ZAT EKSTRAKTIF KAYU NANGKA (Arthocarpus heterophyllus Lam) DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI KALOR
DITA AMILYA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Zat Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Dita Amilya NIM E24100048
ABSTRAK DITA AMILYA. Zat Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII. Kayu merupakan biomassa yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber energi alternatif. Namun nilai kalor kayu tergantung pada sifat fisis dan kimianya. Penelitian ini menjelaskan tentang zat ekstraktif kayu nangka, dan pengaruhnya terhadap nilai kalor pada beberapa tingkat kelarutan. Pelarut yang digunakan terdiri dari n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton. Setiap tingkat ekstraksi, residu serbuk diuji niai kalornya. Zat ekstraktif yang diperoleh berkisar antara 0.23-4.03%. Hasil analisis proksimat terdiri dari pengujian kadar air sebesar 8.54-13.84%, kadar zat terbang 71.36-79.31%, kadar abu 1.07-1.31%, karbon terikat 19.48-27.35%, dan nilai kalor kayu 4 171.5-4 501.5 kkal/kg. Zat ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor kayu. Semakin rendah kandungan zat ekstraktif, nilai kalor kayu juga semakin rendah. Kata Kunci : ekstraktif, nilai kalor, analisis proksimat, kepolaran pelarut.
ABSTRACT DITA AMILYA. Extractive from Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) and Its Influence to Wood Caloric Value. Supervised by WASRIN SYAFII. Wood is one of the biomass that can be used for alternative energy resources. However, caloric value of wood varies depending on its physical and chemical properties. This research describes nangka wood extractive substances and their effects on the heating value at some level of solubility. The solvent used consist of n-hexan solvent, ethyl acetat, ethyl ether, and aceton. Each level of extraction, residues have measured for caloric value. The result of extractive substances obtained range from 0.23-4.03%. The result of proximate analysis consist of moisture content at the rate of 8.54-13.84%, 71.36-79.31% volatile matter content, 1.07-1.31% ash content, 19.48-27.35% fix carbon, and caloric value of wood 4 171.5-4 501.5 kkal/kg. Extractive affected to the caloric value of wood. The lower extractive substance, caloric value of wood will lower too. Keywords: extractive, heating value, proximate analysis, solvent solubillity.
ZAT EKSTRAKTIF KAYU NANGKA (Arthocarpus heterophyllus Lam) DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI KALOR
DITA AMILYA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul Zat Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2014, di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor serta Balai Penelitian Ternak Bogor, Kementerian Pertanian. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Wasrin Syafii, M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam mengerjakan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Bapak Asril, Ibu Mimi Angrianti, Kakak Hengky Angra, Fadly Gustian, dan Adik Arief Fahdi, serta Gemilang Tanisan yang telah memberikan semangat. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada teman-teman Fahutan 47, THH 47 khususnya divisi KHH 47, sahabat dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014 Dita Amilya
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
METODE PENELITIAN
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan Penelitian
2
Alat Penelitian
2
Prosedur Penelitian
2
Persiapan Bahan Baku (TAPPI T257 om-85)
2
Pengukuran Kadar Air (TAPPI T 12 os-75)
2
Ekstraksi dan Fraksinasi
3
Penentuan Kadar Zat Ekstraktif
4
Pengujian Nilai Kalor
4
Analisis Proksimat
4
Kadar Zat Terbang
4
Kadar Abu
4
Karbon Terikat
5
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Kandungan Zat Ekstraktif
5
Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor
6
Karakteristik Kayu sebagai Bahan Energi Biomassa
9
SIMPULAN DAN SARAN
12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN
15
RIWAYAT HIDUP
17
DAFTAR TABEL 1 Kadar zat ekstraktif kayu nangka
5
2 Penurunan nilai kalor pada setiap fraksi kelarutan zat ekstraktif
7
3 Karakteristik bahan baku kayu sebagai energi biomassa
10
DAFTAR GAMBAR 1 Skema proses maserasi bertingkat serbuk kayu nangka
3
2 Nilai kalor pada beberapa jenis serbuk kayu nangka
7
3 Hubungan antara nilai kalor dengan karbon terikat
11
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil pengujian nilai kalor
15
2 Hasil identifikasi/determinasi tumbuhan
16
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Energi fosil saat ini masih banyak digunakan masyarakat dan industri di Indonesia, diantaranya minyak bumi, batubara, dan gas alam. Meningkatnya konsumsi energi menyebabkan ketersediaan bahan bakar fosil semakin terbatas karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Biomassa merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat potensial, salah satunya adalah kayu. Sifat yang menguntungkan dari bahan bakar kayu adalah sumber energi yang dapat dimanfaatkan secara lestari karena sifatnya yang dapat diperbaharui (renewable resource), relatif tidak mengandung unsur sulfur sehingga tidak menyebabkan polusi udara sebagaimana yang terjadi pada bahan bakar fosil, dan energi biomassa juga meningkatkan efisiensi pemanfaatan limbah pertanian. Akan tetapi menurut Haygreen dan Bowyer (1986), kayu memiliki karakteristik yang beragam, misalnya kadar ekstraktif yang berbeda untuk setiap jenis dan berpengaruh terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Nilai kalor kayu ditentukan oleh jenis kayu, berat jenis, kadar air, dan komposisi kimia kayu khususnya kadar lignin dan kadar ekstraktif. Zat ekstraktif merupakan komponen kimia minor dalam biomassa, tetapi dapat berkontribusi terhadap nilai kalor. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai kalor zat ekstraktif, yaitu sekitar 7 764 kkal/kg (Gaur et al. 1998). Sementara itu berdasarkan Haygreen et al. (2003), adanya resin dalam kayu mempengaruhi nilai kalor yang dihasilkan. Kayu yang mengandung resin memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dibanding dengan kayu yang tidak mengandung resin. Sebagai contoh, oleoresin mempunyai nilai kalor tinggi yaitu sebesar 8 500 kkal/kg (Iswanto 2008). Hal yang sama disampaikan oleh Richardson et al. (2002) bahwa zat ekstraktif kelompok resin, terpen, dan lilin memiliki nilai kalor yang tinggi. Zat ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar (Fengel dan Wangener 1984). Kapasitas terlarutnya zat ekstraktif berdasarkan sifat keterlarutannya dalam suatu pelarut berbeda-beda, sehingga diduga adanya keragaman nilai kalor serbuk dari setiap kelarutan zat ekstraktif kayu nangka. Pemilihan kayu nangka didasarkan pada kadar zat ekstraktif yang cukup tinggi, berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia yaitu lebih dari 4% (Lestari dan Pari 1990). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif kayu nangka, dan pengaruhnya terhadap nilai kalor pada berbagai tingkat kelarutan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh zat ekstraktif kayu nangka terhadap nilai kalor kayu.
2
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2014. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, serta Balai Penelitian Ternak Bogor, Kementerian Pertanian. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan yaitu kayu Nangka bagian teras, umur 22 tahun yang berasal dari daerah sekitar Sukabumi, Jawa Barat, air destilata, dan kertas saring. Sedangkan beberapa bahan kimia yang diperlukan untuk penelitian ini antara lain pelarut n-heksana, etil asetat, etil eter, aseton, dan alkohol 70%. Alat Penelitian Alat yang digunakan adalah golok, willey mill, saringan bertingkat, oven, desikator, penjepit besi, timbangan analitik, toples, rotary vacum evaporator, erlenmeyer, gelas ukur, kertas saring, alumunium foil, cawan petri, pengaduk kaca, pipet volume 10 ml, label, cawan abu 50-100 ml, electric muffle furnace, dan corong kaca, serta pengujian nilai kalor menggunakan alat Bomb Calorimeter. Prosedur Penelitian PersiapanBahan Baku(TAPPI T257 om-85) Sampel kayu yang diambil adalah bagian kayu teras. Kayu dicacah hingga menjadi serpih kemudian dikering udarakan. Giling potongan kecil kayu dengan menggunakan willey mill. Serbuk yang dihasilkan disaring dengan menggunakan saringan bertingkat hingga mendapatkan serbuk berukuran 40-60 mesh. Serbuk kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat. Pengukuran Kadar Air (TAPPI T 12 os-75) Serbuk kayu nangka sebanyak 2 g (BA) dikeringkan dalam oven pengering selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 ºC atau hingga berat keringnya konstan. Serbuk didinginkan dalam desikator dan ditimbang (BKT). Kadar air dinyatakan sebagai berat air terhadap berat kering contoh uji yang dinyatakan dalam persen. Kadar air dihitung dengan rumus: ( ) Dengan, BA = Berat serbuk awal (g) BKT = Berat serbuk kering oven (g)
3 Ekstraksi dan Fraksinasi Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi maserasi bertingkat dengan modifikasi urutan tingkat kelarutan. Proses ekstraksi maserasi dilakukan dengan cara mengesktrak 2000 g serbuk ke dalam pelarut nheksana dengan perbandingan 1:3 hingga terendam selama 24 jam dan diaduk dengan menggunakan pengaduk kaca. Sampel disimpan dalam wadah yang tertutup. Selanjutnya, dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring dan corong kaca. Penggantian pelarut dilakukan setiap harinya sampai diperoleh filtrat yang bening. Residu hasil penyaringan yang diperoleh dikeringkan untuk menghilangkan sisa pelarut n-heksana, dan diambil sebanyak 8 g untuk pengujian nilai kalor dan analisis proksimat. Residu dimaserasi kembali dengan menggunakan pelarut etil asetat sampai diperoleh filtrat yang bening sebagaimana proses maserasi dengan menggunakan pelarut n-heksana. Hal yang sama dilakukan pula pada pelarut etil eter dan aseton sampai diperoleh filtrat yang bening. Skema ekstraksi digambarkan pada bagan berikut ini:
Gambar 1 Skema proses maserasi bertingkat serbuk kayu nangka
Filtrat hasil maserasi dari masing-masing pelarut yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator hingga mencapai 1000 ml yang nantinya digunakan untuk penentuan kadar zat ekstraktif.
4 Penentuan Kadar Zat Ekstraktif Sebanyak 10 ml larutan ekstrak n-heksana, dan larutan hasil fraksinasi terlarut dalam etil asetat, etil eter, serta aseton yang telah diuapkan dikeringkan dalam cawan petri dengan oven pada suhu ± 40-60 °C sampai diperoleh berat konstannya. Kadar zat ekstraktif yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan fraksinasi bertingkat dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Kandungan Ekstraktif = Dengan, Wa = berat padatan ekstraktif (g) Wb = berat kering oven serbuk (g) Pengujian Nilai Kalor Pengukuran nilai kalor dilakukan terhadap serbuk awal (serbuk mengandung zat ekstraktif), serbuk bebas fraksi n-heksana (S1), serbuk bebas fraksi n-heksana, dan etil asetat (S2), serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter (S3), dan serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton (S4). Alat yang digunakan adalah Parr 6400 calorimeter. Sebanyak 1 g kering oven sampel diikat dengan kawat halus lalu dimasukkan ke dalam tempat pembakaran pada kalorimeter. Kemudian dicatat perubahan nilai kalor yang terjadi. Analisis Proksimat Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, dan karbon terikat. Pengujian ini mengacu dari beberapa standar seperti kadar air (TAPPI T 12 os-75), kadar zat terbang (ASTM E-872), kadar abu (ASTM D1102), dan karbon terikat (ASTM D3175). Kadar Zat Terbang Cawan porselen yang sudah diberi tanda ditimbang beratnya. Sebanyak 1 g serbuk kering oven dimasukkan ke dalam cawan porselen. Panaskan sampel pada suhu 950 oC di dalam tanur listrik selama 7 menit, pindahkan ke dalam desikator selama 15 menit kemudian timbang. Kadar zat terbang yang diperoleh dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Dengan, Wa = Berat serbuk kering oven (g) Wb = Berat serbuk setelah 7 menit (g) Kadar Abu Cawan abu kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25 ºC selama 30-60 menit. Setelah pemanasan dinginkan cawan dalam desikator. Sebanyak 1 g serbuk kering oven dimasukkan ke dalam cawan abu. Panaskan sampel pada suhu 100 ºC lalu tingkatkan suhu hingga mencapai 525 ºC secara bertahap hingga terjadi karbonisasi tanpa pembakaran. Pembakaran selesai apabila partikel hitam telah hilang. Kadar abu yang diperoleh dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
5
Dengan, A B
= Berat abu (g) = Berat kering oven serbuk (g)
Karbon Terikat Karbon terikat memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan kualitas biomassa. Kadar karbon terikat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: KT = 1 – KA – ZT – KAB Dengan, KT = karbon terikat KA = kadar air ZT = zat terbang KAB = kadar abu Analisis Data Proses pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan Microsoft excel 2007 terhadap rata-rata nilai dari masing-masing dua ulangan untuk analisis kandungan zat ekstraktif, analisis proksimat, dan pengukuran nilai kalor kayu nangka.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil kadar ekstraktif yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis senyawa yang terdapat dalam sampel dan kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut yang digunakan. Ekstraktif dari semua bagian yang larut pada pelarut etil asetat memiliki nilai tertinggi yaitu 4.03%, dan ektraktif yang larut dalam pelarut n-heksana memiliki nilai terendah yaitu 0.23%. Ekstraksi pada fraksi etil eter dan aseton masing-masingnya sebesar 1.47 dan 1.94%. Tabel 1 Kadar zat ekstraktif kayu nangka Jenis Ekstraktif Berat padatan (g) Fraksi n-heksana 4.05 Fraksi etil asetat 72.54 Fraksi etil eter 25.66 Fraksi aseton 34.07 Total 136.32
Kadar ekstraktif (%) 0.23 4.03 1.47 1.94 7.67
Ekstrak terlarut n-heksana paling rendah karena umumnya keberadaan senyawa non polar cenderung paling sedikit dibandingkan senyawa ataupun fraksi semipolar dan polar (Meilani 2006). Hal yang sama disampaikan oleh Falah et al. (2008) bahwa kadar zat ekstraktif yang dihasilkan dari fraksi n-heksana tergolong
6 rendah sebesar 0.28%. Pelarut n-heksana dapat melarutkan senyawa terpenoid, lilin, lemak, dan volatile oil (Houghton dan Raman 1998). Fraksinasi dengan pelarut n-heksana menghasilkan fraksi yang lebih sulit untuk dikeringkan (pada suhu 40-60 oC) daripada fraksi lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh minyak yang tetap terkandung dalam fraksi n-heksana, seperti yang dikemukakan oleh Houghton dan Raman (1998) bahwa n-heksana dapat melarutkan minyak tetap dan stabil. Tingginya rendemen ekstraksi dengan pelarut etil asetat mungkin disebabkan oleh sifat etil asetat yang semipolar, sehingga dapat mengekstrak komponen glikon yang polar dan komponen aglikon yang nonpolar pula sehingga ekstrak ini memiliki rendemen ekstraksi yang besar (Hardwood dan Moody 1989). Ditambahkan oleh Tensiska et al. (2007), etil asetat merupakan pelarut semi polar yang mampu menarik senyawa-senyawa dengan rentang polaritas lebar dari polar hingga nonpolar. Dengan demikian zat ekstraktif pada kayu nangka didominasi oleh senyawa semi polar yang terlarut dalam etil asetat seperti alkaloid, aglikon, terpenoid, flavonoid, dan glikosida. Etil eter juga dapat melarutkan alkaloid serta aglikon (Houghton dan Raman 1998), dan asam lemak seperti lemak, lilin, resin, sterol, dan asam resin (Achmadi 1990). Aseton dan etil eter akan melarutkan senyawa polar seperti tanin, flavonoid, lignan, stilbene dan tropolona (Sjostrom 1991). Total kadar ekstraktif yang diperoleh dari 2 000 g teras kayu nangka adalah 7.67% dengan berat padatan 136.32 g. Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu tergolong tinggi jika kadar ekstraktif lebih besar dari 4% (Lestari dan Pari 1990), maka kandungan zat ekstraktif kayu nangka tergolong tinggi. Rendemen yang dihasilkan dalam proses ekstraksi dipengaruhi oleh jenis pelarut dan metode yang digunakan (Farrel 1990). Metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi dengan maserasi bertingkat dengan modifikasi urutan tingkat kelarutan. Maserasi merupakan metode sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalam suatu pelarut dan dalam jangka waktu tertentu. Zat ekstraktif pada setiap jenis kayu dapat diekstrak dengan menggunakan pelarut-pelarut yang berbeda tergantung sifat dari zat ekstraktif tersebut dan pelarutnya. Zat ekstraktif bersifat polar dapat terekstrak dalam pelarut yang bersifat polar, dan sebaliknya. Prinsip ekstraksi adalah pelarutan/pengikatan zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih yang rendah, murah, dan tidak toksik (Ketaren 1986). Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor Nilai kalor merupakan indikator penting dalam menentukan kualitas bahan baku untuk sumber energi yang bergantung pada komposisi kimia, kadar air, dan kandungan abu pada kayu (Silva et al. 2011). Menurut Haygreen et al. (2003), rata-rata nilai kalor pada kayu kering tanur adalah 4500 kkal/kg. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kalor kayu nangka berekstraktif adalah sebesar 4501.5 kkal/kg berdasarkan berat kering tanurnya, sehingga tergolong baik dan potensial sebagai sumber energi biomassa. Selain kadar air sebagai faktor utama yang
7
Nilai Kalor (kkal/kg)
mempengaruhi nilai kalor kayu, ekstraktif merupakan faktor penting dalam menentukan nilai kalor, Semakin tinggi zat ekstraktif, nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi (Haygreen et al. 2003). Ekstraktif juga berperan dalam peningkatan nilai kalor suatu bahan bakar. Hasil penelitian mengkonfirmasikan bahwa zat ekstraktif berpengaruh besar terhadap nilai kalor kayu. Nilai kalor mengalami penurunan seiring dengan menurunnya kadar zat ekstraktif dalam kayu. Penurunan nilai kalor ini terjadi karena zat ekstraktif yang terkandung dalam serbuk telah dihilangkan pada masing-masing tahapan ekstraksi. 4 501.5 4600
4 491.0 4 451.0 4 343.5
4400
4 171.5
4200 4000 S0
S1
S2
S3
S4
Jenis Serbuk Kayu Gambar 2 Nilai kalor pada beberapa jenis serbuk kayu nangka Keterangan:
S0 = serbuk kayu kontrol S1 = serbuk bebas fraksi n-heksana S2 = serbuk bebas fraksi n-heksana, dan etil asetat S3 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter S4 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton
Nilai kalor yang dihasilkan menurun seiring dengan tahapan ekstraksi yang dilakukan (Gambar 2). Nilai kalor tertinggi dimiliki oleh serbuk kayu kontrol yang masih berekstraktif tinggi (S0), dan terus mengalami penurunan hingga fraksi S4. Berikut tabel penurunan nilai kalor pada setiap fraksi kelarutan zat ekstraktif: Tabel 2 Penurunan nilai kalor pada setiap fraksi kelarutan zat ekstraktif Estimasi nilai Jenis Nilai kalor Kadar zat Penurunan nilai kalor zat sampel (kkal//kg) ekstraktif (%) kalor (kkal/kg) ekstraktif (kal/g) S0 4 501.5 S1 4 491.0 0.23 10.5 4 565.22 S2 4 451.0 4.03 40.0 992.56 S3 4 343.5 1.47 107.5 7 312.93 S4 4 171.5 1.94 172.0 8 865.80 Keterangan:
S0 = serbuk kayu kontrol S1 = serbuk bebas fraksi n-heksana S2 = serbuk bebas fraksi n-heksana, dan etil asetat S3 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter S4 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton
Fraksi S3 mengalami penurunan yang cukup tinggi daripada fraksi S2. Jika dilihat dari kadar zat ekstraktif yang terlarut etil asetat pada fraksi S2 paling tinggi, yaitu sebesar 4.03% mengalami penurunan nilai kalor sebesar 0.89%. Sementara
8 kadar ekstraktif fraksi S3 yang terlarut etil eter sebesar 1.47% mengalami penurunan nilai kalor sebesar 2.42%. Persentase zat ekstraktif S3 lebih rendah dibandingkan dengan fraksi S2, namun penurunan nilai kalornya lebih besar. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan senyawa ekstraktif yang terlarut pada masing-masing fraksi. Fengel dan Wangener (1984) menyatakan bahwa zat ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar. Senyawa yang terlarut etil eter lebih berkontribusi terhadap penurunan nilai kalor, seperti asam lemak, lipid, lilin, resin, dan asam resin, namun dengan kadar yang lebih rendah karena telah lebih dulu dilarutkan pada fraksi S1 dengan menggunakan pelarut n-heksana. Selain senyawa ekstraktif tersebut, diduga terdapat senyawa lain yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kalor, diantaranya adalah beberapa senyawa flavonoid. Senyawa tersebut memiliki gugus hidroksil sehingga dapat menyebabkan nilai kalor yang dihasilkan rendah, dengan demikian tingginya penurunan nilai kalor pada fraksi S3 diduga disebabkan oleh keberadaan beberapa senyawa flavonoid, senyawa-senyawa lipid, dan lemak yang masih terlarut dalam fraksi. Senyawa lipid memiliki struktur karbon yang panjang sehingga berpengaruh terhadap nilai kalor, selain itu lemak juga menghasilkan nilai kalor yang lebih tinggi. Hawab (2003) menjelaskan bahwa minyak termasuk dalam golongan lipid dengan ikatan karbon bisa sangat panjang antara C12 sampai C18. Rantai karbon yang panjang yang terkandung dalam minyak, berpengaruh terhadap nilai kalor minyak tersebut. Pada reaksi pembakaran setiap karbon diubah menjadi karbondioksida dengan melepaskan kalor. Makin banyak karbon makin banyak energi yang dihasilkan. Ditambahkan oleh Wang dan Huffman(1982), ekstrak etil eter mengandung komponen terpenoid, hidrokarbon, dan lipid. Dimana komponen organik yang mengandung karbon dan hidrogen menghasilkan energi yang lebih besar ketika dibakar daripada yang mengandung oksigen. Hal yang sama disampaikan oleh Richardson et al. (2002) bahwa zat ekstraktif kelompok resin, terpen, dan lilin memiliki nilai kalor yang tinggi. Sementara senyawa yang terlarut etil asetat didominasi oleh senyawa fenolik seperti aglikon, glikosida, dan flavonoid. Menurut Wang dan Huffman(1982), keberadaan beberapa gugus hidroksil di dalam molekul fenolik kayu akan menghasilkan jumlah panas yang lebih rendah daripada terpenoid, hidrokarbon, dan lipid. Total kontribusi terhadap nilai kalor dari senyawa ekstraktif yang bersifat polar lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa ekstraktif lainnya, karakter energi yang tinggi pada senyawa terlarut eter yang didominasi oleh senyawa hidrokarbon dan lipid dapat menghasilkan energi yang lebih tinggi apabila dioksidasi jika dibandingkan dengan komponen organik kayu bukan ekstraktif seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Wang dan Huffman 1982). Kadar zat ekstraktif terlarut aseton (S4) yaitu sebesar 1.94%, mengalami penurunan nilai kalor yang paling tinggi sebesar 3.96%. Hal ini diduga disebabkan oleh keadaan serbuk yang telah benar-benar bebas ekstraktif, dimana semua zat ekstraktif telah terlarut pada setiap tingkatan ekstraksi. Selain itu juga dapat disebabkan oleh terdapatnya senyawa ekstraktif yang berkontribusi terhadap kalor seperti tanin yang terkondensasi karena memiliki struktur ikatan karbon. Banyaknya senyawa tanin terkondensasi yang terlarut menyebabkan tingginya penurunan nilai kalor yang terjadi. Waghorn dan McNabb (2003) menyatakan
9 bahwa tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin yang mudah terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi merupakan polimer senyawa flavonoid dengan ikatan karbon-karbon. Senyawa yang terlarut pada fraksi aseton adalah komponen senyawa fenolik. Keberadaan beberapa gugus hidroksil di dalam molekul fenolik kayu akan menghasilkan jumlah panas yang lebih rendah daripada terpenoid, hidrokarbon, dan lipid (Wang dan Huffman 1982).Fenolik adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang menempel di cincin aromatik. Dengan kata lain, senyawa fenolik adalah senyawa yang sekurang-kurangnya memiliki satu gugus fenol (Vermerris dan Nicholson 2006). Keberadaan gugus hidroksil menyebabkan ikatan antar karbon-karbon dalam kayu semakin rendah, sehingga nilai kalor yang terjadi akan semakin rendah (Susott 1975) Fraksi terlarut n-heksana (S1) memiliki penurunan nilai kalor yang paling rendah daripada fraksi yang lain yaitu sebesar 10.5 kkal/kg (0.23%). Kandungan zat ekstraktif yang terlarut pun paling rendah hanya 0.23%. Nilai kalor fraksi S1 mengalami penurunan yang sama dengan nilai kalornya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan terlarutnya zat ekstraktif mengakibatkan turunnya nilai kalor yang dihasilkan. Hal yang sama disampaikan oleh Falah et al. (2008) bahwa kadar zat ekstraktif yang dihasilkan dari fraksi n-heksana tergolong rendah sebesar 0.28%. Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa senyawa yang terlarut n-heksana didominasi oleh senyawa terpenoid, lilin, lemak, dan volatile oil yang sangat tinggi kontribusinya dalam meningkatkan nilai kalor kayu karena memiliki struktur molekul karbon yang panjang. Rendahnya kadar ekstraktif yang diperoleh menyebabkan rendahnya penurunan nilai kalor yang terjadi. Nilai kalor zat ekstraktif dapat diduga dengan menghitung selisih penurunan kalor yang terjadi dibagi persentase kadar zat ekstraktif. Pada fraksi S1 nilai kalor yang diperoleh adalah sebesar 4 565.22 kal/g. Fraksi S2, S3, dan S4 berturut-turut adalah 992.56, 7 312.93, dan 8 865.80 kal/g. Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi S1, S2, dan S3 memberikan kontribusi terhadap penurunan nilai kalor. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai kalor yang dihasilkan setiap gram ekstraktifnya. Namun, rendahnya nilai kalor pada fraksi S2 diduga disebabkan oleh komponen senyawa ekstraktifnya tidak berpengaruh besar terhadap penurunan nilai kalornya. Dugaan nilai kalor zat ekstraktif juga dapat menunjukkan bahwa dengan rendahnya nilai kalor ekstraktif, maka nilai kalor kayu juga akan semakin menurun. Estimasi nilai kalor tersebut meningkat seiring banyaknya zat ekstraktif yang terlarut pada tiap fraksi, dimana total zat ekstraktif yang terlarut sebanyak 7.67% diduga menghasilkan nilai kalor sebesar 8 865.80 kal/g. Karakteristik Kayu sebagai Bahan Energi Biomassa Karakteristik kayu sebagai energi biomassa dievaluasi berdasarkan hasil pengujian analisis proksimat. Analisis proksimat bahan energi biomassa mengacu pada standar ASTM (American Society for Testing Material) yang meliputi pengujian kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon terikat. Pengujian ini berfungsi untuk menduga nilai kalor yang dihasilkan.
10 Tabel 3 Karakteristik bahan baku kayu sebagai energi biomassa Karbon Kadar air Zat terbang Kadar abu Jenis terikat serbuk (%) S0 8.54 71.36 1.21 27.35 S1 11.64 73.33 1.31 25.24 S2 11.66 75.56 1.20 23.13 S3 13.59 77.04 1.27 21.56 S4 13.84 79.31 1.07 19.48 Keterangan:
Nilai kalor (kkal/kg) 4 501.5 4 491.0 4 451.0 4 343.5 4 171.5
S0 = serbuk kayu kontrol S1 = serbuk bebas fraksi n-heksana S2 = serbuk bebas fraksi n-heksana, dan etil asetat S3 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter S4 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton
Komponen volatil (zat teruapkan) lebih dominan dibandingkan dengan komponen yang lain, hal ini didasari bahwa kandungan volatil pada kayu umumnya tinggi dibandingkan dengan arang. Komponen utama volatil tersusun atas CO, H2, dan CO2, dimana zat yang teruapkan masih mengandung zat-zat yang mudah terbakar (Saputro et al. 2012). Kadar zat terbang pada masing-masing serbuk berkisar antara 71.36% sampai dengan 79.31% dimana serbuk fraksi S4 memiliki kadar zat terbang tertinggi. Kadar ekstraktif berpengaruh terhadap zat terbang. Zat terbang terus naik seiring dengan penurunan kadar zat ekstraktif. Hal ini disebabkan oleh kondisi serbuk yang bebas ekstraktif dimana senyawa karbon yang terkandung semakin rendah. Hendra dan Pari (2000) menyatakan bahwa kadar zat terbang yang tinggi akan menurunkan kualitas bahan karena dengan banyaknya zat terbang, maka kandungan karbon semakin kecil sehingga nilai kalor yang dihasilkan semakin rendah. Keberadaan gugus hidroksil dalam senyawa fenolik kayu juga dapat menyebabkan tingginya zat terbang pada fraksi S4 yang didominasi oleh senyawa fenolik seperti tanin, flavonoid, dan lignan. Menurut Wang dan Huffman (1982), senyawa fenolik mengandung gugus hidroksil yang tinggi sehingga sangat berkontribusi terhadap nilai kalor. Demirbas (2004) menyatakan bahwa proses pemanasan mengakibatkan terjadinya penurunan berat biomassa karena terlepasnya zat atau senyawa yang mudah menguap. Kandungan atau zat-zat yang menguap tersebut diantaranya adalah hidrokarbon, karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen, dan tar. Abu berpengaruh terhadap nilai kalor kayu karena dapat menurunkan mutu bahan bakar. Salah satu unsur utama abu adalah silika, dan pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan (Satmoko et al. 2013). Semakin rendah kadar abu, maka semakin baik bahan bakar tersebut. Kandungan abu dalam serbuk kayu nangka tergolong rendah, yaitu berkisar antara 1.07-1.31%. Kadar abu kontrol yang masih mengandung zat ekstraktif memiliki nilai kadar abu lebih tinggi daripada serbuk bebas ekstraktif yaitu sebesar 1.21%. Hal ini disebabkan oleh keadaan serbuk yang masih berekstraktif, namun setelah dilakukan tahapan ekstraksi kadar abu juga menurun. Kadar abu yang diperoleh kurang dari 5% sehingga baik digunakan sebagai sumber energi. Seperti pernyataan Rajvanshi (1986), bahan baku energi biomassa dengan kadar abu kurang dari 5% termasuk
11 kategori bahan energi biomassa yang baik karena tidak menyebabkan pembentukan kerak mineral. Kadar karbon terikat berhubungan dengan nilai kalor.Semakin tinggi kadar karbon terikat maka nilai kalor semakin tinggi pula karena reaksi oksidasi akan menghasilkan kalori (reaksi eksothermis). Bahan bakar yang bermutu baik adalah bahan dengan nilai kalor dan kadar karbon terikat yang tinggi namun kadar abu rendah (Sudrajat dan Salim 1994). 4600 Nilai Kalor
4500 4400
y = 41.00x + 3434 R² = 0.836
4300 4200 4100 0
5
10 15 20 Karbon Terikat
25
30
Gambar 3 Hubungan antara nilai kalor dengan karbon terikat
Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa karbon terikat berbanding lurus dengan nilai kalor kayu (Gambar 3), yang ditunjukkan oleh koefisien determinasi yang tinggi (r = 0.836). Semakin tinggi karbon terikat, nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi, dan sebaliknya. Penurunan karbon terikat terjadi seiring dengan penurunan kadar zat ekstraktif yang dikandungnya. Dimana serbuk kontrol yang belum dihilangkan zat ekstraktifnya memiliki kandungan karbon terikat paling tinggi yaitu sebesar 27.35%. Setelah diekstraksi dengan pelarut n-heksana kadar karbon terikatnya berkurang menjadi 25.24%, berikut sampai zat ekstraktifnya hilang setelah diekstraksi dengan aseton menjadi 19.48%. Tingginya kadar karbon pada fraksi S1 diduga disebabkan oleh keberadaan senyawa ekstraktif dengan struktur karbon yang tinggi, seperti lemak dan lipid sehingga nilai karbon terikat lebih tinggi daripada fraksi S2 yang didominasi oleh senyawa fenolik dengan struktur karbon yang lebih pendek. Kadar karbon terikat minimal untuk energi biomassa adalah 16% (stahl et al. 2004), sehingga kayu nangka tergolong baik untuk sumber energi biomassa karena kadarnya lebih besar dari 16%. Kadar karbon terikat dipengaruhi oleh kadar abu dan zat terbang. Semakin tinggi kandungan karbon terikat maka kadar abu dan zat terbang akan semakin rendah. Nilai Kalor kayu nangka berdasarkan penelitian Komarayati(1995) adalah 6 487.28 kal/g, dan jika dijadikan arang sebesar 7 183.37 kal/g dengan rendemen 38.74%. Briket arang kayu nangka tergolong baik sebagai energi, mengandung 5.1% kadar air, 3.06% kadar abu, 71.23% karbon terikat, dan 25.51% zat terbang. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian, nilai kalor yang diperoleh lebih rendah yaitu 4 501,5 kkal/kg, dengan kadar air, karbon terikat, dan zat terbang yang lebih tinggi.
12
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Zat ekstraktif berpengaruh besar terhadap nilai kalor kayu. Zat ekstraktif yang semakin menurun mengakibatkan penurunan nilai kalornya. Nilai kalor kayu terus menurun dari serbuk awal hingga fraksi bebas n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton, masing-masing sebesar 4 501.5, 4 491, 4 451, 4 343.5, dan 4 171.5 kkal/kg. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kalor kayu adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, dan karbon terikat. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air semakin meningkat seiring dengan penurunan zat ekstraktif, demikian pula dengan kadar zat terbangnya. Namun nilai kalor dan kadar karbon terikat mengalami penurunan. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan referensi dari literatur, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai senyawa aktif yang terkandung dalam zat ekstraktif pada masing-masing fraksi yang paling berpengaruh pada nilai kalor kayu.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Bogor (ID): IPB Press. [ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM D-1102. Test Method for Ash In Wood. USA. _________________________________________. 2013. ASTM D-3175. Test Method for Fixed Carbon In Wood. USA. _________________________________________. 2013. ASTM E-872. Test Method for Volatile Metter in the Analysis of Particular Wood Fuels. USA. Buchanan MA. 1963. Extraneous component of wood in: The chemistry of wood (Browning, BL, Ed). Intersci. Publ: 313-367. Demirbas A. 2004. Combustion characteristics of different biomass fuels. Progress in energy and combustion science (30): 219-230. Ersam T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam Merekayasa Model Molekul Alami. Makalah Seminar Nasional Kimia VI. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November. Falah S, Suzuki T, Katayama T. 2008. Chemical constituents from Swietenia macrophylla bark and antioxidant activity. Pakistan Journal of Biologicl Sciences II. (16): 2007-2012. Farrel KT. 1990. Spices, Condiments and seasonigs. AVI Pubs.Co.Inc. Westpat.Connecticut. (2); [diunduh 2014 Juli 21]. Tersedia pada: http://books.google.co.id/book?id. Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin (GE): Walter de Gruyter. Gaur S, Reed T, Dekker M. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
13 Hardwood LM, Moody CJ. 1989. Experimental Organic Chemistry, Principles and Practice. Oxford (UK): Blackwel Scientific Publications. Haygreen JG, Bowyer JL, Schmulsky R. 2003. Forest Product and Wood Sciences An Introduction. Ames (US): IOWA State University Press. Haygreen JG, Bowyer JL. 1986. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar: Hadikusumo SA. Penerjemah; Prawirohatmojo S. Editor. Yogyakarta (ID): UGM Press. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science, an Introduction. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Bandung (ID): ITB Press. Hawab. 2003. Pengantar Biokimia. Malang (ID): Bayumedia Publishing Hendra, Pari G. 2000. Penyempurnaan Teknologi Pengolahan Arang. Laporan Hasil Penelitian Hasil Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan kehutanan, Bogor. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. London (GB): Chapman & Hall. Iswanto AH. 2008. Sifat Panas, Akustik dan Elektrik pada Kayu. [Karya Tulis]. Medan (ID): USU Press. Ketaren S. 1986. Teknologi Pengolahan Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): UI Press. Komarayati S. 1995. Development of prospect of jackfruit plant evaluated from charcoal properties and other aspects. J Penelitian Hasil Hutan Indonesia 13(2):45-51. Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu indonesia. J Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan VII(3): 96-100. Meilani SW. 2006. Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu suren (Toona sureni Merr.) dan Ki Bonteng (Platea latifolia BL.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) [Skripsi]. Bogor (ID): IPB Press. Rajvanshi AK. 1986. Biomass Gasification. Di dalam D: Yogi Goswami, editor; Nimbkar Agricultural Research Institute. India Phalton (415523): CRC Press. Hlm 83-102. Richardson J, Bjorheden R, Hakkila P, Lowe AT, Smith CT. 2002. Bioenergy from Suistanable Forestry. Boston(US): Kluwer Academic Press. Saputro DD, Widayat W, Rusiyanto, Saptoadi H, Fauzun. 2012. Karakterisasi briket dari limbah pengolahan kayu sengon dengan metode cetak panas. Seminar Nasional Aplikasi Sains Dan Teknologi (SNAST) Periode III [Internet]. [2012 November 3]. Yogyakarta (ID): hlm 394-400; [diunduh 2014 Agustus 8]. Tersedia pada http://repository.akprind.ac.id/sites/files/ conference -proceedings/2012/fauzun_14393.pdf. Satmoko MEA, Saputro DD, Budiyono A.2013. Karakterisasi briket dari limbah pengolahan kayu sengon dengan metode cetak panas. J of Mechanical Engineering Learning 2(1):1-8. Silva DA, Gracia RA, Muniz GIB, Weber JC. 2011. Calorific value of Prosopis africana and Balanites aegyptiaca wood: Relationships with tree growth, wood density, and rainfall gradients in the West African Sahel. Biomass Energy. 35:346-353.
14 Sjostrom E. 1991. Wood Chemistry, Fundamentals and Aplications. New York (US):Academic Press. Stahl R, Henrich E, Gehrmann HJ, Vodegel S, Koch M. 2004. Definition of Standar Biomass. Germany (DE): Forschungszentrum Karlsruhe. Sudrajat R, Soleh S. 1994.Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Bogor (ID): Balitbang Kehutanan. Sunyata A. 2004. Pengaruh Kerapatan dan Suhu Pirolisa terhadap Kualitas Briket Arang Serbuk Kayu Sengon. Yogyakarta (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Yogyakarta (INTAN). Susott RA, Degrott WF, Shafizadeh F. 1975. Heat content of natural fuels. J of Fire Flammability. 6:311-325. [TAPPI] Technical Association of Pulp and Paper Industry. 1990. TAPPI Test Methods. 1991. Atlanta (US): TAPPI Pr. Tensiska M, Yudiastuti SON. 2007. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar Isoflavon dari Ampas Tahu. Laporan Penelitian. Vermerris W, Nicholson R. 2006. Phenolic Compound. Netherlands (NL): Springer. Waghorn GC, McNabb WC. 2003. Consequences of plant phenolic compounds for productivity and health of ruminants. Proc. Nutr. Soc. 62:383-392. Wang S, Huffman JB. 1982. Effect of extractive on heat content of Malaleuca and Eucalyptus. Forest Product Research Society. Wood Sci. 15(1):33-38.
15
LAMPIRAN
16
17
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Balai Tengah pada tanggal 20 Oktober 1991. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Asril dan Ibu Mimi Angrianti. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lintau Buo, dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis telah mengikuti kegiatan praktek lapang yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2012 di Gunung Papandayan Garut, Jawa Barat, pada tahun 2013 penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengolahan Hutan (PPH) dengan lokasi di Hutan Pendidikan Gunung Walat, KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi, kemudian pada tahun yang sama, penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Industri Pengolahan Hasil Hutan (Kayu) PT. Estika Tropika Lestari, Tegal Jawa Tengah. Selain aktif mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam kepanitiaan kegiatan kampus seperti divisi Humas Forestry Exibition, Divisi Humas South East Asia Forest Youth Meeting pada tahun 2011, dan divisi Humas Three University IPB. Penulis merupakan anggota Divisi HRD Internasional Forestry Student Assosiation Local Community IPB (IFSA LC IPB), Anggota PSDM Bem Fakultas Kehutanan, Pengurus Gentra Kaheman Bidang Fasilitas dan Properti, dan anggota kelompok minat kimia hasil hutan, Himpunan Profesi Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN). Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Zat Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor” dibawah bimbingan Prof Dr Ir Wasrin Syafii, M.Agr.