KARYA ILMIAH KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM ADAT Maria, SH Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. PENGERTIAN Dalam perkawinan, menjanda adalah hal yang biasa terjadi baik karena perceraian maupun kematian. Didalam hukum adat kita mengenal garis keturunan keibuan, kebapaan, dan keibu-bapaan yang mana mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kedudukan janda. Setelah bubarnya perkawinan baik karena perceraianpun dengan kematian. Hal yang menarik dalam mempelajari kedudukan janda, karena dalam pandangan sebagian masyarakat, perempuan mempunyai kedudukan yang rendah apalagi dalam hal perkawinan stelsel kebapaan dengan uang jujur dimana perempuan dipandang sebagai barang belian. Berbeda dengan perkawinan stelsel kebapaan yang berlaku dalam sebagain persekutuan hukum. Di Indonesia pihak lakilaki tetap mempunyai kedudukan yang tinggi. Di Minangkabau misalnya laki-laki dipandang sebagai pemegang kekuasaan bagi kaumnya dan sebagai orang yang dihormati didalam kerabat istrinya. Tujuan penulisan ini adlah untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kedudukan istrinya dalam hukum adat serta hubungannya dengan istri yang telah ditinggalkan suami (janda). Penulisan ini juga bertujuan untuk mempelajari lebih jauh tentang kedudukan istri/janda dan bagaimana kenyataannya dalam lapangan persekutuan hukum adat di Indonesia, hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui kedududkan janda/istri hubungannya dengan perundang-undangan Indonesia dewasa ini. B. PERMASALAHAN Dalam KUH Perdata, kedudukan suami/istri adalah seimbang dan dibuka kemungkinan mengadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan berlangsun. Dalam hal ini perempuan /janda berhak menjadi waris dan dalan hal tertentu berhak meniadakan perceraian. Sama halnya dengan UU perkawinan No. 1/74, perkawinan juga memandang hak suami istri dengan kedudukan yang seimbang. Akan tetapi dalam hal waris bagi istrinya demikian sebaliknya. Dari sisi lain yang mana sudut hukum Islam, yang di Indonesia merupakakn agama yang paling besar penganutnya, kedudukan istri juga dianggap sebagai waris dari suaminya, kedudukan istri/janda dalam hukum adat, dengan mengingat bahwa dewasa ini masih banyak warga masyarakat yang mempertahankan hukum adatnya bagaimana konsekwensinya dengan perundang-undangan di Indonesia. Dalam bab berikutnya tulisan ini akan membuka sedikit dan berusaha untuk menerangkannya.
©2003 Digitized by USU digital library
1
BAB II KERANGKA TEORITIS A. PERKAWINAN DALAM ADAT Tujuan perkawinan dalam adat adalah melanjutkan keturunan yang dalam masyarakat yang berdasar organisasi clan. Perkawinan ini bertujuan untuk meneruskan clannya. Di dalam masyarakat adat dikenal 3 (tiga) macam susunan kekeluargaan yang mana mendasari bentuk-bentuk perkawinan dalam adat. Adapun bentuk perkawinan yang dimaksud adalah : 1. Perkawinan dengan hukum kebapaan 2. Perkawinan dengan hukum keibuaan 3. Perkawinan dengan hukum keibu-bapaan Menurut para sarjana hukum, perkawinan yang pertamam kali adalah hukum keibuan.Ada beberapa alasan yang dikemukaan para sarjana antara lain oleh Wilken dalam bukunya : opstelen overhet adat recht. Sebagaimana dikutip oleh datuk Usman, SH; dalam bukunya, DIktat Hukum Adat II. Disana dikemukakan beberapa alasan yaitu : 1. Dari cara manusia kuno stelsel keibuan sangat mungkin muncul oleh karena pada masa tersebut perkawinan belumlah teratur maka seseorang hanya mengenal ibunya dan ada kemungkinan tidak mengenal bapaaknya 2. Dalam stelsel kebapaan ada beberapa istilah yang bila diartikan seolah-olah hukum kebapaan lahir dari keibuaan, misalnya : Sabutuha – satu perut ditanah batak Sebuah paruik-garis berasal dari satu perut di Minangkabau Senina-satu nenek di Tanah Karo. Terlepas dari hal bentuk perkawinan mana yang pertama lahir,ketiga bentuk perkawinan di atas masih dapat dijumpai eksistensinya dilingkuingan – lingkungan persekutuan hukum adat di Indonesia. Selain berpengaruh pada sistem kekerabatan,hukum perkawinan ini juga memberi hak-hak istimewa kepada pihak-pihak dalam perkawinan dalam hal-hal tertentu, misalnya hubungan anak, harta kawin, pewarisan, dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan sekilas tentang bentuk perkawinan diatas. 1.
Perkawinan dengan sistim hukum kebapaan Sifat perkawinan yang terpenting dalam stelsel kebapaan ini adalah pembayaran uang jujurnya. Dengan perkawinan ini, pihak perempuan lepas dari ikatan kekeluargaanya dan masuk dalam keluarga/clan pihak laki-laki/suaminya. Untuk mengembalikan keseimbangan magisch ini, maka pihak laki-laki harus menyerahkan barang jujur kepada pihak keluarga perempuan. Pada masa awalnya, barang jujur ini adalah berupa benda yang sifatnya magisch akan tetapi lamakelamaan, barang jujur dapat diganti dengan uang. Oleh karena barang jujur dapat diganti dengan uang maka seolah-olah barang jujur berubah fungsi sebagai harga untuk membayar. Beberapa kalangan memandang, seolah-olah istri/perempuan dalam stelsel kebapaan sebagai barang belian yang oleh sebab itu punya kedudukan yang rendah dalam masyarakat. Akan tetapi bila kita lihat dari sejarah,uang jujur ini adalah merupakan suatu lembaga yang penting. Dalam sejarah perkawinan,dimana pemberian jujur merupakan suatu kopensasi yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dengan perkawinan jujur maka ikatan antara perempuan dengan keluarganya seolah-olah menjadi putus,sehingga dengan sendirinya perempuan tersebut
©2003 Digitized by USU digital library
2
bukanlah ahli waris kekeluargannyapun bukan ahli waris untuk keluarga suaminaya. Bahkan disebagian daerah hukum adat dianggap seolah-olah menjadi warisan suaminya karena jika suami meninggal, istri tidak dapat meninggalkan begitu saja clan dari suaminya dan ada kewajiban untuk melakukan perkawinan leViraat (leviraat huwelijk). Lebih lanjut dapat disimpulkan kemungkinan bagi janda yang telah ditinggal suaminya dalam hukum perkawinan stelsel kebapaan : 1. Kawin lagi dari salah satu karib mendiang suaminya atau (liviraat huwelijk). Biasanya untuk janda yang tidak punya anak dari perkawinan dengan mendiang suaminya. 2. Tidak kawin dan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga mendiang suami, dengan demikian dia berhak menguasai harta warisan suami dan berhak melakukan pengurusan terhadak anak-anaknya. 3. Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara si janda dengan keluarga mendiang suaminya.Dalam hal ini apabila si janda hendak keluar dari lingkungan keluarga suaminya maka harus ada persetujuan/persesuaian paham dengan keluarga mendiang suami. Pada dasarnya kawin leviraat ini adalah untuk menjamin kepentingan si janda disamping untuk melanjutkan keturunan.Dengan perkawinan leviraat, pihak mendiang suami dapat memenuhi kepentingan si janda dan anak-anaknya. Bentuk perkawinan lain yang dikenal dalam stelsel kebapaan adalah perkawinan sorotan yang mana bila si isteri meninggal dunia maka akan digantikan oleh saudaranya sendiri. Perkawinan ini dikenal dengan nama Wissel Huwelijk yang di Tapanuli dikenal denagn perkawinan angkat rere sedangkan di Tanah Karo dikenal sebagai perkawinan gancih abu. Dalam hal Wissel Huwelijk ini, anak-anak yang lahir baik dari perkawinan pertamapun dengan perkawinan kedua mempunyai hak-hak yang sama dalam hal warisan dan sebagainya. 2.
Perkawinan dengan sistem hukum keibuan Di Indonesia sistem perkawinan dengan hukum keibuan ini dapat kita jumpai pada masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang terdiri dari Clan Matrilineal dimana kedudukan wanita penting dan tinggi didalam rumah tanggapun juga didlaam rapat-rapat clannya. Akan tetapi orang laki-laki juga diakui dan tinggi didalam sistem perkawinan keibuan ini. Disisni kedudukan laki-laki adalah sebagai orang yang dihormati dan orang ynag memegang kekuasaan. Seorang laki-laki adalah berkuasa didalam kaumnya karena pihak laki-laki adalah pengawas dari harta waris (mamak kepala waris) sedangkan dalam Clan isterinya, pihak laki-laki termasuk orang yang dihormati karena meski pihak laki-laki tetap berada dalam golongan sanak saudaranya namum ia berhak bergaul dengan kerabat si isteri sebagai orang sumando (ipar). Dalam hal warisan hanya pihak perempuanlah yang berhak menjadi pewaris, tetapi pada kejataannya pihak laki-laki seolah-olah berhak mewarisi karena mamak kepala waris adlah kepala pengawas harta pusaka. Pengawasan dalam hal ini adalah termasuk tentang cara-cara pemakaian harta pusaka tadi. Oleh karena mamak harus tinggal dirumah isterinya sebagaimana semua suami tinggal dengan isterinya maka tugas mamak kepala waris ini sehari-harinya dapat diberikan kepada laki-laki yang tinggal dalam kaumnya ya g sudah barang tentu adalah : tungganai atau ipar (sumando) yang tertua. Ciri-ciri perkawinan di Minangkabau 1. Pada umumnya calon suami dipilih pihak keluarga calon isteri, namun dalam perkembangannya calon sendiri bebas memilih calon suaminya. Pada
©2003 Digitized by USU digital library
3
umumnya terjadi perkawinan yang asimetris conobium dimana berasal dari keluarga dekat. 2. Dianjurkan melakukan indogami teritorial namun hal ini tidaklah suatu keharusan dan tidak mutlak untuk terjadi. 3. Exogam suku; namun berbeda dengan perkawinan antar clan pada umumnya, karena di Minangkabau tidak ada pihak yang keluar dari clannya. Karena kaluapun anak-anak mengikuti garis keturunan ibunya namun yang berkuasa adalah mamaknya. Oleh karena tidak mengenal keluarga salah satu clan dari kerabatnya maka sistem perkawinan keibuan tidak mengenal uang jujur. Akan tetapi disana masih dikenal juga yang di sebut sebagai mahar maupun barang jemputan diberi pihak perempuan. Hal ini terjadi karena adanya percampuran hukum adat dengan hukum Islam dan stelsel ini mengarah kepada stelsel keibu-bapaan. 3. Perkawinan dengan sistem hukum keibu-bapaan Tujuan perkawinan dalam setelsel keibu-bapaan adalah untuk melanjutkan keturunan kedua belah pihak. Dalam stelsel ini kedudukan pihak isteri dan suami adalah sama. Dalam stelsel keibu-bapaan bila melangsungkan perkawinan juga mengenal adanya pemberian-pemberian dari pihak calon suami kepala keluarga isteri dan kadang-kadang kepada calon isteri tersebut. Akan tetapi berbeda dengan uang jujur pemberian dalam perkawinan stelsel keibu-bapaan tidak bermaksud untuk melepas isteri dari lingkungan keluarganya sendiri. Pemberian ini hanyalah sebagian besar dipengaruhi oleh hukum Islam yang mewajibkan pembayaran mahar. Di beberapa daerah, seperti Melayu dan Jawa pemberian ini hanya dimaksudkan untuk mengurangi beban pihak isteri dalam melaksanakan pesta perkawinan (uang hangus-Melayu; Tuko-Jawa). Oleh karena kedudukan suami-isteri adalah sama, dengan sendirinya kedudukan anak laki-laki dan perempuan juga sama. Pada umumnya stelsel keibubapaan tidak mengenal persatuan masyarakat, yang ada hanyalah persatuan keluarga (gezin) yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak-anaknya. Dalam hal warisan kedudukan anak-anak adalah sama, namun dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dimana penghitungan warisannya juga menurut hukum waris Islam. B. PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT Berlangsungnya kehidupan rumah tangga dengan perkawinan, membawa akibat terhadap harta kekayaan. Dalam hal harta perkawinan timbul permasalahan tentang bentuknya rumah tangga, akibat yang akan terjadi jika meninggal dunia. Untuk menjelaskan hal tersebut diatas, oleh Terhaar membedakan harta kekayaan rumah tangga 4 (empat) bagian : 1. Warigan/hibah yang diperoleh salah satu pihak suami atau isteri dari kerabatnya. 2. Harta yang diperoleh salah satu pihak suami atau isteri atas usaha sendiri sebelum atau selama perkawinan. 3. Harta yang diperoleh oleh suami-isteri selama perkawinan karena usaha bersama. 4. Harta yang diperoleh dari hadiah selama perkawinan. Dalam hukum adat, pada umumnya tidak dikenal. Akan tetapi dewasa ini lembaga perceraian ini sudah mulai dikenal dalam masyarakat adat. Bila perceraian, barang-barang asal yaitu segala harta perkawinan, kecuali harta yang diperoleh suami-isteri karena usaha bersama selama perkawinan, akan kembali kepada kerabatnya.
©2003 Digitized by USU digital library
4
Mengenai barang yang diperoleh karena usah bersama ini tidak banyak diketahui dalam hukum adat berhubung karena perceraian dianggap sebagai hal yang haram dalam adat. Akan tetapi dapat ditarik beberapa kesimpulan yang mana : apabial dalam perceraian itu ada anak, maka harta bersama/gana-gini akan jatuh pada pihak yang memelihara anak-anak yang biasanya clan yang sesuai dengan garis keturunan. Sedangkan apabila tidak ada anak, maka hartya perkawinan ganagini ini juga menjadi milik clan dari yang membayar jujur, mahar dan sebagainya oleh karena adanya anggapan bahwa kedudukan mereka lebih tinggi. Mengenai akibat yang timbul karena kematian salah satu pihak adalah terbukanya warisan dari si meninggal. Pada perinsipnya perinsip pewarisan menurut hukum adat adalah hal 157 Diktat Usman: 1. Menurut hukum adat pewarisan adalah beralihnya harta benda suatu generasi kepada generasi lain yang menyusunnya. Dalam hal ini ada kalanya ahli waris bukanlah anak kandung dari pewaris. 2. Jika pewarisan tidak dapat dilakukan secara menurun, maka dapat dilakukan keatas atau kesamping dalam hal ini ada 2 hal :
3. 4.
5. 6.
a. Keturunan dapat mengendalikan keluarga sedarah lainnya. b. Hak pewaris dari keturunan tidak dapat dicabut tetapi hak mewaris menurut garis keatas/menyamping dapat dicabut pewaris melalui wasiat. Tidak selalu harta peninggalan dapat dibagi-bagi oleh para ahli waris karena ada yang harus di tangguhkan dan ada peninggalan yang memang tidak dapat dibagi-bagi. Harta peninggalan menurut hukum adat adalah semua harta benda yang pernah dimiliki pewaris termasuk harta benda yang telah diberikannya kepada anak-anaknya semasa dia hidup yang mana harus diperhitungkan dalam pembagian warisan. Hukum adat mengenal pengganti tempat (plants vervulling). Lembaga anak angkat dalam hukum adat dapat menjadi pewaris bagi orang tua kandungnya dan di beberapa daerah hukum adat, anak angkat dapat juga sebagai waris bagi orang tua angkatnya.
BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN A. KEDUDUKAN JANDA DALAM HAL PERCERAIAN Dalam hukum adat, mengenai perceraian ini tidak lazim diatur karena menurut hukum adat perkawinan adalah suatu yang magish dan tabu untuk melakukan perceraian. Dalm hal perceraian tidak dapat dihindari maka kedudukan janda/isteri para pihak dalam perkawinan adalah sangat tergantung pada bentuk perkawinan tersebut. Perkawinan dengan stelsel keibuan misalnya dengan perceraian tidak hak si isteri/janda untuk meneruskan garis keturunan pada anak-anak yang lahir. Sedangkan dalam harta gana-gini biasanya patuh pada pihak yang memelihara anak yaitu pihak isteri/janda. Suami sebagai orang asing dalam clan isteri tidak mendapat harta gana-gini karena perceraian kecuali harta benda asal dan pendapatan asal selama perkawinan berlangsung. Harta benda asal ini maksudnya adalah segala harta benda yang didapatnya dengan usaha sendiri (tanpa bantuan isteri/suami) selama dalam perkawinan.
©2003 Digitized by USU digital library
5
Beberapa halnya dengan stelsel kebapaan, dimana dengan perceraian juga tidak mengurangi haknya atas garis keturunan anak-anak selama perkawinanpun dengan harta/barang asal siisteri, berhak untuk diambil sendiri oleh si isteri dan atau kembali kepada kerabat si isteri. B. KEDUDUKAN JANDA DALAM HAL KEMATIAN SUAMI Dalam stelsel kebapaan yang mana perkawinan dilangsungkan dengan membayar uang jujur, kedudukan isteri adalah kurang dihargai pada daerah tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kewajiban bagi janda untuk melakukan leviraat huwelijk. Akan tetapi bila kita lihat lebih dekat dalam hal perkawinan stelsel kebapaa ini, kedudukan isteripun dengan janda adalah sangat istimewa. Bagi orang Tapanuli misalnya kedudukan isteripun dengan janda yang ditinggalkan mati suami dalam clan dan marga suami lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan anak perempuan yang menjadi kakak atau adik dari suami. Hal ini kita lihat bahwa dalam DALIHAN NATOLU, pihak boru harus hormat [ada pihak hula-hula]. Dalam hal ini kedudukan isteripun dengan janda dalam perkawinan jujur stelsel kebapaan tidaklah seperti pandangan sebagaian ahli hukum adat. Tentang leveraat huwelijk dilakukan adalah untuk menjamin kebutuhan hidup dari si janda, disamping untuk mempertahankan keturunan marga. Ini juga sebagai bukti bahwa kedudukan isteri/janda adalah tinggi dimana seorang perempuan akan punya kebanggan yang melebihi kebanggan lain apabila ia telah dapat melahirkan anak dan dalam stelsel kebapaan anak laki-laki adalah terbaik. Yang lebih menarik adalah kedudukan jandfa dalam keluarga dengan stelsel keibu-baan, dimana kedudukan suami-istri dan anak laki-laki serta anak perempuan adalah sama. Dalam hal ini janda yang ditinggal mendiang suaminya berhak menguasai harta peninggalan dengan status hukum Vruchgenot rech, hal ini mengakibatkan bahwa kedudukan para ahli waristerhalangi dengan hak janda tersebut. Menyangkut tentang kedudukannya dalam keluarga janda menjadi pengurus bagi anak-anak dan harta peninggalan. Hak mana hanya sekedar pengurusan tanpa berhak mengalihkannya, kecuali dalam hal-hal tertentu dengan izin dari ahli waris janda boleh mengalihkannya. Namun untuk melindungi pihak ketiga yang dengan itikad baik,hukum adat menentukan, bahwapenjualan barang peninggalan oleh janda tanpa izin ahli waris tidaklah batal, melainkan tetap sah, sedangkan akibat lain yang timbul diantara mereka (para waris dan janda) adalah masalah intern yang diselesaikan dengan permufakatan diantara mereka. C. DALAM HAL LAPANGAN HARTA PERKAWINAN Seperti telah diuraikan diatas bahwa dalam lapangan harta perkawinan,Janda karena perceraian tidak punya hak apa-apa kecuali harta/barang asal yang dimilikinya,sedangkan dalam hal harta gana-gini janda tidak punya hak. Berbeda dengan janda karena kematian suami, dia punya kedudukan yang agak istimewa,jikalau misalnya anak-anak telah mencar semua istri sebagai janda tinggal sendiri didalam rumahtangga yang ditinggaslkan oleh almarhum suaminya berhak tetap tinggal di rumah tangga itu dengan hak untuk menguasai harta benda yang ditinggalkan jika ia memerlukannnya untuk kehidupannyaKeputusan Raad va yustisi di Jakarta tanggal 26 Mei 1939 (T.151 hal 193)menetapkan janda tidak dianggap sebagai waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak menerima penghasilan dari harta peninggalan si suami, jika ternyata harta gana-gini tidak mencukupi dan ia berhak untuk terus hidup sedapat-dapatnya seperti keadaan pada waktu perkawinan.
©2003 Digitized by USU digital library
6
Akan tetapi dalam hal-hal tertentu janda dapat dikecualikan dari ketentuan tersebut diatas. Misalnya dalam susunan kasanak-saudaraan pada garis keturunan ibu. Seperti di Minangkabau dimana isteri tidak memerlukan nafkan dari harta peninggalan suaminya. Oleh karena kematian suaminya, seorang janda mempunyai hak antara lain : a. Selama hidupnya atau selama dia belum kawin lagi, janda tadi berhak untuk mengurus harta peninggalan suaminya. Pengurus ini tidak dapat dicabut. b. Janda dalam hal harta peninggalan (barang asal suami, barang asal isteri dan harta gono-gini) dibolehkan membagi-bagikan antara semua anak. Dalam hal ini anak-anak wajib memelihara ibunya. c. Janda berhak menguasai harta peninggalan dalam hal sebagiannya guna kepentingan rumah tangga. Dalam hal si janda kawin lagi dan atau meninggal dunia maka harta peninggalan tersebut dibagi para ahli warisnya. D. TENTANG JANDA TAK PUNYA ANAK Kedudukan janda yang tak punya anak adalah sangat perlu untuk ditelaah mengingat dalam hukum adat janda bukanlah sebagai ahli waris dari suami. Hal ynag lebih penting dan erat hubungannya adalah bilamana suami punya anak dari isteri yang lain. Menurut Ter Haar bahwa pangkal pikiran hukum adat adalah isteri sebagai orang luar tidak punya hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri dia berhak mendapat napkah dari harta peninggalan selama ia membutuhkannya. Di Minangkabau misalnya yang berdasarkan garis keturunan ibu Moeder Rechttelijk isteri tidak membutuhkan napkah dari harta peninggalan suami. Dalam hal ini janda mendapat bagian dari harta peninggalan suami bukanlah sebagai waris melainkan hak untuk menarik penghasilan (Veruchtgenoot) dari harta peninggalan suami seumur hidupnya selama ia memerlukan untuk nafkahnya. Janda dapat pula diberi bagian yang lanyak sekaligus dari harta peninggalan suami. Adakalanya harta peninggalan dibiarkan tetap berada pada janda termasuk segala barang asal dari suami, akan tetapai barang tersebut boleh pula dibagi-bagi para waris, asal saja kehidupan sijanda tetap terpelihara. Dalam hal janda kawin lagi dengan orang lain maka ia keluar dari rumah tangga bekas suaminya dan menjadi anggota keluarga baru. Bial terjadi demikian barang gono-gini dapat dibagi antara para waris disatu pihak dan janda dipihak lain sedangkan barang asal suami tetap berada hanya pada ahli waris suami. Jadi pemberian sebagai harta peninggalan kepada janda bukanlah karena pewarisan akan tetapi hanya atas dasar pemukatan dari para ahli waris suami. E. TENTANG RUMAH TANGGA LEKAS GUGUR Dengan adanya prinsip bahwa janda berhak atas nafkah selama hidupnya. Berhubung kedudukannya didalam keluarga maka untuk keperluan napkah tersebut barang gono-gini harus disediakan baginya. Janda berhak menahan barang asal suami sekedar barang gono-gini tidak mencukupi untuk keperluan napkahnya. Prinsipnya ini hanya berlaku bagi janda yang telah lama hidup bersama dari perkawinan dengan almarhum suaminya. Dalam keadaan yang istimewa, seorang perempuan yang belum lama kawin, belum punya anak, bahkan belum ada barang gono-gini dan suaminya meninggal, prinsip diatas tidak dapat berlaku. Dalam hal ini janda tidak berhak menahan barang asal suami dengan alasan untuk nafkah, melainkan janda muda tersebut kembali kepada orang tuanya dan apabila tiba waktunya dapat kawin lagi. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa dalam pembentukan rumah tangga lekas gugur, tumah tangga yang dimaksud belum terjadi bulat sehingga si janda tak punya hak untuk menuntut barang asal sesuatupun dari ahli waris mendiang suaminya.
©2003 Digitized by USU digital library
7
F. JANDA SEBAGAI WARIS Dalam daerah-daerah tertentu seorang janda dapat dianggap sebagai ahli waris dari suaminaya. Putusan-putusan pengadilan yang pernah menetapkannya antara lain : 1. Landraad Sumedang tanggal 2 Agustus 1937 menetapkan : Bahwa kalau tidak ada anak, janda, ibu dan saudara-saudara perempuan adalah sebagai ahli waris. 2. Landraad Bandung, tanggal 15 Desember 1937-T149/246 Untuk Jawa Barat, kalau tidak ada anak dan atau keluarga lain, janda berhak jadi ahli waris. 3. Landraad Kutoarjo, tanggal 18 OKtober 1938-T.139/204 Untuk Jawa Tengah, anak dan janda adalah ahli waris mendiang suami dengan menyampaikan keluarga-keluarga yang lain. 4. Landraat Purwodadi, Semarang, 14 September 1933-T.143/257 Menetapkan : janda adalah ahli waris dari mendiang suami. 5. Raad Van Landraad Pemalang 2 Desember 1932 Apel dari Landraad Pemalang 2 Desember 1932 Menetapkan : Janda dan anak laki-laki adalah ahli waris. Sehubungan dengan keputusan-keputusan tersebut diatas, Gondokusumo dan Emmanuels mengatakan bahwa janda adalah sebagai ahli waris. Pendapat ini diutarakan dengan beberapa alasan : 1. Pada janda diberikan sebagian dari harta peninggalan yang mana tidak dipersoalkan apakah barang itu berasal dari barang gono-gini atau barang asal suami. Dengan pemberian ini janda berhak mengalihkannya dengan ijin daripada ahli waris suami, akan tetapi nilai ijin ini tidak diberikan, pengalian tersebut tidaklah batal. 2. Bahagian yang telah diberikan pada janda menjadi kepunyaan sendiri, walaupun dia kawin lagi, barang tersebut tidak boleh diminta oleh ahli waris yang lain. 3. Bagian barang yang diperoleh janda tersebut boleh diibahkan pada siapa saj dan bila si janda meninggal maka barang tersebut diwariskan kepada ahli waris janda tersebut. Dengan alasan tersebut diatas, janda dapat dipandang sebagai ahli waris. Dalam hal lain janda juga dapat berhak sebagai ahli waris kalau peninggal harta tidak punya ahli waris selain derajat keempat. Terhadap alasan-alasan diatas beberapa sarjana tidak sependapat dan tetap menganggap bahwa janda bukanlah sebagai ahli waris. Kalua kita perhatikan, ahli waris berhak atas harta asal (boedel warisan) dari sipewaris. Lain halnya dengan janda, dimana hak ini hanya memiliki sebatas harta gono-gini tidak mencukupi dan ia punya hak untuk menguasai dan menarik hasilnya sepanjang ia membutuhkan. Adapun janda diberi harta peninggalan untuk menjadi miliknya sendiri hamnyalah karena permufakatan diantara para ahli waris untuk menghindari janda menuntut nafkahnya kepada ahli waris bilamana harta peninggalan habis ataupun hilang. Karena dengan pemberian ini hak menuntut tersebut tidak lagi dimilikinya. Mengingat ada beberapa daerah yang mengaku janda sebagai ahli waris dapat ditarik kesimpulan : terserah kepada hakim untuk mrenentukan keputusannya, apakah janda tersebut sebagai ahli waris atau tidak. Hal ini terjadi karena hukum adat tidak menentukan dengan tegas tentang kedudukan janda terhadap harta warisan suami.
©2003 Digitized by USU digital library
8
G. KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM ISLAM Dalam hukum Islam, suami bertanggung jawab dalam pemeliharaan nafkah isterinya. Juga telah ditetapkan bahwa isteri adalah langsung menjadi ahli waris bagi suaminya dan demikian sebaliknya. Kedudukan isteri sebagai ahli waris dipandang sangat kuat karena tidak satu halpun dapat membatalkan haknya sebagai ahli waris. Diwilayah hukum adat yang masih dipengaruhi oleh hukum Islam, dalam hal warisan hukum waris Islam langsung dipakai sebagai hukum waris seperti di Melayu, Jawa dan sebagainya. Akan halnya di Minangkabau, meskipun sangat dekat dengan agama Islam namun dalam hal warisan tetap memakai hukum adat. HUBUNGAN DENGAN HUKUM PERDATA Dalam Hukum Perdata, perkawinan hanya dipandang dari sudut perdatanya saja, maka isteri dipandang sebagai ahli waris. Ole karena Hukum Perdata memandang kedudukan suami-isteri sama dan seimbang dalam hal harta perkawinan, maka harta persatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau para ahli warisnya masing-masing. Pasal 128 BW menetapkan : “ Setelah bubarnya peraturan maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para ahli warisnya masingmasing dengan tak memperdulikan soal dari pihak manakah barang tersebut diperolehnya “. Pengecualian dapat terjadi bila dalam perkawinan tersebut dikenal perpisahan harta kekayaan. Dalam hal ini harta yang dibagi adalah harta gono-gini sedangkan barang asal kembali kepada pemiliknya dan atau para ahli warisnya.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian diatas ditarik kesimpulan : 1. Hukum adat mengenal bentuk-bentuk hukum perkawinan, yang mana mempengaruhi kedudukan janda dan ahli warisnya. 2. Dalam hal janda adalah sebagai ahli waris atau tidak, tergantung kepada keputusan hakim yang menetapkannya karena dalam hukum adat tidak ditemukan suatu kepastian hukum yang umum berlaku. 3. Walaupun hukum adat memandang janda bukan sebagai ahli waris namun janda berhak atas nafkah hidupnya sepanjang dan nyata-nyata dia membutuhkannya dan berhak untuk menahan dan atau menguasai barang asal suaminay jika barang gono-gini tidak mencukupi. 4. Pengecualian dalam hal persatuan rumah tangga lekas gugur dimana hak untuk menahan harta asal suami dan nafkah untuk janda tidak berlaku tetapi ia hanya berhak atas pemberian ahli waris suami. B. SARAN 1. Kedudukan janda harus lebih diperhatikan mengingat tugas seseorang ibu adalah mulia. 2. Agar pelaksanaan kedudukan suami-isteri adalah sama dan seimbang sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ditindak lanjuti dengan peraturan perundang-undangan.
©2003 Digitized by USU digital library
9
DAFTAR PUSTAKA 1. Soepomo, R. Prof, Dr, SH. Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramith, Cet 12, 1989 2. Datuk Usman, SH. Diktat Kuliah Hukum Adat I, Usu Press 3. Subekti, R, SH, Prof. Kitab Unudang-Undang Perdata 4. Imam Sudyat, SH, Prof. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Cet 2, 1981
©2003 Digitized by USU digital library
10