3-
623 ,g "I1\): /i A_
SIFAT ANTI CENDAWAN Trichophyton mentagrophytes DAN Candida albicans DARI ZAT EKSTRAKTIF KAYU PELANJAU (Pentaspadon mofleyi Hook.0
FATWL WSRO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Anti Cendawan Trichophyton rnentagrophytes dan Candida albicans dari Zat Ekstraktif Kayu Pelanjau (Pentaspadon motleyi H0ok.f) belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2009
Fathul Yusro NRP E251070011
ABSTRACT FATHUL YUSRO. Properties of Anti Fungal Trichophyton mentagrophytes and Candid albicans from Pelanjau Wood Extractives (Pentaspadon motleyi H0ok.f). Under the direction of WASRIN SYAFII and EKO SUGENG PRIBADI Pelanjau wood extractives (P. nzotleyi Hook. f ) traditionally used as medicine of skin infection such as scabies (tinea) and rash caused of hngal T. mentagrophytes and C. albicans. The aim of this research is to know effectiveness of pelanjau wood extractives on growth inhibitory of fungal T. mentagrophytes and C. albicans, isolate and identify of extract compounds which have antifungal properties. Extraction and fractioilation process yielded 7,04% of ethanol extract consisting of 0,28%, 1,28%, 1,19% and 4,29% of n-hexane, diethyl ether, ethyl acetate and residue fractions, respectively. Antifungal activity of pelanjau wood extract more effective on C. albicai7s growth inhibition than T. mentagrophytes with its fraction ethyl acetate (0,03 and 0,06 mg/ml of MIC and MFC, respectively). Isolation of ethyl acetate fraction was resulted dominant compound EA6a and EA6c. NMR and GC MS analysis of compound EA6a indicate 2Hidroxy octadecanoid acid, Hexadecanoic acid, Ethyl oleate, Octadecanoic acid, Vanilin and pheno1,Z-nlethoxy-4-(I-propenyl)as the possibly main component that included in fatty acid and phenol group. Compound EA6c indicate Phenol, 4(1,I dimetylpropyl), Nonylphenol isonter, Phenol,4-(l,I,2,2-tetrametylbuty~, Nonyl-phenol mix isomer dan 4-Nonylphenol as the possibly main component that included in phenol group Key words: Extractives, Pentaspadon nlotleyi Hook& fungal, T. nzentagrophytes, C. albicans, fatty acid, phenol
FUNGKASAN FATHUL YUSRO. Sifat Anti Cendawan Trichophyton mentagrophytes dan Candida albicans dari Zat Ekstraktif Kayu Pelanjau (Pentaspadon motleyi H0ok.f). Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan EKO SUGENG PRIBADI Pemanfaatan zat ekstraktif sebagai bahan obat-obatan untuk mengatasi berbagai macam penyakit telah lama dilakukan oleh masyarakat dan terus berlangsung sampai sekarang. Pemanfaatannya antara lain sebagai obat untuk mengatasi penyakit kulit berupa kudis (tinea) dan r u m - r u m ganas yang disebabkan oleh cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans. Salah satu tambuhan yang secara tradisional digunakan untuk mengobati penyakit kulit tersebut adalah pohon pelanjau (P. motleyi Hook.0, namun secara ilmiah belum diketahui seberapa besar efektivitasnya dalam mengharnbat pertumbuhan cendawan penyebab penyakit kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif, efektivitas dan mengisolasi serta mengidentifikasi senyawa bioaktif dari kayu pelanjau (P. motleyi H0ok.f) yang efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans. Penelitian dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan ~esehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Kimia LIP1 Serpong dan Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri Jakarta. Bahan yang digunakan dalarn penelitian ini adalah kayu pelanjau (P. nzotleyi Hook.0 yang berasal dari daerah Batang Tarang, Sanggau Kalimantan Barat yang dibuat serbuk dengan ukuran 40 - 60 mesh dan diekstraksi dengan pelarut etanol. Hasil ekstraksi berturut-turut difraksinasi bertingkat dengan pelarut n-heksan, dietil eter dan etil asetat. Uji aktivitas anti cendawan menggunakan cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans. Untuk isolasi dilakukan dengan kolom kromatografi yang menggunakan silika gel 60 F254 dan kromatografi lapis tipis (KLT) yang menggunakan lempeng silika gel GF254 Tahapan dalam penelitian ini adalah ekstraksi dan fraksinasi bertingkat kayu pelanjau, uji aktivitas anti cendawan untuk menentukan fraksi teraktif, isolasi untuk memperoleh senyawa mumi dari fraksi teraktif dan identifikasi senyawa bioaktif. Hasil ekstraksi dan fraksinasi menunjukkan bahwa kayu pelanjau mengandung 7,04% ekstrak etanol dengan 0,28% fraksi n-heksan, 1,28% fraksi dietil eter., 1.19% fraksi etil asetat dan 4.29% fraksi residu. Aktivitas anti , cendawan masing-masing fraksi terhadap cendawan T. mentagrophytes menuniukkan bahwa fraksi residu merupakan fraksi teraktif dengan zona harnbat, MIC dan MFC nya yaitu 2,2 - 5,3 mm (1,95 dan 3,91 mg/ml), di ikuti oleh fraksi dietil eter 2,23 - 4,73 rnrn (3,91 dan 7,Sl mglml) dan fraltsi etil asetat 2,21 - 3,47 mm (3,91 dan 7,Sl mg/ml), sedangkan untuk fraksi n heksan pada seluruh tingkat konsentrasi yang diberikan tidak menunjukkan daya hambat. Namun, seluruh
albicans menunjukkan bahwa fraksi etil asetat merupakan fraksi teraktif dengan zona hambat, MIC dan MFC nya yaitu 17,33 - 25,33 mm (0,03 dan 0,06 mgiml), di ikuti oleh fraksi residu 14,67 - 20,67 (0,06 dan 0,12 mgiml), fraksi n heksan 6,00 - 15,33 mm (0,49 dan 0,98 mgiml) dan fraksi dietil eter 6,67 - 14 mm (0,49 dan 0,98 mg/ml). Selumh fraksi tergolong memiliki efektivitas yang tinggi terhadap cendawan C. albicans karena nilai MIC-nya dibawah 0,5 mgiml. Dari hasil tersebut terlihat bahwa ekstrak etanol kayu pelanjau lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicuns di bandingkan dengan cendawan T. mentagrophytes. Fraksi yang paling efektif adalah fraksi etil asetat dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi bahan obat. Hasil isolasi fiaksi teraktif etil asetat diperoleh senyawa dominan EA6a dan EA6c. Dari hasil identifikasi menggunakan spektrometri Proton dan Karbon NMR serta GC MS diduga bahwa senyawa EA6a adalah Asam 2Hidroksioktadekanoat, Asam Oktadekanoar, Asam Heksadekanoar, Etyf Oleut, Vanilin dan Phenol,2-methoqv-4-(I-prop dari golongan asam lemak dan phenol sedangkan senyawa EA6c diduga komponen utamanya adalah Phenol, 4(1,l dimetylpropyg, NonylphenoI isomer, Phenol,4-(l,1,2,2-teframetylburyI), Nonyl-phenol mix isomer dan 4-Nonylphenol dari golongan phenol.
O Hak cipta milik IPB, tahnn 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
I. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantu?nkanatau menyebut szrmber. a. Pengutipan hanya untuk kpentingan pendidikan, penelitian, penulisan kaiya ilmiah, penyustmnm laporan,penulisan kritik atau tinjauan suatzr masalah. b. Pengzrtipan fidak merugikan kepentingan yang wajar IPE. 2. Dilarang mengurnumkan dun ntemperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
SIFAT ANTI CENDAWAN Trichophyfonmentagrophytes DAN Candida albicans DARI ZAT EKSTRAKTIF K A W PELANJAU (Pentaspadonmotleyi Hookf)
FATHUL WSRO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANLAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Penelitian Nama NRP
Sifat Anti Cendawan Trichophyton mentagrophytes dan Candida Albicans dari Zat Ekstraktif Kayu Pelanjau (Pentaspadoninotleyi H0ok.f) : Fathul Yusro : E251070011 :
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. DcE%asrin Svafii. M.AD Ketua
Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS “bJg0ta
-
Dr. Ir. Dede Hermawan, M.
Tanggal Ujian : 3 Juni 2009
Tanggal Luius : 0 8 J !J ti 2009
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis berjudul "Sifat Anti Cendawan Trichophyton mentagrophytes dan Candida albicans dari Zat Ekstraktif Kayu Pelanjau (Pentaspadon motleyi H0ok.f)" ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian selanla 7 bulan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Kimia LIP1 Serpong dan Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri Jakarta. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam berbagai kesempatan diskusi yang terkait dengan penelitian ini. 2. Rektor Universitas Tanjungpura, Dekan Fakultas Kehutanan, dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Hutan atas kesempatan untuk melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana dan biaya bantuan penyelesaian studi. 3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sajana (BPPS). 4. Staf Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Kimia LIP1 Serpong dan Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri Jakarta yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. 5. Ayahanda H. Sumngaeni, Ibunda Hj. Endang Pariasih, mertuaku Abdul Chalim dan Atikah, saudaraku (M. Nurcholis, A.Md, Siti Marhamah, S.Sos), abang ipar @onny Irawan, ST), serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. 6. Istri dan putriku (Rinche Handayani, S. Hut dan Fathur Rahmah Auliya) atas dukungannya selama penulis menjalani studi. 7. Teman-teman angkatan 2007 di pasca sarjana dan teman-teman seprofesi di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura yang teiah memberi semangat dan dorongan selama proses belajar. Selain itu tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
Juni 2009
Fathul Yusro
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Batang Tarang pada tanggal 21 Mei 1981. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah bemarna H. Sumngaeni dan Ibu bemama Hj. Endang Pariasih. Penulis menikah dengan Rinche Handayani, S. Hut pada tahun 2007 dan telah dikaruniai seorang putri bemama Fathur Rahmah Auliya (1 tahun). Pendidikan dasar penulis selesaikan di Sekolah Dasar Negeri 2 Batang Tarang tahun 1993 dan Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Pontianak hingga tahun 1996, kemudian penulis melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Kalimantan Barat dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi staf pengajar (dosen) di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan penulis menyusun tesis dengan judul "Sifat Anti Cendawan Trichophyton mentagrophytes dan Candida albicans dari Zat Ekstraktif Kayu Pelanjau (Pentaspadon motleyi Hook.f)" dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr sebagai ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR IS1 Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................
I
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
ii
DAFTAR IS1 ....................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
v
DAFTAR TABEL ............................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang .......................................................................................... Identifikasi Masalah .................................................................................. .. Tujuan Penelltlan....................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................... Hipotesis .................................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA Zat Ekstraktif .............................................................................................. Distribusi Zat Ekstraktif ...................................................................... Klasifikasi Zat Ekstraktif .................................................................... Pemanfaatan Zat Ekstraktif ....................................................................... Pemanfaatan Zat Ekstraktif Sebagai obat-obatan...................................... Pelanjau (P. motleyi Hook.0 .................................................................... Cendawan T. rnentagrophytes dan C. albicans ........................................ METODOLOGI PENELITIAN
1 2 2 2 2 3 3 4 5 6 9 10
..
Tempat dan Waktu Penelltian ................................................................... Bahan dan Alat ......................................................................................... Metode Penelitian ...................................................................................... Persiapan Contoh ................................................................................ Ekstraksi Serbuk Kayu ........................................................................ Penentuan Kadar Zat Ekstraktif .......................................................... Uji Aktivitas Anti Cendawan .............................................................. Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kayu Pelanjau (P. rnotleyi Hook.0 dengan Kolom Krornatografi ............................. Identifikasi Kornponen Kimia ............................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif ......................................................................... .. Aktivitas Anti Cendawan ......................................................................... Cendawan T. meiztagrophytes ..............................................................
19 20 20
Cenda~~an C. albicans ....................................................................... lsolasi dan Identifikasi Fraksi Teraktif .................................................. Isolasi Fraksi Teraktif Etil Asetat ..................................................... Identifikasi Senyawa Fraksi EA6a .................................................... Identifikasi Senyawa Fraksi EA6c .................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
DAFTAR GAMBAR
I. Skema Ekstraksi dan Fraksinasi Serbuk Kayu Pelanjau ...........................
15
2. Grafik zona hambat ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan T. mentagrophytes..................................................................................
21
3. Zona hambat ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan T. mentagrophytes pada media SDA ......................................................
22
4. Grafik zona hambat ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan C. albicans.............................................................................................
24
5. Zona hambat ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan C. albicans pada media SDA ....................................................................................
25
6. Stmktur Molekul Senyawa Asam 2-Hidroksioktadekanoaf ( C I S H ; ~ ~.... ;)
29
7. Stuktur Molekul Senyawa Asarn 2-Heptadecyl-6-hidroksibenzoat (c23H3603)..............................................................................................
33
8. Struktur Molekul Senyawa Umshiol (I), Card01 (2) dan Asam Anacardic (3) ..........................................................................................
33
DAFTAR TABEL Halaman
1. Kandungan zat ekstraktif hasil fraksinasi ekstrak etanol kayu pelanjau ....
19
2. MIC dan MFC ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan Trichophyton mentagrophytes ................................................................
22
3. MIC dan MFC Ekstrak Kayu Pelanjau Terhadap Cendawan Candida albicans ................................................................................................
26
4. Beberapa senyawa asam lemak dan phenol yang terdapat dalam fraksi EA6a hasil identifikasi GC MS ...............................................................
30
5. Beberapa senyawa phenol yang terdapat dalam fraksi EA6c hasil identifikasi GC MS .................................................................................
32
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Gambar Spektrum Proton N M R Senyawa EA6a .....................................
41
2. Gambar Spektrum Karbon NMR Senyawa EA6a ....................................
42
3. Gambar Spektrum GC MS Senyawa EA6a..............................................
43
4 . Gambar Spektrum Proton N M R Senyawa EA6c .....................................
48
5. Gambar Spektrum Karbon N M R Senyawa EA6c ....................................
49
6 . Gambar Spektrum GC MS Senyawa EA6c.............................................. 50
vii
PENDAHULUAN Latar Belaltang
Komponen kimia penyusun kayu terdiri dari karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), lignin dan sejumlah kecil zat ekstraktif. Komponen kimia tersebut memiliki manfaat yang besar, antara lain karbohidrat digunakan untuk memproduksi bubur kertas, kertas, rayon, film dan sumber bahan kimia; lignin sebagai sumber bahan kimia, dispersing agent, energi, emulsifier, aditif dan perekat; zat ekstraktif sebagai sumber bahan kimia, penyamak kulit, pewarna, makanan, minuman, pengharum, kosmetik, perekat dan obat-obatan (Fengel dan Wegener 1995) Pemanfaatan zat ekstraktif sebagai bahan obat-obatan untuk mengatasi berbagai macam penyakit, seperti infeksi pernapasan, diabetes, malaria, atau penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri ataupun cendawan telah lama dilakukan oleh masyarakat' dan terus berlangsung sampai sekarang. Zat ekstraktif sebagai bahan obat telah digunakan untuk mengobati penyakit kulit yang disebabkan oleh Dermatofita, seperti T. mentagrophytes yang menginfeksi kulit kepala (tinea capitis), kuku (tinea unguum), wajah (tinea barbae), tangan (tinea manuum), lipatan paha (tinea cruris) dan sela-sela jari kaki (tinea pedis) (A1 Hasan et al. 2004), ataupun oleh C. albicans yang menginfeksi kulit, kuku, mulut, vagina, dan pant-paru (Volk dan Wheeler 1984) Salah satu tanaman yang digunakan untuk mengatasi penyakit kulit tersebut adalah pohon pelanjau (P. motleyi H0ok.f). Zat ekstraktif dari kayu teras pohon pelanjau digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit kudis (tinea) dm rum-ruam ganas (Heyne 1987; Wiart 2006). Namun penggunaan zat ekstraktif pohon pelanjau selama ini masih bersifat tradisional, secara ilmiah belum diketahui seberapa besar efektivitasnya dalam menghambat pertumbuhan cendawan T mentagrophytes dm C. albicans. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas, isolasi dm identifikasi senyawa bioaktif yang terdapat pada zat ekstraktif kayu pelanjau yang berpotensi menghambat pertumbuhan cendawan penyebab penyakit kulit.
Identifikasi Masalah Pernasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1. Berapa banyak kandungan zat ekstraktif terlarut etanol yang terdapat dalam
kayu pelanjau (P. niotleyi H0ok.f); 2. Bagaimana efektivitas zat ekstraktif kayu pelanjau dalam menghambat
pertumbuhan cendawan T ltjentagrophytes dan C. albicans;
3. Senyawa bioaktif apa yang terdapat dalam zat ekstraktif kayu pelanjau yang efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui kandungan zat ekstraktif terlarut etanol kayu pelanjau (P. nlotleyi ,
H0ok.f) secara kuantitatif
2. Mengetahui efektivitas zat ekstraktif kayu pelanjau dalam mengl~ambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans
3. Mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa bioaktif yang terdapat dalam zat ekstraktif kayu pelanjau yang efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans Manfaat Penelitian Dengan diketahuinya kandungan dan efektivitas zat ekstraktif kayu pelanjau dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans diharapkan dapat diperoleh data dan informasi tentang adanya senyawa bioaktif yang terdapat dalam kayu pelanjau yang berpotensi untuk menghasilkan obat penyakit kulit. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah kayu pelanjau mengandung zat ekstraktif yang efektif menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans.
TINJAUAN PUSTAKA Zat Ekstraktif Distribusi Zat Ekstraktif Kayu menipakan komposit biopolimer tiga dimensi yang disusun oleh selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selain ketiga komponen utama tersebut terdapat pula sejumlah kecil unsur atau bahan yang disebut zat ekstraktif (Rowell et a(. 2005). Zat ekstraktif mempakan komponen organik yang secara luas lamt dan dapat diambil dari kayu dengan menggunakan pelamt dengan polaritas yang cukup tanpa mengubah sebagian besar karakteristik stmktur sel (Pereira ef a1 2003). Menumt Hillis (1987), zat ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu atau kulit dengan pelarut polar dan non polar. Zat ekstraktif ini bukan merupakan bagian stmktural dinding sel kayu, tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Menurut Fengel dan Wegener (1995), zat ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari dengan jumlah yang rendah dalam lamela tengah, interseluler, dinding sel trakeid dan serabut libriform.
Kandungan dan komposisi zat ekshaktif sangat beragam antar jenis kayu. Bahkan dalam batang yang sama pada satu jenis kayu pun dapat berbeda (Sjoshom 1998). Secara umum, kayu daun jarum mengandung zat ekstraktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun lebar. Kebanyakan zat ekstraktif pada kayu daun jamm dan kayu daun lebar terdapat pada kayu teras (Rowell et a1 2005). Kandungan zat ekstraktif dalam kulit lebih tinggi dibandingkan dalam kayu. Keragaman kandungan zat ekstraktif tersebut tidak hanya tergantung pada spesies, tempat tumbuh dan musim, tetapi juga pada pelamt yang digunakan untuk mengekstrak (Fengel dan Wegener 1995). Cara yang dapat digunakan untuk memisahkan zat ekstmktif antam lain dengan uap (dihasilkan kelompok hidrokarbon, asam-asam aldehida dan alkohol), dengan eter panas (dihasilkan asam-asam lemak, asam-asam damar, lemak, sterol dan bahan-bahan tak tersabunkan), dengan alkohol panas (dihasilkan tanin, zat-zat
warna, phenol dan bahan-bahan larut air) dan dengan air (dihasilkan alkohol siklik, polisakarida dengan berat molekul rendah, garam-garam) (Hillis 1987). Klasifikasi Zat Ekstraktif Senyawa-senyawa organik yang terdapat dalam zat ekstraktif antara lain terpene, lignan, stilbene, flavonoid, aromatik lain, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid dan hidrokarbon tinggi (Fengel dan Wegener 1995). Zat ekstraktif kayu dapat diklasifikasikan secara kiiiawi ke dalam tiga kelompok besar (Fengel dan Wegener 1995; Sjostrom 1998), yaitu 1. Terpene dan terpenoid Terpene merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (CSH~)yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut jumlah unit isoprena (n), terpene dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), sesterpena (n=5), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8). Terpene adalah hidrokarbon mumi, sedangkan terpenoid mengandung gugus, fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Zat ekstraktif kayu daun jarurn mengandung semua jenis terpene, dari monoterpene sampai tri dan tetraterpene, terkecuaii seskuiterpene yang tergolong sangat langka. Dalam kayu daun lebar mengandung terpene yang lebih tinggi dan monoterpene hanya ditemukan pada beberapa kayu tropis saja. 2. Lemak dan lilin Lemak merupakan ester-ester gliserol dari asam-asam lemak yang terdapat di dalam kayu, terutama sebagai trigliserida. Lebih dari 30 asam lemak telah dikenali sebagai asam lemak jenuh, seperti palmitat (C16), stearat (C18), arakhidat (C20), behenat (C22) dan lignoserat (C24); dan asam lemak tak jenuh, seperti oleat (C18), linoleat (C18), linolenat (C18), pinolenat (C18) dan eikosatrienoat (C20). Yang paling dominan dari asam-asam lemak tak jenuh C-18 adalah asam oleat dan asam linoleat.
Lilin merupakan ester-ester dari alkohol-alkohol tinggi (C18-C24), alkoholalkohol terpena atau asam sterol. Komponen lilin lain adalah aikohol iunak bebas, diantaranya yang paling dominan adalah arakhinol(C20), behenol(C22) dan lignoserol(C24) 3. Senyawa phenolik
Golongan ini sangat heterogen dan penggolongannya dibuat menurut lima kelas, yaitu
3.1 Stilbene: turunan 1,2-difeniletilena yang mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif. Contohnya: pinosilvin. 3.2 Lignan: dimer dari dua unit fenilpropana (C6C3). Contohnya: konidendrin, pinoresinol, asarn plikatat dan hidrosimatai-resinol. 3.3 Tanin terhidrolisis: hasil hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta
gula sebagai produk utama.
3.4 Flavonoid: poliphenol yang mempunyai kerangka karbon trisiklik C6C3C6 Contohnya: krisin dan taksifolin. 3.5 Tanin terkondensasi: merupakan polimer flavonoid. Contohnya: katekhin.
Pemaafaatan Zat Ekstraktif Zat ekstraktif yang dihasilkan dari proses metabolisme pohon umumnya mengandung senyawa yang kompleks. Zat ekshaktif tersebut dapat digunakan sebagai penciri dari suatu jenis pohon (chemotaronomy) dan mempunyai pengaruh yang besar pada sifat-sifat kayu. Fungsi dari zat ekshaktif antara lain sebagai pelindung kayu dari serangan mikroorganisme perusak kayu seperti jamur dan rayap, penambah warna, bau dan rasa pada kayu, memberikan pola serat pada kayu, mempengaruhi kerapatan dan higroskopisitas serta sifat mudah terbakar kayu (Rowe dan Conner 1979; Miller 1999). Menurut Hillis (1987), zat ekstraktif memiliki manfaat yang sangat besar, antam lain sebagai bahan untuk meningkatkan keawetan alami kayu (mempertinggi ketahanan terhadap kebusukan akibat jamur, serangan serangga serta meningkatkan stabilitas dimensi setelah pengeringan), pengawet tubuh
manusia (mumi), vernis (melindungi warna cat minyak dan air atau untuk pelapis metal), sumber penerang, pelapis kapal, batik, email, semir, tinta cetak, bahan penyamak kulit, bahan pewarna, bahan makanan dan minuman, pengharum, kosmetik, bahan berkaret dan obat-obatan. Selain itu, zat ekstraktif juga digunakan sebagai perekat, antioksidan, pelumas, deteden, sabun, bahan dispersi, bahan sizing dalam industri kertas, komponen pengeboran lumpur, bahan pelapis dan sintesis bahan-bahan kimia (Fengel dan Wegener 1995).
Pemanfaatan Zat Ekstraktif Sebagai Obat-obatan Banyak tanaman telah digunakan untuk tujuan pengobatan pada masa lalu dan terus berlanjut hingga sekarang. Berbagai macam ekstrak dan eksudat pohon telah digunakan untuk pengobatan berbagai macam keluhan penyakit (Hillis 1987). Menurut Walker (2006), komponen kimia zat ekstraktif berfungsi sebagai antioksidan, anti virus, anti bakteri dan anti cendawan. Beberapa kelompok senyawa zat ekstraktif yang berfungsi sebagai bahan obat-obatari antara lain 1. Alkaloid Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan, terdapat pada biji, daun, ranting, dan kulit batang (Lenny 2006). Sekitar 5.500 jenis alkaloid telah diketahui dan merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid seringkali bersifat racun bagi manusia dan mempunyai aktivitas fisiologik yang menonjol dan digunakan secara luas untuk pengobatan. Alkaloid biasanya tidak benvama, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal dan hanya sedikit yang bempa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Uji sederhana yang sama sekali tidak sempuma untuk alkaloid dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di lidah (Harbone 1987).
Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologik tertentu. Ada yang sangat beracun dan ada pula yang sangat berguna untuk pengobatan, antara lain kuinin, morfin dan striknin yang mempunyai efek fisiologik dan psikologik (Lenny 2006). Vickery dan Vickery (1981) menyatakan bahwa dalam pengobatan alkaloid memberikan efek fisiologik pada susunan syaraf pusat, misalnya sebagai obat anti rasa sakit dan obat tidur, yang dalam jumlah besar sangat beracun bagi manusia. Seiain itu, alkaloid juga berfungsi sebagai anti cendawan, seperti senyawa alkaloid 2-(3,4-
dimethyl-2,5-dihydro-1H-pyrrol-2-yl)-l-methylethylpentanoate yang mempunyai aktifitas terhadap cendawan Candida (Abad el a!. 2007) 2. Flavanoid Senyawa flavanoid merupakan suatu kelompok senyawa phenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini mempakan zat wama merah, ungu, biru dan kuning yang ditemukan di dalam tumbuhan (Lenny 2006). Harbone (1987) menyatakan bahwa flavanoid berupa senyawa phenol, yang warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam lamtan. Flavanoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavanoid terdapat dalam sati tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan tersebut maka ketika menganalisis flavanoid biasanya lebih baik memeriksa aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah terhidrolisis sebelum memperhatikan kemmitan glikosida yang mungkin ?
terdapat dalam ekstrak asal. Flavanoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil atau terikat pada suatu gula. Umumnya, flavanoid larut dalam pelarut polar, seperti etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol PuOH), aseton, dimetilsulfoksida @SMO), dimetilfonnamida (Dm),air dan lain-lain (Markham 1988). Beberapa senyawa flavanoid dalam pengobatan berfungsi sebagai anti virus, pencegah peradangan dan sebagai pembeku darah (Vickery dan Vickery
1981). Selain itu, flavanoid juga berfungsi sebagai anti cendawan, seperti senyawa
flavanoid
4'-methoxy-5,7-dihydroxyflavone
6-C-glucoside
(isocytisoside) yang menunjukkan aktivitas anti cendawan terhadap Aspergillus niger (Abad et al. 2007)
3. Saponin Saponin termasuk dalam golongan senyawa terpenoid dan bagian dari triterpenoid (diturunkan dari hidrokarbon C30). Saponin merupakan glikosida triterpenoid dan sterol, merupakan senyawa aktif permukaan yang bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dan dapat menghemolisis sel darah. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekshak tumbuhan atau pemekatan ekshak tumbuhan merupakan bukti adanya saponin. Untuk uji saponin yang sederhana adalah dengan menggunakan ekshak alkohol-air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan perhatikan terbentuknya busa yang tahan lama pada permukaan cairan (Harbone 1987) Menurut Robinson (1991), saponin merupakan senyawa surfaktan yang bersifat
hipokolesterolemik,
immunostimulator dan
antikarsinogenik.
Mekanisme antikarsinogenik saponin meliputi efek antioksidan dan sitotoksik langsung pada sel kanker. Saponin juga berfungsi sebagai anti cendawan, antara lain senyawa 6a-0-[P D-xylopyranosyl-(1-3)-P-Dquinovopyranosyl]-
(25,S)-5a-spirostan-3P-olyang mempunyai aktivitas anti cendawan terhadap ?i mentagrophytes dan Trichophyfonrubrum (Abad et al. 2007). 4. Steroid dan Triterpenoid
Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan ini didasarkan pada efek fisiologik yang diberikan oleh masing-masing senyawa. Kelompok-kelompok itu adalah sterol, asam empedu, hormon seks, honnon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin. Percobaan biogenetik menunjukkan bahwa steroid berasal dari hiterpenoid. Steroid yang berasal dari jaringan tumbuhan berasal dari hiterpenoid sikloartenol dengan pengubahan asam asetat melalui asam mevalonat dan skualena (Lenny 2006).
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Triterpenoid berupa senyawa tanpa wama, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif. Umumnya mereka sukar dicirikan lcarena tak ada kereaktifan kimiawinya. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Lieberman-Buchard (anhidrida asetat-H2S04 pekat) dan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau biru (Harbone 1987). Menuiut Robinson (1991), triterpenoid merupakan metabolit sekunder yang terbentuk dari penggabungan dua atau lebih isoprena. Beberapa senyawa triterpenoid telah diketahui efek fisiologik yang signifikan, diantaranya sebagai obat anti diabetes, gangguan kulit, malaria, anti cendawan, insektisida, anti virus dan anti bakteri. Pelanjau (P. motfeyi H0ok.f)
Pelanjau (P. motleyi Hook.0, yang memiliki sinonim Nothoprotium sumatranurn Miq.; Penfaspadon oflcinalis Holmes ex King; Pentaspadon nzinutzjlora B.L. Burtt; Pentaspadon nzoszlowskii Laut.; Rhus novoguineensis Laut dan mempunyai nama daerah empit, empelanjau, pelanyau, merupakan raksasa rimba dengan tingginya dapat mencapai 51 m dan diameter mencapai 70 cm dengan tajuk yang bentuknya bertingkat lenggek, dengan daun majemuk yang dalam keadaan muda memberi warna coklat kehijau-hijauan halus pada pohomya (Heyne 1987; Anonim 2008). Pelanjau tersebar di bagian barat nusantara (Sumatra, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur), Maluku, Semenanjung Malaysia, Sabah, Brunei, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Pelanjau tumbuh pada tanah yang selama musim hujan lama terendam air (rawa), tetapi tidak teijadi pembentukan gambut, sepanjang aliran sungai dan pada ketinggian 200 mdpl. (Heyne 1987; Anonim 2008).
Adapun klasifikasi pelanjau adalah : Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Sapindales
Suku
:Anacardiaceae
Marga
: Pentaspadon
Jenis
: P. moileyi H0ok.f
Kayu gubalnya berwarna putih dan kayu terasnya yang berwarna lebih gelap adalah lunak dan kasar serta cepat diserang serangga, tetapi tidak mudah belah sehingga cocok untuk papan lantai tebal. Buahnya digunakan sebagai bahan makanan yang dapat dimakan secara langsung ataupun dengan dimasak. Zat ekstraktif dari kayu teras pohon pelanjau digunakan sebagai obat untuk mengobati penyakit kulit berupa ruam-rum ganas dan kudis (iinea) pada kulit (Heyne 1987). Dari cerita masyarakat di daerah Kalimantan Barat bahwa zat ekstraktif kayu pelanjau secara tradisional sering digunakan untuk mengobati penyakit kulit terutarna kudis dan ruarn kulit. Cendawan T.rize~ztagroplrytesdan C. albicans Cendawan merupakan tumbuhan tingkat rendah yang tidak berklorofil, berbentuk hifa atau sel tunggal, eukariotik, berdinding sel dari khitin atau selulosa dan bereproduksi secara seksual dan atau aseksual (Gandjar et 01. 1999). Menurut Sundari dan Winarno (2001), cendawan di alam berperan sebagai pengurai bahan organik, bermanfaat untuk peragian makanan dan juga sebagai penghasil antibiotika. Di sisi lain, cendawan dapat menyebabkan penyakit infeksi yang dikenal dengan mikosis. Mikosis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu mikosis superfisial yang menyerang kulit, kuku, rambut dan selaput lendir; dan mikosis sistemik. Ada cendawan, seperti C. albicans, yang dapat menyebabkan mikosis superfisial, tetapi kadang-kadang juga menyebabkan mikosis sistemik Dermatofita (Dermatophyte) meiupakan kelompok cendawan yang menyebabkan dermatofitosis (kudis atau tinea) (Simpanya 2000). Dermatofitosis
pada kulit dapat terjadi di bagian tubuh yang berbeda yang namanya disesuaikan dengan tempat terjadinya infeksi, seperti tinea capitis pada kulit kepala, tinea
unguttm pada kuku, tinea barbae pada wajah, tinea manuurn pada tangan, tinea cruris pada lipatan paha dan tineapedis atau biasa disebut kaki atlit yang terdapat diantara sela-sela jari kaki. Infeksi tersebut disebabkan oleh dermatofita genera
Trichophyton, Microsporum dan Epiderntophyton (A1 Hasan et al. 2004). Berikut beberapajenis cendawan yang menyebabkan penyakit kulit:
I . T. mentagrophytes Genus Trichophyton terdiri dari 20 spesies (Songer dan Post 2005). Salah satu spesies yang menyebabkan terjadinya infeksi kulit adalah T.
mentagrophytes. Secara mikroskopik, ir: mentagrophytes memiliki bentuk hifa bersepta, makrokonidia; berbentuk rokok, berdinding halus, mengandung 1-6 sel, dan lebih siap ditemukan pada biakan (kultur) muda yang berumur 6-10 hari. Mikrokonidia pada biakan sangat berentet dan bertandan pada cabang konidiospora, berbulu halus, lebih kecil, lebih sedikit, berbentuk air mata serta adanya spiral (Larone 1976). T. mentagrophytes menyebabkan penyakit tinea pedis, tinea korporis, tinea barbae dan tinea kapitis (Al-Doory 1980) Taksonomi dari T.mentagrophytes adalah sebagai berikut: Kingdom
: Fungi
Phylum
: Ascomycota
Class
: Ascomycetes
Ordo
: Onygenales
Family
: Arthrodermataceae
Genus
: Trichophyton
Species
: T. mentagrophytes
2. C.albicans C. albicans merupakan cendawan yang berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dengan ukuran 2-5 x 3-6 pm hingga 2-5,5 x 5-28,5 pm yang memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan t e n s memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok
blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa hifa semu terdapat blastospora berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol dalam jumlah yang sedikit. Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar 8-12 pm. C. albicans dianggap spesies terpatogen diantara spesies Candida yang lain dan menjadi ..,,.,,bab .--,,utama kandidiasis (Suprihatin 1982). Menurut Volk dan Wheeler (1984), cendawan C. albicans dapat menginfeksi bagian tubuh seperti mulut, !:uku, vagina, kulit dan paru-paru. Adapun klasifikasi cendawan C. albicans adalah : Kingdom : Fungi Phylum
: Ascomycota
Class
: Ascomycetes
Ordo
: Saccharomycetates
Family
: Saccharomycetaceae
Genus
: Candida
Species
: C. albicans
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Kimia Serpong dan Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri Jakarta. Waktu pelaksanaan penelitian bulan Agustus 2008
- Februari 2009. Bahan dan Alat Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu Pelanjau (P. motleyi Hook.0 yang berasal dari daerah Batang Tarang, Sanggau Kalim-antan Barat. Pelarut yang digunakan adalah etanol, n-heksan, dietil eter, etil asetat, kloroform dan air suling. Cendawan T. mentagrophytes dan C. albicans, bahan pembuatan media Sabouraud dextrose agar (SDA) yaitu Peptone (Conda Laboratories Madrid, Spayol), Dextrose (Himedia Laboratories Mumbai, India), dan Agar (Conda Laboratories Madrid, Spayol), obat anti cendawan Itrakonazol (sporacidB kapsul, Dexa Medica Palembang, Indonesia) dan larutan McFarland's. Untuk kolom kromatografi dipergunakan silika gel 60 F254(E. Merck 05554), glasswool dan untuk kromatografi lapis tipis (KLT) dipergunakan lempeng silika gel GF254 (E. Merck 1.07734). Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mesin penggiling (hammer mill), saringan berukuran 40-60 mesh, spatula, labu erlenmeyer, penguap vakurn putar (vacuum rotary evaporator), corong pemisah Vunnel separator), timbangan analitik, oven, gelas piala, cawan petri, tabung reaksi, inkubator, micropipet, kaliper dan kolom kromatografi. Untuk mengidentifikasi komponen kimia digunakan Spektrometri Proton dan Karbon Resonansi Magnet
Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) JNM ECA 500 serta Gas Kromatografi-Spektroskopi Massa (Gas Cromatogrophy - Mass Spectroscopy, GC MS) Agilent Technologies 7890A.
Metode Penelitian Persiapan contoh Kayu pelanjau digiling menjadi serbuk menggunakan mesin penggiling dan dilewatkan pada mesh screen bemkuran 40-60 mesh, kemudian dikeringudarakan sampai kadar air sekitar 15%.
Ekstraksi Serbuk Kayu Sebanyak 2 2.000 gram serbuk kayu pelanjau dimasukkan ke dalam stoples dan direndam dengan pelamt etanol sehingga seluruh serbuk terendam dengan perbandingan serbuk dan pelarut adalah 1 : 5. Campuran ini diaduk sesering mungkin menggunakan spatula dan setelah 48 jam lamtan ekstraksi tersebut disaring dengan kertas saring. Perlakuan tersebut dilakukan hingga diperoleh lamtan ekstrak jernih sehingga dianggap semua zat ekstraktif yang terlamt etanol sudah diperoleh. Selanjutnya lamtan ekstrak dishpan dalam wadah yang tertutup rapat. Ekstrak etanol yang diperoleh selanjutnya diuapkan dengan penguap vakum putar pada suhu maksimum 40 OC hingga diperoleh volume sebanyak 1 liter. Dari jumlah tersebut diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang kering dan telah diketahui beratnya kemudian diuapkan dengan penguap vakum putar hingga kering. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 40-60 OC. Kandungan ekstrak etanol dihitung berdasarkan persentase berat padatan ekstrak etanol dengan berat kering tanur serbuk. Dari 990 ml lamtan ekstrak etanol yang tersisa, diambil sebanyak 500 ml dan diuapkan dengan penguap vakum putar hingga diperoleh volume sebanyak
100 ml. Larutan ekstrak etanol yang kental tersebut selanjuhlya dimasukkan ke dalam corong pemisah, kemudian ditambahkan air suling sebanyak 20 ml dan pelarut n-heksan sebayak 75 ml. Campuran ini selanjutnya dikocok dan dibiarkan sampai tejadi pemisahan antara pelamt etanol dengan n-heksan. Setelah tejadi
pemisahan, fraksi terlarut n-heksan dipisahkan dari residu. Fraksi n-heksan yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah yang tertutup rapat. Residu hasil fraksinasi dengan n-heksan yang tertinggal dalam corong pemisah selanjutnya ditambahkan lagi dengan pelarut dietil eter sebanyak 75 ml, dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan seperti halnya fraksinasi dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut dietil eter dipisahkan dan disimpan pada wadah yang tertutup rapat. Tahapan terakhir dari
fraksinasi bertingkat ini
adalah dengan
menggunakan pelarut etil asetat. Residu hasil fraksinasi dengan pelarut dietil eter selanjutnya difraksinasi dengan pelarut etil asetat sebanyak 75 ml. Fraksinasi ini dilakukan sama seperti fraksinasi dengan tiga pelarut sebelumnya. Larutan hasil fraksinasi bertingkat diuapkan pelarutnya dengan penguap vakum putar pada suhu 40 OC. Fraksi-fiaksi yang diperoleh dikeringkan dengan oven pada suhu 4060 OC. Secara lebih jelas skema ekstraksi dan hksinasi serbuk kayu pelanjau dapat dilihat pada Gambar 1.
1
Serbuk kayu PeIanjau 40-60 mesh
1
E k h a k i etanol
Ekstrak etanol*
Fraksi terlarut n- heksan *
Fraksi terlamt dietil eter * Frakrinasi Eril asemt
4
I . . . . . . [
1
Fraksi terlamt etil asetat *
Keterangan : *) Dilakukan uji terhadap cendawan T.rnentugrophytesdan C. ulbicans Gambar 1. Skema ekstraksi dan fraksinasi serbuk kayu pelanjau
Penentuan Kadar Zat Ekstraktif Kandungan zat ekstraktif pada tiap-tiap fiaksi dihitung terhadap bobot kering oven berdasarkan rumus :
Keterangan :
Wa = Berat padatan ekstrak (gr) Wb = Berat kering oven serbuk (gr)
Uji Aktivitas Anti Cendawan a. Penentuan Zona Hambat Aktivitas anti cendawan ekstrak kayu pelanjau dapat diketahui dengan metode difusi agar untuk penentuan zona hambat (Reezal dan Abdul Rahim 2002; Koselac et al. 2005). Sebanyak 25+2 mml SDA (Sabouraud dextrose agar) sucihama disiapkan pada suhu 45-50 OC agar tetap mencair. Media SDA tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri (diameter 9 cm) dan kemudian diinokulasikan dengan satu mililiter dari suspensi 1-5 x lo6 CFUIml C. albicans dan shuktur miselia T. mentagrophytes. Satu percobaan dilakukan
dalam cawan petri untuk satu jenis cendawan. Kerapatan inokulum diukur atau dibandingkan dengan lamtan baku McFarland's I yang mempunyai kerapatan kira-kira 3x10' seVml. SDA yang telah diinokulasi kemudian dibiarkan pada suhu ruangan selama maksimum 30 menit hingga agar memadat. Kemudian dibuat lubang berdiameter enam milimeter menggunakan tabung reaksi dan diisi dengan 60 p1 zat ekstrak kayu pelanjau dengan tingkat konsentrasi 5, 10, 15,20,25 dan 30 mg/ml. Media diinkubasi pada suhu 4 "C selama satu jam dan diinkubasi kembali pada suhu 25 - 27 OC selama 48 jam untuk sel khamir C. albicans dan tujuh hari untuk T. mentagrophytes. Setelah masa inkubasi tercapai, zona hambat diukur dalam satuan milimeter. b. Penentuan Konsentrasi Daya Hambat Minimum (Minimum Inhibitoy Concentration, MIC) dan Konsentrasi Anti Cendawan Minimum (Minimum Fut~gicidalConcentration, MFC) Konsentrasi daya hambat minimum (MIC) dan konsentrasi anti cendawan minimum @PC) ditentukan dengan metode serial two-fold dihtion
(pengenceran ekstrak kelipatan dua secara berturut-turut) dalam SDA (Koselac et al. 2005). Pada metode serial two-fold dilution, 10-15 ml SDA sucihama (yang disiapkan pada suhu 45-50 "C agar tetap mencair) dimasukkan ke dalarn cawan petri dan kemudian diinokulasi dengan satu mililiter dari suspensi 1-5 x lo6 CFUlml sel khamir C. albicans dan struktur miselia T. mentagrophytes. Satu percobaan dilakukan dalam cawan petri untuk satu jenis cendawan dan satu tingkat konsentrasi. Ke dalam cawan tersebut ditambahkan zat ekstrak kayu pelanjau pada beberapa tingkat konsentrasi yang dimulai dari konsentrasi 1000 mgtml sampai konsentrasi terendah yang hanya mengijinkan pertumbuhan cendawan tidak lebih dari 20%. Seluruh media yang diinokulasi diinkubasi pada suhu 25 - 27 "C selama 48 jam untuk sel khamir C. albicans dan tujuh hari untuk T. mentagrophytes. MIC didefinisikan sebagai konsentrasi terendah zat ekstraktif yang menyebabkan pertumbuhan cendawan tidak lebih dari 20%. MFC didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari zat ekstraktif yang menghambat penuh pertumbuhan cendawan. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan obat baku anti cendawan. Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kayu Pelanjau (P. ntotleyi H0ok.f) dengan Kolom Kromatografi Fraksi yang efektif sebagai anti cendawan untuk selanjutnya dilakukan pemisahan dengan menggunakan kromatografi kolom. Fase d i m yang digunakan adalah silika gel 60 FZ54yang mempunyai ukuran partikel 0,063 sampai 0,200 mm. Sebelum pelaksanaan kromatografi kolom, dilakukan terlebih dahulu kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mendapatkan eluen yang akan digunakan pada kromatografi kolom. KLT dilakukan dengan menggunakan lempeng silika gel GF254. KLT dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut. Kolom yang sudah dibersihkan dipasang pada statif secara tegak lurus. Kolom dibe1-i glasswool pada bagian bawahnya dan diisi dengan sepertiga pelarut yang akan digunakan sebagai eluen, kemudian dimasukkan silika gel yang telah direndam dengan eluen. Campuran silika gel tersebut dimasukkan ke dalam
kolom sedikit demi sediiit agar diperoleh lapisan yang seragam. Eluen dibiarkan mengalir sehingga silika gel di dalam kolom menjadi padat dan permukaannya rata. Kolom digetar-getarkan untuk meningkatkan kepadatan dan penyebaran silika dalam kolom merata. Ekstrak dilarutkan dalam pelarut yang digunakan sebagai eluen sebelum ekstrak dimasukkan ke dalam kolom. Campuran tersebut diaduk rata, kemudian campuran sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam kolom sehingga merata di dalam suspensi silika gel. Eluen dialirkan ke dalam kolom. Masing-masing fraksi ditampung sebanyak 10 ml di dalam tabung reaksi. Pada fraksi yang diperoleh dilakukan pengecekan bercak atau spot menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Bila hasil pada lempeng KLT tidak kelihatan bercaknya, maka dilihat dengan menggunakan sinar UV (Heraeus). Fraksi yang mempunyai bercak kromatog~am yang sama digabung menjadi satu. Apabila telah memperoleh bercak tunggal, berarti telah memperoleh senyawa mumi. Identifikasi Komponea Kimia
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan spektrometri Proton dan Karbon Resonansi Magnet Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) untuk menentukan kedudukan Hidrogen dan Karbon serta menggunakan Gas Kromatografi
GC MS) .
- Spelctroskopi Massa (Gas Cromatogrophy - Mass Spectroscopy,
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan ekstrak etanol dari 1.855,98 gram serbuk kayu pelanjau (2.000 gram serbuk dengan kadar air 7,76%) adalah 130,6 gram atau 7,04%. Ekstrak etanol yang di peroleh tersebut selanjutnya di fraksinasi secara bertingkat menggunakan metode ekstraksi pelarut yang tidak saling bercampur yang didasarkan pada perbedaan tingkat kepolaran. Adapun pelarut yang di gunakan yaitu n-heksan, dietil eter dan etil asetat. Hasil dari fraksinasi tersebut secara lengkap tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan zat ekstraktif hasil fraksinasi ekstrak etanol kayu pelanjau Jenis Fraksi Fraksi n-Heksan Fraksi Dietil Eter Fraksi Etil Asetat Fraksi Residu Ekstrak Etanol
Berat Padatan Ekstrak (gram) 5,236 23,726 22,248 79,390 130,600
Kadar Ekstrak (%) 0,28% 1,28% 1,19% 4,29% 7,04 %
Kandungan zat ekstraktif kayu pelanjau ditentukan berdawrkan kelarutamya dalam pelarut yang digunakan untuk mengekstrak. Berdasarkan klasifikasi keias komponen kimia kayu Indonesia (Anonim 1976) kandungan zat ekstraktif kayu pelanjau yang larut dalam pelamt etanol termasuk tinggi, yaitu diatas 4 %. Tingginya kandungan zat ekstraktif kayu pelanjau diduga karena penggunaan pelarut etanol dalam proses ekstraksi. Menurut Phongpaichit et al. (2004) etanol merupakan pelarut terbaik yang dapat melarutkan temtarna senyawa-senyawa metabolit polar bersama-sama dengan senyawa dengan polaritas medium dan rendah. Pelarut etanol secara efisien berpenetrasi ke dalam membran sel, sehingga diperoleh komponen endoseluler yang menyebabkan rendemen menjadi tinggi. (Silva et al. 1998). Menurut Wilbraham dan Matta (1992) pelarut etanol memiliki gugus hidroksil yang menyebabkannya dapat mengikat senyawa-senyawa polar dan gugus alkil yang dapat mengikat senyawa-senyawa non polar. Selain itu menurut
Filho (2006) ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol sangat efektif dalam mengisolasi senyawa-senyawa bioaktif. Senyawa-senyawa yang dapat di ikat oleh pelarut etanol antara lain $xed oils, lemak, lilin, alkaloid, flavon, poliphenol, tanin, saponin, aglikon dan glikosida (Houghton dan Raman 1998; Filho 2006). Dari Tabel 1 terlihat bahwa fraksinasi ekstrak etanol kayu pelanjau memberikan hasil yang beragam. Fraksi residu (fraksi yang tidak larut dalam n heksan, dietil eter dan etil asetat) memberikan hasil yang paling besar, diikuti oleh fraksi dietil eter, fraksi etil asetat dan fraksi n heksan. Keragaman hasil fraksinasi tersebut dipengaruhi oleh pelarut serta keterlamtan senyawa-senyawa dalam pelarut yang digunakan. Fraksi n heksan mengandung senyawa lemak, lilin dan f i e d oils (volatil oils) (Houghton dan Raman 1998), fraksi dietil eter mengandung senyawa lemak, lilin, alkaloid, terpena, terpenoid, caumarin, asam lemak, minyak, resin, asam resin, sterol, aglikon dan alkohol alifatik tinggi (Achmadi 1992; Houghton dan Raman 1998; Baeza dan Freer 2001; Filho 2006) dan fraksi etil asetat mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, terpenoid, aglikon dan glikosida (Houghton dan Raman 1998; Filho 2006). Tigginya fraksi residu mengindikasikan bahwa ekstrak etanol kayu pelanjau lebih bersifat polar. Aktivitas Anti Cendawan Cendawan T. mentagropl~ytes Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanoi kayu pelanjau dan fraksi-fiaksinya (dietil eter, etil asetat dan residu) terkecuali fraksi n heksan dapat menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes yang hasilnya secara lengkap tertera pada Gambar 2.
17
16
-
E .E_ -
6'
Q
15
-4-Ekstrak
? .A -13
~ - - -...~ . ... .-.
12 11 --
+FraksiN
4.-ltrakonazol Baktt)
1 0
I
Etil Asetat
-.-=Rcsidu
4
3 2
I
Heksan
-.. ..*~. Fraksi Dietil Eter
1;
-Fraksi N
Etanol
5
L-_
10
15
20
Konsentrasi (mg/ml)
25
30
(obat
1
Gambar 2. Grafik zona hambat ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan T. mentugrophytes Dari grafik pada Gambar 2 terlihat bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar zona hambat yang dihasilkan dari masing-masing fraksi ekstrak etanol kayu pelanjau. Fraksi residu memiliki daya hamhat yang lebih tinggi yang ditunjukkan dengan zona hambatnya yang berkisar antara 2,2 5,3 mm, dikuti oleh fraksi dietil eter 2,23 - 4,73 mm dan fraksi etil asetat 2,21 3,47 rnm, sedangkan untuk fraksi n heksan pada seluruh tingkat konsentrasi yang
diberikan tidak menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan cendawan T.
rnentugrophytes. Konsentrasi 5 dan 10 mg/ml untuk seluruh fraksi belum menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan cendawan T. ~nentagrophytes.Daya hambat terjadi pada konsentrasi 15 mg/ml untuk fraksi residu dan konsentrasi 20 mg/ml untuk fraksi dietil eter clan fraksi etil asetat. Jika dibandingkan dengan obat baku anti cendawan Itrakonazol yang memiliki kisaran daya hambat antara 12,90
-
16,90 mm, maka seluruh fraksi ekstrak etanol kayu pelanjau mempunyai daya hambat yang rendah.
F. Ril &fa1
Rejdu
ihkemzd
Gambar 3. Zona hambat ehtrak kayu pelanjau terhadap cendawan T. mentagophytes pada media SDA Efektivitas suatu zat ekstraktif dalam menghambat pertumbuhan cendawan ditentukan oleh nilai konsentrasi daya hambat minimum (MIC) dan konsentrasi anti cendawan minimum (MFC). Zat ekstraktif tergolong memililu efektivitas tinggi jika nilai MIC berada dibawah 0,5 mglml, efektivitas sedang 0,6
-
1,5
mg/ml dan efektivitas rendah diatas 1,6 mglml (Tsuzuki et al. 2007) Besamya nilai MIC dan MFC dari masing-masing fraksi ekstrak etanol kayu pelanjau dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. MIC dan MFC ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan T. mentagrophytes MIC mc Cendawan Fraksi (mg/ml) (mg/ml) Ekstrak Etanol 3,91 7,81 n Heksan Dietil Eter 3,91 7,81 T. nzentagrophytes Etil Asetat 3,91 7,81 Residu 1,95 3,91 ~trakonazol* 0,49 0,98 *Obat baku anti cendawan
Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa fraksi residu memiliki nilai MIC dan MFC yang lebih rendah, diikuti oleh fraksi dietil eter dan etil asetat yang memiliki
nilai yang samq namun untuk fraksi n heksan tidak dilakukan pengukuran dikarenakan pada skrining awal (uji daya hambat) tidak menunjukkan pengaruh dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes. Oleh karena fraksi residu memiliki nilai MIC dan MFC yang lebih rendah dari fraksi yang lain maka fraksi residu merupakan fraksi teraktif dari ekstrak etanol kayu pelanjau dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. Mentagrophyfes, walaupun tergolong memiliki efektivitas yang rendah dengan nilai MIC yang lebih besar dari 1,6 mglml. Jika dibandingkan dengan obat baku anti cendawan Itrakonazol, nilai MIC dan MFC untuk setiap fraksi dari ekstrak etanol kayu pelanjau masih lebih tinggi. Mekanisme utama dari zat ekstraktif dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes yaitu dengan mempengaruhi secara langsung membran sel dan permeabilitasnya yang mengarah pada bocomya (leakage) senyawa intraseluler (Latta et al. 2003). Menurut Phongpaichit et aI: (2004), pemberian zat ekstraktif terhadap cendawan mengakibatkan perubahan berupa berkerut dan rusaknya bentuk morfologi hifa dan makrokonidia cendawan tersebut. Fenomena ini dapat tejadi karena bocomya dinding sei atau mungkin beberapa perubahan pada permeabilitas membran yang mengakibatkan terjadinya kehilangan sitoplasma. Komponen utama dari struktur dinding sel cendawan adalah (1,3)-P- dan (1,6)-P-glucan, khitin dan manoprotein (Zacchino et al. 2003). Sel cendawan di bungkus oleh dinding sei yang mengandung karbohidrat yang berhngsi sebagai batas pelindung sel yang sangat penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup cendawan sedangkan manoprotein mungkin memainkan peran yang berbeda yaitu untuk menjaga keseluruhan arsitektur dinding sel (Latta et al. 2003).
(1,3)-P-glucan
sangat penting
untuk pertumbuhan normal
dan
perkembangan cendawan. Polimerisasi (1,3)-P-glucan dikatalis dengan bantuan enzim sinthase (1,3)-P-glucan. Diperkirakan bahwa senyawa yang terdapat dalam suatu zat ekstraktif dapat bertindak menghambat sistesis polimer dinding sel dengan menghambat kej a enzim sinthase (1,3)-P-glucan (Zacchino et al. 2003).
Diduga senyawa yang terkandung dalam fraksi residu mempunyai kemampuan yang lebih besar jika dibandingkan dengan fraksi dietil eter maupun fraksi etil asetat untuk mempengaruhi membran sel cendawan T. mentagrophytes yang berdampak pada terganggunya permeabilitas membran sel dan hilangnya sitoplasma, atau menghambat kerja enzim sinthase (1,3)-P-glucan untuk melakukan polimerisasi membentuk (1,3)-0-glucan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan normal cendawan sehingga pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes menjadi terhambat.
Cendawan C. albicaizs Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu pelanjau dan fraksi-fraksinya memberikan daya hambat terhadap pertumbuhan cendawan C. albicans yang hasilnya secara lengkap tertera pada Gambar 4.
! +Ekstrak +Fraksi
Etsnol N Hckssn
*--;i=--FraksiDictil Etcr Fraksi Etil Asetst
--+ltrakonazol Baku)
5
10 15 20 25 Konsentrasi (mg/ml)
(Obst
30
Gambar 4. Grafik zona hambat ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan C. albicans Dari Gambar 4 tersebut di atas terlihat bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi ekstrak maka semakin besar pengaruhnya dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans. Fraksi etil asetat memberikan pengaruh yang paling besar dengan zona hambat berkisar antara 17,33 - 25,33 mm, diikuti oleh fraksi residu 14,67 - 20,67 rnm, fraksi n heksan 6,00 - 15,33 mm dan fraksi dietil eter 6,67 - 14 mm. Jika dibandingkan dengan obat baku anti cendawan
Itrakonazol yang memiliki zona hambat yang sama pada setiap konsentrasi (20
mm), dimana Itrakonazol menghambat biosintesis ergosterol dengan memblok atau menghalangi kerja enzim 14-a-demethlase pada lanosterol cendawan (Zacchino et al. 2003), maka fraksi etil asetat dan fraksi residu dapat menyamai zona hambat Itrakonazol pada konsentrasi 15 dan 25 mg/ml, dan zona hambatnya menjadi lebih t i n g ~seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak yang diberikan. Untuk fraksi n heksan dan fraksi dietil eter daya hambat terhadap pertumbuhan cendawan C. albicans jauh di bawah obat baku.
Gambar 5. Zona hambat ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan C. albicans pada media SDA Besamya nilai konsentrasi daya hambat minimum (MIC) dan konsentrasi anti cendawan minimum (MFC) dari masing-masing fraksi ekstrak etanol kayu pelanjau dalam mengambat pertumbuhan cendawan C. albicans secara lengkap disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. MIC dan MFC ekstrak kayu pelanjau terhadap cendawan C. albicans am,.
XNTP
Cendawan
Fraksi
1*11L
.
.
..
Dari Tabel 3 tersebut terlihat bahwa fraksi etil asetat memiliki nilai MIC dan MFC yang lebih rendah jika dibandingkan dengan h k s i residu, fiaksi n heksan maupun fraksi dietil eter. Secara keselumhan, setiap fraksi dari ekstrak etanol kayu pelanjau memiliki efektivitas yang tinggi dikarenakan nilai MIC -nya lebih rendah dari 0,5 mglml dan fraksi etil asetat merupakan fiaksi teraktif dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans dengan nilai MIC dan MFC terendah. Jika dibandingkan dengan obat baku anti cendawan Itrakonazol, fraksi etil asetat dan fraksi residu memiliki nilai MIC dan MFC yang lebih rendah sedangkan fraksi n heksan dan dietil eter masih lebih tinggi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa C. albicans yang merupakan khamir sangat sensitif jika dibandingkan dengan T. mentagrophyres yang merupakan dermatofita, yang ditunjukkan dengan kecilnya nilai MIC dan MFC untuk C. albicam daripada 7: mentagropIrytes . Menurut Wolski dan Glowniak (2003) keragaman dalam sensitifitasnya mungkin dikarenakan beragamnya permeabilitas dari diiding spora atau miselia dari cendawan yang diuji, namun diduga zat ekstraktif bertindak sebagai zat inhibitor karena kemampuannya untuk berpenetrasi ke dinding sel cendawan. Menumt Chuang et al. (2007), senyawa yang terkandung dalam zat ekstraktif menyebabkan pecahnya membran sitoplasma sel cendawan sehingga komponen intraseluler mengalami kerusakan. Namun, komponen intraseluler tersebut tidak keluar dari dalam membran sel. Senyawa yang terkandung dalam zat ekstraktif berinteraksi dengan dua lapisan lipid yang terdapat di dalam membran yang mengarah pada terpisahnya membran menjadi dua yaitu membran
luar dan membran dalam. Selanjutnya air masuk ke dalam sel yang menyebabkan sel menjadi mengembang dan mengarah pada kematian sel cendawan. Selain itu
seperti telah
dijelaskan pada bagian
cendawan
T.
~zentogrophytesbahwa secara umum komponen utama dari struktur dinding sel cendawan adalah (1,3)-P- dan (1,6)-P-glucan, khitin dan manoprotein. (1,3)-Pglucan sangat penting untuk pertumbuhan normal dan perkembangan cendawan karena polimerisasi (1,3)-P-glucan dikatalisir dengan bantuan enzim sinthase (1,3)-P-glucan. Diperkirakan bahwa senyawa yang terdapat dalam suatu zat ekstraktif dapat bertindak menghambat sintesis polimer dinding sel dengan menghambat kerja enzim sinthase (1,3)-P-glucan (Zacchino et al. 2003). Diduga senyawa yang terkandung dalam fraksi etil asetat mempunyai kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan fi-aksi residu, fraksi n heksan dan fraksi dietil eter untuk memecah membran sitoplasma sel cendawan C.
albicans yang menyebabkan masuknya air ke dalam sel sehingga sel menjadi mengembang yang berdampak pada matinya sel cendawan atau menghambat k e j a enzim sinthase (1,3)-P-glucan untuk melakukan polimerisasi membentuk (1,3)-P-glucan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan cendawan sehingga pertumbuhan cendawan C. albicans menjadi terhambat. Isolasi dan Identifikasi Fraksi Teraktif Isolasi Fraksi Teraktif Etil Asetat Penentuan fraksi teraktif berdasarkan pada efektivitas dari ekstrak etanol kayu pelanjau dalam menghambat pertumbuhan cendawan T. mentagrophytes dan
C. albicans. Dan hasil penelitian terlihat bahwa ekstrak etanol kayu pelanjau lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans daripada cendawan T. mentagrophytes. Fraksi yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans tersebut adalah fraksi etil asetat. Fraksi etil asetat ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan obat, sehingga perlu dilakukan isolasi dan identifikasi untuk mengetahui senyawa yang diduga memberikan pengamh dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans.
Isolasi h k s i teraktif etil asetat menggunakan kolom kromatografi dengan perbandingan bobot antara contoh dengan silika gel adalah (1 : 50) gram. Fraksi etil asetat yang dipisahkan sebanyak 2 gram dan bertindak sebagai fase diam adalah silika gel sedangkan fase gerak yang digunakan adalah elusi bergradien dari pelamt n heksan-etil asetat. Fraksinasi menggunakan kolom kromatografi dengan ukuran diameter kolom +1,5 cm dengan panjang +l m. Fase gerak dimulai dengan menggunakan pelarut n heksan 100%. Lamtan pang keluar dari kolom kromatografi ditampung ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml dan hasilnya diperiksa dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan eluen pelamt n heksan - etil asetat (1:l). Fraksi dengan bercak kromatogram dan nilai Rf yang sama kemudian digabungkan. Pemisahan dengan kolom kromatografi ini menghasilkan sembilan fiaksi yang dinamakan dengan senyawa EAI - EA9. Pada fiaksi 6 (senyawa EA6) dengan nomor tabung 651
-
653,
menghasilkan wama kecoklatan (warna lebih dominan) yang memiliki Rf yang sama, namun menghasilkan 2 bercak atau spot kromatogram. Dikarenakan masih belum memiliki spot tunggal maka dilakukan pemisahan kembali menggunakan kolom kromatografi dengan diameter +1,5 cm dan panjang +0,5 m dengan eluen kloroform - etil asetat dan dielusi secara bergmdien yang dimulai dengan pelamt kloroform 100%. Larutan yang keluar dari kolom kromatografi ditampung ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mi dan hasilnya diperiksa dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan eluen pelamt kloroform - etil asetat (1:l). Fraksi dengan bercak kromatogram dan nilai Rf yang sama kemudian digabungkan. Pemisahan dengan kolom kromatografi ini menghasilkan tiga W s i . Ketiga fraksi dari hasil KLT menghasilkan bercak kromatogram tunggal, yaitu fraksi 1 dari tabung nomor 68-94, fiaksi 2 dengan nomor tabung 120, dan h k s i 3 dengan nomor tabung 300-352. Fraksi 1 dinamakan senyawa EA6a, h k s i 2 dinamakan senyawa EA6b dan fraksi 3 dinamakan senyawa EA6c. Dari ketiga
fraksi tersebut terlihat bahwa fiaksi 1 (senyawa EA6a) dan fraksi 3 (senyawa EA6c) lebih dominan maka kedua fraksi tersebut untuk selanjutnya dilakukan identifikasi menggunakan interpretasi spektrum resonansi magnet inti Proton dan Karbon NMR serta GC MS.
Penentuan Senyawa Fraksi EA6a Interpretasi spektrum Proton NMR senyawa EA6a menunjukkan bahwa senyawa tersebut termasuk golongan asam lemak. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya puncak-puncak pada pergeseran 0,8630
-
4,1432 ppm. Sebagai
pergeseran Proton (-H) terdapat tiga puncak, yaitu pada pergeseran 3,000 ppm, 29,704 ppm dan 0,887 ppm. Selain itu, muncul juga puncak pada pergeseran Proton hidroksi (-OH) yang ditunjukkan pada pergeseran 0,903 ppm. Spektrum resonansi magnetik inti Proton NMR disajikan pada Lampiran 1. Spektrum Karbon NMR pada Lampiran 2 tidak menunjukkan secara jelas kemungkinan jumlah atom C. Namun, dari hasil interpretasi spektrum Proton
NMR kemungkinan jumlah atom C sebanyak 18 buah. Berdasarkan identifikasi dengan menggunakan spektrum Proton dan Karbon NMR tersebut, maka diduga komponen utama dari fraksi EA6a adalah Asam 2-Hidroksioktadekanoat (C18H3603)
dengan
berat
molekul
300.
Struktur
molekul
Asam
2-
Hidroksioktadekanoat disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur Molekul Senyawa Asam 2-Hidroksioktadekanoat (C18H3603) Hasii interpretasi spektrum GC MS menggunakan NIST (National Institut
of Standart and Technology) Library Wiley 7n.l menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam fraksi EA6a bukan senyawa tunggal melainkan terdiri dari beberapa senyawa yang didominasi oleh senyawa asam lemak dan sebagian kecil senyawa phenol yang secara lebih jelas disajikan pada Tabel 4. Adapun spektrum GC MS -nya disajikan pada Lampiran 5.
Tabel 4. Beberapa senyawa asam lemak dan phenol yang terdapat dalam fraksi EA6a hasil identifikasi GC MS Berat Waktu Struktur Molekul No Nama Senyawa Molekul Retensi '0
.,,on
1
Vanilin
152
3,15
I
:
. .1 I:
;
.'---.'.'\ 0
2
I
Phenol, 2methoxy-4-(Ipropenyl)
164
Hexadecanoic acid
284
3,52
0
-' ---> ...!I
7,39
k 0 -
bl
'I 4
Ethyl oleate
310
8,46 \3
Octadecanoic acid
312
8,63
Q ? -
Dari hasil interpretasi spektrum Proton dan Karbon NMR serta GC MS menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam fraksi EA6a (senyawa EA6a) adalah Asam 2-Hidroksiokfadekanoaf, Asam Oktadekanoat, Asam
Heksadekanoaf dan Etyl Oleaf yang men~pakansenyawa dari golongan asam lemak, Vanilin dan Phenol,2-methoxy-4-(I-propenyl)yang merupakan senyawa dari golongan phenol. Ekstrak dari daun Excoecaria agallocha (blind-your-eye Mangrove) yang kandungan utamanya adalah asam lemak, seperti asam laurat, asam tridekanoat, asam miristat, asam pentadekanoat, asam palmitat, asam heptadekanoat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat, asam nondekanoat, asam linolenat, asam arakidat, asam heneicosanoat dan asam behenat mempunyai aktivitas terhadap beberapa jenis cendawan Candida, seperti C. albicans, Candida crusei, Candida
tropicalis, Candida parapsilosis dan beberapa jenis bakteri, seperti Bacillus
subtilis, Bacilltrs pumilus,
Micrococcus luteus, Staphylococcus aureus,
Pseudonzonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae
dan Escherichia coli
(Agoromoorthy et al. 2007). Selain itu, ekstrak dari akar Pelargonium renijorme dan Pelargonium sidoides (family Geraniaceae) menunjukkan menghambat
pertumbuhan
Mycobacterium
aktivitas
(Mycobacterium
aurum,
Mycobacterium smegmatis, Mycobacterium fortutirrm, Mycobacterizrm abscesstrr dan Mycobacterium phlei) dengan komponen utamanya asam lemak seperti asam palmitat, asam oleat, dan asam linoleat (Bist et al. 2006). Menurut Deak (2008), vanilin dapat menghambat pertumbuhan mikroba, yang pada konsentrasi 0,2 % dapat menghambat pertumbuhan khamir (yeasts), seperti Saccharomyces cerevisiae, Zygosaccharomyces bailii, Zygosaccharomyces
rouxii dan Debalyomyces hansenii. Selain itu, sifat umum dari senyawa phenol sederhana adalah sebagai bakterisida, antiseptik dan anthelmentika dan senyawa phenol itu sendiri digunakan sebagai baku untuk agen antimikroba (Pengelly 1999). Dari beberapa ekstrak tanaman lain yang mempunyai aktivitas anti mikroba dengan kandungan utamanya asam lemak maupun phenol, maka diduga senyawa asam lemak dan phenol yang terkandung dalam ekstrak kayu pelanjau
(P. motleyi H0ok.f) juga efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans. Adanya senyawa Asam 2-Hidroksioktadekanoat, Asam Oktadekanoat, Asam Hekradekanoat dan Etyl Oleat yang merupakan senyawa dari golongan asam lemak diduga menyebabkan lingkungan dalam sistem membran cendawan menjadi lebih asam. Menurut Sayuti et al. (2006), keadaan asam pada sistem membran menyebabkan pertumbuhan cendawan menjadi terhambat. Selain itu adanya penggunaan senyawa phenol sebagai baku antirnikroba, maka diduga senyawa Vanilin dan Phenol,2-methoxy-4-(I-propenyl)yang merupakan senyawa dari golongan phenol berperan besar dalam menghambat pertumbuhan cendawvan
C. albicans. Penentuan Senyawa Fraksi EA6c Hasil spektmm Proton dan Karbon N M R pada M s i EA6c hanya menunjukkan
satu
puncak
pergeseran
sehingga hasilnya tidak
dapat
diinterpretasikan (Lampiran 3 dan 4). Hasil interpretasi spektrum GC MS menggunakan NIST Library Wiley 7n.l menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam fraksi EA6c bukan senyawa tunggal melainkan terdiri dari beberapa senyawa yang didominasi oleh senyawa phenol, yang secara lengkap disajikan pada Tabel 5. Adapun spektrum GC MS -nya disajikan pada Lampiran 6. Tabel 5. Beberapa senyawa phenol yang terdapat dalam fraksi EA6c hasil identifikasi GC MS Berat Waktu Struktur Molekul No Nama Senyawa Molekul Retensi
4
Phenol, 4-(1,l dimetylpropyl)
164
5,07 5,74
Nonylphenol isomer
220
5,32
Nonyl-phenol mix isomer
220
5,47
5,79
---Iy4J-,/'"""'
/
2-0d
:
Kelompok senyawa phenol dan poliphenol dengan sifat anti cendawan yang ditemukan di dalam tanaman obat, antara lain phenol sederhana, asam phenol, quinon, flavonoid, flavon, flavonol, tanin dan caumarin (Sthayeh et al. 2003; Abad et al. 2007). Beberapa tumbuhan, seperti Baseonema acuminatum P.Choux, Lycium chinense Miller, Pulicaria odora L, Croton hutchinsonianus Hossens dan Pinus pinaster yang mengandung senyawa phenolik sederhana dan asam phenol, mempunyai aktivitas dalam menghambat pertumbuhan cendawan C.
albicans (Abad et al. 2007).
Dengan adanya aktivitas anti cendawan dari beberapa tanaman lain yang mengandung senyawa phenol dan penggunaan phenol sebagai baku antimikroba maka diduga senyawa phenol yang terdapat di dalam ekstrak kayu pelanjau (P. motleyi Hook.0 juga efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans.
Diketahuinya senyawa phenol lain berupa Vanilin,Phenol,2-methoxy-4-(1propenyl), Phenol,C(I,I dimetylpropyl), Nonylphenol isomer, Pheno1,4-(1,1,2,2tetrametylbutyl), Nonyl-phenol mix isomer dan 4-Nonylphenol menambah daftar
senyawa phenol yang terkandung dalam kayu pelanjau yang selama ini mungkin belum teridentifikasi. Untuk kayu pelanjau (P. motleyi Hook.9 sudah teridentifikasi satu senyawa, yaitu Asam
2-Heptadecyl-6-hidroksibenzoat
(C24H3603) dengan berat molekul 372,266 yang struktur molekulnya tersaji pada Gambar 7 (Anonim 2006).
Gambar 7. Struktur Molekul Senyawa Asarn 2-Heptadecyl-6-hidroksibenzoat (C24H3603) Menurut Wiart (2006), famili Anacardiaceae yang terdiri dari 60 genus dan 600 spesies diketahui menghasilkan tanin dan senyawa phenol, seperti kayu Anacardium melano~hoeadan Gluta rhengas L. dengan komponen bioaktifhya
adalah senyawa phenol urushiol, cardol dan asam anacardic. Adapun struktur molekulnya tersaji pada Gambar 8.
Gambar 8. Struktur molekul senyawa urushiol (I), cardol (2) dan asarn anacardic (3) Teridentifikasinya senyawa phenol dalam kayu pelanjau yang merupakan famili Anacardiaceae menunjukkan bahwa famili Anacardiaceae merupakan penghasil senyawa phenol dan diduga sebagai komponen bioaktif dalarn menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulaa Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa 1. kayu pelanjau (P. inotleyi Ho0k.f) mengandung 7,04% ekstrak etanol yang terdiri dari 0,28% fraksi n-heksan, 1,28% fraksi dietil eter, 1,19% fraksi etil asetat dan 4,29% fraksi residu; 2. aktivitas anti cendawan ekstrak kayu pelanjau terhadap T mentagrophytes menunjukkan bahwa fraksi residu merupakan fraksi teraktif dengan zona hambat, MIC dan MFC- nya, yaitu 2,2 - 5,3 rnm (1,95 dan 3,91 mg/ml), diikuti oleh fraksi dietil eter 2,23 - 4,73 mm (3,91 dan 7,81 mg/ml) dan fraksi etil asetat 2,21
- 3,47
mm (3,91 dan 7,81 mg/ml), sedangkan untuk fraksi n
heksan pada selumh tingkat konsentrasi yang diberikan tidak menunjukkan daya hambat. Selumh W s i ekstrak etanol kayu pelanjau tergolong memiliki efektivitas yang rendah dalam menghambat pertumbuhan cendawan K mentagrophytes dengan nilai MIC lebih besar dari 1,6 mg/ml;.
3. aktivitas anti cendawan ekstrak kayu pelanjau terhadap C. albicans menunjukkan bahwa fraksi etil asetat merupakan fraksi teraktif dengan zona hambat, MIC dan MFC nya yaitu 17,33 - 25,33 mm (0,03 dan 0,06 mg/ml), diikuti oleh fraksi residu 14,67 - 20,67 (0,06 dan 0,12 mg/ml), fraksi n heksan 6,00 - 15,33 mm (0,49 dan 0,98 mg/ml) dan fraksi dietil eter 6,67 - 14 mm (0,49 dan 0,98 mg/ml). Selumh fraksi ekstrak etanol kayu pelanjau tergolong memiliki efektivitas yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans dengan nilai MIC lebih kecil dari 0,5 mg/ml;
4. dari hasil pengujian aktivitas anti cendawan menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu pelanjau lebii efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan
C. albicans dibandingkan cendawan T. mentagrophytes. Fraksi yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan cendawan C. albicans adalah Wsi etil asetat dan fraksi etil asetat tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan obat;
5. hasil isolasi dan identifikasi fraksi teraktif etil asetat diperoleh senyawa EA6a
yang diduga komponen utamanya golongan asam lemak dan phenol berupa
Asam 2-Hidroksiokfadekanoat, Asam Oktadekanoai, Asam Heksadekanoat, Etyl Oleat, Vanilin dan Phenol, 2-methoxy-4-(I-propenyl) dan senyawa EA6c yang diduga komponen utamanya golongan phenol bentpa Phenol, 4-(I,]
dimetylpropyl), Nonylphenol
isomer, Phenol,4-(1,1,2,2-teirametylbutyl),
Nonyl-phenol mix isomer dan 4-Nonylphenol Saran Ada beberapa saran yang perlu dipertimbangkan untuk melengkapi hasil yang sudah diperoleh dari penelitian ini, diantaranya :
1. perlunya fraksinasi fraksi residu dengan pelamt yang berbeda mengingat tingginya nilai fraksi residu dan keaktifannya dalam menghambat petumbuhan cendawan T.mentagrop&tes 2. perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui komponen kimia dari fraksi
lain yang diperkirakan niemiliki senyawa bioaktif yang belum teridentifikasi dalam kayu pelanjau (P. motleyi H0ok.f) 3.
perlu dilakukan pengujian lanjutan untuk mengetahui hubungan senyawa
Asatn 2-Hidroksioktadekanoat, Asam Oktadekanoat, Asam Heksadekanoat, Etyl
Oleat,
Vanilin, Phenol,2-methoxy-4-(I-propenyg, Phenol,4-(1,I
dimetylpropyg, Nonylphenol
isomer, Phenol,#-(1,1,2,2-tetrametylbutyl),
Nonyl-phenol mix isomer dan 4-Nonylphenol dengan aktivitas biologiknya pada cendawan. Apakah senyawa tersebut berkeja sendii atau bersinergi dengan senyawa lain?
DAFTAR PUSTAKA
Abad MJ, Ansuategui M, dan Bermejo P. 2007. Active Antifungal Substances from Natural Sources. Arkivoc 2007 (vii) 116-145 Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Agoromoorthy G, Chandrasekaran M, Venkatesalu V dan Hsu MJ. 2007. Antibaterial and Antifungal Activities of Fatty Acid Methyl Ester of the Blind-Your-Eye Mangrove from India. Brazillian Journal of Microbiology (2007) 38:739-742. Al Doory Y. 1980. Laboratory Medical Mycology. Philadelphia : Lea & Febiger. Al Hasan M, Fitzgerald SM, Saoudian M dan Krishnaswarny. 2004. Dermatology for the Practicing Alergist : Tinea Pedis and its complications. BioMed Central :Clinical and Molecular Allergy. Anonim. 1976. Vademikum Kehutanan Indonesia. Jakarta : Departemen Pertanian Direktorat Jendral Kehutanan Anonim. 2006. Dictionary of Natural Product on CD Rom Version 14:2. Chapman and HallICRC Anonim. 2008. Pentaspadon tnot1eyiHook.f. http://www.nationaalherbarium.nl/ Suneaiwvain/Anacardiaceae/Pentas~adonmotleyi.htm 19 April 20031 Baeza J dan Freer J. 2001. Chemical Characterization of Wood and Its Components. Dalam Wood and Cellulosic Chemistry, Second Edition, Revised and Expanded. Edited by David N.S. Hon dan Nobko Shiraishi. Madison Avenue :Marcel Dekker Inc Bist D, Owais M dan Venkatesan K. 2006. Potential of Plant-Derived Product in the Treatment of Mycobacterial Infections. Dalam Modem Phytomedicine. Edited by Iqbal Ahmad, Farmkh Aqil dan Mohammad Owais. Germany : Wiley-VCH Chuang PH, Lee CW, Chou N,Murugan M, Shieh BJ dan Chen HM. 2007. Antifungal Activity of Crude Extracts and Essenstial oil of Moringan oleifera Lam. Bioresource Technology 98(2007) 232-236 Deak T. 2008. Handbook of Spoilage Yeasts. Boca Raton : CRC Press
Fengel D. dan Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Hardjono S., Penerjemah, Soenardi P, Penyunting. Wood : Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Filho M. 2006. Bioactive Phytocompounds : New Approaches in the Phytosciences. Dalam Modem Phytomedicine. Edited by Iqbal Ahmad, Farrukh Aqil dan Mohammad Owais. Germany : Wiley-VCH Gandjar I, Samson RA, Van den Tweel-Vermeulen K, Oetari A dan Santoso I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modem Menganalisis Tumbuhan (Terbitan Kedua). Bandung : Penerbit ITB Haughton PJ dan Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. London : Chapman &Hall Heyne K. 1987. Turnbuhan Berguna Indonesia Jilid 11. Jakarta : Badan Litbang Kehutanan. Hillis WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin :Springer-Verlag. Koseiac I, Pepeljnjak S dan Kustrak D. 2005. Antifungal Activity of Fluid Extract and Essensial Oil from Anise Fruit (Pimpinella anistrm L., Apiaceae). Acta Pharm.55 (2005) 377:385 Larone DH. 1976. Medically Important Fungi a Guide to Identification. New York :Harper and Row Publisher. Latta PG, Abraham A, Suja SR dan Rajasekharan S. 2003. Current State and Future Directions in Plant-Derived Antimycotics. Dalam Plant-Derived Antimycotics Current trends and Future Prospect. Edited by Mahendra Rai dan Donatella Mares. New York : Food Product Press Lenny S. 2006. Senyawa Flavanoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Medan : Fakultas MIPA Universitas Sumantra Utara. Markham KR. 1988. Cam Mengidentifikasi Flavanoid. Penerjemah Padmawinata. Bandung : Penerbit ITB Miller RB. 1999. Structure of Wood. Dalam Wood Handbook-Wood as an Engineering Material. Wisconsin :Forest Products Laboratory. Pengelly A. 1999. The Constituents of Medicinal Plants an Introduction to the Chemistry and Therapeutics of Herbal Medicine. England : Sunflower Herbal
Pereira H, Graca J dan Rodrigues JC. 2003. Wood Chemistry in Relation to Quality. Dalam Wood Quality and Its Biological Basis. Edited by John R. Barnet dan George Jeronimidis. Boca Raton : CRC Press Phongpaichit S, Pujenjob N, Rukachaisirikul V dan Ongsakul M. 2004. Antifungal Activity from Leaf Extracts of Cassia alata L., Cassiafisttrla L. and Cassia tora L. Songklanakarin J. Sci. Technol., 26(5) : 741-748 Reezal, Somchit MN dan Abdul Rahim M. 2002. In Vitro Antifungal Properties of Cassia Alata (Gelanggang Besar). Proceeding of the Symposium on Environment and Natural Resources Malaysia. Vol 1 : 654-659 Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi Edisi Keenam. Bandung : Penerbit ITB Rowe JW dan Comer AH. 1979. Extractives In Eastern Hardwoods-A Review. Wisconsin : Forest Products Laboratory. Rowell RM, Pettersen R,Han JS, Rowel1 JS dan Tsabalala MA. 2005. Cell Wall Chemistry. Dalam Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. Edited by Roger M. Rowell. Boca Raton : CRC Press S a F t i I, Martina A dan Sukma GE. 2006. Kepekaan Jamur Trichophyfon Terhadap Obat Salep Krim dan Obat Tingtur. Jumal Biogenesis Vol. 2(2):51-54,2006 Silva GL, Lee IK dan Kinghom AD. 1998. Special Problems with the Extraction of Plants. Dalam Natural products Isolation. Edited by Richard J P Cannell. New Jersey: Humana Press lnc Sthayeh MSA, Zayed RAG dan Jamous RMF. 2003. Palestinian Plant as a Source of Antimycotics. Dalam Plant-Derived Antimycotics Current trends and Future Prospect. Edited by Mahendra Rai dan Donatella Mares. New York : Food Product Press Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu, Dasar-dasar Penggunaan. Edisi 2. Penerjemah H. Sastrohamidjojo. Penyunting S. Prawirohatmodjo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Simpanya MF. 2000. Dermatophytes: Their Taxonomy, Ecology and Pathogenicity. Dalam Biology of Dermatophytes and other Keratinophilic Fungi. Editors RKS Kushwaha dan J Guarro. Bilbao : Revista Iberoamericana de Micologfa.
Songer JG dan Post KW. 2005. Veterinary Microbiology : Bacterial and Fungal of Animal Disease. Missouri :Elsevier Saunders. Sundari D dan Winamo MW. 2001. Snformasi Tumbuhan Obat Sebagai Anti Jamur. Cermin Dunia Kedokteran No. 130,2001 Suprihatin SD. 1982. Candida dan Candidiasis pada Manusia. Jakarta : US Press Tsuzuki JK, Svidzinski TIE, Shinobu CS, Silva LFA, Filho ER, Cortez DAG dan Ferreira SCP. 2007. Antifungal Activity of the Extracts and Saponin from Sapindus saponaria L. Anais da Academia Brasileira de Ciencias (2007) 79(44): 577-583 Vickery ML dan Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. London : The Macmillan Press Ltd. Volk WA dan Wheeler MF. 1984. Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima. Terjemahan Markham. Editor Adisoemarto S. Bandung :Erlangga Walker JCF. 2006. Primary Wood Processing Principles and Practice. London : Springer. Wiart C. 2006. Medicinal plants of Asia and the Pacific. Boca Raton : CRC Press Wilbraham AC dan Malta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik. Penerjemah Suminar Achmadi. Penyunting Sofia dan Nik Solihin. Bandung : ITB Zacchiio SA, Yunes RA, Filho VC, Enriz RD, K o u e t s o v V clan Ribas JC. 2003. The Need for New Antifungal Drugs:Screening for Antifungal Compounds with a Selective Mode of Action with Em~hasison the Inhibitors of the Fungal Cell Wall. Dalam Plant-Derived ~Atim~cotics Current trciid~~2 Future Pros~ect.Edited bv Mahendra Rai dan Donatella Mares. New York : ~ o o ~roduct d Press
LAMPIRAN
z:
..
Dnun'
-b .i -,.
...
................................................. .,,. .; $::,&,: ast 1 ;; . n i;! : v ~ g.r t ~ :::.",. :.,!.!;:;;.". :::g.Fi: . ............. ;.:::'[;..ei~E . 'ii . ..... 4 .,
~~~
~
Z.Eb:;:
j
0
2 3 , : :
:I::.z
P 31%3!X$:R[
-+
wb,e,
j~;Fft.~ 2 :a:.
:;*4 *;a&rnL 5:2tt:
r:;::al,r
;
m
,
3 s
ttt
,
;..;.
"
:..: ""I
......... ..". ":.; ti ,". ................................................ EO
# =
""
"
'12
?..Z..S
a
"
1
- "..
i
W