RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA
NUNUNG PARLINAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2010 Nunung Parlinah E 051060381
ABSTRACT PARLINAH, N. Value Chain of Jepara Mahogany Furniture. Under direction of HERRY PURNOMO and BRAMASTO NUGROHO.
Furniture industries have an important role in foreign exchange revenue in Jepara district. This study proposes to determine the policy scenarios that can encourage the sustainability of furniture industries in Jepara by applying dynamic models. The specific objectives of this research are to (1) analyze the added value distribution along the mahogany furniture value chain, (2) identify the institutions along the mahogany furniture value chain, and (3) analyze the added value distribution which is more equitable along the chain. This study utilizes secondary and primary data. The secondary data were obtained from literature reviews and statistical reports while the primary data were collected through a survey using a structured questionnaire. The analyses of data involve identification of actors and institutions in the chains, distribution of added value, and benefit cost analysis consisting of Net Present Value, Benefit Cost Ratio and Internal Rate of Return. The software, i.e. Stella 8 is applied in modeling and simulation processes. The results indicates that (1) there is imbalance of value added distribution per m3 raw material along the value chain; (2) the small and medium enterprises (as agent) produce the furniture relied more on buyer (as principal) orders. In such situation asymmetric information happens causing the position of craftsman and mahogany growers as price takers; (3) the values of NPV, BCR and IRR are not similar for each actor, but those values show that the principal-agent relationship among each actor tends to be effective. There are three scenarios which are possible to be applied, i.e. (1) efficiency in furniture production followed by improving capacity building on the marketing system; (2) the increase of the plantation investment in Perhutani area combined with reducing of forest pressurse and incentive policies on community forest; and (3) fair trade scenario through collective action. Keywords: value chain, mahogany furniture, Jepara, added value, principal-agent
RINGKASAN PARLINAH, N. Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan BRAMASTO NUGROHO Industri mebel umumnya termasuk dalam industri kecil dan menengah. Penerimaan negara yang berasal dari ekspor mebel terus mengalami peningkatan selama tahun 2000 – 2005 sebesar 17%, dimana pada tahun 2005 jumlah ekspor mencapai US$ 1,01 milyar - 1,78 milyar. Mebel kayu termasuk mebel kayu mahoni merupakan 75% dari nilai ekspor tersebut. Dalam perdagangan global selama tahun 2003 - 2005, mebel Indonesia menguasai 2,5% dari pangsa pasar dunia. Dengan masuknya semua jenis mahoni dalam Appendix CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) II yang berimplikasi terhadap pembatasan pemanenan mahoni di tempat tumbuh aslinya, maka kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi mebel mahoni dalam rangka memenuhi pasar. Bisnis di bidang mebel ini juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, dimana pada tahun 2005 jumlah industri mebel di Jepara, sebagai sentra industri mebel, mencapai 15.271 dengan jumlah tenaga kerja 176.470 orang. Pada tahun 2006, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi terhadap Produk Domestik Regional Bruto) PDRB Kabupaten Jepara yaitu sebesar 27%, dimana 84,8% dari sektor tersebut berasal dari industri kayu dan hasil hutan lainnya. Banyaknya industri mebel di Jepara telah mengakibatkan terjadinya persaingan antar pelaku yang terlibat dalam bisnis mebel. Tantangan yang dihadapi oleh sektor industri mebel antara lain turunnya ketersediaan kayu kualitas bagus serta mekanisme distribusi dan pemasaran kayu, distribusi pendapatan yang tidak seimbang dan tekanan pada kelestarian tanaman. Adanya hubungan principal (pemberi kepercayaan) – agent (penerima kepercayaan) yang terjadi antar aktor atau pelaku di dalam rantai juga menentukan besarnya distribusi keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku di sepanjang rantai nilai. Pendekatan rantai nilai dapat menjelaskan distribusi keuntungan yang terjadi dalam suatu rantai, sehingga dapat mengidentifikasi kebijakan yang sesuai untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik. Berdasarkan kondisi tersebut, maka tujuan umum dari penelitian adalah mencari skenario kebijakan yang dapat mendorong kelangsungan industri mebel melalui pendekatan sistim dinamik. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian adalah (1) mengetahui besarnya nilai tambah dan distribusinya sepanjang rantai nilai mebel mahoni; (2) mengetahui kelembagaan yang berlaku sepanjang rantai nilai; dan (3) mengetahui distribusi nilai tambah yang lebih ”adil” Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Nopember 2008 di Kabupaten Jepara – Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sumedang – Propinsi Jawa Barat dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Rantai nilai untuk industri mebel termasuk dalam kategori buyer driven sehingga penelitian ini dilakukan secara backward yaitu melihat keterkaitannya ke belakang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball, dengan para pelaku yang menjadi responden adalah eksportir, pengecer (retailer) domestik, perusahaan jasa finishing, pengrajin, perusahaan jasa
penggergajian, pedagang kayu di Jepara, pedagang kayu di Sumedang, petani di Sumedang dan Perhutani KPH Pati. Analisis data yang dilakukan meliputi: (1) identifikasi para pelaku atau aktor dalam rantai nilai mebel mahoni; (2) analisis distribusi nilai tambah ;(3) identifikasi kelembagaan di sepanjang rantai nilai yang terjadi yang berpengaruh terhadap hubungan principal-agent; (4) analisis manfaat biaya berupa analisis Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal rate of return (IRR) dan (5) analisis sistem (pemodelan) dan simulasi menggunakan software Stella 8. Para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara pada pasar domestik dan pasar ekspor adalah petani penanam kayu di Sumedang, Perhutani KPH Pati, pedagang kayu di Sumedang, pedagang kayu Jepara, jasa penggergajian, pengrajin, eksportir (+finishing), jasa finishing, dan pengecer/toko domestik (+finishing) dimana para pelaku tersebut memberikan nilai tambah pada setiap prosesnya. Adapun besarnya pertambahan nilai total per m3 bahan baku pada pasar domestik adalah Rp 1.477.000 yang terdistribusi secara tidak merata yaitu 49,83% pengecer/toko (+finishing), pengrajin mebel 27,62%, pedagang kayu di Jepara 9,21%, petani kayu di Sumedang 7,38%, pedagang kayu di Sumedang 3,72%, dan penggergajian 2,23%. Pada pasar ekspor, besarnya pertambahan nilai total per m3 bahan baku untuk kayu yang berasal dari rakyat adalah Rp 1.938.000, dimana nilai tambah terbesar diperoleh eksportir yaitu 36,79%. Selanjutnya pengrajin 28,48%, pedagang kayu Jepara 16,67%, petani 11,30%, pedagang kayu Sumedang 5,06% dan penggergajian 1,70%. Sedangkan untuk pasar ekspor dengan bahan baku yang berasal dari Perhutani, total pertambahan nilai per m3 bahan baku adalah Rp. 2.300.000 dengan eksportir masih memperoleh bagian nilai tambah paling besar yaitu 31%. Selanjutnya diikuti oleh Perhutani 27,74%, pengrajin 24%, pedagang kayu Jepara 15,83% dan penggergajian 1,43%. Nilai tambah yang diperoleh Perhutani lebih tinggi dibandingkan nilai tambah yang diperoleh petani kayu karena pengelolaan yang lebih intensif. Pada kedua pasar tersebut yaitu pasar domestik dan ekspor, yang paling sedikit memperoleh nilai tambah adalah pemberi jasa penggergajian. Banyaknya pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara telah menempatkan pengrajin dan petani pada posisi sebagai price taker. Rantai nilai yang terjadi bersifat buyer driven, dimana para pengrajin (agent) memproduksi mebelnya lebih didasarkan pada order yang spesifikasi produk dan harganya lebih banyak ditentukan oleh principal yaitu pembeli baik pengecer/toko domestik maupun eksportir. Pengrajin sebagai price taker tidak hanya terjadi dalam penjualan produk, tetapi juga terjadi pada pembelian bahan baku dan bahan penolong lainnya. Informasi asimetris yang terjadi antara pedagang kayu dan petani juga telah mengakibatkan posisi petani sebagai price taker. Hasil analisis manfaat dan biaya, pelaku yang paling tinggi nilai NPV nya adalah eksportir dengan nilai Rp 2.567.456.657, diikuti oleh penggergajian Rp. 843.384.315, pedagang kayu Jepara Rp. 666.892.355, pedagang kayu di Sumedang Rp. 437.007.283 pengecer domestik Rp. 325.926.522, jasa finishing Rp. 251.887.097, pengrajin pada pasar ekspor Rp. 215.861.212, pengrajin pada pasar domestik Rp. 48.818.390, Perhutani KPH Pati Rp. 43.112.510 dan petani Rp. 315.109. Untuk nilai BCR yang paling tinggi adalah penggergajian 1,73, jasa finishing 1,59, pengrajin pasar ekspor 1,25, pengecer/toko domestik 1,21,
pengrajin pasar domestik 1,19, pedagang kayu Jepara 1,16, eksportir 1,15, petani 1,14, pedagang kayu Sumedang (1,09), dan Perhutani (1,08). Sedangkan parameter IRR menunjukkan seluruh kegiatan masih layak diusahakan pada tingkat suku bunga 18%. Besarnya nilai NPV yang diterima oleh eksportir berkaitan dengan besarnya skala usaha yang dijalankan dibandingkan dengan kegiatan yang lain. Apabila dilihat dari parameter BCR, maka kegiatan usaha yang paling menguntungkan adalah jasa penggergajian. Sedangkan parameter IRR menunjukkan bahwa tingkat pengembalian atas investasi pada kegiatan jasa finishing paling tinggi dibandingkan kegiatan yang lain. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pola kemitraan yang terjadi antar pelaku di dalam rantai nilai mebel mahoni yang terjadi selama ini sudah efektif. Simulasi dasar terhadap model menunjukkan bahwa nilai tambah total pada pasar domestik mengalami peningkatan, sementara nilai tambah total pada pasar ekspor mengalami penurunan. Peningkatan nilai tambah pada pasar domestik terjadi karena peningkatan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari hutan rakyat sebagai bahan baku mebel untuk pasar domestik. Sedangkan penurunan yang terjadi pada pasar ekspor disebabkan adanya penurunan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari Perhutani, dimana kayu yang berasal dari Perhutani tersebut seluruhnya dipakai untuk bahan baku mebel pasar ekspor. Besarnya kebutuhan kayu untuk industri mebel ini seharusnya merupakan peluang bagi pengembangan usaha kehutanan. Simulasi skenario kebijakan yang dilakukan adalah: (1) peningkatan efisiensi produksi pada proses penggergajian dan proses pembuatan mebel di tingkat pengrajin; (2) peningkatan volume tebang kayu Perhutani melalui penanaman lahan kosong milik Perhutani; (3) penerapan fair trade melalui penghilangan biaya transaksi. Skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi untuk pasar domestik adalah meningkatkan efisiensi produksi (Rp. 6,70 milyar), diikuti dengan fair trade (Rp. 4,26 milyar). Sedangkan untuk pasar ekspor, skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi secara berturut-turut adalah penanaman lahan kosong di areal Perhutani (Rp 81,21 milyar), peningkatan efisiensi (Rp. 73,21 milyar) dan fair trade (Rp. 48,99 milyar). Berdasarkan hasil simulasi tersebut, beberapa kebijakan yang dapat diterapkan adalah: (1) Efisiensi pada proses pembuatan mebel melalui diversifikasi produk disertai dengan peningkatan kemampuan pengrajin di bidang pemasaran; (2) Peningkatan volume produksi kayu melalui penanaman lahan kosong di Perhutani disertai dengan penerapan kebijakan pengelolaan yang tepat untuk mengurangi tekanan terhadap hutan. Untuk usaha hutan rakyat perlu kebijakan yang bersifat insentif serta dapat meningkatkan faktor endowment dari petani sehingga bagian keuntungan yang diterima petani dapat meningkat; (3) Penerapan fair trade melalui aksi kolektif (collective action) untuk memanfaatkan pasar mebel dengan harga premium. Aksi kolektif juga dapat diterapkan untuk memperkuat posisi jual pengrajin melalui pengendalian harga jual mebel oleh asosiasi yang telah terbentuk. Pemerintah memiliki peranan penting sebagai pengendali karena aksi kolektif sangat rentan terhadap perilaku oportunis. Kata kunci: rantai nilai, mebel mahoni, Jepara, nilai tambah, principal-agent
©Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RANTAI NILAI (VALUE CHAIN) MEBEL KAYU MAHONI JEPARA
NUNUNG PARLINAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Manajemen Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis : Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara Nama : Nunung Parlinah NIM : E 051060381
Disetujui Komisi Pembimbing:
Dr. Ir. Herry Purnomo, MComp Ketua
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
(Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS)
(Prof. Dr. Ir. Kairil A. Notodiputro, MS)
Tanggal Ujian: 6 Januari 2010
Tanggal Lulus: 4 Pebruari 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS