KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
EVALUASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH
PENULIS Prof. Dr. Eddy Suratman (Universitas Tanjungpura)
EDITOR Prof. Dr. Robert A. Simanjuntak (Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Candra Fajri Ananda
Dr. Hefrizal Handra
(Universitas Brawijaya)
(Universitas Andalas)
Dr. Hamid Paddu (Universitas Hasanuddin)
Dr. Artidiatun Adji (Universitas Gajah Mada)
LAPORAN TIM ASISTENSI KEMENTERIAN KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL 2013 Didukung oleh:
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
ii |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Australian Aid
Acknowledgement
Australian Aid Buku Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 AUSTRALIA INDONESIA PARTNERSHIP FOR DECENTRALISATION (AIPD)
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah ini disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD).
Disclaimer Pandangan dan pendapat dalam buku Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah ini bersumber dari Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan tidak menggambarkan pandangan Pemerintah Australia.
iv |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Daftar Isi
Kata Pengantar Direktur Program AIPD.............................................. vii Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan............... ix Daftar Tabel dan Diagram................................................................... xi Ringkasan Eksekutif............................................................................ xiii 1. Pendahuluan................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ......................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian....................................................................
5
1.4. Manfaat Penelitian.................................................................
5
2. Landasan Teori.............................................................................
6
2.1. Administrasi Perpajakan.........................................................
6
2.2. Tax Incidence..........................................................................
8
2.3. Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah........................... 11
2.4. Pengalaman Negara Lain........................................................ 18
3. Metode Penelitian........................................................................ 24
3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif........................................... 24
3.2. Jenis dan Sumber Data . ........................................................ 25
v
3.3. Pemilihan Daerah Sampel....................................................... 27
3.4. Analisis Data.......................................................................... 28
4. Gambaran Umum Daerah Sampel............................................... 31
4.1. Potret Penerimaan Kabupaten/Kota di Indonesia................... 31
4.2. Gambaran Umum Daerah Sampel.......................................... 34
4.3. Analisis Belanja Daerah.......................................................... 39
5. Analisis Kualitatif: Permasalahan Dalam Implementasi
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009........................................... 43
5.1. Hasil Focus Group Discussion (FGD)....................................... 43
5.2. Hasil Kuesioner....................................................................... 55
6. Analisis Kuantitatif: Pengaruh Implementasi Uu No 28 Tahun
2009 Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah........................ 62
6.1. Analisis Perkembangan Pajak Daerah..................................... 62
6.2. Analisis Perbandingan Kondisi Pajak Daerah di Daerah Sampel
Sebelum dan Sesudah Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009 . .. 65
6.3. Analisis Kuantitatif Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009 . ......... 83
7. Penutup........................................................................................ 92
7.1. Kesimpulan............................................................................ 92
7.2. Rekomendasi.......................................................................... 95
Daftar Pustaka..................................................................................... 99 Lampiran 103
1.
Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun .
2009...................................................................................... 103
Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun
2.
2010...................................................................................... 104
3.
Hasil Model Elastisitas Pajak 2009.......................................... 104
4.
Hasil Model Elastisitas Pajak 2011.......................................... 108
vi
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Kata Pengantar Direktur Program AIPD
S
ejak tahun 2012, Program AIPD mendukung Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melalui Tim Asistensi Ke menterian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF), terutama
untuk pengembangan kebijakan desentralisasi fiskal berbasis penelitian (research based policy).
Pada tahun 2013 TADF mendapatkan mandat untuk melaksanakan em
pat kajian dan penyusunan sejumlah policy brief. Hasil kajian tersebut telah didokumentasikan dalam empat judul buku berikut ini: 1) Pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK): Kondisi dan Strategi ke Depan; 2) Municipal Development Funds sebagai Alternatif Pembiayaan Infra struktur Daerah; 3) Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya ter hadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah; 4) Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pa jak Daerah dan Retribusi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Daerah.
Sedangkan hasil policy brief yang disusun oleh TADF didokumentasikan
dalam buku Policy Brief 2013.
Kami mengharapkan bahwa kelima buku tersebut dapat berkontribusi
untuk dialog kebijakan yang dapat memperkuat implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia, terutama untuk dampak peningkatan layanan publik bagi masyarakat. Jessica Ludwig-Maaroof Direktur Program
vii
viii |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Kata Pengantar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
D
inamika hubungan keuangan pusat dan daerah yang juga dipe ngaruhi oleh perubahan kondisi global maupun dinamika politik perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat karena
sangat berkaitan dengan berbagai kebijakan yang langsung berdampak pada penyelenggaraan layanan publik oleh Daerah. Oleh karenanya, perbaikan kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian yang sifatnya netral, jujur, dan ilmiah harus dilakukan secara terus menerus.
Dalam rangka melakukan perbaikan kebijakan yang berbasis penelitian
atau research based policy, maka Kementerian Keuangan telah menjalin kerjasama dengan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF). TADF beranggotakan para akademisi dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia dan para pakar di bidang desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pada tahun 2013, TADF telah melakukan empat buah pene litian dan menghasilkan 7 (tujuh) buah policy brief dan 1 (satu) buah policy note.
Salah satu hasil penelitian tersebut adalah “Evaluasi Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah”. Penelitian ini pada dasarnya berusaha untuk mengevaluasi permasalahan yang muncul saat implementasi kebijakan UU No. 28 Tahun 2009. Tim Peneliti juga
ix
melakukan analisis pengaruh dari implementasi UU tersebut dari sisi penam bahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah.
Rekomendasi yang disampaikan dalam penelitian ini adalah agar pada
masa transisi hingga 2017, Direktorat Jenderal Pajak tetap melakukan pen dampingan dan memberikan bantuan teknis kepada daerah terkait dengan pengelolaan dan penyelesaian piutang PBB-P2. Selain itu Pemerintah Pusat juga diharapkan memberikan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk SDM perpajakan daerah, agar administrasi perpajakan menjadi lebih efisien. Beberapa rekomendasi revisi UU No. 28 Tahun 2009 yang juga perlu mendapat perhatian adalah mengenai perlunya revisi pasal yang terkait de ngan klasterisasi NPOP-TKP serta pemberian insentif dari Pajak Hotel dan Restoran untuk PHRI dalam rangka melakukan promosi wisata.
Selain memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat, penelitian
ini juga memberikan rekomendasi kepada Pemda diantaranya mengenai perlu ditingkatkannya upaya Pemda untuk mendorong kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah, perlu komitmen yang kuat dari Pemda untuk menetapkan peraturan terkait pemungutan dan pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah, serta komitmen untuk menerapkan tarif pajak daerah dan retribusi daerah yang lebih pro investasi. Pemda juga diha rapkan selalu melakukan evaluasi atas implementasi UU No. 28 Tahun 2009 dalam konteks untuk optimalisasi jenis pajak yang akan didorong untuk me ningkatkan PAD.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini dan juga kepada Australia Indonesia Partnership for Decentralization yang telah mendukung terlaksana nya rangkaian kegiatan TADF 2013. Kami berharap bahwa hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang lebih baik di Indonesia. Direktur Jenderal,
Boediarso Teguh Widodo x
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Daftar Tabel
Tabel 2.1. Pemungutan dan Pengelolaan Pajak Properti di Beberapa
Negara................................................................................ 20
Tabel 3.1. Kriteria dan Jenis Pajak yang diteliti..................................... 26 Tabel 4.1. Total PAD Kabupaten/Kota berdasarkan Pulau di Indonesia
(Rp triliun) .......................................................................... 32
Tabel 4.2. Rata-rata Penerimaan Jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota
Seluruh Indonesia (Rp miliar)............................................... 33
Tabel 4.3. .Jumlah Penduduk Daerah Sampel (jiwa)............................. 35 Tabel 4.4. Luas Wilayah Daerah Sampel............................................... 36 Tabel 4.5. Tingkat Kemiskinan Daerah Sampel 2007-2011 (%)............ 38 Tabel 4.6. Total Belanja Daerah 2007-2011 (Rp miliar)......................... 39 Tabel 4.7. Rasio Belanja Langsung terhadap Total Belanja Daerah
2007-2011(%)..................................................................... 40
Tabel 4.8. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah
2007-2011 (%).................................................................... 41
Tabel 6.1. Pertumbuhan PAD Tahun 2008-2011 (%)............................ 65 Tabel 6.2. Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Tahun 2008 - 2011 (%). 67 Tabel 6.3. Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah 2008 – 2011 (%)... 67 Tabel 6.4. Pajak Per Kapita Daerah Sampel 2007-2011 (rupiah per jiwa). 70 Tabel 6.5. Rasio Pajak terhadap PDRB AHB Daerah Sampel 2007
2011 (%)............................................................................. 71
xi
Tabel 6.6. Rasio Pajak Terhadap PAD di Daerah Sampel Tahun 2007
2012 (%)............................................................................. 72
Tabel 6.7. Rasio PAD terhadap Total Penerimaan di Daerah Sampel
Tahun 2007-2012 (%).......................................................... 73
Tabel 6.8. Rasio PAD terhadap Total Belanja di Daerah Sampel Tahun
2007-2012 (%).................................................................... 74
Tabel 6.9. Rasio PAD terhadap PDRB AHB di Daerah Sampel Tahun
2007-2011 (%).................................................................... 75
Tabel 6.10. Realisasi Jenis Pajak Kab. Malang (miliar rupiah)................. 76 Tabel 6.11. Realisasi Jenis Pajak Kab. Deli Serdang (miliar rupiah)......... 77 Tabel 6.12. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Bandung (miliar rupiah)..... 78 Tabel 6.13. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Badung (miliar rupiah)....... 80 Tabel 6.14. Realisasi Jenis Pajak Kota Balikpapan (miliar rupiah)............ 81 Tabel 6.15. Realisasi Jenis Pajak Kota Surabaya (miliar rupiah)............... 82 Tabel 6.16. Koefisien Rasio Pajak Daerah............................................... 86 Tabel 6.17. Elastisitas Pajak Daerah...................................................... 89
xii
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota........
3
Gambar 1.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se Provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta)..........................
4
Gambar 2.1. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Elastisitas
Penawaran Sempurna)...................................................
9
Gambar 2.2. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Penawaran Elastis).. 10 Gambar 2.3. Kurva Laffer.................................................................... 14 Gambar 4.1. Rata-Rata Penerimaan Pajak Daerah Kota-Kab Per Pulau
di Indonesia (Rp Triliun).................................................. 31
Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel dan Nasional..... 37 Gambar 5.1. Tren Penerimaan Realisasi Pajak Daerah Sampel,
Tahun 2007-2011........................................................... 60
Gambar 6.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Tahun 2012..................................................................... 63
Gambar 6.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Provinsi tahun 2011 (tidak termasuk DKI Jakarta)...... 64
Gambar 6.3. Perkembangan Pendapatan Daerah Sampel Tahun
2007-2012...................................................................... 69
Gambar 6.4. Perkembangan Belanja Daerah Sampel Tahun 2007
2012............................................................................... 70
xiii
xiv |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Ringkasan Eksekutif
U
ndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un
dang-undang ini mengatur sebelas jenis pajak untuk Pemerintah Kab/Kota dan lima jenis pajak untuk Pemerintah Provinsi. Penambahan jenis pajak, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak diharapkan akan memberikan dampak positif bagi pemerintah daerah. Namun demikian, ha rus diakui bahwa setelah lebih dari dua tahun sejak diundangkan, penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini masih menghadapi berbagai ma salah, seperti pemahaman dan penafsiran daerah yang masih beragam dan mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai perolehan, batasan/ definisi pajak yang diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2009 belum dapat diimplementasi kan dengan baik oleh beberapa daerah. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengim plementasikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak, 2) menganalisis pengaruh implementasi Undang-Un dang Nomor 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah, dan 3) memberikan rekomendasi terkait
xv
optimalisasi implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu metode kualitatif
dan metode kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga metode pe ngumpulan data, yaitu: desk study, focus groups discussion (FGD), dan kue sioner. FGD dan pengisian kuesioner dilakukan pada tujuh daerah yaitu Kota Batam, Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Deli Serdang, Kota Balikpapan, Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang. Metode kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder penerimaaan pajak di seluruh daerah di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah masih menghadapi berba
gai masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Masalah tersebut terbagi menjadi: (1) Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu an tara lain: pemahaman yang berbeda terhadap UU sehingga khawatir salah dalam melaksanakannya dan adanya kesulitan secara teknis untuk menerapkan perluasan basis pajak; (2) Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: kurangnya SDM yang kompeten dalam bidang keuangan daerah, mema hami karakteristik daerah dan mampu melakukan simulasi untuk menghitung dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi dan penerimaan daerah, adanya anggapan bahwa tarif dalam UU No. 28 Tahun 2009 merupa kan batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa perlu lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya, kurangnya kesadaran bahwa daerah telah memiliki kewenangan penuh dalam penetapan tarif sepanjang masih dalam batas maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU, tingginya NPOPTKP (Rp 60 juta) dalam pemungutan BPHTB bagi pemerintah kabupaten, dan proses penetapan tarif yang seringkali belum melibatkan stakeholders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang mendapat dukungan dan komitmen dalam pelaksanaannya; (3) Masalah dalam pemungutan jenis pajak baru, yaitu antara lain: minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola BPHTB dan PBB-P2, ketidaksiapan struktur SKPD, proses validasi atau verifikasi yang relatif lama, adanya SE BPN No. 5 tahun 2013 yang seolah menyatakan tidak perlunya verifikasi, rendahnya NJOP dibanding harga pasar, masih mi nimnya kompetensi SDM (pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan), kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, dan ketidakakuratan
xvi
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
data piutang PBB; dan (4) Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya pungutan diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, tidak adanya insentif pajak Hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, belum efek tifnya proses evaluasi Raperda di provinsi, adanya monopoli bank dalam pem bayaran pajak daerah, masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam mem bayar pajak, kurangnya kerjasama diantara stakeholders pajak daerah, belum siapnya regulasi beserta hardware/software untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak pratama, belum memadainya jum lah tenaga administrasi untuk pendataan dan pendaftaran, belum dijalan kannya mekanisme one stop service untuk pajak daerah, dan kurang akurat nya data wajib pajak.
Selanjutnya, beberapa indikator seperti pertumbuhan PAD, pertumbuhan
realisasi pajak daerah, pajak per kapita, rasio pajak terhadap PDRB AHB, rasio pajak terhadap PAD, rasio PAD terhadap total penerimaan, rasio PAD terhadap total belanja daerah, dan rasio PAD terhadap PDRB AHB di daerah sampel mengalami peningkatan di tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa UU No 28 Tahun 2009 telah mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Sementara hasil regresi untuk data seluruh kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan bahwa sektor ekonomi (PDRB), khususnya beberapa sub sektor yang menjadi basis pajak daerah sampai tahun 2010 belum cukup kuat memberi pengaruh terhadap rasio pajak. Sedangkan terhadap elastisitas pajak, tampak bahwa dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak Hotel dan BPHTB mengalami peningkatan elastisitas setelah penerapan UU No. 28 Tahun 2009. Sebaliknya, elastisitas pajak restoran dan pajak penerangan jalan, meskipun kecil, namun cenderung mengalami penurunan.
Penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi baik bagi Pemerintah
Pusat maupun bagi Pemerintah Daerah. Rekomendasi bagi Pemerintah Pusat antara lain: (1) Dalam masa transisi, paling tidak hingga tahun 2017, sebaik nya diatur agar Direktorat Jenderal Pajak tetap terlibat dan berperan mem bantu pemerintah daerah dalam pengelolaan jenis pajak pusat yang dialihkan ke daerah, sehingga KPP tetap bisa melakukan pendampingan dan memberi kan bantuan teknis lainnya, terutama terkait dengan pengelolaan dan penye lesaian piutang PBB P2; (2) Pemerintah pusat harus memberikan bantuan terhadap daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat rendah. Jenis
R ingkasan E ksekutif
xvii
bantuan yang diberikan sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktorfaktor internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM termasuk didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) agar daerah secara cepat dapat menyesuaikan NJOP yang mendekati nilai transaksi (harga pasar), pendampingan untuk perumusan regulasi, penyusunan SOP dan program, pelatihan untuk peningkatan kualitas dan pengelolaan data, pen dampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pelatihan untuk pemanfaatan teknologi informasi; (3) Untuk pajak daerah yang bersifat self-asessment, dukungan adminsitrasi perpajakan yang efisien sangatlah penting, termasuk pengem bangan system yang berbasis e-tax. Pengembangan system yang baik, tentu perlu dukungan peraturan/regulasi dan SDM yang mumpuni; (4) UndangUndang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi dengan menerapkan NPOP-TKP berdasarkan klaster agar daerah kabupaten yang kurang memiliki potensi BPHTB tetap memperoleh penerimaan BPHTB; (5) Revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebaiknya memuat pasal yang mengatur tentang adanya insentif terhadap pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan yang diberikan kepada PHRI dan hanya boleh digunakan untuk promosi wisata; (6) Kegiatan pelatihan, pendidikan, work shop, sosialisasi, dan kegiatan sejenis yang berupaya meningkatkan kapasitas aparatur Dispenda/DPPKAD perlu diperbanyak untuk meningkatkan kompe tensi aparatur Dispenda/DPPKAD; dan (7) Sepanjang daerah masih mengalami kekurangan staf yang kompeten di bidang perpajakan, maka perlu diatur agar aparat pemerintah daerah yang sudah memiliki kompetensi khusus di bidang perpajakan tidak dipindahkan ke bidang lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Sementara rekomendasi bagi Pemerintah Daerah antara lain: (1) Untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, pemerintah daerah harus terlebih dahulu meningkatkan pelayanan publik yang diikuti dengan menjalankan program sosialisasi pajak daerah secara sistematis dan massive. Peningkatan layanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah akan sangat membantu upaya meningkatkan kesadaran masyarakat; (2) Dae rah harus berani menetapkan kebijakan terkait dengan pengelolaan pajak daerah yang secara nyata sudah menjadi kewenangannya (seperti tarif, insti
xviii
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
tusi, insentif, SOP, dan lain-lain) dan tidak selalu meminta agar diatur oleh pemerintah pusat. Proses penetapan kebijakan dimaksud sebaiknya melibat kan stakeholders pajak daerah, termasuk akademisi; (3) Daerah harus meng kaji secara obyektif dan komprehensif tentang kebutuhan struktur SKPD dikaitkan dengan beban pengelolaan pajak daerah, jika dianggap perlu pe misahan Dispenda dengan DPPKAD atau jika dianggap perlu penambahan eselon 3 di Dispenda/DPPKAD silakan dilakukan. Tidak perlu menunggu atur an lagi dari pemerintah pusat karena hal itu sepenuhnya sudah menjadi ke wenangan daerah; (4) Daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat ren dah sebaiknya tidak menetapkan tarif pajak maksimum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 tahun 2009. Sebaliknya untuk lebih menarik bagi investor, maka daerah tersebut harus menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif pajak daerah yang bervariasi untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya; (5) Evaluasi Raperda Pajak Daerah di provinsi selama ini terkesan hanya proses prosedural saja dan belum efektif. Untuk lebih mengefektifkan proses evaluasi Raperda ini, maka sebaiknya pemerintah provinsi membentuk tim evaluator indepen den yang memahami karakteristik daerah dan substansi pajak daerah; (6) BPHTB dan PBB P2 merupakan pajak daerah yang memiliki potensi besar memberi kontribusi pada PAD. Oleh karena itu, perbaikan basis data, penye suaian NJOP, dan perbaikan sistem informasi pajak BPHTB dan PBB P2 harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah; dan (7) Pemerintah daerah perlu melakukan kajian secara menyeluruh untuk mengetahui efektivitas implementasi UU No. 28 Tahun 2009 di daerah, sekaligus juga untuk menge tahui jenis pajak mana yang sudah jenuh dan yang masih bisa dioptimalkan penerimaannya.
R ingkasan E ksekutif
xix
xx |
Mendekatkan Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban
Pendahuluan
1
1.1. Latar Belakang
U
ndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Un
dang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dengan member lakukan pendekatan closed-list terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah-nya. Pemerintah Provinsi diberi kan akses terhadap lima jenis pajak, sementara Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan akses terhadap sebelas jenis pajak.
Disamping adanya perluasan basis pajak (seperti dimasukkannya catering
sebagai bagian dari pajak restoran) dan adanya keleluasaan pemerintah dae rah dalam menetapkan tarif pajak, hal lain yang cukup penting dalam Un dang-Undang Nomor 28 tahun 2009 ini adalah dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai pajak daerah. Ini merupakan perubahan besar dalam mendukung desentrali sasi seiring dengan pemahaman umum dan pengalaman internasional yang
1
menunjukkan bahwa pajak properti lebih baik diserahkan kepada daerah sebagai sumber pendapatan tingkat kabupaten/kota.
Penambahan jenis pajak, perluasan basis pajak, dan keleluasaan pene
tapan tarif pajak diharapkan akan memberikan dampak positif bagi pemerin tah daerah. Dampak positif dimaksud antara lain tampak dari adanya kelelu asaan daerah untuk menyesuaikan kebijakan perpajakan (seperti penetapan tarif pajak) dengan kondisi daerah masing-masing, munculnya competitiveness antar daerah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, terjalinnya hubungan kemitraan yang lebih baik dan akuntabel dengan pengusaha dan masyarakat untuk memikul bersama beban pembangunan daerah, dan terse dianya sumber pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pem bangunan infrastruktur.
Namun demikian, harus diakui bahwa setelah lebih dari dua tahun sejak
diundangkan, penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini masih menghadapi berbagai masalah, seperti pemahaman dan penafsiran daerah yang masih beragam dan mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai per olehan, batasan/ definisi pajak yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 belum dapat diimplementasikan, keterbatasan kemampuan aparat Pemerintah Daerah dalam menyusun Perda PDRD, serta kurangnya kesiapan Pemerintah Daerah dalam mengelola jenis pajak baru akibat belum tersedianya sarana dan prasarana termasuk sistem, organisasi dan SOP, minimnya kompetensi SDM untuk pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan, belum dilaku kannya pemutakhiran data objek, subjek, wajib pajak, dan piutang, dan kurang nya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
Kondisi demikian mengakibatkan implementasi Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 belum mampu meningkatkan kontribusi pajak daerah terha dap Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan. Hal ini antara lain tampak dari perkembangan rasio pajak daerah dan besaran pajak daerah per kapita. Meskipun kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah terus mengalami kenaikan, dari 18,6% (2010), 19,66% (2011), dan 20,4% (2012) akan tetapi rasio pajak (tax ratio) dan Pajak per Kapita (tax per capita) masih sangat ren dah. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam
2
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. Sementara pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah pen duduknya, yang menunjukkan kontribusi setiap penduduk terhadap pajak daerah.
Pada tahun 2012, rata-rata rasio pajak daerah secara nasional (agregat
provinsi, kabupaten, dan kota) hanya sebesar 1,39%, menurun dari tahun 2011 yang besarnya mencapai 2,9%. Jika diperhatikan hanya untuk agregat kabupaten/kota saja, rata-rata rasio pajaknya bahkan jauh lebih kecil lagi, yaitu hanya 0,37%, juga menurun dari tahun 2011 yang besarnya mencapai 0,6%.
Gambar 1.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Sumber: Deskripsi dan Analisis APBD 2012, DJPK Kemenkeu, 2012
Sementara itu, besaran pajak per kapita juga masih sangat rendah, dimana
rata-rata nasional untuk agregat kabupaten dan kota dalam satu provinsi pada tahun 2012 hanya sebesar Rp 79.643. Meskipun besaran rata-rata pajak per kapita ini masih sangat rendah, ternyata penduduk di sebagian besar daerah (di 24 provinsi) justru mempunyai besaran pajak per kapita di bawah rata-rata nasional tersebut.
Pendahuluan
3
Gambar 1.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se Provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta) Sumber: Deskripsi dan Analisis APBD 2012, DJPK Kemenkeu, 2012
Fakta di atas menunjukkan bahwa meskipun upaya pemerintah untuk
meningkatkan local taxing power dengan menerbitkan Undang-Undang No mor 28 Tahun 2009 yang telah menambah jenis pajak, memperluas basis pajak, dan memberi keleluasaan penetapan tarif pajak sudah menunjukkan hasil positif, namun realisasi pajak daerah sebenarnya masih jauh lebih rendah dari potensinya. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kebijakan Undang-Undang No mor 28 Tahun 2009 ini dan pengaruh implementasinya terhadap peningkatan pendapatan daerah perlu dilakukan melalui suatu penelitian.
1.2. Rumusan Masalah Secara garis besar, pokok masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1. Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengimplemen tasikan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak? 2. Bagaimana pengaruh implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan
4
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah? 3. Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah agar mereka dapat mengoptimalkan implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 untuk meningkatkan pendapatan daerah?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak. 2. Menganalisis pengaruh implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah. 3. Memberikan rekomendasi terkait optimalisasi implementasi UndangUndang Nomor 28 tahun 2009 untuk meningkatkan pendapatan daerah.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, terutama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan daerah terkait dengan optimalisasi implementasi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, agar pendapatan daerah mengalami peningkatan.
Pendahuluan
5
2
Landasan Teori
2.1. Administrasi Perpajakan
R
ay, Herschel dan Horrace mendefinisikan bahwa pajak merupakan suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, yang bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu tanpa mendapat im balan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Pajak berfungsi sebagai penerimaan (budgetary function) dan sebagai pengaturan (regulatory function). Secara lebih spesifik, pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah dan sebagai piranti untuk meng atur atau melaksanakan kebijakan pembangunan untuk kesejahteraan ma syarakat. Pajak dapat berfungsi sebagai automatic stabilizer dan juga sebagai piranti untuk meredistribusi pendapatan. Pajak dapat juga digunakan sebagai piranti untuk mempengaruhi perilaku masyarakat, misalnya penerapan pajak dengan tarif yang tinggi untuk minuman mengandung etil alkohol diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumsi masyarakat akan minuman beralkohol.
Menurut golongannya, pajak dibagi menjadi pajak langsung dan pajak
tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain tetapi menjadi beban langsung wajib
6
pajak yang bersangkutan, misalnya pajak penghasilan. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, misalnya pajak pertambahan nilai. Menurut sifatnya, pajak dibedakan men jadi pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah pajak yang ber pangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, yaitu memperhatikan keadaan wajib pajak, misalnya pajak peng hasilan. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan wajib pajak, misalnya pajak per tambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Menurut pemungut dan pengelolanya, pajak dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, misalnya pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, misalnya pajak reklame, pajak hiburan, dan pajak bumi dan bangunan.
Dalam memungut pajak, diperlukan asas-asas pemungutan pajak yaitu
equity, certainty, dan convenience. Terdapat dua jenis equity dalam pemu ngutan pajak, yaitu horizontal equity dan vertical equity. Dalam horizontal equity, semua wajib pajak yang memiliki keadaan yang sama akan dikenai beban pajak yang sama besar. Dalam vertical equity, setiap wajib pajak dibe bani pajak sesuai dengan keadaan ekonominya. Yang dimaksud dengan certainty adalah wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. Yang dimaksud dengan convenience adalah timing pembayaran pajak oleh wajib pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan yang disebut pay as you earn. Selain itu, biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin. Sementara itu, sis tem pemungutan pajak dibedakan menjadi official assessment, self assessment, dan withholding system. Official assessment adalah sistem pemungutan pa jak yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besar nya pajak yang terutang. Self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak
L andasan Teori
7
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Withholding system memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Berikut ini merupakan mekanisme hapusnya utang pajak: i) pembayaran, ii) kompensasi, iii) daluwarsa, iv). pembebasan, dan v) penghapusan. Dalam pembayaran, utang pajak yang melekat pada wajib pajak akan terhapus karena pembayaran pajak yang yang dilakukan ke kas negara. Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kom pensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak dan harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang terutang. Yang disebut dengan kadaluwarsa adalah telah dilampauinya waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan pembebasan adalah utang pajak berakhir karena ditiada kan, biasanya terhadap sanksi administrasi. Penghapusan merupakan hal yang hampir sama dengan pembebasan, tetapi penghapusan ini disebabkan oleh keadaan wajib pajak.
2.2. Tax Incidence Tax incidence hanya tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran atas objek pajak. Sementara itu, statutory incidence (siapa yang seharusnya membayar pajak menurut peraturan) sama sekali tidak relevan. Hanya econo mic incidence (siapa yang membayar pajak) yang relevan. Misalnya, diasumsi kan bahwa produksi mobil memiliki struktur biaya tetap sehingga kurva pe nawaran mobil sejajar dengan sumbu horisontal sebagaimana terlihat dalam Gambar 1. Sebelum dikenakan pajak penjualan, harga mobil sebesar P dan keseimbangan terjadi pada kuantitas mobil Q1 (titik potong kurva penawaran S dengan kurva permintaan D). Setelah produksi mobil dikenakan pajak pen jualan dengan tarif t, maka kurva penawaran S bergeser ke atas menjadi S’ dengan tingkat harga (1 + t) P. Kenaikan kurva penawaran tersebut mengaki batkan keseimbangan pasar terjadi pada kuantitas mobil yang lebih kecil, sebesar Q2. Penerimaan pemerintah dari pajak penjualan mobil sebesar area
8
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
abe’c. Pajak menciptakan wedge antara harga yang diterima oleh produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Akibat adanya pajak penjual an sebesar t, harga mobil yang semula P naik menjadi (1 + t) P yang berarti konsumen membayar mobil dengan harga yang lebih tinggi. Karena kurva penawaran sejajar dengan sumbu mendatar (elastis sempurna) maka sebenar nya seluruh beban pajak ditanggung oleh konsumen, meskipun yang mem bayar pajak penjualan kepada pemerintah adalah produsen. Jadi, produsen mobil selaku pihak wajib pajak dapat menggeserkan beban pajak penjualan kepada konsumen dengan cara menaikkan harga penjualan. Dengan demi kian, hanya elastisitas yang relevan dalam menentukan economic incidence pajak.
Surplus konsumen setelah pajak diterapkan adalah sebesar area ae’d,
sedangkan surplus konsumen semula adalah sebesar area aed. Dalam kasus elastisitas penawaran yang elastik sempurna, produsen menggeser seluruh beban pajak kepada konsumen. Sebagian surplus konsumen yang berkurang merupakan transfer of surplus dari konsumen ke pemerintah yang berupa penerimaan pajak. Bagian dari surplus konsumen yang tidak ditransfer ke pemerintah, hilang dari perekonomian, dan disebut sebagai excess burden atau deadweight loss (Gambar 2.1). Excess burden ini berasal dari distorsi yang diakibatkan oleh adanya efek substitusi.
Gambar 2.1. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Elastisitas Penawaran Sempurna)
L andasan Teori
9
Apabila kurva penawaran memiliki some degree of elasticity, maka
produsen dapat menggeserkan sebagian beban pajak kepada konsumen, seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Sebelum adanya pajak, keseimbangan terjadi di titik e, yaitu pada tingkat harga P1 dan jumlah produksi sebesar Q1 mobil per tahun. Adanya pajak menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kiri atas sehingga keseimbangan baru terjadi di titik e’. Keseimbangan baru tersebut tercapai pada tingkat harga P2 dengan kuantitas sebesar Q2. Jarak e’b menunjukkan besarnya pajak yang dikenakan pada setiap barang yang dihasilkan. Awalnya, surplus konsumen adalah sebesar ged dan karena pe ngenaan pajak berkurang menjadi ce’d. Sementara itu, surplus produsen pada awalnya adalah sebesar gef lalu berubah menjadi ce’g. Penerimaan pajak oleh pemerintah sebesar area abe’c dimana produsen menanggung pajak sebesar abhg dan konsumen menanggung pajak sebesar ghe’c.
Gambar 2.2. Elastisitas dan Tax Incidence (Kasus Penawaran Elastis)
Dari Gambar 2.1 dan 2.2 dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin elastis
kurva penawaran (dengan asumsi kurva permintaan tetap), maka semakin besar beban pajak yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen. Sebaliknya, semakin inelastis kurva penawaran suatu barang, akan semakin kecil kemampuan produsen untuk menggeserkan beban pajak kepada kon
10
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
sumen. Semakin elastis kurva permintaan suatu barang, semakin kecil beban pajak yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen. Sebaliknya, semakin inelastis kurva permintaan barang tersebut, semakin besar beban yang dapat digeserkan oleh produsen kepada konsumen. Elastisitas merupa kan satu-satunya faktor yang menentukan tax incidence.
2.3. Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Jika kita memperhatikan sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpa jakan daerah sebagai berikut (Sidik, 2002): 1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masya rakat. 2. Adil dan merata secara vertikal, yaitu sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan secara horizontal, yaitu berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak. 3. Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayan an memuaskan bagi si wajib pajak. 4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. 5. Non-distorsioner atau lumpsum terhadap perekonomian, yaitu tidak me nimbulkan excess burden atau deadweight loss dalam perekonomian.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan dae
rah harus memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: 1. Dapat dipungut, yaitu perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya. . 2. Relatif stabil, yaitu penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu tajam. 3. Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip manfaat (be nefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
L andasan Teori
11
Dalam desentralisasi fiskal, pemberian kewenangan untuk mengadakan
pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang mendukung pemberian kewe nangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Menurut Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam tax assignment atau pemberian kewenangan perpajakan kepada pe merintah pusat, provinsi atau kabupaten/kota adalah: 1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. 2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan kewenangan pajak di tingkat pemerintah yang lebih tinggi. 3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat, misalnya pajak penghasilan. 4. Pajak daerah seharusnya visible, yaitu pajak seharusnya jelas bagi pem bayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah. 5. Pajak di suatu daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada pendu duk daerah lain karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima. 6. Pajak daerah seharusnya menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil pene rimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
12
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah proses administrasinya atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi se cara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jum lah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan kompu terisasi. 8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secu kupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewe nangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang man faatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak daerah tersebut.
Ditegaskan pula bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berdasarkan Un dang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Akan tetapi, perda-perda yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama terhadap Undang-Undang No mor 28 tahun 2009. Menurut Saragih (2003), di samping jenis atau objek pajak daerah seperti yang telah disebutkan sebelumnya, daerah juga diberi keleluasaan atau peluang untuk menciptakan pajak daerah lainnya asal sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut: 1. Bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi; 2. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepen tingan umum; 3. Potensinya memadai; 4. Tidak berdampak negatif terhadap perekonomian; 5. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; 6. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal
dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu: (i) dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis
L andasan Teori
13
tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi (Brenan.et.all, 1980). Formulasi ini dikenal sebagai model Leviathan. Model ini mengasumsikan bahwa biaya administrasi perpa jakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak.
Gambar 3.3 menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional
atas basis pajak tertentu. Kurva Laffer yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan total penerimaan pajak maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun ilegal dengan mengubah economic behavior dari wajib pajak. Gambar 3.3 juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Total penerimaan pajak maksimum (T*) tercapai dengan tingkat tarif t*, yaitu revenue maximizing tax rate.
Gambar 2.3. Kurva Laffer Sumber: Sidik, 2002
Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa pening
katan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang le bih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan
14
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pe ngenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai total penerimaan mak simum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hu bungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai total penerimaan pajak maksimal.
Undang-undang No. 28 tahun 2009 mengatur tentang pajak dan retri
busi daerah, dimana undang-undang ini menjelaskan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga pe netapannya ditetapkan oleh peraturan daerah. Pajak daerah merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis pajak daerah dibagi menjadi dua: i.
Pajak Provinsi, yang terdiri dari: a.
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor, yang hasil penerimaannya dise rahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 30%.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas peng gunaan bahan bakar kendaraan bermotor, yang hasil penerimaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 70%.
d. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pe manfaatan air permukaan, yang hasil penerimaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sebesar 50%. e.
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah, yang hasil penerimaannya diserahkan kepada pemerin tah kabupaten/kota sebesar 30%.
L andasan Teori
15
ii.
Pajak Kabupaten/kota, yang terdiri dari : a.
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
b. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. c.
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
d. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. e.
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
g. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. h. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaat an air tanah. i.
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
j.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau diman faatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digu nakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertam bangan.
k.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 yang menjadi sub
jek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak se dangkan wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan ke
16
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
wajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Salah satu ciri kewenangan pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota dalam mengelola keuangan daerah adalah optimalisasi pen dapatan asli daerah untuk membiayai pengeluaran daerah, salah satu caranya dengan meningkatkan local taxing power. Permasalahannya adalah banyak daerah belum mampu mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya. Mahi (2011) dengan menggunakan data tahun 2001, 2005, dan 2008 menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk mendukung pembiayaan belanja daerah. Dengan kata lain, pendapatan asli daerah belum cukup untuk membiayai belanja daerah. Selisih antara pendapatan asli daerah dan belanja daerah membuat pemerintah daerah bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat sehingga APBD dido minasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat. Struktur APBD yang didominasi oleh dana perimbangan menjadikan APBD sangat rentan terhadap perubahan eksternal misalnya jika terjadi keterlambatan pencairan dana transfer dari pemerintah pusat maka akan mengganggu APBD dan kegiatan pemerintah daerah menjadi terganggu. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pajak dan retribusi daerah maka pemerintah daerah dapat mengetahui bagaimana cara mengoptimalkan pemungutan pajak dan retribusi daerah. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan mengoptimalkan dasar pengenaan pajaknya. Mahi meng gunakan dekomposisi elastisitas pajak dan menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemungutan pajak dan retribusi daerah adalah pertum buhan ekonomi daerah, kelonggaran kebijakan tarif pajak dan regulasi dae rah. Perubahan kebijakan pajak daerah berada di bawah kontrol dari kemen terian keuangan sebagai otoritas pajak di Indonesia seperti perubahan tarif pajak, perubahan dasar pengenaan pajak, perubahan pemungutan dan pe nyelenggaraan pajak. Kajian tersebut juga menemukan bahwa pajak dan retribusi daerah yang ada di Indonesia tidak buoyant atau kenaikan pajak dan retribusi daerah kurang berdampak positif terhadap kenaikan pertum buhan ekonomi karena dasar pengenaan pajak bagi konsumsi lokal seperti makanan dan non makanan tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satu keunggulan sistem pajak yang elastis adalah penerimaan pajak
L andasan Teori
17
meningkat secara proporsional lebih cepat dibandingkan pendapatan se hingga pemerintah dapat membiayai peningkatan pelayanan publik dan lebih stabil. Ketika periode ekspansi ekonomi, penerimaan pajak naik lebih cepat dibandingkan pendapatan sehingga APBD surplus dan memperlambat ekspansi ekonomi tetapi ketika kontraksi ekonomi, penerimaan pajak berku rang lebih cepat dibandingkan pendapatan sehingga APBD cenderung defisit anggaran dan memperlambat kontraksi ekonomi. Pajak daerah yang lebih elastis merupakan salah satu solusi untuk mendukung optimalisasi pajak daerah.
Dengan melimpahkan lebih pajak yang buoyant kepada pemerintah
daerah, pemerintah daerah juga diharapkan dapat memperbaiki elastisitas pajak dan retribusi daerahnya. Namun yang perlu diperhatikan dalam opti malisasi pajak melalui pajak properti adalah kemungkinan terjadinya persa ingan pajak yang dapat terjadi antar pemerintah daerah seperti yang di terjadi di Finlandia (Lyytikainen, 2012). Sumber interaksi fiskal yang strategis antar daerah yang dapat menyebabkan persaingan diantaranya adalah: i) benefit spillover, terjadi manakala penduduk suatu daerah dapat mengakses pelayanan publik daerah lain dan tarif pajak di daerah tersebut lebih tinggi dibandingkan pajak daerah lain, ii) distorsi pajak bagi pajak-pajak yang dinilai mobile, pajak yang lebih tinggi pada suatu daerah menyebabkan eksternalitas positif secara fiskal bagi daerah lain, iii) pertimbangan ekonomi politik dan informasi yang asimetris. Pengalaman di Vietnam menunjukkan bahwa pajak properti baik untuk lahan pertanian maupun non pertanian berdasarkan produktivitas beras yang dihasilkan. Meskipun dasar pengenaan pajak pro perti berdasarkan lahan memiliki risiko unsustainable, kurang buoyant tetapi paling tidak pajak ini membawa dampak positif bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan (McCluskey and Hong-Loan Trinh, 2013).
2.4. Pengalaman Negara Lain Pengalaman internasional menunjukkan bahwa berbagai negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam proses administrasi dan pengelolaan pajak. Terdapat sistem sentralistik dimana semua pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah dikelola oleh pemerintah pusat dan sistem desentralisasi yaitu
18
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola pajak pusat, pajak daerah serta pemungutan pajak, penentuan tarif dasar pengenaan pajak. Pendekatan ini dipengaruhi oleh tujuan pemungutan pajak dan hambatan yang dihadapi untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan pokok tax administra tion adalah pertama, efisiensi yaitu memaksimalkan pendapatan dengan ba tasan biaya administrasi dan kepatuhan pembayar pajak; kedua, akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat pembayar pajak.
Menurut Martinez-Vazquez dan Timofeev (2005), meskipun sistem sen
tralistik memiliki kelebihan karena skala dan cakupan yang besar memberikan keuntungan berupa biaya operasional pemungutan pajak relatif lebih rendah, lebih efisien dalam penggunaan input (kuantitas dan kualitas SDM serta infrastruktur), sistem, standar, proses, prosedur dan IT yang digunakan sama untuk seluruh wilayah nasional sehingga database pajak dapat terintegrasi dengan baik. Namun demikian, sentralistik tidak dapat mengakomodasi per bedaan dan keberagaman kebutuhan, karakteristik dan kondisi antar daerah. Oleh karena itu, pemisahan antara jenis pajak pusat-daerah berdasarkan cakupannya beserta kelembagaannya (mixed model) menjadi salah satu al ternatif terbaik. Pemerintah pusat mengelola jenis pajak yang ada di level pusat sedangkan pemerintah daerah mengelola jenis pajak daerahnya sendiri. Mikesell (2003) menyatakan pemisahan pajak pusat-daerah berikut kelemba gaannya akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah pu sat-daerah karena semakin jelas bagi masyarakat pajak yang mereka bayarkan masuk kemana dan siapa yang bertanggungjawab. Selain itu pemungutan pajak lebih jelas, cepat, dan mekanisme kontrol lebih jelas (Vehorn and Ahmad, 1997). Pengalaman beberapa negara yang memberikan kewenangan kepada pemerintah sub-nasionalnya (pemerintah daerah) untuk melakukan penge lolaan-pemungutan pajaknya sendiri, misalnya Australia, Canada, China, Uni ted States, United Kingdom, Japan dan India. Agar pengelolaan-pemungutan pajak pusat-daerah oleh pemerintah pusat-daerah dapat sinkron dan berjalan dengan baik berdasarkan pengalaman praktik internasional maka diperlukan fleksibilitas, koordinasi yang baik, kerjasama dan saling berbagi informasi antara pemerintah pusat-daerah, maupun antar pemerintah daerah.
L andasan Teori
19
Tabel 2.1. Pemungutan dan Pengelolaan Pajak Properti di Beberapa Negara Rate
Identifi cation
Assess ment
Billing and Collec tion
Country
Tax Base
Paid to
United Kingdom
Residentialproperty
Local
National
National
Local
Locality
NonResidentialproperty
Natio nal
National
National
Local
Redistri bution pool
Germany
Real estate
Local
State
Local
Local
Locality
Japan
Real estate
Local
National
Local
Local
Locality
Indonesia
Real estate
Natio nal
National
National
National
Locality
Sumber: Martinez-Vasquez and Timofeev, 2005
Sjoquist (2003) terkait dengan pajak properti memiliki dua pertanyaan
yang mendasar yaitu tentang berapa tarif pajak properti yang seharusnya dan bagaimana seharusnya beban pajak properti dibagikan. Jika tempat iba dah, sekolah, yayasan-yayasan sosial atau kantor milik pemerintah dikecualikan dari pajak properti, siapa yang harus menanggung kerugian potensi pajak properti tersebut? Jika dibebankan kepada wajib pajak properti, siapa wajib pajak yang harus membayar lebih banyak dan berapa yang harus dibayar se suai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Pajak properti merupakan salah satu pajak yang tidak disukai oleh pembayar pajak tetapi mau tidak mau mesti dibayar karena menurut pandangan pembayar pajak, pajak properti terlalu tinggi, nilainya naik terus menerus dengan kenaikan yang tinggi, peningkatan perolehan dari pajak properti besar sehingga kemungkinan tidak dapat dikontrol dengan baik, besarnya tarif pajak properti berbeda-beda dibandingkan dengan pendapatan yang sama. Pajak properti memiliki beberapa keuntungan meskipun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan banyak keluhan. Beberapa keuntungan pajak properti antara lain: i) merupa kan satu-satunya bentuk pajak yang dapat dikaitkan dengan kekayaan, ii)
20
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
banyak meningkatkan pendapatan daerah sehingga pemerintah daerah da pat membiaya pembangunan daerahnya, iii) dasar pengenaan pajak properti relatif stabil, tidak mudah dipindahtangankan, terlihat jelas jadi mudah diprediksi sebagai sumber pendapatan yang baik bagi pemerintah daerah, iv) nilai properti mencerminkan nilai manfaat pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat yang dibiayai dari hasil penerimaan pajak properti. Pajak properti merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting karena jika dihilangkan/dikurangi maka pemerintah daerah harus menambah jenis pajak baru yang relatif dapat dikontrol dan dapat menyebabkan biaya tinggi atau mengganti pajak properti dengan pajak penghasilan. Rosengard (2012) menyatakan bahwa ada empat prinsip dasar dalam reformasi pajak properti yang harus diperhatikan terlepas dari alasan utama untuk melakukan reformasi yaitu: i) sederhana dalam pelaksanaannya mengalahkan teori opti malisasi, ii) dasar ekonomi perpajakan mengalahkan dasar politik-matematik, iii) perubahan perilaku pembayar pajak dan petugas pajak mengalahkan administrasi, iv) tujuan untuk mendapatkan penerimaan mengalahkan tujuan lainnya.
Sejalan dengan Bahl and Martinez-Vazquez (2007), Rosengard (2012)
menyatakan bahwa terdapat empat strategi yang perlu dipertimbangkan ketika mendesain dan melaksanakan reformasi pajak properti: i) bagaimana dasar pengenaan pajak, ii) bagaimana penetapan tarif pajak, iii) mengevaluasi berbagai macam pilihan sistem administrasi dan memilih yang terbaik, iv) bagaimana cara untuk mengurangi dampak dari transisi sistem pajak pro perti.
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) merupakan salah satu sumber
penerimaan yang penting bagi daerah, pajak ini pada dasarnya didesain un tuk mengurangkan beban pajak atas properti. Indonesia telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut BPHTB. Distribusi hasil pajak BPHTB dapat menjadi permasalahan tersendiri karena dimungkin kan menjadi sumber ketidakmerataan fiskal yang baru dan memperburuk ketimpangan fiskal yang terjadi (Zhao dan Yilin, 2008). Zhao dan Yilin (2008) dengan menggunakan metode RTS (Representative-Tax-System) dan IWE (Income-With-Exporting) menemukan bahwa di negara bagian Georgia, Ame rika Serikat, sebaran pendapatan dari BPHTB dengan menggunakan metode
L andasan Teori
21
RTS lebih tinggi daripada penerimaan pajak properti, dan akan tumbuh terus menerus meskipun penambahan BPHTB terkait dengan pajak properti mung kin tidak akan mempertajam ketimpangan fiskal tetapi jika trend pertumbuhan BPHTB antar daerah mengalami kesenjangan maka ketimpangan fiskal pun akan terus terjadi. Analisis IWE menghasilkan kesimpulan bahwa penambahan BPHTB terkait dengan income-based revenue akan mempertajam ketimpangan pendapatan antar daerah. Daerah juga perlu mempertimbangkan kondisi geografi-topologi (intra-regional) untuk menetapkan kebijakan pajak BPHTB dan distribusi hasil pajak, misalnya daerah yang memiliki wilayah pedesaan yang luas perlu maka daerah perlu memberikan insentif bagi pembangunan desa hal ini tidak hanya untuk mendorong pembangunan ekonomi saja te tapi juga untuk mengantisipasi ketimpangan fiskal antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Menurut Sjoquist (2005), kebijakan pajak properti harus mempertim
bangkan keakuratan dan frekuensi penilaian terhadap nilai tanah dan bangun an sebagai objek pajak properti. Secara umum nilai tanah persil nya tidak banyak berubah pada saat penilaian kembali nilai tanah dilakukan kecuali tanah persil tersebut sudah dipecah, jika tanah persil sudah dipecah maka penilaian berdasarkan nilai tanah persil terakhir sebelum dipecah. Pertum buhan antar daerah akibat pajak properti tidak sama karena kenaikan nilai tanah antar daerah berbeda-beda. Akibatnya, liabilitas pajak properti menjadi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai pasar tanah pada waktu yang sama, pada saat nilai pasarnya sudah berubah tetapi nilai pajak tidak berubah oleh karena perlu menggunakan penghitungan rasio nilai pajak terhadap nilai pasar. Selain itu, jika wajib pajak atau pemilik tanah mengetahui bahwa liabilitas pajak tanahnya lebih besar daripada penduduk di daerah lain (dengan luas tanah yang sama) maka hal tersebut akan mengurangkan kepatuhan wajib pajak tersebut untuk membayar pajak (Alm, McClelland and Schulze, 1999). Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk reformasi struktur tarif antara lain: i) menghilangkan batas atas tarif pajak properti. Kewajiban membayar pajak hingga batas atas menyebabkan struktur tarif menjadi tidak rasional dan tidak adil sehingga perlu dihilangkan, ii) reformasi harus mem buat batas pengecualian atas pajak misalnya berapa luas tanah minimum yang boleh mendapatkan pengecualian pajak; pajak juga dapat dikecualikan
22
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
untuk tanah-tanah yang dimiliki oleh pemerintah, sekolah, tempat-tempat ibadah dan yayasan-yayasan sosial; pengurangan pajak yang disebabkan adanya peraturan misalnya ada peraturan yang membolehkan khusus untuk tanah pertanian dan pemukiman dapat dinilai berdasarkan nilai pengguna annya yang berlaku bukan penggunaan yang optimal/terbaik, iii) reformasi harus mengubah struktur tarif. Pajak progresif mendorong wajib pajak untuk memecah propertinya agar tidak terkena pajak yang mahal.
Menurut Sjoquist (2005) untuk meningkatkan efektivitas pajak PBB
antara lain dapat dilakukan dengan cara: i) jangka waktu antar penilaian nilai tanah dipersingkat agar meningkatkan pertumbuhan penerimaan dan meng hindari masalah yang mungkin timbul karena terjadinya peningkatan nilai yang besar, ii) batas atas pembayaran pajak perlu dihilangkan dan dialihkan kepada pengenaan batas pengecualian bagi tarif pajak yang flat.
Berikut ini merupakan cara bagaimana meningkatkan tingkat pemungut
an pajak, ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan yaitu: i) memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk membayar pajak contohnya untuk mem bayar pajak tidak harus datang ke kantor pajak atau dinas pendapatan daerah tetapi bisa dibayarkan melalui kantor pos atau lembaga-lembaga lain yang ditunjuk atau via online, ii) mengembalikan denda yang dibayarkan oleh wajib pajak karena keterlambatan membayar pajak kepada masyarakat dalam ben tuk peningkatan pelayanan publik, iii) melekatkan pajak properti dengan jenis pajak lainnya yang bersifat pokok seperti rekening air, pengajuan SIM, reke ning listrik, ijin usaha, ijin mendirikan bangunan dan ijin pengajuan lainnya.
Menurut Bird (2005), beberapa pelajaran penting dari penerapan pajak
pertambahan nilai di negara-negara berkembang antara lain: i) jika suatu negara perlu atau ingin menerapkan pajak penjualan secara umum maka PPn merupakan bentuk pajak yang baik, ii) penerapan PPn tidak selalu berjalan dengan baik di beberapa negara berkembang karena faktor ketidaksiapan melakukan penilaian diri self-assessment, iii) PPn harus didasarkan prinsip bahwa tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua sehingga harus dise suaikan dengan kondisi, karakteristik dan kemampuan-kebutuhan masingmasing.
L andasan Teori
23
3
Metode Penelitian
3.1. Metode Kualitatif dan Kuantitatif
B
erdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang diuraikan sebe lumnya, maka metode penelitian yang akan diterapkan dalam penelitian ini didesain untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dan
tujuan penelitian tersebut. Untuk itu, maka penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga me
tode pengumpulan data, yaitu: Desk study, Focus Group Discussions (FGD), dan kuesioner. Desk study akan dilakukan di tahap awal untuk mempelajari data dan dokumen terkait dengan perkembangan pajak daerah, yang terdiri dari: •
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retri busi Daerah beserta peraturan turunannya (PP dan PMK)
•
Dokumen Peraturan Daerah (Perda) terkait seperti Perda BPHTB, Perda PBB P2, Perda Pajak Hotel, Perda Pajak Restoran, dan Perda Pajak Pene rangan Jalan.
•
Dokumen perencanaan dan penganggaran daerah penelitian: RPJMD, RKP, dan APBD.
Hasil dari studi dokumen ini akan digunakan untuk menyusun pedoman
FGD, serta merancang kerangka analisis.
24
Sementara itu, metode kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan
data sekunder penerimaaan pajak di seluruh daerah di Indonesia. Data ini akan digunakan untuk menganalisis bagaimana pengaruh implementasi UndangUndang Nomor 28 tahun 2009 terutama terkait dengan penambahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah.
3.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data se kunder. Adapun jenis dan sumber data yang akan dikumpulkan adalah seba gai berikut: •
Data primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari jawaban res ponden terhadap kuesioner dan data atau informasi yang diperoleh dari kunjungan lapangan melalui proses dialog intensif dengan pengambil keputusan dan stakeholders terkait dengan penerapan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 di daerah, melalui focus group discussion (FGD) dan in-depth interview kepada beberapa stakeholders terpilih terkait dengan informasi yang perlu pendalaman.
•
Data sekunder: berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Biro Pusat Statistik, dan Pemerintah Daerah, antara lain data tentang perkembangan pajak daerah (terutama lima jenis pajak daerah), PAD, total belanja daerah, PDRB, PDRB sub sektor, pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan lain-lain. Data yang dikumpulkan adalah data tahun sebelumnya dan setelah implementasi Undang-Undang No. 28 tahun 2009, yaitu data sebelum dan setelah tahun 2010.
Adapun jenis pajak yang akan dikumpulkan datanya dan dianalisis se
cara mendalam adalah jenis pajak yang terkait dengan penerapan UndangUndang No. 28 tahun 2009, dengan kriteria sebagai jenis pajak baru, meng alami perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak, seperti tampak pada tabel berikut:
M etode Penelitian
25
Tabel 3.1. Kriteria dan Jenis Pajak yang diteliti Kriteria
Jenis Pajak
Pajak Baru
1. BPHTB 2. PBB P2
Perluasan Basis Pajak
1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Penerangan Jalan
Keleluasaan Penetapan Tarif Pajak
1. BPHTB 2. PBB P2
Data primer dibutuhkan sebagai data pendukung untuk membantu
lebih memperkaya pembahasan penelitian ini. Data ini bersumber dari hasil wawancara langsung melalui Focus Group Discussion (FGD) dan melalui kue sioner terhadap beberapa aktor atau pelaku yang terkait dengan proses pe ngelolaan pajak daerah pada pemerintah daerah. FGD dan Kuesioner diarah kan untuk menjawab: a) Apa saja permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam mengimple mentasikan UU No 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak. b) Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan oleh daerah dalam mengopti malkan implementasi UU No 28 Tahun 2009 untuk meningkatkan penda patan daerah.
Data sekunder merupakan data utama yang digunakan dalam analisis
kuantitatif. Data ini bersumber dari berbagai sumber data, seperti Biro Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, laporan Bank Indonesia dan beberapa sumber lainnya. Analisis kuantitatif diarahkan untuk menjawab bagaimana pengaruh implementasi UU No 28 Tahun 2009, terutama terkait dengan pe nambahan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak, terhadap peningkatan pendapatan daerah. Data sekunder yang digunakan merupakan data panel, yaitu data cross section dan time series untuk seluruh daerah kabupaten dan kota di Indonesia.
26
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
3.3. Pemilihan Daerah Sampel Proses pengumpulan data primer dimulai dengan melakukan pemilihan dae rah sampel yang akan dikunjungi untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD), in-depth interview, dan pengisian kuesioner. Daerah sampel akan di pilih berdasarkan pertumbuhan penerimaan pajak daerah tahun 2012 dan atau kemampuan melaksanakan pengalihan PBB P2 yang diukur dari pertum buhan penerimaan PBB P2 tahun 2012, yang dikategorikan menjadi: a) Daerah berkemampuan tinggi, jika besaran pertumbuhan penerimaan pajak daerah tahun 2012 lebih tinggi dari rata-rata Kab/kota secara nasi onal dan atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 di atas 10%. b) Daerah berkemampuan normal, jika besaran pertumbuhan penerimaan pajak daerah tahun 2012 hampir sama besar dengan rata-rata kab/kota secara nasional dan/atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 positif tapi kurang dari 10%. c)
Daerah berkemampuan rendah, jika besaran pertumbuhan penerimaan pajak daerah tahun 2012 lebih rendah dari rata-rata Kab/kota secara nasional dan atau pertumbuhan penerimaan PBB P2 menurun atau negatif.
Di samping itu, pertimbangan sebagai daerah kerja AIPD juga diperhi
tungkan dalam pemilihan daerah sampel. Berdasarkan ketiga kategori terse but, maka daerah yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari tujuh daerah, yaitu 4 kabupaten dan 3 Kota. Adapun ketujuh lokasi FGD terpilih adalah: 1. Kabupaten Badung 2. Kota Batam 3. Kabupaten Bandung 4. Kota Balikpapan 5. Kabupaten Deli Serdang 6. Kota Surabaya 7. Kabupaten Malang
M etode Penelitian
27
Responden yang akan diundang menghadiri FGD sekaligus sebagian
akan diminta menjawab pertanyaan dalam in-depth interview dan kuesioner terdiri dari: 1. Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD 2. Pejabat Eselon 3 di Dinas Pendapatan Daerah atau DPKAD 3. Bappeda 4. Asisten Sekda bidang ekonomi dan keuangan 5. KPP 6. Kepala PTSP (Perizinan) 7. Notaris/PPAT 8. BPN di daerah 9. Dinas penanaman modal 10. APINDO 11. Kadin daerah 12. PHRI 13. Pengusaha Real Estate 14. Akademisi daerah 15. DPRD 16. LSM terkait dengan pengelolaan keuangan daerah
3.4. Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuali tatif dipergunakan untuk menemukan masalah yang dihadapi oleh daerah dalam mengimplementasikan UU No. 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan pene tapan tarif pajak. Analisis kualitatif digunakan dengan dua cara, yaitu: 1. Menganalisis secara mendalam hasil-hasil FGD yang dilakukan di daerah sampel termasuk menganalisis Perda-Perda pajak daerah yang dimiliki daerah sampel. 2. Menganalisis jawaban responden (daerah sampel) terhadap kuesioner yang disampaikan.
28
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Sedangkan analisis kuantitatif dipergunakan untuk mengetahui penga
ruh implementasi UU No. 28 Tahun 2009 terutama terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak terhadap peningkatan pendapatan daerah. Analisis kuantitatif akan dilakukan juga dengan dua cara, yaitu: 1. Membandingkan penerimaan pajak daerah, rasio pajak daerah, pajak per kapita, rasio pajak daerah terhadap pendapatan dan belanja, per tumbuhan ekonomi, dan lain-lain di daerah sampel sebelum dan sesudah UU No. 28 Tahun 2009 diberlakukan; 2. Menghitung rasio pajak dan elastisitas pajak daerah di Indonesia ter utama untuk mengetahui dampak dari pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009 terhadap peningkatan pendapatan daerah. Persamaan yang di gunakan untuk menghitung rasio pajak adalah sebagai berikut: δT/δY = α0 + α1Ym + α2YL + α3Yphr + α4Yb + α5TK + α6Daper+ α7BM +D+e Sementara persamaan yang digunakan untuk menghitung elastisitas pajak terdiri dari: 1) Thtl = β0 + β1Yphr + D +e 2) Tres = χ0 + χ1Yphr +D +e 3) Tppj = δ0 + δ1YL + D +e 4) Tpbb = φ0 + φ1Yb + D +e 5) Tbphtb = γ0 + γ1Yb + D +e Di mana: δT/δY = PAD / PDRB (harga belaku) Thtl
= Pajak Hotel
Tres
= Pajak restoran
Tppj
= Pajak PPJ
Tpbb = PBB Tbphtb = BPHTB Ym = PDRB Sub sektor Industri pengolahan YL
= PDRB Sub sektor listrik, gas, air bersih
Yphr = PDRB Sub sektor perdagangan, hotel, restoran
M etode Penelitian
29
Yb
= PDRB Sub sektor bangunan
BM = Belanja Modal
DP
= Dana perimbangan
D
= Dummy 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten.
Berdasarkan kedua analisis itu akan dirumuskan rekomendasi kebijakan
yang tepat dalam mengoptimalkan implementasi UU No. 28 Tahun 2009 se hingga dapat meningkatkan pendapatan daerah.
30
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
4
Gambaran Umum Daerah Sampel
P
ada Bab 3 sebelumnya telah dijelaskan bagaimana proses pemilihan daerah sampel. Pada Bab 4 ini akan dijelaskan gambaran keadaan per ekonomian ketujuh daerah sampel tersebut.
4.1. Potret Penerimaan Kabupaten/Kota di Indonesia Secara umum, total pajak mengalami kenaikan pada periode tahun 2007 sampai dengan 2012. Penerimaan pajak pada daerah yang berada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera mendominasi dibanding pulau-pulau lainnya dengan kontribusi sebesar lebih dari 60% seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.1. Gambar 4.1. Rata-Rata Penerimaan Pajak Daerah Kota-Kab Per Pulau di Indonesia (Rp Triliun) Sumber: DJPK, 2012; *) target 31
Gambar 4.1. di atas menunjukkan perkembangan rata-rata penerimaan
pajak pada daerah per pulau di Indonesia. Daerah-daerah di Pulau Jawa men dominasi penerimaan pajak daerah selama 2007-2011. Kemudian penerimaan pajak tertinggi kedua ditempati oleh daerah di Pulau Bali dan Nusa Tenggara. Tingginya rata-rata penerimaan pajak di wilayah Bali dan Nusa Tenggara di karenakan provinsi-provinsi di daerah tersebut seperti Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan daerah destinasi wisatawan. Kota-Kabupaten di daerah tersebut dapat memacu penerimaan pajak daerahnya lewat sektor yang berhubungan dengan kepariwisataan.
4.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kemampuan daerah dalam meningkatkan PAD yang dilihat dari pertumbuhan PAD antar tahun dapat digunakan sebagai indikator tingkat kemandirian suatu daerah. Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota adalah 14,29%. Kabupaten/Kota yang berada di Pulau Jawa memiliki rasio paling tinggi, disusul oleh Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera.
Tabel 4.1. Total PAD Kabupaten/Kota berdasarkan Pulau di Indonesia (Rp triliun) Pulau
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Sumatera
4.12
5.05
5.00
5.31
7.43
8.66
Jawa
8.02
9.22
10.46
11.69
17.85
18.12
Kalimantan
1.73
1.90
2.16
2.10
2.95
3.08
Sulawesi
1.15
1.36
1.53
1.64
2.09
2.44
Bali-Nusa Tenggara
1.38
1.78
2.06
2.44
3.63
3.54
Maluku
0.19
0.31
0.27
0.28
0.41
0.51
Papua
0.42
0.61
0.69
0.66
0.70
0.93
Total
17.00
20.22
22.17
24.11
35.08
37.27
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
32
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Selain pertumbuhan PAD, indikator lainnya dalam mengukur kemandirian
suatu daerah adalah rasio PAD terhadap belanja daerahnya dan rasio PAD terhadap PDRB. Berdasarkan Tinjauan Tahunan Keuangan Daerah dan Kinerja Pelayanan Publik (Kemenkeu, 2012), rata-rata rasio PAD dari total belanja kabupaten dan kota sepanjang tahun 2008-2010 cenderung tetap. Pada ta hun 2008 rata-rata rasio PAD dari total belanja adalah 6,13%, meningkat men jadi 6,10% di tahun 2009, dan meningkat sedikit menjadi 6,15% di tahun 2010. Di samping itu, indikator rasio PAD terhadap PDRB juga menunjukkan angka yang kurang menggembirakan. Rasio PAD dari PDRB secara rata-rata pada tahun 2008 adalah 2,38%, dan pada tahun 2010 turun menjadi 2,28% (Kemenkeu, 2012).
4.1.2. Pajak Daerah Semenjak diberlakukannya Undang-Undang No 28 Tahun 2009, diskresi pe merintah Kabupaten/Kota dalam memungut pajak daerah semakin besar. Penambahan jenis pajak serta perluasan basis pajak seharusnya mampu me ningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sampai sebelum pendaerahan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB P2) serta Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), peneri maan Pajak Penerangan Jalan memiliki nilai yang paling tinggi di antara jenis pajak yang lain. Secara rata-rata nasional, PPJ berkontribusi sebesar 41,09 per sen (Kemenkeu, 2012).
Tabel 4.2. Rata-rata Penerimaan Jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (Rp miliar) Jenis Pajak
2008
2009
2010
2011*
Pajak Hotel
4,04
5,16
5,63
5,61
Pajak Penerangan Jalan
7,28
9,16
8,67
10,17
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
1,15
2,00
1,74
1,86
Pajak Reklame
0,81
1,67
1,47
1,96
Gambaran U mum Daerah Sampel
33
Pajak Restoran
1,92
4,18
4,34
4,77
Pajak Hiburan
0,42
1,35
1,34
1,50
9,20
11,18
16,78
26,75
29,08
BPHTB PBB P2 Sumber: DJPK, beberapa tahun; *)target
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 antara lain ditujukan untuk
membangun hubungan kebijakan dan koordinasi yang lebih baik antara pe merintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemungutan pajak daerah. Pemerintah daerah diharapkan dapat membenahi administrasi perpajakan dengan adanya perubahan administrasi proses pemungutan pajak daerah di mana mekanisme official assessment berubah menjadi self assessment. Ken dala utama yang muncul akibat perubahan ini adalah pemahaman dan kepa tuhan wajib pajak yang masih rendah sehingga pemungutan pajak daerah tidak optimal.
4.2. Gambaran Umum Daerah Sampel 4.2.1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan besarnya potensi penerimaan pajak daerah. Terdapat dua hipotesis terkait dengan banyaknya penduduk dengan upaya penarikan pajak. Pertama, hipo tesis yang dikemukakan Rajaraman (2000) menyebutkan bahwa semakin banyak jumlah penduduk maka Pendapatan Asli Daerah semakin meningkat. Hal ini dimungkinkan karena potensi wajib pajak akan semakin besar. Kedua, menurut hipotesis yang dijelaskan oleh Bahl (2003) menunjukkan bahwa negara yang memiliki level pertumbuhan penduduk yang tinggi relatif ter tinggal dalam upaya pengumpulan pajak. Hal ini disebabkan sistem pajak (tax system) tidak mampu untuk menangkap pembayar pajak yang baru.
34
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Daerah Sampel (jiwa) Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kab. Badung
408.126
416.194
424.228
543.332
601.256
Kota Batam
695.739
737.533
781.342
944.285
1.047.530
2.778.879
2.816.904
2.854.177
3.178.543
3.327.469
500.812
512.128
523.368
557.579
578.006
Kab. Deli Serdang
1.686.366
1.738.437
1.788.351
1.790.431
1.807.173
Kota Surabaya
2.628.113
2.630.079
2.631.305
2.765.487
2.813.614
Kab. Malang
2.401.624
2.413.779
2.425.311
2.446.218
2.461.269
Rata-rata
1.585.666
1.609.293
1.632.583
1.746.553
1.805.188
Kab. Bandung Kota Balikpapan
Sumber: BPS, beberapa tahun.
Tabel 4.3. menunjukkan perkembangan jumlah penduduk di daerah
sampel. Secara rata-rata, jumlah penduduk di seluruh daerah sampel meng alami kenaikan. Kabupaten Bandung memiliki jumlah penduduk paling tinggi, disusul Kota Surabaya dan Kabupaten Malang.
4.2.2. Luas Wilayah Luas wilayah berpengaruh dalam upaya pemerintah daerah dalam pemu ngutan pajak daerah. Penelitian yang dilakukan Nikijuluw (2011) menunjukkan bahwa setiap pertambahan luas wilayah maka akan menurunkan upaya pe mungutan pajak suatu daerah. Tabel 4.4. di bawah menunjukkan luas wilayah daerah sampel. Kabupaten Malang memiliki luas wilayah paling besar, disusul oleh Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Serdang.
Gambaran U mum Daerah Sampel
35
Tabel 4.4. Luas Wilayah Daerah Sampel Daerah
Luas Wilayah (km2)
Kab. Badung
420,09
Kota Batam
715,00
Kab. Bandung Kota Balikpapan
2.284,61 503,03
Kab. Deli Serdang
2.808,91
Kota Surabaya
333.063
Kab. Malang
3.534,86
Sumber: BPS, beberapa tahun.
Pajak yang dipungut haruslah bersifat ekonomis yang artinya biaya yang
dikeluarkan pemerintah untuk memungut pajak tersebut haruslah sebanding dengan hasil pajak yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan oleh aparat pemu ngut pajak akan lebih besar untuk memungut pajak pada daerah yang memi liki luas wilayah yang besar.
4.2.3. Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan PDRB dapat mencerminkan kinerja perekonomian suatu dae rah. Definisi dari PDRB adalah jumlah nilai tambah yang tercipta akibat dari proses produksi, barang atau jasa, di suatu wilayah/regional pada suatu pe riode tertentu tanpa memperhatikan asal atau domisili pelaku produksi. Ke giatan-kegiatan basis dan nonbasis dalam perekonomian daerah akan mening katkan jumlah penerimaan daerah yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat diukur melalui perubahan dari Produk Domestik Regional Bruto atas Harga Konstan (PDRB AHK). Penggunaan PDRB AHK untuk meng ukur pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk mengeluarkan efek dari inflasi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah.
36
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sampel dan Nasional Sumber: BPS, beberapa tahun.
Gambar 4.2. menunjukkan pertumbuhan ekonomi daerah sampel serta
pertumbuhan ekonomi nasional dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Secara umum, pertumbuhan ekonomi daerah bergerak fluktuatif namun memiliki kecenderungan meningkat. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah sampel mengalami penurunan. Hal ini disebab kan karena efek melesunya perekonomian global akibat krisis finansial yang terjadi di tahun 2008. Dua daerah sampel yakni Kota Balikpapan dan Kota Batam memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua daerah tersebut pertumbuhan ekonominya kon sisten lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi suatu daerah, maka terdapat peluang bagi daerah untuk menggali potensi penerimaan pajak. PDRB AHK yang digunakan sebagai basis perhitungan dapat merepresentasikan basis pajak yang dapat dipungut. Ketika PDRB suatu daerah tumbuh maka basis pajak daerah juga tumbuh sehingga pemerintah daerah seharusnya mampu mengoptimalkan pemasukkan pajaknya.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Badung didominasi sektor Perda
gangan, Hotel, dan Restoran dengan kontribusi rata-rata antara tahun 2007 sampai 2011 sebesar 37,44%. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi
Gambaran U mum Daerah Sampel
37
di Kota Surabaya yang didominasi oleh sektor yang sama dengan kontribusi rata-rata antara tahun 2007 sampai 2011 sebesar 45,52%. Pertumbuhan eko nomi di empat daerah sampel lainnya yaitu Kota Batam, Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Deli Serdang didominasi oleh Sektor Pengolahan di mana rata-rata kontribusinya secara berurutan adalah 58,02%, 59,81%, 54,41%, dan 49, 41%. pada periode 2007 sampai 2011. Hanya Ka bupaten Malang yang pertumbuhan ekonominya masih didominasi oleh Sektor Pertanian dengan kontribusi rata-rata antara tahun 2007 sampai 2011 sebesar 26,67%.
4.2.4. Tingkat Kemiskinan (Poverty Rate) Kemiskinan merupakan salah satu isu penting yang selalu menjadi perhatian bagi pemerintah daerah. Jika isu ini dikaitkan dengan upaya pemungutan pajak, maka tingkat kemiskinan secara negatif mempengaruhi pertumbuhan upaya pemungutan pajak kabupaten/kota (Nikijuluw, 2011). Perilaku ini da pat dijelaskan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama, kewajiban pem bayaran pajak bagi rumah tangga miskin akan sulit untuk dipungut oleh pemerintah daerah daripada rumah tangga dengan pendapatan menengah ke atas. Gambarannya, untuk pajak penerangan jalan yang dibayarkan seba gai bagian dari rekening listrik bulanan, keluarga miskin tetap memakai listrik namun berstatus ilegal sehingga tidak membayar rekening listrik ataupun membayar pajak yang merupakan bagian di dalamnya. Penjelasan kedua, secara umum konsumsi rumah tangga miskin yang jarang mengonsumsi produk yang berkaitan dengan objek pajak daerah seperti restoran ataupun hotel. Hal tersebut secara langsung berpengaruh terhadap penerimaan pajak aktual yang rendah.
Tabel 4.5. Tingkat Kemiskinan Daerah Sampel 2007-2011 (%) Daerah
38
2007
2008
2009
2010
2011
Kab. Badung
2,50
1,85
1,78
1,86
1,39
Kota Batam
13,55
12,79
12,45
12,62
10,28
Kab. Deli Serdang
3,41
3,18
3,24
3,01
2,77
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kota Balikpapan
3,65
3,49
3,58
4,07
3,43
Kab. Bandung
21,66
15,26
13,23
16,51
16,17
Kota Surabaya
7,75
8,23
6,72
7,07
6,51
Kab. Malang
15,21
15,08
13,57
12,54
11,68
Rata-rata
9,68
8,56
7,79
8,24
7,46
Sumber: BPS, beberapa tahun.
Tabel 4.5. menunjukkan tren tingkat kemiskinan di daerah sampel. Ting
kat kemiskinan rata-rata tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Bandung yaitu sebesar 16,57%, kemudian disusul oleh Kabupaten Malang sebesar 13,62%. Rata-rata tingkat kemiskinan tahunan tertinggi untuk daerah sampel terjadi pada tahun 2007 sebesar 9,68%.
4.3. Analisis Belanja Daerah Ditinjau dari komposisi penggunaannya, belanja daerah dibagi menjadi be lanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung merupakan gambaran dari belanja pelayanan publik di mana komposisi dari belanja lang sung antara lain belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja mo dal. Jenis belanja tidak langsung antara lain belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi/ kab-kota dan pemerintahan desa, belanja bantuan keuangan kepada provinsi/ kab-kota dan pemerintahan desa, dan belanja tidak ter duga.
Tabel 4.6. Total Belanja Daerah 2007-2011 (Rp miliar) Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kota Batam
801,82
744,08
1.009,99
1.211,90
1.196,71
Kab. Badung
931,86
1.054,77
1.429,45
1.319,06
1.572,21
Kab. Deli Serdang
994,24
1.184,50
1.253,44
1.333,25
1.654,87
Gambaran U mum Daerah Sampel
39
Kota Balikpapan
1.398,62
1.325,53
1.419,32
1.377,34
1.527,54
Kab. Bandung
1.911,38
1.480,10
1.784,09
2.106,02
2.460,24
Kota Surabaya
1.556,47
2.019,24
3.127,36
3.637,07
3.753,71
Kab. Malang
1.175,74
1.337,85
1.387,73
1.666,03
1.925,88
Rata-Rata
1.252,88
1.306,58
1.630,20
1.807,24
2.013,02
Sumber: DJPK (2008-2011)
Tabel 4.6. menunjukkan bahwa total belanja daerah sampel secara
umum mengalami kenaikan. Di tahun 2011, Kota Surabaya memiliki total belanja paling besar diikuti oleh Kabupaten Bandung. Di sisi lain, total be lanja Kota Batam dan Kabupaten Badung menduduki posisi dua terbawah. Kenyataan ini cukup kontradiktif di mana jika ditinjau dari kebutuhan penye diaan pelayanan publik, kedua kota tersebut seharusnya mengalokasikan belanja daerahnya lebih besar demi terciptanya pelayanan publik yang opti mal.
Tabel 4.7. Rasio Belanja Langsung terhadap Total Belanja Daerah 2007-2011(%) Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kota Batam
62,48
49,32
44,06
45,58
32,20
Kab. Badung
41,40
44,92
43,68
28,76
32,63
Kab. Deli Serdang
47,62
49,23
37,97
32,13
36,83
Kota Balikpapan
66,94
61,60
60,11
49,45
49,57
Kab. Bandung
39,11
33,68
25,91
28,94
30,40
Kota Surabaya
60,98
60,59
66,38
59,17
45,50
Kab. Malang
45,70
39,63
34,93
27,39
31,91
Rata-rata
52,03
48,42
43,11
37,72
37,00
Sumber: DJPK (2008-2011)
40
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Tabel 4.7 menunjukkan rasio belanja langsung terhadap total belanja
daerah di mana daerah sampel mengalami penurunan dari tahun 2007 sam pai 2011. Hal ini cukup memprihatinkan karena seharusnya sebagian besar penerimaan daerah digunakan untuk pemenuhan layanan publik agar wajib pajak secara sukarela berkeinginan untuk membayar pajak.
Tabel 4.8. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah 2007-2011 (%) Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kota Batam
22,89
12,77
21,30
23,88
11,69
Kab. Badung
22,63
17,11
31,13
13,37
12,70
Kab. Deli Serdang
31,35
40,60
23,23
13,22
19,02
Kota Balikpapan
32,07
56,28
33,19
14,74
20,94
Kab. Bandung
19,40
27,81
8,35
9,41
7,01
Kota Surabaya
15,97
23,50
36,55
28,46
14,47
Kab. Malang
31,92
35,85
20,38
16,24
15,15
Rata-rata
25,18
30,56
24,88
17,04
14,43
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Belanja modal memiliki pengertian pengeluaran untuk pembayaran
perolehan aset dan/atau menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang mem beri manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi aset tetap/aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Belanja mo dal dipergunakan untuk membiayai belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan, belanja modal Badan Layanan Umum (BLU), dan belanja modal lainnya. Belanja modal yang tinggi menunjukkan bahwa pe ngeluaran pemerintah daerah juga ikut berkontribusi dalam menggerakkan roda perekonomian daerah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana fisik bagi rakyat di daerah tersebut.
Gambaran U mum Daerah Sampel
41
Tabel 4.8 menunjukkan persentase belanja modal terhadap total belanja
di daerah sampel. Tidak ada satupun daerah sampel yang memiliki persentase di atas 50%. Dalam dua tahun terakhir, Kota Balikpapan memiliki persentase paling tinggi di antara daerah sampel yang lain yaitu rata-rata sebesar 17,84%. Sebaliknya Kab. Bandung hanya memiliki rata-rata persentase sebesar 8,21% pada periode yang sama. Hal ini tidak terlepas dari konteks perencanaan na sional dan karakteristik daerah yang turut menentukan tinggi atau rendahnya rasio belanja modal suatu daerah.
42
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
5
Analisis Kualitatif: Permasalahan Dalam Implementasi Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
5.1. Hasil Focus Group Discussion (FGD)
S
ebagaimana diuraikan pada Bab 3 bahwa penelitian ini akan meng gunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menemukan masalah yang dihadapi oleh daerah dalam meng
implementasikan UU No. 28 Tahun 2009, terutama terkait dengan pemungutan jenis pajak baru, perluasan basis pajak, dan keleluasaan penetapan tarif pajak. Analisis kualitatif tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Menganalisis hasil FGD yang dilakukan di daerah sampel termasuk meng analisis Perda-Perda pajak daerah yang dimiliki daerah sampel; dan 2. Menganalisis jawaban responden (daerah sampel) terhadap kuesioner yang disampaikan.
Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap hasil FGD termasuk
menghubungkannya dengan Perda pajak daerah yang dimiliki daerah sampel. Dalam penelitian ini FGD telah dilaksanakan di tujuh daerah sampel, yaitu Kota Batam (28 Agustus), Kabupaten Badung (5 September), Kabupaten Ban dung (12 September), Kota Balikpapan (19 September), Kabupaten Deliser 43
dang (26 September), Kota Surabaya (10 Oktober), dan Kabupaten Malang (11 Oktober). Meskipun daerah kabupaten merasakan bahwa Undang-Un dang No. 28 Tahun 2009 masih terlalu bias perkotaan, namun secara umum seluruh daerah sampel menyambut baik kehadiran UU ini, karena mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Akan tetapi, di tengah pandangan yang demikian daerah sampel masih menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masalah Dalam Perluasan Basis Pajak Perluasan basis pajak dalam beberapa hal relatif sulit dilaksanakan oleh dae rah, sebagian karena pemahaman yang berbeda, sehingga khawatir salah dalam melaksanakan aturan, sebagian lagi karena secara teknis perluasan basis pajak tersebut sulit dilaksanakan. Hampir semua daerah sampel memiliki kekhawatiran salah dalam menerapkan aturan misalnya terkait dengan beberapa objek pajak restoran (objek jasa boga/katering) dan pajak hiburan (panti pijat, mandi uap, fitness center) yang berpotensi bersinggungan de ngan PPN serta batasan/definisi PPJ yang kurang jelas/tegas untuk tenaga listrik yang dihasilkan oleh sumber lain.
Beberapa daerah mengatakan bahwa secara teknis, perluasan basis
pajak relatif sulit dilaksanakan di daerahnya. Di Kota Batam, misalnya, hingga saat ini belum melakukan pemungutan terhadap rumah kos (pajak hotel) dan katering (pajak restoran) karena mendapat penolakan dari buruh. Pengenaan pajak terhadap rumah kos dan katering akan berdampak langsung terhadap peningkatan biaya hidup buruh, sehingga jika perluasan basis pajak tersebut diberlakukan, mereka akan menuntut kenaikan upah. Di Kota Balikpapan, perluasan basis pajak hotel, khususnya terhadap rumah kos, memang sudah diberlakukan tetapi sulit dipungut karena pemilik kos pada umumnya hanya menyediakan jumlah kamar kurang dari 10 untuk menghindari pengenaan pajak. Padahal untuk kasus demikian seharusnya dapat diatasi dengan mem perhatikan nama dan alamat yang sama dari pemilik. Di Kabupaten Malang, pajak restoran berupa objek jasa boga/katering sebagian besar tidak bisa dipungut karena wajib pajak dari jasa boga/katering tersebut tidak berada di Kabupaten Malang, tetapi melakukan aktivitasnya di Kabupaten Malang. Sementara di Kota Balikpapan katering dapat dipungut tetapi dengan hasil
44
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
yang jauh dari potensinya, karena banyak usaha katering yang tidak jujur melaporkan omsetnya. Dispenda Kota Balikpapan mengaku sangat kesulitan mendeteksi kebenaran dari Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dari Pajak Restoran, tetapi mereka menduga bahwa penghitungan dan/atau pem bayaran pajak restoran jauh di bawah omset yang sebenarnya.
Kabupaten Badung yang merupakan daerah tujuan wisata utama di
Indonesia punya cerita berbeda terkait dengan sulitnya melaksanakan perlu asan basis pajak hotel. PHRI Kabupaten Badung mengemukakan bahwa di daerah ini lebih dari 1000 (seribu) vila dimiliki orang asing dengan penghuni yang terus berganti. Namun karena transaksinya dilakukan di luar negeri, maka Dispenda kesulitan memungut pajaknya. Disamping itu, ada banyak rumah yang berubah jadi vila dengan kepemilikan yang tidak jelas (sering berpindah) atau pembangunan vila baru yang proses izinnya untuk rumah pribadi sehingga sulit memungut pajaknya atau bahkan seolah bebas dari pajak. PHRI sangat keberatan dengan situasi ini karena mereka yang tidak ba yar pajak menjadi lebih kompetitif karena biaya operasional yang lebih rendah. Padahal hotel-hotel yang sudah membayar pajak sebagian masih dibebani lagi dengan pungutan “setengah resmi” lainnya yang berasal dari desa adat. Sebagian desa adat di Kabupaten Badung menetapkan pungutan sebesar Rp.2,5 juta per hotel per tahun atau US$ 1 per kamar per tahun untuk mem bantu aktivitas sosial kemasyarakatan di desa serta adanya kewajiban mem bayar retribusi pengelolaan limbah sebesar Rp.100 ribu per kamar per bulan.
KOTAK 1. POTENSI PERLUASAN BASIS PAJAK RESTORAN YANG BELUM DIOPTIMALKAN DI KABUPATEN BADUNG PHRI Badung juga menceritakan besarnya potensi perluasan basis pajak res toran yang tidak bisa direalisasikan karena ribuan turis datang ke Bali dalam setiap bulan melalui biro jasa travel dengan pola pembayaran berdasarkan pilihan paket tertentu. Di dalam paket tersebut sudah termasuk makan yang biasanya diarahkan ke rumah (lokasi tertentu) yang juga dimiliki oleh peng usaha biro jasa travel yang bersangkutan. Lokasi tempat makan dimaksud sebenarnya tidak punya izin restoran sehingga Dispenda tidak melakukan pe mungutan pajaknya.
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
45
2. Masalah Dalam Penetapan Tarif Pajak Salah satu perubahan penting dari UU No. 28 Tahun 2009 adalah adanya keleluasaan dalam menetapkan tarif pajak. UU No. 28 Tahun 2009 memang hanya mengatur batas maksimum atau minimum sehingga daerah diharapkan dapat menetapkan tarif sendiri sesuai dengan karakteristik daerahnya. Jika pemerintah daerah menganggap perlu kebijakan fiskal yang lebih lunak untuk menarik investasi di daerahnya agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, maka daerah itu dapat saja menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah dari batas maksimum atau bahkan nol (sementara tidak mengenakan pajak daerah). Meskipun demikian, ternyata, berdasarkan informasi yang diperoleh dalam FGD, sebagian besar daerah hanya sekedar mengikuti batasan maksi mum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Dae rah belum bisa menetapkan tarif pajak yang sesuai dengan karakteristiknya.
Sebagai gambaran, untuk pajak hotel, ketujuh daerah sampel mene
tapkan tarif maksimum yaitu 10%. Hanya Kota Surabaya yang memberi se dikit variasi, itupun hanya dikenakan untuk rumah kos, dengan tarif lebih rendah yaitu hanya 5%. Untuk pajak restoran semua daerah sampel juga menetapkan tarif maksimum yaitu 10% dengan variasi pada omset penjualan, dimana di Kota Surabaya hanya dikenakan pada restoran yang omsetnya di atas Rp.15 juta dan di Kota Balikpapan di atas Rp.42 juta serta dengan tarif hanya 5% khusus bagi restoran yang pola penjualannya tidak permanen. Untuk pajak BPHTB semua daerah sampel juga menetapkan tarif pajak mak simum yaitu 5% dengan NPOP-TKP yang sebagian besar juga mengikuti UU No. 28 Tahun 2009 yaitu minimal Rp.60 juta, kecuali Kota Surabaya (Rp.75 juta) dan Kota Batam (Rp.70 juta).
Khusus untuk PBB P2, pemerintah daerah sepertinya hanya saling meniru
dalam penetapan tarifnya dengan besaran tarif yang terkonsentrasi pada dua kelas, yaitu NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun dan NJOP di atas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan tarif sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun.
46
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
KOTAK 2. KREATIVITAS KOTA SURABAYA DAN KABUPATEN BADUNG DALAM PENETAPAN TARIF PBB P2 Kota Surabaya mengatur variasi tarif yang sangat menarik, dimana: Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, maka dikenakan tambahan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang normal, sehingga menjadi sebagai berikut : a)
untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) per tahun;
b)
untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetap kan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) per tahun.
Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan ramah lingkungan dan/atau merupakan bangunan atau lingkungan cagar budaya, maka dapat diberikan pengurangan sebesar 50 % (lima puluh persen) dari tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang normal, sehingga menjadi sebagai ber ikut: a)
untuk NJOP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar ru piah) ditetapkan sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen) per tahun;
b)
untuk NJOP diatas Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetap kan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun.
Variasi tarif PBB P2 yang sangat menarik juga ditemukan di Kabupaten
Badung, dimana Bupati memberikan keringanan PBB kepada petani berupa pengurangan tarif sebesar 20% s.d. 80% tergantung pada zona wilayah dan pembebasan PBB secara penuh di zona hijau.
Berdasarkan informasi yang diperoleh pada saat FGD, ternyata daerah
masih menghadapi beberapa masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: a) Sebagian daerah belum memiliki SDM yang kompeten dalam bidang keuangan daerah, memahami karakteristik daerah dan mampu melaku
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
47
kan simulasi untuk menghitung dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi dan penerimaan daerah. Banyak daerah menganggap semakin tinggi tarif akan semakin tinggi pendapatan dan semakin baik keadaan ekonomi di daerahnya. b) Masih cukup banyak daerah yang menerjemahkan tarif dalam UU No. 28 Tahun 2009 sebagai batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa perlu lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya. c)
Ada daerah yang tidak menyadari bahwa UU No. 28 Tahun 2009 telah memberikan kewenangan penetapan tarif kepada daerah sepanjang masih dalam batas maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU. Namun demikian, di dalam FGD terungkap ada daerah yang meng usulkan ke pemerintah pusat agar tarif untuk waris atau hibah wasiat ditiadakan saja atau nol. Pasal 88 UU No. 28 Tahun 2009 telah mengatur bahwa tarif BPHTB paling tinggi sebesar 5%, yang berarti daerah dapat menetapkan 0%. Padahal jika daerah menginginkan demikian sebenarnya tinggal diatur dalam perda saja dengan memberikan tarif nol persen untuk waris atau hibah wasiat.
d) Penetapan batasan minimum NPOP-TKP yang sebesar Rp.60 juta dirasa kan terlalu tinggi bagi daerah kabupaten sehingga potensi penerimaan mereka jauh lebih rendah. Namun, bagi daerah tertentu yang merupakan kota besar dengan harga tanah dan bangunan yang relatif tinggi, NPOPTKP Rp.60 juta tentu saja masih rendah, tetapi ternyata banyak kota besar yang tetap saja menggunakan NPOP-TKP Rp.60 juta dalam Perda mereka. e)
Penetapan tarif pajak daerah seringkali belum melibatkan stakeholders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang menda pat dukungan dan komitmen dalam pelaksanaannya.
3. Masalah Dalam Pemungutan Jenis Pajak Baru Terkait dengan pemungutan dua jenis pajak baru, yaitu BPHTB dan PBB P2 daerah mengemukakan bahwa mereka masih menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain:
48
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
a) Minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola BPHTB dan PBB-P2 Daerah mengatakan bahwa mereka memiliki kesiapan yang minim untuk melakukan pemungutan BPHTB dan PBB-P2. Kesiapan yang minim tersebut terutama disebabkan oleh terbatasnya waktu dan kurangnya SDM baik dari aspek kualitas maupun kuantitas untuk mempersiapkan semua hal terkait dengan pengalihan kedua jenis pajak ini. Akibatnya, Perda yang menjadi da sar pemungutan pajak daerah tersebut dalam beberapa bagian tampak me miliki kelemahan karena cenderung hanya meniru dari pusat atau perda dari daerah lain yang karakteristiknya belum tentu sama.
Keluhan tentang kekurangan SDM dapat dipahami, tetapi keluhan lain
terutama terkait dengan minimnya waktu persiapan terasa sangat janggal karena daerah sebenarnya memiliki waktu yang cukup untuk melakukan persiapan. Pengalihan BPHTB dan PBB P2 tidak serta merta harus dilakukan setelah UU No. 28 tahun 2009 disahkan. Sebenarnya, terdapat waktu per siapan yang cukup panjang, dimana untuk BPHTB diberikan waktu satu tahun karena baru mulai wajib dipungut sejak 1 Januari 2011 serta PBB P2 memiliki waktu persiapan lebih lama lagi karena baru wajib dipungut sejak 1 Januari 2014. Kejanggalan ini makin terasa mengingat ada beberapa daerah yang telah melakukan pemungutan PBB P2 bahkan 3 tahun lebih awal dari yang seharusnya (berarti waktu persiapannya jauh lebih pendek), seperti Kota Surabaya dan Kabupaten Deli Serdang, dimana daerah tersebut sukses mem peroleh penerimaan yang lebih tinggi.
b) Ketidaksiapan struktur SKPD Meskipun kewenangan sepenuhnya sudah ada di daerah, namun masih ada beberapa daerah yang mengeluhkan ketidaksiapan struktur SKPD. Struktur Dispenda yang ada sekarang dianggap belum cukup kuat untuk melaksanakan pemungutan dua jenis pajak baru tersebut. Kabupaten Malang bahkan me ngeluhkan struktur yang ada sekarang dimana Dispenda dileburkan ke dalam Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) sehingga dengan struktur yang ada itu cukup berat untuk mengoptimalkan pelaksanaan proses pemungutan BPHTB dan PBB P2. Keluhan terhadap struktur Dispenda ini sebenarnya tidak perlu ada mengingat kewenangan merubah struktur
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
49
SKPD sepenuhnya berada pada Pemerintahan Daerah. Jika daerah merasa memerlukan pejabat setingkat eselon 3 untuk fokus melaksanakan pemu ngutan PBB P2 dan BPHTB, maka daerah tinggal melakukan revisi terhadap Perda yang mengatur tentang struktur SKPD.
Beruntung bahwa struktur yang kurang siap itu secara umum mem
peroleh bantuan dari KPP terutama dalam hal ketersediaan data, SOP, dan IT serta peningkatan kompetensi dan atau melakukan pendampingan staf. Hampir semua daerah mengemukakan bahwa hubungan mereka dengan KPP berjalan sangat baik. Di saat FGD sama sekali tidak diperoleh ungkapan ketidakpuasan daerah terhadap KPP. Di Kota Batam malahan ada tim KPP yang di SK kan walikota dan diberi honor untuk mensukseskan pemungutan BPHTB dan PBB P2.
Gambaran ketidakpuasan sebaliknya justru datang dari KPP, khususnya
di Kabupaten Deli Serdang. Dimana KPP Deli Serdang merasa bahwa respon Dispenda kurang optimal dengan mengatakan bahwa Dispenda jarang sekali berkomunikasi dengan KPP dan saat menemukan masalah, biasanya Dispenda hanya meminta Wajib Pajak (WP) untuk datang langsung ke KPP. Padahal, setelah pengalihan BPHTB dan PBB P2 seharusnya tidak boleh lagi WP berko munikasi langsung dengan KPP terkait dengan persoalan pajak daerah. KPP mengakui bahwa penyebab utama dari masalah ini adalah struktur Dispenda yang terlalu lama tidak memiliki pimpinan definitif. Lebih dari 5 (lima) kali kepala Dispenda Kabupaten Deli Serdang dijabat oleh seorang Pelaksana Tugas (PLT) sehingga tidak fokus dalam memimpin Dispenda.
c) Validasi atau verifikasi penetapan BPHTB Waktu validasi atau verifikasi penetapan BPHTB yang relatif lama menjadi salah satu masalah yang dikeluhkan oleh Notaris dan REI di hampir semua daerah sampel. Pada saat BPHTB dikelola oleh KPP waktu validasi paling lama hanya 3 hari, tetapi sekarang setelah dikelola Dispenda waktu validasi bisa mencapai 6 bulan. Lamanya proses validasi di Dispenda menyebabkan proses penerbitan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga menjadi lebih lama. Di Kota Balikpapan, notaris yang hadir saat FGD mengeluhkan lamanya waktu validasi yang bahkan pernah mencapai 6 bulan, sehingga tahun 2012 sempat terjadi “salah pengertian” antara Notaris/PPAT dengan Dispenda.
50
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Disamping itu, notaris menganggap validasi sebagai bentuk ketidak
percayaan Dispenda terhadap mereka. Padahal, notaris mengatakan bahwa dalam jual beli tanah dan atau bangunan posisi mereka sebetulnya sekedar mengikuti saja kesepakatan harga diantara penjual dan pembeli sehingga sangat tidak pantas kalau mereka dicurigai sebagai pihak yang merekayasa harga jual untuk mengurangi beban pajak. Notaris di Kota Balikpapan bahkan mengatakan sangat tidak nyaman bekerja mengurus BPHTB di bawah ke curigaan Dispenda. Oleh karena itu, Notaris menyambut baik lahirnya Surat Edaran Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Nomor 5 Tahun 2013 yang tidak lagi mensyaratkan adanya pengecekan tanda bukti setoran BPHTB pada kantor instansi yang berwenang.
Sebaliknya, Dispenda Batam justru melihat pentingnya validasi untuk
mengetahui harga riil tanah dan atau bangunan. Melalui mekanisme validasi inilah bisa didekatkan jarak antara NJOP dengan harga pasar. Oleh karena itu Dispenda Batam mengusulkan penguatan mekanisme validasi ini melalui se buah peraturan pusat misalnya Peraturan Pemerintah.
d) SE BPN No. 5 Tahun 2013 tentang tidak perlunya verifikasi Meskipun SE BPN No. 5 Tahun 2013 hanya ditujukan untuk mengatur ke dalam lingkup BPN saja, tetapi kehadiran SE ini sangat dikeluhkan oleh seba gian besar pemerintah daerah. Kota Balikpapan bahkan bereaksi sangat keras dengan mengatakan bahwa SE tersebut bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 2009 yang mensyaratkan adanya validasi/verfikasi. Hal yang sama disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, Kabupaten Malang, Kabupaten Badung, dan Kota Batam.
Hanya Kota Surabaya dan Kabupaten Deli Serdang yang sama sekali
tidak mengeluhkan kehadiran SE BPN itu, dimana mereka memahami bahwa SE itu hanya untuk mempercepat proses administrasi di lingkungan BPN. Me nurut kedua daerah ini, tanpa adanya SE BPN pun sebenarnya daerah harus bisa mempercepat proses validasi/verifikasi.
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
51
e) NJOP terlalu rendah dari harga pasar Meskipun kewenangan untuk menyesuaikan NJOP sudah menjadi tugas dae rah, tetapi keseluruhan daerah sampel masih saja mengeluhkan rendahnya NJOP jika dibandingkan dengan harga pasar. NJOP yang rendah tersebut menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya penerimaaan pajak daerah. Padahal, jika NJOP dianggap terlalu rendah, daerah tinggal melakukan kajian dengan melibatkan stakeholders pajak daerah untuk menyesuaikan nilainya. Untuk itu, daerah dapat menciptakan mekanisme penyesuaian yang melibat kan appraisal serta dengan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan agar tidak terjadi gejolak sebagai akibat dari perubahan NJOP tersebut.
f)
Kompetensi SDM kurang (pendataan, penilaian, administrasi, dan pelayanan)
Bisa dipahami jika banyak daerah yang mengeluh kekurangan tenaga terampil untuk mengelola jenis pajak baru bagi daerah. Pengalihan BPHTB dan PBB P2 memang membutuhkan staf yang secara teknis bisa melakukan pendataan, penilaian, pengadministrasian, dan pelayanan dengan baik kepada wajib pajak. Staf yang memenuhi kualifikasi itu memang masih sangat terbatas di daerah. Oleh karena itulah dalam masa transisi pendampingan atau kerjasama dengan KPP menjadi sebuah keniscayaan. Lebih dari itu, beberapa staf Dis penda bahkan diikutkan dalam pelatihan dan atau pendidikan di STAN.
Namun demikian, fakta unik juga ditemukan di beberapa daerah dimana
terdapat tenaga fungsional yang sudah dilatih atau sudah menyelesaikan pendidikan terkait dengan pengelolaan PBB P2 dan BPHTB tetapi tidak di fungsikan sesuai keahliannya. Di Kota Batam misalnya terdapat tenaga fung sional penilai PBB yang ditugaskan diluar keahliannya padahal tenaganya sangat dibutuhkan oleh Dispenda. Di Kabupaten Deli Serdang, ada staf yang setelah menyelesaikan pendidikan atau pelatihan justru dimutasi ke SKPD lain yang tupoksinya tidak terkait dengan pengelolaan pajak daerah.
g) Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat Pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah dan perubahan peraturan sebagai akibat pengalihan itu perlu diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu 52
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
dilakukan sosialisasi yang sistematis dan intensif terutama untuk menjelaskan proses pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah sekaligus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak daerah. Namun dari hasil FGD diketahui bahwa secara umum daerah masih menganggap pengalihan ini sebagai hal yang biasa saja yang tidak memerlukan respon kebijakan khusus. Hanya Kota Surabaya dan Kabupaten Badung yang menceritakan bahwa mereka melakukan pola sosialisasi yang berbeda sebagai akibat adanya pengalihan BPHTB dan PBB P2 ke daerah.
KOTAK 3. KREATIVITAS KOTA SURABAYA DAN KABUPATEN BADUNG MELAKUKAN SOSIALISASI Kota Surabaya melakukan sosialisasi yang unik “door to door” dengan meman faatkan semua petugas Dispenda, tanpa kecuali. Sosialisasi ini berlangsung dengan sistematis dan masal sehingga menghasilkan peningkatan penerimaan pajak daerah yang relatif tinggi. Namun demikian, diakui oleh Dispenda bahwa keberhasilan kepemimpinan walikota Surabaya saat ini sangat memudahkan mereka menggugah kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Ada ba nyak contoh kebijakan walikota yang secara luas sangat disenangi masyarakat Surabaya.
Cara yang berbeda dilakukan oleh Kabupaten Badung, dimana mereka
melibatkan tokoh-tokoh adat dari setiap desa adat untuk melakukan sosialisasi. Khusus untuk PBB P2, model sosialisasi yang dilakukan adalah berupa pekan PBB di masing-masing banjar (desa adat) dengan memanfaatkan LPD (Lembaga Perwakilan Desa). Keterlibatan tokoh adat ini tidak hanya saat sosialisasi tetapi juga pada saat mendistribusikan SPT kepada wajib pajak. Sebagai imbal balik dari keterlibatannya, para tokoh adat ini memperoleh insentif dari Dispenda berupa upah pungut. Kerja sama dengan tokoh adat selama ini menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya penerimaan pajak daerah Kabupaten Badung.
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
53
h) Piutang PBB Pengalihan PBB P2 ke daerah sudah barang tentu juga diikuti oleh pengalihan piutang PBB-nya. Meskipun daerah senang dengan adanya pengalihan PBB P2 ini, tetapi hampir semuanya mengeluhkan adanya pengalihan piutang yang relatif besar. Keluhan daerah terutama diarahkan pada ketidakakuratan data yang sangat menyulitkan mereka dalam melakukan penagihan. Daerah sangat khawatir piutang PBB ini membebani APBD karena terus tercatat se bagai piutang yang akan jadi temuan BPK dan dikemudian hari sangat poten sial menjadi masalah hukum.
4.
Masalah lainnya
a) Pemungutan diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 Meskipun bersifat closed list, tetap saja ada daerah yang melakukan pemu ngutan diluar yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Di Kabupaten Ba dung, misalnya, ada pungutan sebesar Rp.100 ribu per kamar per bulan untuk saluran limbah, pungutan setengah resmi untuk desa adat sebesar Rp.2,5 juta per tahun per hotel atau US$ 1 per kamar per tahun. Artinya UU ini dianggap belum mampu melindungi WP dari pungutan-pungutan selain yang ditetapkan dalam UU. Di Kota Batam, Pajak Reklame masih terus dipu ngut oleh Badan Pengelola (BP) Otorita Batam dan PBB yang diberlakukan di Bandara Batam juga dikelola BP Otorita Batam. Menurut BP Otorita Batam bebas pajak, tapi di buku dispenda tetap jadi tunggakan pajak. Dispenda Kota Batam tengah mempersiapkan untuk meneruskan masalah ini ke ranah hukum.
Di Kabupaten Deli Serdang ditemukan hal yang berbeda dimana salah
satu obyek wisata disana menetapkan pungutan masuk yang sebagian dari pungutan tersebut dinyatakan sebagai retribusi bagi pemerintah daerah. Hal ini tidak tepat mengingat tidak adanya layanan pemerintah daerah dalam pengelolaan obyek wisata tersebut serta pemungutan retribusinya yang tidak dilakukan aparat pemerintah daerah, melainkan dipungut oleh swasta.
54
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
b) Insentif pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan Di beberapa daerah sampel yang didatangi diperoleh keluhan dari PHRI bah wa hampir tidak ada imbal balik dari pajak yang mereka kumpulkan untuk meningkatkan pariwisata. Oleh karena itu, PHRI meminta adanya semacam upah pungut atas pajak hotel, pajak restauran, dan pajak hiburan yang akan digunakan untuk promosi wisata.
c) Proses evaluasi Raperda di Provinsi belum berjalan efektif Proses evaluasi Raperda di tingkat provinsi meskipun terkesan hanya sekedar formalitas saja tapi seringkali membutuhkan waktu yang relatif lama. Padahal, hampir tidak ada usul perbaikan yang substansial diperoleh dari proses eva luasi tersebut.
d) Monopoli Bank Di beberapa daerah, seperti di Kota Balikpapan dan Kabupaten Bandung, proses pembayaran pajak daerah hanya diperbolehkan melalui bank daerah, yaitu Bank Jabar untuk Kabupaten Bandung dan Bank Kaltim untuk Kota Balikpapan. Monopoli bank seperti ini sangat dikeluhkan oleh notaris/PPAT karena dapat memperlambat proses pembayaran. Menurut notaris/PPAT, akan jauh lebih nyaman jika daerah juga menggunakan bank lain agar terjadi kompetisi pelayanan diantara berbagai bank tersebut.
5.2. Hasil Kuesioner 1) Keberadaan Perda tentang Pajak Daerah yang Mengacu Pada UU No. 28 Tahun 2009 dan Kesesuaian Penetapan Target Penerimaan Pajak dengan Potensi Daerah Seluruh daerah sampel penelitian, yaitu Kota Batam, Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Sura baya, dan Kabupaten Malang telah menyusun Perda tentang pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, PBB P2, dan BPHTB dengan mengacu pada UU No. 28/2009. Sebagian besar Dispenda atau DPP KAD di daerah sampel penelitian memiliki persepsi bahwa target penerimaan Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
55
pajak tepat dengan potensi yang dimiliki daerah. Daerah-daerah tersebut adalah Kota Batam, Kabupaten Bandung, Kabupaten Malang, dan Kota Sura baya. Sementara itu, Kabupaten Badung memiliki persepsi bahwa target pe nerimaan pajaknya telah diestimasi sangat tepat dengan potensi yang dimi likinya. Sebaliknya, Kabupaten Deli Serdang berpersepsi bahwa estimasi tar get penerimaan pajaknya kurang tepat dengan potensi penerimaan pajaknya. Persepsi mengenai kesesuaian target penerimaan pajak dengan potensi yang dimiliki masing-masing daerah ini tercermin juga dalam diskusi yang muncul pada saat FGD.
2) Peluang dan Tantangan yang Dihadapi oleh Daerah dalam Merealisasikan Potensi Pajak Daerah Berikut ini merupakan peluang dan tantangan yang dihadapi oleh daerah sampel penelitian dalam merealisasikan potensi penerimaan pajaknya.
a. Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan Persepsi daerah sampel penelitian tentang peluang dan tantangan yang dihadapi Dispenda atau DPPKAD mengenai pajak hotel serupa dengan pajak restoran dan pajak hiburan. Seluruh daerah sampel penelitian menyatakan bahwa kesadaran masyarakat akan pembayaran pajak masih rendah. Kota Batam mengalami kesulitan dalam memperoleh data riil tentang basis pajak hotel. Kabupaten Badung melihat potensi yang perlu dioptimalisasi. Wajib pajak di Kabupaten Badung masih kurang kesadarannya untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. Wajib pajak di Kabupaten Bandung juga memiliki peri laku yang sama. Meskipun demikian, terdapat fenomena meningkatnya pe nerimaan pajak hotel. Kota Balikpapan tidak melihat adanya peluang lagi dari sektor perhotelan dan kejujuran wajib pajak dalam memperhitungkan pajak terhutang masih rendah. Kabupaten Deli Serdang memandang masih adanya peluang dari pajak hotel, namun masyarakatnya berperilaku menghindari pajak dan pengetahuan masyarakat akan pajak masih rendah. Kabupaten Malang memiliki banyak objek wisata sehingga potensi penerimaan pajak hotel tinggi. Namun, belum ada hotel berbintang di kabupaten ini. Hotel-ho tel yang ada berklasifikasi melati atau di bawahnya. Kemudian, Kota Surabaya telah memiliki tim pemeriksa pajak. Hal ini diharapkan akan lebih meningkatkan
56
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
performa koleksi pajak hotel. Kota Surabaya juga masih memiliki peluang untuk pajak restoran dengan mengandalkan wisata kuliner. Sementara itu, di Kabupaten Malang, sebagian besar tempat penjualan kuliner masih ber wujud warung sehingga belum memiliki sistem penjualan yang menggunakan billing statement. Tantangan yang dihadapi dalam penerimaan pajak hiburan di Kabupaten Malang adalah banyaknya objek wisata di Kota Batu sehingga menurunkan jumlah pengunjung di objek wisata di Kabupaten Malang.
b. Pajak Penerangan Jalan Kurangnya kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya merupakan persepsi yang seragam di daerah sampel penelitian. Di Kabupaten Badung, administrasi pajak penerangan jalan masih ditangani oleh PLN sehingga diperlukan koordinasi yang lebih intensif agar penerimaannya optimal. Di Kota Balikpapan, terdapat perbedaan data basis pajak, yaitu aset pemerintah kota selalu lebih tinggi daripada data PLN. Kota Surabaya memiliki potensi penerimaan yang meningkat dengan bertambahnya sumber daya dan pen daftar. Sementara itu, di Kabupaten Bandung, kesadaran wajib pajak untuk jenis pajak penerangan jalan adalah yang paling rendah dibandingkan de ngan jenis pajak lainnya.
c. PBB P2 dan BPHTB Kabupaten Badung menganggap bahwa dengan diserahkannya koleksi PBB P2 ke daerah, maka potensi penerimaannya dapat digarap dengan lebih opti mal. Namun demikian, capacity building untuk SDM sangat diperlukan. Di Kota Balikpapan, NJOP PBB terlalu rendah dibandingkan dengan harga pasar. Di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Serdang, kesadaran masyarakat dalam membayar pajak masih rendah. Di Kabupaten Malang, PBB P2 meru pakan objek pajak baru yang masih dapat dimaksimalkan terutama di area dimana bermunculan bangunan-bangunan baru dan belum masuk dalam database, sementara untuk objek pajak selain PBB, upaya peningkatannya sudah klimaks sampai titik jenuh, yakni terbentur pada ketidakpatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban. Di Kabupaten Badung, akan banyak tran saksi yang akan meningkatkan BPHTB karena Kabupaten Badung merupakan daerah pariwisata. Sementara itu, koordinasi dengan Notaris dan BPN diper
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
57
lukan agar potensi lebih dapat digarap. Potensi di Kabupaten Deli Serdang masih terbuka untuk digarap penerimaannya. Di Kota Balikpapan, tingkat kejujuran dalam mengungkapkan harga masih sangat rendah. Demikian pula yang terjadi di Kabupaten Malang. Wajib pajak berusaha memperkecil atau melaporkan NPOP yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya dengan berpe doman pada NJOP PBB. Akibatnya, NJOP PBB di Kabupaten Malang saat ini masih jauh di bawah harga pasar.
3) Persiapan Kabupaten/Kota dalam Pemungutan PBB P2 dan BPHTB Seluruh daerah sampel penelitian melakukan upaya persiapan dalam pemu ngutan PBB P2 dan BPHTB. Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang telah mulai memungut PBB P2. Kabupaten Deli Serdang membuka loket-loket pembayaran di area potensial di hari Sabtu-Minggu menjelang jatuh tempo. Di Kabupaten Malang, PBB P2 akan dipungut oleh mulai 1 Januari 2014. Pemkab Malang saat ini telah mengantisipasi persiapan pengalihan PBB P2 menjadi pajak daerah dengan mempersiapkan lembaga yang akan menangani secara khusus, mempersiapkan payung hukum berupa peraturan daerah dan beberapa peraturan bupati terkait dengan pelaksanaan pemungutan PBB P2 serta draft keputusan kepala dinas SOP pelaksanaan pemungutan PBB P2, mempersiapkan hardware/soft ware untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak pratama Singosari dan Kepanjen, mempersiapkan SDM terkait dengan penge lolaan PBB P2, mempersiapkan tempat-tempat pembayaran PBB P2 bekerja sama dengan Bank Jatim. Dalam pemungutan BPHTB, surat edaran dari BPN tentang verifikasi berdampak terhadap menurunnya penerimaan BPHTB. Kabupaten Deli Serdang membentuk tim verifikasi untuk mengontrol besarkecil ketetapan pajak.
4) Persepsi Kabupaten/Kota dalam Administrasi Perpajakan Mayoritas daerah sampel penelitian menyetujui pernyataan bahwa adminis trasi perpajakan dilaksanakan dengan baik. Namun demikian, bias akan per
58
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
sepsi ini sangat mungkin muncul karena responden kuesioner adalah aparat Dispenda dan DPPKAD. Hanya Kota Batam dan Kabupaten Bandung yang tidak setuju bahwa pendaftaran dan pendataan pajak telah berjalan dengan baik di beberapa item seperti kesadaran wajib pajak. Persepsi tidak setuju juga ditemukan di Kabupaten Malang dan Kabupaten Bandung tentang memadainya jumlah tenaga administrasi untuk pendataan dan pendaftaran. Secara lengkap, administrasi perpajakan tersebut meliputi: i) sistem pendataan dan pendaftaran wajib pajak, ii) jumlah tenaga administratif untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak, iii) kualitas tenaga administratif untuk pen dataan dan pendaftaran wajib pajak, iv) kelengkapan operasional untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak, v) koordinasi antar lembaga terkait dalam pendataan dan pendaftaran wajib pajak, vi) pengalaman tenaga ad ministrasi untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak, vii) kesadaran pe tugas pendataan dan pendaftaran wajib pajak, viii) kesadaran wajib pajak untuk pendataan dan pendaftaran wajib pajak.
Untuk penetapan, pemungutan, pembukuan dan pelaporan pajak, mo
dus persepsi daerah sampel penelitian adalah setuju bahwa pengadministra siannya telah berjalan baik. Hanya Kabupaten Bandung yang tidak menyetujui bahwa koordinasi penetapan pajak dan sistem pengumpulan pajak telah berjalan baik. Hanya Kabupaten Bandung pula yang tidak menyetujui bahwa kualitas tenaga administrasi dan kelengkapan operasional pemungutan pajak telah memadai.
5) Profil Kabupaten Kota dalam Peningkatan/Penurunan Penerimaan Pajak Sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 seluruh daerah sampel peneliti an menyatakan bahwa terjadi peningkatan penerimaan pajak. Seluruh kabu paten/kota yang merupakan sampel penelitian mengalami trend penerimaan pajak yang meningkat.
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
59
Gambar 5.1. Tren Penerimaan Realisasi Pajak Daerah Sampel, Tahun 2007-2011 Sumber: DJPK, beberapa tahun.
6) Realisasi Penerimaan Pajak Dibandingkan dengan Potensinya dan Faktor-faktor Penghambat yang Dialami Kabupaten/Kota Dibandingkan dengan potensi penerimaan pajaknya, daerah yang realisasi penerimaannya mendekati magnitude potensinya adalah Kota Batam, Kabupaten Bandung, dan Kota Balikpapan. Sedangkan daerah yang realisasi penerimaan pajaknya hampir sama dengan potensinya adalah Kabupaten Badung, Kabupaten Deli Serdang, Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang. Sementara itu, faktor-faktor yang merupakan penghambat yang dialami mayoritas daerah sampel penelitian adalah: i) rendahnya kesadaran masya rakat dalam membayar pajak, ii) rendahnya pengetahuan masyarakat akan pajak, iii) tingginya penghindaran pajak, iv) tingginya tunggakan pajak, v) kurang tegasnya sanksi pajak, vi) kurangnya petugas pemungut pajak.
60
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
7) Sistem Penghargaan, Penerimaan Pajak, Pelayanan Pembayaran Pajak, dan Pelayanan Publik Hampir seluruh daerah menggunakan sistem upah pungut untuk jenis reward dalam koleksi pajak. Hanya Kabupaten Malang yang menggunakan sistem insentif pajak daerah. Selain Kabupaten Bandung dan Kabupaten Deli Ser dang, semua kabupaten/kota sampel penelitian meyakini hubungan antara penentuan pajak dan pelayanan publik. Sementara itu, kecuali Kabupaten Deli Serdang, seluruh kabupaten/kota sampel penelitian meyakini bahwa penerimaan pajak akan meningkat selaras dengan meningkatnya pelayanan publik. Dalam penyelenggaraan one stop service untuk pajak daerah, hanya Kota Batam dan Kabupaten Malang yang memilikinya. Kabupaten Badung, Kabupaten Bandung, Kota Balikpapan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Surabaya belum memilikinya.
Hal yang perlu dilakukan agar penetapan target penerimaan pajak lebih
tepat dengan potensinya serta realisasinya dapat dioptimalkan di daerah sampel penelitian adalah: i) sosialisasi guna meningkatkan pemahaman wajib pajak, ii) intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah, iii) pemutakhiran data potensi pajak daerah, iv) penyusunan prognosis perkembangan realisasi penerimaan pajak, v) peningkatan efisiensi dan efektifitas pemungutan pajak, vi) kompilasi data potensi pajak antar instansi, vii) monitoring, evaluasi dan koordinasi antar instansi.
Analisis Kualitatif: P ermasalahan Dalam I mplementasi U ndang - U ndang . . .
61
6
Analisis Kuantitatif: Pengaruh Implementasi UU No. 28 Tahun 2009 Terhadap Peningkatan Pendapatan Daerah
B
ab ini akan menjelaskan gambaran umum pengelolaan pajak daerah di nasional dan daerah penelitian. Hal ini diperlukan untuk melihat gambaran umum dampak adanya UU No. 28 Tahun 2009 terhadap
penerimaan daerah.
6.1. Analisis Perkembangan Pajak Daerah Gambar 1 dibawah ini menggambarkan rata – rata rasio pajak agregrat pro vinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2012. Pada tahun 2012 rata-rata rasio pajak agregrat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 1,39%, sedangkan pada tahun 2011 rata rata tersebut masih tinggi yakni 2,39% (DJPK, 2013).
62
Gambar 6.1. Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun 2012 Sumber: DJPK, 2013
Hal ini menggambarkan betapa dinamika penerimaan pajak daerah
masih beragam.Provinsi Bali merupakan provinsi yang memiliki rasio pajak agregrat tertinggi yakni sebesar 3,9%, sementara itu daerah yang memiliki rasio pajak agregrat terendah adalah Provinsi Papua yakni hanya sebesar 0,4%. Provinsi Bali memiliki rasio pajak agegrat tertinggi karena Bali meru pakan salah satu daerah yang memiliki aktifitas ekonomi, khususnya sektor pariwisata, yang sangat besar, sehingga dengan tingginya kegiatan dan out put ekonomi yang cukup besar tersebut akan berdampak signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak di provinsi Bali. Sebaliknya Provinsi Papua, menunjukkan aktifitas dan output ekonomi yang dimiliki belum mampu mendorong penguatan penerimaan pajak daerahnya. Hal ini dapat terjadi mengingat kegiatan perekonomian daerahnya masih didominasi oleh penge lolaan sumber daya alam, dimana pajak pusat (bukan pajak daerah) mendo minasi tax base kegiatan perekonomian daerahnya.
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
63
Gambar 6.2. Pajak per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi tahun 2011 (tidak termasuk DKI Jakarta) Sumber: DJPK, 2013
Gambar 6.2 di atas menjelaskan tentang pajak perkapita pemerintah
kabupaten dan kota se provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta). Gambar tersebut menjelaskan bahwa hanya enam daerah yang memiliki pajak perkapita di atas rata-rata seluruh provinsi di Indonesia sedangkan sebanyak 24 daerah masih memilki pajak perkapita dibawah rata-rata nasional. Daerah yang memiliki pajak perkapita di atas rata-rata yakni kabupaten kota di wilayah Provinsi Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Banten, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kepu lauan Riau. Hal ini bisa dikatakan bahwa perekonomian di enam daerah ter sebut memiliki dampak dan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan penerimaan daerah. Namun, Gambar 2 diatas juga menggambarkan jumlah daerah yang memiliki pajak perkapita dibawah rata-rata. Hal ini menunjukkan masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang masih belum mampu menggali potensi dan mengelola pajak daerahnya dengan baik.
Dua gambar di atas menggambarkan betapa dinamika pengelolaan pajak
daerah masih sangat tinggi. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa UU No.
64
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
28 Tahun 2009 masih diperlukan untuk mendorong penerimaan daerah atau meningkatkan kapasitas fiskal.
6.2. Analisis Perbandingan Kondisi Pajak Daerah di Daerah Sampel Sebelum dan Sesudah Penerapan UU No. 28 Tahun 2009 Di bawah ini akan dijelaskan tentang kondisi pajak daerah di daerah sampel, khususnya dampak implementasi UU No. 28 tahun 2009 terhadap penerimaan daerah. Gambaran deskriptif ini akan membantu kita untuk memahami apakah UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah atau sebaliknya belum mampu mendorong penguatan kapasitas fiskal daerah.
Tabel 6.1. Pertumbuhan PAD Tahun 2008-2011 (%) 2008
2009
2010
2011
Ratarata
Kab. Badung
96,79
11,89
15,18
43,62
41,87
Kota Batam
32,36
8,43
3,00
104,73
37,13
Kab. Bandung
-5,39
5,45
30,23
46,51
19,20
Kota Balikpapan
26,00
23,46
-0,42
64,92
28,49
Kab. Deli Serdang
27,64
5,90
16,27
77,37
31,79
Kota Surabaya
20,01
11,05
12,21
107,62
37,72
Kab. Malang
18,94
53,02
-15,02
32,09
22,26
Rata-rata
30,91
17,03
8,78
68,12
31,21
Nasional
18,95
9,62
8,76
45,7
20,70
Daerah
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari daerah sampel tahun
2008-2011(%) dijelaskan pada tabel 6.1 di atas. Data pada tabel tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan PAD pada tujuh daerah sampel antara ta hun 2008–2011, masih sangat berfluktuatif. Pada kurun waktu 2008 sampai
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
65
2010, ketujuh daerah sampel mengalami perlambatan pertumbuhan PAD. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pajak–pajak baru, dinamika ekonomi yang melambat (adanya krisis ekonomi 2008), serta belum diterapkannya UU 28 Tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2011 dimana UU No. 28 Tahun 2009 telah diimplementasikan, pertumbuhan PAD mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni dari sebesar 8,87% menjadi 68,12%.
Tabel 6.1 diatas juga menjelaskan perkembangan PAD tahun 2008-
2011(%) pada masing-masing daerah. Pada tahun 2008-2010, Kabupaten Badung, Kota Batam, Kota Balikpapan, Kota Surabaya, merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan PAD yang menurun, sedangkan daerah yang memiliki pertumbuhan PAD yang meningkat yakni Kabupaten Bandung. Setelah penerapan UU no 28 tahun 2009, yakni pada tahun 2011 semua daerah sampel memiliki pertumbuhan PAD yang meningkat. Kondisi ini mendukung pendapat bahwa UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong kapasitas fiskal daerah, walaupun belum optimal. Hal ini terlihat dari beberapa daerah yang memiliki pertumbuhan PAD di atas rata-rata, yakni Kabupaten Badung, Kota Batam, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Surabaya. Tiga daerah lainnya walaupun mengalami peningkatan, tetapi masih berada di bawah rata-rata. Secara rata-rata, realisasi PAD daerah sampel lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Tabel 6.2 di bawah ini menjelaskan tentang pertumbuhan realisasi pajak
daerah di daerah sampel. Pajak daerah secara empiris merupakan penerimaan terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertumbuhan realisasi pajak daerah di periode tahun 2008-2011 menunjukkan perkembangan yang sa ngat menarik. Pada periode 2008-2010, perkembangan realisasi Pajak Daerah menunjukkan peningkatan. Khusus untuk periode 2008–2009, sebagian besar penerimaan pajak daerah menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan UU dimana ada perbedaan terkait dengan tax base dan tarif pa jak, serta adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 yang berdampak pada penerimaan pajak daerah 2009. Pada tahun 2011, dimana sebagian besar daerah sudah melaksanakan UU No. 28 Tahun 2009, penerimaan Pajak Daerahnya meningkat secara signifikan. Pada tahun tersebut, penerimaan Pajak Daerah menunjukkan nilai di atas rata-rata penerimaan Pajak Daerahnya. Hal ini menunjukkan betapa UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong
66
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
penerimaan Pajak Daerah. Sejalan dengan nilai rata-rata realisasi PAD, nilai rata-rata realisasi pajak daerah sampel lebih tinggi dibandingkan nilai ratarata nasional.
Tabel 6.2. Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Tahun 2008-2011 (%) Realisasi 2008
Realisasi 2009
Realisasi 2010
Realisasi 2011
Rata-rata
Kab. Badung
88,33
11,10
13,06
46,06
39,64
Kota Batam
48,10
7,45
11,13
119,92
46,65
Kab. Bandung
-17,64
-7,17
23,85
132,04
32,77
Kota Balikpapan
26,08
16,85
16,09
92,63
37,91
Kab. Deli Serdang
28,59
8,95
11,05
95,24
35,96
Kota Surabaya
16,77
11,27
18,64
183,28
57,49
Kab. Malang
14,03
12,25
16,52
64,34
26,78
Rata-rata
29,18
8,67
15,67
104,79
39,60
Nasional
20,87
11,6
13,67
106,69
38,21
Daerah
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Tabel 6.3 di bawah ini akan menjelaskan tentang realisasi penerimaan
dari Retribusi Daerah dari daerah–daerah sampel. Retribusi sebagai bagian penting di dalam UU No. 28 Tahun 2009 merupakan jenis user charge (fee) yang diperbolehkan dipungut oleh pemerintah daerah, saat pemerintah daerah menyediakan layanan atas pungutan tersebut.
Tabel 6.3. Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah 2008-2011 (%) Daerah
2008
2009
2010
2011
Rata-rata
Kab. Badung
36,72
3,70
96,82
-15,54
30,42
Kota Batam
22,53
-17,31
-10,60
42,34
9,24
Kab. Bandung
-19,40
13,32
47,43
-45,58
-1,06
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
67
Daerah
2008
2009
2010
2011
Rata-rata
Kota Balikpapan
4,59
5,53
4,94
-5,64
2,35
Kab. Deli Serdang
46,61
-8,37
35,27
49,16
30,67
Kota Surabaya
-2,95
-4,26
11,61
14,47
4,71
Kab. Malang
-49,08
32,66
21,82
24,39
7,45
Rata-rata
5,57
3,61
29,61
9,09
11,97
Nasional
14,98
-0,36
2,08
6,30
5,75
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Tabel 6.3 di atas juga menjelaskan tentang perkembangan realisasi
retribusi daerah tahun 2008 sampai 2011 di masing–masing daerah sampel. Pada tahun 2010 pertumbuhan realisasi retribusi daerah paling besar terdapat di Kabupaten Badung sebesar 96,82% sedangkan rata-rata realisasi retribusi daerah paling rendah terdapat di tahun 2009 sebesar 3,61%. Daerah dengan pertumbuhan realisasi retribusi paling rendah adalah Kota Batam yang pertumbuhan realisasi retribusnya sampai minus 17,31%. Rendahnya pene rimaan retribusi ini lebih banyak dikarenakan situasi perekonomian pada periode tersebut mengalami gangguan. Hal ini dapat dilihat bagaimana pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah pada periode tersebut juga me ngalami perlambatan. Secara umum, jika dilihat rata-rata penerimaan reali sasi retribusi tahun 2008-2011, maka Kabupaten Deli Serdang yang memiliki rata-rata pertumbuhan realisasi retribusi daerah paling tinggi sebesar 30,67% diikuti oleh Kabupaten Badung sebesar 30,42% sedangkan daerah yang memiliki rata-rata pertumbuhan retribusi daerah paling kecil terdapat di Kabupaten Bandung yakni minus 1,06%.
68
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Gambar 6.3. Perkembangan Pendapatan Daerah Sampel Tahun 2007-2012 Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Gambar 6.3 menunjukkan perkembangan pendapatan daerah sampel
tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa hampir semua daerah sampel selalu mengalami perkembangan pendapatan daerah yang selalu meningkat selama kurun waktu 2007 sampai dengan 2011. Untuk tahun 2012, data yang ditampilkan adalah data anggaran (tar get) bukan realisasi. Kabupaten Bandung, tahun 2008, pendapatannya meng alami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 sedangkan di Kota Balikpapan pendapatan daerahnya mengalami penurunan di tahun 2009 dan 2010, dari beberapa daerah yang selalu mengalami kenaikkan pendapatan setiap tahunnya, berdasarkan gambar grafik diatas dapat ditunjukkan bahwa Kota Surabaya merupakan daerah yang pendapatan daerahnya selalu meng alami peningkatan sangat signifikan. Kota Surabaya dapat mengalami peningkatan pendapatan yang signifikan dikarenakan perkembangan perekonomiannya yang sangat pesat. Hal itu akhirnya diikuti oleh realisasi penerimaan pajak daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan.
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
69
Gambar 6.4. Perkembangan Belanja Daerah Sampel Tahun 2007-2012 Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Pada gambar 6.4 di atas menggambarkan perkembangan belanja daerah
sampel tahun 2007-2012. Gambar tersebut menjelaskan seluruh daerah sampel mengalami peningkatan belanja sejak tahun 2007 sampai dengan 2012. Gambar 6.4 tersebut juga menjelaskan bahwa dari tujuh daerah sam pel, Kota Surabaya merupakan daerah dengan belanja daerah paling besar. Sejak tahun 2009 belanja daerah Surabaya selalu diatas tiga triliun rupiah. Belanja daerah Kota Surabaya yang besar ini tidak terlepas dari jumlah pen dapatan daerah Kota Surabaya yang juga sangat besar.
Tabel 6.4. Pajak Per Kapita Daerah Sampel 2007-2011 (rupiah per jiwa) Daerah
70
2007
2008
2009
2010
2011
Kab. Badung
908.769
1.678.316
1.829.295
1.614.857
2.131.384
Kota Batam
103.614
144.753
146.819
135.009
267.648
Kab. Bandung
22.569
18.337
16.800
18.683
41.413
Kota Balikpapan
103.260
127.310
145.569
158.618
294.754
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kab. Deli Serdang
30.312
37.811
40.044
44.415
85.915
Kota Surabaya
129.688
151.323
168.301
189.986
528.984
Kab. Malang
10.990
12.468
13.929
16.091
26.283
Rata-rata
187.029
310.045
337.251
311.094
482.340
Nasional
23.578
29.994
33.216
36.808
74.168
Sumber: DJPK dan BPS, beberapa tahun.
Berdasarkan perkembangan pajak perkapita daerah sampel tahun 2007
sampai tahun 2011 dapat diketahui bahwa pajak perkapita Kabupaten Ba dung paling besar jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya yang dijadikan sampel baik di tahun 2007, 2008, 2009, 2010 bahkan ditahun 2011. Kabupaten Badung memiliki pajak per kapita paling besar dalam lima tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Kabupaten Badung yang menjadikan sektor wisata sebagai mesin pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga dengan sektor pariwisata yang meningkat secara tajam, yang juga mendorong sektor lain untuk tetap tumbuh, dan akhirnya berdampak pada meningkatnya penerimaan pajak daerah (khususnya basis pajak daerah) yang diperoleh. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa secara nasional, pajak perkapita mengalami peningkatan.
Tabel 6.5. Rasio Pajak terhadap PDRB AHB Daerah Sampel 2007-2011 (%) Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kab. Badung
4,22
6,67
6,03
5,88
7,81
Kota Batam
0,22
0,28
0,28
0,25
0,51
Kab. Bandung
0,19
0,13
0,12
0,13
0,27
Kota Balikpapan
0,18
0,17
0,21
0,21
0,38
Kab. Deli Serdang
0,20
0,22
0,21
0,20
0,34
Kota Surabaya
0,27
0,27
0,27
0,26
0,63
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
71
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kab. Malang
0,12
0,12
0,12
0,13
0,18
Rata-rata
0,77
1,12
1,03
1,01
1,45
Nasional
0,16
0,13
0,13
0,13
0,24
Sumber: DJPK dan BPS, beberapa tahun.
Tabel 6.5 adalah tabel yang menjelaskan rasio pajak terhadap PDRB AHB
daerah sampel mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Data menun jukkan bahwa Kabupaten Badung merupakan daerah sampel yang memiliki nilai rasio paling tinggi jika dibandingkan dengan daerah-daerah sampel yang lainnya. Rasio pajak daerah terhadap PDRB ini menunjukkan berapa peranan penerimaan pajak dalam mendukung output perekonomian suatu wilayah. Sebagai suatu daerah dengan sektor pariwisata yang sangat besar, tentu mendorong sektor ekonomi lainnya untuk tumbuh dan berkembang, sehingga output perekonomian daerah ini juga meningkat tajam. Tabel 6.5 di atas juga menjelaskan perkembangan rasio pajak terhadap PDRB AHB an tara tahun 2007 sampai tahun 2011, dimana hampir semua daerah mengalami peningkatan rasio pajak terhadap PDRB AHB. Hal ini menunjukkan semua daerah sampel mengalami peningkatan penerimaan pajak daerah, khususnya untuk tahun 2011, perubahan rasionya cukup signifikan.
Tabel 6.6. Rasio Pajak Terhadap PAD di Daerah Sampel Tahun 2007-2012 (%)
72
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Kab. Badung
96,06
91,93
91,28
89,60
91,13
91,40
Kota Batam
67,02
74,99
74,31
80,17
86,12
77,16
Kab. Bandung
41,02
35,71
31,43
29,89
47,34
48,24
Kota Balikpapan
55,71
55,75
52,76
61,51
71,84
75,91
Kab. Deli Serdang
66,65
67,15
69,08
65,97
72,62
84,20
Kota Surabaya
56,09
54,58
54,69
57,82
78,89
81,14
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Kab. Malang
31,29
30,00
22,00
30,17
37,54
33,28
Rata-rata
59,12
59,58
56,51
59,31
69,36
70,19
Nasional
32,42
32,59
33,55
35,06
49,81
46,10
Sumber:DJPK, beberapa tahun; *) target
Pada tabel 6.6 di atas, tergambarkan tentang rasio pajak daerah terhadap
PAD di daerah sampel tahun 2007 sampai tahun 2012. Rasio ini dipakai un tuk menunjukkan berapa besar pajak daerah mampu menyumbang kepada pendapatan asli daerah, sehingga semakin tinggi nilainya tentu menggam barkan peran pajak yang semakin besar. Dari tabel di atas dapat kita lihat, bahwa hanya ada dua daerah, yakni Kabupaten Bandung dan Kabupaten Malang memiliki rasio lebih rendah dari 50%. Sementara itu, seluruh daerah sampel lain memiliki rasio di atas 50% selama periode pengamatan. Untuk daerah yang memiliki rasio kurang dari 50%, mengindikasikan perlunya dae rah tersebut melakukan diversifikasi kegiatan perekonomian dan mendorong peningkatan kualitas layanan dan sarana prasarana pengelolaan perpajakan. Secara umum, peningkatan rasio ini juga terjadi di level nasional.
Jika diperhatikan lebih lanjut, tentang pengaruh UU No. 28 Tahun 2009
terhadap penerimaan pajak daerah, maka dapat dikatakan bahwa semua dae rah sampel mengalami peningkatan penerimaan dalam bentuk meningkatnya rasio yang terjadi pada tahun 2011.
Tabel 6.7. Rasio PAD terhadap Total Penerimaan di Daerah Sampel Tahun 2007-2012 (%) Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Kab. Badung
50,04
60,61
60,09
68,69
75,98
68,25
Kota Batam
15,72
16,14
16,94
14,98
25,45
26,70
Kab. Bandung
8,21
9,86
7,81
9,72
11,86
11,25
Kota Balikpapan
8,26
8,50
11,30
11,57
13,14
17,61
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
73
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Kab. Deli Serdang
7,49
8,30
8,30
9,22
13,16
18,64
Kota Surabaya
29,94
31,45
30,27
29,85
50,19
51,10
Kab. Malang
7,23
7,67
10,76
7,84
8,83
7,55
Rata-rata
18,00
20,00
21,00
22,00
28,00
29,00
Nasional
7,56
7,19
7,48
7,21
8,56
8,93
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Berdasarkan pada tabel 6.7 di atas, rasio PAD terhadap total pendapatan
daerah sampel tahun 2007 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan se cara signifikan dalam periode pengamatan. Walaupun begitu, daerah yang memiliki rasio diatas 25% hanya ada pada tiga daerah sampel, yakni Kabupa ten Badung, Kota Surabaya dan Kota Batam.
Banyaknya daerah yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan daerah
yang rendah, menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang terhadap daerah khususnya tentang pengelolaan potensi daerah masih belum berjalan dengan baik, dan masih perlu dikaji ulang tentang mengapa pajak daerah yang men jadi kewenangannya masih belum dioptimalkan.
Tabel 6.8. Rasio PAD terhadap Total Belanja di Daerah Sampel Tahun 2007-2012 (%)
74
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Kab. Badung
41,43
72,03
59,48
74,23
89,45
64,39
Kota Batam
13,41
19,13
15,28
13,12
27,20
26,56
Kab. Bandung
8,00
9,77
8,55
9,43
11,83
10,40
Kota Balikpapan
6,64
8,82
10,17
10,44
15,52
15,90
Kab. Deli Serdang
7,71
8,26
8,27
9,04
12,92
18,66
Kota Surabaya
39,04
36,11
25,89
24,98
50,26
45,54
Kab. Malang
7,17
7,50
11,06
7,83
8,95
7,15
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Rata-rata
18,00
23,00
20,00
21,00
31,00
27,00
Nasional
7,38
7,29
7,35
7,38
9,13
8,46
Sumber: DJPK, beberapa tahun; *) target
Tabel 6.8. menggambarkan rasio PAD terhadap total belanja di daerah
sampel. Rasio ini menggambarkan seberapa besar PAD mampu membiayai belanja daerah. Jika nilai rasio ini semakin meningkat, menunjukkan mening katnya kemampuan daerah di dalam membiayai sendiri belanja daerahnya. Daerah sampel yang mampu membiayai belanja daerahnya dengan PAD di atas 50% yakni Kabupaten Badung (terjadi di tahun 2008 sampai tahun 2012) dan Kota Surabaya (hanya tahun 2011), selain kedua daerah ini belum ada daerah yang PAD mampu membiayai belanja daerahnya di atas 50%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat masih sangat besar.
Tabel 6.9. Rasio PAD terhadap PDRB AHB di Daerah Sampel Tahun 2007-2011 (%) Daerah
2007
2008
2009
2010
2011
Kab. Badung
4,39
7,25
6,6
6,56
8,57
Kota Batam
0,33
0,37
0,38
0,32
0,59
Kab. Bandung
0,46
0,38
0,37
0,43
0,57
Kota Balikpapan
0,33
0,3
0,39
0,35
0,53
Kab. Deli Serdang
0,29
0,33
0,3
0,3
0,47
Kota Surabaya
0,47
0,49
0,49
0,44
0,8
Kab. Malang
0,39
0,4
0,55
0,42
0,48
Rata-rata
0,95
1,36
1,30
1,26
1,72
Nasional
0,16
0,13
0,13
0,13
0,24
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
75
Tabel 6.9. menjelaskan tentang rasio PAD terhadap PDRB AHB daerah
sampel tahun 2007 sampai tahun 2011. Rasio ini menggambarkan tentang seberapa besar PAD yang dapat diperoleh dari perkembangan perekonomian. Dengan demikian, semakin tinggi rasio ini, bisa dikatakan daerah telah dapat memanfaatkan peningkatan perekonomian untuk menambah pendapatan daerah. Daerah sampel paling besar di dalam rasio PAD terhadap PDRB AHB adalah Kabupaten Badung, sementara daerah lain belum mampu memanfaat kan secara signifikan penguatan perekonomian daerahnya untuk mening katkan PAD-nya.
Jika kita perhatikan tabel 6.9. di atas, sebenarnya hampir semua daerah
mengalami peningkatan nilai rasio yang dimiliki. Hal ini menunjukkan sebe narnya UU No. 28 Tahun 2009 ini telah mampu mendorong daerah untuk terus berusaha meningkatkan PAD-nya melalui beberapa perluasan basis pajak dan tarif pajak daerah yang berbeda dari sebelumnya.
Kabupaten Malang Tabel 6.10 menggambarkan realisasi jenis pajak di Kabupaten Malang. Tabel 6.10 tersebut juga menginformasikan bahwa realisasi pajak terbesar adalah pajak penerangan jalan yang 5 tahun terakhir selalu berada di atas Rp.20 miliar.
Tabel 6.10. Realisasi Jenis Pajak Kab. Malang (miliar rupiah) JenisPajak
76
2008
2009
2010
2011
2012
Pajak Hiburan
4,38
5,57
8,37
6,25
5,82
Pajak Hotel
0,56
0,51
0,52
0,88
1,4
Pajak Parkir
0,09
0,09
0,08
0,22
0,26
Pajak Penerangan Jalan
22,58
24,69
27,21
32,67
32,39
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
0,45
0,39
0,33
0,33
0,4
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
JenisPajak
2008
2009
2010
2011
2012
Pajak Reklame
1,71
1,92
2,12
2,34
2,14
Pajak Restoran
0,57
0,60
0,70
0,91
1,19
-
-
-
19,00
25,43
BPHTB Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Besarnya pajak penerangan jalan ini, bisa dimengerti karena wilayah
Kabupaten Malang yang sangat luas serta jumlah penduduk yang terpadat. Sedangkan untuk pajak daerah yang lain, bisa dikatakan bahwa pajak–pajak tersebut belum mampu menjadi andalah penerimaan daerah, karena dalam realisasi penerimaannya masih sangat berfluktuatif. Jika diperhatikan pada jenis pajak baru, yakni BPHTB dan PBB P2, sepatutnya merupakan sebagai sumber penerimaan utama di tahun–tahun mendatang untuk Kabupaten Malang, mengingat luasan wilayah serta dinamika perekonomiannya yang terus berkembang.
Dari penjelasan data–data tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa
adanya UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong peningkatan pene rimaan daerah kabupaten Malang, dan diharapkan segala permasalahan yang ada di dalam usaha peningkatan penerimaan, dapat diselesaikan di masa mendatang.
Kabupaten Deli Serdang Tabel 6.11 di bawah ini menjelaskan tentang dinamika penerimaan pajak daerah di Kabupaten Deli Serdang selama beberapa tahun. Bagaimana dam pak UU No. 28 Tahun 2009 di Kabupaten Deli Serdang dapat kita lihat peranan pajak-pajak baru terhadap penerimaan daerah.
Pajak–pajak lama (sebelum UU No. 28 Tahun 2009) yang mendominasi
adalah Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang memang ini sejalan dengan karak teristik daerah Kabupaten, wilayahnya luas serta jumlah penduduknya besar dan tersebar. Sedangkan untuk pajak lain, relatif tetap tidak terlalu signifikan perannya pada penerimaan daerah.
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
77
Tabel 6.11. Realisasi Jenis Pajak Kab. Deli Serdang (miliar rupiah) Jenis Pajak
2009
2010
2011*
2012*
Pajak Hiburan
0,27
0,33
0,30
0,40
Pajak Hotel
0,21
0,19
0,30
0,30
0,08
0,25
Pajak Parkir Pajak Penerangan Jalan
66,53
74,11
88,00
90,00
PajakPengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
2,48
0,53
6,00
10,00
Pajak Reklame
0,97
1,12
1,50
2,50
Pajak Restoran
1,08
3,17
3,50
4,00
BPHTB
75,00
75,00
Pajak Air Tanah
7,50
7,50
PBB P2
69,85
130,00
Sumber: DJPK , beberapa tahun
Sementara itu, berdasarkan tabel 11 tentang realisasi jenis pajak Kabu
paten Deli Serdang, pajak terbesar adalah pajak daerah baru sesuai amanah UU No. 28 Tahun 2009, yakni BPHTB dan PBB P2. Sedangkan pajak hotel dan resotoran yang merupakan perluasan basis pajak, juga berperan cukup besar untuk mendorong penerimaan daerah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Deliserdang,
keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 cukup mampu mendorong penerimaan daerah meningkat secara signifikan.
Kabupaten Bandung Tabel 6.12 di bawah ini menggambarkan tentang realisasi penerimaan pajak daerah di Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung merupakan daerah de ngan wilayah yang cukup luas dan jumlah penduduk yang banyak dan tersebar.
78
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Tabel 6.12. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Bandung (miliar rupiah) Jenis Pajak
2008
2009
2010
2011
2012
Pajak Hiburan
1,82
2,15
2,06
0,96
0,71
Pajak Hotel
0,52
0,48
1,12
1,38
2,31
Pajak Parkir
0,08
0,14
0,29
0,60
0,45
Pajak Penerangan Jalan
45,33
41,04
50,23
64,71
83,89
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
0,06
0,06
0,11
0,14
0,19
Pajak Reklame
1,82
1,60
2,02
2,55
2,71
Pajak Restoran
2,02
2,49
3,54
4,87
6,98
BPHTB
59,59
85,15
Pajak Air Tanah
3,01
3,25
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Berdasarkan karakteristik wilayah tersebut, kabupaten Bandung memiliki
sumber penerimaan pajak daerah yang terbesar dari pajak penerangan jalan, yang nilainya terus meningkat dari Rp45 miliar rupiah tahun 2008 menjadi Rp.64 miliar pada tahun 2011.
Sementara itu, untuk pajak baru sesuai dengan amanah UU No. 28 Ta
hun 2009 seperti BPHTB telah menunjukkan angka yang cukup signifikan. Pada tahun 2011, pendapatan dari BPHTB sekitar Rp.59 miliar dan diperkirakan untuk tahun 2012 juga akan meningkat.
Oleh karena itu, berdasarkan data–data yang diuraikan pada tabel di
atas, bahwa pajak – pajak baru telah memberikan tambahan penerimaan daerah yang semakin besar dan signifikan.Sementara itu, untuk perluasan basis pajak, seperti pajak restoran juga menunjukkan peningkatan yang sa ngat signifikan. Pajak Hiburan menurun di Kabupaten Bandung, dikarenakan perubahan kepemimpinan dan kebijakannya, dengan visi religius yang diusung, yang kemudian mendorong tingginya tarif pajak hiburan (regulative) dan hal itu menjadi alasan mengapa penerimaan menurun. Walaupun demi
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
79
kian, secara umum UU No. 28 Tahun 2009 telah mampu mendorong pening katan penerimaan daerah.
Kabupaten Badung Kabupaten Badung merupakan daerah yang wilayahnya dipenuhi dengan fasilitas sektor pariwisata seperti Hotel, Restoran, serta tempat hiburan yang tersebar di wilayah Kabupaten. Dengan karakteristik daerah yang semacam itu, maka dapat diperkirakan pajak–pajak daerah dari aktifitas ekonomi terse but akan mendominasi penerimaan daerah.
Tabel 6.13. Realisasi Jenis Pajak Kabupaten Badung (miliar rupiah) JenisPajak
2008
2009
2010
2011
2012
9,48
12,18
13,83
12,40
22,61
Pajak Hotel
579,75
634,74
713,26
701,50
1037,25
Pajak Parkir
1,43
1,85
2,21
2,50
7,38
Pajak Penerangan Jalan
40,72
46,66
55,20
53,49
64,32
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
4,50
0,67
0,40
0,30
0,38
Pajak Reklame
6,65
6,44
6,88
7.20
3,22
Pajak Restoran
55,98
73,48
85,62
83,50
163,48
BPHTB
75,34
355,64
Pajak Air Tanah
1,78
31,29
Pajak Hiburan
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Pada tabel 6.13 diatas dapat kita lihat realisasi jenis pajak Kabupaten
Badung. Pajak tertinggi adalah pajak hotel, hal ini mengingat Kabupaten Badung merupakan daerah Pariwisata. Pajak Hotel di Kabupaten Badung se tiap tahunnya mampu merealisasikan pajak selalu diatas Rp.500 miliar rupiah. Jumlah itu terus meningkat sejalan dengan perkembangan perekonomian yang terus membaik. Pada tahun 2012, pemerintah Kabupaten Badung me
80
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
nargetkan penerimaan pajak Hotel ini meningkat drastis, menjadi sekitar Rp.850 miliar. Pajak daerah terbesar kedua realisasinya adalah pajak restoran yang selalu diatas Rp.55 miliar. Pajak restoran menjadi pajak terbesar kedua dikarenakan pajak ini perkembangannya sangat terkait dengan dinamika ke giatan pariwisata.
Sementara itu, pajak Penerangan Jalan yang di beberapa kabupaten
merupakan sumber penerimaan utama, di Kabupaten Badung sumber pajak ini tidak seperti itu. Pajak Penerangan Jalan ini kalah dari dua pajak daerah utama, yakni Hotel dan Restoran. Hal ini juga menunjukkan penyebaran hotel dan penduduk sudah tidak terjadi lagi, dan ini terlihat dari perkembangan penerimaan yang relatif stabil.
Untuk pajak baru, sesuai dengan amanah UU No. 28 Tahun 2009, yakni
BPHTB dan perluasan basis pajak, dapat dikatakan penerimaan pajak setelah berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 tersebut meningkat secara signifikan. Pada tahun 2011, penerimaan BPHTB sebesar Rp.75 miliar, dan diperkirakan pe nerimaan tahun 2012 akan meningkat diatas Rp.110 miliar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya UU No. 28 Tahun
2009 ini telah mampu mendorong peningkatan penerimaan daerah Kabu paten Badung secara signifikan, dan tentu beberapa potensi penerimaan pajak daerah lain seperti PBB P2, perlu secepatnya di implementasikan.
Tabel 6.14. Realisasi Jenis Pajak Kota Balikpapan (miliar rupiah) JenisPajak
2008
2009
2010
2011
2012*
Pajak Hiburan
1,01
2,33
0,10
5,33
6,11
Pajak Hotel
22,05
24,92
24,07
33,52
31,61
Pajak Parkir
1,12
2,25
2,11
4,84
5,12
Pajak Penerangan Jalan
25,78
27,67
26,71
39,92
39,66
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
0,02
0,04
3,60
n.a.
n.a.
Pajak Reklame
2,28
3,07
14,20
3,76
6,79
Pajak Restoran
12,16
14,33
n.a.
22,75
22,37
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
81
JenisPajak
2008
2011
2012*
BPHTB
58,16
52,23
Pajak Air Tanah
0,07
2,66
Sumber: DJPK, beberapa tahun. *) target
2009
2010
n.a.: data tidak tersedia
Tabel 6.14 di atas menggambarkan realisasi penerimaan pajak daerah
Kota Balikpapan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa BPHTB merupakan jenis pajak yang mampu memiliki nilai realisasi paling besar yakni Rp.58,16 miliar tahun 2011 dan ditargetkan Rp.52,23 miliar tahun 2012. Selanjutnya pajak Penerangan Jalan, sebagaimana daerah lain merupakan pajak yang menyum bang realisasi penerimaan daerah yang sangat besar. Pada tahun 2008, nilai Pajak Penerangan Jalan sekitar Rp.25 miliar, meningkat menjadi Rp.39,9 miliar pada tahun 2011. Pajak lain yang memiliki realisasi paling besar adalah pajak hotel. Pada tahun 2008, penerimaan pajak Hotel adalah sebesar Rp.22 miliar dan meningkat secara tajam pada tahun 2011 menjadi Rp.33,5 miliar. Begitu juga pajak Restoran mengalami dinamika yang sama dengan pajak Hotel.
Secara umum, semua pajak Daerah menunjukkan tren yang terus me
ningkat di Kota Balikpapan. Sebelum ada UU No. 28 Tahun 2009, peningkatan pajak daerah yang ada tidak terlalu signifikan. Tetapi, sejak pada tahun 2011, kenaikan pajak daerah seperti BPHTB, Pajak Hotel dan Restoran menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 telah membantu kinerja pajak daerah di Kota Balikpapan serta dinamika perekonomian daerah.
Kota Surabaya Tabel 6.15 menggambarkan tentang realisasi penerimaan pajak Daerah Kota Surabaya. Secara umum data–data penerimaan realisasi pajak daerah me nunjukkan peningkatan yang signifikan. Sebelum adanya UU No. 28 Tahun 2009, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Hotel dan Restoran merupakan pajak penyumbang terbesar pendapatan daerah. Sebagai suatu wilayah perkotaan, tentu kegiatan jasa mendominasi perekonomian daerahnya. Sedangkan un
82
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
tuk Pajak Penerangan Jalan, merupakan pajak yang sangat dipengaruhi oleh tingkat sebaran dan kepadatan penduduk serta luas daerahnya.
Tabel 6.15. Realisasi Jenis Pajak Kota Surabaya (miliar rupiah) Jenis Pajak
2009
2010
2011
2012
Pajak Hiburan
22,89
26,61
29,9
35,4
Pajak Hotel
87,44
100,51
108,21
126,54
Pajak Parkir
15,92
19,06
21,84
27,29
Pajak Penerangan Jalan
146,24
165,06
192,09
224,32
-
-
-
-
Pajak Reklame
75,6
98,71
90,23
117,6
Pajak Restoran
94,76
115,46
131,14
172,88
BPHTB
215,28
416,31
575,35
PBB P2
333,13
498,64
572,29
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
Sumber: DJPK, beberapa tahun.
Sejak adanya UU No. 28 Tahun 2009, dimana BPHTB dan PBB P2 sudah didae rahkan, Kota Surabaya merupakan pemerintah daerah pioner untuk penge lolaan pajak BPHTB dan PBB P2 di daerah. Realisasi pajak pusat yang di dae rahkan ini sangat signifikan terhadap penerimaan daerah. Begitu juga untuk pajak Hotel dan Restoran yang mengalami perluasan basis pajak (tax base) sesuai dengan amanah UU No. 28 Tahun 2009, mengalami peningkatan yang sangat signifikan bagi penerimaan pajak daerah Kota Surabaya.
Dengan melihat data–data tersebut, kita bisa simpulkan bahwa peneri
maan pajak daerah di Kota Surabaya meningkat drastis dan signifikan setelah adanya UU No. 28 Tahun 2009. Walaupun begitu, usaha–usaha perbaikan yang mengarah pada efisiensi pengumpulan pajak dan peningkatan kualitas layan an publik, akan semakin mendorong partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
83
6.3. Analisis Kuantitatif Penerapan UU. No. 28 Tahun 2009 6.3.1. Rancangan Model Pada bagian ini akan dianalisis bagaimana pengaruh penerapan UU No. 28 Tahun 2009 terhadap rasio pajak dan elastisitas pajak kabupaten/kota di Indo nesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi sederhana yang diolah dengan Stata versi 11, sedangkan plot data yang digunakan merupakan jenis data cross section untuk seluruh daerah pada dua titik yaitu tahun 2009 mewakili periode sebelum penerapan UU No. 28 Tahun 2009 dan tahun 2011 mewakili periode sesudah UU No. 28 Tahun 2009 diimplemen tasikan.
Model pertama, adalah persamaan regresi yang digunakan untuk meli
hat peranan berbagai variabel khususnya basis pajak (tax base) yang di proksi dengan menggunakan variabel sektor ekonomi (PDRB sektor) yaitu sektor industri pengolahan (manufaktur), sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, restoran dan sektor bangunan, serta variabel lainnya terhadap rasio pajak. Ke empat sektor tersebut dianggap mewakili perkem bangan basis pajak daerah.
Rasio pajak dalam perhitungan ini didefinisikan sebagai perbandingan
antara PAD terhadap PDRB atau perbandingan antara Pajak Daerah terhadap PDRB. Oleh karena itu akan terdapat dua persamaan yang digunakan untuk menganalisis tax ratio, yaitu sebagai berikut ; δPAD/δY = α0 + α1Ym + α2YL + α3Yphr + α4Yb + α5TK +α6Daper +α7BM + D + e ….... (1) δT/δY = β0 + β1Ym + β2YL + β3Yphr + β4Yb + β5TK + β6BM + β7BM + D + e ……..(2)
Model kedua, adalah persamaan untuk menganalisis perubahan elastisi
tas masing-masing pajak sebagai akibat dari perbaikan tax base (PDRB sektor listrik, industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi) masing-masing pajak dan atau sebagai akibat dari perkembangan faktor lain seperti faktor tingkat kemiskinan (bagian dari penduduk yang tidak mampu membayar
84
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
pajak dengan kebutuhan pelayanan publik yang besar) dan faktor alokasi anggaran (pola belanja) pemerintah untuk belanja modal. Persamaan yang digunakan untuk masing masing pajak daerah adalah sebagai berikut: THtl = β0 + β1Yphr + D + e ......................................................... (3) TRes=χ0 + χ1Yphr + D + e ........................................................... (4) TPPJ =δ0 + δ1YL + D + e.............................................................. (5) TPBB = φ0 + φ1Yb + D + e . ......................................................... (6) TBPHTB = γ0 + γ1Yb + D + e ......................................................... (7) Dimana: δPAD/δY = PAD / PDRB (harga berlaku) δT/δY
= Pajak daerah / PDRB (harga berlaku)
THtl
= Pajak Hotel
TRes
= Pajak restoran
TPPJ
= Pajak PPJ
TPBB
= PBB
TBPHTB
= BPHTB
Ym
= PDRB Sub sektor Industri pengolahan
YL
= PDRB Sub sektor listrik, gas, air bersih
Yphr
= PDRB Sub sektor perdagangan, hotel, restoran
Yb
= PDRB Sub sektor bangunan
TK
= Tingkat kemiskinan
BM
= Belanja Modal
DP
= Dana perimbangan
D
= Dummy 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten.
6.3.2. Model Rasio Pajak Hasil perhitungan dari model tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut; Rasio Pajak Daerah : 1. Rasio Pajak yang di proxy dengan dua cara yaitu dengan PAD/PDRB dan Total Pajak Daerah/PDRB memberikan hasil yang berbeda. Model analisis dengan Rasio pajak yang menggunakan Pajak daerah/PDRB memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan model yang menggunakan rasio
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
85
pajak PAD/PDRB. Hal ini memberi indikasi bahwa secara umum rasio penerimaan PAD sesungguhnya lebih didominasi oleh pajak daerah yang menjadi ciri daerah perkotaan.
Secara keseluruhan variabel sub sektor PDRB (manufaktur, listrik,
perdagangan dan bangunan), variabel belanja modal, dana perimbangan dan tingkat kemiskinan berpengaruh secara signifikan terhadap rasio pajak, namun hanya variabel PDRB sub sektor listrik, dana perimbangan, dan variabel dummy yang koefisien arahnya sesuai dengan yang diha rapkan.
Interpretasi terhadap hasil data tahun 2009, sebelum perubahan UU Pajak daerah adalah sebagai berikut : •
Rasio pajak (PAD/PDRB), variabel PDRB sub sektor manufaktur, listrik dan dana perimbangan signifikan dengan koefisien arah yang sesuai.
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Manufaktur maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan naik sebesar 0,08% dengan asumsi varia bel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Listrik maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan naik sebesar 0,103% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Bangunan maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akanvturun sebesar 0,271% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Hotel dan Restoran maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,428% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
•
Setiap 1% kenaikan poverty rate maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,012% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
•
Setiap 1% kenaikan Belanja Modal maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,31% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
86
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Tabel 6.16. Koefisien Rasio Pajak Daerah Koefisien
PDRB Sektor Manufaktur PDRB Sektor Listrik PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran PDRB Sektor Bangunan Tingkat Kemiskinan Belanja Modal Dana Perimbangan Dummy Kota PDRB Sektor Manufaktur PDRB Sektor Listrik PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran PDRB Sektor Bangunan Tingkat Kemiskinan Belanja Modal Dana Perimbangan Dummy Kota
•
2009 Standard p-value Koefisien Error PAD terhadap Total PDRB
2010 Standard Error
p-value
0,08
0,038
0,045
-0,22
0,109
0,042
0,103
0,05
0,062
0,28
0,132
0,033
-0,43
0,15
0,005
-0,596
0,201
0,174
-0,27
0,06
<0,001
-0,87
0,13
<0,001
-0,01
0,004
0,003
-0,021
0,016
0,174
-0,32
0,06
<0,001
-0,24
0,274
0,381
1,23
0,31
<0,001
3,26
0,43
<0,001
3,12 0,001 1,16 Total Pajak terhadap Total PDRB
0,36
0,001
0,04 0,078
0,027
0,003
-0,224
0,109
0,042
0,103
0,03
0,002
0,281
0,132
0,03
-0,43
0,05
<0,001
-0,596
0,201
0,003
-0,27
0,033
<0,001
-0,87
<0,001
<0,001
-0,01
0,004
0,002
-0,021
0,016
0,174
-0,32
0,082
<0,001
-0,24
0,274
0,381
3,26
0,429
<0,001
3,26
0,429
<0,001
0,34
0,086
<0,001
1,15
0,36
0,001
Setiap 1% kenaikan Dana Perimbangan maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan naik sebesar 1,23% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
•
Jika daerah sampel berupa kota (d_kota=1) maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan lebih tinggi sebesar 0,34 dengan asumsi variabel bebas lainnya bernilai tetap.
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
87
Pada tahun 2010 (sebagai pengganti data tahun 2011 yang masih
data sementara) yang mewakili periode setelah implementasi UU 28 Tahun 2009 diperoleh gambaran sebagai berikut ; •
Terdapat dua variabel yang signifikan dengan koefisien arah yang sesuai yaitu variabel PDRB sub sektor listrik dan dana perimbangan, sementara variabel lainnya signifikan namun dengan koefisien arah yang negatif.
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Manufaktur maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,22% dengan asumsi va riabel bebas lainnya tidak berubah.
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Listrik maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan naik sebesar 0,281% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah.
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Konstruksi maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,87% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah.
•
Setiap 1% kenaikan PDRB Sektor Hotel dan Restoran maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,596% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah.
•
Setiap 1% kenaikan poverty rate maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,021% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah.
•
Setiap 1% kenaikan Belanja Modal maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan turun sebesar 0,24% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah.
•
Setiap 1% kenaikan Dana Perimbangan maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan naik sebesar 3,28% dengan asumsi variabel bebas lainnya tidak berubah.
•
Jika daerah sampel berupa kota (d_kota=1) maka rasio PAD per PDRB Harga Berlaku akan lebih tinggi sebesar 1,15 dengan asumsi variabel bebas lainnya bernilai tetap.
88
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Dari hasil perhitungan statistik tersebut memberi gambaran bahwa
sesungguhnya sektor ekonomi (PDRB) khususnya beberapa sub sektor yang menjadi basis pajak daerah sampai pada tahun 2010 belum cukup kuat memberi pengaruh terhadap rasio pajak. Hal ini disebabkan oleh PBB P2 dan BPHTB belum dipungut secara merata di seluruh daerah dan juga sebagian besar pemungutan hanya didasarkan pada NJOP yang sesungguhnya tidak menggambarkan nilai riil serta tidak terkait dengan perkembangan ekonomi atau sektor ekonomi. Dengan demikian jika terjadi perkembangan ekonomi pada sub sektor tersebut maka belum banyak mempengaruhi besaran rasio pajak daerah. Pembangunan eko nomi yang lebih berkualitas dalam artian pembangunan ekonomi yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan sendirinya juga akan mendorong perbaikan pada rasio pajak daerah. Hanya saja besarnya pengaruh sektor ekonomi terhadap rasio pajak daerah sebelum dan sesudah UU No. 28 Tahun 2009 belum banyak berubah, akan tetapi po tensi untuk berkembang sangat nampak. Sebagian besar daerah me mang masih dalam tahap persiapan dan pembenahan berbagai aspek admnistrasi maupun prosedur untuk dapat mengoptimalkan pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009.
6.3.3. Model Elastisitas Pajak Pada tabel berikut ini ditampilkan hasil perhitungan elastisitas pajak daerah, yaitu pajak hotel, pajak restoran, PPJ, dan BPHTB. Elastisitas PBB P2 tidak di hitung mengingat pada tahun 2011 baru satu daerah (Kota Surabaya) yang sudah melakukan pemungutan terhadap PBB P2. Elastisitas pajak daerah pada dasarnya menggambarkan pengaruh perubahan masing-masing pajak daerah (pajak hotel, pajak restoran, PPJ, dan BPHTB) sebagai akibat dari per ubahan basis pajak (tax base).
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
89
Tabel 6.17. Elastisitas Pajak Daerah Variabel
2009 Kab
2011
Kota
Kab+Kota
Kab
Kota
Kab+Kota
Pajak Hotel PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
0,292(***)
0,618(**)
0,449(***)
0,334(***)
0,620(***)
0,476(***)
0,17(*)
0,427(**)
0,307(***)
0,499(***)
0,371(***)
0,495(***)
Pajak Restoran PDRB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
0,195(**)
0,444(**)
0,340(***)
Pajak Penerangan Jalan PDRB Sektor Listrik
0,544(***)
0,410(***)
0,543(***)
Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan PDRB Sektor Bangunan
0,598(***)
0,250
0,542(***)
0,561(***)
0,419(*)
0,598(***)
Signifikansi (***)-> 1%, (**)-> 5%, (*)-> 10%
1. Elastisitas pajak hotel, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub sektor perdagangan, hotel, restoran) berpengaruh signifikan dengan koefisien arah yang positif terhadap penerimaan pajak hotel, dimana daerah kota lebih elastis (0,62) dibanding daerah kabupaten (0,29) di tahun 2009. Elastisitas basis pajak sesudah implementasi UU 28 Tahun 2009 semakin besar baik kota maupun kabupaten yakni masing-masing sebesar 0,334 dan 0,620. Secara nasional elastisitas pajak hotel meng alami peningkatan pada tahun 2011 meskipun dengan perubahan ko efisien yang belum terlalu besar. 2. Elastisitas pajak restoran, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub sektor perdagangan, hotel, restoran) berpengaruh siginifikan dengan koefisien arah yang positif terhadap penerimaan pajak hotel, namun dengan besaran elastisitas yang lebih kecil dibandingkan dengan
90
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
elastisitas pajak hotel. Kecenderungan yang juga nampak adalah bahwa elastisitas pada tahun 2011 (setelah implementasi UU No 28 Tahun 2009) masih lebih kecil dibanding tahun 2009. Pajak restoran ini juga memiliki elastisitas yang lebih besar pada daerah kota dibanding dengan daerah kabupaten. 3. Elastisitas Pajak penerangan jalan, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub sektor listrik) berpengaruh siginifikan dengan koefisien arah yang positif terhadap penerimaan PPJ, namun dengan elastisitas yang kurang dari 1. Elastisitas pada daerah kabupaten (0,54) lebih besar diban ding dengan elastistas pada daerah kota (0,49) pada tahun 2009, serta dengan kecenderungan elastisitas yang lebih kecil pada tahun 2011 untuk daerah kota+kabupaten. 4. Elastisitas Pajak BPHTB, yang diwakili oleh variabel tax base (PDRB sub sektor bangunan) berpengaruh signifikan dengan koefisien arah positif baik sebelum maupun sesudah implementasi UU 28 Tahun 2009. Besaran koefisien elastisitas cenderung membaik. Pasca implementasi UU No. 28 Tahun 2009, elastisitas BPHTB di daerah perkotaan (0,419) yang lebih besar dibanding sebelum implemetasi UU (0,250). Secara umum, daerah sudah dapat memanfaatkan implementasi UU No. 28 Tahun 2009 dilihat dari elastisitas kota+kabupaten yang meningkat dari 0,542 menjadi 0,598.
Dari hasil perhitungan elastisitas empat jenis pajak daerah tersebut da
pat disimpulkan bahwa dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak Hotel dan BPHTB mengalami peningkatan elastisitas setelah penerapan UU No. 28 Tahun 2009. Artinya, perluasan basis pajak hotel dan keleluasaan dalam menetapkan tarif pajak hotel serta pengalihan pemungutan BPHTB ke daerah telah mampu meningkatkan penerimaan pajak hotel dan BPHTB. Sementara elastisitas pa jak restoran dan pajak penerangan jalan, meskipun kecil, namun cenderung mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan UU No. 28 Tahun 2009 belum dapat meningkatkan penerimaan pajak restoran dan pajak penerangan jalan. Dengan kata lain, perluasan basis pajak restoran dan pajak penerangan jalan belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh peme rintah daerah.
A nalisis Kuantitatif: P engaruh I mplementasi U u No 2 8 Tahun 2 0 0 9 . . .
91
7
Penutup
7.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan evaluasi pelaksa naan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebagai berikut: 1. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retri busi Daerah telah disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Disamping adanya perluasan basis pajak (seperti dimasukkannya catering sebagai bagian dari pajak restoran) dan adanya keleluasaan pemerintah daerah dalam menetapkan tarif pajak, hal lain yang cukup penting dalam Undang-Un dang No. 28 tahun 2009 adalah dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) sebagai pajak daerah. 2. Meskipun daerah kabupaten merasakan bahwa Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 masih terlalu bias perkotaan, namun secara umum seluruh daerah sampel menyambut baik kehadiran UU ini karena mampu me ningkatkan kapasitas fiskal daerah.Implementasi UU ini telah mening
92
katkan kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah, dari 18,6% (2010), 19,66% (2011), dan 20,4% (2012). Meskipun kontribusi PAD terus mengalami kenaikan, namun rasio pajak (Tax Ratio) dan Pajak per Kapita (Tax per Capita) masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun upaya pemerintah untuk meningkatkan local taxing power dengan menerbitkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sudah me nunjukkan hasil positif, namun realisasi pajak daerah sebenarnya masih jauh lebih rendah dari potensinya. 3. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa daerah masih menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut: a) Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu antara lain: pemahaman yang berbeda terhadap UU sehingga khawatir salah dalam melak sanakannya dan adanya kesulitan secara teknis untuk menerapkan perluasan basis pajak. b) Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: kurangnya SDM yang kompoten dalam bidang keuangan daerah, memahami karakteristik daerah dan mampu melakukan simulasi untuk meng hitung dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi dan penerimaan daerah, adanya anggapan bahwa tarif dalam UU No. 28 tahun 2009 merupakan batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa perlu lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya, ku rangnya kesadaran bahwa daerah telah memiliki kewenangan pe nuh dalam penetapan tarif sepanjang masih dalam batas maksimum atau minimum sebagaimana diatur dalam UU, tingginya NPOP-TKP (Rp60 juta) dalam pemungutan BPHTB bagi pemerintah kabupaten, dan proses penetapan tarif yang seringkali belum melibatkan stake holders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-lain) sehingga kurang mendapat dukungan dan komitmen dalam pelaksanaan nya. c)
Masalah dalam pemungutan jenis pajak baru, yaitu antara lain: minimnya kesiapan Pemda dalam mengelola BPHTB dan PBB-P2, ketidaksiapan struktur SKPD, proses validasi atau verifikasi yang relatif lama, adanya SE BPN No. 5 tahun 2013 yang seolah menya
Penutup
93
takan tidak perlunya verifikasi, rendahnya NJOP dibanding harga pasar, masih minimnya kompetensi SDM (pendataan, penilaian, ad ministrasi, dan pelayanan), kurangnya sosialisasi dan edukasi ke pada masyarakat, dan ketidakakuratan data piutang PBB. d) Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya pungutan diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU No. 28 tahun 2009, tidak adanya insentif pajak Hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, belum efek tifnya proses evaluasi Raperda di provinsi, adanya monopoli bank dalam pembayaran pajak daerah, masih rendahnya kesadaran ma syarakat dalam membayar pajak, kurangnya kerjasama diantara stakeholders pajak daerah, belum siapnya regulasi beserta hardware/ software untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak pratama, belum memadainya jumlah tenaga admi nistrasi untuk pendataan dan pendaftaran, belum dijalankannya mekanisme one stop service untuk pajak daerah, dan kekurang akuratan data wajib pajak. 4. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa UU No 28 tahun 2009 te lah mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah, yang antara lain di tunjukkan oleh: a) Pertumbuhan PAD daerah sampel yang jauh lebih tinggi yaitu 8,87% pada tahun 2010 menjadi 68,12% tahun 2011; b) Pertumbuhan realisasi pajak daerah sampel yang jauh lebih tinggi yaitu 15,67% pada tahun 2010 menjadi 104,79% tahun 2011; c)
Peningkatan pajak per kapita daerah sampel dari Rp311.094,00 pada tahun 2010 menjadi Rp484.340,00 pada tahun 2011;
d) Peningkatan rasio pajak daerah terhadap PDRB AHB sampel dari 1,01% pada tahun 2010 menjadi 1,45% pada tahun 2011; e)
Peningkatan rasio pajak terhadap PAD di daerah sampel dari 59,31% pada tahun 2010 menjadi 69,36% pada tahun 2011;
f)
Peningkatan rasio PAD terhadap total penerimaan di daerah sampel dari 22% pada tahun 2010 menjadi 28% pada tahun 2011;
g) Peningkatan rasio PAD terhadap total belanja di daerah sampel dari 21% pada tahun 2010 menjadi 31% pada tahun 2011;
94
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
h) Peningkatan rasio PAD terhadap PDRB AHB di daerah sampel dari 1,26% pada tahun 2010 menjadi 1,72% pada tahun 2011; 5. Hasil regresi terhadap data seluruh kabupaten/kota di Indonesia menun jukkan bahwa sektor ekonomi (PDRB), khususnya beberapa sub sektor yang menjadi basis pajak daerah sampai tahun 2010 belum cukup kuat memberi pengaruh terhadap rasio pajak. Sementara terhadap elastisitas pajak, dapat disimpulkan bahwa dua jenis pajak daerah, yaitu Pajak Hotel dan BPHTB mengalami peningkatan elastisitas setelah penerapan UU No. 28 Tahun 2009. Artinya, perluasan basis pajak hotel dan kelelua saan dalam menetapkan tarif pajak hotel serta pengalihan pemungutan BPHTB ke daerah telah mampu meningkatkan penerimaan pajak hotel dan BPHTB. Sementara elastisitas pajak restoran dan pajak penerangan jalan, meskipun kecil, namun cenderung mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan UU No. 28 Tahun 2009 belum dapat meningkatkan penerimaan pajak restoran dan pajak penerangan jalan. Dengan kata lain, perluasan basis pajak restoran dan pajak penerangan jalan belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah daerah.
7.2. Rekomendasi Kajian ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Rekomendasi dimaksud adalah:
7.2.1. Bagi Pemerintah Pusat 1. Pemantapan Koordinasi •
Dalam masa transisi, paling tidak hingga tahun 2017, sebaiknya diatur agar Direktorat Jenderal Pajak tetap terlibat dan berperan membantu pemerintah daerah dalam pengelolaan jenis pajak pusat yang dialihkan ke daerah, sehingga KPP tetap bisa melakukan pen dampingan dan memberikan bantuan teknis lainnya, terutama ter kait dengan pengelolaan dan penyelesaian piutang PBB P2.
•
Pemerintah pusat harus memberikan bantuan terhadap daerah de ngan penerimaan pajak daerah sangat rendah. Jenis bantuan yang
Penutup
95
diberikan sebaiknya mengarah pada perbaikan kondisi faktor-faktor internal, seperti pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM terma suk didalamnya penguatan keahlian dibidang penilaian (appraisal) agar daerah secara cepat dapat menyesuaikan NJOP yang mendekati nilai transaksi (harga pasar), pendampingan untuk perumusan re gulasi, penyusunan SOP dan program, pelatihan untuk peningkatan kualitas dan pengelolaan data, pendampingan untuk merumuskan mekanisme kerja sama dengan notaris/PPAT, BPN, KPP, Bank, dan lain-lain, serta pelatihan untuk pemanfaatan teknologi informasi.
2. Perbaikan Administrasi Perpajakan Untuk pajak daerah yang bersifat self-asessment, dukungan adminsitrasi perpajakan yang efisien sangatlah penting, termasuk pengembangan system yang berbasis e-tax. Pengembangan system yang baik, tentu perlu dukungan peraturan/regulasi dan SDM yang mumpuni.
3. NPOP-TKP Klaster Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 khususnya pasal 87 ayat (4) dan (5) perlu direvisi dengan menerapkan NPOP-TKP berdasarkan klaster agar daerah kabupaten yang kurang memiliki potensi BPHTB tetap memperoleh penerimaan BPHTB.
4. Insentif Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan Revisi terhadap Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 sebaiknya memuat pasal yang mengatur tentang adanya insentif terhadap pajak hotel, pa jak restoran, dan pajak hiburan yang diberikan kepada PHRI dan hanya boleh digunakan untuk promosi wisata.
5. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia •
Kegiatan pelatihan, pendidikan, workshop, sosialisasi, dan kegiatan sejenis yang berupaya meningkatkan kapasitas aparatur Dispenda/ DPPKAD perlu diperbanyak untuk meningkatkan kompetensi apara tur Dispenda/DPPKAD.
96
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
•
Sepanjang daerah masih mengalami kekurangan staf yang kompe ten di bidang perpajakan, maka perlu diatur agar aparat pemerintah daerah yang sudah memiliki kompetensi khusus di bidang perpa jakan tidak dipindahkan ke bidang lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
7.2.2. Bagi Pemerintah Daerah 1. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, pemerintah daerah harus terlebih dahulu meningkatkan pelayanan publik yang diikuti dengan menjalankan program sosialisasi pajak daerah secara sistematis dan massive. Peningkatan layanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah akan sangat membantu upaya meningkatkan kesadaran masyarakat. 2. Daerah harus berani menetapkan kebijakan terkait dengan pengelolaan pajak daerah yang secara nyata sudah menjadi kewenangannya (seperti tarif, institusi, insentif, SOP, dan lain-lain) dan tidak selalu meminta agar diatur oleh pemerintah pusat. Proses penetapan kebijakan dimaksud sebaiknya melibatkan stakeholders pajak daerah, termasuk akademisi. 3. Daerah harus mengkaji secara obyektif dan komprehensif tentang ke butuhan struktur SKPD dikaitkan dengan beban pengelolaan pajak dae rah, jika dianggap perlu pemisahan Dispenda dengan DPPKAD atau jika dianggap perlu penambahan eselon 3 di Dispenda/DPPKAD silakan dila kukan. Tidak perlu menunggu aturan lagi dari pemerintah pusat karena hal itu sepenuhnya sudah menjadi kewenangan daerah. 4. Daerah dengan penerimaan pajak daerah sangat rendah sebaiknya tidak menetapkan tarif pajak maksimum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 tahun 2009. Sebaliknya untuk lebih menarik bagi investor, maka dae rah tersebut harus menetapkan tarif pajak daerah yang lebih rendah dibanding daerah sekitarnya atau daerah menetapkan tarif pajak daerah yang bervariasi untuk tiap zona sesuai dengan karakteristiknya. 5. Evaluasi Raperda Pajak Daerah di provinsi selama ini terkesan sekedar proses prosedural saja dan belum efektif. Untuk lebih mengefektifkan proses evaluasi Raperda ini, maka sebaiknya pemerintah provinsi mem
Penutup
97
bentuk tim evaluator independen yang memahami karakteristik daerah dan substansi pajak daerah. 6. BPHTB dan PBB P2 merupakan pajak daerah yang memiliki potensi besar memberi kontribusi pada PAD. Oleh karena itu, perbaikan basis data, penyesuaian NJOP, dan perbaikan sistem informasi pajak BPHTB dan PBB P2 harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah. 7. Pemerintah daerah perlu melakukan kajian secara menyeluruh untuk mengetahui efektivitas implementasi UU No. 28 Tahun 2009 di daerah, sekaligus juga untuk mengetahui jenis pajak mana yang sudah jenuh dan yang masih bisa dioptimalkan penerimaannya.
98
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2008-2012. Indikator Makroekonomi Tahun 2008-2012 Indonesia. Jakarta: BPS Indonesia Bahl, R. and Martinez-Vazquez, J. (2007) The Property Tax in Developing Countries: Current Practice and Prospects, Working Paper WP07RB1, Cambridge, MA: Lincoln Institute of Land Policy. Bird, Richard M. (2005) Value-Added Taxes in Developing and Transitional Countries: Lessons and Questions, Working Paper 05-05, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University. Bondonio, Daniele. (2000) Evaluating decentralized policies: How to compare the performance of state and local economic development programs across different regions, September 8, 2000. Paper to be presented at the Fourth EES Conference. Lausanne, October 12-14th, 2000. Brotodiharjo, R Santoso. (1995) Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. 2008-2012. Laporan Keuangan Daerah Historis. Ebel, Robert. (2002) Subnational Revenues & Intergovernmental Relations. World Bank Staff Learning May 13-15, 2002., Bank Institute. Fisher, Ronald C. (2010) The State of State and Local Government Finance. Federal Reserve Bank of St. Louis Regional Economic DevelopmenT, 6(1), pp. 4-22.
Daftar Pustaka
99
Gunadi. (2004) Reformasi Administrasi Perpajakan dalam Rangka Kontribusi Menuju Good Governance. Pidato Guru Besar Perpajakan, FISIP, Univer sitas Indonesia. Jakarta. Liberty, Pandiangan. (2008) Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan UU Terbaru. Jakarta : Gramedia. Lyytikainan, Teemu. (2012) “Tax Competition Among A Local Governments: Evidence from a Property Tax Reform in Finland”. Journal of Public Economics 96 page 584-595. Mahi, Raksaka. (2011) “Local Revenue Mobilization in Decentralized Indonesia”, Journal of Indonesian Economics and Business. Mardiasmo. Perpajakan. (2008) Yogyakarta : Penerbit ANDI Martinez-Vazquez. J and Timofeev, Andrey. (2005). Choosing between Cen tralized and Decentralized Models of Tax Administration, Working Pape 05-02, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State Univer sity. McCluskey, William J., and Hong-Loan Trinh. (2013) “Property Tax Reform in Vietnam: Options, Direction and Evaluation”, Land Use Policy 30 page 276-285. Mikesell, John L. (2003) International Experiences With Administration of Local Taxes: A Review of Practices and Issues. Tax Policy and Adminis tration Thematic: The World Bank. Nasucha, Chaizi. (2004) Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktek. Jakarta : PT Gramedia. Nasution, Darmin. (2009) Reformasi Perpajakan. Makalah Pribadi : Jakarta Nikijuluw, Ruth. (2011) Analisis Pengaruh Transfer Pemerintah Pusat terhadap Upaya Pemungutan Pajak Kabupaten/ Kota. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Oates, Wallace E. (2001) “Property Taxation and Local Government Finance; An Overview and Some Reflections,” in Property Taxation and Local Government Finance, edited by Wallace E. Oates, Cambridge, Lincoln Institute of Land Policy.
100
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Pomp, Richard D. (2004) Section IV: Tax-Exempt Property from “State Tax Reform: Proposals for Wisconsin”. Marquette Law Review 87, Fall 2004, pp. 83-89. Rajaraman, G. V. (2000) Impacts of Grants on Tax Effort of Local Government. National Institute of Public Finance and Policy. Rosengard, Jay K. (2012) The Tax Everyone Loves to Hate: Principles of Property Tax Reform, Mossavar-Rahmani Center for Business and Government Faculty Working Paper Series I2012-10: Harvard Kennedy School. Saragih, Juli Panglima. (2003) Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Jakarta : Gahalia Indonesia. Shoven, John B. (1976) The incidence and Efficiency Effect of Taxes on Income From Capital. Journal of Political Economy. Sidik, Machfud. (2002) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksana Desentralisasi Fiskal Malakah Seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia. Yogyakarta. 13 Maret 2012. Sjoquist, David L. (2003) Getting Serious About Property Tax Reform in Georgia, Fiscal Research Center Report No. 86, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University. Sjoquist, David L. (2005) The Land Use Value Tax in Jamaica: An Analysis and Options for Reform, Working Paper 05-11, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University. Kementerian Keuangan RI (2012) Tinjauan Tahunan Keuangan Daerah dan Kinerja Pelayanan Publik. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Vehorn, Charles L dan Ehtisham Ahmad. (1997) Tax Administration, in Teresa Ter-Minassian, Ed, Fiscal Federalism in Theory and Practice, Washington, International Monetary Fund. Wasylenko, Michael. (1997) “Taxation and Economic Development: The State of the Economic Literature”. New England Economic Review, March/ April 1997.
Daftar Pustaka
101
Zhao, Zhirong Jerry and Hou, Yilin. (2008) Local Option Sales Taxes and Fiscal Disparity: The Case of Georgia Counties, Manuskrip The Hubert H. Humphrey Institute of Public Affairs, University of Minnesota.
102
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Lampiran
1. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun 2009 . r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l > ot a , r o L i ne a r r e gr e s s i on
pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k ot a _ c ons . r eg > ot a
Numbe r of obs F( 8, 440) Pr ob > F R- s qua r e d Root MS E
Coe f .
-
. 0780747 . 1034704 . 2712877 . 4280104 . 0120636 1. 232905 . 3166845 . 3392709 10. 70915
Robus t S t d. E r r . . 0387513 . 055325 . 0626411 . 1511635 . 0040159 . 3149548 . 1056239 . 0635304 3. 121045
-
2. 1. 4. 2. 3. 3. 3. 5. 3.
SS
df
P>| t |
[ 9 5 % Conf .
I nt e r v a l ]
0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
. 0019141 . 0052637 . 3944007 . 7251027 . 0199563 . 6139026 . 5242745 . 2144102 16. 84316
. 1542353 . 2122046 - . 1481748 - . 1309182 - . 004171 1. 851908 - . 1090946 . 4641317 - 4. 575145
045 062 000 005 003 000 003 000 001
MS
186. 732189 187. 918822
8 440
23. 3415237 . 427088232
T ot a l
374. 651011
448
. 836274579
l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k ot a _ c ons
Coe f . . 0780747 . 1034704 - . 2712877 - . 4280104 - . 0120636 1. 232905 - . 3166845 . 3392709 - 10. 70915
S t d.
Er r .
. 0265338 . 0332092 . 0334484 . 0491867 . 0038377 . 1162586 . 0821417 . 0864033 1. 937787
2. 3. - 8. - 8. - 3. 10. - 3. 3. - 5.
449 4. 83 0. 0000 0. 4984 . 65352
t
Mode l Re s i dua l
pa d_ pdr b
= = = = =
01 87 33 83 00 91 00 34 43
pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l S our c e
pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k
-
pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k Numbe r of obs F( 8, 440) Pr ob > F R- s qua r e d Adj R- s qua r e d Root MS E
t
P>| t |
94 12 11 70 14 60 86 93 53
0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
003 002 000 000 002 000 000 000 000
[ 9 5 % Conf . . 0259259 . 038202 - . 3370263 - . 5246806 - . 0196062 1. 004414 - . 4781234 . 1694564 - 14. 51762
= = = = = =
449 54. 65 0. 0000 0. 4984 0. 4893 . 65352
I nt e r v a l ] . 1302235 . 1687389 - . 2055492 - . 3313402 - . 004521 1. 461396 - . 1552457 . 5090854 - 6. 900685
103
2. Hasil Regresi Rasio PAD per PDRB dan Pajak per PDRB Tahun 2010 . r e g pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l > d_ k ot a S our c e
SS
df
MS
Mode l Re s i dua l
1945. 86572 3709. 18516
8 470
243. 233215 7. 89188332
T ot a l
5655. 05088
478
11. 8306504
pa d_ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k ot a _ c ons
Coe f . - . 2241805 . 281905 - . 8731671 - . 596182 - . 0218891 3. 265589 - . 2407626 1. 158533 - 43. 43794
S t d.
Er r .
. 1097782 . 1320362 . 135639 . 2017021 . 0160894 . 4293343 . 2745328 . 3603542 8. 535269
- 2. 2. - 6. - 2. - 1. 7. - 0. 3. - 5.
pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l
Numbe r of obs F( 8, 470) Pr ob > F R- s qua r e d Adj R- s qua r e d Root MS E
t
P>| t |
04 14 44 96 36 61 88 21 09
0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
042 033 000 003 174 000 381 001 000
[ 9 5 % Conf . - . 4398973 . 0224508 - 1. 139701 - . 9925316 - . 0535052 2. 421936 - . 7802263 . 4504286 - 60. 20995
. r e g pa j a k _ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l > a l d_ k ot a , r o L i ne a r r e gr e s s i on
pa j a k _ pdr b l n_ y _ ma n l n_ y _ l i s t r i k l n_ y _ k ons t l n_ y _ hot e l pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l moda l d_ k ot a _ c ons
. . -. -. . -.
0436483 0295707 1205429 . 189503 0004922 4739502 0433138 . 333915 - 5. 245812
Robus t S t d. E r r . . . . .
0182439 0186803 0386353 0508952 . 004633 . 1542429 . 0326528 . 1168233 2. 008366
t 2. 39 1. 58 - 3. 12 - 3. 72 - 0. 11 3. 07 - 1. 33 2. 86 - 2. 61
P>| t | 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0. 0.
017 114 002 000 915 002 185 004 009
[ 9 5 % Conf . . 0077987 . 0071366 . 1964623 . 2895134 . 0095961 . 1708592 - . 1074774 . 1043544 - 9. 192299 -
479 30. 82 0. 0000 0. 3441 0. 3329 2. 8092
I nt e r v a l ] -. . -. -.
0084637 5413593 6066332 1998324 . 009727 4. 109241 . 298701 1. 866638 - 26. 66593
pov r a t e l n_ da pe r l n_ be l mod
Numbe r of obs F( 8, 470) Pr ob > F R- s qua r e d Root MS E
Coe f .
= = = = = =
= = = = =
479 2. 55 0. 0099 0. 3201 . 4785
I nt e r v a l ] . 0794979 . 066278 - . 0446235 - . 0894926 . 0086117 . 7770412 . 0208499 . 5634756 - 1. 299325
3. Hasil Model Elastisitas Pajak 2009 . reg
ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 372) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
375 40.70 0.0000 0.3128 1.9687
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .9580621 .1157151 8.28 0.000 .7305244 1.1856 ln_belmodal | .1212795 .1650898 0.73 0.463 -.2033467 .4459057 _cons | -9.897007 4.374413 -2.26 0.024 -18.49868 -1.29533 -----------------------------------------------------------------------------. reg
104
ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Linear regression
Number of obs = F( 2, 76) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
79 96.74 0.0000 0.6123 1.3821
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | 1.156888 .1349493 8.57 0.000 .8881132 1.425663 ln_belmodal | .5061509 .3255985 1.55 0.124 -.1423346 1.154636 _cons | -23.75546 6.323316 -3.76 0.000 -36.34943 -11.16148 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 293) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
296 23.11 0.0000 0.2103 1.9058
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .6926827 .1198975 5.78 0.000 .4567133 .9286522 ln_belmodal | .3631759 .1858918 1.95 0.052 -.0026766 .7290284 _cons | -9.509342 5.014904 -1.90 0.059 -19.37914 .360458 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 380) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
383 35.48 0.0000 0.2648 1.8202
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .7983234 .0950052 8.40 0.000 .6115216 .9851251 ln_belmodal | -.1640452 .1666942 -0.98 0.326 -.4918037 .1637132 _cons | 2.420979 4.555078 0.53 0.595 -6.535336 11.37729 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression
Number of obs = F( 2, 75) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
78 109.45 0.0000 0.6370 1.05
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .928005 .0906415 10.24 0.000 .7474378 1.108572 ln_belmodal | .397635 .2246035 1.77 0.081 -.0497981 .8450681 _cons | -13.9828 4.633837 -3.02 0.003 -23.21387 -4.751722 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
L ampiran
105
Linear regression
Number of obs F( 2, 302) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
305 16.77 0.0000 0.1509 1.7458
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .5363027 .0945439 5.67 0.000 .3502544 .7223509 ln_belmodal | .0644462 .1917269 0.34 0.737 -.3128435 .441736 _cons | 3.049868 5.212874 0.59 0.559 -7.208286 13.30802 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 380) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
383 94.06 0.0000 0.5873 1.0643
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_lis | .6747508 .0546483 12.35 0.000 .5672999 .7822018 ln_belmodal | .3181799 .1034587 3.08 0.002 .1147568 .5216031 _cons | -1.968619 2.678768 -0.73 0.463 -7.235683 3.298444 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 301) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
304 57.50 0.0000 0.5271 1.1381
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_lis | .6508492 .0679439 9.58 0.000 .5171441 .7845543 ln_belmodal | .3464426 .1253017 2.76 0.006 .0998642 .5930209 _cons | -2.221621 3.282762 -0.68 0.499 -8.681692 4.23845 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression
Number of obs = F( 2, 76) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
79 233.37 0.0000 0.7393 .65341
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_lis | .6069442 .0351226 17.28 0.000 .5369915 .6768969 ln_belmodal | .5110046 .1419554 3.60 0.001 .228276 .7937332 _cons | -5.000083 3.336701 -1.50 0.138 -11.6457 1.645533 -----------------------------------------------------------------------------. reg
106
ln_bphtb
ln_y_konst ln_belmodal,ro
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
Linear regression
Number of obs F( 2, 430) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
433 74.86 0.0000 0.4056 1.6968
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | 1.074495 .1078834 9.96 0.000 .8624507 1.286539 ln_belmodal | .4050957 .1717653 2.36 0.019 .0674917 .7426998 _cons | -16.5818 4.120761 -4.02 0.000 -24.68114 -8.482457 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_bphtb
ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Linear regression
Number of obs = F( 2, 84) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
87 36.66 0.0000 0.4340 1.4058
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .7840246 .1501377 5.22 0.000 .4854593 1.08259 ln_belmodal | .4781072 .3298095 1.45 0.151 -.1777553 1.13397 _cons | -9.971749 6.457807 -1.54 0.126 -22.81381 2.870307 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_bphtb
ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 343) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
346 48.37 0.0000 0.3709 1.666
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .9842874 .135558 7.26 0.000 .7176578 1.250917 ln_belmodal | .6919261 .1938652 3.57 0.000 .3106119 1.07324 _cons | -21.93947 4.915796 -4.46 0.000 -31.60837 -12.27057 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 392) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
395 50.44 0.0000 0.3813 1.2744
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .8174076 .0894009 9.14 0.000 .6416423 .9931728 ln_belmodal | .2797674 .1399087 2.00 0.046 .0047022 .5548327 _cons | -6.04507 3.787451 -1.60 0.111 -13.49133 1.401187 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
L ampiran
107
Linear regression
Number of obs = F( 2, 79) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
82 48.00 0.0000 0.5478 1.1259
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .7996615 .1418926 5.64 0.000 .5172314 1.082092 ln_belmodal | .4612578 .3038396 1.52 0.133 -.1435198 1.066035 _cons | -9.814736 5.683026 -1.73 0.088 -21.12652 1.497044 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 310) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
313 25.33 0.0000 0.2975 1.2909
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .7282676 .1127789 6.46 0.000 .5063586 .9501766 ln_belmodal | .3422904 .1625715 2.11 0.036 .0224074 .6621735 _cons | -5.512304 4.724018 -1.17 0.244 -14.8075 3.78289 ------------------------------------------------------------------------------
4. Hasil Model Elastisitas Pajak 2011 . reg
ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 345) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
348 25.25 0.0000 0.1720 2.161
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .4491704 .1084887 4.14 0.000 .235788 .6625528 ln_belmodal | .9049074 .2519706 3.59 0.000 .4093155 1.400499 _cons | -16.47427 5.92404 -2.78 0.006 -28.12605 -4.822487 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Linear regression
Number of obs = F( 2, 71) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
74 36.58 0.0000 0.3912 1.746
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .4410613 .1289815 3.42 0.001 .1838794 .6982432 ln_belmodal | 1.602647 .4019975 3.99 0.000 .8010872 2.404208
108
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
_cons | -32.24368 8.595672 -3.75 0.000 -49.38296 -15.10439 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_hotel ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 271) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
274 19.09 0.0000 0.1409 1.9663
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_hotel | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .3228988 .1180193 2.74 0.007 .0905477 .55525 ln_belmodal | 1.007347 .2428303 4.15 0.000 .5292737 1.485421 _cons | -16.19364 5.886377 -2.75 0.006 -27.78249 -4.604803 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 353) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
356 23.77 0.0000 0.1323 1.8907
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .2933364 .0887235 3.31 0.001 .1188432 .4678296 ln_belmodal | .894026 .2268835 3.94 0.000 .4478127 1.340239 _cons | -10.92557 5.212149 -2.10 0.037 -21.17634 -.6747965 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression
Number of obs = F( 2, 72) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
75 59.98 0.0000 0.4366 1.3649
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .259918 .105065 2.47 0.016 .0504748 .4693613 ln_belmodal | 1.71625 .3319359 5.17 0.000 1.054548 2.377952 _cons | -29.30188 6.60212 -4.44 0.000 -42.46296 -16.14079 ------------------------------------------------------------------------------
. reg
ln_p_restoran ln_y_hotel ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 278) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
281 16.40 0.0000 0.1051 1.7158
L ampiran
109
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_p_resto~n | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_hotel | .1826946 .090754 2.01 0.045 .0040423 .3613469 ln_belmodal | .9437789 .2236369 4.22 0.000 .5035421 1.384016 _cons | -9.67712 5.346618 -1.81 0.071 -20.20212 .8478794 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 354) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
357 86.50 0.0000 0.5150 1.1111
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_lis | .5218674 .0511501 10.20 0.000 .4212711 .6224638 ln_belmodal | .3952331 .1382503 2.86 0.005 .123338 .6671283 _cons | -.4649487 3.180456 -0.15 0.884 -6.719914 5.790016 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 279) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
282 48.37 0.0000 0.5207 1.0916
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_lis | .5398269 .0611738 8.82 0.000 .419406 .6602478 ln_belmodal | .2358658 .1455458 1.62 0.106 -.0506417 .5223732 _cons | 3.086275 3.590557 0.86 0.391 -3.981747 10.1543 ------------------------------------------------------------------------------
. reg
ln_ppj ln_y_lis ln_belmodal if d_kota==1,ro
Linear regression
Number of obs = F( 2, 72) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
75 71.46 0.0000 0.5519 .8803
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_ppj | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_lis | .2820702 .0767077 3.68 0.000 .1291561 .4349843 ln_belmodal | 1.188658 .2263177 5.25 0.000 .7375017 1.639814 _cons | -14.37611 4.600153 -3.13 0.003 -23.54635 -5.205871 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_bphtb
Linear regression
110
ln_y_konst ln_belmodal,ro Number of obs =
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .
455
F( 2, 452) Prob > F R-squared Root MSE
= = = =
41.39 0.0000 0.2190 2.0066
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .5713063 .1168453 4.89 0.000 .341679 .8009337 ln_belmodal | .8648203 .2471871 3.50 0.001 .3790418 1.350599 _cons | -16.14446 5.22503 -3.09 0.002 -26.41282 -5.876092 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_bphtb
ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro
Linear regression
Number of obs = F( 2, 88) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
91 37.31 0.0000 0.3419 1.7521
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .231164 .1473153 1.57 0.120 -.0615942 .5239222 ln_belmodal | 2.061522 .3606467 5.72 0.000 1.344813 2.778232 _cons | -36.38217 7.485244 -4.86 0.000 -51.25752 -21.50682 ------------------------------------------------------------------------------
. reg
ln_bphtb
ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 361) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
364 33.20 0.0000 0.2297 1.8874
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_bphtb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .6025976 .1301015 4.63 0.000 .3467456 .8584496 ln_belmodal | .8093697 .2580731 3.14 0.002 .3018542 1.316885 _cons | -15.86514 5.572857 -2.85 0.005 -26.82448 -4.905799 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 412) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
415 26.84 0.0000 0.1946 1.519
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .3756823 .0860202 4.37 0.000 .206589 .5447755 ln_belmodal | .6842331 .1997857 3.42 0.001 .2915067 1.076959 _cons | -5.534784 4.61492 -1.20 0.231 -14.60651 3.536943 -----------------------------------------------------------------------------. reg
ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==1 ,ro L ampiran
111
Linear regression
Number of obs = F( 2, 83) = Prob > F = R-squared = Root MSE =
86 47.36 0.0000 0.4172 1.3314
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .1431627 .1109035 1.29 0.200 -.0774198 .3637453 ln_belmodal | 1.784114 .2731555 6.53 0.000 1.240819 2.32741 _cons | -26.70506 5.573565 -4.79 0.000 -37.79066 -15.61946 ------------------------------------------------------------------------------
. reg
ln_pbb ln_y_konst ln_belmodal if d_kota==0 ,ro
Linear regression
Number of obs F( 2, 326) Prob > F R-squared Root MSE
= = = = =
329 16.79 0.0000 0.1736 1.4608
-----------------------------------------------------------------------------| Robust ln_pbb | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ln_y_konst | .3881893 .094001 4.13 0.000 .2032642 .5731145 ln_belmodal | .477997 .2086257 2.29 0.023 .0675744 .8884196 _cons | -.762351 5.014112 -0.15 0.879 -10.62645 9.101749 -----------------------------------------------------------------------------1
112
E VALU ASI PE LAKSA NA AN UNDANG- UNDANG NO MO R 2 8 TAH U N 2 0 0 9 TE NTANG PAJ AK . . .