KAMOKULANO ADHATI WUNA Oleh La Ode Sidu Marafad (Dosen Universitas Halu Oleo Kendari)
Indefie ini akala we Raha, akalaghoo kagaa. Gumaano La Ino. La Ino ini mahasisiwaku we Unuhalu. Pada amaitu nokalamo nosikola we Bali, neala jurusano linguisiti. Norato notamati nosulimo te Kandari. Mina naseha-sehaea, La Ino ini nokalamo tora we Bali notudumi sikolano. Gara, mina natolala neangkafi kulia rampano naando talano deala dose we Unhalu. Norato udhihando meangkafino so dose maitu, La Ino neangkafimo dua. Daawuano dua nolulusu. Namedaahae La Ino nakumala naekulia. Nofokuliamo deki te Unhalu. Pasino tora deangkafi nekonando parajabata sehae wula. Nopokantibhaghoo dua, dose mandehaono La Ino ini dokonae Pa Aron. Pa Aron ini satalipoumo. Netalipou nofenaghaghoo La Ino. “Pedamo hae Pa Ino itu, naekulia ka paise?” Amabaku dua, “Paeho namai La Inoa nando neangkafi tesino dose, pasino neangkafi tora para jabata ane alulusua.” Ambano Pa Aron, “Barangka namada nae para jabata, namaimo naekulia.” Ambaku tora, “Umbee”. Pasino nomahomo setaghu kamponanoa, netalipoumo tora Pa Aron, “Peda hae Pa Ino itu, naekulia ka paise? Ane panamai ne Sinene itu, damolimbaemo.” Kakahandapino Pa Aron nagha. Aobhaloemo dua, “Umbe!, Umbe! Atmuduemo anami naewine.” Aforatomo La Ino, “Ino, kalamo mekulia naewine!” ane paise damolimbakomo, ambano Pa Aron.
“Umbe!, Umbe!
Ameremo naewine.” “Ala doi ini so sewamu”, ambaku dua.
Noalaemo doi nagha, mbali sewano nokala we Bali. Norato we Bali nopoghawagoomo Pa Aron. “Indefie orato Ino?” amba Pa Aron. Nobhalomo La Ino, “Indewi ingka.”
Nofeenaemo tora Pa Aron, “Peda hae itu, omekuliamo
atawa peda hae?” Nohundamo La Ino, “Uumbe aekuliamo, Bapa.” “Ane pada anagha barangka poghawaghoomo dose-dosehimu sigaahano.” “Uumbe, madaho amoghawaanda.” Pada aitu, nokalamo nopoghawaghoo dose-dosehino nagha. Gara dose La Ino inia tadowaaghoo tugasi, minamo naekulia. O tugasi nagha nokaradhaae ompulugha efato (raa minggu) notokamo. Notoka kaawu, nofoampemo ne dosehino. Nopada nofoampe tugasino nagha, nokalamo nourusu beasisiwaano we kantorino pasca. Pada aitu, notarimamo beasisiwaano 1
setaghu. Aitumaka, kabhari bhelahi. Pada notarima, neurusumo tora tike nasumuli we Kandari. Nasehae gholeo we Kandari nopansurumo we Raha.
Gara doi anagha mbalimo nogaane.
Anahinomo ampaa itu. Pontuno nogaa maitu, kamokulahino adhati fointagino, karopehano adhati nekoidhaghoo Adhe Dandila. Ampaaitu nembali guru SMPN 5 Loghia. O Loghia neano liwu nomaho bhe Raha, nape lima kilo hadae kakodohono bhe kota Raha. Kamokulano adhati Adhe Dandila ini, akonae nopande, nomakida tula-tulano adhati, tungka-tungkano adhati, ghuluhano adhati, talano adhati, nopadae noninenseleue. Abisara daanagha rampano awuraghoo mataku, afetingkeghoo koro pongkeku welo potarimahano adhati amaitu ini. Kamokulano adhati Adhe Dandila nagha, nofointagi, ne wetano robhine. Insaidi ne wetano moghane, ne weta La Ino. Welo pogha-ghawahano adhati maitu, bhaa-bhaano dohendeghoomo polele, notulue fetapa, kafeena, kataburi, tandughoo, kafogaa/kafokawi. Welo tungka-tungkano adhati maitu, nekonando Adhe Dandila nagha metarimano adhati. Welo potarimano adhati maitu, andoho dua afetingke, eano netarima langkuno adhati sadhia nofekantaleahie deki potae ohae maanano, ohae ghuluhano, noafa dokonaanegho peda anagha. Naitumo apandehaane dua, giu nepotamba-tambangighoo lagi eano nopoghawa-ghawa pande adhati, Noafa mbadoa welo gaaha maitu, omoghanea lagi nobhoasaughoo, “atarimaemo nikano robhine binti La Fula, adhatino tolu fulu lima bhoka.” Ane adhatino rua fulu bhoka nokonae dua ruafulu bhoka. Kapotamba-tambangihando lagi nagha gara kabhalonoa afetingkemo ne kamokulano adhati nekonando Adhe Dandila nagha. Peda aini mbanoa, “Omoghane bhe adhatino, noowa adhatino, orobhne kokawinoo.
Dadi, omoghane nofoampe adhatino, o robhine notarima
adhatino moghane, orobhine kokawino, omoghane notarima kawino robhine.” Suano kaawu anagha, eano dofosoroane tungkano adhati, minaho deki natumarimaea, sadhia nofekantaleahie deki pote adhati nehendeghoondo ini, ohae maanano, ohae ghuluhano, noangka ne hae, nopotala ne hae, o hae sabhabuno, noafa peda aini kabharino, pada aitu nesaloanemo kalera nekamo-kamokuahino adhati ne wetano robhine. Semiemo dua inodi mengkora-ngkorano welo ngkorano adhati maitu, ingka nentaleamo mpuu maanano, ghuluhano, peehano eano tungkano adhati nefoampendo ini. Ane minaho amangkafi gaaha La Ino ini minaho dua amandehaane mpuu. Aitu nentaleamo, notindamo mpuu 2
eano tungkano adhati. Anagha, nembalimo dua apogauane tawa afoforatoane ne sabhangkahiku pataho dua mandehaane. Katumpuno maka laloku maka ne Kamokulano Adhati nekonando Adhe Dandila nagha. oooOOOOooo TERJEMAHAN BEBAS/PENJELASAN: TOKOH ADAT-ISTIADAT MUNA
Pada suatu waktu, saya ke Raha dalam acara perkawinan. Mempelai laki-laki yang menikah pada saat itu bernama La Ino. La Ino ini adalah mahasiswa saya di Unhalu. Setelah selesai, dia berangkat ke Bali untuk melanjutkan pendidikannya di Bali, masuk Jurusan Linguistik. Selesai itu, dia balik ke Kendari. Kira-kira setahun lamanya, dia lanjut lagi di Bali. Namun, dia tidak dapat mengikuti kuliah dengan lancar karena pada waktu itu tes penerimaan dosen di Unhalu. Tiba waktu tes ujian dosen Unhalu, La Ino mengikutinya. Beruntunglah, La Ino lulusdalam ujian itu. Kesibukan berikutnya ialah memberi kuliah dan prajabatan sehingga semakin sempit waktunya untuk megikuti kuliah. Kebetulan, dosen pascasarjana Udayana yang mengenal La Ino lebih dekat ialah Pak Aron (Prof. Dr. Aron Mekombete). Karena La Ino tidak pernah hadir dalam perkuliahan, beliau menelepon saya, seraya bertanya perihal La Ino. “Bagaimana Pak La Ino, apakah dia masih mau kuliah atau bagaimana?” “Mohon maaf, Pak, La Ino belum ada kesempatan ke Bali karena sibuk mengikuti tes dosen dan setelah itu mengikuti prajabatan.” “Kalau begitu, kata Pak Aron, nanti setelah selesai prajabatan baru dia datang kuliah. “Ya, Pak,” sahut saya. Waktu berlalu hampir setahun lamanya, Pak Aron menelepon lagi, “Bagaimana Pak La Ino, apakah mau kuliah atau tidak? Kalau tidak, pada Senin yang akan datang dikeluarkan saja sebagai mahasiswa, ” ancam Pak Aron. “Ya, ya,” besok aka saya suruh segera ke Bali,” sahut saya. Informasi itu saya sampaikan kepada La Ino. “Kamu harus berangkat ke Bali besok untuk mengikuti kuliah, jika tidak kamu dikeluarkan sebagai mahasiswa,” Itu, informasi dari Pak Aron. “Ya, Pak!, ya, Pak, besok saya berangkat!” pengakuan La Ino. “Ini uang untuk sewamu ke Bali,” kata saya.
3
Keesokan harinya, La Ino beraangkat ke Bali. Tiba di Bali, La Ino menemui Pak Aron. “Kapan datang, Pak Ino?” tanya Pak Aron. “Kemarin, Pak.” “Bagaimana, mau kuliah atau bagaimana?” “Ya, Pak saya mau kuliah, Pak.” “Kalau begitu segera temui dosen-dosenmu yang lain.” “Ya, Pak, nanti saya menemui mereka,” sambut La Ino. Setelah itu, La Ino menemui para dosennya. Ternyata, La Ino tidak diberi kuliah, tetapi diberi tugas setara dengan kuliah dua semester. Tugas itu dikerjakan La Ino selama dua minggu. Lalu diserahkannya kepada dosen-dosennya. Selesai tugas diserahkan, La Ino ke kantor pasca mengurus beasiswanya. Alhasil, dia menerima beassiswanya selama 12 bulan. Wah, lumayan banyaknya. Selesai terima beasiswa, La Ino langsung mengurus tiket pulang ke Kendari. Di Kendari hanya beberapa hari, langsung berangkat lagi ke Raha dengan membawa sejumlah uang beasiswa. Uang beasiswa itu bukan digunakan untuk kepentingan kuliah, melainkan digunakan untuk menikah dengan istrinya sekarang. Himgga hari ini memang mereka tetap hidup rukun dan damai, mawadah warahmah. Pada acara pernikahan, para tokoh adat hadir, baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki bertemu di rumah mempelai perempuan. Ketua tokoh adat yang menunggu dan menerima para tokoh adat dari laki-laki bernama La Ode Dandila (Adhe Dhandila). Beliau guru SMPN 5 Loghia sekarang. Loghia itu merupakan nama sebuah kampung di Muna, tidak jauh dari kota Raha, kira-kira 5 kilo meter. Tokoh adat, La Ode Dandila ini, saya anggap sebagai tokoh yang pandai, cerdas, dalam hal-ihwal adat-istiadat. Dikatakan demikian, karena saya menyaksikan sendiri dalam peristiwa penyelenggaraan penyerahan adat di kala itu. Beliau sebagai utusan tokoh dari pihak perempuan, yang menerima penyerahan adat. Dalam proses serah-terima adat itulah banyak materi adat yang menjadi bahan pengetahuan dan pemahaman, serta keterampilan. Dalam pertemuan adat itu, sebelum sampai pada acara inti, diawali dengan
tahap
pertama dari pihak laki-laki, yakni salah seoraang maju ke hadapan majelis pihak wanita untuk menyampaikan informasi bahwa pihak laki-laki sudah tiba di halaman. Langkah kedua, utusan menanyakan kesiapan pihak perempuan menerima pihak laki-laki. Langkah ketiga, mempersembahkan/menyerahkan
adat berupa pinangan, mas kawin, mahar kepada pihak
peermpuan. Tokoh adat yang menerima persembahan adat itu ialah La Ode Dandila. Dalam serah terima adat di kala itulah aku mendapatkan pencerahan dan penjelasan yang runtut dari tokoh adat La Ode Dandila. Materi adat yang dijelaskan itu kadang-kadang selama ini menjadi 4
bahan diskusi antar pemerhati/pemangku adat. Dalam izab kabul, ada ungkapan “saya terima nikahnya.....”. Beberapa pemerhati adat bertanya, mengapa kata-kata/ ungkapannya seperti itu. Tokoh adat La Ode Dandila menjelaskannya sangat mendasar dan runtut, terkait maknanya, tujuannya, manfaatnya, arahnya, dan seterusnya. Beliau menjelaskan bahwa dalam izab kabul, laki-laki berucap “saya menerima nikahnya....”
Mengapa menerima nikahnya?
Karena
sesungguhnya, laki-laki memiliki adat, membawa adat kepada kaum perempuan, dalam hal ini wanita menerima adat yang dipersembahkan/diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sementara perempuan memiliki nikah, dan nikah itu diserahkannya kepada laki-laki, dan lakilaki menerima nikahnya....”. luar biasa, jelas sekali. Di situ baru saya tahu, hal yang sering didiskusikan oleh beberapa pemerhati /pemangku adat, .mengapa dalam izab kabul itu laki-laki menyambung kata-kata nikah oleh ayah/wali dengan ungkapan, “saya terima nikahnya....”. sebutan jumlah bhoka bergantung pada strata sosial pengantin, apakah yang menikah bangsawan dengan bangsawan, bangsawan dengan bukan bangsawan, atau sama-sama bukan bangsawan. Penjelasannya lebih jauh bahwa, laki-laki mempunyai adat, perempuan ada nikahnya. Laki-laki mempersembahkan adatnya, perempuan menerima adatnya, perempuan memiliki nikah, pihak laki-laki menerima nikah perempuan. . Bukan hanya itu yang djelaskan oleh beliau, melainkan setiap tahap, setiap langkah adat disertai dengan penjelasan makna, tujuan, manfaat, sebab-musabab, jumlahnya, mengapa disebut begitu. Setelah itu, meminta ketulusan, keikhlasan, dan kejujuran kepada para tokoh/pemangku adat yang hadir di situ, terutama tokoh-tokoh adat di pihak perempuan untuk menerima tahapan adat yang diserahkan itu. Menurut pengakuan saya sebagai utusan pihak laki-laki, sebelum saya mengikuti acara pernikahan La Ino, penjelasan tahapan-tahapan diproses adat itu bagi saya masih samar-samar. Sekarang sudah terang benderang, semua tahapan adat, mulai dari ikrar laki-laki pada waktu ijab kabul, maupun tahapan-tahapan lain sudah sangat jelas mengenai maknanya, fungsinya, manfaatnya. Sejak itu, saya memiliki pengetahuan, pemahaman mengenai makna, fungsi, manfaat setiap tahapan adat yang dipersembahkan kepada pihak perempuan. Sekarang hal-hal itu sudah dapat saya sampaikan kepada rekan-rekan sesama atau saya sampaikan kepada pemerhati adat terutama generasi muda. oooOOOooo 5