IDENTIFIKASI KONDISI LINGKUNGAN KERJA DAN PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI MEBEL KAYU JATI TERHADAP PERLINDUNGAN K3 DI KABUPATEN JEPARA
TITA WIDIASTUTI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Identifikasi Kondisi Lingkungan Kerja dan Persepsi Pekerja Industri Mebel Kayu Jati terhadap Perlindungan K3 di Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Tita Widiastuti NIM E14090041
ABSTRAK TITA WIDIASTUTI. E14090041. Identifikasi Kondisi Lingkungan Kerja dan Persepsi Pekerja Industri Mebel Kayu Jati terhadap Perlindungan K3 di Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh EFI YULIATI YOVI. Sektor kehutanan merupakan kegiatan yang memiliki tingkat risiko pekerjaan yang tinggi karena harus dihadapkan pada kondisi lingkungan kerja yang sulit. Salah satu pekerjaan yang termasuk dalam sektor kehutanan adalah industri perkayuan atau yang lebih dikenal dengan industri mebel. Kegiatan industri mebel terdiri dari kegiatan pembentukan komponen (penggergajian), pengampelasan dan finishing. Kegiatan tersebut dapat menimbulkan potensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja apabila pekerja tidak paham akan bahaya yang dapat terjadi dari kegiatan tersebut, maka dari itu diperlukan tingkat pengetahuan yang cukup mengenai perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menggambarkan kondisi lingkungan kerja dan persepsi pekerja industri mebel kayu jati mengenai perlindungan K3 di Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara secara mendalam mengenai perlindungan K3 terhadap 90 orang responden yang termasuk dalam kategori pekerja dengan jenis kegiatan antara lain pembentukan komponen (penggergajian), pengampelasan dan finishing. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan kondisi lingkungan kerja yang berbahaya dengan nilai faktor fisika dan kimia di atas nilai ambang batas (NAB) serta adanya perbedaan yang signifikan terhadap perbandingan nilai self-assessment dan nilai control based-assessment dengan responden yang bersifat overestimate dan memiliki tingkat pengetahuan yang buruk. Kata kunci: keselamatan dan kesehatan kerja, kondisi lingkungan kerja, sektor industri
ABSTRACT TITA WIDIASTUTI. E14090041. Identification of the Working Conditions and Perception of the Teak Wood Furniture Industry Workers for Safety and Health Protection in the Mulyoharjo Village Regency of Jepara. Supervised by EFI YULIATI YOVI. The forestry sector is an activity that has a high level of risk because of work must be faced with the difficult working conditions. One of the works included in the forestry sector is the timber industry, or better known as the furniture industry. Event furniture industry consists of activities forming component (sawmill), sanding and finishing. These activities can lead to potential accidents at work if the worker does not understand the dangers that can occur from these activities, and therefore required considerable knowledge of occupational safety and health (OSH) protection to prevent accidents. This study aims to describe the working conditions and the general perception of the teak wood furniture industry workers about OSH protection in the Mulyoharjo Village Regency of Jepara. Collecting data in this
study was obtained through in-depth interviews about the occupational safety and health protection against 90 respondents were included in the category of workers with the types of activities such as the formation of the components (sawmill), sanding and finishing. The results obtained in this study showed a dangerous working conditions with physical and chemical factors values above threshold value and the presence of significant difference between the value of selfassessment and control value-based assessment in which respondents are overestimates and has a poor level of knowledge. Keywords: industry, occupational health and safety, working conditions
IDENTIFIKASI KONDISI LINGKUNGAN KERJA DAN PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI MEBEL KAYU JATI TERHADAP PERLINDUNGAN K3 DI KABUPATEN JEPARA
TITA WIDIASTUTI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Identifikasi Kondisi Lingkungan Kerja dan Persepsi Pekerja Industri Mebel Kayu Jati terhadap Perlindungan K3 di Kabupaten Jepara Nama : Tita Widiastuti NIM : E14090041
Disetujui oleh Dosen Pembimbing
Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc NIP : 19740724 199903 2 003
Diketahui oleh Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Ahmad Budiaman, MSc.F NIP : 19651010 199002 1 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Segala nikmat yang telah diberikan-Nya senantiasa menjadi keberkahan untuk karya ilmiah ini, amin. Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan untuk nabi besar Muhammad SAW. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini adalah K3 dengan judul “Identifikasi Kondisi Lingkungan Kerja dan Persepsi Pekerja Industri Mebel Kayu Jati terhadap Perlindungan K3 di Kabupaten Jepara”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan dukungan secara moril dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Icang Suryana dan Ibu Nurbaeti yang tak pernah berhenti memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa kepada penulis. Salam sayang penulis sampaikan kepada adik-adik tercinta Reksi, Rakta, Ratna, dan Citra serta keluarga yang selalu memberikan kegembiraan kepada penulis. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Ahmad Budiaman, MSc.F selaku Ketua Departemen Manajemen Hutan atas bimbingannya, tak lupa juga ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dosen-dosen dan staf tata usaha Departemen Manajemen Hutan yang telah memberikan bantuannya, serta ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Listhia, Ramayana dan teman-teman mahasiswa Fakultas Kehutananan Institut Pertanian Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014
Tita Widiastuti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
METODE PENELITIAN
3
Alat dan Bahan Penelitian
4
Pengelompokan Data
4
Pengumpulan Data
4
Pengolahan dan Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Kerja di Industri Mebel Kayu Jati
8 8
Persepsi Pekerja Terhadap Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja 15 SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
20
DAFTAR TABEL 1 Tetapan nilai terhadap pilihan jawaban responden untuk kuesioner selfassessment 5 2 Nilai konversi control-based assessment 6 3 Interval tingkat pengetahuan responden berdasarkan skala Likert 7 4 Hasil pengukuran tingkat kebisingan alat kerja 9 5 Hasil pengukuran konsentrasi debu alat kerja 13 6 Karakteristik responden berdasarkan umur, pengalaman kerja, dan pendidikan 15 7 Hasil uji Wilcoxon persepsi responden 17
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Alur kerangka pikir 2 Alur pengolahan dan analisis data 6 Selisih nilai self-assessment dengan control-based assessment 16 Tingkat pengetahuan responden terhadap topik perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja 18
PENDAHULUAN Latar Belakang Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu perusahaan sebagai wujud perlindungan terhadap hak tenaga kerja untuk mendapatkan kehidupan kerja yang nyaman. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat 2, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, serta Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 35 Ayat 3 dan pasal 86 telah dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan perlindungan K3 dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan dan meningkatkan produksi serta produktivitas. Salah satu sektor yang memerlukan perhatian lebih mengenai perlindungan K3 adalah sektor kehutanan. Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor industri yang paling berbahaya. Menurut Yovi (2007) pekerjaan di bidang kehutanan merupakan jenis pekerjaan yang memiliki berbagai kendala seperti lingkungan kerja yang sulit, pekerjaan fisik yang berat (yang sering melebihi batas kapasitas kerja pekerja hutan), dan risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Diperlukan upaya perlindungan K3 untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Namun pada kenyataannya perlindungan K3 pada bidang kehutanan kurang mendapatkan perhatian. Kegiatan industri mebel kayu jati skala kecil merupakan salah satu contoh sektor kehutanan yang memanfaatkan hasil hutan kayu. Industri mebel kayu jati skala kecil sangat berperan penting terhadap perdagangan hasil hutan kayu karena bahan utama yang digunakan adalah kayu sehingga dapat meningkatkan pemasukan negara. Perlu diketahui bahwa pekerja yang bekerja di industri mebel kayu jati skala kecil memerlukan perhatian lebih mengenai perlindungan K3, hal ini dikarenakan tenaga kerja industri mebel kayu jati skala kecil memiliki beban kerja fisik yang lebih banyak dibanding beban kerja mental/sosial. Beban kerja fisik merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi K3 karena setiap orang memiliki kapasitas kerja dan keterbatasan (Yovi 2007). Pemberi kerja wajib memberikan upaya perlindungan K3 kepada pekerjanya yang mencangkup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik. Apabila perlindungan K3 tidak diperhatikan maka akan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang menimbulkan berbagai kerugian, baik kerugian secara fisik maupun secara finansial. Salah satu kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan kerja yaitu menurunnya tingkat produktivitas. Apabila produktivitas menurun maka perusahaan juga akan mengalami kerugian. Oleh karena itu diperlukan upaya perlindungan K3 guna mewujudkan produktivitas yang optimal. Menurut Suma’mur (1967) kecelakaan yang terjadi bukan merupakan hal kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena itu kecelakaan dapat dicegah. Untuk mencegah kecelakaan tersebut diperlukan suatu sistem manajemen K3. Manajemen K3 merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan perlindungan K3. Upaya perlindungan K3 merupakan tanggung jawab semua pihak, seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa
2 pemerintah, pengusaha dan pekerja itu sendiri memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan K3. Salah satu program manajemen K3 yaitu peningkatan kesadaran terhadap perlindungan K3 yang dilakukan melalui pelatihan dan penyuluhan. Namun kegiatan tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar dan membutuhkan waktu yang khusus serta kurang efektif untuk menarik minat tenaga kerja untuk mengikutinya. Sehingga diperlukan suatu strategi sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran terhadap perlindungan K3 guna meminimalkan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Salah satu strategi yang sedang dikembangkan oleh Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc dari Fakultas Kehutanan IPB adalah menggunakan instrumen pembelajaran seperti safety game. Diperlukan suatu pengamatan lapang sebagai upaya mengetahui bagaimana kondisi dasar yang ada pada industri mebel kayu jati skala kecil. Salah satu industri mebel kayu jati skala kecil yang dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui kondisi lingkungan kerja dan persepsi pekerja terhadap K3 terdapat di Desa Mulyoharjo Sentra Ukir Patung Jepara.
Kerangka Pikir Penelitian ini dimaksudkan untuk membandingkan kondisi ideal berdasarkan regulasi dengan kondisi aktual di lapangan. Alur kerangka pikir disajikan pada Gambar 1. Kondisi ideal berdasarkan regulasi
Kondisi aktual di lapangan Observasi lapang
Analisis persepsi
Observasi faktor fisika dan kimia lingkungan kerja
Formulasi masalah
Overestimate
Uji Wilcoxon
Underestimate
Strategi untuk meningkatkan tingkat pengetahuan
Safety game Gambar 1 Alur kerangka pikir
3 Perumusan Masalah Kondisi lingkungan kerja yang berbahaya memerlukan tingkat pengetahuan pekerja yang baik untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja, rendahnya tingkat pengetahuan pekerja mengenai perlindungan K3 membuat pekerja mengabaikan kewajibannya dalam melaksanakan perlindungan K3. Salah satunya adalah tidak mematuhi aturan yang telah ditentukan dalam menjalankan pekerjaannya, hal ini dapat berisiko tinggi pada terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan suatu permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1. Bagaimanakah kondisi lingkungan kerja di tempat kerja (faktor fisika dan kimia)? 2. Bagaimana persepsi pekerja terhadap perlindungan K3 dilihat dari nilai selisih antara self-assessment (SA) dan control-based assessment (CBA)? (overestimate/underestimate) 3. Jika terdapat perbedaan persepsi pekerja antara SA dan CBA, apakah besarnya perbedaan tersebut dapat dikatakan signifikan? 4. Apakah rendahnya tingkat pengetahuan pekerja menyebakan ketidaksesuaian kondisi aktual di lapangan dengan kondisi ideal yang seharusnya?
Tujuan Penelitian 1. Menggambarkan kondisi lingkungan kerja di industri mebel kayu jati skala kecil. 2. Menggambarkan persepsi pekerja mengenai perlindungan K3. 3. Menguji signifikansi persepsi pekerja berdasarkan penilaian sendiri (selfassessment) dengan persepsi objektif berdasarkan standar (control-based assessment).
Manfaat Penelitian Hasil penelitian berupa kondisi lingkungan kerja dan persepsi pekerja industri mebel kayu jati skala kecil mengenai perlindungan K3 di Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan perlindungan K3 berupa pengadaan alat pelindung diri (APD) untuk mencegah terjadinya risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan observasi lapang dan wawancara secara mendalam terhadap pekerja untuk mendapatkan informasi mengenai perlindungan K3 di Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara. Metode kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif,
4 untuk memusatkan pada penyelidikan terhadap cara manusia memaknai kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan tingkat pengetahuan mereka melalui bahasa, suara, perumpamaan, gaya pribadi, maupun ritual sosial. Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk mengeksplorasi data agar dapat mengetahui bagaimana persepsi pekerja industri mebel kayu jati skala kecil mengenai perlindungan K3.
Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner sebagai media untuk mendapatkan informasi mengenai persepsi pekerja industri mebel kayu jati mengenai perlindungan K3 disertai alat tulis dan alat rekam untuk wawancara di lapangan. QUESTemp’34, sound level meter dan HAZ-DUST model EPAM-5000 sebagai alat ukur kondisi fisika dan kimia lingkungan kerja. Kamera digunakan sebagai alat untuk dokumentasi. Kalkulator, laptop, IBM SPSS (statistical program for social science) statistic 18.0, microsoft excel dan microsoft word untuk pengolahan data.
Pengelompokan Data Data yang diambil untuk mengetahui persepsi pekerja industri mebel mengenai perlindungan K3 terdiri dari : 1. Data primer diperoleh dari observasi lapang berupa pengukuran kondisi fisika dan kimia lingkungan kerja dan wawancara secara mendalam kepada pekerja menggunakan kuesioner dengan sistem penilaian yang bersifat selfassessment (penilaian diri sendiri) dan control-based assessment (penilaian berdasarkan standar) berisikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan K3 disertai dengan data identitas pekerja seperti nama, umur, pendidikan terakhir, pekerjaan, pengalaman kerja (tahun), lokasi tempat kerja. Pertanyaan terkait K3 meliputi aspek perlindungan K3 dengan topik definisi, ketentuan umum, hak dan kewajiban pekerja, potensi bahaya di industri, selain itu juga terdapat topik pengetahuan dasar mengenai APD, NAB, kebisingan, debu dan bahan kimia berbahaya (BKB) serta upaya pengendalian BKB. 2. Data sekunder berupa studi pustaka yang dikutip sebagai landasan berpikir dan mengutip data yang tersedia pada instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, terdiri dari data dari dinas kesehatan mengenai jumlah masyarakat Jepara yang terkena penyakit pnemokonioses.
Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi lapang dan wawancara berdasarkan kuesioner SA dan CBA. Observasi lapang dilakukan dengan mengukur kondisi fisika dan kimia lingkungan kerja. Proses wawancara dilakukan melalui tanya jawab menggunakan kuesioner SA dan CBA untuk mengumpulkan data tentang persepsi pekerja terhadap
5 perlindungan K3. Untuk penentuan responden dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu salah satu teknik penentuan contoh dengan pertimbangan tertentu yaitu membagi responden kedalam 3 kategori kegiatan kerja. Pertama kegiatan pembentukan komponen (penggergajian), pengampelasan dan finishing. Jumlah responden keseluruhan sebanyak 90 responden yang terbagi dalam 3 kegiatan kerja dengan jumlah masing-masing responden untuk setiap kegiatan kerja sebanyak 30 responden. Untuk pengambilan responden ditentukan menggunakan metode accidental sampling yaitu dengan cara mengambil contoh seadanya. Untuk kuesioner SA pilihan jawaban telah ditentukan berdasarkan skala Likert dengan bobot nilai tertentu sesuai dengan jawaban pertanyaan. Jawaban dari kuesioner SA dapat menggambarkan sejauh mana responden memberikan nilai pada tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Skala Likert merupakan skala pengukuran ordinal yang menentukan tingkat persetujuan seseorang terhadap suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia (Likert 1932). Pembuatan skala ini bertujuan untuk mengubah fakta-fakta yang bersifat kualitatif menjadi sebuah urutan yang bersifat kuantitatif. Untuk tetapan nilai SA pada penelitian ini skala Likert diberi skor 1–5, skor 1 untuk tingkat pengetahuan responden yang termasuk dalam kategori “sangat tidak mengetahui”, sedangkan skor 5 untuk tingkat pengetahuan responden yang masuk dalam kategori “sangat mengetahui”. Penilaian responden berdasarkan skala Likert yang telah ditentukan bobotnya dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk kuesioner CBA berbentuk essai, penilaian kuesioner CBA dinilai berdasarkan jawaban ideal yang telah disiapkan, diambil dari aturan K3. Penilaian berdasarkan standar yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada berbagai aturan K3 sebagai berikut: 1. Undang-undang RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja 4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: KEP.187/MEN/1999 tentang pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja Untuk penilaian CBA pada penelitian ini diberi nilai dari 0–10, yang kemudian nilai tersebut akan disesuaikan dengan nilai SA, agar mudah untuk dilakukan pengolahannya. Untuk menyesuaikan nilai CBA dengan nilai SA maka dilakukan konversi nilai. Nilai yang telah konversi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Tetapan nilai terhadap pilihan jawaban responden untuk kuesioner selfassessment Nilai 5 4 3 2 1
Jawaban responden Tingkat pengetahuan Sangat mengetahui Mengetahui Cukup mengetahui Tidak mengetahui Sangat tidak mengetahui
6
Penjelasan dari pilihan jawaban diatas menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) online dalam Setiawan (2010) adalah sebagai berikut: 1. Sangat mengetahui : memahami betul dan menguasai ilmunya 2. Mengetahui : memaklumi, menyaksikan, dan mengerti akan maksud dari suatu hal 3. Cukup mengetahui : cukup bisa memaklumi, menyaksikan, dan mengerti 4. Tidak mengetahui : tidak bisa memaklumi, menyaksikan, dan mengerti 5. Sangat tidak mengetahui : sama sekali tidak mengetahui dan belum pernah mendengar Tabel 2 Nilai konversi control-based assessment Interval nilai CBA 0–2 3–4 5–6 7–8 9–10
Konversi nilai 1 2 3 4 5
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh melalui proses observasi lapang dan wawancara secara mendalam serta terstuktur yang berupa skala Likert dengan interval tetapan nilai 1–5 kemudian diolah dan dianalisis menggunakan seperangkat komputer dengan menggunakan software berupa SPSS versi 18.0 dan microsoft office excel 2010. Pengumpulan data Analisis deskriptif Uji Wilcoxon Penilaian self-assessment Setiap responden
Penilaian control-based assessment Keseluruhan responden
Keterangan: besarnya nilai angka probabilitas (jika <0,05 maka terdapat perbedaan yang signifikan antara penilaian self-assessment dengan penilaian control-based assessment.
Gambar 2 Alur pengolahan dan analisis data
7 Data yang sudah dikelompokan baik untuk kuesioner SA maupun CBA, kemudian dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui nilai mean, standard error, median, mode, standar deviation, contoh variance, range, nilai minimun, nilai maksimum, sum, count SA dan CBA. Analisis pengolahan tidak mempertimbangkan perbedaan kegiatan kerja responden karena kegiatan kerja dianggap sebagai satu kegiatan yang sama. Untuk mengetahui persepsi responden dari aspek tingkat pengetahuan dilakukan perbandingan nilai rata-rata penilaian SA dan penilaian CBA sehingga dapat diketahui penilaian yang dilakukan oleh responden bersifat overestimate atau underestimate. Overestimate menggambarkan bahwa nilai rataan SA lebih besar daripada nilai rataan CBA, sedangkan untuk underestimate menggambarkan nilai rataan SA lebih kecil dari pada nilai rataan CBA. Untuk persepsi reponden yang overestimate artinya mereka memberikan penilaian yang tinggi terhadap tingkat pengetahuan yang dimilikinya, sehingga tidak sesuai dengan penilaian berdasarkan standar. Untuk persepsi responden yang underestimate penilaian terhadap tingkat pengetahuan yang dimilikinya terbilang rendah, namun ternyata setelah dilakukan penilaian berdasarkan standar tingkat pengetahuan yang dimilikinya lebih tinggi. Pengelompokan nilai rataan berdasarkan skala Likert ditentukan intervalnya terlebih dahulu dengan rumus: 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 − 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ 5 − 1 = = 0,8 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 5
Berdasarkan interval ditetapkan nilai persepsi responden terhadap tingkat pengetahuan perlindungan K3 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Interval tingkat pengetahuan responden berdasarkan skala Likert Interval Nilai >4,20–5,00 >3,40–4,20 >2,60–3,40 >1,80–2,60 1,00–1,80
Tingkat pengetahuan Sangat baik Baik Cukup Buruk Sangat buruk
Uji Wilcoxon Menurut Santoso dalam Syakir (2011) uji peringkat bertanda Wilcoxon dilakukan dengan menggunakan dua contoh yang saling berhubungan dan menguji hubungan diantara keduanya yang termasuk kedalam pengujian nonparametrik. Dalam penelitian ini uji Wilcoxon digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara penilaian responden (self-assessment) dengan penilaian berdasarkan standar (control-based assessment) terhadap tingkat pengetahuan perlindungan K3 dengan melihat perbedaan selisih yang dihasilkan dari nilai rataan (positif atau negatif) yang menggambarkan suatu persepsi pekerja terhadap penilaian objektif yang dilakukan (overestimate atau underestimate). Pengolahan data menggunakan uji Wilcoxon dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 18.0 untuk menguji perbedaan signifikan antar
8 dua contoh saling berhubungan dengan memerhatikan besar dan arah perbedaannya. Pengujian dilakukan dengan melihat ada tidaknya perbedaan signifikan terhadap semua responden dan ada tidaknya perbedaan signifikan secara keseluruhan untuk penilaian responden (self-assessment) dengan penilaian berdasarkan standar (control-based assessment). Taraf nyata yang digunakan sebesar 0,05 jika taraf nyata yang diperoleh <0,05 maka perbedaan dapat dikatakan signifikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Kerja di Industri Mebel Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu upaya penyerasian antara beban kerja dengan lingkungan kerja agar tercipta suatu kondisi aman dan nyaman terhindar dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Menurut Suma’mur (1967) semakin besar beban kerja, maka semakin pendek waktu seseorang dapat bekerja tanpa kelelahan atau gangguan. Hal ini harus di tunjang dengan kondisi lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan kerja di industri mebel termasuk kedalam kondisi yang sangat berbahaya. Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, faktor fisika adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika yang terdiri dari iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu, dan medan magnet. Faktor kimia adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat kimia yang meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut, aerosol dan uang yang berasal dari bahan-bahan kimia. Pada industri mebel kayu jati faktor fisika yang dapat di ukur meliputi iklim kerja, kebisingan, dan getaran. Untuk faktor kimia dilakukan pengukuran terhadap debu yang ada di industri dan pangamatan terhadap bahan kimia berbahaya yang digunakan. Iklim Kerja Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaannya (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja). Dalam Permen No. 13 di jelaskan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) untuk beban kerja sedang sebesar 28 ºC. Industri mebel kayu jati skala kecil merupakan kegiatan dengan beban kerja sedang karena membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan kurang dari 350 Kilo kalori/jam (Suma’mur 1967). ISBB adalah parameter untuk menilai tingkat iklim kerja yang merupakan hasil perhitungan antara suhu udara kering, suhu basah alami dan suhu bola. Iklim kerja yang melebihi nilai ISBB dapat mengganggu aktivitas kerja dan kesehatan pekerja sehingga dapat menurunkan produktivitas kerja. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan heat cramps, heat exhaustion, heat stroke, dan miliaria selain itu akan mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu
9 koordinasi syaraf perasa dan motoris (Suma’mur 1967). Hal tersebut sangat berbahaya bagi pekerja untuk itu diperlukan upaya untuk mencegah iklim kerja terlalu tinggi ataupun terlalu rendah karena suhu rendah pun dapat menimbulkan penyakit. Suma’mur (1967) juga mengungkapkan penyakit yang dapat ditimbulkan akibat suhu terlalu rendah adalah chilblains, trench foot, dan frostbite serta mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Upaya pencegahan iklim kerja yang ekstrim dapat dilakukan dengan cara mengatur sirkulasi udara yang baik, dapat dilakukan dengan cara memperhatikan ventilasi udara pada tempat kerja. Pengukuran iklim kerja dilakukan menggunakan alat QUESTemp’34 di Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara untuk mengetahui besarnya iklim kerja, hasil yang diperoleh sebesar 27,1 ºC. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa iklim kerja berada dibawah nilai ISBB (28 ºC) hal ini terjadi dikarenakan kondisi pada saat itu sedang mendung sehingga tidak sesuai dengan kondisi normal di Jepara. Berdasarkan pengukuran menggunakan termometer pada kondisi normal Jepara diperoleh nilai rata-rata sebesar 31,5 ºC. Kebisingan Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2011 ). Hasil pengukuran tingkat kebisingan alat kerja dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengukuran tingkat kebisingan alat kerja No
Nama alat
1 2 3
Circlesaw Chainsaw Gerinda
Hasil pengukuran (dBA) 96,5 97,6 86,7
NAB (dBA) 85 85 85
Keterangan: NAB= Nilai ambang batas berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2011.
Tabel 4 menunjukkan nilai pengukuran tingkat kebisingan alat kerja di industri mebel kayu jati. Pengukuran dilakukan pada 3 jenis alat kerja yaitu circlesaw, chainsaw, dan gerindra. Pengukuran dilakukan menggunakan alat sound level meter. Suma’mur (1967) menjelaskan sound level meter merupakan suatu alat yang mengukur kebisingan antara 30–130 dBA dan dari frekuensi 20– 20.000 Hz. Circlesaw dan chainsaw merupakan alat yang memiliki fungsi untuk memotong kayu sedangkan gerinda berfungsi untuk menghaluskan kayu. Pengukuran kebisingan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh alat-alat yang digunakan pada industri mebel. Hasil yang diperoleh menjelaskan kebisingan yang dihasilkan oleh alat circlesaw, chainsaw dan gerinda melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 85 dBA untuk waktu kerja selama 8 jam kerja perhari. Untuk circlesaw nilai kebisingan yang diperoleh yaitu sebesar 96,5 dBA, untuk chainsaw sebesar 97,6 dBA dan untuk gerinda sebesar 86,7 dBA. Berdasarkan skala intensitas kebisingan nilai desibel kondisi lingkungan kerja di industri, industri mebel kayu jati masuk dalam skala sangat hiruk karena berada
10 antara 80–100 dBA. Dengan kondisi demikian dapat dikatakan bahwa kondisi lingkungan kerja di industri mebel berpotensi menimbulkan pengaruh negatif bagi kesehatan, sehingga diperlukan upaya dalam mengendalikan kebisingan agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Pengendalian yang bisa dilakukan adalah dengan cara mengurangi kebisingan pada sumbernya, isolasi terhadap tenaga kerja dan mesin serta menggunakan pelindung telinga seperti ear plug, ear muff, dan helm pada saat bekerja menggunkan alat-alat tersebut. Tingkat kebisingan yang tinggi dapat mengakibatkan timbulnya gangguan pada kesehatan. Gangguan kesehatan yang paling utama ditimbulkan oleh kebisingan adalah kerusakan pada alat indera pendengar. Hal ini bisa mengakibatkan ketulian progresif. Suma’mur (1967) menjelaskan bekerja terusmenerus di tempat bising berakibat kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak pulih kembali. Hal-hal buruk tersebut dapat dicegah, maka dari itu diperlukan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi dalam perlindungan K3. Berdasarkan hasil observasi di lapangan banyak sekali pekerja yang tidak menggunakan pelindung telinga pada saat bekerja menggunakan alat-alat yang menghasilkan suara bising. Hampir semua pekerja (96,67%) merasa tidak terganggu dengan suara yang ditimbulkan oleh alat/mesin kerja, karena merasa sudah terbiasa bahkan untuk mensiasati suara-suara yang ditimbulkan oleh alat-alat tersebut mereka mendengarkan musik dengan volume yang tinggi, sehingga pada saat berkomunikasi pekerja harus berteriak. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa rendahnya tingkat pengetahuan mereka dalam perlindungan K3 seharusnya untuk mensiasati kebisingan yang terjadi di tempat kerja adalah melakukan perlindungan diri seperti menggunakan APD yaitu alat pelindung telinga seperti earmuff atau earplug. APD yang digunakan berfungsi untuk mengurangi intensitas kebisingan tinggi yang diterima oleh telinga. Namun pada kenyataannya pekerja enggan untuk menggunakan APD karena dianggap sangat mengganggu kegiatan komunikasi pekerja hal ini merupakan bentuk kurangnya disiplin pekerja dalam melindungi dirinya sendiri. Padahal pekerja mengetahui betul gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh kebisingan. Kebisingan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja, menurut Buchari (2007) gangguan kesehatan yang ditimbulkan berupa gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian. Gangguan fisiologis dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, dan dapat menyebakan pucat serta gangguan sensoris. Gangguan psikologis dapat berupa hilangnya konsentrasi pekerja, adanya rasa tidak nyaman, meningkatnya emosional, menyebabkan susah tidur, serta menimbulkan penyakit jantung koroner dan gastristis apabila pemaparan dalam jangka waktu yang lama. Gangguan ketulian (pendengaran) merupakan gangguan yang menyebakan hilangnya pendengaran yang dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara dan akan hilang jika pekerja tidak lagi bekerja ditempat yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi tapi bila bekerja terus menerus di tempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau tuli. Berdasarkan observasi lapang sebagian besar pekerja (61,11%) mengeluh mengalami penurunan tingkat pendengaran akibat dari pekerjaan mereka sehingga pada saat melakukan komunikasi harus menggunakan nada yang cukup keras atau memaksa mereka untuk berteriak hal ini membuat pekerja merasakan sakit kepala.
11 Apabila hal ini dibiarkan berlanjut terus maka akan berdampak buruk bagi kesehatan pekerja, sehingga menurunkan tingkat produktivitas pekerja. Fakta ini seharusnya menjadi perhatian perusahaan dan pemerintah untuk melakukan pemerikasaan organ pendengaran pekerja secara berkala untuk menghindari penurunan daya dengar yang permanen. Tidak hanya itu seharusnya bahaya yang akan ditimbulkan oleh kebisingan diinformasikan secara mendalam kepada pekerja agar pekerja mengerti dan paham betul dampak negatif yang akan terjadi bagi kesehatan mereka. Upaya pengendalian untuk mengurangi tingkat kebisinganpun perlu dilakukan mengingat setiap hari pekerja berada dalam kondisi lingkungan tersebut. Menurut Fredianta et al (2013) pengendalian yang dapat dilakukan secara teknis adalah mengontrol sumber kebisingan dengan modifikasi kerja mesin atau mengganti komponen sumber kebisingan, melakukan penempatan lapisan berpori di sekeliling sumber kebisingan, dan kontrol pada tingkat penerima misalnya dengan sumbat telinga/headphone/earplug/earmuff. Getaran Industri mebel kayu jati merupakan salah satu industri hasil hutan kayu yang berperan penting dalam perekonomian negara. Sumber daya manusia merupakan bagian yang harus dijaga dan dipelihara serta diperhatikan kondisi kesehatannya, agar mampu bekerja secara optimal untuk mencapai produktivitas yang maksimal sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dalam proses produksinya industri mebel menggunakan peralatan-peralatan yang dapat membantu dan mempermudah pekerjaannya, namun alat-alat tersebut dapat menghasilkan getaran. Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya (Permenaker No. 13 tahun 2011). Getaran ini dihasilkan oleh mesin atau alat yang digerakan oleh motor. Getaran yang dihasilkan oleh alat-alat industri bukan getaran dengan intensitas kecil, melainkan getaran dengan intensitas yang tinggi. Menurut Purbasari (2000) penggunaan alat ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan kerja dengan timbulnya sindrom getaran tangan dan lengan (jari-jari tangan pucat dengan tes provokasi dingin positif dan terasa raba, nyeri, suhu positif). Getaran dapat menimbulkan gangguan kesehatan apabila getaran tersebut melebihi NAB yang telah ditentukan. NAB getaran berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2011 adalah 4 m/detik2 untuk waktu pemajanan 4 jam dan kurang dari 8 jam perhari kerja. Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Purbasari (2000) menggunakan Integrating Vibration Meter diperoleh intensitas getaran untuk alat pengampelasan berkisar antara 4–10 m/detik2. Alat pengampelasan merupakan salah satu alat yang digunakan oleh industri mebel kayu jati untuk menghaluskan kayu sebelum dilakukan proses finishing. Nilai getaran yang diperoleh dikatakan telah melebihi nilai ambang batas, dan akan memberikan dampak buruk terhadap kesehatan pekerja. Gangguan yang dapat ditimbulkan berupa gangguan vaskuler dan fungsi sensorik serta gangguan otot dan tulang. Oleh karena itu seorang pekerja yang terpajan langsung dengan alat yang menghasilkan getaran harus menggunakan APD seperti sarung tangan untuk mengurangi intensitas getaran. Penggunaan APD ini merupakan salah satu bentuk upaya untuk mencegah pengaruh buruk bagi kesehatan yang disebabkan oleh getaran.
12 Bahan Kimia Berbahaya Pengendalian bahan kimia berbahaya (BKD) merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan dalam perlindungan K3 karena berdasarkan rangkaian kegiatan kerja dalam proses produksi mebel, proses finishing pengolahan mebel menggunakan bahan-bahan kimia. Menurut Yovi et al. (2013) pengendalian BKD menempati prioritas pertama dalam tahap pelaksanaan dan evaluasi karena industri kecil rumah tangga mebel didominasi oleh industri yang melakukan pengolahan mebel menggunakan bahan-bahan kimia untuk proses finishing. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP.187/MEN/1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di Tempat Kerja menjelaskan definisi dari pengendalian bahan kimia berbahaya adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko akibat penggunaan bahan kimia berbahaya di tempat kerja terhadap tenaga kerja, alat-alat kerja dan lingkungan. Pengendalian yang dimaksud adalah penyediaan LDKB (lembar data keselamatan bahan) dan penunjukan petugas K3. Selain pengendalian yang dimaksudkan oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 187 Tahun 1999, seharusnya pekerja juga menggunakan APD pada saat melakukan kegiatan finishing untuk mengurangi dan atau mencegah partikel-partikel kecil yang berhamburan di udara yang dihasilkan oleh proses finishing terhirup atau masuk kedalam saluran pernafasan, yang dapat mengakibatkan tenaga kerja mengalami gangguan kesehatan sesak nafas, gangguan pernafasan, dan batuk-batuk. Berdasarkan observasi lapang bahan-bahan kimia yang digunakan di industri mebel kayu jati dalam proses finishing berupa melamine, sending sealer, teak oil, wood stain, wood filler, dan thener. Melamine merupakan zat kimia yang terdiri dari campuran antara resin amino alkyd dan asam, dan mengandung gugus kimia melamine-formaldehyde (Yovi et al. 2013). Bahan-bahan tersebut merupakan racun industri yang berbahaya bagi kesehatan dan merupakan faktor penyebab penyakit akibat kerja apabila tenaga kerja tidak berhati-hati dalam penggunaannya. Bahan kimia berbahaya ditetapkan sebagai bahan yang termasuk dalam kriteria bahan beracun, mudah terbakar, mudah meledak, reaktif, dan oksidator. Menurut Suma’mur (1967) sifat dan derajat racun bahan-bahan kimia yang dipergunakan dalam industri tergantung dari faktor sifat-sifat fisik bahan kimia, sifat-sifat kimiawi bahan kimia, port d’entree, dan faktor-faktor tenaga kerja sendiri. Gangguan yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bahan kimia berbahaya terhadap kesehatan adalah dapat mengakibatkan iritasi kulit, iritasi mata, dan gangguan pernafasan. Seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI tentang Sistem Harmonisasi Global Klasifikasi dan Label Pada Bahan Kimia, bahaya penggunaan bahan kimia terhadap kesehatan akan mengakibatkan toksisitas akut, korosi/iritasi kulit, iritasi pada mata, sensitisasi saluran pernafasan/ pada kulit, dan toksisitas terhadap reproduksi. Pada umumnya tenaga kerja sering mengeluh mengalami sesak nafas akibat menghirup partikel-partikel halus hasil dari proses finishing hal ini juga terjadi karena tenaga kerja tidak melakukan upaya perlindungan diri seperti menggunakan APD untuk melindungi organ pernafasannya. Berdasarkan pengamatan pemakaian APD sebagian besar tenaga kerja industri mebel kayu jati (81,11%) enggan menggunakan APD dengan berbagai alasan diantaranya pemakaian APD dianggap membuat tenaga kerja sulit bernafas, tidak terjangkaunya harga APD yang sesuai
13 standar dan kurangnya kemauan serta kesadaran tenaga kerja untuk menggunakan APD secara disiplin, sehingga hanya sedikit pekerja yang ditemui menggunakan APD. Alat pelindung diri yang dipakaipun tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan terkesan asal pakai saja. Pekerja hanya menggunakan alat pelindung pernafasan yang terbuat dari kain. Alat pelindung pernafasan yang terbuat dari kain tidak efektif dalam melindungi saluran pernafasan karena ukuran pori-pori kain lebih besar dari ukuran partikel-partikel bahan kimia yang berhamburan di udara. Seharusnya penyediaan APD dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk kepedulian terhadap tenaga kerja, karena tenaga kerja merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses produksi yang erat hubungan dengan keberhasilan perusahaan. Penggunaan alat pelindung diri sebenarnya sudah diatur dalam UndangUndang No. 1 tahun 1970 pasal 9, 12, dan 14 tentang aturan penyediaan dan penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja, baik bagi pengusaha maupun bagi tenaga kerja dan Peraturan Menteri dan Tenaga Kerja No. 8 tahun 2011 tentang alat pelindung diri. Debu Debu merupakan partikel yang berukuran sangat kecil dihasilkan dari proses pemecahan suatu bahan baik secara alami ataupun oleh manusia. Industri mebel kayu jati sangat berpotensi menghasilkan debu kayu yang mengakibatkan udara dalam ruangan menjadi terkontaminasi. Debu kayu dapat dihasilkan dari proses kegiatan industri seperti penggergajian, penyerutan, dan pengampelasan. Debu kayu ini sangat berbahaya apabila terhirup kedalam saluran pernafasan karena mengandung senyawa karbon (C) dan silika (Si) yang akan mengendap di dalam organ pernafasan dan mengakibatkan penurunan kapasitas maksimal paru. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh penimbunan debu dalam paru-paru adalah penyakit pneumokonioses. Selain itu apabila debu kontak langsung dengan kulit akan timbul gatal pada kulit seperti alergi atau penyakit kulit yang dikenal dengan dermatosis. Data dari Departemen Kesehatan mencatat bahwa anak-anak usia 2 bulan–1 tahun di Kabupaten Jepara mengalami penyakit pnemokonioses pada tahun 2012 sebanyak 43 jiwa (21,9%) sedangkan untuk anak-anak usia 1–5 tahun tercatat sebanyak 122 jiwa (25,2%). Untuk mengetahui konsentrasi debu yang ada di industri mebel kayu jati dilakukan pengukuran menggunakan alat HAZ-DUST model EPAM-5000. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja, NAB untuk konsentrasi debu halus adalah 1 mg/m3. Tabel 5 Hasil pengukuran konsentrasi debu alat kerja No
Nama Alat
1 2 3
Circlesaw Gerinda Chainsaw
Hasil Pengukuran (mg/m3) 1,486 6,665 1,834
Keterangan: NAB= Nilai Ambang Batas berdasarkan Peraturan Transmigrasi No. 13 tahun 2011.
Menteri
NAB (mg/m3) 1 1 1 Tenaga
Kerja
dan
14 Tabel 5 menunjukkan konsentrasi debu halus tertinggi dihasilkan oleh alat gerinda yaitu sebesar 6,665 mg/m3 sedangkan konsentrasi debu terendah dihasilkan oleh alat circlesaw yaitu sebesar 1,486 mg/m3. Debu yang dihasilkan oleh ketiga alat tersebut melebihi NAB debu rata-rata yang telah ditentukan yaitu sebesar 1 mg/m3. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menjelaskan bahwa kondisi lingkungan kerja di industri sangat berbahaya dengan konsentrasi debu yang melebihi NAB akan berdampak buruk bagi kesehatan. Menurut Triatmo (2006) debu kayu pada konsentrasi di atas nilai ambang batas (1 mg/m3) merupakan faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi paru. Gangguan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sebagai akibat frekuensi, lamanya seseorang bekerja pada lingkungan yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam pekerja seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, paparan debu kayu, status gizi, kebiasaan merokok, alat pelindung diri, kebiasaan olahraga, dan lama paparan. Maka dari itu upaya pencegahan perlu dilakukan untuk mengurangi penyakit yang ditimbulkan seperti pemasangan alat penyedot debu dalam ruangan dan penggunaan APD. Alat penyedot ruangan yang terpasang dapat mengurangi konsentrasi debu yang berada dalam udara, sedangkan penggunaan APD berfungsi secara langsung untuk melindungi pekerja agar tidak menghirup debu yang berhamburan di udara. Berdasarkan pengamatan di lapangan pekerja tidak melakukan upaya pencegahan seperti menggunakan APD seperti sarung tangan dan respirator sehingga pada saat bekerja dengan alat-alat yang berpotensi menghasilkan debu sering merasakan gatal-gatal apabila debu kontak langsung dengan kulit dan merasakan sesak nafas saat debu terhirup masuk kedalam hidung. Apabila hal ini terus berlanjut maka lambat laun pekerja akan menderita penyakit dermatosis dan pnemokonioses. Fenomena yang sangat mengejutkan terjadi ketika pekerja mengalami sesak nafas untuk mengatasinya pekerja meminum soda. Soda ini dianggap pekerja dapat menghilangkan rasa sesak didada namun menurut Fauzi (1997) minuman yang mengandung zat pengawet seperti soda, atau zat pewarna, perasa, atau pewangi berbahaya terhadap kehidupan dan kesehatan manusia. Zat tersebut dapat merusak lambung manusia dan menyebabkan penyakit kanker usus. Melihat kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa rendahnya tingkat pengetahuan pekerja sehingga membuat mereka melakukan upaya pengendalian yang salah. Apabila hal ini terjadi terus-menerus bukan hanya debu yang akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi pekerja tetapi pengaruh soda yang diminumpun akan memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan pekerja. Pelatihan dan peningkatan informasi terkait perlindungan K3 sangat diperlukan agar pekerja dapat mengerti dan paham akan pentingnya menjaga kesehatan pada saat bekerja. Kegiatan ini seharusnya dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 pemerintah seharusnya melakukan kegiatan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Tidak hanya pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melakukan suatu pembinaan terhadap pekerja, perusahaan (pemberi kerja) juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan kerja baik mental maupun fisik tenaga kerja.
15 Persepsi Pekerja Terhadap Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Responden pada penelitian ini merupakan pekerja (karyawan) di industri mebel yang terdiri dari 90 orang terbagi dalam tiga kegiatan kerja yaitu pembentukan komponen (penggergajian), pengampelasan dan finishing dengan jumlah masing-masing responden dalam kegiatan kerja sebanyak 30 responden. Tabel 6 Karakteristik responden berdasarkan umur, pengalaman kerja, dan pendidikan No
Karakteristik responden
1
Umur (tahun)
2
Pengalaman kerja (tahun)
3
Pendidikan
Kategori Umur aktual 16–63
0–11 12–25 26–45 46–65 65–< 1–6 7–12 13–18 19–23 24–30 SD SMP SMA
Responden ∑ 39 46 5 43 28 12 2 5 46 21 23
% 43,33 51,11 5,56 47,78 31,11 13,33 2,22 5,56 51,11 23,33 25,56
Keterangan: ∑ (jumlah); % (persentasi).
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pembagian kelas umur dilakukan berdasarkan Kementrian Kesehatan RI (2009) dengan membagi kelas kedalam 5 kriteria yaitu anak-anak “0–11”, masa remaja “12–25”, masa dewasa “26–45”, masa lansia “46–65”, dan masa manula “65 ke atas”. Mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS) usia produktif mulai dari umur 15–64 tahun. Umur responden berada dalam usia yang produktif karena memiliki selang 16–63 tahun dengan usia termuda 16 tahun yang terdapat pada responden pengampelasan dan yang tertua 63 tahun terdapat pada responden pembentukan komponen. Untuk selang pengalaman kerja antara 1–30 tahun, selang ini ditentukan berdasarkan sebaran contoh. Pengalaman kerja menunjukkan lamanya masa kerja responden sebagai pekerja industri. Semakin tinggi pengalaman kerja yang dimiliki responden menunjukkan bahwa semakin kompeten responden dalam bekerja. Pada Tabel 6 pengalaman kerja dengan persentasi terbesar (47,78%) ditunjukan pada kategori antara 1–6 tahun, sedangkan persentasi terkecil (2,22) ditunjukan pada kategori antara 19–23 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja memiliki pengalaman kerja yang tergolong sangat tidak baik/ tidak kompeten dalam bekerja. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman kerja selain bekerja sebagai pekerja industri. Untuk tingkat pendidikan, sebagian besar pekerja adalah lulusan sekolah dasar dengan persentasi sebesar 51,11%. Hal ini membuktikan bahwa rendahnya
16 tingkat pendidikan pekerja industri sehingga akan mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Untuk menentukan persepsi pekerja mengenai perlindungan K3 berdasarkan SA dan CBA dilakukan analisis deskriptif terhadap jawaban responden sehingga diperoleh nilai selisih perbandingan nilai rata-rata antara SA dan CBA. Besarnya nilai selisih antara SA dengan CBA dapat dilihat pada gambar 3:
Nilai rata-rata 4,00 3,00 2,00 1,00
R89
R85
R81
R77
R73
R69
R65
R61
R57
R53
R49
R45
R41
R37
R33
R29
R25
R21
R17
R13
R9
R5
R1
0,00
Responden
-1,00 -2,00 Keterangan:
SA
CBA
∆CBA-SA
Gambar 3 Selisih nilai self-assessment dengan control-based assessment Dari hasil diagram diatas menunjukkan ∆CBA-SA semua responden bernilai negatif (-) yang menjelaskan bahwa semua responden cenderung overestimate, memiliki nilai control-based assessment lebih kecil dibandingkan dengan nilai self-assessment artinya responden memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi dalam menilai dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yovi (2009). Berdasarkan nilai selisih di atas responden 3 memiliki nilai selisih terbesar yaitu 1,79 dan nilai selisih terkecil adalah 0,03 terdapat pada responden 13. Adanya selisih nilai tersebut menggambarkan bahwa tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden tidak sesuai dengan penilaian berdasarkan standar. Responden terlalu percaya diri dalam menilai dirinya sendiri. Hal ini bisa terjadi karena responden tidak mau terlihat bodoh saat diberikan pertanyaan SA, sehingga mereka memberikan penilaian dirinya dengan nilai yang tinggi, setelah dilakukan penilaian berdasarkan standar hasilnya ternyata tidak sesuai. Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara SA dengan CBA setiap responden dilakukan analisis uji Wilcoxon. Hasil yang diperoleh menunjukkan jumlah responden yang memiliki perbedaan yang signifikan antara SA dengan CBA sebanyak 31 responden (34%) sedangkan yang tidak signifikan sebanyak 51 responden (66%) dari total 90 responden. Untuk 31 responden yang memiliki
17 perbedaan signifikan artinya nilai probabilitas setiap responden kurang dari nilai α sebesar 0,05 sehingga H1 diterima atau tolak H0 (H0: tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara self-assessment dengan control-based assessment). Tabel 7 Hasil uji Wilcoxon persepsi responden Nilai Z Asymp.Sig.(2-tailed) α
CBA-SA -6,939 0,000 0,05
Keterangan: CBA= control-based assessment, SA= self-assessment. H0 diterima jika angka probabilitas (asymp.sig) > nilai α. H1 diterima jika angka probabilitas (asymp.sig) < nilai α.
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat hasil uji Wilcoxon antara SA dengan CBA untuk keseluruhan pekerja dapat disimpulkan memiliki perbedaan yang signifikan karena nilai probabilitas yang diperoleh sebesar 0,000 yaitu kurang dari nilai α 0,05 sehingga H1 diterima atau tolak H0 (H0: tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara self-assessment dengan control-based assessment). Tanda negatif (-) pada nilai Z sebesar -6,939 menunjukkan bahwa nilai self-assessment lebih besar dari nilai control-based assessment. Untuk melihat tingkat pengetahuan responden peneliti menggunakan nilai control-based assessment kemudian nilai tersebut dimasukan kedalam interval nilai tingkat pengetahuan berdasarkan skala Likert. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat pengetahuan dari 90 responden, 77,78 % responden memiliki tingkat pengetahuan mengenai perlindungan K3 yang buruk, sedangkan untuk tingkat pengetahuan sangat buruk dan cukup masing-masing memiliki jumlah responden sebanyak 11,11%. Dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun responden yang memiliki tingkat pengetahuan mengenai perlindungan K3 yang baik dan sangat baik, hal ini bisa terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi yaitu latar belakang pendidikan responden, faktor usia responden, dan pengalaman bekerja responden di industri. Rendahnya tingkat pengetahuan responden mengenai perlindungan K3 sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Menurut Yovi et al. (2013) tingkat pengetahuan yang sangat tidak memadai terhadap aspek perlindungan K3 serta keterampilan yang rendah dalam melaksanakan kegiatan/aktifitas perlindungan K3 akan mempengaruhi tingkat risiko maupun kejadian K3 yang disebabkan oleh “unsafe human acts”. Pada dasarnya ada dua faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja yaitu unsafe human acts dan unsafe working conditions. Unsafe human acts merupakan segala bentuk tindakan yang tidak aman (berbahaya) yang dilakukan oleh manusia, antara lain tidak menggunakan APD yang sudah ditetapkan sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kerja sedangkan unsafe working conditions merupakan suatu kondisi lingkungan kerja yang tidak aman (berbahaya). Rendahnya tingkat pengetahuan responden mengenai perlindungan K3 bisa saja terjadi karena kurangnya perhatian dari pemerintah ataupun para pengusaha industri terhadap peran penting perlindungan K3 yang melibatkan para pekerja industri. Rendahnya tingkat pengetahuan tersebut di sebabkan oleh rendahnya/terbatasnya akses informasi terhadap peran penting perlindungan K3 serta tata cara pelaksanaan perlindungan K3 (Yovi et al. 2013).
18 Maka dari itu diperlukan suatu strategi yang mudah dan efektif sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan pekerja dalam kontek perlindungan K3. Meningkatnya tingkat pengetahuan pekerja akan menurunkan risiko terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
3,3
3,5
3,02
Nilai rata-rata
3 2,5
2,61 2,5 2,2
2,05
2,19
2,12
2
1,61
1,5
1
1 0,5 0 1
2
3
4
5
6
Topik
7
8
9
10
Keterangan topik: 1. Definisi 2. Ketentuan umum 3. Hak dan kewajiban pekerja 4. Potensi bahaya di industri 5. Pengetahuan dasar mengenai APD 6. Pengetahuan dasar mengenai NAB 7. Pengetahuan dasar mengenai kebisingan 8. Pengetahuan dasar mengenai debu 9. Pengetahuan dasar mengenai BKB 10. Upaya pengendalian BKB
Gambar 4 Tingkat pengetahuan responden terhadap topik perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja Dengan melihat diagram batang pada Gambar 4, dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan responden cukup baik terdapat pada topik pengetahuan dasar mengenai debu (3,3), pengetahuan dasar mengenai APD (3,02), dan ketentuan umum (2,61). Topik ketentuan umum meliputi aspek kecelakaan kerja, keselamatan kerja, penyakit akibat kerja, aturan keselamatan kerja, dan perlindungan K3. Untuk tingkat pengetahuan responden yang masuk dalam kriteria buruk terdapat pada topik definisi (2,05), pengetahuan dasar mengenai BKB (2,12), pengetahuan dasar mengenai kebisingan (2,19), potensi bahaya di industri (2,20), hak dan kewajiban pekerja (2,50). Untuk topik definisi meliputi pengertian kecelakaan kerja, risiko, keselamatan kerja, penyakit akibat kerja, kesehatan kerja, tempat kerja, sumber bahaya, dan perjanjian kerja. Untuk tingkat pengetahuan topik pengetahuan dasar mengenai NAB dan upaya pengendalian BKB termasuk dalam kriteria sangat buruk dengan nilai rata-rata 1,00 dan 1,61. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan pada dasarnya responden kurang memahami pentingnya perlindungan K3. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengetahuan mereka terhadap topik pertanyaan cenderung buruk dengan persentasi nilai rata-rata sebesar 48,9%. Pada dasarnya semua topik mengenai perlindungan K3 penting untuk di pahami oleh pekerja, mengingat bahwa pekerja industri mebel berada dalam kondisi lingkungan kerja yang berbahaya sehingga memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan. Contohnya untuk topik definisi, dalam perlindungan K3 topik ini merupakan suatu pernyataan yang menjelaskan arti, makna, atau pengertian suatu hal yang lebih kompleks terkait perlindungan K3. Penilaian responden yang berbeda-beda terhadap topik definisi yang seharusnya memiliki arti, makna atau pengertian yang sama, akan berpengaruh terhadap persepsi responden sehingga
19 terjadi variasi nilai. Hal ini juga akan terjadi pada topik-topik yang lainnya. Terjadinya variasi nilai tersebut dikarenakan responden tidak paham dan atau tidak tahu mengenai arti, makna dan atau pengertian yang sebenarnya. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi sebagai upaya peningkatan tingkat pengetahuan responden untuk melakukan kegiatan perlindungan K3. Salah satu strategi yang dapat dilakukan yaitu safety game. Safety game merupakan suatu inovasi terbaru dalam menyampaikan informasi terkait dengan perlindungan K3 yang sedang dikembangkan oleh Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc sebagai alternatif pembelajaran dan pelatihan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan pekerja. Pada topik pengetahuan dasar mengenai APD masuk kedalam kriteria cukup baik, namun realita yang terjadi di lapangan banyak sekali pekerja yang tidak menggunakan APD dengan berbagai alasan diantaranya APD mengganggu proses kegiatan kerja mereka, ketidak-nyamanan, merasa tidak perlu menggunakan dan dianggap dapat memicu terjadinya kecelakaan kerja serta ketidakmampuan mereka untuk membeli APD yang sesuai dengan standar karena harganya yang tergolong mahal. Padahal seperti kita ketahui APD adalah suatu alat yang berfungsi untuk melindungi diri dari bahaya sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor manusia dan lingkungan. Seharusnya perusahaan dan pemerintah lebih memperhatikan penyediaan APD sebagai bentuk kepedulian terhadap tenaga kerja agar menghasilkan pekerja yang berkualitas untuk mewujudkan produktivitas yang optimal karena pekerja merupakan bagian terpenting dalam kegiatan produksi. Alat pelindung diri yang disediakan harus sesuai dengan aturan atau dapat memenuhi persyaratan seperti enak dipakai, tidak mengganggu kerja, dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya. Alat pelindung diri terdiri dari alat pelindung kepala, mata, muka, tangan dan jari-jari, kaki, alat pernafasan, telinga, dan tubuh. Tingkat pengetahuan responden pada topik upaya pengendalian BKB masuk kedalam kriteria sangat buruk, hal ini sangat dikhawatirkan mengingat bahwa salah satu kegiatan di industri mebel yaitu finishing menggunakan bahan kimia berbahaya. Tingkat pengetahuan yang sangat buruk mengenai upaya pengendalian bahan kimia berbahaya dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi lingkungan kerja di industri mebel merupakan kondisi yang berbahaya, berdasarkan pengukuran faktor fisika dan kimia di industri hasil pengukuran kebisingan dan debu menunjukkan nilai di atas NAB. Kondisi ini sangat berpengaruh buruk terhadap kesehatan pekerja karena akan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk penilaian menggunakan kuesioner self-assessment dan control-based assessment, dapat dikatakan bahwa semua responden cenderung overestimate dalam menilai tingkat
20 pengetahuannya. Hasil perbandingan nilai self-assessment dengan control-based assessment menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (nilai probabilitas 0,000; kurang dari nilai alpha 0,05), nilai self-assessment yang diperoleh lebih besar dari nilai control-based assessment. Untuk tingkat pengetahuan responden sebagian besar berada pada tingkat pengetahuan yang buruk dengan persentasi 77,78%. Tingkat pengetahuan untuk topik-topik perlindungan K3 berada pada kelas cukup buruk hingga sangat buruk.
Saran Perlu dilakukan strategi peningkatan tingkat pengetahuan pekerja terhadap perlindungan K3 guna mencegah terjadinya risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta memberikan perlindungan bagi pekerja industri mebel dari bahaya bahan-bahan yang digunakan pada saat proses produksi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pelatihan atau penyuluhan. Namun kegiatan pelatihan dan penyuluhan dirasakan kurang efektif, sehingga diperlukan suatu strategi yang dapat meningkatkan tingkat pengetahuan pekerja terkait dengan perlindungan K3, seperti safety game. Safety game merupakan suatu alternatif pelatihan/penyuluhan untuk menyalurkan informasi dalam upaya meningkatkan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat dengan cara yang menghibur, biaya yang murah, tidak terikat waktu dan mudah dilakukan, sehingga pekerja tidak merasa bosan/jenuh.
DAFTAR PUSTAKA
Buchari. 2007. Kebisingan industri dan hearing conservation program [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara. Fredianta D, Huda NL, Ginting E. 2013. Analisis tingkat kebisingan untuk mereduksi dosis paparan bising di PT.XYZ. Jurnal teknik industri FT USU. 2(1):1–8. Likert R. 1932. A Technique for the Measurement of Attitudes. New York (US): Archives of psychology. Purbasari E. 2000. Sindrom getaran tangan dan lengan pada pekerja mebel rotan “RR” Palembang, 1999 [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Setiawan S. 2010. Analisis kompetensi pekerja dan pengusaha terhadap keselamatan dan kesehatan kerja bidang pemanenan kayu di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suma’mur. 1967. Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta (ID): Cv Haji Masagung. Syakir MA. 2011. Analisis kompetensi penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi pekerja kehutanan bidang pemanenan kayu di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
21 Triatmo W, Adi MS, D Yusniar H. 2006. Paparan debu kayu dan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel (study di PT Alis Jaya Ciptatama). Jurnal kesehatan lingkungan indonesia. 5(2):69–76 . Yovi EY, Nurrochmat DR, Saleh MB. 2013. Arah kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi pelaku IKRT mebel dan TPK skala kecil di Kabupaten Jepara. Bogor (ID): IPB Press. Yovi EY. 2007. % VdotO2max as physical load indicator unit in forest work operation. Jurnal manajemen hutan tropika. 13(3):140–145. Yovi EY. 2009. Assessing occupational safety and health (OSH) protection on forestry work through competency approach. Jurnal ilmu faal Indonesia. 8(2): 94–100.
22
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Tita Widiastuti. Lahir pada tanggal 26 Oktober 1990 di Bogor. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara, dari pasangan bapak Icang Suryana dan Ibu Nurbaeti. Penulis mengawali pendidikan pertama di TK Kartika Chandra Kirana Cianjur pada tahun 1995-1997. Pada tahun 1997-2001 penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri Kopo Cianjur, kemudian pada tahun 2001-2003 penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri Munjul Cianjur. Pada tahun 2003-2006 penulis melanjutkan pendidikan SMP Negeri 4 Cianjur. Pada tahun 2006-2009 penulis melanjutkan pendidikan SMA Negeri 1 Cianjur. Pada tahun 2006 penulis lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun pertama penulis menjalani perkuliahan pada tingkat Tahap Persiapan Bersama (TPB). Selama menjalani masa perkuliahan di IPB, penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan selama satu periode. Selain itu penulis juga terdaftar sebagai anggota organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Manajemen Hutan yaitu Forest Manajemen Student Club (FMSC). penulis juga aktif dalam mengikuti kepanitiaan di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cikeong-Tangkuban Perahu dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Selanjutnya, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Hutanindo Lestariraya Timber Pangkalan bun, Kalimantan Tengah. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan topik Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang berjudul Identifikasi Kondisi Lingkungan Kerja dan Persepsi Pekerja Industri Mebel terhadap Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Desa Mulyoharjo Kabupaten Jepara dibawah bimbingan Dr. Efi Yuliati Yovi S.Hut, M.Life.Env.Sc.