KELARUTAN ZAT EKSTRAKTIF KAYU KERAI PAYUNG (Filicium decipiens) BERDASARKAN LETAK PADA CABANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE AIR DINGIN DAN AIR PANAS
Oleh:
SAFRYANTONIUS SELLY TONAPA NIM: 110 500 044
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2014
KELARUTAN ZAT EKSTRAKTIF KAYU KERAI PAYUNG (Filicium decipiens) BERDASARKAN LETAK PADA CABANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE AIR DINGIN DAN AIR PANAS
Oleh:
SAFRYANTONIUS SELLY TONAPA NIM: 110 500 044
Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Sebutan Ahli Madya Pada Program Diploma III Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI SAMARINDA SAMARINDA 2014
HALAMAN PENGESAHAN Judul Karya Ilmiah
: Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) Berdasarkan Letak Pada Cabang Dengan Menggunakan Metode Air Dingin dan Air Panas.
Nama
: Safryantonius Selly Tonapa
NIM
: 110 500 044
Program Studi
: Teknologi Hasil Hutan
Jurusan
: Teknologi Pertanian
Pembimbing,
Penguji I,
Penguji II,
Abdul Rasyid Zarta, S.Hut,MP NIP. 19750827 199903 1 001
Ir. Sumiati HK NIP. 19590612 198903 2 004
Ir. H. A. Syafii,MP NIP. 19680610 199512 1 001
Menyetujui, Ketua Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
Mengesahkan, Ketua Jurusan Teknologi Pertanian, Politeknik Pertanian Negeri Samarinda
Ir. H. A. Syafii,MP NIP. 19680610 199512 1 001
Heriad Daud Salusu, S.Hut,MP NIP. 19700830 199703 1 001
Lulus Ujian Pada Tanggal : 15 Juli 2014
ABSTRAK
SAFRYANTONIUS SELLY TONAPA. Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) Berdasarkan Letak Pada Cabang Dengan Menggunakan Metode Air Dingin dan Air Panas (di bawah bimbingan Abdul Rasyid Zarta). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum maksimalnya pemanfaatan kayu kerai payung sebagai bahan baku dalam industri pengolahan kayu. Dilihat dari pemanfaatannya selama ini yang hanya digunakan sebagai pohon peneduh dan belum banyak yang melakukan penelitian tentang kayu ini khususnya kandungan zat ekstraktif kayu kerai payung itu sendiri. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif yang terlarut dalam air dingin dan air panas. Dalam persiapan contoh uji, bagian yang diambil dari cabang pohon kerai payung berupa lempengan yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung. Selanjutnya lempengan kayu dibuat menjadi serpihan dan kemudian dijadikan serbuk dengan ukuran mesh 50. Kemudian dilakukan penelitian tentang kelarutan zat ekstraktifnya dalam air dingin dan air panas. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kelarutan zat ekstraktif pada kayu kerai payung sehingga dapat dipertimbangkan sebagai bahan baku didalam industri perkayuan atau industri pulp dan kertas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kelarutan zat ekstraktif pada air panas adalah 8,2631 % dan air dingin 6,0383 % yang tergolong dalam klasifikasi komponen kimia kelas tinggi untuk kayu daun lebar Indonesia. Kata kunci: Zat eksraktif, air dingin dan air panas
RIWAYAT HIDUP Safryantonius Selly Tonapa Lahir pada tanggal 09 September 1992 di Sandakan Malaysia. Merupakan anak ke 2 (kedua) dari 4 (empat) bersaudara dari pasangan Selly Tonapa dan ibunda tercinta Yuliana Toli. Tahun 1999 memulai pendidikan formal pada SD Negeri 029 Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur dan lulus tahun 2004. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, lulus tahun 2007, selanjutnya melanjutkan ke SMA Pancasila Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Timur dan lulus tahun 2010 dan pada tahun 2011 melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Pada tanggal 03 Maret 2014 sampai 30 April 2014 mengikuti program Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. Intracawood Manufacturing Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Utara. Sebagai syarat memperoleh predikat Ahli Madya Kehutanan, penulis mengadakan penelitian dengan judul penelitian "Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) Berdasarkan Letak Pada Cabang Dengan Menggunakan Metode Air Dingin dan Air Panas" di bawah bimbingan bapak Abdul Rasyid Zarta, S.Hut.MP.
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, yang
memberikan
rahmat
dan
karunia-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Sifat dan Analisis Produk Program Studi Teknologi Hasil Hutan. Penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini dilaksanakan dari bulan Mei - Juli tahun 2014, yang merupakan syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di Politeknik Pertanian Negeri Samarinda dan mendapatkan gelar Ahli Madya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Dosen Pembimbing, yaitu Abdul Rasyid Zarta, S.Hut,MP 2. Kepala Laboratorium Sifat dan Analisis Produk, Ibu Hj. Eva Numarini, S.Hut, MP 3. Dosen Penguji, yaitu Ibu Ir. Sumiati HK dan Bapak H. Syafii,MP 4. Ketua Program Studi Teknologi Hasil Hutan, yaitu Bapak Ir. H.Syafii, MP 5. Ketua Jurusan Teknologi Pertanian, Yaitu Bapak Heriad Daud Salusu, S.Hut., MP 6. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, yaitu Bapak Ir. Wartomo,MP 7. Para Staf pengajar, administrasi dan PLP di Program Studi Teknologi Hasil Hutan. 8. Ayah dan Ibunda tercinta yang telah memberikan dukungan baik doa maupun materi. 9. Titih Kusuma, Rahman Suryana, Indah Pusparini, Aris Wihajar Sumanto,
v
Gunawan Wibisono, Alimuddin dan Nurmi serta rekan-rekan angkatan 2011. Walaupun sudah berusaha dengan sungguh - sungguh, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan ini, namun semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Amin.
Penulis
Kampus Sei Keledang, Juli 2014
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
i
ABSTRAK ....................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iv
DAFTAR ISI..................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
4
A. Pengertian Zat Ekstraktif .................................................................. B. Penyebaran Zat Ekstraktif Dalam Kayu ........................................... C. Pengaruh Zat Ekstraktif .................................................................... D. Kimia Ekstraktif Kayu........................................................................ E. Cara Mengekstraksi Zat Ekstraktif ................................................... F. Risalah Jenis Kayu Kerai Payung....................................................
4 8 10 12 15 16
III. METODE PENELITIAN .........................................................................
22
A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... B. Alat dan Bahan.................................................................................. C. Prosedur Penelitian ..........................................................................
22 22 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
28
A. Hasil Penelitian ................................................................................. B. Pembahasan.....................................................................................
28 29
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
36
A. Kesimpulan ....................................................................................... B. Saran.................................................................................................
36 36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
38
LAMPIRAN...................................................................................................
40
V.
vii
DAFTAR TABEL Nomor
Tubuh Utama
Halaman
1.
Komponen Kimia Kayu Daun Lebar.................................................
2.
Jadwal Pelaksanaan Kegiatan ......................................................... 22
3.
Nilai Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) dengan metode Air Dingin Berdasarkan Letak Pada Cabang.......................................................................... 28
4.
Nilai Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) dengan metode Air Panas Berdasarkan Letak Pada Cabang.......................................................................... 28
6
Lampiran 5. Nilai Rataan Moisture Factor Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) Berdasarkan Letak Pada Cabang .................................. 41 6.
Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Kerai Payung Dengan Menggunakan Metode Air Dingin ....................................... 41
7.
Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Kerai Payung Dengan Menggunakan Metode Air Panas ....................................... 42
viii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Tubuh Utama
Halaman
1.
Bentuk Batang dan Percabangan Filicium decipiens.. ....................
17
2.
Buah Kerai Payung (Filicium decipiens) .........................................
18
3.
Pohon Kerai Payung (Filicium decipiens) ........................................
21
4.
Pengambilan Contoh Uji pada Batang dan Proses Pembuatan Serbuk...............................................................................................
25
Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) yang Terlarut Dalam Air Dingin Berdasarkan Letak Pada Cabang....................................................................................
29
Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) yang Terlarut Dalam Air Panas Berdasarkan Letak Pada Cabang....................................................................................
30
Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) yang Terlarut Dalam Air Dingin dan Air Panas Berdasarkan Letak Pada Cabang ....................................................
31
5.
6.
7.
Lampiran
8.
Lempengan Pangkal, Tengah dan Ujung Kayu Kerai Payung ........
44
9.
Chip Bagian Pangkal Setelah di Proses ..........................................
44
10. Proses Pembuatan Serpihan Menggunakan Blender .....................
45
11. Pengayakan Menggunakan Mesh 50 ..............................................
45
12. Serbuk Hasil Pengayakan ................................................................
46
13. Proses Pengovenan Gelas Ukur Untuk Sampel Uji Mf, Kelarutan Dalam Air Dingin dan Air Panas .......................................................
46
14. Proses Pengkondisian Gelas Ukur Pada Desikator Untuk Sampel Uji Mf Pada Proses Air Dingin Dan Air Panas..................................
47
15. Proses Kelarutan dalam Air Dingin Selama 48 Jam ........................
47
ix
16. Proses Perebusan Pada Water Bath Untuk Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Panas selama ± 3 Jam ....................................................
48
17. Proses Penyaringan Untuk Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Dingin dan Air Panas ........................................................................
48
18. Hasil Penyaringan Dari Proses Air Dingin dan Air Panas Yang Disusun Pada Cawan dan Gelas Ukur Untuk Proses Pengovenan......................................................................................
49
19. Proses Pengovenan Sampel Hasil Penyaringan Pada Proses Air Dingin dan Air Panas ........................................................................
49
20. Proses Pengkondisian Sampel Air Dingin dan Air Panas Setelah Keluar Dari Oven Selama ± 10 Menit ..............................................
50
21. Penimbangan Sampel Air Dingin dan Air Panas Untuk Proses Penghitungan Nilai Dari Ekstraktif Kayu Kerai Payung ...................
50
1
BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah negara dengan potensi hutan paling besar di benua asia dan di dunia. Luas seluruh hutan di Indonesia adalah 133.300.543,98 ha. Ini mencakup kawasan suaka alam, hutan lindung dan hutan produksi di masingmasing provinsi di Indonesia (Anonim, 2010). Satu diantara hasil hutan yang utama adalah kayu. Kayu sebagai sumber kekayaan alam mempunyai peranan penting dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia, diantaranya adalah sebagai bahan bangunan, alat rumah tangga, jembatan, mebel, bantalan dan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan pulp dan kertas. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan juga semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut, Indonesia mempunyai sumber daya hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Martawijaya dan Kartasujana (1977), menyatakan bahwa jumlah jenis kayu di Indonesia diperkirakan 4000 jenis. Namun demikian, dari ± 4000 jenis pohon yang tumbuh di Indonesia, hanya 15 % - 20 % yang tergolong kelas awet tinggi (kelas awet I-II), sedangkan 80-85 % termasuk kelas awet rendah (kelas awet III-V) (Djoen, 1964). Pengenalan sifat kimia kayu yang merupakan salah satu dasar dari penelitian kegunaan kayu sehingga pemanfaatan suatu jenis kayu tersebut perlu dilakukan analisis kimia dengan metode tertentu. Analisis tersebut antara lain penetapan kadar selulosa, lignin, pentosa, abu, kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1 % dan alkohol benzena dan air panas serta kelarutan ekstraktif dalam
2
air dingin. Kandungan zat ekstraktif dalam kayu yang sangat diperlukan guna untuk mengetahui pemanfaatannya. Adanya zat ekstraktif dalam kayu dapat mempengaruhi proses perekatan pada industri kayu lapis, papan serat, papan partikel dan pembuatan pulp dan kertas. Zat ekstraktif dapat mempengaruhi keawetan kayu itu sendiri. Kayu kerai payung (Filicium decipiens) adalah salah satu jenis kayu yang belum banyak diteliti dan diketahui bentuk pemanfaatannya pada industri perkayuan, tanaman kayu kerai payung di Indonesia biasanya banyak dijumpai ditanam, pada halaman rumah atau halaman perkantoran yang hanya dijadikan sebagai tanaman peneduh. Hal ini mungkin disebabkan karena belum diketahui dan dikenalnya sifat komposisi kimia dari kayu kerai payung. Berdasarkan hasil penelitian Dahlan dalam (Eka W dan Adji H, 2012), daya serap karbondioksida kerai payung (Filicium decipiens) adalah 404,837 kg/pohon/tahun, sehingga bagus digunakan sebagai pohon penyerap polusi. Kayu tanaman ini digunakan sebagai kayu bakar karena banyak cabang dan dapat dibuat arang. Tanaman ini disebut ki sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan sabun. Oleh karena itulah penelitian mengenai kandungan zat ekstraktif dari kayu kerai payung dilakukan untuk dapat memaksimalkan dan memberikan informasi tambahan mengenai manfaat lain yang dapat dilakukan untuk penggunaan dari kayu kerai payung tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar jumlah kandungan zat ekstraktif yang terkandung pada kayu kerai payung
3
berdasarkan letak pada cabang dengan menggunakan metode air panas dan air dingin. Hasil yang diharapkan yaitu dapat dijadikan dasar pemanfaatan jenis kayu tersebut secara lebih luas di industri perkayuan atau kehutanan.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Zat Ekstraktif Zat ekstraktif merupakan komponen non-struktural pada kayu dan kulit tanaman terutama berupa bahan organik yang terdapat pada lumen dan sebagian pada dinding sel. Dengan menggunakan air dingin atau panas dan bahan pelarut organik netral seperti alkohol atau eter maka dapat dilakukan ekstraksi. Jumlah dan jenis zat ekstraktif yang terdapat pada tanaman tergantung pada letaknya dan jenis tanaman. Pada kayu konvensional, zat ekstraktif banyak terdapat pada kayu teras. Getah, lemak, resin, gula, lilin, tanin, alkaloid merupakan beberapa contoh zat ekstraktif (Higuchi 1985; Tsoumis 1991; Walker 1993) dalam Raymoon (2013). Selain bahan organik, pada kayu juga terdapat bahan anorganik berupa mineral dan silika yang tidak larut dalam air atau pelarut organik (Tsoumis 1991) dalam Raymoon (2013). Zat ekstraktif yang bersifat racun menyebabkan ketahanan terhadap pelapukan kayu. Hal ini dibuktikan bahwa ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun daripada ekstrak dari kayu gubal pada pohon yang sama. Serta, ketahanan terhadap pelapukan kayu teras akan berkurang jika diekstraksi dengan air panas atau dengan pelarut organik (Syafii et al., 1987) dalam Raymoon (2013). Komponen kimia dalam kayu mempunyai arti yang penting karena menentukan kegunaan suatu jenis kayu dan dapat membedakan jenis - jenis kayu. Susunan kimia kayu digunakan sebagai pengenal ketahanan kayu terhadap serangan makhluk perusak kayu. Komponen kimia kayu dapat juga menentukan pengerjaan dan pengolahan kayu sehingga didapat hasil yang
5
maksimal (Dumanaw, 1993) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Kulit merupakan jaringan batang pohon yang paling penting kedua setelah kayu. Kulit kayu merupakan sekitar 10-20% dari batang tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan. Dalam susunan kimianya kulit berbeda dengan kayu dengan adanya polifenol dan suberin dengan persentase polisakarida yang lebih rendah dan persentase ekstraktif yang lebih tinggi. Kandungan ekstraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak hanya tergantung pada spesies tetapi juga pada pelarut yang digunakan (Fengel dan Wegener, 1995) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Kandungan ekstraktif kulit kayu umumnya sebanyak 15 – 26 %-nya berat kulit kayu yang belum diekstraksikan dibandingkan dengan 2 – 9 % untuk kayu (Haygreen dan Bower, 1989) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Secara kasar ekstraktif-ekstraktif kulit dapat dibagi menjadi konstituenkonstituen lipofil dan hidrofil meskipun kelompok-kelompok ini tidak mempunyai batas-batas yang jelas, kandungan total kedua ekstraktif lipofil dan hidrofil biasanya lebih tinggi dalam kulit dibandingkan dalam kayu. Ekstraktif-ekstraktif ini meliputi senyawa yang sangat heterogen, beberapa diantaranya adalah khas kulit tetapi jarang terdapat dalam xylem (Sjostrom, 1998) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Menurut Rowell (1984) dalam Hendrikus (2013), komponen kimia kayu yang utama terdiri dari selulosa (40 % – 45 %), hemiselulosa (25 % – 35 %) dan lignin (18% – 35 %). Ketiga enzen pokok tersebut merupakan senyawa polimer. Selain komponen-komponen tersebut, menurut Anderson (1963) dalam Ediningtyas (1995), di dalam kayu juga terdapat sejumlah kecil bahan penting yang dapat diekstrak dengan air dingin dan pelarut enzene netral seperti alkohol,
6
6enzene, dan etil eter. Komponen kayu yang dapat diekstraksi tersebut disebut zat ekstraktif dan tidak merupakan bagian struktur dinding sel tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Anonim (1976) dalam Gunawan et al. (2005). Mengklasifikasikan jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimianya, sebagai berikut : Tabel 1. Komponen Kimia Kayu Daun Lebar Komponen Kimia
Kelas Komponen Tinggi
Sedang
Rendah
Selulosa (%)
>45
40 – 45
<40
Lignin (%)
>33
18 – 33
<18
Pentosa (%)
>24
21 – 24
<21
Zat Ekstraktif (%)
>4
2–4
<2
Abu (%)
>6
0,2 – 6
<0,2
Sumber : Anonim (1976) dalam Gunawan et al. (2005). Simatupang (1988) dalam Hendrikus (2013) menyatakan, zat ekstraktif merupakan bagian kayu atau zat kimia dalam kayu yang dapat diekstraksi dengan bahan pelarut kimia yang netral misalnya benzena, eter, aseton, alkohol dan lain-lain. Dalam kayu zat ekstraktif memiliki kadar yang rendah umumnya berkisar antara 1 % sampai 10 %. Senyawa kimia berbobot molekul rendah diklasifikasikan menjadi dua yaitu bahan organik dan anorganik. Bahan organik biasa disebut ekstraktif dan bahan anorganik biasa disebut abu (Fengel dan Wegener, 1995). Sedangkan menurut Panshin dan Zeeuw (1980) dalam Hendrikus (2013), zat ekstraktif terdiri dari bermacam-macam zat yang berbeda dalam struktur dan komposisi kimianya seperti tanin, antosianin, flavon, katekin, kinos, lignin, gum, tropolon, lemak, asam lemak dan hidrokarbon yang bersifat mudah menguap. Kandungan dan komposisi zat ekstraktif sangat bervariasi antara jenis
7
kayu, bahkan dalam batang yang sama pada satu jenis kayu dapat berbeda (Sjostorm, 1995) dalam Hendrikus (2013). Sjostorm (1995) dalam Hendrikus (2013), menjelaskan bahwa zat ekstraktif adalah komponen kayu yang bukan merupakan komponen struktural, yang hampir semuanya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berbobot molekul rendah. Zat ekstraktif kayu dibagi menjadi 3 sub golongan yaitu senyawa alifatik terutama lemak dan lilin, terpena dan terpenoid serta senyawa fenolik (Achmadi, 1990). Haygreen dan Bowyer (1996) dalam Hendrikus (2013), menyatakan kandungan ekstraktif pada kayu bervariasi dari 3 % sampai 30 %. Bahan-bahan ini pada kayu dapat memberi pengaruh pada kerapatan. Secara umum kekuatan dan kekakuan kayu meningkat seiring dengan naiknya kerapatan pada kayu. Ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Dalam arti sempit ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik (Fengel dan Wegener, 1995) dalam Hendrikus (2013). Menurut Fengel dan Wegener (1995) dalam Blog Hut_do_pi (2012), zat ekstraktif adalah senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik, dimana zat ekstraktif dapat digunakan dalam analisa kayu. Tetapi karbohidrat dan senyawa organik yang larut dalam air juga termasuk dalam zat-zat yang dapat diekstraksi. Zat ekstraktif merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal pengolahan kayu. Pengaruh kandungan zat ekstraktif yang paling banyak nyata pada kayu adalah mempengaruhi sifat keawetan kayu itu sendiri (Soenardi, 1976). Zat ekstraktif dalam kayu terdiri dari bahan material yang larut dalam
8
pelarut netral dan bahan yang merupakan substansi kayu. (Anonim, 1961) dalam Hendrikus (2013). Brown (1952) dalam Hendrikus (2013), menerangkan zat ekstraktif terdiri dari bahan-bahan organik non polimer yang dapat dipisahkan melalui pelarut yang netral seperti ater, benzena, alkohol, aseton, air dan uap air. Menurut Tsoumis (1976) dalam Hendrikus (2013), didalam kayu sering terdapat bermacam-macam endapan (umumnya zat-zat organik) yang semuanya ini disebut zat ekstraktif.
B. Penyebaran Zat Ekstraktif Dalam Kayu Kayu sering mengandung banyak bahan-bahan ekstraktif. Bahan-bahan ini terletak untuk sebagian besar di dalam dinding sel, tempat diendapkannya bahan-bahan tersebut selama pendewasaan dinding sekunder dan selama pembentukan kayu teras. Kayu teras mempunyai konsentrasi tinggi akan bahanbahan ini daripada kayu gubal (Haygreen dan Bowyer, 1989) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Ekstraktif-ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam struktur kayu. Sebagai contoh, asam-asam resin terdapat dalam saluran-saluran resin, sedangkan lemak dan lilin terdapat dalam sel-sel parenkim jari-jari. Ekstraktif-ekstraktif fenol terutama dalam kayu teras dan dalam kulit (Sjostrom, 1998) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Zat ekstraktif tidak merupakan bagian struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Distribusi komponen kimia kayu dalam dinding sel kayu tidak merata. Kadar selulosa dan hemiselulosa banyak terdapat dalam dinding sekunder sedangkan lignin banyak terdapat dalam dinding primer dan lamela tengah. Zat ekstraktif terdapat di luar dinding sel kayu (Dumanaw, 1993)
9
dalam Blog Hut_do_pi (2012). Ekstraktif daun jarum umumya terdapat pada saluran resin, baik yang membentuk formasi vertikal maupun horizontal. Berbeda dengan ekstraktif kayu daun lebar yang berada dalam sel parenkim jari-jari yang terhubung dengan pembuluh (Achmadi, 1990) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jarijari. Jumlah yang rendah juga terdapat dalam lamela tengah, interseluler, dan dinding sel trakeid dan serabut libiform (Fengel dan Wegener, 1995) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Menurut Simatupang (1988) dalam Hendrikus (2013), kadar zat ekstraktif dalam kayu umumnya rendah, berkisar 1 - 10 %, dimana merupakan zat kerangka dengan persentase kira-kira 90 % dari berat kayu. Konsentrasi zat ekstraktif dari berbagai jenis kayu sangat berbeda. Keadaan iklim yang berbeda juga berpengaruh terhadap kandungan zat ekstraktif dalam kayu, dimana kayu yang berasal dari daerah tropkia (10 %) mengandung lebih banyak zat ekstraktif daripada kayu yang berasal dari daerah beriklim sedang (5 %). Fengel dan Wegener (1995) dalam Hendrikus (2013), menyatakan kandungan zat ekstraktif dalam jenis kayu yang sama dapat berbeda pula. Umumnya dalam kayu teras yang lebih tua memperlihatkan persentase lebih tinggi pula dari umur yang lebih muda. Flavonoid merupakan senyawa yang menyebabkan kayu teras berwarna merah, kuning, coklat atau biru (Hillis, 1987). Sudrajat (1979), menyatakan bahwa pada bagian pangkal pohon zat ekstraktif banyak diendapkan dan juga disebabkan banyaknya tilosis-tilosis. Kadar ekstraktif suatu pohon mengalami penurunan dari pangkal menuju ujung pohon (Panshin dan Zeeuw, 1980) dalam Hendrikus (2013).
10
Kayu bagian pangkal pohon mempunyai persentase zat ekstraktif yang lebih tinggi karena bagian pangkal mempunyai persentase kayu teras yang lebih banyak (Prayitno, 1991). Menurut Rusliana (1985), kandungan zat ekstraktif dari suatu jenis kayu dengan umur yang lebih tua memperlihatkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kayu yang berumur lebih muda.
C. Pengaruh Zat Ekstraktif Dumanaw (2003) dalam Raymoon (2013), menyatakan bahwa zat ekstraktif memiliki peranan dalam kayu karena dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau dan rasa sesuatu jenis kayu, dapat digunakan untuk mengenal sesuatu jenis kayu, dapat digunakan sebagai bahan industri, dapat menyulitkan dalam pengerjaan dan mengakibatkan kerusakan pada alat-alat pertukangan. Ekstraktif memiliki pengaruh yang besar dalam menurunkan higroskopis dan permeabilitas serta meningkatkan keawetan kayu. Tsoumis (1991) dalam Raymoon (2013), mengatakan bahwa warna kayu disebabkan oleh bahan yang dapat di ekstrak (tanin dan sebagainya) yang disebut ekstraktif. Ekstraktif pada beberapa spesies bersifat racun dan bahkan dapat menyebabkan kayu tahan terhadap kerusakan oleh mikroba dan serangga. Keawetan kayu dipengaruhi oleh daya racun dan kadar zat ekstraktifnya (Achmadi, 1990). Ekstraktif tidak hanya penting untuk mengerti taksonomi dan biokimia pohon-pohon, tetapi juga penting bila dikaitkan dengan aspek-aspek teknologi. Ekstraktif merupakan bahan dasar yang berharga untuk pembuatan bahanbahan kimia organik (Sjostrom, 1998) dalam Hendrikus (2013).
11
Zat ekstraktif yang bersifat racun menyebabkan ketahanan terhadap pelapukan kayu. Hal ini dibuktikan bahwa ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun daripada ekstrak dari kayu gubal pada pohon yang sama. Serta, ketahanan terhadap pelapukan kayu teras akan berkurang jika diekstraksi dengan air panas atau dengan pelarut organik (Syafii et al., 1987). Ada dua bentuk pengaruh dari zat ekstraktif yaitu : 1.
Pengaruh Positif Menurut Simatupang (1988) dalam Hendrikus (2013), keawetan kayu
terhadap serangan serangga dahulu disangka disebabkan oleh kekerasan kayu dan sekarang telah terbukti bahwa keawetan kayu demikian disebabkan zat ekstaktif kayu. Untuk beberapa jenis kayu telah dapat diketahui senyawasenyawa yang mengakibatkan keawetan kayu tersebut. Syafii (1996), menegaskan bahwa yang berperan terhadap sifat keawetan kayu bukan berat jenis melainkan zat ekstraktif. Selanjutnya Dumanauw (1990) dalam Esih (2003), menerangkan bahwa zat ekstraktif pada kayu dapat mempengaruhi keawetan kayu, bau dan rasa suatu jenis kayu juga dapat digunakan untuk mengenal suatu jenis kayu dan dapat digunakan sebagai bahan industri. Sedangkan Sjostorm (1995) dalam Hendrikus (2013), bahwa tipe-tipe ekstraktif yang berbeda adalah perlu untuk mempertahankan fungsi biologis pohon yang bermacam - macam. Lemak merupakan sumber energi sel - sel kayu, sedangkan terpenoi-terpenoid rendah, asam-asam resin dan senyawa fenol melindungi kayu terhadap kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga.
12
2.
Pengaruh Negatif Menurut Anonim (1976) dalam Hendrikus (2013), keberadaan zat
ekstraktif resin pada industri kertas dapat mengganggu penetrasi bahan kimia dalam serpih, menyebabkan bintik-bintik hitam pada kertas dan menyumbat lubang kasa kawat mesin kertas serta senyawa-senyawa fenol menyebabkan warna
hitam
pada
tempat
pemakuan.
Asam-asam
gallik
dan
ellagik
menyebabkan warna hitam kebiru-biruan pada pisau-pisau gergaji. Senyawa lemak dam minyak mengurangi permeabilitas dan higroskopis kayu sehingga mempersulit pengawetan walaupun sifat kembang susut mengecil. Tanin dan glukosa menyebabkan kesukaran dalam perekatan. Senyawa-senyawa fenol meyebabkan dermatitis pada para pekerja kayu. Haygreen dan Bowyer (1996) dalam Hendrikus (2013), menyebutkan bahwa zat ekstraktif dapat mengganggu penetrasi larutan pemasak dan dapat menyebabkan timbulnya bintik-bintik hitam pada kertas. Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1996) dalam Hendrikus (2013), menjelaskan bahwa kandungan silika berpengaruh terhadap sifat pengolahan kayu utuh karena kandungan silika lebih dari 0,3 % dapat menumpulkan alat-alat pertukangan. D. Kimia Ekstraktif Kayu Menurut Achmadi (1990), mengatakan selain selulosa, hemiselulosa dan lignin, komponen kimia lainnya yang terdapat dalam kayu adalah substansi yang biasa disebut dengan zat ekstraktif. Zat ekstraktif biasanya berada di dalam pori-pori dan dinding sel tanaman berkayu dalam jumlah yang sedikit. Zat ekstraktif tersebut tidak semuanya bisa larut dalam pelarut kimia, hal ini disebabkan karena adanya struktur lain dalam zat ekstraktif tersebut seperti
13
mineral atau getah yang mempunyai derajat kondensasi yang tinggi. Zat ekstraktif yang umumnya mempunyai gugus alkohol dan berikatan dengan lignin, kadang dapat diekstraksi dengan pelarut netral. Zat ekstraktif umumnya adalah zat yang mudah larut dalam pelarut seperti eter, alkohol, bensena dan air. Persentase zat ekstraktif ini rata-rata 3-8% dari berat kayu kering tanur. Termasuk di dalamnya minyak - minyakan, resin, lilin, lemak, tanin, gula, pati dan zat warna (Dumanaw, 1993) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Zat ekstraktif ini merupakan bagian struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Dalam arti yang sempit, zat ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik dan dalam pengertian ini, nama zat ekstraktif digunakan dalam analisis kayu (Fengel dan Wegener, 1995) dalam Hendrikus (2013). Zat Ekstraktif mengandung senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil dan hidrofil dalam jumlah yang besar. Ekstraktif dapat dipandang sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dengan berat molekul rendah. (Sjostrom, 1995) dalam Hendrikus (2013). Sjostorm (1995) dan Achmadi (1990) dalam Hendrikus (2013), mengatakan bahwa secara kimiawi, zat ekstraktif kayu dapat digolongkan dalam tiga bagian, yaitu : 1.
Komponen-komponen alifatik (lemak dan lilin) Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti
alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), suberin (poliestolida). Kelompok alkana dan alkohol relatif sedikit, bersifat lipofilik. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama
14
resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun kayu daun lebar. Ester dari alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid yang dikenal sebagai lilin. 2.
Terpena dan terpenoid Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit
isoprena (2-metilbutadiena) menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut jumlah unit isoprena yang menyusunnya, terpena dapat dibagi menjadi monoterpena (n=2), sekuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n=8). Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus fungsi seperti hidroksil, karbonil dan ester. Zat ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Kayu daun lebar mangandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena hanya ditemukan pada kayu tropis (Sanderman, 1996 dalam Fengel dan Wegener, 1995). 3.
Senyawa Fenolik Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima
kelas yaitu : a.
Tanin terhidrolisis, produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama.
b.
Tanin terkondensasai (flavanoid), merupakan polifenol yang memunyai rantai karbon C6C3C6 contohnya krisin dan taksifolin.
c.
Lignan merupakan dimer dari dua unit fenil propana (C6C3), contohnya konidendrin, pinoresionol dan asam plikata.
d.
Stilbena, mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-
15
kompnennya bersifat sangat reaktif, contohnya pinosilvin. e.
Tropol, mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh yang tidak jenuh, contohnya α, β, dan T-tujaplisin yang disolasi dari Thuja plicata. Sedangkan
Simatupang
(1988)
dalam
Hendrikus
(2013),
membedakan bahan ekstraktif berdasarkan susunan kimianya, misalnya senyawa hidrokarbon, tanin dan lemak serta senyawa - senyawa lainnya. Menurut Fengel dan Wegener (1995) dalam Hendrikus (2013), bahwa senyawa kimia berbobot molekul rendah diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu bahan organik dan anorganik. Bahan organik biasa disebut ekstraktif dan bahan anorganik biasa disebut abu. Komponen utama abu kayu adalah kalsium, kalium dan magnesium. Dalam banyak kayu, jumlah Ca hingga 50 % atau lebih dari unsur total dalam abu kayu.
E. Cara Mengekstraksi Zat Ekstraktif Soenardi (1976), menerangkan bahwa air digolongkan dalam pelarut netral, sebab kayu yang direndam ada air dingin pada suhu kamar tidak akan mengalami perubahan atau tidak akan bereaksi, hanya zat warna dan zat ekstraktif yang mempunyai berat molekul rendah akan terlarut. Waktu yang efektif untuk melarutkan adalah 48 jam. Besarnya kelarutan kayu dalam air dipengaruhi oleh proses difusi bahan pelarut dalam kayu, besarnya partikel dan persentase zat ekstraktif. Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum, karbohidrat dan pigmen sedangkan yang terlarut dalam air panas sama dengan yang terlarut dalam air dingin ditambah dengan komponen pati dan komponen yang terlarut dalam alkohol benzena adalah lemak, resin dan minyak (Anonim, 1995). Ekstraksi pelarut dapat dilakukan dengan pelarut yang berbeda seperti
16
eter, aseton, benzena, etanol, atau campuran dari pelarut-pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin dan senyawa berwarna merupakan senyawasenyawa yang paling penting yang dapat diekstraksi dengan pelarut. Komponen utama dari bagian kayu yang dapat larut dalam air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-garam anorganik (Achmadi, 1990) dalam Blog Hut_do_pi (2012). Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kapasitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut tersebut. Prinsip kelarutan adalah "like dissolve like", yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar dan pelarut organik akan melarutkan senyawa organik (Khopkar 1990 dalam Yunita 2004). Alkohol merupakan pelarut yang dapat melarutkan senyawa seperti tanin, lemak, lilin, zat pektik dan senyawa lainnya. Alkohol merupakan pelarut umum yang digunakan untuk ekstraksi (Batubara, 2006).
F. Risalah Jenis Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) 1.
Deskripsi Botani Menurut Eka dan Adji (2012). Tinggi pohon dapat mencapai 25 m.
Bentuk tajuknya bulat atau semiglobular sehingga membentuk seperti payung. Tanaman ini memiliki cabang yang banyak dengan tinggi bebas cabang yang rendah, bahkan ada yang hanya beberapa centimeter saja di atas permukaan tanah. Cabang tumbuh menyudut tajam kearah atas menjadikan bentuk tanaman ini cukup indah. Kondisi cabang tanaman inilah yang menyebabkan pemanfaatan kayunya kurang maksimal. Dengan adanya cabang yang sangat banyak, pada umumnya tajuk tanaman ini rimbun berdaun lebat sehingga banyak dimanfaatkan sebagai tanaman peneduh.
17
Gambar 1.
Bentuk Batang dan Percabangan Kerai Payung (Filicium decipiens)
Menurut Eka dan Adji (2012). Batang kerai payung (Filicium decipiens) berwarna abu-abu kecoklatan dengan kulit batang retak-retak tidak teratur dan pada umumnya arah retakan vertikal. Dalam retakan tersebut, batang terlihat sedikit kemerahan. Kerai Payung (Filicium decipiens) memiliki bunga sempurna yang terdapat benang sari dan putik. Susunan bunganya adalah bunga majemuk. Bunganya berukuran kecil, berwarna putih kekuningan, ukuran pedicel (tangkai bunga) kecil yaitu 0,3 cm. Malainya muncul dari ketiak daun yang dekat dengan ujung ranting. Panjang malai antara 10 – 35 cm. Sama halnya dengan bunganya, buah kerai payung (Filicium decipiens) berukuran sangat kecil, pada tiap buah umumnya berisi satu biji. Buah termasuk tipe buah batu berbentuk bulat memanjang berukuran lebar sekitar 0,6 – 0,8 cm dan panjang sekitar 0,9 – 1 cm dengan warna ungu kehitaman dan mengkilat.
18
Gambar 2.
Buah Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens)
Kayu kerai payung (Filicium decipiens) memiliki daun majemuk dengan panjang 15 – 20 cm. Jumlah anak daun 10 – 24 helai. Bentuk anak daunnya memanjang dengan panjang antara 4 – 13 cm dan lebar antara 1 – 3 cm, tepi daun agak bergelombang. Daun berwarna hijau tua dengan permukaan daun bagian atas lebih halus dan mengkilap daripada bagian bawah daun. 2.
Perbanyakan Tanaman Menurut Eka dan Adji (2012). Perbanyakan kerai payung (Filicium
decipiens) dapat dilakukan secara generatif melalui biji dan secara vegetatif melalui cangkok. Benih sebaiknya tidak langsung ditanam, namun perlu ditabur dalam bedeng tabur dan disapih terlebih dahulu pada bedeng sapih mengingat ukuran benih yang sangat kecil. Di Indonesia, benihnya masih sulit untuk didapatkan, oleh karena itu perbanyakan melalui cangkok menjadi solusinya. Cangkok dilakukan pada tanaman induk yang unggul dan cabang yang baik. Pada bagian sayatan cangkok, perlu ditambahkan hormon pemacu pertumbuhan
19
akar. Dalam satu pohon tidak boleh terlalu banyak cangkok karena akan mengganggu pertumbuhan tanaman induknya. Pada masa pertumbuhannya, tanaman ini dapat diberikan pupuk NPK dengan kandungan nitrogen yang cukup tinggi. 3.
Penyebaran dan Habitat Kerai Payung (Filicium decipiens) merupakan tanaman yang berasal
dari Asia Tropis dan Afrika, yaitu Ethiopia, Kenya, Tanzania, Malawi, Mozambique, Zimbabwe, India, Srilanka. Saat ini telah tersebar di berbagai daerah terutama daerah tropis, termasuk di Indonesia. Kerai Payung (Filicium decipiens) merupakan tanaman yang biasanya tumbuh di hutan hujan tropis dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi. Tanaman ini mudah tumbuh di berbagai daerah tropis karena dapat menyesuaikan di berbagai kondisi tanah dengan kelembaban sedang. Tanaman ini dapat dijumpai pada daerah dengan ketinggian mencapai 1000 m. Namun demikian, kerai payung (Filicium decipiens) dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan intensitas sinar matahari yang banyak dengan kondisi tanah yang cukup subur dan pH sedang. 4.
Kegunaan Di Indonesia, kerai payung (Filicium decipiens) banyak ditemukan di
pinggir jalan, halaman kantor dan sekolah sebagai pohon peneduh, peredam kebisingan dan pemecah angin. Bentuk tanaman ini cukup menarik dengan daun yang rimbun sehingga memiliki fungsi estetika untuk ditanam di taman, halaman rumah, atau sebagai pagar alam. Tanaman ini juga dapat digunakan pada ruang terbuka hijau sempadan rel kereta api. Daya transpirasi tanaman ini rendah sehingga baik ditanam pada ruang terbuka hijau, dan di sumber air/mata air. Tanaman ini memiliki daya reduksi yang tinggi terhadap timbal yang merupakan
20
emisi dari kendaraan bermotor. Berdasarkan hasil penelitian Dahlan dalam Eka dan Adji (2012), daya serap karbondioksida kerai payung (Filicium decipiens) adalah 404,837 kg/pohon/tahun, sehingga bagus digunakan sebagai pohon penyerap polusi. Kayu tanaman ini digunakan sebagai kayu bakar karena banyak cabang dan dapat dibuat arang. Tanaman ini disebut ki sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan sabun. 5.
Taksonomi dan Tatanama (Wight & Arn.) dalam Eka dan Adji (2012) : Divisi
: Magnoliophyta,
Kelas
: Magnoliopsida,
Sub kelas
: Rosidae,
Ordo
: Sapindales,
Famili
: Sapindaceae,
Genus
: Filicium,
Spesies
: Filicium decipiens,
Sinonim
: Filicium elongatum Radlk. ex Taub., Jur ighas decipiens, Pteridophyllum decipiens, Rhus decipiens.
Nama lokal/daerah : Kerai payung, Kere payung, Kiara Payung, Ki sabun (Indonesia), Fern tree, Fern Leaf Tree, Soapberry (Inggris), Ningal, Nirkongu, Athadali, Iruvillipalai (Tamil),
Kaadu
Valmuriccha, (Malayalam).
Hoovarasi, Niroli,
Neeroli
Sanimaram,
(Kanada), Kattunelli
21
Gambaran mengenai pohon kerai payung dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 3.
Pohon Kerai Payung (Filicium Decipiens)
22
BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian
1.
Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sekitar 3 bulan, mulai dari bulan Februari,
dan kemudian di lanjutkan lagi pada bulan Mei sampai dengan 30 Juni 2014. Dengan perincian sebagai berikut : Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan No. 1 2 3 4 5
2.
Kegiatan
I
Bulan Ke II
III
Persiapan Pengambilan Bahan Proses Ekstraksi Pengolahan data Penulisan Laporan
Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Sifat Kayu dan Analisis
Produk Program Studi Teknologi Hasil Hutan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
B. Alat dan Bahan
1.
Alat Alat yang digunakan selama penelitian ini antara lain: a. Gergaji dan parang b. Meteran c. Blender d. Ayakan ukuran 50 mesh
23
e. Batang Pengaduk f. Aluminium voil g. Timbangan elektrik h. Gelas ukur i. Gelas piala j. Kertas saring k. Cawan saring l. Water bath m. Desikator n. Labu erlenmeyer o. Oven p. Hot plate q. Corong r. Kantong plastik s. Alat tulis menulis t. Kamera digital 2.
Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Serbuk kayu kerai payung (Filicium decipiens) b. Air dingin atau air aquades c. Air aquades panas.
24
C. Prosedur Penelitian 1.
Pengambilan Contoh Uji berdasarkan Standar ASTM (Anonim, 1995) Bahan baku penelitian berupa kayu kerai payung (Filicium decipiens)
yang diambil di lingkungan Kampus Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, yang diameter cabangnya sekitar 23 cm dengan panjang bebas ranting sekitar 4,23 cm dan ketinggian pohonya sendiri sekitar 12 m. Kegiatan pembuatan contoh uji yaitu kayu kerai payung yang dipotong menjadi 3 bagian yaitu: pangkal, tengah dan ujung, kemudian tiap-tiap bagian cabang tersebut dipotong menjadi lempengan dengan ketebalan 5 cm, dari setiap lempengan tersebut dibuat sampel uji dengan ukuran 2 x 2 cm pada empat titik lempengan yang akan di jadikan sampel ujinya dan kemudian diproses menjadi serpihan, untuk mempermudah proses pemblenderan dan proses kelarutan zat ekstraktif. Serpihan tadi dibuat serbuk dan diayak menggunakan mesh 50. 2.
Pembuatan Serbuk Bagian pangkal, tengah dan ujung yang telah berbentuk chip dipisahkan
sesuai dengan bagian-bagiannya masing-masing dan di proses lagi menjadi serpihan, dan setelah itu serpihan tersebut digiling dengan menggunakan mesin mixer (blender) hingga menghasilkan serbuk yang halus. Penggilingan tidak sekaligus karena kapasitas mesin mixer yang terbatas. Serbuk tersebut dipisah dan ditimbang sesuai dengan bagian-bagiannya masing-masing. Dengan menggunakan mesh 50 dilakukan untuk mendapatkan serbuk yang halus. Untuk lebih jelasnya, pembuatan sampel uji dari contoh uji yang diambi dan mengenai prosedurnya dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini :
25
Gambar 4.
3.
Pengambilan Contoh Uji Pada Cabang dan Proses Pembuatan Serbuk
Pengeringan Sebelum dilakukan analisis kimia, serbuk dikering udarakan terlebih
dahulu agar didapat kadar air yang konstan selama 1 minggu, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik sesuai dengan bagiannya masing-masing. Sampel yang akan diekstraksi tidak boleh dikering tanurkan karena dapat merusak zat ekstraktif yang akan dianalisa. 4.
Analisis Kelembaban Moisture Factor, menggunakan standar TAPPI (Technical Association of Pulp and Paper Industry) T 264 om-88 dengan prosedur sebagai berikut : a.
Cawan yang sudah kering ditimbang, kemudian diisi dengan serbuk sebanyak 1 gram dan masukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 0 C.
b.
Setelah 24 jam, cawan beserta serbuknya dimasukkkan ke dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering tanurnya.
c.
Untuk menghitung Moisture Factor digunakan rumus menurut Anonim (1993), sebagai berikut :
26
MF = Keterangan : MF Bo Bb 5.
Bo Bb
= Moisture Factor = Berat Serbuk Kering Tanur (g) = Berat Serbuk Mula-mula (g).
Analisis Zat Ekstraktif a.
Analisis zat ekstraktif dengan metode air dingin, digunakan standar TAPPI T 207 om-88 dalam Anonim (1993), dengan prosedur sebagai berikut : 1)
Serbuk ditimbang ± 2 gram sebanyak 3 kali untuk tiap bagian.
2)
Serbuk dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml dan tambahkan air suling dingin atau aquades sebanyak 300 ml, kemudian ditutup dengan aluminium voil.
3)
Gelas piala tadi dibiarkan selama 48 jam dengan suhu kamar dan diaduk terus dengan alat pengaduk.
4)
Isi gelas piala dipindahkan ke dalam cawan saring yang telah dilapis kertas saring.
5)
Cuci gelas piala yang telah digunakan dengan air aquades sebanyak 200 ml.
6)
Melakukan pengulangan dengan metode yang sama.
7)
Masukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 o C lalu dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.
b.
Analisa zat ekstraktif dengan metode air panas, digunakan standar TAPPI T 207 om-88 dalam Anonim (1993), dengan prosedur sebagai berikut : 1)
Serbuk ditimbang ± 2 gram sebanyak 3 kali tiap bagian.
27
2)
Serbuk dimasukkan ke dalam gelas piala 300 ml dan tambahkan 100 ml air suling panas, selanjutnya tutup dengan aluminium voil.
3)
Selanjutnya gelas piala tersebut dimasukkan ke dalam water bath selama 3 jam sampai airnya mendidih.
4)
Gelas piala tadi dikeluarkan dan diaduk perlahan-lahan.
5)
Kemudian disaring dan dicuci dengan air aquades panas sampai beberapa kali hingga filtratnya jernih.
6)
Melakukan pengulangan dengan metode yang sama.
7)
Kertas saring dan serbuk dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 103 ± 2 o C lalu dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.
6.
Perhitungan Persentase Zat Ekstraktif Untuk mengetahui persentase kandungan zat ekstraktif maka digunakan
rumus dari standar TAPPI T 212 om-88 dalam Anonim (1993), sebagai berikut : !%" Zat Ekstraktif =
BKT Sebelum Ekstraksi – BKT Setelah Ekstraksi X 100 % BKT Sebelum Ekstraksi
Keterangan : BKT = Berat serbuk kering oven (g) Untuk mengetahui nilai rata-rata kandungan zat ekstraktif pada kayu kerai payung dapat dihitung pada pengolahan data menurut Sudjana (1975), sebagai berikut : #= X
∑ xi n
Keterangan : # X = Hasil rata-rata (%) ∑xi = Jumlah zat ekstraktif yang larut (%) n = Banyaknya contoh uji
28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Hasil penelitian tentang rata-rata kelarutan zat ekstraktif dari kayu kerai payung (Filicium decipiens) berdasarkan letak pada bagian cabang yaitu pangkal, tengah dan ujung menggunakan metode air dingin dan air panas dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3. Nilai Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) dengan metode Air Dingin Berdasarkan Letak Pada Cabang, dengan tiga kali ulangan
No 1 2 3
Letak Contoh Uji Pada cabang Pangkal Tengah Ujung Rataan dalam cabang
Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Air Dingin 1 2 3 8.635 6.225 6.150 6.670 5.895 5.460 5.335 5.040 4.930 6.88 5.72 5.51
Rata-rata (%) 7 6 5 6
Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) dengan metode Air Panas Berdasarkan Letak Pada Cabang, dengan tiga kali ulangan
No 1 2 3
Letak Contoh Uji Pada cabang Pangkal Tengah Ujung Rataan dalam cabang
Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Air Panas 1 2 3 10.770 10.240 8.280 9.225 8.855 8.510 6.240 6.195 6.040 8.75 8.43 7.61
Rata-rata (%) 9.8 8.9 6.2 8.3
29
B. Pembahasan Melihat hasil dari tabel 3 dan 4, kelarutan zat ekstraktif kayu kerai payung (Filicium decipiens) pada bagian pangkal, tengah dan ujung dari dua metode yang dilakukan semuanya menunjukkan angka yang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat pada histogram berikut ini : 10
Kelarutan Zat Ekstraktif (%)
9
8,635
8 7
6,67
6,225 6,15
6
5,895 5,46
5,335 5,04
5
4,93 Ulangan 1
4
Ulangan 2
3
Ulangan 3
2 1 0 Pangkal
Tengah
Ujung
Letak Sampel pada Cabang
Gambar 5.
Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) yang Terlarut Dalam Air Dingin Berdasarkan Letak Pada Cabang
30
10
Kelarutan Zat Ekstraktif (%)
9
8,635
8 7
6,225 6,15
6
6,67 5,895
5,46
5,335
5
5,04 4,93 Ulangan 1
4
Ulangan 2
3
Ulangan 3
2 1 0 Pangkal
Tengah
Ujung
Letak Sampel pada Cabang
Gambar 6.
Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) yang Terlarut Dalam Air Panas Berdasarkan Letak Pada Cabang
Dari gambar histogram diatas, terlihat adanya penurunan kelarutan zat ekstraktif dari pangkal sampai ke ujung cabang, baik dengan menggunakan metode air dingin dan air panas dengan kata lain pada bagian pangkal cabang kandungan zat ekstraktif lebih tinggi dari bagian tengah dan menurun sampai ke ujung cabang atau dapat pula dikatakan bahwa semakin ke ujung semakin berkurang. Hasil dari penelitian ini diperkuat oleh beberapa peneliti diantaranya Zeeuw (1980) dalam Hendrikus (2013), dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa kadar ekstraktif selalu mengalami penurunan dari pangkal menuju ujung pohon. Selanjutnya diperjelas Rusliana (1985), juga menyatakan bahwa kandungan zat ekstraktif dari suatu jenis kayu dengan umur yang lebih tua memperlihatkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kayu yang berumur lebih muda. Terjadinya penurunan ekstraktif kayu dari pangkal sampai ke ujung cabang ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan sel pada bagian pangkal
31
cabang terbentuk lebih awal daripada bagian tengah dan ujung cabang atau dapat pula dikatakan bahwa zat ekstraktif pada bagian pangkal ini diduga ada kaitannya dengan terbentuknya kayu teras. Pendapat ini didukung oleh Sudrajat (1979), bahwa pada bagian pangkal pohon zat ekstraktif banyak diendapkan dan juga disebabkan banyak terdapat tilosis-tilosis. Demikian pula menurut pendapat dan penjelasan Prayitno (1991), yang menyatakan bahwa kayu pada bagian pangkal mempunyai persentase zat ekstraktif yang lebih tinggi karena bagian pangkal mempunyai persentase kayu teras yang lebih banyak. Selanjutnya mengenal kelarutan zat ekstraktif dari ke dua metode yang digunakan yaitu kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin dan air panas dapat di lihat pada gambar berikut : 12 9,8
Kelarutan Zat Ekstraktif (%)
10 8
8,9 7 6,2
6
6
5 Rata-rata Air Dingin (%)
4
Rata-rata Air Panas (%)
2 0 Pangkal
Tengah
Ujung
Letak Sampel pada Cabang
Gambar 7.
Rata-Rata Kelarutan Zat Ekstraktif (%) Kayu Kerai Payung (Filicium decipiens) yang Terlarut Dalam Air Dingin dan Air Panas Berdasarkan Letak Pada Cabang
Berdasarkan gambar histogram diatas, dapat diketahui bahwa nilai ratarata kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin untuk pangkal, tengah dan ujung
32
sebesar 7%, 6% dan 5%, sedangkan untuk kelarutan zat ekstraktif dalam air panas untuk pangkal, tengah, dan ujung sebesar 9,8 %, 8,9 %, dan 6,2 % dengan tiga kali ulangan untuk setiap metode yang dilakukan sangat kelihatan perbedaannya untuk pangkal, tengah dan ujungnya maupun serta untuk kedua metode itu sendiri. Apabila ditinjau dari segi perlakuan dan waktu yang dipergunakan untuk kedua metode tersebut yang digunakan, nilai rataan kelarutan zat ekstrakif pada kayu kerai payung (Filicium decipiens) yang menggunakan metode Air panas ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode kelarutan dalam air dingin. Hal ini disebabkan karena adanya zat-zat yang tidak dapat terekstrak oleh air dingin, namun dapat terlarut pada air panas, misalnya pati. Zat-zat kayu yang dapat terlarut dalam air dingin antara lain gula, zat warna dan tanin (Browning, 1967 dalam Ando, 1987). Anonim (1995), menyatakan bahwa zat yang terlarut dalam air panas adalah tanin, gum, karbohidrat, pigmen dan komponen pati. Sedangkan metode kelarutan dengan menggunakan pelarut air dingin lebih rendah persentase kelarutannya dibandingkan dengan kelarutan dalam air panas, alkohol benzena dan NaOH 1 %. Hal tersebut juga disebabkan karena bahan ekstraktif yang terlarut dalam air dingin hanya sedikit dibanding dengan pelarut lainnya. Menurut Anonim (1995), bahwa komponen ekstraktif yang larut dalam air dingin adalah tanin, gum, karbohidrat dan pigmen. Sedangkan menurut pendapat Soenardi (1976), menerangkan bahwa air digolongkan dalam pelarut netral, sebab kayu yang direndam dalam air dingin pada suhu kamar tidak akan mengalami perubahan atau tidak bereaksi, hanya zat warna dan zat ekstraktif yang mempunyai berat molekul rendah yang akan terlarut. Diperjelas oleh Fengel
33
dan Wegener (1995) dalam Hendrikus (2013), bahwa komponen utama dari bagian kayu yang dapat larut dalam air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-garam anorganik. Kayu bagian pangkal pohon mempunyai persentase zat ekstraktif yang lebih tinggi karena bagian pangkal mempunyai persentase kayu teras yang lebih banyak (Prayitno, 1991). Sudrajat (1979) menyatakan bahwa pada bagian pangkal pohon zat ekstraktif banyak diendapkan dan juga disebabkan banyaknya tilosis-tilosis. Kadar ekstraktif suatu pohon mengalami penurunan dari pangkal menuju ujung pohon. (Panshin dan Zeeuw, 1980). Menurut Anonim (1976) dalam Gunawan et al. (2005), bahwa kelarutan zat ekstraktif kayu kerai payung ini termasuk dalam klasifikasi jenis kayu daun lebar yang memiliki kandungan zat ekstraktif yang tinggi. Mengingat kandungan zat ekstraktifnya yang cukup tinggi yaitu di atas 4 %. Kandungan ekstraktif yang tinggi lebih tidak disukai pada proses pulping karena akan terjadi reaksi dengan larutan pemasak dan menurunkan rendemen pulp. Adanya ekstraktif sering menyebabkan pitch trouble pada lembaran pulp/kertas. Kandungan zat ekstraktif yang tinggi akan menjadi faktor yang merugikan dalam proses pulping antara lain dapat menyebabkan rendahnya rendemen pulp, meningkatkan konsumsi bahan pemasak dan menurunkan kualitas produk pulp dan kertas (Casey, 1960) dalam Esih (2003). Menurut Maloney (1993) dalam Apri (2009), zat ekstraktif berpengaruh terhadap kunsumsi perekat, laju pengerasan perekat dan daya tahan papan partikel yang dihasilkannya. Perendaman partikel merupakan perlakuan yang cukup efektif untuk mengurangi kandungan zat ekstraktif.
34
Gula atau ekstraktif lainnya dapat mengurangi keteguhan rekat karena dapat menghalangi perekat untuk bereaksi dengan komponen dalam dinding sel dari kayu seperti selulosa. Makin banyak zat ekstraktif dalam suatu kayu, maka banyak pula pengaruhnya terhadap keteguhan rekat. Salah satu cara untuk mengurangi zat ekstraktif ini adalah dengan cara perendaman (Sutigno, 2000) dalam Apri (2009). Maksud dari perlakuan pendahuluan adalah untuk mengurangi zat ekstraktif, sehingga papan partikelnya akan lebih baik (Kliwon, 2002) dalam Apri (2009). Zat ekstraktif berpengaruh terhadap konsumsi perekat, laju pengerasan perekat dan daya tahan papan partikel yang dihasilkannya. Selain itu bahan ekstraktif yang dapat menguap, dapat menyebabkan terjadinya blowing atau deliminasi pada proses pengempaan (Maloney, 1993) dalam Apri (2009). Perendaman partikel berpengaruh positif terhadap pengembangan papan partikel, yaitu semakin lama partikel kayu direndam di dalam air dingin, semakin rendah pengembangan tebal papan partikel yang dihasilkan. Hal ini berhubungan
dengan
kadar
ekstraktif
yaitu
dengan
adanya
perlakuan
perendaman partikel kayu di dalam air dingin akan melarutkan sebagian zat ekstraktif yang mengakibatkan daya rekatnya lebih kuat (Kliwon, 2002) dalam Apri (2009). Perendaman dalam air dingin selama 24 jam sudah cukup untuk mengeluarkan dan melarutkan beberapa senyawaan dalam kayu. Kelarutan dengan air panas dapat menimbulkan hidrolisis beberapa lignin dan resin. Kelarutan dalam air panas tersebut akan menghasilkan asam organik bebas. Sifat tersebut menyebabkan bagian yang larut dalam air panas selalu lebih besar daripada dalam air dingin (Riyadi, 2004) dalam Apri (2009).
35
Dengan menggunakan air panas, dapat melarutkan zat-zat seperti getah, lilin pektin, zat warna dan protein (Setyohadi, 2004). Kamil (1970) dalam Saputra (2004), menambahkan zat ekstraktif yang larut dalam air panas meliputi garam-garam anorganik, garam-garam organik, gula siklotol, gum, pektin, galaktan, tanin, pigmen, polisakarida dan komponen-komponen lain yang terhidrolisa.
Hadi
(1988)
dalam
Apri
(2009),
mengemukakan
bahwa
perendaman panas sangat berpengaruh positif terhadap stabilitas dimensi papan partikel. Perendaman selama dua jam merupakan perlakuan pendahuluan yang paling efisien karena papan partikel yang dihasilkan memiliki stabilitas dimensi yang sama dengan perendaman panas selama tiga dan empat jam.
36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Nilai rata-rata kandungan ekstraktif kayu kerai payung dengan metode air dingin pada pangkal 7 %, tengah 6 % dan ujung 5 %, metode air panas pada pangkal 9,8 %, tengah 8,9 %, dan ujung 6,2 %.
2.
Kandungan zat ekstraktif kayu kerai payung yang tertinggi terdapat pada pelarut air panas yaitu pada pangkal dengan nilai kandungan ekstraktifnya sebesar 9,8 % dan ikuti tengah dan ujung secara berturut-turut dengan kecenderungan penurunan sekitar 1 %.
3.
Berdasarkan dari tabel klasifikasi jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimianya, kayu kerai payung termasuk dalam kelas yang mengandung zat ekstraktif tinggi.
B. Saran 1.
Berdasarkan klasifikasi kandungan zat ekstraktif kayu kerai payung yang tergolong tinggi, maka direkomendasikan agar dapat dijadikan sebagai bahan baku papan partikel atau sebagai bahan baku pembuatan wood working pada sawmill di industri perkayuan.
2.
Untuk menunjang kelengkapan informasi mengenai kayu kerai payung ini, maka perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai sifat-sifat kayu kerai payung lainnya seperti proses NaOH 1 %, Alkohol benzena, lignin serta kadar selulosa dan hemiselulosanya.
37
3.
Perlu diadakan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode penelitian yang sama tetapi dibedakan antara kayu gubal dan kayu terasnya serta letak ekstraktif pada batang.
38
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB, Bogor. Anonim. 1995. Annual Book of ASTM Standards. Volume 04. 10. Wood. Section 4. Philadelpia. . 2010. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan. Direktorat Jendral Planologi Kehutanan. Kementrian Kehutanan. . 1993. Technical Association Of The Pulp And Paper. TAPPI Standars. Apri, HI. 2009. Papan Partikel dari Ampas Tebu (Saccharum officinarum). Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Batubara R. 2006. Identifikasi Sifat Ekstrak Kulit Kayu Medang Hitam (Cinnamomum prorrectum) Sebagai Bahan Pengawet Kayu. Universitas Mulawarman. Samarinda. Dumanaw J. 1993. Mengenal Kayu. Kanisius. Yogyakarta. http://hutdopi08.blogspot.com/2012/11/pemanfaatan-zat-ekstraktifkulit.html Djoen OS. 1964. Berat Jenis Dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu Untuk Keperluan Praktek. Pengumuman Lembaga Asli Penelitian Hutan No. 1. Bogor. Ediningtyas D. 1995. Zat Ekstraktif Tiga Jenis Kayu Awet Indonesia dan Efikasinya Terhadap Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Eka W dan Adji H. 2012. Informasi Singkat Benih. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sulawesi. Makassar. Eshi, SS. 2003. Analisis Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Karet (Hevea brasiliensis. Arg.) Hasil Klon. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fengel D and Wegener G. 1995. Kayu. Kimia dan UltraStruktur, Reaksi-reaksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. http://hutdopi08.blogspot.com/2012/11/pemanfaatan-zat-ekstraktifkulit.html
39
Haygreen JG and Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar. Terjemahan: Hendrikusumo SA. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. http://hutdopi08.blogspot.com/2012/11/pemanfaatanzat-ekstraktif-kulit.html Martawijaya A dan Kartasujana I. 1997. Ciri Umum, Sifat dan Kegunaan Jenisjenis Kayu Indonesia. Publikasi Khusus No. 41. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Departemen Pertanian Bogor. Bogor. Hendrikus T. 2013. Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Tulip Afrika (Spatodea campanulata) Berdasarkan Letak Pada Batang Dengan Menggunakan Metode Air Dingin, Air Panas, NaOH 1 %, dan Alkohol Benzena. Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. Samarinda. Pasaribu G., Bonifasius S., dan Gustan P. 2005. Analisa Komponen Kimia Empat Jenis Kayu Asal Sumatera Utara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Bogor Prayitno TA. 1991. Bentuk Batang dan Sifat Fisika Kayu Kelapa Sawit. Laporan Penelitian Fakultas Kehutanan. University Gadjah Mada. Yogyakarta. Rusliana LI. 1985. Kimia Kayu. Yayasan Pembinaan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Sahputra, Y.F. 2004. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Partikel dan Kadar Perekat Terhadap Sifat Papan Partikel Tandan Kosong Kelapa Sawit. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Soenardi. 1976. Sifat-sifat Kimia Kayu. Yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan. University Gadjah Mada. Yogyakarta. Sudjana. 1975. Metode Statistika Tarsito. Bandung. Sudrajat. 1979. Analisa Kimia Beberapa Kayu Indonesia. Bagian 111. Laporan No. 39. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syafii W. 1996. Zat Ekstraktif dan Pengaruhnya Terhadap Keawetan Alami Kayu. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood : Structure Properties Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York. http://raymoon760.wordpress.com/2013/06/19/zat-ekstraktif-kayu Yunita FC. 2004. Ekstraksi Daging Biji Picung (Pangium edule) dan Uji Toksitas Terhadap Artemia salina Leach. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
40
41
LAMPIRAN 1. Tabel 5. Nilai Rataan Moisture Factor Kayu Kerai Payung (Filicium Decipiens) Berdasarkan Letak Pada Cabang Bagian Cabang Pangkal Tengah Ujung Keterangan:
U
Bb (g)
Bo (g)
MF
1 2 1 2 1 2
1,0103 1,0131 1,0137 1,0216 1,0123 1,0210
0,8953 0,9147 0,8864 0,8903 0,8443 0,8628
0,8862 0,9028 0,8744 0,8715 0,8340 0,8451
U Bb Bo MF
: : : :
MF Rata-rata 0,8945 0,8729 0,8396
Ulangan Berat serbuk mula-mula (g) Berat serbuk kering tanur (g) Moisture Factor (Faktor kelembaban)
Tabel 6. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Kerai Payung Dengan Menggunakan Metode Air Dingin Bagian Cabang Pangkal
U
Bb (g)
A (g)
B (g)
Ekstraktif (%)
Rata-rata (%)
1
2,3001 2,3001
2 2
1,8273 1,8755
8,635 6,225
7,003
2,3001 2,3225 2,3225 2,3225 2,3855 2,3855 2,3855
2 2 2 2 2 2 2
1,8770 1,8666 1,8821 1,8908 1,8933 1,8992 1,9014
6,15 6,67 5,895 5,46 5,335 5,04 4,93
2 3 1
Tengah
Ujung
2 3 1 2 3
Rata-rata keseluruhan Keterangan:
U Bb A B
: : : :
Ulangan Berat serbuk mula-mula (g) Berat serbuk mula-mula x MF (g) Berat serbuk Kering tanur (g)
6,01
5,102 6,0383
42
LAMPIRAN 2. Tabel 7. Nilai Rata-rata Kelarutan Zat Ekstraktif Kayu Kerai Payung Dengan Menggunakan Metode Air Panas Bagian Cabang Pangkal
U
Bb (g)
A (g)
B (g)
Ekstraktif (%)
Rata-rata (%)
1
2,2358 2,2358
2 2
1,7847 1,7952
10,765 10,24
9,763
2,2358 2,2912 2,2912 2,2912 2,3821 2,3821 2,3821
2 2 2 2 2 2 2
1,8343 1,8155 1,8229 1,8298 1,8751 1,8761 1,8792
8,285 9,225 8,855 8,51 6,245 6,195 6,04
2 3 1
Tengah
Ujung
2 3 1 2 3
Rata-rata keseluruhan Keterangan:
U Bb A B
: : : :
Ulangan Berat serbuk mula-mula (g) Berat serbuk mula-mula x MF (g) Berat serbuk Kering tanur (g)
8,863
6,16 8,2631
43
LAMPIRAN 3. Contoh Perhitungan 1.
Moisture Factor =
Bo Bb
=
0,8953 = 0,8862 --------> (a) 1,0103
=
0,9147 = 0,9028 --------> (b) 1,0131
MF Rata-rata =
a+b 2 0,8862 + 0,9028 = 0,8945 2
=
2.
% Zat Ekstraktif =
BKT Sebelum Ekstraksi – BKT Setelah Ekstraksi BKT S$%$&'( E)*+,-)*.
= 2 − 1,8273 x 100 %
2 = 8,635 % --------> (a) = 2 − 1,8755 x 100 %
2 = 6,225 % --------> (b) = 2 − 1,8770 x 100 %
2 = 6,15 % --------> (c) 3.
a+b+c 3 8,635 + 6,225 + 6,15 = =7% 3
% Rata-rata Zat Ekstraktif =
x 100 %
44
LAMPIRAN 4.
Gambar 8. Lempengan Pangkal, Tengah dan Ujung Kayu Kerai Payung
Gambar 9. Chip Bagian Pangkal Setelah di Proses
45
Gambar 10. Proses Pembuatan Serpihan Menggunakan Blender
Gambar 11. Pengayakan Menggunakan Mesh 50
46
Gambar 12. Serbuk Hasil Pengayakan
Gambar 13. Proses Pengovenan Gelas Ukur Untuk Sampel Uji MF, Kelarutan Dalam Air Dingin dan Air Panas
47
Gambar 14. Proses Pengkondisian Gelas Ukur Pada Desikator Untuk Sampel Uji MF Pada Proses Air Dingin Dan Air Panas
Gambar 15. Proses Kelarutan dalam Air Dingin Selama 48 Jam
48
Gambar 16. Proses Perebusan Pada Water Bath Untuk Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Panas selama ± 3 Jam
Gambar 17. Proses Penyaringan Untuk Sampel Uji Kelarutan Dalam Air Dingin dan Air Panas
49
Gambar 18. Hasil Penyaringan Dari Proses Air Dingin dan Air Panas Yang Disusun Pada Cawan dan Gelas Ukur Untuk Proses Pengovenan
Gambar 19. Proses Pengovenan Sampel Hasil Penyaringan Pada Proses Air Dingin dan Air Panas
50
Gambar 20. Proses Pengkondisian Sampel Air Dingin dan Air Panas Setelah Keluar Dari Oven Selama ± 10 Menit
Gambar 21. Penimbangan Sampel Air Dingin dan Air Panas Untuk Proses Penghitungan Nilai Dari Ekstraktif Kayu Kerai Payung