STUDI ANATOMI, FISIOLOGI DAN BIOAKTIFITAS SEKRESI PERTAHANAN DIRI RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae)
FARAH DIBA
INST I
B
IAN AN
T PERT TU
OGOR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Farah Diba NRP. : P14600007 Asal Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Asal Universitas : Universitas Tanjungpura Pontianak NIP. : 132 146 233 Alamat Asal : Komplek UNTAN No. P 42 Jl. Imam Bonjol Pontianak Kalimantan Barat Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul:
STUDI ANATOMI, FISIOLOGI DAN BIOAKTIFITAS SEKRESI PERTAHANAN DIRI RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) Adalah karya saya sendiri, termasuk semua isi dan data hasil penelitian yang saya kerjakan sejak Bulan Juli 2003 sampai Bulan Juli 2005, dibimbing oleh 5 (lima) dosen pembimbing, yaitu: Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS sebagai ketua komisi; Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF; Dr. dr. Sri Budiarti; Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dan Dr. Ir. Achmad, MS sebagai anggota. Data hasil penelitian pada disertasi belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor, 23 Mei 2006
Farah Diba P14600007
ABSTRACT FARAH DIBA. Anatomy Study, Physiology and Bioactivity of Soldier Defensive Secretions of Subterranean Termites Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae). Under supervision of Dodi Nandika as the chairman, Rudy C Tarumingkeng, Sri Budiarti, Anton Apriyantono and Achmad as advisory committee members. Termites possess rigid totalitarian societies in which morphologically specialized individuals execute specific tasks: the king and queen to reproduce, the workers to forage and feed, and the soldiers to defend the colonies. Soldier caste of subterranean termite’s C. curvignathus has chemical defensive secretions to destroy their enemy. The aims of this research were (1) to study the morphology and ultra structure of soldier C. curvignathus defense glands; (2) to isolate and characterize C. curvignathus defensive secretions; (3) to determine the toxicity of C. curvignathus soldier defensive secretion against ants; (4) to determine the antibacterial activity of C. curvignathus soldier defensive secretion extract; (5) to determine the antifungal activity of C. curvignathus soldier defensive secretion extract; (6) to identify the bioactive components of C. curvignathus soldier defensive secretion extract which has function as antibacterial, antifungal and toxic to ants. Result of the research showed that soldier defensive secretions are produced in frontal gland, with 2.5 + 0.10 mm long and ∅ 0.8 + 0.16 mm. This frontal gland is almost entirely occupying termite’s abdomen and has very thin cell wall (4 – 10 μm) and forming by cell class 1 and class 3. Soldier defensive secretions was extracted by non polar until polar solution, including n-hexane, ethyl acetate, ethanol and aquabidestilata. The yield value was range between 27.9081% – 38.0982%; pH 4-5.5; viscosity 0.00002 – 0.0005 poise; and 27 o – 27.5 C; the extract color was white and grey. Time for 100 percent mortality of Odontoponera denticulata ant on toxicity test showed that ethanol extract is the fastest with 54 hours then followed by ethyl acetate extract; n-hexane extract and aquabidestilata extract which was 74 hours, 79 hours and 82 hours, respectively. Time for the first ant mortality was occurred on ethanol extract at 15 minute, and then followed by ethyl acetate extract; nhexane extract and aquabidestilata extract which was 30 minutes, 35 minutes and 40 minutes, respectively. The polarity of soldier defensive secretions extract influenced the antibacterial activity. Ethanol extract showed the highest inhibition of S. aureus and E.coli than ethyl acetate extract. Meanwhile the n-hexane and aquabidestilata extract didn’t show the inhibition activity on both bacteria. Inhibition zone of ethanol extract was 30.52 mm to S. aureus and 25.71 mm to E. coli, and the inhibition zone of ethyl acetate extract was 17.92 mm to S. aureus and 12.99 mm to E. coli. MIC value for S. aureus is 1.84% and 3.65% for E. coli.
Bioassay to pathogenic fungi showed that all soldier defensive secretions extract did not inhibit the F. oxysporum fungi and only ethyl acetate extract showed inhibition to the growth of R. solani fungi. The inhibition activity value was linier from low until highest concentration of ethyl acetate extract. The inhibition value for concentration extract 2% is 2.5%, concentration 4% is 6.5 %, concentration 6% is 30.5%, and concentration 8% and 10% is 100%. Dilution of pine seed on ethyl acetate extract increased seed germination. Average value of germination of pine seed was 41.33%, meanwhile on control seed the average value of germination is 30.67%. Dilution of pine seed on ethyl acetate extract also decreased the damping-off on pine seed. The average value of damping-off on control seed was 41.33%, meanwhile on treated seed only 13.33%. GCMS analysis on ethanol extract showed that soldier defensive secretion extract of C. curvignathus termites consist of 5 compounds, while ethyl acetate extract consisted of 6 compounds. Ethanol extract consist of 20% alkenes and 80% aldehyde, meanwhile ethyl acetate extract consist of 50% aldehyde and 34% ester and 16% alcohol. The soldier defensive secretions of C. curvignathus consist of 7 compound of aldehyde, and Pentadecanal and Tetradecanal is the highest compound which contains of 72.81% and 60.17% respectively. From this research, it is concluding that defensive secretions of C. curvignathus have ability as antibacterial and antifungal and potential to be antibiotics.
Keywords : Coptotermes curvignathus, soldier defensive secretions, Staphyloccoccus aureus, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Odontoponera denticulata
ABSTRAK FARAH DIBA. Studi Anatomi, Fisiologi Dan Bioaktifitas Sekresi Pertahanan Diri Rayap Tanah Coptotermes Curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae). Di bawah bimbingan Dodi Nandika sebagai ketua komisi, Rudy C. Tarumingkeng, Sri Budiarti, Anton Apriyantono dan Achmad sebagai anggota. Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren merupakan spesies yang paling penting sebagai hama bangunan. Serangannya pada bangunan terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia, dengan nilai kerugian ekonomis yang sangat besar. Prajurit rayap ini memiliki pertahanan diri yang khas, yaitu mengeluarkan sekresi kimia yang mengandung racun dalam mengusir atau membunuh musuh. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari struktur morfologi kelenjar penghasil sekresi pertahanan rayap C. curvignathus; (2) mengkarakterisasi sekresi pertahanan rayap; (3) mempelajari daya racun ekstrak sekresi pertahanan rayap terhadap semut; (4) mempelajari daya racun ekstrak sekresi pertahanan rayap terhadap bakteri patogen; (5) mempelajari daya racun ekstrak sekresi pertahanan rayap terhadap cendawan penyakit lodoh; dan (6) mengidentifikasi komponen ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus yang memiliki daya racun terhadap semut, bakteri patogen dan cendawan penyakit lodoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap C. curvignathus diproduksi dalam kelenjar frontal (frontal gland) yang memenuhi hampir seluruh abdomen rayap dengan ukuran panjang 2,5 + 0,10 mm dan diameter 0,8 + 0,16 mm, dan berujung pada lubang fontanel yang terletak di kepala rayap yang berukuran diameter 0,2 + 0,18 mm. Ekstraksi sekresi pertahanan rayap dilakukan dengan pelarut n-heksan, etil asetat, etanol, dan aquabidestilata, dengan jumlah rayap 4000 ekor untuk masing-masing pelarut. Nilai rendemen ekstrak 27,9081% – 38,0982%; nilai pH 4-5,5; nilai viscositas 0,00002 - 0,0005 poise; suhu 27 - 27,5oC ; dan warna ekstrak putih susu dan abuabu. Pada pengujian daya racun ekstrak sekresi rayap terhadap semut Odontoponera denticulata, waktu untuk mencapai mortalitas semut sebesar 100 persen tercepat pada ekstrak etanol yang dicapai dalam waktu 54 jam, kemudian diikuti dengan ekstrak etil asetat, n-heksan dan aquabidestilata berturut-turut 74 jam, 79 jam dan 82 jam. Polaritas ekstrak sekresi rayap mempengaruhi aktivitas antibakteri, dimana ekstrak etanol (polar) menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi daripada ekstrak etil asetat (semi polar) terhadap bakteri S. aureus dan E.coli. Sementara itu, ekstrak n-heksan dan aquabidestilata tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Ekstrak etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan zona areal penghambatan pertumbuhan bakteri rata-rata sebesar 30,52 mm, sedangkan pada bakteri E. coli rata-rata sebesar 25,71 mm. Ekstrak etil asetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan zona areal penghambatan pertumbuhan bakteri rata-rata sebesar 17,92 mm, sedangkan pada bakteri E. coli rata-rata sebesar 12,99 mm. Bakteri yang lebih sensitif terhadap ekstrak etanol
adalah bakteri gram positif S. aureus dengan nilai MIC sebesar 1,84%; sedangkan bakteri yang lebih resisten adalah bakteri gram negatif E. coli dengan nilai MIC sebesar 3,65%. Sementara itu, pada pengujian terhadap cendawan penyebab lodoh pada benih pinus, ekstrak sekresi pertahanan rayap pada semua pelarut tidak dapat menghambat pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum, sedangkan pada cendawan Rhizoctonia solani hanya ekstrak etil asetat yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan. Nilai aktivitas anticendawan ekstrak etil asetat semakin meningkat dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pada konsentrasi 2% daya hambat pertumbuhan cendawan rata-rata sebesar 2,5%, konsentrasi 4% meningkat menjadi 6,5 %, konsentrasi 6% meningkat menjadi sebesar 30,5% dan pada konsentrasi 8% dan 10% masing-masing nilai daya hambat sebesar 100%. Pelapisan benih pinus dengan ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etil asetat meningkatkan daya berkecambah benih yang ditanam pada media dengan cendawan R. solani, dengan nilai rata-rata sebesar 41,33%, sedangkan pada benih kontrol hanya sebesar 30,67%. Disamping itu juga mampu menekan serangan penyakit lodoh karena pada benih kontrol terjadi serangan sebesar 41,33%, sedangkan pada benih perlakuan hanya sebesar 13,33%. Hasil analisis GCMS terhadap ekstrak etanol diperoleh 5 komponen senyawa yang berdasarkan golongan terdiri dari 20% golongan alkana dan 80% golongan aldehid. Sementara itu pada ekstrak etil asetat terdapat 6 komponen yang berdasarkan golongan terdiri dari 50% golongan aldehid, 34% golongan ester dan 16% golongan alkohol. Senyawa yang mendominasi ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus adalah golongan aldehid (7 komponen). Senyawa yang memiliki persentase terbesar dari golongan aldehid adalah senyawa Pentadecanal dan Tetradecanal masing-masing sebesar 72,81% dan 60,17% Dari penelitian disimpulkan bahwa sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus memiliki potensi sebagai antimikroba, sebagai bahan pelindung benih pinus dari serangan cendawan penyakit lodoh dan memiliki potensi sebagai bahan antibiotik baru.
Kata kunci : Coptotermes curvignathus, sekresi pertahanan, Staphyloccoccus aureus, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Odontoponera denticulata
STUDI ANATOMI, FISIOLOGI DAN BIOAKTIFITAS SEKRESI PERTAHANAN DIRI RAYAP TANAH
Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae)
FARAH DIBA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Disertasi
:
Studi Anatomi, Fisiologi Dan Bioaktifitas Sekresi Pertahanan Diri Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae)
Nama
:
Farah Diba
NRP.
:
P14600007
Program Studi
:
Ilmu Pengetahuan Kehutanan Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS Ketua
Prof. Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Anggota
Dr. dr. Sri Budiarti Anggota
Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS Anggota
Dr. Ir. Achmad, MS Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi IPK
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc Tanggal Ujian : 7 Juni 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan rahmat-Nya sehingga penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi dengan judul : “Studi Anatomi, Fisiologi Dan Bioaktifitas Sekresi Pertahanan Diri Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS; Prof. Dr. Ir. Rudolf C. Tarumingkeng, MF; Dr. dr. Sri Budiarti; Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS; dan Dr. Ir. Achmad, MS yang telah memberikan pengarahan dengan penuh kesabaran dan motivasi tinggi untuk kemajuan berpikir ilmiah. Terima kasih kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, MS, Prof. Ir. Surjono Surjokusumo, MSF, PhD serta Dr. James Sinambela yang telah memberi saran perbaikan disertasi. Penulis menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta Pramudi Kintaman yang dengan penuh kesabaran, pengertian dan selalu memberi semangat kepada penulis selama penelitian sampai menyelesaikan disertasi ini (wish you be my soulmates ever and after). Rasa terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Ir. H. Faisal Makmur Mukti (alm) dan ibunda Hj. Dahniar Rusli, juga kepada ayah mertua Drs. Radjidi Zachry dan ibunda Nila Mawarni, yang telah memberi kasih sayang dan teladan tentang pentingnya pendidikan bagi kehidupan dunia dan yaumil akhir. Ucapan terima kasih kepada keluarga besar penulis yang telah banyak membantu dengan do’a dan kesabaran selama penulis berada di Bogor : abangda Ir. Fahrizal, MP dan mbak Dra. Dwi Nugrohoyekti beserta ponakanku yang beranjak dewasa Dhani dan Kiki serta Tiara yang manis, keluarga adinda Elsa Tri Mukti, ST, MT dan Rudi Sugiono, ST, MT beserta ponakanku yang lucu Bima dan Rangga, adinda Andres Duanta Ponti, adinda Adilla Zuchruf, dan keluarga adinda Yano Erman dan Dany Fitriana. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Hj. Asniar Subagiyo Ismail, SE, MM yang memberikan dukungan selama penulis melanjutkan sekolah, Dekan Fakultas Kehutanan Prof. Ir. Sakoento, MS, Ketua Jurusan Teknologi Hasil Hutan Ir. Evy Wardenaar, MP serta staf pengajar Fakultas Kehutanan UNTAN yang terus mendukung perjalanan ilmiah ini. Ucapan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Program Pascasarjana kepada penulis, selama pendidikan Program Magister dan Program Doktoral. Penulis juga menyampaikan terima kasih atas persaudaraan yang indah selama di Laboratorium Biologi Hasil Hutan, PSIH-IPB bersama keluarga Ir. Yudi Rismayadi, MSi, keluarga Ir. Arinana, MSi, keluarga Niken Subekti, S.Si, MSi, keluarga Ir. Ina Lidiawati, MSi, Tanty Erningtyas, S.Hut, MSi dan Ir. Desyanti, MSi. Juga kepada keluarga Asep Somadiputra, S.Hut, keluarga Dedi Karmadi, keluarga Satimo, keluarga Dadang, Diah Komalasari, Tuti, Y. Imam, Anang, Supardi, Rosyid, Yono, Widodo, Hendra, Nurhadi, Dadan, dan Riswanto.
Ucapan terima kasih kepada staf laboratorium: Mbak Dewi, Pak Anhari, Yuke, Fatimah, Tantri dan Mbak Ariyati, atas kerjasama dan bantuan selama penelitian berlangsung. Penulis mengucapkan terima kasih karena mendapatkan bantuan yang sangat berharga berupa diskusi selama penelitian berlangsung dan kiriman jurnal yang membantu proses penelitian dari Prof. Dr. Glenn D. Prestwich dari Utah University, Amerika Serikat, Prof. Andre Quennedey dari Gabriel University, Dijon Perancis, Rebecca B. Rosengaus, Ph.D.dari Northeastern University, Boston Amerika Serikat, Prof Chuah Cheng Hock dari Malaya University, Malaysia , Dr. Ir. Dwi Setianingsih, MS dan Ir. Hendra Adijuwana, MST dari Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan finansial yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian oleh Hibah Pasca. Penelitian ini merupakan bagian dalam penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (Hibah Pasca) yang berjudul: Pengendalian Terpadu Koloni Rayap Tanah Genus Coptotermes Pada Lingkungan Permukiman di Pulau Jawa Berdasarkan Informasi Genetik dan Kelas Bahaya Rayap dengan ketua peneliti Prof. Dr. Rudy C Tarumingkeng, MF dan dibiayai selama 3 (tiga) tahun oleh Badan Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Pada Masyarakat Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Pada disertasi ini mungkin masih ditemukan beberapa kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran akan penulis terima dengan baik. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum maupun perkembangan iptek khususnya dalam bidang entomologi hutan. Termites, What an amazing world!!
Bogor, 23 Mei 2006
Farah Diba
©Hak Cipta milik Farah Diba, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 16 November 1970 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan yang berbahagia Ir H. Faisal Makmur Mukti (alm) dan Hj. Dahniar Rusli. Penulis menamatkan Sekolah Dasar Pertiwi Pontianak pada tahun 1983, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Pontianak dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pontianak kemudian melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak. Penulis menikah dengan Pramudi Kintaman pada tanggal 26 Juli 1992. Pada tahun 1994 penulis lulus dengan mendapat gelar Sarjana Kehutanan dan diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada tahun 1997 penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional untuk mengikuti program magister pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, lulus dengan mendapatkan gelar Magister Sains pada tahun 1999. Pada tahun 2000 penulis kembali mendapatkan Beasiswa BPPS dari Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di IPB dengan bidang studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan minat Entomologi Hutan. Sebagian hasil penelitian dalam disertasi ini telah dipresentasikan pada Seminar 1st International Conference of Crop Security, Universitas Brawijaya, Malang, 20 - 22 September 2005 dengan judul “Utilization Soldier Defensive Secretions From Subterranean Termites Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera:Rhinotermitidae) To Inhibition Damping-Off On Pine Seed (Pinus merkusii Jungh Et De Vriese), Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu (MAPEKI) VIII 3 – 5 September 2005 di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dengan judul: “Karakterisasi Eksudat Pertahanan Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera:Rhinotermitidae) dan Seminar Nasional MAPEKI VII di Universitas Hasanuddin Makassar, 5 – 6 Agustus 2004, dengan judul “ Kajian Aktivitas Antimikroba Eksudat Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera:Rhinotermitidae). Hasil penelitian juga telah diterima dan akan diterbitkan dalam Jurnal Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan judul : “Morphology of Subterrranean Termites Defense Glands of Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae)”. Penulis aktif dalam kegiatan pengendalian hama bangunan yang dikelola oleh Center for Building Protection (PROTEK); aktif dalam Ikatan Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia (IPPHAMI) serta dalam pelatihan dan seminar tentang proteksi bangunan (building protection). Bersama Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS dan Ir. Yudi Rismayadi, M.Si penulis membuat buku yang berjudul: Rayap : Biologi dan Pengendaliannya, yang diterbitkan oleh Muhammadiyah University Press Surakarta pada tahun 2003. Pada saat ini, bersama Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS penulis sedang menyusun dua buah buku yang berjudul: Kerusakan Kayu Oleh Serangga dan Mikrobiologi Kayu yang akan diterbitkan pada tahun 2006.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR...................................................................................... DAFTAR TABEL.......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
i iii iv
PENDAHULUAN.......................................................................................... Latar Belakang................................................................................................ Tujuan Penelitian........................................................................................... Manfaat Penelitian.......................................................................................... Hipotesis……………..……………………………………………………...
1 1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………........….... Sistem Pertahanan Diri Rayap Tanah Coptotermes curvignathus.................. Antimikroba………...................………………………….………....…….... Bakteri Escherichia coli...............................................………......………..... Bakteri Staphylococcus aureus....................................................................... Cendawan Fusarium oxysporum.................................................................... Cendawan Rhizoctonia solani......................................................................... Purifikasi dan Identifikasi Kandungan Senyawa Aktif..................................
4 4 7 9 9 10 10 11
METODE PENELITIAN..…………...………………….……………...... Tempat dan Waktu Penelitian...............…………………………………..... Bahan dan Alat Penelitian...............………………………….…………..... Tahapan Penelitian………..………………………………………………..
13 13 13 14
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... Karakteristik Morfologi Prajurit Rayap C. curvignathus.............................. Karakteristik Anatomi Kelenjar Sekresi Pertahanan Prajurit Rayap C. curvignathus...................................................................... Karakterisasi Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus............................. Aktivitas Sekresi Rayap C. curvignathus Terhadap Semut O. denticulata..................................................................................... Aktivitas Sekresi Rayap C. curvignathus Terhadap Bakteri Patogen E. coli dan S. aureus........................................................... Aktivitas Sekresi Rayap C. curvignathus Terhadap Cendawan patogen......................................................................................... Identifikasi Ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus...................
31 31 33 39 44 48 56 65
KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... Kesimpulan..................................................................................................... Saran...............................................................................................................
75 75 76
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. LAMPIRAN…………………………………………………………………
77 88
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15
16 17
18 19 20 21
Tahapan Umum Pelaksanaan Penelitian................................................. Media pengujian toksisitas ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus terhadap Semut O. denticulata.................................... Media pengujian pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus terhadap semut O. denticulata............................................................... Kasta Prajurit (A,B), Bentuk Kepala (C), Bentuk Mandibel (D) Rayap Tanah C. curvignathus................................................................. Kasta pekerja rayap memberi makan kepada kasta prajurit (Noirot, 1969)......................................................................................... Kelenjar Frontal Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus (Perbesaran 40x)..................................................................................... Lubang Fontanel Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus A :Perbesaran 100x B :Perbesaran 400x………................................. Kelenjar Frontal Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus A :Perbesaran 100x B :Perbesaran 400x............................................. Kelenjar Sternal Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus Perbesaran 400x...................................................................................... Kelenjar Frontal Kasta Prajurit Rayap C. lacteus (Perbesaran 5.600x, Quennedey, 1998)................................................ Skema Letak Kelenjar Frontal Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus....................................................................................... Lubang Fontanel Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus............. Botol berisi ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus.............. Waktu kejadian kematian semut O. denticulata pertama dalam media pengujian toksisitas sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus.................................................................. Waktu kematian seluruh semut O. denticulata dalam media pengujian toksisitas sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus................................................................... Semut O. denticulata (perbesaran 100x)................................................ Kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus melakukan penyerangan terhadap semut O. denticulata dalam media pengujian........................................................................... Waktu kematian semut O. denticulata dalam media pengujian pertahanan diri rayap C. curvignathus.................................................... Area Penghambatan Pertumbuhan Bakteri S. aureus dan E.coli oleh ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus....................... Zona penghambatan pertumbuhan bakteri oleh ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus dalam berbagai pelarut.................... Struktur dinding dan membran sel bakteri: (A) Gram Positif; (B) Gram Negatif ; (C) Lapisan peptidoglikan (Sumber : Cano dan Colome, 1986)....................................................... i
15 19 20 31 32 34 34 35 36 37 38 38 41
45
46 46
47 48 50 51
52
Halaman 22
23 24
25
26
27 28
29
30
31 32 33 34 35 36
Zona Penghambatan Pertumbuhan Bakteri S. aureus dan E. coli oleh Ekstrak Sekresi Rayap Dalam Pelarut Etanol Konsentrasi 0 – 70 persen (searah anak panah)…………………………………….. Koloni cendawan F. oxysporum (A) dan R. solani (B) pada media PDA (Potato Dextrose Agar)....................................................... Pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum (A) dan R. solani (B) pada media PDA yang ditambahkan ekstrak sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus konsentrasi 10%.................... Pertumbuhan cendawan R. solani pada media PDA yang ditambahkan ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat.......................................................................... Penghambatan pertumbuhan cendawan patogen R. solani oleh ekstrak sekresi rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat.......................................................................... Pertumbuhan benih pinus yang dilapisi ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat konsentrasi 8%..................... Daya berkecambah benih pinus yang direndam selama satu jam dalam ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat konsentrasi 8% ....................................................................... Daya berkecambah benih pinus yang direndam dalam ekstrak sekresi rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat konsentrasi 8% ....................................................................... Serangan lodoh pada benih pinus yang direndam dalam ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat konsentrasi 8% ....................................................................... Kromatogram Komponen Bioaktif Ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etanol........................................ Kromatogram Komponen Bioaktif Ekstrak Sekresi Pertahanan Diri Rayap Tanah C. curvignathus Dalam Pelarut Etil Asetat............... Perbandingan Jumlah Komponen Dari Dua Pelarut Ekstrak Sekresi Pertahanan Diri Rayap C. curvignathus..................................... Struktur Kimia Senyawa Pentadecanal................................................... Struktur Kimia Senyawa Tetradecanal................................................... Hubungan Evolusi Rayap Famili Rhinotermitidae Berdasarkan Sekresi Kimia Pertahanan Diri Pada Subfamili Rhinotermitidae……...
ii
53 56
58
59
60 61
62
63
64 65 66 67 68 68 73
DAFTAR TABEL Halaman
1 2 3
Rendemen ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus pada empat pelarut yang berbeda........................................................... 36 Suhu, pH, viskositas dan warna ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus pada pelarut yang berbeda................................ 39 Konsentrasi hambat tumbuh minimal (MIC) ekstrak sekresi rayap terhadap bakteri S. aureus dan E. coli serta perbandingannya terhadap ekstrak serangga dan tumbuhan lainnya.............................................................................. 65
4
Klasifikasi Tingkat Aktivitas Anti Cendawan (AFA)............................
74
5
Kondisi GCMS merk Shimadzu QP 5050.............................................
93
6
Komponen Ekstrak Sekresi Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etanol............................................................................... Komponen Ekstrak Sekresi Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etil Asetat........................................................................ Komposisi Kimia Sekresi Pertahanan Diri Rayap Dari Kelenjar Frontal Famili Rhinotermitidae dan Termitidae......................................................................................... Keragaman Sistem Pertahanan Diri Pada Beberapa Serangga Sosial……………………………………………...
7 8
9
iii
95 96
99 106
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Rata-rata waktu kematian semut O. denticulata dalam pengujian ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus dalam berbagai pelarut....................................…….…. 2 Rata-rata waktu kematian 2 ekor semut O. denticulata yang diletakkan pada kelompok rayap C. curvignathus dengan jumlah anggota kelompok yang berbeda................................................. 3 Rata-rata area penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli oleh ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus (milimeter).................................................................... 4 Rata-rata area penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli pada berbagai konsentrasi ekstrak etanol (milimeter)........................................................................ 5 Rata-rata penghambatan pertumbuhan cendawan patogen R. solani dan F. oxysporum oleh ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus pada media PDA dengan konsentrasi 10%...................................................... 6 Rata-rata penghambatan pertumbuhan cendawan patogen R. solani oleh ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat pada media PDA dengan berbagai konsentrasi................................................ 7 Analisis Ragam Pengaruh Perendaman Benih Pinus merkusii Dalam Ekstrak Sekresi Rayap Terhadap Daya Berkecambah Benih....................................................... 8 Analisis Ragam Pengaruh Perendaman Benih Pinus merkusii Dalam Ekstrak Sekresi Rayap Yang Ditanam Pada Media Dengan Cendawan Patogen Terhadap Daya Berkecambah Benih....................................................... 9 Analisis Ragam Pengaruh Perendaman Benih Pinus merkusii Dalam Ekstrak Sekresi Rayap Yang Ditanam Pada Media Dengan Cendawan Patogen Terhadap Serangan Penyakit Lodoh........................................................
iv
114
114
114
115
115
115
116
116
116
PENDAHULUAN Latar Belakang Sudah lebih dari seratus juta tahun serangga memiliki sistem pertahanan kimiawi yang sangat unik. Pemangsa serangga harus berhadapan dengan sekresi pertahanan diri yang disemprotkan oleh serangga ke tubuh pemangsa. Sekresi pertahanan diri tersebut sangat beracun dan ada juga yang mengeluarkan bau menyengat yang membuat pemangsa serangga menghindar. Serangga mengeluarkan sekresi pertahanan diri yang panas dan dapat membuat iritasi serta beracun. Salah satu serangga yang memiliki sistem pertahanan kimiawi adalah rayap, yang memiliki kelenjar penghasil sekresi pertahanan diri yang terletak pada abdomen sebagai senjata untuk mempertahankan diri. Sistem pertahanan kimia kasta prajurit rayap dalam menghadapi pemangsa terdiri dari tiga sistem : pertama, gigitan terhadap bagian tubuh musuh, kemudian menyemprotkan sekresi pertahanan diri yang dapat melumpuhkan musuh (oily toxic); kedua, menyemprotkan sekresi pertahanan diri yang mengandung racun ke permukaan tubuh pemangsa dengan menggunakan labrum; dan ketiga, mengeluarkan sekresi pertahanan diri yang kental (glue-squirting poison) melalui fontanel (Prestwitch 1984). Sekresi pertahanan diri yang disemprotkan kasta prajurit rayap telah menarik perhatian beberapa ahli kimia karena kemampuannya dalam melumpuhkan musuh dan pemangsa mereka. Beberapa penelitian mengenai sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap telah dilakukan oleh Prestwich (1984) pada genus Nasutitermes, Chuah, Goh dan Tho (1989) pada genus Nasutitermes, Chuah dan Goh (1990) pada genus Hospitalitermes, Goh et al. (1990) pada genus Laccessititermes, Roseangus dan Traniello (2001) pada genus Zootermopsis, Lamberty et al. (2001) pada rayap P. spiniger, dan Da Silva et al. (2003) pada genus Pseudacanthotermes. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sekresi pertahanan diri dari fontanel kasta prajurit rayap memiliki senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai pestisida hayati yang mampu mematikan pemangsa serta menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan. Sementara itu, Pearce (1997) menyatakan bahwa sekresi pertahanan diri dari fontanel
kasta
prajurit
rayap
mampu
menghambat
perkembangan
dan
pertumbuhan bakteri dan cendawan patogen. Antimikroba tersebut dihasilkan
2
sebagai mekanisme pertahanan kimiawi terhadap berbagai jenis cendawan dan bakteri patogen yang hidup bersama-sama dengan rayap tanah di bawah permukaan tanah. Beberapa senyawa kimia yang diidentifikasi sebagai anti predator dan patogen pada rayap tanah Nasutitermes trinervitermes adalah trinervitene (Prestwich et al. 1976), tetracyclic diterpene pada rayap Longitermes longipes, spinigerin pada rayap Pseudacanthotermes spiniger,17-O-Acetoxy(8,19)β,3α,7α, 9α,14α,17 – hexa hydroxyl trinervitene 2,3,9,14-O-tetrapropionate pada rayap Hospitalitermes umbrinus, quinone, dan alkana pada rayap Mastotermitidae (Pearce 1997) serta α-pinena, dan monocyclic lactone pada rayap Termitidae (Lamberty et al. 2001). Sementara itu, rayap tanah Coptotermes curvignathus yang penyebarannya terbatas di daerah Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia menghasilkan sekresi pertahanan diri dalam jumlah yang lebih banyak dari rayap tanah genus Hospitalitermes, Nasutitermes, dan Macrotermes. Namun hingga saat ini pengamatan morfologi dan anatomi saluran penghasil sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap, karakterisasi, dan pengujian aktivitas biologinya terhadap semut pemangsa rayap, bakteri dan cendawan belum pernah dilakukan. Penelitian pengembangan sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap sebagai penghasil senyawa antimikroba masih sangat terbatas dibandingkan dengan organisme penghasil senyawa antimikroba lain, seperti bakteri dan cendawan. Bahkan jika dibandingkan dengan jenis serangga lain seperti; Sarcophaga peregrina sebagai penghasil antimikroba sapecin (Yamada dan Natori 1993; Rao 1995); Hylophora cecropia sebagai penghasil cecropin; lebah madu (Apis mellifera) penghasil apidacine (Casteels dan Tempst 1994) dan abaecin (Fujiwara et. al. 1990); serta ulat sutera Bombyx mori sebagai penghasil lebocin (Hara dan Yamakawa 1995). Oleh karena itu penelitian pengembangan senyawa antimikroba dari sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap akan memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian mengenai karakterisasi sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap C. curvignathus, morfologi dan struktur anatomi saluran penghasil sekresi pertahanan diri, dan uji aktivitas biologinya terhadap pemangsa rayap, bakteri dan cendawan sangat diperlukan.
3
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui morfologi dan struktur anatomi kelenjar frontal penghasil sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus. 2. Mengkarakterisasi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus 3. Mempelajari daya racun sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus terhadap semut pemangsa rayap, bakteri patogen dan cendawan penyebab lodoh pada benih Pinus. 4. Mengetahui senyawa bioaktif yang terdapat pada sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus yang berperan dalam melumpuhkan semut pemangsa rayap, serta menghambat bakteri patogen dan cendawan penyebab penyakit lodoh.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus
yang diharapkan dapat
menjadi landasan pengetahuan untuk mengembangkan pestisida hayati dalam mengendalikan semut, menghambat bakteri patogen serta mengatasi serangan cendawan penyebab penyakit lodoh pada persemaian tanaman kehutanan.
Hipotesis 1. Kelenjar frontal yang menghasilkan sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus memenuhi hampir seluruh abdomen. 2. Ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dapat mematikan semut pemangsa rayap. 3. Ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. 4. Ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dapat mencegah serangan cendawan penyebab lodoh pada benih Pinus merkusii. 5. Senyawa bioaktif yang terdapat pada sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus terdapat pada beberapa ekstrak.
tanah
4
TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pertahanan Diri Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Rayap tanah telah memainkan peranan yang sangat penting dalam lingkungan permukiman sebagai organisme pemakan material yang mengandung lignoselulosa (bahan organik). Akibat aktivitas tersebut terjadi dekomposisi bahan organik menjadi bahan-bahan anorganik.Rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam satu koloni dengan organisasi individu yang secara morfologi dibedakan menjadi bentuk dan kasta yang berlainan. Kasta yang terdapat di dalam koloni rayap meliputi : kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif. Masingmasing kasta melakukan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya (Pearce 1997). Krishna dan Weesner (1969) menyatakan rayap adalah serangga sosial yang dapat diklasifikasikan ke dalam 6 famili yang meliputi: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Rayap tanah Coptotermes termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae sub famili Coptotermitinae. Menurut Nandika et al. (2003), C. curvignathus merupakan rayap tanah yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi rayap tanah C. curvignathus sebagai berikut: Phylum
:
Arthropoda
Kelas
:
Insecta
Sub-klass
:
Pterigota
Ordo
:
Isoptera
Famili
:
Rhinotermitidae
Sub-famili
:
Coptotermitinae
Genus
:
Coptotermes
Spesies
:
Coptotermes curvignathus
Thapa (1981) menyatakan kasta prajurit rayap C. curvignathus memiliki kepala bewarna kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala hampir bulat dengan ukuran panjang sedikit lebih besar dari lebarnya, memiliki fontanel yang lebih lebar. Antena rata-rata terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen ke empat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya; batas antara sebelah dalam dari
5
mandibel kanan sama sekali rata. Rata-rata panjang kepala tanpa mandibel lebih kurang 1,56 mm – 1,68 mm. Lebar kepala lebih kurang 1,40 mm – 1,44 mm. Bagian abdomen ditutupi rambut menyerupai duri, abdomen berwarna putih kekuning-kuningan. Menurut Borror dan De Long (1998) rayap hidup dalam kelompok sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna. Dalam koloni terdapat serangga bersayap dan serangga tidak bersayap, ada juga yang hanya mempunyai tonjolan sayap saja. Sayapnya berjumlah dua pasang yang menempel pada bagian toraks dan berbentuk seperti selaput, dengan pertulangan sederhana dan reticulate. Bentuk dan ukuran sayap depan sama dengan sayap belakang, dan oleh karena itulah ordonya dinamai Isoptera (Iso = sama, ptera = sayap). Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap. Tidak kurang dari 80-90% populasi dalam koloni rayap merupakan individuindividu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa. Kasta reproduktif terdiri dari betina (ratu) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri atas serangga-serangga dewasa yang bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996) neoten muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau terpisah karena pemisahan koloni. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, neoten menggantikan fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni. Kasta prajurit memiliki bentuk tubuh yang sangat spesifik dengan mandibel yang berkembang sempurna. Kasta prajurit mampu menyerang musuhnya dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris, dan menjepit. Peranan kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya semut dan vertebrata predator. Biasanya gigitan kasta prajurit pada tubuh musuhnya sukar dilepaskan sampai prajurit itu mati sekalipun. Kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus menyerang musuhnya dengan sekresi pertahanan diri yang berasal dari lubang fontanel yang terdapat pada kepala rayap. (Nandika et al.
6
2003). Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya yang besar dengan sklerotisasi (penebalan) yang nyata. Anggota dari kasta ini mempunyai mandibel atau rostrum yang besar dan kuat. Berdasarkan bentuk kasta prajuritnya, rayap dibedakan atas dua tipe yaitu tipe mandibulate dan tipe nasuti. Pada tipe mandibulate prajurit-prajuritnya mempunyai mandibel yang kuat dan besar tanpa rostrum, sedangkan tipe nasuti prajurit-prajuritnya mempunyai rostrum yang panjang tapi mandibelnya kecil. Koloni rayap yang berada dalam kondisi bahaya karena serangan predator (semut, trenggiling, dan lain-lain) akan segera memobilisasi kasta prajurit untuk menyerang predator. Bentuk morfologi kasta prajurit sangat terspesialisasi untuk bertahan dan menyerang musuh. Kasta prajurit rayap di Afrika memiliki mandibel yang sangat tajam sehingga dapat menjepit musuh dan mematahkan tubuh musuhnya. Sementara kasta prajurit rayap di Amerika Selatan memiliki mandibel yang berukuran lebih panjang daripada abdomennya. Ketika menyerang musuh, mereka akan menjepit musuhnya dengan menggunakan mandibel kemudian mengeluarkan gas beracun untuk melumpuhkan musuh. Pada genus Nasutitermes dan Coptotermes, kasta prajurit mengeluarkan sekresi pertahahan diri untuk melumpuhkan musuhnya. Trowell (2003) telah melakukan penelitian mengenai senyawa bioaktif yang terdapat pada sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap genus Nasutitermes. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat tiga senyawa antimikroba yang berpotensi sebagai antibakteri dan antibiotik dari kasta prajurit rayap tanah Nasutitermes triodiae. Sementara hasil penelitian Lamberty et al. (2001) menyebutkan terdapat dua senyawa antimikroba yang telah diekstraksi dari sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah Pseudacanthotermes spiniger, yang selanjutnya diberi nama termicin dan spinigerin. Prestwich et al. 1976 melakukan penelitian mengenai senyawa bioaktif yang terdapat pada sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah Nasutitermes trinervitermes, dan menemukan bahwa terdapat senyawa kimia yang diidentifikasi sebagai anti predator dan patogen yaitu trinervitene. Sementara Chuah dan Goh (1990) menemukan senyawa bioaktif 17-O-Acetoxy-(8,19)β,3α,7α,9α,14α,17 – hexahydroxyl trinervitene 2,3,9,14-O-tetrapropionate pada sekresi pertahanan diri
7
kasta prajurit rayap Hospitalitermes umbrinus, dan Pearce (1997) menemukan senyawa bioaktif quinone dan alkana pada sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap Mastotermitidae. Penelitian pengembangan sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap sebagai penghasil senyawa antimikroba masih sangat terbatas dibandingkan dengan organisme penghasil senyawa antimikroba lain, seperti bakteri dan cendawan. Bahkan jika dibandingkan dengan jenis serangga lain seperti: Sarcophaga peregrina sebagai penghasil antimikroba sapecin (Yamada dan Natori 1993; Rao 1995); Hylophora cecropia sebagai penghasil cecropin; lebah madu (Apis mellifera) penghasil apidacine (Casteels dan Tempst 1994) dan abaecin (Fujiwara et al. 1990); serta ulat sutera Bombyx mori sebagai penghasil lebocin (Hara dan Yamakawa 1995). Oleh karena itu penelitian pengembangan senyawa antimikroba dari sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap akan memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Antimikroba Antimikroba adalah senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, termasuk di dalamnya adalah antibakteri dan anticendawan. Antibakteri adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Pelczar dan Chan 1988). Zat antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri) (Frazier dan Westhoff 1988), sedangkan anticendawan adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas cendawan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas antibakteri meliputi jenis, jumlah, umur dan lingkungan bakteri; jumlah zat bakteri yang terdapat pada bahan yang diekstraksi; sifat fisiko kimia substrat (jenis, pH, kadar air dan senyawa-senyawa lainnya); waktu kontak antara dinding sel dengan zat antibakteri serta suhu lingkungan dimana bakteri tumbuh (Frazier and Westhoff 1988). Beberapa antibakteri hanya mempunyai kemampuan mikrobiostatis (menghambat pertumbuhan mikroba), sedangkan yang lainnya mempunyai kemampuan mikrobisida (membunuh mikroba). Adanya perbedaan kemampuan
8
mikrobiostatis atau mikrobisida bergantung pada konsentrasi antibiotik (Singleton dan Sainsburry 1978). Konsentrasi terendah yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba disebut konsentrasi hambat tumbuh minimal (KHTM / Minimal Inhibitory Concentration (MIC)), sedangkan konsentrasi terendah yang tidak menunjukkan pertumbuhan disebut konsentrasi pembunuhan minimal (KBM / Minimal Cidal Concentration (MCC)). Menurut Pelczar dan Chan (1988) ciri-ciri zat antibakteri yang ideal meliputi substansi mampu membunuh/menghambat bakteri, substansi harus dapat larut dalam air atau pelarut lain sampai pada taraf yang diperlukan, perubahan yang terjadi pada substansi antibakteri selama penyimpanan harus seminimal mungkin dan tidak boleh mengakibatkan kehilangan sifat antibakterinya dengan nyata, tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan lain, komposisi harus seragam sehingga bahan aktifnya selalu terdapat pada setiap penggunaan, tidak bereaksi dengan bahan organik seperti protein atau bahan organik lainnya, menunjukkan aktivitas yang baik pada suhu kamar atau suhu tubuh, mampu menembus dinding sel, tidak menimbulkan karat dan warna, mampu menghilangkan bau yang kurang sedap, mampu bertindak sebagai deterjen (desinfektan), tersedia dalam jumlah besar dengan harga yang pantas. Pengukuran adanya kekuatan antibakteri menurut Suriawiria (1978) dipergunakan metode dari Davis Stout, dengan ketentuan daerah hambatan 20 mm atau lebih (sangat kuat), daerah hambatan 10 mm – 20 mm
(kuat), daerah
hambatan 5 mm – 10 mm (sedang), daerah hambatan ≤ 5 mm (lemah). Banyak faktor dan keadaan dapat mempengaruhi kerja antimikroba, antara lain: konsentrasi atau intensitas antimikroba, kemasaman atau kebasaan (pH), jumlah mikroorganisme, temperatur, spesies mikroorganisme dengan kerentanan yang berbeda, dan adanya bahan organik asing (Pelczar dan Chan 1988). Komponen antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel mikroba yang menyebabkan kematian. Kerusakan yang ditimbulkan komponen antimikroba dapat bersifat mikrosidal (kerusakan tetap) atau mikrostatik (kerusakan yang dapat kembali). Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur yang digunakan (Bloomfield 1991).
9
Bakteri Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, tidak mempunyai kapsul, umumnya mempunyai fimbriae, bersifat motil atau non motil dengan flagella peritrikat, berukuran lebar 1 – 1,5 µm dan panjang 2 – 6 µm, bersifat fakultatif anaerob, tunggal atau berpasangan, mempunyai suhu optimum pertumbuhan 37oC, tetapi dapat tumbuh pada rentang suhu 15 - 45 oC. Nilai aw optimum adalah 0,96. Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi atau selama pemasakan makanan (Willshaw et al. 2000 ; Supardi dan Sukamto 1999). E. coli merupakan bakteri flora normal di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia, sehingga mudah mencemari air. Kontaminasi bakteri ini pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi E.coli pada makanan berkisar antara 108 – 109 sel. Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh E coli antara lain daging, ayam, ikan dan makanan hasil laut lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah serta susu (Supardi dan Sukamto 1999). E.coli K1.1. merupakan bakteri E. coli enteropathogenic (EPEC) yang dapat menyebabkan infeksi pada usus manusia. Bakteri ini telah memiliki ketahanan yang tinggi dan bersifat resisten terhadap antibiotik penicilin.
Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus termasuk famili Micrococcaceae,
merupakan
bakteri Gram positif, berbentuk kokus yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, berkelompok seperti buah anggur. Kebanyakan galur S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas. Beberapa galur, terutama yang bersifat patogen memproduksi koagulase, bersifat proteolitik, lipolitik dan β-hemolitik. Bakteri ini sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus serta dapat menyebabkan intoksikasi dan kelenjar infeksi bisul, pneumonia, dan mastitis pada hewan (Fardiaz 1983). Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri S. aureus adalah 35 - 37oC, suhu minimum 6,7 oC dan suhu maksimum 45,5 oC. Bakteri S. aureus dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0 – 7,8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk
10
pertumbuhannya (Supardi dan Sukamto 1999). Keracunan pangan stapilokokal disebabkan oleh Staphylococci (khususnya bakteri S. aureus) yang tumbuh di dalam bahan pangan dan membentuk enterotoksin sebagai produk metabolitnya. Gejala-gejala keracunan yang ditimbulkan adalah mual, muntah, kram perut dan diare. Gejala keracunan ini terjadi antara 1 – 8 jam (biasanya 2 – 4 jam) setelah mengkonsumsi bahan pangan yang telah terkonta- minasi (Parker 2000).
Cendawan Fusarium oxysporum Cendawan Fusarium oxysporum termasuk dalam genus Fusarium, famili Tuberculariaceae, ordo Moniliales, kelas Deuteromycetes yang pada umumnya memiliki miselia lembut, bersekat dan bercabang (Booth 1971; Dube 1983; Alexopoulus et al. 1996). Karakteristik cendawan pada medium agar awalnya miselium yang tumbuh berwarna putih halus seperti kapas dan kemudian warnanya berubah menjadi ungu. Hifa berdiameter 2–4 μm, mikrokonidia berukuran 4-9 x 2-3 μm dan makro- konidia berukuran 20-29 x 4-5 μm, konidia hialin dengan diameter klamidospora berukuran 5-10 μm (Achmad 1997). Fusarium merupakan salah satu cendawan penghuni tanah (soil inhabitant) yang terdiri dari 40 macam spesies. F. oxysporum merupakan penyerbu tanah (soil invaders) yang terdapat pada tanah-tanah tertentu dimana tersedia tanaman inang yang cocok untuk kebutuhan hidupnya (Garret 1956 dalam Suharti et al. 1981).
Cendawan Rhizoctonia solani Rhizoctonia solani merupakan cendawan yang menimbulkan penyakit lodoh pada tanaman Pinus merkusii, termasuk dalam ’form ordo’ Agonomycetales ‘form-klas’ Deuteromycetes (Alexopoulus et al. 1996). Cendawan R. solani pada media PDA mula-mula miselianya berwarna putih dan lama kelamaan berubah menjadi coklat muda sampai tua. Miselia tersebut halus bercabang-cabang membentuk jala halus dan bersepta. Jarak antar septanya relatif pendek. Perkembangan miselianya memberikan tanda khas yaitu percabangan tegak lurus (Von Arx 1981). Karakterisitik cendawan R. solani meliputi hifa vegetatif muda berinti banyak (multinukleat), berwarna coklat, berdiamater hifa > 6 μm, percabangan terdapat di dekat septum distal sel-sel pada hifa vegetatif muda,
11
terdapat konstriksi (lekukan) pada hifa dan septa terbentuk dekat awal percabangan hifa, terdapat septa dolipor, membentuk sklerotia yang tidak beraturan bentuknya, tidak membentuk konidia tetapi membentuk sel-sel monilioid, tidak terdapat sambungan apit dan tidak membentuk rhizomorf (Achmad 1997). Purifikasi dan Identifikasi Kandungan Senyawa Aktif Metode analisis bahan aktif meliputi metode ekstraksi dan isolasi, metode pemisahan, metode identifikasi dan analisis hasil (Harborne 1996). Prosedur yang umum digunakan untuk ekstraksi dan isolasi senyawa aktif adalah pemisahan berdasarkan kepolaran. Sifat polar pelarut akan menentukan jenis senyawa yang terekstrak dari suatu bahan. Seringkali untuk mendapat senyawa yang diinginkan digunakan
beberapa
pengekstrak
secara
bertingkat
berdasarkan
tingkat
kepolarannya. Tingkat kepolaran ini dikenal dengan deret eleutropi pelarut (Gritter et al. 1991). Pemisahan dan pemurnian kandungan bahan aktif tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari empat teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik kromatografi tersebut adalah : kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair (KGC) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Harborne 1996). Untuk mendapatkan senyawa murni dalam jumlah banyak maka digunakan kromatografi kolom preparatif (Hostettmann et al. 1995). Untuk penampakan hasil biasanya dilakukan revelasi kimia menggunakan bahan kimia tertentu sedangkan untuk menentukan senyawa aktif yang bermanfaat untuk tujuan tertentu digunakan metode bioautografi. Metode bioautografi hanya menampakkan bagian yang aktif menghambat mikrob uji sedangkan bagian yang tidak aktif tidak dapat dideteksi (Kim et al. 1991). Bioautografi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Metode langsung dilakukan dengan menaburkan atau menyemprotkan medium agar atau cair yang telah berisi inokulum biakan bakteri uji diatas plat kromatogram yang berisi hasil migrasi ekstrak kasar. Apabila senyawa aktif pada kromatogram menghambat pertumbuhan bakteri uji maka akan tampak satu atau lebih zona bening pada plat kromatogram. Zona bening ini kemudian diukur nilai Rf-nya. Berbeda halnya
12
dengan bioautografi, revelasi kimia dapat menunjukkan semua macam kandungan senyawa yang ada namun tidak dapat memilahkan yang aktif dan yang tidak aktif (Wallhausser 1969). Selanjutnya setelah pemisahan senyawa aktif diikuti dengan proses identifikasi. Identifikasi yang lengkap sampai ke dalam golongan senyawa membutuhkan analisis beberapa sifat atau ciri yang kemudian dibandingkan dengan data dari pustaka. Sifat yang diukur termasuk titik didih, titik leleh, putaran optik dan nilai Rf. Tetapi apabila terdapat atau ditemukan data mengenai senyawa dalam golongan yang sama maka yang perlu ditinjau lebih lanjut adalah ciri dari senyawa tersebut berupa spektrumnya termasuk spektrum UV, Infra merah (IM), resonansi magnet ini (RMI) dan spektrum massa (SM) (Harborne 1996).
13
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2003 sampai bulan Juli 2005 di Laboratorium Bioteknologi Hewan, Pusat Studi Bioteknologi IPB; Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB; serta Laboratorium Zoologi Fakultas MIPA IPB.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama dalam penelitian ini adalah cairan sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus. Rayap tanah C. curvignathus berasal dari Hutan Percobaan Yanlappa Jasinga, Bogor yang telah dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan, Pusat Studi Ilmu Hayati IPB selama satu tahun (laboratory reared termites colony). Pemeliharaan rayap dilakukan di dalam bak-bak plastik berukuran 50 x 60 x 40 cm yang disimpan pada ruang gelap dengan kelembaban udara berkisar antara 85%-90%. Bahan kimia untuk ekstraksi sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus meliputi etanol, etil asetat, n-heksan, aquabidestilata dan gas nitrogen. Bahan untuk analisis mikroba yaitu media tumbuh NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), Bacto Tryptone, Yeast extraxt, NaCl, Agar, NaOH, bakteri S. aureus dan E. coli enteropatogen (EPEC) K1.1. yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. Bahan untuk analisis cendawan yaitu media tumbuh PDA (Potato Dextrose Agar), cendawan F. oxysporum dan R. solani yang diperoleh dari benih pinus dan tanah dari pesemaian pinus PT. Perhutani Pompok Landak Cianjur, benih P. merkusii diperoleh dari sumber benih di Ponorogo Jawa Timur yang, dipanen pada bulan Juli 2004, tanah, pasir, clorox, dan jagung. Semut yang digunakan untuk pengujian toksisitas ekstrak sekresi pertahanan diri rayap berasal dari arboretum Fakultas Kehutanan IPB spesies O. denticulata. Bahan untuk pembuatan preparat anatomi kelenjar penghasil sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus meliputi asam pikrat jenuh, asam asetat glasial, formalin, etanol 95%, Etanol 50%, Etanol 70%, Etanol 80%, Etanol 90%, Etanol 95%, Etanol 100%, Xylol, hematoksilin quosa, eosin 50% dan balsam canada.
14
Alat yang digunakan untuk ekstraksi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus meliputi alat-alat gelas, pipet pasteur, timbangan analitik, desikator, dan lemari pendingin. Alat untuk identifikasi komponen senyawa aktif yang terdapat pada sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus meliputi Gas Chromatography Mass Spectra (GC-MS). Alat untuk uji antimikroba meliputi autoklaf, seperangkat peralatan gelas, timbangan analitik, inkubator 37oC, jarum ose, lampu spiritus dan shaker incubator. Alat untuk pembuatan preparat anatomi kelenjar sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus mencakup gelas obyek, kaca penutup gelas obyek, dan mikroskop Scanning Electron (SEM). Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam enam tahap kegiatan sebagai berikut : Tahap I : Pembuatan preparat anatomi kelenjar frontal penghasil sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus. Tahap II : 1. Koleksi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus. 2. Ekstraksi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dengan n-heksan, etil asetat, etanol dan aquabidestilata 3. Karakterisasi ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus yang meliputi pengukuran pH, viskositas, dan suhu. Tahap III : Pengujian toksisitas sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus terhadap semut O. denticulata Tahap IV : Pengujian aktivitas antibakteri yang meliputi: 1. Perbanyakan kultur bakteri uji 2. Pengujian daya hambat pertumbuhan dengan metode sumur 3. Penentuan nilai konsentrasi daya hambat minimum (MIC) Tahap V : Pengujian aktivitas anticendawan yang meliputi: 1. Perbanyakan kultur cendawan uji 2. Pengujian daya hambat pertumbuhan cendawan secara in-vitro 3. Uji fitotoksisitas ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus pada benih P. merkusii. 4. Pengujian daya hambat pertumbuhan cendawan secara in-vivo
15
Tahap VI: Penentuan senyawa bioaktif yang terdapat pada ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus yang berperan sebagai bahan repellen bagi semut pemangsa rayap, antibakteri dan anticendawan dengan GCMS.
Pemeliharaan rayap C. curvignathus
Pembuatan preparat anatomi kelenjar penghasil sekresi pertahanan diri rayap
Koleksi sekresi pertahanan diri rayap
Esktraksi dengan aquabidestilata, etanol, etil asetat dan n-heksana • •
•
Pemeliharaan semut uji O. denticulata Perbanyakan cendawan uji F. oxysporum dan R. solani Perbanyakan bakteri uji S. aureus dan E. coli
Persiapan ekstrak sekresi pertahanan diri rayap
Bioassay / Uji in-vitro
Ekstrak Terpilih
Penentuan MIC
Identifikasi senyawa bioaktif dengan GCMS
• •
Uji Fitotoksisitas pada benih P. merkusii Uji in-vivo pada benih P. merkusii
Gambar 1. Tahapan Umum Pelaksanaan Penelitian
16
Metode kegiatan penelitian sebagai berikut: 1. Perbanyakan rayap tanah C. curvignathus Rayap tanah C. curvignathus berasal dari Hutan Percobaan Yanlappa Jasinga, Bogor yang telah dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan, Pusat Studi Ilmu Hayati IPB selama satu tahun (Laboratory reared termites colony). Pemeliharaan rayap tanah C. curvignathus dilakukan di dalam bakbak plastik berukuran 50 x 60 x 40 cm yang disimpan pada ruang gelap dengan kelembaban udara berkisar antara 85%-90%. 2. Pembuatan Preparat Gelas Obyek Prosedur
pembuatan
preparat
anatomi
saluran
kelenjar
sekresi
pertahanan diri prajurit rayap tanah C. curvignathus sebagai berikut : a. Rayap kasta prajurit C. curvignathus
dicuci dengan NaCl fisiologis
selanjutnya difiksasi dengan larutan bovine selama 18 jam. b. Spesimen direndam secara berurutan dalam larutan: Etanol 70% - etanol 80% - etanol 95% - etanol 100% (tahap dehidrasi) masing-masing selama 1 jam. c. Spesimen kemudian direndam dalam campuran larutan etanol dan xylol (1:1) selama 1 jam – xylol I selama 1 jam dan – xylol II selama 10 menit (tahap dealkoholisasi). d. Pada tahap xylol II, ke dalam wadah dimasukkan parafin sedikit demi sedikit hingga jenuh; kemudian wadah dipindahkan ke dalam inkubator/ termostat pada suhu 57oC. e. Kemudian berturut-turut dilakukan infiltrasi parafin I – parafin II dan parafin III masing-masing selama 45 menit. f. Pembuatan blok parafin (blocking) untuk penyelubungan spesimen. Parafin murni dipanaskan kemudian dituang pada kotak karton tanpa tutup yang tidak permanen. Setelah permukaan parafin mulai mengental, spesimen diletakkan dengan posisi tegak di dalam parafin. Selanjutnya karton parafin tersebut diletakkan pada permukaan air agar pendinginan parafin terjadi lebih cepat.
17
g. Pengirisan dengan mikrotom, dengan ketebalan 8 μm dan menghasilkan pita-pita yang selanjutnya akan diletakkan pada permukaan gelas obyek dengan perekat albumin. Gelas obyek kemudian diletakkan diatas pelat pemanas pada suhu 30oC dan dibiarkan selama 24 jam. h. Kemudian dilakukan pewarnaan yaitu dengan mencelupkan gelas obyek secara berurutan ke dalam larutan berikut : Xylol I – Xylol II - Xylol III etanol 90% - etanol 80% - etanol 70% - etanol 50% (masing-masing selama 5 menit) – hematoksilin aquosa– eosin 50% (masing-masing selama 2 menit) - etanol 70% - etanol 80% - etanol 95% - etanol 100% (masing-masing selama beberapa celup) – dibersihkan dengan tissu – xylol I – xylol II (masing-masing selama 5 menit). i. Gelas obyek selanjutnya dikeringudarakan, kemudian pada bagian permukaan yang ada preparatnya diberi setetes balsam canada dan dilekatkan gelas penutup diatasnya. 3. Pembuatan Gambar SEM Prosedur pembuatan gambar SEM rayap tanah C. curvignathus sebagai berikut : prajurit rayap tanah C. curvignathus dimasukkan ke dalam gelas kaca kemudian dilakukan fresh-dry selama 48 jam untuk menghilangkan air dan lemak yang terdapat di dalam tubuh rayap. Kemudian sampel direkatkan pada aluminum stubs dan dilapisi dengan emas melalui proses vakum (6-7 Pa) selama 20 menit dan diamati serta dibuat gambar SEM dengan menggunakan mikroskop SEM JEOL 5310. 4. Koleksi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus Koleksi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dilakukan berdasarkan metode Prestwich et al. (1984) dan Quintana et al. (2003) yang dimodifikasi. Sekresi pertahanan diri rayap dikeluarkan dari fontanel prajurit rayap dengan menggunakan pipet pasteur. Untuk setiap pelarut digunakan cairan sekresi yang diambil dari 4000 ekor rayap. Pelarut untuk ekstraksi meliputi aquabidestilata, etanol, etil asetat dan n-heksan, dengan demikian total rayap yang digunakan sebanyak 16.000 ekor. Cairan sekresi yang
18
menempel pada pipet pasteur dipindahkan ke dalam botol kaca dan selanjutnya siap untuk diekstraksi. 5. Ekstraksi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus Ekstraksi sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dilakukan berdasarkan metode Preswitch et al. (1980) dan Chuah et al. (1990) yang dimodifikasi. Sebanyak 10 ml aquabidestilata dicampurkan dengan sekresi pertahanan diri rayap, kemudian dilakukan homogenisasi, dan selanjutnya pelarut diuapkan dengan cara fresh-dry. Filtrat yang terjadi disimpan di dalam botol kaca dan selanjutnya disimpan pada suhu –10oC dan siap digunakan untuk pengujian bioassay. Pada ekstraksi dengan pelarut organik, sekresi pertahanan diri rayap dilarutkan ke dalam 10 ml pelarut etanol, kemudian dilakukan homogenisasi. Selanjutnya pelarut diuapkan dengan ditiup gas nitrogen. Filtrat disimpan dalam botol kaca dan selanjutnya disimpan pada suhu –10oC. Untuk mendapatkan ekstrak dengan pelarut etil asetat dan
n-heksan, dilakukan
perlakuan yang sama seperti pada perlakuan pelarut etanol. 6. Pengukuran karakteristik fisiko-kimia ekstrak sekresi pertahanan rayap Karakterisasi fisiko-kimia ekstrak sekresi pertahanan diri rayap meliputi pengukuran pH, suhu, warna, dan pengukuran viskositas berdasarkan metode Nandika et al. (1994). Pengukuran viskositas ekstrak sekresi dilakukan dengan viskometer mikro berdiameter 1 mm, dengan rumus : 1 poise =
Berat (kg) Panjang (m) x Waktu2 (S2)
7. Pengujian toksisitas sekresi pertahanan rayap C. curvignathus terhadap semut O. denticulata Pengujian toksisitas ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus dilakukan berdasarkan metode Chen et al. (2002) yang dimodifikasi. Media pengujian adalah sebuah cawan petri yang disajikan pada Gambar 2. Ekstrak sekresi rayap sebanyak 200 μl diteteskan pada kertas saring steril yang berukuran setengah lingkaran, kemudian kertas saring dikeringanginkan. Di dalam cawan petri diletakkan dua kertas saring, satu kertas saring steril dan satu kertas saring yang mengandung ekstrak sekresi rayap. Tiga puluh ekor
19
semut O. denticulata diletakkan pada bagian tengah cawan petri. Pengamatan meliputi waktu kejadian kematian semut pertama kali dan waktu kematian semut mencapai seratus persen. Sebagai perlakuan kontrol adalah cawan petri yang diletakkan dua kertas saring steril (tidak mengandung ekstrak sekresi rayap) kemudian dimasukkan semut O.denticulata pada cawan petri. Pengujian dilakukan dengan tiga kali ulangan. Semut O. denticulata diperoleh dari arboretum Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Klasifikasi semut O. denticulata sebagai berikut: Phylum Kelas Ordo Famili Sub-famili Genus Spesies
: : : : : : :
Arthropoda Insecta Hymenoptera Formicidae Ponerinae Odontoponera Odontoponera denticulata
Gambar 2. Media pengujian toksisitas ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus terhadap Semut O. denticulata Pengujian perilaku pertahanan diri rayap terhadap semut dilakukan dengan meletakkan dua ekor semut O. denticulata pada kelompok rayap berdasarkan metode Collins dan Prestwich (1983). Kelompok rayap diletakkan pada sebuah cawan petri, yang disajikan pada Gambar 3. Tiga kelompok rayap digunakan dalam pengujian meliputi kelompok pertama terdiri dari 20 ekor kasta pekerja dan 20 ekor kasta prajurit, kelompok kedua terdiri dari 50 ekor kasta pekerja dan 50 ekor kasta prajurit, dan kelompok ketiga adalah 100 ekor
20
kasta pekerja dan 100 ekor kasta prajurit. Pengujian dilakukan dengan tiga kali ulangan pada setiap kelompok rayap. Pengamatan dilakukan selama enam jam sejak peletakan semut O. denticulata pada setiap kelompok rayap.
Gambar 3.
Media pengujian pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus terhadap semut O. denticulata
8. Pengujian aktivitas antibakteri 8.1 Persiapan kultur bakteri uji Bakteri yang digunakan adalah biakan murni bakteri Staphyloccus aureus dan Eschericia coli enteropatogen K1.1. yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. Komposisi medium padat untuk menumbuhkan bakteri terdiri dari : Bacto Tryptone 1%, yeast extract 0,5 %, NaCl 1% dan Agar 1,5% dan diatur pada pH 7,0 (netral). Inkubasi dilakukan pada suhu 370C. 8.2 Penentuan fase pertumbuhan akhir (late log phase) bakteri Tahap ini bertujuan untuk menentukan late log phase Bakteri yang digunakan adalah E. coli dan S. aureus.
bakteri.
Penentuannya
dilakukan dengan cara sebagai berikut : satu ose dari agar miring biakan murni NA diinokulasikan ke dalam lima mililiter NB. Selanjutnya diinkubasi selama 24 jam. Kultur yang telah 24 jam diambil sebanyak 10 μl dan dinokulasikan kembali ke dalam 10 mililiter NB. Selanjutnya diinkubasi dan diamati pada jam ke-0, 8, 12, 16 dan 26 jam menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Setelah diketahui late
21
log phase untuk setiap bakteri dilakukan penghitungan sel menggunakan alat hemasitometer. 8.3 Persiapan bakteri uji Hasil late log phase untuk bakteri E.coli dan S. aureus ialah 16 jam. Pada umur tersebut, jumlah bakteri telah mencapai 108 CFU/ml. Konsentrasi bakteri yang digunakan untuk pengujian adalah106 CFU/ml. 8.4 Pengujian aktivitas antibakteri Esktrak sekresi rayap disiapkan pada konsentrasi 40%. Ekstrak sekresi dalam pelarut n-heksan (EN) diencerkan dengan air steril yang berisi Tween 80 (0,5%), sedangkan ekstrak sekresi dalam pelarut etanol (EE), etil asetat (EEA), aquabidestilata (EA) diencerkan dengan air steril (aquabidestilata). Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan difusi sumur berdasarkan Carson dan Riley (1995) sebagai berikut : Dari persiapan kultur bakteri yang telah dilakukan, dipindahkan secara aseptik sebanyak 20 μl ke dalam media NA 30 ml. Selanjutnya media dibiarkan memadat, kemudian dibuat sumur dengan diameter 6 mm. Satu cawan petri memiliki delapan sumur yang masing-masing diisi dengan EA, EE, EEA, EN, dan pelarut ekstrak sebagai perlakuan kontrol (aquabidestilata, etanol, etil asetat, n-heksan) masing-masing sebanyak 60 μl. Selanjutnya cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C, Pengamatan zona hambatan dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (milimeter) yang terbentuk di sekitar sumur. Pengujian dilakukan duplo. 8.5 Penentuan nilai konsentrasi hambat tumbuh minimal bakteri (MIC / minimum inhibitory concentration) Nilai MIC adalah konsentrasi terendah yang mampu mematikan semua bakteri yang diinokulasikan ke dalam medium. Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak etanol, karena menghasilkan penghambatan pertumbuhan tertinggi. Pengujian dilakukan berdasarkan metode difusi sumur (Carson dan Riley, 1995). Konsentrasi esktrak etanol yang diuji sebesar 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, dan 70 %. Bakteri uji
22
meliputi
S. aureus dan E. coli.
Penghitungan nilai MIC dilakukan
berdasarkan metode Bloomfield (1991), yaitu dengan memplotkan antara ln Mo (konsentrasi ekstrak) pada sumbu X terhadap nilai kuadrat zona penghambatan (X2) pada sumbu Y. Perpotongan antara kurva linier dengan sumbu X merupakan nilai Mt (diperoleh dengan regresi linear). Besarnya nilai MIC ditetapkan sebagai ¼ x Mt. 9. Pengujian aktivitas anticendawan 9.1 Penyediaan inokulum cendawan Cendawan patogen penyebab lodoh didapatkan melalui isolasi dari tanah pesemaian dan benih P. merkusii. Tanah pesemaian didapat dari pesemaian pinus PT. Perhutani Pompok Landak Cianjur, sedangkan benih pinus berasal dari Ponorogo Jawa Timur dengan daya berkecambah (DB) 70%. Isolasi cendawan patogen dari tanah dilakukan dengan metode pengenceran. Pengenceran yang digunakan adalah 10-2, 10-3, dan 10-4. Sepuluh gram tanah yang berasal dari pesemaian pinus yang terserang patogen disuspensikan dalam 90 ml aquadestilata steril sehingga membentuk pengenceran 10-1. Suspensi tersebut dikocok dan dibiarkan dalam beberapa menit. Pengenceran selanjutnya dilakukan dengan mencampur sebanyak 1 ml suspensi pertama dengan 9 ml aquadestilata steril sehingga membentuk pengenceran 10-2, cara yang sama dilakukan untuk mendapatkan pengenceran 10-3 dan 10-4. Selanjutnya 0,1 ml masingmasing suspensi tersebut ditumbuhkan pada media Martin Agar (MA) dan diinkubasikan pada suhu kamar. Setelah patogen tumbuh, isolat dimurnikan dan diuji patogenisitasnya. Isolasi cendawan dari benih dilakukan dengan metode pengujian kesehatan benih. Metode kesehatan benih yang digunakan adalah metode blotter yang direkomendasikan oleh ISTA (International Seed Treatment Association). Metode ini didasarkan pada pertumbuhan kecambah dan propagul cendawan. Tiga helai kertas merang steril dilembabkan dengan cara dicelupkan ke dalam aquadestilata steril, selanjutnya kertas merang
23
tersebut diletakkan di dalam cawan petri. Benih pinus sebanyak 25 buah ditempatkan di atas kertas merang. Kegiatan dilakukan secara aseptik di meja laminar. Benih tanpa perlakuan desinfektan digunakan untuk mendeteksi cendawan yang ada di permukaan benih, sedangkan benih yang diberi perlakuan desinfektan NaOCl 1% selama 5 menit dan kemudian dibilas dengan aquadestilata steril digunakan untuk mendeteksi cendawan yang berada dalam jaringan benih. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan 10 ulangan. Benih uji dalam cawan petri diinkubasikan selama tujuh hari. Pada hari pertama benih ditempatkan pada suhu ruang selama 24 jam dengan penyinaran NUV 12 jam terang dan 12 jam gelap. Pada 24 jam kedua benih diinkubasikan pada suhu –20oC, selanjutnya pada hari ketiga sampai hari ketujuh benih diinkubasi pada suhu ruang dengan penyinaran NUV. Pada hari ke delapan dilakukan pengamatan terhadap cendawan yang muncul, baik pada perlakuan desinfektan maupun tidak. Selanjutnya isolat yang diperoleh diuji patogenisitasnya. 9.2 Uji patogenisitas cendawan (pemilihan cendawan uji) Isolat cendawan yang diperoleh dari kedua proses isolasi (dari tanah dan benih) diuji patogenisitasnya untuk menentukan cendawan patogen yang akan digunakan dalam pengujian selanjutnya. Isolat cendawan yang diperoleh diperbanyak dengan cara mengambil tiga potongan koloni cendawan dari biakan di media PDA yang berumur lima hari (∅ 6 mm) kemudian ditanam pada media CMS (Corn Meal Sand) yang terdiri dari campuran pasir, hancuran biji jagung dan air (96:4:20 g/g/ml), dalam labu erlenmeyer volume 250 ml yang telah disterilisasi (121oC, 1 atmosfer) selama 60 menit. Labu beserta isinya diinkubasi pada suhu kamar selama dua minggu. Sebagai kontrol media patogen, disiapkan labu erlenmeyer berisi jenis media yang sama tanpa inokulasi cendawan dan diinkubasikan pada suhu kamar selama dua minggu.
24
Setelah masa inkubasi, isolat cendawan bersama medianya sebanyak 4,5 gram dicampur dengan 100 gram media tanam steril yang terdiri dari campuran top soil (tanah latosol Darmaga), kompos dan sekam (dengan perbandingan 4:3:3 b/b/b) yang telah disterilisasi (121oC, 1 atmosfer) selama 60 menit. Media tanam tersebut kemudian dimasukkan ke dalam politube (polytube) dan ditambahkan 10 ml aquadestilata steril, selanjutnya diinkubasikan selama 4 hari. Uji patogenisitas dilakukan dengan menanam semai P. merkusii berumur 2 minggu di dalam politube. Untuk isolat dilakukan penanaman semai pada media tanam steril tanpa isolat cendawan. Jumlah semai yang ditanam pada setiap perlakuan sebanyak 20 semai dengan dua kali pengulangan. Pengamatan dilakukan terhadap persentase semai yang terserang penyakit lodoh. Isolat yang paling kuat patogenisitasnya digunakan untuk penelitian selanjutnya. 9.3 Pengujian terhadap cendawan patogen secara in-vitro Berdasarkan uji patogenisitas, ditentukan cendawan F. oxysporum dan R. solani yang digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya. Inokulum cendawan F. oxysporum dan R. solani diperbanyak pada media PDA. Pengujian aktivitas anticendawan masing-masing ekstrak (EA, EE, EEA, EN) dilakukan dengan metode Mori et al. (1997). Media yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar). PDA steril disiapkan dalam tiap cawan petri
yang telah dicampur dengan masing-masing
ekstrak dengan konsentrasi 10% (berat ekstrak/berat media agar). Selanjutnya pada cawan petri tersebut ditanam 1 potong cendawan F. oxysporum (umur 5 hari, ∅ 6 mm). Masing-masing perlakuan dibuat duplo. Untuk perlakuan kontrol, ditanam 1 potong cendawan F. oxysporum (umur 5 hari, ∅ 6 mm) pada cawan petri yang terdiri dari media PDA, dan media PDA yang dicampur dengan pelarut ekstrak (etanol, etil asetat, n-heksan dan aquabidestilata) dengan konsentrasi 10% (berat pelarut/berat media agar). Perlakuan yang sama dilakukan pada cendawan uji R. solani. Kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu ruang (26oC – 28oC).
25
Pertumbuhan cendawan diukur setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7 dihitung persentase penghambatan dengan rumus (Mori et al. 1997): Aktivitas anticendawan (AFA)
R1–R2 = ------------- x 100% R1
Dimana : R 1 = pertumbuhan miselia cendawan kontrol (mm) R 2 = pertumbuhan miselia cendawan perlakuan (mm) Aktivitas setiap ekstrak akan dinilai dengan melihat besaran nilai aktivitas anti cendawan (Antifungal activity/AFA) dan diklasifikasikan ke dalam katagori yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Aktivitas Anti Cendawan (AFA) Aktivitas Anti Cendawan (AFA)
Tingkat Aktivitas
AFA ≥ 75% 75% ≤ AFA < 50% 50% ≤ AFA < 25% 25% ≤ AFA < 0 0
Sangat Kuat (++++) Kuat (+++) Sedang (++) Lemah (+) Tidak Aktif (-)
Sumber : Mori et al. (1997) 9.4 Pengujian konsentrasi ekstrak terpilih Hasil pengujian penghambatan pertumbuhan cendawan patogen secara in-vitro menunjukkan bahwa hanya ekstrak etil asetat yang mampu menghambat pertumbuhan cendawan R. solani, sedangkan pada cendawan F. oxysporum tidak ada ekstrak yang mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen. Selanjutnya penelitian menggunakan ekstrak etil asetat dengan cendawan uji R. solani. Pengujian konsentrasi ekstrak pada tahapan ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi minimal ekstrak etil asetat yang mampu menghambat pertumbuhan cendawan R. solani. Media yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar). PDA steril disiapkan dalam tiap cawan petri yang telah dicampur dengan masing-masing ekstrak. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% (berat ekstrak/berat media agar). Selanjutnya pada cawan petri tersebut ditanam 1 potong cendawan R. solani (umur 5 hari,
26
∅ 6 mm). Masing-masing perlakuan dibuat duplo. Untuk kontrol, ditanam 1 potong cendawan R. solani (umur 5 hari, ∅ 6 mm) pada cawan petri yang hanya terdiri dari media PDA. Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada suhu ruang (26oC – 28oC). Pertumbuhan cendawan diukur setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7 dihitung persentase penghambatan dengan rumus (Mori et al. 1997): Aktivitas anticendawan (AFA)
R1–R2 = ------------- x 100% R1
Dimana : R 1 = pertumbuhan miselia cendawan kontrol (mm) R 2 = pertumbuhan miselia cendawan perlakuan (mm)
9.5 Pengujian pengaruh fitotoksisitas ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus terhadap daya berkecambah benih P. merkusii Benih yang akan diuji diseleksi terlebih dahulu dengan cara merendamnya dalam aquadestilata steril selama 24 jam. Benih yang tenggelam digunakan dalam pengujian. Benih uji direndam dalam ekstrak etil asetat selama 1 jam dengan konsentrasi ekstrak 8% dan kontrol aquadestilata steril. Setelah perlakuan perendaman, masing-masing benih dicuci dengan aquadestilata steril dan dikeringkan dengan cara diletakkan di atas kertas saring steril, kemudian dibiarkan selama 1, 12, dan 24 jam. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali dan masing-masing ulangan menggunakan 25 benih. Selanjutnya sebanyak 25 benih pinus pada masing-masing perlakuan diletakkan diatas kertas merang lembab berlapis tiga, berukuran 20 x 20 cm yang sebelumnya telah dialasi dengan plastik dengan ukuran yang sama. Kertas merang yang telah berisi benih tersebut kemudian ditutup dengan satu lembar kertas merang lembab, setelah itu lembaran tersebut digulung. Gulungan tersebut kemudian diinkubasikan pada suhu ruang dan disinari dengan NUV 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian selama 14 hari. Pada hari ke-14 gulungan dibuka dan dihitung persentase daya berkecambah benihnya. Persentase daya berkecambah benih dihitung dengan rumus sebagai berikut :
27
Jumlah benih yang tumbuh Daya berkecambah benih = ------------------------------------ x 100% Jumlah benih keseluruhan Pengujian pengaruh fitotoksisitas ekstrak sekresi rayap terhadap daya berkecambah benih disusun dalam rancangan acak lengkap faktorial (Faktorial RAL) dengan 2 faktor, yang meliputi faktor perendaman benih (A) dan faktor lama pembiaran benih setelah direndam (B), sebagai berikut: A1: perendaman benih pinus dalam ekstrak sekresi rayap dengan pelarut etil asetat konsentrasi 8% A2: perendaman benih pinus dengan aquadestilata steril (kontrol) B1: pembiaran benih pinus setelah perlakuan perendaman selama 1 jam B2: pembiaran benih pinus setelah perlakuan perendaman selama 12 jam B3: pembiaran benih pinus setelah perlakuan perendaman selama 24 jam 9.6 Pengujian terhadap cendawan patogen secara in- vivo Percobaan dilakukan untuk melihat kemampuan pengendalian hayati ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat terhadap cendawan patogen R. solani penyebab lodoh pada benih pinus. Persiapan media tanam dan inokulasi cendawan patogen Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah top soil dan pasir (1:1 b/b) yang telah disterilkan (121oC, 1 atmosfer selama 60 menit) yang tidak diambil dari pertanaman P. merkusii. Media tanam yang digunakan dalam percobaan terdiri dari dua jenis media yang meliputi media tanam kontrol (tanpa inokulasi cendawan patogen) dan media tanam yang diinokulasi dengan cendawan patogen. Inokulasi cendawan patogen dilakukan dengan mencampurkan 3,5 gram media patogen yang telah disiapkan dengan 200 gram media tanam dalam gelas plastik, kemudian ditambahkan 15 ml aquadestilata steril. Wadah tanam selanjutnya ditutup dengan plastik dan didiamkan selama 4 hari. Setelah 4 hari dilakukan penanaman benih pinus kontrol dan benih yang telah direndam dalam ekstrak sekresi rayap.
28
Persiapan benih P. merkusii Benih pinus kontrol diperoleh dari benih yang direndam dalam aquadestilata steril selama 24 jam, benih yang tenggelam disterilkan permukaannya dengan merendam dalam larutan NaOCl 0,5% selama 5 menit untuk memperoleh benih yang aseptik. Benih selanjutnya dibilas beberapa kali dengan aquadestilata steril kemudian dikeringanginkan dengan meletakkannya dalam wadah yang telah dialasi kertas saring steril. Benih pinus kontrol yang digunakan sebanyak 25 buah dengan 3 kali ulangan. Benih perlakuan diperoleh dari benih pinus yang bernas dan aseptik kemudian direndam dalam ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat dengan konsentrasi 8% selama 1 jam. Selanjutnya benih dikeringanginkan selama 1 jam. Benih pinus perlakuan yang digunakan sebanyak 25 buah dengan 3 kali ulangan. Pengujian in- vivo pada benih pinus Benih kontrol dan benih perlakuan ditanam pada media tanam yang telah disiapkan. Wadah tanam ditempatkan di dalam rumah kaca. Penyiraman dilakukan setiap sore hari dengan menggunakan aquadestilata steril. Pengamatan yang dilakukan adalah daya berkecambah dan serangan penyakit lodoh. Daya berkecambah benih dihitung berdasarkan persentase jumlah total benih yang berkecambah pada hari ke-7 dan hari ke-21 (ISTA, 1999) dengan rumus: Jumlah KN pada hari ke-7 + Jumlah KN pada hari ke-21 DB = --------------------------------------------------------------------- x 100% Jumlah benih yang ditanam DB = Daya berkecambah KN = kecambah normal Serangan penyakit lodoh dihitung berdasarkan persentase jumlah total dari benih dan semai yang terserang penyakit lodoh dengan rumus sebagai berikut: Jumlah benih dan semai yang terserang lodoh Serangan Lodoh (%) = ------------------------------------------------------- x 100% Jumlah benih yang ditanam
29
Pengujian in-vivo benih pinus terhadap cendawan patogen disusun dalam rancangan acak lengkap faktorial (Faktorial RAL) dengan 2 faktor, yang meliputi faktor faktor perendaman benih (A) dan faktor media tanam (B), sebagai berikut: A1: perendaman benih pinus dalam ekstrak sekresi rayap dengan pelarut etil asetat konsentrasi 8% A2: perendaman benih pinus dengan aquadestilata steril (kontrol) B1: media tanam tidak diinokulasi dengan cendawan patogen B2: media tanam diinokulasi dengan cendawan patogen 10. Identifikasi komponen volatil Ekstrak sekresi pertahanan diri kasta prajurit dalam pelarut etanol dan etil asetat dianalisa dengan detektor gas chromatografi spektrometer massa (GCMS) untuk mengidentifikasi komponen volatil ekstrak. Instrumen GCMS yang digunakan adalah GCMS tipe Shimadzu QP 5050, kondisi analisis mengikuti metode Clement et al. (2001) yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi GCMS merk Shimadzu QP 5050 Kondisi GC Kolom Gas pembawa Detektor Suhu interface Suhu injektor Volume injeksi Teknik injeksi Waktu sampling Program suhu: Suhu awal Laju kenaikan suhu Suhu akhir
Kolom kapiler DB-5 MS 122-5532 panjang 30 m, diameter dalam 0,25 mm dan tebal lapisan 0,25 μm. Helium dengan tekanan 40.20 Kpa MS (Mass Spectrometry) 330oC 300oC 1 μL Split/Splitless 0,5 menit 40oC ditahan selama 5 menit 4 oC / menit 330oC, ditahan selama 5 menit
Kondisi MS Energi ionisasi Kisaran massa Interval Resolusi Waktu
0.90 kv 33 – 550 0.5 detik 1000 1.6 – 56.0
30
Identifikasi komponen volatil dilakukan sebagai berikut: 1. Interpretasi spektra masa yaitu membandingkan spektra massa suatu senyawa target dengan spektra massa standar yang terdapat pada mass spectra library koleksi NIST (National Institute Standard and Tehnology), WILEY 229 dan PESTICD.LIB. Mass spectra library koleksi NIST 62 memiliki koleksi pola spektra massa lebih dari 62.000 pola. Pustaka spektra masa ini sudah berbentuk program software yang dapat dibaca dengan bantuan komputer. 2. Penentuan nilai Linear Retention Indices (LRI) dimana setiap peak yang terdeteksi pada detektor dan dicatat oleh integrator mempunyai waktu retensi masing-masing. Untuk program temperatur gradien, digunakan perhitungan LRI. Nilai LRI merupakan hubungan antara waktu retensi standar n-alkana (C8 – C40) yang disuntikkan pada kondisi yang sama dengan kondisi penyuntikan sampel. Perhitungan nilai LRI dilakukan dengan persamaan sebagai berikut (Madruga dan Mottram 1998):
LRIx =
(Rtx - Rtn) --------------------- + n
x 100
Rtn+1 - Rtn Keterangan: LRIx = indeks retensi linear komponen x Rtx = waktu retensi komponen x (menit) = waktu retensi standar alkana sebelum puncak komponen x Rtn Rtn+1 = waktu retensi standar alkana sesudah puncak komponen x n = jumlah atom karbon standar alkana yang muncul sebelum komponen x Hasil perhitungan LRI suatu komponen dibandingkan dengan nilai LRI yang terdapat pada pustaka dengan kolom GCMS yang digunakan dan dipak dengan fase diam yang sama.
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Prajurit Rayap C. curvignathus Karakter morfologi yang diamati dari prajurit rayap C. curvignathus terdiri dari ukuran seluruh tubuh rayap, panjang kepala dengan mandibel, panjang kepala tanpa mandibel, lebar kepala, panjang mandibel, jumlah ruas tubuh, jumlah ruas antena, jumlah seta pada kepala, bentuk mandibel, bentuk pronotum dan lebar pronotum. Kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus memiliki kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat lonjong dengan ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya. Rata-rata ukuran seluruh tubuh prajurit rayap C. curvignathus berkisar antara 2,65 + 0,12 mm, panjang kepala dengan mandibel 2,17 + 0,11
mm,
panjang kepala tanpa mandibel berkisar antara 1,3 + 0,16 mm. Rata-rata lebar kepala 0,96 + 0,15 mm, panjang mandibel 0,78 + 0,10 mm, antena terdiri dari 13 -15 ruas, sedangkan jumlah seta pada kepala berkisar antara 11 - 16 buah. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, bentuk pronotum seperti pelana dengan panjang 0,22 + 0,10 mm dan lebar 1,03 + 0,10 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan dengan jumlah ruas 10-12 ruas. Bentuk kepala dan mandibel prajurit rayap tanah C. curvignathus disajikan pada Gambar 4.
A
B
C
D
Gambar 4. Kasta Prajurit (A,B), Bentuk Kepala (C), Bentuk Mandibel (D) Rayap Tanah C. curvignathus
32
Kasta prajurit merupakan anggota koloni rayap yang memiliki bentuk morfologi yang spesifik, sangat terspesialisasi dengan bentuk kepala yang mengalami sklerotisasi (penebalan), tidak mengerjakan pekerjaan apapun dalam koloni, selain sebagai pertahanan koloni dan melindungi anggota koloni dari serangan musuh. Karena bentuk kepala yang unik, tebal dan memiliki mandibel yang sangat kuat, kasta prajurit tidak mampu mengigit dan mengunyah makanan, karena itu kasta prajurit mendapat makanan yang sudah dihaluskan dan disuapi makanan oleh kasta pekerja melalui proses trofalaksis. Proses trofalaksis disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Kasta pekerja rayap memberi makan kepada kasta prajurit (Noirot, 1969) Quennedey (1984) menyatakan bahwa kasta prajurit pada famili Rhinotermitidae genus Coptotermes memiliki senjata kimia yang merupakan hasil sekresi yang dikeluarkan melalui lubang fontanel yang terdapat di dekat mandibel rayap. Sekresi pertahanan diri ini dihasilkan oleh kelenjar frontal yang berkembang dengan sempurna ke arah abdomen dan umumnya memenuhi sebagian besar abdomen. Dengan beberapa kriteria, khususnya yang berhubungan dengan perkembangan kelenjar pertahanan diri prajurit rayap, Quennedey (1998) membagi distribusi perkembangan kelenjar pertahanan diri prajurit rayap pada tiga subdivisi, meliputi: (1) Rayap famili Protermitidae, Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae dan Hodotermitidae memiliki kelenjar pertahanan diri yang tidak
33
berdiferensiasi atau berkembang dengan sempurna, sehingga lebih banyak menggunakan mandibel sebagai alat pertahanan diri. (2) Rayap famili Mesotermitidae dan Rhinotermitidae memiliki kelenjar pertahanan diri yang berkembang dengan sempurna dari kepala sampai ke bagian abdomen (3) Rayap famili Metatermitidae dan Termitidae memiliki kelenjar pertahanan diri yang berkembang dengan sempurna pada bagian kepala rayap dan hanya sedikit pada bagian abdomen.
Karakteristik Anatomi Kelenjar Sekresi Pertahanan Prajurit Rayap C. curvignathus Kasta prajurit rayap C. curvignathus menggunakan sekresi kimia untuk melumpuhkan musuhnya. Sekresi pertahanan diri rayap dikeluarkan dari lubang fontanel yang berada di dekat mandibel. Lubang tersebut merupakan ujung dari kelenjar frontal (frontal gland) yang memiliki panjang rata-rata sekitar 2,5 + 0,10 mm dan diameter 0,8 + 0,16 mm. Ukuran kelenjar frontal yang sangat luas ini dibutuhkan karena viskositas sekresi yang diproduksi sangat kental (sekitar 0,0005 – 0,002 poise). Kelenjar frontal sangat besar sehingga menekan tempat pencernaan makanan (digestive track) dan memenuhi hampir seluruh abdomen prajurit rayap (Quennedey dan Deligne 1975). Genus Coptotermes umumnya memiliki kelenjar frontal yang sangat besar. Kasta prajurit rayap C. intermedius memiliki panjang kelenjar frontal rata-rata sekitar 3 mm dengan diameter 1 mm, hampir sama dengan panjang tubuhnya, sedangkan pada kasta prajurit rayap C. travians panjang kelenjar frontal rata-rata sekitar 2,8 mm dengan diameter 0,8 mm. Karenanya, kasta prajurit rayap genus Coptotermes sering disebut dengan kelenjar berjalan (walking gland) (Quennedey 1998). Gambar anatomi kasta prajurit rayap C. curvignathus yang disajikan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa kelenjar frontal memang memenuhi hampir seluruh abdomen rayap.
34
Lubang Fontanel
*
*
Kelenjar Frontal
* Kelenjar Sternal
Gambar 6.
Kelenjar Frontal Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus (Perbesaran 40x) * : kelenjar frontal
Kelenjar frontal
prajurit rayap C. curvignathus dimulai dari lubang
fontanel yang berada di kepala prajurit rayap. Lubang fontanel merupakan tempat keluarnya cairan sekresi pertahanan diri rayap. Lubang fontanel memiliki diameter yang berukuran 0,2 + 0,18 mm disajikan pada Gambar 7. Dari lubang fontanel, kelenjar frontal memanjang dari bagian kepala prajurit rayap, thoraks sampai pada bagian abdomen. Lubang Fontanel
A
Lubang Fontanel
B
Gambar 7. Lubang Fontanel Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus A : Perbesaran 100x B : Perbesaran 400x Pada rayap genus Macrotermes, yang melakukan pertahanan diri dengan menggunakan mandibel dan tidak menggunakan sekresi pertahanan diri, kelenjar pertahanan tidak berkembang dengan sempurna, panjang kelenjar sangat pendek dan terdapat pada abdomen ruas kedua (Brune 1998). Pada rayap yang menggunakan sekresi pertahanan diri, kelenjar pertahanan (frontal)
35
berkembang dengan sempurna dan mempunyai ukuran yang panjang, misalnya pada rayap Globitermes sulphures, Microtermes alboparticus, dan Odontotermes smeathmani, panjang kelenjar frontal memenuhi separuh abdomen, sedangkan pada rayap Allodontotermes giffardii dan Hypotermes xenotermitis memiliki panjang kelenjar frontal dua pertiga abdomennya, dan rayap Pseudacanthotermes spiniger memiliki panjang kelenjar frontal yang memenuhi sembilan sampai sepuluh ruas abdomennya (Preswitch 1982). Kelenjar frontal rayap C. curvignathus sangat panjang dan berdiferensiasi dengan sempurna yang
tersusun dari sel kelas 1 dan sel kelas 3, tetapi
ketebalan dinding sel kelenjar frontal sangat tipis, dan lebih tipis dari dinding sel kelenjar sternal, dengan ukutan rata-rata sebesar 4 – 10 μm (Quennedey 1977). Kelenjar frontal dengan perbesaran 100 kali dan 400 kali disajikan pada Gambar 8.
A
B
Gambar 8. Kelenjar Frontal Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus A : Perbesaran 100x B : Perbesaran 400x Dibandingkan dengan kelenjar sternal, yang berfungsi untuk mengeluarkan feromon penanda jejak, kelenjar frontal sangat panjang dan berdiferensiasi dengan sempurna. Kelenjar sternal berada di bagian bawah abdomen rayap dan memiliki ukuran yang lebih kecil dari kelenjar frontal (Noirot 1969). Kelenjar sternal rayap tanah C. curvignathus disajikan pada Gambar 9.
36
Kelenjar sternal
Gambar 9. Kelenjar Sternal Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus Perbesaran 400x Pada rayap genus Kalotermitidae, ukuran kelenjar sternal hampir sama dengan rayap genus Coptotermes, walaupun prajurit rayap ini tidak menggunakan sekresi kimia untuk melumpuhkan musuhnya (Scheffrahn et al. 1998). Kasta prajurit rayap genus Kalotermitidae memiliki bentuk mandibel yang berkembang dengan baik sehingga dapat menggigit dan menghancurkan musuhnya. Dengan demikian, kelenjar frontal
prajurit rayap yang menggunakan sekresi kimia
mengalami perkembangan dengan sempurna, karenanya hampir memenuhi seluruh abdomen. Quennedey (1998) menyatakan bahwa sel penyusun kelenjar frontal prajurit rayap genus Coptotermes terdiri dari sel kelas 1 dan sel kelas 3. Kelenjar frontal prajurit rayap C. lacteus pada bagian jaringan epitel yang terdiri dari sel kelas 1 dan sel kelas 3 disajikan pada Gambar 10.
37
*
1
* 3
Gambar 10. Kelenjar Frontal Kasta Prajurit Rayap C. lacteus (Perbesaran 5.600x, Quennedey 1998) 1 : Sel kelas 1 3 : Sel kelas 3 * : Bahan sekresi kimia yang diproduksi oleh sel kelas 3 : Globula besar yang menembus kutikula rayap, diproduksi oleh Sel kelas 1 Sel kelas 1 memiliki bentuk rata, memiliki sitoplasma dengan bentuk nukleus panjang, beberapa mitokondria, badan golgi yang kecil, ribosom bebas dan mengandung agregat granul glikogen dan badan mikloid. Sel kelas1 bertanggung jawab dalam pembentukan sekresi kimia rayap. Sel kelas 3 terdiri dari dua unit sel: sel sekretori dan sel kanal berbentuk panah. Sel sekretori menunjukkan karakteristik sentral ekstraselular yang memiliki mikrofili dengan panjang 1 μm. Ekstraselular tersebut merupakan ujung dari epikutikula yang berhubungan langsung dengan kutikula rayap. Pada sitoplasma sel sekretori terdapat retikulum endoplasma dan badan golgi yang berukuran besar, yang berfungsi melanjutkan proses pembentukan sekresi kimia dari sel kelas 1 (Quennedey 1998).
38
Dibandingkan dengan kelenjar Dufour pada semut Pristomyrmex, yang juga memiliki fungsi sebagai kelenjar penghasil sekresi kimia pertahanan diri semut, ukuran kelenjar frontal rayap tanah C. curvignathus lebih besar. Pada semut Pristomyrmex ukuran kelenjar Dufour hanya sebesar 300 x 130 μm (Billen et al. 2000). Skema letak kelenjar frontal rayap tanah C. curvignathus disajikan pada Gambar 11, sementara gambar lubang fontanel dengan SEM disajikan pada Gambar 12.
Kelenjar frontal
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Kelenjar frontal
- - - - - - - - - - - - - - - - Lubang fontanel
Lubang Fontanel
. . . . . . . . . .. . . . .. . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. ... ... .. .. . . . . . . .... . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . .frontal . Kelenjar . .. .. . .. .. .. .. . . . . .. . . . ...... ... . .. ... .. . . . . .. . . . .. ... . ... .. . . .. . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .... . ..... . .. . . . . . .. . . . .. . . . .. . . .. . ... . . . . .. . . . . . .. .. . ... .. .. .. . .. . .. .. . .. . .. . . .. . . .. .. . . .. . .... . . . . . . . . . . . . . . . ... .. . . . .. . . . . . . . . . . .. . . .. . .. .. ... . .. . . ..
Kelenjar sternal
Gambar 11. Skema Letak Kelenjar Frontal Rayap Tanah C. curvignathus
A Gambar 12.
B
Lubang Fontanel Kasta Prajurit Rayap Tanah C. curvignathus (perbesaran 750x) A : Tampak Depan Lubang Fontanel B : Lubang Fontanel C : Tampak Samping Lubang Fontanel
C
- - - - lubang fontanel
39
Karakterisasi Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus Sekresi pertahanan diri rayap yang dikeluarkan dari lubang fontanel kasta prajurit berwarna putih susu, berbentuk cairan kental dan mudah menguap. Nilai rendemen ekstrak sekresi sebesar 27,9081% – 38,0982%. Nilai rendemen ekstrak aquabidestilata lebih tinggi daripada nilai rendemen ekstrak pelarut lain. Hal ini menunjukkan bahwa sekresi rayap mudah terlarut dalam air atau pelarut polar. Besarnya rendemen ekstrak sekresi pada setiap pelarut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rendemen ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus pada empat pelarut yang berbeda Pelarut Etil Asetat
Berat rayap (gram) 20,7854
Berat ekstrak sekresi (gram) 5,8008
Rendemen (%) 27,9081
Etanol
20,7425
7,1344
34,3951
n-heksan
20,7688
6,5824
31,6937
Aquabidestilata
20,8094
7,928
38,0982
Sekresi pertahanan diri merupakan senjata kimia rayap dan terdapat pada kelenjar pertahanan yang memiliki tempat penyimpanan cairan sekresi dengan ukuran besar sehingga sekresi dapat dikeluarkan dalam jumlah banyak dan kemudian dapat terbentuk serta disimpan kembali. Sekresi ini dikeluarkan melalui kontraksi mandibel (pada genus Nasutitermes) atau dengan cara mengerahkan tenaga dan melakukan kontraksi pada abdomen sehingga sekresi keluar dari lubang fontanel (pada genus Coptotermes). Jarak keluarnya sekresi dapat mencapai satu sampai lima sentimeter (Nelson et al. 2001). Senyawa kimia yang terdapat pada serangga dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu feromon, hormon dan alomone. Feromon merupakan sarana komunikasi kimia diantara individu anggota koloni, hormon adalah sarana komunikasi kimia pada satu individu anggota koloni, dan alomone merupakan sekresi kimia yang berfungsi sebagai pertahanan diri terhadap pemangsa, sebagai anticendawan dan anti bakteri terhadap parasit (Morgan 2004). Sekresi pertahanan diri dikeluarkan rayap untuk membuat musuh menjadi sakit dan mati. Sekresi ini merupakan alomone yang berfungsi sebagai pertahanan
40
diri. Sekresi pertahanan biasanya dilepaskan oleh kasta prajurit rayap karena keadaan lingkungan di sekitar rayap membahayakan anggota koloninya. Fungsi utama sekresi pertahanan adalah untuk melindungi anggota koloni rayap dari pemangsa. Kasta prajurit mengeluarkan feromon alarm sebagai tanda bahaya kepada anggota koloni sebelum mengeluarkan sekresi pertahanan. Ini merupakan prosedur utama dalam perlindungan anggota koloni rayap. Feromon alarm dikeluarkan kasta prajurit ketika berada di dalam sarang, di sekitar sarang, dan juga pada jarak yang jauh dari sarang, yaitu saat rayap pekerja yang sedang mengembara mencari makanan di luar sarang dan diserang oleh pemangsa. Sekresi pertahanan diri rayap mudah menguap (volatile) dan biasanya diproduksi dalam jumlah banyak. Sekresi pertahanan rayap diproduksi pada kelenjar pertahanan (frontal gland) yang sangat panjang dan memenuhi hampir seluruh abdomen dengan berujung pada sebuah lubang fontanel yang terletak di kepala rayap, sedangkan sekresi pertahanan diri pada serangga genus Hymenoptera diproduksi pada kelenjar pertahanan yang letaknya berdekatan dengan senjata utamanya, yaitu mandibel dan sengat penusuk (Nishimoto et al. 2001). Pada rayap, reaksi pertahanan dapat timbul karena beberapa sinyal dari sarang seperti adanya getaran yang terus menerus dari sarang dan gerakan kepala atau dari senyawa kimia yang meliputi feromon alarm dan penanda jejak. Ernst (1959) merupakan peneliti pertama yang mengamati adanya senyawa kimia sebagai sekresi pertahanan pada rayap genus Nasutitermes. Sekresi pertahanan rayap dari berbagai spesies kemudian banyak diteliti dan diidentifikasi setelah penemuan Ernst. Sekresi tersebut paling banyak diproduksi pada kelenjar frontal kasta prajurit dan mengandung senyawa monoterpen yang mudah menguap. Kasta prajurit dan kasta pekerja rayap saling melengkapi dalam sistem pertahanan sarang dan bertanggung jawab dengan cara yang berbeda terhadap keutuhan koloni dari serangan musuh. Respon selama proses rekruitmen pertahanan yang diberikan oleh kasta prajurit dan kasta pekerja juga berbeda. Jika terjadi bahaya pada koloni rayap, kasta prajurit yang pertama kali memberi respon terhadap feromon alarm, yang bertindak sebagai atraktan jarak pendek, baru diikuti oleh kasta pekerja yang
41
memberi respon terhadap sekresi pertahanan diri yang dikeluarkan oleh kasta prajurit. Kasta pekerja melanjutkan pekerjaan kasta prajurit, yaitu melumpuhkan musuh dengan cara mengubur musuh dengan bahan yang dimiliki (faecal material) (Cornelius dan Bland 2001). Ekstrak sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap berbentuk cair dan kental (oily) dengan warna putih susu sampai abu-abu. Warna ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus disajikan pada Gambar 13.
A
B
C
D
Gambar 13. Botol berisi ekstrak sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus A : Ekstrak sekresi dalam pelarut aquabidestilata B : Ekstrak sekresi dalam pelarut etil asetat C : Ekstrak sekresi dalam pelarut n-heksan D : Ekstrak sekresi dalam pelarut etanol Menurut cara kerjanya (mode of action), sekresi pertahanan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pertama, sekresi kental, lengket dan bekerja secara mekanik daripada kimia; kedua, sekresi yang tidak kental dan tidak menyebabkan iritasi, bekerja secara repelen sehingga membuat pemangsa menjauhi rayap dan ketiga, sekresi kental yang sangat beracun yang bekerja pada proses fisiologi pemangsa atau musuh yang spesifik (Pasteels dan Bordereau 1998). Rayap genus Coptotermes memiliki penyebaran yang sangat luas di daerah tropis dan subtropis. Moore (1969) menyatakan bahwa kasta prajurit rayap tanah Coptotermes lacteus di Australia mengeluarkan sekresi pertahanan diri yang kental dan berwarna putih susu dari lubang fontanel yang terletak di kepala rayap. Sekresi pertahanan diri rayap C. lacteus mudah menguap dan menjadi tidak berwarna serta membentuk lapisan cairan tipis pada musuh. Sekresi pertahanan
42
diri ini dapat direkonstruksi kembali dengan menambahkan air. Analisis kimia menunjukkan bahwa sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap C. lacteus adalah suspensi heterogen n-alkena (C22-C27) dalam larutan air, mucopolisakarida yang terdiri dari unit glukosa dan glukosamine. Karakteristik
fisiko-kimia
ekstrak
sekresi
pertahanan
rayap
C. curvignathus meliputi nilai pH, viskositas, warna dan suhu ekstrak disajikan pada Tabel 4. Nilai pH ekstrak sekresi berkisar antara 4 – 5,5; sedangkan nilai suhu ekstrak pada semua pelarut hampir sama, yaitu 27-27,5oC. Tabel 4. Suhu, pH, viskositas dan warna ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus pada pelarut yang berbeda Pelarut Etil Asetat Etanol n-heksan Aquabidestilata
pH 4 5 5,5 4,5
Suhu (oC) 27 27,5 27 27
Viskositas (poise) 0,0005 0,00002 0,00003 0,0002
Warna Putih susu Putih susu Putih susu Abu-abu
Menurut Olegbemiro et al. (1990) sekresi pertahanan diri rayap mengandung senyawa yang bersifat racun terhadap semut. Kandungan sekresi paling banyak adalah senyawa aldehid, senyawa yang telah lama diketahui sebagai racun syaraf bagi serangga. Kasta prajurit rayap umumnya menyerang dan menyakiti musuh dengan mandibel yang tajam kemudian menyemprotkan sekresi pertahanan diri yang mengandung senyawa kimia aldehid, hidrokarbon monoterpen beracun atau keton yang dikeluarkan dari kelenjar frontal, kelenjar ludah atau kelenjar cibarial. Kasta prajurit rayap genus Globitermes mengeluarkan sekresi pertahanan diri dengan cara melakukan kontraksi pada abdomen kemudian cairan sekresi keluar dari kelenjar cephalic hypertrophied. Pada serangga ordo Hymenoptera, sekresi pertahanan diri dikeluarkan dari tusuk sengat. Sekresi pertahanan diri rayap juga mengandung senyawa yang berfungsi sebagai anti bakteri dan anti cendawan (Traniello et al. 2002). Proses metabolisme pembentukan sekresi pertahanan diri dalam tubuh rayap masih belum dipahami. Ada pendapat ahli serangga yang menyatakan
43
bahwa sekresi pertahanan diri terbentuk dengan sendirinya (de novo) bukan dari ekstrak makanan yang dikonsumsi serangga. Kemungkinan adanya peran mikroorganisme dalam biosintesis sekresi pertahanan diri juga tidak ditemukan, walaupun ada beberapa bakteri dan cendawan yang mampu memproduksi senyawa sekresi (Nishida 2002). Eisner et al. (1974) menyatakan bahwa metabolisme pembentukan sekresi pertahanan diri serangga merupakan proses serangga menyerap zat aktif tanaman, khususnya senyawa terpen (sequestration process). Sebagai contoh adalah sekresi pertahanan diri larva penggerek batang pinus Neodiprion sertifer mengandung senyawa asam resin pinus yang terlarut dalam α dan β pinene. Umumnya sekresi pertahanan diri serangga mengandung senyawa terpene, baik monoterpen, diterpen atau sesquiterpen. Rayap merupakan serangga yang unik diantara serangga lain dalam proses biosintesis sekresi pertahanan diri. Tidak semua individu rayap dalam suatu spesies memiliki kelenjar yang berfungsi untuk memproduksi sekresi pertahanan diri. Selain itu, bentuk morfologi kepala kasta prajurit yang mengalami penebalan dan memiliki mandibel sebagai senjata untuk melumpuhkan musuh membuat kasta prajurit tidak dapat mengigit dan mengunyah makanan. Kasta prajurit mendapat makanan yang sudah dihaluskan yang disuapkan oleh kasta pekerja melalui proses trofalaksis. Dengan perkataan lain, makanan yang telah dihaluskan dan berbentuk cairan diberikan kepada kasta prajurit, yang selanjutnya diolah menjadi sekresi pertahanan diri. Brune
(1998)
menyatakan
bahwa
ada
beberapa
susbstansi
yang
bertentangan dengan teori proses sequestrasi dalam pembentukan sekresi pertahanan diri rayap, yaitu (1) kelenjar frontal tidak berhubungan langsung dengan sistem pencernaan, sehingga kecil kemungkinan adanya aliran ekstrak makanan ke kelenjar frontal untuk diolah menjadi sekresi pertahanan, (2) jaringan kelenjar frontal mengandung sel sekretori, sehingga perubahan bentuk lemak dapat diamati, (3) ekstrak kasta pekerja dari semua spesies yang diteliti sangat sedikit mengandung mono- atau diterpen dan (4) makanan yang mengandung senyawa monoterpen dan diterpen merupakan makanan “spesies-spesifik”.
44
Rayap tingkat tinggi dan rayap tingkat rendah memiliki kemampuan yang berbeda dalam melakukan biosintesis terpen menjadi sekresi pertahanan diri. Rayap genus Coptotermes termasuk dalam golongan rayap tingkat rendah dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan biosintesis terpen menjadi sekresi pertahanan diri. Dengan demikian senyawa yang terdapat dalam sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap genus Coptotermes bukan berasal dari golongan terpen. Aktivitas Sekresi Rayap C. curvignathus Terhadap Semut O. denticulata Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak sekresi rayap membuat semut mengalami kematian dengan nilai mortalitas mencapai 100 persen pada waktu yang berbeda. Pada satu jam pengamatan setelah semut diletakkan pada media pengujian, kematian semut yang pertama terjadi pada cawan petri dengan kertas saring yang diberi ekstrak etanol, yaitu 15 menit, kemudian diikuti dengan semut yang terdapat pada cawan petri yang diberi ekstrak etil asetat, n-heksan dan aquabidestilata berturut-turut 30 menit, 35 menit dan 40 menit. Sementara pada perlakuan kontrol, kejadian kematian semut pertama terjadi setelah 4 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2002) pada semut Solenopsis invicta dengan enam ekstrak minyak esensial menghasilkan waktu kematian pertama semut untuk media pengujian dengan ekstrak minyak rosemary, geranium dan pohon teh setelah 15 menit, dan waktu kematian pertama pada perlakuan kontrol selama 5 hari. Sekresi pertahanan diri rayap mengandung senyawa yang bersifat racun terhadap semut. Kandungan sekresi paling banyak adalah senyawa aldehid, senyawa yang telah lama diketahui sebagai racun syaraf bagi serangga (Olegbemiro et al. 1990). Waktu kejadian kematian pertama semut O. denticulata untuk setiap perlakuan disajikan pada Gambar 14.
45
96
Waktu Kematian Semut (menit)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
30
40
35
15
0 etanol
etil asetat
n-heksan
aquabidestila
kontrol
Pelarut Sekresi Rayap
Gambar 14. Waktu kejadian kematian semut O. denticulata pertama dalam media pengujian toksisitas sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus Waktu rata-rata kematian semut mencapai 100 persen pada setiap ekstrak sekresi rayap berbeda-beda. Ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etanol memiliki waktu rata-rata kematian tertinggi yaitu 2 hari 6 jam, kemudian diikuti oleh ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etil asetat, aqubidestilata dan n-heksan, berturut-turut setelah 3 hari 2 jam; 3 hari 7 jam; 3 hari 10 jam. Sementara pada perlakuan kontrol, kematian rayap mencapai 100 persen pada hari ke 7. Penelitian Smedley et al. (2002) yang menguji daya tahan semut Solenopsis sp terhadap racun yang dikeluarkan oleh rambut ulat Pieris rapae menunjukkan bahwa semut dapat bertahan selama 2 hari dan kematian semut pertama terjadi setelah 15 menit terkontaminasi racun. Waktu rata-rata kematian semut mencapai 100 persen pada setiap ekstrak sekresi rayap disajikan pada Gambar 15.
46
180
168
Waktu Kematian Semut (menit)
160 140 120 100 74
80 60
82
79
54
40 20 0 etanol
etil asetat
n-heksan
aquabidestila
kontrol
Pelarut Sekresi Rayap
Gambar 15. Waktu kematian seluruh semut O. denticulata dalam media pengujian toksisitas sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus Pada pengujian pertahanan diri rayap terhadap semut, prajurit rayap langsung memberikan reaksi terhadap kehadiran semut pada media pengujian. Walaupun ukuran semut lebih besar dari prajurit rayap (Gambar 16), prajurit rayap secara bersama-sama langsung menyerang semut dan berusaha melumpuhkan semut. Prajurit rayap bergerak dengan cepat menuju semut, mengelilingi semut, mengeluarkan sekresi pertahanan diri, dan menggigit bagian tubuh semut, sementara kasta pekerja rayap berusaha menjauh dari arena pertempuran. Kasta prajurit tidak melepaskan gigitannya, walaupun semut berusaha untuk melepaskan gigitan rayap, sampai semut mengalami kematian.
Gambar 16. Semut O. denticulata (perbesaran 100x)
47
Jika terjadi interaksi langsung antara semut dan rayap, rayap memiliki reaksi yang lebih lamban dari semut, baik pada respon pertahanan dan pada gerakan untuk membela diri, karenanya rayap melengkapi sistem pertahanan diri dengan sekresi kimia dan mandibel yang keras sebagai senjata mekanik untuk melumpuhkan semut. Peristiwa pertempuran kasta prajurit rayap dengan semut disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus melakukan penyerangan terhadap semut O. denticulata dalam media pengujian Semut yang diletakkan pada media pengujian berusaha untuk menjauhi rayap dan mengelilingi cawan petri. Pada kelompok rayap dengan jumlah 20 ekor kasta pekerja dan 20 ekor kasta prajurit, semut diserang oleh kasta prajurit dan mengalami kematian setelah tiga jam kemudian, sedangkan pada kelompok rayap dengan jumlah 50 ekor kasta pekerja dan 50 ekor kasta prajurit, kematian semut terjadi lebih cepat, yaitu 2 jam setelah peletakan semut pada media pengujian. Sementara pada kelompok ketiga yang terdiri dari 100 ekor kasta pekerja dan 100 ekor kasta prajurit, semut mengalami kematian 1 jam setelah peletakan semut pada media pengujian. Waktu kematian semut dalam jumlah anggota kelompok rayap yang berbeda disajikan pada Gambar 18.
48
3 Waktu kematian semut (jam)
3 2.5
2
2 1.5
1
1 0.5 0 40
100
200
Jumlah anggota rayap (ekor)
Gambar 18. Waktu kematian semut O. denticulata dalam media pengujian pertahanan diri rayap C. curvignathus Sekresi pertahanan yang dimiliki rayap merupakan senjata kimia yang berguna untuk melindungi anggota koloni rayap. Sistem pertahanan ini diperlukan karena sebagai serangga sosial, rayap hidup dalam satu koloni besar dan berada pada kondisi sarang yang hangat dan mendukung pertumbuhan mikroorganisme (Christe et al. 2003). Rayap memproduksi sekresi pertahanan dengan mekanisme yang bervariasi, baik secara perilaku dan fisiologi, misalnya dengan fungsi antibiotik yang diproduksi simbion (Lamberty et al. 2001), allogrooming (Rose angus et al. 1998), sekresi antibiotik (Roseangus et al. 2000), dan pertahanan kekebalan diri (immune defense) (Traniello et al. 2002). Morgan (2004) menyatakan bahwa sekresi pertahanan diri rayap merupakan alomone yang mempunyai fungsi sebagai agen pertahanan diri untuk melindungi rayap dari serangan predator. Aktivitas Sekresi Rayap C. curvignathus Terhadap Bakteri Patogen E. coli dan S. aureus Pengaruh Pelarut Ekstrak Terhadap Aktivitas Antibakteri Sekresi pertahanan diri rayap diekstraksi dengan pelarut yang memiliki nilai polaritas yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kepolaran senyawa antibakteri yang terdapat di dalam ekstrak sekresi rayap. Sifat kepolaran tersebut sangat penting untuk efektivitas identifikasi senyawa antibakteri yang terdapat pada sekresi rayap pada penelitian selanjutnya (Pomeranz dan Meloan 1999).
49
Pelarut yang digunakan dari yang non polar ke yang paling polar adalah n-heksan, etil asetat, etanol dan aquabidestilata, dengan nilai polaritasnya berturut-turut 0, 38, 68, dan 90. Pengujian antibakteri dilakukan untuk menentukan kemampuan ekstrak dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri uji. Salah satu cara pengujian yaitu dengan uji hayati, dengan menggunakan Metode Sumur berdasarkan Carson dan Riley (1995). Pada cara difusi ini larutan antibakteri diletakkan di dalam sumur, kemudian larutan tersebut akan berdifusi, lalu masuk ke dalam medium agar yang telah diinokulasi dengan mikroba penguji. Setelah inkubasi terjadi hambatan dari pertumbuhan mikroba penguji, sehingga terdapat daerah bening yang terbentuk di sekitar sumur yang ditetesi suspensi antibakteri tersebut. Pengujian antibakteri dilakukan terhadap ekstrak sekresi rayap dan pelarut ekstrak sekresi. Tujuan dilakukannya uji antibakteri terhadap pelarut adalah untuk mengetahui apakah pelarut tersebut juga mempunyai aktivitas antibakteri. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak sekresi rayap dalam pelarut n-heksan ternyata tidak memperlihatkan efek penghambatan terhadap semua bakteri uji, demikian juga dengan ekstrak aquabidestilata. Hasil penelitian Moshi dan Mbwambo (2005) pada ekstrak n-heksan dari akar tanaman Terminalia sericea juga menunjukkan tidak ada penghambatan pertumbuhan terhadap bakteri uji S. aureus dan E. coli. Sedangkan ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji, baik pada bakteri S. aureus dan bakteri E. coli. Sementara itu, pelarut ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini (n-heksan, etil asetat, etanol dan aquabidestilata) tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pelarut tidak memberi konstribusi terhadap aktivitas antibakteri ekstrak sekresi rayap C. curvignathus. Ekstrak etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan zona areal penghambatan pertumbuhan bakteri rata-rata sebesar 30,52 mm, sedangkan pada bakteri E. coli rata-rata sebesar 25,71 mm. Ekstrak etil asetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan zona areal penghambatan pertumbuhan bakteri rata-rata sebesar 17,92 mm, sedangkan pada bakteri E. coli rata-rata sebesar 12,99 mm.
50
Menurut Suriawiria (1978) jika daerah hambatan yang terbentuk dalam pengujian aktivitas antibakteri sebesar 20 mm atau lebih, maka ekstrak yang diuji memiliki aktivitas antibakteri yang sangat kuat, dan jika daerah hambatan pertumbuhan bakteri sebesar 10 – 20 mm, maka ekstrak memiliki aktivitas antibakteri yang kuat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etanol memiliki aktivitas yang sangat kuat, sedangkan ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etil asetat memiliki aktivitas antibakteri yang kuat. Area penghambatan pertumbuhan bakteri uji disajikan pada Gambar 19.
Area penghambatan (mm)
35
30.52 30
25.71
25
17.92
20
12.99
15 10 5 0
0
0
0
0 S. aureus
E. coli
Jenis bakteri uji
EN
Gambar 19.
EE
EEA
EA
Area Penghambatan Pertumbuhan Bakteri S. aureus dan E.coli oleh ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus Keterangan : EN : ekstrak n-heksan EE: ekstrak etanol EEA: ekstrak etil asetat EA: Ekstrak aquabidestilata
Nilai area penghambatan tertinggi dihasilkan oleh ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etanol. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak sekresi pertahanan diri rayap bersifat polar. Sementara itu, nilai area penghambatan ekstrak sekresi rayap dalam pelarut aquabidestilata tidak ada sama sekali, sedangkan kekuatan kepolaran air (90) lebih besar daripada pelarut etanol (68), tetapi daya antibakterinya lebih rendah. Dari analisis ini dapat disimpulkan bahwa kepolaran senyawa antibakteri sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus tidak setinggi kepolaran air. Juga disimpulkan bahwa pelarut etanol merupakan pelarut terbaik
51
yang dapat digunakan untuk ekstraksi zat antibakteri sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus. Sifat polaritas antibakteri ini penting untuk identifikasi senyawa antibakteri selanjutnya. Areal zona bening penghambatan pertumbuhan bakteri oleh ekstrak sekresi rayap dalam berbagai pelarut disajikan pada Gambar 20.
et
EA
et aq
EA aq
EE
EE
ea
EEA nh
nh EN
ea
Staphylococcus aureus
EN
EEA
Escherichia coli
Gambar 20. Zona penghambatan pertumbuhan bakteri oleh ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus dalam berbagai pelarut Ket. : EN :Ekstrak n-heksan nh: n-heksan (kontrol) EE :Ekstrak etanol et : etanol (kontrol) EEA:Ekstrak etil asetat ea : etil asetat (kontrol) EA : Ekstrak aquabidestilata aq : aquabidestilata (kontrol) Menurut Kanazawa et al. (1995) suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antibakteri maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan hidrofiliklipofilik (HLB: hydrophilic lipophilic balance). Polaritas senyawa merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antibakteri larut dalam air yang merupakan tempat hidup mikroba, tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik, sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal (Branen & Davidson 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri gram negatif E. coli lebih resisten terhadap ekstrak sekresi rayap daripada bakteri gram positif S. aureus. Hasil penelitian Lamberty et al. (2001b) menunjukkan hasil yang sama bahwa
52
cairan sekresi pertahanan serangga umumnya lebih aktif menahan pertumbuhan bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif. Hal ini disebabkan karena bakteri gram positif dan bakteri gram negatif mempunyai dinding sel yang berbeda sensitivitasnya terhadap perlakuan fisik, enzim dan antibiotik (Fardiaz 1992). Perbedaan kedua jenis bakteri tersebut disebabkan oleh perbedaan struktur lapisan dinding selnya. Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel yang berlapis-lapis serta kandungan lemak relatif tinggi (11-12%) sehingga lebih tahan terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh bahan kimia (Pelczar dan Reid 1977). Sedangkan dinding sel bakteri gram positif terdiri dari unit membran yaitu suatu susunan yang teratur dari peptidoglikan dan asam teikoat. Nuraida et al. (1999) menyebutkan bahwa bakteri gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap ekstrak polar daging biji picung dibandingkan dengan bakteri gram positif, yang disebabkan oleh perbedaan senyawa penyusun struktur dinding selnya. Perbedaan dinding sel antara bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif disajikan pada Gambar 21.
Asam telkoat
C
Lapisan peptidoglikan
A
Membran sel
Lapisan dinding luar N-asetilglukosamin N-asam asetilmuramik Peptida pendek Jembatan peptida
Lapisan peptidoglikan Membran sel
Gambar 21. Struktur dinding dan membran sel bakteri: (A) Gram Positif ; (B) Gram Negatif ; (C) Lapisan peptidoglikan (Sumber : Cano dan Colome 1986)
B
53
Bakteri gram positif 90 persen dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan, selebihnya adalah asam teikoat, sedangkan bakteri Gram negatif komponen dinding selnya mengandung 5 – 10 persen peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopoli sakarida, fosfolipid dan lipoprotein (Cano dan Colome 1986). Membran luar bakteri Gram negatif akan memberikan ketegaran yang lebih kuat dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Adanya perbedaan struktur dinding sel bakteri ini mempengaruhi ketahanannya terhadap senyawa antibakteri. Konsentrasi Minimum Penghambat Pertumbuhan Bakteri Pengujian lebih lanjut terhadap ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etanol dilakukan untuk menentukan nilai konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji S. aureus dan E. coli (MIC / minimum inhibitory concentration). Nilai MIC adalah konsentrasi terendah dari suatu komponen antibakteri dimana tidak terjadi pertumbuhan bakteri pada masa inkubasi selama 24 jam (Parish dan Davidson 1993). Konsentrasi ekstrak sekresi rayap yang diuji sebesar 10 – 70 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin lebar area penghambatan pertumbuhan bakteri, yang disajikan pada Gambar 22.
0
Staphylococcus aureus
0
Escherichia coli
Gambar 22. Zona Penghambatan Pertumbuhan Bakteri S. aureus dan E. coli oleh Ekstrak Sekresi Rayap Dalam Pelarut Etanol Konsentrasi 0 – 70 persen (searah anak panah)
54
Zona penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus terdapat mulai dari konsentrasi 10%, yaitu munculnya zona bening di sekitar lubang sumur dan zona bening tersebut semakin besar dengan semakin tingginya konsentrasi ekstrak. Zona bening yang muncul di sekitar lubang sumur ekstrak pada konsentrasi 20% tergabung menjadi satu dengan zona bening dari konsentrasi ekstrak 30%, 40%, 50%, 60% dan 70%. Pada bakteri E. coli zona bening sebagai tanda adanya penghambatan pertumbuhan bakteri mulai terbentuk pada konsentrasi 10% sampai pada konsentrasi 70%, tetapi zona bening tersebut hanya berada di sekeliling sumur ekstrak sekresi dan tidak tergabung menjadi satu seperti pada zona bening bakteri S. aureus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, yaitu ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus lebih baik daripada bakteri E. coli. Nilai MIC ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus dalam pelarut etanol masing-masing sebesar 3,65% untuk bakteri E. coli dan 1,84% untuk bakteri S. aureus. Nilai MIC pada ekstrak daun beluntas, hasil penelitian Ardiansyah (2003) sebesar 2,94% untuk bakteri S. aureus sedangkan pada bakteri E. coli sebesar 2,66%. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas memiliki nilai MIC yang lebih rendah daripada esktrak sekresi rayap C. curvignathus untuk bakteri S. aureus, tetapi memiliki nilai MIC yang lebih tinggi untuk bakteri E. coli. Beberapa nilai MIC yang berasal dari ekstrak sekresi rayap, ekstrak serangga dan ekstrak tumbuhan disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat senyawa bioaktif
pada
ekstrak sekresi rayap yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Beberapa kelompok senyawa kimia utama yang bersifat antibakteri adalah fenol dan senyawa fenolik, halogen, aldehid, alkohol, gas khemostrilan serta logam berat dan senyawanya (Pelczar dan Chan 1988). Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak sekresi rayap C. curvignathus yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan GCMS.
55
Tabel 5. Konsentrasi hambat tumbuh minimal (MIC) ekstrak sekresi rayap terhadap bakteri S. aureus dan E. coli serta perbandingannya terhadap ekstrak serangga dan tumbuhan lainnya Nama Ekstrak dan Asalnya
MIC S. aureus
E. coli
Sekresi rayap C. curvignathus Daun Beluntas
1,84%
3,65%
2,94%
2,66%
Daun Salam
1,91%
1,49%
Biji Picung
3,46%
5,56%
Peneliti Hasil penelitian 20051 Ardiansyah 20032 Nuraida et al. 20011 Nuraida et al. 19991 Lamberty et al. 2001a1
Defensin 1,5 – 3 μM 1,5 – 3 μM (Phormia terranovae, ant) Spinigerin Lamberty et al. ----4 (Pseudacathotermes spiniger, 3 – 6 μM 2001a1 termites) Cecropin Lamberty et al. ----4 0,25 – 0,5μM (Aedes aegypti, mosquitoes ) 2001a1 Tectorigenin Bong-Oh et al (Belamcanda chinensis, 50 μg/ml > 200 μg/ml 20013 herbal) Gomesin 1 (Acanthoscurria gomesiana, 1,6 – 3,15 μM 0,4 – 0,8 μM Silva et al. 2000 spider) Androctonin (Androctonus australis, Silva et al. 20001 15 – 30 μM 6 – 15 μM scorpion) Ponericin Orivel et al. 16 – 32 μM 32 – 64 μM (Pachycondyla goeldii, ant) 20011 Spinigerin Lee et al. 20031 (Pseudacathotermes spiniger, 8 μM 16 μM termites) Androctonin Sabatier et al. (Androctonus australis, 15 – 30 μM 6 – 15 μM 19961 scorpion) Keterangan: 1 Jumlah bakteri awal 106 2 Jumlah bakteri awal 104 3 Jumlah bakteri awal 105 4 Tidak diuji
56
Aktivitas Sekresi Rayap C. curvignathus terhadap cendawan patogen Isolat Cendawan Patogen Isolasi cendawan patogen penyebab lodoh pada tanaman pinus dilakukan dari tanah pesemaian pinus dan benih pinus. Hasil isolasi memperoleh empat isolat cendawan yaitu F. oxysporum, R. solani, Aspergillus sp dan Rhizopus stolonifer. Cendawan patogen diperbanyak dan diuji patogenisitasnya terhadap semai pinus yang berumur 2 minggu di dalam politube. Berdasarkan hasil uji patogenisitas hanya dua isolat cendawan yang dapat menyebabkan kematian semai lebih dari 50% yaitu F. oxysporum (100%) dan R. solani (74%). Dalam penelitian selanjutnya digunakan cendawan patogen F. oxysporum dan R. solani. Karakteristik cendawan patogen F. oxysporum memiliki miselia dalam biakan seperti kapas berwarna putih dan bagian dasarnya berwarna merah muda, hifa berukuran lebar 3 μm, diameter koloni yang berumur 3 hari sebesar 3,5 cm, mikrokonidia dan makrokonidia berukuran berturut-turut 7 μm dan 12 - 14 μm dan konidia tersebut hialin, klamidospora berukuran ∅ 5 – 10 μm. Pada hifa terdapat false head yang menempel phialid yang pendek (Burgess et al. 1988). Cendawan patogen R. solani memiliki hifa yang berukuran ∅ 6 – 9 μm, bersepta, percabangannya tegak lurus, berwarna putih kecoklatan, tidak menghasilkan konidia, menghasilkan sklerotia, multinukleat, membentuk sel-sel monilioid. Cendawan patogen F. oxysporum dan R. solani diperbanyak dalam media CMS untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pertumbuhan koloni cendawan patogen F. oxysporum dan R. solani dalam cawan petri disajikan pada Gambar 23.
A
B
Gambar 23. Koloni cendawan F. oxysporum (A) dan R. solani (B) pada media PDA (Potato Dextrose Agar)
57
Aktivitas Anticendawan in-vitro Aktivitas anticendawan secara in-vitro dilakukan dengan menguji penghambatan pertumbuhan cendawan F. oxysporum dan R. solani dalam media PDA yang telah dicampur dengan ekstrak sekresi pertahanan diri rayap dengan konsentrasi 10% (berat ekstrak/berat media agar). Nilai penghambatan dinyatakan sebagai nilai AFA (antifungal activity). Semakin besar nilai AFA menunjukkan aktivitas anticendawan yang semakin besar pula dan ekstrak sekresi pertahanan diri rayap memiliki daya racun yang tinggi terhadap pertumbuhan cendawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tidak dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum, baik ekstrak etanol, aquabidestilata, etil asetat, maupun n-heksan. Pada cendawan patogen R. solani hanya ekstrak etil asetat yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan dengan nilai AFA 100 persen, sedangkan ekstrak aquabidestilata, n-heksan dan etanol tidak dapat menghambat pertumbuhan cendawan R. solani. Sementara itu, pelarut ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini (n-heksan, etil asetat, etanol dan aquabidestilata) tidak menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuhan cendawan F. oxysporum dan R. solani pada media PDA. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pelarut tidak memberi kontribusi terhadap aktivitas anticendawan ekstrak sekresi rayap C. curvignathus. Dengan demikian, pada percobaan selanjutnya digunakan ekstrak etil asetat dan cendawan R. solani. Penghambatan pertumbuhan cendawan patogen R. solani dan pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum pada media PDA yang telah dicampur dengan ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus disajikan pada Gambar 24, sementara aktivitas anticendawan in-vitro pada cendawan patogen F. oxysporum dan R. solani disajikan pada Lampiran 5. Ekstrak sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen R. solani dengan nilai AFA 100%, dengan demikian cendawan tidak mampu tumbuh pada media PDA dan menjadi kering kemudian mati. Media PDA mengalami perubahan warna menjadi sedikit kuning kecoklatan, yang merupakan reaksi dari mekanisme antibiosis. Antibiosis adalah penghambatan terhadap suatu organisme melalui metabolit sekunder yang bersifat antibiotik, yang dihasilkan oleh organisme lain (Baker dan Cook 1974).
58
B
A
EEA
EE
EEA
EE
C
C EN
EA
EN
EA
Gambar 24. Pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum (A) dan R. solani (B) pada media PDA yang ditambahkan ekstrak sekresi rayap C. curvignathus konsentrasi 10% Keterangan : EEA : Ekstrak sekresi pertahanan rayap dalam pelarut Etil Asetat EE : Ekstrak sekresi pertahanan rayap dalam pelarut Etanol EN : Ekstrak sekresi pertahanan rayap dalam pelarut n-heksan EA : Ekstrak sekresi pertahanan rayap dalam pelarut Aquabidestilata C : Media PDA tanpa ekstrak sekresi rayap Menurut Roseangus et al. (2000) sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap genus Nasutitermes menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat antibiotik dan dapat menghambat pertumbuhan cendawan Metarhizium anisopliae. Lamberty et al. (2001b) menyatakan bahwa sekresi pertahanan diri serangga mengandung metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan dan bakteri, seperti serangga Heliothis virescens yang menghasilkan senyawa anticendawan yang diberi nama heliomicin. Lalat Drosophila melanogaster menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan dan diberi nama drosomicin (Landon et al. 1997), sedangkan laba-laba menghasilkan metabolit sekunder yang diberi nama gomesin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan (Mandard et al. 2002). Ekstrak sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat memiliki senyawa metabolit sekunder yang bersifat antibiotik sehingga mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen R. solani, sementara ekstrak yang terdapat pada pelarut lain (etanol, n-heksan
59
dan aquabidestilata) tidak memiliki senyawa metabolit sekunder, sehingga tidak mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen R. solani. Konsentrasi hambat tumbuh minimal cendawan patogen Percobaan bertujuan untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak etil asetat yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen R. solani. Konsentrasi ekstrak etil asetat yang digunakan sebesar 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% (berat ekstrak/berat media agar). Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak etil asetat sebesar 8% dan 10% mampu menghambat pertumbuhan cendawan patogen R. solani dengan nilai AFA sebesar 100 persen. Pertumbuhan miselia cendawan R. solani pada media PDA yang ditambahkan ekstrak etil asetat sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus pada berbagai konsentrasi setelah masa inkubasi selama 7 hari disajikan pada Gambar 25.
0%
6%
2%
8%
4%
10%
Gambar 25. Pertumbuhan cendawan R. solani pada media PDA yang ditambahkan ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat Nilai AFA ekstrak etil asetat semakin meningkat dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pada konsentrasi ekstrak 2% daya hambat pertumbuhan cendawan sebesar 2,5%, pada konsentrasi ekstrak 4% meningkat menjadi 6,5 %, pada konsentrasi ekstrak 6% meningkat menjadi sebesar 30,5% dan pada konsentrasi 8% dan 10% masing-masing nilai daya hambat sebesar 100%. Nilai AFA ekstrak etil asetat terhadap cendawan R. solani disajikan pada Lampiran 6.
60
Penghambatan pertumbuhan cendawan patogen R. solani disebabkan aktivitas metabolit sekunder yang terdapat pada sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap. Metabolit sekunder ini bekerja dengan mekanisme antibiosis. Howell (1998) meneliti mekanisme di dalam antibiosis terhadap pertumbuhan cendawan patogen R. solani. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aktifitas antibiosis menghambat ikatan thiol pada cendawan patogen dan juga menghambat sintesis asam amino dan glukosa. Aktivitas anticendawan ekstrak etil asetat sekresi pertahanan rayap tanah C. curvignathus
pada media PDA dengan
berbagai konsentrasi disajikan pada Gambar 26.
100
100
100
8
10
AFA (%)
90 80 70 60 50 40
30.5
30 20 10 0
2.5 2
6.5 4
6 Konsentrasi (%)
Gambar 26. Penghambatan pertumbuhan cendawan patogen R. solani oleh ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat Fitotoksisitas Ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus dalam Pelarut Etil Asetat terhadap Benih Pinus Percobaan fitotoksisitas bertujuan untuk mengetahui daya toksik yang terdapat pada ekstrak etil asetat terhadap benih pinus dan daya berkecambah benih. Benih pinus direndam dalam ekstrak etil asetat selama 1 jam dengan konsentrasi 8%. Setelah perlakuan perendaman selama 1 jam, masing-masing benih dibiarkan selama 1, 12, dan 24 jam. Kemudian benih dicuci dengan aquadestilata steril dan dikeringkan dengan cara diletakkan di atas kertas saring steril. Selanjutnya benih diletakkan diatas kertas merang lembab berlapis tiga berukuran 20 x 20 cm yang sebelumnya telah dialasi dengan plastik dengan ukuran yang sama dan diamati pertumbuhan benih pada hari ke-14.
61
Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih pinus yang direndam dalam ekstrak etil asetat dapat berkecambah dengan normal, dengan nilai daya berkecambah benih rata-rata sebesar 61,78% sementara itu pada benih kontrol nilai daya berkecambah rata-rata sebesar 58,67%. Dengan demikian ekstrak etil asetat tidak memiliki efek racun terhadap benih pinus dan dapat digunakan untuk pengujian in-vivo, yaitu pengujian lapangan untuk mengetahui efektivitas ekstrak pada kondisi sebenarnya di lapang. Kondisi benih pinus yang berkecambah pada kertas merang disajikan pada Gambar 27.
Gambar 27. Pertumbuhan Benih Pinus Yang Dilapisi Ekstrak Sekresi Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etil Asetat Konsentrasi 8% Lama pembiaran setelah benih pinus direndam dalam ekstrak etil asetat memiliki pengaruh terhadap daya berkecambah benih pinus. Pada lama pembiaran selama 1 jam, benih pinus memiliki nilai daya berkecambah rata-rata sebesar 53,33%, sedangkan pada lama pembiaran 12 jam nilai daya berkecambah rata-rata sebesar 54,67% dan pada lama pembiaran 24 jam nilai daya berkecambah rata-rata sebesar 77,33%. Nilai daya berkecambah rata-rata pada benih pinus yang dilapis dengan ekstrak etil asetat sebesar 61,78% lebih besar dari nilai rata-rata daya berkecambah benih pinus kontrol sebesar 58,67%. Analisis ragam pengujian persentase pertumbuhan kecambah normal dari benih P. merkusii yang direndam dalam ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat disajikan pada Lampiran 7. Semakin lama benih pinus dibiarkan (tidak mengalami pencucian) setelah direndam dalam ekstrak etil asetat selama 1 jam ternyata nilai rata-rata daya berkecambah benih pinus semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
62
sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat tidak bersifat racun pada benih pinus. Nilai rata-rata daya berkecambah benih pinus kontrol dengan lama pembiaran selama 1 jam, 12 jam dan 24 jam berturut-turut adalah 69,33%, 45,33% dan 61,33%. Daya berkecambah benih pinus setelah direndam selama 1 jam dalam ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat disajikan pada Gambar 28.
Daya Berkecambah (%)
80 70
77.33 69.33 61.33
60
53.33
50
54.67 45.33
40 30 20 10 0 1
12
24
Lama pembiaran setelah perendaman (jam)
Kontrol
Ekstrak
Gambar 28. Daya berkecambah benih pinus yang direndam selama satu jam dalam ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat konsentrasi 8% Berdasarkan hasil percobaan fitotoksisitas ekstrak sekresi pertahanan diri rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat ditetapkan bahwa untuk pengujian aktivitas anticendawan in-vivo digunakan benih pinus yang direndam selama satu jam dalam ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 8% dan lama pembiaran selama satu jam. Daya berkecambah benih Pinus yang dilapisi Ekstrak Sekresi Rayap C curvignathus Pelapisan benih pinus dengan ekstrak sekresi etil asetat mampu meningkatkan daya berkecambah benih pinus. Nilai rata-rata daya berkecambah benih pinus yang diberi perlakuan lebih tinggi daripada benih kontrol, yaitu sebesar 42,67% (media tanam tanpa cendawan) dan 41,33% (media tanam dengan cendawan), sedangkan pada benih kontrol sebesar 33,33% (media tanam tanpa
63
cendawan) dan 30,67% (media tanam dengan cendawan). Nilai rata-rata daya
Daya Berkecam bah (% )
berkecambah benih pinus disajikan pada Gambar 29.
42.67
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
41.33
33.33
30.67
Tanpa Cendawan
Dengan Cendawan
Media Tanam Kontrol
Ekstrak
Gambar 29. Daya berkecambah benih pinus yang direndam dalam ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat konsentrasi 8% Lapisan ekstrak sekresi rayap pada permukaan benih berperan sebagai lapisan penghalang sehingga benih terhindar dari kontak langsung dengan cendawan patogen dalam tanah. Zat-zat antimikrobial yang terkandung di dalam ekstrak sekresi rayap berperan untuk menggagalkan masuknya cendawan ke dalam jaringan benih dan untuk menekan populasi cendawan pada permukaan benih. Hal ini penting untuk melindungi benih ketika benih disemaikan pada tanah-tanah yang terinfeksi patogen. Selain itu, pelapisan benih dengan ekstrak sekresi rayap mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui kegiatan-kegiatan biologis sel yang menginduksi reaksi pertahanan tanaman sehingga efek sinergis dari kedua hal tersebut akan lebih meningkatkan perlindungan tanaman. Dalam perlakuan benih secara hayati terdapat dua hal penting yang dapat menunjang keberhasilannya, yaitu: perlakuan benih itu sendiri dan mengembang biakkan bahan pelapis benih sehingga dapat memberi perlindungan yang optimal pada benih dari serangan cendawan patogen (Justice dan Bass 2002). Analisis ragam pengujian persentase daya berkecambah benih P. merkusii secara in-vivo disajikan pada Lampiran 8.
64
Serangan Penyakit Lodoh Pelapisan benih berpengaruh nyata terhadap penekanan serangan penyakit lodoh. Pada benih kontrol terjadi serangan sebesar 41,33%, sementara pada benih yang dilapisi ekstrak sekresi rayap, nilai serangan lodoh hanya sebesar 13,33%. Hasil analisis ragam perlakuan pelapisan benih pinus terhadap serangan penyakit lodoh menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan berpengaruh sangat nyata untuk menekan serangan penyakit lodoh, yang disajikan pada Lampiran 9. Serangan patogen lodoh dapat terjadi pada tiga fase pertumbuhan inang yaitu lodoh benih, pre-emergence damping off dan lodoh batang (post-emergence damping off). Dalam penelitian ini terjadi lodoh benih dan pre-emergence damping off. Benih tanpa pelapisan (kontrol) paling banyak mengalami tipe lodoh benih sehingga benih menjadi busuk dan gagal berkecambah, sementara pada benih yang diberi pelapisan ekstrak sekresi rayap tidak ada yang mengalami lodoh benih dan hanya mengalami lodoh pre-emergence damping off. Pelapisan benih dengan ekstrak sekresi rayap menjadikan benih sebagai agen pembawa biokontrol yang dibutuhkan untuk melindungi tanaman. Lapisan pada benih selain mempengaruhi lingkungan mikro bagi pertemuan benih dan tanah juga menjadi penghalang bagi kontak langsung patogen dengan benih. Efektifitas pelapisan benih tergantung kepada kecepatan bahan pelapis untuk mengkolonisasi benih. Murray (1984) menyebutkan waktu 24 jam pertama sejak benih ditanam sebagai waktu kritis bagi keberhasilan perlakuan tersebut. Serangan
Serangan Lodoh (%)
lodoh pada benih pinus disajikan pada Gambar 30.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
41.33
22.67 14.67
Tanpa Cendawan
13.33
Dengan Cendawan
Media Tanam Kontrol
Ekstrak
Gambar 30. Serangan lodoh pada benih pinus yang direndam dalam ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat konsentrasi 8%
65
Sementara itu, pada media tanam tanpa cendawan terjadi serangan lodoh pada benih pinus yang masing-masing sebesar 22,67% pada benih pinus kontrol dan 14,67% pada benih perlakuan. Serangan penyakit lodoh ini terjadi diduga karena telah terdapat cendawan patogen di dalam benih pinus yang tidak dapat diketahui dari hasil pemilihan benih sebelumnya. Hal ini didukung oleh penelitian Laflamme et al 1999 pada melakukan pelapisan benih pinus dengan chitosan dan mendapatkan bahwa terdapat serangan penyakit lodoh pada benih yang ditanam pada media tanpa cendawan patogen. Identifikasi Ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus Ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus yang diidentifikasi adalah ekstrak dalam pelarut etanol dan etil asetat, karena ekstrak etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan ekstrak etil asetat dapat menghambat pertumbuhan cendawan penyebab lodoh pada benih pinus, serta kedua ekstrak tersebut menyebabkan kematian semut yang tercepat. Hasil analisis GCMS pada ekstrak etanol mendapatkan 5 komponen yang berdasarkan golongan terdiri dari 20% golongan alkana dan 80% golongan aldehid. Kromatogram komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus dalam pelarut etanol disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31. Kromatogram Komponen Bioaktif Ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etanol Nomor peak disesuaikan dengan nomor pada Tabel 6
66
Tabel 6. Komponen Ekstrak Sekresi Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etanol No. Waktu LRIexp LRIref Komponen Golongan Peak Retensi 1. 1.419 673 (a) 2-methyl-Pentane Alkana 2. 19.420 1027 Undecanal Aldehid 3. 21.654 1096 1107 (b) Tetradecanal Aldehid 4. 23.706 1134 Pentadecanal Aldehid 5. 25.573 1178 Octadecanal Aldehid Keterangan : LRI experiment dari GC-MS, kolom DB-5 LRI reference (a) Larrayoz et al., (2001), kolom DB-5 LRI reference (b) Mondello et al., (2002), kolom DB-5 Golongan aldehid merupakan komponen terbesar dalam ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etanol. Senyawa yang memiliki persentase terbesar
adalah
Pentadecanal
sebesar
35,86%,
kemudian
Tetradecanal,
Octadecanal dan Undecanal berturut-turut sebesar 29,26%, 3,27% dan 2,18%. Sementara itu pada ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etil asetat terdapat 6 komponen yang berdasarkan golongan terdiri dari 50% golongan aldehid, 34% golongan ester dan dan 16% golongan alkohol. Golongan aldehid yang terdapat dalam ekstrak etil asetat terdiri dari Undecanal, Tetradecanal dan Pentadecanal. Kromatogram komponen bioaktif ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32. Kromatogram Komponen Bioaktif Ekstrak Sekresi Pertahanan Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etil Asetat Nomor peak disesuaikan dengan nomor pada Tabel 7
67
Tabel 7. Komponen Ekstrak Sekresi Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etil Asetat No. Waktu LRIexp LRIref Komponen Golongan Peak Retensi 1. 1.954 0 696 (a) Ethyl propionate Ester 2. 2.067 0 1-butanol Alkohol 3. 2.925 0 795 (a) n-butyl acetate Ester 4. 19.422 1025 Undecanal Aldehid 5. 21.669 1096 1107 (b) Tetradecanal Aldehid 6. 23.717 1137 Pentadecanal Aldehid Keterangan : LRI experiment dari GC-MS, kolom DB-5 LRI reference (a) Boscaini et al. (2003), kolom DB-5 LRI reference (b) Mahattanatawee et al., (2004), kolom DB-5 LRI reference (c) Mondello et al., (2002), kolom DB-5 Perbandingan jumlah komponen golongan alkana (1 komponen), aldehid (7 komponen), alkohol (1 komponen) dan ester (2 komponen) dari dua pelarut (etanol dan etil asetat) ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus disajikan pada Gambar 33. 4
4 Jumlah Komponen
3.5
3
3 2.5
2
2 1.5 1
1
1
0.5
0
0
0
0 Etanol
Etil Asetat
Pelarut Ekstrak Sekresi Rayap C. curvignathus Alkana
Aldehid
Alkohol
Ester
Gambar 33. Perbandingan jumlah komponen dari dua pelarut ekstrak sekresi pertahanan diri rayap C. curvignathus Hasil analisis GCMS menunjukkah bahwa komponen yang memiliki persentase tertinggi dalam ekstrak sekresi pertahanan rayap C. curvignathus adalah golongan aldehid (7 komponen). Senyawa Pentadecanal dan Tetradecanal dari golongan aldehid yang memiliki persentase terbesar yaitu berturut-turut
68
sebesar 72,81% dan 60,17%. Struktur kimia senyawa Pentadecanal dan Tetradecanal disajikan pada Gambar 34 dan Gambar 35.
Gambar 34. Struktur Kimia Senyawa Pentadecanal
Gambar 35. Struktur Kimia Senyawa Tetradecanal Hasil identifikasi sekresi pertahanan rayap C. curvignathus menunjukkan bahwa senyawa yang dominan adalah Pentadecanal dan Tetradecanal dari golongan aldehid. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa beberapa kelompok senyawa kimia utama yang bersifat antimikroba adalah aldehid, alkohol, fenol dan senyawa fenolik, halogen, gas khemostrilan serta logam berat. Pernyataan ini mendukung hasil penelitian yaitu senyawa aldehid yang terdapat pada sekresi pertahanan rayap C. curvignathus dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan cendawan patogen. Sekresi pertahanan yang dimiliki rayap merupakan senjata kimia yang berguna untuk melindungi anggota koloni rayap. Sistem pertahanan ini diperlukan karena sebagai serangga sosial, rayap hidup dalam satu koloni besar dan berada pada kondisi sarang yang hangat dan mendukung pertumbuhan mikroorganisme (Christe et al. 2003). Karenanya, rayap telah memproduksi sekresi pertahanan yang memiliki mekanisme yang bervariasi, baik secara perilaku dan fisiologi, misalnya dengan fungsi antibiotik yang diproduksi simbion pada rayap Pseudacanthotermes spiniger (Lamberty et al. 2001b), allogrooming pada rayap Zootermopsis angusticolis (Roseangus et al. 1998), sekresi antibiotik pada rayap Nasutitermes costalis dan Nasutitermes nigriceps (Roseangus et al. 2000), dan pertahanan kekebalan diri (immune defense) (Traniello et al. 2002).
Sekresi
pertahanan rayap adalah cairan senjata kimia yang kental yang dikeluarkan dari kelenjar frontal dan mudah menguap. Kelenjar frontal dibentuk dari diferensiasi kelompok-kelompok sel yang berada di bawah frons kepala. Kelenjar ini terdapat pada semua kasta tetapi umumnya mencapai perkembangan yang sempurna pada
69
kasta prajurit. Pada perkembangan tahap akhir, kelenjar frontal berbentuk seperti kantung kelenjar yang terbuka sampai bagian eksterior lubang frontal di kepala rayap yang disebut lubang fontanel. Pada lebah madu, sekresi pertahanan diproduksi oleh sel pada membran yang terletak di sekeliling tusuk sengat. Analisis kimia ekstrak senyawa volatil yang terdapat pada lebah madu menghasilkan 70% senyawa terdiri dari isopentyl asetat, yang merupakan senyawa campuran dari alkohol C4 sampai C10 dan asetat (Schmidt 1998). Kelenjar mandibel pekerja lebah madu menghasilkan senyawa 2-heptanone, yang 20 kali kurang beracun dari isopentyl asetat. Sekresi pertahanan dilepaskan dari tusuk sengat untuk melumpuhkan pemangsa dan musuh, dan juga menjadi penanda bagi anggota koloni untuk membantu menghadapi musuh dan menyelamatkan anggota koloni yang masih belum dewasa (Seeley 1985). Moore (1968) menyatakan bahwa sekresi pertahanan rayap genus Prorhinotermes dan Rhinotermes merupakan senyawa elektrophil lipophilic, memiliki kemampuan alkilasi dalam nukleophil biologi, seperti membentuk kelompok sulfidril cysteinyl. Rayap genus Coptotermes termasuk dalam famili Coptotermitinae, memiliki beberapa spesies yang tersebar pada daerah tropis dan sub tropis. Quennedey dan Deligne (1975) menyatakan bahwa empat spesies rayap genus Coptotermes memiliki lubang fontanel dalam ukuran besar 250 μm. Kasta prajurit rayap C. lacteus di Australia mengeluarkan sekresi pertahanan diri berwarna putih susu dari lubang fontanel. Walaupun sekresi tersebut cepat menguap dan berubah menjadi tidak berwarna, sekresi pertahanan ini dapat direkonstruksi dengan penambahan air. Analisis kimia pada sekresi pertahanan rayap C. lacteus menunjukkan bahwa senyawa penyusun sekresi terdiri dari suspensi heterogen n-alkana (C22-C27) dalam larutan muccopolisakarida dengan penyusun dasar adalah glucosamine dan glukosa. Preswitch dan Collins (1982) melakukan analisis GCMS pada sekresi pertahanan rayap R. hispidus, R. marginalis dan A. subfusciceps. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat pada sekresi pertahanan rayap tersebut lebih dari 85% adalah senyawa β -ketoaldehide, sisanya adalah senyawa C13, C14, C15 dan C17 yang larut dan tidak larut dalam keton. Komponen minor
70
dalam sekresi rayap A. subfusciceps adalah (Z)-8-pentadecen-2-one, sedangkan pada rayap R. hispidus dan R. marginalis adalah 2-tridecanone, 2-pentadecano nene, 2-hepta decanone, 12-tridecen-2-one, 1-tetradecen-3-one dan 1,13-tetrade cadien-3-one. Hasil penelitian identifikasi sekresi pertahanan kasta prajurit rayap yang dikeluarkan dari kelenjar frontal menunjukkan bahwa sekresi tersebut mengandung
beberapa
komponen
senyawa
yang
meliputi
hidrokarbon
monoterpene, 1,4-benzoquinon, sesquiterpen, mucopolysaccaride, 4,11-epoxy-ciseudesmane, alkana, 1-nitro-1-pentadecene,17-O-Acetoxy-(8,19)β,3α,7α,9α,14α,17 – hexahydroxyl trinervite ne 2,3,9,14 -O-tetrapropionate, spinigerin, tetracyclic diterpene quinone, serta α-pinena (Lamberty et al. 2001a; Prestwich dan Vrkoc 1979; Chuah et al. 1983; Trowell 2003; Chuah et al. 1986; Roseangus et al. 2000; Chuah et al. 1987; Quintana 2003; Chuah dan Goh 1990). Selain menggunakan cairan kimia, rayap juga menggunakan mandibel sebagai senjata mekanik untuk menghancurkan musuhnya. Dalam banyak kasus cukup sulit untuk membedakan peran antara senjata mekanik dan senjata kimia karena kedua sistem pertahanan ini saling mendukung dalam usaha rayap untuk mematikan musuh. Musuh rayap mungkin masih belum dapat dilumpuhkan dengan senjata mekanik, tetapi dengan adanya senjata kimia, musuh dapat dilumpuhkan. Lebih lanjut, senjata kimia juga mengandung komponen antimikroba (Ayasse dan Paxton 2002). Roseangus et al. (2003) menyatakan bahwa tanpa adanya racun yang berasal dari sekresi pertahanan dan senjata mekanik maka rayap akan sulit untuk bertahan hidup, karena banyaknya predator di sekitar mereka. Sistem pertahanan diri serangga sosial juga dilakukan dengan cara penyamaran, kamuflase, pemilihan lokasi sarang yang tepat dan bahkan dengan memiliki bentuk morfologi kepala yang cukup tebal dan kuat, yang dapat digunakan sebagai senjata, yang disajikan pada Tabel 8. Perilaku grooming (saling bersentuhan dan menggosokkan diri antar anggota koloni rayap) dapat membantu rayap mengurangi infeksi serangan parasit. Rayap genus Reticulitermes sering terinfeksi oleh cendawan entomopatogen Metarhizium anipsoliae. Kasta pekerja rayap yang terinfeksi oleh cendawan akan lebih reaktif melakukan grooming untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan hifa cendawan pada permukaan tubuhnya, tetapi rayap yang sudah mati karena infeksi cendawan akan
71
dihindari dan diisolasi dari anggota koloni lainnya, untuk mencegah penyebaran hifa cendawan. Tabel 8. Keragaman Sistem Pertahanan Diri Pada Beberapa Serangga Sosial Pertahanan Mekanik Taksa
Pemilihan Lokasi Sarang
Semut Lebah Rayap
X X X
Kamuflase
X
Penyamaran pintu masuk sarang
Pembesaran abdomen
Penjaga
Grooming
X X X
X
X X XA
X X X
X
Pertahanan Kimia Taksa
Penghalang Kimia
Feromon Alarm
Senjata Kimia, Sekresi pertahanan
Semut Lebah Rayap
X X X
X X X
XB XB XC
Senyawa Kimia Antiseptik
X X X
Keterangan: A: Morfologi kasta prajurit B: Menggigit dan Menyengat C:Menyemprotkan
(Sumber: Orivel et al, 2001) Walaupun biosintesis dari sekresi pertahanan rayap belum banyak diteliti, proses pembentukan sekresi pertahanan ini diyakini terjadi di jaringan kelenjar pertahanan. Lebih lanjut, proses metabolisme sekresi pertahanan pada rayap juga didukung dengan bentuk morfologi yang spesifik, yang mendukung proses pembentukan senjata kimia dari jaringan kelenjar pertahanan (Morgan 2004). Prestwich (1984) menyatakan bahwa walaupun senyawa kimia yang terdapat pada sekresi pertahanan rayap berbeda-beda, komponen yang terdapat dalam sekresi tersebut terbentuk dari dua proses. Pertama, senyawa tersebut merupakan turunan dari molekul asam lemak dengan jumlah atom karbon C14 – C16, dengan bentuk rantai karbon panjang yang larut dalam lemak. Kedua, senyawa kimia yang terdapat dalam sekresi rayap memiliki atom atau group elektrofilik reaktif pada struktur ujung rantai. Ketika sekresi pertahanan menyentuh kutikula serangga musuh, elektrofilik reaktif ini langsung bereaksi melakukan perusakan kimia. Elektrofilik ini juga terdapat pada sekresi pertahanan diri cendawan dan tumbuhan tingkat tinggi, dengan fungsi sebagai antibiotik dan penolak serangga (insect repellent).
72
Sekresi pertahanan rayap dari famili Rhinotermitidae mengandung senyawa yang hampir sama pada setiap sub famili, yaitu senyawa yang elektrofilik lipophilic. Hubungan senyawa sekresi pertahanan pada setiap sub famili Rhinotermitidae disajikan pada Gambar 36. Beberapa hasil penelitian mengenai senyawa yang terdapat pada sekresi pertahanan diri rayap disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi kimia sekresi pertahanan diri dari kelenjar frontal rayap famili Rhinotermitidae dan Termitidae Spesies Famili Rhinotermitidae
Komponen Kimia
Sumber
Acorhinotermes subfuscipes
4-5-beta-ketoaldehyde beta-ketoaldehyde n-docasane n-tricosane n-tetracosane n-pentacosane n-hexacosane n-heptacosane 1-nitro-(E)-1-pentadecane 4-5-beta-ketoaldehyde beta-ketoaldehyde 1-dodecene-3-one 2-tridecanone 3-dodecanone 1,13-tetradecadiene-3-one 1-dodecene-3-one 1-dodecanone 1,13-tetradecadiene-3-one
Prestwich & Collins 1981
2-tridecanone 2-pentadecanone Terpinolene Alpha-phellandrene Diterpene Isoalkanes (C22-C34) Alpha-pinene Beta-pinene limonene monoterpenols β epoxy-2β, 3α, 7α, 9α, 14α 17–hexahydroxytriner vitene 2,3,9,14-O-pentapro pionate
Prestwich 1975
Coptotermes lacteus
Prorhinotermes simplex Rhinotermes hispidus Schedorhinotermes putorius
Schedorhinotermes simplex
Vrkoc & Ubik 1974
Vrkoc & Ubik 1974 Prestwich & Collins 1980 Quennedey et al. 1973 Prestwich 1975 Prestwich et al. 1975 Quennedey 1978 Quennedey et al. 1973 Prestwich et al. 1975 Quennedey 1978
Famili Termitidae Amitermes edantatus Amitermes herbetensis Cubitermes umbratus Macrotermes goliath Nasutitermes exitosus
Trinervitermes gratiosus Hospitalitermes umbrinus
Moore 1968 Prestwich 1978 Cmelik 1971 Moore 1968 Prestwich 1975 Chuah et al.1987
73
Acorhinotermes H O
H H
O
CH3 (CH2 )5 C=C(CH2 5 ) CCH=CH Dolichorhinotermes Iloss of Imajor Isoldier
Rhinotermes H O
O
CH2 =CH(CH2 )9 CCH=CH
RHINOTERMITINAE O
O
CH2 =CH(CH2 )9 CCH=CH I’nasutoid’ minor Isoldier
Schedorhinotermes O
TERMITOGETONINAE
CH CH(CH In ) CCH=CH 3 2 2 O
HETEROTERMITINAE
CH = CH(CH ) CCH=CH 2 2 2In Idimorphic soldier
STYLOTERMITINAE Porrhinotermes
PSAMMOTERMITINAE COPTOTERMITINAE Ihydrocarbons and Imucopolysachcharides
PRORHINOTERMITINAE H CH CH(CH In ) CH C=CNO 2 2 3 2 H
Ilabral brush
ANCESTRAL RHINOTERMITID
Gambar 36. Hubungan evolusi rayap famili Rhinotermitidae berdasarkan sekresi kimia pertahanan diri pada subfamili Rhinotermitinae (Sumber: Quennedey dan Deligne 1975) Analisis kimia pada sekresi pertahanan diri rayap C. lacteus menunjukkan bahwa senyawa penyusun sekresi terdiri dari suspensi heterogen n-alkana (C22-C27) dalam larutan muccopolisakarida dengan penyusun dasar adalah glucosamine dan glukosa (Quennedey dan Deligne 1975). Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sekresi pertahanan rayap C. curvignathus mengandung senyawa Pentadecanal C15H30O dan Tetradecanal C14H28O dari golongan aldehid. Perbedaan senyawa penyusun sekresi kimia pada dua spesies
74
rayap genus Coptotermes diperkuat oleh Prestwich (1984) yang menyatakan bahwa komponen senyawa yang terdapat pada sekresi pertahanan diri rayap sangat bervariasi diantara setiap populasi rayap yang hidup pada kondisi lingkungan yang berbeda dan diantara setiap spesies rayap dalam satu genus yang sama. Senyawa kimia ini dapat berguna untuk penelitian taksonomi. Bagaimana rayap dapat membuat diri mereka terhindar dari racun yang mereka produksi? Roseangus dan Traniello (2001) menyatakan bahwa rayap telah mengem bangkan adaptasi biokimia yang membuat mereka tidak mengalami keracunan oleh elektrofilik reaktif, pada saat produksi dan juga penyimpanan sekresi pertahanan diri di dalam tubuhnya. Lebih lanjut, Traniello et al. (2002) menyatakan bahwa Glutathione (GSH), senyawa sulfur tripeptida dan enzim detoksifikasi
glutathione
S-transferase
berperan
aktif
dalam
mencegah
detoksifikasi di dalam tubuh rayap. GSH S-transferase membuat elektrofilik lebih larut air dan mengurangi reaksi kimianya. Penelitian
Prestwich
(1984)
pada
sekresi
pertahanan
diri
rayap
Schedorhinotermes lamanianus yang mengandung senyawa beracun vinyl keton menunjukkan bahwa kasta prajurit rayap S. lamanianus mencegah adanya efek racun pada badannya dengan cara yang berbeda. Mereka mengurangi molekul elektron berikatan rangkap, mengubah bentuk nitroalkenes menjadi nitroalkanes dan vynil ketones menjadi ethyl ketones yang dapat larut, dimana senyawa tersebut memiliki daya racun hanya sepersepuluh dari sekresi pertahanan diri yang diproduksi. Larva Neodiprionsertifer menyerap monoterpen dan sesquiterpen dari pohon pinus (inang larva), dan menyimpan komponen senyawa ini dalam sebuah kantung besar yang terletak di usus depan. Konsentrasi terpenoid ini berfungsi sebagai sekresi pertahanan diri larva dan akan dikeluarkan dari mulutnya ketika merasa terancam oleh predator. Sementara itu, hasil analisis pada kotoran larva menunjukkan bahwa tidak terdapat senyawa turunan terpenoid dari pohon pinus pada kotoran larva, dan hal ini menunjukkan bahwa larva Neodiprionsertifer telah berhasil membentuk mekanisme penyimpanan yang efisien untuk mencegah efek racun dari senyawa terpenoid dapat mencapai usus tengah dan meracuni dirinya sendiri (Rockstein 1978).
75
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus memiliki kepala berwarna coklat, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat, sedangkan abdomen putih kekuning-kuningan. Bentuk kepala bulat lonjong dengan ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya, panjang kepala dengan mandibel 2,17 + 0,11 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,3 + 0,16 mm, lebar kepala 0,96 + 0,15 mm, panjang mandibel 0,78 + 0,10 mm, antena terdiri dari 13 -15 ruas, sedangkan jumlah seta pada kepala berkisar antara 11 - 16 buah. Rata-rata ukuran seluruh tubuh berkisar antara 2,65 + 0,12 mm dengan jumlah ruas antara 10-12 ruas. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, bentuk pronotum seperti pelana, dengan ukuran panjang 0,22 + 0,10 mm dan lebar 1,03 + 0,10 mm. Sekresi pertahanan diri diproduksi oleh kelenjar frontal yang terdapat mulai dari kepala dan memanjang sampai ke bagian abdomen dengan ukuran panjang rata-rata 2,5 + 0,10 mm dan diameter 0,8 + 0,16 mm, berujung pada sebuah lubang fontanel yang terdapat di kepala, sebagai tempat dikeluarkannya sekresi pertahanan yang memiliki ukuran diameter 0,2 + 0,18 mm. Sekresi pertahanan memiliki nilai pH 4-5,5, nilai viscositas 0,00002 - 0,0005 poise, suhu 27 - 27,5oC. Sekresi pertahanan rayap memiliki toksisitas terhadap semut Odontoponera denticulata, dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli K1.1 dan Staphylloccoccus aureus dan cendawan penyebab lodoh Rhizoctonia solani Pelapisan benih pinus dengan sekresi rayap meningkatkan daya berkecambah benih dan menekan serangan penyakit lodoh. Senyawa bioaktif volatil yang terdapat pada sekresi rayap adalah Pentadecanal dan Tetradecanal.
76
SARAN Dalam rangka aplikasi dan pemanfaatan sekresi pertahanan kasta prajurit rayap C. curvignathus disarankan untuk melengkapi informasi mengenai : 1. Penggunaan sekresi rayap pada benih tanaman hutan lain, terutama benih hutan tanaman industri yang rentan terhadap serangan penyakit lodoh. 2. Identifikasi senyawa bioaktif sekresi rayap non volatil yang berpotensi sebagai bahan antibakteri dan anticendawan. 3. Pemanfaatan sekresi rayap sebagai bahan pengawet kayu dan termitisida 4. Pengujian aktivitas sekresi rayap terhadap bakteri di permukaan tanah. 5. Pengujian sekresi rayap sebagai antibiotik secara klinis dengan melihat dampak sekresi rayap terhadap kesehatan manusia. 6. Pengujian aktivitas sekresi rayap terhadap bakteri patogen makanan.
77
DAFTAR PUSTAKA Achmad. 1997. Mekanisme Serangan Patogen dan Pertahanan Inang Serta Pengendalian Hayati Penyakit Lodoh Pada Pinus merkusii [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Alexopoulus CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Ed. New York. John Wiley & Sons Inc. Ayasse M, Paxton RJ. 2002. Brood Protection in Social Insects. Behav. Ecol. Sociol 47: 117-148. Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. Freeman Company. San Fransisco. Billen J, Fuminori I, Tsuji K, Schoeters E, Roland M, Morgan ED. 2000. Structure and Chemistry of the Dufour Gland in Pristomyrmex ants (Hymenoptera, Formicidae). Acta Zoologica (Stockholm) 81:159-166. Bloomfield SF. 1991. Methods for Assessing Antimicrobial Activity. In Davidson, PM and Braenen AL (Ed). Antimicrobials in Foods 2nd Edition. Marcel Dekker. New York. Bong-Oh K, Kang H, Matsuoka H. 2001. Detection of Antifungal and Antibacterial Activity in Belamcanda chinensis by a Single-cell Bioassay Methods and Isolation of Its Active Compound, Tectorigenin. Biosci Biotechnol Biochem 65 (4): 939 – 942. Booth C. 1971. The genus Fusarium. England. Commonwealth Mycological Institute: Lavenham Press Ltd. Borror DJ, De Long DM. 1998. An Introduction to the Study of Insect. Holt, Rinehart and Winston, New York. Boscaini E, Ruth SV, Biasioli F, Gasperi F, Mark TD. 2003. Gas Chromatography – Olfactometry (GC-O) and Proton Transfer Reaction – Mass Spectrometry (PTR-MS) Analysis of the Flavor Profile of Grana Padano, Parmigiano Reggiano and Grana Trentino Cheese. International Conference on Proton Transfer Reaction Mass Spectrometry and Its Application. 18 – 23 January 2003, Austria. Branen AL, Davidson PM. 1993. Antimicrobial in Food. Marcel Dekker. New York. Brune A. 1998. Termite Guts : The World’s Smallest Bioreactors. TIBTECH January 16: 16 – 21.
78
Brunton NP, Cronin DA, Monahan FJ. 2001. Volatile Components Associated with Freshly Cooked and Oxidized Off-Flavours in Turkey Breast Meat. Flavor and Fragrance Journal 17 (5): 327 – 334. Bugnion E, Popoff N. 1910. Frontal Gland of Coptotermes travians Havilandi; Comparing with Coptotermes gestroi Wasmann et flavus nov. Sp. Mem. Soc. Zoology Fr. 23: 107-123. Burgess LW, Liddell CM, Summerell BA. 1988. Laboratory Manual for Fusarium Research : Incorporating a Key and Descriptions of Common Species Found in Australia. The University of Sydney. Sydney. Cano RJ, Colome JS. 1986. Microbiology. New York. West Publishing. Carson CF, Riley TV. 1995. Antimicrobial Activity of the Major Components of the Essential Oil of Melaleuca alternifolia. J. Appl Bactriol 78: 264-269. Casteels P, Tempst P.1994. Apidacin-Type peptide Antibiotics Function Through A Non-Proreforming Mechanism Involving Stereospectificity. Biochem. Biophy.Res.Com. 199 (4). Chen F, Zungoli PA, Benson E. 2002. Screening of Natural Insecticides From Tropical Plants Against Fire Ants, Termites and Cockroaches. Clemson University Integrated Pest Managemet Program. Http://www.clemson.edu /ipm Christe P, Oppliger A, Bancala F, Castella G, Chapuisat M. 2003. Evidence for Collective Medication in Ants. Ecology Letters 6: 19 – 22 Chuah CH , Goh SH, Prestwich GD, Tho YP. 1983. Soldier Defense Secretions of the Malaysian Termite Hospitalitermes umbrinus (Isoptera:Nasutitermitinae). Journal of Chemical Ecology 9 (3): 347 – 356. Chuah CH , Goh SH, Tho YP. 1986. Soldier Defense Secretions of the Genus Hospitalitermes in Peninsular Malaysia.Journal of Chemical Ecology 12 (3) : 701 – 712. Chuah CH, Goh SH, Beloeil JC, Morellet N. 1987. (8,19) β epoxy-2β, 3α, 7α, 9α,14α,17 – hexahydroxytrinervitene 2,3,9,14-O-pentapropionate,a highly oxygena ted from the defense secretion of the termite Hospitalitermes umbrinus. Malaysian Journal of Science 9: 83-90. Chuah CH, Goh SH, Tho YP. 1989. Interspecific Variation in Defense Secretions of Malaysian Termites From the Genus Nasutitermes (Isoptera : Nasutitermitinae). Journal of Chemical Ecology 15 (2): 549 -563.
79
Chuah CH, Goh SH. 1990. 17-O-Acetoxy-(8,19)β,3α,7α,9α,14α,17 – hexahydro xytrinervitene 2,3,9,14-O-tetrapropionate, a new diterpene from the Malaysian termite Hospitalitermes umbrinus. Malaysian Journal of Science 12: 63-70. Chuah CH, Goh SH, Tho YP. 1990. Chemical Defense Secretions of Some Species of Malaysian Rhinotermitide (Isoptera: Rhinotermitidae). Journal of Chemical Ecology 16 (3): 685 – 692. Clement JL, Bagnerer AG, Uva P, Wilfert L, Quintana A, Reinhard J, Dronnet S. 2001. Biosystematics of Reticulitermes termites in Europe:Morphological, Chemical and Molecular Data. Insectes Soc. 48:202 – 215. Cmelik SHW. 1971. Composition of the Lipids from the Frontal Gland f the Major Soldiers of Macrotermes goliath. Insect Biochemistry 1: 439-445 Collins MS, Prestwich GD. 1983. Defense in Nasutitermes octopilis Banks (Isoptera, Termitidae, Nasutitermitinae): Comparative Effectiveness of Soldier Secretion. Insect Sociaux Paris 30: 70 -81. Cornelius ML, Bland JM. 2001. Trail Following Behavior of Coptotermes formosanus and Reticulitermes flavipes (Isoptera : Rhinotermitidae) : Is There a Species-Specific Response ?. Journal Environmental Entomology 30 (3): 457 – 465. Da Silva P, Jouvensal L, Lamberty M, Bulet P, Caille A, Vovelle F. 2003. Solution Structure of Termicin, an Antimicrobial Peptide From The Termite Pseudacanthotermes spiniger. Protein Science 12: 438 – 446. Deligne J, Quennedey A, Blum MS. 1982. The Enemies and Defense Mechanisms of Termites, 1-76 in Hermann, H.R. (ed). Social Insects Vol. II, Academic Press, New York. Departemen Kehutanan. 2001. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Publikasi Khusus 2 (3). Jakarta. Dube HC. 1983. An Introduction to Fungi 2nd Ed. Delhi:Vikas Publishing House PVT Ltd. Eisner T, Johnese JS, Carrel J, Hendry LB, Meinwald J. 1974. Defensive Use by an Insect of a Plant Resin. Science 184: 996 – 999. Ernst E. 1959. Defensive Behaviour of a Termite Nasutitermes. Rev. Suisse Zool 66: 289 – 295. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. PAU Pangan dan Gizi. IPB.
80
Fardiaz S. 1983. Keamanan Pangan Jilid I. PAU Pangan dan Gizi. IPB Bogor. Frazier W, Westhoff P. 1988. Food Microbiology. Tata McGraw-Hill Publisher Co. Ltd. New Delhi. Fujiwara S, Imai J, Fujiyama M, Yaeshima T, Kawashima T, Kobayashi K.1990. A Potent Antibacterial Protein in Royal Jelly. J. Biol. Chem. 256 (19). Goh SH, Cuah CH, Vadiveloo J, Tho YP. 1990. Soldier Defense Secretions of Malaysian Free-Ranging Termite of the Genus Laccessititermes (Isoptera : Nasutitermitinae). Journal of Chemical Ecology 16 (2): 619 – 630. Gritter RJ, Bobbit JM, Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung. Gurer M. 1998. Biological Control of Damping-off Causes by Fusarium acuminatum Using Trichoderma pseudokoningii Applied as Film Coating on Pine Seeds (serial online). http://www.bspp.org.uk/iccp98/5.2/32 html. Hara S, Yamakawa M.1995. A Novel Antibacterial Peptida Familiy Isolated From the Silkworm Bombyx mori. J. Biochem. 310. Harborne J. 1996. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung. Hosteetman K, Hostettman M, Marston A. 1995. Cara Kromatografi Preparatif : Penggunaan Pada Isolasi Senyawa Alam. Penerbit ITB. Bandung. Howell CR. 1998. The Role of Antibiosis in Biocontrol. Taylor and Francis. London. Ilyas S. 2000. Konsep Mutu Benih Aspek Genetis, Fisiologis, Fisik dan Kesehatan Benih Dalam Perspektif Kegiatan Penanganan Benih / Bibit. Dalam The Second Training Course in Seed Biology. Bogor, 11 – 24 Juni 2000. Balai Teknologi Perbenihan Bogor. ISTA (International Seed Testing Association). 1999. International Rules for Seed Testing Rules. Seed Science and Technology. 27 Supplement, Zurich. Justice OL, Bass LN. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Penerjemah Rennie Roesli. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kanazawa A, Ikeda T, Endo T. 1995. A Novel Approach to Made of Action on Cationic Biocides. Morfological Effect on Antibacterial Activity. J. Appl Bacteriol 78: 55 - 60
81
Kim J, Yehoshua B, Shapiro B, Henis Y, Carmeli S. 1991. Accumulation of Scoparone in Heat-Treated Lemon Fruit Inoculated with Penicillum digitatum Sacc. Plant Physiol. 97: 880 – 885. Krishna K, Frances MW. 1969. Biology of Termites. New York: Academic Press. Lamberty M, Zachary D, Lanot R, Bordereaus C, Robert A, Hoffmann JA, Bulet P. 2001a. Insect Immunity : Constitutive Expression of A Cystein-Rich Antifungal and a Linear Antibacterial Peptide in a Termite Insect. Journal of Biological Chemistry 276 (6): 4085 – 4092 Lamberty M, Caille A, Landon C, Tassin-Moindrot S, Hetru C, Bulet P, Vovelle F. 2001b. Solution Structures of The Antifungal Heliomicin and a Selected Variant With Both Antibacterial and Antifungal Activities. Biochemistry 40 (40): 1995 – 2003. Landon C, Sodano P, Hetru C, Hoffmann J, Ptak M. 1997. Solution Structure of Drosomycin, the First Inducible Antifungal Protein from Insect. Protein Science 6 (9):1878 – 1884. Larrayoz P, Addis M, Gauch R, Bosset JO. 2001. Comparison of Dynamic Headspace and Simultaneous Distillation Extraction Techniques Used for the Analysis of the Volatile Components in Three European PDO ewes milk cheeses. International Dairy Journal 11: 911 – 926. Lee KH, Shin SY, Hong JE, Yang ST, Kim JI, Hahm KS, Kim Y. 2003. Solution Structure of Termite-Derived Antimicrobial Peptide, Spinigerin, as Determined in SDS Micelle by NMR Spectroscopy. Biochemical and Biophysical Research Communication 309: 591 – 597. Madruga MS, Mottram DS. 1998. The Effect of pH on the Formation of Volatile Compounds Produced by Heating a Model System Containing 5’-Imp and Cystein. J. Braz. Chem. Soc. Vol 9 No 3, 261-271. Mandard N, Bulet P, Caille A, Daffre S, Vovelle F. 2002. The Solution Structure of Gomesin, an Antimicrobial Cysteine-rich Peptide from the Spider. Eur Journal Biochemistry, 269 (4):1190 -1198. Mahattanatatawee K, Rouseff R, Valim MF, Naim M. 2004. Identification and Aroma Impact of Norisoprenoids in Orange Juice. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 18: 2176 – 2180. Marie Bell WA. 2004. Examination of Aroma Volatiles Formed From Thermal Processing of Florida Reconstituted Grapefruit Juice. Thesis for Master of Science University of Florida.
82
Mondello L, Zappia G, Cotroneo A, Bonaccorsi I, Chowdhurry JU, Yusuf M, Dugo G. 2002. Studies on the Essential Oil-Bearing Plants of Bangladesh. Part VIII. Composition of Some Ocimum oils O. basilicum L. Var. Purpurascens;O. sanctum L. Green; O. sanctum L. Purple; O. americanum L. Citral type; O. americanum L. Camphor type.Flavour and Fragrance Journal 17 (5):335 – 340 Morgan ED. 2004. Biosynthesis in Insects. The Royal Society of Chemistry. London. Moore BP. 1968. Studies on the Chemical Composition and the Function of the Chepalic Gland Secretions in Australian Termites. J. Insect Physiol 14:33-39 Moore BP. 1969. Biochemical Studies in Termites, pp 407 -432 in K. Krishna and F.M. Weesner (eds) Biology of Termites Vol 1. Academic Press. New York. Mori M, Aoyama M, Doi S, Kanetoshi A, Hayashi T. 1997. Antifungal Activity of Bark Extracts of Deciduous Trees. Holzs als Roh und Werkstoff Springerverlag.55: 130-132. Moshi MJ, Mbwambo ZH. 2005. Some Pharmacological Properties of Extracts of Terminalia sericea roots. J Ethnopharm 97: 43 – 47. Murray DR. 1984. Seed Physiology Volume 2: Germination and Reserve Mobilization. Academic Press. New York Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap : Biologi dan Pengendaliannya. Universitas Muhammadiyah Press. Surakarta. Nandika D, Adijuwana H, Rizal ES. 1994. Bionomi Protozoa Simbion Dalam Saluran Pencernaan Rayap Cryptotermes cynocephalus Light dan Coptotermes curvigna thus Holmgren. Laporan Penelitian. IPB.Bogor. Nelson LJ, Cool LG, Forschler BT, Haverty MI. 2001. Correspondence of Soldier Defense secretions Mixtures With Cuticular Hydrocarbon Phenotypes for Chemotaxonomy of the Termite Genus Reticulitermes in North America. Journal of Chemical Ecology 27 (7): 1449 – 1479. Nishida R. 2002. Sequestration of Defensive Substances From Plants by Lepidoptera. Annu. Rev.Entomol 47: 57 – 92. Nishimoto M, Kubota M, Tsuji M, Mori H, Kimura A, Matsui H, Chiba S. 2001. Purification and Substrate Specificity of Honeybee, Apis mellifera L, αGlucosidase III. Biosci. Biotechnol. Biochem 65 (7): 1610 – 1616. Noirot CH. 1969. Glands and Secretions. In Biology of Termites. Khrisna K, Weesner FM (Ed.).Vol. I: 89-123. Academic Press. New York.
83
Nuraida L, Andarwulan N, Kristikasari E. 1999. Aktifitas Antimikroba Biji Picung (Pangium edule Reinw) Segar dan Terfermentasi Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak Makanan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 4 (2): 118 – 122. Nuraida L, Dewanti-Hariyadi R. 2001. Sifat Antimikroba Beberapa Tanaman Indigenus Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Serta Kapang. Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional Basis Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Bogor : Institut Pertanian Bogor Pusat Kajian Makanan Tradisional. Olegbemiro TO, Sani KM, Staddon BW. 1990. A Note on Volatiles From Exocrine Glands of Some Grassland Ants and Termites From Tropical West Africa. In Chromatography and Isolation of Insect Hormones and Pheromones. Edited by A.R Mc Caffery and I D Wilson. Plenum Press. New York. Orivel J, Redeker V, Caers JPL, Krieri F, Juneles AMR, Longeon A, Chaffottet A, Dejeans A, Rossier J. 2001. Ponericins, New Antibacterial and Insecticidal Peptides from the Venom of the Ant Pachycondyla goeldii. Journal of Biological Chemistry. 276 (21): 17823 – 17829 Parish ME, Davidson M. 1993. Methods for Evaluation. Di dalam Antimicrobial in Foods. Second Edition. Marcell Dekker, Inc. New York. Parker TCB. 2000. Staphyloccoccus aureus. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW (Ed.). The Microbial Safety and Quality of Food. Maryland. Aspen. Pasteels JM, Bordereau C. 1998. Releaser Pheromones in Termites. In: R.K. Van Der Meer, M.D Breed, K.E Espelie, M.L. Winston (eds). Pheromone Communication in Social Insects – Ants, Wasps, Bees and Termites. pp193 – 215. Westview Press, Boulder, Colorado. Pearce MJ. 1997. Termites : Biology and Management. CAB International Publisher. New York. Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Pelczar MJ, Reid RD. 1977. Microbiology. Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd. New Delhi. Pomeranz Y, Meloan CE. 1999. Food Analysis. Theory and Practice (Third Edition). Chapman & Hall. New York. Prestwich GD. 1975. Chemical Analysis of Soldier Defensive Secretions of Several Species of East African Termites. Sympos IUSSI Dijon, 149-152.
84
Prestwich GD, Collins MS, Chen D. 1975. 1,13-tetradecadien-3-one and Homologs: New Natural Products Isolated from Schedorhinotermes Soldiers. Tetrahedron Letters 52:4701-4704. Prestwich GD, Tanis SP, Pilkiewicz FG, Miura I, Nakanishi K. 1976. Nasute Termite Soldier Frontal Gland Secretions. 2 Structures of Trinervitene Congeners from Trinervitermes Soldiers. J. of the American Chemical Society 98 (19): 6062 – 6064 Prestwich GD. 1978. Isotrinervi-2-ol. Structural Isomers in Defensive Secretions of the Allopatric Populations of the termite Trinervitermes gratiosus. Insect Biochem 7 : 91-94. Prestwich GD, Vrkoc J. 1979. Standard Nomenclature of Termite Diterpenes. Sociobiology 4 (2): 139 – 140 Prestwich GD, Collins MS. 1980. A novel enolic-B-ketoaldehyde in the Defense Secretions of the Termites Rhinotermes hispidus. Tetrahedron Letters 21: 5001-5002 Prestwich GD, Phantom SG, Lauher JW, Vrkoc J. 1980. Structure of 3α-Hydroxy15-Rippertene. Evidence for 1,2-Methyl Migration During Biogenesis of a Tetracyclic Diterpene in Termites. Journal of the American Chemical Society 102 : 6825 – 6828 Prestwich GD. 1982. Termite Soldiers – Warriors With Chemical Weapons. The Science Teacher 49 (3). Prestwich GD, Collins MS. 1982. Chemical Defense Secretions of the Termite Soldiers of Acorhinotermes and Rhinotermes (Isoptera : Rhinotermitidae) : ketones, vinyl ketones and ketoaldehydes Derived from Fatty Acids. Journal Chemical Ecology 8 (1): 147 - 161. Prestwich GD, Tempesta MS, Turner C. 1984. Longipenol, A Novel Tetracyclic Diterpene From The Termite Soldier Longipeditermes longipes. Tetrahedron Letters Vol 25 (15) : 1531 – 1532 Prestwich GD. 1984. The Chemical Defense of Termites.Scientific American 249 (1) Quintana A, Reinhard J, Faure R, Uva P, Bagneres AG, Massiot G, Clement JL. 2003. Interspecific Variation in Terpenoid Composition of Defensive Secretions of European Reticulitermes Termites. Journal of Chemical Ecology 29 (3): 639 – 652. Quennedey A, Brule G, Rigaud J, Dubois P, Brossut R. 1973. Frontal Gland of Termite Soldier Schedorhinotermes putorius Sjostedt (Isoptera : Rhinotermi tidae): Analysis of Chemical Function. Insect Biochem 3: 67-74
85
Quennedey A. 1975. The Labrum of Schedorhinotermes minor soldier (Isoptera : Rhinotermitidae). Morphology, Innervation and Fine-Structure. Cell Tissue Res. 160: 81-98. Quennedey A, Deligne J. 1975. Frontal Gland of Termites : I. Rhinotermitidae. Insectes Sociaux. Paris. Tome 22 No 23: 243-267. Quennedey A. 1977. An Ultrastructural Study of The Polymorphic Sternal Gland in Reticulitermes Santonensis (Isoptera: Rhinotermitidae); Another Way of Looking at The True Termite Trail Pheromone. International Congress IUSSI VIII Wagenigen. Netherland. Quennedey A. 1978. Termites Exocrine Gland: Compare the Ultrastructure of Sternal Gland and Frontal Gland. Doctoral Thesis. University of Dijon, 255 p Quennedey A. 1984. Morphology and Ultrastructure of Termite Defense Glands in Defensive Mechanisms in Social Insects, Edited by Henry R Herman. Praeger Scientific. New York. Quennedey A. 1998. Insect Epidermal Gland Cells: Ultrastucture and Morphogenesis. Microscopic Anatomy of Invertebrates 11: 177-207. WileyLiss Inc. Rao AG.1995. Antimicrobial Peptide Molecular Plant-Microbe Interaction 8. Richard E, Davies D. 1996. Insect Societies.CABI Publishing. United Kingdom Rockstein M. 1978. Biochemistry of Insects. Academic Press. San Fransisco. USA Roseangus RB, Maxmen AB, Coates LE, Traniello JFA. 1998. Disease Resistance: a Benefit of Sociality in the Dampwood Termite Zootermopsis angusticolis (Isoptera:Termopsidae). Behav. Ecol. Sociobiol, 44: 125-134. Roseangus RB, Lefebvre ML, Traniello JFA. 2000. Inhibition of Fungal Spore Germination by Nasutitermes:Evidence for a Possible Antiseptic Role of Soldier Defensive Secretions. Journal of Chemical Ecology 26: 21 – 39. Roseangus RB, Traniello JFA. 2001. Disease Susceptibility and the Adaptive Nature of Colony Demography in the Dampwood Termite Zootermopsis angusticollis. Behav Ecol Sociobiol 50: 546 – 556. Roseangus RB, Moustakas JE, Calleri DV, Traniello JFA. 2003. Nesting Ecology and Cuticular Microbial Loads in Dampwood (Zootermopsis angusticulis) and drywood termites (Incisitermes minor, I schwarzi, Cryptotermes cavifrons). Journal of Insect Science 3: 31 : 1 – 6.
86
Ruth SV, Boscaini E, Mayr D, Pugh J, Posthumus M. 2003. Evaluation of Three Gas Cromatography And Two Direct Mass Spectrometry Techniques for Aroma Analysis of Dried Red Bell Peppers. Int. J. Mass Spectrom 222/224: 55 – 65. Sabatier LE, Loew D, Goyffon M, Fehlbaum P, Hoffmann JA, van Dorsselaers A, Bulet P. 1996. Characterization of Novel Cysteine-rich Antimicrobial Peptides from Scorpion Blood. Journal of Biological Chemistry. 271 (47): 29537 – 29544. Sadjad S, Murniati E, Ilyas S. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Dari Komparatif ke Simulatif. PT Grasindo bekerjasama dengan PT. Sang Hyang Seri. Jakarta. Sannasi A. 1969. Morphology, Histology and Histochemistry of the Frontal Gland of Soldier Termite Rhinotermes magnificus Silvestri (Isoptera : Rhinotermitidae). La Cllule 67: 369-375. Schmidt JO. 1998. Mass Action in Honey Bees:Alarm, Swarming, and the Role of Releaser Pheromones. In: R.K. Van Der Meer, M.D Breed, K.E Espelie, M.L. Winston (eds). Pheromone Communication in Social Insects – Ants, Wasps, Bees and Termites. 257 – 313. Westview Press, Boulder, Colorado Scheffrahn RH, Krecek J, Su NY, Roisin Y, Chase JA, Mangold JR. 1998. Extreme Mandible Alteration and Cephalic Phragmosis in a Drywood Termite Soldier (Isoptera : Kalotermitidae : Cryptotermes) From Jamaica. Journal of Florida Entomo logist 81(2): 238-240. Seeley TD.1985. Honeybee Ecology. Princeton University Press, Princeton, New Jersey. Silva IP, Daffre S, Bulet P. 2000. Isolation and Characterization of Gomesin, an 18-Residue Cysteine-rich Defense Peptide from the Spider Acanthoscurria gomesiana Hemocytes with Sequence Similarities to Horseshoe Crab Antimicrobial Peptides of the Tachyplesin Family. Journal of Biological Chemistry. 275 (43): 33464 – 33470 Singleton P, Sainsbury D. 1978. Dictionary of Microbiology. John Wiley and Sons. New York. Smedley SR, Schoeder FC, Weibel DB, Meinwald J, Lafleur KA, Renwick JA, Rutowski R, Eisner T. 2002. Mayolenes : Labile Defensive Lipids from the Glandular Hairs of a Caterpillar (Pieris rapae). PNAS. 99 (10) Suharti M, Anwar C, Santoso E. 1981. Penyakit Layu Pada Tusam (Pinus merkusii Jungh et De Vriese) di Daerah Aek Na Uli, Sumatera Utara. Bogor: Balai Penelitian Kehutanan.
87
Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni. Bandung Suriawiria U. 1978. Mikrobiologi Lingkungan. Jilid II ITB Press. Bandung. Thapa RS. 1981. Termites of Sabah. India: Entomology Branch Forest Research Institute and Colleges Dehradun. Traniello JFA, Roseangus RB, Savoie K. 2002. The Development of Immunity in a Social Insect: Evidence for the Group Facilitation of Disease Resistance. PNAS. 99 (10): 6838 – 6842. Trowell S. 2003. Drugs from Bugs:The Promise of Pharmaceutical Entomology. World Future Society Ed. January – February 2003. Http://www.wfs.org Von Arx JA. 1981. The Genera of Fungi Sporulating in Pure Culture. J. Cramer, Vadus. Vrkoc J, Ubik K. 1974. 1-Nitro-trans-1-pentadecene as the Defensive Compound of Termites. Tetrahedron Letters 15: 1463-1464. Wallhausser KH. 1969. Antibiotics p 566-577 In Stahll, B (ed.) Thin Layer Chromatography : A Laboratory Handbook. Springer-Verlag. New York. Willshaw GA, Thomas C, Henry RS. 2000. Eschericia coli. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW (Ed.). The Microbial Safety and Quality of Food. Maryland. Aspen. Yamada K, Natori S. 1993. Purification, Sequence and Antibacterial Activity of Two Novel Sapecin Homologues From Sarchopaga Embryonic Cell : Similarity of Sapecin B to Charybdotoxin. J. Biochem. 291.
88
Lampiran 1. Rata-rata Waktu Kematian Semut O.denticulata Dalam Pengujian Ekstrak Sekresi Pertahanan Diri Rayap C. curvignathus dalam Berbagai Pelarut Pelarut Ekstrak
Kematian Semut Pertama (menit) 15 30 35 40 5760
Etanol Etil Asetat n-heksan aquabidestilata Kontrol
Kematian Semut 100% (jam) 54 74 79 82 168
Lampiran 2. Rata-rata Waktu Kematian 2 Semut O.denticulata Yang Diletakkan Pada Kelompok Rayap C. curvignathus dengan Jumlah Anggota Kelompok Yang Berbeda Jumlah Anggota Kelompok Rayap 20 pekerja 20 prajurit 50 pekerja 50 prajurit 100 pekerja 100 prajurit
Kematian Semut Pada jam ke1 2 3 0 1 1 0
2
----
2
----
----
Lampiran 3. Rata-rata Area Penghambatan Pertumbuhan Bakteri S. aureus dan E.coli oleh Ekstrak Sekresi Pertahanan Diri Rayap C. curvignathus (milimeter) Pelarut Ekstrak
Staphyloccoccus aureus
Escherichia coli
Etanol Etil Asetat n-heksan aquabidestilata
30.52 + 0.26 17.92 + 0.65 0 0
25.71 + 0.39 12.99 + 0.13 0 0
89
Lampiran 4. Rata-rata Area Penghambatan Pertumbuhan Bakteri S. aureus dan E.coli Pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Etanol (milimeter) Konsentrasi Ekstrak (%)
Staphyloccoccus aureus
Escherichia coli
10 20 30 40 50 60 70
20.017 + 0.335 23.174 + 0.588 27.208 + 0.314 31.413 + 1.169 36.697 + 1.075 38.227 + 0.243 39.699 + 0.176
1.069 + 0.057 1.251 + 0.037 1.332 + 0.033 1.656 + 0.099 1.697 + 0.124 1.746 + 0.141 1.785 + 0.140
Lampiran 5. Rata-rata Persentase Penghambatan Pertumbuhan Cendawan F. oxysporum dan R.solani oleh Ekstrak Sekresi Pertahanan Diri Rayap C. curvignathus Pada Media PDA Dengan Konsentrasi 10% Pelarut Ekstrak
Fusarium oxysporum
Rhizoctonia solani
Etanol Etil Asetat n-heksan aquabidestilata
0 100 0 0
0 100 0 0
Lampiran 6. Rata-rata Persentase Penghambatan Pertumbuhan Cendawan Patogen R.solani oleh Ekstrak Sekresi Pertahanan Diri Rayap C. curvignathus Dalam Pelarut Etil Asetat Pada Media PDA Dengan Berbagai Konsentrasi Konsentrasi Ekstrak (%)
Penghambatan (%)
0 2 4 6 8 10
0 2.5 6.5 30.5 100 100
90
Lampiran 7. Analisis Ragam Pengaruh Perendaman Benih Pinus merkusii Dalam Ekstrak Sekresi Rayap Terhadap Daya Berkecambah Benih Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F Hit
Peluang
Perlakuan Galat Total
5 12 17
2031.11 832.00 2863.11
406.22 69.33
5.8591
0.0001**
Lampiran 8. Analisis Ragam Pengaruh Perendaman Benih Pinus merkusii Dalam Ekstrak Sekresi Rayap Yang Ditanam Pada Media Dengan Cendawan Patogen Terhadap Daya Berkecambah Benih Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F Hit
Peluang
Perlakuan Galat Total
3 8 11
313.33 298.67 612.00
104.44 37.33
2.798
0.0005*
Lampiran 9. Analisis Ragam Pengaruh Perendaman Benih Pinus merkusii Dalam Ekstrak Sekresi Rayap Yang Ditanam Pada Media Dengan Cendawan Patogen Terhadap Serangan Penyakit Lodoh Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F Hit
Peluang
Perlakuan Galat Total
3 8 11
93.58 20.67 114.25
31.19 2.58
12.075
0.0001**