir dimodifikasi 2 Juni, 2010, diakses 6 Juni 2013, http://www.bbc.co.uk/news/10131641.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
4
terjalin di SCO. Beberapa kali SCO pun sempat mengeluarkan pernyataan sikap bersama terhadap suatu isu yang menandai konvergensi kebijakan antara China dan Rusia.
Gambar 2.1. Pasukan Militer Rusia dan China dalam Latihan Militer Bersama Bertajuk Peace Mission 2012 Sumber: http://www.eurasianet.org/sites/default/files/imagecache/gallery/Uzbekistan092512_0.jpg
Oleh karena itu, fenomena kerjasama China-Rusia di SCO memunculkan pertanyaan seputar apa sebenarnya yang tengah terjadi dalam hubungan ChinaRusia. Mengapa dua negara ini rela mengkonvergensikan kebijakan di saat masing-masing tengah menjalankan agenda yang berlainan? Apakah warisan sejarah tentang pertentangan di masa lalu benar-benar sudah terselesaikan dan dilupakan? Atau mungkinkah SCO berhasil mereduksi persaingan yang mereka lakoni? 1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah: “Mengapa kerjasama China-Rusia di SCO dapat terjadi?”
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
5
1.3 Kerangka Teori Salah satu paradigma ilmu Hubungan Internasional yang fokus membahas kerjasama antarnegara adalah fungsionalisme dengan teorinya yang terkenal yaitu Spillover Effect. Teori ini akan penulis aplikasikan dalam menjawab pertanyaan seputar kerjasama China-Rusia di SCO. Sebetulnya terdapat teori besar lainnya sebagai opsi untuk menelaah kasus ini seperti liberalisme ataupun realisme. Namun penulis berkeyakinan bahwa teori fungsionalisme lebih tepat digunakan karena tujuan yang ingin penulis capai adalah menyibak pemicu utama yang mendorong China-Rusia bekerjasama di SCO. Untuk itu, dibutuhkan analisis yang tidak baku dan tidak terlalu terikat pada acuan nilai tertentu. China dan Rusia adalah dua aktor internasional yang memiliki peradaban besar dengan torehan panjang di masa lalu. Selain itu, dua negara ini adalah penganut paham komunisme, bahkan bisa disebut sebagai pentolan dari ideologi Marxis. Oleh karena itu, China dan Rusia pastilah memiliki nilai, cara pandang, dan kekhasan tersendiri dalam tata hubungan dan perilaku internasionalnya. Akan sedikit rancu jika dua negara ini dianalisis menggunakan teori barat yang jelasjelas dikembangkan dari nilai keyakinan, dan peradaban barat. Sebagai contoh, perilaku dua negara komunis ini tidak mungkin dijelaskan menggunakan teori liberalisme karena jelas merupakan dua paham yang bersebrangan. Asumsiasumsi ideal yang dibangun liberalisme seperti rights dan kesamaan nilai tidak dapat serta merta diaplikasikan pada dua negara ini. Persoalannya adalah bagaimana mungkin negara-negara non-liberal diasumsikan melakukan hal-hal yang liberal. Bahkan ketika menyentuh tataran praktis, tesis interdependensi kompleks misalnya, terbukti tidak terjadi dalam hubungan China-Rusia. Begitu juga yang terjadi jika mengaplikasikan teori realisme dalam kasus ini. Walaupun tidak sefrontal divergensi komunis-liberal, realisme menawarkan area kupasan yang terbatas karena menitikberatkan pada hadap-hadapan kapabilitas antaraktor. Diskursus yang dihasilkan pun akan diarahkan pada acuan telaah yang telah baku. Di sisi lain, teori fungsionalisme menawarkan pendekatan yang lebih teknis dan karenanya lebih terbuka terhadap asupan kenyataan serta penggunaan apa yang terlihat sebagai alat untuk menilai teori yang digunakan. Walaupun akar
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
6
dari teori ini sebenarnya juga berasal dari liberalisme, namun aspek teknis teori ini memberikan ruang analisis yang lebih bebas dan tidak terlalu terkungkung pada pakem-pakem yang sudah ada. Itulah mengapa penulis memutuskan untuk menelaah kasus kerjasama China-Rusia di SCO ini menggunakan teori fungsionalisme serta melakukan pembuktian terhadap penjelasan yang ditawarkan teori ini. Dalam menjelaskan fungsionalisme penulis menggunakan tulisan Ernst Haas sebagai rujukan. Dalam beberapa literaturnya, Ernst Haas kerap kali membahas Uni Eropa sebagai studi kasus. Hal ini dikarenakan Uni Eropa merupakan contoh konkret tentang proses integratif yang berujung pada federasi atau kesatuan politik.9 Haas berusaha memecahkan rahasia di balik proses dan prakondisi yang menggiring negara pada pembentukan komunitas politik, yang kemudian memungkinkan terjadinya integrasi. Asumsi dasar yang dibangun fungsionalisme adalah bahwa konflik internasional dapat berkurang sekiranya negara berhasil memenuhi kesejahteraan dan kebutuhan dasar warganya dengan cara bekerjasama secara fungsional. Haas kemudian menambahkan bahwa untuk mewujudkan hal tersebut, integrasi dalam ranah politik juga harus terjadi, karena kerjasama tidak akan bertahan jika hanya berkutat di bidang teknis tanpa disertai konvergensi politik. Ini merupakan kritik Haas terhadap fungsionalisme terdahulu oleh David Mitrany yang hanya fokus pada kerjasama fungsional. Bagi Haas, setiap negara memiliki kepentingan masing-masing. Namun demikian, terdapat sebuah titik konvergensi di mana negara pada saat tertentu berjalan berdampingan dalam mengejar kepentingan tersebut. Konvergensi ini kemudian menggiring negara pada apa yang disebut sebagai integrasi, yaitu proses dimana para aktor politik dengan agenda nasional yang berbeda digiring untuk
9
R. J. Harrison, “Neo-Functionalism,” dalam Framework for Internaitional Cooperation, edisi ke2, ed. A.J.R Groom dan Paul Taylor (London: Pinter, 1994), 138.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
7
memindahkan loyalitas, ekspektasi, dan aktivitas mereka ke arena yang lebih besar yang memiliki jurisdiksi dihadapan negara masing-masing.10 Tentunya ada proses yang melandasi terbentuknya integrasi tersebut. Haas mengidentifikasi ada tiga mekanisme yang berperan dalam proses ini, yaitu peran teknokrat, positive spillover, dan transfer loyalitas domestik (domestic allegiances).11 Teknokrat berperan memunculkan desakan untuk integrasi. Tanpa adanya desakan ini, integrasi antarnegara tak akan terjadi. Pada awalnya, teknokrat merupakan aktor non-politis yang berusaha memenuhi kepentingannya dengan cara menjalin kerjasama dengan aktor serupa dari negara lain. Aktor-aktor ini bergerak dalam isu-isu yang non-kontroversial dan biasanya berkaitan erat dengan sosio-ekonomi, seperti buruh, kesehatan, komunikasi, dan transportasi. Teknokrat meyakini bahwa kepentingan mereka akan jauh lebih terakomodisasi melalui kerangka kerja yang global dan komprehensif. Proses konvergensi di atas mengawali masa depan integrasi antarnegara, karena dalam proses tersebut terjadi upgrading common interest antaraktor.12 Selanjutnya, terbentuk atau tidaknya integrasi dipengaruhi oleh proses yang dinamakan Haas sebagai positive spillover, atau yang dalam terminologi Mitrany dinamakan ramification, yaitu proses meluasnya kerjasama ke bidang lain akibat manfaat yang dirasakan pada kerjasama terdahulu. 13 Aktor akan melakukan generalisasi terhadap pelajaran integratif yang terjadi di suatu sektor. Dengan kata lain, integrasi di suatu bidang akan memunculkan insentif untuk integrasi di bidang lainnya. Seperti yang dinyatakan Haas (1961), “Earlier decision spill-over into new functional contexts, involve more and more people…meeting the new problems which grow out of the earlier compromises” (hal. 372).14 Lebih jauh, sebagai hasil dari proses yang berjalan, unsur pemerintah yang berorientasi power perlahan akan bergeser pada orientasi kesejahteraan. Hal ini 10
Ernst Haas, “International Integration: The European and Universal Process,” International Organization 15, no. 3 (1961): 366, http://links.jstor.org/sici?sici=00208183%28196122%2915%3A3%3C366%3AIITEAT%3E2.0.CO%3B2-M 11 Ernst Haas, The Uniting of Europe: Political, Social, and Economic Forces 1950-1957 (CA: Stanford University Press, 1958), 127. 12 Haas, “International Integration,” 368. 13 Ernst Haas, Beyond the Nation State (CA: Stanford University Press, 1964), 48. 14 Haas, “International Integration,” 372.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
8
sejalan dengan kesadaran aktor bahwa kepentingan mereka akan lebih terpenuhi melalui skop interaksi yang lebih luas. Konsep mereka tentang kepentingan dan kesejahteraan pada akhirnya direvisi. Selain konvergensi teknokrat dan spillover effect, juga dibutuhkan kepimpinan politik yang kuat untuk memenuhi permintaan integrasi. Dalam proses ini, aktor politik yang sebelumnya berorientasi power pada akhirnya meredefinisi kepentingan mereka. Konvergensi yang semula hanya pada isu nonpolitis akhirnya diperluas pada isu politis. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme institusi untuk mewadahi proses ini. Dalam hal ini, organisasi berperan mendorong insiatif, menyediakan kepemimpinan, serta menerjemahkan tuntuan sosial ke dalam kebijakan global. Ketika kebutuhan organisasional ini terpenuhi, barulah terbentuk komunitas politik atau integrasi politik antarnegara. Organisasi atau institusi juga mewadahi terjadinya transfer loyalitas aktor domestik ke ranah yang lebih besar. 1.4 Tujuan dan Signifikansi Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk mengaplikasikan paradigma Ilmu Hubungan Internasional
dalam
mengkaji
ragam
fenomena
yang
mewarnai
dunia
internasional. Dalam hal ini, perspektif fungsionalisme merupakan paradigma yang paling sering digunakan untuk menjelaskan kerjasama antara negara yang bersifat fungsional. Tulisan ini, meskipun tidak berpretensi untuk komprehensif, namun cukup memadai untuk menelaah kapabilitas teori ini dalam menjelaskan kerjasama China-Rusia di Shanghai Cooperation Organisation. Penulisan tentang topik ini pun diyakini sangat signifikan mengingat besarnya peran yang dimainkan China dan Rusia dalam hubungan internasional kontemporer. Pada akhirnya, analisis mengenai perilaku dua negara ini dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran dalam memahami kepentingan China dan Rusia dalam setiap maneuver kebijakan luar negeri yang mereka jalankan. 1.5 Sistematika Penulisan Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bab. Bab pertama adalah pendahuluan, yang berisi uraian mengenai latar belakang masalah, dilanjutkan
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
9
dengan formulasi rumusan masalah, kemudian dilengkapi dengan paparan singkat tentang landasan teori fungsionalisme, tujuan dan signifikansi penulisan, serta diakhiri dengan sistematika penulisan. Pada bab kedua yaitu pembahasan, penulis akan menjelaskan sekilas tentang struktur organisasi SCO, dilanjutkan dengan bahasan bagaimana teori fungsionalisme menjelaskan kerjasama China-Rusia di SCO. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan analisis tentang kesesuaian antara penjelasan yang ditawarkan teori fungsionalisme dengan fakta riil yang terjadi di lapangan antara China-Rusia. Di akhir bab, penulis akan memaparkan pertimbangan-pertimbangan tambahan dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif dan faktual terkait kerjasama China-Rusia di SCO. Bab terakhir adalah kesimpulan dimana penulis akan menyimpulkan hasil analisis yang didapat melalui elaborasi-elaborasi pemikiran di bab satu dan bab dua.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Sekilas Struktur Organisasi Shanghai Cooperation Organisation
Gambar 3.2. Keanggotaan Shanghai Cooperation Organisation Sumber: http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/00643/news-graphics-2007-_643128a.gif
SCO merupakan organisasi internasional yang unik. Walaupun menaungi berbagai macam isu mulai dari high politics hingga low politics, SCO tidak mendelegasikan tugas pada badan khusus yang sengaja dibentuk untuk mengurusi masing-masing isu. Dalam struktur organisasi SCO, hanya terdapat satu organ khusus yang diciptakan, dan hanya dua institusi non-pemerintah yang disertakan. Selebihnya, segala kebijakan yang dihasilkan hanya diaplikasikan melalui produksi agreement, declaration, atau berbagai jenis ketentuan atau kesepakatan serupa.
10 Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
11
Berikut susunan organisasi SCO: COUNCIL OF HEADS OF STATE
COUNCIL OF HEADS OF GOVERNMENT (PRIME MINISTER)
MEETING OF HEADS OF MINISTERS AND DEPARTMENTS
COMMISSION OF SENIOR OFFICIALS
COUNCIL OF FOREIGN MINISTER
COUNCIL OF NATIONAL COORDINATOR
SCO REGIONAL ANTITERRORIST STRUCTURE (RATS)
SCO SECRETARY-GENERAL SPECIAL WORKING GROUPS
NONGOVERNMENTAL INSTITUTIONS:
PERMANENT REPRESENTATIVE TO RATS
SECRETARIAT
PERMANENT REPRESENTATIVES TO SCO SECRETARIAT
-SCO BUSINESS COUNCIL -SCO INTERBANK CONSORTIUM -SCO ENERGY CLUB
Gambar 4.2. Bagan Struktur Organisasi SCO 15 2.2 Fungsionalisme Menjelaskan Kerjasama China-Rusia di SCO Perspektif fungsionalisme bersifat sistemik karena membahas sistem atau model lingkungan yang menjelaskan proses integrasi antarnegara. Menurut penulis, aspek aplikatif teori integrasi fungsionalisme harus dilakukan secara komprehensif karena mengandung sub-sub teori yang berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh, teori integrasi mengandung teori turunan seperti spillover effect, juga mempunyai aspek pertimbangan transfer loyalitas domestik dan peran teknokrat.
15
Hasil elaborasi penulis
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
12
Integrasi/Political Community
Peran Teknokrat
Positive Spillover
Transfer loyalitas domestik
Gambar 5.2. Alur Perspektif Fungsionalisme 16 Dalam bahasan berikutnya penulis akan membahas dua poin utama dari rangkaian teori fungsionalisme, yaitu peran teknokrat dan positive spillover. Dua hal ini mewakili penjelasan di balik terjalinnya kerjasama antara dua negara yang memiliki kepentingan berbeda. Oleh karena itu, peran teknokrat dan positive spillover harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum melangkah ke poin ketiga yaitu transfer loyalitas domestik. Pertama, penulis akan melihat keberadaan peran teknokrat dalam menginisiasi kerjasama antara China dan Rusia di SCO. Dapatkah peran teknokrat ini dipredikatkan sebagai salah satu alasan di balik terjalinnya kerjasama antara China dan Rusia di SCO? Kedua, penulis juga akan menganalisa keberadaan positive spillover effect dalam hubungan kerjasama China-Rusia. Spillover seperti apakah yang terjadi dalam hubungan dua negara ini? Lalu bisakah spillover effect juga disematkan sebagai predikat atas kerjasama kedua negara ini di balik persaingan yang tengah mereka jalani? Berikut pembahasannya. 2.2.1 Peran Teknokrat dalam Kerjasama SCO Berangkat dari asumsi fungsionalis, tenaga ahli atau teknokrat memainkan peran penting dalam harmonisasi hubungan antarnegara. Basis-basis kerjasama
16
Hasil elaborasi penulis
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
13
secara fungsional hanya dapat dilakukan oleh para ahli, karena merekalah yang paling menguasai fungsi kerja bidang masing-masing. Aktor politik, dalam hal ini bukanlah pelaku yang dapat menjalin kerjasama berbasis fungsional. Ini dikarenakan orientasi mereka yang lebih kepada politik atau kekuasaan. Mungkin saja dalam dinamika berikutnya, seperti yang diutarakan kaum fungsionalis, actor politik dapat terlibat dalam kerjasama fungsional. Namun, untuk inisiasi awal menuju konvergensi dan memunculkan desakan integrasi, peran kaum teknokrat lah yang paling menonjol. Peran teknokrat utamanya terlihat dalam pengembangan kerjasama ekonomi, energi, dan sosial antara anggota SCO. Dalam hubungan ekonomi dan energi, peran tersebut dijalankan oleh perusahaan-perusahaan energi dari masingmasing negara, seperti Yukos, Rosneft, dan Gazprom dari Rusia, CNCP dari China, PetroKazakhstan dari Kazakhstan, dan lain sebagainya. Perusahaanperusahaan ini menginisasi kerjasama dengan cara mengusulkan pertimbangan teknis terhadap peluang kerjasama yang potensial. Selain itu ada pula penetrasi teknokrat dalam menyemai kerjasama di bidang penanggulangan bencana dengan diadakannya pertemuan antara para pemimpin organisasi penanggulangan bencana dari masing-masing negara. 2.2.2 Pola Spillover Dalam Kerjasama SCO Dalam segmen ini penulis akan menelusuri keberadaan spillover effect dalam hubungan kerjasama China-Rusia, terutama dalam kaitan dengan SCO. Sebagaimana dijelaskan di bagian kerangka teori, spillover dapat mengambil tempat dalam meluasnya kerjasama dari satu bidang ke bidang lain akibat meningkatnya rasa percaya dan ekspektasi keuntungan dari kerjasama. Secara umum, pola spillover effect yang terjadi di SCO adalah meluasnya kerjasama yang semula diawali di bidang keamanan hingga ke kerjasama yang bersifat ekonomi, energi, social, dan budaya. Hal ini senada dengan yang disampaikan Askhat Safiullin, namun Safiullin membagi Spillover effect di SCO
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
14
menjadi dua, yaitu Political Spillover dan Functional Spillover.17 Pendirian SCO sendiri merupakan bentuk political spillover.18 Sementara functional spillover dapat dilihat dari semakin wujudnya kerjasama China, Rusia, dan negara anggota SCO lainnya dalam bidang ekonomi, energi, sosial, dan budaya. Indikator yang penulis gunakan terdiri dari dua jenis, pertama adalah produksi organ khusus yang mengurusi isu atau ranah kerjasama tertentu, dan kedua adalah produksi segala jenis kesepakatan yang menandai pemberlakuan aturan secara regional. Penulis akan menelaah keberadaan dua indikator ini beserta rentang isu yang dibahas dalam masing-masing indikator. Selain itu, untuk memudahkan eksaminasi keberadaan spillover effect di tubuh SCO, penulis meminjam pembabakan fase dinamika SCO yang dikemukakan ahli politik dari Belanda, Marcel de Haas. De Haas mengelompokkan dinamika SCO ke dalam tiga fase, yaitu fase Confidence and security building measures, fase Regional security against the three evil, dan fase Comprehensive international organization.19 Pembabakan ini memaparkan kronologis perjalanan SCO sehingga dapat dilihat spillover apa saja yang terjadi dalam setiap fase. Selain itu pembabakan ini juga akan sangat membantu dalam menganalisa tiap ragam kejadian dan perubahan yang mempengaruhi masa depan SCO serta masa depan hubungan antara anggotanya, terutama China dan Rusia. Berikut pembabakan spillover effect dalam hubungan China-Rusia di SCO berdasarkan masing-masing fase. 2.2.2.1 Fase Confidence and Security Building Measures Fase ini dimulai justru sebelum SCO terbentuk namun mewakili satu tahapan penting yang sangat menentukan perjalanan SCO ke depan. Berawal dari kunjungan legendaris Mikhail Gorbachev ke China pada bulan Mei 1989, China
17
Askhat Safiullin, “The Shanghai Cooperation Organisation and Security in Post-Soviet Central Asia,” Central European Journal of International & Security 4, issue 2 (2010): 43, http://cejiss.org/issue/2010-volume-4-issue-2/safiullin 18 Ibid. 19 Marcel de Haas, The Shanghai Cooperation Organisation: Towards a Full-Grown Security Alliance? (The Hague: Netherlands Institute of International Relations Clingendael, 2007), 7-8.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
15
dan Uni Soviet kembali memulai perundingan terkait stabilitas garis perbatasan sepanjang 7300 kilometer yang mempertemukan kedua negara. 20
Gambar 6.2. Peta Perbatasan China-Rusia Sumber: http://news.bbc.co.uk/olmedia/images/_29263_russia_china.gif
Isu perbatasan merupakan isu sensitif dalam hubungan China-Rusia. China pernah mengklaim kehilangan territorial seluas 1,5 juta kilometer persegi akibat perjanjian yang tidak seimbang pada abad ke 19 dengan kekaisaran Rusia. Klaim ini berakibat pecahnya konflik militer antara China-Uni Soviet seperti pada peristiwa Damanskii tahun 1969.21 Akibat inisiatif yang dilakukan Gorbachev di akhir dekade 1980-an, China dan Uni Soviet sepakat mengurangi tensi militer di sepanjang garis perbatasan serta sepakat menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara damai. Kesepakatan ini tertuang dalam “Agreement on the Guidelines of Mutual Reduction of Forces and Confidence Building in Military Field in the Area of the Soviet-Chinese Border” yang ditandatangani pada bulan April 1990
20
Zhao Huasheng, “Security Building in Central Asia and the Shanghai Cooperation Organisation,” dalam Slavic Eurasia’s Integration Into the World Economy, ed. Tabata Shinichiro dan Iwashita Akihiro (Hokaido: Slavic Research Center, 2003), 283. 21 Iwashita Akihiro, “The Shanghai Cooperation Organisation and Its Implications for Eurasian Security: A New Dimension of „Partnership‟ after Post Cold-War Period,” dalam Slavic Eurasia’s Integration Into the World Economy, ed. Tabata Shinichiro dan Iwashita Akihiro, (Hokaido: Slavic Research Center, 2003), 261.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
16
serta dalam “Agreement on the Eastern Section of the Boundary Between the People’s Republic of China and the USSR” pada bulan Mei 1991.22 Dinamika perbatasan China-Uni Soviet berubah pada tahun 1991 ketika Uni Soviet akhirnya runtuh. Perbatasan bagian barat dibagi menjadi empat bagian: 50 kilometer perbatasan China-Rusia, 1700 kilometer perbatasan ChinaKazakhstan, 1000 kilometer perbatasan China-Kazakhstan, dan 430 kilometer perbatasan China-Tajikistan. Sementara itu, perbatasan bagian timur mutlak menjadi urusan China-Rusia. 23 Saat itu, negara-negara Asia Tengah yang baru merdeka ini belum terbiasa dengan isu perbatasan dan awalnya menolak berunding dengan China. Namun akhirnya mereka bersedia berunding atas mediasi Rusia, dengan syarat format perundingan yang diambil adalah China di satu kubu dan negara-negara Asia Tengah ini di kubu lain bersama Rusia. Kunjungan Presiden Yeltsin ke China pada bulan Desember 1992 menghasilkan setidaknya 20 kesepakatan, termasuk di dalamnya “Memorandum of Understanding on the Guiding Principles for the Mutual Reduction of Armed Forces and the Strengthening of Trust in the Border Region”.24 Seluruh rangkaian kesepakatan dan perundingan ini mengisyaratkan bahwa kedua kubu sepakat untuk mengurangi tensi militer di perbatasan serta berpijak pada hubungan yang damai. 25 Memorandum ini terbukti efektif dalam mengurangi jumlah penempatan pasukan militer di perbatasan. Dalam kurun waktu 10 tahun, terjadi penurunan alokasi pasukan perbatasan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat melalui table berikut:
22
Jing-Dong-Yuan, Sino-Russian Confidence Building Measures: A Preliminary Analysis (Vancouver: University of British Columbia, 1998), 16. 23 Akihiro, “Shanghai Cooperation,” 262. 24 Yuan, “Sino-Russian Confidence,” 8. 25 Peggy Falkenheim Meyer, “Russia‟s Post-Cold War Security Policy in Northeast Asia,” Pacific Affairs 67, no. 4 (1994-95): 501.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
17
Tabel 1.2. Perbandingan Alokasi Pasukan China di Perbatasan Dengan Rusia 1986-1996
Sumber: Alexander A Sergounin dan Sergey V Subbotin, “Russian Arms Transfers to East Asia In the 1990s,” SIPRI Research Report, no 15 (1999): 120.
Selain itu, kunjungan Presiden Jiang Zemin ke Moskow pada tahun 1994 juga menandai disepakatinya “Join Statement Pertaining to the Non-Targeting of the Strategic Nuclear Weapons at and Non-First Use of Nuclear Weapons Againts Each Other”.26 Kesepakatan terakhir ini, dimana kedua negara sepakat untuk tidak saling menargetkan penggunaan senjata nuklir satu sama lain, mencerminkan komitmen China-Rusia dalam mentransformasi hubungan bilateral. Kesepakatan tentang kerjasama dalam pertahanan perbatasan juga ditandatangani pada tahun 1995 antara Departemen Pertahanan China dengan Penjaga Perbatasan Federasi Rusia.27 Basis-basis kesepakatan yang tercipta melalui rangkaian perundingan di awal dekade 1990-an ini melandasi dua pijakan dalam hubungan China-Rusia, yaitu confidence building measure dan pengurangan tensi militer, serta penyelesaian demarkasi perbatasan. Fungsi-fungsi inilah yang akhirnya pada tahun 1996 menjadi landasan dibentuknya Shanghai Five.
26
Yuan, “Sino-Russian Confidence,” 9 Yang Guojun, “Good Neighborly, Friendly, Peaceful, and Tranquil Sino-Russian Border,” Xinhua Domestic Service dalam FBIS-CHI (1996): 22.
27
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
18
Shanghai Five beranggotakan lima negara yaitu China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgystan, dan Tajikistan. Resmi berdiri pada tanggal 26 April 1996, Shanghai Five langsung menghasilkan “Agreement on Deepening Military Trust in Border Regions”, dan setahun kemudian tepatnya 24 April 1997 disepakati pula “Agreement on Reduction of Military Forces in Border Regions”.28 Seluruh anggota sepakat untuk menciptakan stabilitas perbatasan dengan memberlakukan zona bebas militer dan saling bertukar informasi kemiliteran. Aturan-aturan teknis pun ditetapkan agar dapat dipatuhi seluruh anggota, seperti pembatasan jumlah personel militer dalam radius 100 kilometer di perbatasan. Titik sejarah ini memang sedikit meragukan, namun merupakan simbol babak baru hubungan China-Rusia yang sebelumnya diwarnai saling curiga dan tendensi konflik. Dalam fase ini disepakati pula mekanisme Shanghai Five, yaitu “strengthening good neighborly relations of mutual trust, friendship and cooperation”.29 Uraian kronologis hubungan China-Rusia sejak perundingan awal dekade 1990-an hingga dibentuknya Shanghai Five pada tahun 1996 di atas mencerminkan adanya tendensi peningkatan kesepahaman dalam hubungan kedua negara. Jika dibandingkan dengan pola hubungan sebelum pecahnya Uni Soviet, dimana persoalan antara China-Rusia lebih banyak diwarnai saling curiga dan ketidakpercayaan, maka dekade 1990-an merupakan momentum dimulainya pola hubungan yang lebih mengutamakan dialog dan pencarian titik konvergensi antara kepentingan kedua belah pihak. Hal ini merupakan sebuah kemajuan. Faktor konstelasi domestik masing-masing negara, serta konstelasi politik internasional dan keikutsertaan negara-negara baru Asia Tengah patut menjadi pertimbangan akan hal ini. Walau demikian, spillover effect yang menjadi pencarian dalam tulisan ini belumlah terlalu signifikan terlihat dalam fase ini. Pasalnya, seluruh rangkaian negosiasi dan kesepakatan yang tercapai dalam fase ini masih didominasi oleh satu pokok perhatian yaitu seputar pengaturan stabilitas keamanan perbatasan. Adapun satu-satunya sinyalemen spillover yang terlihat adalah ketika China, 28
Embassy of the People‟s Republic of China, Declaration of Shanghai Cooperation Organisation, 2011, diakses 24 Mei 2013, http://tr.chineseembassy.org/eng/zt/shhzzz/t162011.htm 29 “Shanghai Cooperation Organisation,” Ministry of Foreign Affairs of the People‟s Republic of China, 2004, diakses 24 Mei 2013, http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/sco/t57970.htm.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
19
Rusia, dan anggota Shanghai Five lainnya sepakat mengadopsi mekanisme Shanghai Five yang menyatakan komitmen pembinaan hubungan yang bersahabat, saling percaya, dan kerjasama. Disepakatinya mekanisme ini mencerminkan meluasnya ekspektasi negara-negara ini akan proyeksi hubungan di masa depan yang dapat dicapai. Yang pasti, satu hal yang patut dicatat dari fase ini adalah momentum inisiasi penciptaan hubungan China-Rusia yang terbuka terhadap dialog dan konvergensi kepentingan di masa depan. 2.2.2.2 Fase Regional Security Against theThree Evil Fase berikutnya dalam perjalanan SCO adalah fase dimana para anggota mulai mengembangkan kerjasama ke ranah yang lebih luas. Sebagaimana dijelaskan di bagian terdahulu, pendirian Shanghai Five yang merupakan cikal bakal SCO pada awalnya ditujukan untuk mengakomodasi penyelesaian persoalan stabilitas keamanan territorial perbatasan antar anggota. Namun selagi proses tersebut berjalan, muncul ruang kerjasama baru akibat kebutuhan lain yang tengah dihadapi oleh para anggota SCO, terutama China dan Rusia. Pada pertengahan dekade 1990-an, muncul sebuah gerakan garis keras di Afganistan yang bernama Taliban. Kelompok ini berakar dari mantan pejuang Afganistan yang berperang melawan invasi Uni Soviet ke negara tersebut pada dekade 1980-an. Taliban merupakan kelompok Islam radikal yang berusaha merebut kekuasaan pemerintahan Afganistan. Mereka berhasil melakukan hal tersebut, dan mendapatkan pengakuan diplomatik dari tiga negara, yaitu Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Rejim Taliban di Afganistan bertahan selama lima tahun dari tahun 1996 hingga 2001, sebelum akhirnya Amerika Serikat menginvasi negara tersebut. Geliat rezim Taliban merupakan ancaman nyata bagi China, Rusia, dan juga negara-negara anggota SCO lainnya. Bagi China, hal tersebut dapat memperparah gerakan separatis etnis Muslim Uyghur di provinsi Xinjiang; sebuah etnis minoritas yang mendiami satu dari lima wilayah otonomi khusus di China. Wilayah provinsi Xianjiang yang didiami etnis Uyghur berbatasan langsung dengan delapan negara, yaitu Rusia, Afganistan, Pakistan, Mongolia,
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
20
India, Kazakhstan, Kyrgystan, dan Tajikistan. 30 Etnis Uyghur bukanlah etnis asli China, melainkan etnis keturunan Turki yang juga mendiami beberapa wilayah di negara lain. Dilema identitas dan keagaman ini memicu tuntutan dari etnis Uyghur untuk memperoleh kemerdekaan dari China. Bagi China, geliat etnis Uyghur menimbulkan konflik dengan etnis mayoritas Han serta bertentangan dengan usaha pemerintah dalam menguatkan nasionalisme dari seluruh rakyat China. Adapun bagi Rusia, eksistensi Taliban dapat memperburuk keadaan dalam usaha menumpas geliat pejuang Chechnya yang menuntut kemerdekaan. Chechnya adalah sebuah etnis yang wilayahnya dicaplok kekaisaran Rusia pada tahun 1870.31 Usaha merebut kembali kemerdekaan yang dilakukan pejuang Chechnya kala itu menemui kegagalan. Bahkan pada tahun 1944, etnis Chechnya diusir dari tanahnya sendiri sebagai hukuman atas persekongkolan dengan pasukan Jerman. Barulah pada tahun 1957 etnis Chechnya diizinkan kembali ke kampung halaman. Seiring runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, rakyat Chechnya menyusun kekuatan untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Usaha tersebut dicegah Rusia sebagai penerus Uni Soviet. Pertentangan pun dimulai. Ketika Taliban berhasil menguasai pemerintahan Afganistan pada tahun 1996, Rusia baru saja mengakhiri Perang Chechnya I selama dua tahun melayan gerilyawan Chechnya. Perang tersebut berakhir dengan Persetujuan Khasavyurt (Khasavyurt Accord), dimana Rusia diharuskan menarik pasukan dari wilayah Chechnya, yang karenanya diartikan oleh beberapa kalangan sebagai pengakuan Rusia atas kemerdekaan Chechnya secara de facto.32 Dalam perkembangan berikutnya, meletus Perang Chechnya II pada tahun 1999 hingga 2000. Permasalahan serupa juga dihadapi negara anggota SCO lainnya. Sebagai negara yang baru berdiri pasca runtuhnya Uni Soviet, Asia Tengah merupakan territorial yang diwarnai kemiskinan, kesenjangan sosial, pertentangan kelas, 30
Abanti Battacharya, “Conceptualising Uyghur Separatism in Chinese Nationalism,” Strategic Analysis 27, no. 3 (Juli 2003): 357, http://www.idsa.in/strategicanalysis/ConceptualisingUyghurSeparatisminChineseNationalism_abh attacharya_0703 31 BBC News, “Quick Guide: The Chechen Conflict,” diakses 8 Juni 2013, http://news.bbc.co.uk/nol/shared/spl/hi/pop_ups/quick_guides/04/europe_the_chechen_conflict/ht ml/1.stm. 32 Liz Fuller, “Chechnya: Khasavyurt Accords Failed to Preclude A Second War,” Radio Free Europe Radio Liberty, diakses 28 Mei 2013, http://www.rferl.org/content/article/1070939.html.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
21
pelanggaran HAM, dan berbagai penyakit kemanusiaan lainnya. 33 Keadaan ini merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya instabilitas dan radikalisasi gerakan. Kebangkitan dan radikalisasi Islam menjadi isu bersama yang dihadapi oleh negara Asia Tengah. Geliat kebangkitan gerakan radikal Islam sudah tercium sejak awal tahun 1990, berpusat di Ferghana Valley, suatu area padat penduduk yang membentang dari Uzbekistan, Kyrgystan, hingga Tajikistan. 34 Uzbekistan dan Tajikistan merupakan area konflik paling rawan; Uzbekistan merupakan tempat dimana organisasi-organisasi teroris dilahirkan, sementara Tajikistan mengalami perang sipil selama lima tahun. Beberapa kelompok teroris tersebut diduga berafiliasi dengan Al-Qaeda seperti Islamic Movement of Uzbekistan (IMU), Islamic Jihad Union (IJU), dan Islamic Movement of Turkestan (IMT).35 Isu yang diusung oleh kelompok radikal ini adalah melengserkan pemerintahan sekuler dan mendirikan kekhalifahan. Organisasi lainnya yang juga berpengaruh penting dalam isu ini serta memiliki ribuan pengikut di Asia Tengah adalah Hizbut-Tahrir-Al-Islami (HT). HT, walaupun tidak dikategorikan sebagai organsisi teroris, namun kegiatan organisasi ini dilarang di Uzbekistan dan Kyrgystan. Adapun Tajiskistan merupakan medan perang antara komunis melawan muslimin sejak tahun 1992-1997, dan juga wilayah pengungsian dan saluran operasi bagi IMU dalam menjalankan gerakan di Uzbekistan, Kyrgystan, dan area lainnya. 36 Melihat
latar
belakang dan urgensi permasalahan tersebut, tak
mengherankan bahwa pada akhirnya isu anti-terorisme menjadi pokok perbincangan selanjutnya di forum Shanghai Five. Mulai tahun 1998, Shanghai Five
lebih
berfokus
membahas
tindakan
anti-terorisme
ketimbang
isu
perbatasan.37 “Mutual Declaration of the Almaty Meeting Participants” yang ditandatangani pada tanggal 4 Juli 1998 di Almaty menjadi tanda keseriusan 33
International Media Support (IMS), Report on The Examples of Kazakhstan and Kyrgystan: Political Extrimism, Terrorism, and Media in Central Asia (Copenhagen: IMS, 2008), 12. 34 Sotirios Karampampas, “Central Asia: Islamic Extremism and Terrorist Violence in the 21 st Century,” CERE Institute of International Relations 3, (2012): 4. http://academia.edu/1420072/Central_Asia_Islamic_Extremism_and_Terrorist_Violence_in_the_2 1st_century 35 Ibid. 36 Ibid., 5 37 Huasheng, “Security Building” 284.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
22
Shanghai Five atas agenda “combating separatism, religious extremism, and international terrorism”. Kemudian dalam pertemuan Shanghai Five berikutnya di Bishkek, Kyrgystan pada bulan Agustus 1999, para anggota menandatangani “Join Declaration on Struggle Againts National Separatism, Religious Extremism, and Trans Border Criminality”.38 Deklarasi ini dihasilkan setelah masing-masing negara memaparkan visi terkait situasi keamanan regional dan potensi kerjasama yang dapat dilakukan dalam mengatasi segala permasalahan yang muncul. Dalam konferensi kelima Shanghai Five pada tahun 2000 di Dushanbe, untuk pertama kalinya Uzbekistan bergabung di Shanghai Five dengan status observer. Ketika itu Uzbekistan digadang sebagai kandidat kuat calon anggota Shanghai Five berikutnya. Hal ini tak lepas dari strategisnya posisi dan peran yang dimainkan Uzbekistan dalam isu pemberantasan terorisme dan separatisme. Mengingat Uzbekistan adalah sarang bagi kelompok-kelompok militant yang beroperasi lintas batas, maka keikutsertaan Uzbekistan dalam kerangka pemberantasan bersama adalah sangat penting. Akan tetapi, dalam kenyataannya keikutsertaan Uzbekistan dalam Shanghai Five menuai kontroversi akibat ketidaksepakatan para anggota. Anggota Shanghai Five memiliki pandangan tersendiri terkait keanggotaan Uzbekistan, tentunya berdasarkan kepentingan masing-masing. China sedari awal adalah negara yang sepenuhnya mengusulkan keanggotaan Uzbekistan. Rusia pada awalnya menolak namun akhirnya menyetujui atas berbagai macam pertimbangan geopolitik. Sementara sisanya, cenderung menolak. Konferensi berikutnya di Shanghai pada tanggal 15 Juni 2001 menjadi saksi atas dua momentum penting dalam perjalanan SCO, yaitu diterimanya status keanggotaan
Uzbekistan,
serta
penandatanganan
“the
Declaration
on
Establishment of thte Shanghai Cooperation Organisation”.39 Deklarasi ini menandai kenaikan level kerjasama China, Rusia, dan negara Asia Tengah lainnya, dari forum Shanghai Five ke bentuk organisasi internasional formal yang
38
Marat Nurgaliyev, Development of The Shanghai Cooperation Organisation and Diplomacy of Japan Towards the Central Asia (Tokyo: The Japan Institute of International Affairs, 2008), 4. 39 Noor Ul Haq, “Shanghai Cooperation Organisation (2001-2006),” Islamabad Policy Research Institute (IPRI) Factfile 1 (2007): 3. http://ipripak.org/factfiles/ff85.pdf
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
23
bernama Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Pada konferensi itu juga, para anggota menandatangani “Shanghai Convention on Combating Terrorism, Separatism, and Extremism”.40 Three Evil adalah julukan yang dialamatkan pada tiga ancaman utama yang ingin diberantas SCO, yaitu terorisme, separatisme, dan ekstrimisme. Pada tanggal 10 hingga 11 Oktober 2001, SCO mengadakan rapat luar biasa di Bishek yang membahas situasi terkini di Afganistan serta dampak dan pengaruhnya ke Asia Tengah. Di akhir pertemuan, para anggota mempublikasikan pernyataan bersama yang berisikan penguatan usaha dalam memerangi three evil.41 Dalam perkembangannya, SCO melahirkan komite khusus yang fokus menangani permasalahan ini. Badan tersebut adalah Regional Anti-Terrorism Structure (RATS), berdiri pada tanggal 7 Juni 2002 dan berbasis di Tashkent, Uzbekistan. 42 RATS
adalah
organ
permanen
dari
SCO
yang
bertugas
khusus
mengkoordinasikan negara anggota SCO dalam usaha pemberantasan three evil secara kolektif. 43 Komite eksekutif RATS berfungsi secara formal pada tanggal 1 Januari 2004, dimana Kasimov Temirovivh ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif pertama. Struktur kepengurusan RATS terdiri dari Dewan (Council) dan Komite Eksekutif. Dewan adalah lembaga pengambil keputusan yang terdiri dari utusan negara anggota, sementara Komite Eksekutif merupakan pelaksana tugas harian yang ditunjuk oleh Dewan.44 Demikianlah dinamika SCO dalam fase Regional Security Againts the Three Evil. Fase ini menggambarkan fokus baru yang menjadi lahan kerjasama angota SCO, terutama China-Rusia. Isu pemberantasan kelompok radikal yang berpotensi menimbulkan terrorisme dan separatisme menjadi pokok pembicaraan dalam fase ini. Berangkat dari kebutuhan akan rasa aman dari ancaman yang sama, China, Rusia, dan anggota SCO lainnya sepakat menaikkan level kerjasama 40
“Shanghai Convention on Terrorism, Separatism, and Extremism,” Asia-Miscellaneous, diakses 29 Mei 2013, http://www.refworld.org/cgibin/texis/vtx/rwmain?page=publisher&publisher=ASIA&type=&coi=&docid=49f5d9f92&skip=0. 41 Haq, “Shanghai Cooperation,” 6. 42 “RATS History,” The Regional Anti-Terrorist Structure of Shanghai Cooperation Organisation, diakses 29 Mei 2013, http://www.ecrats.com/en/rats_history/2010. 43 Ibid. 44 “Shanghai Cooperation Organisation,” Ministry of Foreign Affairs of the People‟s Republic of China, diakses 29 Mei 2013, http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/sco/t57970.htm.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
24
ke dalam bentuk yang lebih formal dan konkrit. Perkembangan yang terjadi menunjukkan evolusi kesepakatan normatif antara anggota yang kemudian berubah menjadi kerjasama formal rigid yang diwujudkan dalam pembentukan sebuah organ permanen. Pola kerjasama yang terjadi dalam fase ini cenderung masih dalam satu ranah, artinya perluasan kerjasama seperti yang dipaparkan teori spillover effect belum terjadi. Hal ini diakibatkan fokus para anggota SCO, terutama dua pemain utama China dan Rusia, benar-benar tertuang pada isu pemberantasan three evil, mengingat konstalasi regional kala itu. Berkuasanya Taliban di Afganistan, bergejolaknya Muslim Uyghur di Xianjiang, belum selesainya pembahasan Chechnya, geliat kelompok radikan Muslim di Asia Tengah, serta pecahnya tragedi 11 September di AS, semakin menguatkan eksistensi ancaman bersama yang harus segera ditindak oleh anggota SCO. Akan tetapi, jika menggabungkan kronologis dengan fase sebelumnya, maka spillover effect telah terjadi dalam hal bertambahnya ranah kerjasama. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, pada fase pertama China, Rusia, dan Shanghai Five hanya membahas soal keamanan perbatasan dan penarikan pasukan militer masing-masing. Seiring perkembangan dan pengaruh situasi regional, kerjasama tersebut akhirnya meluas pada fase kedua dengan berganti fokus pada pemberantasan gerakan terorisme, separatisme, dan ekstremisme. Dengan demikian, hingga titik ini SCO, terutama China dan Rusia, telah memiliki kerjasama di dua bidang, yaitu keamanan perbatasan dan pemberantasan three evil. 2.2.2.3 Fase Comprehensive International Organisation Fase berikut ini menyajikan peristiwa spillover yang signifikan dalam hubungan kerjasama China-Rusia di SCO. Jika dalam dua fase sebelumnya Shanghai Five dan SCO hanya fokus pada satu ranah kerjasama, maka pada fase terakhir ini terjadi penambahan beberapa sektor kerjasama yang cukup krusial. Fase Comprehensive International Organisation dimulai pada tahun 2004. Jika dirunut dari proses-proses sebelumnya, tahun 2004 merupakan tahapan ketiga
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
25
dalam peningkatan intensitas kerjasama SCO, dimulai dari pembentukan Shanghai Five pada tahun 1996, Evolusi SCO pada tahun 2001, dan akhirnya pelaksanaan kerjasama yang komprehensif mulai tahun 2004. Dalam fase ini SCO mulai tampil dalam forum-forum internasional dan menunjukkan eksistensi di panggung dunia. Spillover effect yang terjadi mulai merambah aspek yang lebih fungsional dan non-kontroversial. Ranah isu yang dibahas meluas, tidak hanya isu-isu keamanan dan politis, namun juga isu ekonomi dan sosial. Acuan awal kesepakatan peningkatan hubungan ekonomi dimulai pada tahun 2003 ketika PM China Wen Jiabao mengusulkan pelaksanaan area perdagangan bebas (free trade area) di SCO. Pada kesempatan yang sama, anggota SCO juga menandatangani kerangka kesepakatan “Programme of Multilateral Trade and Economic Cooperation of SCO Member States” yang berisi rencana kerjasama ekonomi jangka panjang, menengah, dan jangka pendek45. Dalam konferensi tingkat tinggi di Tashkent pada tahun 2004, penguatan hubungan ekonomi menjadi agenda utama yang dibicarakan. SCO menyepakati pembentukan lima kelompok kerja yang masing-masing membahas sektor terkait yaitu e-commerce, custom, kontrol kualitas, promosi investasi, dan fasilitas transportasi terkait kerjasama ekonomi yang ingin digalakkan. 46 Konferensi tersebut juga menghasilkan pembentukan SCO Development Fund dan SCO Business Council.47 Lebih lanjut, pada konferensi tingkat tinggi di Bishkek tahun 2004, para petinggi SCO sepakat menandatangani “the Action Plan on Implementation of the Programme of Multilateral Trade and Economic Cooperation”. Kerjasama pun meluas hingga mencakupi kerjasama di bidang energi dan sumber daya alam, seperti eksplorasi minyak dan gas bumi, konstruksi jalur pipa minyak, dan pertambangan lainnya. Pada konferensi tersebut, total terdapat 127 proyek ekonomi di 11 area berbeda yang disetujui. 48 Hingga titik ini, China merupakan negara yang paling dominan dalam proses spillover dengan meluncurkan berbagai 45
Guoguang Wu dan Helen Lansdowne, China Turns To Multilateralism: Foreign Policy and Regional Securit, (New York: Routledge, 2008), 114. 46 Ibid. 47 Ibid. 48 Ibid.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
26
macam inisiatif terkait penguatan kerjasama ekonomi dan energi. Rusia baru menunjukkan geliatnya pada tahun 2006, ketika Vladimir Putin mengusulkan dibentuknya SCO Energy Club dalam rangka menciptakan Join SCO Energy Policy.49 Usulan tersebut baru diimplementasikan dengan diresmikannya SCO Energy Club pada tanggal 3 Juli 2007 di Moskow. Spillover effect juga merambah isu sosial dan budaya. Pada tahun 2006, para pemimpin badan kemanusiaan dan penanganan bencana dari masing-masing negara anggota sepakat mengadopsi “the 2007-2008 Action Plan For Mutual Aid Agreement Among SCO Member States”. 50 Kesepakatan ini berisi poin kerjasama di bidang pertukaran informasi dan komunikasi seputar penanggulangan bencana alam, penanganan bencana di daerah perbatasan, pelatihan relawan, dan pertukaran teknologi. 51 Tercapainya konvergensi ini merupakan buah pertemuan para teknokrat yang telah dilakukan beberapa kali sejak tahun 2003. Adapun di bidang budaya, walaupun belum terlalu intens, kerjasama dilakukan dalam bentuk gelaran festival budaya masing-masing negara. Festival tersebut pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 bertepatan dengan konferensi tingkat tinggi di Astana. Berikut gambaran singkat beberapa wujud kerjasama baru yang tercapai antara China-Rusia, dan anggota SCO lainnya dalam fase comprehensive international organisation. SCO Business Council SCO Business Council (SCO BC) berdiri pada tanggal 14 Juni 2006 di Shanghai dan berpusat di Moskow, Rusia. SCO BC merupakan badan nonpemerintah yang menyatukan komunitas-komunitas bisnis dari seluruh negara anggota yang bertujuan menjalin kerjasama ekonomi, membuka jalur dialog langsung antara pelaku bisnis dan finansial dari negara anggota, dan memfasilitasi
49
De Haas, Shanghai Cooperation Organisation, 26 China.org.cn, “International Cooperation in Disaster Prevention and Reduction,” diakses 24 Mei 2013, http://www.china.org.cn/government/whitepaper/2009-05/11/content_17754964.htm. 51 Ibid. 50
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
27
implementasi proyek multilateral berdasarkan “The Program of Trade and Economic Cooperation” yang ditandatangani pemimpin SCO pada tahun 2003. 52 Sejarah pendirian SCO BC merujuk pada pertemuan antarmenteri ekonomi dan perdagangan dari seluruh anggota SCO pada tanggal 19 Februari 2005 di Bishkek, Kyrgystan.53 Pertemuan tersebut membahas kebutuhan ekonomi regional serta proposal proyek-proyek besar di Asia Tengah. Pada pertemuan tersebut juga dibahas pembentukan badan khusus berupa Business Council. Berikutnya pada tanggal 25 Oktober 2005, pengurus SCO BC yang sudah ditunjuk mengadakan pertemuan di Moskow. Pertemuan tersebut membahas persiapan dokumen legalitas pembentukan SCO BC yang akan diajukan dalam rapat tahunan pertama SCO BC pada bulan Juni tahun 2006. Pada tanggal 14 hingga 16 Juni 2006, diadakanlah pertemuan SCO Business Council and Forum of Industrialists and Entreprenuers di Shanghai, bertepatan dengan konferensi tingkat tinggi SCO. Pertemuan ini kemudian menjadi titik awal disahkannya pendirian SCO Business Council. SCO BC merupakan badan independen yang diberi wewenang dalam membuat saran kebijakan dan menyediakan pertimbangan teknis terkait aktivitasaktivitas yang dapat merujuk pada kerjasama antaranggota SCO dalam perdagangan, ekonomi, dan investasi. 54 Selain menggalakkan kerjasama dalam sektor industri seperti energi, transportasi, telekomunikasi, dan perbankan, SCO BC juga memprioritaskan pembentukan kerjasama dalam bidang pendidikan, riset teknologi, kesehatan, dan pertanian. Artinya selain bertanggung jawab dalam sektor industri, SCO BC juga mengembankan tanggung jawab dalam komponenkomponen sosial yang menjadi bagian dari sektor industri tersebut dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi secara general. Mengacu pada website resmi SCO Business Council, berikut adalah rincian tugas dan aktivitas yang dijalan SCO BC :55
52
“SCO Business Council,” Secretariat of Business Council of Shanghai Cooperation Organisation, diakses 30 Mei 2013, http://bc-sco.org/?level=9&lng=en. 53 Ibid. 54 Ibid. 55 Ibid.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
28
Memfasilitasi kerjasama regional dalam ekonomi-perdagangan, kredit finansial, penelitian teknologi, sumber daya, transportasi, telekomunikasi, pertanian, dan sector lainnya,
Mengimplementasikan program-program ekonomi berbeda dalam wilayah negara anggota SCO,
Memfasilitasi pencarian sumber pendanaan dan bentuk partisipasi lainnya,
Memberikan rekomendasi dan proposal terkait peningkatan kerjasama ekonomi SCO,
Menyediakan jalur pertukaran informasi kepada komunitasi bisnis dan finansial dari masing-masing negara dalam rangka membangun kerjasama,
Menyiapkan rencana dan proposal kerjasama antara komunitas bisnis dan finansial. The Interbank Consortium of SCO Berikutnya adalah konsorsium Bank SCO atau The Interbank Consortium
of SCO (IBC SCO). Badan ini berdiri pada tanggal 26 Oktober 2005 dan langsung dideklarasikan oleh para kepala negara SCO. IBC SCO terdiri dari bank-bank milik pemerintah diantaranya the Development Bank of Kazakhstan, the State Development Bank of China, the Bank for Development and Foreign Economic Affairs of Russia, the National Bank of Tajikistan, the Settlement and Savings Company of Kyrgystan, dan the National Bank for Foreign Economic Acitivity of Uzbekistan.56 Tujuan utama dari konsorsium ini adalah menghimpun pendanaan terkait implentasi program-program kerjasama ekonomi di masa depan. Pada tanggal 15 Juni 2006, para gubernur Bank peserta konsorsium menandatangani the Action Plan in Support of Economic Cooperation yang menandai arah aktivitas IBC SCO dalam waktu dekat. Sebagai implementasi awal
56
“The Interbank Consortium of the Shanghai Cooperation Organisation,” Secretariat of Shanghai Cooperation Organisation, diakses 30 Mei 2013, http://www.sectsco.org/EN123/show.asp?id=51.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
29
atas rencana kerja tersebut, maka disepakati pula pemberian kredit dan pendanaan atas program investasi bersama dalam jumlah mencapai 742 juta dollar. 57 SCO Energy Club Konferensi tingkat tinggi di Shanghai pada tanggal 15 Juni 2006 merupakan momen perdana agenda energi masuk menjadi agenda utama dalam pembahasan kepala negara SCO. Ketika itu Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengusulkan pembentukan badan konvergensi SCO terkait kebijakan energi. Selanjutnya pada tanggal 15 September 2006 dalam pertemuan Heads of Government Council di Dushanbe, Tajikistan, persoalan kebijakan bersama ini dibahas lebih lanjut. Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk menerima usulan Putin terkait pembentukan SCO Energy Club. Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 2007, SCO Energy Club resmi berdiri dengan pusat kegiatan di Moskow. Aktivitas yang diemban SCO Energy Club adalah menyatukan produsen, konsumen, dan distributor energi di Asia Tengah dalam sebuah koordinasi strategi energi yang bertujuan menciptakan keamanan energy. 58 Dalam perkembangannya, SCO Energy Club juga mengizinkan perusahaan energi dari negara observer untuk ikut berpartisipasi. 2.3 SCO dan Spillover Terbalik Dalam pandangan fungsionalisme, kerjasama China-Rusia di SCO berawal dari
proses
ketidaksengajaan.
Berawal
dari
hubungan
bilateral
dalam
menyelesaikan sengketa perbatasan, akhirnya meluas menjadi kerjasama yang multilateral dalam menaungi berbagai macam sektor. Dua perundingan pertama di Shanghai Five terjadi antara China di satu pihak dengan Rusia dan tiga negara Asia Tengah di pihak lain. Artinya perundingan tersebut sebenarnya merupakan perundingan bilateral antara lima negara.59 Akan tetapi dalam prosesnya, skema bilateral berubah menjadi multilateral seiring pergeseran topik bahasan dari keamanan perbatasan ke topik yang lebih luas. Perubahan multilateral ini 57
Ibid. De Haas, Shanghai Cooperation Organisation, 27. 59 Jianwei Wang, “China and SCO: Towards A New Type of Interstate Relations,” dalam China Turns To Multilateralism: Foreign Policy and Regional Security, ed. Guoguang Wu dan Helen Landsowne (Oxon: Routledge, 2008), 105. 58
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
30
kemudian diformalkan melalui konferensi pada tahun 1998. Dengan kata lain, fungsionalisme memandang bahwa China, Rusia dan anggota SCO lainnya hanyut dalam sebuah arus spillover sehingga secara kolektif merasakan kebutuhan untuk menginstitusionalisasikan kerjasama mereka hingga terbentuklah SCO. Setelah terbentuk SCO, spillover tersebut masih terus berlangsung dengan meluasnya sektor kerjasama dari waktu ke waktu. Selain itu, dalam pandangan Fungsionalis teknokrat memiliki andil dalam memunculkan desakan konvergensi antara anggota SCO, dan, secara tidak langsung antara China dan Rusia. Dalam aspek ekonomi, teknokrat yang diwakili petinggi-petinggi perusahaan (utamanya perusahaan energi) telah menjalin komunikasi dan membuka kemungkinan kerjasama dalam bidang tersebut. Selain itu terdapat juga teknokrat-teknokrat dalam bidang tertentu yang mengadakan pertemuan demi mencapai konvergensi kebijakan yang dapat diaplikasikan secara regional melalui kerangka SCO. Namun demikian, penulis melihat ada beberapa poin yang masih kabur dalam kacamata fungsionalis atas kasus ini. Poin pertama adalah apakah SCO harus diasumsikan sebagai bentuk konvergensi teknokrat atau bentuk integrasi politik? Jika SCO diasumsikan sebagai wujud konvergensi yang nantinya akan meluas dan menciptakan integrasi, seharusnya SCO terdiri satu jenis teknokrat, sama seperti yang terjadi pada kasus ILO atau ECSC yang dikemukakan Haas. Namun kenyataannya SCO menaungi teknokrat-teknokrat berbeda dari berbagai lini seperti ekonomi, energi, sosial dan budaya. Artinya, posisi SCO dalam titik konvergensi tidak jelas. Sebaliknya, jika SCO diasumsikan sebagai bentuk integrasi, penulis tidak melihat adanya transfer loyalitas yang terjadi dari para anggota SCO. Setidaknya hingga saat ini, SCO masih belum bisa disamakan dengan Uni Eropa. Identitas bersama layaknya identitas kolektif pada negara Uni Eropa juga belum terlihat dari negara-negara anggota SCO. Dalam website resmi SCO, tertera bahwa tujuan utama SCO adalah:
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
31
“Strengthening mutual confidence and good neighborly relations among the member countries; promoting effective cooperation in politics, trade and economy, science and technology, culture as well as education, energy, transportation, tourism, environtmental protection and other fields: making joint effort to maintain and ensure peace, security and stability in the region, moving toward the establishment of a new democratic, just, and rational political and economic international order.”60 Dari uraian di atas, tak ada kata yang berujung pada integrasi atau pun union seperti yang dapat ditemukan di Uni Eropa. Konteksnya jelas berbeda. Walaupun SCO menjalin kerjasama di berbagai bidang mulai dari isu fungsional hingga tataran politis, namun tidak ada transfer loyalitas yang terjadi dalam tubuh SCO. Bagian inilah yang hilang, dan secara tidak langsung sebenarnya menjadi pertanyaan bagi teori kaum fungsionalisme. Poin berikutnya adalah terkait pola spillover effect yang terjadi. Dalam kasus yang dikemukakan Haas, spillover effect terjadi dari isu-isu sosio-ekonomis yang dimotori teknokrat hingga akhirnya merambah isu politis (beserta aktornya) dan berujung pada kemungkinan terbentuknya komunitas politik. Namun dalam kasus SCO, yang terjadi justru sebaliknya. Kerjasama diawali dari isu keamanan dan perbatasan yang cenderung politis lalu kemudian merambah kerjasama di bidang sosio-ekonomi. Dengan kata lain, kasus SCO memperlihatkan fenomena spillover terbalik. Berikut kronologis kerjasama yang terjalin di SCO: Tabel 2.2. Kronologi Kerjasama SCO 61 Bentuk Kerjasama
Tahun
Agreement on the Guidelines of Mutual Reduction of Forces and
1990
Confidence Building in Military Field in the Area of the Soviet-Chinese
60
“SCO Brief,” Secretariat of Shanghai Cooperation Organisation, diakses 17 Mei 2013, http://www.sectsco.org/EN123/brief.asp. 61 Hasil elaborasi penulis
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
32
Border Agreement on the Eastern Section of the Boundary Between the
1991
People’s Republic of China and the USSR, Memorandum of Understanding on the Guiding Principles for the
1992
Mutual Reduction of Armed Forces and the Strengthening of Trust in the Border Region Join Statement Pertaining to the Non-Targeting of the Strategic
1994
Nuclear Weapons at and Non-First Use of Nuclear Weapons Againts Each Other Shanghai Five
1996
Agreement on reduction of military forces in border regions
1997
Join Declaration on Struggle Againts National Separatism, Religious
1999
Extremism, and Trans Border Criminality the Declaration on Establishment of the Shanghai Cooperation
2001
Organisation & Shanghai Convention on Combating Terrorism, Separatism, and Extremism Regional Anti-Terrorism Structure (RATS)
2002
Programme of Multilateral Trade and Economic Cooperation of SCO
2003
Member States SCO Development Fund & SCO Business Council
2004
e Action Plan on Implementation of the Programme of Multilateral
2004
Trade and Economic Cooperation the 2007-2008 Action Plan For Mutual Aid Agreement Among SCO
2006
Member States SCO Energy Club
2007
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
33
Selain itu, pola spillover pun terjadi dalam alur top-down ketimbang bottom-up. Hal ini terlihat dari fakta bahwa kebanyakan kerjasama SCO diinisiasi melalui konferensi tingkat tinggi yang dihadiri kepala negara, setelah itu baru diikuti pertemuan lanjutan tingkat kementerian dan seterusnya mengikuti alur ke bawah. 62 Hal ini secara tidak langsung menyangsikan predikat kaum teknokrat sebagai pendorong integrasi seperti yang diutarakan Haas, karena dalam kasus SCO, kerjasama justru dimulai ditingkat pemerintah. Dan lagi, satu hal yang menarik dari kasus SCO adalah spillover effect yang terjadi dalam organisasi ini tidak serta merta melahirkan institusi baru. Jika menilik pada contoh kasus yang dikemukakan Haas, spillover effect terjadi dari ECSC hingga terbentuknya European Common Market. Dalam kasus SCO, spillover effect menciptakan kerjasama di berbagai sektor baru tanpa melahirkan institusi khusus, hanya berupa organ khusus yang masih di bawah koordinasi SCO atau dalam bentuk kesepakatan dan regulasi tembahan. 2.4 Menakar China-Rusia di Balik SCO: Rising China & Falling Russia Setelah mengikuti paparan fungsionalis dan mengetahui keterbatasan paradigma tersebut dalam menjelaskan kerjasama China-Rusia di SCO, berikutnya penulis mencoba mengkaji dari kacamata berbeda tentang apa yang sebenarnya tengah berlangsung antara China dan Rusia di balik tembok SCO. Kajian ini diharapkan dapat memberi penjelasan atas apa yang dipertontonkan dua negara ini di pekarangan SCO. 2.4.1 China: Multilateralisme Selektif Mengkaji kebijakan China di SCO dalam hubungannya dengan Rusia, tidak bisa dipisahkan dari kebijakan internasional China secara global. Penarikan benang merah atas kasus ini harus mengikutsertakan analisis dalam perspektif yang lebih besar, agar dihasilkan penjelasan yang komprehensif dan tidak parsial. Oleh karena itu, aspek global harus menjadi bahan pertimbangan selain juga tentunya aspek regional itu sendiri.
62
Wang, “China and SCO,” 106.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
34
Dalam tataran global, kebijakan multilateralisme merupakan warna baru dalam kebijakan luar negeri China. Dewasa ini keterlibatan China dalam organisasi global maupun regional semakin terlihat, seperti pada ASEAN dan SCO. Padahal sebelumnya, China lebih terkenal menyukai mekanisme bilateral atau unilateral dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya. 63 Namun yang patut dipertanyakan adalah benarkah China memahami multilateralisme sama seperti yang dipahami kaum barat? Atau mungkinkah China memahami kebijakan multilateralisme dalam versinya sendiri? Penulis melihat ada karakteristik khusus yang dimainkan China dalam menjalankan multilateraslime. Tendensi multilateralisme China berawal pada dekade 1980-an ketika Deng Xiaoping mereformasi perekonomian China ke arah liberal. Bukan berarti China berubah menjadi negara kapitalis dan meninggalkan identitas komunisnya, melainkan China merupakan keduanya.64 Seperti tercermin dalam kalimat legendaris Deng: “Tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting dia dapat menangkap tikus.”65 Sejak saat itu, China menikmati arus transfer teknologi, informasi, perdagangan, dan investasi yang besar dari luar negeri. Dengan kemunculan China sebagai raksasa ekonomi dan militer yang akhirnya menguatkan posisi diplomatiknya terutama di Asia Timur, Asia Tengah, dan Asia Tenggara, setiap perubahan kebijakan yang dilakukan China dapat mempengaruhi kestabilan kawasan. Hal ini dipahami betul oleh China. Karena itu, China sangat selektif dalam memutuskan keterlibatannya. Inilah karakteristik pertama yang dimainkan China, yaitu hanya jika memiliki posisi tawar yang kuat. Sebelum mengikatkan diri pada mekanisme multilateral, China akan menguatkan terlebih dahulu posisinya di kawasan tersebut agar tidak dapat diikat secara ketat dalam koordinasi di kemudian hari. Memang terdengar kontradiktif jika keterlibatan multilateral tersebut justru ditujukan untuk bebas dari ikatan
63
Wu dan Landsowne, China Turns, 3. John Naisbitt dan Doris Naisbitt, China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China, terj. Hendro Prasetyo (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), xviii. 65 Ibid. 64
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
35
koordinasi yang lebih besar, namun hal tersebut memang terjadi dalam kebijakan China. Karakteristik ini dapat dilihat dari pilihan partisipasi yang diambil China misalnya PBB dan G-8. Di PBB, China menikmati posisi istimewa dengan kepemilikan hak veto melalui keanggotaan permanen di Dewan Keamanan. Posisi ini menempatkannya sejajar dengan empat negara pemilik hak veto lain yaitu Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan Inggris. Di waktu yang sama, di antara para pemilik hak veto, hanya China yang menyandang status sebagai negara berkembang, status politik sebagai non-demokratis, dan status budaya yang nonEropa.66 Keadaan ini secara tidak langsung menguatkan posisi China dalam kursi Dewan Keamanan dan PBB. Sementara itu, PBB didominasi oleh negara berkembang dan non-Eropa, yang artinya, memiliki latar belakang yang sama dengan China. Keadaan ini jelas menguntungkan China karena memudahkan China menggalang dukungan dari negara lain akibat kesamaan latar belakang tersebut. Jika dicermati, aspek minoritas yang dialami China di Dewan Keamanan justru lebih menonjolkan pentingnya kehadiran China di dewan tersebut ketimbang kelemahannya. Dan posisi ini, pada akhirnya menjelma menjadi nilai ekstra yang menguatkan daya tawar China. China bisa mem-veto keputusan yang tidak disukainya, dan karenanya menjadi pemain penting di PBB. Dilihat dari lingkaran yang lebih besar, partisipasi China di PBB bukanlah untuk memperbanyak kompromi, melainkan untuk mengamankan posisi strategis dan menguatkan daya tawar. Sikap berbeda ditunjukkan China terkait G-8. Dengan kapasitas ekonomi yang dimilikinya saat ini, China harusnya bergabung dengan G-8 sebagai kelompok negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun jika China bergabung, maka segala keminoritasan yang dialami di Dewan Keamanan akan terulang tanpa adanya kekuatan lebih yang dapat diperoleh China. G-8 tidak memberlakukan hak veto karena segala keputusan diproses secara konsensus. Keadaan ini tidak menjanjikan posisi yang istimewa bagi China di antara negara66
Ibid.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
36
negara barat, industrialis, dan demokratis di G8. Dengan kata lain, bagi China, yang lebih penting adalah dimensi koordinasi kebijakan dan pengambilan keputusan dalam sebuah institusi ketimbang keterlibatan di institusi tersebut. 67 Adapun karakteristik berikutnya yang ditunjukkan China dalam kebijakan multilateralisme adalah kecenderungan memosisikan diri sebagai kutub power dan persepsinya atas power lain. 68 China lebih ramah terhadap tatanan dunia yang multipolar, dimana terdapat pembagian dalam struktur kekuasaan. Para ahli percaya bahwa tatanan multipolar dapat menyuguhkan daya ungkit dan pengaruh yang lebih besar terhadap China. 69 Namun akibat Perang Dingin yang meninggalkan tatanan dunia yang unipolar, China berkepentingan untuk menggeser tatanan tersebut ke arah multipolar dengan cara membentuk multilateralisme regional. China aktif menginisiasi pembentukan kerangka multilateral regional seperti SCO, ASEAN+1, dan East Asian Summit. Secara logika, kerangka regional merupakan kendaraan yang efektif bagi China dalam membangun posisinya sebagai kutub baru karena menyediakan sphere of influence yang luas dan bargaining position yang tinggi di kawasan tersebut. Hal ini juga menjawab pertanyaan mengapa China lebih aktif di pentas regional daripada pentas global. Terkait hubungannya dengan Rusia, China dan Rusia sama-sama berkepentingan menjaga Asia Tengah dari monopoli pengaruh AS yang
merupakan
pemenang
Perang
Dingin.
Hal
ini
terbukti
dengan
dikeluarkannya pernyataan bersama antar dua negara ini pada tahun 1997 tentang “world order” yang menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk usaha pihak tertentu dalam memonopoli dunia, mengelompokkan dunia ke dalam leader and followers, dan melestarikan sistem dunia unipolar. 70 China tidak menyukai berada dalam kerjasama multilateral dimana pengaruh yang dimilikinya kecil. Oleh karena itu, keterlibatan China di SCO 67
Wu dan Landsowne, China Turns, 7. Ibid. 69 Micheal D Swaine, “China: Exploiting a Strategic Opening,” dalam Strategic Asia 2004-05: Confronting Terrorism in the Pursuit of Power, ed. Ashley J Tellis dan Michael Wills (Seatle: The National Bureau of Asian Research, 2004), 69. 70 William E Carroll, “China in the Shanghai Cooperation Organisation: Hegemony, Multi-polar Balance, or Cooperation in Central Asia,” International Journal of Humanities and Social Science 1, no. 19 (2011): 2. 68
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
37
lebih pas dilihat sebagai alat untuk memaksimalkan pengaruh dari pada dilihat sebagai pertanda kesediaan China dalam mengikatkan diri pada komunitas internasional. Tujuan yang ingin dicapai China dalam menjalankan kebijakan ini adalah agar memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan dinamika kawasan. 71 Selain itu, keterlibatan dalam kerangka multilateral regional juga dibutuhkan China untuk meyakinkan para tetangganya akan peaceful rise of China. “Berdamai”nya China dengan Rusia di SCO dilatari oleh alasan pragmatis. SCO menawarkan daya tawar yang tinggi bagi China serta berkorelasi dengan upaya China dalam menciptakan tatanan multipolar di kawasan. Selain itu, SCO merupakan instrumen yang tepat bagi ambisi ekonomi, energi, dan geopolitik China. Kehadiran Rusia di SCO juga secara tidak langsung memberi manfaat bagi China dalam hal membuka jalur negosiasi dengan negara Asia Tengah 72 serta meredam kecemasan anggota terhadap tekanan dari China. 73
Gambar 7.2. SCO dan Kepentingan China 74 2.4.2 Rusia: Liberal Empire Concept Berikutnya penulis mencoba memahami apa yang melatarbelakangi kebijakan Rusia di SCO. Manuver Rusia di kawasan Asia Tengah dipengaruhi 71
Wu dan Landsowne, China Turns, 12. Mikhail Troitskiy, “A Russian Perspective on the Shanghai Cooperation Organisation,” SIPRI Policy Paper 17 (Sweden: CM Gruppen, 2007): 31. 73 Ibid. 74 Hasil elaborasi penulis 72
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
38
oleh dua doktrin politik luar negeri yang saling berebut pengaruh. 75 Doktrin pertama adalah doktrin Primakov. Primakov adalah Menteri Luar Negeri yang kemudian menjadi Perdana Menteri Rusia pada dekade 1990-an. Doktrin ini berakar dari asumsi yang menyatakan bahwa Uni Soviet dulu memainkan peranan aktif dalam menentukan hukum internasional dan karena itu merupakan ahli waris atas hukum tersebut. Rusia, sebagai pewaris Soviet dalam segala hal, harus melestarikan tatanan tersebut dan menikmati keuntungan yang ditawarkan. Doktrin ini berimplikasi pada pasifnya peranan Rusia secara internasional. Doktrin kedua adalah doktrin “liberal empire concept”. Doktrin ini diperkenalkan pada tahun 2003 oleh Anatoly Cubais, CEO Unified Energy Systems. Doktrin ini menyuarakan bahwa Rusia tidak memiliki pilihan lain selain memaksimalkan pengaruhnya di bidang ekonomi dan politik di wilayah yang menjadi bekas Uni Soviet. Namun dalam hal ini Rusia tidak harus bertindak sebagai Hegemon, namun lebih kepada fasilitator dan sumber dari kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Doktrin tersebut memang terdengar sangat liberal dan memunculkan dugaan bahwa Rusia telah beralih menjadi negara liberal, namun dalam realita lapangan harus dicermati lebih teliti. Konsep liberal empire merupakan alat ideologis paling tepat bagi Moskow untuk menggalang power di wilayah tetangga dekatnya tanpa menimbulkan kegaduhan. Dalam tataran praktik, doktrin ini mengarahkan kebijakan luar negeri Rusia yang dikemudikan oleh ekonomi pasar dan penetrasi militer. 76 Model liberal empire yang kemukakan Cubais tidak sama dengan model liberalnya Amerika Serikat.77 Cubais bermaksud menciptakan model liberal empire sendiri. Contoh praktikal doktrin ini dapat dilihat dari kebijakan Rusia di Kyrgystan, dimana Rusia mengkombinasikan pembukaan pangkalan militer baru di Kant dengan investasi yang gencar dari perusahaan-perusahaan Rusia.78 Dibanding
75
Ivan Safranchuk, “The Competition for Security Roles in Central Asia,” Russia in Global Affairs 6, no. 1 (2008): 159. 76 Asia Times, “Central Asia Part 11: Russia „Liberal Empire‟,” terakhir dimodifikasi 18 Desember 2003, diakses 8 Juni 2013, http://www.atimes.com/atimes/Central_Asia/EL18Ag01.html. 77 Ibid. 78 Ibid.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
39
doktrin Primakov, liberal empiric concept lebih mendapat tempat dalam acuan politik kawasan Rusia. Aplikasi lebih lanjut terhadap doktrin liberal empire dimulai dari membentuk organisasi-organisasi regional yang dapat menjadi perpanjangan tangan Rusia di kawasan. Sejauh ini Rusia telah menginisiasi pembentukan empat organisasi regional yaitu, Commonwealth of Independent States (CIS), the Collective Security Treaty Organization (CSTO), the Eurasian Economic Community (EurAsEc), dan the Shanghai Cooperation Organization (SCO). Tiga dari empat organisasi tersebut berkaitan erat dengan militer dan isu keamanan regional. Melalui kombinasi organisasi-organisasi tersebut, Rusia berharap dapat menciptakan mekanisme ampuh dalam mengkoordinasikan keputusan secara kolektif. 79 Rusia membutuhkan instrument untuk mengimplementasikan kebijakan regionalnya, dan deretan organisasi tersebut diharapkan dapat menjadi kendaraan yang pas. Akan tetapi, kenyataan di lapangan tidak seperti yang diharapkan Rusia. CIS gagal ditransferkan menjadi kerangka yang lebih besar selain hanya sebagai “club of first secretaries”. Organisasi ini tidak memiliki kekuatan dan dukungan yang kuat secara politik di kawasan. Oleh karena itu, Rusia berinisiatif membentuk organisasi baru yaitu CSTO dan EurAsEc. CSTO lebih berhasil daripada pendahulunya. Melalui CSTO, Rusia berhasil menerapkan Sistem Pertahanan Udara Terpadu di kawasan.
CSTO
juga ditujukan untuk
mengkoordinasikan kegiatan unit-unit regional lain seperti EEAF, CAF, dan CRDFCA. CSTO adalah organisasi pertama yang dibangun dalam naungan militer rusia. Walaupun CIS sebelumnya telah menelurkan beberapa program serupa, namun tak ada sinyalemen perkembangan di tubuh CIS. Pada saat yang sama, dibentuklah SCO sebagai hasil dari negosiasi perbatasan antara Rusia dengan China. Pembentukan SCO diinisiasi oleh China yang mendulang dominasi yang sangat signifikan di Asia Tengah. Sebagai the rising giant, negara ini mendesak agar SCO diluaskan menjadi kerjasama di
79
Safranchuk, “Competition for Security,” 161.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
40
bidang ekonomi, setelah sebelumnya berhasil menancapkan pengaruh dalam ranah keamanan di kawasan. China pertama kali mengusulkan agar dilaksanakan zona perdagangan bebas di SCO. Intensi China ini wajar mengingat sebagai raksasa ekonomi, China membutuhkan pangsa pasar yang lebih luas untuk memasarkan banjir hasil industrinya. Selain itu, China juga berkepentingan dalam mengeruk sumbersumber energi di Kazakhstan, Uzbekistan, serta Tajikistan. Dengan pertumbuhan ekonomi di atas dua digit, China menjelma menjadi raksasa yang kelaparan energi. Untuk menjamin keamanan energinya, China meluaskan sayap ke berbagai belahan dunia dalam mencari ladang-ladang energi, termasuk Asia Tengah. Hal ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada satu sumber energi, yaitu Timur Tengah. Niatan China ini diiringi pula oleh diplomasi bilateral yang dilakukan terhadap masing-masing negara. Dengan persediaan dana investasi yang besar, tentunya daya tawar China semakin kuat. Hal ini tentu memunculkan ancaman bagi Rusia. Pada akhirnya, Rusia menggunakan keanggotaan di SCO untuk membendung semakin luasnya pengaruh China di kawasan. Hal ini setidaknya dibuktikan oleh beberapa hal. Pertama, Rusia menolak proposal China terkait pelaksanaan zona perdagangan bebas di SCO.80 Rusia menaruh perhatian khusus terhadap ekspansi produk China di pasar Asia Tengah. Ekspansi tersebut akan semakin menggurita sekiranya zona perdagangan bebas dilaksanakan. Hal tersebut tidak hanya akan berdampak pada negara Asia Tengah saja, tapi juga pada porsi pasar yang dikuasai Rusia. Perdagangan bebas juga akan mendorong banjir tenaga kerja China ke Asia Tengah dan Rusia. Kedua, pada tahun 2007 Rusia menginisiasi “perdamaian” antara CSTO dan SCO dengan menyodorkan joint document CSTO-SCO. Bahkan, usaha ini juga dianggap sebagai keinginan Rusia untuk mengintegrasikan CSTO-SCO.81 Rusia ingin menekan tumpang tindih peran keamanan yang dimainkan dua institusi ini, dimana China semakin kuat pengaruhnya di SCO. Kebijakan yang 80 81
Troitskiy, “Russian Perspective,” 42. Carroll, “China in,” 6.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
41
dimainkan Rusia ini sebenarnya dapat diprediksi melalui tiga poin kebijakan Rusia di Asia Tengah seperti yang diutarakan Alexander Frost, yaitu memosisikan Moskow sebagai pusat kekuatan dan pengaruh di kawasan, membentuk regim proMoskow di kawasan, serta menangkal pengaruh AS dan Cina di kawasan. 82 Ketiga, pada tahun yang sama Rusia membentuk SCO Energy Club yang bertujuan menyelaraskan kebijakan energi secara regional. Banyak pihak yang berpendapat bahwa pembentukan SCO Energy Club tak lain adalah usaha Rusia dalam membendung maneuver energi China. Hal ini dikarenakan kebijakan energi China di Asia Tengah disokong oleh kekuatan diplomasi bilateral yang sangat gencar. Dengan ketersediaan cadangan devisa yang sangat besar, China memiliki kemampuan
investasi
yang
tinggi
sehingga
menikmati
posisi
yang
menguntungkan dibanding Rusia. Dalam beberapa tahun terakhir, China terlihat mendominasi proyek-proyek energi besar di Asia Tengah. Tabel 3.2. Dominasi China dalam Proyek Energi di Asia Tengah
Sumber: Hak Yin Li dan Zhengxu Wang, “Assessing China‟s Influence in Central Asia: A Dominant Regional Power?,” dalam China Policy Institute: Briefing Series-Issue 53 (UK: University of Nottingham, 2009), 10.
82
Alexander Frost, “The Collective Security Treaty Organization, the Shanghai Cooperation Organization, and Russia Strategic Goals in Central Asia,” China and Eurasia Forum Quarterly 7, no. 3 (2009): 83-102, http://www.isn.ethz.ch/DigitalLibrary/Publications/Detail/?ots591=0c54e3b3-1e9c-be1e-2c24a6a8c7060233&lng=en&id=110229.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
42
Terakhir, Rusia berusaha mempercepat aksesi keanggotaan India di SCO83. Keberadaan India di SCO dapat mereduksi pengaruh Cina. Pasalnya, India dan Cina adalah dua kutub yang telah lama terlibat rivalitas. Hingga saat ini, India dan Cina masih mengalami beberapa sengketa, di antaranya kasus air di Tibet, jalur pipa minyak yang melewati Asia Tengah, serta permasalahan perbatasan. Kedua negara ini juga sama-sama tengah menyandang status growing giant. Di sisi lain, Rusia dan India sejak lama menikmati hubungan bilateral yang harmonis. Hubungan tersebut bersandar pada lima pilar yaitu politik, pertahanan, energi nuklir, anti terorisme, dan antariksa 84. Dewasa ini India juga menyandang predikat sebagai konsumen terbesar produk militer Rusia.
83
The News, “Russia Seeks India, Pakistan to Join SCO,” terakhir dimodifikasi 12 Mei 2012, diakses 2 Juni 2013, http://www.thenews.com.pk/article-48673-Russia-seeks-India,-Pakistan-tojoin-SCO. 84 Rajeev Sharma, “Top Indian Diplomat Explains Russia‟s Importance to India,” Russia & India Report, terakhir dimodifikasi 28 November 2012, diakses 2 Juni 2013, http://indrus.in/articles/2012/11/28/top_indian_diplomat_explains_russias_importance_to_india_1 9391.html
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
BAB 3 KESIMPULAN Perspektif fungsionalisme menyisakan pertanyaan dalam menjelaskan kerjasama China-Rusia di SCO. Posisi SCO sebagai bentuk konvergensi teknokrat atau integrasi politik belum jelas. Selain itu Spillover effect yang menjadi andalan kaum Fungsionalis ternyata terjadi dalam alur yang terbalik dalam hubungan dua negara ini. Pasalnya, kerjasama China-Rusia di SCO justru diawali dari kerjasama di bidang politik yang kemudian baru meluas ke bidang fungsional dan sosioekonomi. Hal ini secara tidak langsung juga menepikan peran teknokrat yang diyakini sebagai aktor yang memunculkan desakan kerjasama politik. Dalam kenyataannya, kerjasama China-Rusia di SCO lebih banyak terjadi dalam alur topdown. Inisiasi kerjasama terjadi dalam pertemuan tingkat kepala negara yang kemudian baru didelegasikan pada pihak-pihak terkait di level bawah. Oleh karena itu, kerjasama China-Rusia di SCO lebih sesuai dianalisis dari sudut pandang geopolitik murni ketimbang menggunakan perspektif barat termasuk fungsionalisme. Dua negara ini adalah aktor unik yang memiliki karakteristik tersendiri dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Penggunaan teori fungsionalisme dalam menjelaskan kebijakan China-Rusia menemui keterbatasan akibat tidak terkuaknya titik krusial yang menjelaskan kekhasan tersebut. Sebagai contoh, cara China memahami dan menjalankan politik multilateralisme ternyata berbeda dari apa yang dipahami bangsa barat mengenai kebijakan tersebut. Begitu juga dengan konsep liberal empire yang dijalankan Rusia yang menciptakan model sendiri. Sebagai kesimpulan, SCO lebih dari sekadar kerjasama fungsional bagi China dan Rusia. Kerjasama dua negara ini di SCO dapat terjadi karena kedua belah pihak saling membutuhkan SCO untuk mengeksekusi kebijakan kawasan masing-masing. Kebijakan tersebut dibangun atas proyeksi kepentingan ekonomi, sphere of influence, dan geopolitik yang berbeda satu sama lain. Pada akhirnya, SCO hanyalah instrument untuk skenario yang lebih besar.
43 Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
44
DAFTAR REFERENSI
“Declaration of Shanghai Cooperation Organisation.” Embassy of the People‟s Republic of China. Diakses 24 Mei 2013. http://tr.chineseembassy.org/eng/zt/shhzzz/t162011.htm. “SCO Business Council.” Secretariat of Business Council of Shanghai Cooperation Organisation. Diakses 30 Mei 2013. http://bcsco.org/?level=9&lng=en “Shanghai Convention on Terrorism, Separatism, and Extremism.” AsiaMiscellaneous. Diakses 29 Mei 2013. http://www.refworld.org/cgibin/texis/vtx/rwmain?page=publisher&publisher=ASIA&type=&coi=&docid =49f5d9f92&skip=0. “Shanghai Cooperation Organisation.” Ministry of Foreign Affairs of the People‟s Republic of China. Diakses 24 Mei 2013. http://www.fmprc.gov.cn/eng/topics/sco/t57970.htm “The Great Debate: Documents of the Sino-Soviet Split.” Marxist.org. Diakses 6 Juni 2013. http://www.marxists.org/history/international/comintern/sinosoviet-split/index.htm. “The Interbank Consortium of the Shanghai Cooperation Organisation.” Secretariat of Shanghai Cooperation Organisation. Diakses 30 Mei 2013. http://www.sectsco.org/EN123/show.asp?id=51. “The Regional Anti-Terrorist Structure of Shanghai Cooperation Organisation.” RATS. Diakses 29 Mei 2013. http://www.ecrats.com/en/rats_history/2010. Akihiro, Iwashita. “The Shanghai Cooperation Organisation and Its Implications for Eurasian Security: A New Dimension of „Partnership‟ after Post ColdWar Period.” Dalam Slavic Eurasia’s Integration Into the World Economy, diedit oleh Tabata Shinichiro dan Iwashita Akihiro, 259-281. Hokaido: Slavic Research Center, 2003. Asia Times. “Central Asia Part 11: Russia „liberal empire‟,” Terakhir dimodifikasi 18 Desember 2003. Diakses 8 Juni 2013. http://www.atimes.com/atimes/Central_Asia/EL18Ag01.html. Battacharya, Abanti. “Conceptualising Uyghur Separatism in Chinese Nationalism.” Strategic Analysis 27, no. 3 (Juli 2003): 357-381. http://www.idsa.in/strategicanalysis/ConceptualisingUyghurSeparatisminChi neseNationalism_abhattacharya_0703
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
45
BBC News. “Quick Guide: The Chechen Conflict.” Diakses 28 Mei 2013. http://news.bbc.co.uk/nol/shared/spl/hi/pop_ups/quick_guides/04/europe_the _chechen_conflict/html/1.stm Carroll, William E. “China in the Shanghai Cooperation Organisation: Hegemony, Multi-polar Balance, or Cooperation in Central Asia.” International Journal of Humanities and Social Science 1, no. 19 (2011): 1-8. China.org.cn. “International Cooperation in Disaster Prevention and Reduction.” Diakses 24 Mei 2013, http://www.china.org.cn/government/whitepaper/200905/11/content_17754964.htm. De Haas, Marcel. The Shanghai Cooperation Organisation: Towards a FullGrown Security Alliance?. The Hague: Netherlands Institute of International Relations Clingendael, 2007. Frost, Alexander. “The Collective Security Treaty Organization, the Shanghai Cooperation Organization, and Russia Strategic Goals in Central Asia.” China and Eurasia Forum Quarterly 7, no. 3 (2009): 83-102. http://www.isn.ethz.ch/DigitalLibrary/Publications/Detail/?ots591=0c54e3b3-1e9c-be1e-2c24a6a8c7060233&lng=en&id=110229. Fuller, Liz. “Chechnya: Khasavyurt Accords Failed to Preclude A Second War.” Radio Free Europe Radio Liberty. Diakses 28 Mei 2013. http://www.rferl.org/content/article/1070939.html Galpin, Richard. “Struggle for Central Asian Energy Riches.” BBC News. Terakhir dimodifikasi 2 Juni 2010. http://www.bbc.co.uk/news/10131641 Guojun, Yang. “Good Neighborly, Friendly, Peaceful, and Tranquil Sino-Russian Border.” Xinhua Domestic Service, 1996. Haas, Ernst. “International Integration: The European and Universal Process.” International Organization 15, no. 3 (1961). http://links.jstor.org/sici?sici=00208183%28196122%2915%3A3%3C366%3AIITEAT%3E2.0.CO%3B2-M -------. Beyond the Nation State. Stanford: Stanford University Press, 1964. -------. The Uniting of Europe: Political, Social, and Economic Forces 1950-1957. CA: Stanford University Press, 1958. Haq, Noor Ul. “Shanghai Cooperation Organisation (2001-2006)” Islamabad Policy Research Institute (IPRI) Factfile 1 (2007). http://ipripak.org/factfiles/ff85.pdf
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
46
Harrison, R. J. “Neo-Functionalism.” Dalam Framework for Internaitional Cooperation, edisi ke-2, diedit oleh A.J.R Groom dan Paul Taylor, London: Pinter, 1994: 138-150. Huan, Guocang. “Sino-Soviet Relations.” Dalam The Chinese View of the World, diedit oleh Yufan Hao dan Guocang Huan, New York: Pantheon Books, 1989: 101-147. Huasheng, Zhao. “Security Building in Central Asia and the Shanghai Cooperation Organisation.” Dalam Slavic Eurasia’s Integration Into the World Economy, diedit oleh Tabata Shinichiro dan Iwashita Akihiro, Hokaido: Slavic Research Center, 2003: 283-314. International Media Support (IMS). Report on The Examples of Kazakhstan and Kyrgystan: Political Extrimism, Terrorism, and Media in Central Asia. Copenhagen: International Media Support, 2008. Karampampas, Sotirios. “Central Asia: Islamic Extremism and Terrorist Violence in the 21st Century.” CERE Institute of International Relations vol. 3 (2012): 3-7. http://academia.edu/1420072/Central_Asia_Islamic_Extremism_and_Terroris t_Violence_in_the_21st_century Meyer, Peggy Falkenheim. “Russia‟s Post-Cold War Security Policy in Northeast Asia.” Pacific Affairs 67, no. 4 (1994): 495-512. Naisbitt, John dan Doris Naisbitt. China’s Megatrends: 9 Pilar yang Membuat Dahsyat China. Diterjemahkan oleh Hendro Prasetyo. Jakarta: Kompas Gramedia, 2010. Nurgaliyev, Marat. Development of The Shanghai Cooperation Organisation and Diplomacy of Japan Towards the Central Asia. Tokyo: Japan Institute of International Affairs, 2008. Safiullin, Askhat. “The Shanghai Cooperation Organisation and Security in PostSoviet Central Asia.” Central European Journal of International & Security 4, issue 2, (2010): 41-57. http://cejiss.org/issue/2010-volume-4-issue2/safiullin Safranchuk, Ivan. “The Competition for Security Roles in Central Asia” Russia in Global Affairs 6, no. 1 (2008): 159-169. Scott, David. China Stands Up: The PRC and the International System. New York: Routledge, 2007. Secretariat of Shanghai Cooperation Organisation, (2009). http://www.sectsco.org/EN123/brief.asp
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013
47
Sergounin, Alexander A dan Subbotin, Sergey V. “Russian Arms Transfers to East Asia In the 1990s.” SIPRI Research Report, no. 15 (1999): 1-146. Sharma, Rajeev. “Top Indian Diplomat Explains Russia‟s Importance to India.” Russia & India Report (RIR). Diakses 2 Juni 2013. http://indrus.in/articles/2012/11/28/top_indian_diplomat_explains_russias_im portance_to_india_19391.html Swaine, Micheal D. “China: Exploiting a Strategic Opening.” Dalam Strategic Asia 2004-05: Confronting Terrorism in the Pursuit of Power, diedit oleh Ashley J Tellis dan Michael Wills, Seatle: National Bureau of Asian Research, 2004: 65-70. The News. “Russia Seeks India, Pakistan to Join SCO.” 12 Mei 2012. http://www.thenews.com.pk/article-48673-Russia-seeks-India,-Pakistan-tojoin-SCO Troitskiy, Mikhail. “A Russian Perspective on the Shanghai Cooperation Organisation.” SIPRI Policy Paper, no. 17 (2007): 1-66. Wang, Jianwei. “China and SCO: Towards A New Type of Interstate Relations.” Dalam China Turns To Multilateralism: Foreign Policy and Regional Security, diedit oleh Guoguang Wu dan Helen Landsowne, Oxon: Routledge, 2008: 104-126. Yuan, Jing-Dong. Sino-Russian Confidence Building Measures: A Preliminary Analysis. Vancouver: Institute of International Relations, University of British Columbia, 1998.
Universitas Indonesia
Kerjasama China - Rusia ..., Dicki Abdul Ghaniy, FISIP UI, 2013