Kemu, S. Z. & Ika, S. Kajian Ekonomi Keuangan Vol. 20 No. 3 (Desember 2016)
Kajian Ekonomi & Keuangan http://fiskal.kemenkeu.go.id/ejournal
Transmisi BI Rate sebagai Instrumen untuk Mencapai Sasaran Kebijakan Moneter Transmission of BI Rate as an instrument to achieve monetary policy goals Suparman Zen Kemuα* dan Syahrir Ikaα Abstrak * Email:
[email protected] α
Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Gedung Radius Prawiro Lantai 6 Jalan Dr Wahidin 1 Jakarta 10710
Riwayat artikel: Diterima 23 Juni 2016 Direvisi 10 November 2016 Disetujui 15 Desember 2016 Kata Kunci : kebijakan moneter, BI rate, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Pasar uang Antar Bank (PUAB), Inflasi (CPI), suku bunga deposito JEL Classification: E52, E42
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat lebih rinci transmisi penetapan BI rate terhadap perubahan SBI, PUAB, bunga deposito, bunga kredit, jumlah M1 & M2 dan kondisi ekonomi makro yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran. Pemahaman terhadap transmisi ini akan memberikan gambaran keseluruhan dari kebijakan moneter yang bersifat makro dan kebijakan mikro, di tatanan perbankan. Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif, analisis menggunakan tabel, grafik, gambar serta Eviews sebagai perangkat kuantitatif. Kerangka berfikir tulisan ini adalah transmisi kebijakan moneter mulai dari BI rate menjadi Sertifikat BI (SBI), PUAB, Bunga Deposito, Bunga Kredit, spread (interest margin) perbankan, inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter berupa penetapan BI rate oleh Bank Indonesia merupakan kebijakan dengan sasaran berjenjang mulai dari sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Hasil dari kebijakan memerlukan lag yang lamanya sesuai dengan kategori sasaran, untuk itu perlu dilihat sasaran BI rate sesuai dengan jenjangnya. Kalau tidak, maka akan terjadi misleading penilaian terhadap keberhasilan penetapan BI rate yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Abstract This paper is intended to look in more detail the transmission of the BI Rate to fixing deposit rates and lending rates. Understanding of the transmission will give an overall picture of the monetary policy that is macro and micro policy such as banking sector. This study is qualitative and quantitative research using descriptive analysis using tables, graphs, images and EViews as quantitative tools. Frameworks of this article is the transmission of monetary policy from the BI Rate to BI Certificates (SBI), Interbank, Deposit Interest, Lending Rate, the Spread (interest margin) of banks, Inflation and Economic Growth. Monetary policy in the form of BI rate by Bank Indonesia is a policy with the goal of gradually from operational targets, intermediate targets, and the final target. The results of the policy requires that the length of the lag in accordance with the target category, for it needs to be seen in the BI rate target in accordance with hierarchically. Otherwise, there will be misleading to the accuracy of BI rate set by Bank Indonesia.
©2016 Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI
262 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
1.
PENDAHULUAN
Bank Indonesia Rate (BI rate) merupakan suatu instrumen pengendalian suku bunga yang digunakan Bank Indonesia untuk mencapai sasaran kebijakan moneter, baik sasaran awal, maupun sasaran antara dan sasaran akhir. Sasaran awal kebijakan moneter adalah pencapaian tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Sasaran antara adalah terbentuknya suku bunga simpanan (deposito) dan suku bunga pinjaman (kredit) yang berpengaruh terhadap jumlah uang beredar. Sasaran sasaran akhir adalah tingkat harga yang diinginkan (yaitu tingkat inflasi) dan pertumbuhan ekonomi (Khoirul, 2009). Transmisi penetapan BI rate oleh Bank Indonesia pada tataran makro dan tingkat suku bunga simpanan dan pinjaman pada tataran mikro serta ultimate goal berupa tercapainya tingkat inflasi yang diinginkan, menjadi tema yang menarik bagi penulis untuk mengetahui keberhasilan dari instrumen moneter tersebut dalam rangka mencapai sasaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah penelitian ini adalah (i) bagaimana proses transmisi itu terjadi dan (ii) apakah proses transmisi tersebut berhasil mencapai sasaran moneter yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia? Adapun tujuan penelitian adalah untuk (i) mengetahui proses transmisi BI Rate, dan (ii) mengetahui tingkat keberhasilan instrument BI rate dalam mencapai sasaran moneter yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan moneter adalah kebijakan Bank Sentral dalam mempengaruhi perkembangan variabel moneter yaitu: uang beredar, suku bunga kredit dan nilai tukar, untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu (Mishkin, 2009). Kebijakan moneter sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro, bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran kebijakan ekonomi makro yaitu: (i) pertumbuhan ekonomi, (ii) penyediaan lapangan kerja, (iii) stabilitas harga dan (iv) keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan akhir kebijakan moneter (Gambar-1). Secara teori, antara keempat sasaran tersebut sering kontradiktif, misal pertumbuhan yang tinggi dapat mengerek inflasi dan sebaliknya rendahnya inflasi dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi (Keynesian Theories dan Neo Clasical Theories). Beberapa hasil penelitian membenarkan teori tersebut. Fischer dan Modigliani (1978) menunjukkan adanya hubungan negatif antara tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme baru teori pertumbuhan. Penelitian yang dilakukan Lubis (2014) menunjukkan adanya korelasi antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam tahun 1968-2012 yakni keduanya berkorelasi negatif sebesar 4,3%. Karena itu, pemerintah Indonesia sebaiknya harus menghindari tingkat inflasi yang terlalu tinggi, sehingga barang dan jasa atau inflasi yang bisa dikendalikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Berititik tolak dari kenyataan tersebut, bank sentral di banyak negara cenderung untuk menetapkan sasaran akhir tunggal dari suatu kebijakan moneter yaitu “mengelola tingkat inflasi” dalam tingkat wajar dan stabil di level tertentu. Beberapa instrumen pengendalian moneter lazim digunakan oleh bank sentral untuk mencapai tujuan akhir kebijakan moneter adalah: (i). Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii).Tingkat Bunga Diskonto, (iii). Giro Wajib Minimum (reserve requirement), (iv). Himbauan Moral (Solikin dan Suseno, 2002) dan (Ascarya, 2002). Ada tiga sasaran penting yang ingin dicapai oleh Bank Sentral dalam melakukan operasi moneter. Sasaran pertama adalah sasaran operasional, yaitu sasaran yang ingin segera dicapai tercermin pada suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Sasaran kedua adalah sasaran antara, yaitu agregat moneter (M1 dan M2), kredit perbankan, dan nilai tukar. Sedangkan sasaran ketiga adalah sasaran akhir yaitu pertumbuhan, kesempatan kerja, stabilitas harga (tingkat inflasi), dan keseimbangan neraca pembayaran.
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 263
GAMBAR-1: Sasaran Akhir Kebijakan Moneter
Sasaran Akhir Kebijakan Moneter Pertumbuhan Ekonomi
Penyediaan Lapangan Kerja
Stabilitas Harga
Keseimbangan Neraca Pembayaran
Sumber: Mishkin (2009), diolah penulis
Sasaran operasional adalah sasaran jangka pendek yang ingin dicapai oleh Bank Sentral dalam operasi moneternya, digunakan untuk mencapai sasaran antara. Adapun kriteria sasaran operasional adalah: (i) variabel moneter yang memiliki hubungan stabil dengan sasaran antara, (ii) dapat dikendalikan oleh Bank Sentral, dan (iii) akurat dan tidak sering direvisi (Mishkin, 2004:347). GAMBAR-2: Instrumen Kebijakan Moneter
Sumber : Mishkin (2009) ,
Menurut Taylor (1995), Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM) adalah: “the process through which monetary policy decision are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Artinya, MTKM merupakan jalur-jalur yang harus dilalui oleh kebijakan moneter untuk dapat mencapai sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan nasional dan inflasi. Pada gambar 3 terlihat kotak hitam (black box), merupakan area MTKM atau jalur-jalur yang harus dilalui oleh suatu kebijakan moneter hingga tercapainya tujuan akhir tunggal dari kebijakan moneter yaitu inflasi. Gambar-3: Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Sebagai “Black Box”
Sumber: Taylor ( 2005)
MTKM dimulai ketika bank sentral mengubah instrumen-instrumennya untuk mempengaruhi sasarannya yaitu sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Perubahan instrumen SBI (tingkat suku bunga SBI) akan berpengaruh pada PUAB (tingkat suku bunga PUAB), tingkat suku bunga Deposito, tingkat suku bunga Kredit, harga aset, nilai tukar, dan ekspektasi inflasi di masyarakat. Perubahan yang terjadi merupakan tanda bahwa transmisi moneter sudah bekerja dan akan berdampak terhadap konsumsi, investasi, ekspor impor sebagai komponen permintaan agregat (aggregate demand). Dalam praktik, permintaaan agregat tidak selalu sama dengan penawaran agregat, hal ini menimbulkan ouput gap yang dapat berpengaruh terhadap perubahan tingkat inflasi. Proses transmisi dari sasaran operasional ke sasaran akhir tersebut membutuhkan waktu yang panjang (time lag). Untuk itu, para ahli moneter menetapkan sasaran lain yaitu sasaran antara. Sasaran antara tersebut diperlukan untuk menilai apakah kebijakan operasional sudah berhasil dan diperkirakan dapat mencapai sasaran akhir yaitu inflasi. Di samping itu, sasaran antara dipilih dari variabel-variabel yang memiliki keterkaitan kuat dengan sasaran akhir, memiliki cakupan luas dan dapat dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering direvisi. Variabel
264 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
sasaran antara meliputi: agregat moneter (M1 dan M2), kredit perbankan dan nilai tukar (Bofinger, 2001). Sedangkan sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia adalah sebagaimana dimandatkan oleh UU nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan UU nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (pasal 7 ayat 1) yang secara jelas menyatakan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (stabilitas moneter). 2.2.
BI Rate
Bank Indonesia mendefinisikan BI Rate sebagai “…the policy rate reflecting the monetary the policy stance adopted by Bank Indonesia and announced to the public” (www.bi.go.id). BI Rate berfungsi mengelola likuditas pasar untuk untuk mencapai target operasional dari kebijakan moneter. Tujuan dari BI Rate juga untuk menjaga perekonomian tetap stabil dan mengontrol inflasi. Biasanya BI akan menaikkan BI Rate jika inflasi diperkirakan akan berada di atas yang ditargetkan, begitu juga sebaliknya BI akan menurunkan BI Rate jika inflasi diperkirakan akan berada di bawah yang ditargetkan. Di Amerika Serikat (AS), suku bunga acuan bank sentral dikenal dengan nama the Federal Funds Rate, yang merupakan salah satu suku bunga yang paling berpengaruh dalam perekonomian AS, terutama terhadap tenaga kerja (employment), pertumbuhan ekonomi (growth), dan inflasi (inflation). Mishkin (2007) mendefinisikan the federal funds rate sebagai “…the interest rate on overnight loans of reserves from the bank to another”. The Fed semakin memperkuat peran the federal funds rate sebagai indikator utama kebijakan moneter. Sejak tahun 1994, the Fed mengumumkan target the federal funds rate pada setiap pertemuan “the Federal Open Market Committee (FOMC)”. Pertemuan tersebut biasanya dilakukan sekitar delapan kali dalam setahun. Dalam praktiknya, BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter, dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan suku bunga deposito dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan. Sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan/anchoring inflation expectations (Bank Indonesia, 2016). Dalam rangka penguatan kerangka operasi moneter, Bank Indonesia memperkenalkan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-Day Repo Rate, yang mulai berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016. Kebijakan baru ini tidak menganulir BI Rate yang digunakan saat ini, dan tidak mengubah stance kebijakan moneter yang sedang diterapkan. Maksud dari suku bunga acuan BI baru adalah agar suku bunga kebijakan dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil. Instrumen BI 7-Day Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan. Dalam masa transisi, BI Rate akan tetap digunakan sebagai acuan bersama dengan BI Repo Rate 7 Hari (Bank Indonesia). 2.3.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga atas tunjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dan dapat diperjualbelikan dengan diskonto. SBI terbit pertama kali pada tahun 1970 dengan sasaran utamanya adalah untuk menciptakan suatu instrumen pasar uang yang hanya diperdagangkan antara bank. Pada tahun 1971 Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan baru yaitu bank dapat menerbitkan deposito
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 265
sepanjang memperoleh izin dari Bank Indonesia. Dengan kebijakan baru ini SBI tidak lagi diterbitkan dengan pertimbangan sertifikat deposito dianggap bisa menggantikan SBI. Artinya SBI hanya sempat beredar kurang lebih satu tahun (1970-1971). Namun pada tahun 1983 melalui paket 1 Juni 1983, Bank Indonesia kembali merubah kebijakan moneter dengan menerbitkan SBI sebagai instrumen kebijaksanaan operasi pasar terbuka untuk tujuan kontraksi moneter (Siamat, 2005: 455). Perbedaan antara deposito dengan SBI sebagai alat kontraksi moneter adalah kalau deposito melibatkan masyarakat dan bank-bank, sedangkan SBI adalah melibatkan bank-bank dengan Bank Indonesia. SBI merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah. Manakala terjadi kelebihan uang di masyarakat dan perbankan, maka Bank Indonesia menyerap kelebihan uang tersebut dengan menjual SBI dengan bunga tinggi. Perbankan akan membeli obligasi tersebut sehingga likuiditas perbankan berkurang dan bank secara otomatis akan mengurangi pinjaman kepada masyarakat. Untuk meningkatkan tingkat likuiditas maka perbankan bersaing untuk mendapatkan dana sebesar-besarnya dari masyarakat dengan meningkatkan suku bunga simpanan, yaitu suku bunga deposito. Hal ini lagi-lagi mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat (Dwiastuti, 2006). Kebijakan SBI ini mempunyai efek ganda yaitu mengurangi likuiditas perbankan dan atas itu perbankan menyerap dana masyarakat sehingga target Bank Indonesia untuk mengurangi jumlah uang beredar dapat sekaligus tercapai dengan menggunakan satu instrumen, yaitu dengan menjual SBI kepada perbankan. 2.4.
Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR)
JIBOR adalah suku bunga indikasi penawaran dalam transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) di Indonesia. Suku bunga indikasi penawaran adalah suku bunga pada transaksi unsecured loan antar bank, mencerminkan: (i) suku bunga pinjaman yang ditawarkan suatu bank kepada bank lain. (ii) suku bunga pinjaman yang bisa diterima suatu bank dari bank lain. JIBOR terdiri atas dua mata uang yakni rupiah (IDR) dan dolar AS (USD), dengan masing-masing terdiri dari enam tenor yakni satu hari, satu minggu, satu bulan, tiga bulan, enam bulan dan 12 bulan. JIBOR diharapkan dapat menjadi suku bunga acuan yang kredibel dan digunakan pada banyak transaksi keuangan di Indonesia, sehingga mendorong pendalaman pasar keuangan domestik dengan cara sebagaimana terlihat pada tabel 1. Bank Indonesia melakukan monitoring harian untuk meningkatkan kualitas JIBOR, guna memastikan bahwa kuotasi data suku bunga penawaran yang disampaikan oleh bank kontributor JIBOR mencerminkan kondisi pasar. Selain itu, Bank Indonesia juga terus melakukan upaya penyempurnaan terkait JIBOR yang akan dikomunikasikan kepada pelaku pasar dan publik dalam rangka membangun awareness dan komitmen bersama sebagai bagian dari upaya menjadikan JIBOR sebagai suku bunga acuan yang kredibel di pasar uang domestik. TABEL-1: Manfaat Penerapan JIBOR sebagai bunga acuan No. 1 2 3 4 5
Uraian Mendorong pengembangan PUAB terutama untuk transaksi dengan tenor diatas satu bulan yang saat ini transaksinya sangat kecil dan tidak memiliki benchmark suku bunga Mendorong pelaku pasar untuk menciptakan instrumen pasar uang lain dengan basis suku bunga Menciptakan benchmark suku bunga bagi transaksi derivatif dan transaksi berbasis floating rates Membantu bank dalam menentukan suku bunga pinjaman dan deposito bagi nasabah prima Membantu pembentukan benchmark untuk pasar obligasi
Sumber: Bank Indonesia (www.bi.go.id)
2.5.
Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
PUAB atau adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank dengan bank lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan pihak yang meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme over the counter (OTC) yaitu terjadinya kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana, dilakukan tidak melalui lantai bursa. Transaksi PUAB dapat berjangka waktu dari satu hari kerja (overnight) sampai dengan satu tahun, namun pada praktiknya mayoritas transaksi PUAB berjangka waktu kurang dari 3 bulan.
266 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
Agar pergerakan suku bunga PUAB O/N tidak terlalu melebar dari BI Rate, Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil. Kebutuhan likuiditas perbankan diestimasi dengan mempertimbangkan faktor- faktor autonomous seperti operasi pemerintah, jatuh waktu instrumen OPT dan Standing Facilities serta mutasi dari uang kartal. Faktor- faktor tersebut dapat berdampak injeksi (penambahan) likuiditas maupun absorpsi (pengurangan) likuiditas dipasar uang (www.bi.go.id). Sumber dana melalui pasar uang antar bank atau interbank call money market, disingkat dengan call money, merupakan sumber dana paling cepat bagi bank. Call money ini sering digunakan oleh bank-bank yang sedang mengalami kekalahan kliring, yaitu manakala jumlah tagihan masuk lebih besar dari jumlah tagihan keluar dan harus segera diselesaikan atau ditutup pada hari berikutnya sebelum kliring dimulai. Untuk memperoleh likuiditas cepat dalam rangka menutup kekalahan kliring tersebut, bank memanfaatkan call money ini. Pemasok utama dana dalam pasar ini umumnya bank-bank besar terutama bank-bank pemerintah. Call money sangat berperan dalam pengelolaan dana bank karena disamping sebagai sumber dana, juga merupakan sarana penempatan dana bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas. Jadi call money ini dapat juga digunakan sebagai sarana alokasi dana jangka pendek untuk menghindari terjadinya idle fund (Siamat, 1999:90).
3.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriptif dan kuantitatif dengan pendekatan statistik. Data yang digunakan merupakan data sekunder, diperoleh dari berbagai buku, jurnal dan artikel di berbagai media. Analisis kualitatif diskriptif dilakukan dengan menggunakan gambar, tabel dan grafik. Sedangkan analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan EViews. Analisa kuantitatif digunakan untuk memperoleh bukti kuantitatif bahwa BI rate masih layak atau tidak layak digunakan sebagai instrumen moneter. Hal ini diperoleh dengan cara melihat respon dari variabel terikat (dependent variable) terhadap perubahan yang terjadi pada variabel bebas (independent variable). Juga dilihat masing-masing konstribusi dari variabel bebas atas perubahan yang terjadi pada variabel terikat. Dalam analisa kuantitatif ini juga dilihat hubungan sebab akibat antar variabel (Granger Causality) yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara variabel terikat dan variabel bebas.
4.
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1.
Deposito
Bank sebagai depository institutions, menggelontorkan banyak sekali kredit setiap tahun. Bank memberikan pinjaman ke bisnis, membiayai pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan-kebutuhan konsumsi rumah tangga seperti perumahan, kenderaan, serta memberikan pelayanan lainnya, sehingga dapat menggerakan perekonomian. Bank bisa saja mengalami kekurangan likuiditas dalam melayani permintaan kredit dari masyarakat dan dunia usaha. Bisa juga sebaliknya, bank mengalami kelebihan likuiditas, sehingga menjadi modal yang dikuasasinya menjadi tidak produktif. Karena itu menurut Mishkin (2007), sebagai depository institutions, bank harus menjaga balance sheet (total assets =total liabilities + capital). Bank mendapakan funds dengan cara issuing (selling) liabilities seperti tabungan (depocits) dan nontransaction depocits (saving account dan time depocits atau certificate of depocits/CDs). Menurut Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan Indonesia, deposito adalah simpanan pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan. Sedangkan menurut Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia,
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 267
“Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.” Dasar hukum deposito di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 28 Tahun 1968 tanggal 9 September 1968 dan Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Bab I Pasal 1 butir 7 (Firdaus dan Ariyanti, 2004). Munculnya deposito berjangka adalah karena produk perbankan berupa jasa giro tingkat bunganya rendah sehingga kurang menarik bagi pemilik uang untuk menabung uangnya pada rekening koran. Deposito memiliki imbalan lebih besar dalam bentuk bunga karena memiliki tenggang waktu yang pasti (berjangka). Adanya kepastian tenggang waktu ini membuat tabungan deposito memberikan kesempatan bagi pimpinan bank untuk merencanakan penyaluran kredit kepada debitornya dengan imbalan spread atau selisih antara bunga deposito dengan bunga pinjaman. Ada dua jenis deposito: (i) Deposito Berjangka yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank bersangkutan. (ii) Deposito on call yaitu simpanan deposan yang tetap berada di bank bersangkutan, penarikannya harus terlebih dahulu diberitahukan kepada bank bersangkutan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak. Misalnya, 30 hari sebelum ditarik, deposan harus terlebih dahulu memberitahukannya kepada bank bersangkutan. 4.1.1. Jenis Deposito Deposito berjangka adalah tabungan yang penarikannya hanya bisa dilakukan sesuai dengan periode deposito, yaitu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan. Idealnya, semakin lama jangka waktu simpanan deposito, semakin tinggi tingkat suku bunganya. Namun untuk kasus Indonesia berbeda. Sejak dikeluarkannya Paktri 28/1991 yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu suku bunga untuk deposito yang berjangka pendek (misalnya satu bulan) lebih besar daripada suku bunga deposito berjangka lebih panjang (misalnya tiga bulan). Mengingat cost of fund dari tabungan deposito ini tinggi, maka pihak bank harus dapat mengelolanya dengan efektif dilihat dari sisi kecepatan penyalurannya kepada debitor, artinya deposito nasabah tersebut tidak boleh mengendap terlalu lama (idle). 4.1.2. Variabel Penentu Tingkat Suku Bunga Deposito a.
Price Kredit dan Cost of Fund Bank–Bank Saingan. Dengan semakin ketatnya persaingan antarbank di Indonesia, suatu bank harus juga memperhatikan price kredit atau tingkat bunga kredit yang ditetapkan oleh bank-bank lain, terutama keberhasilan bank-bank lain dalam bersaing untuk menghimpun dana pihak ketiga termasuk deposito berjangka. Hal ini penting karena tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh suatu bank merupakan daya tarik utama bagi nasabah untuk menyimpan dananya di suatu bank. b.
Tingkat Likuiditas.
Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah pada saat diperlukan. Beberapa definisi likuiditas bank dari berbagai buku, diantaranya menurut Howard D. Crosse dan George W. Hempel (1973), yaitu kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito/simpanan oleh deposan/penitip. Artinya, suatu bank dikatakan likuid apabila bank tersebut dapat memenuhi kewajiban penarikan uang dari para penitip dana maupun dari para peminjam/debitur (Latumaerissa, 1999:19). Dalam Terminologi Keuangan dan Perbankan, likuiditas diartikan sebagai kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban utang-utangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan (Chairuddin, 2002)†. Artinya, bank dinyatakan likuid apabila: (i) Bank memiliki cash asset sebesar kebutuhan yang akan digunakan untuk memenuhi likuiditasnya. (ii) Bank memiliki cash asset lebih kecil tetapi memiliki †
Chairuddin Nasution, 2002. “Analisis Posisi Likuiditas” Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Sumatera Utara.
268 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
aset lain yang dapat dicairkan sewaktu-waktu tanpa mengalami penurunan nilai pasarnya. (iii) Bank tersebut mempunyai kemampuan untuk menciptakan cash asset baru melalui berbagai bentuk utang. TABEL-2: Kegunaan likuiditas dalam memenuhi kewajiban bank NO. 1 2 3 4 5
URAIAN Menutup jumlah reserve requirement/giro wajib minimum (GWM) Membayar cek, giro, tabungan dan deposito berjangka milik nasabah yang diuangkan kembali Menyediakan dana kredit yang diminta calon debitur sehat, sebagai bukti bahwa mereka tidak menyimpang dari kegiatan utama bank, yaitu pemberian kredit Menutup berbagai macam kewajiban lainnya Menutup kebutuhan biaya operasional perusahaan
Sumber: Sinkey dikutip oleh Latumaerissa, 1999
Likuiditas dapat juga diartikan sebagai kemampuan bank untuk menyediakan kas dan harta likuid lain untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana terlihat pada tabel 2. Sedangkan lima fungsi utama likuiditas bank adalah sebagaimana terlihat pada tabel 3. Loan to deposit ratio (LDR) adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar pinjaman yang didanai oleh pihak ketiga. Rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan, dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan (Kasmir, 2003). Perbandingan antara kredit yang diberikan dibandingkan dengan dana pihak ketiga, termasuk pinjaman yang diterima, tidak termasuk pinjaman subordinansi (O.P. Simorangkir, 2004). Rasio yang menggambarkan sejauh mana simpanan digunakan untuk pemberian pinjaman. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai salah satu penilaian dalam mengukur likuiditas bank (Latumaerissa, 1999). Dari beberapa definisi yang telah dicantumkan, LDR dianggap lebih baik (likuid) kalau persentasenya tidak terlampau tinggi. LDR yang tidak terlampau tinggi mencerminkan kemampuan bank untuk dapat mengembalikan dana simpanan nasabah kalau sewaktu-waktu ingin ditarik. Sebaliknya, kalau persentase LDR semakin tinggi maka semakin tidak likuid bank tersebut karena uang simpanan nasabah terlampau banyak dipinjamkan (di tangan orang lain) sehingga tidak bisa dipakai ketika nasabah ingin menarik simpanan tersebut. TABEL-3: Fungsi Utama Likuiditas NO. 1 2 3 4 5
URAIAN Menunjukkan dirinya sebagai tempat aman untuk menyimpan uang Memungkinkan bank memenuhi komitmen pinjamannya Untuk menghindari penjualan aktiva yang tidak menguntungkan Untuk menghindarkan diri dari penyalahgunaan kemudahan atau kesan “negatif” dari penguasa moneter karena meminjam dana likuiditas dari bank sentral Memperkecil penilaian risiko ketidakmampuan membayar kewajiban penarikan dana
Sumber: Sinkey dikutip oleh Latumaerissa, 1999
c.
Tingkat Kecukupan Modal
Dari sisi penitip uang (deposan), modal bank memegang peranan penting manakala mereka akan mengambil kembali simpanan mereka di bank, karena dalam menjalankan usahanya, bank berhadapan dengan risiko yang cukup tinggi berupa tagihan macet atau tagihan tidak dibayar tepat waktu. Kalau bank tidak memiliki modal cukup untuk menutup risiko usaha yang mungkin terjadi, maka hal ini akan merugikan para deposan. Karenanya, modal bank sangat penting untuk memberi rasa aman kepada para penitip/nasabah bank (Latumaerissa, 1999). Kecukukupan modal (capital adeaquacy) berkaitan dengan munculnya risiko insolvensi usaha perbankan, karena suatu bank bisa saja mengalami risiko kebangkrutan. Risiko tersebut muncul karena usaha perkreditan tidak selalu berjalan lancar tapi bisa juga mengalami kredit macet yang dapat mengancam kelancaran arus dana bank. Bilamana hal ini terjadi maka bank bisa saja tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan dana nasabah/deposan. Untuk menutupi uang nasabah yang macet maka bank harus menggunakan modal bank (ekuitas), sehingga uang milik para deposan
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 269
dapat dikembalikan. Itulah pentingnya kecukupan modal bank yang memadai agar kepentingan nasabah selalu terlindungi. Modal bank diperlukan untuk menunjang kegiatan operasi bank. Namun dalam praktik, menentukan jumlah modal yang pas dan wajar bukanlah suatu pekerjaan gampang, karena modal digunakan untuk terlaksananya operasional bank sehari-hari dan modal juga diperlukan untuk menjadi benteng terakhir manakala bank mengalami kesulitan keuangan. Untuk itu, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menetapkan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum yang disebut dengan capital adequacy ratio (CAR). Sejalan dengan itu, agar perbankan Indonesia dapat berkembang secara sehat dan memiliki kemampuan bersaing dengan bank-bank Internasional, maka modal minimum bank disesuaikan mengikuti standar yang berlaku didunia internasional. Berkaitan dengan itu, Bank for International Settlement (BIS) telah mengeluarkan pedoman permodalan yang berlaku secara internasional dengan tetap memberikan kesempatan kepada masing-masing sistem perbankan suatu negara untuk melakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan kondisi negara masing-masing (Siamat, 2005). Rasio kecukupan modal bank (capital adequacy ratio/CAR) didasarkan pada rasio atau perbandingan antara modal yang dimiliki bank dengan jumlah Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) ‡. Komponen ATMR Aktiva Neraca meliputi: kas, emas dan mata uang emas, giro pada Bank Indonesia, tagihan pada bank lain, surat berharga (SBI, Saham dan Obligasi, SBPU § yang diterbitkan Bank Sentral), kredit yang diberikan (Bank Sentral, Bank lain, kredit kepemilikan rumah), penyertaan, aktiva tetap dan inventaris, aktiva antar kantor. Komponen ATMR Aktiva Administratif meliputi: piutang, kepemilikan rumah yang dijamin pihak pertama untuk dihuni, piutang kepada usaha kecil, piutang kepada pegawai, pembiayaan atau kredit (Dendawijaya, 2000). CAR dihitung dengan cara membandingkan antara modal bank (modal inti + modal pelengkap) dan total ATMR. Hasil perhitungan rasio tersebut, kemudian dibandingkan dengan kewajiban penyediaan modal minimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia **. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapatlah diketahui apakah bank bersangkutan telah memenuhi ketentuan CAR (kecukupan modal) atau tidak. Jika hasil perbandingan antara perhitungan rasio modal dan kewajiban penyediaan modal minimum sama dengan 100 % atau lebih, modal bank bersangkutan telah memenuhi ketentuan CAR. Sebaliknya, bila hasilnya kurang dari 100 %, modal bank tersebut tidak memenuhi ketentuan CAR. d.
Tingkat Keuntungan (Profit) yang Diinginkan
Sebagaimana juga dengan usaha bisnis pada umumnya, tujuan utama bisnis perbankan adalah memperoleh keuntungan optimal melalui layanan jasa keuangan kepada masyarakat. Keuntungan atau rentabilitas bank adalah suatu kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan/laba dalam bentuk persentase. Return on Asset (ROA) adalah perbandingan (rasio) laba setelah pajak (earning after tax) selama 12 bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam suatu periode. Sedangkan Return on Equity (ROE) adalah perbandingan laba setelah pajak (earning after tax) dibandingkan dengan jumlah modal (equity) bank bersangkutan (Hasibuan, 2001).
‡
§
**
ATMR merupakan penjumlahan ATMR aktiva neraca (aktiva yang tercantum dalam neraca) dan ATMR aktiva administratif (aktiva yang bersifat administratif). Langkah-langkah perhitungan penyediaan modal minimum bank adalah: (i) ATMR aktiva neraca dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal masing-masing aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing-masing pos aktiva neraca aktiva tersebut. (ii) ATMR aktiva administratif dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal rekening administratif uang bersangkutan dengan bobot risiko masingmasing pos rekening tersebut. (iii) Total ATMR = ATMR aktiva neraca + ATMR aktiva administratif. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) adalah money market instruments yaitu surat utang yang diterbitkan oleh badan usaha swasta, pemerintah dan agen pemerintah, umumnya berjangka waktu maksimum satu tahun; Surat utang yang demikian merupakan investasi yang sangat likuid; contohnya, Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, surat berharga komersial, termasuk di dalamnya surat utang jangka pendek, akseptasi bank, surat berharga komersial, surat berharga jangka pendek pemerintah daerah yang bebas pajak dan sertifikat deposito bank yang dapat dijual. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/ 12 /PBI/2013 Tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
270 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
4.2.
Kredit
Kegiatan perkreditan merupakan rangkaian kegiatan utama bank umum meliputi bagaimana menyalurkan kredit, disamping menghimpun dana dari masyarakat. Dalam kegiatan menyalurkan kredit ini, mau tidak mau bank harus menghadapi berbagai resiko yang tidak bisa dihindari. (Dendawijaya,2000). Untuk memenangkan persaingan, bank harus dapat memberikan suku bunga kredit yang bersaing dibandingkan suku bunga kredit bank lain. 4.2.1. Variabel penentu tingkat suku bunga kredit a.
Biaya Dana (cost of fund)
Biaya yang harus dikeluarkan oleh bank untuk setiap rupiah dana yang dihimpunnya dari berbagai sumber sebelum dikurangi dengan likuiditas wajib/reserve requirement (Riyadi,2006:82) b.
Overhead Cost
Para praktisi perbankan tidak satu pendapat mengenai cara merumuskan besarnya overhead cost, kalau akan dijadikan salah satu komponen dalam menghitung besarnya lending rate, yang akan dibebankan pada debitur (nasabah kredit). Ada beberapa konsep yang dapat dijadikan acuan tentang overhead cost tersebut, antara lain: (a) Overhead Cost adalah seluruh biaya (diluar biaya dana) yang dikeluarkan oleh bank dalam menjalankan kegiatannya. (b) Biaya-biaya yang termasuk dalam overhead cost ditanggung oleh seluruh jumlah aktiva yang menghasilkan pendapatan atau total earning assets. c.
Tingkat margin yang diinginkan oleh bank
Spread atau net margin adalah bagian dari kebijakan suku bunga karena pada dasarnya spread adalah selisih antara tingkat suku bunga simpanan (deposito) dengan tingkat suku bunga pinjaman (kredit). Spread atau margin inilah yang akan menunjang keberhasilan hidup dari suatu bank. Kalau kebijakan penentuan spread ini salah, misalnya terlalu rendah atau terlalu tinggi, maka para nasabah akan berpindah ke bank lain. †† Spread atau net margin adalah pendapatan utama bank yang akan menentukan besarnya pendapatan bersih (net income) bank. Besarnya net margin bervariasi, tergantung kepada besarnya (volume) kredit yang disalurkan bank, yang akan berpengaruh terhadap margin (selisih) antara cost of fund dan tingkat bunga pinjaman (lending rate). Volume kredit memberikan kesempatan kepada bank untuk menekan tingkat spread, yang pada akhirnya akan dapat menurunkan tingkat lending rate sehingga bank akan lebih kompetitif dalam memberikan layanan kepada nasabah. Hal ini sangat mungkin dilakukan oleh bank karena dengan meningkatnya volume kredit dapat menutupi penurunan dari tingkat bunga, sehingga secara absolut pendapatan bersih bank tidak berkurang (Dendawijaya, 2000). Penentuan tinggi rendahnya spread tergantung kepada strategi bank serta target marketnya, misal berdasarkan pengelompokan jenis industri, serta peringkat usaha bank. Dalam praktek di perbankan Indonesia, eksekutif bank menetapkan spread (net margin) sebesar 2% hingga 3%, suatu harga yang layak sebagai komponen lending rate. d.
Pajak Perbankan
Pajak yang dikenakan pada perbankan berpengaruh terhadap kinerja laba bank karena adanya pajak, otomatis akan mengurangi gross profit bank. (Dendawijaya: 2000:108). e.
Premi Risiko
Penanaman dana dalam aktiva produktif terutama dalam bentuk kredit, memiliki risiko yang berpotensi menimbulkan kerugian bank. Karena itu dalam menentukan besarnya tingkat bunga kredit ††
Kebijakan suku bunga deposito yang terlalu rendah atau suku bunga pinjaman yang terlampau tinggi, dapat menyebabkan nasabah beralih ke bank lain untuk mendapatkan tingkat suku bunga deposito yang lebih tinggi dan mendapatkan tingkat suku bunga pinjaman yang lebih rendah.
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 271
yang dikenakan kepada debitur, faktor risiko (disamping biaya tentunya) dimasukkan sebagai komponen penentu tingkat suku bunga kredit yang dibebankan kepada para debitur (Dendawijaya, 2000 dan Siamat, 2005). 4.3.
Model Analisis
4.3.1. Uji Model Pada pembahasan kuantitatif ini penulis menggunakan model VECM (Vector Error Correction Model) yang dikembangkan oleh Johansen dan Juselius pada tahun 1990 sebagai pengembangan lebih lanjut dari model VAR (Vector Autoregressive) yang dikembangkan oleh Christopher A. Sims pada tahun 1980. Perbedaan VECM dengan VAR adalah pada VECM dapat memodelkan data time series yang terkointegrasi dan tidak stationer. VECM sering juga disebut model VAR yang terestriksi. VECM merupakan metode turunan dari VAR. Asumsi yang perlu dipenuhi sama seperti VAR, kecuali masalah stasioneritas. Berbeda dengan VAR, VECM harus stasioner pada diferensiasi pertama dan semua variabel harus memiliki stasioner yang sama, yaitu terdiferensiasi pada turunan pertama (Gujarati, 2004). 4.3.2. Uji Akar Unit (Unit Root Test) Langkah pertama untuk menguji stasioneritas data digunakan uji akar unit (Unit Root Test), dengan menggunakan uji statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF). ∆ Hipotesa
=
+
Dengan ∆
+
=
−
+
=
+
−1
∶ = 0 (terdapat akar unit/unit root) Pada tingkat signifikansi (1 − )100% , H0 jika statistik ADF lebih kecil dari nilai kritis pada saat ⍺, atau value dari nilai signifikansi ⍺. Jika H0 ditolak maka data dianggap stationer. 4.3.3. Uji Kointegrasi Johansen
Untuk uji kointegrasi digunakan uji kointegrasi Johansen sebagai berikut: = +⋯+ + +
dengan yt adalah sebuah vektor dengan k variabel non stationer I (1), xt adalah sebuah vektor dengan d variabel deterministik, adalah vektor error. Persamaan ( ) dapat ditulis juga sebagai berikut: dimana
∆
=Π
Π=
+
Γ
Δ
+
− , Γ =−
Untuk pengujian hipotesa digunakan statistic uji trace
Dan uji nilai Eigen maksimum adalah: =
( | )=−
Untuk = 0,1, … , − 1, Dengan hipotesa yang digunakan adalah: H0: terdapat persamaan kointegrasi.
log(1 −
+ .
).
( | ) = −Τ log(1 − ) ( | )− ( + 1| )
272 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
Pada tingkat signifikansi (1- ⍺) 100%, H0 diterima jika statistic uji trace dan nilai Eigen maksimum lebih kecil dari nilai kritis pada saat ⍺, p value lebih besar dari nilai signifikansi ⍺. 4.3.4. Uji kecocokan model
=
Atau ∗
Dengan
= Σ
=
( 1 −
) (
. Statistik uji berdistribusi
(
)
∗ ))
(
, dengan
∗
menyatakan jumlah
koefisien selain konstanta dalam model VAR (p) yang diestimasi. Hipotesa H0= tidak ada serial korelasi. Pada tingkat signifikansi (1 − ⍺)100%, H0 diterima jika p value statistic Q untuk setiap lag h lebih besar dari nilai signifikansi . Dengan demikian, tidak ada serial korelasi. 4.3.5. Kriteria Informasi
Pemilihan order lag p dapat menggunakan kriteria informasi berikut: Akaike information (AIC)
Schwarz Information Criterion (SC)
( ) = log ( ) = log
Σ ( ) + Σ ( ) +
2
log( )
Dengan Σ ( ) = Σ , T adalah ukuran sampel dan k adalah jumlah endogen. Nilai lag p dipilih sebagai nilai ∗ yang meminimumkan kriteria informasi dalam interval 1, … , yang diamati Lag yang optimum didasarkan atas nilai dan yang paling kecil. 4.3.6. Analisa kausalitas
Pada pemodelan VECM, analisis kausalitas bertujuan untuk melihat hubungan jangka panjang (longrun causality) dan hubungan jangka pendek (short-run causality). Analisis hubungan kausalitas jangka panjang antara variabel independen ke variabel dependen dalam pemodelan VECM dapat dilihat pada koefisien dari bentuk koreksi galat atau error correction term (ECT), yaitu berdasarkan tanda dan hasil uji signifikansi koefisien menggunakan statistik uji pada metode Ordinary Least Square (OLS). Sementara itu, untuk analisis kausalitas jangka pendek untuk setiap variabel dapat menggunakan uji kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger didasarkan atas statistik uji Wald yang berdistribusi chi square atau uji sebagai alternatifnya. Hipotesis yang digunakan adalah ∶ Tidak ada hubungan kausalitas Granger. 4.3.7. Peramalan dan Analisis Struktural
Secara teoritis, analisis peramalan dan struktural dari VECM memiliki kemiripan dengan analisis peramalan dan analisis struktural dari model VAR. Pada pemodelan VAR analisis tersebut dapat menggunakan analisis impulse response dan dekomposisi variansi. Analisis Impulse Response bertujuan untuk melihat efek (pengaruh) dari setiap variabel (endogen) jika diberikan shock atau impulse (guncangan). Sementara itu, analisis dekomposisi variansi bertujuan untuk memprediksi kontribusi setiap variabel (persentase variansi setiap variabel) yang diakibatkan oleh perubahan variabel tertentu dalam sebuah sistem.
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 273
Seperti analisis peramalan pada umumnya, untuk menentukan keakuratan hasil ramalan dari sebuah model dapat menggunakan Mean Absolute Percentage Error ( ): dan Mean Square Error (
=
):
|
∑
=
1
−
(
100% − )
dimana menyatakan jumlah data. Semakin kecil nilai MSE dan MAPE, maka semakin akurat hasil ramalan yang diperoleh. 4.4.
Hasil analisis model
4.4.1. Perkembangan besaran variabel Perkembangan BI rate sejak Agustus 2013 sampai Maret 2016 dapat dilihat pada grafik 1. Tertinggi pada bulan Nopember, Desember 2013 dan Januari 2014 yaitu 7.75%. Sedangkan terendah terjadi pada bulan Maret 2016 yaitu 6.75%. Artinya ada tren menurun dari BI rate. GRAFIK-1: Perkembangan BI Rate
X (BI rate) 8,00 7,80 7,60 7,40 7,20 7,00 7,00 6,80 6,60 6,40 6,20
7,75 7,50
7,50
6,75
Tingkat inflasi Indonesia cukup terkendali dengan tingkat dibawah 5 persen. Bulan Agustus 2014 dan Desember 2015 merupakan rekor terendah tingkat inflasi Indonesia, sedangkan yang tertinggi terjadi pada bulan Desember 2014 (Grafik-2). GRAFIK-2: Perkembangan Inflasi (CPI)
Y (CPI) 8,36 4,45
Feb-16
Des-15
Okt-15
Agust-15
Jun-15
Apr-15
Feb-15
Des-14
3,35
Okt-14
Agust-14
Jun-14
Apr-14
Feb-14
Des-13
3,99
Okt-13
Agust-13
10,00 8,18 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
Ada kecenderungan penurunan pada bunga deposito dibandingkan dengan puncak tertinggi deposito yang terjadi pada bulan Agustus 2014. Namun turunnya bunga deposito belum serendah
274 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
bunga deposito pada Agustus 2013 yang merupakan tingkat suku bunga terendah selama periode observasi (Grafik-3). GRAFIK-3: Perkembangan Deposit Rate (Suku Bunga Deposito)
Z (Bunga Deposito) 9,43
10 8 6
7,75 6,16
4 2 0
4.4.2. Uji Akar Unit (Pemeriksaan Stasioneritas) Langkah awal dalam prosedur ini adalah melakukan uji akar unit terhadap ketiga data tersebut. Berdasarkan pengolahan data, diperoleh hasil seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4. TABEL-4: Uji Akar Unit Data
Nilai Kritis (⍺)
Level Stat ADF -0.631565 -2.960411 -2.193990 -2.963972 -3.076290 -2.960411
Bi rate 5% CPI 5% Dep rate 5%
p value 0.8493 0.2124 0.0389
1st Difference Stat ADF p value -3.789324 0.0075 -2.963972 -3.969963 0.0048 -2.963972 -5.222961 0.0002 -2.963972
Sumber: Data diolah
Pada tabel-4 dapat dilihat hasil uji akar unit atau root test dimana pada level, data tidak stationer. Sedangkan pada first difference ketiga data tersebut stationer tercermin dari angka p value yang berada dibawah nilai kritis 5% (0.05) 4.4.3. Uji Kointegrasi Johansen TABEL-5: Uji kointegrasi (Trace) Hipotesa r Tidak ada* 1* 2
Nilai Eigen 0.781197 0.383175 0.106690
Trace Statistic 55.00497 15.49575 2.933353
Nilai Kritis = 5% 29.79707 15.49471 3.841466
** 0.0000 0.0500 0.0868
Sumber: Data diolah
Uji jejak menunjukkan 2 kointegrasi eqn (s) pada tingkat 0,05 * menunjukkan penolakan hipotesis pada tingkat 0,05. **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Karena probabilitas < 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kointegrasi antara Banana dan Petro. Karena stationer di 1st difference dan memiliki kointegrasi, maka model dapat dilanjutkan ke VECM
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 275
TABEL-6: Uji kointegrasi (nilai Eigen maksimum) Hipotesa r Tidak Ada* 1* 2
Nilai Eigen
Trace Statistic 39.50921 12.56240 2.933353
0.781197 0.383175 0.106690
Nilai Kritis = 5% 21.13162 14.26460 3.841466
** 0.0001 0.0913 0.0868
Sumber: Data diolah
Dari hasil uji kointegrasi dengan dua metode di atas, dapat disimpulkan bahwa minimal ada satu bentuk persamaan kointegrasi artinya bahwa ada satu bentuk error, dengan bentuk persamaan error adalah: − 0.397168 − 0.925455
4.4.4. Estimasi dan Pemeriksaan Model
TABEL-7: Estimasi dan Pemeriksaan Model Lag 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
VECM (2) Stat Q 5.356252 12.28377 16.75681 22.95479 38.16868 41.74881 43.86917 49.53799 53.23700 59.29614
VECM (4) Nilai p NA* NA* 0.3336 0.5225 0.2461 0.4819 0.7502 0.8302 0.9196 0.9433
Stat Q 10.99982 17.10699 22.95977 27.42916 31.38456 35.40171 36.29887 38.68711 40.26481 43.28773
Nilai p NA* NA* NA* NA* 0.0078 0.0627 0.3175 0.6172 0.8601 0.9488
Sumber: Data diolah
4.4.5. Bentuk persamaaan VECM5 adalah:
( , 2) = − 0.321223312398 ∗ ( ( (−1)) − 0.397168464406 ∗ ( (−1)) − 0.925455239836 ∗ ( (−1)) − 0.0238368716892 ) + 0.356088645709 ∗ ( (−1),2) + 0.315586545207 ∗ ( (−2),2) − 0.26418650621 ∗ ( (−3),2) − 0.0448388379005 ∗ ( (−4),2) − 0.0431807494197 ∗ ( (−1),2) − 0.0359954163375 ∗ ( (−2),2) + 0.0347889496765 ∗ ( (−3),2) + 0.0565608905156 ∗ ( (−4),2) − 0.07190719817 ∗ ( (−1),2) + 0.227819593877 ∗ ( (−2),2) + 0.551138969768 ∗ ( (−3),2) + 0.489224789596 ∗ ( (−4),2) + 0.0240083921936 (1) ( , 2) = 2.0495624434 ∗ ( ( (−1)) − 0.397168464406 ∗ ( (−1)) − 0.925455239836 ∗ ( (−1)) − 0.0238368716892 ) + 1.75600136917 ∗ ( (−1),2) − 5.2059559078 ∗ ( (−2),2) + 2.44581484132 ∗ ( (−3),2) + 3.57255050279 ∗ ( (−4),2) + 0.663384360735 ∗ ( (−1),2) − 0.470893777915 ∗ ( (−2),2) − 0.132731561135 ∗ ( (−3),2) − 0.705523385956 ∗ ( (−4),2) + 0.892377118133 ∗ ( (−1),2) − 2.00802759639 ∗ ( (−2),2) − 2.18320702103 ∗ ( (−3),2) − 0.866901189702 ∗ ( (−4),2) − 0.152997406207 (2)
276 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
( , 2) = 0.885281038078 (−1) − 0.397168464406 ∗ ∗ − ∗ ∗ ∗ ∗ − −
(−1) − 0.925455239836 ∗
(−1)
0.0238368716892 − 2.47651449181 ∗ ( (−1), 2) − 0.342824936533 ( (−2), 2) − 0.26970750857 ∗ ( (−3), 2) − 0.290555339196 ( (−4), 2) − 0.00367926083329 ∗ ( (−1), 2) + 0.050773100031 ( (−2), 2) − 0.158051867648 ∗ ( (−3), 2) − 0.0109657390466 ( (−4), 2) − 1.23980708656 ∗ ( (−1), 2) − 1.60446484997 ∗ ( (−2), 2) 1.63833334475 ∗ ( (−3), 2) − 0.856166533659 ∗ ( (−4), 2) 0.139568344683
4.4.6. Analisis Kausalitas Granger
Berdasarkan data pada tabel 8 dapat dikatakan bahwa ketiga variabel memiliki hubungan kausalitas, karena berdasarkan hasil uji kausalitas Granger hampir semua p value antar dua variable nilai nya dibawah 0.05 (5%). Hanya ada satu hubungan kausalitas yang nilai melebihi 0.05 yaitu antara Z dengan Y (bunga deposito dengan Inflasi) yaitu 0.1139 (11.39%). Namun secara keseluruhan hubungan keduanya signifikan (P value 0.0129), (Tabel-8). TABEL-8: Kausalitas Granger Dependent variable: X,2 EXCLUDED D(Y,2) D(Z,2) ALL Dependent variable: Y,2 EXCLUDED D(X,2) D(Z,2) ALL Dependent variable: Z,2 EXCLUDED D(X,2) D(Y,2) ALL
Chi-sq 12.18932 30.99560 32.51062
df 4 4 8
Prob. 0.0160 0.0000 0.0001
Chi-sq 16.06366 10.12004 25.78049
df 4 4 8
Prob. 0.0029 0.0385 0.0011
Chi-sq 17.80029 7.449655 19.39033
df 4 4 8
Prob. 0.0014 0.1139 0.0129
Sumber: Data diolah
4.4.7. Impulse Response Untuk melihat respon satu variabel akibat terjadinya suatu shock terhadap variabel lainnya adalah sebagaimana yang terlihat pada grafik 4. Dengan urutan dari kiri kekanan atas adalah no 1, 2 dan 3, kiri kekanan tengah adalah nomor 4, 5 dan 6, serta kiri kekanan bawah adalah no 7, 8 dan 9. Grafik 1, 5, dan 9 merupakan respon dari masing-masing variabel terhadap perubahannya sendiri. Sedangkan grafik 2 dan 3 adalah response dari variabel ‘birate’ (BI Rate) terhadap perubahan yang terjadi pada variabel ‘CPI’ (inflasi) dan ‘deprate’ (tingkat suku bunga deposito). Sementara grafik 4 dan 6 adalah response dari variabel ‘CPI’ terhadap perubahan yang terjadi pada variabel ‘birate’ dan ‘deprate’. Adapun grafik 7 dan 8 adalah response dari variabel ‘deprate’ terhadap perubahan yang terjadi pada variabel ‘birate’ dan ‘CPI’. Untuk melihat response secara detail dapat dilihat pada lampiran 1.
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 277
GRAFIK-4. Impulse response Bir at e , CPI (Inflasi) dan Depr at e (suku bunga deposito) R es pons e of D ( BIR AT E) to D ( C PI)
Response of D(BIRATE) to D(BIRATE)
Response of D(BIRATE) to D(DEPRATE)
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.00
.00
.00
-.04
-.04
-.04
-.08
-.08
-.08 5
10
15
20
25
30
5
R es pons e of D ( C PI) to D ( BIR AT E)
10
15
20
25
5
30
.8
.8
.6
.6
.6
.4
.4
.4
.2
.2
.2
.0
.0
.0
-.2
-.2
-.2
-.4
5
10
15
20
25
10
15
20
25
30
5
R es pons e of D ( D EPR AT E) to D ( C PI)
Response of D(DEPRATE) to D(BIRATE) .2
.2
.1
.1
.1
.0
.0
.0
-.1
-.1
-.1
10
15
20
25
30
30
10
15
20
25
30
-.2
-.2 5
25
Response of D(DEPRATE) to D(DEPRATE)
.2
-.2
20
-.4 5
30
15
R es pons e of D ( C PI) to D ( D EPR AT E)
Response of D(CPI) to D(CPI)
.8
-.4
10
5
10
15
20
25
30
5
10
15
20
25
30
Sumber: Data diolah
4.4.8. Variance Decomposition Pada grafik 5 dapat dilihat kontribusi dari satu variabel terhadap variabel lainnya yang dikenal dengan variance decomposition. Sebagaimana grafik impulse response urutan grafik adalah 1, 2 dan 3 untuk tiga grafik yang berada diatas. Grafik nomor 4, 5 dan 6 untuk tiga grafik yang berada ditengah. Serta 7, 8 dan 9 untuk tiga grafik yang dibawah. Grafik no 1, 5 dan 9 merupakan kontribusi dari masing-masing variabel terhadap dirinya sendiri. Sedangkan grafik no 2 dan 3 merupakan kontribusi variabel ‘CPI’ dan ‘deprate’ terhadap perubahan variabel ‘birate’. Grafik 4 dan 6 merupakan kontribusi variabel ‘birate’ dan ‘deprate’ terhadap perubahan variabel ‘CPI’. Adapun grafik 7 dan 8 adalah kontribusi variabel ‘birate’ dan ‘CPI’ terhadap perubahan variabel ‘deprate’. Untuk melihat kontribusi secara detail dapat dilihat pada lampiran 2.
278 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
GRAFIK-5. Variance the Composition Per cent D( BIRATE) var iance due to D( BIRATE)
Per cent D( BIRATE) var iance due to D( DEPRATE)
P e r c e n t D ( B I R A T E ) va r i a n c e du e t o D ( C P I)
100
100
100
80
80
80
60
60
60
40
40
40
20
20
20
0
0 5
10
15
20
25
0
5
30
P e r c e n t D ( C P I ) va r i a nc e d u e to D ( B I R A T E )
10
15
20
25
5
30
100
100
100
80
80
80
60
60
60
40
40
40
20
20
20
0 10
15
20
25
30
5
Per cent D( DEPRATE) var iance due to D( BIRATE)
10
15
20
25
5
30
60
60
50
50
50
40
40
40
30
30
30
20
20
20
10 5
10
15
20
25
20
25
30
10
15
20
25
30
Per cent D( DEPRATE) var iance due to D( DEPRATE)
P e r c en t D ( D E P R A T E ) va r i an c e d ue t o D ( C P I)
60
10
15
0
0
5
10
P e r c en t D ( C P I ) va r i an c e du e t o D ( D E P R A T E )
Per cent D( CPI) variance due to D( CPI)
10
5
30
10
15
20
25
5
30
10
15
20
25
30
Sumber: Dat a diolah
TABEL-9: Selisih antara hasil Forecast dengan Real* BU L A N - T A H U N
BI
RATE
C PI
D EP
RATE
M A R - 2 0 16
0.0% 0.8% 0.1% -0.9% 0.5% 0.0% -0.7% 0.0% 0.0% 0.1% 0.3% 0.4% 0.5% -0.3% 0.1% -0.3% -0.4% -0.8% 0.1% 0.0% -0.7% 0.5% -1.1% 2.1% 0.3% -0.6%
9.7% -5.8% -7.6% -1.7% 6.0% 12.6% -2.3% -18.4% -17.2% -6.9% 1.7% -0.8% -7.8% -2.9% 1.6% 5.0% -7.7% 4.7% 1.7% 5.4% 5.6% 20.6% 16.3% -20.2% 8.6% -3.3%
-0.7% 2.1% 2.3% -2.5% 1.4% -2.1% -1.6% 0.6% 1.1% 1.2% 0.2% 0.7% 1.2% -0.2% 0.3% -0.9% 0.1% 0.2% -1.9% -1.4% -2.1% -2.2% 2.1% 3.3% 0.0% -1.3%
ST A N D A R D D E V I A SI
0 .2 0 4 5 5 9 6 3 8
1.4 4 19 8 2 0 5 8
0 .5 2 4 8 5 10 17
F E B - 2 0 14 M A R - 2 0 14 A P R - 2 0 14 M A Y - 2 0 14 JU N - 2 0 14 JU L - 2 0 14 A U G - 2 0 14 SE P - 2 0 14 O C T - 2 0 14 N O V - 2 0 14 D E C - 2 0 14 JA N - 2 0 15 F E B - 2 0 15 M A R - 2 0 15 A P R - 2 0 15 M A Y - 2 0 15 JU N - 2 0 15 JU L - 2 0 15 A U G - 2 0 15 SE P - 2 0 15 O C T - 2 0 15 N O V - 2 0 15 D E C - 2 0 15 JA N - 2 0 16 F E B - 2 0 16
Sumber: Dat a diolah menggunakan Forecast St at ic
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 279
Dari hasil forecast menggunakan E-Views diperoleh hasil sebagaimana terlihat pada tabel 9. Berdasarkan data pada tabel tersebut terlihat bahwa hasil forecast yang paling mendekati kenyataan adalah BI rate diikuti oleh Dep Rate dan terakhir CPI. Adapun standar deviasi dari masing masing variabel adalah BI rate dengan STDV (0.204559638), kemudian Dep Rate dengan STDV (0.524851017), sedangkan CPI adalah STDV (1.441982058). Perlu disampaikan disini bahwa secara keseluruhan model ini layak untuk dijadikan model estimasi (forecast), karena standar deviasinya berada pada kisaran dibawah 2 (dua). Data lengkap terlampir pada lampiran 3, 4 dan 5.
5.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1.
Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan secara kualitatif, penulis berkesimpulan bahwa transmisi kebijakan BI rate adalah suatu proses panjang, sebelum sampai kepada target akhir yang diinginkan oleh Bank Indonesia berupa terwujudnya inflasi yang terkontrol dan sesuai dengan yang diinginkan. Artinya, kebijakan Bank Indonesia merubah BI rate tidak serta merta berpengaruh terhadap perubahan tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran tapi memerlukan waktu (lag). Tranmisi BI rate akan melalui tahap-tahap implikasi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pada jangka pendek BI rate akan mempengaruhi tingkat suku bunga SBI dan PUAB yang akan mempengaruhi tingkat likuiditas perbankan. Proses akan berlanjut kepada kebijakan perbankan dalam menentukan tingkat suku bunga simpanan (deposito) dan tingkat suku bunga pinjaman (kredit). Naiknya tingkat suku bunga deposito akan membuat masyarakat menyimpan dananya di perbankan, sebaliknya tingkat suku bunga deposito turun akan membuat masyarakat memutar uangnya pada kegiatan di sektor riil baik untuk keperluan investasi maupun untuk keperluan konsumtif. Di sisi lain, naiknya tingkat suku bunga pinjaman (kredit) akan membuat masyarakat mengurangi kegiatannya melakukan investasi di sektor riil dan mengurangi tingkat konsumsi mereka. Sebaliknya, manakala tingkat suku bunga pinjaman (kredit) turun, masyarakat akan meningkatkan kegiatan investasi dan meningkatkan konsumsi mereka. Naik dan turunnya tingkat suku bunga deposito dan kredit ini akan mengurangi dan menambah jumlah uang beredar di masyarakat, (naik dan turunnya M1 dan M2). Pada sisi nilai tukar, hal ini akan menyebabkan naik dan turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (kurs). Implikasinya bisa berimbas pada naik turunnya ekspor dan impor. Baru pada tahap akhir transmisi BI rate akan menyentuh naik turunnya inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran. Sedangkan berdasarkan pembahasan kuantitatif menggunakan pendekatan Vector Error Correction Model (VECM), beberapa kesimpulan yang diperoleh adalah : (i) Pengaruh BI rate terhadap beberapa variabel ekonomi seperti inflasi (CPI), dan Deposit Rate (DR) cukup kuat (signifikan). Artinya, kebijakan perubahan BI rate berpengaruh kepada naik turunnya tingkat inflasi (CPI dan naik turunnya tingkat suku bunga deposito (deprate). (ii) BI rate juga dipengaruhi oleh dua variabel lainnya (CPI dan Deprate), namun pengaruh yang paling besar adalah dari variabel BI Rate itu sendiri, yaitu pengaruh BI rate sebelumnya (lag dari variabel BI rate). (iii) CPI dan Deprate sifatnya saling mempengaruhi (efek kausalitas), namun sebagaimana BI rate, variabel yang paling berpengaruh adalah variabel lag dari masing-masing variabel itu sendiri. 5.2.
Rekomendasi
Walaupun saat ini Bank Indonesia telah menetapkan BI Repo Rate 7 hari, peranan BI rate masih diperlukan dalam kebijakan moneter jangka panjang dalam rangka mencapai tujuan akhir dari kebijakan moneter yaitu inflasi yang terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bank Indonesia tidak perlu menghapus atau menghentikan atau menghilangkan BI rate dalam kebijakan mereka kedepan. BI rate akan melengkapi kebijakan moneter BI melalui penggunaan repo rate 7 hari yang diarahkan untuk pengaturan kebijakan moneter jangka pendek.
280 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
6. DAFTAR PUSTAKA Bank
Indonesia. (2017). Penjelasan BI Rate sebagai Suku Bunga Acuan. http://www.bi.go.id/id/moneter/bi-rate/penjelasan/Contents/Default.aspx
.
Crosse, Howard D. dan George H.Hempel. (1973). Management Police for Commercial Bank. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1973. Dendawijaya, Lukman. (2003). Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Dwiastuti, Febri. (2006). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga Deposito pada Bankbank Umum Pemerintah di Indonesia. Skripsi Institut Pertanian Bogor Firdaus, H. Rachmat dan Maya Ariyanti. (2009). Manajemen Perkreditan Bank Umum. Bandung: Alfabeta. Gujarati, N. Damodar. (2004). Basic Econometrics fourth edition. McGraw-Hill Hasibuan, M.S.P. (2001). ManajemenDasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara. Kuncoro dan Suhardjono. (2002). Manajemen Perbankan (Teori dan Aplikasi). Edisi Pertama, Penerbit BPFE, Yogyakarta. Latumaerissa, Julius R. (1999). Mengenal Aspek-Aspek Operasi Bank Umum. Bumi Aksara, Jakarta. Lubis, I. Fahmi. (2014). Analisis Hubungan Antara Inflasi Dan Pertumbuhan Ekonomi: Kasus Indonesia. Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan Sumatera Utara, Indonesia. QE Journal │Vol.03 - No.01. Mishkin Frederic. F. (2007). The Economic of Money, Banking, and Financial Markets. Alternate Edition, Pearseon Addison Wesley, Boston-USA. Mishkin, Frederic S. (2009). Ekonomi Uang, Perbankan dan Pasar Keuangan. Penerbit Salemba Empat. Mubin, M. Khoirul. (2009). Pengaruh BI Rate terhadap Tingkat Bunga Perbankan Nasional. kabarindonesia.com. Nasution, Chairuddin. (2002). Analisis Posisi Likuiditas. Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Sumatera Utara. Pratama, Billy Arma. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Penyaluran Kredit Perbankan. Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Reed, Edward W dan K Gill. (1955). Bank Umum. Edisi Keempat, Jakarta. Riyadi, Selamet. (2006). Banking Assets and Liability Management. Edisi Ketiga. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta. Siamat, Dahlan. (2005). Manajemen Lembaga Keuangan. Kebijakan Moneter dan Perbankan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, edisi kesatu. Sinkey, Joseph F. (2002) Commercial Bank Financial Management. In the Financial-Services Industry. Sixth Edition. Prentice Hall; 6 edition (January 15, 2002). Taylor, J.B. (1995). The Monetary Transmission Mechanism: An Empirical Framework. The Journal of Economic Perspectives, 9(4).
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 281
Lampiran 1. Impulse Respons to Cholesky One S.D. Innovations. Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Response of D(BIRATE): D(BIRATE) D(CPI) D(DEPRATE) 0.068205 0 0 0.075583 0.042409 0.033174 0.070921 0.044912 0.030837 0.026054 0.037615 0.032666 0.018756 0.008352 -0.003656 0.050509 -0.008778 -0.013487 0.115423 0.022312 0.063779 0.054966 0.042179 0.034008 0.016893 0.057123 0.028469 -0.010436 0.019636 -0.042467 0.082273 0.010116 0.023389 0.101275 0.011246 0.0488 0.064008 0.032252 0.04466 0.011419 0.042544 0.009168 0.016582 0.029127 -0.013504 0.063448 0.024653 0.020782 0.078432 0.018603 0.029269 0.063948 0.02775 0.038779 0.033751 0.029613 0.015823 0.031567 0.028237 0.006068 0.051897 0.027204 0.015413 0.062084 0.025447 0.020258 0.062368 0.03073 0.034865 0.039893 0.026425 0.015069 0.041869 0.026312 0.015009 0.050478 0.023755 0.013848 0.060589 0.027674 0.025016 0.053519 0.031309 0.026049 0.042056 0.028641 0.015349 0.045168 0.026354 0.016053
Response of D(CPI): Response of D(DEPRATE): D(BIRATE) D(CPI) D(DEPRATE) D(BIRATE) D(CPI) D(DEPRATE) -0.18932 0.714175 0 0.093085 -0.079279 0.147196 0.00526 0.686221 -0.148 -0.139853 -0.169772 -0.155895 -0.097509 0.334626 -0.27 0.127253 -0.063683 0.111171 0.374277 0.193286 0.14 0.040943 -0.079596 0.043597 0.536132 -0.047393 0.393 -0.065482 0.001632 0.016478 -0.043231 0.073995 -0.039 -0.081447 -0.035593 -0.053357 -0.077007 0.383766 -0.232 0.022692 -0.12193 -0.007529 0.277979 0.508675 0.259 0.06143 -0.1064 0.049745 -0.177998 0.398224 -0.155 0.07198 -0.098042 0.055661 0.046777 0.252946 -0.101 -0.021957 -0.059895 0.042745 0.323896 -0.00436 0.034 -0.084279 -0.049498 -0.054409 0.349148 0.124991 0.172 0.007434 -0.063259 0.015057 0.187325 0.360027 0.205 0.022435 -0.097832 0.00897 -0.179665 0.365092 -0.14 0.035963 -0.091453 0.02489 -0.129251 0.359223 -0.196 0.039096 -0.081961 0.064184 0.268669 0.214579 0.019 -0.045245 -0.083491 -0.017081 0.338504 0.146944 0.166 -0.013888 -0.059236 0.009575 0.14708 0.213347 0.061 0.004352 -0.083608 -0.004674 0.066272 0.267719 0.025 0.025653 -0.076102 0.031719 -0.007144 0.299543 -0.043 0.013644 -0.079669 0.025296 0.05396 0.301678 -0.076 -0.002124 -0.088228 0.01539 0.210513 0.258429 0.059 -0.011439 -0.080874 0.005408 0.159858 0.211945 0.029 0.009344 -0.079743 0.00874 0.14767 0.239454 0.068 0.016226 -0.072367 0.031163 0.085342 0.232951 0.007 -0.007823 -0.075581 0.00435 0.06217 0.262365 -0.037 0.004019 -0.078189 0.018859 0.135421 0.288992 0.018 0.001773 -0.088292 0.009367 0.140613 0.264579 0.031 0.010181 -0.082832 0.01592 0.102604 0.255406 0.017 0.01334 -0.076573 0.025618 0.111679 0.228349 -0.003 -0.005636 -0.07671 0.008758
Lampiran 2 . Variance Decomposition. Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Variance Decomposition of D(BIRATE): S.E. D(BIRATE) D(CPI) D(DEPRATE) 0.068205 100 0 0 0.115168 78.14333 13.55957 8.297104 0.145813 72.4055 17.94593 9.648576 0.156276 65.81405 21.41685 12.7691 0.157661 66.07777 21.32277 12.59945 0.166334 68.58727 19.43553 11.97719 0.213437 70.89992 12.89662 16.20345 0.226963 68.56617 14.85894 16.5749 0.236371 63.72765 19.53996 16.73239 0.241183 61.3973 19.4309 19.1718 0.2561 64.77335 17.38919 17.83746 0.279914 67.31141 14.71766 17.97093 0.292376 66.48849 14.70664 18.80487 0.295818 65.09932 16.43479 18.46588 0.298017 64.45188 17.14839 18.39973 0.306397 65.26247 16.87052 17.86701 0.318172 66.59796 15.98677 17.41527 0.32802 66.46001 15.75699 17.78299 0.331456 66.12585 16.23013 17.64402 0.334206 65.93423 16.67797 17.3878 0.339654 66.17077 16.78878 17.04045 0.34681 66.67283 16.64148 16.68568 0.355425 66.55906 16.59209 16.84885 0.358948 66.4941 16.80993 16.69597 0.362649 66.47679 16.995 16.52821 0.367176 66.73757 16.99706 16.26538 0.374007 66.94657 16.92938 16.12406 0.380005 66.83318 17.07792 16.0889 0.383704 66.75231 17.30744 15.94024 0.387584 66.78073 17.425 15.79426
Variance Decomposition of D(CPI): S.E. D(BIRATE) D(CPI) D(DEPRATE) 0.738842 6.565836 93.43416 0 1.019153 3.453423 94.44217 2.104404 1.110351 3.680634 88.64764 7.671723 1.195765 12.97062 79.04855 7.98083 1.368906 25.23603 60.43668 14.32729 1.372151 25.21605 60.44193 14.34202 1.445629 23.00161 61.50107 15.49732 1.578846 22.38368 61.94059 15.67573 1.645294 21.78259 62.89668 15.32073 1.668337 21.26363 63.46997 15.2664 1.699827 24.1139 61.14083 14.74527 1.748264 26.78468 58.31099 14.90433 1.806397 26.16386 58.59061 15.24553 1.856936 25.69518 59.31026 14.99456 1.905909 24.85155 59.85384 15.29461 1.93677 25.99022 59.1891 14.82068 1.978592 27.83005 57.26492 14.90503 1.996425 27.87786 57.38847 14.73367 2.015534 27.45984 58.06972 14.47044 2.03813 26.85557 58.94928 14.19515 2.062425 26.29504 59.70821 13.99675 2.090021 26.61977 59.67083 13.70941 2.107015 26.76771 59.724 13.50829 2.126785 26.75447 59.88643 13.3591 2.141219 26.55384 60.26538 13.18077 2.15844 26.21477 60.78506 13.00017 2.181981 26.03736 61.23472 12.72792 2.202675 25.95795 61.53237 12.50968 2.219873 25.77094 61.90639 12.32268 2.234381 25.68718 62.14951 12.16332
Variance Decomposition of D(DEPRATE): S.E. D(BIRATE) D(CPI) D(DEPRATE) 0.191355 23.66376 17.16458 59.17166 0.330607 25.82199 32.12003 42.05798 0.376708 31.29967 27.59736 41.10297 0.389643 30.36023 29.96852 39.67124 0.395454 32.21644 29.09598 38.68758 0.408817 34.11387 27.98295 37.90318 0.427282 31.51115 33.75982 34.72903 0.447369 30.63043 36.45279 32.91678 0.466938 30.49322 37.87017 31.63661 0.47321 29.90554 38.47499 31.61947 0.486252 31.32694 37.47497 31.19809 0.490637 30.79243 38.47047 30.7371 0.500879 29.74667 40.7283 29.52503 0.511034 29.07139 42.32818 28.60044 0.522993 28.3159 42.87055 28.81355 0.531819 28.10764 43.92408 27.96829 0.535373 27.80292 44.56697 27.63011 0.5419 27.14367 45.88034 26.97599 0.548736 26.69012 46.66771 26.64217 0.555234 26.12948 47.6407 26.22983 0.562415 25.46793 48.89288 25.63919 0.568341 24.98012 49.90351 25.11637 0.57405 24.51217 50.84542 24.64241 0.57966 24.11843 51.42475 24.45682 0.584635 23.72759 52.22454 24.04788 0.590155 23.2904 53.0074 23.70221 0.596799 22.77559 54.02239 23.20203 0.602816 22.35171 54.8374 22.8109 0.608346 21.99528 55.42932 22.5754 0.613252 21.65322 56.11072 22.23605
Lampiran 3. Forcast X (Bi Rate).
282 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
BULAN/THN
REAL
FORECAST
SELISIH
FEB-2014 MAR-2014 APR-2014 MAY-2014 JUN-2014 JUL-2014 AUG-2014 SEP-2014 OCT-2014 NOV-2014 DEC-2014 JAN-2015 FEB-2015 MAR-2015 APR-2015 MAY-2015 JUN-2015 JUL-2015 AUG-2015 SEP-2015 OCT-2015 NOV-2015 DEC-2015 JAN-2016 FEB-2016 MAR-2016
7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.75 7.75 7.75 7.5 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.25 7.00 6.75
7.50 7.56 7.51 7.43 7.54 7.50 7.45 7.50 7.50 7.76 7.77 7.78 7.54 7.48 7.51 7.48 7.47 7.44 7.51 7.50 7.45 7.54 7.42 7.40 7.02 6.71
0.0% 0.8% 0.1% -0.9% 0.5% 0.0% -0.7% 0.0% 0.0% 0.1% 0.3% 0.4% 0.5% -0.3% 0.1% -0.3% -0.4% -0.8% 0.1% 0.0% -0.7% 0.5% -1.1% 2.1% 0.3% -0.6%
Kajian Ekonomi & Keuangan Vol. 20 No.3 (Desember 2016) - 283
Lampiran 4 Forecast Y (CPI). BULAN/THN
REAL
FORECAST
SELISIH
FEB-2014 MAR-2014 APR-2014 MAY-2014 JUN-2014 JUL-2014 AUG-2014
7.75 7.32 7.25 7.32 6.70 4.53 3.99
8.5 6.9 6.7 7.2 7.1 5.1 3.9
9.7% -5.8% -7.6% -1.7% 6.0% 12.6% -2.3%
SEP-2014 OCT-2014 NOV-2014 DEC-2014 JAN-2015 FEB-2015 MAR-2015 APR-2015 MAY-2015 JUN-2015
4.53 4.83 6.23 8.36 6.96 6.29 6.38 6.79 7.15 7.26
3.7 4.0 5.8 8.5 6.9 5.8 6.2 6.9 7.5 6.7
-18.4% -17.2% -6.9% 1.7% -0.8% -7.8% -2.9% 1.6% 5.0% -7.7%
JUL-2015 AUG-2015 SEP-2015 OCT-2015 NOV-2015 DEC-2015 JAN-2016 FEB-2016 MAR-2016
7.26 7.18 6.83 6.25 4.89 3.35 4.14 4.42 4.45
7.6 7.3 7.2 6.6 5.9 3.9 3.3 4.8 4.3
4.7% 1.7% 5.4% 5.6% 20.6% 16.3% -20.2% 8.6% -3.3%
284 - Kemu, S. Z. & Ika, S.
Lampiran 5 Forecast Z (Bunga Deposito). BULAN/TAHUN
REAL
FORECAST
SELISIH
FEB-2014
8.03
7.97
-0.7%
MAR-2014 APR-2014 MAY-2014 JUN-2014 JUL-2014 AUG-2014 SEP-2014 OCT-2014 NOV-2014 DEC-2014 JAN-2015 FEB-2015 MAR-2015 APR-2015 MAY-2015 JUN-2015 JUL-2015 AUG-2015 SEP-2015 OCT-2015 NOV-2015 DEC-2015 JAN-2016
8.28 8.34 8.90 8.34 9.19 9.43 9.37 9.24 9.02 8.94 8.91 8.94 8.81 8.59 8.50 8.27 8.13 8.06 7.95 7.99 7.90 7.99 7.90
8.45 8.53 8.68 8.46 9.00 9.28 9.43 9.34 9.13 8.96 8.97 9.05 8.79 8.62 8.42 8.28 8.15 7.91 7.84 7.82 7.73 8.16 8.16
2.1% 2.3% -2.5% 1.4% -2.1% -1.6% 0.6% 1.1% 1.2% 0.2% 0.7% 1.2% -0.2% 0.3% -0.9% 0.1% 0.2% -1.9% -1.4% -2.1% -2.2% 2.1% 3.3%
FEB-2016 MAR-2016
7.97 7.75
7.97 7.65
0.0% -1.3%