Melongok Sifat Atom: Menyingkap Penyusun Zat
Model Atom Nitrogen
Telah menjadi sifat dasar manusia untuk mencoba, mengamati dan mengimpikan. Sejarah tenaga nuklir juga merupakan riwayat impian berabad-abad lamanya yang menjadi kenyataan. Beberapa spekulasi filosofis paling awal adalah mengenai dengan apa dunia materi (zat) tersusun. Apakah setiap zat, seperti air, batu atau kayu, dapat dibagi secara tanpa henti sedemikian bagian-bagiannya selalu menghasilkan sifat-sifat yang sama seperti zat tersebut secara keseluruhan? Atau apakah ada beberapa level dari struktur di mana bagian-bagian kecil tersebut akan memperlihatkan sifat-sifat dan bentuk-bentuk baru? Para pemikir Yunani kunolah yang pertama kali mengembangkan gagasan bahwa semua zat atau materi tersusun oleh partikel-partikel yang tak terlihat. Pemikir Yunani Democritus (460-370 SM) mengemukakan bahwa benda-benda yang kita alami sesungguhnya adalah terbangun dari unit-unit fundamental. Dia menyebutnya atom, dan dia memvisualisasikan
mereka sebagai sesuatu yang tidak dapat rusak, tidak dapat dibagi, dan dapat dirakit ke dalam berbagai bentuk dan rupa. Karena itu materi adalah tidak pernah lahir dari ketidakadaan kecuali hanya beranekaragam dari kombinasi baru atom-atom. Konsep atom tidak diterima luas hingga ilmuwan Inggris Jonh Dalton membangun teori atomnya sekitar lebih 170 tahun yang lalu. Para ilmuwan abad 18 dan 19 kemudian menelaah kembali konsep tersebut dengan melakukan percobaan-percobaan. Radiasi pengion ditemukan pertama kali oleh Wilhem Conrad Rontgen pada 1895, dengan melewatkan suatu arus listrik melalui tabung gelas hampa dan dihasilkan sinar yang kontinu. Dia menemukan suatu bentuk energi yang dapat menembus bendabenda. Dia tidak begitu yakin dan menyebutnya sinar-X. Sinar-X segera diterapkan oleh para dokter untuk membantu melihat bagian dalam tubuh. Para ilmuwan segera mempelajari pengaruh sinar-X pada berbagai zat dan benda. Salah satu percobaan dilakukan pada 1896 oleh Wilhelm C. Rontgen (1895) fisikawan Perancis Antoine Henri Becquerel menemukan jenis sinar baru kedua yang dikenal sebagai sinar Becquerel. Dipicu oleh penemuan Rontgen, Becqurel mencoba mencari sinar-X pada garam-garam Uranium atau pitchblende (bongkahan yang mengandung radium dan uranium). Namun sesuatu yang tak terduga terjadi, sebagai sering terjadi di dalam penemuan fisika: Becquerel menemukan bahwa garam-garam ini memancarkan suatu bentuk radiasi baru. Dia menemukan
bahwa makin banyak uranium yang digunakan makin banyak sinar yang dihasilkan dan disimpulkan bahwa radiasi datang dari Uranium. Becquerel menemukan bahwa pitchblende mengakibatkan plat fotografi menghitam. Dia mendemonstrasikan bahwa ini karena pancaran radiasi beta (elektron) dan partikel alfa (inti helium). Villard menemukan jenis radiasi ketiga dari pitchblende: sinar gamma, yang sama dengan sinar-X. Kemudian pada 1896 Pierre dan Marie Curie memberi nama radioaktivitas pada fenomena ini, dan pada 1898 mengisolasi polonium dan radium dari pitchblende. Radium kelak digunakan dalam penanganan medis. Pada 1898 Samuel Prescott memperlihatkan bahwa radiasi mematikan bakteri dalam makanan. Sains modern kemudian memperlihatkan bahwa atom juga dapat dibagi lagi dalam unit-unit yang lebih fundamental. Pada 1897 fisikawan Inggris J.J. Thomson berhasil mengidentifikasi elektron, sebagai suatu penyusun atom. Juga di Inggris awal abad yang lalu fisikawan Ernest Rutherford berhasil mendemonstrasikan bahwa sebagian besar atom adalah memiliki ruang kosong dan bahwa hampir seluruh massanya terpusat di dalam inti atom. Pada 1902 Ernest Rurherford menunjukkan bahwa radioaktivitas sebagai suatu peristiwa spontan yang memancarkan partikel alfa atau beta dari inti menghasilkan sebuah unsur berbeda. Penyusun utama inti atom adalah proton bermuatan positif, yang didentifikasi oleh Rutherford kira-kira 1919. Dia kemudian mengembangkan konsep atom dan dia menembakkan partikel alfa dari sumber radium ke nitrogen dan mendapatkan bahwa perubahan inti terjadi, dengan formasi oksigen. Niels Bohr adalah ilmuwan lain yang membawa maju pemahaman kita tentang atom dan cara elektron tertata mengitari intinya hingga diperoleh model atom yang hampir lebih lengkap. Pada 1911 kimiawan Frederick Soddy menemukan bahwa unsur radioaktif alam mempunyai nomor isotop berbeda (radionuklida), dengan kimiawi sama. Juga pada 1911, George de Hevesy memperlihatkan bahwa radionuklida tersebut tidak terhingga nilainya sebagai perunut (tracer), karena dengan jumlah sedikit dapat dideteksi dengan peralatan sederhana.
Pada 1932 Fisikawan Inggris Ernest Rutherford di Laboratoriumnya di lainnya Universitas MCGill, Kanada, 1903. James Chadwick berhasil menunjukkan bahwa suatu partikel kedua, yang tak memiliki muatan listrik dan demikian disebut neutron, berdiam di dalam inti atom. Juga pada 1932 Cockcroft dan Walton menghasilkan transformasi nuklir dengan menembaki atom dengan proton yang dipercepat, kemudian pada 1934 Irene Curie dan Frederic Joliot menemukan bahwa beberapa transformasi demikian menghasilkan radinuklida buatan. Gambaran yang berkembang tentang atom adalah bahwa inti atom tersusun dari proton dan neutron, dengan elektron mengorbit inti atom. Identitas kimiawi dari tiap atom suatu unsur ditentukan oleh banyaknya proton di dalam inti atomnya, yang menentukan nomor atom unsur-unsur. Inti atom paling sederhana adalah inti atom hidrogen, dengan satu proton dan nomor atom 1, nomor atom helium adalah 2, lithium 3, dan seterusnya. Seperti telah ditunjukkan, proton memiliki suatu
muatan listrik positif sama dan berlawanan muatan negatif elektron, gaya tarik-menarik antara muatan-muatan positif dan negatif mengikat atom bersama-sama. Atom netral mamiliki elektron yang sama banyaknya dengan proton; dengan lebih sedikit elektron dari pada proton, maka atom menjadi ion positif. Atom dapat bergabung membentuk molekul, dengan nomor atom bervariasi dari dua (seperti dalam molekul oksigen yang kita hisap) hingga beberapa juta dalam hidrokarbon kompleks yang menyusun kehidupan. Model konseptual ini, dengan penyempurnaan kelak, mencakup secara memuaskan periodisitas dalam sifat-sifat fisis dan kimiawi yang ditampilkan dalam tabel periodik unsur-unsur. Inti atom (nukleus) adalah terdiri antara satu hingga kira-kira 260 proton dan neutron. Massa atom terkonsentrasi di inti atom karena massa proton atau neutron hampir 2000 kali lebih besar daripada massa elektron. Meskipun inti atom dari setiap unsur mengandung jumlah proton yang tetap, tapi ia dapat mempunyai jumlah neutron yang berbeda. Inti berbeda dari suatu unsur tersebut dinamakan isotop. Semua unsur-unsur dalam tabel periodik, kecuali yang 20, memiliki dua atau lebih isotop sehingga berat atom alamiah mereka bergantung pada kelimpahan relatif tiap-tiap isotop. Diantara semua unsur-unsur ada kira-kira 300 isotop stabil dan 1600 isotop tak stabil atau isotop radioaktif. Inti radioaktif adalah inti-inti yang mengalami perubahan spontan yang membuat mereka secara umum ke dalam inti unsur-unsur dengan nomor atom lebih kecil. Meskipun ada sejumlah besar isotop-isotop tak stabil, sebagian besar inti adalah stabil. Pencarian penyusun materi yang tak dapat dibagi lagi yang bermula sebelum Democritus berlanjut hingga hari ini. Para ilmuwan telah menemukan lebih 100 partikel-partikel subatomik. Bukti-bukti meningkat bahwa banyak partikel-partikel sub-atomik dapat sebaliknya tersusun dari partikel-partikel yang lebih dasar lagi, yang disebut quark.
Penemuan Fissi Nuklir Hingga 1900, para fisikawan mengetahui bahwa atom mengandung sejumlah besar energi. Rutherford yang disebut bapak ilmu nuklir karena sumbangannya pada teori struktur atom. Pada 1904 dia menulis: ”Jika dimungkinkan untuk mengendalikan laju disintegrasi unsur-unsur radio, sejumlah besar energi luar biasa akan dapat diperoleh dari sebagian kecil materi.” Albert Einstein membangun teorinya tentang hubungan timbal balik antara massa dan energi setahun kemudian. Rumusnya yang terkenal mengatakan bahwa energi yang dikandung materi adalah sama dengan massa materi tersebut dikalikan dengan kuadrat kecepatan cahaya. Diperlukan waktu hampir 35 tahun untuk dapat membuktikan teori Einstein ini. Pada 1934, fisikawan Italia Enrico Fermi melakukan percobaan di Roma yang memperlihatkan bahwa neutron dapat memisahkan atau membelah banyak jenis atom. Hasil-hasil tersebut sangat mengejutkan bahkan bagi Fermi sendiri. Ketika dia membombardir uranium dengan neutron, dia tidak mendapatkan unsur-unsur yang dia harapkan. Unsur-unsur tersebut jauh lebih ringan dari uranium. Di musim gugur 1938, ilmuwan Jerman Otto Hahn dan Fritz Strassman menembakkan neutron dari sebuah sumber yang mengandung unsur-unsur radium dan beryllium ke dalam uranium (nomor atom 92). Keduanya terkejut dengan penemuan unsur-unsur lebih ringan, seperti barium (nomor atom 56), dalam bahan hasil reaksi. Unsur-unsur ini memiliki kira-kira setengah massa atom uranium. Dalam percobaan-percobaan sebelumnya, bahan-bahan hasil reaksi hanya sedikit lebih ringan dari uranium. Hahn dan Strassman menghubungi Lise Meitner di Kopenhagen sebelum mempublikasikan penemuan mereka. Meitner adalah seorang teman Austria yang terpaksa melarikan diri dari Nazi Jerman. Dia bekerja dengan Niels Bohr dan kemanakannya, Otto R. Frisch. Meitner dan Frisch berpendapat bahwa barium dan unsur-unsur ringan lainnya dalam bahan sisa
dihasilkan dari pembelahan uranium. Namun, ketika dia menjumlahkan massa-massa atom hasil fissi, mereka bukanlah massa uranium total. Meitner menggunakan teori Einstein untuk menunjukkan bahwa massa yang hilang berubah menjadi energi. Ini membuktikan terjadinya fissi dan menegaskan hasil karya Einstein. Reaksi Nuklir Berantai Berkelanjutan Pertama Pada 1939, Bohr pergi ke Amerika. Dia bertukar pikiran dengan Einstein tentang penemuan Hahn-Strassman-Meitner tersebut. Bohr juga bertemu Fermi dalam sebuah konferensi fisika teori di Washington, D.C. Mereka mendiskusikan kemungkinan yang Enrico Fermi menggairahkan tentang reaksi berantai yang berkelanjutan. Dalam proses itu, atom dapat dipecah/dibelah untuk melepaskan sejumlah besar energi. Para ilmuwan di seluruh dunia mulai mempercayai kemungkinan suatu reaksi berantai yang berkelanjutan. Itu akan terjadi jika sejumlah uranium digabungkan secara bersama-sama pada kondisi yang tepat. Jumlah uranium yang diperlukan untuk membuat reaksi berantai yang berkelanjutan tersebut disebut massa kritis. Fermi dan pembantunya, Leo Szilard, menyarankan suatu desain reaktor berantai uranium pada 1941. Model mereka terdiri dari uranium yang ditempatkan dalam susunan grafit yang menyerupai bentuk kubus dari bahan yang dapat bereaksi. Awal 1942, sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Fermi berkumpul di Universitas Chicago untuk mengembangkan teori mereka tersebut. Pada November 1942, mereka telah siap membangun reaktor nuklir pertama di dunia,yang kelak dikenal
sebagai Chicago Pile-1. Reaktor tersebut dibangun pada lantai lapangan squash di bawah stadion atletik Universitas Chicago. Selain Uranium dan grafit, ia dilengkapi dengan batang kendali yang terbuat dari Cadmium. Cadmium merupakan unsur logam yang dapat menyerap neutron. Bila batang kendali tersebut di masukkan ke dalam teras reaktor, lebih sedikit neutron yang akan membelah atom uranium. Ini akan memperlambat reaksi berantai. Sebaliknya bila batang kendali di tarik atau diangkat menjauhi teras, lebih banyak neutron yang akan membelah atom. Reaksi berantai akan meningkat. Pada pagi hari 2 Desember 1942, para ilmuwan tersebut telah siap memulai suatu demonstrasi pada Chicago Pile-1. Fermi memerintahkan untuk mengangkat batang kendali beberapa inci untuk selama beberapa jam berikutnya. Akhirnya, pada pukul 03.25 waktu Chicago, reaksi nuklir berantai yang stabil dan terkendali tercapai. Fermi dan kelompoknya berhasil mentransformasi teori ilmiah ke dalam realitas teknologi. Sejak itu, Dunia memasuki zaman nuklir. (Yaziz Hasan)
Eksplorasi Penggunaan Fissi Nuklir Perkembangan yang terjadi di penghujung tahun 1930an memacu aktivitas di banyak laboratorium Eropa dan Amerika. Seperti disebutkan bahwa Hahn dan Strassman pada 1938 berhasil menunjukkan bahwa fissi tidak hanya melepaskan banyak energi tapi juga menghasilkan neutron tambahan yang dapat memicu fissi dalam inti uranium lainnya sehingga terjadi reaksi berantai berkelanjutan yang akan melepaskan energi luar biasa. Pendapat ini segera dikonfirmasi secara eksperimental oleh Joliot dan rekan-rekannya di Paris, dan Leo Szilard dengan Fermi di New York. Bohr segera mengusulkan bahwa fissi kemungkinan besar akan terjadi pada isotop uranium-235 ketimbang dalam U238 dan fissi tersebut akan terjadi lebih efektif bila dengan neutron yang bergerak lambat dari pada dengan neutron cepat, hal yang disebut terakhir dikuatkan oleh Szilard dan Fermi, yang mengusulkan penggunaan moderator untuk melambatkan neutron yang dilepaskan. Bohr dan John Archibald Wheeler mengembangkan gagasan ini kedalam apa yang menjadi analisis klasik proses fissi, dan makalah mereka diterbitkan hanya dua hari sebelum Perang Dunia II pecah di tahun 1939. Faktor penting lain adalah U-235 kemudian diketahui hanya menyusun 0,7% uranium alam, dengan 99,3% lainnya adalah U-238, dengan sifat-sifat kimiawi serupa. Sehingga pemisahan keduanya untuk mendapatkan U-235 murni akan menjadi sulit dan memerlukan penggunaan sifat-sifat fisis yang sedikit berbeda. Ini guna meningkatkan perbandingan isotop U235 yang kemudian dikenal sebagai proses pengayaan. Pelengkapan konsep bom atom fissi diberikan pada 1939 oleh Francis Perrin yang memperkenalkan konsep massa kritis uranium yang diperlukan untuk menghasilkan pelepasan energi berkelanjutan. Teorinya dikembangkan oleh Professor Peierls di Universitas Birmingham dan hitungan yang dihasilkan dianggap penting dalam pengembangan bom atom. Kelompok Perrin di Paris melanjutkan studi mereka dan mendemonstrasikan bahwa sebuah reaksi berantai dapat tetap berlanjut dalam campuran air-uranium (air digunakan untuk
memperlambat neutron) asalkan neutron eksternal diinjeksikan ke dalam sistem. Mereka juga mendemonstrasikan gagasan memperkenalkan bahan yang menyerap neutron untuk membatasi pelipatgandaan neutron dan dengan demikian mengendalikan reaksi nuklir (yang merupakan dasar operasi reaktor nuklir). Gagasan Bom Atom Ketika tentara Nazi menyerbu pertama kali Cekoslowakia pada 1938, dan kemudian Polandia pada 1939, secara resmi memulai Perang Dunia II, banyak fisikawan top Eropa segera menyingkir dari daerah konflik. Ilmuwan di kedua belah pihak yang bertikai sadar benar akan kemungkinan penggunaan fissi nuklir sebagai senjata, namun pada waktu itu tak seorangpun yang merasa pasti bagaimana membuatnya. Pada tahun-tahun awal Perang Dunia II, para fisikawan secara tibatiba menghentikan publikasi pada topik fissi, sebuah tindakan sensor diri untuk mencegah pihak lawan mendapatkan setiap keuntungan. Sementara itu, dalam perkembangan suasana perang yang makin berkecamuk, para ilmuwan Inggris mendesak pemerintah mereka. Fisikawan pelarian Rudolf Peierls dan Otto Robert Frisch (yang menetap di Inggris dengan Peierls setelah pecahnya perang), bekerja di Universitas Birmingham, memberi dorongan utama pada konsep bom atom dalam sebuah dokumen tiga halaman dikenal sebagai Memorandum Frisch-Peierls. Mereka memberikan salinan dokumen tersebut kepada Marcus Oliphant, yang kemudian meneruskannya kepada Henry Tizard, ketua Komite Survei Ilmiah Pertahanan Udara, yang merupakan komite ilmiah paling penting untuk pertahanan Inggris. Dalam dokumen itu mereka memprediksikan bahwa sejumlah kira-kira 5kg U-235 murni dapat menjadi sebuah bom atom yang setara dengan beberapa ribu ton dinamit. Mereka juga menyarankan bagaimana bom seperti itu dapat diledakkan, bagaimana U-235 diproduksi, dan efek radiasi apa yang mungkin di samping efek ledakan. Mereka mengusulkan difusi termal sebagai metoda yang cocok untuk memisahkan U-235 dari
uranium alam. Memorandum ini menarik perhatian yang cukup di Inggris pada saat di AS kurang tertarik. Atas permintaan Tizard sebuah komite yang diberi nama Komite MAUD yang beranggotakan sekelompok ilmuwan terkemuka dan diketuai fisikawan Sir George Paget Thomson terbentuk di Inggris guna mensupervisi riset di Universitasuniversitas Birmingham, Bristol, Cambridge, Liverpool dan Oxford. Komite MAUD melakukan pertemuan pertama pada 10 April 1940 untuk membahas langkah-langkah Inggris terhadap masalah uranium. Sebuah program riset untuk pemisahan isotop dan fissi cepat segera disetujui. Pada Juni 1940 Franz Simon diangkat untuk meneliti pemisahan isotop melalui difusi gas. Ralph H. Fpwler juga diminta untuk mengirim laporan kemajuan ke Lyman Briggs di AS pada saat itu juga. Meskipun hasil karya asli dilakukan oleh Frisch dan Peierls, satu Jerman, satu Austria, mereka tidak dapat menjadi bagian dari komite saat perang tersebut karena pertimbangan keamanan. Kelak mereka berdua membuat sumbangan berarti di Los Alamos sebagai bagian dari missi Inggris. Masalah kimia dalam menghasilkan senyawa gas uranium dan logam uranium murni dipelajari di Universitas Birmingham dan Institut Kimia Kerajaan (ICI). Dr. Philip Baxter di ICI membuat batch kecil pertama gas uranium heksafluorida untuk Professor Chadwick pada 1940. ICI menerima kontrak formal kelak pada 1940 untuk membuat 3kg bahan vital ini guna keperluan berikutnya. Sebagian besar riset didanai sendiri oleh universitas-universitas itu. Simon menyelesaikan pekerjaannya atas pemisahan isotop pada Desember 1940, dengan kesimpulan bahwa hal itu mungkin. Sementara itu, dua perkembangan penting datang dari hasil kerja di Cambridge. Yang pertama adalah bukti eksperimental bahwa reaksi berantai dapat dibuat berkelanjutan dengan neutron lambat dalam suatu campuran uranium oksida dan air berat, yaitu output neutron lebih besar dari pada input. Kedua adalah oleh kimiawan Egon Bretscher dan Norman Feather didasarkan pada pekerjaan awal oleh Hans von Halban dan Lew Kowarski segera setelah mereka tiba di Inggris dari
Paris. Bila U-235 dan U-238 menyerap neutron lambat, kemungkinan terjadinya fissi dalam U-235 jauh lebih besar dari pada dalam U-238. U-238 lebih mungkin akan membentuk jenis isotop baru U-239, dan isotop ini dengan cepat memancarkan electron untuk menjadi sebuah unsur baru dengan massa 239 dan nomor atom 93. Unsur ini kemudian juga memancarkan sebuah elektron dan menjadi sebuah unsur baru bermassa 239 dan bernomor atom 94, yang mempunyai umur paruh yang jauh lebih besar. Bretscher dan Feather memberi landasan teoretik bahwa unsur 94 akan segera berfissi oleh neutron lambat dan cepat, dan memiliki keuntungan tambahan bahwa ia secara kimiawi berbeda dengan uranium dan karenanya dengan mudah dapat dipisahkan darinya. Perkembangan terbaru ini juga diperkuat oleh Edwin McMillan dan Philip Hauge Abelson dalam karya independen mereka pada 1940 di AS. Nicholas Kemmer dari team Cambridge mengusulkan nama neptunium untuk unsur # 93 dan plutonium untuk # 94 sebagai analogi planet-planet terluar Neptunus dan Pluto setelah planet Uranus (uranium, unsur # 92). Ilmuwan-ilmuwan Amerika secara kebetulan juga mengusulkan nama-nama yang sama, dan identifikasi plutonium pada 1941 umumnya dikreditkan pada Glenn Seaborg. Pengembangan Konsep Bom Atom Hingga akhir 1940 telah dicapai kemajuan luar biasa oleh beberapa kelompok ilmuwan yang dikoordinasikan oleh Komite MAUD. Semua pekerjaan ini dijaga secara rahasia, sebaliknya di AS beberapa terbitan terus terbit pada 1940 dan hanya sedikit rasa urgensinya. Pada Maret 1941 di Departemen Kemagnetan Bumi Lembaga Carnegie, salah satu bagian informasi yang belum pasti berhasil dikonfirmasikan—tampang lintang fissi U-235. Menggunakan data itu, Peierls segera menghitung massa kritis baru untuk U-235. Peierls dan Frisch sedari awal telah memprediksinya pada 1940 bahwa hampir setiap tumbukan sebuah neutron dengan atom U-235 akan mengakibatkan fissi,
dan bahwa baik neutron lambat maupun cepat akan sama efektifnya. Kelak terlihat bahwa neutron lambat jauh lebih efektif, yang memiliki signifikansi luar biasa untuk reaktor nuklir namun sungguh teoretis dalam konteks bom. Peierls kemudian menyatakan sekarang tiada keraguan bahwa seluruh skema tentang bom adalah layak asalkan U-235 yang diperkaya tinggi dapat ditemukan. Prediksi ukuran kritis logam U-235 adalah sekitar 8 kg, yang mungkin dapat direduksi dengan menggunakan bahan yang cocok untuk memantulkan neutron. Namun, pengukuran langsung pada U-235 masih diperlukan dan para ilmuwan Inggris mendorong produksi yang segera atas beberapa mikrogram. Laporan dibuat pada bulan yang sama oleh Komite MAUD dengan menjelaskan pentingnya fissi cepat untuk desain bom dan salinannya dikirim ke Komite Uranium di AS. Namun, Ketua Komite, Lyman Briggs, menyimpan dokumen saat sampai pada Maret 1941 dan tidak memperlihatkan kepada siapapun. Laporan MAUD mengabaikan produksi plutonium, difusi termal, metoda elektromagnetik dan sentifugal dan merekomendasikan difusi gas pada uranium-235 pada skala massif. Inggris percaya bahwa riset uranium dapat membawa pada produksi bom pada saat mengatasi perang. Sementara Laporan MAUD dianggap memberi dorongan pada Amerika dengan mengadvokasi program riset uranium besar-besaran, ia juga bertindak sebagai penenang bahwa fissi telah ditemukan di Nazi Jerman hampir tiga tahun sebelumnya dan bahwa sejak musim semi 1940 sebagian besar Institut Kaiser Wilhelm di Berlin telah disisihkan untuk riset uranium. Setelah berbulan-bulan tekanan yang meningkat dari ilmuwan Inggris dan AS (khususnya Ernest Lawrence dari Berkeley), Vannevar Bush di Komite Riset Pertahanan Nasional (NDRC) memutuskan untuk menelaah prospek energi nuklir lebih lanjut bekerjasama dengan Arthur Compton dan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional. Laporan mereka diterbitkan pada 17 Mei 1941 namun tidak mengatakan desain atau pembuatan bom secara rinci. Pada 15 Juli 1941 Komite MAUD menyetujui dua laporan akhirnya dan bubar. Satu adalah tentang ‘Penggunaan
Uranium untuk Bom (Use of Uranium for a Bomb)’ dan yang lainnya adalah tentang ‘Penggunaan Uranium sebagai Sumber Tenaga (Use of Uranium as a Source of Power)'. Laporan pertama menyimpulkan bahwa bom adalah mungkin dan bom yang mengandung kira-kira 12 kg bahan aktif akan setara dengan 1.800 ton TNT dan akan melepaskan sejumlah besar zat radioaktif yang dapat membuat tempat-tempat dekat ledakan berbahaya bagi manusia untuk waktu lama. Diperkirakan bahwa bangunan yang akan menghasilkan 1 kg U-235 per hari akan berbiaya £5 juta dan memerlukan tenaga kerja terampil yang besar yang juga diperlukan untuk bagian-bagian lain usaha perang. Dengan mempertimbangkan bahwa Jerman juga dapat membuat bom, direkomendasikan bahwa pekerjaan tersebut harus dilanjutkan dengan prioritas tinggi bekerja sama dengan ilmuwan Amerika, meskipun mereka tampaknya lebih berkonsentrasi pada penggunaan masa depan dari uranium untuk tenaga dan penggerak kapal laut. Laporan MAUD yang kedua menyimpulkan bahwa fissi uranium yang terkendali dapat digunakan untuk menghasilkan energi dalam bentuk panas yang dapat digunakan dalam mesinmesin, juga menghasilkan sejumlah besar radioisotop yang dapat digunakan sebagai pengganti radium. Ia merujuk pada kemungkinan penggunaan air berat dan grafit sebagai moderator neutron cepat, dan bahwa bahkan air biasa dapat digunakan jika uranium diperkaya dalam isotop U-235. Disimpulkan bahwa ‘pendidih uranium’ memiliki harapan yang menjanjikan bagi penggunaan maksud damai di masa depan namun belum dipertimbangkan sungguh-sungguh selama suasana perang saat itu. Komite juga merekomendasikan bahwa Halban dan Kowarski harus pindah ke AS di mana di sana ada rencana untuk membuat air berat dalam skala besar. Kemungkinan bahwa unsur baru plutonium mungkin lebih cocok dari pada U-235 telah disebutkan, sehingga pekerjaan dalam bidang ini oleh Bretscher dan Feather harus diteruskan di Inggris.
Membujuk Amerika Saat itu, Inggris dalam keadaan berperang sementara AS tidak. Adalah Oliphant yang mendorong program Amerika beraksi. Oliphant terbang ke AS pada akhir Agustus 1941 dengan pesawat pemburu tanpa pemanas, pura-puranya untuk mendiskusikan program radar namun sesungguhnya ditugaskan untuk mengetahui mengapa AS mengabaikan temuan Komite MAUD. Oliphant mengatakan bahwa: “Catatan dan laporan telah dikirim ke Lyman Briggs, yang adalah Ketua Komite Uranium, dan kami dibuat berteka-teki karena tak ada jawaban sama sekali. Saya mengunjungi Briggs di Washington hanya untuk mendapati bahwa manusia yang tak dapat dipahami dan tak mengesankan ini telah menyimpan laporan dalam pegangannya dan tidak memperlihatkannya pada anggota Komite yang lain. Saya heran dan sangat sedih.” Oliphant kemudian bertemu dengan Komite Uranium. Oliphant hadir dipertemuan dan berbicara bom dalam istilah yang bukan tidak pasti, kata Samuel K. Allison. “Dia memberitahu kami agar berkonsentrasi pada setiap usaha pembuatan bom dan mengatakan kami tidak berhak bekerja pada pembangkit daya atau yang lainnya kecuali bom. Bom akan berharga 25 juta dollar, kata dia, dan Inggris tidak memiliki uang atau sumber daya, jadi itu terserah kami,” lanjutnya. Allison kaget bahwa Briggs telah membuat komite dalam kegelapan. Allison adalah anggota baru komite, seorang eksperimentalis berbakat dan murid Compton di Universitas Chicago. Oliphant kemudian mengunjungi temannya Lawrence, James Conant dan Fermi untuk menjelaskan urgensinya. Lawrence kemudian mengontak Conant dan Compton. Pada Desember 1941 Bush menciptakan Kantor Riset dan Pengembangan Ilmiah (OSRD) yang besar dan berdaya guna, yang diberi kuasa untuk proyek besar disamping riset, dan menjadi direkturnya, menghantarkan pada pembentukan Proyek Manhattan yang terkenal. Sementara itu di Inggris suatu program bom nuklir terpisah berlanjut dibawah nama kode Tube Alloys. Sementara itu, pada 1943 NKVD Rusia juga mendapatkan bocoran salinan laporan akhir Komite MAUD. Ini
membuat Stalin memerintahkan dimulainya program Soviet, namun dengan sumber daya yang sangat terbatas. Igor Kurchatov ditunjuk sebagai direktur program yang baru timbul di akhir tahun itu. Dua laporan tersebut membawa pada reorganisasi kerja yang lengkap pada bom dan pendidih. Diklaim bahwa pekerjaan komite tersebut telah menempatkan Inggris di depan dan bahwa dalam lima belas bulan keberadaannya telah membuktikan dengan sendirinya sebagai komite ilmiah paling efektif yang pernah ada. Keputusan dasar bahwa proyek bom perlu segera diwujudkan akan dilakukan oleh Perdana Menteri, Winston Churchill, dengan persetujuan Panglima Staf. Laporan tersebut juga mendapatkan pengamatan tingkat tinggi di AS, khususnya oleh Komite dari Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional, yang awalnya berkonsentrasi pada aspek nuklir sebagai pembangkit tenaga. Hanya sedikit perhatian pada konsep bom hingga 7 Desember 1941, ketika Jepang menyerang Pearl Harbour dan Amerika memasuki kancah perang secara langsung. Akhirnya, segala sumberdaya yang besar dari AS kemudian diterapkan tanpa kecuali untuk mengembangkan bom atom. (BERSAMBUNG) (Yaziz Hasan)
Reaksi fissi nuklir
Rudolf Peierls
Halaman pertama Laporan MAUD, Maret 1941.
Otto Robert Frisch
Otto Hahn dan Lise Meitner di Institut Kaiser Wilhelm untuk Kimia pada 1913
Proyek Manhattan: Usaha Mendemostrasikan Kehebatan Tenaga Nuklir
James Chadwick
Serangan Jepang ke Pearl Harbour, membuat Amerika segera memasuki kancah perang secara langsung. Dengan demikian, semua sumberdaya AS kemudian diterapkan tanpa kecuali untuk mengembangkan bom atom, melalui proyek rahasia yang terkenal dengan nama Proyek Manhattan. Proyek Manhattan atau resminya Manhattan Engineer District (MED) merupakan proyek percobaan dalam Perang Dunia II untuk mengembangkan senjata nuklir yang dilakukan AS dengan bantuan Inggeris dan Kanada. Penelitian dalam proyek terseut dikomandani oleh fisikawan Julius Robert Oppenheimer dengan supervisi Jenderal Leslie R. Groves. Peluncuran proyek tersebut disetujui setelah menjadi jelas bahwa senjata berdasarkan fisi nuklir dapat dikembangkan dan terutama karena Nazi Jerman juga sedang mengembangkan senjata sejenis. Meskipun melibatkan lebih dari 30 tempat penelitian dan produksi yang tersebar di AS, Kanada dan Inggeris, Proyek tersebut sebagian besar dilaksanakan di tiga tempat utama: di Tapak Hanford (Washington) untuk fasilitas produksi plutonium, di Oak Ridge (Tennessee) untuk fasilitas pengayaan uranium, dan di Los Alamos (New Mexico) untuk laboratorium penelitian dan perancangan senjata nuklir. Keberadaan lokasi Los Alamos, Oak Ridge, dan Hanford sangat dirahasiakan sampai akhir PD II. Proyek ini mempekerjakan lebih dari 130.000 orang dan menghabiskan hampir 2 milyar dolar atau setara dengan 27 milyar dolar pada saat ini. Bersama dengan pengembangan kriptografi, radar, komputer dan mesin jet, Proyek Manhattan mewakili salah satu dari sedikit usaha teknologi yang besar dan rahasia yang ditimbulkan oleh konflik Perang Dunia II. Usaha serupa juga dijalankan di Uni Soviet pada September 1941, dikepalai oleh fisikawan Igor Kurchatov, yang berasal dari tangan kedua dari negara-negara Proyek Manhattan, berkat hasil spionase dari sedikitnya 2 orang pada kelompok ilmiah di Los Alamos, Klaus Fuchs dan Theodore Hall, keduanya tak saling kenal. Usaha oleh Nazi Jerman, dikepalai
oleh Werner Heisenberg, dan di Jepang, juga dijalankan selama perang, meskipun sedikit kemajuan yang diperoleh. Selama antara PD I dan PD II, AS telah berkembang menjadi salah satu kekuatan fisika nuklir, berkat hasil kerja beberapa fisikawan imigran dan lokal. Para ilmuwan ini telah mengembangkan alat dasar untuk riset nuklir berupa siklotron dan akselerator partikel lainnya serta telah menggunakan peralatan baru tersebut untuk menemukan zat baru, termasuk radioisotop seperti Karbon-14. Salah satu akselerator partikel awal yang kelak bertanggung jawab atas pengembangan bom atom dan digunakan untuk membantu riset yang berkaitan dengan Proyek Manhattan dibangun pada 1937 oleh Philips dari Eindhoven, Belanda. Fermi mengenang awal proyek dalam pidato yang diucapkannya pada 1954, saat pensiun sebagai Presiden dari Perhimpunan Fisika Amerika. "Saya ingat betul di bulan pertama, Januari 1939, selagi saya mulai bekerja di Laboratorium Pupin karena begitu banyak hal terjadi sangat cepat. Pada saat itu, Niels Bohr tengah memberi kuliah di Universitas Princeton dan saya ingat suatu sore Willis Lamb kembali dengan sangat gembira dan berkata bahwa Bohr telah membocorkan berita besar. Berita besar itu adalah penemuan reaksi fisi nuklir dan garis besar interpretasinya. Kemudian, pada bulan itu juga, ada beberapa pertemuan di Washington di mana pentingnya penemuan tersebut dibicarakan dalam pembicaraan setengah lelucon sebagai sumber tenaga yang sangat dahsyat." Fisikawan Yahudi Hongaria yang melarikan diri dari kejaran Hitler, Leó Szilárd, Edward Teller dan Eugene Wigner kuatir bahwa energi yang dilepas dalam fisi nuklir akan dimanfaatkan Jerman untuk membuat bom. Jerman telah melakukan banyak penemuan awal dalam fisika fisi dan meskipun ditinggalkan para ilmuwan Yahudi, ia masih memiliki banyak fisikawan hebat, termasuk Werner Heisenberg. Ketiga ilmuwan pelarian tersebut hampir putus asa untuk mendapatkan penelitian lanjutan di AS. Karena terpinggirkan secara politis, mereka lalu mencari bantuan Einstein. Mereka membujuknya
untuk memperingatkan Presiden Franklin D. Roosevelt tentang bahaya yang mungkin dilakukan Jerman tersebut melalui surat yang dirancang Szilárd pada 2 Agustus 1939 dan dikirim hampir lebih sebulan kemudian. Mereka juga mendesak Presiden untuk mendukung pendanaan bagi riset lebih lanjut di AS guna meneliti kelayakannya. Sebagai tanggapan atas peringatan tersebut Roosevelt memerintahkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut terhadap implikasi fisi nuklir pada keamanaan nasional. Angkatan Laut kemudian mengalokasikan pendanaan energi atom pertama sebesar $6.000 untuk eksperimen grafit, yang tumbuh menjadi Proyek Manhattan di bawah kepemimpinan Oppenheimer dan Fermi. Roosevelt membentuk Panitia Uranium Ad-hoc di bawah pimpinan Lyman Briggs, yang saat itu sebagai kepala Biro Standar Nasional. Program penelitian skala kecil kemudian dimulai pada 1939 di Laboratorium Penelitian Angkatan Laut di Washington, di mana fisikawan Philip Abelson meneliti pemisahan isotop uranium. Sementara itu, di Universitas Columbia Fermi membuat prototipe reaktor nuklir menggunakan berbagai konfigurasi dari grafit dan uranium. Szilárd sudah menyadari grafit dapat digunakan untuk memperlambat dan membuat neutron dari uranium membelah uranium. Namun perkembangan berlangsung lambat dan tidak terkoordinasi dikarenakan AS belum terlibat secara resmi di dalam perang dan Briggs agaknya kurang tertarik dengan riset tersebut. Pada 1940, Panitia Uranium menjadi bagian dari Panitia Penelitian Pertahanan Nasional yang baru saja dibentuk, dipimpin oleh Vannevar Bush, namun masih merupakan usaha yang relatif kecil. Perlunya kerahasiaan menyebabkan kompartimentalisasi informasi yang tinggi, dan karena Bush dengan demikian tidak mengetahui adanya surat Einstein atau bagaimana proyek telah terbentuk, tidak ada usaha ekstra yang dilakukan di bawah komando Bush untuk melibatkan Einstein dalam proyek tersebut dimana Einstein sesungguhnya telah memulainya. Keyakinan politik kiri Einstein dan perlunya kerahasiaan dan ketidakpercayaan pada kaum kiri telah menjadi
alasan yang cukup untuk mencegah setiap manajer proyek melibatkan Einstein. Panitia Penelitian Pertahanan Nasional memobilisasi semua sumber daya iptek AS untuk mendukung perang. Laboratorium baru didirikan, termasuk Laboratorium Radiasi di Institut Teknologi Massachusetts untuk membantu pengembangan radar dan Laboratorium Bunyi Bawah Air di San Diego untuk pengembangan sonar. Dewan Riset Pertahanan Nasional juga mengambil alih proyek uranium. Pada 1940, Roosevelt dan Bush membentuk Jawatan Penelitian dan Pengembangan Ilmiah (OSRD) untuk membantu pengembangan upaya tersebut. Hingga musim semi 1941 Proyek Uranium tersebut belum juga mendapatkan kemajuan, ketika perkembangan baru datang dari hasil kerja yang dilakukan di Inggeris oleh Frisch dan Peierls. Laporan tersebut, dipersiapkan oleh Komite MAUD, sebuah sub-komite untuk survei ilmiah angkatan udara, yang diketuai G.P. Thomson, profesor fisika di Imperial College, London, menunjukan hasil perhitungan fisi uranium, U-235, yaitu hanya perlu 1 kilogram untuk dapat menghasilkan ledakan yang sama dengan beberapa ribu ton TNT, dan karenanya dapat dibuat dalam waktu yang ralatif singkat. Komite mempertegas bahwa sebuah bom uranium dapat dibuat dari 11 kilogram U235 yang akan menghasilkan ledakan setara dengan 1.800 ton TNT. Riset juga menunjukkan bahwa pemisahan isotop uranium yang diperlukan juga dapat dicakup. Sebaliknya, Heisenberg yang telah bekerja di bawah asumsi bahwa tiap neutron harus memecah atom lain untuk mempertahankan reaksi berlanjut, yang menghasilkan salah hitung tentang massa U-235 yang diperlukan untuk memulai reaksi berantai yang berkelanjutan. Dia menghitung bahwa perlu 130 ton uranium untuk hal tersebut. Dia juga tidak mengetahui sifat grafit murni dan mengetahui tidak ada cara mudah untuk membuat neutron lambat dalam sebuah mesin pembelah uranium, kelak disebut reaktor nuklir. Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional mengusulkan usaha penuh untuk membangun senjata nuklir. Pada 9 Oktober 1941, Bush memberi saran pada Roosevelt pada pertemuan
tentang perlunya program yang dipercepat, dan akhirnya pada November Roosevelt mengizinkan semua usaha habis-habisan bagi pengembangan senjata nuklir. Bush membentuk panitia khusus, Panitia S-1, untuk mengarahkan usaha tersebut dan memasok informasi perkembangan program kepada Presiden. Ini terjadi sehari sebelum Jepang menyerang Pearl Harbor, pada 7 Desember 1941, dan bagi AS berarti dimulainya perang. Ketika AS melibatkan diri dalam PD II pada Desember 1941 itu, beberapa proyek sedang berjalan untuk menyelidiki pemisahan U-235, pembuatan plutonium, dan kemungkinan perakitan bahan nuklir dan peledakannya. Ilmuwan di Jurusan Fisika Laboratorium Metalurgi Universitas Chicago, Laboratorium Radiasi Universitas California dan Universitas Columbia mempercepat usaha mereka dalam menyiapkan bahan nuklir untuk senjata. Mereka harus memisahkan U-235 dari bijih uranium mentah, dan mereka juga harus bisa bagaimana menghasilkan plutonium, sebuah unsur yang sangat langka, dengan membombardir uranium alami (U238) dalam sebuah reaktor dengan neutron yang diproduksi dari U-235. Dimulai pada 1942, pabrik besar dibuat untuk memproduksi U-235 di Laboratorium Nasional Oak Ridge, Tennessee dan untuk memproduksi plutonium di Tapak Hanford di luar Richland, Washington. Awal 1942, fisikawan dan penerima Nobel, A.H. Compton menangani Laboratorium Metalurgi Universitas Chicago untuk mempelajari plutonium dan fisi nuklir dan meminta fisikawan teori Oppenheimer dari Universitas California untuk mengambil alih riset penghitungan neutron cepat, yang sangat penting bagi penentuan massa kritis dalam pengembangan senjata nuklir, dari Gregory Breit. John Manley, fisikawan di Laboratorium Metalurgi Universitas Chicago, ditugasi untuk membantu Oppenheimer mencari jawaban dengan mengkoordinasi dan menghubungi beberapa kelompok fisikawan eksperimen yang tersebar di seluruh negara bagian. Musim semi 1942, Oppenheimer dan Robert Serber dari Universitas Illinois, bekerja pada masalah difusi neutron tentang bagaimana neutron bergerak dalam reaksi berantai dan
hidrodinamikanya tentang bagaimana ledakan yang diproduksi oleh reaksi berantai berperilaku. Untuk meninjau hasil kerja dan teori umum dari reaksi fissi, Oppenheimer mengadakan konferensi musim panas di Universitas California, Berkeley pada Juni 1942. Para ahli teori seperti Hans Bethe, John Van Vleck, Edward Teller, Felix Bloch, Emil Konopinski, Robert Serber, Stanley S. Frankel, dan Eldred C. Nelson, tiga yang disebutkan terakhir adalah bekas murid Oppenheimer, segera menyimpulkan bahwa sebuah bom fisi bisa terjadi. Para ilmuwan ini menyarankan bahwa reaksi tersebut dapat diawali oleh pembuatan sebuah massa kritis. Sementara itu, Teller melihat kemungkinan lain, sebuah bom super yang jauh lebih kuat dapat dibuat, dengan menggunakan kekuatan ledakan bom fisi untuk menyalakan reaksi penggabungan atau fusi antara deuterium dan tritium. Konsep ini didasarkan pada produksi energi di bintang-bintang yang dikaji oleh Bethe sebelum perang, dan disarankan sebagai suatu kemungkinan kepada Teller oleh Fermi tidak lama sebelum konferensi. Ketika gelombang ledakan bom fisi digerakan melalui campuran inti deuterium dan tritium, mereka akan bergabung menjadi satu untuk menghasilkan energi yang jauh lebih besar dari yang dapat dihasilkan oleh fissi, dalam proses fusi nuklir, seperti yang terjadi di matahari dalam menghasilkan cahaya dan panas. Bethe skeptis terhadap gagasan itu, meski Teller terus mendorong kuat bom super-nya, dan mengusulkan skema demi skema. Bethe tetap menolak semuanya. Ide bom hidrogen itu harus dikesampingkan sejenak guna memusatkan perhatian pada bom fisi. Teller juga memunculkan kemungkinan bahwa sebuah bom atom dapat menyalakan atmosfer, dikarenakan reaksi fusi hipotetis dari nuklei nitrogen. Bethe menunjukkan, menurut Serber, secara teoretis hal tersebut tak dapat terjadi. Bethe mengatakan bahwa sebuah penolakan yang ditulis oleh Konopinski, C. Marvin, dan Teller di laporan LA-602 yang dibuka kerahasiaanya pada Februari 1973, menunjukkan tidak mungkin. Menurut Serber, Oppenheimer memberitahukan kepada Compton, yang tidak bisa diam.
Menurut Bethe, kekacauan ini datang lagi pada 1975 ketika hal ini muncul di sebuah artikel majalah oleh H.C. Dudley, yang mendapat ide ini dari sebuah laporan oleh Pearl Buck dari wawancara yang dilakukannya dengan Compton di 1959. Konferensi musim panas menghasilkan dasar teori untuk rancangan bom atom, yang kemudian menjadi tugas utama di Los Alamos saat perang. Pengukuran interaksi neutron cepat dengan bahan di sebuah bom sangatlah penting karena jumlah neutron yang diproduksi dalam fissi uranium dan plutonium harus diketahui, dan karena zat yang mengelilingi bahan nuklir harus memiliki kemampuan untuk memantulkan, atau menghamburkan, neutron kembali ke reaksi berantai sebelum dia meledak dalam rangka untuk meningkatkan energi yang dihasilkan. Untuk itu, ciri-ciri hamburan neutron dari bahan tersebut harus diukur untuk mencari pemantul yang terbaik. Memperkirakan tenaga ledakan membutuhkan pengetahuan banyak terhadap sifat-sifat nuklir lainnya, termasuk tampang lintang (ukuran kemungkinan tumbukan antar partikel yang berakibat pada efek tertentu) untuk proses nuklir neutron di dalam uranium dan unsur lainnya. Neutron cepat hanya dapat dihasilkan akselerator, yang masih merupakan alat yang tidak umum pada 1942. Koordinasi yang lebih baik sangat perlu. September 1942, kesulitan dalam melakukan penelitian awal pada senjata nuklir di universitas yang tersebar di seluruh negara bagian menandakan perlunya sebuah laboratorium khusus untuk tujuan tersebut. Kebutuhan mendesak adalah pembangunan fasilitas untuk memproduksi uranium-235 dan plutonium, bahan peledak nuklir. Bush sebagai kepala OSRD, meminta Presiden Roosevelt untuk menugaskan operasi skala-besar yang berhubungan dengan proyek senjata nuklir. Roosevelt memilih Angkatan Darat untuk bekerja dengan OSRD dalam membangun fasilitas produksi. Korps Teknik Angkatan Darat lalu menunjuk Kol. James Marshall untuk mengawasi pembangunan fasilitas pemisahan isotop uranium dan pemroduksian plutonium untuk bom tersebut.
Ilmuwan OSRD telah mecoba beberapa metoda dalam memproduksi plutonium dan memisahkan U-235 dari uranium alam, namun tidak ada dari proses tersebut yang siap untuk produksi, hanya jumlah kecil yang dihasilkan. Hanya satu cara yaitu dengan pemisahan secara elektromagnetik, yang telah dikembangkan oleh Ernest Lawrence di Universitas Kalifornia Berkeley, terlihat meyakinkan untuk produksi skala-besar. Namun ilmuwan tidak berhenti mempelajari metode potensial lainnya untuk memproduksi bahan dapat belah, karena proses tersebut sangat mahal. Marshall dan deputinya, Kol. Kenneth Nichols, harus berjuang untuk mengerti baik proses dan juga ilmuwan yang bekerja sama dengan mereka. Tiba-tiba terlibat masuk ke dalam bidang fisika nuklir yang baru, mereka merasa tidak mampu untuk membedakan antara keinginan teknis dan pribadi. Meskipun mereka telah memutuskan sebuah lokasi di dekat Knoxville, Tennesse, akan cocok untuk fasilitas produksi pertama, mereka tidak tahu betapa besar lokasi tersebut dan kemudian membatalkannya. Karena sifat eksperimentalnya, proyek senjata nuklir tersebut tidak dapat bersaing dengan tugas Angkatan Darat lainnya yang lebih penting, kerja ilmuwan dan pembangunan fasilitas produksi sering kali tertunda karena ketidakmampuan Marshall untuk mendapatkan bahan yang sangat penting, seperti baja, yang juga dibutuhkan di fasilitas produksi militer lainnya. Karenanya, Bush tidak puas dengan kerja Marshall dan memberitahu Sekretaris Perang Stimson dan KSAD George Marshall. Kemudian Marshall mengarahkan Jenderal Somervell untuk mengganti Kolonel Marshall dengan seorang pengganti yang lebih gesit sebagai direktur. Pada musim panas 1942, Kolonel Leslie Groves yang sedang mengawasi pembangunan Pentagon, markas terbesar di dunia, ditunjuk untuk menangani proyek tersebut, kendati awalnya menolak. Groves menunjuk Oppenheimer sebagai direktur ilmiah proyek, mengejutkan banyak orang, mengingat pandangan politiknya yang radikal dipandang memiliki kerawanan dalam masalah keamanan. Namun, Groves yakin bahwa Oppenheimer adalah seorang jenius yang dapat diajak berdiskusi dan mengerti hampir
semuanya, dan dia yakin orang seperti itu diperlukan bagi sebuah proyek yang sedang dijalankan. Pada saat itu juga, Groves dipromosikan menjadi Brigadir Jenderal, membawa dia pada tingkatan yang diperlukan untuk berurusan dengan ilmuwan senior di dalam peroyek. Dalam seminggu setelah penunjukkannya, Groves telah menyelesaikan masalah proyek yang paling mendesak. Caranya yang tegas dan efektif menjadi familiar bagi para ilmuwan atom. Hambatan ilmiah utama yang pertama dipecahkan pada 2 Desember 1942 di bawah tempat duduk stadion di University of Chicago, di mana sebuah kelompok yang dipimpin Fermi berhasil menjalankan reaksi rantai nuklir pertama yang berkelanjutan dalam reaktor eksperimental yang diberi nama Chicago Pile-1. Compton dalam suatu panggilan telepon sandi kepada Conant di Washington, DC, mengatakan, "Pelaut Italia (Fermi) telah mendarat di Dunia Baru, penduduk aslinya menyambut ramah," menimbulkan berita bahwa percobaan telah berhasil. Masalah proyek berpusat pada produksi bahan fisil yang cukup. Dua usaha paralel dan sepenuhnya terpisah segera diluncurkan. Satu proyek memproduksin bom uranium dan proyek lainnya memproduksi dua bom plutonium, semuanya berhasil diledakkan. Bom Little Boy dibuat dari U-235, isotop uranium langka yang harus dipisahkan secara fisik dari isotop U-238 yang paling banyak dijumpai di alam, namun tidak dapat digunakan sebagai bahan peledak. Karena U-235 hanya 0,7 persen yang dikandung oleh uranium alam dan identik secara kimiawi dengan U-238 yang merupakan penyusun 99,3 persen sisanya, berbagai metoda pemisahan fisika dipertimbangkan. Salah satu metoda pemisahan U-235 dari uranium alam dikembangkan oleh dua fisikawan Yahudi pelarian, Franz Simon dan Nicholas Kurti, di Universitas Oxford. Metoda mereka disebut difusi gas dengan uranium heksafluorida (UF6) sebagai fluida proses. Metoda lain, pemisahan isototop secara elektromagnetik, dikembangkan oleh Ernest Lawrence di Universitas California . Metoda ini menggunakan peranti yang disebut kalutron, yang merupakan spektrometer massa efektif.
Awalnya metoda ini tampak menjanjikan untuk produksi skala besar namun karena mahal dan menghasilkan bahan yang sedikit, kelak ditinggalkan setelah perang berakhir. Untuk itu, pemisahan sebagian besar dilakukan dengan difusi gas dan dikerjakan di Oak Ridge. Teknik lain, seperti difusi termal, juga dicoba. Bom berbahan uranium menggunakan mekanisme pistol. Satu bagian massa U-235, ditembakkan ke bagian massa lain U-235 yang akan menciptakan massa kritis U-235 dan menghasilkan ledakan hebat. Mekanisme ini begitu diyakini benar, sehingga tidak dilakukan uji coba ledakan sebelum dijatuhkan di atas Hiroshima. Juga karena U-235 sangat murni. Tapi sebaliknya, bom yang digunakan dalam uji pertama di Tapak Trinitas, New Mexico, dan juga dalam pengeboman Nagasaki, Fat Man, terutama terbuat dari bahan Plutonium-239. Plutonium adalah unsur buatan yang, dihasilkan dengan menggunakan reaktor. Meskipun U-238 tidak dapat dijadikan sebagai bom atom, U-238 diperlukan untuk memproduksi plutonium dengan cara menembakinya dengan neutron lambat yang dilepaskan oleh U-235 di dalam reaktor, sehingga U-238 akan berubah menjadi plutonium-239. Produksi dan pemurnian plutonium dilakukan di Tapak Hanford, menggunakan teknik yang dikembangkan sebagian oleh kimiawan Glenn Seaborg. Dari 1943-1944, usaha pengembangan diarahkan pada senjata fisi tipe-pistol dengan bahan plutonium, disebut Thin Man. Setelah ini dicapai, versi uraniumnya Little Boy cukup diadaptasi sedikit, demikian asumsinya. Uji coba awal terhadap sifat-sifat plutonium dilakukan menggunakan plutonium-239 yang dihasilkan siklotron, sangat murni namun jumlahnya sedikit. Pada 5 April 1944, fisikawan kelahiran Italia Emilio Segrè di Los Alamos menerima sampel pertama plutonium produksi Hanford. Dalam sepuluh hari, dia menemukan cacat fatal: plutonium yang dibiakkan dengan reaktor adalah jauh lebih murni daripada yang dihasilkan oleh siklotron dan sebagai akibatnya memiliki laju fisi spontan yang jauh lebih tinggi dari pada uranium-235. Isotop yang bertanggungjawab atas laju fisi yang tinggi ini adalah plutonium-
240, yang terbentuk dari plutonium-239 karena menangkap neutron tambahan. Tidak seperti siklotron, reaktor pembiak plutonium memiliki fluks neutron yang jauh lebih besar dan akibatnya menghasilkan peningkatan bagian plutonium-240 yang tinggi, dibandingkan dengan plutonium yang dibiakkan dengan siklotron. Plutonium- 240 bahkan jauh lebih sulit dipisah dari plutonium-239 ketimbang U-235 dari U-238, sehingga tidak ada lagi pertanyaan untuk melakukan itu. Pengotoran Pu-240 harus tetap berada di dalam logam plutonium yang digunakan dalam bom, dimana fisi spontannya merupakan sumber neutron tidak diinginkan. Implikasi dari ini membuat mekanisme detonasi pistol tidak layak. Akibatnya pada Juli 1944, metoda pistol untuk plutonium dihentikan, dan berarti tidak akan ada bom atom Thin Man. Metoda tersebut hanya dikembangkan untuk uranium saja, yang hanya sedikit memiliki komplikasi. Sebagian besar usaha kemudia diarahkan metoda yang berbeda untuk plutonium. Gagasan menggunakan skema detonasi alternatif telah ada beberapa waktu sebelumnya di Los Alamos. Salah satunya adalah gagasan "implosi" — bola bahan fisil sub-kritis dengan menggunakan bahan peledak kimiawi dapat dipaksa rontok ke dirinya, menghasilkan massa kritis sangat padat. Karena kerumitan senjata jenis implosi, diputuskan dilakukan uji coba ledakan, kendati disadari akan adanya limbah bahan fisil. Uji coba ledakan nuklir pertama dilakukan pada 16 Juli 1945, dekat Alamogordo, New Mexico, dengan pengawasan wakil Groves, Brigadir Jenderal Thomas Farrell. Energi yang dihasilkan dalam tes beberapa kali lebih besar dari pada yang diharapkan kelompok ilmuwan. Setelah hasil uji coba di Alamogordo berhasil, menjadi jelas bahwa arah yang menentukan jalannya perang tampaknya telah dipegang sepenuhnya. Tidak sampai tiga minggu kemudian setelah uji coba itu, pada 6 Agustus, bom uranium Litle Boy, dijatuhkan kota Hiroshima dan menyusul bom plutonium Fat Man di atas Nagasaki, pada 9 Agustus, menewaskan seketika 120.000 jiwa. Merasakan kedahsyatan atom yang menimpa kedua kotanya tersebut, akhirnya pada 15 Agustus 1945 Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada AS dan sekutunya. PD II dinyatakan berakhir.
Sebagai akibat tidak langsung dari menyerahnya Jepang, Indonesia, yang saat itu di bawah kendali tentara pendudukan Jepang dan telah lama berjuang untuk kebebasannya, dengan itu mendapatkan kesempatan berharga untuk segera mengambil alih masalah nasibnya sendiri guna bebas dari semua kekuasaan asing, dengan memprolamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sementara kemenangan AS dalam PD II telah menempatkan negara itu sebagai pemegang hegemoni dan pengambil banyak prakarsa dalam peta politik dunia hingga saat ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan, berkat kehebatan mereka dalam menjalankan program nuklir yang ambisius, konsisten dan berdedikasi serta berintegritas tinggi melalui Proyek Manhattan. (BERSAMBUNG). Yaziz Hasan/dari berbagai sumber.
Jenderal Leslie Groves (kiri) ditunjuk sebagai ketua militer, sementara Julius Robert Oppenheimer ( kanan) sebagai direktur ilmiah Proyek Manhattan.
Bom atom berbahan plutonium yang diberi julukan Fat Man. Dijatuhkan di atas kota Nagasaki, Jepang, 9 Agustus 1945. Tak lama kemudian Jepang menyerah tanpa syarat dan PD II segera berakhir.
Tapak-tapak penting Proyek Manhattan di AS, termasuk tapak tempat uji coba ledakan di Alamogordo, New Mexico.
Julius Robert Oppenheimer, direktur ilmiah Proyek Manhattan.
----
Jenderal Leslie R. Groves dan lain-lain mengispeksi lokasi titik ledakan beberapa minggu kemudian.
Proyek Manhattan berakibat pada penciptaan senjata nuklir pertama, dan uji coba ledakan nuklir pertama, dikenal dengan uji Trinitas, 16 Juli 1945. Proyek ini juga kelak mengubah peta politik dunia dan berdampak secara geopolitik hingga saat ini.
Lahirnya Pembangkit Uap dari Nuklir Mendekati akhir Perang Dunia II, pengetahuan tentang teknologi nuklir terus berkembang cepat ke arah yang memberi harapan, dan perhatian khusus tertuju pada penerapan energi nuklir untuk tujuan damai secara langsung dan bermanfaat. Kendati pengembangan senjata nuklir pasca perang terus berlanjut pada negara-negara pemenang perang, namun fokus baru pada penggunaan tenaga atom yang utama, kini secara dramatis dipertunjukkan untuk membangkitkan uap dan listrik. Dalam arah pengembangan senjata nuklir, Uni Soviet (kini Russia) dan Barat telah mendapatkan suatu rentang yang luas dari teknologi baru tersebut dan para ilmuwan menyadari bahwa panas luar biasa yang dihasilkan dalam proses reaksi fissi nuklir dapat dimanfaatkan untuk penggunaan langsung atau untuk pembangkitan listrik. Juga menjadi jelas bahwa bentuk baru energi ini akan memungkinkan pengembangan sumber tenaga yang padat dan berlangsung lama yang akan memiliki banyak manfaat, tidak hanya untuk penggerak kapal, khususnya kapal selam, tapi juga untuk penggunaan lain. Kenyataan bahwa umat manusia dapat menguasai teknologi nuklir merupakan prestasi besar abad keduapuluh, namun reaktor nuklir di Bumi sesungguhnya telah dimunculkan dan dikendalikan oleh alam ratusan juta tahun sebelumnya. Lima belas reaktor fissi nuklir alami telah ditemukan di tambang Oklo, Gabon, Afrika Barat. Pertama ditemukan pada 1972 oleh fisikawan Perancis Francis Perrin. Reaktor alami ini dikenal dengan sebutan Reaktor Fossil Oklo. Reaktor-reaktor ini diperkirakan aktif selama 150 juta tahun, dengan daya keluaran rata-rata 100 kW. Demikian pula, bintang-bintang di langit, termasuk matahari, juga mengandalkan reaksi fusi nuklir guna membangkitkan panas, cahaya dan radiasi lainnya, yang menjadi sumber energi kehidupan di planet. Konsep reaktor nuklir alami diajukan pertama kali di Universitas Arkansas oleh Paul Kuroda pada 1956. Terobosan berarti dalam pengembangan teknologi nuklir terjadi ketika Enrico Fermi dan Leó Szilárd, saat pertama
kali membangun reaktor nuklir Chicago Pile-1 di Universitas Chicago pada 2 Desember, 1942. Reaktor nuklir generasi pertama ini digunakan untuk menghasilkan plutonium sebagai bahan senjata nuklir, yang merupakan rangkaian dari Proyek Manhattan. Selain itu, reaktor nuklir juga digunakan oleh angkatan laut AS untuk menggerakkan kapal selam dan kapal pengangkut pesawat tempur. Pada pertengahan 1950-an, baik Uni Soviet maupun negara-negara barat terus meningkatkan penelitian nuklirnya termasuk penggunaan atom di luar militer. Tetapi, sebagaimana program militer, penelitian atom di bidang non-militer juga dilakukan secara rahasia. Reaktor nuklir pertama untuk membangkitkan listrik (meskipun dalam jumlah kecil) adalah Reaktor Pembiak Eksperimental (Experimental Breeder Reactor/EBR-1) ukuran kecil yang dibangun di Arco, Idaho, AS dan dioperasikan pada 20 Desember 1951. Selanjutnya, pada 1953 Presiden AS D. Eisenhower mengusulkan program "Atoms for Peace"-nya, yang mengorientasikan ulang usaha riset signifikan kearah pembangitan listrik dan menetapkan arah pengembangan tenaga nuklir untuk sipil di AS. Di belahan lain, di Uni Soviet, penelitian berlangsung di beberapa pusat riset untuk menyempurnakan desain reaktor yang telah ada dan mengembangkan desain yang baru. Reaktor penghasil plutonium tipe kanal bermoderasi grafit yang ada dimodifikasi untuk menghasilkan panas dan listrik dan pada 26 Juni 1954, pukul 5:30 pagi, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama di dunia untuk pertama kalinya mulai beroperasi di Institut Fisika dan Teknik Daya (FEI), Obninsk, Kaluga Oblast. PLTN ini menghasilkan 5 megawatt, cukup untuk melayani 2000 rumah. Reaktor AM-1 (Atom Mirny –atom damai) adalah berpendingin air dan bermoderasi grafit, dengan kapasitas desain 30 MWt (atau 5 MWe). Secara prinsip serupa dengan reaktor penghasil plutonium di kompleks militer dan bertindak sebagai prototip untuk desain reaktor kanal grafit lainnya termasuk reaktor-reaktor tipe-Chernobyl RBMK (reaktor bolshoi moshchnosty kanalny – reaktor kanal daya tinggi). AM-1
memproduksi listrik hingga 1959 dan digunakan hingga 2000 sebagai fasilitas riset dan untuk produksi radioisotop. Pada 1950-an di Obninsk juga dikembangkan reaktorrekator pembiak cepat (FBR). Pada 1955 reaktor neutron cepat BR-1 (bystry reaktor – reaktor cepat) mulai dioperasikan, namun tidak untuk menghasilkan daya. Selanjutnya dibangun BR-5 yang dioperasikan pada 1959 dengan kapasitas 5MWt dan digunakan untuk melakukan penelitian dasar yang diperlukan untuk mendesain FBR berpendingin natrium. Reaktor ini ditingkatkan dan dimodernisasi pada 1973 dan kemudian menjalani rekonstruksi besar-besaran pada 1983 untuk menjadi BR-10 dengan kapasitas 8 MWt yang digunakan untuk meneliti daya tahan bahan bakar, untuk mempelajari bahan-bahan dan juga untuk memproduksi radioisotop. Usaha AS paling utama dijalankan di bawah arahan Laksamana Hyman Rickover, dalam rangka mengembangkan Reaktor Air Tekan (Pressurised Water Reactor/PWR) untuk penggunaan kapal perang (khususnya kapal selam). PWR menggunakan bahan bakar uranium oksida diperkaya dan bermoderasi serta berpendingin air biasa (ringan). Reaktor prototip kapal perang Mark 1 dinyalakan pada Maret 1953 di Idaho, dan merupakan kapal selam bertenaga nuklir pertama, USS Nautilus, diluncurkan pada 1954. Pada 1959 baik di AS maupun di Soviet kemudian diluncurkan kapal-kapal permukaan bertenaga nuklir pertama mereka. Reaktor Mark 1 menghantarkan Komisi Energi Atom AS membangun reaktor demo PWR Shippingport 90 MWe di Pennsylvania, yang dinyalakan pada 1957 dan dioperasikan hingga 1982, dan sebagai reaktor komersial pertama AS. Karena AS memonopoli pengayaan uranium di Barat, pengembangan di Inggeris mengambil cara berbeda dan menghasilkan serangkaian reaktor yang dibahan-bakari oleh logam uranium alam, dimoderasi grafit, dan berpendingin gas. Yang pertama dari tipe Magnox 50 MWe ini, Calder Hall-1, dinyalakan pada 17 Oktober 1956 dan beroperasi hingga 2003, yang merupakan PLTN skala komersial pertama dunia. Namun, setelah 1963 (dan 26 unit) tidak ada lagi yang dibangun. Inggeris kemudian mengembangkan Reaktor Maju Berpendingin Gas
(Advanced Gas-Cooled Reactor) (dengan menggunakan bahan bakar uranium oksida diperkaya) sebelum mengakui kelebihan pragmatis yang ada di dalam desain PWR. Energi Nuklir Menjadi Komersial Di AS, Westinghouse mendesain PWR 250 MWe komersial penuh pertama, Yankee Rowe, yang dinyalakan pada 1960 dan dioperasikan hingga 1992. Sementara itu reaktor air didih (BWR) dikembangkan oleh Laboratorium Nasional Argonne, dan yang pertama, Dresden-1 berdaya 250 MWe, didesain oleh General Electric, dinyalakan pada awal 1960. Sebuah prototip BWR, Vallecitos, beroperasi dari 1957 sampai 1963. Hingga akhir 1960-an, pemesanan dilakukan pada reaktorreaktor PWR dan BWR dengan kapasitas lebih dari 1000 MWe. Sementara itu, pengembangan reaktor Kanada menapaki lintasan sungguh berbeda, dengan menggunakan bahan bakar uranium alam dan berpendingin serta bermoderator air berat (jenis reaktor CANDU). Unit yang pertama dinyalakan pada 1962. Desain CANDU ini terus disempurnakan. Perancis memulainya dengan desain gas-grafit mirip Magnox dan reaktor pertama dinyalakan pada 1956. Sementara model-model komersialnya beroperasi mulai 1959. Dia kemudian mantap pada tiga generasi PWR baku, yang merupakan strategi biaya sangat efektif. Pada 1964 dua PLTN Soviet lainnya dinyalakan. Reaktor kanal grafit air didih 100 MW mulai beroperasi di Beloyarsk, Urals. Di Novovoronezh (wilayah Volga) sebuah desain baru – sebuah PWR kecil 210 MW dikenal dengan VVER (veda-vodyanoi energetichesky reaktor – reaktor daya berpendingin air) dibangun. RBMK besar pertama (1,000 MW – reaktor kanal daya tinggi) dinyalakan di Sosnovy Bor dekat Leningrad pada 1973 dan pada tahun yang sama disaksikan penyalaan reaktor pertama dari empat reaktor kecil tipe kanal air didih 12 MW yang di bagian timur Arktik, Bilibino, untuk produksi daya dan panas.
Di bagian barat laut Arktik sebuah VVER yang agak besar dengan kapasitas rata-rata 440 MW mulai dioperasikan dan ini menjadi desain standar. Di Shevchenko, Kazakhstan, prototip FBR komersial pertama dunia dinyalakan pada 1972, BN-350 (bystry neutron – neutron cepat) menghasilkan 120 MW listrik and panas untuk mendesalinasi air laut Kaspia. Sebuah prototipe BOR-60, dioperasikan di Obninsk pada 1959, menghasilkan 12 MW listrik. Pada akhir 1990-an yang pertama dari reaktor generasi ketiga mulai dioperasikan di Kashiwazaki-Kariwa 6, sebuah BWR Maju 1350 MWe, di Jepang. Di seluruh dunia, dengan beberapa kekecualian, negaranegara lain telah memilih desain air ringan bagi program nuklir mereka, sehingga saat ini 65% kapasitas dunia adalah PWR dan 23% BWR. Revitalisasi Energi Nuklir Mulai akhir 1970-an hingga sekitar 2002 industri nuklir sempat mengalami beberapa pelambatan dan kemandekan. Sebelum peristiwa Three Mile Island pada 1979, sebenarnya permintaan terhadap PLTN baru di AS sedang mengalami penurunan karena alasan ekonomi. Namun saat ini timbul gairah baru industri nuklir AS, sesuai kebijakan nuklir yang baru saja diluncurkan. Sampai 2007, Watts Bar 1, yang mulai beroperasi pada 7 Februari 1996 merupakan PLTN komersial Amerika Serikat terakhir yang masuk jaringan. Namun kini, di AS dan seluruh Eropa, investasi pada penelitian daur bahan bakar nuklir terus berlanjut, untuk mengantisipasi prediksi kelangkaan listrik, peningkatan harga bahan bakar fosil dan kepedulian terhadap pemanasan global karena emisi gas rumah kaca, yang akan memproyeksikan peningkatan kebutuhan dunia terhadap perlunya pembangunan PLTN-PLTN baru. Banyak negara terus aktif mengembangkan energi nuklirnya termasuk diantaranya Jepang, Cina dan India, kesemuanya aktif mengembangkan teknolgi reaktor termal dan reaktor cepat. Sementara Korea Selatan dan AS hanya
mengembangkan teknolgi reaktor termal. Afrika Selatan dan Cina mengembangkan versi Pebble Bed Modular Reactor (PBMR). Finlandia, Perancis dan Romania aktif mengembangkan energi nuklir; Finladia mempunyai European Pressurized Reactor (EPR) yang sedang dibangun oleh Areva. Jepang sedang aktif membangun unit-unit baru yang akan segera beroperasi. Di AS, tiga konsorsia pada 2004 merespons penggalangan dari Departemen Energi di bawah program nuklir 2010 dan diberi jaminan pendanaan, Undang-undang Kebijakan Energi 2005 memberi jaminan pinjaman bagi enam reaktor baru, dan memberi wewenang Departemen Energi untuk membangun reaktor yang didasarkan pada konsep reaktor temperatur sangat tinggi generasi IV untuk menghasilkan listrik dan hidrogen. Hingga permulaan abad keduapuluh satu, energi nuklir telah menjadi pusat perhatian Cina dan India untuk melayani pertumbuhan ekonomi mereka yang berkembang pesat, keduanya mengembangkan reaktor pembiak cepat FBR. Dalam kebijakan energi Inggris diakui bahwa agaknya akan terjadi kekurangan pasokan energi, yang hanya mungkin dapat dipenuhi dengan pembangunan PLTN baru atau memperpanjang masa pakai PLTN yang ada. Pada 20 Desember 2002, Dewan Menteri Bulgaria memutuskan memulai kembali pembangunan PLTN Belene, yang pembangunannya dimulai pada 1987, namun dihentikan pada 1990, dengan reaktor pertama telah siap 40%. Diharapkan reaktor pertama sudah harus beroperasi pada 2013 dan yang kedua pada 2014. Di AS, pada 22 September 2005 telah diumumkan dua tapak baru yang telah dipilih sebagai lokasi PLTN baru. Pada 1 Agustus 2007 Badan Tennessee Valley Authority (TVA) menyetujui untuk mulai membangun kembali Watts Bar-2 dan dijadwalkan selesai dan beroperasi pada 2013. Pada Oktober 2007, dua PLTN baru juga telah dijadwalkan dibangun di Texas dan diharapkan harus dapat dioperasikan pada 2014. PLTN termasuk dalam pembangkit daya beban dasar, yang dapat bekerja dengan baik ketika daya keluarannya konstan. Daya yang dibangkitkan per unit pembangkit berkisar dari 40
MWe hingga 1000 MWe. Unit baru yang sedang dibangun pada tahun 2005 mempunyai daya 600-1200 MWe. Hingga tahun 2007 terdapat 443 PLTN berlisensi di dunia, dengan 439 diantaranya beroperasi di 31 negara yang berbeda. Keseluruhan reaktor tersebut menyuplai 17% daya listrik dunia. (Yaziz Hasan/dari berbagai sumber).
Riwayat penggunaan PLTN (atas) dan jumlah PLTN aktif (bawah).
PLTN Shippingport, Pennsylvania. PLTN komersial pertama AS dioperasikan pada 1957.