KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
2014
A
PB
D
LAPORAN ANALISIS
REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1
LAPORAN ANALISIS
REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013
KATA PENGANTAR
Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah pada tahun 2001, porsi dana APBN yang telah dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Alokasi dana yang besar tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Tantangan utama yang dihadapi daerah dalam melaksanakan tugas tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan pelayanan publik yang optimal. Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola dana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah yang sangat besar. Pengelolaan APBD harus mengacu pada upaya pencapaian visi dan misi daerah yang sesuai dengan prioritas nasional, dimana sumbersumber pendapatan APBD harus dibelanjakan sesuai dengan prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai sesuai sumber daya yang tersedia baik yang didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah. Kemampuan daerah dalam mengelola APBD mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat. Keterbukaan informasi publik yang didukung oleh semakin kritisnya masyarakat, menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengelola keuangan daerah dengan semakin baik, yaitu dengan semakin meningkatkan porsi alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa untuk pemeliharaan infrastruktur pada struktur APBD dengan memprioritaskan pada ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, serta semakin tingginya realisasi penyerapan APBD guna mendorong peningkatan perekonomian daerah. Di samping itu, pengelolaan keuangan daerah, harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.
Kata Pengantar
iii
Untuk mewujudkannya, diperlukan pendekatan prestasi kerja dalam penyusunan APBD, setiap alokasi pendanaan yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Pendekatan ini merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dengan konsep manajemen kinerja, khususnya untuk mengukur tingkat keberhasilan program atau aktivitas pada pemerintah yang ditujukan dalam rangka mencapai hasil yang dapat memenuhi kebutuhan stakeholders. Beberapa hal yang disorot dalam kajian ini antara lain adalah kinerja pengelolaan keuangan daerah dilihat dari sisi kesesuaian realisasi dengan perencanaan, konsistensi pelaksanaan anggaran untuk merealisasikan program/ kegiatan, serta dampak pelaksanaan APBD terhadap perekonomian regional. Dalam konteks itulah, buku ini disusun untuk menyajikan analisis atas realisasi APBD seluruh daerah dan diharapkan dapat memberikan potret yang informatif dan akurat mengenai hasil dari pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah pada tahun 2013. Buku Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ini akan memberikan gambaran tentang hasil analisis realisasi APBD 2013 yang meliputi gambaran umum realisasi APBD 2013, analisis realisasi pendapatan daerah, analisis realisasi belanja daerah, analisis realisasi surplus/defisit dan pembiayaan daerah, dan analisis implikasi realisasi APBD TA 2013 terhadap perekonomian daerah. Kami mengharapkan agar buku Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Jakarta, Desember 2014 Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah
Adijanto
iv
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Daftar Isi KATA PENGANTAR.................................................................................................iii DAFTAR ISI.............................................................................................................. v DAFTAR TABEL....................................................................................................... vi DAFTAR GRAFIK................................................................................................... vii RINGKASAN EKSEKUTIF....................................................................................... xi BAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD.....................................................1 1.1. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara Nasional.....................4 1.2. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi..................................8 1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota...................10 1.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun 2009-2013..........................12 BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH....................................................... 15 2.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah...............16 2.2. Komposisi Pendapatan Daerah...........................................................19 2.3. Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional ......................................22 2.4. Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah.....................24 BAB III REALISASI BELANJA DAERAH............................................................... 29 3.1. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah................29 3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah ...................................................33 3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional..................................37 3.4. Realisasi Belanja Daerah Per Kapita....................................................40 3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita.........................................41 BAB IV REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............... 43 4.1. Surplus/Defisit......................................................................................43 4.2. Pembiayaan Daerah.............................................................................47 4.3. SiLPA....................................................................................................50 4.4. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah............................54 BAB V IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2013 TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH..................................................................... 57 UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................... 65 Daftar Isi
v
Daftar TABEL Tabel 1.1
Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013............................................2
Tabel 1.2
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013...3
Tabel 3.1
Komposisi Realisasi Belanja Lainnya pada APBD Provinsi Tahun Anggaran 2013....................................................................35
Tabel 4.1
Rata-Rata Besaran Surplus/Defisit per Daerah.............................47
Tabel 4.2
Daerah dengan SIKPA Tahun Berkenaan TA 2013........................53
TABEL 5.1 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA TAHUN 2009 - 2013.......................................................................58 TABEL 5.2 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT..............................61 TABEL 5.3 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA...........................................63
vi
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Daftar grafik Grafik 1.1 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara nasional Tahun Anggaran 2013................................................................................5 Grafik 1.2 Pelampauan Pendapatan APBD......................................................7 Grafik 1.3 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Tahun Anggaran 2013................................................................................9 Grafik 1.4 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013....................................................................10 Grafik 1.5 Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 - 2013............................12 Grafik 1.6 Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 – 2013...................................................................................13 Grafik 2.1 Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional TA 2013.........................................................................................17 Grafik.2.2 Komposisi Pendapatan Daerah 2013 Secara Nasional dan Provinsi..........................................................................................20 Grafik.2.3 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota............................................................................21 Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013.................22 Grafik 2.5 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Perjenis Pendapatan TA 2009-2013............................................................23 Grafik 2.6 Perkembangan Jumlah Daerah yang Mengelola BPHTB dan PPB-P2 2009-2013........................................................................25 Grafik 2.7 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Secara Nasional TA 2009-2013.....................................................26 Grafik 2.8 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Agregat Kabupaten/Kota TA 2009-2013........................................27
Daftar Grafik
vii
Grafik 2.9 Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB Terhadap Total Pajak Daerah Secara Nasional TA 2010-2013.......................28 Grafik 3.1 Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah APBD Tahun Anggaran 2013.........................................................29 Grafik 3.2 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Nasional Tahun Anggaran 2013...............................................................................................33 Grafik 3.3 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2013...............................................................................................34 Grafik 3.4 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013..............................................................................36 Grafik 3.5 Tren Realisasi Belanja daerah Nasional........................................37 Grafik 3.6 Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional........................................38 Grafik 3.7 Realisasi Belanja Daerah Per Kapita Tahun Anggaran 2013.........40 Grafik 3.8 Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita Tahun Anggaran 2013..............................................................................41 Grafik 4.1 Perbandingan Suplus/Defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD 2009-2013.....................................................................................44 Grafik 4.2. Tren kabupaten/kota yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi APBD...............................................................................46 Grafik 4.3 Tren Provinsi yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi APBD ............................................................................................46 Grafik 4.4 Rincian Penerimaan Pembiayaan APBD TA 2013..........................48 Grafik 4.5 Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013.........................49 Grafik 4.6 Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi.................................................................................51 Grafik 4.7 Tren SILPA Tahun Berkenaan.........................................................52 Grafik 4.8 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pinjaman Kab/Kota........................................................................55 Grafik 4.9 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pinjaman Provinsi .........................................................................................55
viii
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Grafik 4.10 Jumlah Kab/kota yang melakukan Pinjaman Daerah...................55 Grafik 4.11 Jumlah Provinsi yang melakukan Pinjaman Daerah......................55 Grafik 5.1 Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional........60
Daftar Grafik
ix
x
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 memperlihatkan bahwa realisasi pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih rendah dibandingkan anggarannya. Selisih negatif realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun. Terjadinya surplus dalam realisasi APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran. • Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi sebesar Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Secara agregat nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan yang mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54% dari total pendapatan dan kemudian Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,63 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. • Realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95 triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di atas 100% adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar Rp94,46 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09 triliun.
Ringkasan Eksekutif
xi
• Realisasi Belanja Pegawai atau yang biasa disebut sebagai “Gaji PNS” tidak terealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik hanya mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang Rp12,73 triliun dari anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan alokasi pendapatan transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat pada saat tahun anggaran 2013 berjalan), maka anggaran belanja juga harus segera menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik. • Rata-rata realisasi belanja daerah per kapita adalah sebesar Rp4.321.913,00. Realisasi belanja daerah per kapita per provinsi memperlihatkan bahwa belanja daerah per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit. Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar Rp15.412.544,00, sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar Rp1.514.208,00. • Tren realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami peningkatan baik menurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga yang berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013 realisasi Belanja Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55% (Rp32,15). Sementara itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun), dan pada tahun 2011 Belanja Modal kembali meningkat sebesar 15,87% xii
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
(Rp5,87 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja Modal meningkat kembali sebesar 19,33% (Rp8,28 triliun). Pada tahun 2011, 2012, dan 2013 ternyata kenaikan realisasi Belanja Modal berdasarkan harga konstan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga yang berlaku. • Pada tahun 2012-2013 nilai surplus per Kabupaten/Kota secara rata-rata mengalami penurunan dari Rp70,10 miliar menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya jumlah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus. Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya melampaui anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar di tahun 2013. • Realisasi total penerimaan pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp 101,01 triliun atau terealisasi 151,2% dari yang dianggarkan. Komponen SiLPA tahun sebelumnya merupakan sumber pembiayaan yang paling besar, yaitu Rp97,45 triliun atau 96,47% total penerimaan pembiayaan daerah. • Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp11,99 triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan. Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal sebesar Rp7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%. • Realisasi SILPA Tahun Berkenaan (harga berlaku) tahun 2013 sebesar Rp99,3 triliun atau mengalami peningkatan 2,3% dari tahun 2012. Namun jika dilihat dari harga konstan, SILPA Tahun Berkenaan tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 1,9% dari tahun sebelumnya. • Pada tahun 2013, masih terdapat beberapa daerah yang mengalami SILPA Tahun Berkenaan negatif (SIKPA). Untuk menutup nilai SIKPA Tahun Berkenaan tersebut, daerah melakukan penundaan pembayaran Perhitungan Pihak Ketiga (PFK).
Ringkasan Eksekutif
xiii
• Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. • Pada tahun 2013, provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp1.658.000,00/ jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp17.976.000/jiwa. Selain itu, ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya tergolong tinggi yakni Kalimantan Timur dan Papua. Namun demikian, apabila ditinjau dari tingkat dispersinya, maka pada periode 2012-2013 membaik diindikasikan dengan perubahan standar deviasi yang menurun bila dibandingkan periode 2011-2012.
xiv
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD
Berdasarkan pasal 23 Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintah sebagai entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja. Laporan Keuangan Pemerintah yang disajikan setidak-tidaknya terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah mengatur urusan pemerintah pusat dengan kewenangan pemerintah daerah dengan jelas, sehingga dalam melaksanakan urusannya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sesuai dengan track-nya. Dalam tahun 2014, kedua peraturan perudangan tersebut telah disempurnakan menjadi satu pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya terdapat pengaturan pembagian urusan yang dijadikan sebagai lampiran tidak terpisahkan dari UU No. 23 Tahun 2014 tersebut. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan implikasi dimana pemerintah daerah dalam melaksanakan pemerintahan sesuai dengan urusannya, wajib menyampaikan pertanggungjawabannya secara terpisah dengan pemerintah pusat. Hal ini sebagai bentuk dampak perubahan tata pemerintahan yang sudah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dalam mengatur sendiri daerahnya melalui otonomi daerah.
Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD
1
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), salah satu bentuk laporan keuangan yang disusun adalah Laporan Realisasi atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan melalui Perda, setelah sebelumnya diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan realisasi ini merupakan salah satu alat ukur untuk melihat implementasi dari kebijakan dan operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan keuangan suatu daerah dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang optimal serta upaya dalam mendorong pembangunan ekonomi di daerah. Besarnya realisasi anggaran dan jenis belanjanya mengindikasikan besarnya komitmen dan keseriusan suatu pemerintahan daerah pada aspek-aspek yang menjadi prioritas daerah. Dalam gambaran umum realisasi APBD Tahun Anggaran (TA) 2013, akan dilihat realisasi dari 524 daerah , yang terdiri dari 33 provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 kota. Secara ringkas buku ini akan membahas tentang perbandingan realisasi APBD TA 2013 dengan anggarannya dan perbandingan data realisasi APBD TA 2013 dengan realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, baik dari sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaannya. Selain itu akan disajikan analisis tentang beberapa indikator kinerja keuangan maupun implikasinya terhadap indikator perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Potret mengenai Realisasi APBD TA 2013 secara agregat nasional, seluruh provinsi, kabupaten, dan kota bisa dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 Realisasi (Dalam Milyar Rupiah) Mata Anggaran
Nasional (Konsolidasi)
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Pendapatan
700.236,60
205.797,84
520.952,56
PAD
157.855,46
101.356,53
56.498,93
Dana Perimbangan
442.761,15
64.502,32
378.258,83
99.619,99
39.938,99
86.194,80
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
2
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Realisasi (Dalam Milyar Rupiah) Mata Anggaran
Nasional (Konsolidasi)
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Belanja
689.947,72
202.819,78
513.641,74
Belanja Pegawai
287.790,11
36.452,35
251.337,76
Belanja Barang dan jasa
144.627,41
47.954,97
96.672,44
Belanja Modal
163.072,90
36.539,60
126.533,30
Belanja Lain-lain
94.457,29
81.872,86
39.098,24
Surplus/Defisit
10.288,88
2.978,06
7.310,82
Pembiayaan Netto
89.016,41
25.620,15
63.396,26
Penerimaan Pembiayaan
101.010,08
31.465,67
69.544,41
Pengeluaran Pembiayaan
11.993,66
5.845,52
6.148,14
Silpa Tahun Berkenaan
99.305,29
28.598,21
70.707,08
Sumber: DJPK (data diolah) *) Konsolidasi APBD adalah proses penggabungan APBD Kab/kota dengan provinsi dengan menghilangkan reciprocal account, hal tersebut dilakukan supaya tidak ada penghitungan ganda antara transfer provinsi ke kab/kota dengan pendapatan kab/kota, dengan menghilangkan reciprocal account besaran pendapatan dan belanja secara total lebih kecil namun besaran surplus/defisit tetap.
Tabel 1.2 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 Persentase Mata Anggaran
Nasional (Konsolidasi)
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Pendapatan
107,15%
103,93%
107,35%
PAD
112,49%
109,63%
118,01%
Dana Perimbangan
102,20%
102,83%
102,10%
Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD
3
Persentase Mata Anggaran
Nasional (Konsolidasi)
Provinsi
Kabupaten/ Kota
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
124,57%
93,24%
128,79%
Belanja
97,47%
95,26%
97,88%
Belanja Pegawai
96,96%
93,42%
97,49%
Belanja Barang dan jasa
97,61%
94,26%
99,36%
Belanja Modal
92,76%
84,73%
95,37%
Belanja Lain-lain
108,46%
102,47%
105,71%
Surplus/Defisit
-18,92%
-19,98%
-18,52%
Pembiayaan Netto
162,40%
170,64%
159,29%
Penerimaan Pembiayaan
151,17%
147,70%
152,79%
Pengeluaran Pembiayaan
99,91%
92,94%
107,57%
Sumber: DJPK (data diolah)
1.1. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara Nasional Gambaran mengenai tingkat penyerapan APBD 2013 secara nasional dengan perbandingannya terhadap APBD dapat dilihat pada grafik 1.1.
4
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Grafik 1.1 Perbandingan APBD dandan Realisasi nasional Tahun Anggaran Perbandingan APBD RealisasiAPBD APBDsecara secara nasional Tahun Anggaran 20132013 (Angka Milyar Rupiah) Rupiah) (AngkaDalam Dalam Milyar
Sumber: DJPK Sumber: DJPK(data (datadiolah) diolah) Realisasi APBD TahunAnggaran Anggaran 2013 memperlihatkan bahwa realisasi pendapatan Realisasi APBD Tahun 2013 memperlihatkan bahwa realisasi lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara rendah belanja dibandingkan anggarannya. Selisih dibandingkan negatif realisasi belanja daerah ditambah realisasi daerah lebih rendah anggarannya. Selisihdengan negatif selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun. realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya Terjadinya surplus dalamsurplus realisasi di APBD 2013Terjadinya ternyata lebih banyakdalam didorong oleh mengakibatkan terjadi akhirtahun tahun. surplus realisasi terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran. Pada tahun 2013, realisasi pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari anggaran, pendapatanrealisasi lebih tinggi Rp46,7397,47% triliun dan belanja Pada daerahtahun lebih rendah sementara belanja darirealisasi anggaran. 2013,Rp17,94 realisasi triliun dari anggarannya. pendapatan lebih tinggi Rp46,72 triliun dan realisasi belanja daerah lebih rendah faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan Rp17,94 Pada triliuntahun dari 2013, anggarannya. perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah di
Pada tahun 2013, faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal dari Lain-lain Pendapatan perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah Daerah Yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 37,51% dari total yang Sah di mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal pelampauan pendapatan, dan kemudian Pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%. dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah Hal ini ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-lain Pendapatan Daerah Yang (PAD) sebesar 37,51% dari total pelampauan pendapatan, dan kemudian 11 | P a g e Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD
5
pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%. Hal ini ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah yang belum diakomodir pada saat penyusunan anggaran, sehingga pada realisasinya, total pelampauan dari pos ini mencapai sebesar Rp19,65 triliun. Pelampauan PAD terutama disumbang oleh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan total pelampauan mencapai Rp17,53 triliun. Pelampauan Dana Perimbangan terutama didominasi oleh pos Dana Bagi Hasil (DBH), baik dana bagi hasil dari pajak maupun sumber daya alam yang pelampauannya mencapai 91,29% dari total pelampauan dana perimbangan atau sekitar Rp8,72 triliun. Pelampauan pendapatan daerah di dalam APBD pada pos PAD dan Dana Perimbangan khususnya DBH utamanya disebabkan oleh penganggaran di daerah yang lebih konservatif dimana daerah cenderung menganggarkan dengan menggunakan batas bawah target sebagai ukuran pencapaian penerimaan. Sementara pelampauan PAD lebih banyak dipengaruhi oleh pelampauan pajak daerah, yang mencapai 72,78% dari total pelampauan PAD. Jika dilihat lebih rinci, porsi pelampauan pendapatan daerah melalui Pajak Daerah lebih banyak disumbang oleh pajak daerah provinsi sebesar Rp7,93 triliun, sementara porsi pajak daerah kabupaten/kota sebesar Rp4,83 triliun dari total Rp12,76 triliun pelampauan pajak daerah secara nasional. Pelampauan PAD di kabupaten/kota beberapa tahun terakhir merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang telah membuka keran penambahan sumber pajak daerah di kabupaten/kota melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkotaan dan pedesaan.
6
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
pajak daerah kabupaten/kota sebesar Rp4,83 triliun dari total Rp12,76 triliun pelampauan pajak daerah secara nasional. Pelampauan PAD di kabupaten/kota beberapa tahun terakhir merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang telah membuka keran penambahan sumber pajak daerah di kabupaten/kota melalui Pajak Bumi dan Bangunan
Grafik 1.2 Grafik 1.2 Pelampauan Pendapatan APBD
(PBB) sektor perkotaan dan pedesaan.
Pelampauan Pendapatan APBD
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah) 5|Page
Sementara itu, pada sektor belanja secara umum tidak terjadi pelampauan. Hal ini cukup mendasar, di mana di dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Tata Kelola Keuangan Daerah, pada Pasal 54 diatur bahwa Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dilarang melakukan pengeluaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD. Hal ini membatasi penggunaan anggaran belanja jika tidak sesuai dengan tujuan anggaran, sehingga pada sektor belanja terdapat sekitar Rp17,94 triliun (secara agregat dan setelah dikonsolidasi) yang tidak terserap sesuai dengan anggaran. Angka realisasi belanja yang tidak terserap cukup besar pada agregat provinsi (Rp10,1 triliun), namun jumlah belanja yang tidak terealisasi di kabupaten/kota bahkan lebih besar (Rp11,1 triliun). Besarnya angka realisasi belanja daerah pada agregat provinsi disebabkan oleh tidak terealisasinya belanja pada Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp7,27 triliun atau sekitar 15,96% dari total anggarannya. Secara umum, besarnya jumlah realisasi belanja yang masih belum terserap menunjukkan bahwa daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja pada saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan yang berasal dari transfer ke daerah maupun peningkatan penerimaan pajak daerah, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa daerah belum mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut. Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD
7
Kondisi tersebut di atas patut mendapat perhatian serius baik dari pusat maupun daerah sendiri. Harus diakui bahwa pendapatan APBD masih sangat bergantung kepada transfer dari pusat, sehingga informasi yang relatif cepat dan akurat atas besaran transfer yang dialokasikan ke daerah akan menjadi kunci bagi kecepatan dan keakurasian perencanaan anggaran di daerah. Hal ini sudah diupayakan lebih baik dari tahun ke tahun. Pekerjaan rumah yang masih harus terus dibenahi oleh pemerintah pusat adalah memperbaiki kualitas perencanaan alokasi DBH, mengingat hal ini membutuhkan kerja sama dengan berbagai kementerian/lembaga yang terkait dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan ke daerah. Di sisi lain, daerah juga perlu secara serius memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan di daerahnya dan memperbaiki kualitas belanjanya, sehingga dapat fokus pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, bukan sekedar penyerapan belanja untuk keperluan aparatur.
1.2. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi Pola realisasi APBD provinsi hampir sama dengan pola realisasi APBD secara agregat nasional, di mana terdapat surplus pada realisasi anggarannya. APBD agregat provinsi yang semula dianggarkan defisit Rp14,91 triliun, pada realisasinya menjadi surplus mencapai hampir Rp2,98 triliun. Sementara itu, pelampauan realisasi pembiayaan netto provinsi lebih tinggi Rp10,61 triliun, sehingga sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun berkenaan untuk agregat pemerintah provinsi juga meningkat menjadi Rp28,60 triliun.
8
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
hampir Rp2,98 triliun. Sementara itu, pelampauan realisasi pembiayaan netto provinsi lebih tinggi Rp10,61 triliun, sehingga sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun berkenaan untuk agregat pemerintah provinsi juga meningkat menjadi Rp28,60 triliun.
Grafik 1.3 1.3 Grafik Perbandingan APBD dan Realisasi APBD APBD Provinsi 2013 Perbandingan APBD dan Realisasi ProvinsiTahun TahunAnggaran Anggaran 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Berdasarkan grafik 1.3, pelampauan pendapatan agregat provinsi lebih banyak
Berdasarkan pelampauan pendapatan agregat lebih diakibatkan oleh grafik adanya 1.3, pelampauan PAD, utamanya dari pajak daerah provinsi yaitu dengan banyak diakibatkan oleh adanya pelampauan PAD, utamanya dari pajak daerah kontribusi terhadap pelampauan PAD hingga 89,02%. Sebagai konsekuensi pelampauan yaitu dengan kontribusi pelampauan PAD hingga 89,02%. Sebagai target pajak daerah tersebut,terhadap maka secara otomatis juga terjadi pelampauan dana bagi hasil konsekuensi pelampauan target pajak daerah tersebut, maka secara otomatis 14 | P a g e juga terjadi pelampauan dana bagi hasil provinsi ke kabupaten/kota sebagai dampak dari penerusan pelampauan dana bagi hasil yang didapat di provinsi. Sementara itu, porsi pelampauan Dana Perimbangan karena peningkatan realisasi Dana Bagi Hasil adalah 99,58% atau sebesar 1,77 triliun. Hal ini memberikan sinyal kepada Pemerintah Pusat, sebagai pihak yang berperan besar dalam menentukan anggaran alokasi Dana Bagi Hasil di daerah setiap tahunnya, agar dapat menemukan pendekatan yang lebih baik dalam memprediksi pendapatan bagi hasil di tahun anggaran yang bersangkutan. Pada realisasi belanja agregat provinsi, dapat diketahui bahwa pola realisasi belanja agregat provinsi menunjukkan defisit persis sama dengan realisasi APBD secara nasional. Pada tahun 2013 total belanja agregat provinsi yang
Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD
9
tidak terserap mencapai 4,74% atau Rp10,1 triliun dari total belanja yang tidak terserap dari anggaran belanja. Angka ini didominasi oleh angka realisasi belanja modal yang tidak terealisasi yang mencapai sebesar Rp6,58 triliun atau 65,20% dari total realisasi belanja yang tidak terserap. Pos belanja lain yang cukup besar yang tidak terserap masing-masing adalah Pos Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa sebesar Rp4,07 triliun atau sebesar 40,28 % dan Pos Belanja Hibah sebesar Rp482 miliar atau 4,78% dari total yang tidak terserap pada anggaran belanja. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya provinsi untuk menggenjot belanja publik guna menyesuaikan dengan pendapatan yang melebihi anggarannya masih rendah dan terkesan kurang terencana, karena besarnya dana yang dialokasikan untuk belanja bantuan keuangan ke daerah lain serta untuk belanja hibah, yang seyogyanya dapat digunakan untuk belanja yang lebih menyentuh sektor publik.
1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota 1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota
Grafik 1.4 Grafik 1.4 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah) Realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 memiliki pola yang hampir sama dengan realisasi konsolidasi nasional, di mana terjadi pelampauan realisasi pendapatan
10
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013 Pelampauan realisasi pendapatan dan tidak tercapainya realisasi belanja pada Pos belanjanya.
mencapai Rp35,66 triliun di mana 54,03% (sekitar Rp19,27 triliun) adalah dari Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah, kemudian 24,17% (sekitar Rp8,62 Triliun) dari Pendapatan
Realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 memiliki pola yang hampir sama dengan realisasi konsolidasi nasional, di mana terjadi pelampauan realisasi pendapatan dan tidak tercapainya realisasi belanja. Pelampauan realisasi pendapatan mencapai Rp35,66 triliun dimana sekitar Rp19,27 triliun (54,03%) berasal dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, kemudian sekitar Rp8,62 triliun (24,17%) dari Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, komposisi pelampauan pendapatan dari Dana Perimbangan sebesar Rp7,77 triliun (21,79%) dari total pelampauan pendapatan, didominasi oleh DBH yang ditransfer baik oleh pusat maupun provinsi. Pada sektor belanja, realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 tidak terserap sebesar Rp11,12 triliun. Realisasi belanja yang tidak terserap tersebut paling besar disumbang oleh tidak terealisasinya belanja pegawai sebesar Rp6,46 triliun dan belanja modal yang sebesar Rp6,15 triliun, kemudian diikuti oleh belanja barang dan jasa sebesar Rp622 miliar. Sementara itu, total agregat belanja kabupaten/kota menjadi lebih besar karena pelampauan realisasi Belanja Lain-lain sebesar Rp2,11 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa komitmen kabupaten/kota dalam merealisasikan belanja modal masih kurang optimal, sehingga sekalipun adanya pencapaian pada pelampauan pendapatan, namun pertumbuhan pembangunan di daerah tidak serta merta turut meningkat karena tidak diikuti oleh penggunaan pendapatan tersebut untuk pembangunan di daerah kabupaten/kota masing-masing.
Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD
11
mengindikasikan bahwa komitmen kabupaten/kota dalam merealisasikan belanja modal masih kurang optimal, sehingga sekalipun adanya pencapaian pada pelampauan pendapatan, namun pertumbuhan pembangunan di daerah tidak serta merta turut meningkat karena tidak diikuti oleh penggunaan pendapatan tersebut untuk pembangunan di daerah kabupaten/kota masing-masing.
1.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun 20091.4. Gambaran 2013 Umum Realisasi APBD Tahun 2009-2013 Grafik Grafik 1.5 1.5 Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan APBD Konsolidasi Nasional APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 2013 Tahun 2009 - 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Tren realisasi APBD dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada grafik 1.5 di atas
menunjukkan tren APBD realisasi pendapatan selalu berada di atas 100% artinya secara Tren realisasi dari tahun keyang tahun seperti yang terlihat pada grafik 1.5 selama 5 tahun terakhir realisasi pendapatan melebihi dikeseluruhan atas menunjukkan tren realisasi pendapatan yangAPBD selalunasional beradaselalu di atas 100%, anggaranselama pendapatan itu sendiri. terdapat tren peningkatan jumlah nominal dimana 5 tahun terakhirBahkan realisasi pendapatan APBD nasional selalu melebihi anggaran pendapatan itu sendiri. tren peningkatan pelampauan realisasi pendapatan dari tahun ke tahun,Bahkan sekalipunterdapat terjadi penurunan pada tahun jumlah nominal pelampauan realisasi pendapatan dari tahun ke tahun, sekalipun 2012 dan 2013, tetapi secara agregat dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan terjadi penurunan danDemikian 2013, tetapi secara dapat pendapatan pada kurunpada waktutahun 5 tahun2012 terakhir. juga dengan tren agregat realisasi belanja, disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan pendapatan pada kurun waktu di mana dapat kita lihat bahwa terdapat kecenderungan realisasi belanja APBD secara5 tahun terakhir. nasional hampir mencapai anggarannya, seperti yang terlihat pada garis merah, di mana realisasi belanja APBD nasional pada tahun 2009 hanya mencapai 93,84%, namun pada
Tren realisasi belanja juga memiliki kecenderungan dimana realisasi belanja tahun 2013 mencapai 97,47%, bahkan sempat melampaui anggarannya pada tahunterlihat 2011 APBD secara nasional hampir mencapai anggarannya, sebagaimana 17 | P a g e pada garis merah pada Grafik 1.5, di mana realisasi belanja APBD nasional pada tahun 2009 hanya mencapai 93,84%, namun pada tahun 2013 mencapai 97,47%, bahkan sempat melampaui anggarannya pada tahun 2011 dengan capaian 100,71%.
12
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
dengan capaian 100,71%. Demikian juga dengan realisasi pembiayaan, dari tahun ke tahun realisasi pembiayaan APBD secara nasional mengalami peningkatan, bahkan yang terlihat
Demikian juga dengan realisasi pembiayaan, dari tahun ke tahun realisasi pada tahun 2013 mencapai peningkatan pembiayaan sebesar 162,40%, mencapai satu pembiayaan APBD secara nasional mengalami peningkatan, bahkan yang terlihat setengah kali dari yang anggarannya. pada tahun 2013 mencapai peningkatan pembiayaan sebesar 162,40%, atau satu setengah kali dari yang anggarannya. Grafik 1.6 Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional
Grafik 1.6 Tahun 2009 – 2013 Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 – 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah) dalam anggaran dengan realisasi memberikan gambaran Perbedaan defisit/surplus tingkat akurasi perencanaan daerahdalam dalam anggaran penganggaran pendapatan dan belanja daerah, Perbedaan defisit/surplus dengan realisasi memberikan baik dari sisi pendapatan belanja. daerah Semakindalam besar penganggaran gap anggaran dan realisasi gambaran tingkat akurasiataupun perencanaan pendapatan surplus/defisit maka hal baik itu menggambarkan perencanaan anggaranbelanja. pendapatan dan belanja dan belanja daerah, dari sisi pendapatan ataupun Semakin besar daerah yang kurang baik. Grafikhal1.6inimenyajikan pergerakan gap antara gap anggaran dan tersusun realisasidengan surplus/defisit, menggambarkan perencanaan surplus/defisit antara anggaran semakin besar. Tahun dengan 2009 APBD anggaran pendapatan dan dengan belanjarealisasi daerahyang yang kurang tersusun baik. dianggarkan defisit sebesarpergerakan Rp47,96 triliun danantara realisasisurplus/defisit APBD juga terjadi defisit sebesar Grafik 1.6 menyajikan gap antara anggaran Rp11,46 triliun, dengan katasemakin lain terdapat gap Pada atau selisih Secara dengan realisasi yang besar. tahunsebesar 2009,Rp36,51 APBD triliun. dianggarkan defisit sebesar Rp47,96 dan realisasi defisitmencapai sebesar visual selisih tersebut terlihattriliun semakin besar, hingga APBD di tahunjuga 2013terjadi gap tersebut Rp11,46 triliun, dengan kata lain terdapat gap atau selisih sebesar Rp36,51 Rp64,67 triliun. Gap tahun 2013 sebagian besar berasal dari pelampauan realisasi triliun. Secara selisih semakintriliun, besar, hingga pada tahun pendapatan yangvisual, lebih besar daritersebut anggaran terlihat sebesar Rp46,72 yang secara terperinci 2013 gap tersebut mencapai Rp64,67 triliun. Gap tahun 2013 sebagian besar angka tersebut 42,05% berasal dari pelampuan Lain-lain Pendapaatan daerah yang Sah dan berasal dari pelampauan realisasiAsli pendapatan yang lebih besar dari anggaran sebesar 37,51% berasal dari Pendapatan Daerah. sebesar Rp46,72 triliun, yang secara terperinci angka tersebut 42,05% berasal dari pelampuan Lain-lain Pendapatan yang Sah dan sebesar 37,51% berasal 18 | P a g e dari Pendapatan Asli Daerah.
Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD
13
14
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menuntut pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber pendapatan yang dimiliki secara baik dan maksimal. Terdapat dua sumber utama pendapatan daerah, yaitu dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi dan pendapatan asli daerah (PAD). Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi (pemerintah pusat dan/atau provinsi) mempunyai proporsi yang lebih besar daripada PAD, yang sebagian besar berasal dari pajak daerah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sistem desentralisasi di Indonesia yang lebih menganut expenditure assignment. Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi terbagi menjadi dua, yaitu dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, dan dana transfer dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten dan kota. Dari tahun ke tahun, dana yang ditransfer menunjukkan tren yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dana tersebut ditujukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal secara horisontal dan vertikal, membantu pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat, dan tujuan khusus lainnya yang ditetapkan oleh peraturan perundangan. Dalam bab ini, jenis dana transfer yang dibahas adalah dana transfer dari pemerintah pusat. Sumber pendanaan kedua adalah PAD, yang terdiri dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah merupakan komponen utama dan menyumbang proporsi terbesar dalam PAD. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat empat jenis pajak yang dapat dipungut langsung oleh pemerintah provinsi dan tujuh jenis pajak yang menjadi kewenangan kabupaten dan kota. Terdapat beberapa jenis pajak baru yang diserahkan kepada daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
15
Pedesaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. Penyerahan keempat jenis pajak baru tersebut diharapkan menjadi sumber pendapatan daerah yang baru dan mampu meningkatkan nilai pendapatan asli daerah. Berbeda dengan pemberian dana transfer, penyerahan kewenangan kepada daerah untuk memungut beberapa jenis pajak merupakan bentuk pelaksanaan revenue assignment. Untuk melihat peranan kedua sumber pendanaan tersebut dalam APBD, berikut disajikan analisis realisasi pendapatan APBD Tahun 2013. Dalam analisis ini, diberikan gambaran realisasi komponen-komponen utama pendapatan APBD dan perbandingan dengan realisasi pendapatan empat tahun terakhir. Analisis komposisi dari realisasi pendapatan APBD bertujuan untuk menunjukkan peranan dari masing-masing komponen pendapatan APBD di Indonesia dengan melihat komposisi dari pendapatan total secara agregat nasional, agregat provinsi, dan agregat kabupaten/kota. Secara khusus, analisis ini juga membahas perbandingan antara total Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap total Pendapatan Daerah secara agregat nasional dan agregat kabupaten/kota.
2.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi sebesar Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Grafik 2.1 menyajikan perbandingan antara anggaran dan realisasi pendapatan daerah tahun 2013 pada pos PAD, pos Dana Perimbangan (Daper), pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah, serta secara total pendapatan.
16
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Grafik 2.1 menyajikan perbandingan antara anggaran dan realisasi pendapatan daerah tahun 2013 pada pos PAD, pos Dana Perimbangan (Daper), pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah, serta secara total pendapatan.
Grafik Grafik 2.1 2.1 Perbandingan Anggaran- -Realisasi Realisasi Pendapatan TATA 2013 Perbandingan Anggaran PendapatanNasional Nasional 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah) Pelampauanrealisasi realisasi terhadap anggaran terjaditerjadi pada masing-masing komponen Pelampauan terhadap anggaran pada masing-masing pendapatan. pendapatan. Pelampauan pendapatan daerahpendapatan yang terbesardaerah pada tahun berasal pada dari komponen Pelampauan yang2013 terbesar
tahun 2013 berasal dari komponen Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar 20 | P a g e Rp19.65 triliun atau terealisasi sebesar 124,57% (pagu anggaran Rp79,97 triliun sedangkan realisasinya Rp99,62 triliun), diikuti oleh pelampauan PAD Rp17,527 triliun atau terealisasi sebesar 112,49% (pagu anggaran Rp140,328 triliun sedangkan realisasi Rp157,856 triliun), dan pelampauan Dana Perimbangan Rp9,55 triliun atau terealisasi sebesar 102,2% (pagu anggaran Rp433,21 triliun sedangkan realisasi Rp442,76 triliun). Sejak tahun 2012, Pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah merupakan pos dengan selisih realisasi terbesar secara persentase. Pelampauan komponen Lain-lain Pendapatan Yang Sah didominasi oleh pos Dana Penyesuaian yang mencapai Rp12,877 triliun (17,94% dari anggaran). Hal ini disebabkan karena informasi mengenai alokasi Tunjangan Profesi Guru baru diketahui oleh pemerintah daerah pada bulan Februari 2013. Pos lain yang tingkat pelampauannya cukup tinggi yaitu pos Lain-Lain dengan kenaikan sebesar Rp8,276 triliun (realisasi hingga sebesar 4 kali anggarannya). Penerimaan Dana Darurat yang semula tidak dianggarkan, terjadi realisasi sebesar Rp185,23 miliar. Sementara itu, penerimaan Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
17
dari pos Hibah pada saat realisasi justru mengalami penurunan dibandingkan anggarannya sebesar Rp1,69 triliun. Pelampauan realisasi pendapatan pada komponen PAD masih didominasi oleh pelampauan Pajak Daerah dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah pada tahun 2013 terealisasi Rp115,28 triliun atau lebih tinggi Rp12,76 triliun (12,44%) dibandingkan anggarannya. Melampauinya realisasi penerimaan pajak daerah dibandingkan dengan target pendapatan dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah pada tahun 2013 terdapat beberapa daerah yang mulai memungut PBB-P2 secara langsung dan kinerja pemungutan pajak daerah lainnya yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, pos Lain-Lain PAD yang sah terealisasi lebih tinggi Rp5,586 triliun lebih tinggi atau sebesar 126% dibandingkan anggarannya. Lain-Lain PAD yang Sah salah satunya diperoleh dari penerimaan bunga dari simpanan daerah di bank umum daerah. Retribusi Daerah justru dianggarkan terlalu optimis oleh daerah, yang semula dianggarkan Rp10,5 triliun hanya dapat direalisasikan sebesar Rp9,8 triliun (lebih rendah Rp694 miliar atau terealisasi 93,39% dibandingkan anggarannya). Untuk Dana Perimbangan, pelampauan terjadi pada pos Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp8,72 triliun. Lebih tingginya realisasi DBH dibandingkan dengan anggaran karena jumlah DBH yang akan diterima oleh daerah baru diketahui ketika sebagian besar daerah telah menetapkan APBD sehingga nilai yang ditetapkan dalam APBD merupakan nilai proyeksi berdasarkan nilai DBH tahun sebelumnya. Faktor lain yang menyebabkan realisasi DBH lebih besar dibandingkan dengan anggarannya adalah ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa DBH ditransfer berdasarkan nilai realisasi yang diterima oleh pemerintah pusat. Berbeda dengan pos Dana Bagi Hasil, realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) hampir sama dengan jumlah yang dianggarkan, selisih yang terjadi hanya di bawah 1% dibandingkan dengan anggaran. Realisasi DAU lebih tinggi Rp1,04 triliun daripada yang telah dianggarkan oleh daerah, sebaliknya DAK dianggarkan terlalu tinggi Rp205 miliar. Hal ini disebabkan karena nilai alokasi DAU dan DAK yang diterima oleh daerah bersifat tetap (tidak
18
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
berubah walau terdapat APBN Perubahan) dan informasi jumlah DAU dan DAK yang diterima dapat diperoleh oleh pemerintah daerah sebelum APBD ditetapkan. Variasi yang relatif kecil ini juga sejalan dengan hasil analisis pada Deskripsi dan Analisis APBD Tahun 2013 yang menguji hubungan variasi nilai alokasi DBH, DAU, dan DAK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan ditetapkan dalam APBD dengan pengumuman informasi alokasi oleh pemerintah pusat. Informasi DBH tahun 2013 baru diketahui oleh pemerintah daerah pada bulan Februari 2013, sedangkan besaran DAU dan DAK yang diterima diketahui oleh masingmasing daerah setelah rapat paripurna penetapan APBN 2013 dilaksanakan. Analisis yang dilakukan dengan melihat perbedaan besaran alokasi pada Perpres DAU dan PMK Alokasi DAK dan DBH dengan besarnya pos dana tersebut pada APBD. Deviasi akan bernilai positif apabila daerah menganggarkan penerimaannya pada APBD lebih besar daripada alokasi pada PMK Alokasi dan akan bernilai negatif apabila alokasi pada APBD lebih kecil daripada alokasi pada PMK Alokasi. Deviasi/perbedaan terbesar terdapat pada alokasi Dana Bagi Hasil yang mencapai 167,28% untuk deviasi negatif dan 100% untuk deviasi positif. Di sisi lain, deviasi atas alokasi DAK dan DAU cenderung kecil. Meskipun masih ada daerah dengan deviasi negatif 100%, jumlah tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan daerah yang memiliki deviasi 0% dan hanya 3 daerah yang memiliki deviasi positif dengan nilai deviasi positif tertinggi sebesar 3,5%. Deviasi positif tertinggi yang terjadi pada alokasi DAU adalah sebesar 6,37% dan deviasi negatif tertinggi sebesar 23,7%. Dengan kondisi ini, perbedaan antara anggaran dan realisasi Dana Perimbangan di APBD tidak terlalu signifikan.
2.2. Komposisi Pendapatan Daerah Berdasarkan data yang disajikan pada poin A, tampak bahwa Dana Perimbangan merupakan komponen pendapatan terbesar bagi daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah masih sangat mengandalkan transfer dari Pemerintah Pusat untuk mendanai belanjanya. Pada bagian ini, disajikan grafik komposisi pendapatan daerah secara nasional, provinsi, dan agregat kabupaten/kota.
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
19
daerah masih sangat mengandalkan transfer dari Pemerintah Pusat untuk mendanai belanjanya. Pada bagian ini, disajikan grafik komposisi pendapatan daerah secara nasional, provinsi, dan agregat kabupaten/kota.
Grafik.2.2 Grafik.2.2 Komposisi Pendapatan 2013Secara Secara Nasional Provinsi Komposisi PendapatanDaerah Daerah 2013 Nasional dandan Provinsi (dalam triliun Rupiah dan persentase) (dalam triliun Rupiah dan persentase)
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber:Secara DJPKagregat (data diolah) nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan yang mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua Secara agregat nasional, pendapatan daerah didominasi oleh posadalah Dana PAD yang mencapai triliun atau 22,54% dariatau total63,23% pendapatan kemudian LainPerimbangan yangRp157,86 mencapai Rp442,76 triliun daridan total pendapatan. Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,62 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54%Nilai dari Lain-Lain Pendapatan Yang Sah untukLain-Lain agregat nasional merupakan nilai hasil konsolidasi total pendapatan dan kemudian Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,62 setelahatau dikurangi pendapatan Transfer dari Pemerintah Provinsi atau PemerintahYang Daerah triliun 14,23% dari total pendapatan. Nilai Lain-Lain Pendapatan Sah Lainnyaagregat sebesar Rp26,7 triliun. untuk nasional merupakan nilai hasil konsolidasi setelah dikurangi pendapatan dari Pemerintah Provinsi atau BerbedaTransfer dengan nasional, komposisi pendapatan untukPemerintah provinsi yangDaerah terbesar Lainnya berasal sebesar Rp26,7 triliun. dari PAD yaitu sebesar 49,25%, meningkat apabila dibandingkan realisasi tahun 2012. Proporsi PAD pada tingkatnasional, provinsi cukup signifikanpendapatan karena basis pajak provinsi yang cukup Berbeda dengan komposisi untuk provinsi yang besar sehingga penerimaan dari pajaksebesar daerah memberikan kontribusi yang besardibandingkan bagi APBD. terbesar berasal dari PAD yaitu 49,25%, meningkat apabila Proporsi Dana yang diterima olehtingkat provinsiprovinsi hanya sebesar sedangkan realisasi tahunPerimbangan 2012. Proporsi PAD pada cukup31,34%, signifikan karena basis pajak provinsi yang cukup besar sehingga penerimaan dari pajak 23 | Pdaerah age memberikan kontribusi yang besar bagi APBD. Proporsi Dana Perimbangan yang diterima oleh provinsi hanya sebesar 31,34%, sedangkan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih didominasi oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.
20
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih didominasi oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.
Grafik.2.3 Grafik.2.3 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota (dalam persentase) (dalamtriliun triliunRupiah Rupiah dan dan persentase)
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah PAD sebesar
Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah Rp56,5 triliun, Dana Perimbangan Rp378,26 triliun, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah PAD sebesar Rp56,5 triliun, Dana Perimbangan Rp378,26 triliun, dan Lain-Lain yaitu sebesar Rp86,19 Triliun. Proporsi realisasi pendapatan APBD kabupaten/kota Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar Rp86,19 Triliun. Proporsi realisasi pendapatan sebagaimana terlihat pada grafik 2.3 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota sangat APBD kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada grafik 2.3 menunjukkan bahwa didominasi oleh penerimaan dari Dana Perimbangan, yaitu sebesar 72,61% dengan pendapatan kabupaten/kota sangat didominasi oleh penerimaan dari Dana komponen terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Yang Perimbangan, yaitu sebesar 72,61% dengan komponen terbesar adalah Dana Sah memiliki kontribusi sebesar 16,55%. Tidak berbeda dengan provinsi, penerimaan Alokasi Umum. Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah memiliki kontribusi terbesar komponen ini berasal dari transfer Dana Penyesuaian dari Pemerintah Pusat. sebesar 16,55%. Tidak berbeda dengan provinsi, penerimaan terbesar komponen Sementara itu Pendapatan Daerah hanya memberikan kontribusi ini berasal dari transfer Dana Asli Penyesuaian dari Pemerintah Pusat.terhadap APBD sebesar 10,85%. Komponen PAD belum mampu memberikan kontribusi yang cukup
Sementara itu Pendapatan Asli Daerah hanya memberikan kontribusi terhadap APBD sebesar 10,85%. Komponen PAD belum mampu memberikan kontribusi triliun dibandingkan tahun 2012. Dari keseluruhan komponen PAD, Pajak Daerah yang cukup signifikan bagi kabupaten/kota meskipun penerimaannya mengalami memberikan kontribusi sebesar Rp28,5 triliun (51%) dan Lain-Lain PAD sebesar Rp16,5 kenaikan sebesar Rp10 triliun dibandingkan tahun 2012. Dari keseluruhan triliun (29%). Bagi kabupaten/kota penerimaan Lain-Lain PAD ternyata juga memberikan komponen PAD, Pajak Daerah memberikan kontribusi sebesar Rp28,5 triliun kontribusi yang cukup besar bagi APBD. (51%) dan Lain-Lain PAD sebesar Rp16,5 triliun (29%). Bagi kabupaten/kota Berdasarkan komposisi di atas, dapat disampaikan bahwa pemerintah penerimaan Lain-Lain PAD ternyata juga memberikan kontribusi yang daerah cukup kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Perimbangan. Sebaliknya, pemerintah provinsi besar bagi APBD. signifikan bagi kabupaten/kota meskipun penerimaannya mengalami kenaikan sebesar Rp10
24 | P a g e
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
21
Berdasarkan komposisi di atas, dapat disampaikan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Perimbangan. Sebaliknya, pemerintah provinsi yang cenderung memiliki diskresi yang lebih tinggi untuk menentukan pajak daerahnya dapat memperoleh realisasi penerimaan pajak yang cenderung memiliki diskresi yang lebih tinggi untuk menentukan pajak daerahnya dapat daerah yang lebih optimal. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah memperoleh realisasi penerimaan pajak daerah yang lebih optimal. Satu hal yang perlu peningkatan penerimaan dari pos Lain-Lain PAD yang nilainya cukup signifikan. mendapatkan perhatian adalah peningkatan penerimaan dari pos Lain-Lain PAD yang Dalam pos Lain-Lain PAD tersebut terdapat pos Pendapatan Bunga. Kondisi nilainya cukup signifikan. Dalam pos Lain-Lain PAD tersebut terdapat pos Pendapatan ini perlu dicermati mengingat sepanjang tahun 2013 jumlah dana yang dimiliki Bunga. Kondisi ini perlu dicermati mengingat sepanjang tahun 2013 jumlah dana yang daerah dan tersimpan dalam perbankan relatif cukup besar. Banyaknya dana dimiliki daerah dan tersimpan dalam perbankan relatif cukup besar. Banyaknya dana idle di idle di perbankan tentunya akan meningkatkan pendapatan bunga bagi daerah. perbankan tentunya akan meningkatkan pendapatan bunga bagi daerah.
2.3. Tren Realisasi 2.3. Tren Realisasi PendapatanPendapatan Daerah Nasional
Daerah Nasional
Tren realisasipendapatan pendapatan daerah nasional dapat dapat dilihat dilihat pada Grafik Grafik Tren realisasi daerah nasional pada2.4. Grafik 2.4. tersebut menunjukkan pola realisasipola pendapatan daerah dari tahun daerah 2009-2013 menggunakan Grafik tersebut menunjukkan realisasi pendapatan dari tahun 2009dua yang dua berbeda. Pendekatan dengan harga Pendekatan konstan tahun 2000 harga dan 2013pendekatan menggunakan pendekatan yang berbeda. dengan memperhitungkan faktor dan perubah harga seperti inflasi pada perubah tahun 2009harga - 2013, sedangkan konstan tahun 2000 memperhitungkan faktor seperti inflasi pendekatan dengan berlaku tidak memperhitungkan perubah hargaberlaku pada tahun pada tahun 2009harga - 2013, sedangkan pendekatanfaktor dengan harga tidak 2009 - 2013. memperhitungkan
faktor perubah harga pada tahun 2009 - 2013.
Grafik Grafik2.4 2.4 Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013
Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013 800,00 700,00 600,00 500,00 400,00 300,00
Pendapatan
200,00
PAD
100,00 0,00 2010
2011
2012
2013
Pendapatan 378,20
2009
433,60
527,73
624,50
700,24
PAD
81,15
109,24
131,81
157,86
67,57
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan dengan pendekatan harga berlaku menunjukkan peningkatan
dengan pendekatan menunjukkan yangRealisasi signifikan pendapatan dari tahun 2009-2013, dengan peningkatanharga tertinggiberlaku pada tahun 2011. Jika peningkatan yang signifikan dari tahun 2009-2013, dengan peningkatan tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran Rp378,20 triliun, maka pada tahuntertinggi 2013 realisasi pendapatan hampir mencapai dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun dengan pendekatan harga konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013 22 realisasi antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun. 25 | P a g e
pada tahun 2011. Jika tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran Rp378,20 triliun, maka pada tahun 2013 realisasi pendapatan hampir mencapai dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun dengan pendekatan harga konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai realisasi antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun. Grafik 2.5
Grafik 2.5 TrenTren Realisasi Pendapatan NasionalPerjenis Perjenis Pendapatan TA 2009-2013 Realisasi PendapatanDaerah Daerah Nasional Pendapatan TA 2009-2013 Triliun Rupiah
Triliun Rupiah
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber:Tren DJPKpeningkatan (data diolah) juga terlihat untuk realisasi jenis pendapatan PAD dengan pendekatan harga berlaku. Walaupun terbesar padapendapatan tahun 2010 ke 2011 yaitu Tren peningkatan juga terlihatpeningkatan untuk realisasi jenis PAD dengan sebesar 34,6% harga atau sebesar Rp28,09 triliun, peningkatan yang terjadi dari tahun ke tahun pendekatan berlaku. Walaupun peningkatan terbesar pada2012 tahun 2010 2013 juga yaitu cukup sebesar besar, yaitu Rp26,04 triliun. Sementara itu berdasarkan harga konstan, jenis ke 2011 34,6% atau sebesar Rp28,09 triliun, peningkatan yang pendapatan juga mengalami peningkatan di tahun 2013 sebesar 14,73% atau Rp6,35 terjadi dariPAD tahun 2012 ke tahun 2013 juga cukup besar, yaitu Rp26,04 triliun. triliun. Sementara itu berdasarkan harga konstan, jenis pendapatan PAD juga mengalami peningkatan di tahun 2013 sebesar secara 14,73% atau Rp6,35 triliun. kenaikan baik Tren realisasi Dana Perimbangan nasional juga mengalami berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga berlaku, realisasi Dana
Tren realisasi Dana Perimbangan secara nasional juga mengalami kenaikan Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingga 2013, dari sebesar Rp281,29 baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64% berlaku, realisasi Dana Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009 (Rp60,83 triliun), kenaikan di tahun 2013 tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14% hingga 2013, dari sebesar Rp281,29 triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika (Rp37,07 triliun). Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64% (Rp60,83 triliun), kenaikan jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar dimeskipun tahun secara 2013 persentase tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14% (Rp37,07 triliun). 12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun). Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan yang Babharga II Realisasi Daerah Sah juga mengalami peningkatan baik dalam berlakuPendapatan maupun harga konstan. 23
Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16% (Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013 sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan berdasarkan harga konstan peningkatannya
Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan meskipun secara persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar 12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun). Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan yang Sah juga mengalami peningkatan baik dalam harga berlaku maupun harga konstan. Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16% (Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013 sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan berdasarkan harga konstan peningkatannya pada tahun 2012 sebesar 13,07% (Rp3,29 triliun) dan pada tahun 2013 sebesar 9,72% (Rp2,76 triliun). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah baik secara keseluruhan maupun per jenis pendapatan mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan realisasi pendapatan secara riil dari tahun 2009 hingga 2013.
2.4. Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Rasio pajak daerah terhadap total pendapatan daerah menggambarkan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak di daerah terhadap total pendapatan daerah selama satu periode anggaran. Rasio ini menunjukkan bagaimana komposisi penerimaan dari sektor pajak daerah terhadap pendapatan yang dapat dihasilkan oleh daerah. Dengan telah diterapkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah telah diberikan kewenangan yang luas untuk memberdayakan potensi yang dimiliki, dengan kebijakan diskresi penetapan tarif pajak.
24
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
diberikan kewenangan yang luas untuk memberdayakan potensi yang dimiliki, dengan kebijakan diskresi penetapan tarif pajak. Grafik 2.6 Grafik 2.6 Perkembangan Jumlah Daerah Perkembangan Jumlah Daerah yang Mengelola dan dan PPB-P2 2009-2013 yang MengelolaBPHTB BPHTB PPB-P2 2009-2013 500 400 300 200
BPHTB
100
PBB-P2
2011
2012
2013
BPHTB
297
407
442
PBB-P2
8
29
129
Sumber: DJPK (data diolah) Sumber: DJPK (data diolah)
Selain itu salah satu kebijakan dalam undang-undang tersebut, mengenai pengalihan Selain itu salah satu kebijakan dalam undang-undang tersebut, mengenai kewenangan pemungutan PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah, secara jelas menyiratkan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke bentuk dukungan bagi jelas daerah untuk dapat melakukan pemungutan pajaknya dengan lebih daerah, secara menyiratkan bentuk dukungan bagi daerah untuk dapat pajaknya dengan lebih peningkatan optimal. Kedua hal ini yang optimal.melakukan Kedua halpemungutan ini yang tampaknya mendorong pendapatan pajak dan tampaknya mendorong peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah retribusi daerah sejak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada Grafik 2.6 di atas sejak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada Grafik 2.6 di atas terlihat terlihat perkembangan kabupaten/kota (tidak (tidak termasuk termasukProvinsi ProvinsiDKI DKI Jakarta) yang perkembangan jumlah jumlah kabupaten/kota Jakarta) yang mengelola PBB-P2 dan BPHTB secara mandiri sebagai penerimaan daerah mulai tahun 2011 hingga 2013. 27 | P a g e
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
25
mengelola PBB-P2 dan BPHTB secara mandiri sebagai penerimaan daerah mulai tahun 2011 hingga 2013.
Grafik 2.7 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Grafik 2.7 Total Pendapatan Daerah Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Secara Nasional TA 2009-2013 Secara Nasional TA 2009-2013
18,00%
16,46%
16,00%
15,03%
14,00%
15,22%
12,95% 11,93%
12,00% 10,00% 8,00%
Rasio Anggaran 11,68% 12,34% 13,84%
14,81% 15,69%
6,00%
Rasio Realisasi
4,00% 2,00% 0,00% 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah) Grafik 2.7 menunjukkan trenrasio rasiopajak pajak daerah totaltotal pendapatan dari tahun Grafik 2.7 menunjukkan tren daerahterhadap terhadap pendapatan dari 2009 hingga 2013 secara agregat nasional padanasional anggaran pada dan realisasi dalamdan APBD. Tren tahun 2009 hingga 2013 secara agregat anggaran realisasi yang ditunjukkan terusyang meningkat dari tahun ke tahun baik padadari anggaran realisasi. dalam APBD. Tren ditunjukkan terus meningkat tahunmaupun ke tahun baik Peningkatan tren anggaran menunjukkan peningkatan sekitar 1% setiap tahunnya dan pada anggaran maupun realisasi.adanya Peningkatan tren anggaran menunjukkan peningkatan rasio terbesar terjadi1% pada tahuntahunnya 2011 yaitu dan sebesar 1,5% dari tahun 2010. Tren adanya peningkatan sekitar setiap peningkatan rasio terbesar rasio pajak realisasi menunjukkan dari Tren tahunrasio 2009-2012 terjadi padaberdasarkan tahun 2011 yaituAPBD sebesar 1,5% daripeningkatan tahun 2010. pajak sekitar 1 hinggarealisasi 2 persen dan tahunmenunjukkan 2013 peningkatan terjaga sebesardari 1,24% dari tahun 2012. berdasarkan APBD peningkatan tahun 2009-2012 sekitar Grafik 1 hingga 2 persen dan tahun 2013 peningkatan terjaga sebesar 1,24% tersebut juga menunjukkan bahwa penerimaan pajak selalu terealisasi lebih dari tahun 2012. besar dibandingkan yang telah dianggarkan daerah dalam APBD. Perbedaan terkecil antara realisasi anggaran pada tahunbahwa 2009 yaitu sekitar 0,3%pajak dan yang terbesar terjadi Grafikdengan tersebut juga terjadi menunjukkan penerimaan selalu terealisasi pada tahun 2011 yaitu sekitar 1,2%. Sedangkan realisasi dengan anggaran padaAPBD. tahun lebih besar dibandingkan yang telah deviasi dianggarkan daerah dalam 2013 beradaterkecil pada kisaran 0,8%. Walaupun menaruh angka Perbedaan antara realisasi dengan masih anggaran terjadi padapesimis tahun pada 2009 yaitu sekitar 0,3% danmenunjukkan yang terbesar terjadi 2011 yaitu sekitarpotensi 1,2%. penganggaran, hal ini daerah sudahpada cukuptahun mampu memperkirakan Sedangkan deviasi realisasi denganantar anggaran tahun 2013 beradaterlihat pada pajak daerahnya. Deviasi yang mencolok realisasipada dan anggaran pajak daerah kisaran 0,8%. Walaupun masih menaruh angka pesimis pada penganggaran, hal ini menunjukkan daerah sudah cukup mampu memperkirakan potensi pajak 28 | P a g e daerahnya. Deviasi yang mencolok antar realisasi dan anggaran pajak daerah
26
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
terlihat pada2011, tahun 2011, dikarenakan penerapan kebijakan BPHTB yang mulai pada tahun dikarenakan penerapan kebijakan BPHTB yang mulai efektif dialihkan efektif dialihkan sebagai pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011. sebagai pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011. Grafik 2.8 Grafik 2.8 Total Pendapatan Daerah Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah Agregat AgregatKabupaten/Kota Kabupaten/Kota TA TA 2009-2013 2009-2013 6,00%
5,48% 4,80%
5,00% 4,05%
4,00% 3,00%
2,53%
Rasio Anggaran
2,57% 4,89%
2,00% 1,00%
2,70%
3,73%
Rasio Realisasi
4,23%
2,41%
0,00% 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
PadaPada Grafik 2.82.8 tampak rasiopajak pajak tahun dan berdasarkan 2010 berdasarkan Grafik tampakbahwa bahwa rasio tahun 20092009 dan 2010 realisasi realisasi relatif terlihattren adanya relatif stabil padastabil kisaranpada 2,5%.kisaran Namun, 2,5%. setelah Namun, itu, terlihatsetelah adanya itu, peningkatan dari peningkatan tren dari rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak mencapai rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak mencapai lebih dari dua kali lipat dari rasio lebih lipatHaldari pajak pengaruh pada tahun 2010. Halsignifikan ini menunjukan pajak dari padadua tahunkali 2010. ini rasio menunjukan BPHTB cukup terhadap pengaruh BPHTB cukup signifikan terhadap penerimaan pajak kabupaten/kota. penerimaan pajak kabupaten/kota.
29 | P a g e Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
27
Grafik 2.9 Grafik 2.9 Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB BPHTBTerhadap TerhadapTotal TotalPajak PajakDaerah Daerah Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan Secara Nasional TA 2010-2013 Secara Nasional TA 2010-2013 Rasio terhadap Total Pajak Daerah (%) 50,00%
Milyar Rupiah 120.000
45,00% 100.000
40,00% 35,00%
80.000
30,00% 60.000
25,00% 20,00%
40.000
15,00% 10,00%
20.000
5,00% -
0,00%
2010
2011
2012
2013
Anggaran Pajak Daerah
Realisasi Pajak Daerah
Anggaran PBB-P2
Realisasi PBB-P2
Anggaran BPHTB
Realisasi BPHTB
Anggaran PBB-P2 dan BPHTB
Realisasi PBB-P2 dan BPHTB
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Pada Grafik 2.9, terlihat bahwa secara total realisasi PBB dan BPHTB mampu
Pada Grafik 2.9, terlihat bahwa totalNamun realisasi PBB dan BPHTB ini mampu melampaui anggaran pada tahun 2011secara dan 2012. demikian, pencapaian lebih melampaui anggaran tahun 2011 dan 2012.dibanding Namun realisasi demikian, pencapaian banyak dikontribusi olehpada realisasi penerimaan BPHTB penerimaan PBB iniyang lebihpada banyak dikontribusi oleh realisasi penerimaan dibanding realisasi periode tersebut baru sedikit daerah yang telah BPHTB melakukan pemungutan PBB penerimaan PBB yang pada periode tersebut baru sedikit daerah yang telah secara langsung. Selain itu pada grafik juga terlihat jelas bahwa realisasi penerimaan PBB melakukan PBBtiap secara langsung. Selain itu maupun pada grafik jugaterhadap terlihat dan BPHTBpemungutan terus meningkat tahunnya baik nilai absolut rasionya jelas bahwa realisasi penerimaan PBB dan BPHTB terus meningkat tiap tahunnya penerimaan pajak daerah. baik nilai absolut maupun rasionya terhadap penerimaan pajak daerah.
30 | P a g e
28
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB III REALISASI BEL ANJA DAERAH
Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat terealisasi dengan baik. Hal ini menjadi salah satu tugas BAB III REALISASI BELANJA DAERAH penting pemerintahan daerah terutama dalam menyediakan layanan administratif dan infrastruktur publik melalui alokasi belanja daerah pada APBD. Perwujudan Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat dengan kebijakan belanja layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat daerah. terealisasi Realisasidengan belanja merupakan realisasi penyerapan baik. daerah Hal ini menjadi salah satu tugas penting pemerintahanbelanja daerah daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan terutama dalam menyediakan layanan administratif dan infrastruktur publik melalui alokasi belanja daerah langsung pada APBD. Perwujudan publik di daerah tentunya berkorelasi erat publik yang berdampak maupunpelayanan tidak langsung terhadap pelayanan dengan kebijakan belanja daerah. Realisasi belanja daerah merupakan realisasi penyerapan di daerah. belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan
3.1. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi publik di daerah. Belanja Daerah 3.1. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah Grafik 3.1 Grafik 3.1 Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah APBD Tahun Anggaran 2013 Anggaran dengan Realisasi Belanja (dalam miliar rupiah)
Perbandingan Daerah APBD Tahun Anggaran 2013 (dalam miliar rupiah)
Sumber : DJPK (data diolah)
Sumber : DJPK (data diolah) Secara nominal, realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95 triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun Bab II Realisasi Pendapatan Daerah atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang 31 | P a g e
29
Secara nominal, realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95 triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di atas 100% adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar Rp94,46 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09 triliun. Komponen belanja dengan tingkat penyerapan masih di bawah 100% meliputi Belanja Pegawai yaitu sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun dengan pagu anggaran Rp296,82 triliun), Belanja Barang dan Jasa yaitu sebesar 97,61% (realisasi Rp144,63 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp148,17 triliun), dan Belanja Modal sebesar 92,76% (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun). Pengelolaan keuangan daerah yang baik tidak hanya dilihat dari tingkat realisasi belanjanya semata. Apabila kita hanya melihat realisasi belanja yang lebih tinggi daripada anggaran induknya, hal ini bisa menjadi sangat bias karena seolah-olah penyerapan belanja APBD-nya sangat baik padahal tidak sepenuhnya seperti itu. Pada tahun 2013 telah terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap APBD pada saat tahun anggaran sedang berjalan, terutama dari sisi pendapatan APBD, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun Dana Perimbangan. Dalam proses pembahasan APBD, penetapan angka pendapatan APBD sangat tergantung kepada informasi transfer dari Pusat. Kondisi yang terjadi pada saat penetapan APBD tahun 2013 adalah hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) saja yang informasinya benar-benar sesuai dengan jadwal tenggat waktu penetapan APBD di mana besaran alokasi DAU dan DAK sudah terinformasikan ke daerah pada minggu pertama November sebelum tahun anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat terinformasikan pada bulan Desember sebelum tahun anggaran yang baru atau bahkan setelah tahun anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari sampai dengan Maret. Dengan demikian besaran alokasi dana perimbangan per daerah setiap tahunnya belum sepenuhnya ada kepastian, apakah daerah tersebut mendapatkan alokasi dana
30
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
ataukah alokasi dananya naik atau turun, khususnya transfer dari DBH, sehingga daerah cenderung hanya membandingkan dengan alokasi tahun lalu. Dalam praktiknya, dalam penyusunan APBD, daerah hanya menaikkan pendapatan transfernya dengan prosentase kecil. Sebagai akibatnya, daerah cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinformasikan tersebut. Dalam kenyataannya, terkait dengan realisasi pelampauan pendapatan pada APBD induk, daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan lainnya. Selain itu, apabila kita melihat data secara lebih detail, pada Grafik 3.1 di atas terlihat bahwa Belanja Pegawai atau yang biasa disebut sebagai “Gaji PNS” tidak terealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik hanya mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang Rp12,73 triliun dari anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan alokasi pendapatan transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat pada saat tahun anggaran 2013 berjalan), maka anggaran belanja juga harus segera menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik. Salah satu kelemahan yang seringkali terjadi adalah adanya kecenderungan daerah untuk melakukan perubahan APBD pada saat menjelang akhir tahun anggaran berjalan (di atas bulan September). Hal ini tentu saja sangat mengurangi kemampuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyesuaikan belanja, karena waktu yang tersisa untuk melaksanakan kegiatan/proyek menjadi sangat sempit. Daerah mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan APBD setelah diketahuinya hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun sebelumnya sehingga dapat mengetahui secara pasti berapa
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
31
besarnya Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi perubahan APBD hanya pada penyesuaian yang sifatnya administratif dan kurang menyentuh aspek substansi penyebab perubahan serta dampak yang mungkin bisa didapatkan apabila momentum perubahan dilakukan lebih awal. Sebab lain yang turut andil dalam keterlambatan penyesuaian belanja daerah ini juga dipengaruhi oleh aturan Permendagri yang memang mengaturnya sedemikian rupa. Namun apabila merujuk pada UU 17 Nomor 2003 tentang Keuangan Negara, dalam Pasal 28 menyebutkan bahwa perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan kebijakan umum APBD. Yang dimaksudkan dengan kebijakan umum APBD mencakup di antaranya adalah kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan belanja daerah. Dua hal tersebut seharusnya sudah bisa dijadikan sebagai dasar bagi perubahan APBD. Dengan demikian, apabila melihat kondisi yang terjadi pada tahun 2013, seharusnya perubahan APBD sudah dapat dilakukan paling tidak sejak bulan Mei 2013. Di samping permasalahan yang telah disebutkan di atas, beberapa hal yang juga menyebabkan rendahnya penyerapan Belanja Modal daerah adalah penetapan APBD yang terlambat, adanya efisiensi Belanja Modal dan berbagai kebijakan penghematan. APBD yang terlambat ditetapkan dapat menyebabkan pelaksanaan proyek jadi terhambat. Penyerapan belanja yang tidak dapat dimulai pada awal tahun anggaran akan menyebabkan proyek yang direncanakan pemerintah tidak dapat diselesaikan tepat waktu sehingga akan menghambat daya dorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Proses tender yang memakan waktu relatif lama menyebabkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proyekproyek di daerah menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa proyek yang tidak selesai pada akhir Desember 2013.
32
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
lama menyebabkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proyek-proyek di daerah menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa proyek yang tidak selesai pada akhir Desember 2013.
3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah 3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah
Komposisi
Grafik 3.2 Grafik 3.2Daerah Nasional Komposisi Realisasi Belanja Tahun Anggaran 2013 Realisasi Belanja Daerah Nasional Tahun Anggaran (dalam triliun rupiah dan persentase)
2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
Sumber : DJPK (data diolah)
Sumber : DJPK (data diolah)
Grafik 3.2 menggambarkan bahwa secara nasional komposisi belanja daerah tahun 2013 didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 41,70% lebih 34 | Prendah age dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar 43,71%. Selanjutnya diikuti oleh Belanja Modal yaitu sebesar 23,63% lebih tinggi dari realisasi tahun lalu sebesar 21,94%, Belanja Barang dan Jasa sebesar 20,96% lebih tinggi dari realisasi tahun lalu sebesar 20,14%, dan Belanja Lainnya sebesar 13,70% lebih rendah dari realisasi tahun lalu sebesar 14,22%. Kondisi ini tentu saja harus menjadi perhatian kita mengingat secara implisit daerah hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawai. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya pada pos Belanja Modal yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Seharusnya dengan melihat realisasi pendapatan yang ternyata jauh lebih tinggi, maka belanja pelayanan publik bisa didorong lebih besar. Apabila seluruh pelampauan pendapatan dalam APBD 2013 dapat dialokasikan untuk penambahan belanja (dengan asumsi bahwa Belanja Pegawai tetap), dapat Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
33
diketahui bahwa alokasi belanja non belanja pegawai akan mengalami kenaikan dari 58,29% menjadi 60,93% dari total APBD. Meskipun hal tersebut hanya sebuah pengandaian, namun apabila pelampauan pendapatan sebesar Rp46,72 triliun tersebut benar-benar digunakan untuk menambah alokasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa yang terkait pelayanan dasar kepada masyarakat, maka besar harapan bahwa hal tersebut akan memperluas jangkauan pelayanan publik dan sekaligus dapat mendorong pertumbuhan perekonomian daerah. Grafik 3.3 Grafik 3.3 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Provinsi Anggaran 2013 Komposisi Realisasi Belanja DaerahTahun Provinsi Tahunrupiah Anggaran (dalam triliun dan2013 persentase) (dalam triliun rupiah dan persentase)
Sumber : DJPK (data diolah)
Sumber : DJPK (data diolah)
Grafik 3.3 menunjukkanbahwa bahwa persentase realisasi belanja daerah daerah provinsi provinsi terbesar Grafik 3.3 menunjukkan persentase realisasi belanja adalah Belanja Lainnya yaituLainnya sebesar 40,37%, lebih rendah jika dibandingkan dengan terbesar adalah Belanja yaitu sebesar 40,37%, lebih rendah jika realisasi tahun lalu sebesar 41,44%,tahun diikutilalu Belanja Barang dan Jasa sebesar 23,64% lebih dibandingkan dengan realisasi sebesar 41,44%, diikuti Belanja Barang tinggi dibanding realisasi tahunlebih lalu sebesar Belanja Modal sebesar 18,02% lebih dan Jasa sebesar 23,64% tinggi 23,01%, dibanding realisasi tahun lalu sebesar tinggi dibanding tahun lalu18,02% sebesar 16,65%, dan Belanja Pegawai sebesar 17,97% 23,01%, Belanjarealisasi Modal sebesar lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 18,90%. sebesar 16,65%, danrealisasi Belanja Pegawai sebesar 17,97% lebih rendah dibanding realisasiBerbeda tahun lalu sebesar 18,90%. dengan komposisi realisasi belanja daerah secara nasional, persentase realisasi belanja provinsi seluruh Indonesia yang terbesar adalah untuk Belanja Lainnya, yaitu berupa transfer bagi hasil dan bantuan keuangan kepada kabupaten dan kota. Hal ini wajar mengingat pelampauan pendapatan yang tertinggi untuk provinsi adalah dari pajak daerah, sehingga ANALISIS memang Realisasi harus dibagihasilkan. APBD tahun anggaran 2013 34
Berbeda dengan komposisi realisasi belanja daerah secara nasional, persentase realisasi belanja provinsi seluruh Indonesia yang terbesar adalah untuk Belanja Lainnya, yaitu berupa transfer bagi hasil dan bantuan keuangan kepada kabupaten dan kota. Hal ini wajar mengingat pelampauan pendapatan yang tertinggi untuk provinsi adalah dari pajak daerah, sehingga memang harus dibagihasilkan. Tabel 3.1 Komposisi Realisasi Belanja Lainnya pada APBD Provinsi Tahun Anggaran 2013 Jenis Belanja Lainnya
Nominal (Rp)
Persentase
Belanja Bunga
797.036.137.348
0,39%
Belanja Subsidi
31.165.819.500
0,02%
35.479.927.984.936
17,49%
3.023.297.238.337
1,49%
Belanja Bagi Hasil Kepada Prov/Kab/Kota dan Pemdes
27.194.552.911.654
13,41%
Belanja Bantuan Keuangan Kepada Prov/ Kab/Kota dan Pemdes
15.143.210.071.367
7,47%
203.665.952.632
0,10%
Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial
Belanja Tidak Terduga Sumber : DJPK (data diolah)
Selain itu pada Belanja Lainnya di APBD provinsi, realisasi Belanja Hibah mencapai 17,49% (Rp35,48 triliun) dan Belanja Bagi Hasil kepada Kabupaten dan Kota realisasinya sebesar 13,41% (Rp27,19 triliun), serta realisasi Bantuan Sosial sebesar 1,49% (Rp3,02 triliun). Terkait dengan pos Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial, patut dicermati karena belanja ini sering menjadi isu yang panas dan banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat mendekati tahun politik 2014.
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
35
Untuk provinsi, persentase realisasi Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal memiliki tren meningkat sedangkan realisasi Belanja Lainnya dan Belanja Pegawai memiliki tren menurun. Komposisi
Grafik Grafik 3.4 3.4 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran Tahun Anggaran 2013 (dalam triliun rupiah dan persentase) (dalam triliun rupiah dan persentase)
2013
: DJPK (data diolah) Sumber : Sumber DJPK (data diolah)
Secara persentase realisasi belanja daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia Secara persentase realisasi belanja daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 48,92% lebih rendah dibanding didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 48,92% lebih rendah dibanding realisasi tahun realisasi tahun lalu sebesar 51,72%, kemudian diikuti oleh Belanja Modal dengan lalu sebesar 51,72%, kemudian Belanja Modal dengan persentase 24,63% persentase sebesar 24,63%diikuti lebiholeh tinggi dibanding realisasi tahunsebesar lalu sebesar lebih tinggi dibanding realisasi sebesar18,82% 23,03%,lebih Belanja Barang dan Jasarealisasi sebesar 23,03%, Belanja Barang dantahun Jasalalu sebesar tinggi dibanding 18,82% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya sebesar 7,63% lebih tinggi sebesar 7,63% lebih tinggi dibanding realisasi 7,25%. tahun lalu sebesar 7,25%. dibanding realisasi tahun lalu sebesar Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan tren meningkat realisasi Belanja Pegawairealisasi memiliki tren menurun. Jasa memilikisedangkan tren meningkat sedangkan Belanja Pegawai memiliki tren menurun. kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa memiliki
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional
Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah berlaku dan menggunakan harga konstan. Harga konstan digunakan untuk melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013 36 memang secara riil mengalami kenaikan atau penurunan. 38 | P a g e
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah berlaku dan menggunakan harga konstan. Harga konstan digunakan untuk melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD memang secara riil mengalami kenaikan atau penurunan. Grafik 3.5 menunjukkan tren realisasi belanja dengan menggunakan harga berlaku
yang tidak3.5 memperhitungkan faktor hargabelanja pada tahun 2010-2013, sedangkan Grafik Grafik menunjukkan trenperubah realisasi dengan menggunakan harga 3.6 menggunakan perhitungan dengan hargafaktor konstan berdasarkan angka GDPtahun deflator berlaku yang tidak memperhitungkan perubah harga pada 2010dengansedangkan tahun dasar 2000. Harga memperhitungan faktor perubah harga seperti 2013, Grafik 3.6konstan menggunakan perhitungan dengan hargainflasi konstan pada tahun 2010-2013. berdasarkan angka GDP deflator dengan tahun dasar 2000. Harga konstan memperhitungan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun 2010-2013. Grafik Grafik3.5 3.5 Tren Realisasi Belanja daerah Nasional
Tren Realisasi Belanja daerah Nasional (harga berlaku) (harga berlaku)
Sumber :: DJPK DJPK dan diolah) Sumber danBPS BPS(data (data diolah)
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
37
Grafik 3.6 Grafik 3.6 Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional
Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional (harga konstan, tahun 2000) (harga konstan, tahun 2000)
Sumber : DJPK dan BPS (data diolah)
Sumber : DJPK dan BPS (data diolah) Berdasarkan harga berlaku, realisasi Belanja Pegawai secara nasional memiliki tren
Berdasarkan harga berlaku, realisasi Belanja Pegawai secara nasional memiliki tren meningkat setiap tahunnya meskipun dengan persentase kenaikan Pada tahun 2011 realisasi Belanja Pegawai meningkat sebesar 14,59% (Rp29,31 triliun). Pada yang semakin mengecil. Pada tahun 2011 realisasi Belanja Pegawai meningkat tahun 2012, realisasi Belanja Pegawai kembali mengalami peningkatan sebesar 13,32% sebesar 14,59% (Rp29,31 triliun). Pada tahun 2012, realisasi Belanja Pegawai (Rp30,67 triliun), dan pada tahun 2013 meningkat kembali sebesar 10,32% (26,92 triliun). kembali mengalami peningkatan sebesar 13,32% (Rp30,67 triliun), dan pada Sementara itu berdasarkan harga konstan, realisasi Belanja Pegawai pada tahun 2011 juga tahun 2013 meningkat kembali sebesar 10,32% (26,92 triliun). Sementara itu mengalami peningkatan meskipun dengan persentase yang lebih rendah yaitu sebesar 7,18% berdasarkan harga konstan, realisasi Belanja Pegawai pada tahun 2011 juga (Rp5,27 triliun), dan pada tahun 2012 meningkat kembali sebesar 8,44% (6,64 triliun), mengalami peningkatan meskipun dengan persentase yang lebih rendah yaitu kemudian7,18% kembali(Rp5,27 mengalami peningkatan pada tahun tahun 2013 5,69% (Rp4,85 sebesar triliun), dan pada 2012sebesar meningkat kembalitriliun). sebesar 8,44% (6,64 triliun), Belanja kemudian kembali mengalami peningkatan 2013 Tren realisasi Barang dan Jasa secara nasional memilikipada pola tahun yang sama sebesar 5,69% (Rp4,85 triliun). dengan tren realisasi Belanja Pegawai secara nasional baik menurut harga yang berlaku meningkat setiap tahunnya meskipun dengan persentase kenaikan yang semakin mengecil.
maupun berdasarkan harga konstan. Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional
Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional memiliki pola yang sama dengan tren realisasi Belanja Pegawai secara nasional baik menurut harga (Rp25,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 13,65% (Rp14,45 triliun). yang berlaku maupun berdasarkan harga konstan. Tren realisasi Belanja Barang Pada tahun 2013, realisasi Belanja Barang dan Jasa kembali mengalami peningkatan sebesar dan Jasa secara nasional berdasarkan harga berlaku pada tahun 2011 mengalami 20,31% (Rp24,42 triliun). Berdasarkan hargatriliun) konstan, tahun 20112012 juga kembali terjadi peningkatan sebesar 31,04% (Rp25,06 danpada pada tahun 40 | P a g e meningkat sebesar 13,65% (Rp14,45 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja berdasarkan harga berlaku pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 31,04%
38
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Barang dan Jasa kembali mengalami peningkatan sebesar 20,31% (Rp24,42 triliun). Berdasarkan harga konstan, pada tahun 2011 juga terjadi peningkatan untuk realisasi Belanja Barang dan Jasa yaitu sebesar 22,57% (Rp6,66 triliun), dan pada tahun 2012 kembali mengalami peningkatan sebesar 8,76% (Rp3,17 triliun). Realisasi Belanja Barang dan Jasa meningkat kembali pada tahun 2013 yaitu sebesar 15,26% (Rp6 triliun). Tren realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami peningkatan baik menurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga yang berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013 realisasi Belanja Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55% (Rp32,15). Sementara itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun), dan pada tahun 2011 Belanja Modal kembali meningkat sebesar 15,87% (Rp5,87 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja Modal meningkat kembali sebesar 19,33% (Rp8,28 triliun). Pada tahun 2011, 2012, dan 2013 ternyata kenaikan realisasi Belanja Modal berdasarkan harga konstan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga yang berlaku. Tren Belanja Lainnya mengalami penurunan pada tahun 2011 baik dalam harga berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar 15,54% (Rp9,92 triliun) berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 21% (Rp4,90 triliun) berdasarkan harga konstan. Sedangkan pada tahun 2012, realisasi Belanja Lainnya mengalami kenaikan baik dalam harga yang berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar 57,35% (Rp30,92 triliun) berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 50,57% (Rp9,32 triliun) berdasarkan harga konstan. Pada tahun 2013, realisasi Belanja Lainnya mengalami kenaikan kembali baik dalam harga yang berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar 11,46% (Rp9,73 triliun) berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 6,79% (Rp1,88 triliun) berdasarkan harga konstan. Pada tahun 2011, penurunan Belanja Lainnya berdasarkan harga konstan ternyata lebih besar dibanding penurunan berdasarkan harga yang berlaku, dan pada tahun 2012 serta 2013 peningkatan realisasi Belanja Lainnya berdasarkan harga
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah
39
konstan ternyata lebih kecil dibanding peningkatan realisasi Belanja Lainnya berdasarkan harga yang berlaku. Dengan demikian, Belanja daerah baik secara keseluruhan maupun per jenis belanja mempunyai pola kenaikan atau penurunan yang sama, meskipun besarannya berbeda, baik dengan memasukkan faktor perubah harga maupun tidak. Namun demikian, besaran persentase kenaikan berdasarkan harga yang berlaku lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga konstan, sebaliknya penurunan berdasarkan harga yang berlaku lebih rendah kenaikan berdasarkan harga konstan, sebaliknya penurunan berdasarkan harga dibandingkan yang berlaku dengan penurunan berdasarkan harga konstan. lebih rendah dibandingkan dengan penurunan berdasarkan harga konstan. 3.4. Realisasi BelanjaBelanja Daerah Per Kapita 3.4. Realisasi Daerah Per Kapita
Realisasi
Grafik 3.7 Grafik 3.7 Per Kapita Realisasi Belanja Daerah Belanja Daerah Per Kapita2013 Tahun Anggaran Tahun Anggaran (dalam rupiah) (dalam rupiah)
2013
Sumber :: DJPK Sumber DJPK (data (datadiolah) diolah)
Berdasarkan Grafik 3.7 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja dapat diketahui bahwa rata-rata realisasibelanja belanja daerah daerah per daerahBerdasarkan per kapita Grafik adalah3.7sebesar Rp4.321.913,00. Realisasi per kapita per adalah sebesarmemperlihatkan Rp4.321.913,00. bahwa Realisasibelanja belanjadaerah daerah per per kapita kapita per provinsi kapita provinsi paling besar memperlihatkan bahwa yang belanjaberada daerah di perwilayah kapita paling terjadi Hal padaini provinsi yang terjadi pada provinsi timur besar Indonesia. disebabkan berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit. Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013 40 Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua, dengan belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan Rp9.519.129,00. Sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal
oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit. Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua, dengan belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan Rp9.519.129,00. Sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja diikuti olehterkecil Provinsiadalah BantenProvinsi dan Provinsi Jawa yaitu Tengah, masing-masing sebesar per kapita Jawa Barat sebesarRp1.514.208,00, Rp1.605.161,00 dan Rp1.731.889,00. diikuti oleh Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar Rp1.605.161,00 dan Rp1.731.889,00. 3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita
3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita Grafik 3.8 Realisasi
Realisasi BelanjaGrafik Modal 3.8 Daerah Per Kapita Tahun Anggaran 2013 Belanja Modal Daerah Per Kapita Tahun Anggaran (dalam rupiah)
2013
(dalam rupiah)
Sumber :: DJPK Sumber DJPK (data (datadiolah) diolah)
Berdasarkan Grafik 3.8 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja Berdasarkan Grafik 3.8 dapat diketahui bahwa rata-rata modal per modal per kapita adalah sebesar Rp1.135.578,00. Samarealisasi halnyabelanja dengan realisasi kapita adalah sebesar Rp1.135.578,00. Sama halnya dengan realisasi belanja daerah per belanja daerah per kapita per provinsi, belanja modal daerah per kapita juga kapita per provinsi, belanja modalmodal daerah per juga menunjukkan bahwa pada belanjaprovinsi modal menunjukkan bahwa belanja perkapita kapita paling besar terjadi per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia. yang berada di wilayah timur Indonesia. Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 41 belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00 dan Rp2.516.465,00. Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap dimiliki oleh beberapa provinsi di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur
Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00 dan Rp2.516.465,00. Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap dimiliki oleh beberapa provinsi di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur dengan belanja per kapita masing-masing adalah sebesar Rp256.841,00, Rp286.743,00, dan Rp292.804,00.
42
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB IV REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYA AN DAERAH
4.1. Surplus/Defisit Sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Pemerintah Daerah dapat menetapkan APBD surplus ataupun defisit sesuai dengan kondisi keuangan daerah dan keadaan perekonomian yang dihadapi Pemerintah Daerah. Dalam hal APBD diperkirakan surplus, maka pemda menetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Demikian halnya apabila APBD diperkirakan defisit, maka ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Perda tentang APBD. Apabila secara bersamaan seluruh daerah dan Pemerintah Pusat mengambil kebijakan menetapkan anggarannya defisit, hal ini dapat mempengaruhi kesinambungan fiskal secara nasional. Untuk itu, Pemerintah melakukan pengendalian terhadap jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak menimbulkan beban berat bagi keuangan negara. Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah untuk Tahun 2013 ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 137 Tahun 2012. Batas maksimal kumulatif defisit APBD Tahun Anggaran (TA) 2013 secara nasional ditetapkan sebesar 0,5% dari proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran 2013. Batas maksimal defisit APBD TA 2013 untuk
Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
43
masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6% dari perkiraan pendapatan daerah TA 2013. Penetapan anggaran surplus maupun defisit dalam APBD memungkinkan realisasi pendapatan daerah dapat lebih tinggi ataupun lebih rendah dari realisasi belanjanya. Mayoritas daerah menetapkan anggarannya defisit dalam APBD. Hal tersebut dilakukan karena daerah masih pesimis terhadap perolehan pendapatan yang akan diterima pada tahun berkenaan. Besaran defisit/surplus yang rendah ataupun tinggi antara anggaran dengan realisasi APBD dapat memberikan gambaran tingkat akurasi perencanaan daerah dalam penganggaran pendapatan dan belanja daerah. Semakin tinggi gap antara anggaran dan realisasinya yang bernilai surplus ataupun defisit menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersangkutan semakin pendapatan dan belanja daerah. Semakin tinggi gap antara anggaran dan realisasinya yang kurang baik. bernilai surplus ataupun defisit menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja ini daerah bersangkutan semakin kurang baik. Berikut adalah perbandingan surplus/defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD Tahun Anggaran – 2013. Berikut ini adalah2009 perbandingan surplus/defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2009 – 2013.
Grafik 4.1 Grafik 4.1 Perbandingan Suplus/Defisit pada danRealisasi Realisasi APBD 2009-2013 Perbandingan Suplus/Defisit padaAnggaran Anggaran dan APBD 2009-2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Grafik 4.1 di atas menggambarkan perbedaan surplus/defisit periode 2009-2013
44
antaraANALISIS anggaranRealisasi dan realisasi yang semakin besar. Pada APBD tahun anggaran 2013Tahun 2009 sebanyak 445 daerah menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai kumulatif sebesar Rp47,96 triliun namun dalam realisasinya justru mengalami surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih sebesar Rp36,50 triliun. Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran
Grafik 4.1 di atas menggambarkan perbedaan surplus/defisit periode 20092013 antara anggaran dan realisasi yang semakin besar. Pada Tahun 2009 sebanyak 445 daerah menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai kumulatif sebesar Rp47,96 triliun namun dalam realisasinya justru mengalami surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih sebesar Rp36,50 triliun. Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran dan realisasi terlihat terus mengalami peningkatan. Posisi terakhir APBD pada tahun 2013 dianggarkan defisit sebesar Rp54,38 triliun, namun pada realisasinya justru terjadi surplus Rp10,28 triliun atau terdapat selisih Rp64,66 triliun. Selisih yang sangat besar antara anggaran dan realisasi pada tahun 2013 disebabkan adanya pelampauan realisasi pendapatan daerah yakni dianggarkan sebesar Rp653,51 triliun namun realisasinya Rp700,24 triliun, sehingga terdapat selisih sebesar Rp46,73 triliun. Selisih tersebut berasal dari pelampauan PAD Rp17,53 triliun (37,51% total pelampauan pendapatan), pelampauan transfer dari Pemerintah Pusat Rp22,43 triliun (48,0%), dan sisanya sebesar 14,5% berasal dari pelampauan pendapatan lainnya yaitu Rp6,77 triliun. Penyebab utama terjadinya selisih surplus/defisit sebagian besar berasal dari selisih anggaran transfer pemerintah pusat ke daerah. Pelampauan dana transfer tersebut dapat dirinci sebagai berikut Rp8,72 triliun (38,9% total pelampuan dana transfer) dari pelampauan Dana Bagi Hasil, Rp1,04 triliun (4,6% total pelampuan dana transfer) dari pelampauan Dana Alokasi Umum (DAU), dan juga pelampauan Dana Penyesuaian dan Otsus, yaitu 57,4% total pelampuan dana transfer. Sementara itu untuk Dana Alokasi Khusus, Pemerintah Daerah menganggarkan lebih tinggi dari yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat. Di sisi lain, pelampauan pendapatan pada PAD mengindikasikan daerah cenderung konservatif dalam menganggarkan PAD dalam APBD. Melihat kondisi tersebut di atas, dari sisi APBN perlu dilakukan perbaikan dalam proses penganggaran maupun penyaluran DBH dan Dana Penyesuaian. Hal ini diperlukan agar daerah mendapatkan kepastian terkait informasi besaran alokasi maupun waktu penyaluran transfer dari Pusat ke daerah sehingga pendapatan yang direncanakan akan diterima dari Pemerintah Pusat dapat disinkronkan dalam penyusunan belanja termasuk besarannya dalam APBD. Apabila hal tersebut terlaksana, maka diharapkan dapat mendukung pelaksanaan belanja Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
45
daerah yang penyerapannya tentu akan semakin baik, hal ini akan terlihat dari semakin kecilnya persentase dana anggaran belanja daerah yang tidak terserap. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa daerah dapat menetapkan anggarannya bernilai surplus maupun defisit, maka pemerintah daerah diseluruh Indonesia dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok daerah dengan anggaran bernilai surplus dan kelompok daerah dengan anggaran bernilai defisit. Jumlah daerah dalam masing-masing kelompok selalu berubah-ubah tiap tahunnya. Berikut disajikan pergerakan jumlah daerah yang mengalami realisasi APBD surplus ataupun defisit secara terpisah antara kabupaten/kota dan provinsi. Grafik 4.2. Tren kabupaten/kota yang mengalami Grafik 4.2. Tren kabupaten/kota yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi APBD surplus/defisit dalam realisasi APBD
Grafik 4.3 Tren Provinsi Grafik yang 4.3 mengalami Tren Provinsi yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi APBD surplus/defisit dalam realisasi APBD
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
grafik atas terlihat terlihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang mengalami surplus DariDari grafik 4.24.2 di diatas bahwa jumlah kabupaten/kota yang mengalami meningkat dari 196 daerah 2009 pada menjaditahun 404 daerah tahun 2011. tahunpada surplus meningkat daripada 196tahun daerah 2009pada menjadi 404 Pada daerah 2013 jumlah yang mengalami surplus sebanyakyang 352 daerah, mengalami tahun 2011. kabupaten/kota Pada tahun 2013 jumlah kabupaten/kota mengalami surplus penurunan 352 dari daerah, 362 daerah pada tahun 2012. Namun sebaliknya tahun 2013 sebanyak mengalami penurunan dari 362 daerahpada pada tahun 2012. kabupaten/kota yang mengalami defisit2013 sebanyak 139 daerah mengalami peningkatan dari Namun sebaliknya pada tahun kabupaten/kota yang mengalami defisit 129 daerah 139 padadaerah tahun 2012. Sementarapeningkatan itu, untuk tingkat jumlah provinsi yang sebanyak mengalami dari provinsi, 129 daerah pada tahun 2012. mengalami surplus saat realisasi mengalami penurunan dari 24 provinsi pada tahun 2012 Sementara itu, untuk tingkat provinsi, jumlah provinsi yang mengalami surplus menjadi 18 provinsi pada tahun 2013. Rata-rata besaran surplus/defisit per daerah dapat terlihat pada tabel 4.1 berikut ini.
46
Tabel 4.1
ANALISIS RealisasiBesaran APBD tahun anggaranper 2013Daerah (Rupiah) Rata-Rata Surplus/Defisit 2009
Kab/Kota
Surplus
3,200,107,472
2010 41,232,821,608
2011 57,232,307,990
2012 70,102,450,610
2013 48,330,897,881
saat realisasi mengalami penurunan dari 24 provinsi pada tahun 2012 menjadi 18 provinsi pada tahun 2013. Rata-rata besaran surplus/defisit per daerah dapat terlihat pada tabel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1 Rata-Rata Besaran Surplus/Defisit per Daerah (Rupiah) 2009
2010
2011
2012
2013
Kab/Kota Surplus
3,200,107,472
41,232,821,608
57,232,307,990
70,102,450,610
48,330,897,881
-54,073,281,750
-36,879,354,227
-24,089,773,113
-24,507,952,543
-69,796,085,739
Surplus
200,124,464,546
257,710,984,820
396,612,455,079
317,007,954,244
418,002,329,087
Defisit
225,999,378,117
-173,931,306,666
Defisit Provinsi
-89,278,056,085 -116,952,957,952 -303,065,544,736
Sumber: DJPK (data diolah)
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2012-2013 nilai surplus per kabupaten/kota secara rata-rata mengalami penurunan dari Rp70,10 miliar menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya jumlah kabupaten/kota yang mengalami surplus. Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah kabupaten/kota menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya melampaui anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar di tahun 2013.
4.2. Pembiayaan Daerah Sisi penerimaan pembiayaan dalam postur APBD terdiri dari Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan, penerimaan pinjaman dan penerimaan
Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
47
kembali pemberian pinjaman. Komponen SiLPA tahun sebelumnya pada APBD TA 2013 merupakan sumber pembiayaan yang paling besar, yaitu Rp97,45 triliun atau 96,47% total penerimaan pembiayaan daerah. Selanjutnya adalah Pencairan Dana Cadangan Rp1,89 triliun (1,88% total penerimaan pembiayaan daerah) meningkat sebesar Rp772 miliar dari Rp1,12 triliun ditahun 2012. Kemudian, Penerimaan Pinjaman Daerah sebesar Rp841,2 miliar (0,83%). Jika dibandingkan dengan penerimaan pinjaman daerah yang dianggarkan dalam APBD TA 2013, maka realisasi penerimaan pinjaman daerah ini hanya tercapai sebesar 29,4% dari yang dianggarkan sebesar Rp2,86 triliun. Grafik 4.4 di bawah ini memperlihatkan rincian penerimaan pembiayaan serta perbandingan antara anggaran dengan realisasi TA 2013 Grafik 4.4 Rincian PenerimaanGrafik Pembiayaan 4.4 APBD TA 2013 Rincian Penerimaan Pembiayaan APBD TA 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA TA ANALISIS Realisasi tahunyakni anggaran 2013 2012) lebih tinggi 58,8% dariAPBD anggaran dari Rp61,37 triliun menjadi Rp97,45 triliun. 48
Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum dalam APBD 2013 dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun sebelumnya (TA 2012)
Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA TA 2012) lebih tinggi 58,8% dari anggaran yakni dari Rp61,37 triliun menjadi Rp97,45 triliun. Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum dalam APBD 2013 dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun sebelumnya (TA 2012) diperoleh pada akhir tahun anggaran 2012, sementara APBD 2013 sudah mulai disusun pada pertengahan tahun 2012. Pada sisi pengeluaran pembiayaan terdiri dari penyertaan modal, pembayaran pokok utang, pemberian pinjaman kepada daerah lainya, pembayaran kegiatan lanjutan, dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga (PFK). Grafik 4.5 di bawah ini menggambarkan rincian pengeluaran pembiayaan serta perbandingannya antara nilai anggaran dengan realisasi. Grafik 4.5 Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013 Grafik 4.5
Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Nilai total realisasi pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil jika dibandingkan
Nilai total realisasi pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan total penerimaan pembiayaan yaitu hanya berkisar seperdelapan dari penerimaan dengan total penerimaan pembiayaan yaitu hanya berkisar seperdelapan dari pembiayaan. Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp11,99 penerimaan pembiayaan. Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan. 2013 sebesar Rp11,99 triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan. Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal sebesar 7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%. Untuk urutan kedua Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 49 adalah pembayaran pokok utang yaitu sebesar Rp2,26 triliun atau 18,9% dari total pengeluaran pembiayaan, kemudian diikuti Pembentukan Dana Cadangan Rp1,40 triliun (11,7%), Pemberian Pinjaman Daerah Rp338,8 miliar (2,8%), Perhitungan Pihak Ketiga
Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal sebesar 7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%. Untuk urutan kedua adalah pembayaran pokok utang yaitu sebesar Rp2,26 triliun atau 18,9% dari total pengeluaran pembiayaan, kemudian diikuti Pembentukan Dana Cadangan Rp1,40 triliun (11,7%), Pemberian Pinjaman Daerah Rp338,8 miliar (2,8%), Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) Rp161,43 miliar (1,3%) dan Pembayaran Kegiatan Lanjutan Rp49,01 miliar (0,4%). Realisasi pembayaran pokok utang sebesar Rp2,26 triliun, lebih tinggi 15,1% dari anggaran sebesar Rp1,971 triliun. Hal ini menunjukkan adanya penerimaan pinjaman di tahun anggaran 2013 yang belum dianggarkan pada APBD TA 2013, akan tetapi mungkin telah dianggarkan pada APBD Perubahan TA 2012. Hal tersebut belum dapat dipastikan mengingat data APBD Perubahan tidak tersedia.
4.3. SiLPA Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dalam laporan realisasi APBD dibedakan menjadi dua jenis SiLPA, pertama adalah SiLPA sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan disebut SiLPA tahun sebelumnya, kedua, SILPA dari penjumlahan surplus/defisit dan pembiayaan netto yang disebut SILPA tahun berkenaan. SILPA tahun berkenaan di APBD 2012 akan menjadi SiLPA tahun sebelumnya pada APBD 2013. Secara nasional, pada periode tahun 2009-2013, jumlah realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih besar daripada jumlah yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dapat dilihat dalam grafik 4.6 berikut.
50
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
berkenaan di APBD 2012 akan menjadi SiLPA tahun sebelumnya pada APBD 2013. Secara nasional, pada periode tahun 2009-2013, jumlah realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih besar daripada jumlah yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dapat dilihat dalam grafik 4.6 berikut.
Grafik 4.6 Grafik 4.6 Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Untuk melihat kinerja realisasi anggaran daerah secara keseluruhan, SILPA tahun
Untuk melihat kinerja realisasi anggaran daerah secara keseluruhan, SILPA tahun berkenaan dapat digunakan sebagai salah satu indikator. Semakin tinggi berkenaan suatu daerah mengindikasikan semakin rendah kinerja perencanaan dan SILPA tahun berkenaan suatu daerah mengindikasikan semakin rendah kinerja pelaksanaan APBD daerah bersangkutan. Misalnya, anggaran pendapatan dalam APBD perencanaan dan pelaksanaan APBD daerah bersangkutan. Misalnya, anggaran ditetapkan lebih rendah dari potensi yang sebenarnya sehingga mudah dicapai, pelampauan pendapatan dalam APBD ditetapkan lebih rendah dari potensi yang sebenarnya pendapatan bahkan jauh melebihi target. Hal ini seolah-olah menjadi prestasi luar biasa. sehingga mudah dicapai, pelampauan pendapatan bahkan jauh melebihi target. Demikian halnya dari sisi anggaran belanja, daerah tidak merealisasikan program/kegiatan Hal ini seolah-olah menjadi prestasi luar biasa. Demikian halnya dari sisi anggaran yang telah dianggarkan dalam APBD. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah belanja publik belanja, daerah tidak merealisasikan program/kegiatan yang telah dianggarkan untuk tujuan menyejahterakan rakyat. Jumlah dana dari keduanya ini akan menumpuk dalam APBD. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah belanja publik untuk tujuan 51 |menjadi Page menyejahterakan rakyat. Jumlah dana dari keduanya ini akan menumpuk SILPA di akhir tahun berkenaan. Besarnya SILPA tahun berkenaan ini juga dapat menunjukkan besaran dana idle pemerintah daerah pada akhir tahun berjalan. Realisasi SILPA untuk tahun berkenaan dari tahun 2009-2013 dapat dilihat dalam grafik 4.7 berikut. berkenaan dapat digunakan sebagai salah satu indikator. Semakin tinggi SILPA tahun
Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
51
menjadi SILPA di akhir tahun berkenaan. Besarnya SILPA tahun berkenaan ini juga dapat menunjukkan besaran dana idle pemerintah daerah pada akhir tahun berjalan. Realisasi SILPA untuk tahun berkenaan dari tahun 2009-2013 dapat dilihat dalam grafik 4.7 berikut.
Grafik4.7 4.7 Grafik Tren Tren SILPA SILPA Tahun Tahun Berkenaan Berkenaan
Sumber: DJPK (data diolah) Sumber: DJPK (data diolah) Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) periode
Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di tahun 2009 menjadi periode tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren peningkatan SILPA ini disebabkan tahun 2009 menjadi sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu pesimis dalam menetapkan target pendapatan peningkatan SILPA ini disebabkan oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu dalam APBD (rata-rata realisasi pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang dianggarkan pesimis dalam menetapkan target pendapatan dalam APBD (rata-rata realisasi dalam APBD). pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang dianggarkan dalam APBD). Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai tahun
Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren fluktuatif. Jika pada tahun dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun, selanjutnya di tahun 2010 fluktuatif. Jika pada tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun, nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun 2011 dan 2012, SILPA tahun selanjutnya di tahun 2010 nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun berkenaan meningkat menjadi masing-masing Rp26,8 menjadi triliun danmasing-masing Rp31,7 triliun. 2011 dan 2012, SILPA tahun berkenaansebesar meningkat Adapun di tahun 2013, SILPA tahun berkenaan mengalami penurunan menjadi sebesar Rp26,8 triliun dan Rp31,7 triliun. Adapun di tahun 2013,Rp31,1 SILPAtriliun tahun atau sebesar 1,9% dari tahun 2012. Penurunan ini merupakan indikasi adanya perbaikan berkenaan mengalami penurunan menjadi Rp31,1 triliun atau sebesar 1,9% kinerja pengelolaan oleh ini pemerintah daerah,indikasi khususnya terkait penetapan anggaran dari tahun 2012. keuangan Penurunan merupakan adanya perbaikan kinerja pendapatan daerah yang lebih optimis. Selisih realisasi pendapatan daerah TA 2013 dengan pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah, khususnya terkait penetapan yang dianggarkan adalah 6,4%, menurun dari rata-rata sebesar anggaran pendapatan daerah yang lebih optimis.periode Selisih2009-2012 realisasi yang pendapatan 10,2%. daerah TA 2013 dengan yang dianggarkan adalah 6,4%, menurun dari rata-rata periode 2009-2012 yang sebesar 10,2%. Secara nasional, agregat SILPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang 52 | P cukup age besar, namun ketika melihat data lebih rinci, ternyata terdapat beberapa daerah yang mengalami nilai SILPA negatif (biasa disebut SIKPA tahun berkenaan).
52
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Timbulnya SIKPA tahun berkenaan tersebut menunjukkan bahwa pendapatan daerah dimaksud pada tahun berkenaan belum dapat menanggulangi seluruh belanja maupun pembiayaan netto-nya, sehingga nilai SIKPA tersebut menjadi beban pada anggaran tahun berikutnya. Beberapa daerah yang mengalami hal demikian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.2 Daerah dengan SIKPA Tahun Berkenaan TA 2013 No
Daerah
1
Kab. Kepulauan Sula
2
Kota Ternate
3 4
Defisit
Pembiayaan
SIKPA Tahun Berkenaan
-17,768,286,978
-3,799,220,657
-21,567,507,636
2,188,295,257
-20,010,359,540
-17,822,064,283
Kab. Halmahera Barat
10,888,284,848
-16,157,055,956
-5,268,771,108
Kab. Halmahera Selatan
10,226,142,502
-11,570,118,896
-1,343,976,394
Sumber: DJPK (data diolah)
Tabel di atas menggambarkan kabupaten Kepulauan Sula merupakan daerah yang memiliki nilai SIKPA tahun berkenaan terbesar, artinya realisasi pendapatan daerah itu tidak cukup untuk menutup belanja maupun pembiayaan sebagaimnan tercantum dalam APBD. Ketidakmampuan tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu rendahnya realisasi PAD, hanya 34,9% dari anggaran, terlalu optimis menetapkan perolehan DBH dalam APBD, ternyata realisasi transfer DBH hanya 44,9% dari anggaran, serta tidak adanya realisasi atas pinjaman daerah yang telah dianggarkan sebesar Rp80 miliar. Selain Kabupaten Kepulauan Sula masih terdapat tiga daerah lainnya yang mengalami hal yang sama yaitu Kota Ternate, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kabupaten Halmahera Selatan. Untuk Kabupaten Ternate, SIKPA tahun berkenaan telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2011. Namun, yang lebih mengejutkan lagi, Kabupaten Halmahera Barat ternyata telah lima tahun berturut-turut mengalami SIKPA tahun berkenaan sejak tahun 2009. Setelah diteliti, ternyata daerah tersebut untuk sementara menutupi nilai SiKPA tahun berkenaannya melakukan penundaan pembayaran Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) seperti iuran pensiun PNSD kepada PT Taspen (Persero), iuran jaminan
Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
53
kesehatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), iuran TAPERUMPNS kepada BAPERTARUM-PNS, serta potongan PPN/PPh ke Kas Negara. Daerah tersebut sebenarnya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai SIKPA-nya yakni dengan cara mengurangi anggaran belanjanya secara drastis dengan memperhatikan urutan prioritas, selain itu daerah juga harus berusaha keras meningkatkan pendapatannya, kemudian adanya komitmen daerah untuk tidak menggunakan dana PFK menutupi anggaran belanja. Dengan demikian, diharapkan SIKPA akan berkurang atau bahkan berubah menjadi SILPA.
4.4. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah Selain SiLPA tahun sebelumnya sebagai sumber pembiayaan untuk menutup defisit APBD, sumber lain adalah pinjaman daerah dan obligasi daerah. Pinjaman daerah dan obligasi daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Mengingat pengembalian pinjaman ini dapat saja bersamaan waktunya dan secara nasional nilai pembayarannya besar, maka hal ini dapat mempengaruhi kondisi keuangan negara. Untuk itu, pelaksanaan pinjaman daerah perlu dilakukan pengawasan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah. PMK ini diterbitkan pada bulan Agustus setiap tahunnya yang akan digunakan daerah sebagai acuan dalam penyusunan APBD tahun berikutnya untuk penyusunan anggaran defisit dan pembiayaannya ditutup dari pinjaman daerah. Selama periode tahun 2009-2013, realisasi penerimaan pinjaman daerah cenderung lebih kecil dari anggaran APBD. Untuk kabupaten/kota, realisasi terendah terjadi pada tahun 2011 yakni sebesar Rp547 milliar (24,2%) dari Rp2,3 triliun yang dianggarkan. Sedangkan untuk provinsi, realisasi terendah terjadi pada tahun 2012 hanya sebesar Rp34 miliar (1,8%) dari Rp1,9 triliun yang
54
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
dianggarkan. Hal ini terjadi karena Provinsi DKI Jakarta tidak merealisasikan obligasi daerah yang dianggarkan sebesar Rp1,7 triliun. Grafik 4.8 Grafik 4.9 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Perbandingan Anggaran dan Realisasi PenerimaanPinjaman Pinjaman Kab/Kota Kab/Kota Penerimaan Penerimaan PenerimaanPinjaman PinjamanProvinsi Provinsi Penerimaan Pinjaman Kab/Kota
Penerimaan Pinjaman Provinsi
Sumber: DJPK (data diolah) Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di bawah perbandingan nominaldaerah antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di bawah bawahSelain ini dapat dilihat jumlah yang menganggarkan pinjaman terhadap ini dapat dilihat jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman terhadap jumlah daerah yang ini dapatdaerah dilihat jumlah yang menganggarkan pinjaman daerah yang jumlah yang daerah merealisasikan pinjaman daerahterhadap yang jumlah disajikan terpisah merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota antara kelompok dengan provinsi. kabupaten/kota dengan provinsi. dengan provinsi.
GrafikGrafik 4.10 4.10 Jumlah Kab/kota yang melakukan Grafik 4.10 Jumlah Kab/kota yang melakukan Pinjaman Daerah Jumlah Kab/kota yang melakukan Pinjaman PinjamanDaerah Daerah
GrafikGrafik 4.11 4.11 Jumlah Provinsi yang4.11 melakukan Grafik Jumlah Provinsi yang melakukan Daerah Jumlah Pinjaman Provinsi yang melakukan PinjamanDaerah Daerah Pinjaman
Sumber: DJPK (data diolah) Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan pinjaman
Sumber: DJPK (data diolah)
semakin menurun dari 85diolah) daerah tahun Sumber: DJPK (data
2009, menjadi 78 daerah tahun 2010, kemudian
menjadi 50 daerah pada2009-2011, tahun 2011.jumlah Namun,kabupaten/kota pada tahun 2012 hingga 2013, mengalami Pada periode tahun yang merealisasikan pinjaman peningkatan daridari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah tahun 2013. semakin menurun 85 daerah tahun 2009, menjadi 78 di daerah tahun 2010, kemudian Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 55 menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 hingga 2013, 55 | mengalami Page
peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah di tahun 2013.
Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan pinjaman semakin menurun dari 85 daerah tahun 2009, menjadi 78 daerah tahun 2010, kemudian menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 hingga 2013, mengalami peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah di tahun 2013. Sementara itu untuk provinsi, jumlah daerah yang merealisasikan pinjaman daerah melampaui jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman daerah. Jika pada kelompok kabupaten/kota pada periode tahun 2009-2011 mengalami tren menurun, justru sebaliknya kelompok provinsi pada periode yang sama mengalami peningkatan jumlah yang merealisasikan pinjaman daerah dari 2 daerah di tahun 2009 menjadi 6 daerah pada tahun 2011. Akan tetapi, pada tahun 2012 menurun jadi 5 daerah dan pada tahun 2013 menjadi 3 daerah. Gambaran pada grafik diatas menggunakan APBD awal sebagai acuan. Perbedaan antara anggaran dan realisasi terjadi karena penganggaran pinjaman daerah mungkin telah dimasukkan dalam APBD Perubahan namun karena informasinya tidak dapat diperoleh maka APBD Perubahan tidak dapat dijadikan sebagai acuan.
56
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB V IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2013 TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH
Dalam tataran otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di mana daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengelola sendiri sumber daya yang dimilikinya secara efisien dan efektif guna mewujudkan kemandirian daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki peran yang sangat penting di dalam menjaga kelangsungan proses pembangunan di daerah. Proses pembangunan di era otonomi daerah memberikan celah dan peluang yang besar bagi Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan dan arah pembangunan yang mengutamakan potensi serta keunggulan daerah sesuai dengan karakteristik daerah, sehingga esensi dari kebijakan APBD memberikan dampak yang signifikan bagi kegiatan perekonomian daerah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi pendapatan, kebijakan APBD yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah. Sementara itu dari sisi pengeluaran, dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal akan memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah. Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modal di daerah. Demikian pula sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat di daerah. Kegiatan investasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah investasi yang berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan. PMA Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah
57
mengalami peningkatan dari Rp221,0 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp270,5 triliun pada tahun 2013, atau meningkat 22,3 persen. Demikian juga untuk PMDN mengalami peningkatan dari Rp92,1 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp128,2 triliun pada tahun 2013, atau meningkat 39,0 persen. Apabila dilihat per wilayah, sebagian besar dari kegiatan investasi yang dilakukan melalui PMA maupun PMDN masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sementara itu kegiatan investasi di wilayah lain, yakni di pulau Sulawesi, Maluku dan Papua, dan Bali dan Nusa Tenggara, masih relatif kecil. Selanjutnya perkembangan Tenggara, masih relatif kecil. Selanjutnya perkembangan investasi dapat dilihat pada Tabel investasi dapat dilihat pada Tabel 5.1. 5.1.
TABEL 5.1 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA TAHUN 2013 TAHUN2009 2009 --2013 TABEL 5.1
No 1 2 3 4 5 6
Provinsi Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Jumlah
2009 7.297 88.071 2.197 2.686 1.331 81 101.663
PMA (Rp Miliar) 2010 2011 2012 6.832 18.689 33.564 105.157 110.921 122.939 4.597 8.574 10.139 18.395 17.270 28.878 7.857 6.437 13.563 5.447 13.380 11.999 148.285 175.271 221.082
2013 32.073 163.763 8.433 26.281 14.109 25.803 270.462
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
2009 7.820 25.768 51 2.934 1.188 41 37.802
PMDN (Rp Miliar) 2010 2011 2012 4.224 16.334 14.256 35.140 37.176 52.693 2.119 357 3.168 14.576 13.467 16.740 4.338 7.228 4.901 229 1.439 424 60.626 76.001 92.182
2013 22.914 66.496 4.400 28.714 3.624 2.003 128.151
(BKPM)
Ke depan perludiupayakan diupayakan adanya kemampuan daerah yang tidak hanya Ke depan perlu adanya kemampuan daerah yang menciptakan tidak hanya iklim investasi yang kondusif saja, lebih daripada itu adalah bagaimana dilakukan upaya yang menciptakan iklim investasi yang kondusif saja, lebih daripada itu adalah terintegrasi untuk meningkatkan dayayang saing daerah. Sejak RKP tahun meningkatkan 2013, isu tersebut telah bagaimana dilakukan upaya terintegrasi untuk daya diketengahkan untuk mengarahkan pada perbaikan-perbaikan yang dapat mendorong saing daerah. Sejak RKP tahun 2013, isu tersebut telah diketengahkan untuk tumbuhnya usaha baru,perbaikan-perbaikan industri baru, lapangan kerja danmendorong mendorong pertumbuhan mengarahkan pada yangbaru, dapat tumbuhnya ekonomi yang berkeadilan. Strategi peningkatan daya saing daerah, meliputi : (1) usaha baru, industri baru, lapangan kerja baru, dan mendorong pertumbuhan peningkatan iklim investasi dan dunia usaha; (2) percepatandaya pembangunan infrastruktur; (3) : ekonomi yang berkeadilan. Strategi peningkatan saing daerah, meliputi peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi; (4) penciptaan kesempatan (1) peningkatan iklim investasi dan dunia usaha; (2) percepatan pembangunan kerja khususnya kerja muda. Dari sisi daya saing, peringkat Indonesia menurut World infrastruktur; (3)tenaga peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi; Economic Forum, pada tahun 2013-2014 meningkat yaitu peringkat 38 dari (4) penciptaan kesempatan kerja khususnya tenaga kerja muda. Dari sisitahun daya sebelumnya (tahun 2012-2013) menduduki peringkat 50. saing, peringkat Indonesia menurut World Economic Forum, pada tahun 2013Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi fasilitasi 2014 meningkat yaitu peringkat 38 dari tahun sebelumnya (tahundan2012-2013) kebijakan dariperingkat pemerintah.50. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan menduduki Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah. Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013 58 perekonomian karena memiliki efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung dengan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak menimbulkan penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat
Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah. Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi perekonomian karena memiliki efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung dengan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak menimbulkan penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan investasi, yaitu : (1) penyederhanaan proses perijinan; (2) merevisi “Daftar Negatif Investasi” (DNI) yang lebih ramah bagi investor; (3) meningkatkan insentif pajak melalui keringanan pajak bagi industri padat karya seperti industri tekstil, pakaian, sepatu, furnitur, dan mainan serta penambahan pengurangan pajak untuk perusahaan-perusahaan yang paling tidak 30% dari hasil produksinya ditujukan untuk ekspor. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus menunjukkan angka yang menggembirakan, namun sedikit menurun bila dibanding tahun 2012, sebagai dampak kondisi perekonomian global. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,9 persen, melambat bila dibandingkan tahun 2012 sebesar 6,3 persen. Hal ini ditengarai dengan pertumbuhan investasi yang melambat sejak awal tahun akibat menurunnya persepsi keyakinan pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian global. Namun demikian, daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan Indonesia tetaplah tinggi, mengacu pada survey yang dilakukan oleh ASEAN-BAC (ASEANBusiness Advisory Council) Indonesia menduduki peringkat ketiga diantara negara-negara ASEAN dari sisi daya tarik investasi untuk tahun 2013-2015. Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan
Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah
59
Perekonomian
Indonesia
ditunjang
oleh
peran
daerah
dalam
memberikan
kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa
pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Hal
Tenggara, Maluku danGrafik Papua. 5.1 Hal ini dapat dilihat pada Grafik 5.1 ini dapatserta dilihat pada
Grafik5.1 5.1 Grafik Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen) Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen) 100,00 90,00 80,00
2,13 4,61 9,55 2,56
2,06 4,74 9,30 2,51
2,18 4,82 8,67 2,53
Sulawesi Kalimantan
70,00
Bali dan Nusa Tenggara
60,00 50,00
Maluku dan Papua
57,59
57,65
57,99
Jawa Sumatera
40,00 30,00 20,00 10,00
23,56
23,74
23,81
2011
2012
2013
-
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) - Februari 2014
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) - Februari 2014
59 | P a g e
Di samping indikator pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah dapat dilihat dari pendapatan daerah per kapita (APBD), tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran. Dalam kurun waktu 2011-2013, daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya relatif tinggi, seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo, perlu dilakukan proses catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama daerah-daerah yang relatif masih tertinggal. Optimalisasi pemanfaatan pendapatan daerah dalam APBD hendaknya mengarah pada prioritas belanja atau pengeluaran APBD yang mendukung proses keberpihakan pada keluarga pra sejahtera. Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antarprovinsi. Pada tahun 2013, provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp1.658.000,00/jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp17.976.000/jiwa. Selain itu ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya tergolong tinggi yakni Kalimantan Timur dan Papua. Namun demikian, apabila ditinjau dari tingkat dispersinya, maka pada periode 2012-2013 membaik diindikasikan
60
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
dengan perubahan standar deviasi yang menurun bila dibandingkan periode 2011-2012. Indikator tingkat pengangguran menurun dari 7,14 di tahun 2010, menjadi 6,56 persen di tahun 2011, serta 6,14 persen di tahun 2012, namun sedikit mengalami kenaikan menjadi 6,25 persen di tahun 2013. Pada tahun 2013, daerah yang mempunyai tingkat pengangguran relatif tinggi adalah di Provinsi Aceh, Provinsi Banten dan Provinsi Maluku, yakni masing-masing 10,30 persen, 9,90 persen dan 9,75 persen. Selanjutnya, perkembangan pendapatan daerah dan indikator kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 5.2. TABEL 5.2 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Pendapatan APBD/Kapita (Ribu Rupiah)
Provinsi
Tingkat Kemiskinan
Tingkat Pengangguran
2011
2012
2013
2011
2012
2013
2011
2012
2013
Aceh
4.109
4.714
5.584
19,57
18,58
17,72
7,43
9,10
10,30
Sumatera Utara
1.820
2.280
2.716
11,33
10,41
10,39
6,37
6,20
6,53
Sumatera Barat
2.399
2.891
3.694
9,04
8,00
7,56
6,45
6,52
6,99
Riau
3.290
3.672
4.497
8,47
8,05
8,42
5,32
4,30
5,50
Jambi
2.545
2.933
3.863
8,65
8,28
8,42
4,02
3,22
4,84
Sumatera Selatan
2.248
2.568
3.226
14,24
13,48
14,06
5,77
5,70
5,00
Bengkulu
3.240
3.641
4.183
17,50
17,51
17,75
2,37
3,61
4,74
Lampung
1.555
1.798
2.216
16,93
15,65
14,39
5,78
5,18
5,85
DKI Jakarta
2.714
3.149
3.970
3,75
3,70
3,72
10,80
9,87
9,02
Jawa Barat
945
1.183
1.658
10,65
9,89
9,61
9,83
9,08
9,22
Jawa Tengah
1.145
1.466
1.909
15,76
14,98
14,44
5,93
5,63
6,02
DI Yogyakarta
1.550
1.990
2.698
16,08
15,88
15,03
3,97
3,97
3,34
Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah
61
Provinsi
Pendapatan APBD/Kapita (Ribu Rupiah)
Tingkat Kemiskinan
Tingkat Pengangguran
2011
2012
2013
2011
2012
2013
2011
2012
2013
Jawa Timur
1.237
1.439
1.969
14,23
13,08
12,73
4,16
4,12
4,33
Kalimantan Barat
2.318
2.773
3.496
8,60
7,96
8,74
3,88
3,48
4,03
Kalimantan Tengah
4.218
4.815
5.970
6,56
6,19
6,23
2,55
3,17
3,09
Kalimantan Selatan
2.905
3.241
4.212
5,29
5,01
4,76
5,23
5,25
3,79
Kalimantan Timur
6.838
7.577
10.269
6,77
6,38
6,38
9,84
8,90
8,04
Sulawesi Utara
3.223
3.621
4.694
8,51
7,64
8,50
8,62
7,79
6,68
Sulawesi Tengah
2.664
3.174
3.819
15,83
14,94
14,32
4,01
3,93
4,27
Sulawesi Selatan
2.068
2.490
3.045
10,29
9,82
10,32
6,56
5,87
5,10
Sulawesi Tenggara
3.170
3.792
4.495
14,56
13,06
13,73
3,06
4,04
4,46
Bali
2.200
2.850
3.809
4,20
3,95
4,49
2,32
2,04
1,79
Nusa Tenggara Barat
1.802
2.064
2.399
19,73
18,02
17,25
5,33
5,26
5,38
Nusa Tenggara Timur
2.213
2.659
3.007
21,23
20,41
20,24
2,69
2,89
3,16
Maluku
4.052
4.259
4.796
23,00
20,76
19,27
7,38
7,51
9,75
Papua
8.255
8.982
9.932
31,98
30,66
31,53
3,94
3,63
3,23
Maluku Utara
4.484
5.184
5.826
9,18
8,06
7,64
5,55
4,76
3,86
Banten
1.037
1.215
1.831
6,32
5,71
5,89
13,06
10,13
9,90
Bangka Belitung
3.108
3.819
4.467
5,75
5,37
5,25
3,61
3,49
3,70
Gorontalo
3.051
3.478
4.074
18,75
17,22
18,01
4,26
4,36
4,12
Kepulauan Riau
4.033
4.471
5.162
7,40
6,83
6,35
7,80
5,37
6,25
Papua Barat
12.795
14.280
17.976
31,92
27,04
27,14
8,94
5,49
4,62
Sulawesi Barat
2.718
3.099
3.555
13,89
13,01
12,23
2,82
2,14
2,33
Sumber: Kementerian Keuangan dan BPS
62
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Sementara itu, peningkatan inflasi pada tahun 2013 lebih disebabkan pada kenaikan harga yang dipicu oleh penyesuaian harga bensin pada akhir Juni tahun 2013 yang berdampak pada inflasi pada bulan Juli 2013 sebesar 3,29 persen. Hal ini ditunjukkan dengan inflasi yang berasal dari komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) lebih dominan dibanding komponen inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang terlihat pada Tabel 5.3, menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan dengan tingkat inflasi tahun inflasi yang tertinggi berasal dari terjadi komponen yang diatur pemerintah (administered prices) lebihdan 2012. Inflasi diharga Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dominan dibanding komponen inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang Samarinda. Untuk menjaga stabilitas harga, sejak tahun 2011 telah dibentuk pada Tabel 5.3, Daerah menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan tingkat inflasi Tim terlihat Pengendali Inflasi (TPID) di beberapa kota daridengan 66 kota yang selalu tahun 2012. Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dan Samarinda. dipantau tingkat inflasinya oleh BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID menjaga harga, membenahi sejak tahun 2011 telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi dan Untuk Pemda akanstabilitas fokus untuk permasalahan struktural yang terkait Daerah (TPID) di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inflasinya oleh dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat terbatasnya produksi pangan, BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang terlampau panjang, permasalahan struktural yang terkait dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman. terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang
TABEL terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta5.3 pengaruh musiman. LAJU INFLASITABEL TAHUNAN 5.3 DI 66 KOTA LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA (dalam persen) (dalam persen) No
Kota
2010
2011
2012
2013
No
Kota
2010
2011
2012
2013
1
Lhokseum awe
7 ,1 9
3 ,55
0,3 9
8,27
34
Probolinggo
6,68
3 ,7 8
5,88
7 ,98
2
Banda Aceh
4,64
3 ,3 2
0,06
6,3 9
35
Madiun
6,54
3 ,49
3 ,51
7 ,52
3
Padang Sidem puan
7 ,42
4,66
3 ,54
7 ,82
36
Surabay a
7 ,3 3
4,7 2
4,3 9
7 ,52
4
Sibolga
1 1 ,83
3 ,7 1
3 ,3 0
1 0,08
37
Serang
6,1 8
2,7 8
4,41
9,1 6
9,68
4,25
4,7 3
Tangerang
6,08
3 ,7 8
4,44
1 0,02
5
Pem atang Siantar
1 2,02
38
6
Medan
7 ,65
3 ,54
3 ,7 9
1 0,09
39
Cilegon
6,1 2
2,3 5
3 ,91
7
Padang
7 ,84
5,3 7
4,1 6
1 0,87
40
Denpasar
8,1 0
3 ,7 5
4,7 1
7 ,3 5
8
Pekanbaru
7 ,00
5,09
3 ,3 5
8,83
41
Mataram
1 1 ,07
6,3 8
4,1 0
9,27 1 0,42
7 ,98
9
Dum ai
9,05
3 ,09
3 ,21
8,60
42
Bim a
6,3 5
7 ,1 9
3 ,61
10
Batam
7 ,40
3 ,7 6
2,02
7 ,81
43
Maum ere
8,48
6,59
6,49
6,24
11
Jam bi
1 0,52
2,7 6
4,22
8,7 4
44
Kupang
9,97
4,3 2
5,1 0
8,84
3 ,7 8
4,91
6,62
9,48
12
Palem bang
6,02
2,7 2
7 ,04
45
Pontianak
8,52
13
Bengkulu
9,08
3 ,96
4,61
9,94
46
Singkawang
7 ,1 0
6,7 2
4,21
14
Bandar Lam pung
9,95
4,24
4,3 0
7 ,56
47
Sam pit
9,53
3 ,60
4,69
7 ,25
15
Pangkal Pinang
9,3 6
5,00
6,57
8,7 1
48
Palangkaray a
9,49
5,28
6,7 3
6,45 6,98
6,1 5
16
Tanjung Pinang
6,1 7
3 ,3 2
3 ,92
1 0,09
49
Banjarm asin
9,06
3 ,98
5,96
17
DKI Jakarta
6,21
3 ,97
4,52
8,00
50
Balikpapan
7 ,3 8
6,45
6,41
8,56
18
Bogor
6,57
2,85
4,06
8,55
51
Sam arinda
7 ,00
6,23
4,81
1 0,3 7
5,43
4,26
1 0,3 5
6,43
5,99
20
Tasikm alay a
5,56
4,1 7
3 ,87
6,89
53
Manado
6,28
0,67
6,04
21
Bandung
4,53
2,7 5
4,02
7 ,97
54
Palu
6,40
4,47
5,87
7 ,57
22
Cirebon
6,7 0
3 ,20
3 ,3 6
7 ,86
55
Watam pone
6,7 4
3 ,94
3 ,65
6,86
19
Sukabum i
3 ,98
8,03
52
Tarakan
7 ,92
8,1 2
23
Bekasi
7 ,88
3 ,45
3 ,46
9,46
56
Makassar
6,82
2,87
4,57
6,24
24
Depok
7 ,97
2,95
4,1 1
1 0,97
57
Parepare
5,7 9
1 ,60
3 ,49
6,3 1
25
Purwokerto
6,04
3 ,40
4,7 3
8,50
58
Palopo
3 ,99
3 ,3 5
4,1 1
5,25
26
Surakarta
6,65
1 ,93
2,87
8,3 2
59
Kendari
3 ,87
5,09
5,25
5,92
27
Sem arang
7 ,1 1
2,87
4,85
8,1 9
60
Gorontalo
7 ,43
4,08
5,3 1
5,84
28
Tegal
6,7 3
2,58
3 ,09
5,80
61
Mam uju
5,1 2
4,91
3 ,28
5,91
29
Yogy akarta
7 ,3 8
3 ,88
4,3 1
7 ,3 2
62
Am bon
8,7 8
2,85
6,7 3
8,81
30
Jem ber
7 ,09
2,43
4,49
7 ,21
63
Ternate
5,3 2
4,52
3 ,29
9,7 8
31
Sum enep
32
Kediri
6,80
3 ,62
4,63
8,05
65
Sorong
8,1 3
33
Malang
6,7 0
4,05
4,60
7 ,92
66
Jay apura
4,48
6,7 5 4,1 8 4,68 3 ,64 5,05 64 Manokwari Bab V Implikasi Realisasi APBD TA6,62 2013 terhadap Perekonomian Daerah
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
63
4,88
4,63
0,90
5,1 2
7 ,93
3 ,40
4,52
8,27
16 17 18 19
permasalahan pasokan barang pokok akibat 6,1 7yang3 ,3terkait 2 9,06 3 ,98 Tanjung Pinang struktural 3 ,92 dengan 1 0,09 kelangkaan 49 Banjarm asin 5,96 DKI Jakarta
6,21
3 ,97
4,52
Sukabum i
5,43
4,26
50
Balikpapan
3 ,98
8,03
52
Tarakan
6,89
53
Manado
terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman. Tasikm alay a
5,56
4,1 7
3 ,87
21
Bandung
4,53
2,7 5
4,02
22
Cirebon
23
Bekasi
20
8,00
7 ,3 8
6,45
6,41
terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang 6,57 2,85 7 ,00 6,23 Bogor 4,06 8,55 51 Sam arinda 4,81
24
Depok
25 No
Purwokerto Kota
26 1
Surakarta Lhokseum awe
7 ,97 TABEL 5.3 54 Palu 6,7 0 ,20 3 ,3 6 7 ,86 55 pone LAJU3INFLASI TAHUNAN DIWatam 66 KOTA 7 ,88 3 ,45 3 ,46 9,46 56 Makassar (dalam persen) 7 ,97 2,95 4,1 1 1 0,97 57 Parepare
7 ,92
6,43
5,99
6,98 8,56 1 0,3 7 1 0,3 5
6,28
0,67
6,04
8,1 2
6,40
4,47
5,87
7 ,57
6,7 4
3 ,94
3 ,65
6,86
6,82
2,87
4,57
5,7 9
1 ,60
3 ,49
6,3 1
3 ,99 2010
3 ,3 5 2011
4,1 1 2012
5,25 2013
5,09 3 ,7 8
5,25 5,88
75,92 ,98 5,84 7 ,52
6,04 2010
3 ,40 2011
4,7 3 2012
8,50 2013
58 No
Palopo Kota
76,65 ,1 9
13,93 ,55
2,879 0,3
8,3 2 8,27
594 3
Kendari Probolinggo
3 ,87 6,68
6,24
27 2
Sem arang Banda Aceh
7 ,1 1 4,64
2,87 3 ,3 2
4,85 0,06
8,1 9 6,3
60 35
Gorontalo Madiun
76,54 ,43
4,08 3 ,49
5,3 3 ,511
28 3
Tegal Padang Sidem puan
6,7 3 7 ,42
2,58 4,66
3 ,09 ,54
75,80 ,82
61 36
Mam uju a Surabay
75,1 ,3 32
4,91 4,7 2
34,3 ,28 9
75,91 ,52
29 4
Yogy akarta Sibolga
8 1 71 ,3 ,83
3 ,88 ,7 1
34,3 ,3 01
,3 2 1 70,08
62 37
Am bon Serang
8,7 6,1 8
2,85 2,7 8
6,7 4,413
8,81 9,1 6
350
Jem Pem ber atang Siantar
79,68 ,09
2,43 4,25
4,49 4,7 3
7 ,21 1 2,02
63 38
Ternate Tangerang
5,3 2 6,08
4,52 3 ,7 8
3 ,29 4,44
8 1 9,7 0,02
361
Sum enep Medan
6,7 7 ,655
4,1 8 3 ,54
35,05 ,7 9
6,62 1 0,09
64 39
Manokwari Cilegon
4,68 6,1 2
3 ,64 2,3 5
4,88 3 ,91
372
Kediri Padang
6,80 7 ,84
35,3 ,62 7
4,63 4,1 6
8,05 1 0,87
65 40
Sorong Denpasar
8,1 3 0
0,90 3 ,7 5
5,1 21 4,7
7 ,93 ,3 5
383
Malang Pekanbaru
6,7 0 7 ,00
4,05 5,09
4,60 3 ,3 5
78,83 ,92
66 41
Jay apura Mataram
1 4,48 1 ,07
3 ,40 6,3 8
4,52 4,1 0
8,27 9,27
Dum ai
9,05
3 ,09
3 ,21
8,60
42
Bim a
6,3 5
7 ,1 9
3 ,61
1 0,42
Sumber: 1 0,52 2,7(BPS) 6 11 Jam biBadan Pusat Statistik 4,22
7 ,81
43
Maum ere
8,48
6,59
6,49
6,24
8,7 4
44
Kupang
9,97
4,3 2
5,1 0
8,84
7 ,04
45
Pontianak
8,52
4,91 62
9 10 12
Sumber: 7 ,40 3(BPS) ,7 6 Batam Badan Pusat Statistik 2,02 Palem bang
6,02
3 ,7 8
2,7 2
| P 6,62 age
4,63 7 ,98
9,48
,96 ,1 0 6,7 2 Bengkulu 4,61 9,94 46 Singkawang 4,21 6,1 5 Dengan demikian, 9,08 jelas 34,24 terlihat bahwa kedudukan APBD79,53 sangatlah penting 9,95 3 ,60 14 Bandar Lam pung 4,3 0 7 ,56 47 Sam pit 4,69 7 ,25 9,3 6 5,00 9,49 5,28 15 Pangkal Pinang 6,57 8,7 1 48 Palangkaray a 6,7 3 6,45 sebagai alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental 6,1 7 3 ,3 2 9,06 3 ,98 16 Tanjung Pinang 3 ,92 1 0,09 49 Banjarm asin 5,96 6,98 6,21 3 ,97 7 ,3 8 6,45 1 7 DKI Jakarta 4,52 8,00 50 Balikpapan 6,41 8,56 perekonomian daerah 6,57 dalam2,85proses pembangunan di daerah.7 ,00 APBD6,23sebagai alat 18 Bogor 4,06 8,55 51 Sam arinda 4,81 1 0,3 7 5,43 4,26 7 ,92 6,43 19 Sukabum i 3 ,98 8,03 52 Tarakan 1 0,3 5 untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di5,99daerah 5,56 4,1 7 6,28 0,67 20 Tasikm alay a 3 ,87 6,89 53 Manado 6,04 8,1 2 4,53 2,7 5 6,40 4,47 21 Bandung 4,02 7 ,97 pertumbuhan 54 Palu 5,87 7 ,57 dengan beberapa indikator di antaranya ekonomi, kemiskinan dan 6,7 0 3 ,20 6,7 4 3 ,94 22 Cirebon 3 ,3 6 7 ,86 55 Watam pone 3 ,65 6,86 ,88 3 ,45 6,82 2,87 pengangguran, telah 7mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan 23 Bekasi 3 ,46 9,46 56 Makassar 4,57 6,24 7 ,97 2,95 5,7 9 1 ,60 24 Depok 4,1 1 1 0,97 57 Parepare 3 ,49 6,3 1 potensi dan karakteristik daerah tuntutan 6,04 3 ,40 3 ,99 3 ,3 5terciptanya 25 Purwokerto 4,7 3 serta 8,50 dapat 58 memenuhi Palopo 4,1 1 5,25 6,65 1 ,93 3 ,87 5,09 26 Surakarta 2,87 8,3 2 59 Kendari 5,25 5,92 anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. 7 ,1 1 2,87 7 ,43 4,08 27 Sem arang 4,85 8,1 9 60 Gorontalo 5,3 1 5,84 6,7 3 2,58 5,1 2 4,91 28 Tegal 3 ,09 5,80 61 Mam uju 3 ,28 5,91 Tentu saja proses penganggaran yang telah direncanakan dengan baik dan 7 ,3 8 3 ,88 8,7 8 2,85 29 Yogy akarta 4,3 1 7 ,3 2 62 Am bon 6,7 3 8,81 7 ,09 2,43 5,3 2 4,52 30 Jem ber 4,49 7 ,21 63 Ternate 3 ,29 9,7 8 dilaksanakan dengan6,7tertib serta disiplin akan mencapai sasaran yang lebih 5 4,1 8 4,68 3 ,64 31 Sum enep 5,05 6,62 64 Manokwari 4,88 4,63 6,80 3 ,62 8,1 3 0,90 3 2 Kediri 4,63 8,05 65 Sorong 5,1 2 7 ,93 optimal. 6,7 0 4,05 4,48 3 ,40 13
33
Malang
4,60
7 ,92
66
Jay apura
4,52
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 62 | P a g e
64
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
8,27
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan buku “Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun 2013” dilaksanakan dengan kinerja team work yang solid dan tidak akan mungkin dapat tersaji tanpa kerja sama yang baik dan saling bahu membahu dari seluruh pihak yang berkontribusi. Oleh karena itu, ungkapan rasa terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini, yaitu: -
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – DR. Boediarso Teguh Widodo, dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Ir. Adijanto, MPA, yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.
-
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah yang telah menyediakan data Realisasi APBD 2013 melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.
-
Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, SE, MM; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt; Prasetyo Indro Soejono, SE, ME; Armansyah Sinaga, SE; Faisal, SE, Ak; Edi Soeprijono, S.Sos; Maryadi, SE, MM; Chrisliana Tri Ferayanti, SE, ME; Virgin Marthalia, A.Md; Rika Hijriyanti, S.Si; Ganjar Prihatmoko, SE; Desain Kristian Gulo, SE; Nanag Garendra Timur, S.Si.; dan Bondan Widyatmoko, SE; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus mendukung penulisan buku, serta Lukman Adi Santoso, SE, ME, yang telah membantu melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya. Terima kasih atas kerja kerasnya.
Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah
65
66
ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
A
PB
D
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN