PENERAPAN MODEL LEARNING LYCLE DENGAN MENGGUNAKAN PETA KONSEP DAPAT MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI TATA NAMA SENYAWA DAN PERSAMAAN REAKSI DI KELAS X-5 SMA NEGERI I TAPA Fransiska PipiI, Astin Lukum, dan La Alio Jurusan Pendidikan Kimia. FMIPA. UNG Korespondensi: Jl. Jendral Sudirman No.06, Kota Gorontalo, KP 96128 Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini adalah suatu penelitian tindakan kelas dengan subyek penelitian adalah siswa kelas X-5 SMA Negeri 1 Tapa yang berjumlah 26 orang siswa Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi tata nama senyawa dan persamaan reaksi kelas X-5 SMA Negeri 1 Tapa melalui penerapan model pembelajaran learning cycle menggunakan peta konsep. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Kriteria keberhasilan penelitian ini adalah 80% siswa yang dikenai tindakan memperoleh nilai 70 ke atas atau sama dengan 70. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran learning cycle menggunakan peta konsep dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pada siklus I siswa yang tuntas 52,38% dan meningkat pada siklus II menjadi 92,30%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran learning cycle menggunakan peta konsep pada materi tata nama senyawa dan persamaan reaksi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X-5 SMA Negeri 1 Tapa. Kata kunci: Hasil Belajar Siswa, Tata nama Senyawa dan Persamaan Reaksi, Siklus Belajar, Peta Konsep. ABSTRACT This research is a classroom action research study subjects were students of class X-5 SMA Negeri 1 Tapa, amounting to 26 students This study aims to improve student learning outcomes in the material compound nomenclature and equation-5 class X SMA Negeri 1 Tapa through application of learning models learning cycle using concept maps. This study was conducted in two cycles. Success criteria of this study was 80% of students are subject to the act of obtaining a score of 70 to above or equal to 70. The results showed that the application of the learning cycle learning using concept maps can improve student learning outcomes. In the first cycle of student learning outcomes and increased 52,38% in the second cycle to 92,30%. Based on these results it can be concluded that the application of the learning cycle learning using concept maps in the material compound nomenclature and chemical equations can enhance students' understanding shown by the increasing student learning outcomes X-5 class of SMA Negeri 1 Tapa. Keywords: Student Results, Compound Nomenclature and Reaction Equations, Learning Cycle, Concept Maps.
1
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai dilaksanakan tahun 2006 oleh semua instansi pendidikan di Indonesia. Dalam KTSP ini, mata pelajaran kimia merupakan mata pelajaran yang sudah berdiri sendiri di Sekolah Menengah Atas (SMA) setelah terpisah dari rumpun IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini menjadikan mata pelajaran kimia adalah mata pelajaran yang baru bagi seluruh siswa SMA, khususnya kelas X. Pembelajaran kimia di kelas X masih sangat memerlukan strategi dari seorang guru agar pemahaman konsep awal siswa secara terus menerus akan terbawa sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Arpani (2010) menjelaskan bahwa Karakteristik konsep ilmu kimia berbeda dengan konsep ilmu lainnya. Kimia berisi hitungan, fakta yang harus diingat, kosa kata khusus, hukum-hukum yang mengaitkan satu ide dengan ide yang lain yang harus dipahami secara benar dan tepat. Dengan keadaan demikian maka perlu dilakukan adanya evaluasi hasil pembelajaran sebagai suatu acuan sejauh mana siswa telah memahami konsep suatu materi pelajaran yang telah disampaikan. Sebagian besar konsep-konsep kimia masih merupakan konsep yang abstrak bagi siswa dan bahkan mereka sendiri tidak mengenali konsep-konsep kunci ataupun hubungan antar konsep yang diperlukan untuk memahami konsep tersebut. Akibatnya siswa tidak membangun pemahaman konsep-konsep kimia yang fundamental pada awal mereka belajar kimia. Seorang guru harus dapat mengembangkan metode belajar yang lebih praktis, kreatif, dan inovatif agar hasil belajar siswa lebih meningkat. Tetapi,
fakta dilapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit guru yang lebih mengejar bahan/materi pelajaran agar cepat selesai sesuai dengan yang direncanakan tanpa berpikir untuk lebih mengejar pemahaman peserta didiknya. Materi tata nama senyawa kimia di SMA dipelajari di kelas X semester ganjil yaitu pada pokok bahasan tata nama senyawa kimia dan persamaan reaksi. Materi tata nama senyawa ini terdiri dari beberapa sub pokok bahasan yaitu, tata nama senyawa anorganik (senyawa biner, senyawa ion, dan poliatom) dan tata nama senyawa organik sederhana. Sedangkan untuk persamaan reaksi membahas tentang penyetaraan reaksi kimia. Materi tata nama senyawa dan persamaan reaksi ini masih berupa hafalan-hafalan untuk memahami konsep-konsepnya sehingga diperlukan kreativitas guru untuk mempermudah siswa dalam memahami konsep-konsep tersebut. Berdasarkan observasi peneliti di SMA Negeri 1 Tapa, ditemukan banyak permasalahan kimia yang terjadi di kelas. Beberapa permasalahan kimia yang ditemukan antara lain, pembelajaran kimia tidak menarik minat siswa, waktu pembelajaran kimia diajarkan pada jam terakhir, selain itu penggunaan metode ceramah yang sering diterapkan oleh guru sehingga siswa cenderung sulit memahami materi. Hal ini yang menyebabkan rendahnya hasil belajar kimia siswa tahun pelajaran 2011/2012 pada materi tata nama senyawa kimia dan persamaan reaksi yakni kurang dari 60% dari standar yang ditentukan atau belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) 70. Hasil ini mengalami penurunan dari tahun pelajaran 2010/2011 sebesar 65,67%. Sedangkan standar ketuntasan belajar yang ditetapkan 2
di sekolah SMA Negeri I Tapa untuk kelas X ini adalah 75% dengan nilai rata-rata 70. Berdasarkan permasalahanpermasalahan tersebut, maka perlu diterapkan suatu pembelajaran alternatif, yaitu dengan suatu model Learning Cycle dengan peta konsep untuk menciptakan suasana belajar yang efektif. Model pembelajaran learning cycle tersebut diimplementasikan ke dalam lima tahap, yakni engagement (mengajak), exploration, (menyelidiki) explanation (menjelaskan), extend/elaboration (memperluas), dan evaluation (menilai) (Suryadharma, 2007). Siswa dapat mengembangkan konsep-konsep yang dipelajari dari berbagai tahap learning cycle dengan menggunakan media peta konsep. Menurut Doran, Chan, dan Tamir (dalam Suryadharma, 2007) disamping merupakan strategi belajar, peta konsep dapat dipakai untuk tujuan-tujuan lain, misalnya untuk mengetahui pengetahuan awal yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran, serta untuk mendorong terjadinya pembelajaran kooperatif. Bagi siswa peta konsep dapat bermanfaat sebagai alat bantu belajar sebab dengan peta konsep mereka dapat menilai dirinya sendiri dengan kritis. Kelima tahapan Siklus Belajar dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini:
Gambar 1. Learning Cycle 5E (Sumber: Haerawati (2009) dalam (Wibowo, 2010))
Menurut Cohen dan Clough (dalam Wibowo, 2010), penerapan model learning cycle memberi keuntungan sebagai berikut: 1) meningkatkan motivasi belajar karena pelajar (siswa) dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, 2) membantu mengembangkan sikap ilmiah pelajar, 3) pembelajaran menjadi lebih bermakna. Fajaroh dan Dasna (2007) mengemukakan kekurangan penerapan model learning cycle yang harus selalu diantisipasi adalah sebagai berikut: 1) menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran, 2) memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi, 3) memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran. Adapun yang dimaksud dengan peta konsep adalah ilustrasi grafis konkret yang mengindikasikan bagaimana sebuah konsep tunggal dihubungkan ke konsepkonsep lain pada kategori yang sama (Trianto, 2007). Peta konsep adalah suatu media belajar yang digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi ini merupakan dua atau lebih konsep yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit sistematik. Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu peta konsep hanya terdiri dari dua konsep yang dihubungkan oleh suatu kata penghubung untuk membentuk suatu 3
proposisi misalnya, tata nama senyawa adalah suatu konsep sedangkan anorganik dan organik merupakan konsep penunjang (Dahar; 1988). METODE PENELITIAN Latar dan Karakteristik Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri I Tapa Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Karakteristik subyek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X-5 SMA Negeri 1 Tapa yang berjumlah 26 orang yang terdiri dari 10 orang siswa Laki-Laki dan 16 Orang siswa perempuan. Variabel Penelitian Variabel-variabel yang menjadi titik sasaran dalam penelitian ini adalah: 1) Variabel input yang terdiri dari siswa kelas X-5 SMA Negeri 1 Tapa yang berjumlah 26 orang siswa, guru kimia SMA Negeri 1 Tapa, bahan ajar, sumber belajar, dan prosedur evaluasi, 2) Variabel proses terdiri dari penerapan model pembelajaran learning cycle (siklus belajar), pembuatan peta konsep, dan keterampilan bertanya guru dan siswa, 3) Variabel output dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa.
kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Teknik Analisi Data Tehnik analisis data dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriftif serta kuantitatif. Penghitungan data kuantitatif adalah dengan menghitung ratarata aktivitas guru dan siswa berdasarkan skor yang diperoleh dari lembar observasi. Berdasarkan rata-rata yang diperoleh dapat diketahui persentase aktivitas guru dan siswa. Adapun cara menghitung persentase (skor) yang diperoleh dengan rumus persen = jumlah nilai rata-rata dibagi dengan jumlah skor total dikalikan dengan 100%. Menurut Arikunto (2010) lima kategori predikat tersebut pada Tabel ini. Tabel 10. Kategori Predikat untuk Hasil Pengamatan Aktivitas Guru dan Siswa No.
Interval
Kategori
1
81-100%
Sangat Baik
2
61-80%
Baik
3
41-60%
Cukup
Prosedur Penelitian
4
21-40%
Kurang
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang mengacu pada model penelitian tindakan kelas model Kurt Lewin yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc. Taggart. Model Kemmis & Mc. Taggart bila dicermati hakikatnya berupa perangkat atau untaian–untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Untaian tersebut dipandang sebagai suatu siklus. Oleh karena itu pengertian siklus di sini adalah putaran
5
0-20%
Sangat Kurang
Sedangkan untuk hasil belajar siswa dianalisis secara klasikal dengan menggunakan tehnik persentase dengan rumus daya serap klasikal = skor capaian total seluruh siswa dibagi dengan skor maksimum semua soal dikalikan 100%. Keterangan: rentang nilai 85–100 termasuk kategori Sangat Tinggi, 70–84 termasuk kategori tinggi, 55–69 termasuk kategori Cukup, 40–54 termasuk kategori Rendah, dan ≤ 39 termasuk dalam kategori Sangat Rendah. 4
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh persentase capaian hasil pengamatan guru pada siklus I sebesar 59,33% dengan kategori Cukup dan siklus II mencapai 87,5% dengan kategori Sangat Baik. Sedangkan untuk hasil persentase capaian kegiatan siswa pada siklus I sebesar 41,67% dengan kategori Cukup dan siklus II mencapai 87,5% dengan kategori Sangat Baik. Berdasarkan hasil pengamatan kegiatan guru dan siswa di peroleh pada siklus I dari jumlah siswa 26 orang yang mengikuti tes evaluasi berjumlah 21 siswa. Dari 21 siswa ini ada 12 siswa yang tuntas atau sebesar 57,14% dan 9 siswa lainnya belum tuntas sebesar 42,86%. Pada siklus II dari 26 orang siswa yang memenuhi kriteria ketuntasan berjumlah 24 siswa atau sebesar 92,31% dan 2 siswa lainnya belum tuntas atau sebesar 8,33%. Pembahasan Adapun hal-hal yang dibahas dalam penelitian ini berdasarkan atas pengamatan kegiatan guru dan kegiatan siswa dalam proses pembelajaran pada setiap siklus serta hasil belajar siswa. Secara jelas digambarkan sebagai berikut. Kegiatan pengamatan guru ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan proses belajar mengajar yang berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle dengan kegiatan yang diamati pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua Siklus I berjumlah 15 aspek yang telah diuraikan sebelumnya.
Pada siklus I diperoleh persentase capaian rata-rata dari masing-masing pertemuan sebesar 59,33%. Hasil ini masih belum mencapai kategori yang diharapkan yakni sebesar 75%. Hal ini disebabkan pada siklus guru belum mampu menguasai keterampilan dasar mengajar mengelola kelas. Guru hanya terfokus pada satu titik tempat saja. Menurut Hidayat (2010) keterampilan mengelola kelas merupakan kemampuan guru dalam mewujudkan dan mempertahankan suasana belajar mengajar yang optimal, selain itu guru tidak dapat memimpin diskusi dengan baik sehingga suasana kelas menjadi tidak terkendali. Selain tidak dapat menguasai keterampilan mengelola kelas, guru juga belum menguasai keterampilan dasar mengajar untuk membimbing diskusi besar maupun kelompok kecil, kurangnya kecakapan guru dalam proses bertanya dasar maupun bertanya lanjut pun membuat siswa merasa tidak diperhatikan dan kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau pun menjawab pertanyaan. Hal ini disebabkan oleh guru belum menguasai tehnik bertanya yang baik sesuai keterampilan dasar mengajar lainnya. Pemberian penguatan atau reincorcement merupakan tindakan atau respon terhadap bentuk perilaku yang dapat mendorong munculnya peningkatan kualitas tingkah lakut di saat yang lain, tetapi pada kenyataan dalam proses pembelajaran guru kurang memberikan penguatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Setelah melakukan apersepsi guru langsung membagi kelompok yang menyebabkan siswa tidak memahami petunjuk dari dan hanya terfokus pada satu atau dua siswa yang 5
aktif dalam diskusi, dan yang terakhir guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyimpulkan materi karena alasan keterbatasan waktu. Dapat dilihat pada siklus I ini persentase rata-rata hasil pencapaian kegiatan guru yaitu 59,33% terlaksana dengan kategori Cukup. Capaian pada siklus I ini belum memenuhi kriteria yang diharapkan ≥ 75% dari seluruh aspek terlaksana. Kegiatan guru yang belum terlaksana secara optimal kemudian diperbaiki pada siklus II. Melihat hasil pengamatan kegiatan guru pada siklus I masih rendah dan belum memenuhi kategori yang diharapkan, maka pada siklus II ini hasilnya diharapkan lebih baik dari siklus I. Pada siklus II terjadi peningkatan persentase kegiatan guru yang terlaksana, dari 59,33% dengan kategori Cukup pada siklus I mengalami peningkatan menjadi 87,5% dengan kategori Sangat baik pada siklus II. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persentase aktivitas guru telah berhasil memenuhi kategori yang diharapkan. Adanya peningkatan aktivitas guru pada siklus II ini menunjukkan bahwa guru telah mampu menguasai setiap kegiatan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran learning cycle. Semua aktivitas yang masih memperoleh skor di bawah 4 dan 5 pada siklus I telah diperbaiki pada siklus II menjadi di atas 4 dan 5 atau termasuk kriteria Baik (B) dan Sangat baik (SB) seperti pada lembar observasi pada Lampiran. Dimana, guru telah mampu menggali potensi dan pengetahuan siswa, penguasaan keterampilan dasar dalam mengajar telah dilakukan dengan baik.
Sehingga umpan balik yang diberikan oleh siswa menjadi sangat beragam serta antusias yang diperlihatkan siswa menunjukkan perhatian mereka selama proses pembelajaran. Model pembelajaran learning cycle dilakukan dengan lima tahap pada siklus I. Dari hasil sebelumnya dapat digambarkan aktivitas yang dilakukan siswa selama pembelajaran pada siklus I sebagai berikut: Tahap pertama pengenalan, siswa di arahkan oleh guru ke materi yang akan dipelajari dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan kehidupan seharihari dan memberikan motivasi agar mereka tertarik untuk belajar. Akan tetapi sebagian siswa masih terlihat enggan untuk belajar karena belajar di jam-jam terakhir pelajaran. Hal ini bertentangan dengan pendapat Gagne yang menyatakan belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah (Anonim, 2012). Tahap penyelidikan, siswa diminta untuk membuat konsep baru tentang materi yang akan dipelajari dalam diskusi kelompok untuk memahami materi tata nama senyawa dengan cara membuat peta konsep agar pengetahuan awal yang dimiliki dapat diukur sehingga dapat diketahui sejauh mana pengetahuan siswa pada materi yang sedang dipelajarinya. Tahap ketiga penjelasan, siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengungkapkan gagasan-gagasan 6
matematis yang dimiliki. Mereka dapat saling bertukar ide secara leluasa dalam menyelesaikan permasalahan, baik berupa peta konsep yang dibuat maupun dari penjelasan yang keliru. Namun, masih banyak siswa yang belum memiliki kesiapan dalam menerima pelajaran. Ketidaksiapan siswa disebabkan karena pada siklus I ini siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran learning cycle yang digunakan. Hal ini dapat diketahui dari hanya sebagian siswa saja yang sudah membaca materi yang akan dipelajarinya, sehingga pada proses pembelajaran siswa kurang begitu aktif dalam diskusi. Siswa lebih banyak mengobrol dan sibuk sendiri dengan pekerjaan mereka masing-masing tanpa memperhatikan penjelasan dari temannya dan guru. Tahap perluasan, pada tahap ini seluruh siswa mangikuti diskusi kelas yang dipandu oleh guru sebagai bentuk penegasan dari diskusi kelompok atau perbaikan dari hal-hal yang belum terselesaikan agar tidak terjadi miskonsepsi bagi seluruh siswa. Tetapi, pada kenyataan selam proses pembelajaran siswa kurang berpartisipasi dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas dan lebih banyak diam dari pada bertanya sehingga hanya satu atau dua orang siswa yang aktif dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh keterampilan dasar mengelola kelas oleh guru belum optimal. Tahap penilaian, pada tahap ini hasil tes evaluasi akhir yang dikerjakan oleh siswa di nilai untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa tentang materi tata nama senyawa dan untuk mengukur sejauh mana kemampuan siswa dalam membuat peta konsep. Setelah dinilai, dapat diketahui apakah hasil belajar siswa meningkat.
Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa pada siklus I di atas di peroleh persentase rata-rata dari seluruh aktivitas yang terlaksana sebesar 41,68% dengan kategori Cukup. Capaian ini masih sangat rendah dari kriteria yang diharapkan yaitu sebesar ≥ 75%. Hal ini dikarenakan pada siklus I ini siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran yang diterapakan oleh guru karena biasanya model pembelajaran yang diterapkan adalah ceramah biasa. Ketidakaktifan siswa dalam diskusi juga disebabkan siswa belum terbiasa dengan diskusi dan menjelaskan menggunakan bahasa dan pemahaman mereka sendiri sehingga siswa menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat atau bertanya. Dengan demikian keterampilan guru dalam mengajar sangat diperlukan agar suasana belajar yang bermakna dapat tercipta dalam kelas. Salah satu pernyataan dalam teori Ausubel adalah bahwa faktor yang paling penting dalam mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang telah diketahui siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa (Dahar, 1988:149). Sehingga disimpulkan bahwa penelitian ini dilanjutkan ke siklus II. Siklus II ini merupakan perbaikan dari kegiatan siswa yang belum terlaksana pada siklus I. Setelah dilakukan tindakan yang sama seperti pada siklus I menggunakan model pembelajaran learning cycle, maka pada siklus II ini peningkatan persentase rata-rata pengamatan kegiatan siswa terlaksana dari siklus I yang hanya sebesar 41,68% atau kategori Cukup menjadi sebesar 87,5% dengan kategori Sangat Baik pada siklus 7
II. Artinya, pencapaian ini telah memenuhi target keberhasilan yang diharapkan. Hasil pengamatan kegiatan siswa ini meningkat karena beberapa kegiatan yang belum terlaksana pada siklus I sudah mampu diperbaiki oleh siswa pada siklus II berdasarkan arahan dari guru, diantaranya proses pembelajaran yang berjalan dengan baik dan lancar, siswa terlihat lebih siap menerima materi yang akan dipelajari karena siswa sudah membaca terlebih dahulu sebelum proses pembelajaran dimulai, siswa terlihat lebih aktif dari biasanya. Hal ini terlihat dari keberanian siswa untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, dan bertanya pada saat diskusi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa sudah terbiasa dengan model pembelajaran learning cycle yang diterapkan. Peningkatan aktivitas kegiatan belajar siswa ini berdampak langsung pada hasil belajar siswa yang dapat diketahui dari hasil evalusi siklus I dan siklus II. Hasil belajar yaitu perubahan sebagai hasil proses belajar ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, penalaran, sikap dan tingkah laku, keterampilan dan kecakapan, kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain dalam diri individu yang belajar (Sudjana, 1989). Hasil belajar siswa ini akan sangat berpengaruh pada saat melanjutkan ke materi selanjutnya. Karena Setiap pokok bahasan suatu materi saling berkaitan dengan pokok bahasan selanjutnya. Pada siklus I, dari 26 orang siswa yang dikenai tindakan yang mengikuti tes evaluasi akhir berjumlah 21 orang siswa. 12 orang siswa tuntas memperoleh nilai 70 ke atas atau sebesar 52,38% dan 9 orang siswa
lainnya tidak tuntas memperoleh nilai 70 ke bawah atau sebesar 42,86%. Dari data ini diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 59,52 dan secara klasikal sebesar diperoleh ratarata 59,52%. Hasil ini belum memenuhi ketuntasan yang ditetapkan yaitu sebesar 80%. Rendahnya capaian pada siklus I ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: 1) belum maksimalnya proses pembelajaran yang diterapkan guru. Hal ini terlihat jelas pada pengamatan aktivitas guru maupun aktivitas siswa, 2) siswa belum dapat menuliskan rumus kimia dan menentukan nama dari suatu senyawa. Hal ini dapat dilihat dari banyak siswa yang tidak bisa menjawab soal nomor 3, 6 dan 7. Ketiga soal yang banyak tidak terjawab dengan benar ini kemudian di masukkan kembali ke tes evaluasi siklus II. Melihat masih banyak siswa yang belum tuntas, guru meminta siswa untuk lebih mempelajari materi tentang tata nama senyawa karena akan ada soal kembali tentang tata nama senyawa agar siswa tersebut lebih memahami lagi materi tata senyawa khususnya senyawa ion dan berhasil dengan nilai yang diharapkan. Pembelajaran yang dilakukan pada siklus I belum sepenuhnya diserap dengan baik oleh siswa, sehingga dilanjutkan ke siklus II. Kekurangan pada siklus I selanjutnya disempurnakan pada siklus II. Berdasarkan hasil evalusi belajar pada siklus II, dari 26 orang siswa yang dikenai tindakan dan mengikuti tes evaluasi akhir, terdapat 24 orang siswa yang memperoleh nilai di atas 70 sebesar 92,30% atau telah memenuhi kriteria ketuntasan yang ditetapkan dan 2 orang siswa memperoleh nilai di bawah 70 sebesar 7,69% atau belum memenuhi kriteria ketuntasan yang telah 8
ditetapakn. Ketidaktuntasan siswa ini disebabkan oleh ketidakhadiran mereka pada pertemuan pertama siklus II yang membahas tentang persamaan reaksi. Berdasarkan data siklus II ini diperoleh hasil nilai rata-rata kelas sebesar 81,15 dan ketuntasan secara klasikal sebesar 81,15%. Hal ini dapat diartikan bahwa hasil belajar siswa pada siklus II ini telah melebihi target ketuntasan dari ketetapan sebesar 80 %. Secara singkat perbandingan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.
% Siswa Dengan
% Siswa Dengan
Nilai ≥ 70
Nilai < 70
I
52,38
42,86
II
92,30
7,69
Siklus
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penerapan model pembelajaran learning cycle menggunakan peta konsep khususnya pada materi tata nama senyawa dan persamaan reaksi dapat meningkatkan
Tabel 14. Perbandingan Hasil Belajar Siswa Pada Siklus I dan Siklus II hasil belajar siswa kelas X-5 SMA Negeri I Tapa. Hal ini ditunjukkan dari hasil ketuntasan siswa pada siklus I sebesar 52,38% yang memperoleh nilai di atas 70 meningkat menjadi 92,30% pada siklus II. Dengan daya serap klasikal siswa yang dicapai pada siklus I adalah 62,38% menjadi 81,15% pada siklus II. Dengan demikian ketuntasan belajar siswa secara klasikal di atas dari Kritria Ketuntasan Minimun (KKM).
3. Hendaknya guru selalu menerapkan model pembelajaran learning cycle dengan pendekatan peta konsep pada materi kimia lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto,
Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Revisi 2010.
Saran 1. Model pembelajaran learning cycle dan pembuatan peta konsep dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi tata nama dan persamaan reaksi, maka hendaknya guru dapat menerapkan dan menggunakan model pembelajaran ini dalam proses pembelajaran. 2. Untuk pembuatan peta konsep, hendaknya guru menyesuaikan dengan materi kimia yang merupakan materi bacaan atau hafalan.
Arpani. 2010. Penggunaan Peta Konsep Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Kelas X Sma Negeri-4 Palangka Raya Tahun Pelajaran 2009/2010 Tentang Tata Nama Senyawa Anorganik. [Skripsi]. Palangka Raya: Universitas Palangka Raya (di akses 20 Juni 2013). Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud 9
Fajaroh, Fauziatul dan Dasna, I Wayan.. 2007. Pembelajaran Dengan Model Siklus Belajar (Learning Cycle). Jurusan Kimia FMIPA UM. Tersedia di: http://lubisgrafura.wordpress.c om/2007/09/20/pembelajarandengan-model-siklus-belajarlearning-cycle/ di akses (12 November 2012, 13.24) Hamsah. 2010. Metode Peta Konsep. Jakarta. (Diakses, 16 Juli 2013. 13.00). Hidayat,
Ahmad Lubab.______. Keterampilan Dasar
Mengajar.(http://www.gurukita. com/2012/09/keterampilandasar-mengajar.html
Suryadharma, Mudjiati dan Artiningsih. 2007. Penggunaan Model Siklus Belajar Dan Peta Konsep Untuk Meningkatkan Pembelajaran Sains/Kimia Di SMP 8 Malang. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang. Trianto.
2007. Model pembelajaran Inovatif Berorientasi Kenstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
10