ZAT EKSTRAKTIF KAYU MAHONI (Swietenia macrophylla King) DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI KALOR
ALFI NAELUFAR
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Zat Ekstraktif Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Alfi Naelufar NIM E24100069
ABSTRAK ALFI NAELUFAR. Zat Ekstraktif Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII. Kayu merupakan salah satu energi biomassa alternatif pengganti energi fosil yang berpotensi besar di Indonesia. Akan tetapi kayu memiliki karakteristik yang beragam, seperti kadar zat ekstraktif yang berbeda. Nilai kalor kayu dipengaruhi oleh sifat fisis dan kimia kayu. Penelitian ini menjelaskan tentang zat ekstraktif kayu mahoni dan pengaruhnya terhadap nilai kalor pada beberapa tingkat kelarutan.Pelarut yang digunakan untuk maserasi terdiri atas pelarut n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton. Zat ekstraktif yang diperoleh berkisar antara 0.552.19%. Hasil analisis proksimat terdiri atas pengujian kadar air sebesar 6.2812.78%, kadar zat terbang 72.05-81.07%, kadar abu 0.43-0.79%, karbon terikat 621%, dan nilai kalor kayu 4076-4376 kkal/kg. Zat ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor kayu dilihat dari adanya penurunan nilai kalor kayu setelah proses ekstraksi. Kata kunci: analisis proksimat, nilai kalor, pelarut, zat ekstraktif. ABSTRACT ALFI NAELUFAR. The Effect of Extractives from Mahogany Wood (Swietenia macrophylla King) to it’s Caloric Value by WASRIN SYAFII. Wood is one of alternative biomass energy to replace fossil energy which has great potential in Indonesia. However, wood has a variety of characteristics, such as different levels of extractive substances. The caloric value of wood is influenced by physical and chemical properties of wood. This research describes mahogany wood extractive substances and their effects on the caloric value at some level of solubility. The solvents used for maceration consist of n-hexane, ethyl acetate, ethyl ether, and acetone. The result of extractive substances obtained range from 0.55-2.19%. The result of proximate analysis consist of moisture content at the rate of 6.28-12.78%, 72.05-81.07% volatile matter content, 0.430.79% ash content, 6-21% fixed carbon, and calorific value of wood 4076-4376 kcal/kg. Extractive substances affected on wood caloric value based on decrease of wood calor value after extraction process. Keywords: caloric value, extractive, proximate analysis, solvents.
ZAT EKSTRAKTIF KAYU MAHONI (Swietenia macrophylla King) DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI KALOR
ALFI NAELUFAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul Zat Ekstraktif Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) dan Pengaruhnya terhadapNilai Kalor.Penelitian inidilaksanakan pada bulan Maret 2014 hingga Juni 2014, di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Bogor, Departemen Kementrian Pertanian. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Wasrin Syafii, M.Agr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam mengerjakan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Bapak Bunyamin, Ibu Cucu, Kakak Mochamad Firdaus, A.md, dan Adik Muhammad Yuda Anshari serta Muhammad Abduh SholahudinAnsaebi yang telah memberikan dorongan semangat. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada teman-teman Fahutan 47, THH 47 khususnya divisi KHH 47, sahabat PASKIBRA MANDAPA 15, teman-teman dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014 Alfi Naelufar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Penelitian
2
Persiapan Bahan Baku
2
Pengukuran Kadar Air
2
Proses Ekstraksi
3
Penentuan Kadar Zat Ekstraktif
4
Anlisis Proksimat
4
Pengukuran Nilai Kalor
4
Pengukuran Kadar Zat Terbang
4
Pengukuran Kadar Abu
4
Penentuan Kadar Karbon Terikat
5
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Kandungan Zat Ekstraktif
5
Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor Kayu
7
Karakteristik Kayu sebagai Bahan Baku Energi Biomassa SIMPULAN DAN SARAN
10 12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN
15
RIWAYAT HIDUP
17
DAFTAR TABEL 1. Kadar zat ekstraktif kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) 2. Persentase penurunan nilai kalor kayu 3. Karakteristik bahan baku sebagai energi biomassa
6 7 10
DAFTAR GAMBAR 1. Skema proses maserasi bertingkat serbuk kayu S. macrophylla 2. Nilai kalor beberapa serbuk kayu S0(serbuk kayu awal), S1(serbuk kayu bebas fraksi n-heksana), S2(serbuk kayu bebas fraksi n-heksana dan etil asetat), S3(serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter), dan S4(serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton) 3. Hubungan antara nilai kalor kayu dengan karbon terikat
3
7 11
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil analisis pengujian nilai kalor 2. Hasil identifikasi jenis kayu
15 16
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring meningkatnya jumlah penduduk maka kebutuhan energi akan meningkat pula. Sementara itu ketersediaan bahan bakar fosil sangat terbatas karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable). Bertschinger (2006) menyatakan bahwa 47,5% kebutuhan energi di Indonesia dipenuhi oleh bahan bakar minyak. Kementrian ESDM (2009) menyatakan bahwa di Indonesia diperkirakan cadangan minyak bumi akan habis pada tahun 2032, gas alam tahun 2076, dan batu bara tahun 2091. Indonesia dalam waktu 10-20 tahun kedepan akan menjadi Negara pengimpor minyak bersih jika kondisi kelangkaan sumber energi dibiarkan tanpa upaya-upaya yang signifikan (Abdullah 2002). Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kelangkaan energi yang berasal dari fosil adalah dengan mengembangkan energi alternatif. Salah satu energi alternatif yang mempunyai potensi besar di Indonesia adalah biomassa. Dalam Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konversi Energi (Energi hijau) Kementrian ESDM yang dimaksud energi biomassa meliputi energi yang berasal dari kayu, limbah pertanian/perkebunan/kehutanan, komponen organik dari industri dan rumah tangga. Faktor jenis bahan baku sangat mempengaruhi besarnya nilai kalor bakar yang dihasilkan. Stahl et al. (2004) menyatakan bahwa bahan bakar yang dihasilkan dari kayu diharapkan memiliki karakteristik antara lain bernilai kalor tinggi, kadar air yang cukup untuk terjadinya pembakaran, rendemen yang tinggi, ramah lingkungan, dapat diperbaharui (renewable), dan bernilai ekonomis. Akan tetapi kayu memiliki karakteristik yang beragam, seperti kadar zat ekstraktif yang berbeda untuk setiap jenis dan hal tersebut berpengaruh terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Nilai kalor kayu dipengaruhi oleh jenis kayu, berat jenis kayu, kadar air, dan komposisi kimia kayu khususnya kadar lignin dan kadar ekstraktif. Zat ekstraktif merupakan komponen kimia minor dalam biomassa, tetapi dapat berkontribusi terhadap nilai kalor. Hal ini disebabkan oleh tingginya nila kalor zat ekstraktif, yaitu sekitar 7764 kkal/kg (Gaur et al. 1998). Sementara itu berdasarkan Haygreen et al. (2003), adanya resin dalam kayu mempengaruhi nilai kalor yang dihasilkan. Kayu yang mengandung resin memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang tidak beresin. Sebagai contoh, oleoresin mempunyai nilai kalor tinggi (8.500 kkal/kg). Hal yang sama disampaikan oleh Richardson et al. (2002) bahwa zat ekstraktif kelompok resin, terpen, dan lilin memiliki nilai kalor yang tinggi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) dan pengaruhnya terhadap nilai kalor pada berbagai tingkat kelarutan.
2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh zat ekstraktif terhadap nilai kalor kayu.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Bogor, Kementrian Pertanian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2014. Bahan Sampel kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) berumur 24 tahun dengan diameter pohon 37,56 cm dan diambil dari Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan adalah n-heksana (C6H14), etil asetat (C4H8O2), etil eter (C4H10O), aseton (CH3COCH3), ethanol 70% (C2H5OH), dan air destilata. Alat Alat-alat yang digunakan adalahwilley mill, saringan bertingkat, oven, desikator, penjepit besi, timbangan analitik, toples, rotary vacum evaporator, peralatan gelas, kertas saring, alumunium foil, petridish, pengaduk kaca, pipet volume, label, dan corong kaca. Pengujian nilai kalor menggunakan alat Parr 6400 Calorimeter. Analisis proksimat menggunakan cawan porselen dan tanur listrik (electric muffle furnace) dengan suhu tinggi. Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku (TAPPI T257 om-85) Sampel kayu yang diambil adalah bagian kayu teras. Kayu dicacah hingga menjadi serpih. Potongan kecil kayu digiling dengan menggunakan willey mill. Serbuk yang dihasilkan disaring dengan menggunakan saringan bertingkat hingga mendapatkan serbuk berukuran 40-60 mesh. Serbuk kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat. Pengukuran Kadar Air (TAPPI T 12 os-75) Serbuk mahoni sebanyak 2 g (BA) dikeringkan dalam oven pengering selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 ºC atau hingga berat keringnya konstan. Serbuk didinginkan dalam desikator dan ditimbang (BKT). Kadar air dinyatakan sebagai
3 berat air terhadap berat kering contoh uji yang dinyatakan dalam persen. Kadar air dihitung dengan rumus: ( ) dengan, BA = berat serbuk kayu awal (g) BKT = berat serbuk kayu kering oven (g). Proses Ekstraksi (Agoes 2007)
Gambar 1 Skema proses maserasi bertingkat serbuk kayu S. macrophylla Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi maserasi bertingkat dengan modifikasi urutan tingkat kelarutan. Proses ekstraksi maserasi dilakukan dengan cara mengesktrak 2000 g serbuk ke dalam pelarut nheksana dengan perbandingan 1:3 hingga terendam. Proses perendaman dilakukan selama 24 jam dan diaduk dengan menggunakan pengaduk kaca. Sampel disimpan dalam wadah yang tertutup. Filtrat disaring dengan menggunakan kertas saring dan corong kaca. Penggantian pelarut dilakukan setiap harinya sampai diperoleh filtrat yang bening. Residu hasil penyaringandikeringkan untuk menghilangkan sisa pelarut n-heksana dan diambil sebanyak 8 g untuk pengujian nilai kalor dan analisis proksimat. Residu dimaserasi kembali dengan menggunakan pelarut etil asetat sampai diperoleh filtrat yang bening seperti pada proses maserasi dengan menggunakan pelarut n-heksana. Hal yang sama dilakukan pula pada pelarut etil
4 eter dan aseton hingga diperoleh filtrat yang bening. Filtrat hasil maserasi dari masing-masing pelarut yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator hingga mencapai 1000 ml yang digunakan untuk penentuan kadar zat ekstraktif. Penentuan Kadar Zat Ekstratif Sebanyak 10 ml masing-masing larutan zat ekstraktif terlarut n-heksana, etil asetat, etil eter dan aseton dikeringkan dalam petridishdengan oven pada suhu ±40-60°C sampai konstan. Kadar zat ekstraktifdihitung dengan menggunakan rumus berikut : ( ) dengan, Wa = berat padatan ekstraktif (g) Wb = berat kering oven serbuk (g). Analisis Proksimat Pengukuran Nilai Kalor Pengukuran nilai kalor dilakukan terhadap serbuk awal (serbuk yang masih mengandung zat ekstraktif/S0), serbuk bebas fraksi n-hekana (S1), serbuk bebas fraksi n-hekana dan etil asetat (S2), serbuk bebas fraksi n-hekana, etil asetat dan etil eter (S3), serta serbuk bebas fraksi n-hekana, etil asetat, etil eter dan aseton (S4). Sebanyak 1 g kering oven sampel disimpan dalam cawan khusus pada Parr 6400 Calorimeter dan diletakkan pada elektroda. Cotton wire diikat pada elektroda di alat kalorimeter,kemudian dicatat perubahan nilai kalor yang terjadi. Pengukuran Kadar Zat Terbang Cawan porselen yang sudah diberi tanda ditimbang beratnya. Sebanyak 1 g serbuk kering oven dimasukan ke dalam cawan porselen. Cawan porselen dipanaskan pada suhu 950 ºC di dalam tanur listrik selama 7 menit, kemudian dipindahkan ke dalam desikator selama 15 menit. Kadar zat terbangdihitung dengan menggunakan rumus berikut : ( ) dengan, Wa = berat serbuk kering oven (g) Wb = berat serbuk setelah 7 menit (g). Pengukuran Kadar Abu Cawan porselen kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25 ºC selama 30-60 menit, kemudian dinginkan cawan dalam desikator. Sebanyak 2 g serbuk kering oven dimasukkan ke dalam cawan porselen. Cawan porselen
5 dipanaskanpada suhu 580 ºC lalu tingkatkan suhu hingga mencapai 600 ºC secara bertahap hingga terjadi karbonisasi tanpa pembakaran. Pembakaran selesai apabila partikel hitam telah hilang. Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus berikut : ( ) dengan, A = berat abu (g) B = Berat kering oven serbuk (g). Penentuan Kadar Karbon Terikat Karbon terikat memiliki peranan yang cuku penting dalam menentukan kualitas biomassa. Kadar karbon terikat dihitung dengan menggunakan rumus berikut : KT(%) = 100 - KA - ZT – KAB dengan, KT KA ZT KAB
= karbon terikat = kadar air = zat terbang = kadar abu.
Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan Microsoft excel 2010 terhadap rata-rata nilai dari masing-masing dua ulangan untuk analisis kandungan zat ekstraktif, analisis proksimat dannilai kalor kayu mahoni.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif Rendemen zat ekstraktif kayu mahoni yang diperoleh dari fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton beragam. Tabel 1 menunjukkan bahwa rendemen ekstrak total yang diperoleh sebesar 5.13%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan buku Atlas Kayu Indonesiabahwa kadar ekstraktif kayu mahoni kurang dari 7%. Ekstrak kayu mahoni dari fraksi aseton memiliki rendemen yang tertinggi (2.19%) sedangkan fraksi n-heksana memiliki rendemen terendah (0.55%). Rendemen fraksi n-heksana yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Falah et al. (2008) yang tergolong rendah sebesar 0.28%. Terdapatnya perbedaan rendemen dari masing-masing fraksi menunjukkan bahwa jenis pelarut mempengaruhi rendemen ekstrak yang dihasilkan. Fengel dan Wagener (1984) menyatakan bahwa zat ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawar yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar.
6 Tabel 1Kadar zat ekstraktif kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) Jenis ekstraktif*) Berat padatan (g) Rendemen ekstraktif (%) Fraksi n-heksana 10.01 0.55 Fraksi etil asetat 18.03 1.01 Fraksi etil eter 24.63 1.38 Fraksi aseton 38.80 2.19 Total 91.47 5.13 *) Rerata dari dua kali ulangan. Tabel 1 menunjukkan rendemen tertinggi yaitu pada fraksi aseton dan terendah pada fraksi n-heksana. Hal ini mengindikasikan bahwa kayu mahoni mengandung banyak senyawa polar yang larut dalam pelarut aseton. Menurut Houghton dan Raman (1998), n-heksana dapat mengekstraksi senyawa terpenoid, lemak, lilin, dan volatil oil sedangkan menurut Harbone (1987) aseton mampu mengekstrak senyawa yang lebih polar seperti senyawa fenolik atau polifenolik dalam jumlah yang besar. Adanya perbedaan tingkat kepolaran pelarut mampu mempengaruhi rendemen ekstraktif. Rendemen zat ekstraktif kayu mahoni fraksi etil eter pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Mardisadora (2010). Penelitian Mardisardora (2010) menggunakan sampel kayu dan metode yang sama dengan penelitian ini. Rendemen ekstrak fraksi etil eter yang dihasilkan jauh lebih rendah (0.42%) dibandingkan rendemen ekstraktif pada penelitian ini (1.38%). Namun pada penelitian Falah et al. (2008) rendemen ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi etil eter sebesar 1.16%. Hal ini diduga karena pada Mardisardora (2010) kayu mahoni yang digunakan berumur lebih muda (15 tahun) dari pada yang digunkan Falah et al. (2008) (30 tahun) dan penelitian ini (24 tahun). Menurut Nurcholis (2008) produksi metabolit sekunder pada suatu tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur tanaman dan interaksi lingkungan. Total zat ekstraktif kayu mahoni pada penelitian ini lebih rendah (5.13%) dibandingkan penelitian Rahmatullah (2014) (7.93%) yang menggunakan metode soxhlet. Perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh perbedaan teknik yang digunakan terhadap rendemen yang dihasilkan. Farrel (1990) mengemukakan bahwa dalam proses ekstraksi, rendemen yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan metode ekstraksi. Seperti yang dikemukakan oleh Prijono (2003), selain cara penanganan bagian tumbuhan, cara ekstraksi dapat mempengaruhi ekstrak yang diperoleh. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi maserasi bertingkat dengan modifikasi urutan tingkat kelarutan. Prinsip ekstraksi maserasi adalah pengikatan/pelarutan zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Metode maserasi dipilih berdasarkan suhu yang digunakan untuk mengekstrak dapat diatur sesuai dengan pelarutnya dan waktu yang dibutuhkan untuk evaporasi kurang dari 12 jam. Urutan pelarut yang digunakan didasarkan pada tingkat kepolarannya. Tingkat kepolaran etil eter yang berada dibawah tingkat kepolaran aseton bertujuan mengikat senyawa semipolar sehingga senyawa yang lebih polar yang terdapat pada residu dapat terekstrak dengan pelarut aseton. Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu (Lestari dan Pari 1990) kadar ekstraktif kayu termasuk tinggi jika kadar zat ekstraktif lebih besar dari 4%, maka kandungan zat ekstraktif kayu mahoni yang diperoleh tergolong tinggi.
7 Tingginya rendemen ekstrak yang dihasilkan dari pelarut aseton diduga senyawa polar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa nonpolar. Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor Kayu Nilai kalor merupakan jumlah panas yang dihasilkan oleh suatu bahan bakar untuk menaikkan suhu 1 ºC pada 1 g air. Nilai kalor merupakan parameter penting karena mempengaruhi efisiensi bahan bakar. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kalor dalam kayu antara lain kadar karbon, zat terbang, kadar abu, dan kadar air bahan baku (Basu 2010). Selain itu Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa ekstraktif merupakan faktor penting dalam menentukan nilai kalor. Kadar zat eksraktif dapat menjadi salah satu faktor pendugaan mutu bahan energi biomassa. 4400
4376
Nilai kalor (kkal/kg)
4350
4300
4300
4276
4271
4250 4200 4150 4076
4100 4050 4000 3950 3900 S0
S1
S2 Serbuk kayu
S3
S4
Gambar 2 Nilai kalor beberapa serbuk kayu S0 (serbuk kayu awal), S1 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana), S2 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana dan etil asetat), S3 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter), dan S4 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton) Nilai kalor kayu terus mengalami penurunan pada setiap sempel serbuk kayu yang digambarkan pada Gambar 2.Fraksi n-heksana dengan rendemen ekstrak terendah (0.55%) menghasilkan penurunan kalor kayu yang cukup tinggi (1.76%). Hal ini berbeda dengan sampel S4 yang mengalami penurunan kalor tertinggi (4.57%) namun rendemen ekstrak yang dihasilkan juga tinggi (2.19%) (Tabel 2). Menurut Wang dan Huffman (1982) hal ini diduga karena nilai kalor kayu dipengaruhi oleh zat ekstraktif dan komponen senyawa penyusunnya.
8 Tabel 2 Persentase penurunan nilai kalor Kadar zat ekstrakif Jenis serbuk*) (%)
Penurunan nilai kalor (kkal/kg) (%)
S1 0.55 76 1.76 S2 1.01 24 0.55 S3 1.38 5 0.12 S4 2.19 195 4.57 *) Rerata dari dua kali ulangan. Keterangan: S1 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana), S2 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana dan etil asetat), S3 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter), dan S4 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton). Sampel serbuk S1 yang telah diekstraksi umumnya melarutkan senyawa ekstraktif yang bersifat nonpolar. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hougthon dan Raman (1998) fraksi n-heksana mengandung senyawa terpenoid, lemak, lilin, dan volatil oil. Menurut Hawab (2003) kelompok minyak termasuk dalam golongan lipid netral dengan kerangka hidrokarbon (CH) yang panjang. Ikatan karbon asam lemaknya bisa sangat panjang antara C12 hingga C18. Rantai karbon ini yang berpengaruh terhadap nilai kalor kayu tersebut, sehingga meskipun rendemen ekstraknya rendah tetapi masing-masing senyawa ekstraktifnya memiliki kadar karbon yang tinggi. Hendra dan Winarni (2003) juga menyatakan tingginya kadar karbon terikat akan semakin meningkatkan nilai kalor. Nilai kalor sampel serbuk terlarut fraksi aseton pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Wang dan Huffman (1982) yang menggunakan kayu melaleuca (Melaleuca quinquenervia) sebesar 4379 kkal/kg, akan tetapi masih lebih tinggi sampel terlarut etil eter dibandingkan dengan aseton (4488 kkal/kg). Hal yang sama juga terdapat ada penelitian ini bahwa nilai kalor sampel S3 lebih tinggi dibandingkan sampel S4 walaupun persentase penurunannya berbeda. Hal ini menunjukkan adanya senyawa ekstraktif yang berbeda pada masing-masing sampel sehingga penurunan kalornya tidak sama. Sampel S4 memiliki rendemen ekstrak dan penurunan kalor tertinggi. Rendemen ekstrak fraksi aseton umumnya mengandung kelompok-kelompok fenolik. Harbone (1987) menyatakan etanol, aseton, dan etil asetat digunakan sebagai pelarut senyawa fenolik atau polifenolik. Senyawa ini dapat dengan mudah terhidrolisis selama proses ekstraksi (Buchanan 1963). Keberadaan senyawa fenolik ini yang diduga menyebabkan penurunan nilai kalor sebesar 4.57%. Hal ini dikarenakan senyawa fenolik memiliki satu atau lebih gugus hidroksil (OH) yang menempel di cincin aromatik (Buchanan 1963), sehingga semakin banyak gugus hidroksil dalam senyawa ekstrakif akan meningkatkan penurunan nilai kalor kayu. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian analisis proksimat yaitu kadar zat terbang berbanding terbalik dengan nilai kalor. Semakin banyak zat yang mudah menguap akan menurunkan kualitas biomassa karena banyaknya unsur karbon yang terbang bersama gugus hidroksil. Hal ini menyebabkan kadar karbon terikat menurun seiring dengan penurunan nilai kalor kayunya. Menurut Susott et
9 al. (1975), gugus hidroksil dalam molekul fenolat kayu ini yang akan menghasilkan jumlah panas yang lebih rendah. Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase penurunan nilai kalor terendah terdapat pada sampel S3 namun rendemen ekstrak yang dihasilkan cukup tinggi. Hal ini diduga karena kadar karbon terikat yang dihasilkan dari masing-masing senyawa tergolong rendah. Menurut Harbone (1987)pelarut eterdigunakan untuk melarutkan lipid dan triterpenoid sedangkan fraksi etil asetat umumnya melarutkan kelompok flavonoid dan terpenoid (Houghton dan Raman 1998).Sampel S3 yang telah bebas dari senyawa ekatraktif berantai karbon rendah seperti alkaloid dan aglikon. Menurut Harbone (1987) senyawa alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki sebuah atom nitrogen sebagai bagian dari strukturnya, biasanya terkait ke dalam suatu sistem siklik lima atau enam karbon. Fraksi eter juga melarutkan senyawa asam lemak lainnya, akan tetapi kemungkinan larutnya senyawa asam lemak dalam fraksi eter cukup rendah. Hal ini diduga karena metode yang digunakan adalah metode maserasi bertingkat. Oleh karena itu, senyawa yang seharusnya juga terlarut dalam etil eter sudah terlebih dahulu larut dalam n-heksana,sehingga kadar karbon yang dilepaskan oleh senyawa ini tergolong rendah meskipun kadar ekstraktif terlarut cukup tinggi. Sampel serbuk S2yang telah diekstraksi dengan pelarut n-heksana dan etil asetat umumnya melarutkan senyawa terpenoid dan flavonoid. Jenis fraksi ini diduga memiliki gugus hidroksil yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi etil eter.Sjamsul (1986) menyatakan bahwa terpenoid merupakan komponen yang mengandung atom karbon dengan kelipatan lima. Adanya kerangka karbon yang terdiri atas dua atau lebih unit C5 yang disebut unit isopren.White (1987) menyatakan bahwa kelompok terpen dan resin adalah dua kelompok zat ekstraktif yang mempengaruhi tingginya nilai kalor biomassa energi.Selain dari kelompok terpen, serbuk S2 umumya telah larut dari senyawa flavonoid. Senyawa ini banyak ditemukan pada tumbuhan untuk digunakan sebagai bahan obat dengan kerangka flavon C6-C3-C6. Terdiri atas tiga atom karbon sebagai jembatan antara gugus fenil yang biasanya juga terdapat atom oksigen. Sehingga senyawa ini diduga memiliki gugus hidroksil yang mampu menghilangkan unsur karbon dalam proses pembakaran. Hal tersebut yang menyebabkan sampel S2 mengalami penurunan nilai kalor yang lebih besar dibandingkan dengan sampel S3. Selain faktor komponen senyawa ekstraktif, nilai kalor kayu mahoni juga dipengaruhi oleh nilai kalor zat ekstraktifnya. Estimasi nilai kalor zat ekstraktif fraksi n-heksanayang diperoleh dari perhitungan rasio besaran nilai kalor kayu per kg ekstrak sebesar 15200 kkal/kg dengan nilai kalor kayu (S1) 4300 kkal/kg sedangkan estimasi nilai kalor zat ekstraktif fraksi etil eter sebesar 7648 kkal/kg dengan nilai kalor (S3) 4271 kkal/kg. Penurunan nilai kalor kayu yang terjadi pada sampel S1dapat disebabkan karena nilai kalor ekstraktif fraksi n-heksana juga tinggi. Berbeda dengan penurunan sampel S3 hanya sebesar 0.12% yang disebabkan karena nilai kalor zat ekstraktifnya lebih rendah sehingga nilai kalor kayu yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan sampel S2.Menurut Gaur et al. (1998) nilai kalor zat ekstraktif sekitar 7764 kkal/kg. Oleh karena itu, walaupun kadar zat ekstraktif dalam kayu umumnya kecil tetapi kontribusinya terhadap nilai kalor cukup tinggi karena zat ekstraktif memiliki nilai kalor yang tinggi.
10 Karakteristik Kayu sebagai Bahan Baku Energi Biomassa Karakteristik kayu sebagai bahan baku energi biomassa dievaluasi berdasarkan hasil pengujian analisis proksimatyang mengacu pada standar ASTM (American Society for Testing Material) yang meliputi pengujian kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, karbon terikat dan nilai kalor (Tabel 3). Pengujian ini berfungsi untuk menduga nilai kalor yang dihasilkan. Tabel 3 Karakteristik bahan baku kayu sebagai bahan baku energi biomassa Kadar air Zat terbang Abu Karbon terikat Jenis serbuk*) (%) S0 6.80 73.46 0.42 19.84 S1 10.19 78.66 0.66 10.50 S2 12.51 76.57 0.64 10.27 S3 12.01 80.91 0.58 6.50 S4 12.78 81.07 0.69 5.66 *) Rerata dari dua kali ulangan. Keterangan: S0 (serbuk kayu awal), S1 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana), S2 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana dan etil asetat), S3 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter), dan S4 (serbuk kayu bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton). Zat terbang merupakan fraksi menguap dari suatu bahan biomassa saat dipanaskan pada suhu 950 ºC (Basu 2010). Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai kadar zat terbang tertinggi pada biomassa serbuk S4 (81.07%) dan kadar terkecil pada biomassa S0 (73.46%). Hasil penelitian menunjukkan kadar zat terbang berbanding terbalik dengan karbon terikat dan nilai kalor yang diperoleh. Kadar zat terbang terendah pada S0 (73.46%) menghasilkan karbon terikat dan nilai kalor tertinggi yang masing-masing sebesar 20% dan 4376 kkal/kg. Akan tetapi, kadar zat terbang tertinggi pada S4 (81.07%) menghasilkan karbon terikat dan nilai kalor terendah yang masing-masing sebesar 4076 kkal/kg. Hal ini diduga karena kadar zat terbang yang tinggi akan menurunkan kualitas biomassa kayu karena dengan banyaknya zat terbang, maka kandungan karbon semakin kecil sehingga nilai karbon yang dihasilkan semakin rendah (Hendra dan Pari 2000). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Demirbas (2004), bahwa proses pemanasan mengakibatkan terjadinya penurunan berat biomassa karena terlepasnya zat atau senyawa yang mudah menguap. Kandungan atau zat-zat yang menguap tersebut diantaranya adalah hidrokarbon, karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen dan tar. Kadar zat terbang biomassa kayu berkisar 75-85% (Fuwape & Akindele 1997; Rangland & Aerts 1991; Kendry 2002) dan Stahl et al. (2004) menyatakan sekitar 84%, maka kadar zat terbang serbuk kayu mahoni termasuk tinggi. Kadar zat terbang yang tinggi dapat menyebabkan emisi dan polusi udara pada saat pembakaran (Fuwape & Akindele 1997). Abu merupakan komponen penyusun sel tumbuhan yang tidak dapat larut dalam air atau pelarut organik. Kandungan abu serbuk mahoni tergolong rendah, yaitu sebesar 0.42-0.69% karena menurut Fengel danWegener (1984) kayu daerah tropis memiliki kadar abu antara 0.1-5.0%. Komponen abu utama kayu adalah kalsium (Ca), kalium (K) dan magnesium (Mg). Selanjutnya dikemukakan bahwa
11
Nilai kalor (kkal/kg)
dalam banyak kayu jumlah Ca hingga 50% dan lebih dari unsur total dalam abu kayu. K dan Mg menduduki tempat kedua dan ketiga, diikuti Mn, Na, P dan Cl. Analisis kadar abu biomassa untuk bahan baku energi sangat penting karena kadar abu mempengaruhi mutu bahan bakar. Salah satu unsur utama abu adalah silika, dan pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Satmoko et al. (2013) menjelaskan kandungan abu yang tinggi terutama kadar silika sangat tidak diharapkan. Hal ini diduga karena unsur silika memiliki sifat yang baik dalam menyerap air, sehingga dapat mengurangi kualitasnya. Semakin rendah kadar abu, maka semakin baik energi biomassa tersebut.Kadar abu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerak pada dasar alat-alat yang digunakan dan juga kotor. Kadar abu kayu mahoni tergolong rendah, sehingga kayu ini memiliki potensi yang bagus untuk bahan baku energi biomassa. Karbon terikat merupakan fraksi karbon dalam biomassa selain kadar abu, air, dan zat terbang (Hendra 2011). Pada Tabel 3 terlihat bahwa kadar karbon terendah dihasilkan oleh serbuk S4 (6%), sedangkan karbon terikat tertinggi terdapat pada serbuk S0 (20%). Kadar karbon terikat untuk energi biomassa minimal 16% (Stahl et al. 2004), sehingga kadar karbon terikat untuk serbuk mahoni awal yang tidak mengalami ekstraksi tergolong baik. Kadar karbon terikat dipengaruhi oleh kadar zat terbang dan kadar abu. Berdasarkan persamaan dari regresi linier antara nilai kalor kayu dan kadar karbon terikat (Gambar 3) didapatkan persamaan y = 15,04x – 4101 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.599 menunjukkan adanya kolerasi positif antara besarnya nilai kalor dengan kadar karbon terikat. Hal yang sama dijelaskan oleh Soeparno (1993) bahwa semakin tinggi kadar karbon terikat maka semakin tinggi nilai kalornya. Setiap ada reaksi oksidasi akan menghasilkan kalori (Hendra dan Winarni 2003), sehingga kedua hal tersebut berkorelasi positif. Faktor yang mempengaruhi kadar karbon terikat dalam kayu adalah selulosa (Satmoko et al. 2013) terutama selulosa kristalin, lignin, dan ekstraktif, akan tetapi tidak semua zat ekstraktif berpengaruh terhadap kadar karbon terikat. 4500
y = 15.045x + 4101.6 R² = 0.5996
4400 4300 4200 4100 4000 0
5
10 15 Karbon terikat (%)
Gambar 3 Hubungan antara nilai kalor dengan karbon terikat
20
25
12
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Zat ekstraktif kayu mahoni berdasarkan pelarut n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton berturut-turut yaitu 0.55, 1.01, 1.38, dan 2.19%. Perlakuan ekstraksi menurunkan nilai kalor serbuk kayu. Nilai kalor biomassa kayu dari serbuk awal hingga serbuk bebas fraksi n-heksan, etil asetat, etil eter, dan aseton, masing-masing sebesar 4376, 4300, 4276, 4271, dan 4076 kkal/kg dengan penurunan masing-masing sebesar 1.76, 0.55, 0.12, dan 4.57%. Hal ini mengindikasikan bahwa zat ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor kayu. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kalor kayu antara lain kadar karbon, zat terbang, kadar abu, dan kadar air bahan baku. Kadar karbon terikat memberikan korelasi positif terhadap nilai kalor kayu, yang ditunjukkan dari nilai koefisien determinasinya (R2 = 0.599). Berdasarkan pengujian nilai kalor, kayu mahoni yang diuji berpotensi cukup tinggi sebagai bahan baku energi biomassa.
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan referensi dari literatur, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai jenis-jenis zat ekstraktif pada biomassa kayu yang paling berpengaruh terhadap nilai kalor guna menghasilkan energi biomassa yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah MA, Rahmah AU, Man Z. 2010. Physicochemical and sorption characteristics of Malaysian Ceiba pentandra (L.) Gaertn. as a natural oil sorbent. J. Hazardous Materials. 177:683-691. [ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM D-1102. Test Method for Ash In Wood. USA. _________________________________________. 2013. ASTM D-3175. Test Method for Fixed Carbon In Wood. USA. _________________________________________. 2013. ASTM E-872. Test Method for Volatile Metter in the Analysis of Particular Wood Fuels. USA. Basu P. 2010.Biomass Gasification and Pyrolysis.Practical Design and Theory. Burlington (US): Academic Pr. Bertschinger P. 2006. Laporan pelaksanaan RKL dan RPL PT Holcim Indonesia. Bogor (ID): Tbk Pabrik Narogong. Buchanan MA. 1963. Extraneous component of wood. In: The Chemistry of Wood (Browning, BL. Ed). Intersci. Publ. New York (US). 313-367. Demirbas A. 2004. Cobustion characteristics of different biomass fuels. Progress In Energy and Combustion Science (30):219-230.
13 Falah S, Suzuki T, Katayama T. 2008. Chemical constituents from Swietenia macrophylla bark and antioxidant activity. Pakistan Journal of Biologicl Sciences 2. (16): 2007-2012. Farrel KT. 1990. Spices, condiments and seasonings. AVI Pubs.CO.Inc.Westpat.Connecticut. (2) [Internet]. [diunduh 2014Juli27]. Tersedia padahttp://books.google.co.id/book?id. Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin (GE): Walter de Gruyter. Fuwape JA, Akindele SO. 1997. Biomass yield and energy value of some fast growing multi purpose trees in Nigeria.Biomass Energy. 12(2):101-106. Gaur S, Reed T, Dekker M. 1998. Thermal data for natural and synthetic fuels – proximate and ultimate analysis. Biomass Energy Foundation: 1-4. Goeswin A. 2007. Teknologi bahan alam. Bandung (ID): ITB pr. Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung (ID): ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hawab. 2003. Pengantar Biokimia. Malang : Bayumedia Publishing Haygreen JG, Bowyer JL, Schmulsky R. 2003. Forest Product and Wood Sciences an Introduction. Ames (US): IOWA State University Pr. Hendra D. 2011. Pemanfaatna eceng gondok (Eichornia crassipes) untuk bahan baku briket sebagai bahan bakar alternatif. J. Penelitian Hasil Hutan. 29. (2): 189-210. Hendra D, Pari G. 2000. Penyempurnaan teknologi pengolahan arang. Laporan Hasil Penelitian Hasil Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Hendra D, Winarni I. 2003. Sifat fisis dan kimia briket arang campuran limbah kayu gergajian dan sebetan kayu. Bul. Penelitian Hasil Hutan.21(3):211 Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook Natural Ekstract. London (GB): Chapman & Hall. [KESDM] Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2011. Indikator Energi dan Sumberdaya Mineral Indonesia.Jakarta (ID): Pusdatin ESDM. Kendry PM. 2002. Energy production from biomass (part 1): overview of biomass.BioresourceTechnol. 83:37-46. Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.7(3): 96-100. Mardisadora O. 2010. Identifikasi dan potensi antioksidan flavonoid kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurcholis W. 2008. Profil senyawa penciri dan bioaktifitas tanaman temulawak pada agrobiofisik berbeda [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prijono D. 2003. Teknik ekstraksi, uji hayati dan aplikasi senyawa bioaktif tumbuhan. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB (ID): IPB pr. Ragland KW, Aerst DJ. 1991. Properties of wood for combustion analysis. Bioresource Tecnol. 37: 161-168.
14 Rahmatullah A. 2014. Zat ekstraktif dan nilai kalor kayu beberapa jenis kayu dengan berbagai kerapatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Richardson J, Bjorheden R, Hakkila P, Lowe AT, Smith CT. 2002.Bioenergy from Sustainable Forestry. Boston (US): Kluwer Academic Pr. Satmoko MEA, Saputro DD, Budiyono A. 2013. Karakterisasi briket dari limbah pengolahan kayu sengon dengan metode cetak panas.J.Mechanical Engineering Learning.2(1):1-8. Sjamsul AA. 1986. Ilmu kimia dan kegunaan tumbuh-tumbuhan obat Indonesia. Bandung (ID). ITB Pr. Soeparno. 1993. Pengaruh tekanan waktu kempa dan jenis serbuk pada pembuatan arang gergajian terhadap rendemen dan nilai panas. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (ID). UGM Pr Stahl R, Henrich E, Gehrmann HJ, Vodegel S, Koch M. 2004.Definition of Standar Biomass. Karlsruhe (DE): Forschungszentrum Karlsruhe. Susott RA, Degrott WF, Shafizadeh F. 1975. Heat content of natural fuels. J. Fire Flammability. 6:311-325. [TAPPI] Technical Association of Pulp and Paper Industry. 1990. TAPPI Test Methods. 1991. Atlanta (US): TAPPI Pr. Wang S, Huffman JB. 1982. Effect of extractive on heat cotent of Malaleuca and Eucalyptus. Forest Product Research Society. Wood Sci. 15(1): 33-38. White RH. 1987. Effect of lignin content and extractives on the higher heating value of wood. Wood Fiber Sci. 19(4):446-452.
15
LAMPIRAN
16
17
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 29 Juni 1992. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Bunyamin dan Ibu Cucu. Pada tahun 2010 penulis lulus dari MA Negeri 2 Bogor, Jawa Barat dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis telah mengikuti kegiatan praktek lapang yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2012 di Sancang dan Kamojang, Jawa Barat, pada tahun 2013 penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengolahan Hutan (PPH) dengan lokasi di Hutan Pendidikan Gunung Walat, KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi, kemudian pada tahun yang sama, penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT Sindangwangi, Bandung – Jawa Barat. Selain aktif mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam kepanitiaan kegiatan kampus seperti divisi medis KOMPAK DHH 2012 dan kepanitiaan GENTRA KAHEMAN IPB. Penulis merupakan anggota Divisi Kelompok Minat Kimia Hasil Hutan pada tahun 2011 dan merupakan pengurus Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) Divisi Kelompok Minat pada tahun 2012. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Zat Ekstraktif dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King)” dibawah bimbingan Prof Dr Ir Wasrin Syafii, M.Agr.