Universitas Negeri Surabaya UNIVERSITY PRESS
Kampus Unesa Ketintang Surabaya Gedung C-15 Telp. 031-8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031-8288598 Email.
[email protected]
Universitas Negeri Surabaya UNIVERSITY PRESS
Kampus Unesa Ketintang Surabaya Gedung C-15 Telp. 031-8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031-8288598 Email.
[email protected]
ISBN 978-979-028-745-7
978- 979- 028- 745- 7
ISBN 978-979-028-745-7
978- 979- 028- 745- 7
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa di Indonesia dalam Perspektif Perubahan Global ©2014 Pada Masing-masing Penulis Desain Grafis : Fariz R Wijaya Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI Kampus Unesa Ketintang Surabaya Gedung C-15 Telp. 031-8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031-8293462 Cetakan I, Maret 2015 157 halaman, 15 x 21 cm ISBN: 978-979-028-745-7
KATA PENGANTAR Awal sekali perlu saya sampaikan puji syukur ke hadirat Allah SWT., karena atas perkenanNya juga pada akhirnya buku ini selesai disusun. Semoga kita sekalian tergolong hambaNya yang pandai bersyukur. Mengamati berbagai fenomena dan gejolak sosial yang terutama terjadi di kalangan remaja dan generasi muda, sejak tahun 2010 para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan menyadari perlunya melaksanakan revitalisasi pendidikan karakter bagi anak bangsa, sejak di SD sampai ke perguruan tinggi. Sejak saat itu, berbagai publikasi tentang pendidikan karakter diterbitkan oleh berbagai institusi, termasuk oleh Universitas Negeri Surabaya. Merupakan suatu kehormatan, tatkala Universitas Negeri Surabaya dipercaya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melaksanakan penelitian berskala nasional yang berjudul “Peta Profil VariabelVariabel Karakter Bangsa Siswa-Siswa pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Penelitian yang melibatkan lebih dari 100 tenaga akademik dari tujuh fakultas di Universitas negeri Surabaya tersebut diketuai oleh Dr. Yuni Sri Rahayu di bawah pengawasan dan kendali Rektor Universitas Surabaya pada waktu itu, Prof.Dr. Muchlas Samani. Laporan resmi sebagai temuan penelitian tersebut telah diserahkan kepada Badan Penelitain dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian tersebut, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya. Melihat besarnya cakupan temuan penelitian, Tim Peneliti iii
memutuskan untuk menerbitkan 3 (tiga) buah buku pendamping dan pelengkap laporan penelitian tersebut. Buku pendamping yang pertama berjudul Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia telah selesai disusun dan diterbitkan pada tahun 2012 yang lalu. Buku ini adalah buku pendamping yang kedua, aksentuasinya adalah identifikasi identitas kultural dan karakter siswa-siswa di setiap daerah atau kelompok etnis yang diteliti, disertai perspektif perubahan karakter dalam era globalisasi dan peranan nilai karakter dalam Kurikulum 2013. Nilai karakter dalam Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk dikembangkan dalam diri setiap peserta didik di Indonesia dalam konteks menghadapi perubahan global. Buku ini diberi judul Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa di Indonesia dalam Perspektif Perubahan Global. Terakhir saya berharap banyak manfaat yang dapat dipetik dari penerbitan buku ini, serta kehadirannya mampu memperkaya khasanah ilmu kependidikan di negara tercita Republik Indonesia ini. Semoga.
Surabaya, Desember 2014 Rektor Universitas Negeri Surabaya
Prof.Dr. Warsono, M.S.
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
v
BAB I: PENDAHULUAN
1
A. Dimensi penting karakter dalam persaingan global
2
B. Karakter siswa yang relevan dengan perkembangan global
4
BAB II: GLOBALISASI DAN IDENTITAS KULTURAL
6
BANGSA INDONESIA A. Globalisasi dan berbagai dampaknya
6
B. Globalisasi dan identitas kultural
9
C. Pendidikan karakter sebagai antisipasi perubahan global
13
BAB III: IDENTITAS KULTURAL DAN KARAKTER
22
SISWA-SISWA DI INDONESIA A. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Sumatra
23
B. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Kalimantan
32
C. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Jawa
43
D. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa di Bali
88
E. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa sasak- Lombok
97
F. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa Sulawesi
102
G. Identitas kultural dan karakter siswa-siswa Rote Ndao
116
(NTT)
v
BAB IV: REORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
121
A. Urgensi pendidikan karakter di sekolah
121
B. Strategi implementasi pendidikan karakter di sekolah
123
C. Pentingnya peranan keluarga dalam pendidikan karakter
127
D. Peran kurikulum dalam membangun karakter siswa
132
E. Relevansi dan implikasi penerapan pendididkan karakter bagi
141
pendidikan di masa depan BAB V : PENUTUP
151
DAFTAR PUSTAKA
154
vi
BAB I
01
PENDAHULUAN
S
ejak tahun 2010, melihat berbagai gejolak dan fenomena sosial yang menjangkiti anak bangsa, pentingnya pendidikan karakter menjadi wacana nasional yang semarak dibicarakan di manamana. Pelan tapi pasti, sejak itu, dilaksanakan implementasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah, sejak dari Sekolah Dasar (SD) sampai ke perguruan tinggi. Sejumlah pertanyaan yang kemudian muncul antara lain adalah, sejauh manakah implementasi pendidikan karakter di Indonesia saat ini? Adakah implementasi pendidikan karakter itu pada lajur yang benar (in the right track) ?. Cukup efektifkah pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah? Dalam hubungan ini, Universitas Negeri Surabaya yang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan penelitian yang berjudul “Peta Profil Variabel-variabel Karakter Bangsa Siswa-siswi pada Pendidikan Dasar dan Menengah”. Populasi penelitian adalah seluruh siswa di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua, dengan sampel sejumlah SD, SMP, SMA/SMK di sejumlah kota besar di seluruh wilayah Indonesia. Laporan resmi tentang temuan hasil penelitian sudah disusun dan diserahkan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2012 yang lalu. Selanjutnya, sebagai implikasi positif, ada tiga buah buku pendamping dan pelengkap laporan tersebut. Buku ini adalah buku kedua yang mengiringi laporan resmi tersebut. Buku pertama telah diterbitkan pada tahun 2012 lalu dengan judul, Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia. Aksentuasi bahasan dalam buku kedua ini adalah tentang
Pendahuluan sejauh mana globalisasi berpengaruh kepada karakter siswa anak bangsa berdasarkan identitas kultural masing-masing. Sehubungan dengan itu, kita juga perlu melihat seberapa besar peranan pendidikan karakter dalam mempersiapkan para siswa untuk menghadapi perubahan global. Sehubungan dengan maksud tersebut maka buku kedua ini diberi judul, Identitas Kultural dan Karakter Siswa Indonesia dalam Perspektif Perubahan Global.
A. Dimensi Penting Karakter dalam Persaingan Global Pada saat Indonesia sedang sibuk memikirkan cara untuk keluar dari krisis multidimensi, negara-negara lain justru sedang berkonsentrasi untuk menghadapi era persaingan bebas. Persaingan global yang amat kompetitif itu genderangnya sudah ditabuh dengan berlakunya AFTA China sejak awal tahun 2010 dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Laju kompetisi ini akan semakin meningkat dengan berlakunya global free trade pada tahun 2020 nanti. Pada umumnya negara-negara maju sepanjang dasawarsa ini berpikir tentang peningkatkan daya saing bangsa sesuai dengan trend masa depan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa kualitas sumber daya manusia menempati posisi strategis dan menjadi dimensi penting. Berbicara tentang kualitas sumber daya manusia berarti berbincang tentang karakter manusia. Thomas Lickona (dalam Megawangi, 2004) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara aspek moral dengan kemajuan sebuah bangsa. Artinya semakin rendah derajat moralitas suatu bangsa, akan semakin rendah pula tingkat kemajuannya. Aspek moral yang diteliti oleh Lickona ini berkaitan dengan sejumlah indikasi berupa meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang kurang senonoh, pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya 2
Pendahuluan etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, maraknya ketidakjujuran, dan hadirnya rasa saling curiga serta kebencian di antara sesama. Sementara itu Dasgupta dan Sarageldin (1999) mengkaji hubungan antara kadar modal sosial dengan tingkat capaian pembangunan sebuah bangsa. Semakin tinggi kadar modal sosial sebuah bangsa, akan semakin tinggi pula kemajuan bangsa tersebut. Modal sosial merupakan satu perangkat norma yang mengikat dan mempererat kerjasama dalam masyarakat, yang ditandai rasa kebersamaan yang tinggi, meningkatnya rasa saling percaya, dan rendahnya tingkat konflik. Bila dicermati, nilai-nilai tersebut merupakan nilai universal yang menjadi perhatian pendidikan karakter. Oleh sebab itu, upaya untuk membangun karakter menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan lewat lembaga pendidikan, baik melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Daniel Goleman dalam Megawangi (2004) menyatakan bahwa ada 13 faktor yang menunjang keberhasilan seseorang dalam dunia kerja. Dari 13 faktor tersebut, 10 di antaranya terkait dengan kualitas karakter seseorang. Sepuluh karakter tersebut adalah: (1) jujur dan dapat diandalkan; (2) bisa dipercaya dan tepat waktu; (3) bisa menyesuaikan diri dengan orang lain; (4) bisa bekerja sama dengan atasan; (5) bisa menerima dan menjalankan kewajiban; (6) mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri; (7) berpikir bahwa dirinya berharga; (8) bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif; (9) bisa bekerja mandiri dengan supervisi minimum; dan (10) dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya. Sedangkan ketiga faktor lainnya adalah hal yang berkaitan dengan faktor intelligence quotient, IQ. Terlihat jelas bahwa karakter yang unggul harus menjadi bagian yang integral dalam pembentukan manusia seutuhnya, agar tercipta manusia dengan daya saing yang tinggi.
3
Pendahuluan B. Karakter Siswa yang Relevan dengan Perkembangan Global Setelah dipahami pentingnya karakter yang kuat dan tangguh bagi para siswa di Indonesia untuk menghadapi perubahan global, pertanyaan yang kemudian bergulir mengikutinya adalah karakter apa saja yang harus ditanamkan, dipupuk, dan dikembangkan dalam diri mereka agar sanggup bertahan dalam persaingan global yang makin ketat?. Pertanyaan krusial yang harus menjadi kepedulian para pendidik anak bangsa. Para pendidik dan pemerhati pendidikan di Indonesia pada umumnya sepakat, bahwa apapun pendekatan yang dipilih guru dalam pembelajaran, apa pun bahan ajar yang sedang digeluti para guru bersama para siswa, tugas guru yang mulia dalam pengembangan pendidikan karakter adalah bagaimana mengembangkan dan menyeimbangkan olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain, beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan patriotik. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain adalah cerdas, kritis, kreatif, inovatif, kuriositas, produktif, analisis, dan reflektif. Karakter yang dikembangkan dari olah raga antara lain, bersih dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih. Karakter yang ingin dikembangkan dari olah rasa dan karsa adalah kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, peduli, cinta tanah air, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Dalam hubungan ini ada semacam keyakinan dari para pengambil kebijakan dan pemerhati pendidikan di Indonesia, bila keempat dimensi olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa tersebut mampu dikembangkan dengan baik melalui institusi pendidikan, seluruh anak bangsa, peserta didik yang bergelut dan berkecimpung dalam wahana pendidikan di Indonesia akan mampu dengan yakin dan teguh menghadapi semua tantangan global.
4
Pendahuluan Ada hal lain yang menjadi perhatian atau bahasan buku ini, hal tersebut adalah keinginan untuk memahami sejauh mana Kurikulum 2013 mampu menyiapkan para tunas bangsa menjadi sosok yang unggul dan mampu bertahan dalam riuh rendah persaingan global. Demikianlah, sebagai temuan dari suatu penelitian, buku ini mencoba untuk mengungkapkan apakah pendidikan karakter dengan segala dimensi dan variasinya mampu membangun jati diri para peserta didik mulai dari SD, SMP, sampai SMA/SMK, baik dalam hal kemuliaan dirinya pribadi, maupun membangun jati diri sebagai bangsa, yang niscaya merupakan modal esensial dalam menghadapi persaingan global.
5
BAB II
06
GLOBALISASI DAN IDENTITAS KULTURAL BANGSA
A. Globalisasi dan Berbagai Dampaknya
G
lobalisasi menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy makna sederhananya adalah perubahan fundamental dalam kontur ruang dan waktu. Joko Siswanto (2009) menyatakan bahwa globalisasi adalah semua bentuk dan proses yang merujuk pada penyatuan seluruh warga dunia menjadi sebuah kelompok global, dan lebih jauh merupakan bentuk keterhubungan masyarakat dunia yang meliputi bidang politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Dalam hubungan ini, sebelumnya Sastrapratedja (1995) menegaskan bahwa globalisasi harus dipahami lebih dari sekadar proses internasionalisasi, yaitu hubungan timbal balik antar negara; tetapi sebagai suatu bentuk baru, dimana dunia disatukan dan menghasilkan kebudayaan global yang disebut kebudayaan “ketiga” yang melampaui batas negara. Dunia memang berubah dan globalisasi adalah dunia yang terhubung (connected world), seolah tanpa batas atau meminjam istilah yang dipakai oleh McLuhan sebagai global village (Fakih, 2006; McLuhan, 1994). Salah satu pemaknaan terhadap globalisasi menyatakan bahwa globalisasi merupakan “both a journey and destination: it signifies a historical process of becoming, as well as an economic and cultural result; that is arrival at the globalized state” (suatu perjalanan sekaligus juga tujuan: menandai proses sejarah proses untuk menjadi, juga merupakan hasil ekonomi dan budaya; yaitu ketibaan pada kondisi global (Ferguson, 2002: 239). Globalisasi pada hakikatnya telah membawa nuansa budaya dan nilai yang untuk
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa memengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Lebih lanjut Joko Siswanto (2009) menyatakan bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari ataupun ditolak kehadirannya. Globalisasi sekurang-kurangnya membawa enam ciri penting. Pertama, modernisasi terjadi pada semua segi kehidupan manusia yang serba kritis serta hilangnya narasi-narasi besar (grand narative). Kedua, berkembangnya ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar bebas. Pasar bebas diyakini sebagai bentuk perekonomian yang adil dan mampu mewujudkan demokrasi, mengurangi kemiskinan, dan membuat pesat pertumbuhan ekonomi. Ketiga, muncul paradigma baru tentang saling ketergantungan ekonomi antar bangsa. Keempat, muncul konsep global village yang terjadi karena teknologi komunikasi yang luar biasa. Kelima, paralelisasi antara ide-ide globalisasi dengan pemikiran akan munculnya eksistensi masyarakat internasional. Keenam, kemiripan politik globalisasi dengan ide liberalisme (Joko Siswanto, 2009). Selain itu, juga dapat diidentifikasi beberapa ciri yang menonjol, yaitu: pertama, tentang perubahan konsep ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi; kedua, ketergantungan antar negara dalam perdagangan dunia; ketiga, peningkatan interaksi kultural melalui media masa yang melewati batas budaya dan batas ruang; keempat, meningkatnya masalah dan isu bersama, misalnya tentang lingkungan, krisis multidimensional, inflasi regional, dan sebagainya. Namun sesungguhnya, aspek lain yang menonjol dan menyertai globalisasi adalah moral universal yang ditawarkan. Moral universal pada satu sisi menawarkan sebuah konsep baru, tetapi pada kesempatan lain menawarkan konsep moralitas lokal untuk menunjukkan determinasi dalam perjumpaan nilai antar bangsa. Persoalan moralitas ini terkait erat dengan etika. Etika adalah satu cabang filsafat yang 7
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa membicarakan standar-standar moral yang seharusnya dimiliki oleh manusia agar mendapatkan identitasnya sebagai manusia. Dalam hubungan ini, sejumlah ahli telah membuat daftar baik dampak positif dan dampak negatif globalisasi. Arjun Kulkarni (2012) menyatakan bahwa dampak positif globalisasi antara lain (1) meningkatnya kompetisi dalam pengertian positif, seperti perlombaan dalam meningkatkan mutu, seperti peningkatan mutu pelayanan pelanggan dan lain-lain. (2) Penyediaan lapangan kerja yang lebih luas. Banyak industri yang berasal dari negara maju menanamkan modalnya di negara sedang berkembang, sehingga terjadi penyediaan dan penyerapan lapangan kerja. (3) Perdagangan luar negeri yang semakin berkembang sebagai hasil usaha yang saling menguntungkan. (4) Penyebarluasan keterampilan teknis (technical know-how) dari negara maju ke negara sedang berkembang. (5) Penyebaran budaya dalam artian positif karena mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya lain yang masuk ke negara tertentu. (6) Penyebarluasan pendidikan, sekarang lebih mudah mencari institusi pendidikan yang bermutu di Luar negeri Sedangkan Prabakhar Pillai (2011) mengidentifikasikan sejumlah dampak negatif dari globalisasi, antara lain (1) untuk memangkas biaya, banyak perusahaan melakukan kegiatan luar daya (outsourcing) terutama dari negara maju ke India dan China, di mana tenaga kerja amat murah. (2) Banyak aliran filsafat berpendapat bahwa globalisasi bertanggungjawab atas meningkatnya perbudakan, trafficking, dan penggunaan tenaga kerja anak-anak. (3) Globalisasi tanpa disadari telah membantu penyebaran terorisme dan kejahatan. (4) Di negara maju banyak keluhan bahwa globalisasi menyebabkan sampah bertumpuk, sampah industri menimbun, dan level pencemaran yang meroket tajam. (5) Rantai penjualan makanan siap saji seperti McDonalds dan KFC menyebar luas dengan cepat sehingga ada istilah McDonaldisasi bahkan juga istilah Cocacolonisasi untuk minuman cepat saji. (6) Yang kaya bertambah kaya, yang miskin semakin miskin, dan harus berjuang hidup
8
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa habis-habisan agar mendapatkan makanan. Pada esensinya globalisasi telah menyebabkan dunia mengerut, meng erucut dan dengan cepat berubah. Perubahan tersebut terutama dirasakan di kota-kota besar dunia, di mana sajian budaya melalui filmfilm dan televisi satelit dengan mudah diakses. Sebagai suatu simpulan sementara, berikut ini sejumlah ciri yang menandai fenomena globalisasi. 1. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan perangkat (gadget) seperti telepon genggam, laptop/notebook, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global telah terjadi sedemikian cepat. Dengan makin mudahnya akses transportasi, pergerakan massa seperti turisme memungkinkan manusia berjumpa dengan banyak hal dan budaya yang berbagai macam. 2. Semakin besarnya ketergantungan pasar pada produksi komoditas ekonomi di banyak negara sebagai akibat pertumbuhan perdagangan internasional. Makin besarnya dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO) maupun International Monetary Fund (IMF). 3. Peningkatan interaksi budaya melalui glorifikasi media massa, terutama melalui televisi, film, pertunjukan musik, dan siaran berita maupun olahraga internasional. 4. Meningkatnya masalah bersama seperti pemanasan global akibat efek rumah kaca, hujan asam, kabut asap lintas negara, krisis multinasional dan lain-lain.
B. Globalisasi dan Identitas Kultural Pembicaraan tentang globalisasi dan pengaruhnya, tampaknya tidak dapat dihindarkan dalam berwacana tentang pengembangan karakter bangsa Indonesia, khususnya karakter siswa-siswa di 9
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa Indonesia. Pembicaraan ini dapat dicermati di antaranya dari teori yang diungkapkan oleh seorang ahli antropologi, Edward T. Hall, yang dalam bukunya Beyond Culture (1976) membagi kultur bangsa-bangsa menjadi dua kelompok besar. Pertama, apa yang disebutnya dengan high context culture, dan kedua, low context culture. Menurut Hall, konteks (context) didefinisikan sebagai suatu informasi di sekeliling sesuatu kejadian dan terkait erat dengan kejadian tersebut. Namun juga ditegaskan bahwa konteks hanya sebuah ukuran relatif dari budaya. Ada kisaran atau spektrum dari high and low context culture. Copeland dan Griggs (1986) menggolongkan bangsa Indonesia sebagai high context culture. Jennifer E. Beer (2003) menyarikan ciriciri high context culture antara lain sebagai berikut; (1) Komunikasi verbal jarang eksplisit, tidak terlalu memerlukan aturan tertulis,(2) Telah terjadi pemahaman yang mendalam tentang apa-apa yang dikomunikasikan, (3) Saling berhubungan dalam waktu yang lama, (4) Lingkungan yang kuat yang dinyatakan sebagai kepemilikan dan berbeda nyata dengan milik mereka yang tergolong orang luar (outsider), (5) Pengetahuan bersifat situasional dan relasional, (6) Keputusan dan kegiatan berpusat pada hubungan muka dengan muka antar personal, sering berpusat pada sosok sentral yang berkuasa. Hubungan (relationship) lebih penting daripada tugas. Dalam hubungan ini, agaknya walau orang Indonesia tergolong high context culture, ada kisaran kepemilikan high context culture. Misalnya orang Yogyakarta dipersepsikan lebih high context daripada orang Surabaya. Sementara itu low context culture terkait dengan kelompok masyarakat yang cenderung memiliki koneksi yang banyak dengan berbagai kelompok masyarakat yang lain, namun dalam waktu yang relatif lebih singkat. Dalam masyarakat seperti ini perilaku budaya dan kepercayaan memerlukan pengungkapan secara eksplisit agar dapat dimengerti bersama. Contoh low context culture adalah orang yang berkerumun di bandara udara, di supermarket, di kafetaria, dan tempat 10
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa layanan umum (public space) lainnya. Bangsa yang tergolong low context culture adalah orang Amerika, orang Jerman, dan orang Inggris. Beer menyatakan bahwa ciri-ciri umum masyarakat low context culture antara lain adalah, (a) Berorientasi pada aturan, hubungan antara manusia diatur oleh aturan eksternal, (b) Umumnya pengetahuan dikodifikasikan, diumumkan, ekternal dan mudah diakses oleh semua pihak, (c) Terbentuk oleh banyak hubungan antar personal dalam waktu singkat, (d) Pengetahuan sering mudah ditransfer antar pribadi, (e) Berorientasi kepada tugas, tugas lebih penting daripada hubungan. Keputusan dan kegiatan berpusat kepada apa yang diperlukan agar tugas-tugas dapat diselesaikan, terjadi pembagian tanggungjawab yang jelas. Contohnya orang Australia menempati low context culture tertinggi, terendah adalah orang Amerika Serikat. Orang KanadaInggris lebih low context daripada orang Inggris sendiri. Sementara itu orang Afrika menduduki high context culture tertinggi, terendah adalah orang Vietnam. Orang Indonesia kurang high context daripada orang Filipina tetapi lebih high context daripada orang Thailand. Dalam hubungannya dengan waktu dan kegiatan, bangsa-bangsa dengan high context culture cenderung polikronik (berwaktu ganda), yang maknanya mengerjakan berbagai kegiatan dalam waktu yang sama. Sedangkan low context culture memiliki waktu M-Time, waktu monokronik, yang maknanya hanya mengerjakan satu kegiatan pada suatu waktu. Berdasarkan kajian dari Edward T. Hall dalam publikasinya The Dance of Life, The Other Dimension of Time (1983) secara ringkas dapat dipaparkan konsep waktu-kegiatan kedua budaya tersebut sebagai berikut,
11
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa Tabel 2.1 Beda Antara Kegiatan Monokronik dengan Polikronik No 1.
Faktor Kegiatan
2.
Fokus
3.
Perhatian terhadap waktu
4.
Prioritas
5.
Penghargaan terhadap kepemilikan Penjadwalan waktu
6.
7
Dimensi perubahan
Kegiatan Monokronik Mengerjakan satu kegiatan pada satu waktu Berkonsentrasi pada tugas yang ditangani Berpikir tentang kapan sesuatu tugas harus dibereskan Meletakkan tugas sebagai sasaran utama Jarang meminjam atau menyewa sesuatu
Kegiatan Polikronik Mengerjakan banyak hal pada satu waktu Mudah terpecah untuk kegiatan lain Berpikir tentang apa saja yang dapat dicapai
Menekankan kepada kesegeraaan dan ketepatan waktu Perubahan berlangsung cepat, seseorang dengan cepat berubah dan melihat segera hasilnya
Ketepatan waktu bergantung kepada faktor hubungan Perubahan berlangsung lambat. Segala sesuatu berakar pada masa lampau, lamban berubah dan stabil
Hubungan antar pribadi sebagai sasaran utama Sering dan mudah meminjam atau menyewa
Sumber: Hall (1983)
Sebenarnya teori Edwars T. Hall ini bukan teori yang tiba-tiba muncul sendiri. Jika dilacak, teori ini sebenarnya berakar dari teori kebutuhan (need theory) yang telah dikembangkan oleh Henry Murray, seorang ahli psikologi, pada tahun 1938. Murray menyatakan ada tiga kebutuhan dasar manusia yang disebutnya sebagai kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), kebutuhan untuk berkuasa (need for power), serta kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation). Teori Murray ini menemui bentuknya dan lebih berkembang lagi karena penelitian David C. McClelland yang kemudian dipublikasiklan dalam bukunya yang fenomenal, The Achieving Society ( 1961). Berdasarkan teori McClelland tersebut masyarakat yang memiliki kebutuhan berprestasi (N-Ach, need for achievement) tinggi antara lain memiliki ciri berkeinginan kuat untuk bertindak efektif dan menyukai tantangan, bersandar kepada kekuatan intrapersonal ( dari dalam diri sendiri), dan cakap dalam menetapkan tujuan hidup. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi (NAffil, need for affiliation) tinggi, antara lain bercirikan bersandar kepada hubungan antar personal (interpersonal relationship) dan cenderung 12
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa memiliki waktu yang bersifat polikronik, karena waktu selalu didefinisikan sebagai waktu untuk bersama orang lain dan waktu untuk diri sendiri. Ringkasnya, terlihat bahwa masyarakat yang beridentitas kultural low context culture identik dengan masyarakat yang memiliki NAch tinggi, sedangkan masyarakat dengan high context culture setara atau identik dengan masyarakat yang memiliki N-Affil tinggi, misalnya masyarakat Indonesia.
C. Pendidikan Karakter sebagai Antisipasi Perubahan Global 1. Konsep Karakter Sebelum berbincang tentang implementasi pendidikan karakter di Indonesia, perlu kita samakan persepsi dahulu tentang pengertian karakter. Riyan dan Bohlin (2001) secara etimologis menerangkan bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani charassin yang berarti menuliskan pada permukaan lempengan batu atau logam. Berangkat dari akar kata tersebut, berkembang pengertian bahwa karakter adalah sebuah tanda atau ciri yang sangat khas. Karakter juga dipahami sebagai kerangka perilaku seseorang yang dipertimbangkan dari suatu sudut moral. William (2002) menyatakan bahwa karakter adalah susunan ciri psikologis yang mempengaruhi kecenderungan dengan kemampuan seseorang untuk bertindak secara bermoral. Karakter tersusun atas unsur-unsur yang dapat membimbing seseorang untuk melakukan tindakan yang benar. Setiap individu memiliki karakter, cara berperilaku yang secara relatif dapat diramalkan, pola bertindak yang dengan mudah dapat dirasakan oleh orang di sekitarnya. Sumber lain menegaskan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak dan budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (KUBI, 2008). Sementara itu, Samani dan Hariyanto (2011) memaknai karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, yang terbentuk baik karena pengaruh hereditas (bawaan, nature) maupun lingkungan (nurture), yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku kehidupan 13
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa sehari-hari. Dalam hubungan ini Pemerintah Republik Indonesia (2010), dalam buku Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 yang merupakan bagian dari Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa menjelaskan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang. Aristoteles memandang bahwa orang yang memiliki karakter baik, hidupnya senantiasa dipenuhi dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain dan diri sendiri. Dia mengembangkan keutamaan hidup yang mengarah baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Keutamaan yang mengarah kepada diri sendiri misalnya adalah pengendalian diri sendiri. Keutamaan yang mengarah kepada orang lain adalah murah hati dan bela rasa. Dua jenis keutamaan tersebut saling berhubungan satu sama lain. Keduanya harus dikembangkan agar tidak hanya berbuat baik kepada diri sendiri atau hanya kepada orang lain saja, melainkan keduanya. Karakter merupakan gabungan semua keutamaan yang hidup dalam tradisi keagamaan, kisah-kisah dalam buku sastra, cerita kepahlawanan, dan tokoh-tokoh dalam sejarah. Lebih lanjut dikatakan bahwa karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang. Dennis Coon (1983) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Berkowitz dan Bier (2004) menyebutkan bahwa karakter adalah sekumpulan karakteristik psikologi kompleks yang memungkinkan individu untuk berperilaku sebagai agen moral. Davis (2003) menyatakan sifat karakter, yakni suatu watak bersifat 14
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa tetap. Sekali terbentuk, karakter akan bertahan lama. Karakter dapat diartikan dalam berbagai makna dan aspek. Tujuh aspek psikologis dalam karakter ialah aksi moral, nilai moral, kepribadian moral, moral emosi, alasan moral, identitas moral, dan karakter dasar (Berkowitz 1997). Sementara itu, Megawangi (2003) menyatakan bahwa kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3) jujur/amanah dan arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong, dan gotong yoyong; (6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan adil; (8) baik dan rendah hati; (9) toleran, cinta damai dan kesatuan. Dengan demikian, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki dan mampu mengaksentuasikan kesembilan pilar karakter tersebut. Diharapkan dengan membekali diri dengan kesembilan pilar karakter tersebut, segenap peserta didik di Inbdonesia akan lebih mampu menghadapi perubahan global. Dalam kaitan ini perlu dibedakan antara pengertian karakter dengan karakter bangsa. Jika pengertian karakter lebih berorientasi subjektif bagi seseorang atau sekelompok orang, maka dalam pengertian yang lebih holistik dan mencerminkan perilaku kolektif, ada istilah karakter bangsa. Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang unik-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang unik-baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI. Sejalan dengan pengertian ini karena penelitian ini lebih mengarah kepada pemahaman terhadap karakter
15
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa kolektif siswa-siswa dan bukan karakter individual setiap siswa, maka dalam penyebutan istilah karakter siswa, dimaksudkan sebagai karakter bangsa, siswa sebagai manifestasi dari perilaku bangsa. Pemaknaan ini secara konsisten akan dipergunakan bagi landasan analitis karakter siswa secara kolektif mewakili daerah penelitian atau asal kelompok siswa masing-masing. Pembangunan karakter bangsa yang salah satunya diwujudkan melalui implementasi pendidikan karakter di sekolah merupakan upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan bangsa dan negaranya sesuai dengan dasar ideologi konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban. Semuanya itu untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ipteks yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa berdasarkan Pancasila (Pemerintah RI, 2010:7). Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis dalam persaingan global yang semakin ketat. Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar yang dicetuskan para pendidik bangsa karena sebagai bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter holistik sebagai bangsa. Hal itu sangat penting karena menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensi. Sangat luas karena terkait dengan pengembangan multiaspek potensi-potensi keunggulan bangsa dan bersifat multidimensi karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam proses menjadi (becoming). 16
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa 2. Pendidikan Karakter Ada berbagai varian definisi tentang pendidikan karakter. Dari beragam definisi tentang pendidikan karakter, di antaranya menyebutkan, pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempratikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Megawangi, 2004). Membangun karakter adalah membangun kepribadian yang di dalamnya menyangkut nilai-nilai yang sifatnya universal seperti budi pekerti, akhlak, tenggang rasa dan lain-lain (Elfindri dan Rasmita, 2006). Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Lickona (1998) dalam Davis (2003) menyebutkan, “nilai-nilai bukanlah sekadar pemikiran, tetapi harus dikembangkan dengan melaksanakan perbuatan yang berbudi luhur”. Berdasarkan prinsip ini, pendidik karakter mencoba membantu siswa untuk melaksanakan perilaku yang baik, santun dan disiplin secara terus menerus, sehingga hal-hal tersebut secara relatif menjadi mudah untuk dilakukan oleh siswa serta secara relatif siswa menjadi merasa tidak biasa untuk melakukan hal-hal sebaliknya. Dalam hubungan ini, menurut Lickona (1992) pendidikan karakter menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Pertama, Moral Knowing. Secara umum terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu: 1) moral 17
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa awereness, 2) knowing moral values, 3) persperctive taking, 4) moral reasoning, 5) decision making dan 6) self-knowledge. Kedua, Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni: 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy, 4) loving the good, 5) self-control dan 6) humility. Ketiga, Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu: 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit). Menurut Crisiana (2005), karakter yang menjadi acuan dalam pendidikan karakter seperti yang terdapat dalam “The Six Pillars Of Character” yang dikeluarkan oleh Character Counts Coalition (a project of the Joseph Institute of Ethics). Enam jenis karakter yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur dan loyal 2) Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain. 3) Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian kepada orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar. 4) Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain. 5) Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam. 6) Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. 18
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa Tujuan utama dari pendidikan karakter adalah adanya pengembangan karakter dari dalam diri seseorang (Berkowitz dan Bier, 2004). Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut para ahli psikologi perkembangan, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilainilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius seorang filsuf terkenal Cina menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilainilai kebajikan, baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
3. Perkembangan Karakter Ada beberapa perspektif terkait faktor yang mempengaruhi perkembangan karakter seseorang. Pengikut aliran nurture berpendapat bahwa karakter terbentuk karena faktor lingkungan sehingga perkembangannya dimulai sejak dia lahir dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Aliran nature berpendapat lain. Para pengikut aliran ini mengatakan bahwa karakter lebih dipengaruhi faktor genetic sehingga perkembangan karakter sudah dimulai sejak prenatal karena faktor genetic orang tuanya. Aliran interaksionis muncul sebagai penengah di antara aliran nurture dan nature. Aliran ini mengatakan bahwa, selain dipengaruhi oleh genetic karakter juga dipengaruhi oleh lingkungan sehingga dapat dikatakan bahwa karakter berkembang saat individu dibentuk dalam kandungan dan akan terus berkembang karena faktor lingkungan. Karakter yang mulai berkembang di masa bayi di antaranya: rasa 19
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa empati, konsep tentang manusia, dan kelekatan dengan orang lain. Karakter-karakter tersebut terus berkembang hingga mulai muncul karakter yang lebih matang seperti kontrol diri, perasaan benar atau salah, perspective-taking (anak bertindak dengan mempertimbangkan cara-cara pihak lain juga akan bertindak). Pada umumnya, perkembangan karakter di masa remaja merupakan lanjutan dari karakter yang sudah mulai muncul dari masa bayi dan anak-anak. Perkembangan karakter yang menonjol di masa remaja adalah moral reasoning dan pembentukan moral identity. Mahasiswa berada pada tahap remaja akhir dan dewasa awal sehingga perkembangan karakter yang menonjol adalah moral reasoning dan terbentuknya moral identity. Moral reasoning adalah perkembangan dari kapasitas kognitif untuk menilai sesuatu benar atau salah dan membuat keputusan dengan pertimbangan moral yang matang. Lebih lanjut, moral reasoning berkaitan dengan perilaku bermoral dan tidak bermoral seperti menolong, curang, nakal, dan tindakan berisiko (seperti misalnya seks bebas dan penggunaan narkoba). Berbeda dengan perkembangan pada masa anak-anak yang baru dapat mempertimbangkan konsekuensi konkret, pada masa remaja, seseorang sudah dapat mempertimbangkan konsekuensi abstrak.
4. Pembentukan Karakter Karakter seseorang dapat dibentuk melalui keluarga, sekolah, teman sebaya, dan masyarakat. Sumber utama pembentuk karakter adalah keluarga, terutama kedua orang tua. Proses tersebut berlangsung melalui interaksi antara orang tua dan anak. Damon (2002) melaporkan hasil dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Orang tua yang memberikan perawatan dengan baik, tumbuh dalam keluarga yang demokratis, terbuka, memberikan pujian daripada celaan, disiplin dan penuh cinta cenderung membentuk anak yang mudah taat, memiliki 20
Globalisasi dan Identitas Kultural Bangsa orientasi sosial, memiliki kematangan empati, memiliki harga diri yang positif, memiliki ketajaman penalaran moral, kepekaan suara hati, dan altruis. Pembentukan karakter yang terjadi di keluarga kemudian akan diperluas oleh pengalaman di sekolah/universitas. Peran sekolah/universitas dalam membentuk karakter anak didik selalu bersifat sekunder, meskipun sepertiga waktu dihabiskan di sekolah atau universitas. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa (1) pada tahun-tahun pertama kehidupan anak memiliki ikatan emosi yang sangat kuat dengan orang tua; (2) sebelum masuk sekolah/kuliah anak sudah memiliki bentukan dasar-dasar karakter baik dari keluarga atau sekolah di tingkat bawahnya. Namun demikian, meskipun bersifat sekunder, peran sekolah/universitas dalam membentuk karakter tetap sangat penting. Sekolah/universitas berperan besar dalam membangun konsep diri, keterampilan sosial, nilai-nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, dan pengetahuan mengenai moralitas/suara hati. Proses pembentukan karakter di sekolah/universitas diwarnai dengan interaksi antar teman sebaya. Pengaruh teman sebaya sangat besar dalam pembentukan karakter dan perlu diingat bahwa puncak pengaruh teman sebaya berlangsung pada masa remaja. Selama berinteraksi dengan teman sebaya para siswa dapat belajar memecahkan masalah, membangun persahabatan, melatih kejujuran, menanamkan rasa setia kawan, mengasah ketajaman suara hati, dan sebagainya. Sumber pembentuk karakter mahasiswa yang lain adalah masyarakat. Pengaruh masyarakat dalam pembentukan karakter berlangsung melalui media massa, nilai-nilai kultural, dan suasana hidup secara umum. Berita atau informasi atau hiburan yang tersampaikan melalui media massa baik cetak maupun elektronik sangat mempengaruhi perasaan, pikiran, dan nilai-nilai yang dikembangkan oleh remaja.
21
BAB III
22
IDENTITAS KULTURAL DAN KARAKTER SISWA-SISWA DI INDONESIA
A
sumsi yang dijadikan landasan penulisan buku ini adalah, karena faktor nature sudah given, merupakan sifat kolektif dari siswa-siswa yang diturunkan oleh orangtua di wilayah hidupnya masing-masing, maka sebelum membahas karakter siswa sebagai hasil temuan penelitian, akan dibahas dahulu hasil interaksi manusia dengan lingkungan tempat bersemainya karakter tersebut atau nurture, dengan titik berat kondisi lingkungan alam. Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan teori Edward T. Hall, identitas kultural secara umum siswasiswa di Indonesia termasuk ke dalam high context culture. Pengertian identitas kultural di sini agak berbeda dari klasifikasi Hall tersebut, demikian pula pada pembahasan selanjutnya. Dalam hal ini identitas kultural dimaknai sebagai identitas yang terbentuk dari kondisi lingkungan, setting geografis, termasuk topografi, ketinggian dari muka laut, kondisi iklim dan lain-lain serta hasil interaksi antara manusia setempat dengan lingkungannya yang mencipta budaya yang khas bagi daerah masing-masing. Sementrara itu perlu diutarakan, karena buku ini merupakan buku kedua, karakter para siswa di Indonesia yang sudah dipaparkan di buku pertama, yang berjudul Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia, sudah tidak dibahas lagi di sini. Bahasan dalam buku kedua, yang diberi judul Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Indonesia dalam Perspektif Perubahan Global ini meliputi paparan
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia tentang karakter sebagian siswa di pulau Sumatra, pulau Kalimantan, pulau Jawa, Bali, Sulawesi, NTB, dan NTT. Sementara itu karakter siswa-siswa di Maluku dan Papua sudah dipaparkan pada buku bagian pertama. Pemaparannya dilandasi oleh identitas etnis di setiap pulau, dimulai dari pemaparan identitas kultural dan diikuti oleh temuan tentang karakter-karakter yang menonjol dari para siswa di sekolah sampel yang umumnya merupakan sekolah unggul mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK. Penunjukan sekolah sampel dilakukan oleh Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaann setempat.
A. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa di Sumatra 1. Etnis Melayu Jambi a. Identitas Kultural Provinsi Jambi terletak di daerah khatulistiwa antara 0.45° garis Lintang Utara, 2.45° garis Lintang Selatan dan 101.10° sampai 104.55° Bujur Timur. Provinsi Jambi yang beribukota di kota Jambi ini memiliki luas 53.435,72 km2. Populasinya berdasarkan sensus penduduk 2010 adalah 3.092.265 juta atau memiliki kepadatan penduduk 58 orang/km2. Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi sekitarnya membuat peran provinsi ini cukup penting, terlebih lagi karena memiliki dukungan sumber daya alam melimpah. Dengan suhu udara berkisar antara 23oC – 31oC, serta sekitar 60% lahan merupakan kawasan perkebunan dan kehutanan menjadikan kawasan ini merupakan salah satu penghasil produk perkebunan dan kehutanan utama di wilayah Sumatera. Primadona tanaman perkebunannya adalah kelapa sawit dan karet. Potensi kekayaan alamnya adalah minyak bumi, gas bumi, batubara, dan timah putih. Provinsi Jambi termasuk dalam kawasan segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-GT). Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari masyarakat asli Jambi, yakni suku Melayu Jambi yang menjadi 23
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia mayoritas, disusul kemudian suku Jawa, suku Kerinci, Minangkabau dan lain-lain. Suku Kerinci dan suku Minangkabau memiliki kemiripan kultur. Dalam sejumlah hal kultur masyarakat Jambi juga mirip dengan masyarakat Minangkabau. Di provinsi Jambi juga ada suku-suku asli pedalaman yang masih primitif, yaitu suku Kubu dan suku Anak Dalam. Setiap orang Melayu Jambi pada umumnya ramah terhadap orang yang sudah dikenal, tetapi mereka selalu bersikap hati-hati kepada orangorang yang belum dikenalnya. Sebagian besar penduduk, yaitu sekitar 96,5% menganut agama Islam, sisanya Kristen, Buddha, dan Hindhu. Kultur masyarakat Jambi sudah terbentuk sejak keberadaan Kerajaan Jambi atau Kerajaan Melayu yang telah ada antara abad ke-4 sampai abad ke-13. Bahasa utama yang dipergunakan adalah bahasa Melayu Jambi yang termasuk dalam dialek ”o” seperti halnya Melayu Palembang dan Melayu Bengkulu. Masyarakat Jambi sangat menjunjung tinggi adat. Hal ini diwujudkan dengan adanya ungkapan ”adat nan dak lokang dek panas dak lapuk dek ujan, titian toras bertanggo batu, jalan berambah nan diturut, baju bejait nan dipakai, sumur tergenang nan disauk”. Arti ungkapan itu adalah, adat yang tidak lekang oleh panas tidak lapuk oleh hujan, titian teras bertangga batu, jalan bertingkat yang diturut, baju berjahit yang dipakai, sumur tergenang yang disauk. Titian teras bertangga batu melambangkan ketentuan yang keras dan memiliki sanksi tegas yang harus dipatuhi semua orang. Jalan bertambah yang diturut artinya tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Perhatikan dialek o pada kata lokang untuk lekang dan toras untuk teras. Bahwa ada kemiripan antara budaya Jambi dengan budaya Minangkabu, terlihat dari peribahasa yang hampir sama di Minangkabau ini, ”adat nan tak lakang dek paneh, nan tak lapuk dek hujan”.
b. Karakter Siswa Sekolah yang diambil sebagai sampel penelitian, sesuai arahan 24
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jambi adalah sekolahsekolah unggulan SD, SMP, SMA, dan SMK di kota Jambi. Karakter kejujuran dikembangkan di sekolah berdasarkan pembiasaan. Bimbingan dari guru tentang nilai jujur, sering diberikan dalam bentuk nasihat dan saran di dalam kelas sehingga siswa dapat menerapkan nilai jujur di sekolah kepada sesama teman atau kepada guru. Nasihat tersebut merupakan penguatan positif, sedangkan penguatan negatif diberikan berupa teguran. Praktik kejujuran dibuktikan dengan contoh saat siswa menemukan barang bukan miliknya, siswa tersebut akan menyerahkan barang temuan kepada guru untuk dilanjutkan ke siswa lain yang merasa kehilangan. Disediakan kotak barang temuan. Beberapa unsur yang dikembangkan dalam pengembangan nilai kejujuran di antaranya; ketulusan hati, siswa dibiasakan untuk menghargai guru tanpa memandang latar belakang gelar yang mereka miliki serta diajari untuk menghormati orang yang lebih tua dengan santun. Kecuali itu juga dikembangkan nilai keimanan dan ketakwaan, sehingga mereka umumnya memiliki religiusitas yang tinggi. Pertanggungjawaban, dikembangkan dengan cara menunjuk siswa mengikuti lomba untuk mewakili sekolahnya. Menghargai diri sendiri dan perlunya sikap egaliter dimanifestasikan dengan cara semua siswa di sekolah memakai pakaian seragam yang rapi. Implementasi amanah diwujudkan jika menemukan uang di lingkungan sekolah mereka harus menyerahkannya kepada petugas. Sportivitas diwujudkan, di saat guru mengajukan pertanyaan, siswa-siswa di sekolah cukup memberikan kesempatan pada temannya untuk menjawab. Siswa tidak memonopoli jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru. Terkait dengan nilai cerdas, di sekolah dikembangkan kegiatan diskusi informal atau percakapan antar teman untuk saling menambah pengetahuan, ada pengelolaan perpustakaan yang intensif dan mendayagunakan internet sebagai sarana belajar, juga ada les belajar di luar sekolah. Sekolah menerapkan program pembinaan rutin, pemberian tugas belajar, dan pembiasaan berdialog dalam menumbuhkan nilai cerdas. Contoh konkretnya, guru memberikan 25
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Pekerjaan Rumah (PR), diskusi di kelas, tanya jawab dengan siswa, dan mengikutsertakan siswa dalam lomba olimpiade bidang studi, terutama matematika dan sains. Berikut ini adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengembangan nilai cerdas di antaranya adalah, Pertama, analitis, diwujudkan dalam tindakan jika merasa bersalah, siswa akan sesegera mungkin melakukan introspeksi untuk mencari penyebab suatu masalah dan digunakan sebagai pijakan untuk melakukan perbaikan dan pemecahan masalah. Dalam menyelesaikan masalah siswa melakukannya secara bersama-sama dalam satu tim, karena dianggap memudahkan dan membutuhkan waktu yang lebih singkat, sebab penyelesaian masalah dipikirkan bersama-sama. Hal ini juga berakar dari budaya setempat, seperti ternyata dalam ungkapan, ”elok cakap tengah berumbuk, buruk cakap serambi berumbuk” (elok bicara tengah berembuk, buruk bicara serambi berembuk). Maknanya melalui musyawarah berbagai kekurangan dapat disempurnakan. Kecuali itu dalam musyawarah harus disertai sikap bijaksana dan hatihati, jika ada perselisihan harus diselesaikan dengan bijaksana sehingga kedua belah pihak tidak merasa dikalahkan, ada win-win solution, sesuai prinsip ”macam narik bonang dalam topung, bonang dak putus topung dak terserak ” (seperti menarik benang dalam tepung, benang tidak putus, tepung tidak berserak). Kedua, kuriositas, ditunjukkan melalui rasa keingintahuan yang tinggi, sehingga dalam proses belajar mengajar banyak bertanya kepada guru; ditunjukkan dalam mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran maupun kegiatan ekstra kurikuler. Ketiga, kritis, ditunjukkan dengan sering bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti atau kurang sepaham, juga dikembangkan melalui perdebatan dalam diskusi kelas, hal ini berakibat siswa merasa jenuh dan bosan saat guru menyampaikan materi pelajaran hanya dalam bentuk ceramah. Sifat kritis ini berkembang karena tradisi mengharuskan setiap siswa untuk gigih mencari ilmu sesuai peribahasa ”bagurou ku nu pandei, ngambaik tuah ku nu manna, ngambaik 26
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia cuntauh ku nu sudeih” ( berguru pada yang pandai, mengambil tuah kepada yang menang, mengambil contoh pada yang sudah). Keempat, kemandirian, terkait dengan memupuk jiwa kemandirian, siswa di sekolah dibiasakan untuk mengerjakan tugas secara mandiri namun tetap tidak bersikap acuh tak acuh jika ada teman yang membutuhkan bantuan. Kelima, visioner, anak-anak sekolah umumnya memiliki citacita yang tinggi dan selalu berusaha untuk meraihnya. Sifat ini dipupuk untuk mewujudkan cita-cita ”urang kayo betabur urai, urang mulio betabur budi” (orang kaya bertabur emas, orang mulia bertabur budi). Menjadi orang mulia yang bermanfaat bagi masyarakat di sekelilingnya merupakan cita-cita sebagian besar siswa-siswa Jambi. Terkait dengan nilai peduli diwujudkan di sekolah dalam bentuk nyata seperti (1) bila ada teman yang sakit kawan lain segera menjenguk dan meringankan bebannya, (2) teman yang lemah belajar dibantu teman lain melalui kerja kelompok di rumah, (3) jika ada keluarga teman lain kesusahan, siswa mengadakan iuran untuk dibantukan dengan koordinasi guru, dan (4) siswa sangat kompak saat mendukung pertandingan temannya dengan sekolah lain. Akar budaya dan tradisi Jambi mempengaruhi nilai peduli siswa. Hal tersebut ditunjukkan melalui perilaku menghormati orang tua, anak yang sedang naik sepeda jika melewati kerumunan orang tua akan berhenti minta izin lewat, saat istirahat, siswa membagi jajanan kepada kawan lain. Bentuk implementasi di sekolah dalam penerapan nilai peduli disampaikan guru kepada siswa di dalam kelas, tiap hari siswa membersihkan kelas baik saat akan masuk maupun saat akan pulang, menegur kawan lain jika kawan lain itu tidak memasukkan baju seragam ke celananya, melerai kawan lain yang sedang bertengkar, merawat dan menjaga tanaman, memungut sampah, menjalankan piket umum dan khusus, dan siswa akan melapor ke guru jika terdapat kejadian yang tidak dapat diatasinya. Sifat peduli ini berakar dari peribahasa ”lambai sekepeh entak sedegam” (lambai sekipas hentak sebunyi), maknanya seia sekata 27
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia dalam melaksanakan pekerjaan. Terkait nilai tangguh siswa memiliki kebiasaan mudah dinasihati guru, tidak nudah menyerah jika menyelesaikan suatu tugas, ingin sekolah sampai perguruan tinggi, dan berangkat ke sekolah dengan jalan kaki atau naik sepeda, namun tetap berupaya tepat waktu, tidak terlambat sampai di sekolah. Nilai tangguh tersebut berakar dari budaya dan adat pada sebagian masyarakat Jambi yang mampu bertahan hidup dengan penghasilan pas-pasan. Masyarakat tangguh dalam mencari nafkah dengan prinsip kerja apapun jadi asalkan halal. Nilai tangguh ditanamkan dalam pembelajaran di kelas dengan cara penguatan citacita siswa, pembiasaan, pemberian motivasi, pemberian nasihat, dan pemberian contoh alumni yang berhasil kepada siswa. Untuk bersifat tangguh diperlukan sifat tegas. Sifat tegas ini sesuai dengan kultur masyarakat Jambi yang berpedoman ”kalau dak tembilang patah tanaman tekalik” (kalau tembilang patah, tanaman tercabut). Maknanya, jika diperlukan orang harus berani melakukan perbuatan dengan tegas, karena sikap tegas ini diperlukan untuk menyelamatkan berbagai pihak yang sedang mengalami berbagai masalah. Nilai tangguh berakar dari budaya masyarakat yang menyadari betapa sulitnya bekerja untuk mencari nafkah, seperti pepatah ”betelur nyamuk di punggung” (bertelur nyamuk di punggung), saking asyiknya bekerja berat menanam padi sampai tidak menyadari nyamuk bertelur di punggungnya.
2. Etnis Melayu Riau a. Identitas Kultural Kata Riau berasal dari bahasa Portugis rio, yang artinya sungai. Hal ini menandai banyaknya sungai-sungai besar di provinsi Riau. Diketahui ada sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Inderagiri. Semula etnik Riau hanya berada di satu provinsi, yaitu provinsi Riau, namun dengan adanya pemekaran maka sekarang berada di dua provinsi, yaitu di 28
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia provinsi Riau dan provinsi Kepulauan Riau. Walau demikian ciri etnis dan kulturalnya tetap sama. Berkenaan dengan itu penelitian ini hanya mengambil sampel di provinsi Riau, tepatnya di kota Pekanbaru. Luas total provinsi Riau adalah 87.023,65 km2. Jumlah penduduknya adalah 5.538.367 jiwa dengan kepadatan penduduk 64/km2. Populasinya didominasi oleh suku Melayu Riau, kemudian Jawa, Minangkabau, Batak, Banjar dan lain-lain. Agama yang dianut sebagian besar penduduk adalah Islam, Protestan, Buddha, Katholik dan lainnya. Bahasa pergaulan sehari-hari adalah bahasa Melayu Riau, bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Riau dicirikan dengan dialek ”o” dan sering hilangnya huruf r dalam pengucapan. Orang Riau amat menjunjung tinggi adat, hal ini terbukti dari pemaknaan terhadap peribahasa ,”untuk apo memasang pelito, untuk menjadi sulou ke jamban, untuk apo membilang ceito, untuk menjadi contoh teladan” (untuk apa memasang pelita, untuk menjadi suluh ke jamban, untuk apa membilang cerita, untuk menjadi contoh teladan. Perhatikan adanya dialek ”o” dan hilangnya huruf r dalam kata cerita.
b. Karakter Siswa Sampel penelitian adalah sekolah unggulan yang ada di kota Pekanbaru, meliputi, SD, SMP, SMA dan SMK. Dalam hubungan ini, nilai kejujuran dimaknai sebagai sikap yang berasal dari dalam diri seseorang agar orang lain mempercayai perkataan, tindakan dan pekerjaan seseorang. Sikap jujur selalu dilaksanakan setiap waktu dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Di sekolah juga dikembangkan nilainilai kejujuran dengan disediakan kotak kejujuran di sekolah dan di setiap kelas serta adanya kantin kejujuran. Akan tetapi terdapat hambatan dalam menerapkan nilai kejujuran yakni apabila terdapat pertengkaran antar siswa setiap siswa selalu mempertahankan dirinya agar tidak disalahkan, jika perlu terpaksa berbohong. Contoh yang lain 29
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia adalah pada saat ulangan ada sebagian siswa yang suka mencontek, dan guru tidak dapat mengawasi karena jumlah siswa terlalu banyak. Wajib untuk jujur sebenarnya telah menjadi adat tradisi budaya setempat, seperti ungkapan, “popat di lue popat di dalam, becakap tidak mengulum lidah, bekato tidak bemuko duo” (pepat di dalam pepat di luar, bercakap tidak mengulum lidah, berkata tidak bermuka dua). Nilai kejujuran biasanya setara dengan keadilan. Bahwa orang Riau harus adil, kerap dinyatakan dalam ungkapan, ”menimang samo boatnyo, menyukat samo takenyo, meukou samo panjangnyo” (menimbang sama beratnya, menyukat sama takarnya, mengukur sama panjangnya). Nilai kecerdasan adalah suatu kompetensi intelektual yang dimiliki oleh seseorang. Nilai ini juga di kembangkan pada sekolahsekolah yang ada, contoh dari kecerdasan yang dikembangkan di sekolah adalah adanya pembinaan siswa berprestasi, belajar aktif, pembinaan olahraga dan seni. Dalam proses pengembangan nilai kecerdasan terdapat hambatan yang ditemukan yakni pada saat pembinaan olimpiade ada guru yang kurang menguasai materi yang diajarkan, dan siswa tidak membuat tugas yang telah diberikan oleh guru. Akan tetapi prestasi yang ditorehkan oleh siswa cukup baik karena siswa sering mendapatkan juara olimpiade, lomba paduan suara, dan musik. Nilai kecerdasan juga dikembangkan melalui diskusi kecil atau diskusi kelas. Dalam diskusi dipraktikkan demokrasi atau musyawarah. Hal ini sejalan dengan ungkapan, “adat tumbou ate mupakat, adat bealei ate sepakat” (adat tumbuh atas mufakat, adat beralih atas sepakat). Bagi orang Riau, kecerdasan harus diimbangi dengan kerendahan hati, tidak boleh menyombongklan diri, “semakin tinggi lomu di dado, semakin ondah pulak atinyo, semakin banyak lomu dituntut, semakin teaso kekurangan awak“ (semakin tinggi ilmu di dada, semakin rendah pula hatinya, semakin tinggi ilmu dituntut, semakin terasa kekurangannya). Nilai kepedulian adalah segala sesuatu yang harus dan perlu diperhatikan, baik itu menyangkut orang atau kejadian. Di sekolah diajarkan nilai kepedulian yaitu peduli terhadap lingkungan yang diwujudkan dengan sikap hemat air, hemat listrik, peduli diri sendiri, 30
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia dan peduli sosial. Peduli sosial diwujudkan dengan dibinanya sikap gotong-royong serta kepedulian untuk membantu bila ada orang lain terkena musibah. Akan tetapi untuk mencapai nilai kepedulian terdapat hambatan yang dijumpai, salah satunya yakni dalam nilai peduli terhadap lingkungan. Untuk membenahi lingkungan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga karena keterbatasan dana, tidak membuahkan hasil yang maksimal. Masyarakat juga mendukung program peduli terhadap lingkungan karena nilai ini ternyata memang berakar dari budaya dan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu, berupa kebiasaan untuk menjaga lingkungan. Sikap kepedulian juga ditunjukkan dengan kemauan membantu orang lain jika memang memiliki kemampuan, sesuai ungkapan, ”ending daun tompat bertodou, bose batang tompat belindung, kuat ake tompat besilo” (rindang daun tempat berteduh, besar batang tempat berlindung, kuat akar tempat bersila). Penanaman nilai ketangguhan di sekolah dilakukan sebagai usaha untuk mempertahankan kompetensi yang telah dimiliki. Contoh nilai ketangguhan yang terdapat di sekolah adalah dalam bidang kesenian, olimpiade, dan mewujudkan sekolah Adiwiyata. Proses menumbuhkan nilai ketangguhan ini diimplementasikan dalam kelas dengan cara belajar tuntas, belajar keras, dan disiplin belajar. Nilai ketangguhan ini seiring dengan ungkapan, ”tunggang mati takkan mati, pukal beniagoi takkan ugi” (berani mati takkan mati, sungguhsungguh berniaga takkan rugi). Nilai ketangguhan ini ditanamkan sejak anak-anak masih kecil dengan cara memotivasi anak untuk mandiri, kuat berdiri dengan kaki sendiri. Dikatakan, ”jojakkan anak ke tanah, supayo nan tontu tompat bepijak, supayo kuat kaki bedii” (jejakkan anak ke tanah, supaya tahu tempat berpijak, supaya kuat kaki berdiri). Orang Riau juga dibiasakan untuk kerja baik, yakni kerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja tuntas. Hal ini seirama dengan ungkapan,”namo baik jadi sobutan, budi baik jadi ikutan, kojo baik jadi teladan” (nama baik jadi sebutan, budi baik jadi ikutan, kerja baik jadi teladan). 31
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia B. Identiars Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Kalimantan
di
1. Etnis Melayu Sambas a. Identitas Kultural Kabupaten Sambas adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Barat, membujur sebagai wilayah paling utara pada bagian pantai barat Kalimantan Barat. Terletak di antara 1’23” LU dan 108’39” BT serta berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia di Serawak, Malaysia Timur. Sebab itu dapat dipahami bila secara historis berhubungan dengan kesultanan Brunei Darussalam. Sultan Sambas adalah keturunan dari Sri Paduka Sultan Muhammad dari Kerajaan Brunei Darussalam. Suku dominan yang mendiami Kabupaten Sambas adalah suku Sambas atau disebut Suku Melayu Sambas Penduduknya mayoritas Melayu, dan berbahasa Melayu. Sebagian besar bahasa yang digunakan adalah sama, namun seiring perkembangan zaman, bahasa suku ini banyak menyerap bahasa dari bahasa Indonesia. Keunikan lain dari bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan huruf ganda seperti dalam Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa indonesia). Istilah Melayu Sambas baru muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 12% penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya suku Sambas dikelompokkan dalam suku Melayu pada umumnya. Sehubungan dengan hal tersebut ada kemungkinan dialek Melayu Sambas meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa kesukuan tersendiri, yaitu bahasa suku Sambas. Orang Sambas menjunjung tinggi kejujuran dan tidak suka kemunafikan. Hal ini tergambar dalam peribahasa yang berbunyi ”perahu lantai abe’ dah tau betanya agek” (perahu lantai bambu, sudah tahu bertanya lagi). Maknanya jangan suka pura-pura tidak tahu. Orang Sambas juga menjunjung tinggi kecerdasan. Seseorang jangan sampai 32
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia terlihat seperti ”uwa’-uwa’ nagorkan tae’nya” (uwa-uwa/siamang menegur tahinya), yang maknanya jangan sampai membicarakan kekurangan dari orang lain padahal dirinya sendiri memiliki kekurangan tersebut. Urang Sambas (orang Sambas) pada umumnya tangguh, suka bekerja. Hal ini terbukti dari adanya peribahasa ”begarak siko’ baru begarak jua jago’ ” (bergerak siku baru bergerak juga dagu), yang maknanya, hanya orang yang bekerjalah yang bisa makan dan tidak kelaparan. Bergerak dagu maknanya mengunyah makanan, dan itu hasil dari bekerja (bergerak sikunya).
b. Karakter Siswa Nilai kejujuran yang dikembangkan di kalangan siswa Sambas memilliki beberapa unsur di antaranya adalah, (1) Ketulusan hati, diwujudkan dengan sikap menghargai setiap guru tanpa membedakan latar belakang pendidikan guru mereka, (2) Keimanan dan ketakwaan, yang diwujudkan dengan adanya rasa kasih sayang dan peduli terhadap lingkungan yang mendasari siswa senantiasa menghargai dan menghormati semua ciptaan Tuhan, (3) Pertanggungjawaban, diwujudkan dengan sikap dan tindakan yang mendorong diri siswa untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan lingkungan, (4) Menghargai diri sendiri, dapat tercermin dalam penampilan ketika bersekolah selalu berseragam dan penampilan yang selalu rapi, (5) Amanah, terwujud dari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri siswa dapat dipercaya dalam tindakan, perbuatan dan perkataan yang terwujud ketika siswa menemukan sesuatu yang bukan miliknya selalu diserahkan kepada petugas, (6) Sportivitas, diwujudkan saat berkompetisi yang sehat dalam belajar. Sportif, mengakui prestasi temannya, memberikan kesempatan kepada temannya untuk berprestasi. Nilai cerdas yang dikembangkan memiliki beberapa unsur di 33
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia antaranya, (1) Analitis, sikap berorientasi ke depan untuk memajukan sekolah, (2) Pemecahan masalah, dilakukan secara bersama membuat semuanya menjadi mudah, (3) Kuriositas, sikap dan tindakan yang selalu ingin tahu, sehingga pada proses belajar mengajar banyak bertanya kepada guru, (4) Kreativitas, adanya dorongan dalam diri siswa untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, sehingga siswa rajin mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, (5)_ Kritis, sering bertanya kepada guru bila kurang mengerti atau kurang sepaham, mudah bosan dan merasa jenuh bila melihat sesuatu yang kurang menarik, (6) Kemandirian, bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas secara mandiri namun tetap memunyai rasa peduli terhadap teman yang membutuhkan bantuan, (7) Disiplin diri diwujudkan dengan tidak terlambat datang ke sekolah, selalu berseragam, (8) Menghargai perbedaan. penampilan siswa hampir tak dapat dibedakan antara siswa dari golongan ekonomi mampu maupun dari golongan ekonomi lemah, (9) Visioner, kesungguhan dalam mencapai cita-cita yang ditunjukkan dengan kesungguhan dalam belajar. Nilai peduli yang dikembangkan memenuhi unsur-unsur di antaranya adalah sebagai berikut, (1) Suka membantu, diwujudkan dengan sikap dan tindakan siswa yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain yang memerlukan, (2) Kewarganegaraan , diwujudkan dengan adanya rasa keadilan yang menempatkan setiap orang memunyai hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan, (3) Toleransi, yang diwujudkan dalam bentuk menghargai perbedaan suku dan agama, (4) Suka menghargai, merupakan sikap selalu bersedia mendengarkan dan didengarkan baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih muda, (5) Demokratis, diwujudkan dengan siswa terbiasa menyelesaikan masalah-masalah di kelasnya, yang dilakukan secara musyawarah, (6) Kebanggaan, diwujudkan dengan cara membersihkan lingkungan sekolah sebagai wujud dari rasa kebanggaan terhadap sekolah. 34
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Nilai tangguh diwujudkan dengan adanya unsur-unsur sebagai berikut, (1) Ketegasan, diwujudkan dalam menjaga aturan, dan tidak memerbolehkan teman lain mencontek pekerjaan rumahnya, (2) Keberanian, diwujudkan dengan menolak sesuatu yang dianggap tidak baik dan berani mengatakan tidak jika ada perintah guru yang dipandang kurang baik, (3) Kehati-hatian, diwujudkan dalam bentuk mengerjakan tugas yang diberikan guru, (4) Suka berkompetisi, diwujudkan dengan sikap suka kompetisi dalam rangka meraih prestasi. Memiliki semangat, motivasi, dan jiwa kompetisi untuk memperoleh nilai yang baik, (5) Dinamis, yang diwujudkan dengan sikap selalu berusaha mencari sumber bahan ajar yang dianjurkan guru, (6) Antisipatif, yang dilakukan dengan merencanakan sesuatu sebelum mengambil tindakan serta, (7) Kerajinan, yang merupakan bentuk disiplin dan taat aturan, serta rajin yang dibuktikan dengan kehadiran di sekolah 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Karakter jujur, cerdas, peduli dan tangguh yang tergambar dalam hasil pemetaan karakter di atas adalah cocok dengan karakter yang berkembang di daerah Sambas karena pada dasarnya pembelajaran yang berlangsung di sejumlah sekolah tersebut juga memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Pendidikan karakter tersebut sesuai dengan karakter budaya masyarakat setempat, seperti jujur, tergambar dalam nilai-nilai adat dan tradisi, keimanan dan kepercayaan, kejujuran dan kebajikan, pembangunan moral, akhlak dan kepribadian. Nilai nilai tersebut tergambar dari ungkapan-ungkapan dalam bahasa asli Sambas, yang antara lain “adat besendikan syara’, syara’ besendikan kitabullah dan sunah Rosul”, yang maknanya Adat istiadat tidak boleh bertentangan dengan agama. ”Telunjuk lurus, kelingking bekaik”, yang maknanya adalah bahwa segala perbuatan yang kita lakukan tidak boleh berpura-pura, tetapi harus jujur. ”cepat kaki, ringan tangan”, artinya suka menolong orang lain. Karakter cerdas, tergambar dalam nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan serta strategi mengatasi kesulitan hidup yang
35
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia tercermin dalam peribahasa asli masyarakat Sambas, seperti “undukunduk buah padi”, semakin berilmu semakin merendah dan tidak sombong. “sial madu rajing” meski nasib yang tidak menguntungkan tetapi bila diikuti dengan kerajinan pada akhirnya akan berhasil juga. Karakter peduli, tergambar dalam nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Sambas, seperti nilai-nilai tentang musyawarah, hubungan orang tua anak, tutur kata dan budi bahasa, hubungan kekeluargaan dan gotong royong, yang antara lain: ”seperau sitimba’ ruang”, selalu dalam kebersamaan, “tattak aek nda’an putus”, hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang tidak dapat dipisahkan, “bulat ae’ karne buloh, bulat kate karne immpakat”, mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Kecuali itu dalam masyarakat Sambas ada tradisi “belalle’ “, yang maknanya kebersamaan dan kegotong royongan. Peribahasa lain, ”macam aor dengan tabbing” yang artinya persahabatan yang tidak bisa dipisahkan, seia sekata. Karakter tangguh, tergambar dari nilai-nilai seperti hati-hati dan mawas diri, sikap menghadapi kehidupan, dan etos kerja dan perjuangan hidup, yang antara lain, ”ngukur baju di badan” artinya adalah orang yang tahu diri dan bisa menempatkan diri sendiri, “ibarat makan berulam” artinya puas atas hasil pekerjaan sendiri, bukan dari orang lain.
2. Etnis Dayak Palangka Raya a. Identitas Kultural Kota Palangka Raya atau terkadang ditulis Palangkaraya adalah sebuah kota yang sekaligus merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Kota ini memiliki luas wilayah 2.678,51 km² Secara garis besar Kota Palangka Raya merupakan dataran dan perbukitan yang tidak lebih dari 40% dan dibelah oleh sebuah sungai besar yaitu Sungai Kahayan. Selain itu juga terdapat 3 buah sungai buatan yaitu Sungai Pangaringan I, Sungai Pangaringan II, sungai Pangaringan III. Berpenduduk 36
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia sebanyak 220.223 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 62,89 jiwa tiap km² (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010). Sebelum otonomi daerah pada tahun 2001, Kota Palangka Raya hanya memiliki 2 kecamatan, yaitu: Pahandut dan Bukit Batu. Kini secara administratif, Kota Palangka Raya terdiri atas 5 kecamatan, yakni: Pahandut, Jekan Raya, Bukit Batu, Sebangau, dan Rakumpit. Kota Palangka Raya mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen dan Islam. Kondisi sosial masyarakat kota Palangka Raya dicirikan oleh keadaan sosial yang sangat santun, jujur dan bersahabat serta terbuka dalam hal menerima pendatang. Secara garis besar masyarakat Palangkaraya memiliki mata pencaharian pada bidang pertanian : 10,25%, pertambangan dan penggalian : 1,55%, industri : 3,89%, konstruksi : 10,95%, perdagangan : 30,37%, jasa : 32,81% dan lain-lain. Suku bangsa dominan yang berdiam di kota Palangka Raya adalah suku Dayak yang termasuk dalam rumpun suku Dayak Hilir, Terutama adalah Dayak Ngaju dan Dayak Bakumpai, Kecuali itu juga terdapat orang Banjar (Melayu), auku Jawa dan Bugis. Bahasa dominan yang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa Melayu, bahasa Banjar dan bahasa Ngaju. Berbagai agama dianut oleh pemeluk-pemeluknya. Di antaranya adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, dan Hindhu Kaharingan.
b. Karakter Siswa Nilai karakter yang dikembangkan di masyarakat Palangka Raya juga meliputi nilai jujur, cerdas, peduli dan tangguh. Karakter jujur yang dikembangkan di sekolah dapat terlihat dari tidak mencuri barang orang lain, mengembalikan barang temuan, tidak mencontek, dan tidak berbohong. Nilai kejujuran yang terdapat pada siswa memang dari budaya dan tradisi daerah setempat sehingga tidak sulit untuk menanamkan nilai kejujuran kepada siswa. Program-program yang dilakukan oleh sekolah untuk mendukung adanya penanaman nilai 37
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kejujuran yakni program tertulis berkelanjutan, kotak kejujuran, dan slogan-slogan tentang kejujuran. Penanaman nilai kejujuran ini bukan hanya di implementasikan pada pembelajaran di kelas saja akan tetapi juga diimplementasikan pada kegiatan ekstrakulikuler seperti PMR, drum band, bina musik, seni tari, dan bidang olah raga. Akan tetapi dalam menerapkan nilai kejujuran terdapat hambatan yang ditemui yakni terkadang masih ada siswa yang bersikap belum jujur dalam berbuat dan terkadang ada orangtua yang tidak peduli bila anaknya tidak jujur. Masyarakat pada umumnya sangat mendukung adanya penerapan nilai kejujuran di sekolah dengan cara ikut serta dalam memberikan informasi kalau ada perbuatan siswa yang kurang jujur dan memberikan teguran-teguran terhadap siswa yang melakukan perbuatan kurang jujur. Hal ini sesuai dengan peribahasa dalam bahasa Dayak Ngaju yang menyatakan “nyama ewau madu, para mimbit puntut” (mulut bau madu, pantat bawa sengat), maknanya orang harus baik dan jujur luar dalam, tidak manis di mulut tetapi jahat di hati. Nilai kecerdasan diwujudkan berupa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dengan baik dan benar. Nilai kecerdasan yang telah dikembangkan di sekolah antara lain adalah mengikuti seleksi olimpiade MIPA, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, kesenian, olahraga. Nilai kecerdasan ini sudah berakar dari tradisi dan budaya setempat. Dalam mengembangkan nilai kecerdasan terdapat hambatan yang ditemui yakni keterampilan guru yang masih kurang maksimal dalam membimbing siswa dan ada sebagian orang tua yang kurang mendukung kegiatan tersebut, mengeluh menerima pelajaran dari guru, dan mengeluh dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Kecerdasan maupun bersahabat dengan orang cerdas menjadi keniscayaan, sehingga ada peribahasa dalam bahasa Dayak Ngaju, “bara bakawal dengan oloh humung, keleh bakawal dengan oloh harati” (daripada berteman dengan orang bodoh, lebih baik berseteru dengan orang berakal). Nilai kepedulian adalah sikap peduli terhadap lingkungan
38
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia sekitar maupun dengan makhluk hidup. Nilai kepedulian ini telah ditanamkan di lingkungan sekolah salah satu contoh nilai kepedulian yang diterapkan di sekolah adalah memberikan sumbangan sukarela kepada warga sekolah yang sedang berduka dan mendapatkan musibah. Program-program yang dilakukan oleh sekolah adalah program pilah memilah sampah, pengelolaan sampah, POCIL (polisi cilik), dan Jumat bersih. Nilai kepedulian ini memang berakar dari budaya dan tradsisi daerah setempat. Contoh tradisi yang telah melekat sejak dahulu adalah gotong royong handep hapakat (tradisi orang Dayak), menunggal (menanam padi), dalam membangun rumah juga melibatkan warga. Dalam menerapkan nilai kepedulian ini terdapat hambatan yakni terkadang sebagian warga sekolah yang tidak memberikan sumbangan sukarela tatkala terdapat seseorang yang mengalami musibah dan kebiasaan yang kurang tanggap terhadap suatu kejadian. Sikap ketidakpedulian yang sering muncul adalah dalam bentuk kurang peka terhadap kebersihan lingkungan sekolah (sebagian kecil dari warga sekolah). Nilai ketangguhan yakni tidak mudah menyerah, ulet dalam segala hal, percaya diri, rajin belajar, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Di dalam lingkungan sekolah telah diterapkan nilai ketangguhan yakni gigih, ulet, percaya diri, rajin belajar, tidak mudah terpengaruh, tidak mudah putus asa, maju terus pantang mundur (dalam bahasa Dayak: isen mulang) seperti semboyan provinsi Kalimantan Tengah. Contoh kegiatan yang diadakan oleh sekolah untuk menumbuhkan nilai ketangguhan adalah dengan mengikutkan peserta didik dalam berbagai kegiatan yang sifatnya melatih percaya diri baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Di dalam kelas pun juga di tanamkan nilai ketangguhan yakni pada semua pelajaran. Kegiatan ektrakulikuler pun juga di tanamkan nilai ketangguhan yakni dengan mengikutsertakan siswa dalam lomba drum band, lomba seni budaya. Nilai-nilai ketangguhan ini memang berasal dari budaya dan tradisi daerah setempat salah satunya adalah tekat kuat atau pantang mundur sebelum berhasil dalam melakukan sesuatu yang positif. Dalam 39
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia menerapkan nilai ketangguhan terdapat hambatan yang ditemui yakni kurang berani atau kurang memiliki rasa percaya diri yang besar, dan tumbuhnya sifat malas.
3. Etnis Tidung Tarakan a. Identitas Kultural Kota Tarakan, yang secara geografis terletak pada 3°14'23" 3°26'37" Lintang Utara dan 117°30'50" - 117°40'12" Bujur Timur, terdiri dari 2 (dua) pulau, yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau dengan luas wilayah mencapai 657,33 km². Kota Tarakan merupakan kota terbesar ketiga di provinsi Kalimantan Timur, dan juga merupakan kota terkaya ke-17 di Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 657,33 km². Kota Tarakan berpenduduk sebanyak 193.069 jiwa (sensus 2010). Tarakan atau juga dikenal sebagai Bumi Paguntaka, berada pada sebuah pulau kecil yang terletak di utara Kalimantan Timur. Penduduk asli pulau Tarakan adalah suku Tidung (Tidong) yang secara tradisional hidup sebagai nelayan. Kota Tarakan, yang didiami oleh suku asli Tidung, dalam perkembangannya sebagaimana daerah lain dihuni pula oleh suku-suku lain seperti, Suku Dayak, Banjar, Jawa, Bugis, Batak, Toraja, Tionghoa, dan lain-lain. Pemeluk agama terbesar di Tarakan adalah Islam, di samping Kristen, Hindhu dan Budha. Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Kalimantan Timur. Suku ini juga terdapat di Sabah bagian dari Malaysia. Dapat dipahami jika bahasa dominan di Tarakan adalah bahasa Tidung. Ada kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut, yang berdiam di Sabah, Malaysia. Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan peradaban Islam sering dianggap bukan suku Dayak namun dikategorikan suku yang berbudaya Melayu. Secara etiomologi kata Tarakan berasal dari bahasa Tidung, tarak
40
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia (bertemu) dan ngakan (makan) yang secara harfiah dapat dikatakan sebagai tempat para nelayan untuk beristirahat, bertemu makan, kemudian melakukan barter hasil tangkapan ikan serta kebutuhan sehari-hari lainnya.
b. Karakter Siswa Secara umum sekolah di Tarakan telah mengembangkan nilainilai karakter seperti nilai kejujuran, cerdas, peduli, dan tangguh. Pengembangan nilai kejujuran diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah, seperti PMP-Kn, agama, olahraga, kegiatan ekstrakurikuler, dan terdapat kantin kejujuran. Nilai kejujuran yang dikembangkan di sekolah ini antara lain, (a) Ketulusan hati, ditunjukkan dengan mengembangkan sikap menghargai guru tanpa memandang tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan guru serta kebiasaan saling meringankan beban teman-temannya tanpa mengharapkan imbalan, (b) Keimanan dan ketakwaan, sifat dan sikap yang melekat dalam budaya, karena termasuk dalam rumpun Melayu maka memiliki religiusitas yang tinggi, (c) Pertanggungjawaban, ditunjukkan dengan mengikuti lomba untuk mewakili sekolahnya, akan berusaha semaksimal mungkin sebagai bentuk loyalitas yang dipersembahkan dirinya terhadap sekolahnya, (d) Menghargai diri sendiri, bentuk penghargaan diri yaitu semua siswa di sekolah ini memakai pakaian seragam yang rapi, (e) Amanah, implementasi amanah di sekolah yaitu jika menemukan uang, mereka akan menyerahkannya kepada petugas serta senantiasa bersikap selaras antara ucapan dan tindakan, baik dengan teman, guru, orangtua, maupun masyarakat, (f) Sportivitas, di saat guru mengajukan pertanyaan, siswa-siswa di sekolah ini cukup memberikan kesempatan pada temannya untuk bertanya. Sekolah-sekolah di Tarakan mengembangkan nilai kecerdasan melalui kegiatan kurikuler dan kegiatan ekstrakulikuler. Dalam kegiatan kurikuler, nilai kecerdasan diintegrasi ke dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu. Sekolah mewajibkan memasukkan nilai 41
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kecerdasan ke dalam mata pelajaran yang dibina. Guru memulai dengan menyusun perencaaan pembelajaran dengan menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan memasukkan nilai kecerdasan. Kemudian guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang telah disusunnya. Selain itu, nilai kecerdasan juga diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Upaya peningkatan kecerdasan ini juga dilakukan dengan pengembangan kompetensi SDM sekolah (guru-guru) melalui pemberian beasiswa untuk menempuh pendidikan strata dua (magister). Beasiswa tersebut diperoleh dari pemerintah kota maupun provinsi. Tujuannya, dengan pendidikan guru yang lebih meningkat dapat meningkatkan pula kualitas pembelajaran yang diberikan kepada siswa, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi dan kecerdasan siswa. Nilai kepedulian telah ditanamkan di lingkungan sekolah. Salah satu contoh nilai kepedulian yang diterapkan di sekolah adalah memberi sumbangan sukarela kepada warga sekolah yang sedang berduka dan mendapatkan musibah, maupun yang kurang mampu. Program-program yang dilakukan oleh sekolah adalah program pilah memilah sampah, pengelolaan sampah, dan Jumat bersih. Nilai kepedulian ini memang berakar dari budaya dan tradsisi daerah setempat. Dalam menerapkan nilai kepedulian ini terdapat hambatan yakni terkadang ada sebagian warga sekolah yang tidak memberikan sumbangan sukarela tatkala ada seseorang yang mengalami musibah, dan kebiasaan yang kurang tanggap terhadap suatu kejadian. Sikap ketidakpedulian yang sering muncul adalah dalam bentuk kurang peka terhadap kebersihan lingkungan sekolah. Sekolah-sekolah di Tarakan menanamkan nilai tangguh melalui kegiatan kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Nilai tangguh yang ditanamkan kepada siswa di sekolah ini antara lain kerja keras (rajin belajar), tanggung jawab mengerjakan tugas, jiwa berkompetisi, 42
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia dan mempunyai kemampuan mengambil keputusan. Untuk mewujudkan agar siswa menjadi individu yang tangguh, sekolah menyusun program sekolah antara lain meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran, mengirim siswa mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan, dan mengirim siswa mengikuti berbagai kejuaraan dan lomba di bidang akademik maupun non akademik. Implementasi penanaman nilai tangguh dalam kegiatan pembelajaran di kelas dilakukan oleh semua guru mata pelajaran. Semua guru mata pelajaran memberikan tugas kepada siswa dan guru mata pelajaran mendorong agar siswa juga memunyai kemampuan mengakses berbagai sumber belajar seperti buku dan internet. Nilai tangguh juga diimplementasikan melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti kegiatan pramuka, kegiatan PMR, kegiatan olahraga, dan sispala (siswa pecinta alam). Pengembangan karakter nilai jujur, cerdas, peduli dan tangguh sangat cocok untuk dikembangkan di sekolah-sekolah di kota Tarakan karena tokoh masyarakat dan pihak sekolah sama-sama memahami perlunya berbagai upaya yang dilakukan untuk mengembangkan karakter anak.
C. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa di Jawa 1. Etnis Sunda, Banten, dan Betawi Wilayah Jawa Barat terbagi ke dalam tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Beberapa suku yang berbeda berdiam di wilayah ini, di antaranya suku Sunda (di Provinsi Jabar), suku Banten (di Provinsi Banten), dan suku Betawi (di Provinsi DKI Jakarta). Namun karena proses urbanisasi, di provinsi Banten pun dapat ditemui orangorang dari suku Sunda; demikian pula, di DKI Jakarta ada suku Banten dan Sunda, dan di kota-kota di Jawa Barat dan Banten ada juga orangorang Betawi.
43
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Secara umum anak-anak di Jawa Barat, apakah dia dari suku Sunda, Banten, atau Betawi, dikenal memiliki sikap santun. Hanya anakanak Betawi agak berbeda, karena mereka tinggal di kota Metropolitan, ibu kota negara Indonesia, yang sangat modern dengan laju pembangunan yang amat pesat. Dinamika wilayah DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat kegiatan bisnis, sedikit mempengaruhi perilaku anak-anak Betawi. Pertarungan hidup yang keras membuat anak Betawi harus mampu mandiri, yang kadang membuatnya bersikap ‘loe loe, gua gua” (individualistis). Hal yang menarik, karena suku-suku bangsa ini tidak dapat dibatasi secara tegas kedudukan geografisnya, tentu agak sulit menggambarkan karakter anak berdasarkan lokasi/kedudukannya. Di kota Bekasi, salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang dulunya bagian dari DKI Jakarta, misalnya, anak-anak dari suku-suku Sunda, Banten, Betawi, membaur dengan membawa tradisi, budaya, dan bahasa masing-masing. Oleh sebab itu, paparan di bab ini didasarkan pada penggolongan suku bangsa, bukan wilayah geografis.
a. Etnis Sunda 1) Identitas Kultural Mayoritas Suku Sunda tinggal di wilayah provinsi Jawa Barat dengan ibu kota Bandung, meskipun tidak sedikit pula yang tinggal di DKI Jakarta dan Banten. Nilai-nilai luhur budaya Sunda bersandar pada nilai-nilai agamis/keislaman, dan dilandasi sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”. Artinya, orang harus saling mengasihi, saling mengasah/mengajari, dan saling mengasuh, sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman dan kekeluargaan. Ini terungkap dalam banyak peribahasa, seperti; “kawas gula jeung peueut”, seperti gula dengan nira yang matang (hidup rukun sayang menyayangi, tidak pernah berselisih); “ulah kawas seuneu jeung 44
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia ijuk”, jangan seperti api dengan ijuk (jangan mudah berselisih, pandai mengendalikan nafsu-nafsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain); “ulah nyieun pucuk ti girang”, jangan merusak tunas dari hulu (jangan mencari bibit permusuhan). Hampir semua sendi kehidupan di masyarakat Sunda disimbolkan lewat peribahasa-peribahasa. Peribahasa yang menganjurkan agar orang menghindari perselisihan sangat banyak. Misalnya: “ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela”, jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela (jangan mengajak orang lain melakukan kejelekan dan permusuhan); “bisi aya ti geusan mandi”, kalau-kalau ada dari tempat mandi (segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak tersinggung). Sebaliknya, anjuran untuk berteman juga banyak diungkapkan dalam peribahasa, seperti; “henteu asa jeung jiga”, tidak ragu (sudah merasa seperti saudara, bersahabat). Selain itu, sikap dan perilaku khas yang mencerminkan ketinggian budi pekerti dan tata krama seperti ramah tamah, gotong royong, sauyunan (seia sekata), sopan santun, someah (ramah), menghormati tamu, rengkuh (sikap sopan menghadapi orang yang lebih tua), handap asor (rendah hati), juga banyak sekali dianjurkan. Besar kemungkinan sikap dasar ramah tamah, rendah hati, sopan santun, suka mengalah (berdamai) yang dimiliki Suku Sunda adalah pengaruh dari wilayah geografisnya yang bergunung-gunung, perkebunan teh, lahan pertanian (sawah). Karena kondisi wilayah yang agraris seperti ini, rakyat terbiasa hidup gotong royong, saling membantu. Rata-rata anak Sunda memiliki kecerdasan yang baik. Bila kita ingat sejarah bangsa Indonesia, tidak sedikit tokoh-tokoh pemimpin bangsa berasal dari suku Sunda, sepertin Otto Iskandardinata, Dewi Sartika, Umar Wirahadikusumah, Mochtar Kusumaatmadja, Marty 45
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Natalegawa, Hasan Wirayuda, Ginanjar Kartasasmita, dan lain-lain. Di masyarakat Sunda, pendidikan dipandang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan status sosial dan kekayaan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai faktor penting, yang harus terus dikejar dengan sabar dan tuntas sampai tua. Bagi mereka, belajar tidak dibatasi usia dan tidak hanya di lingkup formal.
2) Karakter Siswa Di zaman sekarang ini amat sulit menemukan kejujuran yang murni. Agar nilai karakter jujur dapat terus tertanam pada anak-anak, beberapa responden menilai perlu diciptakan iklim yang mendorong dan menguji kejujuran anak. Tidak kalah pentingnya adalah perlunya suri tauladan dari berbagai pihak (orangtua, guru, tokoh masyarakat) baik berupa niatan, ucapan, maupun tindakan/perilaku yang baik. Upaya orang tua-tua, tokoh masyarakat dan tokoh adat, serta lembaga pendidikan (sekolah dan para gurunya) untuk menanamkan karakter jujur pada siswa di Sunda boleh dikata berhasil. Di tengah gaya hidup dan desakan untuk berlaku tidak jujur demi kepentingan/keselamatan diri, anak-anak Sunda masih percaya pada hal-hal ini: jujur mujur (yang jujur akan beruntung), hade ku basa goreng ku basa (baik buruk sampaikan dengan ucapan), teu sumput salindung (blak-blakan, terbuka), sakunang ananing geni, sadom ananing baraya (walaupun sebesar kunang-kunang adalah api, walaupun seujung jarum adalah senjata sekecil apapun milik negara itu harus tetap dipertanggung jawabkan). Keterbukaan atau kejujuran dianggap penting. Khususnya peribahasa terakhir, ini dapat mencegah dan menyelamatkan anak-anak Sunda dari perilaku korupsi yang semakin menular di Indonesia. Di antara sekian karakter jujur, ada nilai kejujuran yang mulai tampak ditinggalkan, seperti jujur dina ujian (jujur dalam ujian). Mungkin tidak hanya di kalangan anak Sunda, anak-anak sekolah 46
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia sekarang sulit menerapkan pepatah ini. Di mana-mana dilaporkan pelanggaran kejujuran saat ujian sekolah. Ironisnya, pelanggaran kejujuran itu didukung oleh para guru, orangtua, lembaga bimbingan belajar, para aparatur pemerintah yang haus pujian, dan sistem yang tidak teruji. Pepatah “sekali lancung ke ujian seumur hidup tak akan terpercaya” sudah tidak memiliki kekuatan lagi, tidak bermakna. Ditengarai banyak faktor eksternal yang menghambat pembangunan karakter jujur dan bajik. Sebagian guru mengatakan, saat di sekolah karakter anak baik, begitu keluar sekolah anak berubah. Dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai serta kerjasama antar berbagai pihak untuk menumbuhkan karakter jujur dan bajik Ada beberapa nilai karakter yang berkaitan dengan kecerdasan yang masih banyak dianut oleh masyarakat Sunda, terutama di kalangan siswa. Di antaranya adalah: “elmu tungtut dunya siar” (semangat mencari ilmu dan kehidupan), “cikaracak ninggang batu laun laun jadi legok” (sikap sabar menuntut ilmu), “picontoeun” (menjadi contoh/teladan). Meskipun demikian, ada juga beberapa nilai karakter cerdas yang mulai luntur, tidak dijalankan lagi. Anak-anak dari suku Sunda sekarang dipandang tak lagi binekas (kreatif), rancage (rajin, aktif), apik (teliti, cermat). Mereka bahkan tak lagi tekun dan lebih sering memilih jalan pintas. Beberapa alasan terjadinya penurunan penerapan nilai-nilai kecerdasan tersebut di atas adalah a) pengaruh budaya asing yang menggeser budaya lokal, b) kurangnya pembiasaan dalam keluarga dan sekolah agar anak menjadi aktif, kreatif, tekun dan berani mengambil resiko, dan c) pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang membuat segalanya serba instan (pola hidup konsumtif). Mungkin tidak ada suku bangsa di Indonesia yang dapat mengungguli suku Sunda dalam hal kasih sayang dan kepedulian. Itu sebabnya, banyak ajaran tetua yang tersurat dalam pepatah Sunda, mengandung unsur perlunya sifat saling asah, asih, asuh. Masyarakat 47
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Sunda percaya bahwa manusia di muka bumi sesuai dengan ajaran agama diwajibkan menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, saling menghormati, seia-sekata, sama-sama susah dan senang. Memang dalam konsep masyarakat modern yang semakin individualistis, memberi perhatian sebagai wujud kepedulian dapat dianggap ikut campur urusan orang. Karena itu, tidak mengherankan bila beberapa nilai karakter kepedulian yang baik menjadi tergerus atau luntur. Misalnya sifat silih talingakeun (saling mengingatkan) dan silih geuing, silih elingan (saling mengingatkan dan memberi tahu). Orang tidak lagi berani mengkritisi, memberi tahu pada hal-hal yang baik dan benar. Orang semakin kurang peduli pada sesamanya. Di sekolah-sekolah di tanah Pasundan (istilah wilayah yang dihuni suku Sunda), para guru giat mengintegrasikan nilai-nilai peduli tersebut dalam proses pembelajaran maupun yang dirancang dalam berbagai kegiatan ekstra kurikuler (kegiatan donor darah, peduli bencana, peduli lingkungan dan lain-lain). Orang Sunda memiliki sikap dan perjuangan hidup dilandasi kebersamaan, saling menghormati dan memberi, penuh kesabaran namun penuh keberanian. Nilai karakter tangguh yang masih dipertahankan adalah “itikurih” (sabar berusaha dari yang kecil menjadi besar/sampai berhasil). Sebetulnya orang Sunda memiliki pedoman hampang birit (sikap cekatan) dan motekar (berusaha maksimal). Sayang, karakter ini sudah mulai luntur di kalangan siswa. Lagi-lagi yang dianggap menjadi faktor berpengaruh adalah pengaruh budaya asing dan kemajuan teknologi. Ada juga faktor kurangnya pembiasaan dalam keluarga: orangtua yang terlalu memanjakan anak sehingga anak tidak mandiri, tidak cekatan, tidak mau berusaha. Sifat–sifat ketangguhan yang sudah lama dimiliki oleh orang Sunda agar berhasil dalam hidupnya adalah rajin (rejeun), tekun (leukeun), bersemangat (morogol rogol), berpribadi pahlawan (purusa ning sa), berani berkurban (hapitan).
48
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia b. Etnis Banten 1) Identitas Kultural Provinsi Banten termasuk daerah yang subur, sangat cocok untuk pertanian. Ibukota Provinsi adalah kota Serang, yang berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Pendeglang (di sebelah selatan), Kabupaten Tangerang (di sebelah utara), Cilegon (di sebelah barat), dan dengan Tangerang Selatan (di sebelah timur). Selain dikenal subur tanahnya untuk pertanian dan perkebunan, wilayah ini juga mengalami perkembangan industri dan pertambangan yang sangat pesat. Suku yang dominan adalah suku Sunda, dengan bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Sunda. Meskipun demikian, di ibukota Banten (kota Serang) banyak pendatang dari daerah-daerah lain, seperti Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Tangerang, bahkan dari daerah-daerah di luar Jawa Barat. Identitas kultural menjadi kabur, terjadi pembauran antara berbagai adat tradisi masyarakatnya.
2) Karakter Siswa Siswa-siswi di Serang yang diamati sebagai sampel, pada umumnya telah mengimplementasikan nilai-nilai kejujuran (dalam teori pendidikan karakter, sudah pada tahapan “acting”). Dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, misalnya, mereka berlaku jujur. Menurut penuturan guru yang diwawancarai tim peneliti, kejujuran siswa dibiasakan melalui kegiatan keseharian di kelas atau sekolah, baik yang berkaitan dengan proses belajar mengajar maupun di luar itu. Ketika siswa menemukan barang milik temannya di sekolah, seperti uang atau dompet, misalnya, mereka melaporkannya kepada guru atau kepala sekolah. Nilai kecerdasan anak-anak di kota Serang dikembangkan melalui kegiatan belajar-mengajar, seperti pembiasaan menghafal atau membaca perkalian secara bersama-sama. Pada umumnya siswa lekas mengerti apa yang disampaikan guru. Nilai karakter cerdas di sekolah ini 49
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia juga diimplementasikan melalui kegiatan ekstrakulikuler seperti Pramuka. Siswa-siswi di sekolah yang diamati telah menunjukkan sikap dan perilaku peduli kepada temannya. Mereka akan mendoakan secara bersama-sama ketika ada teman yang sakit, dan juga menjenguknya. Menurut penuturan guru dan kepala sekolah, anak-anak juga menunjukkan kepeduliannya dalam bentuk gotong-royong, kerja bakti membersihkan sekolah, meminjamkan barang yang diperlukan teman, dan lain-lain. Sikap peduli pada lingkungan ditunjukkan dengan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan di sekolah terdapat program LISA (LIhat Sampah, Ambil). Terkait karakter tangguh, tampak anak-anak telah memiliki nilai ketangguhan yang tertanam dengan baik. Sebagai satu ilustrasi, walaupun di sekolah mereka sarana prasarana kurang memadai, tetapi para siswa tetap menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Nilai ketangguhan ini juga berakar dari budaya masyarakat setempat, yakni bahwa para orangtua bersemangat menyekolahkan anaknya walaupun dalam keadaan ekonomi serba kekurangan.
c. Etnis Betawi 1) Identitas Kultural Suku Betawi berasal dari wilayah yang dulu disebut Sunda Kelapa, Jayakarta, kemudian Jakarta. Dalam perkembangannya, kota Jakarta kemudian menjadi ibukota negara, kemudian menjadi provinsi yang terdiri dari lima kota: Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. Di luar wilayah DKI Jakarta terdapat beberapa kota yang berkembang pesat, seperti Bekasi, Depok, Bogor (ketiganya masuk Provinsi Jawa Barat) dan Tangerang (masuk Provinsi Banten). Sejalan dengan pembangunan wilayah pusat DKI Jakarta, mayoritas penduduknya (suku Betawi) bergeser ke kota-kota pinggiran tersebut. 50
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Meskipun secara administratif kota Bekasi termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat, namun secara geografis daerah ini lebih dekat ke Jakarta (sebagai bagian dari wilayah yang dikenal sebagai Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Oleh karena itu tata kehidupan dan kebiasaan masyarakat Bekasi lebih mirip/dominan dengan masyarakat Jakarta, di mana adat istiadat Sunda/Betawi sudah sulit ditemukan. Sebagai daerah industri kota Bekasi merupakan kawasan urban, yang dicirikan penduduknya yang multi etnis. Oleh karena itu penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Demikian juga dengan adat dan tradisi yang ada tidak lagi didominasi oleh salah satu suku. Budaya yang ada merupakan akulturasi dari berbagai suku yang ada di wilayah Bekasi, akan tetapi yang dominan adalah budaya Sunda, Jawa, dan Betawi.
2) Karakter Siswa Para siswa yang diamati oleh Tim Peneliti di sekolah di kota Bekasi, pada umumnya telah mengimplementasikan nilai-nilai kejujuran, di antaranya jujur dalam mengerjakan tugas, dalam belajar dan kegiatan kerja kelompok. Siswa juga terlatih untuk jujur melapor ketika menemukan barang-barang milik temannya di sekolah, seperti uang atau dompet. Dalam hal pinjam meminjam barang, mereka juga dibiasakan untuk mengembalikan barang yang dipinjam tepat waktu. Lebih jauh lagi, para siswa dididik untuk merasa malu jika mencontek dalam ujian. Nilai kecerdasan anak Betawi cukup baik, ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pada umumnya siswa mengerti apa yang disampaikan guru di dalam kelas. Memang diakui, kadang ada hambatan dalam proses belajar mengajar karena ada beberapa siswa yang masih belum paham. Untuk mengatasi persoalan tersebut, guru melakukan kegiatan remedial dan penambahan jam belajar, sehingga tidak ada ‘gap’yang mencolok antara si anak pintar dan kurang pintar. Semangat belajar para siswa ditengarai cukup tinggi, Di sekolah yang diteliti, nilai-nilai 51
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kecerdasan tidak hanya dibangun di ruang kelas, tetapi juga melalui kegiatan ekstra kulikuler seperti Pramuka. Bahkan untuk membangun budaya cerdas, sekolah mengadakan kegiatan menghafal atau membaca perkalian secara bersama-sama, yang menjadi kebiasaan yang menyenangkan bagi para siswa. Sikap “loe loe, gue gue” yang dikabarkan menjadi karakter anak Betawi pada umumnya, tidak ditemukan di sekolah yang diamati. Kemungkinan besar, sikap “loe – gue” yang mencerminkan gaya hidup individulistis itu hanya menjangkiti anak-anak muda yang tinggal di kota metropolitan Jakarta (DKI Jakarta). Sedangkan di kota-kota pinggiran seperti Bekasi, Depok, Tangerang, anak-anak Betawi tidak terpengaruh gaya hidup modern itu. Mereka masih menjaga adat orangtua yang saling peduli pada sesamanya. Kepedulian para siswa tampak dalam perilaku menjenguk teman yang sakit, bergotong-royong kerja bakti membersihkan sekolah, saling meminjamkan barang yang diperlukan teman (tidak pelit atau egois). Anak-anak juga tampak peduli pada lingkungan, dengan membuang sampah pada tempatnya. Iklim kepedulian ini diciptakan oleh sekolah dengan pemasangan tulisan-tulisan seperti “Kebersihan adalah sebagian dari iman” di sudut-sudut sekolah. Di sekolah yang diamati di kota Bekasi, nilai ketangguhan juga tampak tertanam dengan baik. Anak-anak terbiasa untuk berusaha bisa menyelesaikan tugasnya, tidak mudah menyerah atau cepat putus asa. Anak-anak juga dibiasakan memecahkan masalahnya sendiri atau bersama teman-temannya, tidak selalu tergantung pada guru atau orangtua. Gambaran di beberapa sinetron Indonesia bahwa anak-anak dari suku Betawi malas, tidak mau sekolah, tidak sesuai kenyataan di lapangan. Anak-anak rajin bersekolah, tangguh menghadapi berbagai hambatan. Untuk diketahui, kota Bekasi adalah kota industri, yang jelas tidak nyaman untuk belajar. Juga, rute tempuh dari rumah ke sekolah seringkali dilalui dengan bertarung di jalanan menembus lalu lintas yang 52
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia padat, bahkan berganti-ganti angkutan kota. Dalam kondisi seperti ini, para siswa jarang bolos sekolah, dan selalu tiba di sekolah tepat waktu.
2. Etnis Jawa-Yogyakarta a. Identitas Kultural Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di bagian tengahselatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’-8o12’ Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah. Satuan fisiografi Gunung Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian utara. Gunung Merapi yang merupakan gunung api aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai daya tarik sebagai objek penelitian, pendidikan, dan pariwisata. Yogyakarta menjadi pusat kebudayaan Jawa, di mana dalam interaksi sosialnya dibungkus dalam tatanan Etika Jawa. Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa orang Jawa tidak mengenal baik dan jahat, melainkan orang yang bertindak karena ketidaktahuan. Jadi, apabila orang bertindak merugikan orang lain, itu dianggap sebagai orang yang belum mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik. Etika Jawa menekankan keharmonisan, keselarasan pada setiap dimensi kehidupan, salah satunya dengan alam. Orang Jawa yang ideal adalah mereka yang melakukan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut haknya. Kerukunan pada orang Jawa mendahulukan kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi, artinya semakin besar 53
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia lingkup komunitasnya, semakin mengecil kepentingan kelompok kecil yang ada di dalamnya. Etika Jawa menekankan sikap hormat terhadap apa saja karena segala yang ada di dunia adalah percikan zat ilahi. Sikap hormat semacam ini melampaui sikap hormat yang didasarkan pada hirarki jabatan dalam institusi-insitusi. Oleh karena itu, penghormatan kepada seorang raja pun sesungguhnya didasarkan pada keyakinan bahwa seorang raja merupakan wakil Tuhan untuk melangsungkan tatanan dunia sesuai kehendak ilahi, dan apabila seorang raja gagal melaksanakan mandat menyejahterakan rakyat karena lebih senang memenuhi nafsu-nafsu pribadi, maka ia akan kehilangan legitimasi kekuasaan dari rakyat. Lalu, apa yang menjadi sumber nilai karakter etika Jawa? Etika Jawa tertuang dalam berbagai bentuk karya peninggalan orang Jawa seperti epos Mahabarata, Ramayana, atau karya-karya mitologis lainnya. Selain itu beberapa bentuk karya lain yang merupakan sumber ajaran etika Jawa, yaitu: (1) tembang; (2) cerita rakyat/dongeng; (3) peribahasa; (4) slogan-slogan tertentu hingga petuah-petuah sederhana yang sering diucapkan masyarakat dalam hidup sehari-hari. Selain itu, sumber etika yang lazim didapati dalam hidup keseharian dapat digali dari ritus-ritus slametan yang sarat dengan simbol-simbol penuh makna sebagai panduan hidup. Simbol-simbol nilai karakter ini secara mendalam dapat dicermati dari buku berjudul Etika Wayang. Terdapat dua tradisi mitologi wayang terbesar yang hidup dalam masyarakat Jawa, yaitu epos Mahabarata dan Ramayana. I Gede Samba, seorang penafsir cerita Mahabarata dan Ramayana mengatakan bahwa kedua epos tersebut harus dilihat sebagai mitologis, bukan kisah sejarah. Narasi-narasi kisah, karakter setiap tokoh dalam epos Mahabarata dan Ramayana, termasuk perang-perang yang ada di dalamnya harus dilihat sebagai kisah yang terjadi dalam setiap manusia, dalam diri manusia, bukan kisah antar-individu. Setiap peristiwa, perang misalnya, adalah perang yang pertama-tama terjadi dalam diri seseorang, bukan perang antar-manusia. Perang antara Kurawa dan Pandawa misalnya, adalah 54
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia perang antara sifat buruk dan sifat baik yang ada dalam diri seseorang, sehingga perang yang paling pantas dilakukan adalah perang terhadap watak buruk dalam diri sendiri, bukan memerangi pihak (orang) lain yang perlu dimusnahkan. Dalam masyarakat Yogyakarta, Wayang merupakan salah satu media pendidikan watak bagi orang Jawa. Wayang tidak mengajarkan etika secara indoktrinasi (harus begini atau begitu), melainkan memberi keleluasaan penonton untuk menafsirkan setiap kisah dengan terbuka. Wayang tidak mengajarkan nilai-nilai secara teoritis, melainkan konkret dalam cerita atau lakon-lakon tertentu. Melalui adegan-adegan yang sifatnya lucu, mengharukan, membuat hati panas dan geram, serta membuat orang tersentuh hatinya menjadikan wayang sebagai media pendidikan watak yang total namun dipandang non-formal. Nilai-nilai etis dalam wayang tidak dapat dipisahkan dari filsafat, agama, bahkan estetika, karena nilai-nilai etis di dalamnya memang erat dengan nilainilai tersebut. Dalam perkembangannya, Yogyakarta tumbuh bukan hanya sebagai kota budaya, dan wisata, namun juga kota pendidikan. Terkait dengan penyebaran sekolah untuk jenjang SD/MI sampai Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas, telah merata dan menjangkau seluruh wilayah sampai ke pelosok desa. Jumlah SD/MI yang ada di Provinsi DIY pada tahun 2008 adalah sejumlah 2.035; SMP/MTs/SMP Terbuka sejumlah 529; dan SMA/MA/SMK sejumlah 381 yang terdiri atas sekolah negeri maupun swasta. Pendidikan karakter di sekolah telah diimplementasikan sejak kurikulum KTSP Tahun 2006, yaitu melalui pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, budaya sekolah dan peran serta masyarakat. Nilai-nilai yang diinternalisasikan dalam pendidikan ini sesungguhnya merupakan perpaduan antara nilainilai lokal dengan nilai-nilai universal. Misalnya empat nilai inti yaitu jujur, cerdas, peduli dan tangguh. Keempat nilai ini sesungguhnya merupakan nilai global, namun memiliki sinergi dengan nilai karakter lokal yang tertuang dalam peribahasa (paribasan). Secara rinci dapat dicermati dalam Tabel berikut ini. 55
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia
Tabel 3. 1. Sinergi Karakter Global dengan Identitas Kultural
Klasifikasi Kelompok Nilai Inti Indikator Nilai Jujur Adat dan Tradisi
-Keimanan dan Kepercayaan -Kejujuran dan kebijakan
Pembangunan Moral, Akhlak dan Kepribadian Cerdas
Peduli
56
Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Strategi mengatasi Kesulitan Hidup Tugas dan Tanggung Jawab Kemanusiaan Hukum dan Keadilan Kepemimpinan dan manajemen
Peribahasa Saben desa mawa caro
Arti Setiap daerah memiliki kebiasaan berbeda
Makna
Semakna dengan peribahasa, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung Gusti ora Tuhan/Gusti Keyakinan bahwa sare mengerti setiap Allah akan perbuatan membalas makhlukNya perbuatan (kebaikan maupun keburukan) kita Becik ketitik, Perbuatan baik Perbuatan baik ala ketara dan buruk pasti dan buruk suatu akan diketahui saat pasti akan diketahui orang lain Ajining dhiri Harga diri Kepribadian dan dumunung seseorang harga diri kita ing lati, tergantung pada tercermin dari apa ajining raga caranya yang dikatakan saka busana berbicara dan dan kepantasan apa yang busana yang kita dibicarakan, pakai derajat kita bergantung kepada cara kita berpakaian, mematut diri Ajo Jangan berharap Segala sesuatu njagakake sesuatu yang yang belum ada di endhoge sing belum pasti tangan jangan blorok dihitung Dudu sanak Walaupun Memiliki rasa dudu kadang, bukan saudara solidaritas yang yen mati tapi ikut kuat melu merasakan kelangan musibah/pende ritaannya Ing ngarso Orang yang Merasa sung tuladha, bijak dalam bertanggung ing madya menempatkan jawab ketika
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Kepemimpinan dan manajemen
Ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun kerso, tut wuri handayani
Orang yang bijak dalam menempatkan posisinya, di depan memberikan contoh, di tengah memberikan gagasan , di belakang memberikan motivasi dan menjaga kehormatan Ano rembug Jika ada Musyawarah padha dan Demokrasi persoalan dirembug, diselesaikan yen bersama rembugan dengan kepala kanthi sareh dingin Rukun agawe Persatuan dan Hubungan kekerabatan dan santosa, crah perdamaian agawe bubrah akan membuat Gotong royong kita kuat, perceraian dan pertengkaran akan membuat kita terceraiberai dan lemah Mikul Hubungan Menggotong/ dhuwur orang tua mengangkat mendem jero tinggi-tinggi, dengan anak menanam dalam-dalam Anak polah bapa Anak bertingkah, kepradah bapak yang terkena musibah
Merasa bertanggung jawab ketika memimpin bisa menjadi contoh, di tengah-tengah masyarakat bisa memberikan saran dan gagasan, dan ketika di belakang bisa menghormati pemimpinnya
Menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan dengan kepala dingin Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh
Memulyakan orang tua
Perbuatan anak yang tidak baik, maka orang tua ikut menanggunag resikonya
57
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Tangguh
Hati-hati dan mawas diri
Ngilowa githokmu dhewe
Bercerminlah pada tengkukmu sendiri
Sikap menghadapi kehidupan
Rawe-rawe rantas, malanmalang putung
Rawe (sejenis semak yang berduri) akan terserak, yang merintangi akan tumbang Sepi dari keinginan giat dalam bekerja
Sepi ing pamrih rame ing gawe
Hati-hati dalam perbuatan dan perkataan, mawas diri/introspeksi diri Menggunakan segala kekuatan untuk mencapai citacita/tujuan
Mengerjakan sesuatu tidak punya pamrih apa-apa
b. Karakter Siswa Bagaimana implementasi keempat nilai karakter jujur, cerdas, peduli dan tangguh dalam budaya sekolah di daerah Yogyakarta, secara lengkap terdiskripsi dalam uraian berikut ini. Nilai jujur dikembangkan di sekolah melalui pembiasaan dan nasihat-nasihat yang selalu diberikan oleh guru dalam berbagai kesempatan. Pada tahun 2012, belum ada program sekolah yang berkaian langsung dengan penamaman nilai kejujuran. Nilai kejujuran ditanamkan melalui pembiasaan dan teladan, baik di dalam maupun di luar kelas. Misalnya di saat siswa menemukan barang bukan miliknya, siswa tersebut akan menyerahkan barang temuan kepada petugas piket. Lalu, sekolah mengumumkannya kepada seluruh siswa dan bila ada siswa yang merasa kehilangan, dipersilahkan mengambil dengan tanda bukti. Dalam konteks ini kejujuran menjadi dimensi penting. Nilai kejujuran juga dibiasakan ketika siswa menjalani ujian, untuk tidak boleh mencontek pekerjaan temannya. Namun sayangnya, di kota ini nilai jujur belum dapat diinternalisasikan secara bagus dalam diri siswa. Misalnya masih ditemukan anak yang mencontek pekerjaan temannya, dan untuk siswa SD masih ada orang tua yang mengerjakan pekerjaan rumah putra putrinya. Nilai jujur sebenarnya nilai yang bersifat dominan. Ada beberapa nilai yang diturunkan dai nilai jujur, yaitu: (1) ketulusan hati; (2) keimanan dan ketakwaan; (3) pertanggungjawaban; (4) menghargai diri 58
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia sendiri; (5) amanah; dan (6) sportivitas. Pertama, ketulusan hati. Ada beberapa contoh pembiasaan nilai ketulusan hati. Misalnya, siswa-siswa sekolah sampel menghargai semua guru tanpa memandang latar belakang gelar yang mereka miliki. Dalam diri siswa juga ditanamkan kebiasaan saling meringankan beban di antara temannya dengan cara saling membagi makanan. Jika dicermati secara mendalam maka kesetiakawanan siswa di sekolah ini sangat erat, kompak, dan selalu berbagi. Kedua, keimanan dan ketakwaan. Sekolah-sekolah yang ada di Yogyakarta selalu menanamkan nilai keimanan dan ketakwaan, melalui kegiatan keagamaan. Implementasi kegiatan ini baik di sekolah, rumah, maupun di masyarakat. Misalnya, siswa melakukan kebiasaan merawat tanaman sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan yang telah menciptakan alam semesta ini. Sekolah menyediakan fasilitas mushola yang cukup rapi dan luas sebagai tempat beribadah. Ketiga, pertanggungjawaban. Pembiasaan penanaman nilai pertanggungjawaban siswa dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya, penugasan materi pelajaran yang diberikan kepada siswa yakni ketika mendapatkan tugas akan dikerjakan sebaik-baiknya, dengan penuh semangat, misalnya tugas mengikuti lomba, mengerjakan pekerjaan rumah. Siswa-siswa di kota ini akan berusaha semaksimal mungkin untuk menunjukkan prestasi, baik untuk dirinya maupun untuk sekolah dan dirinya. Penanaman pertanggungjawaban ini juga dilakukan melalui pembiasaan agar siswa-siswa di sekolah ini tidak protes atas hukuman yang diberikan oleh guru atau pihak sekolah atas kelalaian dari mengerjakan tugas yang diberikan, sehingga siswa-siswa sekolah ini memiliki kesadaran tanggung jawab yang tinggi. Pertanggungjawaban ini juga dilatih secara pribadi, misalnya terkait dengan pembentukan petugas Piket Kelas (PK). Dalam melaksanakan tugas ini siswa dibiasakan menjalankan tugas masing-masing, mulai membersihkan ruangan kelas, menghapus papan tulis dan membersihkannya kembali setelah pelajaran usai. Pertanggungjawaban juga terpupuk dalam diri 57
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia siswa untuk selalu berusaha mencapai nilai yang terbaik. Keempat, menghargai diri sendiri. Nilai karakter ini selalu dipertahankan siswa melalui pemakaian seragam lengkap yang telah diseterika dan berpenampilan rapi. Kelima, amanah. Nilai karakter ini secara awam bisa diartikan melakukan sesuatu karena segalanya adalah titipan Allah. Nilai karakter ini antara lain diwujudkan dengan tindakan selalu melakukan sinkronisasi antara ucapan dan tindakan, baik dengan teman, guru, orangtua, maupun masyarakat; siswa-siswa di sekolah ini memiliki kebiasaan tidak membicarakan orang lain; memiliki ketegasan dalam bersikap, yang ditunjukkan dengan tetap melakukan tindakan yang benar meski ada bisikan dari kawan dekat untuk bersikap sebaliknya, yaitu menyimpang; pada umumnya siswa di sekolah ini menganggap penting mengembalikan barang yang telah dipinjam dari teman sekolah tepat pada waktunya. Siswa-siswa di sekolah ini tidak berpandangan “ingkar janji pada teman adalah hal yang biasa”. Keenam, sportivitas. Pada umumnya siswa di sekolah ini menjunjung tinggi nilai sportivitas, yang diwujudkan dengan mengakui prestasi temannya, yang pada gilirannya digunakan sebagai dasar dalam membangun semangat dirinya untuk belajar lebih baik. Sportivitas juga ditunjukkan dengan membiasakan siswa untuk tidak melakukan segala cara (termasuk cara tidak jujur) untuk memperjuangkan agar tim sekolahnya menjadi juara dalam pertandingan. Nilai cerdas selalu ditanamkan di berbagai sekolah dan jenjang pendidikan. Ada berbagai langkah yang dikembangkan untuk menanamkan kecerdasan, misalnya penyediaan sumber belajar di perpustakaan, les belajar di luar sekolah, dan penambahan jam tatap muka. Namun sayangnya dalam mengembangkan nilai cerdas masih mengalami hambatan, misalnya masih ada siswa yang memiliki minat belajar rendah. Terkait dengan peningkatan nilai cerdas ini, sekolah menerapkan program pembinaan rutin, pemberian tugas belajar, dan pembiasaan berdialog dengan guru dan siswa. Misalnya, guru 60
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia memberikan Pekerjaan Rumah (PR), diskusi di kelas, penerapan pembelajaran kooperatif, tugas penyusunan laporan hasil kegiatan pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Penanaman nilai cerdas juga tidak hanya berlangsung di kelas, namun hingga di rumah. Orang tua selalu memacu anak-anaknya untuk menjadi yang terbaik. Terkait dengan nilai cerdas ini, ada beberapa nilai turunan yang akan dikupas, yaitu: (1) analitis; (2) pemecahan masalah; (3) kuriositas; (4) kreativitas; (5) kritis; (6) kemandirian; (7) disiplin diri; dan (8) visoner. Pertama, analitis. Penerapan nilai ini antara lain dilakukan dengan cara sesegera mungkin melakukan introspeksi untuk mencari penyebab suatu masalah dan digunakan sebagai pijakan untuk melalukan perbaikan. Namun sayangnya siswa-siswi di sekolah ini tidak terbiasa membuat perencanaan kegiatan harian, mingguan dan berusaha menaatinya yang digunakan sebagai dasar membuat analisis. Terkait dengan mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran, siswa-siswi di sekolah ini tidak terbiasa mengoreksi kembali tugas tersebut sebelum diserahkan kepada guru. Kedua, pemecah masalah. Siswa-siswi di kota ini beranggapan bahwa kemampuan memecahkan masalah itu penting. Kemampuan ini diasah melalui kemampuan menyelesaikan masalah bersama-sama dalam satu tim. Semboyan mereka, dengan dipikirkan bersama-sama maka pemecahan masalah akan lebih mudah ditemukan. Ketiga, kuriositas. Nilai ini selalu ditanamkan untuk seluruh siswa sehingga pada gilirannya mampu memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Implementasi dari nilai karakter ini dalam pembelajaran, yaitu siswa selalu diupayakan agar mampu menyusun pertanyaan dan bersikap mampu menghargai dan mendengarkan pertanyaan temannya dengan baik. Keempat, kreativitas. Pada umumnya siswa di sekolah ini memiliki kreativitas tinggi, yang ditunjukkan dalam mengerjakan 61
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia tugas-tugas mata pelajaran, seperti menjawab Lembar Kegiatan Siswa (LKS), ide-ide baru dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial maupun kegiatan ekstra kurikuler. Kelima, kritis. Sikap ini ditunjukkan oleh siswa-siswi di sekolah ini yang mudah merasa jenuh dan merasa bosan saat guru menyampaikan materi pelajaran dalam bentuk ceramah saja, tanpa variasi metode yang lain. Keenam, kemandirian. Dalam memupuk jiwa kemandirian, pada umumnya siswa di sekolah mengerjakan tugas-tugas secara mandiri. Pada umumnya siswa-siswi di sekolah ini merasa tidak nyaman jika berada di tengah-tengah siswa dari sekolah lain. Dalam menghadapi persoalan sehari-hari, siswa-siswi di sekolah ini tidak mudah menyerah, dan memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik. Kemandirian juga ditunjukkan anak-anak di sekolah ini yang tidak mudah merasa puas atas prestasi yang diraihnya. Ketujuh, disiplin diri. Nilai karakter disiplin diri ditunjukkan dengan siswa datang tepat waktu, yaitu ditentukan lima menit sebelum jam pelajaran dimulai siswa sudah hadir di sekolah. Penerapan disiplin juga terejawantah dalam peraturan tata tertib sekolah. Kedelapan, visioner. Siswa-siswa di kota ini dalam membangun nilai visioner selalu dibiasakan untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan diupayakan berusaha untuk meraihnya. Nilai peduli dalam konteks ini adalah respon yang ditunjukkan oleh siswa atas berbagi hal yang terjadi dengan temannya. Nilai peduli ini terejawantah dalam berbagai hal, misalnya: (1) sikap saling membantu jika ada teman lain sakit; (2) ketika ada musibah siswa secara sukarela akan memberikan bantuan; (3) jika ada keluarga teman lain yang mengalami kesusahan, sesegera mungkin siswa mengadakan iuran yang dikoordinasikan oleh guru, dan (4) siswa memberikan dukungan, saat pertandingan teman lainnya dengan sekolah lain. 62
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Sementara itu bentuk implementasi di sekolah dalam penerapan nilai peduli, yaitu pada implementasi kebersihan lingkungan kelasnya. Setiap hari siswa membersihkan kelas baik saat akan masuk maupun saat akan pulang, saling memberikan koreksi atas pelanggaran tata tertib dengan teman-temannya, misalnya jika ada teman yang tidak mengenakan baju seragam sesuai ketentuan, berusaha mendamaikan saat temannya berselisih, merawat dan menjaga tanaman, memungut sampah, menjalankan piket umum dan khusus. Namun sayangnya, nilai peduli ini tidak berjalan secara mulus. Terbukti sebagian di antara mereka bersikap cuek terhadap urusan pribadi. Hal ini menunjukkan sikap individualisme telah berpengaruh terhadap siswa-siswa. Ada beberapa nilai turunan dari nilai peduli, yang akan dipaparkan satu per satu, yaitu: (1) suka membantu; (2) kewarganegaraan; (3) komitmen; (4) kesetaraan; (5) suka memberi maaf; (6) toleransi; (7) kepekaan; (8) suka menghargai; (9) keadaban; (10) patriotisme; (11) demokratis; (12) ketepatan waktu; (13) kelembutan hati; (14) rasa humor kebersamaan; (15) kebersamaan; (16) kebanggaan. Pertama, suka membantu. Ada berbagai implementasi terhadap nilai ini. Jika ada temannya yang sakit di rumah sakit, maka sesegera mungkin mengumpulkan dana bantuan dan sesegera mungkin akan menjenguknya. Dalam kehidupan keseharian, aktivitas siswa juga menunjukkan sikap peduli terhadap sesama, suka membantu masyarakat yang terkena musibah/bencana. Kedua, kewarganegaraan. Nilai karakter ini ditunjukkan bahwa anak-anak di sekolah ini memiliki anggapan bahwa setiap orang punya hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Ketiga, komitmen. Anak-anak di sekolah ini selalu diajarkan memiliki komitmen yang tinggi. Anak-anak di sekolah ini selalu melaksanakan segala perintah guru. Keempat, kesetaraan. Nilai ini terimplementasi dengan jelas, 63
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia bahwa dalam membangun pertemanan di antara mereka, siswa tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, baik jenis kelamin, ras, maupun status sosial. Mereka terlihat bermain bersama, bercanda gurau bersama tanpa perbedaan. Penampilan siswa hampir tidak dapat dibedakan antara siswa dari golongan ekonomi mampu dan dari golongan ekonomi lemah. Hal tersebut terjadi karena seragam sekolah dan kebersamaan dalam bermain. Mereka tidak terbiasa memperlakukan orang yang dipandang miskin dengan cara kurang ramah. Kelima, suka memberi maaf. Jika terjadi pertengkaran, siswa mudah untuk bisa rukun kembali. Menurut guru, setiap ada siswa yang bertengkar, mereka didamaikan, bersalaman, saling meminta maaf, dan selanjutnya berkawan kembali. Keenam, toleransi. Nilai ini selalu ditanamkan dan dibiasakan dalam berbagai aktivitas. Siswa memiliki kebiasaan memberikan ucapan selamat pada temannya yang merayakan hari besar keagamaan, hingga aktivitas pinjam-meminjam catatan kepada rekan lain yang tidak seagama. Sekarang tidak dijumpai pertengkaran yang menyinggung harga diri keluarga pada siswa-siswa. Ketujuh, kepekaan. Siswa di sekolah ini telah melatih kepekaannya melalui pembiasaan menghargai kesulitan yang dihadapi temannya, meskipun secara rinci tidak terkait masalah pelajaran di sekolah maupun di keluarganya, pada umumnya siswa tidak mengungkapkan kesulitan yang dihadapinya terkait masalah keluarga. Kedelapan, suka menghargai. Implementasi nilai ini terlihat jelas ketika, misalnya jika ada orang lain yang berbicara, maka siswa selalu mendengarkan dengan baik tanpa ada upaya untuk menyelanya. Kesembilan, sikap berhemat. Ada beberapa impementasi terhadap nilai karakter ini. Misalnya, siswa tidak hanya selalu menyenangkan diri sendiri, bersifat boros, dan memandang tidak penting untuk memberi bantuan kepada teman lain, namun juga dalam 64
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia diri siswa juga terdapat kebiasaan gemar menabung. Kesepuluh, keadaban. Dalam berkomunikasi siswa-siswi di sekolah ini tidak bersifat egaliter, karena membedakan antara komunikasi dengan guru atau sesama temannya. Ketika berbicara dengan guru, siswa sangat sopan. Namun, ketika siswa berbicara dengan sesamanya, mereka bicara biasa saja bahkan dengan olok-olok. Kesebelas, patriotisme. Siswa memiliki jiwa patriotisme yang tinggi, yang diwujudkan dengan hafal lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Menurut guru, sebelum masuk kelas, siswa berbaris di halaman dan bersama-sama menyanyikan lagu wajib nasional. Dengan begitu, siswa sangat hafal lagu-lagu tersebut. Kemudian,. Di kelas, siswa diajari lagu-lagu daerah di Indonesia. Dalam kehidupan keseharian, mereka menggunakan bahasa Jawa. Keduabelas, demokratis. Penanaman nilai ini dilakukan dengan membiasakan siswa menyelesaikan masalah-masalah di kelasnya, yang dilakukan secara musyawarah. Guru selalu menanamkan hal tersebut, masalah yang timbul di kelas, dipahami sebagai masalah bersama. Ketigabelas, ketepatan waktu. Ada berbagai contoh penanaman nilai tepat waktu ini, misalnya siswa selalu datang tepat waktu dalam mengikuti upacara bendera. Keempatbelas, kelembutan hati. Pembiasaan nilai karakter ini dilakukan melalui teladan, yaitu jika berpapasan dengan orang yang baru dikenal, siswa selalu tersenyum. Mereka menganggap bahwa mereka adalah satu kelas yang harus dijalin secara akrab. Kelimabelas, rasa humor Kebersamaan. Pada umumnya siswa ini memiliki selera humor yang bagus, dilihat dari perilaku dan ucapan yang ditunjukkan di hadapan teman-temannya, maupun dalam mengapresiasi guyonan-guyonan yang ada di televisi. Hal tersebut tampak saat mereka bermain di jam istirahat atau pulang, berbicara dengan sesamanya. Siswa suka bercanda dan bermain dengan pola permainan yang sesuai dengan usianya. Permainan tersebut berupa 65
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kelereng, berkejaran, bola, permainan anak-anak lainya misalnya tepuk pundak. Mereka tidak memiliki kebiasaan memanggil kawan dengan nama panggilan yang kurang disenanginya. Juga jarang kejadian siswa berkelahi gara-gara Julukan yang dirasakan tidak diterima siswa yang menyangkut nama orang tua mereka yang diucapkan tanpa kata bapak atau ibu, yakni langsung ke nama. Keenambelas, kebersamaan. Karakter ini dilakukan oleh siswa yang ditunjukkan dengan sikap merasa puas bila mampu memberikan semangat pada teman sekelas untuk belajar sebaik-baiknya. Mereka mempunyai dorongan untuk belajar dari teman-temannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang memuaskan. Siswa di sekolah ini menyadari bahwa dalam suatu tim sifat egoisme harus dikalahkan oleh sikap mengutamakan kebersamaan. Paham akan buruknya egoisme sehingga tidak perlu dilakukan dan harus melakukan kebersamaan sesama teman. Ketujuhbelas, kebanggaan. Siswa mempunyai kebanggaan jika dapat membersihkan kelas masing-masing. Mereka selalu membersihkan lingkungan sekolah sebagai wujud kebanggaan dirinya terhadap sekolah. Berdasarkan pengamatan, beberapa siswa terlihat menyapu ruang kelas. Mereka menenteng sapu dari ruang kantor untuk dibawa ke kelas. Siswa-siswa di kota ini selalu dipupuk untuk bersikap tangguh. Nilai tangguh dapat dijumpai ketika diberikan tugas-tugas, sehingga siswa akan menyelesaikan tugas tersebut tepat waktu, sering bertanya di kelas, ingin sekolah sampai perguruan tinggi. Nilai tangguh tersebut berakar dari budaya dan adat di masyarakat Yogyakarta, masyarakat kota ini beranggapan bahwa diperlukan ketangguhan dalam mencari nafkah dengan prinsip kerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup. Nilai tangguh ditanamkan dalam pembelajaran di kelas dengan cara penguatan cita-cita siswa, pembiasaan ucapan kata jangan terlambat ke sekolah, pemberian motivasi, pemberian nasihat, dan pemberian contoh alumni yang berhasil kepada siswa. 66
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Ketidaktangguhan siswa yang sering muncul adalah sikap jenuh di kelas karena guru terlalu menggunakan metode ceramah, pengaruh orang tua yang tidak mendukung cita-cita siswa, dan protes orang tua terhadap nilai pelajaran siswa yang dilihat langsung oleh anaknya. Dengan demikian, siswa terganggu dalam melaksanakan nilai tangguh dalam dirinya. Implementasi nilai tangguh ini dapat diwujudkan dengan berbagai hal, yaitu: (1) ketegasan; (2) keberanian; (3) kehati-hatian; (4) daya upaya; (5) suka berkompetisi; (6) diinamis; (7) beretos kerja; (8) bersifat yakin; (9) antisipatif; (10) kerajinan. Hal itu diuraikan sebagai berikut ini. Pertama, ketegasan. Nilai ini selalu ditanamkan di sekolah, misalnya guru selalu meminta kepada siswa-siswanya agar pekerjaan rumahnya tidak dicontek oleh temannya. Kedua, keberanian. Nilai karakter ini dibiasakan dengan cara berani mengatakan tidak atas perintah guru yang dipandangnya tidak baik. Ketiga, kehati-hatian. Nilai karakter ini ditumbuhkan melalui kebiasaan agar dalam melakukan tindakan tertentu selalu dipikirkan terlebih dahulu. Misalnya, biasanya siswa yang memiliki kelas lebih rendah, akan merasa takut dan akan melapor ke gurunya tentang perbuatan kakak kelasnya; siswa di sekolah ini juga selalu berhati-hati dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Keempat, daya upaya. Penanaman karakter ini juga ditunjukkan dengan sikap bekerja keras dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru. Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan guru bahwa siswa ketika diberi tugas oleh guru, mereka melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kelima, suka berkompetisi. Nilai karakter ini ditanamkan dengan cara siswa suka berkompetisi dengan memiliki semangat, motivasi, dan untuk memperebutkan nilai yang tinggi dalam setiap mata pelajaran. 67
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Mereka dengan tekun belajar dan mengerjakan tugas sekolah dengan semangat dan sungguh-sungguh. Misalnya ditunjukkan dengan sikap bahwa di halaman sekolah, terlihat bahwa siswa laki-laki bermain kelereng dan sekelompok lainnya adu tiup stik es krim untuk berlomba meraih kemenangan. Keenam, dinamis. Implementasi nilai dilakukan dengan selalu berusaha mencari sumber-sumber bahan ajar di perpustakaan sesuai yang dianjurkan guru. Ketujuh, beretos kerja. Siswa di sekolah ini memiliki kebiasaan mempelajari sesuatu sampai dipandang mampu, tanpa mengenal lelah. Kebiasaan kerja keras siswa ini ditunjukkan dari siswa masuk kelas hingga sampai jam terakhir menjelang pulang. Kedelapan, sifat yakin. Sinergi dengan etos kerja ini, siswa selalu ditanamkan sikap yakin bahwa setiap kerja keras pasti akan mendatangkan sesuatu yang bermanfaat. Dalam konteks ini guru selalu memberikan nasihat bahwa kerja keras, akan mendapatkan nilai pelajaran yang lebih baik. Kesembilan, antisipatif. Karakter ini dibiasakan dengan pola berpikir bahwa siswa telah terbiasa memiliki alasan sebelum mengambil keputusan, sehingga tidak mudah dipengaruhi orang lain. Kesepuluh, kerajinan. Karakter ini selalu ditanamkan dalam berbagai kesempatan, melalui tuturan lisan, melalui slogan-slogan yang terpasang di dalam kelas. Misalnya, rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Beberapa contoh implementasi nilai rajin ini, yaitu siswa-siswa sekolah ini selalu datang sekitar 10 menit sebelum jam pelajaran dimulai, meski diakui karena berbagai alasan ada sebagian siswa yang datang terlambat.
68
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia 3. Etnis Jawa – Semarang a. Identitas Kultural Posisi geografi Kota Semarang terletak di pantai Utara Jawa Tengah, tepatnya pada garis 6º, 5' - 7º, 10' Lintang Selatan dan 110º, 35' Bujur Timur. Sedang luas wilayahnya mencapai 37.366.838 Ha atau 373,7 Km2. Letak geografi Kota Semarang ini dalam koridor pembangunan Jawa Tengah dan merupakan simpul empat pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan dan Barat menuju Kabupaten Kendal. Mayoritas agama yang dianut penduduk adalah Islam, Kristen, Khatolik, Budha, Hindhu dan Konghuchu yang menempati posisi terendah. Suku mayoritas yang menghuni Kota Semarang adalah suku Jawa. Akhir-akhir ini ada anggapan Wong Jawa ilang jawane. Oleh karena itu, dalam rangka melestarikan budaya Jawa tersebut, Gubernur Jawa Tengah menetapkan mata pelajaran muatan local (mulok) yang bersifat wajib di Jawa Tengah adalah Bahasa Jawa. Dengan penggunaan bahasa Jawa otomatis akan mengembangkan karakter sopan santun. Dengan demikian, nilai karakter Jawa Tengah seperti sopan santun, unggah ungguh sebagai lambang dalam . menghargai orang yang lebih tua dan sesama tidak luntur. Dengan menggunakan bahasa jawa sebagai muatan lokal diharapkan dapat mengembangkan nilai karakter yang lain. Misal adalah nilai kepemimpinan. Di Jawa Tengah (Semarang) terdapat 5 tahap penanaman nilai karakter yaitu: menerima, merespon, menilai, mengorganisasikan, dan menjiwai. Diharapkan setiap ucapan dan tindak tanduk akan selalu diwarnai oleh nilai karakter Jawa. Misalnya nilai gotong royong, kental sekali bagi masyarakat Jawa. Oleh karena itu ada himbauan, mari kita sungguh-sungguh melaksanakan nilai karakter, tidak hanya “memberi contoh” tetapi melalui “menjadi contoh”. Hal ini terjadi karena anak didik membutuhkan keteladanan sehingga dapat dikatakan bahwa 69
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia warna kelas adalah warna guru. Adat yang diyakini sampai sekarang masih berlaku di masyarakat Semarang di antaranya adalah sungkeman pada hari raya Idul Fitri, gertak semarangan, peran serta siswa pada acara dugderan menjelang puasa. Sementara adat yang sudah mulai ditinggalkan adalah nyadran dan ngruwat karena biayanya cukup besar. Kegiatan mendongeng sebelum tidur juga sudah mulai banyak ditinggalkan karena dianggap TV lebih popular, padahal mendongeng baik untuk mengakrabkan orang tua dan anak, serta dapat memberikan petuah. Adat lain yang juga ditinggalkan adalah pepatah “Ojo mangan ono ing tengah lawang” (dilarang makan di tengah pintu), “pepatah petitih” dari guru (banyak guru yang sudah jarang memberikan nasihat). Termasuk juga permainan anak tradisional yang banyak ditinggalkan seperti jamuran, benthik, dakon, engklek, gobaksodor, dan lain-lain. Permainan ini kalah dengan permainan modern Etika yang masih berlaku di kalangan masyarakat Semarang adalah izin/pamit pada guru/orang tua, dan memberi salam kepada orang tua atau sesama yang dikenal. Sementara itu untuk etika yang sudah mulai ditinggalkan adalah unggah-ungguh bahasa jawa (krama inggil) untuk pemuda mulai luntur. Hal ini karena mereka takut membuat kesalahan dalam berbahasa. Banyak juga anak muda yang sudah tidak mengenal kosa kata bahasa jawa, tetapi memakainya dalam percakapan keseharian. (misal: gondhes, dll). Siswa juga menganggap status orang tua dan dirinya sama sehingga dalam bergaul seringkali tidak mempertimbangkan “unggah ungguh” pemakaian kata/istilah. Termasuk juga mulai terkikisnya sifat menghargai/mendengarkan orang lain yang berbicara, kecenderungan kurangnya kesadaran dalam menyimak juga mewarnai masyarakat. Banyak fenomena siswa tidak menghormati guru. Misalnya memanggil guru bukan dengan nama tetapi dengan ciri fisik, atau sebutan-sebutan lain yang merupakan ledekan atau cemoohan, dan lain-lain.
70
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia b. Karakter Siswa Kejujuran oleh responden diartikan sebagai apa adanya, tidak bohong, Contoh nilai kejujuran yang ada di sekolah adalah bila menemukan barang diserahkan ke guru atau dimasukkan di kotak penemuan barang, larangan mencontek, laporan keuangan secara transparan di papan masjid ataupun di rapat sekolah. Contoh lainnya, peserta didik akan mengaku jika tidak mengerjakan tugas, dan beralasan apa adanya jika terlambat sekolah. Nilai kejujuran ini dianggap berakar dari budaya Jawa “jujur mujur”, artinya orang yang bertindak jujur maka kehidupannya akan selamat di dunia dan akhirat. Hal ini diberi penguatan misalnya jika ada siswa yang mencontek temannya akan dimarahi oleh guru. Ketidakjujuran sering muncul misalnya ada anak yang mengambil barang di kantin kejujuran tanpa membayar, ada juga yang tidak mengambil barangnya tapi mengambil uangnya. Contoh lain ketika diberi undangan untuk disampaikan ke orang tuanya tapi tidak disampaikan. Nilai kecerdasan dipahami oleh siswa di Semarang sebagai kepandaian, mampu berpikir dan mampu mengatasi masalah. Nilai ini dikembangkan di sekolah meliputi kecerdasan inteligensi, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual dan kecerdasan seni. Hambatan dalam mengembangkan nilai kecerdasan ini adalah kurang adanya dukungan orang tua, terutama pada anak yang mengalami masalah keluarga. Program yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan nilai-nilai kecerdasan misalnya mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler, dan pembinaan mata pelajaran. Nilai kepedulian dipahami sebagai sikap atau perilaku memperhatikan lingkungan dan orang lain (sosial). Nilai kepedulian ini dianggap berakar dari budaya dan tradisi daerah Semarang. Misalnya peduli pada teman yang sakit, keluarga teman yang meninggal, dan peduli pada lingkungan. Namun ada nilai ketidakpedulian yang sering muncul dalam bentuk masih ada anak didik yang membuang sampah sembarangan. 71
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Nilai ketangguhan dipahami sebagai kuat menghadapi masalah atau rintangan. Ketangguhan yang ada di sekolah misalnya jika ada anak yang menghadapi masalah tidak menangis. Contoh lain misalnya menghadapi lomba berpikir “menang tidak menang harus berusaha”. Hambatan ketika menerapkan nilai ketangguhan ini adalah kadangkadang “nglokro” belum apa-apa sudah pasrah, ada orang tua yang tidak respek, anak sering terlambat dan beralasan rumahnya jauh. Nilai-nilai ketangguhan ini dianggap berakar dari budaya dan tradisi setempat. Diimplementasikan melalui budaya sekolah dengan cara berupaya anak didik tidak terlambat datang ke sekolah. Dalam kegiatan pembiasaan keseharian dengan cara menyuruh siswa mengerjakan tugas dari guru baik di kelas maupun mengerjakan PR.
4. Etnis Madura a. Identitas Kultural Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur, merupakan bagian dari provinsi Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk hampir 4 juta jiwa. Kondisi geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan dan tidak terjadi perbedaan elevasi ketinggian yang begitu mencolok semakin ke arah utara, walau umumnya lebih tinggi daripada wilayah bagian selatan. Selain itu sebagian kecil wilayah juga merupakan dataran tinggi tanpa gunung berapi dan tanah pertanian lahan kering. Suku asli pulau Madura adalah suku Madura. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani, orang Madura seperti halnya orang Minangkabau bersifat kosmopolit. Mereka berdiam di mana-mana. Orang Madura juga senang berdagang, berdagang apa saja termasuk besi tua dan barang-barang bekas lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan dan buruh, serta beberapa ada yang berhasil 72
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia menjadi teknokrat, birokrat, gubernur, menteri atau jabatan tinggi di dunia militer.
b. Karakter Siswa Nilai kejujuran menurut warga sekitar berarti selalu berkata dan berbuat sesuai fakta yang nyata dan kondisi yang ada dan tidak dibuat-buat. Di sekolah nilai kejujuran selalu dikembangkan berupa pembiasaan dan keteladanan dari guru dan semua warga . contoh nilainilai kejujuran yang terdapat di sekolah dengan adanya kantin kejujuran siswa, transparasi keuangan sekolah, menyediakan kotak saran, guru pun juga selalu memberikan contoh dengan cara selalu menepati janji kepada siswa. Namun nilai tersebut tidak seutuhnya berjalan dengan lancar ada hambatan meskipun tidak terlalu berat yakni waktu tatap muka yang pendek dengan siswa sehingga menyebabkan siswa kembali pada sifat semula. Masyarakat sangat mendukung mengenai penerapan nilai kejujuran ini, hal ini dapat dilihat dari laporan orang tua pernah mengirimkan surat kepada sekolah karena putranya ditemukan berbuat kurang jujur. Budaya jujur telah berakar dari budaya dan tradisi Madura namun harus dipupuk terus menerus agar tidak terkikis dan tergerus oleh lingkungan dan pergaulan yang buruk. Nilai kecerdasan adalah mampu berpikir kritis, eksploratif, komunikatif dan mandiri. Di sekolah telah diterapkan nilai kecerdasan dan dapat dilihat dari proses pembelajaran yang telah berlangsung sehingga siswa dapat mengikuti perlombaan matematika, sains, kegiatan ekstrakurikuler, tartil Al Quran dan samroh. Akan tetapi dalam melaksanakan nilai kecerdasan ini tidak selalu berjalan dengan mulus karena anggaran yang dibutuhkan melebihi kuota, dan waktu yang dimiliki sangat terbatas sehingga menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan secara maksimal. Dukungan dari masyarakat pun tumbuh sehingga untuk persiapan mengikuti lomba dan lainnya menjadi lancar dan membuahkan hasil yang memuaskan yakni menjuarai berbagai lomba matematika, drum band, tenis lapangan, baca 73
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia berita bahasa Inggris dan lain-lain. Hal yang paling disayangkan adalah nilai kecerdasan ini tidak muncul secara maksimal dalam bentuk mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru. Nilai kepedulian memiliki arti merespon secara spontan terhadap apa yang dilihat dan dihadapi dalam situasi apapun. Di sekolah juga telah di ajarkan nilai kepedulian kepada anak didik. Contoh nilai kepedulian yang terdapat di sekolah misalnya terbiasa membuang sampah pada tempatnya, akhir pelajaran siswa membersihkan ruang kelas dan memungut sampah yang berserakan, peduli sosial dengan cara mengunjungi kawan yang sedang sakit, bertakziah bila terdapat teman/keluarga yang meninggal, dan mengumpulkan dana setiap hari Jumat untuk kepentingan sosial. Nilai kepedulian ini memang sudah berakar dari budaya dan tradisi yang sudah ada yakni budaya saling tolong menolong, yang masih kuat terutama bila ada warga yang mendapat kesusahan. Akan tetapi terdapat hambatan dalam menerapkan nilai kepedulian ini yakni terdapat siswa yang lupa akan tugasnya untuk membersihkan kelas dan kebiasaan mencoret-coret bangku dengan tipe x sehingga mengakibatkan bangku kotor. Nilai ketangguhan dimaknai sebagai pantang menyerah, tidak putus asa selalu optimis menghadapi kegiatan yang positif dan bersifat menantang. Di sekolah juga telah diajarkan nilai ketangguhan, salah satu contohnya adalah dari perjuangan yang dihasilkan bersama anakanak dari status sekolah konvensional menjadi sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yang merupakan perjuangan yang sangat berat, ini merupakan perwujudan dari ketangguhan anak-anak dan seluruh komponen sekolah. Akan tetapi terdapat hambatanhambatan yang dijumpai dalam menanamkan nilai ketangguhan ini yakni ada beberapa guru yang memang tidak merespon kegiatan yang menantang, waktu yang tersedia sempit. Nilai ketangguhan ini memang berasal dari budaya daerah Madura, seperti beberapa semboyan yang ada yakni ‘abental ombek, asapok angen’ (berbantal ombak, berselimut angin/hidup perlu perjuangan). Akan tetapi dalam mengerjakan tugas
74
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia siswa kurang tangguh dalam menyelesaikannya. Sehingga nilai yang diperoleh kurang maksimal.
5. Etnis Using Banyuwangi a. Identitas Kultural Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur, bahkan di Pulau Jawa. Luasnya 5.782,50 km2. Wilayahnya cukup beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan. Di kawasan perbatasan dengan Kabupaten Bondowoso, terdapat rangkaian Dataran Tinggi Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.282 m) dan Gunung Merapi (2.800 m) terdapat Kawah Ijen, keduanya adalah gunung api aktif. Suku asli Banyuwangi adalah Using/Osing, tetapi di sana juga tinggal suku Jawa (Mataraman), Sunda, Madura, Bali. Keberagaman juga tampak dalam hal religiusitas. Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat dan menjadi akar nilai-nilai kehidupan sehari-hari. Agama lain yang dianut oleh masyarakat adalah Hindhu/Budha dan Kristen. Mata pencaharian utama di daerah Banyuwangi adalah bertani, akan tetapi ada juga masyarakat Banyuwangi yang memilih pekerjaan sebagai pedagang, pegawai pemerintahan, guru dan karyawan. Karakter khas masyarakat Banyuwangi adalah jujur, ceplasceplos (= apa adanya), ceria, dan energik. Nilai-nilai karakter khas daerah ini diambil dari nilai karakter yang dimiliki oleh suku asli yang disebut Using/Osing. Banyuwangi juga disebut sebagai miniatur keberagaman Indonesia. Jadi, masyarakat Banyuwangi adalah masyarakat yang pluralistik yang terdiri atas suku Jawa (Mataraman), Sunda, dan Madura dengan berbagai budayanya serta berbagai agama yang dianut. Nilai-nilai karakter masyarakat Banyuwangi terutama diambil dari ajaran agama Islam yang dianut oleh mayoritas asyarakat. Nilai-nilai karakter yang tertuang dalam bentuk kebudayaan terutama berupa kesenian, yaitu seni tari, seni suara berupa lagu-lagu daerah, pakaian daerah (batik Gajah Oling), bahasa Using, etika, 75
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kehidupan sosial, dan berbagai bentuk upacara ritual. Lagu-lagu Banyuwangi seolah-olah dianggap berupa ungkapan cinta saja, tetapi sebenarnya mengandung filosofi yang kuat yaitu pengungkapan hati dan perasaan yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang usia. Ini sama dengan usia Banyuwangi yang meski sudah tua tetapi masih relevan dengan perasaan dan semangat cinta kasih yang ada pada setiap manusia. Musik dan tarian Banyuwangi sigrak (= energik) yang menggambarkan sifat masyarakat yang bersemangat, energik, ceplasceplos, ceria dalam menjalani kehidupan. Mereka bukan masyarakat yang lemah, loyo, mudah patah semangat dalam menghadapi kehidupan. Hal ini didukung dengan banyaknya instrumen musik dan tari khas Banyuwangi yang berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan instrumen khas dari daerah lain. Berbagai upacara ritual dilaksanakan untuk menandai setiap tahap kehidupan manusia yang meliputi: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Upacara kelahiran berupa penanaman ari-ari bayi dan pemberian nama bayi, saat turun tanah, dan saat sunat/khitanan. Upacara pernikahan diawali dengan adanya budaya mlayoake (melarikan calon pengantin perempuan oleh calon pengantin laki-laki), dan dilanjutkan dengan acara lamaran serta pertemuan di pelaminan yang disaksikan oleh keluarga dari kedua pihak dan masyarakat. Setiap bentuk upacara ritual tidak lepas dari sesajian (bentuk budaya, tidak ada dalam ajaran Islam) dan mantra (doa yang diambil dari ajaran Islam). Dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat Banyuwangi terutama suku Using ini menggambarkan sinkretisme antara nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah menyatu tanpa ada pemisahan. Nilai-nilai kejujuran, kecerdasan, kepedulian, dan ketangguhan ditanamkan para orang tua kepada anak-anaknya melalui penanaman ajaran agama Islam (bagi yang beragama Islam). Dengan kata lain, agama dan budaya/adat berjalan beriringan sebagaimana terpancar dalam kehidupan sehari-hari. Di bawah ini contoh-contoh bentuk nilai 76
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia karakter di daerah Banyuwangi. Masyarakat Using menanamkan nilai kejujuran terutama dalam bentuk penggunaan bahasa sehari-hari. Sebagaimana diketahui, bahasa Using(= basa Osing) tidak mengenal tingkatan kata, egaliter Masyarakat menggunakan bahasa tanpa memperhatikan lawan bicara dan tanpa memperhatikan pilihan kata, seperti bahasa krama dalam bahasa Jawa. Hal ini dilakukan untuk menanamkan kejujuran tanpa ada sesuatu yang dipendam dalam hati. Antara orang tua dan anak tidak perlu ada perbedaan bahasa agar terjalin kedekatan dan kejujuran (tidak takut). Namun, dalam berbahasa, anak muda harus tetap menjaga sikap yakni tetap hormat kepada orang tua. Bagi masyarakat lain di pulau Jawa, hal ini terkesan tidak sopan, terlalu kasar, tetapi sebenarnya mereka sangat terbuka untuk menerima segala kekurangan. Mereka tidak akan sakit hati jika kritik atas kekurangan mereka dilontarkan oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang lebih muda. Bagi mereka yang penting adalah kejujuran. Bentuk lain penanaman kejujuran adalah adanya budaya mlayokake. Sudah menjadi kebiasaan, apabila ada sepasang muda-mudi yang saling mencintai tetapi pihak perempuan tidak menyetujui maka akan terjadi budaya mlayokake. Artinya, anak laki-laki akan melarikan gadisnya sampai orang tua gadis itu menyetujui hubungan mereka. Namun, dalam istilah ini, pihak laki-laki setelah berhasil melarikan gadisnya, dia melalui keluarganya harus memberi tahu kepada pihak keluarga gadis yang sesudahnya akan menyiapkan upacara kepulangan dan perkawinan mereka. Dengan demikian, meski terkesan kurang baik bagi masyarakat luar, budaya ini sebenarnya berusaha menanamkan nilai kejujuran dari pihak laki-laki, jika benar-benar dia mencintai gadisnya maka dengan jujur dia akan mengambilnya, dan dengan jujur pula dia akan memberi tahu keberadaannya kepada keluarga. Masyarakat Banyuwangi sangat menjunjung tinggi ajaran pentingnya mencari ilmu bagi siapa pun. Budaya ini berakar dari ajaran Islam yang sangat menganjurkan umatnya berilmu. Contoh ajaran Islam 77
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia yang terkait dengan ini adalah: Uthlubil ’Ilma walau bi tsini (Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina), Mencari Ilmu itu wajib bagi Muslimin dan Muslimat, Carilah ilmu mulai dalam ayunan sampai ke liang lahat. Pentingnya berilmu diekspresikan masyarakat dalam bentuk penghargaan yang tinggi pada orang-orang yang memiliki ilmu, baik ilmu agama maupun yang bersifat umum. Masyarakat Banyuwangi sangat hormat dan meletakkan orang yang baik dan berilmu pada kedudukan tertinggi di strata sosial walaupun mereka berasal dari luar daerah atau bukan penduduk asli. Kenyataan masyarakat sangat menghormati kyai dan guru dan menjadikan anutan dalam berperilaku dan mengatasi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Bentuk lain penanaman karakter kecerdasan adalah adanya pemberian izin dari orang tua kepada anaknya yang hendak mencari ilmu ke daerah lain. Biasanya orang tua mengirimkan anak-anak ke pesantren-pesantren yang ada di kota santri di Jawa Timur atau Jawa Tengah. Dan saat ini, masyarakat tidak lagi membedakan anak laki-laki dan perempuan dalam hal menuntut ilmu. Pada zaman dulu yang boleh menuntut ilmu sampai tinggi hanyalah anak laki-laki. Masyarakat Banyuwangi sangat memiliki sifat kepedulian terhadap sesama dan terhadap lingkungan. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, meskipun mayoritas masyarakat beragama Islam, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup dengan damai. Mereka dapat hidup berdampingan tanpa ada konflik yang berarti. Sebagai contoh, ketika masyarakat Islam hendak melaksanakan perayaan hari-hari besar keagamaan misalnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, maka masyarakat yang beragama Hindhu/Budha dan Kristen pun ikut sibuk mempersiapkan pelaksanaan perayaan. Begitu pula pemeluk Islam akan membantu mempersiapkan pelaksanaan upacara pemeluk agama lain jika akan mengadakan upacara keagamaan. Bentuk lain kepedulian masyarakat adalah ketika ada tetangga yang hendak pindah rumah atau punya hajatan (misalnya melaksanakan khitanan atau perkawinan) maka tanpa dikomando, tetangga akan 78
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia membantu. Tetangga yang laki-laki membantu memasang terop, meja kursi, dan alat-alat lain yang dibutuhkan, sedangkan yang perempuan akan datang dengan membawa makanan ataupun bahan makanan sesuai kemampuan. Biasanya bahan makanan berupa beras dan hasil bumi lainnya yang dibawa di atas kepala (= disunggi). Para perempuan ini juga membantu memasak dan mempersiapkan makanan untuk para tamu dengan suka rela. Masyarakat Banyuwangi terkenal sebagai masyarakat yang tangguh dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan termasuk bertahan hidup. Masyarakat dikenal bertipe kurang perhitungan, artinya mereka menanamkan prinsip berani dahulu walaupun nantinya mereka harus menerima kekurangan. Dengan kata lain, dalam kehidupan ini mereka harus berani mengambil risiko. Yang penting adalah tidak lari dari masalah. Dalam menanamkan nilai ketangguhan ini masyarakat berkaca pada peristiwa bersejarah yaitu perang Puputan. Pada saat itu, setiap terjadi peperangan akan dihabiskan semua peninggalan sehingga tidak bersisa. Tujuan sebenarnya adalah untuk menghilangkan ketakutan akan masih adanya sisa-sisa (termasuk keturunan) musuh. Semua itu dilakukan untuk mempertahankan diri dan menjaga keutuhan kedudukan dan keselamatan masyarakat sendiri. Masyarakat Using juga terkenal sebagai pekerja keras. Sifat ini diekspresikan dalam bentuk kebiasaan masyarakat yang mayoritas petani tulen dan sangat ulet. Mereka setiap hari berangkat ke sawah setelah salat Shubuh dan pulang setelah Isya. Mereka melaksanakan ibadah salat Dhuhur, Ashar, dan Magrib di persawahan. Dari hasil diskusi terpandu disimpulkan bahwa Banyuwangi merupakan tolok ukur Jawa Timur sebagaimana Jawa Timur merupakan tolok ukur untuk Indonesia. Artinya, keberhasilan ataupun kegagalan setiap program kebiijakan pemerintah di Banyuwangi merupakan tolok ukur keberhasilan ataupun kegagalan di Jawa Timur. Dengan kata lain, Banyuwangi merupakan wilayah penting yang harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah jika pemerintah 79
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia menginginkan keberhasilan program-programnya.
b. Karakter Siswa Pada dasarnya karakter inti jujur di sekolah bermula dari adat dan budaya yang ditanamkan keluarga. Sekolah menguatkan dengan melaksanakan program akademis dan non-akademis dalam kegiatan pembelajaran setiap hari. Penanaman karakter di sekolah melalui pembiasaan dan teladan dari guru dan segenap warga sekolah. Terkait dengan nilai karakter jujur, sekolah telah menjalin kerja sama dengan komite sekolah dalam bentuk penulisan berbagai slogan yang tepat. Slogan-slogan itu ditulis dalam berbagai bentuk antara lain spanduk dan berbagai media lainnya. Contoh slogan atau tulisan untuk melaksanakan program penanaman kejujuran adalah: Mencontek Hukumnya Haram, Malu Datang Terlambat ke Sekolah, Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti, Be Smart, Be Syar’i, Be the Best No one is too old to learn Selain slogan yang diletakkan di area sekolah, di setiap kelas juga disediakan tempat penemuan barang. Tempat atau wadah temuan barang ini dibuat secara kreatif dalam bentuk yang beragam, tiap kelas berbeda bentuk dan ukurannya. Karakter inti jujur di sekolah juga dilaksanakan melalui program akademis dan non-akademis. Program akademis dilaksanakan pada pembelajaran di kelas melalui berbagai mata pelajaran dengan pokok bahasan (standar kompetensi) yang sesuai. Program non-akademis penanaman karakter inti jujur dilakasanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler adalah Pramuka, kesenian, dan olah raga. Penanaman karakter di sekolah melalui pembiasaan dan teladan dari guru dan segenap civitas. 80
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Selain itu, kejujuran juga tampak pada bentuk perilaku selalu melakukan yang terbaik bagi dirinya sendiri maupun sekolah. Sebagai contoh, ketika mengikuti berbagai lomba, yang menjadi motivasi utama bukanlah materi atau dana melainkan prestasi demi nama baik sekolah. Sebaliknya, jika ada yang melakukan kesalahan sehingga mereka dihukum maka mereka akan menerima dengan lapang dada tanpa protes. Begitu juga jika ada siswa yang tidak sengaja mengingkari janji maka mereka dengan lapang dada akan meminta maaf. Bentuk lain nilai kejujuran adalah tidak adanya permintaan bantuan dari sekolah kepada para siswa atau orang tua. Hal ini terkait dengan adanya Program Sekolah Gratis yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah pada kurun waktu dulu. Dengan adanya program itu, orang tua tidak mau memberikan dana dalam bentuk apa pun dan untuk kepentingan apa pun. Dengan demikian, terdapat beberapa program pemberian dukungan dana kepada siswa yang tidak mampu tidak dapat dilaksanakan lagi. Nilai kejujuran masih terpelihara dalam bentuk lain, yaitu apabila barang temuan maka barang tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya. Hal ini dibuktikan dengan seringnya ditemukan HP, uang, kunci kontak, dan barang-barang lain yang diserahkan siswa kepada guru dan yang selanjutnya akan memberikan pengumuman kepada seluruh siswa. Sekolah ini mendapatkan nama baik dan memperoleh tanggapan yang positif dari masyarakat. Dengan demikian, untuk memperoleh raw input yang baik tidak sulit. Karena SDM bagus, maka program sekolah untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengoptimalkan karakter inti cerdas dirasakan lebih mudah. Apalagi ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai, maka tidak heran sekolah ini telah banyak melahirkan anak-anak berprestasi. Bagi masyarakat, alumni sekolah ini dapat dipercaya kualitasnya untuk dapat diterima di jenjang yang lebih tinggi yang bermutu. Penanaman karakter cerdas melalui kegiatan kurikuler dan 81
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia ekstrakurikuler. Kegiatan kurikuler dilaksanakan di kelas dalam bentuk pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler untuk menambahkan pengetahuan siswa berupa pemberian tambahan belajar di luar jam sekolah oleh guru-guru sendiri terutama untuk mata pelajaran yang termasuk Ujian Nasional. Kegiatan ekstrakurikuler berupa tambahan keterampilan kepada siswa dalam bidang kesenian, agama, dan olah raga. Tambahan jam belajar dilakukan pada siswa yang akan dipersiapkan mengikuti kompetisi keilmuan atau kompetisi olahraga dan seni tradisi dan religi. Selain dalam bentuk kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler, penanaman karakter cerdas juga dilakukan melalui penulisan berbagai slogan. Contoh kata-kata atau slogan terkait antara lain:
Aku rela memberi ilmu demi masa depan anak bangsa, Buku adalah gudang ilmu, Ilmu tak diamalkan bagai pohon tak berbuah. Be Smart, Be Syar’i, Be the Best No one is too old to learn
Bentuk karakter inti cerdas di sekolah ini tampak pada saat para siswa diberi tugas oleh guru maka mereka selalu mengerjakan dengan baik dan tanggung jawab yang tinggi, baik tugas yang bersifat kurikuler maupun yang ekstrakurikuler. Dari LKS dapat dilihat bahwa jawaban mereka selalu variatif sehingga dapat disimpulkan mereka memang mengerjakan sendiri-sendiri. Pada umumnya siswa memang memiliki inisiatif yang tinggi, hal ini didukung oleh adanya motovasi untuk menjadi yang terbaik. Motivasi terbesar untuk menjadi yang terbaik adalah adanya kegiatan yang diadakan setiap setahun sekali yaitu Pentas Tahunan Teater maupun Story Telling Contest. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, para guru tidak pernah ikut campur baik dalam hal 82
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kelancaran acara maupun dana yang dibutuhkan. Para siswa dengan dimotori oleh Ketua dan Pengurus OSIS merancang berbagai kegiatan yang diikuti oleh para siswa yang merupakan perwakilan kelas ataupun atas nama pribadi. Biasanya mereka mendapatkan ide-ide kreatif dari lingkungan sekitar. Begitu pula dalam hal dana, para Pengurus OSIS sendiri yang berusaha mencari sponsor dari berbagai pihak. Selama ini kegiatan berjalan dengan lancar. Selain itu, pada saat pemilihan Ketua OSIS para guru hanya bertindak sebagai pembimbing, itu pun jika siswa memintanya. Para siswa sendiri yang mengatur segalanya. Melalui orasi dari para calon pada akhirnya mereka mendapatkan suara dari teman-temannya dan yang mendapatkan suara terbanyak adalah yang terpilih. Dalam hal ini mereka selalu mengutamakan musyawarah jika terjadi perbedaan pendapat. Sejauh ini berjalan dengan lancar dan aman. Sekolah mengembangkan karakter inti peduli melalui kegiatan akademis dan non akademis. Kegiatan akademis berupa penanaman karakter peduli yang implisit dalam mata pelajaran. Artinya, melalui pokok bahasan tertentu sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, guru wajib memasukkan nilai-nilai kepedulian kepada siswa. Dengan kata lain, seluruh guru bertanggung jawab akan pelaksanaan penanaman karakter peduli kepada siswa melalui mata pelajarannya. Penanaman karakter peduli melalui kegiatan nonakademis berupa kegiatan sosial yang bertujuan menanamkan sifat peduli siswa kepada sesama. Sebagai contoh, apabila ada temannya yang tertimpa musibah (sakit ataupun meninggal), maka siswa lain akan melaksanakan kegiatan menjenguk ke rumah atau ke rumah sakit dan takziah ke keluarganya. Bentuk lain sifat kepedulian adalah membudayakan peduli lingkungan terutama di wilayah sekolah. Selain menyediakan tempat sampah, penanaman dan pemeliharaan tanaman, sekolah juga membuat tulisan dalam bentuk slogan ataupun poster. Contoh kalimat yang termasuk penanaman karakter peduli adalah: Panggonan kang rijig nggawe ati tentrem, Rijig iku apik, 83
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Rijig lan apike papan panggonan rika, kaca pribadi rika, Ayo padha gugur gunung tetandur lan ngresiki lingkungan sekolah
Di samping itu, sekolah juga membudayakan beramal melalui kotak amal baik berupa uang maupun barang. Khusus hari Jumat diprogramkan kegiatan memasukkan uang pada kotak amal untuk pemeliharaan dan pembangunan masjid sekolah. Kebetulan ketika itu masjid sekolah (Mushalla) dalam keadaan rusak berat karena baru saja disambar petir. Dalam hal ini Komite Sekolah juga sudah merencanakan renovasi Mushalla dengan cara penggalangan dana dari orang tua dan masyarakat. Bentuk lain sifat kepedulian adalah membudayakan peduli lingkungan terutama di wilayah sekolah. Kebetulan sekolah sampel memiliki lahan yang sangat luas dan memadai untuk menanamkan sikap peduli lingkungan pada siswa. Sekolah memiliki Program Kawasan Hijau dan Bersih. Untuk mewujudkan program ini, sekolah mendapatkan dukungan penuh dari para orang tua yang tergabung dalam bentuk Komite Sekolah. Komite telah mempersiapkan tempat sampah yang disebarkan di berbagai sudut halaman dan tiap kelas. Sekolah juga melaksanakan penanaman pohon yang dananya dari masyarakat terutama komite, sedangkan untuk pemeliharaan tanaman itu maka sekolah menggaji seorang tukang kebun. Untuk mempermudah tugasnya, tukang kebun dan keluarganya diberi rumah dinas yang dibangun di dalam sekolah. Kepedulian siswa terhadap sesama teman masih dibina dengan baik, saling tolong menolong masih tampak dalam berbagai kegiatan yang sudah diprogramkan oleh sekolah (guru). Dengan berbagai cara sekolah menanamkan kebiasaan untuk tidak mencari-cari kesalahan atau kekurangan orang lain, agar tidak terjadi perpecahan. Selain itu, ditanamkan juga agar menghargai hak setiap orang, dan tidak 84
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia mengganggu hak-hak orang lain. Selama ini nilai-nilai ini ditanamkan berdasarkan ajaran agama. Bentuk kepadulian di sekolah dapat dilihat yakni dalam adanya pemberian bantuan atau tambahan belajar bagi siswa yang kurang kemampuannya. Tambahan jam pelajaran tidak hanya diberikan oleh guru tetapi oleh sesama siswa yang disebut dengan program teman sejawat. Bentuk lain adalah ketika ada teman yang berulang tahun dan mereka berasal dari keluarga mampu maka yang berulang tahun itu akan memberikan traktiran berupa makan bersama. Bentuk lain adalah adanya kunjungan kepada teman yang sakit atau orang tua yang meninggal. Mereka dengan suka rela memberikan dana yang diharapkan dapat sedikit meringankan beban keluarga yang sakit. Pada saat pemilihan Ketua OSIS mereka lebih mengutamakan gotong royong yang tinggi. Mereka bekerja sama untuk menyukseskan pemilihan dan memilih secara demokratis serta menerima calon dengan lapang dada, tidak peduli dari kelas mana pun. Nilai-nilai karakter ini didasari oleh adanya rasa kebersamaan, rasa kesatuan sebagai warga sekolah. Dengan demikian, yang diutamakan dalam setiap kegiatan adalah rasa kekeluargaan. Bentuk lain kepedulian juga ditanamkan pada siswa adalah adanya peringatan secara keras bagi siswa yang mengendarai motor. Bagi mereka diharuskan memiliki SIM, dan jika ketahuan tidak punya maka besoknya mereka dilarang membawa motor ke sekolah. Itu sebabnya, di sekolah ini kendaraan didominasi oleh sepeda angin. Selain itu, adanya ketentuan ke sekolah dengan berseragam juga ditujukan untuk penanaman nilai kepedulian, yakni peduli terhadap hasil batik kota Banyuwangi yaitu Batik Gajah Oling yang harus dipakai pada harihari tertentu. Di samping itu, pelajaran Bahasa Using juga masih diberikan, dan digunakan pada saat di luar kelas dan dalam kegiatan sehari-hari baik di sekolah maupun di keluarga dan masyarakat. Kepedulian juga diwujudkan dengan adanya Program 3 S, yaitu: Senyum, Sapa, Salam. Bentuk-bentuk perilaku saling menghormati 85
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia dicontohkan oleh guru ketika mereka bersikap terhadap sesama guru. Dengan demikian, para siswa dapat meneladani sikap hormat tersebut. Para siswa selalu menghormati guru tanpa ada perbedaan antara satu guru dengan yang lain. Dalam kegiatan sehari-hari bentuk penghormatan ini antara lain jika bertemu guru mereka memberikan salam. Bentuk penghormatan ini dilatari oleh nilai-nilai agama yang dianut, yaitu di mata Tuhan tidak ada manusia yang istimewa, kecuali yang beriman. Sekolah ini mengembangkan karakter inti tangguh melalui kegiatan akademis dan non akademis. Kegiatan akademis berupa penanaman karakter tangguh yang implisit dalam mata pelajaran. Artinya, melalui Pokok Bahasan tertentu sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, guru wajib memasukkan nilai-nilai kepedulian kepada siswa. Dengan kata lain, seluruh guru bertanggung jawab akan pelaksanaan penanaman karakter peduli kepada siswa melalui mata pelajarannya. Sekolah berperan memberikan motivasi belajar kepada siswa baik ketika dalam pelajaran maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Bentuk-bentuk penanaman ketangguhan di kelas (akademis) antara lain, guru selalui mengecek tugas-tugas yang diberikan kepada siswa. Diharapkan siswa mengerjakan tugas-tugas dengan baik dan tepat waktu. Penanaman karakter tangguh melalui kegiatan nonakademis berupa kegiatan ekstrakurikuler yaitu Pramuka, UKS, Polisi Sekolah (PS), dan kesenian terutama seni tari, bernyanyi lagu-lagu daerah, dan seni menghafal Al-quran serta Qosidah. Melalui kegiatan ekstrakurikuler itu siswa dapat berlatih sedikit demi sedikit untuk mendapatkan keterampilan yang diinginkan. Dengan demikian, siswa terlatih untuk tangguh, tidak mudah putus ada demi meraih prestasi. Penanaman karakter ketangguhan juga diwujudkan dalam bentuk tulisan-tulisan dalam slogan di poster ataupun di media lain. Poster berupa slogan ini ditempelkan di berbagai sudut sekolah dan di kelas-kelas. Berbagai bentuk slogan ketangguhan di sekolah ini adalah: 86
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Kesabaran kunci keberhasilan Raih prestasi junjung tinggi budi pekerti Prayer is the pilar of religion Keselamatan manusia terletak pada lisannya Wujudkan pelayana prima: Salam-Senyum-Sapa-SopanSilaturrahim
Karakter tangguh juga sudah ditanamkan di sekolah ini. Hal ini dapat dibuktikan pada saat mereka diberi tugas oleh guru, baik dari kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler. Setiap ada tugas mereka selalu mengerjakan dengan baik, tanpa ada usaha mencontek dari hasil pekerjaan temannya. Pada mereka ditanamkan bahwa mencontek adalah perbuatan yang tidak jujur yang berarti juga tidak mempunyai ketangguhan hati. Ada kalanya mereka membantah tugas atau perintah guru, tetapi selalu disertai alasan. Dan apabila menurut penilaian guru alasan mereka logis, maka mereka boleh tidak mengerjakan perintah tersebut. Namun, jika mereka merasa bahwa tugas atau perintah guru tersebut logis maka mereka akan mengerjakan dengan baik. Khusus untuk Ketua dan Pengurus OSIS, mereka memiliki jiwa yang tangguh. Mereka dapat melaksanakan berbagai agenda atau program sekolah dengan tidak terlalu mengikutkan peran guru kecuali jika dianggap sangat perlu. Mereka juga tidak menutup diri terhadap kritik atau masukan dari civitas sekolah terhadap kekurangan ataupun kesalahan. Hal inilah yang membuat program-program sekolah selama ini dapat berjalan dengan baik. Para siswa melalui berbagai kegiatan yang pada awalnya mungkin dianggap baru, tetapi pada akhirnya mereka dapat melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik dan sukses. Hal ini terbukti adanya kegiatan pentas yang dilaksanakan setahun sekali selalu berjalan dengan lancar. Mereka memiliki rasa percaya diri yang kuat dan ditunjang oleh 87
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia rasa tanggung jawab yang tinggi selaku warga sekolah yang akhirnya memicu terciptanya kompetisi yang sehat antarsiswa untuk mencapai yang terbaik dei nama baik sekolah. Semua itu dapat dicapai tentu dengan disiplin yang tiggi dari mereka secara pribadi maupun bersamasama. Terkait dengan inti karakter tangguh, sekolah ini memiliki slogan yang dituliskan di dinding luar kelas atau koridor, yang berbunyi: Jangan takut membuat kesalahan, Namun pastikan tidak melakukan yang sama untuk kedua kalinya Great man is simple in talks but awful in action (Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi hebat dalam perbuatan )
D. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Bali 1. Identitas Kultural Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas fisiknya adalah sebagai berikut: Utara : Laut Bali, Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat), Selatan : Samudera India, Barat :Selat Bali (Provinsi Jawa Timur). Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di 88
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km. Di Bali dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan lambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Manggrua, yang bermakna 'Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'. Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindhu memuja banyak Tuhan. Kendati masyarakat Hindhu di Bali menyebut Tuhan dengan berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati terpilah tiga, namun terkait satu jua sebagai proses lahir-hidup-mati atau utpeti-stiti-pralina. Dewata Nawa Sanga sebagai sembilan Dewata yang menempati delapan arah mata angin dan satu di tengah kendati terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala terpadu dengan lapis ruang ke arah vertikal bawah-atas-tengah atau bhur-bwah-swah, adalah satu jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Demikian pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang dimaksudkan secara khusus memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an Tuhan. Keyakinan umat Hindhu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun perilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik. Umat Hindhu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena 89
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia itu tuntunan sastra agama Hindhu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu, Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman. Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga. Pelaksanaan berbagai bentuk upacara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindhu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakikatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan manusia.
2. Karakter Siswa Di bali nilai kejujuran yang dikembangkan di kalangan siswa menbbgandung sejumnlah nilai turunan, di antaranya adalah, (1) Ketulusan hati, diwujudkan dengan sikap menghargai setiap guru tanpa membedakan latar belakang pendidikan guru, atau status ekonomi mereka, karena semua adalah manusia ciptaan Tuhan, (2) Keimanan 90
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia dan ketakwaan, yang diwujudkan dengan keyakinan yang variatif akan keberadaan Tuhan serta adanya rasa kasih sayang dan peduli terhadap lingkungan yang mendasari siswa senantiasa menghargai dan menghormati semua ciptaan Tuhan, (3) Pertanggungjawaban, diwujudkan dengan sikap dan tindakan yang mendorong diri siswa untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan lingkungan, sehingga jikamereka ditunjuk untuk mewakikli sekolah dalam suatu lomba akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, (4) Menghargai diri sendiri, dapat tercermin dalam penampilan ketika bersekolah selalu berseragam dan penampilan yang selalu rapi, (5) Amanah, terwujud dari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri siswa dapat dipercaya dalam tindakan, perbuatan dan perkataan yang terwujud ketika siswa menemukan sesuatu yang bukan miliknya selalu diserahkan kepada petugas, (6) Sportivitas, diwujudkan saat berkompetisi yang sehat dalam belajar. Sportif, mengakui prestasi temannya, memberikan kesempatan kepada temannya untuk berprestasi. Nilai cerdas yang dikembangkan mengandung sejumlah nilai turunan, di antaranya, (1) Analitis, sikap berorientasi ke depan untuk memajukan sekolah, (2) Pemecahan masalah, namun mereka lebih suka memecahkan masalahnya sendiri karena menganggap pemecahan masalah dalam satu tim justru rumit dan memerluklan waktu yang lama (3) Kuriositas, sikap dan tindakan yang selalu ingin tahu, sehingga pada proses belajar mengajar banyak bertanya kepada guru, (4) Kreativitas, adanya dorongan dalam diri siswa untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, sehingga siswa rajin mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, rajin mnengerjakan tugas-tugas PR, (5)_ Kritis, sering bertanya kepada guru bila kurang mengerti atau kurang sepaham, mudah bosan dan merasa jenuh bila melihat sesuatu yang kurang menarik, misalnya guru mengajar hanya dengan metode ceramah saja, (6) Kemandirian, bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas secara mandiri namun tetap memunyai rasa peduli terhadap teman yang membutuhkan bantuan, (7) Disiplin diri diwujudkan dengan tidak 91
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia terlambat datang ke sekolah, selalu berseragam, (8) Menghargai perbedaan. penampilan siswa hampir tak dapat dibedakan antara siswa dari golongan ekonomi mampu maupun dari golongan ekonomi lemah, (9) Visioner, kesungguhan dalam mencapai cita-cita yang ditunjukkan dengan kesungguhan dalam belajar. Nilai peduli yang dikembangkan memenuhi unsur-unsur di antaranya adalah sebagai berikut, (1) Suka membantu, diwujudkan dengan sikap dan tindakan siswa yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain yang memerlukan, (2) Kewarganegaraan , diwujudkan dengan adanya rasa keadilan yang menempatkan setiap orang memunyai hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan, (3) Toleransi, yang diwujudkan dalam bentuk menghargai perbedaan suku dan agama, (4) Suka menghargai, merupakan sikap selalu bersedia mendengarkan dan didengarkan baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih muda, (5) Demokratis, diwujudkan dengan siswa terbiasa menyelesaikan masalah-masalah di kelasnya, yang dilakukan secara musyawarah, (6) Kebanggaan, diwujudkan dengan cara membersihkan lingkungan sekolah sebagai wujud dari rasa kebanggaan terhadap sekolah. Nilai tangguh diwujudkan dengan adanya unsur-unsur sebagai berikut, (1) Ketegasan, diwujudkan dalam menjaga aturan, dan tidak memerbolehkan teman lain mencontek pekerjaan rumahnya, (2) Keberanian, diwujudkan dengan menolak sesuatu yang dianggap tidak baik dan berani mengatakan tidak jika ada perintah guru yang dipandang kurang baik, (3) Kehati-hatian, diwujudkan dalam bentuk mengerjakan tugas yang diberikan guru, (4) Suka berkompetisi, diwujudkan dengan sikap suka kompetisi dalam rangka meraih prestasi. Memiliki semangat, motivasi, dan jiwa kompetisi untuk memperoleh nilai yang baik, (5) Dinamis, yang diwujudkan dengan sikap selalu berusaha mencari sumber bahan ajar yang dianjurkan guru, (6) Antisipatif, yang dilakukan dengan merencanakan sesuatu sebelum 92
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia mengambil tindakan serta, (7) Kerajinan, yang merupakan bentuk disiplin dan taat aturan, serta rajin yang dibuktikan dengan kehadiran di sekolah 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Karakter jujur, cerdas, peduli dan tangguh yang tergambar dalam hasil pemetaan karakter di atas adalah cocok dengan karakter yang berkembang di Bali karena pada dasarnya pembelajaran yang berlangsung di sejumlah sekolah tersebut juga memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Pendidikan karakter tersebut sesuai dengan karakter budaya masyarakat setempat, seperti jujur, tergambar dalam nilai-nilai adat dan tradisi, keimanan dan kepercayaan, kejujuran dan kebajikan, pembangunan moral, akhlak dan kepribadian. Nilai nilai tersebut tergambar dari ungkapan-ungkapan dalam bahasa Bali, yang antara lain “pancingina aji pipis, pejangga duur mejane lantas kalahina”, yang maknanya.dicoba kejujurannya dengan uang yang ditaruh di meja lalu ditinggalkan. Berbuat baik itu wajib, walau lebih sulit dilaksanakan, seperti ungkapan ”melahe sulit ngelalah, jelene enggal ngelimbak”, maknanya, kebaikan sulit ditiru, namun kejahatan cepat berkembang. Oarng Bali suka mengalah, yang bukan berarti kalah, ungkapannya ”kalahane regane sing ja lemete lakar elung”, maknanya, kalahkan diri sendiri, yang lentur tak akan patah. Karakter cerdas, tergambar dalam nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan serta strategi mengatasi kesulitan hidup yang tercermin dalam peribahasa asli masyarakat Bali, seperti “puntulpuntulan besi, yen sangih dadi mangan”, maknanya, setumpultumpulnya besi, jika diasah akan menjadi tajam pula. Mengasah di sini adalah simbol perlunya pendidikan bagi generasi muda. Pentingnya berpikir atau bersikap cerdas ini tergambar dalam peribahasa, ”yen paningale tusing makanti sinah tusing sida tawangane liatin”, maknanya, jika mata tidak dibantu pikiran, tentu tidak dapat mengetahui apa yang dipandang. Orang Bali harus rendah hati, seperti ungkapan, ”milu matempung aji kabisan atepung makeber”, maknanya, turut mengambil bagian dengan kepandaian sebutir tepung terbang
93
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kepandaian atau sumbangan pikiran yang disumbangkannya kepada masyarakat hanya diumpamakan sebagai sebutir tepung terbang. Karakter peduli, tergambar dalam nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Bali, seperti nilai-nilai tentang musyawarah, hubungan orang tua anak, tutur kata dan budi bahasa, hubungan kekeluargaan dan gotong royong, yang antara lain: diwujudkan dengan cara tidak mau menang sendiri seperti ungkapan ”eda nagih ngungkulin timpal dogen, apang bisa masih ngalap kasor”, maknanya, jangan hanya mau di atas kawan saja, harus tahu juga mengalah. Karakter tangguh, tergambar dari nilai-nilai seperti hati-hati dan mawas diri, sikap berani menghadapi kehidupan, dan etos kerja dan perjuangan hidup, yang antara lain, tergambar dalam ungkapan, ”apang bisa cara siap nyiksik bulu”, maknannya, supaya bisa seperti ayam, mencari dengan teliti dalam bulunya, mawas diri. Keberanian tergambarkan dalam ucapan, ”limane aneh ngisiang tumpul, ane anehe ngisi pedang”, maknannya, tangan satunya berpegang pada tiang, tangan yang satu lagi memegang pedang . Dalam hal etos kerja masyarakat masih menjunjung tinggi kerja keras dan disiplin dalam segala hal sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang maksimal. Hal ini selaras dengan ungkapan, “cenik-cenikan kedis belatuke, nyidayang ngesongin kayu” (kecil-kecil burung pelatuk dapat melubangi kayu). Dengan semangat tinggi, kerja keras tidak kenal lelah akan dicapai sukses. Dalam hidup setiap manusia memiliki masalah, strategi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan hidup antara lain pertimbangan matang, jangan malas, berani dan tegas dalam setiap mengambil suatu tindakan. Pengembangan nilai kejujuran dikaitkan dengan etika dan tata krama. Dalam beretika dan tata krama siswa-siswi Bali masih memberlakukan dan menjunjung tinggi norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma kemasyarakatan. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai umat beragama mereka wajib meyakini adanya Tuhan YME, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah menciptakan 94
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia seluruh jagat raya ini sehingga harus berbuat baik dalam setiap tindakan, berperilaku sopan santun dalam bergaul, dapat dipercaya, dan selalu menghargai setiap pendapat yang dimiliki oleh orang lain. Kejujuran dalam berbuat menjadi kewajiban, karena mereka masih percaya dengan satya, karmaphala dan tri kaya, dari hasil perbuatan, berbicara, dan berpikir yang telah mereka lakukan. Masyarakat Bali tidak suka bohong, mereka tidak suka janji-janji melulu tanpa bukti, tidak seperti ungkapan, “liunan krebek kuangan ujan” (kebanyakan kilat kurang hujan). Keimanan dan kepercayaan yang masih dianut yakni panca sradha percaya adanya Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta berdasarkan ajaran agama Hindhu. Pembangunan moral, akhlak dan kepribadian masih dilakukan oleh masyarakat karena sangat sesuai dengan tuntunan agama yang menuntut memiliki akhlak serta kepribadian, sehingga terbentuk manusia yang bermoral, berakhlak mulia dan berkepribadian baik. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kemanusiaan perlu mengembangkan potensi diri yang dimiliki oleh setiap orang, bertanggung jawab mengangkat harkat dan martabat manusia dan empati karena sesuai tuntutan harus mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Hal ini harus didukung dengan tutur kata dan budi bahasa yang santun, selaras antara ucapan dan perbuatan karena jika berbuat sebaliknya, dapat mengakibatkan masalah dalam kehidupan. Dalam mengembangkan karakter cerdas, pendidikan dan ilmu pengetahuan masih menjadi prioritas utama dalam masyarakat karena di era globalisasi ini pendidikan sangat diperlukan untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain, sehingga tidak mudah untuk dikelabui dan menjadi pecundang. Melalui pendidikan dan pembelajaran, maka karakter kuriositas, kritis, analitis, mandiri, cermat dan hati-hati, serta mampu melakukan eksplorasi alam dengan baik dan seimbang menjadi tuintuitan. Karena Bali merupakan daerah wisata, maka di samping pengembangan sains, maka penguasaan bahasa Inggris secara aktif, dan 95
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia bahasa asing lain menjadi tuntutan untuk dikuasai peserta didik. Siswa-siswi dari daerah Bali memiliki adat dan tradisi yang masih dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam kaitan pengembangan karakter peduli, yaitu gotong royong (manyema braya) masih dibutuhkan dan berlaku sampai saat ini karena dapat meningkatkan sifat kekeluargaan dan kesatuan. tenggang rasa masih terjalin dalam hubungan antar warga masyarakat sekitar. Kepedulian terhadap seni dan budaya merupakan warisan leluhur yang selalu dijaga keutuhannya, hal ini ditunjukkan dengan selalu berlatih dan mengembangkan seni budaya yang ada sehingga dapat menarik minat bagi bangsa lain untuk lebih mengenal seni budaya Bali. Hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong juga masih berlaku di daerah ini misalnya mesuka duka dan mesanti sampai saat ini masih dilaksanakan dalam suatu kegiatan tertentu misalnya upacara sebagai wujud rasa hormat kepada Tuhan YME. Hubungan orang tua dan anak masih memberlakukan norma-norma yang ada yakni hormat dan berbakti kepada orang tua, menyantuni orang tua, dan mengupacarai orang tua karena itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan. Siswa-siswi Bali harus pandai-pandai menghargai orang lain, hal ini sesuai ungkapan, “pengit-pengitan serane gede gunane” (bau busuk seperti terasi besar manfaatnya). Orang harus mampu menghargai orang lain, walau dia miskin, jika baik budi bahasanya serta bersikap baik terhadap masyarakat, patut dihormati dan dihargai. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kemanusiaan perlu melakukan mengembangkan potensi diri yang dimiliki oleh setiap orang, bertanggung jawab mengangkat harkat dan martabat manusia yang dilandasi empati karena sesuai tuntutan harus mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Hal ini didukung dengan tutur kata dan budi bahasa yang santun, selaras antara ucapan dan perbuatan karena dapat mengakibatkan masalah dalam kehidupan. Berani bertanggung jawab ini sesuai dengan ungkapan, “bani mabak jepun, masak takut kena 96
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia getahne” (berani menguliti pohon kemboja, masakan takut kena getahnya). Berani berbuat berani bertanggung jawab. Hukum dan keadilan yang masih berlaku di daerah ini hukum adat dan sanksinya, tanggota kelompok masyarakat harus tetap terjaga. Masyarakat masih melakukan musyawarah dan menjunjung tinggi demokrasi dalam melakukan penetapan hasil rapat sehingga semua masyarakat menerima segala keputusan hasil rapat dan demokrasi tetap berjalan dengan baik. Dalam mengembangkan karakter tangguh, masyarakat Bali selalu memiliki sikap bekerja keras dan selalu bersyukur karena mereka percaya bahwa setiap keberhasilan diperoleh dengan kerja dan hasil yang didapat akan selalu disyukuri. Berhati-hati dan mawas diri dalam bertindak karena dalam setiap tindakan yang diambil harus dipikirkan matang-matang terlebih dahulu, sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
E. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Suku SasakLombok 1. Identitas Kultural Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih bulat bentuknya dengan semacam “ekor” di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Pulau ini luasnya adalah 4.725 km² (sedikit lebih kecil daripada Bali). Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram. Kota Mataram menjadi ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Selat Lombok menandai jalan masuk dari pemisah biogeografis antara fauna di wilayah Indomalay dengan Australasia. Hal ini dikenal dengan Wallace line, diambil dari nama penemunya Alfred Russel
97
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Wallace. Ada perbedaan yang sangat jelas antara fauna Indomalay dengan fauna Australasia. Pemetaan pulau Lombok didominasi oleh stratovolcano Gunung Rinjani, yang mencapai tinggi 3.726 m (12.224 kaki), yang membuat Gunung Rinjani menjadi gunung tertinggi ketiga di Indonesia. Di lembah Gunung Rinjani, akan ditemukan hutan hijau yang rimbun, sawah dan air terjun yang indah. Pusat keramaian yang paling berkembang di sebelah barat adalah Senggigi, tersebar 30 kilometer sepanjang jalan pantai di sebelah utara Mataram, Sementara para divers biasanya berkumpul bersama di Gili, yang berada di pantai barat. Bagian selatan dari pulau Lombok adalah tanah yang subur di mana jagung, kopi, tembakau dan kapas tumbuh. Salah satu tujuan wisata yang populer adalah Kuta (bukan Kuta Bali), terkenal dengan pantai yang belum tersentuh, dan beberapa orang menganggap pantai ini adalah salah satu tempat berselancar terbaik di dunia. Dalam total area sebesar 4.752 km2 (1.825 sq mil) terdapat 2.950.105 orang (2005), 85% adalah suku Sasak, yang awalnya diperkirakan berpindah dari Jawa pada awal abad sebelum Masehi. Sejak populasi suku Sasak mempelajari Islam, pemandangan di pulau Lombok mulai banyak dipenuhi dengan masjid-masjid dan menaranya, dan di desa tradisional suku Sasak, bisa ditemukan kehidupan pedesaan dengan budayanya yang unik. Penduduk lain termasuk 10-15% orang Bali, dengan selebihnya adalah orang Cina, Arab, Jawa, dan Sumbawa. Pulau Lombok disebut juga sebagai Selaparang atau Gumi Sasak adalah sebuah pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kondisi wilayah Lombok berupa dataran, perbukitan dan bergunung. Wilayah tertinggi adalah Gunung Rinjani dengan danau Segara Anak sebagai sumber mata air penduduk di sekitarnya. Gunung ini dikelilingi oleh hutan yang tersebar pada masing-masing kabupaten. Bagian selatan pulau memiliki tanah yang subur yang dapat dimanfaatkan 98
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia untuk pertanian, dengan variasi tanaman seperti jagung, padi, tembakau, kapas dan kopi. Sebagian besar penduduk pulau Lombok adalah suku Sasak. Etnis lain seperti Bali, Jawa, Arab, Cina dan Sumbawa merupakan masyarakat pendatang. Mata pencaharian penduduk berasal dari lahan pertanian, peternakan dan sebagian menjadi nelayan. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak diyakini berasal dari kata “sa’-saq” yang berarti satu. Sedangkan arti kata Lombok sendiri adalah lurus. Jika digabungkan maka akan memiliki arti sesuatu yang lurus. Sebagian besar suku Sasak menganut agama islam. Namun pada kenyataannya, pengaruh islam masih tercampur dengan kepercayaan adat sehingga melahirkan aliran tertentu. Beberapa di antara mereka ada juga yang masih menganut kepercayaan pra-islam yang disebut Sasak Boda. Agama kedua terbesar di pulau ini adalah Hindhu yang banyak dianut masyarakat keturunan Bali. Penganut Kristen yang banyak diyakini oleh keturunan Cina, juga Buddha dan agama lain masih bisa dijumpai di pulau ini walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Terdapat tiga pengaruh luar yang besar dalam kehidupan masyarakat Sasak. Di antaranya adalah pengaruh kebudayaan Jawa dan Bali yang dapat dilihat dari aksara dan tulisan Sasak yang oleh sebagian penduduk disebut Jejawan. Pengaruh besar Jawa lainnya adalah pengislaman penduduk Sasak yang dibuktikan dengan pernyataan dalam Babad Lombok. Sampai sekarang, naskah-naskah Jawi Kuna yang memuat sejarah panjang Lombok dan kaitannya dengan Islam masih tetap dijaga oleh para pelestari lontar. Banyak pertunjukan seni tradisional di Lombok yang merupakan percampuran Sasak dan Bali. Bahasa utama yang digunakan di Lombok dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa Sasak yang memiliki dialek dan kosakata yang beragam dari daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun, di beberapa tempat seperti di Lombok Barat dan Kota Mataram terdapat banyak perkampungan yang menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan sehari-hari. Suku Sasak sendiri di samping 99
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia berdiam di pulau Lombok juga ada yang menghuni pulau Sumbawa. Berdasarkan hasil diskusi terpandu dijumpai sejumlah peribahasa yang menggambarkan peri kehidupan masyarakat Sasak. Di antaranya: Terkait adat tradisi, ada peribahasa, “meop on ate, muah on usif” artinya bekerja seperti babu, makan seperti raja yang maknanya orang yang bekerja keras, akan menikmati hasilnya tanpa dilarang oleh siapapun. Ini melambangkan ketangguhan etnis Sasak. Terkait etika dan tata karma, dijumpai peribahasa, “mu baunom neo atonim nasi” yang artinya jadilah seperti padi yang berisi yang maknanya jadi anak tidak boleh menyombongkan diri, makin menunduk makin berisi. Terkait hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, ada peribahasa, “akleon na naekat al-alkit”. Arti dalam bahasa Indonesia, besar sama dipikul ringan sama dijinjing. Maknanya pekerjaan yang berat maupun ringan sama-sama dikerjakan akan lebih baik daripada dikerjakan seorang diri.
2. Karakter Siswa Sampel penelitian adalah sekolah unggulan yang ada di kota Mataram, meliputi, SD, SMP, SMA dan SMK. Nilai inti yang diamati meliputi karakter jujur, cerdas, peduli, dan tangguh. Sikap jujur selalu diupayakan untuk dilaksanakan setiap waktu dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Di sekolah dikembangkan nilai-nilai kejujuran dengan adanya kantin kejujuran. Akan tetapi terdapat hambatan dalam menerapkan nilai kejujuran yakni apabila terdapat pertengkaran antar siswa setiap siswa selalu mempertahankan kebenaran dirinya agar tidak disalahkan, jika perlu dengan berbohong. Contoh yang lain adalah pada saat ulangan ada sebagian siswa yang suka mencontek. Bersiukap jujur berarti harus adil, jangan mudah iri hati dan buruk sangka, seperti
100
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia ungkapan, “talon ate, menang perasaq” (jangan iri hati dan buruk sangka). Nilai kecerdasan juga dikembangkan di sekolah sampel, contoh dari kecerdasan yang dikembangkan di sekolah adalah adanya pembinaan siswa berprestasi, belajar aktif, pembinaan olahraga dan seni. Dalam proses pengembangan nilai kecerdasan terdapat hambatan yang ditemukan yakni ada beberapa siswa yang tidak membuat tugas yang telah diberikan oleh guru. Nilai kecerdasan juga dikembangkan melalui diskusi kecil atau diskusi kelas. Dalam diskusi dipraktikkan demokrasi atau musyawarah. Namun demikian siswa-siswa di Lombok tidak boleh sombong, ada ungkapan yang mengatakan, “ma baunom neo atonim nasi”, maknanya, jadilah seperti padi yang berisi, makin menunduk tidakmenyombongkan diri. Nilai kepedulian diajarkan berupa peduli terhadap lingkungan yang diwujudkan dengan sikap hemat air, hemat listrik, peduli diri sendiri, dan peduli sosial. Peduli sosial diwujudkan dengan dibinanya sikap gotong-royong serta kepedulian untuk membantu bila ada orang lain terkena musibah. Masyarakat juga mendukung program peduli terhadap lingkungan karena nilai ini ternyata memang berakar dari budaya dan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu, berupa kebiasaan untuk menjaga lingkungan. Sikap kepedulian juga ditunjukkan dengan kemauan membantu orang lain jika memang memiliki kemampuan. Sikap kepedulian ini sesuai dengan ungkapan, “tao-tao ite pade saling peringet” (usahakan untuk saling mengingatkan). Sikap saling mengingatkan ini sebagai bentuk kepedulian sosial agar tidak terjadi hal-hal yang buruk bagi semua warga. Penanaman nilai ketangguhan di sekolah dilakukan sebagai usaha untuk mempertahankan kompetensi yang telah dimiliki. Contoh nilai ketangguhan yang terdapat di sekolah adalah dalam bidang olahraga, kesenian, olimpiade sains , dan mewujudkan sekolah Adiw iyata. Prose s me numbuhkan nilai ke tang g uhan ini 101
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia diimplementasikan dalam kelas dengan cara belajar tuntas, belajar keras dan disiplin belajar.. Nilai ketangguhan ini ditanamkan sejak anak-anak masih kecil dengan cara memotivasi anak untuk mandiri, kuat berdiri dengan kaki sendiri. Etos kerja masyarakat Sasak tinggi, ini sesuai dengan ungkapan, “meop on ate, muah on usif”, maknanya, bekerja seperti babu, makan seperti raja, kerja keras dulu, baru kemudian dinikmati hasilnya. Masyarakat Sasak berjiwa berani, seperti ungkap[an, “wani maperang, wani ngarepan baye”, berani berperang, berani menghadapi bahaya.
F. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Sulawesi 1. Etnis Kaili-Palu a. Identitas Kultural Palu merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Awalnya, Palu ialah kota kecil yang menjadi pusat Kerajaan Palu. Setelah penjajahan Belanda, kerajaan tersebut merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Onder Afdeling Palu. Onder Afdeling Palu membawahkan tiga landschap. Ketiganya, antara lain, Landschap Palu dengan wilayah distrik Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat; Landschap Kulawi; dan Landschap Sigi Dolo. Ketika pecah Perang Dunia II sekitar tahun 1942, Kota Donggala sebagai ibu kota Afdeling Donggala dihancurkan oleh pasukan Sekutu maupun Jepang. Akibatnya, pusat pemerintahan dialihkan ke Palu pada tahun 1950, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 44/1950 menjadi wilayah daerah Sulawesi Tengah dan berkedudukan di Poso. Sementara Kota Palu hanya merupakan tempat kedudukan kepala pemerintahan negeri (KPN) setingkat wedana. Kemudian, Kota Palu berkembang setelah dibentuknya residen koordinator Sulawesi Tengah pada 1957 yang membuat status Kota Palu menjadi ibu kota karesidenan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/1964, terbentuknya
102
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah memberikan peran yang lebih baik bagi Palu yang menjadi ibu kota Sulawesi Tengah. Karena perannya dalam bidang pemerintahan dan pembangunan semakin besar, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18/1978, Kota Palu ditetapkan menjadi kota administratif. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4/1994 dibentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Palu yang wilayahnya meliputi Kota Administratif Palu, sebagian wilayah Kecamatan Tavaili. Secara administratif, Palu dibagi dalam empat kecamatan. Yaitu, Palu Utara (89,69 km2), Palu Timur (186,55 km2), Palu Barat (57,47 km2), dan Palu Selatan (61,35 km2). Ada 43 kelurahan dengan wilayah seluas 395,06 km2. Di utara, Kota Palu berbatasan dengan Kecamatan Tawaeli, Kabupaten Donggala. Di selatan, Kota Palu berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Donggala. Di barat dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan Marawola. Di timur, Palu berbatasan dengan Kecamatan Tawaeli, Kabupaten Donggala, dan Kecamatan Parigi, Kabupaten ParigiMoutong. Sektor perkebunan merupakan salah satu potensi besar yang dimiliki Kota Palu. Komoditasnya berupa kelapa, jambu mete, dan kakao. Kegiatan perekonomian utama di kota ini adalah sektor tersier yang merupakan jasa usaha, pembinaan terhadap sektor tersier yang meliputi perdagangan, angkutan, keuangan, dan jasa. Hal ini menjadi perhatian utama Pemda Kota Palu. Sementara potensi industri yang berbasis ekonomi kerakyatan adalah industri kerajinan kayu hitam (ebony), tenun ikat, dan pengolahan hasil pertanian. Pengembangan industri kecil menjadi prioritas utama karena secara riil telah memberikan konstribusi terhadap pemasukan daerah. Kelancaran akses transportasi dan komunikasi ke luar daerah secara tidak langsung juga berpengaruh positif kepada perkembangan potensi daerah. Infrastruktur yang memadai mempermudah arus barang dan jasa sehingga mempercepat perwujudan Kota Palu sebagai kawasan 103
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia industri. Di sektor pariwisata, terdapat Gunung Gawalise, Taman Nasional Lore Lindu, dan hutan wisata Danau Lindu yang berpotensi sebagai objek wisata alam dan budaya yang menarik. Salah satu yang menjadi unggulan ialah Pulau Togean. Keunikannya terletak pada keanekaragaman biota laut dan terumbu karangnya. Yang menarik, di bawah laut ada pesawat tempur dari perang dunia yang jatuh di sana. Kota Palu juga telah memiliki berbagai sarana dan prasarana pendukung. Misalnya, Bandara Mutiara dan Pelabuhan Pantolan. Terdapat pula dukungan sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas, dan jaringan telekomunikasi. Kota Palu secara geografis terletak di 0°36’-0°56’ Lintang Selatan dan 119°45’-121°1’ Bujur Timur, tepat berada di bawah garis Katulistiwa dengan ketinggian 0-700 meter dari permukaan laut. Secara umum, penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnis. Salah satunya adalah suku Kaili yang berdiam di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Suku Kaili juga secara turun-temurun mendiami seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah yang meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una-Una, dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku tersebut mendiami desa di Teluk Tomini, yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo, dan Una Una. Di Kabupaten Poso, mereka mendiami kawasan Mapane, Uekuli, dan pesisir Pantai Poso. Untuk menyatakan ”orang Kaili”, dalam bahasa Kaili digunakan prefiks ”To”, yaitu To Kaili. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi kata Kaili. Salah satunya menyatakan, kata tersebut berasal dari nama pohon dan buah kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan daerah itu, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu terletak menjorok lebih 104
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia kurang 34 kilometer dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai. Bahkan, di sana terdapat sebuah sumur yang airnya pasang ketika air di laut sedang pasang dan akan surut tatkala air laut surut. Menurut cerita (tutura), dahulu kala di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan ketika itu. Untuk komunikasi, Suku Kaili mengenal lebih dari 20 bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 kilometer, kita bisa menemukan bahasa yang berbeda antara satu dan lainnya. Meskipun demikian, Suku Kaili memiliki lingua franca yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata tersebut berarti ”tidak”. Bahasa Ledo dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara bahasa Ledo yang dipakai di daerah Kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dengan beberapa bahasa para pendatang, terutama bahasa Bugis dan Melayu. Kondisi geografis juga turut memengaruhi karakter penduduk Palu. Karena banyak suku lainnya yang bisa dijumpai di Palu seperti Bugis, Makassar, Jawa, dan Toraja, masyarakat Palu terkenal sederhana, partisipatif, ramah, dan suka menolong. Mereka juga suka tinggal secara berkelompok. Pakaian tradisional suku Kaili sangat bercorak yang menandakan bahwa mereka adalah orang yang sangat atraktif. Ada sebagian penduduk asli yang masih bermukim di daerah pegunungan. Mereka disebut orang ”Tolare”. Masyarakat unik ini masih menjaga cara hidup tradisional mereka. 105
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Penduduk di Palu memiliki satu filosofi hidup yang selalu mereka jaga dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Filosofi itu adalah nosarara nosabatutu yang berarti bersama kita satu. Itulah gambaran kebersamaan untuk mencapai tujuan keberhasilan.
b. Karakter Siswa Salah satu nilai yang menjadi perhatian penting dalam penanaman pendidikan karakter adalah kejujuran. Nilai kejujuran dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan dan keteladanan mulai dari lingkungan sekolah hingga masyarakat. Contohnya, tidak mencontek ketika ujian dan tidak membolos sekolah. Memang aspek kejujuran ini belum sepenuhnya disadari oleh sebagian siswa. Beberapa hambatan masih terjadi. Misalnya saja, terjadi kasus kehilangan topi dan buku pelajaran. Namun, sebenarnya nilai-nilai kejujuran sudah berakar kuat dari budaya dan tradisi di daerah Palu. Karena itu, masyarakat amat mendukung penerapan nilai kejujuran di sekolah. Hal yang sederhana adalah pesan orang tua kepada anak agar selamat dalam kehidupan. Untuk itu, dalam nasihat tersebut selalu disisipi pesan akan pentingnya kejujuran. Dalam tindakan nyata di kelas, aspek ini juga dilakukan. Misalnya, siswa mengembalikan buku teman yang dipinjam dan mengembalikan uang teman yang ditemukan. Untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, sekolah memiliki program khusus, yaitu kantin kejujuran. Di sini siswa melayani diri sendiri ketika hendak membeli sesuatu di kantin kejujuran tersebut. Dalam pembelajaran di kelas, bentuk nilai-nilai kejujuran dimplementasikan pada ulangan harian dan pemberian tugas individu. Pada saat ujian, contohnya, para siswa dilatih untuk menyelesaikan soal sendiri tanpa bantuan orang lain. Kegiatan ekstrakurikuler juga tidak ketinggalan menanamkan
106
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia nilai ini. Hal itu diwujudkan dalam kegiatan keagamaan atau tindakan meminta maaf kepada guru dan teman apabila melakukan kesalahan. Nilai kejujuran juga dimplementasikan melalui budaya sekolah. Contohnya ialah penanaman budaya malu dan budaya tertib. Jika kebersihan kelas tidak terjaga dengan baik atau melanggar aturan sekolah, siswa merasa malu sehingga hal itu tidak terulang kembali. Dalam aktivitas keseharian, implementasi nilai kejujuran diwujudkan dalam tindakan mengakui apabila terlambat dan mengakui kalau tidak membuat tugas. Memang masih ada saja siswa yang berbuat tidak jujur di lingkungan sekolah meski jumlahnya sedikit. Contohnya, ketika tidak masuk sekolah, alasannya adalah sakit, padahal tidak demikian. Namun, secara umum, karakter jujur sangat melekat pada diri para siswa di Palu. Tentu saja hal ini salah satunya disebabkan oleh nilainilai budaya yang kuat dan menekankan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Nilai kecerdasan juga dikembangkan di sekolah-sekolah yang berada di Kota Palu. Misalnya, siswa diikutkan lomba cerdas cermat antarkelas. Bentuknya, mereka dilatih menjawab soal-soal dalam lomba tersebut. Kendati demikian, memang ada beberapa hambatan seperti belum maksimalnya dukungan dari orang tua. Masih ada wali murid yang kurang memberikan perhatian terhadap kewajiban-kewajiban anak dalam meningkatkan dan melancarkan proses kegiatan belajar mengajar. Namun, secara umum masyarakat mendukung program sekolah dalam penerapan nilai kecerdasan. Ini terjadi karena aspek kecerdasan itu sendiri sebenarnya telah menjadi tradisi setempat. Di tingkat sekolah dasar, misalnya, minat siswa semakin bertambah untuk masuk di SDN model, yang menjadi favorit siswa. Untuk menumbuhkan karakter cerdas, sekolah menerapkan program pembelajaran yang aktif dan menyenangkan (paikem), membagikan lembar kerja siswa (LKS), menyiapkan alat peraga, serta 107
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia menyiapkan slogan-slogan yang berhubungan dengan pendidikan. Di kelas di semua jenjang sekolah, implementasi karakter cerdas ini diwujudkan dalam pembelajaran aktif yang melibatkan seluruh siswa. Untuk menumbuhkan kecerdasan siswa di luar sekolah, guru menginstruksikan agar siswa rajin melakukan belajar kelompok. Tujuannya, terjadi diskusi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan permasalahan, terutama yang berkaitan dengan pelajaran. Masyarakat Palu dikenal memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Karena itu, karakter peduli juga ditanamkan di semua jenjang sekolah, mulai SD hingga SMA. Misalnya, siswa dibiasakan untuk bekerja sama, tolong-menolong, gotong royong (sintuvu) , serta peduli terhadap lingkungan. Hambatan yang muncul ialah pembiasaan di sekolah belum berkembang secara spiritual saat siswa berada di rumah atau di lingkungannya karena faktor ekonomi yang berbeda. Namun, secara umum dukungan orang tua atau masyarakat terhadap penanaman nilai karakter peduli ini sangat tinggi. Misalnya, mereka mengikutsertakan anak dalam kegiatan kebudayaan daerah seperti pertunjukan tari Pamonte. Kepedulian terhadap sesama diwujudkan dalam kegiatan penyaluran bantuan untuk korban bencana dan panti asuhan yatim piatu. Toleransi beragama juga dijaga sehingga para siswa terbiasa untuk saling menghormati perbedaan yang ada. Untuk menjaga kearifan lokal atau budaya setempat, sekolah biasanya mengikutsertakan siswa dalam lomba cerita rakyat daerah Kaili. Nilai ketangguhan secara umum menjadi salah satu ciri khas masyarakat Palu. Contoh nyata adalah sikap tidak mudah menyerah. Karena itu, tidak mengherankan jika karakter tangguh juga ditanamkan di lingkungan sekolah. Biasanya, sekolah-sekolah di Palu mengikutkan para siswanya dalam lomba sampai tingkat nasional. Hal ini tentu saja 108
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa yang akan berimplikasi pada ketangguhannya. Hambatan yang biasanya dihadapi ialah masih ada siswa yang belum disiplin. Selain itu, tantangan lainnya adalah dukungan orang tua yang belum maksimal. Di sisi lain, masih ada pelajar yang terlambat karena faktor jarak tempuh dari rumah ke sekolah. Program yang dihelat sekolah-sekolah untuk menumbuhkan nilai-nilai ketangguhan ialah penerapan tata tertib siswa, kegiatan latihan di luar jam belajar, dan apel pagi. Guru juga memberikan dorongan moral supaya siswa lebih giat belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya tepat waktu. Di kegiatan ekstrakurikuler, karakter tangguh ini diaplikasikan dalam kegiatan pramuka dan olahraga. Hal ini bisa melatih kedisiplinan siswa. Intinya, nilai-nilai ketangguhan telah ditanamkan sejak dini di sekolah, baik di dalam kelas maupun kegiatan di luar jam belajar.
2. Etnis Toraja a. Identitas Kultural Tanah Sulawesi bisa diibaratkan surga karena keindahan alamnya yang sangat kaya. Selain banyak objek wisata, budaya setempat yang kuat menjadi magnet untuk menyedot minat para turis. Toraja menjadi salah satu daya tarik wisata paling populer di Provinsi Sulawesi Selatan. Kebudayaan khas suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli bisa dinikmati. Nuansa lain kebudayaan yang unik dan berbeda adalah rumah adat tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo, Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira. Menurut mitos yang diceritakan dari generasi ke generasi, nenek moyang asli orang Toraja turun langsung dari surga dengan cara 109
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia menggunakan tangga. Tangga ini berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan). Nama Toraja kali pertama diberikan oleh suku Bugis Sidenreng yang menyebut penduduk yang tinggal di daerah ini sebagai ”Riaja” yang artinya orang yang mendiami daerah pegunungan. Sementara rakyat Luwu menyebut mereka ”Riajang” atau orang-orang yang mendiami daerah barat. Versi lain menyebutkan bahwa Toraja berasal dari kata Toraya (Tau berarti orang dan raya atau maraya memiliki makna besar). Gabungan dua kata ini memberi arti orang-orang hebat atau manusia mulia. Pemerintahan kolonial Belanda menamai suku tersebut Toraja pada tahun 1909. Istilah yang sering dipakai adalah Toraja. Kata "tana" sendiri berarti daerah. Penduduk dan wilayah Toraja pun akhirnya dikenal dengan Tana Toraja. Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu di antara 23 kabupaten di Sulawesi Selatan. Tana Toraja terletak di antara 2º20’3º30’ Lintang Selatan dan 119º30’ sampai 120º10’ Bujur Timur. Ibu kota Tana Toraja adalah Rantepao, yakni kota kecil yang dingin dan nyaman. Kota ini dibelah oleh sungai terbesar di Sulawesi Selatan, yakni Sungai Sa’dan. Sungai tersebut memberikan tenaga pembangkit listrik untuk menyalakan listrik seluruh Makassar. Kabupaten Tana Toraja berbatasan dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Mamuju, dan Kabupaten Mamasa di sebelah utara. Di timur, Toraja berbatasan dengan Kabupaten Luwu. Di selatan, Toraja berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang. Sementara di barat berbatasan dengan Kabupaten Polmas. Tanah Toraja saat ini terbagi dalam dua wilayah Kabupaten, yaitu Tana Toraja dengan ibu kota Makale dan Toraja Utara dengan ibu kota Rantepao. Luas wilayah Tana Toraja tercatat 3.205,77 km2 atau sekitar 5% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi 15 kecamatan. Jumlah penduduk pada 2001 berjumlah 404.689 jiwa. Rinciannya, 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 110
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia berkisar 2,68% per tahun. Secara kultural, masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja memeluk agama Protestan atau Katolik, tradisitradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan. Warga setempat membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait dengan kehidupan dan kematian. Sebab, ritualritual itu berterkaitan dengan musim tanam dan panen. Masyarakat Toraja mengolah sawahnya dengan menanami padi jenis gogo yang tinggi batangnya. Di sepanjang jalan akan ditemui padi dijemur yang batangnya diikat dan ditumpuk ke atas. Padi dengan tangkainya tersebut disimpan di lumbung khusus yang dihiasi dengan tanduk kerbau pada bagian depan serta rahang kerbau di bagian sampingnya. Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer, yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara atas rumah adat yang baru direnovasi. Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya bahwa tanpa upacara penguburan ini arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit sehingga masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya. Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya dilakukan selama berbulan-bulan. Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau tongkonan. Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang 111
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara. Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip bahwa semakin tinggi tempat jenazah diletakkan, semakin cepat rohnya sampai ke nirwana. Bagi kalangan dari bangsawan yang meninggal, mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (ma’tinggoro tedong). Satu di antaranya bahkan kerbau belang yang harganya terkenal mahal. Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan lalu kerbau pun langsung terkapar bermandikan darah beberapa saat kemudian. Masyarakat Toraja hidup dalam komunitas kecil. Anak-anak yang sudah menikah meninggalkan orang tua mereka dan memulai hidup baru di tempat lain. Meski anak mengikuti garis keturunan ayah dan ibunya, mereka semua merupakan satu keluarga besar yang tinggal di satu rumah leluhur (tongkonan). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangat penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.
b. Karakter Siswa Kendati penyelanggaraan pembangunan meningkat dan kian maju, nilai-nilai karakter di Tana Toraja tidak bisa dilepaskan dari budaya tradisional setempat. Salah satunya bersumber dari tongkonan. Hal inilah yang kemudian tetap dilestarikan sebagai bentuk implementasi pendidikan karakter di Tana Toraja. Pola kehidupan sosial yang mengedapankan sikap menghargai sesama dan tolong-menolong merupakan nilai yang tetap dilestarikan, termasuk di sekolah. 112
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Bagi masyarakat setempat, terdapat satu falsafat yang bersumber pada tongkonan dan disebut “tongkonan dipoada’ ada’na, dipoaluk alukna”. Maknanya, masyarakat adat Toraja harus memperhatikan semua tindakan, tata kelakuan, pola hubungan sosial, norma, dan aturan kehidupan yang dilandasi nilai keagamaan. Yang termasuk dalam filosofi ini adalah karakter kejujuran. Dalam penelitian yang dilakukan di lapangan didapatkan data bahwa nilai kejujuran telah mengakar kuat di kalangan penduduk Toraja. Aspek ini ditanamkan sejak kecil. Maka, sekolah tidaklah sulit mengaplikasikan karakter jujur kepada siswa. Contoh paling sederhana ialah tidak mencontek ketika ujian. Apabila menemukan uang di lingkungan sekolah, siswa menginformasikan hal itu ke pihak sekolah untuk diinformasikan kepada yang lain. Beberapa hambatan yang ditemui, antara lain, masih ada siswa yang tidak mengembalikan barang yang dipinjamnya dan ada pula yang belum bisa menjaga rahasia informasi dari temannya. Kendati demikian, sebenarnya nilai inti jujur sudah ditanamkan begitu kuat di lingkungan keluarga dan sosial masyarakat Toraja. Prinsip hidup ini menjadikan siswa telah terbiasa berbuat jujur untuk menjaga adat istiadat yang berlaku. Untuk membangun karakter cerdas, sekolah-sekolah melakukan beberapa upaya. Misalnya, mengikutsertakan siswa dalam perlombaan tingkat daerah hingga nasional. Dalam kegiatan belajar mengajar, aspek kreativitas juga ditanamkan. Guru yang dianggap sebagai sumber ilmu dianggap tempat terbaik untuk menjawab rasa ingin tahu siswa. Di luar pelajaran, siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler olahraga seperti sepak bola, basket, dan voli. Aktivitas olahraga ini selain menyehatkan, juga melatih siswa untuk bertindak sportif dan mampu menerapkan strategi yang baik guna memenangi pertandingan. Untuk membangun karakter cerdas, budaya membaca juga 113
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia ditingkatkan. Hanya, hambatannya terletak pada keterbatasan bahan bacaan. Tentu partisipasi pemerintah daerah amat dibutuhkan dalam mengatasi masalah ini. Di dalam kehidupan adat istiadat di Toraja, sudah menjadi tradisi untuk saling meringankan beban. Hal ini terlihat pada acara adat Rambu Solo, yaitu pesta kematian. Jika ada seorang teman yang akan mengadakan acara pesta adat Rambu Solo, seluruh siswa dan tidak hanya teman sekelasnya memberikan sumbangan secara sukarela dan mengumpulkannya melalui OSIS yang menyerahkan sumbangan. Inilah salah satu bentuk karakter peduli yang masih mengakar kuat. Falsafah lain yang masih dipegang dengan baik adalah “misa’ kada dipotuo pantan kada dipomate, sangkutu’ banne sangboke amboran”. Ungkapan tersebut bermakna bahwa keberhasilan pembangunan hanya dapat diraih jika semua komponen yang ada menjalin hubungan yang kuat sehingga tercipta persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan. Ini juga menjadi bentuk kepedulian sosial. Selain itu, terdapat falsafah Tallu Lolona yang mencakup hubungan timbal balik antara makhluk ciptaan Tuhan, yaitu manusia, tanaman, dan hewan yang harus terpelihara secara serasi dan seimbang. Hal ini memungkinkan terciptanya kelestarian lingkungan dan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Kesadaran kosmologis juga ditanamakan di sekolah-sekolah. Sebab, manusia adalah bagian integral dari alam semesta sehingga harus senantiasa menjaga interkoneksitas harmonis dengan alam semesta berdasarkan kepercayaan dan kecintaan kepada Sang Pencipta. Tindakan nyata terkait karakter peduli ini ialah tolongmenolong kepada sesama yang merupakan salah satu sifat orang Toraja. Biasanya, bencana alam yang ada di Toraja kebanyakan adalah tanah longsor. Ketika terjadi bencana itu, siswa secara bersama-sama mengumpulkan uang dan menyerahkannya melalui OSIS kepada korban bencana. 114
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Rasa kebersamaan dalam jiwa orang Tana Toraja menanamkan bahwa semua teman adalah sama. Karena itu, di sekolah para siswa sangat rukun seperti pula dalam kehidupan beragamanya yang begitu rukun dan saling menghormati antara satu dan lainnya. Mereka membaur antarteman tanpa perbedaan. Kepedulian dalam hal budaya juga ditunjukkan oleh para siswa di sekolah. Contohnya, menyanyikan lagu-lagu daerah Toraja ketika upacara. Di kelas, terkadang guru memakai bahasa Toraja untuk melestarikan kearifan lokal. Tidak heran jika dalam hal berkomunikasi dengan sesama kawannya, siswa cenderung memakai bahasa Toraja. Di sekolah ketua kelas biasanya bersama-sama dengan siswa sekelas mengadakan rapat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Jika masalah tetap tidak dapat terselesaikan, mereka meminta bantuan guru untuk bisa mengatasi permasalahan tersebut. Secara umum, karakter peduli berjalan cukup baik di kalangan siswa-siswa Toraja yang salah satunya disebabkan budaya peduli yang masih mengakar di lingkungan setempat. Karakter tangguh merupakan salah satu nilai tongkonan yang dikombinasikan dengan cara pandang secara global di kalangan masayarakat Toraja. Misalnya, Karapasan. Nilai ini bersumber dari falsafah Tongkonan, yaitu usaha mempertahankan dan memelihara kedamaian serta kerukunan dengan sesama warga. Tujuannya adalah menciptakan kehidupan yang harmonis. Ungkapan terkenal untuk menggambarkan hal ini adalah unnali melo (membeli kebaikan) atau “la’biran tallan tu barang apa kela sisarak mira tu rara buku” (orang rela mengorbankan harta bendanya daripada mengorbankan persaudaraan). Falsafah lain yang terkait dengan karakter tangguh ialah tallu bakaa mencakup “kinaa/manarang, sugi’, barani. kinaan/manarang” berarti bijaksana, mempunyai komitmen moralitas yang tinggi, berkepribadian, rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan memiliki kualitas intelektual. 115
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Sugi’ artinya kaya secara luas, yaitu kaya dalam pengetahuan, kaya dalam moralitas dan keimanan, serta kaya dalam materi. Barani artinya berani mengambil keputusan, berani bertanggung jawab, terbuka, jujur, dan sportif. Karena itu, nilai ketangguhan sebenarnya sudah menjadi aspek penting dalam kehidupan sehari-hari dan falsafah hidup masyarakat Toraja. Dalam kegiatan di sekolah, karakter tangguh menjadi modal penting. Siswa didorong untuk terbiasa bekerja keras dan punya upaya tinggi untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sikap tidak mudah menyerah juga ditananamkan di sekolah. Misalnya, berusaha menggapai cita-cita. Namun, hambatannya biasanya datang dari dukungan orang tua. Secara umum, aspek ketangguhan telah ditanamkan di sekolah di semua jenjang.
G. Identitas Kultural dan Karakter Siswa-Siswa Rote Ndao (NTT) 1. Identitas Kultural Kabupaten Rote Ndao merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002. Kabupaten ini mempunyai luas wilayah 1280,10 km2 yang terdiri dari 96 pulau. Ada 6(enam) pulau berpenghuni (P. Rote, P. Usu, P. Nuse, P. Ndao, P. Landu dan P. Do'o }. Secara geografis Kabupaten Rote Ndao terletak antara 10o 25' – 11 0 LS, dan 121 0 49 - 123 0 26 BT. Wilayah kabupaten Rote Ndao secara klimatologi sama halnya dengan iklim di daerah lainnya di NTT yaitu iklim kering yang dipengaruhi angin muson, temperatur berkisar antara 23,6 0 C- 27 0 C. Kabupaten Rote Ndao mayoritas penduduknya memeluk agam Kristen Protestan. Kabupaten ini didominasi oleh suku asli Rote dan minoritasnya adalah para pendatang yang berasal dari Sulawesi, NTB,
116
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia dan Jawa yang mayoritas muslim. Kondisi sosial masyarakat kabupaten Rote Ndao memiliki keadaan sosial yang sangat santun, jujur dan bersahabat serta terbuka dalam hal menerima pendatang. Aktivitas ekonomi jelas terlihat pada bidang pertanian, kelautan, perkebunan dan jasa. Kabupaten Rote Ndao memiliki ragam budaya, dimulai dari budaya kehidupan bermasyarakat yang dicirikan dengan hadirnya sosok To’o yang dianggap sakral dikehidupan bermasyarakat. To’o merupakan nama lain dari Paman, kedudukan To’o dalam hukum adat Rote Ndao sangat penting perannya. Dalam masyarakat Rote dikenal kelompok marga yang disebut Leo dan kepala marganya disebut mane leo. Di samping marga tersebut ada keluarga batih, uma leo ( seasal dan lahir dari satu kandungan) = uma isi, yang artinya seisi rumah. Filosofi kehidupan orang Rote tercermin dalam ungkapan “maa tua do lefe bafi” yang artinya kehidupan dapat bersumber cukup dari mengiris tuak dan memelihara babi. Orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak dan menempati suatu kawasan yang banyak ditanami pohon lontar.
2. Karakter Siswa Nilai karakter yang dikembangkan di masyarakat Rotendao adalah nilai jujur, cerdas peduli dan tangguh. Karakter jujur yang dikembangkan di sekolah dapat terlihat dari sikap mereka yang menghormati dan menghargai guru, sikap ini sudah tertanam dari keluarga mereka yang terbiasa untuk saling menghormati orang yang lebih tua. Sikap saling menghormati tersebut tergambar dari sikap sopan santun mereka saat bertemu ataupun berbicara dengan orang yang lebih tua, hal ini sesuai dengan prinsip mereka “ki pedai li ngado kepai donga watua edo-edo” (jika berbicara dengan orang tua baiklah dengan rendah hati). 117
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Sementara itu, sikap peduli yang dibiasakan di sekolah adalah sikap saling menolong apabila terdapat teman yang mengalami kesusahan hal ini didasarkan pada sikap solidaritas yang mereka miliki sehingga mereka memiliki kepekaan dalam merasakan penderitaan yang dimiliki oleh orang lain. Rasa solidaritas yang mereka miliki juga mendasari sikap saling berbagi antar sesama teman, merawat tanaman sekolah bersama, serta saling menghargai teman yang beribadah sesuai kepercayaan yang dianut. Sikap solidaritas yang ditanamkan ini membuat rasa kebersamaan dan persaudaraan di antara mereka sangat erat, sesuai dengan ungkapan “ie lowe wini dome mude para lai” (banyak saudara gampang dalam semua hal). Sikap peduli memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Rotendao, selain mendasari sikap solidaritas kepedulian yang ditanamkan juga berpengaruh dalam sikap loyalitas siswa di di sekolah hal ini ditunjukan dengan kesediaan siswa mewakili sekolah dalam perlombaan olah raga ataupun yang bersifat akademik dengan melakukan kompetisi tersebut dengan jujur. Karakter nilai cerdas ditunjukan dengan adanya kegiatan OSIS, di lingkungan sekolah OSIS merupakan organisasi yang menampung semua kreativitas siswa. Dalam memilih ketua ataupun anggotanya, siswa dituntut cerdas dalam melihat visi dan misi masing-masing calon sehingga mampu memajukan sekolah dan dapat mengolah semua kreativitas siswa dengan baik. Dengan nilai cerdas yang dimiliki oleh siswa maka mereka tidak hanya dapat menyampaikan kritik saja melainkan juga menyampaikan saran dan intropeksi untuk memperbaiki kegiatan yang dirasakan masih kurang. Karakter nilai cerdas juga dapat dilihat dari suasana pembelajaran di kelas, hal ini ditunjukan dengan kebiasaan siswa merencanakan kegiatan yang akan dilakukan serta mengoreksi kembali tugas yang diberikan oleh guru. Mereka juga terbiasa dalam menyelesaikan masalah dengan cara mencari jalan keluar bersama-sama. Karekter nilai peduli yang dikembangkan erat kaitannya dengan rasa kebersamaan dan persaudaraan yang di pegang teguh oleh siswa.
118
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia Rasa kebersamaan dan persaudaraan telah tertanam dalam diri siswa, sesuai dengan ungkapan “kedii na helau do me jedi ngaole” yang artinya, (bangun bersama-sama pasti duduk dengan indah). Dengan adanya rasa kebersamaan ini akan membuat siswa memiliki perasaan senang ketika mereka membantu sesama terutama jika ada teman yang mengalami kesusahan seperti menjenguk saat teman sakit serta memberikan bantuan kepada teman yang tertimpa kesusahan atau bencana. Rasa persaudaraan yang kuat membuat siswa tidak saling membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, baik jenis kelamin,ras maupun status sosial. Saat terjadi pertengkaran akan diselesaikan dengan musyawarah sehingga antar siswa akan cepat rukun kembali. Selain rasa kepedulian dalam hubungan sosial, rasa kepedulian siswa terhadap daerahnya juga ditunjukkan dengan banyak di antara mereka yang hafal dengan lagu-lagu daerah bahkan lagu nasional, dalam keseharian, siswa menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Sementara itu, sikap peduli yang dibiasakan di sekolah adalah sikap saling menolong apabila terdapat teman yang mengalami kesusahan hal ini didasarkan pada sikap solidaritas yang mereka miliki sehingga mereka memiliki kepekaan dalam merasakan penderitaan yang dimiliki oleh orang lain. Rasa solidaritas yang mereka miliki juga mendasari sikap saling berbagi antar sesama teman, merawat tanaman sekolah bersama, serta saling menghargai teman yang beribadah sesuai kepercayaan yang dianut. Sikap solidaritas yang ditanamkan ini membuat rasa kebersamaan dan persaudaraan di antara mereka sangat erat, sesuai dengan ungkapan “ie lowe wini dome mude para lai” (banyak saudara gampang dalam semua hal). Sikap peduli memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Rotendao, selain mendasari sikap solidaritas kepedulian yang ditanamkan juga berpengaruh dalam sikap loyalitas siswa di di sekolah hal ini ditunjukan dengan kesediaan siswa mewakili sekolah dalam perlombaan olah raga ataupun yang bersifat akademik dengan melakukan kompetisi tersebut. Karakter yang dikembangkan selanjutnya adalah karakter
119
Identitas Kultural dan Karakter Siswa-siswa di Indonesia tangguh. Karakter tangguh yang dikembangkan di sekolah adalah siswa senantiasa bekerja keras dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Siswa senantiasa berhati-hati dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru dengan bekerja keras dan bertanggung jawab serta berusaha mencari sumber bahan ajar yang dianjurkan oleh guru. Tindakan ini didasari pula dengan rasa keingintahuan siswa dan semangat, motivasi dan jiwa kompetisi untuk memperoleh nilai tertinggi. Salah satu sikap tannguh yang diperlihatkan oleh siswa adalah, siswa senantiasa menjaga agar pekerjaan rumah yang telah mereka kerjakan tidak dicontek oleh temannya. Sikap tangguh ini akan mendorong rasa keberanian siswa untuk mempertahankan apa yang dinilai benar oleh mereka seperti, berani mengatakan tidak atas perintah guru yang dipandangnya tidak baik dan berani menegur kakak kelas jika dipandang mereka melakukan tindakan yang salah. Dengan demikian, siswa akan terbiasa memiliki alasan sebelum mengambil keputusan, sehingga tidak mudah dipengaruhi orang lain. Adanya sikap tangguh ini juga akan melatih siswa untuk bekerja keras dan memiliki prinsip bahwa setiap kerja keras akan mendatangkan sesuatu yang bermanfaat.
120
BAB IV
121
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
D
alam sejarah pendidikan di Indonesia diketahui bahwa dahulu sempat dilaksanakan pendidikan budi pekerti, di samping diajarkan pula etika dan tata karma, yang esensinya adalah pendidikan karakter. Sebagai bagian dari pendidikan agama juga telah diajarkan akhlak. Dengan karut marutnya moralitas sebagian remaja dan generasi muda dewasa ini, ditanbah lagi dengan semakin beratnya tantangan global, disepakati untuk menghidupkan kembali, atau memberikan jiwa kembali kepada pendidikan karakter di sekolah. Diharapkan dengan revitalisasi pendidikan karakter ini, yang memanfaatkan potensi setiap siswa yang telah dibekali dengan nilainilai lokal sesuai dengan identitas kulturalnya masing-masing akan terlahir peserta didik, agen pembaharuan yang siap bertarung dalam persaingan global.
A. Urgensi Pendidikan Karakter di Sekolah Institusi sekolah memiliki beban tugas yang penting, tidak sebatas membangun dan meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggung jawab siswa dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Horace Mann (1837),: “the highest and noblest office of education pertains to our moral nature. The common school should teach virtue before knowledge, for.. knowledge without virtue poses its own dangers “ Selanjutnya menurut Mann (1796-1859) sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free
Revitalisasi Pendidikan Karakter public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann sejalan dengan John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends). Sejalan dengan pendapat Mann di atas, Brooks dan Goble membuat rumusan paradigma baru pembelajaran dalam bukunya The Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa agama-agama besar di Amerika telah memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya: Menurut W.Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak Amerika menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak. Di Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal, agama di ajarkan di sekolah-sekolah, namun kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dengan baik, dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat dewasa ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pembelajaran pun tampaknya masih terjadi kelemahan karena metode pembelajaran yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak 122
Revitalisasi Pendidikan Karakter kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktik perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia. Karena itu tidaklah aneh jika kemudian banyak sekali dijumpai inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dengan apa yang diterapkan anak di masyarakat. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca: akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah diketahuinya di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (akhlak, moral dan etika) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan praktiknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
B. Strategi Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Membangun karakter melalui pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, dan berkelanjutan tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah hanya menjadi tanggung jawab sekolah secara parsial. Banyak hal yang membuat miris ketika mengamati sistem pendidikan kita. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa. Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, kurang tangguh, kurang peduli, dan suka mengambil jalan pintas. 123
Revitalisasi Pendidikan Karakter Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah ramairamai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Namun sayang, gagasan yang bagus dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Akibatnmya justru terjadi kecurangan, banyak anak yang mengambil sesuatu di kantin kejujuran tanpa membayar. Sementrara itu, di rumah, PR yang harusnya dikerjakan oleh anak justru dikerjakan oleh orangtua atau kakaknya, mereka bukan mendampingi dan menuntun anak untuk menyelesaikan PR tersebut. Di sekolah, sering kali ditemukan anak-anak yang mencontek ketika ujian, karena mengejar target kelulusan dengan nilai tinggi. Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, kebiasaan melanggar aturan lalu-lintas, menyerobot ketika antre, dan lainnya. Belajar dari pengalaman selama ini idealnya secara institusional, Pemerintah hendaknya memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa menjadi ‘ruh’ dari burikulum, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional bukan sekadar diintegrasikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini penting dilakukan agar nilai-nilai budaya dan karakter bangsa itu tetap melekat pada diri anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan karakter bangsa. Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, dan soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas pikir, tetapi juga cerdas hati, cerdas rasa dan karsa , dan cerdas raga. Beberapa catatan awal ini sebenarnya masih sangat sederhana dan tidak akan menjawab rumitnya pembangunan karakter di negeri tercinta ini. Ringkasnya, pendidikan karakter hanya bisa berhasil jika 124
Revitalisasi Pendidikan Karakter dimulai dari hal-hal yang mendasar, keseharian, dan yang terkadang kelihatannya sepele, bukan dengan retorika dan slogan-slogan yang fantastis. Masih teringat kalimat Bung Karno sebagi inti nation and character building, “Satukan kata dan perbuatan!”. Konsekuen, istiqamah! Menurut Brooks dan Gooble dalam menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu prinsip, proses, dan praktiknya dalam pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu maka nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga semua siswa dalam sekolah paham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Untuk itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara efektif yang menurut Brooks dan Goble harus diterapkan di seluruh sekolah (school-wide approach). Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan adalah meliputi, (1) sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang diibaratkan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya. (2) dalam menjalankan kurikulum pendidikan karakter, sebaiknya: a) pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan; b) diajarkan sebagai subjek yang berdiri sendiri (separate-stand alone subject) namun tetap diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; c) seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan, (3) penekanan dilakukan untuk mendorong siswa menerjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial. Hal ini penting dilakukan agar nilainilai budaya dan karakter itu tetap melekat pada diri anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan karakter bangsa. Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, dan soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga 125
Revitalisasi Pendidikan Karakter cerdas hati, dan cerdas raga. Dalam kaitan ini, Lickona (2007) menyatakan: terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilainilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan “karakter” secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter sebaiknya dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pebelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, media, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Dengan desain demikian, pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar, mencontoh, 126
Revitalisasi Pendidikan Karakter dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan dilihatnya itu.
C. Pentingnya Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Keluarga merupakan pilar pertama dalam membangun pendidikan karakter seseorang. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya-turut andil dalam perkembangan karakter anak. Mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga ada teori yang menyatakan bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Keluarga berfungsi sebagai sarana mendidik, mengasuh, dan menanamkan jiwa pro-sosial anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”. Kegagalan dalam mendidik dan membina anak di keluarga, akan berakibat sulit sekali bagi institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Oleh karena itu keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan 127
Revitalisasi Pendidikan Karakter pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi lain di luar keluarga, (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakatyang tidak berkarakter, atau berkarakter anti-sosial. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung kepada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat dan agama agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orangtua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Secara umum, Hurlock mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciriciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut : Pola asuh otoriter mempunyai ciri : 1) Kekuasaan orangtua dominan; 2) Anak tidak diakui sebagai pribadi; 3) Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat; 4) Orangtua menghukum anak- jika anak tidak patuh. Sementara pola asuh demokratis mempunyai ciri :1) Ada kerjasama antara orangtua – anak.; 2) Anak diakui sebagai pribadi; 3) Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; 4) Ada kontrol dari 128
Revitalisasi Pendidikan Karakter orangtua yang tidak kaku. Selanjutnya pola asuh permisif mempunyai ciri :1) Dominasi pada anak; 2) Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua; 3) Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; 4) Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang. Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga. Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak. Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik dan mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah. Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang 129
Revitalisasi Pendidikan Karakter dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan. Menurut Middlebrook (1993), hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena : (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukannya setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak. Hasil penelitian Rohner (2003) menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasanemosinya). Penelitian tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)- menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah 130
Revitalisasi Pendidikan Karakter anak yang diberikan dengan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indiference atau neglect, yaitu sifat yang tidak mempedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian. Penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikucilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga. Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu, (1) Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik. (2) Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya. (3) Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir,
131
Revitalisasi Pendidikan Karakter mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar, (4) Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya. (5) Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini. (6) Tidak menanamkan “good character’ kepada anak. Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah. (7) Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain, (8) Secara emosional tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain, (9) Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik, (10) Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna., (11) Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya, (12) Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stres, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain, (13) Ketakseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya, (14) Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orangtuanya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada ”peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
D. Peran Kurikulum dalam Membangun Karakter Siswa Nucci (2008:392) mengutip Bennett dan lainnya (1996) 132
Revitalisasi Pendidikan Karakter menyatakan: Attending to the social experience of the students can contribute much to their social and moral development. Schools can extend their impact upon moral and social development through the academic curriculum. This can occur in several ways. First, the academic curriculum contains many instances in the context of literacy and social studies of stories or events that replicate or reinforce social and moral values that students may addressing in their direct everyday experiences. Using literature to promote moral values has a long history.Within traditional character education literature has been used to promote moral or social values………Second , the formal curriculum moves the students knowledge base beyond their own historical or cultural framework, and has the potential to motivate students to project themselves as members of a global community with responsibilities for the social welfare of persons beyond their immediate experience. Berdasar pendapat Nucci di atas, yang diungkapkannya dalam bukunya yang terkenal, Handbook of Moral and Character Education (2008) dapat disimpulkan bahwa kurikulum, termasuk Kurikulum 2013 dapat mempengaruhi karakter siswa dengan dua cara. Pertama, secara formal kurikulum memperkaya anak dengan nilai-nilai sosial dan moral melalui literatur/bacaan yang banyak mengandung contoh-contoh dan fakta sehari-hari yang mengedepankan perlunya berkarakter baik dan santun, yang kedua melalui kurikulum para siswa diarahkan untuk memahami nilai-nilai positif-baik yang terkandung dalam latar sejarah dan budayanya. Agaknya melalui cara yang kedua inilah kurikulum nasional Indonesia, terakhir melalui penerapan Kurikulum 2013, dapat mempengaruhi pembentukan nilai-nilai positif-baik setiap siswa di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagai referensi dapat kita acu bagaimana cara mengembangkan pendidikan karakter di Filipina, negera tetangga Indonesia. Diprakarsai oleh Philliphines Normal University, PNU, (sejenis IKIPnya Filipina) dalam programnya
133
Revitalisasi Pendidikan Karakter yang bertajuk PNU-ACES (PNU-Affective-Cognitive Experience for Self Direction) dikembangkan berbagai alternatif pendekatan dan strategi pokok pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter (major values development approach and strategies). Keenam pendekatan dan strategi tersebut antara lain adalah, 1. Inkulkasi (inculcation), pendekatan ini bertujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai (to instill or internalize) tertentu kepada para siswa, untuk mengubah nilai-nilai siswa sedemikian rupa sehingga mereka lebih siap merefleksikan nilai-nilai tertentu yang diinginkan. Contoh strateginya memberikan model atau teladan penguatan positif melalui pujian atau penguatan negatif melalui terguran yang berkelanjutan. 2. Pengembangan moral (moral development), pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan pola penalaran moralnya yang lebih kompleks berlandaskan seperangkat nilai yang lebih tinggi, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan mengapa memilih nilai tertentu. Contoh strateginya diskusi kelompok kecil, dan studi kasus. Teori dasarnya adalah konsep perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg. 3. Klarifikasi (clarification), tujuannya untuk membantu siswa menyadari dan mengenali nilai-nilainya sendiri, maupun nilai-nilai milik orang lain. membantu siswa untuk menggunakan dan mengomunikasikan secara lebih terbuka dan jujur nilai-nilai yang dipergunakannya untuk saling berbagi. Contoh strateginya, bermain peran, simulasi, latihan analisis pribadi mendalam (in-depth selfanalysis). 4. Analisis, pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa dalam mengunakan pemikiran logis dan prosedur saintifik dalam upaya menyelidiki isu-isu sosial yang sedang berkembang. Contoh strateginya menguji prinsip-prinsip, menganalisis kasus-kasus analog. 134
Revitalisasi Pendidikan Karakter 5. Pembelajaran tindakan yang dilandasi pemikiran dan perasaan (action learning-goes beyond thinking and feeling), tujuan pendekatan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa ubntuk menemukan sesuatu dan bertindak berlandaskan nilainilainya. Contoh strateginya adalah seluruh strategi yang diterapkan pada pendekatan klarifikasi dan analisis nilai, serta projek aksi yang melibatkan sekolah dan masyarakat sekitar. 6. Pendekatan transpersonal, tujuan pendekatan ini untuk mengembangkan kesadaran yang lebih tinggi serta pencerahan spiritual di antara para siswa. Contoh strateginya melalui meditasi, istirahat dan relaksasi, fantasi singkat dan imajinasi. Landasan teorinya adalah psikologi transpersonal yang berkembang akhirakhir ini. Dengan demikian kehadiran Kurikulum 2013 niscaya dapat mempengaruhi nilai-nilai karakter siswa melalui salah satu cara tersebut di atas. Berdasarkan pengamatan praktik pendidikan karakter di Indonesia, pendekatan yang sering digunakan dalam penanaman nilai adalah inkulkasi melalui berbagai nasihat dan teguran yang terusmenerus tiada jemu-jemunya, serta pendekatan transpersonal. Walau relatif baru berkembang di masyarakat Barat, karena nuansa religious yang kental di masyarakat Indonesia, penerapan pendekatan transpersonal sudah dilakukan melalui praktik-praktik pembelajaran secara formal maupun pendidikan informal. Untuk memperkuat hal ini para guru pun harus menyadari peran dan fungsinya terkait pendidikan karakter. Ada dua peran guru terkait implementasi pendidikan karakter menurut PNU, yaitu, guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran afektif dan kognitif, serta guru sebagai pengarah nilai (values director). Esensi guru sebagai fasilitator adalah memfasilitasi agar dalam kondisi pembelajaran formal pengajaran bahan ajar para ssiswa dapat membuat keputusan berdasarkan nilainilai yang dianutnya serta mampu memanifestasikan orientasi nilainya. Dengan demikian selama pembelajaran, kegiatan pembelajaran 135
Revitalisasi Pendidikan Karakter distrukturkan sedemikian rupa sehingga para siswa mampu menemukan nilai-nilainya sendiri, menjelaskan nilai-nilainya, mendengarkan pandangan orang lain dan pada akhirnya membuat sebuah keputusan yang bernilai. Guru sebagai pengarah nilai seyogyanya mampu memproses pembelajaran sehingga para siswa mampu menghayati penemuan nilainya sendiri, mengaitkannya dengan nilai-nilai yang diketemukan kelompok belajarnya aehingga tercipta keputusan kelompok terkait nilai. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.sedangkan pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sehubungan dengan keinginan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut di atas Kurikulum 2013 disusun dengan landasan filosofis tertentu. Landasan Filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan folosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak ada satupun filosofis pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas. Berdasarkan hal tersebut, Kurikulum 2013 dikembangkan 136
Revitalisasi Pendidikan Karakter menggunakan filosofi sebagai berikut. 1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa datang. Pandangan ini menjadikan kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian kurikulum, hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan bangsa. Dengan demikian, tugas mempersiapkan generasi muda bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum. Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik, Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini. 2. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanisfestasikan
137
Revitalisasi Pendidikan Karakter dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini 3. Pendidikan ditujukan tuntuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah displin ilmu dan pembelajaran adalah pembelajaran displin ilmu (essentialism). Filosofi ini mewajibkan kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik. 4. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism and social reconstructivism). Dengan filosofi ini, kurikulum 2013 bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan dalam berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat, dan untuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang lebih baik. Sepanjang yang dapat kita ketahui nilai-nilai karakter yang diharapkan terbentuk melalui paparan Kurikulum 2013 secara umum tergambarkan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Kompetensi Inti (KI) setiap bidang studi. Sebenarnya dalam Kompetensi Dasar (KD) pun dapat tergambar nilai karakter yang diharapkan terbentuk pada diri siswa, namun terlalu bervarisi untuk setiap satuan pendidikan, untuk setiap kelas dan peminatan siswa, sehingga sulit ditentukan tolok ukurnya. Dengan demikian cukup dengan memahami Standar Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Inti, secara umum dapat diketahui ke mana Kurikulum 2013 akan membawa anak, sesuai latar belakang kultural dan historis yang dimilikinya. Berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Inti 138
Revitalisasi Pendidikan Karakter tersebut. Terlihat bahwa sampai lulus sekolah dasar nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan menurut Kurikulum 2013 adalah nilai-nilai: iman dan takwa, jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, percaya diri, komunikatif, kuriositas, kritis, ramah lingkungan, berpikir logis, analitis, berjiwa estetis, menjaga kesehatan, dan berakhlak mulia. Setelah lulus SMP nilai-nilai karakter yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik adalah nilai-nilai: iman dan takwa, jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, toleran, berjiwa gotong royong, percaya diri, komunikatif, mengembangkan kuriositas, kritis, ramah lingkungan, peduli sosial, berpikir logis, analitis, berjiwa estetis, berakhlak mulia. Selanjutnya peserta didik lulusan SMA/SMK tatkala memasuki perguruan tinggi dan atau dunia kerja diharapkan sudah memiliki dan mengembangkan nilai-nilai karakter: iman dan takwa, jujur, disiplin, tanggung jawab, toleran, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerja sama, cinta damai, responsif, proaktif, pemecah masalah, komunikatif, berwawasan global, kemanusiaan, kebangsaan/ dan kenegaraan, keadaban, mengembangkan kuriositas, kritis, berpikir logis, analitis, mandiri, kreatif dan inovatif. Apapun visi pembelajaran yang dirumuskan tidak mungkin secara efektif membentuk dan mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik bila proses pembelajarannya tidak sesuai dan relevan. Terkait dengan visi Kurikulum 2013 tersebut, proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas ketercapaian kompetensi lulusan. Sesuai dengan standar kompetensi lulusan dan standar isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan:
139
Revitalisasi Pendidikan Karakter 1. Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu 2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar 3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah 4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi 5. Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu 6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi 7. Dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif 8. Peningkat dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills) 9. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat 10. Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberikan keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani) 11. Pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah dan di masyarakat 12. Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa dan dimana saja adalah kelas 13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikas untuk meningkatkan efiensi dan efektifitas pembelajaran, dan 14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik Selanjutnya mengacu kepada SKL maupun Kurikulum Inti di atas 140
Revitalisasi Pendidikan Karakter serta mengacu kepada empat nilai inti yang dikembangkan di dalam diskusi terbatas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta hasil identifikasi Samani dan Hariyanto (2012) nilai-nilai turunan yang akan dikembangkan dalam Kurikulum 2013 adalah sesuai Tabel berikut ini, Tabel 4.1. Nilai-nilai yang Akan Dikembangkan dalam Kurikulum 2013 No
Nilai-nilai
Nilai-Nilai Turunan
Inti Spriritual 1
Jujur
2
Cerdas
Iman dan takwa, akhlak mulia, tanggungjawab, ketulusan hati, amanah Analitis, berpikir logis, kuriositas, kreativitas, kritis, inovatif, inisiatif, suka memecahkan masalah, percaya diri, disiplin, mandiri, berwawasan global/visioner
Sosial 3
Peduli
Kewarganegaraan, ke
adaban, komitmen,
kegotongroyongan, kesantunan,
demokratis, disiplin,
kesetaraan, kedermawanan, pandai berterima kasih, pandai bersyukur, suka membantu, kemanusiaan, keterbukaan, patriotism, kebersamaan, toleransi, ramah lingklungan, cinta damai 4
Tangguh
Antisipatif, kesediaan/responsif, keberanian, s
uka
berkompetisi, kerajinan, berdaya upaya, ketabahan, beretos kerja
E. Relevansi dan Implikasi Penerapan Pendidikan Karakter bagi Pendidikan di Masa Depan Relevansi dalam hubungan ini dimaknai sebagai kesesuaian hasil riset dengan Kurikulum 2013 yang memungkinkan ada relevansi atau sebaliknya. Implikasi dimaknai sebagai pemaknaan baru yang memberikan prediksi arah pendidikan ke depan. Namun sebelum berbicara tentang relevansi dan implikasi perlu kita pahami dulu tentang peranan pendidikan dalam pembudayaan karakter. 141
Revitalisasi Pendidikan Karakter Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya. Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation), sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation). Kedua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas. Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau komunitas budaya suatu wilayah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua, atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi. Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan di sekolahg. Seseorang yang tidak tahu, diberitahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut. Misalnya, seseorang yang pindah ke suatu tempat baru, kemudian mempelajari bahasa, budaya, kebiasaan dari masyarakat di tempat baru tersebut, lalu orang itu akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat di tempat itu. Dalam konteks enkulturasi dan akulturasi ini, pada mulanya 142
Revitalisasi Pendidikan Karakter pendidikan karakter bagi generasi penerus dilakukan melalui proses regenerasi, dilakukan secara turun-temurun di masyarakat. Dalam implementasinya pendidikan karakter dilakukan secara tidak sadar melalui berbagai petuah-petuah dan suri teladan yang ditunjukkan oleh orang tua kepada generasi muda. Seperti yang diuraiakan di atas, petuah dan suri teladan tersebut bersumber dari nilai karakter yang diambil dari adat dan tradisi budaya seperti kisah dalam pewayangan, maupun dari peribahasa-peribahasa yang telah ada sejak dahulu kala, sehingga tidak dapat lagi dilacak siapa yang mencetuskannya. Dalam konteks ini, etnis akan mempengaruhi karakter, dan karakter akan memperkuat etnis tersebut. Misalnya, orang Jawa akan berbicara secara halus dan menyampaikan segala sesuatu yang seharusnya dismpaikan, hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi dalam masyarakat. Berbeda halnya dengan masyarakat Batak, mereka berbicara dengan keras dan akan mengatakan segala sesuatu apa adanya. Dapat dipahami karena di daerah asalnya, orang Batak tinggal berjauhan, sehingga jika berbicara secara berbisik atau pelan-pelan tidak akan terdengar. Dalam contoh lain, karena tinggal di lingkungan yang menghijau, berbukit-bukit dan bergununbg-gunung, lagu-lagu dari daerah Batak dan Pasundan (Priangan) terkenal lembut mendayu-dayu dan menyentuh hati. Dalam hubungan ini lingkungan membentuk karakter. Tentu saja, masih banyak karakter yang khas dan menonjol dari berbagai etnis yang ada di Indonesia. Namun sayangnya seiring pertumbuhan masyarakat di era globalisasi, terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan yang terjadi ini bersifat menyeluruh, kolektif, dan mempengaruhi banyak orang (lintas wilayah-lintas negara) yang mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan kita. Globalisasi ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu pemerintah memandang penting untuk penanaman nilai karakter, member jiwa kembali pendidikan karakter, 143
Revitalisasi Pendidikan Karakter tidak hanya dilakukan melalui proses regenerasi lewat masyarakat, namun secara eksplisit, diinternalisasikan melalui pembelajaran. Pemerintah melalui Kurikulum 2013 secara ekplisit menuangkan kebijakan Pendidikan Karakter harus dilakukan melalui pembelajaran. Setiap proses belajar mengajar harus menginternalisasikan karakter yang tertuang dalam Kompetensi Inti, yaitu Kompetensi Inti Satu (KI 1) Aspek Religius, dan Kompetensi Inti dua (KI 2) Aspek Sosial. Sedangkan masing-masing karakter yang ada dalam kompetensi inti tersebut, secara konseptual telah dirumuskan secara apik yang tertata menjadi delapan belas nilai karakter. Jika nilai karakter ini ditanamkan dengan baik dalam pembelajaran, apa yang terjadi dengan nilai karakter warga masyarakat kita ke depan? Ada beberapa interpretasi yang muncul atas jawaban dari pertanyaan ini, yaitu: Pertama, jika guru dalam pembiasaan karakter tidak mencermati luasan dan cakupan konsep dari masing-masing karakter, maka akan terjadi bahwa karakter yang dibiasakan di sekolah adalah karakter yang juga dibiasakan orang tuanya, sehingga ada kesamaan antara karakter di masyarakat dan di sekolah sehingga internalisasi pendidikan karakter di pembelajaran hanya memperkuat yang di masyarakat, sehingga ke depan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan rekonstruksi nilai. Kedua, jika guru dalam pembiasaan karakter mencermati luasan dan cakupan konsep dari masing-masing karakter yang telah ditentukan, maka guru secara perlahan-lahan akan membiasakan karakter yang mungkin ‘berbeda’ dengan yang ada di masyarakat. Jika hal ini terjadi maka lambat laun, siswa tersebut pada gilirannya akan mampu melakukan rekonstruksi nilai yang ada di masyarakat. Misalnya, terkait dengan etos kerja. Sebenarnya bergantung cara kita memandang ada spektrum etos kerja yang berlaku di masyarakat. Misalnya ,jika kita mencermati pepatah Jawa “ono dino ono opo” (ada hari maka akan ada makanan), maka dapat dikatakan bahwa etos kerja masyarakat ini rendah. Namun 144
Revitalisasi Pendidikan Karakter juga ada slogan dan pemeo yang lain, yakni “ora obah ora mamah” (jika tidak bergerak, bekerja, tidak akan ada nasi yang dimakan) Ini jelas menggambarkan etos kerja yang tinggi. Maka etos kerja yang dibiasakan di sekolah haruslah etos kerja yang tinggi, sehingga lambat laun siswa tersebut akan menjadi agen perubahan, sehingga pada gilirannya akan melakukan rekonstruksi terhadap nilai etos kerja tersebut. Lalu, bagaimana relevansinya dengan nilai karakter masyarakat Indonesia ke depan? Jika guru dalam pembelajaran memberikan penguatan pendidikan karakter sesuai dengan Kompetensi Inti dari aspek religius dan aspek sosial secara benar sesuai dengan jabaran konsep yang telah ditetapkan, maka lambat laun akan dihasilkan karakter ‘homogen’ dari setiap etnis yang ada di masyarakat, sehingga yang ada adalah karakter manusia Indonesia, bukan karakter orang Jawa, karakter orang Madura, karakter orang Sunda, dan sebagainya. Pendidikan merupakan proses pembudayaan, dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal atau proses akulturasi. Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya, tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya, transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya. Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation), sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation). Kedua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas. Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau komunitas 145
Revitalisasi Pendidikan Karakter budaya suatu wilayah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua, atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi. Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan. Seseorang yang tidak tahu, diberitahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut. Misalnya, seseorang yang pindah ke suatu tempat baru, kemudian mempelajari bahasa, budaya, kebiasaan dari masyarakat di tempat baru tersebut, lalu orang itu akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat di tempat itu. Dengan demikian terlihat minimal tiga aspek yang perlu dicermati untuk dapat melihat secara seksama apakah terjadi perubahan pada karakter siswa sebagai dampak globalisasi yang semakin nyata, dan jika berubah sampai sejauh mana perubahan tersebut? Ketiga aspek tersebut adalah, pertama, berlandaskan identitas kultural dari Edward T. Hall, siswa-siswa di Indonesia tergolong high context culture. Kedua, konten nilai karakter dalam Kurikulum 2013, dan yang ketiga, yang bergantung kepada pendekatan dan metode guru, apakah guru cukup mencermati nilai-nilai bawaan para siswa dari keluarga/rumah atau tidak. Jika melihat teori Edward T. Hall , pada umumnya orang Indonesia termasuk ke dalam ciri masyarakat yang high context culture, dengan demikian walaupun ada globalisasi secara umum masyarakat Indonesia tidak mudah berubah. Hal ini selaras dengan teori David C. McClelland yang mengindikasikan orang Indonesia sebagai kelompok masyarakat yang N-affilnya tinggi dan virus N-Achnya rendah. Dengan demikian diperkirakan, seandainya ada perubahan dalam karakter bangsa, perubahan tersebut bercirikan sebagai berikut,
146
Revitalisasi Pendidikan Karakter (1) Karena kepadatan penduduk serta infra struktur yang lebih lengkap akan terjadi perubahan yang lebih cepat di Jawa dari pada di luar Jawa (2) Perubahan lebih tcepat terjadi di wilayah barat, makin ke arah timur wilayah Indonesia perubahan akan makin lambat (3) Perubahan sebagai akibat globalisasi di kota-kota besar akan lebih cepat, diikuti wilayah-wilayah suburban yang mengelilinginya. Selanjutnya karena nilai-nilai yang terkandung dalam Kurikulum 2013 sudah given, maka kini bergantung kepada bagaimana cara guru mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah. Jika guru melihat juga nilai-nilai karakter yang telah dibawa siswa dari keluarganya, maka mereka dapat melakukan penguatan positif atau sebaliknya akan melakukan perubahan melalui pembiasaan dan pembudayaan di sekolah, yang menguatkan nilai positif yang berbeda dan bertentangan dengan nilai bawaan para siswa dari rumah. Agar penguatan positif itu lebih mungkin dan cepat terjadi, pendidikan karakter yang secara konvensional di Indonesia hanya dilaksanakan melalui dua cara, yaitu cara inkulkasi dan pendekatan transpersonal, sebaiknya juga melalui cara-cara yang lain seperti klarifikasi nilai, analisis nilai, perkembangan moral, dan pembelajaran tindakan. Keseluruhan metode pendekatan pendidikan karakter tersebut dilkukan secara sinergi melalui enkulturasi maupun akulturasi, jadi dilaksanakan di rumah, di masyarakat, maupun di sekolah. Sementara itu di sekolah, para guru juga harus mencermati nilai-nilai apa yang telah dibawa para siswa dari rumah, jika negatif harus dieliminasi melalui pembiasaan dan pembudayaan, jika positif justru diberikan penguatan. Terlebih lagi jangan lupa peran guru sebagai teladan (role model) dan fasilitator. Apabila semua hal ini dilaksanakan dengan baik, diharapkan dalam situasi global ini perubahan karakter siswa-siswa di Indonesia justru memberikan penguatan positif terhadap identitas kulturalnya masing-masing.
147
Revitalisasi Pendidikan Karakter Dengan pijakan analisis bahwa nilai karakter yang diteliti adalah nilai-nilai inti jujur, cerdas, peduli, dan tangguh, dengan segenap nilai turunannya, secara umum di seluruh Indonesia, dapat dilihat gambaran karakter siswa sesuai dengan temuan penelitian sebagai berikut, Tabel 4.2 Hasil Temuan Penelitian tentang Karakter Siswa-Siswa di Indonesia No Nilai Inti Nilai Turunan yang Diteliti 1 Jujur Tulus hati, iman dan takwa, tanggung jawab, menghargai diri sendiri, amanah, sportivitas
148
2
Cerdas
Analitis, pemecahan masalah,kuriositas, kritis, mandiri, disiplin
3
Peduli
Suka membantu, kewarganegaraan, berkomitmen, menghargai kesetaraan, suka memberi maaf,toleran, peka, hemat, keadaban, patriotik, demokratis, menghargai waktu, lembut hati,rasa humor, kebanggaan, kebersamaan
4
Tangguh
Tegas, berani,hati-hati, berdaya upaya, suka berkompetisi, dinamis, beretos kerja, bersikap yakin, antisipatif, rajin
Temuan Positif Tulus hati, iman dan takwa, tanggung jawab, menghargai diri sendiri
Temuan Negatif Kurang amanah, karena suka membicarakan orang lain, sebagian kurang sportif, memakai segala cara untuk menang dan berhasil Analitis, pemecahan Ada sebagian masalah,kuriositas, kecil yang lebih kritis, mandiri, suka disiplin memecahkan masalah sendiri, tidak suka dalam tim Suka membantu, Ada sebagian kewarganegaraan, kecil yang sukar berkomitmen, memberikan menghargai maaf dan kesetaraan, suka kurang memberi maaf, menghargai toleran, peka, hemat, waktu/suka keadaban, terlambat patriotik,demokratis, menghargai waktu, lembut hati,rasa humor, kebanggaan, kebersamaan Tegas, berani,hatiSebagian kecil hati, berdaya upaya, kurang hatisuka berkompetisi, hati, kurang dinamis, beretos bersikap yakin, kerja, bersikap dan tidak yakin, antisipatif, antisipatif rajin
Revitalisasi Pendidikan Karakter Temuan di atas diperoleh sebagai hasil penelitian sebelum Kurikulum 2013 diluncurkan. Sekarang, kemungkinan apa yang dapat terjadi setelah peluncuran Kurikulum 2013. Jika kita cermati ada sejumlah besar nilai karakter yang sama antara materi penelitian dengan Kurikulum 2013 terkait nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan kepada para siswa. Hal itu dapat dicermati sebagai berikut, Tabel 4.3 Komparasi Nilai Karakter yang Diteliti dengan Nilai Karakter yang Dikembangkan dalam Kurikulum 2013 No
1
2
Nilai Inti
Jujur
Cerdas
Nilai Turunan yang Diteliti
Nilai yang Dikembangkan dalam Kurikulum 2013
Tulus hati, iman dan takwa, tanggung jawab, menghargai diri sendiri, amanah, sportivitas
Iman dan takwa,
akhlak mulia,
Analitis, pemecahan masalah, kuriositas, kritis, mandiri, disiplin
Analitis, berpikir logis, kuriositas,
tanggung jawab , ketulusan hati, amanah
kreativitas, inisiatif,
inovatif,
kritis,
suka memecahkan
masalah, percaya diri,
disiplin,
berwawasan
mandiri, global/visioner 3
Peduli
Suka membantu/gotong royong, kewarganegaraan, berkomitmen, menghargai kesetaraan, suka memberi maaf, toleran, peka, hemat, keadaban, patriotik, demokratis, menghargai waktu, lembut hati, rasa humor, kebanggaan, kebersamaan
Kewarganegaraan, komitmen,
keadaban,
kegotongroyongan,
kesantunan, demokratis, disiplin, kesetaraan, kedermawanan, pandai berterima kasih, pandai bersyukur,
suka membantu
,
kemanusiaan, keterbukaan, patriotisme,
kebersamaan,
toleransi, ramah lingkungan, cinta damai 4
Tangguh
Tegas, berani, hati-hati, berdaya upaya, suka berkompetisi, dinamis, beretos kerja, bersikap yakin, antisipatif, rajin
Antisipatif, kesediaan/responsif, keberanian,
suka berkompetisi,
kerajinan,
berdaya upaya,
ketabahan, beretos kerja
149
Revitalisasi Pendidikan Karakter Bila kita cermati, nilai karakter yang dikembangkan dalam kolom Kurikulum 2013 yang dicetak miring adalah juga merupakan nilai turunan dari nilai inti yang diteliti. Jadi sebagian besar nilai karakter yang akan dikembangkan dalam Kurikulum 2013 sudah diteliti implementasinya. Dengan demikian, sekali lagi, tinggal memberikan penguatan positif terhadap penanaman dan pengembangan nilai karakter yang diperlukan oleh para siswa untuk menghadapi perubahan
150
BAB IV
151
PENUTUP
J
ika kita mencermati keseluruhan hasil temuan tentang karakter siswa-siswa di Indonesia, terlihat bahwa mayoritas temuan bersifat positif. Artinya, nilai karakter siswa-siswa Indonesia yang dibangun sebagai interaksi antara faktor genetik (nature) dengan faktor asuhan dan bimbingan di lingkungannya masing-masing (nurture) bernilai positif untuk menghadapi pergumulan di era globalisasi. Masalah pokoknya adalah apakah sampel yang diteliti cukup representatif, mengingat hampir semua sekolah sampel mulai dari SD, SMP, SMA/SMK dari Aceh sampai Papua, merupakan sekolah unggul, yang notabene memang memiliki SDM yang unggul. Jadi memang selayaknya jika karakter para siswanya adalah karakter yang positif, yang unggul. Hal tersebut memang sulit dihindari karena sekolah yang diambil sebagai sekolah sampel dipilihkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Walau demikian, paling tidak temuan ini dapat dipakai sebagai acuan untuk memprediksi seberapa jauh nilai-nilai karakter yang positif dipegang dan dimiliki oleh para siswa di seluruh Indonesia. Mengingat, minimal identitas kultural setiap siswa per wilayah adalah sama. Jika kita ingin melihat gambaran keseluruhan dari seluruh lapisan sosial siswa di Indonesia, memang diperlukan penelitian lebih lanjut. Sampelnya bisa ditetapkan sekolah-sekolah yang hasil akreditasinya di tengah-tengah maupun di bawah. Jadi, sasaran penelitian selanjutnya adalah sekolah-sekolah yang terakreditasi B atau C di seluruh Indonesia. 151
Penutup Berdasarkan temuan penelitian terlihat bahwa sebagian besar siswa yang diteliti telah menggenggam erat nilai karakter yang diperlukan untuk menghadapi perubahan global. Nilai karakter yang masih patut dikembangklan adalah nilai amanah, penghargaan terhadap waktu, kehati-hatian, antisipatif, dan kebiasaan memecahkan masalah dalam suatu tim. Terlepas dari semua itu, sebagai bangsa Indonesia kita patut bersyukur, karena ternyata dalam kebhinekaan kita, di setiap daerah, pada berbagai suku bangsa, terdapat kebijakan lokal (local wisdom). Nilai-nilai lokal, ini cukup untuk menjadi bekal bagi generasi muda dalam menghadapi perubahan, termasuk perubahan global yang semakin cepat saat ini. Tinggal kini terpulang pada kesadaran dan keikhlasan para pemegang kepentingan (stakeholders) dalam bidang pendidikan, bagaimana merumuskan strategi, membentuk sistem pendidikan agar nilai-nilai karakter positif di setiap daerah itu berkembang dengan baik, dan relevan dengan kebutuhan generasi muda dalam menghadapi persaingan global. Hal yang menarik, walau penelitian ini dilaksanakan sebelum Kurikulum 2013 diluncurkan, sebagian besar nilai karakter yang akan dikembangkan menurut Kurikulum 2013 sudah menjadi objek penelitian. Kira-kira sekitar 80% nilai karakter yang terkandung dalam Kurikulum 2013 sudah diteliti, dengan hasil positif. Dengan demikian, para pendidik dan pemerhati pendidikan tinggal memberikan penguatan positif terhadap penanaman dan pengembangan nilai karakter yang diperlukan oleh para siswa untuk menghadapi perubahan global yang semakin nyata. Ada suatu catatan penting yang perlu disampaikan di sini. Karena kendala teknis, ada dua kelompok etnis besar di Indonesia yang belum sempat diteliti, yaitu etnis Mandar di Sulawesi Barat, serta etnis Ternate di Maluku Utara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang terpecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan Kementerian Kebudayaan, 152
Penutup Pendidikan Dasar dan Menengah , siapapun instansi yang berwenang, perlu melengkapinya dengan melakukan riset pada dua kelompok etnis tersebut di atas. Instrumen penelitaiian yang telah dipersiapakan untuk penelitian sebelumnya, mengingat kemampuannya memperoleh temuan yang cukup komprehensif, masih bisa dipergunakan. Dengan demikian kita akan mendapatkan gambaran yang utuh dan bulat tentang karakter siswa-siswa di Indonesia, termasuk identitas kulturalnya masing-masing yang diperlukan bagi menghadapi perubahan global. Penelitian lanjutan dengan objek sekolah-sekolah yang bukan merupakan sekolah unggulan menjadi penting jika kita melihat berbagai indikasi yang mencitrakan karakter negatif yang telah menjangkiti anak bangsa. Masih banyak tawuran antar remaja di Jakarta dan kota-kota suburban yang mengelilinginya, terutama di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Gang motor yang brutal bermunculan di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Makassar. Baru saja terjadi di Kasongan Kalimantan Tengah, siswa SD kelas I harus buta sebelah matanya karena dirundung (dibully) oleh kakak kelasnya dari Kelas IV dan Kelas V. Dengan demikian seolah-olah hasil penelitian ini tidak relevan dengan kondisi faktual di lapangan. Dalam hubungan ini, telah berpengalaman Philliphine Normal University (PNU) dalam mengembangkan pendidikan karakter, dan telah go international dengan bekerja sama dengan berbagai lembaga pengembangan pendidikan karakter di seluruh dunia. Disarankan agar institusi yang terkait dengan pengembangan pendidikan karakter, entah itu Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, atau institusi dalam lingkungannya seperti Universitas Negeri Surabaya, menjalin hubungan dengan PNU untuk berbagi pengalaman dalam mengembangkan pendidikan karakter.
153
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013. Budaya Bangsa: Tinjauan Filafati Cerita Mahabharata dan Ramayana. Bandung: Yayasan Dajan Rurung Indonesia. ---------- 2010. Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, Pemerintah Republik Indonesia Badingah, Siti, 1993. Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonton Film Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok. Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. In: J.S.Bennigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York. Brooks,B.D. and F.G.Goble.1998. The Case for Character Education: The Role of the School in Teaching Values and Virtues. Studios 4 Productions. Darmiyati Zuhdi, (ed.) 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik, Yogyakarta : UNY Press. Fakih, Mansour. 2006.Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Cet. 4. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar. Ferguson, Marjorie., 2002.The Mythology About Globalization, in: Denis McQuail (ed.) McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publication. Goble, Frank g., and David Brooks, 1983. Case for Character Education, Ottawa: Jameson Books, Inc. 154
Daftar Pustaka Hall, Edward T., 1976. Beyond Culture, New York : Doubleday. ----------, 1983. The Dance of Life : The Other Dimension of Time, New York: Doubleday. Hazim Amir., 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, Jakarta: PustakaSinarHarapan. Iman Budhi Santoso, 2008. Budi Pekerti Bangsa, Yogyakarta : Arti Bumi Intaran. Joko Siswanto, 2009. Wajah Globalisasi, Yogyakarta: Kepel Press. Kilpatrick,William. 1992. Why Johny Can’t Tell Right From Wrong. Simon & Schuster, Inc. New York. Kluver, Randy, 2000. Globalization, Informatization, and Intercultural Communication, in American Journal of Communication, June 2000. Kulkarni, Arjun, 2012. Positive Effects of Globalization, dalam Buzzle, a c c e s s e d 9 / 6 / 2 0 1 2 d a r i http://www.buzzle.com/articles/positive-effects-ofglobalization-html Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, New York. Livermore, David,.2010, Leading with Cultutal Intelligence, New York : Amazon. Marte, Benjamin I.G., and M.C. Marte, 2005., The PNU AffectiveCognitive Experience for Self-Direction (ACES) Teaching Approaches to Values Education, accessed at 07/21/2014 in http://www.valueseducation.net/apprchs-pnu McClelland, David C., 1961, The Achieving Siciety, New York: Free Press. Megawangi,Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Pustaka Mizan, Bandung.
155
Daftar Pustaka ----------2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation Neuman,E. 1990. The Child. Shambala Publications,Inc., Massachusetts. Nuccci, Larry P, and Darcia Navarez, (ed.) 2008 , Handbook of Moral And Character Education, New York : Routledge. Nurul Zuriah, 2008. Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara. Pillai, Prabakhar, 2011. Negative Effects of Globalization, dalam Buzzle, a c c e s s e d 1 2 / 2 3 / 2 0 1 1 d a r i http://www.buzzle.com/articles/negative-effects-ofglobalization-html Rich,D. 1997. Mega Skills, Building Children’s Achievement for the Information Age. Houghton Mifflin Company, New York. Rohner,R. 1986. The Warmth Dimension of Parenting: Parental Acceptance-Rejection Theory. Califoirnia: Sage Publications. Saksono, Ignas G., dan Djoko Dwiyanto.2011, Terbelahnya Kepribadian Orang Jawa, Yogyakarta: Keluarga Besar Marhaenis DIY. Samani, Muchlas dan Hariyanto, 2011. Konsep dan Model Pndidikan Karakter, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sastrapratedja, M. 1995. Modernitas, Globalisasi, dan Dampaknya, dalam Slamet Sutrisno dkk (ed.) Globalisasi, Kebudayaan dan Ketahanan Ideologi, Yogyakarta: Aditya Media- Forum Diskusi Filsafat UGM. Scheuerman, William, 2010, Globalizatio, Stanford Encyclopedia of Philosophy. Schikendanz,J. 1995. Family Socialization and Academic Achievement. Boston University Press.
156
Daftar Pustaka Schwartz, Merle, 2008. Effective Character Education, New York : McGraw-Hill Higher Education. Suseno. Frans Magnis, 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafit entang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Penerbit PT Gramedia. ----------.,1991. Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Suseno, Frans Magnis, dan S. Reksosusilo.1983, Etika Jawa dalam Tantangan. Yogyakarta: Kanisius. Wilson,J.Q., 1993. The Moral Sense. New YorK :Simon & Schuster Inc. Wiwien Widyawati, 2012. Etika Jawa: Menggali Kebijaksanaan dan Keutamaan demi Ketentraman Hidup Lahir-Batin, Yogyakarta: Shaida. Wynne,E.A. 1991. Character and Academics in the Elementary School. In J.S. Benigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York. Yuni Sri Rahayu, Sarmini, Suyatno, Martadi, Muji Prastiwi, FX Sri Sudewo, Anwar Holil, Hariyanto, 2012. Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia, Surabaya: Un iversitas Negeri Surabaya.
157