SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF KAYU KOPO (Eugenia cymosa Lamk.) TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren
RATIH MAYANGSARI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF KAYU KOPO (Eugenia cymosa Lamk.) TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren
RATIH MAYANGSARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN RATIH MAYANGSARI. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan RITA KARTIKA SARI. Pengawetan kayu yang dilakukan selama ini menimbulkan permasalahan. Hal ini disebabkan karena bahan pengawet yang digunakan beracun dan bersifat nonbiodegradable. Penggunaan bahan tersebut perlu dikurangi dengan bahan pengawet alami yang bersifat biodegradable dan renewable yang berasal dari kayu. Kayu yang digunakan dalam penelitian adalah kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) yang tergolong kayu awet sehingga kayu tersebut diduga memiliki senyawa bioaktif yang berperan dalam meningkatkan keawetam alaminya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kadar zat ekstraktif dari hasil ekstraksi dan fraksinasi serta mengetahui toksisitas zat ekstraktif tersebut terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah serbuk kayu Kopo yang berukuran 40-80 mesh sebanyak 2000 gram. Bahan tersebut diekstraksi dengan aseton dan dilanjutkan dengan fraksinasi bertingkat (metode solvent-solvent extraction) yang menggunakan pelarut n-heksan, etil eter, dan etil asetat secara berurutan. Setiap fraksi terlarut dan residu dihitung kadar zat ekstraktif terlarutnya dan dilakukan pengujian bio assay anti rayap selama empat minggu. Parameter yang dihitung berdasarkan pengujian tersebut adalah persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat kertas uji selulosa. Setiap fraksi terlarut dan residu juga terbagi ke dalam beberapa taraf konsentrasi yaitu 2, 4, 6, 8, dan 10% berdasarkan perbandingan berat ekstraktif dengan kertas selulosa (w/w) untuk aplikasi pengujian anti rayap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum peningkatan konsentrasi berpengaruh terhadap nilai mortalitas rayap dan kehilangan berat kertas uji selulosa. Kadar ekstrak aseton yang diperoleh sebesar 5,23% yang terbagi ke dalam 4,27% fraksi residu, 0,48% fraksi etil eter, 0,27% fraksi etil asetat, dan 0,21% fraksi n-heksan. Mortalitas rayap merupakan indikator daya racun zat ekstraktif. Berdasarkan nilai persentase mortalitas rayapnya, aktivitas anti rayap tertinggi terdapat pada fraksi etil asetat. Nilai mortalitas rayap minggu ketiga sudah mencapai 100% pada tingkat konsentrasi 8%. Kehilangan berat kertas uji selulosa merupakan indikator adanya penghambatan aktivitas makan rayap. Berdasarkan kehilangan berat kertas uji selulosanya, aktivitas anti rayap tertinggi juga terdapat pada fraksi etil asetat. Nilai persentase kehilangan berat kertas uji selulosa terendah pada fraksi tersebut yaitu sebesar 13,56% pada tingkat kosentrasi 10%. Dengan demikian, fraksi etil asetat merupakan fraksi yang memiliki toksisitas tertinggi dibandingkan fraksi lainnya karena diduga adanya senyawa alkaloid tetapi perlu dilakukan penelurusan lebih lanjut untuk membuktikan pendugaan tersebut. Kata kunci : Kayu, Rayap, Ekstraktif, Coptotermes curvignathus, Eugenia cymosa
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ” Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren.”adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor, Maret 2008
Ratih Mayangsari NRP E24103028
Judul Skripsi : Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren Nama : Ratih Mayangsari NIM : E24103028
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr NIP. 130 813 794
Ir. Rita Kartika Sari, M.Si NIP. 132 133 963
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan AgustusDesember 2007 adalah keawetan alami kayu dengan judul Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membeikan arahan, saran, nasehat, ilmu, dukungan baik moril maupun materi.
2.
Dr. Ir. Hernios Arif, M.Sc dan Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan arahan, ilmu dan saran.
3.
Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc yang telah memberikan saran dan ilmunya.
4.
Dr. Ir. Ernawati, M.ScF dari Badan Penelitian dan Penebangan Kehutanan, Gunung Batu, Bogor yang telah membantu dalam penyediaan kayu Kopo.
5.
Ayah, ibu, adik dan seluruh keluarga atas kasih sayang, doa, cinta dan dukungan baik moril maupun materi.
6.
Seluruh laboran Laboratorium Kimia Hasil Hutan : Pa Atin, Mas Wawan, Ibu Upin, dan Pa Iyar yang telah membantu selama penelitian.
7.
Mba Esti Prihatini, S.Si dari Laboratorim Kayu Solid yang telah memberikan nasihat dan ilmunya.
8.
Mba Anti, Mba Eka dan Ibu Syahidah atas ilmu, saran, dan nasihat yang diberikan.
9.
Freddy dan Dina (teman satu bimbingan), Indah (teman seperjuangan), Yeyet, Ike, Wati, Nucifera, Gita, Nenih, Ela, dan teman-teman THH angkatan 40 atas kerja sama, persahabatan dan perhatian yang diberikan selama kita bersama menjadi satu keluarga THH 40.
10. Teman-teman (Elsya, Vita, Elza, Isna dan Listya) dan Kakak-kakak (Mba Trias, Mba Eva, dan Mba Ani). 11. Seluruh teman Fahutan angkatan 40 dan adik-adikku angkatan 41 dan 42.
ii
12. Adik, teman dan kakak di Wisma “Candy-Candy”yang telah memberikan dukungan untuk selalu semangat dan ceria. 13. Seluruh pihak yang terlibat membantu dalam penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan. Tetapi semoga karya ini dapat bermanfaat sebagai acuan dalam penelusuran informasi.
Bogor, Maret 2008
Penulis
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes, Jawa Tengah pada tanggal 20 Juni 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Abdullah Iman, S.Pd dan Waryunah. Pada tahun 1997 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Sindangheula 2, kemudian pada tahun 2000 menyelesaikan studi dari SLTP Negeri 2 Brebes dan pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Brebes. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikannya di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Selama pendidikan di IPB, penulis pernah mendapat beasiswa BNI BAMUIS dan BRI Cabang Bogor. Organisasi yang pernah diikuti oleh penulis adalah organisasi Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) pada periode tahun 2004-2005 sebagai Wakil Ketua Kelompok Minat Ekonomi Industri dan Asean Forest Student Assosiation (AFSA) LC IPB sebagai staf Departemen Fund Rising dan Human Resource Departement. Penulis pernah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di BKPH Gunung Slamet Barat, KPH Banyumas Timur dan BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat serta KPH Ngawi pada 2006. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Kerja Lapang di CV. Mercu Utama Semarang pada bulan Februari-April 2007. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menulis skripsi yang berjudul ” Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren” dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keawetan Kayu ........................................................................... 3 2.2 Kayu Teras .................................................................................. 3 2.3 Zat Ekstraktif............................................................................... 5 2.4 Kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) ......................................... 8 2.5 Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren ................... 8 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................... 11 3.2 Bahan dan Alat ............................................................................ 11 3.3 Metode Penelitian ...................................................................... 11 3.3.1 Persiapan Bahan ................................................................. 11 3.3.2 Proses Ekstraksi dan Fraksinasi ......................................... 12 3.3.3 Penentuan Kadar Zat Ekstraktif ......................................... 14 3.3.4 Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak ........................... 14 3.3.5 Pengujian Sifat Anti-Rayap ............................................... 14 BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Zat Ekstraktif .......................................................... 17 4.2 Sifat Anti Rayap ......................................................................... 18 4.2.1 Mortalitas Rayap C. curvignathus...................................... 18 4.2.2 Kehilangan Berat Kertas Uji Selulosa................................ 23 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 27 5.2 Saran............................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 28 LAMPIRAN ..................................................................................................... 32
v
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Karakteristik fisik inner bark dan teras cabang kayu Kopo........................ 8 2. Rata-rata kelimpahan populasi flagelata pada saluran pencernaan rayap Cryptotermes cynocephalus, C. curvignathus, dan Macrotermes gilvus ... 10 3. Kadar ekstraktif hasil ekstraksi dan fraksinasi bertingkat kayu Kopo ................................................................................................... 17 4. Persentase mortalitas rata-rata rayap tanah C. curvignathus setelah diumpankan selama 28 hari pada kertas uji yang mengandung ekstrak kayu Kopo ...................................................................................... 19 5. Kehilangan berat kertas uji selulosa yang mengandung ekstrak kayu Kopo hasil pengumpanan selama 28 hari terhadap rayap tanah C. curvignathus. ....................................................................... 23
vi
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Proses ekstraksi dan fraksinasi .................................................................... 13 2. Metode pengumpanan contoh uji ................................................................ 15 3. Ekstrak hasil ekstraksi dan fraksinasi beberapa pelarut .............................. 18 4. Diagram batang mortalitas rayap C. curvignathus setelah 3 minggu pengumpanan pada setiap jenis fraksi terlarut dan konsentrasi .................. 22 5. Diagram batang kehilangan berat kertas uji selulosa setelah 4 minggu pengumpanan pada setiap jenis fraksi terlarut dan konsentrasi .................. 25 6. Penampakan kertas uji kontrol, fraksi n-heksan (A), fraksi etil eter (B), fraksi etil asetat (C), dan fraksi residu (D) pada beberapa taraf konsentrasi setelah diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus ........................................................................................... 26
vii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Tipe zat ekstraktif yang diekstraksi dengan beberapa pelarut ..................... 33 2. Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai insektisida pada serangga .............................................................................................. 34 3. Data jumlah rayap yang mati dalam 28 hari pengamatan ........................... 35 4. Data mortalitas rayap C. curvignathus selama 28 hari pengumpanan pada setiap minggunya ......................................................... 38 5. Hasil pengujian kandungan senyawa kimia pada bagian akar batang/kulit batang, dan daun kayu Kopo (E. cymosa )............................... 40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat akan kayu untuk bahan konstruksi semakin meningkat sedangkan persediaan kayu di alam semakin menurun. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanami dengan kayu cepat tumbuh (fast growing spesies). Tetapi jenis kayu tersebut biasanya memiliki keawetan rendah. Sumarni dan Muslich (2004) menyatakan bahwa keawetan suatu jenis kayu merupakan sifat kayu yang penting karena bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, manfaatnya akan berkurang jika umur pakainya pendek. Umur pakai kayu yang pendek sangat merugikan karena biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan tidak seimbang dengan umur pakainya. Oleh sebab itu, sebelum digunakan biasanya dilakukan pengawetan kayu untuk memperpanjang umur pakainya. Pengawetan kayu merupakan usaha untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap agen perusak kayu. Tarumingkeng (2007) menyatakan bahwa bahan pengawet yang dimasukkan ke dalam kayu umumnya merupakan bahan beracun (toxic material) agar jasad hidup perusak kayu tidak menyerang. Selain itu, bahan pengawet yang beredar di pasaran saat ini adalah bahan pengawet sintesis anorganik yang berpotensi sebagai bahan pencemar bagi manusia dan lingkungan hidup sekitarnya karena bersifat nonbiodegradable (tidak dapat diurai secara alami).
Penggunaan
bahan
pengawet
tersebut
dapat
dikurangi
dengan
menggunakan bahan pengawet alternatif yang ramah lingkungan (bersifat biodegradable) dan dapat diperbaharui (renewable) yang berasal dari produk alami kayu itu sendiri. Keawetan alami suatu jenis kayu disebabkan adanya senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap agen perusak yang dikelompokkan ke dalam zat ekstraktif. Kini banyak penelitian mengenai ekplorasi senyawa bioaktif dari kayu komersil dan kayu kurang dikenal yang berpotensi sebagai bahan pengawet alami. Hasil penelitian Syafii et al. (1987) menemukan senyawa bioaktif eusiderin yang termasuk ke dalam kelas neo-lignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri)
2
terbukti bersifat inhibitor terhadap pertumbuhan jamur Coriolus versicolor dan Tyromeces polutris. Syafii (2000c) melaporkan bahwa ditemukan senyawa latifolin dan new neoflavonoid dalam kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) yang mempunyai toksisitas tinggi terhadap rayap Reticulitermes speratus Kolbe. Sanderman dan Funke (1970) dalam Fengel dan Wegener (1989) menyatakan bahwa saponin dengan aglikon hidroksi- dan asam dihidroksi-oleanolat menyebabkan ketahanan kayu zapote (Manilkara zapota) terhadap jamur dan rayap. Menurut Supriana (1985), quinon yang diisolasi dari spesies Dalbergia spp. terbukti sangat beracun terhadap berbagai macam agen perusak kayu. Uraian di atas membuktikan bahwa adanya zat ekstraktif dalam kayu sebagai senyawa bioaktif yang berperan dalam meningkatkan keawetan alami kayu. Kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) yang termasuk ke dalam kayu kurang dikenal (lesser known spesies). Seng (1990) menyatakan bahwa kayu E. cymosa merupakan kayu yang tergolong awet (kelas awet II). Sugiana (2003) menyatakan bahwa hasil uji fitokimia menunjukkan kayu Kopo mengandung senyawa dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah alkaloid, flavonoid, steroid dan triterpenoid serta saponin. Selanjutnya Juliasman (2006) menambahkan bahwa kandungan senyawa tersebut dalam kayu Kopo diduga mampu menggangu metabolisme dan menyebabkan kematian larva udang Artemia salina Leach. pada uji sifat anti kanker Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Dengan demikian, diduga kayu Kopo berpotensi mengandung senyawa bioaktif yang memiliki toksisitas terhadap organisme perusak seperti rayap. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian kayu Kopo yang diperkirakan dapat dijadikan sebagai bahan pengawet alami kayu. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memperoleh kadar zat ekstraktif kayu Kopo yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan pelarut aseton dan fraksinasi dengan pelarut n-heksan, etil eter, dan etil asetat. 2. Mengetahui toksisitas zat ekstraktif kayu Kopo terhadap rayap tanah C. curvignathus.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keawetan Kayu Keawetan alami merupakan daya tahan alami suatu jenis kayu terhadap serangan agen perusak kayu. Keawetan alami ini biasanya berhubungan dengan adanya zat ekstraktif yang beracun dalam kayu. Zat ekstraktif beracun tersebut biasanya termasuk dalam golongan tanin, resin, senyawa fenolik, dan asam-asam organik (Prawirohatmodjo 1997 dalam Kuswantoro 2005). Syafii (2000a) menyatakan bahwa pada umumnya kayu yang memiliki tingkat keawetan tinggi mempunyai kandungan zat ekstraktif lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang memiliki tingkat keawetan rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan dalam keawetan diantaranya disebabkan oleh kondisi dalam kayu itu sendiri dan lingkungan (Hunt dan Garrat 1986). Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu karateristik kayu dan keadaan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (kayu gubal dan kayu teras), dan kecepatan tumbuh. Faktor lingkungan yaitu tempat dimana kayu itu digunakan, jenis organisme penyerang, keadaan suhu, dan kelembaban udara. Suatu jenis kayu yang awet terhadap serangan jamur belum tentu akan tahan terhadap rayap atau penggerek kayu di laut demikian pula sebaliknya (Sumarni dan Muslich 2005). 2.2 Kayu Teras Penyebab sebenarnya pembentukan kayu teras masih terus dalam perdebatan, tetapi kematian sel telah diketahui paling tidak ada hubungannya dengan dua peristiwa: menumpuknya bermacam-macam substansi polifenol dalam dinding dan rongga sel dan berkurangnya kandungan air sel-sel tersebut. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa kayu teras timbul karena pengaruh racun produk sampingan kegiatan kambium yang mengumpul dan terurai (Haygreen dan Bowyer
1996). Rudman (1966) dalam Haygreen dan Bowyer (1996)
menambahkan pernyataan di atas bahwa adanya hubungan antara pengurangan musiman kandungan air pada pusat batang dengan pembentukan kayu teras.
4
Penumpukan dan penguraian zat-zat makanan adalah penyebab utama pembentukan kayu teras. Pengurangan air dapat menyebabkan hidrolisis pati menjadi gula. Proses tersebut dapat mengurangi kandungan oksigen sel-sel dan menambah konsentrasi karbondioksida dan kemungkinan besar juga tekanan gasnya. Kombinasi pengaruh tersebut berpengaruh buruk pada proses pernafasan dan menyebabkan kematian jaringan. Penguraian gula menyebabkan terbentuknya berbagai senyawa polifenol. Pada umur tertentu, kayu bagian dalam batang kebanyakan pohon mulai berubah menjadi kayu teras yang mati seluruhnya dan proporsinya dalam batang menjadi semakin besar dengan pertumbuhan pohon. Sel-sel parenkim yang mati menghasilkan endapan-endapan organik seperti resin, senyawa-senyawa fenol, pigmen dan sebagainya (Sjostrom 1995). Sebagian besar kayu mempunyai kayu teras lebih gelap dan merupakan jaringan tertua yang dihasilkan selama 20, 50 atau bahkan ratusan tahun sebelum kayu mati. Batas yang tepat antara kayu gubal dan teras tidak pada garis warna walaupun memang sering tepat menggunakan cara tersebut, tetapi batas yang tepat pada sel parenkim yang terdapat pada jari-jari kayu yang nanti pada akhirnya akan mati (Core et al. 1979). Ekstraktif kayu teras pada beberapa spesies bersifat racun karena menyebabkan kayu tahan terhadap kerusakan oleh mikroba dan serangga. Keawetan kayu dipengaruhi oleh daya racun dan kadar ekstraktifnya (Achmadi 1990). Jin dan Laks (1994) mendukung pernyataan tersebut bahwa ekstraktif kayu teras bertanggung jawab secara luas dalam memberikan sifat keawetan. Contoh dari ekstraktif
bioaktif yang terkandung dalam kayu yaitu tropolon, phenol,
komponen polifenol termasuk tanin dan stilben, kaumarin, asam terpenoid dan lain-lain. Selanjutnya USDA (1999) menambahkan bahwa peralihan kayu gubal ke kayu teras disertai dengan peningkatan kandungan zat ekstraktif.
Pada
beberapa jenis kayu seperti black locust, western redcedar, dan redwood, kayu teras mempunyai ketahanan terhadap jamur dan serangan rayap. Ekstraktif kayu teras berpengaruh terhadap kayu dengan cara : (a) menurunkan permeabilitas, yang membuat kayu sulit mengering dan lebih sulit untuk dilalui bahan pengawet kimia, (b) meningkatkan stabilitas dengan mengubah keadaan lembab dan (c)
5
menambah berat (berpengaruh sedikit). Bagaimanapun, perubahan kayu gubal ke teras tidak ada sel yang bertambah atau hilang begitupun juga bentuk sel. 2.3 Zat Ekstraktif Fengel dan Wegener (1989) menyatakan bahwa istilah ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa berbeda yang dapat diekstrak dari kayu dengan pelarut polar hingga non polar. Dalam arti sempit ekstraktif merupakan senyawasenyawa yang larut dalam pelarut organik. Selanjutnya Back (1960) dalam Fengel dan Wegener (1989) menyatakan bahwa ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin, sel-sel parenkim jari-jari, dan jumlah yang rendah juga terdapat dalam lamela tengah, intraseluler, dinding sel trakeid, dan serabut libriform. Sjostrom (1995) menyatakan bahwa ekstraktif-ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam struktur kayu. Sebagai contoh, asamasam resin terdapat dalam saluran resin, sedangkan lemak dan lilin terdapat dalam sel parenkim jari-jari. Ekstraktif fenol terdapat terutama dalam kayu teras dan dalam kulit. Senyawa fenol, terpenoid-terpenoid rendah, dan asam-asam resin melindungi kayu terhadap kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga. Ekstraktif merupakan senyawa dari berbagai komposisi kimia seperti gum, lemak, resin, gula, minyak, pati, alkaloid, dan tanin. Proporsi zat ekstraktif kurang lebih 1% sampai dengan lebih dari 10% dari berat kering oven. Bagaimanapun, ekstraktif pada beberapa jenis kayu tropis kurang lebih sampai 20%. Variasi tidak hanya diantara jenis kayu yang berbeda tetapi pada satu pohon terutama pada kayu teras dan gubal (Tsoumis 1991). Ekstraktif dapat dibagi menjadi fraksi lipofilik dan hidrofilik walaupun batasnya kurang jelas. Fraksi lipofilik terdiri dari : lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tanin, lignan, dan stilbena), karbohidrat terlarut, protein, vitamin, dan garam anorganik (Achmadi 1990). Banyaknya ekstraktif yang dapat diekstrak dalam kayu tergantung dari berbagai faktor, antara lain : jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksi, ukuran serbuk, dan kadar air serbuk (Syafii 2000b).
6
Sjostrom (1995) menggolongkan zat ekstraktif ke dalam tiga kelompok, yaitu : a. Terpena dan Terpenoid Terpena dikenal sebagai kelompok besar dari hidrokarbon yang terbentuk dari unit-unit isoprena (C5H8). Turunan-turunan terpena dengan gugus fungsi hidroksil, karbonil, dan karboksil adalah bukan hidrokarbon tetapi secara singkat disebut terpenoid. Rumus umum terpena adalah (C10H16)n. Terpena dibagi menjadi monoterpena (n=1), seskuiterpena (n=1,5), diterpena (n=2), triterpena (n=3), tetraterpena (n=4), dan politerpena (n>4) (Achmadi 1990). Sejumlah monoterpena merupakan konstituen oleoresin kayu tropika. Diterpena terbatas pada kayu daun jarum terutama dalam bentuk asam resin. Getah lateks spesies Hevea merupakan salah satu contoh triterpena dari kayu tropis. Sejumlah kayu tropis mengandung glikosida triterpena dan steroid yang menghasilkan larutan berbusa dalam air disebut saponin. Beberapa saponin bertindak sebagai bahan pembius untuk ikan atau racun ikan (Fengel dan Wegener 1985). b. Lemak dan Lilin Lemak dan lilin merupakan konstituen utama dari bahan lipofil yang terdapat dalam sel parenkim. Lemak itu sendiri merupakan ester-ester gliserol dari asam-asam lemak yang terdapat dalam kayu terutama sebagai trigliserida. Asam lemak terbagi dalam dua bagian yaitu asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Lilin menurut Fessenden dan Fessenden (1997) merupakan monoester sederhana yang terbentuk dari asam lemak rantai panjang dan alkohol rantai panjang. Sifat lilin lunak pada temperatur badan dan keras pada temperatur rendah. Semua lemak juga mempunyai sifat spesifik yaitu tidak larut dalam air tetapi pelarut non polar. Lemak dan lilin merupakan senyawa-senyawa alami yang non-polar dan dapat diekstraksi secara efektif dengan menggunakan pelarut seperti nheksan, kloroform, etanol atau metanol (Houghton dan Raman 1998).
7
Fengel dan Wegener (1985) menambahkan bahwa kandungan lemak sekitar 0,3-0,4% dan lilin sekitar 0,08-0,09% berdasarkan kayu kering). c. Konstituen Fenol Kayu teras dan kulit mengandung bermacam-macam ekstraktif aromatik yang kompleks. Sebagian besar diantaranya adalah senyawa-senyawa fenol dan banyak berasal dari fenil propanoid. Senyawa fenol tersebut mempunyai sifat-sifat fungisida dan melindungi kayu terhadap serangan mikrobiologi. Kelompok senyawa fenol yang penting diantaranya adalah : 1) stilben, turunan-turunan dari 1,2-difeniletilena, memiliki ikatan rangkap dua terkonjugasi. Anggota yang khas adalah pinosilvin dalam pinus. 2) lignan, dibentuk dengan penggabungan oksidatif dua unit fenilpropana (C6C3). 3) tanin-tanin yang terhidrolisis, kelompok senyawa bila dihidrolisis yang menghasilkan asam galat dan elagat dan gula-gula sebagai produk utama. 4) flavonoid, yang mempunyai kerangka karbon trisiklik khas (C6C3C6). 5) tanin terkondensasi, yang merupakan polimer-polimer flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan di alam. Flavonoid ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam mikroorganisme. Senyawa ini menjadi zat warna merah, ungu, biru, dan kuning dalam tumbuhan. Sudah dikenal sekitar 10 golongan flavonoid, yaitu Antosianin, Leukoantosianidin, Flavonol, Flavan, Glikoflavon, Biflavonil, Kalkon, Auron, Flavon, dan Isoflavon (Suradikusumah 1989). Isoflavon rumit seperti rotenon merupakan insektisida alam yang kuat (Bailey dan Mansfield 1982 dalam Harborne 1987). Pada umumnya alkaloid mencakup senyawaan yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, yang biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1987).
8
2.4 Kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) Eugenia cymosa Lamk (sinonimnya = Jambosa tenuicuspis MIQ, Syzygium nelitricarpium T. & B.) mempunyai nama daerah setempat tetapi tidak menentu, Mengkeling (Bilitung), Kisireum atau Kopo (Sunda) dan Manting (Jawa). Pohon dengan tinggi 15-20 m dengan keliling 85 cm, terdapat di seluruh Jawa di bawah 1200 meter dpl, tumbuh tidak berkelompok, tetapi tidak langka. Contoh kayu yang diterima dari Bilitung, kayu bagian luarnya merah muda dan terasnya agak merah tua, tidak keras tapi berat, serabut panjang, cukup mudah dikerjakan dan rupanya bagi Eugenia cukup baik (Heyne 1987). Kayu Kopo dengan famili Myrtaceae mempunyai berat jenis rata-rata 0,95 dan tergolong kayu kelas awet II serta kelas kuat I (Seng 1990). Karakteristik fisik kayu Kopo dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Karateristik fisik inner bark dan teras cabang kayu Kopo *) Parameter Hasil Pengamatan Bagian Teras Inner bark Bentuk Kulit kayu, persegi panjang Sedikit susah dibedakan (mudah dikuliti) dengan kayu gubalnya Warna Outer bark: coklat tua Coklat muda Inner bark: Kuning kecoklatan Ukuran Tebal kulit ± 0,3-0,5 cm Tebal teras ± 4-5 cm (terhadap diameter cabang) Keterangan: *) Sumber: Juliasman (2006)
2.5 Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa rayap adalah serangga yang berbadan kecil, bertubuh lunak, dan hidup dalam suatu koloni (berkelompokkelompok) sehingga disebut serangga sosial dengan sistem kasta. Dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masingmasing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (reproduktif primer dan reproduktif suplementer). Kasta pekerja merupakan inti dari koloni, tidak kurang dari 80% populasi koloni merupakan individu-individu pekerja (Nandika et al.
2003). Kasta pekerja terbentuk seperti nimfa dan
berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata pacet. Mandibelnya relatif kecil dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah sebagai pencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. Mereka
9
mengatur efektivitas daripada koloni dengan jalan membunuh dan memakan individu-individu yang lemah atau mati untuk menghemat energi dalam koloninya. Sedangkan kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu). Semasa hidupnya kasta reproduktif (ratu) bertugas menghasilkan telur. Seekor ratu dapat hidup selama 6-20 tahun bahkan sampai berpuluh-puluh tahun. Apabila reproduktif primer mati atau koloni membutuhkan penambahan reproduktif baru untuk perluasan koloninya maka akan dibentuk reproduktif sekunder. Kasta yang terakhir adalah kasta prajurit yang dikenali karena bentuk kepalanya yang besar dengan skelerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari kasta ini mempunyai mandibel atau restrum yang besar dan kuat. Fungsi dari kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap ganguan dari luar (Nandika dan Tambunan 1982). Aktivitas makan rayap juga berbeda-beda bergantung jenis rayapnya. Rayap mempunyai simbion pada usus belakang. Jumlah dan tipe simbion bervariasi dari satu jenis rayap dengan jenis rayap yang lain. Ukuran mandibel, tingkah laku mencari makan, ketergantungan terhadap faktor lingkungan, komposisi simbiotik dari usus, ketahanan terhadap zat beracun akan merangsang aktivitas makan rayap (Supriana 1985). Rayap memberikan perlindungan berupa tempat anaerob dan makanan bagi organisme simbion. Di lain pihak, organisme simbion menyumbangkan enzim selulase untuk pencernaan selulosa yang masuk ke dalam saluran pencernaan rayap. Rayap juga memanfaatkan hasil akhir dari metabolisme selulosa yang berupa asam asetat dan menggunakannya sebagai salah satu sumber energi (Nandika et al. 2003). Rayap C. curvignathus mempunyai ciri-ciri khusus. Kepala kuning, antena, lambrum, dan pronotum kuning pucat. Bentuk
berwarna
kepala bulat
ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya, memiliki fontanel yang lebar.
Antena
terdiri
dari
15
segmen;
segmen
kedua
dan
keempat
sama panjangnya. Mandibel berbentuk arit dan melengkung di ujungnya, batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm. Lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya
10
0,56 mm dengan panjang badan 5,5-6,0 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan. Apabila yang diganggu prajurit akan mengeluarkan cairan putih seperti susu dari bagian tengah mandibelnya (Nandika et al. 2003). Butiran pasir ukuran 2,00-2,83 dan 1,00-2,00 mm tidak dapat ditembus oleh rayap C. curvignathus karena rayap tidak mampu mengangkat atau mendorong butiran pasir tersebut untuk membuat saluran. Rayap mampu mengangkat butiran pasir yang ukuran lebih kecil dari ukuran tersebut (Sukartana 1998). Tingginya kelimpahan populasi flagelata pada C. curvignathus sangat menarik jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa rayap tersebut merupakan jenis rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Daya rusaknya yang sangat tinggi tersebut nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa (aktivitas enzim selulase) yang sangat tinggi sehubungan dengan tingginya populasi flagelatanya (Nandika dan Adijuwana 1995). Kelimpahan populasi flagelata pada rayap Cryptotermes cynocephalus, C. curvignathus, dan Macrotermes gilvus dapat dlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rata-rata kelimpahan populasi flagelata pada saluran pencernaan rayap Cryptotermes cynocephalus, C. curvignathus, dan Macrotermes gilvus Jenis Rayap Usus Depan Usus Tengah Usus Jumlah Belakang*) 105 1110 2004 3220 Cryptotermes (3,27%) (34,48%) (62,25%) cynocephalus 74 1687 2921 4682 C. curvignathus (1,58%) (36,03%) (62,39%) Macrotermes gilvus Keterangan : *) Termasuk kolon dan rektum (Sumber :Nandika dan Adijuwana 1995)
Rayap C. curvignathus merupakan rayap perusak yang menimbulkan tingkat serangan yang paling ganas. Rayap mampu menyerang hingga ke lantai atas suatu banguanan bertingkat. Rayap ini akan masuk ke dalam kayu sampai bagian tengah yang memanjang searah dengan serat kayu melalui lubang kecil yang ada di permukaan kayu. Ada perilaku unik yang dilakukan rayap ini ketika menyerang kayu yaitu bagian luar kayu yang diserang tidak rusak (Prasetiyo dan Yusuf 2005).
11
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai Desember 2007 di Bagian Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Kayu yang digunakan dalam penelitian adalah kayu teras pada cabang kayu Kopo yang berumur kurang lebih 49 tahun yang diambil dari Hutan Penelitian Darmaga sedangkan pengujian toksisitas zat ekstraktif menggunakan rayap C. curvignathus sebanyak 50 ekor yang terdiri 45 ekor pekerja dan 5 ekor prajurit. Bahan pelarut yang digunakan dalam penelitian adalah aseton, n-heksan, etil eter, etil asetat dengan kualifikasi bahan teknis sehingga sebelum digunakan untuk ekstraksi pelarut-pelarut tersebut dimurnikan terlebih dahulu dengan cara destilasi pada titik didihnya. Bahan-bahan lain yang digunakan seperti : aquades, media pasir, kertas saring, dan kertas selulosa. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah golok, penggilingan, hammer mill, stoples besar, spatula, rotary vacuum evaporator, petridish, timbangan, funnel separator, oven, gelas ukur, kain hitam, karet gelang, plastic saucer, alumunium foil, gelas piala, labu evaporasi, dan botol uji. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan Bahan Kayu teras dari cabang kayu Kopo dipotong-potong menjadi serpihan. Serpihan tersebut dipotong kembali untuk memperoleh ukuran yang lebih kecil sehingga mudah untuk dikeringkan. Bahan tersebut dikeringudarakan selama beberapa hari sampai kadar air kurang lebih 15%. Bahan yang telah dikeringkan digiling dan disaring dengan hammer mill sehingga diperoleh serbuk kayu yang berukuran 40-60 mesh. Sebelum dilakukan proses ekstraksi, harus dilakukan pengukuran kadar air serbuknya.
12
3.3.2 Proses Ekstraksi dan Fraksinasi Sebanyak ± 2000 g serbuk kayu dengan ukuran 40-60 mesh dalam keadaan kering udara dimasukkan ke dalam stoples besar dengan penutupnya, kemudian memasukkan sedikit demi sedikit pelarut aseton ke dalam serbuk tersebut sehingga seluruh serbuk terendam dengan perbandingan tinggi serbuk dan pelarut ± 1:3. Campuran tersebut diaduk sesering mungkin dengan menggunakan spatula kemudian disimpan. Setelah disimpan selama 48 jam, larutan ekstrak disaring ke botol lain. Ekstraksi ini dilakukan secara berulang kali sehingga diperoleh larutan ekstrak yang jernih dan disimpan dalam wadah tertutup rapat. Ekstrak aseton yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 30-40oC sehingga mencapai volume 1 liter. Untuk mengetahui berat ekstraknya, dari 1 liter larutan ekstrak tersebut diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam petridish yang telah diketahui berat kering tanurnya. Selanjutnya larutan ekstrak tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu ± 4060oC sampai beratnya konstan. Setelah ekstrak kering, ekstrak dimasukkan ke dalam desikator selama ± 15 menit dan ditimbang untuk mengetahui berat kering ekstrak aseton yang diperoleh. Larutan ekstrak sebanyak 500 ml dievaporasi sampai 100 ml. Ekstrak aseton tersebut difraksinasi secara berturut-turut dengan pelarut n-heksana, etil eter, dan etil asetat. Fraksinasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode solvent-solvent extraction. Proses tersebut dilakukan dengan memasukkan larutan yang telah kental ke dalam funnel separator kemudian ditambah pelarut nheksana sebanyak 70 ml untuk sekali penambahan dan 30 ml aseton. Campuran ini dikocok dan dibiarkan sehingga terjadi pemisahan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut dalam n-heksan dipisahkan dari residunya dan dimasukkan ke dalam labu yang tertutup rapat. Fraksinasi yang menggunakan n-heksana dilakukan sampai fraksi terlarut dalam n-heksan berwarna jernih. Residu hasil fraksinasi dengan n-heksan ditambah pelarut etil eter sebanyak 70 ml untuk sekali penambahan. Selanjutnya melakukan hal yang sama seperti proses sebelumnya yaitu campuran dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut dalam etil eter dimasukkan ke dalam labu yang tertutup rapat dan fraksinasi dilakukan sampai hingga fraksi
13
terlarut dalam eter berwarna jernih. Tahap akhir dari fraksinasi bertingkat adalah dengan menggunakan pelarut etil asetat. Residu ekstrak dari etil eter yang telah dimasukkan ke dalam funnel separator dicampur dengan pelarut etil asetat sebanyak 70 ml untuk sekali penambahan. Campuran ini dikocok dan juga dibiarkan sampai terjadi pemisahan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut dalam etil asetat dipisahkan dari residu dan dimasukkan ke dalam labu yang tertutup rapat. Fraksinasi dilakukan hingga fraksi terlarut dalam etil eter berwarna jernih. Setiap fraksi yang terlarut dievaporasi dan dituangkan ke dalam petridish untuk mempermudah mengeringkannya. Selanjutnya proses ekstraksi dan fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 1. Serbuk Kayu Teras 2000 g Ekstraksi dengan aseton
Residu
Ekstrak Aseton Fraksinasi dengan n-heksan
Residu
Fraksi N- Heksana*)
Fraksinasi dengan etil eter
Residu
Fraksi Etil Eter*)
Fraksinasi dengan etil asetat
Residu*)
Fraksi Etil Asetat*)
Keterangan : *) = dilakukan pengujian bio assay anti rayap
Gambar 1 Proses ekstraksi dan fraksinasi
14
3.3.3 Penentuan Kadar Zat Ekstraktif Larutan ekstrak aseton sebanyak 10 ml dan larutan hasil fraksinasi terlarut dalam n-heksan, etil eter, etil asetat dan residunya yang telah diuapkan dikeringkan dalam petridish dengan oven pada suhu ± 40-60oC sampai diperoleh berat konstannya. Untuk mengetahui kadar zat ekstraktif yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan fraksinasi bertingkat dihitung dengan menggunakan rumus dari Syafii et al. (1994) sebagai berikut : Kadar Zat Ekstraktif =
Wa Wb
X 100 %
Keterangan: Wa = berat padatan ekstraktif (g) Wb = berat kering tanur serbuk (g) 3.3.4 Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak Setelah memperoleh padatan zat ekstraktif yang dilakukan dengan pengeringan di dalam oven pada suhu 40-60oC dan dikeringudarakan, tahap selanjutnya adalah pembuatan konsentrasi larutan ekstrak dengan menggunakan pelarut aseton. Setiap fraksi terlarut dan residu dibuat menjadi beberapa taraf konsentrasi larutan ekstrak yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10%. Penentuan konsentrasi larutan ekstrak dibuat berdasarkan perbandingan berat kertas selulosa dengan berat ekstraktif (w/w). Konsentrasi 2% adalah 2% berat kertas selulosa merupakan berat ekstraktif yang ditambahkan. Sedangkan konsentrasi 0% sebagai kontrol tanpa ditambahkan ekstraktif tetapi hanya ditetesi dengan pelarut aseton. 3.3.5 Penguijan Sifat Anti-Rayap a. Persiapan Kertas Uji Selulosa Kertas uji dikeringkan dengan oven pada suhu 103 ± 2oC selama 24 jam untuk mengetahui berat kering tanurnya. Setelah dikeringkan, kertas uji ditimbang untuk mengetahui berat awalnya. Jumlah contoh uji yang digunakan dalam penelitian sebanyak 63 buah yaitu kombinasi 5 konsentrasi, 3 ulangan dan ditambah kertas uji untuk kontrol sebanyak 3 ulangan.
15
b. Pemberian Ekstrak pada Kertas Uji Pemberian ekstrak pada kertas uji dilakukan dengan cara penambahan larutan ekstraktif pada kertas uji sesuai perbandingan berat ekstraktif terhadap berat kertas (w/w) dengan konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8% dan 10%. Setiap ekstraktif dilarutkan dalam pelarut aseton dan diteteskan pada kertas uji. Pengawetan dilakukan pada petridish sampai pelarut menguap atau telah mencapai kering udara. c. Pengumpanan Kertas Uji terhadap Rayap Pengumpanan kertas uji dilakukan dengan cara kertas uji yang telah diberi ekstrak dimasukkan ke dalam botol uji dengan media berupa pasir yang berukuran 30-50 mesh sebanyak 10 g kemudian dicampur dengan ± 2 ml aquades. Kertas uji ditempatkan pada plastic saucer. Sebuah lapisan basah dibentang di bawah tempat pengumpanan yang bertujuan untuk untuk menjaga kelembaban. Sebanyak 50 ekor rayap tanah yang terdiri dari 45 ekor kasta pekerja dan 5 ekor kasta prajurit dimasukkan ke dalam contoh uji dan diumpankan selama empat minggu disimpan di tempat yang gelap. Penempatan kertas uji dalam botol dapat dilihat pada Gambar 2. Penutup botol ( kain hitam ) Botol uji Media uji (kertas selulosa) Pasir dan 50 rayap tanah Gambar 2 Metode pengumpanan kertas uji d. Perhitungan Persentase Mortalitas Rayap Pengujian toksisitas ekstraktif terhadap kelangsungan hidup rayap dilakukan selama pengumpanan. Data yang diambil selama pengumpanan adalah mortalitas rayap setiap minggunya. Menurut Supriana (1985), mortalitas rayap dapat digunakan sebagai kriteria daya racun.
16
Perhitungan persentase mortalitas rayap dengan menggunakan rumus dari Syafii et al. (1994) sebagai berikut : Ki =
M1 X 100% M2
Keterangan : Ki = Persentase kematian rayap pada contoh uji ke-i (%) M1 = Jumlah rayap yang mati pada contoh uji ke-i (ekor) M2 = Jumlah rayap awal pengumpanan (50 ekor) e. Perhitungan Persentase Penurunan Berat Kertas Uji Pengujian dilakukan setelah melewati masa pengumpanan pada rayap selama empat minggu (28 hari). Sebelum dilakukan penimbangan berat, kertas uji harus dibersihkan dahulu agar kotoran-kotoran yang disebabkan oleh rayap tidak mempengaruhi berat kertas uji tersebut. Kemudian kertas uji tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40-60°C sampai berat konstan. Persentase penurunan berat kertas uji dihitung dengan menggunakan rumus dari Syafii et al. (1994) sebagai berikut: A=
B0 − B1 X 100% B0
Keterangan : A = Persentase kehilangan berat contoh uji (%) B0 = Berat kering tanur contoh uji sebelum pengumpanan (g) B1 = Berat kering tanur contoh uji setelah pengumpanan (g)
17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif
Ekstraksi dengan pelarut aseton menghasilkan ekstrak aseton berkadar 5,23%. Kadar zat ekstraktif kayu Kopo ini tergolong tinggi menurut kelas komponen kimia kayu Indonesia (Lestari dan Pari 1990), dimana kadar ekstraktif kayu tergolong kelas tinggi jika kadar ekstraktif lebih besar dari 4%, kelas sedang jika kadar ekstraktif antara 2-4% dan kelas rendah jika kadar ekstraktifnya kurang dari 2%. Kadar
ekstrak
aseton
yang
diperoleh
dari
beberapa
penelitian
menunjukkan adanya perbedaan bergantung pada jenis kayu yang diuji. Kadar ekstrak aseton kayu Kuku (Mahmudah 2003) yang diperoleh sebesar 4,27%. Sedangkan penelitian Sutarmaji (2005) menghasilkan ekstrak aseton kayu Jengkol sebesar 1,20%. Selain itu, kadar ekstrak aseton kayu damar laut yang diperoleh dari hasil penelitian Syafii (2000a) adalah 4,53%. Ekstrak aseton yang diperoleh dari Kayu Cempaka Kuning hanya sebesar 0,76% (Normasari 2006). Ikhsan (2005) menyatakan bahwa kadar ekstrak aseton kayu Puspa sebesar 1,47%. Hal ini menunjukkan adanya variasi kandungan zat ekstraktif dari setiap jenis kayu. Pernyataan tersebut didukung oleh Fengel dan Wegener (1985) yang menyebutkan bahwa kandungan dan komposisi ekstraktif berbeda-beda di antara spesies kayu. Ekstrak aseton yang diperoleh kemudian difraksinasi secara bertingkat dengan menggunakan pelarut n-heksan, etil eter, dan etil asetat. Hasil fraksinasi bertingkat dapat dilihat pada Tabel 3 : Tabel 3 Kadar zat ekstraktif hasil ekstraksi dan fraksinasi bertingkat kayu Kopo Berat Ekstrak Kandungan dalam Kayu Fraksi Terlarut Padatan (g)*) Kopo (%)*) 3,91 0,21 Fraksi N-Heksan 9,05 0,48 Fraksi Etil Eter 5,05 0,27 Fraksi Etil Asetat 79,80 4,27 Residu Ekstrak Aseton 97,80 5,23 Keterangan: *)= dihitung berdasarkan berat kering tanur
18
Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar ekstraktif yang diperoleh dari hasil fraksinasi terbesar terdapat pada residu (4,27%), disusul fraksi terlarut etil eter (0,48%), fraksi terlarut etil asetat (0,27%), dan fraksi terlarut n-heksan (0,21%). Data pada Tabel 3 menunjukkan ekstrak aseton kayu Kopo bersifat polar karena hasil fraksinasi tersebut didominasi oleh fraksi residu.
Gambar 3 Ekstrak hasil ekstraksi dan fraksinasi beberapa pelarut Hasil ekstraksi dan fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar tersebut memperlihatkan adanya perbedaan warna ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi dan fraksinasi dengan pelarut yang berbeda. Hal ini diduga bergantung pada jenis senyawa yang terlarut pada masing-masing pelarut. Ekstrak aseton yang dihasilkan dalam penelitian ini berwarna cokelat kemerah-merahan. Zat ekstraktif yang terlarut dalam pelarut n-heksan berwarna kuning bening, etil eter berwarna kuning, etil asetat menghasilkan ekstraktif berwarna cokelat tua dan residu berwarna cokelat kehitaman. 4.2 Sifat Anti Rayap
Parameter yang dapat digunakan untuk menguji sifat anti rayap adalah mortalitas rayap C. curvignathus dan kehilangan berat kertas uji selulosa. 4.2.1 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus
Uji sifat anti rayap kayu Kopo terhadap rayap C. curvignathus dapat diukur dari mortalitas rayap yang dihitung per minggunya. Semakin besar nilai mortalitasnya menunjukkan ekstrak memiliki sifat anti rayap yang tinggi. Nilai persentase mortalitas rayap berdasarkan hasil penelitian disajikan dalam Tabel 4.
19
Tabel 4
Persentase mortalitas rata-rata rayap tanah C. curvignathus setelah diumpankan selama 28 hari pada kertas uji yang mengandung ekstrak kayu Kopo Konsentrasi Mortalitas (%)*) Jenis (%) Fraksi Terlarut Minggu Minggu Minggu Minggu 1 2 3 4 0 0 1,33 2,67 Kontrol N-heksan
2 4 6 8 10
0,67 1,33 3,33 0 32,67
0,67 10,00 36,67 40,00 37,33
1,33 34,67 70,67 69,33 41,33
40,67 70,67 91,33 100 92,00
Etil Eter
2 4 6 8 10
1,33 0,00 4,67 34,00 38,00
5,33 36,67 36,67 72,00 71,33
40,67 100 42,00 76,00 100
74,00 100 94,67 100 100
Etil Asetat
2 4 6 8 10
0 0,67 1,33 5,33 68,00
2,00 12,67 38,67 76,00 82,67
30,67 67,33 70,67 100 100
50,00 78,67 99,33 100 100
Residu
2 4 6 8 10
0 6,67 0,67 0 1,33
2,00 14,67 8,00 18,00 19,33
3,33 44,00 70,00 40,00 73,33
18,00 60,67 90,00 100 100
Keterangan ; *)=rataan tiga ulangan
Tabel 4 menunjukkan bahwa kelima jenis fraksi terlarut dan tingkat konsentrasi memberikan nilai mortalitas yang beragam. Hal ini diduga disebabkan jenis zat ekstraktif yang terlarut dan tingkat konsentrasi yang berbeda. Secara umum, besar konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan mempunyai korelasi positif dengan mortalitas rayap dimana peningkatan konsentrasi ekstrak sejalan dengan peningkatan mortalitas rayap. Pola ini menurut Syafii (2000b) menunjukkan bahwa ekstrak yang ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap perkembangan rayap.
20
Berdasarkan Tabel 4, fraksi yang memiliki sifat anti rayap yang tertinggi adalah fraksi etil asetat yang diikuti etil eter. Hal ini berdasarkan nilai mortalitas kedua fraksi tersebut sudah mencapai 100% pada minggu ketiga pengumpanan. Selain itu juga, jika membandingkan nilai mortalitas dari minggu pertama sampai minggu keempat. Fraksi etil asetat dan etil eter tetap memiliki nilai mortalitas lebih besar dibandingkan fraksi lainnya. Namun nilai mortalitas fraksi etil asetat lebih besar dibandingkan fraksi lainnya pada tingkat konsentrasi 6%, 8%, dan 10% yaitu berturut-turut sebesar 70,67%; 100%; dan 100% pada minggu ketiga. Fraksi etil eter merupakan fraksi teraktif kedua yang memiliki nilai mortalitas sebesar 42%; 76%; dan 100%. Pada fraksi terlarut etil eter terdapat kenaikan angka mortalitas yang cukup drastis pada konsentrasi 4%. Mortalitas rayap sudah mencapai 100% pada minggu ketiga. Hal ini diduga ketidakmampuan rayap untuk menyesuaikan kondisi lingkungan yang baru seperti halnya kematian rayap pada kontrol. Fraksi terlarut etil asetat memiliki sifat anti-rayap atau toksisitas yang tertinggi. Hal ini diduga pada fraksi etil asetat terdapat senyawa alkaloid. Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa pelarut etil asetat dapat melarutkan alkaloid, aglikon dan glikosida (dapat dilihat pada Lampiran 1). Menurut Harborne (1987), masing-masing senyawa alkaloid telah dinyatakan terlibat sebagai penolak serangga. Selain itu didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sugiana (2006) membuktikan bahwa adanya senyawa alkaloid dalam batang/kulit batang kayu Kopo dengan komposisi terbanyak dibandingkan senyawa saponin, flavonoid dan steroid/triterpenoid berdasarkan hasil uji fitokimia. Adanya senyawa saponin dalam kayu Kopo terbukti dengan adanya busa pada saat fraksinasi. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat simpulkan bahwa senyawa tersebut diduga yang menyebabkan toksisitas ekstrak terhadap rayap. Menurut Tsoumis (1991), keawetan kayu secara alami ditentukan oleh jenis dan jumlah zat ekstraktif yang bersifat anti racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat dalam kayu diantaranya alkaloid dan saponin. Fraksi residu dan n-heksan memiliki aktivitas anti-rayap yang lebih rendah dibandingkan fraksi etil asetat dan etil eter karena nilai mortalitasnya lebih rendah dibandingkan kedua fraksi tersebut pada berbagai konsentrasi dan setiap
21
minggunya serta belum ada yang mencapai 100% pada minggu yang ketiga. Tetapi jika dibandingkan keduanya, fraksi n-heksan lebih memberikan efek toksik dibandingkan dengan fraksi residu. Hal ini terlihat pada nilai mortalitas fraksi nheksan pada minggu pertama dan kedua lebih besar dibandingkan residu. Fraksi n-heksan mempunyai aktivitas yang rendah diduga disebabkan adanya lemak dan lilin yang terkandung dalam fraksi tersebut. Menurut Hougthon dan Raman (1998), pelarut n-heksan dapat melarutkan lemak dan lilin (dapat dilihat pada Lampiran 1) dan senyawa tersebut merupakan senyawa yang kurang toksik. Mortalitas terbesar pada penelitian ini terdapat pada fraksi etil asetat. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan Normasari (2006) pada kayu Cempaka Kuning dimana fraksi etil asetat memberikan nilai mortalitas terbesar dibandingkan fraksi lainnya. Selain itu juga, fraksi etil asetat pada ekstrak aseton kayu Puspa pada hasil penelitian Ikhsan (2005) memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan fraksi lainnya terhadap kematian rayap tanah C. curvignathus. Astuti (2005) melaporkan bahwa fraksi etil asetat dalam ekstrak aseton kayu Petai menghasilkan nilai mortalitas tertinggi. Uraian di atas menunjukkan bahwa fraksi etil asetat perlu mendapat perhatian dalam penelusuran senyawa bioaktif anti-rayap. Mortalitas rayap selama pengumpanan diduga karena senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap rayap pada setiap fraksinya khususnya fraksi etil asetat. Mekanisme kematian rayap disebabkan zat ekstraktif tersebut yang dapat mematikan protozoa flagelata yang hidup dalam usus belakang rayap. Suparjana (2000) menyatakan bahwa di dalam usus belakang rayap C. curvignathus terdapat tiga genus flagelata yaitu genus Preudotricchonimpa, Holomastigotoidea, dan Spirotrichonimpha. Protozoa tersebut merupakan simbion yang menghasilkan enzim selulase yang berfungsi mencerna selulosa dan mengubahnya menjadi gula sederhana dan asam asetat sebagai sumber energi bagi rayap. Hal ini akan menyebabkan rayap tidak mendapatkan makanan dan rayap mati. Selain itu juga, kematian rayap diduga karena adanya senyawa alkaloid. Sementara itu, menurut Sastrodihardjo (1999) dalam Sari (2002), alkaloid itu sendiri dapat merusak fungsi sel (integritas membran sel) seperti yang tertulis pada Lampiran 2 sehingga pada akhirnya akan menghambat proses ganti kulit rayap (eksidisis). Selain itu juga,
22
proses tersebut menyebabkan protozoa ikut terbuang. Untuk mendapatkan gantinya, rayap akan melakukan trofalaksis. Prasetiyo dan Yusuf (2005) menyatakan bahwa perilaku trofalaksis merupakan aktivitas menjilati, mencium atau menggosokkan tubuhnya satu sama lain ketika bertemu untuk saling menyalurkan makanan, feromon, atau protozoa flagelata. Bahan makanan yang disalurkan sudah terkontaminasi dengan zat ekstraktif yang mengandung racun sehingga dapat menyebabkan mortalitas rayap. Kemungkinan lain yang menyebabkan rayap mati adalah adanya senyawa-senyawa bioaktif yang diduga bersifat merusak sistem syaraf serangga sehingga sistem syaraf rayap tidak dapat berfungsi dan akhirnya dapat mematikan rayap (Eaton dan Hale 1993 dalam Syafii 2000b). Di lain pihak, mortalitas rayap pada kontrol diduga karena kurang tahan terhadap kondisi lingkungan yang baru. Menurut Anisah (2001), rayap yang mati pada kontrol diduga ketidakmampuan rayap untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang bergantung pada suhu, kelembaban dan intensitas cahayanya dan dihadapkan pada kondisi tidak ada pilihan bahan makanan lain. Selain itu, rayap mempunyai sifat necrophagy yaitu rayap dapat memakan bangkai sesamanya dan sifat kanibalistik yaitu memakan rayap yang sudah lemah dan sakit (Nandika et al. 2003).
Gambar 4 Diagram batang mortalitas rayap C. curvignathus setelah 3 minggu pengumpanan pada setiap jenis fraksi terlarut dan konsentrasi Gambar 4 memperlihatkan bahwa semua jenis ekstrak yang diuji menunjukkan kecenderungan sama yaitu semakin besar konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan, semakin besar pula nilai mortalitas rayap. Tetapi fraksi n-heksan pada konsentrasi 10% mengalami penurunan mortalitas rayap. Hal ini diduga karena pengaruh keragaman umur rayap dan kondisi rayap pada saat pengambilan
23
tidak sama. Walaupun sudah diusahakan memilih umur dan menciptakan kondisi rayap pada saat pengambilan seragam tetapi tidak tertutup kemungkinan terambil rayap yang mempunyai umur tidak sama. Selain itu juga, Loomis (1978) dalam Juliasman (2006) menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan setiap individu memiliki respon yang berbeda terhadap zat yang berada di lingkungannya. 4.2.2 Kehilangan Berat Kertas Uji Selulosa
Parameter lain dalam pengujian sifat anti-rayap adalah persentase kehilangan berat kertas uji selulosa. Semakin kecil persentase kehilangan berat kertas uji selulosa menunjukkan semakin tinggi toksisitas suatu ekstrak (aktivitas anti-rayapnya). Nilai persentase kehilangan berat kertas uji berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kehilangan berat kertas uji selulosa yang mengandung ekstrak kayu Kopo hasil pengumpanan selama 28 hari terhadap rayap tanah C. curvignathus Jenis Fraksi Terlarut Konsentrasi (%) Kehilangan Berat (%)*) 68,74 Kontrol N-heksan
2 4 6 8 10
53,31 49,63 36,28 34,77 32,58
Etil Eter
2 4 6 8 10
56,24 41,33 25,82 16,78 19,50
Etil Asetat
2 4 6 8 10
82,65 39,35 31,02 18,01 13,56
Residu
2 4 6 8 10
61,38 53,22 37,33 23,07 24,79
Keterangan:*)= rataan dari 3 ulangan
24
Tabel 5 menunujukkan bahwa nilai persentase kehilangan berat beragam pada tingkat konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan dan jenis fraksi. Kehilangan berat kertas uji berkisar antara 82,65%-13,56%. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi zat ekstraktif, semakin rendah nilai persentase kehilangan berat kertas uji. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi zat ekstraktif maka semakin banyak ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji selulosa dan ini berarti semakin banyak racun yang ditambahkan. Kondisi tersebut memungkinkan rayap menolak untuk memakannya sehingga akan menghambat aktivitas makan rayap. Nilai persentase kehilangan berat yang terendah pada fraksi etil asetat, disusul fraksi etil eter, residu dan yang terbesar fraksi n-heksan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5, bahwa nilai kehilangan berat kertas uji berturut-turut pada konsentrasi 8%, dan 10% dari fraksi etil asetat (18,01%; 13,56%) lebih kecil dibandingkan dengan fraksi etil eter (16,78%; 19,50%), fraksi residu (23,07%; 24,79%), dan fraksi n-heksan (34,77% 32,58%). Hal ini berarti
aktivitas rayap
tertinggi pada fraksi etil asetat, disusulkan dengan fraksi etil eter, fraksi residu dan yang terendah pada fraksi n-heksan. Persentase kehilangan berat pada kontrol memiliki kecenderungan lebih besar dibandingkan persentase kehilangan berat berekstrak. Hal ini membuktikan bahwa zat ekstraktif berperan dalam menghambat aktivitas makan rayap. Walaupun ada penyimpangan pada konsentrasi 2% fraksi etil asetat yaitu nilai kehilangan berat lebih besar dari kontrol. Hal ini diduga kadar zat ekstraktif pada konsentrasi yang rendah belum terlalu menghambat aktivitas makan rayap. Secara keseluruhan dari penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas antirayap dapat dilihat dari parameter persentase kehilangan berat kertas uji selulosa dan mortalitas rayap. Berdasarkan parameter mortalitas rayapnya, aktivitas anti rayap tertinggi pada fraksi etil asetat, disusul etil eter, n-heksan, dan residu sedangkan berdasarkan parameter kehilangan berat kertas ujinya, fraksi yang memiliki aktivitas anti-rayap tertinggi pada etil asetat kemudian etil eter, residu dan n-heksan. Kedua parameter tersebut mempunyai hubungan berbanding terbalik. Aktivitas anti-rayap yang tinggi dapat tercapai jika nilai persentase kehilangan beratnya rendah dan nilai mortalitas rayapnya tinggi. Fraksi yang memiliki aktivitas anti-rayap tertinggi merupakan fraksi teraktif. Jadi, fraksi etil
25
asetat merupakan fraksi teraktif walaupun jumlah ekstrak yang diperoleh lebih rendah daripada residu. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi yang mendominasi tidak berarti fraksi yang teraktif. Pengujian bio assay anti rayap beberapa jenis kayu memiliki fraksi teraktif yang berbeda. Normasari (2007) melaporkan bahwa fraksi etil asetat yang terkandung dalam kayu Cempaka Kuning memiliki komponen bioaktif yang lebih bersifat racun dibandingkan fraksi lainnya. Tetapi Mahmudah (2003) dan Lestari (2003) menyatakan bahwa komponen bioaktif yang pada kayu Kuku dan kayu Pilang lebih beracun terhadap rayap terdapat pada fraksi n-heksan dan etil eter. Astuti (2005) dan Ikhsan (2005) melaporkan bahwa fraksi etil asetat dalam ekstrak aseton kayu Petai dan Puspa merupakan fraksi yang memiliki sifat anti rayap yang tertinggi. Seperti halnya dalam penelitian ini juga, fraksi teraktif terdapat pada fraksi etil asetat dari ekstrak aseton kayu Kopo. Sedangkan Sutarmaji (2005) melaporkan bahwa fraksi n-heksan merupakan fraksi yang paling aktif terhadap rayap dibandingkan fraksi lainnya. Berdasarkan penelitianpenelitian di atas menunjukkan bahwa jenis fraksi terlarut dalam jenis kayu yang berbeda memiliki sifat anti rayap yang berbeda pula. Gambar 5 memperlihatkan bahwa semua fraksi ekstrak yang diuji menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu semakin besar konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan, semakin rendah nilai persentase kehilangan berat.
Gambar 5 Diagram batang kehilangan berat kertas uji selulosa setelah 4 minggu pengumpanan pada setiap jenis fraksi terlarut dan konsentrasi
26
Secara visual, kehilangan berat kertas uji selulosa dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar tersebut memperlihatkan kerusakan kertas uji akibat aktivitas makan rayap pada berbagai tingkat konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan, semakin rendah kerusakan kertas uji.
Gambar 6 Penampakan kertas uji kontrol, fraksi n-heksan (A), fraksi etil eter (B), fraksi etil asaetat (C), dan fraksi residu (D) pada beberapa taraf konsentrasi setelah diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus
27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan
1. Ekstrak aseton kayu Kopo yang diperoleh dari penelitian sebesar 5,23% yang terbagi ke dalam empat fraksi yaitu fraksi n-heksan sebesar 0,21%, fraksi etil eter sebesar 0,48%, fraksi etil asetat sebesar 0,27%, dan fraksi residu sebesar 4,27%. 2. Berdasarkan parameter nilai mortalitas rayapnya, toksisitas tertinggi pada fraksi etil asetat diikuti fraksi etil eter, fraksi n-heksan dan residu sedangkan berdasarkan nilai kehilangan berat kertas ujinya, toksisitas tertinggi pada fraksi etil asetat diikuti fraksi etil eter, residu dan fraksi n-heksan. Dari kedua parameter tersebut dapat ditentukan bahwa etil asetat merupakan fraksi teraktif di dalam kayu Kopo karena memiliki toksisitas paling tinggi dibandingkan fraksi lainnya terhadap rayap tanah C. curvignathus. 4.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif yang terdapat dalam fraksi teraktif kayu Kopo sehingga dapat diketahui senyawa anti rayapnya.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi SS, 1990. Bahan Pengajaran : Kimia Kayu. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Astuti YD. Sifat anti rayap zat ekstraktif kayu Petai (Parkia speciosa Hassk.)[skripsi]. Bogor : Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Anisah LN. 2001. Zat ekstraktif kayu tanjung (Mimusops elengi Linn) dan kayu sawo kecik (Manilkara kauki Dubard) serta pengaruhnya terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Core AH, Cote WA, Day AC. 1979. Wood Structure and Identification. Second Edition. New York: Syracuse University Press. Fengel D, Wegener G. 1989. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. New York: Walter de Gruyter. Fessenden RJ, Fessenden SJ. 1997. Dasar-Dasar Kimia Organik. Jakarta : Binarupa Aksara. Maun S, Anas K, Sally ST, penerjemah. Terjemahan dari : Fundamentals of Organic Chemistry. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terb ke-2. Padmawinata K dan Soediro W, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari : Phytochemical Methods. Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar. Hadikusumo SA, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science, An Introduction. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Litbang Kehutanan, penerjemah. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for Fractionation of Natural Extracts. London: Chapman & Hall. Hunt GM, Garrat GA. 1986. Pengawetan Kayu. Jusuf M, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Ed ke-1, Cet ke-1. Jakarta: Akademika Pressindo. Ikhsan M. 2005. Sifat anti-rayap zat ekstraktif kayu puspa (Schima wallichii Korth.). Bogor : Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
29
Jin L, Laks PE. 1994. The use of natural plant product wood protection. Di dalam Wood Preservation in the ‘90s and Beyond. Prosiding Forest Product Society. Georgia, 26-28 September. Madison: Forest Product Society.hlm 142-148. Juliasman. 2006. Uji toksisitas zat ekstraktif kayu Kopo (Eugenia cymosa Lamk.) dan Kiseuhuer (Antidesma tetrandrum BL.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)[skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kuswantoro DP. 2005. Keawetan, deteriorisasi, dan pengawetan kayu rakyat. AlBasia 2(1): 48-55. Lestari SB, Pari G.1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 7(3): 96-100. Lestari H. 2003. Sifat anti rayap zat ekstraktif kayu Pilang (Acacia leucophloea Wild.)[skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mahmudah B. 2003. Sifat anti rayap zat ekstraktif kayu Kuku (Pericopsis mooniana Thw.)[skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Nandika D, Adijuwana H. 1995. Ekstraksi enzim selulase dari rayap kayu kering Crytotermes cynocephalus Light serta rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Macrotermes gilvus Hagen 1). Teknolog 8 (1):35-40. Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta: Muhamadiyah University Press. Nandika D, Tambunan B. 1982. Deteriorisasi Kayu oleh Faktor Biologis.Bogor: Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Normasari I. 2006.Sifat anti rayap zat ekstraktif kayu Cempaka Kuning (Michelia champaca L.). Bogor : Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Prasetiyo KW, Yusuf S. 2005. Mencegah dan Membasmi Rayap Secara Ramah Lingkungan dan Kimiawi. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Sari RK. 2002. Isolasi dan identifikasi komponen bioaktif dari Damar Mata Kucing (Shorea javanica K.et.V)[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
30
Sukartana P. 1998. Penembusan Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae) pada Berbagai Ukuran Butiran Pasir. Buletin Penelitian Hasil Hutan 16(2):93-99. Seng. 1990. Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Soewarsono PH, penerjemah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Terjemahan dari: Spesific Gravity of Indonesian Woods and its Significance for Practical Use. Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan: edisi kedua. Sastrohamidjojo H, penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood Chemistry Fundamental and Application. Sugiana, AG. 2003. Kajian potensi tumbuhan obat di kawasan hutan PT. Unocal Geothermal Indonesia Gunung Salak[skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suparjana, TB. 2000. Kajian toksisitas beberapa fraksi ekstraktif kayu sonokembang (Pterocarpus indicus Willd.) dan nyatoh (Palaquium gutta Baill.) terhadap rayap tanah dan jamur pelapuk Kayu[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana.IPB. Supriana N. 1985. Notes on the relationship between wood and termite. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutunan 1(1): 14-18. Sumarni G, Muslich M. 2004. Keawetan 52 jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22(1): 1-8. -----------. 2005. Keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di Laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(3): 163-176. Suradikusumah E.1989. Bahan Pengajaran : Kimia Tumbuhan.Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Syafii W, Samejima M, Yoshimoto T. 1987. The role of extractives in decay resistance of Ulin wood (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Bulletin Tokyo University Forestry. Syafii W, Sofyan K, Nandika D, Febrianto F. 1994. Kemungkinan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kayu Tropis Indonesia Sebagai Bahan Pengawet . Laporan Penelitian. Bogor : Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Syafii W. 2000a. Zat Ekstraktif Kayu Damar Laut (Hopea spp.) dan Pengaruhnya terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Teknologi Hasil Hutan XIII (2): 1-8.
31
----------. 2000b. Ekplorasi dan identifikasi komponen bioaktif beberapa jenis kayu tropis dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan pengawet alami. Laporan Penelitian. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. -----------. 2000c. Antitermitic coumpound from the heartwood of Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.). Indonesian Journal of Tropical Agriculture 9(3): 55-58. Sutarmaji. 2005. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Jengkol (Pithecellobium jiringa Jack.). Bogor : Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tarumingkeng R. 2007. Keracunan dan Pencemaran Lingkungan oleh Bahan Pengawet Kayu. http://tumoutou.net/dethh/8_poisonong_pollution_by_wood_preservatives. htm [Diakses 19 Agustus 2007]. Tsoumis G. 1991. Science and Techology of Wood, Structure, Properties and Utilization. New York: Nonstrand Reinhold. [USDA] United State Departement of Agriculture . 1999. Wood Handbook: Wood as an Engineering Material. USA: Forest Product Society.
LAMPIRAN
33
Lampiran 1 Tipe zat ekstraktif yang diekstraksi dengan beberapa pelarut Polaritas Rendah
Sedang
Tinggi
Pelarut Petroleum N-Heksan Sikloheksan Toluene Kloroform Diklorometan Dietil Eter Etil Asetat Aseton Etanol Metanol Air Asam Cair Alkali Cair
Komponen Kimia yang Diekstraksi Lilin, Lemak, Fixed oil, Volatile oil Lilin, Lemak, Fixed oil, Volatile oil Lilin, Lemak, Fixed oil, Volatile oil Alkaloid, Lemak, Fixed oil, Volatile oil Alkaloid, Aglikon, Volatile oil Alkaloid, Aglikon, Volatile oil Alkaloid, Aglikon Alkaloid, Agilkon, Glikosida Alkaloid, Aglikon, Glikosida Glikosida Gula, Asam Amino, Glikosida Gula, Asam Amino, Glikosida Gula, Asam Amino, Basa Gula, Asam Amino, Asam
Keterangan : Sumber : Houghton dan Raman 1998
34
Lampiran 2 Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan insektisida pada serangga No. Jenis zat ekstraktif tumbuhan 1.
2.
3.
4.
5.
6.
a. Rotenon b. Tropan, quinodin, senyawa nitro, imidazol, aldehida c. Glukosinolat, nitril, N-nitrosamin, cyanogenic, thiosianat Diterpen, flavonoid, polyacetylen, phenol,asam aromatik, coumarin, asam lemak a. Asam aminnonouprotein b. Tanin, stilben, resin, quinon c. Protein toksin (ricin), basa purin d. Alkaloid indol a. Basa analog (5-metil sitosin) b. Kinin, Colchicin, alkaloid Veratum, alkaloid diaminos-teroid, furanocoumari, coumarinHydrazin Asam fluroasetat
Polyacetylen, sesquiterpen, triterpen, alkaloid, steroid
Target biokimiawi pada serangga Penghambat transport elektron a. Antara NAD+ dengan Co Q b.Oksidasi suksinat c. Cytokrome oksidase Uncouler dari phosphorilasi oksidase Penghambat sintesis protein a. Pengaktifan asam amino b. Fungsi protein Komplek inisiasi ribosom Penghambat sintesis DNA a. Mutasi transisional b. Replikasi Penghambat transfer energi Glycolisis dan oksidasi asam lemak Perusak fungsi sel (integritas membran sel)
Keterangan : Sumber: Satrodihardjo (1999 )diacu dalam Sari (2002)
35
Lampiran 3 Data jumlah rayap yang mati selama 28 hari pengumpanan
Jenis Pelarut Kontrol
N-Heksan
2%
4%
6%
8%
10%
Etil Eter
1 2 3
3 0 0 0
Jumlah rayap yang mati (pengamatan hari ke-n) 6 9 12 15 18 21 24 28 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 3 47 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 49 1 0 0 0 0
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0 0 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0
0 0 1 4 10 35 0 0 0 0 0 0 0 2 1 18 0 0 1 0 1 5 6 25 0 2 2 46 0 0 0 0 0 0 0 0 2 48 0 0 0 1 0 4 4 41 0 0 0 0 0 1 2 0 47 0 5 44 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 2 4 5 27 50 0 0 0 0 0 0 0 1 4 13 32 0 0 0 0 0 0 4 4 3 3 36 0 7 42 1 0 0 0 0 0 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 8 35 0 0
Konsentrasi Ulangan
2%
4%
6%
8%
10%
0 0 0 7 0 0 0 1 0 0 0 2 0 2 0
0 0 0 1 5 0 0 1 2 36 0 0 0 5 10 6 3 34 0 0 0 0 0 15 35 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 0 49 0 0 0 2 0 2 10 21 50 0 0 0 0 2 0 2 46 0 6 1 41 0 0 0 0 0 0 0 4 0 2 42 0 0 0 4 8 26
36
Lanjutan lampiran 3
Jenis Pelarut Etil Asetat
2%
4%
6%
8%
10%
Residu
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Jumlah rayap yang mati (pengamatan hari ke-n) 3 6 9 12 15 18 21 24 28 0 0 0 0 2 0 0 0 3 0 0 0 0 0 3 38 9 0 0 0 0 0 1 2 0 0 17 0 0 0 0 0 3 47 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 15 0 1 2 4 12 31 0 0 0 0 2 0 2 2 10 34 0 0 0 0 2 1 47 0 0 0 0 0 0 0 0 2 4 0 5 38 1 2 47 0 0 0 0 0 0 0 2 16 31 1 0 0 0 0 1 2 0 1 10 36 0 0 0 0 50 0 0 0 0 0 0 0 1 49 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 11 8 26 0 0 0
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2
Konsentrasi Ulangan
2%
4%
6%
8%
10%
0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 3 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2 0
2 0 0 7 0 1 0 1 0 0 0 0 0 2 0
0 1 0 0 0 1 5 0 4 0 23 4 0 2 20
0 0 0 30 0 0 45 0 32 1 2 6 1 3 28
1 0 1 0 1 13 0 3 13 1 13 10 45 4 0
0 3 0 0 9 0 0 4 0 48 12 30 4 13 0
0 4 15 0 16 0 0 26 0 0 0 0 0 24 0
37
Lampiran 4 Data mortalitas rayap C. curvignathus selama 28 hari pengumpanan pada setiap minggunya Mortalitas (%) Jenis Fraksi Terlarut Kontrol
N-heksan
Konsentrasi Ulangan
1 2 3 2%
4%
6%
8%
10%
Etil Eter
2%
4%
6%
8%
10%
minggu minggu minggu minggu 1 2 3 4 0 0 2 2 0 0 2 2 0 0 0 4
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0 0 2 0 2 2 6 0 4 0 0 0 98 0 0
0 0 2 26 2 2 100 2 8 100 4 16 100 12 0
0 2 2 100 2 2 100 100 12 100 8 100 100 16 8
12 78 32 100 100 12 100 100 74 100 100 100 100 100 76
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0 0 4 0 0 0 0 12 2 100 2 0 14 0 100
0 10 6 100 0 10 2 100 8 100 100 16 100 14 100
4 100 18 100 100 100 6 100 20 100 100 28 100 100 100
42 100 80 100 100 100 100 100 84 100 100 100 100 100 100
38
Lanjutan lampiran 4 Mortalitas (%) Jenis Fraksi Terlarut Etil Asetat
Konsentrasi
2%
4%
6%
8%
10%
Residu
2%
4%
6%
8%
10%
Ulangan
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
minggu minggu minggu minggu 1 2 3 4 0 4 4 10 0 2 6 40 0 0 82 100 0 0 2 36 0 0 100 100 2 38 100 100 4 12 100 100 0 100 100 100 0 4 12 98 6 100 100 100 4 100 100 100 6 28 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 4 48 100 100
0 0 0 0 20 0 0 2 0 0 0 0 0 4 0
2 0 4 0 40 4 10 4 10 0 46 8 12 44 2
2 2 6 2 100 30 100 10 100 4 76 40 26 100 94
16 32 6 52 100 30 100 70 100 100 100 100 100 100 100
39
Lampiran 5
Jenis Kayu
Hasil pengujian kandungan senyawa kimia pada bagian akar, batang/kulit batang, dan daun kayu Kopo (E. cymosa )*) Bagian Kayu
Akar Eugenia cymosa Lamk Batang/ Kulit batang Daun
Jenis Senyawa Kimia Alkaloid
Saponin
Flavonoid
+
+**)
++
Steroid/ Triterpenoid -***)
+++
+
++
++
+++
+
-
+++
Keterangan : *) = Sumber Sugiana (2003) **) = Adanya senyawa kimia tersebut ***) = Tidak adanya senyawa kimia tersebut