Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KUALITAS NUTRISI RUMPUT Stenotaphrum secundatum DAN Brachiaria humidicola PADA KAMBING (Nutritional Quality of Stenotaphrum secundatum and Brachiaria humidicola in Goats) SIMON P. GINTING dan ANDI TARIGAN Loka Penelitian Kambing Potong, Sungai Putih PO Box 1, Galang 20585
ABSTRACT The study was aimed to evaluate several nutritional quality parameters (chemical composition, intake and digestibility) in goats of S. secundatum and B. humidicola known to be highly and moderately shade tolerant species. The species of Pennisetum purpuphoides was used as a control diet. These forages were offered to 21 male Kacang goats with an average body weight of 15.2 kg. The animals were divided into three groups based on the body weight, and were randomly allocated to one of the three forages species in a Completely Randomized Design. During the adaptation period (14 days) and the intake monitoring period (5 days) after the adaptation period the forages were offered ad lib. During the feces and urine collection period (7 days) feed was offered at 90% of the maximum intake to minimize the intake fluctuation. The dry matter content of S. secundatum (33.2%) and B. humidicola (32.1%) were relatively lower than P. purpuphoides (21.1%), while the organic matter content were relatively equal among the three forages species. The crude protein content of S. secundatum (8.3%) and B. humidicola (8,5%) was almost identical, but were lower than that of P. purpuphoides (11.1%). The NDF and ADF contents were relatively similar among the forage species. The dry matter (DM) intake of goats fed S. secundatum (588 g/d) or fed B. humidicola (577 g/d) did not differ (P > 0.05), but it was higher (P > 0.05) than dry matter intake of goats fed P. purpuphoides. The similar trend was shown when DM intake was expressed in the percentage of body weight (3.60; 3.55 and 2.77% BW, respectively) or when expressed as gram per kg BW0.75 which were 35.5; 35.6 and 27.7 g/kg BW0.75 respectively. The digestion coefficient of DM, NDF and crude protein were not different (P > 0.05) among these forage species. The organic matter digestibility was lowest (69%) in S. secundatum, but were not different (P > 0.05) between B. humidicola (75%) and P. purpuphoides (72%). Energy digestibility were not different (P > 0.05) among the forage species. It is concluded that S. secundatum and B. humidicola have relatively high nutritional quality in goats, and in some cases were better than P. purpuphoides. Key Words: Nutritional Quality, Grass Species, Goats ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis beberapa parameter kualitas nutrisi (komposisi kimiawi, konsumsi, dan tingkat kecernaan) rumput S. secundatum dan B.humidicola pada kambing, masing-masing merupakan jenis rumput dengan toleransi tinggi dan sedang terhadap naungan.. Rumput Pennisetum purpuphoides digunakan sebagai control. Hijauan diberikan kepada 21 ekor kambing jantan (bobot badan rata-rata 15,2 kg). Ternak dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan bobot badan dan secara acak diberi salah satu dari ketiga jenis rumput dalam Rancangan Acak Lengkap. Selama masa adaptasi (14 hari) dan pengamatam tingkat konsumsi (5 hari) hijauan diberikan ad libitum. Pada periode pengukuran jumlah ekresi feses, dan sekresi urin (7 hari) tingkat konsumsi diberikan 90% konsumsi maksimal untuk mengurangi fluktuasi konsumsi. Analisis komposisi kimiawi menunjukan bahwa kandungan bahan kering relatif lebih tinggi pada S. secundatum (33,2%) dan B. humidicola (32,1%) dibandingkan dengan P. purpuphoides 21,1%), sedangkan kandungan bahan organik relatif sama. Kandungan protein kasar relatif sama antar S. secundatum (8,3%) dengan B. humidicola (8,5%) dan lebih rendah dibandingkan pada P. purpuphoides (11,1%). Kandungan NDF dan ADF relatif sama pada semua jenis rumput. Tingkat konsumsi bahan kering S. secundatum (588 g/h) dan B. humidicola (577 g/h) tidak berbeda (P > 0,05), namun lebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan dengan konsumsi P. purpuphoides (430 g/hari). Pola yang sama terlihat bila konsumsi diekspresikan dalam persen bobot badan (% BB) yaitu berturut-turut 3,60; 3,55 dan 2,77 atau diekspresikan dalam g/kgBB0,75 yaitu berturut-turut 35,5, 35,6 dan 27,7. Koefisien cerna bahan kering, NDF dan protein
453
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
kasar tidak berbeda (P > 0,05) antar jenis rumput. Koefisien cerna bahan organik paling rendah pada S. secundatum (0,69), dan tidak berbeda antara P. purpuphoides dengan B. humidicola (0,75 vs. 0,72). Koefisien cerna energi tidak berbeda antar jenis hijauan. Disimpulkan bahwa tingkat konsumsi yang tinggi pada S. secundatum dan B. humidicola menunjukan potensi nutrisi yang lebih baik dibandingakan dengan P. purpuphoides, walaupun tingkat kecernaan beberapa unsur nutrisinya lebih rendah. Kata Kunci: Kualitas Nutrisi, Rumput, Kambing
PENDAHULUAN Sebagai bahan baku pakan untuk ternak ruminansia, densitas nutrisi pada tanaman pakan untuk setiap unit volume yang dikonsumsi lebih rendah dibandingkan dengan bahan baku pakan berupa biji-bijian atau bahan lain dengan kandungan serat yang rendah (BULL, 2000). Tanaman pakan merupakan sumber pakan ternak yang penting, karena mampu menghasilkan nutrisi yang lebih efisien bagi ternak (MOORE dan NELSON, 1995). Hal ini disebabkan oleh karena tanaman pakan dapat dikembangkan pada lahan yang kurang sesuai bagi tanaman pangan, atau dapat dikembangkan sebagai tanaman sela pada sistem integrasi tanaman-ternak untuk meningkatkan produktivitas sumber daya yang tersedia (AZWAR, 2005; KARYUDI dan SIAGIAN, 2005). Salah satu karakter penting pada tanaman pakan untuk dikembangkan dalam sistem integrasi ternak dengan tanaman perkebunan adalah tingkat toleransi terhadap naungan. Rumput jenis Stenotaphrum secundatum memiliki toleransi yang tinggi terhadap naungan, dan dengan tingkat produksi yang moderat (HUMPHREYS, 1994; STÚR dan SHELTON, 1990). Hasil penelitian SIRAIT et al. (2005) menunjukkan bahwa produksi tajuk pada S. secundatum paling tinggi dibandingkan dengan rumput Paspalum notatum dan Brachiaria humidicola pada tingkat naungan 38%. SAMARAKOON et al. (1990) melaporkan bahwa produksi S. secundatum pada kondisi terbuka mencapai 10,9 ton BK/ha/tahun, sedangkan pada tingkat naungan 50% produksi mencapai 8,8 ton BK/ha/tahun. Tingkat produksi yang lebih rendah dilaporkan WONG (1990) yaitu 6,0 ton BK/ha/tahun pada kondisi terbuka dan 3,0 – 4,9 ton BK/ha/tahun pada naungan 50 – 75%. Jenis Brachiaria humidicola memiliki toleransi yang moderat terhadap naungan, namun kemampuan produksinya termasuk tinggi. Produksi bahan
454
kering B. humidicola pada naungan antara 0 – 25% dilaporkan mencapai 22,0 ton/ha/tahun dan mencapai 10,5 ton/ha/tahun pada tingkat naungan 50 – 75% (WONG, 1990). Selain faktor produktivitas, kualitas nutrisi (komposisi nutrisi, kecernaan dan konsumsi) tanaman pakan merupakan kriteria sangat penting yang menentukan potensinya sebagai sumber pakan (COLEMAN et al., 1999). Oleh karena kualitas nutrisi kedua jenis rumput ini pada ternak kambing belum banyak dilaporkan, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas nutrisi kedua jenis rumput sebagai pakan tunggal pada kambing. MATERI DAN METODE Hijauan rumput, Stenotaphrum secundatum, Brachiaria humidicola dan Pennisetum purpuphoides masing-masing ditanam pada areal seluas 400 m2 di lapangan percobaan Loka Penelitian Kambing Potong di Sei Putih dengan jenis tanah pod solid kuning dan pH 4,5 – 5,0. P. purpuphoides yang merupakan jenis rumput yang relatif sudah umum diberikan pada ternak ruminansia digunakan sebagai kontrol. Tanaman dibiarkan tumbuh sehingga mencapai umur sekitar 12 minggu, lalu dipangkas menggunakan mesin pemotong rumput setinggi sekitar 5 – 10 cm dari permukaan tanah. Pada umur delapan minggu setelah pemotongan ketiga jenis rumput diberikan kepada kambing percobaan sebagai pakan tunggal. Pennisetum purpuphoides digunakan sebagai kontrol. Sebanyak 21 ekor kambing Kacang jantan muda dengan bobot hidup berkisar antara 15 – 16 kg (7 ekor per jenis hijauan) digunakan dalam percobaan. Ternak ditempatkan dalam kandang metabolisme, sehingga feses dan urin dapat ditampung secara terpisah. Rumput diberikan secara ad libitum 2x sehari, pada pagi dan sore hari. Ternak dibiarkan beradaptasi selama 14 hari. Setelah masa adaptasi, jumlah hijauan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
diberikan dan sisa ditimbang setiap hari. Konsumsi hijauan dimonitor setiap hari, sehingga tingkat konsumsi maksimal tercapai yaitu pada hari ke lima, dan dianggap sebagai tingkat potensi konsumsi untuk setiap jenis hijauan. Sampel hijauan diberikan dan sisa diambil setiap hari lalu digabung selama pengamatan, dan disimpan didalam refrigerator. Selanjutnya, koefisien cerna ditentukan dengan mengoleksi total feses dan urin selama 7 hari berturut-turut. Selama periode ini setiap jenis hijauan diberikan sebanyak 90% dari konsumsi maksimal untuk memastikan tidak ada sisa pakan, sehingga tingkat konsumsi tidak fluktuatif (steady state). Total feses ditampung menggunakan ember plastik lalu ditimbang. Sampel feses sebanyak 10% dari bobot total digabung per ternak percobaan, dan disimpan didalam refrigerator sebelum dianalisis. Sampel hijauan dan feses dikeringkan dalam oven pada temperatur 60ºC selama 72 jam dan digiling dengan penggiling Wiley Mill menggunakan saringan dengan diameter 1,0 mm. Kandungan N ditentukan dengan metoda Kjeldahl, dan abu ditentukan dengan pembakaran dalam tungku (AOAC, 1995). Bahan kering ditentukan dengan pengeringan dalam oven pada temperatur 105ºC selama 24 jam. Kandungan serat deterjen netral (NDF) dan serat deterjen asam (ADF) dianalisis menurut metoda GOERING dan VAN SOEST (1970). Penelitian dirancang menurut rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan (jenis rumput) dan tujuh ulangan (GOMEZ dan GOMEZ, 1984). Data (konsumsi pakan dan
koefisien cerna nutrien) dianalisis dengan analisis sidik ragam menggunakan prosedur General Liniear Model menurut SAS (1999). Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Beda Nyata (GOMEZ dan GOMEZ, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi kimiawi Kandungan NDF dan ADF pada P. purpuphoides (Tabel 1) relatif sama dengan hasil penelitian EVITAYANI et al. (2004), yang mendapatkan kandungan bahan organik, NDF dan ADF berturut-turut sebesar 88,8% dan 63,4%. Akan tetapi, kandungan protein kasar lebih tinggi 4,1 unit persen (15,2%) pada penelitian EVITAYANI et al. (2004). NASRULLAH et al. (2003) melaporkan kandungan protein kasar P. purpuphoides yang relatif lebih rendah yaitu 7,23% dan kandungan NDF dan ADF yang lebih tinggi, berturut-turut 69,4 dan 39,1%. Perbedaan umur potong dapat menjadi penyebab adanya perbedaan hasil penelitian tersebut, selain akibat perbedaan sifat tanah dan iklim lokasi rumput ditanam. Pada B. humidicola kandungan bahan organik relatif sama, sedangkan protein kasar lebih tinggi dan kandungan, NDF serta ADF lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian NASRULLAH et al. (2003) yang melaporkan kandungan bahan organik (92,9%), protein kasar (3,4%), NDF (73,5%) dan ADF (40,7%).
Tabel 1. Komposisi kimiawi S. secundatum, B. humidicola dan P. purpuphoides yang diberikan kepada kambing Komposisi
S. secundatum
B. humidicola
P. purpuphoides
Bahan kering,%
33,2
32,1
21,2
Bahan organik,%
87,4
91,6
87,3
Abu, %
12,6
8,4
12,7
N,%
1,3
1,4
1,8
Proten Kasar,%
8,3
8,5
11,1
NDF,%
69,6
70,9
63,6
ADF,%
37,3
35,8
36,3
Energi kasar, Kkal/kg BK
4312
4586
4252
455
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Perbedaan kandungan protein yang relatif tinggi tersebut (5,2 unit persen), serta kecenderungan NDF dan ADF yang lebih rendah dapat disebabkan oleh perbedaan umur tanaman (BLASER, 1986). Kandungan bahan kering S. secundatum dan B. humidicola lebih tinggi 10,1 – 12,0% dibandingkan dengan P. Purpurphoides. Kandungan bahan organik relatif sama antara S. secundatum dan P. Purpuphoides dan lebih tinggi 4,1 unit persen pada B. humidicola. Kandungan ADF relatif sama antar ketiga jenis rumput, sedangkan kandungan NDF relatif lebih tinggi (6,3 unit persen) baik pada S. secundatum maupun B. humidicola dibandingkan P. purpuphoides. Kandungan NDF (dinding sel) yang lebih tinggi merupakan indikasi lebih rendahnya kandungan bahan yang mudah dicerna (isi sel) pada S. secundatum dan B. humidicola. Kandungan energi kasar relatif lebih tinggi pada B. humidicola dibandingkan dengan S. secundatum dan P. purpuphoides. Hal ini sejalan dengan kandungan bahan organik yang juga lebih tinggi pada B. humidicola. Kecernaan Tingkat kecernan bahan kering dan bahan organik pada ketiga jenis rumput termasuk tinggi yaitu berturut-turut berkisar antara 65 – 73% dan 69 – 75%. (Tabel 2). Koefisien cerna bahan kering tidak berbeda (P > 0,05) antara S. Secundatum dan B. humidicola, namun lebih rendah (P < 0,05) dibandingkan dengan P. purpuphoides. Hasil penelitian yang sama diperoleh NASRULLAH et al. (2003), namun dengan tingkat kecernaan bahan kering yang
lebih rendah yaitu 54,5% pada B. humidicola dan 64,5% pada P. purpuphoides. SAMARAKOON et al. (1990) juga melaporkan koefisien cerna bahan kering S. secundatum yang lebih rendah dari hasil penelitian ini yaitu berkisar antara 50 – 53%. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik S. Secundatum dan B. humidicola yang lebih rendah dapat dipengaruhi oleh kandungan protein kasar yang juga lebih rendah dan kandungan NDF yang relatif lebih tinggi. NASRULLAH et al. (2003) mendapatkan korelasi yang nyata antara kandungan protein kasar (0,63) dan NDF (0,72) dengan tingkat kecernaan bahan kering. Kecernaan protein kasar paling tinggi (P < 0,05) pada S. secundatum dan tidak berbeda (P > 0.05) antara B. humidicola dan P. purpuphoides. Koefisien cerna protein kasar P. purpuphoides relatif lebih rendah dari kecernaan yang diukur secara in vitro hasil penelitian EVITAYANI et al. (2004). Koefisien cerna NDF dan energi tidak berbeda antar ketiga jenis rumput (P > 0,05), sedangkan kecernaan ADF paling tinggi (P < 0,05) pada S. secundatum dan tidak berbeda antara B. humidicola dan P. purpuphoides (P > 0,05). Koefisien cerna NDF pada B. humidicola hasil penelitian ini relatif lebih tinggi 8,0 persen unit dibandingkan dengan hasil penelitian NASRULLAH et al. (2003) secara in vitro (44,1 vs. 36,1%), namun sebanding pada P. purpuphoides (44,5 vs. 47,7%). Koefisien cerna energi tidak berbeda (P > 0,05) antar jenis rumput, walaupun secara numerik koefisien cerna energi pada P.purpuphoides lebih tinggi dibandingkan dengan S. secundatum dan B. humidicola.
Tabel 2. Kecernaan nutrien % pada S. secundatum, B. humidicola dan P. purpuphoides yang diberikan kepada kambing Parameter
S. secundatum
B. humidicola
P. purpureupoides
65,3
a
Bahan organik
69,3
a
Protein kasar
60,1a
52,9b
50,4b
42,2
a
a
44,5a
ADF
47,2
a
b
42,3
41,1b
Energi
57,5a
58,7a
60,2a
Bahan kering
NDF
a
73,3b
ab
75,1b
68,5 72,2
44,1
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata (P < 0,05)
456
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 3. Konsumsi S. secundatum, B. humidoca dan P. purpuphoides yang diberikan kepada kambing Konsumsi bahan kering g/hari % BH g/kg BH 0,75
S. secundatum
B. humidicola
P. purpuphoides
588a 3,6 a 35,5 a
577a 3,6a 33,6 a
430b 2,8b 27,7 b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata (P < 0,05)
Berdasarkan koefisien cerna energi tersebut, maka kandungan energi dapat dicerna untuk S. secundatum, B. humidicola dan P. purpuphoides pada kambing berturut-turut adalah 2479 kkal/kg BK, 2692 kkal/kgBK dan 2559 kkal/BK. Konsumsi Tingkat konsumsi harian bahan kering pada kambing yang diberi S. secundatum atau B. humidicola lebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan yang diberi P. purpureuphoides (Tabel 3). Kecenderungan yang sama terlihat, apabila tingkat konsumsi diekspresikan terhadap persen bobot badan atau terhadap kg bobot badan metabolis. Tingkat konsumsi S. secundatum atau B. humidicola pada taraf 3,6% bobot badan dalam penelitian ini termasuk normal, walaupun konsumsi S. secundatum relatif lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian SAMARAKOON et al. (1990) sebesar 45 g/kgBB0,75 Tingkat konsumsi P. purpuphoides dalam penelitian ini termasuk rendah, walaupun kandungan protein kasar pada rumput ini relatif tinggi. Tingkat konsumsi pakan dilaporkan akan mengalami penurunan secara tajam, apabila kandungan protein kasar lebih rendah dari 6,2% (MINSON, 1990). Dalam penelitian ini kandungan protein kasar pada ketiga jenis rumput berkisar antara 8,3 – 11,1% yang mengindikasikan bahwa protein kasar tidak menjadi pembatas tingkat konsumsi. Kandungan NDF dilaporkan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi secara negatif melalui pengaruh fisik (filling effect), dan unsur kimiawi ini sangat baik dalam memprediksi konsumsi (WALDO, 1986; MERTEN, 1994). Walaupun dalam penelitian ini kandungan NDF pada S. secundatum atau B. humidicola secara numerik lebih tinggi dibandingkan pada P. purpuphoides namun tidak disertai dengan tingkat konsumsi yang
lebih rendah. COLEMAN et al. (2003) mendapatkan bahwa kandungan NDF dan lignin menyumbang 56% terhadap keragaman konsumsi pada sejumlah hijauan yang diteliti. Oleh karena itu, lebih rendahnya konsumsi kambing terhadap P. purpuphoides dapat lebih disebabkan oleh faktor lain, misalnya faktor fisik yang dapat mempengaruhi laju dan tingkat perubahan partikel pakan melalui proses ruminasi maupun pengunyahan (chewing). HADJIGEORGIOU et al., 2001) melaporkan konsumsi pakan yang lebih tinggi pada kambing yang diberi hijauan dengan partikel yang lebih kecil. Dimensi P. purpuphoides yang lebih besar dibandingkan dengan S. secundatum atau B. humidicola dapat mengakibatkan proses ruminansi dan pengunyahan yang lebih lambat, sehingga waktu tahan pakan didalam reticulo-rumen menjadi lebih lama dan menimbulkan pengaruh negatif terhadap tingkat konsumsi (MINSON dan WILSON, 1994). KESIMPULAN Rumput S. secundatum atau B. humidicola yang memiliki toleransi yang baik terhadap naungan, secara kualitatif juga memiliki potensi yang baik sebagai hijauan pakan untuk ternak kambing. Walaupun kandungan protein termasuk sedang, namun berada diatas ambang batas yang dapat menyebabkan rendahnya konsumsi pada ternak, hal ini terlihat pada taraf konsumsi ternak pada kisaran standar. Koefisien cerna beberapa unsur nutrisi yang penting bagi ternak berada pada kisaran sedang sampai tinggi, sehingga sebagai hijauan pakan dapat menyediakan nutrisi bagi kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Kedua jenis rumput dapat direkomendasikan sebagai alternatif tanaman pakan ternak pada sistem integrasi tanaman-ternak, khususnya tanaman perkebunan dengan ternak kambing.
457
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
DAFTAR PUSTAKA ASSOCIATION OF OFFICIAL ANALYTICAL CHEMISTS (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis, 17th ed. AOAC, Washington, DC. AZWAR, R. 2005. Peran tanaman pakan ternak sebagai tanaman konservasi dan penutup tanah di perkebunan Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor, 16 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 18 – 24. BLASER, R.E. 1986. Forage-animal management system. Virginia Agriculture Experiment Station. Virginia Polythechnic Institute and State University, Blackburg, Virginia, USA. BULL, L.S. 2000. Some steps in the progress to improved forage utilization. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13: 192 – 200 COLEMAN, S.W., H. LIPPKE and M. GILL. 1999. Estimating the nutritive potential of forages. In: Nutritional Ecology of Herbivores. JUNG, H.G. and G.C. FAHEY (Eds.) American Society of Animal Science, Savoy, IL. USA. pp. 647 – 695. COLEMAN, S.W., S.P. HART and T. SAHLU. 2003. Relationships among forage chemistry, rumination and retention time with intake and digestibility of hay by goats. Small Rumin. Res. 50: 129 – 140. GOERING, H.K. and P.J. VAN SOEST. 1970. Forage Fiber Analysis (Appartus, Reagents, Procedures and some Application). US Dept. Agric. Handb. GOMEZ, K.A. and A.A. GOMEZ. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. John Wiley and Sons.
MERTEN, D.R. 1994. Regulation of forage intake. In: Forage Quality, Evaluation and Utilization. FAHEY JR., G.C. (Ed.). American Society of Agronomy, Crop Science Society of America, Soil Science Society of America. Madison, Wisconsin, USA. pp. 450 – 493. MINSON, D.J. 1990. The chemical composition and nutritive values of tropical grasses. In: Tropical Grass. SKERMAN, P.J., D.G. CAMEROON and F. RIVEROS (Eds.) FAO. pp. 142 – 180. MINSON, D.J. and J.R. WILSON. 1994. Prediction of intake as an element of forage quality. In: Forage Quality, Evaluation and Utilization. FAHEY JR., G.C. (Ed.). American Society of Agronomy, Crop Science Society of America, Soil Science Society of America. Madison, Wisconsin, USA. pp. 533 – 563. MOORE, K.C. and C.J. NELSON. 1995. An Introduction to Grassland Agriculture. In: BARNES, R.F., D.A. MILLER and C.J. NELSON (Eds.). Iowa State University Press, Ames, Iowa. NASRULLAH, M. NIIMI, R. AKHASI and O. KAWAMURA. 2003. Nutritive evaluation of forage plants grown in South Sulawesi, Indonesia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16: 693 – 701 SAMARAKOON, S.P. J.R. WILSON and H.M. SHELTON. 1990. Growth, morphology and nutritive quality of shaded Stenotaphrum secundatum, Axonopus compressus and Pennisetum clandestinum. J. Agric. Sci. Cambridge 114: 161 – 169.
EVITAYANI, L. WARLY, A. FARIANI, T. ICHINOHE and T. FUJIHARA. 2004. Study on nutritive value of tropical forages in North Sumatra, Indonesia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 11: 1518 – 1523.
SAS, 1999. Using StatView. Statistical Analytical System. Third edition. SAS Inc. hlm. 288SIRAIT, J., N.D. PURWANTARI dan K. SIMANIHURUK. 2005. Produksi dan serapan nitrogen rumput pada naungan dan pemupukan berbeda. JITV 3: 175 – 181.
HADJIGEORGIOU, I.E., I.J. GORDON, and J.A. MILNE. 2001. The intake and digestion of a range of temperate forages by sheep and fibreproducing goats. Small Rumin. Res. 39: 167 – 179.
STÚR, W.W. and H.M. SHELTON. 1990. Review of forage resources in plantation crops of Southeast Asia and the Pacific. Proc. ACIAR No. 32. Bali, 27 – 29 Juni 1990. pp. 25 – 31.
HUMPHREYS, L.R. 1994. Tropical Forages: Their Role in Sustainable Agriculture. Longman Scientific & Technical.
WALDO, D.R. 1986. Effect of forage quality on intake and forage-concentrate interaction. J. Dairy Sci. 69: 617.
KARYUDI dan N. SIAGIAN. 2005. Peluang dan kendala dalam pengusahaan tanaman penutup tanah di perkebunan karet. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman pakan Ternak. 16 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 25 – 33.
WONG, C.C. 1990. Shade tolerance of tropical forages: A Review. Proc. ACIAR No. 32. Bali, 27 – 29 Juni 1990. pp. 25 – 31.
458