KAJIAN KONDISI DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSRI FURNITURE DI JAWA TENGAH Oleh : Rachman Effendi, Hariyatno, Indah Bangsawan Ringkasan Kondisi industri furniture kayu di Jawa Tengah sangat potensial untuk dikembangkan mengingat pasar produk furniture kayu yang semakin menarik. Selain itu sumber bahan bakunya dari hutan rakyat juga banyak digunakan walaupun memiliki tingkat variasi yang tinggi dalam hal bentuk dan kualitasnya. Kajian kondisi dan hambatan pengembangan indusri furniture ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dalam menyusun strategi untuk menjamin kelangsungan industri furniture tersebut. Pengembangan industri furniture kayu di Jawa Tengah secara teknis dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku, proses pengolahan, jenis dan kualitas produk yang dihasilkan, dan pemasaran produknya. Industri furniture kayu di Jawa Tengah memiliki peranan yang cukup penting bagi industri furniture kayu nasional, terbukti dengan rataan kontribusi atas nilai ekspor selama 5 tahun terakhir (1999 - 2003) yaitu sebesar 30,3% dari total nilai ekspor furniture nasional. Sumbangan nilai ekspor produk industri furniture kayu Jawa Tengah terhadap total nilai ekspor non migas propinsi Jawa Tengah menduduki urutan pertama yaitu sebesar 30,1% (Dinas Perindag, 2005). Sentra industri furniture kayu Jawa Tengah tersebar di beberapa wilayah, dimana sentra industri furniture kayu terbesar adalah Jepara, Sukoharjo, Klaten dan Semarang. Wilayah-wilayah tersebut berdekatan dengan beberapa KPH sebagai penghasil kayu jati. Terdapat kekurangan bahan baku kayu untuk industri furniture kayu di Jawa Tengah yang semakin tinggi khususnya kayu jati, adanya kenaikan harga kayu yang mencapai 30% per tahun dan kenaikan harga terjadi per triwulan, padahal kenaikan harga furniture di pasar internasional tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan baku kayu, malahan cenderung tetap. Untuk itu perlu diciptakan pasar kayu terbuka. Rata-rata kebutuhan bahan baku kayu untuk industri furniture di Jawa Tengah adalah sebesar 1.717.000 m3 per tahun dengan nilai Rp 1.662 milliar yang dipasok oleh Perum Perhutani sebagai pemasok utama dan penjajagan kerjasama untuk pengadaan bahan baku dari beberapa propinsi di luar Jawa Tengah seperti dari Jawa Barat, Jawa Timur, Propinsi Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Sumatera Selatan. Kebutuhan bahan baku tersebut cenderung meningkat selaras dengan perkembangan pasar furniture kayu dunia yang masih terbuka. Diperkirakan rata-rata kebutuhan kayu untuk bahan baku industri furniture kayu per tahun sebesar 2,122,000 m3 dengan rata-rata rendemen 25%, sehingga akan dihasilkan furniture kayu sebanyak 530,000 m3 per tahun. Sedangkan hambatan non moneter dalam pengembangan industri furniture di Jawa Tengah khususnya di Jepara dan Sukoharjo antara lain adalah (i) permasalahan sumber daya manusia, (ii) permasalahan sosial budaya dan interaksi sosial, (iii) permasalahan situasi sosial politik dan perdagangan nasional dan internasional, (iv) permasalahan jaminan dan kepastian hukum, dan (v) permasalahan permodalan. Kata kunci : Furniture kayu, Sentra industri furniture, Pasar Internasional I.
PENDAHULUAN
Industri furniture kayu di Jawa Tengah menghadapi beberapa kendala yang sangat serius yaitu kesulitan mendapatkan bahan baku, proses produksi yang kurang efisien, kualitas produk yang rendah, pasar yang semakin tinggi tingkat kompetisinya, dan hambatan dalam perdagangan produk kayu (sertifikasi legalitas kayu dan ekolabeling). Padahal industri furniture kayu tersebut telah terbukti memberikan sumbangan cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Jawa Tengah dan memberikan multiplier effects terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi lokal dan memperluas kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat lokal. Perhatian dari pemerintah terhadap industri tersebut dirasakan oleh para pengusaha masih sangat kurang terutama konsistensi pemerintah dalam melakukan promosi produk industri kecil dan aktif membuka jalur pemasaran di tiap perwakilan Indonesia di luar negeri. Padahal jika dilihat dari besarnya realisasi nilai ekspor nonmigas Jateng tahun 1999 (masa masih krisis ekonomi) yang besarnya 1,665 milyar US $, sektor industri kecil terutama industri furniture kayu memberikan sumbangan devisa bagi negara yang cukup besar bahkan terbesar diantara berbagai industri nonmigas lainnya yaitu sebesar 453,742 juta US$. Melihat kenyataan yang ada adalah wajar jika perhatian pemerintah diberikan lebih besar pada usaha ini (Kompas.com, 2004). Saat ini kondisi industri furniture kayu di Jawa Tengah sangat potensial untuk dikembangkan mengingat pasar produk furniture kayu yang semakin menarik. Selain itu sumber bahan baku dari hutan rakyat juga cukup memadai walaupun memiliki tingkat variasi yang tinggi dalam hal bentuk dan kualitasnya.
Hingga saat ini data dan informasi tentang pengembangan industri furniture kayu di Jawa Tengah relatif masih terbatas, sehingga kajian semacam itu perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan kinerja industri tersebut agar dapat memberikan sumbangan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kepada Pemerintah Daerah setempat. Kajian Kondisi dan Hambatan Pengembangan Indusri Furniture ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam menyusun strategi pengembangan untuk menjamin kelangsungan industri furniture tersebut. II. KONDISI INDUSTRI FURNITURE KAYU JAWA TENGAH A. Sebaran dan Sentra Industri Kayu Furniture dari Jawa Tengah (furniture Central Java) sudah terkenal sejak lama baik karena kualitas, seni maupun harganya yang kompetitif. Banyak konsumen baik dalam maupun luar negeri yang memesan furniture antik, walaupun dibuat baru atau repro furniture, namun diproses seolah-olah merupakan produk kuno (antik). Ada pula produk furniture yang dibuat dari bonggol (tunggak) pohon yang dengan sentuhan-sentuhan seni berubah menjadi produk furniture yang sangat menarik dan memiliki nilai jual tinggi. Corak dan gaya konvensional dan modern juga berkembang pesat bersamaan dengan meningkatnya permintaan untuk kebutuhan perkantoran dan hotel yang pembangunannya tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, baik di dalam maupun luar negeri. Produksi furniture Jawa Tengah berkembang dan tumbuh pesat seiring dengan permintaan yang meningkat dari dalam maupun luar negeri, baik desain, konstruksi, corak maupun pewarnaannya. Sebagian besar bahan utamanya terbuat dari kayu, dan saat ini makin bervariasi karena bahan bakunya tidak lagi semata-mata kayu jati saja, namun mulai banyak menggunakan kayu mahoni dan jenis lain, serta bahan logam. Sentra-sentra produksi furniture di Jawa Tengah sendiri tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Sragen. Banyaknya sentra produksi yang ada membuat investasi di produk ini masih terbuka dengan persaingan yang cukup ketat. Setiap sentra industri/perusahaan furniture kayu terdiri dari beberapa unit usaha/pengrajin (home industry) yang berbasiskan furniture ukir dan kerajinan kayu. Perkembangan jumlah sentra/perusahaan industri furniture kayu di Jawa Tengah disajikan pada tabel dan gambar berikut ini : Tabel 1. Perkembangan Jumlah Sentra Industri Furniture Kayu dan Kerajinan Di Jawa Tengah Besar Menengah Kecil Jumlah Tahun (Unit) (Unit) (Unit) (Unit) 2001 80 356 400 836 2002 82 33 412 527 2003 63 243 317 623 2004 50 215 257 522 2005 55 221 262 538 Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
1
Gambar 1. Perusahaan Mebel dan Kerajinan Di Jawa Tengah (Unit Usaha)
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah sentra (perusahaan) industri furniture kayu di Jawa Tengah cenderung menurun yang semula sebanyak 836 sentra (2001) menjadi sebanyak 522 sentra industri (2004). Penurunan ini banyak disebabkan karena beberapa permasalahan antara lain sulitnya memperoleh bahan baku dan terbatasnya pasar dunia dengan adanya isu sertifikasi serta soft landing dari pemerintah dalam penebangan hutan baik yang dikelola oleh Perum Perhutani maupun oleh pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH). Proporsi perusahaan furniture kayu tersebut sangat didominasi oleh perusahaan/industri kecil (rumah tangga) termasuk pengrajin, dimana jumlah industri kecil furniture dan kerajinan kayu tersebut mencapai lebih dari 50% dari total industri yang ada. Sedangkan jumlah unit usaha furniture kayu di Jawa Tengah mencapai 89.122 unit usaha pada tahun 2003, jumlah tersebut meliputi industri besar, menengah dan kecil serta home industri dengan basis furniture ukir kayu. Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada industri furniture kayu di Jawa Tengah sebanyak 987.532 orang dengan nilai investasi 5.468 miliar pada tahun 2003. Perkembangan jumlah industri furniture kayu di Jawa Tengah selama 5 tahun terakhir (1999 sampai dengan 2003) disajikan pada tabel dan gambar berikut ini: Tabel 2. Jumlah industri furniture kayu di Jawa Tengah selama 5 tahun terakhir Tahun
Jumlah Industri (Unit Usaha)
Jumlah Tenaga Kerja (orang)
Nilai Investasi (x Rp 1 Juta)
1999
92,212
1,103,717
4,700,215
2000
93,178
1,109,358
5,478,411
2001
92,912
1,005,872
5,469,101
2002
89,723
998,756
5,469,000
2003
89,122
987,532
5,468,000
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
2
Gambar 2. Jumlah Usaha Mebel Ukir di Jawa Tengah
Jumlah Usaha Mebel Ukir di Jawa Tengah 2003
Unit Usaha
89,122 89,723
2002
2001
92,912
2000
93,178
1999
92,212
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah industri furniture kayu di Jawa Tengah sedikit mengalami penurunan yaitu dari 92.212 unit pada tahun 1999 menjadi sebanyak 89.122 unit. Demikian pula halnya dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat dari 1.103.717 orang pada tahun 1999 menjadi sebanyak 987.532 oranga pada tahun 2003. Berbeda halnya dengan total investasi yang terjadi peningkatan yaitu sebesar 4.700,22 miliar pada tahun 1999 menjadi 5.468 miliar pada tahun 2003. Peningkatan ini dikarenakan adanya pengembangan industri pengrajin/home industri menjadi industri yang lebih besar yang mengolah berbagai jenis produk kayu olahan. Besarnya nilai ekspor industri furniture kayu di Jawa Tengah pada tahun 1999 sebesar 453.742.910 USD dengan kontribusinya terhadap nilai ekspor nasional sebesar 37,5%. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2000 menjadi 503.800.090 USD setara dengan kenaikan ekspor nasional yaitu sebesar 1.470.465.565 USD. Pada tahun 2001 baik nilai ekspor maupun kontribusi furniture kayu terhadap nilai ekspor nasional mengalami penurunan hingga mencapai 392.075.570 USD dengan kontribusi sebesar 28,1% terhadap nilai ekspor furniture kayu nasional. Tetapi mulai tahun 2002 baik nilai ekspor maupun kontribusinya meningkat kembali hingga mencapai 423.022.345 pada tahun 2003 dengan kontribusi 33,1% terhadap ekspor furniture kayu nasional. Untuk lebih jelasnya perkembangan nilai ekspor dan kontribusinya terhadap nilai ekspor furniture kayu nasional dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut: Tabel 3. Nilai Ekspor Furniture Kayu Jawa Tengah terhadap Ekspor Furniture Nasional Nilai Ekspor (US$) Share Jateng Terhadap Tahun Nasional (%) Jawa Tengah Nasional 1999 453,742,910 1,209,399,800 37.5 2000
503,800,090
1,470,465,565
34.3
2001
393,075,570
1,398,180,079
28.1
2002
464,565,020
1,474,675,096
31.5
2003
254,595,520
1,278,956,582
19.9
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
3
Gambar 3. Nilai Ekspor Mebel Jawa Tengah Terhadap Ekspor Mebel Nasional .
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
Walaupun terjadi penurunan seperti yang terlihat pada tabel dan gambar di atas tetapi kontribusinya masih cukup besar (19,9%). Ekspor dari hasil furniture kayu di Jawa Tengah telah mencapai 71 negara tujuan di 5 benua. Sedangkan nilai ekspor furniture kayu Jawa Tengah terhadap total nilai ekspor non migas Jawa Tengah disajikan pada tabel dan gambar berikut ini: Tabel 4. Nilai Ekspor Furniture Kayu (mebel) Jawa Tengah Terhadap Total Ekspor Non-Migas Jawa Tengah Tahun
Ekspor Mebel Jawa Total Ekspor Non Tengah (US$) Migas Jateng (US$)
Share (%)
1999
453,742,910
1,339,857,470
34.67
2000
503,800,090
1,665,303,900
27.24
2001
393,075,570
1,854,686,900
27.16
2002
464,565,020
1,725,663,020
22.78
2003
423,622,345
1,097,498,376
38.59
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
4
Gambar 4. Nilai Ekspor Mebel Jawa Tengah Terhadap Total Ekspor Non Migas Jawa Tengah Nilai Ekspor Mebel Jawa Tengah Terhadap Total Ekspor Non Migas Jawa Tengah
2,000,000,000
1,854,686,900 1,665,303,900 1,725,663,020
1,800,000,000 1,600,000,000 1,400,000,000
1,339,857,470 1,097,498,376
1,200,000,000
Ekspor Mebel Jawa Tengah (US$)
1,000,000,000 800,000,000 503,800,090 464,565,020 600,000,000 453,742,910 423,622,345 393,075,570
Total Ekspor Non Migas Jateng (US$)
400,000,000 200,000,000 -
1999
2000
2001
2002
2003
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi ekspor furniture kayu terhadap ekspor non migas Jawa Tengah terjadi fluktuasi, yaitu menurun dari tahun 1999 hingga tahun 2002 dan meningkat kembali pada tahun 2003 sebesar 38,59% kontribusinya terhadap total ekspor non migas Jawa Tengah. Dari tabel tersebut dapat dilihat pula bahwa ekspor furniture kayu mempunyai kontribusi yang paling tinggi terhadap ekspor non migas Jawa Tengah dibandingkan dengan jenis non migas lainnya. Perkembangan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri furniture kayu di Jawa Tengah dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel dan gambar di bawah ini; Tabel 5. Jumlah Tenaga Kerja Unit Usaha Mebel di Jawa Tengah Tahun
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
1999
1,103,717
2000
1,100,358
2001
1,005,872
2002
998,756
2003
987,532 Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa jumlah tenaga kerja dalam 5 tahun terakhir cenderung menurun, dimana penurunan ini hingga mencapai 10,5% pada tahun 2003 dibandingkan jumlah tenaga kerja pada tahun 1999. Salah satu penyebab penurunan ini karena adanya perkembangan teknologi dan menurunnya volume ekspor furniture kayu dari Jawa Tengah. Industri furniture ukir yang saat ini berkembang menjadi industri furniture merupakan industri andalan kebupaten Jepara. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa industri furniture ukir merupakan pilar penyangga, atau bahkan nafas kehidupan warga masyarkat Jepara. Sedangkan untuk industri furniture tanpa ukiran/polos banyak terdapat di Sukoharjo dan Klaten. Indikator sederhana untuk melihat betapa berperannya sektor ini nampak pada penyerapan tenaga kerja pada tahun 2001 tercatat sebanyak 85.250 tenaga kerja yang terserap pada industri furniture. Ini belum termasuk penyerapan sektor lain yang bergantung pada industri furniture. 5
Walaupun sumbangan yang diberikan sektor ini pada PAD Jepara relatif kecil, yaitu sekitar Rp. 250 juta pada tahun 2001 lalu, namun konstribusi sektor ini pada total PDRB Jepara sangat besar. Bahkan dalam 5 (lima) tahun ini telah terjadi pergeseran kontribusi PDRB yang semula didominasi oleh sektor pertanian, kini telah berubah pada peran industri kecil dan pengolahan yang lebih dominan dengan memberikan kontribusi sebesar 32%. Dengan kata lain perkembangan sektor furniture memang kurang memberikan konstribusi yang berarti terhadap pendapatan daerah. Namun penyebaran sentra industri yang cukup pesat tersebut berpengaruh terhadap pembangunan sarana dan prasarana fisik. Industri furniture ukir yang kini berkembang menjadi industri furniture merupakan industri andalan Jepara. Bahkan industri ini sudah menjadi produk unggulan Jawa Tengah dan Nasional serta mampu menerobos pangsa pasar di 71 negara. Beberapa informasi penting yang dapat dipertimbangkan oleh para investor adalah : 1) Lokasi sentra produksi kerajinan ukir meliputi daerah-daerah : Pencangaan, Kedung, Tahunan, Mlonggo, Jepara. 2) Desa yang memproduksi meliputi : Pulau Darat, Kerso, Langon, Krapyak, Mantingan, Kawak, Mambak, Wonorejo, Serenan, Petekeyan, Bulungan, Pingko, Tegalsambi, Sukodono. 3) Nilai produksi : Rp. 1.045.440.000.000,- dengan kebutuhan bahan baku sebesar 350.000 m3 (kayu Jati dan Mahoni) per tahun. 4) Jumlah Perusahaan : 3.008 usaha menengah dan kecil pengrajin rumah tangga yang menampung tenaga kerja sejumlah : 43.916 orang. Industri furniture di Propinsi Jawa Tengah memiliki peranan yang penting bagi industri furniture nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari kontribusi atas volume dan nilai ekspor nasional. Volume total ekspor furniture Indonesia tahun 2003 sebanyak 809.785 ton dengan nilai US$ 1.47 milyar, dari volume tersebut jumlah volume furniture berbahan baku kayu sebanyak 660.024 dengan nilai US$ 1.16 milyar. Industri furniture Propinsi Jawa Tengah khususnya sentra industri furniture Jepara diperkirakan menyumbang sekitar 60-70% dari nilai tersebut Indutri furniture Jawa Tengah khususnya produk furniture yang berasal dari Jepara memiliki keunikankeunikan yang mengakar dari budaya tradisional yang sekaligus menjadi daya jual ke pasar ekspor, yaitu : (1) Motif design dengan karakteristik ukiran/patahan, (2) Kayu jati sebagai bahan baku utamanya. Selain Jepara sebagai sentra industri furniture di Propinsi Jawa Tengah dalam skala yang lebih kecil juga adalah di Sukoharjo, dan Semarang. Ketiga sentra industri furniture ini cenderung berdiri sendiri-sendiri atau kurang memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan furniture ukir Jepara untuk pasar ekspor mencapai puncaknya sekitar tahun 1997-2001. Dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi saat itu yang mengakibatkan nilai rupiah terdepresiasi sampai nilai Rp. 18.000,- per Dolar Amerika (US $). Pada tahun 2000, jumlah ekspor produk furniture Jepara mencapai titik tertingginya yaitu sekitar 1400-1500 kontainer per bulan. Namun kejayaan produk-produk furniture Jepara rupanya tidak dapat dipertahankan terlalu lama. Seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat, terjadi pula pengurangan permintaan pasar terhadap furniture kayu Jepara. Pada akhir tahun 2001 jumlah rata-rata furniture yang diekspor oleh Sentra Industri Furniture Jepara telah turun kembali menjadi sekitar 400 kontainer per bulan. Jumlah itu adalah jumlah yang sama dengan jumlah ekspor sebelum terjadinya ledakan permintaan di tahun 1997, sehingga dapat dikatakan pada saat ini secara umum industri furniture Jepara telah kehilangan 50 % order produksinya. Beberapa permasalahan umum pengembangan industri furniture kayu di Jepara dan Sukoharjo adalah sebagai berikut: : 1) Permasalahan Sumber Daya Manusia • Kurang memadainya wawasan dan visi kewirausahaan dari para pemilik dan Top management di industriindustri furniture kayu, akibat rendahnya tingkat pendidikan secara umum. • Lingkungan Sosial masyarakat lebih mengutamakan proses belajar anak-anaknya secara informal, misalnya dengan merantau ke daerah lain. • Terbatasnya jumlah sekolah lanjutan dan tinggi di sekitar Jepara, bahkan akses terhadap media belajar seperti toko buku pun sangat jarang. 2) Permasalahan Sosial Budaya dan Interaksi Sosial • Pada lima tahun terakhir resistensi masyarakat Jepara terhadap pengusaha luar negeri atau pengusaha lain yang memiliki modal lebih besar telah muncul ke permukaan dalam bentuk kekerasan atau hal lainnya. Padahal kenyataannya, ketergantungan pengusaha Jepara pada (khususnya) buyer asing sangat tinggi sehingga apabila pengusaha-pengusaha asing ini benar-benar merelokasikan bisnisnya ke luar Jepara, pengusaha Jepara akan mengalami kesulitan untuk memasarkan produknya ke pasar luar negeri. • Dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi, budaya kerja para pengrajin Jepara sering kali dianggap rendah. • Struktur produsen furniture kayu di Jepara yang kebanyakan adalah industri kecil dan menengah yang pengetahuan tentang perlindungan hukum atas desain industrinya rendah.
6
• Modus operandi lain dalam pencontekan desain adalah dengan membeli furniture-furniture yang hendak diantarkan dari pengerajin ke kolektor. • Permasalahan Situasi Sosial Politik dan Perdagangan Nasional dan Internasional • Citra politik nasional Negara Indonesia dimata internasional yang tidak mendukung • Pandangan internasional terhadap stabilitas keamanan nasional, termasuk dalam hal keamanan untuk berusaha yang hancur semenjak tahun 1997 • Lemahnya citra jajaran pemerintahan dan penegak hukum di mata pelaku usaha • Persyaratan Ecolabelling yang dipersyaratkan oleh pembeli di Eropa dan Amerika termasuk salah satu hal yang menghambat pertumbuhan ekspor furniture kayu Jepara. Selain dianggap terlalu mahal untuk kebanyakan industri (sekitar US $ 5000 per tahun), prosedurnya pun dirasa rumit karena mempersyaratkan sertifikasi ISO 9000 3) Permasalahan Jaminan dan Kepastian Hukum • Tinggi dan beragamnya pungutan resmi maupun liar yang diberlakukan kepada para pelaku usaha • Masih belum jelasnya aspek penegakkan hukum oleh jajaran penegak hukum atas peniruan desain produk industri. 4) Permasalahan Permodalan Kendala finansial menyebabkan pertumbuhan usaha bagi industri kecil dan rumahan terhambat oleh ketersediaan modal baik untuk investasi maupun modal kerja. Persoalan pertama di bidang keuangan adalah ketidak sesuaian antar penyediaan dana dengan kebutuhan industri kecil dan rumahan. Dukungan dana yang diberikan pemerintah dan atau perbankan tidak menggambarkan kondisi nyata aktivitas bisnis industri kecil dan rumahan. Oleh karena tidak banyaknya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memanfaatkan sumbersumber dana formal. Persoalan kedua adalah rendahnya kemampuan penilaian terhadap industri kecil dan rumahan, ini akibat dari kurangnya pendekatan sistematis yang dilakukan oleh lembaga keuangan dalam menilai pembiayaan industri kecil dan rumahan. Akibatnya, sebagian besar industri kecil dan rumahan digolongkan sebagai kelompok usaha yang tidak layak untuk mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan formal Persoalan ketiga adalah kecenderungan memberikan resiko yang berlebihan kepada industri kecil dan rumahan. Struktur pembiayan dan pasar yang dianggap tidak menentu menempatkan industri kecil dan rumahan pada posisi yang beresiko tinggi dari segi pembiayaan. Persoalan keempat adalah tingginya biaya transaksi akibat dari terbatasnya penguasaan teknis pembiayaan industri kecil dan rumahan. Prosedur penilaian kelayakan kredit sangat rumit sehingga memerlukan waktu dan tenaga yang besar untuk mendapatkan kredit yang tidak besar Persoalan kelima adalah tidak efektifnya mekanisme monitoring dan pengembalian pinjaman. Lembaga keuangan tidak memiliki mekanisme yang tepat (sederhana) untuk pemantauan dan pengumpulaan pengembalian kredit Persoalan keenam adalah rendahnya aksesibilitas industri kecil dan rumahan terhadap sumber pendanaan formal. Penyebaran industri kecil dan rumahan yang luas tidak diikuti oleh jaringan lembaga keuangan yang memadai sehingga informasi mengenai ketersediaan sumber-sumber keuangan juga terbatas. Termasuk di sini adalah terbatasnyaa modal ventura bagi industri kecil dan rumahan Persoalan ketujuh adalah tingginya bunga bank bagi pengadaan peralatan dan fasilitas usaha. Kondisi ini menyulitkan investasi industri kecil dan rumahan dalam perbaikan teknologi, pengembangan produk dan peningkatan skala usaha. Salah satu sentra industri furniture kayu di Jawa Tengah yang juga cukup besar adalah Kabupaten Sukoharjo, dimana saat ini terdapat 4 (empat) sentra industri furniture yang cukup besar dan terus berkembang yaitu; sentra Bulakan, Ngadirejo, Wirun, dan Gedangan. Dalam perkembangannya pengrajin pada sentra-sentra di Kabupaten Sukoharjo juga cukup banyak menghadapi permasalahan. Permasalahan yang utama pada daerah sentra-sentra industri pengrajin furniture kayu adalah langkanya bahan baku kayu yang sesuai/kuat untuk furniture dan rendahnya permodalan (sangat sulit untuk memproses pengurusan pinjaman di bank setempat). Jumlah unit usaha yang ada di Kabupaten Sukoharjo pada setiap sentra cukup beragam seperti; sentra Bulakan mempunyai 460 pengrajin furniture, sentra Ngadirejo 20 pengrajin, sentra Wirun 25 pengrajin, dan sentra Gedangan 23 pengrajin, jadi secara keseluruhan jumlah pengrajin furniture kayu di Kabupaten Sukoharjo berjumlah 528 pengrajin baik besar, menengah, maupun pengrajin kecil. Berkembangnya jumlah pengrajin pada sentra-sentra industri furniture di Kabupaten Sukoharjo ini tidak terlepas karena berbagai alasan diantaranya: Kabupaten Sukoharjo dekat dengan Kota Solo yang terdapat industri bahan-bahan penunjang industri furniture yaitu industri kain, cat/melamin, busa, politur, vernis dan thinner serta logam, sehingga saat ini usaha finishing furniture sudah cukup banyak terdapat di Sukoharjo.
7
B. Struktur Biaya Produk Industri Furniture Kayu Produk industri furniture kayu di Jawa Tengah terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu produk furniture kayu unfinish (produk setengah jadi) dan produk furniture kayu finish. Industri kecil furniture kayu (pengrajin) umumnya menghasilkan produk setengah jadi yang dipasok ke industri menengah dan besar. Kemudian produk tersebut dilakukan proses lanjutan antara lain pencelupan ke dalam bahan anti rayap, perbaiikan konstruksi, penghalusan permukaan, pengecetan, penambahan asesories dan pengepakan oleh industri menengah dan besar sehingga dihasilkan outdoor furniture dan indoor furniture. Rata-rata struktur biaya produksi furniture setengah jadi (unfinish product) di Jawa Tengah adalah sebagai berikut : Tabel 6. Rata-rata Struktur Biaya Produksi Furniture Setengah Jadi (Unfinish Product) di Jawa Tengah Tahun 2004 No Uraian Biaya Produksi (%) Keterangan 1
Bahan Baku kayu
74
Umumnya Jati
2
Tenaga Kerja
12
Skill & unskill
3
Bahan Pembantu & Penolong
3
Dowell, baud, ampelas dsb.
4
Penyusutan dan Pemeliharaan
4
Bahan baku dan peralatan
5
Pemasaran dan Pengangkutan
4
Pengiriman ke industri menengah & besar
6
Overhead
3
Pungutan, bunga modal
JUMLAH
100
Struktur biaya produksi tersebut di atas belum termasuk biaya pajak ataupun pungutan sehubungan dengan adanya regulasi baik oleh pusat maupun daerah. Berdasarkan Table tersebut dapat dilihat bahwa bahan baku kayu merupakan struktur biaya terbesar (74%) dalam pembuatan furniture setengah jadi, kemudian disusul oleh biaya tenaga kerja (12%). Output dari indusri kecil (pengrajin) ini merupakan bahan baku bagi proses lanjutan produk furniture kayu, sehingga komponen bahan baku kayu dan tenaga kerja merupakan komponen utama dalam pembuatan furniture kayu. Sewajarnya jika bahan baku kayu merupakan hal yang paling penting dalam kelangsungan keberadaan industri furniture kayu di Jawa Tengah. Untuk itu kelayakan pengembangan industri ini sangat bergantung pada kelangsungan pasokan bahan baku kayu baik yang berasal dari Jawa Tengah maupun dari propinsi lainnya seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua dan lain sebagainya. Rata-rata struktur biaya produksi outdoor dan indoor furniture (finish product) di Jawa Tengah adalah sebagai berikut : Tabel 7. Rata-rata Struktur Biaya Produksi Outdoor dan Indoor Furniture (Finish Product) di Jawa Tengah Tahun 2004 Biaya Produksi (%) No Uraian Outdoor Furniture Indoor Furniture 1
Furniture kayu setengah Jadi
60
44
2
Tenaga Kerja
10
14
3
Bahan Pembantu, Penolong, & Asesories
10
19
4
Penyusutan dan Pemeliharaan
5
5
5
Pemasaran dan Tranportasi
5
5
6
Energi & Bahan Bakar
2
3
7
Peralatan Kantor
3
4
8
Overhead
5
6
100
100
JUMLAH
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
8
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa komponen biaya furniture setengah jadi (unfinish product) merupakan komponen biaya terbesar dalam pembuatan baik untuk out door furniture maupun indoor furniture. Hal ini menunjukkan bahwa komponen bahan baku kayu merupakan komponen biaya terbesar baik untuk finish product maupun unfinish product. Untuk itu ketersediaan bahan baku kayu merupakan hal yang penting untuk dipertahankan kesinambungan pasokannya. Komponen biaya produksi terbesar kedua setelah bahan baku kayu adalah tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja industri furniture kayu Jawa Tengah mempunyai skill yang khusus dalam pembuatan furniture kayu khususnya pada desain dan atau motif ukiran sehingga hal tersebut merupakan keunggulan komparatif yang perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan kemampuannya. Apabila struktur biaya produk furniture kayu kita gabungkan antara industri kecil (pengrajin) yang menghasilkan unfinish product dengan industri menengah dan besar yang menghasilkan finish product, maka struktur biaya tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 8. Rata-rata Struktur Biaya Produksi Outdoor dan Indoor Furniture (Finish Product) Dari Bahan baku Kayu Gergajian di Jawa Tengah Tahun 2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Bahan baku kayu Tenaga Kerja Bahan Pembantu, Penolong, & Asesories Penyusutan dan Pemeliharaan Pemasaran dan Tranportasi Energi & Bahan Bakar Peralatan Kantor Overhead JUMLAH
Biaya Produksi (%) Outdoor Furniture Indoor Furniture 40.80 29.92 19.00 20.60 12.4 20.76 8.0 7.4 3.0 2.0 7.4 100
7.20 6.76 4.00 3.0 7.76 100
Sumber : 1) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa tengah, 2005 (diolah)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa bahan baku kayu gergajian masih cukup dominan sebagai bahan baku untuk pembuatan furniture kayu di Jawa Tengah masing-masing sebesar 40.80% untuk outdoor furniture dan 29.92% untuk indoor furniture, sehingga kesinambungan pasokan kayu perlu terus dipertahankan malahan dikembangkan untuk masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan kerjasama antara pihak industri furniture kayu dengan Perum Perhutani, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), para pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) dan pengusahan Hutan Tanaman Industri (HTI) terutama di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Papua. III. HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSRI FURNITURE Gejala berkurangnya permintaan akan produk furniture kayu Jawa Tengah, khususnya Jepara dan Sukoharjo rupanya tidak bisa hanya dikaitkan dengan menguatnya kembali nilai rupiah, karena pada saat yang sama jenis industri furniture di Cirebon misalnya tidak mengalami keadaan seburuk di Jepara. Ada beberapa faktor lain diluar masalah moneter yang turut mendorong turunnya permintaan furniture kayu Jepara. Faktor-faktor tersebut mencakup struktur bisnis dan dinamika sosial-budaya yang ada pada masyarakat Jepara dan Sukoharjo sendiri, seperti dijabarkan di bawah ini : 1) Rata-Rata Tingkat Pendidikan Formal Yang Rendah Rata-rata penduduk Jepara dan Sukoharjo yang terlibat dalam industri furniture umumnya berpendidikan rendah. Sebagian besar tukang kayu dan pengrajin hanya berpendidikan Sekolah Menengah Pertama, dan dengan latar belakang pendidikan ini mereka tidak terlalu menguasai manajemen perusahaan modern dan proses ekspor-impor. Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gustami (1991) diketahui bahwa dari 75 responden pengusaha furniture ukir Jepara, terdapat 54 orang yang berpendidikan SD, 15 orang yang berpendidikan SLTP dan 6 orang yang berpendidikan SLTA. Dari hasil tinjau lapang yang telah dilakukan dengan mengambil sampel 30 responden, ternyata 21 orang berpendidikan SD, 6 orang SLTP, dan 3 orang SLTA. . 2) Penurunan Kualitas Furniture Kayu Jepara Akibat Pemanjaan Pasar Ketika terjadi ledakan permintaan produk furniture kayu Jepara di Tahun 1997, produk furniture Jepara dipresepsikan sebagai produk berkualitas baik dengan harga yang amat murah. Pembeli-pembeli luar negeri, baik yang sudah terlebih dahulu berprofesi sebagai pedagang furniture atau baru saja mencoba berdagang furniture, berdatangan ke Jepara untuk memproduksi dan menjual produk furniture kayu Jepara di pasarnya 9
3)
4)
5)
6)
masing-masing. Selain dampak positif dari membanjirnya order pemesanan pada pengrajin ternyata ada dampak negatif yang baru dirasakan oleh pengrajin Jepara pada tahun 2001. Dampak negatif tersebut adalah penurunan kualitas furniture Jepara di mata pembeli Internasional. Gejala ini mulai terjadi akibat banyak pembeli-pembeli tersebut berusaha memanfaatkan peluang melemahnya rupiah sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya melakukan pembelian. Hampir semua produsen saat itu memiliki order melebihi kapasitas produksinya bahkan beberapa pembeli berani membayar tunai di depan untuk furniture yang samasekali belum dibuat. Walaupun secara sekilas hal ini terlihat menguntungkan, namun sistem ini secara bertahap merusak sistem kontrol kualitas produk-produk furniture Jepara. Persepsi kualitas tinggi yang dimiliki pruduk Jepara lambat laun mulai berganti menjadi furniture kelas dua. Mahalnya Biaya Produksi di Jepara Adanya ledakan bisnis furniture pada tahun 1997 cukup mengkatrol pendapatan rata-rata penduduk Jepara dan menaikkan biaya hidup serta harga barang kebutuhan sehari-hari pada umumnya. Kedatangan para investor asing semenjak tahun 1990 juga turut menaikkan standar gaji pengrajin kayu. Para pemodal asing yang memiliki modal lebih kuat mampu menggaji para pekerja dengan nilai lebih tinggi daripada pengusaha-pengusaha lokal. Hal tersebut menyebabkan persaingan dalam perekrutan tenaga kerja pengrajin kayu. Bagi para pengrajin kayu keadaan ini merupakan sebuah keberuntungan karena secara otomatois honor harian mereka menjadi lebih tinggi. Namun bagi pengusaha lokal biaya ekstra yang terbayarkan untuk menggaji pengrajin kadang harus ditutupi dengan mengurangi profit perusahaan atau menekan biaya (komponen) produksi yang lain. Pada saat ini honor per hari para pekerja pengrajin kayu di Jepara berkisar sekitar : @ Rp. 20.000,- untuk tukang kayu, @ Rp. 25.000,- untuk operator mesin, @ Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,- untuk pengukir, tergantung keahliannya. Besarnya honor/upah harian ini hampir/persis sama besarnya dengan yang diterima para pekerja pengrajin furniture kayu di Sukoharjo. Sebenarnya honor ini tidak akan menjadi masalah bila perusahaan pengrajin memiliki profit yang cukup tinggi untuk membiayai pekerjaan dan hasil pekerjaannya sangat baik kualitasya. Hal tersebut menjadi masalah ketika pada kenyataannya sebagian besar pengrajin furniture hanya merupakan sub-kontraktor produksi bagi perusahaan yang lebih besar. Sehingga marjin keuntungan yang dihasilkan oleh mereka hanya merupakan selisih dari harga jual ke pembeli (bukan harga jual ke end user) dengan harga pokok produksi Tidak Terkontrolnya Harga Jual Furniture Akibat Persaingan Yang Tidak Sehat Sejauh ini produk furniture Jepara dijual kepada pembeli sebagai komoditi, dimana para produsen (pengrajin) mendapatkan keuntungan dengan menekan harga produksi seefisien mungkin dan menjual kepada pembeli (buyer) dengan menambahkan nilai tertentu (sekitar 20%) sebagai keuntungan bagi produsen. Tidak stabilnya nilai rupiah dan dalam range yang lebar menyebabkan harga yang diberikan oleh para buyer kepada wholesaler dan retailer cenderung berubah-rubah mengikuti nilai tukar rupiah. Keadaan ini tentu saja tidak menguntungkan bagi para retailer yang berhubungan langsung dengan end user yang mengharapkan sebuah harga yang stabil. Solusi logis dari keadaan ini adalah pematokan harga tertentu yang akhirnya berdampak langsung pada pengrajin. Stok Furniture Jepara yang menumpuk di luar negeri Ketika nilai rupiah melemah hingga Rp. 18.000,- per dolarnya, terjadi lonjakan permintaan terhadap furniture ukir Jepara sampai melebihi 100 persen. Industri furniture di Jepara yang biasanya hanya mampu mengirimkan sekitar 400 kontainer per bulan sebagai komoditi ekspor, semenjak tahun itu mampu mengirimkan rata-rata 1200 kontainer per bulan dengan nilai sekitar US $ 15.000 sampai US $ 20.000 per kontainernya. Beberapa pihak mengatakan bahwa stok produk Jepara di pasar internasional masih cukup banyak sehingga pembelian yang dilakukan oleh buyer asing masih akan ditunda sampai stok tersebut mulai habis. Struktur Industri Furniture Jepara yang Khas Struktur industri furniture di Jepara terdiri dari berbagai kelompok, yaitu: • Pengrajin (producer) : adalah pihak yang melakukan proses fisik produksi, mulai dari pemotongan kayu, pengeringan kayu, pembentukan kayu, pemolaan ukiran, pengukiran, dan assembling. Kebanyakan dari pengrajin ini adalah industri kecil-menengah (UKM/SME) dengan tenaga kerja belasan sampai puluhan orang, yang merupakan jenis perusahaan terbanyak di Jepara. • Perusahaan Pengumpul (Traiding House/Collectors) : Ada dua jenis perusahaan pengumpul, yaitu yang besar dan yang kecil. Keduanya berfungsi sebagai penghubung antara pengrajin dengan buyer (importir). Biasanya perusahaan pengumpul besar memiliki gudang untuk mengumpulkan hasil kerja para pengrajin dengan belasan, puluhan sampai ratusan orang pekerja untuk melakukan proses finishing di workshop, warehousing, packing dan beberapa staf untuk melakukan fungsi sales, marketing, administrasi umum dan ekspor impor. Perusahaan pengumpul yang kecil bisa saja hanya memiliki gudang sewaan, belasan pegawai kontrak, dan secara administratif dijalankan tidak lebih dari dua orang. • Perusahaan Manufaktur (manufacturing company): adalah perusahaan-perusahaan dengan modal investasi besar dan pengerjaan produksi maksimal yang sudah mendominasi proses produksi. Perusahaan besar biasanya tidak terlalu menggantungkan produksinya pada pengrajin dan sudah bersentuhan langsung 10
dengan buyer. Perusahaan besar ini lebih siap untuk mengembangkan desain sendiri, dan ada yang sudah memiliki desainer sendiri. Perusahaan manufacturing merupakan minoritas dari keseluruhan perusahaan di Jepara. Hanya sekitar 5 perusahaan manufacturing yang pada saat ini masih beroperasi di Jepara, dan biasanya memproduksi furniture taman atau furniture dengan desain-desain yang tidak terlalu rumit secara masinal, dan ada kalanya menggunakan jasa para pengrajin untuk order produksi desain-desain yang rumit • Pembeli Grosir (buyer) : yang dimaksud dalam wacana ini adalah pihak-pihak luar negeri yang baik secara langsung atau tidak langsung memesan/membeli produk-produk furniture ukir Jepara untuk selanjutnya didistribusikan ke pasar di luar negeri. Beberapa buyer yang sudah secara berkala melakukan pembelian produk furniture Jepara bisa saja memutuskan untuk menyewa gudang di wilayah Jepara dan memutuskan untuk mengumpulkan secara langsung furniture-furniturenya dari para pengrajin. Dengan demikian dia sudah dapat dikategorikan sebagai perusahaan pengumpul juga. Di sini dapat dikatakan fungsi importir sekaligus eksportir dilakukan oleh perusahaan tersebut. Salah satu alasan mengapa pembeli grosir tersebut tidak melakukan investasi yang lebih besar di Jepara, karena mereka berharap dapat melakukan proses pembuatan furniture secara terpadu di suatu lokasi pabrikan. Alasan tersebut dilandasi oleh adanya sebuah konvensi di masyarakat Jepara yang juga didukung oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi setempat, di mana para penanam modal asing ataupun penanam modal dalam negeri dengan kapital yang besar tidak diperbolehkan turun sampai ke proses produksi. Berdasarkan konvensi tersebut Slot produksi hanya boleh dilakukan oleh para pengrajin. Walaupun hanya berupa konvensi (tidak tertulis) namun peraturan tersebut sangat dipatuhi pengusaha di Jepara. Para pengusaha asing kemudian mencari jalan keluar dengan cara menggunakan nama penduduk pribumi untuk mendirikan usahanya di Jepara atau dengan cara melakukan perkawinan kontrak dengan penduduk pribumi. Terlepas dari niat baik disepakatinya konvensi untuk melindungi usaha pribumi di Jepara tersebut, tidak urung konvensi ini juga yang disinyalir membuat beberpa investor memindahkan usahanya ke daerah lain seperti Yogyakarta, Cirebon, Semarang dan Pati. • Pedagang Grosir (wholesaler) : adalah para pengusaha yang membeli produk-produk furniture secara grosir dan menjualnya pula secara grosir dengan tujuan negara-negara atau area tertentu di dunia. • Pengecer (retailer): adalah pengusaha yang secara langsung menjual produk furniture pada pengguna akhir. IV. KESIMPULAN 1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
Permasalahan pada industri furniture kayu bersekala besar, menengah dan kecil di Jawa Tengah yaitu kesulitan mendapatkan bahan baku, proses produksi yang kurang efisien, kualitas produk yang rendah, pasar yang semakin tinggi tingkat kompetisinya, dan hambatan dalam perdagangan produk kayu (sertifikasi legalitas kayu dan ekolabeling). Saat ini kondisi industri di Jawa Tengah, khususnya produk furniture kayu sangat potensial untuk dikembangkan mengingat pasar produk furniture kayu yang semakin menarik dan sumber bahan baku dari hutan rakyat banyak digunakan walaupun memiliki tingkat variasi yang tinggi dalam hal bentuk dan kualitasnya Kebijakan pengembangan industri perkayuan di masa depan diarahkan untuk membangun industri perkayuan yang memiliki karakteristik: (I) produk-produk dengan nilai tambah yang tinggi, (ii) konsumsi kayu yang efisien, (iii) penyerapan tenaga kerja yang tinggi, (iv) industri tanpa limbah (zero waste industry), (v) daya saing yang tinggi, (vi) kualitas produk kelas dunia ('world class' quality), (vii) minimum resiko lingkungannya, (viii) produk-produk berorientasi ekspor, dan (ix) bahan baku dari hutan yang dikelola secara lestari Selama ini kesulitan memperoleh bahan baku berupa kayu bulat (dari berbagai bentuk dan jenis kayu) di pasaran untuk industri furniture kayu sebenarnya dapat teratasi apabila pasar kayu bulat tersedia di Indonesia dan dilakukan secara lelang ataupun pasar yang kompetitif karena industri furniture berani membayar harga yang lebih tinggi dibandingkan industri lainnya. Sentra-sentra produksi furniture di Jawa Tengah sendiri tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Sragen. Banyaknya sentra produksi yang ada membuat investasi di produk ini masih terbuka dengan persaingan yang cukup ketat. Beberapa informasi penting yang dapat dipertimbangkan oleh investor dalam menanamkan investasinya di salah satu sentra industri furniture Jawa Tengah antara lain: (1) Lokasi sentra produksi kerajinan ukir meliputi daerah-daerah : Pencangaan, Kedung, Tahunan, Mlonggo, dan Jepara, (2) Desa yang memproduksi meliputi : Pulau Darat, Kerso, Langon, Krapyak, Mantingan, Kawak, Mambak, Wonorejo, Serenan, Petekeyan, Bulungan, Pingko, Tegalsambi, dan Sukodono, (3) Nilai produksi : Rp. 1.045.440.000.000,- dengan kebutuhan bahan baku sebesar 350.000 m3 (kayu Jati dan Mahoni) per tahun, (4) Jumlah Perusahaan : 3.008 usaha menengah dan kecil pengrajin rumah tangga yang menampung tenaga kerja sejumlah : 43.916 orang. Rata-rata kebutuhan bahan baku kayu untuk industri furniture di Jawa Tengah adalah sebesar 1.717.000 m3 per tahun dengan nilai Rp 1.662 milliar. Kebutuhan tersebut dipasok oleh Perum Perhutani sebagai pemasok utama. Untuk mengantisipasi kekurangan bahan baku maka kebutuhan tersebut dapat didatangkan dari 11
beberapa propinsi di luar Jawa Tengah seperti dari Jawa Barat, Jawa Timur dan kerjasama pengadaan bahan baku kayu dengan Propinsi Papua serta penjajagan kerjasama dengan Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Sumatera Selatan. Kebutuhan bahan baku tersebut cenderung meningkat selaras dengan perkembangan furniture kayu dunia yang masih terbuka. Diperkirakan rata-rata kebutuhan kayu untuk bahan baku industri furniture kayu per tahun sebesar 2,122,000 m3 dengan rata-rata rendemen 25%, sehingga akan dihasilkan furniture kayu sebanyak 530,000 m3 per tahun. DAFTAR PUSTAKA Asmindo. 2000. Data Base untuk Ekspor Barang Jadi Kayu dan Barang Jadi Rotan. Assosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia, Jakarta. Indonesia. Badan Pusat Statistika, 2001. Direktori Industri Pengolahan. Jakarta. Badan Planologi HutBun. 2000. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 1994 - 1999. Jakarta, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Tahun 2000. Dinas Perindustrian dan Perdagangan.2005. Laporan Tahunan Evaluasi Pelaksanaan tugas Pokok dan Fungsi. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Tengah. Semarang, 2005. Dinas Perindagkop.2004. Laporan Tahunan Evaluasi Pelaksanaan tugas Pokok dan Fungsi. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Jepara Tahun 2003. Gustami. 1991. Penyebaran Tenaga Kerja Industri Furniture Kayu di Kabupaten Jepara. Universitas Islam Yogyakarta.Yogyakarta, Desember 1991. Hartono. 2004. Strategi Pemantapan Pangsa Pasar Produk Primer dan Sekunder Yang Unggul. Makalah Tanggapan Dalam Seminar Strategi Pengembangan Industri Perkayuan Yang Lestari, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Kehutanan dan ITTO, di Jakarta, 7 Desember 2004. Kompas. 2004. Meningkat, Volume dan Nilai Ekspor Mebel 2003. 13 Juli 2004 Saragih, B. 1996. Pengolahan dan Pemasaran Furniture, Tinjauan terhadap Implikasi Kebijakan. In Nasendi, B.D. (editor). Forest Product and Forest Socioeconomics Research and Development Center, Forestry Research and Development Agency. Bogor. Sunarso, A. 2004. Strategi Pemasaran dan Perdangan Internasional Produk Perkayuan Indonesia. Makalah Tanggapan Dalam Seminar Strategi Pengembangan Industri Perkayuan Yang Lestari, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Kehutanan dan ITTO, di Jakarta, 7 Desember 2004. Wargadalam.2004.Kebijakan Pengembangan Industri Hasil Hutan dan Selulosa. Pelatihan Pengeringan Kayu Kegiatan Peningkatan Kualitas Produk Kayu Dalam Rangka Pengembangan Industri Kayu, 1-2 Desember 2004.Jawa Tengah.
12