1 Penelitian Skema Pembiayaan Pertanian dengan Pendekatan Konsep Rantai Nilai (Value Chain Financing) i2 ii Halaman ini sengaja dikosongkan3 Kata Peng...
Skema Pembiayaan Pertanian dengan Pendekatan Konsep Rantai Nilai (Value Chain Financing)
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
ii
Kata Pengantar
Kata Pengantar
P
uji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga penelitian “Skema Pembiayaan Pertanian dengan Pendekatan Konsep Rantai Nilai (Value Chain Financing)” untuk tahun 2014 dapat
diselesaikan dengan baik. Sektor pertanian di Indonesia memiliki peran sangat strategis dalam perekonomian nasional karena menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia yaitu 38,97 juta orang (34,00%), berkontribusi 13,38% terhadap PDB 2014 dan sumber produksi komoditas penunjang ketahanan pangan. Meskipun demikian, kredit yang disalurkan pada sektor pertanian masih sangat rendah. Hal ini disebabkan tingginya risiko yang antara lain dipengaruhi faktor iklim/ cuaca, kurangnya pemahaman bank terhadap karakteristik usaha sektor pertanian, dan skema pembiayaan yang tidak sesuai dengan pola usaha sektor tersebut. Sebagai salah satu upaya meningkatkan pembiayaan di sektor pertanian, Bank Indonesia melakukan kajian skema pembiayaan pertanian melalui pendekatan konsep rantai nilai (value chain financing). Kajian ini diharapkan mampu menghasilkan suatu model pembiayaan yang cocok untuk sektor pertanian, serta mampu mengidentifikasi titik kritis yang menjadi potensi risiko yang timbul dalam model pembiayaan tersebut. Kajian dilakukan pada 3 (tiga) komoditas yang berpengaruh terhadap inflasi, yaitu: beras, cabai merah dan bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa titik kritis risiko yang timbul dalam model pembiayaan pertanian komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai dan bawang merah) terdapat pada sistem produksi yang meliputi kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa instrumen pembiayaan yang dapat diterapkan dalam rantai nilai sektor pertanian, antara lain pembiayaan produksi, pembiayaan piutang, pembiayaan jasa perdagangan, pembiayaan investasi teknologi, dan pembiayaan resi gudang. Dalam implementasinya, model skema pembiayaan rantai nilai pertanian harus terintegrasi antar sub-sektor dari hulu sampai ke hilir agar pengelolaan risiko dapat dilakukan secara optimal. Beberapa faktor kunci pengembangan pembiayaan rantai nilai sektor pertanian antara lain: berorientasi pada pasar terstruktur (berbasis kontrak), produksi dilakukan berbasis permintaan pasar, mitigasi resiko dengan memanfaatkan manajemen dan teknologi secara terpadu, serta pendampingan yang intensif. Selanjutnya, skema pembiayaan dengan pendekatan konsep rantai nilai akan diaplikasikan dalam pilot project tahun 2015. Hasil kajian dan pilot project ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh perbankan/lembaga pembiayaan, Kementerian Teknis, Pemerintah Daerah, serta pelaku usaha baik perusahaan besar, pedagang maupun kelompok tani sebagai referensi skema pembiayaan yang dapat diterapkan sehingga dapat meningkatkan pembiayaan pada sektor pertanian.
iii
Kata Pengantar
Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Teknis, Pemerintah Daerah, perbankan, pelaku usaha, serta pihak-pihak lainnya di wilayah penelitian Indramayu, Ciamis dan Brebes yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, yang telah memberikan berbagai informasi untuk kelancaran penyusunan kajian ini. Akhir kata, semoga Allah SWT memberkati semua niat baik kita dan memberikan jalan yang terbaik bagi kita semua.
Jakarta,
April 2015
Halim Alamsyah Deputi Gubernur Bank Indonesia
iv
Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) Skema Pembiayaan Pertanian-Fokus Komoditas Pangan Melalui Pendekatan Konsep Pembiayaan Rantai Nilai
M
odel untuk komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai merah dan bawang merah) secara generik dibangun oleh beberapa subsistem, yaitu a) subsistem keterkaitan produksi, pasar dan keuangan; b) subsistem keterkaitan kinerja pasar dan pembiayaan
petani; c) subsistem kemampuan membayar petani; d) subsistem pembiayaan produksi; e) subsistem pembiayaan teknologi dan f) subsistem pembiayaan perdagangan; serta g) subsistem pasar sebagai off-taker. Produksi komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai merah dan bawang merah) memiliki keterkaitan yang erat dan saling terhubung antara sektor hulu (produksi), hilir (pasar) dan pendukungnya (teknologi), keuangan dan pembiayaan/permodalan). Titik kritis risiko model pembiayaan pertanian komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai dan bawang merah) terdapat pada sistem produksi komoditas pangan. Petani sebagai pelaku di hulu menjadi muara berbagai risiko yang bersumber dari sektor hilirnya. Risiko tersebut meliputi risiko produksi yang disebabkan oleh adanya perubahan iklim/cuaca, risiko pasar yang disebabkan oleh komitmen pelaku usaha yang kurang dan fluktuasi harga, risiko pembiayaan yang disebabkan oleh keterlambatan pembayaran dan keterbatasan modal, serta risiko infrastruktur yang disebabkan oleh adanya kerusakan infrastruktur irigasi dan jalan. Keberadaan unsur manajemen, teknologi, keuangan dan pembiayaan dalam model pembiayaan pertanian merupakan instrumen yang saling terkait yang digunakan untuk mengelola risiko yang terjadi dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Instrumen pembiayaan rantai nilai produk pertanian yang dapat diterapkan terdiri atas: (1) pembiayaan produk (product financing): pembiayaan agroinput dan pembiayaan jasa perdagangan; (2) receivables financing: pembiayaan anjak piutang (factoring); dan (3) penjaminan aset fisik (physical asset collateralization): pembiayaan jaminan kepemilikan komoditas-sistem resi gudang (warehouse receipt) dan pembiayaan investasi teknologi. Faktor kunci yang menjadi prasyarat dalam pengembangan rantai nilai pertanian terdiri atas: 1. Keterlibatan para pelaku rantai nilai, yakni produsen, kelompok produsen, jasa logistik pedesaan, supplier (pemasok), penggilingan beras dan pelaku pasar terstruktur (ekspor, ritel modern, jasa pangan dan industri pengolahan). 2. Pasar terstruktur atau pasar modern secara khusus menjadi perhatian utama dalam pengembangan pembiayaan rantai nilai pertanian. 3. Penerapan sistem produksi hibrida yang memiliki titik penetrasi pesanan atau titik pemisah pesanan dan produksi/pasokan (customer order decoupling point). Pihak yang melakukan v
Ringkasan Eksekutif
keputusan sistem produksi hibrida adalah jasa logistik pedesaan, supplier (pemasok) dan penggilingan beras. 4. Penerapan manajemen rantai nilai yang terdiri atas manajemen proses bisnis dan risiko yang dilakukan oleh pelaku sepanjang rantai nilai. 5. Penerapan teknologi yang meliputi teknologi lunak (soft technology) dan t eknologi keras (hard technology). Teknologi lunak meliputi standar o perasional prosedur (SOP) budidaya p ertanian yang benar (Good Agricultural Practices), SOP penanganan pasca panen (Good Handling Practices) dan distribusi (Good Distribution Practices)
serta SOP pengolahan hasil (Good
Manufacture Practices). Sedangkan teknologi keras meliputi teknologi naungan (protected agriculture) seperti mobile rainshelter dan shading net serta teknologi sistem irigasi sprinkler. 6. Layanan pendampingan bagi para pelaku sepanjang rantai nilai yang dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Para pendamping memberikan layanan berupa peningkatan kapasitas keterampilan, teknologi dan akses pasar bagi para petani. 7. Ketersediaan layanan pembiayaan pedesaan akan mempermudah akses p embiayaan bagi para pelaku rantai nilai pertanian di pedesaan. Selain faktor kunci di atas, pembiayaan rantai nilai pertanian memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah sebagai insentif bagi para pelaku yang menerapkannya. Kebijakan tersebut terbagi ke dalam dua kategori, yakni: (1) kebijakan pembiayaan rantai nilai yang berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dan (2) kebijakan pengembangan rantai nilai pertanian yang berasal dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
vi
Daftar Isi
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................................................... iii Ringkasan Eksekutif .............................................................................................................................. v Daftar Isi .............................................................................................................................................. vii Daftar Tabel .......................................................................................................................................... xi Daftar Gambar ..................................................................................................................................... xv Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang .............................................................................................................................1 1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................................................................ 3 1.3. Manfaat Penelitian ..................................................................................................................... 4 1.4. Studi Pustaka ............................................................................................................................... 4 1.4.1. Rantai Nilai .......................................................................................................................... 4 1.4.2. Konsep Analisis Rantai Nilai ................................................................................................ 5 1.4.3. Hubungan dalam Rantai Nilai Agribisnis ........................................................................... 7 1.4.4. Manajemen Rantai Nilai Pertanian ..................................................................................... 9 1.4.5. Manajemen Risiko Rantai Nilai ......................................................................................... 10 1.4.6. Pembiayaan Rantai Nilai Agribisnis (Agribusiness Value Chain Finance) ...................... 11 Bab II. Metode Penelitian 2.1. Wilayah Penelitian .................................................................................................................... 13 2.2. Responden Penelitian ............................................................................................................... 13 2.3. Teknik Analisis ........................................................................................................................... 14 2.3.1. Sumber Data ...................................................................................................................... 14 2.3.2. Rancangan Analisis Data ................................................................................................... 15 Bab III. Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian 3.1. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) ......................................................................... 19 3.2. Sistem Resi Gudang (SRG) ......................................................................................................... 21 3.3. Implementasi Rantai Nilai Pertanian di Berbagai Negara ....................................................... 22 Bab IV. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1. Keadaan Umum Kabupaten Indramayu .................................................................................. 29 4.1.1. Keadaan Geografis Kabupaten Indramayu ...................................................................... 29 4.1.2. Keadaan Tata Guna Lahan Kabupaten Indramayu .......................................................... 29 4.1.3. Keadaan Pertanian di Kabupaten Indramayu .................................................................. 30 4.2. Keadaan Umum Kabupaten Brebes ......................................................................................... 31 4.2.1. Keadaan Geografis Kabupaten Brebes ............................................................................. 31 4.2.2. Keadaan Tata Guna Lahan Kabupaten Brebes ................................................................. 32 4.2.3. Keadaan Pertanian di Kabupaten Brebes ........................................................................ 33
vii
Daftar Isi
4.3. Keadaan Umum Kabupaten Ciamis .......................................................................................... 35 4.3.1. Keadaan Geografis Kabupaten Ciamis ............................................................................. 35 4.3.2. Keadaan Tata Guna Lahan Kabupaten Ciamis ................................................................. 35 4.3.3. Keadaan Pertanian di Kabupaten Ciamis ......................................................................... 36 Bab V. Pemetaan Rantai Nilai 5.1. Rantai Nilai Beras ...................................................................................................................... 39 5.1.1. Karakteristik Produk Beras .............................................................................................. 39 5.1.2. Struktur Rantai Nilai Beras .............................................................................................. 41 5.1.3. Manajemen Rantai Nilai Beras ........................................................................................ 44 5.2. Rantai Nilai Bawang Merah ...................................................................................................... 49 5.2.1. Karakteristik Produk Bawang Merah ............................................................................. 49 5.2.2. Struktur Rantai Nilai Bawang Merah .............................................................................. 51 5.2.3. Manajemen Rantai Nilai Bawang Merah ....................................................................... 54 5.3. Rantai Nilai Cabai Merah .......................................................................................................... 65 5.3.1. Karakteristik Produk Cabai Merah .................................................................................. 65 5.3.2. Struktur Rantai Nilai Cabai Merah .................................................................................. 66 5.3.3. Manajemen Rantai Nilai Cabai Merah ............................................................................ 68 Bab VI. Analisis Risiko Rantai Nilai 6.1. Analisis Risiko pada Rantai Nilai Beras ..................................................................................... 73 6.1.1. Analisis Risiko di Tingkat Penggilingan Beras (RMU) ....................................................... 73 6.1.2. Analisis Risiko di Tingkat Bandar ...................................................................................... 77 6.1.3. Analisis Risiko di Tingkat Petani ........................................................................................ 80 6.2. Analisis Risiko pada Rantai Nilai Bawang Merah ..................................................................... 83 6.2.1. Analisis Risiko Tingkat Pedagang Pengirim ...................................................................... 83 6.2.2. Analisis Risiko di Tingkat Penebas .................................................................................... 86 6.2.3. Analisis Risiko Rantai Nilai Bawang Merah di Tingkat Petani ......................................... 89 6.3. Analisis Risiko Rantai Nilai Cabai Merah .................................................................................. 93 6.3.1. Analisis Risiko Pelaku Pemasok Cabai Industri ............................................................... 94 6.3.1.1 Analisis Risiko Tingkat Supplier Cabai Industri (KOJA) ......................................... 94 6.3.1.2 Analisis Risiko Tingkat Kelompok Tani ................................................................. 96 6.3.1.3 Analisis Risiko Tingkat Petani Cabai Industri ....................................................... 98 6.3.2. Analisis Risiko Pemasok Pasar Tradisional ...................................................................... 100 6.3.2.1 Analisis Risiko Tingkat STA (Sub Terminal Agribisnis) ........................................ 100 6.3.2.2 Analisis Risiko Rantai Nilai pada Tingkat Pedagang Besar .................................. 102 6.3.2.3 Analisis Risiko Tingkat Petani Cabai Pasar Tradisional ...................................... 104 Bab VII. Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian 7.1. Diagram Umpan Balik (Causal Loop Diagram) ....................................................................... 107 7.2. Diagram Aliran dan Stok (Stock and Flow Diagram) ............................................................. 114 7.3. Hasil Simulasi Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian ..................................................... 129 7.4. Skema Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian ............................................................................ 134
viii
Daftar Isi
Bab VIII. Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian 8.1. Komoditas Beras di Indramayu ............................................................................................... 149 8.2. Komoditas Bawang Merah di Brebes ..................................................................................... 156 8.3. Komoditas Cabai Merah di Ciamis .......................................................................................... 162 Bab IX. Faktor Kunci Dan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian 9.1. Faktor Kunci Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian ....................................... 169 9.2. Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian ........................................... 171 Bab X. Kesimpulan Dan Saran 10.1. Kesimpulan ............................................................................................................................ 173 10.2. Saran ...................................................................................................................................... 174 Daftar Pustaka ................................................................................................................................... 175 Lampiran ........................................................................................................................................... 179
ix
Halaman ini sengaja dikosongkan
x
Daftar Tabel
Daftar Tabel Tabel 1.
Perkembangan Kredit Perbankan Sektor Pertanian (Triliun Rp) ..................................... 1
Tabel 2.
Perkembangan Kredit Perbankan Berdasarkan Subsektor Pertanian (Triliun Rp) ......... 2
Tabel 3.
Perkembangan Realisasi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (Triliun Rp) .................. 2
Tabel 4.
Perbedaan Sistem Pembiayaan Rantai Nilai dengan Konvensional .............................. 12
Tabel 5.
Penentuan Titik Awal Berdasarkan Konsep Focal Company Pada Sistem Rantai
Nilai .................................................................................................................................. 14
Tabel 6.
Tata Guna Lahan di Kabupaten Indramayu pada Tahun 2012 ...................................... 29
Tabel 7.
Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Padi di Kabupaten Indramayu ......... 30
Tabel 8. Luas Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan di Kabupaten Brebes Akhir
Tahun 2012 (ha) ................................................................................................................ 33
Tabel 9.
Jenis Pekerjaan di Kabupaten Brebes Tahun 2012 ......................................................... 34
Tabel 10. Luas Panen, Produksi, dan Rata-rata Produksi Komoditas Bawang Merah
di Kabupaten Brebes Tahun 2012 ................................................................................... 34
Tabel 11. Tata Guna Lahan di Kabupaten Ciamis pada Tahun 2013 .............................................. 35 Tabel 12. Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Cabai di Kabupaten Ciamis
Tahun 2013 ...................................................................................................................... 36
Tabel 13. Lahan Penanaman Klaster Cabai Merah ........................................................................ 37 Tabel 14. Rendemen Gabah Menjadi Beras Pecah Kulit (PK) ........................................................ 39 Tabel 15. Rendemen Gabah Menjadi Beras Super dan Semi Super ............................................... 40 Tabel 16. Pelaku Primer ................................................................................................................... 43 Tabel 17. Pelaku Pendukung Rantai Nilai Beras ............................................................................. 43 Tabel 18. Pasokan Bawang Merah dalam 1 Tahun di Kabupaten Brebes ..................................... 50 Tabel 19. Karakteristik Bawang Merah Berdasarkan Tujuan Pasar ............................................... 51 Tabel 20. Pelaku Primer Rantai Nilai Bawang Merah .................................................................... 53 Tabel 21. Pelaku Pendukung Rantai Nilai Bawang Merah ............................................................ 53 Tabel 22. Jadwal Penanaman Bawang Merah Selama 1 Tahun ..................................................... 64 Tabel 23. Spesifikasi Permintaan Cabai Merah .............................................................................. 66 Tabel 24. Pelaku Primer ................................................................................................................... 67 Tabel 25. Pelaku Pendukung .......................................................................................................... 67 Tabel 26. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan Dalam Melakukan Mitigasi ........................................ 75 Tabel 27. Sumber Risiko dan Aksi Mitigasi ..................................................................................... 75 Tabel 28. Perhitungan HOR 2 RMU ................................................................................................. 76 Tabel 29. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan dalam Melakukan Mitigasi ....................................... 78 Tabel 30. Daftar Agen Risiko dan Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar .............................................. 78 Tabel 31. Perhitungan HOR 2 Tingkat Bandar ............................................................................... 79 Tabel 32. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan dalam Melakukan Mitigasi ........................................ 81 Tabel 33. Daftar Agen Risiko dan Aksi Mitigasi pada Petani Beras ............................................... 81 Tabel 34. Analisis House Of Risk (HOR) 2 Petani ............................................................................ 82 xi
Daftar Tabel
Tabel 35. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan dalam Melakukan Mitigasi ........................................ 84 Tabel 36. Daftar Agen Risiko dan Aksi Mitigasi pada Pedagang Pengirim ................................... 85 Tabel 37. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Pedagang Pengirim ................................................ 85 Tabel 38. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi di Tingkat Penebas ............................... 88 Tabel 39. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Penebas ................................................................... 88 Tabel 40. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi di Tingkat Petani .................................. 91 Tabel 41. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Petani ...................................................................... 92 Tabel 42. Agen Risiko Prioritas Dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan KOJA .......................... 95 Tabel 43. Analisis House of Risk 2 di Tingkat KOJA ........................................................................ 95 Tabel 44. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan oleh
Kelompok Tani ................................................................................................................. 97
Tabel 45. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Kelompok Tani ........................................................ 97 Tabel 46. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi yang Dapat Dilakukan oleh Petani
Cabai Industri ................................................................................................................... 99
Tabel 47. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Petani Cabai Industri ............................................... 99 Tabel 48. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan oleh STA ....... 101 Tabel 49. Analisis House of Risk 2 di Tingkat STA ......................................................................... 101 Tabel 50. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan oleh
Pedagang Besar ..............................................................................................................102
Tabel 51. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Pedagang Besar .................................................... 103 Tabel 52. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan oleh Petani
Tradisional ...................................................................................................................... 104
Tabel 53. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Petani Tradisional ................................................. 105 Tabel 54. Analisis Usahatani Padi per ha per tahun Petani Non SRG ......................................... 149 Tabel 55. Syarat Gabah Berdasarkan SNI.01-0224-1987 .............................................................. 150 Tabel 56. Simulasi Analisis Usahatani Padi per ha Petani SRG per tahun ...................................150 Tabel 57. Simulasi Analisis Usahatani Padi Petani SRG ................................................................ 151 Tabel 58. Analisis Usaha Penyimpanan Gabah (Gudang) Kelompok/BPP per Tahun ................. 152 Tabel 59. Kelayakan Usaha Gudang pada Kelompok untuk Mendukung SRG .......................... 152 Tabel 60. Proyeksi Angsuran dan Margin Pembiayaan ............................................................... 153 Tabel 61. Analisis Usahatani Padi per Ha Petani SRG per tahun (Pembiayaan Mudarabah) ...... 154 Tabel 62. Simulasi Pembiayaan Usaha Pengelolaan Gudang Gabah di Kelompok/BPP
dengan Pembiayaan Konvensional .............................................................................. 154
Tabel 63. Simulasi Pembiayaan Usaha Penyimpanan Gabah (Gudang) Di Kelompok/BPP
dengan Pembiayaan Syariah ........................................................................................ 155
Tabel 64. Analisis Usaha tani Bawang merah per Tahun per ha ............................................... 156 Tabel 65. Simulasi Pembiayaan Usahatani Bawang Merah Anggota Kelompok/Koperasi
per Tahun ....................................................................................................................... 157
Tabel 66. Simulasi Analisis Usahatani Bawang merah per ha per Tahun ....................................158 Tabel 67. Analisis Usaha Koperasi Logistik Bawang Merah per Tahun, 2014 dengan
Kredit Konvensional ...................................................................................................... 159
Tabel 68. Cash Flow Koperasi Bawang Merah Brebes ................................................................. 160
xii
Daftar Tabel
Tabel 69. Simulasi Proyeksi Pembiayaan Mudarabah untuk Koperasi Logistik Bawang
Merah ............................................................................................................................. 160
Tabel 70. Analisis Usaha Koperasi Logistik Bawang Merah per Tahun, 2014 dengan
Tabel 71. Cash Flow Koperasi Bawang Merah Brebes dengan Pembiayan Syariah .................... 161 Tabel 72. Analisis Usahatani Cabai per Musim Tanam Petani Anggota Koja di Ciamis
(sebelum ada Pembiayaan) .......................................................................................... 162
Tabel 73. Analisis Usahatani Cabai Merah per MT pada Pasar Terstruktur ................................. 163 Tabel 74. Simulasi Sensitivitas Penerimaan, Keuntungan, RC ratio dan BC ratio Usahatani
Cabai merah per ha ....................................................................................................... 164
Tabel 75. Analisis Usaha Koperasi Jasa Logistik dalam 1 Tahun ................................................. 165 Tabel 76. Arus Kas dengan DF 20% dan DF 40% untuk Cabai Merah ......................................... 166 Tabel 77. Proyeksi Perolehan Margin Pembiayaan ...................................................................... 167 Tabel 78. Simulasi Pembiayaan Usahatani Cabai Merah Melalui Koperasi dengan
Menggunakan Pembiayaan Syariah ............................................................................ 168
xiii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xiv
Daftar Gambar Gambar 1. Rantai Nilai Porter .............................................................................................................. 5 Gambar 2. Manajemen Risiko Rantai Pasok (VCRM) ........................................................................ 11 Gambar 3. Pelaku Rantai Nilai Beras ................................................................................................. 13 Gambar 4. Pelaku Rantai Nilai Cabai Merah dan Bawang Merah .................................................... 14 Gambar 5. Diagram Supply Chain Financing pada EBA .................................................................... 24 Gambar 6. Bank Payment Obligation dan Pokok Standar ISO 20022 untuk Memperluas Pelayanan dalam Penerapan SCF ................................................................................... 24 Gambar 7. Penggunaan BPO yang Melibatkan 2 Bank dan Penggunaan yang Mudah Bagi
Para Koresponden .......................................................................................................... 25
Gambar 8. Gambaran Aplikasi MDB dalam Penerapan BPO ............................................................ 26 Gambar 9. Struktur Penggunaan Modal Sendiri dalam Peningkatan Hasil .................................... 28 Gambar 10. Peta Wilayah Kabupaten Brebes ................................................................................... 31 Gambar 11. Persentase Luas Penggunaan Tanah di Kabupaten Brebes pada Tahun 2012 ............ 32 Gambar 12. Beras Pecah Kulit dan Beras Semi Super ........................................................................ 40 Gambar 13. Mesin Penyosohan Komputerisasi dan Konvensional .................................................. 41 Gambar 14. Struktur Rantai Nilai Beras Indramayu .......................................................................... 42 Gambar 15. Aktivitas RMU ................................................................................................................. 46 Gambar 16. Aktivitas Bandar ............................................................................................................. 48 Gambar 17. Aktivitas Petani Beras .................................................................................................... 49 Gambar 18. Struktur Rantai Nilai Bawang Merah Brebes ................................................................ 52 Gambar 19. Sistem Kontrak antara Industri dan Pedagang Pengirim Bawang Merah ................... 54 Gambar 20. Mekanisme Transaksi Penjualan Bawang Merah di P3BM ........................................... 55 Gambar 21. Proses Pengolahan Bawang Goreng Untuk Ekspor ...................................................... 57 Gambar 22. Kegiatan Pasca Panen Bawang Merah di Tingkat Pedagang Pengirim ....................... 57 Gambar 23. Pengembalian Produk Rusak dari Industri Mie Instan ke Pedagang Pengirim ........... 59 Gambar 24. Alur Peminjaman Modal yang dilakukan Penebas ....................................................... 59 Gambar 25. Alur Rantai Nilai Bawang Merah ditingkat Penebas .................................................... 61 Gambar 26. Aktivitas Rantai Nilai Bawang Merah di Tingkat Petani .............................................. 65 Gambar 27. Pemetaan Rantai Nilai Cabai Merah Kab. Ciamis ......................................................... 66 Gambar 28. Model Pembiayaan Pertanian ..................................................................................... 107 Gambar 29. Keterkaitan Produksi, Pasar, dan Keuangan ............................................................... 108 Gambar 30. Keterkaitan Kinerja Pasar dan Pembiayaan Petani ..................................................... 109 Gambar 31. Kemampuan Membayar Petani ................................................................................... 110 Gambar 32. Pembiayaan Produksi ................................................................................................... 111 Gambar 33. Pembiayaan Teknologi ................................................................................................. 112 Gambar 34. Pembiayaan Perdagangan ............................................................................................... 113 Gambar 35. Pasar Sebagai Off-Taker ............................................................................................... 114 Gambar 36. Submodel Budidaya ..................................................................................................... 115 xv
Gambar 37. Submodel Manajemen Kapasitas Produksi ................................................................. 116 Gambar 38. Submodel Pendampingan Teknologi Budidaya yang Baik ......................................... 118 Gambar 39. Submodel Rekayasa Kualitas ....................................................................................... 119 Gambar 40. Submodel Proses Lanjutan di Rumah Kemasan .......................................................... 121 Gambar 41. Submodel Pemasok Pasar Terstruktur ......................................................................... 122 Gambar 42. Submodel Pasar Terstruktur ......................................................................................... 124 Gambar 43. Submodel Keuangan Pemasok Pasar Terstruktur ....................................................... 125 Gambar 44. Submodel Keuangan Kelompok Tani .......................................................................... 126 Gambar 45. Submodel Keuangan Petani ........................................................................................ 128 Gambar 46. Hasil Simulasi Masa Tumbuh Tanaman dan Produksi ................................................. 129 Gambar 47. Hasil Simulasi Input Produksi dan Produksi Petani ..................................................... 130 Gambar 48. Hasil Simulasi Pascapanen ........................................................................................... 131 Gambar 49. Hasil Simulasi Manajemen Persediaan ........................................................................ 132 Gambar 50. Hasil Simulasi Pemenuhan Pesanan ............................................................................. 133 Gambar 51. Hasil Simulasi Keuangan .............................................................................................. 133 Gambar 52. Skema Pembiayaan Agroinput .................................................................................... 136 Gambar 53. Skema Pembiayaan Jasa Perdagangan ........................................................................ 139 Gambar 54. Skema Pembiayaan Investasi Teknologi ...................................................................... 141 Gambar 55. Skema Pembiayaan Anjak Piutang .............................................................................. 144 Gambar 56. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang ..................................................................... 146 Gambar 57. Integrasi Pembiayaan Rantai Nilai Produk Pertanian ................................................. 148 Gambar 58. Faktor Kunci Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian ............................ 169 Gambar 59. Terpaan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian .................. 171 Gambar 60. Terpaan Kebijakan Pengembangan Rantai Nilai Pertanian ....................................... 172 Gambar 61. Terpaan Kebijakan Perdagangan untuk Mendukung Pengembangan Rantai
xvi
Nilai Pertanian ............................................................................................................. 172
Pendahuluan
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Fakta menunjukkan bahwa sektor ini merupakan sumber mata pencaharian bagi sekitar 38,97 juta orang (34,00%) yang merupakan pangsa terbesar dari seluruh penduduk Indonesia yang termasuk dalam angkatan kerja (BPS, Agustus 2014). Data BPS juga menyebutkan bahwa pada tahun 2014 sektor pertanian, kehutanan dan perikanan merupakan penyumbang PDB terbesar kedua yaitu 13,34% setelah sektor industri pengolahan (21,02%). S elain itu, sektor ini juga menjadi sumber pasokan bahan baku sekaligus pasar bagi sektor industri. Pada komoditas tertentu seperti kelapa sawit, sektor pertanian merupakan sektor andalan penghasil devisa bagi negara. Namun demikian, dalam perkembangannya sektor pertanian cukup banyak menghadapi kendala yang bersumber dari berbagai aspek, seperti penerapan teknologi budidaya pertanian, penanganan pascapanen, informasi pasar dan pemasaran serta permodalan. Bahkan permasalahan permodalan sudah menjadi persoalan klasik yang hingga kini belum terpecahkan. Data statistik kredit perbankan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa secara nasional kredit yang disalurkan pada sektor pertanian sangat rendah dibandingkan total kredit perbankan, namun menunjukkan peningkatan. Pada akhir tahun 2010, kredit pada sektor pertanian sebesar Rp 86,5 triliun atau 4,9% dari total kredit perbankan. Namun pada tahun 2014, kredit sektor pertanian meningkat menjadi Rp212,4 triliun atau 5,7%. Tabel 1. Perkembangan Kredit Perbankan Sektor Pertanian (Triliun Rp) Keterangan
2010
2011
2012
2013
2014
1.777,4
2.216,5
2.725,7
3.319,8
3.706,5
Pertanian, Perburuan dan Kehutanan
86,5
109,8
142,5
177,2
212,4
Pangsa (%)
4,9%
5,0%
5,2%
5,3%
5,7%
Total Kredit Perbankan
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU)
Berdasarkan Tabel 2, apabila dilihat lebih mendalam pada masing-masing subsektor pertanian, pangsa kredit terbesar masih didominasi oleh sektor perkebunan yang pada akhir tahun 2014 mencapai Rp176,4 triliun atau 83,0% dari total kredit pertanian. Sementara penyaluran k redit pada subsektor pangan pada periode yang sama hanya Rp8,3 triliun (3,9%), dan subsektor hortikultura Rp4,4 triliun (2,1%). Hal ini menunjukkan bahwa akses keuangan untuk produksi pertanian, di luar sub sektor perkebunan, bukan merupakan hal yang mudah.
1
Pendahuluan
Tabel 2. Perkembangan Kredit Perbankan Berdasarkan Subsektor Pertanian (Triliun Rp) 2010
Subsektor
Jumlah
Pangsa
2011 Jumlah
Pangsa
2012 Jumlah
2013
Pangsa
Jumlah
Pangsa
2014 Jumlah
Pangsa
Pangan
2,1
2,4%
4,0
3,6%
8,2
5,8%
7,4
4,2%
8,3
3,9%
Perkebunan
74,1
85,7%
89,2
81,3%
112,4
78,9%
147,1
83,1%
176,4
83,0%
Hortikultura
1,0
1,1%
2,5
2,3%
4,8
3,4%
3,4
1,9%
4,4
2,1%
Peternakan
5,7
6,6%
8,6
7,8%
10,8
7,6%
12,7
7,2%
15,3
7,2%
Kehutanan
1,8
2,1%
2,7
2,5%
3,6
2,5%
3,6
2,0%
3,5
1,7%
Mixed Farming
0,2
0,2%
0,5
0,5%
0,6
0,4%
0,8
0,5%
0,5
0,2%
Jasa Pertanian
1,7
1,9%
2,2
2,0%
2,1
1,5%
2,0
1,1%
4,0
1,9%
Perburuan
0,0
0,0%
0,0
0,0%
0,0
0,0%
0,0
0,0%
0,0
0,0%
Total
86,5
100,0%
109,8
100,0%
142,5
100,0%
177,2
100,0%
212,4
100,0%
Sumber: Laporan Bulanan Bank Umum (LBU
Secara umum tantangan yang dihadapi oleh perbankan dalam membiayai sektor pertanian meliputi: (1) biaya transaksi yang tinggi bagi peminjam dan pemberi pinjaman, (2) risiko tinggi yang dihadapi oleh kedua belah pihak, peminjam dan pemberi pinjaman, (3) kurangnya i nformasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai rumah tangga pedesaan (guna perhitungan biaya transaksi dan risiko), dan (4) produk keuangan atau skema pembiayaan yang tidak cocok dengan arus keuangan peminjam atau pemberi pinjaman. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong perbankan meningkatkan pangsa pembiayaannya kepada p ertanian, antara lain melalui kebijakan kredit program sektor pertanian, seperti Kredit K etahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit U saha Pembibitan Sapi (KUPS), Skema Subsidi Resi Gudang (S-SRG). Namun hingga saat ini, realisasi kredit program dimaksud sangat rendah bila dibandingkan dengan komitmen p endanaan. Misalnya, realisasi KKP-E akhir tahun 2013 sebesar Rp2,55 triliun, atau baru mencapai 26,4% dari komitmen bank. Hasil penelitian Bank Indonesia (2011) menyebutkan bahwa rendahnya realisasi dimaksud antara lain disebabkan oleh: (1) tingginya risiko yang dihadapi bank maupun debitur; (2) masih kurangnya pemahaman bank terhadap karakteristik usaha di sektor pertanian; dan (3) pola pembiayaan (angsuran) yang tidak cocok/sesuai dengan pola usaha di sektor pertanian. Tabel 3. Perkembangan Realisasi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (Triliun Rp) Keterangan
2010
2011
2012
2013
Plafon komitmen
8,50
8,75
8,34
9,65
Realisasi
1,69
2,20
3,84
2,55
19,9%
23,1%
46,0%
26,4%
% realisasi thd plafon Sumber: Kementerian Pertanian, 2014
Selama ini fokus kebijakan kredit program sektor pertanian di Indonesia lebih berorientasi k epada proses produksi (on farm) untuk meningkatkan supply produk ke pasar dan hanya sedikit yang berorientasi kepada pascaproduksi (off farm). Kebijakan kredit program tersebut umumnya b elum terintegrasi antara hulu dengan hilir, sehingga belum mampu menjawab persoalan pembiayaan sektor pertanian sebagaimana disebutkan di atas. 2
Pendahuluan
Komponen atau aliran uang merupakan salah satu dari empat aliran dalam manajemen rantai nilai pertanian. Aliran uang akan menentukan kelancaran dan kesinambungan dalam aliran p roduk (Perdana dan Avianto, 2008). Pengembangan keuangan dalam rantai nilai dan klaster agribisnis harus dilakukan secara holistik. Dengan kata lain, pengembangannya tidak dapat dilakukan s ecara terpisah seperti skema keuangan atau pembiayaan pertanian yang ada saat ini. Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendorong peningkatan pembiayaan di sektor pertanian adalah melalui pendekatan rantai nilai (value chain). Pembiayaan rantai nilai (value chain financing) dapat didefinisikan sebagai aliran pembiayaan dalam subsektor antara pelaku rantai nilai, untuk tujuan mendapatkan produk ke pasar. Pembiayaan rantai nilai, menurut definisi ini, memerlukan hubungan dan pertukaran produk, informasi dan arus uang/dana antara para pelaku rantai nilai. Pembiayaan rantai nilai adalah produk keuangan dan jasa yang mengalir ke atau melalui setiap titik dalam rantai nilai dalam rangka meningkatkan pengembalian atas investasi dan pertumbuhan dan daya saing rantai nilai itu. Dengan pembiayaan rantai nilai, risiko dan pengembalian dari penyedia keuangan ditanggung bersama oleh pelaku dalam rantai pasok (USAID, 2010). Hal ini berbeda dengan pembiayaan kepada pelaku rantai nilai, di mana akses ke layanan keuangan oleh satu pelaku adalah independen atau tidak terkait dengan pelaku rantai nilai lainnya. Pemahaman mengenai risiko dalam rantai nilai dan proses bisnis yang dilakukan di sektor pertanian akan meningkatkan kepercayaan serta keyakinan pihak kreditur dalam memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha sektor pertanian yang selama ini dianggap memiliki risiko tinggi. Ti n g k a t suku bunga dalam pembiayaan rantai nilai mencerminkan apakah nilai hubungan rantai d apat lebih dipahami dan dimanfaatkan untuk mengatasi kendala utama dalam pembiayaan sektor pertanian. Pembiayaan dan transaksi di semua tingkatan rantai nilai harus dipahami untuk menentukan titik intervensi jika diperlukan. Perlu diketahui bahwa konsep value chain financing bukan merupakan sistem pembiayaan yang sepenuhnya dikembangkan untuk pembiayaan sektor pertanian, karena aspek keuangan belum tentu menjadi kendala utama dalam pengembangan pembiayaan rantai nilai. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana konsep value chain financing dapat diterapkan dalam pembiayaan di sektor pertanian. Diharapkan melalui pendekatan value chain financing akan dapat diperoleh suatu model pembiayaan yang bersifat tangguh. Ketangguhan model diperlukan agar lembaga pembiayaan perbankan dan pemerintah tertarik untuk mengimplementasikan model pembiayaan rantai nilai. Dalam model tersebut harus secara eksplisit tergambarkan potensi ekonomi dan manajemen risiko dari pembiayaan di sektor pertanian. Adapun tujuan penelitian adalah: 1. Menghasilkan suatu model pembiayaan untuk sektor pertanian khususnya komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai dan bawang merah). Model yang dikembangkan bersifat generik untuk setiap jenis komoditas (pangan dan sayuran), sedangkan pada komoditas yang diteliti akan ditambahkan informasi yang bersifat spesifik sesuai karakteristik masing-masing
3
Pendahuluan
komoditas (beras, cabai dan bawang merah). Selanjutnya model pembiayaan ini diharapkan akan dapat diimplementasikan melalui skema kredit komersial (perbankan). 2. Mengidentifikasi titik kritis yang menjadi potensi risiko yang timbul dalam model p embiayaan pertanian komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai dan bawang merah). 3. Memberikan rekomendasi sebagai suatu evaluasi terhadap skim kredit program khususnya Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dan Skema Resi Gudang (SRG) yang akan menjadi masukan bagi pemerintah berdasarkan model pembiayaan yang dihasilkan, dalam rangka mendorong pengembangan kebijakan kredit program ke depan khususnya di sektor pertanian. 1.3 Manfaat Penelitian 1. Bagi regulator (pemerintah, Bank Indonesia), sebagai bahan masukan dan rekomendasi dalam merumuskan kebijakan sektor pertanian, khususnya untuk mengembangkan model pembiayaan rantai nilai pertanian. 2. Bagi lembaga keuangan/pembiayaan, sebagai rujukan atau referensi dalam memberikan skema pembiayaan bagi pelaku usaha agribisnis. 3. Bagi pelaku usaha agribisnis, sebagai informasi mengenai akses pembiayaan usaha. 4. Bagi peneliti/akademisi, sebagai media pengembangan teori dan metodologi pada bidang pembiayaan rantai nilai pertanian. 1.4. Studi Pustaka 1.4.1. Rantai Nilai Rantai nilai mengacu pada keseluruhan aktivitas yang diperlukan untuk memindahkan barang (atau jasa) mulai dari fase konsep sampai, masuk ke tahap produksi, sampai ke tangan konsumen akhir, dan akhirnya dibuang setelah selesai dikonsumsi (Kaplinsky dan Moris,2001). Selanjutnya, sebuah rantai nilai muncul ketika seluruh pelaku dalam rantai bekerja dengan tujuan untuk memaksimalkan nilai produk akhir. Lebih sempit lagi, rantai nilai merupakan seluruh aktivitas yang dilaksanakan perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa, yang meliputi tahap konsep dan desain, pengolahan, pemasaran dan distribusi, kinerja pelayanan purna jual dan lain sebagainya. Setiap aktivitas menambahkan nilai ke dalam produk akhir, sehingga seluruh aktivitas membentuk sebuah rantai yang menghubungkan produsen dengan konsumen. Lebih spesifik dalam sektor pertanian, Amanor-Boadu (2005) menyatakan bahwa nilai tambah dalam pertanian terbentuk ketika terjadi perubahan dalam bentuk fisik atau bentuk produk pertanian, atau adopsi metode produksi atau proses penanganan yang bertujuan untuk meningkatkan basis konsumen bagi produk tersebut serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari pengeluaran pembelanjaan konsumen yang tumbuh untuk produsen. Berdasarkan definisi tersebut, inisiatif nilai tambah bisnis pada suatu rantai pasokan yang ada terjadi sebagai imbalan atas aktivitas yang dilakukan oleh pelaku usaha industri hilir pada suatu rantai pasokan. Ukuran imbalan tersebut secara langsung dan proporsional ditujukan untuk kepuasan konsumen. Imbalan
4
Pendahuluan
tersebut berbentuk harga yang tinggi, peningkatan pangsa pasar, dan peningkatan akses pasar sehingga dapat meningkatkan keuntungan bagi pelaku usaha. 1.4.2. Konsep Analisis Rantai Nilai Analisis rantai nilai merupakan salah satu tema kunci konsep manajemen strategi biaya yang dapat digunakan untuk melakukan analisis biaya pada aktivitas internal dan eksternal perusahaan. Pendekatan yang dilakukan dimulai dengan mengidentifikasi aktivitas-aktivitas nilai internal perusahaan, mengelompokkan biaya-biaya sesuai aktivitas rantai nilai, menentukan cost drivers (pemicu biaya) setiap aktivitas internal rantai nilai, dan langkah terakhir melakukan pengendalian terhadap cost drivers sehingga efisiensi biaya dapat tercapai. Cost drivers merupakan suatu faktor yang mempengaruhi biaya produk akhir. Terdapat beberapa pengertian dari rantai nilai yang dikemukakan oleh banyak ahli. Konsep rantai nilai yang paling banyak digunakan adalah konsep rantai nilai yang dicetuskan oleh Porter (1985). Menurut Porter (1985), analisis rantai nilai adalah suatu pendekatan sistem untuk menganalisis perkembangan dari keuntungan persaingan. Rantai nilai merupakan konsep manajemen bisnis yang pertama kali dicetuskan oleh Michael Porter dalam bukunya, Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance (1985). Dalam konsep rantai nilai yang dikembangkan, Michael Porter melihat perusahaan sebagai sebuah alur/rantai aktivitas dasar yang menambah nilai dari produk/jasa yang dihasilkannya dan pada gilirannya akan memberikan laba bagi perusahaan. Aktivitas Pendukung
Infrastruktur perusahaan
ar
M
Manajemen sumber daya manusia
jin
Pengembangan Teknologi
Logistik keluar
Pemasaran & Penjualan
Pelayanan
ar
Operasi
M
Logistik ke dalam
jin
Pembelian
Aktivitas Primer
Gambar 1. Rantai Nilai Porter (sumber: Porter ,1985) Sesuai Gambar 1, Porter mengemukakan bahwa ada dua aktivitas dalam rantai nilai, yaitu aktivitas primer dan aktivitas pendukung. Aktivitas primer dalam rantai nilai merupakan aktivitas dasar untuk mengoperasikan perusahaan yang ditujukan untuk memenuhi kepuasan eksternal. Aktivitas primer terdiri dari lima kategori: a) Logistik Masuk (Inbound Logistics) Aktivitas yang berhubungan dengan penerimaan, penyimpanan, dan penyebaran bahan baku, seperti penanganan material, pergudangan, pengendalian persediaan, penjadwalan kendaraan, dan pengembalian ke pemasok.
5
Pendahuluan
b) Operasi (Operation) Aktivitas yang berhubungan dengan pengubahan bahan baku menjadi produk jadi, seperti permesinan, pengemasan, pemasangan, perawatan mesin, pengujian, pencetakan, dan operasi fasilitas. c) Logistik Keluar (Outbound Logistics) Aktivitas yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan pendistribusian produk secara fisik kepada pembeli, seperti penggudangan barang jadi, penanganan material, operasi kendaraan pengiriman, pemrosesan pesanan, dan penjadwalan pengiriman. d) Pemasaran dan Penjualan (Marketing and Sales) Aktivitas yang berhubungan dengan penyediaan sarana di mana pembeli dapat membeli produk dan upaya membujuk konsumen untuk melakukan pembelian, seperti periklanan, promosi, tenaga penjualan, penyeleksian saluran, pemetaan hubungan antar saluran, dan penetapan harga. e) Penyedia Jasa/Pelayanan (Services) Aktivitas
yang
berhubungan
dengan
penyediaan
jasa
untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan nilai produk, seperti instalasi, perbaikan, pelatihan, ketersediaan suku cadang, dan penyesuaian produk. Aktivitas pendukung adalah aktivitas perusahaan untuk efesiensi dan efektivitas aktivitas primer yang ditujukan untuk konsumen internal. Yang termasuk dalam aktivitas pendukung adalah: a) Pengadaan (Procurement) Mengacu pada fungsi pembelian input yang dipergunakan dalam rantai nilai perusahaan. b) Pengembangan Teknologi (Technology Development) Terdiri dari sejumlah aktivitas yang dapat dikelompokkan secara luas dalam usahanya memperbaiki produk dan proses. c) Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resource Management) Terdiri dari aktivitas-aktivitas yang meliputi perekrutan, pelatihan, pengembangan, dan kompensasi untuk semua pegawai. d) Infrastruktur Perusahaan (Firm Infrastructure) Terdiri dari sejumlah aktivitas yang meliputi manajemen umum, perencanaan, pendanaan, akuntansi, hukum, urusan pemerintah, dan manajemen kualitas. Alberta Value Chain Initiative mendefinisikan rantai nilai sebagai penggabungan secara vertikal dari perusahaan-perusahaan untuk memperoleh posisi yang lebih menguntungkan di pasar. Penggabungan vertikal berarti perusahaan-perusahaan tersebut terkait satu dengan yang lain dalam satu kesatuan proses produksi, melalui berbagai proses seperti pengolahan sampai pada tahap di mana konsumen dan penjual melakukan pembelian produk jadi. Rantai nilai berbeda dengan bentuk gabungan perusahaan lainnya. Sebagai contoh, gabungan dari para produsen pertanian yang bekerja sama bukanlah rantai nilai, melainkan penggabungan secara horizontal. 6
Pendahuluan
Penggabungan berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut, sambil tetap bekerja secara mandiri, juga menjadi saling bergantung satu dengan yang lain. Mereka memiliki tujuan yang sama dan bekerja sama untuk mencapainya. Pada umumnya, rantai nilai berlaku jika terdapat tiga atau lebih perusahaan yang bergabung secara vertikal, yang disebut sebagai hubungan dalam rantai nilai. Kerja sama dalam rantai nilai lebih dari sekedar perjanjian jangka panjang. Kerja sama berarti berbagai perusahaan yang berbeda saling terlibat dalam rantai nilai, mendiskusikan berbagai hal, dan menyelesaikan masalah bersama-sama. Tujuan utama dari bergabungnya perusahaan-perusahaan tersebut adalah untuk memperoleh hasil lebih menguntungkan dari sebelumnya. Dari pengalaman diketahui bahwa dibutuhkan waktu untuk dapat mewujudkan keuntungan dari rantai nilai, seperti harga yang lebih tinggi. Walaupun demikian, keuntungan lainnya masih dapat diwujudkan, seperti keamanan pasar yang lebih terjaga dan biaya yang lebih murah. Dengan bergabung, perusahaan dapat lebih mudah menembus pasar. Jaminan ketersediaan barang dan komunikasi yang baik akan meningkatkan siklus pengembangan produk. Dengan kata lain, penggabungan perusahaan secara vertikal dapat membangun kerja sama bisnis yang lebih baik. Rantai nilai dimulai dan diakhiri dengan pasar. Rantai nilai tersebut harus terus berkembang untuk dapat menanggapi permintaan pasar. Dengan kata lain, ketika sebuah perusahaan bergabung dalam suatu rantai nilai, perusahaan itu harus aktif terlibat di dalamnya. Interaksi dengan pasar akan memberikan informasi yang berguna bagi para pengambil keputusan di setiap bagian dalam rantai. Rantai nilai yang berfungsi dengan baik akan memberikan hasil yang efektif bagi aktivitas produksi yang berkaitan dengan pemenuhan permintaan pasar. Analisis rantai nilai merupakan suatu alat analisis untuk mengetahui posisi perusahaan dalam rantai yang membentuk nilai suatu produk atau jasa. Analisis rantai nilai dapat dibagi menjadi analisis hubungan dengan supplier (supplier linkages) dan hubungan dengan konsumen (costumer linkages). Analisis rantai nilai membantu perusahaan dalam mengidentifikasi posisi perusahaan tersebut dalam rantai nilai, kemudian menganalisis aktivitas-aktivitas yang terjadi. Aktivitas yang terjadi harus dapat memberikan nilai tambah bagi nilai produk. Setelah itu perusahaan dapat menentukan strategi kompetitif yang digunakan, apakah menggunakan low cost atau diferensiasi. 1.4.3. Hubungan dalam Rantai Nilai Agribisnis Karakteristik dasar dari rantai nilai adalah kerjasama yang berorientasi pasar, di mana unit usaha yang berbeda saling bekerja sama untuk memproduksi dan memasarkan produk dan jasa dengan efektif dan efisien. Kerjasama ini dilakukan dalam rantai yang menghubungkan antara petani dengan pelaku produksi dan pelaku pasar. Rantai nilai dalam agribisnis dirancang untuk meningkatkan keuntungan persaingan (competitive advantage). Hal ini dilakukan dengan menghubungkan produsen, pelaku produksi, pelaku pasar, perusahaan penyedia jasa pangan, ritel, para peneliti pertanian, dan supplier. Berikut adalah beberapa contoh rantai nilai agribisnis:
7
Pendahuluan
a) Produsen kacang-kacangan bekerja sama dengan pelaku produksi dan pedagang untuk mengembangkan produk baru berupa sup kacang. Pedagang berperan dalam proses pengemasan (bekerja sama dengan pelaku produksi) dan memberikan informasi pasar. Produsen dan pedagang membuat perjanjian jangka panjang berkaitan dengan kualitas dan grade produk, dan pelaku produksilah yang menjamin ketersediaan produk. b) Agronesia adalah supermarket di Cianjur yang menjual produk-produk pertanian. Perusahaan tersebut menghubungkan praktik produksi lapangannya dengan aspek penjualan di supermarket dalam satu rantai nilai dengan supplier utama daging sapi, kentang, bawang, dan buah-buahan segar. Agronesia bekerja sama dengan supplier tersebut dalam suatu perjanjian jangka panjang yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas, konsistensi, dan keamanan dari ketersediaan produk-produk pertanian di supermarketnya. e) Lembur Kuring adalah sebuah hotel bernuansa alam yang berlokasi di Garut. Dalam usaha memperluas pasar, Lembur Kuring bekerja sama dengan petani, peternak ayam, kambing, sapi, dan kerbau serta pemilik tambak ikan di daerah sekitar Lembur Kuring. Kerjasama dalam satu rantai nilai tersebut menghasilkan Wisata Alam Lembur Kuring, sebuah konsep liburan ala pedesaan di mana konsumen akan memperoleh pengalaman baru menanam padi di sawah, menggembala ternak, dan memancing ikan. Kerja sama tersebut bertujuan untuk memberikan nilai tambah bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keunggulan rantai nilai agribisnis dibandingkan bentuk kerja sama lainnya adalah: a) Rantai nilai merupakan perusahaan yang diperluas. Jika rantai produk dan prosesnya sulit untuk ditiru pelaku lain, berarti rantai nilai tersebut memiliki daya saing yang bagus. b) Rantai nilai dapat membantu mengontrol (mengendalikan) risiko. Pembeli memperoleh jaminan ketersediaan produk dan dapat menelusuri produk sampai ke asalnya, dan supplier pun memperoleh jaminan pasar. c) Rantai nilai dapat mengembangkan akses menuju pasar dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk merespon perubahaan permintaan konsumen. Terdapat beberapa alasan mengapa para pelaku pertanian mau bergabung dalam rantai nilai agribisnis, di antaranya untuk: a) Menambah keamanan produk pangan; b) Menjamin ketersediaan dan kualitas produk; c) Menciptakan pasar baru; d) Mengembangkan posisi pasar; e) Kemudahan fasilitas dan perlengkapan untuk meningkatkan efisiensi penanaman; f) Kemudahan akses riset dan teknologi; g) Meningkatkan proses inovasi produk atau pengembangan pasar; h) Memperoleh bantuan keuangan, mengurangi investasi, dan memungkinkan mengajukan pembiayaan; i) Mengembangkan hubungan antara konsumen dan supplier; j) Memperoleh keuntungan persaingan yang sulit untuk ditiru.
8
Pendahuluan
Meskipun banyak alasan untuk bergabung dalam rantai nilai, terdapat risiko yang harus ditanggung ketika menjadi bagian dalam suatu rantai nilai. Pelaku harus berhati-hati ketika bergabung dalam rantai nilai karena: a) Hanya dapat mengontrol sebagian dari keseluruhan aktivitas bisnis. b) Pengambilan keputusan penting menjadi lebih lama karena banyak orang yang terlibat. c) Dapat kehilangan kebebasan dan fleksibilitas. d) Pelaku lain akan mempunyai akses terhadap barang/produk milik pelaku. e) Dibutuhkan waktu, tenaga dan uang yang tidak sedikit untuk mencapai rantai nilai yang berjalan dengan baik. Aktivitas dalam rantai nilai bukan aktivitas bebas (independen) melainkan aktivitas yang saling bergantung (interdependen). Hubungan antar aktivitas mempengaruhi kinerja dan biaya aktivitas lainnya. Rantai nilai dari sebuah perusahaan merupakan sebuah sistem yang besar, mulai dari supplier dan konsumen. Sebuah perusahaan akan memperoleh keuntungan tidak hanya dengan mengerti rantai nilai yang dimilikinya, tetapi juga mengerti bagaimana aktivitas yang berharga dari perusahaan itu akan cocok dengan rantai nilai dari supplier dan konsumennya. Terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam mencapai keuntungan dalam rantai nilai pertanian, yaitu: a) Hubungan dengan supplier, b) Hubungan dengan konsumen, c) Proses hubungan antara rantai nilai dengan unit bisnis, d) Hubungan timbal balik antara unit bisnis rantai nilai dengan perusahaan. Hubungan (linkages) tidak hanya terjadi di antara rantai nilai perusahaan tetapi juga rantai nilai pemasok dan saluran yang digunakan, hubungan ini disebut hubungan vertikal. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah bagaimana aktivitas dari pemasok atau saluran yang digunakan akan mempengaruhi kinerja dari aktivitas perusahaan. Hubungan ini menyediakan kesempatan bagi perusahaan untuk meningkatkan keuntungan persaingannya. Pembeli juga memiliki rantai nilai, dan produk perusahaan mewakili masukan yang dibeli untuk rantai pembeli. Diferensiasi perusahaan diturunkan secara dasar dari pembuatan nilai untuk pembeli melalui pengaruh perusahaan terhadap rantai nilai pembeli. Nilai tersebut diciptakan ketika perusahaan membuat keuntungan persaingan untuk pembelinya dengan cara menurunkan biaya pembeli atau meningkatkan kinerja pembeli. 1.4.4. Manajemen Rantai Nilai Pertanian Manajemen rantai nilai (value chain management) pertama kali dikemukakan oleh Keith Oliver dan Weber pada tahun 1982. Perdana (2009) memaparkan bahwa manajemen rantai nilai pertama kali dipraktikkan tahun 1985 pada industri tekstil dan pakaian. Kemudian pada tahun 1990-an para akademisi dan pelaku usaha Eropa dan Amerika Serikat mulai mengembangkan teori dan p raktik manajemen rantai nilai pada agribisnis bunga mawar. Chopra & Meindl (2004) berpendapat bahwa manajemen rantai pasok mencakup manajemen atas aliran-aliran yang
9
Pendahuluan
ada pada tingkatan dalam suatu rantai nilai untuk memaksimumkan keuntungan total. Dalam manajemen rantai nilai, terdapat empat penggerak yaitu persediaan, transportasi, fasilitas, dan informasi. Informasi menjadi penggerak utama karena informasi sangat mempengaruhi ketiga penggerak lainnya. Menurut Marimin dan Nurul Maghfiroh (2010), sistem manajemen rantai nilai didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem pemasaran terpadu, di dalamnya mencakup keterpaduan produk dan pelaku yang mempunyai tujuan sama, yaitu memberi kepuasan kepada pelanggan. S elanjutnya, manajemen rantai nilai adalah penerapan serangkaian pendekatan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien (Marimin & Nurul Maghfiroh, 2010). Hal ini akan mendukung terciptanya hubungan yang saling menguntungkan. Manajemen rantai nilai produk pertanian mengintegrasikan seluruh proses produksi mulai dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk sampai ke tangan konsumen. Tujuan diterapkannya manajemen rantai nilai adalah untuk membuat seluruh sistem menjadi efektif dan efisien, meminimalisasi biaya transportasi, distribusi, inventori bahan baku, bahan dalam proses, serta barang jadi (Marimin & Nurul Maghfiroh, 2010). Menurut David et al., (2000) dalam Indrajit dan Djokopranoto (2002) terdapat beberapa pemain utama dalam manajemen rantai nilai yaitu pemasok (supplier), pengolah (manufacturer), pendistribusi (distributor), pengecer (retailer), dan pelanggan (customer). Manajemen rantai nilai produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai nilai produk manufaktur lainnya karena: 1) produk pertanian bersifat mudah rusak; 2) proses penanaman, pertumbuhan, dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim; 3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi; 4) produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam desain manajemen rantai nilai karena kondisi rantai nilai produk pertanian lebih kompleks daripada rantai nilai pada umumnya. Selain itu, manajemen rantai nilai produk pertanian juga bersifat probabilistik dan dinamis (Marimin & Nurul Maghfiroh, 2010). Rantai nilai berbeda dengan manajemen rantai nilai. Rantai nilai merupakan jaringan fisik perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, mengolah bahan baku, maupun mengirimkannya ke konsumen akhir, sedangkan manajemen rantai nilai adalah ilmu, metode dan alat, pemikiran, atau pendekatan untuk mengelola rantai pasok. Manajemen rantai nilai sebagai pendekatan yang terintegrasi mulai dari hulu hingga hilir karena memiliki prinsip 3C, yakni coordination, collaborative, dan cooperation antar seluruh anggota yang terlibat dalam rantai nilai (Arvitrida, 2010). 1.4.5. Manajemen Risiko Rantai Nilai Risiko pada rantai nilai dapat didefinisikan sebagai kerugian yang dikaji dari sisi k emungkinan terjadi, sisi kemungkinan penyebab, dan sisi akibat dalam rantai nilai sebuah perusahaan dan lingkungannya. Dalam suatu rantai nilai jika satu pelaku mengalami masalah, maka akan berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung, kepada mitra dalam jaringan rantai nilai. Begitupun dengan risiko akibat dari permasalahan tersebut, sehingga terjadi interaksi a ntar 10
Pendahuluan
risiko yang menyebabkan kerugian secara menyeluruh dalam jaringan pasokan (Marimin & Nurul Maghfiroh, 2010). Selain itu, masalah dalam rantai nilai juga berpengaruh terhadap keberlanjutan dan ketersediaan produk di pasar sehingga dapat mengganggu keseimbangan antara p ermintaan dan penawaran yang menyebabkan perubahan harga. Oleh karena itu, kegiatan manajemen risiko pada rantai nilai sangat diperlukan untuk menghindari akibat yang dapat timbul di setiap titik jaringan pasokan. Schoenher (2008) mengelompokkan risiko rantai nilai ke dalam 17 macam kategori, yaitu risiko komplain standardisasi, risiko kualitas produk, risiko biaya produksi, risiko biaya persaingan, risiko permintaan, risiko pemenuhan pasokan, risiko penggudangan, risiko ketepatan waktu kirim, risiko ketepatan budget/biaya pengiriman, risiko pemenuhan pesanan, risiko salah mitra, risiko jarak, risiko pemasok, risiko manajemen pemasok, risiko rekayasa dan inovasi, risiko transportasi, risiko bencana, dan risiko produk asing. Widyarini (2008) mendefinisikan manajemen risiko rantai nilai sebagai sebuah struktur dan proses yang sinergis pada keseluruhan rantai pasok guna mengoptimalkan strategi, proses, sumber daya manusia, teknologi, dan pengetahuan. Tujuannya untuk menjaga, mengawasi, dan m engevaluasi risiko yang ada pada kegiatan perusahaan. Selain itu, perusahaan dapat mengidentifikasi dan mengelola risiko pada rantai nilai dengan menggunakan strategi Value Chain Risk Management. Value Chain Risk Management (VCRM) atau Manajemen Risiko Rantai Nilai adalah h ubungan antara rantai nilai dengan tools manajemen risiko yang bertujuan untuk menghadapi risiko yang berdampak pada kegiatan logistik atau sumber daya dalam rantai nilai (Briendly, 2004). Selanjutnya Briendly memaparkan bahwa VCRM sebagai titik persimpangan antara manajemen rantai nilai dan manajemen risiko seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Manajemen Risiko Rantai Pasok (VCRM) Sumber: Briendly (2004)
VCRM dapat dianggap sebagai pendekatan kolaboratif dan terstruktur dengan manajemen risiko untuk menangani risiko yang mungkin memengaruhi pencapaian tujuan rantai nilai (Briendly, 2004). 1.4.6. Pembiayaan Rantai Nilai Agribisnis (Agribusiness Value Chain Finance) Menurut Robinson dalam Hoffman (2011), Supply Chain Financing adalah bagaimana mengelola modal kerja, arus kas antara perusahaan sepanjang rantai pasokan baik dalam bentuk p embayaran antara vendor dan pembeli atau dalam bentuk keuangan. Melalui pembiayaan rantai nilai, risiko dan pengembalian dari penyedia keuangan ditanggung bersama oleh pelaku dalam rantai pasok. 11
Pendahuluan
Berdasarkan konsep pembiayaan rantai nilai yang telah diuraikan di atas, maka dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara pembiayaan yang menggunakan pola Value Chain Financing dengan pola pembiayaan biasa. Tabel 4 menunjukkan komparasi antara sistem pembiayaan rantai nilai dengan sistem pembiayaan biasa yang umum digunakan. Tabel 4. Perbedaan Sistem Pembiayaan Rantai Nilai dengan Konvensional No
Indikator
Pembiayaan Konvensional
1
Prinsip pembiayaan
Kontrak kerja sama/kemitraan
Kebutuhan peminjam
2
Nominal pembiayaan
Merujuk kepada kebutuhan pelaku
Merujuk kepada plafon skema kredit yang ditetapkan
3
Periode pembiayaan
Berdasarkan kesepakatan dalam kontrak Sesuai dengan jangka waktu skema kerja sama kredit yang ditetapkan
4
Hubungan yang terjalin
Hubungan kemitraan dan pembagian risiko
Hubungan bisnis, risiko masing-masing pelaku
5
Cakupan pembiayaan
Dapat melibatkan satu lini atau lebih dalam suatu rantai nilai
Hanya pada satu lini atau pelaku
6
Biaya transaksi
Ditanggung bersama oleh pelaku yang terlibat dalam skema pembiayaan rantai nilai
Ditanggung oleh pihak peminjam
7
Sekuritisasi pembiayaan
Kontrak kerja digunakan sebagai jaminan
Aset pribadi milik peminjam digunakan sebagai jaminan
8
Pihak yang bertanggung-jawab
Seluruh pelaku yang terlibat dalam skema pembiayaan rantai nilai
Sepenuhnya diserahkan kepada peminjam
9
Aliran informasi
Informasi diperlukan sebelum pembiayaan, saat pembiayaan berlangsung, dan hingga pelunasan
Informasi mengenai peminjam d iperlukan sebelum diberikannya pinjaman
10
Sistem penghitungan kemampuan usaha
Spesifik sesuai dengan karakteristik usaha
Disamakan antara sektor pertanian dan non-pertanian
2.1. Wilayah Penelitian Model skema pembiayaan pertanian yang akan disusun dibatasi pada subsektor komoditas pangan (beras) dan hortikultura sayuran (cabai dan bawang merah). Hal ini disebabkan subsektor dimaksud berperan dalam mendukung ketahanan pangan serta dapat menunjang kestabilan harga (inflasi). Penelitian akan dilakukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yaitu pada sentra produksi komoditas yang diteliti, yaitu: beras (Indramayu), cabai merah (Ciamis), dan bawang merah (Brebes). 2.2. Responden Penelitian Responden penelitian ditentukan setelah diperoleh hasil pemetaan rantai nilai (value chain mapping) pada tahap konseptualisasi. Secara umum, responden terdiri dari pelaku agroinput (benih, pupuk dan pestisida), produsen (petani, kelompok tani, koperasi), pelaku pasar (eksportir, pedagang perantara, pasar ritel modern, industri pengolahan), lembaga pembiayaan, pemerintah dan narasumber lain yang dibutuhkan (pakar dari universitas, lembaga pendukung pembangunan dan lainnya). Jumlah responden penelitian untuk masing–masing komoditas berjumlah 60 responden yang terdiri dari 40 produsen (petani dan kelompok tani) dan 20 pelaku pasar (perantara, pedagang besar, pasar induk, supermarket, dan industri). Seluruh responden diperoleh berdasarkan hasil penelusuran ke depan dan ke belakang (forward and backward) dari pelaku usaha utama (focal company) yang menjadi titik pantau awal dari pemetaan rantai nilai. Dengan demikian, variasi responden pada setiap studi kasus menjadi berbeda, sesuai dengan karakteristik rantai nilai yang diteliti. Penentuan pelaku usaha utama pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Pelaku Rantai Nilai Beras
13
Metode Penelitian
Gambar 4. Pelaku Rantai Nilai Cabai Merah dan Bawang Merah Tabel 5. Penentuan Titik Awal Berdasarkan Konsep Focal Company pada Sistem Rantai Nilai No
Komoditas
Focal Company
1
Beras
Pengiriman Beras
2
Cabai Merah
Koperasi Pedagang Besar
3
Bawang Merah
Koperasi Pedagang Besar
2.3 Teknik Analisis 2.3.1. Sumber Data Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari: a) Data Primer berupa:
1) Struktur rantai nilai komoditas dan pemetaan rantai nilai komoditas. 2) Proses bisnis masing-masing pelaku di dalam rantai nilai komoditas. 3) Aliran uang, barang, dan informasi pada rantai nilai produk. 4) Analisis usahatani. 5) Keuangan (laporan keuangan dan kebutuhan keuangan/biaya) usaha masing-masing. 6) Pelaku tergantung struktur rantai nilai komoditas. 7) Laporan keuangan produksi usahatani di tingkat petani. 8) Kebutuhan pembiayaan usahatani di tingkat petani. 9) Aktivitas bisnis dan laporan keuangan di tingkat poktan/gapoktan. 10) Kebutuhan keuangan pasca panen di tingkat poktan/gapoktan. 11) Pola tanam komoditas yang diteliti. 12) Pemasaran (cara dan sistem) komoditas yang diteliti. 13) Informasi mengenai pembiayaan yang pernah atau sedang dijalankan oleh masing–masing pelaku komoditas. 14) Berbagai bentuk risiko yang dihadapi para pelaku rantai nilai komoditas seperti risiko produksi, risiko pasar, risiko pembiayaan, risiko kelembagaan dan lain-lain. 15) Permasalahan yang dihadapi masing- masing pelaku rantai nilai komoditas.
14
Metode Penelitian
b) Data Sekunder berupa:
1) Data perkembangan pembiayaan (kredit) yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada sektor pertanian. 2) Data perkembangan permintaan (konsumsi) komoditas yang diteliti selama lima tahun terakhir, baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor, dengan pasar rumah tangga maupun industri. 3) Data perkembangan produksi dan produtivitas komoditas yang diteliti selama lima tahun terakhir. 4) Data ekspor impor komoditas yang diteliti selama lima tahun terakhir. 5) Informasi data jenis-jenis pembiayaan yang saat ini disediakan oleh lembaga keuangan untuk sektor pertanian. 6) Data perkembangan harga komoditas di pasar selama lima tahun terakhir. 7) Data harga sarana dan prasarana produksi komoditas yang diteliti. 8) Berbagai kebijakan yang terkait dengan pembiayaan pertanian. 9) Berbagai instrumen pembiayaan yang dikembangkan lembaga pembiayaan. 10) Biaya provisi dan lainnya.
2.3.2. Rancangan Analisis Data 1. Ulasan terhadap kondisi skema pembiayaan yang berasal dari program pemerintah, yakni Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Sistem Regi Gudang (SRG) akan dijadikan bahan untuk saran perbaikan yang akan dimasukan ke dalam model pembiayaan rantai nilai dan kebijakan yang dapat dikeluarkan pemerintah. Selain itu, ulasan tersebut dilengkapi juga dengan ulasan penerapan pembiayaan rantai nilai pada beberapa negara yang telah menerapkannya. 2. Value Chain Mapping, digunakan untuk:
Mengidentifikasi seluruh faktor yang berperan dalam pembentukan rantai nilai.
Memetakan aliran barang dari mulai agroinput hingga output.
Memetakan aliran uang yang bergulir di sepanjang rantai nilai, termasuk aliran pembayaran uang dari pasar (market).
Memetakan aliran informasi mengenai spesifikasi permintaan, perencanaan produksi, dan pengetahuan mengenai inovasi baru.
Memetakan aliran Reverse Logistic berupa barang retur.
Mengetahui dan memetakan industri penunjang dan stakeholders yang terlibat.
3. House of Risk (HOR), yaitu metode untuk mengidentifikasi titik kritis yang menjadi potensi risiko yang timbul dalam model pembiayaan pertanian. Metode ini juga merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui risiko dalam rantai nilai serta tindakan penanganan risiko tersebut. -
Pada tahap perhitungan, yang dilakukan pertama adalah mengidentifikasi proses dasar rantai nilai menggunakan SCOR (Supply Chain Operations Reference) di mana setiap aktivitas rantai nilai mulai dari proses plan, source, make, deliver, dan return diidentifikasi. 15
Metode Penelitian
Proses dasar rantai nilai akan dianalisis untuk mengidentifikasi di mana risiko akan mungkin t erjadi dan konsekuensinya jika terjadi menggunakan pendekatan FMEA ( Failure Mode and Effect Analysis). Dalam metode House of Risk (HOR), agen/sumber risiko dan kemungkinan terjadinya akan ditaksir. Kemudian ditentukan nilai ARP (Aggregate Risk Potential) untuk setiap agen risiko sebagai tingkat keparahan dari dampak yang disebabkan oleh agen risiko. Jika Oj adalah kemungkinan terjadinya agen risiko, Si adalah keparahan dari peristiwa risiko yang terjadi, Rij adalah korelasi antara agen risiko dan peristiwa risiko, maka ARP dapat dihitung mengikuti rumus berikut: ARPj = Oj 4. Metode HOR terbagi menjadi dua bagian, yaitu HOR 1 dan HOR 2. HOR 1 digunakan u ntuk menentukan agen risiko mana yang harus diprioritaskan untuk diberikan penanganan preventif. HOR 2 digunakan untuk memberikan prioritas pada penanganan yang dianggap efektif, tapi dengan pertimbangan dana dan sumber penghasilan. Tata kelola, digunakan untuk memetakan spektrum keterkaitan antar pelaku pasar berupa jual beli putus sampai dengan merge dan akuisisi. 5. Pemodelan dinamika sistem atau system dynamics (Sterman, 2000) dengan tahapan sebagai berikut: (a) Pendefinisian masalah, yaitu aktivitas untuk mengetahui dan mendefinisikan permasalahan
yang akan dikaji dan dianalisis secara sistem. Pengumpulan informasi historis atau pola hipotesis menjadi hal yang penting untuk menggambarkan perilaku persoalan. Pola historis akan menjadi pola referensi (reference mode) yang diwakili oleh pola perilaku suatu kumpulan variabel yang mencakup beberapa aspek yang berhubungan dengan perilaku persoalan. Pola referensi akan membantu dalam merumuskan hipotesis dinamis, yaitu suatu pernyataan mengenai struktur umpan balik yang dianggap memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku masalah.
(b) Hipotesis dinamis atau konseptualisasi sistem, merupakan tahap penyusunan unsur-unsur yang dianggap berpengaruh di dalam sistem. Tahap ini terdiri dari langkah-langkah untuk
mengenali sistem, di antaranya penentuan batas sistem (system boundary), struktur umpan balik, struktur informasi, rancangan untuk menguji validitas model dan rancangan untuk melakukan eksplorasi kebijakan. Sistem dapat digambarkan dalam beberapa cara, dan yang paling lazim adalah dengan diagram umpan balik (causal loop), memplot variabel tertentu terhadap waktu dan menggambarkan diagram alir komputer. Terdapat dua macam umpan balik yang mungkin dijumpai dalam sistem, yaitu lingkar umpan balik positif yang menghasilkan pola pertumbuhan (growth) dan lingkar umpan balik negatif yang akan menghasilkan pola pencapaian tujuan (goal seeking). Gabungan lingkar yang sejenis ataupun kombinasinya akan menghasilkan berbagai macam perilaku.
(c) Penggambaran model dan perilakunya, merupakan proses untuk mengubah konsep sistem
yang telah disusun ke dalam bentuk persamaan atau bahasa komputer dan memahami perilaku sistem yang diakibatkan oleh asumsi-asumsi dalam model sehingga dapat menjadi dasar penyempurnaan model.
16
Metode Penelitian
(d) Struktur dasar model dengan menggunakan metoda System Dynamics terdiri dari: -
Level, yaitu akumulasi yang terdapat dalam sistem yang besarnya dipengaruhi oleh nilai awal dan nilai rate. Level pada suatu loop hanya dapat dilalui oleh rate, tetapi dapat diikuti oleh auxiliary atau rate. Level tidak dapat dipengaruhi secara langsung oleh level lainnya.
-
Rate, yaitu aliran yang akan mengubah level dan nilainya dipengaruhi oleh informasiinformasi yang datang kepadanya.
-
Aliran material, yaitu aliran dari level satu ke level yang lain, yang besarnya ditentukan oleh persamaan rate.
-
Aliran informasi, yaitu suatu struktur yang berperan dalam fungsi-fungsi keputusan yang tidak mempengaruhi variabel secara langsung. Pada tahap ini digunakan simulasi komputer untuk menentukan bagaimana perilaku seluruh variabel terhadap waktu.
(e) Pengujian Model, merupakan usaha untuk membandingkan hasil simulasi dengan semua informasi tentang sistem sebenarnya, untuk menentukan kesahihan model. Pada tahap ini sejumlah pengujian harus dilakukan terhadap model untuk mengevaluasi kualitas dan
validitasnya. Pengujian tersebut beragam bentuknya, mulai dari memeriksa konsistensi logika, mencocokkan output model dengan data yang berhasil dikumpulkan dalam suatu rangkaian waktu, hingga melakukan uji statistik berbagai parameter yang digunakan dalam simulasi. Jika ditemukan adanya perbedaan yang signifikan dengan pola referensi maka struktur model dengan informasi teoritis dan empiris mengenai perilaku sistem tersebut, maka model bisa diterima sebagai suatu representasi yang valid dari sistem tersebut. (f) Penyusunan dan Evaluasi Kebijakan, merupakan tahap menguji berbagai alternatif kebijakan yang mungkin dapat diterapkan dalam sistem yang tengah dikaji dengan menggunakan model. Lebih jauh lagi, peneliti mungkin dapat menyelidiki kemungkinan dampak dari berbagai kebijakan pemerintah terhadap sistem yang sedang dikaji. 6. Perhitungan kelayakan pembiayaan rantai nilai berupa simulasi analisis keuangan konvensional dan syariah, digunakan untuk mengevaluasi efektivitas model pembiayaan yang diajukan. 7. Penentuan faktor kunci dan kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan pembiayaan rantai nilai pertanian. Penentuan faktor kunci dan kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan hasil pemodelan dan kelayakan yang telah dilakukan pada tahapan sebelumnya. Selain itu, diakomodasi juga berbagai masukan dari pemangku kepentingan pada saat diskusi kelompok terfokus (focus group discussion).
17
Metode Penelitian
Halaman ini sengaja dikosongkan
18
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
Bab III Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian 3.1. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) Pemerintah mengeluarkan beberapa skim kredit program guna mendorong penyaluran kredit kepada Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM). Kredit Ketahanan Pangan dan E nergi (KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan skim kredit program yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM di sektor pertanian. Namun, pelaksanaannya masih mengalami beberapa hambatan seperti: (1) ketidaktepatan waktu pencairan, (2) kurangnya sosialisasi, (3) kurangnya p engetahuan masyarakat, dan (4) penyalahgunaan pemanfaatan skim kredit tersebut. Oleh karena itu p erlu dilakukan penyempurnaan berkelanjutan dari skim kredit program agar perbankan dapat meningkatkan pembiayaan kepada pelaku usaha yang layak dibiayai. Berikut beberapa hal yang dapat diterapkan atau ditambahkan pada skim kredit program KKPE: 1. Komoditas yang dibiayai Pembiayaan KKPE hanya terbatas pada komoditas tertentu. Padahal banyak petani komoditas prospektif lainnya yang membutuhkan pembiayaan untuk meningkatkan keberhasilan usahanya. Pembiayaan sebaiknya bukan berdasarkan jenis komoditas, melainkan berdasarkan kepastian pasar karena komoditas apa pun yang diusahatanikan apabila dipasarkan kepada pembeli yang sudah memiliki kontrak akan menurunkan risiko pemasaran. 2. Manajemen Rantai Nilai Manajemen rantai nilai yang diterapkan petani adalah close system untuk menekan risiko. Dengan close system petani mendapatkan kepastian pasokan sarana produksi dan kepastian pasar. Kepastian pasokan dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan perusahaan sarana produksi, sedangkan kepastian pasar dilakukan dengan memiliki tujuan pasar yang jelas, khususnya pasar/konsumen yang memiliki kepastian pesanan seperti konsumen dari ritel modern, industri pengolahan, jasa pangan, serta pasar ekspor. Kepastian pasar tercermin dari adanya kontrak yang mencakup kuantitas, kualitas, kontinuitas pasokan, harga dan term of payment (dari setiap pelaku rantai pasok). Akan lebih baik jika pelaku yang didanai memiliki perencanaan terkait kontrak yang berlaku sepanjang tenor pembiayaan. 3. Pembayaran Angsuran dan Tenor Tenor pembiayaan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan petani membayar angsuran per bulan. Baik KKPE maupun KUR tidak memperhitungkan kemampuan petani pada awal budidaya di mana petani belum memiliki penghasilan yang baru akan didapatkan setelah panen 19
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
dimulai. Sebaiknya, petani baru yang akan memulai usahatani komoditas tertentu d iberikan masa tenggang (grace period) sampai dengan petani mendapatkan manfaat ekonomi dari agroinput yang dibeli melalui pembiayaan. Pada level koperasi, gabungan kelompok tani atau kelompok tani sebaiknya ditujukan kepada petani yang sudah memiliki rencana basis produksi yang baik sehingga memiliki jadwal dan pola tanam yang sudah disepakati seluruh anggota koperasi. Dengan jadwal dan pola tanam yang terencana, hasil panen akan kontinu, sesuai kuantitas yang dihendaki per bulan. Dengan demikian, pendapatan koperasi, gabungan kelompok tani dan kelompok tani akan stabil yang berpengaruh kepada pembayaran angsuran. 4. Jumlah kredit yang diberikan untuk pre harvest/prapanen Selain disesuaikan dengan kemampuan petani membayar angsuran, jumlah kredit juga disesuaikan dengan kebutuhan agroinput baik sarana produksi, tenaga kerja petani serta teknologi yang digunakan. Pada level koperasi/gabungan kelompok tani/kelompok tani, pembiayaan untuk pengadaan agroinput sebaiknya dilaksanakan secara kolektif berbasis rencana produksi berdasarkan permintaan pasar. 5. Sosialisasi Skim Kredit Sosialisasi skim kredit program perlu dilakukan sehingga petani mengetahui secara keseluruhan mengenai persyaratan, bentuk kredit yang diberikan, proses kredit yang akan diterapkan serta jangka waktu pendanaan. Diharapkan terjadi keselarasan antara pihak bank dan pihak petani dan merubah pandangan petani mengingat kredit program sering dianggap hibah dari pemerintah. Sosialisasi sebaiknya dilakukan bersama pihak pendamping maupun bank. 6. Ketepatan Waktu Pendanaan/Pencairan Waktu pendanaan/pencairan dari bank disesuaikan dengan kebutuhan petani sehingga petani mengetahui waktu yang tepat untuk mengajukan pembiayaan untuk menghindari waktu pencairan dana yang sudah melewati masa tanam. Oleh karena itu petani s ebaiknya mendapatkan sosialisasi mengenai penetapan target jangka waktu (Time To Yes/TTY dan Time To Cash/TTC) apabila dokumen yang dipersyaratkan lengkap. Setelah mendapatkan persetujuan, maka ditetapkan waktu pencairan dana disesuaikan dengan kebutuhan petani akan agroinput. 7. Suku Bunga Suku bunga disesuaikan dengan risiko yang ditanggung bank. Mengingat karakter pelaku di berbagai daerah di Indonesia berbeda, perlu dilakukan monitoring dan analisis data historis pembayaran angsuran pelaku yang telah didanai oleh skim kredit KKPE maupun KUR. 8. Bentuk Usaha Pembiayaan diberikan kepada kelompok tani yang memiliki badan hukum untuk pembelian sarana produksi yang dibutuhkan pada tingkat kelompok. Dengan adanya badan hukum, 20
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
pihak bank mengetahui dengan jelas petani yang bertanggung jawab terhadap pembayaran dari pembiayaan yang diberikan. Pembiayaan sebaiknya diberikan tidak hanya kepada petani yang tergabung dalam kelompok tani, melainkan diberikan juga kepada petani perseorangan yang memiliki keterkaitan langsung dengan akses pasar, produksi, dan penyediaan sarana/ prasarana pertanian. 9. Kemampuan Usahatani Petani yang berusaha secara kelompok baik yang tergabung dengan kelompok tani, gabungan kelompok tani atau koperasi harus memiliki rencana produksi melalui jadwal tanam t ertentu. Untuk mendukung keberlangsungan usaha, perlu diberikan pendampingan baik dari p ihak pemerintah, institusi pendidikan maupun pihak swasta sehingga potensi petani dapat dikembangkan secara komprehensif. Dalam proses budidaya, apabila terjadi risiko gagal panen diharapkan petani bersama pendamping dapat merespon cepat, sehingga apabila dibutuhkan teknologi atau sarana tambahan lainnya, risiko gagal panen dapat diminimalisir atau dihindari. 10. Keberadaan Petani Pihak bank dapat memperoleh informasi mengenai calon peminjam dari pihak yang mendampingi petani. Dengan demikian, bank mengetahui secara pasti kebenaran keberadaan para petani untuk menghindari kecurangan petani fiktif yang dilakukan calon peminjam. Sebaiknya PPL diaktifkan kembali karena sangat membantu bank menyalurkan kredit program, terutama dalam memverifikasi kebenaran calon peminjam. Selain itu pihak PPL juga mengkoordinir petani sehingga mendapatkan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan petani. 3.2. Sistem Resi Gudang (SRG) Pemanfaatan resi gudang saat ini belum maksimal, dengan berbagai permasalahan seperti: (1) gudang tidak digunakan untuk penerbitan resi gudang melainkan digunakan oleh bandar atau poslog, (2) akses menuju gudang terlalu jauh dari lahan sehingga petani harus m engeluarkan biaya transportasi dan biaya penyusutan, (3) biaya yang ditanggung petani terlalu tinggi termasuk biaya untuk loading dan unloading serta biaya penyimpanan, (4) sumberdaya manusia yang kurang memahami standar kualitas untuk disimpan dalam gudang, seperti kurangnya kadar air, tata s impan yang baik dan sesuai dengan karakteristik produk, dan (5) kurangnya sosialisasi mengenai resi gudang sehingga kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyempurnaan sebagai berikut:
1. Alternatif gudang satelit Untuk mengatasi permasalahan jarak gudang dengan petani, dapat dibangun alternatif gudang satelit dengan kapasitas sekitar 200 ton. Dengan demikian petani dapat mengakses gudang dengan mudah karena jarak yang dekat dengan lahan petani.
21
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
2. Tata kelola gudang Tata kelola gudang dilakukan oleh kelompok petani bekerja sama dengan petugas pengelola gudang. Petugas pengelola tetap sebagai pihak yang berhak mengeluarkan surat resi gudang.
3. Sosialisasi Sosialisasi dilakukan hingga level kecamatan kepada petani calon pengguna resi gudang. Selain petani, sosialisasi juga dilakukan kepada bank yang akan mendanai resi gudang yang diajukan petani.
4. Pelatihan Kemampuan SDM pengelola gudang ditingkatkan melalui pelatihan administrasi maupun teknis dalam pengelolaan gudang, seperti pemahaman penerapan resi gudang, s tandar k ualitas produk yang diterima di gudang dan tata simpan yang baik dan sesuai dengan k arakteristik produk. 3.3. Implementasi Rantai Nilai Pertanian di Berbagai Negara Value Chain Financing (VCF) terfokus pada solusi penerapan pembiayaan
yang dapat
meningkatkan daya saing suatu barang atau jasa. VCF melibatkan bank atau lembaga keuangan untuk menerapkan pembiayaan yang sesuai dengan rantai nilai pada barang atau jasa, baik skala nasional maupun internasional. VCF tergolong produk baru dalam perbankan terutama pada kegiatan pembiayaan di Asia. Penerapan VCF di Cina menyebabkan negara itu mengalami peningkatan signifikan dalam perkembangan berbagai bisnis. Penerapan VCF bertujuan memperkuat tingkat kompetisi, baik bank sebagai lembaga penyedia keuangan maupun pelaku usaha terutama usaha kecil dan menengah. Sektor pertanian di Cina juga mulai menerapkan sistem VCF, seperti dipaparkan Tingrui Wang, et. all pada International Conference on Statistics and Matematics (ICSM) tahun 2013 untuk mengatasi permasalahan kurangnya garansi/jaminan, kesenjangan informasi kredit, dan kurangnya kemampuan mitigasi risiko. Menurut China System (2014), solusi yang ditawarkan dalam penerapan VCF di Cina dimulai dari Buyer Finance, Supplier Finance, Invoice Discounting, Export Factoring, Import Factoring, Domestic Factoring, dan Reverse Factoring. Penerapan VCF di Cina juga didukung dengan pengembangan EDI (Electronic Data Interchange) serta ISO 20022 Compliant SWIFT (Society of Worldwide Interbank Financing Telecommunication) TSU XML Messaging. Penerapan VCF dilakukan secara terintegrasi dalam Java EE-Based Eximbills Enterprise Solution. Penerapan EDI tidak hanya melibatkan pihak produsen dan pedagang dalam aliran barang atau jasa, namun juga melibatkan konsumen dalam penyampaian informasi mengenai perpindahan atau aliran barang atau jasa yang diterima. Dengan demikian, perbankan akan lebih mudah melakukan monitoring dan penyediaan modal bagi setiap pelaku. Kegiatan penyaluran modal dilakukan secara terintegrasi dengan Eximbills Enterprise’s Limits Management System dalam pengendalian kredit, pengendalian bunga accrual dan beban amortisasi. 22
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
Di Inggris, VCF menjadi solusi dalam mengatasi krisis keuangan sebagai bentuk proteksi terhadap penggunaan kredit. Penerapan VCF telah berhasil dilaksanakan di beberapa perusahaan skala menengah dan besar, misalnya Rolls Royce dan Vodafone. VCF membantu perusahaan untuk mendapatkan akses kredit, memperbaiki sistem cash-flow perusahaan, dan penghematan biaya logistik dan produksi. Penerapan VCF di Eropa mewajibkan supplier mengetahui cara penggunaan Software dan IT Vendors agar dapat menyesuaikan dengan sistem pembayaran, cash management, penerapan alur kerja dengan sistem otomatis, sehingga pelaksanaan VCF dapat dilaksanakan secara terintegrasi. Dalam aplikasi Vendors, tercantum nama perusahaan untuk membantu supplier memilih solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam kegiatan bisnisnya. Fokus utama penerapan VCF di Eropa menurut EBA (Europe Banking Association) yaitu: 1. Accounts Payable atau Buyer Centric. Instrumen terkait seperti Approved Payables Finance atau Reverse Factoring, Modal Supplier, dan hanya penerapan VCF yang disertai dengan discount payment dalam mendapatkan akses permodalan. Instrumen terkait lainnya adalah Dynamic Discounting. 2. Accounts Receivable atau Supplier Centric, seperti Receivable Finance (kategori perjanjian yang digunakan sebagai acuan), Receivable Purchase, Invoice Discounting dan Factoring. 3. Inventory Centric (sebelum pengapalan) yang disesuaikan berdasarkan keuangan dan Inventory Finance. 4. Bank Payment Obligation (BPO), yaitu instrumen inter-bank yang dikembangkan SWIFT kemudian diadopsi oleh ICC (International Chamber of Commerce) dengan menerapkan hukum URBPO (Uniform Rules for the Bank Payment Obligation) yang berisi mengenai peraturan pada kegiatan perdagangan internasional. 5. Dokumen Keuangan Perdagangan, seperti surat kredit dan surat lainnya yang terkait dengan perdagangan. 6. Instrumen pelengkap lainnya seperti tipe penggunaan aset keuangan, perjanjian ekspor, proyek keuangan, dan sebagainya yang terkait dengan keuangan perusahaan.
23
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
Keenam instrument diatas dirangkum oleh EBA dalam diagram supply chain financing seperti di bawah ini.
Gambar 5. Diagram Supply Chain Financing pada EBA Sumber: EBA, 2014
Pada tahun 2013, SWIFT (Socety of Worldwide Interbank Financing Telecommunication) mempublikasikan metode baru dalam penerapan VCF, yaitu penggunaan VCF to risk mitigation dan jasa modal sebelum pengapalan. Model tersebut terutama diperuntukkan bagi produk yang sangat vital dalam kegiatan ekonomi. Salah satu instrumen yang digunakan oleh Eropa dalam implementasi VCF yaitu BPO (Bank Payment Obligation). Berikut merupakan Aplikasi BPO dan penerapan ISO 20022.
Gambar 6. Bank Payment Obligation dan Pokok Standar ISO 20022 Untuk Memperluas Pelayanan dalam Penerapan SCF Sumber: SWIFT, 2013 24
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
Penerapan BPO merupakan instrumen pembayaran perdagangan baru antara pedagang dan pembeli. Instrumen BPO menyajikan transaksi pembayaran yang lebih aman dan nyaman dalam perdagangan barang ataupun jasa. Sistem pembayaran yang digunakan dalam instrumen BPO cukup mudah diaplikasikan, di mana perusahaan atau industri cukup menyediakan surat perjanjian pembayaran berikutnya berdasarkan dokumen perdagangan sebelumnya seperti letter of credit, advance payment, dan open account payment.
Gambar 7. Penggunaan BPO Yang Melibatkan 2 Bank dan Penggunaan Yang Mudah Bagi Para Koresponden Sumber: SWIFT, 2013
Untuk menyediakan BPO-Based Service, bank membutuhkan URBPO (Uniform Rules for BPO) yang merupakan standar baku penerapan BPO yang difasilitasi oleh SWIFT ISO 20022. Dengan penerapan instrumen ini, penjual dan pembeli serta bank sebagai perantara dapat menggunakan mesin transaksi yang disebut Trade Service Utility. BPO dioperasikan sangat terintegrasi di mana bank memiliki fasilitas transaksi pembayaran dalam skala internasional dan juga dalam kegiatan transaksi perdagangan.
25
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
Gambar 8. Gambaran Aplikasi MDB dalam Penerapan BPO Multilateral Development Banks (MDBs) sangat penting diaplikasikan dalam BPO, karena perbedaan geografis antara pembeli dan penjual. MDBs bertujuan untuk melindungi bank lokal pada penjualan produk Usaha Kecil Menengah (UKM) (SWIFT, 2013). BPO lebih cocok diterapkan untuk VCF pasar ekspor, karena proses dan instrumen diciptakan untuk meningkatkan pertumbuhan produk unggulan ekspor, termasuk yang dihasilkan UKM di kawasan Asia. Para eksportir membutuhkan pembayaran secara cepat dengan sedikit faktur pembayaran, sehingga supplier akan lebih dimudahkan dengan sistem ini. Menurut Perdana Menteri Inggris David Cameron, saat ini Inggris sedang mengembangkan skema VCF pada komoditas farmatika. Pemerintah Inggris telah menyediakan dana kredit sekitar £800 miliar bagi 4,500 bisnis farmatika, dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing dan sebagai upaya mendorong pertumbuhan bisnis farmatika skala UKM (Usaha Kecil Menengah). Penerapan skema VCF untuk komoditas pertanian menggunakan instrumen dari EBA, dimulai dengan penggunaan praktisi untuk melaksanakan penerapan skema, pengaplikasian manajemen teknologi untuk produksi serta pendistribusian produk. Pengembangan skema VCF dikhususkan pada perhitungan cash flow dan penerapan manajemen modal kerja, sehingga akan lebih mudah dalam pengembangan kredit. Dengan penerapan tersebut, diharapkan komoditas farmatika skala UKM di Inggris dapat mengatasi inefisiensi penggunaan keuangan. Penerapan skema VCF di Inggris lebih ditekankan pada penanggulangan masalah perbaikan penggunaan modal kerja dan juga keterlambatan pembayaran. Perbaikan sistem cash flow dan penerapan manajemen modal kerja sebagai bentuk jaminan bagi pelaku usaha kecil menengah 26
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
(UKM). Pemerintah Inggris juga melibatkan pihak swasta seperti perusahaan dengan skala yang besar untuk mendukung dan mengimplementasikan skema VCF sebagai upaya mendorong pertumbuhan UKM melalui peningkatan dan perbaikan sistem rantai pasok. Pihak swasta dapat menganalisis perbedaan penerapan rantai pasok setiap UKM melalui perjanjian pembayaran, direct collaboration, dan melakukan investasi. Melalui skema VCF, pemerintah Inggris mengharapkan dapat menciptakan sistem perkreditan yang sangat besar bagi pelaku usaha, khususnya pada UKM bidang farmatika yang saat ini sedang berkembang. Berikut merupakan tujuan pembiayaan yang dilakukan di Inggris: 1. Membangun skema peminjaman sebagai peningkatan pinjaman bank dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi Inggris. 2. Garansi keuangan bagi pengusaha, terutama pelaku UKM, 3. Skema umum mengenai pajak untuk mendorong pertumbuhan industri di Inggris, 4. Program untuk membantu pengusaha muda dalam pengembangan bisnisnya. 5. Mendukung kegiatan modal usaha bagi industri dalam rangka peningkatan pertumbuhan usaha menengah, dengan penyediaan investasi sekitar £160 miliar dari Pemerintah Inggris. Selain Cina dan Inggris, Citibank tengah berusaha mengembangkan VCF di kawasan Asiakarena proporsi penggunaan VCF di kawasan tersebut masih sangat sedikit. Dengan penerapan VCF di Kawasan Asia Pasifik, diharapkan dapat meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan dan juga mengoptimalkan laju efisiensi penggunaan modal kerja. Citibank memberikan 3 kriteria strategis bagi setiap perusahaan dalam penerapan VCF mengacu pada kombinasi penggunaan modal kerja, efisiensi dan obyektivitas supply chain yang digunakan, yaitu : 1. Strategi Benchmark Matriks Modal Kerja Matriks Modal Kerja diperoleh dari hasil investigasi antara supplier dan konsumen. Pengaplikasian strategi ini sangat efektif untuk menilai kelayakan bisnis, keefisiensian, serta realisasi penggunaan modal kerja. 2. Struktur Penggunaan Modal Sendiri dalam Peningkatan Hasil Tidak jarang perusahaan di Asia mengalami trapped cash dengan terkendala pada peraturan, pajak, dan proses penerapan bisnis. Alur penerapan struktur penggunaan modal memungkinkan supplier bergabung dalam penawaran harga dan diskon yang cukup menarik, sehingga p erusahaan akan lebih cepat mendapat keuntungan.
27
Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian
Gambar 9. Struktur Penggunaan Modal Sendiri dalam Peningkatan Hasil Sumber: Citibank, 2014
3. Leverage Currency Funding Cost Kawasan Asia memiliki keunikan dalam peningkatan kawasan intra-perdagangan, baik dari segi valuta asing, peraturan, maupun tantangan likuiditas bagi perusahaan multinasional. Pembiayaan yang terjadi antar negara lebih menarik dibanding dengan negara lain di luar kawasan Asia. Misalnya nilai tukar dollar Amerika Serikat bila dikonversi pada mata uang Cina, akan lebih mahal dibandingkan dengan nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap dollar Hong Kong ataupun Singapura. Dengan demikian, pelaku usaha sebaiknya menggunakan jasa perbankan yang memahami karakteristik kawasan Asia, termasuk peraturan perdagangan dan perbankan yang sesuai dengan lingkungan sosial dan budaya kawasan Asia. Diperlukan pemahaman mengenai persaingan pasar, pembiayaan yang kompetitif serta pengetahuan mengenai karakteristik dalam hubungan transaksi antara pihak penjual dan pembeli.
28
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Bab IV Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.
Keadaan Umum Kabupaten Indramayu
4.1.1. Keadaan Geografis Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu memiliki letak astronomis 107° 52´-108° 36´ bujur timur dan 6° 15´-6° 40´ lintang selatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Indramayu yaitu sebagai berikut:
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang.
Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Cirebon.
Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon.
Luas wilayah Kabupaten Indramayu yaitu 209.206 ha. Sebagian besar wilayah Indramayu yakni seluas 201.285 ha (96,03%) berupa dataran rendah dengan ketinggian 0-18 m di atas permukaan laut dan kemiringan 0%-2%. Akibatnya wilayah Indramayu rawan mengalami banjir, terutama di Kecamatan Arahan, Lohbener, dan Losarang. Pada tahun 2013, ratusan hektar sawah terendam banjir di ketiga kecamatan tersebut sehingga petani mengalami gagal panen. 4.1.2. Keadaan Tata Guna Lahan Kabupaten Indramayu Sebagian besar wilayah Kabupaten Indramayu digunakan sebagai lahan pertanian sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel 6. Tata Guna Lahan di Kabupaten Indramayu pada Tahun 2012 No.
Tanah Guna Lahan
Luas (ha)
Proporsi (%)
1.
Sawah Irigasi
121,355
57.99
2.
Sawah tadah hujan
12,420
5.94
3.
Perkebunan
32,130
15.35
4.
Ladang / Tegalan
7,372
3.52
5.
Permukiman
17,980
8.59
7.
Hutan bakau
2,643
1.26
8.
Lain-lain
15,365
7.34
209,265
100.00
Total Luas Sumber: Bappeda Kabupaten Indramayu (2012)
29
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.1.3. Keadaan Pertanian di Kabupaten Indramayu Di Kabupaten Indramayu, sektor pertanian berada pada urutan ke-4 penyumbang PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) setelah sektor industri pengolahan (38,62%), pertambangan (22,98%), perdagangan hotel dan restoran (15,58%). Sumbangan sektor pertanian kepada PDRB Kabupaten Indramayu yaitu 13,86% (BPS, 2012). Kabupaten Indramayu dikenal sebagai lumbung padi nasional. Hal ini didukung keberadaan kawasan persawahan yang luasnya mencapai 57,99% dari total luas wilayah Kabupaten Indramayu. Data luas panen padi, produktivitas dan hasil produksi, disajikan secara lengkap pada Tabel 7. Tabel 7. Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Padi di Kabupaten Indramayu No
Nama Kecamatan
Produktivitas per Hektar (Kw/ha)
Jumlah Produksi (Ton)
1
Haurgeulis
9.006
62,34
56.147,00
2
Gantar
18.128
55,05
99.796,23
3
Kroya
20.274
72,83
147.657,70
4
Gabuswetan
11.900
72,75
86.572,06
5
Cikedung
12.469
74,86
93.349,12
6
Terisi
11.398
58,09
66.213,08
7
Lelea
10.000
76,18
76.179,42
8
Bangodua
6.791
72,97
49.551,08
9
Tukdana
7.345
79,12
58.110,05
10
Widasari
5.544
83,35
46.209,99
11
Kertasemaya
5.794
74,53
43.181,34
12
Sukagumiwang
5.250
73,16
38.410,66
13
Krangkeng
4.651
77,96
36.259,99
14
Karangampel
3.115
74,75
23.285,41
15
Kedokanbunder
4.224
68,48
28.925,55
16
Juntinyuat
7.815
68,13
53.245,66
17
Sliyeg
6.849
69,43
47.555,56
18
Jatibarang
5.513
77,66
42.812,75
19
Balongan
2.781
69,56
19.344,54
20
Indramayu
2.410
75,02
18.080,28
21
Sindang
3.105
73,82
22.921,05
22
Cantigi
2.187
68,89
15.066,49
23
Pasekan
1.578
73,10
11.534,50
24
Lohbener
4.549
68,80
31.299,06
25
Arahan
3.374
62,89
21.217,56
26
Losarang
9.272
69,86
64.776,11
27
Kandanghaur
8.197
69,86
57.267,37
28
Bongas
7.860
81,11
63.753,80
29
Anjatan
12.200
72,67
88.661,60
30
Sukra
6.170
81,90
50.532,12
31
Patrol
5.297
78,32
41.486,38
225.046
71,07
1.599.403,51
Total Sumber: BPS, 2012 30
Luas Panen (ha)
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.2
Keadaan Umum Kabupaten Brebes
4.2.1 Keadaan Geografis Kabupaten Brebes Kabupaten Brebes merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang terletak di pantai utara Laut Jawa yang secara administrasi termasuk Provinsi Jawa Tengah, dengan ibukota kabupaten terletak di Brebes. Kabupaten Brebes berbatasan langsung dengan wilayah Karesidenan Banyumas di sebelah selatan, sebelah timur berbatasan langsung dengan Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, serta sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Brebes memiliki luas wilayah seluas 1.662,96 km2 (Bappeda Kab. Brebes, 2012). Pada tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Brebes berjumlah 1.747.430 jiwa. Berikut peta Kabupaten Brebes.
Gambar 10. Peta Wilayah Kabupaten Brebes Secara letak geografis, Kabupaten Brebes dibagi menjadi 3 kawasan wilayah yaitu dataran pantai di bagian utara, landai hingga bergelombang di bagian tengah dan memiliki kontur berbukit hingga bergunung. Kabupaten Brebes terdiri dari 17 kecamatan, 292 desa dan 5 kelurahan yang keseluruhan wilayahnya terpusat pada kegiatan pertanian terutama usahatani bawang merah. Berikut merupakan nama 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes: 1. Kecamatan Brebes terdiri dari 18 desa dan 5 kelurahan, 2. Kecamatan Jatibarang terdiri dari 22 desa, 3. Kecamatan Bumiayu terdiri dari 15 desa, 4. Kecamatan Songgom terdiri dari 10 desa, 5. Kecamatan Wanasari terdiri dari 20 desa, 31
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
6. Kecamatan Bulakamba terdiri dari 19 desa, 7. Kecamatan Kersana terdiri dari 13 desa, 8. Kecamatan Tanjung terdiri dari 18 desa, 9. Kecamatan Losari terdiri dari 22 desa, 10. Kecamatan Banjarharjo terdiri dari 25 desa, 11. Kecamatan Ketanggungan terdiri dari 21 desa, 12. Kecamatan Larangan terdiri dari 11 desa, 13. Kecamatan Tonjong terdiri dari 14 desa, 14. Kecamatan Sirampog terdiri dari 13 desa, 15. Kecamatan Paguyangan terdiri dari 12 desa, 16. Kecamatan Bantarkawung terdiri dari 18 desa, dan 17. Kecamatan Salem terdiri dari 21 desa. Kabupaten Brebes terletak di 1080 41’37,7”–1090 11’28,92” bujur timur dan 60 44’56,5”–70 20’51,48” lintang selatan. Iklim di Kabupaten Brebes cukup baik untuk ditanami komoditas bawang merah, berkisar antara 24–320C. Jumlah rata-rata curah hujan tahun 2012 sebesar 1.877-2.000 mm per tahun dengan rata-rata per bulan sekitar 156 mm, sedangkan jumlah rata-rata hari hujan per bulan pada tahun 2012 adalah 9 hari. Batas wilayah Kabupaten Brebes yaitu: 1. Sebelah Utara
: Laut Jawa
2. Sebelum Timur
: Kabupaten Tegal dan Kota Tegal
3. Sebelah selatan : Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap 4. Sebelah barat
: Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat
4.2.2. Keadaan Tata Guna Lahan Kabupaten Brebes Berdasarkan keadaan topografi, Kabupaten Brebes memiliki 9 kecamatan dengan daerah dataran, 3 kecamatan dataran tinggi, dan 5 kecamatan daerah pantai. Dari sisi keadaan alam, Kabupaten Brebes memiliki hutan potensial, sawah, ladang kebun teh dan kebun lainnya. Kabupaten Brebes membagi tanah ke dalam 2 bagian sesuai dengan penggunaannya, yaitu tanah sawah dengan luas 627,03 km2 dan tanah bukan sawah atau tanah kering seluas 1.035,93 km2 (tahun 2012). Tanah sawah di Kabupaten Brebes seluas 37,70% yang terdiri dari sawah irigasi teknis, irigasi sederhana, irigasi desa seluas 46,087 ha atau 73,50% dan sisanya sebesar 26,50% merupakan sawah tadah hujan. Persentase luas penggunaan tanah di Kabupaten Brebes pada tahun 2012 dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Persentase Luas Penggunaan Tanah di Kabupaten Brebes pada Tahun 2012 Sumber: Data Bappeda Kabupaten Brebes, 2012 32
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Luas daerah Kabupaten Brebes yaitu sekitar 166.296 ha dengan proporsi luas lahan yaitu luas lahan sawah sebesar 62.703 ha, pekarangan atau bangunan sebesar 19.250 ha, tegalan atau kebun sebesar 17.499 ha, tanah sementara tidak digunakan 279 ha, tambak/kolam/rawa sebesar 9.001 ha, hutan rakyat sebesar 46.708 ha, perkebunan negara sebesar 1.252 ha, dan lain-lain sebesar 4.047 ha. Kecamatan yang memiliki luas lahan sawah terbanyak antara lain Kecamatan Bulakamba sebesar 7.411 ha, Kecamatan Ketanggungan sebesar 6.211 ha, Kecamatan Larangan sebesar 5.948 ha, Kecamatan Banjarharjo sebesar 4.986 ha, dan Kecamatan Losari sebesar 4.546 ha. Adapun luas penggunaan lahan menurut kecamatan di Kabupaten Brebes pada akhir tahun 2012 tercantum pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan di Kabupaten Brebes Akhir Tahun 2012 (ha) No
Kecamatan
Lahan Sawah
Bukan Lahan Sawah
Jumlah
1
Salem
2.558
12.651
15.209
2
Bantarkawung
3.303
17.197
20.500
3
Bumiayu
2.814
4.555
7.369
4
Paguyangan
2.298
8.196
10.494
5
Sirampog
1.743
4.960
6.703
6
Tonjong
2.025
6.101
8.126
7
Larangan
5.948
10.520
16.468
8
Ketanggungan
6.211
8.696
14.907
9
Banjarharjo
4.986
9.040
14.026
10
Losari
4.546
4.397
8.943
11
Tanjung
3.378
3.396
6.774
12
Kersana
1.692
831
2.523
13
Bulakamba
7.411
2.882
10.293
14
Wanasari
3.926
3.518
7.444
15
Songgom
3.669
1.234
4.903
16
Jatibarang
2.655
863
3.518
17
Brebes
3.540
4.556
8.096
62.703
103.593
166.296
Jumlah/Total
Sumber: BPS dan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Brebes
4.2.3. Keadaan Pertanian di Kabupaten Brebes Pada tahun 2012, sebagian besar penduduk di Kabupaten Brebes bermata pencaharian sebagai buruh tani (387.502 orang). Sebutan buruh tani perempuan di Kabupaten Brebes adalah “mbutik”, yang merupakan buruh tani perempuan khusus untuk menjemur dan mempercantik atau untuk melakukan penyortiran bawang merah. Biasanya mbutik akan diam di pinggir jalan raya pada pagi hari untuk diangkut dan dibawa oleh juragan bawang ke suatu daerah panen yang ada di Kabupaten Brebes dan sekitarnya. Penyediaan buruh tenaga kerja di Kabupaten Brebes biasanya dilakukan dengan sistem borongan, baik buruh tani laki-laki maupun perempuan. Sedangkan petani atau peternak sebanyak 312.825 orang, dan pedagang 89.444 orang. Dengan demikian, dapat dikatakan Kabupaten Brebes lebih didominasi kegiatan pertanian dilihat dari mata
33
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
pencaharian penduduknya. Data jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dirinci menurut jenis pekerjaan di Kabupaten Brebes tahun 2012 sebagaimana tertera pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis Pekerjaan di Kabupaten Brebes Tahun 2012 No
Tahun
Kecamatan
2012
2011
2010
2009
2008
1
Petani/Peternak
312.825
308.128
280.091
290.814
289.923
2
Buruh Tani
387.502
387.312
367.324
384.163
382.893
3
Nelayan
27.233
27.125
23.061
23.980
23.888
4
Pengusaha
9.029
9.046
6.478
6.761
6.744
5
Buruh Industri
46.019
45.930
39.812
41.462
41.363
6
Buruh Bangunan
79.350
79.454
69.389
72.041
71.836
7
Pedagang
89.444
89.637
81.090
84.573
84.332
8
Supir/Kernet/angkutan
13.954
14.076
15.312
16.014
15.966
9
PNS/TNI/Polisi
26.202
26.167
24.718
25.652
25.581
10
Pensiunan
6.744
6.777
7.432
7.731
7.711
11
Lain-lain
39.431
39.606
28.016
29.346
29.253
Jumlah
1.037.733
1.033.254
942.723
982.837
979.490
Sumber: NPS Kabupaten Brebes, 2012
Luas area sawah di Kabupaten Brebes pada tahun 2012 sebesar 62.703 ha. Area sawah tersebut setiap tahunnya ditanami beberapa komoditas, antara lain komoditas padi, jagung, kacangkacangan, cabai merah, dan bawang merah. Kecamatan penghasil bawang merah terbanyak di Kabupaten Brebes pada tahun 2012 adalah Kecamatan Wanasari dengan produksi sebesar 719.230 kuintal, disusul Kecamatan Larangan sebesar 549.541 kuintal, dan Kecamatan Brebes sebesar 481.950 kuintal. Data luas panen, produksi, dan rata-rata produksi komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes tahun 2012 tercantum pada Tabel 10. Tabel 10. Luas Panen, Produksi, dan Rata-Rata Produksi Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Brebes Tahun 2012 Kecamatan
Luas Panen (ha)
Produksi (Kuintal)
Rata-Rata Produksi (Kuintal)
Salem
-
-
-
Bantarkawung
8
640
80,00
Bumiayu
-
-
-
Paguyangan
-
-
-
Sirampog
-
-
-
Tonjong
-
-
-
Larangan
5.361
549.541
102,51
Ketanggungan
1.006
126.432
125,68
79
9.490
120,13
Banjarharjo Losari
671
59.900
89,72
Tanjung
1.324
124.802
94,26
Kersana
776
106.872
137,72
Bulakamba
1.854
198.035
106,81
Wanasari
6.052
719.230
118,84
34
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Songgom
881
117.528
133,40
Jatibarang
855
95.580
111,79
4.264
481.950
113,03
Jumlah
23.131
2.590.000
113,66
2011
23.957
2.788.639
118,40
2010
23.680
4.128.128
126,32
2009
24.978
3.125.832
125,14
Brebes
Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Brebes
4.3. Keadaan Umum Kabupaten Ciamis 4.3.1. Keadaan Geografis Kabupaten Ciamis Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dengan ibukota Ciamis Kota. Kabupaten ini berada di bagian tenggara Jawa Barat, berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan di utara, Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) dan Kota Banjar di timur, Kabupaten Pangandaran dan Samudra Hindia di selatan, serta Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di barat. Letak astronomisnya berada pada 108° 20’-108°40’ bujur timur dan 7°40’20”-7°41’20’’ lintang selatan. Luas wilayah Kabupaten Ciamis adalah 2.556,75 km2. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Ciamis selama tahun 2012 adalah sebesar 3.575,60 mm dengan jumlah hari hujan 156,10 hari. Curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Panumbangan sebesar 34.062 mm dan terendah terjadi di Kecamatan Cidolog sebesar 121 mm. Hari hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Cihaurbeuti selama 307 hari dan terendah terjadi di Kecamatan Panawangan selama 39 hari. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, Kabupaten Ciamis pada umumnya mempunyai tipe iklim C (Statistika Daerah Kab. Ciamis, 2013). 4.3.2. Keadaan Tata Guna Lahan Kabupaten Ciamis Pola penggunaan lahan pertanian di 26 kecamatan yang ada di kabupaten Ciamis, tahun 2013 menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis seperti terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 . Tata Guna Lahan di Kabupaten Ciamis pada Tahun 2013 No
Tanah Guna Lahan
Luas (ha)
1
Sawah Irigasi
27.320,64
2
Sawah tadah hujan
8.060,64
3
Perkebunan
8.445,58
4
Ladang / Tegalan
44.163,63
5
Permukiman
22.454,21
6
Hutan Rakyat
16.880,16
7
Padang Rumput
8
Lainnya (Tambak, Kolam, Empang, Hutan Negara, dll) Total Luas
590,10 15.467,48 143.387,44
35
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.3.3. Keadaan Pertanian di Kabupaten Ciamis Kabupaten Ciamis adalah salah satu kabupaten yang merupakan sentra produksi cabai. Luas tanaman cabai merah mencapai ± 58 ha yang tersebar di 5 kecamatan yaitu Kecamatan Panjalu, Sukamantri, Panumbangan, Cihaurbeuti, dan Sindangkasih. Tahun 2012, terjadi pengembangan wilayah produksi cabai merah yang tersebar 6 kecamatan di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya yaitu Kecamatan Kadipaten, Cisayong, Sodonghilir, Salawu, Sukahening dan Taman Sari dengan total luas lahan keseluruhan sebesar ± 150 ha. Saat ini total realisasi area yang ditanami cabai seluas 653 ha. Kecamatan Sukamantri memiliki lahan yang paling luas digunakan untuk produksi cabai sekitar 196 ha. Data realisasi tanam, panen, produktivitas dan produksi cabai tahun 2013 di Kabupaten Ciamis disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Luas Panen, Produktivitas, dan Jumlah Produksi Cabai di Kabupaten Ciamis Tahun 2013 No
36
Luas Panen (ha)
Produktivitas per Hektar (Kw/ha)
Jumlah Produksi (Kuintal)
1
Sukamantri
Nama Kecamatan
264
99,55
26.281
2
Mangunjaya
5
82
410
3
Purwadadi
4
82,75
331
4
Baregbeg
1
96
96
5
Sindang Kasih
5
96
480
6
Panumbangan
56
106,43
5.960
7
Panjalu
122
113,25
13.816
8
Kawali
8
60
480
9
Panawangan
47
86,53
4.067
10
Jatinegara
2
100
200
11
Cipaku
8
94,75
758
12
Cihaurbeuti
78
76,01
5.929
13
Cikoneng
12
64,83
778
14
Ciamis
5
118
590
15
Sukadana
1
204
204
16
Rajadesa
7
48,71
341
17
Rancah
8
56,38
451
18
Tambaksari
9
59,67
537
19
Cisaga
9
40,78
367
20
Cijeungjing
2
104,50
209
21
Cimaragas
3
45,33
136
22
Cidolog
23
64,78
1.490
23
Pamrican
20
71,60
1.432
24
Lakbok
15
108,13
1.622
25
Banjarsari
5
66,20
331
26
Kalipucang
2
74,50
149
27
Pangandaran
10
114,40
1.144
28
Langkaplancar
29
54,38
1.577
29
Cigugur
1
72
72
30
Cijulang
9
68,33
615
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Di Kabupaten Ciamis terdapat beberapa varietas cabai merah yang ditanam, yaitu cabai merah besar dan cabai merah keriting. Sebagian besar petani di Kab. Ciamis menanam cabai merah keriting. Hal ini disebabkan cabai merah besar banyak ditanam oleh petani mitra untuk dijual melalui pasar terstruktur (industri) sedangkan cabai merah keriting banyak ditanam oleh petani yang menjual ke pasar tradisional. Pangsa pasar cabai merah besar di pasar tradisional sangat terbatas sebab hanya dapat dikirim ke pasar Caringin Bandung karena pasar induk lainnya tidak menerima cabai merah besar. Hal inilah yang mendasari petani lebih banyak menanam cabai merah keriting. Klaster penanaman varietas cabai merah berada di lima kecamatan yaitu Panumbangan, Sukamantri, Cihaurbeuti, Panjalu dan Sindangkasih. Pada kelima kecamatan tersebut tersebar dua varietas cabai merah yang ditanam baik cabai merah besar maupun keriting. Lokasi lahan penanaman kedua varietas tersebut tercantum dalam Tabel 13. Tabel 13. Lahan Penanaman Klaster Cabai Merah No 1
Bab V Pemetaan Rantai Nilai Pemetaan rantai nilai (value chain mapping) dilakukan untuk mengidentifikasi seluruh faktor serta aktivitas yang dilakukan pelaku dalam rantai nilai suatu komoditas. Pemetaan rantai nilai harus dapat memetakan aliran barang, aliran uang, aliran informasi dan aliran pengembalian (reverse logistic) dari setiap pelaku. 5.1.
Rantai Nilai Beras
5.1.1. Karakteristik Produk Beras Produksi beras Kabupaten Indramayu berasal dari petani di wilayah tersebut untuk selanjutnya diolah menjadi beras di berbagai tempat penggilingan beras yang tersebar di setiap desa dan ibukota kecamatan. Karakteristik beras yang dihasilkan sangat tergantung dari produksi padi serta proses penanganan pascapanen dan pengolahan beras. Pada umumnya gabah hasil panen akan diolah menjadi beras pecah kulit (beras PK) di penggilingan padi tingkat desa (RMU kecil), kemudian dikirim ke RMU besar untuk dilakukan pemutihan beras (penyosohan atau pemolesan), dan selanjutnya siap dipasarkan. RMU kecil rata-rata mengolah gabah 10 ton per hari menjadi beras pecah kulit. Rendemen dari gabah menjadi beras PK berbeda antara musim hujan dan musim kemarau yang disebabkan oleh perbedaan kadar air. Rendemen gabah menjadi beras PK dapat dilihat pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Rendemen Gabah Menjadi Beras Pecah Kulit (PK) No
Jenis Keluaran dari 100 kg gabah
Musim Hujan
Musim Kemarau
Kuantitas (kg)
Persen (%)
Kuantitas (kg)
Persen (%)
1
Beras (termasuk beras utuh dan beras patah)
74
74
80
80
2
Menir
3
3
4
4
3
Dedak
4
4
6
6
4
Sekam
19
19
10
10
Sumber: Data Primer
RMU besar yang melakukan proses pecah kulit sampai penyosohan mendapat pasokan dari bandar dan petani secara langsung, sedangkan yang khusus melakukan penyosohan mendapat pasokan dari RMU kecil. Kapasitas produksi RMU besar 20-30 ton/hari, baik yang melakukan proses pecah kulit dan atau pemutihan beras (penyosohan). Beras kualitas super atau semi super yang dihasilkan RMU besar tergantung dari kualitas pasokan gabah dan beras PK yang diterima. Salah satu penentu kualitas beras adalah kadar air Gabah 39
Pemetaan Rantai Nilai
Kering Giling (GKG). Seperti halnya RMU kecil, rendemen pengolahan gabah menjadi beras super atau semisuper oleh RMU besar berbeda antara musim hujan dan musim kemarau sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Rendemen Gabah Menjadi Beras Super dan Semi Super No
Jenis Keluaran dari 100 kg gabah
Musim Hujan
Musim Kemarau
Kuantitas (kg)
Persen (%)
Kuantitas (kg)
Persen (%)
1
Beras (beras utuh sebagai beras super)
63
63
65
65
2
Beras patah (akan disatukan dengan beras utuh jika akan memasarkan kualitas semi super)
3
3
4
4
3
Menir
0.1
0.1
0.1
0.1
4
Dedak
10
10
10
10
5
Sekam
23.9
23.9
20.9
20.9
Sumber: Data Primer
Gambar 12. Beras Pecah Kulit dan Beras Semi Super Sumber: Dokumentasi Lapangan
Pada umumnya, RMU besar maupun RMU kecil di Kabupaten Indramayu melakukan pengolahan gabah dengan menggunakan mesin konvensional berbahan bakar solar. Namun ada pula RMU besar yang melakukan pemutihan beras dengan menggunakan mesin-mesin bertenaga listrik sehingga tidak terpengaruh oleh keterbatasan pasokan solar, yang memerlukan investasi l ebih dari Rp1-miliar/unit. Kelebihannya, pengolahan bahan baku oleh mesin bertenaga listrik t ersebut telah terkomputerisasi sehingga kualitas rendemen output yang dihasilkan sangat tinggi (89,1%-89,4% sebagai beras super atau semisuper, sisanya menir dan dedak). Adapun RMU yang m enggelosor beras PK dengan menggunakan mesin yang konvensional (BBM) rendemennya lebih rendah yaitu 88%.
40
Pemetaan Rantai Nilai
Gambar 13. Mesin Penyosohan Komputerisasi dan Konvensional Sumber: Dokumentasi Lapangan
Beras Indramayu terdiri dari 3 kelas, yaitu kualitas super, semisuper, dan kualitas sayur. Beras kualitas super merupakan beras yang sudah disosoh 5 kali dan tidak dicampur beras patah (menir), beras kualitas semisuper melalui proses penyosohan 3 kali dan dicampur dengan beras patah (menir), sedangkan beras kualitas sayur melalui proses penyosohan hanya 2 kali. Semua kualitas yang diproduksi dijual ke Pasar Induk Beras Cipinang dan Karawang melalui pedagang besar. 5.1.2. Struktur Rantai Nilai Beras Struktur rantai nilai beras di Indramayu masih tergolong panjang, yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: a) Biaya pengolahan pasca panen yang tinggi menyebabkan petani lebih memilih menjual hasil panennya dalam bentuk gabah. b) Proses produksi pengolahan gabah menjadi beras cukup panjang, sehingga marjin perbedaan harga antar pelaku cukup tinggi. c) Keterbatasan informasi akses pasar dan modal yang diterima oleh petani. Aliran rantai nilai beras yang meliputi aliran barang, informasi, dan aliran uang di Kabupaten Indramayu, dapat dilihat pada Gambar 14.
41
Gambar 14. Struktur Rantai Nilai Beras Indramayu
Pemetaan Rantai Nilai
42
Pemetaan Rantai Nilai
Berdasarkan Gambar 14 di atas, dapat diketahui para pelaku dalam sistem rantai nilai beras di Kabupaten Indramayu. Sistem rantai nilai tersebut terdiri dari pelaku primer dan pelaku pendukung sebagai berikut: A.
Pelaku Primer Rantai Nilai Beras Pelaku primer terdiri dari pelaku utama dalam sistem rantai nilai yang terdiri dari RMU (Rice Milling Unit), bandar, dan petani. Anggota primer yang menjadi responden penelitian adalah RMU (15 unit), bandar (5 orang), dan petani (40 orang). Secara umum peran pelaku primer dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Pelaku Primer
B.
No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Beras
1.
Penggilingan beras-RMU besar
Berperan dalam proses pascapanen untuk mengolah padi menjadi beras pecah kulit (PK) hingga beras yang sudah dipoles melalui proses pemutihan (penyosohan) untuk dipasarkan ke pasar induk atau lokal. Kapasitas produksi RMU besar antara 20-30 ton/hari.
2.
Penggilingan beras-RMU kecil
Berperan dalam proses pascapanen untuk mengolah padi menjadi beras pecah kulit (PK) saja untuk selanjutnya didistribusikan ke RMU besar untuk dipoles melalui proses pemutihan beras (penyosohan). RMU kecil rata-rata mengolah gabah sebanyak 10 ton per hari.
3.
Bandar-Pengumpul gabah
Berperan sebagai pengumpul gabah dari petani untuk dijual ke RMU kecil atau RMU besar.
4.
Petani padi
Melakukan usaha budidaya padi, baik yang berstatus pemilik lahan maupun petani penggarap.
Pelaku Pendukung Rantai Nilai Beras Pelaku pendukung rantai nilai beras terdiri dari Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K), Balai Pelatihan Pertanian (BPP), PT. Syngenta (perusahaan pupuk dan pestisida nasional), Kios Saprodi, PT. Pertani, Bank, perantara pasar induk (calo), dan B ulog. Pelaku pendukung merupakan pelaku yang secara tidak langsung terlibat dalam proses rantai nilai beras di Indramayu. Peran pelaku pendukung rantai nilai beras secara umum dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17. Pelaku Pendukung Rantai Nilai Beras No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Beras
1
Bank
Institusi keuangan yang membantu pengusaha RMU, bandar, dan petani dalam hal permodalan usaha. Pinjaman tersebut digunakan untuk modal kerja dan modal investasi. Salah satunya BRI melalui pembiayaan KKPE.
2
Toko/kios Saprodi
Tempat pembelian saprodi bagi petani padi.
3
BP3K
Instansi pemerintah yang bertanggung jawab dalam hal memberikan bimbingan teknis pada rantai nilai beras.
4
BPP
Unit pelaksana teknis (UPT) di bidang pelatihan pertanian dan bimbingan teknis pada rantai nilai beras di tingkat kecamatan.
5.
PT. Syngenta
Supplier pestisida untuk Toko Saprodi setempat. Perusahaan ini juga berperan dalam pelaksanaan pendampingan para petani dalam aplikasi sarana produksi pertanian terutama penggunaan pestisida dalam mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman.
43
Pemetaan Rantai Nilai
No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Beras
6.
PT. Pertani
BUMN yang menjalankan sistem resi gudang pada rantai nilai beras di Kabupaten Indramayu.
7
Bulog
Lembaga pangan yang mengurus tata niaga beras. Dalam perannya terkait rantai nilai beras Bulog memiliki tugas pokok mengendalikan harga beras.
8
Perantara pasar induk-calo
Mempertemukan pengusaha RMU dengan para pedagang beras di pasar induk. Biasanya calo sudah menjadi langganan para pengusaha RMU saat menjual beras di pasar induk
5.1.3. Manajemen Rantai Nilai Beras Analisis manajemen rantai nilai dengan menggunakan metode Supply Chain Operations Reference (SCOR) berikut telah mengakomodasi seluruh variasi Value Chain Management (VCM) beras yang terjadi di Indramayu. Variasi tersebut meliputi: 1. Di tingkat RMU -
RMU dengan aktivitas hanya giling padi hingga menjadi beras pecah kulit
-
RMU dengan aktivitas giling padi hingga menjadi beras super/semisuper
-
RMU dengan aktivitas hanya penyosohan (mengolah beras pecah kulit menjadi beras super/semisuper)
2. Di tingkat bandar Tidak ada variasi aktivitas rantai nilai untuk bandar di Indramayu, karena semua melakukan aktivitas yang sama yaitu memasok ke RMU. 3. Di tingkat petani -
Petani yang memperoleh bantuan dari pemerintah
-
Petani yang tidak memperoleh bantuan dari pemerintah
-
Petani yang tergabung dengan kelompok tani
-
Petani yang tidak tergabung dengan kelompok tani
Seluruh kategori petani rata-rata memiliki aktivitas yang sama sehingga hanya terdapat satu alur aktivitas rantai nilai. Sedangkan berdasarkan status penguasaan lahan, variasinya yaitu -
Petani penyewa lahan, yakni petani yang menyewa sawah dari petani lain/tuan tanah.
-
Petani pemilik lahan, yakni petani yang mengolah sawah milik sendiri.
1. Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat RMU a) Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat RMU RMU harus melakukan perencanaan pengadaan bahan baku untuk menjaga k ontinuitas produksi. Risiko yang dihadapi adalah kurangnya pasokan bahan baku pada musim p aceklik yaitu pada awal bulan Oktober hingga bulan Januari di tahun berikutnya. Agar tetap berproduksi, RMU mendatangkan pasokan dari luar kabupaten hingga luar provinsi. Dalam perencanaan produksi, risiko yang dihadapi adalah kualitas gabah yang tidak sesuai sehingga kualitas 44
Pemetaan Rantai Nilai
beras yang dihasilkan rendah. Dalam pemasaran, beras yang dihasilkan d ijual ke Cipinang dan Karawang. Pendistribusian beras menggunakan truk (milik sendiri atau m enyewa). Risiko yang mungkin dihadapi dalam perencanaan distribusi yaitu ketersediaan truk tidak memadai saat produksi sedang tinggi (musim panen) dan kurangnya jumlah karung. Perencanaan pembiayaan menjadi hal penting bagi pengusaha RMU untuk modal investasi dan modal kerja. Modal investasi misalnya digunakan untuk upgrade mesin, sedangkan m odal kerja umumnya digunakan untuk membeli bahan baku. Seringkali modal untuk membeli b ahan baku tidak mencukupi sehingga diterapkan sistem tunda selama 3 sampai 7 hari s ampai hasil produksi terjual. Selain pengadaan modal, hal terpenting yang dilakukan oleh RMU adalah rencana pengadaan tenaga kerja. b) Proses Pengadaan (Source) di Tingkat RMU Proses pengadaan meliputi pengadaan bahan baku dan pengadaan tenaga kerja. Bahan baku RMU dapat berupa gabah atau beras pecah kulit yang diperoleh dari bandar atau petani. Saat musim panen, pasokan gabah diperoleh mulai dari desa terdekat hingga luar kecamatan dalam waktu 1 hari. Saat paceklik, pengadaan berasal dari bandar luar kabupaten (Karawang, Subang, Sumedang, Cirebon) atau luar provinsi (Brebes, Demak, Solo dan Tuban). Beras pecah kulit dipasok dari RMU kecil dari dalam Indramayu baik luar atau dalam kecamatan. Tenaga kerja yang dibutuhkan cukup banyak, yaitu pengangkutan (5-10 orang), penjemuran (8 orang/20 ton gabah), dan penggilingan (3-6 orang/20 ton gabah). Pembayaran yang dilakukan oleh pedagang di pasar induk kepada RMU dilakukan secara tunai atau tunda antara 2-7 hari. c) Proses Produksi (Make) di Tingkat RMU RMU di Indramayu terdiri dari tiga macam, yaitu RMU beli gabah-giling-jual beras, RMU beli beras PK (pecah kulit)-moles-jual beras, dan RMU beli gabah-giling-jual beras PK/RMU Kecil. Pada RMU beli gabah-giling-jual beras, gabah yang dibeli dari petani/bandar langsung d ijemur (2-7 hari) dan digiling setelah kering (1 hari). Saat pasokan sedang banyak, gabah akan d isimpan dahulu sampai 7 hari sambil menunggu giliran digiling menjadi beras pecah kulit. Setelah digiling, dilakukan proses penyosohan tergantung jenis kualitas dan permintaan pasar. Misalnya untuk kualitas Bulog hanya dilakukan 1 kali penyosohan, kualitas super 5 kali penyosohan, semi super 3 kali penyosohan, dan kualitas sayur 2 kali penyosohan. d) Proses Distribusi (Deliver) di Tingkat RMU Hasil produksi berupa beras super dan semi super dijual ke Pasar Induk Beras Cipinang dan Karawang dengan volume pengiriman 20 ton per hari. Sedangkan beras PK yang dihasilkan RMU kecil hanya dijual ke RMU besar dalam satu kecamatan/luar kecamatan untuk dipoles lagi menjadi beras super atau semi super. RMU kecil akan menawarkan beras PK dengan membawa contoh untuk diperlihatkan ke RMU besar. Risiko yang dihadapi adalah keterlambatan pengiriman, kesalahan pencatatan jumlah beras, dan beras rusak saat perjalanan.
45
Pemetaan Rantai Nilai
e) Proses Pengembalian (Return) di Tingkat RMU Dalam rantai nilai beras dari RMU ke pasar induk, tidak ada pengembalian berupa beras yang ditolak karena kualitas tidak sesuai. Risiko yang paling mungkin terjadi adalah penipuan oleh pedagang perantara.
Skema Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
BANK
MODAL KERJA
RMU
UPGRADE MESIN
MODAL INVESTASI
BAYAR TENAGA KERJA/20 TON
PEMBIAYAAN
RMU 1
ANGKUT 5-‐10 ORG
RMU 2
PLAN
RMU 3
PENYEDIAAN BAHAN BAKU
BELI GABAH
BELI BERAS PK
JEMUR 8 ORG
GILING 3-‐6 ORG
BELI GABAH
SUMBER
MUSIM PANEN
MUSIM PACEKLIK
KEMARAU
DESA &KECAMATAN SETEMPAT (INDRAMAYU) GILING
BERAS PK
BULOG
SOSOH
JUA
L
GILING
BERAS PK
KW BULOG 1X SOSOH
SOSOH
KW SUPER 5X SOSOH KW SEMI SUPER 3X SOSOH KW SAYUR 2X SOSOH
Gambar 15. Aktivitas RMU Gambar 15. Aktivitas RMU 64 46
Pemetaan Rantai Nilai
2. Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat Bandar a) Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat Bandar Perencanaan yang dilakukan bandar meliputi perencanaan pengadaan gabah, pembiayaan, dan distribusi. Perencanaan pengadaan gabah perlu dilakukan untuk menjaga kontinuitas terutama pada saat paceklik (setelah musim panen kedua), sehingga bandar harus mencari ke luar daerah bahkan hingga luar kabupaten atau provinsi. Selain itu bandar harus tetap menjaga hubungan baik dengan petani agar tidak menjual ke bandar lainnya, misalnya dengan menawarkan harga yang kompetitif. Dalam perencanaan pembiayaan, bandar memperoleh modal dari pinjaman RMU, bank, dan modal pribadi. Pinjaman dari RMU dapat diperoleh dengan syarat harus menjual gabah ke RMU pemberi pinjaman dan tanpa bunga. Bahkan bandar diberi pinjaman berupa sarana g udang untuk menyimpan gabah. Modal pribadi diperoleh dengan cara menyisihkan keuntungan yang diperoleh sedikit demi sedikit dari usaha sebelumnya. b) Proses Pengadaan (Source) di Tingkat Bandar Pengadaan gabah di tingkat bandar dilakukan dengan proses pembelian langsung, yaitu dengan mendatangi petani dan melakukan transaksi. Pembayaran dilakukan secara tunai pada saat itu juga atau bayar tunda selama 3-7 hari (menunggu pembayaran dari RMU), sedangkan pengambilan gabah dilakukan 2-7 hari setelah transaksi. c) Proses Produksi (Make) di Tingkat Bandar Saat musim panen dan musim paceklik, karakteristik gabah yang diperoleh berbeda. Karakteristik gabah yang diperoleh pada saat musim panen sebagian besar berupa GKP (gabah kering panen) sehingga perlu dijemur dahulu untuk mencapai kadar air yang sesuai. Sebaliknya, karakteristik gabah saat musim paceklik berupa GKG (gabah kering giling) dengan kadar air yang sesuai dengan kualitas yang ditetapkan (12%). Pada saat panen raya dan harga gabah rendah, biasanya bandar akan menyimpan dahulu di gudang 2-4 bulan menunggu harga membaik. Namun hal ini berpotensi risiko antara lain serangan tikus, atau gabah akan cepat rusak dan berkualitas jelek jika disimpan terlalu lama dan pengeringan kurang baik. Sebelum dijual dan dikirim ke RMU, akan diperlihatkan sampel gabah terlebih dahulu untuk memastikan kualitas dan harga. d) Proses Distribusi (Deliver) di Tingkat Bandar Gabah didistribusikan ke pabrik penggilingan kurang dari 1 hari karena jarak relatif dekat (masih dalam atau luar kecamatan di Indramayu). e) Proses Pengembalian (Return) di Tingkat Bandar Sebelum proses transaksi, bandar akan membawa sampel untuk menunjukan kualitas gabah ke RMU untuk menghindari risiko pengembalian barang pada saat transaksi berlangsung. Berikut gambaran alur rantai nilai Bandar: 47
Pemetaan Rantai Nilai
Gambar 16. Aktivitas Bandar 3. Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat Petani a) Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat Petani Perencanaan di tingkat petani meliputi: jadwal tanam, pengadaan sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) yang dibutuhkan, kebutuhan tenaga kerja dan biaya usahatani. Perencanaan jadwal tanam disesuaikan dengan ketersediaan air dan lahan. Perencanaan pengadaan sarana produksi dan tenaga kerja biasanya mengikuti jadwal perencanaan tanam, sedangkan perencanaan biaya usahatani merupakan hasil perhitungan dari pengadaan sarana produksi dan tenaga yang dibutuhkan. Besarnya biaya usahatani tergantung dari keadaan agroklimat dan ketersediaan air. b) Proses Pengadaan (Source) di Tingkat Petani Proses pengadaan meliputi pengadaan lahan, sarana produksi dan tenaga kerja. Petani p emilik lahan melakukan usahatani di lahan miliknya, sedangkan petani yang tidak memiliki lahan akan menyewa lahan. Ada juga petani penggarap yang bekerja sama dengan pemilik lahan dengan sistem bagi hasil produksi. Biaya sewa lahan tergantung kesepakatan bersama antara pemilik dan penggarap berdasarkan kelas lahan usahatani. Pengadaan sarana produksi diperoleh dengan pembelian di kios sarana produksi terdekat dengan pembayaran tunai. Hal tersebut dilakukan setelah petani melihat ketersediaan air dan cuaca. c) Proses Produksi (Make) di Tingkat Petani Proses produksi di tingkat petani adalah budidaya padi dan penanganan pascapanen. Budidaya padi yang dilakukan di antaranya adalah persiapan lahan, persemaian, penanaman, pemeliharaan (pemupukan, penyemprotan, penyiangan, pengairan dan pengendalian hama penyakit), panen dan pascapanen. Proses budidaya memerlukan waktu 100-120 hari dan dilakukan dua kali setahun, tergantung ketersediaan air irigasi. Pascapanen yang dilakukan adalah perontokan dan penjemuran yang memerlukan waktu 2-7 hari, tergantung kondisi cuaca dan kualitas gabah yang dihasilkan. Penyimpanan gabah dilakukan sebelum gabah dijual ke bandar atau RMU kecil. 48
Pemetaan Rantai Nilai
d) Proses Distribusi (Deliver) di Tingkat Petani Dalam proses distribusi, calon pembeli gabah biasanya datang ke tempat petani dengan membawa angkutan sehingga para petani tidak perlu mengeluarkan biaya angkut. e) Proses Pengembalian (Return) di Tingkat Petani Di tingkat petani, tidak ada proses pengembalian. Alur kegiatan rantai nilai petani padi yang terjadi di kabupaten Indramayu yaitu sebagai berikut:
Gambar 17. Aktivitas Petani Beras 5.2.
Rantai Nilai Bawang Merah
5.2.1. Karakteristik Produk Bawang Merah Hasil panen bawang merah di Kabupaten Brebes lebih banyak dijual ke pasar tradisional, baik yang ada di pulau Jawa maupun luar pulau Jawa dibandingkan yang dijual ke industri (mie instan). Pasokan bawang tertinggi diperoleh pada bulan Juni, Juli hingga Agustus, karena sedang panen raya sehingga pasokan bawang merah dapat mencapai 500–600 ton per musim panen per minggu. Sedangkan pada bulan September, Oktober, dan November pasokan bawang di daerah Brebes sedikit mengalami penurunan. Hal ini disebabkan jarang sekali yang menanam bawang di bulan tersebut akibat sulit mendapat air irigasi dan banyaknya curah hujan sehingga tanaman bawang merah tidak dapat berkembang. Pasokan bawang merah dalam kurun waktu satu tahun di Kabupaten Brebes disajikan pada Tabel 18 berikut.
49
Pemetaan Rantai Nilai
Tabel 18. Pasokan Bawang Merah dalam 1 Tahun di Kabupaten Brebes Bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jumlah Produksi
Sedang
Tinggi
Rendah
Sumber pengadaan
- - - -
Kab. Brebes
- Majalengka - Purwokerto - Kab. Brebes
Kemudahan mendapatkan bawang
Sulit untuk didapat
Mudah didapat
Cukup sulit untuk mendapatkan bawang
Rata-rata kuantitas (ton/ha)
6–8
10 – 15
6–7
Harga (Rp/Kg)
6.000 – 8.000
15.000-20.000
10.000 – 12.000
Kualitas 1. Baik 2. Sedang 3. Jelek
Sedang atau Jelek
Baik
Jelek
Magelang Tegal Weleri Probolinggo
12
Sedang
Pada bulan Januari hingga Mei, pasokan bawang merah sulit didapat karena pada bulan tersebut jarang sekali petani yang menanam bawang merah. Hal tersebut disebabkan pada bulan Desember hingga Mei, biasanya sedang memasuki musim hujan sehingga para petani lebih banyak beralih untuk menanam padi atau tanaman palawija seperti jagung. Jika menanam bawang saat musim hujan, risiko gagal panen karena serangan hama dan penyakit sangat tinggi, sehingga petani beralih menanam tanaman lain daripada menanam bawang merah. Akibatnya, berdampak pada ketersediaan pasokan bawang merah di tingkat pedagang pengirim, sehingga mereka harus mencari ke daerah lain di luar Kabupaten Brebes. Selain itu, harga jual saat bulan Januari-Mei, tidak begitu menguntungkan bagi petani karena rendah, namun biaya perawatan tinggi sehingga petani akan merugi jika tetap menanam bawang merah. Harga rendah disebabkan kualitas bawang merah yang dihasilkan terlalu jelek (memiliki anakan lebih dari 1 buah dengan ukuran yang lebih kecil), sehingga tidak terlalu diminati konsumen, terutama di luar pulau Jawa. Sebaliknya pada bulan September-Desember, meskipun kualitas yang dihasilkan rendah, namun harga jual cukup baik. Hal ini disebabkan pada bulan September petani rata-rata mengistirahatkan tanahnya selama 1 bulan, kemudian pada bulan Desember sudah mulai menanam padi. Karena pasokan bawang merah menurun, maka harga jual bawang lebih tinggi dibandingkan pada bulan Januari hingga Mei. Karakteristik bawang merah berdasarkan kualitas tergantung dari permintaan pasar. Proses pengeringan bawang merah juga merupakan salah satu karakteristik kualitas bawang yang ditentukan oleh pasar tujuan yaitu: 1. Bawang merah lokal ( dikeringkan selama 2–3 hari), 2. Bawang merah askip (dikeringkan selama 7–10 hari), 3. Bawang merah rogol (telah dipotong bagian daun dan akarnya), 4. Bawang merah pretes (telah dibersihkan dari sisa tanah serta benda asing lainnya yang menempel).
Karakteristik bawang merah berdasarkan tujuan pasar dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.
50
Pemetaan Rantai Nilai
Tabel 19. Karakterisitik Bawang Merah Berdasarkan Tujuan Pasar Tujuan pasar Karakteristik
Ps. Induk Kramat Jati
Ps. Tradisional Pulau Jawa
Ps. Induk antar pulau
Industri Pengolahan
Warna
Seragam merah tua-ungu
Seragam Merah tua-ungu
Seragam merah tua
Seragam merah
Ukuran diameter
1,5-2 cm
1-1,5 cm
1,7-2 cm
Kurang dari 1 cm
Jumlah umbi
2-3
2-3
1-2
2-3
Proses pengeringan
Kering lokal
Kering rogol
Kering askip tanpa rogol
Kering rogol
Kerusakan, % (bobot maks)
5
8
8
Tidak ada
Busuk, % (bobot maks.)
1
2
2
Tidak ada
Kotor, % (bobot maks.)
Tidak ada
5
Tidak ada
Tidak ada
Pasar induk Kramat Jati selalu meminta bawang merah lokal tanpa proses perogolan. Proses perogolan akan dilakukan setelah bawang merah sampai di Pasar Induk Kramat Jati, karena mereka memiliki standar perogolan sendiri dengan menyisakan bagian batang yang dekat dengan umbi lebih panjang dibandingkan dengan hasil perogolan yang dilakukan di penebas. 5.2.2. Struktur Rantai Nilai Bawang Merah Struktur rantai nilai bawang merah melibatkan banyak pelaku dalam proses penyampaian produk hingga ke tangan konsumen. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: 1. Tingkat ketergantungan petani terhadap tengkulak atau penebas masih sangat tinggi, 2. Kurangnya peranan koperasi, gapoktan, poktan, maupun Sub-Terminal Agropolitan (STA) yang membantu petani untuk memasarkan hasil panennya ke industri pengolahan bawang goreng ataupun ritel modern, 3. Biaya panen dan pascapanen yang sangat tinggi menyebabkan petani enggan untuk melakukan proses panen dan pascapanen sendiri, 4. Proporsi penjualan bawang merah lebih besar ke pasar tradisional dibandingkan pasar terstruktur, 5. Terbatasnya gudang penyimpanan dan minimnya informasi mengenai akses pasar yang diterima oleh petani. Kelima faktor di atas menyebabkan petani tidak memiliki banyak pilihan untuk memasarkan hasil panen bawang merah ke pasar lain yang lebih menguntungkan. Secara umum struktur rantai nilai bawang merah Brebes dapat dilihat pada Gambar 18.
51
Pemetaan Rantai Nilai
Gambar 18. Struktur Rantai Nilai Bawang Merah Brebes
52
Pemetaan Rantai Nilai
Berdasarkan bagan di atas, terlihat bahwa pelaku rantai nilai bawang merah di Brebes terdiri atas pelaku primer dan pelaku pendukung. 1. Pelaku Primer Rantai Nilai Bawang Merah Pelaku primer terdiri dari pelaku utama dalam sistem rantai nilai bawang merah yaitu: petani penangkar bibit, petani produsen, penebas, dan pedagang pengirim. Secara umum peran pelaku primer dapat dilihat pada Tabel 20 berikut. Tabel 20. Pelaku Primer Rantai Nilai Bawang Merah No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Bawang Merah
1.
Petani penangkar benih
Berperan sebagai penyedia benih bawang merah yang selanjutnya didistribusikan kepada petani produsen.
2
Petani produsen bawang merah
Orang yang melakukan usaha budidaya bawang merah baik berstatus petani penggarap atau penyewa lahan.
3
Penebas
Berperan dalam pembelian bawang merah dari petani baik menggunakan perantara/calo maupun langsung ke petani. Melakukan proses panen dan pascapanen bawang merah.
4
Pedagang Pengirim
Berperan melakukan perogolan, pengeringan, pengemasan dengan karung dan pengiriman ke pasar tujuan.
2. Pelaku Pendukung Rantai Nilai Bawang Merah Pelaku pendukung rantai nilai bawang merah terdiri dari kios saprodi, perantara (calo), pedagang besar, industri pengolahan, pedagang luar pulau Jawa, pedagang pasar induk pulau Jawa, pengecer, dan bank. Pelaku pendukung merupakan pelaku yang secara tidak langsung terlibat dalam proses rantai nilai bawang merah di Brebes. Peran pelaku pendukung rantai nilai bawang merah secara umum dapat dilihat pada Tabel 21 . Tabel 21. Pelaku Pendukung Rantai Nilai Bawang Merah No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Bawang Merah
1.
Toko/kios saprodi
Berperan sebagai tempat pembelian dan peminjaman saprodi bagi petani bawang merah.
2.
Perantara/calo
Mempertemukan petani produsen dengan penebas atau mempertemukan penebas dengan pedagang pengirim dengan memperolah komisi.
3.
Pedagang besar
Merupakan pedagang pengirim besar dan memegang peranan penting dalam penentuan harga bawang merah di Indonesia. Dapat juga berperan sebagai eksportir maupun importir.
4.
Industri pengolahan
Berupa industri pengolahan bawang skala rumahan ataupun industri mie instan. Memperolah pasokan bawang merah dengan kualitas paling rendah dengan harga lebih rendah jika dibandingkan dengan grade lainnya.
5.
Pedagang Pasar Induk Pulau Jawa
Memperoleh pasokan bawang merah dari pedagang pengirim dan mendistribusikan ke pasar induk pulau Jawa. Volume pengiriman 25-28 truk setiap hari, dan harga bawang merah di pasar induk Kramat Jati dijadikan sebagai acuan harga bawang.
6.
Bandar atau Pedagang luar pulau Jawa
Memperoleh pasokan bawang merah dari pedagang pengirim dan mendistribusikan ke pasar induk di luar pulau Jawa. Bawang merah yang didistribusikan ke luar pulau Jawa adalah grade super dengan volume pengiriman minimal 10 ton/hari.
53
Pemetaan Rantai Nilai
No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Bawang Merah
7.
Pengecer atau centeng
Merupakan pedagang ritel di sekitar Brebes dan memperoleh bawang merah dari pedagang pengirim dan penebas.
8.
Bank
Institusi keuangan yang memberikan pinjaman kepada pelaku rantai nilai bawang merah untuk modal kerja atau investasi. Salah satunya melalui pembiayaan KKPE.
5.2.3. Manajemen Rantai Nilai Bawang Merah 1. Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat Pedagang Pengirim atau Supplier a. Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat Pedagang Pengirim atau Supplier Kegiatan perencanaan yang dilakukan di tingkat pedagang pengirim atau supplier meliputi perencanaan kontrak dengan pihak industri mie instan. Kesepakatan kontrak hanya berlaku 1-2 minggu, dengan mengikuti fluktuasi harga bawang merah di pasar tradisional. Dalam kontrak disepakati harga jual, volume pengiriman, dan kualitas bawang merah yang diinginkan oleh perusahaan. Kontrak antara perusahaan industri mie instan dengan pedagang pengirim dilakukan secara tertulis. Gambaran sistem kontrak yang dilakukan antara pedagang pengirim dengan pihak industri mie instan ada pada Gambar 19.
Gambar 19. Sistem Kontrak antara Industri dan Pedagang Pengirim Bawang Merah Jika pedagang pengirim bertransaksi dengan pasar induk dan pedagang luar pulau Jawa, kesepakatan tidak menggunakan kontrak tertulis tetapi berdasarkan komunikasi langsung melalui telepon seluler. Kesepakatan yang dilakukan antara pedagang pengirim dengan bandar pasar induk di pulau Jawa maupun luar pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan moster (sample) yang dijajakan di pasar transaksi atau di kantor P3BM (Paguyuban Petani Pedagang Bawang Merah) yang berlokasi di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari setiap hari pukul 08.00 hingga 09.00 WIB. Saat panen raya, mereka akan membawa lebih banyak sampel untuk dijajakan dan dipilih oleh pembeli baik luar pulau Jawa maupun yang berasal dari pasar induk di pulau Jawa. Satu paket sampel beratnya mencapai 5–6 kg dengan jumlah 4 ikat bawang dengan berat masing-masing ikat ±1,5 kg. Mekanisme transaksi penjualan bawang merah di sekretariat P3BM seperti pada Gambar 20.
54
Pemetaan Rantai Nilai
Gambar 20. Mekanisme Transaksi Penjualan Bawang Merah di P3BM Pedagang pengirim juga melakukan perencanaan pengadaan pasokan bawang merah yang diperoleh dari dua sumber, yaitu dari petani dengan menggunakan perantara, atau dari penebas dengan pertimbangan reduksi biaya pasca panen yang harus dikeluarkan. Selain perencanaan pasokan bawang, pedagang pengirim juga melakukan perencanaan modal yang akan digunakan untuk pembayaran, pendistribusian bawang merah ke tempat tujuan pengiriman serta membayar buruh tani pada proses pasca panen dari penebas (seperti merogol, blower, pengemasan, dan pengangkutan ke truk). b. Proses Pengadaan (Source) di Tingkat Pedagang Pengirim atau Supplier Pengadaan bawang merah yang dilakukan pedagang pengirim dibedakan sesuai dengan tujuan pasar. Jumlah pedagang pengirim yang melakukan ekspor bawang goreng ke Malaysia dan Singapura lebih sedikit dibandingkan yang memasok untuk pasar induk di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa dan industri mie instan. Volume pembelian bawang merah di tingkat pedagang pengirim dapat mencapai 70 ton per musim tanam. Dalam satu kali pengiriman, untuk luar pulau Jawa 7–8 ton per hari, Indofood 5–7 ton, Mie Sedap 6–8 ton, dan pasar induk pulau Jawa 6-7 ton per hari. Pengiriman untuk ekspor dalam bentuk bawang goreng 2 ton sekali pengiriman, sebanyak 3–4 kali dalam 1 bulan. Menurut pedagang pengirim, kebutuhan bawang terbesar di pulau Jawa adalah di DKI Jakarta, sehingga proporsi pengiriman ke Jakarta lebih banyak daripada pasar induk lainnya. Harga normal bawang merah di tingkat petani Rp15.000–Rp 20.000/kg, harga terendah bawang merah berkisar antara Rp6.000–Rp8.000/kg. Harga tertinggi yang pernah diterima petani terjadi pada tahun 2013, yaitu mencapai Rp40.000–Rp60.000/kg. Pedagang pengirim mengambil keuntungan sebesar Rp1.500–Rp 2.000/kg, dan penebas sebesar Rp1.000–Rp2.000/ kg. Sistem pembayaran yang dilakukan pedagang pengirim dan penebas kepada petani dilakukan secara tunai, karena petani tidak menyukai sistem pembayaran secara tunda atau bertahap. Selain itu, tidak ada kontrak tertulis sehingga petani khawatir terhadap penipuan. Adapun pembayaran ke penebas umumnya dilakukan secara tunai. Jika pedagang pengirim belum menerima bayaran dari pihak mitra, pembayaran kepada penebas akan ditunda selama 3–4 hari bahkan ada yang sampai 7 hari. Pengadaan modal menjadi hal terpenting bagi pedagang pengirim untuk membayar secara tunai hasil tebasan bawang merah ke petani. Pembayaran kepada penebas dilakukan secara
55
Pemetaan Rantai Nilai
langsung pada saat transaksi atau menunggu selama 3–4 hari setelah pedagang pengirim mendapatkan kiriman uang dari bandar pasar di Jawa atau luar pulau Jawa. Pembayaran dari industri mie instan sekitar 2 minggu hingga satu bulan setelah pengiriman produk, sehingga untuk membayar tunai kepada petani pedagang pengirim memperoleh modal pinjaman dari rentenir jika pinjaman dalam jumlah yang kecil karena proses pencairan dana yang mudah, cepat dan tanpa syarat. Namun, jika membutuhkan dana dalam jumlah cukup besar, pedagang pengirim akan meminjam ke bank melalui rekening koran. Selain pengadaan pasokan bawang dan modal, hal lain yang dilakukan oleh para pedagang pengirim adalah pengadaan tenaga kerja. Pengadaan tenaga kerja dalam pascapanen yang dibutuhkan cukup banyak, yaitu untuk proses pencabutan bawang di lahan, pengangkutan hasil panen dari kebun ke gudang, pengeringan di lapak, pretes atau sortasi, pengemasan dan pengiriman. Jika yang dituju adalah pasar induk, pedagang pengirim lebih memilih membeli bawang merah dari penebas karena biaya cukup tinggi dan proses cukup lama. Sedangkan apabila tujuan pasar adalah ekspor dalam bentuk bawang goreng, pedagang pengirim memilih untuk membeli bawang merah langsung dari petani karena proses pascapanen singkat dan biayanya rendah. Pedagang pengirim sedikit banyak berpengaruh terhadap fluktuasi harga bawang di pasar tradisional. Jika menurut pedagang pengirim harga bawang dan biaya pengangkutan tidak sebanding, maka mereka akan sepakat untuk tidak mengirimkan bawang ke pasar tujuan masing-masing seperti pasar induk baik di Jawa maupun luar Jawa. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan pasokan di pasar induk sehingga harga jual akan naik dan pedagang pengirim dapat memperoleh keuntungan. Di sisi lain, bandar pasar induk mengira bahwa pada saat itu terjadi penurunan produksi bawang merah di tingkat petani. c. Proses Produksi (Make) di Tingkat Pedagang Pengirim atau Supplier Kegiatan produksi bawang merah di Kabupaten Brebes tidak terlalu berpengaruh terhadap pedagang pengirim. Apabila pasokan bawang merah di Kabupaten Brebes menurun atau kosong, pedagang pengirim akan mencari bawang merah ke daerah lain seperti Kabupaten Majalengka, Kadipaten, Kabupaten Tegal, Kabupaten Batang, Malang, Surabaya, Weleri, Probolinggo, atau Nganjuk. Agar kontinuitas pasokan tetap terjaga, pedagang pengirim selalu memastikan ketersediaan bawang merah melalui pihak perantara yang berkeliling untuk mencari bawang merah yang siap panen. Setelah menemukan bawang yang siap panen, pihak perantara akan mendatangi petani dan melakukan negosiasi harga. Setelah itu pihak perantara akan menghubungi pedagang pengirim dan meminta sejumlah uang untuk diberikan kepada petani sesuai kesepakatan. Dengan demikian, pedagang perantara tidak kesulitan menyediakan pasokan bawang merah sesuai permintaan pasar yang dituju. Pedagang pengirim juga biasanya membeli bawang merah dari penebas untuk menjaga kontinuitas pasokan serta meminimalkan proses pascapanen yang dilakukan. Rata-rata produksi petani dengan lahan sekitar ¼ bahu atau 1.750 m2 pada peralihan musim hanya 56
Pemetaan Rantai Nilai
mampu menghasilkan sekitar 7–10 kuintal bawang merah dengan penyusutan pada proses pengeringan sekitar 20-22% per kuintal. Selain itu, penyusutan karena tercecer atau tertinggal di kebun sebanyak 5%, penyusutan akibat perogolan sekitar 10% per kuintal. Pedagang pengirim umumnya mengirimkan 5–7 ton per hari untuk 1 pasar induk di pulau Jawa dan 7–8 ton per hari untuk 1 pasar induk di luar pulau Jawa. Proses pascapanen yang dilakukan pedagang pengirim tergantung pasar yang dituju dan sumber pembelian bawang merah. Tidak hanya pasar induk, pedagang pengirim juga terkadang melakukan pengiriman bawang goreng untuk negara Malaysia dan Singapura. Bawang merah untuk ekspor ke Malaysia dan Singapura mengalami beberapa tahap proses pengolahan sebelum dikirim seperti terlihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Proses Pengolahan Bawang Goreng Untuk Ekspor Untuk memenuhi permintaan ekspor (2 ton sekali kirim), sebagian pedagang pengirim membeli langsung dari petani agar mendapatkan bawang segar (belum dijemur). Sebaliknya untuk pasar induk, pedagang pengirim umumnya membeli bawang dari penebas agar tidak banyak mengeluarkan biaya pascapanen. Dengan demikian, tahapan yang dilakukan pedagang pengirim hanya dari perogolan hingga pengemasan dan pengangkutan (Gambar 22).
Gambar 22. Kegiatan Pasca Panen Bawang Merah di Tingkat Pedagang Pengirim Keterangan : : Aliran bawang merah dari petani sebagai bahan baku untuk bawang merah goreng
untuk ekspor ke Malaysia dan Singapura : Aliran bawang merah dari penebas untuk dijual ke pasar induk dan industri mie instan 57
Pemetaan Rantai Nilai
d. Proses Distribusi (Deliver) di Tingkat Pedagang Pengirim atau Supplier Kegiatan pendistribusian yang dilakukan pedagang pengirim dimulai dari kebun ke gudang untuk selanjutnya diolah menjadi bawang goreng untuk ekspor atau dari penebas untuk dijual ke pasar induk. Biaya pengangkutan dibebankan kepada pedagang pengirim. Pengeringan bawang berbeda-beda tergantung tujuan pasar. Untuk pasar induk luar pulau Jawa, bawang harus benar-benar kering agar tidak mudah busuk karena jarak pengiriman yang jauh. Selain itu, bawang yang akan dikirim ke luar pulau Jawa tidak mengalami perogolan untuk menghambat pembusukan serta tumbuhnya tunas dan akar baru dari umbi sebelum bawang sampai ke tangan konsumen. Untuk bawang yang akan dikirim ke pasar induk pulau Jawa, pengeringan hanya dilakukan dua hari untuk kemudian dirogol dan di-blower, kecuali yang akan dikirim ke pasar induk Kramat Jati. Setelah proses di lapak selesai, dilakukan pengemasan dengan karung jaring dan diangkut ke truk. Biaya transportasi untuk sekali pengiriman bervariasi tergantung kota tujuan, sebagai berikut: a. Brebes ke Cikampek sekitar Rp1.400.000,00. b. Brebes ke Surabaya sekitar Rp2.200.000,00. c. Brebes ke Metro (Lampung) sekitar Rp3.300.000,00. d. Brebes ke Jakarta sekitar Rp1.400.000–Rp1.600.000. e. Brebes ke Bandung sekitar Rp2.000.000,00. Biaya perantara berkisar antara Rp500.000,00–Rp1.500.000,00 untuk satu kali proses pembelian bawang merah dari petani. Namun, umumnya pedagang pengirim membeli bawang dari lapaklapak penebas, sehingga proses yang dilakukan hanya penawaran. Setelah sepakat dilakukan perogolan, blower, pengemasan, penimbangan, dan pengangkutan ke pasar tujuan. Penyusutan yang terjadi sejak awal panen hingga akhir proses pendistribusian sebanyak 48%, yang merupakan akumulasi dari proses bongkar muat (13%), proses perogolan (10%), proses pengeringan (20%), tercecer saat penimbangan (3%), dan penyusutan di jalan (2%). Penyusutan tertinggi terjadi akibat proses pengeringan yang menyebabkan berkurangnya kadar air. e. Proses Pengembalian (Return) di Tingkat Pedagang Pengirim atau Supplier Proses pengembalian dari pasar tradisional ke pedagang pengirim hampir tidak ada, sebaliknya pengembalian dari industri mie instan kepada pedagang pengirim terkadang dilakukan karena rusak atau busuk (± 7%). Gambar 23 menjelaskan proses pengembalian produk yang rusak dari industri mie instan kepada pedagang pengirim.
58
Pemetaan Rantai Nilai
Gambar 23. Pengembalian Produk Rusak dari Industri Mie Instan ke Pedagang Pengirim 2) Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat Penebas a. Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat Penebas Perencanaan yang dilakukan penebas adalah ketersediaan bawang merah di tingkat petani. Pada Juni, Juli, dan Agustus (bulan panen raya), penebas tidak akan sulit memperoleh pasokan bawang merah dari petani. Namun, pada bulan September, Oktober, November bahkan terkadang hingga bulan April, penebas sedikit kesulitan mencari pasokan akibat musim hujan sehingga petani tidak mau mengambil risiko menanam bawang merah. Apabila terjadi kekurangan pasokan, penebas akan menghubungi perantara-perantara dari luar Brebes seperti: Majalengka, Indramayu, Cirebon, Weleri, dan Probolinggo untuk mengecek ketersediaan bawang merah. Risiko yang mungkin dihadapi penebas adalah ketidakpastian pasokan setiap hari, sehingga penebas harus mencari petani yang akan panen dalam waktu satu minggu atau kurang. Risiko lain yang mungkin terjadi adalah ketidakakuratan taksiran volume bawang merah di kebun mengingat pembelian dilakukan sebelum bawang merah dipanen. Penebas juga harus melakukan perencanaan pembiayaan karena harus melakukan pembayaran secara tunai kepada petani. Akibatnya, uang tunai harus selalu tersedia, karena terkadang penebas dibayar tunda 3–7 hari oleh pedagang pengirim. Apabila kekurangan modal, biasanya penebas meminjam ke rentenir atau pedagang pengirim yang dikenal. Berikut alur peminjaman uang yang dilakukan oleh penebas (Gambar 24).
Gambar 24. Alur Peminjaman Modal yang dilakukan Penebas Modal penebas umumnya merupakan pinjaman yang berasal dari dua sumber, yaitu pedagang pengirim dengan bunga 5%/hari dan rentenir/pemodal yang disebut “medan” dengan bunga 1%/hari dihitung sejak penyerahan dana. Pinjaman tersebut digunakan untuk membayar hasil 59
Pemetaan Rantai Nilai
tebasan kepada petani dan membayar upah tenaga kerja selama proses panen dan pascapanen. Peminjaman terpaksa dilakukan apabila penebas kehabisan modal, sementara bawang yang telah diambil pedagang pengirim belum dibayar. Meskipun bunga yang ditawarkan rentenir atau pedagang pengirim cukup tinggi dibandingkan bunga bank atau lembaga keuangan lainnya, penebas tetap meminjam kepada rentenir karena dana dapat dicairkan seketika tanpa persyaratan jaminan apapun. b. Proses Pengadaan (Source) di Tingkat Penebas Pengadaan di tingkat penebas meliputi pengadaan produk dan tenaga kerja. Pemenuhan pasokan bawang merah dari petani pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus tidak begitu sulit karena sedang panen raya (banyak petani yang menanam bawang merah). Sedangkan pada musim paceklik yaitu (September, Oktober, November, Desember, terkadang hingga April), penebas akan sedikit kesulitan mendapatkan pasokan bawang merah, sehingga harus memiliki channel di beberapa wilayah di luar kabupaten Brebes untuk memastikan pasokan bawang merah. Pengadaan tenaga kerja tidak kalah penting mengingat pada proses pasca panen banyak memerlukan tenaga kerja (57–60 orang), yaitu: a. Pencabutan (10 orang tenaga kerja perempuan untuk lahan seluas ¼ bahu). b. Pengangkutan dari kebun ke jalan (3 orang laki-laki). c. Pengangkutan dengan Tossa/L300 (1 orang). d. Pembongkaran di lapak (2–4 orang) tergantung banyak sedikitnya pasokan bawang merah yang diangkut. e. Penjemuran (2–3 orang). f. Penanganan pascapanen (40 orang untuk 7–8 ton bawang merah per hari), yaitu pretes atau membuang kotoran yang menempel seperti tanah, daun kering, dan sebagainya. Karena banyaknya penebas di Kabupaten Brebes, saat musim panen raya mereka akan kesulitan mencari tenaga kerja, bahkan harus mencari keluar kecamatan. Dengan kemajuan pembangunan daerah saat ini, banyak pembangunan pabrik-pabrik di sekitar Brebes membuat tenaga kerja muda lebih memilih bekerja di sektor industri atau sektor non-pertanian lainnya dibanding menjadi buruh tani/petani bawang merah. Hal ini menjadi ancaman pelaku rantai nilai bawang merah di Kabupaten Brebes. Hal ini menjadi ancaman pelaku rantai nilai bawang merah di Kabupaten Brebes karena akan semakin sulit mencari tenaga kerja usia produktif. Apabila hal ini terus berlanjut, jumlah petani bawang merah akan berkurang. c. Proses Produksi (Make) di Tingkat Penebas Penebas membeli bawang dari petani sebelum panen dilakukan, sehingga harus tepat memperhitungkan jumlah bawang yang akan diperoleh agar tidak mengalami risiko kerugian. Setelah terjadi kesepakatan dengan petani, penebas harus menyediakan uang tunai dan mencari tenaga kerja untuk memanen dan memikul bawang merah ke jalan untuk kemudian diangkut dengan menggunakan Tossa/mobil L300 ke lapak penjemuran. Di Pada
60
Pemetaan Rantai Nilai
saat penjemuran, akan ada pedagang pengirim yang datang untuk menawar sehingga lama penjemuran disesuaikan dengan tujuan pasar sesuai transaksi dengan pedagang pengirim. Untuk pasar di pulau Jawa, pengeringan hanya dilakukan 2–3 hari, dan untuk pasar luar pulau Jawa, penjemuran dilakukan 7–10 hari. Setelah dijemur, dilakukan proses pretes, perogolan, blower, pengemasan, penimbangan, pengangkutan ke truk dan pendistribusian, dengan biaya ditanggung oleh pedagang pengirim. d. Proses Distribusi (Deliver) di Tingkat Penebas Proses pendistribusian hanya dilakukan pada saat pengangkutan dari kebun sampai ke lapaklapak penjemuran. Pengiriman bawang merah dari kebun ke lapak tidak lebih dari 1 hari, karena jarak tempuh yang dekat. Jika pasokan berasal dari luar Kabupaten Brebes, proses pengangkutan juga hanya 1 hari dengan biaya pengangkutan yang berbeda tergantung daerah asal, seperti: Kadipaten (Rp1.050.000/truk), Indramayu (Rp800.000/truk), Weleri (Rp1.000.000/ truk), Cirebon (Rp700.000/truk), Tegal (Rp400.000/truk), dan Pemalang (Rp750.000/truk). e. Proses Pengembalian (Return) di Tingkat Penebas Tidak ada proses pengembalian produk di tingkat penebas, karena transaksi dengan pedagang pengirim dilakukan secara eceran. Seluruh kerusakan dan cacat setelah proses transaksi umumnya ditanggung oleh pedagang pengirim. Berikut merupakan alur kegiatan rantai nilai di tingkat penebas komoditas bawang merah di Kabupaten Brebes (Gambar 25).
Gambar 25. Alur Rantai Nilai Bawang Merah di tingkat Penebas 61
Pemetaan Rantai Nilai
3) Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat Petani Bawang Merah a. Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat Petani Perencanaan yang dilakukan petani adalah biaya usahatani untuk membeli sarana produksi dan biaya tenaga kerja. Selama ini, petani lebih sering menggunakan modal sendiri untuk menanam bawang merah. Selain itu, umumnya petani bawang merah di Brebes mendapatkan pinjaman dari koperasi, bantuan pemerintah yang disalurkan melalui gapoktan, pinjaman dari petani lain, dan pinjaman dari toko saprodi. Lembaga pembiayaan (bank) dinilai masih sulit diakses oleh petani terutama dengan penguasaan lahan ≤ 0,2 ha untuk mendapatkan pinjaman modal, karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi dan lamanya proses pengajuan pinjaman serta pencairan kredit. Peran kelompok tani atau gapoktan untuk pengembangan petani, penyuluhan budidaya, penyediaan sarana dan prasarana produksi masih kurang. Hal ini terlihat dari sedikitnya intensitas pertemuan akibat kesibukan masing-masing petani. Peranan aktif kelompok tani atau gapoktan baru terasa jika ada program-program dari pemerintah. Namun, ada pula poktan atau gapoktan yang berperan aktif menjalankan berbagai program dengan bimbingan yang intensif dari penyuluh pertanian dan Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, serta gapoktan binaan BI yang telah maju dan berkembang. Gapoktan dan poktan dimaksud berperan aktif menyediakan modal usaha yang berasal dari bantuan pemerintah melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) sebesar Rp100.000.000,00. Setiap anggota gapoktan dapat meminjam modal sebanyak Rp2.000.000,00 dengan bunga 2% per bulan yang dikembalikan setelah panen (2–3 bulan). Perencanaan produksi harus dilakukan petani agar produk yang dihasilkan sesuai harapan. Kegiatan perencanaan produksi antara lain pemilihan lokasi tanam, menentukan varietas tanaman dan jadwal tanam. Lokasi tanam bawang merah di Brebes sebagian besar merupakan lahan sawah tadah hujan berstatus sewa. Biaya sewa dapat mencapai Rp2.000.000,00 per musim tanam untuk lahan seluas ¼ bahu (1.750m2), sedangkan untuk lahan pemerintah biaya sewa lebih kecil yaitu Rp350.000,00 per musim tanam. Ada juga pemilik lahan yang tidak menerapkan sistem sewa, tetapi menerapkan bagi hasil dapat dalam bentuk uang maupun hasil panen dengan ketentuan 1:8 bagian, di mana 1 bagian menjadi hak penggarap lahan, dan 8 bagian diserahkan pada pemilik lahan. Pemilik lahan mendapatkan bagian lebih besar karena membiayai seluruh proses produksi. Petani penggarap hanya bertugas mengolah, mengurus lahan dan tanaman tanpa mengeluarkan modal usahatani. b. Proses Pengadaan (Source) di Tingkat Petani Pengadaan saprodi bagi petani tidak menjadi hambatan karena di Kabupaten Brebes banyak terdapat toko-toko penyedia sarana produksi
dengan sistem pembayaran setelah panen
dengan harga lebih mahal 5–10% dibandingkan membeli secara tunai. Umumnya petani tidak mengambil agroinput dari toko saprodi karena khawatir tidak dapat membayar hutangnya sehingga lebih memilih meminjam ke gapoktan, tetangga atau saudara terdekat.
62
Pemetaan Rantai Nilai
Tidak ada pupuk bersubsidi yang ditujukan khusus untuk komoditas bawang merah. Pupuk dibeli secara eceran (10–20 kg setiap pembelian) sehingga menyebabkan harga jual relatif lebih mahal. Selain itu, petani tidak mengetahui kandungan dan bahan aktif dari pupuk yang dibelinya karena tidak tercantum pada kemasan. Pengadaan benih berkualitas di kalangan petani sangat kurang karena petani tidak pernah membeli benih baru di toko pertanian. Petani di Brebes biasanya menggunakan benih hasil panen sebelumnya yang diproses sendiri dengan cara dikeringkan 2–3 bulan. Meskipun toko saprodi menjual benih bawang merah seperti lokos, filipin, dan sebagainya, namun petani enggan membeli karena harus melakukan penyemaian terlebih dahulu, waktu penanaman lebih lama (70 hari). Selain itu, petani mendapatkan informasi bahwa hasil panen bawang tersebut tidak diterima penebas, karena tidak diminati oleh konsumen lokal. Oleh karena itu, petani tetap bertahan dengan membudidayakan varietas bima brebes atau bima curut. Untuk dijadikan benih, umbi bawang merah cukup dijemur secara manual dengan digantung pada rak di dapur-dapur petani. Namun ketika musim hujan, proses pengeringan umbi bawang dilakukan dengan cara pengasapan agar tetap kering dan tidak berjamur atau busuk. Selain itu dilakukan penyemprotan fungisida sebanyak 1 kali dengan dosis 250 ml fungisida untuk menyemprot 2–3 ton bawang merah. Penyemprotan bertujuan agar bawang tidak berjamur saat proses pengeringan menjadi benih. Kebutuhan bibit untuk ¼ bahu atau sekitar 1.750 m2 lahan adalah 3 kuintal benih ukuran sedang, atau 5 kuintal untuk benih berukuran besar. Benih dapat juga dibeli dari tetangga dengan harga Rp25.000–Rp30.000/Kg. Terkadang, benih bawang merah diperoleh dari hasil gagal panen karena hama ulat atau hama/penyakit lainnya. Dengan demikian, petani bawang merah di Brebes cenderung menggunakan benih bawang dengan standar dan mutu yang rendah. c. Proses Produksi (Make) di Tingkat Petani Proses produksi yang dilakukan petani bawang merah di Kabupaten Brebes sangat panjang, terutama saat pengolahan lahan. Selain itu, dibutuhkan modal cukup tinggi karena menggunakan banyak tenaga kerja yang berbeda untuk setiap tahap proses produksi. Tahap tersebut terdiri dari persiapan lahan, pengolahan tanah (pembuatan selokan, pembuatan guludan, perbaikan tekstur tanah/guludan), penanaman, penyulaman, dan pemeliharaan tanaman (penyiraman, pemupukan, pengendalian hama penyakit, penyiangan). Setelah 2 bulan, bawang siap untuk dipanen. Ciri-ciri bawang merah siap panen terlihat dari daun bawang yang layu dan berwarna kuning seperti akan mati dan umbi bawang sedikit terlihat pada permukaan tanah. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, akan banyak penebas atau perantara yang menawar ke petani. Sebagian besar petani bawang merah di Brebes menjual hasil produksinya dengan cara ditebas, di mana bawang dibeli oleh tengkulak atau penebas sebelum dipanen. Biasanya tanaman bawang sudah berumur 58– 60 hari dan panen dilakukan oleh penebas. Saat panen, petani atau penebas akan menyisakan 30% atau ¼ bagian dari total bawang yang akan dipanen untuk digunakan sebagai benih pada 63
Pemetaan Rantai Nilai
musim penanaman berikutnya. Petani dapat melakukan pemanenan sendiri apabila mengalami gagal panen, sehingga hasil panen lebih sedikit dan kualitasnya lebih rendah. Untuk menutupi kerugian akibat gagal panen, petani melakukan proses panen dan pasca panen untuk menjadi benih dengan mengeluarkan modal Rp200.000,00–Rp350.000,00 untuk dijual pada kisaran harga Rp25.000,00–Rp30.000,00/kg. Dengan demikian petani dapat memperoleh uang untuk menutupi kerugian dan sebagai modal untuk penanaman selanjutnya. Untuk bawang merah yang akan dijadikan benih, setelah siap panen, petani akan melakukan proses pencabutan dan pengikatan, baik dilakukan sendiri atau dengan bantuan tenaga kerja keluarga (istri dan anak). Kemudian bawang diangkut untuk dijemur di halaman atau teras rumah petani. Pengangkutan umumnya menggunakan becak sepeda motor yang telah dimodifikasi dengan menambahkan bak atau gerobak. Cara tersebut lebih murah dibandingkan menyewa Tossa atau mobil L300. Biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan Rp40.000–Rp50.000 tergantung jarak yang ditempuh. Jika jarak sangat dekat dengan kebun, biasanya menggunakan kuli dengan biaya sekitar Rp70.000/orang/½ hari. Proses penjemuran dilakukan 7–10 hari dengan menggunakan 1 orang tenaga kerja (keluarga) untuk mengawasi dan membolak-balikkan bawang merah saat dijemur. Setelah itu bawang akan dipretes dengan tujuan menghilangkan sisa tanah dan benda asing lainnya yang menempel pada bawang merah agar terlihat lebih bersih dan terhindari dari kebusukan. Setelah itu bawang dipindahkan ke rak-rak penyimpanan di dapur rumah yang di bawahnya terdapat tungku perapian (untuk pengasapan jika sedang hujan) dan disemprot fungisida sebanyak 1 kali. Setelah disimpan selama 2–3 bulan, bawang siap untuk digunakan sebagai benih. Benih yang bagus berasal dari bawang yang disimpan selama 3 bulan, karena lebih cepat bertunas dibandingkan bawang yang disimpan 2 bulan. Namun, karena biaya perawatan dan sudah memasuki bulan tanam, hampir 80% petani menanam dengan menggunakan benih bawang merah yang berumur 2 bulan. Umumnya petani bawang merah di Kabupaten Brebes menanam pada musim kemarau (MeiNovember). Pada bulan September lahan diistirahatkan terlebih dahulu untuk ditanami bawang pada bulan Oktober dan dipanen pada bulan November. Bulan Desember-Maret petani menaman padi, kemudian pada bulan April petani mengolah lahan untuk persiapan menanam bawang merah. Jadwal tanam bawang merah di Kabupaten Brebes dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jadwal Penanaman Bawang Merah Selama 1 Tahun Bulan
12
Padi/JagJenis Tanaman ung/tembakau
64
1
2
3
4
5
Olah lahan
Bawang merah
6
7 Bawang merah
8
9 Istirahat
10
11
Bawang merah / jagung dan terung/ tembakau
Pemetaan Rantai Nilai
d. Proses Distribusi (Deliver) di Tingkat Petani Selama ini, petani bawang merah di Brebes selalu menjual hasil panen dengan sistem tebas sehingga petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk proses panen, distribusi dan pascapanen. Petani hanya melakukan pendistribusian sebagian hasil panen yang akan dijadikan benih dari kebun ke rumah untuk disimpan di gudang atau dapur. e. Proses Pengembalian (Return) di Tingkat Petani Di tingkat petani, tidak ada proses pengembalian produk (bawang, alat-alat pascapanen dan lain-lain) karena petani tidak menggunakan sistem kontrak dengan pihak pembeli atau sistem jual beli putus. Berikut ringkasan aktivitas rantai nilai di tingkat petani mulai dari perencanaan hingga penjualan hasil panen.
Gambar 26. Aktivitas Rantai Nilai Bawang Merah di Tingkat Petani 5.3.
Rantai Nilai Cabai Merah
5.3.1. Karakteristik Produk Cabai Merah Terdapat 2 pasar cabai merah di Kabupaten Ciamis yaitu pasar terstruktur dan pasar tradisional. Pasar terstruktur adalah pasar di mana terdapat kesepakatan antara produsen dengan pasar baik secara formal maupun informal. Berdasarkan studi kasus cabai merah di Kabupaten Ciamis, yang termasuk aliran pasar terstruktur adalah petani cabai merah besar yang terikat perjanjian/kontrak untuk memasok cabai ke industri (PT Heinz ABC). Sedangkan petani cabai merah yang termasuk aliran pasar tradisional adalah petani yang tidak terikat kontrak/perjanjian dan memasok cabai ke pasar tradisional (pasar induk). Perjanjian/kontrak memuat berbagai spesifikasi permintaan pasar tujuan terutama untuk pasar industri. Berikut spesifikasi permintaan cabai merah di Kab. Ciamis serta tujuan pasarnya.
65
Pemetaan Rantai Nilai
Tabel 23. Spesifikasi Permintaan Cabai Merah No
Jenis Pasar
Tujuan Pasar
Spesifikasi Permintaan Cabai Merah
1
Pasar terstruktur
PT Heinz ABC
- Cabai merah yang dikirim hanya cabai merah besar dengan varietas Imola/Imperial 10 - Warna harus merah 100% - Sudah dipotes - Bebas hama dan penyakit
2
Pasar tradisional
Pasar induk 1. Pasar Caringin
- Cabai merah besar varietas Tanjung - Bebas hama penyakit
2. Pasar induk lainnya (Kramat - Cabai merah keriting (tidak ditentukan jati, Tanah Tinggi, Cibitung) varietasnya, tetapi yang banyak ditanam varietas chilli) - Bebas hama dan penyakit
5.3.2. Struktur Rantai Nilai Cabai Merah Secara umum alur rantai nilai Kab. Ciamis terbagi ke dalam dua tujuan pasar, yaitu pasar terstruktur dan tradisional (Gambar 27).
Gambar 27. Pemetaan Rantai Nilai Cabai Merah Kab. Ciamis Sumber: Data Primer, 2014
Berdasarkan gambar terdapat dua aliran pengiriman cabai merah, yaitu kepada: (1) Koperasi Jasa Agribisnis (KOJA) untuk dipasok ke PT. Heinz ABC dan (2) pedagang besar/STA Ciamis untuk dipasok ke pasar tradisional. KOJA adalah lembaga grower yang menjembatani petani dengan pasar terstruktur (PT Heinz ABC). Fungsi KOJA hampir sama dengan pedagang besar/STA yaitu menyalurkan hasil panen petani ke pasar, tetapi memiliki peran lebih strategis karena terikat dengan kontrak/perjanjian dengan petani dan PT. Heinz ABC, salah satunya terkait dengan kontinuitas pasokan cabai merah. Untuk memenuhi kontrak dengan PT. Heinz ABC, KOJA bermitra dengan petani cabai merah, perusahaan agroinput, dan lembaga pembiayaan seperti BNI dengan tujuan mendukung basis produksi cabai merah agar dapat menguntungkan semua pelaku (stakeholders). KOJA berperan sebagai penjamin pasar, sehingga petani mitra mendapatkan pinjaman pembiayaan dari BNI. Selain itu, petani mitra KOJA juga mendapatkan kredit agroinput dari KOJA untuk membantu meringankan beban petani dan agar dapat meningkatkan basis produksi cabai merah. Aliran informasi dan dokumen banyak terjadi di pasar terstruktur karena banyak kegiatan yang memerlukan dokumentasi, misalnya: pinjaman (loan and invest application), tanda bukti terima 66
Pemetaan Rantai Nilai
barang, tanda bukti pembayaran, kredit agroinput dan lain-lain. Di sisi lain, aliran informasi pada pasar tidak terstruktur (tradisional) tidak terlalu mendetail karena lebih ditekankan pada aspek penjualan cabai di pasar, berupa informasi harga dan nota penjualan. Berdasarkan penjelasan di atas, pelaku dalam rantai nilai cabai dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anggota primer dan anggota pendukung sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 24 dan Tabel 25. Tabel 24. Pelaku Primer No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Cabai
1.
Sub-Terminal Agribisnis Kab.Ciamis ( STA )
Pengumpul cabai dan komoditas sayuran lain dari petani untuk dipasarkan ke pasar induk atau lokal.
2.
Koperasi Jasa Agribisnis (KOJA)
- Mediator penjamin pasar cabai petani, pendamping petani dalam pelaksanaan SOP budidaya cabai - memfasilitasi petani dalam mengakses permodalan dan kebutuhan saprodi
3.
Gapoktan Karangsari Kec.Sukamantri
- Tempat mengumpulkan cabai dari kelompok tani, sekaligus menjadi sarana pemasaran produk pertanian petani Kec. Sukamantri untuk dijual langsung ke pasar. - Sebagai wadah bertukar informasi dan pengetahuan mengenai budidaya cabai.
4.
Pedagang Besar
Sebagai pengumpul pasokan cabai dan menjualnya langsung ke pasar. Mayoritas adalah ketua kelompok tani yang membantu memasarkan langsung hasil panen cabai petani.
5.
Petani
Orang yang melakukan usaha budidaya cabai dengan status pemilik lahan bukan penggarap.
6.
PT. Heinz ABC
Buyer mitra Koperasi Jasa Agribisnis (KOJA)
Berikut pelaku dalam rantai nilai cabai anggota pendukung sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 25. Tabel 25. Pelaku Pendukung No.
Pelaku
Peran dalam Rantai Nilai Cabai
1
BANK
Kantor Perwakilan BI Tasikmalaya: penyelenggara, fasilitator dan pengawas kegiatan klaster cabai di Tasikmalaya dan Ciamis BNI: lembaga perbankan yang memberikan dana pinjaman/ kredit kepada sebagian petani
2
Toko Saprodi
PT. Tanindo: penyuplai saprodi bagi petani mitra KOJA PT. Tani Putra: salah satu alternatif penyuplai saprodi mitra KOJA Kios saprodi: tempat pembelian saprodi bagi petani cabai pasar tradisional Koperasi Kencana Sari: tempat pembelian saprodi bagi petani cabai di Kec. Sukamantri.
3
Dinas Pertanian
Lembaga yang bertanggung jawab terhadap kebijakan pertanian kab. Ciamis, dan penyalur bantuan pertanian dari pemerintah.
4
BP3K (Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan)
Instansi pemerintah dalam bidang pertanian yang bertanggung jawab memberikan bimbingan teknis pada rantai nilai cabai di tingkat Kecamatan.
5.
Kelompok Tani
Kumpulan petani sebagai media berbagi ilmu pengetahuan dan salah satu syarat peminjaman modal usaha atau penyaluran bantuan dari pemerintah
6.
Home Industry
Pihak yang menerima pasokan cabai dengan kualitas di bawah standar pasar industri untuk diolah menjadi saus rumahan.
7
LPDB dan Agritek Sinarindo Lembaga yang membantu pendanaan bagi petani mitra KOJA
67
Pemetaan Rantai Nilai
5.3.3. Manajemen Rantai Nilai Cabai Merah 1) Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat Koperasi dan Pedagang besar a. Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat Koperasi dan Pedagang Besar Pedagang besar harus melakukan perencanaan pengadaan pasokan cabai merah, dalam hal ini dilakukan Koperasi Jasa Agribisnis (KOJA) dengan tujuan mendapatkan kontinuitas p asokan cabai merah ke industri (PT. Heinz ABC). Bentuk perencanaan adalah dengan melakukan pola tanam yang terjadwal sehingga diperoleh kontinuitas panen setiap minggu dari seluruh petani mitra KOJA. Namun demikian, ada pula pedagang besar yang tidak menerapkan pola tanam cabai merah kepada petani mitranya karena meyakini pasokan cabai merah akan selalu ada setiap minggu mengingat cabai merah merupakan komoditas utama yang ditanam oleh petani mitra di daerah Buana Mekar, Panjalu dan Sukamantri. Risiko yang timbul apabila tidak menerapkan pola tanam adalah fluktuasi produksi cabai merah setiap minggu. Selain itu, pedagang besar cabai merah juga menjual komoditas hortikultura lainnya seperti kol, tomat, buncis, terong, mentimun sehingga tidak mematok komoditas tertentu yang harus ada. Perencanaan pembiayaan sangat penting bagi pedagang besar yakni untuk investasi dan modal kerja. Untuk investasi misalnya untuk pembelian mobil sebagai alat angkut barang ke pasar atau modal kerja untuk petani mitra pada masa awal tanam. Pembiayaan yang disediakan oleh pedagang besar dapat berasal dari swadaya pedagang atau pinjaman dari perbankan. Perbankan yang telah ikut andil membantu permodalan petani cabai merah melalui pedagang besar adalah BNI melalui program KUR (Kredit Usaha Rakyat). Dalam hal ini, pedagang b esar berperan sebagai fasilitator petani dalam memperoleh akses permodalan dari lembaga keuangan. b. Proses Pengadaan (Source) di Tingkat Koperasi dan Pedagang Besar Source atau proses pengadaan yang terjadi dalam aktivitas pedagang besar meliputi p engadaan pasokan dan tenaga kerja. Pengadaan pasokan adalah proses pengumpulan pasokan cabai merah untuk dipasarkan ke buyer (industri/pasar tradisional) sesuai kriteria permintaan dari buyer. Terdapat perbedaan cukup signifikan untuk memenuhi permintaan kedua segmen pasar tersebut, terutama dari kualitas cabai merah. Untuk kebutuhan industri diperlukan varietas cabai merah tertentu (Imola/Imperial 10), berwarna merah sempurna serta bersih dari hama dan penyakit. Sedangkan untuk pasar tradisional tergantung kebutuhan dan yang terpenting tidak terkena hama dan penyakit. Pasokan cabai merah umumnya berasal dari petani mitra pedagang besar, meskipun ada juga yang membeli selain dari mitra taninya, umumnya berasal dari luar kecamatan atau kabupaten (Majalengka dan Tasikmalaya). Pengaturan pengadaan pasokan saat musim paceklik di mana harga sedang tinggi m emerlukan perencanaan yang cermat. Pasalnya, saat musim paceklik di mana harga cabai merah mahal, akan berdatangan bandar dadakan yang membeli cabai dari petani mitra. Dengan demikian,
68
Pemetaan Rantai Nilai
pedagang besar harus memiliki strategi untuk mempertahankan petani mitra dan memperoleh pasokan cabai merah dari daerah lain. Pengadaan tenaga kerja yang dibutuhkan pedagang besar adalah saat pengangkutan, penyortiran dan pengepakan. Jumlah tenaga kerja angkut dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) kebun petani ke tempat pengumpulan akhir sebanyak ± 1-2 orang dengan upah Rp30.000,00/hari, sedangkan pengangkutan yang dilakukan KOJA berasal dari karyawan yang digaji per bulan. Jumlah tenaga kerja penyortiran di setiap pedagang besar berbeda disesuaikan dengan kebutuhan. Kegiatan penyortiran di KOJA membutuhkan 7-8 orang pekerja untuk penyortiran dan pemotesan dengan upah Rp300,00/kg. Sedangkan, penyortiran di bandar-bandar lain hanya membutuhkan 2 orang pekerja untuk melakukan pemilahan dan pengepakan dengan upah Rp20.000,00/orang. Pembayaran kepada para pekerja oleh pedagang besar dilakukan secara tunai. c. Proses Produksi (Make) di Tingkat Koperasi dan Pedagang Besar Pedagang besar cabai merah di Ciamis terdiri dari pemasok ke industri (KOJA) dan ke pasar tradisional. Proses produksi yang dilakukan KOJA adalah penyortiran dan pemotesan sesuai kriteria permintaan industri (PT. Heinz ABC). Pemanenan cabai merah di kebun petani selesai pada sore hari yang mengakibatkan cabai merah disimpan semalam untuk dilakukan pemotesan keesokan harinya. Risiko penyusutan akibat pemotesan tangkai adalah 4%, s usut timbangan 2% dan susut karena reject 4%, sehingga total risiko penyusutan adalah 10% dari total pasokan cabai merah. Risiko penyusutan ditanggung Koperasi, kecuali susut karena reject dikembalikan ke petani atau dibantu penjualannya oleh KOJA. Proses produksi yang terjadi dalam aktivitas pedagang besar bervariasi. Ada yang melakukan sortir sebelum dikirim ke pasar dan ada pula yang tidak, tergantung aktivitas pascapanen petani di kebun. Pedagang besar (non-KOJA) tidak melakukan penyimpanan cabai merah di gudang, tetapi segera diangkut ke pasar setelah pasokan dari petani terkumpul. d. Proses Pengiriman (Delivery) di Tingkat Koperasi dan Pedagang Besar Cabai merah yang telah disortir dan dipotes kemudian didistribusikan ke industri (PT. Heinz ABC) di Karawang pada malam hari. Waktu pengiriman ke Karawang adalah 14 jam, sehingga pengiriman ke PT. Heinz ABC perlu diprioritaskan untuk menghindari risiko penyusutan volume cabai. Selain PT. Heinz ABC, tujuan pasar cabai merah adalah industri rumahan (home industry) di daerah Karawang dan Bandung yang berasal dari cabai reject yang telah dipotes saat penyortiran di KOJA. Sedangkan cabai reject akibat warna merah kurang sempurna biasanya dijual ke pasar tradisional. Proporsi pengiriman ke tiga tujuan pasar tersebut yaitu: 70% untuk PT. Heinz ABC, 20% untuk pasar tradisional dan 10% untuk pasar industri rumahan. Proses pengiriman oleh pedagang besar lainnya dilakukan setelah cabai merah selesai dikumpulkan yaitu pada sore atau malam hari, karena akan menentukan harga jual di pasar induk. Harga jual di pasar induk ditentukan setiap jam tergantung jumlah pasokan yang diterima. Keterlambatan pengiriman ke pasar induk merupakan risiko pedagang besar. Pasar
69
Pemetaan Rantai Nilai
yang menjadi tujuan pengiriman cabai merah adalah Pasar Kramat Jati, Pasar Tanah Tinggi, Pasar Cibitung, Pasar Caringin, Pasar Cirebon dan Pasar Kuningan. Namun, pasar khusus untuk cabai merah besar adalah pasar Caringin karena untuk dipasar lainnya cabai merah besar kurang diminati di pasar lainnya. e. Proses Pengembalian (Return) di Tingkat Koperasi dan Pedagang Besar Proses pengembalian dilakukan oleh PT. Heinz ABC dilakukan jika persentase reject cabai merah melebihi 4% dari jumlah pasokan yang dikirim. Sampai saat ini, KOJA belum pernah mengalami pengembalian karena persentase reject saat terjadi pengecekan berada pada kisaran 2,5–3%. Pedagang besar lain juga belum pernah mengalami proses pengembalian cabai merah reject dari pasar, karena cabai merah diangkut menggunakan karung dan langsung ditimbang tanpa disortir kembali. Risiko penyusutan tidak terlalu tinggi karena waktu pengiriman dilakukan pada hari yang sama setelah panen. 2) Aktivitas Rantai Nilai di Tingkat Kelompok tani Aktivitas rantai nilai di tingkat kelompok tani hanya meliputi proses perencanaan, sedangkan proses pengadaan, produksi, pengiriman dan pengembalian tidak terjadi. Proses Perencanaan (Plan) di Tingkat Kelompok Tani Proses perencanaan yang dilakukan kelompok tani tidak signifikan mempengaruhi aktivitas rantai nilai cabai merah di Ciamis. Pasalnya, kelompok tani dibentuk sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan bantuan ataupun pinjaman. Namun demikian, beberapa kelompok tani memiliki peran terutama perencanaan permodalan, seperti kelompok tani mitra KOJA yang memperoleh pinjaman dari perbankan seperti BNI. Teknis pengajuan modal dilakukan oleh kelompok tani didampingi oleh KOJA. Rata-rata pinjaman petani untuk budidaya cabai merah besar yaitu Rp50.000.000,00/ha termasuk bunga. Dari jumlah pinjaman dapat diproyeksikan jumlah tanaman cabai merah yang akan ditanam untuk kemudian dianalisis kebutuhan saprodi (benih, pupuk, dan pestisida) yang akan disediakan KOJA. Pola tanam cabai telah ditentukan, sehingga kelompok tani hanya menyampaikan informasi pola tanam kepada anggota taninya. Sedangkan kelompok tani mitra STA atau pedagang besar lain umumnya tidak menerapkan rencana pola tanam bagi anggota karena tujuan mereka adalah pasar tradisional yang lebih fleksibel (tidak harus mengikuti kriteria tertentu). 3) Aktivitas Rantai Nilai Di Tingkat Petani a. Proses Perencanaan (Plan) Di Tingkat Petani Plan (rencana) adalah proses menyeimbangkan permintaan dan pasokan untuk menentukan tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan pengadaan, produksi dan distribusi. Proses perencanaan yang dilakukan petani mitra KOJA mengikuti kontrak yang telah disepakati, meliputi teknis budidaya sesuai SOP, jumlah pohon cabai yang ditanam, dan jadwal tanam agar pasokan cabai merah ke industri (PT. Heinz ABC) tetap berkelanjutan. Sebagian petani 70
Pemetaan Rantai Nilai
mitra STA juga melakukan perencanaan meliputi pola tanam dan penerapan teknis budidaya sesuai SOP namun tidak berdasarkan kontrak tertulis. Ada juga petani mitra pedagang besar lain (Buana Mekar dan Sukamantri) yang tidak menerapkan pola tanam karena di daerah tersebut cabai merupakan komoditas utama meskipun berpotensi menimbulkan risiko fluktuasi pasokan volume cabai. Perencanaan pembiayaan sangat penting dalam budidaya cabai merah karena memerlukan modal cukup tinggi (Rp50.000.000,00/ha/musim). Apabila modal yang dimiliki tidak cukup, maka sebagian petani memilih untuk tidak menanam cabai karena hasil panen tidak akan maksimal yang berimbas pada volume, kualitas, dan harga jual cabai. Sumber modal petani dapat berasal dari modal swadaya atau pinjaman dari pihak lain (perbankan atau pedagang besar). Untuk kasus petani mitra KOJA, memperoleh pinjaman (KUR) dari BNI dengan suku bunga 13% per tahun untuk 10 bulan. Besarnya pinjaman menentukan jumlah tanaman cabai merah yang harus ditanam oleh petani. Sedangkan petani mitra STA atau pedagang besar memperoleh modal dari swadaya petani atau meminjam kepada pihak lain (STA atau pedagang besar) yang dibayar secara yarnen (bayar panen). b. Proses Pengadaan (Source) Proses pengadaan meliputi pengadaan benih, saprodi, dan tenaga kerja. Petani mitra KOJA memperoleh benih dan saprodi dari KOJA yang akan dibayar setelah panen. Sedangkan petani mitra STA diberi kebebasan untuk membeli perlengkapan benih dan saprodi di kios manapun. Untuk pedagang besar di Buana Mekar dan di Sukamantri memiliki kios saprodi yang dapat dimanfaatkan petani dengan sistem pembayaran tunai atau yarnen. Pengadaan tenaga kerja untuk budidaya cabai merah di Kabupaten Ciamis cukup sulit bagi sebagian petani yang tidak memiliki tenaga kerja rutin, sehingga terkadang didatangkan dari luar kabupaten. Upah tenaga kerja laki-laki dan perempuan berbeda, yaitu Rp30.000,00– Rp50.000,00/orang/hari untuk laki-laki dan Rp17.500,00 – Rp25.000,00/orang/hari untuk perempuan. c. Proses Produksi (Make) Make (membuat) dalam rantai pasok atau proses produksi (production) adalah proses mentransformasi bahan baku atau komponen menjadi produk yang diinginkan pelanggan (Pujawan dan Mahendrawati, 2005). Proses produksi yang dilakukan petani meliputi proses budidaya dan pemeliharaan tanaman cabai. Lama penanaman cabai selama 4 bulan dan dapat dipanen selama 2-4 bulan karena lebih dari satu kali pemetikan. Tanaman cabai dapat menghasilkan buah lebih dari satu kali, sehingga jumlah pemetikan bervariasi setiap musimnya antara 13 hingga 20 kali pemetikan. Proses produksi/budidaya cabai dimulai dengan persiapan lahan, persiapan pupuk kandang, pembuatan area lahan penanaman, persiapan media semai, penyemaian dan penanaman. Waktu yang diperlukan untuk persiapan lahan termasuk 15 hari penyemaian adalah 3 minggu. Penanaman cabai dilakukan dalam satu hari, sedangkan waktu pemeliharaan dilakukan selama 6 bulan sampai panen.
71
Pemetaan Rantai Nilai
Dalam satu hektar lahan penanaman diperlukan sekitar 15.000 pohon dengan asumsi produksi 15 ton/ha. Harga pokok produksi Rp4.000,00–Rp5.000,00 per pohon. Untuk memanfaatkan lahan serta mendapatkan tambahan penghasilan, biasanya petani melakukan tumpang sari dengan tanaman hortikultura lainnya seperti tomat, kacang, buncis, terong, kol dan lain-lain. Proses penanaman cabai merah normalnya hanya satu kali setahun, namun terkadang ada pula petani yang menanam hingga 2 kali dalam setahun. d. Proses Pengiriman (Delivery) Panen cabai merah dilakukan pagi hari dan langsung dilakukan penyortiran awal. Jumlah tenaga kerja panen dan penyortiran adalah 2-3 orang dengan upah Rp20.000,00/orang sampai waktu dzhuhur (setengah hari). Apabila tengah hari belum selesai, upah tenaga kerja ditambah sesuai hasil penyortiran di kebun. Setelah itu dilanjutkan dengan pengangkutan dari kebun ke TPS. Jumlah tenaga kerja untuk pengangkutan sekitar 2-3 orang dengan upah Rp30.000,00/ hari. e. Proses Pengembalian (Return) Tidak ada proses pengembalian cabai merah dari pedagang besar kepada petani.
72
Analisis Risiko Rantai Nilai
Bab VI Analisis Risiko Rantai Nilai Analisis risiko rantai nilai digunakan untuk mengetahui seluruh potensi risiko yang dapat terjadi dalam aktivitas pelaku rantai nilai komoditas. Alat analisis yang digunakan adalah House of Risk (HOR), yaitu metode untuk mengidentifikasi titik kritis yang menjadi potensi risiko yang timbul dalam model pembiayaan pertanian. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengetahui aksi mitigasi risiko tersebut. Metode HOR terbagi menjadi dua bagian, yaitu HOR 1 dan HOR 2. HOR 1 digunakan untuk menentukan agen risiko yang perlu diprioritaskan agar mendapatkan penanganan preventif, sedangkan HOR 2 digunakan untuk menentukan prioritas penanganan yang dianggap efektif, dengan pertimbangan dana dan sumber penghasilan. 6.1.
Analisis Risiko pada Rantai Nilai Beras
Analisis risiko dititikberatkan pada pelaku utama rantai nilai beras yaitu penggilingan beras (RMU), bandar dan petani produsen. 6.1.1. Analisis Risiko di Tingkat Penggilingan Beras (RMU) 1. Identifikasi Risiko di Tingkat Penggilingan Beras (RMU) Terdapat 19 risiko yang dapat dialami RMU berdasarkan aktivitas dalam rantai nilai. Risiko yang paling mungkin terjadi (risk event) adalah kekurangan bahan baku, tenaga kerja, dan fluktuasi harga jual. Terdapat 14 sumber/agen risiko (risk agent) pada rantai nilai beras Indramayu yang masing-masing memiliki tingkat kemunculan beragam. Meskipun memiliki tingkat kemunculan rendah, namun saat muncul risk agent dapat menyebabkan terjadinya berbagai risiko sehingga mengakibatkan kerugian sangat besar. Misalnya, risk agent berupa perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu akan menyebabkan berbagai risiko seperti gagal panen, serangan hama dan penyakit tanaman, dan sebagainya. Hal ini terlihat dari korelasi antara keduanya. Untuk mengetahui risiko paling krusial yang perlu diberikan aksi mitigasi, dilakukan penghitungan dengan menggunakan Aggregate Risk Potential (ARP). Berdasarkan hasil perhitungan ARP, terdapat 8 sumber risiko yang perlu diprioritaskan diurutkan dari nilai ARP tertinggi, yaitu: 1) Kelalaian SDM (A10) menjadi sumber beberapa risiko sebagai berikut: a) Kualitas gabah rendah b) Jumlah armada angkut yang disiapkan kurang 73
Analisis Risiko Rantai Nilai
c) Karung yang disiapkan kurang d) Tercecer saat bongkar muat dan penimbangan gabah e) Kerusakan mesin penggilingan f) Terlambatnya pengiriman ke pasar induk g) Tidak adanya pengecekan kelayakan angkut h) Kesalahan pencatatan jumlah pasokan bahan baku (gabah atau beras PK) dan beras yang dikirim i) Tidak dibayar oleh calo saat beras telah dijual di pasar induk 2) Cuaca tidak menentu (A11) menjadi sumber beberapa risiko sebagai berikut: a) Pasokan gabah berkurang b) Kualitas gabah rendah c) Harga jual fluktuatif d) Salah menyiapkan armada angkut e) Gabah terlambat datang 3) Kondisi jalan yang rusak (A14) menyebabkan risiko-risiko sebagai berikut: a) Harga jual yang fluktuatif b) Salah menyiapkan armada angkut karena kondisinya kurang layak c) Gabah terlambat datang d) Kiriman ke pasar induk terlambat 4) Modal usaha kurang (A2), menyebabkan beberapa risiko sebagai berikut: a) Pasokan gabah kurang b) Kualitas gabah rendah c) Kekurangan tenaga kerja d) Salah menyiapkan armada angkut e) Karung yang disiapkan kurang 5) Pembayaran macet dari pedagang pasar induk (A4) menyebabkan risiko: a) Pasokan gabah kurang b) Kekurangan tenaga kerja c) Kekurangan modal d) Tertundanya pembayaran kepada petani atau bandar yang memasok bahan baku 6) Jarak pengiriman jauh (A3), menyebabkan risiko: a) Pasokan gabah kurang saat musim paceklik b) Kiriman ke pasar terlambat 7) Terjadinya perselisihan di sekitar lokasi produksi yaitu perebutan sumber air irigasi (A13) menyebabkan risiko:
74
Analisis Risiko Rantai Nilai
a) Pasokan gabah berkurang b) Gabah terlambat datang c) Bahan bakar (solar) untuk mesin diesel langka 8) Standarisasi produk yang tinggi (A6), yakni kualitas super menyebabkan risiko: a) Kekurangan pasokan beras b) Harga jual beras tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan c) Kekurangan modal untuk melakukan proses sortasi dan grading yang sesuai standar produk 2. Aksi Mitigasi Risiko di Tingkat Penggilingan Beras pada Rice Milling Unit (RMU) Berdasarkan hasil verifikasi dengan RMU, terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi dalam rantai nilai beras di Kabupaten Indramayu dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Penilaian dilakukan dengan cara memberikan kode sesuai dengan tingkat kesulitan dalam melakukan aksi mitigasi pada setiap risiko, yaitu nilai tertinggi (High/H5), nilai sedang (Medium/M4), dan nilai terendah (Low/L3). Aksi mitigasi tersebut tertera pada Tabel 26. Tabel 26. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan dalam Melakukan Mitigasi Kode
Difficulty of Performing Action K (DK)
Aksi Mitigasi
P1
On farm: pengembangan teknologi budidaya adaptif
H(5)
P2
Off farm: pengembangan gudang dan pengering
H(5)
P3
Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
H(5)
P4
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
M(4)
P5
Pengembangan akses pembiayaan
M(4)
P6
Pengembangan infrastruktur irigasi
M(4)
P7
Penggunaan logistik multimoda
H(5)
Di bawah ini terdapat sumber risiko prioritas pada tingkat RMU disertai dengan masing-masing aksi mitigasi yang tepat dengan sumber risiko tersebut: Tabel 27. Sumber Risiko dan Aksi Mitigasi Sumber Risiko Prioritas
Kode Agen
Aksi Mitigasi
Kode
SDM lalai saat mengolah gabah, mengoperasikan mesin, dan mencatat
A10
Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
P3
Cuaca tidak menentu (intensitas hujan terlalu tinggi) sehingga pasokan gabah tidak stabil dan kualitas gabah rendah
A11
Off farm: pengembangan gudang dan pengering
P2
On farm: Pengembangan teknologi budidaya adaptif
P1
Pengembangan infrastruktur irigasi
P6
Kondisi jalan yang rusak
A14
Penggunaan logistik multimoda
P7
Modal kurang
A2
Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
P3
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Pengembangan infrastruktur irigasi
P6
Penggunaan berbagai akses pembiayaan
P7
Penggunaan logistik multimoda
P7
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Jalur distribusi yang jauh dan rawan macet
A4
75
Analisis Risiko Rantai Nilai
Sumber Risiko Prioritas
Kode Agen
Pembayaran dari pedagang pasar induk macet
Terjadinya perselisihan pembagian sumber air (irigasi) di sekitar lokasi produksi
A3
A13
Pasar induk memiliki standarisasi produk yang tinggi
A6
Aksi Mitigasi
Kode
Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Penggunaan berbagai akses pembiayaan
P7
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur irigasi
P5
Penggunaan logistik multimoda
P7
On farm: Pengembangan Teknologi budidaya adaptif
P1
Off farm: Pengembangan gudang dan pengering
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Hasil verifikasi dengan RMU dianalisis dengan perhitungan HOR 2 sebagaimana tercantum pada Tabel 28 sebagai berikut: Tabel 28. Perhitungan HOR 2 RMU Risk Mitigation
Risk Agent Priority
P1
P3
P4
P5
3
9
9
3
3
3
3
1
3
P6
P7
ARP
3
3150
3
3150
9
2611
9
1778
A10 A11
P2
9
A14
3 9
A2
3
9
3
9
A4
1
1
1
9
9
1638
A3
3
9
9
9
9
1350
9
1040
3
924
A13
9
3
3
9
9
A6
1
9
9
9
9
9
3
Te
38634
60258
86859
48859
87303
47472
97425
Dk
L(5)
L(5)
L(5)
M(4)
M(4)
M(4)
L(5)
ETD
7727
12052
17372
12214.8
21825.8
11868
19485
Rk
7
5
3
4
1
6
2
Tahap ini merupakan penghitungan House of Risk 2 (HOR 2) dalam rangka identifikasi tindakan penanganan yang dianggap sesuai dan tepat untuk mengatasi agen risiko prioritas. Tindakan/ aksi mitigasi di tingkat RMU adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan akses pembiayaan (P5) Pengembangan akses pembiayaan pada RMU menjadi prioritas pertama dalam aksi m itigasi. Pembiayaan digunakan untuk pembelian bahan baku, baik berupa gabah ataupun beras pecah kulit yang kemudian diolah menjadi beras super atau semi super serta untuk biaya operasional lainnya.
76
Analisis Risiko Rantai Nilai
2. Penggunaan berbagai akses pembiayaan (P7) Penggunaan berbagai akses pembiayaan untuk memenuhi kegiatan logistik RMU yaitu dalam hal pengadaan pasokan gabah dan distribusi beras. 3. Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan (P3) Konsolidasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam sistem industri perberasan, terutama dalam penentuan harga sehingga semua pelaku rantai nilai beras tidak saling dirugikan. 4. Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan (P4) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan untuk mengatasi masalah pembentukan harga, keterlambatan pembayaran dan skema pembiayaan yang tidak sesuai. 5. Off farm: pengembangan gudang dan pengering (P2) Pengembangan gudang yang memadai perlu dilakukan untuk menyimpan cadangan pasokan dan menjaga kontinuitas gabah. Untuk gabah yang berkualitas kurang baik karena kadar air tinggi terutama pada saat musim hujan, dapat diatasi dengan penggunaan mesin pengering. 6. Pengembangan infrastruktur irigasi (P6) Kegiatan pemeliharaan prasarana irigasi pada beberapa lokasi dinilai masih kurang. Akibatnya pasokan air tidak mencukupi sehingga dapat mengakibatkan berkurangnya pasokan gabah. 7. On farm: pengembangan teknologi budidaya adaptif (P1) RMU menilai, petani sudah menguasai teknik pergiliran pola tanam untuk mengatasi perubahan musim. Saat musim kemarau petani menanam palawija dan saat musim hujan menanam padi. Petani yang lahan sawahnya dekat dengan sungai, melakukan kegiatan pompanisasi untuk mengatasi keterbatasan air di musim kemarau. Dengan demikian pengembangan teknologi budidaya adaptif menjadi prioritas terakhir. 6.1.2. Analisis Risiko di Tingkat Bandar 1. Identifikasi Risiko di Tingkat Bandar Risiko yang paling mungkin terjadi (risk event) di tingkat bandar adalah kekurangan pasokan gabah, kekurangan modal, dan harga fluktuatif. Berdasarkan perhitungan ARP menggunakan HOR 1, sumber risiko yang perlu diprioritaskan di tingkat bandar adalah: 1) Cuaca yang tidak menentu (A8) menyebabkan risiko-risiko sebagai berikut: a) Pasokan gabah kurang b) Kualitas gabah rendah c) Harga jual yang fluktuatif d) Salah menyiapkan armada angkut e) Gabah terlalu lama disimpan f) Serangan hama tikus
77
Analisis Risiko Rantai Nilai
2) Modal kurang (A2) menyebabkan risiko-risiko berikut: a) Pasokan gabah kurang b) Kekurangan tenaga kerja c) Salah menyiapkan armada angkut d) Karung yang disiapkan kurang e) Pembayaran tertunda sehingga petani lari ke bandar lain f) Gabah terlalu lama disimpan 3) Pembayaran yang macet (A3) dari RMU yang dipasok menyebabkan risiko: a) Pasokan gabah kurang b) Pembayaran tertunda sehingga petani lari ke bandar lain 2. Aksi Mitigasi Risiko di Tingkat Tingkat Bandar Terdapat 7 (tujuh) aksi/tindakan mitigasi untuk bandar dalam rantai nilai beras di Kabupaten Indramayu dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda (Tabel 29). Penilaian dilakukan dengan cara memberikan kode sesuai dengan tingkat kesulitan dalam melakukan aksi mitigasi pada setiap risiko yaitu nilai tertinggi (High/H5), nilai sedang (Medium/M4), dan nilai terendah (Low/L3). Tabel 29. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan dalam Melakukan Mitigasi Kode
Difficulty of Performing Action K (DK)
Aksi Mitigasi
P1
On farm : pengembangan teknologi budidaya adaptif
M(4)
P2
Off farm: pengembangan gudang dan pengering
H(5)
P3
Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan
M(4)
P4
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
L(3)
P5
Pengembangan akses pembiayaan
L(3)
P6
Pengembangan infrastruktur irigasi
L(3)
P7
Penggunaan logistik multimoda
M(4)
Tabel 30 menjelaskan sumber risiko prioritas pada tingkat bandar disertai dengan aksi mitigasi untuk masing-masing sumber risiko tersebut. Tabel 30. Daftar Agen Risiko dan Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar Risk Agent Cuaca yang tidak menentu (intensitas hujan terlalu tinggi)
Modal untuk membeli gabah kurang
78
Kode Agen A8
A2
Aksi Mitigasi
Kode mitigasi
Off farm: pengembangan gudang dan pengering
P2
Konsolidator, pendampingan sistem industri perberasan
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur irigasi
P6
Penggunaan logistik multimoda
P7
Konsolidator, pendampingan sistem industri perberasan,
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Penggunaan logistik multimoda
P7
Analisis Risiko Rantai Nilai
Risk Agent
Kode Agen
Aksi Mitigasi
Kode mitigasi
Pembayaran dari RMU macet
A3
Konsolidator, pendampingan sistem industri perberasan,
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Hasil verifikasi dengan bandar dianalisis dengan perhitungan HOR 2 (Tabel 31) sebagai berikut: Tabel 31. Perhitungan HOR 2 Tingkat Bandar Risk Mitigation
P1
P2
P3
Risk Agent Priority A8
P4
P5
P6
P7
1
A2
ARP
9
9
9
3
9
9
3360
1
9
9
9
3
9
3248
3
3032
A3
1
3
9
9
9
Te
6392
42584
86760
86760
66600
39984
68568
Dk
4
5
4
3
3
3
4
ETD
1598
8516.8
21690
28920
22200
13328
17142
RK
7
6
3
1
2
5
4
Aksi mitigasi diurutkan dari yang paling memungkinkan dilakukan oleh bandar, yaitu: 1. Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan (P4) Konsolidasi kelembagaan, pasar, dan pembiayaan antar pihak-pihak yang terlibat untuk mengatasi risiko keterlambatan pembayaran oleh pelaku rantai nilai beras yang dimulai dari pasar hingga bandar. 2. Pengembangan akses pembiayaan (P5) Pengembangan akses pembiayaan pada bandar menjadi prioritas dalam aksi mitigasi risiko. Pembiayaan digunakan untuk pembelian gabah serta biaya operasional lainnya. Kekurangan modal menyebabkan berkurangnya kemampuan bandar untuk membeli gabah dan melakukan sistem tunda untuk membayar gabah yang dibeli dari petani. 3. Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan (P3) Konsolidasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam sistem industri perberasan, terutama dalam hal penentuan harga sehingga semua pelaku rantai nilai beras tidak saling dirugikan. 4. Penggunaan logistik multimoda (P7) Penggunaan sistem pengangkutan yang tepat untuk memenuhi kegiatan logistik tingkat bandar yaitu dalam hal pengadaan pasokan gabah dan distribusi. 5. Pengembangan infrastruktur irigasi (P6) Kegiatan pemeliharaan prasarana irigasi pada beberapa lokasi masih kurang sehingga pasokan air tidak mencukupi yang mengakibatkan kekurangan pasokan gabah untuk bandar. 6. Off farm: pengembangan gudang dan pengering (P2) Pengembangan gudang dan pengering sangat dibutuhkan bandar. Gudang yang memadai 79
Analisis Risiko Rantai Nilai
dapat menyimpan cadangan pasokan dan menjaga kualitas gabah. Sedangkan penggunaan mesin pengering dapat mengatasi masalah kualitas gabah yang kurang baik akibat kadar air tinggi (terutama pada saat musim hujan). 7. On farm: pengembangan teknologi budidaya adaptif (P1) Menurut persepsi bandar, petani sudah menerapkan pola tanam ideal. Dalam satu tahun, padi ditanam dua kali yaitu pada awal dan pertengahan musim hujan. Sedangkan pada akhir musim hujan petani menanam palawija untuk mengatasi kekurangan air. Bagi petani yang sawahnya terletak di dekat sungai telah menggunakan teknik pompanisasi apabila ingin menanam padi saat musim kemarau. Dengan demikian teknologi budidaya adaptif relatif mudah diterapkan terutama dalam pergiliran tanaman, namun hal ini tidak terlalu berdampak pada aktivitas bandar. 6.1.3. Analisis Risiko di Tingkat Petani 1. Identifikasi Risiko di Tingkat Petani Risiko yang paling mungkin terjadi (risk event) di tingkat petani adalah jadwal tanam yang tidak tepat, keterlambatan pengadaan sarana produksi, penggunaan varietas yang tidak tepat, serangan hama penyakit, gagal panen dan kekurangan air pada saat produksi. Berdasarkan perhitungan ARP dengan menggunakan HOR 1, sumber risiko yang perlu diprioritaskan di tingkat petani adalah: 1) Perubahan iklim dan cuaca (A2), menyebabkan risiko: a) Jadwal tanam tidak sesuai rencana b) Teknologi untuk mengatasi serangan hama dan penyakit kurang tepat c) Padi diserang hama dan penyakit d) Lahan sawah kekurangan air atau kebanjiran e) Terlambat panen f) Gabah kurang kering g) Penurunan kualitas gabah karena lama disimpan 2) Pengetahuan petani yang rendah (A4), menyebabkan: a) Jadwal tanam tidak tepat b) Penggunaan varietas dan teknologi penanganan hama penyakit yang tidak tepat c) Pengadaan sarana produksi terhambat d) Peredaran pestisida dan pupuk palsu e) Lahan belum siap tanam f) Pengolahan tidak optimal g) Gabah kurang kering h) Penurunan kualitas gabah karena lama disimpan i) Serangan hama tikus 3) Ego para petani (A6), menyebabkan: 80
Analisis Risiko Rantai Nilai
a) Jadwal tanam tidak tepat b) Penggunaan varietas tidak tepat c) Penggunaan teknologi yang tidak tepat 2. Aksi Mitigasi Risiko di Tingkat Petani Terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi untuk petani dalam rantai nilai beras di Kabupaten Indramayu dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda (Tabel 32). Penilaian dilakukan dengan cara memberikan kode sesuai dengan tingkat kesulitan dalam melakukan aksi mitigasi pada setiap risiko yaitu nilai tertinggi (High/H5), nilai sedang (Medium/M4), dan nilai terendah (Low/L3). Tabel 32. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan dalam Melakukan Mitigasi Kode
Aksi Mitigasi
Difficulty of Performing Action K (DK)
P1 P2
On farm : Pengembangan teknologi budidaya adaptif Off farm: Pengembangan gudang dan pengering Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan Pengembangan akses pembiayaan Pengembangan infrastruktur irigasi Penggunaan logistik multimoda
M(4) M(4) H(5)
P3 P4 P5 P6 P7
M(4) L(3) L(3) H(5)
Tabel 33 memaparkan sumber risiko prioritas di tingkat petani disertai dengan aksi mitigasi yang tepat: Tabel 33. Daftar Agen Risiko dan Aksi Mitigasi pada Petani Beras Risk Agent Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu
Pengetahuan petani rendah
Ego para petani
Kode Agen A2
A4
A6
Aksi Mitigasi
Kode Aksi Mitigasi
On farm: Pengembangan teknologi budidaya adaptif
P1
Konsolidator, pendampingan sistem industri perberasan
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Pengembangan infrastruktur irigasi
P6
Penggunaan logistik multimoda
P7
Konsolidasi, pendampingan sistem industri perberasan,
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Pengembangan infrastruktur irigasi
P6
Penggunaan logistik multimoda
P7
On farm: pengembangan teknologi budidaya adaptif
P1
Konsolidasi, pendampingan sistem industri perberasan,
P3
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
P4
Pengembangan akses pembiayaan
P5
Dari hasil verifikasi dengan petani, kemudian dianalisis dengan perhitungan HOR 2 sesuai dengan yang tertera pada Tabel 34 sebagai berikut: 81
Analisis Risiko Rantai Nilai
Tabel 34. Analisis House Of Risk (HOR) 2 Petani Risk Mitigation
P1
P2
P3
Risk Agent Priority
P4
P5
P6
P7
1
ARP
A2
9
9
9
9
9
9
2700
A4
3
9
9
9
9
9
1765
A6
9
9
9
9
1
3
888
Te
37587
2700
48277
48177
48177
41073
42849
Dk
4
4
5
4
3
3
5
ETD
9396.75
675
9655.4
12044.25
16059
13691
8569.8
RK
5
7
4
3
1
2
6
Berdasarkan hasil olahan HOR 2, berikut merupakan urutan aksi mitigasi yang sangat memungkinkan hingga sulit untuk dilakukan berdasarkan penilaian petani: 1. Pengembangan akses pembiayaan (P5) Pembiayaan sangat dibutuhkan petani, terutama untuk membeli sarana produksi s eperti pupuk, bibit, pestisida dan keperluan produksi lainnya. Saat ini petani merasa kesulitan untuk memperoleh pinjaman dari lembaga pembiayaan seperti bank. Karena sering d itolak saat mengajukan pinjaman, petani mengharapkan kemudahan untuk memperoleh akses pembiayaan. 2. Pengembangan infrastruktur irigasi (P6) Pengembangan infrastruktur irigasi sangat dibutuhkan dalam aktivitas produksi petani mengingat saat ini banyak saluran yang mengalami pendangkalan dan kerusakan. Selain pengembangan dalam hal fisik, perlu pula dilakukan pembenahan sistem pembagian air. 3. Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan (P4) Diperlukan konsolidasi kelembagaan usahatani, pasar, dan lembaga pembiayaan. Konsolidasi kelembagaan meliputi penguatan kelompok tani, transparansi harga pada setiap pelaku rantai nilai beras dan kemudahan akses pembiayaan dari lembaga keuangan formal. 4. Konsolidasi dan pendampingan sistem industri perberasan (P3) Konsolidasi dan pendampingan diperlukan untuk menambah pengetahuan dan m engurangi ego petani yang dapat menghambat perkembangan industri perberasan. Pengetahuan petani yang rendah terkait aplikasi teknik budidaya mengakibatkan produktivitas lahan rendah dan jadwal tanam yang kurang tepat. 5. On farm: pengembangan teknologi budidaya adaptif (P1) Teknologi budidaya adaptif sangat dibutuhkan dalam aktivitas on farm, terutama untuk mengatasi perubahan cuaca. Pengaturan jadwal dan pola tanam serta penggunaan teknologi untuk mengatasi perubahan iklim sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas padi. 6. Penggunaan logistik multimoda (P7) Penggunaan logistik multimoda tidak terlalu diperlukan karena petani tidak melakukan 82
Analisis Risiko Rantai Nilai
pengiriman gabah kepada bandar atau RMU. Bandar atau RMU biasanya langsung mengambil gabah dari petani. 7. Off farm: pengembangan gudang dan pengering (P2) Pengembangan gudang dan mesin pengering dapat diterapkan pada kelompok tani. Pengembangan gudang (standarisasi bangunan gudang) bertujuan mempertahankan kualitas gabah. Sistem pengeringan dibutuhkan untuk memperoleh gabah dengan kadar air yang tepat sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu lama di gudang. Apabila petani menerapkan sistem resi gudang, pengembangan gudang dan sistem pengeringan sangat dibutuhkan. 6.2. Analisis Risiko pada Rantai Nilai Bawang Merah Analisis risiko rantai nilai bawang merah dititikberatkan pada pelaku utama rantai nilai yaitu pedagang pengirim, penebas dan petani produsen. 6.2.1. Analisis Risiko Tingkat Pedagang Pengirim 1. Identifikasi Risiko Pedagang Pengirim Terdapat 17 risiko yang mungkin muncul di tingkat pedagang pengirim. Berdasarkan hasil perhitungan, terdapat 5 agen risiko prioritas (nilai ARP tertinggi): 1. Bawang merah rusak saat di perjalanan (A6), menimbulkan risiko: a) Harga tidak sesuai keinginan pada saat pengiriman b) Jumlah pasokan tidak terpenuhi c) Penurunan kualitas bawang d) Bawang merah busuk saat di perjalanan e) Bawang merah susut di jalan f) Bawang merah dikembalikan 2. Gangguan/permasalahan teknis di perjalanan (A5), menjadi sumber risiko: a) Jumlah tenaga kerja kurang b) Jumlah pasokan tidak terpenuhi c) Kualitas bawang merah tidak sesuai d) Kurangnya modal untuk membeli bawang merah selanjutnya e) Mahalnya biaya transportasi pengiriman bawang merah ke pasar induk f) Penambahan biaya pengiriman jika kebun berada di luar Brebes g) Terjadi penyusutan dari berat awal yang dibawa dari lapak h) Bawang merah dikembalikan oleh pedagang pasar atau bandar pasar 3. Musim hujan (A3) menjadi sumber risiko: a) Jumlah pasokan bawang merah tidak memenuhi kuota pengiriman yang diminta b) Modal pascapanen yang digunakan cukup tinggi c) Kualitas bawang merah tidak sesuai keinginan pasar 83
Analisis Risiko Rantai Nilai
d) Bawang dapat dengan mudah terkena serangan penyakit e) Harga bawang merah lokal turun saat bawang impor datang f) Bawang merah busuk dan susut saat di jalan g) Bawang merah dikembalikan dari pasar induk 4. Keterlambatan pembayaran atau sistem tunda bayar dari mitra usaha (A8) menjadi sumber risiko: a) Jumlah tenaga kerja kurang b) Jumlah pasokan tidak menentu c) Kualitas bawang merah tidak sesuai dengan permintaan pasar d) Kekurangan modal untuk pembelian bawang selanjutnya e) Persaingan harga antara bawang lokal dengan bawang impor 5. Fluktuasi harga bawang merah di pasar yang menyebabkan ketidakpastian harga jual bawang merah mulai dari pedagang pengirim hingga ke petani (A7) menjadi sumber risiko: a) Harga bawang merah tidak sesuai keinginan pelaku di kegiatan hulu b) Kualitas bawang merah tidak sesuai permintaan pasar c) Kekurangan modal untuk membeli kembali bawang merah d) Harga bawang merah lokal akan turun saat bawang impor datang 2. Aksi Mitigasi Risiko Tingkat Pedagang Pengirim Terdapat 5 (lima) aksi mitigasi untuk agen risiko pada 3 (tiga) pelaku utama yang terlibat dalam rantai nilai bawang merah di Kabupaten Brebes (petani, penebas dan pedagang pengirim) sebagaimana tertera pada Tabel 35. Penilaian dilakukan dengan cara memberikan kode sesuai dengan tingkat kesulitan dalam melakukan aksi mitigasi pada setiap risiko mitigasi yaitu nilai tertinggi (High/H5), nilai sedang (Medium/M4), dan nilai terendah (Low/L3). Tabel 35. Daftar Hasil Penilaian Kesulitan dalam Melakukan Mitigasi Kode
Aksi Mitigasi
Difficulty of Performing Action K (DK)
P1
On Farm: teknologi budidaya (shading net)
M(4)
P2
Off Farm: pengembangan rumah kemas
L(3)
P3
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
H(5)
P4
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
H(5)
P5
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
H(5)
Terdapat 5 (lima) agen risiko prioritas dan aksi mitigasi pada tingkat pedagang pengirim seperti tertera pada Tabel 36. Berikut merupakan daftar agen risiko dan aksi mitigasi di tingkat pedagang pengirim.
84
Analisis Risiko Rantai Nilai
Tabel 36. Daftar Agen Risiko dan Aksi Mitigasi pada Pedagang Pengirim Agen Risiko
Kode Agen
Aksi Mitigasi
Kode mitigasi
Bawang merah rusak/ terjadi penurunan kualitas saat di perjalanan
A6
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Gangguan perjalanan saat pengiriman (perampokan, mobil mogok, mesin rusak)
A5
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
On Farm: teknologi budidaya (shading net)
P1
Off-Farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan produksi
P3
Konsolidasi dan pendampingan produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Konsolidasi dan pendampingan produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Musim hujan tidak dapat diprediksi
A3
Fluktuasi harga bawang merah tidak dapat diprediksi
A7
Keterlambatan pembayaran dari mitra usaha
A8
Tabel 37. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Pedagang Pengirim Risk Mitigation
P1
P2
P3
P4
P5
ARP
3
9
2,673
3
9
2,186
Risk Agent Priority A6 A5 A3
1 3
9
9
1,835
A7
9
9
A8
3
3
9
35.783
31.659
54.801
TEK
5.505
16.515
1,488
Dk
M(4)
L(3)
M(4)
H(5)
H(5)
ETDK
1.376,25
5.505
8.945,75
6.331,8
10.960,2
RK
5
4
2
3
1
1,230
Di tingkat pedagang pengirim, nilai ETD tertinggi adalah P5 (pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik). Hal ini menunjukkan P5 merupakan aksi mitigasi yang sangat efektif karena berdampak pada cukup banyak agen risiko, sehingga perlu dilakukan dan memungkinkan untuk diimplementasikan. Di sisi lain, ETD dengan nilai terendah yaitu P1 (pengembangan rumah kemas) dianggap paling tidak memungkinkan. 1. Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik (P5) Pengembangan infrastruktur menjadi prioritas utama bagi pedagang pengirim, terutama terkait dengan transportasi dan akses jalan yang sangat penting dalam pendistribusian bawang merah dari Kabupaten Brebes ke pasar tujuan. Perlu dilakukan pengembangan sarana transportasi yang layak untuk pengangkutan bawang merah dan perbaikan sarana 85
Analisis Risiko Rantai Nilai
logistik seperti penggunaan pengemasan bawang merah, yang saat ini masih dilakukan secara curah tanpa memilah bawang merah sesuai grade. 2. Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi (P3) Pendampingan sistem produksi diperlukan oleh pedagang pengirim, terkait rencana volume pasokan yang akan dikirim pasar tujuan. Selain itu, penanganan pascapanen dengan memperhatikan mutu serta kualitas bawang yang dihasilkan juga sangat penting dilakukan oleh pedagang pengirim. 3. Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan (P4) Tujuan pasar terstruktur sebenarnya sudah dilakukan oleh pedagang pengirim. M isalnya, pengiriman bawang segar untuk beberapa industri mie instan dan ekspor bawang goreng ke Malaysia dan Singapura, meskipun hanya menyerap sebagian kecil dari total p roduksi bawang merah. Akses pembiayaan di tingkat pedagang pengirim tidak lagi menjadi masalah karena sudah mampu meminjam ke bank dengan membuka rekening koran. 4. Off farm: pengembangan rumah kemas (P2) Pengembangan rumah kemas diperlukan pedagang pengirim pada saat proses perogolan, blower, pengemasan dan penimbangan (koli). Permasalahan yang terjadi umumnya a dalah masih banyak bawang merah yang tercecer sehingga mengurangi volume kirim. 5. On farm: teknologi budidaya shading net (P1) Penerapan shading net tidak menjadi aksi mitigasi prioritas karena tidak secara langsung memberikan hasil yang nyata bagi pedagang pengirim. 6.2.2. Analisis Risiko di Tingkat Penebas 1. Identifikasi Risiko Tingkat Penebas Terdapat 5 risiko yang mungkin terjadi di tingkat penebas. Berdasarkan perhitungan ARP menggunakan HOR 1, agen risiko prioritas di tingkat penebas/bakul yaitu: 1. Volume penjualan bawang merah di tingkat penebas tidak menentu (A5), merupakan agen risiko dari: a) Harga tidak sesuai harapan b) Pasokan bawang merah kurang c) Penggunaan modal panen dan pascapanen bawang merah yang cukup besar d) Fluktuasi harga (sulit diprediksi) e) Gagal panen dan terkena hama penyakit saat akan dipanen f) Penjemuran di musim hujan yang mengakibatkan penurunan kualitas bawang g) Kehilangan volume produksi saat panen h) Kualitas bawang merah rendah saat musim hujan
86
Analisis Risiko Rantai Nilai
2. Musim hujan yang tidak dapat diprediksi (A4). Menjadi agen risiko dari: a) Harga bawang merah tidak sesuai dengan keinginan, karena kualitas yang kurang baik b) Pasokan bawang merah kurang c) Terjadinya gagal panen dan terkena hama dan penyakit bawang merah d) Penjemuran saat musim hujan lebih lama e) Bawang merah mudah rusak f) Kehilangan volume bawang sebelum panen g) Biaya transportasi dari jalan ke lapak yang mahal h) Kualitas bawang rendah dan dikembalikan saat tiba di pasar tujuan 3. Persepsi terhadap kedatangan bawang impor (A7): a) Harga tidak sesuai keinginan b) Biaya penggunaan tenaga kerja mahal c) Harga bawang impor berdampak pada penurunan harga jual bawang merah lokal d) Fluktuasi harga bawang merah sulit diprediksi e) Bawang merah akan dikembalikan dari pasar tujuan 4. Harga bawang merah sangat berfluktuasi (A6). Agen risiko ini dapat menjadi penyebab bagi risiko: a) Ketidaksesuaian harga jual dengan modal yang dikeluarkan untuk pembelian bawang, panen, dan pascapanen bawang merah b) Biaya tenaga kerja mahal c) Kekurangan modal untuk membeli bawang merah selanjutnya d) Pengendalian pengiriman akan sulit dilakukan 5. Keterlambatan pembayaran (A9) dapat menjadi penyebab bagi risiko: a) Harga tidak sesuai keinginan b) Tenaga kerja yang digunakan kurang c) Pasokan bawang merah kurang d) Modal usaha penebas berkurang e) Beban bunga pinjaman dari rentenir sangat tinggi f) Kedatangan bawang merah impor mengakibatkan harga bawang merah lokal anjlok. 2. Aksi Mitigasi Risiko di Tingkat Penebas Terdapat 5 (lima) agen risiko yang menjadi prioritas dan 5 (lima) aksi mitigasi untuk mencegah agen risiko pada tingkat penebas sebagaimana tercantum pada Tabel 38.
87
Analisis Risiko Rantai Nilai
Tabel 38. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi di Tingkat Penebas Agen Risiko
Kode Agen
Volume penjualan tidak tentu
A5
Musim hujan tidak dapat diprediksi
A4
Persepsi terhadap melimpahnya stok bawang
A7
Harga bawang merah sangat berfluktuasi
A6
Pembayaran hasil penjualan bawang merah dari pedagang pengirim macet
A9
Aksi Mitigasi
Kode Mitigasi
On farm: teknologi budidaya (shading net)
P1
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
On farm: teknologi budidaya (shading net)
P1
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Tabel 39. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Penebas Risk Mitigation
P1
P2
P3
P4
P5
ARP
A5
3
9
3
9
9
3,512
A4
9
9
3
1
9
2,744
A7
9
9
9
3
2,156
A6
9
9
3
3
2,088
A9
1
9
9
9
1,836
Risk Agent Priority
TEK
35.232
96.336
73.488
76.544
85.560
Dk
M(4)
L(3)
H(5)
H(5)
H(5)
ETD
8.808
32.112
14.697,6
15.308,8
17.112
RK
5
1
4
3
2
Berikut penjelasan dari urutan lima aksi mitigasi di atas: 1. Off farm: pengembangan rumah kemas (P2) Pengembangan rumah kemas menjadi prioritas utama dalam aksi mitigasi di tingkat 88
Analisis Risiko Rantai Nilai
penebas, mengingat hampir seluruh proses pascapanen dilakukan oleh penebas, kecuali perogolan, blower, dan pengemasan dilakukan oleh pedagang pengirim. 2. Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik (P5) Perbaikan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik sangat diperlukan penebas, karena sarana pengangkutan dari kebun ke lapak masih dilakukan dengan cara konvensional sehingga dapat menambah kerusakan bawang merah. 3. Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan (P4) Untuk menerapkan sistem kontrak, terlebih dahulu perlu dilakukan penguatan kelembagaan dan pembinaan terkait dengan pasar yang akan dituju mengingat tingkat pendidikan s ebagian besar penebas masih tergolong rendah. 4. Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi (P3) Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi diperlukan penebas terutama terkait proses panen dan pascapanen yang masih dilakukan secara konvensional. Misalnya, keakuratan sistem penimbangan bawang merah saat di kebun dan setelah dilakukan pengeringan, agar penebas dapat mengestimasi volume bawang yang dimiliki dan volume yang akan dijual. 5. On farm: teknologi budidaya shading net (P1) Penerapan shading net tidak terlalu berpengaruh kepada penebas, karena penebas hanya melakukan kegiatan di kebun pada proses panen dan pascapanen. 6.2.3. Analisis Risiko Rantai Nilai Bawang Merah di Tingkat Petani 1. Identifikasi Risiko Rantai Nilai Petani Terdapat 8 sumber risiko yang perlu diprioritaskan diurutkan dari nilai ARP tertinggi, yaitu: 1. Perencanaan budidaya kurang tepat (A2), menjadi penyebab bagi risiko: a) Modal usahatani bawang merah tinggi b) Kurangnya peranan kelompok tani c) Terjadinya kegagalan panen petani d) Produktivitas rendah karena varietas tanaman yang dipilih tidak cocok e) Salah memilih lokasi tanam f) Tidak ada takaran yang pasti mengenai penggunaan pupuk dan pestisida g) Penambahan biaya tenaga kerja dan alat transportasi h) Penggunaan pupuk bersubsidi kurang i) Kejenuhan dan penurunan produktivitas lahan dan produksi bawang merah j) Pengadaan bibit yang kurang baik k) Pembayaran hasil panen yang rendah l) Lahan belum siap tanam dan hasil panen tidak maksimal m) Tanaman terserang hama dan penyakit n) Umbi yang dihasilkan kecil, umbi tidak tumbuh dan gagal panen o) Sulit mendapatkan air pada saat musim kemarau 89
Analisis Risiko Rantai Nilai
2. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu (tidak dapat diprediksi) (A9), menjadi penyebab bagi risiko: a) Tidak ada air pada musim kemarau sehingga berdampak pada gagal panen b) Salah prediksi jadwal tanam c) Tanaman terserang hama dan penyakit d) Umbi yang dihasilkan berukuran kecil (jika penanaman dilakukan pada saat musim hujan) e) Tanaman tidak tumbuh saat musim hujan f) Terlalu cepat dipanen 3. Produktivitas lahan menurun karena penggunaan pupuk kimia dan obat-obatan yang berlebihan, serta lahan sudah mengalami kejenuhan (A10) menjadi penyebab bagi risiko: a) Penurunan hasil produksi dan kualitas bawang merah b) Penambahan biaya usahatani c) Umbi yang dihasilkan berukuran kecil dan hasil panen yang kurang baik d) Gagal panen 4. Kurangnya lembaga penyedia saprodi resmi yang menyebabkan petani mendapatkan harga lebih mahal untuk membeli pupuk bersubsidi (A5) menjadi penyebab bagi risiko: a) Modal produksi yang tinggi b) Penurunan produksi bawang merah karena penggunaan varietas lama c) Pengadaan pupuk bersubsidi kurang atau tidak ada yang berdampak pada besar kecilnya modal usaha yang dikeluarkan oleh petani dalam satu kali produksi 5. Ketidakpastian harga beli bawang merah yang menyebabkan tidak ada kepastian harga jual dan pembayaran hasil panen yang rendah di tingkat petani (A4) menjadi penyebab bagi risiko: a) Posisi tawar petani rendah karena usahatani bawang dilakukan secara individu b) Harga jual bawang merah di tingkat petani rendah karena tidak ada perjanjian tertulis dengan mitra usaha c) Pembayaran hasil panen rendah, karena sistem penjualan petani menggunakan penebas d) Fluktuasi harga jual bawang merah 6. Infrastruktur kurang memadai (A3) menjadi penyebab bagi risiko: a) Tingginya biaya pengangkutan benih maupun hasil panen b) Penyusutan hasil panen bawang c) Tidak ada air saat musim kemarau d) Penyusutan yang tinggi selama proses pascapanen e) Bawang tercecer saat pengangkutan
90
Analisis Risiko Rantai Nilai
7. Ketersediaan bibit unggul yang terbatas sehingga hasil panen tidak optimal (A6) menjadi penyebab bagi risiko: a) Rendahnya hasil produksi b) Pembayaran hasil panen rendah c) Pembayaran hasil panen terlambat d) Tidak ada kepastian harga jual. 8. Banyaknya penggunaan tenaga kerja yang menyebabkan semakin tingginya biaya usahatani bawang merah (A11). 2. Aksi Mitigasi Risiko Rantai Nilai Bawang Merah di Tingkat Petani Terdapat 8 (delapan) agen risiko pada petani yang menjadi prioritas serta 5 (lima) aksi mitigasi untuk setiap agen risiko tersebut sebagaimana tercantum pada Tabel 40. Tabel 40. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi di Tingkat Petani Agen Risiko Perencanaan budidaya kurang tepat
Perubahan Iklim dan cuaca yang tidak menentu
Produktivitas lahan menurun
Kurangnya lembaga penyedia saprodi resmi
Kepastian harga beli bawang merah
Kode Agen A2
A9
A10
A5
A4
Aksi Mitigasi
Kode Mitigasi
On farm: teknologi budidaya (shading net)
P1
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
On farm: teknologi budidaya (shading net)
P1
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
91
Analisis Risiko Rantai Nilai
Agen Risiko
Kode Agen
Infrastruktur kurang memadai
Aksi Mitigasi
A3
Ketersediaan bibit unggul kurang memadai
A6
Banyaknya penggunaan tenaga kerja
A11
Kode Mitigasi
On farm: teknologi budidaya (shading net)
P1
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Off farm: pengembangan rumah kemas
P2
Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi
P3
Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan
P4
Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik
P5
Tabel 41. Analisis House of Risk 2 di Tingkat Petani Risk Mitigation
P1
P2
P3
P4
P5
ARP
A2
9
1
9
9
3
3810
A9
9
9
Risk Agent Priority
3
2538
A10
9
3
1
1827
A5
1
3
9
1692
A4
3
9
9
1458
3
9
9
880
9
828 756
A3
1
1
A6
9
A11 Te
9
57.132
3
9
3
9
29.800
96.537
68.157
71.397
Dk
M(4)
L(3)
H(5)
H(5)
H(5)
ETD
14.283
9.933,3
19.307,4
13.631,4
14.279,4
RK
2
5
1
4
3
RK (ranking) ditentukan berdasarkan nilai ETD yang menunjukkan urutan aksi mitigasi paling efektif dan memungkinkan untuk diimplementasikan berdasarkan sudut pandang petani. Angka 1 menunjukkan aksi paling efektif dan memungkinkan, sedangkan angka 5 (nilai ETD terkecil) berarti aksi tidak terlalu berpengaruh dan cenderung tidak perlu dilakukan. Berikut penjelasannya secara lebih spesifik: 1. Konsolidasi dan pendampingan sistem produksi (P3) Aksi mitigasi yang menjadi prioritas pertama bagi petani adalah konsolidasi dan pendampingan sistem produksi. Hal ini disebabkan petani bawang merah di Kabupaten Brebes belum sepenuhnya melakukan sistem produksi yang tepat dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan. Petani bawang merah hampir 99% tidak menggunakan 92
Analisis Risiko Rantai Nilai
pemupukan dasar seperti pupuk kandang atau kompos sehingga tingkat kesuburan tanah menurun. Selain itu, bibit yang digunakan bukan bibit unggul sehingga rentan terkena serangan hama dan penyakit dan hasil produksi tidak optimal. 2. On farm: teknologi budidaya (shading net) (P1) Penerapan shading net pada budidaya bawang merah dapat mengurangi intensitas pengendalian OPT, mengurangi biaya sarana produksi dan meningkatkan kualitas bawang merah. 3. Pengembangan infrastruktur dan perbaikan sarana logistik (P5) Perbaikan sarana irigasi dan pengairan sangat diperlukan terutama saat musim kemarau berkepanjangan di mana umumnya petani kesulitan untuk penyediaan air. Sarana jalan yang memadai juga perlu diperhatikan mengingat masih banyak jalan yang rusak dan berlubang yang menyebabkan terhambatnya proses distribusi dan penurunan kualitas bawang merah. 4. Tujuan pasar terstruktur, kontrak, kelembagaan, dan pembiayaan (P4) Saat ini, tujuan pasar hampir seluruh petani bawang merah adalah pasar tradisional melalui penebas dan belum berbasis kontrak dengan pasar terstruktur. Selama ini, yang melakukan kesepakatan kontrak adalah pedagang pengirim dengan alasan produksi tidak menentu. Sistem penjualan masih bersifat perorangan karena petani umumnya belum tergabung dalam kelompok tani atau gapoktan, terutama yang penguasaan lahannya maksimal 0,2 ha, dengan alasan: a. Anggapan bahwa kelompok tani hanya untuk petani menengah ke atas dengan penguasaan lahan lebih dari 0,2 ha karena memiliki cukup modal untuk mengikuti instruksi yang diberikan penyuluh. b. Tidak pernah diajak berembuk dan tidak cukup modal untuk membayar iuran yang diwajibkan oleh kelompok tani. 5. Off farm: pengembangan rumah kemas (packing house) (P2) Pengembangan packing house tidak menjadi aksi prioritas mengingat petani hampir t idak pernah melakukan kegiatan panen dan pascapanen. Kecuali saat gagal panen, petani melakukan pemanenan sendiri untuk dijual sebagai bibit bawang merah agar dapat meminimalisir kerugian. 6.3 Analisis Risiko Rantai Nilai Cabai Merah Analisis risiko rantai nilai cabai merah dibagi berdasarkan tujuan pasar, yaitu risiko pada pemasok cabai industri dan pemasok pasar tradisional. Pelaku rantai nilai cabai industri adalah Koperasi Jasa Agribisnis (KOJA), kelompok tani dan petani cabai industri. Sedangkan pelaku rantai nilai cabai tujuan pasar tradisional adalah STA (Sub-Terminal Agribisnis), pedagang besar dan petani tradisonal.
93
Analisis Risiko Rantai Nilai
6.3.1 Analisis Risiko Pelaku Pemasok Cabai Industri 6.3.1.1. Analisis Risiko Tingkat Supplier Cabai Industri (KOJA) 1. Identifikasi Risiko Tingkat Supplier Cabai Industri (KOJA) Terdapat 26 risiko yang mungkin terjadi pada supplier (KOJA) dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Risiko yang dianggap berdampak besar terdapat pada kegiatan perencanaan, yaitu tidak diterapkannya pola tanam yang telah ditetapkan oleh petani kontrak. Di sisi lain, kesalahan pencatatan saat proses distribusi sangat berpengaruh pada para petani karena pembayaran yang tertunda, sehingga petani tidak dapat membayar cicilan pinjaman maupun melakukan produksi di musim selanjutnya.
Terdapat tujuh risk agent (sumber/
agen risiko) yang menjadi penyebab terjadinya risk event. Salah satu yang memiliki tingkat kemunculan tertinggi adalah perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu. Berdasarkan hasil perhitungan, terdapat 4 sumber risiko yang perlu diprioritaskan diurutkan dari nilai ARP tertinggi, yaitu: 1. Kurangnya komitmen pelaku rantai nilai (A2) Terdapat suatu kondisi saat petani yang telah dikontrak tidak mengikuti alur kerja yang diterapkan koperasi. Sumber risiko ini mempengaruhi 5 risiko lainnya yang berkorelasi t inggi, yaitu E5 (perencanaan pola tanam yang sudah ditentukan tidak dilakukan oleh petani), E12 (jumlah pasokan cabai dari petani berfluktuasi), E14 (pembayaran dari buyer terlambat), E15 (petani menjual sebagian hasil panen langsung ke pasar), E20 (ketidakmampuan memenuhi permintaan buyer). Risiko paling signifikan adalah terlambatnya pembayaran dari buyer sehingga mempengaruhi aktivitas bisnis KOJA dengan pelaku rantai nilai cabai lainnya. 2. Keterbatasan akses permodalan (A4) Sumber risiko ini menjadi prioritas karena mempengaruhi 7 risiko yang muncul yaitu E4 (prediksi hasil panen yang dibuat tidak sesuai perencanaan), E5 (perencanaan pola tanam yang sudah ditentukan tidak dilakukan oleh petani), E7 (kekurangan modal), E12 ( jumlah pasokan cabai dari petani berfluktuasi), E20 (ketidakmampuan memenuhi p ermintaan buyer) , E22 (ketersediaan alat untuk mengangkut), E24 (kesalahan pencatatan k euangan). Pengaruh yang paling signifikan adalah ketersediaan modal saat akan tanam belum tersedia, sehingga proses produksi selanjutnya terhambat. 3. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu (A3) Mempengaruhi 5 risiko lainnya yang berkorelasi tinggi, yaitu
E1 (harga jual yang
fluktuatif menentukan harga kontrak), E4 (prediksi hasil panen yang dibuat tidak sesuai perencanaan), E5 (perencanaan pola tanam yang sudah ditentukan tidak dilakukan oleh petani), E6 (kualitas cabai rendah), E12 (jumlah pasokan cabai dari petani berfluktuasi) dan pengaruh yang paling signifikan bagi KOJA adalah jumlah pasokan cabai dari petani berfluktuasi sehingga kontinuitas produk cabai tidak terjamin.
94
Analisis Risiko Rantai Nilai
4. Pola komunikasi yang kurang terjaga antara KOJA, petani dan buyer (A1) Mempengaruhi 4 risiko lainnya yang berkorelasi tinggi, yaitu E2 (negosiasi harga kontrak gagal dengan pihak petani atau buyer), E9 (penggunaan agroinput tidak sesuai SOP), E14 (pembayaran dari buyer terlambat), E24 (kesalahan pencatatan keuangan). Negosiasi h arga kontrak gagal dengan pihak petani atau buyer adalah risiko yang cukup berpengaruh baik bagi KOJA maupun petani. 2. Aksi Mitigasi Risiko pada Tingkat Supplier-KOJA (Koperasi Jasa Agribisnis) Terdapat 4 (empat) agen risiko yang menjadi prioritas pada tingkat supplier dan 3 (tiga) aksi mitigasi untuk setiap agen risiko pada supplier industri. Aksi mitigasi dapat mencegah b eberapa agen risiko prioritas pada supplier. Tabel 42 mencantumkan daftar agen risiko prioritas dan aksi mitigasi yang dapat dilakukan di tingkat supplier-KOJA tujuan pasar industri. Tabel 42. Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi yang Dapat Dilakukan KOJA Risk Agent
Kode Risiko A2
Komitmen pelaku rantai pasok
Aksi Mitigasi
Kode Mitigasi
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
A4
Keterbatasan akses permodalan
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
A3
Perubahan iklim dan cuaca tidak menentu
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
A1
Kurangnya komunikasi antara KOJA, petani dan buyer
Tabel 43. Analisis House Of Risk 2 di Tingkat KOJA Risk mitigation
P1
P2
P3
ARP
1
9
9
4680
9
3
4123
9
9
3825
Risk Agent A1 A2 A3
9
A4
9
2754
Te
39105
138438
88914
Dk
H(5)
M(4)
M(4)
ETD
7821
34609.5
22228.5
RK
3
1
2
Hasil perhitungan HOR 2 menunjukkan urutan aksi mitigasi (P) yang paling efektif dan memungkinkan dilakukan di wilayah Ciamis berdasarkan sudut pandang KOJA yaitu: 95
Analisis Risiko Rantai Nilai
1) Lembaga yang berfungsi sebagai pihak konsolidator (P2) KOJA harus menjadi konsolidator para pelaku rantai nilai, melakukan pendampingan sistem produksi kepada petani, serta memfasilitasi akses pembiayaan kepada petani. D engan demikian, KOJA perlu melakukan perbaikan manajemen kelembagaan sehingga dapat memfasilitasi kebutuhan petani baik dalam hal pendampingan budidaya, p enjaminan pasar dan pembiayaan. 2) Tujuan pasar terstruktur dan kontrak (P3) KOJA telah memiliki pengalaman memasok cabai merah ke pasar terstruktur yaitu PT. Heinz ABC melalui sistem kontrak. Penerapan sistem kontrak diharapkan dapat m eningkatkan komitmen dan tanggung jawab petani untuk menjual cabainya ke KOJA. 3) Penerapan teknologi on farm (rainshelter) dan teknologi off farm berupa pengembangan rumah kemas (P1) Aksi mitigasi ini menjadi prioritas terakhir karena penerapan teknologi rainshelter memerlukan pengetahuan dan biaya cukup tinggi sehingga masih menjadi kendala bagi KOJA. Padahal, pengadaan rainshelter dalam penerapan teknologi on farm dapat mengurangi risiko ketidakstabilan volume produksi cabai yang disebabkan cuaca yang tidak menentu. Selain itu, pengadaan rainshelter bagi petani mitra dapat memberikan keuntungan/pemasukan bagi KOJA melalui sistem sewa. Saat ini telah terdapat r umah kemas (home packaging) di KOJA untuk kegiatan sortir dan pengemasan cabai ke krat angkut. Dengan demikian, KOJA hanya perlu melakukan pengadaan infrastruktur r ainshelter. 6.3.1.2. Analisis Risiko Tingkat Kelompok Tani 1. Identifikasi Risiko pada Tingkat Kelompok Tani Terdapat 8 risiko yang mungkin dialami kelompok tani. Namun berdasarkan perhitungan ARP menggunakan HOR, terdapat 2 sumber risiko yang perlu diprioritaskan, yaitu (diurutkan dari nilai ARP tertinggi): 1. Komitmen anggota tani (A1): Mempengaruhi 5 risiko lain yang berkorelasi tinggi, yaitu E1 (kumpul rutin tidak d iikuti seluruh anggota), E2 (anggota tani tidak mengikuti pola tanam yang dijadwalkan), E3 (anggota tani menjual sebagian hasil panennya ke pasar berbeda), E7 (petani tidak melaporkan jumlah produksi dan penjualan), E8 (anggota tani macet dalam pembayaran pinjaman). Risiko paling signifikan adalah apabila petani anggota menunggak pembayaran pinjaman, sehingga mempengaruhi anggota lainnya. 2. Ketidakjelasan pengelolaan Kelompok Tani (A4) Mempengaruhi 2 risiko lainnya yang berkorelasi tinggi, yaitu E1 (kumpul rutin tidak diikuti seluruh anggota) dan E8 (anggota tani macet dalam pembayaran pinjaman). Risiko paling signifikan adalah jika ada petani yang menunggak pembayaran sehingga membebani anggota lainnya. Hal ini disebabkan hasil panen tidak sesuai prediksi akibat tidak m ematuhi SOP yang ada.
96
Analisis Risiko Rantai Nilai
2. Aksi Mitigasi Risiko pada Tingkat Kelompok Tani Terdapat tiga aksi mitigasi untuk semua pelaku rantai nilai cabai merah di Kabupaten Ciamis yaitu: penerapan teknologi on farm rainshelter dan teknologi off farm rumah kemas (P1), konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, dan pembiayaan (P2), serta pasar terstruktur/kontrak (P3). Pelaku rantai nilai cabai merah terbagi ke dalam dua rantai, yaitu pasar terstruktur dan pasar tradisional. Tabel 44. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi yang Dapat Dilakukan oleh Kelompok Tani Kode Risiko
Sumber Risiko
Kode Mitigasi
Aksi Mitigasi
A1
Komitmen anggota tani
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
A4
Ketidakjelasan pengelolaan kelompok tani
Konsolidator, Pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Tabel 45. Analisis House Of Risk 2 di Tingkat Kelompok Tani Risk mitigation
P1
P2
P3
ARP
A1
3
9
9
1080
A4
1
9
1
784
Te
4024
16776
10504
Dk
H (5)
M (4)
M(4)
ETD
804.8
3355.2
2626
RK
3
1
2
Risk Agent
Berdasarkan hasil perhitungan HOR 2 pada Tabel 46, prioritas aksi mitigasi risiko yang dapat dilakukan oleh kelompok tani di antaranya: 1) Kelompok tani sebagai konsolidator (P2) Kelompok tani melakukan konsolidasi, pendampingan sistem produksi dan m embantu mengelola pembiayaan anggota taninya. Meskipun para petani KOJA sudah terbiasa berkelompok, namun baru sebatas memenuhi kewajiban pembentukan lembaga untuk mendapatkan pembiayaan dan belum berfungsi sebagaimana mestinya. Risiko utama yang terjadi pada kelompok tani adalah kurangnya komitmen anggota untuk menjual h asil panen ke KOJA dan ketidakjelasan pengelolaan kelompok tani. Kedua risiko tersebut dapat diatasi dengan perbaikan pengelolaan kelompok tani untuk mencapai tujuan b ersama. 2) Tujuan pasar terstruktur berbasis kontrak (P3) Meskipun tidak berperan aktif dalam penentuan kontrak antara petani dengan KOJA, kelompok tani mitra KOJA dapat berperan aktif sebagai penghubung informasi antara KOJA dengan anggota tani, misalnya dalam hal penguatan komitmen anggota tani agar menjual hasil panennya ke KOJA.
97
Analisis Risiko Rantai Nilai
3) Penerapan teknologi on farm rainshelter dan teknologi off farm rumah kemas (P1) Penerapan rainshelter dilakukan langsung oleh petani dan bukan oleh kelompok tani. K eterbatasan keuangan membuat kelompok tani kesulitan menyediakan fasilitas rainshelter. Selain itu, teknologi rumah kemas belum tersedia di kelompok tani, karena umumnya penyortiran cabai merah dari kebun dilakukan di rumah petani, termasuk Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) cabai sebelum diangkut ke KOJA. Hal ini disebabkan tingginya biaya untuk membuat tempat rumah kemas. 6.3.1.3. Analisis Risiko Tingkat Petani Cabai Industri 1. Identifikasi Risiko pada Tingkat Petani Cabai Industri Terdapat 20 risiko yang mungkin dialami petani cabai untuk industri (PT. Heinz ABC) yang berasal dari 9 sumber risiko. Berdasarkan perhitungan ARP dengan metode HOR, terdapat 4 sumber risiko yang perlu diprioritaskan, diurutkan dari nilai ARP tertinggi yaitu: 1. Perubahan cuaca yang tidak menentu (A2) Paling berpengaruh terhadap risiko gagal panen, karena mengakibatkan petani tidak mendapat pemasukan untuk biaya hidup dan melanjutkan usahatani. 2. Keterbatasan permodalan (A6) Paling berpengaruh terhadap risiko tidak dapat menggarap lahan sesuai ketentuan kontrak. 3. Ketidakjelasan SOP (A1) Mempengaruhi 3 risiko lainnya yang berkorelasi tinggi, yaitu: pelaksanaan budidaya, penggunaan agroinput yang tidak sesuai SOP, yang dapat mengakibatkan risiko gagal panen. 4. Fluktuasi harga (A4 ) Mempengaruhi komitmen petani dalam penjualan cabai. Pada saat harga tinggi, petani sering menjual hasil panen ke pedagang lain. Keinginan ini diperkuat saat pembayaran dari buyer (PT Heinz ABC) terlambat sehingga petani terpaksa menjual hasil panennya meskipun harga normal/rendah. 5. Terlambatnya pembayaran dari buyer (PT Heinz ABC) (A8) Sangat mempengaruhi kelancaran pembayaran angsuran pinjaman kepada bank (E3) dan pembiayaan budidaya selanjutnya (E9). 2. Aksi Mitigasi Risiko pada Tingkat Petani Cabai Industri Terdapat tiga aksi mitigasi pada tingkat petani produsen, yaitu: penerapan teknologi on farm rainshelter dan teknologi off farm rumah kemas; konsolidator, pendampingan sistem p roduksi, kelembagaan, dan pembiayaan; serta pasar terstruktur berbasis kontrak. Pelaku rantai nilai cabai merah terbagi dalam dua rantai yaitu pasar terstruktur dan pasar tradisional.
98
Analisis Risiko Rantai Nilai
Tabel 46. Daftar Agen Risiko Prioritas Dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan Oleh Petani Cabai Industri Agent Risk
Kode Risiko A2
Aksi Mitigasi
Perubahan cuaca yang tidak menentu
A6
Keterbatasan permodalan
Kode Mitigasi
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
A1
Ketidakjelasan SOP
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
A4
Harga Fluktuasi
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
A8
Waktu pembayaran dari KOJA ke petani
Tabel 47. Analisis House Of Risk 2 di Tingkat Petani Cabai Industri Risk Mitigation
P1
P2
9
9
P3
ARP
Risk Agent A2 A6
9
A1
9
A4
4932 1
2160
3
9
Te
49443
Dk
H(5)
L (3)
L (3)
ETD
9888.6
45747
7212.33
RK
2
1
3
A8
4896
9
1685
9
1
1576
137241
21637
Berdasarkan perhitungan HOR 2 di atas, aksi mitigasi yang menjadi prioritas bagi petani adalah: 1) Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan dan pembiayaan (P2) Untuk mengatasi risiko seperti perubahan iklim dan cuaca yang dapat mempengaruhi fluktuasi produksi, petani membutuhkan pendampingan budidaya terutama saat musim hujan tiba karena peluang terkena hama penyakit untuk cabai sangat tinggi. Selain itu, mengingat petani mitra KOJA sudah pernah mendapatkan pembiayaan, maka petani sebaiknya bekerja sama dengan kelompok tani untuk menjual hasil panen ke KOJA. Dengan demikian, seluruh pelaku rantai pasok yaitu: petani, kelompok tani, KOJA, dan PT Heinz ABC akan mendapatkan keuntungan. Selain kestabilan harga cabai, petani juga akan diuntungkan karena dapat memperoleh pembiayaan untuk meringankan beban biaya produksi.
99
Analisis Risiko Rantai Nilai
2) Penerapan teknologi on farm rainshelter dan off farm rumah kemas (P1) Perubahan iklim dan cuaca merupakan risiko utama bagi petani, karena dapat b erdampak pada volume dan kualitas cabai merah yang dihasilkan untuk pasar industri (PT Heinz ABC). Jika tidak sesuai spesifikasi permintaan PT. Heinz ABC, risiko terbesar yang mungkin terjadi adalah penolakan cabai merah yang dikirim (reject). Solusi permasalahan ini adalah dengan penerapan teknologi on farm rainshelter bagi tanaman cabai petani. B erdasarkan hasil p erhitungan HOR 2, penerapannya masih sangat sulit mengingat biaya yang dibutuhkan untuk membuat rainshelter sangat besar. Namun demikian, petani sangat setuju m enggunakan teknologi rainshelter. Mereka mengharapkan adanya lembaga yang memfasilitasi pengadaan rainshelter meskipun dengan sistem kredit. 3) Pasar terstruktur dan kontrak (P3) Petani mitra KOJA telah terbiasa melakukan kontrak untuk menjual hasil panen ke KOJA sebagai pasokan bagi PT. Heinz ABC dengan harga tetap (Rp8.000/kg). Berdasarkan hasil perhitungan HOR 2 pada pelaku rantai nilai pasar terstruktur (petani–kelompok tani– KOJA), dapat disimpulkan bahwa prioritas utama aksi mitigasi risiko ketiga pelaku tersebut adalah perlunya perbaikan manajemen KOJA (penegasan badan hukum KOJA) sehingga dapat menyamakan persepsi antara KOJA dengan petani mitra. Selain penegasan badan hukum, KOJA juga harus menjadi lembaga yang mampu memfasilitasi kebutuhan petani mitra dalam hal pendampingan sistem produksi, pengadaan saprodi, sewa rainshelter, akses pembiayaan dan lain-lain yang dibutuhkan petani. Perbaikan manajemen KOJA diharapkan dapat berdampak pada perbaikan pengelolaan kelompok tani sehingga petani mitra berkomitmen menyalurkan hasil panennya ke KOJA. 6.3.2. Analisis Risiko Pemasok Pasar Tradisional 6.3.2.1. Analisis Risiko Tingkat STA (Sub-Terminal Agribisnis) 1. Identifikasi Risiko Tingkat STA Berdasarkan perhitungan ARP dengan menggunakan HOR, terdapat 4 sumber risiko prioritas berdasarkan urutan nilai ARP tertinggi: 1. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu (A4) Berpengaruh pada risiko fluktuasi harga jual, kekurangan modal, fluktuasi jumlah pasokan dari petani, dan ketidakmampuan memenuhi volume kebutuhan pasar sesuai permintaan buyer. 2. Kekurangan SDM pelaku STA (A2) Berpengaruh pada kurangnya modal dan tidak terjualnya hasil panen cabai petani ke pasar karena hanya beberapa pelaku STA yang terlibat aktif. 3. Munculnya bandar dadakan saat harga cabai tinggi (A7) Berpengaruh pada perilaku petani yang menjual sebagian hasil panen langsung ke pasar. 4. Jumlah pasokan cabai dari berbagai daerah tidak dapat diprediksi (A1) Berpengaruh pada harga jual yang fluktuatif. 100
Analisis Risiko Rantai Nilai
2. Aksi Mitigasi Risiko pada Tingkat STA (Sub-Terminal Agribisnis) Terdapat tiga aksi mitigasi pada tingkat STA, yaitu penerapan teknologi on farm rainshelter dan teknologi off farm rumah kemas; konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, dan pembiayaan; serta pasar terstruktur/kontrak. Tabel 48. Daftar Agen Risiko Prioritas Dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan Oleh STA Kode Risiko A4
Sumber Risiko Perubahan iklim dan cuaca tidak menentu
Aksi Mitigasi
Kode Mitigasi
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan Kontrak
P3
A2
Kekurangan SDM pelaku STA
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
A7
Bermunculan bandar dadakan saat harga cabai tinggi
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan Kontrak
P3
A1
Jumlah pasokan cabai dari berbagai daerah tidak dapat diprediksi
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan Kontrak
P3
Tabel 49. Analisis House Of Risk 2 di Tingkat STA Risk mitigation
P1
P2
P3
ARP
9
9
1
2628
Risk Agent A4 A2
3
1456
A7
9
9
1260
A1
1
9
1176
Te
23652
40536
24552
Dk
H (5)
M (4)
H (5)
ETD
4730.4
10134
4910.4
RK
3
1
2
Berdasarkan hasil perhitungan HOR 2 untuk STA Kabupaten Ciamis, diperoleh beberapa prioritas aksi mitigasi risiko diurutkan sebagai berikut: 1) STA sebagai lembaga konsolidator bagi petani mitra (P2) STA harus melakukan pendampingan sistem produksi serta memfasilitasi pembiayaan bagi petani mitra. Aksi mitigasi ini menjadi prioritas pertama mengingat STA merupakan suatu lembaga yang telah memiliki pengurus. Namun, perlu dilakukan evaluasi kepengurusan yang telah ada agar fungsi dan peran STA tetap berjalan dan dapat membantu petani. Dengan demikian petani mitra akan loyal menjual panennya ke STA.
101
Analisis Risiko Rantai Nilai
2) Pengembangan pasar terstruktur dan kontrak (P3) STA sudah pernah melakukan kontrak dan mengirim cabai merah ke pasar terstruktur (supplier), tetapi kemudian beralih ke pasar tradisional yang dirasa lebih menguntungkan petani. Meskipun harga cabai merah di pasar tradisional sering tidak stabil (berfluktuasi), tetapi pencairan pembayaran lebih cepat sehingga sistem ini lebih disukai oleh petani mitra STA. 3) Penerapan pengadaan teknologi on farm rainshelter dan rumah kemas (P1) Penerapan teknologi rainshelter masih sangat sulit mengingat biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan rainshelter cukup besar. Meskipun perubahan cuaca dapat menyebabkan hasil panen tidak stabil dan berimbas terhadap volume pengiriman cabai merah ke pasar, STA masih terbantu dengan pengiriman jenis sayuran ke pasar yang sama. Oleh karena itu, pengadaan rainshelter belum menjadi prioritas bagi STA, kecuali prioritas aksi mitigasi pertama telah dilakukan. 6.3.2.2. Analisis Risiko Rantai Nilai pada Tingkat Pedagang Besar 1. Identifikasi Risiko pada Tingkat Pedagang Besar Berdasarkan perhitungan ARP menggunakan HOR, terdapat 4 sumber risiko yang perlu diprioritaskan, diurutkan dari nilai ARP tertinggi: 1. Keterbatasan akses permodalan (A5) Paling berpengaruh terhadap risiko kekurangan modal, karena tanpa modal petani tidak akan memproduksi cabai sehingga tidak dapai menyuplai ke pedagang besar. 2. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu (A4) Berpengaruh paling signifikan terhadap risiko harga jual yang fluktuatif. 3. Komitmen pelaku rantai pasok (A3) Berpengaruh paling signifikan terhadap ketidakmampuan memenuhi permintaan pasar. 4. Munculnya bandar dadakan saat harga cabai tinggi (A7) Berpengaruh paling signifikan terhadap harga jual yang fluktuatif. 2. Aksi Mitigasi Risiko pada Tingkat Pedagang Besar Terdapat tiga aksi mitigasi pada tingkat pedagang besar, yaitu penerapan teknologi on farm rainshelter dan teknologi off farm rumah kemas; konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, dan pembiayaan; serta pasar terstruktur/kontrak. Tabel 50. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan Oleh Pedagang Besar Kode Risiko A5
102
Sumber Risiko Keterbatasan akses permodalan
Aksi Mitigasi
Kode Mitigasi
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Analisis Risiko Rantai Nilai
Kode Risiko
Sumber Risiko
A4
Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu
Aksi Mitigasi
Kode Mitigasi
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
Komitmen pelaku rantai On farm: teknologi rainshelter pasok Off farm: pengembangan rumah kemas
A3
A7
Munculnya bandar dadakan saat harga cabai tinggi
P1
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Tabel 51. Analisis House Of Risk 2 di Tingkat Pedagang Besar Risk Mitigation
P1
P2
P3
ARP
9
9
2296
Risk Agent A5 A4
9
9
A3
3
9
1
1050
9
9
987
A7
1962
Te
20808
56655
30597
Dk
H (5)
M (4)
H(5)
ETD
4161.6
14163.75
6119.4
RK
3
1
2
Berdasarkan hasil perhitungan HOR 2, beberapa prioritas aksi mitigasi risiko di antaranya: 1) Pedagang besar melakukan konsolidator dengan petani mitra (P2) Kelembagaan pedagang besar dengan petani masih bersifat informal karena didasarkan kontrak tidak tertulis. Hubungan ini lebih tepat bersifat timbal balik, di mana pedagang memberikan pinjaman modal kepada petani, dan petani harus menjual cabainya ke pedagang tersebut. Namun, kelembagaan informal yang dibangun oleh pedagang besar tidak diikuti dengan pendampingan kepada petani. Oleh karena itu, langkah mitigasi yang perlu dilakukan adalah membentuk kelembagaan yang dapat memperkuat loyalitas petani. Selain pemberian pinjaman, pedagang besar juga harus melakukan pendampingan, baik dari sisi budidaya maupun pencatatan keuangan. 2) Pengembangan pasar terstruktur berbasis kontrak (P3) Pedagang besar atau tengkulak belum terbiasa memasarkan cabai merahnya ke pasar terstruktur. Umumnya mereka memasarkan cabai merah ke pasar induk karena waktu pencairan pembayaran dari pedagang di lapak pasar induk tidak lama (2-7 hari). Apabila diarahkan menuju pasar terstruktur, aksi mitigasi P2 harus dilakukan terlebih dahulu agar pengelolaan kelembagaan lebih teratur dan sistematis. 3) Penerapan pengadaan rainshelter dan rumah kemas (P1) Kendala terbesar bagi pedagang/tengkulak jika aksi mitigasi ini dilakukan adalah biaya 103
Analisis Risiko Rantai Nilai
pengadaannya yang cukup besar. Mengingat pedagang/tengkulak hanya sanggup memberikan pinjaman permodalan, mereka tidak tertarik dengan pengadaan rainshelter. Jika petani mitra ingin menggunakan teknologi tersebut, biaya pengadaan harus ditanggung petani. 6.3.2.3. Analisis Risiko Tingkat Petani Cabai Pasar Tradisional 1. Identifikasi Risiko Tingkat Petani Cabai Pasar Tradisional Berdasarkan perhitungan ARP menggunakan HOR, terdapat 4 sumber risiko yang perlu diprioritaskan, diurutkan dari nilai ARP tertinggi:
1. Keterbatasan akses permodalan (A6) Berpengaruh paling signifikan terhadap risiko gagal panen karena dapat mengakibatkan petani tidak mendapat pemasukan untuk biaya hidup dan melanjutkan usahatani.
2. Perubahan cuaca yang tidak menentu (A1) Berpengaruh paling signifikan terhadap risiko keterbatasan fasilitas produksi.
3. Keterbatasan fasilitas produksi (A7) Berpengaruh paling signifikan terhadap risiko terlambatnya pengadaan sarana produksi sehingga berdampak pada keterlambatan proses produksi selanjutnya.
4. Tingkat keahlian TK/buruh (A4): kurang teliti dalam pascapanen. 2. Aksi Mitigasi Risiko Tingkat Petani Cabai Pasar Tradisional Terdapat tiga aksi mitigasi pada tingkat petani cabai pasar tradisional, yaitu penerapan teknologi on-farm rainshelter dan teknologi off-farm rumah kemas; konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, dan pembiayaan; dan pasar terstruktur kontrak. Tabel 52. Daftar Agen Risiko Prioritas dan Aksi Mitigasi Yang Dapat Dilakukan Oleh Petani Tradisional Kode Risiko
Sumber Risiko
A6
Keterbatasan akses permodalan
A1
104
Perubahan cuaca yang tidak menentu
A7
Keterbatasan fasilitas produksi
A4
Tingkat keahlian TK/buruh
Aksi Mitigasi
Kode Mitigasi
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
On farm: teknologi rainshelter Off farm: pengembangan rumah kemas
P1
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Tujuan pasar terstruktur dan kontrak
P3
Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan, pembiayaan
P2
Analisis Risiko Rantai Nilai
Tabel 53. Analisis House Of Risk 2 di Tingkat Petani Tradisional Risk mitigation
P1
P2
P3
ARP
9
1
5136
Risk Agent A6 A1
9
3
A7
9
A4
9
3357 1
2160 1722
Te
30213
91233
7296
Dk
H (5)
M (4)
M(4)
ETD
6042.6
22808.25
1824
RK
2
1
3
Berdasarkan hasil perhitungan HOR 2, urutan aksi mitigasi risiko yang yang paling efektif dan paling memungkinkan untuk dilakukan di tingkat petani tradisional adalah: 1) Konsolidator, pendampingan sistem produksi, kelembagaan dan pembiayaan (P2) Langkah awal mitigasi risiko yang dapat dilakukan oleh petani cabai merah tradisional adalah dengan membentuk suatu kelompok. Meskipun petani telah bergabung dalam kelompok tani, tetapi hanya sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal, fungsi kelompok tani sangat penting, karena dapat menjadi sarana pertukaran informasi baik budidaya maupun pengelolaan keuangan. Petani tradisional umumnya jarang melakukan pencatatan keuangan karena sebagian besar waktu mereka banyak dihabiskan di kebun. Oleh karena itu, petani tradisional perlu mendapatkan p endampingan dari kelompok tani agar mau bekerja sama untuk kemajuan bersama. 2) Aplikasi teknologi on farm rainshelter dan off farm rumah kemas (P1) Risiko hama penyakit tanaman akibat perubahan cuaca dan iklim menyebabkan volume produksi dan kualitas cabai tidak stabil. Salah satu solusi adalah dengan penerapan teknologi rainshelter. Meskipun mendukung, keterbatasan modal petani menyebabkan sulitnya penerapan teknologi tersebut, kecuali ada lembaga yang menyediakan r ainshelter dan menyewakannya untuk petani. Pengembangan teknologi off farm rumah kemas belum diterapkan petani karena selama ini proses sortir cabai merah langsung dilakukan di kebun. 3) Pengembangan pasar terstruktur dan kontrak (P3) Hambatan yang dialami petani tradisional untuk mengirim pasokan ke pasar terstruktur adalah waktu pembayaran cukup lama (kurang lebih satu bulan). Selain itu, spesifikasi produksi pasar terstruktur sangat tinggi (misalnya: warna merah 100%, mulus dan varietas cabai ditentukan). Spesifikasi permintaan yang terlalu rumit menyebabkan petani tidak tertarik untuk mengirim cabainya ke pasar terstruktur. Jika mengikuti ketentuan pasar terstruktur tersebut, volume panen cabai petani yang dapat diterima hanya sedikit dan selebihnya menjadi barang reject. Harganya juga dibedakan tergantung grade. Namun, jika dikirim ke pasar tradisional, volume cabai merah yang dipanen petani dapat terjual seluruhnya di pasar. Menurut petani, hal ini lebih efisien dari sisi ongkos kirimnya. Apabila petani mengirim cabai merah ke pasar terstruktur, aksi mitigasi pertama dan kedua harus 105
Analisis Risiko Rantai Nilai
dilaksanakan terlebih dahulu. Dengan demikian, akan ada lembaga yang bertanggung jawab memfasilitasi akses pembiayaan, akses pasar terstruktur serta sewa rainshelter yang dapat meminimalisir risiko perubahan cuaca.
106
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Bab VII Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian 7.1.
Diagram Umpan Balik (Causal Loop Diagram)
Gap pesanan dan produksi
Kebutuhan untuk + meningkatkan kapasitas produksi
+ + Produksi + -
+
+
Kebutuhan pembiayaan rantai pasok
Kebutuhan kredit perdagangan +
Kemampuan produksi
rantai pasok
R2
+ R3
+ Piutang Pedagang
+
R1
pembiayaan rantai pasok
Kemampuan membayar hutang dari pasar terstruktur
+
+
+ Pemenuhan pesanan dari pasar terstruktur
Pembayaran pasar + terstruktur ke petani + Kemampuan membayar
Kesediaan pasar terstruktur menjadi off-taker pembiayaan
Pesanan produk
Pasokan produk untuk pasar terstruktur Piutang petani
+
+
Aktivitas pengolahan produk
+
Pengajuan pembiayaan rantai pasok
Persetujuan pembiayaan rantai pasok +
B3
+ kebutuhan pembiayaan investasi teknologi
Pesanan produk ke petani +
+ kebutuhan teknologi + + untuk mengatasi gangguan Produk sampingan + + gangguan produksi Produk kualitas Kecukupan kas petani pasar terstruktur + + B1 Pembiayaan B2
+
+
penggunaan Persediaan gabah teknologi + investasi teknologi
+
+
Ketertarikan pasar terstruktur sebagai off-taker pembiayaan
+ Kinerja bisnis pasar terstruktur
+ Tingkat pemenuhan pesan pasar terstruktur
+ Kepercayaan pasar terstruktur ke pemasok
+
Gambar 28. Model Pembiayaan Pertanian Model pembiayaan pertanian merupakan suatu sistem, di mana di dalamnya terdapat struktur yang terdiri dari berbagai unsur yang saling terkait satu dengan lainnya (Gambar 28). Struktur tersebut terdiri dari beberapa subsistem, yaitu: a) subsistem keterkaitan produksi, pasar dan keuangan b) subsistem keterkaitan kinerja pasar dan pembiayaan petani c) subsistem kemampuan membayar petani d) subsistem pembiayaan produksi e) subsistem pembiayaan teknologi f) subsistem pembiayaan perdagangan g) subsistem pasar sebagai off-taker
107
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Subsistem Keterkaitan Produksi, Pasar dan Keuangan Keterkaitan antara produksi, pasar dan keuangan yang ada pada petani membentuk umpan balik (feedback) negatif B1, artinya subsistem tersebut merupakan penyeimbang dari subsistem kinerja pasar dan pembiayaan petani yang bersifat umpan balik positif (R1). Produksi yang dihasilkan oleh petani akan menambah jumlah persediaan produk sehingga terjadi proses pengolahan produk. Pengolahan yang dilakukan berupa pengurangan kadar air (bawang merah) dan sortasi (cabai merah) karena untuk konsumsi segar (fresh product). Pada komoditas beras, pengolahan produk dilakukan melalui transformasi bentuk dari gabah menjadi beras. Produk hasil olahan selanjutnya dijual untuk memenuhi pasokan produk pasar terstruktur. Pembayaran yang dilakukan pedagang di pasar terstruktur pada umumnya tidak tunai, tetapi secara tunda dengan kurun waktu 5-20 hari sejak terjadi transaksi. Akibatnya, jumlah piutang petani bertambah sehingga mengurangi kecukupan kas atau modal petani untuk kembali berproduksi. Apabila dibiarkan, piutang yang semakin besar akan mengurangi kemampuan petani untuk berproduksi.
+ Persediaan Produk
Produksi +
+ Aktivitas pengolahan Produk
Kemampuan produksi B1
+
+ Produk kualitas pasar terstruktur
Kecukupan kas petani
+
-
Pasokan Produk untuk pasar terstruktur
Piutang petani +
Piutang Pedagang Produk
+
Gambar 29. Keterkaitan Produksi, Pasar dan Keuangan Sistem pasar terstruktur tidak meningkatkan kemampuan petani untuk berproduksi karena menggunakan sistem pembayaran tunda, berbeda dengan sistem pemasaran konvensional dengan pembayaran tunai pada saat transaksi. Keterbatasan kemampuan pedagang untuk membayar sering kali menjadi kendala, karena aliran keuangan (cash flow) pelaku usaha pasar terstruktur 108
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
sangat bergantung kepada pelaku lain yang berada di hilir. Akibatnya, pedagang pasar terstruktur melakukan penundaan pembayaran kepada petani. Subsistem Keterkaitan Kinerja Pasar dan Pembiayaan Petani Waktu pembayaran merupakan salah satu elemen penting dalam menilai kinerja suatu pasar. Semakin cepat waktu pembayaran, maka akan semakin baik kinerja pasar tersebut karena perputaran/aliran uang akan berjalan lebih cepat (Gambar 30). Pembayaran transaksi yang tertunda merupakan utang bagi para pelaku pasar dan piutang bagi petani.
+ Persediaan Produk
Produksi +
+ Aktivitas pengolahan Produk
Kemampuan produksi +
B1
+ Produk kualitas pasar terstruktur
Kecukupan kas petani -
+ Pasokan Produk untuk pasar terstruktur
Piutang petani
Piutang Pedagang Produk
- +
+ + Pemenuhan pesanan dari pasar terstruktur
Pembayaran pasar terstruktur ke petani
R1
+ Kemampuan membayar hutang dari pasar terstruktur
+
+ Kinerja bisnis pasar terstruktur
Gambar 30. Keterkaitan Kinerja Pasar dan Pembiayaan Petani Pembayaran utang pelaku pasar di hilir akan mengurangi jumlah piutang yang dimiliki petani, sehingga menambah kemampuan petani untuk melakukan aktivitas usahatani di musim berikutnya. Subsistem ini merupakan mesin pertumbuhan bagi keberlangsungan usahatani yang dilakukan petani. Apabila pembayaran tidak berjalan lancar, dapat berdampak pada terhentinya kegiatan usahatani karena petani tidak memiliki biaya (modal). 109
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Subsistem Kemampuan Membayar Petani Selain pembayaran, kecukupan kas petani dapat dipenuhi melalui penambahan sumber dana dari pembiayaan rantai pasok yang terintegrasi antara pelaku di hilir (pedagang) dengan di hulu (petani). Semakin besar kas yang dimiliki petani, semakin baik kemampuan petani membayar angsuran pembiayaan usahatani, sehingga apabila dihubungkan dalam suatu subsistem, kemampuan membayar akan membentuk umpan balik (feedback) positif (Gambar 31).
+ Persediaan Produk
Produksi +
+ Aktivitas pengolahan Produk
Kemampuan produksi +
+ Pembiayaan rantai pasok
Kecukupan kas petani -
+
Persetujuan pembiayaan rantai pasok +
Produk kualitas pasar terstruktur + Pasokan Produk untuk pasar terstruktur
Piutang petani
R2
+
B1
+
+ Piutang Pedagang
+ Kemampuan membayar pembiayaan rantai pasok
Gambar 31. Kemampuan Membayar Petani Subsistem kemampuan membayar petani (R2) akan mengurangi ketidakstabilan akibat sistem pembayaran tunda yang sulit dihindarkan dalam sistem pasar terstruktur (B1). Pembiayaan rantai pasok akan menambah kas petani, sehingga petani dapat berproduksi walaupun belum mendapatkan pembayaran dari pedagang. Agar berjalan dengan baik, sistem pembiayaan harus terintegrasi dalam suatu rantai pasokan dari hilir ke hulu. Subsistem Pembiayaan Produksi Sejalan dengan subsistem kemampuan membayar petani, pembiayaan produksi pertanian akan mendorong pertumbuhan produksi produk pertanian (R3). Keterkaitan pembiayaan rantai pasokan yang terintegrasi antara hulu dan hilir secara operasional berasal dari pemenuhan pesanan atau kepuasan pedagang yang merupakan konsumen petani. Semakin tinggi tingkat kepuasan pedagang karena permintaan terpenuhi, akan menambah tingkat kepercayaan serta jumlah pesanan.
110
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas produksi
+
Gap pesanan dan produksi +
+ Persediaan Produk
Produksi
Pesanan Produk ke petani +
+ +
+
Kebutuhan pembiayaan rantai pasok
Pesanan Produk ke Pedagang
Aktivitas pengolahan produk
Kemampuan produksi +
Produk kualitas pasar terstruktur
Kecukupan kas petani +
+ Pasokan Produk untuk pasar terstruktur
Pembiayaan rantai pasok
+ Pengajuan pembiayaan rantai pasok
+
R3
+
Piutang petani
+
+
Piutang Pedagang
+ + Pemenuhan pesanan dari pasar terstruktur
+
+ Tingkat pemenuhan pesan pasar terstruktur
Persetujuan pembiayaan rantai pasok
+ Kepercayaan pasar terstruktur ke pedagang
Gambar 32. Pembiayaan Produksi Meningkatnya permintaan terhadap produk pertanian mengakibatkan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan untuk petani. Adanya sistem pembiayaan produksi dapat mendorong peningkatan produksi petani pada pasar terstruktur. Selain itu, pembiayaan produksi juga mampu mengatasi piutang petani yang disebabkan oleh sistem pembayaran tunda sehingga mempertahankan kemampuan petani untuk proses produksi berikutnya. Pemenuhan pesanan sebagai bentuk komitmen petani menjadi kunci yang harus dijaga secara konsisten agar sistem ini berjalan dengan baik dan berkesinambungan. Tidak terjaganya komitmen dapat menyebabkan pembiayaan produksi tidak berjalan dengan baik. Fluktuasi harga yang tinggi, terutama pada bawang merah dan cabai merah dapat menurunkan pemenuhan pesanan (service level) kepada para pedagang di hilir. Harga produk yang tinggi (di atas rata-rata) terjadi pada saat produk tidak dijumpai di pasar. Namun, hanya sebagian kecil petani yang menikmati harga tinggi tersebut. Faktor iklim dan cuaca sering menjadi penyebab utama ketersediaan produk pertanian karena produksi sangat bergantung kepada kondisi alam, salah satunya curah hujan dan ketersediaan air. Subsistem Pembiayaan Teknologi Untuk mengatasi faktor alam, diperlukan investasi teknologi agar produksi pertanian dapat dilakukan secara kontinu sehingga harga produk pertanian tidak berfluktuasi secara ekstrim. Gangguan faktor alam yang merupakan gangguan dalam produksi pertanian dapat mengganggu pertumbuhan produksi pertanian yang diharapkan. Pemanfaatan teknologi dapat meningkatkan kepastian produksi walaupun kondisi alam tidak mendukung sehingga menjadi akselerator pertumbuhan produksi pertanian. Namun demikian, diperlukan investasi yang tidak sedikit dalam penerapannya, salah satunya melalui pembiayaan rantai nilai pertanian. 111
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
+ Kebutuhan pembiayaan rantai pasok
Produksi
+
+ -
penggunaan teknologi
R4
Kemampuan produksi +
+ investasi teknologi
gangguan produksi
+ kebutuhan pembiayaan investasi teknologi + kebutuhan teknologi untuk mengatasi gangguan +
Kecukupan kas petani
+ Pengajuan pembiayaan rantai pasok
Pembiayaan rantai pasok
+
+
+ Persetujuan pembiayaan rantai pasok
Gambar 33. Pembiayaan Teknologi Komoditas cabai merah dan bawang merah memiliki risiko lebih tinggi dari aspek budidaya dibanding beras. Akibatnya, investasi teknologi yang diperlukan menjadi lebih besar. Meskipun demikian, kepastian produksi dapat terjaga dengan baik, sehingga ketersediaan produk dapat terjamin. Hal ini sangat penting mengingat cabai merah, bawang merah dan beras merupakan komoditas bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat tanpa mengenal iklim atau cuaca. Subsistem Pembiayaan Perdagangan Ketersediaan produk pertanian dalam rangka penyediaan bahan pangan adalah tujuan utama yang harus dicapai terkait pemenuhan pesanan. Piutang petani yang seharusnya segera dibayar oleh pedagang dialihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain sehingga menjadi bagian dari pembiayaan rantai nilai pertanian. Pihak ketiga tersebut dalam jangka pendek segera membayar kepada petani berdasarkan nilai transaksi yang dilakukan antara petani dan pedagang (Gambar 34). Pola semacam ini menimbulkan umpan balik positif (R2) yang dapat mengakselerasi peningkatan produksi pertanian.
112
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
+ Persediaan Produk
Produksi +
+ Aktivitas pengolahan produk
Kemampuan produksi +
+ Pembiayaan rantai pasok
B1
+ Produk kualitas pasar terstruktur
Kecukupan kas petani -
+ Pasokan Produk untuk pasar terstruktur
+
Piutang petani + R2
Persetujuan pembiayaan rantai pasok
+
+ Piutang Pedagang
Kebutuhan kredit perdagangan +
+ Pengajuan pembiayaan rantai pasok
Kebutuhan pembiayaan rantai pasok +
Gambar 34. Pembiayaan Perdagangan Sistem pembiayaan perdagangan dapat memperkuat upaya meningkatkan produksi pertanian agar mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Apabila digabungkan, sistem pembiayaan perdagangan dapat mempercepat waktu pembayaran kepada petani tanpa harus terkendala sistem keuangan pelaku pasar terstruktur. Subsistem Pasar Sebagai Off-Taker Kepercayaan dalam suatu bisnis merupakan hal paling utama karena terkait dengan komitmen yang dibangun antara pembeli dan penjual. Semakin baik pelayanan (pemenuhan pesanan) yang diberikan produsen, maka ketertarikan pasar sebagai off-taker dari sistem pembiayaan rantai nilai akan semakin besar (lingkar R6 pada Gambar 35). Kepastian pasar yang terbangun mengurangi tingkat risiko sektor pertanian yang selama ini dikenal high risk. Kepastian pasar dapat terwujud antara lain melalui pemanfaatan teknologi produksi, sehingga risiko kegagalan panen dapat ditekan serendah mungkin.
113
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
+ Persediaan Produk
Produksi +
+ Kemampuan produksi
Aktivitas pengolahan Produk
B1
+
+ Produk kualitas pasar terstruktur
Kecukupan kas petani + Pembiayaan rantai pasok +
+ Pasokan produk untuk pasar terstruktur
Piutang petani +
+ Piutang Pedagang
+ Pemenuhan pesanan dari pasar terstruktur
Persetujuan pembiayaan rantai pasok
+ Tingkat pemenuhan pesan pasar terstruktur
R6
+
+ Kesediaan pasar terstruktur menjadi off-taker
+
Ketertarikan pasar terstruktur sebagai off-taker pembiayaan
+
Kepercayaan pasar terstruktur ke pedagang
Gambar 35. Pasar Sebagai Off-Taker Semakin kecil risiko usaha, keberlanjutannya akan lebih terjamin. Pasar terstruktur adalah offtaker yang memiliki peran besar dalam mewujudkan realisasi sistem pembiayaan yang terintegrasi antara hulu dan hilir. Selain itu, rendahnya risiko dapat menyebabkan tertariknya lembaga pembiayaan untuk membiayai usaha sektor pertanian. 7.2.
Diagram Aliran dan Stok (Stock and Flow Diagram)
Kompleksitas dalam rekayasa model pengembangan pembiayaan rantai nilai pertanian membutuhkan pengembangan diagram umpan balik menjadi diagram simulasi. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan upaya pemahaman kompleksitas tersebut. Dalam diagram simulasi diidentifikasi dan dikembangkan struktur fisik dan keputusan yang menjadi pembentuk dinamika perilaku pengembangan pembiayaan rantai nilai pertanian. Struktur fisik tersebut direpresentasikan dengan aliran material (benih sampai dengan produk siap dipasarkan) dan aliran uang, sedangkan struktur keputusan direpresentasikan dengan aliran informasi yang menjadi pengendali keputusan aliran uang dan material. Model simulasi pembiayaan rantai nilai yang dikembangkan merupakan model generik untuk tiga komoditas kajian, yakni cabai merah, bawang merah dan padi (beras). Perbedaan atau kekhususan pada ketiga komoditas tersebut terletak pada besaran parameter terpilih pada model karena setiap komoditas memiliki karakteristik yang berbeda. 114
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Dalam diagram sub model terdapat beberapa simbol, yaitu simbol persegi empat yang menyatakan stok (level), simbol katup (valve) menyatakan aliran (rate atau decision point) dan simbol tulisan variabel pelengkap. Diagram sub model dibuat dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Vensim DSS Commercial Version 5.9. Model pengembangan pembiayaan rantai nilai pertanian yang dikembangkan terdiri atas 10 sub model, yaitu: (1) submodel budidaya, (2) submodel manajemen kapasitas produksi, (3) submodel pendampingan teknologi budidaya yang baik (4) submodel rekayasa kualitas, (5) submodel proses lanjutan di rumah kemasan, (6) submodel pemasok pasar terstruktur, (7) submodel pasar terstruktur, (8) submodel keuangan pemasok pasar terstruktur, (9) submodel keuangan kelompok tani, dan (10) submodel keuangan petani. Submodel-submodel tersebut berinteraksi satu sama lain sehingga menghasilkan suatu dinamika perilaku. Submodel Budidaya Sistem budidaya pada komoditas pertanian meliputi penanaman benih, fase pertumbuhan, produksi, penuaan tanaman dan panen dalam kurun waktu tertentu saat tanaman berada pada fase produksi (Gambar 36).
efek ketersediaan lahan basis produksi terhadap penanaman oleh petani Efek likuiditas petani anggota terhadap penanaman
benih tanaman yang diinginkan
waktu menanam
Tanaman Penanaman oleh Masa Tumbuh petani
benih Ditanam
Kematian Masa Tumbuh
Pertumbuhan
Tanaman Masa Produksi
Kematian Masa Produksi laju tanaman tumbuh waktu pertumbuhan tanaman
fraksi tanaman tumbuh
Penuaan
laju tanaman produksi waktu produksi tanaman
Tanaman Masa Tidak Produktif
Penggantian
waktu penggantian
fraksi tanaman produksi
Gambar 36. Submodel Budidaya Dalam submodel budidaya terlihat bahwa penanaman yang dilakukan petani ditentukan oleh jumlah benih yang ditanam secara rutin, benih tanaman yang diinginkan serta waktu menanam. Selanjutnya, terdapat akumulasi jumlah tanaman yang sedang dalam fase masa tumbuh. Pertumbuhan tanaman ditentukan laju tumbuh dan besaran tanaman yang tumbuh. Pada fase pertumbuhan terdapat akumulasi tanaman masa produksi yang akan menghasilkan produk. Tanaman yang melewati fase produksi akan mengalami penuaan sehingga secara rutin harus diadakan pergantian agar kontinuitas produksi dapat dipertahankan sesuai rencana produksi. Struktur keputusan dan fisik dalam sub model budidaya direpresentasikan oleh beberapa rumus berikut: 115
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
penanaman oleh petani
= MAX ((benih tanaman yang diinginkan/waktu menanam)*efek
likuiditas petani anggota terhadap penanaman), (benih ditanam/waktu menanam)*(efek likuiditas petani anggota terhadap penanaman)……..........................................................…..(1) tanaman masa tumbuh
= INTEG (penanaman oleh petani-pertumbuhan-kematian masa
= laju tanaman tumbuh*fraksi tanaman tumbuh…..........................(3)
tanaman masa produksi
= INTEG (pertumbuhan-penuaan-kematian masa produksi)….........(4)
penggantian
=DELAY3 (penuaan, waktu penggantian)….………………................(5)
Submodel Manajemen Kapasitas Produksi Untuk mempertahankan konsistensi pasokan, diperlukan perencanaan kapasitas produksi sesuai permintaan pasar. Setiap peningkatan pesanan pasar akan direspon dengan perencanaan kebutuhan pengembangan/penanaman baru (Gambar 37). <pasokan kualitas 1 yang diinginkan menuju proses lanjutan>
<Pasokan Kualitas 1 Menuju Proses Lanjutan> <Pasokan Kualitas 3 Menuju Proses Lanjutan>
<Pasokan Kualitas 2 Menuju Proses Lanjutan>
tambahan kapasitas kualitas 1
tambahan kapasitas kualitas 2
tambahan kapasitas kualitas 3 tambahan kapasitas produksi yang dibutuhkan
<pasokan kualitas 3 yang diinginkan menuju proses lanjutan>
kapasitas produksi berjalan
<pasokan kualitas 2 yang diinginkan menuju proses lanjutan> <produksi petani>
waktu meratakan kapasitas produksi kapasitas produksi berjalan rata-rata <produktivitas per tanaman> tanaman panen tanaman masa produksi yang diinginkan
penanaman yang diinginkan
<waktu panen>
<waktu produksi tanaman>
Gambar 37. Submodel Manajemen Kapasitas Produksi Berdasarkan Gambar 37, terlihat bahwa manajemen kapasitas produksi bawang merah dan cabai merah didorong oleh peramalan pesanan pasar yang direpresentasikan oleh jumlah pasokan setiap kelas kualitas produk yang diinginkan menuju proses lanjutan di rumah kemasan yang dikelola oleh koperasi atau pedagang. Hal yang sama terjadi pada penggilingan beras (rice milling unit) yang dikelola oleh pelaku penggilingan padi. Selanjutnya dilakukan perencanaan kapasitas berdasarkan produksi petani yang ada, produktivitas tanaman, waktu panen, bagian tanaman 116
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
yang tumbuh dan waktu produksi tanaman. Perencanaan kapasitas merupakan bagian dari sistem produksi dorong pada rantai nilai yang dikembangkan. Berdasarkan hal tersebut, sub model manajemen kapasitas produksi direpresentasikan dengan rumus berikut: kapasitas produksi berjalan = produksi petani + tambahan kapasitas produksi yang dibutuhkan ……...................................................………………..………………………………......(6) tanaman panen = “kapasitas produksi berjalan rata-rata”/produktivitas per tanaman.............…(7) tanaman masa produksi yang diinginkan = tanaman panen*waktu panen ………....................…(8) penanaman yang diinginkan =(tanaman masa produksi yang diinginkan/ waktu produksi tanaman)/fraksi tanaman tumbuh……….............................……………………………………….(9) Submodel Pendampingan Teknologi Budidaya yang Baik Penerapan kaidah budidaya pertanian yang baik atau good agricultural practices (GAP) merupakan bagian dari tuntutan untuk memberikan kepastian keamanan pangan bagi konsumen. Namun, penerapan GAP mendorong petani menerapkan sistem budidaya yang menghasilkan produktivitas optimal dan kualitas yang baik. Dengan demikian, peningkatan intensitas penerapan GAP akan berdampak pada peningkatan produktivitas tanaman dan peningkatan kualitas produk yang dihasilkan. Gambar 38 memperlihatkan bahwa penerapan GAP ditentukan oleh perubahan permintaan terhadap kelas/kualitas produk, praktik budidaya yang dilakukan petani saat ini serta intensitas pendampingan. Kondisi tersebut ditentukan oleh rumus berikut: penerapan GAP = praktik budidaya normal*efek permintaan kualitas 1 terhadap penerapan GAP*efek pendampingan konsolidator terhadap penerapan GAP……..................………….(10) produksi petani = ((tanaman masa produksi*produktivitas per tanaman) /waktu panen)*Input Produksi………………………..….................................................................................................(11)
117
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
efek permintaan kualitas 1 thd penerapan GAP
fraksi sortasi kualitas 1 normal
Praktek Budidaya normal penerapan GAP efek pendampingan konsolidator thd penerapan GAP
fraksi sortasi kualitas 1
efek penerapan GAP thd fraksi sortasi Efek teknologi rainshelter terhadap fraksi sortasi kualitas 1
efek penerapan GAP thd produktivitas
Teknologi Rainshelter produktivitas per tanaman normal
produktivitas per tanaman
produksi petani waktu panen
Gambar 38. Submodel Pendampingan Teknologi Budidaya yang Baik Submodel Rekayasa Kualitas Dalam penelitian ini dilakukan agregasi kualitas cabai merah, bawang merah dan beras ke dalam tiga kelompok kualitas (grade), yaitu kualitas 1, kualitas 2 dan kualitas 3. Setiap kelompok kualitas memiliki segmen pasar yang berbeda, yaitu: pasar pasar terstruktur 1, pasar terstruktur 2 dan pasar lainnya (pasar tradisional dan industri pengolahan). Proses rekayasa kualitas berupa sortasi dan pengkelasan dilakukan di rumah kemas (cabai merah dan bawang merah) atau penggilingan (beras). 118
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Berdasarkan diagram submodel rekayasa kualitas yang dikembangkan (Gambar 39), beberapa rumus yang menjadi unsur pembentuk model rekayasa kualitas adalah sebagai berikut: kebutuhan kualitas 1 dialihkan ke kualitas 2 = MAX(0,(pasokan kualitas 2 yang diinginkan menuju proses lanjutan-maks kualitas 2 menuju proses lanjutan))………………………............……….(12) kebutuhan kualitas 2 dialihkan ke kualitas 3 = MAX(0,(pasokan kualitas 3 yang diinginkan menuju proses lanjutan-maks kualitas 3 menuju proses lanjutan))……………………………….............(13)
Tambahan Kualitas 1 Menuju Proses Lanjutan
<produksi petani>
Sortasi Kualitas 1
Hasil Kualitas 1
Efek likuiditas kelompok petani terhadap kualitas 1 menuju proses lanjutan
Kualitas 1 Menuju Proses Lanjutan
maks kualitas 1 menuju proses lanjutan
waktu tunggu kualitas 1
<pasokan kualitas 1 yang diinginkan menuju proses lanjutan>
maks kualitas 1 dialihkan ke kualitas 2 Kualitas 1 Dialihkan ke Kualitas 2 waktu tunggu kualitas 2
maks kualitas 2 menuju proses lanjutan
Tambahan Kualitas 2 Menuju Proses Lanjutan
fraksi sortasi kualitas 2-3
kebutuhan kualitas 1 dialihkan ke kualitas 2
fraksi sortasi kualitas 2
Sortasi Kualitas 2
Hasil Kualitas 2
<pasokan kualitas 2 yang diinginkan menuju proses lanjutan>
Kualitas 2 Menuju Proses Lanjutan
hasil kualitas 2-3 maks kualitas 2 dialihkan ke kualitas 3
<produksi petani>
Kualitas 2 Dialihkan ke Kualitas 3
kebutuhan kualitas 2 dialihkan ke kualitas 3
maks kualitas 3 menuju proses lanjutan waktu tunggu kualitas 3
<produksi petani>
<Sortasi Kualitas 1>
Sortasi Kualitas 3
Hasil Kualitas 3
<pasokan kualitas 3 yang diinginkan menuju proses lanjutan>
Kualitas 3 Menuju Proses Lanjutan
Gambar 39. Submodel Rekayasa Kualitas 119
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Berdasarkan rumus di atas, kebutuhan rekayasa kualitas ketiga produk berupa penyesuaian dari kelompok kualitas tinggi ke kualitas lebih rendah (downgrade) ditentukan oleh kaidah keputusan berupa nilai maksimal dari 0 dan selisih dari jumlah pasokan setiap kualitas produk yang diinginkan ke proses akhir dengan jumlah maksimal setiap kualitas produk ke proses lanjutan. Hal tersebut terjadi karena selisih pasokan setiap kualitas produk yang diinginkan ke proses lanjutan dengan nilai maksimal setiap kualitas produk ke proses akhir dapat bernilai negatif karena pada kelompok kualitas tertentu permintaan konsumen lebih rendah dari permintaan normal, sehingga persediaan kelompok kualitas tersebut meningkat dan tidak perlu ada rekayasa kualitas lagi. Rumus rekayasa kualitas ketiga produk yang dilakukan tertera pada rumus 14 dan 15: kualitas 1 dialihkan ke kualitas 2=MIN(kebutuhan kualitas 1 dialihkan ke kualitas 2, maks kualitas 1 dialihkan ke kualitas 2)…....................................................................................................….(14) kualitas 2 dialihkan ke kualitas 3=MIN(kebutuhan kualitas 2 dialihkan ke kualitas 3, maks kualitas 2 dialihkan ke kualitas 3)…….................................................................................................…..(15) Kedua rumus tersebut menerangkan bahwa jumlah ketiga produk yang dilakukan rekayasa kualitas adalah nilai minimal dari kebutuhan pengalihan kualitas kelompok tertentu dan jumlah maksimal kelompok kualitas yang lebih tinggi yang dapat dilakukan penyesuaian. Dengan demikian, ketersediaan ketiga produk kelompok kualitas yang lebih tinggi akan menentukan jumlah ketiga produk yang dapat direkayasa kualitasnya. Sub model rekayasa ketiga produk merupakan salah satu bagian sistem produksi yang menerapkan sistem dorong (push system). Sistem tersebut merupakan ciri khas sistem produksi dalam rantai nilai cabai merah, bawang merah dan beras. Submodel Proses Lanjutan di Rumah Kemasan atau Penggilingan Beras Ketiga produk hasil rekayasa kualitas dilanjutkan ke proses pengemasan dan pra pendinginan berdasarkan spesifikasi pesanan dari pemasok pasar terstruktur. Proses lanjutan ini dilakukan di rumah kemasan atau penggilingan beras sebagai bagian dari proses bisnis yang dilakukan oleh kelompok tani, pedagang, atau penggilingan beras.
120
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Kualitas 1 Cacat
kualitas 1 dalam proses lanjutan awal
Pasokan Kualitas 1 Menuju Proses Lanjutan
Kualitas 1 Dalam Proses Lanjutan
waktu koreksi kualitas 1 dalam proses lanjutan koreksi kualitas 1 dalam proses lanjutan
maksimum kualitas 1 keluar dari proses akhir
Kualitas 1 Menuju Pemasok Pasar Terstruktur
total kualits 1 keluar dari proses lanjutan fraksi kualitas 1 menuju pemasok pasar terstruktur
waktu untuk proses lanjutan kualitas 1 pasokan kualitas 1 yang diinginkan menuju proses lanjutan
kualitas 1 dalam proses lanjut yang diinginkan
prakiraan pesanan kualitas 1
total kualitas 1 menuju pemasok pasar terstruktur yang diinginkan
waktu untuk memperbaharui pesanan kualitas 1
Gambar 40. Submodel Proses Lanjutan di Rumah Kemasan Dari Gambar 40 terlihat bahwa ketiga produk hasil rekayasa kualitas ke proses lanjutan ditentukan oleh jumlah kualitas 1 menuju proses lanjutan dan tambahan yang merupakan selisih dari proses pengalihan kualitas dengan kapasitas maksimal dari produk kelompok kualitas yang ada. Dalam proses lanjutan tersebut tidak ditemukan ketiga produk yang mengalami cacat. Hal tersebut terjadi karena peran kelompok tani bekerja sama dengan pemasok pasar terstruktur dalam melakukan panen berdasarkan spesifikasi kualitas yang diminta. Aktivitas dalam proses lanjutan direpresentasikan oleh rumus sebagai berikut: pasokan kualitas 1 menuju proses lanjutan = kualitas 1 menuju proses lanjutan +tambahan kualitas 1 menuju proses lanjutan……………….............................................…………….........…..…..…(16) kualitas 1 dalam proses lanjutan = INTEG (pasokan kualitas 1 menuju proses lanjutan-kualitas 1 cacat-kualitas 1 menuju pemasok pasar terstruktur, kualitas 1 dalam proses lanjutan awal…..........................................................................................................................................(17) Submodel Pemasok Pasar Terstruktur Setelah proses lanjutan di rumah kemasan, kelompok tani melakukan penjualan kepada pemasok pasar terstruktur. Demikian juga halnya proses lanjutan yang dilakukan oleh penggilingan beras yang dimiliki pelaku swasta. Dalam penelitian ini, kelompok tani dan penggilingan beras memiliki mitra beberapa pemasok pasar terstruktur seperti eksportir, distributor, industri pengolahan dan pasar ritel modern.
121
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
ketersediaan kualitas 1 di pasar normal
Pemenuhan Pesanan Kualitas 1 Pembelian
Kualitas 1 Masuk Ke Pemasok Pasar Terstruktur
ketersediaan kualitas 1 di pasar
Daftar Pemesanan Kualitas 1 Pembelian
Kualitas 1 Hasil Pembelian
persediaan kualitas 1 di
Persediaan Kualitas 1 di Pemasok Pasar Terstruktur
efek harga pembelian pemasok lain thd ketersediaan kualitas 1 di pasar
waktu pemesanan kualitas 1 pembelian
Pemesanan Kualitas 1 Pembelian
Pengiriman Kualitas 1 Ke Pasar Terstruktur 1
maksimum pengiriman kualitas 1
waktu koreksi persediaan kualitas 1 koreksi persediaan kualitas 1 persediaan kualitas 1 yang diinginkan
kualitas 1 menuju pasar pemasok terstruktur yang diinginkan
prakiraan pengiriman kualitas 1
waktu memperharui pengiriman kualitas 1
Gambar 41. Submodel Pemasok Pasar Terstruktur Gambar 41 memperlihatkan bahwa manajemen pusat distribusi pemasok pasar terstruktur menetapkan keputusan untuk melakukan pembelian setiap kali terjadi kekurangan persediaan produk dari pedagang yang berada di sentra produksi dan pasar induk (open market). Keputusan tersebut dilakukan untuk memenuhi pesanan konsumen dari aspek kuantitas, kualitas dan waktu. Besaran pembelian ketiga produk tersebut direpresentasikan dalam rumus sebagai berikut: pemesanan kualitas 1 pembelian = MAX(0, (persediaan kualitas 1 yang diinginkan-persediaan kualitas 1 di pemasok pasar terstruktur)/waktu pemesanan kualitas 1 pembelian*ketersediaan kualitas 1 di pasar)………………...................................................….....................................…..(18) Besaran pengiriman ketiga produk sesuai dengan pesanan yang diinginkan oleh pembeli. Berdasarkan deskripsi tersebut, dikembangkan rumus yang menjadi unsur pembentuk sub model pemasok pasar terstruktur: pengiriman kualitas 1 ke pasar terstruktur =MIN (maksimum pengiriman kualitas 1 ke pasar terstruktur, pengiriman kualitas 1 yang diinginkan )……....................................................….(19) pengiriman kualitas 1 yang diinginkan
Gambar 41 dan rumus 20 di atas menunjukkan bahwa sistem tarik dalam rantai nilai ketiga produk dicerminkan oleh pengiriman setiap produk yang ditentukan oleh kaidah keputusan manajemen (nilai minimal dari jumlah maksimum pengiriman kelompok ketiga produk yang dapat dilakukan dan jumlah pengiriman yang diinginkan). Pengiriman ketiga produk yang diinginkan merupakan pembagian atas jumlah
pesanan produk kualitas pasar terstruktur
yang terdaftar dibagi
dengan target waktu pengiriman. Dengan demikian, pengiriman ketiga produk yang dilakukan perusahaan dapat merespon dinamika perubahan pesanan konsumen. Submodel Pasar Terstruktur Secara umum, pasar yang memberikan pesanan dipandang sebagai faktor eksternal yang tidak dapat dipengaruhi pelaku usaha tetapi dapat mempengaruhi pelaku usaha. Namun, dalam penelitian dikembangkan submodel pasar terstruktur dan pesanan ketiga produk (cabai merah, bawang merah dan beras) yang bersifat endogen. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana struktur keputusan fisik dan keputusan yang dilakukan pelaku usaha sepanjang rantai nilai ketiga produk direspon oleh pasar terstruktur. Selanjutnya, pasar memberikan umpan balik terhadap pesanan kepada pemasok pasar terstruktur yang selanjutnya diteruskan kepada pelaku usaha lainnya, seperti kelompok tani dan petani atau penggilingan beras. Dengan demikian, akan diketahui penyebab struktural terjadinya dinamika pada interaksi rantai nilai ketiga produk dengan pasarnya. Kinerja pemasok pasar terstruktur dalam memenuhi setiap pesanan akan dipersepsikan oleh pembeli. Persepsi pesanan ketiga produk yang dapat dipenuhi akan menentukan daya tarik eksportir di pasar. Apabila pembeli mempersepsikan pemasok pasar terstruktur mampu memenuhi setiap pesanan maka daya tarik pemasok pasar terstruktur di pasar akan bertahan. Namun, apabila pasar mempersepsikan pemasok pasar terstruktur dan rantai nilai yang terlibat tidak mampu memenuhi setiap pesanan, maka daya tarik pemasok pasar terstruktur di pasar akan turun. Akibatnya, pangsa pasar yang dikuasai pemasok pasar terstruktur akan berkurang. Secara non linier, kondisi tersebut akan berdampak pada pengurangan jumlah pesanan karena pasar mengalihkan sebagian pesanan kepada perusahaan pemasok pasar terstruktur lainnya (Gambar 42).
123
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
daya tarik kualitas 1 daya tarik total pasar kualitas 1
referensi fraksi pesanan kualitas 1 yang terpenuhi
Persepsi Fraksi Pesanan kualitas 1 yang Terpenuhi waktu untuk persepsi fraksi pesanan kualitas 1 yang terpenuhi
fraksi pesanan kualitas 1 yang terpenuhi
pangsa pasar kualitas 1
daya tarik pesaing kualitas 1
fraksi awal pesanan kualitas 1 yang terpenuhi permintaan kualitas 1
Pemenuhan Pesanan Kualitas 1
Daftar Pesanan Kualitas 1
Pesanan Kualitas 1
daftar pesanan kualitas 1 awal pengiriman kualitas 1 yang diinginkan
target waktu penyampaian kualitas 1
koreksi daftar pesanan kualitas 1
permintaan kualitas 1 normal
daftar pesanan kualitas 1 yang dapat diterima
waktu koreksi daftar pesanan kualitas 1
Gambar 42. Submodel Pasar Terstruktur Pangsa pasar pemasok pasar terstruktur merupakan indikator kinerja kunci dari
perspektif
pelanggan pada sistem pengukuran kinerja kartu berimbang (balanced scorecard). Dengan demikian, melalui submodel pasar dan pesanan akan diketahui struktur fisik, struktur keputusan dan umpan balik yang menyebabkan dinamika indikator kinerja pangsa pasar. Struktur fisik dan keputusan pada submodel pasar dan pesanan ketiga produk direpresentasikan oleh rumus berikut: pesanan kualitas 1 = pangsa pasar kualitas 1*permintaan kualitas 1………...................................(21) daftar pesanan kualitas 1 = INTEG (-pemenuhan pesanan kualitas 1+pesanan kualitas 1,daftar pesanan kualitas 1 awal)….................................................................................………..…….(22) Submodel Keuangan Pemasok Pasar Terstruktur Dalam pengukuran kinerja berimbang, semua indikator kinerja manajemen rantai nilai akan bermuara pada indikator kinerja perspektif keuangan. Dalam submodel keuangan pemasok pasar terstruktur dipilih beberapa indikator kinerja perspektif keuangan, antara lain keuntungan (profit) dan nilai tambah (value added) (Gambar 43). Selain itu, dalam submodel tersebut juga dikembangkan biaya yang dikeluarkan pemasok pasar terstruktur dalam mengelola rantai nilai ketiga produk. Aliran uang dan informasi dalam submodel keuangan pemasok pasar terstruktur direpresentasikan rumus sebagai berikut: pendapatan pemasok pasar terstruktur = ”harga pasar terstruktur 1 (Rp)”*pengiriman kualitas 1 ke pasar terstruktur …...................…...........................................................………....................(23) kas keluar dari pemasok pasar terstruktur = MIN(pembayaran total yang dibutuhkan pemasok pasar terstruktur, (pembayaran total yang dibutuhkan pemasok pasar terstruktur*efek likuiditas terhadap pembayaran pemasok pasr terstruktur)).......……………………...........….(24) pengajuan pinjaman pemasok pasar terstruktur =MAX(0, ((kas yang dibutuhkan pemasok pasar terstruktur-kas pemasok pasar terstruktur)/waktu pengajuan pinjaman untuk pemasok pasar terstruktur)*ketersediaan dana pinjaman untuk pemasok pasar terstruktur )…..............………25) 124
nilai input pemasok pasar terstruktur
kelompok petani ke pemasok pasar terstruktur>
profitabilitas pemasok pasar terstruktur
nilai tambah pemasok pasar terstruktur
harga pasar terstruktur 1 (Rp)
pendapatan dari Pemasok Pasar Terstruktur
keuntungan eksportir
Pendapatan Pemasok Pasar Terstruktur
Kas Keluar Dari Pemasok Pasr Terstruktur
likuiditas pemasok pasar terstruktur
efek likuiditas terhadap pembayaran pemasok pasar terstruktur
pembayaran total yang dibutuhkan pemasok pasar terstruktur
waktu kecukupan kas pemasok pasar terstruktur
kas yang dibutuhkan pemasok pasar terstruktur
Pengajuan Pinjaman Pemasok Pasr Terstruktur
ketersediaan dana pinjaman untuk pemasok pasar waktu pengajuan pinjaman terstrukktur untuk pemasok pasar terstruktur Daftar Pengajuan Pinjaman Pasar Terstruktur
Pengeluaran Lain Kas Pemasok Pasar Terstruktur
Kas Pemasok Pasar Terstruktur
Pinjaman Pemasok Pasar Terstruktur Dari Lembaga Pembiayaan
Pemenuhan Pinjaman Pemasok Pasar Terstruktur
Tagihan Masuk ke Pemasok Pasar Terstruktur
Kas Masuk Pemasok Pasar Terstruktur
Piutang Pemasok Pasar Terstruktur
waktu pembayaran dari pembeli
biaya pembelian dari pemasok pedesaan lain (kg) normal
biaya pembelian dari pemasok pedesaan lain (kg)
biaya logistik (kg)
biaya overhead (kg)
biaya pengemasan (kg)
biaya pembelian dari pemasok pedesaan lain
biaya logistik
biaya overhead eksportir
biaya pengemasan
biaya transportasi dari kelompok petani ke pemasok pasar terstruktur biaya transportasi dari kelompok petani ke pemasok pasar terstruktur (kg)
biaya pembelian dari kelompok petani
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Berdasarkan rumus 25, pemasok pasar terstruktur dapat melakukan pinjaman kepada lembaga
pembiayaan untuk mengatasi kekurangan likuiditas. Dengan demikian, pembayaran kepada
kelompok tani/petani/pedagang menjadi lancar dan sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan
dalam kontrak, yaitu 14 hari.
Gambar 43. Submodel Keuangan Pemasok Pasar Terstruktur
125
126
efek persepsi fraksi pesanan kualitas 3 yang terpenuhi terhadap harga pasar tradisional
harga pasar tradisional normal
bagian keuntungan anggota
likuiditas kelompok petani
efek likuiditas terhadap pembayaran kelompok petani waktu kecukupan kas kelompok petani
pembayaran total yang dibutuhkan kelompok petani
waktu pengajuan pinjaman untuk kelompok petani
ketersediaan dana pinjaman untuk kelompok petani normal
kas yang dibutuhkan kelompok petani
Pengajuan Pinjaman Kelompok Petani
ketersediaan dana pinjaman untuk kelompok petani
efek pendampingan konsolidator terhadap ketersediaan dana untuk pinjaman kelompomk petani
Daftar Pinjaman Kelompok Petani
Kas Keluar Dari Kelompok Petani
Pengeluaran Lain Kas Kelompok Petani
Kas Kelompok Petani
Pinjaman Kelompok Petani Dari Lembaga Pembiayaan
Pemenuhan Pinjaman Kelompok Petani
waktu pembayaran ke Kelompok Petani
Tagihan Masuk ke Kelompok Petani
Kas Masuk Kelompok Petani
Piutang Kelompok Petani
transfer keuntungan kelompok petani ke anggota
keuntungan kelompok petani
Pendapatan Kelompok Petani
profitabilitas kelompok petani
nilai tambah koperasi
pendapatan kualitas 3 kelompok petani
pendapatan kualitas 2 kelompok petani
pendapatan kualitas 1 kelompok petani
biaya inputkelompok petani
harga pasar tradisional
harga kualitas 2 kelompok petani
harga kualitas 1 kelompok petani
biaya tertimbang
biaya pendingin
biaya pendingin (kg)
biaya sortasi dan grading
biaya sortasi dan grading (kg)
biaya transportasi (kg)
biaya panen (kg)
biaya transportasi
biaya panen
biaya penyerahan dari petani
<produksi petani>
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Submodel Keuangan Kelompok Tani
Submodel keuangan kelompok tani merupakan replikasi dari struktur fisik dan keputusan yang
terdapat dalam submodel keuangan pemasok pasar terstruktur. Namun demikian, submodel
tersebut disesuaikan dengan struktur fisik dan keputusan yang terjadi pada kelompok tani yang
mengelola rumah kemasan (Gambar 44).
Gambar 44. Submodel Keuangan Kelompok Tani
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Perbedaan yang mendasar dari submodel keuangan kelompok tani adalah adanya transfer bagian keuntungan kepada petani yang menjadi anggota kelompok tani. Hal tersebut terjadi karena kelompok tani merupakan penyedia jasa pascapanen dan pemasaran yang melayani anggota. Dengan demikian, pendapatan kelompok tani berasal dari imbal jasa biaya pascapanen dan pemasaran serta bagian keuntungan yang diterima setelah dikurangi transfer kepada petani anggotanya. Kondisi tersebut direpresentasikan oleh rumus berikut: pendapatan kelompok tani = pendapatan kualitas 1 kelompok tani+pendapatan kualitas 2 kelompok tani+pendapatan kualitas 3 kelompok tani….……………………………....………..(26) transfer keuntungan koperasi ke anggota = MAX(0, (bagian keuntungan anggota* keuntungan kelompok tani)……..........................................................................................................………(27) Berdasarkan rumus 26 terlihat bahwa kelompok tani memperoleh pendapatan dari penjualan ketiga produk dengan kualitas yang segmen pasarnya berbeda. Hal ini terjadi karena kelompok tani merupakan titik pemisah pasokan/produksi dengan pesanan. Dengan demikian kelompok tani harus melakukan portofolio pasar agar semua kelompok kualitas dari produk yang dihasilkan petani anggota dapat dipasarkan. Kondisi tersebut terjadi pada komoditas cabai merah dan bawang, sedangkan pada komoditas beras terjadi pada penggilingan beras. Submodel Keuangan Petani Submodel keuangan petani memiliki struktur fisik dan keputusan yang mirip dengan submodel pemasok pasar terstruktur dan kelompok tani. Perbedaaannya terletak pada unsur pembentuk biaya yang disesuaikan dengan jenis pengeluaran yang dilakukan petani (Gambar 45). Pendapatan dan pengeluaran pada petani dapat direpresentasikan dengan rumus berikut: pendapatan petani = penerimaan dari penyerahan produksi ke kelompok tani+transfer keuntungan kelompok tani ke anggota.....................................................................................................….(28) kas keluar dari petani anggota kelompok petani = MIN(pembayaran total yang dibutuhkan petani anggota kelompok petani, (pembayaran total yang dibutuhkan petani anggota kelompok petani*efek likuiditas terhadap pembayaran petani anggota kelompok peta ni))………………………………….....................................................................................……….(29)
127
128
nilai input petani
keuntungan petani anggota kelompok petani
Pendapatan Petani
profitabilitas petani
nilai tambah petani
harga penyerahan produksi dari kelompok petani
penerimaan dari penyerahan produksi ke kelompok petani
<produksi petani>
Kas Keluar Dari Petani AnggotaKelompok Petani
likuiditas petani anggota kelompok petani
efek likuiditas terhadap pembayaran petani anggota kelompok Petani
Pengeluaran Lain Kas Petani Anggota Kelompok Petani
Kas Petani Anggota Kelompok Petani
Tagihan Masuk ke Petani Anggota Kelompok Petani
Kas Masuk Petani Anggota kelompok petani
Piutang Petani
waktu pembayaran dari kelompok petani
waktu kecukupan kas petani anggota kelompok petani
kas yang dibutuhkan petani anggota kelompok petani
pembayaran total yang dibutuhkan petani anggota kelompok petani
biaya investasi petani anggota kelompok petani
biaya agroinput petani anggota kelompok petani
biaya tenaga kerja petani anggotakelompok petani
biaya investasi (kg)
biaya agroinput (kg)
biaya tenaga kerja (kg)
<produksi petani>
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 45. Submodel Keuangan Petani
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
7.3.
Hasil Simulasi Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Berdasarkan model pembiayaan rantai nilai yang dikembangkan di atas, dilakukan simulasi untuk melihat perilaku model. Berdasarkan hasil simulasi, akan terlihat sejauh mana model pembiayaan rantai nilai pertanian ini mampu mencapai tujuan yang ditetapkan, yakni meningkatkan kinerja rantai nilai dan keuangan para pelaku usaha yang terlibat. Tanaman Masa Tumbuh 20,000
buah
17,500
15,000
12,500
10,000 0
55
110
165
220
275
330
Tanaman Masa Tumbuh : simulasi 1 Tanaman Masa Tumbuh : equilibrium
385 Time (Day)
440
495
550
605
660
715
770
550
605
660
715
770
Tanaman Masa Tumbuh : Current
Tanaman Masa Produksi 30,000
buah
27,500
25,000
22,500
20,000 0
55
110
Tanaman Masa Produksi : simulasi 1 Tanaman Masa Produksi : equilibrium
165
220
275
330
385 Time (Day)
440
495
Tanaman Masa Produksi : Current
Gambar 46. Hasil Simulasi Masa Tumbuh Tanaman dan Produksi Gambar 46 menunjukkan hasil simulasi masa tumbuh tanaman dan produksi tiga produk (cabai merah, bawang merah, dan beras) dalam pengembangan rantai nilai pertanian. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa pengembangan budidaya pertanian bagian hulu (upstream) agar terintegrasi dari rantai nilai pertanian berbasis pasar merupakan upaya jangka panjang. Pada tahap awal, pengembangan budidaya pertanian memerlukan upaya lebih keras dibandingkan periode setelahnya, yakni peningkatan penanaman. Sejalan dengan waktu, masa tumbuh tanaman dan masa produksi akan menuju pada kestabilan. Hal ini terjadi karena model pembiayaan rantai nilai yang dikembangkan diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar, terutama pasar terstruktur (ekspor, pasar ritel modern, industri pengolahan, dan jasa pangan). 129
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Input Produksi 2
Dimensionless
1.5
1
0.5
0 0
55
110
165
220
275
330
Input Produksi : simulasi 1 Input Produksi : equilibrium
385 Time (Day)
440
495
550
605
660
715
770
495
550
605
660
715
770
Input Produksi : Current
produksi petani 2,000
kg/Day
1,500
1,000
500
0 0
55
produksi petani : simulasi 1 produksi petani : equilibrium
110
165
220
275
330
385 Time (Day)
440
produksi petani : Current
Gambar 47. Hasil Simulasi Input Produksi dan Produksi Petani Perubahan iklim merupakan salah satu risiko karakteristik produk pertanian yang harus dihadapi oleh para petani cabai merah, bawang merah, dan padi. Kondisi tersebut terlihat dari input produksi yang merupakan cerminan dari perubahan iklim yang menentukan pola perilaku produksi (Gambar 47). Dalam dunia nyata, perubahan iklim berupa musim hujan dan musim kemarau. Perubahan iklim merupakan risiko dominan yang dihadapi pelaku usaha sepanjang rantai nilai pertanian ketiga produk. Risiko tersebut dapat menyebabkan kualitas dan produktivitas hasil ketiga produk menurun, sehingga petani tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Untuk mengurangi dampak risiko perubahan iklim, perlu dilakukan mitigasi risiko berupa penggunaan teknologi tepat guna pada musim hujan dan musim kemarau. Salah satu teknologi yang direkomendasikan saat musim hujan untuk budidaya cabai merah dan bawang merah adalah teknologi naungan (protected agriculture). Sedangkan teknologi untuk budidaya padi di musim hujan adalah sistem drainase pada jaringan irigasi. Pada musim kemarau, budidaya ketiga produk tersebut memerlukan penggunaan teknologi irigasi. Untuk budidaya cabai merah dan bawang merah, direkomendasikan menggunakan irigasi sprinkler hydra yang mampu meningkatkan efisiensi pengairan sebesar 70%. Sedangkan untuk budidaya padi, memerlukan penggunaan mesin pompa air. 130
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 48. Hasil Simulasi Pascapanen Gambar 48 menunjukkan hasil simulasi pascapanen yang terbagi ke dalam tiga kelas kualitas. Hasil simulasi pascapanen tersebut memperlihatkan bahwa pola perilaku jumlah kualitas 1, 2 dan 3 ditentukan oleh jumlah hasil produksi. Kelas kualitas terkait erat dengan portofolio pasar yang dituju. Kualitas 1 ditujukan untuk pasar terstruktur 1, kualitas 2 ditujukan untuk pasar terstruktur 2 dan kualitas 3 ditujukan untuk pasar lainnya. Umumnya pasar terstruktur 1 adalah eksportir, pasar terstruktur 2 adalah pasar ritel modern, industri pengolahan atau jasa pangan, sedangkan pasar lainnya adalah pasar tradisional. Pascapanen merupakan bagian yang vital dalam sistem rantai nilai produk pertanian karena merupakan titik pemisah pesanan dan pasokan/produksi (customer decoupling point). Pasokan/ produksi memiliki karakteristik sistem dorong (push system), sedangkan pesanan memiliki karakteristik sistem tarik (pull system). Dengan demikian, model pembiayaan rantai nilai pertanian yang dikembangkan menggunakan sistem produksi hibrida (push-pull system). Proses ini harus dilakukan oleh profesional yang memiliki kemampuan dalam manajemen pasca panen dan sistem logistik pertanian. Manajemen pascapanen menjadi penyambung antara produksi dan kebutuhan pasar.
131
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 49. Hasil Simulasi Manajemen Persediaan Hasil simulasi manajemen persediaan menunjukkan pola perilaku yang relatif stabil dalam jangka menengah dan jangka panjang. Manajemen persediaan merupakan bagian hilir dari sistem rantai nilai pertanian (downstream) yang mempunyai karakteristik sistem tarik yang mengikuti dinamika setiap pesanan pasar. Sistem hulu-hilir rantai nilai pertanian sejak budidaya sampai manajemen persediaan menunjukkan kecenderungan perilaku yang semakin stabil ke arah hilir, sebaliknya ke arah hulu menunjukkan kecenderungan perilaku yang tidak stabil. Kondisi tersebut disebabkan semakin tingginya ketergantungan terhadap alam di sisi hulu. Sedangkan ke arah hilir, keputusan manajemen berbasis pesanan pasar menjadi faktor penentu. Kinerja keputusan manajemen berbasis pasar ditunjukkan oleh kepuasan konsumen atas terpenuhinya setiap pesanan yang diberikan kepada pemasok pasar terstruktur atau kelompok produsen. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, model pembiayaan rantai nilai berhasil mendukung sistem rantai nilai pertanian untuk mampu merespon dinamika pasar yang terjadi (Gambar 50). Permintaan pasar terstruktur 1 untuk kelas kualitas 1 selalu mampu dipenuhi oleh pemasok pasar terstruktur 1 sehingga terlihat bahwa fraksi pesanan untuk kualitas 1 selalu terpenuhi. Sedangkan permintaan pasar terstruktur 2 untuk kualitas 2 dan permintaan pasar lainnya untuk kualitas 3 belum mampu terpenuhi dalam jangka pendek. Namun dalam jangka menengah dan jangka panjang, sistem rantai nilai yang dikembangkan mampu memenuhi setiap pesanan yang diberikan oleh pasar terstruktur 2 dan pasar lainnya.
132
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 50. Hasil Simulasi Pemenuhan Pesanan Kinerja keseluruhan sistem rantai nilai pertanian ditunjukkan oleh perilaku keuangan setiap pelaku yang terlibat. Gambar 51 memperlihatkan bahwa perilaku keuangan pada setiap pelaku (pemasok pasar terstruktur, kelompok produsen dan petani) menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang meningkat.
Gambar 51. Hasil Simulasi Keuangan 133
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Pertumbuhan kinerja keuangan pada setiap pelaku usaha menunjukkan bahwa model pembiayaan rantai nilai yang dikembangkan telah mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan keuangan pelaku usaha sepanjang rantai nilai pertanian. Kondisi tersebut sejalan dengan tujuan pengembangan model rantai nilai pertanian, yaitu mengurangi risiko dan meningkatkan kinerja daya saing para pelaku usaha sepanjang rantai nilai serta untuk memuaskan konsumen. 7.4.
Skema Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, terdapat beberapa model/skema pembiayaan rantai nilai produk pertanian yang dapat diterapkan. Usulan skema pembiayaan rantai ini masih harus diuji lebih lanjut dengan melakukan uji coba pada beberapa komoditas lainnya, mengingat sifat komoditas pertanian yang spesifik. Instrumen pembiayaan rantai nilai produk pertanian yang dapat diterapkan adalah: A. Pembiayaan Produk (Product Financing) 1. Pembiayaan Agroinput atau Input Produksi 2. Pembiayaan jasa perdagangan B. Receivables Financing 1. Pembiayaan anjak piutang (factoring) C. Penjaminan Aset Fisik (Physical Asset Collateralization) 1. Pembiayaan jaminan kepemilikan komoditas-sistem resi gudang (warehouse receipt) 2. Pembiayaan investasi teknologi Deskripsi Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian (Agricultural Value Chain Financing) : No
Skema Pembiayaan
Uraian Singkat
Pembiayaan Produk (Product Financing) 1.
Pembiayaan Agroinput
Merupakan pengembangan dari pembiayaan/kredit usahatani konvensional yang diberikan kepada petani atau pelaku dalam rantai nilai lainnya, di mana pembayaran kredit dilakukan setelah masa panen. Yang membedakan dengan kredit usaha tani konvensional adalah pemberian kredit diberikan kepada kelompok tani/koperasi/jasa logistik pedesaan yang sudah mempunyai kontrak dengan supplier atau pasar terstruktur (yang mensyaratkan kepastian volume, kualitas, kontinuitas dan harga produk). Kredit yang diberikan berupa input produksi (benih, pupuk, pestisida, dsb) melalui agen/toko sarana produksi.
2.
Pembiayaan Jasa Perdagangan
Merupakan tambahan modal kerja berupa pembiayaan yang diberikan kepada kelompok tani untuk membayar hasil produksi kepada anggota kelompok tani/koperasi/jasa logistik pedesaan pada saat penyerahan hasil produksi yang sesuai dengan permintaan pasar terstruktur. Petani memerlukan uang tunai untuk biaya usahatani dan kebutuhan hidupnya. Pembiayaan ini dilakukan jika pembayaran yang diterima oleh kelompok tani/koperasi/jasa logistik perdesaan dari supplier atau pasar terstruktur memerlukan waktu yang lama (delayed term of payments).
Receivables Financing 3.
134
Pembiayaan Anjak Piutang
Merupakan pembiayaan yang diberikan kepada ritel modern/industri pengolahan/eksportir yang telah terikat kontrak dengan supplier/koperasi agar dapat memberikan pembayaran tunai setelah pengiriman produk. Pembayaran tunai tersebut diberikan melalui bank/lembaga keuangan dengan ketentuan diskon tertentu, selanjutnya pihak perbankan akan menagihkan jumlah pembayaran yang diberikan kepada supplier/koperasi kepada ritel modern/ industri pengolahan/eksportir. Pembiayaan ini bertujuan memperlancar arus kas supplier/koperasi yang mengalami keterlambatan pembayaran dari ritel modern/ industri pengolahan/eksportir.
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
No
Skema Pembiayaan
Uraian Singkat
Pembiayaan Penjaminan Aset Fisik (Physical Asset Collateralization) 4.
Pembiayaan Sistem Resi Gudang
Kelompok tani dan pelaku lain dalam rantai pasok memberikan jaminan ke bank atau lembaga keuangan dalam bentuk hasil produksi yang disimpan dalam gudang yang sudah tersertifikasi dan menerapkan sistem tunda jual. Pihak gudang mengeluarkan bukti kepemilikan barang yang dapat digunakan sebagai jaminan (resi gudang) dan digunakan oleh petani/kelompok tani untuk pengajuan kredit. Kredit tersebut digunakan oleh petani untuk biaya usaha tani, selanjutnya pembayaran kredit ke bank dilakukan pada saat produk dijual dengan harga yang lebih baik.
5.
Pembiayaan Investasi Teknologi (lease purchase)
Merupakan pembiayaan yang digunakan untuk pembelian investasi teknologi yang menunjang sistem produksi (on farm dan off farm) untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, jaminan ketersediaan produk dan sebagainya. Pembiayaan investasi teknologi diberikan secara tunai oleh perbankan untuk pembelian alat mesin pertanian, alat mesin penanganan pasca panen, kendaraan pengangkut hasil produk dll yang digunakan sebagai jaminan oleh kelompok tani/koperasi/jasa logistik.
A. Skema Pembiayaan Agroinput Skema pembiayaan agroinput merupakan pengembangan dari pembiayaan/kredit usahatani konvensional yang diberikan kepada petani atau pelaku di dalam rantai nilai lainnya, di mana pembayaran kredit dilakukan setelah masa panen. Perbedaan pembiayaan agroinput dengan kredit usaha tani konvensional adalah kredit diberikan kepada kelompok tani/koperasi/jasa logistik perdesaan yang sudah mempunyai kontrak dengan supplier atau pasar terstruktur (yang mensyaratkan kepastian volume, kualitas, kontinuitas dan harga produk). Kredit yang diberikan berupa input produksi (benih, pupuk, pestisida, dll) melalui agen/toko sarana produksi. Pada skema pembiayaan agroinput diperlukan pemahaman yang sama antara kelompok tani dengan lembaga keuangan mengenai karakter komoditas yang diusahakan. Pelaku rantai nilai yang terlibat dalam pembiayaan agroinput adalah: a. Kelompok tani/koperasi/jasa logistik Berperan dalam penyusunan kontrak dengan supplier atau pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan pangan/eksportir) untuk selanjutnya menyusun sistem p roduksi yang meliputi rencana basis produksi, jadwal dan pola tanam, kebutuhan input produksi, penggunaan teknologi budidaya dan rencana pembiayaan produksi. b. Petani Penerima agroinput dengan jadwal tanam yang telah ditentukan oleh kelompok tani/koperasi/ jasa logistik. c. Agen/distributor agroinput Penyedia sarana produksi sesuai dengan kebutuhan kelompok tani/koperasi/jasa logistik. d. Bank/lembaga keuangan Berperan dalam penyaluran kredit agroinput. Alur proses skema pembiayaan agroinput dapat dilihat pada Gambar 52.
135
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 52. Skema Pembiayaan Agroinput Tahapan atau prosedur Skema Pembiayaan Agroinput adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Kontrak Penyusunan kontrak tertulis antara kelompok tani/koperasi/jasa logistik dengan supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/ eksportir). Kontrak tersebut sekurang-kurangnya menjelaskan volume pengiriman, kualitas produk, jadwal dan frekuensi pengiriman, harga rata-rata produk dan sistem pembayaran yang disepakati bersama. Dalam hal ini s upplier atau pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir) bertindak sebagai off taker. 2. Penyusunan Rencana Basis Produksi Kelompok tani/koperasi/jasa logistik menyusun sistem produksi komoditas tertentu yang meliputi rencana basis produksi, jadwal dan pola tanam, kebutuhan input produksi, penggunaan teknologi budidaya dan rencana pembiayaan produksi sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. 3. Pengajuan Pembiayaan Agroinput Rencana basis produksi diajukan kepada bank/lembaga pembiayaan dengan menyertakan dokumen salinan kontrak antara kelompok tani/koperasi/jasa logistik dengan supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir) dan surat rekomendasi dari supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir). 4. Verifikasi Pembiayaan Agroinput Bank/lembaga keuangan melakukan verifikasi rencana basis produksi kepada kelompok tani dan pasar terstruktur. Pada tahap ini perbankan juga dapat melakukan verifikasi kepada 136
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
petani/anggota kelompok tani dan lembaga pendamping kelompok tani yang terdiri dari perguruan tinggi/instansi pemerintah/LSM/lembaga lainnya. 5. Pembiayaan Agroinput Bank/lembaga keuangan menyetujui pembiayaan agroinput dengan ketentuan yang disepakati dalam bentuk input produksi sesuai kebutuhan dengan waktu yang tepat dengan rencana jadwal produksi. 6. Penerbitan Surat Kebutuhan Agroinput Bank/lembaga keuangan menerbitkan surat kebutuhan agroinput yang ditujukan kepada agen/distributor agroinput yang telah ditetapkan sebelumnya. 7. Penyerahan Agroinput Agen/distributor agroinput menyerahkan input produksi (benih, pupuk, pestisida dsb) kepada kelompok tani sesuai dengan kebutuhan. Agroinput dapat diserahkan seluruhnya atau sesuai dengan kebutuhan jadwal produksi. 8. Surat Penerimaan Agroinput Kelompok tani mengeluarkan surat penerimaan agroinput yang telah diserahkan oleh agen/ distributor. 9. Penyaluran Agroinput Kelompok tani menyalurkan agroinput kepada anggota atau petani sesuai dengan jadwal tanam dan kebutuhan usahatani. 10. Pengajuan Invoice Penjualan Agroinput Agen/distributor agroinput mengajukan invoice penjualan agroinput dengan menyertakan surat penerimaan agroinput dari kelompok tani kepada bank/lembaga keuangan. 11. Pembayaran Agroinput Bank/lembaga keuangan melakukan pembayaran kepada agen/distributor agroinput seuai dengan invoice penjualan agroinput. 12. Penyerahan Produk Setelah panen, petani menyerahkan produk hasil panennya yang sesuai dengan spesifikasi permintaan pasar terstruktur kepada kelompok tani. 13. Pendistribusian Produk Produk dari anggota kelompok tani kemudian didistribusikan ke supplier atau pasar terstruktur, setelah sebelumnya dilakukan penanganan pascapanen yang terdiri dari sortasi, grading, pengemasan dan pelabelan. 14. Pembayaran Produk Pembayaran dilakukan oleh supplier atau pasar terstruktur setelah menerima produk dari kelompok tani dan melalui berbagai tahapan administrasi.
137
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
15. Pembayaran kepada Petani Petani memperoleh pembayaran dari kelompok tani setelah dikurangi biaya agroinput yang diterima petani. 16. Pembayaran Kredit Pembayaran kredit kepada bank/lembaga keuangan dilakukan setelah kelompok tani menerima pembayaran dari supplier atau pasar terstruktur. B. Skema Pembiayaan Jasa Perdagangan Skema pembiayaan jasa perdagangan digunakan untuk tambahan modal kerja berupa pembiayaan yang diberikan kepada kelompok tani untuk membayar hasil produksi kepada anggota kelompok tani/koperasi/jasa logistik pedesaan pada saat penyerahan hasil produksi yang sesuai dengan permintaan pasar terstruktur. Petani memerlukan uang tunai yang akan digunakan untuk biaya usahatani dan kebutuhan hidupnya. Pembiayaan ini dilakukan jika pembayaran yang diterima oleh kelompok tani/koperasi/jasa logistik perdesaan dari supplier atau pasar terstruktur memerlukan waktu lama (delayed term of payments). Pada skema pembiayaan jasa perdagangan diperlukan kesamaan pemahaman antara kelompok tani dengan lembaga keuangan mengenai sistem pembayaran yang diterapkan oleh supplier/pasar terstruktur dan penyusunan siklus kas usaha kelompok tani. Pelaku rantai nilai yang terlibat dalam pembiayaan jasa perdagangan adalah : a. Kelompok tani/koperasi/jasa logistik Berperan dalam penyusunan kontrak dengan supplier atau pasar terstruktur (ritel modern/ industri pengolahan pangan/eksportir) dan kemudian menyusun siklus kas dan rencana pembiayaan perdagangan. b. Petani Penerima pembayaran dengan nilai yang ditentukan berdasarkan kesepakatan harga per satuan volume produksi yang sesuai dengan spesifikasi tujuan pasar. c. Bank/lembaga keuangan Berperan dalam penyaluran kredit jasa perdagangan. Alur proses skema pembiayaan jasa perdagangan dapat dilihat pada Gambar 53.
138
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 53. Skema Pembiayaan Jasa Perdagangan Tahapan atau Prosedur Skema Pembiayaan Jasa Perdagangan adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Kontrak dan Siklus Kas Penyusunan kontrak tertulis antara kelompok tani/koperasi/jasa logistik dengan supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/ eksportir). Kontrak tersebut sekurang- kurangnya menjelaskan volume pengiriman, kualitas produk, jadwal dan frekuensi pengiriman, harga rata-rata produk dan sistem pembayaran yang disepakati bersama. Dalam hal ini supplier atau pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir) bertindak sebagai off taker. Selanjutnya kelompok tani/koperasi/jasa logistik menyusun siklus kas usaha yang di dalamnya terdapat aset usaha, jadwal panen dan pengiriman (kolektivitas hasil produksi), jadwal pengeluaran dan penerimaan uang tunai, dan rencana pembiayaan jasa perdagangan. 2. Pengajuan Pembiayaan Jasa Perdagangan Rencana pembiayaan jasa perdagangan dan siklus kas diajukan kepada bank/lembaga keuangan dengan menyertakan dokumen salinan kontrak antara kelompok tani tani/koperasi/ jasa logistik dengan supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir) dan surat rekomendasi dari supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/ eksportir). 3. Verifikasi Pembiayaan Jasa Perdagangan Bank/lembaga keuangan melakukan verifikasi rencana pembiayaan jasa perdagangan kepada kelompok tani dan pasar terstruktur. Pada tahap ini bank juga dapat melakukan verifikasi kepada petani/anggota kelompok tani dan lembaga pendamping kelompok tani yang terdiri dari perguruan tinggi/instansi pemerintah/LSM/lembaga lainnya.
139
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
4. Pembiayaan Jasa Perdagangan Bank/lembaga keuangan menyetujui pembiayaan jasa perdagangan dengan ketentuan yang disepakati secara tunai sesuai rencana pembiayaan jasa perdagangan. 5. Penyerahan Produk Setelah panen, petani menyerahkan produk hasil usahanya yang sesuai dengan spesifikasi permintaan pasar terstruktur kepada kelompok tani. 6. Penerbitan Surat Bukti Terima Barang Kelompok tani menerbitkan Surat Bukti Terima Barang (BTB) untuk petani atau a nggota kelompok, yaitu bukti penerimaan produk dari petani yang sesuai dengan spesifikasi permintaan pasar. Surat BTB menjadi acuan untuk pembayaran produk dari kelompok tani kepada petani anggota. 7. Pendistribusian Produk Produk dari anggota kelompok tani kemudian didistribusikan kepada supplier atau tujuan pasar terstruktur, setelah sebelumnya dilakukan penanganan pasca panen (sortasi, grading, pengemasan dan pelabelan). 8. Penerimaan surat Bukti Terima Barang Kelompok tani menerima Surat Bukti Terima Barang (BTB) dari supplier atau pembeli (pasar terstruktur) yaitu bukti penerimaan produk dari kelompok tani yang sesuai dengan spesifikasi permintaan pasar. Surat BTB menjadi acuan untuk pembayaran produk dari pembeli (supplier dan pasar terstruktur) kepada kelompok tani. 9. Penerbitan surat tagihan/invoice Kelompok tani menerbitkan Surat Tagihan (invoice) untuk supplier dan pasar terstruktur s esuai dengan BTB yang telah dterbitkan. 10. Pembayaran kepada Petani Petani memperoleh pembayaran dari kelompok tani sesuai dengan BTB yang telah diterbitkan. Sumber pembiayaan untuk pembayaran ini diperoleh dari skema pembiayaan jasa perdagangan. 11. Pembayaran Produk Pembayaran dilakukan oleh supplier atau pasar terstruktur setelah menerima produk dari kelompok tani dan melalui berbagai tahapan administrasi yang biasanya memerlukan waktu antara 10 sampai 14 hari kerja. 12. Pembayaran Kredit Pembayaran kredit kepada bank/lembaga keuangan dilakukan setelah kelompok tani menerima pembayaran dari supplier atau pasar terstruktur. C. Skema Pembiayaan Investasi Teknologi (Financial Lease Purchase) Skema pembiayaan investasi teknologi merupakan pembiayaan yang digunakan untuk pembelian investasi teknologi penunjang sistem produksi, baik teknologi perbaikan budidaya (on farm) maupun pascapanen dan pendistribusian (off farm) untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, 140
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
dan jaminan ketersediaan produk. Pembiayaan investasi teknologi diberikan tunai oleh bank/ lembaga keuangan untuk pembelian alat mesin pertanian, alat mesin penanganan pascapanen, perbaikan gudang/rumah kemas, kendaraan pengangkut hasil produk dan sebagainya yang digunakan sebagai jaminan (collateral) oleh kelompok tani/koperasi/jasa logistik. Kelompok tani/ koperasi/jasa logistik memberikan layanan sewa alat/mesin tersebut kepada anggota. Uang hasil sewa digunakan untuk membayar angsuran kredit kepada bank/lembaga keuangan. Pada skema pembiayaan ini kepemilikan investasi alat dan mesin harus jelas, sehingga sebaiknya kelompok tani berbadan hukum. Pelaku rantai nilai yang terlibat dalam pembiayaan investasi teknologi antara lain: a. Kelompok tani/koperasi/jasa logistik Mengajukan pembiayaan, berperan sebagai pemilik investasi alat-mesin dan bertanggung jawab dalam pengelolaan jasa pelayanan penyewaan alat dan mesin tersebut. b. Petani Penerima manfaat dan pengguna layanan teknologi alat dan mesin dengan kewajiban membayar nilai sewa berdasarkan kesepakatan internal kelompok tani/koperasi jasa layanan logistik. c. Bank/lembaga keuangan Berperan dalam penyaluran pembiayaan investasi teknologi. .Alur proses Skema Pembiayaan Investasi Teknologi dapat dilihat pada Gambar 54
Gambar 54. Skema Pembiayaan Investasi Teknologi Tahapan atau Prosedur Skema Pembiayaan Investasi Teknologi adalah sebagai berikut:
141
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
1. Penyusunan Kontrak dan Kebutuhan Investasi Teknologi Penyusunan kontrak tertulis antara kelompok tani/koperasi/jasa logistik dengan supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/ eksportir), yang sekurang-kurangnya menjelaskan volume pengiriman, kualitas produk, jadwal dan frekuensi pengiriman, harga rata-rata produk dan sistem pembayaran yang disepakati bersama. Dalam hal ini supplier atau pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir) bertindak sebagai off taker. Selanjutnya kelompok tani/koperasi/jasa logistik menyusun rencana pembiayaan investasi teknologi dan arus kas layanan jasa alat dan mesin. 2. Pengajuan Pembiayaan Investasi Teknologi Rencana pembiayaan investasi teknologi dan arus kas layanan jasa alat dan mesin diajukan kepada bank/lembaga keuangan dengan menyertakan dokumen salinan kontrak antara kelompok tani/koperasi/jasa logistik dengan supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/ industri pengolahan/eksportir) dan surat rekomendasi dari supplier dan pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir). 3. Verifikasi Pembiayaan Investasi Teknologi Bank/lembaga keuangan melakukan verifikasi rencana pembiayaan investasi teknologi k epada kelompok tani dan pasar terstruktur. Pada tahap ini pihak perbankan juga dapat melakukan verifikasi kepada petani/anggota kelompok tani dan lembaga pendamping kelompok tani yang terdiri dari perguruan tinggi/instansi pemerintah/LSM/lembaga lainnya. 4. Pembiayaan Investasi Teknologi Bank/lembaga keuangan menyetujui pembiayaan investasi teknologi dengan ketentuan yang disepakati dalam bentuk tunai sesuai rencana pembiayaan investasi teknologi. 5. Pengadaan Alat dan Mesin (investasi teknologi) Kelompok tani/koperasi/jasa logistik membeli alat dan mesin sesuai kebutuhan (on farm dan off farm). 6. Aplikasi Teknologi Aplikasi teknologi di tingkat petani untuk meningkatkan produktivitas, kualitas dan menjamin ketersediaan pasokan, dan pada kelompok tani untuk penanganan pascapanen dan distribusi. 7. Penyerahan Produk Setelah panen, petani menyerahkan produk hasil usahanya yang sesuai dengan spesifikasi permintaan pasar terstruktur kepada kelompok tani. 8. Pendistribusian Produk Produk dari anggota kelompok tani didistribusikan kepada supplier atau tujuan p asar terstruktur, setelah sebelumnya dilakukan penanganan pascapanen (sortasi, grading, pengemasan dan pelabelan). 9. Pembayaran Produk Pembayaran dilakukan oleh supplier atau pasar terstruktur setelah menerima produk dari kelompok tani/koperasi/jasa logstik dan melalui berbagai tahapan administrasi . 142
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
10. Pembayaran Petani Petani memperoleh pembayaran dari kelompok tani sesuai dengan produk yang telah diserahkan. Selanjutnya petani membayar nilai layanan jasa sewa alat mesin dan logistik kepada kelompok tani/koperasi/jasa logstik. 11. Pembayaran Kredit Pembayaran kredit kepada bank atau lembaga keuangan dilakukan setelah kelompok tani menerima pembayaran dari petani anggota, supplier atau pasar terstruktur. D. Skema Pembiayaan Anjak Piutang Skema pembiayaan anjak piutang merupakan pembiayaan yang diberikan kepada ritel modern/ industri pengolahan/ eksportir
yang telah terikat kontrak dengan kelompok tani/supplier/
koperasi/jasa logistik agar dapat memberikan pembayaran tunai segera setelah pengiriman produk. Pembayaran tunai tersebut diberikan melalui bank/lembaga keuangan dengan ketentuan diskon tertentu. Selanjutnya bank/lembaga keuangan akan menagihkan jumlah pembayaran yang diberikan kepada supplier/koperasi kepada ritel modern/industri pengolahan/eksportir. Pembiayaan ini bertujuan untuk memperlancar arus kas kelompok tani/supplier/koperasi/ jasa logistik yang mengalami kelambatan pembayaran dari ritel modern/industri pengolahan/ eksportir (delayed term of payments). Skema pembiayaan anjak piutang memerlukan kesamaan pemahaman antara kelompok tani, supplier/pemasok, koperasi, jasa logistik dengan bank/lembaga keuangan mengenai sistem pembayaran yang diterapkan oleh ritel modern, industri pengolahan dan eksportir. Pelaku dalam rantai nilai yang terlibat dalam pembiayaan agroinput adalah: a. Pelaku pasar terstruktur seperti ritel modern/industri pengolahan pangan/ eksportir yang mengajukan skema pembiayaan anjak piutang. b. Kelompok tani/koperasi/supplier/jasa logistik sebagai penerima manfaat dari pembiayaan anjak piutang untuk melancarkan arus kas usaha. c. Bank/lembaga keuangan yang berperan dalam penyaluran pembiayaan anjak piutang. Alur proses Skema Pembiayaan Anjak Piutang dapat dilihat pada Gambar 55.
143
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 55. Skema Pembiayaan Anjak Piutang Tahapan atau Prosedur Skema Pembiayaan Anjak Piutang adalah sebagai berikut: 1. Pengajuan Pembiayaan Anjak Piutang Pelaku pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir) mengajukan pembiayaan anjak piutang kepada bank/lembaga keuangan dengan menyertakan rencana penerimaan produk dari masing-masing kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier. Selanjutnya k elompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier mengirimkan barang kepada pelaku pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/eksportir). 2. Penerimaan Surat Bukti Terima Barang dan Invoice Kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier menerima Surat Bukti Terima Barang (BTB) dan invoice dari pembeli (pasar terstruktur). Surat BTB dan invoice tersebut akan menjadi acuan untuk pembayaran produk dari pembeli (pasar terstruktur) melalui bank/lembaga keuangan. 3. Pengajuan surat Bukti Terima Barang dan Invoice Kelompok Tani/koperasi/jasa logistik/supplier mengajukan surat BTB dan invoice kepada Bank/ lembaga keuangan untuk memperoleh pembayaran tunai. Nilai pembayaran yang terdapat surat BTB dan invoice tersebut tidak dibayarkan sepenuhnya oleh bank, namun ada ketentuan diskon misalnya sebesar 20%-25% atau berdasarkan kesepakatan bersama. 4. Notifikasi Anjak Piutang Bank/lembaga keuangan menerbitkan Notifikasi Anjak Piutang kepada pelaku pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/ eksportir) sesuai dengan surat BTB dan invoice yang diterima dari kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier. Jika surat notifikasi tersebut telah diverifikasi oleh pelaku pasar terstruktur, maka selanjutnya bank/lembaga keuangan akan segera membayarkan invoice tersebut kepada kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier. 5. Pembayaran kepada kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier Kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier memperoleh pembayaran dari bank/lembaga 144
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
keuangan sebesar 75%-80% (diskon) yang disertai dengan surat bukti pembayaran dari bank/ lembaga keuangan. 6. Penerbitan Surat Tagihan Bank/lembaga keuangan menerbitkan surat tagihan atau invoice berbatas waktu kepada pelaku pasar terstruktur (ritel modern/industri pengolahan/ eksportir) sesuai dengan surat BTB dan invoice yang diterima dari kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier. 7. Pembayaran Produk Pembayaran dengan nilai jasa tertentu kepada bank/lembaga keuangan dilakukan oleh pelaku pasar terstruktur setelah proses administrasi keuangan selesai yang biasanya memerlukan waktu 10 sampai 14 hari kerja atau sesuai kepakatan antara pelaku pasar terstruktur dengan bank/lembaga keuangan. 8. Pembayaran Akhir Sisa pembayaran kepada kelompok tani/koperasi/jasa logistik/supplier sebesar 20%-25% dari bank atau lembaga keuangan dilakukan setelah menerima pembayaran dari pelaku pasar terstruktur. E. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang Skema pembiayaan sistem resi gudang dilakukan ketika kelompok tani dan pelaku lain dalam rantai nilai memberikan jaminan ke bank atau lembaga keuangan dalam bentuk hasil produksi yang disimpan dalam gudang yang sudah tersertifikasi dan menerapkan sistem tunda jual. Pihak gudang mengeluarkan bukti kepemilikan barang yang dapat digunakan sebagai jaminan (resi gudang) dan digunakan oleh petani/kelompok tani untuk pengajuan kredit usaha tani. Selanjutnya pembayaran kredit ke bank dilakukan pada saat produk dijual dengan harga yang lebih baik. Pelaku dalam rantai nilai yang terlibat dalam pembiayaan sistem resi gudang adalah: a. Kelompok tani/koperasi Berperan sebagai pengumpul gabah dari petani serta yang mengajukan pembiayaan sistem resi gudang. b. Petani Penerima pembiayaan sistem resi gudang. c. Pengelola gudang gabah. Lembaga yang menerbitkan surat kepemilikan produk/gabah dan menerbitkan resi gudang. d. Pelaku penggilingan padi Membeli gabah yang dijual dari kelompok tani pada saat musim paceklik atau ketika harga tinggi. e. Bank/lembaga keuangan Berperan dalam penyaluran pembiayaan sistem resi gudang. Alur proses skema pembiayaan sistem resi gudang dapat dilihat pada Gambar 56.
145
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 56. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang Tahapan atau Prosedur Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang adalah sebagai berikut: 1. Penyerahan Gabah (GKG) dan Penetapan Volume Gabah Yang Disimpan Pada saat panen musim tanam 1, petani menyerahkan hasil panennya dalam bentuk gabah kering giling (GKG) kepada kelompok tani. Sebelumnya kelompok tani telah menyusun kebutuhan sarana produksi anggota kelompok tani untuk musim tanam 2, penetapan v olume gabah yang akan disimpan untuk setiap anggota kelompok yang sesuai dengan kapasitas produksi masing-masing, serta menyusun rencana pembiayaan sistem resi gudang. 2. Penyimpanan Gabah di Gudang Kelompok tani melakukan penyimpanan gabah (GKG) anggota kelompok tani di gudang yang telah tersertifikasi serta memenuhi ketentuan yang berlaku. 3. Penerbitan Resi Gudang Pengelola gudang mengeluarkan surat bukti penerimaan gabah serta menerbitkan resi g udang sesuai dengan volume gabah yang disimpan. Surat resi gudang tersebut menjadi jaminan kepemilikan gabah dan dapat diajukan untuk memperoleh pembiayaan sistem resi gudang. 4. Pengajuan Pembiayaan Sistem Resi Gudang Kelompok tani mengajukan pembiayaan sistem resi gudang dengan menyertakan surat resi gudang yang dikeluarkan oleh pengelola gudang dan mengajukan rencana kebutuhan sarana produksi dan modal kerja kelompok tani kepada bank/lembaga keuangan yang melakukan pembiayaan sistem resi gudang.
146
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
5. Verifikasi Pembiayaan Sistem Resi Gudang Bank/lembaga keuangan melakukan verifikasi rencana pembiayaan sistem resi gudang kepada kelompok tani dan pengelola gudang. Pada tahap ini pihak perbankan juga dapat melakukan verifikasi kepada petani/anggota kelompok tani dan lembaga pendamping kelompok tani yang terdiri dari perguruan tinggi/instansi pemerintah/LSM/lembaga lainnya. 6. Pembiayaan Sistem Resi Gudang Pihak perbankan/lembaga keuangan menyetujui pembiayaan sistem resi gudang sesuai ketentuan yang disepakati dalam bentuk tunai sesuai kebutuhan kelompok tani. 7. Penyerahan Agroinput Kelompok tani menyerahkan sarana produksi atau agroinput kepada petani anggota dan uang tunai untuk modal kerja usahatani sesuai dengan banyaknya gabah yang diserahkan atau disimpan di gudang. 8. Penjualan gabah pada musim tanam 2 Gabah yang disimpan di gudang selanjutnya dijual kepada pembeli atau penggilingan padi pada saat harga cukup tinggi di musim tanam 2. 9. Pembayaran Gabah (GKG) Pembayaran dilakukan oleh pembeli gabah atau penggilingan padi kepada kelompok tani langsung atau melalui pengelola gudang. Selanjutnya kelompok tani membayar jasa sewa gudang sesuai dengan volume gabah yang disimpan dan lamanya waktu penyimpanan gabah. 10. Pembayaran Produk Petani memperoleh pembayaran dari kelompok tani sesuai dengan jumlah gabah yang disimpan yang dikurangi dengan biaya pengadaan agroinput yang telah disalurkan. 11. Pembayaran Kredit Pembayaran kredit Sistem Resi Gudang kepada bank/lembaga keuangan dilakukan setelah kelompok tani menerima pembayaran dari pembeli gabah atau penggilingan padi. Integrasi Pembiayaan Rantai Nilai Produk Pertanian Pembiayaan rantai nilai produk pertanian dapat dilakukan secara terpadu atau terintegrasi oleh satu bank/lembaga keuangan yang mengikuti aliran barang dari setiap pelaku rantai nilai produk pertanian. Integrasi pembiayaan rantai nilai produk pertanian dapat mengurangi risiko yang terjadi pada setiap tahapan proses rantai nilai. Persyaratan utama pada saat akan melakukan pembiayaan rantai nilai terintegrasi adalah pemahaman yang kuat terkait sifat produk pertanian dan struktur rantai nilai produk pertanian yang memiliki sifat khas dan dipengaruhi oleh proses bisnis dari masing-masing pelaku. Secara umum integrasi pembiayaan rantai nilai produk pertanian dapat dilihat pada Gambar 57.
147
Model Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 57. Integrasi Pembiayaan Rantai Nilai Produk Pertanian
148
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Bab VIII Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian Dalam bagian ini akan dibahas perhitungan kelayakan pembiayaan rantai nilai pertanian pada tiga komoditas yang diteliti. Perhitungan kelayakan ini dilakukan berdasarkan skema pembiayaan rantai nilai yang telah dibahas pada bagian sebelumnya dengan menerapkan opsi pembiayaan konvensional dan syariah. Asumsi parameter perhitungan yang digunakan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. 8.1.
Komoditas Beras di Indramayu
Dalam sistem rantai nilai beras, petani menjual hasil panen ke bandar atau penggilingan beras (rice milling unit). Pada dua musim tanam sebelumnya, pada musim hujan rata-rata produksi 6 ton dengan harga rata-rata Rp4.300,00/kg dan pada musim kemarau produksi 5,4 ton dengan harga Rp5.000,00/kg. Analisis usahatani secara ringkas tercantum pada Tabel 54. Tabel 54. Analisis Usahatani Padi per ha per Tahun Petani Non SRG No
Keterangan
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Total (Rp)
A
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Menjual hasil panen kepada bandar/RMU di musim tanam 1 (bulan 2-5)
6.000
kg
4.300
25.800.000
Menjual hasil panen kepada bandar/RMU di musim tanam 2 (bulan 6-9)
5.400
kg
5.000
27.000.000
Total Arus Kas Masuk (A)
52.800.000
Arus Kas Keluar
B
Total Biaya Investasi (B)
C
Total Biaya Tetap
D
Biaya Variabel
Total Biaya Variabel Perlengkapan Produksi (D1)
21.810.000
7.215.000
8.715.000
Total Biaya Variabel Tenaga Kerja (D2)
E
Total Biaya Operasional (C+D)
17.464.286 33.394.286
F
SALDO AKHIR (A-E)
19.405.714
G
RC ratio
1,58
H
BC ratio
0,58
RC ratio mencapai 1,58, artinya dengan pengeluaran Rp100,00 memberikan penerimaan Rp158,00. Namun, kondisi ideal tidak selamanya terjadi. Pada saat panen raya di mana harga lebih rendah, petani tidak dapat menunda penjualan karena harus memenuhi kebutuhan hidup dan modal usahatani musim tanam berikutnya. Oleh karena itu, skema SRG dapat menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan ini meskipun memerlukan penanganan tertentu terhadap gabah untuk dapat memenuhi standar mutu SNI. 149
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Tabel 55. Syarat Gabah Berdasarkan SNI.01-0224-1987 No
Komponen Mutu (% Maksimum)
1 2
Persyaratan Mutu I
Mutu II
Mutu III
Kadar Air
14,0
14,0
14,0
Gabah Hampa
1,0
2,0
3,0
3
Butir Rusak + Butir Kuning
2,0
5,0
7,0
4
Butir Mengapur+ Gabah Muda
1,0
5,0
10,0
5
Butir Merah
1,0
2,0
4,0
6
Benda Asing
-
0,5
1,0
7
Gabah Varietas Lain
2,0
5,0
10,0
Simulasi selanjutnya merupakan analisis usahatani petani peserta SRG selama 1 tahun dengan asumsi rata-rata produksi padi yang memenuhi syarat 6 ton pada musim hujan dan 5,4 ton pada musim kemarau. Asumsi tersebut disusun dengan mempertimbangkan bahwa petani peserta melakukan budidaya secara tepat, termasuk penggunaan agroinput secara tepat waktu, tepat tempat dan tepat dosis. Tabel 56. Simulasi Analisis Usahatani Padi per ha Petani SRG per Tahun No A
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
1. Menjual hasil panen kepada gudang SRG (bulan 2-5)
2.
Menjual hasil panen kepada gudang SRG di musim tanam 2 (bulan 6-9)
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Total (Rp)
6.000
kg/musim tanam
5.000
30.000.000
5.400
kg/musim tanam
7.000
37.800.000
3.
Total Arus Kas Masuk (A)
76.515.000
Arus Kas Keluar
B
Total Biaya Investasi (B)
21.810.000
C
Total Biaya Tetap (C)
9.396.000
D
Biaya Variabel
Total Biaya Variabel Perlengkapan Produksi (D1)
Total Biaya Variabel Tenaga Kerja (D2)
Bayar pinjaman agroinput dan bunga
Kredit Agroinput
8.715.000
8.715.000 17.464.286
1,2
8.715.000
10.458.000
Biaya Admin dan penyimpanan di gudang
11.400
100
1.140.000
Bunga SRG selama masa simpan (2 bulan)
0,06
8.550.000
513.000
Biaya lain
12.111.000
E
TOTAL BIAYA (C+D)
47.686.286
F
SALDO AKHIR (A-E)
28.828.714
per bulan
G RC ratio
1,60
BC ratio
0,60
H
150
Keterangan
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Dengan membebankan biaya penyimpanan gabah di gudang serta biaya kredit agroinput dari perusahaan agroinput, maka RC ratio usahatani padi mencapai 1,6 atau BC ratio 0,6. Ini berarti dengan pengeluaran Rp100,00 dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp160,00.
Simulasi
analisis sensitivitas usahatani padi peserta RG dengan memperhatikan kemungkinan peningkatan biaya produksi dan peningkatan atau penurunan hasil produksi dijelaskan pada Tabel 57. Tabel 57. Simulasi Analisis Usahatani Padi Petani SRG Normal Penerimaan
Rp76.515.000
Pengeluaran
Rp47.686.286
Keuntungan
Rp28.828.714
RC ratio
1,60
BC ratio
0,60
Biaya naik 10%, Penerimaan tetap Penerimaan
Rp76.515.000
Pengeluaran
Rp52.454.914
Keuntungan
Rp24.060.086
RC ratio
1,46
BC ratio
0,46
Biaya tetap, harga naik 10% Penerimaan
Rp84.166.500
Pengeluaran
Rp47.686.286
Keuntungan
Rp36.480.214
RC ratio
1,77
BC ratio
0,77
Biaya naik 10%, produksi turun 10% Penerimaan
Rp68.863.500
Pengeluaran
Rp52.454.914
Keuntungan
Rp16.408.586
RC ratio
1,31
BC ratio
0,31
Hasil simulasi menunjukkan bahwa petani SRG mendapatkan keuntungan sekalipun terjadi fluktuasi produksi maupun harga. Untuk kondisi ketika harga biaya agroinput meningkat tetapi produksi malah menurun sebesar 10%, RC gabah masih mencapai angka 1,31. Untuk kelompok tani/koperasi yang mengelola gudang, pada dasarnya pendapatan bersumber dari fee pengelolaan gudang untuk penyimpanan gabah. Beberapa kegiatan yang dilakukan gudang antara lain pengangkutan, penjemuran, dan penimbangan. Selain itu pengelola gudang (kelompok, gapoktan atau koperasi) dapat memperoleh fee dari pengadaan atau penyaluran agroinput dari perusahaan agroinput. Secara garis besar dapat dilihat pada Tabel 58.
151
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Tabel 58. Analisis Usaha Penyimpanan Gabah (Gudang) Kelompok/BPP per Tahun No
Keterangan
A.
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Total (Rp)
Saldo Kas Awal
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
200
10.458.000
2.091.600.000
100.000
360.000.000
Penerimaan dari penyaluran agroinput Penerimaan dari biaya admin dan penyimpanan gudang
Dengan asumsi kapasitas gudang yang terpenuhi per bulan 300 ton (3.600 ton setahun) dan pengelola gudang menyalurkan agroinput kepada petani, diperoleh RC ratio 1,1. Kelayakan usaha pengelolaan gudang ini dapat dilihat dari hasil analisis NPV dan IRR pada Tabel 59. Dengan NPV pengelolaan gudang mencapai Rp407.566.409,50 dan IRR 84,19, usaha gudang layak untuk diimplementasikan. Tabel 59. Kelayakan Usaha Gudang pada Kelompok untuk Mendukung SRG Tahun
Arus tunai
DF=20%
NPV 20%
DF=85%
NPV 85%
0
-Rp253.000.000
1,00000
-253.000.000
1,0000
-253.000.000
1
Rp220.880.000
0,83333
184.066.666,7
0,5405
119.394.594,6
2
Rp220.880.000
0,69444
153.388.888,9
0,2922
64.537.618,7
3
Rp220.880.000
0,57870
127.824.074,1
0,1579
34.885.199,3
4
Rp220.880.000
0,48225
106.520.061,7
0,0854
18.856.864,48
0,40188
88.766.718,11
0,0461
5
Rp220.880.000 IRR
10.192.899,72
407.566.409,5 84,19
-5.132.823,202
Analisis Usahatani Peserta SRG dengan Pembiayaan Syariah Pola pembiayaan syariah yang saat ini banyak digunakan adalah pola bagi hasil dan jual beli. Bila pola pembiayaan menggunakan sistem bagi hasil, maka tingkat keuntungan yang diperoleh dihitung menggunakan nisbah bagi hasil, yaitu proporsi keuntungan yang diharapkan oleh suatu usaha. Namun bila menggunakan pola jual beli maka keuntungan diperoleh dari margin, yaitu
152
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
keuntungan dihitung dari selisih harga beli dengan harga jual yang merupakan keuntungan yang ingin diperoleh. Adanya berbagai pola pembiayaan yang dapat digunakan berdasarkan prinsip syariah memberikan peluang yang lebih besar serta keleluasaan baik bagi bank sebagai pemberi dana maupun bagi nasabah sebagai peminjam untuk menentukan jenis pembiayaan yang ingin diambil sesuai dengan jenis usaha serta kemampuan keuangan dari usaha yang akan dibiayai. Namun demikian, lembaga keuangan juga mempertimbangkan beberapa faktor yang menentukan kelayakan usaha, baik faktor materiil atau immateriil. Hal ini menyebabkan jenis pembiayaan yang diberikan oleh pemberi dana dapat berbeda untuk jenis usaha yang sama. Namun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa bank syariah lebih menyukai akad mudharabah. Terkait perkembangan pembiayaan berbasis syariah di Indonesia, maka dilakukan analisis usahatani dengan pembiayaan syariah. Dengan basis data produksi, biaya dan lainnya sama dengan konvensional, proyeksi angsuran dan margin untuk usahatani padi sebagaimana tercantum pada Tabel 60. Tabel 60. Proyeksi Angsuran dan Margin Pembiayaan No
Uraian
Satuan
Jumlah
1
Total Biaya Investasi
(Rp)
21.810.000
Pembiayaan untuk barang investasi (40%)
(Rp)
0
2
Total Biaya Modal Kerja
(Rp)
35.575.286
Pembiayaan pembelian bahan pelengkap (40%)
(Rp)
14.230.114
3
Total Biaya Produksi
(Rp)
57.385.286
a. Pembiayaan
(Rp)
14.230.114
b. Modal Sendiri
(Rp)
43.155.171
4
Total Pembiayaan dan Margin
(Rp)
20.159.329
a. Pembiayaan investasi
(Rp)
0
(Rp)
0
Margin Investasi
b. Pembiayaan Modal Kerja
(Rp)
14.230.114
Margin Modal Kerja
(Rp)
2.964.607
(Rp)
2.964.607
(Rp)
14.230.114
c. Total Margin
Keterangan: Angsuran Pengembalian Pembiayaan B. Pembiayaan Modal Kerja Jangka Waktu
Tahun
1
Besarnya Margin
(Rp)
2.964.607
Uang Muka
(Rp)
0
Angsuran Pokok Per Tahun
(Rp)
14.230.114
Angsuran Margin Per Tahun
(Rp)
2.964.607
Angsuran Pokok Per Bulan
(Rp)
1.423.011
Angsuran Margin Per Bulan
(Rp)
296.461
Total Angsuran Pokok & Margin per Bulan
(Rp)
1.719.472
Setelah proyeksi angsuran dan margin diperoleh, hasil analisis usahatani padi per hektar per tahun untuk petani SRG dengan menggunakan akad mudharabah tercantum dalam Tabel 61. 153
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Tabel 61. Analisis Usahatani Padi per ha Petani SRG per tahun (Pembiayaan Mudharabah) No
Keterangan
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Total (Rp)
Saldo Kas Awal
A
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Menjual hasil panen kepada gudang SRG (bulan 2-5)
6.000
kg/musim tanam
5.000
30.000.000
Menjual hasil panen kepada gudang SRG di musim tanam 2 (bulan 6-9)
5.400
kg/musim tanam
7.000
37.800.000
Pembiayaan Syariah
14.230.114
Total Arus Kas Masuk (A)
82.030.114
Arus Kas Keluar
B
Total Biaya Investasi (B)
C
Total Biaya Tetap (C)
D
Biaya Variabel
Total Biaya Variabel Perlengkapan Produksi (D1)
Total Biaya Variabel Tenaga Kerja (D2)
Bayar Angsuran dan Margin
E
TOTAL BIAYA (C+D)
56.208.950
F
SALDO AKHIR (A-E)
25.821.163
G
RC ratio
1,46
H
BC ratio
0,46
12
-
21.810.000
9.396.000
8.715.000
17.464.286
1.719.472
20.633.664
Hasil analisis dengan akad mudharabah menghasilkan RC ratio 1,46, yang berarti setiap pengeluaran Rp100,00 akan menghasilkan penerimaan Rp146,00. Bila dibandingkan, RC ratio tingkat petani (grower) dengan pola konvensional lebih besar yaitu 1,6. Namun demikian, penggunaan pembiayaan syariah memiliki keunggulan dari sisi ketenangan berusaha karena sesuai dengan prinsip syariah. Tingkat RC yang lebih rendah kemungkinan disebabkan margin yang cukup tinggi sehingga penetapan besarnya margin perlu ditinjau kembali. Analisis Usaha Pengelolaan Gudang dengan Pembiayaan Syariah Mengacu kepada struktur biaya gudang pada analisis usaha pola konvensional, maka perhitungan proyeksi angsuran dan margin pembiayaan untuk gudang adalah sebagaimana tercantum dalam Tabel 62. Tabel 62. Simulasi Pembiayaan Usaha Pengelolaan Gudang Gabah di Kelompok/BPP dengan Pembiayaan Konvensional No
154
Uraian
Jumlah (Rp)
1
Total Biaya Investasi
253.000.000
Pembiayaan untuk barang investasi (40%)
101.200.000
2
Total Biaya Modal Kerja
243.700.000
Pembiayaan modal kerja (40%)
3
Total Biaya Produksi
496.700.000
a. Pembiayaan
198.680.000
97.480.000
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
No
Uraian
Jumlah (Rp)
b. Modal Sendiri
298.020.000
4
Total Pembiayaan dan Margin
281.463.333
a. Pembiayaan investasi
101.200.000
Margin Investasi
21.083.333
b. Pembiayaan Modal Kerja
97.480.000
Margin Modal Kerja
20.308.333
c. Total Margin
41.391.667
Keterangan:
Angsuran Pengembalian Pembiayaan
1 tahun = 3 kali musim tanam (bulan)
Margin
10 0,21
A. Pembiayaan Investasi
101.200.000
Jangka Waktu (tahun)
1
Besarnya Margin
Uang Muka
Angsuran Pokok Per Tahun
101.200.000
Angsuran Margin Per Tahun
21.083.333
Angsuran Pokok Per Bulan
10.120.000
Angsuran Margin Per Bulan
2.108.333
Total Angsuran Pokok & Margin per Bulan
21.083.333 0
12.228.333
B. Pembiayaan Modal Kerja
Jangka Waktu (tahun)
Besarnya Margin
Uang Muka
Angsuran Pokok Per Tahun
97.480.000
Angsuran Margin Per Tahun
20.308.333
Angsuran Pokok Per Bulan
9.748.000
Angsuran Margin Per Bulan
2.030.833
Total Angsuran Pokok & Margin per Bulan
97.480.000 1 20.308.333 0
11.778.833
Total Angsuran pembiayaan per bulan
24.007.167
Dengan asumsi terdapat biaya penyimpanan, administrasi, penjemuran dan lain-lain sebagai biaya gudang sebesar Rp100.000,00/ton, maka analisis usaha pergudangan gabah di kelompok atau koperasi sebagaimana Tabel 63. Tabel 63. Simulasi Pembiayaan Usaha Penyimpanan Gabah (Gudang) di Kelompok/BPP dengan Pembiayaan Syariah No
Keterangan
Jumlah
A
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Pembiayaan syariah
Penerimaan dari Biaya admin dan penyimpanan gudang
Satuan
Harga (Rp)
3.600
Ton
Total 198.680.000
100.000
360.000.000
Total Arus Kas Masuk (A)
558.680.000
Arus Kas Keluar (Pengeluaran):
155
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Seperti petani (grower), RC ratio pembiayaan syariah untuk tingkat kelompok atau koperasi sedikit lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pembebanan margin perlu dibicarakan kembali antara koperasi dan bank syariah, termasuk perhitungan proporsi pembiayaan dan tingkat margin antara investasi dan modal kerja. 8.2.
Komoditas Bawang Merah di Brebes
Usahatani bawang merah dapat dilakukan 2 kali setahun, yaitu pada musim hujan dan musim kemarau (April–November), dilanjutkan bera 1 bulan dan kemudian ditanami padi (Desember– Maret). Petani bawang merah di Brebes umumnya tidak memanen sendiri, melainkan oleh penebas. Artinya, petani bawang merah tidak pernah mengetahui produksi yang dihasilkan. Dari hasil penelusuran informasi dan data di lapangan, hasil analisis usahatani bawang merah pada luasan lahan 1 hektar selama 1 tahun dapat dilhat pada Tabel 64. Tabel 64. Analisis Usahatani Bawang Merah per Tahun per ha No
Keterangan
A
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Panen musim hujan
Total Arus Kas Masuk (A)
Arus Kas Keluar (Pengeluaran)
B
Total Biaya Investasi (B)
C
Total Biaya Tetap (C)
D
Biaya Variabel
Satuan
Panen musim kemarau
156
Jumlah
Harga (Rp)
Total (Rp)
20.000
kg
11.000
220.000.000
8.000
kg
9.000
72.000.000
292.000.000
2.350.000
34.500.000
Total Biaya Variabel Agroinput (D1)
134.773.500
Total Biaya Variabel Tenaga Kerja (D2)
26.255.000
Total Biaya Variabel Lainnya (D3)
8.360.000
E
Bunga Pinjaman Bank
F
Total Biaya Operasional (C+D+E)
213.313.500
G
Saldo Akhir (A-F)
78.686.500
H
RC Ratio
0,1
65.000.000
1,37
9.425.000
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa produktivitas rata-rata musim kemarau mencapai 20 ton per ha, sedangkan pada musim hujan 8 ton per ha. Pada musim hujan tingkat kebusukan dapat mencapai 20%. Kondisi tersebut terjadi pada keadaan normal, karena pada keadaan tidak normal harga bawang merah dapat sangat rendah sehingga banyak dibuang. Modal petani bawang merah umumnya berasal dari hasil panen sebelumnya. Apabila kekurangan modal, petani biasanya meminjam ke rentenir dengan bunga sekitar 10%/bulan dan rata-rata peminjaman Rp5.000.000,00-Rp10.000.000,00 untuk lahan seluas 1/4 bahu (1.750 m²) dengan masa cicilan 5-6 bulan. Bagi petani yang bergabung dengan kelompok tani binaan Dinas, biasanya mendapatkan pinjaman dari kelompok. Pinjaman dari bank untuk petani yang memiliki minimal 1 Ha dapat mencapai Rp50.000.000,00-Rp65.000.000,00 setahun dengan tingkat bunga sekitar 14,5%. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani bawang merah dapat memberikan keuntungan dengan RC ratio 1,37, artinya pengeluaran Rp100,00 dapat menghasilkan penerimaan Rp137,00. Analisis Usahatani Bawang Merah untuk Pasar Terstruktur Selanjutnya, analisis untuk pasar terstruktur dengan menggunakan model pembiayaan yang melibatkan lembaga dari luar rantai pasok (misalnya perusahaan agroinput memberikan kredit berupa natura melalui kelompok atau koperasi logistik), dan untuk mengatasi kelambatan pembayaran dari buyer (misalnya bank melalui penggunaan kredit anjak piutang (factoring)) dapat dilihat pada Tabel 65. Tabel 65. Simulasi Pembiayaan Usahatani Bawang Merah Anggota Kelompok/Koperasi per Tahun No A
Keterangan
Jumlah
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Satuan
Harga
Total (Rp)
Musim Kemarau
20.000
kg
13.000
260.000.000
Musim Hujan
8.000
kg
10.000
80.000.000 340.000.000
Jumlah Nilai penjualan bawang
Kredit untuk agroinput
134.773.500
Total Arus Kas Masuk (A)
474.773.500
Arus Kas Keluar (Pengeluaran):
B
Total Biaya Investasi
C
Total Biaya Tetap (C)
D
2.350.000 34.500.000
Biaya Variabel
Total Biaya Variabel Agroinput (D1)
134.773.500
Total Biaya Variabel Tenaga Kerja (D2)
27.305.000
Total Biaya Variabel Biaya Lainnya (D3)
8.360.000
E
Bunga pinjaman agroinput
0,200
134.773.500
26.954.700
Angsuran
12,00
11.231.125
134.773.500
Bunga anjak piutang (70% dr nilai jual) selama 1 bulan
0,16
F
Total Biaya Operasional (C+D+E)
370.474.700
G
SALDO AKHIR (A-F)
104.298.800
H
RC Ratio
30 hari
0,16x30/300x0,7
3.808.000
1,28 157
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Beberapa parameter yang digunakan pada analisis di atas yaitu: 1. Produksi diasumsikan sama dengan petani bukan anggota kelompok. 2. Harga lebih tinggi dibanding harga rata-rata.
3. Kredit dari perusahaan saprodi melalui koperasi.
4. Anjak piutang dari bank untuk dana talangan dengan bunga 16% per tahun, 1 tahun=360
hari, masa pinjaman 1-2 bulan tergantung pembayaran oleh buyer. Dana talangan sebesar 70% dari nilai jual bawang merah, sisanya dibayar ketika buyer telah melakukan pembayaran ke bank.
Hasil analisis menunjukkan nilai RC ratio 1,28, yang berarti dengan pengeluaran Rp100,00 rupiah dapat menghasilkan penerimaan Rp128,00. Angkanya lebih rendah dibandingkan dengan petani non anggota koperasi yang ditebas, namun tingkat sustainability usaha lebih terjamin karena risiko yang disebabkan fluktuasi harga dan kepastian pasar dapat diatasi. Untuk mempertajam analisis tingkat fleksibilitas hasil usahatani bawang merah petani anggota kelompok atau koperasi, dapat dilihat hasil simulasi sensitivitas pada Tabel 66. Dari hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa usahatani bawang merah melalui kelompok atau koperasi dengan tujuan pasar terstruktur menguntungkan karena ketika biaya naik atau harga turun tetap menghasilkan nilai RC lebih dari 1. Tabel 66. Simulasi Analisis Usahatani Bawang Merah per ha per Tahun Normal
Jumlah (Rp)
Penerimaan
474.773.500
Pengeluaran
366.666.700
Keuntungan
108.106.800
RC Ratio
1,29
BC Ratio
0,29
Biaya meningkat 10%, harga tetap
Penerimaan
474.773.500
Pengeluaran
403.333.370
Keuntungan
71.440.130
RC Ratio
1,18
BC Ratio
0,18
Biaya Tetap, harga meningkat 10%
Penerimaan
522.250.850.0
Pengeluaran
366.666.700
Keuntungan
155.584.150
RC Ratio
1,42
BC Ratio
0,42
Biaya Naik 10%, harga naik 5%
158
Penerimaan
498.512.175
Pengeluaran
403.333.370
Keuntungan
95.178.805
RC Ratio
1,24
BC Ratio
0,24
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Selanjutnya pada tingkat kelompok atau koperasi, analisis dilakukan dengan beberapa asumsi dan parameter sebagai berikut: a. Koperasi melakukan usaha memasarkan bawang merah dan sebagai channeling pengadaan agroinput dari perusahaan agroinput,
b. Penjualan agroinput memberikan kredit berupa natura,
c. Bank memberikan pelayanan kredit anjak piutang (factoring) kepada petani melalui koperasi. Tabel 67. Analisis Usaha Koperasi Logistik Bawang Merah per Tahun, 2014 dengan Kredit Konvensional No
Keterangan
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
A.
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Penjualan bawang merah
Penjualan Agroinput
Pembayaran Adm+bunga factoring
Penjualan bawang merah ke pasar lain
Total Arus Kas Masuk (A)
B
Arus Kas Keluar (Pengeluaran):
280.000
Total (Rp)
per tahun
15.000
4.200.000.000
33.000 HPP/tan+fee
8.580
283.140.000
303.333.333
30.333.333
0,10
per tahun
4.513.473.333
Total Biaya Investasi (B)
394.400.000
C
Biaya Operasional
4.227.833.333
D
Total Biaya Operasional ( C )
4.227.833.333
E
SALDO AKHIR (A-C)
285.640.000
F
RC ratio
1,07
G
BC ratio
0,07
Berdasarkan data di atas, nilai piutang koperasi mencapai Rp4.200.000.000,00. Pembayaran di muka umumnya 70% dari nilai piutang dengan bunga 16%/tahun dan dengan tenggang waktu pembayaran 1 bulan maka bunga yang harus dibayar adalah 30/360 dari 70% nilai anjak piutang tersebut. Pada perhitungan di atas diasumsikan bunga untuk agroinput 20%/tahun. Hasil analisis usaha koperasi yang menerapkan sistem pembayaran anjak piutang (factoring) untuk pembayaran ke petani dan bekerja sama dengan perusahaan penyedia agroinput dapat dilihat pada Tabel 67. Koperasi menjalankan fungsinya menghadapi pasar input dan output demi mendapatkan harga terbaik untuk anggota. Koperasi masih mendapatkan keuntungan dan kegiatannya tetap berkelanjutan walaupun RC ratio-nya hanya 1,07 yang artinya dengan pengeluaran Rp100,00 bisa menerima Rp107,00. Dalam skala yang cukup besar angka tersebut sangat berarti. Untuk tingkat kelayakan, analisis bisnis yang dijalankan koperasi menunjukkan usaha koperasi layak dilaksanakan karena NPV pada tingkat DF 20% sebesar Rp459.838.452,00 dengan IRR 68,41% yang lebih tinggi dibandingkan bunga komersial (Tabel 68).
159
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Tabel 68. Cash Flow Koperasi Bawang Merah Brebes Tahun
Arus Tunai
DF=20%
Arus Tunai dengan DF20%
Arus Tunai dengan DF70%
DF=70%
0
-Rp394.400.000
1,0000
-Rp394.400.000
1,0000
-Rp394.400.000
1
Rp285.640.000
0,8333
Rp238.033.333
0,5882
Rp168.023.529
2
Rp285.640.000
0,6944
Rp198.361.111
0,3460
Rp98.837.370
3
Rp285.640.000
0,5787
Rp165.300.926
0,2035
Rp58.139.630
4
Rp285.640.000
0,4823
Rp137.750.772
0,1197
Rp34.199.782
5
Rp285.640.000
0,4019
Rp114.792.310
0,0704
Rp20.117.519
NPV
IRR
Rp459.838.452
68,41
-Rp15.082.170
Dengan menggunakan konsep pembiayaan syariah, ternyata usaha koperasi bawang merah juga layak dilaksanakan. Analisis yang paling banyak dilakukan bank syariah adalah dengan akad mudharabah. Tabel 69. Simulasi Proyeksi Pembiayaan Mudharabah untuk Koperasi Logistik Bawang Merah No
Jumlah (Rp)
1
Total Biaya Investasi
408.750.000
Pembiayaan untuk barang investasi (40%)
163.500.000
2
Total Biaya Modal Kerja
282.060.000
Pembiayaan modal kerja (40%)
112.824.000
3
Total Biaya Produksi
690.810.000
a. Pembiayaan
276.324.000
b. Modal Sendiri
414.486.000
4
Total Pembiayaan dan Margin
391.459.000
a. Pembiayaan investasi
163.500.000
160
Uraian
Margin Investasi
34.062.500
b. Pembiayaan Modal Kerja
112.824.000
Margin Modal Kerja
23.505.000
c. Total Margin
57.567.500
Keterangan:
Angsuran Pengembalian Pembiayaan
1 tahun = 3 kali musim tanam (bulan)
Margin
A. Pembiayaan Investasi
10 0,21 163.500.000
Jangka Waktu (Tahun)
1
Besarnya Margin
Uang Muka
Angsuran Pokok Per Tahun
163.500.000
Angsuran Margin Per Tahun
34.062.500
Angsuran Pokok Per Bulan
16.350.000
Angsuran Margin Per Bulan
3.406.250
Total Angsuran Pokok & Margin per Bulan
34.062.500 0
19.756.250
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
No
Uraian
Jumlah (Rp)
B. Pembiayaan Modal Kerja
112.824.000
Jangka Waktu (Tahun)
1
Besarnya Margin
Uang Muka
Angsuran Pokok Per Tahun
112.824.000
Angsuran Margin Per Tahun
23.505.000
Angsuran Pokok Per Bulan
11.282.400
Angsuran Margin Per Bulan
2.350.500
Total Angsuran Pokok & Margin per Bulan
23.505.000 0
13.632.900 33.389.150
Total Angsuran pembiayaan per bulan
Melalui perhitungan pembiayaan mudharabah, modal angsuran dan margin per bulan Rp33.389.150,00 dengan RC ratio 1,15, artinya dengan pengeluaran Rp100,00 dapat memberikan pendapatan Rp115,00. Tabel 70. Analisis Usaha Koperasi Logistik Bawang Merah per Tahun, 2014 dengan Pembiayaan Syariah No
Keterangan
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Total (Rp)
A.
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Penjualan bawang merah
Penjualan Agroinput
Pembayaran margin dan adm petani untuk hawalah
Pembiayaan mudharabah untuk investasi+operasional
276.324.000
Total Arus Kas Masuk (A)
2.057.514.000
B
Total Biaya Investasi (B)
408.750.000
C
Total Biaya operasional (C)
1.785.859.800
D
SALDO AKHIR (A-C)
271.654.200
RC ratio
1,15
BC ratio
0,15
126.000
per tahun
12.500
1.575.000.000
19.800
HPP/tan+fee
8.250
163.350.000
1.071.000.000
42.840.000
0,04
Dari hasil analisis kelayakan dengan DF 20% diperoleh NPV Rp403.662.348,00 dan IRR 64,69 artinya usaha bawang merah dikelola koperasi berbasis syariah layak dilaksanakan. Tabel 71. Cash Flow Koperasi Bawang Merah Brebes dengan Pembiayaan Syariah Tahun
Arus Tunai
DF=20%
NPV 20%
DF=70%
NPV 70%
0
Rp408.750.000 -
1,000
408.750.000 -
1
-408.750.000
1
Rp271.654.200
0,833
226.378.500
0,588235
159.796.588
2
Rp271.654.200
0,694
188.648.750
0,346021
93.997.993
3
Rp271.654.200
0,579
157.207.292
0,203542
55.292.937
4
Rp271.654.200
0,482
131.006.076
0,11973
32.525.257
5
Rp271.654.200
0,402
109.171.730
0,07043
19.132.504
NPV
403.662.348
IRR
64.69
-48.004.720
161
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
8.3.
Komoditas Cabai Merah di Ciamis
Petani cabai merah di Panumbangan, Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya selama ini menghadapi 2 pasar, yaitu pasar tradisional dan pasar terstruktur. Untuk petani yang berorientasi ke pasar tradisional cashflow-nya tetap baik dengan RC ratio 1,34 (rincian lengkap pada Lampiran). Berdasarkan pengalaman petani yang sudah tergabung dalam KOJA dan bermitra dengan pasar industri, petani yang ingin mengajukan pembiayaan harus menjadi anggota koperasi. Selanjutnya koperasi melakukan verifikasi ke lapangan. Bila data dan fakta sesuai, maka pengajuan pembiayaan disetujui. Untuk menghindari kredit macet, pembayaran pinjaman dilakukan dengan cara memotong langsung hasil penjualan cabai merah ke koperasi. Skema pembiayaan yang tepat menurut persepsi petani untuk usaha agribisnis adalah: tidak memerlukan agunan, pembayaran cicilan per musim tanam, dan bunga rendah. Ketika usahatani cabai merah menguntungkan, keuntungan tersebut dialokasikan untuk modal investasi 30% dan konsumsi 70%. Namun pada saat mengalami kegagalan, usaha yang dilakukan untuk menutupi kekurangan dalam menghidupi keluarga adalah mencari pekerjaan tambahan dan menjual sebagian aset. Untuk penanaman berikutnya disesuaikan dengan modal yang tersedia atau meminjam sarana produksi dari koperasi. Biasanya harga cabai merah tertinggi pada saat musim hujan, sedangkan harga terendah saat panen raya. Secara lengkap analisis ekonomi usahatani cabai merah anggota KOJA di Ciamis yang diambil dari rata-rata petani responden dapat dilihat pada Tabel 72. Tabel 72. Analisis Usahatani Cabai per Musim Tanam Petani Anggota KOJA di Ciamis (sebelum ada Pembiayaan) No
Keterangan
Jumlah
A Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Kredit Agroinput Kontrak Heinz ABC 70% Pasar tradisional
30%
Total Arus Kas Masuk (A)
162
Satuan
Harga (Rp)
Total (Rp)
10.500
kg/musim tanam
8.000
84.000.000
4.500
kg/musim tanam
5.000
22.500.000
15.000
Arus Kas Keluar (Pengeluaran):
B
Biaya Tetap
C
Total Biaya Investasi
D
Biaya Variabel
106.500.000 8.945.667
6.685.000
29.043.400
Total Biaya Variabel Perlengkapan Produksi
E
Total Biaya Variabel Tenaga Kerja
12.310.000
G
Total Biaya Operasional
50.299.067
H
SALDO AKHIR (A)-(G)
56.200.933
I
RC ratio
2,12
J
BC ratio
1,12
K
HPP
3.353
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Pada usahatani yang pemasarannya melalui KOJA, nilai RC mencapai 2,12. Risiko yang dihadapi adalah keterlambatan pembayaran dari industri. Akibatnya, petani yang dapat bergabung di KOJA hanya petani yang memiliki modal untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya usahatani pada musim berikutnya. Keterlambatan dapat mencapai 1 bulan dan kondisi ini tidak dapat diatasi oleh KOJA. Masalah berikutnya adalah tingkat risiko semakin tinggi pada saat musim hujan yang mengakibatkan pasokan yang diterima industri menurun drastis sehingga mengganggu kontinuitas pasokan. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki agar kerjasama tetap berjalan, baik di tingkat petani maupun tingkat kelembagaan di atasnya (koperasi atau bentuk lembaga lainnya). Di tingkat petani, masalah pada musim kemarau telah mampu diatasi dengan melakukan penyiraman, tetapi pada musim hujan petani memerlukan naungan (rainshelter). Karena biayanya relatif mahal (Rp32.000,00/m2), diperlukan pengadaan rainshelter pada tingkat koperasi, sehingga petani dapat menggunakannya dengan cara menyewa ke koperasi dengan biaya Rp1.500,00/ tanaman. Selanjutnya untuk keperluan modal usahatani berupa saprodi, petani melalui koperasi dapat memperoleh pinjaman dari bank dalam bentuk natura bekerja sama dengan perusahaan agroinput. Untuk mengatasi keterlambatan pembayaran, diperlukan dana talangan melalui pembiayaan anjak piutang (factoring). Pada Tabel 73 dapat dilihat hasil analisis yang sudah memperhitungkan biaya-biaya yang harus ditanggung petani dengan menggunakan pembiayaan dari luar rantai nilai. Tabel 73. Analisis Usahatani Cabai Merah per MT pada Pasar Terstruktur No A
Keterangan
Jumlah
Harga (Rp)
Total (Rp)
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Kontrak Industri
12.500
kg/musim tanam
8.000
100.000.000
Pasar tradisional
2.500
kg/musim tanam
5.000
12.500.000
Total Arus Kas Masuk (A)
15.000
Arus Kas Keluar (Pengeluaran): B
Satuan
112.500.000
Total Biaya Investasi (B)
6.685.000
C Total Biaya Tetap (C)
29.594.500
D
29.043.400
12.310.000
Biaya Variabel Total Biaya Variabel Perlengkapan Produksi (D)
E
Biaya Variabel Tenaga Kerja
Total Biaya Variabel Tenaga Kerja (E)
F
Biaya Tetap Lain
Biaya penyusutan
Bunga untuk kredit agroinput
0,1
per tahun
6.685.000
445.667
0,20
per tahun
29.043.400
3.872.453
Admin untuk factoring
0,030
per panen
70.000.000
2.100.000
Bunga untuk factoring 30 hari
0,160
70% dr nilai jual
70.000.000
933.333
Total Biaya tetap lain (F)
7.351.453 163
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
No G
Keterangan
Jumlah
Total Biaya Operasional (C+D+E+F)
H SALDO AKHIR (A-G) I
RC ratio
J
HPP
Satuan
Harga (Rp)
Total (Rp)
78.299.353
34.200.647
1,44 5.220
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa meskipun ada tambahan biaya, tetapi bila diimbangi dengan tambahan pendapatan, maka tidak masalah. HPP cabai menjadi Rp5.220,00/kg, tetapi RC ratio menjadi 1,44 (bila dibandingkan non pasar terstruktur 1,34). Bila dibandingkan dengan petani KOJA sebelum pembiayaan di mana nilai RC mencapai 2,12, terdapat perbedaan yang cukup besar yaitu 0,68. Hal ini disebabkan asumsi dalam analisis di mana semua biaya ditanggung petani. Walaupun RC ratio lebih rendah, tetapi ketersediaan biaya untuk agroinput dan kelancaran dalam pembayaran cabai terjamin. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil simulasi sensitivitas yang dapat dilihat pada Tabel 74. Tabel 74. Simulasi Sensitivitas Penerimaan, Keuntungan, RC ratio dan BC ratio Usahatani Cabai Merah per ha Normal Penerimaan
Rp112.500.000
Biaya produksi
Rp78.299.353
Keuntungan
Rp34.200.647
R/C
1,44
B/C
0,44
Harga meningkat melebihi Rp14.000,00/kg,maka harga kontrak menjadi= (harga kontrak + harga pasar )/2, misal harga pasar Rp30.000,00/kg, maka harga kontrak menjadi Rp20.000,00/kg. Penerimaan: 12500 X Rp20.000 + 2500 X Rp20.000 Biaya Produksi Keuntungan
Rp300.000.000 Rp78.299.353 Rp221.700.647
R/C
3,83
B/C
2,83
Bila biaya produksi naik 10% Penerimaan
Rp112.500.000
Biaya Produksi
Rp86.129.289
Keuntungan
Rp26.370.711
R/C
1,31
B/C
0,31
Biaya Penanganan Pasca Panen di Koperasi Seperti dijelaskan sebelumnya, bank bersedia bekerja sama dengan memberikan kredit untuk membiayai usahatani cabai. Umumnya besaran pinjaman 50% sampai 60% dari total biaya (untuk menutupi biaya agroinput). Terdapat beberapa hal yang memerlukan kesepakatan, antara lain:
164
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
a. Pinjaman tidak langsung ke petani melainkan ke koperasi (pinjaman institusional), sehingga sifatnya bukan channeling tetapi executing.
b. Pinjaman ke petani tidak berbentuk uang melainkan natura yaitu berbentuk sarana produksi. c. Sarana produksi disediakan koperasi melalui kerja sama dengan perusahaan sarana produksi (perusahaan benih, pupuk dan pestisida).
d. Pembayaran oleh buyer melalui bank sebelum diserahkan ke petani oleh koperasi.
e. Pembayaran ke bank disesuaikan dengan siklus produksi, tetapi dengan bunga komersial secara flat diasumsikan termasuk asuransi sebesar 20% yang didistribusikan selama 5 bulan, dimulai setelah panen.
f. Selama masa tunggu panen diberikan grace period selama 3 bulan untuk dataran rendah dan 4 bulan untuk dataran menengah.
Biaya lain yang perlu diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan koperasi untuk penanganan pascapanen sebelum dikirimkan ke industri. Biaya-biaya tersebut antara lain untuk biaya potes, sortasi, grading, packing dan angkut. Panen dilakukan seminggu sekali secara bergilir. Cabai langsung diangkut petani ke gudang pengepakan untuk dilakukan sortasi, grading, pemetikan tangkai, pengepakan untuk selanjutnya diangkut ke industri. Untuk kegiatan selama di koperasi diperlukan 35 HOK per hari dengan upah Rp35.000,00/hari. Terdapat 3 pengurus inti dengan gaji Rp2.500.000,00/bulan dan pegawai tetap dengan gaji Rp1.200.000,00/bulan. Biaya lainnya adalah biaya operasional koperasi seperti sewa kantor, listrik, dan telepon. Koperasi juga mengeluarkan biaya investasi untuk mobil, traktor, peralatan kantor, serta rainshelter. Adapun penerimaan koperasi berasal dari menjual cabai petani 30 ton per bulan ke pasar industri (on grade) serta ke pasar tradisional (off grade) sekitar 1,25 ton. Koperasi juga mendapat penerimaan dari penyewaan rainshelter dan traktor. Untuk dana talangan pembayaran ke petani, diasumsikan koperasi mendapat pembiayaan factoring (anjak piutang) dari bank/lembaga keuangan. Penggunaan factoring dalam analisis sementara dibebankan kepada petani melalui koperasi. Hasil analisis usaha koperasi per tahun dapat dilihat pada Tabel 75. Tabel 75. Analisis Usaha Koperasi Jasa Logistik dalam 1 Tahun No
Keterangan
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Total 1 tahun (MT)
A
Arus Kas Masuk (Pendapatan):
Kontrak Industri
30.000
kg/bulan
10.000
3.600.000.000
Pasar tradisional
1.250
kg/bulan
5.000
75.000.000
Penjualan Saprodi
31.250
HPP/ tan+bunga
2.750
1.031.250.000
Penyewaan traktor
2
3.500.000
84.000.000
Penyewaan rainshelter
1.500
46.875.000
Penerimaan Pembayaran bunga dari petani untuk anjak piutang
0,16
2.880.000.000
38.400.000
Penerimaan Pembayaran admin untuk anjak piutang
0,03
2.880.000.000
86.400.000
Pinjaman rainshelter
640.000.000
Total Arus Kas Masuk(A)
5.601.925.000
Ha
31.250 tanaman/5bln
per tahun
165
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
No
Keterangan
Jumlah
Satuan
Harga (Rp)
Total 1 tahun (MT)
Arus Kas Keluar (Pengeluaran):
B
Total Biaya Investasi (B)
C
Biaya Operasional
1.Sewa Kantor
12
bulan
2.500.000
30.000.000
2. Biaya Telepon + SPEEDY
12
Bulan
500.000
6.000.000
3. Listrik dan air
12
Bulan
500.000
6.000.000
4. Penyusutan mobil L300 per bulan
0,1
per tahun
90.000.000
9.000.000
5. Penyusutan box container
0,1
per tahun
10.000.000
1.000.000
6. Penyusutan peralatan kantor
0,1
per tahun
50.000.000
5.000.000
7. Pembelian cabai ke petani dari industri
30.000
kg/bulan
8.000
2.880.000.000
8. Pembelian cabai ke petani dari pasar tradisional
1.250
4.000
60.000.000
9. Pembayaran admin untuk anjak piutang
0,030
per tahun
2.880.000.000
86.400.000
10. Solar
50
per bulan
5.500
3.300.000
11. Bensin
50
liter/ bulan
6.500
3.900.000
12. Pengurus inti
3
orang
2.500.000
90.000.000
13. Pegawai tetap
3
orang
1.200.000
43.200.000
14. Pegawai sortir dan potes
35
HOK/hari
35.000
367.500.000
15. Angsuran Agroinput
31.250
kg/bulan
2.200
825.000.000
16. Bunga agroinput
0,2
per tahun
825.000.000
165.000.000
17. Bunga rainshelter
0,1
per tahun
640.000.000
64.000.000
18. Angsuran rainshelter
0,1
640.000.000
64.000.000
19. Penyusutan rainshelter
0,1
640.000.000
64.000.000
20. Penyusutan traktor
0,1
34.000.000
3.400.000
2.016.000.000
26.880.000
21. Bunga anjak piutang (1 bulan) 30/360x 16%
0,16
per tahun
824.000.000
Total Biaya Operasional (C)
4.803.580.000
D
SALDO AKHIR (A-C)
798.345.000
E
RC ratio
1,17
Pembiayaan factoring umumnya hanya 70% dari nilai produk yang dijual dan sisanya dibayarkan setelah buyer melunasi pembayaran ke bank. Dari analisis nilai R/C Koperasi jasa logistik dalam 1 tahun ternyata menghasilkan RC ratio 1,17 atau BC ratio 0,17. Kelayakan koperasi dianalisis dengan menggunakan DF 20% untuk waktu 5 tahun dengan NPV Rp1.563.540.248,00 dan IRR sebesar 97,49%. Ini berarti usaha koperasi layak dilaksanakan karena melebihi tingkat bunga komersial. Tabel 76. Arus Kas dengan DF 20% dan DF 40% untuk Cabai Merah Tahun
166
Arus tunai
DF= 20%
Arus tunai dengan DF20%
DF 100%
Arus tunai dengan DF 100%
0
-Rp824.000.000
1,00000
-824.000.000,0000
1,0000
-Rp824.000.000
1
Rp798.345.000
0,83333
665.287.500,0000
0,5000
Rp399.172.500
2
Rp798.345.000
0,69444
554.406.250,0000
0,2500
Rp199.586.250
3
Rp798.345.000
0,57870
462.005.208,3333
0,1250
Rp99.793.125
4
Rp798.345.000
0,48225
385.004.340,2778
0,0625
Rp49.896.563
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
5
Rp798.345.000
0,40188
NPV
IRR
320.836.950,2315
0,0313
Rp24.948.281
1.563.540,248. NPV 97,49
-50.603.281
Simulasi Pembiayaan Syariah untuk Pelaku Agribisnis Koperasi dengan Skema Pembiayaan Syariah Analisis usahatani dengan pembiayaan berbasis syariah, maka dibuat asumsi sebagaimana tercantum pada Tabel 77. Tabel 77. Proyeksi Perolehan Margin Pembiayaan No
Uraian
Jumlah (Rp)
1
Total Biaya Investasi
Pembiayaan untuk barang investasi
2
Total Biaya Modal Kerja
88.744.017
Pembiayaan Pembelian agroinput
29.043.400
3
Total Biaya Produksi
95.429.017
a. Pembiayaan
29.043.400
b. Modal Sendiri
66.385.617
4
Total Pembiayaan dan Margin
a. Pembiayaan investasi
Margin Investasi
6.685.000 0
0 0
b. Pembiayaan Modal Kerja
29.043.400
Margin Modal Kerja
6.099.114
c. Total Margin
6.099.114
Keterangan: Angsuran Pengembalian Pembiayaan 1 tahun = 3 kali musim tanam (bulan) Margin B. Pembiayaan Modal Kerja Jangka Waktu (tahun) Besarnya Margin Uang Muka
10 0,21 29.043.400 1 6.099.114 0
Angsuran Pokok Per Tahun
29.043.400
Angsuran Margin Per Tahun
6.099.114
Angsuran Pokok Per Bulan
2.904.340
Angsuran Margin Per Bulan
609.911
Total Angsuran Pokok & Margin per Bulan
3.514.251
Total Angsuran pembiayaan per bulan
3.514.251
Pembiayaan Anjak Piutang (hawalah)
100.000.000
Administrasi dan margin hawalah 3-4%
4.000.000
Pembiayaan yang digunakan adalah mudharabah untuk agroinput, sedangkan pembiayaan pasca panen menggunakan hawalah (semacam anjak piutang pada bank syariah). Tidak ada bunga, yang ada adalah fee berdasarkan kesepakatan dan biaya administrasi (3-4%). Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 78. 167
Perhitungan Kelayakan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Tabel 78. Simulasi Pembiayaan Usahatani Cabai Merah melalui Koperasi dengan Menggunakan Pembiayaan Syariah No
Keterangan
A
Arus Kas Masuk:
Pembiayaan Syariah
Kontrak Heinz ABC
Jumlah
Satuan
Pasar tradisional
Harga (Rp)
Total (Rp)
12.500
kg/musim tanam
2.500
kg/musim tanam
29,043,400 8.000
100.000.000
2.000
Total Arus Kas Masuk (A)
B
Arus Kas Keluar (Pengeluaran):
C
Total Biaya Tetap
5.000.000 134.043.400 29.594.500
Biaya Investasi
Total Biaya Investasi
6.685.000
D
Biaya Variabel
E
Total Biaya Variabel Agroinput
Biaya Variabel Tenaga Kerja Total Biaya Variabel Tenaga Kerja (E) F
29.043.400
Penyusutan barang investasi
12.310.000
0,1
Angsuran dan margin pembiayaan syariah
12,0
Margin untuk hawalah
0,04
tahun
6.685.000
Rp668.500
3.514.251
42.171.016,80
100.000.000
4.000.000
G
Biaya Tetap Lain
46.839.517
H
Biaya Operasional
88.744.017
I
Keuntungan
45.299.383
J
RC ratio
1,51
Hasil RC ratio-nya mencapai 1,51, sedikit lebih tinggi dibandingkan kredit konvensional walaupun masih lebih rendah dibanding tanpa pembiayaan. Namun sistem pembiayaan ini lebih aman dan berkelanjutan (sustain).
168
Faktor Kunci dan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Bab IX Faktor Kunci dan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian 9.1. Faktor Kunci Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa faktor kunci yang menjadi prasyarat dalam implementasi pengembangan pembiayaan rantai nilai pertanian sebagaimana terlihat pada Gambar 58.
Gambar 58. Faktor Kunci Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian 1. Keterlibatan pelaku rantai nilai, yaitu produsen, kelompok produsen, jasa logistik pedesaan, supplier (pemasok), penggilingan beras dan pelaku pasar terstruktur (ekspor, ritel modern, jasa pangan dan industri pengolahan). 2. Pasar terstruktur secara khusus menjadi perhatian utama dalam pengembangan pembiayaan rantai nilai pertanian. Hal ini disebabkan pelaku pasar terstruktur merupakan focal company yang akan menjadi pendorong terlaksananya restrukturisasi rantai nilai yang merupakan bagian dari proses implementasi pembiayaan rantai nilai pertanian. 3. Penerapan sistem produksi hibrida yang memiliki titik penetrasi pesanan atau titik pemisah pesanan dan produksi/pasokan (customer order decoupling point). Sistem produksi h ibrida merupakan kombinasi dari sistem dorong (push system) yang menjadi karakteristik khas 169
Faktor Kunci dan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
budidaya pertanian dan sistem tarik (pull system) yang menjadi karakteristik keputusan pelaku pasar yang berbasis pada pesanan konsumen. Pihak yang melakukan keputusan sistem produksi hibrida adalah jasa logistik pedesaan, supplier (pemasok) dan penggilingan beras. 4. Penerapan manajemen rantai nilai yang terdiri atas manajemen proses bisnis dan risiko yang dilakukan sepanjang rantai nilai. Produsen dan kelompok produsen melakukan manajemen pola produksi pertanian berbasis kuota pasar yang disepakati bersama pelaku pasar terstruktur (push system). Penerapan manajemen pola produksi membuat produsen dan kelompok produsen mampu menghasilkan produksi secara berkesinambungan baik kuantitas, kualitas, harga bersaing dan menjamin kontinuitas produksi sehingga dapat berdampak pada terjaminnya keamanan pangan. Para pelaku yang berperan sebagai titik penetrasi pesanan harus menerapkan manajemen logistik mulai dari penanganan pascapanen, transportasi, penyimpanan dan distribusi. Dengan demikian, setiap permintaaan/pesanan pasar terstruktur dapat terpenuhi (pull system). Manajemen risiko harus dilakukan oleh semua pelaku yang terlibat sepanjang rantai nilai, meliputi risiko produksi, risiko pasar dan risiko kelembagaan. 5. Penerapan teknologi yang meliputi soft technology dan hard technology. Soft technology meliputi standar operasional prosedur (SOP) budidaya pertanian yang benar (Good Agricultural Practices) dan disesuaikan dengan pesanan pasar. SOP tersebut meliputi SOP pengolahan tanah, penggunaan benih, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman), dan panen. Selain itu, perlu diterapkan pula SOP penanganan pasca panen (Good Handling Practices) dan distribusi (Good Distribution Practices) oleh pelaku jasa logistik pedesaan dan supplier. Sedangkan untuk penggilingan beras dapat menerapkan SOP pengolahan (Good Manufacture Practices). Hard technology meliputi teknologi naungan (protected agriculture) seperti mobile rainshelter dan shading net serta teknologi sistem irigasi sprinkler. Kedua teknologi tersebut digunakan untuk menjaga kesinambungan produksi pada musim kemarau dan musim hujan. 6. Layanan pendampingan bagi pelaku sepanjang rantai nilai yang dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Para pendamping memberikan layanan berupa peningkatan kapasitas keterampilan, teknologi dan a kses pasar bagi para petani. Dengan demikian, para pendamping diharapkan menjadi jembatan
(konsolidator) antara produsen dan pasar. Selain itu, pendamping juga memberikan layanan berupa: (1) pemberian informasi pembiayaan kepada produsen dan pelaku lainnya, (2) pemberian informasi reputasi petani dan pelaku lain kepada perbankan yang akan m emberikan pinjaman, dan (3) melakukan monitoring kinerja petani dan pelaku lain yang mendapatkan fasilitas pembiayaan perbankan. Layanan pendampingan berpotensi menjadi profesi bagi lulusan sarjana pertanian dan masyarakat yang mempunyai keinginan untuk meningkatkan nilai tambah pertanian di pedesaan. 7. Layanan pembiayaan baik perbankan maupun non-perbankan. Ketersediaan layanan pembiayaan pedesaan akan mempermudah akses pembiayaan bagi para pelaku rantai nilai pertanian di pedesaan dengan menerapkan skema pembiayaan rantai nilai.
170
Faktor Kunci dan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
9.2. Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian Selain faktor kunci di atas, implementasi pembiayaan rantai nilai pertanian memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah sebagai insentif bagi para pelaku yang menerapkannya. Kebijakan tersebut terbagi ke dalam dua kategori, yakni: (1) kebijakan pembiayaan rantai nilai yang berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dan (2) kebijakan terkait pengembangan rantai nilai pertanian yang berasal dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Fokus penerima manfaat kebijakan pengembangan pembiayaan rantai nilai adalah produsen, kelompok produsen, jasa logistik pedesaan, supplier dan penggilingan beras. Kebijakan paket subsidi tingkat suku bunga dan jaminan pemerintah ditujukan kepada produsen dan kelompok produsen, sedangkan kebijakan untuk jasa logistik pedesaan, supplier dan penggilingan beras berbentuk jaminan pemerintah. Aktor kunci dalam perumusan dan implementasi kebijakan tersebut adalah Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan (Gambar 59).
Gambar 59. Terpaan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian Implementasi pengembangan pembiayaan rantai nilai perlu didukung oleh kebijakan pembiayaan rantai nilai yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi sebagai aktor kunci. Kebijakan tersebut meliputi layanan pendampingan pedesaan, pengembangan klaster agribisnis, pengembangan percontohan teknologi, pengembangan logistik pedesaan, revitalisasi penggilingan beras, penerapan keamanan pangan dan sistem informasi pertanian (Gambar 60.).
171
Faktor Kunci dan Kebijakan Pengembangan Pembiayaan Rantai Nilai Pertanian
Gambar 60. Terpaan Kebijakan Pengembangan Rantai Nilai Pertanian Selain kebijakan dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, pengembangan rantai nilai pertanian memerlukan dukungan kebijakan dari Kementerian Perdagangan. Kebijakan tersebut meliputi: keterkaitan pasar dengan basis produksi, penerapan minimum lot size dan kemasan produksi pertanian yang dipasarkan di pasar induk, penerapan keamanan pangan dan sistem informasi perdagangan pertanian. Kebijakan-kebijakan tersebut ditujukan kepada para pelaku perdagangan produk pertanian di perkotaan sebagai bagian dari rantai nilai pertanian.
Gambar 61. Terpaan Kebijakan Perdagangan untuk Mendukung Pengembangan Rantai Nilai Pertanian
172
Kesimpulan dan Saran
Bab X Kesimpulan dan Saran 10.1. KESIMPULAN 1. Model untuk komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai merah dan bawang merah) secara generik dibangun oleh beberapa subsistem, yaitu a) subsistem keterkaitan produksi, pasar dan keuangan; b) subsistem keterkaitan kinerja pasar dan pembiayaan petani; c) subsistem kemampuan membayar petani; d) subsistem pembiayaan produksi; e) subsistem pembiayaan teknologi f) subsistem pembiayaan perdagangan; dan subsistem pasar sebagai off-taker. Produksi komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai merah dan bawang merah) memiliki keterkaitan yang erat dan saling terhubung antara sektor hulu (produksi), hilir (pasar) dan pendukungnya (teknologi, keuangan dan pembiayaan/permodalan). Dalam setiap tahap (hulu ke hilir) masing-masing memiliki risiko yang dihadapi pelaku rantai nilai pertanian. Keterhubungan antar sektor yang kompleks memerlukan integrasi sistem yang mampu mengurangi risiko-risiko tersebut sehingga pembiayaan di sektor pertanian dapat berkembang dan produksinya mengalami pertumbuhan. 2. Titik kritis risiko yang timbul dalam model pembiayaan pertanian komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai dan bawang merah) terdapat pada sistem produksi. Petani sebagai pelaku di hulu menjadi muara berbagai risiko yang bersumber dari sektor hilir. Risiko tersebut meliputi: risiko produksi akibat perubahan iklim/cuaca, risiko pasar akibat kurangnya komitmen pelaku usaha dan fluktuasi harga, risiko pembiayaan yang disebabkan keterlambatan pembayaran dan keterbatasan modal; serta risiko infrastruktur akibat kerusakan infrastruktur irigasi dan jalan. Tanpa pengelolaan dan kerja sama yang baik lintas sektor yang terintegrasi, risiko yang dihadapi petani tidak dapat diatasi sendiri oleh petani. Keberadaan unsur manajemen, teknologi, keuangan dan pembiayaan dalam model pembiayaan pertanian merupakan instrumen yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan pembiayaan rantai nilai, risiko dan pengembalian dari penyedia keuangan ditanggung bersama oleh pelaku dalam rantai nilai. 3. Hasil evaluasi Skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP-E) belum mampu memberikan dampak besar terhadap peningkatan daya saing produk komoditas pangan (beras) dan sayuran (cabai dan bawang merah) karena masih tingginya risiko yang dihadapi para pelaku mulai dari hulu sampai ke hilir. Skim kredit yang hanya fokus pada aspek budidaya (on farm) belum mampu mendorong perbaikan kualitas produk karena kebutuhan pasar (permintaan) dengan produksi di petani (produsen) tidak terintegrasi. Integrasi pembiayaan rantai nilai produk pertanian dapat mengurangi risiko yang terjadi pada setiap tahapan proses rantai nilai.
Namun
demikian, diperlukan pemahaman yang kuat terkait sifat produk pertanian serta struktur 173
Kesimpulan dan Saran
rantai nilai produk pertanian yang memiliki sifat yang khas dan dipengaruhi oleh proses bisnis dari masing-masing pelaku. 10.2. SARAN 1. Untuk membangunan pemahaman yang sama mengenai model skema pembiayaan rantai nilai dan implementasinya, perlu dilakukan lokakarya dengan pihak perbankan untuk mendapatkan umpan balik yang dapat digunakan dalam menyusun pedoman teknis implementasi model skema pembiayaan rantai nilai pertanian. 2. Sehubungan dengan pentingnya peranan pendampingan manajemen dan teknologi dalam penerapan model skema pembiayaan rantai nilai pertanian, maka perlu dilakukan kerjasama dengan Kementerian Pertanian, khususnya Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, serta dengan perguruan tinggi untuk terlibat sebagai pendamping dalam implementasi model skema pembiayaan rantai nilai pertanian. 3. Dalam upaya mencapai efektivitas program, implementasi pembiayaan rantai nilai pertanian sebaiknya diselaraskan atau diintegrasikan dengan program pengembangan klaster pangan yang dilakukan Bank Indonesia.
174
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
AFIP. 2004. “Failure Mode and Effect Analysis (FMEA): An Advisor’s Guide.” Melalui [10/02/2013]. Brindley, Claire. 2004. Supply Chain Risk: A Reader. Hampshire: Ashgate Publishing Limited. Chopra, S. dan Meindl, P. 2004. Supply Chain Management: Strategy, Planning and Operations, 2nd Edition. Upper Saddle River, NY: Prentice-Hall Dewi Kurniasari Purwandono. 2010. Aplikasi Model House of Risk (HOR) Untuk Mitigasi Risiko Proyek Pembangunan Jalan Tol GempoL-Pasuruan. Tesis Magister Manajemen Teknologi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Hallikas, J., V.M.Virolainen dan M. Tuominen. 2002. “Risk Analysis and assessment in network environment: A dyadic case study.” International Journal of Production Economics, vol. 78: 45-55. Harland, C.M. 1996. “Supply Chain Management: Relationship, chain, and network.” British Journal of Management, special issue, vol. 7: S63-S80. Hofmann E and O Belin. 2011. Supply Chain Finance Solutions : Relevace-Propositions-Market Value. Spinger. New York. KIT and IRR. 2010. Value Chain Finance: Beyond Microfiance for Rural Entrepreneurs. Royal Tropical Institute, Amsterdam; and International Institute of Rural Reconstruction, Nairobi. Maani KE and RY Cavana. ( 2007). System Thinking, System Dynamics : Managing Change and Complexity. 2nd edition. Pearson Education. New Zealand. Mathu, Billy O. “Micro-factoring: Instant payment on delivery of tea in Kenya.” Value Chain Finance, 2010: 125-134. Amsterdam and Nairobi. Royal Tropical Institute and International Institute of Rural Reconstruction. Miller C and O Jones. 2010. Agricultural Value Chain Finance : Tools and Lessons. Food and Agriculture Organization of the United Nations and Pratical Action Publishing. Rome. Miller C. 2012. Agricultural Value Chain Finance Strategy and Design : Technical Note. The International Fund for Agricultural Development (IFAD). Rome. Morecroft JDW. (1982). A Critical Review of Diagramming Tools for Concetualizing Feedback System Models. Dynamica Volume 8. Part 1 Summber. Perdana T, Nurhayati, Kusnandar. (2013). Improvement Model of S upply Chain Management and Agribusiness Cluster of Red Chili: an E xperience in West Java. The Article was presented in 175
Daftar Pustaka
International Workshop of Agri Supply Chain Management on July 1st, 2013 at Hotel Mercure Surabaya, Indonesia. In Collaboration Between U niversity of Jember and University Putra Malaysia. Rachmat, Budi. 2003. Anjak Piutang: Solusi Cash Flow Problem. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Shwedel, Ken. 2006. Value chain finance: a strategy for an orderly, compeitive, integrated market. Pp 13-28 in Agricultural Value Chain Finance. FAO and Academia de Centroamerica Sterman JD. (2000). Business Dynamics : System Thinking and Modeling for a Complex World. McGraw Hill. Boston. USAID. 2010. “Value Chain Finance”. Melalui http://www.apps.delebridge.net/amap/index.php/ Value_Chain_Finance [11/07/11]. Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Van Der Vorst, J. G. A.J, C. A. Da Silva, J. H. Trienekens, 2007. Agro-Industrial Supply Chain Management: Concepts And Applications. Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome The Aite Group. 2014. A Study of the Business Case for Supply Chain Finance. The Association of Chartered Certified Accountants. Melalui . Frohling, Matthew. 2013. The Insider’s View on Supply Chain Financing Program in Asia. Citi Insights Supply Chain Financing Program. Melalui . Wang, Tingrui. Lan, Qinggao. Chu, Yongzi. 2013. Supply Chain Financing Model : Based on China’s Agricultural Product Supply Chain. Melalui . Rake, Sir Michael. Cridland CBE, John. 2013. Long-Term Financing of The European Economy : CBI Response to the European Commission Green Papper. The Confederation of British Industry (CBI) The Voice of Business. Melalui . Bryant, Charles. Camerinelli, Enrico. 2013. Supply Chain Finance EBA European Market Guide. Euro Banking Association. Melalui . Casterman, Andre. 2013. A new Start for Supply Chain Finance. The Society for worldwide Interbank Financial Telecommunication. Melalui . Anonim. 2014. Supply Chain Finance and factoring. China Systems. Melalui .
176
Daftar Pustaka
Stocking, Carl. Jhangiani, Amita. 2006. China : Top Global Supply Chain Finance. Citi Trade Finance. Melalui
docs/200610cbr.pdf>.
177
Daftar Pustaka
Halaman ini sengaja dikosongkan
178
Lampiran
Lampiran
Ø Lampiran House of Risk (Hor) Komoditas Beras, Bawang Merah, dan Cabai Merah Tabel 1. Daftar Risiko pada Proses Rantai Nilai Beras di RMU Proses Perencanaan (Plan)
Pengadaan (Source)
Produksi (Make)
Distribusi (Deliver)
Pengembalian (Return)
Risiko
Kode
Tingkat Keparahan
Pasokan gabah kurang
E1
8
Kualitas gabah rendah
E2
7
Kekurangan tenaga kerja
E3
8
Harga jual yang fluktuatif
E4
9
Salah menyiapkan armada angkut
E5
6
Karung yang disiapkan kurang
E6
6
Kekurangan modal untuk pembelian gabah dan mesin giling
E7
8
Gabah terlambat datang
E8
5
Tercecer saat bongkar muat dan penimbangan
E9
4
Pembayaran dari pasar induk tertunda
E10
8
Solar untuk bahan bakar mesin giling langka
E11
8
Mesin giling rusak
E12
9
Listrik mati
E13
8
Standar pasaran yang tinggi
E14
5
Kiriman beras ke pasar induk terlambat
E15
5
Kendaraan tidak layak pakai (mogok)
E16
7
Kesalahan RMU dalam pencatatan jumlah beras yang dikirim
E17
8
Penipuan calo di pasar induk (menerima beras tetapi tidak melakukan pembayaran)
E18
9
Kiriman ditolak oleh pedagang pasar induk
E19
6
Tabel 2. Agen Risiko Rantai Nilai Beras di RMU Sumber Risiko (risk agent)
Kode
Tingkat Kemunculan
A1
Negosiasi gagal (bargaining position rendah dengan calo pasar induk)
8
A2
Keterbatasan akses permodalan (persyaratan terlalu rumit)
7
A3
Jalur distribusi ke pasar induk yang jauh dan rawan macet
9
A4
Pembayaran macet oleh pedagang pasar induk
7
A5
Jumlah tenaga kerja kurang
8
A6
Beras yang diproduksi tidak sesuai standar pasar induk
7
A7
Momen hari raya (idul fitri dan idul adha)
3
A8
Perizinan usaha sulit dari dinas terkait
6
A9
Pungutan liar
6
A10
SDM lalai saat mengolah gabah, mengoperasikan mesin, dan mencatat
7
A11
Cuaca tidak menentu (intensitas hujan terlalu tinggi)
7
A12
Keterbatasan teknologi pengolahan gabah
4
A13
Perselisihan pembagian sumber air (irigasi)
2 179
Lampiran
Sumber Risiko (risk agent)
Kode A14
Tingkat Kemunculan
Kondisi jalan rusak
7
Tabel 3. Risiko Prioritas RMU KODE AGENT
ARP
RANK
%ARP
%KUM ARP
A10
3.150
1
14,2%
14,2%
A11
3.150
2
14,2%
28,4%
A14
2.611
3
11,8%
40,2%
A2
1.778
5
8,0%
59,7%
A4
1.638
6
7,4%
67,1%
A3
1.350
7
6,1%
73,1%
A13
1.040
8
4,7%
77,8%
A6
924
9
4,2%
82,0%
A1
920
10
4,2%
86,2%
A7
837
11
3,8%
89,9%
A5
832
12
3,8%
93,7%
A9
810
13
3,7%
97,3%
A12
540
14
2,4%
99,8%
A8
48
15
0,2%
100,0%
22.162
KATEGORI
PRIORITAS
NON PRIORITAS
100%
Tabel 4. Agen Risiko Rantai Nilai Beras di tingkat Bandar Kode
Sumber Risiko
Tingkat Kemunculan
A1
Negosiasi gagal
6
A2
Modal untuk membeli gabah kurang
8
A3
Pembayaran dari RMU macet
7
A4
Kurang pasokan barang
8
A5
Pungutan liar
6
A6
Kecurangan bandar lain
3
A7
Kualitas SDM kurang
6
A8
Cuaca tidak menentu
7
A9
Kondisi jalan rusak
7
Tabel 5. Korelasi antar Risiko dan Sumber Risiko Bandar Risk Event
180
Risk Agent A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
E1
3
9
9
9
-
3
-
9
-
E2
-
-
-
3
-
3
-
9
1
E3
-
3
-
1
-
1
3
-
-
E4
-
-
-
3
-
3
-
9
-
E5
-
-
-
9
-
-
-
9
-
E6
-
9
-
-
-
-
1
-
-
E7
1
-
9
9
3
3
1
-
-
E8
9
9
9
9
-
9
1
-
-
E9
3
-
-
9
-
3
-
9
-
Lampiran
Risk Event
Risk Agent A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
E10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E11
3
9
-
3
-
1
1
-
-
E12
-
3
-
-
-
-
-
9
-
E13
-
-
-
-
-
-
-
3
-
E14
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E15
3
-
-
-
-
-
-
-
-
E16
-
-
-
-
-
-
-
-
9
E17
-
9
-
-
-
-
-
-
-
E18
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E19
-
-
-
-
-
-
-
-
3
ARP
1044
3248
1386
3032
162
540
282
3360
546
Rank
5
2
4
3
9
8
7
1
6
Tabel 6. Risiko Prioritas Tingkat Bandar KODE AGENT
ARP
%ARP
%KUM ARP
KATEGORI
A8
3.360
24,7%
24,7%
A2
3.248
23,9%
48,6%
A3
3.032
22,3%
70,9%
A4
1.386
10,2%
81,1%
A1
1.044
7,7%
88,8%
A9
546
4,0%
92,8%
A6
540
4,0%
96,7%
A7
282
2,1%
98,8%
A5
162
1,2%
100,0%
13.600
100,0%
PRIORITAS
NON PRIORITAS
181
Lampiran
Tabel 7. Daftar Risiko pada Proses Rantai Nilai Beras di Tingkat Petani Proses
Risiko
Perencanaan (plan)
Pengadaan (source Produksi (make)
Kode
Tingkat Keparahan
Jadwal tanam tidak tepat
E1
7
Penggunaan varietas yang tidak tepat
E2
5
Tidak menggunakan teknologi yang tepat
E3
8
Pengadaan sarana produksi terlambat
E4
5
Beredarnya pupuk, bibit dan pestisida palsu
E5
4
Lahan belum siap tanam
E6
3
Pengolahan lahan belum optimal
E7
4
Padi diserang hama
E8
6
Padi kurang nutrisi
E9
5
Padi diserang penyakit
E10
6
Padi kekurangan air atau kebanjiran
E11
8
Terlambat pemanenan
E12
3
Gagal panen
E13
5
Gabah kurang kering
E14
4
Gabah menjadi bau atau berjamur terutama setelah disimpan lama
E15
3
Gabah dimakan tikus
E16
3
Tabel 8. Agen Risiko Rantai Nilai Beras di Tingkat Petani Kode
Sumber Risiko
Tingkat Kemunculan
A1
Sumber pembiayaan kurang
7
A2
Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu
9
A3
Persepsi para petani yang berbeda-beda terhadap budidaya padi
6
A4
Pengetahuan petani rendah
5
A5
Gudang penyimpanan gabah tidak memadai
7
A6
Ego para petani
6
A7
Saluran irigasi rusak dan dangkal
7
Tabel 9. Korelasi antar Risiko dan Agen Risiko Tingkat Petani Risk Event
182
Risk Agent A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
E1
3
9
1
9
-
3
-
E2
-
3
-
-
-
3
-
E3
-
3
-
1
-
1
-
E4
-
-
-
3
-
-
-
E5
-
9
1
9
-
-
-
E6
-
-
-
-
-
-
-
E7
1
-
9
9
3
3
3
E8
3
9
9
9
-
9
-
E9
9
3
-
9
-
3
-
E10
-
9
-
-
-
3
-
E11
3
9
3
-
-
1
-
E12
-
3
-
-
-
-
-
Lampiran
Risk Agent
Risk Event
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
E13
-
9
-
3
-
-
-
E14
-
9
-
9
-
-
-
E15
3
9
-
3
-
-
-
E16
-
3
-
3
-
-
-
ARP
630
2.700
750
1.765
28
888
28
P
5
1
4
2
6
3
7
Tabel 10. Risiko Prioritas Petani KODE AGENT
ARP
%ARP
%ARP KUMULATIF
KATEGORI
A2
2.700
39,12
39,12
A4
1.765
25,58
64,70
A6
888
12,87
77,57
A3
750
10,87
88,44
A1
630
9,13
97,57
A5
28
1,22
98,79
A7
28
1,21
100,00
TOTAL
6.789
PRIORITAS
NON PRIORITAS
100,00
Tabel 11. Daftar Risiko pada Proses Rantai Nilai Bawang Merah di Pedagang Pengirim Proses
Risiko
Kode
Tingkat Keparahan
Perencanaan (Plan)
Harga tidak sesuai keinginan
E1
3
Pengadaan (Source)
Jumlah tenaga kerja kurang
E2
7
Jumlah pasokan tidak terpenuhi
E3
3
Modal untuk pasca panen yang digunakan cukup besar
E4
3
Kualitas bawang tidak sesuai keinginan/ permintaan pasar
E5
8
Kekurangan modal untuk pembelian bawang merah selanjutnya
E6
2
Gagal panen
E7
9
Salah prediksi jumlah hasil panen
E8
2
Penjemuran pada musim hujan membutuhkan waktu yang lebih lama
E9
6
Bawang busuk saat musim hujan
E10
6
Kualitas bawang rendah pada musim hujan
E11
5
Harga bawang lokal turun saat bawang impor datang
E12
6
Mahalnya biaya transportasi untuk pengiriman produk bawang merah
E13
6
Adanya pungutan liar saat di perjalanan
E14
2
Bawang merah busuk saat di perjalanan
E15
8
Bawang merah susut saat di perjalanan
E16
8
E17
9
Produksi (Make)
Distribusi (Deliver)
Pengembalian (Return) Bawang merah dikembalikan dari pasar/ bandar pasar induk
183
Lampiran
Tabel 12. Agen Risiko Rantai Nilai Bawang Merah di Pedagang Pengirim Kode
Agen Risiko
Tingkat Kemunculan
A1
Tidak ada kontrak tertulis dengan bandar luar pulau /bandar pasar induk
5
A2
Negosiasi dengan mitra usaha gagal
2
A3
Musim hujan yang tidak dapat diprediksi
5
A4
Kedatangan bawang merah impor
7
A5
Gangguan saat di perjalanan (kecelakaan, perampokan, mobil mogok, kerusakan mesin)
8
A6
Bawang rusak saat pengiriman
9
A7
Fluktuasi harga bawang merah yang tidak dapat diprediksi
10
A8
Keterlambatan pembayaran dari mitra usaha
8
Tabel 13. Tabel Korelasi antara Risiko dan Agen Risiko pada Pedagang Pengirim Risk Event
Risk Agent
Security of Risk Event (Si)
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
E1
9
9
-
9
-
9
9
-
3
E2
-
-
-
-
3
-
-
9
7
E3
-
9
9
-
9
9
-
9
3
E4
-
-
9
-
-
-
-
-
3
E5
3
3
9
9
9
9
3
3
8
E6
3
-
-
-
9
-
9
9
2
E7
-
-
9
-
-
-
-
-
9
E8
-
-
-
-
-
-
-
-
2
E9
-
-
3
-
-
-
-
-
6
E10
-
-
9
-
-
-
-
-
6
E11
9
9
9
-
-
-
-
-
5
E12
9
9
3
9
-
-
9
9
6
E13
9
3
-
-
9
-
-
-
6
E14
-
-
-
-
9
-
-
-
2
E15
-
-
1
-
3
9
-
-
8
E16
1
-
1
-
3
9
-
-
8
E17
-
-
1
-
1
3
-
-
9
Oj
5
2
5
7
8
9
10
8
ARPj
1.090
390
1.835
1.071
2.186
2.673
1.230
1.488
Pj
6
8
3
7
2
1
5
4
Tabel 14. Risiko Prioritas di Pedagang Pengirim Agen Risiko
184
ARP
Peringkat
%ARP ARP
%Kum.
A6
2.673
1
22,34
22,34
A5
2.186
2
18,28
40,62
A3
1.835
3
15,34
55,96
A8
1.488
4
12,44
68,39
A7
1.230
5
10,28
78,68
Kategori
Prioritas
Lampiran
A1
1.090
6
9,11
87,79
A4
1.071
7
8,95
96,74
A2
390
8
3,26
100,00
11.963
Non Prioritas
100,00
Tabel 15. Daftar Risiko pada Proses Rantai Nilai Bawang Merah di Penebas Proses
Risiko
Kode
Tingkat Keparahan
Perencanaan (Plan)
Harga tidak sesuai keinginan
E1
9
Pengadaan (Source)
Jumlah tenaga kerja kurang
E2
8
Pasokan bawang merah sedikit
E3
7
Modal panen dan pasca panen yang digunakan cukup besar
E4
4
Biaya tenaga kerja mahal
E5
6
Kekurangan modal
E6
6
Bunga pinjaman dari rentenir tinggi
E7
3
Kedatangan bawang impor berdampak menurunkan harga bawang lokal
E8
5
Fluktuasi harga bawang merah sulit diprediksi
E9
8
Salah prediksi hasil panen
E10
2
Gagal panen
E11
10
Bawang merah terkena hama/penyakit sebelum dipanen
E12
5
Penjemuran pada musim hujan membutuhkan waktu yang lebih lama
E13
3
Bawang kotor/rusak saat musim hujan
E14
4
Kehilangan sejumlah bawang sebelum dicabut di kebun
E15
2
Distribusi (Deliver)
Biaya transportasi untuk pembelian bawang dari luar daerah lebih mahal
E16
4
Pengembalian (Return)
Kualitas bawang rendah pada musim hujan
E17
7
Bawang merah dikembalikan dari pembeli
E18
2
Produksi (Make)
Tabel 16. Agen Risiko Rantai Nilai Bawang Merah di Penebas Kode
Agen Risiko
Tingkat Kemunculan
A1
Tidak ada bukti pembelian secara tertulis dari pedagang pengirim
7
A2
Negosiasi dengan pedagang pengirim gagal
4
A3
Waktu pencairan pinjaman dari lembaga pembiayaan lama
8
A4
Musim hujan yang tidak dapat diprediksi
8
A5
Volume penjualan bawang merah tidak menentu
8
A6
Harga di pasar induk tidak tentu
8
A7
Persepsi terhadap kedatangan barang impor
7
A8
Hasil produksi bawang merah tidak menentu
3
A9
Pembayaran hasil penjualan bawang merah dari pedagang pengirim macet/tidak dibayarkan
9
185
Lampiran
Tabel 17. Korelasi Antara Risiko dan Sumber Risiko di Tingkat Penebas Risk Event
Risk Agent
Security of Risk Event (Si)
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
E1
9
9
-
3
9
9
9
-
9
9
E2
-
-
3
-
-
-
-
-
3
8
E3
-
1
9
9
9
-
-
9
3
7
E4
-
-
-
-
1
-
-
-
-
4
E5
-
-
-
-
-
9
9
-
-
6
E6
9
9
9
-
-
9
9
-
9
6
E7
-
-
-
-
-
-
-
-
3
3
E8
-
-
-
-
-
-
9
-
3
5
E9
9
3
-
-
9
9
9
9
-
8
E10
3
-
-
-
-
-
-
3
-
2
E11
-
-
-
9
9
-
-
3
-
10
E12
-
-
3
9
3
-
-
1
-
5
E13
-
-
-
9
3
-
-
3
-
3
E14
-
-
-
3
9
-
-
3
-
4
E15
-
-
3
1
3
-
-
3
-
2
E16
-
-
-
3
-
-
-
-
-
4
E17
-
-
-
9
9
-
-
3
-
7
E18
-
9
-
1
-
-
1
-
-
2
Oj
7
4
8
8
8
8
7
3
9
ARPj
1.491
736
981
2.744
3.512
2.088
2.156
678
1.836
Pj
6
8
7
2
1
4
3
9
5
Tabel 18. Risiko Prioritas di Penebas Agen Risiko
ARP
Peringkat
ARP
A5
3.512
1
21,17
21.17
A4
2.744
2
16,91
38.08
A7
2.156
3
13,13
51.21
A6
2.088
4
12,87
64.08
A9
1.836
5
11,32
75.40
A1
1.491
6
9,19
84.59
A3
981
7
6,05
90.64
A2
736
8
4,54
95.18
A8
678
9
4,18
99.36
16.222
186
%Kum.
%ARP
99,36
Kategori
Prioritas
Non prioritas
Lampiran
Tabel 19. Daftar Risiko Pada Proses Rantai Nilai Bawang Merah di Petani Proses Perencanaan (Plan)
Pengadaan (Source)
Produksi (make)
Distribusi (Deliver) Pengembalian (Return)
Risiko
Kode
Tingkat Keparahan
Sulitnya akses ke kelembagaan pembiayaan
E1
5
Modal usahatani bawang merah yang tinggi
E2
7
Tidak adanya asuransi pertanian
E3
3
Peranan kelompok tani sangat kurang dalam aktivitas usahatani (produksi-penjualan dilakukan secara individu)
E4
6
Salah prediksi jadwal tanam
E5
6
Varietas tanaman yang dipilih tidak cocok
E6
7
Salah prediksi memilih lokasi tanam
E7
6
Tidak ada prediksi yang pasti terhadap dosis penggunaan pestisida
E8
6
Sulit mencari lahan sewaan
E9
7
Akses jalan yang jauh dan sempit
E10
3
Alat transportasi tidak dapat menjangkau ke kebun
E11
4
Tidak ada MOU dengan pihak pembeli
E12
8
Pengadaan pupuk bersubsidi kurang/terbatas
E13
6
Pengadaan bibit kurang
E14
5
Tidak ada penggunaan pupuk kandang
E15
4
Kurangnya pasokan pupuk organik
E16
4
Harga bibit sangat mahal
E17
8
Pembayaran hasil panen rendah
E18
4
Pembayaran hasil panen terlambat
E19
4
Tidak ada kepastian harga jual
E20
7
Upah tenaga kerja tinggi
E21
8
Bawang merah banyak yang tercecer saat bongkar muat
E22
3
Penyusutan bawang saat panen tinggi
E23
5
Bawang rusak/busuk
E24
5
Penyusutan bawang di gudang sangat tinggi
E25
3
Lahan belum siap tanam
E26
4
Tanaman terserang hama
E27
5
Tanaman terserang penyakit
E28
7
Umbi yang dihasilkan berukuran kecil
E29
4
Tanaman tidak tumbuh
E30
6
Terlalu cepat dipanen
E31
6
Gagal panen
E32
9
Tidak ada air pada musim kemarau
E33
6
Waktu penjemuran saat musim hujan lebih lama
E34
7
Penjemuran masih dilakukan secara manual
E35
6
Penyusutan karena proses penjemuran
E36
7
Biaya penjemuran tinggi
E37
6
Tidak ada standarisasi yang jelas mengenai grade bawang
E38
6
Ketidak akuratan berat/bobot bawang dalam satu ikat
E39
3
Bawang tercecer/susut saat pengangkutan
E40
5
Pengangkutan dari kebun ke jalan masih tradisional
E41
2
Pengembalian produk dari penebas
E42
2 187
Lampiran
Tabel 20. Agen Risiko Rantai Nilai Bawang Merah di Petani Kode
Sumber Risiko
Tingkat Kemunculan
A1
Kurangnya perencanaan kelompok tani
3
A2
Perencanaan budidaya kurang tepat
5
A3
Infrastruktur kurang memadai
4
A4
Ketidakpastian harga beli bawang merah
6
A5
Kurangnya lembaga penyedia saprodi resmi
6
A6
Ketersediaan bibit unggul kurang
4
A7
Jangkauan alat angkut terbatas
3
A8
Panen Raya
4
A9
Perubahan iklim dan cuaca tidak menentu
6
A10
Produktivitas lahan menurun
7
A11
Banyaknya penggunaan tenaga kerja
6
A12
Petani tidak memiliki akses pasar
5
A13
Kurangnya sosialisasi teknologi oleh lembaga terkait
4
A14
Kurangnya lembaga pembiayaan usaha tani
3
A11
Banyaknya penggunaan tenaga kerja
6
Tabel 21. Korelasi antara Risiko dan Sumber Risiko pada Petani Risk Event
188
Risk Agent A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
A11
A12
A13
A14
E1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
-
9
E2
-
1
-
-
9
-
-
-
-
-
-
1
-
9
E3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
E4
9
1
-
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E5
9
9
-
-
-
-
-
9
3
-
-
-
-
-
E6
3
9
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E7
-
9
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E8
-
9
-
-
1
-
-
-
-
3
-
-
-
-
E9
-
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E10
-
1
9
-
-
-
3
-
-
-
-
-
-
-
E11
-
1
9
-
-
-
9
-
-
-
-
-
-
-
E12
-
-
-
9
-
9
-
-
-
-
-
1
-
-
E13
1
1
-
-
9
-
-
-
-
9
-
-
-
-
E14
-
9
-
-
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E15
3
3
-
-
9
-
-
-
-
9
-
-
-
-
E16
3
3
-
-
9
-
-
-
-
9
-
-
-
-
E17
1
3
-
-
9
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lampiran
Tabel 21. Korelasi antara Risiko dan Sumber Risiko pada Petani (lanjutan) Risk Event
Risk Agent A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
A11
A12
A13
A14
E18
1
1
-
9
-
9
-
9
-
-
-
9
-
-
E19
-
-
-
9
-
9
-
-
-
-
-
-
-
-
E20
-
-
-
9
-
9
-
-
-
-
-
9
-
-
E21
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
9
-
-
-
E22
-
-
3
-
-
-
3
-
-
-
-
-
-
-
E23
-
-
1
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
E24
-
-
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
-
-
E25
-
-
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
-
-
E26
3
9
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E27
3
9
-
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
-
E28
3
9
-
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
-
E29
-
9
-
-
-
-
-
-
9
9
-
-
-
-
E30
-
9
-
-
-
-
-
-
3
9
-
-
-
-
E31
1
9
-
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
-
E32
-
9
-
-
-
-
-
-
9
3
-
-
-
-
E33
1
3
9
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
-
E34
-
0
0
-
-
-
-
-
9
-
-
-
9
-
E35
-
1
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
-
E36
-
0
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E37
-
0
1
-
-
-
-
-
-
-
9
-
-
-
E38
1
0
0
-
-
-
-
-
-
-
-
1
3
-
E39
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
E40
-
-
9
-
-
-
9
-
-
-
-
-
-
-
E41
-
-
9
-
-
-
9
-
-
-
-
-
9
-
E42
-
-
-
9
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
Oj
3
5
4
6
6
4
3
4
6
7
6
5
4
3
ARPj
726
3.810
900
1.458
1.692
828
375
668
2.592
1.827
756
685
612
405
Pj
9
1
6
5
4
7
14
11
2
3
8
10
12
13
189
Lampiran
Tabel 22. Risiko Prioritas di Petani Agen Risiko
ARP
Peringkat
%ARP
%Kum. ARP
Kategori
A2
3.810
1
20,04
20,04
A9
2.538
2
13,63
33,67
A10
1.827
3
9,61
43,28
A5
1.692
4
8,90
52,18
A4
1.458
5
8,41
60,59
A3
880
6
5,19
65,78
A6
828
7
4,78
70,56
A11
756
8
4,36
74,92
A1
726
9
4,19
79,11
A12
685
10
3,95
83,06
A8
668
11
3,85
86,91
A13
612
12
3,53
90,44
A14
405
13
2,34
92,78
A7
375
14
2,16
94,94
17.334
Prioritas
Non Prioritas
Tabel 23. Daftar Risiko pada Proses Rantai Nilai Cabai Merah di KOJA Risiko (risk event)
Proses Perencanaan (Plan)
Pengadaan (Source)
Produksi (Make)
190
Kode
Tingkat Keparahan
Harga yang berlaku dipasar mempengaruhi harga kontrak
E1
5
Negosiasi harga kontrak tidak menguntungkan KOJA
E2
8
FGD tidak diikuti oleh seluruh pelaku yang terlibat (kelompok tani/petani)
E3
7
Hasil panen tidak sesuai prediksi yang direncanakan
E4
6
Petani mitra tidak melaksanakan pola tanam yang ditentukan KOJA
E5
10
Kualitas cabai rendah
E6
8
Kekurangan modal
E7
8
Bergantung pada satu pasar terstruktur
E8
9
Penggunaan agroinput tidak sesuai SOP
E9
8
Ketidaksesuaian pasokan agroinput dengan penggunaannya
E10
7
Keterlambatan panen di petani
E11
7
Jumlah pasokan cabai dari petani tidak stabil
E12
7
Penyusutan pengangkutan
E13
2
Pembayaran dari buyer terlambat
E14
10
Petani menjual sebagian hasil panen langsung ke pasar
E15
8
Penyortiran tidak sesuai SOP
E16
8
Penyusutan karena penyortiran, pemotesan dan penimbangan