KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN KARANGANYAR : MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI
LUSI DWI WINDARSARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN KARANGANYAR : MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI
LUSI DWI WINDARSARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
LAMPIRAN
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:
KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI KABUPATEN KARANGANYAR : MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI
adalah karya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya
Bogor, 2007
Lusi Dwi Windarsari NRP. A545010261
ABSTRAK LUSI DWI WINDARSARI. Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (ISANG GONARSYAH sebagai Ketua dan ASI H. NAPITUPULU sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Usahaternak ayam ras pedaging domestik telah menjadi suatu industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana nilai strategisnya tercipta dari besarnya tenaga kerja yang mampu diserapnya. Di Kabupaten Karanganyar, salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Jawa Tengah, terdapat dua pola pengusahaan usahaternak ayam ras pedaging, yaitu pola kemitraan dan pola mandiri, yang merupakan “jebolan” dari pola kemitraan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan, dan (2) membandingkan tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola mandiri. Ditemukan bahwa kelembagaan kemitraan dilaksanakan dengan pola koordinasi vertikal oleh perusahaan inti, peternak hanya bersifat pasif (pelaksana kontrak), dan kontrak perjanjian dengan perusahaan inti masih belum jelas dan kurang terperinci. Usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahaternak pola kemitraan, namun modal awal dan resiko usaha yang relatif besar menyebabkan peternak di Kabupaten Karanganyar masih bertahan untuk berusahaternak dengan pola kemitraan. Kata Kunci:
Ayam Ras Pedaging, Pola Kemitraan dan Pola Mandiri, R/C Ratio, Efisiensi Pemasaran.
Judul Penelitian
: Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Nama Mahasiswa
: Lusi Dwi Windarsari
NRP
: A545010261
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah Ketua
Ir. Asi H. Napitupulu, MSc. Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Tanggal Ujian: 26 Juni 2007
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karanganyar Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus 1977, dari Ayahanda H. Suratno A.R. alm dan Ibunda Hj Saryanti, SE, MM. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Karanganyar pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan Program Magister, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur yang mendalam penulis panjatkan pada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir. Asi H. Napitupulu, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih terbanyak, penulis sampaikan kepada suamiku Mas Yanuar, dan anak-anakku (Via dan Aliska) atas segala kesabaran, doa, dukungan dan kasih sayangnya yang tidak terbayarkan. Terima kasih juga untuk Bapak (alm), Ibu, Mbah Sumi, Mba Hastuti, Haris dan Mas Wedi atas bantuan, doa dan dukungannya selama ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rya dan Mas Basith (you΄re my real best friend) atas waktu, tenaga dan pikiran sehingga penulis merasa terbantu dalam menyelesaikan studi. Terakhir, penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman EPN 2001 (Mba Yuli, Mba Erna, Besse, Yati, Dafina, Indra
Mas Agus, Wida dkk). Terima kasih juga untuk Mas Didin, Bu Atien, Mas Budi dan Itoh atas kesediaannya meluangkan waktu untuk mengajarkan kepada penulis dalam pengolahan data. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, namun penulis berharap tesis ini mampu memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI
I.
II.
III.
IV.
DAFTAR TABEL ........................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................
v
PENDAHULUAN ...............................................................
1
1.1. Latar Belakang ......................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..............................................................
4
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................
7
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ........................
7
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
9
2.1. Kemitraan ..............................................................................
9
2.2. Pemasaran .............................................................................
11
2.3. Pendapatan Usahaternak .......................................................
13
METODOLOGI PENELITIAN .................................................
15
3.1. Kerangka Pemikiran ..............................................................
15
3.2. Konsep Kemitraan .................................................................
16
3.3. Pendapatan Usahaternak .......................................................
21
3.4. Pemasaran Usahaternak ........................................................
25
3.5. Hipotesis................................................................................
27
3.6. Metode Analisis Data ............................................................
27
3.6.1. Analisis Deskriptif...................................... ...............
29
3.6.2. Analisis Kuantitatif ....................................................
29
3.7. Metode Penelitian .................................................................
35
3.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................
35
3.7.2. Jenis dan Sumber Data ...............................................
35
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ....................
37
4.1. Keadaan Geografis Karanganyar ..........................................
37
4.2. Keadaan Demografi dan Ketenagakerjaan ............................
38
4.3. Kondisi Perekonomian Wilayah ...........................................
41
i
V.
VI.
VII.
4.4. Kondisi Sub Sektor Peternakan .............................................
43
4.5. Karakteristik Responden .......................................................
44
KELEMBAGAN KEMITRAAN USAHATERNAK AYAM RAS PEDAGING .........................................................................
47
5.1. Profil Perusahaan Mitra ........................................................
47
5.2. Struktur Organisasi Pelaksana Kemitraan.............................
48
5.3. Aturan Main Kerjasama Kemitraan ......................................
49
5.4. Peraturan Kemitraan dan Peran Pemerintah .........................
51
5.5. Pelaksanaan Kerjasama dan Tanggapan Peserta Kemitraan .
53
5.6. Manfaat Kemitraan bagi Peternak .........................................
61
ANALISIS EKONOMI USAHATERNAK ...............................
64
6.1. Analisis Pendapatan Usahaternak .........................................
64
6.2. Analisis Pemasaran Usahaternak ..........................................
70
6.2.1. Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging....................
70
6.2.2. Analisis Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging .......
76
6.2.3. Analisis Keterpaduan Pasar........................................
87
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
91
7.1. Kesimpulan ...........................................................................
91
7.2. Saran......................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
93
LAMPIRAN ..................................................................................
96
ii
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
15. 16.
Halaman Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah,Tahun 20002004 ...................................................................................................
2
Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Kabupaten Karanganyar, Tahun 2001-2005 .....................
3
Perkembangan Populasi Ternak di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2003-2004 .........................................................................................
4
Persebaran Penggunaan Tanah di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 ...................................................................................................
38
Persebaran Jumlah Keluarga dan Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 .................
39
Persebaran Jumlah Penduduk menurut Usia Anak, Usia Produktif dan Lanjut Usia di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 ................
40
Persebaran Jumlah Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut Matapencaharian di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2002-2004.....
40
Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004-2005 ......................
41
Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Tahun 1998-2004 ..............................................................................
43
Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Kelompok Umur ...............................................................................
45
Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Tingkat Pendidikan .........................................................................................
45
Persepsi Responden Peternak Mitra terhadap Pelaksanaan Kemitraan ..........................................................................................
56
Perbandingan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahaternak Ayam Ras Pedaging antara Pola Mandiri dan Pola Kemitraan, Tahun 2003 .......................................................................................
65
Marjin Pemasaran dan Proporsi Harga yang Diterima Peternak Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Usahaternak Pola Mandiri dan Pola Kemitraan .....................................................
78
Distribusi Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri dan Pola Kemitraan dari Berbagai Saluran Pemasaran .....................
86
Hasil Estimasi Parameter Model Keterpaduan Ayam Ras Pedaging
87
iii
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Perbedaan Output dan Harga pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna ........................................................................
22
Perbedaan Profit Maximizing pada Pasar Monopsoni dan Pasar Persaingan Sempurna ........................................................................
25
3.
Kerangka Pemikiran ..........................................................................
28
4.
Struktur Organisasi Kelembagaan Kemitraan ...................................
50
5.
Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar ......................................................................................
73
2.
iv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3.
Halaman Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Pertama ..............................................................................
97
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Kedua .................................................................................
98
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Ketiga .................................................................................
99
4.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Pertama ........................................................................... 100
5.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Kedua ................................................................................. 101
6.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Ketiga ................................................................................. 102
7.
Hasil Olahan Minitab ........................................................................... 103
v
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian.
Pada tahun 1997, sumbangan Produk
Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap sektor pertanian sebesar 11.57 persen, dan meningkat menjadi 11.80 persen pada tahun 2005. Rataan laju pertumbuhan selama periode 1998-2005 adalah sebesar 19.13 persen lebih besar dari laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan (18.94 persen) (BPS, 2006). Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat pendapatan yang disertai dengan adanya perubahan pola konsumsi dan selera masyarakat, tingkat konsumsi daging per kapita cenderung meningkat. Perkembangan konsumsi daging di Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani, lebih banyak berasal dari Industri Unggas Nasional (IUN) (Purba, 1999). Konsumsi daging ayam ras pedaging pada tahun 1998 mencapai 1 239 ton, dan meningkat menjadi 1 624 ton pada tahun 2002. Meningkatnya permintaan daging ayam ras ini menyebabkan meningkatnya populasi ayam ras pedaging secara nasional yaitu dari 285 000 ribu ekor pada tahun 1998, menjadi 883 400 ribu ekor pada tahun 2005, atau mengalami peningkatan dengan laju sebesar 8.85 persen per tahun (Ditjen Peternakan, 2005). Usaha perunggasan (ayam ras) domestik telah menjadi suatu industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, perkembangan usaha ini memberikan nilai strategis khususnya dalam penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peluang ekspor. Selain outputnya,
2
nilai strategis industri ini juga tercipta dari penyerapan tenaga kerja, dimana sekitar dua juta tenaga kerja dapat diserap oleh industri ini (Suryana, et al., 2005). Daerah sentra utama produksi ayam ras pedaging di Indonesia adalah Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 39.61 persen, Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 21.13 persen dan Jawa Tengah dengan kontribusi sebesar 8.84 persen terhadap total populasi ayam ras pedaging nasional.
Provinsi Jawa Tengah
sebagai salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Indonesia mengalami perkembangan yang relatif baik.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya laju
peningkatan populasi ayam ras pedaging yang relatif besar.
Selama empat
periode waktu, yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, rata-rata pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah mencapai 6.60 persen dimana pada tahun 2004 populasi ayam ras pedaging mencapai 67 852 915 ekor (Ditjen Peternakan, 2005). Tabel 1.
Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2000-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004
Populasi (Ekor) 71 554 382 53 879 257 97 485 267 66 646 915 67 852 915
Pertumbuhan (%) -24.70 80.93 -31.63 1.81
Sumber : Ditjen Peternakan, 2005
Perkembangan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa laju pertumbuhan populasi ayam ras pedaging tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai 80.93 persen namun pada tahun 2003, populasi ayam ras pedaging mengalami kontraksi yang cukup besar, mencapai 31.63 persen.
3
Kontraksi ini disebabkan oleh mulai merebaknya isu flu burung (avian influenza) yang berakibat pada menurunnya permintaan akan daging ayam. Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki potensi peternakan relatif besar adalah Kabupaten Karanganyar. Kontribusi sub sektor peternakan terhadap perekonomian Kabupaten Karanganyar selama periode tahun 2001-2005 berada pada kisaran 4.79-8.47 persen (Tabel 2).
Sub sektor peternakan
menduduki peringkat kedua setelah sub sektor tanaman bahan makanan sebagai penyumbang PDRB sektor pertanian Kabupaten Karanganyar. Relatif besarnya kontribusi sub sektor peternakan pada PDRB Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa sub sektor ini potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sektor unggulan pada perekonomian Kabupaten Karanganyar. Tabel 2.
Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Karanganyar, Tahun 2001-2005 (%) Sub Sektor 2001 2002 2003 2004 2005
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Rakyat Tanaman Perkebunan Besar Peternakan Kehutanan Perikanan Pertanian
13.23 1.52 0.22 6.83 0.21 0.13 22.14
12.42 1.75 0.22 8.47 0.19 0.13 23.18
11.86 1.89 0.21 8.45 0.18 0.12 22.7
13.69 13.09 1.24 1.36 0.15 0.23 5.40 4.79 0.12 0.10 0.12 0.10 20.17 19.68
Sumber: BPS Beberapa Tahun (diolah)
Kabupaten Karanganyar menghasilkan tiga belas jenis ternak yang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 3. Jika dilihat dari populasi ternak, ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat, setelah ayam ras petelur. Pada tahun 2004, populasi ayam ras pedaging mencapai 1 070 000 ekor sedangkan populasi ayam ras petelur mencapai 1 237 000 ekor. Sedangkan dari perkembangan populasi ternak dibandingkan
4
tahun 2003, terlihat bahwa populasi ayam ras pedaging merupakan salah satu ternak unggas yang masih mengalami pertumbuhan walaupun tengah merebak serangan virus flu burung (avian influenza). Pertumbuhan populasinya menduduki peringkat ketiga (0.80 persen) setelah sapi potong (2.20 persen) dan kambing (1.90). Hal ini menunjukkan bahwa peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar masih memiliki potensi untuk dikembangkan. Tabel 3. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Perkembangan Populasi Ternak Di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2003-2004 Jenis Ternak
2003 (Ekor)
2004 (Ekor)
364 46 758 301 1 397 21 599 114 952 54 132 841 182 1 237 000 1 061 500 69 789 10 901 229 850
360 47 794 299 1 388 22 024 115 366 54 233 841 790 1 237 000 1 070 000 69 789 10 901 229 850
Kuda Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba Babi Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik Kelinci Puyuh
Pertumbuhan (%) -1.10 2.20 -0.60 -0.60 1.90 0.30 0.20 0.06 0.00 0.80 0.00 0.00 0.00
Sumber: Dinas Peternakan Karanganyar, 2005
1.2. Perumusan Masalah Di Kabupaten Karanganyar sebagian besar usahaternak ayam ras pedaging merupakan usahaternak pola kemitraan. Usahaternak pola mandiri yang hanya sebagian kecil saja, kebanyakan dilaksanakan oleh ”jebolan-jebolan” usahaternak pola kemitraan. Pola kemitraan dilakukan peternak dengan cara menjalin kerjasama atau bermitra dengan perusahaan penyedia sarana produksi, dengan ketentuan peternak diharuskan menjual semua hasil produksinya kepada perusahaan inti sesuai dengan harga kesepakatan yang tertera dalam kontrak yang
5
telah disepakati bersama oleh peternak dan perusahaan yang bersangkutan. Dalam kerjasama ini, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak berperan sebagai plasma. Sebagai inti, perusahaan menyediakan sarana produksi ternak seperti makanan, Day Old Chick (DOC), obat-obatan dan alat-alat perkandangan seperti tempat pakan, alat pemanas, dan alat lainnya. Pada awal kerjasama, inti akan menyediakan alat kandang, dan peternak wajib untuk mengembalikan biaya dengan cara mencicil setiap kali panen. Tetapi bila peternak mampu menyediakan alat kandang sendiri, maka sebagai plasma ia hanya membeli sarana produksi ternak dari inti seperti DOC, pakan dan vaksin serta pembayarannya dilakukan setelah hasil panen terjual ke inti. Karena harga produksi ternak sudah disepakati sebelumnya, maka dapat terjadi perbedaan antara harga produk ternak yang diterima peternak kemitraan dengan harga produk ternak yang berlaku di pasar. Hal ini dapat menguntungkan peternak kemitraan bila harga di pasar ternyata lebih rendah daripada harga kesepakatan
dan dapat merugikan bila harga di pasar ternyata lebih tinggi.
Dalam prakteknya, pengamatan menunjukkan bahwa harga ayam ras pedaging di pasar seringkali lebih tinggi daripada harga kontrak. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kontrak kesepakatan inilah yang kemudian mendorong sebagian peternak kemitraan untuk keluar dari sistem kemitraan dan memilih untuk berusaha sendiri. Sedangkan usahaternak pola mandiri dilakukan peternak dengan cara menyediakan semua sarana produksi secara swadaya dan peternak memiliki kebebasan untuk menjual hasil produknya.
Walaupun dapat dengan bebas
menentukan kepada siapa mereka menjual produknya, tetapi karena sebagian
6
besar peternak mempunyai lokasi usaha yang terpencar-pencar dan kurangnya informasi pasar menyebabkan peternak bergantung kepada pedagang perantara yang biasanya langsung mendatangi tempat usaha peternak. Hal ini cenderung menyebabkan harga produk lebih ditentukan oleh pedagang perantara, mengingat posisi tawar peternak umumnya rendah. Beberapa kondisi produk yang dapat memperlemah posisi tawar peternak adalah: (1) karena umumnya berat hidup ayam pedaging yang disukai konsumen berkisar antara 1.19 sampai 1.9 kilogram per ekor, dan (2)
sifat ayam ras
pedaging yang tidak tahan lama jika telah keluar dari kandang (mudah mengalami kematian).
Kondisi inilah yang menyebabkan kehadiran pedagang perantara
masih sangat diperlukan oleh peternak, meski terkadang terasa merugikan bagi sebagian peternak. Adanya
perbedaan
pola
dalam
pengusahaan
ayam ras
pedaging,
menyebabkan perbedaan penerimaan dan biaya yang digunakan untuk memproduksi ayam ras pedaging. Selain itu, perbedaan pola pengusahaan juga akan menyebabkan perbedaan pola pemasaran hasil. Melihat kondisi di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan? 2. Mana yang lebih menguntungkan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri?
7
1.3. Tujuan dan Kegunaan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan. 2. Membandingkan tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri. Sedangkan kegunaan yang diharapkan oleh peneliti adalah dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang pemasaran ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar sehingga dapat digunakan oleh peneliti lain dan sebagai masukan bagi pengambil keputusan dalam pengembangan ekonomi, khususnya pengembangan usaha peternakan di wilayahnya. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian dibatasi menjadi tiga wilayah kecamatan di Kabupaten Karanganyar yaitu Tasikmadu, Kebakkramat dan Mojogedang. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa dari seluruh kecamatan yang ada di Karanganyar, di tiga kecamatan tersebut dapat dijumpai peternak dengan pola pengusahaan mandiri dan kemitraan sehingga lebih memudahkan untuk membuat perbandingan atas kedua pola tersebut. Untuk menganalisis saluran pemasaran ayam ras pedaging, lembaga pemasaran yang dipilih sebagai responden adalah lembaga pemasaran yang benarbenar terlibat secara langsung dalam penyaluran produk dari produsen ke konsumen dengan wilayah pemasaran dibatasi hanya sampai Wilayah Karesidenan Surakarta yaitu Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo dan Solo,
8
sehingga pemasaran di luar wilayah Surakarta tidak menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Sedangkan untuk analisis pendapatan peternak, tidak dilakukan analisis berdasarkan skala usaha.
Hal ini dilakukan karena pengusahaan ayam ras
pedaging di Kabupaten Karanganyar memiliki skala usaha yang relatif sama yaitu di atas 5 000 ribu ekor DOC dan di bawah 20 000 ribu ekor DOC. Sedangkan dalam pengusahaan ayam ras pedaging, peternak di Kabupaten Karanganyar mengusahakan beberapa strain Day Old Chick (DOC). Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan berdasarkan strain DOC tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan disajikan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan usahaternak ayam ras pedaging, biaya produksi dan penerimaan, pemasaran dan
kemitraan.
Aspek yang dibahas dalam bab ini
meliputi metode analisis, hasil dan kesimpulan yang relevan dengan penelitian ini. 2.1. Kemitraan Hasil analisis logit untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani melakukan kemitraan dengan perusahaan oleh Puspitawati (2004) menunjukkan bahwa peubah bebas harga benih, jumlah benih, total produksi, harga output dan curahan tenaga kerja luar keluarga mempengaruhi petani melakukan kemitraan. Sedangkan manfaat kemitraan yang diperoleh PT Pertani selaku perusahaan mitra adalah (1) adanya jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produk, (2) efisiensi, (3) produktivitas, (4) pengalihan resiko, (5) manfaat sosial, (6) katahanan ekonomi nasional dan (7) promosi dua arah. Dari hasil melakukan penelitiannya mengenai analisis ekonomi ayam ras pasca deregulasi, Yusdja et al. (1997) menyimpulkan bahwa: (1) usaha ayam ras rakyat sulit berkembang karena peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan peternak kemitraan baik dalam memperoleh harga input yang relatif murah maupun dalam menjual output, (2) kehadiran usahaternak kemitraan belum dikaitkan dengan perkembangan usaha rakyat, usaha peternakan rakyat semakin tersingkir dari wilayah-wilayah konsumsi dan tetap tergantung pada pola kemitraan yang tidak optimum, (3) pembatasan usaha sebesar 15 000 ekor per siklus secara ekonomi dapat dibenarkan karena terbukti skala usaha tidak mempengaruhi keuntungan per unit output dan (4) walaupun menghadapi situasi
10
yang sulit seperti turunnya harga ayam ras di pasar, peternak rakyat masih meraih keuntungan. Kajian kelembagaan kemitraan perunggasan nasional melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan oleh Rusastra, Yusdja dan Sumaryanto (1990) dengan menggunakan analisis deskriptif, menghasilkan temuan bahwa kebijakan program PIR ternyata tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh faktor distorsi makro.
Dalam pelaksanaannya program PIR
menghadapi tiga masalah utama yang perlu penanganan secara tuntas, yaitu fluktuasi harga input, harga output dan kemandirian peternak plasma. Harga input khususnya harga pakan cenderung meningkat karena adanya ketergantungan bahan baku impor sementara pengadaan pakan domestik terkendala oleh rendahnya mutu pakan. Masalah harga output terkait dengan struktur industri yang dikuasai skala besar, lemahnya kemampuan antisipasi pasar, daya serap pasar domestik yang lemah dan belum berhasilnya diversifikasi pasar ekspor. Studi terhadap pelaksanaan kemitraan pada usahaternak ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo yang dilakukan oleh Sarwanto (2004), menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh peternak mitra adalah kemudahan penyediaan sapronak dan adanya pembinaan dari perusahaan mitra. Sedangkan peran pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kemitraan belum dilaksanakan dengan baik. Hasil
penelitian
tentang
analisis
ekonomi
kelembagaan
kemitraan
usahaternak domba di Provinsi Sumatera Utara yang dilakukan oleh Elieser (2000), menyimpulkan bahwa ujicoba PIR-nak domba mengalami kegagalan
11
karena faktor kelembagaan, yaitu pembinaan dan koordinasi antara inti dan plasma yang tidak berjalan dengan baik. Aspek institusi dalam kemitraan karet rakyat di Kabupaten Musi Banyuasin berlangsung kondusif dan saling menguntungkan. kepentingan masing-masing pihak
Dari aspek representasi,
terwakili secara seimbang dan batas
kewenangan termasuk penanggungan resiko antara keduanya diatur secara bijak dan tidak saling memberatkan (Alamsyah, 1997). 2.2. Pemasaran Kajian terhadap efisiensi pemasaran ayam ras pedaging di Wilayah Jabotabek yang dilakukan oleh Winandi, Ratnawati dan Siregar (1994), menyimpulkan bahwa struktur pasar ayam ras pedaging tidak bersifat persaingan sempurna, dimana untuk pasar input yaitu DOC (Day Old Chick) dan pakan strukturnya adalah oligopoli diferensiasi yaitu terdiri dari beberapa penjual saja (perusahaan-perusahaan pakan yang merangkap penyedia DOC), sedangkan pasar output bersifat oligopsoni murni yaitu hanya terdiri dari beberapa pembeli saja. Hal ini berimplikasi bahwa pembelian ayam ras pedaging dan input hanya terkonsentrasi pada beberapa pembeli dan penjual saja. Dengan demikian tingkat harga yang terbentuk bukanlah merupakan produk dari mekanisme pasar (penawaran dan permintaan). Dalam kaitannya dengan pembahasan marjin pemasaran, Winandi, Ratnawati dan Siregar (1994), mengemukakan bahwa rataan sebaran marjin pemasaran yang diterima oleh peternak adalah 63.11 persen, untuk biaya pemasaran 8.4 persen dan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran 28.58 persen.
Saluran pemasaran peternak mandiri cenderung lebih efisien
12
dibandingkan dengan peternak plasma yang melakukan kemitraan dengan perusahaan penyedia sarana berproduksi ternak. Sedangkan studi Iskandar et al. (1993), dengan menggunakan analisis farmer′s share menunjukkan bahwa sistem pemasaran ayam ras pedaging usahaternak kecil di Bogor, secara umum sudah dapat dikatakan cukup efisien karena farmer′s share yang diterima cukup tinggi yaitu 76.17 persen.
Hasil
analisis finansial menunjukkan bahwa biaya pemasaran yang harus ditanggung oleh masing-masing lembaga pemasaran berbeda, dan biaya terbesar ditanggung oleh pengusaha pemotong-pengecer. Agustian dan Rachman (1994), melakukan kajian terhadap penyaluran sapronak dan pemasaran hasil peternakan melalui kerjasama PIR perunggasan di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis terhadap pemasaran ayam ras pedaging menunjukkan bahwa sebagian besar pemasaran ayam ras pedaging masih dalam bentuk ternak hidup. Kalupun berupa daging (karkas) pemasarannya langsung ke tangan konsumen tanpa melalui pengecer. Perusahaan inti sebagai tujuan utama pemasaran produk dan perolehan sapronak masih belum mampu menciptakan suatu sistem kerjasama pemasaran diantara sesama perusahaan inti dalam menghadapi gejala fluktuasi harga. Alamsyah
(1997),
dengan
menggunakan
analisis
farmer′s
share,
menunjukkan bahwa sistem pemasaran dalam kemitraan karet alam di Kabupaten Musi Banyuasin berlangsung efisien dan mutualistik.
Hal ini dicirikan oleh
tingginya farmer′s share petani bermitra jika dibandingkan dengan petani tidak bermitra.
13
2.3. Pendapatan Usahaternak Hasil studi Saptana (1987), dengan menggunakan alat analisis Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) menunjukkan bahwa usahaternak ayam ras baik pedaging maupun petelur di Jawa dan Sumatera adalah efisien secara ekonomik, artinya upaya peningkatan produksi telur dan ayam ras dalam negeri sangat menguntungkan dan karenanya perlu didukung pemerintah. Berdasarkan pendugaan fungsi keuntungan usahaternak ayam broiler di Bali, Kayana (1995) memperoleh kesimpulan bahwa peternak plasma telah memaksimasi keuntungan jangka pendek. Sedangkan usahaternak peternak non plasma sudah efisien secara teknis namun efisiensi harganya (efisiensi alokatif) belum tercapai. Hasil kajian Rachman dan Agustian (1994), terhadap usaternak ayam ras pedaging dengan pola PIR di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan menghitung titik impas volume produksi dan tingkat harga layak usaha menunjukkan bahwa kerjasama peternak plasma dengan perusahaan inti (poultry shop) di Jawa Barat memberikan keuntungan atas biaya total sekitar 8.4 persen. Sedangkan di Jawa Timur, tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging nampak beragam antar wilayah kabupaten, dimana usahaternak di Kabupaten Gresik terkesan merugi sementara di Kabupaten Kediri cenderung menguntungkan. Variasi performa tersebut disebabkan oleh ratio harga pakan dan produksi yang relatif kurang berimbang. Sedangkan Puspitawati (2004), menyatakan bahwa dengan analisis manfaat hubungan kemitraan, petani penangkar benih di Kabupaten Karawang yang melakukan kemitraan dengan PT Pertani lebih efisien dalam pengelolaan
14
usahataninya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C ratio petani mitra yang lebih tinggi dibanding petani non mitra. Sarwanto (2004), melakukan studi tentang pengaruh kemitraan terhadap produksi dan pendapatan peternak ayam ras pedaging (peternakan rakyat) di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo dengan menggunakan fungsi produksi Transedental dan Cobb Douglas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kemitraan berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi ayam ras pedaging namun usaha kemitraan belum mampu meningkatkan pendapatan peternaknya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat manfaat kemitraan usahaternak ayam ras pedaging secara lebih lengkap dan menyeluruh dengan membandingkan efisiensi usahaternak dan efisiensi pemasaran antara peternak mitra dengan peternak mandiri.
Penelitian tentang kemitraan pada usahaternak ayam ras
pedaging, khususnya yang dilakukan oleh Sarwanto (2004) di Kabupaten Karanganyar masih belum membahas aspek pemasaran, dimana pemasaran juga merupakan aspek yang mempengaruhi pendapatan peternak. Pada penelitian ini juga dibahas lebih rinci mengapa terjadi perbedaan pendapatan antara peternak mitra dan mandiri (non mitra) dengan menguraikan komponen biaya dan penerimaan dari masing-masing usahaternak.
Aspek kelembagaan terhadap
kerjasama kemitraan dilakukan dengan memperbandingkan isi perjanjian kontrak dan pelaksanaan kontrak di lapangan serta melihat persepsi dan partisipasi peternak mitra.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Di Kabupaten Karanganyar, usahaternak ayam ras pedaging dianggap memiliki keuntungan yang relatif besar sehingga banyak masyarakat yang tertarik untuk mengusahakannya. Namun untuk memulai usaha ini, sebagian besar masyarakat terkendala oleh besarnya modal awal yang harus disediakan oleh tiap peternak.
Sebagai gambaran, modal awal untuk pembuatan kandang dan
pembelian alat-alat kandang, pada skala usaha 5 000 ekor ayam dalam satu siklus produksi (± 35 hari) berkisar antara Rp 70 juta – Rp 95 juta (Cahyono, 2006). Besarnya modal awal untuk usahaternak ayam ras pedaging inilah yang mendorong para peternak untuk melakukan usaha kemitraan.
Peternak yang
melakukan usahaternak melalui pola kemitraan dengan perusahaan inti ditujukan untuk memperoleh tambahan modal usahaternak. Keuntungan-keuntungan yang didapatkan oleh peternak peserta kemitraan antara lain adalah tersedianya modal usahaternak (khususnya modal awal) dan serta adanya pembinaan dalam usahaternak ayam ras pedaging oleh perusahaan inti. Melalui kemitraan diharapkan perusahaan inti dan peternak dapat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan.
Perusahaan mitra yang memiliki
beberapa keunggulan diantaranya teknologi budidaya ayam ras pedaging dapat melakukan transfer teknologi dan inovasi kepada peternak peserta kemitraan (Alamsyah, 1997). Dengan keunggulan-keunggulan yang diperoleh peternak dalam melakukan usaha kemitraan, maka akan meningkatkan efisiensi usahaternak yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan.
16
3.2. Konsep Kemitraan Mitra, pada pokoknya sama dengan “teman” atau “kawan” yang dalam padanan bahasa Inggrisnya adalah “friendship” atau “partnership”. American Heritage Dictionary (1992) dalam Syahyuti (2006), mengartikan bahwa kemitraan merupakan suatu hubungan antar individu-individu atau antar kelompokkelompok yang dicirikan oleh adanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual cooperation) dan tanggung jawab (responsibility) untuk mencapai suatu tujuan tertentu (achievement of specified goal). Istilah ini muncul pertama kali dalam hukum bisnis yang berkaitan dengan suatu kontrak berbagi yang adil dalam hal keuntungan maupun kerugian dalam kerjasama bisnis (joint business). Esensi kemitraan dalam ekonomi terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga kerja (labor) maupun benda (property), atau keduanya untuk tujuan-tujuan ekonomi. Pengendalian kegiatan juga dilakukan bersama, dimana pembagian keuntungan dan kerugian didistribusikan diantara pihak yang bermitra. Artinya, sumberdaya dan kompetensi masing-masing digabungkan untuk mencapai sinergi, menuju peningkatan volume maupun kualitas produk atau jasa yang dihasilkan (Syahyuti, 2006). Ditinjau dari sudut paradigma ekonomi biaya transaksi, kemitraan merupakan salah satu alternatif modus transaksi yang merupakan kombinasi tak lengkap dari sistem pasar (spot) dan sistem organisasi integratif. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistem transaksi kemitraan terpisah dalam hal kepemilikan namun terpadu dalam hal keputusan manajerial.
Transaksi dalam sistem
kemitraan diatur dalam suatu kontrak kesepakatan yang menyatukan antara inti dan plasma sehingga terbentuk suatu kuasi organisasi (Simatupang, 1997).
17
Pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistem perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama petani golongan lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktifitas dan usahanya atas dasar kepentingan bersama (Elieser, 2000; Syahyuti, 2006). Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan (maximum social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional jangka panjang (Anwar, 1992 dalam Elieser, 2000). Kemitraan merupakan kerjasama antara perusahaan mitra dengan peternak tanpa menciptakan bentuk hubungan majikan dengan buruh. Selain tercipta saling ketergantungan (saling memerlukan), kemitraan juga harus memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan. Prinsip ”saling memperkuat” terealisasi jika peserta mitra dan perusahaan mitra sama-sama memperhatikan moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya. Sedangkan prinsip ” saling menguntungkan” tercapai ketika kedua pihak memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha (Syahyuti, 2006). Dalam kegiatan produksi di bidang pertanian, seringkali terdengar adanya kesenjangan antara produktivitas yang seharusnya bisa dicapai dengan produktivitas riil yang dilakukan oleh petani. Dalam mempelajari produktivitas tersebut, Soekartawi (2003), menyatakan peranan hubungan input (faktor produksi atau korbanan produksi) dan output (hasil produksi) mendapat perhatian utama. Peranan input bukan hanya dilihat dari segi macamnya atau tersedianya dalam
18
waktu yang tepat, tetapi dapat juga ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut. Efisiensi ekonomi dalam berproduksi dapat dicapai melalui kemitraan karena masing-masing pihak yang bermitra menawarkan sisi keunggulan masingmasing.
Lebih jauh Sumardjo, Jaka dan Wahyu (2004), menyatakan bahwa
kemitraan bisnis memang bermanfaat dalam meningkatkan akses usaha kecil ke pasar, modal dan teknologi serta mencegah terjadinya diseconomies of scale sehingga mutu juga menjadi terjaga. Hal seperti ini dapat terjadi karena adanya komitmen kedua belah pihak untuk bermitra.
Pengusaha menengah sampai
dengan skala besar memiliki komitmen atau tanggung jawab moral dalam membimbing
dan
mengembangkan
pengusaha
kecil
supaya
dapat
mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk meraih keuntungan bersama. Mereka yang bermitra perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk saling mengisi, saling melengkapi, saling memperkuat serta tidak saling mengeksploitasi. Dalam kondisi ini akan tercipta rasa saling percaya antar kedua belah pihak sehingga usahanya akan semakin berkembang (Novian, 2006). Pada dasarnya pembangunan peternakan dengan model kemitraan memiliki tujuan yang diantaranya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak, meningkatkan produksi serta mempercepat alih teknologi budidaya manajemen peternakan dari inti ke plasma. Menurut Said (2001) dalam Novian (2006) ada beberapa sisi positif yang dapat diperoleh dari kemitraan yaitu: 1. Kemitraan dibentuk atas dasar saling membutuhkan. Industri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkesinambungan dari petani dan dilain pihak
19
petani membutuhkan jaminan pemasaran hasil produksinya. Dengan demikian, kedua belah pihak memiliki ikatan yang kuat atas dasar saling membutuhkan. 2. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, yakni perusahaan memiliki komitmen untuk membeli hasil produksi petani sesuai dengan harga pasar dan dibayar dengan tunai. Dilain pihak petani memiliki komitmen untuk memasok hasil dan mengatur siklus produksinya, sehingga pasokan ke perusahaan dapat berkesinambungan. 3. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip tumbuh dan berkembang bersama, sehingga industri menyediakan kredit kepada petani tanpa bunga dan tanpa agunan dengan masa tenggang selama satu tahun. 4. Kemitraan yang dibentuk pada prinsip saling percaya, yakni ketika petani memasok
produksinya, langsung dibayar tunai oleh perusahaan tanpa
memotong sisa hutangnya. Dilain pihak, para petani membayar hutangnya pada saat jatuh tempo dan dapat meminjam kembali. Dasar pemikiran kemitraan adalah setiap pelaku usaha mempunyai potensi, kemampuan dan keistimewaan masing-masing dengan perbedaan ukuran, jenis, sifat, dan tempat usahanya. Dari pelaku usaha yang mempunyai kelebihan dan kekurangan diharapkan dapat saling menutupi kekurangan masing-masing dengan kondisi yang demikian akan timbul satu kebutuhan untuk bekerjasama dan menjalin hubungan kerjasama model kemitraan. Simatupang (1997), menyatakan bahwa eksistensi suatu kemitraan ditentukan oleh biaya transaksi relatifnya. Artinya selama biaya transaksi sistem kemitraan lebih rendah dibandingkan biaya transaksi sistem pasar (spot) maupun sistem organisasi integratif, maka sistem transaksi kemitraan akan ada (exist).
20
Sedangkan biaya transaksi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tiga dimensi transaksi,
yaitu:
(1)
kekhususan
dari
asset
(asset
specificity),
(2)
ketidakpastian/kerumitan transaksi, dan (3) frekuensi transaksi (Williamson, 1985, 1986; Douma and Schreuder, 1991 dalam Simatupang, 1997). Suatu asset dikatakan bersifat spesifik transaksi bila penggunaannya tidak dapat diubah tanpa pengurangan nyata terhadap nilainya sehingga jika suatu transaksi didukung oleh asset spesifik yang relatif mahal dan penuh resiko maka kedua belah pihak pelaku transaksi harus membuat kesepakatan jangka panjang serta masing-masing pihak harus saling mematuhi kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, Simatupang (1997), menyimpulkan bahwa faktor kunci bagi kelayakan kemitraan adalah kepatuhan akan janji (credible commitment) atau kepercayaan (trust) dari para pelakunya. Pengembangan kemitraan industri perunggasan masa depan dilakukan dengan mentransformasikan ekonomi pedesaan yang tradisional ke arah ekonomi pasar modern, sehingga menjadi pembentuk struktur ekonomi pasar. Bentuk akhir dari kemitraan masa depan tersebut dicirikan oleh: (1) peternak produsen haruslah menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis, (2) keorganisasian peternak tidak terbatas pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada keseluruhan jaringan tubuh agribisnis, (3) output yang dihasilkan merupakan produk akhir yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi, berciri spesifik, berstandar mutu tinggi, dan (4) hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis harus dimuati rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik, asas keterbukaan dan demokrasi diterapkan dalam sistem pengambilan keputusan melalui musyawarah (Saptana, Sayuti dan Noekman, 2002).
21
3.3. Pendapatan Usahaternak Perusahaan adalah suatu unit teknis dimana output dihasilkan, karena itu perusahaan adalah suatu bentuk kelembagaan bisa perorangan atau dalam bentuk sekumpulan orang sebagai pemiliknya (Henderson and Quandt, 1980). Perusahaan melakukan proses produksi, yakni melakukan pengaturan penggunaan input dalam rangka menghasilkan output.
Pengelolaan perusahaan membuat
keputusan tentang berapa seharusnya dan bagaimana output dihasilkan sehubungan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Dalam hal ini, peternak ayam ras pedaging merupakan perusahaan yang menghasilkan output berupa ayam ras pedaging. Analisis perusahaan tidak lain adalah analisis terhadap produksi dan keuntungan. Analisis keuntungan menyangkut analisis penerimaan, biaya dan selisih antara penerimaan dan biaya yang disebut keuntungan atau pendapatan (Henderson and Quandt, 1980). Adanya perbedaan pola pengusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar yaitu pengusahaan pola mandiri dan pola kemitraan menimbulkan perbedaan besarnya biaya-biaya yang digunakan untuk berusahaternak dan penerimaan yang diterima oleh peternak. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan harga input, harga output dan cara memasarkan ayam ras pedaging diantara kedua pola tersebut. Implikasi yang paling menonjol dalam kerjasama kemitraan adalah peternak diharuskan untuk membeli sarana produksi (input) dan menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra. Kondisi pada pasar input menunjukkan bahwa terdapat satu penjual (perusahaan mitra) dengan banyak pembeli (peternak) sehingga pasar input tersebut dapat digolongkan pada pasar monopoli (Henderson and Quandt,
22
1980). Pada pasar monopoli, untuk mencapai keuntungan maksimum, perusahaan akan menetapkan harga lebih tinggi dibandingkan pasar persaingan sempurna (Hyman, 1997). P
P2 MC = MRp
a
P1
MRm 0
Q1
D Q2
Q
Sumber : Hyman, 1999
Gambar 1. Perbedaan Output dan Harga pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna Gambar 1 menyajikan
harga dan output yang dihasilkan pada pasar
persaingan sempurna dan pasar monopoli. Dengan asumsi kurva marginal cost (MC) berbentuk horizontal, pasar persaingan sempurna mencapai keuntungan maksimum pada saat marginal revenue (MRp) berpotongan dengan MC, dimana MR sama dengan harga sehingga akan dihasilkan output pada Q2 pada harga P1. Pada pasar monopoli, keuntungan maksimum diperoleh pada saat MRm berpotongan dengan kurva MC sehingga perusahaan monopoli akan memproduksi output sebesar Q1 dengan harga P2 (Hyman, 1997). Terkait dengan kondisi kemitraan bahwa peternak sebagai penerima harga input dari perusahaan inti yang memonopoli penjualan sarana produksi ternak (input), khususnya berupa DOC, pakan ternak, serta obat dan vaksin maka peternak peserta kemitraan akan
23
menerima harga input lebih tinggi dibandingkan harga pada pasar persaingan sempurna. Dalam kerjasama kemitraan, peternak juga melakukan kontrak penjualan output kepada perusahaan inti. Pada kondisi ini, perusahaan inti bertindak sebagai pembeli tunggal bagi hasil ternak ayam ras pedaging dari peternak mitra, sehingga pada pasar output terdapat banyak penjual dengan pembeli tunggal. Menurut Henderson and Poole (1991), kondisi pasar dengan pembeli tunggal dan banyak penjual digolongkan dalam pasar monopsoni. Hyman (1997), menyatakan bahwa karena posisi pembeli tunggal maka perusahaan monopsoni (monopsonist) mempunyai kemampuan menentukan harga dari barang atau jasa yang akan dibeli. Jika diasumsikan bahwa produk yang dijual peternak merupakan faktor produksi dari perusahaan monopsoni (perusahaan inti) maka perusahaan tidak dapat membeli diantara faktor input secara bebas (unlimited) pada harga umum, yaitu harga dimana perusahaan harus membayar jumlah pembelian input yang ditentukan melalui pasar penawaran input. Harga yang harus dibayarkan untuk tiap satuan barang yang dibeli ditentukan oleh kurva penawaran input. Karena kurva penawaran input memiliki slope positif (upward sloping), maka harga yang harus dibayar perusahaan monopsoni merupakan kenaikan dari fungsi jumlah yang dibeli (Hyman, 1997). Untuk mencapai kondisi keseimbangan perusahaan monopsoni akan menerapkan harga faktor produksi lebih kecil dari biaya marjinal. Nicholson (1999), menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi kurva penawaran positif, maka biaya marjinal lebih besar dari harga pasar faktor yang bersangkutan. Henderson and Quandt (1980) menjelaskan bahwa keuntungan
24
maksimum pada perusahaan monopsoni dicapai apabila nilai produk marjinal (P
dq dC ) sama dengan biaya marjinal ( ). Kondisi tersebut diilustrasikan pada dx dx
Gambar 2 bahwa keuntungan maksimum dari perusahaan monopsoni berada pada x0 unit dengan harga input sebesar r0 rupiah. Sedangkan perusahaan pada pasar persaingan sempurna, keuntungan maksimumnya akan tercapai pada saat biaya input rata-rata atau penawaran input berpotongan dengan nilai produk marjinal sehingga pada pasar persaingan sempurna, jumlah input yang digunakan adalah pada x1 unit dengan harga r1 rupiah. Perusahaan
monopsoni dapat meningkatkan keuntungannya dengan
mengurangi jumlah input yang digunakan pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai produk marjinalnya.
Dalam kaitannya dengan
penelitian ini, perusahaan inti sebagai pembeli tunggal produk ayam ras pedaging yang dihasilkan peternak mitra maka perusahaan inti memiliki kekuatan monopsoni (monopsony power) sehingga perusahaan inti memiliki kekuatan untuk menetapkan harga ayam ras pedaging (per unit) yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan harga pada pasar persaingan sempurna. Dengan demikian peternak peserta kemitraan akan menerima harga relatif lebih rendah dibandingkan dengan peternak mandiri. Untuk mengetahui pendapatan yang diterima peternak pola kemitraan dan mandiri, maka digunakaan pendekatan pendapatan peternak dengan analisis R/C ratio.
25
dC dx
r
g(x) = S r1
P
dq dx
r0
x0
0
x1
x
Sumber : Henderson and Quandt, 1980
Gambar 2.
Perbedaan Profit Maximizing pada Pasar Monopsoni dan Pasar Persaingan Sempurna
3.4. Pemasaran Usahaternak
Upaya peningkatan pendapatan peternak tidaklah cukup dengan upaya peningkatan produksi, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan jaminan hasil produksinya akan selalu dapat diserap oleh pasar dengan harga yang baik. Pemasaran (tataniaga) yang efektif dan efisien merupakan kunci dari keberhasilan upaya tersebut. Dalam aktivitas usaha pemasaran ini, peternak sebagai produsen akan melibatkan lembaga pemasaran, karena sebagian besar produsen tidak
26
menjual secara langsung kepada konsumen akhir (Sahari dan Musyafak, 2002). Lembaga pemasaran berfungsi sebagai sumber informasi bergeraknya suatu barang atau jasa, serta melakukan pengolahan hasil-hasil pertanian baik itu pengolahan tingkat pertama maupun pengolahan tingkat lanjut. Selain itu lembaga pemasaran juga melakukan fungsi-fungsi pemasaran, yaitu: fungsi fisik, fungsi pertukaran dan fasilitas (Limbong dan Sitorus, 1988). Fungsi dari masing-masing lembaga pemasaran, berbeda satu dengan yang lain tergantung dari aktivitas yang dilakukan maupun skala usaha masing-masing (Soekartawi, 1989). Efisiensi pemasaran dapat dibedakan atas efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis berarti pengendalian fisik dari produk yang mencakup hal-hal seperti prosedur teknis dan besarnya skala produksi dengan tujuan penghematan biaya pemasaran, seperti mengurangi kerusakan, mencegah merosotnya mutu barang dan menghemat tenaga kerja. Efisiensi ekonomis berarti bagaimana perubahan harga yang terjadi di satu rantai pemasaran dapat ditransmisikan dengan baik ke rantai pemasaran yang lain. Terkait dengan penelitian ini, adanya ”kontrak kerjasama” dalam usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dengan perusahaan inti, selain mempermudah peternak memperoleh input faktor yang diperlukan juga menimbulkan ketergantungan dalam pemasaran hasil. Perbedaan harga produk dan bertambah panjangnya saluran pemasaran ayam ras pedaging dapat terjadi. Harga produk yang lebih tinggi dan relatif panjangnya saluran pemasaran pada peternakan pola kemitraan menyebabkan marjin pemasaran pola ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan marjin pemasaran pola mandiri. Semakin besar ratio marjin pemasaran terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
27
berarti bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) akan makin kecil. Untuk melihat pemasaran ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola mandiri maka digunakan analisis saluran pemasaran, analisis marjin pemasaran khususnya untuk melihat proporsi keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran serta analisis keterpaduan pasar untuk melihat efisiensi harganya. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 3. 3.5. Hipotesis
Berdasarkan uraian pada kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1.
Pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan lebih rendah daripada pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri.
2.
Bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) pola kemitraan lebih kecil dibandingkan dengan pola mandiri.
3.6. Metode Analisis Data
Untuk menjawab tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui struktur kelembagaan usahaternak kemitraan digunakan analisis deskriptif. Sedangkan untuk tujuan penelitian yang kedua yaitu mengetahui mana yang lebih menguntungkan dari usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri yakni dilihat dari besarnya pendapatan peternak, efisiensi usahaternak dan efisiensi pemasaran digunakan analisis kuantitatif yaitu analisis pendapatan, R/C ratio, analisis saluran pemasaran (deskriptif), marjin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar.
28
Peternak Pola Kemitraan
Analisis Kelembagaan: Struktur Organisasi Kemitraan Perjanjian Kerjasama Kemitraan Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan Persepsi dan Partisipasi Peserta
Efisiensi Usahaternak: R/C Ratio
Perusahaan Mitra
Harga Input (Biaya Produksi)
Lembaga Pemasaran
Pasar Sapronak
Harga Output (Penerimaan)
Pasar Konsumen
Efisiensi Pemasaran:
Peternak Pola Mandiri Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Ratio Keuntungan/Biaya Pemasaran Keterpaduan Pasar (IMC)
29
3.6.1. Analisis Deskriptif
Struktur kelembagaan ayam ras pedaging pola kemitraan dianalisis secara deskriptif. Hal-hal yang diuraikan untuk menjawab tujuan tersebut adalah (1) profil perusahaan mitra, (2) struktur organisasi pelaksana kemitraan, (3) aturan main kerjasama kemitraan, (4) peraturan kemitraan dan peran pemerintah, (5) pelaksanaan kerjasama dan tanggapan peserta kemitraan dan (7) manfaat kemitraan. Selain digunakan untuk menganalisis struktur kelembagaan ayam ras pedaging
pola
kemitraan,
analisis
deskriptif
juga
digunakan
untuk
membandingkan kondisi saluran pemasaran ayam ras pedaging, antara pola mandiri dengan pola kemitraan (tujuan 2). Saluran pemasaran ayam ras pedaging merupakan jalur yang digunakan dalam proses penyampaian ayam ras pedaging dari peternak sampai ke konsumen akhir.
Analisis terhadap pola saluran
pemasaran digunakan untuk melihat jumlah dan perilaku pelaku pemasaran yang terlibat dalam proses penyampaian ayam ras pedaging. Pada umumnya panjangpendeknya saluran pemasaran akan mempengaruhi harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. 3.6.2. Analisis Kuantitatif
Untuk melihat mana yang lebih menguntungkan dari dua pola pengusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar dilakukan dengan cara membandingkan pendapatan dan efisiensi biaya produksi terhadap penerimaannya antara pola mandiri dan pola kemitraan. Selain itu, pelaksanaan kemitraan juga memberikan pengaruh terhadap distribusi produk (pemasaran ayam ras pedaging) sehingga untuk melengkapi perbandingan dari sisi produksi juga dilakukan
30
perbandingan pemasaran ayam ras pedaging dari kedua pola pengusahaan. Analisis pemasaran yang dilakukan meliputi analisis terhadap saluran pemasaran (deskriptif) analisis marjin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar. 1.
Analisis Pendapatan Usahaternak Analisis pendapatan usahaternak memerlukan dua keterangan pokok yaitu
keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran (biaya-biaya) selama usahaternak dijalankan dalam satu siklus produksi, yakni 35 hari. Penerimaan usahaternak merupakan nilai produksi yang diperoleh dari produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat peternak. Sedangkan biaya atau pengeluaran adalah total nilai penggunaaan sarana produksi peternakan, baik yang diperoleh dengan cara membeli tunai, sewa atau kredit selama proses produksi ayam ras pedaging berlangsung. TR = Pa Qa ............................................................................................
(1)
dimana: TR : Total penerimaan dari usahaternak ayam ras pedaging (Rp) Pa
: Harga ayam ras pedaging (Rp/ekor)
Qa
: Total produksi (ekor)
TC = FC + VC ....................................................................................
(2)
FC = PsQs + PtpQtp + PtmQtm + PapQap ...................................................
(3)
VC = PbQb + PpQp + PovQov + PskmQskm + PgmQgm + PkdQkd + PgQg + PlQl + PtkQtk ................................................................................. dimana: TC : Total biaya usahaternak ayam ras pedaging (Rp) FC
: Total biaya tetap usahaternak ayam ras pedaging (Rp)
VC : Total biaya variabel usahaternak ayam ras pedaging (Rp) Ps
: Harga sewa kandang (Rp/buah/periode)
(4)
31
Qs
: Total kandang (buah)
Ptp
: Nilai depresiasi tempat pakan (Rp)
Qtp
: Total tempat pakan (buah)
Ptm : Nilai depresiasi tempat minum (Rp) Qtm : Total tempat minum (buah) Pap
: Nilai depresiasi alat pemanas (Rp)
Qap : Total alat pemanas (buah) Pb
: Harga DOC (Rp)
Qb
: Total DOC (ekor)
Pp
: Harga pakan (Rp)
Qp
: Total pakan yang dipakai (kg)
Pov
: Harga obat dan vaksin (Rp)
Qov : Total obat dan vaksin yang dihabiskan (ml) Pskm : Harga sekam (Rp) Qskm : Total sekam yang digunakan (kg) Pgm : Harga gula merah (Rp) Qgm : Total gula merah (kg) Pkd
: Harga kunyit dan daun pepaya (Rp)
Qkd : Total kunyit dan daun pepaya yang digunakan (kg) Pg
: Harga gas (Rp)
Qg
: Total gas yang digunakan (tabung)
Pl
: Harga listrik (Rp/kwh)
Ql
: Total penggunaan listrik (kwh)
Ptk
: Upah tenaga kerja (Rp)
Qtk
: Total tenaga kerja (orang)
π =
TR - TC .....................................................................................
(5)
dimana:
π
: Total pendapatan usahaternak ayam ras pedaging (Rp)
Untuk
memudahkan
analisis perbandingan penerimaan, biaya dan
pendapatan usahaternak ayam ras pedaging antara pola mandiri dan pola
32
kemitraan maka semua penerimaan, biaya dan pendapatan dihitung per ekor ayam ras pedaging. Perhitungan biaya diasumsikan bahwa peternak membeli secara tunai. 2.
R/C Ratio Untuk mengukur efisiensi masing-masing usahaternak terhadap setiap
penggunaan satu unit input maka digunakan nilai ratio antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya yang secara sederhana dapat diturunkan dari rumus: TR ..................................................................................... TC
R/C Ratio = 3.
(6)
Analisis Marjin Pemasaran Besarnya marjin pemasaran ayam ras pedaging dalam satu pola rantai
pemasaran (saluran pemasaran) dihitung dengan persamaan sebagai berikut: M =
i=n
∑ (bp i =1
i
+ kp i ) ...............................................................................
(7)
dimana : M
:
Marjin total dari satu saluran pemasaran lembaga pemasaran (Rp)
bpi
:
Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran ke-i (Rp)
kpi
:
Keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-i (Rp)
n
:
Jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu pola saluran pemasaran
Untuk mengetahui distribusi marjin pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu pola saluran pemasaran maka perlu dihitung proporsi biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran terhadap total marjin pemasaran dengan persamaan sebagai berikut: Sbp i =
bp i x 100% .............................................................................. M
(8)
33
Skp i =
kp i x 100% .............................................................................. M
(9)
dimana : Sbpi : Share biaya pemasaran yang dikeluarkan lembaga pemasaran ke-i Skpi : Share keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-i Sedangkan untuk melihat tingkat efisiensi biaya pemasaran yang dikeluarkan terhadap keuntungan pemasaran tiap-tiap lembaga pemasaran maka dalam analisis ini juga dihitung ratio keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran. kp/bp ratio =
kp i ................................................................................... (10) bp i
Semua hasil perhitungan kemudian dibahas dengan cara membandingkan marjin pemasaran ayam ras pedaging pola mandiri dengan pola kemitraan. 4.
Analisis Indeks Keterpaduan Pasar Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga suatu
komoditi pada suatu tingkat lembaga pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Pada penelitian ini, analisis keterpaduan pasar berfungsi untuk mengetahui transmisi harga ayam ras pedaging dari tingkat pasar retail terhadap harga yang berlaku di tingkat peternak. Keterpaduan pasar dapat diduga dengan menggunakan model keterpaduan pasar autoregresi yang dikembangkan oleh Timmer (1987) dalam (Hoesin, 1994).
Model ini dapat
digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar produsen dipengaruhi oleh harga di pasar acuan (retail) dengan mempertimbangkan harga di masa lalu dan harga saat ini. Model keterpaduan pasar autoregresi adalah sebagai berikut : Pft – Pft-1 = do+d1 (Pft-1 – Prt-1 )+d2 (Prt – Prt-1 )+d3 Prt-1 +d4 Xt + et.......... (11)
34
dimana : Pft
= Harga di pasar produsen (peternak) pada periode ke- t (Rp/kg)
Pft-1 = Lag harga di pasar produsen (peternak) pada periode ke- t-1 (Rp/kg) Prt
= Harga di pasar acuan (retail) pada periode ke- t (Rp/kg)
Prt-1 = Lag harga di pasar acuan (retail) pada periode ke- t-1 (Rp/kg) Xt
= Dummy kemitraan (1=peserta kemitraan, 0=mandiri)
et
= Galat baku
Persamaan 11 diestimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan menggunakan program Minitab 13. Koefisien parameter yang diperoleh dari hasil estimasi digunakan untuk menghitung IMC (index market connection) yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut: IMC =
(1 + d 1 ) ................................................................................ (12) (d 3 − d 1 )
Index market connection (IMC) adalah keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar konsumen dan nilai ini akan menunjukkan keefisienan (efisiensi harga) sistem suatu pasar. Jika IMC lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa integrasi pasar produsen dan pasar konsumen akan makin erat. Hal ini menunjukkan sistem pemasaran yang ada makin efisien karena informasi perubahan harga yang ada di pasar konsumen segera ditransmisikan ke pasar produsen. Sebaliknya Jika IMC > 1, menunjukkan tidak adanya keterkaitan (integrasi pasar) antara pasar konsumen dengan pasar produsen, dimana hal ini dicerminkan dari perubahan harga di pasar konsumen ditransmisikan terhadap harga di pasar produsen. Koefisien d2 menunjukkan seberapa jauh perubahan harga di pasar konsumen diteruskan kepada harga di pasar produsen. Keterpaduan (integrasi)
35
pasar jangka panjang dapat dicapai jika koefisien d2 ≤1. Perubahan harga yang terjadi bersifat netral dalam proporsional persentase jika koefisien d2 = 1. 3.7. Metode Penelitian 3.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu bulan November sampai Desember 2003.
Lokasi penelitian di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa
Tengah ditentukan secara purposive yaitu di Kecamatan Tasikmadu, Kecamatan Kebakkramat dan Kecamatan Mojogedang dengan pertimbangan bahwa ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah potensial dengan perkembangan ternak ayam ras pedaging yang relatif besar di Kabupaten Karanganyar. Pertimbangan lainnya adalah di ketiga kecamatan tersebut terdapat dua pola pengusahaan ayam ras pedaging yang berbeda yaitu pola kemitraan dan pola mandiri sehingga lebih realistis untuk dilakukan analisis perbandingan terhadap kedua pola pengusahaan. 3.7.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh malalui wawancara langsung dengan responden (peternak, pedagang perantara dan karyawan perusahaan inti baik yang di lapangan maupun di kantor). Berdasarkan hasil survey awal di kecamatan lokasi penelitian (Kecamatan Tasikmadu, Kecamatan Kebakkramat dan Kecamatan Mojogedang), jumlah peternak pola mandiri
sebanyak 6 orang sedangkan jumlah peternak pola
kemitraan 16 orang. Untuk keperluan penelitian ini, seluruh peternak diambil sebagai responden (sensus). Pengambilan sampel pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer dilakukan secara purposive dengan pertimbangan
36
pedagang yang hanya melakukan transaksi secara langsung baik dengan peternak maupun pedagang perantara lain (snowball sampling). Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan Jawa Tengah, Dinas Peternakan Kabupaten Karanganyar, Badan Pusat Statistik dan publikasi dari instansi terkait lainnya.
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Geografis Karanganyar Karanganyar merupakan salah satu kabupaten bagian selatan Provinsi Jawa Tengah, yang termasuk dalam wilayah Pembantu Gubernur Wilayah Surakarta. Kabupaten Karanganyar memiliki wilayah yang sangat beragam mulai dari perkotaan dengan segala kondisinya hingga kawasan pedesaan yang terpencil. Kabupaten Karanganyar terletak antara 1100 40’ – 1100 70’ Bujur Timur dan 70 28’ -70 46’ Lintang Selatan. Kabupaten Karanganyar memiliki luas 77 378.6374 ha. Letak geografis kabupaten ini di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sragen, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Kondisi geografis wilayah Kabupaten Karanganyar umumnya berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata 511 m di atas permukaan laut, beriklim tropis dengan temperatur 22oC - 31oC. Rata-rata curah hujan mencapai 1 855 mm dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dan terendah pada bulan Juli dan Agustus. Sebagian besar wilayah Kabupaten Karanganyar adalah lahan pertanian, baik lahan kering maupun tanah persawahan.
Rincian penggunaan tanah di
Kabupaten Karanganyar secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Sebagian besar penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Karanganyar digunakan sebagai lahan sawah yaitu 22 856.33 ha atau mencapai 29.54 persen dari total wilayah sedangkan tanah yang digunakan sebagai bangunan dan pekarangan meliputi 26.76 persen dari total wilayah (20 704.95 ha). Penggunaan tanah untuk tegalan
38
dan kebun mencapai 17 952.44 ha (23.20 persen), 12 981.00 ha (16.78 persen) digunakan untuk hutan negara dan perkebunan sedangkan sisanya, yaitu 2 762.35 ha (3.73 persen) digunakan untuk padang gembala, tambak, kolam dan lain-lain. Tabel 4.
Persebaran Penggunaan Tanah di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004
Tanah Pekarangan/ Tegalan/ Hutan Negara/ Lain-lain Sawah Bangunan Kebun Perkebunan (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 120.66 49.51 978.86 1 427.07 1 461.79 Jatipuro 222.87 1 025.00 2 913.05 1 241.91 1 316.02 Jatiyoso 113.44 0.00 1 595.91 2 016.24 1 841.59 Jumapolo 163.83 0.00 1 881.43 1 731.04 1 579.26 Jumantono 146.10 91.00 223.79 872 .91 1 292.96 Matesih 115.88 4 225.48 1 325.18 624.83 711.83 Tawangmangu 174.42 3 560.66 1 271.23 838.07 689.61 Ngargoyoso 124.54 40.61 542.93 1 151.16 1 551.87 Karangpandan 325.11 122.00 572.21 1 504.73 1 780.95 Karanganyar 338.65 0.64 80.04 833.02 1 509.24 Tasikmadu 166.93 0.00 44.79 1 075.65 1 267.50 Jaten 72.07 4.60 62.75 676.37 748.39 Colomadu 172.48 0.00 2 677.54 1 696.02 1 134.06 Gondangrejo 121.11 0.00 231.31 1 009.86 2 283.49 Kebakkramat 23.63 254.32 851.98 2 048.25 2 022.11 Mojogedang 240.94 1 395.30 708.26 1 212.28 1 127.05 Kerjo 119.74 2 211.89 1 991.18 746.57 538.96 Jenawi 22 856.33 20 704.95 17.952.44 12 981.00 2 762.35 Total (29.54) (26.76) (23.20) (16.78) (3.73) Sumber : BPS, 2005 (diolah) Keterangan : Angka dalam kurung merupakan persentase dari total luas wilayah Kecamatan
4.2. Keadaan Demografi dan Ketenagakerjaan Jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar pada tahun 2004 menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 5. Jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar pada akhir tahun 2004 sebanyak 830 640 jiwa yang terdiri dari 410 985 jiwa laki-laki dan 419 655 jiwa perempuan yang terhimpun dalam 202 884 rumah tangga. Kepadatan penduduk di Kabupaten Karanganyar pada akhir tahun 2004 mencapai 1 073 jiwa / km2.
39
Tabel 5.
Persebaran Jumlah Keluarga dan Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Jatipuro Jatiyoso Jumapolo Jumantono Matesih Tawangmangu Ngargoyoso Karangpandan Karanganyar Tasikmadu Jaten Colomadu Gondangrejo Kebakkramat Mojogedang Kerjo Jenawi Total
Jumlah Keluarga (KK) 10 295 8 192 13 094 12 540 9 412 10 420 7 898 8 209 18 645 13 404 13 113 14 520 13 168 14 453 14 340 7 736 6 445 202 884
Laki-laki (Jiwa) 18 772 20 154 23 076 23 441 22 168 21 791 17 095 20 367 34 918 26 905 31 556 28 761 31 537 28 215 31 016 17 871 13 342 410 985
Penduduk Perempuan (Jiwa) 18 781 19 718 23 182 23 874 22 312 22 591 17 389 21 176 37 194 27 396 34 544 27 036 32 047 28 743 31 228 18 788 13 658 419 655
Jumlah (Jiwa) 37 553 39 872 46 258 47 315 44 480 44 382 34 484 41 543 72 112 54 301 68 100 53 797 63 584 56 958 62 242 36 659 27 000 830 640
Sumber : BPS, 2005 (diolah)
Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Karanganyar yaitu 72 112 jiwa (8.68 persen), kemudian Kecamatan Jaten sejumlah 68 100 jiwa (8.20 persen) dan Kecamatan Gondangrejo sebanyak 63 584 jiwa (7.65 persen). Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Jenawi yaitu 27 000 jiwa (3.25 persen), kemudian Kecamatan Ngargoyoso sejumlah 34 484 jiwa (4.15 persen), dan Kecamatan Kerjo yaitu 36 659 jiwa (4.41 persen). Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa penduduk Kabupaten Karanganyar paling banyak berada pada usia produktif yaitu usia 15 tahun sampai 64 tahun. Jumlah penduduk usia produktif mencapai 67.25 persen dari jumlah penduduk atau sebanyak 558 587 jiwa. Usia produktif yang relatif besar ini merupakan
40
sumber tenaga kerja bagi sektor-sektor perekonomian sekaligus membawa konsekeuensi bagi Pemerintah Daerah dalam penyediaan lapangan kerja. Tabel 6. No
Persebaran Jumlah Penduduk menurut Usia Anak, Usia Produktif dan Lanjut Usia di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 Kecamatan
Jatipuro Jatiyoso Jumapolo Jumantono Matesih Tawangmangu Ngargoyoso Karangpandan Karanganyar Tasikmadu Jaten Colomadu Gondangrejo Kebakkramat Mojogedang Kerjo Jenawi Total Sumber : BPS, 2005 (diolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tabel 7.
Tahun 2002 2003 2004
Penduduk Anak (0 – 14 th) L P 4 528 4 558 4 843 4 956 5 620 5 770 6 052 6 188 5 523 5 731 6 721 5 861 4 385 4 445 5 056 5 117 9 744 9 168 6 960 7 202 8 879 8 875 7 413 7 561 9 016 9 119 7 453 7 574 8 475 8 545 4 647 4 746 3 544 3 594 109 020 108 889
Usia Produktif (15 - 64 th) L P 12 675 12 665 13 208 13 568 15 662 15 471 15 898 15 661 15 168 14 948 14 347 14 438 11 788 11 485 14 526 13 868 25 481 23 939 18 096 18 288 23 869 23 053 18 096 17 790 23 139 20 669 18 610 19 061 20 754 20 579 12 534 11 711 9 078 8 760 275 954 282 633
Lansia (64 th ke atas) L P 1 578 1 549 1 667 1 630 1 900 1 835 1 926 1 592 1 621 1 489 1 523 1 492 1 216 1 155 1 594 1 382 1 969 1 811 1 634 1 415 1 796 1 628 1 497 1 410 1 892 1 749 1 680 1 580 1 997 1 892 1 607 1 414 1 036 988 26 011 28 133
Persebaran Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut Matapencaharian di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2002-2004 Petani (jiwa)
Buruh Tani (jiwa)
126.002 126.853 132.709
101.659 94.794 89.289
Buruh Buruh Pedagang Industri Bangunan (jiwa) (jiwa) (jiwa) 35.471 46.575 90.412 36.368 45.904 93.577 37.723 45.667 93.501
Lainlain (jiwa) 269.806 284.707 289.792
Sumber : BPS, 2005 (diolah)
Penggolongan tenaga kerja di Kabupaten Karanganyar pada Tahun 2004 disajikan pada Tabel 7.
Sebagian besar penduduk Kabupaten Karanganyar
bekerja di sektor pertanian yaitu sebagai petani dan buruh tani. Pada tahun 2002 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 227 661 jiwa (33.98 persen), tahun 2003 mengalami penurunan menjadi 221 647 jiwa (32.49 persen), tahun 2004 juga mengalami penurunan menjadi 221 998 jiwa (32.19 persen). Buruh
41
industri pada tahun 2002 sejumlah 90 412 jiwa (13.50 persen), tahun 2003 sejumlah 93 577 jiwa (13.72 persen), tahun 2004 sejumlah 93 501 jiwa (13.56 persen). Sedangkan buruh bangunan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 46 575 jiwa (6.95 persen), tahun 2003 sebanyak 45 577 jiwa (6.73 persen dan tahun 2004 sebanyak 46 575 jiwa (6.75 persen). Selebihnya adalah pedagang, pengusaha, pekerja di sektor pengangkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan dan lain-lain. 4.3. Kondisi Perekonomian Wilayah Kondisi perekonomian wilayah di Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk masing-masing sektor. Pertumbuhan PDRB dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8.
Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004-2005 PDRB (juta Rp)
Lapangan Usaha Pertanian 1.1 Tanaman Pangan 1.2 Tanaman Perkbn Rakyat 1.3 Tanaman Perkbn Besar 1.4 Peternakan 1.5 Kehutanan 1.6 Perikanan Pertamb. dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan Angkutan dan Perhubungan Lembaga Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Persewaan Jasa-jasa PDRB Sumber : BPS, 2006 (diolah)
2004
2005
781 354.14 521 243.40 52 817.91 8 262.33 190 639.43 4 207.14 4 183.92 34 522.62 2 065 453.01 54 407.48 96 938.80 416 747.71 116 591.45 84 475.90
824 366.11 548 139.56 57 142.43 9 556.20 200 769.60 4 363.14 4 395.17 36 011.64 2 201 053.32 57 717.54 101 794.26 432 760.22 120 994.51 89 626.25
Kontribusi 2005 (%) 19.68 13.09 1.36 0.23 4.79 0.10 0.10 0.86 52.55 1.38 2.43 10.33 2.89 2.14
319 787.82
324 006.65
7.74
1.32
3 970 278.92
4 188 330.50
100.00
5.49
Pertumbuhan (%) 5.50 5.16 8.19 15.66 5.31 3.71 5.05 4.31 6.57 6.08 5.01 3.84 3.78 6.10
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karanganyar pada tahun 2005 mencapai Rp 4 188 300.50 juta atau mengalami pertumbuhan sebesar 5.49 persen
42
dibandingkan tahun 2004, dimana pada tahun tersebut PDRB Karanganyar hanya Rp 3 970 278.92 juta.
Jika dilihat dari kontribusi sektoral terhadap PDRB
Kabupaten Karanganyar, sektor industri pengolahan merupakan kontributor utama dalam perekonomian daerah Kabupaten Karanganyar dengan pangsa sebesar 52.55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian daerah sebagian besar dihasilkan oleh sektor industri pengolahan. Sektor-sektor lain yang merupakan kontributor terbesar pada perekonomian daerah Karanganyar adalah sektor pertanian dan sektor perdagangan dengan pangsa masing-masing sebesar 19.68 persen dan 10.33 persen. Masih tingginya kontribusi sektor pertanian pada PDRB Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa pengembangan pada sektor pertanian masih memiliki peranan penting untuk menyokong perekonomian daerah. Kontribusi sektor-sektor yang lain mempunyai pangsa kurang dari 5 persen. Diantara sub sektor-sub sektor dalam sektor pertanian, kontribusi sub sektor peternakan berada pada rangking kedua setelah tanaman pangan, yakni sebesar 4.79 persen.
Dilihat dari laju pertumbuhannya, sub sektor peternakan juga
memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sub sektor tanaman pangan, yakni dengan laju pertumbuhan 5.31 persen. Relatif besarnya kontribusi sub sektor peternakan terhadap perekonomian daerah dan tingginya laju pertumbuhan sub sektor ini, menunjukkan bahwa sub sektor peternakan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penghela perekonomian daerah.
43
4.4. Kondisi Sub Sektor Peternakan Ternak yang banyak diusahakan di Kabupaten Karanganyar adalah sapi, kuda, kerbau, domba, kambing, ayam buras, ayam pedaging, babi, burung puyuh, itik
dan
kelinci.
Dalam
berusahaternak,
sebagian
penduduk
hanya
mengusahakannya secara sambilan untuk memanfaatkan waktu luang selain bertani. Tetapi, ada juga yang diusahakan secara intensif yaitu sebagai mata pencaharian pokok. Ternak yang diusahakan secara intensif biasanya ternak yang dapat berproduksi dengan cepat. Salah satu jenis ternak yang diusahakan secara intensif di Kabupaten Karanganyar adalah ayam ras pedaging, dimana ayam ras pedaging ini dapat dipanen pada umur 28-40 hari. Perkembangan populasi ternak ayam ras pedaging dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 9. Tabel 9.
Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Tahun 1998 - 2004 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Populasi Ayam Ras Pedaging (Ekor) 802 705 1 177 035 1 532 816 1 874 150 1 874 000 1 875 210 1 070 000
Sumber : BPS berbagai terbitan
Rata-rata laju pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar selama kurun waktu 1998-2004 mencapai 9.37 persen.
Laju
pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1999 yakni 46.63 persen sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu 42.94 persen. Penurunan populasi ayam ras pedaging yang relatif besar ini terjadi diduga karena adanya isu
44
flu burung yang sedang melanda Indonesia pada tahun 2004 sehingga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan daging ayam yang cukup besar. 4.5. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak ayam ras pedaging dengan pola pengusahaan secara mandiri dan pola kemitraan.
Pembahasan
terhadap karakteristik responden meliputi umur dan tingkat pendidikan masingmasing responden. Hasil penelitian karakteristik responden dimaksudkan untuk melihat perbedaan responden pada masing-masing pola yang tersaji dalam uraian berikut ini. Kelompok umur peternak pola mandiri memperlihatkan bahwa peternak terbanyak dijumpai pada kelompok umur antara 31 tahun sampai dengan 50 tahun (66.66 persen). Pada pola kemitraan, kelompok umur peternak lebih bervariasi walaupun pada dasarnya sama dengan pola mandiri, sebagian besar peternak berada pada kelompok umur 41-50 tahun (37.50 persen). Hal ini berarti sebagian besar peternak di Kabupaten Karanganyar (Baik pada pola mandiri maupun kemitraan) termasuk dalam kelompok produktif dan mempunyai kemauan yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan lebih mudah untuk menerima inovasi dan teknologi baru yang disampaikan kepada mereka. Untuk lebih jelasnya kelompok umur peternak disajikan pada Tabel 10. Tingkat pendidikan responden turut menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menerima pengetehuan, dalam hal ini adopsi teknologi baru yang bermanfaat bagi perbaikan kegiatan usahaternak mereka. Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh peternak responden pola mandiri sebagian besar adalah SMA atau sederajat (50.00 persen) sedangkan untuk pola
45
kemitraan, proporsi terbesar dari responden adalah yang menamatkan pendidikan setingkat SMA atau sederajat dan sarjana dengan proporsi yang imbang yaitu (31.25 persen). Jika dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh responden peternak dari kedua pola pengusahaan (mandiri dan kemitraan) maka responden peternak peserta kemitraan memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi, karena proporsi responden peternak kemitraan yang menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (sarjana dan pascasarjana) mencapai 43.75 persen sementara untuk peternak pola mandiri hanya 33.33 persen. Tabel 10. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Kelompok Umur Pola Mandiri Jumlah Peternak (Orang) 21-30 31-40 2 41-50 2 51-60 1 61-70 1 Jumlah 6 Sumber : Data Primer, 2003 (diolah) Kelompok Umur (Tahun)
(%) 0.00 33.33 33.33 16.67 16.67 100.00
Pola Kemitraan Jumlah Peternak (%) (Orang) 2 12.50 3 18.75 6 37.50 4 25.00 1 6.25 16 100.00
Tabel 11. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan SD atau sederajat SMP atau sederajat SMA atau sederajat Sarjana Pascasarjana Jumlah
Pola Mandiri Jumlah Peternak (%) (Orang) 0.00 16.67 1 50.00 3 33.33 2 0.00 6 100.00
Pola Kemitraan Jumlah Peternak (%) (Orang) 12.50 2 12.50 2 31.25 5 31.25 5 12.50 2 16 100.00
Sumber : Data Primer, 2003 (diolah)
Secara umum dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh peternak, baik pola mandiri maupun pola kemitraan, menunjukkan bahwa kemampuan peternak
46
untuk melakukan alih teknologi dan pengembangan usahaternak ayam ras pedaging di daerah penelitian relatif dapat diandalkan.
V. KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHATERNAK AYAM RAS PEDAGING 5.1. Profil Perusahaan Inti Perusahaan inti yang beroperasi di Kabupaten Karanganyar terdiri dari empat perusahaan yaitu Gema Usaha Ternak (anak cabang dari PT. Charoen Pokphand Indonesia), Bengawan (anak cabang dari PT. Japfa Comfeed Indonesia), Wonokoyo (anak cabang dari PT. Wonokoyo Jaya Corp) dan Anwar Sierad (anak cabang dari PT. Sierad Produce Tbk). Semua perusahaan inti ini merupakan perusahaan swasta. Integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan induk dalam industri ayam ras pedaging ini disebabkan oleh adanya karakteristik dasar dari bisnis ayam ras pedaging yang berimplikasi pada pengelolaan bisnis secara terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Hal ini dilakukan perusahaan peternakan untuk menghindari resiko ekonomi dari proses produksi mulai pembibitan, industri pakan, budidaya, hingga pada industri hilirnya (pemotongan, pengolahan dan pemasaran) harus berada pada satu komando keputusan manajemen. Menurut Saptana, Sayuti dan Noekman (2002), selain terjadinya integrasi vertikal, ada indikasi bahwa perusahaan-perusahaan dalam industri perunggasan (PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Wonokoyo Jaya Corp dan PT. Sierad Produce Tbk.) membentuk kartel. Dalam kerjasama antar perusahaan yang tergabung dalam kartel akan diadakan kesepakatan-kesepakatan (kolusi) baik dalam penetapan harga, besarnya output, membagi pasar dan keputusan bisnis lainnya untuk menghindarkan terjadinya perang harga sehingga kesinambungan usaha mereka terjamin.
48
Terkait dengan kondisi ini, maka keempat perusahaan inti yang beroperasi di Kabupaten Karanganyar memiliki kebijakan yang relatif sama1. Bidang usaha masing-masing perusahaan inti di Kabupaten Karanganyar ini adalah (1) penyaluran alat-alat perkandangan seperti tempat pakan, tempat minum, alat pemanas, (2) penyaluran DOC, pakan dan vaksin, dan (3) penyaluran ayam ras pedaging dari peternak mitra (pemasaran). Selain itu dalam kerjasama kemitraan dengan peternak, perusahaan inti juga mengadakan pelatihan dan bimbingan oleh tenaga ahli di bidang peternakan ayam ras (technical service) agar hasil produksi ayam ras pedaging sesuai dengan standar perusahaan. Setiap bulan, masingmasing perusahaan inti akan menyalurkan DOC sekitar 120 000 ekor dengan ratarata hasil panen mencapai 150 000 kg ayam ras pedaging. Dalam penyaluran alat-alat perkandangan serta obat dan vaksin tidak semua perusahaan inti memperolehnya dari perusahaan induk. Bengawan, Wonokoyo dan Anwar Sierad memperoleh alat perkandangan serta obat dan vaksin dari para suplier, karena masing-masing perusahaan induknya tidak memproduksi barangbarang tersebut. Hanya Gema Usaha Ternak yang mampu menyediakan seluruh alat perkandangan dan sapronak dari perusahaan induknya, yaitu PT. Charoen Pokphand. 5.2. Struktur Organisasi Pelaksana Kemitraan Perusahaan inti mempunyai struktur organisasi yang relatif sama yaitu terdiri dari Presiden Direktur, Vice President, General Manager of Marketing, General Manager of Production, dan Manajer. Sedangkan perusahaan inti yang berperan sebagai anak cabang mempunyai struktur organisasi yang dikepalai oleh 1
Secara empiris, pada dasarnya keempat perusahaan inti memiliki stuktur organisasi dan kebijakan yang relatif sama.
49
seorang Kepala Cabang ( Branch Head), dimana kepala cabang ini langsung di bawah koordinasi manajer yang dibantu oleh supervisor produksi dan supervisor pemasaran. Di lapangan, peternak berhubungan secara langsung dengan pekerja teknis lapangan (PTL) atau technical service (TS).
Sedangkan untuk urusan
administrasi dan keuangan, peternak berhubungan secara langsung dengan petugas administrasi. TS atau PTL bertugas untuk melakukan kontrol terhadap peternak selama menjalankan usahaternaknya yakni tata cara berusahaternak agar sesuai dengan standar yang ditetapkan perusahaan inti. Struktur organisasi yang diterapkan perusahaan inti adalah pola koordinasi yang dilakukan secara vertikal. Keadaan ini ditunjukkan oleh tersentralisasinya informasi dan pengambilan keputusan. Arus informasi selalu terpusat dan hasil pelaksanaan program selalu dipertanggungjawabkan kepada pimpinan. Secara rinci struktur organisasi kelembagaan kemitraan disajikan pada Gambar 4. Peternak ayam ras pedaging yang melakukan kemitraan belum mempunyai suatu wadah untuk menunjang pelaksaan kemitraan, seperti kelompok tani. Di lapangan, para peternak anggota kemitraan langsung berhadapan dengan perusahaan inti melalui TS. Tidak adanya organisasi yang mewadahi peternak ini, seringkali menyulitkan peternak karena tidak adanya media perantara untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, terutama penentuan harga (baik harga sarana produksi maupun harga output) yang seringkali dianggap ”kurang menguntungkan” oleh peternak. 5.3. Aturan Main Kerjasama Kemitraan Aturan main kerjasama kemitraan dicerminkan oleh adanya kewajiban bagi masing-masing lembaga yang terlibat dalam pengelolaan usahaternak ayam ras
50
Presiden Direktur
Vice President
GM of Marketing
GM of Production
Manajer
Kepala Cabang Branch Head
Supervisor Pemasaran
Supervisor Produksi
PTL/TS
Administrasi
Peternak
Gambar 4. Struktur Organisasi Kelembagaan Kemitraan
51
pedaging di Kabupaten Karanganyar. Kewajiban-kewajiban tersebut didasarkan pada kontrak yang telah ditandatangani oleh peternak plasma dan perusahaan inti sebelum melakukan proses produksi. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan masing-masing peserta kerjasama adalah sebagai berikut: Kewajiban perusahaan inti 1.
Perusahaan inti wajib menyediakan peralatan kandang dan sarana produksi ternak yaitu DOC, pakan, obat-obatan dan penyediaan ini dikredit oleh peternak.
2.
Perusahaan inti wajib untuk membeli semua hasil produksi ternak dari peternak mitra.
3.
Perusahaan inti wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap peternak mitra sesuai dengan standar perusahaan.
Kewajiban peternak mitra (plasma) 1.
Peternak mitra wajib menyediakan kandang yang sesuai dengan ketentuan perusahaan.
2.
Peternak mitra wajib mengelola ayam ras pedaging sesuai dengan standar perusahaan, baik dari segi pakan, obat-obatan dan perlakuan lainnya.
3.
Peternak mitra wajib menjual semua hasil produksi ternak kepada perusahaan inti.
5.4. Peraturan Kemitraan dan Peran Pemeritah Program pengembangan ayam ras pedaging di tingkat nasional diatur dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1990 tentang pembinaan usaha peternakan ayam ras yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pertanian No.
52
472/kpts/TN.330/6/1996
tentang
petunjuk
pelaksanaan
pembinaan
usaha
peternakan ayam ras. Pada tingkat Provinsi, kerjasama kemitraan diatur dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Peternakan No. 524/12.99 Tahun 1997. Dalam SK tersebut diatur tentang kewajiban melakukan kerjasama kemitraan dengan peternak ayam ras pedaging di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Yang diwajibkan melakukan kerjasama kemitraan dengan peternak skala usaha kecil adalah perusahaan peternakan yang mempunyai skala usaha lebih dari 65 000 ekor per siklus produksi. Dalam SK tersebut juga mengatur hal-hal sebagai berikut : 1.
Kemitraan dengan peternak pada tahun yang ketiga harus sudah mencapai 60 persen dari jumlah seluruh populasi ayam ras pedaging yang diusahakan, dengan tahapan tahun pertama 20 persen, tahun kedua mencapai 40 persen.
2.
Kerjasama kemitraan harus seizin Pemda Tingkat II baik dalam hal waktu usaha dan jumlah usaha.
3.
Pelaksanaan kerjasama kemitraan dinyatakan dalam surat perjanjian tertulis yang dikuatkan akte notaris atau akte bawah tangan (tidak disahkan oleh notaris) yang diketahui oleh dinas peternakan Tingkat II.
4.
Bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait (dinas peternakan) melakukan pembinaan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan manajemen dengan membentuk kelompok, mengembangkan kerjasama dalam kelompok dan antar kelompok yang selanjutnya ditingkatkan menjadi koperasi.
5.
Wajib melaporkan perkembangan usaha dan kemajuan kemitraan setiap triwulan.
53
Di Kabupaten Karanganyar, SK ini tidak sepenuhnya dijalankan. Hal-hal yang bertentangan diantaranya adalah: (1) pembuatan surat perjanjian kerjasama kemitraan tidak diketahui oleh dinas peternakan Tingkat II, (2) instansi pemerintahan dalam hal ini dinas peternakan tidak pernah melakukan bimbingan teknis dan manajemen kepada para peternak sehingga di Kabupaten Karanganyar peternak
tidak
memiliki kelompok
ternak
maupun
koperasi,
dan
(3)
perkembangan usaha dan kemajuan kemitraan tidak pernah dilaporkan. Pelanggaran terhadap keputusan (SK Dinas Peternakan Jawa Tengah) ini menyebabkan peternak peserta kemitraan berhubungan sendiri (tanpa didampingi oleh dinas peternakan sebagai mediator) dengan perusahaan inti dan peternak peserta kemitraan hanya berperan sebagai penerima keputusan perjanjian kerjasama dari perusahaan inti. Dinas peternakan tidak pernah terlibat dalam halhal yang berkaitan dengan perjanjian kemitraan sehingga saat terjadi ”perselisihan” antara peternak dengan perusahaan inti, dinas peternakan tidak dapat berperan sebagai mediator.
Fungsi dinas peternakan sebagai fasilitator
dalam pembentukan kelompok ternak dan koperasi ternak juga tidak dilakukan sehingga sampai kini belum terbentuk kelompok ternak dan koperasi ternak. 5.5. Pelaksanaan Kerjasama dan Tanggapan Peserta Kemitraan Dalam kontrak yang ditandatangani oleh peternak plasma dan perusahaan inti disebutkan tentang kewajiban-kewajiban peternak plasma dan perusahaan inti, harga beli ayam ras pedaging oleh perusahaan inti, dan pemberian insentif jika terjadi selisih harga kontrak dan harga pasar. Sedangkan tanggapan (persepsi) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pandangan atau opini peternak
54
terhadap prosedur pelaksanaan kemitraan. Persepsi peternak dikelompokkan dalam tiga bentuk yaitu positif, negatif dan netral. Persepsi yang positif ditunjukkan oleh pandangan yang mendukung prosedur pelaksanaan kegiatan, persepsi negatif ditunjukkan oleh penilaianpenilaian yang kurang mendukung prosedur pelaksanaan kegiatan sedangkan persepsi netral ditunjukkan oleh partisipan yang tidak mempunyai opini terhadap pelaksanaan kemitraan. Pelaksanaan kontrak dan tanggapan peternak terhadap pelaksanaan kemitraan tersebut di tempat penelitian diuraikan sebagai berikut: 1. Dalam kontrak yang ditandatangani perusahaan inti dan peternak plasma disebutkan bahwa perusahaan inti wajib menyediakan peralatan kandang dan sarana produksi ternak yaitu DOC, pakan, obat-obatan dan penyediaan ini dikredit oleh peternak. Untuk pengajuan kredit sapronak, tanah beserta kandangnya2 dijadikan agunan, sedangkan pelunasan kreditnya dilakukan dengan dua cara: (1) pelunasan kredit untuk peralatan kandang dilakukan dengan cara mencicil setiap kali panen, yaitu dipotong sebesar 20-25 persen dari keuntungan yang diperoleh peternak3, dan (2) pelunasan kredit untuk sapronak dilakukan dengan cara memotong secara langsung dari hasil panen yang diperoleh peternak sebelum uang hasil penjualan ayam ras pedaging dibayarkan perusahaan inti kepada peternak4. Harga alat perkandangan yang dikreditkan telah ditentukan dan diketahui oleh peternak pada saat barang
2
3
4
Kandang yang dibuat oleh peternak harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan inti. Standar kandang yang dipersyaratkan oleh perusahaan inti disebutkan secara detail pada butir 4. Jika peternak mengalami kerugian, pemotongan untuk pembayaran peralatan kandang tidak dilakukan. Dibayar lunas dalam satu kali panen, kecuali hasil panen tidak menutupi.
55
diantar ke lokasi peternakan sedangkan harga sapronak (DOC, pakan, obat dan vaksin) ditentukan dan diketahui oleh peternak setelah pembayaran hasil panen ayam ras pedaging. Di Kabupaten Karanganyar, sebagian besar (75 persen) peternak mampu membeli peralatan kandang sendiri sedangkan sapronaknya dikredit dari perusahaan inti. Dalam praktek di lapang diketahui bahwa kewajiban perusahaan inti untuk menyediakan sarana produksi ternak sudah dilakukan dengan baik, artinya DOC, pakan dan obat-obatan dikirim sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan. Hal ini juga dibuktikan oleh persepsi peternak peserta kemitraan yang menunjukkan bahwa dalam prosedur jadwal penyaluran DOC, 62.5 persen responden mempunyai persepsi positif atau mendukung, 25 persen responden mempunyai persepsi negatif dan 12.5 persen responden mempunyai persepsi netral. Untuk penyaluran pakan, sebanyak 75 persen responden mempunyai persepsi positif dan 12.5 persen mempunyai persepsi negatif sedangkan 12.5 persen lainnya bersikap netral. Sedangkan untuk penyaluran obat dan vaksin, seluruh responden mempunyai persepsi yang positif karena obat dan vaksin disalurkan kepada peternak mitra sesuai dengan jadwal pemberian obat dan vaksin pada ternak (Tabel 12). Tetapi rata-rata dari lima kali pengiriman, terdapat satu kali (20 persen) pengiriman DOC dan pakan yang dikirim tidak sesuai dengan harapan peternak. Peternak menghendaki DOC kualitas platinum tetapi dikirim DOC kualitas gold. Sedangkan untuk pakan ternak, kadang-kadang perusahaan inti mengirimkan pakan yang berkualitas rendah. Rendahnya kualitas pakan ini terlihat dari rendahnya pertumbuhan bobot ayam hidup. Untuk menghadapi kondisi ini peternak tidak dapat mengajukan keberatan (complaint) kepada
56
perusahaan inti karena dalam surat perjanjian tidak disebutkan jenis DOC dan pakan yang harus dikirim oleh perusahaan inti. Tanggapan peternak terhadap penentuan harga input khususnya sapronak, kurang baik (persepsi negatif) karena harga sapronak ditentukan dan diketahui setelah terjadi pembayaran hasil panen ayam ras pedaging. Peternak merasa bahwa harga sapronak yang diberikan terlalu tinggi bila dibandingkan harga sapronak di pasar sehingga keuntungan yang dipeoleh peternak menjadi berkurang (Tabel 12). Tabel 12. Persepsi Responden Peternak Mitra terhadap Pelaksanaan Kemitraan No 1
Prosedur Jadwal Penyaluran Sapronak 1. DOC 2. Pakan 3. Obat dan Vaksin
2 3
Pembinaan dan Pelatihan Pembagian Hasil
4
Pemberian Insentif
Keterangan:
Positif
Persepsi Negatif
Netral
10 (62.5) 12 (75) 16 (100) 16 (100) 2 (12.5) 8 (50)
4 (25) 2 (12.5) 0 (0) 0 (0) 12 (75) 8 (50)
2 (12.5) 2 (12.5) 0 (0) 0 (0) 2 (12.5) 0 (0)
Angka dalam kurung merupakan persentase dari total responden
2. Kontrak perjanjian menyebutkan bahwa perusahaan inti wajib untuk membeli semua hasil produksi ternak dari peternak mitra.
Pada kenyataannya,
pembeliaan ayam ras pedaging tidak seluruhnya ditampung (dibeli) oleh perusahaan inti. Hal ini terkait dengan sistem pembelian ayam ras pedaging dari perusahaan inti kepada pedagang perantara. Sistem pembelian ayam ras pedaging dari perusahaan inti kepada pedagang perantara dilakukan melalui
57
penerbitan DO (delivery order) oleh perusahaan inti yang kemudian digunakan sebagai bukti pengambilan ayam-ayam ras pedaging di peternakanpeternakan peternak plasma. Pedagang perantara datang langsung ke lokasi peternakan dan melakukan penyortiran terhadap ayam-ayam tersebut dan ayam ras pedaging yang diambil (dibeli) adalah ayam yang tidak cacat dan memiliki berat per ekor sebesar 1.19 kg sampai dengan 1.9 kg. Hal ini berarti, terkait dengan kontrak perjanjian, bahwa tidak semua ayam ras pedaging ditampung oleh perusahaan inti karena selalu ada (dalam jumlah yang kecil) ayam-ayam sortir. Harga pembelian ayam ras pedaging sudah ditetapkan oleh perusahaan inti saat penandatanganan kontrak. Harga kontrak merupakan harga prediksi yang dibuat oleh perusahaan inti. Saat panen, seringkali terjadi selisih antara harga kontrak dengan harga yang berlaku di pasar. Jika terjadi selisih harga kontrak, dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasar, maka peternak akan memperoleh insentif berupa peningkatan harga sebesar 15 persen sampai dengan 40 persen dari selisih harga. Insentif diberikan oleh perusahaan inti langsung kepada peternak bersamaan dengan pemberian uang hasil penjualan ayam ras pedaging. Penentuan selisih harga dan pemberian besarnya insentif sepenuhnya merupakan wewenang dari perusahaan inti sedangkan peternak mitra hanya bertindak sebagai penerima. Peternak yang merasa diuntungkan dengan adanya insentif ini sebesar 50 persen dan yang merasa dirugikan sebesar 50 persen (Tabel 12). Peternak yang merasa diuntungkan berpendapat bahwa pemberian insentif, cukup menolong peternak dari tingginya perbedaan harga dibandingkan jika mereka harus menerima harga kontrak saja.
58
Sedangkan peternak yang merasa dirugikan berpendapat bahwa insentif yang diberikan terlalu rendah karena peternak hanya mendapatkan 15 persen sampai dengan 40 persen dari selisih harga yang tertuang dalam kontrak dan harga pasar yang terjadi. Artinya peternak plasma akan selalu menerima harga jual yang lebih rendah dibandingkan peternak mandiri. Selain penetapan harga, masa panen juga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan inti.
Hal ini biasanya dilakukan pada saat harga ayam ras
pedaging sedang tinggi, sehingga untuk memanfaatkan kondisi ini agar perusahaan inti memperoleh keuntungan yang besar maka peternak dipaksakan untuk melakukan pemanenan, walaupun terkadang bobot ayam masih terlalu kecil untuk dipanen (< 1.2 kg/ekor). Panen yang dipercepat ini seringkali merugikan peternak karena bobot ayam yang kecil ini menyebabkan nilai jualnya belum mampu menutup biaya operasionalnya (tidak mencapai break even point). 3. Perusahaan inti wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap peternak mitra sesuai dengan standar perusahaan. Perusahaan inti telah memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap peternak plasma dengan baik. Bimbingan dan penyuluhan ini dilakukan dengan cara menyediakan tenaga penyuluh (TS) yang ahli dalam proses pra produksi dan proses produksi ayam ras pedaging bagi peternak-peternak mitra. Bimbingan yang dilakukan berupa bimbingan untuk berusahaternak sehingga hasil ternak menjadi maksimal seperti pemakaian sekam di kandang, pemberian air gula merah sesaat setelah DOC tiba di kandang, jarak atau waktu pemberian pakan dan waktu untuk pemberian obat atau vaksin pada ayam ras pedaging. Tenaga
59
penyuluh (TS) juga melakukan pengontrolan tingkat kematian ayam dan bobot ayam yang telah dicapai. Dalam hal pemberian bimbingan tentang tata cara berusahaternak yang baik ini, 100 persen peternak menyatakan puas dengan adanya bimbingan yang diberikan perusahaan inti (Tabel 12). 4. Peternak mitra wajib menyediakan kandang yang sesuai dengan ketentuan perusahaan. Kandang yang sesuai dengan keinginan perusahaan mempunyai standar yang sama. Standar ini harus dipenuhi oleh peternak demi tercapainya hasil yang maksimal. Ada tiga aspek pendukung dalam pendirian kandang ayam ras pedaging yaitu: (1) aspek struktural, antara lain mencakup tentang bahan atau komponen untuk membuat kandang yaitu kandang harus terbuat dari 75 persen bambu, 15 persen genting dan 10 persen besi dan pasir, (2) aspek fungsional yang mencakup tentang bentuk kandang yaitu kandang harus berbentuk panggung, membujur timur barat, mempunyai lubang angin, harus ada lubang-lubang kecil untuk pembuangan kotoran ayam, dan (3) aspek lingkungan yaitu kandang yang digunakan harus tersedia air bersih, ada jaringan listrik, ada jalan masuk truk, tidak mengganggu pemukiman penduduk (± 2 kilometer dari pemukiman penduduk), mempunyai tenaga kerja yang memadai dan memiliki sertifikat tanah5. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa semua peternak telah memenuhi standar yang disyaratkan perusahaan inti6. 5. Peternak mitra wajib mengelola ayam ras pedaging sesuai dengan standar perusahaan, baik dari segi pakan, obat-obatan dan perlakuan lainnya. Ayam ras pedaging harus dikelola dengan baik sesuai dengan bimbingan dari 5 6
Sertifikat tanah dijadikan agunan untuk pengajuan kredit pada perusahaan inti. Perusahaan inti tidak akan membuat perjanjian kemitraan jika salah satu persyaratannya tidak dipenuhi.
60
perusahaan. Pengelolaan ini antara lain pemberian pakan yang sesuai dengan ukuran tidak lebih dan tidak kurang, pemberian vaksin sesuai dengan waktunya dan pemberian pemanas untuk ayam yang masih muda. Dari hasil penelitian terlihat bahwa semua pengelolaan yang telah ditetapkan oleh perusahaan inti telah dilaksanakan oleh peternak, karena selama proses pemeliharaan ayam ras pedaging, peternak selalu didampingi oleh TS yang sekaligus bertindak sebagai pengawas dari perusahaan inti. 6. Peternak mitra wajib menjual semua produksi ternak kepada perusahaan inti. Setelah masa panen tiba, peternak akan menjual ayam-ayam ras pedaging kepada perusahaan inti dan peternak tidak bisa menjualnya kepada pihak lain. Untuk ayam-ayam sortir yang tidak dibeli oleh perusahaan inti, biasanya akan dikonsumsi sendiri oleh peternak atau dibagi-bagikan kepada tetangga Akibat dari pelaksanaan perjanjian kontrak yang tidak ditepati oleh perusahaan inti menyebabkan para peternak mitra di Kabupaten Karanganyar keluar dari kemitraan (peternak yang cukup modal) atau berpindah ke perusahaan inti lain7.
Hal ini menunjukkan bahwa program kemitraan peternak dengan
perusahaan inti di Kabupaten Karanganyar tidak sepenuhnya berhasil diterapkan. Dari uraian sebelumya terlihat bahwa konflik seringkali disebabkan oleh adanya sifat opportunisme dari perusahaan inti, yakni mencari keuntungan sebesarbesarnya bagi dirinya sendiri. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Simatupang (1997), bahwa kepatuhan terhadap kesepakatan (credible commitment) merupakan kunci keberhasilan dari suatu program kemitraan.
7
Dalam kasus kemitraan
Pada umumnya, perusahaan inti di Kabupaten Karanganyar memiliki perilaku yang relatif sama. Hal ini dilakukan peternak dengan motif “mencoba-coba”.
61
peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar ini, pihak yang tidak mematuhi kesepakatan justru lebih sering dilakukan oleh perusahaan inti. 5.6. Manfaat Kemitraan bagi Peternak Dari hasil wawancara dengan responden peternak mitra tentang keuntungan-keuntungan bermitra yang selama ini dijalankan oleh peternak dan perusahaan inti di Kabupaten Karanganyar adalah: 1. Ketersediaan modal awal untuk berusahaternak Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 3 bahwa untuk memulai usahaternak ayam ras pedaging, peternak membutuhkan modal yang relatif besar untuk pembuatan kandang dan pembelian alat-alat kandang. Untuk skala usaha 5 000 ekor ayam dalam satu siklus produksi (± 35 hari) dibutuhkan dana berkisar antara Rp 70 juta – Rp 95 juta. Pada kondisi ini, peternak amat memerlukan bantuan pihak lain dalam menyediakan modal awal. Di Kabupaten Karanganyar peternak yang melakukan kemitraan dengan perusahaan inti, umumnya merasa sangat terbantu dengan adanya kerjasama kemitraan karena modal awal yang seharusnya ditanggung oleh peternak, sebagian ditanggung oleh perusahaan inti melalui pemberian kredit penyediaan alat-alat kandang. 2. Adanya bimbingan dan penyuluhan Keuntungan lain dari kerjasama kemitraan yang paling besar manfaatnya bagi peternak adalah adanya bimbingan dan penyuluhan yang diberikan oleh technical service (TS) dari perusahaan inti. Penyuluhan dan bimbingan melalui TS ini sangat intensif karena setiap satu orang peternak akan memperoleh bimbingan secara langsung. Melalui penyuluhan tersebut, peternak peserta kemitraan memperoleh informasi perkembangan (inovasi) teknologi usahaternak relatif lebih
62
cepat dibandingkan peternak non mitra.
Peternak mitra menyatakan bahwa
teknologi yang diberikan oleh TS terbukti mampu meningkatkan kualitas ayam ras pedaging yang dihasilkan. 3. Penanggungan resiko Usahaternak ayam ras pedaging sangat rentan terhadap kegagalan produksi seperti rendahnya bobot ayam (biasanya disebabkan oleh kualitas DOC dan pakan yang rendah), serangan penyakit atau anjloknya harga ayam di pasar. Jika terjadi kegagalan panen, pendapatan yang diperoleh biasanya tidak mampu lagi digunakan untuk membiayai proses produksi pada periode berikutnya.
Bagi
peternak-peternak peserta kemitraan, kegagalan panen tidak menyebabkan proses produksi periode berikutnya terhenti karena perusahaan inti akan tetap menyediakan sarana produksi ternak (DOC, pakan, obat dan vaksin). Hal ini tidak bisa dilakukan oleh peternak non mitra, resiko kegagalan usaha akan ditanggung sendiri sehingga jika harus memulai proses produksi pada berikutnya mereka harus mampu mencari sumber modal baru. Manfaat yang dirasakan oleh peternak inilah yang membuat para peternak tetap melaksanakan program kemitraan walaupun masih ada perselisihan antara peternak dengan perusahaan inti seperti yang telah dijelaskan di sub bab pelaksanaan kerjasama kemitraan.
Pada umumnya, peternak di Kabupaten
Karanganyar yang memilih untuk menjadi peternak mandiri (keluar dari program kemitraan) adalah mereka yang telah memiliki modal besar dan bersedia menanggung resiko kegagalan. Secara keseluruhan, analisis terhadap struktur kelembagaan kemitraan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar ditunjukkan oleh tiga hal yaitu: (1)
63
batasyurisdiksi (jurisdiction boundary) dalam kerjasama kemitraan perusahaan inti bertindak sebagai penyedia faktor-faktor input (peralatan kandang dan sapronak), termasuk memberikan bimbingan proses produksi dan penampung hasil produksi, sedangkan peternak peserta kemitraan bertindak sebagai pelaku proses produksi ayam ras pedaging. Kewenangan yang dimiliki oleh perusahaan inti terintegrasi mulai dari perencanaan, pembuat aturan dan pengambilan keputusan sementara peternak hanya menjadi pihak pelaksana bahkan pada tahap produksi, seperti pemberian jumlah pakan, dosis obat dan vaksin serta perlakuan yang diberikan kepada ternak, telah ditentukan dan dibawah pengawasan pihak perusahaan inti, (2) property right dalam kerjasama kemitraan di tingkat provinsi diatur dalam SK (Surat Keputusan) Dinas Peternakan tingkat Provinsi sedangkan pada tahapan pelaksanaan, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan kerjasama diatur dalam kontrak perjanjian yang dibuat oleh perusahaan inti dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Kewajiban
perusahaan inti untuk menampung seluruh produksi dari peternak mitra belum dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang dibuat, dan (3) aturan representasi (rules of representation) dalam pembuatan keputusan lebih ditentukan oleh perusahaan inti.
Oleh sebab itu, adanya ”keberatan” peternak mengenai
pembagian hasil (penentuan harga input dan harga output) maupun pemberian insentif tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Peternak tidak dapat berpartisipasi untuk menentukan proporsi bagi hasil dan pemberian insentif yang “adil” bagi mereka. Hal ini terkait dengan isi perjanjian kontrak yang masih kurang jelas dan kurang terperinci.
VI. ANALISIS EKONOMI USAHATERNAK 6.1. Analisis Pendapatan Usahaternak Salah satu cara untuk mengukur manfaat pola kemitraan dibandingkan dengan pola mandiri pada usahaternak ayam ras pedaging adalah dengan melihat perbedaan pendapatan peternak untuk tiap satu ekor ternak yang mereka hasilkan. Pendapatan merupakan selisih dari nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran (biaya). Biaya usahaternak ayam ras pedaging merupakan nilai dari semua pengeluaran yang dipergunakan dalam menghasilkan produk per ekor ayam ras pedaging. Dalam penelitian ini, biaya yang dikeluarkan dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi biaya sewa kandang dan biaya untuk alat-alat kandang seperti tempat pakan, tempat minum dan alat pemanas (gasolec). Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang habis digunakan dalam satu periode produksi ayam ras pedaging. Biaya-biaya ini meliputi biaya DOC, biaya pakan, obat-obatan, vaksin, biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lainnya (gas, listrik, gula merah, sekam). Biaya dihitung untuk satu kali periode produksi (± 35 hari) mulai dari persiapan untuk berproduksi, proses produksi dan pemanenan. Sedangkan penerimaan usahaternak ayam ras pedaging adalah nilai dari penjualan per ekor ayam ras pedaging. dimana dalam penelitian untuk tiap ekor ayam ras pedaging yang siap dijual memiliki berat rerata 1.79 kg. Untuk melihat perbandingan efisiensi penggunaan input dari usahaternak antara pola mandiri dengan pola kemitraan maka digunakan analisis ratio penerimaan dengan total biaya yang digunakan. Hasil perhitungan biaya, penerimaan, pendapatan dan R/C ratio usahaternak ayam ras pedaging di
65
Kabupaten Karanganyar antara pola mandiri dengan pola kemitraan disajikan secara lengkap pada Tabel 13. Tabel 13. Perbandingan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahaternak Ayam Ras Pedaging antara Pola Mandiri dan Pola Kemitraan, Tahun 2003 Uraian Biaya Tetap 1. Sewa Kandang 2. Tempat Pakan 3. Tempat Minum 4. Alat Pemanas Total Biaya Variabel 1. DOC* 2. Pakan 3. Obat dan Vaksin 4. Sekam 5. Gula Merah 6. Kunyit dan Daun Pepaya 7. Gas 8. Listrik 9. Tenaga Kerja Total Total Biaya Total Penerimaan** Pendapatan R/C Sumber Keterangan
Mandiri Nilai Kontribusi (Rp/Ekor) (%)
Kemitraan Nilai Kontribusi (Rp/Ekor) (%)
400.00 14.63 66.03 26.50 506.96
4.92 0.18 0.81 0.33 6.24
400.00 14.63 66.03 26.50 506.96
4.36 0.16 0.72 0.39 5.53
2 400.00 4 480.00 439.96 42.86 8.00 0.80
29.52 55.11 5.41 0.53 0.10 0.01
2 900.00 4 972.00 488.80 42.86 8.00 -
31.63 54.23 5.33 0.47 0.09 -
125.72 6.79 117.86 7 621.99 8 128.95 12 261.50 4 132.55 1.51
1.55 0.08 1.45 93.76 100.00
125.72 6.79 117.86 8 662.03 9 168.99 12 204.00 3 035.01 1.33
1.37 0.07 1.29 94.47 100.00
: Data Primer, 2003 (diolah) : * = Strain DOC pola mandiri dan pola kemitraan tidak berbeda ** = untuk satu ekor ayam ras pedaging setara dengan 1.79 kg (35 hari)
Dari Tabel 13 terlihat bahwa total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi satu ekor ayam ras pedaging pada pola mandiri lebih rendah dibandingkan dengan pola kemitraan. Selisih total biaya antara pola kemitraan dengan pola mandiri mencapai Rp 1 040.04 per ekor.
Artinya untuk
memproduksi satu ekor ayam ras pedaging pada pola kemitraan membutuhkan biaya 12.79 persen lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada pola mandiri. Dari komposisi biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan oleh
66
peternak masing-masing pola tidak jauh berbeda.
Artinya untuk usahaternak
ayam ras pedaging, biaya yang paling banyak dikeluarkan berturut-turut adalah biaya untuk pembelian pakan, DOC, obat dan vaksin, sewa kandang dan pembelian gas. Perbedaan komposisi biaya variabel pada pola kemitraan dengan pola mandiri adalah pengeluaran untuk pembelian kunyit dan daun pepaya. Untuk peternak pola mandiri, pemberian kunyit dan daun pepaya adalah salah satu cara untuk mengurangi penggunaan vaksin karena pemberian kunyit dan daun pepaya dipercaya oleh peternak sebagai cara untuk meningkatkan daya tahan tubuh ayam ras pedaging dari serangan penyakit. Bagi peternak peserta pola kemitraan, hal tersebut tidak dapat dilakukan karena perusahaan inti telah memberikan persyaratan bahwa peternak dilarang untuk memberikan perlakuan yang tidak sesuai dengan standar perusahaan inti. Untuk ketahanan tubuh terhadap serangan penyakit maka ternak pada pola kemitraan harus diberikan vaksin sesuai dengan dosis dan anjuran dari penyuluh (TS). Jika dilihat dari nilainya, biaya tetap yang dikeluarkan oleh peternak peserta pola kemitraan tidak berbeda dengan peternak pola mandiri. Hal ini disebabkan karena adanya ketentuan dari perusahaan inti bahwa peternak peserta pola kemitraan harus dapat menyediakan sendiri kandang dan peralatannya1 sehingga harga input per unit yang diterima oleh peternak peserta kemitraan sama dengan peternak pola mandiri, yakni sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Untuk biaya variabel, yakni biaya DOC, pakan, obat dan vaksin, terlihat perbedaan yang relatif besar antara biaya yang dikeluarkan oleh peternak mandiri dengan peternak kemitraan. Perbedaan biaya ini lebih disebabkan oleh adanya perbedaan harga 1
Pembelian peralatan kandang diasumsikan dibeli secara tunai karena 75 persen peternak mitra membeli sendiri peralatan kandangnya.
67
yang diterima peternak peserta kemitraan karena kualitas DOC dan kuantitas pemberian pakan yang diberikan antara peternak pola mandiri dan pola kemitraan tidak ada perbedaan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa peternak ayam ras pedaging pola mandiri yang ada di Kabupaten Karanganyar merupakan “eks” peserta kemitraan sehingga teknologi yang diterapkan pada usahaternak mereka relatif tidak jauh berbeda dengan peternak pola kemitraan. Pengetahuan tentang kualitas strain DOC, pemberian pakan termasuk dosis pemberian obat dan vaksin masih diterapkan oleh peternak pola mandiri dalam proses usahaternak mereka sehingga diyakini bahwa perbedaan jumlah biaya variabel lebih disebabkan oleh adanya perbedaan harga input. Namun khusus untuk biaya obat dan vaksin, selisih biaya yang terjadi juga disebabkan perbedaan kuantitas vaksin yang diberikan. Sebagaimana penjelasan pada komposisi biaya variabel, bahwa sebagian penggunaan vaksin untuk ternak pada pola mandiri digantikan dengan pemberian kunyit dan daun pepaya sehingga biaya vaksinnya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pola kemitraan. Harga input yang diterima oleh peternak peserta kemitraan telah ditentukan oleh perusahaan inti dan biasanya lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga yang berlaku di pasar. Dari hasil penelitian terlihat bahwa selisih biaya pembelian DOC yang diterima peternak kemitraan adalah 20.83 persen lebih tinggi dibandingkan biaya pembelian DOC yang dikeluarkan oleh peternak pola mandiri atau sebesar Rp 500 per DOC. Untuk biaya pembelian pakan dan obat-obatan dan vaksin, peternak peserta pola kemitraan mengeluarkan biaya masing-masing 10.98 persen dan 11.10 persen lebih tinggi dibandingkan peternak pola mandiri. Selisih harga input ini merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan inti dan hal ini
68
sangat wajar jika perusahaan inti menginginkan dapat memperoleh keuntungan dari penjualan DOC, pakan, obat dan vaksin. Namun yang membuat sebagian besar peternak merasa dirugikan adalah karena harga input tidak pernah ditentukan di awal kontrak dan persentase keuntungan yang diambil oleh perusahaan inti tidak pernah diketahui secara pasti. Total penerimaan disini sama dengan harga jual per ekor ayam ras pedaging. Peternak pola mandiri memperoleh penerimaan sebesar Rp 12 261.50 sedangkan untuk peternak pola kemitraan hanya Rp 12 204.00 atau 0.47 persen lebih rendah dibandingkan penerimaan peternak pola mandiri. Selisih penerimaan atau harga jual ini juga disebabkan adanya kontrak kesepakatan atas harga output sebelum proses produksi oleh peternak peserta pola kemitraan. Jika harga yang berlaku di pasar lebih tinggi dari harga kesepakatan, peternak hanya memperoleh peningkatan harga sebesar 15-40 persen dari selisih harga yang berlaku atau biasa disebut dengan pemberian insentif. Oleh sebab itu, harga output yang diterima peternak pola kemitraan akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga output pola mandiri. Jika terjadi kasus sebaliknya atau harga kontrak lebih tinggi dibandingkan harga pasar, maka sesuai kontrak peternak peserta kemitraan akan menerima sesuai harga kontrak. Namun demikian, hal ini (harga kontrak lebih tinggi dari harga pasar) jarang sekali terjadi. Menurut hasil wawancara dengan peternak peserta kemitraan, selama sepuluh tahun terakhir ini belum pernah terjadi harga kontrak lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini disebabkan karena perusahaan inti lebih menguasai informasi harga pasar apalagi perusahaan inti memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan para pedagang besar
69
sehingga perusahaan inti mempunyai kemampuan yang relatif baik dalam memprediksi harga pasar. Pendapatan yang merupakan selisih penerimaan dengan biaya menunjukkan hal yang sama karena pola mandiri memiliki penerimaan lebih tinggi dan biaya lebih rendah maka pendapatan yang diperoleh peternak pola mandiri juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan peternak pola kemitraan. Pendapatan yang mampu diperoleh peternak pola mandiri adalah Rp 4 132.55 per ekor ayam ras pedaging sedangkan untuk peternak pola kemitraan memperoleh pendapatan senilai Rp 3 035.01 per ekor. Dengan kata lain, untuk tiap ekor ayam ras pedaging, peternak pola kemitraan memperoleh pendapatan Rp 1 097.54 atau 26.56 persen lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan peternak pola mandiri. Sejalan dengan pendapatan yang diterima, analisis R/C ratio juga menunjukkan bahwa usahaternak pola mandiri lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan usahaternak pola kemitraan. Hasil perhitungan R/C ratio yang disajikan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa R/C ratio pola mandiri adalah 1.51 sedangkan pola kemitraan sebesar 1.33.
Nilai ini menunjukkan bahwa
usahaternak pola mandiri lebih efisien dalam penggunaan inputnya, yakni untuk tiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.51. Sedangkan untuk usahaternak pola kemitraan, tiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.33.
Secara keseluruhan, hasil
analisis R/C ratio menunjukkan bahwa baik pola kemitraan maupun pola mandiri, usahaternak ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar efisien dan
70
menguntungkan karena penerimaan/imbalan yang diperoleh lebih besar dari pengeluarannya sehingga peternak dapat memperoleh manfaat dari usaha ini. 6.2. Analisis Pemasaran Usahaternak Selain perbedaan biaya, penerimaan dan pendapatan yang diperoleh, proses penyaluran produksi (ayam ras pedaging) antara peternak pola mandiri dengan pola kemitraan juga memiliki perbedaan. Hal ini terkait dengan adanya kontrak kesepakatan antara peternak peserta kemitraan dengan perusahaan intinya. Jalur pemasaran yang berbeda pada akhirnya juga mempengaruhi marjin pemasaran yang diterima oleh peternak. Oleh karena itu, analisis pemasaran usahaternak dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap saluran pemasaran dan marjin pemasaran pasar pada kedua pola pengusahaan serta analisis keterpaduan pasar. 6.2.1. Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging Proses penyaluran hasil produksi ayam ras pedaging dari peternak kepada konsumen melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Pada umumnya, baik pola kemitraan maupun pola mandiri, lembaga pemasaran yang terlibat adalah pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer.
Sifat yang
membedakan pedagang perantara ayam ras pedaging adalah besarnya modal yang dicirikan dengan skala atau kapasitas pembelian. Kapasitas pembelian untuk pedagang pengumpul adalah 1 000 kg – 1 500 kg atau setara dengan 550 - 800 ekor ayam hidup dengan menggunakan alat angkut mobil pick-up. Kapasitas pembelian pedagang besar adalah 2 600 kg – 3 000 kg atau setara dengan 1 400 1 700 ekor ayam hidup dengan menggunakan alat angkut berupa truk sedangkan kapasitas pembelian pedagang pengecer adalah 700 kg - 900 kg atau setara dengan 380 – 500 ekor.
71
Perbedaan pemasaran ayam ras pedaging antara pola kemitraan dengan pola mandiri terletak pada pola transaksi yang terjadi antara peternak dengan pedagang. Jika pada pola mandiri, peternak ayam ras pedaging dapat langsung bertransaksi dengan pembeli baik yang bertindak sebagai pedagang pengumpul, pedagang pengecer maupun konsumen akhir.
Namun pada pola kemitraan,
transaksi yang terjadi antara peternak dengan pembeli (pedagang perantara) dilakukan secara tidak langsung melalui perusahaan inti. Hal ini terjadi karena peternak peserta kemitraan telah terikat kontrak dengan perusahaan inti bahwa peternak berkewajiban untuk menjual semua hasil produksi ternaknya kepada perusahaan inti. Pada pelaksanaannya, perusahaan inti tidak mengumpulkan hasil panen para peternak secara langsung namun dengan cara menjual delivery order (DO) kepada pedagang perantara yang kemudian mengambil ayam ras pedaging tersebut ke masing-masing peternak dengan membawa DO (sebagai bukti pengambilan barang). DO ini merupakan surat keterangan tentang jumlah ternak (ayam ras pedaging) yang dibeli dan dapat diambil oleh pedagang perantara di lokasi peternakan yang bekerjasama dengan perusahaan inti. Melalui DO ini juga pedagang perantara, khususnya pedagang besar dan pedagang pengumpul dapat mengambil ayam ras pedaging di beberapa lokasi peternakan sampai jumlah ternak yang diambil dari para peternak kemitraan sesuai dengan jumlah yang dibeli dari perusahaan inti. Adanya perbedaan mekanisme penyaluran ayam ras pedaging dari peternak kepada konsumen diantara kedua pola usahaternak tersebut maka saluran pemasaran ayam ras pedaging pola kemitraan memiliki rantai pemasaran yang lebih panjang dibandingkan dengan pola mandiri karena adanya keterlibatan
72
perusahaan inti dalam proses pemasaran. Rantai pemasaran ayam ras pedaging peternakan pola mandiri memiliki empat pola saluran sedangkan pola kemitraan hanya memiliki tiga pola saluran pemasaran. Berikut ini dijelaskan masingmasing rantai pemasaran ayam ras pedaging pola mandiri dan pola kemitraan yang secara ringkas disajikan pada Gambar 5. Saluran pemasaran ayam ras pedaging pada pola mandiri adalah: 1.
Peternak menjual hasil ternaknya langsung kepada pedagang pengumpul, yang datang ke lokasi peternakan dengan menggunakan mobil pick up. Kapasitas angkut rata-rata untuk mobil pick up adalah 800 kg ayam hidup sehingga untuk sekali pembelian biasanya pedagang pengumpul melakukan dua kali pengambilan barang. Dari Gambar 5 terlihat bahwa sebagian besar dari volume produksi ayam ras pedaging peternak mandiri dijual kepada pedagang pengumpul yaitu 57.58 persen. Pada umumnya pembayaran dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pengambilan ayam ras pedaging atau dengan kata lain transaksi antara pedagang pengumpul dengan peternak dilakukan secara tunai. Alasan peternak untuk melakukan transaksi tunai ini adalah karena peternak membutuhkan uang secepatnya sebagai modal untuk melakukan proses produksi kembali.
Dari para
pedagang pengumpul ini, sebagian ayam ras pedaging didistribusikan kepada pedagang besar di Wilayah Surakarta yaitu di Kabupaten Sukoharjo dan Solo (15.15 persen). Selanjutnya pedagang besar akan menjual ayam ras pedaging tersebut ke para pedagang pegecer yang ada di pasar-pasar tradisional untuk dijual kembali kepada konsumen akhir.
Ayam ras
pedaging yang dijual dari pedagang pengecer kepada konsumen akhir dapat
Peternak Pola Kemitraan
Analisis Kelembagaan: Struktur Organisasi Kemitraan Perjanjian Kerjasama Kemitraan Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan Persepsi dan Partisipasi Peserta
Efisiensi Usahaternak: R/C Ratio
Perusahaan Mitra
Harga Input (Biaya Produksi)
Lembaga Pemasaran
Harga Output (Penerimaan)
Pasar Sapronak Pasar Konsumen
Efisiensi Pemasaran:
Peternak Pola Mandiri Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Ratio Keuntungan/Biaya Pemasaran Keterpaduan Pasar (IMC)
74
berbentuk ayam hidup maupun dalam bentuk karkas tergantung pada permintaan konsumen. 2.
Peternak menjual ayam ras pedaging kepada pedagang pengumpul yang langsung mendatangi peternak di lokasi peternakan.
Dari pedagang
pengumpul ini sebagian besar (42.43 persen) ayam ras pedaging ini langsung didistribusikan kepada para pedagang pengecer yang ada di pasarpasar di Kabupaten Karanganyar. Ayam-ayam yang dijual oleh pedagang pengumpul kepada para pedagang pengecer, biasanya telah dipotong dan dibersihkan terlebih dahulu atau dengan kata lain dijual dalam bentuk karkas sehingga pedagang pengecer bisa langsung menjualnya ke konsumen akhir. 3.
Selain menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul, peternak juga menjual ayam ras pedaging kepada pedagang pengecer yang mendatangi peternak di lokasi peternakan (37.88 persen) dengan menggunakan mobil pick up. Pedagang pengecer kemudian menjual ayam ras pedaging tersebut kepada konsumen akhir di pasar tradisional dalam bentuk karkas.
4.
Sebagian kecil dari hasil produksi ayam ras pedaging (4.54 persen) dipasarkan tanpa melalui pedagang perantara tetapi langsung dijual kepada konsumen akhir. Namun pola pemasaran ini tidak terjadi setiap musim panen tiba karena pembelian oleh konsumen akhir sifatnya kondisional seperti adanya acara-acara hajatan yang membutuhkan ayam ras pedaging dalam jumlah relatif besar sehingga konsumen langsung membeli dari peternak untuk memperoleh harga yang lebih murah dibandingkan bila mereka membeli dari pedagang pengecer di pasar. Tidak semua konsumen bisa langsung membeli dari peternak, hanya konsumen-konsumen yang
75
dikenal oleh peternak dan umumnya konsumen akhir ini merupakan tetangga, teman atau kerabat dari peternak tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa seluruh hasil produksi usahaternak pola kemitraan dijual kepada perusahaan inti sebelum didistribusikan kepada agen-agen pemasaran lain. Pada umumnya, pedagangpedagang perantara yang terlibat telah memiliki hubungan kerjasama dengan perusahaan inti.
Setelah terjadi kesepakatan harga dan transaksi antara
perusahaan inti dengan para pedagang perantara, perusahaan inti akan menerbitkan delivery order (DO) yang berisi jumlah ayam ras pedaging yang dibeli dan DO inilah yang kemudian digunakan untuk mengambil barang (ayam ras pedaging) di lokasi peternakan para peternak mitra. Saluran pemasaran ayam ras pedaging pola kemitraan adalah: 1.
Produksi ayam ras pedaging pada usahaternak pola kemitraan, 30.13 persen diantaranya dijual oleh perusahaan inti kepada para pedagang pengumpul (Gambar 5). Setelah dari pedagang pengumpul, ayam ras pedaging ini dijual kepada pedagang besar untuk kemudian dijual kembali kepada para pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di wilayah Sukoharjo dan Solo. Pada umumnya pedagang pengecer menjual ayam ras pedaging kepada konsumen akhir dalam bentuk karkas sehingga pedagang pengecer melakukan pemotongan ayam terlebih dahulu sebelum dibawa ke pasarpasar.
2.
Proporsi terbesar dari produksi ayam ras pedaging milik peternak pola kemitraan (41.02 persen), didistribusikan oleh perusahaan inti kepada para pedagang besar yang berasal dari luar Kabupaten Karanganyar. Pedagang-
76
pedagang besar ini akan mendistribusikan dan menjual ayam-ayam tersebut kepada konsumen di luar wilayah Surakarta seperti Jakarta dan Bali sehingga ayam-ayam tersebut dijual dan dibawa dalam bentuk ayam hidup. Sebelum sampai kepada konsumen akhir, ayam-ayam tersebut akan dibeli (ditampung) oleh distributor-distributor di masing-masing wilayah. Karena dalam penelitian ini, wilayah pemasaran dibatasi hanya di wilayah Surakarta maka untuk ayam ras pedaging yang dijual di luar wilayah Surakarta diasumsikan langsung didistribusikan kepada konsumen akhir. 3.
Sebagian dari produksi usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dijual langsung oleh perusahaan inti kepada para pedagang pengecer (28.85 persen).
Pedagang pengecer ini menjual ayam-ayam tersebut kepada
konsumen akhir di pasar-pasar di wilayah Kabupaten Karanganyar dalam bentuk karkas. 6.2.2. Analisis Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Marjin pemasaran merupakan penjumlahan dari biaya dan keuntungan pemasaran yang diperoleh oleh agen-agen pemasaran dalam setiap pola saluran pemasaran.
Melalui analisis terhadap marjin pemasaran ini dapat diketahui
komponen biaya yang dikeluarkan selama proses pemasaran ayam ras pedaging sesuai dengan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan serta tingkat keuntungan pemasaran yang diperoleh. Selain itu, analisis terhadap marjin pemasaran dalam penelitian ini juga digunakan untuk melihat perbedaan bagian harga yang diterima oleh peternak peserta kemitraan terhadap peternak non-kemitraan (mandiri). Untuk memudahkan analisis, perhitungan terhadap marjin pemasaran ayam ras pedaging dikonversikan dalam satuan rupiah per kilogram bobot ayam hidup
77
Sebagaimana penjelasan pada analisis terhadap saluran pemasaran sebelumnya bahwa usahaternak pola mandiri memiliki empat pola saluran pemasaran sedangkan pada usahaternak pola kemitraan hanya memiliki tiga pola saluran pemasaran. Pada usahaternak pola mandiri, saluran pemasaran keempat yaitu penjualan langsung ayam ras pedaging oleh peternak kepada konsumen akhir bersifat kondisional dan tidak ada biaya pemasaran yang dikeluarkan maupun keuntungan pemasaran yang diperoleh sehingga untuk keperluan analisis marjin pemasaran, khususnya untuk membandingkan proporsi harga yang diterima oleh peternak kemitraan dan non kemitraan, maka pola ini (saluran pemasaran keempat) tidak akan dibahas lebih lanjut. Tabel 14 menyajikan ringkasan hasil perhitungan proporsi marjin pemasaran dan harga yang diterima oleh masing-masing peternak terhadap harga konsumen, baik peternak peserta kemitraan maupun peternak mandiri di berbagai saluran pemasaran. Rata-rata harga jual ayam ras pedaging di tingkat peternak untuk pola mandiri pada ketiga pola saluran pemasaran adalah Rp 6 896.30/kg sedangkan pada pola kemitraan sebesar Rp 6 817.66/kg. Sedangkan rata-rata harga beli ayam ras pedaging yang diterima oleh konsumen untuk pola mandiri adalah Rp 10 907.57/kg dan untuk pola kemitraan, rata-rata harga beli konsumen adalah Rp 10 979.17/kg. Dari rata-rata harga jual di tingkat peternak tersebut, harga yang diterima peternak pola mandiri 1.14 persen lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang diterima peternak pola kemitraan sedangkan harga yang dibayarkan oleh konsumen menunjukkan bahwa harga ayam ras pedaging dari usahaternak pola kemitraan 0.65 persen lebih tinggi dibandingkan dengan harga ayam ras pedaging dari usahaternak pola mandiri.
78
Tabel 14. Marjin Pemasaran dan Proporsi Harga yang Diterima Peternak Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Usahaternak Pola Mandiri dan Pola Kemitraan Saluran Pemasaran Mandiri I Kemitraan I Mandiri II Kemitraan II Mandiri III Kemitraan III Mandiri IV Sumber Keterangan
Harga Peternak (Rp/Kg) 6 833.30 6 810.12 6 913.89 6 825.00 6 941.70 6 817.86 9 500.00
Harga Konsumen (Rp/Kg) 10 875.00 10 958.30 10 931.00 11 000.00 10 916.70 10 979.20 9 500.00
Marjin Pemasaran (%) KP
BP
TM
30.84 31.63 32.64 31.20 34.46 35.35 -
6.32 6.22 4.11 6.75 1.95 2.56 -
37.17 37.85 36.75 37.95 36.41 37.90 -
Bagian Harga Peternak (%) 62.83 62.15 63.25 62.05 63.59 62.10 100.00
: Data Primer, 2003 (diolah) : KP = Keuntungan Pemasaran BP = Biaya Pemasaran TM = Total Marjin
Perbedaan harga jual di tingkat peternak dan harga beli di tingkat konsumen menyebabkan bagian harga yang diterima peternak untuk masing-masing pola pengusahaan juga berbeda. Secara rata-rata, bagian harga yang diterima oleh peternak pola mandiri lebih tinggi dibandingkan peternak pola kemitraan. Bagian harga konsumen yang diterima peternak mandiri adalah 63.22 persen sedangkan peternak pola kemitraan hanya 62.10 persen. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran ayam ras pedaging. Jika pada pola mandiri, peternak dapat langsung mendistribusikan hasil panennya kepada pedagang perantara maka lain halnya dengan peternak pola kemitraan.
Pola kemitraan wajib melibatkan perusahaan inti dalam proses
penyaluran produknya kepada pedagang perantara sebagai konsekuensi adanya kerjasama kemitraan. Jumlah lembaga pemasaran yang terlibat pada pemasaran produk pola kemitraan mengakibatkan share marjin pemasaran pola kemitraan lebih besar dibandingkan share marjin pemasaran pola mandiri.
Untuk pola
kemitraan, dari total harga yang diterima konsumen, bagian harga yang
79
merupakan marjin pemasaran sebesar 37.90 persen atau 3.75 persen lebih tinggi dibandingkan dengan marjin pemasaran pola mandiri (36.78 persen dari total harga konsumen ). Secara umum, pemasaran ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar relatif efisien jika dilihat dari bagian harga konsumen yang diterima oleh peternak (farmer’s share). Untuk kedua pola pengusahaan (pola mandiri dan kemitraan), bagian harga konsumen yang diterima peternak berada pada proporsi lebih dari 60 persen. Hal ini sangat wajar, karena peternak sebagai produsen merupakan pihak penanggung resiko usaha dan pihak yang paling banyak korbanannya untuk melaksanakan proses produksi. Sedangkan para pedagang perantara memperoleh marjin (keuntungan pemasaran) pada proporsi lebih dari 30 persen. Jika dilihat dari tiap-tiap saluran pemasaran yang terbentuk dalam satu pola pengusahaan maka untuk pemasaran ayam ras pedaging pola mandiri menunjukkan bahwa bagian harga konsumen yang diterima peternak paling tinggi terjadi pada pola saluran pemasaran ketiga2 (peternak – pedagang pengecer – konsumen), yakni 63.59 persen sedangkan bagian harga konsumen yang diterima peternak paling rendah terjadi pada pola saluran pemasaran pertama (peternak – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen), yakni 62.83 persen.
Hal ini terjadi karena saluran pemasaran pertama melibatkan
lembaga pemasaran paling banyak jika dibandingkan saluran pemasaran yang lain sehingga proporsi biaya pemasaran juga menjadi lebih tinggi dan pada akhirnya mempengaruhi proporsi yang diterima oleh peternak.
2
Perhitungan marjin
Bagian harga konsumen yang diterima peternak pada usahaternak pola mandiri paling tinggi (peringkat pertama) terjadi pada saluran pemasaran keempat (100 persen) sedangkan saluran pemasaran ketiga adalah peringkat berikutnya (kedua)
80
pemasaran secara lengkap untuk masing-masing saluran pemasaran pola mandiri disajikan pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 3. Untuk pola kemitraan, bagian harga konsumen yang diterima peternak relatif sama untuk berbagai pola saluran pemasaran yakni semuanya pada proporsi 62 persen.
Saluran pemasaran pertama (peternak – perusahaan inti – pedagang
pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen) memiliki proporsi paling tinggi yakni 62.15 persen sedangkan pola saluran pemasaran kedua (peternak – perusahaan inti – pedagang besar – konsumen) memiliki proporsi paling rendah yakni 62.05 persen.
Berbeda dengan pola mandiri,
rendahnya proporsi harga konsumen yang diterima peternak pada pola kemitraan ini bukan (hanya) disebabkan oleh jumlah lembaga pemasaran yang terlibat. Hal ini disebabkan oleh pasar produk usahaternak pola kemitraan sebagian besar (41.02 persen) ditujukan untuk pasar di luar wilayah Surakarta yaitu untuk memenuhi permintaan konsumen di Jakarta dan Bali. Jarak tempuh yang jauh antara tempat produksi dengan pasar mengakibatkan tingginya biaya pemasaran (6.75 persen dari bagian harga yang dibayarkan oleh konsumen) sehingga bagian harga yang diterima peternak menjadi lebih rendah, walaupun harga di tingkat peternak secara nominal lebih tinggi dibandingkan pada saluran pemasaran yang lain ( Rp 6 825/kg). Perhitungan marjin pemasaran secara lengkap untuk masingmasing saluran pemasaran pola kemitraan disajikan pada Lampiran 4 sampai dengan Lampiran 6. Dari ketiga pola saluran pemasaran tersebut, yang dapat diperbandingkan antara pola mandiri dengan pola kemitraan adalah saluran pemasaran pertama dan saluran pemasaran ketiga karena pasar yang dituju adalah sama yaitu pasar di
81
wilayah Sukoharjo dan Solo untuk saluran pemasaran pertama dan pasar di wilayah Karanganyar untuk saluran pemasaran ketiga. Perbedaan dari kedua pola saluran pemasaran tersebut adalah adanya keterlibatan perusahaan inti dalam rantai pemasaran ayam ras pedaging untuk pola kemitraan (Gambar 5). Pada saluran pemasaran pertama (pola mandiri: peternak – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen), bagian harga yang diterima oleh peternak mandiri 0.69 persen lebih tinggi dibandingkan dengan peternak peserta pola kemitraan (pola kemitraan: peternak – perusahaan inti – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen). Sedangkan pada saluran pemasaran ketiga (pola mandiri: peternak – pedagang pengecer – konsumen), bagian harga yang diterima oleh peternak mandiri 1.49 persen lebih tinggi dibandingkan dengan peternak peserta pola kemitraan (peternak – perusahaan inti – pedagang pengecer – konsumen). Keterlibatan perusahaan inti telah mempengaruhi bagian harga yang diterima peternak kemitraan karena dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen terdapat bagian keuntungan pemasaran yang diterima oleh perusahaan inti yakni 2.27 persen untuk saluran pemasaran pertama dan 5.46 persen untuk saluran pemasaran ketiga. Perbedaan bagian harga yang diterima oleh peternak tidak semata-mata disebabkan oleh banyaknya jumlah lembaga pemasaran yang terlibat (keterlibatan perusahaan inti) namun juga proporsi biaya dan keuntungan yang diterima oleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat. Marjin pemasaran yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran dalam satu pola saluran pemasaran berbeda-beda tergantung dari biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh.
Besarnya biaya pemasaran tergantung pada
82
fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh tiap-tiap lembaga pemasaran. komponen biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran untuk usahaternak pola mandiri maupun pola kemitraan tidak berbeda yakni biaya tenaga kerja termasuk biaya bongkar muat, biaya transportasi, penyusutan (biaya resiko) dan retribusi. Sebagaimana yang disajikan pada Tabel 15 terlihat bahwa pada usahaternak pola mandiri, share biaya pemasaran terhadap marjin pemasaran terbesar dikeluarkan oleh pedagang besar pada saluran pemasaran pertama yakni 6.24 persen.
Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya transportasi dan biaya
penyusutan yang harus dikeluarkan oleh pedagang besar (Lampiran 1). Pada saluran pemasaran pertama ini, ayam-ayam ras pedaging ini akan dipasarkan di luar wilayah Kabupaten Karanganyar, yakni wilayah Sukoharjo dan Solo sehingga relatif jauhnya jarak yang ditempuh menyebabkan biaya transportasi menjadi lebih tinggi dan resiko ayam-ayam yang mengalami stres (kematian dan penyusutan bobot badan) dalam perjalanan lintas kabupaten menjadi lebih besar. Sedangkan share biaya pemasaran terendah dikeluarkan oleh pedagang pengecer pada saluran pemasaran kedua, yakni 5.02 persen. Pada saluran pemasaran kedua, pedagang pengecer tidak mengeluarkan biaya transportasi karena pedagang pengecer memperoleh barang dari pedagang pengumpul sedangkan jika dibandingkan dengan saluran pemasaran pertama, walaupun pedagang pengecer juga tidak mengeluarkan biaya transportasi namun biaya penyusutan sebagai biaya penanggungan resiko lebih besar pada saluran pemasaran pertama. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa karena pada saluran pertama, jarak pasar relatif jauh sehingga resiko ayam-ayam mengalami stres dan cacat menjadi lebih besar.
83
Untuk usahaternak pola kemitraan, share biaya pemasaran terhadap marjin pemasaran terbesar ditanggung oleh pedagang besar pada saluran pemasaran kedua, yakni 17.79 persen (Tabel 15). Tingginya biaya pemasaran pedagang besar ini karena pasar tujuan adalah lintas provinsi sehingga pedagang besar menanggung biaya penyusutan, transportasi, tenaga kerja dan retribusi yang relatif besar (Lampiran 5). Sedangkan share biaya pemasaran terendah ditanggung oleh pedagang pengecer3 pada saluran pemasaran pertama yakni 5.17 persen dari total marjin pemasaran. Sebagaimana penjelasan pada saluran pemasaran kedua pola mandiri adalah bahwa pada saluran pemasaran pertama ini, pedagang pengecer tidak mengeluarkan biaya untuk transportasi sedangkan biaya penyusutan yang dikeluarkan juga relatif kecil karena pada saluran pemasaran ini, pasar tujuannya adalah di wilayah Karanganyar sehingga jumlah ayam-ayam yang mati, cacat atau mengalami penyusutan bobot badan karena proses transportasi dapat ditekan. Share keuntungan pemasaran terhadap marjin pemasaran ayam ras pedaging pada usahaternak pola mandiri paling besar diperoleh oleh pedagang pengumpul pada saluran pemasaran ketiga, yaitu sebesar 94.65 persen sedangkan share keuntungan pemasaran terendah diperoleh oleh pedagang besar pada saluran pemasaran pertama, yaitu sebesar 25.68 persen (Tabel 15). Hal yang sama juga terjadi pada usahaternak pola kemitraan, dimana share keuntungan pemasaran terhadap marjin pemasaran ayam ras pedaging paling besar diperoleh oleh pedagang pengumpul pada saluran pemasaran ketiga, yaitu sebesar 78.84 persen sedangkan share keuntungan pemasaran terendah diperoleh oleh pedagang besar
3
Yang dimaksud terendah adalah lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran sehingga ada biaya pemasaran yang dikeluarkan. Share biaya pemasaran perusahaan inti terhadap marjin pemasaran adalah 0 persen karena perusahaan inti tidak mengeluarkan biaya pemasaran.
84
pada saluran pemasaran pertama, yaitu sebesar 20.64 persen (Tabel 15). Pedagang pengumpul pada saluran pemasaran ketiga dapat memiliki proporsi keuntungan pemasaran yang besar dibandingkan lembaga pemasaran yang lain (pedagang pengumpul dan pedagang besar untuk pola mandiri dan perusahaan inti, pedagang pengumpul dan pedagang besar untuk pola kemitraan) pada pola saluran pemasaran yang lain (saluran pemasaran pertama dan kedua) karena pada saluran pemasaran ini, tidak ada lembaga pemasaran lain yang terlibat sehingga proporsi keuntungan pemasarannya tidak terbagi kepada lembaga pemasaran lain. Skala perdagangan pedagang pengecer yang relatif kecil (700 kg – 900 kg) mendorong pedagang pengecer untuk mencari pendapatan yang besar melalui peningkatan keuntungan per unit produk. Selain itu, sistem penjualan pedagang pengecer yang langsung menjual kepada konsumen akhir di pasar memungkinkan bagi pedagang pengecer untuk bertindak sebagai “price maker”. Sebaliknya, rendahnya proporsi keuntungan yang diperoleh pedagang besar pada saluran pemasaran pertama adalah dikarenakan lembaga pemasaran yang terlibat lebih banyak dibandingkan saluran pemasaran yang lain sehingga proporsi keuntungan pemasaran terbagi dengan lembaga pemasaran lain. Walaupun keuntungan per unit produk yang diterima oleh pedagang besar relatif kecil dibandingkan dengan lembaga pemasaran yang lain namun karena skala perdagangannya yang besar (2 600 kg – 3 000 kg) maka total pendapatan pedagang besar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga pemasaran lain. Untuk mengetahui efisiensi biaya pemasaran terhadap keuntungan pemasaran maka digunakan perhitungan ratio keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran.
Hasil perhitungan ratio keuntungan pemasaran dan biaya
85
pemasaran dari berbagai saluran pemasaran pada usahaternak pola mandiri dan kemitraan disajikan pada Tabel 15.
Baik pada pola mandiri maupun pola
kemitraan, pedagang perantara yang memiliki tingkat efisiensi terbesar adalah pedagang pengecer sedangkan pedagang besar memiliki tingkat efisiensi terendah. Hal ini sejalan dengan proporsi biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran yang diperoleh pedagang pengecer maka secara rata-rata ratio keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran yang diperoleh pedagang pengecer juga lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang perantara lainnya yaitu sebesar 10.58 untuk pola mandiri dan 8.51 untuk pola kemitraan artinya setiap Rp 1 biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer akan menghasilkan keuntungan pemasaran sebanyak Rp 10.58 untuk pola mandiri dan Rp 8.51 untuk pola kemitraan. Sedangkan pedegang besar yang memiliki proporsi biaya pemasaran pemasaran tertinggi dan keuntungan pemasaran terendah maka ratio keuntungan terhadap biaya pemasaran juga paling rendah yaitu sebesar 4.12 untuk pola mandiri dan 3.90 untuk pola kemitraan. Secara umum pedagang perantara yang memasarkan produk usahaternak pola mandiri memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pedagang perantara yang memasarkan produk usahaternak pola kemitraan.
Hal ini
ditunjukkan oleh ratio keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran yang diperoleh pedagang perantara pola mandiri lebih besar dibandingkan dengan pedagang perantara pola kemitraan. Artinya pedagang perantara pola mandiri mampu menghasilkan keuntungan pemasaran lebih tinggi dibandingkan perantara pola kemitraan untuk setiap Rp 1 biaya pemasaran yang dikeluarkan. Hal ini disebabkan karena pedagang perantara pola kemitraan harus membeli ayam ras
Tabel 15.
Distribusi Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri dan Pola Kemitraan dari Berbagai Saluran Pemasaran (%) Perusahaan Inti
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
Pedagang Pengecer
Saluran Pemasaran
Pola Mandiri
KP
BP
KP/BP
KP
BP
KP/BP
KP
I
-
-
-
28.53
5.53
5.16
25.68
II
-
-
-
45.76
6.17
7.42
III
-
-
-
-
-
I
6.03
0
-
29.33
5.38
II
5.99
0
-
-
-
III
14.42
0
-
-
-
BP
KP/BP
KP
BP
KP/BP
6.24
4.12
28.78
5.24
5.49
-
-
-
43.05
5.02
8.57
-
-
-
94.65
5.35
17.68
20.64
5.88
3.51
27.57
5.17
5.33
-
76.22
17.79
4.28
-
-
-
5.45
Pola -
-
6.75
11.69
Kemitraan
Sumber Keterangan
: Data Primer, 2003 (diolah) : KP = Keuntungan Pemasaran : BP = Biaya Pemasaran
-
-
78.84
87
pedaging dari perusahaan inti sehingga proporsi keuntungan pemasaran yang seharusnya diperoleh pedagang perantara menjadi terbagi dengan perusahaan inti, sebagai penjamin pasokan bagi pedagang perantara. Walaupun demikian secara keseluruhan, pemasaran ayam ras pedaging baik pada pola mandiri maupun pola kemitraan relatif efisien karena keuntungan pemasaran yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan. 6.2.3. Analisis Keterpaduan Pasar Analisis keterpaduan (integrasi) pasar menunjukkan seberapa besar perubahan harga di satu pasar akan ditransmisikan ke perubahan harga di pasar lain.
Untuk kasus pemasaran ayam ras pedaging, derajat integrasi pasar
menunjukkan seberapa besar perubahan harga ayam ras pedaging di tingkat konsumen (retail) akan ditransmisikan ke perubahan harga komoditi tersebut di tingkat peternak. Tabel 16. Hasil Estimasi Parameter Model Keterpaduan Pasar Ayam Ras Pedaging Variabel Simbol
Keterangan
C Pft-1 – Prt-1
konstanta selisih lag harga produsen terhadap lag harga retail
Prt – Prt-1
selisih harga retail terhadap lag harga retail
Prt-1
lag harga retail
Xt R-Square
dummy kemitraan
Sumber Keterangan
: Data Primer, 2003 (diolah) : * = Nyata pada taraf 1 persen
Koefisien
T-Statistik
2 502.7* -0.70143*
11.50 -13.84
0.40828*
21.21
-0.48763*
-14.06
-82.49* 98.9 persen
-2.84
88
Hasil estimasi model keterpaduan pasar ayam ras pedaging dengan menggunakan model Timmer (1987) secara ringkas disajikan pada Tabel 16 dan secara lengkap hasil olahan data disajikan pada Lampiran 7. Tampak bahwa model keterpaduan pasar ayam ras pedaging memiliki nilai R2 sebesar 98.9 persen dan nyata pada taraf < 1 persen4. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen yang digunakan dalam model mampu menjelaskan variasi variabel endogennya yaitu (Pft – Pt-1) sebesar 98.9 persen.
Masing-masing variabel
eksogennya yaitu lag Pf-lag Pr, Pr-lag Pr, lag Pr dan dummy kemitraan berpengaruh sangat nyata5. Dalam jangka pendek tampak bahwa kedua pasar tidak terintegrasi, yang ditunjukkan oleh nilai IMC yang lebih besar dari 1 (1.40)6. Ini menunjukkan bahwa pembentukan harga di pasar peternak lebih dipengaruhi oleh harga di pasar peternak periode sebelumnya dan bukan harga di pasar konsumen periode sebelumnya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa informasi perubahan harga ayam ras pedaging di pasar konsumen tidak ditransmisikan dengan baik ke pasar produsen (peternak). Hal ini tampaknya berkaitan erat dengan sistem penjualan ayam ras pedaging oleh peternak di Kabupaten Karanganyar yang langsung didatangi oleh pedagang perantara (pedagang pengumpul, pedagang besar maupun pedagang pengecer).
Informasi harga ayam ras pedaging yang dimiliki oleh peternak
(peternak mandiri) berasal dari peternak lainnya yang telah melakukan penjualan
4 5
6
F-Probability = 0.000 Nyata pada taraf < 1 persen IMC =
(1 + d 1 ) (d 3 − d 1 )
=
0.299 0.213
= 1.40
89
kepada pedagang perantara lainnya sehingga pada dasarnya informasi harga yang diterima peternak berasal dari pedagang perantara (peternak hanya berperan sebagai price taker). Keadaan semacam ini tentu tidak menguntungkan bagi peternak karena pada umumnya sifat pedagang adalah memberikan informasi harga yang menguntungkan dirinya sendiri (Hutabarat dan Rahmanto, 2004). Kondisi dimana informasi perubahan harga di pasar konsumen yang tidak dapat ditransmisikan secara proporsional terhadap harga pasar di tingkat peternak inilah yang menyebabkan pasar ayam ras pedaging dikatakan mengalami asymmetric information. Berbeda dengan kondisi dalam jangka pendek, pasar ayam ras pedaging di tingkat peternak dalam jangka panjang tampak terintegrasi dengan pasar di tingkat konsumen (nilai d2 = 0.408). Nilai ini menunjukkan bahwa jika harga ayam ras pedaging di pasar konsumen meningkat sebesar satu persen maka akan meningkatkan harga ayam ras pedaging di pasar peternak sebesar 0.408 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang, perubahan harga ayam ras pedaging di pasar pengecer berpengaruh terhadap perubahan harga di tingkat peternak.
Kondisi ini disebabkan bahwa dalam jangka panjang, informasi
perubahan harga ayam ras pedaging di pasar konsumen ditransmisikan secara proporsional (simetri) ke pasar produsen (peternak). Untuk peternak peserta kemitraan, harga yang diterima merupakan harga kontrak yang telah ditentukan sebelumnya oleh perusahaan inti.
Peternak
kemitraan juga memperoleh informasi harga dari peternak lainnya khususnya peternak mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa posisi peternak kemitraan dalam penentuan harga lebih lemah dibandingkan dengan peternak mandiri.
Harga
90
output di tingkat peternak peserta kemitraan dengan harga di pasar konsumen memiliki selisih yang lebih besar dibandingkan dengan harga di tingkat peternak mandiri. Kondisi ini juga ditunjukkan dengan arah koefisien parameter variabel dummy (Tabel 16).
Variabel dummy kemitraan menunjukkan bahwa
pembentukan harga ayam ras pedaging di tingkat peternak dipengaruhi secara nyata dengan arah yang negatif artinya harga di tingkat peternak antara peternak peserta kemitraan dan peternak mandiri berbeda nyata dengan tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan peternak mandiri. Hal ini dapat juga dinyatakan bahwa peternak peserta kemitraan memperoleh harga output yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga peternak mandiri7. Secara umum, efisiensi harga pada pemasaran ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar tidak efisien dalam jangka pendek karena perubahan harga di pasar konsumen tidak ditransmisikan secara proporsional ke pasar produsen namun dalam jangka panjang informasi perubahan harga di pasar konsumen akan ditransmisikan secara proporsional ke pasar produsen. Informasi harga yang diterima oleh peternak pola kemitraan relatif kurang proporsional bila dibandingkan dengan peternak pola mandiri.
7
Kondisi ini sesuai dengan teori bahwa dalam kerjasama kemitraan, pasar output merupakan pasar monopoli (oligopoli) sehingga peternak peserta kemitraan akan menerima harga output yang lebih tinggi dibandingkan peternak non kemitraan.
57.58%
Pedagang Pengumpul 30.13%
Produsen
100%
Perusahaan Inti 28.85%
15.15% 41.02%
30.13% 41.02%
Pedagang Besar
42.43%
15.15%
Konsumen
30.13% 58.98%
37.88%
Pedagang Pengecer
95.46%
4.54%
Keterangan:
= Saluran Pemasaran Pola Mandiri = Saluran Pemasaran Pola Kemitraan
Gambar 5. Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat dirumuskan butir-butir kesimpulan sebagai berikut : 1. Kelembagaan kemitraan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar dilaksanakan dengan pola koordinasi vertikal oleh perusahaan inti, dimana informasi dan pengambilan keputusan tersentralisasi pada perusahaan inti. Masing-masing peternak kemitraan berhadapan langsung dengan perusahaan inti melalui TS (technical service) dan peternak bersifat pasif (hanya melaksanakan kontrak yang telah dibuat perusahaan inti). Perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh perusahaan inti masih kurang jelas dan tidak terperinci khususnya mengenai harga dan kualitas input yang dikreditkan kepada peternak, penentuan proporsi insentif jika terjadi perbedaan harga dengan harga pasar serta kriteria ayam ras pedaging yang dibeli. Peternak peserta kemitraan mempunyai persepsi positif (merasa diuntungkan) dengan adanya pembinaan dan pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan inti. 2. Jika dilihat dari efisiensi usahaternaknya menunjukkan bahwa usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri di Kabupaten Karanganyar lebih menguntungkan (lebih efisien) dibandingkan dengan usahaternak pola kemitraan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R/C ratio pola mandiri yang lebih tinggi (1.51) dibandingkan dengan nilai R/C ratio pola kemitraan (1.33). 3. Jika dilihat dari efisiensi pemasarannya, yang meliputi efisiensi operasional dan efisiensi harga menunjukkan bahwa efisiensi operasional pemasaran ayam ras pedaging pola mandiri lebih efisien dibandingkan dengan pola kemitraan.
92
Hal ini ditunjukkan oleh ratio keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran yang diperoleh pedagang perantara pola mandiri lebih besar dibandingkan dengan pedagang perantara pola kemitraan. Sedangkan jika dilihat dari efisiensi harganya, pasar ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar pada jangka pendek tidak terintegrasi (tidak efisien) namun pada jangka panjang terjadi integrasi pasar (efisien) antara pasar di tingkat pengecer dengan pasar tingkat produsen. Hal ini ditunjukkan oleh nilai IMC lebih besar dari 1 (1.40) dan nilai d2 lebih kecil atau sama dengan 1 (0.408). 7.2. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat dirumuskan butir-butir saran sebagai berikut: 1.
Untuk penelitian pemasaran selanjutnya disarankan untuk meneliti sampai ke konsumen akhir yang ada di luar wilayah Surakarta. Sedangkan untuk penelitian produksi usahaternak disarankan mempertimbangkan aspek skala usaha (kecil, menengah, besar).
2.
Sebaiknya pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar menjalankan fungsi pengawasan terhadap kontrak dan pelaksanaan kerjasama kemitraan yang dilakukan peternak dengan perusahaan inti untuk memperkecil persepsi dan partisipasi negatif peserta kemitraan terutama dalam hal pembagian hasil dan pemberian insentif.
DAFTAR PUSTAKA Agustian, A. dan B. Rachman. 1994. Aspek Penyaluran Sapronak, Pemasaran Hasil dan Pola Kerjasama dalam PIR Perunggasan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 12(2): 38-49. Alamsyah, I. 1997. Membandingkan Perbedaan Pola Kemitraan dalam Pengembangan Karet Alam: Suatu Analisis Kelembagaan (Studi Kasus di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan). Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. BPS. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Cahyono, H. 2006. Penerapan Manajemen Operasi pada Sarana Produksi Ternak Ayam Pedaging ”Koloboyo Farm”. Program Pascasarjana, Universitas Islam Batik Surakarta, Solo. Dahl, D. C. and J. Hammond. 1977. Market and Price Analysis: The Agricultural Industries. Mc Graw-Hill Book Company, New York. Ditjen Peternakan. 2002. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. ---------------------. 2005. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Downey, W. D. dan S. P. Erickson. 1989. Manajemen Agribisnis. Erlangga, Jakarta. Elieser, S. 2000. Analisis Ekonomi Kelembagaan Kemitraan dalam Sistem Pengembangan Usahaternak Domba pada Lahan Kering, di Provinsi Sumatera Utara. Tesis Program Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory: A Mathematical Approach. McGRaw-Hill International Book Company, London. Henderson, J.V. and W. Poole. 1991. Principles of Microeconomics. D.C. Heath and Company, Lexington. Hoesin, W. 1994. Pemasaran Hasil-hasil Pertanian di Lahan Kering dan Kemiskinan di Pedesaan Kabupaten Grobogan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hutabarat, B. dan B. Rahmanto. 2004. Dimensi Oligopsonistik Pasar Cabai Merah. Journal on Socio-Economics of Agriculture and Agribusiness, 4(1): 45-56.
94
Hutagaol, P.M. dan Erwidodo. 1998. Keunggulan Komparatif Pangan dalam Rangka Pemantapan Kemandirian Pangan. Kerjasama Lembaga Penelitian IPB dengan Proyek Peningkatan Kesehatan dan Ketahanan Pangan, Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta. Hyman, D.N. 1997. Microeconomics. Irwin McGraw-Hill, New York. Ilham, N., K. Kariyasa dan B. Wiryono. 2002. Suatu Pemikiran tentang Analisis Penawaran dan Permintaan Beberapa Jenis Daging di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 20(1): 25-40. Iskandar, S., E. Purwantono, K. Mudikdjo, B. Wibowo, Desmayati dan T. Antawidjaja. 1993. Analisa Ekonomi Tataniaga Ayam Ras Pedaging pada Pengusaha Kecil di Bogor. Jurnal Agro Ekonomi, 6(2): 39-44. Kayana, I.G.N. 1995. Analisis Kelembagaan dan Efisiensi Usahaternak Ayam Broiler di Bali dalam Kaitannya dengan Keppres No 22 Tahun 1990 (Studi Kasus di Kabupaten Klungkung). Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kohls, R. L. 1975. Marketing of Agricultural Product. The Mac Millan Co., New York. Limbong, W. H. dan P. Sitorus. 1988. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nicholson, W. 1999. Microeconomics Theory: Basic Principles and Extensions. Mc Graw-Hill Book Company, New York. Novian. 2006. Strategi Pengembangan Peternakan Ayam Ras Pedaging dengan Meningkatkan Pendapatan Peternak melalui Kemitraan di Kota Pekanbaru. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purba, H.J. 1999. Keterkaitan Pasar Jagung dan Pasar Pakan Ternak Ayam Ras di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purcell, D. W. 1976. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash and Futures Prices. Reston Publishing Company Inc., Virginia. Puspitawati, E. 2004. Analisis Kemitraan Antara PT PERTANI (PERSERO) dengan Petani Penangkar Benih Padi di Kabupaten Karawang. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rachman, B. dan A. Agustian. 1994. Kajian Ekonomi Kelembagaan Peternak Plasma Ayam Ras Pedaging di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi, 3(1): 38-49.
95
Richardson, H. W. 1972. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Terjemahan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Rusastra, I.W., Y. Yusdja dan Sumaryanto. 1990. Analisis Kelembagaan Perusahaan Inti Rakyat Perunggasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 8(2):1-11. Sahari, D. dan A. Musyafak. 2002. Analisis Kelembagaan Pemasaran Menunjang Pengembangan Agribisnis Jagung di Kawasan Sentra Produksi Sanggau Ledo Kalimantan Barat. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 5(2): 26-43. Saptana. 1987. Kelayakan Ekonomis dan Finansial Usahaternak Ayam Ras Petelur dan Pedaging di Indonesia ditinjau dari Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Domestik. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ---------, R. Sayuti dan K.M. Noekman. 2002. Industri Perunggasan: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 20(1): 50-64. Sarwanto, C. 2004. Kemitraan, Produksi dan Pendapatan Peternak Rakyat Ayam Ras Pedaging (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simatupang, P. 1997. Kemitraan Agribisnis Berdasarkan Paradigma Ekonomi Biaya Transaksi. Makalah Seminar Pemberdayaan Usaha Kecil dalam Menghadapi Perdagangan Bebas. Universitas Brawijaya, Malang. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumardjo, S. Jaka dan A.D. Wahyu. 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta. Suryana, A., K. Dwiyanto, A. Priyanti, A.R. Setioko, Y. Yusdja dan R.A. Saptati. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta. Tomek, V. G. and K. L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. Cornell University Press Ithaca, London. Winandi, R., A. Ratnawati dan H. Siregar. 1994. Kajian terhadap Efisiensi Tataniaga Ayam Pedaging (Ras) di Wilayah Jabotabek. Mimbar Sosek, 8(2): 100-120.
96
Yusdja, Y. dan B. Saragih. 1983. Skala Usaha dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usahaternak Ayam Petelur. Jurnal Agro Ekonomi, 3(1): 30-41. ------------, P. U. Hadi, R. Sayuti, A. Syam, H. Malian, Wirawan, Andriati, B. Rahmanto dan H. Tarigan. 1996. Dampak Deregulasi dan Prospek Pengembangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. ------------, M. Siregar, N. Ilham, Andriati, B. Prasetyo, H. Tarigan, Roosgandha dan R. Sajuti. 1997. Deregulasi Sektor Pertanian dan Prospek Pengembangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
98
Lampiran 1.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Pertama*
Uraian Peternak Harga Jual Pedagang Pengumpul Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Besar Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan 4. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Pengecer Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Penyusutan 3. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Total Marjin Keterangan Sumber
Rp/Kg
Distribusi Marjin (%)
6 833.30
Kontribusi Thd Harga Konsumen (%) 62.83
6 833.30 223.62 34.78 52.17 136.67 1 153.08 1 376.70 8 210.00
5.53 0.86 1.29 3.38 28.53 34.06
2.06 0.32 0.48 1.26 10.60 12.66 75.49
8 210.00 252.02 34.78 52.17 164.20 0.87 1 037.98 1 290.00 9 500.00
6.24 0.86 1.29 4.06 0.02 25.68 31.92
2.32 0.32 0.48 1.51 0.01 9.54 11.86 87.36
5.24 0.43 4.70 0.11 28.78 34.02
1.95 0.16 1.75 0.04 10.70 12.64 100.00
9 500.00 211.73 17.39 190.00 4.34 1 163.27 1 375.00 10 875.00 4 041.70
100.00
: * : Peternak – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen : **: Total Biaya Pemasaran dan Keuntungan Pemasaran : Data Primer, 2003 (Diolah)
99
Lampiran 2.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Kedua*
Uraian Peternak Harga Jual Pedagang Pengumpul Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan 4. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Pengecer Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Penyusutan 3. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Total Marjin Keterangan Sumber
Rp/Kg
Distribusi Marjin (%)
Kontribusi Thd Harga Konsumen (%)
6 913.89 6 913.89 247.85 34.78 69.57 138.28 5.22 1 838.26 2 086.11 9 000.00 9 000.00 201.74 17.39 180.00 4.35 1 729.26 1 931.00 10 931.00 4 017.11
63.25
6.17 0.87 1.73 3.44 0.13 45.76 51.93
2.27 0.32 0.64 1.27 0.05 16.82 19.08 82.33
5.02 0.43 4.48 0.11 43.05 48.07
1.85 0.16 1.65 0.04 15.82 17.67 100.00
100.00
: * : Peternak – Pedagang Pengumpul – Pedagang Pengecer – Konsumen : **: Total Biaya Pemasaran dan Keuntungan Pemasaran : Data Primer, 2003 (Diolah)
100
Lampiran 3.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Ketiga*
Uraian Peternak Harga Jual Pedagang Pengecer Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan 4. Retribusi Keuntungan Harga Jual Marjin** Keterangan Sumber
Rp/Kg
Distribusi Marjin (%)
6 941.70 6 941.70 212.74 34.78 34.78 138.83 4.35 3 762.26 10 916.70 3 975.00
Kontribusi Thd Harga Konsumen (%) 63.59
5.35 0.87 0.87 3.49 0.11 94.65 100.00
: * : Peternak – Pedagang Pengecer – Konsumen : **: Total Biaya Pemasaran dan Keuntungan Pemasaran : Data Primer, 2003 (Diolah)
1.95 0.32 0.32 1.27 0.04 34.46 100.00
101
Lampiran 4.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Pertama*
Uraian Peternak Harga Jual Perusahaan Inti Harga Beli Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Pengumpul Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Besar Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan 4. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Pengecer Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Penyusutan 3. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Total Marjin Keterangan
Sumber
Rp/Kg
Distribusi Marjin (%)
6 810.12
Kontribusi Thd Harga Konsumen (%) 62.15
6 810.12 250.00 250.00 7 060.12
6.03 6.03
2.28 2.28 64.43
7 060.16 223.15 34.78 52.17 136.20 1 216.73 1 439.88 8 500.00
5.38 0.84 1.26 3.28 29.33 34.71
2.04 0.32 0.48 1.24 11.10 13.14 77.57
8 500.00 243.91 34.78 34.78 170.00 4.35 856.09 1 100.00 9 600.00
5.88 0.86 1.29 4.06 0.02 25.68 26.52
2.23 0.32 0.32 1.55 0.04 7.81 10.04 87.60
5.17 0.42 4.63 0.13 27.57 32.74
1.96 0.16 1.75 0.04 10.44 12.40 100.00
9 600.00 214.61 17.39 192.00 5.22 1 143.69 1 358.30 10 958.30 4 148.18
100.00
: * : Peternak – Perusahaan Inti – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen : **: Total Biaya Pemasaran dan Keuntungan Pemasaran : Data Primer, 2003 (Diolah)
102
Lampiran 5.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Kedua*
Uraian Peternak Harga Jual Perusahaan Inti Harga Beli Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Besar Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan 4. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Total Marjin Keterangan Sumber
Rp/Kg
Distribusi Marjin (%)
Kontribusi Thd Harga Konsumen (%)
6 825.00 6 825.00 250.00 250.00 7 075.00 7 075.00 742.83 100.00 200.00 409.50 33.33 3 182.17 3 925.00 11 000.00 4 175.00
62.05
5.99 5.99
2.27 2.27 64.32
17.79 2.40 4.79 9.81 0.80 76.22 94.01
6.75 0.91 1.82 3.72 0.30 28.93 35.68 100.00
100.00
: * : Peternak – Perusahaan Inti – Pedagang Besar – Konsumen : **: Total Biaya Pemasaran dan Keuntungan Pemasaran : Data Primer, 2003 (Diolah)
103
Lampiran 6.
Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Ketiga*
Uraian Peternak Harga Jual Perusahaan Inti Harga Beli Keuntungan Marjin** Harga Jual Pedagang Pengecer Harga Beli Total Biaya 1. Biaya TK 2. Biaya Transportasi 3. Biaya Penyusutan 4. Retribusi Keuntungan Marjin** Harga Jual Total Marjin Keterangan Sumber
Rp/Kg
Distribusi Marjin (%)
Kontribusi Thd Harga Konsumen (%)
6 817.86 6 817.86 600.00 600.00 7 417.86 7 417.86 280.71 52.17 86.96 136.36 5.22 3 280.63 3 561.34 10 979.20 4 161.34
62.10
14.42 14.42
5.46 5.46 67.56
6.75 1.25 2.09 3.28 0.13 78.84 85.58
2.56 0.48 0.79 1.24 0.05 29.88 32.44 100.00
100.00
: * : Peternak – Perusahaan Inti – Pedagang Pengecer – Konsumen : **: Total Biaya Pemasaran dan Keuntungan Pemasaran : Data Primer, 2003 (Diolah)
104
Lampiran 7. Data Penelitian Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
HP 7000 7000 6800 6500 6700 6500 6500 6800 6800 6800 7300 7100 7000 7000 6800 6700 6700 6500 6500 6800 6800 6800 7200 7100 7000 7000 6800 6500 6600 6400 6400 6700 6700 6700 7300 7100 7100 7000 6900 6600 6700 6500 6500 6800 6800 6800 7300 7100
HR 11000 10500 10500 10000 10500 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12000 11000 10500 10500 10500 10500 10000 10000 11000 11500 11500 12500 12000 11000 10500 10500 10000 10500 10000 10000 10500 11000 11000 13000 12000 11500 10500 10500 10500 10500 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12000
Dummy 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
105
Lampiran 7. Lanjutan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
HP 7100 7100 6900 6600 6600 6500 6500 6800 6900 6900 7300 7100 7000 7000 6800 6500 6600 6500 6500 6800 6800 6700 7200 7000 6900 6900 6700 6300 6600 6500 6500 6700 6700 6700 7200 7000 7000 7000 6900 6500 6700 6600 6600 6700 6700 6700 7300 7100
HR 11500 11000 11000 10500 10500 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12000 11000 11000 10500 10000 10500 10000 10000 11000 11500 11500 12500 11500 11000 10500 10500 10000 10500 10000 10000 10500 11000 11000 12500 11500 11000 11000 11000 10000 10500 10000 10000 10500 11000 11000 13000 11500
Dummy 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
106
Lampiran 7. Lanjutan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
HP 6900 6900 6700 6300 6500 6400 6400 6600 6700 6800 7300 7100 7000 7100 6800 6500 6700 6500 6500 6700 6800 6900 7300 7100 7000 7000 6800 6500 6700 6500 6500 6800 6900 6900 7400 7200 6900 7000 6700 6300 6500 6300 6300 6800 6800 6800 7300 7100
HR 11000 10500 10500 10000 10500 10000 10000 10500 11000 11000 13000 11500 11000 11000 10500 10000 10500 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12000 11000 10500 10500 10000 10500 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12000 11000 10500 10500 10000 10500 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12000
Dummy 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
107
Lampiran 7. Lanjutan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
HP 7100 7000 6800 6500 6800 6600 6600 6900 6900 6900 7400 7200 7000 7000 6800 6600 6800 6600 6600 6900 6900 6900 7400 7200 7000 7000 6800 6600 6800 6600 6600 6900 6900 6900 7400 7200 7000 7000 6800 6600 6800 6500 6500 6900 6900 6900 7300 7100
HR 11500 10500 10500 10000 11000 10500 10500 11000 11500 11500 13000 12000 11000 10500 10500 10500 11000 10500 10500 11000 11500 11500 13000 12000 11000 10500 10500 10500 11000 10500 10500 11000 11500 11500 13000 12000 11000 10500 10500 10500 11000 10500 10000 11000 11500 11500 13000 12000
Dummy 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
108
Lampiran 7. Lanjutan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
HP 7300 7200 7100 7000 7000 6000 6000 6500 7200 7100 8000 7500 7200 7100 7000 6800 6800 6000 6000 6500 7000 7000 7500 7500 7200 7100 7000 6800 6800 6000 6000 6500 7100 7100 8000 8000 7100 7000 7000 6800 6800 6000 6000 6500 7100 7100 8000 7500
HR 11000 10500 10000 10000 10500 10000 10000 10500 11500 11500 13000 12000 11000 11000 10500 10000 10000 10000 10000 11000 11000 11000 12500 12000 11500 11000 10500 10000 10000 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12500 11000 10500 10000 10000 10500 10000 10000 11000 11500 11500 13000 12000
Dummy 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
109
Lampiran 7. Lanjutan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Keterangan : Dummy Mandiri Dummy Kemitraan HP HR
HP 7000 7000 7000 7000 7000 6000 6000 6000 7000 7000 7500 7500 7200 7000 7000 6800 6800 6000 6000 6000 7000 7000 7500 7500
HR 11000 10500 10000 10500 11500 10000 10000 10500 11000 11000 12500 12000 11500 10500 10000 10000 10500 10000 10000 10500 11000 11000 12500 12000
:0 :1 : Harga Peternak : Harga Retail
Dummy 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
110
Lampiran 8.
Hasil Estimasi Model Keterpaduan Pasar Ayam Ras Pedaging Minitab Project Report
Regression Analysis: PF-Lag PF versus Lag PF-Lag PR, PR-Lag PR, Dummy
The regression equation is PF-Lag PF = 2503 - 0.701 Lag PF-Lag PR + 0.408 PR-Lag PR - 0.488 Lag PR - 82.5 Dummy Predictor Constant Lag PF-L PR-Lag P Lag PR Dummy
Coef 2502.7 -0.70143 0.40828 -0.48763 -82.49
S = 207.7
SE Coef 217.6 0.05070 0.01925 0.03468 29.05
R-Sq = 98.9%
T 11.50 -13.84 21.21 -14.06 -2.84
P 0.000 0.000 0.000 0.000 0.005
R-Sq(adj) = 98.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Lag PF-L PR-Lag P Lag PR Dummy
DF 1 1 1 1
DF 4 259 263
SS 1007277685 11169247 1018446932
MS 251819421 43125
F 5839.36
P 0.000
Seq SS 784729174 213950547 8250206 347757
Keterangan : Pft
=
Harga di pasar produsen (peternak) pada periode ke- t (Rp/kg)
Pft-1 =
Lag harga di pasar produsen (peternak) pada periode ke- t-1 (Rp/kg)
Prt
=
Harga di pasar konsumen (retail) pada periode ke- t (Rp/kg)
Prt-1 =
Lag harga di pasar konsumen (retail) pada periode ket-1 (Rp/kg)
Xt
=
Dummy kemitraan (1=peserta kemitraan, 0=mandiri)