II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Sejarah Kambing PE Kambing merupakan hewan domestikasi tertua yang telah bersosialisasi
dengan manusia lebih dari 1000 tahun. Kambing tergolong pemamah biak, berkuku genap dan memiliki sepasang tanduk yang melengkung. Kambing merupakan hewan pegunungan hidup dilereng-lereng yang curam yang meiliki sifat adaptasi yang cukup baik terhadap perubahan musim (Sarwono,2009). Mulyono dan Sarwono (2010) menyatakan kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawa dari India dengan kambing kacang yang penampilannya mirip Etawa tapi lebih kecil. Kambing Peranakan Etawa (PE) memiliki dua kegunaan, yaitu sebagai penghasil susu (perah) dan kambing potong. Sodiq dan Abidin (2008) menyatakan bahwa kambing Etawa berasal dari wilayah Jamnapari (India), sehingga kambing ini disebut juga sebagai kambing Jamnapari. Kambing Etawa merupakan kambing yang paling populer di Asia Tenggara. Di negara asalnya kambing Etawa termasuk kambing tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu dan daging. Kambing Etawa memiliki postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung serta bulu dibagian paha belakang sangat panjang. Subandriyo (1995) menyatakan bahwa ciri khas kambing Peranakan Etawa (PE) antara lain bentuk muka cembung melengkung dan dagu berjanggut, telinga panjang, lembek menggantung, dan ujungnya agak berlipat, ujung tanduk agak melengkung, tubuh tinggi, pipih, bentuk garis punggung yang mengombak ke belakang, bulu tumbuh panjang di bagian leher,
12
pundak, punggung dan paha, bulu panjang dan tebal. Warna bulu ada yang tunggal putih, hitam dan coklat, tetapi jarang ditemukan. Kebanyakan terdiri dari dua atau tiga pola warna, yaitu belang hitam, belang coklat dan putih betotol hitam.
2.2
Usaha Ternak Kambing PE Kambing banyak dipelihara oleh penduduk pedesaan Indonesia (Mulyono,
2003), karena pemeliharaannya lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan ternak ruminansia besar. Kambing cepat berkembang biak dan pertumbuhan anaknya juga tergolong cepat. Kambing Etawa berasal dari wilayah Jamnapari India. Kambing ini paling popular di Asia Tenggara, termasuk tipe dwiguna yaitu penghasil susu dan penghasil daging. Ciri-cirinya postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung, bulu bagian paha sangat lebat, bobot badan jantan mencapai 90 kg, bobot badan betina 60 kg. produksi susu mencapai 235 kg/masa laktasi. Di Indonesia untuk perbaikan mutu, maka kambing lokal dikawinkan dengan Kambing Etawa sehingga menghasilkan Kambing PE (Peranakan Etawa). Kambing Peranakan Etawa adalah ternak dwi guna, yaitu sebagai penghasil susu dan sebagai penghasil daging (Williamson dan Payne, 1993). Kambing PE adalah bangsa kambing yang paling populer dan dipelihara secara luas di India dan Asia Tenggara (Devendra dan Burns, 1994). Ciri-ciri Kambing PE adalah warna bulu belang hitam putih atau merah dan coklat putih, hidung melengkung, rahang bawah lebih menonjol,baik jantan maupun betina memiliki tanduk; telinga panjang terkulai, memiliki kaki dan bulu yang panjang (Sosroamidjoyo, 1984).
13
Kambing PE telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi dan habitat Indonesia (Mulyono, 2003). Beternak kambing PE merupakan salah satu usaha yang cukup menjanjikan. Pertama, tidak memerlukan lahan yang luas. Kedua, Kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan sehingga mudah dipelihara. Ketiga, untuk berkembang biak, kambing tidak memerlukan waktu yang lama. Keempat, daging kambing merupakan sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi (Yulianto, 2012). Menurut Sarwono (1999), bila tata laksana pemeliharaan ternak kambing yang sedang bunting atau menyusui serta anaknya baik, maka bobot anak kambing bisa mencapai 10-14 kg/ekor ketika disapih pada umur 90-120 hari. Williamson dan payne (1993) menyatakan untuk kambing pedaging ada kecendrungan menunda penyapihan untuk memberikan kesempatan anak kambing memperoleh keuntungan yang maksimal dari susu induknya. Sedangkan untuk kambing perah, penyapihan harus dilakukan lebih awal, tanpa mengganggu pertumbuhan anaknya, agar kelebihan produksi induk dapat dimanfaatkan oleh peternak untuk meningkatkan pendapatan atau keperluan gizi keluarga (Asih, 2004).
2.3
Performa Kambing PE
2.3.1
Performa Reproduksi Kambing PE (Peranakan Etawah) Kambing PE merupakan hasil persilangan pejantan Etawah dengan
Kambing Kacang sebagai upaya peningkatan produktivitas ternak lokal. Susilawati (2008)
menjelaskan bahwa Kambing PE di Indonesia nenek
moyangnya berasal dari india yaitu kambing Etawah. Kambing ini merupakan
14
jenis kambing perah dan dapat pula menghasilkan daging. Kambing PE termasuk kambing yang prolifik (subur) dengan menghasilkan anak 1-3 ekor per kelahiran, dengan berat badan antara 35-45 kg pada betina, sedangkan pada kambing jantan berkisar antara 40- 60 kg tergantung dari kualitas bibit dan manajemen pemeliharaannya. Dengan pengelolaan budi daya secara intensif dapat diusahakan beranak tiga kali setiap dua tahun dengan jumlah anak setiap kelahiran 2-3 ekor. Kambing PE lebih cocok diusahakan di dataran sedang (500-700 m dpl) sampai dataran rendah yang panas (Mulyono dan Sarwono, 2008). Umur produktif kambing PE jantan mencapai umur 8 tahun. Kambing PE jantan siap dikawinkan pada usia 6 – 8 bulan, saat itu kambing jantan telah mampu mengawini kambing betina, namun untuk kambing PE baru menjadi pejantan yang baik jika usianya telah mencapai antara 10 – 18 bulan (Sarwono, 2007). Satu ekor pejantan PE siap kawin dapat mengawini 20-25 ekor kambing betina dan dalam sehari dapat melakukan perkawinan 4-5 kali sebanyak 2-3 hari/minggu. Menurut Frandson (1992) kambing dapat mencapai masa pubertas pada umur 6 – 10 bulan. Pada Kambing PE sama halnya demikian, namun ditangguhkan perkawinannya pada usia 18 bulan. Kambing PE betina sudah dapat dikawinkan pada umur 6 bulan, pada umur ini betina sudah mengalami birahi pertama selama 1 minggu,setelah 1 minggu, birahi akan hilang dan akan muncul kembali dalam waktu 21 hari kemudian (1 bulan). Diharapkan kambing PE betina dikawinkan umur 9 bulan atau birahi ketiga. Hal ini dilakukan untuk memperkecil risiko pada kehamilan dan kelahiran. Pada usia ini alat reproduksi kambing PE betina sudah sempurna. Kambing PE betina akan mengalami masa laktasi (produksi susu banyak) selama 3 bulan. Pada masa 3 bulan dari masa melahirkan, betina dapat dikawinkan
15
kembali, jika peternak tidak segera mengawinkan pada bulan ketiga, maka peternak akan kehilangan kesempatan dan harus menunggu 21 hari kemudian (Yulianto, 2012). Pada Kambing PE betina masa kebuntingan mencapai 150 hari atau 5 bulan (Sarwono, 2007). Lama bunting yang diperoleh dari masih dalam batas kisaran lama bunting yang dikemukakan beberapa ahli yaitu 144-157 hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) dan 143-153 hari (Davendra dan Burns 1994). Penyebab keragaman dalam periode bunting ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, keragaman lingkungan (pakan) dan faktor keturunan. Menurut Devendra dan Burn (1994) kambing Kacang memiliki angka kesuburan yang tinggi. Jumlah anak lahir seperindukan rata-rata adalah 2 ekor. Produktivitas pada Kambing PE sangat baik karena dapat dilihat terdapat kombinasi antara sifat Kambing Kacang dan Kambing Ettawa sehingga sifat unggul kambing kacang yaitu mampu beranak lebih dari 2 ekor dapat muncul dan menjadi keunggulan bagi kambing PE. Pada kambing PE dapat bunting kembali membutuhkan waktu 3 bulan maka calving interval kambing PE betina mencapai 8 bulan, sehingga setiap 8 bulan sekali kambing dapat berproduksi (melahirkan). Dari hal tersebut maka kambing dalam jangka 2 tahun dapat melahirkan 3 kali.
2.3.1.1 Bobot Sapih Penyapihan adalah waktu dimana seekor anak berhenti menyusui dan mulai terpisahkan dari induknya. Bobot sapih merupakan cermin pertumbuhan seekor ternak karena menentukan kemampuan produksi di waktu yang akan datang. Besar kecilnya bobot sapih yang didapat dipengaruhi oleh genetik dari induk serta produktivitas induk saat menyusui.
16
Bobot sapih sangat berkaitan erat dengan kemampuan ternak untuk tumbuh dan berkembang setelah disapih. Seekor induk yang melahirkan anak dengan bobot sapih yang tinggi dapat diduga bahwa keturunan dari induk tersebut dimasa yang akan datang akan melahirkan anak dengan bobot sapih yang tinggi pula (Sulastri, 2001). Subandriyo (1996) menjelaskan bahwa bobot anak saat disapih juga dipengaruhi oleh tipe kelahirannya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya produksi air susu induk, sehingga apabila induk memiliki anak kembar maka jumlah susu yang terbatas tersebut harus dibagi-bagi.
2.3.1.2 Jarak Beranak Jarak beranak merupakan salah satu sifat reproduksi yang berpengaruh terhadap peningkatan populasi dan produksi ternak. Beberapa faktor yang memengaruhi panjang pendeknya jarak beranak antara lain adalah bangsa, umur kambing, frekuensi beranak, kandungan nutrisi ransum, dan service per conception. Jarak beranak juga dipengaruhi oleh tipe kelahiran ternak, pada tipe kelahiran tunggal jarak beranak akan lebih pendek dibandingkan tipe kelahiran kembar. Nainggolan (2011) juga menyatakan bahwa persilangan yang dilakukan pada ternak dapat mempercepat jarak beranak ternak. Hal ini telah dilakukan pada domba lokal yang disilangkan dengan domba garut.
2.3.1.3 Jumlah Anak Per Kelahiran Litter size adalah banyaknya atau jumlah anak perkelahiran dari seekor induk. Pada umunya besar litter size adalah 2 ekor, walaupun terdapat sedikit persentase induk dengan jumlah anak lahir 4 atau 5 ekor. Kambing Kacang lebih
17
prolifik jika dibandingkan kambing Boer. Prolifikasi ini disamping dipengaruhi oleh bangsa dan faktor genetik lainnya juga dipengaruhi oleh umur induk waktu beranak (Subandriyo, 1996). Pada kondisi normal, persentase kelahiran mencapai 95 % adalah biasa dan sekitar 7-15 % dari kambing betina dapat melahirkan 3 anak dan lebih dari 50 % dapat melahirkan 2 anak (Barry dan Godke, 2005). Litter size dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur induk, bobot badan, tipe kelahiran, pengaruh pejantan, musim dan tingkat nutrisi (Land dan Robinson, 1985). Jumlah anak yang banyak adalah keadaan yang diharapkan dan termasuk sebagai satu sasaran dari rencana pemuliaan yang banyak hal mengarah ke produksi secara keseluruhan dari kambing yang dipelihara untuk penghasil daging. Jumlah anak per kelahiran dapat ditingkatkan dengan persilangan yang tepat antara jenis kambing yang subur dengan yang tidak subur (Wodzika, dkk 1993).
2.4 Performa Produksi Susu Kambing PE (Peranakan Etawah) Menurut Peris et al. (1999) produksi susu akan meningkat seiring dengan semakin tinggi umur seekor kambing namun belum dapat diketahui sampai sejauh mana faktor umur tersebut dapat mempengaruhi produksi susu karena kembali pada manajeman pemeliharaannya, terutama dalam pemberian pakan. Lebih lanjut menurut (Yulianto, 2012) Seekor kambing PE akan berproduksi susu maksimal di usia laktasi ke-3 sampai ke-7. Dibawah laktasi ke-3, produksi susu yang dihasilkan biasanya belum maksimal. Hasil terbanyak kisaran 1 liter/ekor/hari. Apabila kambing telah mencapai usia diatas 7 kali masa laktasi, biasanya hasil susu yang diperoleh akan mulai menurun. Hal ini disebabkan karena faktor usia
18
pada masing-masing ternak. Rata-rata seekor kambing PE dapat diperah minimal 1.5 tahun tanpa berhenti dengan hasil rata-rata per ekor per hari mencapai 1.3-1,6 liter. Devendra dan Burns (1983) menyatakan bahwa selain pengaruh umur, produksi susu juga dipengaruhi oleh faktor seperti pakan, tatalaksana pemeliharaan, dan faktor lingkungan lainnya. Secara umum produksi susu kambing perah akan meningkat terus dari awal laktasi hingga mencapai laktasi ketiga yang setara dengan umur 2,5-3,5 tahun dan kemudian akan menurun, dan masih layak untuk dipertahankan hingga ternak berumur 5-6 tahun (Sutama, 2007). Morand-Fehr (1991) menyatakan bahwa kambing perah dengan bobot badan yang lebih besar akan memiliki tingkat produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kambing dengan bobot badan rendah, sehingga bobot badan secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan, hal ini karena bobot badan menentukan kematangan dan kesiapan sel-sel kelenjar ambing untuk memproduksi susu dan menentukan ragam produksi susu di awal laktasi. Lebih lanjut menurut Ramdan (2007) menyatakan bahwa lingkar dada berkorelasi positif dengan bobot badan, sehingga semakin besar ambing yang diakibatkan oleh perkembangan sel sekretori akan menyebabkan bertambahnya bobot badan pada kambing sehingga meningkatkan produksi susu. Legarra dan Ugarte (2005) menunjukkan bahwa pertumbuhan kelenjar ambing berbanding lurus dengan besarnya ambing, semakin besar ambing maka semakin banyak jumlah sel sekretori yang digunakan untuk mensintesis susu. Lawrence dan Fowler (2002), juga menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ambing pada saat sebelum fase kebuntingan berjalan terlambat,
19
namun pada saat ternak memasuki fase kebuntingan pertumbuhan ambing berjalan sangat cepat dan menurun saat memasuki fase laktasi. Gurmessa dan Melaku (2012) menunjukkan bahwa adanya efek kebuntingan pada produksi susu dan merupakan parameter yang paling penting untuk mengevaluasi kemampuan produksi susu ternak. Perbedaan produksi susu yang tidak terlalu signifikan antara kelompok ternak bunting dan kelompok ternak tidak bunting, akan tetapi rata-rata produksi susu pada kelompok bunting menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi susupada kelompok tidak bunting.
2.5
Pengertian Respon Watson yang dikutip Sarlito (1987) , berpendapat bahwa setiap tingkah
laku pada hakekatnya merupakan tanggapan atau balasan (respons) terhadap rangsangan (stimulus), karena itu rangsangan sangat mempengaruhi tingkah laku. Berlo (1960) yang dikutip oleh Gibson dkk. (1994) menyatakan bahwa respon merupakan sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang sebagai hasil atau akibat dari menerima stimulus. Stimulus tersebut merupakan sesuatu yang dapat diterima oleh seseorang melalui salah satu penginderanya.
Teori yang menunjang teori
stimulus respon menurut Rosenberg (1960) yang dikutip oleh Gibson dkk. (1994) adalah teori sikap, teori tersebut mengemukakan bahwa afeksi, kognisi dan perilaku menentukan sikap, dan selanjutnya sikap menentukan afeksi, kognisi dan perilaku. Afeksi, komponen emosional atau perasaan dan sikap dipelajari dari teman, orangtua, guru dan teman kelompok. Komponen kognitif sikap terdiri atas persepsi, pendapat dan keyakinan seseorang. Hal itu menunjukkan proses berpikir dengan penekanan khusus pada rasionalitas dan logika. Elemen kognisi yang
20
penting adalah keyakinan evaluatif yang dimiliki orang tersebut. Keyakinan evaluatif diwujudkan dalam bentuk kesan yang baik atau tidak baik yang dimiliki seseorang terhadap obyek atau orang. Komponen perilaku dari suatu sikap berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau sesuatu dengan cara yang ramah, hangat, agresif, bermusuhan, apatis, atau dengan sesuatu cara lain. Tindakan ini dapat diukur atau dinilai untuk mengkaji komponen perilaku dari sikap. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka respon dapat dibedakan menjadi dua : 1. Respon tertutup (covert response) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Respon terbuka (overt response) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. (Notoatmojo, 2003). Pendapat ini didukung oleh Sarlito (1987) yang menyatakan bahwa antara kognitif-afektif dan psikometrik terdapat suatu keterkaitan, namun hubungan tersebut ada yang selaras dan tidak selaras. Selaras artinya sistem koginitif dan afektif mempunyai sifat yang sama di semua seginya, maka timbulah keadaan yang selaras dengan psikomotorik dan tidak ada dorongan untuk berubah,
21
sedangkan tidak selaras artinya sistem kognitif dan afektif itu mempunyai segisegi yang tidak bisa berjalan berama-sama. Maka terjadilah ketidakselarasan dan timbulah tekanan yang mendorong untuk mengubah sistem kognitif sedemikian rupa sehingga tercapai keadaan selaras.
2.5.1
Pengetahuan (Kognitif) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). a. Proses Adopsi Perilaku Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmojo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : 1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus 3. Evaluation (menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. 5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh
22
pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang posistif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. b. Tingkat Pengetahuan didalam domain kognitif Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang
apa
yang
dipelajari
antara
lain
menyebutkan,
menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (aplication) Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
23
4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-koponen, tetapi masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat
bagan),
membedakan,
memisahkan,
mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada sesuatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasiformulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.5.2
Sikap (Afektif) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut salah seorang ahli psikologis sosial, Newcomb, yang dikutip oleh Notoatmodjo, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksanaan motif
24
tertentu. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap adalah bagian hakiki dari kepriadian seseorang. Namun, sejumlah teori mencoba memperhitungkan pembentukan dan perubahan sikap. Salah satu teori menyatakan bahwa orang mencari kesesuaian antara keyakinannya dengan perasaannya terhadap obyek dan mengemukakan bahwa perubahan sikap tergantung pada perubahan perasaan atau keyakinan (Rosenberg, 1960) yang dikutip oleh Gibson dkk. (1994). Selanjutnya teori itu mengasumsikan bahwa orang mempunyai sikap yang berstruktur yang tersusun dari berbagai komponen afektif dan kognitif. Pertalian dari komponen tersebut berarti bahwa perubahan pada satu komponen menggerakan perubahan pada komponen lain. Jika komponen-komponen ini tidak sesuai atau melampaui tingkat toleransi orang yang bersangkutan, maka akan timbul ketidakstabilan. Ketidakstabilan itu dapat dikoreksi oleh (1) pengingkaran dari pesan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap, (2) pemecahan atau fragmentasi sikap, atau (3) penerimaan ketidakkonsistenan sehingga terbentuk sikap baru. Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo, menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu : 1) Kepercayaan (keyakinan), ide,dan konsep terhadap suatu objek. 2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek. 3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri atas empat tingkatan, yaitu :
25
1) Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2) Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. 3) Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi dari sikap menghargai. 4) Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.5.3
Tindakan (Psikomotorik) Tindakan yaitu keseluruhan respons (reaksi) yang mencerminkan pilihan si
pelaku dan mempunyai akibat (efek) terhadap lingkungannnya (Sarlito, 1995). Suatu tindakan dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian
sesuatu
agar
kebutuhan
tesebut
terpenuhi.
Psikomotor
ini
berhubungan dengan kebiasaan bertindak yang merupakan aspek perilaku yang menetap (Rakhmat, 1989). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,
26
antara lain adalah fasilitas (Notoatmojo, 2003). Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan. 1. Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. 2. Respons terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua 3. Mekanisme (mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka Ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. 4. Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut
2.6 Konsep Pola Bagi Hasil Pola bagi hasil merupakan konsep dan pranata atau norma tradisional yang sudah dipergunakan oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum kedatangan Bangsa Belanda. Di berbagai wilayah Indonesia dipergunakan istilah dan teknik pembagian hasil yang berbeda (Scheltema, 1931) yang dikutip oleh Tim Peneliti Unpad (1999). Menurut Tim Peneliti Unpad (1999) , Pola bagi hasil memiliki kelebihankelebihan, antara lain :
27
1. Konstruksi Hukumnya sederhana Konstruksi hukumnya sederhana, yaitu kerja sama antara dua pihak atau lebih, para pihak masing-masing mempunyai modal yang berbeda namun saling bergantung sehingga perlu bekerja sama untuk mewujudkan suatu hasil dengan pembagian hasil bagi para pihak. 2. Memproduktifkan modal Pola bagi hasil dapat memproduktifkan modal, bila terjadi suatu keadaan dimana pihak pemodal yang berbeda saling bergantung. Kerja sama yang berdasarkan bagi hasil ini akan memproduktifkan modal mereka, misalnya: a. Pemilik modal yang tidak mampu dapat menyuruh orang yang mempunyai modal (dana, tenaga kerja, pupuk dan benih) untuk melakukan pekerjaan secara bagi hasil. b. Pengusaha (UKM) yang akan melakukan kegiatan bisnis tetapi tidak mempunyai modal, maka dapat bekerja sama dengan bank syariah untuk memperoleh dana/pembiayaan berdasarkan perjanjian bagi hasil. 3. Keuntungan Komparatif Dipergunakannya pola bagi hasil, ternyata menghasilkan keuntungan komparatif yaitu keuntungan diatas alternatif-alternatif yang lain. Pada bidang keuangan para pengusaha yang berpendapat bunga adalah riba bila dibandingkan dengan pola kredit konvensional. Pola bagi hasil mempunyai keunggulan antara lain: tujuan, konsep, suply dan demand, pemilikan aset, risiko, investasi, revenue sharing, masa perjanjian dan lain-lain. 4. Keadilan Proporsional (Kesebandingan)
28
Pembagian hasil dalam pola ini tidak kaku, tetapi bersifat proporsional atau kesebandingan yang didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas hasil, jenis lahan, besarnya investasi, tingkat kesulitan dan lain-lain. Misalnya, seorang nasabah mengajukan pembiayaan untuk modal kerja dagang sebesar Rp. 100.000.000 selama 1 tahun, dengan perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank 60 : 40. Demikian pula dalam bidang pertanian, pelaksanaan bagi hasil diterapkan perbandingan keuntungan yang proporsional, bahkan diatur secara tegas dalam Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 Tentang Perjanjian Bagi Hasil, antara lain: a. Komposisi bagi penggarap dan pemilik untuk tanaman padi yang ditanam di sawah 50 : 50. b. Komposisi bagi penggarap dan pemilik untuk tanaman palawija yang ditanam di sawah dan padi yang ditanam di tanah kering adalah 66,6 : 33,3. c. Komposisi bagi penggarap dan pemilik bila hasilnya diatas rata-rata perbandingannya 80 : 20. 5. Bersifat Fleksibel atau Luwes Dalam perjanjian baku, baik dibidang pertanian maupun keuangan dicantumkan ketentuan-ketentuan pokoknya saja, sedangkan hal-hal yang bersifat detail ditambahkan dalam lampiran perjanjian dengan demikian pihak -pihak yang terlibat dapat menentukan syarat-syarat dan komposisi pembagian hasil yang disesuaikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas produksi. 6. Bersifat Netral. Perjanjian dengan menggunakan pola bagi hasil tidak didasarkan pada sistem hukum tertentu tetapi berdasarkan prinsip umum yaitu kebebasan berkontrak dengan pola yang bersifat universal.
29
2.7 Konsep Pola Bagi Hasil Ternak Sistem Gaduhan. Berdasarkan Undang-undang nomor 6 tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, menyebutkan bahwa peternakan atas dasar bagi hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat yang dititipkan oleh pemilik hewan ternak kepada orang lain untuk dipelihara baik-baik dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut dibayar kembali berupa ternak keturunannya atau dalam bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Selanjutnya disebutkan bahwa ternak sebagai titipan itu tidak boleh kurang dari lima tahun untuk ternak besar, bagi ternak kecil jangka waktunya dapat diperpendek. Jika ternak titipan dengan bagi hasil tersebut dikembalikan, maka yang harus diberikan adalah jumlah pokok semula ditambah sepertiga dari keturunan ternak semula. Di kalangan masyarakat pedesaan tidak saja berlaku adat perjanjian bagi hasil tanah pertanian, tetapi juga berlaku perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak. Suatu perjanjian bagi hasil ternak adalah persetujuan yang diadakan antara pemilik ternak dengan penggaduh atau pemelihara hewan ternak dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ternak menurut hukum adat berlaku dengan cara membagi anak, sedangkan ternak bibitnya tetap (Hadikusuma, 2001). Pemilik ternak hanya berhak menuntut untuk dikembalikan ternaknya yang digaduhkan beserta keturunannya setelah 5 tahun. Penggaduh ternak dapat mengembalikan keturunannya setiap saat Ia mampu dan menghendakinya (Undang-undang nomor 6 tahun 1967).