7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Itik Cihateup Itik Cihateup berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah,
Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat.
Daerah Cihateup berada pada
ketinggian 378 m di atas permukaan laut (dpl) yang merupakan dataran tinggi, sehingga itik tersebut disebut juga itik gunung. Itik Cihateup merupakan salah satu kebanggaan peternak itik di Propinsi Jawa Barat disamping itik Cirebon (Wulandari dkk., 2005). Bulu itik Cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shank bewarna hitam. Warna itik jantan dewasa lebih gelap dan bulu di sekitar kepala bewarna kehitaman dibandingkan dengan itik betina yang memiliki warna yang lebih cerah. Itik Cihateup betina memiliki potensi sebagai itik petelur dan pedaging, dengan ukuran lingkar dada yang lebih besar dibandingkan itik Cirebon dan itik Mojosari serta kemampuan produksi telur sekitar 200 butir/tahun berdaya tetas 65,1 % (Muzani, 2005) dari fertilitas sebesar 36,8 % (Mito dan Johan, 2011). Bobot badan dewasa itik jantan sekitar 1,4 kg dan itik betina 1,2kg.
Laju
pertumbuhan, postur tubuh, dan karakter yang berbeda membuat pemenuhan kebutuhannya akan zat-zat makanan terutama energi dan protein ransum akan berbeda (Kementan, 2013). Itik Cihateup termasuk unggas air yang mempunyai sifat fisiologik dengan kemampuan thermoregulasi yang rendah dibandingkan dengan ayam. TNZ (Thermo Neutral Zone) itik pada umumnya rendah berada dikisaran kurang dari 25°C, apabila kondisinya melebihi batas normal dapat mengganggu sistem metabolisme dan homeostatis itik terganggu. Pemeliharaan
8 diatas TNZ-nya menstimulasi stres apabila dipelihara tanpa kolam air (Utami, 2016). Termasuk itik lokal Indonesia, memiliki daya tahan tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan unggas lainnya, perbedaan faktor genetik pada fisiologi tubuh itik, salah satunya leukosit (Dewantari, 2002).
2.2
Leukosit Sel darah putih (leukosit) merupakan sistem pertahanan tubuh yang
penting untuk menangkal bakteri, virus, kuman, dan kotoran lain yang memicu penyakit yang melemahkan tubuh. Leukosit tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler.
Leukosit
berfungsi melindungi tubuh terhadap berbagai penyakit dengan cara fagosit dan menghasilkan antibodi (Junguera, 1977). Begitu tubuh mendeteksi adanya infeksi maka sumsum tulang akan memproduksi lebih banyak sel-sel darah putih untuk melawan infeksi. Leukosit berjumlah lebih sedikit dibandingkan sel darah merah. Faktorfaktor yang mempengaruhi jumlah leukosit dan diferensialnya antara lain kondisi lingkungan, umur dan kandungan nutrisi pakan.
Peningkatan dan penurunan
jumlah leukosit dalam sirkulasi darah dapat diartikan sebagai hadirnya agen penyakit (Saputro, 2016). Peran leukosit dapat terlihat apabila tubuh mengalami infeksi. Leukosit mampu keluar dari pembuluh darah dan menuju ke jaringanjaringan yang membutuhkan (Ganong, 1996). Diferensial leukosit terdiri dari dua kelompok, yaitu granulosit yang terdiri atas heterosinofil, eusinofil, dan basofil, dan kelompok agranulosit yang terdiri dari limfosit dan monosit (Cahyaningsih dkk., 2007). Leukosit bekerja secara independen seperti organisme sel tunggal, tidak berasosiasi secara ketat dengan
9 organ atau jaringan tertentu, dan mampu bergerak secara bebas berinteraksi dengan serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme penyusup. Pembentukkan leukosit terdapat di dalam limpa dan kelenjar limfe sebagai pengangkut yaitu mengangkut/membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa terus ke pembuluh darah.
2.3
Lymphosit Lymphosit merupakan sel utama pada sistem getah bening yang berukuran
relatif lebih kecil daripada neutrophil. Ukuran garis tengah lymphosit sekitar 6-8 µm, 20-30% dari leukosit darah, memiliki inti yang relatif besar, bulat sedikit cekung pada satu sisi. Lymphosit terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni Lymphosit B dan Lymphosit T. Lymphosit B berasal dari sel stem di dalam sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi, sedangkan Lymphosit T terbentuk jika sel stem dari sumsum tulang pindah ke kelenjar thymus, mengalami pembelahan dan pematangan.
Lymphosit disimpan pada sumsum
tulang dan sebagian di jaringan limfa (Guyton dan Hall, 2007). Persentase normal untuk lymphosit darah unggas yaitu 24-28 % (Smith dan Mankuwidjodjo, 1988).
2.4
Neutrophil Neutrophil merupakan bagian sel darah putih kelompok granular.
Neutrophil berjumlah hampir sekitar 65 % dari keseluruhan sel darah putih. Sel tersebut memiliki motilitas, aktivitas fagosit yang baik, dan menjadi sel yang pertama akan bergerak ke tempat infeksi dimana benda asing masuk untuk dilakukan aktivitas fagosit dengan cepat. Proses tesrsebut menjadi lini pertahanan
10 pertama yang diaktifkan selama respon inflamasi sehingga memiliki peranan penting pada ketahanan unggas terhadap penyakit (Harmon, 1998). Setelah lepas dari sumsum tulang, neutrofil akan mengalami 6 tahap morfologis, yaitu mielocit, metamielocit, neutrofil non segmen (band), dan neutrofil segmen. Neutrofil segmen merupakan sel aktif dengan kapasitas penuh, yang mengandung granula sitoplasmik (primer atau azurofil, sekunder, atau spesifik) dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Sel neutrofil yang rusak terlihat sebagai nanah.
2.5
Heat Stress Stres adalah keadaan tubuh ternak akibat adanya tekanan yang merusak
stressor sehingga menyebabkan disekresikannya adrenocorticotropic hormone (ACTH) (Duncan, 1981). berlangsung
cepat
Selama stres panas metabolisme dalam tubuh
sehingga
membutuhkan
karbondioksida dalam darah meningkat.
banyak
oksigen,
sedangkan
Peningkatan frekuensi pernapasan
membutuhkan dukungan kontraksi otot yaitu otot perut, otot punggung, untuk melakukan kontraksi tersebut membutuhkan energi, terlebih apabila terjadi kontraksi yang berat energi yang dibuthkan menjadi lebih besar (Utami, 2016). ACTH akan merangsang proses katabolisme (glukoneogenesis) dan akan berpengaruh terhadap imunitas (Brown dan Nestor, 1984). Glukoneogenesis memenuhi kebutuhan tubuh akan glukosa pada saat karbohidrat tidak tersedia dalam jumlah yang cukup didalam makanan pasokan glukosa yang terus menerus diperlukan sebagai sumber energi (Murray dkk., 2003).
Peningkatan
sekresi
hormon
glukokortikoid
dapat
mengganggu
pembentukan sel-sel imun dan pembentukan berbagai sitokin yang diperlukan
11 untuk respon imun (Mashaly dkk., 2004). Hormon tersebut mengaktivasi laju perombakan cadangan energi, meningkatkan denyut jantung dan respirasi, namun demikian kerja hormon glukokortikoid berdampak pada sistem imunitas tubuh (Davis dkk., 2008). Glukokortikoid secara langsung mampu menginduksi diferensial leukosit yaitu peningkatan neutrofil dan penurunan limfosit dalam darah, sehingga rasio neutrofil/limfosit mengalami perubahan (Kannan dkk., 2000).
Perubahan
neutrofil dan limfosit dalam bentuk rasio dapat menggambarkan kondisi tubuh mengalami gangguan atau tidak akibat stressor transportasi, sehingga rasio N/L dijadikan indikator stres pada tubuh (Sugito dkk., 2007).
2.6
Kitosan Iradiasi Kitosan adalah turunan dari kitin yang diperoleh dengan deasetilasi yang
merupakan polisakarida terbanyak ke dua di bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrata dan beberapa fungi pada dinding selnya.
Kitosan berasal dari bahan organik dan bersifat polielektrolit kation
sehingga dalam proses pengolahan air sangat potensial digunakan sebagai koagulan alam (Dutta., dkk, 2004). Terdapat banyak kulit atau cangkang biota laut yang mengandung kitin. Kandungan kitin terbanyak terdapat pada cangkang kepiting yaitu mencapai 50%-60%, cangkang udang mencapai 42%-57%, dan cangkang cumi-cumi dan kerang masing-masing 40% dan 14%-35% (Margonof, 2003). Kitosan juga dapat membentuk sebuah membran yang berfungsi sebagai adsorben pada waktu terjadinya pengikatan zat-zat organik maupun anorganik oleh kitosan. Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan kitin (Sanjaya, 2007).
12 Kitosan yang terdiri dari gugus amina dan hidroksil bersifat basa sehingga dapat bereaksi dengan asam.
Untuk mempermudah proses koagulasi maka
kitosan dilarutkan terlebih dahulu dengan menggunakan asam sehingga didapatkan larutan kitosan. Mekanisme tersebut didasarkan pada sifat kitosan yang mengandung gugus amina yang apabila bereaksi dengan asam maka akan membentuk garam. Sehingga kitosan yang tidak dapat larut dalam air harus dilarutkan kedalam asam (Sinardi dkk., 2013). Kitosan merupakan polielektrolit kationik dan polimer berantai panjang, mempunyai berat molekul besar dan reaktif karena adanya gugus amina dan hidroksil yang bertindak sebagai donor elektron. Karena sifat-sifat itu, kitosan dapat berinteraksi dengan partikel-partikel koloid yang terdapat di dalam air melalui proses jembatan antar partikel flok (koagulasi) (Chung dkk., 1996; Prashanth dan Tharanathan, 2007). Dua faktor utama yang menjadi ciri dari kitosan adalah viskositas atau berat molekul dan derjat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengendalian kedua parameter tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan kitosan dengan berbagai karakteristik yang dapat diaplikasikan di berbagai bidang.
Derajat deasetilasi dapat
didefinisikan sebagai rasio gugus asetamida dan gugus amino, dan menunjukkan sejauh mana proses deasetilasi berjalan. Derajat deasetilasi dan berat molekul berperan penting dalam kelarutan kitosan. (Shahidi dkk., 1999). Berat molekul dan derajat deasetilsi sangat berpengaruh terhadap kemampuan kitosan dalam aplikasinya. Salah satu metode untuk mengurangi berat molekul kitosan dapat dilakukan dengan cara iradiasi gamma pada kitosan yang dapat menyebabkan terjadinya pemutusan rantai molekul kitosan sehingga menghasilkan kitosan dengan rantai molekul yang lebih pendek dan iradiasi juga dapat berguna sebagai proses sterilisasi kitosan tersebut.
Teknologi radiasi memiliki beberapa
13 keunggulan yaitu iradiasi dapat dilakukan pada suhu kamar, tidak meninggalkan residu kimia seperti pada proses kimia dan enzimatik, dan ramah lingkungan. Iradiasi juga tidak menyebabkan bahan yang diiradiasi tersebut menjadi radioaktif dan juga tidak menyebabkan toksik, sehingga dapat dikonsumsi dengan aman (Pusat Diseminasi Iptek Nuklir). Secara prinsip proses utama dalam pembuatan kitosan meliputi penghilangan mineral dan kandungan protein melalui proses kimiawi yang disebut demineralisasi
dan
deproteinasi
yang masing-masing dilakukan
menggunakan larutan asam dan basa.
dengan
Dilanjutkan dengan deasetilasi yang
merupakan penghilangan gugus asetil melalui proses hidrolisis basa menggunakan basa kuat (Kim, 2011). Kitosan sebagai bahan pakan tambahan diduga dapat memperbaiki sistem pencernaan, salah satunya adalah vili-vili usus, dimana merupakan salah satu indikator absorpsi nutrien bagi tubuh. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kitosan dengan dosis sedikit pada pakan mampu memacu pertumbuhan vili usus (Suthongsa S, 2012) dan peningkatan performa ayam yang diberi kitosan sebanyak 150 ppm (Huang dkk., 2005).