1
SIFAT ANTIMIKROBA ZAT EKSTRAKTIF POHON FALOAK (Sterculia comosa Wallich)
FABIANUS RANTA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Antimikroba Zat Ekstraktif Pohon Faloak (Sterculia comosa Wallich) belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2011
Fabianus Ranta NRP E251090011
3
ABSTRACT
Fabianus Ranta. Antimicrobial Activity of Extractive of Faloak (Sterculia comosa Wallich). Guided by WASRIN SYAFII, EKO SUGENG PRIBADI, and DEDED SARIP NAWAWI. Faloak (Sterculia comosa Wallich) is a specific species of dry land that has potential as antimicrobial. This study aims to determine the toxicity of barks, leaves, and seeds extracts as an antimicrobial, and to identify its bioactive compound. The extracts were prepared by multi stage maceration method. Antimicrobial activity was tested by agar well diffusion method, and minimum inhibition concentration (MIC) and minimum fungicide concentration (MFC) by two-fold serial dilution method . Bioactive compound of active fraction were identified by Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LCMS), Fourier Transform Infrared (FTIR), and Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Results showed that the diethyl ether (DE) fraction of seeds is more effective in inhibiting of microbial growth, than the other fractions. Subfraction of DE2 has a higher potency in inhibiting the growth of bacteria. Whereas, DE 6 and DE7 subfraction has a higher potency in inhibiting the growth of Candida albicans. Based on the analysis by LCMS, FTIR and proton NMR, the DE7 sub fractions contain 3hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3), which is suggested as a mainly compound responsible for antimicrobial activity. These findings indicate that faloak have the potential to be antimicrobial. Key words: Extractive, Sterculia comosa, Antimicrobial.
4
RINGKASAN FABIANUS RANTA. Sifat Antimikroba Zat Ekstraktif Pohon Faloak (Sterculia comosa Wallich). Dibimbing oleh WASRIN SYAFII, EKO SUGENG PRIBADI, dan DEDED SARIP NAWAWI. Keanekaragaman spesies yang tinggi telah menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang menyandang “megabiodiversity”, yang di dalamnya terkandung sekurang-kurangnya 9600 spesies tumbuhan berkhasiat obat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia(FWI/GFW 2001 dan Setyowati 2008). Salah satu tumbuhan dimaksud yang berpotensi sebagai tumbuhan obat adalah Faloak (Sterculia comosa Wallich). Secara tradisional kulit faloak telah dimanfaatkan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, namun belum ada kajian ilmiah yang membuktikan faloak memiliki senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan sebagai obat khususnya sebagai antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk menguji sifat antimikroba zat ekstraktif yang terkandung dalam daun, biji, dan kulit pohon faloak, serta mengidentifikasi senyawa aktif zat ekstraktif faloak yang memiliki sifat antimikroba. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Tahapan dalam penelitian ini meliputi: persiapan bahan baku, ekstraksi dan fraksinasi bertingkat, pengujian aktifitas antimikroba, uji fitokimia, fraksinasi dan isolasi, uji MIC, dan identifikasi senyawa aktif. Bahan baku yang digunakan adalah kulit pohon, daun dan biji pohon faloak yang tumbuh di Kota Kupang dan sekitarnya. Kulit pohon, daun dan biji dibuat serbuk berukuran 40 – 60 mesh dan diekstraksi dengan aseton. Ekstrak aseton selanjutnya difraksinasi secara bertingkat, berturut-turut dengan n-heksan, dietil eter, dan etil asetat. Uji aktivitas antimikroba terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Streptococcus agalactiae, dan cendawan Candida albicans menggunakan metode difusi sumur agar. Fraksi teraktif diisolasi dengan eluen terbaik hasil dari Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan lempeng silika gel GF254, dengan beberapa jenis pelarut yang memiliki tingkat kepolaran berbeda. Kromatografi Kolom menggunakan silika gel 60 F254, dengan eluen Benzen dan Kloroform (4 : 1). Eluat dianalisis dengan KLT dan eluat yang serupa disatukan sebagai subfraksi, diuapkan dengan vakum rotavapor. Subfraksi yang diperoleh, selanjutnya digunakan untuk menguji nilai MIC dan MFC dengan menggunakan metode two-fold serial dilution. Identifikasi senyawa untuk fraksi terpilih hasil Kromatografi dilakukan dengan menggunakan spektrum inframerah (Fourier Transform Infrared,FTIR), Kromatografi cair spektroskopi masa (Liquid Chromatography Mass Spectroscopy, LCMS) dan resonansi magnetik inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, dan struktur senyawa. Pohon faloak mengandung zat ekstraktif 2,71 % dari bagian kulit, 4,35% dari bagian biji, dan 3,76 % dari bagian daun. Uji fitokimia terhadap ke tiga ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak aseton biji lebih banyak mengandung senyawa metabolit sekunder daripada daun dan kulit pohon faloak. Fraksi yang
5
paling aktif dan berspektrum umum yakni mampu menghambat semua mikroba uji dalam uji aktivitas antimikroba dari masing-masing fraksi adalah fraksi dietil eter biji, dengan zona hambat yang dibentuk terhadap bakteri S. typhi, E. coli, S. aureus, B. cereus, C. albicans, dan S. agalatiae berturut-turut 9,33 mm; 16,33 mm; 16,67 mm; 22,33 mm; 14,33 mm; 22;67 mm. Berdasarkan pengujian MIC, nilai MIC dari sub fraksi DE2 terhadap bakteri positif gram berkisar antara 0,0625 mg/mL terhadap S. agalatiae sampai dengan 0,5 mg/mL terhadap B. cereus, dan ≥ 1 mg/mL terhadap bakteri negatif gram. Nilai MIC terhadap cendawan terdapat pada sub fraksi DE7 pada konsentrasi 0,5 mg/mL, dan nilai MFC pada konsentrasi 0,25 mg/mL . Bakteri negatif gram maupun positif gram lebih peka terhadap sub fraksi DE2, sedangkan C. albicans lebih sensitif terhadap sub fraksi DE 6 dan DE7. Meskipun sub fraksi DE6 memiliki nilai MIC (0,5) dan MFC (0,25) yang sama dengan subfraksi DE7, dan sub fraksi DE2 lebih aktif terhadap bakteri, namun pada penelitian ini hanya sub fraksi DE 7 yang diuji lebih lanjut untuk identifikasi senyawa dengan FTIR, LCMS, dan NMR. Subfraksi DE 7 memiliki sifat anti cendawan aktivitas antibakteri yang tinggi. Hasil identifikasi dengan LC-MS, FT-IR, dan NMR, sub fraksi DE7 fraksi dietil eter biji mengandung senyawa utama berupa turunan asam lemak yang terhidroxylasi (hidroksi -OH). Senyawa tersebut adalah 3-hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3) dengan berat molekul 300. Senyawa ini telah diisolasi sebelumnya dari zat ekstraktif bunga Hypericum lysimachioides var. lysimachioides. Spesies ini adalah salah satu flora yang tumbuh di Turki yang banyak digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan luka, antigastritis, efek antiseptik, memiliki aktivitas anti depresi, anti kanker dan antimikroba. Selain itu, senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid juga merupakan bagian penting dari lipid mikroba. Senyawa ini telah digunakan secara luas sebagai salah satu senyawa penciri untuk membantu karakterisasi bakteri negatif gram dan positif gram. Senyawa ini merupakan salah satu komponen penyusun membran sitoplasma (Özen et al, 2004).
6
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
7
AKTIVITAS ANTIMIKROBA ZAT EKSTRAKTIF POHON FALOAK (Sterculia comosa Wallich)
FABIANUS RANTA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
8
Judul Tesis
: Sifat Antimikroba Zat Ekstraktif Pohon Faloak (Sterculia comosa Wallich)
Nama
: Fabianus Ranta
NRM
: E251 09 0011
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. Ketua
Dr. drh. Eko S. Pribadi, M.S. Anggota
Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.F. Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 10 Agustus 2011
Tanggal Lulus:
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis berjudul “Sifat Antimikroba Zat Ekstraktif Pohon Faloak (Sterculia comosa Wallich)” ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian selama ± 9 bulan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, M.S., dan Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.F. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran yang terkait dengan penelitian ini. 2. Staf Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong yang telah banyak membantu selama melaksanakan penelitian ini. 3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa BPPS. 4. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Ketua Jurusan Manajemen Pertanian Lahan Kering atas kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan Institut Pertanian Bogor. 5. Teman-teman angkatan 2009 atas kebersamaan selama proses belajar, 6. Istri dan anak-anak tercinta (Gabriel Honoratio Arifandy Ranta, Faustinus Sereno Ranta, dan Eleutaria Febrianggi Ranta) atas segala doa dan dan dukungan selama penulis menjalani studi. Selain itu, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas dukungan dan dorongan yang diberikan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Bogor,
Juni 2011
Fabianus Ranta
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Toak Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 01 Januari 1971 sebagai anak ke tujuh dari pasangan Bapak Ignatius Manggu dan Ibu Ester. Pendidikan Sarjana Kehutanan (S1) ditempuh di Universitas Satria Makassar sejak tahun 1991 pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 1998 - 2001, Penulis bekerja sebagai staf honorer pada Dinas Kehutanan Provinsi NTT. Pada tahun 2001 Penulis diterima sebagai staf pengajar di Politeknik Pertanian Negeri Kupang sejak tahun 2001 sampai sekarang. Pada tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan
pendidikan di Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan melalui beasiswa BPPS. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Sifat Antimikroba Zat Ekstraktif Pohon Faloak (Sterculia comosa Wallich)” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, M.S., dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.F. sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
11
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………..………..…………………… xiii DAFTAR GAMBAR ………………………………….……………..……
xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………….……………
xv
PENDAHULUAN Latar belakang………………………………………..…….……… Perumusan Masalah……………………………..……….…..…… Tujuan Penelitian………………………………...………….…..…. Manfaat Penelitian…………………………...…………….…….....
1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Faloak (Sterculia comosa Wallich)………………………………… Klasifikasi dan Morfologi………………………………… Zat Ekstraktif……………………………………………………. Zat Ekstraktif Sebagai Obat………………………………. Etnobotani Faloak ………………………………………... Bakteri……………………………………………………………… Cendawan (Candida albicans)……………………………………...
5 5 7 8 10 12 15
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat……………………………………....…………. Bahan dan Alat………………………………….............………….. Metode Penelitian……………………………...………….……….. Persiapan Bahan Baku Sebagai Simplisia…………………..….…. Penetapan Kadar Air………………………………………....…….. Ekstraksi……………………….…………………………..….……. Uji Fitokimia……………………………………………..………… Uji Aktifitas Antimikroba……………………………..………….. Fraksionasi dan Isolasi………………………………………..……. Kromatografi Lapis Tipis……………………………………... Kromatografi Kolom………………………………………….. Penentuan Nilai Kadar Hambat Minimum (Minimum Inhibition Concentration, MIC) dan Kadar Membunuh Cendawan Minimum (Minimum Fungicide Concentration-MFC)……………………..…
16 16 18 19 19 20 21 24 26 26 26
28
12
Identifikasi Senyawa Aktif…………………………………….… HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraktif…………………………………………. Hasil Uji Fitokimia ...…………………………………………….. Aktifitas Antimikroba……………………………………………. Penentuan MIC dan MFC ………………………. Identifikasi Senyawa……………………………………………….
30
31 32 33 36 39
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan………………………………………………………… Saran………………………………………………………………..
45 45
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….…..
46
LAMPIRAN-LAMPIRAN…..……………………………………………..
50
13
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Kandungan ekstraktif dari ekstrak aseton kulit, daun, dan biji faloak………………..……………………………………………….
31
2
Hasil analisis fitokimia ekstrak aseton kulit, biji, dan daun faloak…………………………………………………………..……..
33
3
Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif kulit pohon faloak terhadap (ukuran dalam millimeter)….....
34
4
Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif daun pohon faloak terhadap (ukuran dalam millimeter).........
34
5
Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif biji pohon faloak terhadap (ukuran dalam millimeter)….......
35
6
Nilai MIC (mg/mL) ekstrak dietil eter biji S. comosa Wallich...……….
36
7
MIC dan MFC sub fraksi dietil eter biji faloak terhadap cendawan C. albicans………………………………………………………………….
38
8
Nilai pengukuran H-NMR, C-NMR dan nilai pendugaan berdasarkan interpretasi menggunakan ChemDraw………………………………….
42
14
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Tumbuhan faloak (Sterculia comosa Wallich) di Kupang NTT…….
6
2
Diagram alir penelitian……………………………………………...
18
3
Diagram alir uji fitokimia alkaloid………………………………….
22
4
Diagram alir uji fitokimia flavonoid, fenolik, triterpenoid dan steroid, saponin………………………………………………………..
22
5
Diagram ilustrasi dinding sel bakteri Positif Gram dan Negatif Gram …………………………………………………………………….…….
37
6
Spektrum IR dari sub fraksi DE7……………………………………...
40
7
Kromatogram LCMS sub fraksi DE7…………………………………
41
8
Struktur molekul senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid……………...
43
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Surat keputusan hasil identifikasi tumbuhan faloak (Sterculia comosa Wallich)………………………………………………………..………..
51
2
Simplisia dan ekstrak kulit, daun , dan biji pohon faloak (Sterculia comosa Wallich)……………...………………………………….……
52
3
Kandungan ekstrak kulit, daun, dan biji faloak berdasarkan kadar air dan berat sampel…………………………….…………………………..
52
4
Diameter zona hambat (mm) zat ekstraktif faloak (kulit,, biji, daun)……………………………………………………...……………..
53
5
Uji MIC zat ekstraktif sub fraksi dietil biji faloak ………..……….……
55
6
Uji MFC zat ekstraktif sub fraksi dietil biji faloak ………..……….…
56
7
Spektrum proton NMR senyawa DE7………………………….……….
57
8
Spektrum karbon NMR senyawa DE7………………………….……….
63
16
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu
negara megabiodiversity karena 11%
tumbuhan di dunia dijumpai di kawasan hutan di Indonesia (FWI/GFW 2001). Jumlah ini menempatkan
Indonesia berada di peringkat lima dunia dengan
jumlah 38.000 spesies dan 55% dari jumlah tersebut merupakan spesies endemik (Setyowati et al. 2008).
Namun, ada yang patut dikhawatirkan, yakni laju
kerusakan hutan saat ini mencapai ± 1,08 juta ha/tahun dalam kurun waktu tahun 2005 - 2009 (Lestari 2010). Kondisi ini akan berdampak pada penurunan jumlah dan jenis flora maupun fauna yang dimiliki Indonesia saat ini. Diantara ketersediaan sumber daya alam yang melimpah tersebut, terdapat sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuhan berkhasiat sebagai obat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, kurang lebih 300 spesies telah digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional di Indonesia (Menkes RI 2007). Jumlah tersebut merupakan bagian dari
kurang lebih empat juta spesies tumbuhan dunia yang telah
diketahui
sebagai tumbuhan obat dan saat ini yang telah diuji untuk mengetahui kandungan obatnya diperkirakan hanya sekitar satu persen (Smith 2004). Berdasarkan
catatan
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(World
Health
Organization, WHO), peningkatan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam (obat tradisional) di berbagai negara saat ini telah mencapai 65% dari penduduk negara-negara maju (Menkes RI 2007). Keadaan ini memberikan peluang untuk mengkaji jenis tumbuhan obat di berbagai daerah yang secara turun-temurun telah dimanfaatkan masyarakat sebagai obat dan belum dikaji secara ilmiah. Di samping itu kecenderungan peningkatan pemanfaatan obat dari bahan alam memberikan dampak positif bagi pertumbuhan industri, baik industri
obat
tradisional maupun sebagai bahan baku industri farmasi. Pertumbuhan industri obat tradisional Indonesia saat ini yang telah mencapai (Menkes RI
1.036 perusahaan
2007). Di sisi lain, industri farmasi dunia yang memanfaatkan
senyawa alam dan obat-obatan sebagai bahan baku industri farmasi saat ini baru mencapai 6% (Frederique 2009).
17
Faloak (Sterculia comosa Wallich) merupakan salah satu dari spesies yang belum mendapatkan perhatian, sehingga pohon ini dianggap tidak bermanfaat. Memang saat ini kayu faloak belum banyak dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku ukiran, pertukangan maupun pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu, pencarian sifat dan kandungan obat dari spesies ini menjadi penting karena dengan mengenal fungsi dan manfaatnya, faloak (Sterculia comosa Wallich) dapat menambah khasanah tumbuhan obat dunia saat ini. Pemanfaatan faloak oleh masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini masih
bersifat pemanfaatan secara tradisional yang
didasarkan pengetahuan dan pengalaman secara turun-temurun.
Pemanfaatan
faloak selama ini digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit dalam, antara lain kulit pohon faloak dapat menyembuhkan penyakit tifus, maag, dan lever. Faloak juga digunakan sebagai peluruh haid, peluruh sisa-sisa kotoran setelah melahirkan, dan pemulihan setelah melahirkan. Berdasarkan pengalaman masyarakat, mengkonsumsi faloak secara rutin dapat meningkatkan stamina (mengurangi rasa letih atau lelah bagi pekerja berat).
Namun,
semua
pengetahuan tersebut belum didukung dengan kajian ilmiah atas pemanfaatan faloak sebagai bahan obat-obatan. Pengkajian komponen zat ekstraktif yang terkandung dalam pohon faloak seperti kayu, biji, daun, kulit, dan pemanfaatannya sebagai tumbuhan obat sampai dengan saat ini belum dilaporkan secara ilmiah, baik di tingkat regional, nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu suatu kajian ilmiah untuk mengidentifikasi zat ekstraktif yang terdapat dalam faloak serta khasiatnya terhadap kesehatan manusia. Pengkajian komponen zat ekstraktif dari pohon faloak ini diarahkan untuk mengetahui komponen kimia dan pengujian antimikroba zat ekstraktif dari daun, biji, dan kulit pohon faloak tersebut, terutama senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai obat antimikroba.
Perumusan Masalah Pohon
faloak merupakan salah satu tumbuhan spesifik lahan kering.
Keistimewaan tumbuhan ini adalah kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik pada lahan kritis, tanah bersolum dangkal dan berbatu
18
dengan tipe iklim D atau E menurut Smith dan Ferguson dengan jumlah bulan basah (BB) 3 – 4 bulan dan bulan kering (BK) 8 – 9 bulan (BPS NTT 2009). Karakteristik tumbuhan seperti ini sangat sesuai sebagai tanaman konservasi lahan kritis seperti NTT. Keunggulan yang dimiliki tumbuhan ini sampai saat ini belum menjadi perhatian semua pihak terutama para pengambil kebijakan untuk menjadikan tumbuhan ini sebagai salah satu jenis tumbuhan konservasi. Hal ini disebabkan sudut pandang para pihak masih terbatas pada tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi pemanfaatan kayu (sebagai bahan baku konstruksi atau permebelan), sedangkan kualitas dari kayu faloak itu sendiri tidak termasuk dalam kelas konstruksi atau permebelan. Namun aspek ekonomi pemanfaatan sebagai obat, serta keunggulan ekologis tersebut di atas seolah-olah terabaikan. Keterbatasan ini menyebabkan tindakan silvikultur belum menyentuh spesies ini. Pohon faloak secara turun temurun telah dimanfaatkan masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya di Kota Kupang dan sekitarnya untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Namun belum ada kajian ilmiah yang membuktikan faloak memiliki senyawa aktif yang bersifat antimikroba. Adanya kesenjangan seperti ini menyebabkan tindakan silvikultur belum menyentuh spesies ini, sehingga populasi faloak di daerah ini semakin berkurang dan terancam punah akibat tidak adanya
keseimbangan
antara
pemanfaatan
dengan
tindakan
silvikultur.
Penyelamatan kayu faloak dapat segera dilakukan bila masyarakat diberitahu manfaat dari kayu faloak. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka hipotesis yang dikemukakan melalui penelitian ini adalah bahwa zat ekstraktif yang terkandung di dalam daun, biji dan kulit pohon faloak kemungkinan memiliki senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba. Untuk menjawab hipotesa tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah 1) apakah zat ekstraktif
daun, biji dan kulit
pohon faloak memiliki senyawa aktif yang bersifat antimikroba?; dan 2) jenis senyawa aktif seperti apa yang terkandung dalam zat ekstraktif kulit, daun dan biji faloak yang memiliki sifat antimikroba?”.
19
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka Penelitian ini bertujuan untuk 1. menguji sifat antimikroba zat ekstraktif yang terkandung dalam daun, biji dan kulit pohon faloak; 2. mengidentifikasi senyawa aktif zat ekstraktif daun, biji dan kulit dari pohon faloak yang memiliki sifat antimikroba.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1. Memberikan informasi ilmiah mengenai senyawa antimikroba yang terdapat dalam pohon faloak. 2. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk pemanfaatan pohon faloak sebagai bahan baku obat modern.
.
20
TINJAUAN PUSTAKA
Faloak (Sterculia comosa Wallich) Klasifikasi dan Morfologi Nama faloak merupakan nama lokal yang diberikan oleh masyarakat NTT, khususnya Timor untuk pohon S. comosa. Sterculia comosa Wallich teridentifikasi berdasarkan SK No. 1135/IPH.1.02/If.8/IX/2010 tentang Hasil Identifikasi/Determinasi Tumbuhan oleh Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor Tahun 2010 (Lampiran 1). Tantra (1976) melaporkan bahwa S. comosa memiliki beberapa nama lokal, seperti bangilan (Manado), bingiladu (Gorontalo), kalimana olimana (Tobelo), kaita (Pulau Sula di Maluku), lahea (Pulau Mangas), kayu pani (Pulau Buru), susulangit (Pulau Seram).
Zipcodezoo (2010), menjelaskan bahwa S. comosa merupakan flora
berbentuk pohon yang termasuk family Sterculiaceae dan secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Phylum
: Tracheophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Malvales
Family
: Sterculiaceae
Genus
: Sterculia
Spesies
: Sterculia comosa Wallich.
Faloak tersebar di Indonesia dan Filipina (Tantra 1976). Di Indonesia, faloak terdapat di Sulawesi dan Maluku, sedangkan di NTT, khususnya di Timor, sebaran pohon faloak belum terdata dengan baik berdasarkan hasil penelusuran referensi yang berkaitan dengan flora Indonesia dan hasil penelusuran Koleksi Herbarium Bagian Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor Indonesia. Zipcodezoo (2010) menjelaskan secara umum bahwa genus Sterculia tumbuh melimpah di daerah tropis Asia dengan jumlah yang telah diidentifikasi sebanyak 26 spesies dari ± 100 – 150 spesies secara umum yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis.
Dari 26 spesies yang terdapat di Asia tersebut, 14 spesies
21
teridentifikasi sebagai spesies endemik dan salah satunya diketahui terdapat di Cina. Faloak merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik di kondisi alam seperti di NTT yang tergolong wilayah kering karena hanya memiliki empat bulan basah dengan curah hujan 1.470 mm pada tahun 2008, serta suhu rata-rata di atas 270C (BPS NTT, 2009). Faloak yang tumbuh di Kota Kupang dan sekitarnya pada umumnya tumbuh di atas tanah yang bersolum dangkal dan berbatu. Bahkan semua pohon yang diamati dalam penelitian ini tumbuh di atas batuan-batuan (Gambar 1). Tantra (1976) menunjukkan bahwa faloak tumbuh di hutan primer pada lingkungan tanah bertekstur liat/lempung berpasir atau berbatu-batu (rocky soil) pada ketinggian 300 m di atas permukaan laut (dpl). Namun hal ini sangat berbeda dengan faloak yang dilaporkan pada penelitian ini, yakni bertempat tumbuh tersebar dalam Kota Kupang pada tanah yang berbatu, sedangkan informasi persebaran faloak di NTT maupun di Timor, sampai dengan saat ini belum ada laporan tertulisnya.
a b Gambar 1. Tumbuhan faloak (Sterculia comosa Wallich) di Kupang - NTT a. Tempat tumbuh, daun, dan buah mentah pohon faloak b. Pohon faloak setelah kulit diambil sebagai obat, buah matang.
22
Zat Ekstraktif Sjostrom (1993) menjelaskan bahwa zat ekstraktif merupakan salah satu unsur penyusun kayu. Zat ekstraktif dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut organik seperti etanol, aseton, atau diklorometan. Walker
(2006)
menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan komponen pengisi rongga sel kayu yang dapat diekstrak dari kayu dengan menggunakan pelarut polar maupun non polar. Kandungan dan komposisi zat ekstraktif dalam kayu berbeda-beda sesuai posisinya di dalam pohon. Secara umum, kandungan zat ekstraktif di dalam kayu berkisar antara 1% sampai dengan 20% (Stenius 2000). Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh (Sjostrom 1993). Zat ekstraktif secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga subgolongan, yaitu senyawa alifatik (lilin dan lemak), senyawa terpena dan terpenoid, dan senyawa fenolik (Sjostrom 1993, Frederique 2009, Fengel dan Wegener 1995). 1. Alifatik (Aliphatic Compounds) Kelompok senyawa alifatik merupakan kelompok senyawa yang mendominasi resin parenkhim (Sjostrom 1993).
Selanjutnya disebutkan
bahwa alkana dan alkohol tergolong bagian yang terkecil jumlahnya dibandingkan dengan arachinol (C20), behenol (C22), dan lignocerol (C24). Hasil berbeda disampaikan Frederique (2009), bahwa kelompok lilin, lemak dan turunannya terdiri dari asam lemak, trigliserida, gliserida, alkohol berlemak, sterol, dan steril ester. 2. Terpena dan Terpenoid (Terpenes and Terpenoids Compounds) Terpena
merupakan
hidrokarbon
murni
sedangkan
terpenoid
mengandung gugus-gugus fungsional, seperti OH, C=O, COOH, dan lain-lain (Fengel dan Wegener 1995). Kelompok senyawa terpena dan terpenoid merupakan kelompok senyawa yang terdapat dalam oleoresin (Sjostrom 1993). Kelompok senyawa terpena dan terpenoid terdiri dari limonena, pinena, dan asam resin (Frederique 2009).
Cole (2010) lebih rinci menjelaskan
bahwa kelompok senyawa terpenoid terdiri dari monoterpena (C10) mencakup α-pinena, β-pinena, dan limonena ; diterpena (C20) mencakup asam abeitik dan asam pimarik ; triterpena (C30) yang salah satunya adalah senyawa betulin.
23
3. Fenol (Phenolic Compounds) Senyawa fenol merupakan kelompok senyawa yang menjelaskan bahwa akumulasi dari senyawa fenol dalam kayu teras adalah salah satu penciri dari kayu teras (Sjostrom 1993). Kelompok senyawa fenol terdiri dari senyawa fenol sederhana yang mencakup asam gallat dan vanilin; stilbena yang salah satunya adalah pinosylvin; flavonoid yang salah satunya adalah taxifolin; dan lignan yang salah satunya adalah pinoresinol(Sjostrom 1993, Frederique 2009).
Zat Ekstraktif Sebagai Obat Sjostrom (1981) menjelaskan bahwa substansi fenol terkandung di dalam teras kayu (heartwood) dan kulit kayu, dan hanya sedikit terdapat dalam kayu gubal (sapwood). Fenol memiliki sifat anticendawan (fungisida) sehingga sangat efektif melindungi kayu untuk melawan serangan cendawan. Walker (2006) menyatakan bahwa zat ekstraktif memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai antiserangga (antifeedan, seperti anti nyamuk), antioksidan, antivirus, antibakteri, sitotoksin, dan anticendawan. Hal ini diduga disebabkan oleh berbagai senyawa yang terkandung dalam zat ekstraktif yang bersifat racun sehingga dapat mencegah serangan bakteri (bakterisidal), cendawan, serta rayap (Fengel dan Wegener 1995). Beberapa kelompok senyawa zat ekstraktif yang berfungsi sebagai bahan obat-obatan diantaranya: 1. Alkaloid Alkaloid umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang biasanya berada dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik (Sastrohamidjojo 1996). Alkaloid seringkali bersifat racun bagi manusia dan mempunyai aktivitas fisiologik yang menonjol. Alkaloid biasanya tidak berwarna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal dan hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Uji sederhana yang sama sekali tidak sempurna untuk alkaloida dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di lidah (Harborne 1987).
24
2. Flavanoid Flavonoid merupakan kelompok besar yang terdiri dari flavon, flavanon, dan isoflavon. Flavonoid yang telah teridentifikasi berupa krisin, taksifolin, pinosembrin, pinobanksin, pinostrobin, dan katekin (Fengel dan Wegener 1995). Tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional karena memiliki berbagai efek terhadap macam-macam organisme, antara lain mengobati gangguan fungsi hati karena memiliki aktivitas antioksidan, antihipertensi, antimutagen, menurunkan agregasi keping darah (lempengelet) sehingga dapat mengurangi pembekuan darah, dan dapat menghambat pendarahan (Robinson 1991). 3. Saponin Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air (Robinson 1991).
Beberapa saponin bekerja
sebagai antimikroba (Hasan et al. 2010). Beberapa tahun terakhir ini, saponin tertentu menjadi penting
karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan
dengan hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson 1991). Saponin dibedakan atas dua jenis, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal (Cheeke 2011, dan Robinson 1991). Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter (Robinson 1991). 4. Steroid dan Triterpenoid Triterpena merupakan senyawa yang mempunyai struktur sterana dan merupakan steroid. Senyawa utama dari triterpena siklik adalah skualena asiklik dan serrafenediol dalam jumlah yang sangat kecil. Komponen utama kelompok steroid dalam kayu pada umumnya mengandung β–sitosterol, sedangkan kampesterol, sitosterol, sitostanol, sikloartenol dan sitrostadienol merupakan senyawa yang jumlahnya tergolong kecil (Fengel dan Wegener 1995) Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang agak rumit dan kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Senyawa-senyawa
25
ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi, terkenal karena rasanya yang pahit (misalnya limonen, suatu senyawa pahit yang larut dalam lemak dan terdapat dalam buah jeruk), umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi LiebermanBurchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat). Sampai saat ini yang diketahui tersebar luas adalah triterpena pentasiklik α-amirin dan β-amirin serta asam turunannya, yaitu asam urosilat, asam oleanolat. Senyawa ini terdapat dalam lapisan malam daun dan dalam buah, seperti apel dan peer dan mungkin berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba (Harborne 1987). Steroid tumbuhan mempunyai satu atau dua atom karbon tambahan selain rantai samping delapan karbon yang terdapat dalam lanosterol yang juga terdapat dalam banyak steroid. Senyawa-senyawa seperti asam kolanat, kolekalsiferol, 1,25-dihidroksivitamin D, hormon serangga ekdison dan ekdisteron ini berperan sebagai pelindung jika ditemukan di tanaman. Salah satu senyawa yang dimiliki tumbuhan adalah kukurbitasin yang merupakan glikosida triterpenoid dengan kerangka karbon lanosterol. Senyawa ini tidak hanya bekerja menolak beberapa serangga, tetapi juga menarik beberapa serangga lain (Robinson 1991).
Etnobotani Faloak Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan faloak sebagai obat secara tradisional merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Bagian yang dimanfaatkan adalah kulit pohon bagian dalam, dengan tahapan sebagai berikut: 1. Kulit pohon faloak diperoleh dengan cara dikupas dari batang pohon hidup. Kemudian kulit paling luar atau kulit mati atau biasa disebut ritidoma dipisahkan dari kulit bagian dalam yang akan dimanfaatkan. 2. Kulit pohon bagian dalam tersebut dicuci dengan air, kemudian direbus hingga air rebusan menunjukkan warna merah pekat. 3. Air rebusan digunakan dengan cara diminum untuk menyembuhkan berbagai penyakit dalam, antara lain dapat menyembuhkan penyakit tifus, maag, liver
26
(gangguan fungsi hati), meningkatkan stamina (menghilangkan rasa letih atau lelah setelah bekerja berat), peluruh haid, peluruh sisa-sisa kotoran setelah melahirkan, pemulihan setelah melahirkan. Kulit pohon ini diperoleh dari pohon faloak yang tumbuh secara liar di kawasan hutan, kebun, maupun di sekitar pemukiman termasuk tumbuh menyebar di dalam Kota Kupang.
Proses pembentukan kembali kulit faloak setelah
pengambilan dapat terjadi setelah 1-3 bulan. Dengan demikian, dampak kerusakan yang terjadi akibat pemanfaatan kulit dari pohon faloak ini tidak menyebabkan kematian terhadap pohon faloak. Namun, tetap diperhitungkan bahwa pengambilan kulit pohon yang berlebihan tetap berdampak negatif terhadap pertumbuhan faloak karena pengangkutan hara dari tanah melalui batang pohon faloak menjadi terhambat. Ketersediaan pohon faloak yang masih cukup banyak menyebabkan tindakan silvikultur belum menyentuh spesies ini. Di samping itu bagian lain dari pohon ini yang dapat dimanfaatkan masih sangat rendah. Hal ini menyebabkan perhatian terhadap budidaya faloak ini menjadi berkurang bahkan belum pernah dilakukan. Bagian pohon faloak
yang cukup tinggi dimanfaatkan selama ini
adalah bagian kulit yang dimanfaatkan sebagai obat, sedangkan kayunya sendiri belum pernah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, meubel, maupun ukiran. Rendahnya pemanfaatan kayu faloak ini mengingat kelas kuat maupun kelas awet tergolong rendah, dan tinggi bebas cabangnya tergolong rendah. Sehubungan dengan pemanfaatan kayu faloak, Tantra (1976) menyatakan bahwa kayu faloak termasuk kelas interior yang tidak dapat bersentuhan langsung dengan tanah dan lingkungan eksterior. Bagian lain yang cukup bermanfaat selama ini yang dapat dimakan adalah biji kering dari buah faloak. Biji ini dapat langsung dimakan atau disangrai terlebih dahulu sebelum dimakan. Tantra (1976) menyatakan bahwa biji sterculiaceae secara umum dapat dimakan. Belum
diketemukan
informasi
resmi
(Chemotaxonomy) faloak. Namun, beberapa
mengenai
kemotaksonomi
spesies lain dari family
Sterculiaceae yang dilaporkan Tantra (1976) yang telah mengetahui komponen kimia utama, seperti sterculia acid, antara lain Sterculia gutata, dan Sterculia alata. Jenis lain, seperti Sterculia urens, mengandung komponen kimia utama
27
polifenol yang diperoleh dari kulit pohon, dan komponen kimia utama polifenol dari Sterculia parviflora yang dihasilkan dari buah matang. Kajian terbaru yang dilakukan terhadap beberapa spesies dari family Sterculiaceae ini diketahui mengandung alkaloid dari biji, seperti Sterculia javanica R.Br.,(sekarang menjadi Sterculia cordata Bl.), dan Sterculia blumei G. Don. (sekarang Sterculia coccinea Jack var. coccinea. Penelitian lain yang telah dilaporkan oleh Katade et al. (2006) bahwa zat ekstraktif biji Sterculia guttata bersifat larvicidal terhadap Aedes aegypti dan Culex quinquefascilatus karena mengandung alkaloid. Shamsundar dan Paramjyothi (2010) melaporkan bahwa berdasarkan uji fitokimia
zat ekstraktif
biji Sterculia foetida mengandung
alkaloid, flavonoid, saponin sebagai komponen kimia utama yang bermanfaat dalam bidang farmasi. Vital et al. (2010) menemukan zat ekstraktif daun Sterculia foetida bersifat antimikroba karena mengandung senyawa utama alkaloid dan tannin. . Bakteri Pelczar dan Chan (2008) mendefenisikan bakteri sebagai mikroorganisme prokariotik uniselular, berkembangbiak dengan membelah diri dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel-selnya berbentuk bulat (kokus), batang (basilus), atau spiral (spirilium). Ukurannya beragam dengan diameter antara 0,5 sampai dengan 1,0 µm dan panjangnya antara 1,5 sampai dengan 2,5 µm. Klasifikasi bakteri negatif Gram dan positif Gram didasari oleh struktur dinding sel (Thiel 1999), yakni dinding sel bakteri negatif Gram
memiliki
beberapa lapis peptidoglikan dan membran luar, sedangkan dinding sel pada bakteri positif Gram tersusun atas berlapis-lapis peptidoglikan. Lapisan terluar dinding sel pun berbeda-beda (Hunt 2010). Lapisan terluar dinding sel bakteri negatif Gram adalah membran luar dengan lapisan terluar lebih tipis, sedangkan bagian terluar dari bakteri positif Gram adalah peptidoglikan dengan lapisan terluar lebih tebal dari bakteri negatif Gram (Pelczar dan Chan 2008; Fox 2010). Sifat patogen dari kedua kelompok bakteri ini juga menunjukan perbedaan dengan
28
kemampuan masing-masing mengeluarkan
jenis toksin yang berbeda-beda
(Purwoko 2009). Endotoksin dan eksotoksin merupakan dua jenis toksin yang dikeluarkan oleh bakteri patogen. Endotoksin adalah lipida yang termasuk bagian dari lipopolisakarida dan lipida A yang dilepaskan oleh bakteri negatif Gram ketika bakteri mengalami lisis, sedangkan eksotoksin merupakan protein yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh bakteri positif gram. Eksotoksin dilepaskan ke makanan, menyerang sel inang dan jaringan yang rentan, dan membentuk abses atau borok untuk merusak jaringan untuk memudahkan pertumbuhan bakteri patogen (Purwoko 2009). Beberapa bakteri negatif Gram dan positif Gram penyebab penyakit pada manusia diuraikan sebagai berikut: 1) Escherichia coli Bakteri ini dikenal sebagai penyebab penyakit diare. Ada lima penyakit yang ditimbulkan oleh E. Coli, yakni 1) Enteropathogenic E. coli (EPEC), yakni serotipe yang biasanya ditemukan berkaitan dengan diare yang sering terjadi
pada anak-anak. 2) Enterotoksigenik E. coli (ETEC) yang
menyebabkan
diare
menyerupai
kolera
namun
lebih
ringan,
juga
menyebabkan traveler’s diarhea. 3) Enteroinvasive E. coli (EIEC) yang menghasilkan disentri (yang secara klinis dapat dibedakan dengan disentri yang disebabkan oleh Shigellosis). 4) Enterohemorrhagic E. coli (EHEC) yang umumnya infeksi oleh serotipe E. coli O157: H7. Penyebaran penyakit ini biasanya bersumber dari bahan makanan yang bersumber dari ternak, seperti meat hamburger atau dari sayur-sayuran. Organisme ini dapat mengakibatkan gagal ginjal, thrombocytopenia, dan hemolytic anemia karena vero toksin yang dihasilkannya dan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah mengakibatkan sindrom hemolytic-uremic secara sistemik. 5) Enteroaggregative E.coli yang terlihat di dunia ketiga. Istilah ini mengacu pada kenyataan bahwa organisme ini menggumpal secara spontan (Mulla 1999; Fox A 2009). Selain lima jenis penyakit yang ditimbulkan di atas, penyakit yang ke-6 menurut Benenson (1995) adalah Difus E. coli (DAEC).
29
DAEC bersifat pathogen pada anak-anak khususnya pada anak-anak berusia prasekolah. 2) Salmonella typhii Secara umum, Salmonella sebenarnya hanya satu spesies dari Salmonella (Salmonella enterica). Namun, lebih dari 2000 tipe akhirnya dapat digambarkan dengan menggunakan antibodi yang tepat. Beberapa jenis yang umumnya terkait dengan penyakit manusia diantaranya S. enteritidis, S. cholerae-suis dan S. typhi. Salmonellosis disebabkan oleh berbagai serotipe dan S. enteritidis merupakan jenis yang paling banyak menimbulkan salmonellosis pada manusia. Bakteri ini biasanya ditularkan melalui tempat air minum atau dari sumber air atau makanan yang tercemar. Infeksi biasanya muncul sebagai gastroenteritis dengan gejala sakit berupa mual, muntah dan buang air besar secara terus-menerus (Fox A 2009). 3) Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri anaerob fakultatif positif Gram dan merupakan salah satu penyebab infeksi oportunistik yang sering dijumpai pada pasien, baik di rumah sakit maupun di masyarakat. Makanan yang tercemar S.aureus akan menghasilkan enterotoksin (Fox A 2009). Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus adalah staphylococcal enterotoxins, yaitu enterotoksin yang diproduksi oleh S. aureus yang menyebabkan keracunan makanan ketika mengkonsumsi makanan yang tercemar S.aureus (Loir 2003). Gejala sakit yang biasanya terlihat berupa mual, muntah, diare (yang menyebabkan dehidrasi) dan sakit perut. Di samping itu toxic shock syndrome memiliki sifat-sifat superantigen dari S. aureus, mengakibatkan produksi sitokin, kebocoran pembuluh darah dan toksikitas sel (Fox A 2010). 4) Bacillus cereus Dua spesies
Bacillus penyebab penyakit pada manusia adalah B.
anthracis dan B. cereus. Bacillus cereus adalah bakteri positif Gram aerob berbentuk spora relatif mirip dengan B. anthracis. Bakteri ini menyebabkan keracunan makanan, dan gangguan pada mata seperti keratitis parah,
30
endophthalmitis, dan panophthalmitis. Dua jenis keracunan makanan yang berhubungan dengan B. Cereus adalah toksin emetik (umumnya ditemukan di beras) yang menyebabkan, mual, muntah, kram perut; dan diare (karena keracunan makanan) dengan gejala nyeri perut dan kram, demam dan muntah jarang terjadi (Fox K 2010). Schneider (2004) menguraikan bahwa B.cereus dapat menyebabkan foodborne illness, yaitu penyakit yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar B.cereus. 5) Streptococcus agalactiae Fox A (2010) menjelaskan bahwa Streptococcus adalah bakteri grampositif
anaerob
berpasangan)
fakultatif,
dan
berbentuk
merupakan
seperti
katalase-negatif.
rantai
(kadang-kadang
Streptococcus
dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat hemolitiknya, yaitu Streptococcus hemolitik α, Streptococcus hemolitik β dan Streptococcus non-hemolitik (Kim 2011). Streptococcus agalactiae merupakan salah satu bakteri yang tergolong Streptococcus hemolitik β.
Streptococcus agalactiae adalah bakteri yang
menyebabkan meningitis neonatal, septicaemia dan pneumonia. Streptococcus hemolitik β menyebabkan pecahnya sel darah merah. Struktur sel S. agalactiae mengandung gen yang menampilkan ragam ekstraseluler, seperti polisakarida dan protein yang berfungsi untuk menghindari sistem pertahanan inang (Glaser et al. 2002). Rubinstein et al. (2011) melaporkan bahwa 995 isolat S. agalactiae yang telah diisolasi selama kurun waktu 2002–2008, sebanyak 46,8% isolat diperoleh dari vagina, 30,7% diperoleh dari pembalut, 15,2% diperoleh dari air seni (urine), 1,6% diperoleh dari darah, dan 5,7% diperoleh dari bagian-bagian lain. Sebanyak 7,8% S. agalactiae tahan terhadap erythromycin.
Cendawan Candida albicans Candida albicans merupakan cendawan yang termasuk ke dalam klasifikasi Kelas Ascomycetes yang dicirikan oleh pembentukan askus yang merupakan tempat dihasilkannya askospora (Pelczar dan Chan 2008; Salvo 2010).
31
Kandidiasis merupakan penyakit pada manusia yang disebabkan oleh C. albicans yang terjadi pada selaput lendir mulut, vagina, dan saluran pencernaan. Tingkat infeksi C. albicans yang lebih tinggi dapat menyebabkan endokarditis (infeksi yang menyerang jantung), septisemia (darah), dan meningitis (otak) (Pelczar dan Chan 2008; Salvo 2010).
32
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai dengan bulan Juni 2011. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun, biji, kulit Faloak (Sterculia comosa Wallich) yang diperoleh dari pohon Faloak yang tumbuh di Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bahan kimia untuk ekstraksi, fitokimia, fraksinasi, kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis antara lain: aseton, n-hexane, benzen, dietil eter, etil asetat, metanol, etanol, air suling, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, pereaksi Liebermann-Burchard, FeCl3 dan natrium hidroklorida, lempeng silika gel GF254, silika gel 60 F254 dan glass wool. Bahan untuk analisis antimikroba antara lain media agar (Muller Hinton Agar, Brain Heart Infusion, Tryptic Soy Agar), NaCl 1%, klorampenikol, dan ketokonazole. Mikroba yang digunakan terdiri dari bakteri S. aureus, S. agalactiae, B. cereus, E. coli, S. typhi, dan cendawan C. albicans yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Terpadu
Bagian Mikrobiologi Medik
Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Alat yang digunakan untuk preparasi sampel antara lain oven, hammer mill, saringan ukuran 40 dan 60 mesh, eksikator, dan pinggan porselin. Alat yang digunakan untuk
ekstraksi dan fraksinasi antara lain bejana maserasi, kertas
saring, alat-alat gelas, neraca analitik, lemari pendingin, rotary evaporator Buchi. Alat untuk uji antimikroba antara lain cork borer, mycrobiological safety cabinet, lemari pendingin, cawan petri, pipet Pasteur, timbangan analitik, inkubator 370C, jarum ose, lampu spiritus, sentrifus, Vortex Pengaduk, pipet mikro, tabung evendorf, tabung reaksi, coloumn cromatography (CC) berdiameter 24 mm,. Untuk identifikasi senyawa aktif digunakan spektrofotometri Fourier Transform
33
Infrared (FT-IR), Liquid Chromatography Mass Spectrophotometer (LC-MS) dan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Metode Penelitian Metode penelitian meliputi beberapa kegiatan, yakni; persiapan bahan baku, penetapan kadar air, ekstraksi dan fraksinasi secara bertingkat, pengujian awal aktifitas antimikroba, uji fitokimia, fraksinasi dan isolasi, penentuan kadar terkecil penghambatan (minimum inhibition concentration, MIC) dan kadar membunuh cendawan minimum (minimum fungicide concentration, MFC), dan identifikasi senyawa aktif (Gambar 2). Sampel Faloak (Serbuk 40-60 mesh) Aseton Ampas Ekstrak Aseton n-Heksan Residu
Ekstrak n-Heksan
Dietil Eter Residu
Ekstrak Dietil Eter
Etil Asetat Ekstrak Etil Asetat
Residu
1). Rendemen, 2). Uji antimikroba, 3). Uji Fitokimia Fraksi Aktif
- KLT - Kromatografi Kolom
Uji MIC Sub Fraksi Aktif Senyawa antimikroba
Gambar 2. Diagram alir penelitian.
- FT-IR - LC-MS dan - NMR
34
Persiapan Bahan Baku Sebagai Simplisia Bahan baku penelitian diperoleh dari kulit, biji, dan daun pohon faloak yang tumbuh di Kota Kupang dan sekitarnya. Pohon faloak (Sterculia comosa Wallich) yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon yang telah menghasilkan minimal tiga kali berbuah atau berdiameter minimal 30 cm. Dengan mengacu pada baku ini, diharapkan zat ekstraktif yang terkandung dalam kulit pohon, daun, serta biji telah terbentuk sempurna. Kulit pohon, daun, serta biji yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Kulit pohon, daun, dan biji pohon faloak yang dikumpulkan selanjutnya dilakukan pemilahan dengan cara memisahkan bahan baku tersebut dari kotoran lain yang melekat atau tercampur.
Khusus untuk kulit, kulit bagian luar
dipisahkan dari kulit bagian dalam untuk dibuang dengan cara dikikis, dan dibilas dengan air bersih. Agar memudahkan proses pengeringan dan penggilingan, kulit pohon yang telah dibersihkan kemudian dirajang. Kulit yang telah dirajang, daun dan biji yang telah dipilah, selanjutnya dikeringudarakan dalam suhu ruangan hingga kering. Serbuk kulit, serbuk daun, serta serbuk biji berukuran 40 – 60 mesh diperoleh dengan cara digiling dengan hammer mill. Ukuran partikel dari simplisia mempengaruhi kecepatan proses ekstraksi dan besarnya rendemen yang dihasilkan. Pengecilan ukuran partikel sampel dimaksudkan untuk memperkecil permukaan sampel sehingga semakin banyak yang terekstraksi. Serbuk sampel yang diperoleh kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50 0C hingga kadar air kurang dari 10%. Penetapan Kadar Air Penetapan kadar air dilakukan dengan cara mengeringkan cawan porselin pada suhu 102±3oC selama 30 menit, kemudian ditimbang setelah didinginkan di dalam eksikator. Serbuk kulit, daun, dan biji masing-masing sebanyak kurang lebih dua gram dimasukkan ke dalam cawan porselin kemudian dikeringkan dalam oven selama tiga jam pada suhu 102±3oC, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Prosedur ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang tetap. Kadar air diukur dengan cara berikut ini :
35
Kadar air (%) =
–
untuk BKU = Bobot Serbuk Kering Udara (g) BKT = Bobot Serbuk Kering Oven (g) Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi menggunakan pelarut aseton, n-hexane, dietil eter, dan etil asetat. Maserasi ini dilakukan secara bertingkat dengan pelarut awal aseton, dilanjutkan dengan fraksinasi secara berturut-turut mulai dari pelarut non polar n-hexane, dietil eter, dan etil asetat sebagai pelarut semi polar. Serbuk daun, serbuk biji, dan serbuk kulit masing-masing sebanyak ± 2000 gram direndam dalam aseton selama 48 jam dengan mengaduk sesering mungkin. Selanjutnya filtrat aseton dipisahkan dari residunya dengan cara penyaringan. Residu yang diperoleh kemudian direndam lagi dengan aseton selama 24 jam sambil diaduk sesering mungkin. Setelah 24 jam dilakukan penyaringan untuk memperoleh filtrat aseton. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang memperoleh filtrat
hingga
bening.
Filtrat diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu ± 40oC sehingga diperoleh ekstrak pekat sebanyak ± 100 ml. Ekstrak pekat ± 100 ml tersebut difraksinasi dengan n-hexan, dengan cara dimasukkan ke dalam funnel 500 ml yang di dalamnya sudah terdapat n-hexane 70 ml. Campuran dikocok dan didiamkan sampai ada pemisahan antara
filtrat
dengan residu. Jika belum
menunjukkan pemisahan, maka n-heksan ditambahkan dengan kelipatan 70 ml sampai ada pemisahan antara ekstrak
dengan residu. Jika isi funnel belum
menunjukkan pemisahan setelah penambahan tiga sampai empat kali penambahan n-heksan 70 ml, maka ditambahkan air suling 20 ml. Hasil yang diperoleh pada tahapan ini adalah ekstrak n-hexane dengan residu. Ekstrak n-hexane diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu ± 40oC untuk memperoleh
ekstrak
n-hexane pekat dan residu. Residu n-hexane
difraksinasi dengan dietil eter untuk memperoleh ekstrak dietil eter. Hasil dari fraksinasi dietil eter menghasilkan ekstrak dietil eter dan residu. Ekstrak
dietil
36
eter diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu ± 40oC untuk memperoleh ekstrak
dietil eter pekat, dan residunya difraksinasi dengan etil asetat untuk
memperoleh extrak etil asetat. Hasil dari fraksinasi etil asetat menghasilkan extrak etil asetat dan residu. Ekstrak
etil asetat diuapkan dengan rotary evaporator
pada suhu ± 40oC untuk memperoleh ekstrak
etil asetat pekat, dan residunya
dipekatkan. Proses fraksinasi dietil eter dengan etil asetat dilakukan sama seperti prosedur fraksinasi n-hexan. Semua fraksi ekstrak
pekat n-hexane, dietil eter, etil asetat, dan residu
pekat hasil fraksinasi etil asetat dikeringkan dalam oven pada suhu ± 500C. Ekstrak yang dihasilkan setelah pengovenan ini
menghasilkan zat ekstraktif
kulit, daun dan biji faloak dalam bentuk padatan dari masing-masing fraksi. Zat ekstraktif yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk dilakukan uji fitokimia dan uji antibiogram. Masing-masing ekstrak ditimbang untuk mengetahui rendemennya sebagai persentase zat ekstraktif (% zat ekstraktif), dan dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia utamanya (Harborne 1987). Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antimikroba terhadap masing-masing
zat ekstraktif. Rendemen
masing-masing fraksi zat ekstraktif dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Ekstraktif (%) =
x 100 %
untuk BKE = Berat kering tanur zat ekstraktif (g) BKS = Berat kering tanur serbuk sampel (g) Uji Fitokimia Analisis fitokimia dilakukan untuk mendeteksi adanya senyawa utama dengan mengikuti metode Harborne (1987). Senyawa-senyawa utama dimaksud adalah alkaloid, flavonoid, saponin, serta uji triterpenoid dan steroid. Uji Alkaloid. Sebanyak 0,3 gram
zat ekstraktif
dilarutkan dalam 10 mL
khloroform dan tiga tetes amoniak 10 % yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok sampai homogen.
Filtrat diperoleh dengan cara
disaring, filtrat tersebut diasamkan dengan asam sulfat 2M (volumenya sebanyak volume filtrat dalam tabung) kemudian dikocok dan didiamkan hingga
37
membentuk dua lapisan.
Lapisan atas (lapisan asam sulfat) diambil dan
dimasukkan ke dalam tiga tabung reaksi dan masing-masing tabung ditambahkan pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner). Adanya alkaloid ditandai dengan adanya endapan merah pada pereaksi Dragendorf, endapan berwarna putih pada pereaksi Mayer , dan endapan berwarna coklat pada pereaksi Wagner. Uji alkaloid selengkapnya seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.
0,3 gram Ekstrak + Kloroform 10 ml + Amoniak 10%
Penyaringan
Filtrat Tambahkan H2SO4 2 M Pereaksi 1. Dragendrof 2. Meyer 3. Wagner
Dikocok, diamkan hingga Membentuk 2 Lapisan
Lapisan Bawah
Lapisan Atas POSITIF, Jika = Dragendorf = MERAH Mayer = PUTIH Wagner = COKLAT
Gambar 3. Diagram alir uji fitokimia alkaloid Uji Triterpenoid dan Steroid, Saponin, Fenolik, Flavonoid (Gambar 4). Sebanyak 0,3 gram zat ekstraktif dilarutkan dengan Kloroform:Air (1 : 1) yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dikocok hingga homogen, dan didiamkan hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan atas merupakan fraksi khloroform yang digunakan untuk uji fenolik dan uji flavonoid, sedangkan
lapisan bawah
38
merupakan fraksi air yang digunakan untuk uji triterpenoid dan steroid. Uji selengkapnya dilakukan sebagai berikut: 1. Lapisan Atas (Fraksi Kloroform) Uji Fenolik dilakukan dengan mengambil fraksi kloroform dengan pipet dan diteteskan ke dalam lempeng tetes. Kemudian ditambahkan FeCl3 1%. Ekstrak (0,3 g) + Kloroform : Air ( 1 : 1 ) Kocok, diamkan hingga terbentuk 2 lapisan Lapisan Atas
Lapisan Bawah DISARING
UJI FLAVONOID Teteskan ke Tabung reaksi
UJI FENOLIK Teteskan ke Plat Tetes
Mg (0,1 g) + HCL Pekat (1 ml), dan n-Amyl alcohol 1 ml
Tambahkan FeCl3 1%
FILTRAT UJI TRITERPENOID & STEROID = Teteskan ke Plat Tetes KERINGKAN Tambahkan Lieberman Burchard Positif: Steroid = Hijau / Biru Triterpenoid = Merah
RESIDU UJI SAPONIN Masukkan ke Beker glas Tambahkan Aquades 5 ml
POSITIF: Kuning / jingga
POSITIF: Hijau, Biru, Ungu
Panaskan sampai mendidih, Dinginkan, dimasukkan ke Tabung Reaksi
Kocok Vertikal sampai membentuk busa Diamkan selama 10 menit,
Tambahkan HCl 2 N, diamkan selama 15 menit. Positif Jika Busa Dlm Tabung Reaksi Tidak Berubah
Gambar 4. Diagram alir uji fitokimia flavonoid, fenolik, triterpenoid dan steroid, saponin. Adanya fenolik ditandai dengan adanya perubahan warna fraksi kloroform dalam lempeng tetes menjadi hijau, atau biru/ungu. Untuk uji adanya flavonoid, fraksi kloroform dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan magnesium sebanyak 0,1 gram, HCl pekat 1 mL, dan n-Amyl
39
alcohol 1 mililiter. Warna fraksi kloroform akan berubah menjadi kuning/jingga yang menunjukkan
bahwa
zat ekstraktif
tersebut
mengandung senyawa flavonoid.
2. Lapisan Bawah (Fraksi Air). Fraksi air yang diperoleh disaring untuk memisahkan filtrat dengan residu. Filtrat selanjutnya digunakan untuk menguji adanya steroid dan triterpenoid, sedangkan residu digunakan untuk menguji adanya saponin. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk menguji adanya triterpenoid dan steroid, yakni dengan memasukkan filtrat beberapa tetes ke dalam lempeng tetes, dan dibiarkan hingga filtrat dalam lempeng tetes menjadi kering. Setelah filtrat dalam lempeng tetes menjadi kering, ditambahkan beberapa tetes pereaksi Lieberman Burchard. Adanya steroid jika filtrat yang telah ditambahkan pereaksi Lieberman Burchard berubah menjadi hijau atau biru, dan adanya triterpenoid ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi merah. Pengujian adanya saponin dilakukan dengan melarutkan residu dari fraksi air dengan air suling sebanyak lima mililiter dan dimasukkan ke dalam baker glass, dipanaskan sampai mendidih, didinginkan, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup, kemudian dikocok vertikal sampai membentuk busa. Setelah terbentuk busa, didiamkan selama 10 menit, ditambahkan HCl 2 N, dan kemudian didiamkan selama 15 menit.
Adanya saponin jika busa
dalam tabung yang terbentuk tidak berubah. Uji Aktivitas Antimikroba (Antibiogram) Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur agar dan metode ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan oleh Ramesh dan Patar (2010). Isolat bakteri uji dibiakkan pada media Brain Heart Infusion (BHI) Broth, dan isolat cendawan dibiakkan pada media Sabouraud Dextrose Broth (SDB). Biakkan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Setelah masa inkubasi dicapai,
isolat dibuat suspensi di dalam tabung
sentrifus, disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 5000 rpm untuk memperoleh pellet mikroba yang mengendap di dasar tabung sentrifus. Pelet yang
40
mengendap di tabung sentrifus ditambahkan air suling sucihama (sampai setengah tabung) setelah supernatannya dibuang. Agar homogen, pellet yang telah dicampur air suling dikocok dengan pengaduk “vortex” dan disentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan 5000 rpm. Perlakuan yang sama dilakukan sampai tiga kali untuk memperoleh pellet yang benar-benar bersih (bebas dari media atau kotoran lain berupa supernatant) yang dibentuk selama proses pembiakkan. Pellet hasil sentrifugasi terakhir (ketiga) dilarutkan dalam NaCl fisiologis dengan cara memasukkannya sedikit demi sedikit sampai memperoleh kekeruhan suspensi isolat yang setara dengan Kekeruhan Standar Mc.Farland #1 (10 6 cfu/mL). Pengukuran zona hambat dilakukan dengan mengunakan media Mueller Hinton Agar untuk isolat bakteri dan media SDA untuk isolat cendawan. Sebanyak 100 µL (105 cfu/mL) suspensi isolat diteteskan ke atas media agar padat datar di dalam cawan petri. Tetesan isolat diratakan dengan menggunakan spatula sehingga isolat dapat menyebar merata di atas permukaan media.
Sumur kecil
berdiameter 6 mm dibuat di media agar padat yang telah ditetesi isolat dengan menggunakan penggerek sucihama secara triplo. Ke dalam masing-masing sumur diisi 25 µL zat ekstraktif yang telah dilarutkan dalam dimetilsulfoksida (DMSO) pada konsentrasi 200 mg/mL. Semua media agar padat yang telah diisi dengan masing-masing zat ekstraktif dan mikroba uji yang diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam untuk bakteri, dan 48 jam untuk C. albicans. Antibiotika kloramfenikol (10 mg/mL) dan anticendawan ketokonazol (10 mg/mL) digunakan sebagai kontrol positif untuk bakteri dan cendawan. DMSO digunakan sebagai kontrol negatif. Pengamatan atas kemampuan antibakteri dan anticendawan dilakukan dengan mengukur zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur yang telah diisi zat ekstraktif dari faloak.
41
Fraksinasi dan Isolasi Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pemisahan senyawa yang memiliki sifat antimikroba dilakukan terlebih dahulu mencari eluen terbaik dengan menggunakan KLT. Eluen yang digunakan adalah pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu hexan, benzene, kloroform, dietil eter, etil asetat, aseton, etanol, dan methanol sebagai fase gerak, dan silica gel dalam KLT sebagai fase diam. KLT yang telah dipotong berukuran 1 cm x 10 cm, diberi garis pembatas masing-masing 1 cm dari ujung bidang panjang lempeng KLT, kemudian dipanaskan menggunakan oven selama 30 menit pada suhu 800C, sambil menyiapkan sejumlah cember dan cawan petri sesuai banyaknya pelarut sebagai eluen. Masing-masing cember diisi eluen sebanyak empat milliliter, kemudian ditutup rapat dengan cawan petri sehingga kondisi dalam cember jenuh dengan eluen. Lempeng KLT yang telah dipanasi, didiamkan sampai kondisi lempeng KLT menjadi dingin, Zat ekstraktif ditempatkan tepat pada garis batas bawah sampai ada warna yang timbul dengan menggunakan pipa kapiler. Lempeng KLT yang telah diberi tetesan zat ekstraktif didiamkan selama ± 15 menit agar zat ekstraktif yang ditotolkan terserap sempurna oleh silica gel dan menjadi kering dan selanjutnya dimasukkan ke dalam cember (lempeng KLT yang sudah berada di dalam cember tidak boleh diganggu) dan ditutup kembali dengan cawan petri. Lempeng KLT yang siap dianalisis adalah lempeng KLT yang telah dialiri eluen sampai pada garis batas atas KLT, didiamkan sampai eluen menguap kembali dan KLT menjadi kering. Analisis dilakukan dengan menggunakan sinar UV 254 nm untuk mengamati nilai Rf masing-masing lempeng KLT. Kromatografi Kolom (KK) Berdasarkan hasil KLT, eluen terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Benzen : Kloroform (4:1) dan fase diam yang digunakan adalah silica gel. Metode kromatografi kolom ini dilakukan secara gradien (Khopkar 2008) yang didahului dengan eluen penahan (klorofom). Keberhasilan dalam melakukan kromatografi kolom sangat ditentukan oleh pekerjaan pengisian kolom (Sudarmadji 1996). Dalam pekerjaan pengisian kolom, terlebih dahulu silica gel
42
sebanyak 90 gram direndam dengan kloroform selama 24 jam. Kolom yang telah disiapkan diisi dengan klorofom setinggi ± 10 cm dari dasar kolom. Kemudian dielusi dan kolom siap diisi dengan silica gel yang telah disiapkan. Ketika pengisian kolom, perlu disiapkan ruang setinggi ± 10 cm di atas silica gel untuk memberikan ruang yang cukup untuk diisi eluen. Kolom yang telah diisi silika gel, dielusi dengan kloroform sambil diketuk perlahan dengan benda yang permukaannya tidak kaku (batang spidol whiteboard), sehingga gelembung udara keluar dan isi kolom tersebar merata yang ditandai dengan tinggi silica gel dalam kolom tidak berubah (Sudarmadji 1996). Kolom yang siap untuk diisi dengan sampel, terlebih dahulu mengelusikan semua eluen sampai permukaan silica gel kemudian keran ditutup. Sampel diteteskan dengan pipet sampai membasahi permukaan kolom. Perlahan-lahan eluen ditambahkan pada kolom sampai setinggi 5 – 10 cm atau sampai penuh. Dengan demikian,
kolom siap dielusi dengan membuka keran yang
disambungkan dari kolom dengan pipa kapiler. Kecepatan aliran harus tetap, sehingga dalam penelitian ini eluat ditampung setiap lima menit dengan kecepatan satu tetes/detik. Eluen klorofom:benzene (10 : 0) akan berhenti dan diganti jika selama 3-5 tabung eluat yang tampung tidak berwarna/bening, maka gradient ditingkatkan menjadi kloroform : benzene (9 : 1). Perlakuan ini dilakukan hingga gradient akhir yaitu kloroform : benzene (0 : 10), dan dianggap selesai jika eluat yang keluar setelah menggunakan gradient akhir ini tidak berwarna lagi (bening seperti warna benzene). Eluat yang keluar dari kolom yang telah ditampung, dianalisis dengan KLT. Hasil KLT diamati dengan menggunakan sinar UV 254 nm untuk mengamati nilai Rf masing-masing KLT. Eluen yang memiliki Rf yang sama disatukan, diuapkan, dan dilanjutkan dengan uji antimikroba untuk memilih sub fraksi yang paling aktif. Eluen terbaik adalah kombinasi lempeng KLT yang memiliki spot terbanyak dengan pemisahannya mendekati sempurna, dan spot yang terbentuk pada lempeng KLT memiliki jarak antara spot tersebar hampir merata. Eluen terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah benzen : khloroform (4:1). Eluen ini dipilih berdasarkan hasil KLT eluen tunggal yang memperlihatkan eluen benzene
43
memiliki tiga spot tunggal yang terpisah secara sempurna dan memiliki jarak yang jelas antara spot satu dengan yang lainnya. Khloroform
memiliki tiga spot
tunggal, tetapi salah satu spotnya berada di garis dasar atau tidak terelusi (eluen penahan). Kombinasi benzene yang semuanya terelusi dengan khloroform yang salah satu spotnya tidak terelusi menghasilkan kombinasi eluen yang menghasilkan sembilan spot dengan pemisahannya mendekati sempurna, dan spot yang terbentuk dalam KLT memiliki jarak antar spot tersebar hampir merata sehingga kombinasi ini dipilih sebagai eluen terbaik yang digunakan dalam kromatografi kolom (KK). Penentuan Nilai Kadar Hambat Minimum (Minimum Inhibition Concentration, MIC) dan Kadar Membunuh Cendawan Minimum (Minimum Fungicide Concentration-MFC) Nilai MIC dan MFC ditentukan dengan menggunakan metode two-fold serial dilution (Olaleye dan Tolulope 2007) dengan rangkaian konsentrasi zat ekstraktif sebesar 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, dan 0,25 mg/mL dan suspensi mikroba sebanyak 100 µL (105 CFU/mL-1). Bakteri uji dibiakkan pada media Brain Heart Infusion (BHI) Broth, dan cendawan dibiakkan pada media Potato Dextrose Broth (PDB). Biakan bakteri diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam dan biakan cendawan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C (Policegoudra et al. 2010). Pembuatan suspensi bakteri dan cendawan dilakukan seperti tatacara untuk menguji aktivitas antimikroba di atas. Sebanyak tujuh tabung pengenceran diisi masing-masing dengan 0,5 mL BHI Broth untuk bakteri dan PDB untuk cendawan. Sebanyak 0,5 mL zat ekstraktif dietil eter biji dimasukkan ke dalam tabung pertama, kemudian dikocok atau diaduk dengan mixer agar media dengan zat ekstraktif tercampur merata. Sebanyak 0,5 mL suspensi dari tabung pertama diambil dan dimasukkan ke tabung kedua, dan diaduk kembali sampai merata. Perlakuan yang sama dilakukan sampai tabung ke tujuh, sehingga tersusun deret pengenceran 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, dan 0,25 mg/mL. Pada tabung ke 7 (tujuh), sebanyak 0,5 mL larutan yang telah dikocok atau diaduk dibuang untuk memperoleh volume yang sama setiap tabung yaitu
0,5 mL. Setelah semua
tabung memiliki isi yang sama, masing-masing tabung ditambahkan inokulum sebanyak 0,1 mL (106 CFU/mL). Dengan demikian, isi dalam tabung menjadi 0,6
44
mL. Setiap tabung ditambahi 0,4 mL media BHI Broth untuk bakteri dan PDB untuk cendawan untuk memperoleh isi akhir mencapai satu mililiter. Sebagai kontrol negatif, satu tabung diisi dengan satu mililiter media BHI Broth untuk bakteri dan satu mililiter media PDB untuk cendawan. Untuk kontrol positif, satu tabung berisi 0,9 mL media BHI Broth ditambahi inokulum bakteri dan satu tabung lainnya yang berisi 0,9 mL media PDB ditambahi dengan 0,1 mL inokulum cendawan. Pertumbuhan mikroba diamati dengan membandingkan tingkat kekeruhan media setelah diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam untuk bakteri, dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C untuk cendawan terhadap kekeruhan tabung kontrol positif dan kontrol negatif. Tabung yang kekeruhannya setara dengan kontrol negatif akan dicatat sebagai terhambat yang berarti zat ekstraktif dietil eter biji faloak bersifat mematikan mikroba (-). Sedangkan tabung yang tingkat kekeruhannya setara dengan kekeruhan pada tabung kontrol positif akan dicatat sebagai tidak terhambat (++) berarti zat ekstraktif dietil eter biji faloak bersifat tidak menghambat pertumbuhan mikroba, dan (+) untuk kategori tidak terlalu keruh berarti zat ekstraktif
dietil eter biji faloak bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba namun tidak mematikan. Untuk membuktikan terhambat atau tidaknya mikroba pada metode pengenceran ini, maka setiap tabung diuji kembali dengan metode agar datar, yaitu menumbuhkan isi tabung pengenceran yang berisi campuran isolat, media, dan zat ekstraktif pada media MHA; dan SDA untuk cendawan. Media yang tidak ditumbuhi mikroba uji mengindikasikan bahwa fraksi tersebut bersifat mematikan, sedangkan media yang ditumbuhi mikroba uji berarti fraksi tersebut tidak berpengaruh terhadap mikroba. Kadar terendah dari zat ekstraktif biji faloak yang memberikan efek penghambatan secara penuh terhadap bakteri setelah diinkubasi selama 24 jam yang diambil sebagai nilai MIC. Sedangkan nilai MIC terhadap pertumbuhan cendawan ditentukan bila pada kadar tersebut hanya 20% koloni cendawan C. albicans yang tumbuh. Nilai MFC adalah kadar akhir dari zat ekstraktif biji faloak yang memberikan efek penghambatan secara penuh terhadap cendawan C. albicans setelah diinkubasi selama 48 jam.
45
Identifikasi Senyawa Aktif Identifikasi senyawa untuk fraksi terpilih hasil kromatografi dilakukan dengan menggunakan spektrum inframerah (fourier transform infrared, FT-IR), kromatografi
cair
spektroskopi
masa
(Liquid
Chromatography
Mass
Spectroscopy, LC-MS) dan resonansi magnetik inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, struktur senyawa.
46
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Zat Ekstraktif Kandungan zat ekstraktif dari pohon faloak pada penelitian ini diperoleh melalui metode maserasi bertingkat menggunakan aseton sebagai pelarut awal, dan dilanjutkan dengan fraksinasi secara bertingkat mulai dari heksan, dietil eter, dan etil asetat. Maserasi dengan menggunakan aseton dapat mengekstraksi senyawa polar, semi polar maupun senyawa non polar. Hal ini disebabkan sifat dari aseton itu sendiri sebagai pelarut semi polar yang tidak hanya mengekstraksi komponen polar, tetapi juga komponen semi polar dan non polar. Berdasarkan sifat tersebut, maka aseton digolongkan ke dalam pelarut standar untuk mengekstraksi komponen zat ekstraktif kayu yang direkomendasikan oleh CPPA dan ISO untuk pengujian yang berhubungan dengan pengujian metode uji TAPPI (Stenius 2000). Table 1. Kandungan zat ekstraktif dari ekstrak aseton kulit, daun, dan biji faloak Kandungan Zat Ekstraktif Jenis Fraksi
Kulit Berat Rendemen (g) (%)
Daun Berat Rendemen (g) (%)
Biji Berat Rendemen (g) (%)
Heksan
8,51
0,47
37,59
2,07
46,14
2,55
Dietil eter
2,50
0,14
4,59
0,25
2,52
0,14
Etil asetat
17, 95
0,98
9,55
0,52
9,83
0,54
Residu
20,51
1,12
16,70
0,92
20,31
1,12
Aseton (Jml)
49,47
2,71
68,43
3,76
78,80
4,35
Hasil pengukuran rendemen masing-masing sampel (Lampiran 3), baik zat ekstraktif
aseton kulit, zat ekstraktif
aseton daun maupun zat ekstraktif
aseton biji faloak pada penelitian ini, menunjukkan persentase kandungan zat ekstraktif yang berbeda pada kondisi berat kering sampel dengan kadar air yang berbeda pula. Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan zat ekstraktif yang terdapat
47
pada biji lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan zat ekstraktif kulit dan daun. Perbedaan jumlah zat ekstraktif yang diperoleh dari hasil ekstraksi sangat ditentukan oleh sifat pelarut dan komposisi senyawa yang terkandung dalam bahan baku. Hal ini terbukti bahwa kandungan zat ekstraktif dalam biji adalah yang tertinggi diantara zat ekstraktif daun dan kulit faloak. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lanjutan terhadap penggunaan pelarut yang sesuai untuk memperoleh kemungkinan jumlah zat ekstraktif yang lebih tinggi. Houghton dan Raman (1998), menguraikan bahwa pelarut non polar akan secara selektif mengekstraksi senyawa kelompok lipofilik, demikian pula pelarut semi polar akan mengekstraksi sejumlah senyawa polar. Tabel 1 memperlihatkan bahwa zat ekstraktif biji dan daun faloak pada fraksi heksan lebih tinggi dibandingkan zat ekstraktif fraksi semi polar. Hasil ini memperlihatkan bahwa biji dan daun faloak lebih dominan mengandung senyawa lipofilik daripada senyawa hidrofilik, sedangkan kulit lebih dominan mengandung senyawa hidrofilik. Hasil Uji Fitokimia Uji fitokimia merupakan metode umum yang dilakukan untuk mendeteksi adanya senyawa metabolit sekunder
yang terdapat dalam suatu tumbuhan.
Metode ini sangat bermanfaat dalam menentukan golongan utama dari senyawa aktif zat ekstraktif kulit, daun dan biji faloak yang memiliki senyawa yang bersifat antimikroba. Tabel 2 menunjukkan bahwa zat ekstraktif aseton biji faloak lebih banyak mengandung senyawa metabolit sekunder dibandingkan dengan
zat
ekstraktif aseton dari daun dan kulit pohon faloak. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam biji memiliki jenis senyawa utama alkaloid, steroid, dan triterpenoid. Senyawa utama yang terdapat di dalam ekstrak aseton kulit hanya mengandung saponin yang tinggi dan sedikit triterpenoid. Berbeda dengan zat ekstraktif aseton kulit dan biji, zat ekstraktif aseton daun meskipun hanya mengandung steroid, namun tergolong positif kuat (positif +++).
48
Tabel 2. Hasil analisis fitokimia zat ekstraktif aseton kulit, biji, dan daun faloak Senyawa Metabolit Sekunder
Jenis zat ekstraktif
Alkaloid
Flavonoid
Steroid
Triterpenoid
Fenolik
Saponin
Kulit
-
-
-
+
-
+++
Biji
+++
-
+++
+++
+
-
Daun
-
-
+++
-
+
-
Keterangan: (-) = Tidak Terdeteksi; (+) = Positif lemah; (++) = Positif;
Secara umum zat ekstraktif
(+++) = Positif Kuat.
yang mengandung steroid, alkaloid, tanin,
polifenol pada level yang tinggi (positif kuat), memiliki aktivitas antimikroba yang cukup tinggi pula.
Anjaneyulu et al. (2010), melaporkan bahwa zat
ekstraktif dari kulit Acacia leucophloea L. pada kosentrasi MIC 25 mg/ml dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen pada diameter zona hambat 6 – 9 mm. Paiva (2010), dan Coolborn dan Bolatito (2010), melaporkan bahwa zat ekstraktif yang bersumber dari tumbuhan yang mengandung senyawa metabolit sekunder
seperti
steroid,
alkaloid, tanin,
polifenol
dapat
menghambat
pertumbuhan sejumlah mikroba patogen. Berdasarkan hal tersebut, zat ekstraktif aseton kulit, daun, dan biji berpotensi sebagai antimikroba.
Aktivitas Antimikroba Hasil uji tapis untuk mengetahui kemampuan antimikroba menunjukkan bahwa zat
ekstraktif kulit , daun dan biji faloak serta fraksi-fraksinya
menghasilkan berbagai tingkatan zona hambat (mm) yang dibentuk, bahkan beberapa fraksi tidak membentuk zona hambat. Zona hambat (mm) yang dibentuk oleh zat ekstraktif kulit , daun, dan biji faloak disajikan pada Tabel 3, 4 dan 5. Fraksi aseton, dietil eter, etil asetat dan residu (fraksi polar) dari zat ekstraktif kulit pohon faloak memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri aureus, S. agalactiae dan B. cereus, dan hanya
S.
fraksi heksan yang dapat
menghambat pertumbuhan B. cereus (Tabel 3). Dari keempatnya, fraksi dietil eter menunjukkan hasil yang sangat baik karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan diameter zona hambat dari 14,67-17,00 mm. Hanya fraksi aseton
49
dan dietil eter saja yang menghambat pertumbuhan S. typhii dan E. coli. Fraksi dietil eter memberikan hasil penghambatan yang lebih baik dibandingkan fraksi aseton. C. albicans hanya mampu dihambat oleh fraksi aseton dengan diameter zona hambat yang relatif rendah. Tabel 3.Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari kulit pohon faloak (ukuran dalam millimeter).
S. typhii
7,00
-
Fraksi Dietil eter 10,00
E. coli
8,50
-
11,33
-
10,33
-
31,67
S. aureus
15,17
-
16,17
14,67
13,33
-
29,00
B. cereus
16,17
10,67
17,00
15,33
13,33
-
29,00
S. agalactiae
7,00
-
14,67
11,33
13,33
-
34,00
C. albicans
7,00
-
-
-
-
30,67
Mikroba yang diuji
Aseton Heksan
Kontrol Etil asetat -
Residu
Negatif
Positif
-
-
28,00
-
Data dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh fraksi zat ekstraktif dari daun faloak mampu menghambat pertumbuhan B. cereus dengan kisaran diameter zona hambat 7–13 mm, sedangkan S. aureus hanya mampu dihambat oleh fraksi etil asetat dan residu (fraksi polar). Hanya fraksi aseton dan fraksi etil asetat yang mampu menghambat S. typhii dan E. coli. Fraksi etil asetat memberikan hasil zona hambat yang lebih baik dibandingkan aseton. Seluruh fraksi dari zat ekstraktif daun faloak tidak mampu menghambat pertumbuhan C. albicans. Tabel 4. Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari daun pohon faloak (ukuran dalam millimeter) Mikroba yang diuji S. typhii
Fraksi Dietil Aseton Heksan eter -
Kontrol Etil Residu Negatif Negatif asetat 9,00 28,00
E. coli
9,33
-
-
9,00
S. aureus
-
-
-
9,00
7,00
7,00
B. cereus
10,00
13,00
-
-
31,67
10,33
-
29,00
10,33
-
29,00
S. agalactiae
-
-
-
-
-
-
34,00
C. albicans
-
-
-
-
-
-
30,67
50
Dari data dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa hanya fraksi dietil eter dari zat ekstraktif biji faloak yang memberikan hasil zona hambat yang baik. Fraksi ini mampu menghambat seluruh bakteri dan cendawan yang digunakan dalam penelitian ini. Fraksi aseton hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus dan S. aureus. Fraksi heksan hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus. Tabel 5. Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari biji pohon faloak (ukuran dalam millimeter) Mikroba yang diuji
Aseton Hexan
Fraksi Dietil Etil eter asetat
Kontrol Residu
Negatif
Positif
S. typhii
-
-
9,33
-
-
-
28,00
E. coli
-
-
16,33
-
-
-
31,67
S. aureus
8,33
-
16,67
-
-
-
29,00
B. cereus
9,67
10,67
22,33
-
-
-
29,00
S. agalactiae
-
-
22,67
-
-
-
34,00
C. albicans
-
-
14,33
-
-
-
30,67
Diameter zona hambat yang dibentuk pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan zat ekstraktif berdifusi, keberadaan senyawa yang terdapat dalam zat ekstraktif, kandungan zat ekstraktif yang digunakan, serta tingkat ketahanan mikroba terhadap zat ekstraktif yang diterima. Berdasarkan hasil uji fitokimia, jenis senyawa metabolit sekunder dalam zat ekstraktif aseton biji faloak lebih banyak daripada daun dan kulit faloak. Hasil uji aktivitas antimikroba dari ketiga jenis zat ekstraktif beserta fraksi-fraksinya juga memperlihatkan bahwa fraksi dietil eter biji memberikan hasil yang lebih baik dengan spektrum zona hambat yang lebih luas. Oleh karena itu, fraksi dietil eter biji akan dipakai untuk uji penentuan MIC/MFC yang didahului dengan fraksinasi dan isolasi melalui KLT dan KK, sehingga diperoleh sub fraksi teraktif.
51
Penentuan MIC dan MFC Zat ekstraktif yang digunakan untuk mengukur nilai MIC dan MFC adalah zat ekstraktif biji
fraksi dietil eter yang telah difraksinasi dan diisolasi dengan
KLT dan KK. Nilai MIC dari sub fraksi dimaksud sebagaimana tertera pada Tabel 6, dan nilai MFC seperti yang ditampilkan pada Tabel 7 dan selengkapnya tertuang pada Lampiran dan 6. Tabel 6. Nilai MIC (mg/mL) zat ekstraktif dietil eter biji Sterculia comosa Wallich. Sub Fraksi Dietil Eter Biji
Bakteri DE 1
DE 2
E. coli
> 16
>1
> 16
> 16
> 16
> 16
16
> 16
2
S. typhi
> 16
1
> 16
> 16
> 16
> 16
16
> 16
0,5
B. cereus
8
0,5
8
8
8
8
4
8
2
S. aureus
>16
0,25
8
8
8
8
8
8
4
8
0,0625
1
2
2
8
4
4
8
S.
DE 3 DE 4 DE 5 DE 6 DE 7 DE 8
CL
agalactiae Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 – 8) CL = Cloramfenikol untuk bakteri
Zat ekstraktif dari biji pohon faloak memiliki spektrum hambatan yang cukup luas karena semua mikroba uji yang digunakan di dalam penelitian ini terhambat pertumbuhannya, walaupun dengan kadar MIC yang sangat beragam (Tabel 6). Zat ekstraktif
biji
pohon faloak lebih berpotensi menghambat
pertumbuhan bakteri B. cereus, S. aureus dan S. agalactiae. Sub fraksi DE2 memiliki kemampuan menghambat bakteri S. agalactiae lebih baik karena MIC yang dihasilkan hanya berkisar pada 0,0625 - 0,5 mg/mL. Hasil yang sedikit berbeda diperoleh bila menggunakan bakteri E. coli dan S. typhii. Zat ekstraktif dietil eter biji pohon faloak menghambat pertumbuhan kedua bakteri tersebut dengan nilai MIC yang lebih besar dibandingkan untuk menghambat ketiga bakteri negatif Gram yang digunakan. Nilai MIC dari zat ekstraktif biji
faloak yang diperoleh dari hasil uji terhadap negatif Gram pun
52
beragam. Nilai MIC yang dihasilkan dari uji zat ekstraktif dietil eter biji terhadap bakteri E. coli lebih besar daripada nilai MIC yang dihasilkan terhadap bakteri S. typhii. Ada perbedaan komposisi komponen dinding sel antara bakteri negatif Gram dan positif gram. Walaupun dinding sel bakteri positif Gram memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dibandingkan lapisan yang sama di dinding sel bakteri negatif Gram, tetapi komposisi penyusun dinding sel bakteri negatif Gram lebih beragam seperti yang digambarkan dalam skema pada Gambar 5 di bawah ini. Dinding Sel Bakteri Positif Gram Asam Lipoteikoat
Peptidoglikan - asam teikoat
Positif Gram Membran Sitoplasma Peptidoglikan
Membran Luar Peptidoglikan
Dinding Sel Bakteri Negatif Gram Membran Luar
Membran Plasma Positif Gram
Lipopolisakarida
Ruang Periplasma Membran Plasma
Membran Sitoplasma
Sumber: Alvin Fox, 2009
Gambar 5. Diagram ilustrasi dinding sel bakteri positif Gram dan negatif Gram. Kepekaan bakteri dalam menanggapi penetrasi senyawa aktif dari sub fraksisub fraksi
dietil eter yang dihadapinya sangat tergantung pada kemampuan
senyawa aktif berpenetrasi terhadap dinding sel bakteri (berhubungan dengan tingkat toksisitas senyawa bioaktif), konsentrasi zat ekstraktif yang digunakan, jenis bakteri, serta tingkat resistensi bakteri terhadap senyawa bioaktif yang diterima. Pada umumnya, bakteri positif Gram lebih peka terhadap antibiotik daripada negatif Gram. Struktur dinding sel bakteri negatif Gram yang dilapisi membran luar, peptidoglikan, ruang plasma, dan membran plasma, sedangkan bakteri positif Gram hanya dilapisi oleh peptidoglikan dan membran plasma (Gambar 8). Hal ini yang menyebabkan bakteri negatif Gram lebih resisten
53
dibandingkan dengan positif gram, sehingga untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri negatif Gram membutuhkan antibiotik yang tingkat toksisitasnya lebih tinggi, dan volume yang lebih banyak. Diharapkan sebagian antibiotik dapat menembus dinding sel dan menghambat sintesis protein dalam rangka mengganggu struktur dan fungsi molecular membran sel (Pelczar dan Chan 2009). Hal yang menarik terlihat pada hasil percobaan terhadap cendawan C. albicans (Tabel 7).
Delapan sub fraksi
zat ekstraktif yang digunakan
memberikan daya hambat pertumbuhan C. albicans yang berbeda. Hasil yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang dilakukan terhadap bakteri. Hanya ada satu sub fraksi yang memiliki nilai MFC lebih dari 16 mg/mL, yakni sub fraksi DE4. Dua sub fraksi , yaitu DE6 dan DE7, memiliki nilai MIC dan MFC yang paling kecil, yakni nilai MIC sebesar 0,25 mg/mL dan nilai MFC sebesar 0,5 mg/mL. Komposisi dinding sel C. albicans berbeda dengan dinding sel bakteri. Dinding sel C. albicans terdiri dari tiga bagian besar yaitu 1) senyawa β (1-3) glukan (bagian paling dalam dari dinding sel), 2) senyawa α (1-6) manan (bagian paling dalam dari dinding sel), dan 3) senyawa lipid yang terdapat pada lapisan permukaan bagian dalam dinding sel (Gandjar 2006). Tabel 7. MIC dan MFC sub fraksi dietil eter biji faloak terhadap cendawan C. albicans No
Sub fraksi
MIC
MFC
1
DE 1
1
2
2
DE 2
0,5
1
3
DE 3
2
4
4
DE 4
16
>16
5
DE 5
1
2
6
DE 6
0,25
0,5
7
DE 7
0,25
0,5
8
DE 8
1
2
9
KK
0,25
0,5
Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 – 8) KK = Ketoconazole untuk cendawan.
54
Kepekaan dari cendawan C albicans terhadap zat ekstraktif dietil eter biji faloak sangat tergantung pada kemampuan senyawa aktif berpenetrasi terhadap dinding sel cendawan (berhubungan dengan tingkat toksisitas senyawa aktif), konsentrasi zat ekstraktif yang digunakan, jenis cendawan, serta tingkat resistensi cendawan terhadap senyawa
aktif yang diterima. Untuk dapat menghambat
pertumbuhan C. albicans, senyawa aktif harus mampu; 1) merusak sistem manan yakni merusak ikatan antara manan dengan protein dan fosfat (manan paling luar), 2) merusak sistem glukan yakni merusak jaringan mikrofibril sehingga sistem pertahanan bentuk sel cendawan tergganggu, dan 3) merusak sistem senyawa lipid yang berfungsi mencegah kekeringan (Gandjar 2006). Bakteri negatif Gram dan positif gram lebih sensitif terhadap sub fraksi DE2, sedangkan C. albicans lebih sensitif terhadap sub fraksi DE 6 dan DE7. Meskipun sub fraksi DE6 memiliki nilai MIC dan MFC yang sama dengan subfraksi DE7, dan sub fraksi DE2 lebih aktif terhadap bakteri, namun hanya sub fraksi DE7 yang diidentifikasi dengan FT-IR, LC-MS, dan NMR. Subfraksi DE7 diuji lebih lanjut karena subfraksi ini lebih potensial sebagai sub fraksi yang memiliki
sifat
anti
cendawan
dan
aktivitas
antibakteri
Teridentifikasinya senyawa yang terdapat dalam zat
yang
ekstraktif biji
tinggi. faloak,
diharapkan dapat mendukung penggunaan faloak oleh masyarakat selama ini sebagai obat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh cendawan C. albicans seperti keputihan, peluruh haid, peluruh sisa-sisa kotoran, pemulih stamina setelah melahirkan, dan penyakit lainnya.
Identifikasi Senyawa Identifikasi senyawa yang terkandung dalam sub fraksi
DE7 dilakukan
dengan menggunakan alat bantu berdasarkan spektrum inframerah FT-IR, LC-MS dan NMR proton dan karbon untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, dan struktur senyawa yang ada di dalam sub fraksi . Spektrum infra merah dari sub fraksi DE7 terpapar pada Gambar 6 di bawah ini.
55
Gambar 6. Spektrum IR dari sub fraksi DE7. Spektrum FT-IR dari sub fraksi
DE7
zat
ekstraktif biji
faloak
menunjukkan adanya pita serapan pada bilangan gelombang 3099,61 cm-1 – 3298,28 cm-1, 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 , 2601,97 – 2650,19 cm-1, 1720,50 cm-1. Serapan yang dihasilkan pada bilangan 3099,61 cm-1 – 3298,28
cm-1
menunjukkan adanya gugus O-H, adanya serapan bilangan gelombang 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 menunjukkan adanya gugus H-C-H, serapan pada bilangan 2601,97 – 2650,19 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H, sedangkan gugus C=O ditunjukkan oleh adanya serapan pada 1720,50 cm-1. Gugus – gugus fungsi berdasarkan hasil FT-IR ini menegaskan bahwa senyawa tersebut merupakan golongan senyawa asam lemak, yang diperkuat oleh adanya gugus CH2 pada serapan bilangan gelombang 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 yang menggambarkan adanya golongan alifatik.
56
BPI=>NR(2.00)=>SM3
T3.4
100
589.1
90
80
70
% Intensity
60
50
40
30
20
10
0
0
4
8
12
16
20
0
Retention Time (Min)
Mariner Spec /69:70 (T /3.38:3.43) -58:61 (T -3.38:3.43) ASC=>NR(5.00)[BP = 300.3, 639]
300.25
100
639.5
90
80
70
% Intensity
60
50
40
30
301.24
20
245.29 10
0 99.0
213.30
322.20 285.24 319.2
598.84 387.15
526.90
622.57
539.4
697.27
768.33 759.6
979.8
0 1200.0
Mass (m/z)
Gambar 7. Kromatogram LC-MS sub fraksi DE7. Hasil kromatografi LC-MS sub fraksi DE7 dengan menggunakan eluen methanol : air (9:1) menampilkan beberapa puncak dengan berat molekul yang berbeda. Meskipun demikian, sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 7 diperoleh satu puncak yang dominan, yang teridentifikasi memiliki berat molekul 300 (m/z) dengan waktu retensi 3,4 menit. Hasil pengukuran Proton NMR yang ditampilkan Tabel 8 serta didukung oleh hasil estimasi menggunakan ChemDraw menunjukkan nilai pergeseran Proton (-H) dengan adanya puncak-puncak pergeseran 0,8529 – 4,1397 ppm yang teridentifikasi dengan ChemDraw pada pergeseran 0,88 – 4,81 ppm. Sebagai pergeseran Proton terdapat puncak-puncak yang menunjukkan bahwa pada pergeseran 0,8529 – 0,8658 ppm sebagai pergeseran Proton gugus metil (CH3), adanya gugus karboksilat (C-OH) pada pergeseran 3,6857 – 4,1397 ppm, dan adanya gugus hidroksi (-OH) pada pergeseran 1,1810 – 2,7064 ppm.
57
Tabel 8. Nilai pengukuran H-NMR, C-NMR dan nilai pendugaan berdasarkan interpretasi menggunakan ChemDraw. No
H-NMR Hasil Pengukuran (ppm)
C-NMR
Chem Draw
1
4,1397
4,81
2
2,2589
3
Hasil Pengukuran (ppm)
Chem Draw
179,3461
176,2
2,52 ; 2,27
46,3151
44,8
3,6857
3,54
65,1056
67,5
4
1,6039
1,44
34,1728
34,5
5
1,2809
1,25
24,7681
25,1
6
1,2809
1,25
29,8138
29,9
7
1,2809
1,29
29,4799
29,6
8
1,2809
1,26
29,4799
29,6
9
1,2809
1,26
29,4799
29,6
10
1,2809
1,26
29,4799
29,6
11
1,2809
1,26
29,4799
29,6
12
1,2809
1,26
29,4799
29,6
13
1,2809
1,26
29,4799
29,6
14
1,2809
1,26
29,4799
29,6
15
1,2809
1,29
29,4799
29,3
16
1,2809
1,29
32,0457
31,8
17
1,2809
1,31
22,8126
22,7
18
0,8658
0,88
14,2472
14,1
Spektrum Karbon NMR yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan pergeseran Karbon NMR (13C) yang secara lengkap disajikan pada Lampiran 8, bahwa terdapat tiga kelompok gugus utama mulai dari pergeseran 14,2472 – 179,3461 ppm. Nilai pergeseran pada 14,2472 – 34,1728 ppm menunjukkan adanya gugus metil (CH3), dan gugus hidroksi (-OH) ditunjukan oleh nilai pergeseran pada 63,4173 – 71,1624 ppm.
58
Berdasarkan hasil pengukuran H-NMR dan C-NMR, diduga bahwa senyawa tersebut merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi –OH). Hal ini didukung pula oleh hasil pengukuran LC-MS, bahwa senyawa tersebut mempunyai berat molekul 300 (m/z). Di samping itu adanya gugus hidroksi dan gugus karboksilat berdasarkan hasil pengukuran spektrum FT-IR semakin memperkuat pendugaan bahwa senyawa tersebut merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi –OH).
Dengan demikian diduga senyawa tersebut
adalah 3-hydroxyoctadecanoic acid. Hasil prediksi tersebut didukung dengan nilai pergeseran kimia hasil prediksi menggunakan ChemDraw, maka struktur senyawa yang memiliki berat molekul 300 (m/z), diidentifikasi sebagai
senyawa 3-
hydroxyoctadecanoic acid. O
3-hydroxyoctadecanoic acid
OH
OH
Gambar 8. Struktur molekul senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid. Senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3) seperti yang ditampilkan pada Gambar 8 telah diisolasi sebelumnya dari zat ekstraktif bunga Hypericum lysimachioides var. lysimachioides. Spesies ini adalah salah satu flora yang tumbuh di Turki yang banyak digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan luka, antigastritis, efek antiseptik, memiliki aktivitas anti depresi, anti kanker dan antimikroba.
Selain
terdapat
dalam
Hypericum
lysimachioides
var.
lysimachioides, senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid juga merupakan bagian penting dari lipid mikroba. Senyawa ini telah digunakan secara luas sebagai salah satu senyawa penciri untuk membantu karakterisasi bakteri negatif Gram dan positif gram. Senyawa ini merupakan salah satu komponen penyusun membran sitoplasma (Özen et al. 2004). Teridentifikasinya senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid yang terdapat dalam zat ekstraktif sub fraksi DE 7 dari biji faloak, serta didukung oleh hasil uji MIC dan MFC yang ditampilkan pada Tabel 6 dan Tabel 7, mengindikasikan
59
bahwa senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid adalah senyawa yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan. Hal ini menunjukkan bahwa biji faloak “berpotensi” digunakan sebagai sumber obat untuk mencegah dan mengobati penyakit, antara lain: 1) penyakit yang disebabkan oleh C. albicans, seperti; kandidiasis (penyakit yang terjadi pada selaput lendir, mulut, vagina dan saluran pencernaan), infeksi yang menyerang jantung (endokarditis), pneumonia, septisemia (darah); 2) penyakit yang disebabkan oleh bakteri, seperti: disentri, gagal ginjal, diare dan diare dengan tinja berdarah, gastroenteritis (mual, muntah, buang air besar secara terus menerus), tipus (demam tifoid), sacroirilitis (peradangan sendi penghubung tulang belakang dengan panggul), tekanan darah, gangguan fungsi hati.
60
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Pohon faloak (Sterculia comosa Wallich) memiliki kandungan zat ekstraktif yang penyebarannya dalam setiap bagian pohon sangat beragam. Persentase kandungan zat ekstraktif dalam kulit dan daun lebih kecil daripada dalam biji. Dalam zat ekstraktif biji faloak, walaupun hanya sebagian kecil saja yang berperan sebagai antimikroba, tetapi memiliki sifat antimikroba sangat tinggi terhadap bakteri E. coli, S. typhii, S. aureus, B. cereus, S. agalactiae dan cendawan C. albicans. Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan NMR proton, FT-IR, dan LC-MS menunjukkan bahwa sub fraksi
DE7 fraksi dietil eter biji
mengandung senyawa turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi -OH), yaitu 3-hydroxyoctadecanoic acid. Saran Mengingat faloak memiliki keunggulan sebagai obat serta didukung oleh kemampuannya untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik pada lahan kritis dengan kondisi wilayah beriklim kering, tanah berbatu, serta tergolong jenis evergreen, maka perlu pertimbangan pemerintah dan para pihak untuk: 1. Menjadikan pohon ini sebagai tumbuhan konservasi lahan kritis khususnya pada kondisi wilayah beriklim kering seperti NTT. 2. Kajian serta pendekatan silvikultur untuk pengembangan budidaya pohon faloak. 3. Menjadikan faloak sebagai salah satu sumber pendapatan masyarakat. Penelitian lanjutan dibutuhkan dalam rangka : 1. Mengidentifikasi struktur molekul, dan gugus fungsi senyawa yang terkandung dalam sub fraksi DE2 fraksi dietil eter biji. 2. Menguji dan mengidentifikasi kandungan alkaloid, triterpenoid dan steroid, dan saponin yang terdapat dalam kulit, biji, dan daun faloak yang banyak dilaporkan sebagai penghambat pertumbuhan kanker, antibiotik, menurunkan kolesterol, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan stamina.
61
DAFTAR PUSTAKA
Anjaneyulu E, Ramgopal M, Hemalatha S, Balaji M. 2010. Phytochemical Analysis, Antimicrobial and Anti Oxidant Activity of the Bark Extracts of Acacia leucoplhoea L. Global Journal Biotecnology & Biochemistry 5 (4): 231-236. Benenson AS (ed.). 1995. Manual Pengendalian Penyakit Menular, Sixteenth Edition. United Book Press, Baltimore, hal 140-150. In Zuber Mulla, 1999 E. coli: Serotypes other than O157:H7 DOH. Regional Epidemiologist. [BPS NTT] Biro Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur 2009. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2009. BPS NTT. Kupang: Percetakan CV. Natalia. Cheeke PR. 2011. Saponins. OSU/LPI Affiliate http://www.perfectwaters.net/saponins. html (6 April 2011)
Investigator
Cole B. 2010. Extractive Components of Wood. University of Maine. http://chemistry.umeche.maine.edu/Green/Afternoon/Cole (21 April 2010). Coolborn AF, Bolatito B. 2010. Antibacterial and Phytochemical Evaluation of Three Medicinal Plants. Journal of Natural Products. 3 : 27-34 Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Sastrohamidjoyo H dan Prawirohatmojo S, Penerjemah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari Wood: Ultrastructure, Reactions. Fox A. 2010. Microbiology and Immunology Book On Line: Bacteriology; Medical Microbiology. University of South Carolina School Medicine. Fox K. 2010. Microbiology and Immunology Book On Line: Bacteriology; Zoonosis. University of South Carolina School Medicine. Frederique B. 2009. Plant Made Pharmaceutical Cerbereus Project. Becoteps WorkshopBrussel. http://www.efi.intfilesattachments2009 becotepsmicrosoft/ powerpoint/fbertaud-becoteps/presentation.pdf (5 Mei 2010). FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C. : Global Forest Watch. Glaser P, Rusniok C, Frangeul L, Msadek T, Zouine M, Couve E, Lalioui L, Poyart C, Trieu-Cout P, Kunst. (2002). "Genome sequence of
62
Streptococcus agalactiae, a pathogen causing invasive neonatal disease." Molecular Microbiology, 45 (6): 1499–1513. Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi: Dasar dan Terapan. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan (Cetakan Keempat) Padmawinata K, Soediro I, Penerjemah: Niksolihin S, editor. Bandung: ITB. Terjemahan dari Phytochemical Method. Hasan SM, Haq AU, Byrd JA, Berhow MA, Cartwrigght AL, Bailey CA. 2010. Haemolytic and Antimicrobial Activities of Saponin-rich extracts from guar meal. Elsevier Journal 119:600-605. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of natural Extracts. Suffolk: Printed in Great Britain by St.Edmundsbury Press, Hunt R. 2010. Microbiology and Immunology Book on Line: Bacteriology. University of South Carolina School Medicine. Katade SR, Pawar PV, Wakharkar RD, Deshpande NR. 2006. Sterculia guttata seed – An Effective Mosquito Larvicide. Indian Journal of Experimental Biology 44:662-665. Khopkar SM. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik: Saptorahardjo A., Penerjemah; Nurhadi A. Pendamping; UI-Press. Terjemahan dari Basic Consepts of Analytical Chemistry. Kim HB. 2011. Streptococcus agalactiae From MicrobeWiki, The StudentEdited Microbiology Resource. http://microbewiki.Kenyon.edu/index.php/ Streptococcusagalactiae (27 Mei 2011). Lestari S. 2010. Memotret Kondisi Hutan Indonesia. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/06/100609_hutan indo.shtml.. BBC Indonesia, (17 Juli 2010). Loir YL, Baron F, Gautier M. 2003. Staphylococcus aureus and Food Poisioning (Review).Genetics and Molecular Research (online journal), 2(1): 63-76. Menkes RI 2007. [Menkes RI] Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 381/MENKES/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional, Jakarta: Menkes.
63
Olaleye, Tolulope M. 2007. Cytotoxicity and Antibacterial activity of Methanolic Zat ekstraktifof Hibiscus sabdariffa. Journal of Medicinal Plants Research. 1: 009-013. Özen HÇ, Bashan M, Toker Z, Keskin C. 2004. 3-Hydroxy Fatty Acids from the Flowers of Hypericum lysimachioides var. lysimachioides. Turkey Journal Chemistry, 28: 223 – 226. Paiva PMG, Gomes FS, Napoleao TH, Sa RA, Correia MTS, Coelho LCBB. (2010), Antimicrobial Activity of Secondary Metabolites and Lectins from Plants. Current Research, Tecnology and Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotecnology. A. Mendez-Vilas (Ed). Universidade Federal de Permanbuco. Brazil. Pelczar MJ, Chan ECS. (2008). Dasar – Dasar Mikrobiologi Jilid I, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. Pelczar MJ, Chan ECS. 2009. Dasar – Dasar Mikrobiologi Jilid II Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. Policegoudra RS, Rehna K, Rao LJ, Aradhya SM. 2010. Antimicrobial, Antioxidant, Cytotoxicity and Lempengelet Aggregation Inhibitory Activity of a Novel Molecule Isolated and Characterized From Mango Ginger (Curcuma amada Roxb.). Journal of Bioscience 35 (2): 231-240. Purwoko T. 2009. Fisiologi Mikroba. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Ramesh Ch, Patar MG. 2010. Antimicrobial Properties, Antioxidant Activity and Bioactice Compounds From Six Wild Edible Mushrooms Of Western Ghats Of Karnataka, India . Journal of Pharmacognosy Research 2: 107112. Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Edisi Keenam) Padmawinata K., Penerjemah: Sutomo T., Penyunting. Bandung: ITB. Terjemahan dari The organic constituents of higher plants, 6th edition. Rubinstein G, Bavdaz B, Bunder SD, Blazquez N. 2011. Trends in Macrolide Tesistance for Streptococcus pyognenes, Streptococcus agalactiae, Streptococcus pneumonia, and its Association with Social Clustering in Argentina. The Open Antimicrobial Agents Journal, 3:1-5. Salvo AD. 2010. Microbiology and Immunology Book On Line: Mycology; Yeasts. University of South Carolina School Medicine. Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press.
64
Schneider KR, Parish ME, Goodrich RM, Cookingham T. 2004. Preventing Foodborne Illness: Bacillus cereus and Bacillus anthracis. University of Florida IFAS Extension. FSHN04-05. Setyowati. 2008. Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan. Ditjen PHKA, Derpartemen Kehutanan Indonesia. Shamsundar SG, Paramjyothi S. 2010. Preliminary pharmacognostical and Phytochemical Investigation on Sterculia foetida Linn. African Journal of Biotecnology. 9 (13):1987-1989. Sjostrom E. 1993. Wood Chemistry: Fundamentals and Aplication. San Diego California: Academic Press,Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. Smith J. 2004. Rahasia Tentang Obat dari Hutan. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Stenius P. 2000. Forest Products Chemistry: Papermaking Science and Technology. Jyvaskyla, Finland: Printed by Gummerus Printing. Sudarmadji S. 1996. Teknik Analisa Biokimiawi. Yogyakarta: Penerbit Liberti. Tantra IGM. 1976. A Revision of The Genus Sterculia L. In Malesia (Repisi Marga Sterculia L. di Malesia): Sterculiaceae. Lembaga Penelitian Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor – Indonesia. Thiel T. 1999. Introduction To Bacteria. Department of Biology University Missouri – St. Louis. Walker JCF. 2006. Primary Wood Processing: Principles and Practice. University of Canterbury, Christchurch, New Zealand. Published by Springer. Vital PG, Velasco RN, Demigillo JM, Rivera WL. 2010. Antimicrobial activity, Cytotoxicity and Phytochemical Screening of Ficus spetica and Sterculia foetida L Leaf Extracts. Journal of Medicinal Plants Research 4 (1): 058063. Zipcodezoo. 2010. Family Sterculiaceae. http://www.naturefiji.org/ endspecies.php?info=Pterocymbium%20oceanicum. pdf (10 Maret 2010).
65
LAMPIRAN – LAMPIRAN
66
Lampiran 1. Surat keputusan hasil identifikasi tumbuhan faloak (Sterculia comosa Wallich)
67
Lampiran 2. Simplisia dan zat ekstraktif kulit , daun, dan biji pohon faloak (Sterculia comosa Wallich).
a
b
c
d
e
f
h
i
g Keterangan: a= Kulit bagian dalam b= Serbuk kulit c= Daun faloak d= Serbuk daun e= Biji faloak
f= Serbuk biji g= Perendaman dengan aseton h= Evaporasi dgn Vakum Rotavapor i= Fraksi masing-masing zat ekstraktif
Lampiran 3. Kandungan zat ekstraktif kulit , daun, dan biji faloak berdasarkan kadar air dan berat sampel.
Jenis Berat Basah Sampel Sampel (gram) 1 Kulit 1970 2 Daun 1910 3 Biji 2000
No
Kadar Air (%) 8,01 4,92 10,97
Berat Kering Sampel (gram) 1823,88 1820,37 1811,35
Berat zat ekstraktif (gram) 49,47 68,43 78,80
Rendemen (%) 2, 71 3, 76
4,35
68
Lampiran 4. Diameter zona hambat (mm) zat ekstraktif faloak (kulit, biji, daun) Jenis Zat ekstraktif 1)
Aseton
2) Heksan
3) Dietil Eter
4) Etil Asetat
5) Residu
6) DMSO (Kontrol-)
Jenis Mikroba a) Salmonela b) Eschericia coli c) Stapilococcus aureus d) Basillus cereus e) Candida albicans f) Streptococcus agalactiae a) Salmonela b) Eschericia coli c) Stapilococcus aureus d) Basillus cereus e) Candida albicans f) Streptococcus agalactiae a) Salmonela b) Eschericia coli c) Stapilococcus aureus d) Basillus cereus e) Candida albicans f) Streptococcus agalactiae a) Salmonela b) Eschericia coli c) Stapilococcus aureus d) Basillus cereus e) Candida albicans f) Streptococcus agalactiae a) Salmonela b) Eschericia coli c) Stapilococcus aureus d) Basillus cereus e) Candida albicans f) Streptococcus agalactiae a) Salmonela b) Eschericia coli c) Stapilococcus aureus d) Basillus cereus e) Candida albicans f) Streptococcus agalactiae
Diameter Zona Hambat (mm) Kulit Biji Daun 7.00 0.00 0.00 8.50 0.00 9.33 15.17 8.33 0.00 16.17 9.67 10.00 7.00 0.00 0.00 7.00 0.00 0.00 0.00 10.67 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 10.67 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 13.00 0.00
0.00 10.00 11.33 16.17 17.00 0.00
0.00 9.33 16.33 16.67 22.33 14.33
0.00 0.00 0.00 0.00 7.00 0.00
14.67 0.00 0.00 14.67 15.33 0.00
22.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 9.00 9.00 9.00 7.00 0.00
11.33 0.00 10.33 13.33 13.33 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 10.33 10.33 0.00
11.33 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00
0.00
0.00
69
Sambungan lampiran 4
Jenis Zat ekstraktif 7) Kontrol Positif
Jenis Mikroba a) Salmonela b) Eschericia coli c) Stapilococcus aureus d) Basillus cereus e) Candida albicans f) Streptococcus agalactiae
Diameter Zona Hambat (mm) Kulit Biji Daun 28.00 28.00 28.00 31.67 31.67 31.67 29.00 29.00 29.00 29.00 29.00 29.00 30.67 30.67 30.67 34.00
34.00
34.00
70
Lampiran 5. Uji MIC zat ekstraktif sub fraksi dietil biji faloak. No
Mikroba
1
E. coli
2
B. cereus
3
S. aureus
4 S. agalactiae
5
S. typhii
6 C. albicans
Pengenceran (mg/mL) 1 0,5 0,,25 0,125 0,0626 0,03125 0,016 ++ ++ ++ tu tu tu tu + + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu + + + tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu + + + tu tu tu tu + + + tu tu tu tu + + + tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu + + ++ ++ ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu ++ ++ ++ tu tu tu tu + + + tu tu tu tu
Sub fraksi I II III IV V VI VII VIII CL I II III IV V VI VII VIII CL I II III IV V VI VII
16 + tu + + + + + tu + tu -
8 + tu + ++ ++ + + + tu + + tu + -
4 ++ tu ++ ++ ++ ++ + + + tu + ++ + + + ++ tu + ++ + + +
2 ++ tu ++ ++ ++ ++ + ++ ++ tu ++ ++ ++ ++ + + ++ tu ++ ++ ++ ++ +
VIII CL I II III IV V VI VII
tu -
tu -
+ + tu + -
+ + ++ tu + + +
+ + ++ + + ++ +
+ -+ ++ + + + ++ +
+ + ++ ++ + ++ ++ +
tu tu tu tu tu tu tu tu
tu tu tu tu tu tu tu tu
VIII CL I II III IV V VI VII
+ tu + ++ + + -
+ tu + ++ ++ ++ +
+ + tu + ++ ++ ++ +
+ + ++ tu ++ ++ ++ ++ +
+ + ++ ++ ++ ++ ++ ++
+ + ++ + ++ ++ ++ ++ ++
++ + ++ + ++ ++ ++ ++ ++
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu
VIII CL I II III IV V VI VII VIII KK
+ tu + -
+ tu ++ -
++ tu ++ -
++ tu + ++ -
++ ++ ++ ++ + + -
++ ++ + ++ ++ ++ ++ -
++ + ++ ++ ++ ++ ++ + + ++ +
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu tu tu
tu tu tu tu tu tu tu tu
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu tu tu
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu tu tu
tu tu tu ++ tu tu tu tu tu tu tu
+
Keterangan: (-) tidak ada pertumbuhan, (+) ada penghambatan, (++) tidak terhambat, (tu) tidak diuji (CL) Kloramfenikol
71
Lampiran 6. Uji MFC zat ekstraktif sub fraksi dietil biji faloak terhadap C. albicans. No
1
Sub fraksi
Pengenceran (-1 / -2) 16
8
4
2
1
0,5
0,,25
I
-
-
-
-
3 -5
-
-
-
-
-
-
II
-
-
-
-
-
1-4
-
-
-
-
-
III
-
-
-
0 -1
1-1
-
-
-
-
-
-
IV
1-3
3-6
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
2-3
2-4
-
-
-
-
-
VI
-
-
-
-
-
-
1 - 17
-
-
-
-
VII
-
-
-
-
-
-
14 - 21
-
-
-
-
VIII
-
-
-
-
0-1
3-4
-
-
-
-
-
KK
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: (-) tidak diuji (KK) Ketoconazole.
0,125 0,0626 0,03125 0,016
72
Lampiran 7. Spektrum Proton NMR Senyawa DE7
73
Lampiran 8. Spektrum Karbon NMR Senyawa DE7