PENGEMBANGAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI PENINGKATAN KUALITAS RELASI Oleh: Anton Suharyanto “Pada setiap pria sukses, ada wanita hebat di belakangnya”. Ungkapan ini menggambarkan adanya keterkaitan antara kesuksesan seseorang dengan dukungan dari orang terdekatnya. Presiden RI ke-4, Prof.Dr.Ir. B.J.Habibie contohnya, kesuksesan beliau dalam kehidupannya tidak terlepas dari dukungan penuh istrinya, ibu dr. Ainun Habibie, yang selalu setia mendampinginya di masamasa sulit maupun bahagia. Ibu Ainun bahkan merelakan sepenuh waktunya, mengorbankan kesempatannya berpraktek sebagai dokter spesialis anak dan ambisi pribadinya, demi menjaga kebahagiaan dan kesehatan keluarga untuk mendorong kesuksesan sang suami yang dicintainya. Ungkapan di atas berlaku pula sebaliknya. Pada wanita sukses, ada pria pengayom dibelakangnya. Sebagai contoh, sukses Megawati Sukarno Putri hingga mencapai puncak karir politiknya adalah berkat pengayoman sang suami, bapak Taufik Kiemas. Meskipun pengalaman dan ketrampilan politik Taufik Kiemas jauh melebihi istrinya, namun demi menghormati nama besar guru politiknya, Ir.Soekarno, yang sekaligus juga merupakan mertuanya, beliau lebih mengedepankan figur istrinya yang menyandang trah “Soekarno Putri” sebagai pucuk pimpinan dalam kendaraan politiknya. Masa-masa sulit di era orde baru dan masa-masa mencekam di awal era reformasi telah mengantarkan Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden dan selanjutnya menjadi Presiden Republik Indonesia. Berbagai perbedaan pendapat politik diantara sepasang suami istri ini telah berhasil diakomodasi oleh keduanya dan mereka sepakat melangkah bersama menuju kesuksesan. Masih banyak teladan dari tokoh-tokoh baik dari pemimpin formal maupun public figur lainnya, antara lain seperti Alm. Ustadz Jeffry Al Buchory yang mendapatkan dukungan sang istri, termasuk doa yang lirih dalam tahajudnya saat sang suami masih berkecimpung dalam dunia maksiat agar dibukakan hatinya untuk menerima hidayah. Atau pesepakbola naturalisasi yang menjadi anggota timnas, Cristian Gonzales, yang mendapatkan energi ekstra berkat doa istri dalam menghadapi pertandingan-pertandingan yang menentukan jejak karirnya. Dengan beberapa contoh di atas saja, sudah sulit untuk menafikan
1
bahwa tingkat kinerja yang ditunjukkan oleh orang-orang sukses tersebut berkaitan dan dipengaruhi oleh kualitas relasinya dengan pasangan hidupnya masing-masing. Bagaimanakah dengan kita? Apakah relasi kita dengan pasangan telah membahagiakan kita sehingga bahtera melaju menuju kesuksesan yang diharapkan bersama? Ataukah justru upaya keras kita mengayuh biduk justru mengikis relasi kita, menciptakan jarak antara kita dengan pasangan, dan mengganggu keseimbangan bahtera, bahkan menggoyahkan arah tujuannya? Tulisan ini disusun untuk mengingatkan kita semua bahwa keberhasilan, kesuksesan karir, maupun peningkatan kinerja setiap individu yang notabene merupakan sumber daya manusia (aset terpenting dalam suatu organisasi), tidak hanya dipengaruhi aspek-aspek yang berkaitan dengan kompetensi, motivasi, promosi dan mutasi, atau remunerasi semata. Bahwa ada aspek lainnya yang tak kalah pentingnya, bahkan bersifat fundamental, namun seringkali terabaikan dalam kajian-kajian seputar pengembangan sumber daya manusia. Aspek tersebut adalah relasi, khususnya relasi dengan pasangan hidup yang mewarnai aktifitas dan produktifitas individu bersangkutan hari demi hari. Mengingat kajian terkait relasi ini memasuki area soft skill dalam domain leadership, maka penulis berupaya menggunakan pendekatan berdasarkan disiplin ilmu psikologi perkembangan dan teknik Neuro Linguistic Programming (NLP) yang diperoleh dari berbagai literatur terkait dan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti. “Relationship” atau berikutnya kita sebut saja sebagai relasi, merupakan kata penuh makna yang menjadi pondasi yang merupakan tempat dibangunnya seluruh aspek kehidupan kita, karena manusia memiliki fitrah sebagai makhluk sosial. Relasi menyatukan kita satu sama lain dan membuat kehidupan ini menjadi penuh arti. Kualitas relasi akan menentukan berapa besar kinerja dan kontribusi yang dapat kita berikan dalam keberadaan kita sebagai insan di muka bumi. Kebahagiaan dan kualitas kehidupan kita pun sangat ditentukan olehnya. Kita hidup di jaman yang serba sibuk. Walaupun berbagai teknologi menjanjikan kemudahan dan efisiensi, ternyata waktu kita semakin terserap oleh berbagai aktifitas, hobi, maupun urusan yang membuat kita justru lebih sibuk dari
2
sebelumnya. Sepintas, semua aktifitas tadi kelihatannya diperlukan dan masuk akal, namun seringkali kesibukan ini akhirnya mengikis relasi kita. Kita terus menerus berpindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dan tanpa disadari kita tidak lagi bisa menikmati relasi kita dengan orang yang kita cintai. Begitu banyak terbuangnya alokasi waktu yang seharusnya untuk menikmati kebersamaan dan berbagi pengalaman dalam suatu hubungan yang indah yang membawa arti dan kebahagiaan dalam hidup. Pada gilirannya, kesibukan-kesibukan tersebut mengubah kita dari yang alamiahnya sebagai ‘human being’ menjadi sekedar ‘human doing’. Kita kehilangan interaksi, kehilangan sesuatu yang berharga, yang tak dapat ditebus lagi seiring berjalannya waktu. Tak sedikit pula contoh dimana banyak orang tua yang merasa tidak mempunyai waktu bagi anak-anaknya, padahal salah satu tugas utama mereka adalah membesarkan anak-anak mereka. Hasilnya adalah berbagai penyesalan di kemudian hari. Kita harus dapat menyusun kembali alokasi waktu dengan mempertimbangkan apa yang benarbenar berharga bagi diri kita, apa yang benar-benar dapat membawa kebahagiaan dalam hidup dan kehidupan, agar tidak menyesal di kemudian hari. Figur Ayah dan Ibu di Masa Kecil Dalam kehidupan, kita tidak pernah bisa lepas dari relasi. Kita hidup, bernafas, tertawa, dan menangis karenanya. Sejak lahir kita telah dibawa ke dalam sebuah relasi. Relasi yang langsung terjadi adalah dengan ibu yang melahirkan kita. Sejak bayi, kepribadian, tingkah laku serta semua ekspresi orang tua ditangkap dan lambat laun ikut membentuk pribadi seorang anak. Situasi emosional yang diserap oleh bayi membuatnya terbiasa dan mengembangkan emosi serta tabiat yang sama. Bayi yang tumbuh dari pasangan yang bahagia misalnya, akan terbiasa melihat wajah orangtua yang selalu tersenyum dan akan menjadikannya cenderung akan berwajah ceria. Dengan demikian, melalui lingkungannya sejak kecil, seorang anak mulai mengalami pembentukan konsep dirinya, apakah akan menjadi seorang pemarah atau menjadi seorang yang luwes dalam bergaul. Konsep dirinya ini akan berkembang dan mengarahkannya untuk menjadi seorang yang periang dan bisa mengerti perasaan orang lain, atau justru sebaliknya. Perkembangan
3
konsep dirinya turut mempengaruhi kualitas relasi yang akan ia miliki kelak dalam kehidupannya. Seorang anak laki-laki cenderung memproyeksikan hal-hal yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai dari ibunya kepada istrinya, dan sebaliknya seorang anak perempuan cenderung memproyeksikan hal-hal yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai dari ayahnya kepada suaminya. Dengan kecenderungan yang seperti ini maka seseorang sebaiknya merenungkan kembali mengenai apa yang sebenarnya memang ia sukai maupun yang ia tidak sukai dari pasangannya. Apakah hal-hal yang tidak ia sukai dari pasangannya, adalah benar-benar ‘kesalahan’ pasangannya, atau itu hanyalah merupakan luka masa lalu yang telah lama mengendap dalam memori alam bawah sadarnya. Jika hal ini yang terjadi maka luka masa lalu tersebut harus disembuhkan terlebih dahulu dengan cara saling berbagi dan saling mendukung dengan pasangan. Meskipun masa lalu telah mempengaruhi kualitas relasi yang kita miliki saat ini, namun harus disadari bahwa kita tidaklah hidup di masa lalu. Memori luka masa lalu dapat disembuhkan, prinsipnya adalah dengan menyadari bahwa kepahitan yang dirasakan saat ini hanyalah bekas goresan dari relasi kita di masa lalu. Misalnya jika akibat figur orangtua yang disalahpahami telah membentuk konsep diri seseorang seolah sebagai pribadi yang tidak layak untuk dikasihi,
bisa
jadi
sebenarnya
perasaan
itu
bukanlah
perasaan
yang
sesungguhnya di masa sekarang, melainkan sekedar ilusi masa lalu yang disalah pahami. Sadarkanlah orang itu bahwa sebenarnya terdapat banyak potensi dan kualitas pribadi yang dimilikinya sehingga ia layak dikasihi. Sarankanlah untuk berdoa agar mendapatkan kedamaian dalam jiwa, karena sesungguhnya Allah Yang Maha Pengasih benar-benar memelihara dan mengasihi kita semua. Ajaklah untuk hidup di masa ini, dan memintanya untuk merelakan semua ilusi masa lalu sirna, bagaikan tabir yang harus disibak dari pikiran. Dan ketika tabir itu benar terkuak, maka ia akan menyadari bahwa sebenarnya dirinya dibutuhkan oleh orang lain, dan ia sungguh-sungguh dapat berguna bagi orang-orang di sekitarnya, dan hal itu akan menguatkan keyakinannya bahwa ia adalah pribadi yang layak dikasihi.
4
Penghambat Relasi Selain figur orang tua dan konsep diri yang disalahpahami sebagaimana tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang dapat melemahkan relasi dan menghambat jalinan relasi dengan pasangan, antara lain adalah tingginya hasrat ingin menguasai pasangan, merasa diri lebih baik atau lebih benar, besarnya keinginan untuk mengubah kepribadian pasangan, konflik dalam diri sendiri, dan berkeluh kesah. Bila seseorang memiliki kebutuhan masa lalu yang tidak terpenuhi oleh orang tua maupun situasi kehidupannya, maka kecenderungannya ia akan mencari pemenuhannya pada pasangannya. Apabila sebagian dari kebutuhan itu memang terdapat pada pasangannya, maka ia cenderung ingin menguasai pasangannya agar bisa selalu mendapatkan kebutuhan yang dulunya tak dapat terpenuhi tersebut. Tanpa disadari, perilaku ingin menguasai ini justru akan menjauhkannya dari pasangan. Sebaliknya, jika ia mengenali dan mengabaikan kebutuhan masa lalu itu maka dirinya akan menemukan keseimbangan dan harmoni dalam relasi dengan pasangannya. Dengan pemahaman ini, mengapa tidak kita singkirkan saja hasrat untuk menguasai pasangan kita, dan sebaliknya kita mulai memberi pasangan kita halhal yang diinginkan dari kita? Mungkin saat ini kata “memberi” telah kehilangan makna yang sesungguhnya. Memberi seolah-olah bermakna transaksional menjadi “take and give”, sehingga saat seseorang akan memberi maka ia selalu bertanya terlebih dahulu mengenai apa imbalannya. Bukankah memberi adalah memberi? Bukankah ada kebahagiaan yang timbul saat kita memberi? Apa yang kita berikan akan kita miliki selamanya, dan apa yang lalai kita berikan, dapat menghilang dari kita selamanya. Sekaranglah saatnya untuk mulai selalu memberi kepada pasangan semua hal yang diharapkannya. Jika selama ini kita mengharapkan untuk melihat bibirnya selalu tersenyum, maka janganlah lagi hal itu yang menjadi harapan kita, namun mulailah bertindak untuk selalu tersenyum kepadanya. Jika selama ini kita selalu mengharapkan perhatian darinya, maka sekarang janganlah harapkan lagi, tapi mulailah melakukan tindakan memberi perhatian yang tulus kepadanya.
5
Jika selama ini kita ingin dihormati olehnya, maka sekarang hentikanlah hasrat tersebut, dan gantilah dengan kebulatan tekad untuk selalu menghormatinya. Di balik hubungan yang ‘dingin’ biasanya terdapat persaingan tersembunyi. Bisa jadi kita merasa lebih baik, lebih tinggi, lebih hebat, atau lebih benar dari pasangan, dan kita merasa sudah sepatutnya diperlakukan dengan lebih baik oleh pasangan, dan sangat mungkin yang timbul adalah rasa kecewa manakala pasangan ternyata tidak memenuhi rasa kepatutan kita itu. Bisa jadi pula kita merasa inferior, tidak layak, tidak sebanding, dan tidak pantas disejajarkan dengan pasangan sehingga kita menarik diri dari interaksi dengan pasangan. Kedua perasaan ini akan menghambat relasi kita, karena sekat-sekat perbedaan yang kita ilusikan sendiri yang menciptakan jarak dalam hubungan kita. Jarak yang tercipta akan mengurangi kontak, dan kurangnya kontak akan mendinginkan hubungan kita. Marilah keluar dari pola kompetisi ini, dan mengubahnya menjadi hubungan yang sederajat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pelajarilah penyebab hubungan yang dingin dengan pasangan. Jika memang terdapat hal-hal yang mungkin kompetitif seperti itu, maka komunikasikanlah dengan pasangan dan buatlah tekad untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak jarang pula terdapat orang yang selalu berusaha mengubah kepribadian pasangannya agar menjadi seperti yang diinginkannya. Seringkali hal ini berakhir pula dengan kekecewaan di kedua belah pihak. Kita tidak bisa mengubah pasangan. Kita hanya bisa membantunya untuk berubah. Hidup kita akan berubah hanya pada saat kita telah berubah, dan bukannya pada saat pasangan berubah. Jadi untuk apa susah payah mengubah pasangan? Ubah saja diri kita sendiri. Ternyata, cara terbaik agar pasangan mau berubah adalah dengan mengubah diri kita sendiri. Kemauan kita untuk maju selangkah dan mentransformasikan diri menjadi lebih baik akan memberi dorongan dan inspirasi, yang akan menggugah jiwa pasangan kita untuk ikut berubah. Jadi, mulailah dengan mengubah diri sendiri dahulu. Relasi yang berkualitas dapat terwujud, sebenarnya bukan karena kita mampu memanipulasi dan mengubah pasangan menjadi seperti yang kita inginkan, atau bahkan bukan pula karena kita mampu mengubah diri menjadi apa
6
yang diinginkan pasangan. Kita hanya perlu menjadi diri sendiri, untuk menyerahkan diri secara menyeluruh dalam relasi, dan membiarkan pula pasangan menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian kita dapat menciptakan harmoni antara kita dengan diri sendiri, dan antara diri kita dengan pasangan. Harmoni antara kita dengan pasangan dapat terwujud setelah adanya kemampuan untuk saling menghargai keindahan dalam pribadi masing-masing. Untuk dapat memiliki kemampuan mengapresiasi keindahan dalam diri pasangan, kita juga perlu memiliki keindahan yang sama dalam diri kita. Dengan kata lain, keindahan yang kita hargai pada pasangan sesungguhnya adalah potensi yang juga ada dalam diri kita. Keindahan dalam diri pasangan merupakan resonansi dari getaran keindahan yang ada dalam diri kita. Seperti halnya garpu tala yang kita getarkan dengan nada tertentu, maka garpu tala lainnya di sudut lain dalam ruangan juga akan turut bergetar dengan nada yang sama. Getaran yang satu meresonansi getaran lain. Getaran keindahan yang kita hargai dalam diri pasangan merupakan resonansi getaran keindahan yang ada dalam diri kita. Gambarannya seperti ini: Jika kita seorang yang memiliki potensi kepribadian murah hati dan suka menolong, lalu kita mendapatkan bantuan dari orang lain yang juga murah hati dan suka menolong, maka bantuan itu akan membuat hati kita bergetar, ada rasa senang, ada rasa menghargai sifat-sifat pada diri orang itu. Sebaliknya, jika kita kerap kali berlaku curang dan tidak tulus, lalu mendapatkan bantuan dari seorang yang murah hati dan suka menolong, maka kita cenderung mencurigai orang tersebut, misalnya kita akan menganggap bahwa orang tersebut menyembunyikan maksud lain dibalik bantuan yang diberikannya. Kita tidak mampu menghargai kemurahan hati dan pertolongan orang lain karena sifat murah hati dan suka menolong tak ada dalam jiwa kita. Sebaliknya, hal-hal atau sifat yang tidak kita sukai pada diri pasangan bisa jadi sebenarnya hanya merupakan cerminan sesuatu yang tidak kita sukai dalam diri kita sendiri. Penolakan kita terhadap hal-hal yang tidak kita sukai pada diri pasangan sebenarnya memproyeksikan memori bawah sadar kita mengenai penolakan kita terhadap diri sendiri yang sekian lama terkubur di relung jiwa terdalam. Kita menolak hal itu tapi tidak menyadarinya. Yang terlihat di mata
7
adalah proyeksi tentang hal-hal dan sifat yang tidak kita sukai pada diri kita seakan-akan ada pada diri pasangan. Bukalah mata hati untuk menerima bahwa penolakan itu merupakan proyeksi atas penolakan kita terhadap sesuatu yang ada dalam diri kita. Rasakanlah munculnya penolakan tersebut dan biarkan ia mengalir lepas dan pergi jauh. Bila kita bersedia menerima dan berhenti menekan hal itu dalam diri kita, lalu mulai menerima serta memahaminya, maka seolah-olah pasangan telah berubah di mata kita. Itulah proyeksinya. Kemudian kita akan merasakan bahwa kita maupun pasangan maju bersama-sama ke arah yang lebih baik. Seiring dengan penerimaan kita, maka kita akan merasa lebih bebas. Suatu kepahitan hanya menjadi sekedar kepahitan saja dan segera berlalu seiring dengan penerimaan kita, namun akan berubah menjadi suatu penderitaan terus menerus apabila kita tidak pernah mau menerimanya. Konflik yang muncul dalam diri kita juga kerap kali terproyeksikan pada relasi dengan pasangan. Pada saat timbul konflik dalam diri kita, maka kita akan menjadi galau, mudah marah, merasa terkuras energinya, dan hilangnya kedamaian dalam jiwa. Adalah hal yang sulit untuk berdamai dengan orang lain disaat kita belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Bila kita bersedia meredakan konflik dalam diri sendiri, maka konflik dengan pasangan pun akan turut reda. Konflik dalam diri terjadi pada saat satu bagian dalam diri kita berselisih dengan bagian lain dalam diri kita mengenai suatu hal. Misalnya salah satu bagian dalam diri kita menginginkan kita selalu dan sepenuhnya berlaku jujur sedangkan bagian yang lainnya dalam diri kita ingin memiliki banyak harta secepat mungkin. Damaikanlah kedua bagian dalam diri kita tersebut dengan cara menerima dan mengakui tuntutan kedua bagian tersebut, yang sebenarnya bermaksud baik untuk diri kita. Ibaratnya sebuah pintu tertutup yang selalu diketuk hingga dibuka, apakah pintu akan terus diketuk setelah dibuka? Demikian pula tuntutan bagian tersebut mungkin bermaksud untuk menyampaikan hal positif terhadap diri kita. Setelah kita menerima pesan dan maksud positif dari bagian tersebut, apakah bagian itu masih akan terus ‘mengetuk’ dengan tuntutannya? Bila kita telah memahami dan menerima maksud ‘positif’ dari bagian tadi, tanyakanlah apakah bagian tersebut sudah merasa lega? Apa
8
jawabannya? Bila bagian tersebut menjawab “ya, saya tidak akan mengetuk lagi”, maka itu berarti penerimaan kita telah meredakan tuntutan itu, dan ia akan berlalu dari dalam diri kita. Proses pendamaian tersebut juga otomatis akan terproyeksikan pada relasi kita dengan pasangan. Dan rasakanlah diri kita menjadi lebih ringan, bebas, dan kreatif. Mungkin kita pernah mengalami suatu masa dimana segala sesuatu yang kita lakukan terasa amat sulit dan begitu berat. Jika pernah mengalami hal seperti ini, mungkin ada sesuatu yang tidak tepat pada tempatnya. Mungkin saat itu kita tengah hidup dalam sebuah peran untuk menjadi ‘seseorang’, untuk membuktikan betapa istimewa atau betapa bergunanya diri kita bagi orang lain, dan dalam upaya pembuktian tersebut, kita memerlukan extra-effort yang diluar kewajaran. Kadang kita menemukan diri kita sedang bercerita tentang betapa sulitnya segala sesuatu, dan bagaimana kita dapat berhasil mengatasinya. Semua itu dilakukan dalam rangka meraih kekaguman dari orang-orang disekeliling kita. Pahamilah bahwa hal yang seperti ini akan membebani terlalu banyak bagi diri kita sendiri. Pada hakikatnya dan di dasar lubuk hati kita terdalam, sesungguhnya kita telah menyadari bahwa kita adalah orang baik. Jadi kita tidak perlu lagi membuktikan kepada orang lain mengenai kebaikan kita yang hanya akan menguras habis energi kita. Dan kita tidak perlu pula hidup dalam ketakutan dicemooh orang lain. Hal-hal tersebut justru akan menghambat perkembangan potensi diri kita menjadi pribadi yang unik, sebagai seorang suami, istri, ayah, ibu, atau anak yang lebih baik. Lepaskanlah semua beban itu pergi dan biarkan diri kita berkembang menjadi pribadi yang lebih terbuka. Lebih dari itu, bukalah pula diri kita untuk menerima bantuan dari orang lain, sehingga kita akan sadari bahwa segala sesuatunya benar-benar terasa lebih mudah. Lalu nikmatilah rasanya menjadi diri sendiri yang menyenangkan. Lupakanlah keluh kesah karena memang tiada gunanya. Keluh kesah justru merupakan suatu serangan terhadap diri kita sendiri, seolah kita menyatakan bahwa kita tidak berdaya untuk mengubah situasi yang sulit. Mungkin kita takut bertindak, mungkin juga kita sekedar menunda-nunda mengambil tindakan karena alasan-alasan tertentu. Dan karena tidak atau belum bertindak, mungkin kita merasa bersalah, dan rasa bersalah ini membuat citra diri kita semakin
9
rendah. Hal ini tentunya menambah rasa minder, kita merasa kecil, dan pada gilirannya keluh kesah kita akan semakin bertambah, dan demikian seterusnya berulang-ulang seperti sebuah siklus pusaran air yang menghisap kita semakin dalam tenggelam ke dasar samudera. Akhirnya kita menjadikan diri kita sendiri sebagai bagian dari masalah itu sendiri dan menyatakan bahwa kita terjebak dan tak berdaya. Jika keluh kesah ini berasal dari pasangan kita, kuatkanlah hatinya dan berikan pengertian bahwa setiap orang memiliki begitu banyak sumber daya. Pada saat seseorang memiliki masalah, sebenarnya ia telah melakukan serangkaian analisis dan pemikiran (mungkin juga lamunan) yang mengantarnya pada suatu kesimpulan bahwa ia benar-benar merasakan adanya suatu masalah. Dengan kata lain, ia telah berdaya untuk menciptakan sesuatu menjadi sebuah masalah dalam pikirannya sendiri. Jika demikian, maka dengan sumber daya yang sama, dengan kemampuan analisis dan pemikiran yang sama, ia sebenarnya dapat pula mengubah cara berpikirnya untuk menciptakan sesuatu tadi menjadi sebuah peluang. Teknik NLP yang paling sederhana dan mudah untuk mengubah cara berpikir tersebut adalah dengan cara menanggapi setiap masalah yang terlintas dalam pikiran dengan menyatakan “Bagus itu..!” dan segera dilanjutkan, tidak lebih dari 5 detik, dengan memikirkan dan mencari jawaban mengapa masalah yang muncul di hadapan kita itu justru kita nyatakan sebagai suatu hal yang bagus. Paculah pikiran kita untuk segera mendapatkan jawabannya kurang dari 5 detik, dan apabila kita telah terbiasa melakukannya maka otomatis kita akan terbiasa pula untuk selalu berpikir positif. Strategi Memperkokoh Relasi Untuk membina relasi yang kokoh, kita tidak harus pandai bicara, berpendidikan tinggi, ataupun kaya raya. Tak jarang orang-orang yang demikian justru tidak memiliki kualitas relasi yang baik. Relasi adalah milik kita yang hakiki, dan semuanya bergantung pada bagaimana kita membangunnya. Membangun relasi yang kokoh adalah sebuah perjalanan hingga akhir hayat. Tiada titik dimana kita dapat berhenti dan mengklaim bahwa “Saya telah berhasil membangun relasi yang baik, dan sekarang saatnya berhenti!”. Jika ini yang kita anggapkan, berarti detik itu kita tengah berada pada titik kulminasi, dan
10
mulai detik berikutnya kita akan mengalami penurunan kualitas. Relasi diciptakan detik demi detik, bahkan dari apa yang kita lakukan detik sekarang ini. Sebagaimana sering diungkapkan sebelumnya, membangun relasi adalah seumpama membawa bahtera dalam mengarungi samudera raya nan luas. Kemana arah tujuan berlayar adalah sangat penting karena hal ini menentukan segala sesuatunya dalam perjalanan bahtera. Jangan biarkan nahkoda dan semua awaknya larut dalam keasyikan alunan ombak dan membiarkan bahtera hanyut terbawa arus gelombang, lupa bahwa mereka perlu menetapkan tujuan sejak awal dan mengarahkan perahu agar selalu tertuju pada pulau harapan. Jika sejak awal semua yang ada dalam bahtera telah menyepakati dulu ke pulau mana mereka akan berlayar, mereka akan mempelajari dan mengenali dulu daerah-daerah rawan mana yang berbahaya, angin dan ombak yang besar, karang yang tajam, dan sebagainya sehingga sedapat mungkin menghindari wilayah penuh resiko tersebut, atau setidaknya lebih siap dalam menghadapi halhal yang tidak diinginkan. Jelaslah bahwa dalam pelayaran kita tidak dapat memilih jalur pelayaran yang tidak ada angin atau ombaknya, namun kita dapat memiliki kemampuan untuk cekatan bekerja sama dengan awak lainnya dalam mengarahkan bahtera agar tetap di jalur menuju pulau harapan. Ada pasangan yang masih meraba-raba mengenai apa yang mereka inginkan bersama dalam suatu relasi. Mereka hanya menjalani hari demi hari, dihanyutkan oleh arus waktu tanpa menyadari bahwa apa yang mereka inginkan ternyata sangat bertolak belakang dengan yang diinginkan pasangannya. Hanya setelah bahtera mereka dalam badai barulah mulai timbul kesadaran. Berpikir dan menetapkan mengenai apa yang kita inginkan adalah salah satu kunci penting untuk mencapai keinginan, sayangnya justru kebanyakan orang berpikir sebaliknya. Mereka berpikir mengenai apa yang tidak mereka inginkan. Hal ini tidaklah membantu sama sekali dalam mencapai keinginan karena tidak ada kejelasan mengenai apa yang diinginkan. Misalnya, mereka mungkin berkata: “kami tidak ingin bertengkar, tidak ingin punya masalah, tidak ingin cerai, ...dst”, namun tidak jelas apa yang sebenarnya diinginkan. Jika yang diinginkan saja sudah tidak jelas dalam pikiran mereka, lalu bagaimanakah lagi mereka dapat mencapai keinginannya tersebut?
11
Pastikanlah bahwa pernyataan keinginan harus dalam kalimat positif, jadi bukan mengenai apa yang tidak kita inginkan. Misalnya, “kami ingin selalu saling menyapa mesra setiap kali bertemu, kami ingin selalu meluangkan waktu untuk mengobrol sebelum tidur, saya ingin sesekali menikmati sarapan hasil masakan suami, ...dsb”. Selanjutnya buatlah rambu-rambu yang akan membantu kita dan pasangan untuk mengetahui apakah sudah di jalur yang benar atau belum dalam mendapatkan apa yang diinginkan dari sebuah relasi. Tanyalah kepada diri sendiri maupun pasangan, bagaimana kita mengetahui bahwa kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan. Diskusikanlah dan buatlah kesepakatan untuk dapat saling mengerti dan bekerja sama. Misalnya, untuk sapa mesra setiap kali bertemu, harus menggunakan kata panggilan “pipi-mimi”, “sayangku”, atau “darling”, yang dilakukan setiap pulang kerja, akan berangkat kerja, saat meminta bantuan kecil sehari-hari, dan setiap melakukan pembicaraan di telpon. Untuk pembicaraan ringan sebelum tidur, dijadwalkan tiap setengah jam sebelum waktu tidur, dilakukan sambil berbaring di atas dipan, dengan nada suara yang rendah dan datar. Atau untuk sarapan hasil masakan suami, dijadwalkan setiap hari sabtu pagi sebelum pukul sembilan dengan menu yang sederhana selain dari mie instan. Untuk dapat menikmati rasa bahagia, kita perlu memfokuskan pikiran pada hal-hal yang membuat kita bahagia. Buatlah daftar dan tulislah sebanyak mungkin hal-hal yang telah dilakukan pasangan yang membuat kita merasa bahagia. Dengan demikian pada baris akhir daftar tersebut kita akan menyadari bahwa sesungguhnya banyak sekali alasan bagi kita untuk merasa bahagia saat ini, dan sungguh malang jika kita mengenyampingkan hal-hal tersebut karena memfokuskan pikiran pada hal-hal yang tidak disukai. Hindarilah sikap mencari kesempurnaan
pada
pasangan
yang hanya menjerumuskan
kita
pada
kekecewaan dan kesedihan. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan sebuah perjalanan. Kebahagiaan tidak tersimpan pada sebuah kotak harta karun di pulau harapan. Kebahagiaan adalah nuansa yang senantiasa menyelubungi bahtera di sepanjang jalur pelayaran yang dilalui. Bila kebahagiaan hanya sebuah tujuan, maka kebahagiaan akan menjadi tempat statis dimana kita berhenti berbuat dan
12
berdiam diri saja sambil mengharap dapat terus merasa bahagia. Banyak yang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan akhir bagi mereka namun hanya kekecewaan yang didapati karena sampai kapanpun mereka tidak akan pernah tiba di suatu tempat yang mereka persepsikan sebagai titik bahagia. Hal itu dapat diibaratkan bagai kuda yang diiming-imingi seikat rumput yang digantungkan tepat diatas kepalanya. Ia terus berlari untuk menggigit rumput yang takkan pernah tergapai, tanpa menyadari bahwa di sepanjang jalan yang dilaluinya terhampar padang rumput hijau yang luas membentang. Mereka tidak pernah menyadari bahwa di sepanjang jalan itulah kebahagiaan hakiki yang dapat
dinikmati
hanya
apabila
kita
melaluinya.
Sebuah
jalan
yang
menyenangkan, yang mengantarkan kita pada perbaikan kualitas pribadi, peningkatan kinerja, dan termasuk pula semua hal yang kerap kita labeli dengan istilah ‘kesuksesan’.
Referensi: 1. Agus Sunario, A Magical Mind Tour Toward A Better Love, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002; 2. Hingdranata Nikolay, Inspirational Talk series 03: “Berpikir Efektif & Kreatif”, Inspirasi Indonesia, Jakarta, 2012; 3. Sri Mulyani Martaniah, Prof.Dr.MA, Handout: Psikologi Abnormal dan Psikopatologi, Yogyakarta, 2001.
13