KADAR ZAT EKSTRAKTIF DAN NILAI KALOR KAYU YANG BERBEDA KERAPATAN
ARIF RAHMATULLAH
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kadar Zat Ekstraktif dan Nilai Kalor Kayu yang Berbeda Kerapatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Arif Rahmatullah NIM E24100062
ABSTRAK ARIF RAHMATULLAH. Kadar Zat Ekstraktif dan Nilai Kalor Kayu yang Berbeda Kerapatan. Dibimbing oleh DEDED S. NAWAWI dan ANNE CAROLINA. Kayu merupakan salah satu biomassa yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif terbarukan. Nilai kalor kayu dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kerapatan dan sifat kimia kayu. Penelitian ini menjelaskan pengaruh kadar zat ekstraktif terhadap nilai kalor enam jenis kayu yang berbeda kerapatan. Karakteristik kayu sebagai bahan energi diuji dengan analisis proksimat. Kadar zat ekstraktif kayu dinyatakan sebagai kelarutan dalam ekstraksi etanol/benzena diikuti dengan ekstraksi air panas. Hasil analisis proksimat menunjukkan keenam jenis kayu yang diuji memiliki nilai kadar air 6.64–11.09%, kadar zat terbang 79.91–84.45%, kadar abu 0.32–1.18%, kadar karbon terikat 15.10–19.74%, dan nilai kalor 4243–4576 kkal/kg. Kadar zat ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor kayu dengan korelasi positif yang tinggi (R² = 0.81). Hal tersebut diduga berkaitan dengan pengaruh positif zat ekstraktif terhadap kerapatan dan kadar karbon terikat. Zat ekstraktif terlarut etanol/benzena pada enam jenis kayu berkontribusi antara 4.34–12.47% terhadap nilai kalor kayu. Kata kunci: ekstraktif, nilai kalor, kerapatan kayu, analisis proksimat
ABSTRACT ARIF RAHMATULLAH. Extractives Content and Calorific Value of Woods with Different Density. Supervised by DEDED S. NAWAWI dan ANNE CAROLINA. Wood is one of biomass that can be used for alternative renewable energy sources. The calorific value of wood is influenced by many factors, such as density and chemical properties of wood. This study explained the influence of extractives content on calorific value of various woods with different density. A characteristic of wood as an energy resource was examined by proxymate analysis. Extractives content of wood was expressed as solubility in the extraction of ethanol/benzene followed by hot water. The proximate analysis showed that the examined wood species had moisture content in range 6.64–11.09%, volatile matter content 79.91–84.45%, ash content 0.32–1.18%, fixed carbon 15.10– 19.74%, and calorific value in range 4243–4576 kcal/kg. Extractives content affect the calorific value of wood with a high correlation (R² = 0.81). This is thought to be related to the positive influence of the extractives content on density and fixed carbon content. The contribution of ethanol/benzene extractives to the calorific value of wood was about 4.34–12.47%. Keywords: extractives, calorific value, density of wood, proximate analysis
KADAR ZAT EKSTRAKTIF DAN NILAI KALOR KAYU YANG BERBEDA KERAPATAN
ARIF RAHMATULLAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Kadar Zat Ekstraktif dan Nilai Kalor Kayu yang Berbeda Kerapatan Nama : Arif Rahmatullah NIM : E24100062
Disetujui oleh
Ir Deded S. Nawawi, MSc Pembimbing I
Anne Carolina, SSi, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari 2014 ini ialah bioenergi, dengan judul Kadar Zat Ekstraktif dan Nilai Kalor Kayu yang Berbeda Kerapatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Deded Sarip Nawawi, MSc dan Ibu Anne Carolina SSi, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Supriatin dan Mas Gunawan selaku teknisi Laboratorium Kimia Hasil Hutan yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Teknologi Hasil Hutan angkatan 47 khususnya Divisi Kimia Hasil Hutan atas dukungannya selama ini, semoga kalian sukses, serta kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, Ayah, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014 Arif Rahmatullah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur dan Analisis Data
2
Persiapan Bahan Baku
2
Pengukuran Kadar Air
3
Pengukuran Kerapatan Kayu
3
Pengukuran Kadar Zat Ekstraktif
3
Pengukuran Nilai Kalor
3
Kadar Zat Terbang
4
Kadar Abu
4
Kadar Karbon Terikat
4
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Karakteristik Kayu sebagai Bahan Baku Energi Biomassa
4
Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Karakteristik Kayu sebagai Bahan Energi
6
SIMPULAN DAN SARAN
9
Simpulan
9
Saran
9
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
9 11
DAFTAR TABEL 1 Karakteristik kayu sebagai bahan baku energi biomassa 2 Kontribusi kadar zat ekstraktif terhadap nilai kalor kayu dari beberapa jenis kayu
5 8
DAFTAR GAMBAR 1 Korelasi antara kadar zat ekstraktif dengan kerapatan kayu 2 Korelasi antara kadar zat ekstraktif dengan nilai kalor 3 Korelasi antara kadar zat ekstraktif dengan karbon terikat
7 8 8
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan energi terus meningkat dan pemenuhannya masih tertumpu pada sumber energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Konsumsi yang terus meningkat menyebabkan cadangan minyak bumi, gas alam dan batu bara semakin terbatas karena proses pembentukannya membutuhkan waktu yang lama. Di Indonesia, jika tidak ditemukan sumber baru, diperkirakan cadangan minyak bumi akan habis pada tahun 2032, gas alam tahun 2067, dan batu bara tahun 2091 (KESDM 2009). Upaya untuk mengatasi kelangkaan energi fosil, salah satunya adalah dengan mengembangkan energi alternatif seperti energi biomassa. Biomassa merupakan bahan-bahan organik yang berasal dari tumbuhan seperti kayu, daun, rumput, limbah pertanian, dan limbah kehutanan. Kayu sebagai salah satu biomassa memiliki potensi yang besar sebagai sumber energi karena ketersediaannya yang melimpah dan mempunyai nilai kalor yang tinggi. Kayu memiliki beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan energi yang berasal dari fosil seperti, karbon dioksida yang dihasilkan dari proses pembakarannya sedikit, dan mengandung sulfur dan logam berat yang lebih sedikit (FPL 2004). Bahan bakar yang dihasilkan dari kayu diharapkan memiliki sifat-sifat antara lain memiliki nilai kalor yang tinggi, kadar air yang cukup untuk terjadinya pembakaran, rendemen yang tinggi, dan ramah lingkungan. Nilai kalor biomassa kayu energi umumnya berkisar 4396 kkal/kg (Stahl et al. 2004). Nilai kalor kayu dipengaruhi oleh berat jenis kayu, kadar air, dan komposisi kimia kayu. Komposisi kimia kayu terdiri atas komponen struktural dan nonstruktural. Komponen struktural terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sedangkan komponen nonstruktural antara lain zat ekstraktif dan abu. Zat ekstraktif merupakan komponen kimia minor dalam kayu tetapi zat ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor. Nilai kalor zat ekstraktif sekitar 7764 kkal/kg (Gaur et al. 1998), sedangkan selulosa sekitar 4150-4350 kkal/kg (Haygreen et al. 2003). Zat ekstraktif dalam kayu sangat beragam jumlah dan komposisinya, sehingga pengaruhnya terhadap nilai kalor kayu juga akan sangat beragam. Terdapat kecenderungan kayu yang memiliki kadar zat ekstraktif tinggi mempunyai nilai kalor yang besar, akan tetapi hal ini dipengaruhi pula oleh jenis zat ekstraktifnya. Penelitian tentang kontribusi zat ekstraktif pada jenis kayu tropis terhadap nilai kalor kayu belum banyak dilakukan, sehingga penelitian ini akan menunjang pemahaman karakteristik kayu sebagai bahan energi biomassa dan potensi pengembangannya.
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan menjelaskan pengaruh kadar zat ekstraktif terhadap nilai kalor beberapa jenis kayu pada berbagai kerapatan kayu. Karakteristik kayu sebagai bahan energi diuji dengan analisis proksimat.
2 Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan memberikan informasi tentang pengaruh kadar zat ekstraktif terhadap nilai kalor dan dapat menjadi parameter kualitas kayu sebagai bahan bakar energi alternatif. Pemahaman karakteristik kayu merupakan dasar bagi pemanfaatan dan pengembangan produk energi berbahan baku biomassa kayu.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2014. Analisis kadar zat ekstraktif dan proksimat dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian nilai kalor dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor.
Bahan Bahan yang digunakan yaitu kayu jati (Tectona grandis), ulin (Eusideroxylon zwageri), merbau (Instia bijuga), mahoni (Swietenia sp.), jabon (Anthocephalus cadamba), balsa (Ochroma bicolor), etanol, benzena, air destilata, dan parafin. Sampel kayu dipilih berdasarkan perbedaan kerapatannya dari kerapatan terendah sampai tertinggi.
Alat Alat-alat yang digunakan adalah willey mill dan saringan bertingkat untuk mendapatkan bahan baku berupa serbuk kayu berukuran 40–60 mesh. Pengukuran kadar zat ekstraktif menggunakan soxhlet, timbel ekstraksi, erlenmeyer, gelas ukur, penangas air, gelas ukur, pengaduk kaca, kertas saring, oven, dan timbangan analitik. Analisis proksimat menggunakan, tanur listrik, cawan porselen, penjepit besi, dan desikator. Pengujian nilai kalor menggunakan alat kalorimeter bomb.
Prosedur dan Analisis Data
Persiapan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan berupa serbuk kayu berukuran 40–60 mesh. Kayu dibuat serbuk agar mempermudah proses analisis kimia. Permbuatan serbuk kayu diawali dengan kayu dicacah hingga menjadi serpih kemudian digiling menggunakan willey mill. Serbuk yang dihasilkan disaring dalam saringan bertingkat hingga mendapatkan serbuk berukuran 40–60 mesh. Sampel kayu dibuat serbuk agar reaksi berjalan baik dan seragam dalam penentuan analisis kimia. Serbuk kemudian disimpan dalam wadah tertutup.
3 Pengukuran Kadar Air (TAPPI T 12 os-75) Pengukuran kadar air bertujuan untuk mengetahui kandungan air di dalam serbuk sebagai faktor koreksi pada analisis kimia selanjutnya. Sebanyak 2 g serbuk dioven dalam suhu 103±2 °C hingga beratnya konstan. Setelah beratnya konstan, serbuk dimasukkan ke dalam desikator selama 15–20 menit, kemudian serbuk ditimbang. Nilai kadar air serbuk dihitung menggunakan rumus: a ar ir dengan BB = bobot basah serbuk (g) dan BKT = bobot kering tanur serbuk (g).
Pengukuran Kerapatan Kayu Pengukuran kerapatan kayu menggunakan sampel berukuran cm3. Kayu ditimbang untuk mendapatkan bobot kayu. Untuk pengukuran volume kayu digunakan metode Archimedes. Sampel kayu dilapisi dengan parafin lalu sampel dicelupkan ke dalam gelas ukur berisi air hingga sampel berada di bawah permukaan air. Besarnya volume sampel kayu adalah perubahan nilai permukaan air dalam gelas ukur. Nilai kerapatan kayu dihitung menggunakan rumus: era atan g
assa lu e
Pengukuran Kadar Zat Ekstraktif (TAPPI T 204 om-88) Sebanyak 7 g serbuk kayu dimasukkan ke dalam timbel yang telah diketahui beratnya. Timbel berisi serbuk dimasukkan ke dalam soxhlet dan diekstraksi dengan larutan etanol-benzena (1:2 v/v) selama 6–8 jam. Setelah selesai, sampel dicuci dengan etanol selama 4 jam atau lebih lalu sampel dibiarkan hingga kering udara. Serbuk dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 500 ml air destilata panas dan dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 100 °C selama 3 jam. Sampel dibilas dengan air destilata panas sebanyak 300 ml, lalu sampel dibiarkan hingga kering udara kemudian dioven. Kadar zat ekstraktif dihitung menggunakan rumus: at kstrakti dengan A = bobot serbuk sebelum ekstraksi (g) dan B = bobot serbuk setelah ekstraksi (g).
Pengukuran Nilai Kalor Nilai kalor merupakan parameter utama kayu sebagai bahan baku energi. Pengukuran nilai kalor dilakukan untuk sampel kayu sebelum dan setelah ekstraksi. Sebanyak 1 g sampel kering oven diukur nilai kalornya dengan menggunakan alat kalorimeter bomb.
4 Kadar Zat Terbang (ASTM E-872) Pengukuran kadar zat terbang bertujuan menghitung kadar zat yang menguap dari kayu pada proses pembakaran. Sebanyak 2 g sampel serbuk kayu dimasukkan ke dalam cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 950 °C selama 7 menit. Setelah itu, sampel didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Kadar zat terbang dihitung menggunakan rumus: at er ang dengan A = bobot awal (g) dan B = bobot akhir (g).
Kadar Abu (ASTM D-1102) Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui kadar abu yang tersisa setelah proses pembakaran. Sebanyak 2 g sampel serbuk kayu ditempatkan dalam cawan porselen dan diabukan dalam tanur listrik dengan suhu 600 °C selama 6 jam. Sampel didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung menggunakan rumus: a ar
u
dengan A = bobot awal serbuk (g) dan B = bobot abu (g).
Kadar Karbon Terikat (SNI 06-3730-1995) Karbon terikat merupakan kadar karbon yang terdapat di dalam kayu selain karbon yang terdapat pada abu, kadar air, dan zat terbang. Kadar karbon terikat dihitung dengan cara sebagai berikut: a ar ar
n erikat
ka ar at ter ang
ka ar a u
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 untuk mengetahui korelasi antar variabel. Data penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik, tabel, dan korelasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kayu sebagai Bahan Energi Biomassa Karakteristik kayu sebagai bahan energi biomassa dievaluasi berdasarkan nilai kerapatan dan hasil analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar abu, zat terbang, karbon terikat, dan nilai kalor (Tabel 1).
5
Tabel 1 Karakteristik kayu sebagai bahan energi biomassa Karakteristik 3
Balsa
Jabon
Jenis Kayu Mahoni Jati
Merbau
Ulin
Kerapatan (g/cm )
0.29
0.37
0.50
0.63
0.73
0.81
Kadar zat ekstraktif (%)
5.87
6.44
7.92
11.76
9.72
10.56
Kadar air (%)
8.22
11.06
11.09
6.64
6.76
7.18
Zat terbang (%)
83.99
84.45
82.55
79.95
79.91
83.63
Kadar abu (%)
0.86
0.44
0.36
0.32
0.46
1.18
Karbon terikat (%)
15.16
15.10
17.09
19.74
19.64
15.20
Nilai kalor (kkal/kg)
4243
4372
4422
4513
4520
4576
Kerapatan dapat dijadikan sebagai salah satu parameter penduga kualitas kayu sebagai bahan energi biomassa. Jenis kayu yang diuji memiliki kerapatan 0.29–0.81 g/cm³. Kayu balsa memiliki kerapatan terendah sebesar 0.29 g/cm³ sedangkan kerapatan tertinggi adalah ulin sebesar 0.81 g/cm³. Kayu yang memiliki kerapatan tinggi cenderung menghasilkan nilai kalor yang tinggi Montes et al. (2011) menyatakan bahwa kerapatan kayu memiliki korelasi positif dengan nilai kalor yang dihasilkan. Menurut Haygreen et al. (2003) banyak faktor yang memengaruhi kerapatan kayu seperti tempat tumbuh, iklim, lokasi geografi, dan spesies. Kerapatan kayu di dalam suatu spesies juga bervariasi, yang dipengaruhi oleh dimensi serat, letak kayu awal dan akhir, proporsi selulosa dan lignin serta kandungan zat ekstraktif. Kerapatan kayu untuk bahan baku energi biomassa secara umum 0.4 g/cm³ atau lebih, sedangkan biomassa yang memiliki kerapatan yang lebih rendah dapat ditingkatkan dengan perlakuan densifikasi. Kadar air kering udara pada kayu yang diuji berkisar 6.64–11.09%. Kayu mahoni memiliki kadar air tertinggi (11.09%) dan jati memiliki kadar air terendah (6.64%). Cahyono et al. (2008) menyatakan bahwa kadar air kering udara yang optimum untuk bahan baku energi biomassa sebesar 12%, dan peningkatan 1% kadar air akan menurunkan nilai kalor sekitar 50.87 kkal/kg. Huthtinen (2005) menyatakan bahwa kadar air bahan baku biomassa dapat memengaruhi nilai kalor bersih yang dihasilkan pada saat konversi energi. Kadar air yang tinggi menyebabkan penurunan nilai kalor yang dihasilkan. Hal ini disebabkan dalam proses konversi energi banyak kalor yang dibutuhkan untuk mengeluarkan air dari dalam kayu menjadi uap sehingga energi yang tersisa dalam bahan bakar menjadi lebih kecil. Kadar zat terbang jenis kayu yang diuji berkisar 79.91–84.45%. Kayu jabon menghasilkan zat terbang tertinggi (84.45%) dan terendah dari kayu merbau (79.91%). Menurut Ragland dan Aerts (1991) kadar zat terbang biomassa kayu berkisar 70–90%, dan menurut Stahl et al. (2004) kadar zat terbang dalam kayu sekitar 84%. Zat terbang merupakan fraksi menguap dari suatu bahan biomassa saat dipanaskan pada suhu 950 °C (Basu 2010). Kandungan zat-zat yang menguap tersebut diantaranya karbon monoksida, karbon dioksida, dan hidrogen (Demirbas 2004). Tingginya kadar zat terbang mengakibatkan berkurangnya kadar karbon terikat yang memengaruhi nilai kalor (Yuniarti et al. 2011). Kadar zat terbang
6 jenis kayu yang diuji lebih kecil dari 85%, sehingga kayu-kayu tersebut tergolong baik digunakan sebagai bahan baku energi biomassa. Kadar abu beberapa jenis kayu yang diuji berkisar 0.32–1.18% dengan kayu ulin memiliki kadar abu tertinggi (1.18%) dan terendah kayu jati (0.32%). Kadar abu jenis kayu tersebut tergolong rendah sebab menurut Fengel dan Wegener (1984) kayu-kayu daerah tropis memiliki kadar abu antara 0.1–5.0%. Kadar abu yang tinggi, dalam biomassa akan menyebabkan nilai kalor yang dihasilkan semakin rendah (Satmoko et al. 2013). Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari hasil pembakaran (Basu 2010). Fengel dan Wegener (1984) menyatakan bahwa komponen utama abu dalam kayu adalah kalsium, kalium, silika, dan magnesium. Analisis kadar abu biomassa untuk bahan baku energi sangat penting karena kadar abu memengaruhi mutu bahan bakar. Kadar karbon terikat dari jenis kayu yang diuji berkisar 15.10–19.74% dengan kayu jati memiliki kadar karbon terikat tertinggi (19.74%) dan jabon memiliki kadar terendah (15.10%). Stahl et al. (2004) menyatakan bahwa kadar karbon terikat dalam biomassa untuk bahan energi minimal 16%, dan oleh karena itu sebagian besar jenis kayu yang diuji tergolong baik sebagai bahan energi biomassa kecuali balsa dan jabon. Kadar karbon terikat merupakan fraksi karbon dalam biomassa selain kadar abu, air, dan zat terbang (Hendra 2011). Karbon terikat memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas energi biomassa karena akan memengaruhi nilai kalor yang dihasilkan. Kadar karbon terikat dipengaruhi oleh kadar zat terbang dan kadar abu. Semakin rendah kadar zat terbang dan abu kayu maka semakin tinggi kadar karbon terikat dan nilai kalor kayu. Menurut Satmoko et al. (2013) kadar karbon terikat dipengaruhi oleh komponen kimia kayu seperti selulosa dan lignin. Hal ini disebabkan selulosa memiliki bagian kristalin yang tinggi dan lignin tersusun dari senyawa karbon aromatik. Nilai kalor merupakan parameter utama dalam penilaian bahan baku energi. Nilai kalor jenis kayu yang diuji berkisar 4243–4576 kkal/kg. Kayu ulin memiliki nilai kalor tertinggi sebesar 4576 kkal/kg dan balsa memiliki nilai kalor terendah (4243 kkal/kg). Berdasarkan penelitian Stahl et al. (2004) secara umum nilai kalor kayu berkisar 4396 kkal/kg. Nilai kalor kayu merupakan hasil interaksi dari berbagai komponen kimia penyusun kayu. Menurut Basu (2010) faktor-faktor yang memengaruhi nilai kalor dalam kayu antara lain kadar karbon, zat terbang, kadar abu, dan kadar air bahan baku. Nilai kalor yang tinggi akan menghasilkan pembakaran yang efisien serta menghemat bahan baku energi biomassa (Jamilatun 2011). Berdasarkan pengujian nilai kalor, semua jenis kayu yang diuji berpotensi sebagai bahan baku energi biomassa. Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Karakteristik Kayu sebagai Bahan Energi Kadar zat ekstraktif kayu yang diuji berkisar 5.87–11.76% (Tabel 1). Kayu jati memiliki kadar zat ekstraktif tertinggi (11.76%) sedangkan terendah dimiliki oleh kayu balsa (5.87%). Kadar zat ekstraktif di dalam kayu daerah temperate berkisar 4–10% dan di daerah tropis bisa mencapai 20% (Telmo dan Lousada 2011). Kadar zat ekstraktif kayu lebih kecil dibandingkan dengan komponen kimia lain seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin, akan tetapi zat ekstraktif
7
Kerapatan (g/cm³)
berpengaruh terhadap sifat kayu lainnya seperti kadar air, kerapatan, susut kayu, keawetan alami, dan nilai kalor. Zat ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar (Fengel dan Wegener 1984). Zat ekstraktif meliputi komponen organik seperti lilin, alkaloid, protein, fenol, gula sederhana, pektin, gum, resin, terpen, glikosida, dan saponin. Kandungan dan komposisi ektraktif berbeda antar jenis kayu dan kondisi tempat tumbuh. Gambar 1 menunjukkan adanya pengaruh kadar zat ekstraktif terhadap kerapatan kayu. Semakin tinggi kadar zat ekstraktif di dalam kayu maka kerapatannya cenderung meningkat. Penelitian Nawawi et al. (2013) menunjukkan adanya pengaruh zat ekstraktif terhadap sifat fisis kayu seperti kadar air dan susut kayu, serta terhadap berat jenis kayu dengan tingkat pengaruh yang lebih kecil. Haygreen et al. (2003) mengemukakan bahwa kayu teras memiliki kadar zat ekstraktif lebih tinggi dibandingkan dengan kayu gubal, oleh sebab itu kerapatan kayu teras lebih tinggi dibandingkan dengan kayu gubal. Sementara itu Montes et al. (2011) menyatakan bahwa kerapatan kayu berkorelasi positif dengan nilai kalor kayu. 0.90 0.60 0.30 0.00 0.00
y = 0.0756x - 0.1019 R² = 0.7593
5.00 10.00 Kadar zat ekstraktif (%)
15.00
Gambar 1 Korelasi antara kadar zat ekstraktif dengan kerapatan kayu Kadar zat ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor kayu dengan korelasi positif (R² = 0.81). Nilai kalor kayu tinggi dihasilkan dari kayu berkadar zat ekstraktif tinggi (Gambar 2). Menurut Wang dan Huffman (1984) nilai kalor kayu bergantung pada komponen kimia penyusun kayu. Nilai kalor zat ekstraktif sekitar 7764 kkal/kg (Gaur et al. 1998), selulosa berkisar 4150–4350 kkal/kg (Haygreen et al. 2003), dan lignin sekitar 6448 kkal/kg (Kaltschmitt dalam Gunther et al. 2012). Oleh sebab itu, walaupun kadar zat ekstraktif dalam kayu umumnya kecil tetapi kontribusinya terhadap nilai kalor kayu cukup tinggi karena zat ekstraktif memiliki nilai kalor tinggi. Tabel 2 menunjukkan pada jenis kayu yang diteliti, zat ekstraktif berkontribusi antara 4.34–12.47% terhadap nilai kalor kayu, walaupun diduga sangat bergantung pada kadar dan komposisi zat ekstraktifnya.
8
Nilai kalor (kkal/kg)
4700 4600 4500 4400 4300
y = 46.542x + 4035.8 R² = 0.8076
4200 4100 3
6 9 12 Kadar zat ekstraktif (%)
15
Gambar 2 Korelasi antara kadar zat ekstraktif dengan nilai kalor Tabel 2 Kontribusi kadar zat ekstraktif terhadap nilai kalor kayu dari beberapa jenis kayu Jenis Kayu
Balsa Jabon Mahoni Jati Merbau Ulin
Kadar zat ekstraktif (%) 5.87 6.44 7.93 11.76 9.72 10.56
Nilai kalor kayu tanpa ekstraksi (kkal/kg) 4243 4372 4422 4513 4520 4576
Nilai kalor kayu setelah ekstraksi (kkal/kg)
Kontribusi zat ekstraktif terhadap nilai kalor (%)
3874 3887 4143 4326 4209 4169
9.54 12.47 6.73 4.34 7.39 9.76
Karbon terikat (%)
Salah satu peran zat ekstraktif terhadap peningkatan nilai kalor kayu dapat melalui kontribusinya terhadap kadar karbon terikat. Gambar 3 menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar zat ekstraktif dengan kadar karbon terikat. Tingginya kadar karbon terikat akan meningkatkan nilai kalor kayu (Basu 2010). Selain kadarnya, komposisi zat ekstraktif diduga juga berpengaruh terhadap nilai kalor kayu. Berdasarkan Tabel 2, jenis kayu dengan kadar zat ekstraktif tinggi tidak selalu berkontribusi tinggi terhadap nilai kalor kayu. 24
20 16
12 8
4 3.00
y = 0.6211x + 11.577 R² = 0.4305
6.00 9.00 12.00 Kadar zat ekstraktif (%)
15.00
Gambar 3 Korelasi antara kadar zat ekstraktif dengan karbon terikat
9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kadar zat ekstraktif berkontribusi positif terhadap nilai kalor, kadar karbon terikat, dan kerapatan kayu. Hasil analisis proksimat menunjukkan keenam jenis kayu yang diuji memiliki kadar air 6.64–11.09%, kadar zat terbang 79.91– 84.45%, kadar abu 0.32–1.18%, kadar karbon terikat 15.10–19.74%, dan nilai kalor 4243–4576 kkal/kg. Kontribusi zat ekstraktif terlarut etanol/benzena dan air panas terhadap nilai kalor berkisar 4.34–12.47%. Berdasarkan karakteristik tersebut, kayu ulin, merbau, jati, dan mahoni memiliki kualitas yang baik sebagai energi biomassa karena memiliki nilai kerapatan, kadar zat ekstraktif, dan karbon terikat yang tinggi, sedangkan kayu jabon dan balsa memiliki kualitas yang lebih rendah namun masih berpotensi sebagai energi biomassa. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai senyawa-senyawa zat ekstraktif yang paling berpengaruh terhadap besarnya nilai kalor kayu untuk melengkapi informasi karakteristik kayu sebagai bahan baku energi biomassa.
DAFTAR PUSTAKA [ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM D-1102. Test Method for Ash In Wood. West Conshohocken (PA): ASTM International. _________________________________________. 2013. ASTM E-872. Test Method for Volatile Metter in the Analysis of Particular Wood Fuels. West Conshohocken (PA): ASTM International.. Basu P. 2010. Biomass Gasification and Pyrolysis Practical Design. Oxford (GB): Elsevier Inc. Cahyono TD, Coto Z, Febrianto F. 2008. Analisis nilai kalor dan kelayakan ekonomis kayu sebagai bahan bakar substitusi batu bara di pabrik semen. Forum Pascasarjana. 31 (2): 105-116. Demirbas A. 2004. Combustion characteristics of different biomass fuels. Progress In Energy and Combustion Science 30: 219-230. Fengel D, Wegener G. 1984. Wood; Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin (DE): John Wiley & Sons, Inc. [FPL] Forest Product Laboratory. 2004. Wood biomass for energy. TechLine Forest Product Laboratory [Internet]. [diunduh 2014 Apr 24]. Tersedia pada www.fpl.fs.fed.us. Gaur S, Reed T, Dekker M. 1998. Thermal data for natural and synthetic fuels – proximate and ultimate analysis. Biomass Energy Foundation: 1-4 Gunther B, Gebauer K, Barkowski R, Rosenthal M, Bues CT. 2012. Caloric value of selected wood species and wood products. Europ. J. Wood & Wood Prod. 70: 755-757.
10 Haygreen JG, Bowyer JL, Shmulsky R. 2003. Forest Products and Wood Science An Intoduction. Iowa (US): Blackwell Publishing. Hendra D. 2011. Pemanfaatan eceng gondok (Eichornia crassipes) untuk bahan baku briket sebagai bahan bakar alternatif. J. Penelitian Hasil Hutan. 29 (2): 189-210. Huhtinen M. 2005. Wood energy basic information pages, wood as a fuel [Internet]. [diunduh 2014 Jun 2]. Tersedia pada www.gencat.cat. Jamilatun S. 2011. Kualitas sifat-sifat penyalaan dari pembakaran briket tempurung kelapa, briket serbuk gergaji kayu jati, briket sekam padi, dan briket batubara. J. Convertion Management 43: 1291-1299. [KESDM] Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2009. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia. Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources. Jakarta (ID): Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. Montes CS, Silva DA, Garcia RA, Muniz GIB, Weber JC. Calorific value of Prosopis africana and Balanites aegyptiaca wood: relationships with tree growth, wood density, and rainfall gradients in the West African Sahel. Biomass Energy 35: 346-353. Nawawi DS, Wicaksono SH, Rahayu IS. 2013. Kadar zat ekstraktif dan susut kayu nangka (Arthocarpus heterophyllus) dan mangium (Acacia mangium). J Ilmu Teknologi Kayu Tropis 11(1):46-54. Ragland KW, Aerts DJ. 1991. Properties of Wood for Combustion Analysis. Wisconsin (US): University of Wisconsin-Madison Pr. Satmoko ME. 2013. Karakteristik briket dari limbah pengolahan kayu sengon dengan metode cetak panas. J. Mech. Eng. Learn. 2 (1): 1-8. [BSN] Badan Standar Nasional. 1995. SNI 06-3730-1995 Stahl R, Henrich E, Gehrmann HJ, Vodegel S, Koch M. 2004. Definition of Standard Biomass. Karlsruhe (DE): Forschungszentrum Karlshure. [TAPPI] Technical Association of Pulp and Paper Industry. 2013. TAPPI T 204 cm-97. Solvent Extractives of Wood and Pulp. Atlanta (US): TAPPI Pr. _________________________________________________. 2013. TAPPI T 258. Basic Density and Moisture Content of Pulpwood. Atlanta (US): TAPPI Pr. Telmo C, Lousada J. 2011. The explained variation by lignin and extractive content on higher heating value of wood. Biomassa Bioenergy. 35:16631667 Titiloye JO, Bakar MSA, Odetoye TE. 2013. Thermochemical characterization of agricultural wastes from west Africa. Indus. Crops Prod. 47:199-203. Wang S, Huffman JB. 1984. Effect of extractives on heat content of malalueca and eucalyptus. Wood Sci. 15(1):33-38 Yuniarti, Theo YP, Faizal Y, Arhamsyah. 2011. Briket arang dari serbuk gergajian kayu meranti dan arang kayu gelam. J. Riset Industri Hasil Hutan 3 (2): 37-42.
11
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 10 Juni 1992 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suparmin dan Ibu Sutiyem. Penulis menamatkan sekolah menengah atas di SMAN 101 Jakarta. Pada tahun 2010, penulis diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah terdaftar sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB, Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (Himasiltan) dan tercatat sebagai penerima Beasiswa Bakti BCA tahun 2013– 2014. Penulis pernah melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Baturraden dan Cilacap, Jawa Tengah pada tahun 2012 dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2013. Selain itu penulis melakukan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Pabrik Minyak Kayu Putih (PMKP) Jatimunggul, Indramayu, Jawa Barat, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada tahun 2013. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen praktikum mata kuliah Kimia Kayu tahun ajaran 2013–2014.