Kajian
INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 2014
KAJIAN
INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 2014
KAJIAN INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN Penyusun: Tim Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Kontributor : Andi Wijayanto (Sekretariat Kabinet) Daryl Ichwan (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) Dian P. Simatupang (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Ernest P. Raihan (Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Anggaran) Faisal Akbar (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) Hasrul Halili (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada) Hifdzil Alim (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada) I Gusti Ngurah Putra (Bappeda Provinsi Bali) I Wayan Muhrta (Fakultas Hukum Universitas Udayana) Ida Ayu Susanti (Kanwil Kemenkumham Prov. Bali) Jayadi (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) Jumadi (Bappeda Provinsi Jawa Timur) Kodrat Wibowo (Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran) Putu Gde Arya Sumerthayasa (Fakultas Hukum Universitas Udayana) Sri Winarsi (Fakultas Hukum Universitas Airlangga) Sumariyandono (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) Suparto Wijoyo (Fakultas Hukum Universitas Airlangga) Suria Ningsih (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) Wika Harisa Putri (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada) Yonathan S. Hadi (Kementerian Keuangan - Direktorat Jenderal Anggaran) Zainal Arifin Mochtar (Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada)
Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat Telp. (021) 3868201-05 Fax. (021) 3868208
KAJIAN INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN. – Jakarta : PKSANHAN - LAN, 2014 135 hlm.
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF (EXECUTIVE SUMMARY)
Keterpaduan antara perencanaan dan penganganggaran merupakan isu penting dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional. Terkait hal itu, beberapa permasalahan mendasar yang dapat diidentifikasi antara lain adalah: (1) belum tercapainya sinergitas program pembangunan antara berbagai K/L untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran nasional serta penjabarannya dalam unit eselon I dalam rangka mendukung pencapaian sasaran K/L maupun nasional; serta (2) belum konsistennya perencanaan program dan penganggaran pada setiap tahunnya. Terjadinya inkonsistensi program dan anggaran diidentifikasi bahwa tidak semua program/kegiatan yang tertuang dalam Renja-KL dapat dibiayai sepenuhnya. Hal ini disebabkan dokumen Renstra dan dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras. Penyebab munculnya beberapa permasalahan tersebut disebabkan adanya ill-structured problems, yaitu suatu kondisi atau keadaan dimana peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan melahirkan masalah yang begitu luas, begitu banyak jumlahnya, dan tidak teridentifikasi. Dari aspek kelembagaan, pemisahan institusi perencanaan dan penganggaran program pembangunan pasca reformasi justru menimbulkan pengkotak-kotakan (fragmentation) pemerintahan, dimana fungsi penyusunan program masih tetap berada di Bappenas, sedangkan fungsi penganggaran berada di Kementerian Keuangan. Tidak sinerginya perencanaan dan penganggaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional tidak dapat dihindari meskipun telah dilakukan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting) sebagaimana diatur dalam PP No. 90 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Kondisi yang terjadi antara lain sebagai berikut :
1. Buruknya
koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan belanja,
2. Inkonsistensinya kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan
dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL, dan
3. Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah.
Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan iii
penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benarbenar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan. Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran harus menggunakan prinsip “money follow function”. Artinya penyusunan perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan bersamaan, tetapi secara sekuential dengan menimbang program prioritas pembangunan terlebih dahulu. Untuk konteks Indonesia, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 merupakan tahap awal dari siklus APBN yang mencerminkan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah. Kemudian rencana tersebut dilanjutkan dengan proses penganggaran untuk mendapatkan alokasi anggaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran di daerah, serta UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
UU No. 25/2004 SPPN
S I S T E M K E U A N G A N N E G A R A
TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL PLANNING
BUDGET PLANNING UU No. 17/2003 KN
BUDGETING
ORGANIZING
UU No. 1/2004 Actuating
UU No. 15/2004 Controlling
Gambar Hubungan Perencanaan dengan Pengelolaan Anggaran iv
Berdasarkan ilustrasi di atas, terlihat irisan proses (yang disebut sebagai budget planning) antara fungsi perencanaan dan penganggaran yang sering menjadi permasalahan dalam hubungan perencanaan dan penganggaran, walaupun sebenarnya telah dipayungi dengan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga beserta peraturan perubahan dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan tersebut pada dasarnya dimaksudkan sebagai jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu sebagai Pelaksana dalam menyusun anggaran. Irisan “budget planning” itulah yang harus dikelola dengan baik agar sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional akan lebih baik, efisien dan equity. Berdasarkan konsep membangun sinergi dari sudut pandang hukum administrasi negara, maka untuk mewujudkan keterpaduan fungsi perencanaan yang diselenggarakan Bappenas dan fungsi penganggaran yang diselenggarakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, dapat dilakukan dengan cara menempuh salah satu dari 3 (tiga) opsi kebijakan sebagai berikut. Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara
Keterangan
1
sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen),
yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
2
sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen),
yaitu penataan kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga Negara
3
sinergitas kedudukan hukum (rechstatus),
yaitu penataan kembali kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan kedudukan kelembagaannya
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif, yang menggambarkan permasalahan adanya disintegrasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan cara v
mencermati studi terdahulu, studi benchmarking, dan focus group discussion (FGD). Selanjutnya, dilakukan validasi draft hasil kajian dengan narasumber di daerah dan perguruan tinggi. Narasumber kajian ini adalah para pakar dan praktisi yang memiliki keilmuan serta keahlian terkait perencanaan dan penganggaran. Dari kalangan pakar, narasumber kajian ini berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Udayana, dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan, narasumber praktisi kajian ini berasal dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM, serta beberapa K/L lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan menyeleksi data berdasarkan permasalahan atau isu yang diangkat. Analisis data dilakukan dengan menggabungkan 2 (dua) metode, yaitu : (1) analisis isi (content analysis) dan (2) analisis data sekunder (secondary data analysis). Seluruh data yang terkumpul dan dinilai layak, kemudian dielaborasi untuk merumuskan pengertian, ruang lingkup, dan permasalahan yang berkembang, serta pokokpokok solusi yang dapat diajukan dalam kajian ini. Agar terwujud integrasi perencanaaan dan penganggaran pembangunan nasional yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, LAN menyampaikan opsi kebijakan dari perspektif jangka pendek (perbaikan tata laksana) dan jangka panjang (perbaikan kelembagaan). 1. Jangka pendek, secara ketatalaksanaan diperlukan pembenahan terhadap proses dan prosedur perencanaan program kegiatan dan penganggaran di Indonesia. Tatalaksana perencanaan dan penganggaran ke depan dilakukan dengan mekanisme tata kerja sebagai berikut. a. Presiden menetapkan Visi, misi, program kerja; b. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menerjemahkan pencapaian visi, misi dan program presiden dalam RPJM disertai target output dan outcome yang harus dicapai oleh kementerian/lembaga. Target tersebut kemudian diinput dalam sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan. Selain itu, disusun pula pedoman tentang bagaimana proses penyusunan usulan program/kegiatan yang harus dilakukan oleh K/L. Sementara itu, Kementerian Keuangan menyusun estimasi rencana penerimaan negara untuk 5 (lima) tahun ke depan; c. Setiap tahun, Kementerian/Lembaga menyusun usulan program/ kegiatan berdasar RPJM beserta estimasi rencana anggaran yang diperlukan. Usulan tersebut disampaikan melalui sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan pembangunan; d. Setiap Tahun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas mengevaluasi kinerja program/kegiatan tahun lalu dan usulan program/kegiatan tahunan yang disampaikan melalui sistem aplikasi, serta menetapkan program/kegiatan tahunan yang akan vi
dilaksanakan dan dibiayai (RKT). Sementara Kementerian Keuangan mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan; e. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyusun dokumen RKP, sementara Kementerian Keuangan menyusun dokumen RAPBN; f. Presiden menetapkan dokumen nota keuangan untuk disampaikan ke DPR. 2. Jangka Menengah, secara kelembagaan, fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi atas rencana program kegiatan dan anggaran dilakukan oleh Bappenas yang akan ditempatkan di Kantor Kepresidenan, dengan nomenklatur Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran. a. Tugas Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran : Menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi serta mengevaluasi dan menetapkan rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/ lembaga. b. Fungsi, Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran : 1) Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga. 2) Pelaksanaan evaluasi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga. 3) Penetapan program pembangunan dan anggaran (budget planning) pembangunan yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga c. Kewenangan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran: Menetapkan program dan kegiatan pembangunan kementerian/ lembaga yang akan dilaksanakan dan dibiayai dengan anggaran yang tersedia, mengacu pada visi misi dan prioritas program kerja Presiden dan RPJM. Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor Kepresidenan tersebut, terbentuk melalui 3 (tiga) opsi sebagai berikut Opsi 1 (Progresif), Bappenas dan Ditjen Anggaran merger menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres); Opsi 2 (moderate) Bappenas menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres), dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres;
vii
Opsi 3 (konservatif) Bappenas tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres, dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres. Hasil kajian ini semakin menegaskan fakta ego sektoral dan disharmoni dalam sistem perencanaan dan penganggaran, sebagaimana disampaikan dalam beberapa hasil kajian atau penelitian terkait. Untuk itu, kajian dapat menjadi trigger bagi Presiden agar segera melakukan penataan kebijakan, kelembagaan dan mekanisme perencanaan dan penganggaran di Indonesia. Berdasarkan Pasal 23 Perpres 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, paling lambat sampai November 2015, akan dilakukan penataan organisasi kabinet kerja. Terkait hal itu, hasil kajian ini dapat menjadi referensi (academic paper) bagi Presiden untuk melakukan penataan fungsi, tugas dan kewenangan lembaga Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan, khususnya terkait dengan aspek perencanaan dan penganggaran. Namun, penataan kelembagaan kabinet kerja dimaksud harus sinergi dengan penataan kebijakan di bidang sistem perencaaan dan penganggaran. Dalam hal ini, perlu dilakukan penataan secara sistematis dari level kebijakan Undang-Undang (bersama DPR), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. Khusus terkait pelembagaan dan mekanisme Pertemuan Tiga Pihak (trilateral meeting) --- yang berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi Kajian ini diselenggarakan di Kantor Kepresidenan, tetap dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan regulasi. Hal ini berdasarkan pada kewenangan dasar Presiden selaku Kepala Pemerintahan (executive power), sehingga dapat mengeluarkan kebijakan di ranah eksekutif sepanjang bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas. Dalam rangka upaya integrasi forum dan harmonisasi sistem perencanaan dan penganggaran, maka hasil kajian ini akan dapat menjadi panduan bagi Presiden untuk merumuskan format forum dan mekanismenya. Secara umum, dalam penyusunan kajian ini sudah melibatkan pimpinan instansi terkait, khusus Bpk. Andi Widjajanto (Sekretaris Kabinet) yang secara khusus hadir langsung dalam acara FGD di Kantor LAN. Dalam acara tersebut, pada prinsipnya beliau memahami usulan pembentukan Kantor Kepresidenan dan perlunya penataan sistem perencanaan serta penganggaran agar dapat selaras dengan prioritas dan gaya kepemimpinan (leadership style) Presiden. Tentu saja, upaya penataan ini harus tetap memperhatikan stabilitas dan
viii
dinamika politik, sehingga perlu dikaji momentum yang tepat untuk melaksanakannya. Agar hasil kajian ini dapat bernilai manfaat/berdampak secara nyata dalam reformasi sistem perencanaan dan penganggaran, perlu dilakukan beberapa rencana tindak berikut ini. 1. Jangka Pendek (sebelum Februari 2015) Mengajukan policy brief kajian ini kepada Presiden cq. Sekretaris Kabinet, sehingga dapat menjadi bagian dalam perubahan struktur organisasi kabinet kerja sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 165 Tahun 2014. 2. Jangka Menengah (akhir Desember 2015) Mengajukan usulan perubahan kebijakan sebagai landasan hukum penataan sistem perencanaan dan penganggaran, di level Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Pada saat bersamaan, mengusulkan kepada Presiden dan Menteri terkait agar revisi UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 dapat masuk dalam usulan prioritas di luar Prolegnas 2015. Selanjutnya, diharapkan proses revisi terhadap kedua Undang-Undang tersebut segera dilaksanakan, agar dapat menjadi landasan hukum bagi penataan sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia.
ix
x
SAMBUTAN DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Efek persaingan global terasa semakin dekat dengan negara kita, salah satunya terlihat bagaimana setiap negara di dunia berkompetisi untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahannya. Dalam hal ini, fragmentasi pemerintahan yang terlalu tinggi dianggap sebagi salah satu penyebab teradinya inefektivitas pemerintahan, karena terjadinya sejumlah problem yang dapat menghalangi pemerintah untuk merespon dengan cepat dinamika yang berkembang di dalam lingkungan strategisnya. Secara lebih jelas, beberapa problematika mendasar terkait tata kelola pemerintahan kita saat ini adalah: (1) kewenangan sebuah urusan yang terfragmentasikan pada beberapa K/L sehingga alokasi menjadi tumpang tindih yang membuat tata kelola pemerintahan menjadi kompleks. Sebagai contoh, sebuah urusan pemerintahan tertentu seperti UKM, pertanahan, maritim dan kelautan, perizinan selalu melibatkan belasan Kementerian/Lembaga. Struktur ini menciptakan kerugian ganda, yakni menciptakan kebutuhan melakukan koordinasi dan menjadikan ego sektoral tumbuh dengan subur, (2) lemahnya institusi dan mekanisme pengintegrasian rencana dan kegiatan pembangunan pemerintah pusat dan daerah. Mekanisme Musrenbang dari tingkat bawah sampai dengan tingkat nasional terbukti tidak efektif. Duplikasi dan tumpang tindih kegiatan antar tingkat pemerintahan yang berbeda terus terjadi dan menjadi rutinitas. Bahkan, benturan kebijakan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota mudah ditemui dalam berbagai bidang seperti ekonomi dan investasi. Selanjutnya, (3) terjadinya disintegrasi fungsi manajemen pemerintahan, utamanya antara fungsi perencanaan dan penganggaran. Kedua fungsi ini dikelola oleh kementerian yang berbeda, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Keuangan. Pemisahan kedua fungsi tersebut ke dalam dua kementerian yang berbeda dengan ego sektoralnya masing-masing membuat interkoneksi antar kedua fungsi tersebut sangat lemah. Inovasi kegiatan sering tidak “nyambung” dengan alokasi anggarannya. Untuk mencegah terjadinya dan/atau mengatasi permasalahanpermasalahan sebagaimana dikemukakan tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membangun sistem perencanaan dan penganggaran xi
pembangunan nasional yang terintegrasi, antara lain pembaharuan regulasi, institusi atau mekanisme; penerapan pendekatan whole-of-government perspective atau dalam konteks perencanaan dan pembangunan dengan mencari solusi terhadap masalah publik secara holistik dari kepentingan publik dan pemerintah secara keseluruhan; mentradisikan evidence-based policy dalam proses perencanaan dan penganggaran; serta menerapkan prinsip-prinsip better planning and budgeting regulation, seperti: sederhana dan mudah dilaksanakan; inklusif dan konsultasi dengan pemangku kepentingan; subsidiarity dilaksanakan oleh tingkat pemerintahan yang paling relevan; dan proporsionalitas – penganggaran yang diberikan sesuai dengan perencanaan tujuan yang akan dicapai. Sehubungan dengan hal tersebut, saya menyambut baik dilakukannya “KAJIAN INTEGRASI SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN” ini. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintahan yang sedang berjalan untuk memastikan bahwa proses perencanaan dan penganggaran pembangunan yang dilakukan harus saling terkoneksi dan saling sinergi satu sama lain dalam sebuah sistem manajemen perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi untuk pembangunan bagi kesejahteraan rakyat. Jakarta, Desember 2014 Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara
Sri Hadiati W.K.
xii
KATA PENGANTAR Kajian Integrasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran ini merupakan salah satu kegiatan kajian di lingkungan Lembaga Administrasi Negara yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Kajian Kebijakan, melalui Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara. Perlu dipahami bersama bahwa perencanaan dan penganggaran mempunyai peran yang penting dalam rangka mendukung keberlangsungan proses pembangunan nasional. Seiring perjalanan perkembangan negara kesatuan republik indonesia, hubungan antara peran perencanaan dan peran penganggaran pun mengalami berbagai dinamika perkembangan yang berubah-ubah. Namun satu hal yang diakui dan disepakati baik oleh pemangku peran perencanaan maupun pemangku peran penganggaran adalah bahwa antar keduanya diperlukan sebuah sinergi yang tidak dapat dipisahkan untuk menggerakan roda gigi pembangunan nasional. Oleh sebab itu, “Kajian Integrasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran” ini dilakukan untuk memberikan alternatif solusi atas pengakuan dan kesepakatan bahwa perencanaan dan penganggaran merupakan sinergi yang harus terintegrasi secara kokoh dalam sistem kebijakan pembangunan nasional. Kajian dilakukan dengan se-obyektif mungkin dengan memperhatikan pendapat dan pandangan dari pihak pemangku peran perencanaan dan pemangku peran penganggaran yang saat ini tengah mengabdi, Pendapat dan pandangan tersebut dipadukan dengan pendapat dan pandangan pembanding dari berbagai pihak lainnya, seperti akademisi, pengamat, pengguna kebijakan perencanaan dan penganggaran dari pemerintahan daerah maupun pemrintahan pusat, serta dari instansi penetap kebijakan. Oleh sebab itu, hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan bayangan solusi berupa beberapa alternatif rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan suatu sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional yang terintegrasi antar kementerian/lembaga, maupun kelak antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para kontributor dan narasumber, baik dari kalangan Perguruan Tinggi, Pemerintahan, maupun organisasi non-pemerintah, yang telah berkenan bekerja sama dalam berdiskusi dan memberikan data dan informasi yang diperlukan, serta menyumbangkan beberapa pemikiran dan gagasannya yang menjadi bahan utama dari bahan penyusunan kajian ini. Tanpa dukungan dan kerjasama yang baik tersebut, kajian ini tidak akan dapat diselesaikan seperti saat ini. xiii
Disadari bahwa banyak hal dalam hasil kajian ini yang masih belum komprehensif dan sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang berharga kami harapkan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan hasil karya selanjutnya. Akhir kata, kami harapkan muatan substantif yang disampaikan dalam hasil kajian ini sesuai dengan tujuan, sasaran dan hasil yang ingin dicapai dari kegiatan ini. Semoga hasil kajian ini dapat memberi manfaat, baik bagi pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan maupun bagi para pembaca yang berminat terhadap muatan materi hasil kajian ini . Jakarta, Desember 2014 Kepala Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Tri Saksono
xiv
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif (Executive Summary)……………………………….. Sambutan Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara ...................................................................... Kata Pengantar …………………………………………………………………….…. Daftar Isi …………………………………………………………………………………. BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
iii xi xiii xv
SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DI INDONESIA SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI A. Kebijakan Sistem Perencanaan dan Penganggaran Saat Ini........................................................................................ B. Permasalahan Perencanaan dan Penganggaran Kementerian/Lembaga ……....……………………………… C. Metode Kajian …………………...……………………………….
14 16
KONSEP PENATAAN SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN …………………………………...…………………. A. Perspektif Konsep Ideal Perencanaan ………………. B. Perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) … C. Perspektif Akuntabilitas …......…………………………...
17 17 18 21
HASIL KAJIAN PENATAAN SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN ………………………………………………. A. Penelitian/Kajian Terdahulu …...................................... B. Studi Banding (Benchmarking) …………………………. C. Pandangan Narasumber..............…………………………. D. Hasil Validasi atas Draft Hasil Kajian ………………...
27 25 46 52 104
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI …………………………….. A. Kesimpulan …………………………………………………........ B. Rekomendasi Kebijakan ...................................................
117 117 120
xv
1 1
BAB V
IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN LANGKAH TINDAK LANJUT A. Dampak Hasil Kajian terhadap Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran …………......……….. B. Rencana Tindak (Action Plan) ……......…………………
127
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..………….... INDEKS ………………………………………………………………………….................. LAMPIRAN 1. Policy Brief Membangun Sinergi Perencanaan dan Penganggaran 2. Bahan-bahan Paparan Narasumber
131 133
xvi
127 128
I-1 II - 1
BAB I SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DI INDONESIA SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI A. Kebijakan Sistem Perencanaan dan Penganggaran Saat Ini Sistem perencanaan dan penganggaran mengalami reformasi dengan ditetapkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Untuk operasionalisasi
keempat
Undang-Undang
tersebut,
pemerintah
telah
mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang telah diubah dengan PP No. 90 Tahun 2010, PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan, serta PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Dalam rangka keselarasan
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
tersebut,
dikeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan No. 0142/M.PPN/06/2009 dan No. 1848/MK/2009 tanggal 19 Juni tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran. Sesuai dengan ketentuan pada PP No. 21 Tahun 2004 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 17 Tahun 2003 ditegaskan bahwa ke depan rencana kerja dan anggaran yang disusun harus menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yaitu: (1) Anggaran Terpadu (unified budget); (2) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, yang biasa disebut “KPJM” (medium term expenditure framework); dan (3) Penganggaran Berbasis Kinerja, yang biasa disebut “PBK” (performance based budget).
1
Reformasi sistem perencanaan dan penganggaran yang dilaksanakan pada periode 2010-2014 pada hakekatnya adalah pemenuhan amanat dan optimalisasi
dari
ketiga
pendekatan
tersebut
dalam
perencanaan
pembangunan nasional. Reformasi sistem perencanaan dan penganggaran dilaksanakan melalui restrukturisasi program dan kegiatan yang berfokus pada PBK. Restrukturisasi program dan kegiatan ini bertujuan mewujudkan perencanaan yang berorientasi kepada hasil (outcome) dan keluaran (output) sebagai dasar penerapan akuntabilitas kabinet dan akuntabilitas kinerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Sedangkan untuk kedua pendekatan lainnya (anggaran terpadu dan KPJM) bersifat mendukung penerapan PBK. Pendekatan anggaran terpadu merupakan prasyarat penerapan PBK, sedangkan pendekatan KPJM merupakan jaminan kontinuitas penyediaan anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun ke depan.
1. Kebijakan Sistem dan Mekanisme Perencanaan Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, perencanaan
adalah
suatu proses
untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sedangkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dimaknai sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. SPPN mencakup 5 (lima) pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan, yakni: (1) politik; (2) teknokratik; (3) partisipatif; (4) atasbawah (top-down); dan (5) bawah-atas (bottom-up).
2
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan
masing-masing calon
Presiden/Kepala
(Penjelasan Umum UU No. 25 Tahun 2004).
Daerah
Artinya, rencana
pembangunan adalah agenda pembangunan yang ditawarkan oleh Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye yang dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka bertujuan untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan, pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan, baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, maupun Desa. Perencanaan pembangunan terdiri dari 4 (empat) tahapan yakni: (1) penyusunan rencana; (2)
penetapan rencana; (3) pengendalian
pelaksanaan rencana; dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat tahapan
diselenggarakan
secara
berkelanjutan,
sehingga
secara
keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Tahapan penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah
kedua,
masing-masing
instansi
pemerintah
menyiapkan
rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan. Langkah ketiga adalah melibatkan 3
masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Tahapan berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk hukum agar mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional/Daerah ditetapkan dalam Undang-Undang/Peraturan Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional/Daerah ditetapkan dalam Peraturan Presiden/Kepala Daerah, dan Rencana Pembangunan Tahunan Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala Daerah. Tahapan dimaksudkan
pengendalian untuk
pelaksanaan
menjamin
rencana
tercapainya
tujuan
pembangunan dan
sasaran
pembangunan yang tertuang dalam rencana, melalui kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut yang dilakukan oleh pimpinan
Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah
(K/L/SKPD). Selanjutnya, Menteri PPN/Bappenas atau Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan K/L/SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Tahapan evaluasi pelaksanaan rencana merupakan bagian dari kegiatan
perencanaan
pembangunan
yang
secara
sistematis
mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, berkewajiban 4
untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan/atau
terkait
dengan
fungsi
dan
tanggungjawabnya.
Dalam
melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan, Kementrian/ Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah rencana. Berdasarkan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional meliputi
perencanaan
pembangunan
jangka panjang, perencanaan
pembangunan jangka menengah, RPJM K/L, rencana pembangunan tahunan
nasional,
dan
rencana
pembangunan
tahunan
kementerian/lembaga. Penyusunan perencanaan pembangunan jangka panjang menghasilkan RPJP, perencanaan pembangunan jangka menengah menghasilkan RPJM, dan perencanaan tahunan nasional menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Penyusunan dokumen perencanaan –-- RPJP, RPJM, dan RKP --– dilaksanakan melalui tahapan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan,
salah
satunya
melalui
musrenbang,
baik
musrenbang jangka panjang nasional, musrenbang jangka menengah nasional, maupun musrenbang perencanaan tahunan. RPJP memuat visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Dokumen ini lebih bersifat visioner dan hanya memuat hal-hal yang mendasar, sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya. RPJM Nasional adalah rencana pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program prioritas Presiden yang disusun dengan berpedoman pada RPJP.
5
Gambar 1.1 Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara RPJP Nasional, RPJM Nasional, dan RKP beserta dokumen turunannya (Renja K/L dan Renja SKPD). RPJM Nasional adalah rencana pembangunan Nasional untuk periode 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program prioritas Presiden yang disusun berpedoman pada RPJP. Sementara itu, RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, yang memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Tuntutan publik terhadap pemerintah demikian banyak jumlah dan beragam jenisnya, mulai dari lahir sampai mati, mulai dari hal-hal yang besar sampai hal-hal terkecil dalam pemenuhan kebutuhan mendasar. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan sejumlah prioritas 6
nasional (2010-2014) yang meliputi: (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan paska konflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi. Prioritisasi terhadap program pembangunan nasional ini sangat penting karena keterbatasan anggaran yang untuk membiayai (costing) program-program tersebut
(Sumariyandono,
2014). Menurut
Bastian
(2006:37),
penyusunan
rencana
perlu
memperhatikan kapasitas fiskal yang tersedia. Prinsip utama dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran adalah menyusun dan menganggarkan prioritas kegiatan yang disepakati dengan tidak melebihi kapasitas fiskal yang bersangkutan (Ibid: 38). Prioritas itulah kata
kunci
yang
dijadikan
pertimbangan
dalam
melaksanakan
perencanaan dan penganggaran. Hal ini mengingat bahwa organisasi memiliki sumber daya (resources) yang sangat terbatas baik sumber daya manusia (SDM), peralatan (sarana-prasarana) dan terlebih lagi sumber daya keuangan/fiskal.
2. Sistem dan Mekanisme Penganggaran Saat ini Sistem dan mekanisme penganggaran era reformasi yakni sejak terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 telah mengalami sejumlah perubahan yang mendasar, salah satunya adalah bahwa penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) berpedoman pada RKP. RKP tidak lagi memuat daftar panjang usulan kegiatan K/L yang selama ini dianggap sebagai “daftar keinginan” yang belum tentu dapat dilaksanakan. Sebagai pedoman penyusunan RAPBN, RKP disusun dengan mengikuti pendekatan baru dalam penganggaran yaitu penerapan
7
kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM), penerapan penganggaran terpadu, dan penerapan penganggaran berbasis kinerja. RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional yang memuat rancangan kerangka ekonomi makro, termasuk di dalamnya memuat arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, serta rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Sementara, Rencana Kinerja (Renja)
K/L disusun
dengan
berpedoman pada Renstra K/L dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif. Renja K/L memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Program dan kegiatan tersebut disusun dengan pendekatan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu. Program terdiri dari kegiatan berupa: (1) kerangka regulasi yang bertujuan untuk memfasilitasi, mendorong, maupun mengatur kegiatan pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat;
dan/atau (2)
kerangka pelayanan umum dan investasi Pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan masyarakat. K/L yang fungsinya mengatur dan/atau melaksanakan pelayanan langsung kepada masyarakat, menyusun standar pelayanan minimum berkoordinasi dengan
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(PPN),
Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait. Di lingkup pemerintah daerah, RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD dan mengacu kepada RKP. RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Selanjutnya, Kementerian Perencanaan melaksanakan Musrenbang untuk menyelaraskan antar Renja K/L dan antara kegiatan dekonsentrasi 8
dan tugas pembanguan yang tercantum dalam Renja K/L dengan rancangan RKPD. Hasil Musrenbang digunakan untuk memutakhirkan Rancangan RKP. Sesuai dengan ketentuan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga, RKA-KL terdiri dari Renja K/L dan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Di dalam Renja K/L diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, dan keluaran yang diharapkan. Dalam anggaran yang diperlukan, diuraikan biaya masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan K/L yang bersangkutan. RKA-KL meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan K/L termasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan. a. Pendekatan Penyusunan Anggaran Sebagaimana dijelaskan terdahulu, RKA-KL disusun dengan menggunakan
pendekatan
KPJM,
penganggaran
terpadu,
dan
penganggaran berbasis kinerja, sebagaimana diuraikan berikut ini. 1) Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah KPJM digunakan untuk mencapai disiplin fiskal secara berkelanjutan. K/L mengajukan usulan anggaran untuk membiayai program dan kegiatan dalam tahun anggaran yang direncanakan dan menyampaikan prakiraan maju yang merupakan implikasi kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut pada tahun berikutnya. Prakiraan maju yang diusulkan K/L disetujui oleh Presiden dan ditetapkan dalam Keputusan Presiden tentang Rincian APBN untuk menjadi dasar bagi penyusunan
9
usulan anggaran K/L pada tahun anggaran berikutnya, terhitung setelah tahun anggaran yang sedang disusun. 2) Pendekatan Penganggaran Terpadu Penyusunan
anggaran
terpadu
dilakukan
dengan
mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran di lingkungan K/L untuk menghasilkan dokumen RKA-KL dengan klasifikasi anggaran belanja menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Klasifikasi menurut organisasi dilakukan sesuai dengan struktur organisasi K/L. Klasifikasi menurut fungsi dan subfungsi dilakukan sesuai dengan Lampiran I PP No. 21 Tahun 2004. Klasifikasi menurut program dan kegiatan ditetapkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas berkoordinasi dengan Menteri Keuangan berdasarkan usulan Menteri/Pimpinan Lembaga. Sedangkan, Klasifikasi menurut rincian jenis belanja dilakukan sesuai dengan Lampiran II PP No. 21 Tahun 2004. Perubahan terhadap klasifikasi menurut organisasi, fungsi, sub fungsi dan rincian jenis belanja tersebut ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. 3) Penganggaran Berbasis Kinerja Penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan. Tingkat kegiatan yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan pada permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran menjadi dasar untuk
menentukan
direncanakan
dan
anggaran prakiraan
bersangkutan. 10
pada maju
tahun
anggaran
yang
bagi
program
yang
Setelah
berkoordinasi
dengan
K/L
terkait,
Menteri
Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus bagi Pemerintah Pusat. Tingkat kegiatan yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan pada permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran menjadi dasar untuk menentukan anggaran pada tahun anggaran yang direncanakan
dan
prakiraan
maju
bagi
program
yang
bersangkutan. b. Pertemuan Tiga Pihak/Trilateral Meeting Pertemuan Tiga Pihak merupakan sebuah forum pembahasan bersama
yang
dilakukan
antara
Kementerian
PPN/Bappenas,
Kementerian Keuangan, dan K/L untuk konsolidasi dan penajaman Prioritas Nasional berikut pendanaan yang diperlukan dalam rangka melaksanakan
prioritas-prioritas
tersebut.
Selanjutnya,
hasil
pembahasan ini akan dituangkan secara konsisten dalam RKP dan Renja K/L. Penyusunan Renja K/L dilakukan dengan berpedoman pada surat yang disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menkeu mengenai pagu indikatif. Renja K/L disusun berdasarkan pendekatan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu yang memuat kebijakan, program dan kegiatan. Beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya kegiatan Pertemuan Tiga Pihak ini adalah: 1) meningkatkan koordinasi dan kesepahaman antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan K/L terkait dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan belanja;
11
2) menjaga konsistensi
kebijakan
yang
ada dalam dokumen
perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL; 3) mendapatkan komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan terhadap Rancangan Awal RKP. Pelaksanaan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting) dilakukan melalui proses/mekanisme sebagai berikut:
Gambar 1.2. Mekanisme Pertemuan Tiga Pihak Kegiatan yang dilakukan dalam Pertemuan Tiga Pihak meliputi tahapan sebagai berikut: 1) mengacu pada Rancangan Awal RKP, Kementerian PPN/Bappenas menyampaikan Sasaran Prioritas Pembangunan Nasional dan
12
Kegiatan Prioritas dengan target sasaran dan pendanaannya termasuk Inisiatif Baru yang disetujui; 2) Kementerian Keuangan menyampaikan kebijakan anggaran yang meliputi kebijakan di bidang belanja negara, kelompok biaya, jenis belanja, dan satuan biaya. Di samping itu, Kementerian Keuangan juga memberikan masukan atas kepatutan penggunaan anggaran dan pelaksanaan efisiensi yang dapat dilakukan oleh K/L; 3) K/L menyampaikan arah kebijakan, rencana program dan kegiatan prioritas yang merupakan penjabaran dari Renstra K/L. Dalam
pelaksanaan
Trilateral
Meeting
diharapkan
menghasilkan suatu dokumen kesepakatan yang bersifat mengikat 3 (tiga) pihak dan berisikan butir-butir kesepakatan. Apabila terdapat ketidaksepakatan antara 3 (tiga) pihak, maka dapat diambil alternatif tindakan sebagai berikut: 1) Alternatif pertama Butir-butir ketidaksepakatan dibahas kembali bersama-sama dengan memperhatikan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat; 2) Alternatif kedua Butir-butir ketidaksepakatan dijadikan catatan pembahasan dalam dokumen kesepakatan Pertemuan Tiga Pihak dan tidak perlu untuk diputuskan dalam forum ini. Apabila dirasakan sangat perlu untuk mendapatkan putusan atas perbedaan yang ada, maka dapat dilakukan alternatif berikutnya; 3) Alternatif ketiga Butir-butir ketidaksepakatan yang dianggap perlu dan penting untuk diputuskan dapat dibawa dan diputuskan di tingkat yang lebih tinggi (eselon I). Namun demikian, dalam hal ini perlu memperhatikan
keterbatasan
menyusun Renja K/L. 13
waktu
yang
tersedia
untuk
B. Permasalahan
Perencanaan
dan
Penganggaran
Kementerian/
Lembaga Keterpaduan antara perencanaan dan penganganggaran merupakan isu penting dalam konteks pencapaian tujuan pembangunan nasional. Terkait hal itu, beberapa permasalahan mendasar yang dapat diidentifikasi antara lain adalah: 1. belum tercapainya sinergitas program pembangunan antara berbagai K/L untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran nasional serta penjabarannya dalam unit eselon I dalam rangka mendukung pencapaian sasaran K/L maupun nasional. Mencermati susunan dokumen perencanaan mulai dari RPJP, RPJMN, Renstra, RKP, Renja K/L sampai dengan tersusunnya RKA-KL sesungguhnya merupakan sebuah rangkaian yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antar dokumen perencanaan dari yang paling makro sampai mikro merupakan kesatupaduan yang juga harus dilaksanakan secara terpadu oleh setiap tingkatan pemerintahan baik pusat maupun daerah. Khusus di tingkat Pusat, sinergitas program pembangunan antar K/L menjadi poin penting yang harus diperhatikan dalam menjamin adanya keterkaitan antara program yang dijalankan pada satu kementerian dengan yang lainnya. Sinergitas pelaksanaan program pembangunan yang terjaga dengan baik akan dapat mengurangi terjadinya overlapping antar K/L. Tumpang tindih pelaksanaan program sudah sering terjadi dan cenderung sulit dihindari, karena masing-masing pihak mengklaim bahwa urusan yang dilaksanakan memang menjadi kewenangannya. Hal lain yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih tersebut karena kedudukan Menteri PPN/Kepala Bappenas yang setara dengan K/L lainnya sehingga tidak dapat menegur apabila terjadi hal-hal sebagaimana tersebut.
14
Di sisi lain, Kementerian PPN/Bappenas sebagai koordinator dalam pelaksanaan program pun tidak berjalan optimal, karena kewenangan anggaran tidak lagi berada di bawah pengendalian Bappenas namun di bawah Ditjen Anggaran. Selain itu, kegiatan trilateral meeting yang dilaksanakan dalam rangka penyusunan Renja K/L yang pada gilirannya akan melahirkan RKA-KL dinilai belum mampu menunjukkan hasil yang sesuai harapan. Proses trilateral meeting dinilai hanya sarana normatif guna memenuhi peraturan perundangan, sementara dampaknya belum terlihat dalam penataan program, kegiatan dan anggaran K/L. 2. belum konsistennya perencanaan program dan penganggaran pada setiap tahunnya. Terjadinya inkonsistensi program dan anggaran diidentifikasi bahwa tidak semua program/kegiatan yang tertuang dalam Renja K/L dapat dibiayai sepenuhnya. Hal ini disebabkan dokumen Renstra dan dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras. Mengutip pendapat Dian P.N. Simatupang (2014), penyebab munculnya beberapa permasalahan tersebut disebabkan adanya illstructured problems, yaitu suatu kondisi atau keadaan dimana peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan melahirkan masalah yang begitu luas, begitu banyak jumlahnya, dan tidak teridentifikasi. Dalam konteks perencanaan dan penganggaran, kondisi ill-structured problems tersebut menyebabkan beberapa hal berikut : (1) tujuan bernegara yang belum dipahami sebagai tujuan keuangan negara; (2) perencanaan yang tidak sinkron dengan penganggaran; serta (3) latar belakang pengambilan keputusan atas perencanaan dan penganggaran yang termuat dalam Undang-Undang tentang APBN, kurang memiliki latar belakang rasionalitas yang
dapat
dipertanggungjawabkan
legitimasinya.
Konsekuensinya,
pemerintah mengalami kerumitan dalam mewujudkan tujuan bernegara, karena implementasi pembangunan tidak berjalan sesuai dengan
15
perencanaannya, atau setidaknya penganggaran kurang dilandasi dengan rasionalitas perencanaan yang kuat. Padahal, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan tujuan penganggaran adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
C. Metode Kajian Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif, yang menggambarkan permasalahan
adanya
disintegrasi
dalam
sistem
perencanaan
dan
penganggaran. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan cara mencermati studi terdahulu, studi benchmarking, dan focussed group discussion (FGD). Selanjutnya, dilakukan validasi draft hasil kajian dengan narasumber di daerah dan perguruan tinggi. Narasumber kajian ini adalah para pakar dan praktisi yang memiliki keilmuan serta keahlian terkait perencanaan dan penganggaran. Dari kalangan pakar, narasumber kajian ini berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Udayana, dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan, narasumber praktisi kajian ini berasal dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM, serta beberapa K/L lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan menyeleksi data berdasarkan permasalahan atau isu yang diangkat. Analisis data dilakukan dengan menggabungkan 2 (dua) metode, yaitu : (1) analisis isi (content analysis) dan (2) analisis data sekunder (secondary data analysis). Seluruh data yang terkumpul dan dinilai layak, kemudian dielaborasi untuk merumuskan pengertian, ruang lingkup, dan permasalahan yang berkembang, serta pokokpokok solusi yang dapat diajukan dalam kajian ini.
16
BAB II KONSEP PENATAAN SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN A. Perspektif Konsep Ideal Perencanaan Secara konseptual, Mintzberg mendefinisikan perencanaan sebagai pemikiran tentang masa depan, pengendalian masa depan, pengambilan keputusan, dan integrasi pengambilan keputusan (1994: 7-9). Terkait definisi perencanaan sebagai pemikiran tentang masa depan, Bolan (1974) sebagaimana
dikutip
Mintzberg
menyatakan
bahwa
perencanaan
menunjukkan tentang berpikir masa depan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sawyer (1983) yang menyatakan bahwa perencanaan adalah tindakan yang ditata di awal. Newman (1951), menyatakan bahwa hampir semua pekerjaan, agar dapat dilakukan sepenuhnya dengan baik, harus direncanakan, setidaknya secara informal dan dilakukan beberapa menit sebelumnya. Dalam hal pengendalian masa depan, Weick (1979), sebagaimana dikutip Mintzberg (1994), perencanaan adalah desain masa depan yang diinginkan dan cara efektif untuk melaksanakan hal tersebut. Sejalan dengan hal itu, Ackoff (1970) berpendapat bahwa orang lain mengekspresikan beberapa pemikiran ketika mereka mendefinisikan tujuan perencanaan sebagai “menciptakan perubahan yang terkendali dalam lingkungan”. Terkait dengan proses pengambilan keputusan, Koontz (1958), sebagaimana dikutip Mintzberg (1994: 8), menyatakan bahwa perencanaan sebagai penentuan secara sadar tindakan yang dirancang untuk mencapai tujuan. Menurut Koontz, segala sesuatu dimulai dengan perencanaan, kemudian memutuskan.
17
Perencanaan
merupakan
integrasi
pengambilan
keputusan,
sebagaimana disampaikan Ackoff (1970) dalam Mintzberg (1994:9) sebagai berikut: “Planning is required when the future state that we desire involves a set of interdependent decisions; that is, a system of decisions…the principal complecity in planning deries from the interrelated-ness of the decisions rather than from the decisions themselves”. Perencanaan diperlukan jika keadaan masa depan yang kita inginkan melibatkan 1 (satu) set keputusan yang saling keterkaitan, yaitu, sistem keputusan .... kompleksitas utama dalam perencanaan berasal dari keterkaitan keputusan bukan dari keputusan itu sendiri. Jelas sekali bahwa perencanaan berkaitan dengan berbagai keputusan yang saling terintegrasi antara satu dengan yang lain. Dalam konteks perencanaan, perencanaan pembangunan dimaknai sebagai pemrograman suatu strategi pemerintahan dalam pembangunan nasional dengan menggunakan sistem intervensi dan mekanisme pasar (Myrdal, dalam Bappenas 2010). Sedangkan, menurut Kartasasmita (Bappenas, 2010) perencanaan pembangunan diartikan sebagai pendekatan manajemen stratejik secara lebih eksplisit dalam menyusun rencana pembangunan, dengan menggunakan konsep visi, misi dan agenda, serta instrumen kebijakan dalam berbagai stratifikasi. Rumusan perencanaan pembangunan diperkaya dengan perencanaan di bidang politik dan hukum serta diperkuat dengan menempatkannya sebagai bidang pembangunan tersendiri. Sedangkan pemikiran
pembangunan perekonomian
berdasarkan
ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan masyarakat.
18
pada paradigma
B. Perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) Permasalahan
disharmonisasi
perencanaan
dan
penganggaran
disebabkan oleh adanya ill-structured problems sebagaimana diuraikan di atas, sehingga perlu dibangun upaya untuk mewujudkan keterpaduan antara sistem perencanaan dan penganggaran dalam kerangka pembangunan nasional. Upaya dimaksud diwujudkan dalam bentuk penataan kembali atau reposisi terhadap perencanaan dan penganggaran pembangunan, baik secara perspektif sistem perencanaan maupun perspektif HAN. Reposisi tersebut meliputi: (1) reposisi sistem dan tindakan hukum (rechshandelingen) tugas dan fungsi instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran; (2) reposisi sistem dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antar-wewenang instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran; serta (3) reposisi sistem dan kedudukan hukum (rechstatus) kelembagaan instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran. Lebih lanjut mengenai masing-masing reposisi sebagaimana diuraikan sebagaimana berikut ini. 1. Pendekatan reposisi sistem dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antar wewenang instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran. Konsep reposisi hubungan antar wewenang dimaksudkan untuk tetap mempertahankan kelembagaan yang menangani tugas dan fungsi perencanaan dan penganggaran. Dalam konsep ini, yang perlu diubah atau diperbaiki adalah hubungan kerja antarlembaga yang selalu dibatasi dengan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan atau wewenang itu sendiri merupakan hak dan kekuasaan untuk bertindak; serta kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Dengan kata lain, pendekatan ini dapat disederhanakan: lembaga tetap seperti saat ini, serta fungsi dan tugas organisasi tetap, tetapi hubungan wewenang perlu diperbaiki.
19
Setiap organisasi memiliki kewenangan (authority) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Namun, terkadang timbul permasalahan pelaksanaan kewenangan dalam hubungan kerja dengan lembaga lain. Sebagai contoh, Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Kementerian Keuangan mempunyai kewenangan untuk merevisi usulan anggaran yang disampaikan K/L. Namun, timbul pertanyaan, apakah keputusan yang diambil tersebut sesuai dengan yang diharapkan? Demikian pula Bappenas yang memiliki kewenangan untuk mengoreksi program/kegiatan
yang
termuat
dalam
perencanaan
jangka
pendek/tahunan. Patut dipertanyakan, sejauhmana kewenangan tersebut dilaksanakan dalam hubungannya dengan instansi lain. Hal ini kiranya menarik untuk dikaji dalam rangka mewujudkan keterpaduan sistem perencanaan-penganggaran. 2. Pendekatan reposisi sistem dan tindakan hukum (rechshandelingen) tugas dan fungsi instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran. Pendekatan kedua, konsep reposisi tugas dan fungsi dimaksudkan untuk mempertahankan kelembagaan dan wewenang yang dimilikinya, namun perlu melakukan perubahan dalam hal tugas dan fungsinya (lembaga tetap, wewenang tetap, serta fungsi dan tugas berubah). Tugas adalah sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau pekerjaan yang dibebankan. Sedangkan tugas pokok adalah sasaran utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Adapun fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan. Dengan kata lain, pendekatan ini bermaksud meletakkan pekerjaan perencanaan dan penganggaran ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sebagai contoh, tugas perumusan perencanaan pembangunan nasional selama ini melekat pada setiap K/L/Daerah (K/L/D) dengan dipayungi oleh Bappenas sebagai 20
“penyelenggara perencanaan pembangunan nasional” dalam perencanaan pembangunan nasional, dari perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Oleh karenanya, dapat dikatakan instansi yang
memiliki
tugas
pokok
di
bidang
perumusan
perencanaan
pembangunan nasional di Indonesia adalah Bappenas. Sementara itu, tugas pokok pengelolaan keuangan negara anggaran melekat pada Kementerian Keuangan, yang dalam konteks anggaran adalah penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN). Persoalannya, bagaimanakah agar tugas dan fungsi tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Hal ini berhubungan erat dengan pendekatan
pertama
–--
hubungan
wewenang
antarlembaga
–--
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh: dalam penyusunan anggaran, sejauhmana Ditjen Anggaran Kemenkeu melakukan perumusan kebijakan terkait penyusunan anggaran. Penyusunan anggaran/RAPBN terkait dengan dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh Bappenas. Pertanyaannya, apakah memungkinkan Ditjen Anggaran Kemenkeu memperluas/mereposisi tugas dan fungsi tersebut? 3. Pendekatan
reposisi
sistem
dan
kedudukan
hukum
(rechstatus)
kelembagaan/instansi yang melaksanakan fungsi perencanaan
dan
penganggaran. Konsep reposisi kelembagaan/instansi disebut juga dengan restrukturisasi
kelembagaan,
artinya
terjadi
perubahan
terhadap
kelembagaan yang menangani fungsi perencanaan dan penganggaran. Penataan kelembagaan semacam ini dengan sendirinya akan mengubah hubungan wewenang antar lembaga dan tusi organisasinya. Berbagai rekomendasi penataan kelembagaan bidang perencanaan dan penganggaran telah disampaikan ke publik, yang terakhir adalah rekomendasi LAN (2014) agar fungsi perencanaan dan penganggaran dilaksanakan oleh Kantor Kepresidenan Urusan Perencanaan dan 21
Penganggaran. Posisi lembaga ini berada langsung di bawah kantor kepresidenan, sebagaimana yang telah berlaku di Amerika Serikat. C. Perspektif Akuntabilitas Akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Akuntabilitas berarti bahwa setiap program dan kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kinerja atau hasilnya kepada rakyat selaku pemegang kedaulatan. Dengan demikian, setiap program dan kegiatan pada setiap instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kinerja atau manfaat yang dihasilkan kepada masyarakat. Hal tersebut juga sejalan dengan penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yang mengamanatkan kinerja berorientasi pada hasil sebagai asas pengelolaan keuangan negara. UU No. 17 Tahun 2003 menegaskan pentingnya penggunaan anggaran sebagai alat akuntabilitas. Sejalan dengan hal itu, Undang-Undang ini juga menegaskan perlunya mengintegrasikan sistem akuntabilitas kinerja ke dalam sistem penganggaran, untuk menghindari terjadinya duplikasi laporan yang menimbulkan inefisiensi waktu dan biaya. Kebijakan lain yang selaras dengan hal tersebut adalah PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Pemerintah, sebagai turunan dari UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Peraturan Pemerintah tersebut mengamanatkan bahwa sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus terintegrasi dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan dan sistem akuntansi pemerintah. Menurut Direktorat Jenderal Anggaran, manajemen kinerja adalah suatu proses strategis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi melalui pengembangan kinerja aspek-aspek yang menunjang keberadaan suatu organisasi.
Pada
implementasinya, 22
manajemen
kinerja
tidak
hanya
berorientasi pada salah satu aspek, melainkan aspek-aspek terintegrasi dalam mendukung jalannya suatu organisasi. Saat ini belum ada keselarasan antara sistem perencanaan, sistem penganggaran, dan manajemen kinerja, baik dalam hal struktur dan kerangka logis kinerja, istilah dan definisi, jenis dan format formulir, penanggung jawab kinerja organisasi; dan aplikasi pengolahan data dan informasi kinerja. Tidak ada benang merah antara perencanaan kinerja dengan penganggaran, sehingga apa yang akan dicapai sering kali tidak sinkron dengan uang yang tersedia. Kondisi sebagaimana tersebut di atas memunculkan dua isu strategis, yaitu: 1. Laporan Kinerja Pemerintah Pusat dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) pada tingkat kementerian/lembaga belum berorientasi pada hasil/outcome, serta belum dapat menjawab target prioritas RPJMN karena tidak tersedia informasi hasil dalam Laporan Kinerja masing-masing K/L; 2. Banyak duplikasi pekerjaan bagi instansi pemerintah dalam menyusun dokumen perencanaan, penganggaran, monitoring dan evaluasi, serta pelaporan keuangan dan kinerja. Berangkat dari kondisi tersebut, perlu sebuah proses untuk menyeragamkan gerak langkah dalam mewujudkan sistem yang berorientasi pada hasil (outcome), peningkatan akuntabilitas kinerja instansi K/L, dan mengurangi duplikasi dalam penyusunan dokumen dan pelaporan sehingga diharapkan dapat menyederhanakan form dan laporan, menciptakan efisiensi, penganggaran dan pelaporan yang lebih mudah, serta data dan informasi yang terintegrasi.
Dengan
terlaksananya
hal-hal
tersebut,
kinerja
instansi
pemerintah yang selama ini belum berorientasi hasil dan belum terukur dapat berubah menjadi kinerja yang terukur. Ruang lingkup penyelarasan penganggaran dan manajemen kinerja adalah: 23
1. Kerangka pengintegrasian, arsitektur program, kegiatan dan informasi kinerja, kerangka kerja logis, istilah dan definisi; dan 2. Pengintegrasian dokumen dan data pelaporan, yang meliputi pada penyederhanaan dokumen perencanaan, format dokumen pelaporan dan evaluasi serta penanggung jawab kinerja pada tingkatan organisasi yang digunakan dalam sistem perencanaan dan manajemen kinerja. Pengintegrasian informasi dilakukan dengan melakukan penyelarasan informasi kinerja yang ada pada dokumen-dokumen dalam ketiga sistem tersebut sesuai dalam ilustrasi gambar di bawah ini.
Gambar 2.1. Perencanaan setelah Pengintegrasian Gambar tersebut menjelaskan sebagai berikut. 1. Dokumen Perencanaan Jangka Menengah: RPJM Nasional dan Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga (Renstra K/L); 2. Dokumen Perencanaan Tahunan : Rencana Kerja dan Keuangan K/L yang merupakan pengintegrasian dokumen tahunan yang ada yaitu: RKP, Rencana Kerja Tahunan (RKT), Renja K/L, RKA K/L, Penetapan Kinerja (PK) dan Daftar Isian Pagu Anggaran (DIPA); 24
3. Dokumen Pelaksanaan dan Monitoring dan Evaluasi (Monev) : Monev Akuntabilitas Kinerja, Monev Rencana Kerja Pembangunan dan Monev Rencana Kerja Anggaran. 4. Dokumen Pelaporan Pertanggungjawaban Tahunan : Laporan Kinerja Instansi, Laporan Kinerja Pemerintah, Laporan Pembangunan Nasional, Laporan Keuangan Instansi, Laporan Keuangan Pemerintah.
25
26
BAB III HASIL KAJIAN PENATAAN SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN A. Penelitian/Kajian Terdahulu Kajian integrasi perencanaan dan penganggaran sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru dalam konteks efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa penelitian/kajian terkait dengan persoalan dimaksud telah
dilakukan
oleh
berbagai
lembaga
baik
pemerintah
maupun
nonpemerintah, di antaranya: 1. Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah Pusat7 Kajian ini dilakukan oleh Pusat Kajian Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (PIKSA LAN) pada tahun anggaran 2013. Kajian berawal dari masalah postur kelembagaan pemerintah pusat saat ini yang bisa dikatakan masih belum mencerminkan kelembagaan yang tepat ukur (rightsize) sesuai dengan kebutuhan dan beban kerja organisasi. Keberadaaan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang sudah efektif dijalankan sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II masih belum bisa menghadirkan suatu potret kelembagaan Pusat yang tepat ukuran dan fungsi, efisien, dan efektif. Bahkan jumlah kelembagaan pemerintah mengalami penambahan secara signifikan, terutama untuk Lembaga Non Struktural (LNS). Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka arah penataan dalam mendesain kelembagaan pemerintah pusat, adalah sebagai berikut:
7
Hasil kajian dari Pusat Kajian Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (PIKSA LAN) pada tahun anggaran 2013 27
a) Kondisi
kelembagaan
pemerintah
pusat
belum
mencerminkan
kelembagaan yang tepat ukur (rightsize) sesuai dengan kebutuhan dan beban kerja organisasi yang ideal. Walupun dengan telah adanya UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang telah dijalankan sejak Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB ke II), tampak masih belum bisa menghadirkan suatu potret kelembagaan Pusat yang tepat ukuran dan fungsi, efisien, dan efektif. Hal ini terlihat dari pembesaran struktur, perubahan nomenklatur, banyaknya tumpang tindih dan duplikasi tugas dan fungsi, sampai pada pembentukan lembaga-lembaga baru yang cukup signifikan; b) Dalam menentukan desain kelembagaan pemerintah pusat yang mampu menjawab tantangan perubahan dan permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama yaitu mandat konstitusi, tantangan lingkungan strategis, pergeseran dalam wacana pengelolalaan
kepemerintahan
(governance
issues),
kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, dan penataan kelembagaan yang efektif dan efisien (machinery government) Berdasarkan hal tersebut, maka kajian desain kelembagaan pemerintah pusat ini memberikan arah penataan dengan menghasilkan rekomendasi terhadap arsitektur kabinet untuk pemerintahan periode 2014-2019, sebagai berikut : Tabel 3.1 Arsitektur Kabinet Untuk Pemerintahan Periode 2014-2019 Kementerian Kementerian Non Kantor Portofolio Portofolio (Meneg) Kepresidenan (Departemen) Absolut 16. Ketenagakerjaan 1. Setneg 1. Keuangan dan 2. Urusan 2. Hukum dan Imigrasi Transmigrasi Pembangunan (Kewarganegaraan) 17. Hak asasi Nasional: 28
Kementerian Portofolio (Departemen) 3. Pertahanan 4. Agama (kepercayaan) 5. Luar Negeri Skala Nasional 6. Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat (Sosial) 7. Pendidikan (dasar dan menengah), Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga 8. Pendidikan Tinggi, Ilmu pengetahuan dan teknologi
Kementerian Non Portofolio (Meneg)
Kantor Kepresidenan
manusia (Hak anak, Perempuan) 18. Komunikasi dan Informasi Perekonomian: 19. Industri dan perdagangan, koperasi dan UMKM 20. Pariwisata 21. BUMN 22. Dalam Negeri (administrasi Kependudukan dan catatan sipil)
Bappenas dan Anggaran 3. Urusan yang terkait penataan birokrasi: MenPAN dan RB, LAN, dan BKN 4. Urusan Pengawasan (BPKP dan UKP4) 5. Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Wantimpres dan DPOD)
Sumber daya alam: 9. Energi dan Sumber Daya Mineral 10. Pertanian (perkebunan, perikanan, peternakan) 11. Kehutanan dan Lingkungan Hidup 12. Maritim (kelautan) 13. Pertanahan Fasilitas pelayanan umum/infrastruktur: 14. Transportasi, 15. PekerjaanUmum & Pemukiman
29
Dari tabel di atas, pengintegrasian perencanaan dan penganggaran diletakkan pada Kantor Urusan Pembangunan Nasional: Bappenas dan Anggaran. Dari kegiatan tersebut, Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur (PIKSA) LAN kemudian melakukan seminar nasional “Arsitektur Kabinet 2014-2019: Meretas Jalan Pemerintahan Baru” dan mengajukan tiga opsi penataan kabinet pasca Pilpres 2014 yang meliputi opsi ideal, moderat, dan soft. Dari ketiga alternatif kabinet di atas, integrasi perencanaan dan penganggaran terlihat pada usul pembentukan Kantor Kepresidenan yaitu Kantor Urusan Pembangunan Nasional (Perencanaan dan Anggaran).
2. Kajian Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran 8 Kajian sinergitas perencanaan dan penganggaran merupakan kajian yang dilakukan oleh Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas. Metode yang digunakan kajian ini adalah Regulatory Impact Assesment (RIA), yaitu suatu metode yang menilai secara sistematis, komprehensif dan partisipatif dampak positif dan negatif adanya suatu kebijakan (regulasi atau non regulasi) maupun rancangan kebijakan yang akan ditetapkan. Permasalahan yang dibahas adalah : a. sinergitas antara perencanaan pembangunan dengan penganggaran nasional; b. sinergitas antara perencanaan pembangunan dengan penganggaran daerah; maupun c. sinergitas
antara
perencanaan
pembangunan
perencanaanpembangunan daerah
8
Hasil kajian dari Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas 30
nasional
dengan
Untuk mendapatkan tujuan yang diharapkan terkait dengan kajian ini, disusun 4 (empat) alternatif kebijakan, yaitu: a. Alternatif Kebijakan I : Do nothing (tidak melakukan apa-apa). b. Alternatif Kebijakan II : Konstruksi regulasi tetap seperti saat ini, tetapi perlu melakukan upaya peningkatan kualitas perencanaan pembangunan dan penganggaran. c. Alternatif Kebijakan III : Tata aturan regulasi tetap seperti saat ini, tetapi perlu melakukan harmonisasi dan perbaikan rumusan substansi peraturan. d. Alternatif Kebijakan IV : Simplifikasi Regulasi dengan menerbitkan satu Undang-Undang baru yang menjadi payung peraturan di bidang perencanaan pembangunan dan penganggaran.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat
permasalahan
sinergitas
perencanaan
pembangunan
dan
penganggaran pada ketiga level sebagaimana disampaikan di atas. Permasalahan yang telah diidentifikasi disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut: a. Legal Structure, meliputi : 1) Tata
cara
pelaksanaan
perencanaan
pembangunan
dan
penganggaran belum menjadi satu kesatuan yang sistemik serta diatur dalam banyak peraturan yang terpisah bahkan di antaranya ada yang bertentangan; 2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur pula perencanaan pembangunan dan penganggaran (di daerah). Sayangnya
pengaturan
perencanaan
pembangunan
dan
penganggaran pada UU No. 32 Tahun 2004 tersebut pada beberapa
31
ketentuannya bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004. 3) UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 menggunakan pendekatan perencanaan sektoral dan regional, sedangkan UU No. 32
Tahun
2004
menggunakan
pendekatan
kewenangan/
konkruensi. 4) Terdapat beberapa rumusan kalimat dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 yang menimbulkan interpretasi yang beragam (multi interprestasi) dan sulit dipahami oleh stakeholders. 5) Tidak ada muatan sanksi (administratif) bagi pihak-pihak yang tidak mengikuti Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. 6) Tidak ada peraturan yang lebih tinggi di atas Undang-Undang yang dapat
menjadi
perekat
perencanaan
pembangunan
dan
penganggaran dan yang dapat menyelesaikan pertentangan dan perbedaan
penafsiran
antar
Undang-Undang.
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, memiliki landasan hukum yang sangat lemah hanya diatur melalui Undang-Undang yang mudah berubah seiring dengan pergantian Presiden dan DPR. Demikian pula halnya dengan Rencana Kerja Pemerintah hanya diatur dengan Peraturan Presiden, padahal APBN diatur dengan Undang-Undang. 7) Kelembagaan terpisah.
penyusunan
Di
perencanaan
tingkat
pusat
pembangunan
PPN/Bappenas,
sedangkan
perencanaan fungsi nasional fungsi
dan
koordinasi ada
di
penganggaran penyusunan Kementerian
penganggaran
ada
di
Kementerian Keuangan. Apapun yang direncanakan, keputusan akhir ada di anggaran. Di tingkat Daerah, peran Kementerian Dalam Negeri dalam proses perencanaan pembangunan daerah dan 32
penganggaran
cukup
besar.
Keterlibatan
perencanaan
pembangunan dilakukan melalui Ditjen Bangda, sedangkan dalam penganggaran melalui Ditjen Keuangan Daerah. Namun antara Ditjen Bangda dan Ditjen Keuangan Daerah, belum ada koordinasi yang baik. 8) Tidak ada otoritas tunggal yang mengendalikan pelaksanaan perencanaan pembangunan dan penganggaran, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian belum maksimal dalam mengkoordinasikan (Kementerian
lembaga
PPN/Bappenas)
perencanaan dan
lembaga
pembangunan penganggaran
(Kementerian Keuangan). Berbeda dengan Amerika Serikat, di mana perencanaan pembangunan dan penganggaran ada pada satu lembaga yakni, Office of Management and Budget (OMB). b.
Legal Substance, meliputi : 1) Substansi perencanaan pembangunan dan penganggaran belum tajam mengarah pada upaya mencapai tujuan pembangunan. Di mana permasalahan utama yang muncul adalah tidak adanya prioritas yang jelas (prioritas pembangunan dalam dokumen perencanaan poembangunan sangat banyak dan tidak focus) serta program K/L yang tidak mengarah pada pencapaian program nasional. 2) Program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dapat berbeda dengan Program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Ada Program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tidak dimuat/dilaksanakan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. 3) Pelaporan (dan evaluasi) masih bersifat parsial dan belum dijadikan sebagai bahan penyusunan rencana. Kementerian/
33
Lembaga
yang
memberikan
laporan
kepada
Kementerian
PPN/Bappenas hanya sedikit. 4) Muncul dokumen perencanaan yang dianggap sebagai dokumen tandingan
seperti
Master
Plan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011- 2025, dan berbagai Rencana Aksi Nasional. 5) Perencanaan pembangunan, terutama jangka panjang, tidak mengakomodasi perubahan. Belum ada ruang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang maupun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah
untuk
mengubah
rencana
berdasarkan
kebutuhan dan perubahan lingkungan strategis. 6) Periodisasi pemilihan kepala daerah berbeda/tidak bersamaan antar daerah sehingga periodesasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah menjadi tidak bersamaan antar daerah yang menyebabkan pula berbedanya substansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. 7) Produk Kementerian PPN/Bappenas yang mendukung Produk Utama Kementerian PPN/Bappenas (RPJPN, RPJMN, dan RKP) kurang memadai. c. Legal Culture, meliputi : 1) Terdapatnya ego kelembagaan dan lemahnya koordinasi internal lembaga pemerintah. Koordinasi Kementerian PPN/Bappenas dengan Kementerian Keuangan yang belum terlaksana dengan baik. Bahkan koordinasi Ditjen Bangda (Perencanaan) dan Ditjen Keuangan Daerah (APBD) yang berada dalam satu lembaga (Kementerian Dalam Negeri) belum terlaksana dengan baik.
34
2) Kepentingan Politik DPR (Legislative Heavy), dimana saat ini DPR turut berperan menentukan kebijakan teknis dan operasional, seperti turut menentukan kegiatan dan costing. 3) Masih rendahnya SDM perencana baik di tingkat pusat maupun daerah yang menyebabkan kualitas perencanaan pembangunan dan penganggaran tidak memadai dalam mencapai tujuan pembangunan. 4) Pola komunikasi Kementerian PPN/Bappenas dengan Presiden, Kementerian/Lembaga, dan masyarakat yang belum efektif. Akibat
yang
ditimbulkan
dengan
tidak
adanya
sinergitas
perencanaan pembangunan dan penganggaran tersebut berdampak pada a. tidak efektifnya perencanaan pembangunan dalam mencapai tujuan Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945; dan b. tidak efesiennya belanja Negara. Sebagai contoh bukti nyata dampak sebagaimana tersebut di atas tercermin dalam hasil penelitian Rini Octaviani9 yang memetakan konsistensi perencanaan dan penganggaran Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Solok Selatan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: a. hanya 50 % Program RPJMD yang sinkron dengan RPJPD; b. hanya 75% Renstra Dinas Pendidikan yang sinkron dengan RPJMD; c. hanya 60% APBD sinkron dengan Renja Dinas Pendidikan bidang Pendidikan Dasar; dan d. hanya 25% APBD sinkron dengan Renja Dinas Pendidikan bidang Pendidikan Menengah. Rini Octaviani, Analisa Konsistensi Perencanaan dan Penganggaran Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Solok Selatan, Universitas Andalas, 2008. 9
35
Analisis biaya manfaat kemudian diterapkan untuk mendapatkan alternatif terbaik dari alternatif kebijakan yang ada. Opsi yang diambil adalah alternatif kebijakan yang mempunyai manfaat terbesar, yaitu menghitung semua manfaat dikurangi semua biaya. Kesimpulan dari kajian ini adalah dari berbagai alternatif kebijakan yang ada, alternatif yang terpilih adalah alternatif II, yaitu “konstruksi regulasi tetap saat ini, tetapi perlu melakukan upaya peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran”. 3. Kajian Integrasi dan Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Bidang Pekerjaan
Umum
Berbasis
SAKIP
dengan
Reformasi
Sistem
Perencanaan dan Penganggaran.10 Kajian yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum ini berusaha mengetahui apakah proses perencanaan pembangunan di bidang Pekerjaan Umum yang selama ini dilakukan telah sejalan dengan kebijakan reformasi sistem perencanaan dan penganggaran yang dilakukan pemerintah. Pada periode 2000-2004 sistem perencanaan pembangunan diterapkan berdasarkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No. 07 Tahun 2009. Sistem perencanaan tersebut mewajibkan instansi pemerintah untuk menerapkan penyusunan Rencana Strategis (Renstra) dan evaluasinya berupa Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) secara berjenjang sampai dengan Tingkat Eselon II. Hal yang perlu diperhatikan dalam sistem ini adalah ketentuan tersebut belum mengatur mengenai komponen sistem dan materi substansial dari kedua pedoman tersebut secara berjenjang sesuai dengan
10
Hasil kajian dari Kementerian Pekerjaan Umum 36
tahapan perencanaan baik perencanaan jangka panjang (20 tahun) maupun perencanaan jangka menengah 5 (lima) tahunan. Ketentuan tersebut juga belum menggambarkan keterkaitan yang jelas dengan sistem perencanaan dan penganggaran berdasarkan dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Implikasinya adalah sulit untuk mengukur akuntabilitas kinerja dan hasil pembangunan dalam rangka pencapaian sasaran nasional maupun kementerian. Pengukuran kinerja berbasis program juga masih sulit diukur sehingga akuntabilitas dan efisiensi penggunaan anggaran belum terlihat. Pada periode 2004-2009 sistem perencanaan dan penganggaran mengalami reformasi dengan ditetapkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kedua peraturan perundang-undangan
tersebut
melandasi
sistem perencanaan
dan
pemrograman namun mempunyai landasan filosofi yang berbeda sehingga diperlukan keselarasan dokumen perencanaan dan penganggaran yang diturunkan dari kedua undang-undang tersebut beserta turunannya yaitu: Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun
2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga, serta Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan dan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Hal yang perlu diperhatikan dari sistem ini adalah masih belum dapat diterapkan sepenuhnya pengintegrasian program yang bersifat lintas K/L untuk pencapaian prioritas pembangunan nasional maupun sasaran nasional serta penjabaran program Eselon I dalam mendukung pencapaian sasaran kementerian maupun nasional. Permasalahan lainnya adalah belum konsistennya pemrograman dan penganggaran setiap tahunnya melalui Konsultasi Regional (Konreg) karena dokumen Renstra dan 37
dokumen penganggaran belum sepenuhnya selaras serta belum dapat dilakukan sinkronisasi program. Dalam rangka menjamin konsistensi tersebut, maka penyusunan perencanaan harus memperhatikan arahan di dalam UU No. 17 Tahun 2003
tentang
Keuangan
Negara
berkenaan
dengan
penerapan
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), Berjangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan amanat tersebut menegaskan agar penyusunan strategi pembangunan nasional juga memperhitungkan kerangka pendanaan, merupakan wujud dari salah satu tujuan UU No. 25 Tahun 2004 menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Ke depan, anggaran Negara baik pusat maupun daerah menjadi anggaran berbasis kinerja, yaitu anggaran yang dihitung dan disusun berdasarkan perencanaan kinerja. Untuk itu diperlukan kajian kinerja penyelenggaraan pengembangan menyiapkan
pembangunan
bidang
SAKIP berbasis materi
pekerjaan
umum
melalui
arsitektur program, dalam upaya
pengembangan
perencanaan
dan
program
pembangunan bidang pekerjaan umum. Untuk mendukung pelaksanaan upaya-upaya tersebut, Menneg PPN/Kepala Bappenas dengan Menkeu menyusun buku pedoman sebagai acuan dalam penerapan reformasi perencanaan dan penganggaran bagi seluruh K/L, yang tertuang dalam Surat Edaran Bersama Menneg PPN/Ka Bappenas (0142/M.PPN/06/2009) dan Menkeu (SE 1848/MK/2009) tanggal 19 Juni 2009 tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran, yang terdiri atas : a. Pedoman Restrukturisasi Program dan Kegiatan b. Pedoman Penerapan Pengangaran Berbasis Kinerja (PBK)
38
Hasil kajian ini adalah: a. Prinsip dasar integrasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan bidang pekerjaan umum berbasis sistem AKIP dengan reformasi sistem perencanaan dan penganggaran meliputi : 1) Penerapan kerangka disiplin fiskal jangka menengah : Resources Envelope; 2) Penerapan kerangka alokasi pada prioritas : Restrukturisasi Program dan Kegiatan; 3) Penerapan kerangka efisiensi teknis pelaksanaan. b. Materi muatan (implementasi) perencanaan pembangunan bidang pekerjaan umum berbasis sistem AKIP dengan reformasi sistem perencanaan dan penganggaran diwujudkan dalam semua dokumen perencanaan pembangunan Kementerian Pekerjaan Umum, yang meliputi : 1) Dokumen Rencana Strategi (Renstra). dengan jangka waktu perencanaan 5 tahun; 2) Dokumen
Rencana
Kerja
(Renja)
dengan
jangka
waktu
perencanaan 1 tahun; 3) Dokumen Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), dengan jangka waktu perencanaan 1 tahun; 4) Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP); dan 5) Laporan Keuangan.
4. Kajian Sewindu Implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dalam Perspektif Stakeholders.11 Kajian ini merupakan kajian Bappenas yang bertujuan untuk mendapatkan informasi perspektif kementerian/lembaga dan Bappeda 11
Hasil kajian dari Bappenas 39
mengenai pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2004 dan untuk mengetahui kendala pelaksanaannya serta mendapatkan saran dan solusi atas permasalahan yang ada. Sembilan tahun sejak ditetapkannya UU No. 25 Tahun 2004, ternyata masih terdapat banyak permasalahan. Undang-undang yang diharapkan dapat menjadi pedoman dalam penyusunan perencanaan di tingkat
pusat dan daerah ternyata masih menghadapi
berbagai
permasalahan dan tantangan yang antara lain dapat kita bagi dari sisi terpisahnya proses perencanaan dan penganggaran, permasalahan proses perencanaan di antar kementerian/lembaga dan permasalahan proses perencanaan di pusat dan di daerah. a. Permasalahan dari segi perencanaan dan penganggaran Permasalahan utama dalam perencanaan adalah terpisahnya antara perencanaan dan penganggaran. Dalam Pasal 8 poin a, b, c UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas untuk menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN dan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran. Pasal 12 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Penyusunan Rancangan APBN yang disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara, berpedoman kepada RKP dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003, fungsi perencanaan cenderung dihilangkan. Setahun kemudian, UU No. 25 Tahun 2004 berupaya mendorong fungsi perencanaan. Dari sini terlihat bahwa undang-undang perencanaan dan penganggaran yang ditetapkan terpisah dan saling mengisolasi (Jón R.
40
Blöndal, Ian Hawkesworth and Hyun-Deok Choi, “Budgeting in Indonesia”, OECD 2009). b. Permasalahan perencanaan di Kementerian/Lembaga Permasalahan yang dihadapi K/L dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan antara lain disebabkan oleh peraturan pelaksana dari UU No. 25 Tahun 2004 yang kurang jelas. Turunan UU No. 25 Tahun 2004 adalah PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Rencana Penyusunan Pembangunan Nasional. Berikut ini adalah beberapa permasalahan yang terjadi dalam proses perencanaan di K/L: 1) Dalam
forum
Musrenbangnas,
dengan
terbatasnya
waktu,
kemungkinan yang bisa disinkronkan adalah rencana kerja yang levelnya di bawah RKP/RKPD yaitu Renja Kementerian/Lembaga dengan Renja SKPD walaupun hal ini juga mengalami kendala. Praktek dalam pelaksanaan Musrenbang yang sering dialami oleh Kementerian/Lembaga adalah, materi
yang
dibahas
bukan
mengenai RKP dan RKPD namun cenderung kepada kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan yang dirancang K/L yang disandingkan dengan kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan yang diusulkan oleh daerah. 2) Permasalahan selanjutnya adalah tidak semua kegiatan prioritas nasional K/L masuk ke dalam daftar persandingan (long list) dan hanya masuk dalam short list. Seleksi short list dari long list hanya berdasar kegiatan prioritas nasional K/L yang mendapatkan alokasi anggaran besar saja yang masuk short list. c. Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh K/L adalah kualitas Renja K/L yang dihasilkan tidak maksimal. Kualitas penyusunan Renja K/L 41
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: terbatasnya waktu dalam penyusunan Renja K/L, aplikasi Renja K/L yang berubah setiap tahun serta keterbatasan waktu sejak masuknya Renja K/L ke Bappenas ke penyelenggaraan Musrenbangnas padahal materi yang disiapkan Bappenas bersumber dari Renja K/L yang kualitasnya kurang baik. Beberapa usulan mengenai perencanaan pembangunan untuk kedepannya
seharusnya
lebih
difokuskan
pada
pendekatan
kewilayahan. Diharapkan melalui pendekatan kewilayahan, ego sektoral cenderung berkurang dan memberikan peluang lebih besar dalam proses ‘bottom up planning’. c. Permasalahan Perencanaan di Pusat dan di Daerah Permasalahan juga ditemukan dalam sinkronisasi antara perencanaan pembangunan di pusat dan di daerah. Banyak ketidakselarasan siklus perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah yang menyulitkan tercapainya sinergi pembangunan lintas sektor, antar ruang, antar waktu, maupun antara pusat dan daerah. Dalam uraian Bab IV tentang Analisis Hasil Survey dan FGD kajian ini, dapat disimpulkan bahwa UU No. 25 Tahun 2004 belum mencapai tujuan dari SPPN sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 ayat (4) yaitu: “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan 42
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Koordinasi antar pelaku pembangunan belum berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan kurangnya peran Bappenas dan Bappeda dalam mengkoordinasikan perencanaan pembangunan. Integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah juga belum tercipta, salah satunya dikarenakan adanya disharmoni, inkonsistensi dan
pertentangan
antar
peraturan
perundang-undangan.
Ada
ketentuan yang saling bertentangan (ada konflik norma), tidak konsisten, dan tidak dapat dijalankan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain. Dikarenakan peran Bappenas dan Bappeda yang hanya dapat mengawal pada tahap perencanaan saja, maka SPPN juga dinilai belum dapat menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Oleh karena itu dengan perencanaan dokumen perencanaan pembangunan yang kurang optimal, pelaksanaan SPPN berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 dinilai belum dapat menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Ketidaktercapaian
tujuan
SPPN
tersebut
kemudian
terakumulasi dan menjadikan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2004 menurut perspektif stakeholders dinilai kurang dapat dilaksanakan dan dijalankan secara efektif dan efisien. Sehingga dengan demikian perlu adanya beberapa perbaikan dan pembenahan mekanisme serta penambahan aturan pelaksanaan dari UU No. 25 Tahun 2004 untuk dapat memperjelas dan mengoptimalkan UU No. 25 Tahun 2004 dalam mendukung pelaksanaan SPPN.
43
Kajian ini mengusulkan beberapa saran sebagai berikut: a. perlu dilakukan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil survey dan FGD, ada disharmoni, inkonsistensi dan pertentangan antar peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perencanaan Pembangunan Nasional. b. perlu pembuatan aturan pelaksana baru dari UU No. 25 Tahun 2004 dan memperkuat aturan pelaksana yang sudah ada. c. perlu penguatan SDM Perencana dan kelembagaan instansi diklat perencanaan. d. perlu untuk memperkuat peranan Bappenas dan Bappeda. 5. Kajian Penerapan dan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja 12 Kajian ini dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Anggaran. Tujuan kajian ini adalah untuk menilai kontribusi penerapan anggaran
berbasis
kinerja
bagi
kesejahteraan
rakyat
Indonesia,
mengidentifikasikan faktor-faktor pendorong dan penghambat efektifnya pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, dan menyusun implementasi anggaran berbasis kinerja yang tepat, cepat, dan transparantif yang mengarah pada transparansi good governance. Berdasarkan kajian ini disimpulkan hal-hal sebagai berikut: a. Menerapkan penganggaran berbasis kinerja memang tidak semudah membalik telapak tangan, karena butuh proses dan upaya serius dari berbagai pihak terkait, khususnya kementerian/lembaga dan otoritas anggaran. Sebagai hal yang baru diterapkan di K/L, sangat wajar kalau masih ada kelemahan. Yang penting adalah upaya untuk terus berbenah agar penganggaran berbasis kinerja tidak melenceng dari filosofi dan tujuannya; b. Reformasi dalam pengelolaan anggaran negara memang membutuhkan dukungan sistem penganggaran yang lebih responsive. Dengan 12
Hasil kajian dari Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Anggaran 44
demikian bisa memfasilitasi tuntutan peningkatan kinerja, dalam artian dampak pembangunan, kualitas layanan dan efisiensi pemanfaatan sumber daya. Beberapa paradigma baru mengenai pengelolaan keuangan
negara
telah
terlontar,
seperti
konsepsi
kerangka
penganggaran jangka menengah. Beberapa rekomendasi yang diberikan oleh kajian tersebut antara lain: a. Terkait dengan perencanaan kinerja, Bappenas, Departemen Keuangan dan K/L perlu merestrukturisasi dan memetakan penamaan program dan kegiatan dalam RKP, Renja dan RKA-KL sehingga pendefinisian program lebih mencerminkan outcome pemerintah yang dapat dinikmati masyarakat dan berisi program-program yang menjadi core business masing-masing K/L. Keterkaitan antara output kegiatan dan outcome program harus tergambar
dengan jelas. Oleh karena itu,
Bappenas bersama-sama dengan K/L perlu menyiapkan tolok ukur kinerja untuk setiap instansi pemerintahan yang menjadi ukuran keberhasilan instansi tersebut; b. Dalam
mendukung
proses
penyusunan
anggaran,
Departemen
Keuangan perlu menyusun standar biaya umum yang lebih berorientasi ke output/outcome. Masing-masing instansi juga didorong untuk menyusun Harga Standar Biaya Khusus per kegiatan dan program. Penyusunan
standar
biaya
tersebut
dilakukan
dengan
suatu
studi/penelitian selama beberapa tahun atau menggunakan benchmark yang cocok; c. Sedangkan dalam melakukan pembahasan dan alokasi anggaran, DPR mempergunakan data kinerja sebagai acuan. Untuk itu, data perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) semestinya juga disampaikan kepada DPR agar menjadi referensi dalam pembahasan anggaran. 45
d. Selanjutnya, format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN) perlu disempurnakan. Departemen Keuangan perlu menyederhanakan formulir RKA-KL agar tidak perlu detil sampai dengan sub kegiatan tetapi cukup sampai dengan program dan kegiatan saja dan difokuskan pada hal-hal strategis yang merupakan layanan instansi pemerintah kepada masyarakatnya. Format dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) perlu diatur ulang agar tidak sampai rinci ke pengendalian input (ke mata anggaran pengeluaran), tetapi lebih fokus ke pengendalian atas kinerja yang dihasilkan
(output) dan
manfaat
yang
dapat
dinikmati
oleh
masyarakat/stakeholders (outcome). Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa penganggaran kinerja tidak boleh berhenti hanya sampai penyusunannya, namun harus diatur mekanisme pelaporannya agar dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Untuk itu, Departemen Keuangan bersama-sama dengan Bappenas, LAN, dan Menpan juga perlu mendisain pelaporan realisasi anggaran berbasis kinerja yang mengintegrasikan laporan kinerja dan anggaran, seperti yang dilakukan Australia dengan Annual Report-nya. B. Studi Banding (Benchmarking) Harrington & Harrington (1996) mendefinisikan benchmarking sebagai berikut "benchmarking is a continuous process of comparison, projection, and implementation". Dalam pengertian tersebut sangat ditekankan adanya proses yang terus menerus berkesinambungan dalam hal membandingkan, membuat proyeksi dan juga dalam pelaksanaan program. Sementara McNair & Leibfried (1992) mendefinisikan “benchmarking is an external focus on internal activities, fungtions
or
options
in
order
to achieve
continuous
improvement".
Benchmarking lebih ditekankan kepada pengamatan ekternal untuk melihat kegiatan/program, fungsi-fungsi maupun operasional dalam organisasi sendiri dalam rangka peningkatan atau keberhasilan yang berkesinambungan. 46
Benchmarking sering dinamakan dengan ”patok duga praktik terbaik” atau ”patok duga proses” yaitu suatu proses yang digunakan dalam manajemen (terutama manajemen strategis), dimana organisasi mengevaluasi berbagai aspek proses bisnis untuk menghasilkan praktik terbaik di dalam industri, dengan membuat perbandingan sistematik kinerja dan proses organisasi untuk menghasilkan standar baru atau penyempurnaan proses. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa benchmarking adalah suatu cara yang sistematik dan berkesinambungan untuk dapat mengidentifikasi produkproduk unggulan, pelayanan yang prima, proses yang efisien dan efektif, sistem operasi organisasi yang tepat dan dapat dilaksanakan, dalam rangka menekan biaya, memperpendek siklus produksi, serta dapat meningkatkan kepuasan pelanggan. Untuk melihat praktik perencanaan dan penganggaran di dunia, dalam laporan ini disampaikan deskripsi sistem perencanaan dan penganggaran di negara Amerika Serikat, Belanda, dan Singapura, sebagaimana diuraikan berikut ini. 1.
Amerika Serikat Peran perencanaan dan penganggaran di Amerika dilakukan oleh sebuah lembaga yaitu Office Management Budgeting (OMB) atau Kantor Manajemen Penganggaran. OMB adalah kantor anggaran pusat di Amerika Serikat dan merupakan badan pemerintahan yang sangat kuat. OMB merupakan bagian dari Kantor Eksekutif Presiden dalam Gedung Putih. Direktur OMB adalah setingkat menteri dan anggota Presiden Kabinet. Di samping fungsi penganggaran sebagai intinya, OMB juga memiliki peran penting untuk dalam mengawasi koordinasi dan pengelolaan untuk seluruh cabang eksekutif Presiden. Ini berasal dari fakta bahwa OMB merupakan pengubung yang kuat kepada semua kementerian dan lembaga yang berbeda yang memberikan sebuah kewenangan yang unik untuk mengawasi badan-badan lain. OMB juga merupakan pusat clearing 47
house untuk semua komunikasi antara cabang eksekutif dan Kongres. Semua undang-undang dan masukan lain untuk Kongres harus mendapat “cleared” oleh OMB. Berikut adalah gambaran peran OMB dalam proses perencanaan dan penganggaran. a. April : Bimbingan April. OMB mengeluarkan surat kepada departemen untuk membuat spesifikasi pendanaan secara umum dan mengajukan usulan program dan manajemen. b. Juni/Juli : pembahasan pada musim semi. OB menerbitkan panduan rinci OMB (Circular A-11) tentang informasi yang harus disertakan oleh badan-badan dalam pengajuan anggaran mereka. c. Juli/September
:
Departemen
menyusun
dan
menyampaikan
permintaan anggaran kepada OMB. d. Oktober/November : Pembahasan. OMB memutuskan total besaran anggaran yang akan diberikan kepada departemen. e. November/Desember : Proses Banding dari departemen. Dan pengambilan Keputusan akhir oleh Presiden. f.
Desember/Januari : OMB dan departemen menyelesaikan dokumentasi anggaran.
g. Sebelum selasa pertama pada bulan Februari : Anggaran Presiden dikirimkan kepada Kongres. 2.
Belanda Kebijakan perencanaan dan penganggaran pembangunan di Belanda didasarkan pada coalition agreements. Aspek kebijakan anggaran melalui coalition agreements telah menjadi kunci dan terbukti sebagai alat yang sangat baik untuk kontrol keuangan publik. Dalam konteks model coalition agreements, ada dua lembaga yang mempunyai peran sebagai pangatur penting dalam perencanaan dan
48
penganggaran. Lembaga tersebut yaitu Central Planning Bureau (CPB) dan Ministry of Finance (Kementerian Keuangan). CPB memainkan peran dalam pengembangan kebijakan anggaran yang terkandung dalam coalition agreements. CPB adalah institusi sangat unik. Merupakan lembaga pemerintah, tapi benar-benar independen; dan mendapat kepercayaan dari semua partai politik dan masyarakat luas. Sebelum pemilu, CPB akan mengeluarkan perkiraan ekonomi untuk empat tahun mendatang. Semua partai politik menggunakan asumsi-asumsi ekonomi CPB sebagai dasar untuk kebijakan program partai mereka. Partai-partai politik yang lebih besar menyerahkan kebijakan program partai mereka ke CPB menjelang pemilu untuk biaya dan untuk menilai dampak ekonomi mereka. Kebijakan program partai ini umumnya sangat rinci. Meskipun tidak ada kewajiban hukum diberlakukan bagi partai politik, merupakan bagian dari budaya politik Belanda. Bahkan analisis oleh CPB sering mengklarifikasi program partai politik sebagai inkonsistensi atau kesalahan dalam program yang diusulkan. Sebagai prakiraan ekonomi CPB diambil sebagai "pemberian" dan fakta bahwa CPB telah menghitung biayanya dan menilai dampak ekonomi dari kebijakan program partai politik yang berbeda, Perjanjian negosiasi Koalisi berjalan lebih lancar daripada yang akan terjadi. Ketika kebijakan baru, atau kompromi kebijakan sedang dinegosiasikan, CPB akan menilai dampaknya juga berperan penting dalam proses perumusan anggaran. Perannya unik di antara anggota negara-negara OECD. Hal ini penting untuk mengurus independensi dan semua partai politik dan masyarakat luas. Ministry of Finance (Kementerian keuangan) memainkan peran dalam proses penganggaran tahunan. Peran yang dimainkannya antara lain merekap semua usulan policy letters dari semua kementerian yang berisi proposal kebijakan pengeluaran, memberikan saran kepada semua usulan kementerian berdasarkan total maksimal pembelanja negara pada 49
tahun anggaran yang akan berjalan. Kemudian kabinet melakukan coalition agreements menetapkan kebijakan pendapatan dan melakukan penyesuaian dari sisi rencana pengeluaran. Tahapan proses perencanaan penganggaran di Belanda adalah sebagaimana diuraikan berikut ini. a. Januari-Maret pengeluaran
:
Kementerian
Keuangan
multi-tahun. Kementerian
meng-update
proyeksi
mengkompilasi
proposal
kebijakan pengeluaran. Kementerian Keuangan dan kementerian pengeluaran terus melakukan kontak. b. Maret : setiap kementerian pengeluaran mengirim policy letters ke Departemen
Keuangan
menguraikan
proposal
baru
kebijakan
(pengeluaran). c. April : Kabinet bertemu untuk memutuskan kerangka anggaran. Departemen Keuangan mengirimkan Surat tentang Total pengeluaran maksimal kementerian menghabiskan untuk tahun mendatang. d. Mei-Juni : Negosiasi antara Kementerian Keuangan dan kementerian pengeluaran pada komposisi rinci anggaran mereka. e. Agustus : Kabinet bertemu untuk membuat keputusan tentang pendapatan dan membuat akhir penyesuaian pengeluaran anggaran. f.
Selasa ketiga September : Menteri Keuangan mempresentasikan anggaran ke DPR.
3.
Singapura Penganggaran di Singapura menggunakan system top-down sebagaimana negara-negara OECD lainnya, namun demikian sistem penganggaran Singapura menggabungkan berbagai fitur unik dan inovatif. Terdapat enam fitur unik dan inovatif dalam penyusunan anggaran Singapura yakni (1) Aturan fiskal yang terkandung dalam Konstitusi, (2) Pagu pengeluaran untuk kementerian ("blok") yang dibuat multi-tahun, terkait langsung dengan perkembangan PDB, dan sepenuhnya sepadan 50
dengan semua kategori pengeluaran, (3) Ekstraksi anggaran (pemotongan belanja) yang teraplikasi di semua aspek untuk mendanai realokasi antar kementerian, (4) Dana abadi di mana surplus anggaran ditempatkan, yang pada gilirannya mendanai berbagai barang yang berasal dari pendapatan investasi tahunan mereka, (5) Kontrol tenaga kerja yang terpusat (penghitungan per kepala) dan sistem biaya tambahan jika melebihi, dan (6) Alokasi underspending yang terus-menerus. Tidak ada lembaga khusus yang menangani perencanaan pembangunan. Untuk fungsi perencanaan pembangunan dilaksanakan oleh sebuah komite yang disebut Komite Perencanaan Pembangunan (DPC) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri, dan menteri-menteri sektoral. Sedangkan kementerian keuangan menangani penerimaan/pendapatan, kekayaan dan perbendaharaan negara. Siklus perencanaan dan penganggaran di Singapura, dapat digambarkan sebagai berikut : a. Juni : Tinjauan strategis tahunan, pertemuan bilateral dengan masingmasing kementerian. Perhitungan asumsi ekonomi. b. Juli : Pagu anggaran masing-masing kementerian ditetapkan. c. Agustus : Pertemuan whole-of-government/sectoral rapat gabungan dengan kelompok kementerian. d. September: Kementerian mengajukan tawaran Dana Reinvestasi mereka. e. Pertengahan Oktober: Kementerian menyerahkan alokasi plafon anggaran mereka. f.
Akhir Oktober: Keputusan mengenai tawaran Dana Reinvestasi diumumkan.
g. Akhir Oktober: Pertemuan ulasan anggaran: pertemuan bilateral dengan masing-masing kementerian. h. November: Kementerian memperbaiki alokasi akhir mereka. 51
i.
Desember: Finalisasi anggaran.
j.
Februari: Usulan anggaran yang diajukan ke Parlemen.
C. Pandangan Narasumber 1. Pandangan Ernest Patria Raihan13 Ernest Patria Raihan (2014) dari Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa permasalahan terkait sistem perencanaan dan penganggaran meliputi antara lain: a. Ketidakjelasan
proses
prioritisasi
dan
pengambilan
keputusan
kebijakan; b. Myopia syndrome dalam melihat konteks kebijakan belanja; c. Tidak jelasnya keterkaitan antara Prioritas Makro Pemerintah dengan Struktur Belanja dalam Kebijakan Pendanaan Anggaran (Macro-Micro Linkages); d. Pengaturan yang relatif detail, kebijakan belanja menjadi “kehilangan” aspek pendekatan strategisnya; e. Masih bersifat “Compliance Oriented” dan belum pada “Performance Oriented”; f.
Pendefinisian kinerja dalam kebijakan anggaran masih terkonsentrasi di level mikro, informasi kinerja kehilangan makna strategis, baik dari sisi analisis kebijakan dan terutama sebagai alat bantu pengambilan keputusan strategis;
g. Pendefinisian “output” dan “outcome” belum mencerminkan arsitektur “performance” yang tepat; h. Belum ada Kerangka Kinerja (performance framework) sehingga sulit untuk “memetakan” kinerja sinergis pemerintah; i.
Pemetaan kinerja antar K/L dan antar unit kerja masih belum tertata dengan jelas;
13
Salah satu pejabat struktural pada Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan 52
j.
Pemahaman prinsip Penganggaran Berbasis Kinerja yang masih lemah, sehingga kebijakan belanja tidak didukung informasi kinerja yang relevan. Berdasarkan
permasalahan
yang
diidentifikasikan
tersebut,
kemudian Ernest menyampaikan beberapa pemikiran upaya yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagaimana berikut ini. a. Mempertajam definisi kebijakan prioritas dalam perencanaan nasional. Sederhana, Lugas dan Memiliki Target yang SMART (specific, measureable, achievable, timely). b. Memperjelas tugas dan fungsi K/L, lebih koordinatif serta Tema Fokus Prioritas. c. Manajemen kinerja dalam kebijakan belanja anggaran. Kerangka kinerja yang terstruktur baik, dengan fokus kepada: a. Cascading and Downstream Flows (untuk menciptakan pemetaan keterkaitan antara macro priorities dengan micro structure of budget spending) b. Penciptaan
kerangka
kinerja
sinergis
dan
pemetaan
kinerja
(Performance Framework and Mapping) c. Definsi dan Informasi Kinerja yang tepat d. Melembagakan dan mengoptimalkan peran dan masukan masyarakat, terutama yang merupakan target kebijakan, untuk dapat secara formal memberi masukan bagi disain dan review kebijakan e. Kerangka regulasi yang operatif dan transparan dalam memberi “ruang” bagi partisipasi masyarakat dalam mendisain manfaat yang ingin diciptakan melalui kebijakan yang didanai anggaran publik
53
2. Pandangan Sumariyandono14 Sumariyandono (2014) dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menyatakan bahwa permasalahan terkait sistem perencanaan dan penganggaran meliputi antara lain : a. Jumlah output sangat banyak dan bersifat input; b. Belum seluruhnya SMART; c. Lebih bersifat internal perspective; d. Lemahnya keterkaitan indikator dengan output; e. Masih adanya inkonsistensi kebijakan dalam dokumen perencanaan dengan target dokumen anggaran; f.
Keluaran yang dihasilkan dari lintas institusi masih menjadi kendala dalam pelaksanaan;
g. Proses efisiensi masih ditekankan pada kepatuhan penggunaan SBM (lebih berfokus pada input); h. SBK belum dijadikan benchmark tool untuk output sejenis; i.
Masih terfokus pada aspek penyerapan anggaran;
j.
Belum banyak informasi yang dihasilkan;
k. Belum adanya mekanisme umpan balik hasil evaluasi untuk perencanaan berikutnya; l.
Masih kurangnya pemahaman terhadap konsep baseline;
m. Belum adanya standar proses Review Baseline; n. Sinkronisasi dengan pihak terkait untuk pengajuan proposal dan perhitungan kapasitas fiskal belum terkoordinasi dengan baik; o. Proses
pengambilan
keputusan
belum
melibatkan
pengambil
kebijakan.
14
Pejabat pada Deputi Bidang Pebiayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 54
Berdasarkan
permasalahan
yang
diidentifikasikan
tersebut,
kemudian Sumariyandono menyampaikan beberapa pemikiran upaya yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagai berikut:
Perlu penyempurnaan indikator kinerja sebagai bagian dari perbaikan logic model RKA-KL (pedoman penyusunan indikator);
Perlu memisahkan indikator untuk program dan kegiatan yang bersifat generik;
Perlu integrasi dan konsistensi data target RKP, Renja KL, dan RKA-KL
Perlunya peraturan yang lebih jelas untuk memayungi keluaran yang dihasilkan oleh lintas institusi;
Perlu meningkatkan efisiensi melalui penggunaan struktur biaya, melakukan sinkronisasi kebijakan remunerasi, pengoptimalan SBK;
Perlunya evaluasi kinerja meliputi 3 (tiga) aspek, yakni : 1) Aspek Implementasi; 2) Aspek Manfaat; 3) Aspek Konteks;
Perlunya sistem evaluasi kebijakan berjalan (PAKEM) yang digunakan sebagai data dasar penyusunan perencanaan berikutnya;
Perlu Penyusunan mekanisme Review Baseline;
Perlu kedisiplinan semua pihak dalam mengajukan New Inisiative sesuai aturan dan azas PFM;
Perlu revisi terkait batas usulan pagu dan mekanisme penilaian serta periode pengajuannya.
3. Pandangan Jayadi (Bappenas)15 Jayadi (2014) dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menyampaikan pandangan Telaah Kritis Terhadap Sinergi Perencanaan 15
Fungsional Perencana, Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 55
Pembangunan Pusat - Daerah di Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah sebagai berikut. a. Perkembangan Perencanaan Pembangunan Nasional Perencanaan pembangunan nasional merupakan sebuah haluan mendasar bagi semua komponen bangsa untuk menentukan eksistensi kesejahteraan dan kemajuan bangsa di masa mendatang. Perencanaan pembangunan tidak hanya dipandang sebagai dokumen pembangunan normatif. Perencanaan harus menjadi kekuatan bagi proses pemerintahan dan pembangunan suatu negara. Urgensi perencanaan sangat menentukan strategi dan arah kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan roda pemerintahan dan pembangunan. Perencanaan juga merupakan langkah awal bagi bangsa manapun untuk mengawali perjuangan dalam mendapatkan semua cita-cita luhur yang selama ini diimpikan bersama. Kemajuan sebuah bangsa dan negara sangat ditentukan dengan kualitas perencanaan pembangunan yang lebih baik. Bagaimana sebuah amanat luhur dari para pendiri bangsa akan selalu menggetarkan semangat pembangunan bangsa ini ?. Semua jelas tercermin dari nilai perencanaannya. Perencanaan adalah resource awal bagi upaya perwujudan kemajuan bangsa. Kita yakin, bahwa dengan perencanaan pembangunan yang baik, bangsa ini mampu mewujudkan “mimpi yang terbeli” dari para pendiri bangsa. Perencanaan adalah modal manifestasi perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan. Hakikat mendasar dari amanat konstitusi tersebut, akan selalu membutuhkan bentuk perencanaan pembangunan yang tepat dan terintegrasi dengan baik secara nasional.
56
Sepanjang sejarah pendirian bangsa Indonesia, sistem perencanaan masih mengalami banyak perubahan konsep dan mekanisme yang terus berkembang. Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia menjadi masalah yang selalu krusial dengan perkembangan politik dan iklim demokratisasi yang ada. Begitu pentingnya perencanaan pembangunan bagi bangsa kita, sehingga selalu memunculkan dinamika perkembangan sistem perencanaan pembangunan yang cukup intensif. Sejak awal kemerdekaan sampai saat ini, sistem perencanaan negara kita terus mencari bentuk dan pola yang ideal. Sistem perencanaan pembangunan masih terus berupaya mengembangkan potensi atau sumber daya bangsa secara optimal dalam konteks efisiensi, efektivitas, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perubahan setiap sistem perencanaan pada perbedaan zaman memang sangat wajar, karena sebuah perencanaan pada dasarnya memang didesain untuk tanggap terhadap segala bentuk perubahan yang ada secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh. b. Pengkotomian Perencanaan dan Peganggaran Dalam Sinergi Pusat - Daerah Di negara-negara maju perencanaan terpusat dan sudah digantikan oleh sistem Kerangka Pendanaan Jangka Menengah (Midum Term Expenditure Framework), penganggaran terpadu, evaluasi kinerja, forum antarpemangku kepentingan yang lebih intensif, dan didasari dengan kebijakan otonomi luas. Sedangkan, di negara berkembang sepertinya tidak ada resep sukses yang sama untuk semua negara. Sebagai contoh, Badan Perencana Mongolia dan Malaysia diletakkan di kantor Perdana Menteri. Di Filipina,
NEDA
(National
Economic
and
Development
Authority)
merupakan badan independen yang langsung dipimpin Presiden. India mempunyai Planning Commission yang dipimpin PM sebagai ex-officio Chairman. China membentuk NDRC (National Development and Reform Commission) sebuah sebuah super-ministry dengan otoritas luas yang 57
sangat dipengaruhi sistem politik negara tersebut. Pertanyaan mendasar, apakah Indonesia membutuhkan perencanaan dan penganggaran sebagai satu kesatuan entitas atau terpisah? Dalam perjalanan kebijakan perencanaan dan penganggaran di Era reformasi sampai saat ini, proses sinergi pusat-daerah, tidak lepas dari 3 (tiga) regulasi terkait, yaitu UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Proses pengkotomian antara perencanaan dan penganggaran menjadi hal yang mendasar dalam melandasi pembahasan mengenai permasalahan perencanaan di level pusat maupun daerah. Pemisahan “budgeting power” dan “planning power” menjadi barometer tersendiri bagi negara kita dalam menilai sulitnya proses sinergi perencanaan pusat – daerah. Pemerintah daerah sering menganggap bahwa SPPN yang didasari oleh UU No. 25 Tahun 2004 hanya mengatur perencanaan
pusat.
Sedangkan,
terkait
regulasi
yang
mengatur
perencanaan daerah, Pemerintah daerah lebih “mengidolakan” pengaturan perencanaan daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan peraturan perundangan turunannya. Oleh karena itu, proses ketidakharmonisan antara sistem perencanaan dan penganggaran di level kebijakan dan regulasi di level pusat, makin menyebabkan proses sinergi kedua sistem tersebut menjadi sulit diimplementasikan di daerah dengan beberapa dualisme pengaturan antara UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004. Secara umum, penyebab utama dari timbulnya ketidakselarasan antara perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan di daerah disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) Kerangka regulasi yang kurang tepat dan tidak utuh antara UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, dan UU 25 Tahun 004 yang terlepas satu sama lain dan mengabaikan posisi peranan masing-masing lembaga terkait dalam SPPN; (2) UU No. 25 Tahun 2004 berfokus pada tata cara tetapi kurang pada 58
substansi; (3) Determinasi untuk mencapai keselarasan dengan melihat sejauhmana pemerintah menginginkan terjadi keselarasan melalui penyusunan indikatornya, penentuan proses pengendalian dan evaluasi, serta proses rewards dan punishment yang tampak belum jelas; serta (4) Proses perencanaan dan penganggaran yang bergerak secara simultan dalam waktu yang sempit (anggaran tahun tunggal), sehingga memiliki implikasi yang sulit dalam proses pencapaian perencanaan pembangunan terhadap periodisasi anggaran yang sama pada level pusat – daerah. Lebih jauh, bila kita mencermati proses pengaturan perencanaan dalam SPPN juga tidak lepas dari berbagai kekurangan. Analisis mendasar pada kritisi UU No. 25 Tahun 2014 tersebut adalah terletak pada aspek substansi dan administratifnya. Pengaturan kebijakan perencanaan dalam SPPN secara umum hanya terlihat fokus pada detil tata cara semata, tetapi spirit perencanaan tampak tidak terlihat secara tegas. Prinsip substansi perencanaan belum sepenuhnya menjiwai UU tersebut. Selain itu, SPPN juga belum sepenuhnya menyediakan solusi jika dalam pelaksanaan ada perselisihan/konflik dengan peraturan tersebut, termasuk pengaturan tegas mengenai masalah reward dan punishment. Di sisi lain, tata cara detil yang diatur dalam UU ini juga terkesan mengabaikan kemungkinan beban yang ditimbulkan, yakni terkait beban waktu, beban biaya, dan beban SDM yang berkembang di tingkat pemerintahan. Porsi sumber daya Pemerintah dari sisi kapasitas regulasi/kebijakan, aparatur, kelembagaan, keuangan, maupun
keterbatasan
waktu
yang
dipakai
untuk
melaksanakan
perencanaan - penganggaran dalam mengeksekusi program dan kegiatan tersebut, kadang juga belum diatur secara baik dalam UU No. 25 Tahun 2014 tersebut. Belum lagi ditambah proses determinasi yang belum jelas antara pengaturan sinergi
indikator dan
besarannya pada level
perencanaan pusat-daerah dengan periode pengukuran yang tidak selaras.
59
Gambar Perencanaan Terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam UU No. 25 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2003
Melihat
perkembangannya,
sinergi
perencanaan
dalam
pembangunan pusat – daerah pada dasarnya menjadi hal yang krusial dilakukan di Indonesia. Regulasi dan kebijakan perencanaan dan penganggaran pada level Pemerintah dan Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan. Penyebaran potensi dari berbagai sumber daya di daerah yang tidak merata sesuai dengan kapasitas dan karakteristik yang beragam, serta aspek keterbatasan sumber pendanaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, akan berimplikasi pada kebutuhan sinergitas program dan kegiatan pembangunan tersebut dari setiap level pemerintahan. Oleh karena itu, pola sinergi perencanaan dan penganggaran antara Pemerintah 60
dan Pemerintah Daerah serta antar-Pemerintah Daerah akan mempercepat pencapaian target pembangunan nasional secara nyata. Kemudian pertanyaannya,
sudahkan
regulasi
dan
kebijakan
pembangunan
mengakomodir dari urgensi sinergi perencanaan pusat-daerah?. Sebagai contoh, dari konsep integrasi perencanaan dan penganggaran pada level Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2014, yang mengindikasikan level perencanaan pusat-daerah dalam konteks tahunan
maupun
jangka
menengah,
hanya
diatur
dengan
kata
“diperhatikan” dan “diserasikan” sudah dirasakan cukup? Itulah yang perlu dipastikan untuk pengaturan kebijakan dan regulasi mendatang yang lebih mengkonkretkan sinergi hubungan perencanaan dan penganggaran pada level pusat-daerah. Secara teoritik, proses sinergi pusat-daerah dan antar daerah dilakukan dalam seluruh proses yang komprehensif dalam pembangunan. Sinergi itu harus bersifat komprehensif, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi yang mencakup sinergi dalam perencanaan kebijakan, kerangka regulasi, kerangka anggaran, kerangka kelembagaan
dan
aparatur, serta kerangka pengembangan wilayah.
Beberapa isu mendasar yang terkait dengan regulasi, kebijakan serta jadwal perencanaan - penganggaran harus juga menjadi poin penting dalam melakukan proses sinergisitas antar level perencanaan dan penganggaran.
Minimnya
keselarasan
dokumen
perencanaan
pembangunan nasional yang belum terstandar dengan indikator yang jelas, harus menjadi faktor penting dalam mendasari perubahan regulasi perencanaan dan penganggaran ke depan. Penetapan target nasional yang berbeda dalam prioritas pembangunan serta Sistem Data dan Informasi Pembangunan Nasional kurang dan cenderung tidak akurat, juga akan menjadi kunci untuk perbaikan kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan beberapa perbaikan ke depan dalam menjamin keselarasan dokumen perencanaan pembangunan 61
pusat-daerah. Proses tersebut sangat membutuhkan standarisasi indikator pembangunan
sesuai
kewenangan,
keselarasan
penetapan
target
pembangunan nasional, serta keselarasan Sistem Data dan Informasi Pembangunan Nasional yang tepat dan akurat. Selanjutnya,
perbaikan
kerangka
kerja
perencanaan
dan
penganggaran, idealnya juga harus dilakukan pada tingkat UU untuk proses sinergisitas pusat-daerah, karena terkait secara kontekstual dengan entitas lain yang relevan, seperti Gubernur, Sistem Dana Perimbangan, dan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. Dalam memperjelas hubungan dan masing-masing peran perencanaan dan penganggaran di level pusatdaerah, juga merupakan sebuah kebutuhan yang konkret dalam proses sinergisitas tersebut, termasuk pengaturan pada level regulasi-pun sudah seharusnya mendukung proses perencanaan dan penganggaran. Penegakan aturan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, ataupun Perda, sebaiknya sudah mempertimbangkan implikasi kebutuhan biaya dalam proses perencanaan dan penganggaran. Berapa banyak regulasi yang sulit ditegakkan, jika implikasi kebutuhan biaya yang diamanatkan dalam regulasi tersebut tidak biisa diakomodir dalam keterbatasan kapasitas anggaran Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, perlu optimum trade-off antara mengejar pemenuhan tertib aturan dengan akibat terjadinya inefisiensi biaya dalam proses perencanaan dan penganggaran. Di sisi lain, jika Pemerintah menganggap keselarasan itu penting, maka sudah selayaknya mampu menentukan indikator dan besaran (atau derajatnya) untuk mendeteksi tingkat keselarasan program pusat-daerah. Indikator yang sederhana, tapi secara prinsip tetap mencerminkan konektivitas pencapaian perencanaan pusat-daerah dan realistis untuk mudah dilakukan dalam proses pelaksanaan rencana tersebut, harus sudah ditetapkan dalam reformasi perencanaan dan penganggaran ke depan. Proses perencanaan dan penganggaran yang bergerak secara simultan 62
dalam waktu yang sempit juga mungkin harus diubah, karena ini sumber dari berbagai masalah yang ada sekarang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggeser bulan dimulainya tahun anggaran di daerah (setelah tahun anggaran nasional). Selain itu, diperlukan juga kerangka waktu yang sesuai untuk menghindarkan lepasnya RPJMD dengan RPJMN akibat Pilkada yang tidak dilakukan secara serentak. Selanjutnya, hal yang tidak kalah penting adalah hampir tidak ada ruang untuk melakukan evaluasi perencanaan pembangunan dan menggunakan hasilnya untuk perencanaan ke depan, terutama perencanaan yang bersifat tahunan. Oleh karena itu, pentingnya hasil evaluasi atau evidence-based dalam formulasi kebijakan dapat diterapkan untuk program tertentu yang bersifat prioritas. c. Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional
Dalam
Semangat
Otonomi Daerah Era reformasi menjadi sebuah momentum penting bagi perubahan paradigma iklim demokratisasi bangsa kita secara lebih baik. Sistem perencanaan pembangunan nasional, juga mengalami perubahan yang signifikan
dengan
penguatan
keseimbangan
proses
perencanaan
teknokratis dan partisipatif serta keseimbangan pola perencanaan TopDown dan Buttom-Up. Lahirnya UU No. 25 merupakan bentuk sistem perencanaan yang mencoba menjawab perkembangan politis bangsa ini ke arah
penguatan
proses
desentralisasi
dan
otonomi
daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antardaerah. Dalam UU No. 25 Tahun 2004 sudah ditetapkan bahwa SPPN adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan 63
rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan baik di pusat dan daerah, yang tentunya dengan melibatkan unsur masyarakat. Sudah jelas bahwa SPPN dibentuk untuk mengatur proses dan mekanisme perencanaan pembangunan dalam koridor yang komprehensif, baik untuk perencanaan yang bersifat nasional maupun perencanaan yang berskala lokal maupun regional. SPPN hadir sebagai wadah perencanaan yang tidak hanya mengatur tanggung jawab perencanaan pusat, tapi juga perencanaan daerah. Sangat disayangkan bahwa masih ada berbagai elemen masyarakat bahkan beberapa stakeholder Pemerintah sendiri yang menganggap bahwa SPPN hanya mengatur sistem perencanaan secara parsial. SPPN hanya mengatur bentuk perencanaan pembangunan yang berada di Pemerintah Pusat tapi perencanaan di tingkat daerah belum diatur secara penuh. Pemahaman yang keliru tersebut, harusnya sudah dapat terjawab hanya dengan memahami nomenklatur SPPN yang memakai kata “Nasional” bukan SPPP (Sistem Perencanaan Pembangunan Pusat), sehingga tidak perlu lagi ada pengaturan ganda tentang perencanaan daerah lainnya dalam konteks SPPD (Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah). Perencanaan pembangunan daerah, secara eksplisit juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dasar hukum untuk proses implementasi otonomi daerah tersebut mengatur substansi perencanaan pembangunan daerah dalam konteks pembagian urusan pemerintahan di daerah (Bab II) dan perencanaan pembangunan daerah secara umum (Bab VII). Dalam UU No. 32 Tahun 2004, ditegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, tapi yang menjadi permasalahan adalah ada beberapa pasal yang mengatur konteks perencanaan yang bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2004. Dualisme pengaturan dalam hal penetapan RPJMD, misalnya menurut UU No. 25 Tahun 2004, Bab V, pasal 19 ayat (3) disebutkan bahwa RPJMD ditetapkan dengan Peraturan 64
Kepala Daerah (Perkada), paling lambat 3 (tiga) bulan setelah kepala daerah dilantik. Sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004, Bab VII, pasal 150 ayat (3), poin e, disebutkan bahwa RPJPD dan RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, secara filosofis RPJMD dianggap sebuah konsensus politik antara calon kepala dan wakil kepala daerah kepada masyarakat publik sebagai konstituennya, terhadap penjabaran visi dan misi mereka yang dikampanyekan dalam Pilkada. Sehingga Pemerintah berasumsi bahwa penetapan RPJMD dengan Perkada merupakan bentuk pertanggungjawaban kepala dan wakil kepala daerah terpilih dalam proses pelaksanaan perencanaan pembangunan yang mereka
janjikan
kepada
masyarakat
selama
5
(lima)
tahun
kepemimpinannya. Hal tersebut sejalan dengan asumsi bahwa dalam proses perencanaan daerah, tanggung jawab setiap permasalahan yang ada tidak berada pada pertanggungjawaban dari kepala daerah saja, tapi seharusnya juga melibatkan DPRD sebagai bagian dari sebuah proses perencanaan pembangunan di daerah. Secara asas hukum, memang sebaiknya
ke
depan
harus
ada
konsensus
antara
Kementerian
PPN/Bappenas dengan Depdagri untuk memberikan solusi atas pilihan acuan tersebut bagi penetapan RPJMD, misalnya dalam bentuk SEB (Surat Edaran Bersama) atau yang lebih penting lagi proses harmonisasi UU No. 25 Tahun 204 dengan UU No. 32 tahun 2004. d. Arah Perencanaan Pembangunan Daerah ke Depan Perencanaan pembangunan selalu diupayakan sebagai bentuk kegiatan perencanaan yang melibatkan berbagai unsur stakeholder daerah dalam memanfaatkan dan mengalokasikan berbagai potensi yang ada di daerah. Perencanaan pembangunan daerah disusun sebagai langkah nyata terhadap upaya peningkatan kemajuan dan kemandirian daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 65
Perencanaan pembangunan daerah seharusnya selalu dirumuskan dalam bentuk perencanaan teknokratis yang tetap didukung oleh proses transparan publik dan partisipasi masyarakat secara lebih baik. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat responsif terhadap berbagai dinamika perkembangan daerah dan nasional, dengan tetap mengedepankan unsur perencanaan yang efektif, efisien, akuntabel, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan. Dokumen perencanaan daerah harus terus didasarkan pada kemampuan dan kebutuhan daerah secara seimbang dengan berbagai data dan informasi pembangunan yang akurat. Data dan informasi daerah yang terkait dengan kapasitas sumber daya, kapasitas kelembagaan daerah, kemampuan keuangan daerah, potensi sumber daya daerah, rencana tata ruang, dan berbagai informasi kewilayahan lainnya, sangat berperan dalam perumusan dokumen perencanaan
daerah
nantinya.
Sistem
informasi
perencanaan
pembangunan berperan penting dalam menyediakan berbagai bahan untuk rumusan perencanaan pembangunan daerah. Di luar peran penting dari implementasi UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, juga mengamanatkan
pengaturan kembali
tentang
sistem perencanaan
pembangunan daerah melalui PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (amanat dari Pasal 154). PP tersebut berupaya untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis, transparan, akuntabel, efisien dan efektif di bidang perencanaan pembangunan daerah. Untuk itu, pelaksanaan otonomi daerah perlu mendapatkan dorongan
yang lebih besar dari berbagai elemen
masyarakat melalui perencanaan pembangunan daerah, agar proses demokratisasi,
transparansi,
akuntabilitas
dapat
terwujud.
Penyelenggaraan pelaksanaan rencana pembangunan daerah dalam PP No. 8 Tahun 2008, dimaksudkan untuk: 66
1.
Meningkatkan konsistensi antar kebijakan yang dilakukan berbagai organisasi publik dan antara kebijakan makro dan mikro maupun antara kebijakan dan pelaksanaan.
2.
Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam proses perumusan kebijakan dan perencanaan program.
3.
Menyelaraskan perencanaan program dan penganggaran.
4.
Meningkatkan akuntabilitas pemanfaatan sumber daya dan keuangan publik.
5.
Terwujudnya penilaian kinerja kebijakan yang terukur, perencanaan, dan pelaksanaan dokumen perencanaan, sehingga tercapai efektivitas perencanaan. Tujuan akhir dari amanat PP No. 8 Tahun 2008, agaknya tidak
berbeda dengan semangat pencapaian perencanaan pembangunan daerah berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004, melalui PP turunannya pada PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Kedua regulasi perencanaan pembangunan tersebut, pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan proses pemerintahan dan pembangunan daerah melalui pemanfaatan sumber daya publik yang baik dan berdampak pada percepatan proses perubahan sosial bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Kritikan mendasar dari hadirnya PP No. 8 Tahun 2008 sebagai pengejawantahan konteks otonomi daerah dalam proses perencanaan, ternyata banyak menimbulkan beberapa substansi pengaturan yang berbeda, tidak mendukung, bahkan bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Berbagai masukan yang mungkin menjadi cerminan bagi pemahaman substansi pengaturan dalam PP tersebut yang masih perlu dipertimbangkan untuk direvisi dan disesuaikan dengan substansi UU No. 25 Tahun 2004, diantaranya: 67
1. Unsur mengingat pada PP tersebut secara legalitas sama sekali tidak mencantumkan UU No. 25 Tahun 2004 sebagai payung hukum dari seluruh SPPN termasuk sistem perencanaan pembangunan daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 2 ayat (1) dalam PP tersebut. 2. Pada Pasal 1 butir 6, perlu diluruskan bahwa RKPD adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sesuai dengan UU 25 Tahun 2004, PP 40 Tahun 2006, dan PP 20 Tahun 2004, bukanlah Rencana Kerja Pembangunan Daerah, dan tidak konsisten dengan pasal 23 dalam UU 32 Tahun 2004 sendiri, yang menyebutkan RKP sebagai Rencana Kerja Pemerintahan. 3. Penentuan tata cara penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), penyusunan rencana, penetapan rencana, serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan di daerah (RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja SKPD) menurut UU 25 Tahun 2004 pasal 27 ayat (2), seharusnya diatur dalam dalam satu paket pengaturan, yaitu ditetapkan dalam Peraturan Daerah bukan diatur kembali secara rinci pada PP No. 8 Tahun 2008 sebagai turunan dari UU No. 32 Tahun 2004. 4. Pada Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), disebutkan bahwa RPJMD ditetapkan Perda setelah berkonsultasi dengan Menteri, dimana Perda tentang RPJMD tersebut ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kepala daerah dilantik. Sesuai UU 25/2004, penetapan RPJMD dilakukan dengan Perkada dan tidak perlu dalam Perda, karena merupakan penjabaran dari visi dan misi dari Kepada Daerah, yang akuntabilitasnya sepenuhnya berada pada kepala daerah.
Apabila
ditetapkan dalam Perda, maka akuntabilitasnya merupakan tanggung jawab bersama oleh Kepala Daerah dan DPRD. Solusi ilegal yang selama ini ditawarkan kepada Pemerintah Daerah adalah penawaran jalan tengah, dimana RPJPM dalam waktu 3 bulan setelah pelantikan kepala 68
daerah
terpilih,
ditetapkan
dulu
dalam
Perkada,
setelah
itu
dikonsultasikan dengan DPRD, dan apabila memang disepakati oleh DPRD, maka RPJMD dapat ditetapkan dalam Perda. Pengaturan penetapan RPJMD dalam pasal tersebut yang banyak mengundang pro dan kontra di tingkat Pemerintah Pusat maupun Daerah, seharusnya sudah diputuskan dengan regulasi atau pengaturan yang legal dan ditetapkan secara tegas oleh Pemerintah. 5. Dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), mengamatkan bahwa Departemen Dalam Negeri menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang
RKPD
provinsi
seta
Pemerintah
Provinsi
menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD kabupaten/kota. Penyelenggaraan forum pasca-Musrenbang perlu diperjelas maksud dan tujuannya pada pasal ketentuan umum di PP tersebut, sebagai dasar bagi proses finalisasi RKPD di tingkatan daerah. Secara filosofis, kita dapat mempertanyakan aspek independensi perencanaan pembangunan daerah tersebut. Bagaimana sebuah perencanaan pembangunan daerah harusnya tidak diintervensi terlalu jauh, karena pada dasarnya dokumen RKPD merupakan domain dan tanggung jawab dari masing-masing daerah. Hal tersebut harusnya sejalan dengan asas keterbukaan dan kebebasan yang diamanatkan oleh UU No. 25 Tahun 2004, dimana hubungan antara dokumen perencanaan nasional dan perencanaan pembangunan daerah hanya dibahasakan secara elegan dalam konteks “diacu”, “diperhatikan”, dan “diserasikan”. Pengaturan hubungan perencanaan dalam SPPN secara nyata berupaya untuk mendasarkan proses perencanaan daerah dengan semangat otonomi daerah yang baik dan benar. Tidak dipungkiri bahwa dualisme pengaturan perencanaan pembangunan daerah antara kubu perencanaan nasional komprehensif dengan kubu perencanaan daerah yang spesifik, banyak membuat 69
perdebatan dan pertanyaan di daerah. Haruskah kondisi yang sangat memprihatinkan ini terus dibiarkan dan berlarut-larut sejak tahun 2004 bahkan diperburuk dengan munculnya PP No. 8 di tahun 2008 dan Perpres No. 54 Tahun 2010. Pemerintah harusnya sudah mulai jeli dan tegas dalam mengambil tindakan terhadap fenomena overlapping pengaturan dari UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 (terutama yang diatur dalam PP No. 8 Tahun 2008). Keputusan dasar hukum perencanaan yang syah harus sudah diputuskan dan tidak membingungkan semua pihak, terutama oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Jangan daerah kembali yang terus dijadikan “kelinci percobaan”. Daerah bingung untuk memilih mana regulasi dan kebijakan yang akan mereka pegang. Pengaturan perencanaan yang tepat, tidak memunculkan interpretasi yang berbeda, dan tidak bersifat
ambivalent
merupakan
langkah
awal
yang
baik
untuk
mencerminkan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan daerah ke depan. Bagaimana daerah bisa maju untuk melakukan pembangunan, kalau dasar perencanaan pembangunan mereka saja masih banyak stigma disana-sini. Bagaimana daerah mau terus mau memikirkan peningkatan kesejahteraan publik, kalau dalam proses perencanaannya, mereka masih bingung untuk melakukannya. Perencanaan pembangunan daerah sebagai urgensi kemajuan suatu daerah, sekaligus bentuk akumulasi penilaian terhadap pencapaian kemajuan bangsa dan negara secara luas harus diatur dengan regulasi dan kebijakan yang baik pula tentunya. Perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang sangat fundamental menuntut perlunya sistem perencanaan pembangunan
yang
komprehensif
kabupaten/kota, kecamatan, sampai
dari
tingkat
pusat,
pada tingkat
provinsi,
kelurahan/desa.
Perencanaan pembangunan nasional harus menjadi satu kesatuan yang utuh, terintegrasi, dan holistis pada pengaturan yang jelas dan tegas. Perencanaan
nasional
harus
mampu
mewujudkan
keseimbangan
perencanaan yang mampu mengalir baik dalam siklus perwujudan 70
transparansi, akuntabilitas, demokratisasi, desentralisasi, dan partisipasi masyarakat. Perencanaan pembangunan daerah jangan terlalu banyak diintervensi secara mendalam, tapi juga tidak lepas kendali dari kontrol Pemerintah. Biarkan daerah yang merencanakan sesuatu yang terbaik buat daerahnya sendiri, karena mereka yang tahu dengan pasti apa kemampuan dan kebutuhan yang hendak mereka capai. Pemerintah Pusat hanya memberikan koridor pada lingkup nasional dan regional terhadap beberapa kepentingan pembangunan skala nasional dan bersifat strategis dalam konteks pembagian urusan pemerintahan, yang sudah diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Jangan terlalu membebani daerah dengan pengaturan yang hanya bersifat birokratis dan normatif semata, tanpa berimplikasi positif terhadap peningkatan kualitas perencanaannya. Daerah punya hak untuk menentukan rencana pembangunannya secara independen. desentralisasi,
Penguatan sudah
otonomi saatnya
daerah mewarnai
dan
percepatan
semangat
proses
perencanaan
pembangunan daerah ke depan yang lebih baik. Sedangkan, terkait dengan sinergi perencanaan dan penganggaran pada level pusat-daerah, beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan ke depan, diantaranya: (1) perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan terkait perencanaan dan penganggaran menjadi satu UU dengan dasar academic paper/background study yang mumpuni serta proses harmonisasi UU perencanaan dan penganggaran dengan UU pemerintahan daerah, UU Desa, dan UU Pemilukada; (2) Reposisi peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah dalam melakukan fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan sinergi perencanaan pusat – daerah; (3) Membangun indikator keselarasan yang sesuai untuk program dan kegiatan strategis dari level pusat – daerah dalam memastikan pencapaian pembangunan nasional; (4) Menentukan sistem rewards dan 71
punishment yang sesuai dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan pencapaian pelaksanaan pembangunan; (5) Menyelaraskan waktu penyusunan perencanaan dan penganggaran antara pusat dan daerah, maka Pilkada dilakukan serentak setelah Pemilu 2014. Hal ini selain menghemat biaya juga akan membantu menyelaraskan RPJMN dan RPJMD; (6) Menentukan indikator target capaian perencanaan nasional (pusatdaerah) yang jelas, sederhana, dan realistik, sehingga daerah lebih mengetahui kebutuhannya. Sedangkan, pusat dapat mudah melakukan sinkronisasi perencanaan program/kegiatan termasuk pendanaannya. Sehingga dapat tercermin bahwa target nasional merupakan akumulasi dari berbagai target daerah; (7) Tetap mendasarkan prinsip “money follow function” untuk mencapai target untuk mencapai target pembangunan dalam proses perencanaan dan penganggaran di level pusat-daerah; (8) Meningkatkan kualitas data dan informasi perencanaan pembangunan nasional (pusat-daerah) yang reliable, up to date, dan komprehensif; (9) Menguatkan “Lembaga” pengawasan pembangunan sinkronisasi pusatprovinsi dan kabupaten/kota; serta (10) Penyelarasan Indeks Kinerja Utama dan tetap menjaga kedisiplinan penggunaan anggaran dan ketepatan waktu penerimaan dan alokasi anggaran, khususnya dana belanja dari pusat ke daerah. Kesimpulan
adalah
permasalahan
sistem perencanaan
dan
penganggaran meliputi a. Minimnya keselarasan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusat-Daerah); b. Belum terstandarnya Indikator Pembangunan Nasional; c. Penetapan target Nasional dan Daerah berbeda dalam Prioritas Pembangunan Nasional dan Prioritas Pembangunan Daerah; d. Sistem data dan Informasi Pembangunan Nasional yang kurang dan cenderung tidak akurat.
72
Gambar Sinergi Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah
Berdasarkan
permasalahan
yang
diidentifikasikan
tersebut,
kemudian Jayadi menyampaikan beberapa pemikiran upaya yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagai berikut: a. Revisi Regulasi (UU SPPN, UU yang menyangkut Penganggaran, UU Pemerintahan Daerah): 1) Satu UU untuk Perencanaan dan Penganggaran. 2) Harmonisasi UU perencanaan dan penganggaran dengan UU Pemerintahan Daerah, UU Desa, UU Pemilukada; 3) Dua UU yang jelas hubungannya: didukung dengan academic paper yang meyakinkan. b. Reposisi peran gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah dalam melakukan fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan sinergi perencanaan pusat – daerah. 73
c. Membangun indikator keselarasan yang sesuai untuk program dan kegiatan strategis dari level pusat – daerah dalam memastikan pencapaian pembangunan nasional. d. Menentukan sistem rewards dan punishment yang sesuai dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan pencapaian pelaksanaan pembangunan. e. Menyelaraskan waktu penyusunan perencanaan dan penganggaran antara pusat dan daerah, maka Pilkada dilakukan serentak setelah Pemilu 2014. Hal ini selain menghemat biaya juga akan membantu menyelaraskan RPJMN dan RPJMD. f.
Menentukan indikator target capaian perencanaan nasional (pusatdaerah) yang jelas, sederhana, dan realistik, sehingga daerah lebih mengetahui kebutuhannya; pusat melakukan sinkronisasi termasuk pendanaannya; dan target nasional merupakan akumulasi target daerah.
g. Penguatan prinsip money follow function untuk mencapai target pembangunan dalam proses perencanaan dan penganggaran di level pusat-daerah. h. Meningkatkan kualitas data dan infromasi perencanaan pembangunan nasional (pusat-daerah) yang reliable, up to date, dan komprehensif. i.
Menguatkan “Lembaga” pengawasan pembangunan sinkronisasi pusatprovinsi dan kabupaten/kota.
j.
Penyelarasan Indeks Kinerja Utama dan tetap menjaga kedisplinan penggunaan anggaran dan ketepatan waktu penerimaan dan alokasi anggaran, khususnya dana belanja dari pusat ke daerah.
74
4. Pandangan Dian P. Simatupang (FH Universitas Indonesia) 16 Dian P. Simatupang (2014) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, memberikan pandangan sebagai berikut. a. Sinergitas dalam Tinjauan Hukum Sinegritas menurut hukum administrasi negara terjadi pada suatu institusi pemerintahan yang lazimnya dilakukan dalam tiga ruang lingkup, yaitu (1)
tindakan hukum (rechshandelingen), (2) hubungan hukum
(rechtsbetrekkingen), dan (3) kedudukan hukum (rechstatus). Ketiganya dilakukan akibat pengaruh pergeseran tugas dan pokok antar-instansi pemerintahan yang membutuhkan reorganisasi agar terwujud koordinasi dan sinkronisasi atau perluasan peranan pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan umum dan pelayanan publik. Perkembangan yang terjadi di Indonesia, reposisi institusi tidak hanya disebabkan kedua pengaruh sebagaimana diuraikan di atas, tetapi juga terjadi sebagai pengaruh kondisi yang ill-structured problems, yaitu suatu kondisi atau keadaan di mana peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan melahirkan masalah yang begitu luas dan begitu banyak jumlahnya, dan
tidak teridentifikasi, yang
membutuhkan
penyelesaian yang cepat dan tepat. Kondisi ill-structured problems tersebut menimbulkan masalah, yaitu (1) tujuan bernegara yang belum dipahami sebagai tujuan keuangan negara, (2) perencanaan yang tidak sinkron dengan penganggaran, dan (3) latar
belakang
pengambilan
keputusan
atas
perencanaan
dan
penganggaran yang termuat dalam UU APBN kurang memiliki latar belakang
rasionalitas
yang
dipertanggungjawabkan
legitimasinya.
Konsekuensinya, pemerintah mengalami kerumitan dalam mewujudkan tujuan bernegara karena implementasi pembangunan tidak berjalan sesuai 16
Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara/Dosen Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik/Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia 75
dengan perencanaannya, atau setidaknya penganggaran kurang dilandasi dengan rasionalitas perencanaan yang kuat. Padahal, Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan tujuan penganggaran adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat tersebut hanya dapat terpenuhi apabila terdapat perencanaan yang kuat melalui institusi perencanaan yang prestise dalam tindakan hukumnya, hubungan hukumnya, dan kedudukan hukumnya. b. Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran untuk Mencapai Tujuan Bernegara Sinergitas perencanaan dan penganggaran diperlukan agar kinerja keuangan pemerintah untuk mencapai tujuan bernegara guna mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat terwujud nyata. Ada tiga pertimbangan sinergtas tersebut dibutuhkan dalam konteks tersebut, adalah: Pertama, agar tujuan keuangan negara yang terformulasikan dalam undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara (UU APBN) tercapai, dengan menguatkan kapasitas tujuan keuangan negara yang ditunjukan pada fungsi pemerintahan umum dan pelayanan publik secara proporsional dan prioritas. Oleh karena itu, pengambilan keputusan keuangan negara sebagaimana diformulasikan dalam UU APBN seharusnya didasarkan pada faktor-faktor perencanaaan guna mewujudkan tujuan bernegara. Dengan demikian, keputusan keuangan negara dalam UU APBN tidak
ditujukan
pada
belanja
yang
bersifat
konsumtif,
seperti
pembangunan gedung negara atau ruangan institusi negara yang mewah dan
pembelian
barang
yang
tidak
memenuhi
prioritas
tujuan
penggunaannya. Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan harus menjadi institusi yang menjamin perencanaan dalam UU APBN sepenuhnya menjadi alat untuk menciptakan sebanyak-banyaknya investasi guna menaikkan produktivitas negara.
76
Hal tersebut dapat dilakukan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dengan merencanakan seluruh potensi produksi dan keuangan yang dimiliki negara agar dapat dipergunakan seluruh atau sebagian
untuk
pembelanjaan
investasi
negara,
dan
menjadikan
perencanaan atas UU APBN sebagai pendukung investasi swasta guna mendukung Kementerian
pembangunan, PPN/Bappenas
khususnya dan
pembangunan
Kementerian
infrastruktur.
Keuangan
menjadi
pengawal kinerja keuangan negara untuk mencapai tujuan bernegara, sehingga memastikan tidak ada pengambilan keputusan atas keuangan negara yang tidak fokus, tidak prioritas, tidak solid, dan tidak harmonis. Kedua, sinergitas Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dibutuhkan diperlukan untuk menjaga keputusan keuangan negara dalam UU APBN harus didasarkan pada perencanaan jangka pendek, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan jangka panjang. Adanya perencanan ini pada dasarnya agar UU APBN mampu mencapai tujuan negara tertentu sebaik-baiknya (maximum ouput) dengan sumber keuangan yang dimiliki pemerintah, khususnya yang berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Penguatan kapasitas Kementerian PPN/Bappenas diperlukan pada proses ini karena perencanaan
sangat
menentukan
keberhasilan
kinerja
keuangan
pemerintah. Di sisi lain, penguatan kapasitas tersebut dibutuhkan karena: a.
perencanaan dan penganggaran merupakan penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan konkret negara yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai dan kepentingan yang dimiliki masyarakat;
b.
perencanaan dan penganggaran menentukan pilihan di antara berbagai cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan konkret negara, baik untuk menentukan jangka waktu tertentu maupun cara untuk mencapainya.
77
Dengan demikian, keberhasilan kinerja keuangan pemerintah sangat bergantung pada perencanaan yang disusun sebelumnya dan penganggaran yang telah ditetapkan, dan menjadi dasar utama untuk mempengaruhi keadaan (instrument or policy variables). Sinergitas
perencanaan
dan
penganggaran
juga membawa
implikasi reposisi Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan yang dibutuhkan agar suatu dokumen perencanaan dan keuangan merefleksikan kebijakan pembangunan nasional, sehingga terdapat konsistensi
dan
koordinasi
dalam
perencanaan,
pelaksanaan
penganggaran, dan pengawasan, sehingga pencapaian tujuan keuangan negara dapat terpenuhi secara optimal. Jika institusi perencanaan dan penganggaran lemah, dikhawatirkan UU APBN tidak akan menjadi instrumen guna mencapai perkembangan sosial ekonomi yang tetap (steady social economic growth), tetapi menjadi suatu instrumen rutinitas. Jika perencanaan tidak menjadi dasar penyusunan penganggaran dalam UU APBN akan mengakibatkan perencanaan dan penganggaran menjadi sangat timpang dan tidak harmonis, karena penetapan tujuan rencana (plan objectives) dan tujuan keuangan negara (APBN) memiliki perbedaan sesuai dengan tujuan masing-masing sektor. Akibatnya, kebijakan perencanaan dan kebijakan keuangan tidak mampu menjadi dasar untuk meninjau keadaan keuangan pemerintah sebelumnya karena masalah yang dikemukakan Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Anggaran berbeda dan tidak didasarkan pada perkiraan masa yang akan dilalui perencanaan (forecansting) yang sama. Oleh sebab itu, gagasan sinergitas dengan penguatan konsep koordinasi dan sinkronisasi kerja dan tugas pokok antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas
dalam
rangka
mewujudkan
kerangka
perencanaan
pembangunan yang sinergitas dan strategis yang berisi pokok-pokok
78
kebijakan, visi, dan misi perencanaan pembangunan, serta kriteria dan indikasi yang dicapai dengan tahapan yang akan diwujudkan. Ketiga, rasionalitas pengambilan keputusan keuangan negara dalam UU APBN agar dapat dipertanggungjawabkan dengan determinasi perencanaan yang disusun sebelumnya, sehingga mendasarkan pada komitmen dan kontinuitas yang rasional. Pembangunan gedung negara dan ruangan institusi negara yang mewah dan pembelian barang mewah impor dalam penganggaran cenderung mereduksi pilihan rasionalitas keuangan negara agar ditujukan pada investasi pemerintah. Dalam hal ini, keputusan keuangan negara dalam UU APBN tidak cenderung menjadi keputusan yang suka-suka atau hanya mendasarkan pada kebutuhan jangka pendek, tanpa memperhitungkan prioritas kebutuhan lainnya yang lebih besar untuk kepentingan mencapai tujuan bernegara. Atas dasar pertimbangan tersebut, sinergitas perencanaan dan penganggaran dilakukan guna menjamin tujuan keuangan negara didasarkan pada garis-garis besar atau kebijaksanaan dasar suatu rencana pembangunan yang disetujui dan ditetapkan lembaga perwakilan. Sementara itu, kebijakan dan program pembangunan selanjutnya menjadi perhatian dan tugas secara sinergis antara Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dengan mendasarkan pada garis besar dan kebijaksanan dasar yang ditetapkan lembaga perwakilan. Atas dasar pertimbangan sebagaimana diuraikan sebelumnya, sinergitas perencanaan dan penganggaran perlu dilakukan dalam tiga hal, yaitu: a.
sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen), yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
79
b.
sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen), yaitu penataan kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara;
c.
sinergitas kedudukan hukum (rechstatus), yaitu penataan kembali kelembagaan
Kementerian
PPN/Bappenas
dan
Kementerian
Keuangan dalam kaitannya dengan tugas dan pokoknya yang terkoordinasi. c. Integritas dan Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran Menuju Terwujudnya Tujuan Bernegara Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menggunakan frasa “APBN yang ditetapkan setiap tahun” sebagai suatu wujud pengakuan konstitusional adanya rencana yang bersifat inisiatif untuk mencapai suatu tujuan dalam bentuk penetapan. Rencana merupakan penetapan atau tindakan kepemerintahan yang berkaitan secara menyeluruh, guna mencapai tujuan tertentu yang menimbulkan akibat hukum administrasi. Pasal 3 ayat (4) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mengatur, “APBN/APBD mempunyai fungsi otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.” Adanya perencanaan dalam ketentuan tersebut dianggap belum menjadi ruh penganggaran dalam undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan dalam perumusan materi muatan berikutnya mengenai penyusunan dan penetapan APBN, tidak adanya keterkaitan secara signifikan antara dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran. Menurut hukum administrasi negara, rencana merupakan bentuk tindakan
pengarahan
menuju
tujuan
bernegara
yang
kemudian
diformulasikan sebagai akibat hukum ketika dirumuskan dalam suatu
80
dokumen hukum perencanaan dan penganggaran dalam bentuk undangundang. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mengatur pengelolaan keuangan negara dalam APBN dan APBD digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. Hal ini berarti tujuan bernegara adalah tujuan penganggaran dengan serangkaian perencanaan sebagai teknik strategi guna mencapainya. Perencanaan dan penganggaran harus direkonstruksi ulang pada konsepnya sebagai politik hukum anggaran berencana, APBN/APBD sebagai wujud pengelolaan keuangan negara benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui perencanaan. Konsep integritas dan sinergitas perencanaan-penganggaran adalah konsep pengorganisasian dan pengaturan yang sejalan dan tidak terpisah dalam rangka memanfaatkan sumber daya keuangan dan sumber daya kekayaan negara untuk memaksimumkan kebutuhan rakyat dalam waktu yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, kebijakan rencana dan anggaran harus dipandang sebagai suatu sistem sinergis fungsi negara pada perwujudan perekonomian yang dicita-citakan. Bagaimana wujud integritas dan sinergitas perencanaan dan penganggaran dalam praktik tata kepemerintahan dahulu, sekarang, dan masa akan datang, menjadi penting didiskusikan untuk menjadi pedoman bagi pemerintahan baru nanti. d. Arah Sinergitas Perencanaan dan Penganggaran : Masalah dalam Praktik Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Pada masa Orde Baru (1967-1998), praktik perencanaan dan penganggaran pembangunan diformulasikan dalam bentuk koordinasi personal antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di bawah Prof. Widjojo Nitisastro yang menyatakan perencanaan sebagai “penentuan 81
secara sadar mengenai tujuan-tujuan konkret yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki masyarakat bersangkutan dan pemilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien dan rasional guna mencapai tujuan tersebut.” (Lihat Mustopadidjaja AR et al, ed, Bappenas dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 19452025). Pemikiran Prof. Widjojo yang menekankan pada pencapaian tujuan bernegara dengan alternatif cara yang dipilih yang efisien dan rasional atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat. Oleh sebab itu, penentuan alternatif cara tersebut diperlukan ukuran atau kriteria yang dipilih atau direncanakan. Konsep demikian hakikatnya sejalan dengan filosofis perencanaan sebagai formula rasionalitas kinerja keuangan negara untuk mencapai tujuan bernegara. Prinsip dasar dalam penentuan alternatif
tersebut
merupakan pengambilan keputusan keuangan yang rasional, dan berencana oleh pejabat atau instansi yang berwenang atas dasar pengamatan
menyeluruh
terhadap
sistem
perekonomian
secara
keseluruhan. Masa Orde Baru (1967-1998) sayangnya menempatkan koordinasi personal dalam perencanaan dan penganggaran. Oleh sebab itu, ketika masa reformasi (1998-sekarang), perencanaan dan penganggaran menjadi seakan bersaing dalam menjalankan kewenangannya, yang ditambah dengan fungsi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) yang tidak mampu melaksanakan fungsi koordinatifnya dalam mengupayakan
integritas dan
sinergitas
perencanaan
dan
penganggaran. Masalah perencanaan dan penganggaran masa reformasi (1998sekarang)
lebih
didominasi
ketidakjelasan
norma,
regulasi,
dan
kewenangan dalam kedua bidang tersebut. Akibatnya, beberapa masalah dalam kedua bidang tersebut terjadi karena adanya konflik norma, konflik 82
regulasi, dan konflik kewenangan. Beberapa masalah diselesaikan secara parsial, bergantung pada masa menteri yang menjabat, dan tidak kemudian diinstutisionalisasikan. Masalah norma terwujud pada UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 25 Tahun 2004 yang saling mengatasi satu sama lain dan mengupayakan salah satu pihak menjadi superior dibandingkan lainnya dalam wewenangnya masing-masing. Persoalan egosektoral kewenangan adalah persoalan yang kemungkinan terjadi pada era perencanaan dan penganggaran masa Orde Baru (1967-1998), tetapi kehadiran Presiden dan Menko-Ekuin yang mengendalikan menjadi seakan-akan pada saat itu terjadi ”pengendalian dan pengaturan bersama,” padahal itu merupakan koordinasi personal. Oleh sebab itu, koordinasi institusional menjadi sangat utama dalam
mewujudkan
integritas
dan
sinergitas
perencanaan
dan
penganggaran sekarang ini dan masa depan. Konsep koordinasi institusional diwujudkan dalam suatu konsep pengarahan dan pengaturan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan secara bersama-sama, dan bukan sendiri-sendiri. Pengarahan dan pengaturan yang terutama dilakukan adalah pembagian wewenang dan harmonisasi pengaturan antara kedua instansi tersebut. Dalam identifikasi persoalan makro-ekonomi dan inisiatif strategi penyelesaian
masalah
makro-ekonomi,
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merumuskan visi, misi, strategi, dan kebijakan sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 2004. Sementara itu, Kementerian Keuangan menjabarkan strategi dan kebijakan kebutuhan penyelesaian masalah makro-ekonomi tersebut dalam suatu kebijakan anggaran sesuai dengan kemampuan keuangan negara pada saat itu, dengan berbagai pertimbangan rasionalitasnya. Kedua instansi tersebut saling membagi tugas dan fungsi, dengan tidak 83
menjadikan salah satu di antaranya sebagai superior atau deferior, sehingga melenyapkan upaya bersama mewujudkan tujuan bernegara. Masalah perencanaan dan penganggaran pada Masa Reformasi (1998-sekarang) adalah: 1.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dikurangi peranannya, baik melalui norma, regulasi, maupun keputusan politik, sehingga tindakan hukum yang diciptakan oleh instansi perencanaan tidak langsung berdampak hukum karena tidak termuat dalam dokumen penganggaran;
2.
pengambilan keputusan atas perencanaan dan penganggaran tidak lagi hanya didasarkan pada rasionalitas angka pada data Badan Pusat Statisik, tetapi cenderung dominan keputusan politik;
3.
perencanaan dan penganggaran kurang disandarkan pada penetapan tujuan yang realistis, sejalan satu sama lain, dan dinamis sesuai dengan perkembangan perekonomian pada saat itu;
4.
penetapan sasaran dan prioritas untuk mencapai tujuan bernegara dalam RAPBN dan APBN dalam dokumen perencanaan tidak seluruhnya konsisten, kadangkala tumpang tindih, dan kemungkinan duplikasi, sehingga prioritas tidak ditentukan pada rencana yang telah ditentukan dengan pertimbangan rasionalitas keadaan sumber daya yang tersedia, tetapi pada pertimbangan politis teknis pada saat pembahasan dengan parlemen;
5.
perencanaan atas sumber-sumber pembiayaan pembangunan belum diselaraskan bersama antara kedua instansi atas alasan superioritas kewenangan;
6.
perencanaan kebijakan penerimaan, pengeluaran, dan investasi sebagai keseimbangan anggaran belum mampu terkoodinasi 84
dengan baik antar-instansi juga karena alasan superioritas kewenangan. Keenam masalah tersebut menyebabkan norma, regulasi, dan kewenangan perencanaan dan penganggaran mengalami ill-structured problems, yaitu masalah yang muncul saat pembahasan perencanaan dan penganggaran diselesaikan secara koordinasi individual, tidak koordinasi institusional, sehingga tindakan kepemerintahan dalam perencanaan dan penganggaran merupakan institusional decision pemerintah. e. Konsep Integritas dan Sinergitas Fungsi Perencanaan dan Penganggaran Secara falsafah hukum administrasi negara, perencanaan dan penganggaran
merupakan
tindakan
kepemerintahan
yang
bersifat
penetapan, yang membutuhkan persetujuan parlemen. Perencanaan adalah bentuk cara memerintah dan memimpin untuk mencapai tujuan yang dicapai, sehingga keduanya diformulasikan dalam suatu tindakan hukum yang menimbulkan akibat hukum administrasi. (Lihat Klaus Obermayer dalam bukunya Der Plans als verwatungrechtslitches Institut, 1966). Perencanaan
adalah
instrumen
untuk
menggerakkan
perekonomian yang diarahkan pemerintah secara terpadu, konsisten, dan rasional
dalam
penganggarannya.
Oleh
karena
itu,
perencanaan
mendorong efektivitas kebijakan pembangunan dengan berbagai langkah (measures) pembiayaannya. Perencanaan memuat formulasi rencana dan cara
untuk
merealisasikannya
kemudian
dalam
suatu
dokumen
penganggaran. Perencanaan dan penganggaran logis terintegrasi dan tersinergis disebabkan perencanaan tanpa penganggaran adalah khayalan, sedangkan penganggaran tanpa perencanaan adalah kekacauan. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengatur APBN disusun 85
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan
dalam
menghimpun
pendapatan
negara,
sehingga
berpedoman pada rencana kerja pemerintah untuk mencapai tujuan bernegara. Oleh sebab itu, ketentuan tersebut seharusnya menjadi dasar integritas dan sinergitas serta bentuk rencana atas anggaran. Konsep perencanaan dan penganggaran yang terpadu merupakan bentuk ideal guna mewujudkan tujuan negara. Di Singapura, dokumen perencanaan merupakan dasar menentukan arah penganggaran dalam konsep annual strategic review yang memuat asumsi makro ekonomi. Penyusunan perencanaan tersebut dilakukan dalam suatu komite bersama (joint comittee), antara Menteri Keuangan dan Menteri Teknis. Di Belanda, perencanaan untuk kebijakan penganggaran dibentuk Central Planning Bureau, sebuah lembaga pemerintah yang independen yang unik guna memprediksi arah kebijakan pembangunan selama empat tahun, yang kemudian prediksi biro tersebut dijadikan dasar bagi partai politik untuk menyusun platform ekonominya jika dapat meraih kemenangan dalam pemilu. Partai politik di Belanda menandatangi suatu perjanjian koalisi yang menjaga kesinambungan fiskal dan berhati-hati dalam merumuskan kebijakan fiskal selama minimal empat tahun. Di Indonesia, penyusunan rencana dan anggaran dilakukan oleh tiga institusi, yaitu Kementerian Perencanaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga Pengguna Anggaran. Ketiganya memiliki undangundangnya masing-masing, yang kadangkala terdapat disharmonisasi mengenai materi muatannya. Bagaimana menformulasikan ketiganya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Dalam Pasal 7 PP Nomor 90 Tahun 2010, diatur Kementerian/Lembaga dapat menyusun rencana Inisiatif Baru dan indikasi kebutuhan anggaran yang diselaraskan dengan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Perencanaan dan 86
Kementerian
Keuangan,
yang
kemudian
.keduanya
mengevaluasi
pelaksanaan program dan kegiatan dari program yang sedang berjalan dan mengkaji usulan Inisiatif Baru berdasarkan prioritas pembangunan serta analisa pemenuhan kelayakan dan efisiensi indikasi kebutuhan dananya. Selanjutnya, Kementerian Perencanaan mengoordinasikan pelaksanaan evaluasi dan pengintegrasian hasil evaluasi. Sementara itu, Pasal 8 mengatur Kementerian Keuangan menyusun perkiraan kapasitas fiskal untuk penyusunan Pagu Indikatif tahun anggaran yang direncanakan, termasuk penyesuaian indikasi pagu anggaran jangka menengah. Kerja sama
yang
dilakukan
Kementerian
Keuangan
dan
Kementerian
Perencanaan tersebut menurut kedua menteri dianggap sudah memadai untuk melakukan harmonisasi, tetapi dalam praktik di bawah, tetap terjadi pergesekan menyangkut konsep dan implementasi. Menurut teori penyesuaian antara rencana dan anggaran dan pelaksanaannya harus ada pengendalian, yang kemudian sebaiknya diserahkan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
bersama-sama
dengan
Kementerian
Perencanaan
untuk
melakukan evaluasi atas manfaat. Atas kondisi tersebut pergeseran yang terjadi dalam pelaksanaan membutuhkan kesesuaian antara kedua instansi, tidak hanya dalam bentuk gentlement agreement antara kedua personalia menteri yang menjabat, tetapi sampai ke implementasi yang kemungkinan mengalami dishamornisasi, yang kemungkinan perlu diselesaikan dengan suatu forum atau protokol koordinasi antara perencanaan dan penganggaran. Berdasarkan
bahan
yang
disampaikan,
maka
pokok-pokok
pendapat Dian P. Simatupang bahwa permasalahan terkait sistem perencanaan dan penganggaran meliputi antara lain : a. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dikurangi peranannya, 87
baik melalui norma, regulasi, maupun keputusan politik, sehingga tindakan hukum yang diciptakan oleh instansi perencanaan tidak langsung berdampak hukum karena tidak termuat dalam dokumen penganggaran; b. pengambilan keputusan atas perencanaan dan penganggaran tidak lagi hanya didasarkan pada rasionalitas angka pada data Badan Pusat Statisik, tetapi cenderung dominan keputusan politik; c. perencanaan dan penganggaran kurang disandarkan pada penetapan tujuan yang realistis, sejalan satu sama lain, dan dinamis sesuai dengan perkembangan perekonomian pada saat itu; d. penetapan sasaran dan prioritas untuk mencapai tujuan bernegara dalam RAPBN dan APBN dalam dokumen perencanaan tidak seluruhnya konsisten, kadangkala tumpang tindih, dan kemungkinan duplikasi, sehingga prioritas tidak ditentukan pada rencana yang telah ditentukan dengan pertimbangan rasionalitas keadaan sumber daya yang tersedia, tetapi pada pertimbangan politis teknis pada saat pembahasan dengan parlemen; e. perencanaan atas sumber-sumber pembiayaan pembangunan belum diselaraskan bersama antara kedua instansi atas alasan superioritas kewenangan; f.
perencanaan kebijakan penerimaan, pengeluaran, dan investasi sebagai keseimbangan anggaran belum mampu terkoodinasi dengan baik antar-instansi juga karena alasan superioritas kewenangan. Berdasarkan
permasalahan
yang
diidentifikasikan
tersebut,
kemudian Dian P. Simatupang menyampaikan beberapa pemikiran upaya yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan, sebagai berikut. a. Perlu adanya sinergitas, melalui : 1) sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen), yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, 88
baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling); 2)
sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen), yaitu penataan kembali
antar-wewenang
yang
dimiliki
Kementerian
PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara; 3)
sinergitas kedudukan hukum (rechtstatus), yaitu penataan kembali kelembagaan
Kementerian
PPN/Bappenas
dan
Kementerian
Keuangan dalam kaitannya dengan tugas dan pokoknya yang terkoordinasi. b. Perlu dimensi koordinasi institusional yang dirumuskan dalam bentuk institutional board atau institutional protocol yang memberikan kejelasan dan kepastian kedua instansi dalam mengarahkan kebijakan dan keputusan perencanaan dan penganggaran. c. Pilihannya kemungkinan adanya : (1) Menteri Koordinator bidang Perekonomian merangkap Ketua Bappenas; (2) Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan membuat protokol bersama yang mengatur hubungan antar-wewenang; (3) Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan bersama Menko Perekonomian membentuk Komite Bersama Rencana Anggaran; atau (4) Kantor Presiden RI urusan Kebijakan Rencana Anggaran Negara. d. Perlu ditetapkan instansi yang berwenang melakukan pengendalian atas pelaksanaan penganggaran telah atau belum sesuai dengan perencanaan, dan penetapan badan berwenang melakukan evaluasi atas manfaat anggaran yang telah ditetapkan. e. Usulan Triumvirate keuangan: Kementerian Perencanaan-Kementerian Keuangan-Kementerian Pengawasan f.
Tujuan Bernegara dalam perencanaan dan penganggaran harus menjadi perhatian utama, bahkan UU MD3 yang memungkinkan 89
inisiatif baru dari parlemen terhadap rencana dan anggaran tetap harus sejalan dengan prinsip tujuan bernegara melalui rencana. g. Rasionalitas pengambilan keputusan keuangan sebagai perencanaan menuju tercapainya tujuan bernegara harus diatur secara tegas dan menjadi prinsip. 5. Pandangan Kodrat Wibowo (FE Universitas Padjadjaran)17 Kodrat Wibowo (2014) dari Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, memberikan pandangan sebagai berikut. a. Sistem Perencanaan dan Penganggaran di Indonesia Keperluan akan kerangka kebijakan yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional yang bersifat sistematis, harmonis, dan berkelanjutan menjadi landasan dikeluarkannya undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN). Disisi lain, secara konseptual, anggaran merupakan instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya. Dalam skema kebijakan, keputusan alokasi sumber daya untuk berbagai keperluan berupa pengeluaran setiap tahunnya, tercermin dalam APBN maupun APBD. Dalam prakteknya, anggaran tak terlepas dari sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi berbagai kebutuhan masyarakat. Perubahan sistem penganggaran pembangunan dimulai sejak tahun 2002 setelah dikenalkannya sistem anggaran kinerja (performance budgeting). Pendekatan kinerja tersebut mengutamakan partisipasi masyarakat, yang juga melibatkan stakeholder lain dalam aktivitas penganggaran. Pentingnya keterikatan antar elemen pembangunan dalam membangun sistem yang sinergis dijelaskan berturut – turut dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Sistem Administrasi 17
Doktor pada Fakultas Ekonomi Universitas Padjdjaran 90
Keuangan Negara (KN), UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Khusus
tentang
kaitan
perencanaan
dan
penganggaran
sebagaimana dijelaskan pada UU no. 25 Tahun 2004, proses perencanaan dan penganggaran adalah dua hal yang tidak lepas satu sama lain sehingga menunjukkan
bawa perencanaan
penganggaran
sebenarnya dapat
dianggap sebagai sebuah kegiatan sendiri. Berikut adalah 3 komponen penting yang dapat dikembangkan secara parsial maupun terintegrasi: 1. Sistem Perencanaan (Planning) 2. Sistem Penganggaran (Budgeting) 3. Sistem Perencanaan Penganggaran (Budget Planning) 4. Sistem Perbendaharaan 5. Sistem Pengendalian dan Audit Dalam hubungannya dengan pengelolaan keuangan negara, UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) secara implementasi merupakan
bagian dari suatu mekanisme siklus
sebagaimana diperlihatkan dalam gambar. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat hubungan antara Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dengan Sistem Administrasi Keuangan Negara (SAKN) dimana SPPN merupakan tahap awal dari siklus APBN
yang
dilaksanakan
terkandung oleh
makna/hakikat
seluruh
bangsa
pembangunan
Indonesia
dalam
yang
akan
mewujudkan
kehendaknya, kemudian berlanjut dengan fungsi–fungsi manajemen lainnya yang berdasarkan SAKN diatur dengan berbagai ketentuan: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran daerah, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Terlihat bahwa 91
terdapat irisan antara aktivitas perencanaan dan penganggaran yang dalam hal ini memang seringkali menjadi permasalahan walau telah dipayungi oleh PP No. 20/2004 dan PP No. 21/2004 sebagai jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu sebagai Penyusun Anggaran. Untuk memperbaiki sistem perencanaan anggaran yang terjadi maka irisan ini menjadi satu domain terpisah yang dapat diambil alih kewenangannya oleh Presiden langsung melalui unit khusus dibawah sekretariat kepresidenan. Dengan demikian prinsip efisiensi dan equity dalam perbaikan sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional akan lebih dapat tercapai dengan baik.
TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL UU No. 25/2004 SPPN
PLANNING
Perencanaan Penganggaran
UU No. 17/2003 BUDGETING
ORGANIZING SAKN
UU No. 1/2004 Actuating
UU No. 15/2004 Controling
Gambar Hubungan SPPN dengan Pengelolaan Anggaran 92
Sementara kebijakan otonomi daerah dipayungi oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang juga mengatur tentang hal yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran daerah. Sehingga, dalam kebijakan otonomi daerah tersebut diketahui bahwa terdapat empat Undang-undang yang secara berhimpitan mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No.25 tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004 juga mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. Dengan kata lain, perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu pada keempat Undang-undang ini. Mengingat bahwa keempatnya mengatur substansi yang saling terkait, tidak heran terdapat multi interpretasi terhadap pelaksanaanya di daerah, sehingga sekali lagi dapat dianalogikan dengan kondisi di tingkat pusat dimana sistem perencanaan penganggaran yang selama ini bermasalah dapat ditarik langsung kewenangannya ke Bupati/Walikota/Gubernur melalui unit khusus di bawah sekretariat daerah. Hal yang juga perlu ditekankan adalah pentingnya sistem perencanaan penganggaran ini diselaraskan dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan dan Kewenangan. Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benar-benar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan. Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran harus menggunakan prinsip “money follow function”. Artinya penyusunan perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan bersamaan, tetapi secara sekeuntial dengan menimbang program prioritas 93
pembangunan terlebih dahulu. “Concern” pada kaitan aspek perencanaan dengan penganggaran pembangunan adalah aspek yang dianggap mempunyai peranan penting dalam upaya peninjauan kembali pengelolaan dan pengawasan APBN di daerah. Sebagai konsekuensi dari UU Keuangan Negara (UUKN) maka sistim perencanaan pembangunan nasional di tingkat pemerintahan pusat saat ini terpisah antara perencanaan program yang menjadi domain Bappenas dan perencanaan penganggaran yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan. Demikian pula di daerah, sistim perencanaan pembangunan daerah terpisah antara perencanaan program yang menjadi domain Bappeda dan perencanaan penganggaran yang menjadi kewenangan dinas pendapatan daerah. Sampai saat ini keselarasan antara UUKN dan SPPN masih belum terselesaikan dengan baik sehingga terpikirkan ide bahwa tugas fungsi Kementrian Keuangan dapat dikurangi lebih pada fungsi treasury khususnya mencari penerimaan negara dan mengalokasikan penerimaan tersebut sebagai anggaran kepada tiap K/L. Masalah yang sering timbul dari pemisahan urusan kewenangan antara proses perencanaan dan penganggaran program adalah terjadi deviasi alokasi anggaran indikatif (dalam RKP) menjadi anggaran definitif (dalam DIPA RKA). Pelaksanaan koordinasi perencanaan dan penganggaran yang terjadi selama ini tidaklah mengikuti prinsip money follow function melainkan lebih berdasarkan resource envelope yang disediakan oleh Kementerian Keuangan. Solusi yang mungkin dapat dilakukan adalah memindahkan kewenangan perencanaan penganggaran kepada unit khusus dibawah sekretariat kepresidenan. Dengan konsekwensi bahwa akan terjadi pengurangan TUSI dari Kemenkeu yang selama era reformasi memang sangat powerfull dalam masalah keuangan publik. Perencanaan pembangunan pasca reformasi adalah Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan 94
pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari: a)
Rencana pembangunan jangka panjang;
b)
Rencana pembangunan jangka menengah; dan
c)
Rencana pembangunan tahunan.
Penganggaran melalui APBN dan APBD pada intinya adalah instrumen teknis dari idealisme pembangunan yang ingin diwujudkan oleh suatu negara dan daerah melalui program-program yang ingin dilakukan oleh kepala negara dan kepala daerah. Idealisme tertinggi tersebut tertuang dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang merupakan perencanaan untuk 10 tahun, RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang merupakan perencanaan selama 5 tahun, dan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) yang bersifat tahunan. Karenanya kebijakan perencanaan dan penganggaran punya kaitan yang sangat erat satu sama lain. Patut dicatat bahwa tidak seperti halnya RPJMD dan RKP, RPJP jelas tidak tergantung pada kebijakan Presiden yang sedang menjabat, sehingga eksistensi Bappenas dalam hal ini masih kuat, terlebih perencanaan tidak lagi dipandang secara sempit namun sebagai suatu proses perencanaan yang terintegrasi dan harus melibatkan tugas fungsi monitoring, pengendalian, dan dievaluasi keberhasilannya dalam kacamata indikator keberhasilan pembangunan yang tidak hanya menekankan pada input tapi juga output. Dengan demikian alternatif hubungan perencanaan dan penganggaran adalah dengan menempatkan domain tersendiri untuk perencanaan pembangunan. Perencanaan dan penganggaran ini punya kompleksitas problem baik dari sisi normatif (undang-undang sampai peraturan teknisnya) maupun di sisi politis seperti mekanisme, pelembagaan prosesnya, maupun intervensi kepentingan politik. Khusus untuk masalah perundang-undangan
95
kita dapat memulai dari level undang-undang yang mengatur secara dominan masalah keuangan. Kesimpulan Sistem Perencanaan dan Penganggaran Dalam implementasinya, UU SPPN dan UU KN memang harus salah satu
atau
keduanya
direvisi
guna
menyelesaikan
permasalahan
perencanaan penganggaran yang terjadi. Yang juga signifikan adalah bagaimana UU SPPN dan UUKN yang telah direvisi dapat mengakomodasi paket perundang-undangan terkait lainnya seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Selain
dari
masalah
tidak
singkronnya
perencanaan
dan
penganggaran disadari pula adanya dorongan yang lebih kuat terhadap penguatan peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melalui arahan dalam upaya memastikan bahwa program dan kegiatan yang dijabarkan dalam RPJPD, RPJMD, dan RKP serta dipedomani oleh Renstra SKPD dan Renja SKPD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota mengacu pada RPJPN dan RPJMN.
Gambar Perencanaan Berbasis Partisipasi dan dan Evaluasi Diri Dengan mengacu pada Konsep dan Paradigma Perencanaan penganggaran, dapat disimpulkan sementara bahwa penekanan sistem 96
perencanaan pembangunan nasional yang berlaku saat ini tidak mengedepankan unsur yang sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari proses perencanan yaitu unsur evaluasi. Gambar tadi menjelaskan bahwa perencanaan dan implementasi akan selalu idealnya dijembatani oleh hasil check and recheck sebagai satu kesatuan sirkulasi perencanaan. Untuk upaya perbaikan arsitektur kabinet masa pemerintahan Jokowi, maka Kelembagaan Bappenas diarahkan hanya pada TUSI-nya yaitu perencanaan
secara
menyeluruh
hingga
ke
tahap
evaluasi
hasil
pembangunan. Perlu dibentuk unit khusus dibawah keperesidenan untuk mengambil alih fungsi perencanaan penganggaran dari Kemenkeu, sementara Kemenkeu diperkuat posisi kelembagaannya pada TUSI treasury. 6. Pandangan Wika Harisa Putri (PUKAT)18 Wika Harisa Putri (2014) dari PUKAT, memberikan pandangan sebagai berikut. Penganggaran negara merupakan rencana keuangan negara yang dilakukan secara periodik dan memiliki tahapan-tahapan tertentu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (Soeradi, 2014). Periode atau jangka waktu penganggaran, biasa dikenal dengan istilah budget cyclus. Budget cyclus atau siklus penganggaran negara merupakan jangka waktu sejak anggaran disusun sampai pada saat perhitungan anggaran ditetapkan dengan undang-undang. Adapun secara garis besar, fase proses penganggaran meliputi beberapa tahap, yang pertama, Budget Preparation, merupakan tahap persiapan
anggaran
oleh
eksekutif
(pemerintah)
dan
perangkat-
perangkatnya. Tahap ini meliputi dua kegiatan, yaitu perencanaan dan penganggaran.
Tahap
Kedua
adalah
Legislative
Enactment,
atau
persetujuan legislatif (DPR). Tahapan ketiga yaitu Budget Execution atau pelaksanaan APBN, kemudian tahap keempat, Financial Reporting, 18
Peneliti PUKAT, Staf Pengajar Universitas Janabadra Yogyakarta 97
merupakan kegiatan laporan akhir tahun oleh eksekutif (pemerintah) kepada legislatif (DPR), dan yang terakhir dari siklus penganggaran yaitu Auditing, dimana realisasi APBN diaudit oleh badan pemeriksa keuangan. Di Indonesia, pelaporan APBN dilakukan 2 kali, yaitu laporan pelaksanaan APBN semester I, dan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP). Tahapan ini merupakan bagian dari tahap pertanggungjawaban. (Bastian, 2006) Dalam konteks perundang-undangan, fase dalam siklus APBN diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004. Secara garis besar, pihak yang terlibat dalam siklus APBN setidaknya tergambar dalam diagram berikut.
Diagram Fase dalam Siklus APBN dan Lembaga Terkait Bagian kanan dari bagan tersebut merupakan gambaran tahapan APBN
yaitu
perencanaan,
penganggaran,
pengesahan
anggaran,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Tahap perencanaan dimulai dari penyusunan arah dan kebijakan umum APBN, yang didasarkan pada 98
rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan diakhiri pada saat Rencana Kerja Pemerintah (RKP) telah disahkan. Tahap penganggaran dimulai sejak pagu sementara ditetapkan hingga pembahasan dengan DPR mengenai Nota Keuangan (NK) & RAPBN. Sementara itu, tahap pengesahan APBN terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pengesahan UU dan penetapan Perpres mengenai rincian APBN. Setelah RUU APBN disahkan menjadi UU APBN, maka setiap Kementerian/Lembaga wajib mengusulkan draft DIPA dan menyampaikannya ke Departemen Keuangan untuk disahkan. DIPA tersebut merupakan instrumen untuk melaksanakan APBN. Selanjutnya, tahap pertanggungjawaban terjadi pada saat Pemerintah dan DPR membahas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) menjadi UU. Tahapan tersebut memunculkan konsekwensi waktu yang cukup panjang. Jika secara kronologis dijadwalkan pada bulan Februari untuk penyusunan pagu indikatif dan kemudian disetujui presiden dalam sidang kabinet, kemudian diedarkan pada kementrian untuk menjadi dasar penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian. Hasilnya akan dikompilasi oleh Bapennas menjadi RKP. RKP ini kemudian dibicarakan bersama DPR dan hasil kesepakatannya akan dituangkan dalam Perpres RKP untuk tahun berikutnya. Proses sampai dengan Perpres RKP ini kurang lebih berdurasi 3 bulan. Baru pada bulan Mei, RKP ini kemudian akan diproses dan pagu indikatif akan ditetapkan menjadi pagu sementara yang kemudian
akan
dijadikan
bahan
untuk
menyusun
kembali
RKA
Kementerian/ Lembaga. Pagu sementara inilah yang merupakan angkaangka yang akan dipasang dalam buku Nota Keuangan dan RAPBN tahun berikutnya. Nota Keuangan dan RUU APBN tersebut disampaikan oleh Presiden kepada DPR RI pada bulan Agustus tahun berjalan. Sebagai tanggapan atas pidato kenegaraan Presiden tentang Nota Keuangan & RAPBN, fraksi-fraksi akan menyampaikan pemandangan umumnya masing-masing dalam Masa Sidang Pertama. Berdasarkan pemandangan umum fraksi-fraksi tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh 99
Departemen Keuangan melakukan pembahasan RAPBN tahun berikutnya bersama dengan DPR RI, dalam hal ini Panitia Anggaran. Bersamaan dengan itu, Kementerian/Lembaga melakukan pembahasan dengan Komisi terkait secara paralel mengenai RKA Kementerian/Lembaga masing-masing. RUU APBN tahun berikutnya tersebut harus disahkan menjadi UU APBN pada akhir Oktober tahun berjalan. Dengan disahkannya UU APBN, maka pagu sementara akan ditetapkan menjadi pagu definitif. Sebagai tambahan informasi, tingkat pembicaraan RUU APBN antara Pemerintah dengan DPR dilakukan dalam 2 tingkat pembicaraan, yaitu Tingkat I yang meliputi: rapat Komisi, rapat gabungan Komisi, rapat Badan Legislasi, dan rapat Panitia Anggaran, atau rapat Panitia Khusus, serta Tingkat II yang meliputi: rapat Paripurna pengambilan keputusan. Sebelum dilakukan pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II tersebut diadakan Rapat Fraksi. Berdasarkan
UU
APBN
yang
telah
disahkan
tersebut,
Kementerian/Lembaga bersama dengan Departemen Keuangan dan Bappenas menyusun Rincian Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga untuk menetapkan RAB Kementerian/Lembaga per jenis belanja dan mencocokan dengan standar biaya agar terjadi efisiensi anggaran. RAB tersebut harus disahkan paling lambat pada akhir November tahun berjalan. Berdasarkan RAB Kementerian/Lembaga tersebut, Kementerian/Lembaga menerbitkan DIPA yang selanjutnya diserahkan ke Departemen Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen PBN) untuk mencocokan dengan RAB Kementerian/Lembaga dan proses pencairan anggaran. DIPA Kementerian/Lembaga tersebut harus sudah diserahkan oleh masingmasing Kementerian/Lembaga kepada DJPb paling lambat 31 Desember tahun berjalan. Dari kronologi diatas, ada beberapa hal yang ingin dikritisi terkait dengan tahapan dalam siklus penganggaran negara. Siklus pertama yaitu perencanaan (budget preparation), dimana perencanaan tersebut dilakukan 100
oleh jajaran eksekutif, terkesan kurang memanfaatkan waktu secara baik. Hal ini terlihat dari konsumsi waktu penyusunan RPJM menjadi RKP yang memerlukan waktu setidaknya 3 bulan untuk sampai kepada penyusunan pagu indikatif. Padahal, penyusunan pagu indikatif, yang nantinya akan disesuaikan lagi dengan pagu sementara dan ditetapkan dalam pagu definitif, masih memiliki perjalanan yang cukup panjang. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dicermati pada fase budget preparation, yaitu fase Penyusunan Proyeksi Pendapatan Negara dan Hibah, Penyusunan Proyeksi Belanja Negara, Penyusunan Proyeksi Pembiayaan Anggaran, dan Penyusunan Postur RAPBN dalam Rangka Penyusunan Kapasitas Fiskal. Keempat fase tersebut, sebaiknya dapat dilakukan secara lebih cepat, mengingat kegiatan penyusunan proyeksi pendapatan dan belanja, pembiayaan dan postur RAPBN merupakan kegiatan rutin yang bersifat periodik, sehingga setidaknya efisiensi waktu dapat dilakukan sebaik-baiknya. Berikutnya adalah soal kategorisasi pagu. Sebaiknya, untuk lebih mengefisienkan waktu dan juga proses pembahasan, pagu indikatif dan pagu sementara sebaiknya disatukan saja, sehingga nantinya hanya akan terdapat dua pagu, yaitu pagu indikatif dan pagu definitif. Hal ini tentu saja akan membawa konsekwensi bahwa pada saat pembicaraan pagu indikatif, harus
sudah
dipertimbangkan
berbagai
hal
yang
kemungkinan
menyebabkan terjadinya perbedaan nilai pagu, sehingga koreksi yang dilakukan tidak lagi bernilai signifikan. Hal ini juga akan mempersempit ruang untuk melakukan “negosiasi” yang dilakukan oleh eksekutif terhadap legislatif, yang berujung pada tindakan-tindakan melawan hukum. Karena kegiatan perencanaan atau budget preparation ini murni melibatkan unsur eksekutif, maka pada tahapan inilah dimungkinkan terjadi
pemadatan
siklus
penganggaran
sehingga
nantinya
mempercepat proses penganggaran yang melibatkan unsur legislatif.
101
akan
Kedua, pada siklus penganggaran, penyampaian nota keuangan dan RAPBN yang sudah merupakan semacam konvensi kenegaraan, selalu disampaikan pada bulan Agustus. Padahal, tahapan setelah itu masih cukup panjang dan melibatkan DPR berikut 2 tingkatan pembicaraan yang biasa dilakukan. Hal ini membuat waktu yang diperlukan untuk sampai pada tahapan pengesahan UU APBN pada bulan Oktober. Ketiga, pada siklus pengesahan anggaran, setelah disahkan, Kementerian terkait masih akan menyusun rincian anggaran belanja yang harus diserahkan setidaknya sampai akhir tahun ke Kementerian Keuangan. Hal tersebut yang kemudian secara logis membuat pencairan anggaran negara selalu mengalami keterlambatan. Menyikapi usulan yang dimunculkan oleh LAN dalam policy brief tentang integrasi sistem perencanaan dan pembangunan nasional, yang kemudian mengajukan beberapa usulan terkait dengan langkah-langkah efektifitas
perencanaan
penganggaran
yang
memiliki
konsekwensi
ketatalaksanaan maupun kelembagaan, menurut saya, hal tersebut merupakan salah satu upaya yang perlu didorong agar kegiatan budget preparation yang masih berada dalam lingkup kerja eksekutif dapat dikelola dengan baik. Dalam kaitannya dengan penganggaran negara, penganggaran daerah juga kurang lebih memiliki fenomena yang sama. Dalam penganggaran daerah, siklus budget preparation dimulai dari penyusunan RPJMD yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Akan tetapi, penyusunan RPJMD selama ini dalam kenyataannya hanya merupakan prosedur formal yang harus dipenuhi dalam fase budget preparation saja. Hal ini menurut Bastian (2008) disebabkan oleh kapasitas sumberdaya manusia (SDM). Kapasitas SDM ini juga merupakan salah satu penyebab utama permasalahan keterlambatan siklus penganggaran. Bagaimanapun, keterwakilan bagaimanapun)
berbagai
elemen
adalah
sumber 102
masyarakat aspirasi
(dengan
program
kapasitas
pembangunan.
Keterbatasan SDM tersebut menyebabkan usulan program yang dituangkan dalam RPJMD hanya merupakan ide sekumpulan elit masyarakat yang paham dengan konteks program pembangunan daerah. Masih menurut Bastian (2008), titik-titik kritis permasalahan tersebut adalah sinergi program dan kegiatan antar Forum SKPD dan Musrenbang dalam hal kesamaan visi program dan kegiatan yang akan diusulkan. Kedua, penetapan KUA dan PPAS, yaitu terjadinya konsensus antar eksekutif dan DPRD tentang daftar prioritas program dan kegiatan serta proporsi utama bagi prioritas tersebut. Ketiga, penetapan RKPD (dan Renja) sebaiknya dapat langsung disyahkan tanpa menunggu RAPBD, sehingga konsensus atas program dan kegiatan antar eksekutif dan DPRD, sudah disyahkan sejak awal. Keempat, Pembahasan Komisi atas RAPBD, lebih ditujukan untuk memindahkan program ke anggaran tahun berikutnya, untuk mengurangi kegiatan dalam program tahun tersebut, dan untuk menambah program dengan adanya kelebihan dana. Kelima, penetapan APBD lebih ditujukan pada kesepakatan atas prestasi yang akan dicapai. Adapun alternatif solusi agar keterlambatan APBD dapat dikurangi menurut Bastian adalah dengan: 1. Membentuk konsensus antara Gubernur/Bupati/Walikota, dan Ketua DPRD
tentang
teknis
penyusunan
anggaran
dengan
fokus
perencanaan, 2. Intervensi kepemimpinan bersama atas persiapan dan pelaksanaan perencanaan program dan kegiatan, 3. Pembahasan Komisi DPRD tentang KUA dan PPAS, khususnya lebih difokuskan pada persetujuan program dan kegiatan, 4. Penetapan Renja dan RKPD sebaiknya dibulan Juli-Agustus, 5. Penetapan standar harga di tahun anggaran berikutnya pada bulan Juli,
103
6. Rekapitulasi
RKA
SKPD,
yang
diposisikan
lebih
merupakan
implementasi standar harga pada kesepakatan satuan unit, dari program dan kegiatan yang telah disetuju dalam Renja dan RKPD, dan terakhir, 7. Pembahasan Komisi dan Panja Anggaran DPRD sebaiknya lebih berfokus pada pengalihan waktu program dan kegiatan sesuai dengan kapasitas dana. Adapun strategi tindak lanjut yang bisa dilakukan, maka eksekutif sebagai pelaksana anggaran setidaknya bisa melakukan persiapan Musrenbang lebih awal, Penetapan Renja dan RKPD sejak awal, pembahasan Renja, RKPD selaras dengan pembahasan KUA dan PPAS, yaitu dilakukan bersama DPRD dan sebaiknya dilakukan dalam sidang paripurna DPRD maksimal 1 bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan (awal Desember). Sedangkan
bentuk
dukungan
legislatif
terhadap
upaya
memperpendek jangka waktu budget preparation ini bisa dilakukan dengan mengubah fokus lebih ke perencanaan, melakukan pembahasan secara rinci terhadap teknik pencapaian visi melalui program, dan kegiatan pada saat penyusunan Renja dan RKPD serta mengeluarkan regulasi yang lebih mendorong fokus perencanaan pada penyusunan APBD. Kedua fenomena tersebut, baik dalam konteks APBN maupun APBD, keduanya sama-sama memberikan gambaran tentang pentingnya dilakukan upaya perbaikan pada tahap budget preparation, dimana secara logis, tahapan ini masih berada pada payung koordinasi eksekutif, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan keterlambatan APBN/D dalam hal ini dapat dilakukan dengan alternatif penyelesaian yang menitikberatkan pada integrasi kelembagaan sehingga mampu mempersingkat jalur koordinasi, dan diharapkan akan berdampak pada memperpendek jangka waktu dan 104
meningkatkan kinerja pada tahapan budget preparation. Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah, bahwa cara pandang yang terbentuk dan mendasari penyusunan langkah dalam budget preparation harus secara sistematis dan dilakukan dalam perspektif multi tahun dan berkelanjutan. D. Hasil Validasi atas Draft Hasil Kajian. 1. Lokasi : FH Universitas Udayana a. Permasalahan 1) Selama ini persetujuan anggaran dilakukan di Bappenas dan Ditjen Anggaran, terbukti tidak sesuai dengan harapan sebagaimana disampaikan tim. Kami sebenarnya melihat hal ini tidak hanya persoalan kelembagaan (struktur) melainkan juga kesiapan SDM aparaturnya dalam melaksanakan pembahasan. Oleh karenanya, penguatan SDM ini perlu dilakukan baik di lingkup Bappenas maupun di Ditjen Anggaran (kementerian keuangan). 2) Di dalam lingkup nasional, peran Bappenas semakin menurun sebagai
perencana
pembangunan
nasional.
Dalam
sebuah
pertemuan di Jakarta, Bappenas mengumumkan data dari kementerian/lembaga tetapi ternyata ada dua kementerian/ lembaga yang belum mengumpulkan data dimaksud. Bagaimana mungkin lembaga yang difasilitasi/dibiayai oleh pemerintah/ negara justru ‘curhat’ kepada masyarakat (LSM). 3) Terkait
penganggaran,
pemerintah
sebenarnya
sudah
mengeluarkan aturan tentang at cost dalam setiap penggunaan anggaran. Kebijakan ini adalah cara untuk mengendalikan anggaran. 4) Karena itu, kegiatan ini sangat relevan terutama jika dikaitkan dengan implementasi pelaksanaan anggaran di daerah yang – lebih sering
menjadi
“korban” daripada menjadi
subyek dalam
pelaksanaan penganggaran. Akibatnya, pemerintah daerah sering 105
menjadi “kerepotan” karena anggaran yang turun (DIPA) terlambat. Bulan Oktober baru turun dana dari pusat (dana dekonsentrasi), bagaimana kegiatan dapat dilaksanakan, sedangkan di sisi lain dilaksanakan salah, tidak dilaksanakan juga salah. Seharusnya pagu dana dekonsentrasi sudah diketahui pada bulan Juni tahun sebelumnya. 5) Sejalan dengan narasumber sebelumnya, perubahan kebijakan perencanaan dan penganggaran di pusat ini akan berimplikasi kepada perencanaan dan pembangunan daerah. b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian 1) Pemerintah pada dasarnya telah melakukan upaya-upaya reform atau perubahan, salah satunya yang sedang dilakukan LAN saat ini yaitu integrasi perencanaan dan penganggaran. Namun terkait opsi kebijakan yang dipaparkan oleh tim kajian kami mempertanyakan jaminan apa yang bisa diberikan kalau perencanaan dan penganggaran dilaksanakan di sekretariat perencanaan program dan anggaran (Set. P2A) pada kantor kepresidenan akan lebih cepat dibanding sebelum-sebelumnya? 2) Akan tetapi, satu hal yang menjadi perhatian kita adalah mengenai opsi pembentukan unit kantor kepresidenan (kanpres) khususnya opsi pertama (progresif) – merger Bappenas dan Ditjen Anggaran – dikhawatirkan akan menjadikan presiden sebagai tersangka jika terjadi masalah. 3) Pembentukan lembaga baru – apapun namanya – dalam upaya memperbaiki pelaksanaan perencanaan dan anggaran sah-sah saja tetapi jika lembaga yang dibentuk tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang direncanakan maka pembentukan lembaga baru tersebut kurang bermanfaat. 4) Ketika merger (Bappenas dan Ditjen Anggaran Kemenkeu) justru akan menjebak Presiden. 106
5) Jaminan ini diperlukan untuk mengukur efektivitas dan efisiensi terlaksananya integrasi perencanaan program dan anggaran yang selama ini dimaksudkan untuk mempercepat proses persetujuan anggaran. Kami setuju, jika opsi-opsi yang disampaikan dalam kajian ini dapat mengarahkan kepada percepatan persetujuan anggaran yang diajukan. 6) Untuk mengamankan Presiden agar tidak menjadi “tersangka” maka dapat dibentuk lembaga baru (badan) yang terpisah dari kantor kepresidenan. (Pembentukan lembaga baru yang terpisah dari Presiden diharapkan dapat mengamankan Presiden). 7) Regulasi yang dihasilkan dari kajian ini diharapkan dapat sinkron dengan perencanaan dan penganggaran yang dilakukan di daerah karena kekacauan manajemen pemerintahan disebabkan oleh pemerintah pusat. 8) Terkait pembentukan lembaga baru sebagaimana disampaikan tim kajian, akan berimplikasi luas pada kewenangan. Artinya, lembaga ini tidak akan bermanfaat jika tidak dilengkapi dengan kewenangan yang
memadai.
Banyak
lembaga
yang
dibentuk
tetapi
kewenangannya tidak jelas. 9) Kalaupun akan dibentuk lembaga baru, maka lembaga baru harus dilengkapi dengan kewenangan yang jelas. 10) Wacana integrasi perencanaan dan penganggaran mau tidak mau akan menimbulkan pengaturan baru dalam sistem hukum kita. Disini perlu dilakukan penyusunan bank peraturan perundangundangan (data base perundangan). 11) Database ini sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundangan yang akan diterbitkan dan sekaligus bisa dijadikan
rujukan
dalam
menyusun
peraturan
perundang-
undangan baru. Saat ini sudah tersedia JDIH (Jaringan Dokumentasi
107
Informasi
Hukum),
namun
nampaknya perlu
dioptimalkan
pemanfaatannya. 2. Lokasi : FH Universitas Sumatera Utara a. Permasalahan Terjadinya tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat kita cermati dari kasus - kasus di daerah. Contoh terlalu kuatnya interpensi DPR dipusat dan DPRD di daerah. Contoh tersebut dapat kita lihat dalam hal rencana pembangunan Nasional karena bisa saja kepentingan politik atau adanya order atau permintaan sehingga anggaran yang diajukan selalu tersendat, tidak transparan walaupun pembangunan harus secepatnya dilaksanakan. Hal ini terjadi seringkali pada pelaksanaan pembangunan jalan, pelaksanaan dan perencanaan anggaran keuangan yang terjadi selama ini di Indonesia, menjadi permasalahan bagi eksekutif untuk melakukan pekerjaannya. selanjutnya dalam musyawarah rembuk pembangunan (musrenbang), jika muncul usulan perencanaan yang diajukan peserta rapat setelah dikirim ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) bisa saja dicoret demikian halnya di Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) hal ini dapat dilihat dalam anggaran kesehatan yang diajukan oleh Dinas Kesehatan dan anggaran Dinas Pekerjaan Umum misalnya akan membuat drainaise. b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian 1) Pada pembentukan sekretariat perencanaan program dan anggaran pada kantor kepresidenan menurut saya opsi kedua yang paling tepat yakni sekretariat perencanaan program dan anggaran dibentuk dari Bappenas ditambah dengan menarik sebagian fungsi Ditjen anggaran (Kementrian Keuangan) yaitu fungsi perumusan kebijakan di bidang penganggaran dan fungsi evaluasi di bidang 108
penganggaran. Dengan demikian fungsi Bappenas tetap solid, walaupun tetap dibantu oleh Kementrian Keuangan 2) Tetapi kedua lembaga ini harus tetap berkoordinasi untuk pengajuan anggaran karena secara otomatis mereka sudah digabungkan dalam satu atap hal ini merupakan penyederhanaan birokrasi. Keadaan demikian mereka tidak lagi berjalan sendiri – sendiri sehingga diperoleh Win-Win Solution yakni penggabungan Bappenas dengan Kementrian Keuangan menjadi sekretariat perencanaan program dan anggaran, sehingga tidak akan muncul lagi ego masing – masing dengan memajukan kepentingan kelompok. Dengan demikian akan tercapai pembangunan Nasional yang Pro Rakyat dan menuju rakyat sejahtera dalam pemerintahan yang baik. 3. Lokasi : FH Universitas Airlangga a. Permasalahan 1)
Pada UU No. 25 Tahun 2004 untuk perencanaan tidak menyentuh desa, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 walau cuma beberapa pasal dapat mengatur sampai ke bawah
2)
Jaman dahulu perencanaan sangat simple tapi sampai ke hilirnya mengerti, tapi untuk sekarang lebih rumit
3)
Jaman dahulu Pak Harto bicara perencanaan akan jelas sampai jumlah nominal serta cara-caranya dalam penganggaran. Sekarang tidak jelas
4)
Jaman dulu eksekusi penganggaran policy itu simetris dengan penganggaran dan sampai dengan level masyarakatnya. Sekarang tidak jelas sampai ke masyarakatnya
5)
Kasus Hambalang kasus yang terlalu memaksakan hak budget-nya DPR/eksekutif
6)
Program belum menyentuh masyarakat luas 109
7)
Harus ada sinkronisasi di level atas mengenai perencanaan dan penganggaran agar kami di level bawah dapat mengikuti dengan baik
8)
Masih adanya ego sektoral akibat lemahnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS):
9)
Pusat terkadang salah mentafsirkan permasalahan daerah
10) Money follow program dalam Pemda Jatim sudah berjalan bukan money follow function 11) Buruknya sinergias: Ukuran dan prestasi kinerja? Terhadap hal ini perlu dianalisis secara tematik mengenai “kualitas sinergitasnya”: bersifat personal atau institusional? 12) Kurangnya interkoneksi antar berbagai lembaga: K/L pada dasarnya telah memiliki tupoksi yang harus dirancang melalui perencanaan
dengan
alokasi
anggaran
utk menggerakkan
programnya. b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian 1) Menurut kami opsi moderat dapat dijalankan karena perlu adanya sinkronisasi. 2) Dimana letak kekurangan interkoneksi tersebut: beri bagan dengan persandingan yg dpt menjelaskan mengenai hal tersebut. interkoneksi itu terbangun karena program
atau korelasi
kelembagaannya? Inventarisasi sebab-sebabnya. 3) Makna KISS dalam suatu K/L dan ukuran berjalannya KISS. 4) Keterkaitan antara KISS dengan kesejahteraan rakyat, apakah kesejahteraan rakyat ditentukan oleh KISS dan bagaimana hubungan KISS dengan kesejahteraan rakyat? 5) Ukuran kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari 5 IKU (Kinerja Ekonomi, Penurunan Kemiskinan, Tingkat Pengangguran Terbuka
110
(TPT), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Disparitas Wilayah). 6) Pendekatan penggabungan menjadi over organize apabila bersifat permanen, tetapi apabila bersifat ad hock akan menjadi lebih efektif.
4. Lokasi : Pusat Kajian Anti Korupsi - Universitas Gadjah Mada a. Permasalahan 1) Perencanaan dan penganggaran (planning and budgeting) tidak ada dalam keterpaduan perumusan dan penyusunan 2) Kelembagaan penganggaran
perencanaan (Ditjen
(Bappenas)
anggaran)
dan
tersandera
kelembagaan pada
sindrom
ketiadaan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi 3) Trilateral meeting tidak menjamin harmonisasi planning & budgeting karena Bappenas dengan Dirjen Anggaran ada pada orientasi kepentingan yang berbeda, sementara disisi lain lain K/L sebagai institusi yang langsung bersentuhan dengan implementasi rencana kerja adalah pihak yang paling relevan dengan penerapan penganggaran terpadu 4) Budget preparation yang dilakukan penyusunan RPJM
jajaran eksekutif
dalam
menjadi RKP yang memerlukan waktu
setidaknya 3 bulan untuk sampai pada pagu indikatif, sehingga terkesan
kurang
penyusunan
memanfaatkan
waktu
secara
baik.
Fase
proyeksi pendapatan negara dan hibah, proyeksi
belanja negara, penyusunan proyeksi pembiayaan anggaran dan penyusunan postur RAPBN dalam rangka penyusunan kapasitas fiskal
sebaiknya dilakukan
lebih cepat karena hal tersebut
merupakan kegiatan rutin yang bersifat periodik
111
5) Kategorisasi pagu antara Pagu Indikatif dan Pagu Sementara terpisah.
Untuk
mengefisienkan
waktu
dan
juga
pembahasan, pagu indikatif dan pagu sementara
proses
sebaiknya
disatukan, nantinya hanya akan terdapat dua pagu, yaitu pagu indikatif dan pagu definitif.
Dengan pemadatan siklus budget
preparation diharapkan dapat mempercepat proses penganggaran yang melibatkan unsur legislatif 6) Penyampaian nota keuangan dan RAPBN selalu disampaikan pada bulan agustus, padahal tahap setelah itu masih cukup panjang dan melibatkan DPR berikut 2 tingkatan pembicaraan yang biasa dilakukan, sehingga hanya ada waktu 2 bulan untuk sampai pada tahapan pengesahan UU APBN, yaitu bulan Oktober 7) Setelah pengesahan UU APBN, kementerian terkait masih akan menyusun RAB yang harus diserahkan setidaknya sampai akhir tahun ke Kementerian Keuangan, sehinga secara logis membuat pencairan anggaran negara selalu mengalami keterlambatan. b. Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian 1) Paradigma
baru
Sistem
Penganggaran
dengan
pendekatan
penganggaran berbasis kinerja; Kerangka pembangunan jangka menengah; dan anggaran terpadu dapat diwujudkan dengan integrasi 2) Mampu
mempersingkat
jalur
koordinasi
dan
diharapkan
berdampak pada memperpendek jangka waktu dan meningkatkan kinerja
pada
budget
preparation,
sehingga
permasalahan
keterlambatan APBN/D dapat diatasi 3) Setelah proses teknokratik di eksekutif, akan dilanjutkan dengan proses politik di DPR yang memungkinkan anggaran yang sudah terintegrasi dengan perencanaan menjadi tidak terintegrasi kembali.
112
4) Memadukan planning & budgeting dalam satu kelembagaan tunggal. 5) Kelembagaan tunggal tidak sekedar ad hoc tapi bersifat permanen 6) Penyusunan dokumen RKP K/L difasilitasi dan diakomadasi oleh kelembagaan baru yang secara langsung berada di bawah presiden 7) Memadukan Tawaran opsi moderat (acquisition, bukan marger) yaitu akuisisi sebagian tugas fungsi DJA kedalam Kelembagaan Bappenas berubah menjadi Set P2A. Fungsi-fungsi DJA yang lain tetap dipertahankan sepenuhnya dalam institusi Kemenkeu. 8) Eksekutif dapat melakukan musrenbang lebih awal, penetapan Renja dan RKPD sejak awal. Pembahasan RKPD selaras dengan KUA dan PPAS, yaitu dilakukan bersama DPRD maksimal 1 bulan sebelum tahun anggaran berjalan (awal Desember). 9) Perlu dukungan legislatif terhadap upaya memperpendek jangka waktu penyusunan budget preparation dengan: a) mengubah fokus lebih ke perencanaan; b) melakukan
pembahasan
secara
rinci
terhadap
teknik
pencapaian visi melalui program dan kegiatan pada saat penyusunan Renja dan RKPD; serta c) mengeluarkan
regulasi
yang
lebih
mendorong
fokus
perencanaan pada penyusunan APBD.
5. Lokasi : LAN Jakarta a. Sekretariat Kabinet 1) Permasalahan a) Buruknya koordinasi dan kesepahaman antara Bappenas, Kementerian Keuangan dan K/L terkait pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam RKP. Program K/L tidak mengarah pada pencapaian program nasional. 113
b) Inkonsistensi Kebijakan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran yaitu RPJM, RPJMD, RKP, Renja K/L dan RKAK/L. c) Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah, yaitu kepastian mengenai Program/kegiatan/output/ target dan besaran anggaran. Pola komunikasi Bappenas dengan Kementerian Keuangan, K/L, dan Presiden belum efektif. 2) Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian Tanggapan secara umum : a) Belum perlu dilakukan pembentukan Set P2A b) Tidak perlu memperpanjang prosedur dan mekanisme penyusunan rencana dan anggaran pembangunan nasional c) Mensinergikan peraturan-peraturan pelaksana (bukan UU) seperti PP No. 90 Tahun 2010 guna mencapai sinergitas proses penyusunan rencana dan anggaran pembangunan nasional. Tanggapan terhadap opsi kelembagaan : memerlukan revisi terhadap UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2003, sehingga dirasakan kurang tepat saat ini, karena : a) membutuhkan jangka waktu panjang untuk melakukan Revisi terhadap kedua Undang-Undang tersebut; b) menambah kelembagaan baru (Set P2A) dan prosedur perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional; c) membutuhkan biaya tinggi (high cost) Tanggapan terhadap opsi ketatalaksanaan : a) dapat segera diimplementasikan b) lebih efektif karena KISS dan pengambilan keputusan program/kegiatan serta biaya dilakukan oleh Presiden
114
c) menambah dan memperpanjang prosedur dan mekanisme dalam perencanaan dan penganggaran program kerja b. Bappenas 1) Permasalahan a) Sulit mensinkronkan usulan-usulan kegiatan kementerian/ lembaga dengan pemerintah daerah. b) Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. c) Perencanaan dimulai dari integrasi jangka menengah, sering terjadi alokasi anggarannya ada tetapi tidak ada perencanaan. d) Penganggaran harus berdasarkan fungsi 2) Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian a) Bappenas bersama dengan Kementerian Keuangan melakukan pengawalan penyusunan 5 (lima) program yang menjadi prioritas pemerintah. b) Lima program prioritas tersebut sudah disusun dan dirancang lebih detail. c) Program-program tersebut disusun berdasarkan base line yang menjadi kewenangan K/L. d) Membahas susunan prioritas program disesuaikan dengan anggaran yang ada. e) Menyusun prioritas program masing-masing K/L. f) Hal-hal yang menjadi prioritas didahulukan anggarannya. c. Ditjen Anggaran 1) Permasalahan Siklus anggaran dalam UU nomor 17 tahun 2003 membatasi terjadinya keterkaitan perencanaan dan penganggaran. Hal yang membatasi tersebut termuat dalam : Pasal 12 ayat (2), Penyusunan RAPBN berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah; dan Pasal 13, yaitu : 115
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan KEM & PPKF tahun anggaran berikutnya kepada DPR
selambat-lambatnya pertengahan
bulan Mei tahun berjalan. (2) Pemerintah Pusat dan DPR membahas KEM & PPKF yang diajukan
oleh
Pemerintah
Pusat
dalam
pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya. (3) Berdasarkan KEM & PPKF, Pemerintah Pusat bersama DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap K/L dalam penyusunan usulan anggaran. 2) Tanggapan terhadap Draft Hasil Kajian Usulan perbaikan dalam siklus perencanaan dan penganggaran : kegiatan penyusunan RKP, KEM dan PKF serta kegiatan pra trilateral meeting dilakukan antar Januari – April.
116
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Pemisahan antara lembaga perencanaan dan penganggaran program pembangunan pasca reformasi justru menimbulkan fragmentasi pemerintahan karena fungsi penyusunan program masih tetap berada di Bappenas, sedangkan fungsi penganggaran berada di Kementerian Keuangan. Tidak sinerginya perencanaan dan penganggaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional tidak dapat dihindari meskipun telah dilakukan pertemuan tiga pihak sebagaimana diatur dalam PP No. 90 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Kondisi yang terjadi antara lain :
1. Buruknya
koordinasi
dan
kesepahaman
antara
Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan belanja,
2. Inkonsistensinya kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL, dan
3. Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah. Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benarbenar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan. Selanjutnya menggunakan
dalam prinsip
penyusunan “money
perencanaan
follow 117
function”.
penganggaran Artinya
harus
penyusunan
perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan bersamaan, tetapi secara sekuential dengan menimbang program prioritas pembangunan terlebih dahulu.
UU No. 25/2004 SPPN
S I S T E M
TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL PLANNING
BUDGET PLANNING UU No. 17/2003 KN
K E U A N G A N
BUDGETING
ORGANIZING
N E G A R A
UU No. 1/2004 Actuating
UU No. 15/2004 Controlling
Gambar 5.1 Hubungan SPPN dengan Pengelolaan Anggaran Untuk konteks Indonesia, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 merupakan tahap awal dari siklus APBN yang mencerminkan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah. Kemudian rencana tersebut dilanjutkan dengan
proses
penganggaran
untuk 118
mendapatkan
alokasi
anggaran,
sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran di daerah, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Di antara fungsi perencanaan dan penganggaran terdapat irisan proses yang kemudian sering menjadi permasalahan walaupun telah dipayungi dengan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
beserta
peraturan
perubahan
dan
peraturan
pelaksanaannya. Ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu dalam menyusun anggaran. Irisan (budget planning) itulah yang harus dikelola dengan baik agar sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional akan lebih baik, efisien dan equity. Berdasarkan konsep membangun sinergi dari sudut pandang hukum administrasi
negara,
maka
untuk
mewujudkan
keterpaduan
fungsi
perencanaan yang diselenggarakan Bappenas dan fungsi penganggaran yang diselenggarakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, dapat dilakukan dengan cara menempuh salah satu dari 3 (tiga) opsi kebijakan sebagai berikut. Tabel 5.1 Opsi Kebijakan Integrasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara 1 sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen),
Keterangan yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
119
Opsi Tinjauan Hukum Keterangan Administrasi Negara 2 sinergitas hubungan yaitu penataan kembali antar-wewenang yang hukum dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan (rechtsbetrekkingen), Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga Negara 3 sinergitas yaitu penataan kembali kelembagaan Kementerian kedudukan hukum PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam (rechstatus), kaitannya dengan kedudukan kelembagaannya Sumber: Diolah dari berbagai sumber
B. Rekomendasi Kebijakan Agar
terwujud
integrasi
perencanaaan
dan
penganggaran
pembangunan nasional yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, LAN menyampaikan opsi kebijakan dari perspektif
jangka pendek (perbaikan
tatalaksana) dan jangka panjang (perbaikan kelembagaan). 1. Jangka pendek, secara ketatalaksanaan diperlukan pembenahan terhadap proses dan prosedur perencanaan program kegiatan dan penganggaran di Indonesia.
Tatalaksana perencanaan dan penganggaran ke depan
dilakukan dengan mekanisme tata kerja sebagai berikut. a. Presiden menetapkan Visi, misi, program kerja, b. Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Bappenas
menerjemahkan pencapaian visi, misi dan program presiden dalam RPJM disertai target output dan outcome yang harus dicapai oleh kementerian/lembaga. Target tersebut kemudian diinput dalam sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan. Selain itu, disusun pula pedoman untuk penyusunan RENSTRA dan penyusunan usulan program/kegiatan yang harus dilakukan oleh K/L. Sementara itu, Kementerian Keuangan menyusun estimasi rencana penerimaan negara untuk 5 (lima) tahun ke depan c. Kementerian/Lembaga menyusun RENSTRA dengan mengacu pada RPJM dan pedoman yang telah ditentukan. 120
d. Setiap tahun, Kementerian/Lembaga menyusun usulan program/ kegiatan berdasar RPJM beserta estimasi rencana anggaran yang diperlukan. Usulan tersebut disampaikan melalui sebuah sistem aplikasi perencanaan program/kegiatan pembangunan e. Setiap Tahun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas mengevaluasi kinerja program/kegiatan tahun lalu dan usulan program/kegiatan tahunan yang disampaikan melalui sistem aplikasi, serta menetapkan program/kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan dan dibiayai (RKT). Sementara Kementerian Keuangan mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran,
dan menetapkan sumber
pembiayaan pembangunan. f.
Kementerian menyusun
Perencanaan dokumen
RKP,
Pembangunan sementara
Nasional/Bappenas
Kementerian
Keuangan
menyusun dokumen RAPBN g. Presiden menetapkan dokumen nota keuangan untuk disampaikan ke DPR Secara ringkas dapat dilihat pada skema berikut ini.
121
USULAN SKEMA HUBUNGAN TATA KERJA INTEGRASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN K/L Menetapkan Visi, Misi, program kerja “Nawa Cita” Menyusun RPJMN, Pedoman penyusunan RENSTRA dan usulan program/kegiatan oleh K/L
Kementerian PPN/Bappenas
Menyusun RENSTRA
Kementerian/ Lembaga
Menyusun usulan program/kegiatan tahunan dan rencana anggaran yang diperlukan
Kementerian/ Lembaga
Mengevaluasi kinerja program, usulan program/kegiatan tahunan dan Menetapkan program/kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan dan dibiayai
Menyusun dokumen RKP
RPJM
Presiden
Kementerian Keuangan
Menyusun estimasi penerimaan negara
RKT
Kementerian PPN/Bappenas
Kementerian Keuangan
Mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan
Kementerian PPN
Kementerian Keuangan
Menyusun dokumen RAPBN
Presiden
PROSES TEKNOKRATIK
PROSES POLITIK DPR
122
Menetapkan dokumen nota keuangan
2. Jangka Menengah, secara kelembagaan, fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi atas rencana program kegiatan dan anggaran dilakukan
oleh
Kepresidenan,
Bappenas dengan
yang
akan
nomenklatur
ditempatkan Sekretariat
di
Kantor
Perencanaan
Program dan Anggaran. a. Tugas Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran : Menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi serta
mengevaluasi
dan
menetapkan
rencana
program
pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/ lembaga. b. Fungsi, Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran : 1)
Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
2)
Pelaksanaan evaluasi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga.
3)
Penetapan
program
pembangunan
planning)
pembangunan
yang
dan
akan
anggaran
(budget
dilaksanakan
oleh
kementerian/lembaga. c. Kewenangan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran: Menetapkan program dan kegiatan pembangunan K/L yang akan dilaksanakan dan dibiayai dengan anggaran yang tersedia, mengacu pada visi misi dan prioritas program kerja Presiden dan RPJM. Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor Kepresidenan tersebut, terbentuk melalui 3 (tiga) opsi sebagai berikut: 1) Opsi 1 (Progresif), Bappenas dan Ditjen Anggaran merger menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres) 123
2) Opsi 2 (moderate) Bappenas menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres), dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres 3) Opsi 3 (konservatif) Bappenas tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres, dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres. Secara ringkas dapat dilihat pada Tabel berikut
Tabel 5.2 Opsi Pembentukan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor Kepresidenan Opsi Pembentukan 1 (Progresif)
2 (Moderat)
Bappenas
Ditjen Anggaran
merger menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
Tetap , tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres
Catatan
Potensi Permasalahan HAN
Solusi HAN
Memperhatikan • target visi misi program kerja Presiden terpilih • RPJP
• Benturan dengan UU 17/2003 dan UU 25/2004 • Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014
• Revisi UU 17/2003 dan UU 25/2004 • Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidenan
Memperhatikan UU 17/2003
• Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres 165/2014 • KemenPPN dan Bappenas adalah satu kesatuan (UU 25/2004), sehingga jika Bappenas ditarik ke SetP2A maka KemenPPN tidak layak sebagai Kementerian karena hanya menyisakan tugas fungsi yang bersifat internal
• Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidenan • Keppres/ perpres ttg Bappenas dicabut oleh Perpres baru ttg Sekretariat di lingkungan Kantor Kepresidenan
124
Opsi Pembentukan
Bappenas
3 (Konservatif)
Tetap, Tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres
Ditjen Anggaran Tetap , tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres
Catatan • Memperhatikan • UU 25/2004, • UU 17/2003, • Fungsi KISS Set P2A pada Kantor Kepresidenan
125
Potensi Permasalahan HAN
Solusi HAN
Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014
Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidenan
126
BAB V IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN LANGKAH TINDAK LANJUT
A. Dampak
Hasil
Kajian
terhadap
Kebijakan
Perencanaan
dan
Penganggaran Hasil kajian ini semakin menegaskan adanya fakta ego sektoral dan disharmonisasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran, sebagaimana disampaikan dalam beberapa hasil kajian atau penelitian terkait. Untuk itu, kajian dapat menjadi trigger bagi Presiden agar segera melakukan penataan kebijakan, kelembagaan dan mekanisme perencanaan dan penganggaran di Indonesia. Berdasarkan Pasal 23 Perpres 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja,
paling lambat sampai November 2015, akan
dilakukan penataan organisasi kabinet kerja. Terkait hal itu, hasil kajian ini dapat menjadi referensi (academic paper) bagi Presiden untuk melakukan penataan fungsi, tugas dan kewenangan lembaga Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan, khususnya terkait dengan aspek perencanaan dan penganggaran. Namun, penataan kelembagaan kabinet kerja dimaksud harus sinergi dengan penataan kebijakan di bidang sistem perencanaan dan penganggaran. Dalam hal ini, perlu dilakukan penataan secara sistematis dari level kebijakan Undang-Undang (bersama DPR), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden hingga Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. Khusus terkait pelembagaan dan mekanisme Pertemuan Tiga Pihak (trilateral meeting) --- yang berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi Kajian ini diselenggarakan di Kantor Keresidenan ---, tetap dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan regulasi. Hal ini berdasarkan pada kewenangan dasar Presiden selaku Kepala Pemerintahan (executive power), sehingga dapat 127
mengeluarkan kebijakan di ranah eksekutif sepanjang bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas. Dalam rangka upaya integrasi forum dan harmonisasi sistem perencanaan dan penganggaran, maka hasil kajian ini akan dapat menjadi panduan bagi Presiden untuk merumuskan format forum dan mekanismenya. Secara umum, dalam penyusunan kajian ini sudah melibatkan pimpinan isntansi terkait, khusus Bpk. Andi Widjajanto (Sekretaris Kabinet) yang secara khusus hadir langsung dalam acara FGD di Kantor LAN. Dalam acara tersebut, pada prinsipnya beliau memahami usulan pembentukan Kantor Kepresidenan dan perlunya penataan sistem perencanaan serta penganggaran agar dapat selaras dengan prioritas dan gaya kepemimpinan (leadership style) Presiden. Tentu saja, upaya penataan ini harus tetap memperhatikan stabilitas dan dinamika politik, sehingga perlu dikaji momentum yang tepat untuk melaksanakannya. B. Rencana Tindak (Action Plan) Agar hasil kajian ini dapat bernilai manfaat/berdampak secara nyata dalam reformasi sistem perencanaan dan penganggaran,
perlu dilakukan
beberapa rencana tindak berikut ini : 1. Jangka Pendek (sebelum Februari 2015) Mengajukan policy brief kajian ini kepada Presiden cq. Sekretaris Kabinet, sehingga dapat menjadi bagian dalam perubahan struktur organisasi kabinet kerja sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 165 Tahun 2014. 2. Jangka Menengah (sampai akhir Desember 2015) Mengajukan usulan perubahan kebijakan sebagai landasan hukum penataan sistem perencanaan dan penganggaran, di level Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Pada saat bersamaan, mengusulkan kepada Presiden dan Menteri terkait agar revisi UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004 dapat masuk dalam usulan prioritas di luar 128
Prolegnas 2015. Selanjutnya, diharapkan proses revisi terhadap kedua Undang-Undang tersebut segera dilaksanakan, agar dapat menjadi landasan hukum bagi penataan sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia.
129
130
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-buku Mintzberg, Henry. (1994). The Rise and Fall Strategic Planning: Reconceiving Roles for Planning, Plans, Planners. (New York: The Free Press). Reginald, Jones , L. dan Trentin, H. George. (1966). Budgeting : Key to Planning And Control. (New York: The American Management Association,Inc) Bastian, Indra. (2006). Sistem perencanaan dan penganggaran pemerintahan daerah di Indonesia. (Jakarta: Grasindo). BAPPENAS. (2010). Sejarah Perencanaan Pembangunan Indoensia 1945-2025 Fisher, Ronald C. (2007). State And Local Public Finance. (Indiana: Thomshon South-Western). Suparmoko, M. (2000). Keuangan Negara. (Yogyakarta: BPFE). b. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Undang-Undang
No.
25
Tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan
Pembangunan Nasional Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan
131
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan No. 0142/M.PPN/06/2009 dan No. 1848/MK/2009 tanggal 19 Juni tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran. c. Internet www.slideshare.net/DadangSolihin/kerangka-pengeluaran-jangka
-
menengah-mtef-medium-term-expenditure-framework, diunduh pada tanggal 24 April 2014. andy727.wordpress.com/2012/03/15/penganggaran-berbasis-kinerja-sebuah pendekatan-baru-dalam-sistem-perencanaan-dan-penganggaran, diunduh pada tanggal 24 April 2014. d. Lain-lain Ateh, Muhammad Yusuf. 2014. Laporan Proyek Perubahan. ”Penyelarasan Arsitektur Informasi Kinerja dan Pengintegrasian Data Pelaporan (dalam Sistem Perencanaan, Penganggaran
dan Manajemen
Kinerja di
Lingkungan Kementerian Lembaga)”. Jakarta. Tidak diterbitkan.
132
INDEKS
Akuntabilitas ....xiv, 22, 23, 25, 35, 38
Indikator Pembangunan Nasional ...................................................................54
Bappeda ....................ii, 4, 38, 41, 42, 56
kantor kepresidenan ... 22, 59, 60, 62
Bappenas ..... ii, iii, v, vi, vii, viii, x, 1, 4, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 18, 20, 21,
Kementerian Keuangan ..... ii, iii, v, vi,
27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 37, 38,
vii, viii, x, 8, 10, 11, 13, 16, 20, 21,
40, 41, 42, 43, 45, 54, 56, 57, 58,
31, 32, 33, 43, 47, 48, 49, 50, 57,
59, 60, 61, 62, 64, 66, 67, 68, 70,
58, 65, 67, 68, 70, 72, 73, 74, 79,
72, 73, 74, 76, 77, 79, 83, 86, 89,
86, 89, 90
90, 91, 92, 94
Kementerian/Lembaga ...... iii, v, vi, x,
benchmarking ...........................vi, 16, 45
xiv, 1, 4, 8, 34, 39, 40, 70, 72, 73, 74, 82, 86, 89, 90
budget planning ..v, vii, 72, 76, 89, 91
Kerangka Pengeluaran Jangka
coalition agreements....................47, 48
Menengah ......................................... 1, 9
dekonsentrasi ....................... 8, 9, 40, 59
Laporan Akuntabilitas Kinerja
Ditjen Anggaran .... vii, viii, 15, 21, 43,
Instansi Pemerintah (LAKIP) ...23,
58, 59, 60, 69, 77, 92, 94
35, 38
dokumen anggaran ......................44, 52
mekanisme tata kerja ........... vi, 73, 90
dokumen perencanaan ..... 14, 32, 36,
money follow function ...iv, 55, 63, 71,
38, 42
87
Dokumen Perencanaan
Office Management Budgeting
Pembangunan Nasional ............... 54
(OMB) ....................................................46
focus group discussion (FGD)............ vi
outcome .... vi, 2, 23, 43, 44, 51, 73, 90
Indeks Kinerja Utama ........................ 55
output .. vi, 2, 4, 44, 51, 52, 53, 67, 73,
indikator kinerja............................10, 53
90 133
pembangunan iii, iv, v, vi, vii, x, xi, xii,
37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46,
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 14, 15, 18, 19,
47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55,
20, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
37, 38, 39, 40, 41, 43, 47, 49, 55,
66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 79,
56, 58, 59, 61, 62, 65, 67, 68, 70,
80, 82, 83, 86, 87, 89, 90
71, 73, 74, 76, 86, 87, 88, 90, 91
policy brief ..........................................ix, 80
pembangunan nasional.......iii, xii, 14,
Prioritas Makro Pemerintah ...........51
18, 21, 70, 72, 86, 89
program .. iii, vi, vii, viii, 2, 3, 5, 6, 7, 8,
pemerintah daerah ......... xii, 8, 59, 68
9, 10, 11, 13, 14, 15, 20, 22, 24, 32,
pemerintah pusat..... x, xii, 26, 27, 60,
35, 36, 37, 43, 44, 45, 46, 47, 53,
68
55, 59, 60, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 70, 73, 74, 76, 77, 78, 86, 87, 90,
penganganggaran .......................... iii, 14
91, 92, 94
penganggaran iii, iv, v, vi, viii, ix, x, xi,
Regulatory Impact Assesment (RIA)
xii, 1, 2, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 16,
...................................................................29
19, 20, 21, 22, 23, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
Renja-KL ..................................................... iii
41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50,
Renstra.....iii, 8, 13, 14, 15, 24, 34, 35,
52, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
36, 38
62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 72,
RENSTRA ..................................................73
73, 79, 80, 82, 83, 86, 87, 88, 89,
RKP. iii, vii, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14, 21,
90
24, 33, 39, 40, 43, 53, 64, 66, 67,
Penganggaran Berbasis Kinerja ..... 1,
69, 70, 74, 86, 90
10, 36, 51
RPJM iii, vi, vii, 3, 4, 5, 6, 8, 12, 24, 64,
Penganggaran Terpadu..................... 10
67, 70, 73, 74, 76, 86, 90, 91
perencanaan . iii, v, vi, viii, ix, x, xi, xii,
SAKIP .................................................. 35, 37
1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 134
Sekretariat Perencanaan Program
Sistem Perencanaan Pembangunan
dan Anggaran ..... vii, 76, 77, 91, 92,
Nasional . iv, 1, 2, 31, 36, 41, 71, 82,
94
88
sinergiv, vii, viii, xi, xii, 41, 55, 72, 76,
SKPD .................................................. 4, 6, 40
79, 89, 91
system top-down ....................................49
sinergitas .iii, v, 14, 29, 30, 34, 57, 67,
Trilateral Meeting ........... iii, 11, 12, 13
72, 73, 89
tugas pembantuan ..........................9, 40
sistem perencanaan dan
validasi .................................................vi, 16
penganggaran ... iv, ix, xii, 2, 19, 46, 70, 79, 81, 87
135
136
Lampiran 1
PKSANHAN POLICY BRIEF,
Edisi Desember 2014
MEMBANGUN SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN19 “Penganggaran tanpa Perencanaan adalah Pemborosan Perencanaan tanpa Penganggaran adalah Mimpi” Latar Belakang Pemisahan antara lembaga perencanaan dan penganggaran program pembangunan pasca reformasi justru menimbulkan fragmentasi pemerintahan karena fungsi penyusunan program masih tetap berada di Bappenas, sedangkan fungsi penganggaran berada di Kementerian Keuangan. Tidak sinerginya perencanaan dan penganggaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional tidak dapat dihindari meskipun telah dilakukan pertemuan tiga pihak sebagaimana diatur dalam PP No. 90 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Kondisi yang terjadi antara lain : 1) Buruknya
koordinasi
dan
kesepahaman
antara
Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait dengan pencapaian sasaran-sasaran prioritas pembangunan nasional yang akan dituangkan dalam RKP, pokok-pokok kebijakan fiskal dan kebijakan belanja, 2) Inkonsistensinya kebijakan yang ada dalam dokumen perencanaan dengan dokumen penganggaran, yaitu antara RPJM, RKP, Renja K/L dan RKA-KL, dan
Disusun berdasarkan hasil Kajian Integrasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran, Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara- Deputi Bidang Kajian Kebijakan, LAN, 2014. 19
I-1
3) Rendahnya komitmen bersama atas penyempurnaan yang perlu dilakukan terhadap Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah. Pembahasan terhadap Isu Dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terdapat 2 (dua) hal penting: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang baik, maka program-program yang disusun adalah benarbenar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan. Selanjutnya menggunakan
dalam prinsip
penyusunan “money
perencanaan
follow
function”.
penganggaran Artinya
harus
penyusunan
perencanaan program dan penganggarannya dapat saja tidak dilaksanakan bersamaan, tetapi secara sekuential dengan menimbang program prioritas pembangunan terlebih dahulu.
I-2
UU No. 25/2004 SPPN
S I S T E M
TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL PLANNING
BUDGET PLANNING UU No. 17/2003 KN
K E U A N G A N
BUDGETING
ORGANIZING
N E G A R A
UU No. 1/2004 Actuating
UU No. 15/2004 Controlling
Gambar : Hubungan SPPN dengan Pengelolaan Anggaran Untuk konteks Indonesia, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 merupakan tahap awal dari siklus APBN yang mencerminkan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah. Kemudian rencana tersebut dilanjutkan dengan
proses
penganggaran
untuk
mendapatkan
alokasi
anggaran,
sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran di daerah, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan I-3
Negara. Di antara fungsi perencanaan dan penganggaran terdapat irisan proses yang kemudian sering menjadi permasalahan walaupun telah dipayungi dengan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
beserta
peraturan
perubahan
dan
peraturan
pelaksanaannya. Ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai jembatan penghubung antara Bappenas sebagai Perencana dan Kemenkeu dalam menyusun anggaran. Irisan (budget planning) itulah yang harus dikelola dengan baik agar sistem perencanaan peganggaran pembangunan nasional akan lebih baik, efisien dan equity. Berdasarkan konsep membangun sinergi dari sudut pandang hukum administrasi
negara,
maka
untuk
mewujudkan
keterpaduan
fungsi
perencanaan yang diselenggarakan Bappenas dan fungsi penganggaran yang diselenggarakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, dapat dilakukan dengan cara menempuh salah satu dari 3 (tiga) opsi kebijakan sebagai berikut.
Opsi Tinjauan Hukum Administrasi Negara
Keterangan
1
sinergitas tindakan hukum (rechshandelingen),
yaitu penataan kembali perbuatan hukum dalam perencanaan dan penganggaran, baik tindakan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan tindakan hukum publik yang bersegi dua (tweezidge publiekrechtelijke handeling);
2
sinergitas hubungan hukum (rechtsbetrekkingen),
yaitu penataan kembali antar-wewenang yang dimiliki Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam hubungannya dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara
3
sinergitas kedudukan hukum (rechstatus),
yaitu penataan kembali kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam kaitannya dengan kedudukan kelembagaannya
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
I-4
Rekomendasi Kebijakan beserta Implikasinya Agar
terwujud
integrasi
perencanaaan
dan
penganggaran
pembangunan nasional yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat, LAN menyampaikan opsi kebijakan dari perspektif
jangka pendek (perbaikan
tatalaksana) dan jangka panjang (perbaikan kelembagaan). 3. Jangka pendek, secara ketatalaksanaan diperlukan pembenahan terhadap proses dan prosedur perencanaan program kegiatan dan penganggaran di Indonesia.
Tatalaksana perencanaan dan penganggaran ke depan
dilakukan dengan mekanisme tata kerja sebagai berikut. a. Presiden menetapkan Visi, misi, program kerja b. Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Bappenas
menerjemahkan pencapaian visi, misi dan program presiden dalam RPJM disertai target output dan outcome yang harus dicapai oleh kementerian/lembaga, serta menyusun pedoman penyusunan usulan program/kegiatan oleh K/L. Sementara Kementerian Keuangan menyusun estimasi rencana penerimaan negara untuk 5 (lima) tahun ke depan c. Setiap tahun, Kementerian/Lembaga menyusun usulan program/ kegiatan berdasar RPJM beserta estimasi rencana anggaran yang diperlukan d. Setiap Tahun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas mengevaluasi kinerja program/kegiatan tahun lalu dan usulan program/kegiatan tahunan, serta menetapkan program/ kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan dan dibiayai (RKT). Sementara Kementerian Keuangan mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan. e. Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Bappenas
menyusun dokumen RKP, sementara Kementerian Keuangan menyusun dokumen RAPBN I-5
f. Presiden menetapkan dokumen nota keuangan untuk disampaikan ke DPR Secara ringkas dapat dilihat pada Skema terlampir (Lampiran 1). 4. Jangka Panjang, secara kelembagaan, fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi atas rencana program kegiatan dan anggaran dilakukan
oleh
Kepresidenan,
Bappenas dengan
yang
akan
nomenklatur
ditempatkan Sekretariat
di
Kantor
Perencanaan
Program dan Anggaran. Tugas Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran : Menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi serta
mengevaluasi
dan
menetapkan
rencana
program
pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/ lembaga. Fungsi, Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran : 4) Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi rencana program
pembangunan
dan
anggaran
(budget
planning)
kementerian/lembaga. 5) Pelaksanaan evaluasi rencana program pembangunan dan anggaran (budget planning) kementerian/lembaga. 6) Penetapan program pembangunan dan anggaran (budget planning) pembangunan yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga Kewenangan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran: Menetapkan
program
dan
kegiatan
pembangunan
kementerian/lembaga yang akan dilaksanakan dan dibiayai dengan anggaran yang tersedia, mengacu pada visi misi dan prioritas program kerja Presiden dan RPJM. Sekretariat
Perencanaan
Program
dan
Anggaran
pada
Kepresidenan tersebut, terbentuk melalui 3 opsi sebagai berikut I-6
Kantor
Opsi 1 (Progresif), Bappenas dan Ditjen Anggaran merger menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres) Opsi 2 (moderate) Bappenas menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres), dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres Opsi 3 (konservatif) Bappenas tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres, dan Ditjen Anggaran tetap tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres Secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 2.
I-7
Lampiran 1. USULAN SKEMA HUBUNGAN TATA KERJA INTEGRASI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN K/L
Menetapkan Visi, misi, program kerja “Nawa Cita” Menyusun RPJMN dan Pedoman penyusunan usulan program/kegiatan oleh K/L
Menyusun usulan program/kegiatan tahunan dan rencana anggaran yang diperlukan Mengevaluasi kinerja program, usulan program/kegiatan tahunan dan Menetapkan program/kegiatan tahunan yang akan dilaksanakan dan dibiayai
Menyusun dokumen RKP
PROSES TEKNOKRATIK
RPJM
Presiden Kementerian PPN/Bappenas
Kementerian Keuangan
Menyusun estimasi penerimaan negara
RKT
Kementerian/ Lembaga
Kementerian PPN/Bappenas
Kementerian Keuangan
Kementerian PPN
Kementerian Keuangan
Presiden
PROSES POLITIK
DPR
I-8
Mengevaluasi kinerja efisiensi anggaran, dan Menetapkan sumber pembiayaan pembangunan Menyusun dokumen RAPBN
Menetapkan dokumen nota keuangan
Lampiran 2. Opsi Pembentukan Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran pada Kantor Kepresidenan Opsi Pembentukan 1 (Progresif)
Bappenas
Ditjen Anggaran
merger menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidenan (Set P2A Kanpres)
Catatan
Memperhati-kan • target visi misi program kerja Presiden terpilih • RPJP
2 (Moderat)
menjadi “Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran” pada Kantor Kepresidena n (Set P2A Kanpres)
Tetap , tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres
Memperhatikan UU 17/2003
3 (Konser-vatif)
Tetap, Tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan penetapan prioritas program/ kegiatan pindah ke Set P2A Kanpres
Tetap , tapi fungsi/ kewenangan pengambilan keputusan pengalokasian anggaran pindah ke Set P2A Kanpres
• Memperhatikan • UU 25/2004, • UU 17/2003, • Fungsi KISS Set P2A pada Kantor Kepresidenan,
I-9
Potensi Permasalahan HAN • Benturan dengan UU 17/2003 dan UU 25/2004 • Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014 • Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014 • KemenPPN dan Bappenas adalah satu kesatuan (UU 25/2004), sehingga jika Bappenas ditarik ke SetP2A maka KemenPPN tidak layak sebagai Kementerian karena hanya menyisakan tugas fungsi yang bersifat internal Kantor Kepresidenan belum terakomodasi dalam Perpres No. 165 Thn 2014
Solusi HAN
• Revisi UU 17/2003 dan UU 25/2004 • Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidenan
• Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidenan • Keppres/ perpres ttg Bappenas dicabut oleh Perpres baru ttg Sekretariat di lingkungan Kantor Kepresidenan
Penerbitan Perpres tentang Kantor Kepresidengan
I - 10
Lampiran II
BAHAN-BAHAN PAPARAN NARASUMBER
II - 1
II - 2
II - 3
II - 4
II - 5
II - 6
II - 7
II - 8
II - 9
II - 10
II - 11
II - 12
II - 13
II - 14
II - 15
II - 16
II - 17
II - 18
II - 19
II - 20
II - 21
II - 22
II - 23
II - 24
II - 25
II - 26
II - 27
II - 28
II - 29
II - 30
II - 31
II - 32
II - 33
II - 34
II - 35
II - 36
II - 37
II - 38
II - 39
II - 40
II - 41
II - 42
II - 43
II - 44
II - 45
II - 46
II - 47
II - 48
II - 49
II - 50
II - 51
II - 52
II - 53
II - 54
II - 55
II - 56
II - 57
II - 58
II - 59
II - 60
II - 61
II - 62
II - 63
II - 64
II - 65
II - 66
II - 67
II - 68
II - 69
II - 70
II - 71
II - 72
II - 73
II - 74
II - 75
II - 76
II - 77
II - 78
II - 79
II - 80
II - 81
II - 82
II - 83
II - 84
II - 85
II - 86
II - 87
II - 88
II - 89
II - 90
II - 91
Briefing Sheet atas Masukan terkait Integrasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional: Revisi PP 90/2010
I. Dasar Hukum 1. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 2. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3. PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
II. Integrasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Orde Baru dan Era Reformasi: 1. Sesuai Keppres 35/1973 Bappenas memiliki tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan perencanaan dan pembangunan, yaitu: a. Menyusun rencana-rencana pembangunan nasional untuk jangka panjang maupun jangka pendek b. Melakukan koordinasi perencanaan dan mengusahakan keserasian di antara rencana-rencana bagian sektoral maupun regional dan mengadakan penqintegrasian rencanarencana tersebut ke dalam satu rencana pembangunan nasional. c. Menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama-sama dengan Departemen Keuangan. d. Mengamati persiapan dan perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan nasional serta mengusahakan sinkronisasi diantara program-program dan proyek-proyek. e. Melakukan penilaian pelaksanaan rencana pembangunan nasional dengan mempertimbangkan penyesuaianpenyesuaian yang diperlukan dalam program-program dan proyek-proyeknya. 2. Sesuai dengan Keppres tersebut maka Bappenas tidak hanya berfungsi melakukan koordinasi pembangunan pusat dan daerah serta antar instansi namun juga bertanggungjawab dalam anggaran pembangunan nasional. 3. Beberapa kritik terhadap peran Bappenas: II - 92
a. Permasalahan koordinasi yang berkaitan dengan penguasaan dana dan otoritas. Bappenas melakukan "kontrol" yang ketat dengan meneliti setiap komponen dalam Daftar Isian Proyek (DIP). b. Bappenas dianggap terlalu terlibat dalam hal-hal yang bersifat operasional yang cukup menyerap sumber daya sehingga tidak memberi perhatian yang cukup pada hal-hal yang lebih utama seperti analisa kebijakan dan perencanaan strategis yang seharusnya lebih penting. c. Bappenas dianggap turut bertanggungjawab terhadap tuduhan adanya kebocoran dan penyalahgunaan dana pembangunan utama, terutama yang berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri. Bappenas dianggap mengetahui dan merestui terjadinya kebocoran tersebut. 4. Pada era reformasi dilakukan pemisahan fungsi perencanaan dan penganggaran, melalui penerbitan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara (fungsi penganggaran oleh Kementerian Keuangan) dan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional (fungsi perencanaan oleh Bappenas).
III. Integrasi Perencanaan dan Penganggaran Saat ini 1. Mengingat pemisahan fungsi perencanaan dan penganggaran berdasarkan UU No 17/2003 dan UU No 25/2004 masih menuai kritik sebagai salah satu faktor penghambat pembangunan nasional, pada tahun 2010 Pemerintah menerbitkan PP 90/2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang mereivisi PP 21/2004, dengan tujuan penyempurnaan proses sinkronisasi perencanaan dan penganggaran. 2. Namun hal tersebut dinilai berbagai pihak belum cukup menyelesaikan permasalahan yang terjadi, mengingat pendekatan penelaahan RKA K/L berdasarkan PP No 90/2010 masih terbatas pada pendekatan fungsi penganggaran dalam UU 17/2003 yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan pendekatan fungsi perencanaan dalam UU 25/2004 yang dilakukan oleh Bappenas. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 10 PP 90/2010, yang mengatur : a. RKA-K/L menjadi bahan penyusunan Rancangan UndangUndang tentang APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara Kementerian/Lembaga dengan II - 93
Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan (ayat 1) b. Menteri Keuangan mengoordinasikan penelaahan RKA K/L dalam rangka penetapan Pagu RKA-K/L yang bersifat final (ayat 4) c. Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi, yang meliputi: 1) kelayakan anggaran terhadap sasaran Kinerja yang direncanakan; dan 2) konsistensi sasaran kinerja Kementerian/Lembaga dengan RKP. (ayat 5) 3. Kondisi tersebut diatas menimbulkan permasalahan sinkronisasi dalam proses penyusunan perencanaan dan penganggaran guna mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional.
IV. Masukan atas Permasalahan: 1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dijelaskan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: a. mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar Daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. 2. Namun UU ini tidak menjelaskan lebih lanjut keterkaitan dan sinkronisasi antara perencanaan dan penganggaran. Hal ini disebabkan fungsi perencanaan dan penganggaran dilakukan oleh 2 (dua) Instansi yang berbeda (Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan), sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. 3. a. Untuk mendorong optimalisasi sinkronisasi antara perencanaan dan penganggaran tersebut, dapat dilakukan II - 94
melalui Revisi Pasal 10 PP No 90/2010, dengan menambah klausul “persetujuan Bappenas” dalam penetapan RKA-K/L yang bersifat final yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. b. Untuk menghindari tingginya moral hazard atas kewenangan Bappenas tersebut, maka persetujuan Bappenas hanya dilakukan dalam hal penetapan RKA K/L atas program-program pemerintah yang bersifat “prioritas” (tidak semua program dalam RKA K/L membutuhkan persetujuan Bappenas). c. Revisi Pasal 10 PP No 90/2010 tersebut, dilakukan dengan menambahkan 1 (satu) ayat baru, yakni ayat (4a) yang berbunyi: “Penetapan pagu RKA K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang terkait dengan prioritas pembangunan nasional dilakukan dengan persetujuan Menteri PPN/Kepala Bappenas”. (Praktek dalam Trilateral Meeting penyusunan RKA-K/L, keberatan Kementerian PPN/Bappenas terhadap suatu RKA-K/L hanya berwujud “sebatas” pencatatan, yang bisa saja diabaikan dalam penyusunan RKA-K/L oleh Kementerian Keuangan) d. Untuk keselarasan antara wewenang dan fungsi Bappenas, maka perlu dilakukan revisi terhadap tugas dan fungsi yang dimiliki. Bappenas tidak hanya berfungsi sebagai “koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan nasional” namun juga “koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran untuk program prioritas pemerintah”. 4. a. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula dalam proses pembahasan Renja K/L oleh Bappenas, Kementerian Keuangan dan K/L dapat dilakukan sampai dengan pembahasan satuan tiga (saat ini pembahasan hanya dilakukan pada tahap kebijakan, program dan kegiatan). II - 95
b. Hal ini dimaksudkan agar ketika K/L melakukan pembicaran pendahulan Rancangan APBN dengan DPR, K/L lebih dapat menjelaskan posisi program dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab K/L, khususnya yang menjadi prioritas pembangunan nasional.
II - 96
II - 97
II - 98
II - 99
II - 100
Tentang buku ini… Upaya reform terhadap perencanaan dan penganggaran di Indonesia telah dilakukan dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional beserta berbagai peraturan pelaksanaannya. Pada prakteknya masih terjadi sejumlah permasalahan seperti buruknya sinergi, kurangnya interkoneksi antar berbagai lembaga, adanya ego sektoral, serta terjadinya fragmentasi antar kelembagaan yang menjalankan fungsi perencanaan dan penganggaran sehingga menghambat inovasi pembangunan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dalam buku ini Tim Kajian merekomendasikan opsi kebijakan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu: 1) pendekatan kelembagaan, dengan mengintegrasikan fungsi perencanaan dan penganggaran dalam satu lembaga di lingkungan Kantor Kepresidenan. 2) pendekatan ketatalaksanaan, dengan menempatkan proses koordinasi, integrasi, simplifikasi dan sinkronisasi perencanaan program dan anggaran K/L pada Sekretariat Perencanaan Program dan Anggaran, serta menempatkan proses pengambilan keputusan penentuan program dan anggaran di tangan Presiden.
PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 www.lan.go.id