KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
KOMPOSISI EKSTRAKTIF PADA KAYU JATI JUVENIL Ganis Lukmandaru dan IGN Danu Sayudha Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK Seiring dengan meningkatnya penggunaan kayu jati umur muda, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi ekstraktif dari jati dalam fase juvenil. Sampel yang dipakai adalah kayu jati bibit unggul (Mega) asal Gunungkidul (8 pohon) yang berumur 5 tahun dan jati dari Sei Seruyan, Kalimantan Tengah (3 pohon) yang berumur 7 tahun. Sebagai pembanding, digunakan pohon jati berumur 18 tahun (hutan rakyat Gunungkidul) dan 65 tahun (Perhutani, Madiun). Ekstraksi berturutan dilakukan dengan soxhlet melalui 5 pelarut yaitu eter minyak, diklorometana, aseton:air (9:1), etanol:air (8:2) dan air panas. Kadar ekstraktif total pada kayu juvenil Kalimantan (3,8- 8,8%) lebih tinggi dibandingkan jati Mega (2,2-5,7%) dimana kadar ekstraktif aseton:air (9:1) merupakan komponen dominan pada gubal maupun teras. Dibandingkan kayu dewasa, jati juvenil mempunyai nilai rerata proporsi kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih rendah tetapi kadar terlarut etanol:air (8:2) lebih tinggi. Komposisi fraksi polar-nonpolar relatif tidak berubah pada gubal seiring umur tetapi cukup bervariasi pada bagian teras. Kata kunci : Tectona grandis, ekstraktif, juvenil, jati mega, teras
PENDAHULUAN Jati merupakan salah satu jenis kayu penting karena reputasinya sebagai kayu yang berkualitas tinggi. Masyarakat banyak memanfaatkan kayu jati karena memiliki corak kayu yang indah, berkesan mewah, mudah pengerjaannya, memiliki keawetan alami yang tahan terhadap organisme perusak kayu dan warnanya yang coklat keemasan. Keunggulan kayu jati ini juga menyebabkan kayu jati disukai pasar nasional maupun internasional untuk berbagai macam pemanfaatan. Ketersediaan akan kayu jati kelas umur tua dari tahun-ketahun terus mengalami penurunan, sehingga terdapat kecenderungan untuk menggunakan kayu jati yang umurnya muda (di bawah daur jati) dengan diameter yang semakin kecil pada dua dekade terakhir ini. Pertimbangan ekonomis tentunya menjadi hal utama untuk segera memanen kayu dibawah daur. Pemanfaatan kayu muda saat ini lebih banyak dilakukan di hutan rakyat yang tidak terlalu menuntut daur dan hasil dari penjarangan jati di Perhutani. Kayu muda mayoritas dihasilkan oleh hutan rakyat dan hasil penjarangan. Kayu muda ini didominasi oleh kayu gubal dan kayu pada fase juvenil. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) kayu juvenil adalah kayu yang dibentuk di awal-awal tahun pertumbuhan dan kayu juvenil terbanyak terbentuk dalam 5-20 lingkaran tahun dengan lama tergantung jenis spesiesnya. Pustaka mengenai kayu jati juvenil masih sangat sedikit, sedangkan penggunaan kayu juvenil sekarang ini semakin banyak misalnya, untuk papan partikel dan papan laminasi menggunakan kayu-kayu sisa penggergajian dan kayu dari pohon yang diameternya masih kecil untuk diolah menjadi papan yang lebar. Perkembangan ini tentunya membutuhkan informasi mengenai kayu jati juvenil agar masalah dalam penggunaannya dapat diminimalisir. Dalam pemanfaatan kayu, keberadaan kayu juvenil kurang disukai karena sifatnya yang kurang baik. Salah satu sifat kayu juvenil yang kurang baik adalah keawetan alami. Keawetan alami merupakan salah satu sifat yang penting karena, pemahaman terhadap agen-agen serta kondisi-kondisi yang dapat membawa kepada kerusakan kayu merupakan suatu kunci kepuasan penggunaan produk-produk hutan sebagai bahan bangunan (Haygreen dan Bowyer, 1989). Hal ini dibuktikan oleh Bhat dan Florence (2003) dimana kayu juvenil jati kurang tahan terhadap serangan jamur.
361
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Keawetan alami kayu tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh sifat kimia kayu seperti ekstraktif. Kayu jati memiliki ekstraktif-ekstraktif yang dapat mengurangi kerusakan kayu dari serangan cendawan dan serangga (Sandermann dan Simatupang 1966; Haupt et al. 2003). Ekstraktif pada kayu memiliki komposisi yang berbeda-beda mulai dari fraksi polar hingga non polar seperti tanin, gula, kinon, lilin, lemak, dan sebagainya. Kayu jati juvenil ini perlu diteliti komponen yang ada didalamnya sehingga dapat diketahui perbedaan komponen dengan kayu jati dewasa. Dari pernyataan diatas, maka perlu diteliti sifat kimia yakni komposisi ekstraktif kayu jati juvenil pada arah radial dan tempat tumbuh. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai komposisi ekstraktif pada kayu jati muda seperti Narayanamurti et al. (1962), Da Costa et al. (1968), dan Lukmandaru dan Takahashi (2008) akan tetapi pada penelitian ini, komposisi ekstraktif akan diteliti lebih mendalam dengan ekstraksi secara berurutan sehingga jenis ekstraktif yang ada pada tiap bagian kayu bisa diketahui senyawa mana yang paling dominan serta membandingkannya dengan pohon yang lebih dewasa.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Bahan penelitian yang digunakan adalah kayu jati Mega asal Hutan Pendidikan Wanagama (tanah = mediteran) di Gunung Kidul sebanyak 8 pohon dengan umur 5 tahun (dbh = 9-14 cm) dan kayu Jati asal Kalimantan (podsolik) umur 7 tahun sebanyak 3 pohon (dbh= 9-13 cm). Jati Mega merupakan jati bibit unggul yang cepat tumbuh dengan kelurusannya, percabangannya menunjukkan pertumbuhan yang baik. Pada jati Kalimantan diameter tidak sebesar jati Mega, akan tetapi persen teras lebih besar (54-86 %) dibandingkan dengan Jati Mega (7-28%). Jati Kalimantan adalah kayu yang berasal dari pohon yang ditanam oleh PT. Sari Bumi Kusuma, Sei Seruyan, Kalimantan Tengah. Kontrol yang digunakan adalah pohon jati juvenile pada umur 18 tahun (dbh = 33 cm) dari hutan rakyat Gunung Kidul (grumusol) dan jati dewasa 65 tahun (dbh = 43 cm) dari hutan Perhutani (Madiun, mediteran). Dari masing-masing pohon pada bagian pangkal (20 cm dari permukaan tanah) digergaji bentuk disk dengan ketebalan 5 cm. Setiap disk (1 cm dari kulit) dibagi menjadi dua bagian pada kedudukan radial, yaitu gubal dan teras. Karena diameter dan proporsi teras relatif besar, pada pohon kontrol arah radialnya dibagi menjadi gubal, teras luar, dan teras dalam. Pada masing-masing bagian diambil serbuknya. Serbuk halus yang didapatkan kemudian disaring untuk didapatkan serbuk berukuran 40-60 mesh untuk analisis kimia. Ekstraksi dengan soxhlet dilakukan secara berturutan melalui 5 pelarut yaitu eter minyak, diklorometana, aseton:air (8:2, v/v), etanol:air (9:1, v/v) dan air panas masingmasing selama 6 jam mengacu pada Bauch et al. (1991) yang dimodifikasi. Setelah ekstraksi selesai, pelarut dihilangkan dan ekstrak dikeringkan dalam oven selama 1 jam (100 0C) dan dihitung kadar ekstraktifnya berdasarkan berat kering serbuk awal. Kadar ekstraktif non-polar merupakan penjumlahan kadar ekstraktif terlarut eter minyak dan diklorometana sedangkan ekstraktif polar adalah aseton:air (8:2), etanol:air (9:1) dan air panas. Kadar ekstraktif total merupakan penjumlahan dari semua komponen ekstraktif tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan komposisi ekstraktif (Tabel 1 dan 2), diketahui bahwa jati Mega memiliki rata-rata total ekstraktif yang lebih rendah dibandingkan dengan jati Kalimantan. Perbedaan ini diduga karena perbedaan tempat tumbuh yang besar atau genetis. Dari pengamatan juga terlihat teras jati Kalimantan berwarna lebih gelap sehingga wajar bila mempunyai ekstraktif lebih banyak. Total ekstraktif pada jati Mega sekitar 2,84 % 5,15 % dan jati Kalimantan sekitar 4,67 % - 7,90 %. Nilai tersebut dalam kisaran pada penelitian jati muda sebelumnya (Lukmandaru dan Takahashi 2008, Da Costa et al. 1958). Variasi antar pohon cukup besar apabila dinilai dari koefisien variasinya tiap komponen penyusunnya meski nilainya relatif kecil pada kadar ekstraktif totalnya
362
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Pada kayu gubal (Tabel 1), rerata kadar ekstraktif total kayu juvenil asal Kalimantan lebih tinggi (4,67 %) dari jati Mega (2,84 %). Fraksi polar menunjukkan nilai rerata relatif tinggi, khususnya kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di jati Kalimantan (1,43 %) sedangkan kadar ekstraktif diklorometana menunjukkan nilai terendah. Secara kuantitatif, perbedaan mencolok antara jati Mega dan Kalimantan didapatkan pada fraksi polarnya tetapi rata-rata komposisi kadar ekstraktifnya tidaklah jauh berbeda (Gambar 1). Apabila dibandingkan dengan kontrol, maka terlihat perbedaan mencolok pada kadar ekstraktif total di bagian gubal dari kayu asal Perhutani (11,28 %). Dilihat dari komponen penyusunnya maka perbedaan besar secara kuantitatif antara kontrol jati 18 tahun dan jati juvenil terlihat pada kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1) dan terlarut air panas sedangkan antara kontrol jati 65 tahun dan jati juvenile perbedaannya mencolok pada semua kadar ekstraktif terutama fraksi aseton:air (9:1). Dari grafik komposisi (Gambar 1), maka terlihat kontrol mempunyai nilai rerata proporsi kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih tinggi (44-52 %) dibandingkan kayu juvenil (23-29 %) tetapi kadar etanol:air (8:2) lebih rendah (14-18%) dibandingkan juvenil (25-29%). Pelarut aseton:air (9:1). mampu melarutkan senyawa monomer gula, silitol, dan tanin sedangkan etanol:air (8:2) melarutkan komponen silitol, polisakarida bermolekul rendah, tanin dan lignin (Bauch et al. 1991). Monomer gula, polisakarida bermolekul rendah, dan silitol merupakan ekstraktif primer dimana dibutuhkan sel-sel kayu yang masih hidup dan berfungsi untuk melakukan proses metabolisme. Kenaikan kadar ekstraktif aseton:air (9:1) dan penurunan kadar ekstraktif terlarut etanol:air (8:2) dari juvenil ke dewasa mengindikasikan semakin berkurangnya polisakarida bermolekul rendah diiringi kenaikan monomer gula. Pada kayu teras (Tabel 2) kecenderungan yang sama dengan kayu gubal juga terlihat dimana nilai kadar ekstraktif total kayu juvenil asal Kalimantan lebih tinggi (7,90 %) dari jati Mega (5,15 %). Dari komponen penyusunnya, perbedaan terlihat dimana pada jati Kalimantan nilai rerata tertinggi didapatkan pada kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1) sebesar 2,31 % sedangkan pada jati Mega pada kadar ekstraktif terlarut air panas (1,51 %). Apabila dari komposisi ekstraktifnya (Gambar 1), terlihat bahwa teras jati Mega mempunyai proporsi kadar ekstraktif fraksi eter minyak, diklorometana dan air panas lebih tinggi daripada jati Kalimantan. Perbandingan dengan kontrol maka didapatkan kadar ekstraktif total kayu juvenil mendekati nilai teras dalam pada jati 18 tahun (7,99 %) dan jauh lebih rendah dari kadar ekstraktif di bagian teras kontrol lainnya (9-15 %). Dari komponen penyusunnya, rerata nilai kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1), yang diduga dari komponen fenolat, pada kontrol secara konsisten menunjukkan nilai lebih tinggi (2,5-4,2 %) dibandingkan kayu juvenil (1,1-2,3 %) meski terdapat 1 sampel dari jati Kalimantan yang mempunyai nilai 3,80 % (sampel no. 3). Pada kadar ekstraktif lainnya cukup variatif antara kayu juvenil dan kontrol. Pelarut eter minyak mampu melarutkan asam lemak bebas, sterol, lilin, dan paraffin sedangkan pelarut diklorometana melarutkan ester lemak, asam lemak hidroksi, sterol, ester triterpena, dan lilin (Bauch et al. 1991). Dari komposisinya (Gambar 1), kenaikan kadar ekstraktif terlarut eter minyak (28-43 %) maupun diklorometana (13-30%) pada teras jati 65 tahun terlihat jelas dibandingkan kayu juvenil (eter minyak 12-20 %, diklorometana 7-11 %) yang disertai penurunan proporsi fraksi polarnya di jati 65 tahun terutama kadar terlarut etanol:air (8:2) dan air panas. Kecenderungan berbeda didapatkan bila membandingkan dengan kontrol jati 18 tahun dengan kayu juvenil dimana terdapat penurunan pada fraksi etanol:air (8:2) dan air panas dan kenaikan fraksi aseton:air (9:1) di jati 18 tahun sedangkan pada fraksi non-polar kecenderungannya bervariasi. Disamping kenaikan nilai kadar ekstraktif terlarut aseton:air (9:1), fenomena tersebut menjelaskan semakin tua kayu teras maka akan diikuti oleh semakin banyak terbentuknya fraksi non-polar. Perubahan dari kayu gubal ke teras diikuti naiknya kadar ekstraktif non-polar serta berkurangnya komponen ekstraktif aseton:air (9:1) yang terlihat pada jati Mega dan kontrol tapi tidaklah jelas terlihat pada jati Kalimantan (Gambar 1). Penurunan kadar ekstraktif etanol:air (8:2) juga terjadi kecuali pada jati Kalimantan dan teras luar jati 65 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada persamaan antara kecenderungan pembentukan gubal ke teras dengan peningkatan umur kayu teras yaitu peningkatan fraksi non-polar. Penurunan ekstraktif aseton:air (9:1) maupun etanol:air (8:2) diduga disebabkan karena berkurangnya
363
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
komponen senyawa monomer gula, silitol, hemiselulosa bemolekul rendah. Kadar ekstraktif terlarut air panas yang mampu melarutkan hemiselulosa (Bauch et al. 1991) nilainya bervariasi dari gubal ke teras menunjukkan tidak adanya hubungan langsung komponen tersebut pada proses pembentukan teras. Tabel 1. Nilai kadar ekstraktif (%) berdasarkan perbedaan pelarut di bagian gubal kayu Jati No. Sampel
Pelarut Eter Diklorometana minyak
Jati Mega 1 2 3 4 5 6 7 8
Aseton:Air (9:1)
Etanol:Air (8:2)
Air
Ekstraktif Total
0,37 0,13 0,22 0,23 0,19 0,33 0,54 0,90
0,08 0,20 0,14 0,19 0,20 0,13 0,27 0,72
0,64 0,50 0,54 0,43 0,60 0,38 1,54 0,99
0,79 0,86 0,84 0,94 0,87 0,56 1,00 0,26
0,77 0,78 0,54 0,48 0,55 0,83 0,79 1,40
2,64 2,48 2,29 2,27 2,40 2,22 4,13 4,27
Rerata St. deviasi Koef.variasi (%) Kalimantan 1 2 3
0,36 0,25 68,3
0,24 0,20 85,1
0,70 0,39 55,4
0,77 0,24 31,5
0,77 0,29 37,5
2,84 0,85 30,0
0,73 0,55 0,50
0,32 0,37 0,27
1,22 0,98 2,10
1,31 0,91 1,40
0,78 1,07 1,49
4,37 3,89 5,76
Rerata St. deviasi Koef.variasi(%) Rata-rata total Kontrol 18 tahun 65 tahun
0,60 0,12 20,1 0,48
0,32 0,05 14,9 0,28
1,43 0,59 41,1 1,07
1,21 0,26 21,3 0,99
1,12 0,36 32,2 0,94
4,67 0,98 20,9 3,75
0,57 1,20
0,30 0,88
2,39 4,98
0,85 1,59
0,48 2,63
4,6 11,28
Gambar 1. Rerata komposisi ekstraktif pada kayu jati dengan ekstraksi 5 pelarut berbeda
364
KIMIA KAYU, PULP DAN KERTAS
Tabel 2. Nilai kadar ekstraktif (%) berdasarkan perbedaan pelarut di bagian teras kayu Jati No. Sampel Eter Minyak Jati Mega 1 2 3 4 5 6 7 8
Pelarut Diklorometana Aseton: air (9:1)
Etanol : air (8:2)
Air
Total Ekstraktif
1,15 1,82 0,92 0,80 0,69 1,06 1,07 1,06
0,36 0,45 0,58 0,71 0,68 0,53 0,45 0,99
0,81 0,86 1,07 0,88 0,87 1,16 1,52 1,69
0,77 0,81 0,85 0,64 0,76 0,79 1,41 0,95
1,60 1,81 2,11 1,19 1,62 1,55 1,09 1,11
4,68 5,76 5,53 4,22 4,62 5,08 5,54 5,79
Rerata St. deviasi Koef. variasi (%) Kalimantan 1 2 3
1,07 0,34 31,6
0,59 0,20 33,9
1,11 0,33 29,8
0,87 0,24 26,9
1,51 0,36 23,9
5,15 0,59 11,45
0,63 1,26 1,09
0,74 0,69 1,73
1,60 1,55 3,80
0,84 0,94 1,05
0,93 0,86 1,17
6,41 8,45 8,83
Rerata St. deviasi Koef. variasi (%) Rata-rata total Kontrol 18 tahun - Teras luar - Teras dalam 65 tahun - Teras luar - Teras dalam
0,99 0,33 32,7 1,03
1,05 0,59 55,6 0,82
2,31 1,28 55,5 1,71
0,94 0,11 11,45 0,91
0,99 0,16 16,6 1,25
7,90 1,30 16,5 6,53
2,43 1,13
1,08 0,93
2,51 4,27
0,92 1,15
1,06 1,55
7,99 9,04
3,71 6,60
4,04 2,10
3,29 3,56
0,49 2,13
1,58 0,75
13,11 15,13
Secara umum, berdasarkan polaritasnya, pada kayu juvenil terlihat adanya kenaikan fraksi non-polar dari gubal ke teras (Gambar 2). Kecenderungan tersebut juga diamati pada kayu kontrol. Komposisi fraksi polar (78-81 %) dan non-polar (18-21 %) pada gubal relatif tidak berbeda pada semua umur sedangkan pada kayu teras cukup bervariasi. Perbedaan mencolok komposisi polar dan non-polar antara kayu juvenil dan kontrol terlihat pada teras dalam jati 18 tahun dan teras luar dan dalam jati 65 tahun dimana semakin tua maka kadar ekstraktif non-polar semakin meningkat. Fraksi non-polar bahkan menjadi dominan pada bagian teras dalam (57 %) dan teras luar (59 %) di kayu 65 tahun. Perbedaan antara fraksi non-polar dan polar pada penelitian ini sejalan dengan hasil sebelumnya (Narayanamurti et al. 1962; Da Costa et al. 1958, Lukmandaru dan Takahashi 2008) meskipun terdapat perbedaan metode dimana mereka tidak menggunakan pelarut air. Perlu dicatat bahwa kayu kontrol umur 18 tahun masih mempunyai kadar fraksi polar yang lebih tinggi dari nonpolar. Menarik untuk diketahui apakah komposisi ekstraktif juga akan mengikuti batas juvenil bila didasarkan sudut fibril yaitu sekitar 20-25 tahun (Bhat et al. 2001). Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan pada lingkaran tahun ke berapa komposisi ekstraktif kayu teras komposisi polar dan non-polar akan berimbang serta korelasi komposisi ekstraktif dengan keawetan alaminya. Sampel dalam jumlah besar juga perlu untuk memperoleh nilai koefisen variasi antar pohon yang relatif rendah.
365
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
Gambar 2. Rerata komposisi ekstraktif polar dan non-polar pada kayu jati
KESIMPULAN Kadar ekstraktif total pada kayu juvenil berkisar antara 2,2-5,7 % pada gubal dan 4,28,8 % di teras dimana jati Kalimatan mempunyai kadar ekstraktif lebih tinggi jati dari Mega, khususnya pada fraksi polar di bagian gubal. Pada kayu teras, jati Mega mempunyai proporsi kadar ekstraktif fraksi eter minyak, diklorometana dan air panas lebih tinggi daripada jati Kalimantan. Dibandingkan kayu dewasa, jati juvenil mempunyai nilai rerata proporsi kadar ekstraktif aseton:air (9:1) di gubal lebih rendah tetapi kadar terlarut etanol:air (8:2) lebih tinggi. Secara umum, terjadi kenaikan kadar ekstraktif fraksi non-polar dalam pembentukan gubal ke teras maupun seiring kenaikan umur.
DAFTAR PUSTAKA Bauch, J., Hundt, H.V., Weiȕmann, G., Lange, W., Kubel, H. 1991. On the Causes of Yellow Discolorations of Oak Heartwood (Quercus Sect. Robur) during Drying. Holzforschung 45: 79-85. Bhat, K.M., Florence E.J.M. 2003. Natural Decay Resistance of Juvenile Teak Wood Grown in High Input Plantations. Holzforschung 57 :453-455 Bhat, K.M., Priya, P.B., Rugmini, P. 2001. Characterisation of Juvenile Wood in Teak. Wood Science and Technology 34: 517-532. Da Costa, E.W.B., Rudman, P., Gay, F.J. 1958. Investigations on the Durability of Tectona grandis. Empirical Forestry Review 37: 291–298. Haygreen, J.G., Bowyer, J.L. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University Press (terjemahan). Yogyakarta. Haupt, M., Leithoff, H., Meier, D., Puls, J., Richter, H.G., Faix, O. 2003. Heartwood Extractives and Natural Durability of Plantation-Grown Teakwood (Tectona grandis L.) – a Case Study. Holz als Roh- und Werkstoff 61:473 – 474. Lukmandaru, G., Takahashi, K. 2008. Variation in the Natural Termite Resistance of Teak (Tectona grandis Linn. fil.) Wood as a Function of Tree Age. Ann. For. Sci. 65: 708 p1–8. Narayanamurti, D., George, J., Pant, H. C., Singh, J. 1962. Extractive in Teak. Silvae Genetica, 11:57-63 Sandermann, W., Simatupang, M.H. 1966. On the Chemistry and Biochemistry of Teakwood (Tectona grandis L. f.). Holz als Rohund Werkstoff 24:190–204.
366