KEBIJAKAN UNDANG- UNDANG CAPITAL GAIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERILAKU SPEKULATIF DI PASAR MODAL Oleh : Idah Zuhroh Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak The study of this research is about speculative behavior pattern in capital market of Gain Capital Tax policy in 2000. By using section cross and series time, it will be analyzed 1) the comparing of speculative behavior of market before and after implementing of low ; 2) the affectivity of law to degradation of speculative behavior in capital market by entering dividend variable per share and EPS into equation of regression. By using graph shows that before application of law, speculative behavior is higher than after. This can be indicated from deviation standard magnitude return which closes of zero value. Gain Capital Tax policy proves that the effective reduces speculative behavior of market perpetrator, also strengthened from equation result of regression. This gives implication the real of investment which want to be built by government that will be able to be realized. Influence deviden is positive to speculative behavior, it can be interpreted that investor gives positive response to announcement deviden. And, EARNING PER SHARE has negative influence to speculative behavior that can be interpreted Indonesia’s investor more aspect deviden attention than earning itself. Keyword : speculative behavior pattern, capital market, EPS A. PE NDAHUL UAN Perkembangan Pasar Modal di Indonesia dapat dikatakan pasang surut semenjak diaktifkannya pasar mulai tahun 1980. Era booming pasar modal terjadi sejak tahun 1990 sampai dengan 1997. Namun kondisi berbalik stagnan dengan adanya krisis moneter, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sudah mampu menembus angka 700 menjadi hanya merambat di angka 300. Saat ini (tahun 2004), tanda-tanda kebangkitan pasar sudah mulai nampak Terbukti, setelah krisis berangsurangsur pulih, perekonomian menunjukkan perbaikan, angka indekspun mulai bergerak naik bahkan awal tahun 2004 angka indeks sudah mencapai posisi kejayaan semula yaitu menembus angka
700. Bahkan menjelang pergantian tahun 2004 angka indeks mampu mencapai angka 1000. Tingginya angka indeks merupakan indikator kinerja pasar modal yang secara makro keberadaannya menopang ketersediaan modal pembangunan. Pasar modal yang kokoh (tidak mudah goyah) akan mampu memobilisasi investor riel merupakan harapan bagi alternatif. Sumber pendanaan yang menjadi penggerak motor pembangunan selain harus bergantung kepada pinjaman asing. Salah satu ciri pasar modal yang kokoh adalah tidak mudahnya pasar mengalami fluktuasi harga yang berlebihlebihan. Kenyataan ini terjadi pada tahun 1997 akhir, dimana gejolak harga terjadi di luar batas ekspektasi pelaku pasar, sehingga telah mengancam eksistensi pasar modal
sendiri. Hal ini terjadi disebabkan karena kenaikan indeks tidak di dasari oleh faktor fundamental pasar, namun lebih banyak disebabkan oleh perilaku pasar yang bersifat spekulatif. Dalam rangka membangun pasar modal yang mapan, intervensi pemerintah berkali-kali sudah dilakukan, sebelum era reformasi maupun saat pemerintahan reformasi. Aktifitas pasar modal didorong melalui serangkaian kebijakan seperti deregulasi dan liberalisasi perbankan dan pasar modal (tahun 1983 dan 1988) dimana sampai dengan tahun 1997 tidak diberlakukannya pajak atas deviden. Harapan atas kebijakan tersebut adalah agar investor di Indonesia mulai mempertimbangkan investasi di pasar modal, tidak hanya di sektor perbankan yang memberikan return berupa bunga. Artinya pasar modal dapat dijadikan substitusi yag menarik mengingat suku bunga dikenakan pajak. Perkembangan berikutnya, diskriminasi pengenaan pajak antara pasar modal dan pasar uang sudah mulai dipersoalkan, mengingat sebenarnya pelaku pasar modal memperoleh return bukan hanya devident yield, namun juga berupa capital gain. Untuk itulah prinsip keadilan harusnya diberlakukan juga pada pasar modal. Berdasarkan kenyataan tersebut, selain upaya pemerintah dalam ekstensifikasi pajak, pemberlakuan pajak atas deviden lebih didasarkan pada prinsip keadilan dan mengingat insentif yang sudah diberikan pemerintah terhadap perkembangan pasar modal sebelumnya sudah signifikan sehingga pada tahun 1997 ditetapkan pemberlakuan pajak atas deviden. Reaksi pasar atas pemberlakuan pajak dipelajari Alim (1998) yang membandingkan bagaimana hubungan devident yield dengan perubahan harga saham (return) sebelum dan setelah diberlakukannya undang-undang tersebut. Hasilnya adalah sebelum pemberlakuan
pajak atas devident, hubungan devident yield dengan return tidak signifikan, namun setelah pemberlakuan pajak, devident yield berkorelasi negatip nyata dengan return Hal diatas dapat diartikan bahwa pasar menanggapi negatip adanya pemberlakuan pajak tersebut. Pemberlakuan pajak telah mengurangi deviden yang semestinya diperoleh pemegang saham, sehingga tingginya deviden yang diperoleh juga akan berdampak pada tingginya pajak yang ditanggung. Kenyataan ini mendorong investor tidak ingin menahan saham yang dimilikinya untuk berharap memperoleh deviden, namun lebih menekankan aspek capital gain. Dapat diartikan pada saat sekitar ex-devident terjadi aksi jual, sementara permintaan menurun sehingga menyebabkan harga saham turun. Langkah berikutnya, pemerintah dalam kebijakan fiskal yang berkaitan dengan pasar modal adalah pemberlakuan pajak capital gain. Jika selama ini hanya deviden yang terkena pajak, sementara capital gain tidak, maka secara substantial dapat diartikan sebagai dorongan kepada investor untuk lebih menyukai capital gain dibandingkan deviden yield. Ini tentunya kontradiktif dengan harapan pemerintah untuk menjadikan pasar modal sebagai real investment mengingat capital gain merupakan return yang dapat terjadi karena tindakan spekulatif pelaku pasar . Berdasarkan kenyataan di atas, dengan tujuan untuk mengurangi capital gain sebagai langkah ekstensifikasi pajak maupun mendorong pasar modal sebagai real investment pada tahun 2000 diberlakukannya pajak capital gain. Bagaimana dampak pemberlakuan pajak tersebut terhadap pelaku pasar sebenarnya lebih mengupas kepada pengujian reaksi pasar. Apabila kebijakan ini efektif, maka abnormal return yang diperoleh investor saat pemberlakuan undang-undang menjadi lebih rendah dibanding sebelumnya.
Keberadaan abnormal return (spekulatif perubahan harga) mencerminkan pasar modal yang tidak efisien. Pada pasar modal yang sudah maju, ineffisiensi (disequilibrium) hanya bersifat sementara dan secepatnya akan menuju posisi equilibrium kembali. Artinya apabila UU Perpajakan terhadap capital gain mampu mendorong rendahnya gain yang diperoleh pelaku pasar, maka pasar akan mampu merefleksikan informasi yang sebenarnya. Utamanya dari aspek fundamental perusahaan maupun ekonomi makro. Penelitian ini akan melakukan pengujian kembali atas pemberlakuan pajak capital gain terhadap reaksi pasar. Melalui penyempurnaan teknik pengambilan sampel maupun teknik analisis data, dipergunakan variabel Dummy. Di dalam penelitian ini lebih di tekankan pada perilaku harga spekulatif, artinya tidak mempelajari bagaimana dampak pemberlakuan pajak terhadap harga saham, namun lebih mengarah kepada pembahasan harga yang bersifat spekulatif atau abnormal return. B. METODOLOGI PENEL ITIAN 1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini lebih bersifat studi peristiwa (event study), yang mengkaji apakah pemberlakuan pajak capital gain akan berpengauh negatif terhadap perubahan harga yang bersifat spekulatif. Perilaku spekulatif yang dimaksud adalah perolehan keuntungan di luar batas-batas yang relatif tetap (pasar berada dalam pasar disequlibrium) dimana apabila terjadi secara berlebihan akan menyebabkan rapuhnya pasar modal terhadap goncangan factor eksternal. Adapun lokasi penelitian adalah Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan memperhatikan besarnya transaksi saham yang terjadi maupun aktivitas-
aktivitas bursa yang lain. Demikian pula ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian 2. Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Sampel Teknik pengumpulan data mengacu kepada Suhermanto (2004) maupun beberapa penelitian yang menggunakan, yaitu membedakan periode penelitian kedalam event study estimasi period dan window period sepanjang 100 hari yaitu (t-6 s.d t106) sebagai estimasi period dan t-5 s.d t+5 adalah event period. Tidak adanya perubahan dalam masa event menggunakan pertimbangan bahwa pelaku pasar diasumsikan mampu merespon informasi minimun 1 minggu (dibuktikan oleh peneliti lain yang menguji pasar modal Indonesia Karimah: 2000, Suratno:2003, demikian pula Suhermanto:2004) Adapun teknik pengambilan sampel sebagai berikut : a. Sampel diambil dari populasi saham yang ditransaksikan di BEJ dengan syarat mereka membagikan deviden kas (deviden yield) untuk tahun 2000 dan 2001 b. Saham-saham yang diambil sebagai sampel adalah saham yang konsisten membagi deviden kas selama 2 tahun berturut-turut sehingga dapat diperbandingkan. Saham yang dipilih sebagai sampel juga mempertimbangkan tingkat aktivitas perdagangannya yaitu ditentukan minimal 50 kali transaksi dalam setahun. c. Dalam rangka perolehan data tentang fluktuasi harga yang bersifat spekulatif, akan digunakan model Indeks tunggal, dimana persamaan yang diperoleh berdasarkan datadata perkembangan harga saham yang dijadikan sampel secara harian. Demikian pula untuk data
pergerakan harga pasar akan digunakan data perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) harian dengan periode yang disesuaikan 3. Definisi Operasional Variabel- variabel yang diteliti dalam penelitian uu adalah sebagai berikut : a. Harga saham yang dipifih adalah harga saham harian pada saat penutupan. b. Dividen per share adalah dividen kas dibagi dengan seluruh saham yang diemisikan oleh emiten c. Ex-Devidend merupakan tanggal pemisahan deviden dari saham, artinya jika seorang investor membefi saham pada hari ExDevidend maka investor tersebut tidak mendapat pembagian deviden. d. Earning per Share adalah besarnya earning per lembar saham yang dinilai dengan satuan rupiah e. Return saham yang digunakan adalah return saham yang dihitung dari selisih harga saham harian pada saat penutupan, yaitu berupa capital ,gains dan capital loss. f. Return pasar diperoleh dari selisih IHSG pada waktu periode tertentu dengan IHSG sebelumnya, kemudian dibagi dengan IHSG periode sebelumnya. g. Abnormal Return yaitu selisih antara tingkat keuntungan yang sebenarnya dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. 4. Metode Analisis Dalam upaya mencapai tujuan penelitian yang menguji implikasi pemberlakuan UU terhadap spekulatif harga saham akan digunakan langkahlangkah sebagai berikut : a. Menentukan persamaan estimasi return saham individual dengan
menggunakan metode index tunggal. Data-data yang digunakan adalah harga saham individual dan IHSG dengan menyesuaikan periode yang sama dalam masa estimasi periode yaitu 100 hari (t-6 ) sampai dengan t (-106). Persamaan indeks tunggal tersebut identik dengan persamaan regresi sederhana model OLS. Ha1 ini lebih mendasarkan pada kesamaan asumsi yang digunakan dari model indeks tunggal dengan OLS. Sebagai variabel terikat adalah return saham individual (Ri), sementara variabel bebas berupa return market (Rm). Ri dan Rm merupakan perubahan harga secara relatif. Secara eksplisit persamaan indeks yang mengkaitkan antara Ri dan Rm dapat dituliskan sebagai berikut : E (Ri)t = α+βRm dimana Ri t = Return Actual saham ke i pada periode t β = Resiko Sistematis Rm = Return portofolio pasar α = Return saham yang tidak ditentukan oleh fluktuasi harga pasar. Model diatas akan dijadikan dasar dalam mengekspektasikan harga spekulatif pada masa event. Persamaan Single Indeks Model (SIM) akan diperlakukan 2 kali yaitu tahun 2000 dan tahun 2001 dengan sejumlah saham yang dijadikan sampel penelitian. b. Melakukan ekspektasi Return pada masa event dengan mendasarkan hasil persamaan yang diperoleh pada poin 1. Dasar ekspektasi return menggunakan data return market (Rm) pada masa event. c. Menentukan fluktuasi harga yang bersifat spekulatif dengan cara
mencari selisih antara return actual (return yang benar-benar terjadi pada masa event) dengan return ekspektasi (menghitung nilai residual dari persamaan indeks tunggal). Menghindari nilai negatif pada hasil residual atau abnormal return, maka nilai yang digunakan adalah nilai spekulatif harga yang diperoleh dengan menjumlahkan kuadrat nilai residual dari masingmasing saham dibagi dengan total observasi masa event dikurangi satu. Pengkuadratan juga akan bermanfaat untuk dapat mengabaikan reaksi negatif atau positip dari pelaku pasar atas pemberlakuan UU, mengingat dalam penelitian hanya memfokuskan seberapa besar tindakan spekulatif akan terjadi tanpa harus memperhatikan bagaimana arah reaksinya. d. Agar dapat diketahui apakah harga spekulatif dapat diturunkan melalui pemberlakuan pajak tahun 2000 maka digunakan model regresi sebagai berikut : AAR = α + β1 Div +β2 D +β3 EPS Dimana : AAR = harga spekulatif yang di ukur dari spekulatif harga saham dan diperoleh dari residual model indeks pada estimasi period. Div = mengukur besarnya deviden pershare setiap saham. D = Dummy, untuk membandingkan harga spekulatif sebelum dan sesudah pemberlakuan pajak 2000 dimana : D=1 setelah pemberlakuan pajak 2000 (tahun 2001) dan D=0 ; sebelum pemberlakuan pajak tahun 2000
= Nilai spekulatif harga saham yang tidak ditentukan oleh pemberlakuan pajak capital gain maupun tingginya dividen β1 = Besarnya koefisien regresi yang menunjukkan pengaruh tingginya dividen yield terhadap spekulatif harga saham. β2 = koefisien regresi dari variabel dummy yang menunjukkan besarnya pengaruh pemberlakuan UU pajak capital gain terhadap spekulatif harga saham. β3 = Koefisien regresi dari variabel EPS Hasil regresi di atas , pada tahapan selanjutnya masih akan diuji secara statistik baik secara individual maupun serentak (uji t dan F ). Dari hasil serangkaian uji tersebut baru akan disimpulkan apakah undangundang perpajakan tahun 2000 tentang capital gain akan menurunkan tindakan spekulatif dari pelaku pasar. α
C. HASIL PE NE LIT IAN 1. Gambaran Sampel Penelitian Berdasarkan teori relevansi deviden terhadap harga saham juga diuraikan bahwa ada pro, kontra terhadap keterkaitan deviden dengan harga saham. Bagi yang pro menyatakan bahwa tingginya deviden akan direspon positip oleh investor sebagai signal terhadap kinerja perusahaan. Namun bagi yang kontra menganggap tingginya deviden akan mengurangi kesempatan bag, perusahaan untuk melakukan ekspansi sehingga diharapkan pada masa mendatang kinerja perusahaan dapat diakselerasi melalui retained earning pada masa sekarang.
Agar dapat memperjelas ini disajikan pada tabel 1. bagaimana keterkaitan antara devident perkembangan earning pershare tahun yield dengan earning pershare, berikut 2000 dan tahun 2001. Tabel 1 Earning pershare ada Saham Sampel tahun 2000 dan 2001 No.
Kode
I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata-rata Standar Deviasi Minimum Maksimum
AALI BLTA IGAR INTA KOMI L"I'LS MEDC PANS RALS RIGS SMGR TIRT
Earning Per Share (Rp)
Kenaikan
2000 47 55 20 32 381 33 172 543 184 2189 578 21 357.083 611.216
2001 59 220 8 88 147 63 224 543 229 1694 535 17 318.9167 468.885
20 2189
8 1694
(%) 25.53 300 -6 175 -61.42 90.90 30.23 0 24.46 -22.61 -7.44 -19.05 39.63 104.67 -61.42 300
Sumber: Data Sekunder Diolah Tabel 1 merupakan gambaran atas perkembangan earning pershare (EPS) yang berhasil dicapai oleh perusahaan dari tahun 2000 ke tahun 2001. EPS terendah dicapai oleh IGAR yaitu dari Rp 20 tahun 2000 menjadi Rp.8 di tahun 2001 dan teringgi dicapai oleh RIGS yaitu Rp.2.189 tahun 2000, menurun menjadi Rp.2.169 di tahun 2001. Sama halnya dengan distribusi deviden, EPS dari keduabelas saham sampel sangat tidak merata yang nampak pada tingginya deviasi standar Tabel 2 : Hubungan Antara Deviden Per Share (Periode 2000 - 2001) No.
Rp.611 dan Rp.469. Secara rata-rata kinerja perusahaan sampel mengalami penurunan yang nampak dari besarnya EPS secara rata-rata menurun dari Rp. 357 menjadi Rp. 319 . Prosentase kenaikan kinerja terbesar dicapai oleh BLTA sebesar 300%, meskipun secara nominal nilainya tidak terlalu besar yaitu dart Rp.55 menjadi Rp.220. Hubungan antara pertumbuhan deviden dengan pertumbuhan earnings dapat diperhatikan pada tabel di bawah ini : Share Dengan Earnings Per
1
Kode Perubahan Deviden (% ) AALI 42.85
2
BLTA
50
300
3
IGAR
-75
-6
4
INTA
-20
175
5
KC)MI
-61.54
-61.42
Perubahan Earning Per Share (%) 25.53
G
EMS
128.57
90.90
7 8
X7FDC
29.41
30.23
PANS
-68.25
0
9
RALS
33.33
24.4G
10
RIGS
0
-22.G1
42.47
-7.44
0
-19.05
8.48
39.63
11 SMGR 12
TIRT
Rata-Rata
Sumber : Data sekunder diolah Secara sepintas, tabel 2 menunjukkan ada korelasi positip antara besarnya pertumbuhan EPS yang dicapai oleh perusahaan dengan besarnya pertumbuhan deviden yang dibagikan kepada investor. Namun dengan mengacu kembali bahwa tidak selalu besarnya pertumbuhan EPS diikuti secara proporsional, hubungan tersebut akan diuji melalui persamaan regresi. Persamaan regresi lebih memberikan hasil yang sudah mengarah kepada pola hubungan tertentu dalam artian dari persamaan ini
nantinya akan dapat diterjemahkan apakah tingginva pertumbuhan EPS akan mempengaruhi secara positip signifikan terhadap pertumbuhan deviden per share. Hasil persamaan regresi tersebut, dapat diperhatikan sebagaimana pada tabel 3. Variabel GEPS menunjukkan pertumbuhan EPS, sementara variabel GD menujukkan pertumbuhan deviden per share. Data yang dianalisis merupakan data data cross section sesuai dengan pasangan data pada tabel 2.
Tabel 3 Hasil Regresi Pengaruh GEPS Terhadap GD LS// Dependent Variabel is GD SMPL Range : 1-12 Number of Observation : 12 Variabel Coef Standard Error C
-1.3516
GEPS 0.2482 2 R Adjusted =0.1941 Adjusted R2 =0.1135
17.2358
T Statistik
-0.0784 0.1599 1.5520 F Statistik =2.41 Prob F.Stat =0.15
2 Tail Significant 0.94 0.15
Sumber : Data diolah
Dari hasil persamaan regresi diatas, pengaruh atas GEPS terhadap GD adalah positip, sesuai dengan tanda koefisien GEPS sebesar 0.2482. Hal ini dapat diartikan bahwa, setiap kali ada peningkatan pertumbuhan EPS sebesar 1% akan mendorong kenaikan deviden per share sebesar 0.16%, sementara 84% dimanfaatkan oleh emiten sebagai sarana ekspansi atau bagi pemegang saham diartikan sebagai retained
earning. Melihat hasil uji statistik, pengaruh pertumbuhan EPS terhadap deviden per share tidaklah nyata karena mengandung kesalahan yang relatif besar yaitu 15%. Demikian pula koefisien determinasi yang memberikan penjelasan atas kontribusi model terhadap perubahan pertumbuhan deviden sangat kecil yakni sebesar 11.35%. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa pengaruh positip EPS terhadap deviden tidak begitu jelas. Mendasarkan pada hasil kurang adanya pengaruh antara EPS dengan deviden, dalam pengujian perilku spekulatif investor akan dikaji dengan memasukkan kedua variabel di atas ke dalam suatu persamaan regresi untuk lebih mempertajam pembuktian sejauh mana implementasi undang-undang perpajakan capital gain tahun 2000 mampu mempengaruhi perilaku investor dalam bertransaksi di pasar modal. Sebelumnya, bagaimana pola abnormal return pada saat sebelum dan setelah pemberlakuan undang-undang pajak capital gain dapat diperhatikan pada grafik di bawah. Pada grafik tersebut, yang paling menonjol untuk diamati adalah pada to, dimana secara sepintas nampak bahwa, abnormal return tahun
2001 lebih rendah dibanding tahun 2000. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa undangundang tersebut relatif efektif dalam menurunkan perilaku spekulatif dari pasar. Implikasinya tentunya adalah upaya mendorong pasar menjadi wahana real investment mendekati kenyataan. Namun demikian dengan mencermati kembali bahwa nilai abnormal return yang digunakan sebagai dasar pengambilan kesimpulan mengambil rata-rata, maka angka ini mengandung kelemahan mengingat pada 12 sampel saham yang dianalisis tidak memeiliki angka yang homogen atau rata-rata tersebut memiliki tingkat spekulatif tertentu. Untuk lebih meyakinkan atas perbedaan nilai tersebut, pada kajian terakhir Akan dilakukan pengujian dengan menggunakan analisis regresi.
2. Analisis Regresi Dampak Kebijakan Undang- Undang Capital Gain Terhadap Perilaku Spekulatif Investor. Setelah dianalisis secara diskriptif, langkah terakhir adalah menguji apakah pemberlakuan undang pajak capital gain akan mampu mendorong penurunan perilaku spekulatif pasar, akan digunakan persamaan regresi dengan melibatkan 2 (dua) variabel yang lain yaitu deviden per share dan earning per share. Kelebihan
dengan memasukkan kedua variabel tersebut adalah, dapat diamati pengaruh secara individual dari masing-masing variabel khususnya pemeberlakuan pajak terhadap perilaku spekulatif tersebut relative lebih valid. Melalui penggabungan data time series dan cross section (data panel), dianalisis pola perilu spekulatif yang ditekankan pada peristiwa pemberlakuan undang-undang capital gain (to). Hasil regresi dapat diperoleh seperti diperlihatkan pada tabel 4.
Tabel 4. Dampak Kebijakan Undang- Undang Capital Gain Terhadap Perilaku Spekulatif Investor. LS:// Dependent Variabel is GD SMPL Range : 1-12 Number of Observation : 12 Variabel Coef C -0.8045 EPS -0.0127 DUMMY -2.8916 DEV 0.0479 R- Squared : 0.3570 : 0.2606 Adjusted R2 SE of Regression : 3.5599 DW statistic : 1.7887
Standard Error
T Statistik
1.1403 0.7056 0.0044 2.8917 1.4650 1.9738 0.0168 2.8526 Mean of Dependent Variabel : -2.3518 SD of Dependent Variabel : 4.1399 Sum of Squared Resid : 253.4480 Prob. F. Stat : 0.0287
2 Tail Significant 0.4886 0.0090 0.0624 0.0098
Sumber : Data diolah
Dari hasil analisis data, diperoleh persamaan bahwa devidend mempunyai pengaruh yang positif terhadap perilaku spekulatif investor dan pengaruhnya nyata (kesalahan di bawah 5%). I-Ial ini memberikan hasil yang kontradiktif pada saat analisis diskriptif disajikan melalui Gambar/Grafik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa respon positif ditunjukkan oleh investor dengan adanya kenaikan dividen meskipun tidak selalu di iringi dengan kenaikan EPS. Hal yang sebaliknya terjadi pada EPS yang justru memberikan pengaruh yang negatif terhadap reaksi spekulatif dari pelaku pasar.Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan EPS tidak terlalu direspon oleh pelaku pasar dan yang dijadikan acuan di dalam berinvestasi adalah kebijakan dividen. Dummy menunjukkan kebijakan Undang-Undang capital gain, dalam
persamaan regresi menghasilkan tanda negatif. Ini dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi menuju real investment dapat dikatakan efektif. Kebijakan tersebut telah menurunkan abnormal return sebesar 2,9%. Besarnya kontribusi model dalam menjelaskan perubahan spekulatif pelaku pasar sebesar 35,7%. Berarti masih banyak (64%) perubahan spekulatif pasar dijelaskan oleh faktor yang lain. Second order test tidak dilakukan mengingat data yang dianalisis berupa gabungan antara data time series dan cross section (panel data) yang menurut beberapa ahli statistik dapat mengurangi permasalahan di dalam pelanggaran asutnsi klasik yang semestinya digunakan di dalam model Ordinary Least Square. D. KESIMPUL AN
Dari hasil analisis terhadap datadata yang ada serta pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perilaku spekulatif sangat besar pada saat terjadi publikasi informasi atas dividen baik sebelum maupun sesudah dilaksanakannya kebijakan UndangUndang Pajak capital gain. 2. Analisis diskriptif melalui grafik menunjukkan bahwa perilaku spekulatif jauh lebih besar pada saat sebelum diberlakukan Undang-Undang capital gain dibandingkan dengan sesudahnya. Hal ini ditunjang oleh pengujian secara statistik yang signifikan dibawah 5% 3. Perilaku spekulatif dipengaruhi oleh dividen per share maupun earning per share. Dividen yield yang semakin meningkat akan direspon positif oleh investor yang ditandai dengan semakin meningkatnya abnormal return positif yang diperoleh pasar. Sebaliknya EPS yang meningkat tidak terlalu di respon oleh pelaku pasar 4. Kontribusi model dalam menjelaskan perubahan spekulatif pasar modal sebesar 35,7%. Sisanya dijelaskan oleh variabel yang lain. E. SARAN 1. Perilaku spekulatif pada dasarnya disebabkan oleh lambatnya akses informasi yang dapat di respon oleh pelaku pasar. Untuk itulah bagi pengelola bursa (BAPPEPAM) senantiasa meningkatkan efisiensi bursa sehingga diharapkan pasar modal mencirikan wahana investasi riel. Keberhasilan ini sangat ditentukan oleh efektifitas institusi pendukung seperti regulasi pasar modal dan informasi yang mendukung adanya transparansi dan fair bussines. 2. Meningkatnya dividen yang ditandai dengan semakin meningkatnya perilaku spekulatif pelaku pasar sebenarnya tidak selalu mencerminkan asimetri informasi asalkan periode yang dibutuhkan untuk penyesuaian kembali pada posisi
ekuilibrium membutuhkan waktu yang relatif cepat. Namun demikian dengan melihat bahwa investor di Indonesia lebih memandang dividen sebagai suatu ukuran kinerja perusahaan dibandingkan dengan earning maka perlu bag, perusahaan untuk mengambil kebijakan pembagian dividen. 3. Dengan melihat masih kecilnya kontribusi model dalam menjelaskan perilaku spekulatif di pasar modal, dalam penelitian selanjutnya perlu untuk dikaji kembali faktor-faktor yang bersifat mikro atau makro untuk dimasukkan ke dalam model.
DAFTAR PUSTAKA
Alim, M. Nizarul, 1998. Implementasi Undang-undang Perpajakan Tabun 1994 dan Implikasinya terbadap Prilaku Harga Sabam (Perilaku Investor), Simposium Nasional Akuntasi III. ___________ 11998. Pengaruh Perubahan Pajak Terbadap Volume Perdagangan Disekitar Hari Ex Dividend, Thesis S2, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ari Suta, I Gede, 2000. Menuju Pasar Modal Modern, Cetakan Pertama, Yayasan SAD SA"I'RIA BHAKTI, Yogyakarta. Data dan Analisis Mingguan Pasar Modal Tabun 2001, Bagian Riset Biro Pengolahan Investasi, Badan Pengawas Pasar Modal, Depertemen Keuangan Republik Indonesia. Franch, W., and Dubofsky, D.A., 1986. Capital Structure and the Ex Dividend Day Return, SSRN Journal, august. Haryo Abduh S.N., Basuki Rahkmat, Pajak atas Capital Gains, Jurnal perpajakan Indonesia, Volume 2, Nomor 8, Maret 2003;10-15. Husnan, Suad, dan Pudjiastuti, Enny, 1993. Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, UPP-AMP YKPN, Yogyakarta. _________, 1994. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, UPP-AMP YKPN, Yogyakarta. Jogianto, 1998. Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. Mangkoesoebroto, Gurimo, 2001. Ekonomi Publik, Edisi 3, Cetakan Kesepuluh, BPFE, Yogyakarta. Mankiw, N. Gregory, Harvard University, 2000. Teori Makro Ekonomi, Edisi Keempat, "1 erjemahan Edangga, Jakarta. Mardiasmo, 2000. Perpajakan, Edisi Refisi, Penerbit ANDI, Yogyakarta. Michaely, R., and Murgia, M., 1995. The Effect of Tax Heterogeneity on Prices and Volume Arroun the Ex-Dividend Day: Evidence from the Milan Stock ExChang, Review of Financial Studies 8, 369-399 Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, IL, 1991. Metodologi Penelitian, Cetakan Pertama, BUMI AKSARA, Jakarta.
Pajak Penghasilan 2000, 2000. Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta. Peraturan peraturan Perpajakan Tahun 2001, 2001. Citra Umbara, Bandung. Pungkasari, Sardina, 2001. Reaksi Pasar Modal Indonesia Terhadap Pemberlakuan Kenaikan Pajak Deposito Pada Tanggal 15 Desember 2000, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ilkonomi Universitas Muhammadiyah Malang. Tjiptono, D. dan Hendy, M. F:, 2001. Pasar Modal Di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. Van Horne, Jame C; dan Wachovich, John.M, 1987. Prinsip Prinsip Manajemen Keuangan, Terjemahan Erlangga, Jakarta.