PEMASARAN MEBEL KAYU JATI JEPARA
KASMALIA SARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2010 Kasmalia Sari NIP E151070171
RINGKASAN KASMALIA SARI. Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara. Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT dan BAHRUNI Industri perkayuan memegang peranan penting terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara. Sejalan dengan penuruan ketersediaan bahan baku untuk industri dan meningkatnya biaya tenaga kerja pada industri berbasis kayu maka mebel kayu merupakan industri kecil yang berpeluang untuk dikembangkan. Industri mebel kayu tidak hanya diharapkan untuk memperoleh devisa tetapi juga akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional karena memiliki nilai tambah yang tinggi, mempunyai keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor lain, menciptakan lapangan kerja, memiliki pertumbuhan pasar yang baik, dan berdaya saing cukup tinggi. Data statistik UN COMTRADE (2008) mermperlihatkan bahwa sektor industri mebel terus mengalami peningkatan ekspor mebel dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Negara tujuan ekspor mebel Indonesia yang utama adalah Amerika Serikat (37%), Jepang (12%), Inggris (8%) dan Belanda (8%), Jerman (7%), dan Perancis (7%). Selain itu, ekspor juga ditujukan ke negara-negara Italia, Belgia, Spanyol, dan Australia. Sebagai sentra industri mebel kayu di Indonesia, Kabupaten Jepara mempunyai peranan yang sangat penting di dalam perekonomian nasional. Menurut Roda et al (2007) industri mebel kayu yang terdapat di Jepara adalah 15.271 industri dan menyerap tenaga kerja sebanyak 176.470 orang. Berdasarkan data BPS Kabupaten Jepara tahun 2007, total perdagangan mebel dari Jepara untuk tahun 2007 mencapai 37.894.523,92 kg mebel dengan nilai produksi US$ 94.604.782,15. Melihat kontribusi yang diberikan oleh industri mebel maka industri mebel harus mendapatkan perhatian tidak hanya pada aspek pasar mebel kayu jati di Jepara tetapi juga aspek pemasarannya. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis keterkaitan manajemen usaha pengrajin terhadap keberlangsungan industri mebel pengrajin, (2) menganalisis pasar (marjin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya) dan pemasaran mebel kayu jati Jepara (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen). Pengumpulan data dilakukan secara survei. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan para responden sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, ASMINDO dan instansi-instansi pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lainnya. Langkah-langkah dalam pengambilan sampel tergantung dari kelompok responden yang diambil. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif meliputi manajemen usaha pengrajin, saluran pemasaran, marjin pemasaran, efisiensi pemasaran, struktur pasar, preferensi konsumen dan preferensi produsen. Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini diperoleh bahwa saluran pemasaran yang banyak terdapat di Kabupaten Jepara adalah saluran pemasaran satu tingkat (pengrjain-eksportir+gudang-konsumen) dan saluran pemasaran empat
ii
(pengrajin-pengumpur/broker-showroom di luar Jepara+finishing-konsumen). Hasil analisis marjin pemasaran yang dilakukan terhadap produk mebel kayu jati yang umum terdapat di pasar (rak, set meja dan kursi tamu, lemari pajang dan meja makan) memperlihatkan bahwa distribusi marjin pemasaran paling besar terdapat pada lembaga pemasaran akhir. Hal ini karena adanya proses nilai tambah yang dilakukan oleh lembaga pemasaran akhir tersebut. Besarnya sebaran marjin pemasaran tersebut adalah rak (50%), set meja dan kursi tamu (60%), lemari pajangan (68%) dan meja makan (63%). Adapun hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya yang dilakukan pada masing-masing lembaga pemasaran diketahui bahwa nilai rasio tertinggi terdapat pada pengumpul. Hal ini karena biaya yang dikeluarkan oleh pengumpul lebih sedikit dari biaya yang dikeluarkan oleh pengrajin dan pemilik toko. Struktur pasar yang terbentuk pada tingkat pengrajin dan pemilik toko/showroom berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan indeks Herfindahls adalah struktur pasar persaingan monopolistik. Hal ini karena pada tingkat pengrajin dan toko/showroom, pasar mebel kayu jati di Jepara tersegmentasi berdasarkan harga, produk dan lokasi. Analisis yang dilakukan terhadap manajemen usaha pengrajin mebel kayu jati Jepara memperlihatkan bahwa keberlangsungan usaha pengrajin dipengaruhi oleh pengelolaan keuangan pengrajin dan manajemen produksi pengrajin. Para pengrajin sering menggunakan uang dana operasional perusahaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini menyebabkan pengrajin mengalami kesulitan keuangan ketika mendapatkan order. Manajemen produksi pengrajin pada penelitian ini ditinjau dari bentuk kerjasama dengan pembeli, kemampuan menentukan harga dan negosiasi dan pengrajin akses terhadap pembeli. Pengrajin yang menjalin kerjasama dengan pembeli secara bebas akan memperoleh harga jual yang lebih rendah jika dijual pada lembaga pemasaran pada tingkat yang sama. Rendahnya harga beli ini disebabkan (1) adanya kekhawatiran dari pembeli terhadap kualitas mebel yang diperoleh selain dari langganan mereka, (2) mebel yang dijual tidak mempunyai spesifik produk, (3) mebel yang sejenis banyak diproduksi oleh pengrajin lain, dan (4) pembelian mebel konsumen lebih sedikit dibandingkan dengan mebel yang diproduksi oleh pengrajin. Sebaliknya mebel yang dijual secara berlangganan memperoleh harga jual yang pasti. Para pemilik toko dan para pengumpul menyatakan dengan membeli secara langganan maka kualitas mebel mereka akan terjaga sehingga kepercayaan konsumen terhadap mebel mereka juga akan terjaga. Para pengrajin mebel usaha skala kecil pada umumnya telah berinisiasi dalam menentukan harga mebel dalam bernegosiasi. Namun terdapat hal-hal tertentu yang menyebabkan pada akhirnya harga jual lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang perantara yaitu kualitas mebel yang rendah, model yang sama, dan tidak adanya bentuk kerjasama penjualan mebel. Adanya kebutuhan belanja rumah tangga yang mendesak seringkali menyebabkan mebel juga dijual dengan harga yang murah. Kemampuan para pengrajin mebel yang rendah dalam mengakses pembeli selain disebabkan rendahnya kualitas sumber daya pengrajin juga karena tertutupnya akses informasi pasar mebel dari tingkat pengumpul dan lembaga pemasaran lainnya. Kerahasiaan ini dilakukan para pengumpul dan lembaga pemasaran lainnya dengan tujuan untuk pertahankan kelangsungan usaha mereka. Selain itu lokasi para pengrajin yang jauh dari pasar juga menyebabkan akses ke pembeli menjadi rendah.
iii
Pada aspek pemasaran, terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan oleh konsumen sebelum melakukan pembelian yaitu tahapan proses pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, proses pembelian dan perilaku pascapembelian. Pada tahap pengenalan kebutuhan, motivasi pembelian mebel oleh konsumen disebabkan mebel yang dimiliki oleh konsumen telah rusak dan manfaat yang diinginkan adalah fungsi sesuai kebutuhan. Pada tahap pencarian informasi, media yang banyak digunakan oleh konsumen untuk memperoleh informasi mengenai mebel yang akan dibeli adalah bersumber dari keluarga/kolega. Evaluasi alternatif dilakukan oleh konsumen terhadap kualitas dan harga mebel jati Jepara. Pada umumnya konsumen lebih menyukai membeli mebel di toko yang terdapat di sepanjang jalan. Adapun pertimbangan konsumen lebih disebabkan lokasi tersebut mudah dijangkau oleh konsumen dan tersedianya banyak pilihan produk. Keputusan konsumen dalam membeli mebel lebih bergantung kepada situasi yaitu hanya jika produk mebel mereka telah rusak. Produk mebel jati Jepara yang paling disukai oleh konsumen adalah set meja dan kursi tamu dengan harga lebih dari Rp 2.000.000. Konsumen pada penelitian ini menyatakan puas terhadap mebel yang mereka beli dan sebagian besar menyatakan akan kembali membeli mebel di tempat yang sama. Ketidakpuasan konsumen disebabkan harga beli mebel tidak sesuai dengan kualitas mebel dimana mebel tersebut seringkali terlihat retak-retak pada permukaan mebel setelah beberapa bulan pembelian. Hasil analisis terhadap atribut bauran pemasaran pada konsumen dan produsen diketahui bahwa terdapat beberapa hal yang harus mendapat perhatian produsen untuk meningkatkan pemasaran mebel kayu jati Jepara seperti tanggapan terhadap keluhan setelah pembelian, harga mebel yang mahal, kemudahan memperoleh produk, dan jaringan distribusi. . Kata Kunci: Pasar mebel kayu jati Jepara, manajeman usaha pengrajin, preferensi konsumen dan preferensi produsen.
ABSTRACT KASMALIA SARI. Marketing of Jepara Teak Furniture. Under direction of DODIK RIDHO NURROCHMAT and BAHRUNI. Teak furniture has been a special product of Jepara District, Province of Central Java. It is not only contributed to foreign exchange revenue, but also it is stimulating national economic growth. Thus, it is important to obtain information about various aspects of teak furniture’s market including market channels, market margin, industrial management, and consumers and producers preference. The aims of this study are to analyze: (1) the financial management of small scale industries related to sustainability of their furniture industries. (2) management of small scale industries, (3) market channels, marketing margin, profit margin ratio, market structure, and consumer’s preference. This study was conducted through a survey method. Primary data were collected by direct interview, and then analyzed using quantitative and qualitative analyses. Secondary data were collected from several related institutions. The results show that: (1) small scale industries in Jepara have low capability in managing their financial and their production system, (2) there is a variability in marketing margin of the furniture product caused by additional operational cost at the broker level and additional production cost at the semi-finished product in furniture outlet, (3) the highest profit margin ratio is at the broker level because the broker spend less operational cost than the others (4) Market structure at small-scale industries and furniture outlet is monopolistic since it is characterised by segmented on price, product and location. There are some different preferences between producers and consumers in marketing mix strategy. The producers have to give more intention to: (1) complaint after buying, (2) high price of teak furniture, (3) availability of the product, (4) distribution of outlet/showroom. Key word: teak furniture market, management of small scale enterprises, consumers and producers preferences
©Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S.
Judul Tesis
:
Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara
Nama
:
Kasmalia Sari
NRP
:
E151070171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop Ketua
Dr. Ir. Bahruni, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 16 Pebruari 2010
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema dari penelitian ini adalah “Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara”. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini yaitu: 1. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. dan Dr. Ir. Bahruni,M.S. selaku dosen pembimbing serta Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S. selaku dosen penguji. 2. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Departemen Manajemen Hutan yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini 3. Departemen Kehutanan sebagai sponsor dan pimpinan Pusat Kerjasama Luar Negeri yang memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 ini. 4. Teman-teman IPH angkatan 2007 untuk kebersamaan, persahabatan serta bantuannya dalam penyelesaian karya tulis ini. 5. Toko mebel Anditya Furniture, Toko Cahaya Rumah, dan Bogor Trade Mall serta toko yang lainnya atas fasilitas yang diberikan selama peneliti melakukan penelitian. 6. Papa, mama dan adik-adik serta seluruh keluarga khususnya suamiku tercinta Erwin Prasetyo, S.H. atas segala doa,kesabaran dan dukungannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Insya Allah. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Bogor, Pebruari 2010 Kasmalia Sari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, 6 Juni 1974 dari Papa H. Zainun Zainal dan Mama Hj. Syofnimar. Penulis menempuh dan menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Medan. Sementara itu, Pendidikan Sarjana Strata 1 ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998. Penulis saat sekarang bekerja di Pusat Kerjasama Luar Negeri, Departemen Kehutanan. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .................................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 1.4. Hipotesis ............................................................................................... 1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................... 1.6. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 1.7. Kerangka Pemikiran ...............................................................................
1 3 5 5 5 6 6
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mebel .................................................................................................... 2.2. Sumber Bahan Baku Kayu ....................................................................... 2.3. Pemasaran ............................................................................................. 2.4. Saluran dan Lembaga Pemasaran ........................................................... 2.5. Margin Pemasaran ................................................................................. 2.6. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ........................................................ 2.7. Struktur Pasar ........................................................................................ 2.8. Preferensi Konsumen .............................................................................
8 9 10 11 13 14 14 16
3. METODE 3.1. Lokasi dan Waktu .................................................................................. 3.2. Tehnik Pengumpulan Data ...................................................................... 3.3. Analisis Data ................................................................................ 3.3.1. Manajemen Usaha Pengrajin ...................................................... 3.3.2. Analisis Saluran Pemasaran ........................................................ 3.3.3. Analisis Marjin Pemasaran .......................................................... 3.3.4. Struktur Pasar ............................................................................. 3.3.5. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ............................................. 3.3.6. Preferensi Konsumen dan Preferensi Produsen ............................
21 21 22 22 22 22 24 25 25
xiii
4. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Jepara, Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Jakarta ............................................................................................ 4.2. Gambaran Umum Perusahaan ................................................................. 4.3. Karakteristik Responden .........................................................................
28 31 32
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara ......................................................... 5.1.1. Saluran Pemasaran ...................................................................... 5.1.2. Analisis Marjin Pemasaran .......................................................... 5.1.3. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ............................................. 5.1.4. Struktur Pasar ............................................................................. 5.2. Manajemen Usaha Pengrajin ................................................................... 5.2.1. Pengelolaan Keuangan ................................................................ 5.2.2. Manajemen Perencanaan Sistem Produksi ................................... 5.3. Preferensi Konsumen .............................................................................. 5.3.1. Pengenalan Kebutuhan ................................................................ 5.3.2. Mencari Informasi ....................................................................... 5.3.3. Evaluasi Alternatif ...................................................................... 5.3.4. Proses Pembelian ........................................................................ 5.3.5. Perilaku Pasca Pembelian ............................................................ 5.4. Bauran Pemasaran Konsumen ................................................................. 5.4.1. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Produk ................ 5.4.2. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Harga ................... 5.4.3. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Lokasi Penjualan 5.4.4. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Promosi .............. 5.5. Bauran Pemasaran Produsen ................................................................... 5.5.1. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Produk ................ 5.5.2. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Harga ................... 5.5.3. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Lokasi Penjualan 5.5.4. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Promosi ..............
39 39 42 43 44 45 45 47 52 53 55 57 62 69 71 71 73 75 76 78 78 80 81 82
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan .............................................................................................. 6.2. Saran ......................................................................................................
84 85
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
86
LAMPIRAN .........................................................................................................
90
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Statistik kayu bulat tahun 2007 ..................................................................
10
2. Perkiraan margin keuntungan mebel kayu ..................................................
14
3. Karakteristik struktur pasar .........................................................................
15
4. Rataan marjin pemasaran rak, set kursi tamu, lemari pajangan dan meja makan .................................................................................................
43
5. Distribusi sebaran marjin pemasaran rata-rata .............................................
43
6. Nilai indeks konsumen untuk atribut produk ..............................................
72
7. Nilai indeks konsumen untuk atribut harga .................................................
73
8. Nilai indeks konsumen untuk atribut lokasi penjualan ................................
76
9. Nilai indeks konsumen untuk atribut promosi .............................................
78
10. Nilai indeks produsen untuk atribut produk ..............................................
80
11. Nilai indeks produsen untuk atribut harga .................................................
81
12. Nilai indeks produsen untuk atribut lokasi penjualan ................................
82
13. Nilai indeks produsen untuk atribut promosi .............................................
83
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Nilai validitas ................................................................................
86
2. Hasil pengujian reabilitas ...............................................................
87
3. Nilai indeks Herfindahls pengrajin .................................................
88
4. Nilai indeks Herfindahls showroom/toko .......................................
89
5. Rasio keuntungan terhadap biaya ...................................................
90
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Industri perkayuan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara.
Perkembangan industri
kayu di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an dengan mengekspor log. Pada awal tahun 1980-an, industri perkayuan berkembang ke arah industri pengergajian. Pada pertengahan tahun 1980-an pemerintah melarang ekspor log dan kayu gergajian yang mendorong tumbuhnya industri kayu olahan. Namun krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan industrti kayu olahan menjadi kurang berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurang tersedianya bahan baku (Nurrochmat et al. 2008). Sejalan dengan penurunan ketersediaan bahan baku untuk industri dan meningkatnya biaya tenaga kerja pada industri berbasis kayu, mebel kayu merupakan industri kecil yang berpeluang untuk dikembangkan yang tidak hanya diharapkan untuk memperoleh devisa tetapi juga akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional karena
memiliki nilai tambah yang tinggi, mempunyai
keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor lain, menciptakan lapangan kerja, memiliki pertumbuhan pasar yang baik, dan berdaya saing cukup tinggi. Berdasarkan data statistik tahun 2000 – 2005 industri mebel memberikan kontribusi sebesar 17% terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2005 ekspor mebel mencapai US$ 1,78 milyar (ASMINDO dalam Departemen Kehutanan 2007a) dengan rincian mebel kayu 75%, mebel rotan 20% dan mebel dari logam atau plastik 5%.
Ekspor dari mebel kayu memberikan kontribusi sebesar 2,6%
terhadap total pertumbuhan, dimana Indonesia berada pada peringkat ke-11 dari 20 besar eksportir mebel dunia. Negara tujuan ekspor mebel Indonesia yang utama adalah Amerika Serikat (37%), Jepang (12%), Inggris (8%) dan Belanda (8%), Jerman (7%), dan Perancis (7%). Selain itu, ekspor juga ditujukan ke negara-negara Italia, Belgia, Spanyol, dan Australia. Menurut data ASMINDO (2008) ekspor mebel dari Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Statistik UN COMTRADE (2008)
memperlihatkan peningkatan nilai perdagangan mebel kayu dari tahun 2003
2
sampai tahun 2007.
Pada tahun 2007 nilai perdagangan yang diperoleh dari
mebel kayu adalah sebesar US$ 1.100.910.720. Jumlah ini lebih besar dari nilai perdagangan mebel tahun 2006 (US$ 1.051.207.049).
Gambar 1. Nilai perdagangan mebel kayu indonesia tahun 2003 – 2007 (US$) Sumber: Data Statistik UN COMTRADE (Mebel dengan kode HS 1996)1
Sebagai sentra industri mebel kayu di Indonesia, Kabupaten Jepara mempunyai peranan yang sangat penting di dalam perekonomian nasional. Menurut Roda et al. (2007) industri mebel kayu yang terdapat di Jepara adalah 15.271 industri dan menyerap tenaga kerja sebanyak 176.470 orang. Berdasarkan data BPS Kabupaten Jepara tahun 2007, total perdagangan mebel dari Jepara untuk tahun 2007 mencapai 37.894.523,92 kg perabotan dengan nilai produksi US$ 94.604.782,15. Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan bahwa industri mebel kayu adalah salah satu industri yang sanggup bertahan ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997.
Hal ini diketahui dari pertumbuhan industri mebel kayu Jepara dan
peningkatan penyerapan tenaga kerja. Jumlah industri mebel kayu pada tahun 1997 sebanyak 2.439. Jumlah industri pada tahun 2007 meningkat menjadi 3.710 (Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Jepara, 2008). Begitu juga dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 1997 sebanyak 38.264 tenaga kerja meningkat menjadi 49.192 tenaga kerja pada tahun 2007. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Roda et al (2007) memberikan hasil yang berbeda, dimana jumlah 1
kode HS1996 (furniture, woodes, nes (940360); Office furniture, wooden, nes (940330); bedroom furniture, wooden, nes (940350); kitchen furniture, wooden, nes (940340)
3
industri dan tenaga kerja pada tahun 2002 adalah sebanyak 12.000 industri dan 140.000 tenaga kerja. Pertumbuhan industri mebel kayu pasca krisis ekonomi memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Melihat kontribusi yang diberikan oleh industri mebel maka industri mebel harus mendapatkan perhatian tidak hanya pada aspek pasar mebel kayu jati di Jepara tetapi juga aspek pemasarannya. Pada aspek pasar mebel kayu jati Jepara yang perlu diketahui adalah saluran pemasaran mebel kayu jati, marjin pemasaran, struktur pasar dan rasio keuntungan terhadap biaya. Dalam kaitannya dengan pemasaran mebel kayu Jepara, hal lain yang perlu diketahui adalah preferensi konsumen rumah tangga terhadap mebel kayu Jepara. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis manajemen usaha pengrajin.
1.2. Perumusan masalah Secara umum, permasalahan yang dihadapi industri kayu Jepara dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu masalah internal dan masalah eksternal. Masalah internal yang terdapat pada pengrajin adalah perilaku pengrajin dalam mengelola keuangan yang mengakibatkan pengrajin mengalami kesulitan modal untuk kelangsungan usaha jangka panjang.
Masalah internal lainnya adalah
ketidakmampuan pengrajin dalam mencari informasi untuk mengembangkan pasar. Ketidakmampuan ini mengakibatkan pengrajin tidak bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, dimana perubahan harga mebel di tingkat pengrajin jauh lebih rendah dari perubahan harga di tingkat lembaga pemasaran akhir. Lembaga pemasaran yang sekaligus melakukan kegiatan finishing pada produk akhir memperoleh keuntungan tertinggi yaitu antara 22% sampai 75% (Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006) sedangkan pengrajin hanya memperoleh keuntungan antara 4% sampai 15% (Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006). Permintaan mebel yang tinggi telah mendorong pertumbuhan industri mebel dan industri pendukung mebel. Kondisi ini menyebabkan banyak pelaku baru memasuki usaha industri mebel. Keadaan ini didukung dengan terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan peningkatan nilai dollar terhadap rupiah dan peningkatan keuntungan dari ekspor. Sesuai dengan teori harga, peningkatan harga menyebabkan banyak pelaku-pelaku baru
4
memasuki industri tersebut sehingga pada satu sisi mencerahkan dunia usaha mebel.
Namun disisi lain menyebabkan harga produk menjadi tereduksi
disebabkan terjadinya persaingan di antara sesama produsen. Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan jumlah industri mebel mengalami peningkatan dari 2.439 industri pada tahun 1997 menjadi 12.000 industri pada tahun 2007 (Roda et al. 2007). Perkembangan industri mebel ini mengakibatkan tingkat persaingan yang semakin tinggi antara industri mebel kayu Jepara dengan industri mebel kayu non Jepara.
Seiring dengan kenaikan suplai mebel
menyebabkan harga-harga mebel menjadi tereduksi. Bahkan dampak yang diakibatkan oleh kelebihan suplai mebel juga menyebabkan keuntungan yang diperoleh pengrajin mebel menjadi sedikit. Selain itu terdapat juga pengrajin yang menutup usaha mebelnya disebabkan keuntungan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya produksi. Hal ini juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan baku yang mencapai 70% tetapi kenaikan harga mebel hanya 30%. Penjelasan permasalahan di atas merupakan permasalahan eksternal yang terdapat pada industri mebel kayu Jepara. Masalah eksternal lainnya adalah produksi pengrajin yang berbasis order dari pedagang perantara.
Pola produksi pengrajin yang
berbasiskan order mengakibatkan pola produksi intermetan atau tidak kontinue sehingga volume produksi pengrajin tergantung pada perkembangan permintaan. Keadaan ini menimbulkan tidak adanya suatu pola manajemen bahan baku dalam mengantisipasi perkembangan permintaan.
Pada sistem ini pengrajin tidak
berada pada posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga. Jumlah pengrajin yang banyak menyebabkan pembeli mempunyai banyak pilihan terhadap pengrajin lainnya, jika pengrajin yang dituju tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan.
Adanya desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan pengrajin
menerima harga yang ditetapkan oleh pembeli atau pedagang perantara. Keberhasilan pemasaran mebel tidak terlepas dari penguasaan produsen terhadap preferensi konsumen. Tingkat persaingan yang tinggi di sektor mebel mengharuskan produsen untuk mengetahui keinginan konsumen.
Kepuasan
konsumen terhadap suatu produk mebel dari Jepara akan berujung kepada peningkatan
pangsa
pasar
dari
mebel
tersebut.
Untuk
tetap
dapat
mempertahankan pangsa pasar mebel kayu Jepara, maka produsen harus
5
menerapkan satu strategi untuk menarik minat konsumen membeli produk mebel kayu dari Jepara. Produsen harus senantiasa memahami konsumen, mengetahui apa yang dibutuhkan konsumen, selera konsumen dan bagaimana mengambil keputusan sehingga perusahaan mampu mengambil strategi yang tepat untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Berdasarkan kendala-kendala internal dan eksternal, yaitu kendala manajemen usaha pengrajin, kendala pasar dan kendala pemasaran sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas, diperlukan langkah penyesuaian agar industri mebel dapat bertahan dan berkembang serta dapat mendukung perekonomian rumah tangga pengrajin.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis
keterkaitan
manajemen
usaha
pengrajin
terhadap
keberlangsungan industri mebel pengrajin. 2.
Menganalisis pasar (margin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya) dan pemasaran produk mebel (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen).
1.4. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1.
Kekurangtepatan manajemen usaha pengrajin mebel jati mengakibatkan terhambatnya perkembangan industri mebel.
2.
Perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam pasar dan pemasaran akan dapat mendorong perkembangan industri mebel kayu jati sehingga pengrajin mempunyai kesempatan untuk berkembang dan bertahan.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam merencanakan, membentuk dan mengevaluasi sistem
6
pemasaran mebel kayu jati Jepara dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pengrajin.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian Aspek yang dipelajari dalam penelitian ini meliputi semua unsur-unsur di dalam bisnis mebel yang mencakup manajemen usaha pengrajin, pasar (margin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya), dan pemasaran (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen) dengan batasan penelitian sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian untuk manajemen usaha pengrajin dan pasar mebel kayu jati meliputi pengrajin mebel jati, toko mebel dan eksportir mebel di Kabupaten Jepara. Sedangkan lokasi penelitian preferensi konsumen dilakukan di Bogor dan Jakarta. 2. Lingkup pelaku pemasaran mebel kayu meliputi pengrajin, pedagang pengumpul, toko/showroom di Jepara dan di luar Jepara.
1.7. Kerangka Pemikiran Industri mebel kayu jati Jepara memberikan konstribusi yang cukup besar tidak hanya untuk perekonomian kabupaten Jepara tetapi juga untuk perekonomian nasional.
Perkembangan industri mebel kayu jati Jepara dan
tingginya tingkat persaingan menyebabkan produksi mebel menjadi berkurang seiring dengan menurunnya tingkat keuntungan yang diperoleh pengrajin. Analisis manajemen usaha pengrajin meliputi analisis pengenai pengelolaan keuangan pengrajin dan analisis perencanaan produksi pengrajin. Adapun analisis pasar berupa analisis margin pasar, rasio keuntungan terhadap biaya dan struktur pasar. Untuk pemasaran produk mebel dilakukan dengan menganalisis saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen.
Keseluruhan hasil
analisis ini akan dipergunakan untuk mengembangkan usaha pengrajin mebel kayu jati Jepara. Kerangka pemikiran dari penelitian Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara seperti terlihat pada Gambar 2.
7
-
Analisis : pemasaran (marketing mix) potensi pasar dan struktur pasar manajemen usaha pengrajin
Pengembangan usaha pengrajin mebel
Preferensi konsumen dan preferensi produsen
Lembaga pemasaran: - Pengumpul - Toko/showroom - Eksportir
Arus permintaan
Arus distribusi produk
-struktur pasar -margin pemasaran -rasio keuntungan terhadap biaya -manajemen usaha pengrajin
Kondisi saat ini
Konsumen akhir
Pengrajin
Pedagang Kayu
Gambar 2. Bagan kerangka pemikiran penelitian pemasaran mebel kayu Jepara
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mebel Kata mebel atau furnitur di dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah perabot yang diperlukan, berguna, atau disukai, seperti barang-barang yang dipindahpindah, digunakan untuk melengkapi rumah dan kantor (Anonim 2009). Indonesia dikenal sebagai salah satu negara eksportir mebel terbesar di dunia. Pada awal tahun 2000, Indonesia masuk dalam urutan ke 15 diantara eksportir mebel di dunia. Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dalam USAID (2007) menunjukkan pada tahun 2006 posisi ekspor produk mebel Indonesia di dunia berada pada peringkat 8 dengan urutan dari peringkat tertinggi Cina, Kanada, Meksiko, Italia, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan. Industri mebel telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian nasional, dimana perkembangan ekspor mebel Indonesia tahun 2001 sampai dengan 2006 menunjukkan trend meningkat. Pada tahun 2004 nilai ekspor mebel Indonesia mencapai US$ 1,129,502,649 dan meningkat menjadi US$ 1,326,300,209 pada tahun 2005. Pertumbuhan nilai ekspor mebel Indonesia dari tahun 2004 dan 2005 sebesar 6,14%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor tersebut selama 6 tahun sebesar 7,37% (USAID 2007). Usaha mebel telah lama dikenal di Indonesia dan merupakan budaya turuntemurun. Kabupaten Jepara merupakan sentra industri mebel di Indonesia. Industri permebelan ini didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri - industri besar. Penyerapan tenaga kerja per US$ 100 investasi adalah yang terbanyak diantara seluruh sektor industri kehutanan (Departemen Kehutanan 2007). Kebutuhan bahan baku kayu industri mebel dan kerajinan adalah sekitar 7 – 7,5 juta m3 per tahun dan umumnya jenis kayu jati, mahoni, pinus, acasia, gmelina, durian, mangga, mbacang, kuweni, bungur, sonokeling, mindi, waru, kayu karet dan sebagian kecil kayu-kayu yang berasal dari hutan alam, seperti meranti,
nyatoh,
bangkirai,
kempas
(Departemen
Kehutanan
2007).
Perkembangan industri mebel berdampak kepada semakin meningkatnya
9
permintaan bahan baku kayu. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industi mebel di Jepara adalah sebanyak 1.5 juta – 2.2 juta m3 (Roda et al. 2007). Kebutuhan ini melebihi kemampuan produksi log oleh Departemen Kehutanan untuk Pulau Jawa yaitu sebesar 923.632 m3 pada tahun 2004.
Permintaan bahan baku kayu
diperkirakan meningkat drastis sehubungan dengan peningkatan jumlah industri mebel sebanyak 15.271 pada tahun 2007. Seiring dengan pertumbuhan industri mebel kayu Jepara maka industri pendukung juga bertambah banyak.
Roda et al. (2007) menyatakan bahwa
perusahaan mebel di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu atau lebih lembaga pemasaran mebel yang terdapat di Jepara. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jumlah perusahaan yang terkait dengan pembuatan mebel di Jepara berdasarkan kegiatan ekonomi dan ukuran terdiri atas bengkel, ruang pamer, tempat penimbunan kayu, tempat penggergajian kayu, gudang dan toko perlengkapan mebel.
Berdasarkan struktur produksi
perusahaan di Jepara dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu, yang menghasilkan produk jadi atau produk setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah, (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan pihak ketiga, (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Selain hal tersebut di atas, industri yang terkait dengan mebel Jepara juga dilihat berdasarkan sumber bahan kayu, yaitu: (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara dan (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Pada umumnya, kelompok kedua tidak mempunyai modal yang cukup untuk membeli semua kayu bulat yang diperlukannya sehingga mereka mendapatkan pinjaman dari pembelinya.
2.2. Sumber Bahan Baku Kayu Produksi mebel kayu Jepara dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku kayu. Sumber bahan baku kayu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kayu yang berasal dari Perum Perhutani dan hutan rakyat. Kayu yang
10
berasal dari Perum Perhutan seperti Jati dan Mahoni. Sementara, kayu yang berasal dari hutan rakyat sangat beragam seperti kayu mangga, durian dan lainlain. Selain dari daerah Jepara terdapat juga kayu yang berasal dari luar Jepara diantaranya seperti dari Yogyakarta, Cepu, dan Wonogiri (Roda et al. 2007). Berdasarkan data statistik Departemen Kehutanan (2008), produksi kayu bulat yang dihasilkan oleh Provinsi Jawa Tengah untuk jati adalah sebanyak 186.613 m3 dan untuk mahoni sebanyak 21.200 m3 (Tabel 1).
Produksi kayu
bulat Provinsi Jawa Barat dan Banten untuk jenis jati adalah 137.173 m3 dan mahoni 16.180 m3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menghasilkan kayu bulat jati sebanyak 1.229 m3. Data statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Jepara (2008) menyatakan bahwa jumlah produksi kayu di Kabupaten Jepara adalah sebesar 21.841,5 m3. Produksi hasil hutan tersebut berasal dari hutan rakyat, yang terdiri dari jati (135.7803 m3), mahoni (2.255,2 m3), sengon (10.102,6 m3) dan jenis lain (9.347,9 m3). Adapun produksi kayu yang berasal dari Perhutani untuk kayu jati adalah 491.262m3 dan kayu mahoni sebanyak 51.202m3. Tabel 1 Statistik kayu bulat tahun 2007 No
Provinsi
1
Jawa Barat dan Banten
2
Jawa Tengah
3
Daerah Istimewa Yogyakarta
4
Jawa Timur
Jenis Kayu Bulat Jati
Realisasi (m3)
Mahoni Jati
16.180 186.613
Mahoni Jati
21.200 1.229
137.173
Jati
191.269
Mahoni
14.543 568.207
Jumlah
Keterangan
Sumber: Perum Perhutani Unit III Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sumber: Perum Perhutani Unit III
Sumber: Statistik Departemen Kehutanan (2008)
2.3. Pemasaran Menurut Kotler dan Keller (2007) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajemen, dimana individu-individu atau kelompok dapat memenuhi kebutuhan
11
dan keinginannya melalui pembuatan dan pertukaran suatu produk dan uang dengan individu-individu atau kelompok-kelompok lainnya.
Sudiyono (2002)
menyatakan bahwa pemasaran di dalam pertanian adalah proses aliran barang dari produsen ke konsumen yang terjadi di dalam pasar, dimana terjadi penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses penyimpanan. Pemasaran menurut Bell (1996) dalam Sudiyono (2002) merupakan bagian manajemen yang diterapkan secara strategis dalam perencanaan, pengaturan dan pengawasan dengan motivasi untuk mencapai keuntungan dengan jalan memenuhi kebutuhan konsumen secara baik dengan melakukan integrasi ke belakang (backward linkage) maupun integrasi ke depan (forward linkage). Integrasi usaha ke belakang pada umumnya bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, sedangkan integrasi ke depan lebih menekankan aspek pemasaran.
2.4. Saluran dan Lembaga Pemasaran Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai suatu serangkaian organisasi yang saling tergantung, yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran tersebut bertujuan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan. Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa di dalam saluran pemasaran terdapat lembaga-lembaga pemasaran yaitu badan-badan atau lembaga baik perorangan maupun kelembagaan, yang berusaha dalam bidang pemasaran yang menggerakkan barang dari titik produsen sampai ke titik konsumen melalui penjualan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam memilih saluran pemasaran, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti : 1. Pertimbangan pasar yang meliputi konsumen sebagai sasaran akhir, yaitu mencakup potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan membeli dan volume pesanan.
12
2. Pertimbangan produk yang meliputi nilai barang per unit, berat barang, tingkat kesukaran, sifat teknis barang, apakah barang tersebut memenuhi pesanan dan pasar. 3. Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi besarnya modal dan sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan. 4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai pemasaran yaitu kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan perusahaan. Selain pertimbangan tersebut di atas, banyaknya tingkat saluran pemasaran juga merupakan hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan di dalam memilih saluran pemasaran.
Panjangnya suatu saluran pemasaran ditentukan oleh banyaknya
tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa.
Tingkat saluran
pemasaran tersebut sebagai berikut: 1. Saluran non tingkat (zero level channel) atau dinamakan sebagai saluran pemasaran langsung, adalah saluran dimana produsen atau pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen. 2. Saluran satu tingkat (one level channel) adalah saluran yang menggunakan satu perantara. 3. Saluran dua tingkat (two level channel), saluran yang mempunyai dua perantara 4. Saluran tiga tingkat (three level channel), saluran dengan 3 perantara. Lembaga-lembaga pemasaran yang terdapat pada saluran pemasaran biasanya terdiri atas produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, broker, eksportir, importir atau lainnya. Adanya lembaga pemasaran ini di negara berkembang memperlihatkan lemahnya pemasaran pertanian, dimana kompetisi pasar yang terjadi akan menentukan mekanisme pasar (Soekartiwi 1993). Saluran pemasaran mebel kayu Jepara dilihat dari aspek bahan baku dan aspek produk mebel. Saluran pemasaran kayu untuk bahan baku mebel kayu di Pulau Jawa pada umumnya dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Saluran pemasaran langsung terdapat pada industri skala besar yang langsung membeli kayu dari Perum Perhutani atau dari hutan rakyat. Sebaliknya industri skala kecil membeli log atau kayu gergajian dari agen atau middlemen. Pembelian kayu jati dari Perum Perhutani dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1)
13
pembelian langsung di tempat penimbunan kayu, (2) penawaran di tempat penimbunan kayu, (3) penjualan berdasarkan kontrak, dan (4) penjualan dalam bentuk kayu gergajian atau produk lain. Pada umumnya rumah tangga membeli mebel kayu melalui lembaga pemasaran seperti outlet/toko mebel (59%), pesan langsung dari pengrajin (25%), lembaga pemasaran lain (14%) dan pameran mebel (2%).
Berdasarkan data
tersebut di atas, outlet atau toko mebel adalah lembaga pemasaran yang paling efektif untuk menjual mebel kayu di Indonesia. Pemasaran melalui pameran mebel lebih difokuskan untuk konsumen kelas atas dan biasanya terdapat di kotakota besar.
Produk mebel yang dibeli toko mebel diperoleh melalui beberapa
cara, yaitu membeli langsung di industri skala kecil (35%), membuat sendiri (27%), diperoleh dari agen khusus untuk mebel pabrikan (23%), dan pesanan khusus (15%) (Departemen Kehutanan 2007a).
2.5. Marjin Pemasaran Marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima oleh produsen (Sudiyono 2002). Tomek dan Robinson (1977) dalam Sallatu (2006) serta Friendman (1962) dalam Sudiyono (2002) mendefinisikan marjin pemasaran sebagai berikut: (1) marjin pemasaran merupakan perbedaan harga antara produsen dengan konsumen, dan (2) marjin pemasaran merupakan kumpulan balas jasa yang diterima oleh lembaga pemasaran. Berdasarkan definisi yang pertama, Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran.
Pada definisi kedua membawa konsekuensi berbeda,
dimana jasa penawaran sering dikaitkan dengan penambahan utility dari guna bentuk (form utility), guna tempat (place utility), guna waktu (time utility) serta guna kepemilikan (possesion utility).
Penentuan distribusi marjin pemasaran
dilakukan untuk mengetahui berapa persen bagian total marjin yang digunakan masing-masing lembaga pemasaran ke-i (Sudiyono 2002). Marjin keuntungan yang terdapat pada lembaga-lembaga pemasaran mebel kayu memiliki nilai yang berbeda antara satu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran yang lain.
Nurrochmat et al. (2008) menyatakan bahwa marjin
14
keuntungan tertinggi terdapat pada industri pengolahan akhir atau penjual akhir yaitu sebesar 75% sedangkan marjin keuntungan paling kecil terdapat pada lembaga pemasaran berupa outlet. Perkiraan marjin pemasaran pada lembaga pemasaran mebel kayu sebagaimana tertera pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkiraan marjin keuntungan mebel kayu Lembaga Pemasaran
Lembaga penjual (outlet) Lembaga pemasaran produk bermerek Lembaga pemroses akhir dan penjual akhir
Perkiraan Marjin Keuntungan (%) Terendah Tertinggi 5 25 10 30 50
100
Perkiraan rata-rata marjin keuntungan (%) 15 20 75
Sumber: Nurrochmat et al. 2008
Pada tabel di atas, mebel kayu mempunyai interval marjin pemasaran yang panjang, antara 5% sampai 100%. Level marjin pemasaran dipengaruhi oleh jenis aktifitas pasar dari masing-masing aktor. Jika aktifitas dari aktor atau outlet adalah menjual (penjual), marjin pasar hanya akan menjadi 5% - 25%. Hal senada juga dinyatakan oleh Purnomo (2006) dimana marjin keuntungan terbesar diperoleh eksportir (21,9%). Sementara produsen mebel sebagai pembuat mebel hanya memperoleh marjin keuntungan sebesar 3,6%.
2.6. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Penilaian rasio keuntungan terhadap biaya dilakukan untuk mengetahui distribusi keuntungan yang terdapat pada masing-masing lembaga pemasaran.
2.7. Struktur Pasar Struktur pasar penting diketahui untuk melihat bagaimana kekuatan pasar dalam sistem pemasaran. Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi pasar, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat masuk pasar. Struktur pasar suatu komoditas yang diperjualbelikan akan menentukan pembentukan harga suatu komoditas bagi setiap lembaga pemasaran sehingga
15
hubungan harga yang diterima produsen dan harga yang harus dibayar konsumen akhir akan menentukan seberapa besar marjin pemasarannya. Menurut Hammond dan Dahl (1997) dalam Setyawan (2002) struktur pasar ditentukan oleh empat karakteristik pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan, pandangan pembeli terhadap sifat produk, kondisi keluar masuk pasar, tingkat pengetahuan seperti biaya, harga dan kondisi pasar di antara partisipan. Karakterisik yang membedakan struktur pasar disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik struktur pasar Karakteristik Jumlah Pembeli Sifat Produk atau Penjual Banyak Homogen Banyak
Terdiferensiasi
Sedikit Sedikit
Homogen Terdiferensiasi
Satu
Unik
Struktur Pasar Sudut Pandang Sudut Pandang Penjual Pembeli Pasar Persaingan Pasar Persaingan Murni Murni Pasar Persaingan Pasar Persaingan Monopolistik Monopolistik Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Oligopoli Oligopsoni terdiferensiasi terdiferensiasi Monopoli Monopsoni
Struktur pasar industri mebel kayu berbeda dengan struktur pasar pada bahan baku kayu untuk mebel. Perum Perhutani yang memiliki peranan utama dalam menyediakan bahan baku kayu berupa jati dan mahoni menyebabkan struktur pasar lebih bersifat monopoli. Hal yang berbeda terjadi pada strukur pasar mebel kayu.
Tingginya tingkat pertumbuhan mebel kayu Jepara
menyebabkan pasar mebel menjadi lebih bersaing. Struktur pasar yang terdapat pada industri mebel kayu dapat diklasifikasikan atas struktur pasar bersaing sempurna dan struktur pasar bersaing monopolistik. Struktur pasar persaingan monopolistik terbentuk disebabkan banyaknya penjual dan pembeli mebel kayu, dimana masing-masing pembeli dan penjual tersegmentasi pada model, kualitas dan harga mebel tertentu. Adapun segmentasi konsumen mebel adalah rumah tangga (64%), perusahaan (14%), lembaga pemerintah (17%), dan lain-lain (5%) (Nurrochmat et al. 2008).
16
2.8. Preferensi konsumen Menurut Kotler dan Keller (2007) preferensi konsumen merupakan suatu proses pilihan suka atau tidak suka oleh konsumen terhadap suatu produk (barang dan jasa) yang dikonsumsi.
Sedangkan Assael (1992) menyatakan bahwa
preferensi konsumen terbentuk dari persepsi konsumen terhadap produk. Persepsi yang telah mengendap dan melekat dalam pikiran akan menjadi preferensi. Persepsi dapat dipengaruhi oleh rangsangan dari produk tersebut dan rangsangan yang berasal dari simbol, kesan, dan informasi tentang produk. Preferensi konsumen terhadap produk barang dan jasa dapat diukur dengan model pengukuran yang dapat menganalisis hubungan antara produk yang dimiliki konsumen dan sikap atas produk sesuai dengan ciri atau atribut produk. Menurut Supranto (1991) perubahan preferensi konsumen disebabkan oleh faktor-faktor seperti adanya kegiatan advertensi, pendapatan yang berbeda dengan waktu sebelumnya karena kenaikan gaji atau upah, dan karena adanya barangbarang baru yang masuk di pasar.
Perubahan-perubahan tersebut disebabkan
kesempatan yang lama hilang dan muncul kesempatan-kesempatan yang baru. Kotler dan Keller (2007) menyarankan menggunakan 4 P penjualan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap costumer needs and wants, cost to the costumer, convenience, dan communication (4C) atau yang disebut kebutuhan dan biaya konsumen, kepuasan konsumen dan komunikasi terhadap konsumen suatu produk. Konsep 4P ini lebih dikenal dengan bauran pemasaran (marketing mix) yaitu perencanaan produk (product planning), distribusi (place), harga (price), dan promosi (promotion) (Kotler dan Keller 2007). Empat P menggambarkan pandangan penjual tentang alat pemasaran yang tersedia untuk mempengaruhi pembeli (Gambar 3). Menurut Barners (2000) dalam Kaplinsky dan Morris (2000), penelitian terhadap preferensi konsumen sebaiknya diikuti dengan penilaian terhadap preferensi produsen.
Adapun tujuannya adalah untuk menyatukan antara
keinginan konsumen dan keinginan produsen. Pada umumnya terdapat perbedaan antara preferensi konsumen dan preferensi produsen.
Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa perusahaan kurang memperhatikan faktor lokasi, fasilitas kredit, proses inovasi, dan kemasan yang menjadi keinginan konsumen dalam
17
pemasaran produk.
Sebaliknya produsen telah mengakomodir keinginan
konsumen terkait dengan kualitas produk, harga, pemesanan, dan conformance to standard.
Produk (Product) Keragaman produk Kualitas Design Ciri Nama merek Kemasan Ukuran Pelayanan Garansi Imbalan
Harga (Price) Daftar harga Rabat/diskon Potongan harga khusus Periode pembayaran Syarat kredit
Bauran pemasaran Tempat (place) Saluran pemasaran Cakupan pasar Pengelompokan Lokasi Persediaan Transportasi
Promosi (Promotion) Promosi penjualan Periklanan Tenaga penjualan Kehumasan/Public relation Pemasaran langsung
Gambar 3 4 P dalam bauran pemasaran (Kotler dan Keller 2007)
2.8.1 Preferensi Konsumen Terhadap Produk Assael (1992) menyatakan produk adalah sesuatu yang kompleks, baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba, termasuk kemasan, warna, harga, prestise, layanan perusahaan dan pengecer yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan konsumen. Sebelum memutuskan untuk membeli atau tidak membeli barang, menurut Kotler dan Keller (2007) terdapat lima faktor yang menjadi pertimbangan
18
konsumen yaitu : (1) atribut, yaitu mutu, harga, fungsi (fitur), desain, dan layanan purna jual; (2) merek, merek (branding) sangat penting bagi keberhasilan produk; (3) kemasan, kemasan (packaging) berpengaruh terhadap daya tarik konsumen, sehingga menimbulkan citra (image) produk; (4) label, pemberian label (labeling) berhubungan dengan kebutuhan konsumen dan atau ketentuan pemerintah; (5) pendesainan layanan produk pendukung.
Dzięgielewski dan Fabisiak (2008)
menyatakan bahwa desain merupakan faktor penting yang akan meningkatkan pendapatan dan penjualan mebel. Selain itu desain juga dapat meningkatkan pangsa pasar, memperbaiki citra perusahaan, meningkatkan daya saing perusahaan dan meningkatkan kepuasan konsumen. Kaplinsky dan Morris (2000) menyatakan hal yang sama dengan Kotler bahwa preferensi konsumen atas suatu produk diantaranya didasarkan atas kualitas, harga, layanan pemesanan, pengepakan, inovasi dan lain-lain. Namun sesungguhnya konsumen cenderung kurang mengetahui produk yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi memilih berdasarkan kebiasaan, tingkat keterlibatan rendah dan tidak dapat membedakan merek, sehingga tidak membentuk sikap yang kuat terhadap merek produk dan menimbulkan perasaan yakin bahwa produk tersebut bermanfaat bagi dirinya (Kotler dan Keller 2007).
2.8.2. Preferensi Konsumen Terhadap Harga Penentuan harga oleh suatu perusahaan dilakukan untuk mencapai keseimbangan antara laba dengan tingkat kepuasaan konsumen, disamping segmen pasar yang jelas dan mencapai tingkat penjualan yang sesuai dengan perencanaan perusahaan (Assael 1992). Artinya harga tidak boleh lebih rendah dari biaya rataan per produk jika produsen ingin memperoleh keuntungan. Zhang et al. (2002) dalam Mohamed dan Yi (2008) menyatakan bahwa harga merupakan faktor penting yang berpengaruh ketika melakukan pembelian mebel. Namun Simamora (2003) menyatakan bahwa faktor harga tidak selalu dapat digunakan untuk memenangkan persaingan karena harga tidak dapat digunakan sebagai alat untuk memenangkan persaingan. Harga rendah bukan andalan jika atribut yang diperhatikan konsumen adalah keindahan produk. Produk mebel yang terbuat dari kayu yang berkualitas/bernilai tinggi atau kayu mewah (fancy
19
wood) maka harga untuk suatu mebel lebih ditentukan oleh persepsi konsumen (Nurrochmat et al. 2008).
Begitu juga dengan konsumen di negara-negara
seperti Kanada, Kolombia dan Eropa yang lebih mengutamakan kualitas dan desain dari pada harga (Kozak et al. 2004; Forsyth et al. 1999 dan Anonim 2000 dalam Mohamed dan Yi 2008)
2.8.3. Preferensi Konsumen Terhadap Tempat Menurut Kotler dan Amstrong (1995), pemilihan tempat membeli suatu produk merupakan fungsi dari karakteristik konsumen dan toko.
Keputusan
tentang tempat dimana konsumen akan membeli suatu produk dipengaruhi oleh atribut yang mencolok dari tempat tersebut, seperti harga, iklan, dan promosi, personil penjualan, pelayanan yang diberikan, atribut fisik, pelanggan toko dan pelayanan sesudah transaksi. Preferensi konsumen terhadap tempat ini berkaitan dengan jaringan distribusi. Distribusi dalam hal ini adalah pemilihan saluran distribusi yang akan digunakan mencapai pelanggan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau kombinasi keduanya.
Pendistribusian produk
membutuhkan lokasi yang mudah dijangkau oleh konsumen seperti penjualan di showroom, toko, atau mall. Hasil penelitian Mohamed dan Yi (2008) menyatakan bahwa faktor tempat atau lokasi mebel mempengaruhi pembelian mebel oleh konsumen di Malaysia. Pada umumnya konsumen lebih banyak membeli mebel di toko-toko mebel yang dekat dengan pemukiman atau toko mebel yang mempunyai kemudahan akses transportasi.
2.8.4 Preferensi Konsumen Terhadap Promosi Salah satu cara untuk merubah persepsi konsumen diantaranya adalah dengan kegiatan promosi.
Menurut Cravens (1996) dalam Listyanti (2003)
kegiatan promosi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengkomunikasikan, menginformasikan, dan memperkenalkan produk kepada konsumen, dan pihak lain yang terkait dengan produk yang dihasilkan. Promosi juga bertujuan untuk memberitahukan, mengingatkan dan membujuk pembeli, serta pihak lain yang berpengaruh dalam proses pembelian. Kotler dan Keller (2007) mengemukakan
20
bahwa promosi adalah kegiatan yang ditujukan untuk mempengaruhi konsumen agar menjadi kenal dan senang untuk membeli produk tersebut. Promosi untuk suatu produk pada umumnya dilakukan melalui media masa seperti radio, televisi, pamflet, iklan dan sebagainya (Sutisna 2001).
3. METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah yang merupakan sentra mebel, serta Jakarta dan Bogor sebagai daerah pemasaran mebel Jepara. Penelitian dilakukan selama dua bulan (Juni-Juli 2009).
3.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara survey. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan para responden.
Data
sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, ASMINDO, dan instansi-instansi pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lainnya. Langkah-langkah dalam pengambilan sampel tergantung dari kelompok responden, sebagai berikut: 1. Penentuan sampel pertama dilakukan secara stratified sampling terhadap kecamatan-kecamatan yang menjadi sentra industri mebel Jepara. 2. Penentuan
sampel selanjutnya adalah pengrajin yang dilakukan secara
purposive sampling terhadap populasi pengrajin yang terdapat di kecamatankecamatan yang menjadi sentra industri mebel.
Jumlah sampel untuk
pengrajin diambil sebanyak 30 pengrajin. 3. Penentuan sampel selanjutnya adalah pedagang pengumpul, toko mebel, eksportir yang dilakukan secara purposive sampling. 4. Penentuan sampel kedua terhadap daerah yang menjadi tujuan pemasaran mebel kayu Jepara dilakukan secara purposive sampling. Pemilihan lokasi Jakarta dan Bogor didasarkan atas pertimbangan heteroginitas konsumen dan variasi kemampuan membeli dari konsumen. 5. Sampel selanjutnya adalah toko atau showroom mebel di luar Kabupaten Jepara dilakukan secara stratified sampling yaitu (1) toko atau showroom yang hanya menjual mebel Jepara murni, (2) toko atau showroom yang menjual
22
mebel kombinasi Jepara, (3) toko atau showroom yang menjual mebel non Jepara. 6. Penentuan responden untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap mebel dari Jepara dilakukan secara acak berdasarkan konsumen yang berbelanja di showroom atau toko dengan jumlah masing-masing 30 responden.
3.3. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat gambaran umum dan khusus dari manajemen usaha pengrajin, saluran pemasaran, struktur pasar, preferensi konsumen dan preferensi produsen.
Analisis kuantitatif untuk melihat struktur pasar dan analisis marjin
pemasaran. Sedangkan preferensi konsumen disajikan dalam bentuk tabulasi dan dianalisa.
3.3.1 Manajemen Usaha Pengrajin Manajemen usaha mebel kayu Jepara yang menjadi fokus penelitian ini ditinjau dari aspek manajemen keuangan dan perencanaan produksi pengrajin mebel skala kecil. Untuk melihat manajemen produksi ini dilakukan dengan membandingkan data antara manajemen usaha pengrajin yang masih berproduksi dengan pengrajin yang sudah tidak berproduksi.
3.3.2. Analisis Saluran Pemasaran Saluran pemasaran adalah sekumpulan pelaku pasar yang terlibat dalam kegiatan pemasaran, mulai dari pedagang kayu, pengrajin, hingga ke konsumen akhir. Saluran pemasaran dianalisis dengan mengamati lembaga pemasaran yang digunakan. Saluran-saluran pemasaran akan memperlihatkan perilaku masingmasing tingkat. Beberapa hal yang diukur dalam analisis saluran pemasaran, seperti harga beli, biaya, keuntungan dan harga jual di setiap saluran pemasaran.
23
3.3.3. Analisis Marjin Pemasaran Mebel kayu jati yang terdapat di Jepara memiliki beragam jenis mebel. Keragaman mebel di Jepara tidak hanya ragam dari jenis produk tetapi juga beragam dalam model dan ukuran. Salah satu ragam dari set meja dan kursi tamu seperti kursi rafles, kursi hongkong, kursi romawi dan kursi betawi. Walaupun produk-produk mebel yang diproduksi oleh para pengrajin mebel di Jepara sangat beragam namun secara umumnya produk ini terklasifikasi pada set meja dan kursi tamu, lemari, meja makan, tempat tidur dan rak. Melihat beragamnya berbagai mebel yang dihasilkan oleh pengrajin mebel Jepara maka pada penelitian ini jenis mebel yang digunakan untuk menghitung marjin pemasaran adalah jenis mebel yang umum diproduksi oleh pengrajin yaitu rak, set meja dan kursi tamu, lemari dan meja makan. Kemudian berdasarkan atas beragamnya produk mebel tersebut maka dalam perhitungan marjin pemasaran yang digunakan pada penelitian ini adalah margin pemasaran rata-rata pada setiap klasifikasi produk tersebut.
Marjin pemasaran rata-rata dihitung berdasarkan
harga rata-rata pada lima jenis produk mebel pada satu klasifikasi produk yang diterima oleh konsumen terhadap harga rata-rata di tingkat produsen atau pengrajin. Secara sistematis perhitungan marjin pasar dalam penelitian ini dilakukan menurut metode yang dilakukan oleh Hukama (2003) dan Rachma (2008) adalah sebagai berikut: Mi = Pri – Pfi ........................................................................................... (1) Keterangan: Mi Pri Pfi i
= Marjin pemasaran rata-rata pada lembaga pemasaran tingkat ke-i (Rp/mebel) = Harga jual rata-rata mebel di lembaga pemasaran tingkat ke-i (Rp/mebel) = Harga beli rata-rata mebel di lembaga pemasaran tingkat ke-i (Rp/mebel) = 1, 2, 3 .....n
Dengan demikian total marjin pemasaran (M) adalah: n
i, i = 1,2,3, ...n i 1
................................................................. (2)
24
Penentuan marjin pemasaran di atas dilakukan dimulai dari produsen sampai kepada lembaga pemasaran akhir. Penentuan margin pemasaran pada penelitian ini adalah marjin pemasaran rata-rata yang dominan terdapat di Jepara. Marjin pemasaran ini dinilai berdasarkan produk yang umum terdapat di Jepara yaitu set meja kursi tamu, meja makan, lemari dan rak buku.
Konsep pengukuran dalam analisis ini adalah sebagai berikut : 1. Marjin pemasaran dihitung berdasarkan perbedaan harga beli mebel rata-rata dengan harga jual rata-rata dalam rupiah. 2. Tingkat harga beli dihitung berdasarkan harga rata-rata pembelian mebel yang sejenis 3. Tingkat harga jual dihitung berdasarkan harga rata-rata penjualan mebel yang sejenis Distribusi marjin pada masing-masing lembaga pemasaran dirumuskan sebagai berikut : Mij = ((Hj-Hi) / Hk) x 100% ................................................................... (3) Keterangan: Mij Hj Hi Hk
= = = =
Marjin pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp/mebel) Harga jual rata-rata lembaga pemasaran ke-j (Rp/mebel) Harga jual rata-rata lembaga pemasaran ke-i (Rp/mebel) Harga jual rata-rata di tingkat konsumen (Rp/mebel)
3.3.4. Struktur Pasar Struktur pasar diketahui dengan menganalisis jumlah lembaga pemasaran, kondisi keluar masuk pasar, konsentrasi pasar, karakteristik dan diferensiasi produk. Selain dengan cara deskriptif struktur pasar juga dapat dianalisis dengan menggunakan Indeks Herfindahl.
Indeks Herfindahl mengukur tingkat
konsentrasi pasar yang terjadi dengan memperhitungkan penjumlahan hasil kuadrat dari pangsa pasar setiap lembaga pemasaran. Secara matematis Indeks Herfindahl adalah sebagai berikut : n
2
Xi ................................................................................................... (4) i 1 T
25
Keterangan: H=
Xi = T=
Indeks Herfindahl; jika H mendekati satu berarti pasar terkonsentrasi; jika H =1 berarti pasar monopoli; dan jika H mendekati nol berarti pasar semakin kompetitif volume penjualan yang dikuasai pedagang ke-i (m3) (i = 1, 2, ..., n) n = jumlah pedagang Total volume penjualan pedagang (m3)
3.3.5. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Rasio keuntungan terhadap biaya dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut : Rasio K-B = π / C ............................................................................................. (5) Keterangan: π = keuntungan pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp/m3) C = Biaya pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp/m3) 3.3.6.. Preferensi Konsumen dan Preferensi Produsen Penilaian preferensi konsumen dan produsen dilakukan terhadap produk mebel, harga, lokasi penjualan dan promosi berdasarkan tingkat kepuasan konsumen dan kepuasan produsen. Penentuan tingkat kepuasan konsumen dan produsen dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1
= Sangat tidak puas
2
= Tidak puas
3
= Biasa saja
4
= Puas
5
= Sangat puas
Sebelum pertanyaan diberikan kepada responden terlebih dahulu kuisioner disebarkan kepada responden untuk dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas terhadap keseluruhan pertanyaan yang mempengaruhi konsumen dalam proses keputusan pembelian. Uji validitas digunakan untuk mengukur kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dianggap valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan atau dengan kata lain mampu memperoleh data yang tepat dari variabel yang diteliti. Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur dalam mengukur gejala yang sama atau untuk mengetahui tingkat kesalahan
26
pengukuran.
Suatu kuisioner dikatakan reliabel jika kuisioner tersebut dapat
digunakan berulang-ulang kepada kelompok yang sama dan menghasilkan data yang sama. Jumlah responden yang untuk pengujian kuisioner adalah sebanyak 10% dari total responden. Uji reliabilitas dilakukan dengan metode satu kali pengukuran yaitu menggunakan korelasi Cronbach’s Alpha () dengan bantuan software SPSS. Jika r alpha positif dan nilainya lebih besar dari r tabel maka pengukuran yang kita gunakan reliabel. Rumus umum korelasi Cronbach Alpha : k rii
=
k-1
∑b2 1-
t2
........................................ (6) Keterangan: rii = Koefisien reliabilitas instrumen k = Banyaknya butir pertanyaan t2 = Total varians b2 = Jumlah varians butir Uji validitas dilakukan dengan menggunakan uji korelasi product moment dengan bantuan software SPSS. Uji ini dimaksudkan untuk mengatahui valid atau tidaknya suatu variabel. Suatu variabel dikatakan valid jika hasil uji r besar dari r
tabel.
hitung
lebih
Jika pada hasil perhitungan suatu variabel diperoleh r hit lebih
kecil dari r tab maka atribut tersebut dihilangkan dari daftar kuisioner. Setelah dilakukan uji validitas selanjutnya dilakukan perhitungan nilai indeks pada setiap atribut produk, harga, lokasi penjualan dan promosi untuk mengetahui preferensi konsumen dan preferensi produsen terhadap mebel kayu Jepara dari setiap variabel (Rangkuti, 1997 dan Istijanto, 2009). Nilai indeks = [(frek 1 x 1) + (frek 2 + 2) + (frekn x n)]: n ................... (7) Keterangan: Frek 1, 2, ...n = persentase frekuensi penilaian konsumen berdasarkan skor yang telah disediakan pada setiap atribut. N = banyaknya skor yang disediakan pada setiap atribut. Perencanaan strategi pemasaran dilakukan terhadap nilai indeks yang paling kecil dari sekumpulan atribut. Nilai indeks tersebut diperoleh berdasarkan
27
hasil preferensi konsumen dan produsen terhadap produk, harga, tempat dan promosi dari mebel kayu. Nilai indeks yang kecil menunjukan bahwa terdapat atribut yang harus diperbaiki dalam rangka untuk mempertahankan atau memperluas pangsa pasar mebel kayu Jepara. selanjutnya ditabulasikan dan dianalisis.
Data-data yang diperoleh
4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Umum Kabupaten Jepara, Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Jakarta Penelitian mengenai pasar mebel kayu jati Jepara dilakukan di Kabupaten Jepara dan preferansi konsumen terhadap mebel kayu jati Jati dilakukan di Jakarta Selatan dan Bogor.
Pemilihan lokasi Bogor dan Jakarta didasarkan atas
heterogenitas konsumen dan kemampuan daya beli konsumen.
4.1.1. Kondisi wilayah Kabupaten Jepara Jepara adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada o
5 43’20,67’’
sampai
6o47’25,83’’
LS
dan
110o9’48,02’’
sampai
o
110 58’37,40’’ BT. Sebelah Barat dan Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Pati dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak dengan ketinggian dari permukaan laut mulai dari 0 m sampai dengan 1.301 m. Jarak terdekat dari ibukota kabupaten adalah Kecamatan Tahunan yaitu 7 km dan jarak terjauh adalah kecamatan Karimun Jawa yaitu 90 km. Luas wilayah Kabupaten Jepara tercatat 100.413,189 ha. Kabupaten Jepara terdiri atas 14 kecamatan.
Jumlah penduduk Kabupaten Jepara
berdasarkan hasil Susenas (2007) dalam BPS (2009) adalah sebanyak 1.073.631 jiwa yang terdiri dari 540.293 laki-laki (50.32%) dan 533.338 perempuan (49,68%), dimana sebaran penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Mlonggo (127.429 jiwa atau 11,87%) dan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Karimunjawa (8.551 jiwa atau 0,80%). Jika dilihat berdasarkan kepadatan penduduk, pada tahun 2007, kepadatan penduduk Kabupaten Jepara mencapai 1.069 jiwa per km2. Penduduk terpadat berada di Kecamatan Jepara (3.039 jiwa per km2), sedangkan kepadatan terendah berada di Kecamatan Karimunjawa (120 jiwa per km2). Adapun penduduk Kabupaten Jepara berdasarkan lapangan usaha (sektor) dari data hasil Susenas (2007) dalam BPS (2009) sebagian besar berusaha/bekerja di sektor Industri (41,34%) dan Pertanian (19,13%),
29
selebihnya berusaha/bekerja di sektor Pertambangan, Listrik, Konstruksi, Keuangan dan Jasa-jasa.
4.1.2. Kondisi umum wilayah Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 106o43’30” BT dan 30’30” LS-6o41’00” LS serta mempunyai ketinggian minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota lebih dari 60 kilometer. Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118.50 km2 dengan kepadatan penduduk per km2 sebanyak 6.897 jiwa. Wilayah-wilayah tersebut terbagi menjadi 6 kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa. Keenam kecamatan tersebut adalah Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Bogor Utara. Penduduk Kota Bogor tahun 2007 menurut BPS (2008a) adalah 905.143 jiwa dengan komposisi 457.717 laki-laki dan 447.415 perempuan.
Jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 25.994 jiwa. Rasio jenis kelamin penduduk kota adalah 102 yang artinya 102 penduduk laki-laki berbanding dengan 100 penduduk perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki relatif seimbang dengan jumlah penduduk perempuan. Kenaikan jumlah penduduk Kota Bogor tersebut diduga karena faktor penarik Kota Bogor dengan banyaknya fasilitas sosial yang tersedia.
Selain itu kota Bogor merupakan kota penyangga
ibukota negara, sehingga menarik para pendatang untuk tinggal dan menanamkan usahanya di kota Bogor. Sebagian besar penduduk Kota Bogor memiliki lapangan usaha sebagai perdagangan (28,72%), sektor jasa (35,09%) dan sektor industri (15,61%). Lapangan usaha penduduk kota Bogor lainnya adalah pertanian (2,52%), pertambangan (0,97%), listrik, gas dan air minum (0,32%),
konstruksi
(4,12%), transportasi dan komunikasi (6,72%), keuangan (3,10%), dan lainnya (2,83%).
30
4.1.3. Kondisi umum wilayah Kabupaten Bogor Sebagai wilayah yang mengelilingi Kota Bogor, Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk sebanyak 3,975,035 jiwa yang terdapat di empat puluh kecamatan (BPS 2009c). Sebagaimana yang terdapat di kota Bogor, sebagian besar penduduk Kabupaten Bogor memiliki lapangan usaha sebagai perdagangan (22,12%), pertanian (20,21%) dan jasa (19,87%). Lapangan usaha lainnya adalah listrik, gas dan air minum (0,27%), konstruksi (4,68%), transportasi dan komunikasi (6,86%), keuangan (2,34%), dan jasa (19,87%).
4.1.4. Kondisi umum wilayah Kota Jakarta Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata lebih kurang tujuh meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6o12’ LS dan 106 o 48’ BT. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007 adalah berupa daratan seluas 662, 33 km2 dan berupa lautan seluas 6.977 km2. Wilayah DKI memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau
yang
tersebar
di
Kepulauan
Seribu
dan
sekitar
27
buah
sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan.
Kota Jakarta berbatasan sebelah selatan
dengan Kota Depok, sebelah timur dengan Provinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan Provinsi Banten, dan sebelah utara dengan Laut Jawa (BPS 2009b). Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima wilayah Kota Administrasi dan satu Kabupaten Administratif, yaitu Kota Administratif Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara masing-masing dengan luas daratan seluas 141,27 km2, 188,03 km2, 4,13 km2, 129,54 km2 da 146,66 km2 serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu (8,70 km2). Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan hasil estimasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 dalam Badan Pusat Statistik (2009b) adalah sebanyak 9,06 juta jiwa yang terdiri atas laki-laki 4.517.514 jiwa (49.85 %) dan perempuan 4.540.479 jiwa (50.13 %).
Jumlah penduduk
31
menurut umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.
Dari jumlah
tersebut penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, seperti yang tampak dari Sex Ratio yang kurang dari 100 yaitu 99,49. Dengan luas wilayah 662,33 km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,7 ribu/km2, sehingga penduduk ini menjadi provinsi terpada penduduknya di Indonesia. Jumlah Kepala Keluarga di DKI Jakarta pada tahun 2007, dihuni lebih kurang oleh 1.987.608 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 267 kelurahan, 2.682 RW dan 29.882 RT. Sebagian besar penduduk Jakarta bekerja di sektor perdagangan/hotel dan restoran, jasa dan industri, masing-masing sebesar 36,84 persen, 23,80 persen, dan 18,18 persen. Jika diamati berdasarkan status pekerjaannya ada sebesar 63,50 persen sebagai buruh, sementara dengan status pengusaha sebesar 25,03 persen dan sebagai pekerja keluarga sebesar 3,49 persen.
4.2. Gambaran umum perusahaan Penelitian pemasaran mebel kayu Jepara dilakukan dimulai dari Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah sebagai tempat produksi mebel. Kota Bogor dan Kota Jakarta digunakan sebagai daerah tempat pemasaran mebel untuk mengetahui preferensi konsumen. Pada kedua kota tersebut masingmasing diambil tiga kategori tempat penjualan mebel yang terdiri atas showroom yang hanya menjual produk mebel kayu jati Jepara, toko yang menjual mebel jati yang bercampur dengan produk lainnya dan mal yang tidak menjual mebel jati Jepara. Toko dan mal yang terdapat di Jakarta Toko ”X”, Toko Erbas Art, dan Mal ”X”.
Nama toko mebel di Jakarta dirahasiakan untuk kepentingan
privasi pemilik toko. Kemudian toko dan mal yang terdapat di Bogor adalah Toko Cahaya Rumah dan Bogor Trade Mall.
Terdapat satu toko yang
terdapat di Kabupaten Bogor yaitu toko Anditya Furniture. Pemilihan toko di Kabupaten Bogor ini disebabkan toko tersebut mempunyai pembeli yang banyak dan hanya menjual mebel jati dari Jepara. Selain itu toko tersebut terletak dekat dengan kota Bogor. Toko mebel yang hanya memproduksi mebel kayu jati Jepara di Bogor dan Jakarta adalah toko Anditya Furniture
32
dan toko ”X”. Selanjutnya toko yang menjual produk campuran adalah toko Cahaya rumah dan Erbas Art sedangkan mal yang tidak menjual produk Jepara adalah Bogor Trade Mall dan Mal “X”
4.3. Karakteristik responden Responden yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas pengrajin mebel kayu jati, konsumen selaku pengguna mebel kayu jati Jepara dan pemilik toko mebel. Jumlah pengrajin yang digunakan di dalam penelitian ini sebanyak 30 pengrajin. Keseluruhan pengrajin ini berlokasi di Jepara. Responden yang digunakan dalam kajian preferensi konsumen sebanyak 180 responden yang terdapat di Jakarta, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor (masing-masing toko sebanyak 30 responden). Responden pemilik toko diambil sebanyak enam orang.
Berikut disajikan karakteristik umum
responden preferensi konsumen berdasarkan usia, jenis kelamin, penghasilan responden per bulan, tingkat pendidikan responden, dan pekerjaan.
4.3.1. Jenis kelamin responden Gambar 4 memperlihatkan bahwa responden berjenis kelamin lakilaki yang paling banyak melakukan pembelian mebel di tempat penjualan khusus jati Jepara di Showroom ”X” (67%) dan responden berjenis kelamin
perempuan
di
Showroom
Anditya
Furniture
(60%).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa laki-laki berperan dalam menentukan keputusan pembelian mebel dan perempuan berperan dalam memilih model. Walaupun di toko ”X” didominasi oleh laki-laki tetapi dalam pemilihan model tetap disertai oleh pasangannya. Hasil yang diperoleh pada Gambar 2 menyatakan bahwa proporsi jenis kelamin yang sama juga terjadi pada toko yang menjual mebel kayu jati dengan mebel jenis lainnya. Persentase laki-laki dan perempuan di Toko Cahaya Rumah adalah 63,0% dan 37,0%. Kemudian persentase di Toko Erbas adalah 40,0% perempuan dan 60,0% laki-laki. Proporsi yang sama ini memperlihatkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan
33
memegang peranan penting dalam menentukan karakteristik mebel yang akan dibeli. Proporsi yang berbeda terdapat di tempat penjualan mebel non kayu jati Jepara, dimana sebagian besar responden yang ditemui adalah berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa
perempuan yang paling mendominasi dalam menentukan karakteristik mebel yang akan dibeli terutama dalam menentukan desain dan model
Persentase (%)
mebel. 66.7
70 60 50 40 30 20 10 0
63.3
60 40 33.3
60
56.7 40
36.7
43.3
53.3 46.7 Laki-laki Perempuan
Showroom Andika Furniture
Showroom Toko Cahaya Toko Erbas Bogor Trade "X" Rumah Art Mall
Jati Jepara
Campuran
Mal "X"
Non Jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 4.
Perbandingan jenis kelamin responden di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
4.3.2. Umur responden Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa pada toko yang menjual mebel kayu jati (Showroom Anditya Furniture dan Showroom ”X”) didominasi oleh responden pada usia 31-40 tahun (40% dan 36.7%). Hal ini disebabkan responden pada usia tersebut adalah responden yang telah mempunyai penghasilan yang tetap dan bermaksud untuk membeli mebel disebabkan belum mempunyai mebel.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zulkarnain
(2008) yang menyatakan bahwa responden pada usia 31-40 membeli mebel disebabkan belum mempunyai mebel.
Pada Gambar 5 juga terlihat bahwa
responden yang berusia lebih dari 60 tahun lebih menyukai untuk membeli mebel langsung ke toko yang hanya menjual mebel jati.
Hal ini karena responden
34
tersebut telah berlangganan membeli mebel kayu jati di toko tersebut dan telah mengetahui kualitas dari mebel yang dijual. Selanjutnya pada toko mebel campuran, didominasi oleh responden berusia 21-50 tahun.
Hal ini juga disebabkan oleh kemampuan keuangan
responden yang lebih mapan.
Pada toko Erbas Art terdapat 40% responden
berusia 41-50 tahun. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa responden pada usia ini membeli mebel disebabkan mebel lama mereka telah rusak atau telah bosan dengan model mebel yang ada. Bahkan terdapat responden yang membeli mebel untuk kemudian dijual kembali kepada pembeli lainnya. Sebagai tempat yang tidak menjual mebel kayu jati Jepara, Bogor Trade Mall didominasi oleh responden yang berusia antara 21-30 tahun.
Hal ini
disebabkan pada umumnya responden yang datang ke mal adalah responden yang tujuan utamanya tidak hanya untuk membeli mebel tetapi juga untuk membeli keperluan lainnya.
Konsumen ini membeli mebel karena belum mempunyai
mebel. Adapun alasan yang melatarbelakangi kesukaan mereka terhadap mebel kayu jati Jepara karena mebel kayu jati tahan lama dan kuat. Berbeda halnya dengan mal ”X”, pada mal ini didominasi oleh responden berusia 41-50 tahun. Sama seperti Bogor Trade Mall, responden yang datang di Mal ”X” adalah responden yang tujuan utamanya adalah tidak hanya membeli mebel tetapi juga membeli keperluan lainnya.
Mal ”X” adalah pusat perbelanjaan kebutuhan
bulanan rumah tangga. 70.0
60.0
Persentase (%)
60.0 50.0
40.0
40.0
36.7 36.7
30.0 23.3
30.0
16.7
20.0 10.0
40.0 36.7
40.0 26.7 20.0
20.0
6.7
26.7 13.3
10.0
40.0 33.3
3.3
21-30 31-40 41-50
13.3
16.7 10.0
> 51
0.0
0.0 Showroom Andika Furniture
Showroom "X" Toko Cahaya Toko Erbas Art Rumah
Jati Jepara
Campuran
Bogor Trade Mall
M al "X"
Non Jati Jep ara
Kategori Toko
Gambar 5. Perbandingan kelas umur di tiga kategori tempat penjualan produk mebel
35
4.3.3. Pekerjaan responden Pada penelitian ini responden yang diwawancarai mempunyai pekerjaan pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, ibu rumah tangga, mahasiswa dan lain-lain.
Pekerjaan lain-lain ini seperti kepala desa.
Namun terdapat pula
responden yang tidak menyebutkan pekerjaannya sehingga responden ini juga dimasukkan kedalam kategori lain-lain. Gambar 6 di bawah memperlihatkan bahwa sebagian besar responden di tempat penjualan mebel jati Jepara didominasi oleh responden yang mempunyai pekerjaan pegawai swasta yaitu 36,7% di Showroom Anditya furniture dan 44,7% di Showroom ”X”. Urutan kedua adalah responden yang bekerja sebagai pegawai negeri (23,3%) dan urutan ketiga adalah responden yang bekerja sebagai wiraswasta (20,0%). Responden yang bekerja sebagai pegawai swasta sebagian besar juga mendominasi di toko mebel campuran yaitu 40,0% di toko Cahaya Rumah dan 44.7% di toko Erbas Art. Urutan kedua adalah respoden yang bekerja sebagai wiraswasta, masing-masing 26,6% di toko Cahaya Rumah dan 16,7% di toko Erbas Art.
Hasil ini memperlihatkan bahwa konsumen yang terdapat di toko
campuran adalah konsumen yang mempunyai penghasilan yang tetap. Karakteristik yang lebih bervariasi terdapat di toko mebel non jati Jepara dimana pekerjaan yang mendominasi adalah pekerjaan sebagai pegawai swasta di Bogor Trade Mall (46,7%) dan Pegawai negeri Mal ”X” (36,7%).
Hal ini
dikarena mal yang merupakan pasar modern merupakan tempat yang dikunjungi oleh berbagai kalangan.
36
50.0
46.7
46.7
45.0 40.0
46.7
40.0 36.7
36.7 Pegawai Negeri
Persentase (% )
35.0 30.0
26.7
25.0 23.3 20.0 20.0 16.7
23.3 20.0
Ibu Rumah Tangga
15.0
16.716.7 13.3
16.7 13.3
6.7 3.3 0.0
5.0
Wiraswasta
23.3 23.3 16.7 16.7
10.0
Pegawai Swasta
26.7
3.3 0.0
Mahasiswa Lain-lain
6.7 3.33.3 0.00.0
3.33.3 0.0
0.0
0.0 Showroom Andika Furniture
Showroom Toko Cahaya Toko Erbas "X" Rumah Art
Jati Jepara
Campuran
Bogor Trade Mall
Mal "X"
Non Jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 6.
Perbandingan pekerjaan responden di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
4.3.4. Pendidikan responden Responden dengan pendidikan terakhir SLTA paling banyak mendominasi di toko yang khusus menjual mebel kayu jati Jepara (43,3% di Showroom ”X” dan 36,7% di Showroom Anditya Furniture). Responden yang terdapat di toko mebel campuran didominasi oleh responden dengan pendidikan terakhir SLTA di toko Cahaya Rumah (50 %) dan pendidikan sarjana di toko Erbas Art (46,7%). Begitu juga dengan responden yang terdapat di mal. Responden ini didominasi oleh responden dengan pendidikan terakhir SLTA yaitu 40% di mal ”X” dan 33,3% di Bogor Trade Mall. Banyaknya responden dengan tingkat pendidikan terakhir SLTA dan sarjana yang membeli mebel kayu jati mencerminkan bahwa faktor pendidikan mempengaruhi konsumen dalam pengambilan keputusan seiring dengan peningkatan pengetahuan responden tersebut terhadap mebel kayu jati Jepara.
Semakin tingginya pendidikan para responden berimplikasi kepada
kesempatan mendapatkan pekerjaan dan mempunyai penghasilan yang tetap sehingga akan mempunyai daya beli yang lebih tinggi.
37
60 50.0 46.7
50 43.3
43.3
SD
Persentase (%)
40 36.7
40
36.7 33.3 26.7
30
SLTA
26.7
Akademi 23.3
23.3
23.3
Diploma
16.7
20 13.3 10 6.76.7
10
Sarjana
13.3 10 6.7 6.7 6.7
10 6.7 6.7
6.7 3.3
0
0
SLTP
0
0
0
6.7
Pascasarjana
6.7
3.3 0
0
0
0
0
0
0 Showroom Andika Furniture
Showroom "X" Toko Cahaya Toko Erbas Art Bogor Trade Rumah Mall
Jati Jepara
Campuran
Mal "X"
Non Jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 7.
Perbandingan tingkat pendidikan responden di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
4.3.5. Pendapatan responden Sebagian besar responden yang datang ke toko mebel yang menjual mebel kayu jati Jepara mempunyai pendapatan per bulan di atas Rp 2.000.000 yaitu 56,7% dan 73,3% (Gambar 8).
Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan
bahwa kualitas mebel jati di kedua toko tersebut memiliki kualitas yang bagus dan harga jual mebel yang lebih mahal dari kedua kategori toko lainnya. Hal yang berbeda terjadi pada toko yang menjual mebel campuran antara mebel jati dan mebel jenis lainnya.
Pada tempat ini responden yang paling
banyak datang adalah responden dengan pendapatan antara Rp 1.000.000 sampai Rp 2.000.000 per bulan yaitu 43,4% di toko Cahaya Rumah dan 46,7% di toko Erbas Art. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa konsumen membeli mebel di kedua toko tersebut karena mebel yang dijual lebih bervariasi dalam harga dan jenis mebel. Sebagai tempat yang tidak menjual mebel kayu jati Jepara, pendapatan responden yang terdapat di kedua mal ini sangat bervariasi.
Pada Mal ”X”
responden yang paling banyak datang ke tempat pameran mebel adalah responden dengan pendapatan Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 yaitu 46,7%. Namun di Bogor
38
Trade Mall, responden yang paling banyak adalah responden dengan penghasilan
Persentase (%)
di atas Rp 2.000.000 (46,7%). 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
73.3 56.7 36.7
46.7 36.7
43.3 36.7
46.7 36.7
46.7 30.0
16.7
13.313.3
20.0
23.3 16.7
< 1 juta 1-2 juta > 2 juta
6.7
Showroom Andika Furniture
Showroom "X" Toko Cahaya Rumah
Jati Jepara
Toko Erbas Art
Campuran
Bogor Trade Mall
M al "X"
Non Jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 8.
Perbandingan pendapatan responden di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pemasaran mebel kayu jati Jepara 5.1.1. Saluran Pemasaran Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi.
Sebuah saluran pemasaran melaksanakan
tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan (Kotler, 1997). Pada pemasaran mebel kayu jati Jepara terdapat banyak saluran pemasaran dengan lembaga-lembaga pemsaran yang terlibat didalamnya.
Lembaga
pemasaran mebel kayu jati Jepara yang diamati pada penelitian ini dimulai dari tingkat pengrajin sampai lembaga pemasaran akhir. Berikut adalah bagan saluran pemasaran hasil pengamatan di lapangan :
Ekspor
Eksportir + gudang
Konsumen domestik
Showroom di Jepara + finishing
Showroom luar Jepara + finishing
Pengumpul/Broker
Pengrajin
Gambar 9 Bagan Saluran Pemasaran Mebel Kayu Jati di Jepara
Showroom luar Jepara
Broker + finishing
40
Saluran pemasaran mebel kayu jati Jepara sebagaimana yang terlihat pada bagan di atas terdiri atas berbagai saluran, diantaranya yaitu : 1. pengrajin – eksportir+gudang – ekspor 2. pengrajin – showroom di Jepara + finishing – konsumen 3. pengrajin – pengumpul/broker - showroom di Jepara+finishing konsumen 4. pengrajin – pengumpul/broker – showroom di luar Jepara+finishing konsumen 5. pengrajin – broker+finishing – showroom di luar Jepara - konsumen
Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran.
Saluran
pemasaran satu tingkat, dua tingkat dan tiga tingkat adalah saluran pemasaran dengan satu, dua dan tiga perantara.
Saluran pemasaran 1 Pada saluran pemasaran satu mebel mentah hasil olahan pengrajin dijual kepada eksportir untuk selanjutnya dilakukan finishing dan diekspor. Saluran pemasaran 1 ini merupakan saluran pemasaran satu tingkat dengan perantara adalah eksportir.
Saluran pemasaran 2 Pada saluran pemasaran 2, mebel mentah atau mebel setengah jadi hasil produksi pengrajin dibeli oleh showroom yang terdapat di Jepara. Selanjutnya showroom melakukan finishing terhadap mebel dan dijual ke konsumen. Saluran pemasaran ini merupakan saluran pemasaran satu tingkat dengan showroom sebagai perantara.
Saluran pemasaran 3 Berbeda dengan saluran pemasaran 1 dan 2, pada saluran pemasaran 3 pengrajin menjual mebel mentah kepada pengumpul atau broker. Selanjutnya broker menjual mebel kepada showroom. Sama seperti saluran 2, showroom
41
melakukan finishing mebel dan dijual kepada konsumen. Saluran pemasaran 2 merupakan saluran pemasaran dua tingkat, dengan broker dan showroom sebagai perantara. Perantara pada saluran pemasaran 3 adalah broker dan showroom.
Saluran pemasaran 4 Saluran pemasaran 4 mempunyai persamaan dengan saluran pemasaran 3 yaitu broker membeli mebel dari pengrajin.
Selanjutnya broker menjual
mebel tersebut kepada showroom di luar Jepara. Saluran pemasaran 4 merupakan saluran pemasaran dua tingkat dengan broker dan showroom sebagai perantara.
Saluran pemasaran 5 Pada saluran pemasaran 5, mebel hasil olahan dibeli oleh pengumpul dan difinishing. Kemudian mebel dikirim ke showroom di luar Jepara. Saluran pemasaran
ini
merupakan
saluran
pemasaran
dua
tingkat
dengan
broker+finishing dan showroom di luar Jepara sebagai perantara. Pada saluran-saluran pemasaran di atas, produk mebel yang dihasilkan oleh pengrajin pada umumnya dibeli oleh konsumen rumah tangga dan konsumen industri.
Konsumen rumah tangga membeli mebel hanya
digunakan sebagai kebutuhan untuk perlengkapan rumah tangga. Konsumen industri membeli mebel untuk diproses lebih lanjut dan dijual kembali baik kepada showroom di luar Jepara maupun di ekspor setelah dilakukan finishing. Mebel yang dibeli oleh industri pada umumnya adalah mebel mentah atau mebel setengah jadi. Dari berbagai pola saluran pemasaran mebel kayu tersebut di atas, pola saluran yang banyak terdapat di lapangan adalah saluran pemasaran satu (pengrajin-eksportir+finishing-konsumen dan saluran pemasaran empat (pengrajin-pengumpul/broker-showroom di luar Jepara-konsumen). Saluran pemasaran satu diminati oleh pengrajin disebabkan adanya order yang berkesinambungan dan rasa bangga dari pengrajin karena mebel yang mereka produksi dapat diekspor.
42
Saluran pemasaran dua banyak terjadi di lapangan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya kemudahan dari sisi pengrajin untuk memasarkan mebel hasil produksi pengrajin.
Kemudahan disini adalah
pengrajin tidak akan mengeluarkan biaya untuk memasarkan mebel karena pengumpul akan datang ke tempat pengrajin untuk membeli mebel tersebut. Selain itu pengrajin juga akan merasakan ketenangan dalam memproduksi mebel karena telah ada pembeli (pengumpul) tetap. Faktor lainnya adalah karena tertutupnya akses informasi pasar pembeli mebel.
Pengrajin tidak
pernah mengetahui siapa pembeli mebel yang mereka produksi. Pengumpul atau broker sangat tertutup terhadap informasi pasar ini dan broker dengan sengaja menutup informasi untuk mengurangi persaingan sehingga pengrajin hanya akan menjual mebel kepada pengumpul tersebut.
5.1.2. Analisis Marjin Pemasaran Analisis marjin pemasaran pada penelitian ini dilakukan dimulai dari tingkat pengrajin mebel jati di Jepara sampai kepada konsumen di Bogor (saluran pemasaran empat). Mebel yang dijual oleh pengrajin dan pengumpul pada analisis ini adalah mebel setengah jadi. Kemudian mebel yang dijual oleh pemilik toko adalah mebel yang sudah jadi. Hasil
perhitungan
marjin
pemasaran
rata-rata
pada
Tabel
4
memperlihatkan marjin pemasaran rata-rata untuk rak adalah sebesar Rp 530.000, set meja dan kursi tamu sebesar Rp2.340.000, lemari pajangan sebesar Rp 3.960.000, dan meja makan sebesar Rp 3.960.000.
Besarnya
marjin pemasaran rata-rata ini karena adanya biaya transportasi yang dikeluarkan oleh lembaga perantara dan biaya pengolahan yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran akhir. Jika dilihat dari sebaran nilai marjin pemasaran pada Tabel 5 maka sebaran marjin pemasaran paling tinggi untuk rak, set kursi tamu, lemari pajangan, dan meja makan terdapat pada pemilik toko yaitu sebesar 50%, 60%, 68% dan 63%.
43
Tabel 4 Marjin pemasaran rata-rata untuk rak, set kursi tamu, lemari pajangan dan meja makan Rataan marjin Pengrajin Pengumpul pemilik No. Jenis mebel pemasaran (Rp) (Rp) toko (Rp) (Rp) 1 Rak 230.000 380.000 760.000 530.000 set meja dan kursi 2 tamu 1.160.000 1.900.000 3.500.000 2.340.000 3 lemari pajangan 1.380.000 2.500.000 5.340.000 3.960.000 4 Meja makan 1.200.000 1.560.000 4.220.000 3.020.000
Besarnya marjin pemasaran rata-rata di tingkat pemilik toko karena pemilik toko mengeluarkan biaya untuk transportasi dan proses pengolahan mebel mentah menjadi mebel jadi. Tabel 5 Distribusi sebaran marjin pemasaran rata-rata Jenis mebel2 Rak set meja dan kursi tamu Lemari pajangan Meja makan
100000
13
Pengrajin harga jual Share (%) (Rp) 230.000 17
500000
14
1.160.000
19
1.400.000
7
3.500.000
60
500000 400000
9 9
1.380.000 1.200.000
16 19
1.700.000 1.560.000
6 9
5.340.000 4.220.000
68 63
Harga bahan baku
Share (%)
Pengumpul harga jual Share (Rp) (%) 380.000 20
Pemilik toko Share harga jual (%) (Rp) 760.000 50
Sumber: data primer dan data hasil wawancara dengan pemilik toko mebel 5.1.3. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya yang dilakukan pada masingmasing lembaga pemasaran diketahui bahwa rasio K/B paling tinggi terdapat pada pengumpul.
Rasio K/B yang tinggi karena biaya yang dikeluarkan oleh
pengumpul lebih sedikit dari biaya dikeluarkan oleh pengrajin dan pemilik toko (Lampiran 7). Pengumpul hanya berperan membeli mebel mentah dari pengrajin dan menjual kembali mebel mentah tersebut kepada lembaga pemasaran berikutnya. Rasio K/B yang diterima oleh pengumpul dan pemilik toko tidak mencerminkan penerimaan yang diperoleh oleh pengumpul tersebut.
Hal ini
disebabkan pengumpul tersebut tidak hanya membeli mebel mentah dari satu pengrajin melainkan juga membeli mebel mentah dari beberapa pengrajin sehingga untuk menghitung penerimaan pengrajin sebaiknya memperhitungkan 2
jenis mebel rak (rak buku akas. rak buku akas besar), set kursi tamu (kursi hongkong piala. kursi eropa), meja makan (meja makan salina piala. meja makan catur kuda) dan lemari pajangan (lemari ukir, lemari pajangan solid)
44
penerimaan dari penjualan mebel lainnya. Untuk menghitung penerimaan pada pemilik toko sebaiknya juga memperhitungkan penerimaan dari hasil penjualan mebel-mebel lainnya.
5.1.4. Struktur Pasar Kabupaten Jepara yang merupakan sentra industri mebel kayu jati mempunyai karakteristik yang berbeda dalam hal pasar yaitu pasar mebel kayu jati yang tersegmentasi berdasarkan harga, kualitas dan lokasi. Struktur pasar mebel kayu Jepara dapat dikelompokkan ke dalam pasar mebel di tingkat pengrajin, dan pasar mebel di tingkat toko. Pengelompokan pengrajin Jepara yang berdasarkan jenis produk mebel menyebabkan pembeli akan langsung menuju lokasi tertentu jika akan membeli mebel. Pembeli yang ingin membeli kursi tamu atau lemari maka akan langsung membeli ke Desa Tahunan Tendok atau Desa Kecapi. Pengrajin mebel yang terdapat di Jepara memiliki jumlah yang relative banyak dengan sifat produk yang tersegmentasi. Nilai indeks Herfindahl untuk pengrajin (sampel 30 pengrajin) adalah 0,05 (mendekati nol) sehingga struktur pasar yang terbentuk adalah pasar persaingan sempurna jika dilihat dari sudut pandang penjual (Lampiran 6), sedangkan jika dilihat pada setiap segmen adalah struktur pasar persaingan monopolistik. Pada tingkat showroom/toko juga terjadi segmentasi produk, yaitu berdasarkan produk, lokasi, dan harga.
Pembeli yang ingin membeli mebel
dengan kualitas bagus maka desa Sukodono adalah tempat yang dituju. Namun jika pembeli hanya menginginkan mebel dengan kualitas biasa dapat membeli mebel di toko-toko sekitar tahunan dan senenan. Segmentasi produk berdasarkan kualitas tersebut menyebabkan terjadi segmentasi dalam harga. Nilai indeks Herfindahl toko adalah 0.15 (Lampiran 7). Nilai indeks ini mendekat nol yang berarti pasar semakin kompetitif. Struktur pasar pada tingkat showroom atau toko ini tergolong ke dalam pasar persaingan sempurna (dilihat dari sudut pandang penjual), sedangkan jika dilihat pada setiap segmen adalah pasar persaingan monopolistik.
45
5.2. Manajemen usaha pengrajin Keberlangsungan usaha pengrajin mebel skala kecil selain dinilai dari tata niaga mebel juga dilihat dari faktor internal pengrajin yaitu faktor yang berada di bawah kendali perusahaan terkait dengan perilaku pengusaha (Wie et al. 2001). Faktor internal yang dikaji pada penelitian ini ditinjau dari aspek kemampuan pengrajin dalam mengelola keuangan dan perencanaan sistem produksi seperti jalinan kerjasama dengan pembeli, penentu harga jual mebel, negosiasi harga, akses terhadap pembeli. Pada studi ini sampel pengrajin yang digunakan masingmasing sebanyak 20 pengrajin untuk pengrajin yang masih berproduksi dan 10 pengrajin yang sudah tidak berproduksi atau bangkrut yang terdapat di Kabupaten Jepara.
5.2.1. Pengelolaan keuangan Faktor pengelolaan keuangan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui cara pengrajin mengelola hasil penjualan mebel.
Alokasi pengunaan hasil
penjualan mebel oleh pengrajin pada penelitian ini dibatasi pada dua aspek yaitu pembelian bahan baku dan tabungan (Gambar 10). 90
80
80
Persentase (%)
70 60
50
50
40
Pengrajin yang tidak berproduksi
40 30 20
Pengrajin yang masih berproduksi
10
10
10
10 0 t
t+bb
bb
Alokasi Penggunaan pendapatan
Keterangan : t = tabungan t + bb = tabungan + bahan baku bb = bahan baku Gambar 10
Perbandingan alokasi penggunaan keuangan pengrajin yang sudah tidak berproduksi dan pengrajin yang masih berproduksi
46
Gambar 10 di atas memperlihatkan bahwa hanya sebagian kecil pengrajin baik yang masih berproduksi dan yang sudah tidak berproduksi mengalokasi hasil penjualan mebel mereka untuk ditabung. Bentuk tabungan yang sering digunakan oleh pengrajin adalah tabungan tradisional yaitu melalui arisan. Banyaknya uang yang disimpan di dalam arisan yaitu berkisar Rp 20.000 – Rp 50.000 setiap minggu per orang. Hanya sedikit pengrajin yang menabungkan uang mereka di bank modern. Hal ini karena lokasi bank yang jauh dari pemukiman pengrajin. . Dari hasil wawancara yang mendalam dengan para pengrajin ini juga diketahui walaupun mereka mengalokasikan hasil penjualan mebel untuk membeli bahan baku namun seringkali hasil penjualan tersebut digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Partomo dan Soejoedono (2004) bahwa unit usaha skala kecil kurang dapat membedakan aset pribadi dari aset perusahaan.
Pencampuran antara kebutuhan rumah tangga dan perusahaan
merupakan salah satu penyebab para pengrajin mengalami kesulitan untuk pengembangan usaha. Para pengrajin menyatakan bahwa walaupun mereka telah menabung namun pada saat tidak ada order, tabungan tersebut terpakai untuk kebutuhan keluarga dan ketika pada saat ada order para pengrajin akan mengalami kesulitan untuk biaya operasional sehingga pengrajin sering meminta pembayaran dimuka dari pembeli. Selain faktor tersebut di atas, kenaikan harga bahan baku yang tidak seimbang dengan harga jual mebel mentah menyebabkan pendapatan yang diperoleh pengrajin menjadi berkurang. Untuk menutupi biaya produksi para pengrajin seringkali meminjam uang kepada pengumpul.
Hutang yang terus
menumpuk menyebabkan pengrajin menutup usaha mebel dan beralih menjadi pekerja pada perusahaan mebel lain. Temuan yang diperoleh di lapangan juga memperlihatkan bahwa faktor gengsi juga mempengaruhi pengeluaran pengrajin.
Hal ini terlihat dari
penggunaan hasil penjualan mebel untuk membeli kendaraan dengan cara kredit seperti kendaraan roda dua.
Pengeluaran ini seringkali pada akhirnya
menyebabkan pengrajin mengalami kesulitan keuangan yang berpengaruh terhadap kesulitan untuk dana usaha..
47
5.2.2.
Manajemen perencanaan sistem produksi Manajemen perencanaan sistem produk pengrajin pada penelitian ini
ditinjau dari bentuk kerjasama dengan pembeli, kemampuan menentukan harga dan negosiasi, dan akses terhadap pembeli.
5.2.2.1. Bentuk kerjasama dengan pembeli Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 10 diketahui bahwa bentuk kerjasama yang terdapat di pengrajin mebel adalah bentuk kerjasama secara bebas dan langganan. Bebas disini adalah pengrajin yang tidak terikat dengan suatu pembeli tertentu dalam memasarkan produknya sedangkan langganan adalah pengrajin yang menjual mebel mereka kepada pembeli tertentu baik kepada pengumpul, pemilik toko atau pemilik gudang eksportir.
Pada gambar juga
terlihat bahwa dari seluruh pengrajin yang diwawancarai tidak pernah melakukan kontrak dalam penjualan mebel yaitu perjanjian yang tertulis dengan pembeli. 140 120
Persentase (%)
100
50 pengrajin yang masih berproduksi
80
pengrajin yang sudah tidak berproduksi
60 40
50
80
20 20 0 bebas
0 kontrak
langganan
Bentuk kerjasama
Gambar 11 Perbandingan bentuk kerjasama antara pengrajin yang masih berproduksi dengan pengrajin yang sudah tidak berproduksi Pengrajin yang masih berproduksi melakukan penjualan mebel secara bebas sebesar 50% dan penjualan mebel secara berlangganan sebesar 50%. Hal ini karena pengrajin ingin mendapatkan harga jual mebel yang lebih tinggi. Pengrajin yang sudah tidak berproduksi menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman selama masih berproduksi, mereka lebih banyak menjual mebel secara bebas (80%) dari pada menjual mebel secara berlangganan (20%). Para pengrajin ini tidak hanya menjual mebel kepada satu langganan saja tetapi juga menjual mebel kepada pelanggan lainnya atau pembeli pembeli lainnya
48
Para pengrajin yang menjual mebel secara berlangganan menyatakan bahwa pada umumnya mebel yang mereka jual adalah mebel yang telah dipesan oleh pelanggan.
Pelanggan yang selalu membeli mebel dari pengrajin adalah
pengumpul dan pemilik gudang ekspor. Para pengrajin yang masih berproduksi lebih menyukai menjual mebel secara berlangganan karena mereka dapat menjual mebel secara kontinyu sehingga usaha mereka terus berjalan. Selain itu, pengrajin yang telah berlangganan menjual mebel kepada pemilik gudang ekspor akan memperoleh bantuan dari pemilik gudang tersebut seperti bantuan pembuatan tempat pengovenan kayu dan bantuan mengukur kadar air kayu setelah pengovenan. Menurut salah seorang pegawai eksportir, pemberian bantuan ini bertujuan untuk menjaga kualitas mebel yang dihasilkan oleh pengrajin. Manfaat lain yang diperoleh pengrajin yang menjual mebel secara berlangganan adalah dapat menghemat biaya transportasi karena pihak pembeli yang akan mengambil mebel tersebut ke tempat usaha mereka. Hal yang berbeda terjadi pada pengrajin yang sudah tidak berproduksi. Para pengrajin mebel ini lebih banyak menjual mebel mereka secara bebas (80%) dibandingkan menjual kepada langganan (20%). Beberapa pengrajin menyatakan menjual mebel secara bebas akan meningkatkan harga penjualan mebel dibandingkan dijual kepada pembeli tertentu.
Akan tetapi hal ini tidak
berlangsung lama karena tingkat pembelian tersebut tidak kontinyu sehingga para pengrajin kesulitan dalam memasarkan mebel mereka. Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sarana (2001) dalam Wie et al. (2001) bahwa usaha kecil dan menengah dalam pengembangan usahanya selalu terkendala dalam memasarkan produknya. Kenyataan yang ditemui di lapangan memperlihatkan bahwa pada tingkatan sama, seperti tingkat pengumpul, seringkali untuk satu mebel yang sejenis pada akhirnya dijual dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan mebel tersebut dijual kepada pengumpul yang menjadi langganan mereka. Harga tempat tidur yang dijual secara langganan adalah Rp 900.000 tetapi jika dijual secara bebas maka harga tempat tidur tersebut adalah Rp 800.000. Hal ini disebabkan adanya keraguan dari para pengumpul terhadap kualitas mebel yang bukan dibeli dari langganan mereka. Pada umumnya pengumpul atau pemilik
49
toko untuk menjaga kepercayaan konsumen maka mereka hanya membeli mebel dari langganan mereka. Adapun alasan yang melatarbelakangi kesukaan pembeli kepada pengrajin yang menjadi langganannya yaitu warna putih pada kayu jati yang digunakan hanya sedikit atau tidak terdapat kayu yang berwarna putih, tidak terdapat cacat pada kayu jati, dan pengerjaan ukiran mebel yang rapi. Faktor lainnya yang menyebabkan pengrajin menjadi tidak berproduksi karena adanya persaingan yang tidak sehat di antara sesama pengrajin dalam menjual mebel. Hal ini diperkuat dengan kenyataan yang terlihat di lapangan dimana para pengrajin pada satu lokasi pada umumnya memproduksi mebel yang relatif sama baik model ataupun kualitas mebel. Misalnya para pengrajin yang terdapat di desa Tahunan Tendok yang memproduksi kursi rafles. Keadaan ini menyebabkan para pengrajin seringkali bersaing menjual mebel dengan memberi harga yang lebih murah. Persaingan ini juga terjadi karena jumlah mebel yang diproduksi oleh pengrajin lebih banyak dari jumlah mebel yang dibeli oleh konsumen. Adapun faktor utama yang menyebabkan pengrajin menjual dengan harga yang lebih murah karena desakan kebutuhan rumah tangga dan untuk menutupi biaya operasional usaha. Seringkali para pengrajin hanya memperoleh keuntungan yang sedikit dari hasil penjualan mebel tersebut.
Para pengrajin dalam hal ini lebih mengutamakan
keberlangsungan produksi mereka walaupun keuntungan yang mereka peroleh hanya sedikit.
5.2.2.2. Inisiasi harga mebel dan negosiasi harga Kemampuan pengrajin dalam menginisiasi harga dan melakukan negosiasi harga dengan pembeli akan berpengaruh terhadap kelangsungan usaha pengrajin. Hasil yang terlihat pada Gambar 12 menyatakan bahwa pada umumnya para pengrajin baik yang masih berproduksi maupun yang sudah tidak berproduksi telah berinisiasi menentukan harga dan melakukan negosiasi dengan para pembeli. Walaupun para pengrajin telah berinisiasi dalam menentukan harga jual namun seringkali pada kenyataannya harga jual tersebut lebih ditentukan oleh pembeli.
Ketatnya persaingan di antara sesama pengrajin juga menyebabkan
tingkat negosiasi para pengrajin menjadi rendah karena para pengrajin akan saling menurunkan harga jual mebel.
Keputusan ini diambil seringkali juga karena
50
sekedar untuk mempertahankan kelangsungan usaha dan kelangsungan hidup. Lebih lanjut disampaikan oleh Michica (1998) bahwa terbatasnya kemampuan negosiasi dan kemampuan pemasaran menyebabkan margin usaha pengrajin menjadi kecil. Selain itu, para pengrajin menyatakan bahwa mereka juga akan melakukan negosiasi untuk meningkatkan harga jual terutama jika harga harga bahan baku mengalami kenaikan.
Namun besarnya kenaikan harga jual mebel
juga ditentukan oleh pembeli. 120 100 Persentase (%)
100
100
90
80
pengrajin yang sudah tidak berproduksi
60 60
pengrajin yang masih berproduksi
40 40 20
10 0
0
0 ya
tidak
penjual
Negosiasi harga
pembeli
penentu harga faktor harga
Gambar 12
Perbandingan inisiasi harga jual dan negosiasi harga mebel pada pengrajin yang masih berproduksi dan pengrajin yang sudah tidak berproduksi
Faktor lain yang menyebabkan posisi tawar pengrajin menjadi lemah karena kualitas mebel pengrajin yang masih rendah.
Adapun penyebab
rendahnya kualitas mebel pengrajin dipengaruhi oleh kualitas log dan kualitas pekerja.
Kemampuan keuangan pengrajin yang terbatas menyebabkan
pengrajin hanya mampu membeli log dengan ukuran kecil seperti diameter 16 – 19 cm. Semakin rendah kualitas log yang dibeli pengrajin maka kualitas mebel semakin menurun sehingga harga jual juga menjadi lebih murah. Selain itu karakteristik pekerja yang bersifat borongan dan tidak menetap menyebabkan kualitas mebel menjadi tidak tetap. Kualitas hasil ukiran yang dikerjakan oleh pekerja yang berbeda juga akan menyebabkan harga jual mebel menjadi murah.
51
5.2.2.3. Akses terhadap pembeli Kemampuan pengrajin
skala
kecil mebel jati Jepara
dalam
memasarkan produk masih terbatas kepada pembeli dilingkungan sekitarnya. Walaupun pemasaran dapat melampaui wilayah lokalnya tetapi pemasaran ini dilakukan oleh agen perantara atau pengumpul. Partomo dan Soedjono (2002) juga menyatakan bahwa salah satu kesulitan yang dialami oleh pengusaha skala kecil adalah memasarkan produk. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebanyak 90% pengrajin yang sudah tidak berproduksi dan 70% pengrajin yang masih berproduksi tidak mengenal pembeli yang membeli mebel mereka dari pengumpul (Gambar 13). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa ketidakmampuan pengrajin dalam mengakses pembeli salah satunya disebabkan
karena
tertutupnya informasi dari para pengumpul tentang pembeli selanjutnya. Para pengumpul ini sangat tertutup untuk memberitahukan dari siapa mereka membeli mebel. Tertutupnya informasi ini tidak hanya terjadi pada tingkat pengumpul tetapi juga terjadi pada tingkat pemilik toko dan pemilik gudang. Hal ini dilakukan oleh pengumpul, pemilik toko dan pemilik gudang untuk tetap menjaga kelangsungan usaha mereka, terutama untuk menghindari agar pengrajin tidak langsung menjual mebel kepada pembeli selanjutnya atau untuk menghindari terjadinya pengambilan pengrajin oleh lembaga pemasaran lainnya. Selain itu lokasi usaha pengrajin yang terletak jauh dari pasar juga menyebabkan pengrajin mengalami kesulitan mengakses pembeli tingkat selanjutnya. Keadaan ini menyebabkan pengrajin lebih menyukai menjual mebel mentah kepada pengumpul.
Dari hasil wawancara dengan para
pengrajin diperoleh informasi bahwa para pengrajin baik yang sudah bangkrut maupun yang masih eksis untuk kelangsungan usaha mebel telah berupaya untuk mencari pembeli lainnya. Hal ini mereka lakukan untuk memperoleh harga jual mebel yang lebih tinggi.
Usaha yang mereka lakukan adalah
menawarkan mebel kepada para pengumpul atau broker lainnya, menawarkan kepada pemilik gudang mebel besar atau eksportir dan ke toko-toko mebel di
52
Jepara. Pengrajin juga menawarkan mebel kepada pembeli yang datang ke bengkel mereka.
Persentase (%)
100 90
90
80 70
70
60 50 40
pengrajin yang sudah tidak berproduksi pengrajin yang masih berproduksi
30
30 20
10
10 0 ya
tidak
Pengenalan pembeli level selanjutnya
Gambar 13
Perbandingan persentase pengenalan pembeli level selanjutnya pada pengrajin yang masih berproduksi dan pengrajin yang sudah tidak berproduksi
5.3. Preferensi Konsumen Sebelum melakukan penelitian untuk preferensi konsumen terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas untuk kuisioner yang akan disebarkan. Dari 27 butir pertanyaan dalam kuisioner yang diujicobakan pada 30 orang responden menghasilkan satu butir pertanyaan yang tidak valid sehingga pertanyaan tersebut dikeluarkan dari kuisioner yang akan disebarkan (Lampiran 4). Setelah dilakukan uji reliabilitas terhadap 26 pertanyaan diperoleh nilai lebih besar dari 0,6 yang berarti bahwa butir-butir pertanyaan yang akan digunakan dapat memberikan hasil yang konsisten.
Perhitungan rinci dari uji reliabilitas dapat dilihat pada
Lampiran 5. Menurut Kotler (1997) terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan oleh konsumen sebelum melakukan pembelian yaitu tahapan proses pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, proses pembelian dan perilaku pascapembelian.
Sesuai dengan tahapan tersebut, maka pada penelitian ini
dilakukan analisis tahapan proses pembelian mebel jati Jepara oleh konsumen di tiga kategori toko, yaitu showroom yang hanya menjual mebel jati Jepara, toko mebel yang menjual jati Jepara dan mebel lainnya, dan mal yang tidak menjual
53
jati Jepara.
Terhadap toko yang tidak menjual mebel jati Jepara responden
ditanyakan tentang preferensi mereka terhadap mebel jati Jepara.
5.3.1.
Pengenalan kebutuhan Pengenalan kebutuhan merupakan tahap awal didalam proses keputusan
pembelian konsumen. Pengetahuan konsumen terhadap produk mebel yang akan dibelinya akan memudahkan konsumen dalam memutuskan mebel mana yang akan dipilih dan dibeli. Tahapan pengenalan kebutuhan dimulai dengan mengetahui motivasi konsumen membeli mebel dan manfaat yang diinginkan oleh konsumen terhadap produk tersebut.
5.3.1.1. Motivasi pembelian mebel jati Jepara Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 180 responden, diketahui bahwa terdapat beberapa alasan utama yang mendasari alasan pembelian mebel. Alasan-alasan tersebut dibedakan berdasarkan kategori toko. Pada toko mebel jati Jepara motivasi konsumen melakukan pembelian karena konsumen belum mempunyai mebel (53,3%) dan mebel lama telah rusak (46.7%). Pada kategori toko campuran, motivasi konsumen membeli mebel juga karena belum mempunyai mebel (46,7%) dan mebel lama telah rusak (26,7%). Kemudian pada kategori toko non jati, motivasi utama adalah belum mempunyai mebel (66,7%). Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh responden dapat dinyatakan bahwa konsumen akan melakukan pembelian mebel jika mebel yang mereka miliki telah rusak atau belum mempunyai mebel. Sifat mebel yang tahan lama menyebabkan banyak konsumen akan melakukan penggantian mebel jika mebel mereka telah rusak. Alasan karena model mebel telah lama juga hal yang mendasari pembelian mebel, tetapi alasan ini menempati urutan keempat dari motivasi konsumen yang terdapat di seluruh kategori toko. Hanya sebagian kecil konsumen yang suka mengganti mebel mereka disebabkan telah bosan dengan model mebel yang ada. Pada penelitian ini tidak terdapat konsumen yang membeli mebel disebabkan terpengaruh oleh iklan. Hal ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan di lapangan, dimana dari enam tempat penjualan mebel hanya satu toko yang
54
melakukan promosi melalui iklan berupa selebaran ataupun pemberian potongan harga atau discount yaitu toko Cahaya Rumah. Walaupun begitu iklan tersebut tidak begitu besar mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian mebel. Selain alasan-alasan tersebut di atas, terdapat konsumen yang menyatakan bahwa mebel jati akan meningkatkan status sosial pemilik rumah. Hal ini karena mebel jati tersebut identik dengan harga mebel yang mahal. 70.0
66.7
60.0 53.3 50
Persentase (%)
50.0
46.7
46.7
Mebel rus ak Model sdh lama
40.0
Belum punya Pajangan
30.0
26.7 23.3 20.0
Cari des ain beda
26.7 23.3
20.0 16.7
20.0
10.0 6.7
10.0 3.3 0 00
0.0 0.0
Iklan 20 20
16.7
16.7 13.3 10.010.0 6.7 3.3 00
16.7
6.7
Lainnya
10.0 6.7
3.3 0.0
0
0
0.00.0 0.0
0.0 Showroom Anditya Furniture
Showroom "X"
Jati Jepara
Toko Cahaya Rumah
Toko Erbas Art
Campuran
Bogor Trade Mall
Mal "X"
Non Jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 14 Perbandingan pembelian mebel oleh responden di tiga kategori tempat pembelian produk mebel 5.3.1.2.Atribut manfaat yang diharapkan dari pembelian mebel Tahapan proses selanjutnya adalah mengetahui manfaat yang diharapkan oleh konsumen terhadap mebel yang dibeli.
Keseluruhan responden yang
diwawancara menyatakan bahwa manfaat utama yang diharapkan oleh konsumen adalah fungsi mebel sesuai kebutuhan (Gambar 15).
Konsumen menyatakan
mereka membeli set meja dan kursi tamu lebih disebabkan kebutuhan mereka akan fungsi dari mebel tersebut. Manfaat kedua adalah keindahan mebel jati Jepara baik dari sisi ukiran ataupun model serta desain mebel. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan memiliki mebel jati dengan ornamenornamen ukiran seperti kursi tamu model garuda yang berukuran besar akan meningkatkan status sosial pemilik rumah disebabkan harga yang mahal. Hasil ini diperkuat oleh hasil penelitian Zulkarnain (2008) yang menyatakan bahwa konsumen yang mencari manfaat status sosial biasanya merupakan konsumen
55
yang membeli mebel dengan bahan baku dan desain yang jarang dimiliki oleh orang lain serta berharga mahal. Manfaat status sosial menempati urutan terakhir yang dipilih oleh responden, yaitu 6,7% oleh responden di showroom Anditya Furniture, 3,3% oleh responden di showroom “X” dan 13,3% oleh responden di toko Cahaya Rumah. Manfaat mebel jati untuk meningkatkan status sosial pada umumnya terdapat pada
P e r se n ta se (% )
responden yang berdomisili di daerah pinggiran kota. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
83.3 70
70
77
70
60 keindahan 36.7 10 6.7
30.0
30.0
16.713.3 3.3
0
showroom showroom Toko Anditya "X" Cahaya Furniture Rumah Jati Jepara
0
status sosial 23.3
fungsi sesuai kebutuhan
0
Toko Bogor Mal "X" Erbas Art Trade Mall
Campuran
Non Jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 15
Perbandingan manfaat utama pembelian oleh responden di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
5.3.2. Mencari Informasi Konsumen akan mencari informasi yang tersimpan di dalam ingatannya (pencarian internal) dan mencari informasi dari luar (pencarian eksternal).
Bila
konsumen merasa informasi internal yang dimilikinya masih kurang, konsumen akan mencari informasi tambahan secara eksternal dari berbagai sumber (media massa, interpersonal) yang selalu mengutamakan bukti dengan berbagai cara dan dipercaya (berdasarkan pengalaman).
Sumarwan (2002) menyatakan bahwa
informasi yang dicari oleh konsumen adalah informasi mengenai harga, desain, dan merek. Hasil penelitian yang tertera pada Gambar 16 memperlihatkan bahwa sumber informasi yang banyak digunakan oleh responden adalah melalui saudara/kolega dan melalui pameran atau melihat mebel di toko/showroom.
Persentase (%)
56
90.0 80.0 80.0 73.3 63.3 70.0 60 56.7 53.3 60.0 43.3 50.0 40.0 23.3 23.3 30.0 16.7 16.7 16.7 20 20.0 10 10.0 10 6.7 6.7 10.0 0 0 0.0 0 03.3 0 0 0 00 03.3 0 0 0 03.3 0.0 showroom showroom Toko Toko Erbas Bogor Mal "X" Anditya "X" Cahaya Art Trade Mall Furniture Rumah Showroom mebel kayu jati Jepara
Toko mebel campuran
Keluarga/kolega Televisi/radio Majalah/koran Agen/Sales Penjualan Internet Pameran/toko/showroom
Mal non kayu jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 16 Perbandingan cara konsumen mencari informasi model mebel yang diinginkan di tiga kategori tempat pembelian produk mebel Pada toko jati Jepara sumber informasi terbesar responden berasal dari saudara/kolega, masing-masing sebesar 56,7% dan 73,3%.
Informasi yang
menarik minat konsumen yang diperoleh dari saudara/kolega adalah tentang kemudahan pembayaran.
Mebel bisa dicicil oleh konsumen tanpa harus ada
jaminan apapun. Pada kategori toko campuran, sumber informasi paling banyak berasal dari keluarga/kolega (60%) dan melalui pameran atau melihat di toko/showroom (63,3%). Kemudian pada kategori toko non jati sumber informasi berasal dari pameran/toko/showroom sebesar 53,3% dan melalui saudara 80%. Dengan mengacu kepada hasil penelitian diketahui bahwa sumber informasi yang paling banyak digunakan oleh konsumen adalah informasi yang bersumber dari keluarga/kolega. Namun terdapat sejumlah konsumen yang mencari informasi dengan datang langsung ke tempat penjualan mebel baik showroom, toko dan ke tempat pameran mebel. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai model dan harga mebel. Hanya sebagian kecil konsumen di kedua kota tersebut yang melihat informasi produk mebel dari majalah/koran, dan internet.
57
5.3.3. Evaluasi alternatif Konsumen akan melakukan evaluasi terhadap sejumlah informasi yang telah mereka peroleh. Evaluasi ini seperti pertimbangan dalam memilih produk mebel yang akan dibeli dan pertimbangan memilih tempat membeli mebel.
Pada
penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap konsumen jika mebel yang mereka inginkan tidak tersedia. 5.3.3.1. Pertimbangan utama konsumen dalam memilih produk mebel yang akan dibeli Setelah konsumen mencari informasi mengenai mebel yang akan mereka beli, terdapat beberapa pertimbangan utama yang mempengaruhi konsumen dalam memilih produk yang akan dibeli, yaitu harga, merek, desain, bahan baku dan kualitas.
Gambar 17 memperlihatkan hal yang menjadi pertimbangan utama
konsumen di toko jati Jepara dalam memilih mebel yang akan dibeli adalah kualitas mebel jati (56,7% di showroom Anditya Furniture dan 46,7% di showroom “X”). Konsumen menyatakan bahwa harga mebel yang mahal tidak menghalangi keinginan konsumen dalam memutuskan pembelian karena mereka dapat membayar secara kredit. Pada toko mebel campuran, hal yang menjadi pertimbangan utama konsumen di toko Cahaya Rumah adalah harga (86,7%) dan pertimbangan kedua adalah kualitas mebel (13,3%). Pada kategori toko ini, konsumen lebih menyukai membeli mebel lain yang berharga lebih murah.
Pada Toko Erbas Art, faktor
kualitas yang menjadi pertimbangan utama konsumen (56,7%). Untuk mebel yang berkualitas baik maka konsumen akan bersedia membeli mebel tersebut walaupun dengan harga mahal.
Konsumen ini akan membayar secara tunai
ataupun kredit. Konsumen yang terdapat di mal juga memperlihat kecenderungan yang sama yaitu 66,7% konsumen di Bogor Trade Mall lebih mempertimbangkan faktor kualitas. Terdapat 33,3% konsumen di mal “X” yang lebih mengutamakan membeli mebel dengan harga yang terjangkau.
Konsumen di mal “X”
menempatkan merek sebagai pertimbangan kedua (23,3%) dan kemudian desain sebesar 20%. Adapun faktor kualitas hanya sebesar 16,7%.
58
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mohammed dan Yi (2008) yang menyatakan bahwa pertimbangan utama bagi sebagian besar responden adalah kualitas mebel. Seluruh konsumen ditiga kategori toko menyatakan bahwa mereka tidak mementingkan merek suatu mebel. Bagi konsumen merek bukanlah
Persentase (%)
suatu jaminan bahwa mebel tersebut akan mempunyai kualitas bagus. 100.0 86.7 90.0 80.0 66.7 70.0 56.7 56.7 60.0 46.7 50.0 36.7 33.3 40.0 30 30 23.320 30.0 16.7 16.7 16.7 16.7 13.3 20.0 6.7 6.7 6.7 6.7 3.3 3.3 10.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0 Showroom Anditya Furniture
Showroom "X"
Toko Cahaya Rumah
Jat i Jepara
T oko Erbas Art
Campuran
Bogor T rade Mall
Harga Merek Desain Bahan baku Kualitas
Mal "X"
Non kayu jat i Jepara
Kategori toko
Gambar 17
5.3.3.2.
Perbandingan pertimbangan utama konsumen didalam memilih mebel di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
Tempat membeli mebel
Para konsumen selalu berusaha mencari lokasi toko yang sangat strategis, mudah terlihat dan terjangkau oleh konsumen. Toko yang jauh dari jangkauan konsumen tidak akan diminati untuk dikunjungi (Sumarwan, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan di enam lokasi yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa konsumen yang terdapat di showroom khusus jati yaitu di showroom Anditya Furniture lebih menyukai membeli atau memesan mebel langsung di showroom mebel (93,3%) dan konsumen di showroom “X” lebih menyukai membeli mebel di toko yang terdapat di sepanjang jalan (60%).
Konsumen yang terdapat di toko campuran lebih
menyukai membeli mebel di toko mebel yang terdapat di sepanjang jalan (93,3% dan 60%).
Sebanyak 30% konsumen menyatakan bahwa mereka memilih
membeli atau memesan mebel langsung ke showroom. Hal ini karena mebel yang dijual di showroom kualitasnya lebih bagus dan konsumen juga bisa membayar
59
dengan mencicil. Hanya sebesar 3,3% konsumen yang memilih membeli mebel di pameran mebel. Hal ini karena lokasi pameran mebel yang jauh dan kurangnya informasi mengenai lokasi pameran mebel tersebut. Konsumen yang berada di kategori toko non Jepara yaitu di Bogor Trade Mall menyatakan sebanyak 30% menyukai membeli langsung ke showroom. Hal ini karena mebel yang dijual oleh pengrajin adalah mebel yang berkualitas bagus.
Kemudian sebanyak 26,7%
membeli di pameran mebel, 23% membeli di toko sepanjang jalan dan 20% membeli di mal. Konsumen di mal “X” lebih menyukai membeli mebel di mal (73.3%) dan tidak terdapat konsumen yang membeli mebel di showroom. Kenyamanan, lokasi yang terjangkau dan ketersediaan banyak pilihan merupakan alasan utama konsumen lebih menyukai berbelanja di mal. 100.0
93.3
93.3
90.0 80.0
73.3
Persentase (%)
70.0
60
Pameran mebel
60 Stand/Galeri di swalayan/mal
60.0 50.0 40.0
30
30
30.0 20.0 10.0
10 3.3 3.3 0
13.313.3
10 3.33.3
0
0
Outlet/Galeri/toko mebel di penjualan di sepanjang jalan
30 26.7 23.3 20
0
Membeli/memesan langsung pada produsen/pengrajin mebel
0
0.0 Showroom Showroom Anditya "X" Furniture Jati Jepara
Toko Cahaya Rumah
Toko Erbas Art
Campuran
Bogor Trade M all
Mal "X"
Non kayu jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 18
5.3.3.3.
Perbandingan pemilihan tempat membeli di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
Pertimbangan alasan pemilihan tempat membeli mebel
Pada poin di atas telah dijelaskan bahwa konsumen akan membeli mebel setelah mereka mempertimbangkan lokasi yang sesuai bagi konsumen. Adapun berbagai alasan yang melatarbelakangi pemilihan suatu tempat adalah lokasi yang mudah terjangkau, pelayanan memuaskan, ketersediaan berbagai pilihan, kenyamanan dan lainnya. Hasil penelitian yang diperlihatkan pada Gambar 19 menyatakan bahwa pertimbangan utama konsumen dalam memilih tempat membeli mebel di
60
showroom khusus jati Jepara karena ketersediaan banyak pilihan mebel dan faktor ”lainnya”. Faktor ”lain” yang menjadi alasan utama konsumen di showroom Anditya Furniture adalah adanya kemudahan pembayaran mebel secara diangsur. Konsumen menyatakan mereka hanya cukup membayar sebesar 20% dari harga jual sebagai tanda jadi pembelian mebel.
Kemudian pembayaran mebel
selanjutnya dapat diangsur selama 10 bulan yang akan ditagih oleh pihak showroom ke rumah konsumen.
Ketersediaan banyak pilihan bukan pilihan
utama konsumen karena konsumen bisa memesan mebel jika mebel yang mereka inginkan tidak tersedia. Faktor lokasi yang mudah terjangkau menempati urutan ketiga. Walaupun tempat tinggal konsumen jauh dari showroom mebel tetapi karena showroom menyediakan kemudahan pembayaran yang didukung dengan kualitas mebel yang baik maka konsumen akan tetap datang ke showroom tersebut.
Adapun pertimbangan utama konsumen berbelanja di Showroom “X”
karena tersedianya berbagai pilihan produk sehingga konsumen akan mudah menemukan mebel yang ingin mereka beli dan tidak perlu pergi ke tempat lain untuk mencari mebel sejenis. Hal ini didukung dengan luasnya ruangan tempat penjualan mebel. Pada toko mebel campuran, pertimbangan utama konsumen dalam memilih tempat adalah 73,3% faktor lokasi yang mudah terjangkau di toko Cahaya Rumah dan 63,3% karena ketersediaan banyaknya pilihan produk mebel di toko Erbas Art. Untuk konsumen yang memiliki waktu yang terbatas dalam memilih tempat membeli mebel maka konsumen akan lebih menyukai membeli mebel di toko. Toko mebel ini pada umumnya terletak dekat dengan tempat tinggal konsumen dan didukung dengan kemudahan akses transportasi ke toko tersebut. Faktor yang menjadi pertimbangan utama konsumen di kategori toko mebel non jati adalah ketersediaan banyak pilihan, yaitu 46,7% di Bogor Trade Mall dan 53,3 % di mal “X”. Pilihan mebel yang banyak akan memudahkan konsumen dalam memilih model mebel sehingga konsumen tidak harus mencari ke toko mebel yang lain. Selain itu konsumen menyatakan bahwa dengan berbelanja di mal maka mereka merasa nyaman. Kenyamanan disini adalah ruangan tempat penjualan yang diberi pendingin ruangan sehingga terasa sejuk dan tersedianya lahan parkir yang cukup luas. Selain itu, lokasi kedua mal tersebut terletak di
61
persimpangan jalan di salah satu pusat keramaian di Jakarta dan Bogor. Lokasi mal di Jakarta berdekatan dengan Terminal Lebak Bulus, Stadion Lebak Bulus, serta Pasar Jum’at dan lokasi mal di Bogor berdekatan dengan pasar, dan Kebun Raya Bogor. Lokasi mal di Bogor juga terletak di pertemuan angkutan kota dari Ciapus dan kota Bogor. Lokasi yang strategis tersebut menjadikan swalayan ini mudah dijangkau oleh konsumennya.
Selain itu konsumen juga menyatakan
pegawai di mal memberikan pelayanan yang memuaskan seperti penjelasan yang rinci mengenai mebel yang ditanyakan. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa faktor-faktor yang menjadi pertimbangan utama konsumen adalah kemudahan pembayaran, lokasi yang mudah terjangkau dan ketersediaan banyak pilihan mebel. 80.0
73.3
Persentase (%)
70.0
63.3
60.0
53.3 36.7
40.0 30.0
30
Tersedia banyak pilihan 26.7
3.3
0.0
23.3 23.3
20 16.7
16.7 13.3 6.7
Pelayanan yang memuaskan
36.7 33.3
23.3
20.0 10.0
Lokas i yang mudah terjangkau
46.7
50.0
00
00
Toko Cahaya Rumah
0
Toko Erbas Art
6.7 0
16.7 10
20
Kenyamanan Lainnya
0
0.0 Showroom Showroom Anditya "X" Furniture Jati Jepara
Campuran
Bogor Trade Mall
Mal "X"
Non kayu jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 19 Perbandingan pertimbangan pemilihan tempat di tiga kategori tempat pembelian produk mebel 5.3.3.4.
Sikap konsumen jika mebel yang diinginkan tidak tersedia
Gambar 20 memperlihatkan sikap konsumen jika mebel yang diinginkan tidak tersedia. Hasil wawancara menyatakan bahwa sebagian besar konsumen akan mencari mebel di tempat lain jika mebel yang diinginkan tidak tersedia, yaitu 73,3% di showroom “X”, 76,7% di toko Cahaya Rumah, 90% di toko Erbas Art, dan 73,3% di Bogor Trade Mall. Konsumen menyatakan bahwa dengan mencari ke toko lain mereka berharap akan menemukan mebel yang diinginkan. Selain itu toko-toko mebel juga dengan mudah ditemukan di sepanjang jalan baik di Jakarta maupun Bogor.
Namun pada showroom Anditya Furniture, sikap terbesar
konsumen (50%) menyatakan akan memesan mebel di showroom tersebut. Hal ini karena adanya kepercayaan konsumen terhadap kualitas mebel, tersedianya
62
berbagai pilihan mebel, kemudahan pembayaran mebel selama 10 bulan dan pemberian reward sebesar 5% jika membawa konsumen lain berbelanja. Tingginya persentase sikap ini juga memperlihatkan loyalitas konsumen terhadap showroom mebel tersebut. Pada ketiga kategori toko mebel terdapat konsumen yang akan tetap membeli mebel dengan pilihan yang ada jika mebel yang diinginkan tidak tersedia yaitu
terbesar 83,3% terdapat di kategori toko non jati Jepara.
Konsumen
menyatakan mereka tetap akan membeli mebel yang sejenis di toko yang sama karena alasan kepraktisan dan tidak mau menunggu waktu yang lama. Sikap konsumen lainnya adalah tidak jadi membeli mebel. Pada umumnya konsumen tidak jadi membeli mebel karena mebel yang mereka inginkan tidak diperlukan dalam waktu dekat.
Persentase (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
90 76.7
73.3
83.3 73.3 Mencari tempat yang lain
50
Membeli dengan pilihan yang ada
36.7
Tidak jadi membeli
13.3
20
13.3 13.3 0
0
Showroom Showroom Anditya "X" Furniture Jati Jepara
0
0
Toko Cahaya Rumah
3.36.70
16.7 10 0
Toko Erbas Bogor Art Trade M all
Campuran
lainnya
16.7 0 0 M al "X"
Non kayu jati Jepara
Kategori mebel
Gambar 20
Perbandigan persentase sikap konsumen jika mebel yang diinginkan tidak tersedia di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
5.3.4. Proses Pembelian Pada tahap evaluasi alternatif, preferenci para konsumen terbentuk atas berbagai atribut-atribut yang terdapat pada berbagai pilihan produk. Konsumen juga memiliki keinginan untuk membeli produk yang paling disukai (Kotler dan Keller, 2007).
Schiffman dan Kanuk (1994) dalam Sumarwan (2002)
mendefenisikan keputusan sebagai pemilihan suatu tindakan dari satu atau lebih pilihan alternatif.
Seorang konsumen yang hendak melakukan pilihan maka
63
konsumen tersebut harus memiliki pilihan alternatif.
Beberapa hal yang
mendasari keputusan konsumen diantaranya adalah rencana pembelian, kapan membeli, dimana membeli, dan harga produk.
5.3.4.1. Cara memutuskan pembeliaan Gambar 21 memperlihatkan keadaan yang menggambarkan cara konsumen dalam memutuskan pembelian mebel. Seluruh konsumen yang terdapat di semua kategori toko menyatakan bahwa mereka akan membeli mebel jika produk mebel yang ada di rumah telah rusak atau telah bosan dengan model mebel yang dimiliki. Sifat mebel yang tahan lama menyebabkan mebel tersebut memiliki usia pakai yang panjang.
Konsumen seringkali mempertahankan kursi tamu yang
mereka miliki bukan karena mereka tidak memiliki uang untuk membeli kursi baru, tetapi karena kursi tersebut memiliki nilai emosional (nilai sejarah) yang tinggi bagi konsumen tersebut. Konsumen yang telah bosan dengan model mebel lama akan melakukan tukar tambah dengan mebel baru atau menjual dan memberikan mebel tersebut kepada orang lain. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa terdapat konsumen yang telah merencanakan kapan waktu membeli mebel. Konsumen biasanya merencanakan membeli mebel setiap beberapa tahun sekali seperti membeli kursi tamu baru menggantikan kursi tamu yang lama.
Selain pembelian yang terencana dan
pembelian yang disesuaikan dengan situasi, terdapat juga konsumen yang membeli mebel secara mendadak.
Konsumen yang sedang berbelanja untuk
keperluan lain kemudian melihat suatu mebel yang menarik perhatiannya maka konsumen tersebut akan langsung membeli mebel tersebut. Hal yang menarik perhatian konsumen biasanya karena ada pemberian diskon sehingga harga mebel menjadi lebih murah.
64
Persentase (%)
120
100
100
76.7
80
63.3
63.3
73.3
80
60 40 20
23.3 20 13.3 0
0
20 16.7 20 3.3
6.7
16.7 3.3
0 Showroom Showroom Anditya "X" Furniture Jati Jepara
Toko Cahay a Rumah
Toko Erbas Art
Campuran
Bogor Trade Mall
Terencana (sudah direncanakan, biasany a p er beberapa tahun sekali)
M al "X"
Tergantung situasi (hanya jika produk mebel yang ada di rumah telah rusak/bosan) Mendadak (niat membeli ketika melihat ada p roduk yang bagus)
Non kayu jati Jepara
Kategori Tok o
Gambar 21
Perbandingan rencana pembelian konsumen di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
5.3.4.2. Waktu Pembelian Gambar 22 memperlihatkan distribusi persentase yang tidak jauh berbeda pada konsumen di semua kategori toko yaitu konsumen akan mengganti mebel hanya saat mebel yang ada telah rusak atau bosan dengan model mebel yang ada, dengan persentase berkisar antara 70% sampai 86.7%. Sifat mebel yang tahan lama menyebabkan konsumen tidak sering berganti-ganti mebel. Terdapat pula konsumen yang menyatakan bahwa mereka akan membeli mebel tidak harus menunggu mebel yang mereka miliki rusak atau bosan. Konsumen ini sewaktu-waktu akan membeli mebel jika mereka melihat ada mebel dengan desain yang bagus. Persentase jumlah konsumen pada tipe ini berada pada urutan kedua yaitu 6,7% - 20%. Dari seluruh konsumen yang terdapat pada seluruh kategori toko, hanya konsumen yang berada di mal “X” yang menyatakan membeli mebel tiap tahun. Pembelian mebel tiap tahun dilakukan oleh konsumen bukan karena untuk melengkapi perabot rumah tangga konsumen tersebut akan tetapi lebih disebabkan oleh peran konsumen tersebut sebagai agen perantara. Konsumen ini dipercaya oleh saudaranya untuk membelikan dan memilih model mebel yang akan mereka beli. Terdapat sejumlah kecil konsumen yang melakukan pembelian mebel pada saat ada pameran (3,3% konsumen di showroom “X” dan 6,7% di mal “X”). Hal ini karena konsumen akan mempunyai banyak pilihan mebel yang disertai dengan
65
model keluaran terbaru. Selain itu harga mebel tersebut lebih murah dari pada harga aslinya.
Hasil yang diperlihatkan pada Gambar 22 secara garis besar
menggambarkan waktu pembelian mebel hanya pada saat mebel yang dimiliki
Persentase (%)
telah rusak/bosan dan pada saat ada desain mebel yang bagus. 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
83.3
80
86.7
80
73.3
70
Tiap tahun Saat mebel yang ada telah rusak/bosan Saat ada desain yang bagus
20
13.3 0.0
0.0
0
3.3
Showroom Showroom Anditya "X" Furniture Jati Jepara
20 0
16.7 0
Toko Cahaya Rumah
0
0
0
6.7
0
Toko Bogor Erbas Art Trade Mall
Campuran
6.7
13.3 6.7
Saat diadakannya pameran
Mal "X"
Non kayu jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 22
Perbandingan persentase waktu konsumen membeli mebel di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
5.3.4.3. Jenis mebel yang dibeli konsumen Jenis mebel yang diproduksi oleh pengrajin mebel di Jepara sangat beragam. Untuk mengetahui jenis mebel yang paling sering dibeli oleh konsumen maka penelitian ini mengelompokkan beberapa jenis mebel secara umum, yaitu rak buku, set meja dan kursi tamu, lemari, tempat tidur, meja belajar/kerja dan lainnya. Jenis mebel yang suka dibeli oleh konsumen sebagaimana yang terlihat pada Gambar 23 di bawah pada umumnya hampir sama. Seluruh konsumen yang terdapat di lima toko mebel menyukai membeli set meja dan kursi tamu. Pemilihan set kursi tamu dilakukan karena mebel ini akan ditempatkan ruangan yang selalu dilihat oleh tamu yang berkunjung.
Berdasarkan pengamatan di
lapangan terutama untuk konsumen yang berdomisili di daerah pinggiran kota Bogor, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, pembelian set kursi tamu yang berukuran besar maupun kecil diharapkan dapat meningkatkan status sosial mereka. Seringkali ukuran set kursi tamu yang dibeli tidak sesuai dengan ukuran ruangan yang ada. Namun konsumen yang berdomisili di daerah perkotaan baik
66
di Jakarta dan Bogor, motif pembeliaan set kursi tamu bukan karena alasan meningkatkan status sosial tetapi lebih karena kebutuhan dan sifat dari kursi berbahan baku jati yang tahan lama dan kuat. Konsumen yang berdomisili di daerah perkotaan ini lebih menyukai mebel berdesain minimalis (tidak menggunakan ornamen ukiran). Alasan lain konsumen lebih menyukai membeli set meja dan kursi tamu karena harga set kursi tamu minimalis yang kompetitif. Konsumen menyatakan bahwa mereka dapat memilih set meja kursi tamu yang sesuai dengan kemampuan keuangan karena mebel ini banyak tersedia di berbagai toko dengan harga yang bersaing. Pada toko Erbas Art jenis mebel yang paling disukai oleh konsumen adalah lemari (56,7%) karena di toko Erbas Art terdapat banyak pilihan lemari. Lemari yang dibeli oleh konsumen adalah lemari pajangan. Selain toko Erbas, lemari juga banyak dibeli oleh konsumen di enam toko. Namun pembelian ini tidak sebanyak pembelian set kursi tamu. Lemari yang dibeli oleh konsumen di toko lainnya adalah lemari pakaian dan lemari pajangan. Untuk kategori toko non jati Jepara, selain set kursi tamu mebel jati yang sering dibeli oleh konsumen adalah tempat tidur. Konsumen menyatakan mereka lebih menyukai membeli tempat tidur di mal karena mal menyajikan lebih banyak variasi tempat tidur.
Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa
konsumen di daerah pinggiran kota menyukai tempat tidur berukir namun konsumen di perkotaan menyukai tempat tidur berdesain minimalis. Terdapat sejumlah kecil konsumen membeli rak (3,3% - 10%) dan meja belajar/kerja (3,3% - 7%).
Rak yang dibeli konsumen adalah rak buku.
Walaupun rak buku dan meja belajar berbahan baku jati lebih kuat namun untuk kedua jenis mebel ini konsumen lebih menyukai membeli rak dan meja belajar merek lain yang berharga lebih murah dan dengan desain yang lebih bervariasi.
Persentase (%)
67
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
80
76.7 56.7
53.3 26.7 16.7
1010 0
0
3.3
0
showroom showroom Anditya "X" Furniture
56.7
16.7 6.7 0 0
20 20 13.3 10 10 6.7 3.3 3.3
Toko Cahaya Rumah
Toko Erbas Bogor Art Trade Mall
Jati Jepara
Campuran
Rak 53.3 26.7 10 6.7 3.3
Set meja dan kursi tamu Lemari Tempat tidur Meja belajar/kerja
Mal "X"
Non Jati Jepara
Kategori Toko
Gambar 23
Perbandingan persentase jenis mebel jati yang sering dibeli oleh konsumen di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
5.3.4.4. Besaran pengeluaran konsumen membeli mebel Besaran pengeluaran konsumen untuk membeli mebel dapat dilihat pada Gambar 24.
Sebagian besar konsumen membeli rak buku seharga kurang dari
Rp 1.000.000,-. Namun konsumen yang terdapat di toko Anditya Furniture dan Bogor Trade Mal bersedia mengeluarkan uang lebih dari Rp 1.000.000,- untuk membeli rak buku. Dalam hal ini pertimbangan utama konsumen adalah kualitas rak tersebut. Harga mahal tidak memberatkan konsumen karena di toko Anditya Furniture mereka dapat membayar dengan cara kredit. Selain itu mebel tersebut dapat dipergunakan dalam jangka panjang. Pada seluruh kategori toko, konsumen pada umumnya membeli set meja dan kursi tamu dengan harga lebih dari Rp 2.000.000,-. Hasil yang sama dengan yang dinyatakan oleh Zulkarnain (2008), konsumen lebih menyukai membeli set meja dan kursi tamu karena mebel ini akan selalu dilihat oleh tamu sehingga kenyamanan dan keindahannya menjadi prioritas utama.
Adapun tujuan lain
konsumen adalah agar set meja dan kursi tamu yang mereka beli terlihat mewah dan memberi kesan mahal. Untuk lemari, konsumen di seluruh toko membeli lemari dengan harga lebih dari Rp 2.000.000,-. Pada lokasi penelitian ditemui konsumen yang membeli lemari pajangan seharga Rp 8.000.000,-.
Adapun alasan yang mendasari
pembelian dengan harga tersebut adalah keinginan konsumen akan mebel yang
68
berkualitas, tahan lama dan model yang bagus. Faktor peningkatan status sosial juga mempengaruhi pembelian lemari pajangan. Namun terdapat juga konsumen yang membeli mebel dengan harga berkisar Rp1.000.000,- sampai dengan Rp 2.000.000,-. Bagi segmen konsumen tersebut lemari itu sudah cukup bagus dan bagi mereka yang terpenting adalah lemari yang terbuat dari kayu jati. Selain itu konsumen tersebut juga tidak terlalu mempertimbangkan model lemari. Pada toko Bogor Trade Mall, terdapat konsumen yang membeli lemari dengan harga kurang dari Rp1.000.000. Lemari yang dibeli oleh konsumen adalah lemari pakaian. Konsumen dalam hal ini lebih mengutamakan fungsinya dari pada kualitas dan model. Konsumen juga tidak memperhitungkan aspek status sosial. Persentase harga paling besar untuk pembelian meja makan juga lebih dari Rp 2.000.000,-. Sama halnya dengan set meja dan kursi tamu, konsumen akan melakukan sejumlah pertimbangan ketika akan membeli meja makan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut meliputi kualitas, model dan gengsi. Meja makan jati yang diminati oleh konsumen adalah meja makan model lasina. Meja makan ini terlihat sangat kokoh karena menggunakan kerangka kayu jati berukuran besar sehingga memberi kesan mewah dan mahal. 100%
0 3.3 3.3
0
80%
36.733.333.333.3 46.7
20 46.7
53.3 66.7 73.3 73.3 76.7
60%
96.7
40
66.7 73.3
56.7 56.7 66.7
70
50 66.7 > 2 juta
96.7
96.7
1 - 2 juta
40 40%
< 1 juta
80 50
Jati Jpr
Cmprn
Rak
Non jati Jpr
Cmprn
lemari
Non jati Jpr
Jati Jpr
Cmprn
BTM
Anditya
3.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Erbas
BTM
Mal "X"
Set meja kursi tamu
Jati Jpr
0
Cahaya
Erbas
Non jati Jpr
0
33.3
Anditya
Cahaya
Jati Cmprn Jpr
10 0
Toko "X"
3.3 0 0
BTM
0
50
Mal "X"
0
Erbas
0
43.3 43.3 33.3
30
Cahaya
0
Toko "X"
3.3 0 0 Toko "X"
BTM
Mal "X"
Erbas
Cahaya
Anditya
Toko "X"
6.7
33.3 26.7
Anditya
26.7 0%
53.3
46.7 33.3 26.7 26.7 23.3
20%
Mal "X"
46.763.363.363.3
Non jati Jpr
meja makan
Gambar 24 Perbandingan besaran pengeluaran konsumen untuk membeli mebel
69
5.3.5. Perilaku Pasca pembelian Setelah pembelian,
konsumen mungkin mengalami ketidakpuasan
terhadap produk yang telah mereka beli karena terdapat aspek-aspek yang tidak sesuai dengan harapan konsumen.
Kepuasan dan ketidakpuasan konsumen
terhadap suatu produk akan mempengaruhi perilaku konsumen selanjutnya. Konsumen yang tidak puas mungkin akan mengembalikan produk yang mereka beli. Konsumen yang puas akan kembali membeli produk di tempat sebelumnya karena adanya kepercayaan konsumen terhadap toko tersebut.
5.3.5.1. Kepuasan terhadap produk yang dibeli Berdasarkan pengalaman konsumen dalam membeli mebel jati diketahui bahwa sebagian besar konsumen menyatakan puas terhadap mebel jati yang mereka beli. Tingkat kepuasan konsumen setelah membeli mebel jati Jepara lebih dari 80% pada semua kategori toko.
Hanya sebagian kecil konsumen yang
menyatakan tidak puas terhadap mebel jati yang dibeli. Tingkat ketidakpuasan konsumen tersebut kurang dari 13,3% pada semua kategori toko.
Bahkan
konsumen yang terdapat di toko Cahaya Rumah menyatakan puas 100%. Konsumen menyatakan puas karena mebel yang dibeli sangat unik, mebel sangat sesuai untuk interior ruangan, dan harga mebel tersebut sesuai dengan kualitasnya. Gambaran kepuasan dan ketidakpuasan konsumen ini terlihat pada Gambar 25. Terkait dengan ketidakpuasan konsumen, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa ketidakpuasan konsumen disebabkan oleh harga mebel yang dibeli tidak sesuai dengan kualitas mebel tersebut. Hal ini diperlihatkan dengan adanya retak-retak pada set kursi tamu dan lemari jati mereka setelah beberapa bulan pembelian. Keluhan lainnya adalah mebel jati saat ini tidak sekuat mebel jati dahulu. Hal ini terlihat dari kursi yang mudah patah.
Campuran, Jati Jepara,
Kategori toko
Non kayu jati Jepara,
70
10
Mal "X" 3.3
BTM
96.7 10
Toko Erbas Art Toko Cahaya Rumah
90
puas
0
100 13.3
Showroom "X"
86.7
3.3
Showroom Anditya Furniture 0.0
tidak puas
90
96.7 20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
Persentase (%)
Gambar 25 Perbandingan kepuasan konsumen di tiga kategori tempat pembelian produk mebel
5.3.5.2. Kemungkinan konsumen membeli di tempat yang sama Gambar 26 memperlihatkan kemungkinan konsumen untuk membeli di tempat yang sama atau membeli di tempat yang lain. Kemungkinan konsumen untuk membeli di tempat yang sama berkaitan dengan kepuasan yang diperoleh skonsumen terhadap mebel yang dibeli di toko tersebut. Pada kategori toko mebel khusus jati yaitu showroom Anditya Furniture dan showroom “X” persentase konsumen yang akan tetap kembali membeli mebel di tempat tersebut sebanyak 96,7% dan 70%. Begitu juga dengan kategori toko campuran dimana sebanyak 96,7% dan 63,3% konsumen akan kembali membeli di toko yang sama. Sebanyak 73,3% konsumen di mal “X” juga menyatakan hal yang sama.
Konsumen-
konsumen ini menyatakan dengan membeli mebel di tempat yang sama maka mereka tidak perlu khawatir dengan kualitas mebel tersebut karena mereka telah berlangganan cukup lama di toko tersebut dan telah kenal dengan pemilik toko. Faktor lainnya disebabkan oleh pelayanan yang diberikan terhadap konsumen baik berupa keramahan pramuniaga, tanggapan terhadap keluhan dan pengantaran mebel yang tepat waktu. Pada kategori toko non Jepara, khususnya di Bogor Trade Mal, memperlihatkan hal yang berbeda. Persentase konsumen yang menyatakan tidak akan kembali membeli mebel di tempat yang sama lebih banyak dari pada konsumen yang ingin membeli di tempat yang sama yaitu sebanyak 63,3%. Hal
71
ini karena mebel yang diinginkan oleh konsumen tidak ditemui di tempat tersebut sehingga konsumen membeli mebel di tempat lain. Jika mebel tersebut ada tetapi harga dan modelnya tidak sesuai dengan keinginan maka konsumen juga tidak akan membeli di toko tersebut.
Selain itu terdapat juga konsumen yang
menyatakan bahwa mereka tidak hanya tergantung pada satu toko untuk membeli mebel, melainkan akan pergi ke toko mebel lain yang lebih banyak pilihan mebelnya. 120.0 Persentase (%)
100.0
96.7
96.7 73.3
70
80.0
63.3
63.3
membeli ditempat yang sama
60.0
20.0
36.7
30
40.0 3.3
tidak membeli ditempat yang sama
36.7 26.7
3.3
0.0 Showroom Showroom Toko Anditya "X" Cahaya Furniture Rumah Jati Jepara,
Toko Erbas Art
Campuran,
BTM
M al "X"
Non kayu jati Jepara,
Kategori toko
Gambar 26 Perbandingan kepuasan konsumen di tiga kategori tempat pembelian produk mebel 5.4. Bauran Pemasaran Konsumen 5.4.1. Indeks kepuasan konsumen terhadap atribut produk Hasil pengamatan preferensi konsumen terhadap atribut produk mebel jati Jepara disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks untuk atribut produk diketahui bahwa nilai indeks tertinggi yang terdapat pada kategori toko jati Jepara, toko campuran, toko non jati Jepara adalah ketahanan dan kekuatan mebel jati, artinya motivasi pembelian mebel jati lebih disebabkan image kayu jati yang kuat sehingga dapat digunakan dalam jangka panjang. Temuan ini mendukung pernyataan Susanti (2008) yang menyatakan bahwa atribut tahan lama dinilai penting oleh konsumen karena keawetan suatu mebel merupakan salah satu indikator kualitas dari mebel tersebut. Semakin tahan dan kuat produk mebel maka nilai kualitas produk tersebut semakin tinggi. Pada toko non jati Jepara nilai tertinggi (45,4) juga terdapat pada desain mebel, banyak
72
pilihan produk, dan keindahan mebel. Tingginya nilai indeks untuk atribut ini memperlihatkan bahwa konsumen menyukai perkembangan desain mebel jati yang ada saat ini. Berkembangnya desain mebel jati dari mebel berdesain elegan (berornamen ukiran) menjadi desain minimalis merupakan suatu daya tarik bagi konsumen sehingga konsumen yang tidak menyukai mebel berukir akan membeli mebel berdesain minimalis (tanpa ukiran). Kreatifitas dalam membuat berbagai pilihan mebel juga menjadi daya tarik bagi konsumen.
Tabel 6 Nilai indeks konsumen untuk atribut produk Pertanyaan Jati Jepara Ukuran mebel sesuai keinginan Design mebel Banyak pilihan produk Mebel tahan lama/kuat Mebel meningkatkan status sosial Mebel mempunyai keindahan Tanggap terhadap keluhan setelah pembelian Pengantaran mebel tepat waktu Pemesanan pembuatan mebel tepat waktu Pelayanan dalam penjualan
44.2 48.4 47.6 49.4 44.6 48.6 42.4 45.2 46.0 45.4
Kategori Toko Campuran Non Jati Jepara 45.8 44.6 45.6 49.0 38.4 46.4 44.6 46.2 41.0 47.4
41.2 45.4 45.4 45.4 43.8 45.4 42.8 44.0 44.8 45.0
Sumber : Data primer, 2009
Nilai indeks tertinggi kedua pada toko mebel khusus jati adalah mebel mempunyai keindahan (48,6), artinya konsumen menyukai keindahan yang berupa ukiran atau tanpa ukiran yang melekat pada mebel jati Jepara. Atribut desain berada pada urutan ke-3 (48,4), artinya konsumen merespon cukup baik desain mebel jati yang ada saat ini. Tersedia berbagai macam pilihan desain bagi konsumen seperti desain elegan, minimalis, oriental dan futuristik. Pada kategori toko mebel campuran, urutan kedua nilai indeks terdapat pada atribut pelayanan dalam penjualan (47,4), artinya secara umum konsumen menyukai pelayanan yang terdapat di toko mebel tersebut. Pelayanan tersebut berupa keramahan pegawai toko terhadap pembeli sehingga pembeli merasa nyaman ketika berbelanja. Nilai indeks tertinggi ke-3 adalah atribut keindahan
73
mebel. Arti dari nilai atribut ini sama dengan kepuasan konsumen yang terdapat pada kategori toko khusus jati Jepara. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada kategori toko mebel non jati Jepara, nilai indeks tertinggi terdapat pada beberapa atribut yaitu atribut tahan lama, atribut desain mebel, atribut banyaknya pilihan produk, dan atribut keindahan mebel.
Hal ini memperlihatkan bahwa konsumen menyukai ke-4
atribut yang terdapat pada mebel jati. Nilai indeks tertinggi ke-2 terdapat pada atribut pelayanan dalam penjualan, artinya konsumen menyukai pelayanan yang diberikan selama konsumen berbelanja di tempat tersebut. Rangkuti (1997) menyatakan nilai indeks paling rendah mempunyai arti bahwa atribut tersebut harus mendapat perhatian dari produsen. Pada toko mebel khusus jati Jepara, atribut yang paling rendah nilai indeksnya adalah tanggapan terhadap keluhan setelah pembelian (42,4), artinya pemilik toko dinilai konsumen masih kurang cepat dalam menanggapi keluhan konsumen. Untuk meningkatkan nilai indeks ini sebaiknya produsen memberikan garansi terhadap mebel untuk jangka waktu tertentu sehingga jika mebel tersebut mengalami kerusakan yang tidak diakibatkan oleh konsumen maka dapat diberikan perbaikan. Susanti (2008) menyatakan bahwa pelayanan yang memuaskan adalah aspek yang harus diperhatikan oleh suatu perusahaan untuk tetap memiliki pelanggan. Kemudian nilai indeks yang paling rendah pada toko mebel campuran terdapat pada ukuran mebel tidak sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Hal ini berarti bahwa mebel yang dijual oleh produsen masih belum cukup bervariasi terutama di showroom “X”. Pada showroom ini konsumen sering tidak menemukan ukuran mebel yang diinginkannya. Mebel yang tersedia, misal untuk set meja dan kursi tamu, adalah mebel yang berukuran besar tetapi konsumen menginginkan mebel berukuran kecil.
5.4.2. Indeks kepuasan konsumen terhadap atribut harga Tabel 7 memperlihatkan nilai indeks tertinggi pada showroom khusus jati Jepara adalah harga sesuai kualitas (44,8), artinya konsumen menyatakan bahwa harga telah sesuai dengan kualitas mebel yang dibeli. Atribut harga tertinggi ke-2 adalah kemudahan transaksi (44,8). Hal ini mengandung arti bahwa konsumen
74
menyukai kemudahan transaksi yang terdapat di toko tersebut.
Kemudahan
transaksi tersebut seperti pembayaran yang bisa dicicil tanpa harus ada jaminan tertentu. Sebagian konsumen di showroom khusus jati Jepara menyatakan keberatan dengan harga mebel yang mahal dan menginginkan harga mebel murah. Pernyataan ini diduga berasal dari responden yang berpenghasilan dibawah Rp 2.000.000.
Kenyataan yang terdapat di lapangan memperlihatkan bahwa
produsen telah mengakomodir pernyataan konsumen tentang harga mebel yang mahal yaitu dengan menyediakan berbagai kemudahan transaksi berupa pembayaran dengan kartu kredit dan periode pembayaran selama 10 bulan. Indeks tertinggi pada kategori toko campuran adalah atribut harga sesuai kualitas (47,2) dan kemudahan transaksi (47,2). Hasil ini mendukung pernyataan konsumen di showroom khusus mebel jati. Konsumen menyatakan bahwa uang yang telah mereka keluarkan untuk membeli mebel sebanding dengan kualitas mebel yang dibeli. Pada toko campuran ini, konsumen juga menginginkan harga mebel yang murah yang disesuai dengan daya beli konsumen. Nilai atribut tertinggi yang terdapat pada toko non jati Jepara adalah harga mebel telah sesuai kualitas dan harga mebel tersebut terjangkau oleh daya beli konsumen. Namun di sisi lain terdapat konsumen yang menyatakan bahwa harga mebel jati mahal dan menginginkan harga yang murah.
Tabel 7 Nilai indeks konsumen untuk atribut harga Pertanyaan Harga sesuai kualitas Harga terjangkau Harga lebih murah Harga mahal Harga normal Periode pembayaran Kemudahan transaksi Sumber : Data primer, 2009
Jati Jepara 44.8 43.2 40.4 36.0 40.6 40.8 43.4
Kategori Toko Campuran Non Jati Jepara 47.2 43.8 33.0 43.8 35.8 40.4 30.2 39.8 38.0 41.6 44.0 41.4 47.2 42.4
75
5.4.3. Indeks kepuasan konsumen terhadap atribut lokasi penjualan Hasil penelitian untuk atribut lokasi penjualan sebagaimana yang terlihat pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa untuk kategori toko khusus jati Jepara nilai indeks tertinggi terdapat pada lokasi yang mudah dijangkau (47,2). Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Yusriana (2004) dan Aulawi (2005) yang menyatakan bahwa lokasi penjualan yang mudah dijangkau adalah merupakan atribut tertinggi. Lebih lanjut disampaikan oleh Sumarwan (2002), lokasi toko sangat mempengaruhi keinginan konsumen untuk datang dan berbelanja. Toko yang lokasinya jauh dan kurang strategis tidak akan diminati calon konsumen. Kecenderungan ini tidak sepenuhnya berlaku di semua kondisi. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa walaupun lokasi showroom Anditya Furniture jauh dari tempat tinggal konsumen namun terdapat konsumen yang tetap membeli mebel di showroom tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi keinginan konsumen untuk berbelanja di showroom tersebut. Indeks tertinggi yang terdapat di toko campuran adalah tempat penjualan yang nyaman (49,4), artinya konsumen merasa nyaman berbelanja di toko tersebut.
Kenyamanan konsumen ini terletak dari tata letak mebel, dimana
konsumen dapat dengan mudah menemukan mebel yang mereka cari. Selain itu tata letak juga memudahkan konsumen untuk berlalu lalang sehingga mereka dengan mudah mencari dan menemukan mebel (Sumarwan, 2002). Pada toko non jati Jepara indeks yang tertinggi sama dengan toko khusus jati Jepara yaitu lokasi yang mudah dijangkau (47,6). Hal ini disebabkan lokasi mal yang menjadi tempat penelitian berada di pusat kota sehingga mudah dijangkau oleh konsumen. dengan transportasi umum.
Selain itu lokasi mal tersebut juga mudah diakses Pernyataan ini mendukung hasil penelitian
Mohammed dan Yi (2008) yang menyatakan bahwa lokasi mebel di pusat kota memudahkan konsumen untuk menjangkau toko tersebut. Nilai indeks terendah yang terdapat pada setiap kategori toko tidak sama. Pada toko khusus jati, nilai indeks terendah yaitu atribut jaringan distribusi (44,2). Hal ini menunjukkan perlunya perhatian produsen untuk memperluas jaringan distribusi, misalnya dengan jalan memperbanyak toko-toko mebel mereka di lokasi yang berbeda. Kemudian pada toko campuran, indeks terendahnya adalah
76
ketersediaan produk kontinyu (45,6), artinya konsumen menganggap bahwa mebel yang dijual oleh produsen masih kurang lengkap sehingga mereka tidak bisa membeli mebel yang mereka inginkan. Hal ini perlu mendapat perhatian produsen dengan memperbanyak persediaan mebel dan untuk mebel yang telah terjual sebaiknya cepat diganti kembali dengan mebel yang sejenis. Selanjutnya nilai indeks terendah yang terdapat di toko non jati Jepara adalah atribut kemudahan memperoleh produk (38,8).
Konsumen menyatakan bahwa pada
umumnya mebel yang dipajang di toko-toko mebel sangat kurang bervariasi terutama bagi konsumen yang menginginkan mebel dengan model tertentu.
Tabel 8 Nilai indeks konsumen untuk atribut lokasi penjualan Pertanyaan Tempat penjualan nyaman Lokasi mudah dijangkau/strategis Produk mudah diperoleh Ketersediaan produk kontinyu Jaringan distribusi luas
Jati Jepara 46.4 47.2 44.8 44.6 44.2
Kategori Toko Campuran Non Jati Jepara 49.4 46.8 47.6 47.6 47.6 38.8 45.6 46.4 45.8 45.0
Sumber : Data primer, 2009
5.4.4. Indeks kepuasan konsumen terhadap atribut promosi Dari hasil pengamatan terhadap atribut promosi (Tabel 9) diketahui bahwa nilai indeks tertinggi responden di toko khusus jati Jepara dan non Jati Jepara adalah pengaruh dari keluarga/kolega dengan nilai indeks masing 40,6 dan 41,0. Hal ini memperlihatkan bahwa konsumen yang banyak berbelanja lebih disebabkan oleh strategi permasaran bertingkat (multilevel marketing) yang diterapkan oleh toko-toko mebel tersebut. Indeks tertinggi ke-2 berupa pemberian discount juga mendapat respon yang baik dari konsumen. Hal ini terlihat dari banyaknya konsumen yang berbelanja.
Hasil yang berbeda ditemui di toko
campuran, dimana nilai indeks tertinggi terdapat pada atribut potongan harga/discount (45,4). Hasil ini memperlihatkan bahwa konsumen merasa tertarik berbelanja di toko tersebut lebih disebabkan adanya potongan harga. Nilai indeks terendah yang terdapat di toko mebel khusus jati Jepara adalah atribut iklan (38,0) dan hadiah (39,8). Hal ini menunjukkan perlunya
77
perhatian lebih pemilik showroom dalam membuat iklan yang lebih menarik bagi konsumen yang disertai dengan pemberian hadiah. Strategi promosi yang bisa dilakukan yaitu melalui koran, selebaran, radio atau melalui internet. Tujuan ini adalah menginformasikan kepada konsumen tentang keberadaan toko-toko mebel dan mebel jati yang dijual. Nilai indeks terendah pada toko campuran adalah atribut hadiah. Namun nilai rendah ini bukan menunjukkan bahwa toko campuran tidak memberikan hadiah kepada pembelinya. Namun atribut ini perlu mendapat perhatian lebih dari produsen untuk menarik perhatian konsumen, terutama bagi toko Erbas Art. Toko Cahaya Rumah telah menerapkan pemberian hadiah kepada konsumen seperti hadiah bantal kepada konsumen yang membeli tempat tidur atau memberi souvenir payung. Begitu juga dengan nilai indeks yang rendah pada atribut iklan terutama pada toko Erbas Art. Pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa promosi melalui iklan terus dilakukan oleh toko Cahaya Rumah melalui media radio dan surat kabar lokal. Namun sebagian besar konsumen menyatakan bahwa mereka datang ke toko bukan karena mendengar iklan di radio atau membaca iklan di surat kabar. Hal yang menarik minat mereka karena adanya tulisan pemberian discount yang terdapat di toko tersebut. Hal ini dimungkinkan karena tidak banyak konsumen yang mendengar iklan mebel tersebut di radio dan tidak banyak yang membaca iklan yang dimuat di surat kabar lokal. Dari wawancara diperoleh temuan bahwa konsumen yang datang berbelanja lebih banyak dipengaruhi oleh selebaran-selebaran yang bertuliskan discount. Nilai indeks terendah pada toko non jati Jepara adalah atribut hadiah. Sama halnya dengan toko campuran pada toko non jati Jepara perlu adanya perhatian produsen untuk pemberian hadiah kepada konsumen yang berbelanja. Berbeda dengan toko campuran yang memberi hadiah kepada untuk pembeli di atas lima juta, pihak toko non jati tidak pernah memberikan hadiah kepada konsumen. Hadiah yang diberikan oleh perusahaan dapat berupa reward kepada konsumen yang berperan sebagai agen ataupun hadiah langsung kepada konsumen yang berbelanja. Reward ini disatu sisi akan menambah pengeluaran perusahaan akan tetapi pada akhirnya akan meningkat jumlah konsumen yang berbelanja di
78
toko tersebut karena informasi yang disampai berdasarkan fakta akan lebih dipercayai oleh konsumen.
Tabel 9 Nilai indeks konsumen untuk atribut promosi Pertanyaan Jati Jepara 38.0 40.2 39.8 40.6
Iklan menarik Potongan harga (discount) Berhadiah Pengaruh dari keluarga/kolega
Kategori Toko Campuran Non Jati Jepara 40.2 40.8 45.4 40.8 36.8 40.2 37.2 41.0
Sumber : Data primer, 2009
5.5. Bauran Pemasaran Produsen Strategi bauran pemasaran selain dilakukan terhadap konsumen juga dilakukan terhadap produsen selaku pemilik toko. Bauran pemasaran produsen dilakukan untuk mengetahui bagaimana preferensi produsen terhadap mebel kayu jati Jepara yang didasarkan atas atribut produk, atribut harga, atribut lokasi penjualan dan atribut promosi.
Tujuan dilakukan kegiatan ini adalah untuk
mengetahui apakah strategi pemasaran yang diterapkan oleh produsen telah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh konsumen.
5.5.1. Indeks kepuasan produsen terhadap atribut produk Tabel 11 memperlihatkan nilai indeks tertinggi pada toko jati Jepara adalah atribut design mebel, mebel tahan lama/kuat, mebel meningkatkan status sosial, mebel mempunyai keindahan, dan pelayanan dalam penjualan.
Hal ini
memperlihatkan bahwa produsen dalam menjual mebel telah mempertimbangkan keinginan konsumen.
Namun terdapat perbedaan preferensi produsen dan
konsumen untuk atribut tanggapan terhadap keluhan setelah pembelian. Konsumen menyatakan bahwa produsen masih kurang tanggap terhadap keluhan konsumen. Hal ini diperlihatkan dari nilai indeks paling rendah konsumen (Tabel 6) adalah atribut tanggapan terhadap keluhan sedangkan indeks terendah produsen adalah atribut pemesanan pembuatan mebel yang tidak tepat waktu. Untuk lebih menarik minat konsumen maka produsen perlu memberi perhatian yang lebih terhadap keluhan konsumen setelah pembelian seperti retak-retak pada
79
sambungan atau keluarnya cairan pada permukaan mebel.
Selain itu sebaiknya
produsen lebih selektif dalam memilih mebel yang dijual.
Produsen juga
sebaiknya menjual mebel yang kayunya telah dioven sehingga dapat mengatasi kembang susut kayu. Indeks tertinggi produsen untuk kategori toko campuran adalah ukuran mebel sesuai dengan yang diinginkan konsumen (2,0).
Hasil ini tidak sama
dengan preferensi konsumen pada Tabel 6, dimana konsumen menyatakan bahwa ukuran mebel yang dijual oleh produsen masih belum memenuhi keinginan konsumen. Sementara itu, terdapat hal yang bertentangan dalam hal ketahanan mebel jati. Para konsumen masih memberi kepercayaan bahwa mebel jati adalah mebel yang tahan lama. Akan tetapi produsen mengetahui bahwa mebel jati saat ini kualitasnya sangat bervariasi.
Tahan lama atau tidaknya suatu mebel
ditentukan oleh kualitas. Mebel jati berkualitas baik yang berharga mahal pada umumnya akan lebih tahan lama karena mebel tersebut telah mengalami berberapa proses produksi yaitu pengeringan dengan oven dan uji ketahanan mebel. Pada toko non jati Jepara, terdapat beberapa atribut yang sama-sama menjadi fokus utama produsen dan konsumen yaitu banyaknya pilihan produk dan mebel jati yang tahan lama. Hal ini berarti mebel-mebel jati yang dijual oleh produsen sudah banyak pilihan produknya sehingga konsumen dengan mudah menemukan mebel yang mereka inginkan dan mebel jati yang dijual sudah memenuhi keinginan konsumen yang menghendaki mebel jati yang tahan lama. Perbedaan antara preferensi produsen dan konsumen terlihat dari perbedaan nilai indeks terendah yaitu atribut ukuran mebel, atribut tanggapan terhadap keluhan setelah pembelian dan atribut pemesanan mebel yang tepat waktu. Konsumen menyatakan bahwa ukuran mebel yang dijual oleh produsen masih kurang bervariasi namun produsen menyatakan bahwa mebel yang dijual telah cukup bervariasi dalam ukuran.
Demikian pula halnya dengan atribut tanggapan
terhadap keluhan setelah pembelian dan atribut pemesanan mebel yang tepat waktu.
Produsen sebaiknya dengan cepat merespon keluhan konsumen dan
membuat mebel yang dipesan oleh konsumen tepat waktu.
80
Tabel 10 Nilai indeks produsen untuk atribut produk Pertanyaan
Ukuran mebel sesuai yang diinginkan Design mebel Banyak pilihan produk Mebel tahan lama/kuat Mebel meningkatkan status sosial Mebel mempunyai keindahan Tanggap terhadap keluhan setelah pembelian Pengantaran mebel tepat waktu Pemesanan pembuatan mebel tepat waktu Pelayanan dalam penjualan
Jati Jepara 1.6 1.8 1.6 1.8 1.8 1.8
Kategori Toko Campura Non Jati n Jepara 2.0 2.0 1.6 1.6 1.8 2.0 1.4 2.0 1.4 1.6 1.8 1.8
1.6 1.6 1.2 1.8
1.8 1.4 1.2 1.6
2.0 1.8 1.6 2.0
Sumber : Data primer, 2009
5.5.2. Indeks kepuasan produsen terhadap atribut harga Nilai indeks tertinggi produsen yang terdapat pada kategori toko jati Jepara (Tabel 11) sama dengan nilai indeks tertinggi konsumen pada kategori toko tersebut (Tabel 7) yaitu atribut harga sesuai kualitas.
Hal ini berarti bahwa
konsumen memandang harga mebel dijual oleh produsen telah sesuai dengan kualitas dari mebel tersebut. Atribut yang berbeda antara produsen dan konsumen adalah atribut harga mahal.
Bagi konsumen tertentu harga mebel jati yang
terdapat di pasaran adalah mahal karena tidak sesuai dengan daya beli. Namun menurut produsen, harga mebel jati yang ada saat ini tidak wajar tetapi harga ini telah disesuaikan dengan kualitas kayu jati tersebut. Hasil wawancara dengan produsen di toko jati Jepara menunjukkan bahwa harga mebel jati yang mahal tidak mencerminkan kualitas jati yang baik.
Mebel jati yang berkualitas biasa akan
menjadi mahal setelah dilakukan berbagai tindakan finishing pada mebel tersebut. Pada kategori toko campuran, indeks produsen tertinggi terdapat pada atribut harga sesuai kualitas.
Hal ini sama dengan yang dinyatakan oleh konsumen
bahwa harga mebel yang dijual oleh produsen telah sesuai dengan kualitas mebel tersebut. Terdapat ketidaksesuaian pandangan dalam harga antara produsen dan konsumen. Konsumen memandang harga mebel jati yang dijual mahal, namun produsen memandang mebel tersebut tidak mahal. Produsen menyatakan agar konsumen mampu untuk membeli mebel jati maka produsen memberi kemudahan
81
pembayaran melalui kartu kredit atau melalui lembaga pembiayaan lainnya seperti Adira dan FIF. Aulawi (2005) menyatakan bahwa harga produk yang dijual tidak boleh lebih rendah dari biaya rataan per produk. Murahnya harga mebel jati juga tidak merupakan suatu jaminan bahwa konsumen akan membeli produk tersebut terutama bagi segmen konsumen yang lebih mempertimbangkan kualitas mebel jati. Hasil yang terlihat pada Tabel 11 juga memperlihatkan persamaan preferensi produsen dengan preferensi konsumen (Tabel 7) di kategori toko non jati Jepara yaitu atribut harga sesuai dengan kualitas. Sama seperti di kedua kategori toko lainnya, pada kategori toko non jati Jepara juga terdapat perbedaan produsen dan konsumen dalam harga mebel. Untuk memenuhi keinginan konsumen akan mebel jati yang murah maka diperlukan suatu strategi produsen dalam memproduksi mebel, misalnya dengan membuat mebel yang menyerupai mebel jati.
Tabel 11 Nilai indeks produsen untuk atribut harga Pertanyaan Harga sesuai kualitas Harga terjangkau Harga lebih murah Harga mahal Harga normal Periode pembayaran Kemudahan transaksi
Jati Jepara 1.6 1.4 1.0 1.6 1.2 1.4 1.4
Kategori Toko Campuran 2.0 2.0 1.8 1.4 1.4 2.0 1.8
Non Jati Jepara 2.0 1.6 1.2 1.6 1.6 1.6 1.8
Sumber : Data primer, 2009
5.5.3. Indeks kepuasan produsen terhadap atribut lokasi penjualan Tabel 12 memperlihatkan nilai indeks tertinggi produsen untuk atribut lokasi penjualan pada kategori toko jati Jepara adalah tempat penjualan nyaman, lokasi mudah terjangkau, produk mudah diperoleh dan ketersediaan produk kontinyu. Tingginya nilai indeks pada beberapa atribut ini menunjukkan bahwa produsen telah mempersiapkan keempat atribut untuk menarik minat pembeli. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 9, atribut yang mendapat apresiasi dari konsumen adalah lokasi yang mudah dijangkau. Konsumen menyatakan lokasi toko yang berada di jalan utama telah memudahkan konsumen dalam menjangkau toko tersebut baik dengan sarana transportasi umum maupun dengan kendaraan
82
pribadi. Atribut yang dinilai rendah oleh produsen dan konsumen adalah atribut jaringan distribusi, artinya konsumen menginginkan produsen memperluas jaringan distribusi dengan menambah toko mebel. Nilai indeks tertinggi produsen yang terdapat pada kategori toko Campuran sama dengan nilai indeks tertinggi yang terdapat pada kategori toko jati Jepara. Namun terdapat perbedaan pada nilai indeks terendah. Konsumen memandang bahwa mebel yang dijual oleh produsen ketersediaannya kurang kontinyu, akan tetapi produsen menganggap bahwa mebel jati selalu kontinyu dalam produk. Perbedaan pandangan ini sebaiknya
ditanggapi oleh produsen dengan
memperbanyak produk mebel jati mereka. Pada kategori toko campuran, atribut jaringan distribusi yang rendah tidak berpengaruh pada konsumen karena lokasi mebel tersebut dapat dijangkau dengan mudah oleh konsumen. Seluruh atribut lokasi penjualan pada kategori toko non jati Jepara memiliki nilai indeks yang sama, artinya produsen menganggap bahwa mereka telah mempertimbangkan seluruh atribut tersebut untuk menarik minat konsumen berbelanja di toko tersebut.
Namun hasil yang tersaji pada Tabel 8
memperlihatkan bahwa terdapat atribut yang tidak mengakomodir keinginan konsumen
yaitu
atribut
kemudahan
memperoleh
produk.
Konsumen
menginginkan produsen memperbanyak variasi produk baik dari sisi ukuran maupun model.
Tabel 12 Nilai indeks produsen untuk atribut lokasi penjualan Pertanyaan
Kategori Toko Jati Jepara Campuran Non Jati Jepara Tempat penjualan nyaman 1.6 1.6 2.0 Lokasi Mudah dijangkau/strategis 1.6 1.6 2.0 Produk mudah diperoleh 1.6 1.6 2.0 Ketersediaan produk kontinyu 1.6 1.6 2.0 Jaringan distribusi Luas 1.4 1.4 2.0 Sumber : Data primer, 2009
5.5.4. Indeks kepuasan produsen terhadap atribut promosi Dari berbagai atribut yang melekat pada atribut promosi, hanya atribut pengaruh dari keluarga/kolega yang dipandang oleh produsen di kategori toko
83
khusus jati Jepara paling praktis untuk menarik minat konsumen (Tabel 13). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap konsumen yang menyatakan bahwa informasi mengenai toko mebel jati paling banyak diperoleh dari keluarga/kolega. Tingginya indeks ini diduga karena adanya pemberian komisi sebesar 5% dari harga jual mebel kepada pembeli yang membawa pembeli lain untuk berbelanja di showroom tersebut.
Atribut promosi lainnya seperti iklan, potongan harga
(discount) pada kategori toko jati Jepara masih perlu ditingkatkan guna meningkatkan penjualan mebel jati. Selain itu perlu dipertimbangkan pemberian hadiah bagi pembeli yang telah berbelanja. Hasil yang sama juga terlihat pada kategori toko campuran. Cara yang paling praktis menurut produsen dan konsumen adalah melalui pengaruh dari keluarga/kolega. Seperti halnya toko jati Jepara, hal ini diduga disebabkan adanya pemberian komisi atau reward.
Besaran komisi yang diberikan bervariasi
tergantung dari kesepakatan dengan pihak toko.
Atribut promosi yang perlu
mendapatkan perhatian dari produsen adalah atribut pemberian hadiah karena konsumen menyatakan kurangnya pemberian hadiah oleh produsen kepada konsumen terutama bagi konsumen di toko Erbas Art. Produsen pada kategori toko non jati Jepara juga menyatakan bahwa pemilik toko telah cukup berhasil melakukan promosi dalam menjual mebel jati Jepara. Namun hasil nilai indeks konsumen pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa hanya atribut promosi pengaruh dari keluarga/kolega yang memberikan nilai indeks paling tinggi. Nilai indeks konsumen yang tidak begitu berbeda untuk atribut iklan, potongan harga, dan hadiah menyatakan bahwa produsen perlu untuk meningkatkan promosi mereka melalui ketiga atribut tersebut. Tabel 13 Nilai indeks produsen untuk atribut promosi Pertanyaan Iklan menarik Potongan harga (discount) Berhadiah Pengaruh dari keluarga/kolega Sumber : Data primer, 2009
Jati Jepara 1.2 1.2 1.2 1.8
Kategori Toko Campuran Non Jati Jepara 1.6 1.6 1.2 1.6 1.2 1.6 1.8 1.6
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa karakteristik pasar mebel jati di Jepara adalah : a. Margin pasar terbesar terdapat pada lembaga pengolahan akhir yang melakukan tambahan proses finishing yaitu pedagang mebel. b. Struktur pasar ditingkat pengrajin dan toko mebel adalah struktur pasar persaingan sempurna, sedangkan jika berdasarkan segmen adalah pasar persaingan monopolistik. c. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya tidak bisa mencerminkan pendapatan yang diterima oleh pengumpul dan pemilik toko karena harus memasukkan hasil penjualan mebel lainnya dari pengumpul dan pemilik toko. Dari sisi manajemen usaha pengrajin, faktor yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan industri mebel pengrajin adalah pengelolaan keuangan pengrajin tidak berorientasi jangka panjang dan lemahnya faktor perencanaan sistem produksi. Pada faktor pengelolaan keuangan, pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan mebel sering digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Pencampuradukan keuangan usaha mebel untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga mengakibatkan usaha pengrajin tidak berkembang.
Pada faktor
Perencanaan sistem produksi, kelangsungan usaha pengrajin dipengaruhi oleh : a. Penjualan mebel yang dilakukan pengrajin secara berlangganan lebih menguntungkan bagi pengrajin dari pada penjualan mebel secara bebas. b. Akses pengrajin yang rendah terhadap pembeli berpengaruh terhadap rendahnya harga jual mebel sehingga menurunkan pendapatan pengrajin. c. Kemampuan pengrajin dalam menentukan harga jual mebel tidak didukung dengan kemampuan negosiasi pengrajin sehingga pengrajin lebih bersifat menerima harga yang diberikan oleh pembeli. Pengrajin juga memiliki kemampuan yang rendah dalam mengakses pembeli level selanjutnya. Dari sisi pemasaran, saluran pemasaran yang diminati oleh pengrajin adalah saluran pemasaran satu dan saluran pemasaran 4. Kemudian terdapat perbedaan tingkat kepuasan konsumen dan produsen pada tiga kategori toko yaitu :
85
a.
Perbedaan pada atribut produk terdapat pada tanggapan terhadap keluhan, kekuatan mebel, ukuran mebel dan atribut pemesanan mebel tepat waktu.
b.
Perbedaan pada atribut harga terdapat pada harga mebel yang mahal.
c.
Perbedaan pada atribut lokasi penjualan terdapat pada jaringan distribusi, ketersediaan produk kontinyu, dan ukuran mebel
d.
Perbedaan pada atribut promosi terdapat pada iklan dan pemberian hadiah.
6.2. Saran Sebaiknya perlu diberi informasi tentang manajemen usaha yang baik kepada para pengrajin. Hal ini dapat dilakukan misalnya melalui penyuluhan atau melalui pelatihan. Untuk mendorong inovasi para pengrajin sebaiknya para pengrajin membuat katalog produk unggulan yang dimiliki oleh setiap pengrajin.
Hal ini dapat
dilakukan melalui kerja sama dengan pemilik outlet selaku pemilik modal. Untuk mendukung terwujudnya sistem pemasaran yang baik dan pengendalian stabilitas harga mebel, maka diperlukan adanya institusi, misalnya koperasi, yang dapat berperan untuk melakukan bargaining atau tawar menawar dalam menentukan harga jual mebel dan juga berperan dalam membuka akses informasi pasar yang lebih lengkap dan sempurna sehingga pengrajin memiliki kekuatan tawar menawar dalam menentukan harga penjualan mebel. Peningkatan kekuatan tawar menawar pengrajin diharapkan akan meningkatkan pendapatan pengrajin sehingga kesejahteraannya juga meningkat. Strategi pemasaran untuk mebel jati Jepara perlu dilakukan dengan mengakomodir ketidakpuasan konsumen pada atribut bauran pemasaran melalui perluasan jaringan distribusi, harga yang sesuai dengan daya beli konsumen, memperbanyak variasi ukuran mebel, tanggapan yang cepat terhadap keluhan, dan peningkatan promosi dengan menggunakan media iklan atau pemberian hadiah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Pertaruhan Keberlangsungan http://www.bisnis.vivanews.com. [15 Maret 2009].
Industri
Mebel.
[ASMINDO]. Asosiasi Mebel Indonesia Komda Jepara. 2008. Menuju Tata Niaga Industri Furniture Berdaya Saing Global (5 Tahun Membangun Industri Furniture Jepara). Jepara. Asmindo Komda Jepara 2002-2007. Assael H. 1992. Consumer Behaviour and Marketing Action. New York. Kent Publishing Company. Aulawi T. 2005. Preferensi Konsumen Beberapa Produk Suplemen Penstimulasi Stamina (Studi Kasus di Kota Bogor) [Tesis]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Jepara Dalam Angka 2007. Jepara. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Badan Pusat Statistik. 2008a. Kota Bogor Dalam Angka 2008. Jepara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. Badan Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Jepara Dalam Angka 2008. Jepara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara.
Badan Pusat Statisti. . 2009b. Jakarta Dalam Angka 2008. Jepara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. Badan Pusat Statisti. 2009c. Kabupaten Bogor Angka 2008. Jepara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara. Departemen Kehuta. 2008. Statistik Kehutanan 2007. Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan.
Badan Planologi
. 2007. Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan. . 2007a. Laporan Kajian Tata Niaga Kayu dan Konsumsi Kayu Olahan Dalam Negeri. Jakarta. Departemen Kehutanan. Dinas Kehutanan Kabupaten Jepara. 2008. Statistik Kehutanan Kabupaten Jepara Tahun 2008. Jepara. Dinas Kehutanan Kabupaten Jepara. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Jepara. 2008. Potensi Industri Kabupaten Jepara 2002-2007. Jepara. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi.
87
Dzięgielewski S, Fabisiak B. 2008. Furniture Design and Development of Furniture Production. Electronic Journal of Polish Agricultural Universities (11): 4. Hukama LA. 2003. Analisis Pemasaran Jambu Mete: Studi Kasus Kabupaten Buton dan Muna [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Istijanto. 2009. Aplikasi Praktis Riset Pemasaran: Cara Praktis Meneliti Konsumen dan Pesaing. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Kaplinsky R, Morris M. 2000. A Handbook for Value Chain Research. Kozak RA, Cohen DH, Lerner J dan Bull GQ. 2004. Western Canadian Consumer Attitudes Towards Certified Value-added Wood Products: an exploratory assessment. Forest Products Journal, 54(9), 21-24. Kotler P. 1997. Marketing Manajement: Analysis, Planning, Implementation and Contril. New Jersey. .Prentice Hall. Kotler P, Keller KL. 2007. Manajemen Pemasaran Jilid 1. Edisi ke-12. Edisi Bahasa Indonesia. PT. Indeks. Kotler P, Amstrong G. 1995. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol (terjemahan Jilid III). Jakarta. Lembaga Penerbit FFE-UI. Limbong WH, Sitorus P. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bogor. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Listyanti. 2003. Analisa Pemasaran Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) di Wilayah Bogor, Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Loebis L, Schmitz H. 2005. Java Furniture Makers: Globalisation winners or losers? Development and Practice (3&4): 514-522. Michica W. 1998. Analisa Faktor-Faktor Keberhasilan Usaha Kecil Perusahaan Pasangan Usaha PT. Sarana Jabar Ventura, Bandung [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mohamed S, Yi TP. 2008. Wooden Furniture Purchase Attributes: A Malaysian Consumers’ Perspective. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 31(2): 197 – 203. Nurrochmat DR, Bahruni, Yovi EY. 2008. Background Paper: Domestic and Internasional Market of Indonesian Wooden Furniture. Institut Pertanian Bogor.
88
Partomo TS, Soejoedono AR. 2002. Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi. Bogor. Ghalia Indonesia. Purnomo H. 2006. Teak furniture and Business Responsibility: A Global Value Chain Dynamics Approach. Economics and Finance in Indonesia 54 (3): 411 – 443. Rachma M. 2008. Efisiensi Tataniaga Cabai Merah (Studi Kasus Desa Cibereum, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Roda JM, Cadene P, Fauzan AU, Guizol P, Santoso L. 2007. Atlas Industri Mebel Kayu di Jepara, Indonesia. Bogor. CIRAD dan CIFOR. Rangkuti F. 1997. Riset Pemasaran. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Sallatu IA. 2006. Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setyawan H. 2002. Aspek Ekonomi Pengusahaan Hutan Rakyat Sengon di Kabupaten Sukabumi [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simamora M. 2003. Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitabel. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Soekartiwi. 1993. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Sudiyono A. 2002. Pemasaran pertanian. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen, Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor . Ghalia Indonesia. Susanti D. 2008. Perbandingan Preferensi Konsumen Terhadap Produk Furnitur Merek Olympic dengan Ligna [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sutisna. 2001. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Supranto J. 1991. Metode Riset: Aplikasinya dalam Pemasaran. Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
Lembaga
89
[UN COMTRADE] United Nation Commodity Trade Statistics. 2008. United Nations Commodity Trade Statistics Database. Statistics Division. United Nations. [USAID] United States Agency for International Development. 2007. Studi Hambatan Kebijakan Bagi Industri Furnitur: Hasil Studi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. USAID dan SENADA. Yusriana. 2004. Kajian Preferensi konsumen dan Strategi Pengembangan Produk Abon Ikan di Kotamadya Banda Aceh [Tesis]. Bogor: Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wie TK, Thoha M, Firmansyah, Zarida, Sarana J. 2001. Dinamika Usaha Kecil dan Menengah. Pusat Penelitian Ekonomi. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Zulkarnain H. 2008. Preferensi Konsumen Terhadap Produk Furnitur Kayu (Studi Kasus di Toko Furnitur dan Showroom Toserba, Kota Bogor) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
90
Lampiran 1 Nilai Validitas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Pertanyaan Pertanyaan 1 Pertanyaan 2 Pertanyaan 3 Pertanyaan 4 Pertanyaan 5 Pertanyaan 6 Pertanyaan 7 Pertanyaan 8 Pertanyaan 9 Pertanyaan 10 Pertanyaan 11 Pertanyaan 12 Pertanyaan 13 Pertanyaan 14 Pertanyaan 15 Pertanyaan 16 Pertanyaan 17 Pertanyaan 18 Pertanyaan 19 Pertanyaan 20 Pertanyaan 21 Pertanyaan 22 Pertanyaan 23 Pertanyaan 24 Pertanyaan 25 Pertanyaan 26 Pertanyaan 27
Nilai Validitas 0.756 0.768 0.770 0.878 0.829 0.854 0.279 0.721 0.740 0.719 0.717 0.717 0.728 0.771 0.677 0.798 0.808 0.807 0.836 0.783 0.760 0.742 0.742 0.656 0.678 0.700 0.758
91
Lampiran 2 Hasil Pengujian Reabilitas 1. Reabilitas Produk
Reliability Statistics Cronbach's N of Alpha Items .933 10
2. Reabilitas Harga Reliability Statistics Cronbach's N of Alpha Items .909 7
3. Reabilitas Lokasi Penjualan Reliability Statistics Cronbach's N of Alpha Items .908 5
4. Reabilitas Promosi Reliability Statistics Cronbach's N of Alpha Items .651 4
92
Lampiran 3 Nilai indeks Herfindahls pengrajin
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Pengrajin Wahib Ulin Nuha Sumarlin Ayik Jamaluddin Hadi Mulyono Nur Faizin Suratman Uung Rusmiyanto Ali Mahmudi Hardi Ahmad Naim Sutoyo supiadi Sriyono Dedik Abdul Rozak Didik Purwadi Bambang Suhadi Hendro Miftah A /H. Sumarlan Abdul Wahib Rahman Mulyadi Mashari Marsono Solikul Naryo Firin Zaenal abidin Total produksi (m3) Indeks Herfindahls
Volume produksi per bulan (m3) 2 2 3 2 4 2 4 3 1 1 1 1 1 3 1 2 3 2 2 1 1.8 8 1 1 1 2 2 8 2 4 71.8
Sumber: data primer (masih proses), n=23 pengrajin
Pangsa pasar
H2
0.028 0.028 0.042 0.028 0.056 0.028 0.056 0.042 0.014 0.014 0.014 0.014 0.014 0.042 0.014 0.028 0.042 0.028 0.028 0.014 0.025 0.111 0.014 0.014 0.014 0.028 0.028 0.111 0.028 0.056
0.0008 0.0008 0.0017 0.0008 0.0031 0.0008 0.0031 0.0017 0.0002 0.0002 0.0002 0.0002 0.0002 0.0017 0.0002 0.0008 0.0017 0.0008 0.0008 0.0002 0.0006 0.0124 0.0002 0.0002 0.0002 0.0008 0.0008 0.0124 0.0008 0.0031 0.0515
93
Lampiran 4. Nilai indeks Herfindahls showroom/toko/outlet No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Volume (m3)
Pangsa pasar
H2
Dwi Jati Ahsin Noor Putra Jepara Banyu Art Gallery Jati Syp Jepara Istana Jati Meubel Jati Nugroho Amili Jati 2 Putra Mekar Jati
12.42 9.02 7.08 3.30 3.55 2.04 7.92 19.00 7.10
0.17389 0.12628 0.09912 0.04620 0.04970 0.02851 0.11088 0.26601 0.09940
0.03024 0.01595 0.00983 0.00213 0.00247 0.00081 0.01230 0.07076 0.00988
Total volume Indeks Herfindahls
71.43
Nama Toko
0.15436