II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Rumput Brachiaria humidicola
2.1.1 Deskripsi
Daun Batang
Gambar 1. Rumput Brachiaria humidicola Rumput Brachiaria humidicola merupakan rumput yang berasal dari Afrika Selatan dan menyebar ke daerah Fiji dan Papua New Guinea (Skerman dan Riveros, 1990).
Menurut Jayadi (1991) rumput Brachiaria humidicola
mempunyai batang yang dapat berkembang dengan tinggi bisa mencapai 20-60 cm, helai daun berwarna hijau terang (Bright green) dengan panjang 12-25cm dan lebar 5-6 mm.
Rumput ini biasanya digunakan sebagai hijauan dalam
penggembalaan permanen (Hanum, 1997).
Rumput Brachiaria humidicola
memiliki taksonomi sebagai berikut menurut Reksohadiprodjo (1985) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Angiospermae
Class
: Monocotyledoneae
Ordo
: Glumiflora
Family
: Graminaea
Genus
: Brachiaria
Species
: Brachiaria humidicola
12 2.1.2 Karakteristik Menurut Skerman dan Riveros (1990), rumput Brachiaria humidicola merupakan rumput tahunan yang memiliki perkembangan vegetatif dengan stolon yang begitu cepat sehingga bila ditanam di lapang akan segera membentuk hamparan, daunnya tidak berbulu dan umumnya menggulung untuk menahan penguapan air. Tanaman ini tahan kekeringan dan cukup tahan genangan, tahan terhadap penggembalaan berat dan mempunyai ketahanan tinggi terhadap invasi gulma. Selain itu, tahan juga terhadap tanah yang mengandung Al tinggi dan sangat responsif terhadap pemupukan nitrogen yang tinggi. Rumput Brachiaria humidicola memiliki warna bunga ungu atau ungu kecoklatan, helai daun berwarna hijau terang dan berbentuk gepeng dengan lebar 5 -6 cm dan panjang 12 - 25 cm. Panjang mulai 7 – 12 cm dan batang yang berkembang dapat mencapai tinggi 20 - 60 cm. Mulai terdiri dari 3 – 5 tandan, dengan panjang tandan 2 – 5 cm. Panjang spiklet kira-kira 5 mm sedangkan panjang floret 4 mm (Jayadi, 1991). 2.1.3 Kandungan Nutrisi Tabel 1. Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria humidicola Kandungan PK SK Abu BETN
(%) 5,1 37,4 9,8 46,1
Sumber: Skerman dan Riveros (1990) Kandungan nutrisi rumput ini cukup tinggi dan palatabilitas yang baik (seperti rumput tropis yang lain) tetapi bergantung pada status kesuburan tanah. Kecernaan rumput ini dapat mencapai (50-80%), protein kasar (PK) berkisar dari
13 9-20% tergantung pada kesuburan tanah dan manajemen, tetapi dapat menurun dengan cepat tergantung pada umur dan kondisi lingkungannya (Schultze dan Teitzel, 1992). Kandungan nutrisi rumput banyak ditentukan oleh umur tanaman saat di grazing, jenis rumput, intensitas cahaya dan suhu, lingkungan dan manajemen grazing (Coleman dan Henry, 2002). 2.1.4 Syarat Tumbuh Menurut
Mannetje dan Jones (1992) rumput Brachiaria humidicola
tumbuh baik pada daerah humid-sub humids tropis dan dapat tumbuh pada musim kering kurang dari 6 bulan. Tumbuh pada jenis tanah apapun termasuk tanah berpasir atau tanah asam. Selain itu, rumput ini sangat toleran terhadap tanah yang asam dan respon terhadap pemupukan yang mengandung unsur N, P, K, walaupun tidak tahan terhadap tanah berdrainase rendah. 2.1.5 Sistem tanam Perbanyakan rumput ini biasanya menggunakan biji, biji yang dibutuhkan per hektar adalah 1,5 –12 kg/Ha tergantung pada kualitas biji. Biji biasanya di sebarkan kemudian ditanam pada kedalaman kurang lebih 2-4 cm pada tanah. Biji yang baru panen sulit untuk berkecambah, oleh karena itu sebaiknya biji ditoreh terlebih dahulu, direndam menggunakan asam sulfat atau disimpan dahulu selama 6-8 bulan sebelum digunakan. Selain menggunakan biji, rumput Brachiaria humidicola dapat diperbanyak dengan menggunakan sobekan atau stek batang (Schultze-kraft, 1992).
14 2.2
Sentro (Centrosema pubescens)
2.2.1 Deskripsi Daun Bunga
Gambar 2. Sentro (Centrosema pubescens) Sentro (Centrosema pubescens) berasal dari Amerika Selatan dan dapat tumbuh dengan baik di daerah tropik dan sub-tropik. Nama lain dari Centrosema pubescens adalah sentro (Reksohadiprodjo, 1985). Legum sentro (Centrocema pubescens) memiliki taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rosales
Famili
: Leguminoceae
Sub Famili
: Mimosoideae
Genus
: Centrosema
Jenis
: Centrosema pubescens
Sumber: Reksohadiprodjo (1994) 2.2.2 Karakteristik Sentro (Centrosema pubescens) memiliki daun trifoliate dan lebih runcing bila dibandingkan dengan daun pada legume puero (kudzu) atau kalopo. Sifat tumbuh sentro adalah perennial, sangat agresif, batang-batangnya menjalar dan
15 membentuk tanaman penutup tanah pada umur 4 – 6 bulan setelah penanaman biji. Sentro berdaun lebat dan batangnya tidak berkayu meskipun tanaman telah berumur 18 bulan (Reksohadiprodjo, 1985). Batang sentro panjang dan sering berakar pada bukunya, tiap tangkai berdaun tiga lembar, berbentuk elips dengan ujung tajam dan bulu halus pada kedua permukaannya.
Bunga berbentuk tandan berwarna ungu muda bertipe
kacang ercis dan kapri. Polong berwarna coklat gelap, panjang 12 cm, sempit dengan ujung tajam terdiri dari 20 biji (Widjajanto, 1992). 2.2.3 Syarat Tumbuh Leguminosa ini tahan pada keadaan kering dan bila pertanaman telah berhasil terjadi, maka akan tahan hidup di bawah naungan. Bila sentro ditanam dengan jarak tanam yang jarang dan tidak dinaungi, maka produksi biji akan sangat banyak dan daun sentro pun akan sulit dipotong. Persentase biji sentro sangat keras, sehingga harus direndam dalam air panas, selain itu sento juga merupakan leguminosa yang mengalami fertilisasi sendiri. Cara reproduksi ini membatasi terjadinya variasi genetik (Nurbaiti dan Maryani, 2007). 2.2.4 Kandungan Nutrisi Tabel 2. Kandungan Nutrisi Sentro (Centrosema pubescens) Kandungan PK SK BETN TDN Sumber: Susetyo (2001)
(%) 22 31,2 34,4 60,7
16 Dilihat dari tabel diatas, kandungan nutrisi protein kasar pada sentro yaitu berkisar 22% dengan kandungan serat kasar 31,2%, kandungan BETN 34,4%, serta memiliki kandungan TDN sebesar 60,7%. 2.3
Kudzu (Pueraria phaseloides)
2.3.1 Deskripsi
Daun Bunga
Gambar 3. Kudzu (Pueraria phaseloides) Kudzu (Pueraria phaseloides) berasal dari Asia bagian Timur dan Kepulauan Pasifik.
Nama lain dari kudzu adalah Puero atau kacang ruji
(Reksohadiprodjo, 1985).
Menurut Maulidesta (2005), legum ini tergolong
tanaman pioner dan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menekan pertumbuhan gulma, dapat dijadikan tanaman penutup tanah dan dapat digunakan sebagai pupuk hijau yang baik. Legum kudzu (Pueraria phaseloides) memiliki taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rosales
Famili
: Legiminoceae
Sub Famili
: Caesalpiniodeae
Genus
: Pueraria
Spesies
: Pueraria phaseloides
17 2.3.2 Karakteristik Menurut Reksohadiprodjo (1985), legum kudzu bersifat membelit, merambat, dapat membentuk semak yang rimbun dengan perakaran yang berbentuk tuber yang kuat dengan pokok akar yang disebut mahkota (crown). Kudzu berbatang kuat dan berbulu, sedangkan varietas barunya mempunyai batang yang tidak berbulu (terdapat di Puerto Rico), kudzu ini lebih disukai ternak dibandingkan dengan kudzu yang berbulu. Kudzu mempunyai stolon yang dapat mengeluarkan akar dari tiap ruas batangnya yang bersinggungan dengan tanah. Perakarannya dalam dan bercabang-cabang, sehingga kudzu dapat berfungsi sebagai pencegah erosi, tahan musim kemarau yang tak terlalu panjang. Kudzu tahan pula terhadap tanah masam dan tanah kekurangan kapur dan fosfor, tahan pemukaan air yang tinggi, dapat hidup di tanah yang liat maupun berpasir. Jenis legum ini tergolong tanaman pioner dan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menekan pertumbuhan gulma, dapat dijadikan tanaman penutup tanah dan dapat digunakan sebagai pupuk hijau yang baik (Maulidesta, 2005). Pueraria javanica tahan terhadap tanah masam, tanah kekurangan kapur dan fosfor. Pueraria javanica digunakan sebagai makanan ternak, sangat palatable untuk ternak ruminansia (Allen dan Allen, 1981). 2.3.3 Kandungan Nutrisi Tabel 3. Kandungan Nutrisi Kudzu (Pueraria phaseloides) Kandungan (%) 20,5 PK 37,9 SK 2,0 LK Sumber: Gohl (1981)
18 Kandungan nutrisi kudzu mempunyai palatabilitas yang cukup tinggi disukai ternak, dengan PK berkisar 20,5%, kandungan serat kasar yaitu 37,9%, serta kandungan lemak kasar yaitu 2,0%. 2.4
Kalopo (Calopogonium mucunoides)
2.4.1 Deskripsi Daun Batang Internode
Gambar 4. Kalopo (Calopogonium mucunoides) Kalopo (Calopogonium mucunoides) berasal dari Amerika tropis dan Hindia Barat. Legum ini telah diperkenalkan ke Asia dan Afrika tropis pada awal tahun 1900 dan ke Australia pada tahun 1930. Kalopo telah digunakan sebagai pupuk hijau dan tanaman penutup tanah di Sumatra pada tahun 1922 dan kemudian di perkebunan karet dan perkebunan serat karung di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan telah tersebar ke seluruh daerah tropis (Purwanto, 2007). Legum kalopo (Calopogonium mucunoides) memiliki taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rosales
Famili
: Leguminoceae
Sub famili
: Papillionaceae
Genus
: Calopogonium
19 Spesies
: Calopogonium mucunoides
2.4.2 Karakteristik Menurut Reksohadiprodjo (1981), daun kalopo dapat terbentuk dengan lebat dalam waktu 5 bulan. Kalopo ditanam sebagai penutup tanah di perkebunan kelapa sawit, kopi, karet dan pada tanah yang baru dibuka. Penanaman di padang biasanya dicampur dengan rumput Melinis minutiflora. Legum ini tidak tahan tumbuh di bawah naungan perkebunan karet yang tua, tetapi kalopo digunakan juga untuk memberantas weed atau tanaman liar lain.
Sebelum ditanam biji
kalopo harus direndam dalam air panas semalaman karena biji legum ini bertesktur sangat keras. Kalopo adalah tumbuhan perennial, menjalar, membelit dan membentuk hamparan setinggi 45 cm, berbatang lunak dan berbulu cokelat keemasan, berdaun majemuk, pada setiap tangkai daun terdapat tiga daun, bentuk helaian daun membulat, berbulu halus, dan berbentuk seperti kupu – kupu, polong pipih, pendek 3 – 4 cm. Selain itu, penanaman biji klopo dilakukan dengan cara di sebar merata sebanyak 6 -10 kg/ hektar atau disebar dalam larikan berjarak 3- 6 kg / hektar (Rukmana, 2005). Harjadi (2001) menyatakan bahwa kalopo tumbuh baik didaerah yang mempunyai ketinggian 1.000 mdpl dengan curah hujan tahunan 1.270 mm atau lebih. Tanaman ini juga dapat beradaptasi pada berbagai jenis tanah, tetapi tidak tahan terhadap genangan air.
20 2.4.3 Syarat Tumbuh Menurut Purwanto (2007) kalopo dapat tumbuh mulai dari pantai hingga ketinggian 2000 mdpl, tetapi dapat beradaptasi dengan baik pada ketinggian 3001500 mdpl.
Legum ini cocok pada iklim tropis lembab dengan curah hujan
tahunan lebih dari 1250 mm/tahun.
Selain itu, kalopo juga tahan terhadap
kekeringan tapi mungkin akan mati pada musim kering yang lama. Dapat tumbuh dengan cepat pada semua tekstur tanah, walaupun dengan pH rendah antara 4.5-5. Cara tumbuhnya dengan membelit, membuat Kalopogonium mampu beradaptasi dengan baik pada beragam kondisi ekologi. 2.4.4 Kandungan Nutrisi Tabel 4. Kandungan Nutrisi Kalopo (Calopogonium mucunoides) Kandungan PK SK TDN BETN
(%) 16 32,1 60,4 2,3
Sumber: Harjadi (2001) Pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa kandungan protein kasar lebih kecil daripada kandungan serat kasar, yaitu kandungan PK berkisar 16%, sedangkan kandungan SK sebesar 32%. Sedangkan, kandungan TDN pada legum kalopo sebesar 60,4%, dengan kandungan BETN sebesar 2,3%. 2.5
Tanaman Campuran Tanaman Campuran (Mixed Cropping) merupakan penanaman jenis
tanaman campuran yang ditanam pada lahan dan waktu yang sama atau jarak waktu tanam yang singkat, tanpa pengaturan jarak tanam dan penentuan jumlah
21 populasi. Kegunaan sistem ini dapat melawan atau menekan kegagalan panen total (Kustantini, 2012). Pertanaman campuran antara rumput dan legum hendaknya dalam perbandingan yang tertentu agar pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, disukai oleh ternak dan dapat menghasilkan pertambahan berat badan yang maksimal (Humperys, 1974).
Dibutuhkan keseimbangan yang baik dalam
memilih spesies rumput dan legum untuk memperoleh produksi dan kualitas yang tinggi dari hijauan (Whiteman, 1980). Keseimbangan antara rumput dan legum yang baik adalah 60 % rumput dan 40 % leguminosa (Susetyo, 1980). Padang penggembalaan rumput dan legume yang dikelola dengan baik dapat menyediakan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Mempertahankan berat badan dan pertumbuhan sapi yang merumput (Crowder dan Cheda, 1982). Menurut Marhaeniyanto (2009) tanaman leguminosa di daerah tropis tumbuh lebih lambat daripada tanaman rumput, agar bisa tumbuh dengan baik, maka penanaman rumput dan leguminosa dibuat dalam jalur beselang-seling. Beberapa keuntungan penanaman campuran rumput dan leguminosa: 1. Memperbaiki unsur Nitrogen dalam tanah, karena kemampuan leguminosa untuk mengikat N dari udara 2. Memperbaiki mutu pakan ternak ruminansia, karena kandungan protein dan mineral lebih tinggi 3. Daerah tropis yang lembab akan membatasi pertumbuhan rumput, namun dengan percampuran rumput
dan leguminosa,
leguminosa dapat
memperbaiki pertumbuhan rumput, karena akarnya bisa lebih dalam,
22 4. Tanaman campuran rumput dan leguminosa mampu meninggikan kapasitas tampung sehingga satuan ternak per hektar lebih banyak dan total kenaikan berat badan lebih tinggi. Legum selain berperan menyuburkan tanah, nilai gizinya lebih tinggi daripada rumput. Di daerah tropis peranan legume sangat penting untuk meningkatkan produktivitas padang penggembalaan. Crowder dan Chheda (1982) menyatakan bahwa peranan legum pada pertanaman ganda sangat penting karena: 1. Nitrogen merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan rumput, dengan adanya tanaman legum pada pertanaman ganda maka sebagian kebutuhan nitrogen dari rumpt terpenuhi. 2. Kebaradaan tanaman legume sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kandungan nitrogen padang rumput. Menurut Wurst dan Beersum (2008) didalam budidaya tanaman pakan, rumput akan tumbuh lebih baik bila ditanam bersama legum dibandingkan bila ditanam secara monokultur, sementara legum yang ditanam secara monokultur pertumbuhan bagian tanaman diatas tanah lebih baik, namun perakarannya jauh lebih rendah bila dibandingkan yang ditanam bersamaan rumput. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan leguminosa di dalam pastura adalah lambatnya pertumbuhan leguminosa dibandingkan rumput serta lebih sulitnya dalam pengelolaan maupun pemeliharaannya. Selain itu, persistensinya juga menjadi pembatas dalam perkembangannya (Burns dan Standaert 1985). Konsep pertanaman campuran antara rumput dan legum yang ideal adalah berdasarkan output yang berasal dari rumput dan dari leguminosa agar diperoleh keseimbangan hijauan pakan, terutama energi dari rumput serta nitrogen dan
23 mineral dari legum (Skerman 1977; Wedin dan Klopfenstein 1995). Belum ada ketentuan yang jelas mengenai proporsi legum yang tepat dalam suatu pastura, namun Whiteman (1974) menyarankan ketersediaan leguminosa sebesar 30%– 50% dapat memberikan pertambahan berat badan yang baik. 2.6
Mekanisme Fiksasi Nitrogen Nitrogen merupakan unsur yang penting untuk seluruh proses dalam
tumbuhan.
Kekurangan N menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman
baik secara alami maupun pada pertanian.
Penggunaan pupuk N biasanya
mempercepat pertumbuhan tanaman, dan penggunaan pupuk N sangat penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Produksi pangan dunia meningkat dalam 50 tahun terakhir, karena meningkatnya penggunaan pupuk N.
Ini
menunjukkan bahwa pada hakikatnya lebih banyak N yang bersirkulasi melalui siklus N yang berhubungan dengan pertanian (Laegreid dkk, 1999). Menurut Lingga dan Marsono (2004) nitrogen merupakan salah satu unsur pupuk yang diperlukan dalam jumlah banyak, namun keberadaannya dalam tanah sangat sedikit sehingga mudah hilang karena pencucian atau penguapan. Penambahan unsur hara nitrogen merangsang perkembangan organ-organ tanaman. Daun tumbuh lebih banyak, penampang daun menjadi luas, warna daun menjadi lebih hijau karena butir-butir hijau daun terdapat dalam jumlah banyak, dan akar tanaman lebih berkembang.
Hal ini menyebabkan semakin
meningkatnya penyerapan unsur-unsur hara yang akan menyebabkan peningkatan produksi
dan
kandungan
gizi
hijauan
tersebut
termasuk
mineral
(Reksohadiprodjo, 1994). Nitrogen sangat penting karena merupakan penyusun utama protein dan beberapa molekul biologik lainnya, nitrogen diperlukan baik oleh tumbuhan
24 maupun hewan dalam jumlah yang besar. Sebagian besar nitrogen hilang dari dalam tanah dikarenakan mengalami pencucian oleh gerakan aliran air dan kegiatan jasad renik. Banyaknya nitrogen yang tersedia langsung bagi tumbuhan sangatlah sedikit (Nasoetion, 1996). Nitrogen diperlukan dalam jumlah banyak dan mempunyai pengaruh yang sangat nyata, sehingga nitrogen merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian dalm perbaikan kesuburan tanah (Mcllroy, 1976).
Menurut Rosmarkam dan
Yuwono (2002) menyatakan bahwa nitrogen umumnya menjadi faktor pembatas pada tanah-tanah yang tidak dipupuk. Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan tanaman adalah 2-4% berat kering. Dalam tanah, kadar nitrogen sangat bervariasi tergantung pada pengelolaan dan penggunaan lahan tersebut. Tisdale menyebabkan
dan
Nelson
peningkatan
(1975)
menyatakan
kemampuan
akar
penambahan
untuk
nitrogen
menghisap
fosfor,
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan kebutuhan fosfor tanaman. Menurut Crowder dan Chheda (1982) penambahan nitrogen pada tanah mempengaruhi produksi dan komposisi kimia hijauan jika semua unsur esensial lain berada pada tingkat optimum. Jika terdapat kandungan unsur hara dalam tanah yang berada dibawah tingkat kritis, maka hal ini akan membatasi produksi dan kandungan zat-zat makanan hijauan. Menurut Sutarmi (1985) unsur hara esensial adalah unsur-unsur hara yang sangat
diperlukan
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangbiakkan
keberadaannya tidak bisa digantikan dengan unsur yang lain.
dan
Unsur yang
diperoleh dari udara diantaranya unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), serta terdapat unsur lainnya, yaitu seperti nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), sulfur (S), besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn),
25 tembaga (Cu), boron (B), molibdenum (Mo), dan klorin (Cl) yang dapat diperoleh dari dalam tanah. Tetapi, diantar unsur hara tersebut terdapat beberapa unsur hara yang sangat dibutuhkan dalam jumlah yang cukup besar, antara lain N, P, S, K, Ca dan Mg, namun dari ke 6 unsur hara tersebut yang mutlak harus ada yaitu N, P, dan K. 2.7
Penambatan Nitrogen oleh Rhizobium Kurang lebih 80% dari udara di atmosfer adalah gas nitrogen (N2). Namun
N2 tidak dapat digunakan secara langsung oleh sebagian besar organisme. Kebanyakan organisme menggunakan nitrogen dalam bentuk NH3 sebagai penyusun asam amino, protein, dan asam nukleat. Fiksasi nitrogen merupakan proses yang mengubah N2 menjadi NH3 yang kemudian akan digunakan secara biologi. Proses ini dapat terjadi secara alamiah oleh mikroba (Lindemann dan Glover, 1998). Mikroba yang fungsi utamanya sebagai penyedia unsur nitrogen melalui penambatan nitrogen atmosfer dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu mikroba yang hidup bebas (free-living microbes), artinya bekerja secara nonsimbiotik atau tidak memiliki asosiasi spesifik dengan tanaman tertentu, dan mikroba yang melakukan hubungan simbiotik dengan tanaman tertentu (Yuwono, 2006). Rhizobium merupakan bakteri gram negatif, bersifat aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang dengan ukuran sekitar 0,5-0,9 μm. Bakteri ini termasuk famili Rhizobiaceae. Bakteri ini banyak terdapat di daerah perakaran (rizosfer) tanaman legum dan membentuk hubungan simbiotik dengan inang khusus (Yuwono, 2006).
26 Rhizobium merupakan simbion fakultatif, dapat hidup sebagai komponen normal dari mikroflora tanah dalam keadaan tidak ada tanaman inang, tetapi tetap hidup bebas sebagai heterotrof tergantung pada kehadiran akar tanaman inang. Populasi Rhizobium pada rhizosfer tanaman legum biasa mencapai 106 sel/gram atau lebih (Richards, 1987).
Di tanah, bakteri ini hidup bebas dan motil,
memperoleh nutrisi dari sisa organisme yang telah mati. Rhizobium yang hidup bebas tidak dapat memfiksasi nitrogen dan punya bentuk yang berbeda dari bakteri lain yang ditemukan pada bintil akar tanaman (Burdas, 2002). Menurut Suprapto (1999), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Rhizobium, antara lain: pH tanah, suhu, sinar matahari, dan unsur hara tanah. 1. pH tanah, Menurut Martani dan Margino (2005), kebanyakan Rhizobium tumbuh optimum pada pH netral. Reaksi optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan Rhizobium pada pH 5,5-7,0 dengan batas kecepatan reaksi pada pH 3,2-5,0 pada keadaan asam, dan 9,0-10,0 pada keadaan alkali. Meskipun begitu ada beberapa strain Rhizobium yang toleran masam. 2. Suhu, Menurut Zahran (1999), menyatakan bahwa sebagian besar Rhizobium memiliki temperatur optimum antara 28-31oC dan umumnya tidak dapat tumbuh pada 37oC. Temperatur pembatas bagi pertumbuhan bakteri adalah 0-50oC dan temperatur titik kematian pada 60oC-62oC (Sutedjo dkk, 1991). 3. Cahaya Matahari 4. Unsur hara, Rhizobium yang efektif pada bintil akar mampu memenuhi seluruh atau sebagian kebutuhan N bagi tanaman. Berdasarkan kemampuan tersebut Rhizobium memiliki andil yang cukup besar dalam
27 peningkatan produktivitas pertanian terutama kacang-kacangan (Arimurti dkk, 2000). Dalam jaringan bintil akar bakteri tersebut memfiksasi nitrogen dan mengubahnya menjadi ammonium yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman. Hal ini menyebabkan kondisi pertumbuhan tanaman berbintil akar lebih baik dibandingkan tanpa bintil akar (Martani dan Margino, 2005). 2.8
Transfer Hasil Fiksasi Nitrogen Pada pertanaman campuran rumput dan leguminosa, fungsi utama
leguminosa adalah sebagai sumber hijauan makanan ternak yang berkualitas tinggi dan hasil fiksasi nitrogen dari udara dapat tersedia bagi rumput yang tumbuh bersamanya (Middleton, 1981). Menurut Whitney dan Kanehiro (1967), pada leguminosa yang tumbuh merayap, bagian daun yang gugur lebih penting sebagai sumber penambahan nitrogen tanah daripada pencucian bagian tanaman atau lepasnya bintil dan akar akibat tindakan defoliasi. Pengukuran fiksasi nitrogen dapat diukur melalui banyaknya nodul yang aktif. Nodul yang aktif terlihat dari warnanya yang merah muda jika dibelah (Sprent, 1990). Rhizobium adalah bakteri aerobik yang bertahan secara saprofit didalam tanah sampai mereka menginfeksi bulu akar. Bakteri yang mendekati bulu akar mula-mula diaktifkan oleh senyawa yang dilepaskan oleh akar dan dikenal oleh bakteri penginfeksi. Selanjutnya, bakteri merombak bagian dinding sel sehingga bakteri dapat masuk ke dalam sel bulu akar dan menginfeksi bulu akar yang berhasil akan menyebabkan bulu akar melingkar. Kemudian, bulu akar akan membentuk struktur lir benang yang disebut benang infeksi yang terdiri dari membran plasma lurus dan memanjang dari sel yang terserang. Bakteri tersebut membelah dengan cepat didalam benang yang menjalar masuk dan menembus
28 melalui diantara sel korteks. Disel korteks sebelah kanan, bakteri dilepas kedalam sitoplasma dan merangsang beberapa sel (khususnya sel tetraploid) untuk membelah. Pembelahan ini menyebabkan poliferasi jaringan, membentuk akar dewasa yang mengakibatkan akar membengkak sehingga terbentuklah nodul. Legum bernodul menyumbang cukup banyak jumlah nitrogen terfiksasi kedalam biosfer. Adanya sumbangan nitrogen yang terfiksasi dari legum bermanfaat untuk mengurangi pemberian pupuk nitrogen. 2.9
Mekanisme Pembentukan Bintil Akar Nodulasi dan fiksasi nitrowgen tergantung pada kerjasama dari faktor-
faktor yang berbeda yaitu kehadiran strain Rhizobium yang efektif pada sel akar, peningkatan jumlah sel Rhizobium di rizosfer, infeksi akar oleh bakteri, pertumbuhan, dan aktivitas Rhizobium itu sendiri (Mulder dan Woldendorp, 1969). Pelekatan Rhizobium pada rambut akar juga dapat terjadi karena pada permukaan sel Rhizobium terdapat suatu protein pelekat yang disebut rikodesin. Senyawa ini adalah suatu protein pengikat kalsium yang berfungsi dalam pengikatan kompleks kalsium pada permukaan rambut akar (Yuwono, 2006). Menurut Yuwono (2006), secara umum pembentukan bintil akar pada tanaman legum terjadi melalui beberapa tahapan: 1. Pengenalan pasangan sesuai antara tanaman dengan bakteri yang diikuti oleh pelekatan bakteri Rhizobium pada permukaan rambut akar tanaman. 2. Invasi rambut akar oleh bakteri melalui pembentukan benang-benang infeksi (infection thread). 3. Perjalanan bakteri ke akar utama melalui benang-benang infeksi. 4. Pembentukan sel-sel bakteri yang mengalami deformasi, yang disebut sebagai bakteroid, di dalam sel akar tanaman.
29 5. Pembelahan sel tanaman dan bakteri sehingga terbentuk bintil akar. 2.10
Kompetisi Tanaman Campuran Kompetisi merupakan proses persaingan yang terjadi antara individu yang
mengandalkan sumber daya yang sama, namun terbatas jumlah yang tersedia. Terjadinya kedua macam kompetisi ini berkaitan erat dengan peningkatan kepadatan populasi, maupun dalam komunitas. Kompetisi pada dua jenis yang sama memiliki karakteristik perlakuan yang sama, sedangkan pada kompetisi pada dua jenis yang berbeda memiliki karakteristik perlakuan yang berbeda, baik secara tingkah laku ataupun hasil perlakuan, sedangkan kompetisi pada dua jenis yang sama memiliki karakteristik perlakuan yang sama (Naylor, 2009). Terjadinya kompetisi antara suatu organisme dengan organisme lainnya itu dapat terjadi karena adanya persaingan dalam mendapatkan sinar matahari, unsur hara, air, udara, dan dalam mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang, sehingga untuk mendapatkan semua kebutuhan yang diperlukan oleh tanaman itu harus ada persaingan antara satu sama lain dalam suatu tempat tumbuh yang sama. Adanya persaingan antara suatu individu atau lebih dalam kompetisi, ada dua kemungkinan hasil yang bisa terjadi, yaitu pesaing yang lemah dalam kompetisi tersebut akan punah, atau salah satu spesies yang hidup bersamaan dengan spesies lain akan mampu mempertahankan hidupnya dengan mendapatkan suplai sumber hara dan sumber kebutuhan lain yang sedikit (Campbell and Mitchell, 1987). Menurut Setyaningsih (2009), pada sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan pada satu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaan sumber kehidupan tanaman berada dalam jumlah terbatas, baik keterbatasan air, hara maupun cahaya.
Kompetisi ini biasanya
30 diwujudkan dalam bentuk hambatan terhadap tanaman lain. terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Hambatan dapat
Hambatan secara langsung,
misalnya melalui efek alelopati, tetapi secara langsung ini jarang dijumpai di lapangan. Hambatan tidak langsung dapat melalui berkurangnya intensitas cahaya karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan unsur hara dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang berdampingan. Pola tanam tumpang sari digunakan di sebagian besar belahan dunia untuk produksi pangan mengingat lahan tanam yang semakin sempit dan terbatas. Maka dari itu, pola tanaman campuran dianggap sebagai metode pertanian yang berkelanjutan yang efisien dan efektif. Pola tanaman campuran antara tanaman serealia dan kacang-kacangan telah populer di lingkungan tropis lembab dalam kaitannya dengan keuntungan yang diperoleh seperti kontrol gulma lebih mudah, kenaikan fungsi lahan, biaya produksi murah, pengembangan kesuburan tanah, menaikkan stabilitas lahan, dan lainnya (Rezaei-Chianeh et al., 2011).