0831: Boy M. Bachtiar & Endang W. Bachtiar
KO-232
SELEKSI APTAMER-ANTI CANDIDA ALBICANS UNTUK MENGHAMBAT PEMBENTUKAN BIOFILM Boy M. Bachtiar dan Endang W. Bachtiar Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Aptamer adalah oligonukleotida pita tunggal (ssDNA/RNA) artifisial yang dapat dimanfaatkan sebagai capture molecule untuk berbagai aplikasi klinis.. Struktur 3 dimensinya yang unik menyebabkan binding affinity aptamer lebih stabil dibandingan dengan antibodi. Demikian pula, metoda produksi aptamer lebih praktis, karena hanya menggunakan teknik in vitro. Penelitian ini difokuskan pada pengembangan dan penguasaan teknologi aptamer untuk menghambat pembentukan biofilm. Sebagai model target binding aptamer digunakan Candida albicans, flora normal pada saluran pencernaan, termasuk rongga mulut. Biofilm C. albicans dapat ditemukan pada permukaan biotik maupun abiotik, seperti protesa, material implant, dll. Dan penyakit infeksi yang dipicu oleh biofilm C. albicans lebih sering ditemukan pada individu imunokompromis. Karena belum terdapat metoda efektif untuk mengatasi infeksi oleh biofilm C. albicans, maka diperlukan suatu pendekatan alternatif untuk menghambat pembentukan biofilm C. albicans. Tujuan penelitian adalah, mendapatkan aptamer anti-C. albicans dan menganalisis potensinya untuk menghambat biofilm, in vitro. Metoda “SELEX” digunakan untuk mendapatkan aptamer anti-C. albicans, disebut Caaptamer. Selanjutnya, potensi Ca-aptamer dalam menghambat pembentukan biofilm C. albicans, dievaluasi menggunakan metoda MTT assay. Hasil: Proses SELEX dilakukan sampai siklus ke-11 dan dilanjutkan dengan prosedur kloning dan sekuensing. Berdasarkan uji binding efisiensi, menggunakan real time (RT) PCR, ditetapkan sebanyak 9 grup Ca-aptamer dengan random sequences oligonukleotida yang variatif. Analisis statistik terhadap data uji biofilm (MTT assay) menunjukkan, selama periode awal pembentukan biofilm (24 jam), 9 Ca-aptamer yang diuji dapat menghambat viabilitas C. albicans. Namun, pada tahap maturasi biofilm (48 jam), hanya 2 Ca-aptamer yang dapat menghambat viabilitas C. albicans. Kesimpulan dan saran: Aptamer yang dihasilkan dari penelitian ini berpotensi sebagai antibiofilm C. albicans. Namun demikian, masih diperlukan kajian lebih rinci mengenai molekul permukaan sel C. albicans yang menentukan spesifisitas binding Ca-aptamer. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pengembangan teknologi aptamer di Indonesia sebagai metoda alternatif dalam pencegahan infeksi oleh biofilm multispesies. Kata kunci: Aptamer, SELEX, C. albicans, Biofilm
I.
PENDAHULUAN
Aptamer adalah oligonukleotida pita tunggal (ssDNA atau RNA), yang disintesis melalui proses seleksi, disebut systematic evolution of ligands by exponential enrichment (SELEX), dari sekumpulan oligonukleotida dengan sekuen acak (random combinatorial libraries). Karena struktur 3-dimensinya yang unik, maka aptamer dapat membentuk ikatan dengan berbagai target dengan afinitas yang sebanding dengan antibodi (1). Konsep SELEX pertama kali diperkenalkan oleh Turek and Gold (2). Sejak saat itu teknik SELEX mulai diaplikasikan untuk mensintesis berbagai aptamer dengan binding specificity yang unik terhadap beragam molekul target, seperti protein, sel kanker, Virus, dan bakteri (3). Karena spesifisitas dan afinitasnya untuk berikatan dengan target sebanding dengan antibodi, maka aptamer layak untuk dimanfaatkan sebagai capture molecule (2). Candida albicans adalah spesies jamur flora normal pada saluran pencernaan, termasuk rongga mulut. Sebagai jamur oportunis, C. albicans merupakan spesies utama penyebab kandidiasis. Dan kandidiasis, baik yang terjadi secara lokal
maupun sistemik, lebih sering ditemukan pada individu imunokompromis (4). Selain itu, determinan yang mengindikasikan sifat patogen C. albicans adalah potensinya untuk membentuk biofilm (5). Dari kepustakaan dapat diketahui, biofilm C. albicans bersifat resisten terhadap anti-jamur yang telah dikenal saat ini, seperti flukonasol (6), dan belum terdapat metoda efektif untuk mencegahnya. Dengan demikian, diperlukan suatu pendekatan alternatif untuk menghambat pembentukan dan pertumbuhan biofilm C. albicans. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan aptamer yang dapat berikatan secara spesifik dengan whole cell C. albicans, dengan menggunakan metoda SELEX. Selanjutnya, potensi aptamer dalam menghambat viabilitas biofilm C. albicans dievaluasi melalui uji biofilm in vitro. Dalam penelitian ini, RNA dipilih sebagai aptamer karena struktur hairpin RNA yang unik dan binding capacity yang lebih baik dibandingkan dengan ssDNA (3).
II.
METODOLOGI
Mikroorganisme dan medium kultur. Dalam penelitian ini, C. albicans (ATCC 10231) digunakan sebagai target aptamer.
0831: Boy M. Bachtiar & Endang W. Bachtiar Spesies jamur lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah C. albicans isolat klinik dan Sacharomyces cerevisiae (ATCC 9763). Masing-masing digunakan sebagai spesies pembanding pada uji reaksi silang aptamer dan counter selection species selama proses SELEX. Selain itu, Escherechia coli DH5α-T1R (invitrogen) digunakan sebagai bakteri propagator dalam proses kloning untuk mendapatkan sekuens aptamer yang spesifik berikatan dengan target. Untuk digunakan dalam proses SELEX, maka C. albicans dan S. cereviseae, (dari glycerol stock dalam lemari pendingin/ 80oC), dikultur dalam 10 ml medium Yeast Pepton (YP) cair (Oxoid) dan diinkubasi dalam atmosfir aerobik, pada suhu 37o C, selama 24 jam. Untuk membiak E. coli digunakan medium cair Brain Heart Infusion (BHI) (Difco). Bakteri ini dibiak dalam suasana aerob sambil digoyang dengan menggunakan shaker (100 rpm), pada suhu 37o C, selama 16-18 jam. DNA Library. DNA pita tunggal (ssDNA/ 103-nt) dan primers yang digunakan untuk amplifikasi-PCR, disintesis dan dibeli dari Sigma Aldrich, Singapore. Oligonukleotida ini terdiri dari randomized region (40-nt) yang diapit oleh sekuens tetap (conseved sequence) yang juga merupakan primer regions. Sekuens ssDNA tersebut, sbb.: ‘5-AGT AAT ACG ACT CAC TAT AGG GAG TCG ACC GAC CAG AA-N40-TAT GTG CGT CTA CAT CTA GAC TCA T. N40 merepresentasikan random sequens dengan proporsi yang seimbang untuk setiap nukleotida (A, G, C, dan T). Primers dan program PCR. Sekuen primers yang digunakan untuk mengamplifikasi ssDNA dan aptamer pools yang diperoleh pada setiap siklus proses SELEX, adalah sbb.: Forward, AGT AAT ACG ACT CAC TAT AGG GAG TCG ACC GAC CAG AA dan Reverse, ATG AGT CTA GAT GTA GAC GCA CAT A. Kondisi PCR untuk mengamplifikasi ssDNA ini adalah sbb., PCR reaction buffer, MgCl2 (2 mM), Primer forward dan reverse (masing-masing, 0,4 µM), dNTPs (0,2 mM), Tag DNA Polimerase (1EU), DNA library (10 ng) (semua reagen PCR dibeli dari Invitrogen). Adapun program PCR (Applid Biosystems, Step One) yang digunakan, adalah sbb.: Denaturasi DNA pada suhu 94oC (5 menit), dilanjutkan dengan 25 siklus PCR dengan tahapan; denaturasi pada suhu 94oC (30 detik), annealing pada suhu 60o C (30 detik), dan ekstensi pada suhu 72oC (20 detik). Setelah siklus ke-25, proses PCR dilanjutkan dengan final extention step pada suhu 72oC selama 2 menit. Selanjutnya, produk PCR divisualisasi dengan menggunakan polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE), 75 %, dalam TE buffer (Bio-Rad). Setelah direndam dalam ethidium bromide (5 menit), hasil PCR divisualisasi dengan menggunakan gel document (GelDoc) system (Bio-Rad). Semua produk PCR dimurnikan dengan menggunakan kit purifikasi produk PCR (Qiagen Inc). Untuk mendapatkan sekuens RNA, maka terhadap produk PCR dilakukan proses transkripsi in vitro. Sekuens RNA ini digunakan sebagai oligonukleotida yang akan diinteraksikan dengan whole cell C. albicans selama proses SELEX. Seleksi aptamer. Setelah dibiak, C. albicans dan S. cereviseae dibilas dalam larutan binding buffer {(50 mM Tris-HCl (pH 7.4), 5
KO-233 mM KCl, 100 mM NaCl, 1 mM MgCl2)}, dengan cara disentrifugasi selama 5 menit (1000 rpm) pada suhu ruang. Untuk menentukan jumlah sel C. albicans atau S. cereviseae (106 sel ragi/ ml), yang akan digunakan dalam proses SELEX, maka jumlah sel pada pelet dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Selanjutnya, proses SELEX diawali dengan tahap binding antara aptamer dengan C. albicans selama 30 menit (Gb.1). Proses SELEX dihentikan apabila jumlah aptamer poll dengan binding capacity optimal (enriched aptamer) telah tercapai. Akhir proses SELEX ini didasarkan pada hasil evaluasi dengan menggunakan real time (RT)-PCR (Applied Biosystem Step one), dengan cara membandingkan binding capacity antara aptamer pool dan RNA library. Selanjutnya dilakukan tahapan kloning, menggunakan TOPO TA Cloning Kit for Sequencing (Invitrogen), sbb. Aptamer poll yang dihasilkan dari proses SELEX diinsersikan ke dalam plasmid (tersedia dalam paket kit), dan plasmid yang telah membawa aptamer pool ditransformasikan ke dalam sel E. coli. Bakteri ini selanjutnya ditumbuhkan pada LB agar yang mengandung kanamycin (50 μg/ml), di atas alat penggoyang (shaker). Setelah diinkubasi selama 18 jam pada suhu 37oC, dilakukan seleksi dan isolasi untuk mendapatkan koloni dari E. coli transforman. Setiap koloni ini kemudian dibiak kembali dalam medium LB cair untuk dilanjutkan dengan ekstraksi plasmid yang mengandung sekuens aptamer. Selanjutnya dilakukan sekuensing (oleh genetic science) untuk menetapkan sekuens dari setiap aptamer monoklonal yang dihasilkan pada tahap kloning. Akhirnya, untuk mengevaluasi spesifisitas setiap aptamer monoklonal (disebut Ca-aptamer) terhadap target (C. albicans), maka dilakukan uji binding capacity, menggunakan RT-PCR, dengan cara membandingkannya dengan RNA library. Uji biofilm. Pertumbuhan dan pembentukan biofilm dan uji viabilitas C. albicans dilakukan menurut metoda seperti dilaporkan oleh Krom dkk.,(7). Secara ringkas, C. albicans ditumbuhkan dalam medium cair YNB (suhu 30oC). Setelah 24 jam, koloni yang tumbuh dipanen dan kemudian dicuci (2X) dengan menggunakan larutan PBS steril. Selanjutnya, C. albicans (2 X 106 cells/ml) dicampur dengan Ca-aptamer pada berbagai konsentrasi (1 ng/µl,10 ng/µl, dan 100 ng/ µl), dan digoyang (120 rpm/menit). Setelah 30 menit, C. albicans dan Ca-aptamer dimasukkan ke dalam microtitre well, yang mengandung medium DMEM lengkap (Sigma) dan telah di pretreatment dengan 10% Fetal Bovine Serum/ FBS (Sigma Aldrid). Setelah diinkubasi pada suhu 30o C selama 90 menit (adhesion period), medium DMEM di buang, dan dilakukan pencucian (2 X) dengan PBS (pH 7.4) untuk membuang C. albicans yang tidak melekat pada dasar well (non-adherence cell). Pada tahap ini, sel kecambah (germ tube) C.albicans yang tumbuh pada dasar well diamati dengan mikroskop inverted (objektif 40 X). Selanjutnya, ke dalam well dituangkan medium kultur baru dan C. albicans diinkubasi pada suhu 30o C. Viabilitas C. albicans sebagai massa biofilm, dikwantifikasi pada setiap periode inkubasi (6 jam, 24 jam, dan 48 jam), sbb. Ke dalam setiap well yang mengandung biofilm C. albicans, dengan atau tanpa binding Ca-aptamer, di tuangkan MTT (300 mg/lt) dalam 150 µl PBS, dan diinkubasi pada suhu 30o C selama 3 jam. Nilai
KO-234 absorbansi (optical density/ OD) yang mengindikasikan aktifitas metabolisme C. albicans diukur pada panjang gelombang 490 nm dengan menggunakan microplate reader (BioRad). Nilai OD yang didapat sebanding dengan kwantitas sel C. albicans dalam biofilm (8). Uji biofilm dilakukan secara duplikasi dengan pengulangan (3 x) pada waktu yang berbeda. Untuk menganalisis aktifitas Caaptamer dalam menghambat viabilitas biofilm C. albicans, dilakukan dengan menggunakan formula, sbb.: (%) hambatan viabilitas = 100 × (C. albicans + aptamer/ C. albicans tanpa aptamer) (9). Selanjutnya, perbedaan di antara kelompok eksperimen dievaluasi dengan menggunakan metoda statistik analisis of variance (ANOVA).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini difokuskan pada penguasaan teknologi aptamer dengan menggunakan C. albicans sebagai model target. Dalam penelitian ini, akhir proses seleksi didasarkan pada pencapaian tahap enrichment, yaitu apabila proporsi aptamer anti-C. albicans meningkat secara signifikan (> 25 %) dibandingkan dengan jumlah RNA-library. Pencapaian tahapan ini didasarkan pada analisis RTPCR (data tidak diperlihatkan) dan diverifikasi dengan analisis menggunakan EMSA. Selanjutnya, setelah prosedur kloning dan sekuensing, diperoleh 9 grup Ca-aptamer. Seperti tampak pada Tabel 1, nukleotida pada region sekuen acak didominasi oleh G dan C dengan variasi antara 52-80%. Selain itu, panjang regio sekuen acak bervariasi antara 37 - 40 nukleotida, meskipun pada awal prosedur SELEX, DNA template memiliki 40 nukleotida pada rigio sekuen acak. Berkurangnya jumlah nukleotida ini disebabkan karena terjadi delesi nukleotida selama proses amplifikasi-PCR (10). Seleksi aptamer. Dalam penelitian ini, sekuens RNA-aptamer diperoleh melalui prosedur seleksi in vitro (SELEX) dari sekumpulan molekul RNA (RNA library), yang mengandung 40 mer random sequence nukleotida. Berdasarkan hasil evaluasi RTPCR, maka proses seleksi dihentikan setelah siklus ke-11 prosedur SELEX (Gb.1). Selanjutnya, spesifisitas RNA-aptamer pool terhadap C. albicans dikonfirmasi dengan menggunakan teknik electrophoretic mobility shift assay (EMSA) (Gb. 2), sebelum dilanjutkan dengan proses kloning dan sekuensing. Proses kloning menghasilkan 20 koloni E. coli transforman, namun dari hasil sekuensing diperoleh hanya16 aptamer monoklonal, disebut Caaptamer. Berdasarkan nukleotida identik pada random sequence, maka 16 Ca-aptamer tersebut dikelompokan menjadi 9 grup (Tabel 1). Grup 1 dan 2, masing-masing terdiri dari 3 dan 2 Ca-aptamer yang berbeda pada satu nukleotida (>95% identik). Grup 3 terdiri dari Ca-aptamer dengan random sequence yang identik (100% identik). Grup 4 - 9, masing-masing terdiri dari 1 Ca-aptamer. Selanjutnya, evaluasi RT-PCR mengindikasikan, 16 Caaptamer tersebut dapat mengikat C. albicans namun dengan kapasitas binding yang berbeda. Dua Ca-aptamer (1a dan 1b) menunjukkan binding efficiency tertinggi (Gb. 3). RNA library digunakan sebagai kontrol negatif ketika menganalisis kapasitas binding Ca-aptamer terhadap C. albicans.
0831: Boy M. Bachtiar & Endang W. Bachtiar Selanjutnya, spesifisitas Ca-aptamer terhadap C. albicans dianalisis dengan uji reaksi silang menggunakan C. albicans isolat oral sebagai target. Reaksi silang Ca-aptamer dievaluasi dengan menggunaka metoda Aptamer-Linked Immobilized Sorbent Assay (ALISA). Demikian pula, metode ELISA digunakan untuk membandingkan spesifisitas Ca-aptamer dengan mAb anti-C. albicans. Hasil ALISA dan ELISA menunjukan, Ca-aptamer lebih sensitif untuk mendeteksi C. albicans (ATCC 10231) dibandingkan dengan mAb. Namun, ketika menggunakan C. albicans isolate oral, Ca-aptamer dan mAb memperlihatkan sensitifitas yang setara (Gb. 4). Uji potensi anti-biofilm. Potensi Ca-aptamer sebagai antibiofilm C.albicans ditetapkan berdasarkan hasil uji biofilm menggunakan MTT assay, pada dasar polystyrene plate. Evaluasi daya hambat Ca-aptamer dilakukan pada periode 6 jam, 24 jam, dan 48 jam pembentukan biofilm C. albicans. Hasil analisis menunjukkan, selama 6 jam periode eksperimen (perlekatan/ adherence), potensi 9 Ca-aptamer (100 ng/ µl) untuk menghambat viabilitas biofilm C. albicans tidak berbeda bermakna. Akan tetapi, setelah 24 jam masa inkubasi, viabilitas C. albicans yang telah dicampur dengan Ca-aptamer (100 ng/ µl) menjadi tidak terdeteksi (Data tidak disampaikan). Hasil ini mengindikasikan, bahwa interaksi Ca-aptamer dengan C. albicans dapat menghambat petumbuhan C.albicans selama periode awal pembentukan biofilm. Pada akhir periode eksperimen (48 jam), terdapat 7 Ca-aptamer (1ng/µl, 10 ng/µl, dan 100 ng/µl) yang dapat menghambat viabilitas C. albicans. Akan tetapi, seperti tampak pada Gb. 5, terdapat hanya 2 aptamer (Ca-aptamer 1a dan -2a) yang secara statistik memiliki potensi signifikan sebagai anti- biofilm C. albicans. Struktur sekunder kedua aptamer ini diperlihatkan pada Gb.6. Diasumsikan terdapat perbedaan struktur 3 dimensi di antara Ca-aptamer yang terkait dengan potensi anti-biofim. Diperlukan penelitian lanjut untuk menjelaskan kemungkinan ini. Pada penelitian ini, prosedur SELEX digunakan untuk menyeleksi dan mendapatkan Ca-aptamer. Untuk meningkatkan efisiensi prosedur SELEX, maka frekuensi pencucian dengan menggunakan binding buffer dan ratio RNA terhadap target merupakan prosedur kerja yang penting diperhatikan. Dalam penelitian ini, konsentrasi RNA berbanding target serta frekuensi pencucian selama proses seleksi merujuk pada prosedur SELEX yang dianjurkan oleh Stanlis (11). Selain itu, untuk memisahkan binding dari non-binding-aptame digunakan spin column. Penggunaan spin column dapat mempersingkat pencapaian tahap enrichment selama proses SELEX (12), yang dalam penelitian ini dicapai pada siklus ke-11. Penelitian lain oleh Mallikaratchy (13), yang menggunakan protein sebagai target aptamer, memakai magnetic beads dalam prosedur SELEX, dan menghasilkan aptamer dengan jumlah random sequence yang lebih beragam. Berbeda dengan hasil penelitian Mallikaratchy tersebut, jumlah Caaptamer yang didapat pada penelitian ini memiliki keragaman random sequence yang lebih terbatas. Keterbatasan tersebut mungkin disebabkan oleh penggunaan spin column. Terkait dengan penggunaan spin column ini, sebagian aptamer yang juga mempunyai kapasitas untuk berikatan dengan target, menjadi ikut
0831: Boy M. Bachtiar & Endang W. Bachtiar terlepas pada saat pencucian yang dilakukan dalam tahap separasi, antara binding dari non-binding aptamer, selama proses SELEX (14). Ditemukan hanya 9 grup Ca-aptamer dalam penelitian ini memperkuat kemungkinan tersebut. Protein dan sel bakteri sering dilaporkan sebagai target aptamer (1, 15), namun sintesis aptamer sebagai ligant sel ragi atau blastospora C. albicans belum pernah dilaporkan. Demikian pula, pemanfaatan teknologi aptamer untuk menghambat pembentukan biofilm C. albicans belum ditemukan di dalam literatur. Uji hambatan pembentukan biofilm yang dilakukan dalam penelitian ini menjelaskan, bahwa Ca-aptamer tidak menghambat perlekatan dan pembentukan kecambah (germ tube) C.albicans pada dasar polystyrene plate. Akan tetapi, seluruh Ca-aptamer yang diuji berpotensi untuk menghambat pertumbuhan C. albicans dalam periode awal pembentukan biofilm (24 jam). Namun demikian, pada tahap maturasi biofilm (48 jam) hanya 2 Ca-aptamer yang secara signifikan dapat menghambat viabilitas C. albicans. Hasil uji biofilm dengan menggunakan MTT assay ini mengindikasikan, terdapat 2 sekuen RNA-aptamer dengan random sequence yang berbeda, yang dapat meghambat viabilitas biofilm C. albicans. Dengan demikian, aptamer yang disintesis melalui penelitian ini, berpotensi untuk digunakan sebagai molekul alternatif yang secara in vivo dapat menghambat perubahan sifat C. albicans, dari komensal menjadi patogen. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk menetapkan hipotesis ini.
IV.
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, prosedur SELEX yang dilanjutkan dengan tahapan kloning, dan sekuensing, dilakukan untuk mendapatkan aptamer dengan sekuen RNA yang dapat berikatan secara spesifik dan afinitas tinggi dengan C. albicans. Namun demikian, karena target aptamer dalam penelitian ini adalah C. albicans whole cell, maka Ca-aptamer yang diperoleh adalah aptamer yang diseleksi terhadap multipel protein pada permukaan sel C. albicans, seperti divisualisasikan melalui pewarnaan commassie blue pada uji EMSA. Seperti diharapkan, interaksi aptamer dengan whole cell C. albicans secara signifikan dapat mereduksi viabilitas biofilm C. albicans, in vitro. Ke depan, hasil penelitian ini dapat dikembangkan untuk mendapatkan metoda alternatif dalam mengatasi masalah infeksi yang dipicu oleh biofilm C. albicans, termasuk mengatasi masalah resistensi jamur ini terhadap obat fungisida yang tersedia saat ini. Akhirnya, data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat mendukung pengembangan teknologi aptamer dan aplikasinya dalam bidang kedokteran dan farmasi.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Maysaroh dan Desi sebagai teknisi laboratorium dalam melakukan penelitian ini. Boy M Bachtiar mendapat dukungan dana penelitian dari Riset Insentif Sistem Nasional (RISNAS)- 2012/ RD-2012-831
DAFTAR PUSTAKA [1]. Aquino-Jarquin G, Toscano-Garibay JD. RNA aptamer evolution: two decades of Selecction. International journal of molecular sciences. 2011;12(12):9155-71. Epub 2012/01/25.
KO-235 [2]. Mairal J, Elad M, Sapiro G. Sparse representation for color image restoration. IEEE Trans Image Process. 2008;17(1):53-69. [3]. Chen HW, Medley CD, Sefah K, Shangguan D, Tang Z, Meng L, et al. Molecular recognition of small-cell lung cancer cells using aptamers. ChemMedChem. 2008;3(6):9911001. Epub 2008/03/14. [4]. Junqueira JC, Fuchs BB, Muhammed M, Coleman JJ, Suleiman JM, Vilela SF, et al. Oral Candida albicans isolates from HIV-positive individuals have similar in vitro biofilmforming ability and pathogenicity as invasive Candida isolates. BMC microbiology. 2011;11:247. Epub 2011/11/08. [5]. Naglik JR, Fidel PL, Jr., Odds FC. Animal models of mucosal Candida infection. FEMS microbiology letters. 2008;283(2):129-39. Epub 2008/04/22. [6]. Li X, Lei L, Tan D, Jiang L, Zeng X, Dan H, et al. Oropharyngeal Candida colonization in human immunodeficiency virus infected patients. APMIS: acta pathologica, microbiologica, et immunologica Scandinavica. 2012. Epub 2012/10/04. [7]. Krom BP, J. B. Cohen, G. E. McElhaney Feser and R. L. Cihlar Optimized candidal biofilm microtiter assay. J Microbiol Methods:. 2007;68(2):421-3. [8]. Ahariz M, Courtois P. Candida albicans biofilm on titanium: effect of peroxidase precoating. Med Devices (Auckl). 2010;3:33-40. Epub 2010/01/01. [9]. Cochis A, Fracchia L, Martinotti MG, Rimondini L. Biosurfactants prevent in vitro Candida albicans biofilm formation on resins and silicon materials for prosthetic devices. Oral surgery, oral medicine, oral pathology and oral radiology. 2012;113(6):755-61. Epub 2012/06/07. [10].Jayasena SD. Aptamers: an emerging class of molecules that rival antibodies in diagnostics. Clinical chemistry. 1999;45(9):1628-50. Epub 1999/09/03. [11].Stanlis KK, McIntosh JR. Single-strand DNA aptamers as probes for protein localization in cells. The journal of histochemistry and cytochemistry: official journal of the Histochemistry Society. 2003;51(6):797-808. Epub 2003/05/20. [12].Cao X, Li S, Chen L, Ding H, Xu H, Huang Y, et al. Combining use of a panel of ssDNA aptamers in the detection of Staphylococcus aureus. Nucleic Acids Res. 2009;37(14):4621-8. Epub 2009/06/06. [13].Mallikaratchy P, Stahelin RV, Cao Z, Cho W, Tan W. Selection of DNA ligands for protein kinase C-delta. Chem Commun (Camb). 2006(30):3229-31. Epub 2006/10/10. [14].Ye M, Hu J, Peng M, Liu J, Liu H, Zhao X, et al. Generating Aptamers by Cell-SELEX for Applications in Molecular Medicine. International journal of molecular sciences. 2012;13(3):3341-53. Epub 2012/04/11. [15].Gao H, Qian J, Yang Z, Pang Z, Xi Z, Cao S, et al. Whole-cell SELEX aptamer-functionalised poly(ethyleneglycol)poly(epsilon-caprolactone) nanoparticles for enhanced targeted glioblastoma therapy. Biomaterials. 2012;33(26):6264-72. Epub 2012/06/12.
0831: Boy M. Bachtiar & Endang W. Bachtiar
KO-236
Tabel 1. Random sequence Ca-aptamer Aptamer monoklonal
Random sequence (37-40 nt)
Grup
Klon 1a: Klon 1b: Klon 1c: Klon 1d:
CGAAAGACCAACGCAGCCAAACTGAAGCCCCAGTCGCCCC CGAAAGACCAACGCAGCCAAACCGAAGCCCCAGTCGCCCCG CGAAAGACCAACGCAGCCAAACCGAAGCCCCAGTCGCCCCG CGAAAGACCGACGCAGCCAAACTGAAGCCCCAGTCGCCCCG
Klon 2a: Klon 2b:
AGCCCTCAACCCAGACACCCCCAACCTTCCTCGCCCCCCC CGCCCTCAACCCAGACACCCCCAACCTTCCTCGCCCCCCC
Klon 3a: Klon 3b: Klon 3c: Klon 3d:
CGGGGCGACTGGGGCTTCAGTTTGGCTGCGTTGGTCTTTCG CGGGGCGACTGGGGCTTCAGTTTGGCTGCGTTGGTCTTTCG 3 CGGGGCGACTGGGGCTTCAGTTTGGCTGCGTTGGTCTTTCG CGGGGCGACTGGGGCTTCAGTTTGGCTGCGTTGGTCTTTCG
Klon 11.3: Klon 11.5: Klon 11.A2: Klon 11.A3: Klon 11.A5: Klon 11.A6:
CGCCAAGCAGCCAAAGCAATCAACAAACCACAGCCGGCCC CACCGCCCCGAGGTAGATTTGGGCACCTTGTTTGTGGC ACAAACCAACGCAACAAAAACCAGGACAGACAGTCGCACC GCACACAAAAACCGAAAACACCAAAACAGCGGACGGGCCG CGGGGGGCTGGGCCGGTCTCGTCTTTTCCTGGGGTTTGGC AACCAACAAGGGAAGACAGAAGAAGACAACAAGCGGCCGC
1
2
4 5 6 7 8 9
Prosedur SELEX, kloning dan sekuensing menghasilkan 9 grup Ca-aptamer, yang didasarkan pada random sequences yang identik. Highlight (warna abu-abu) dalam grup 1 dan 2 menunjukkan perbedaan nukleotida di dalam grup. Huruf bold mengindikasikan Caaptamer yang dipilih dalam uji biofilm.
0831: Boy M. Bachtiar & Endang W. Bachtiar
KO-237