IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PIUTANG NEGARA Oleh: Anton Suharyanto Tulisan ini merupakan hasil pengembangan dari pemikiran-pemikiran yang mengemuka dalam Workshop Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh Direktorat Peraturan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Kantor Pusat DJBC bekerjasama dengan Pusdiklat Bea dan Cukai BPPK yang bertempat di Hotel Harris Sentul City Bogor pada tanggal 27 s.d. 29 Juni 2013 lalu halmana penulis berkesempatan mengikuti sepenuhnya acara tersebut sebagai observer. Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diundangkan dengan itikad untuk melindungi hak-hak para kreditur yang memiliki piutang pada pihak yang pailit, mengingat pada umumnya aset yang ditinggalkan oleh pihak yang pailit jumlahnya lebih kecil daripada jumlah hutangnya. Sehingga kondisi tersebut sangat berpotensi untuk menimbulkan kekacauan apabila jumlah kreditur lebih dari satu, karena mereka masing-masing akan saling berebut untuk menguasai aset yang ditinggalkan sebagai kompensasi pelunasan piutangnya, dan pada akhirnya diantara para kreditur akan berlaku: “siapa cepat/kuat dia dapat, dan siapa lambat/lemah dia gigit jari”. Dengan diaturnya ketentuan pailit dalam undang-undang ini, maka para kreditur kongruen tidak akan lagi saling berebut karena masing-masing akan mendapatkan kompensasi pelunasan hutangnya secara proporsional sesuai prinsip “pari pasu pro rata parte”. Hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, sepanjang kreditur tidak berkenan menunda waktu pelunasannya, wajib dilunasi oleh perusahaan debitur. Jika tidak dilunasi maka konsekuensinya adalah tuntutan kepailitan. Perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh putusan hakim pengadilan niaga baik atas pengajuannya sendiri, maupun atas tuntutan salah satu kreditur yang piutangnya tidak dilunasi saat jatuh tempo dan dapat ditagih. Dengan jatuhnya vonis pailit, maka perusahaan tersebut berada dalam kondisi tidak lagi berwenang untuk melakukan pengurusan asetnya, karena seluruh hartanya diletakkan dalam status sita umum, di bawah penguasaan kurator yang ditunjuk oleh hakim pengadilan niaga dan dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Kurator adalah pihak yang diberikan kuasa untuk mengurusi dan membereskan seluruh aset yang dimiliki perusahaan per tanggal vonis pailit. Kurator dapat ditunjuk dari Balai Harta & Peninggalan (BHP) atau pribadi yang umumnya berprofesi sebagai pengacara, notaris, atau akuntan publik. Kurator akan menginventarisir seluruh aset dan juga semua kreditur yang memiliki piutang yang dapat ditagih sebelum menjual/lelang harta peninggalan tersebut dan membagi-bagikan hasilnya kepada para kreditur. Semua kegiatan yang dilakukan kurator diawasi oleh Hakim Pengawas.
1
Hakim Pengawas maupun hakim yang menjatuhkan vonis pailit adalah hakim yang berada dalam naungan Pengadilan Niaga, halmana saat ini di seluruh Indonesia terdapat 5 (lima) Pengadilan Niaga yang berkedudukan di Jakarta, Medan, Semarang, Makassar, dan Surabaya dengan wilayah yuridiksinya masing-masing. Dalam hal menginventarisir para kreditur yang memiliki piutang terhadap perusahaan pailit, selain mengundang kreditur yang dikenal (identitiasnya telah diketahui berdasarkan dokumen-dokumen yang terdapat pada perusahaan pailit) dengan surat tercatat melalui kurir, kurator dalam waktu kurang dari 5 hari sejak jatuhnya putusan pailit harus mengumumkan keputusan tersebut dalam Lembaran Negara RI dan sekurang-kurangnya 2 surat kabar nasional/lokal yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. Dalam pengumuman tersebut harus dicantumkan ringkasan putusan pailit, keterangan yang jelas tentang identitas dan domisili perusahaan pailit, identitas dan domisili kurator, dan identitas hakim pengawas. Selain berisi keterangan tersebut, sekaligus pula menyampaikan undangan untuk Rapat Kreditur Pertama yang diselenggarakan 45 hari setelah tanggal pengumuman. Hal ini harus dilakukan oleh kurator dengan maksud membuka kesempatan seluas mungkin bagi para kreditur (terutama bagi kreditur yang tidak dikenal) yang memiliki piutang terhadap perusahaan pailit untuk mendapatkan haknya. Bagi para kreditur yang tidak dikenal dan tidak mengajukan tagihan piutangnya, atau terlambat mengajukan tagihan piutang hingga melampui hasil rapat kreditur yang menetapkan pembagian harta pailit, maka hutangnya tetap diakui (jika bukti-bukti pendukungnya lengkap dan sah) namun kemungkinan untuk mendapatkan pembayaran baik sebagian apalagi seluruh piutangnya sangatlah tipis. Jadi sangatlah penting artinya bagi para kreditur untuk segera mengajukan tagihan piutang kepada kurator agar bisa mendapatkan haknya. Piutang Negara Pada Perusahaan Pailit Umumnya sebuah perusahaan memiliki hutang pada lebih dari satu kreditur, dan salah satu diantaranya pastinya berupa hutang pajak kepada negara yang dalam hal ini krediturnya direpresentasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak setempat. Hutang pajak perusahaan selalu timbul setiap tahun pajak, dan meskipun vonis pailit dijatuhkan sesaat setelah perusahaan tersebut membayar pajak, belum menjamin bahwa semua hutanghutang pajaknya telah lunas karena masih perlu pemeriksaan pajak terlebih dahulu untuk memastikan jumlah hutang pajak perusahaan yang sebenarnya. Ketika undang-undang ini baru diberlakukan, sebagian kurator yang bertugas mengurusi aset dan hutang perusahaan pailit ada yang tidak melibatkan pihak kantor pajak dalam pengurusan hutang perusahaan pailit, akibatnya perselisihan muncul di ujung hari terkait hakhak keuangan negara yang belum dibayar. Sebenarnya, tidak ada alasan bagi kurator untuk tidak melibatkan tagihan pajak dalam pembagian hasil pengurusan budel pailit, mengingat
2
hutang pajak pastilah dimiliki setiap perusahaan legal. Saat ini, menurut Gunawan Widjaja selaku narasumber workshop, sudah semua kurator memahami kesenantiasaan status kreditur yang dikenal bagi institusi perpajakan pada setiap kasus kepailitan. Demikian pula apabila suatu perusahaan bergerak di bidang pengangkutan barang lintas negara, ekspor-impor, produksi/distribusi barang kena cukai, dan terlebih khusus lagi perusahaan yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan cukai seperti misalnya Perusahaan Dalam Kawasan Berikat. Besarlah kemungkinannya dalam perusahaan-perusahaan seperti tersebut tadi masih terdapat piutang berupa hak-hak keuangan negara dibidang kepabeanan dan atau cukai. Bagaimana jika misalnya sebuah perusahaan manufaktur yang telah mendapatkan fasilitas kepabeanan berupa status Kawasan Berikat kedapatan dipailitkan? Apakah para kurator telah pula memahami status kreditur yang dikenal bagi institusi kepabeanan yang dengan demikian akan secara otomatis mengikutsertakan DJBC dalam rapat-rapat krediturnya? Idealnya memang demikian, namun dalam pelaksanaannya, pada akhir tahun lalu misalnya, masih terdapat kesalahpahaman antara kurator dengan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Madya Malang terkait dengan pengurusan kepailitan PT. Sido Bangun di Malang yang pernah mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat. Dalam menjalankan operasional pabrik manufakturnya, Kawasan Berikat PT. Sido Bangun mengimpor bahan baku berupa bijih plastik yang akan diolah dan kelak hasil produksi utamanya akan diekspor ke luar negeri sehingga kewajiban bea masuknya ditangguhkan. Sesuai ketentuan pemberian ijin kawasan berikat, apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit, maka ijin operasional kawasan berikatnya dibekukan dan semua kewajiban bea masuk dan kewajiban pabean lainnya yang terutang harus dibayar. Hal inilah yang sepertinya belum dipahami kurator sehingga yang bersangkutan berkeras untuk melakukan sita umum terhadap semua aset pabrik dengan maksud akan melelangnya tanpa mengakomodir kepentingan bea dan cukai dan beralasan bahwa kewenangannya tersebut diberikan oleh undang-undang kepailitan dan KUH Perdata. Di sisi yang lain, pihak KPPBC pun berkeras pula untuk mencegah barang-barang impor yang
belum diselesaikan
kewajiban
kepabeanannya dengan
melekatkan
stiker-stiker
penyegelan sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepabeanan sehingga terjadi ‘deadlock’ karena meskipun kurator berwenang melelang aset yang ada namun diyakini tidak akan ada yang berminat untuk membelinya karena aset-aset tersebut dalam kondisi disegel bea dan cukai halmana tertera pada segelnya “Pasal 105: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit lima ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah”.
3
Kejadian seperti di atas sebaiknya tidak perlu terulang lagi di masa yang akan datang apabila masing-masing pihak sama-sama saling memahami tugas dan kewenangannya. Disatu pihak, kurator perlu memahami piutang negara terkait kewajiban kepabeanan dan melibatkan KPPBC setempat dalam pengurusan kepailitan, dan dilain pihak, KPPBC pun perlu memahami mekanisme
pengurusan
kepailitan
suatu
perusahaan
yang
ditangani
oleh
kurator.
Kesepahaman tersebut di atas kiranya dapat dicapai dengan duduk bersama dalam satu meja untuk merumuskan semacam Memory of Understanding (MoU) antara Pengadilan Niaga, Asosiasi Kurator, dan Bea dan Cukai. Dalam forum workshop sempat pula terlontar pertanyaan yang sifatnya filosofis: apakah negara layak menuntut pajak terhadap perusahaan yang pailit? Kami sebutkan sebagai pertanyaan yang sifatnya filosofis karena jawaban yang dibutuhkan bukan bersifat yuridis halmana sudah ada jawabannya dalam KUP dan perundang-undangan Bea dan Cukai halmana mewajibkan demikian. Pertanyaannya bersifat filosofis karena mempertanyakan hal mendasar terkait eksistensi pajak itu sendiri. Bukankah negara berkewajiban menyediakan public goods kepada rakyat, seperti infrastruktur, pertahanan, keamanan dan lain sebagainya, agar rakyat dapat mengambil manfaatnya, dapat mencari kehidupan dan mata pencaharian, dapat melakukan usaha yang menghasilkan profit? Bukankah atas alasan itulah negara memiliki kewenangan memungut pajak kepada rakyatnya? Bukankah hanya kepada rakyat yang mampu sajalah pajak negara dibebankan sesuai kemampuannya? Lalu, mengapa perusahaan yang pailit, yang nota bene gagal bayar utangnya dan tidak lagi bisa melanjutkan usahanya, masih harus pula membayar pajak? Senada dengan pertanyaan filosofis di atas, terlontar pula pertanyaan filosofis berikutnya: apakah negara layak menuntut bea masuk/keluar atau cukai terhadap perusahaan yang pailit? Pemerintah perlu menyiapkan jawaban antisipatif atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini, karena jika tidak, maka suatu saat bisa saja pertanyaan ini terlontar tiba-tiba dalam rapat-rapat legislatif yang bertujuan mengubah undang-undang sehingga potensi penerimaan negara dari piutang perusahaan pailit menjadi lenyap. Penulis berpendapat bahwa sepanjang perusahaan beroperasi sampai dengan divonis pailit oleh Pengadilan Niaga, maka perusahaan tersebut dianggap ‘menikmati’ public goods yang disediakan pemerintah secara berhutang, termasuk pula layanan yang diberikan oleh Pengadilan Niaga ataupun Balai Harta Peninggalan. Itu semua adalah public goods yang dinikmati oleh perusahaan pailit. Jadi, negara layak menuntut pajaknya. Adapun terjadinya pailit itu sendiri bukanlah diakibatkan karena negara tidak menyediakan public goods yang menjadi kewajibannya, melainkan semata-mata karena perusahaan yang bersangkutan tidak pandai memanfaatkan/menikmati public goods yang disediakan pemerintah. Ibaratnya, seseorang yang mengendarai mobil yang kreditnya belum lunas, meskipun mengalami kecelakaan lalu lintas
4
yang mengakibatkan mobilnya rusak total dan dirinya sendiri luka parah bahkan cacat seumur hidup atau meninggal dunia, tetap saja yang bersangkutan atau ahli warisnya berkewajiban melunasi kredit mobilnya. Terkait dengan konsep pembeaan terhadap impor barang, biasanya barang impor dapat dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Sementara (TPS) setelah kewajiban kepabeanannya terpenuhi yang salah satunya adalah pembayaran bea masuk. Namun ada kalanya bea masuk tersebut ditangguhkan (menjadi kredit) apabila misalnya perusahaan yang mengimpor diberikan fasilitas Kawasan Berikat. “Akad kredit”-nya adalah, sepanjang barang impor tersebut belum berada di Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) maka kreditnya belum jatuh tempo. Selama barang masih berada dalam TPS, lalu dalam pengangkutan ke Kawasan Berikat, kemudian ditimbun dan diproses di dalam Kawasan Berikat menjadi barang jadi, sampai diangkut kembali ke TPS tujuan diekspor, maka kreditnya belum juga jatuh tempo. Dan apabila ternyata benar barang tersebut diekspor, maka kredit dianggap selesai dan akunnya ditutup. Demikianlah alur normal perjalanan barang impor dengan fasilitas Kawasan Berikat. Lain halnya jika barang impor keluar dari alur normal tersebut, misalnya barang yang ada di Kawasan Berikat lalu dikeluarkan ke DPIL, maka sesaat sebelum keluar “kredit”-nya harus dilunasi. Demikian pula jika suatu fasilitas Kawasan Berikat dibekukan atau dicabut, maka wilayah yang tadinya berada dalam rangkaian ikatan menjadi terlepas, dan statusnya menjadi sama dengan DPIL. Jika ini yang terjadi, berarti semua barang impor yang bea masuknya ditangguhkan karena berada dalam Kawasan Berikat, seketika menjadi jatuh tempo saat status Kawasan Berikatnya dibekukan/dicabut. Sesuai Undang-Undang Kepabeanan pasal 47 butir a, masih diberikan waktu lagi selama 30 hari sejak pencabutan ijin untuk melunasi semua bea masuk yang terutang. Disamping itu, masih ada jalan keluar alternatifnya, yaitu pada butir b dan c, dengan mengekspor kembali barang yang masih ada di Kawasan Berikat, atau memindahkan barang yang masih ada di Kawasan Berikat ke Tempat Penimbunan Berikat lainnya. Jadi, secara filosofis sebenarnya tagihan bea masuknya adalah semata-mata terkait dengan posisi barang impor yang berada di DPIL, dan untuk itu negara memang layak menuntutnya. Hak Mendahului Diantara para kreditur perusahaan pailit, ada kelompok-kelompok yang tingkatan statusnya lebih tinggi terhadap kelompok lainnya dalam hal pembagian budel pailit sepanjang terdapat alasan-alasan yang sah untuk itu. Urutan paling bawah dalam daftar kreditur adalah Kreditur Konkruen. Para Kreditur Konkruen ini adalah yang paling terakhir mendapatkan giliran pembagian hasil penjualan budel pailit. Masing-masing Kreditur Konkruen akan menerima bagian secara proporsional sesuai besar kecilnya piutang masing-masing apabila masih ada hasil penjualan budel pailit yang dapat dibagikan.
5
Sedikit lebih tinggi dari Kreditur Konkruen, terdapat mereka yang memiliki hak Preferensi Umum dan Preferensi Khusus, yaitu bagi penjual yang sudah menyerahkan barangnya sesuai perjanjian namun hingga jatuh vonis pailit belum juga menerima pembayaran, atau penyewa yang tempatnya sudah disewa/dihuni tetap belum diterima pembayaran sewanya hingga jatuh vonis pailit. Terhadap kreditur-kreditur seperti ini, diberikan haknya mendahului sebelum Kreditur Konkruen. Ada kreditur yang memiliki Hak Istimewa sehingga statusnya lebih tinggi dari Kreditur Kongruen. Hak Istimewa ini didasarkan pada Undang-Undang KUH Perdata (pasal 1134), yang diberikan misalnya kepada para buruh dan pegawai perusahaan pailit sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perburuhan (Pasal 95 ayat 4). Gaji mereka yang belum terbayar sampai dengan jatuhnya vonis pailit harus dibayarkan terlebih dahulu. Di atas Hak Istimewa, ada Kreditur Preferensi Separatis yang memiliki piutang terhadap perusahaan pailit dengan agunan/jaminan, baik berupa Gadai, Hipotik, atau Fidusia. Menurut Pasal 1155 dan 1134 KUH Perdata, Gadai dan Hipotik lebih tinggi daripada Hak Istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh suatu undang-undang ditentukan sebaliknya. Sedangkan Preferensi Separatis bagi Kreditur Fidusia, menyandarkan haknya sesuai pasal 27 dan 15 Undang-Undang Fidusia. Diantara semua level kreditur sebagaimana diuraikan di atas, institusi negara seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki hak mendahului yang paling tinggi berdasarkan undang-undangnya masing-masing. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga KUP pada pasal 21 ayat (3) dinyatakan bahwa “Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: (a) biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, (b) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau (c) biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Demikian pula dengan UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 pada pasal 39 ayat (3) dinyatakan bahwa “Hak mendahulu untuk tagihan pabean melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: (a) biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, (b) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau (c) biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Kedua ayat di atas menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferensi yang dinyatakan mempunyai hak mendahului yang melebihi segala hak mendahulu lainnya. Maksud
6
kedua ayat ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mendapatkan bagian terlebih dahulu dari pihak-pihak lainnya atas budel pailit untuk melunasi piutang negara. Lalu, bagaimana seandainya jumlah utang pajak dan tagihan pabean ternyata lebih besar daripada jumlah budel pailit? Mengingat keduanya memiliki dasar hukum yang sama kuatnya, dan juga keduanya sama-sama institusi negara dibidang penerimaan uang negara sehingga melalui pintu manapun akan sama-sama bermuara pada kas keuangan negara, namun memiliki target capaian Indeks Kinerja masing-masing, apakah terhadap masing-masingnya dapat diberikan pembayaran secara proporsional sesuai besarnya masing-masing tagihan? Permasalahan Seputar Kepailitan Dikutip dari metrobali.com, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra di Bali pada tanggal 31 Juli 2012 mengatakan: “Saat ini UU Nomor 37 Tahun 2004 banyak ditafsirkan keliru oleh sebagian kalangan. Kekeliruan interprestasi itu menyebabkan maraknya mafia kepailitan. Sebagai perumus UU itu, saya menyatakan telah terjadi penyimpangan dalam praktiknya. Oknum di bank dan kurator berusaha dengan segala cara mempailitkan nasabah. Mereka menafsirkan UU Kepailitan itu semaunya”. Salah satu kasus yang terjadi adalah yang menimpa PT Dewata Raya Indonesia pemilik Aston Resort and Spa di Tanjung Benoa, Bali. Para oknum ini membuat seolah-olah para debitur tidak mampu membayar kredit padahal sedang dalam keadaan sehat dan lancar. Mereka bukannya jual jaminan tapi langsung ambil langkah pailit. Kejahatan dengan modus ini sangat serius karena akan mengancam dan mematikan dunia usaha karena dipailitkan secara tidak fair. Seharusnya pihak bank sebelum melakukan langkah pailit, melakukan dulu analisis mendalam, jika debitur tidak mampu bayar maka selanjutnya dapat mengeksekusi agunan terlebih dahulu. Anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir di Universitas Esa Unggul tanggal 23 Mei 2013 menerangkan bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sudah selayaknya diubah karena ada celah yang dapat dimanfaatkan oknum mafia hukum. Pertama, syarat kepailitan yang terlalu sederhana serta tidak relevan lagi. Kedua, insolvensi adanya di akhir pada saat proses pemberesan harta pailit yang menyebabkan pihak-pihak terkait sering tidak mengetahui secara pasti berapa harta debitur dan banyak perusahaan yang masih solven dipailitkan. Di tempat terpisah, Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Victor Santoso Tandiasa menambahkan, bahwa jika Pasal 2 ayat 1 yang menjadi acuan hukum dalam
mengajukan
pailit,
maka
dapat
ditafsirkan
bahwa
UU
Kepailitan
tidak
mempermasalahkan kalau aset suatu perusahaan ternyata lebih besar dari kewajiban utangnya. Mudahnya mempailitkan suatu perusahaan disinyalir dijadikan sebagai pintu masuk bagi oknum-oknum tak bertanggung-jawab di seputar lingkungan peradilan untuk mengambil keuntungan secara mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi dan kelompoknya, dan
7
masyarakat awam menjadi begitu terperanjat ketika tiba-tiba saja sebuah perusahaan yang tampak sehat mendadak dijatuhkan vonis pailit, atau mungkin malah tidak tahu bahwa ternyata perusahaan tersebut sudah lama ‘almarhum’. Masyarakat yang berkepentingan atas informasi mengenai dipailitkannya perusahaan tentunya adalah mereka yang memiliki piutang terhadap perusahaan pailit. Bagi kreditur yang tidak mengetahui kepailitan debiturnya, tentunya tidak akan melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan haknya. Meskipun kurator berkewajiban memuat informasi kepailitan pada Lembaran Negara, 2 surat kabar, dan memanggil kreditur yang dikenal untuk mengikuti rapat kreditur, namun hal itu belumlah menjamin ketersampaian informasi tersebut kepada semua krediturnya. Bagaimana jika kreditur terlambat mengetahui? Kemungkinan pertama, kreditur dapat disertakan dalam daftar yang akan mendapatkan pembayaran dan benar-benar mendapatkan pembayaran baik sebagian ataupun seluruh piutangnya. Kedua, kreditur dapat disertakan dalam daftar dan piutangnya diakui, tetapi tidak mendapatkan pembayaran karena budel pailit hanya mencukupi untuk membayar hutang kepada kreditur yang preferensinya lebih tinggi. Ketiga, kreditur dimasukkan dalam daftar dan piutangnya diakui, tetapi tidak mendapatkan pembayaran karena perhitungan porsi pembagian telah disepakati seluruh kreditur lainnya dan telah diputuskan dalam rapat akhir. Keempat, kreditur tidak dimasukkan dalam daftar karena tidak dapat membuktikan adanya piutang. Jadi, langkah pertama yang sangat penting dan harus dilakukan untuk mendapatkan hak atas perusahaan pailit adalah mendapatkan informasi sedini mungkin mengenai adanya debitur yang pailit. Untuk mengetahui kepailitan suatu perusahaan, dapat dilakukan beberapa cara. Pertama, dengan memeriksa secara berkala pengumuman yang terpampang di setiap Kantor Pengadilan Niaga yang tersebar di 5 kota besar di Indonesia. Kedua, dengan memeriksa secara berkala Lembaran Negara yang memuat informasi mengenai kepailitan suatu perusahaan. Ketiga, dengan memeriksa setiap harinya berita pada semua surat kabar yang bersifat nasional, atau surat kabar lokal yang sewilayah dengan domisili debitur pailit. Ketiga cara di atas bukanlah metode yang efisien dan cukup menyita energi serta membosankan. Pemerintah harus memiliki mekanisme yang efektif dan efisien untuk menjamin keamanan hak-hak keuangan negara. Mekanisme pengamanan piutang negara terhadap perusahaan pailit dapat diwujudkan setidaknya untuk jangka pendek, adalah melalui MoU dengan pihak-pihak terkait sebagaimana telah penulis sebutkan sebelumnya. Untuk jangka panjang, ada baiknya melakukan upaya untuk menyisipkan mekanisme tersebut ke dalam perubahan undang-undang kepailitan berikutnya agar menjadi landasan hukum yang lebih kuat. Narasumber dan Referensi: 1. Dr. Gunawan Widjaja, SH, MH, MM 2. Dr. Ricardo Simanjuntak, SH, LLM, ANZIIF, CIP 3. Susiwijono, SE 4. Sugeng Aprianto, SH, MH 5. http://metrobali.com/2012/07/31/yusril-uu-kepailitan-keliru-ditafsirkan/
8
6.
http://indonesiawikileaks.wordpress.com/2013/07/02/uu-kepailitan-sudah-selayaknya-diubah-okezone-com/
9